Pukulan Naga Sakti 3

Pukulan Naga Sakti Karya Khu Lung Bagian 3


, tanpa terasa ia menjadi menyesal sekali
mengapa harus melakukan perjalanan ini.
Oleh karena pelbagai ingatan berkecamuk didalam benaknya,
lama sekali dia tidak mengucapkan sepatah katapun.
Menyaksikan keadaan dari pemuda itu, dengan wajah serius
kakek botak itu segera berkata :
"Seandainya Thi siauhiap ingin memunahkan pengaruh totokan jit
sat ci ditubuh supek dan susiokmu itu inilah satu-satunya jalan yang
bisa ditempuh dan tiada jalan lain lagi, harap siauhiap jangan
menyia-nyiakan kesempatan baik ini!"
Mencorong sinar tajam dari balik mata Thi Eng khi katanya :
"Siauseng ingin mengajukan suatu pertanyaan harap lotiang sudi
menjawab dengan sejujurnya."
Kakek botak itu segera tertawa terbahak-bahak :
125 "Haaahhh.... haaahhh..... bukankah kau ingin bertanya apa
tujuanku yang sebenarnya mengundang kedatanganmu diatas
puncak Bong soat hong ini?"
"Benar!" Thi Eng khi mengangguk "Sebenarnya apa tujuanmu?"
Kakek botak itu memperhatikan Thi Eng khi beberapa saat
lamanya kemudian menjawab :
"Ketika berada dalam perguruanmu tempo hari, aku sudah
mengetahui kalau kau berbakat bagus dan pantas mewarisi ilmu
sakti yang tercantum dalam kitab Jit sat hian im keng itulah
sebabnya kitab pusaka Thian liong pit kip yang sudah jatuh ke
tanganku pun kukembalikan kepadamu. Adapun maksudku
mengundang kedatanganmu adalah bertujuan untuk
menyempurnakan kau, inilah maksud lohu yang sebenarnya, dengan
kecerdasan yang kau miliki apakah tidak bisa kau lihat bahwa
kesempatan ini merupakan kesempatan yang paling baik sekali"
Mengapa kau tidak segera berlutut dan mengangkat diriku sebagai
gurumu" Apalagi yang hendak kau nantikan?"
Thi Eng khi segera melotot besar.
"Siauseng adalah anggota partai Thian liong pay, tidak mungkin
aku disuruh berganti perguruan lagi."
Kakek botak itu segera tertawa terbahak-bahak :
"Haaahhh... haaahhh..... haaahhh.... selama melakukan
perjalanan dalam dunia persilatan aku mempunyai suatu tujuan yang
besar sekali, maka asal kau bersedia mengangkat diriku menjadi
gurumu, jangan toh baru menjadi ketua Thian liong pay asal kau
bercita-cita besar, lohu pun bisa membantumu untuk menjadi ketua
dari seluruh perguruan dan partai yang berada dalam dunia
persilatan saat ini!"
Selama ini Thi Eng khi terus menerus memperhatikan mimik
wajah lawan, mendadak timbul suatu kecurigaan dalam hatinya
sehingga tanpa terasa ia memandang orang itu semakin lekat-lekat,
seakan-akan pikirannya terurai dalam lamunan.
126 Itulah sebabnya dia tidak mendengar kata si kakek yang didepan,
tapi hanya mendengar kata yang terakhir saja.
Kontan saja paras mukanya berubah menjadi dingin bagaikan es,
katanya lantang :
"Kau hendak menjadi ketua dari semua partai dan perguruan
yang ada di dunia ini" Kalau begitu kau juga pembunuh yang telah
melukai serta membinasakan jago-jago lihay dari pelbagai
perguruan?"
Mula-mula kakek botak itu agak tertegun kemudian sambil
menarik muka sahutnya :
"Lohu tak ingin menjadi orang kedua dikolong langit dewasa ini,
apa pula salahnya bila kugunakan ilmu silatku yang lihay untuk
menakut-nakuti mereka" Hei, sudah tahu begitu, apalagi yang
hendak kau pertimbangkan ...." Bila tahu diri cepat berlutut dan
mengangkat diriku menjadi gurumu, lohu sudah merasa agak tak
sabar!" Paras muka Thi Eng khi sama sekali berubah, katanya :
"Siauseng tidak bernasib sebaik itu, maaf, selamat tinggal!"
Dia lantas membalikkan badannya dan berlalu dari situ.
Kakek botak itu segera menggapaikan tangannya, segulung
tenaga hisapan tak berwujud yang sangat dahsyat segera
menghisap tubuh Thi Eng khi untuk balik kembali ke tempat semula,
serunya dengan gusar :
"Lohu dengan maksud baik ingin mendidik kau, tak kusangka
kalau kau begitu tak tahu diri!"
"Yaa, tiap orang mempunyai cita-cita yang berbeda, siapa yang
bisa memaksanya?"
Napas kakek botak itu tersengkal-sengkal keras, jelas
kemarahannya sudah memuncak, tapi alis matanya berkenyit dan
akhirnya berhasil menahan diri, dia mendongakkan kepalanya lalu
tertawa terbahak-bahak.
127 "Haaahhh.... haaahhh.... haaahhh..... apakah kau lupa dengan
luka parah yang diderita Thian liong ngo siang akibat totokan dari
ilmu jari Jit sat ci?"
"Thian liong ngo siang berbeda dengan orang biasa, sedangkan
siauseng pun hanya tahu jalan lurus dan berdiri tegak, sekalipun
selama sepuluh tahun tidak mampu menyembuhkan luka mereka,
tak nanti mereka akan menyalahkan diri siauseng."
"Apakah kau juga lupa dengan penghinaan yang kau derita
sewaktu berada di perkampungan Ki hian san ceng?" teriak si kakek
botak itu keras-keras, "asal kau bersedia mengangkat diriku menjadi
gurumu, tanggung didalam setahun mereka semua akan berlutut
dihadapanmu sambil minta ampun!"
Menyinggung kembali soal perkampungan Ki hian san ceng,
timbul kembali secara tiba-tiba api kemarahan yang berkobar
didalam dadanya.
Terdengar si kakek botak itu berkata lebih jauh :
"Tidak tahukah kau bahwa mereka semua adalah jago-jago
kenamaan didalam dunia persilatan" Tidak takutkah bagaimana
wajah mereka yang sebenarnya..." Aku rasa kesemuanya itu sudah
kau saksikan sendiri, tentunya kau berpikir sendiri bukan."
Thi Eng khi semakin emosi, sepasang alis matanya sampai
berkenyit setelah mendengar perkataan itu.
Kakek itu semakin emosi, dengan memperkeras suaranya dia
berkata lebih jauh :
"Dengan mengingkari liang-sim, mereka telah merampas lukisan
Enghiong to milikmu, kemudian demi ilmu silat yang berada di balik
enghiong to tersebut mereka saling membunuh, heeehhh.....
heeehhh.... heeehhh.... itulah tampang-tampang yang sebenarnya
dari kaum lurus dalam dunia persilatan, heeehhh..... heeehhhh...."
Thi Eng khi merasa hatinya makin bergolak keras, mendadak
teriaknya keras-keras :
"Sekarang lukisan Enghiong to ku itu sudah dirampas siapa?"
128 Kakek botak tersebut tertawa terbahak-bahak.
"Haaahhh.... haaahhh.... haaahhh.... lohu selalu hanya
memikirkan dirimu, maka lukisan Enghiong to tersebut pun telah
kurampas kembali. Baik, anggap saja sebagai hadiah pertempuran
dari suhu untukmu, terimalah kembali lukisan itu!"
Dari balik sakunya dia lantas mengeluarkan gulungan lukisan
tersebut.... Lukisan itu bagaikan ada sukmanya saja, setelah berputar satu
lingkaran ditengah udara segera melayang ke tengah Thi Eng khi.
Dengan cepat Thi Eng khi menyambut lukisan itu, lalu katanya
emosi : "Kalau begitu, Hong im siu Sang Thong adalah penyaruan
darimu!" Inilah kecurigaan yang selalu tertanam di hati Thi Eng khi,
sekarang dia ingin mendapatkan jawaban yang sebenarnya.
"Lohu bergelar Huam im sing ang, soal ilmu menyamar mah
urusan sepele, asal kau bersedia mengangkat diriku menjadi
gurumu, akupun bisa menghadiahkan kitab pusaka Huan im poo liok
tersebut untukmu."
"Aku tidak percaya" Aku tidak percaya!" seru Thi Eng khi sambil
menggeleng, "Hong im siu Sang Thong berperawak tinggi besar,
soal perawakan tak mungkin bisa dilakukan hanya dengan jalan
menyaru saja."
Huan im sin ang tertawa terbahak-bahak.
"Haaahhh.... haaahhh..... haaahhh..... jika ilmu sakti yang
tercantum di dalam kitab pusaka Jit sat hian im cing keng telah
berhasil dilatih dengan sempurna, maka soal merubah badan bisa
dilakukan sekehendak hati sendiri, jika kau tidak percaya aku akan
membuktikannya di hadapanmu...."
129 Sambil membungkukkan badannya, tiba-tiba terdengar bunyi
gemerutuknya tulang yang amat keras bergema di angkasa, lalu
tubuhnya tiba-tiba berubah menjadi lebih tinggi beberapa kali lipat.
Senyuman segera menghiasi bibirnya, dia mengira kali ini Thi Eng
khi tak akan menaruh curiga lagi dan murid yang baik inipun pasti
akan diperoleh.
Siapa tahu Thi Eng khi segera tertawa dingin tiada hentinya :
"Semua tingkah laku dan perbuatan lotiang selama menjadi Hong
im siu sudah banyak yang siauseng saksikan, begitu banyak jago
lihay yang berada di dalam perkampungan Ki hian san ceng juga tak
seorangpun yang sanggup mengalahkan dirimu, itu menunjukkan
kalau ilmu silat yang lotiang miliki benar-benar luar biasa sekali,
cuma kau bilang mereka lupa akan keadilan dan kebenaran dengan
berbuat semena-mena, tolong tanya bagaimana pula dengan
perbuatan yang telah kau lakukan sendiri selama ini!"
Huan im sin ang merasa kecewa sekali dia tidak menyangka kalau
Thi Eng khi bakal memutar balikkan pembicaraan hanya bertujuan
untuk memakinya.
Kontan saja timbul ingatan jahat dalam hatinya, sambil
menyeringai seram katanya:
"Keparat cilik baik-baik kuberi arak kehormatan kepadamu, kau
tak mau, arak hukuman malahan yang dipilih, baik! Hari ini aku akan
memaksamu untuk mengangkat diriku menjadi gurumu, kau tidak
mau juga harus mau, kalau tidak maka jangan harap bisa tinggalkan
puncak Bong soat hong dalam keadaan selamat."
"Hmm! Siauseng tidak takut dengan ancaman sekalipun kau
hendak membacokku sampai mati, aku juga tidak akan mengangkat
dirimu menjadi guruku!"
Tak terlukiskan kemarahan Huan im sin ang sesudah mendengar
perkataan itu, segera bentaknya:
"Bocah keparat, kau pingin mampus!"
130 Sepasang tangannya segera disentilkan bersama kedepan,
sepuluh gulung desingan angin tajam segera mengurung seluruh
jalan darah penting di tubuh Thi Eng khi.
Keadaan Thi Eng khi waktu itu ibaratnya seekor domba yang siap
disembelih, jangankan melarikan diri, bahkan ingatan tersebut belum
lagi melintas dalam benaknya dia sudah roboh terkapar diatas tanah.
Seluruh tubuh Thi Eng khi menjadi terbelenggu dan tak mampu
berkutik lagi, setelah menghela napas panjang, ia pejamkan mata
dan pasrah kepada nasib.
Begitu berhasil menguasai Thi Eng khi, Huan im sin ang masih
tetap berusaha untuk melunakkan hati pemuda itu, katanya dengan
lembut : "Orang yang sudah mati tak bisa bangkit kembali kalau kau tetap
keras kepala semacam begini maka hasilnya hanya akan menambah
setan penasaran saja di akhirat, sekali lagi lohu memberi
kesempatan yang terakhir kepadamu, jawabanmu akan
mempengaruhi mati hidupmu!"
Thi Eng khi tetap membungkam dalam seribu bahasa, tak
sepatah katapun yang diucapkan.
Dengan suara keras, Huan im sin ang segera membentak :
"Sudah kau dengar belum ucapan dari lohu itu?"
Thi Eng khi masih tetap membungkam dalam seribu bahasa.
Huan im sing ang menjadi gusar sekali, kembali dia
mengayunkan jari tangannya, segulung desingan angin tajam segera
meluncurkan ke depan dan menghajar bahu kanan Thi Eng khi.
Sekujur badan pemuda itu segera menggigil keras, bagaikan
tercebur ke dalam gudang es saja, kontan saja seluruh badannya
menjadi kaku. Akan tetapi dia masih tetap menggertak gigi menahan diri, tak
sepatah katapun yang diucapkan.
131 Huan im sing ang bertambah gusar lagi sehingga sekujur
badannya gemetar keras, sebuah pukulan kembali dilontarkan
membuat tubuh Thi Eng khi segera terlempar sejauh beberapa kaki
dari tempat semula.
Tubuh Thi Eng khi terkena serangan Jit sat ci dari Huan im sin
ang lebih dulu, kemudian termakan oleh pukulan tersebut, halmana
membuat napasnya menjadi lemah dan tak sanggup untuk merana
kembali. Melihat kejadian ini, Huam im sin ang tertawa terbahak-bahak,
serunya kembali :
"Barang siapa terkena ilmu jari Jit sat ci dari lohu maka jiwanya
tak akan tertolong lagi, ditambah kalau terkena pukulan Im hong tou
kut ciang sekalipun ada dewa yang turun dari kahyangan juga tak
akan bisa menolong jiwamu, nah , silahkan saja kau rasakan
penderitaan itu!"
Seusai berkata, dia lantas membalikkan badannya dan berlalu
dari tempat itu.
Tak lama setelah bayangan tubuh Huan im sin ang lenyap dari
pandangan mata, dari atas sebatang pohon siong ditepi puncak bukit
itu melayang turun seorang hwesio berusia pertengahan, dengan
gerakan tubuh yang cepat bagaikan sambaran kilat dia sudah tiba
disisi tubuh Thi Eng khi.
Tampak airmata hwesio itu jatuh bercucuran dengan derasnya,
sedang mulutnya berguman tiada hentinya :
"Bocah wahai bocah, seandainya tidak kuturuti jejakmu
sepanjang jalan, mana mungkin kau masih bisa hidup terus?"
Dengan cepat dia membuka baju yang dikenakan Thi Eng khi,
mengeluarkan sebuah botol porselen berwarna biru, mengeluarkan
tiga butir pil dan secara berhati-hati sekali memasukkan sebutir
diantaranya kemulut Thi Eng khi, sedang dua lainnya dimasukkan
kembali kedalam botol porselen itu kemudian dimasukkan kembali ke
saku Thi Eng khi.
132 Kemudian dia membopong pemuda itu menuju kedalam sebuah
gua dibawah bukit dan membaringkannya diatas tanah.
Dengan suatu gerakan yang cepat dan memusatkan segenap
tenaga dalam yang dimilikinya, dia mengayunkan kesepuluh jari
tangannya untuk menotok tiga puluh enam buah jalan darah penting
disekujur badan Thi Eng khi.
Selesai menotok ketiga puluh enam buah jalan darah tersebut,
sinar mata si hwesio setengah umur yang semula bercahaya tajam
kini menjadi amat redup, tampaknya dia sudah banyak
mengorbankan tenaga dalamnya.
Akan tetapi ia tidak berhenti sampai disitu saja, setelah mengatur


Pukulan Naga Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebentar tenaga dalamnya dan kekuatan itu sudah pulih kembali,
dengan cara yang sama kembali dia lancarkan totoknya disekujur
badan pemuda itu.
Keadaan itu secara beruntun dilakukan tujuh kali, mukanya yang
semula segar kini sudah menjadi pucat pias dan sayu, seakan-akan
dalam waktu singkat ia telah menjadi tua beberapa puluh tahun,
sedangkan air mata yang berada di sudut matanya tak pernah
mengering kembali.
Sungguh aneh dan mencurigakan sekali gerak-gerik dari hwesio
tersebut...."
Perhatian serta cinta kasihnya kepada Thi Eng khi sudah jelas
melebihi perhatian dan cinta kasih seorang pendeta terhadap
umatnya. Apalagi jika dilihat dari tindakannya yang merogoh ke saku Thi
Eng khi serta mengeluarkan pil mestika Toh mia kim wan jelas sekali
terhadap keadaan dari pemuda tersebut.
Hwesio setengah umur yang sebenarnya gagah dan segar,
setelah mengalami banyak pengorbanan tenaga dalam berubah
menjadi lemas dan sayu sekali.
133 Akan tetapi ketika dilihatnya paras muka Thi Eng khi berubah
menjadi segar kembali, airmata sekali lagi berderai membasahi
pipinya, sementara sekulum senyuman lega menghiasi bibirnya.
Ia mendongakkan kepalanya dan memperhatikan sekejap
sekeliling gua itu, kemudian sambil berkerut kening gumamnya :
"Tempat ini bukan suatu tempat yang cocok untuk merawat luka,
tampaknya terpaksa aku harus membopongnya turun gunung."
Maka diapun membopong Thi Eng khi dan diam-diam menuruni
bukit Bong soat hong.
Di sebuah mulut selat Wu sia, dia mencari sebuah kuil kecil yang
jauh dari keramaian manusia, lalu dibuatkan sebuah pembaringan
kecil dari bambu dan membaringkan Thi Eng khi diatasnya.
Setelah otot tubuhnya dilukai oleh Huan im sin ang dengan ilmu
totokan Jit sat cinya, kemudian termakan sebuah pukulan dahsyat
lagi, sebetulnya Thi Eng khi sudah tidak berharapan untuk
melanjutkan hidupnya, untung saja dia menyimpan obat mestika
Toh mia kim wan dalam sakunya, ditambah lagi tenaga dalam
hwesio setengah umur itu amat sempurna dimana ia berhasil
menembusi otot-otot ditubuh pemuda yang tersumbat mati oleh
totokan Jit sat ci, maka selembar jiwa pemuda itupun berhasil
ditolong dari jurang kematian.
Begitulah, dibawah perawatan yang teliti selama tujuh hari
lamanya pemuda itu baru berhasil memulihkan kembali
kesadarannya. Akan tetapi si hwesio setengah umur itupun sudah banyak
kehilangan tenaga dalamnya sehingga berubah menjadi kurus kering
bagaikan kulit pembungkus tulang.
Sewaktu Thi Eng khi membuka matanya untuk pertama kalinya,
hwesio setengah umur itu kelihatan emosi sekali sehingga matanya
yang sayu tiba-tiba mencorong kembali sinar tajam.
134 Thi Eng khi segera melompat bangun dan duduk, sapanya
dengan wajah kebingungan :
"Mengapa aku bisa berada disini?"
Hwesio setengah umur itu segera membaringkan kembali
pemuda itu agar tetap tiduran, lalu bisiknya :
"Siau sicu, lukamu terlampau parah, lebih baik berbaringlah dulu
selama tiga hari sebelum boleh turun dari pembaringan!"
Thi Eng khi segera teringat kembali kejadian di bukit Bong soat
hong tersebut, tak kuasa lagi dia segera bertanya :
"Siansu kah yang telah menyelamatkan selembar jiwaku?"
Dengan wajah berseri hwesio setengah umur itu berkata :
"Jasa itu bukan berada di tangan siauceng sebab yang sebetulnya
menolong jiwamu adalah obat mestika yang siau sicu bawa sendiri."
Thi Eng khi segera tertawa dengan penuh rasa terima kasih,
katanya dengan cepat :
"Sekalipun siauseng membawa obat mestika seandainya bukan
siansu yang membantuku untuk memasukkan pil itu kedalam
mulutku, selembar jiwaku juga akan tetap melayang. Itulah
sebabnya budi kebaikan dari siansu tak akan kulupakan untuk
selama-lamanya."
Kembali hwesio setengah umur itu tertawa.
"Aaaah... hanya secara kebetulan saja kita bersua dan
membantumu, harap siau sicu jangan terlalu memikirkannya didalam
hati, sekarang cepat atur pernapasanmu satu kali, coba periksalah
seluruh badanmu apakah ada yang masih tidak sehat, kalau ada,
cepat katakan kepada siauceng, agar bisa diusahakan
pengobatannya."
Baru saja Thi Eng khi hendak berkata lagi dia segera dicegah oleh
hwesio setengah umur itu sambil tersenyum.
Terpaksa dia memejamkan matanya dan mengerahkan Sian thian
bu khek ji gi sin kang untuk mengelilingi seluruh nadi penting dan
135 jalan darah didalam tubuhnya setelah mengitari satu kali seluruh
badannya, dia segera merasa bahwa tenaga dalamnya amat segar
dan malahan bertambah hebat beberapa kali lipat dibandingkan
sebelum terluka dulu.
Kenyataan ini segera menggirangkan hatinya, sambil melompat
bangun dia lantas menjura seraya berseru :
"Siansu benar-benar sangat lihay, bukan saja siauseng
merasakan seluruh tubuhku menjadi segar kembali, bahkan tenaga
dalamku lebih sempurna beberapa kali lipat daripada sebelum
terluka dulu ...."
Sekilas rasa kaget bercamput tercengang melintas diatas wajah
hwesio setengah umur itu, kemudian sambil berseru tertahan dia
pegang urat nadi dari Thi Eng khi dan memeriksanya, dengan suara
lirih dia berbisik :
"Siau sicu, coba aturlah tenaga dalammu mengelilingi seluruh
badan, akan siauceng periksa keadaanmu."
Thi Eng khi menurut dan segera melakukan seperti apa yang
dikatakan itu. Dengan cepat hwesio setengah umur itu memegang urat nadinya
dan memeriksa sebentar, tiba-tiba sekulum senyuman menghiasi
bibirnya dia lantas berkata :
"Siau sicu, kau pasti pernah menerima suatu kemukjijatan atau
pernah makan obat aneh yang bisa membantu menambah tenaga
dalammu, oleh pengaruh tenaga dalam yang sianceng salurkan ke
dalam tubuhmu, obat itu sudah mulai menunjukkan reaksinya dan
menyebar ke seluruh badan bila kau melatih lagi tenaga dalammu
selama beberapa hari maka menunggu daya kerja obat itu sudah
mulai menyebar keseluruh badan, tenaga dalam siau sicu akan
memperoleh kemajuan yang luar biasa pesatnya, terlebih dahulu
siau ceng mengucapkan selamat untukmu."
Berkedip sepasang mata Thi Eng khi setelah mendengar
perkataan itu, setelah menatap hwesio itu beberapa saat lamanya,
diapun manggut-manggut.
136 "Keempat orang supek dan susiokku pernah memberikan empat
macam obat mestika kepadaku, tapi sayang berhubung tenaga
dalamku belum cukup sempurna maka tak sanggup membuyarkan
kerja tenaga obat tersebut, tapi menurut keempat orang supek dan
susiokku, untuk bisa menyebarkan daya kerja keempat macam obat
itu hingga meresap ke seluruh badan, maka harus dipakai ilmu Pek
hui tiau yang tayhoat, apakah kepandaian yang dipergunakan siansu
adalah ....."
"Yaa, betul! Ilmu yang siauceng pergunakan memang ilmu Pek
hui tiau yang tayhoat!"
Thi Eng khi semakin tercengang lagi, serunya :
"Pek hui tiau yang tayhoat adalah sinhoat tenaga dari aliran
Thian liong pay, darimana siancu bisa mempelajarinya ?"
Paras muka hwesio setengah umur itu agak berubah, agaknya ia
sedang merasakan gejolak perasaan yang luar biasa sekali, akhirnya
setelah mengucapkan puji syukur keagungan Sang Buddha.
"Omitohud!" dengan wajah hambar katanya :
"Seorang sahabatku dari Thian liong pay telah mewariskan ilmu
Pek hui tiau yang tayhoat kepada siauceng, sungguh tak disangka
puluhan tahun kemudian siauceng kembali mempergunakan ilmu
Pek hui tiau yang tayhoat untuk menolong siau sicu sebagai
ciangbunjin dari partai Thian liong pay, tampaknya segala sesuatu
telah diatur menurut takdirnya, betul bukan siau sicu?"
Thi Eng khi termenung beberapa saat lamanya, tiba-tiba ia
bertanya : "Siausu darimana kau bisa tahu kalau siauseng adalah ketua dari
partai Thian liong pay?"
Menghadapi pertanyaan tersebut, hampir saja hwesio setengah
umur itu hendak membeberkan kejadian yang sesungguhnya, tapi
akhirnya ia berhasil menahan diri, katanya sambil menghela napas
panjang. 137 "Thian liong kim kiam adalah pedang dari seorang ketua Thian
liong pay, siau sicu membawa pedang tersebut berarti kau pastilah
seorang ketua dari perguruan itu!"
"Aaah! Betul, siauseng memang goblok sehingga musti
mengajukan pertanyaan tersebut."
Sementara itu, hwesio setengah umur itu telah bertanya kembali.
"Siau sicu, apakah kau she Thi bernama Eng khi?"
Sekali lagi Thi Eng khi dibikin kebingungan setengah mati,
akhirnya sambil menatap hwesio itu lekat-lekat tanyanya :
"Siansu, sebenarnya siapakah kau?"
Hwesio setengah umur itu mengenyitkan alis matanya dan
menjawab. "Siauceng bergelar Huang oh!"
"Tolong tanya siansu, kenapa kau bisa mengetahui begitu jelas
tentang diri siau seng?"
Huang ho siansu juga tertawa dan tidak menjawab.
Setelah termenung beberapa saat lamanya, tiba-tiba Huang ho
siansu berkata lagi :
"Siauceng bersedia menghadiahkan ilmu tenaga dalam Pek hui
tiau yang tayhoat dan ilmu pedang Thian liong kiam hoat kepada
siau sicu, apakah siau sicu bersedia untuk mempelajarinya?"
Tekad Thi Eng khi memang sebelum menjayakan nama Thian
liong pay dengan ilmu silat aliran perguruannya, dia tak akan
mempelajari kepandaian aliran yang lain, ketika mendengar kalau
Huang oh siansu bersedia mewariskan ilmu silat aliran Thian liong
pay kepadanya, ia merasakan jantungnya berdebar keras.
Tapi sebelum mengucapkan sesuatu, satu ingatan lain segera
melintas dalam benaknya, ia berpikir :
138 "Siansu yang telah menyelamatkan jiwaku ini berbicara kurang
leluasa dan banyak hal yang mencurigakan sekali, sebelum
mengambil keputusan aku harus menanyakan dulu keadaannya
sampai jelas."
Berpikir sampai disitu, ia lantas menatap wajah Huang ho siansu
lekat-lekat, kemudian ujarnya dengan serius :
"Walaupun siauseng telah menerima jabatan sebagai ketua dari
partai Thian liong pay tapi berhubung aku masuk perguruan agak
lambat, tidak banyak yang kuketahui tentang kejadian Thian liong
pay dimasa lampau, barusan siansu bilang ada hubungan dengan
cianpwe dari partai kami, apakah kau bersedia memberi penjelasan
lebih dahulu tentang masalah ini?"
Huang oh siansu berkerut kening dan termenung beberapa saat
lamanya, kemudian berkata :
"Kejadian ini sudah berlangsung pada dua puluh tahunan
berselang, untuk sesaat sulit bagiku untuk memulai kisah ceritanya,
begini saja, bagaimana kalau siau ceng menceritakan suatu kisah
cerita saja kepadamu?"
Thi Eng khi segera mengangguk.
"Siauseng siap mendengarkan ceritamu itu."
Huang oh siansu termenung sebentar seperti membayangkan
kembali kejadian di masa lalu, kemudian dengan suara berat katanya
: "Dua puluh tahun berselang, dalam dunia persilatan muncul dua
orang yang berbakat bagus, kedua orang itu sama-sama berilmu
tinggi dan sama-sama gagahnya, berhubung antara nama mereka
sama-sama memakai tulisan giok maka mereka disebut sebagai Bu
lim siang giok (sepasang kemala dari dunia persilatan)."
Berbicara sampai disitu, dia melirik sekejap kearah Thi Eng khi
kemudian melanjutkan :
"Yang seorang adalah ayahmu yang bernama Lan ih cu tok
(pangeran berbaju biru) sedangkan yang satunya lagi bernama Gin
san kiam kek (pendekar pedang baju perak) Ciu Cu giok. Kedua
139 orang itu mempunyai cita-cita yang sama serta semangat yang sama
pula, kemana mereka tiba kaum sesat segera terbasmi dan nama
besar mereka makin meningkat, sehingga akhirnya jadilah manusia
yang paling kosen diantara angkatan muda.
Tetapi walaupun kedua orang itu bersahabat akrab, tapi kedua
belah pihak sama-sama tinggi hati, maka dalam hal ilmu silat, kedua
belah pihak sama-sama merasa tidak puas dan tidak takluk.
Rupanya kedua orang itu tahu bahwa hal mana merupakan
penghalang dari persahabatan mereka, maka secara berterus terang
kedua belah pihak sama-sama mengutarakan isi hatinya, bahkan
untuk menghilangkan perintang tersebut, kedua belah pihak secara
terbuka saling bertukar ilmu silatnya masing-masing, Lan ih cu tok
mewariskan ilmu Pek hui tiau yang tay hoat dan ilmu pedang Thian
liong kiam hoat kepada Gin san kiam kek Ciu Cu giok, sedangkan Gin
san kiam kek mewariskan ilmu sakti Ban liu kui tiong serta ilmu
pedang Liu soat kiam hoatnya kepada Lan ih cu tok Thi tiong giok."
Jilid 5 Thi Eng khi segera merasakan pergolakan emosi yang luar biasa
sekali dengan sorot mata yang tajam dia awasi hwesio itu lekatlekat,
sebab dia tahu orang ini adalah salah satu diantaranya
Ayahnya dan Ciu Cu giok ....
Makin bercerita, Huang oh siansu semakin lancar lagi
sambungnya lebih jauh :
"Secara terbuka mereka saling mewariskan ilmu pedang dan
simhoat tenaga dalamnya kepada yang lain, ternyata akibat dari
perbuatan tersebut, mereka saling menaruh hormat kepada yang
lainnya, tapi siapakah lebih lemah, ingatan tersebut belum pernah
hilang dari benak mereka.
Maka pada dua puluh tahun berselang, mereka berjanji untuk
melakukan pertandingan selama tujuh hari tujuh malam didalam
sebuah hutan yang jauh dari keramaian manusia, dalam pertarungan
selama tujuh hari tujuh malam itu, ternyata terbukti bahwa kekuatan
140 mereka adalah seimbang dan sukar diketahui siapa yang menang
dan siapa yang kalah."
Dalam benak Thi Eng khi segera terlintas satu bayangan ....
dalam sebuah hutan yang terpencil, dua orang kerabat yang masih
muda melangsungkan pertarungan selama tujuh hari tujuh malam


Pukulan Naga Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam keadaan letih, mereka masih bertarung terus dengan serunya
..... Tak tahan lagi dia segera menghela napas panjang, katanya :
"Padahal apa perlunya berbuat begini?"
Huang oh siansu mendesah sedih.
"Aaai .... betul seandainya pada waktu itu kami bisa mempunyai
perasaan seperti siau sicu sekarang, tak akan terjadi peristiwa yang
amat tragis itu"
Thi Eng khi segera merasakan hatinya bergetar keras, apalagi bila
teringat dengan pesan terakhir dari kakeknya, bisa diduga akhir dari
pertarungan itu sudah pasti adalah suatu akhir yang amat tragis,
kemungkinan besar yang menjadi korban adalah ayahnya sendiri.
Meski kejadian ini sudah berlangsung pada belasan tahun
berselang, tapi dalam perasaannya seakan-akan kejadian itu
berlangsung didepan mata, tanpa terasa lagi dengan perasaan
tegang, serunya :
"Ooooh... akhirnya apakah mereka berhasil menentukan siapa
yang menang dan siapa yang kalah?"
Huang oh siansu tertawa getir.
"Betul, akhirnya salah seorang diantaranya berhasil menang
setengah jurus, sedangkan yang lain dikalahkan setengah jurus."
Thi Eng khi sangat berharap kalau yang kalah bukan ayahnya,
buru-buru ia bertanya:
"Siapa yang dikalahkan setengah jurus?"
141 Huang oh siansu segera mendongakkan kepalanya dan tertawa
tergelak, tapi gelak tertawa itu membawa nada sedih yang luar
biasa, lama, lama sekali dia baru berkata:
"Siauceng menyebut diriku sebagai Huang oh (lupa diri sendiri),
bahkan tentang aku sendiripun sudah lupa, mana mungkin aku
masih ingat siapa yang menang dan siapa yang kalah!"
Seluruh wajah Thi Eng khi telah dibasahi oleh air mata, dengan
suara rendah katanya :
"Apakah cerita tersebut berakhir sampai disini saja?"
"Akhirnya orang yang kena dikalahkan itu berhubung merasa
malu terhadap perguruannya, lagipula pikirannya tak bisa terbuka,
dengan membawa malu dia menggorok leher sendiri bunuh diri,
sedangkan yang lain lagi karena sedih kehilangan teman akrabnya,
segera mencukur kepalanya menjadi hwesio!"
Mendengar sampai disitu, Thi Eng khi segera merasakan
kepalanya pusing tujuh keliling, hampir saja dia tak sanggup untuk
berdiri tegak lagi, sambil memegang ujung jubah dari pendeta itu
serunya : "Siapakah kau orang tua yang sebenarnya?"
Dia masih berharap orang yang bunuh diri itu bukan ayahnya,
maka dia telah mengubah panggilannya dari siansu menjadi "kau
orang tua"
Setitik cahaya aneh memancar keluar dari balik mata Huang oh
siansu, dengan suara tegas, sahutnya :
"Siauceng adalah Huang oh!"
Thi Eng khi merasakan sekujur badannya gemetar keras, dengan
cepat dia menarik kembali tenaga yang mencengkeram diatas jubah
Huang oh siansu tersebut, kemudian sambil memegangi kepalanya
sendiri dia merasa murung sekali.
Dia berusaha untuk menyakini bahwa Huang oh siansu yang
berada di hadapannya adalah ayahnya sendiri, tapi bagaimanapun
142 dia mencoba untuk membayangkan ternyata sama sekali tidak
menemukan setitik alasanpun sebagai tempat berpijak.
Terutama sekali wajahnya yang kurus dan sayu itu, pada
hakekatnya sama sekali tidak cocok dengan gelarnya sebagai
seorang lelaki yang sangat tampan.
Padahal darimana dia bisa tahu kalau kesayuan wajah Huang oh
siansu itu adalah akibat dari usahanya untuk mengobati luka yang
dideritanya, karena terlalu banyak mengorbankan tenaga dalamnya
maka begitulah jadinya.
Menyusul kemudian diapun mencoba untuk membayangkan
Huang oh siansu sebagai Gin san kiam kek Ciu Cu giok.
Pertama, ia mengetahui Pek hui tiau yang tayhoat yang
dimilikinya berasal dari seorang temannya dari Thian liong pay,
maka itu berarti dia bukanlah ayahnya sendiri, kalau dia bukan
ayahnya itu berarti orang itu adalah Ciu Cu giok.
Kedua, didalam berbincang-bincang sikapnya selalu ragu dan
risau, jelas inilah penampilan dari semacam kejiwaan karena
menyesal kepada keturunan rekannya yang telah tiada.
Ketiga, dia hendak mewariskan ilmu simhoat tenaga dalam Pek
hui tiau yang tayhoat serta Thian liong kiam hoat kepadanya, sudah
pasti hal ini dimaksudkan untuk mengurangi beban perasaannya
yang terlampau menyiksa.
Atas ketiga hal tersebut diatas, Thi Eng khi lantas memutuskan
kalau Huang oh siansu sudah pasti bukan ayahnya melainkan
seorang dari Bu lim siang giok yaitu Gin san kiam kek Ciu Cu giok.
Perasaannya saat itu kalut sekali, pendeta yang berada di
hadapannya sekarang pernah menjadi sahabat karib ayahnya, dan
kini adalah tuan penolong yang telah menyelamatkan jiwanya, tapi
ayahnya justru mati ditangannya, sehingga boleh dibilang dia adalah
musuh besar pembunuh ayahnya.
143 Berpikir demikian, hampir saja dia tak sanggup mempertahankan
diri, perasaannya betul-betul menjadi amat kalut.
Untung saja, pemuda ini sudah kenyang belajar ilmu sastrawan
dan berjiwa amat besar, setelah dipikirkan lebih seksama lagi, dia
merasa Gin san kiam kek Ciu Cu giok sebetulnya juga tidak berdosa,
malah musibah yang dialaminya hampir tidak jauh berbeda dengan
apa yang dialami ayahnya.
Andaikata kedudukan kedua orang itu berbalikan, apakah dia bisa
menuduh ayahnya telah melakukan suatu kesalahan" Sedang arwah
ayahnya di alam baka, tentu tidak mengijinkan pula dirinya untuk
bersikap demikian.
Begitu pendapat tersebut melintas dalam benaknya, dia segera
merasakan dadanya menjadi lapang, rasa sedih menjadi hilang dan
kobaran api dendam yang memancar dari balik matanya banyak
yang luntur .....
Selama ini Huang oh siansu mengawasi terus perubahan wajah
Thi Eng khi dengan perasaan berat, ketika dilihatnya mimik muka
anak muda itu berubah menjadi tenang kembali, diam-diam ia baru
menghembuskan napas lega, diam-diam pujinya:
"Nak, kau berjiwa besar dan pandai menimbang berat ringannya
persoalan, kau lebih hebat daripada ayahmu dulu!"
Pelan-pelan Thi Eng khi mendongakkan kepalanya, dengan sorot
mata yang tajam tapi tulus, ia menatap wajah Huang oh siansu,
kemudian ujarnya pelan :
"Siansu, boanpwe telah tahu siapakah dirimu, meski ayahku telah
kalah setengah jurus sehingga bunuh diri, boanpwe tak berani
membuat keonaran atas dasar kejadian itu apalagi membalas
dendam, tapi kekalahan setengah jurus itu akan kurenggut kembali
disuatu saat. Sekarang ilmu silat yang boanpwe miliki belum jadi,
sulit bagiku untuk bertanding denganmu, maka berilah waktu selama
dua tahun, sampai waktunya boanpwe pasti akan minta petunjukmu
lagi disini!"
144 Sebenarnya Huang oh hwesio sedang bergirang hati karena
kebesaran jiwa pemuda itu tapi keningnya segera berkerut setelah
mendengar perkataan dari Thi Eng khi itu, diam-diam ia menghela
napas dan berpikir :
"Nak, mengapa dalam hal inipun pikiranmu tak bisa dibuka?"
Tapi diluaran ia tetap menjawab :
"Baik, dua tahun kemudian siauceng pasti akan menunggu
kedatanganmu disini!"
Setelah berhenti sebentar, terusnya :
"Sekarang sudah seharusnya siauceng mewariskan ilmu simhoat
Pek hui tiau yang dan Thian liong kiam hoat dari partai Thian liong
pay itu kepada siau sicu."
Tadi sebenarnya terlintas dalam benak Thi Eng khi untuk
meminta petunjuk kepada Huang oh siansu tentang bagaimana
caranya membebaskan pengaruh totokan dari Jit sat ci, tapi
sekarang bukan saja ingatan tersebut sudah dilupakan, bahkan
ingatan untuk minta belajar ilmu sakti Thian liong pay pun
diurungkan, bahkan ia semakin bertekad untuk tidak pulang ke Huay
im untuk sementara waktu.
Sebab dia hendak menemukan kembali kitab Thian liong pit kip
yang telah hilang bersama lenyapnya kakeknya itu, lalu dengan
mengandalkan kekuatan sendiri untuk menegakkan kembali nama
besar Thian liong pay serta membalaskan sakit hati dari ayahnya.
Iapun bertekad untuk menampik maksud baik dari Huang oh
siansu tersebut, maka dengan sopan dia berkata :
"Budi kebaikan siansu pasti akan kubalas, boanpwe ingin mohon
diri lebih dahulu!"
Setelah menjura, dia lantas membalikkan badan dan beranjak
pergi dari sana.
Tidak menjawab pertanyaan yang diajukan, berarti penawaran itu
telah ditampik, Huang oh siansu segera tertawa paksa katanya :
145 "Siau sicu amat gagah dan perkasa, dikemudian hari pasti akan
berhasil dengan sukses, cuma contoh didepan mata sudah jelas, aku
harap sicu suka berpikir tiga kali lebih dulu sebelum mengambil
keputusan."
Thi Eng khi merasakan hatinya bergetar keras, dia berhenti
seraya berpaling, serunya :
"Boanpwe menerima nasehat itu!"
Dalam waktu singkat, dia sudah berada hampir satu kaki jauhnya
dari tempat semula.
Tiba-tiba tampak sesosok bayangan manusia berwarna perak
muncul dari belakang sebuah batu, kemudian dengan cepat
menghadang jalan pergi Thi Eng khi.
Thi Eng khi sendiri hanya merasakan ada selapis kabut putih
melayang didepan matanya, tanpa terasa dia mundur selangkah
ketika mendongakkan kembali kepalanya, dia menjadi terbelalak
dengan wajah berubah menjadi merah.
Ternyata orang yang menghadang jalan perginya itu adalah
seorang gadis muda yang cantik jelita, rambutnya yang panjang
terurai sebahu, bajunya perak berkibar terhembus angin,
kecantikannya ibarat bidadari yang baru turun dari kahyangan.
"Thi siauhiap!" terdengar gadis itu berseru sambil berkerut
kening, "harap tunggu sebentar, siau li ingin mengucapkan beberapa
patah kata kepadamu!"
Kemudian sambil melintas dari samping Thi Eng khi, dia
menyelinap ke hadapan Huang oh siansu dan menubruk ke dalam
pelukannya. "Oooh ayah!" pekiknya sedih, "sungguh rindu anakmu Ting-ting!"
Dengan cepat Huang oh siansu mendorong gadis itu sambil
berseru dengan gugup :
146 "Nona, jangan salah melihat orang, pinceng adalah Huang oh,
sama sekali tidak kenal denganmu!"
Noan berbaju perak itu agak tertegun, kemudian sambil
menubruk kembali ke pelukan pendeta itu, serunya :
"Ooh ayah! Semua percakapanmu dengan Thi siauhiap telah
kudengar, apakah kau benar-benar sudah lupa dengan putrimu
sendiri Ting-ting ....?"
Oleh karena suatu alasan, Huang oh siansu tidak mau mengakui
asal-usulnya dengan Thi Eng khi, sedang terhadap gadis yang
bernama Ting-ting inipun dia merasa amat rikuh, sebab dia sudah
tahu putri siapakah dia, padahal berbicara dari situasi yang sedang
dihadapinya itu, mustahil baginya untuk menyangkal.
Maka dengan perasaan apa boleh buat, pendeta itu cuma
manggut-manggut belaka.
Melihat itu, Ciu Ting ting segera berseru :
"Ibu telah memberitahukan segala sesuatunya kepada Ting ji,
ketika kau orang tua meninggalkan rumah, Ting ji baru dilahirkan
dua bulan, tentu saja kau orang tua tak akan kenal dengan Ting ji.
Tapi sekarang Ting ji telah berhasil mempelajari ilmu pedang Liu
soat kiam hoat milik kau orang tua, bila Ting ji sudah memainkan
ilmu pedang tersebut, kau orang tua pasti akan yakin jika Ting ji
bukan cuma mengaku "ngaku saja .... !"
Dalam keadaan begini ternyata Ciu Ting-ting masih bisa berpikir
secermat itu, dari sini dapat diketahui bahwa dia memang seorang
gadis yang luar biasa.
Begitulah, seusai berkata dia lantas meloloskan pedangnya,
setelah memberi hormat kepada pendeta itu, diapun mainkan ilmu
pedang Liu soat kiam hoat itu satu jurus demi satu jurus.
Selapis cahaya keperak-perakan dengan cepat membungkus
seluruh tubuhnya yang langsing itu.
147 Hawa pedang menderu-deru, angin tajam menyapu keempat
penjuru. Thi Eng khi dipaksa tak kuat berdiri tegak sehingga tanpa
terasa dia mundur beberapa langkah.
Sepasang mata Huang oh siansu berkedip-kedip seakan-akan dari
tubuh Ciu Ting ting, ia terbayang kembali bayangan tubuh dari
sobatnya yang telah tiada itu, sambil menghela napas dia lantas
bergumam : "Terpaksa aku harus bersikap demikian!"
Dengan cepat, ia mengambil suatu keputusan aneh.
Ketika menyelesaikan ke delapan puluh satu jurus ilmu pedang
Liu saot kiam hoat itu, paras muka Ciu Ting ting masih tetap tenang,
napasnya tidak memburu, mukanya tidak merah, seakan-akan ia tak
pernah melakukan sesuatu apapun.
Huang oh siansu tidak menyangkal, juga tidak mengakui, dia
hanya tersenyum dengan mulut membungkam.
Tapi justru melihat senyuman tersebut, perasaan Ciu Ting ting
menjadi sangat lega, dengan cepat dia membaringkan diri dalam
pelukan pendeta itu.
Dengan lemah lembut, Huang oh siansu membelai rambutnya
yang lembut, kemudian katanya sambil tertawa :
"Pinceng Huang oh, panggillah aku dengan sebutan Huang oh
siansu saja!"
"Baik!" jawab Ciu Ting ting sambil tersenyum, "pendeta memang
tak boleh punya anak, kemudian hari aku akan memanggil ayah
sebagai Huang oh siansu."
Thi Eng khi yang menyaksikan adegan pertemuan ayah dan anak
itu kemudian membayangkan nasib yang menimpa dirinya sendiri,
tanpa terasa timbul rasa sedih dalam hatinya, ia merasakan
pandangan matanya menjadi kabur dan setetes air mata jatuh
berlinang. 148 Padahal mana ia sangka kalau Huang oh siansu sesungguhnya
adalah ayahnya sendiri, Ciu Ting ting yang sekarang sedang
mengecap kebahagiaan itulah baru seorang anak yang benar-benar
patut dikasihani.
Dengan senyuman dikulum Ciu Ting ting berjalan ke hadapan Thi


Pukulan Naga Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Eng khi, kemudian setelah memberi hormat katanya :
"Siaumoy Ciu Ting ting benar-benar ikut berduka cita atas
kematian empek Thi, selain itu juga memohonkan maaf bagi ayahku
atas perbuatannya di masa lalu!"
Sikapnya supel, ucapannya bersungguh-sungguh dan cukup
membuat orang merasa terharu.
Cepat-cepat Thi Eng khi menyeka air mata yang membasahi
wajahnya, kemudian sambil tertawa paksa, sahutnya :
"Ucapan Ciu lihiap terlampau serius, siaute sama sekali tidak
bermaksud untuk membenci ayahmu."
"Sungguh?" seru Ciu Ting ting sambil berkenyit alis.
"Siaute berbicara dengan sejujurnya."
"Kalau begitu kau akan membatalkan juga perjanjianmu untuk
bertemu pada dua tahun kemudian?"
"Sebagai anak sudah seharusnya menjunjung nama baik orang
tua, pertemuan dua tahun kemudian tak berani siaute lupakan."
Jawab Thi Eng khi tegas.
Dengan wajah bersungguh, Ciu Ting ting segera berseru :
"Siaute justru ingin minta petunjuk dari Thi siauhiap mengenai
persoalan ini."
Thi Eng khi agak tertegun.
"Dalam hal apakah siaute telah berbuat tidak sepantasnya?"
149 "Thi siauhiap, tolong tanya apa yang sebenarnya hendak kau
buktikan di dalam pertemuan dua tahun kemudian?"
Thi Eng khi belum pernah berbicara dengan kaum gadis, jangan
dikata mukanya sudah memerah sedari tadi, bahkan kekosenannya
entah mengapa juga turut lenyap tak berbekas, dia hanya bisa
menggerakkan bibirnya tanpa sepotong perkataanpun yang bisa
diucapkan. Dengan wajah sedih kembali, Ciu Ting ting berkata :
"Ayahmu dan ayahku disebut orang Bu lim siang giok,
sesungguhnya hubungan persahabatan mereka sangat karib.
Buktinya, akibat dari kematian ayahmu, ternyata ayahku juga telah
meninggalkan anak bininya untuk hidup mengasingkan diri sebagai
seorang pendeta, dari sini bisa diketahui betapa dalamnya rasa sedih
yang mencekam perasaannya."
Setelah berhenti sebentar, kembali dia berkata :
"Hanya dikarenakan ingin menangnya sendiri, kedua orang tua
kita telah menciptakan keadaan yang begini tragis, sedang sekarang
Thi siauhiap ingin melanjutkan kembali tragedi itu dengan kejadian
lain, siaumoy yang bodoh jadi ingin bertanya, sesungguhnya apa
maksud dan tujuan siauhiap yang sebenarnya?"
Thi Eng khi merasakan pikiran maupun perasaannya menjadi
sangat kalut, untuk sesaat lamanya ia menjadi gelagapan dan tak
tahu bagaimana harus menjawab ucapan tersebut.
Terdengar Ciu Ting ting kembali berkata :
"Bila siauhiap bersikeras ingin membuktikan kalau ilmu silat aliran
Thian liong pay melebihi kepandaian ayahku, bagaimana seandainya
siaumoy mewakili ayahku mengaku kalah ".." Kalau tidak, aku
mohon dengan sangat agar kau bersedia memandang pada
hubungan persahabatan kedua orang tua itu untuk menghapuskan
masalah tersebut sampai disini saja!"
Paras muka Thi Eng khi berubah agak memucat, ia merasa setiap
perkataan dari Ciu Ting ting sangat masuk akal sekali, sehingga
pikiran sendiripun terasa menjadi ikut goyah.
150 "Thi siauhiap, apakah kau menganggap ucapan siaumoy itu tidak
bisa diterima dengan akal sehat?" terdengar Ciu Ting ting kembali
berseru dengan lantang.
Thi Eng khi adalah seorang lelaki yang berjiwa besar, bukan saja
ia mau tahu keadaan orang juga berani mengakui kesalahannya
sendiri. Ia lantas tertawa terbahak-bahak.
"Haaahhh?" haaahhh".. haaahhh?". terima kasih banyak
nona Ciu atas nasehatmu yang telah membebaskan aku dari
kebimbangan, terimalah hormat dari siaute!"
Dengan sungguh-sungguh dia lantas menjura dalam-dalam.
Menyusul kemudian, dia pun memberi hormat kepada Huang oh
siansu sembari berkata :
"Siansu dan ayahku adalah sahabat karib bila boanpwe telah
bertindak kurang sopan tadi, harap siansu pun bersedia untuk
memaafkan."
Huang oh siansu menjadi girang setengah mati, sebentar dia
memandang kearah Ciu Ting ting, sebentar kemudian memandang
ke arah Thi Eng khi lalu katanya sambil tertawa :
"Pinceng benar-benar merasa banyak berhutang kepada kalian!"
Sekali lagi Thi Eng khi memberi hormat.
"Boanpwe ingin mohon diri lebih dulu!"
Dengan langkah lebar, dia lantas menuruni bukit.
Dengan cepat, Ciu Ting ting memburu ke depan seraya berseru :
"Thi siauhiap, kalau memang kau sudah menyadari, mengapa
tidak mempelajari Pek hui tiau yang dan Thian liong kiam hoat lebih
dahulu sebelum pergi!"
151 Thi Eng khi tidak berbicara apa-apa lagi, tanpa berpaling dia
melanjutkan perjalanannya ke depan, dalam waktu singkat
bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan.
Melihat itu, Ciu Ting ting segera bergumam :
"Aaai ". dia ".. dia pergi juga sambil mengeraskan hatinya!"
"Seandainya Thi siauhiap tetap tinggal di sini, pinceng juga tak
akan mewariskan apa-apa kepadanya," ujar Huang oh siansu,
"kepergiannya ini justru merupakan pilihan yang paling tepat,
pinceng malah merasa kagum sekali kepadanya!"
"Dia bakal ke mana?" tanya Ciu Ting ting dengan perasaan agak
kuatir. "Bila dugaan pinceng tidak salah, kemungkinan besar dia sedang
pergi mencari kitab pusaka Thian liong pit kip perguruannya."
Sesungguhnya Huang oh siansu memang menaruh rasa sesal
terhadap keturunan sahabat karibnya ini, maka ketika dilihatnya
gadis itu seperti menaksir putranya, sekulum senyuman riang segera
tersungging diujung bibirnya.
Dengan gerakan yang amat cepat Thi Eng khi menuruni bukit Thi
san dan melanjutkan perjalanannya dengan menelusuri sungai Tiang
kang. Sepanjang perjalanan, pelbagai pikiran berkecamuk dalam
benaknya, ia merasa bisa jaya atau tidaknya partai Thian liong pay
tergantung pada berhasil atau tidaknya ia menemukan kembali kitab
pusaka Thian liong pit kip tersebut.
Sedang satu-satunya kemungkinan untuk berhasil mendapatkan
kembali kitab pusaka Thian liong pit kip adalah menuju keluar
perbatasan dan mengunjungi Tiang pek lojin yang diminta kakeknya
untuk menyampaikan pesan terakhirnya itu ?"
Maka diapun bertekad untuk berangkat keluar perbatasan dan
untuk sementara waktu tidak kembali ke kota Huay im.
152 Pengalaman pahit di perkampungan Ki hian san ceng serta mara
bahaya yang dialaminya di bukit Bong soat hong, membuat
pengetahuan serta pengalamannya semakin bertambah.
Sepanjang jalan dia selau berusaha untuk bertindak hati-hati dan
menghindari segala kejadian yang tak diinginkan, benar juga,
dengan lancar akhirnya tibalah dia di Si hong ko.
Asal dia sudah melampaui tembok besar maka wilayah tersebut
sudah disebut sebagai luar perbatasan.
Pada saat yang bersamaan dengan tibanya Thi Eng khi di kota So
hong ko, seorang pendeta dan seorang tosu yang mencurigakan
gerak-geriknya bermunculan pula di sekitar pemuda itu sambil diamdiam
menguntit perjalanan anak muda tersebut.
Thi Eng khi langsung mencari rumah penginapan untuk
beristirahat, seusai makan malam dia memanggil pelayan untuk
mencari keterangan tentang luar perbatasan serta seseorang yang
bernama Tiang pek lojin.
Ternyata Tiang pek lojin mempunyai nama yang amat tersohor di
luar perbatasan, hampir setiap orang mengetahui namanya dan
setiap orang tahu siapakah dirinya.
Mengetahui akan hal itu, Thi Eng khi menjadi tidak kuatir kalau
tak sampai bertemu dengan Tiang pek lojin, maka saking girangnya
semalaman ia hampir tak bisa tidur.
Keesokan harinya. sebelum fajar menyingsing, ia sudah
melangkahkan kakinya di luar perbatasan.
Perasaannya waktu itu selain agak terpengaruh emosi, juga
merasa agak kuatir.
Emosi karena tujuannya hampir sampai dan kabar berita tentang
kitab pusaka Thian liong pit kip juga segera akan terungkap.
153 Ia kuatir karena tak tahu manusia macam apakah Tiang pek lojin
itu" Apakah dia juga seperti orang kenamaan yang pernah
dijumpainya dalam perkampungan Ki hian san ceng, meski bernama
besar tapi sombongnya bukan kepalang, andaikata memang
demikian, itu berarti tipis harapan baginya untuk bisa mendapatkan
kembali kitab pusaka Thian liong pit kip tersebut.
Begitulah, dengan perasaan yang gundah dan pikiran yang kalut,
entah beberapa jauh ia sudah melanjutkan perjalanannya.
Mendadak terdengar seseorang menegur dengan suara yang
serak tua : "Siauhiap memakai jubah baju biru dan menyoren pedang Thian
liong kim kiam, apakah kau adalah anak murid Thian liong pay?"
Mendengar teguran itu, Thi Eng khi merasa terperanjat, ia tidak
segera menjawab melainkan mengamati orang tersebut dengan
sinar mata yang tajam.
Tampak olehnya orang yang berbicara itu berperawakan tinggi
besar, berwajah merah bersinar dan berambut memutih semua,
matanya tajam bagai sembilu, jelas merupakan seorang jago silat
yang berilmu tinggi .....
Dengan cepat, Thi Eng khi menjawab :
"Aku adalah ketua Thian liong pay Thi Eng khi, tolong tanya
siapakah nama lotiang?"
Mencorong sinar tajam dari balik mata kakek tersebut setelah
mendengar perkataan itu, dengan kejut bercampur girang, serunya
tertahan : "Oooh..... rupanya kau adalah Thi ciangbunjin dari partai Thian
liong pay yang namanya menggetarkan daratan Tionggoan, aku si
orang tua adalah Tam ci toa tiau (rajawali besar bersayap tunggal)
Ting Tian yu ......! Maaf bila aku bersikap kurang hormat!"
Sikapnya segera berubah menjadi amat serius.
154 Thi Eng khi menjadi agak curiga, dia merasa tingkah laku dari
Tam ci toa tiau Ting Tian yu terlampau berlebih-lebihan, sebab
menurut pengalamannya, tak mungkin orang akan bersikap begitu
hormat terhadap seorang ketua dari Thian liong pay yang sudah
daluwarsa. Maka diapun tidak berbicara apa-apa lagi selain mendengus
dingin. Siapa tahu, wajah Tam ci toa tiau Ting Tian yu segera
menunjukkan sikap yang amat gelisah, buru-buru tanyanya lagi :
"Cianbunjin, persoalan apa yang membuatmu tak senang hati?"
Sikapnya tampak malah semakin menaruh hormat lagi, seakanakan
kuatir kalau sikapnya itu kurang hormat.
"Ting tayhiap, apakah kau sedang bermain sandiwara
dihadapanku?" tegas Thi Eng khi dengan wajah dingin.
Tam ci toa tiau Ting Tian yu adalah seorang anak buah Tiang pek
lojin yang mempunyai kedudukan yang cukup tinggi. Selain itu, dia
juga memiliki iman yang tebal. Dengan cepat dia sadar bahwa Thi
Eng khi terlalu banyak curiga.
Maka sambil menghela napas katanya :
"Semua jago persilatan yang berada di luar perbatasan hampir
sebagian besar menaruh hormat kepada partai anda, puluhan tahun
bagaikan sehari ..... aaai! Harap siauhiap jangan salah paham, aku
sama sekali tidak mempunyai maksud lain!"
Thi Eng khi menjadi tertegun setelah mendengar perkataan itu,
katanya kemudian :
"Kalau didengar dari perkataan Ting tayhiap, rupanya kalian
sudah mengetahui jelas atas semua musibah yang menimpa partai
kami di wilayah Tionggoan?"
"Tangcu kami sangat menaruh perhatian terhadap situasi dalam
dunia persilatan, oleh sebab itu seringkali kami mengutus orang
untuk mencari tahu situasi dalam dunia persilatan, akulah yang
155 sebenarnya ditugaskan untuk menyambut kedatangan Thi
ciangbunjin."
Mencorong sinar aneh dari balik mata Thi Eng khi yang terbelalak
besar katanya :
"Siapakah Tangcu kalian" Mengapa dia menaruh perhatian
khusus kepadaku?"
"Tangcu kami adalah orang yang hendak dikunjungi Thi
ciangbunjin dalam perjalanan kali ini."
Dengan cepat Thi Eng khi berpikir :
"Jangan-jangan Tiang pek lojin sudah mengetahui akan maksud
kedatanganku" Maka dia sengaja menggunakan cara begini untuk
menyumbat dulu mulutku sehingga aku merasa sungkan untuk
meminta kembali kitab pusaka Thian liong pit kip tersebut" Hmmm!
Kali ini aku tak akan mempedulikan soal peraturan dunia persilatan."
Padahal dia sama sekali tidak memahami peraturan dunia
persilatan, apa yang terpikir olehnya sekarang tak lebih hanya suatu
reaksi belaka .....
Setelah termenung sebentar, katanya kemudian :
"Ooh.....! Rupanya Ting tayhiap adalah orang yang diutus Tiang
pek lojin untuk menyambut kedatanganku, sungguh membuat hatiku
terharu sekali."
"Tangcu kami lebih dikenal orang luar perbatasan sebagai It tek
ang, sedangkan sebutan Tiang pek lojin sudah jarang sekali
dipergunakan lagi," Tam ci toa tiau Ting Tian yu menerangkan.
Terhadap manusia yang bernama It tek ang ini Thi Eng khi boleh
dibilang tidak begitu mengerti, tapi menggunakan julukan "It tek"
(budi luhur) sebagai julukannya sesungguhnya dirasakan sebagai
sesuatu takabur, maka dalam hati kecilnya segera timbul perasaan
antipatik hingga tanpa banyak berbicara lagi, dia melanjutkan
perjalanan dengan langkah lebar.
156 Si rajawali besar bersayap tunggal Ting Tian yu juga tidak
berkata apa-apa lagi, dengan kencang dia mengikuti dibelakangnya.
Kurang lebih sepertanak nasi kemudian, perjalanan sudah
dilakukan cukup jauh, tapi sepatah katapun mereka tidak berbicara.
Mendadak dari kejauhan sana tampak debu membumbung tinggi
ke angkasa, menyusul kemudian tampak seekor kuda dilarikan
kencang melaju ke arah mereka.
Dalam waktu singkat, ia sudah berada di depan Thi Eng khi
berdua, belum lagi kudanya berhenti, sesosok bayangan manusia
sudah melompat meninggalkan pelana, kemudian dari tengah udara
terdengar seseorang berseru dengan nyaring :


Pukulan Naga Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Paman Ting, bocah muda inikah orangnya?"
Ternyata yang muncul adalah seorang nona yang berwajah cantik
tapi binal, wajahnya yang keras menunjukkan bahwa dia seorang
gadis yang tidak takut langit tidak takut bumi.
Mendengar dirinya dipanggil "Siaucu" Thi Eng khi merasa
mendongkol sekali, dengan kening berkerut dia lantas melengos
kearah lain dan enggan bertemu dengannya.
Tam ci toa tiau Ting Tian Yu membuat muka setan kepada nona
itu, lalu menggerakkan tangan memberi kode, setelah itu dengan
suara berat sengaja serunya :
"Bocah perempuan, makin lama semakin tak tahu adat, Thi
siauhiap adalah seorang ketua dari suatu partai persilatan, berani
betul kau bersikap kurang ajar!"
Karena didengarnya nona itu sudah ditegur, Thi Eng khi merasa
rikuh sendiri, maka buru-buru ia berpaling sambil bersiap-siap
hendak menjumpainya.
Tampak nona binal itu telah berseru sambil menarik muka :
"Di luar perbatasan, sebutan "Siaucu" masih lebih terhormat dan
hangat daripada sebutan tayhiap. Hei! Menurut kau, lebih baik
kusebut dirimu sebagai siauhiap atau Siaucu?"
157 Agaknya Thi Eng khi tidak menyangka kalau pihak lawan begitu
terbuka dan terang-terangan, untuk sesaat dia menjadi gugup
sendiri dan tak tahu apa yang musti dilakukan.
Setelah tertegun dengan perasaan apa boleh buat, dia baru
berkata : "Aku ....... aku ..... terserah pada nona sendiri mau menyebut apa
kepadaku ...."
Ketika dilihatnya Thi Eng khi mendapat malu, Tam ci toa tiau Ting
Tian yu segera tertawa terbahak-bahal.
"Thi ciangbunjin, mari kita perkenalkan."
Sambil menarik nona itu, terusnya :
"Dia adalah cucu kesayangan Tangcu kami, orang menyebutnya
Pek leng siancu So Bwe Leng, nona So!"
Tidak menunggu Tam ci toa tiau Ting Tian yu memperkenalkan
Thi Eng khi, dengan cepat Pek leng siancu So Bwe leng telah berseru
lebih dahulu : "Kau adalah cucunya Keng thian giok cu Thi yaya dari partai
Thian liong pay, anaknya paman Thi dan ketua partai saat ini Thi
Eng khi Thi siauhiap! Betul bukan?"
Di tengah gelak tertawa merdunya, dia lantas melompat naik
keatas kudanya dan membedalnya kencang-kencang.
"Paman Ting!" terdengar ia berseru keras "Kau tak boleh sampai
kurang hormat terhadap tamu, aku akan berangkat duluan!"
Dalam waktu singkat, bayangan tubuhnya sudah lenyap dari
pandangan mata.
Tam ci toa tiau Ting Tian yu segera menuntun dua ekor kuda
yang dibawa oleh si nona tadi, kemudian sambil menyerahkan
seekor kuda berbulu hitam kepada Thi Eng khi, katanya :
158 "Kuda ini kuda mestika Meh giok poo be milik tangcu kami, mari
kita lanjutkan perjalanan siauhiap!"
Sikapnya terhadap pemuda itu tampak lebih akrab lagi.
Thi Eng khi bukanlah seorang yang mengerti soal kuda, dia
mengira ucapan dari Tam ci toa tiau Ting Tian yu hanya merupakan
suatu penampilan bahwa Tiang pek lojin amat menaruh hormat
kepadanya. Dasar pemuda itu memang sudah menaruh benih curiga,
sebelum bersua sendiri dengan Tiang pek lojin, dia enggan banyak
bicara, maka tanpa banyak basa basi lagi dia melompat naik keatas
kuda Meh giok poo be yang dibilang mestika itu.
Benar juga, Thi Eng khi segera merasa bahwa kuda itu dapat
bergerak dengan cepat dan enteng sekali, untuk mengimbangi
kecepatan lari kudanya itu, ternyata kuda yang ditunggungi Tam ci
toa tiau Ting Tian yu harus dilarikan sekencang-kencangnya.
Setelah ada bukti tersebut, walaupun Thi Eng khi tidak memiliki
pengetahuan tentang kuda, dia dapat juga mengetahui kalau kuda
itu memang benar-benar bukan kuda sembarangan.
Tanpa terasa segera pujinya :
"Sungguh seekor kuda jempolan yang sangat hebat!"
Sambil tertawa Rajawali besar bersayap tunggal Ting Tian yu
berkata lagi : "Siauhiap, bila kau ada minat, apa salahnya untuk melarikan kuda
itu secepat-cepatnya untuk mencoba sampai dimanakah kehebatan
kuda mestika ini?"
Thi Eng khi menjadi sangat tertarik, dengan cepat dia
menghempit kakinya kencang-kencang dan mencemplak kudanya,
diiringi suara ringkikan panjang dengan cepat kudanya membedal ke
depan dengan amat cepatnya.
Setelah dicoba, ia baru kaget bercampur kagum, serunya dihati :
159 "Ooooh.... ternyata yang dinamakan kuda mestika yang bisa lari
seribu li dalam sehari bukan cuma kata-kata bualan didalam buku
bacaan saja ......"
Setelah dilarikan sekian waktu, bayangan tubuh Tam ci toa tiau
Ting Tian yu yang berada di belakang ternyata sudah lenyap dari
pandangan mata.
Thi Eng khi segera menarik tali les kudanya dan memperlambat
lari kuda itu, maksudnya hendak menunggu kedatangan Tam ci toa
tiau Ting Tian yu.
Siapa tahu sekalipun sudah ditunggu sekian waktu, yang
ditunggu-tunggu belum nampak juga sementara bayangan kota
sudah kelihatan di depan sana, maka diapun melarikan kudanya
menelusuri jalan raya kota itu.
Waktu itu adalah saat ramai-ramainya orang berlalu lalang dalam
kota tadi, entah kenapa secara tiba-tiba suasana menjadi sangat
hening, semua orang yang berada disekeliling tempat itu
menunjukkan sikap yang amat menghormat sekali, sementara
mereka yang kebetulan berada ditengah jalan segera menyingkir
kesamping sambil membungkukkan badan memberi hormat.
Thi Eng khi mengira dari belakangnya muncul seorang pembesar,
buru-buru dia berpaling, tapi disana tak nampak seorang
manusiapun. Dengan perasaan bingung, ia lantas berpikir :
"Mungkinkah mereka menunjukkan sikap menghormat karena
aku adalah seorang ketua dari Thian liong pay" Mungkinkah nama
Thian liong pay meskipun dicemooh didaratan, tapi masih dihormati
oleh orang-orang luar perbatasan?"
Ia merasa hal ini mustahil, sehingga tanpa terasa menggelengkan
kepalanya berulang kali.
Mendadak ia seperti menyadari akan sesuatu, segera berpikir
lebih jauh : 160 "Aah! Benar, Meh giok poo be adalah kuda tunggangan It tek
ang! Tampaknya kedudukannya It tek ang di luar perbatasan selain
disanjung dalam dunia persilatan, juga dihormati oleh setiap
penduduk."
Dia tak ingin membonceng ketenaran orang maka buru-buru dia
melompat turun dari kuda dan berjalan sambil menuntun kuda
tunggangannya itu.
Setelah menembusi sebuah jalan raya, sampailah pemuda itu
didepan sebuah rumah makan, sementara ia sedang
mempertimbangkan apakah akan menunggu kedatangan Tam ci toa
tiau atau tidak, tiba-tiba sesosok bayangan manusia berkelabat
lewat. Tahu-tahu So Bwe leng sudah muncul di depan matanya, dengan
serius dia lantas berseru :
"Thi ciangbunjin, silahkan masuk ke dalam untuk beristirahat!"
Seorang pemuda baju hijau segera muncul untuk menyambut
kuda Meh giok poo be itu.
Thi Eng khi tak enak untuk menampik, maka dia lantas masuk
kedalam rumah makan itu.
Dalam rumah makan tersebut telah disiapkan hidangan yang
lezat sekali. Thi Eng khi dipersilahkan untuk duduk di kursi utama, sementara
So Bwe leng menemaninya di samping.
Kali ini So Bwe leng sangat jarang berbicara, bukan saja sopan
santun, sikapnya juga amat menaruh hormat, bagaikan sikap
seorang dayang terhadap majikannya.
Thi Eng khi merasa canggung sekali dalam suasana begini, ia
merasa gerak geriknya menjadi tidak bebas.
Untung saja pada saat itulah Tam ci toa tiau Ting Tian yu
berjalan masuk, terdengar ia tertawa terbahak-bahak.
161 "Haahhh". Haaahhh". haahhh". Hian titli kalau yayamu sampai
tahu kalau kau sedang mempermainkan Thi siauhiap, jangan
salahkan aku jika kau dicaci maki habis-habisan!"
Sambil berkata dia lantas berjalan ke samping meja dan duduk
disitu. "Aah, dia kan seorang ketua dari suatu perguruan besar," seru So
Bwe leng dengan cepat, "kalau aku tidak menaruh hormat
kepadanya, apakah ia tidak akan mentertawakan orang persilatan
diluar perbatasan yang pasti dibilangnya tak tahu sopan santun."
Seraya berkata, dengan sepasang biji matanya yang jeli, dia
awasi Thi Eng khi lekat-lekat.
Menghadapi situasi semacam ini, Thi Eng khi menjadi amat rikuh.
Katanya kemudian smabil tertawa :
"Entah kesalahan apakah yang telah kuperbuat terhadap nona"
Harap nona suka memberi petunjuk, lain kali pasti akan
kuperhatikan secara baik-baik."
Sambil mengerdipkan sepasang matanya yang besar, So Bwe
leng segera berkata :
"Kecuali kalau dengan tulus iklas kau bersedia dipanggil sebagai
Siaucu (bocah keparat) olehku, kalau tidak, aku akan selalu
menganggap kau bagaikan malaikat!"
Rupanya dia masih dikarenakan rasa dongkolnya di tengah jalan
tadi, atau mungkin saja dia memang mempunyai tujuan lain.
Tampaknya Thi Eng khi benar-benar merasa takut dengan
permainan nona itu, terpaksa katanya sambil tertawa :
"Jika nona So lebih suka memanggil Siaucu kepadaku, panggillah
dengan sebutan Siaucu!"
So Bwe leng menjadi girang sekali ketika dilihatnya pemuda itu
sudah takluk, katanya sambil tertawa :
"Tidak berani, tidak berani ...."
162 Tam ci toa tiau Ting Tian yu kuatir nona itu menggoda lebih jauh,
buru-buru dia mengambil mangkok dan sumpit seraya berkata :
"Hayolah bersantap dulu! Kita masih harus melanjutkan
perjalanan jauh!"
Sambil tertawa terbahak-bahak So Bwe leng segera
menghadiahkan sepotong babi gemuk kepadanya.
"Silahkan! Silahkan!" serunya .
Selama hidup Thi Eng khi paling tidak doyan babi. Tapi sekarang
mau tak mau dia mesti telan babi itu dengan kening berkerut
sekalipun. Ia sudah pernah merasakan kelihayan nona cilik itu, dia tak
berani mencari gara-gara lagi dengannya.
Begitulah, sepanjang jalan Thi Eng khi harus selalu bersikap hatihati,
apalagi menghadapi So Bwe leng yang sering menggodanya.
Sepuluh hari perjalanan kemudian, akhirnya sampai juga mereka
di tempat tujuan.
Benteng keluarga So bukan suatu kota yang terlampau besar,
tapi kedudukannya diluar perbatasan hampir setaraf dengan
kedudukan Bu tong pay dan Siau lim pay didaratan Tionggoan.
Sebab disinilah tempat tinggal It tek ang (Tiang pek lojin) So
Seng pak yang merupakan pemimpin umat persilatan di luar
perbatasan. Benteng keluarga So letaknya di luar kota sebelah barat daya,
waktu itu benteng terbuka lebar, beratus orang anggota benteng
berbaris rapi dikedua belah sisi jalan.
Thi Eng khi sekalian dengan melewati sambutan yang meriah
langsung menuju ke pintu benteng dan turun dari kuda.
163 Seorang kakek berusia lima puluh tahunan dengan senyuman
dikulum segera menyambut kedatangan mereka.
"Ayah!" teriak So Bwe leng sambil memburu ke depan,"aku telah
menyambut kedatangan Thi siauhiap!"
Tak usah disinggung lagi, kakek itu bukan lain adalah ayah So
Bwe leng, Na im siusu (sastrawan penggaet awan) So Ping gwan
adanya. Thi Eng khi segera memburu ke depan beberapa langkah, setelah
memberi hormat katanya :
"Sikap dari empek sungguh membuat boanpwe merasa malu
sendiri!" Ternyata di dalam perjalanan sepuluh hari ini, Thi Eng khi telah
mendapat tahu kalau It tek ang So Seng pak adalah sahabat
karibnya Keng thian giok cu selama puluhan tahun, ketika
mengetahui dunia persilatan mencemooh partai Thian liong pay yang
hancur, So Seng pak merasa mendongkol sekali.
Oleh sebab itu, semua kecurigaan yang semula mencekam
perasaannya seketika tersapu lenyap.
Sementara Na im siusu So Ping gwan sambil menggandeng
tangan Thi Eng khi segera berseru dengan senyuman dikulum :
"Silahkan masuk siauhiap, ayahku sedang menantikan
kedatanganmu dalam ruang dalam!"
Sambil berkata dia lantas membalikkan badan dan berjalan
duluan. Setelah masuk ke dalam ruangan, Thi Eng khi menyaksikan
diatas kursi kebesaran duduk seorang kakek berambut putih yang
berperawakan tinggi besar dan berwajah keren.
Ketika kakek itu menyaksikan kedatangan Thi Eng khi, dengan
perasaan tergetar keras segera bangkit berdiri.
164 Buru-buru Thi Eng khi maju ke depan sambil memberi hormat,
serunya dengan pelan :
"Boanpwe Thi Eng khi menjumpai So yaya!"
It tek ang So Seng pak segera menahan bahu Thi Eng khi dan
tidak membiarkannya menyembah, setelah mempersilahkan duduk
dan mengamati wajahnya beberapa saat, tiba-tiba ia menghela
napas panjang, katanya :
"Meski Thi lo gagah perkasa, sungguh tak nyana pada akhirnya
dia telah melakukan juga suatu kesalahan besar. "
"Kakekku telah melakukan kesalahan apa?" tanya Thi Eng khi
dengan perasaan terkejut.
It tek ang So Seng pak segera tertawa.
"Maksud lohu, bila ia tahu kalau cucunya sehebat ini, maka
seharusnya dia tidak merasa putus asa ...."
Thi Eng khi baru memahami maksud kakek tersebut, setelah
mendengar perkataan itu buru-buru katanya :
"Boanpwe bodoh dan tak becus, tidak pantas mendapat pujian


Pukulan Naga Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari kau orang tua, sesungguhnya ketika kakek meninggalkan
rumah, boanpwe belum dilahirkan ...."
"Aaah.... rupanya begitu!"
Setelah berhenti sebentar, lanjutnya :
"Jauh-jauh siauhiap datang kemari, apakah kau ingin
menyaksikan masalah kakekmu?"
"Benar!" jawab Thi Eng khi sambil mengangguk, "menurut wasiat
kakek, boanpwe tidak seharusnya terjun kembali ke dunia
persilatan....."
"Itulah kesalahan kakekmu," sela It tek ang So Seng Pak,
"seandainya waktu itu dia tahu kalau dirinya bakal mempunyai cucu
seperti kau, sudah pasti tindakan yang diambilnya akan berbeda."
165 Secara ringkas Thi Eng khi lantas menceritakan apa yang
dialaminya bersama Thian liong ngo siang, bagaimana dia diangkat
menjadi ketua, bagaimana menemukan kitab Thian liong pit kip telah
dibawa kakeknya dan lain-lain.
Mendengar cerita tersebut, It tek ang So Seng pak segera
tersenyum, katanya :
"kalau begitu, selain mencari tahu kabar berita kakekmu, kau
juga bermaksud untuk mencari kitab pusaka Thian liong pit kip yang
hilang itu ....?"
"Benar!" Jawab Thi Eng khi berterus terang, "boanpwe memang
datang karena persoalan itu, mohon So yaya suka memberi petunjuk
kepada diri boanpwe...."
It tek ang So Seng pak segera menghela napas panjang, katanya
: "Thi siauhiap, tahukah kau akan hubungan lohu dengan kakekmu
itu....." Ketika Thi Eng khi mendengar It tek ang berulang kali
memanggilnya dengan sebutan siauhiap lama kelamaan ia merasa
canggung juga, tak tahan segera tukasnya :
"So yaya, bila kau tidak memandang asing diriku, harap
memanggil boanpwe dengan sebutan nama saja."
It tek ang segera tertawa tergelak.
"Haahhh..... haaahhhh.... haaahhh.... kalau kau sendiri selalu
menyebut diri sebagai boanpwe, bagaimana mungkin aku bisa
memanggil dirimu dengan sebutan yang lebih rapat?"
Thi Eng khi merasa perkataan itu ada benarnya juga, maka
dengan wajah memerah buru-buru serunya minta maaf.
"So yaya, Eng ji tahu salah!"
Baru saja dia minta maaf, So Bwe leng tahu-tahu sudah
menyelonong masuk ke dalam ruangan sambil menubruk ke dalam
pangkuan kakeknya dia berseru manja :
166 "Yaya, diapun selalu menganggap diriku sebagai orang luar!"
It tek ang segera tertawa terbahak-bahak.
"Haaahhh.... haaahhh.... haaahhhh.... budak ingusan, kau
pandainya cuma menggoda orang, kenapa kau tidak memanggil
engkoh dulu kepadanya?"
Mendengar perkataan itu, Thi Eng khi tak ingin kurang hormat
lagi, maka buru-buru serunya :
"Adik Leng"
Buru-buru So Bwe leng memberi hormat seraya memanggil pula
dengan merdu : "Engkoh Eng!"
Sambil memegangi tangannya kakeknya dia mengawasi wajah
pemuda itu, sedang sikapnya juga secara tiba-tiba menjadi alim dan
sopan santun .....
It tek ang segera tertawa kepada Thi Eng khi ujarnya lebih jauh :
"Ketika lohu baru terjun ke dunia persilatan aku telah berkenalan
dengan kakekmu dikota Hang ciu, karena saling mengagumi, kami
melakukan pertandingan ilmu silat selama sepuluh kali dan mengikat
diri menjadi sahabat. Kemudian lantaran lohu mengagumi ilmu silat
kakekmu yang lebih lihay setingkat daripada kepandaian lohu, secara
sukarela aku mengundurkan diri keluar perbatasan dengan harapan
bisa berjuang di sana, puluhan tahun perjuangan akhirnya
menghasilkan seperti apa yang kuperoleh sekarang ...... selama
sepuluh tahun ini hubungan persahabatan kami masih berlangsung
dengan akrab dan hangat ....."
Sesudah menghela napas panjang, terusnya :
"Dua puluh tahun berselang, lohu mendapat kabar kalau
kakekmu tiba-tiba pergi meninggalkan rumah tanpa diketahui sebab
musababnya, baru saja aku akan mengutus orang untuk menyelidiki
peristiwa ini, mendadak datang seorang penduduk disekitar tempat
ini yang menyerahkan sebuah bungkusan, ketika kubuka bungkusan
167 tersebut, ternyata isinya adalah barang peninggalan dari kakekmu
...." "So yaya, jadi kau sama sekali tidak berjumpa dengan kakekku?"
sela Thi Eng khi.
It tek ang menghela napas panjang, katanya lagi :
"Kakekmu menyuruh penduduk asli tersebut menyampaikan
pesan yang meminta lohu menghantar bungkusan tersebut kembali
ke partai Thian liong pay didaratan Tionggoan, waktu itu aku segera
berangkat bersama penduduk asli itu untuk menuju ke tempat
pertemuan mereka dengan harapan bisa membereskan jenasahnya,
siapa tahu kakekmu tidak nampak ada di situ, lohu menjadi sedih
sekali, aku mengira jenasahnya mungkin sudah dilarikan binatang
buas, maka dengan perasaan sedih akupun berangkat ke daratan
Tionggoan untuk menyerahkan bungkusan itu kepada kalian.
Mengenai apa isi bungkusan tersebut, lohu tidak membukanya
maka juga tidak tahu, masa dia tidak mengembalikan kitab pusaka
Thian liong pit kip tersebut?"
Thi Eng khi telah mengalihkan perhatiannya pada penduduk asli
tersebut, dengan cepat dia berkata :
"Kalau begitu, sekarang kita cuma bisa mendapat keterangan dari
penduduk asli itu!"
It tek ang menghela napas panjang.
"Setelah kejadian, berulang kali lohu sudah menanyai orangorang
itu, tapi dia tak lebih cuma menjalankan pesan orang saja dan
soal lain tidak diketahuinya, lagi pula orang itu sudah meninggal
pada tiga tahun berselang."
Thi Eng khi segera merasakan kepalanya menjadi pusing tujuh
keliling, segenap harapannya terasa musnah dan lenyap tak
berbekas. It tek ang cepat-cepat menghibur.
168 "Ing ji, kau tak usah terlalu bersedih hati, terbayang ketika
sepuluh kali aku beradu kepandaian dengan kakekmu meski kalah
sedikit namun selisihpun tidak terlalu banyak, aku yakin pasti dapat
membuatmu menjadi seorang jagoan yang termashur dalam dunia
persilatan dan membangun kembali nama besar Thian liong pay.
Dengan bakatmu itu, aku rasa dalam dua tahun saja seluruh
kepandaian silat yang kumiliki sudah dapat kau pelajari, apakah kau
memiliki kesabaran itu?"
Thi Eng khi tahu kalau It tek ang mempunyai maksud baik
terhadapnya, tentu saja kakek tersebut tidak menduga kalau ia
sudah bertekad untuk mempelajari ilmu silat perguruannya lebih
dulu sebelum mempelajari ilmu silat aliran yang lain.
Maka dengan perasaan minta maaf katanya :
"So yaya berhasrat mendidikku menjadi orang, seharusnya Eng ji
merasa bergembira hati, tapi bagaimanapun juga Eng ji adalah
seorang ketua dari Thian liong pay, orang bisa menertawakan diriku
seandainya dalam bertempur nanti ilmu silat yang kupergunakan
adalah ilmu silat bukan aliran Thian liong pay. Oleh sebab itu,
terpaksa Eng ji harus menampik maksud baik kau orang tua."
Mendengar perkataan itu, It tek ang segera tertawa terbahakbahak.
"Haaahhh.... haaahhh.... haaahhhh.... bagus! Bagus! Bocah, kau
punya semangat! Besok akan kuajak dirimu untuk melakukan
penyelidikan lagi di sekitar tempat kakekmu mendapat musibah,
coba kita lihat bagaimanakah kemujuranmu."
Thi Eng khi menjadi girang sekali, buru-buru ia bangkit berdiri
dan mengucapkan terima kasih kepada It tek ang.
Sementara itu, dari luar pintu berjalan masuk seorang centeng
yang segera membisikkan sesuatu ke sisi telinga It tek ang.
Mendengar itu, It tek ang segera berpaling ke arah Thi Eng khi
sembari bertanya :
169 "Eng ji, sepanjang jalan kemari, tahukah kau kalau ada seorang
hwesio dari Siau lim pay dan Tosu dari Bu tong pay yang menguntil
dirimu secara diam-diam?"
Terbayang kembali akan kebaikan dari Keng hian totiang dan Ci
kay taysu, Thi Eng khi lantas mengira kalau hwesio dan tosu itu
adalah dua orang jago yang diutus Siau lim pay serta Bu tong pay
untuk melindungi keselamatan jiwanya, maka sambil tersenyum dia
menjawab. "Siau lim pay maupun Bu tong pay sangat bersahabat dengan
Eng ji, boleh jadi kedua orang itu memang diutus untuk melindungi
Eng ji secara diam-diam, So yaya! Harap kau jangan menyusahkan
mereka." It tek ang manggut-manggut, kepada centeng itu pesannya :
"Hwesio dan tosu itu bukan orang jahat, baik-baik layani
mereka." Centeng itu mengiyakan dan segera mengundurkan diri.
Hari itu juga Thi Eng khi dapat merasakan pelayanan paling
ramah yang pernah dialaminya semenjak meninggalkan rumah,
apalagi dilayani So Bwe leng yang binal dan pandai berbicara,
membuat seluruh kemurungan dalam hatinya dapat diusir keluar dari
benaknya. Malam itu, Thi Eng khi dihantar menuju ke sebuah bangunan
mungil ditengah kebun, menurut orang tua itu, bangunan tersebut
dulunya khusus dipakai untuk menyambut kedatangan kakeknya
Keng thian giok cu.
Dari sini dapat diketahui betapa tulusnya persahabatan It tek ang
dengan kakeknya tanpa terasa Thi Eng khi merasa terharu sekali.
So Bwe leng berbicara terus tanpa hentinya, ada saja bahan
cerita yang muncul dari benaknya hingga larut malam dia baru
berpamit dari kamar Thi Eng khi dengan perasaan berat, sebelum
pergi dia sempat berpesan dengan sungguh-sungguh,
170 "Engkoh Eng, bila besok kau akan pergi bersama yaya, jangan
lupa memanggil aku ya!"
Sepeninggalan So Bwe leng, Thi Eng khi segera naik ke tempat
tidur dan memejamkan matanya, untuk pertama kali dalam hidupnya
dua bayangan tubuh gadis cantik muncul bersama di dalam
benaknya. Dia berusaha untuk membanding-bandingkan kedua gadis
itu tapi kenyataannya makin dibandingkan pikirannya semakin
bingung. Belum lagi hasilnya diperoleh, tahu-tahu ia sudah mulai terlelap
tidur. Mendadak dari luar pintu berkumandang suara ketukan lirih, Thi
Eng khi merasa terkejut dan segera sadar kembali dari tidurnya,
buru-buru ia turun dari atas ranjang.
Dari luar jendela terdengar seseorang berbisik dengan suara yang
rendah dan berat:
"Setan tua itu jahat dan licik, ia bermaksud busuk kepadamu Thi
siauhiap! Cepat bangun dan buka pintu, lolap ada rahasia penting
hendak disampaikan kepadamu."
Untuk sesaat lamanya Thi Eng khi tak bisa membedakan apakah
berita itu benar atau tidak, dia lantas membuka pintu dan berjalan
keluar. Tampak seorang hwesio berdiri di tengah halaman, ketika melihat
pemuda itu munculkan diri, segera ia menggapenya sambil berseru :
"Cepat kabur!"
Disambarnya tangan Thi Eng khi kemudian dengan melompati
dingin pekarangan kabur menuju ke arah pegunungan di belakang
benteng sana.....
Di satu pihak hwesio itu menyeret Thi Eng khi meninggalkan
kamarnya, di pihak lain muncul seorang tosu dalam ruangan itu, ia
mengeluarkan dua benda dan segera diletakkan diatas meja,
171 kemudian ditekan kuat-kuat sehingga diatas permukaan meja itu
muncul bekas dari dua macam benda tersebut.
Kemudian ia baru melompat keluar dari kamar dan kabur dari
tempat tersebut.
Keesokan harinya, suasana dalam benteng keluarga So menjadi
sangat gempar ketika mengetahui lenyapnya Thi Eng khi.
It tek ang So Seng pak segera memburu kekamar Thi Eng khi,
begitu melihat dua buah bekas di meja baca itu, kontan saja hawa
amarahnya berkobar.
So Bwe leng dengan perasaan ingin tahu segera bertanya :
"Yaya, bekas apakah ini" Apakah engkoh Thi sudah dilarikan oleh
mereka?" "Kurang ajar benar orang-orang Siau lim pay dan Bu tong pay,"
seru It tek ang So Seng pak dengan marah, "berani betul tidak
pandang sebelah mata kepadaku dan membuat keonaran disini,
kalau tidak kuberi sedikit pelajaran, malu aku menjadi seorang
jagoan dari luar perbatasan!"
Sambil berpaling dan melotot ke arah So Bwe leng, serunya :
"Budak, cepat panggil kemari ayahmu!"
Sambil menjulurkan lidahnya So Bwe leng mengiakan, segera dia
lari keluar dari kamar.
Tak lama kemudian Na im siusu So Peng gwan sudah diajak
menuju kamar itu.
Begitu melihat kedatangan Na im siusu It tek ang segera berseru
dengan nyaring :
"Siau lim pay dan Bu tong pay sungguh terlalu menghina orang,
berani benar mereka menculik orang dari dalam benteng kita.
Segera turunkan tanda perintah Mek yu ciam leng dan kumpulkan
Tiang pek sam nio (tiga burung dari bukit Tiang pek), Hek san cap
pwe khi (delapan belas penunggang kuda dari Hek san), Pek sui su
172 kui (empat setan dari Pek sui) dan Boan san siang koay (sepasang
siluman dari Boan san) untuk mengikuti aku menuju ke daratan
Tionggoan. Kemudian kau kumpulkan lagi segenap jago nomor
wahid di luar perbatasan dan didalam setengah bulan kemudian
menyusul aku didaratan! Hmm! Akan kulihat, dengan mengandalkan
apakah sehingga mereka begitu berani berani berbuat kurang ajar!"
Na im siusu So Peng gwan membuka mulut ingin berbicara, tapi
segera dicegah It tek ang sambil katanya :
"Keputusanku sudah bulat, urusan lain aku masih bisa
menerimanya, tapi kalau ada orang berani menghina dan
menganiayanya Thian liong pay, aku tak bisa berdiam diri saja!"
Sekalipun It tek ang sudah tua usianya, namun wataknya masih
berangasan, apalagi kalau sudah marah, keputusan yang telah
diambil untuk mencoba kekuatan Siau lim pay dan Bu tong pay tak
bisa diurungkan lagi.
So Bwe leng yang berada disampingnya dengan cepat membakar
hati kakeknya, serunya :


Pukulan Naga Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Betul yaya, jika kau tidak bisa membalas dendam buat engkoh
Eng, percuma menjadi jagoan disini!"
"Budak sialan!" Na im siausu So Peng gwan segera membentak,
"siapa yang suruh kau banyak usul disini" Hayo cepat enyah dari
tempat ini!"
So Bwe leng segera menarik wajahnya menunjukkan wajah yang
pantas dikasihani, pelan-pelan dia melangkah keluar dari situ,
sementara sepasang matanya dialihkan kearah kakeknya minta
bantuan. It tek ang memang paling sayang dengan cucu perempuannya
itu, dia segera mendengus :
"Nak, bereskan juga barangmu, besok ikut yaya berangkat ke
daratan Tionggoan untuk menambah pengalaman!"
So Bwe leng segera membuat muka setan kepada ayahnya,
kemudian cepat-cepat melompat pergi.
173 Na im siusu So Peng gwan yang menyaksikan keadaan ini cuma
bisa menggelengkan kepalanya belaka, diapun segera beranjak pergi
untuk melaksanakan tugasnya.
Thi Eng khi diseret oleh hwesio itu menuju keluar benteng, tak
lama kemudian mereka sudah menelusuri tanah perbukitan, satu
jam sudah mereka melakukan perjalanan, namun hwesio tersebut
belum juga menunjukkan tanda-tanda akan berhenti.
Lama-kelamaan Thi Eng khi menjadi curiga, ia merasa heran
kenapa hwesio itu menyeretnya pergi sejauh itu. Maka sambil
menghentikan larinya dia lantas berseru:
"Siansu, ada urusan apakah kau" Kalau ingin berbicara, lebih baik
di tempat ini saja!"
Mendadak hwesio itu berhenti dan tertawa seram.
"Heeehh.... heeehh.... heeehhh.... begitupun boleh juga, bagus,
bagus, Thi ciangbunjin! Coba kau teliti dulu siapakah lolap?"
Sambil berkata dia membalikkan badan dan maju mendekat si
anak muda itu. Dengan sinar mata yang tajam, Thi Eng khi mengawasi
wajahnya, kemudian jeritnya kaget :
"Huan im sin ang! Rupanya kau ....."
Huan im sin ang segera tertawa terkekeh-kekeh.
"Heeehhh.... heeehhh.... heeehhh..... jangan kau anggap setelah
lolos dari kematian di puncak Bong soat hong, maka kau sudah
dapat meloloskan diri dari cengkeramanku."
Pelan-pelan Thi Eng khi dapat menenangkan kembali hatinya,
sambil tertawa dingin, ia berkata :
174 Jilid 6 "Jauh-jauh datang kemari, apa sebenarnya tujuanmu?"
Huan im sin ang memutar sepasang biji matanya, lalu
mendengus : "Hmm! Masih seperti kata-kataku semula, kau harus belajar ilmu
silat bersama lohu!"
"Kau anggap mungkinkah aku dapat meluluskan permintaanmu
itu?" teriak Thi Eng khi.
"Kalau kau tidak meluluskan, maka kubunuh dirimu!"
"Aku tahu, sudah pasti kau tak akan melepaskan diriku, cuma
selain itu tentunya kau masih ada rencana yang lain bukan"
Terkejut sekali Huan im siu ang setelah mendengar perkataan itu,
bentaknya : "Darimana kau bisa berkata demikian"''
Thi Eng khi mendengus dingin.
"Hmm, aku tahu kalau kau datang bersama seseorang yang
menyaru sebagai orang tosu, dengan kemampuan yang kau miliki,
apa perlunya membawa seorang pembantu untuk membunuhku"
Dan lagi, kalau ingin turun tangan juga kau tak usah melakukannya
diluar perbatasan! Hmm. Coba pikirlah kalau kau tiada tujuan lain
kenapa berbuat demikian?"
Ketika rahasianya ditebak secara jitu. Huan im sin ang segera
merasa bahwa kecerdasan Thi Eng khi benar benar mengerikan
sekali, hawa napsu membunuh segera menyelimuti wajahnya.
"Bocah keparat, kau memang kelewat pintar, orang pintar
semacam kau tak boleh dibiarkan hidup terus, tapi memandang
diatas kecerdikanmu itu, boleh saja kuterangkan duduk persoalan
sebelum membikin mampus dirimu."
175 Setelah berhenti sebentar, dengan senyuman licik menghiasi
bibirnya, ia melanjutkan :
"Dirumah makan bukit Wu san kutemui kau masih hidup segar
bugar, bahkan tanda terluka pun tak ada, waktu itu timbul rasa
heran dalam hati, sebetulnya ingin kutanyai keadaan yang
sesungguhnya kemudian baru menghadiahkan sebuah pukulan, tapi
kemudian ketika kulihat kau berangkat keluar perbatasan untuk
mencari So lojin, niatku itu segera kuurungkan..."
"Rencana busuk apa yang kau dapatkan?"
"Heeehhh...heeehhh ..heeehhh... sekarang rencanaku telah
dilaksanakan, kau si bocah keparat juga bakal mampus, tentu saja
lohu akan terangkan semuanya kepadamu!"
"Hmm, omongan manusia sesat semacam kau belum tentu
benar, akupun belum tentu akan mendengarkan obrolanmu itu!"
"Heeehhh..... heeehhh.... heehhh".. menggunakan kesempatan
selama kunjunganmu keperbatasan untuk mencari So lojin, aku telah
melepaskan api didalam dunia persilatan" Soal ini, kau bersedia
untuk mendengarkan tidak?"
Thi Eng khi menjadi tertegun, lalu ujarnya :
"Hmmm, apakah ucapanmu itu bukan hanya mengigau belaka?"
"Igauan" Hmmm, apakah kau lupa bahwa lohu masih mempunyai
seorang rekan yang lain?"
"Benar, dia ada dimana sekarang?"
"Hmmm...hmmm... tentu saja dia masih ada urusan yang harus
diselesaikan, lohu bertugas memancingmu datang kemari,
sedangkan dia akan masuk ke dalam kamarmu dan menggunakan
Pek giok pay dari partai Siau lim serta Thi kiam leng dari partai Bu
tong untuk membuat dua buah bekas diatas meja baca!"
Setelah mendengar perkataan itu, Thi Eng khi baru merasa amat
terkejut, segera-teriaknya :
176 "Sungguh?"
"Haaahhh....haaahhh....haaahhh...." Huan im sin ang Cuma
tertawa terbahak-bahak.
Thi Eng khi menjadi naik pitam, teriaknya lagi :
"Iblis keparat, kalau ingin mencari urusan denganku, cari saja
langsung kepadaku, mengapa mesti menfitnah orang lain?"
Sahut Huan im sin ang sambil tertawa bangga :
"Partai Siau lim dan partai Bu tong mentang-mentang
menganggap dirinya partai lurus, dimana saja mereka selalu
unjukkan sikap angkuh, Hmm! Lohu paling benci de?ngan gaya
semacam itu, maka sengaja kucarikan sedikit keramaian buat
mereka agar bertarung dengan So lo jin! Haaah....haaah ....
haaahhh..... akibat dari pertarungan ini maka suatu pertempuran
sengit antara jago diluar perbatasan dan daratan Tionggoan pasti
akan segera berkobar!"
Mimpipun Thi Eng khi tidak menyangka kalau iblis tua ini
sedemikian kejinya, lama sekali ia berdiri tertegun saking
mendongkolnya, lama sekali akhirnya dia baru berkata dengan
gemas : "Iblis laknat kalau melihat tampangmu mah tidak mirip orang
edan, sebenarnya apa tujuanmu menerbitkan badai dalam dunia
persilatan?"
Mendengar ucapan itu, mendadak sekujur badan Huan im sin ang
gemetar keras, sahutnya sambil menggertak gigi.
"Lohu bernama Ui Sam ciat, kemunculanku sekarang adalah
untuk membasmi seluruh dunia persilatan guna membalas dendam
bagi kematian toakoku Ui It peng!"
Berbicara sampai disitu, mendadak dengan wajah mengerikan, ia
membentak keras :
"Bocah keparat, sudah puas bukan" Sekarang, serahkan selembar
nyawa anjingmu itu!"
177 Weess.....! Sebuah pukulan dahsyat segera dilontarkan ke atas
tubuh Thi Eng khi.
Dengan latihan yang amat tekun, ilmu Sian thian bu khek ji gi sin
kang yang dimiliki Thi Eng khi sebenarnya sudah mancapai puncak
kesempurnaan, apalagi ketika mendapat pengobatan dari Huang oh
siansu, terpengaruh oleh tenaga Pek hui tiau yang tayhoat yang
digunakan hwesio tersebut, keempat macam obat mustika yang
mengeram dalam tubuhnya telah dibaurkan oleh tenaga itu sehingga
akibatnya tenaga dalam yang dimiliki pemuda itu memperoleh
kemajuan yang makin hebat.
Selain itu, setelah memperoleh dua kali pengalaman di Ki hian
san ceng maupun Bong soat hong, dia tahu bahwa ilmu silat amat
penting bagi seseorang yang berkelana dalam dunia persilatan. Oleh
sebab itu, setiap kali ada kesempatan, dia selalu memperdalam
pelajaran ilmu silat yang diajarkan Thian liong ngo siang kepadanya,
yakni tiga jurus telapak tangna, tiga jurus ilmu jari, tiga jurus ilmu
pedang dan tiga jurus ilmu pukulan.
Selama beberapa bulan ini, boleh dibilang dia memiliki
kematangan yang cukup menyakinkan didalam kedua belas jurus
ilmu silat perguruannya itu, otomatis kedahsyatannya juga luar
biasa. Sebaliknya Huan im sing ang masih menganggap pemuda itu
seperti dulu, dalam serangan yang pertama ini, dia tak lebih hanya
menggunakan tenaga sebesar tiga bagian.
Dalam perkiraan Thi Eng khi waktu itu dia pasti akan tewas oleh
serangan lawannya yang begitu dahsyat dalam benci dan gusarnya,
sambil menggertak gigi, dia bertekad akan menggunakan segenap
tenaga dalam yang dimilikinya, sekalipun tak bisa mati bersama,
paling tidak dia ingin melukai iblis tua itu.
Maka buru buru dia merendahkan pinggangnya ke bawah, lalu
sepasang telapak tangannya didorong ke depan untuk menyambut
datangnya serangan itu.
178 Iblis tua itu tertawa sinis, baru saja dia hendak mengejek, tiba
tiba diketahui keadaan tidak beres, segera bentaknya :
"Bocah keparat, ternyata kau berani menyembunyikan
kekuatanmu yang sebenarnya"
Untuk menambah kekuatannya ditengah jalan jelas tak sempat
maka tak bisa dihindari lagi, suatu bentrokan kekerasan segera
terjadi ditempat itu.
"Blaaamm............!" ditengah ledakan keras, ternyata Thi Eng-khi
berhasil menang diatas angin.
Berhasil dengan serangannya yang pertama, Thi Eng khi tak
berani berayal lagi, segera bentaknya:
"Iblis tua sambut pula sebuah pukulanku ini!"
Sebuah pukulan yang amat dahsyat segera dilontarkan kedepan,
deruan angin pukulan makin kencang, sudah jelas kekuatannya jauh
diatas serangan yang pertama tadi.
Waktu itu Huan im sin ang masih berdiri tertegun, dalam keadaan
gugup ia tak sem?pat menghimpun tenaga lagi, untuk ke dua
kalinya dia kena didesak sehingga mundur setengah langkah.
Sekarang Huan im sin ang baru tahu kalau dia sudah salah
menilai kekuatan musuhnya, dalam keadaan gusar yang memuncak,
tak kuasa lagi dia tertawa seram.
Dengan wajah menyeramkan, dia membentak keras:
"Bocah keparat, sudah saatnya bagimu untuk pulang ke rumah
nenekmu ......"
Telapak tangan kirinya segera diayunkan ke depan, bersamaan
waktunya lengan kanan juga diangkat menyentilkan serangan ilmu
jari segulung desingan angin tajam diikuti pukulan gencar langsung
meluncur ke tubuh Thi Eng khi.
179 Si anak muda itu tak menyangka kalau musuhnya sangat lihay,
setelah beberapa kali berhasil lolos dengan selamat, disangkanya
kepandaian yang dimiliki Huan im sin ang tak lebih cuma begitu saja.
Meski dia juga melihat kalau Huan im sin ang melancarkan ilmu
pukulan dan ilmu jari hampir bersamaan waktunya, ia tidak gentar,
sepasang tangannya segera didorong kemuka untuk menyongsong
datangnya ancaman tersebut.
Ternyata keadaannya kali ini jauh berbeda tenaga pukulan lawan
terasa bagaikan gulungan ombak dahsyat ditengah samudra yang
melanda tiba, segenap kekuatan yang dipancarkan olehnya kena
didesak ke kedua belah samping, berbareng itu juga segulung
desingan angin tajam langsung berputar dan meluncur kearahnya.
Menyadari kalau gelagat tidak menguntungkan, si pemuda
bermaksud untuk berkelit, sayang keadaan sudah terlambat dan ia
merasa tidak bertenaga lagi.
Kontan saja sekujur badannya terasa bergetar keras,
tenggorokannya terasa anyir, tubuhnya segera terlempar sejauh dua
kaki lebih dan nyaris terjatuh ke dalam jurang.
Untung saja dalam saat-saat terakhir serangan jari lawan masih
sanggup ditangkis oleh angin pukulannya sehingga kehilangan
sasaran dan tak sampai menghajar jalan darah Ji kan hiat
ditubuhnya. Tapi sekalipun begitu toh ia terluka parah, darah segar muncrat
keluar dari mulutnya dan untuk sesaat tak sanggup bangkit berdiri.
Berbaring diatas tanah, pemuda itu merasakan kepalanya pusing
dan matanya berkunang-kunang, dia tidak tahu kalau tubuhnya
sudah menempel di tepi jurang.
Dengan suara gelisah Huan im sin ang segera berteriak :
"Hati-hati pinggirmu adalah jurang yang sangat dalam."
180 Huan im sin ang bisa berteriak demikian, bukan lantaran ia
gelisah karena menguatirkan keselamatan pemuda itu.
Sesungguhnya dia tak ingin kesalahan yang pernah diperbuatnya
itu sampai terulang kembali, ia bertekad untuk membunuh Thi Eng
khi tepat di depan matanya sehingga buktinya ada.
Padahal Thi Eng khi sedang berbaring di tepi jurang, ini
membuatnya tak sanggup turun tangan , sebab sekali bertindak
salah hingga tubuh Thi Eng khi jatuh ke dalam jurang bisa jadi
peristiwa di puncak Bong soat hong di bukit Wu san akan terulang
kembali. Sesungguhnya tujuan orang ini boleh dibilang sangat keji, siapa
tahu masih mendingan seandainya dia tidak berteriak, akibat dari
teriakan tersebut, keadaan bertambah runyam.
Thi Eng khi sendiripun pada mulanya merasa bingung dan tidak
habis mengerti setelah mendengar teriakan itu, dia merasa tindakan
dari iblis tua itu seakan akan sangat bertentangan sekali dengan
tujuan yang sebenarnya, tapi sejenak kernudian ia lantas memahami
maksud serta tujuan yang sebenarnya dari iblis tua itu.
Kontan saja hawa amarahnya berkobar, dengan dingin dia
berkata: "Aku sudah mempunyai perhitungan sendiri, tak perlu kau
risaukan!"
Sembari berkata dia malah melejit dan bergeser makin mendekat


Pukulan Naga Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sisi tebing jurang tersebut.
Iblis tua itu menjadi sangat rikuh dan serba salah, telapak
tangannya sudah diangkat keatas siap diayunkan, tapi dahinya
segera berkerut dan telapak tangan itu terhenti di tengah jalan.
Selang sesaat kemudian, ia menurunkan kembali lengannya,
kemudian setelah tertawa seram katanya:
181 "Jadi kau anggap setelah berbuat demikian maka kau bisa lolos
dari kematian" Heeehhhh". Heeehhh". Heeehhhh".. lohu akan
mencoba untuk saling bertahan dengan dirimu!"
Ketika itu Thi Eng khi berada diatas sebuah batu datar ditepi
tebing jurang, sekalipun tak mungkin menerima sergapan dari
musuhnya,namun berada dalam pengawasan orang terus menerus
memang bukan sesuatu yang aneh dirasakan.
Maka darahnya mendidih setelah mendengar ucapan dari iblis tua
itu, segera katanya dengan marah :
"Iblis laknat! Walaupun aku tak bisa lolos da?ri tanganmu hari
ini, tapi kaupun jangan harap bisa membalaskan dendam bagi
kematian kakakmu! Kau anggap dengan kekuatanmu seorang
mampu untuk memusuhi seluruh umat persilatan di dunia ini?"
Iblis tua itu tertawa seram, dia mengangkat tangannya keatas
dan berkata dengan santai :
"Dengan mengandalkan cap sa tay poo (tiga belas pangeran)
yang berada di bawah pimpinanku pun seluruh dunia persilatan
dapat kukuasai, buat apa lohu mesti turun tangan sendiri!"
Sekalipun posisinya sudah berada dalam keadaan terancam,
namun Thi Eng khi sama sekali tidak melepaskan kesempatan untuk
menyelidiki keadaan lawan, maka dengan wajah santai sekali tidak
berubah, katanya dengan dingin:
"Siapa yang dimaksudkan dengan Cap sa tay poo itu" Belum
pernah kudengar tentang nama tersebut, hei, jangan mencoba untuk
main gertak sambal!"
Kembali iblis tua itu tertawa seram.
"Heeehhh... heeehh....heeehhh......buat apa kau musti
memancing dengan kata-kata yang memanaskan hati" Sekalipun
lohu tidak becus juga tak akan membohongi manusia yang hampir
mampus seperti kau! Cap sa Tay poo yang berada dibawah pimpinan
lohu terdiri dari pelbagai anggota dalam partai besar dunia
persilatan. mereka adalah Ci nian taysu dari Siau lim pay, It tin
totiang dari Bu tong pay, Put wi sianseng dari Hoa san pay, To kak
182 thi koay (Kaki tunggal bertoya besi) dari Kay pang, Lak bin wangwe
(hartawan berwajah enam dari keluarga Tong, Siau bin kim kong
(malaikat raksasa berwajah senyum) dari Cing sia pay, It ci kiam
(pedang satu huruf) dari Tiong lam pay, Tho hoa soh li (gadis suci
bunga tho) dari pulau Soh sim to, Giok ciang lo sat (iblis wanita
bertoya kemala) dari Ciang hong wan, ditambah lagi dengan Hui
hong kiam (pedang angin berpusing) Lok yap bian hong (hembusan
angin daun berguguran) dan Hek bin bu pah (raja lalim bermuka
hitam) sekalian tiga belas orang"
Selesai mendengar nama-nama tersebut, Thi Eng khi diam diam
merasa terperanjat sekali. Sebab kenyataannya ke tiga belas orang
itu masing-masing tersembunyi didalam setiap partai besar, sebagai
musuh da?lam selimut sesungguhnya mereka benar benar
menakutkan sekali.
Sebagai seorang pemuda berjiwa ksatria, sekalipun jiwanya
berada diujung tanduk. Dan berbahaya sekali, apalagi soal dunia
persilatan sama sekali tak ada sangkut paut dengan dirinya, tapi ia
tetap merasa murung dan gelisah.
Setelah berpikir keras sekian lama mendadak satu ingatan
melintas didalam benaknya.
la lantas mengawasi iblis tua itu sambil berlagak seakan akan tak
pernah terjadi sesuatu apapun, sementara tangannya yang lain
disembunyikan dibalik punggung dan mengerahkan tenaganya untuk
mengukir nama-nama yang telah didengar tadi diatas batu cadas.
Sebagai pemuda yang cerdas dan cekatan dalam waktu singkat
nama serta asal usul dari ketiga belas pangeran Cap sa tay poo itu
sudah selesai terukir diatas batu.
Mendadak timbul satu persoalan dalam benaknya, maka sambil
melanjutkan tulisannya. dia bertanya lagi :
"Iblis laknat! Kalau memang Cap sa tay poo itu disisipkan ke
dalam partai-partai besar, sekalipun ilmu silat mereka lebih lihaypun
tak akan lebih hebat daripada ciangbunjinnya sendiri, mana mungkin
mereka sanggup untuk melakukan pemberontakan?"
183 Iblis tua itu segera tertawa seram.
"Heeehhh?"" heeehhh?"" heeehhh?"".. tentu saja lohu
telah mewariskan kepandaian lain kepadanya......"
Mendadak ia seperti merasakan sesuatu, matanya yang buas
segera berputar, kemudian bentaknya:
"Bocah keparat, apa yang sedang kau lakukan?"
Ditengah bentakan keras, sebuah pukulan dahsyat segera
dilontarkan kedepan.
Waktu itu Thi Eng khi sedang menulis nama dan asal usulnya,
ketika merasa gelagat tidak beres, dia menjadi terkejut sekali untuk
membalas jelas tak bertenaga lagi, terpaksa dia melejit dan
menggelinding masuk kedalam jurang.
Dengan cepat Iblis tua itu menyusul ketepi jurang, ketika
melongok kebawah dan menyaksikan kabut tebal menyelimuti dasar
jurang tersebut, tanpa terasa dia mendongakkan kepalanya dan
kembali tertawa rerbahak bahak dengan bangganya.
"Haaahh......haaahh. haaahhh.....jurang ini begini dalam,
sekalipun nasibmu sangat mujur pun lohu tidak percaya kalau kau
bisa selamat dari musibah ini!"
Seraya berkata ia membalikkan badannya ketika melihat tulisan
diatas batu paras mukanya agak berubah, tapi sejenak kemudian
timbul rasa sayang diatas wajahnya.
"Aaai..... betul-betul sayang sekali," gumannya, "bakat yang
begitu bagus tak bisa lohu pergunakan, jangan salahkan kalau lohu
terpaksa harus mengambil tindakan keji....."
Dengan uring-uringan dia lantas berlalu dari situ.
Thi Eng khi tak sudi mati ditangan iblis keji tersebut, maka
sewaktu menyaksikan sapuan kilat dari Huan im sin ang menyambar
184 datang, buru-buru dia maju kedepan dan menggelinding masuk
kedalam jurang.
Pemuda itu memang seorang manusia yang berotak cerdas,
sekalipun ia merasa perbuatannya terjun kedalam jurang telah
menyia-nyiakan harapan ibunya, tapi ia sama sekali tidak takut,
sebab dia merasa yakin kalau jiwanya tentu melayang.
Malahan ketika mendengar suara deruan angin dan menyaksikan
pemandangan disekelilingnya
yang meluncur lewat sangat cepat timbul suatu kesan yang
menarik dalam hatinya.
Setelah melewati kabut yang amat tebal pemandangan
disekelilingnya menjadi lebih terbuka, dasar lembahpun tampak jelas
sekali. Hutan pohon Bwe yang lebat dengan bunga yang harum,
mendatangkan suatu pemandangan yang indah menawan.
Sambil tertawa pikirnya kemudian:
"Tempat ini benar-benar merupakan suatu. tempat yang paling
ideal untuk mengubur jenasahku". !"
Belum habis ingatan tersebut melintas lewat dalam benaknya,
mendadak dijumpai ada seorang kakek berambut putih sedang
duduk bersila tepat dibawahnya.
Kakek itu duduk tak berkutik sambil menundukkan kepalanya
kalau dilihat dari keadaannya, mungkin ia sedang bersemedi.
Terbayang kembali akan akibat yang ditimbulkan dari tubuhnya
yang terjatuh ke bawab itu, Thi Eng khi merasakan hatinya tergetar
keras, buru-buru dia menggerakkan keempat anggota badannya
menggeserkan badannya lebih kesamping, daripada sebelum
meninggal dia musti menyusahkan pula orang lain
Siapa tahu meski badannya sudah berusaha untuk bergeser ke
samping, tapi kenyataannya entah disebabkan daya luncur tubuhnya
185 terlampau cepat atau karena persoalan lain, usahanya itu sama
sekali tidak mendatangkan hasil apa apa.
Dalam keadaan demikian, ia cuma bisa membenci akan
ketidakbecusan dirinya, terpaksa dengan sekuat tenaga dia berteriak
keras: "Hei lotiang yang berada dibawah. cepat menyingkir ! Siauseng
terjatuh kebawah cepat minggir! Cepat minggir! Cepat -cepat
minggir!" Agaknya kakek dibawah itu seorang yang tuli, sekalipun ia sudah
berteriak sampai serak tenggorokan, ternyata sama sekali tiada
reaksi apapun. Padahal pada waktu Thi Eng khi berada lebih kurang sepuluh kaki
saja dari dasar lembah,
Ia lantas berseru tertahan dan memejamkan matanya rapat-rapat
dalam detik tersebut pelbagai ingatan berkecamuk didalam
benaknya, ia merasa waktu yang amat singkat itu bagaikan beratus
ratus tahun lamanya mungkin inilah pengalamannya menjelang
kematian, cuma sayang ia sudah tak dapat memberitahukan kepada
orang lain lagi.
"Kraaakk?""!" ia merasakan tubuhnya seperti menyentuh
sesuatu benda, satu ingatan segera melintas dalam benaknya :
"Aduuuuh?"?".habis riwayatku!''
Dia mengira jiwanya pasti akan melayang meninggalkan raganya.
Padahal ia sudah dirangkul oleh kakek berambut perak didasar
lembah itu dan sama sekali tidak menderita luka apa-apa.
Hanya mengandalkan sepasang tangannya, ternyata kakek
berambut perak itu sanggup menahan tubuh Thi Eng khi yang
terjatuh dari ketinggian ratusan kaki, dari sini dapat diketahui bahwa
tenaga dalam yang dimilikinya boleh dibilang luar biasa lihaynya.
186 Setelah menyambut tubuh Thi Eng khi ke dalam pelukannya,
kakek itu tertawa terbahak-bahak.
"Haaahhhh?"".. haaahhhh?"".. haaahhhhh?" mana lohu
bisa berpeluk tangan belaka menyaksikan kau terancam bahaya " "
Seraya berkata dia lantas menundukkan kepalanya
memperhatikan pemuda yang berada dalam pelukannya itu, tapi
selang sesaat kemudian sekujur badannya bergetar keras, ia agak
tidak percaya kalau di dunia ini terdapat orang dengan bakat yang
begitu bagus. Dengan cepat dia mengucak matanya dengan tangan kiri,
kemudian dengan sinar mata berkilat ditatapnya wajah Thi Eng khi
lekat-lekat. Makin dilihat ia merasa hatinya semakin bergetar, perasaannya
juga semakin emosi dengan wajah kalut bercampur girang dia
melemparkan tubuh pemuda itu ke tanah kemudian lompat bangun
dan menari-nari seperti orang kalap.
Setelah mencapai permukaan tanah, Thi Eng khi segera
merasakan hatinya bergetar kera, apalagi teringat kejadian yang
baru dialaminya, buru-buru ia membuka matanya lebar-lebar.
Ketika dilihatnya keadaan si kakek Yang lebih mirip orang gila itu,
dia seperti terkesima kemudian menggigit tangan sendiri keraskeras.
Mungkin karena terlalu keras gigitannya menjadi tak tahan
sehingga menjerit kesakitan.
Sesungguhnya kakek itu tidak gila, cuma karena sudah lama
hidup mengasingkan diri maka perubahan sikapnya menjadi sangat
kentera. Diapun tersadar kembali ketika mendengar jerit kesakitan dari
anak muda itu ketika mengetahui kalau ia sudah bertindak kelewat
batas dengan wajah memerah karena jengah katanya :
187 "Nak, parahkah luka yang kau derita?"
"Oooh tidak" sahut Thi Eng khi sambil tertawa getir, "aku cuma
menggigit diriku sendiri."
Setelah agak tertegun, kakek itu segera memahami apa yang
terjadi, katanya lagi sambil tertawa : "Oooh.......... jadi kau mengira
dirimu sudah mati?"
Paras muka Thi Eng khi berubah makin memerah terpaksa dia
manggut-manggut.
Kakek itu segera menarik tangan kanan Thi Eng khi dan
menempelkan ketiga jari tangannya diatas nadi pemuda itu,
kemudian katanya :
"Hei pemuda, kalau sedang berjalan masti berhati-hati, untung
kau bertemu dengan aku hari ini, coba kalau tidak. mana mungkin
kau bisa bernyawa lagi" Coba kuperiksa apakah isi perutmu sudah
terluka atau tidak ......?"
Tiba tiba dia berkerut kening, kemudian sambil menarik kembali
tangannya dia berseru :
"Oooh .........rupanya kau dihajar orang!"
"Tidak!" sahut Thi Eng khi sambil menggeleng, "aku sendiri yang
melompat kebawah, cuma.."
Kakek itu segera menghela napas panjang ujarnya :
"Lukamu tidak parah, asal bersemedi sebentar keadaan lukamu
itu akan sembuh kembali seperti sedia kala. Bagi seorang lelaki
sejati, tidak boleh mempunyai ingatan untuk mengambil keputusan
pendek, jika berjumpa lagi dengan urusan dikemudian hari, kau
mesti perkeras hatimu, hati mesti tabah untuk menghadapi
kenyataan, dengan begitu baru tidak menyia-nyiakan pendidikan dan
budi kebaikan orang tuamu. Sesungguhnya persoalan apakah yang
membuat pikiranmu menjadi sempit?"
Sikap si kakek yang sok memberi nasehat itu hanya membuat Thi
Eng khi menyengir pahit. Padahal banyak hal yang berkecamuk
188 dalam benaknya, oleh karena ia tak bisa memberi penjelasan lebih
jauh, terpaksa sambil tertawa getir katanya :
"Terima kasih banyak lotiang atas petunjukmu, cuma, sulit
buatku untuk menjelaskan persoalan ini hanya dengan sepatah kata
saja...." "Anak muda, jika kau sudah tahu salah dan mau berubah. Hal itu
bagus sekali" kata si kakek dengan wajah lembut, "urusan yang
lewat tak perlu disinggung lagi, sekarang lohu akan membantumu
untuk menyembuhkan luka yang kau derita. Kau sendiri berusahalah
untuk membantu dari dalam!"
Selesai berkata telapak tangannya segera ditempelkan diatas
punggung Thi Eng khi.
Sianak muda itu menurut dan segera menghimpun tenaga
dalamnya dan mengerahkan tenaga Sian thian bu khek ji gi sin kang
untuk mengelilingi seluruh badannya.
Mendadak bagaikan dipagut ular beracun, si kakek itu menarik
kembali tangannya, kemudian dengan wajah sungguh-sungguh
katanya : "Nak, aku lihat Sian thian bu khek ji gi sin kang yang kau miliki
sudah mencapai puncak kesempurnaan, apakah kau adalah anak
murid perguruan Thian liong pay?"
Menyusul kemudian tertawa terbahak-bahak, sambungnya :
"Haaahhh.... haaahhhh.... haaahhhh..... kau memakai baju


Pukulan Naga Sakti Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berwarna biru, pinggangmu menyoren pedang Thian liong kim kiam
sudah pasti bukan anggota Thian liong pay saja, lohu sungguh tolol
sekali, aku cuma melihat garis mukamu belaka dengan melupakan
dandananmu, bukankah hal ini lucu sekali."
Mendengar perkataan itu, Thi Eng khi segera berpikir :
"Thian liong pay benar-benar bukan bernama kosong belaka,
bahkan seorang kakek yang lama mengasingkan diri di luar
pe Harpa Iblis Jari Sakti 23 Pendekar Kembar Karya Gan K L Harpa Iblis Jari Sakti 12
^