Pukulan Si Kuda Binal 4

Pukulan Si Kuda Binal Karya Gu Long Bagian 4


embicarakan Ong-toasiocia, rona matamu selalu menampilkan sinar yang
ganjil." "O?" "Waktu kau melihat lereng hijau di atas gambar itu, cahaya matamu ikut berbicara."
"Dalam hati aku menyukainya, dimuiut aku bilang membencinya, aku tahu dimana letak lereng
hijau itu, tapi sengaja tidak mau menjelaskan kepadanya, begitu?"
"Syukurlah kalau kau sudah mengaku."
Ting Si tertawa menyengir.
"Masjh ada, bila kau menyadari orang lain sedang menipu dirimu, rona matamu pun berubah
demikian, berubah aneh,"
"Kau pernah melihat perubahan mataku, karena kau tahu aku ditipu orang?"
"Pernah lihat dua kali."
"Coba jeiaskan, kapan kedua kali itu'"
"Waktu So Siau-poh beranjak pergi, kau memandangnya dengan rona yang aneh."
"Maksudmu aku mencurigainya?"
"Ya, mungkin dialah mata-mata tulen dari Ngo-hou-kang itu. Ban Thong hanya diperalat olehnya,
hingga perlu dibunuh untuk mernbugkam mulutnya. Gak Ling juga mengetahui rahasianya, maka
dia disekap dalam kamar bawah tanah itu. Walau kau menolongnya, tapi seteiah dia pulang ke
Ngo-hou-kang, bukankah dia akan bicara sejujurnya tentang apa yang diketahui pada temanteman-
nya?" Akhirnya Ting Si menghela napas seteiah menepekur sekian saat, "Bila dia membual, orang
yang sudah mati bisa ditipunya hingga hidup kembali, demikian pula orang hidup bisa ditipunya
hingga mampus seketika."
"Oleh karena itu, aku tidak habis mengerti."
"Dalam soal apa kau tidak mengerti?"
"Jelas kau mencurigainya, mengapa kau justru melepasnya pergi?"
"La!u bagaimana menurut pendapatmu?"
"Dari gerak-geriknya yang aneh kau akan meiacak jejak dan membongkar kedok pembunuh
sadis itu" Karena So Siau-poh adalah saksi hidup yang dapat kau gunakan untuk memancing
pembunuh laknat itu?"
Ting Si menghela napas, katanya gregetan, "Persoalan apa yang kupikir, kelihatannya kau lebih
jelas dari aku sendiri."
"Pernah sekali aku rnelihat rona mata yang ganjil itu. Waktu di Sin-hoa-jun, di kamar dimana Siau
Ma seharusnya rebah merawat luka-lukanya."
"Apakah waktu itu aku mengawasi Siau Ma dengan pandangan ganjil?"
Teng Ting-hou mengangguk, "Aku yakin, waktu itu kau tahu atau rnelihat ada sesuatu yang tidak
beres di kamar itu."
"Soalnya dia berubah menjadi sabar, jujur dan penurut. Biasanya tidak pernah dia mau tidur
tenang merawat luka-lukanya."
"Sejauh dia berbincang-bincang dengan kita, Rata 'Maknya' yang sering terlontar dari mulutnya
tidak pernah diucapkan lagi."
"Gunung dan sungai bisa berubah bentuk, namun watak manusia hingga mati susah dirubah.
Seorang jika berubah tabiatnya, pasti karena terpengaruh oleh lingkungan atau keadaan."
"Setelah dia minggat bersama Toh Yok-lin, meski marah, ternyata sedikitpun kau tidak kelihatan
gugup atau gelisah."
Ting Si menarik muka, suaranya dingin. "Dia dengan suka rela berbuat demikian, mengapa aku
harus gelisah?"
"Waktu kau berhadapan dengan Ong-toasiocia, mengapa tidak kau singgung tentang dirinya?"
"Kalau dia tidak menyinggung, kenapa aku harus bicara dengannya?"
"Memang.sepatutnya dia tanya kepadamu, dan kau juga harus balas bertanya kepadanya, tapi
kalian sama-sama tidak menyinggung hal ini, mengapa demikian?"
"Dia tidak bertanya, karena dia tahu, tidak perlu bertanya padaku."
"Maksudmu Siau Ma berada bersama mereka?"
"Ehm, mungkin."
"Meski bocah itu berwatak berangasan dan kasar, tapi hatinya lembut dan mudah ditaklukkan.
Kalau Ong-toasiocia lewat Toh Yok-lin minta dia membantu, pasti bocah itu takkan menolak
permintaan gadis yang dipujanya itu."
"Kalau dia suka menjadi pahlawan, mengapa aku harus mencampuri urusannya."
"Dalam menyelesaikan persoaian, kadang kala perlu beberapa orang melakukan sesuatu yang
bodoh, kaiau semua manusia di dunia ini orang pintar, hidup di dunia juga tiada selera lagi."
"Sayang sekali, di zaman seperti sekarang ini, orang yang betul-betul bodoh justru makin sedikit."
"Paling tidak aku tidak akan mengatakan bahwa aku adalah orang bodoh."
"Kau tidak bodoh, demikian pula Ong-toasiocia, dia bukan gadis bodoh."
"Lho, mengapa kau bilang demikian?"
"Aku tahu dimana letak lereng hijau itu, kalau kau tahu aku berbohong, memangnya dia tidak
tahu?" "Tapi, mengapa dia tidak tanya atau mendesakmu?"
"Karena dia tidak bodoh, dia tahu tidak perlu bertanya kepadaku."
"O, mengapa?"
"Karena dia juga tahu tempat apa lereng hijau itu."
"Karena kau tidak menjelaskan, tentu Siau Ma akan menjelaskan."
"Hm."
"Umpama benar Siau Ma orang bodoh, tapi pasti dia tahu bahwa tempat itu adalah Ngo-houkang."
"Tar", mendadak Ting Si mengangkat tangan dan menyendal sekali, cemeti di tangannya
menggelegar di udara, kereta berlari lebih kencang lagi. Sebetulnya ingin Ting Si menghajar
pantat Siau Ma bila bertemu, celaka adalah keempat kuda penarik kereta yang menjadi sasaran
pelampiasan rasa dongkolnya. Karena dihajar dan kesakitan, kuda-kuda penarik kereta itu
menjadi marah, sambii meringkik mereka lari blingsatan membelok ke dalam hutan yang penuh
semak lalu mogok tak mau jalan lagi.
Ternyata Ting Si tidak peduli, seolah kebetulan karena berhenti di sini. Dengan rnenggeliat malas
pelahan dia melompat turun, cemeti panjang dia gulung membundar lalu digantung di dahan
pohon, mulutnya rnenggumam, "Seorang kalau sudah bertekad melakukan perbuatan bodoh,
kan lebih baik dibiarkan saja. Demikian halnya dengan seekor kuda, kalau dia bertekad mogok,
tak mau lari lagi, lebih baik kau hentikan dan biarkan begitu saja."
Teng Ting-hou masih bertengger di tempat duduknya sambi! mengawasi gerak-gerik Ting Si,
mendadak dia tertawa geli, "Mungkin kau sengaja menghentikan kereta ini di tempat tersembunyi
ini." "Mengapa kau menduga begitu?"
"Ada sementara orang senang berputar kayun sebelum melaksanakan tugasnya, padahal kalau
mau, dengan mudah dia dapat menyelesaikan urusannya. Tapi dia justru mengorbankan banyak
waktu dan tenaga, terpaksa orang lain harus mengerjakan untuk dirinya."
"Wah, kalau betul demikian, tentu orang itu tidak normal."
"Sedikitpun tidak."
"Lalu untuk apa dia berbuat demikian?"
"Karena hanya orang pikun saja yang mau mengerjakan persoalan yang dia tangani. Dia tidak
senang orang lain beranggapan bahwa dirinya orang goblok yang baik hati, tapi dia lebih rela
orang beranggapan bahwa dia seorang kejam, dingin dan kaku,"
"Kau anggap aku orang sejenis itu?"
"Sedikitpun tidak salah."
"Syukurlah, aku justru takut kau anggap aku sebagai orang goblok."
"Kau juga kuatir aku bertanya padamu, di kota besar, seratus hotel besar kecil dari yang paling
mewah hingga kelas yang terjorok pasti ada. Mengapa kau tidak mau menginap di hotel, justru
datang ketempat ini hanya untuk tidur. Kau tidak takut digigit nyamuk, aku sebaiiknya tidak tahan
digigit semut."
"Mengapa kau tidak bertanya kepadaku secara langsung."
"Aku tidak perlu bertanya."
"Mengapa?"
"Karena untuk pergi ke Ngo-hou-kang harus lewat jaian ini."
"Apalagi yang kau ketahui?"
"Aku tahu kau memperhitungkan, Siau Ma akan menemani Ong-toasiocia ke Ngo-hou-kang,
mereka adaiah orang gugupan, orang yang tidak sabaran, bukan mustahil malam nanti mereka
akan berangkat ke sana."
"Maka aku menunggu mereka di sini?"
"Kalau orang lain mau menjadi orang bodoh, mungkin kau biarkan saja, tapi Siau Ma bukan
orang lain, Siau Ma adaiah teman karibmu, saudaramu yang paling setia," dengan tersenyum
lebar Teng Ting-hou rnengulur tangan mengambil cemeti yang tergantung di pohon. "Bila dia
datang nanti, bukankah kau sudah siap menjirat lehernya dengan cemeti panjang ini?"
Ting Si mengawasinya, mendadak dia tertawa, "Aku banya ingin tanya sepatah kata."
"Kau boleh tanya."
"Kau kira kau ini apa" Cacing dalam perutku?"
Teng Ting-hou ingin tertawa, taps tidak jadi tertawa, karena kulit mukanya mendadak kaku. Angin
malam berhembus sepoi-sepoi membawa kumandang lari kuda yang dibedal kencang disertai
derak roda kereta di jaian berbatu, suaranya masih lirih dan sayup-sayup, jelas kereta kuda itu
masih cukup jauh.
Sigap sekali Ting Si menerobos hutan lalu mendekam di pinggir jaian, dengan sebelah kuping
ditempelkan ditanah.
Teng Ting-hou juga mendekam di sampingnya, tanyanya dengan suara berbisik, "Apakah
mereka sudah datang?"
"Bukan."
"Bukan, maksudmu bukan mereka yang datang?"
"Kereta kuda yang satu ini kosong, tiada penumpang , seorang pun di dalamnya."
"Hanya mendengar dengan caramu itu, kau yakin kereta itu kosong?"
"Ya, aku yakin kereta itu kosong."
Teng Ting-hou menghela napas, "Pendengaran telingamu agaknya lebih tajam dibanding Ongtoasiocia."
Derap kaki kuda dan derak roda kereta makin jelas dan dekat, kadang suara cemeti juga
terdengar memecah kesunyian. Kalau benar kereta itu kosong, mengapaburu-buru menempuh
perjalanan. Mendadak Ting Si berkata, "Kereta itu kosong, maksudku bukan ditumpangi orang, tapi memuat
sesuatu benda yang berat."
"Berapa beratnya?"
"Sedikitnya tujuh atau delapan puluh kati."
"Darimana kau tahu kalau muatan kereta itu bukan manusia?"
"Kalau penumpangnya manusia, mana mau menumbukkan kepalanya di langit-langit kereta."
Telinga Ting Si masih menempel di tanah, dia mendengar suara benda keras yang menyentuh
dinding atau langit-langit kereta. Benda itu beratnya ditaksir delapan puluh kati, diduga kalau
tidak besar tinggi, tentu benda itu panjang hingga menyentuh atap kereta.
Bercahaya mata Teng Ting-hou. "Apa tidak mungkin Pa-ong-jio?" tanyanya lirih.
"Mungkin sekali."
"Apakah Ong-toasiocia sendiri yang pegang kendali?"
Ting Si tidak bersuara. Sementara itu, jauh di depan sana lapat-lapat terlihat sebuah kereta besar
bercat hitam, di tengah malam buta dicongklang dengan kencang, kusir kereta juga berpakaian
hitam, mengenakan topi rumput lebar dan runcing yang ditarik turun menutupi mukanya.
Kalau kusir kereta betul Ong-toasiocia, perbuatannya itu pasti karena suatu alasan yang
mendesak atau untuk suatu tujuan tertentu. Oleh karena itu, sepak terjangnya pasti dirahasiakan,
siapa pun pantang mengetahui jejak atau kedok penyamarannya. Meski ingin buru-buru
menempuh perjalanan dan selekasnya tiba di tempat tujuan, terpaksa dia harus naik kereta,
meski menunggang kuda lebih cepatdari kereta, namun dalam kereta dia dapat menyembunyikan
Pa-ong-jio. Mengapa Siau Ma tidak ikut" Apakah mereka sudah berjanji untgk bertemu di suatu tempat di
depan sana"
Teng Ting-hou merendahkan suara, "Bagaimana kalau kita kuntit?"
"Memangnya ada tontonan yang bisa kau saksikan?"
"Kalau kau tidak mau, biar aku menguntitnya sendiri."
Kejap lain kereta yang berlari kencang itu sudah lewat di depan mereka, kusir kereta seperti ingin
lekas sampai tujuan, bahwasanya dia tidak memperhatikan keadaan sekelilingnya.
Sambil mendekam Teng Ting-hou mengerahkan tenaganya, mendadak kakinya menjejak, tangan
menyendal bumi, bagai anak panah tubuhnya melesat ke depan. Di tengah udara dia bersalto
dua kali, waktu tubuhnya melorot turun, sebelah tangannya sudah terulur meraih ujung kereta,
sehingga tubuhnya terseret ke depan dan bergantung seperti daun menjuntai ke bawah.
Lekas sekali kereta itu meluncur puluhan tombak ke depan, hanya sekejap lenyap ditelan
kegelapan. Teng Ting-hou sempat melambaikan tangan ke arah Ting Si.
Menghantar bayangan kereta yang lenyap di kegelapan, mendadak Ting Si menghela napas,
gumamnya sendiri, "Kalau di depan ada orang juga mendengar gerak gerik kereta ini, pasti dia
merasa heran, mengapa kereta yang semula kosong, mendadak bertambah muatan satu
orang?" Ting Si membalik badan lalu rebah telentang menjulurkan kaki dan tangan, sinar
matanya tenang mengawasi bintang-bintang. Cahaya bintang menyinari wajahnya, seperti
menembus relung hatinya, sorot matanya menyembunyikan banyak rahasia yang tersimpan
dalam sanubarinya.
* * * * * Jauh di sebelah depan, di kegelapan memang ada orang seperti juga Ting Si, mendekam di
tanah, dengan sebelah telinga mendengar seksama kedatangan kereta kuda yang berlari
kencang itu. Wajahnya kelihatan pucat kelabu, bila diperhatikan orang akan tahu bahwa orang ini
mengenakan topeng.
Seorang lagi juga mendekam di sebelahnya, kecuali derap kaki kuda dan derak roda kereta di
kejauhan, alam sekelilingnya sunyi senyap, hanya napas mereka yang terdengar, seorang di
antara kedua orang itu bernapas lebih berat, napasnya berat memburu.
"Aneh," orang berbaju hitam bertopeng itu menggumam. "Semula kereta itu jelas kosong,
mengapa mendadak bertambah satu orang?"
"Mungkin seorang naik kereta di tengah jalan?"
"Tapi kereta itu tidak berhenti."
"Mungkin dia naik secara diam-diam, kusir kereta tidak tahu seorang penumpang gelap telah
berada di keretanya." Waktu orang ini berbicara, sikap dan suaranya terasa amat takut dan
hormat kepada teman di sebelahnya, sepasang matanya jelilatan seperti mata keiinci, kepalanya
melongok kian kemari, orang ini ternyata So Siau-poh.
Lalu siapakah temannya yang berkedok itu"
So Siau-poh berkata, "Orang itu dapat naik kereta di luar tahu kusir, Ginkangnya tentu amat
tinggi, bukan mustahil orang itu adalah Ting Si."
Orang berkedok itu menyeringai dingin, suaranya dingin kaku, "Kalian berdua memang pantas
mampus." Sejenak So Siau-poh tertegun, setelah menangkap arti perkataan orang, seketika rona mukanya
berubah pucat ketakutan, katanya tergagap, "Kami.......kami berdua?"
Si baju hitam berkedok itu berkata pula dengan nada rendah, "Kau cerewet, sebaliknya dia suka
mencampuri urusan orang lain."
So Siau-poh segera mengancing mulut, saking takutnya bernapas pun ditahan-tahan.
Mungkin merasa tegang, napas orang berkedok itu terdengar berat memburu, mendadak dia
merogoh keluar sebuah botol porselin kecil dari kantong celananya, membuka tutup lalu
menuang sebutir pil hitam langsung ditelannya. Begitu tutup botol kecil itu terbuka, bau obat yang
aneh dan merangsang segera tertiup angin.
Apa betul orang berkedok ini adalah Pek-li Tiang-ceng" Apa betul Pek-li Tiang-ceng adalah
pembunuh kejam itu"
Kereta sudah lebih dekat.
Sekejap si baju hitam menutup mata, saat kelopak matanya terpentang lags, sinar matanya
berubah mencorong tajam, katanya tergesa-gesa, "Kau membawa senjata rahasia tidak?"
So Siau-poh tidak berani bersuara, hanya menganggukkan kepala.
"Serang kuda dengan senjata rahasiamu. Aku yang membereskan dua orang di atas kereta,"
demikian orang berkedok memberi perintah..
So Siau-poh mengangguk lagi. Dia tidak berani bercuit, sepatah kata yang diucapkan sambil lalu
si baju hitam, ternyata lebih menakutkan dari perintah jenderal perang di medan laga.
Berkilat sinar mata orang berkedok, jengeknya dengan suara hidung, "Peduli siapa yang berada
di atas kereta, seorang pun tak boieh lolos."
Bagaimana biia dia salah sasaran" Membunuh orang bukan yang semestinya dia bunuh. Si baju
hitam tak peduli, mati hidup orang lain bahwasanya tak terpikir olehnya.
Kereta berlari kencang, angin dingin menyapu muka.
Seenteng daun Teng Ting-hou bergelantung di belakang kereta, biasanya dia amat
membanggakan kemampuan sendiri, sangat puas akan Ginkangnya. Sudah beberapa tahun dia
berkeluarga dan sudah punya anak, isterinya cukup cantik, pinggangnya ramping, pahanya
jenjang mulus, namun dia perempuan yang berwatak keras, setelah hidup bahagia penuh cinta
dan mesra sekian tahun, hubungan mereka makin cocok dan akur, sama-sama memenuhi
selera. Selama beberapa tahun, Teng Ting-hou cukup bangga dan senang terhadap pelayanan
isterinya, hanya sayang isterinya itu cerewet dan bawel.
Umum sudah tahu, kalau perempuan sudah punya anak, kondisi tubuhnya lambat laun akan
berubah, makin banyak anak, tubuhnya akan lebih gembrot. Demikian hainya dengan isteri Teng
Ting-hou, apalagi beberapa tahun belakangan ini, karena sibuk bekerja sebagai penanggung
jawab perusahaan, ia harus sering berada di perjalanan, jelas jarang tidur di rumah, biia kebelet
saat kantongnya tebal, dimana saja dia bisa jajan. Perempuan yang menghibur dirinya di
berbagai kota memang terasa lebih muda dan pandai rnerayu, lebih banyak pengalaman.
Dalam hal ini, sejak lama Teng Ting-hou terkenal sebagai jagoan.
Yang Maha Kuasa seperti amat melindungi dirinya, setelah delapan tahun hidup berfoya-foya di
luaran, kondisi badannya ternyata masih kuat dan penuh gairah yang tidak pernah padam, gerakgerik
dan reaksinya tetap cekatan, tangkas dan gesit, meski usianya sudah mendekati setengah
urnur, tenaganya tidak kalah dibanding anak muda.
Delapan tahun sejak menikah, isterinya dikaruniai lima anak, wanita yang semula ramping dan
menggiurkan, pinggangnya sekarang sudah berubah segede gentong air, sudah tidak memenuhi
selera suaminya lagi. Maklum, bila perempuan tidak terpenuhi daya seksnya, sering kehausan
tanpa terlampias, maka dia akan menyalurkan ketagihannya dengan cara 'makan' lebih banyak.
Demikian pula wataknya pun takkan mungkin untuk melampiaskan ketagihannya, seperti kalau
dia bergunjing di ranjang dengan suaminya. Meski dia makan enak, berpakaian mahal dan
mewah, tapi persoalan yang mengganjal di relung hatinya sukar tersalur secara wajar.
Terbayang oleh Teng Ting-hou, betapa hangat mesra dan bahagia hidup mereka berdua, waktu
baru menikah dulu. Mendadak timbul rasa penyesalan dalam sanubarinya terhadap isterinya


Pukulan Si Kuda Binal Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang setia. Diam-diam ia berkeputusan dalam hati, bila nanti tugasnya selesai, ia akan segera
pulang, untuk beberapa lama ia akan tinggal di rumah, siapa tahu isterinya masih dapat
menambah satu dua anak untuk dirinya, bukankah semboyan banyak anak banyak rezeki
beriaku sampai sekarang.
Kebetulan kereta berguncang cukup keras, sehingga lamunan Teng Ting-hou terjaga. Seperti
terjaga dari mimpi, akhirnya ia tertawa geli sendiri. Dalam keadaan begini mengapa bisa teringat
adegan begituan"
Sering terjadi di kala manusia menghadapi keadaan genting atau lucu, teringat sesuatu yang
tidak pantas diingat" Soal apa yang mendorong sanubarinya bertobat dan rindu kepada
isterinya" Apakah lantaran isterinya juga kelahiran Bing-lam"
Tanggal 13 bulan 5 adalah hari lahir Thian-te (raja langit).
Kalau tidak salah ingat, salah satu teman karibnya kebetulan juga lahir pada tanggal dan bulan
yang sama, yaitu tanggal 13 bulan 5. Dalam suatu percakapan, secara tidak sengaja pernah ia
mendengar tanggal dan bulan kelahirannya itu.
Siapa temannya"
Kelopak mata Teng Ting-hou mengerut, matanya memicing. Mendadak ia teringat sesuatu.
Pada saat itu pula, kuda penarik kereta mendadak meringkik panjang dan berjingkrak, kereta
mendadak serong ke kiri terus menerjang ke pinggir jalan. Kejap lain, kereta itu terjungkir balik
dan hancur berantakan.
Begitu merasa gelagat membahayakan dirinya, Teng Ting-hou mengerahkan tenaga di kedua
tangannya, sekali sendal tubuhnya melambung tinggi ke udara. Dari semak-semak rumput di
pinggir jalan tampak selarik sinar gemerlap melesat dan telak menancap di perut kuda terdepan.
Sesosok bayangan lain juga menerjang dari semak belukar di pinggir jalan yang sama, gerakgeriknya
lebih cekatan, enteng dan pesat, lebih cepat dari luncuran senjata rahasia gemerdep itu.
Terdengar kusir kereta mengumpat gusar, "Jahanam, kiranya kau. Aku sudah menduga kau pasti
akan mencari aku." Suaranya nyaring merdu, siapa lagi kalau bukan Ong-toasiocia. Sigap sekali
Ong-toasiocia melompat ke belakang kereta, menarik pintu melolos Pa-ong-jio. Saat itulah si baju
hitam tengah berjungkir balik di udara dan menubruk kearahnya.
Sebetulnya Teng Ting-hou masih sempat menyingkirkan diri dari tempat itu, sasaran si baju
hitam yang membokong ini jelas bukan dirinya. Tapi dia tak mau menyingkir, bukan saja tidak
tega, dia merasa wajib melindungi keselamatan Ong-toasiocia yang terancam di tangan musuh
gelap ini. Apalagi tujuan kedatangannya ini juga bertekad merenggut kedok pembunuh kejam itu.
Si baju hitam menukik seperti elang menerkam kelinci. Ong-toasiocia sedang sibuk mencabut
Pa-ong-jio yang terjepit di kereta yang sudah hancur itu, jelas tidak sempat menyingkir atau
berkelit, ingin menangkis juga tidak keburu lagi. Serangan keji yang mematikan, sekali kena jiwa
pasti amblas. Di kala kedua tangan si baju hitam hampir menyentuh rambut Ong-toasiocia, mendadak
segulung angin pukulan yang menderu deras menerjang dari samping.
Siau-lim-sin-kun, pukuian sakti Siau-lim-pay. Konon bila ilmu pukulan sakti ini diyakinkan
mencapai taraf sempurna, dalam jarak seratus langkah dapat memukul mati sasarannya.
Memang tinju sakti Teng Ting-hou belum mencapai taraf setinggi itu, tapi perbawa daya
pukulannya cukup mengejutkan orang. Untuk menyelamatkan diri terpaksa si baju hitam harus
menarik kedua tangannya, walau serangan dibatalkan, tapi tenaga yang telanjur dikerahkan
masih juga melanda ke depan.
"Blang," tubuh Ong-toasiocia terpental oleh serempetan tenaga dahsyat yang mendampar itu dan
menumbuk roda kereta, pinggangnya terasa sakit sekali, hampir saja ia kelenger. Untung
sebelum musuh bertindak lebih jauh, Teng Ting-hou sudah mengadang di depannya.
Si baju hitam menyeringai seram, suaranya agak sumbang, "Bagus, seorang pelindung
kembang, biar aku bereskan kalian bersama, dalam perjalanan ke akhirat supaya ada teman."
Jelas suaranya sengaja dibuat kasar dan serak supaya orang tidak mengenal asal-usul dirinya.
Mendadak Teng Ting-hou tertawa, katanya, "Jangan kau lanjutkan seranganmu, nanti ketahuan
siapa dirimu."
"Mengapa aku harus menghentikan serangan?" tanya si baju hitam.
"Karena kau mengenalku, aku pun tahu siapa dirimu. Bila kau tetap menyerangku, dalam lima
jurus, aku pasti tahu siapa kau sebetulnya."
"Baik, coba kau saksikan," jengek si baju hitam.
Di saat mengucapkan empat patah kata, tangannya sudah menyerang dua jurus. Baru saja Teng
Ting-hou berkelit dan balas menyerang satu jurus, lawan sudah melontarkan tiga jurus serangan
lagi. Serangan lawan sungguh cepat, gesit lagi keji, perubahannya juga aneh dan sukar diraba,
lima jurus serangannya ternyata menggunakan lima aliran perguruan yang berbeda. Waktu
menyerang jurus pertama, kelima jarinya ditekuk seperti cakarelang, serangannya menggunakan
Tay-lik-eng-jiau-kang dari kelu-arga Ong di Hay-lam. Sebelum jurus pertama dilancarkan
sepenuhnya, tubuh si baju hitam mendadak berputar mundur, gerak serangannya ikut berubah
menjadi Siau-kim-na-jiu dari Bu-tong-pay yang memiliki tujuh puluh dua jurus.
Begitu Teng Ting-hou balas menyerang satu jurus, kedua tangan si baju hitam mendadak
terayun dan menjepit ke tengah menepis sambil balas memukul, itulah jurus Liat-be-hun-cong
dari San-jin keluarga Gak, serangan lihai yang ganas. Dalam waktu yang sama, kaki kirinya
mendadak terangkat menendang dengan Sau-tong-tui dari Pak-pay.
Gerakannya tangkas dan cepat, hingga susah diikuti pandangan mata. Lalu gerakan itu
disambung dengan ju-rus Koa..y-cu-yan-am-tui, memasang kuda-kuda sambil merendahkan
pinggarig, sigap sekali dia menempatkan dirinya pada posisi Tiong-kiong, berbareng tinjunya
menggenjot dada lawan dengan deru angin yang dahsyat. Jurus ini masih disusui lagi dengan
jurus Siau-iim-sin-kun, ilmu pukulan sakti kebanggaan Teng Ting-hou sendiri. Perubahan setiap
jurus dari lima kali serangan si baju hitam berkedok ini memang amat menakjubkan, Ongtoasiocia
yang menonton dari samping merasa kabur pandangannya.
Dingin serak suara si baju hitam, "Kau sudah tahu siapa diriku?"
Teng Ting-hou menggeleng kepala, ia tidaktahu siapa lawannya. Saat itu dia baru menyadari
satu hai, satu ha! yang menakutkan, menciutkan nyali, ia sadar bahwa dirinya bukan tandingan si
baju hitam yang ganas ini.
Sudah sekian tahun Sin-kun-siau-cu-kat malang melintang di Kangouw, musuh besardan lihai
macam apa pun pernah dihadapi, namun baru sekali ini dia menyadari dan insyaf akan
kemampuan dan kelemahan diri sendiri.
Siau-lim-sin-kun harus dimainkan dengan keras dan dilandasi kekuatan besar, kuat menahan
napas dan bertekad besar. Kini Teng Ting-hou sudah ciut nyalinya, semangat tempurnya
mendadak luluh, sudah tentu daya permainannya menjadi lemah.
Sebaliknya si baju hitam sudah merubah gaya permainan, yang dilancarkan adalah jurus Pi-kwaciang
dari Pak-pay yang dikombinasikan dengan Tay-cui-pi-jiu, ilmu pukulan yang hebat dan
dahsyat. Dengan keras lawan keras, kuat ditandingi kuat, hanya tujuh jurus, Teng Ting-hou
sudah terdesak ke sudut yang mematikan.
Roda kereta yang roboh itu masih berputar, ringkik kuda sudah berhenti, dari jendela kereta Ongtoasiocia
berhasil menarik keluar tombaknya, tapi belum sempat ia menggerakkan tombak, tibatiba
terdengar suara "Krek" yang keras, roda kereta yang masih berputar itu ternyata terpukul
hancur, menyusul suara "Krek" sekali lagi, namun jeias berbeda dengan suara pertama, suara
kedua ini lebih mirip tulang patah.
Waktu Ong-toasiocia menoleh ke arena pertempuran, tampak lengan Teng Ting-hou sudah
semampai tak rnampu bergerak. Serangan si baju hitam sebaliknya lebih ganas lagi, agaknya
Teng Ting-hou tidak akan diberi ampun.
Keringat sebesar kacang tampak menghiasi wajah Ong-toasiocia, untuk mencabut Pa-ong-jio
yang terjepit tadi, dia cukup membuang tenaga untuk menariknya. Kini melihat keadaan Teng
Ting-hou yang menguatirkan, tanpa terasa keringat dingin bercucuran.
Lengan Teng Ting-hou sudah lumpuh karena patah tulangnya, tersapu lagi oleh angin pukulan
lawan, rasanya seperti dihantam palu godam, saking sakit, keringat juga bercucuran di jidatnya.
Tapi rasa sakit ini justru membakar keberanian dan semangat tempurnya, pikiran pun menjadi
lebih jernih. Permainan silatnya dengan tangan sebelah ternyata tidak kalah lihai dari permainan dua tinjunya,
ilmu yang diyakinkan memang berbeda dengan iimu silat umumnya. Maklum nama besarnya
selama ini, memang diperoleh dengan perjuangan yang berat, cucuran keringat dan darah,
dengan mempertaruhkan jiwa dan raga, sudah tentu tak mudah dia menyerah dan terima dipukul
roboh begitu saja. Selama hayat masih di kandung badan, Teng Ting-hou pantang menyerah dan
tak mau roboh sebelum ajal.
Pada saat genting itulah, dari tempat gelap berkelebat selarik sinar dingin. Si baju hitam berkelit
dengan memiringkan tubuh sambil menarik diri ke belakang. "Trap" sinar gemerdap dingin itu
menancap di dinding kereta, ternyata sebilah pedang pendak, pedang yang lencir tipis dan
sempit, cahayanya yang gemerdep menyilaukan mata.
Teng Ting-hou menghela napas lega, rasa tegang yang menyesakkan dada Seketika menjadi
longgar. Tampak olehnya perubahan yang menyolok pada sinar mata si baju hitam waktu melihat
pedang pendek yang menancap di dinding kereta. Kejadian ini membakar semangat tempur
Teng Ting-hou, sambil menghardik serentak tinjunya menjotos tiga kali.
Sambil berkelit mundur, tiba-tiba si baju hitam menjejakkan kaki, tubuhnya melambung tinggi lalu
bersalto ke belakang tiga kali. Pada saat yang sama, sinar gemerdep kembali meluncur dari arah
pinggir. Ternyata Ong-toasio-cia yang berhasil mencabut tombak emasnya, kebetulan memburu
tiba. Teng Ting-hou membalik tubuh, sekali raih ia tangkap gagang tombak yang dibawa lari Ongtoasiocia
terus dilontarkan. Tombak emas yang besar lagi berat itu meluncur dengan deras,
desing suaranya keras, betapa hebat dan dahsyat daya lontaran Teng Ting-hou dengan tombak
yang disegani ini.
Saat itu si baju hitam lagi bersalto di udara, mendadak sebelah tangannya menjentik ujung
tombak yang mengincar punggungnya, ujung tombak agak tertekan turun karena jentikan jarinya,
dengan sendirinya arah luncuran tombak berat itu membelok ke arah lain, bukan ke depan atau
ke atas, tapi membelok ke bawah.
Jeritan panjang dan mengerikan bergema di tengah malam, itulah jeritan jiwa yang meregang
ditembus ujung tombak. Seorang terpantek di tanah oleh tombak emas yang besar, panjang dan
berat itu. Meminjam daya luncur tombak yang dijentiknya ke bawah itu, si baju hitam melejit lebih tinggi,
tubuhnya meluncur lebih cepat dan melambung melampaui pucuk pohon hingga belasan tombak
jauhnya, begitu menutul pucuk pohon di depannya, tubuhnya lenyap ditelan tabir malam.
Menyaksikan betapa hebat dan menakjubkan gerakan si baju hitam dengan Ginkangnya yang
tinggi, Teng Ting-hou berdiri menjublek. Umumnya murid Siau-lim tiada yang mengkhususkan diri
berlatih Ginkang, maka jarang ada murid Siau-lim yang tinggi Ginkangnya, namun berbeda
dengan Teng Ting-hou, murid preman Siau-lim ini biasanya paling membanggakan Ginkang yang
diyakinkan. Ginkang yang dia yakinkan memang dipelajari dari orang lain, dengan kemahirannya
ini, selalu Teng Ting-hou mengagulkan diri. Tapi setelah menyaksikan Ginkang si baju hitam tadi,
diam-diam ia mawas diri. Kalau si baju hitam diumpamakan burung elang, maka dirinya hanyalah
burung geraja. Baru sekarang ia sadar, bahwa kemampuan dirinya juga hanya begitu saja, maka
ia bertekad selanjutnya harus menggembleng diri. Sudah lama ia menghamburkan waktu dan
tenaga untuk bermain perempuan di luar, kini ia mulai sadar bahwa hidup selanjutnya harus
banyak menjauhi perempuan kecuali isterinya sendiri, namun mimpi pun tidak terpikir oiehnya, di
saat dirinya dalam keadaan payah, perempuan juga yang memapah dan menolong dirinya.
Jari Ong-toasiocia yang gemetar terasa dingin, namun suaranya lembut dan hangat, "Lukamu
berat sekali."
Teng Ting-hou menggeleng, tawanya getir. Ada sementara orang selama hidupnya sudah
ditakdirkan takkan bisa berpisah dengan perempuan, umpama dia tidak ingin mencari hiburan,
justru perempuan yang mencari dirinya. Setelah menghela napas, mendadak ia bertanya, "Mana
Ting Si?" Ong-toasiocia melenggong. "Apa Ting Si datang?" tanyanya heran.
Teng Ting-hou tak perlu menjawab pertanyaan Ong-toasiocia, karena Ting Si sudah melangkah
keluar dari kegelapan, langkahnya lambat seperti malas berjalan.
Ong-toasiocia mengawasinya sesaat lamanya, akhirnya sorot matanya beralih ke pedang pendek
yang menancap di kereta, "Ini pedangmu?" suaranya tinggi.
"Em," Ting Si mengangguk, suaranya tertelan dalam mulut.
"Agaknya si baju hitam itu mengenal pedang pendekmu ini?"
"O?" Berkilat sinar mata Ong-toasiocia, katanya menatap lekat, "Apakah dia mengenalmu?"
"Aku tidak tahu apakah dia mengenalku. Aku hanya tahu bahwa aku tidak mengenalnya."
"Tampangnya tidak pernah kau lihat, bagaimana kau tahu kalau kau tidak mengenalnya?"
"Darimana kau tahu kalau aku tidak pernah melihat tampangnya?"
Berputar bola mata Ong-toasiocia, mendadak ia tertawa cekikikan, "Mungkin kau sempat melihat
wajahnya, malah lebih jelas daripada kami, bukankah dia lari ke arah sana?"
Ting Si menggeleng sambil mendengus hidung.
Mendadak Ong-toasiocia menarik muka, katanya sengit, "Dia lari dari arahmu muncul, mengapa
tidak kau cegat?"
Ting Si balas menjengek, "Karena tombak emasmu membuka jalan bagi dirinya."
Ong-toasiocia terbelalak, mulutnya terkancing rapat.
Ting Si beranjak ke sana, mendekati mayat So Siau-poh lalu mencabut Pa-ong-jio. Mendadak ia
menyeringai dingin, "Dia malah harus berterima kasih kepada kalian, sebab dalam posisi yang
sudah terdesak tadi, dia tidak mungkin membungkam mulut atau membunuh orang ini.
Kenyataan tombak emas ini telah dipinjam untuk memanteknya di sini."
Teng Ting-hou batuk dua kali, katanya dengan wajah pucat, "Siapakah orang yang dibunuhnya
itu?" "So Siau-poh," ujar Ting Si tenang.
"O, dugaanmu ternyata tidak meleset. So Siau-poh memang bersekongkol dengan dia."
Ting Si beranjak ke kereta dengan langkah lesu, pelahan ia mencabut pedang pendek yang
lencir tipis itu dari dinding kereta.
"Pedangmu memang gaman yang bagus," puji Teng Ting-hou. Waktu ia menghampiri dan ingin
melihat jelas bentuk pedang itu, Ting Si menggerakkan jarinya, pedang pendek itu mendadak
lenyap dari pandangannya.
Teng Ting-hou menghela napas, katanya, "Timpukan pedangmu jelas tidak bertujuan melukai
atau membunuh orang, tapi kau telah berhasil menggebahnya."
"Darimana kau berkesimpulan bahwa timpukan pedangku tidak ingin membunuhnya?"
"Pedangmu hanya dua senti menancap di papan kereta, itulah buktinya," demikian ucap Teng
Ting-hou. "Padahal dengan kekuatan jari tanganmu, ditambah ketajaman pedang tipis itu, jika
kau ada niat membunuhnya, timpukan pedang tadi akan menembus tenggorokannya. Aku tahu,
dengan kekuatan jari tanganmu, pedang itu dapat menancap sedalam lima enam senti di batu
yang paling keras."
Ting Si menyeringai, "Apa tidak berlebihan kau menilai tenagaku?"
"Bagaimanapun, si baju hitam ngacir setelah melihat pedangmu, ini kenyataan yang tidak bisa
dipungkiri," demikian ujar Teng Ting-hou. "Dan bukan pedang pendekmu itu yang ditakuti, tapi
dia jeri terhadapmu."
"Mungkin dia pun salah menilai diriku."
"Aku kira dia sudah tahu bahwa pedang pendek itu adalah milikmu, dia juga tahu dan mengenal
siapa dirirnu, maka dia lekas menyingkir."
"Apa yang ingin kau katakan?" desak Ting Si sambil menatapnya tajam.
Teng Ting-hou menghela napas, "Sebetulnya banyak persoalan yang ingin kubicarakan
denganmu, hanya saja sekarang......."
"Sekarang kenapa?" desak Ting Si.
"Aku hanya ingin tanya satu hal kepadamu."
"Mengapa kau masih bertele-tele?"
Teng Ting-hou menatap mata Ting Si, "Rahasia apa yang sedang kau sembunyikan dalam
relung hatimu. Mengapa tidak kau bicarakan dengan kami?"
"Kalau kau sudah tahu rahasia apa yang kusembunyikan, mengapa harus kukatakan pula?"
"Siapa bilang aku tahu rahasia apa yang kau sembunyikan dalam hatimu?"
"Kalau kau tidak tahu, berdasar apa kau berani bilang aku menyembunyikan rahasia?"
Teng Ting-hou melongo sesaat lamanya, akhirnya menyengir kecut, "Sebetuinya aku sendiri
yang menyembunyikan rahasia, namun belum sempat kubicarakan."
"Mengapa tidak sekarang kau beberkan saja?"
"Aku tahu ada seorang yang terkenal dan disegani di luar perbatasan. Tapi tempat kelahirannya
justru di Bing-lam."
Ting Si mendengarkan sambil menggendong tangan.
"Bing-lam adalah daerah terpencil di wilayah tenggara. Kalau seorang pemuda berbakat dan
pandai ingin menonjolkan diri di daerah terpencil itu tentu tidak gampang, maka dia harus keluar
mengembara atau melanglang buana, entah pergi ke Tionggoan atau keluar perbatasan."
"Siapakah pemuda yang kau maksud itu?" sela Ong-toasiocia.
"Yang ingin malang melintang di Kangouw tentunya bukan hanya dia seorang."
Memutih wajah Ong-toasiocia, katanya setelah tertegun beberapa kejap, "Maksudrnu ayahku
adalah salah seorang dari pemuda-pemuda itu?"
"Yang kubicarakan sekarang hanya satu orang. Dari Bing-lam dia pernah menjunjung tinggi
namanya ke seluruh jagad, tapi dia justru terkenal di luar perbatasan, oleh karena itu dia adalah
teman karib ayahmu."
Makin pucat wajah Ong-toasiocia, jari-jarinya saling remas, desisnya pelahan, "Maksudrnu,
pemuda itu adalah Pek-li Tiang-ceng?"
Teng Ting-hou manggut, "Seorang jago terkenal, setelah namanya jatuh, tentu tidak senang
membicarakan pengalaman masa lalu yang kurang menyenangkan. Oleh karena itu, bagaimana
pengalaman hidupnya waktu ia masih berada di Bing-lam, jarang kaum persilatan yang tahu."
Bersambung ke 8
"Lalu darimana kau tahu rahasia ini?" tanya Ong-toasiocia.
"Karena isteriku kebetulan juga dilahirkan di Bing-lam, anak keluarga persilatan yang terkenal di
sana, salah satu pamannya dahulu berhubungan intim dengan Pek-li Tiang-ceng." Begitu
menyinggung isterinya, entah sengaja atau tidak sengaja, dia melepaskan diri dari pegangan
Ong-toasiocia yang memapahnya..
Lebih jauh Teng Ting-hou berkata, "Kebanyakan keluarga persilatan di Bing-lam masih kolot,
mereka lebih menitik berat pada suku bangsanya, bahasa daerah mereka juga berbeda dengan
Tionggoan, maka anak murid kaum persilatan di Bing-lam jarang ada yang berkelana di
Tionggoan."
"Maka tak perlu heran bila jarang ada orang tahu, di waktu mudanya Pek-li Tiang-ceng pernah
menetap di Bing-lam."
"Dalam suatu percakapan, pernah isteriku menyinggung tentang hal ini. Pamannya adalah
sahabat karib Liau-tang Tayhiap, malah dia merasa bangga punya paman yang terkenal dan
disegani. Oieh karena itu, dia pun tahu tanggal dan hari kelahiran Pek-ii Tiang-ceng dengan
jelas." "Ah, apa benar?" tanya Ong-toasiocia. "Darimana dia tahu?"
"Sudah tentu dari keterangan pamannya yang doyan bercerita itu. Hari ulang tahun Pek-li Tiangceng


Pukulan Si Kuda Binal Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kebetulan sama dengan isteriku.."
"Bulan dan tanggal berapa kelahirannya?"
"Tanggal 13 bulan 5."
* * * * * Bintang bertaburan dan berkelap-kelip, mayapada dilingkupi keheningan, hembusan angin sepoisepoi,
pucuk pohon menari gemulai, lembut dan indah laksana napas gadis ayu nan lembut dan
wangi.. Mendadak Ting Si menyeletuk, "He, mengapa kalian diam saja?"
Tiada reaksi. "Kalian bungkam, apakah karena sudah yakin seratus persen bahwa Pek-li Tiang-ceng betul
adalah pembunuh durjana itu?"
Ong-toasiocia mendesis penuh kebencian, "Aku yakin, dialah pengkhianat busuk yang patut
mampus itu."
Teng Ting-hou berkata, "Kalau perusahaan gabungan Piakiok kita sukses, kekuatan Ceng-lionghwe
dengan sendiri akan kena pengaruh, maka dia merasa perlu menjual rahasia kita
kepadamu."
"Betul, masuk akal," ucap Ting Si.
"Perbuatan rendah itu, bukan saja menjatuhkan pamor dan wibawa Ngo-hoa-coan-ki, dia pun
menjadi nelayan yang memungut keuntungan."
"Betul."
"Tak pernah kuduga sebelum ini, bahwa Ting Si yang cerdik pandai juga bisa terjungkal. Bahwa
rencana kali ini gagal, maka harus mencari akal lain untuk membekuk pembunuh itu."
"Ya, betul."
"Untung kekuatan Ceng-liong-hwe sudah ditanam dalam Ngo-hou-kang, secara kebetulan pihak
Ngo-hou-kang juga menjadi pendukung serikat golongan hitam, maka dia berkeputusan untuk
merangkul perkumpulan orang-orang jahat itu, dengan tujuan untuk mengadu domba supaya
golongan hitam yang tergabung daiam perkumpulan ini saling cakar mencakar dengan Ngo-hoacoan-
ki." "Ya, masuk akal," seru Ting Si.
"Sayang sekali sebelum rencana matang, terjadi perpecahan pendapat diantara para anggota
Ngo-hou-kang. Ada sementara pihak yang tidak mau tunduk pada keputusan pimpinannya, kalau
dia tidak sempat merangkul dan memperalat mereka, terpaksa dia membunuh orang-orang yang
menentang kehendaknya."
"Betul."
"Langkah selanjutnya, kami yang dijadikan kambing hitam. Maksudnya supaya kau tidak berani
pulang ke Ngo-hou-kang. Terhadap Ting Si yang cerdik pandai, sedikit banyak mereka masih jeri,
agak takut."
"Kedengarannya memang benar."
"Tay-ong-Piaukiok menolak tegas bergabung dalam Ngo-hoa-coan-ki. Mungkin karena Ongloyacu
sudah tahu siapa dia. Dahulu waktu masih di Bing-lam, mereka adalah sahabat karib."
"Mungkin begitu."
"Konon asal mula berdirinya Ceng-liong-hwe timbul dari Bing-lam. Waktu mudanya dulu, bukan
mustahil Ong-loyacu pernah menjadi anggota Ceng-liong-hwe."
"Ya, mungkin."
"Di saat Ceng-liong-hwe berusaha melebarkan sayap kekuasaannya dalam perusahaan
pengawalan yang berkembang pesat di Tionggoan, mereka menuntut Ong-loya-cu untuk
bergabung dengan Ceng-liong-hwe. Tapi waktu itu, Ong-loyacu sudah tahu muslihat dan wajah
asli mereka, meski dipaksa dan diancam, Ong-loyacu tetap pada pendiriannya, tidak terbujuk dan
tidak mau tunduk. Supaya tidak menjadi bisul di kemudian hari, maka dia dibunuh secara kejam."
"Sunguh menarik uraianmu," puji Ting Si.
Teng Ting-hou tertawa, katanya, "Sudah sembilan kali kau menyatakan akur terhadap ucapanku
tadi, tentu kau anggap uraianku betul-betul masuk akal?"
Ting Si tertawa, ujarnya, "Harus kuakui bahwa setiap patah kata dan persoalan yang barusan
kau kupas memang masuk akal, hanya sayang kau tidak punya bukti."
"Bukti macam apa yang kau inginkan?"
"Terserah bukti apa yang bisa kau kemukakan."
"Kalau tiada bukti, maka tidak patut kita menuduh Pek-li Tiang-ceng sebagai pembunuh, begitu?"
"Ya, tidak bisa."
"Pek-li Tiang-ceng adalah sahabat karib Ong-loyacu, waktu mudanya juga pernah di Bing-lam.
Maka rahasia perjalanan barang hantaran kita juga hanya dia yang tahu jelas. Bukan saja ilmu
silatnya tinggi, dia pernah meyakinkan Pek-hou-sin-kun, sampai gaman yang kau gunakan juga
diketahuinya." Setelah menghela napas gegetun, dia melanjutkan, "Dari segala data yang
kukemukakan tadi, hanya dia saja seorang yang patut dicurigai dan cocok dengan iatar
belakangnya, apakah semua data itu belum cukup sebagai bukti?"
"Ya, belum cukup."
"Mengapa tidak cukup?"
"Yang cocok dengan data-data yang kau kemukakan tadi, bukan hanya Pek-li Tiang-ceng
seorang saja."
"Jadi masih ada orang lain?"
Ting Si tertawa menyengir, katanya, "Ya, orang itu adalah kau."
"Aku?" .
"Bukankah kau teman baik Ong-loyacu" Tadi kau bi-lang isterimu kelahiran Bing-lam, itu berarti
bahwa dulu kau juga pernah tinggal di daerah terpencil itu. Demikian pula tentang rahasia
perusahaan, bukankah kau juga tahu jelas kegiatan Piaukiok itu?"
Ting Si tersenyum, katanya, "Tapi aku tahu kau bukan pembunuh keji itu, namun perlu aku
peringatkan padamu, orang-orang yang mencocoki data-data yang kau kemukakan tadi, bukan
mutlak sebagai pembunuh."
Teng Ting-hou mengawasinya beberapa kejap, mendadak dia tertawa, katanya, "Mungkin kau
melupakan satu ha!?"
"Satu hal apa?"
"Semua data yang kupaparkan tadi tidak seluruhnya mencocoki diriku. Baru tadi malam aku tahu
gaman apa yang kau pergunakan."
Ting Si tidak bisa menyangkal.
"Belakangan ini namamu memang menanjak, tapi kaum persilatan yang pernah melihatrnu
menggunakan gaman jugajarang sekali."
Ting Si diam saja, dia tidak membantah. Dalam pertarungan sengit dan seru apapun, jarang dia
menggunakan senjata, setiap kali menyelesaikan kesukaran, kecuali dengan kedua tangan dan
panca inderanya, dia lebih seririg menggunakan otak, bukan main kekerasan.
Teng Ting-hou menatapnya lekat, mendadak ia berkata sambil tertawa, "Sebetulnya aku tahu,
kau tidak bersekongkol dengan pembunuh itu, hanya saja......"
"Hanya saja apa?"
"Aku berpendapat, kau juga kenal Pek-li Tiang-ceng."
"Berdasar apa kau beranggapan demikian?"
"Sebab dia tahu seluk-belukmu, kau pun amat memperhatikan dirinya."
Mendadak Ong-toasiocia menyeletuk dengan nada dingin, "Bukan hanya memperhatikan, sejauh
dia bicara, selalu membela kepentingan orang itu, malahan......"
"Memangnya kalian berpendapat bahwa aku adalah putranya, begitu?"
"Peduli kau pernah apa dengannya, karena kau selalu membela dia, maka kau harus dapat
mengemukakan bukti kebersihannya, bahwa dia tidak tersangkut dalam peristiwa ini," demikian
bantah Ong-toasiocia.
"Oleh karena itu, aku harus ikut kalian ke Ngo-hou-kang, begitu?" olok Ting Si.
"Peduli tanggal 13 bulan 5 benar adalah kode Pek-li Tiang-ceng atau bukan, sekarang kita harus
segera ke Ngo-hou-kang," Ong-toasiocia bicara dengan garang.
Ting Si menggeleng kepala, "Agaknya aku harus ikut kalian ke sana."
"Betul," akhirnya Ong-toasiocia mengaku. "Sekarang juga aku ingin kau pergi bersama kami."
"Hahahaha," Ting Si bergelak tawa.
"Apa maksudmu?" tanya Ong-toasiocia khekhi.
"Artinya, apapun yang kau inginkan, aku tidak peduli, aku tidak mau ikut."
Ong-toasiocia melenggong mengawasi Teng Ting-hou, Teng Ting-hou juga hanya baias
mengawasinya saja.
Ting Si berkata santai, "Kalian masih punya pendapat apalagi?"
Saking gugupnya Ong-toasiocia membanting kaki, matanya merah berkaca-kaca, mendadak dia
berteriak, "Mengapa kau tidak tanya Siau Ma kepadaku?"
"Mengapa harus tanya?" bantah Ting Si dengan dingin, lalu menambahkan, "Dia sudah besar,
bukan anak kecil, memangnya aku harus selalu menjaga dan membimbingnya, menyusui dan
mencebokinya?"
Merah jengah wajah Ong-toasiocia, serunya jengkel, "Tapi......tapi mereka sudah berangkat ke
Ngo-hou-kang, apa kau......kau tidak gelisah?"
"Kapan mereka berangkat?" tanya Teng Ting-hou gugup.
"Waktu aku bicara dengan kalian di restoran, aku menyuruh mereka menunggu di hotel, siapa
tahu......"
"Siapa tahu mereka berangkat lebih dulu?" ujar Teng Ting-hou.
Ong-toasiocia mengangguk sambil menggigit bibir, "Siau-lin memberitahu kepadaku, Siau Ma
adalah lelaki gagah yang tidak takut tingginya langit dan tidak peduli tebalnya bumi, tapi dia
hanya takut dan tunduk kepada Ting-toakonya yang mungil ini."
"Setelah dia tahu kau mencari Ting Si, mana mau dia menunggumu lagi.."
Ting Si merengut, "Aku heran, mengapa dia harus takut kepadaku."
"Apapun yang terjadi, jelek-jelek Siau Ma adalah saudara seperjuanganmu, kalau Ngo-hou-kang
menganggap kau sebagai pengkhianat, maka Siau Ma pasti akan mendapat kesulitan disana."
"Hm," Ting Si menggeram dalam mulut.
"Sebelum berangkat," demikian tutur Ong-toasiocia. "Mereka berpesan kepada kasir hotel,
supaya disampaikan kepadaku, bahwa mereka akan berangkat ke Ngo-hou-kang, peduli apa
akibatnya, mereka meninggalkan pesan kepada Lo-shoa-tang."
Teng Ting-hou berkata, "Dalam keadaan seperti ini, mereka pergi ke Ngo-hou-kang. Apa tidak
mirip kambing cilik yang masuk ke mulut harimau, maka......"
"Maka kita harus lekas menyusuinya."
"Hm, huh," Ting Si menjengek dan mendengus,
"Apa maksudmu itu?" tanya Ong-toasiocia dongkol.
"Artinya, aku tidak peduli. Kalau kalian ingin menyusul ke sana, silakan berangkat. Aku ingin tidur
saja." * * * * * Kuda yang biasa dipakai menarik kereta urnumnya kuda jelek, tapi kereta pemberian Kui Tangseng
justru ditarik kuda-kuda gagah, kuda pilihan yang jempolan. Sebelum pergi Ting Si
mengikat kuda itu di dahan pohon, walau tindak-tanduknya kasardan berangasan, setiap langkah
kerjanya amat cermat dan hati-hati, sejak kecil dia dididik untuk merawat dan menjaga dirinya
sendiri. Dia tidak peduli apakah orang mengikuti di belakangnya. Seorang diri dia masuk hutan,
dari bawah tempat duduk dalam kabin kereta, dia mengeluarkan seguci arak, sekaligus dia
menenggaknya sampai puas, laiu melompat ke atap kereta, pelahan merebahkan diri sambil
menjulurkan tangan. dan kaki untuk mengendorkan urat syarafnya.
Dapat memperoleh tempat tidur seenak dan senyaman ini, Ting Si amat puas.
Apa boleh buat, Teng Ting-hou dan Ong-toasiocia ikut di belakangnya. Mereka mengumpulkan
dahan-dahan pohon laiu membuat api unggun.
Walau di hutan ini mereka tidak takut diterkam binatang buas seperti macan atau ular, namun
binatang berbisa yang lain tentu ada. Membuat api unggun memang lebih baik untuk menjaga
segala kemungkinan.
Sebagai kaum persilatan kawakan, Teng Ting-hou selalu bekerja cermat dan penuh perhitungan,
maka perusahaan yang dipimpinnya bertambah maju dan bertahan hingga sekarang.
"Bagaimana keadaan luka lenganmu?" tanya Ong-toasiocia.
"Mending, sudah tidak sakit."
"Aku membawa Kim-jong-yok, biar kuurut dan bubuhi obat," mendadak Ong-toasiocia
memperlihatkan kelembutan seorang perempuan.
Dengan penuh perhatian ia merobek lengan baju Teng Ting-hou, dengan arak yang sudah
dihangatkan di api unggun, hati-hati sekali ia membersihkan luka di siku Teng Ting-hou,
kemudian membubuhi obat mujarab buatan ayahnya. Dengan sobekan kain gaun bagian
dalamnya, ia membalut lengan orang. Gerak-geriknya lembut penuh keibuan, sayang sekali Ting
Si lagi asyik dengan impiannya di atap kereta, tidak menyaksikan adegan mesra ini.
Ting Si mencopot pakaian luarnya sebelum merebahkan diri, pakaian itu dia gulung dijadikan
bantal, kini dia mendengkurdan pulas.
Ong-toasiocia bersikap tidak peduli dan menganggap Ting Si tidak berada di antara mereka,
namun akhirnya berkata dengan mendongkol, "Coba kau dengar, manusia yang satu ini sungguh
mirip babi, di tempat terbuka yang dingin dan banyak nyamuknya begini, dia juga bisa tidur pulas,
mendengkur lagi."
Teng Ting-hou tertawa, "Sejak kecil dia sudah biasa hidup terlunta-lunta, menjadi gelandangan
dan telantar di Kangouw. Bila keadaan memaksa, sambil berdiri pun dia bisa tidur dengan
santai." Ong-toasiocia menggigit bibir, lama dia diam. Taktahan akhirnya ia bersuara pula, "Apakah
selama ini dia tidak pernah menetap dirumah?"
"Rumah" Hahaha, kapan dia pernah punya rumah"
Sejak kecil dia sebatangkara, hidup terlunta-lunta, sengsara telah menggembleng dirinya menjadi
manusia yang berguna, menjadi lelaki sejati, pendekar gagah."
Ong-toasiocia bungkam, seperti menekan gejolak hatinya, akhirnya dia ikut menenggak
beberapa teguk arak.
Ternyata Teng Ting-hou juga melampiaskan perasaan gundahnya dengan air kata-kata. Malam
makin dingindan berkabut tebal, arak justru dapat menghangatkan badan. Dalam keadaan biasa,
mereka takkan kuat minum sebanyak itu, karena kelewat takaran, akhirnya mereka menggeletak
dan pulas. Fajarpun menyingsing, namun kabut masih cukup tebal, pelahan mentari menongol dari
peraduan, sinar surya menembus celah-celan daun, memetakan pemandangan yang
mempesona dalam hutan nan ramai dengan kicau burung.
Ong-toasiocia terjaga oleh kicau burung yang merdu itu, sejenak ia duduk sambil mengucek mata
yang silau oleh sinar surya pagi, sesaat dia celingukan, keadaan sekelilingnya sepi lengang.
Beberapa kejap kemudian, Teng Ting-hou pun terjaga oleh ramainya kicau burung di pucuk
pohon. Bergegas dia melompat berdiri dan langsung menghampiri kereta, pelahan ia melongok
ke kabin kereta, kosong, ternyata Ting Si sudah tidak kelihatan..Begitu dia menoleh ke depan
kereta. Semula kereta itu ditarik empat ekor kuda besar dan gagah serta kuat, kini keempat kuda
itu juga lenyap tak keruan parannya. Semalam kuda-kuda itu terikat di dahan pohon di sebelah
depan, kuda-kuda itu jinak dan terlatih baik, meski ikatan talinya terlepas juga takkan minggat.
Maka boleh ditarik satu kesimpulan, hilangnya kuda-kuda itu pasti dibawa pergi seorang.
Mungkinkah Ting Si yang melakukan" Teng Ting-hou menarik napas panjang, menghirup hawa
pagi yang segar, seperti ingin mencuci dadanya yang sesak oleh rasa dongkol dan penasaran,
terasa kepalanya masih agak pening karena semalam terlalu banyak minum arak. Sejenak ia
menepekur, Ting Si pergi tanpa pamit dan tidak meninggalkan pesan.
"Apakah Ting Si telah pergi?" tanya Ong-toasiocia.
"Ya, Ting Si telah pergi, pergi membawa empat ekor kuda, kecuali itu dia juga membawa seguci
arak. Di jok tempat duduk dalam kabin kereta, ternyata dia meninggalkan goresan dua huruf yang
ditulis dengan gaya kasar, 'Sampai bertemu lagi'.
'Sampai bertemu lagi', dalam keadaan tertentu artinya juga 'selamat tinggal', selamat untuk tidak
bertemu lagi selama-lamanya.
"Mengapa dia minggat" Mengapa tidak pamit" Apa kita memaksanya pergi ke Ngo-hou-kang?"
demikian teriak Ong-toasiocia sengit, sekian saat dia menggigit bibir, lalu berkata pula, "Sungguh
aku tidak habis mengerti, Ting Si ternyata laki-laki penakut, laki-laki pengecut."
"Pasti bukan," sela Teng Ting-hou. "Kalau dia pergi tanpa pamit, tentu punya alasan yang tidak
mungkin dibicarakan dengan kita."
"Alasan apa" Kau tahu?"
"Mana aku tahu," Teng Ting-hou menghela napas. "Semula aku beranggapan, aku sudah
menyelami pribadinya.."
"Kenyataan anggapanmu keliru."
"Ting Si memang pemuda yang susah dipahami, sukar orang menebak jalan pikirannya."
"Aku yakin dia kenal Pek-li Tiang-ceng, malah bukan mustahil punya hubungan erat dengan Pekli
Tiang-ceng."
"Dari sikapnya semalam, memang dapat disimpulkan demikian. Tapi mungkin juga dugaan kita
keliru." "Mengapa kau berkata demikian?"
"Usia mereka berbeda cukup jauh, tak pernah ada kesempatan untuk berdekatan."
"Kalau teman jelas bukan. Tapi bukan mustahil Ting Si adalah putra Pek-li Tiang-ceng."
Teng Ting-hou tertawa lebar.
"Kau kira tidak mungkin?" tanya Ong-toasiocia,
"Pek-li Tiang-ceng seorang aneh, selama hidup tidak pernah kawin. Sejak aku kenal dia belum
pernah melihat atau mendengar dia bergaul dengan perempuan, bicara sepatah kata pun tidak
pernah." "Jadi dia membenci perempuan?"
"Mungkin, lantaran wataknya yang aneh itu, maka dia sukses dalam usaha," tiba-tiba Teng TingKang
Zusi hou sadar bahwa omongannya dapat menusuk perasaan orang, segera dia menambahkan, "Aku
kira, saat ini Ting Si tengah di perjalanan menuju ke Ngo-hou-kang."
"Mengapa dia tidak mengajak kita?"
"Pertama aku sudah terluka, kedua, kau......"
Ong-toasiocia merengut, "llmu silatku memang rendah, dia kuatir kita celaka, atau menjadi beban
baginya, maka dia berangkat seorang diri."
"Ya, mungkin demikian."
"Kau masih menganggap dia setia kawan?"
"Kau berpendapat sebaliknya?"
"Seharusnya dia sadar, biar dia berangkat lebih dulu, cepat atau lambat, kita kan bisa
menyusulnya."
"Kita yang kau maksud adalah kau dan aku?" Teng Ting-hou menegas.
Ong-toasiocia menatapnya sekian saat, "Memangnya kau akan membiarkan aku pergi seorang
diri?" Teng Ting-hou tertawa getir. Selama ia berkelana, entah berapa banyak perempuan pernah
menghibur dirinya, namun belum pernah ia belajar, cara bagaimana menolak permintaan
perempuan. Mungkin lantaran kemahirannya bersandiwara, maka jarang ada perempuan yang


Pukulan Si Kuda Binal Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menolak kehendaknya.
"Kau mau pulang atau ke Ngo-hou-kang?"
"Sudah tentu ke Ngo-hou-kang," ujar Teng Ting-hou dengan menyengir kecut, sambil mengawasi
sepatunya yang bolong dan tipis alasnya, ia berkata lebih lanjut, "Belakangan ini perutku lebih
gendut, aku perlu berolahraga, menempuh perjalanan jauh dengan berjalan kaki umpamanya."
"Bila kau tidak kuat berjalan, aku bersedia menggen-ongmu," demikian Ong-toasiocia berolokolok.
"Apa kau maksudkan, bila kau tidak kuat jalan, aku pun boleh menggendongmu?"
"Jangan kurangajar. Apa kita harus mencari Lo-shoa-tang lebih dulu" Kau kenal Lo-shoa-tang?"
"Entah, aku tidak mengenalnya."
"Kuharap Lo-shoa-tang belum terlalu tua. Aku tidak suka berhubungan dengan lelaki tua, apalagi
yang sudah ompong."
"Lho, kau kira aku ini belum tua?"
"Kalau benar kau sudah tua, aku pun sudah menjadi nenek-nenek."
Dua orang menempuh perjalanan pasti tidak kesepian, mereka bisa ngobrol panjang lebar, tujuan
yang harus mereka capai amat jauh juga takkan terasa lagi. Tanpa terasa, akhirnya mereka tiba
di Ngo-hou-kang.
Teng Ting-hou tidak gegabah untuk mengajak Ong-toasiocia langsung naik ke atas gunung,
sementara itu luka di lengannya belum sembuh, Ong-toasiocia juga gadis yang pandai
menggunakan otak, mereka tidak bergerak secara sembrono..
Tak jauh di bawah gunung, tepatnya di sebelah timur ada sebuah kota kecil, di kota kecil ini
terdapat sebuah warung yang khusus menjual bakpao.
"Lo-shoa-tang dengan Toa-ban-thay (bakpao besar) buatannya memang terkenal di kota ini."
Ban-thay-tiam milik Lo-shoa-tang adalah merktua yang sudah terkenal. Papan nama yang
tergantung di iuar, demikian pula meja kursi dalam warung serta dindingnya sudah hitam hangus
oleh asap. Pemilik warung bakpao juga adalah pelayan dan koki yang harus bekerja di dapur, sekaligus
dirangkap oleh satu orang. Pemilik warung bakpao ini biasa dipanggii Lo-shoa-tang, padahai
usianya belum begitu tua, namun karena setiap hari harus bekerja di dapur, wajahnya menjadi
hangus karena asap api, kulit mukanya yang hitam itu menjadi berkeriput dan kelihatan lebih tua
dari usia sesungguhnya, kalau dia tertawa, giginya yang masih utuh tampak putih seperti biji
mentimun. Kecuali mahir membuat bakpao, Lo-shoa-tang juga ahli membuat ayam bakar ala
Shoa-tang. Bakpaonya besar dan enak, demikian pula ayam bakarnya lezat dan nikmat, dari pagi hingga
malam, warungnya tidak pernah sepi. Setelah lewat saatnya makan malam, bakpaonya sudah
terjual habis, baru Lo-shoa-tang bisa mandi dan istirahat melepas lelah, makan dua atau tiga
bakpao dan cakar atau kepala ayam serta minum beberapa cawan arak sebagai makan malam.
* * * * * Malam itu, Lo-shoa-tang sedang minum arak sendirian, sehari penuh dia sibuk bekerja, sekujur
badan terasa lelah dan penat. Kini tiba saatnya dia beristirahat, bakpao pertama belum habis dia
kunyah, pintu warungnya juga sudah tutup, namun masih juga ada tamu yang mengganggu
ketenanganya, sudah tentu hatinya mendongkol dan kurang senang. Demikianlah perasaan Loshoa-
tang saat itu..
Warung bakpao sudah tutup, namun Lo-shoa-tang biasa membuka pintu kecil di samping rumah
untuk keluar masuk. Maka tanpa permisi Teng Ting-hou dan Ong-toa-siocia dapat masuk ke
warung itu. Lo-shoa-tang bersungut dan melotot pada dua tamu yang baru datang ini, seolah dirinya
berhadapan dengan makhluk aneh.
Setelah berhadapan, Ong-toasiocia mengawasi pemilik warung ini penuh perhatian, dalam relung
hatinya juga menganggap si muka hangus ini sebagai makhluk hidup yang lucu dan aneh. Selain
itu, sebagai pedagang yang menjual makanan, melihat kedatangan pembeli bukannya senang
malah melotot gusar. Bukankah hanya makhluk liar dan buas saja yang bersikap garang
terhadap orang yang tidak dikenalinya"
"He, masih ada bakpao tidak" Aku ingin beli beberapa biji yang masih panas," demikian kata
Ong-toasiocia kemudian.
"Yang panas sudah habis," terpaksa Lo-shoa-tang menjawab dengan tak acuh.
"Sudah dingin juga tidak jadi soal, asal belum kering,"
"Yang dingin juga tidak ada."
Ong-toasiocia naik pitam, "Warung bakpao kan mestihya jual bakpao."
Lo-shoa-tang meliriknya sekali, "Warung bakpao sudah tentu jual bakpao. Tapi warung yang
sudah tutup tidak melayani pembeli, peduli mau yang panas atau yang dingin, separoh juga tidak
kujual." Ong-toasiocia berjingkrak gusar, sebelum la bertindak, Teng Ting-hou keburu menariknya
mundur, "Tapi kalau yang beli Siau Ma atau Ting Si, kau mau melayani tidak?"
"Apa, Ting Si?" Lo-shoa-tang menegas.
"Ya, Ting Si yang menyenangkan itu."
"Kau temannya?"
"Siau Ma juga sahabat karibku, Ting Si menyuruhku mampir diwarungmu ini."
Lo-shoa-tang melotot lagi sekian saat, akhirnya ia tertawa lebar, "Warung bakpao pasti
menyediakan bakpao, yang panas maupun yang dingin selalu tersedia."
Teng Ting-hou tertawa senang, "Apakah masih ada sisa ayam panggang?"
"Hanya untuk teman Siau Ma dan Ting Si. Berapa yang kau inginkan, sebentar aku siapkan."
Ayam bakar karya Lo-shoa-tang rasanya memang luar biasa, terutama kaldu ayamnya yang
sedap dan segar, rasanya asin-asin kecut, bila dihirup lalu mengganyang sekerat bakpao,
rasanya sungguh nikmat,
Di meja yang berada di pinggir sana, Lo-shoa-tang juga sibuk menggerogoti beberapa batang
cakar ayam, saban-saban dia mendongak melirik ke arah Teng Ting-hou dan Ong-toasiocia yang
sedang makan bakpao dan ayam bakardengan lahap, melihat kedua tamunya makan dengan
lahap, hatinya ikut senang dan bangga.
"Masih ada paha ayam bakar tidak?" pinta Teng Ting-hou beberapa saat kemudian.
Lo-shoa-tang menggeleng kepala, dia menghela napas, "Paha ayam hanya untuk pembeli dan
sudah kalian habiskan, sebaliknya penjual ayam bakar cukup menggares cakarnya saja."
"Lho, aneh, kau kan bisa makan paha atau jeroannya juga?" tanya Ong-toasiocia.
Lo-shoa-tang menggeleng, "Sayang kalau harus kumakan sendiri."
"Wah, kalau demikian, tentu sekarang kau sudah kaya raya."
"Apa aku mirip orang kaya?"
Bocah cilik pun bisa mengatakan Lo-shoa-tang tidak mirip orang kaya, sebab dari kaki hingga
ujung rumputnya yang tidak terawat itu, orang akan menarik kesimpulan bahwa dia lebih mirip
gelandangan yang lama tidak mandi dibanding orang kaya.
"Berdagang ayam bakar dan bakpao kan untungnya besar, lalu dimana uang simpananmu
selama ini?" tanya Ong-toasiocia pula.
"Aku tidak pandai menyimpan uang. Keuntunganku semua habis di meja judi, lebih banyak lagi
dikalahkan oleh Ting Si si bocah keparat dan nakal itu."
Semula Ong-toasiocia terbelalak, akhirnya ia cekikikan geli.
Mata Lo-shoa-tang terbeliak, serunya dengan suara sengau, "Aku tahu kalian menganggapku
sebagai makhluk aneh, sebetulnya......"
"Sebetulnya kau memang makhluk aneh."
Lo-shoa-tang tertawa lebar malah, "Kalau aku bukan makhluk aneh, mana mungkin menjadi
sahabat baik Ting Si, bocah keparat itu?" tiba-tiba dia melirik penuh perhatian, dari kepala hingga
kaki, Ong-toasiocia ditatapnya tajam, "Sekarang aku tidak sangsi lagi, aku percaya bahwa kalian
memang teman baiknya, terutama engkau."
Merah muka Ong-toasiocia, tapi ia bertanya, "Dalam hal apa aku kelihatan ganjil?"
"Bila sedang marah, wah seram, watakmu yang buruk itu susah dilayani, kalau mencaci lebih
galak dibanding macan betina, waktu makan ayam bakar, lagakmu tidak kalah dibanding lelaki
serakah yang kelaparan tujuh hari, terutama bila minum arak, kau lebih unggul dari lelaki penjudi.
Tapi setelah lihat kanan dan periksa kiri, tengok atas dan ngintip bawah, terasa olehku
bahwasanya kau tidak memperlihatkan pambek seorang laki-laki jantan, seratus persen kau
adalah perempuan. Betul tidak?" tanpa menunggu reaksi Ong-toasiocia, dia melanjutkan, "Kalau
perempuan macam dirimu tidak dianggap aneh, perempuan macam apa yang harus dianggap
istimewa?"
Merah selebar muka Ong-toasiocia, namun ia tertawa cekikikan. Mendadak ia sadar, laki-laki
setengah baya yang mirip kakek peyot ini, sebetulnya memiliki sifat jenaka dan tingkah laku yang
menyenangkan. Setelah menghabiskan secawan arak lagi, Lo-shoa-tang berkata, "Nona cilik yang kemarih ikut
Siau Ma, kelihatannya memang cantik, lemah lembut dan ramah, tapi kalau aku harus memilih
seorang di antara kalian, aku akan memilih kau."
Kuatir lelaki hitam keriput ini terus mengoceh tanpa henti, segera Teng Ting-hou menimbrung,
"Jadi Siau Ma sudah kemari?"
"Ya, malah mengganyang dua ekor ayam bakar dan belasan bakpaoku tanpa bayar," omel Loshoa-
tang penasaran.
"Dimana mereka sekarang?" tanya Teng Ting-hou.
"Sudah naik gunung," sahut Lo-shoa-tang.
"Adakah dia meninggalkan pesan untuk kami?"
"Ada. Dia minta seteiah kalian datang, aku harus segera memberitahu kepadanya. Eh, mengapa
Ting Si bocah mungil itu tidak kelihatan?"
Ong-toasiocia menggigit bibir, bagi orang yang sudah lama mengenal pribadinya tentu tidak
heran, bila sedang khekhi selalu menggigit bibir, suatu kebiasaan aneh, dan lebih aneh lagi
bahwa bibirnya tidak pernah sobek meski dia menggigit sampai berdarah, mungkin giginya
tumpul" "Wah, sekarang kami sudah tiba di sini, dengan cara apa kau akan memberitahu kepada Siau
Ma." "Beberapa hari belakangan ini, situasi dan kondisi di atas gunung sudah berubah, ada beberapa
teman yang mau menyampaikan kabarku."
"Berapa banyak teman yang mau membantumu?"
Lo-shoa-tang menghela napas, "Terus terang saja, kalau tidak salah hitung, kini tinggal satu
saja." "Siapakah temanmu itu?"
"Oh Kang yang berani mengadu jiwa."
"Oh-lo-ngo maksudmu?"
"Betul!" seru Lo-shoa-tang sambii bertepuk tangan. "Memang dia."
Ong-toasiocia menyeletuk, "Orang macam apakah Oh-lo-ngo itu?"
Maka Teng Ting-hou menjelaskan, "Sebagai pemberani dan gagah, dahulu orang ini dijuluki Hosay-
siang-hiong (Sepasang pahlawan dari Ho-say) bersama Thi-tan (nyali besi) Sun Gi. Mereka
terhitung orang gagah yang ternama dari golongan hitam."
"Ya, betul, memang dia, setiap malam dia pasti kemari," ucap Lo-shoa-tang.
"Untuk apa dia kemari?"
"Membeli ayam bakar."
Ong-toasiocia tertawa, "Lho, lucu, sebagai orang gagah dari golongan hitam, apa setiap malam
dia makan ayam bakar?"
Lq-shoa-tang tertawa sambii memicingkan mata, tawa yang aneh, "Betul, setiap malam dia pasti
kemari membeli ayam bakar, tapi dia hanya makan cakarnya saja."
"O, jadi ayam bakar itu untuk bininya?" tanya Ong-toasiocia menahan geli.
"Bukan bini, tapi sahabat lamanya."
"Thi-tan Sun Gi maksudmu?"
"Betul."
"O, Thi-tan memang orang gagah dan perkasa, tapi juga teman yang baik."
Malam sudah larut jalan raya sudah sunyi lengang,dari kejauhan terdengar suara "tok, tok, tok,
tok" yang nyaring dan beruntun.
"Nah, itu dia sudah datang," ucap Lo-shoa-tang.
"Siapa yang datang?" tanya Ong-toasiocia.
"Oh-lo-ngo yang suka adu jiwa itu."
Ong-toasiocia tertawa geli, "Dia itu manusia atau kuda, mengapa berjalan kaki pakai tak tok
segala." Lo-shoa-tang diam saja. Sementara itu suara tak tok seperti tapal kuda menyentuh jalan itu
makin nyaring dan dekat, akhirnya tampak seorang melangkah masuk dengan membungkuk
badan. Membungkuk bukan karena memberi hormat kepada orang-orang di dalam rumah, tapi
karena dia seorang bungkuk, berjalan pun tertatih-tatih dengan tongkai,
Sebenarnya usia orang ini belum tua, namun tam-pangnya mirip kakek buyutan yang sudah
berusia delapafi puluh tahun, Rambut kepala beruban, kulit muka penuh codet, bekas luka golok
atau pedang, mata kirinya dibalut kain hitarn, tangan kanan memegang tongkat, begitu
melangkah masuk, terdengar napasnya ngos-ngosan seperti babi gemuk yang berlari jauh.
Karena napasnya sesak, dia terbatuk-batuk dengan menungging,
Mengawasi orang ini, Ong-toasiocia melongo sekian saat, menjublek dengan pandangan
terlongong. Dibantu tongkat bambu, Oh-lo-ngo beranjak maju dengan tubuh bergoyang ke hadapan Lo-shoatang.
Jangan kata menoleh, melirik pun tidak kepada Ong-toasiocia dan Teng Ting-hou.
Lo-shoa-tang tak menegur atau bertanya kepadanya, begitu orang sudah dekat di depannya,
baru ia mengambil sebuah bungkusan kertas minyakdari bawah meja, setelah bungkusan itu
selesai dia ikat dengan tali, lalu diserahkan kepada si bungkuk.
Tanpa bicara Oh-lo-ngo menerima bungkusan itu, pe-lahan-lahan ia memutar tubuh lalu beranjak
keluar. Tongkatnya berbunyi tak tok lagi dengan irama yang pasti. Ter-nyata sepatah kata pun
mereka tidak bicara.
Setelah Oh-lo-ngo pergi, akhirnya Ong-toasiocia bertanya, "Si bungkuk itukah yang dinamakan
Oh-lo-ngo?"
"Ya, betul, dialah Oh-lo-ngo yang berani adu jiwa."
"Orang macam itukah yang disuruh Siau Ma menyampaikan berita?"
"Tidak salah."
"Padahal sepatah kata pun kalian tidak bicara."
"Kami tidak perlu bicara."
"Melihat ikatan tali di buntalan kertas minyak tadi, Siau Ma akan tahu kalau kami sudah datang,
yang datang dua orang," demikian Teng Ting-hou menjelaskan.
"Agaknya kau tidak bodoh," ujar Lo-shoa-tang.
Ong-toasiocia menimbrung, "Berita apa yang dikirim Siau Ma dari atas gunung, coba jelaskan
kepada kami."
"Untuk sementara ini, dia bilang dirinya selamat dan tidak kurang suatu apa di sana.
Hubungannya masih cukup baik dengan Sun Gi, bila dia memberi kabar, Oh-lo-ngo akan
membawanya kemari."
Ong-toasiocia memanggut, katanya setelah menghela napas panjang, "Sungguh aku heran,
mengapa Oh-lo-ngo yang berani adu jiwa ternyata seorang cacad yang jelek begitu."
Setelah nnenghabiskan araknya yang terakhir, Lo-shoa-tang berdiri, sorot matanya tiba-tiba
memancarkan perasaan duka nestapa, agak lama kemudian baru dia berkata lirih, "Justru karena
Oh-lo-ngo berani adu jiwa, maka dia berubah menjadi begitu."
* * * * * Jalan raya sunyi lengang, bulan sabit bercokol memancarkan cahayanya yang guram. Tanpa
bersuara Teng Ting-hou berjalan pelahan, dengan langkah lembut Ong-toasiocia ikut di
belakangnya, sinar bulan menarik panjang bayangan badan mereka ke belakang.
Lo-shoa-tang sudah tidur dan menggeros. Dua meja digandeng menjadi satu, itulah ranjangnya
setiap malam. "Membelok ke kiri setelah tiba di ujung jalan raya ini, di pojok sana ada hotel, dengan lima ketip
uang perak orang bisa tidur nyenyak semalam suntuk," demikian Lo-shoa-tang menerangkan
sebelum tidur. Hotel yang dimaksud kecil, letaknya dijepit gang yang sempit, keadaannya serba jorok dan
semrawut. "Orang-orang yang akan pergi ke Ngo-hou-kang, sering kali mencari nona cantik untuk
menghibur diri di hotel itu, kalian harus hati-hati," itulah pesan Lo-shoa-tang sebelum mereka
keluar. Ong-toasiocia tidak membawa Pa-ong-jio, maklum dia tidak mau dirinya dijadikan sasaran,
sedikit lena salah-salah jiwanya melayang karena dibokong musuh.
Mendadak Teng Ting-hou menghela napas, "Menjadi perampok ternyata tidak mudah. Kalau
tidak berani mempertaruhkan jiwa, kau tidak akan terkenal, sebaliknya bila kau berani adu jiwa,
entah bagaimana nasibnya" Yang pasti sekujur badan penuh luka-luka entah bacokan golok atau
tusukan pedang dan tombak, memangnya imbalan apa yang bisa diperolehnya?"
"Memangnya orang-orang yang menjadi Piausu tidak demikian pula keadaannya?" Ong-toasiocia
berseloroh. Teng Ting-hou menyengir kecut, "Setiap insan persilatan yang berkecimpung di Kangouw,
kurasa nasibnya takkan jauh berbeda. Hanya ada sementara orang bernasib mujur, tapi tidak
jarang ada yang bernasib jelek. Setelah berusia lanjut, demi mempertahankan hidup, terpaksa
harus berjualan atau mencari nafkah dengan cara apa saja yang halal."
"Jadi waktu mudanya, Lo-shoa-tang dulu juga berkecimpung di Kangouw?"
"Kukira demikian, maka sebelum ajal, penyakit umum bagi setiap kaum persilatan yang diidapnya
takkan bisa disembuhkan."
"Penyakit umum apa?" tanya Ong-toasiocia tidak mengerti.
"Hari ini ada arak, hari ini mabuk. Urusan besok pagi, pikirkan besok saja."
Ong-toasiocia tertawa sendu, "Ya, sekarang aku mengerti. Ting Si dianggap pintar, tentu karena
dia tidak mau diadu, tidak mau mempertaruhkan jiwa raganya untuk kepentingan orang lain."
Teng Ting-hou mengerut kening, "Kejadian ini memang aneh. Kalau dia betul-betul tidak kemari,
berarti aku salah menilai dirinya."
"Kukira tidak salah," demikian desis Ong-toasiocia dingin. "Aku malah berani bertaruh seribu tail,
dia takkan datang."
Lama Teng Ting-hou menepekur, katanya kemudian, "Ada satu hal yang mengherankan."
"Tentang apa?" tanya Ong-toasiocia.
"Orang-orang Ngo-hou-kang tahu Siau Ma adalah ka-wan Ting Si, saudara seperjuangan,
kenyataan kedatangannya tidak mengalami kesulitan, tidak disakiti. Apakah mereka hendak
memancing kedatangan Ting Si dengan Siau Ma sebagai sandera?"
"Tapi Ting Si bukan ikan, dia lebih licin dari seekor rase."
Kebetulan angin pegunungan berhembus, membawa hawa segardan sayup-sayup terdengar
ringkik kuda be-serta suara kelintingan yang nyaring di kejauhan. Waktu mereka mendengar
ringkik kuda, suaranya masih cukup jauh, namun baru maju beberapa langkah, kelintingan kuda
itu ternyata sudah dekat. Sungguh kencang lari kuda yang satu ini.
Ong-toasiocia baru membelok di ujung jaian, pandangannya sudah tertuju ke papan nama yang
sudah keropos di depan rumah, papan dengan cat dasar kuning itu bertulis empat huruf berbunyi


Pukulan Si Kuda Binal Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

An-gia-khek-can (hotel aman tenteram), di kiri kanan papan bergantung juga dua buah lampion
cukup besar dengan sinarnya yang redup menyinari huruf-huruf hitam yang sudah buram itu.
Mendadak Teng Ting-hou meraih lengan Ong-toasio-cia, lalu menariknya ke pinggir dan
menyeretnya lagi ke gang gelap di pinggir sana. Kejadian amat mendadak dan tidak terduga,
tanpa aba-aba lagi, Ong-toasiocia terseret sempoyongan, maka tubuhnya ambruk ke dalam
pelukan Teng Ting-hou, dadanya terasa padat kenyal dan hangat, jantung pun berdegup lebih
keras. Ternyata jantung Teng Ting-hou juga berdetak tak kalah kerasnya, Ong-toasiocia kaget, heran
dan tidak mengerti, tangan Teng Ting-hou sudah mendekap mulutnya, suaranya terbenam dalam
tenggorokan. Padahal lengan yang mendekap mulutnya itu belum sembuh oleh pukulan si baju
hitam, ternyata lengannya masih cukup kuat.
Kejadian amat mendadak dan mengejutkan, Ong-toasiocia menjadi panik dan takut. Demi
mempertahankan diri secara tak sengaja dia mengangkat kaki, dengan lutut dia menyerang alat
vital di selangkangan Teng Ting-hou. Serangannya bukan menggunakan jurus silat, namun
merupakan reaksi yang manjur bagi setiap perempuan di saat dirinya terancam bahaya.
Cukup keras lutut Ong-toasiocia menggempur alat vital Teng Ting-hou, saking kesakitan Teng
Ting-hou menungging sambil memeluk perut, keringat dingin menetes di jidat, tapi mulutnya tetap
terkancing rapat, mengerang kesakitan pun tidak, malah dengan suara lirih dan menahan sakit
dia berkata, "Jangan bersuara, jangan sampai dirimu terlihat orang itu."
Baru saja Ong-toasiocia menghela napas lega dan belum paham apa arti perkataan Teng Tinghou.
Dua ekor kuda dilarikan kencang di jalan raya, seekor diantaranya memakai kelintingan di
leher, suaranya amat nyaring.
"Blang", mendadak sebuah jendela dan salah satu kamar di rumah petak di pinggir hotel sana
jebol tersapu angin pukulan, menyusul sebuah kursi dilempar keluar, menyusul bayangan
seorang melayang keluar. Ginkang orang ini tidak lemah, di saat tubuhnya terapung di udara,
tangannya terulur meraih payon rumah, sekali tarik dan sendal tubuhnya lantas mencelat bersalto
ke atas wuwungan.
Penunggang kuda yang mengenakan kelintingan di leher kudanya, mendadak menyeringai
seram. Tangan kanan terangkat di atas kepala lalu diayun ke depan, seutas tambang panjang
meluncur jauh ke depan seperti naga mengejar mutiara, ternyata gerak tambangnya lebih cepat
dari luncuran anak panah.
Tahu dirinya diserang, bayangan orang di atas wuwungan itu melompat ke pinggir, jelas kelihatan
dia berhasil menyelamatkan diri. Tapi tali tambang itu seperti ular hidup layaknya, ujung tambang
mendadak menyabet balik lalu berputar dua lingkar, entah bagaimana kejadiannya, tahu-tahu
bayangan hitam itu sudah terjirat kencang oleh ujung tambang panjang itu. Sekali sendal dan
tarik, penunggang kuda itu menarik balik tambangnya, tawanannya ikut meluncur.
Sementara itu, penunggang kuda yang ada di belakangnya sudah menyiapkan karung goni yang
terbuka mulutnya. Sungguh lihai penunggang kuda di depan itu me-mainkan tali lasonya, yang
jelas tawanan itu tepat meluncur ke dalam karung.
Padahal lari kedua ekor kuda itu bukan saja tidak berhenti, malah melaju lebih cepat. Hanya
sekejap kedua penunggang kuda itu sudah membelok ke jurusan lain dan lenyap ditelan
kegelapan, hanya bunyi kelintingan kuda saja yang masih terdengar di kejauhan.
* * * * * Kedua penunggang kuda itu muncul mendadak, pergi juga teramat cepat, seolah dua rasul yang
diutus raja akhirat untuk membekuk setan gentayangan yang melarikan diri dari penjara.
Ong-toasiocia menjublek kaku. Kepandaian main tali laso seperti yang dilakukan penunggang
kuda tadi, belum pernah dia saksikan.
Beberapa kejap kemudian, rasa sakitnya sudah berkurang, baru Teng Ting-hou menegakkan
badan, lalu menarik napas panjang, katanya lirih, "Sungguh lihai."
Ong-toasiocia juga menghela napas panjang, "Yang digunakan orang tadi, tambang tulen atau
ilmu sihir?"
Menjirat leher dengan tali laso sebetulnya bukan kepandaian khusus, setiap gembala di padang
rumput mahir menggunakan tali laso, seperti yang dilakukan penunggang kuda tadi.
Tapi tambang yang digunakan penunggang kuda itu memang lihai dan luar biasa, di samping
menakutkan, seolah tambang itu merupakan iblis jahat yang selalu merenggut jiwa manusia.
Teng Ting-hou menepekur, katanya lirih, "Gerakan tambang semahir itu, apakah pernah kau
saksikan sebelum ini?"
Bersinar bola mata Ong-toasiocia. Dia pernah melihatnya sekali. Waktu itu Ting Si
menyelamatkan Siau Ma dari tusukan tombaknya waktu berduel dengan si raja tombak perak.
Kalau tidak salah, gerakan Ting Si waktu itu juga semahir gerakan penunggang kuda tadi.
Sebaliknya Teng Ting-hou sudah dua kali menyaksikan permainan laso yang lihai itu. Kui-hoango-
coan-ki yang tertancap di depan kereta, dulu juga mencelat terbang oleh tambang panjang
kedalam hutan, gerakan tambang panjang itu selincah ular sakti.
Ong-toasiocia bertanya, "Apakah penunggang kuda tadi Ting Si adanya?"
"Bukan," sahut Teng Ting-hou.
"Kau tahu siapa dia?" tanya Ong-toasiocia.
"Penunggang kuda itu berjuluk Koan-sat-koan-me Pau-hiong-ciong."
Ong-toasiocia meringis getir, "Nama yang aneh, nama yang menakutkan."
"Memang orangnya amat menakutkan."
"Kaum persilatan suka menggunakan julukan yang aneh dan menggiriskan, namun baru pertama
ini aku mendengar gelar yang menakutkan ini, akan kuukir dalam sanubariku."
"Jadi kau belum pernah mendengarnya?"
"Ya, belum pernah."
"Di perbatasan memang jarang kaum persilatan yang mendengar nama julukan yang
menggiriskan ini."
"Apakah orang itu selalu menetap di luar perbatasan?"
"Namanya memang seram dan menakutkan, tapi pribadinya justru tidak sejahat yang diduga
orang banyak, dia bukan gembong penjahat yang sering melakukan kekejaman," demikian tutur
Teng Ting-hou. "Setiap korban yang dia bunuh pasti penjahat besar atau orang hukuman yang
pantas menerima ganjaran. Bila seorang pernah melakukan perbuatan jahat dan kotor, namun
selama ini masih hidup bebas dan bergerak seenaknya, maka akan tiba saatnya, orang ini akan
muncul di depannya."
"O, begitu lihaikah dia?" tanya Ong-toasiocia..
"Bila dia sudah mengayunkan laso dan menjirat sang korban, temannya sudah siap membuka
mulut karung dan membawanya pergi, maka selanjutnya orang itu akan lenyap dari percaturan
dunia persilatan."
Bercahaya bola mata Ong-toasiocia, "Mungkin korbannya itu tidak dibunuh, tapi dikurung di
sarangnya untuk dijadikan kaki tangannya."
Teng Ting-hou memanggut, "Ya, mungkin begitu."
"Orang yang kelewat jahat pasti berani melakukan segala macam kejahatan. Untuk menyatakan
terima kasih dan untuk menebus dosa-dosanya, untuk membalas budi karena dirinya tidak
dibunuh, maka dia akan tunduk lahir batin kepada orang yang telah membebaskan dirinya dari
jurang kenistaan. Apalagi dia tahu ilmu silatnya bukan tandingan lawan, kecuali tunduk lahir
batin, tak segan-segan dia rela berkorban dan menjual jiwa raganya."
Kembali Teng Ting-hou mengangguk.
"Secara diam-diam dia menggaruk kawanan penjahat dan menyusun kekuatan. Dalam
pandangan masyarakat luas, entah dari kaum persilatan atau rakyat awam umumnya, dia akan
dipuji sebagai pendekar besar berhati Iuhur, pemberantas kejahatan. Berarti sekali tepuk dia
mendapatkan dua lalat."
Teng Ting-hou menyeringai, mulai berpikir ke arah itu.
"Bukankah pembunuh berbakat itu selalu memperoleh dua keuntungan setiap kali beraksi," ujar
Ong-toa-siocia.
"Betul," jawabTeng Ting-hou.
Lebih terang cahaya bola mata Ong-toasiocia, "Pernah tidak kau berpikir, Koan-sat-koan-me
Pau-hiong-ciong adalah anggota Ceng-liong-hwe?"
"Ehm, ya, mungkin saja."
"Kalau seorang dapat berpikir secara normal, yakin dia tidak akan menggunakan nama Pauhiong-
ciong (ditanggung sampai ajar), oleh karena itu......"
"Kau kira nama itu nama palsu?"
"Menurut pendapatmu, siapakah dia sebenarnya?"
"Terus terang saja, aku curiga bahwa dia adalah Pek-li Tiang-ceng."
Ong-toasiocia mengedipkan mata, tanyanya, "Memberantas kejahatan adalah pekerjaan mulia
yang patut mendapat pujian, mengapa dia justru menggunakan nama palsu?"
"Karena dia seorang Piau-khek, pendekar besar, kedudukannya dalam pandangan khalayak
ramai jelas berbeda dengan orang gagah lainnya di kalangan Kangouw, sedikit banyak tentu ada
hal-hal yang dia kuatirkan."
"Masih ada segi yang lain?"
"Jelas perbuatannya ada segi yang memalukan untuk dilihat orang, maka banyak hal yang harus
disembunyikan."
"Dia takut bila suatu ketika kedoknya terbongkar, maka menyiapkan jalan mundur untuk
menyelamatkandiri."
"Agaknya dia seorang teliti, cermat dan hati-hati dalam melaksanakan pekerjaannya."
"Makanya Tiang-ceng Piaukiokdi bawah pimpinannya merupakan perusahaan pengawalan yang
paling sukses dan disegani di antara perusahaan sejenis."
"Pek-li Tiang-ceng memang seorang pengusaha sukses, kerja apapun kalau sudah dia tangani,
pasti berhasil dan sukses, belum pernah gagal."
"Agaknya dugaan dan pandangan kita sama dan..sepaham."
"Jejak Koan-sat-koan-me selalu di luar perbatasari, Pek-li Tiang-ceng juga tidak ada di sini,
mengapa dia tahu-tahu muncul di sini?"
"Dari pemikiranku ini dapat kita simpulkan, bahwa kedua orang itu sebetulnya adalah satu."
"Yang dijirat dan digondol pergi tadi, mungkin salah seorang anggota Ngo-hou-kang karena tidak
mau ditekan dan diperalat, dia berusaha membebaskan diri dari cengkeramannya, sungguh tak
nyana akhirnya dia mati di tangannya juga."
"Tadi Lo-shoa-tang bilang, di sini sering hilir mudik orang-orang Ngo-hou-kang, karena kuatir
perbuatannya diketahui orang banyak, maka dia menggunakan nama Pau-hiong-ciong sebagai
kedok untuk mengelabui orang.'"
"Meminjam golok membunuh orang, memfitnah adalah keahliannya."
"Tapi yang paling menakutkan bukan hanya itu saja."
"O, masih ada yang lebih menakutkan?" tanya Ong-toasiocia.
Teng Ting-hou lantas menjelaskan, "Aliran perguruan silat di dunia ini amat banyak, nama dan
geraktipu permainan silat satu dengan yang lain sering berbeda, tapi dasar dan sumber
pelajarannya kurasa sama, umpamanya......"
"Seumpama orang menulis......"
"Betul, mirip orang menulis."
Jenis tulisan dan gayanya memang berbeda dan banyak ragamnya, tapi pelaksanaannya dalam
menulis sama saja, lalu merangkai huruf-huruf itu menjadi kata dan kalimat."
"Begitu juga bagi seorang yang sudah mahir dan menyelami dasar pelajaran silat," demikian kata
Teng Ting-hou. "Meski ilmu silat dari aliran dan golongan mana pun asal pemah dilihat apalagi
dipelajarinya, ditunjang bakatnya yang luar biasa, bukan mustahil kemampuannya bisa melebihi
orang lain, demikian pula misalnya......"
"Misalnya anak kecil yang belajar jalan, untuk belajar merangkak tentu jauh lebih mudah."
Teng Ting-hou mengangguk sambil tersenyum lebar, sorot matanya memancarkan rasa kagum
dan memuji, sungguh perempuan yang berotak encer.
Ong-toasiocia berkata, "Teori ini kupahami. Aku mengerti, mengapa hanya menyaksikan
permainan ilmu tombakku, Ting Si mampu mengalahkanku."
Teng Ting-hou bungkam. Agaknya dia sengaja mengelak setiap Ong-toasiocia berbicara tentang
Ting Si. Ong-toasiocia menghela napas, katanya gemas, "Aku tahu kau tidak ingin mencurigai dirinya,
Ting Si adalah teman baikmu, tadi kau bilang, permainan laso yang pemah dilakukan Ting Si
waktu merebut bendera perusahaanmu, mirip sekali dengan permainan Pek-li Tiang-ceng,"
Bersambung ke 9
Teng Ting-hou tidak membantah.
"Dari segi mana saja, dapat kita simpulkan bahwa antara Ting Si dengan Pek-li Tiang-ceng
punya hubungan khusus yang tidak diketahui orang."
"Hanya saja......"
"Aku tahu, mungkin dia bukan putra Pek-li Tiang-ceng, tapi apa tidak mungkin Ting Si adalah
murid Pek-li Tiang-ceng?"
Teng Ting-hou menghela napas, katanya dengan tertawa getir, "Aku tidak begitu jelas, juga tidak
berani menarik kesimpulan secepat ini. Tapi aku dapat memastikan satu hal"
"Memastikan soal apa?" Ong-toasiocia menegas.
"Apapun hubungan Ting Si dan Pek-li Tiang-ceng, entah anak atau murid,
aku yakin tak pernah dia membantu Pek-li Tiang-ceng dalam melakukan kejahatan."
Ong-toasiocia menatapnya, matanya yang indah mengandung cahaya pujian dan kagum. Setiap
lelaki gagah dan perempuan pemberani pasti akan memberikan penghargaan kepadanya.
Malam gelap, bintang bertaburan di langit nan kelam. Lirikan mata Ong-toasiocia begitu lembut
dan hangat. Mendadak Teng Ting-hou merasa jantung mulai berdebar lagi, segera ia melangkah lebar ke
depan, katanya lirih, "Mari kita cari tempat untuk tidur, besok pagi-pagi pasti ada berita dari Siau
Ma." "Apa betul Siau Ma akan memberi kabar" Apakah keadaannya sekarang baik-baik saja" Apakah
dia sudah tahu seluk beluk tanggal 13 bulan 5" Apa betui tanggal 13 bulan 5 adalah kode
rahasia Pek-li Tiang-ceng?"
Beberapa pertanyaan ini belum terjawab secara tepat, untung hari ini akan berlalu, masih ada
hari esok. Besok pagi tetap ada harapan.
"Mari pulang ke warung Lo-shoa-tang saja, di sana masih ada meja kosong."
"Lho, bukankah di depan sana ada hotel?" seru Ong-toasiocia.
"Ya, menginap di hotel terlalu ramai, banyak mata kuping yang mungkin mengawasi gerak-gerik
kita, lebih baik berlaku hati-hati."
Ong-toasiocia tertawa, "Kelihatannya kau mulai takut berduaan denganku di tempat yang sepi?"
Teng Ting-hou menyengir, "Ya, aku memang agak jeri padamu, untuk menyentuhmu saja, aku
sudah kapok tujuh turunan."
Merah jengah selebar muka Ong-toasiocia. "Sebetulnya kau tidak perlu takut kepadaku," katanya
kemudian. "Sebab......" Kepalanya terangkat, lalu melanjutkan perkataannya, "Sebab aku hanya ingin
memperalatmu untuk membuat Ting Si cemburu dan marah, terus terang saja, apapun yang
terjadi, aku masih menyukainya."
Teng Ting-hou terbelalak kaget dan heran karena gadis ini berani terang-terangan melimpahkan
isi hatinya. Namun tentang cinta Ong-toasiocia terhadap Ting Si memang sudah dalam dugaannya, maka
dia berkata dengan tersenyum getir, "Kau memang gadis jujur dan pemberani."
Ong-toasiocia menjadi rikuh dan kikuk, katanya dengan muka merah, "Belakangan aku pun
sadar dan berpikir, kau juga laki-laki yang luar biasa, tapi......sayang kau sudah berkeluarga,
biarlah selanjutnya aku pandang kau sebagai engkoh saja."
"Kau sedang menghiburku?"
Lebih jengah muka Ong-toasiocia, lama kemudian baru dia bersuara dengan menunduk,
"Umpama aku tidak bertemu Ting Si, jika kau......"
"Aku tahu apa maksudmu," tukas Teng Ting-hou dengan senyum ramah. "Bisa menjadi
engkohmu, bukan saja bangga, aku boleh merasa lega dan senang."
Pelahan Ong-toasiocia menghela napas lega, selega bila dia berhasil membereskan sesuatu
yang ruwet. "Aku mencintainya. Aku kuatir dia melakukan sesuatu yang memalukan."
"Yakinlah, dia takkan melakukan perbuatan tercela."
"Demikianlah harapanku. Semoga doaku terkabul."
Mereka berdiri berhadapan dan saling tatap, senyum lebar menghias wajah mereka, perasaan
pun menjadi lega longgar. Dengan langkah tegap dan lebar, mereka berjajar keluar dari lorong
gelap itu. Sementara itu, malam sudah larut, hawa terasa dingin. Di luar tahu mereka, di suatu
tempat yang gelap di atas sana, sepasang mata sejeli mata kucing tengah mengawasi gerakgerik
mereka. Bola mata siapakah itu"
Apakah nasib itu" Apakah nasib mirip tambang iblis, bagai ular beracun membelit kencang badan
manusia, meski punya kekuatan raksasa sekalipun, tenaga takkan mampu dikerahkan, mati kirtu.
Mungkin juga secara tiba-tiba, nasib akan merebut sesuatu yang paling berharga dalam
kehidupan, demikian halnya, waktu Ting Si merebut Ngo-hoa-coan-ki dulu. Ada kalanya, nasib
dapat membelenggu dua orang yang pada hakikatnya tidak punya sangkut-paut, meski meronta
dan ingin berpisah pun tidak mungkin bebas lagi.
Rumah paling tinggi dan paling megah di kota kecil ini adalah Ban-siu-lau.
Saat itu, Ting Si rebah telentang berbantal dua ta-ngannya di atas wuwungan Ban-siu-lau. Rebah
tenang dan diam tak bersuara, juga tidak bergerak, telentang mengawasi bintang-bintang di
langit. Nasib seumpama tambang iblis membelenggu dirinya, sedemikian kencang sehingga dirinya
tidak leluasa bergerak. Demikian pula perasaan hatinya saat itu, laksana tambang yang ruwet,
tak bisa dibuka lagi.
Keruwetan apa yang bisa dilepas" Hanya keruwetan yang diikat sendiri dapat dibuka. Demikian
pula keruwetan yang mengganjal dalam hati, sayang keruwetan yang satu ini bukan dia sendiri
yang mengikatnya.
Masa kecilnya dulu dialami bagai mimpi buruk, riwayat hidupyang sengsara, mengenaskan.tapij
uga penuh dilembari perjuangan yang gigih dan berat, meronta dalam kesengsaraan sudah
menjadi modal hidupnya, bergelut dengan penderitaan adalah keahliannya. Kejadian masa lalu,
pengalaman hidup yang penuh pahit getir, malu dibicarakan dengan orang lain.
Setiap persoalan tentu punya keruwetan yang berbeda. Kesepian yang tak berujung pangkal
selalu menghinggapi sanubari, melembari kehidupannya. Kesepian adalah segi kehidupan yang
mengerikan, membayangkan rasa sepi itu, mengkirik bulu kuduk Ting Si.
Kesepian berarti sebatangkara. Menyaksikan Ong-toasiocia dipeluk Teng Ting-hou di tempat
gelap, melihat mereka keluar dari lorong gelap sambil bertatap muka dengan senyum manis.
Rasa sepi kembali menggelitik sanubari Ting Si, rasa kesepian itu memang sudah berakar dalam
lubuk hatinya sejak lama. Entah mengapa, dia merasa dirinya dicampakkan, dilupakan dan
dikhianati. Dicampakkan atau dilupakan juga merupakan salah satu unsure yang mengandung
kesepian, merupakan unsur yang sukar ditahan, membekas paling dalam.
Akan tetapi, Ting Si juga sadar, akibat dari semua ini adalah karena dia sendiri yang
membuatnya. Sikapnya yang ketus, tutur kata yang dingin dan yang utama karena dia menolak
permintaan nona itu, adalah logis kalau mereka sekarang melupakan dirinya.
Menyadari akan kesalahannya sendiri, Ting Si tidak menyesal, tidak perlu mengomel juga tidak


Pukulan Si Kuda Binal Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

iri, sanubarinya hanya merasa bersyukur sekaligus memujikan, semoga mereka hidup akur
sampai hari tua. Rasa syukur yang suci lagi murni, namun dilandasi derita batin. Jika tahu betapa
berat dan mendalam penderitaan batinnya, maka akan paham dan maklum, betapa
menakutkannya 'salah paham' itu.
Waktu angin malam berhembus dari puncak gunung di kejauhan sana, suara kentongan pun
berbunyi tiga kali. Mendadak Ting Si berjingkrak bangun, dengan kecepatan yang tidak terukur
dia meluncur kepuncak gunung di kejauhan itu. Puncak gunung yang diliputi kegelapan terasa
dingin dan berkabut tebal, lereng gunung yang semula hijau permai kini dibungkus kegelapan
yang pekat tak berujung pangkal.
* * * * * Gelap tak pernah bertahan, habis gelap terbitlah terang. Fajar akhirnya menyingsing, lereng hijau
itu bermandikan cahaya surya kuning emas, cahaya matahari benderang menyinari jagad raya.
Sinar surya yang hangat menyorot masuk lewat jendela, warung bakpao yang jorok dan kotor
oleh hangus itu terasa lebih hangat, penuh hawa dan daya kehidupan.
Ong-toasiocia sedang sarapan pagi, bakpao sedang ia ialap dengan sayur asin. Bakpao masih
hangat, ayam bakar sisa semalam, jadi sudah dingin, namun ia lahap dengan penuh nafsu,
maklum rasanya yang lezat memang berbeda dengan sarapan pagi yang biasa dia nikmati.
Bakpao yang lebih besar dari tinju Teng Ting-hou ternyata mampu dia habiskan dua biji.
Dua hari belakangan ini, ia kurang tidur, namun sebe-lum matahari terbit, dia sudah bangun dan
berdandan se-kadarnya, setelah mengunci diri di dapur laiu membersihkan badan secara diamdiam.
Badan tersiram air, semangat pun menyala, sudah tentu selera makannya bertambah
besar. Betapapun Ong-toasiocia masih muda, penuh gairah hidup.
Berbeda dengan selera Teng Ting-hou, entah mengapa pagi ini dia justru tidak doyan makan. Loshoa-
tang lebih payah lagi, semalam dia banyak minum, tidur tidak nyenyak, maka keadaannya
amat lusuh dan loyo. Mulutnya menggerutu, "Ada hotel dengan ranjang empuk tidak mau
menginap di sana, malah tidur di mejaku yang kotor dan berminyak. Anak-anak muda zaman
sekarang mungkin sudah sinting, aku jadi bingung, entah kalian ini mengidap penyakit apa?"
Ong-toasiocia tertawa lebar, "Badanku sehat bugar, tidak punya penyakit, mungkin dia yang
sakit." Tangannya menuding Teng Ting-hou.
"Dia maksudmu?" tanya Lo-shoa-tang melirik Teng Ting-hou.
"Dia takut terhadapku, karena aku bukan......" sebelum habis mulutnya bicara, selebar mukanya
sudah merah malu.
Mata Lo-shoa-tang memicing, katanya tertawa, "Karena kau bukan kekasihnya, karena kau
adalah milik Ting Si, begitu?"
Ong-toasiocia tidak menyangkal. Kalau dia membantah berarti membenarkan.
"Hahahaha......" Lo-shoa-tang tertawa lebar. "Ting Si bocah konyol itu memang serba pandai,
pandangannya tajam lagi tepat." Lalu dia beranjak ke lemari mencari arak, "Ini berita yang
menggembirakan, kita harus minum tiga cawan untuk merayakan."
Orang yang gemar minum arak seialu mencari alasan untuk minum lebih banyak.
Teng Ting-hou ikut tertawa lebar.
Sementara itu, Lo-shoa-tang sudah mengeluarkan tiga cawan sedang, satu persatu dia isi penuh
ketiga cawan itu dengan arak wangi.
"Hari ini, kita jangan minum terlalu banyak," Teng Ting-hou berujar..
Lo-shoa-tang mengerling tajam, "Tidak boleh banyak minum, memangnya kau senang minum
cuka?" "Umpama benar aku ingin minum cuka, aku lebih senang makan cuka kering."
"Kalau begitu boleh lekas kau minum," Lo-shoa-tang berolok-olok.
"Tapi hari ini......"
"Jangan kuatir, Oh-lo-ngd akan datang malam hari. Sun Gi akan makan ayam bakar setelah
lewat tengah malam, kesukaannya juga ayam bakar masih segar dan panas."
Teng Ting-hou menghela napas, "Kalau kami harus duduk menunggu sehari penuh di warungmu
ini, wah, rasanya lebih parah daripada disiksa dalam penjara."
"Jangan kuatir," seru Lo-shoa-tang. "Aku tanggung kau betah tinggal di warungku yang kotor ini,
arak simpananku cukup untuk membuat kalian basah kuyup." Lalu dia menghabiskan lagi tiga
cawan. Tiba-tiba Ong-toasiocia menyeletuk, "Saat begini sudah minum arak, apakah tidak terlalu pagi?"
"Mengapa terlalu pagi?" tanya Lo-shoa-tang mengerut kening.
"Karena......" Ong-toasiocia menghela napas. "Aku berusaha bersikap baik terhadapnya, tapi
malah......"
"Tapi bocah itu malah bersikap dingin dan kaku terhadapmu," sambung Lo-shoa-tang. "Dia
sengaja bertingkah untuk membuatmu marah."
Ong-toasiocia menggigit bibir, katanya kemudian, "Ya, demikianlah kenyataannya."
Lo-shoa-tang tertawa lebar, "Dalam hal ini, kau memang masih hijau, tidak punya pengalaman,
justru karena dia juga mencintaimu, maka dia sengaja bertingkah, berlagak dingin dan
memancing amarahmu. Aku kan sudah bilang, bocah itu adalah makhluk aneh."
Tampak senang dan riang sorot mata Ong-toasiocia, dengan kedua tangannya dia mengangkat
cawan arak, sekaligus dia habiskan secawan itu.
Teng Ting-hou diam saja mengawasi dari samping, tidak mencegah juga tidak memberi
komentar. Dia tahu bila nona judes ini ingin minum, kakek moyangnya juga takkan bisa
mencegah keinginannya.
Di saat itu, secara tidak terduga, terdengar suara "Tak" yang keras. Padahal Lo-shoa-tang belum
membuka warung, pintu masih tertutup rapat, namun di atas daun pintu bagian luar tertempel
secarik kertas merah dengan dua baris huruf yang berbunyi: Pemilik warung sakit, istirahat tiga
hari. Tak berselang lama setelah suara "Tak" yang pertama tadi, menyusul terdengar suara
"Blang"yang lebih keras. Daun pintu mendadak diterjang ambruk ke kanan kiri, begitu pintu
terbuka, seorang tampak menerjang masuk dengan langkah sempoyongan. Begitu keras daya
terjangnya, setelah mendobrak pintu masih menubruk meja, sehingga cawan di tangan Ongtoasiocia
terlepas, arak membasahi muka dan pakaiannya. Tapi Ong-toasiocia tidak marah,
karena orang yang menabrak pintu bukan lain adalah Oh-lo-ngo.
Lo-shoa-tang mengerut kening, omelnya aseran, "He, apa kau mabuk?"
Oh-lo-ngo sempoyongan, supaya tidak jatuh dia berpegang pinggir meja, pinggangnya tertekuk
sembilan puluh derajat, napasnya menderu sekeras kipas tungku, namun keadaannya tidak mirip
orang mabuk. Lo-shoa-tang bertanya pula, "Apa Sun Gi menyuruhmu mengambil ayam bakar sepagi ini?"
Oh-lo-ngo menggeleng kepala, tanpa bicara mendadak dia berlari keluar dengan langkah
sempoyongan. Ong-toasiocia mengawasi Teng Ting-hou, Teng Ting-hou menatap Lo-shoa-tang, katanya, "Apa
yang terjadi?"
Lo-shoa-tang tertawa kecut, "Hanya Thian yang tahu apa yang telah terjadi. Si bungkuk ini
memang makhluk aneh, sekarang......" Mulutnya ternganga, mata pun terbelalak mengawasi
meja. Ternyata dicelah-celah meja kayu yang jorok itu terselip segulung kertas tipis.
Teng Ting-hou juga melihat gulungan kertas kecil itu.
Tadi Oh-lo-ngo berdiri lemas dengan tersengal-sengal bertopang pinggir meja. Kiranya dari jarak
sejauh itu, dia memburu datang untuk mengirim berita yang tertulis di atas gulungan kertas tipis
ini. Padahal Sun Gi tidak pernah menyuruhnya turun gunung membeli ayam bakar di waktu pagi.
Bahwa dia memerlukan datang mengirim berita di pagi hari, maka dapat diduga bahwa
kedatangannya dilakukan diam-diam. Sebagai orang tanpa daksa, menempuh perjalanan gunung
sejauh ini, sudah tentu bukan tugas enteng, boleh dikata tugas berat ini menuntut pengorbanan
jiwa dan raganya.
Teng Ting-hou menghela napas, "Memang tidak malu orang ini dijuluki Oh-lo-ngo yang berani
mempertaruhkan jiwa untuk kepentingan teman.dia memang berani mengadu jiwa."
Ong-toasiocia berkata, "Dia bera
Harpa Iblis Jari Sakti 16 Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Kesatria Berandalan 1
^