Rahasia 180 Patung Mas 10

Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl Bagian 10


segera ia melompat turun dari atas batu dan menghadang di depan Kalina, tanyanya dengan ketus, "Apakah kalian ini anak buah si raja rimba?"
Ke lima orang berseragam kelabu itu serentak berdiri dua-tiga meter di depan Su-Kiam-eng, seorang yang berdiri di tengah mendengus, "Hm, tidak perlu banyak bertanya, lekas lolos pedangmu"
Segera Kiam-eng tahu dugaannya tidak begitu ke tiga orang lawan memang benar anak buah si orang berkedok hijau. Mereka diperintah bila It-sik-sin-kai sudah di pancing pergi segera muncul untuk membunuh dirinya.
Kiam-eng pikir keadaan sekarang akan lebih baik kalau mengulur waktu sebisanya, maka ia tidak lantas melolos pedang sebagaimana diminta lawan, ia cuma balas menjengek, "Hm, bilamana kalian ingin mampus kan tidak perlu tergesa-gesa, orang she Su biasanya tidak mau keroco yang tak bernama!"
Orang yang berdiri di tengah itu mendengus, "Hm, maksudmu supaya kami memberi tahukan she dan nama?"
Dengan sendirinya Kiam-eng tahu tidak nanti pihak lawan mau memberitahukan namanya, namun ia sengaja mengangguk dan berkata, "Betul, kalau kalian bertiga sudah berani tampil untuk bermusuhan dengan aku Su-Kiam-eng, tentu nyali kalian tidak sekecil nyali tikus?"
"Hehehe, jadi kalau menuruti perkataanmu, bilamana kami tidak memberitahukan nama berarti sama dengan tikus, begitu?" orang itu terbahak.
"Ya, memang begitulah, kaum tikus artinya pengecut atau penakut!" kata Kiam-eng.
Mendadak orang itu berhenti tertawa, jawabnya perlahan, "Aku Kim-Kiam Sih-Hou!"
"Dan aku Cin-kiam Kwa-Eng-seng?" sambung yang berdiri di sebelah kiri.
Segera pula yang di sebelah kanan juga menyambung. Dan aku Thi-kiam Ku-Tai-hong!"
Padahal selama ini Su-Kiam-eng tidak pernah di dunia kang-ouw ada tokoh terkemuka terkenal dengan nama Kim-Kiam, Cin-Kiam dan Thi-Kiam (pedang emas, pedang perak dan pedang baja) segala, ia pikir sangat mungkin pihak lawan sengaja mengoceh sekenanya, maka ia lantas mengejek. "Huh, apakah itu nama asli kalian"
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Tentu saja asli!" jawab Kim-Kiam Sih-Hou si pedang emas.
"Tapi tidak pernah aku dengar di dunia persilatan ada tokoh besar bernama seperti nama kalian ini,"
ucap Kiam-eng. "Ini menandakan kamu masih agak ingusan cupet pengetahuan dan dangkal pengalaman," ejek Kim-kiam Sih-Hou.
"Mungkin betul tapi ingin aku peringatkan kalian hanya anak haram yang suka pakai nama samaran atau julukan palsu,"
Keruan Kim-kiam Sih-Hou menjadi murka "creng", segera ia lolos pedang dan membentak, "Anak keparat tidak perlu banyak bacot ayolah lolos pedangmu!"
"Eh sabar dulu, kenapa mendadak kamu marah-marah" Apa barangkali kamu memang anak haram?"
ejek Kiam-eng dengan tertawa.
Kim-kiam Sih-Hou tambah murka ia memberi tanda kepada kedua kawannya, serentak mereka mendesak maju dengan senjata terhunus.
Kiam-eng meraba tangkai pedang dan tidak lantas dilolos, ucapnya, "Eh, nanti dulu ada yang ingin aku bicarakan lagi."
Namun Sih-Hou tidak memberi kesempatan bicara lagi padanya, sekali membentak, secepat kilat pedang lantas menusuk ke muka anak muda.
Begitu melihat gerak serangan lawan, segera Kiam-eng tahu ilmu pedang musuh sangat tinggi dan jauh di atas jago pedang seperti It-ji-kiam Khu-Bu-peng dan sebagainya. Ia tahu pertarungan tidak mudah untuk menang, kalau salah tidak bahkan jiwa sendiri bisa melayang di rimba raya.
Ia pikir harapannya sekarang hanya semoga It-sik-sin-kai dapat mengalahkan orang berkedok kain hijau itu dan lekas memburu kembali ke sini untuk membantunya, dengan begitu baru dirinya ada harapan akan selamat. Tapi apakah pengemis tua itu sanggup mengalahkan orang berkedok hijau itu"
Padahal It-sik-sin-kai terkenal sebagai tokoh nomor empat jaman ini di dunia persilatan, bilamana orang berkedok hijau itu tidak yakin dapat menandinginya mustahil dia berani memancing pergi pengemis tua itu"
Lantaran itulah, biarpun Kiam-eng menaruh harapan atas diri It-sik-sin-kai, namun ia pun tahu harapan itu sangat tipis.
Tiba-tiba terlihat suatu akal dalam benak Su-Kiam-eng, mendadak ia berteriak, "Sam-bi-sin-ong, mengapa engkau tidak lekas muncul, mau tunggu kapan lagi"!"
Seruan Kiam-eng ini membuat Kim-Kiam bertiga melonjak kaget. Mestinya tusukan pedang Sih-Hou itu sudah membayar sampai di depan wajah Su-Kiam-eng, karena tarikan itu cepat ia menarik kembali pedangnya dan celingukan ke kanan dan ke kiri.
Kesempatan itu segera digunakan Su-Kiam-eng untuk balas menyerang, secepat kilat ia menusuk dengan jurus "Lui-tian-kau-cok" atau kilat dan guntur menggelegar, suatu jurus serangan paling lihai ilmu pedang perguruannya.
Sebabnya Kiam-eng berteriak supaya Sam-bi-sin-ong ke luar bukan karena dia melihat kakek itu bersembunyi di dekat situ melainkan cuma untuk menggertak pihak lawan saja, yaitu sekedar memecahkan perhatian musuh.
Dan tusukan Kiam-eng itu ternyata tidak sia-sia, secepat kilat menyambar ke depan, secepat pula terdengar suara "bret, dada baju Sih-hou sempat terobek.
Dengan kaget cepat Sih-Hou melompat mundur dua-tiga meter jauhnya, waktu ia periksa dada sendiri, terlihat baju robek cukup panjang, untung tidak terluka.
Diam-diam ia menghela napas lega, waktu ia celingukan lagi kian kemari dan tidak tampak munculnya Sam-bi-sin-ong, ia tahu tertipu oleh Su-kiam-eng, dari mana ia menjadi murka, bentaknya, "Anak keparat, bisa juga kamu berbuat licik, betapapun malam ini tuan besar harus mencincang tubuhmu hingga hancur lebur."
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Karena kuatir terjadi sesuatu atas diri Kalina maka Kiam-eng tidak melancarkan serangan susulan, melihat pihak lawan hanya terobek dada bajunya saja, diam-diam ia gegetun, ia menengadah dan terbahak-bahak, "Hahaha, kau bilang aku licik, memangnya apa maksudmu?"
"Jika tidak licik, mana itu Sam-bi-sin-ong, suruh dia ke luar"!" teriak Sih-Hou dengan gusar.
"Sam-bi-sin-ong kan tokoh nomor lima dunia persilatan jaman ini, kalian tidak takut padanya?" tanya Kiam-eng dengan tertawa.
"Takut apa" Kiam-ong dan Kiam-ho pun tidak aku takuti, masakah gentar terhadap seorang tua bangka macam Sam-bi-sin-ong segala?" jawab Sih-Hou pongah.
"Hahahaha!" mendadak terdengar suara gelak tertawa orang yang memekak telinga berkumandang dari hutan di belakang Sih-Hou.
Berbareng dengan kumandang suara tertawa itu, tahu-tahu Sam-bi-sin-ong benar-benar muncul dari dalam hutan dengan langkah santai dan membawa tongkat kepala ular.
Sama sekali Kiam-eng tidak menduga bahwa Sam-bi-sin-ong benar-benar mengintai di sekitar situ, keruan ia terkejut dan juga bergirang kaget ucapannya yang pura-pura itu menjadi sungguhan.
Padahal Sam-bi-sin-ong dan Lau-ho-li menyatakan hendak menyusul ke tiga ketua Hoa-san-pai dan lain-lain untuk merebut kembali peta dan obat, siapa tahu mereka tidak pergi melainkan tetap menguntit dirinya dan ternyata sama sekali dirinya tidak mengetahuinya.
Yang membuatnya girang adalah kemunculan Sam-bi-sin-ong ini jelas akibat dibuat gusar oleh ucapan Sih-Hou tadi, dengan demikian dirinya sekarang tidak perlu kuatir lagi terhadap Sih-Hou bertiga.
Begitulah ketika Sih-Hou bertiga melihat yang muncul dari dalam hutan itu adalah Sam-bi-sin-ong, semuanya sama terkesiap, jelas Sih-Hou bukannya tidak takut terhadap Sam-bi-sin-ong melainkan karena menyangka kakek itu tidak nanti berada di situ, maka dia berani omong besar.
Serentak Sih-Hou bertiga lantas berbalik menghadapi Sam-bi-sin-ong dan seperti siap mengerubutnya.
Sam-bi-sin-ong tersenyum ejek, perlahan ia mendekat dan berdiri dua-tiga meter di depan Sih-Hou bertiga, setelah mengamat-amati orang sejenak, lalu berkata, "Tadi yang bilang tidak takut terhadap Kiam-ong dan Kiam-ho serta diriku apakah kamu ini?"
Dengan risi Sih-Hou mengangguk dan menjawab, "Betul akulah, yang bilang begitu."
"Di dunia persilatan jaman ini, orang yang tidak gentar terhadap diriku memang tidak sedikit," ucap Sam-bi-sin-ong.
"Tapi yang menyatakan tidak takut terhadap Kiam-ong Kiam-ho rasanya baru pertama kali ini aku dengar. Tampaknya saudara ini tentu mempunyai kung-fu maha sakti, makanya berani membual dan omong besar. Bilamana saudara benar seorang tokoh maha sakti, rasanya aku tidak boleh sia-sia-kan kesempatan bagus ini untuk belajar kenal denganmu."
Kim-Kiam Sih-Hou tahu urusan tidak mungkin didamaikan begitu saja, terpaksa ia menjawab dengan menyengir, "Aku bilang tidak takut terhadap Kiam-ong dan kamu Sam-bi-sin-ong sama sekali bukan karena membual dan omong besar, namun ada dasarnya, yaitu yang maksudkan bukan satu lawan satu, sebab kami bertiga ini selamanya A tidak pernah meninggalkan B dan C, dan begitu pula sebaliknya.
Untuk urusan apa pun atau di medan tempur, kami selalu maju bertiga sekaligus."
"Haha, kiranya begitu," Sam-bi-sin-ong terbahak. "Jadi maksudmu bila kalian bertiga maju sekaligus, maka di dunia ini pasti tidak ada tandingan?"
"Ya, kira-kira begitulah," Sih-Hou mengangguk.
"Wah, bahwa dengan gabungan kalian bertiga pasti dapat mengalahkan Kiam-ong atau Kiam-ho, kepandaian kalian ini tentu sangat luar biasa, betapapun aku menjadi tertarik dan ingin coba belajar kenal."
Tanpa bicara lagi segera Sih-Hou bertiga pasang kuda-kuda dan siap tempur.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Sam-bi-sin-ong mengangkat bahu, perlahan ia melangkah maju menuju ke tengah mereka. Perlahan juga Sih-Hou bertiga menggeser sehingga si kakek terkepung di tengah.
Setelah kedua pihak berdiri diam sejenak, Sam-bi-sin-ong lantas mendahului membuka serangan, tongkat berkepala ular mendadak menyapu ke pinggang Cin-kiam Kwa-Eng-seng.
Namun Cin-kiam tidak mundur, ia berbalik maju dan memapak serangan Sam-bi-sin-ong dengan menegakkan pedang untuk menangkis tongkat lawan.
Pada saat yang sama serentak Kim-kiam Sih-Hou dan Thi-kiam Ku-Tai-hong juga menyerang kanan-kiri dengan pedang mereka.
Mendadak Sam-bi-sin-ong tertawa panjang, tongkat yang menyerampang tadi ditarik kembali berbareng tubuh pun berputar, tongkat berbalik menyodok ke muka Sih-Hou secepat kilat.
Tidak sampai begitu saja, karena dia berputar sehingga serangan Sih-Hou dan Ku-Tai-hong tadi dengan sendirinya juga mengenai tempat kosong.
Dengan begitu, jadi tongkat Sam-bi-sin-ong hanya digunakan untuk menyerang dan menghindar serangan lawan dengan gerakan yang gesit, cara bertempur ini boleh dikatakan agak terlampau berani.
Menyaksikan itu, mau-tak-mau Kiam-eng bersorak memuji. Cuma sebelum lenyap suara soraknya, ternyata cara bertempur kedua pihak sudah berubah lagi. Keunggulan serangan Sam-bi-sin-ong yang semula kelihatan hebat itu lambat-laun telah kehilangan daya tekanannya.
Nyata, biarpun nama Kim-Kiam Sih-Hou bertiga tidak terkenal di dunia kang-ouw, namun kung-fu mereka memang lain daripada yang lain.
Mereka seperti sudah sangat mendalam mempelajari berbagai ilmu pedang dari macam-macam perguruan ternama dunia persilatan, maka setiap jurus serangan mereka selalu merupakan inti ilmu pedang berbagai perguruan yang paling lihai, jurus serangan mereka hampir meliputi belasan perguruan terbesar dan terkemuka di daerah Tiong-goan, sebab itulah makin terkesiap hati Su-Kiam-eng.
Semula Kiam-eng berharap dapat mengenali dasar ilmu pedang Sih-Hou bertiga, dengan begitu dapat diketahui asal-usul kung-fu mereka untuk kemudian dicari cara pemecahan, namun sekarang harapannya itu ternyata gagal.
Yang membuat Kiam-eng terlebih gentar adalah Sih-Hou bertiga tidak cuma luas pengetahuannya dalam berbagai ilmu silat, bahkan tenaga mereka pun sangat ulet.
Maka setelah ratusan jurus, tampak Sam-bi-sin-ong sudah terdesak sehingga lebih banyak bertahan daripada menyerang.
Melihat situasinya, Kiam-eng tahu bila dirinya tidak lekas turun tangan untuk membantu jelas sukar bagi Sam-bi-sin-ong untuk memperoleh kemenangan, segera ia berkata lirih terhadap Kalina, "Hendaknya kau duduk saja di sini dan jangan pergi ke mana-mana, biar aku bantu Sam-bi-sin-ong yang terdesak itu."
Kalina mengangguk, "Baiklah, engkau harus hati-hati, jangan sampai cedera."
Kiam-eng tersenyum, dengan pedang terhunus segera ia tampil ke sana.
Siapa tahu pada saat itu juga mendadak terdengar suara ledakan yang keras, seluruh puncak gunung segera diliputi oleh asap tebal. Bau pedas yang keras seketika pula menusuk hidung.
Itulah granat berbau pedas. Ya, itulah salah satu granat andalan Sam-bi-sin-ong.
Segera Kiam-eng merasa hidung agak gatal-gatal geli, ia bersin dan cepat melompat mundur serunya,
"Nona Ka, lekas mendekap hidungmu dan tahan napas!"
Kalina lantas mendekap hidung, namun bau pedas yang keburu terhisap olehnya membuatnya bersin beberapa kali sehingga air mata pun mengucur.
Memang begitulah kepandaian khas Sam-bi-sin-ong, apabila menemui lawan tangguh yang sukar ditandingi, segera ia menggunakan granat tabir asap. Jika lawan terhitung orang baik, yang digunakan adalah granat berbau harum. Jika sebaliknya tentu ia menggunakan granat berbau pedas atau berbau busuk. Tapi granat apapun yang digunakannya, ia sendiri dapat mengalahkan lawan di bawah Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
perlindungan asap tebal itu.
Sekarang juga terdengar Sih-Hou bertiga yang terkurung oleh asap tebal itu sedang bersin terus menerus. Habis itu, lalu terdengar Cin-kiam Kwa-Eng-seng bersuara tertahan dan berseru, "Wah celaka, aku terluka!"
"Aduuh!" terdengar Thi-kiam Ku-Tai-hong juga menjerit kaget.
Menyusul lantas terdengar Kim-kiam Sih-Hou mencaci-maki, "Bangsat tua, terhitung jago apa menggunakan tabir asap sebagai pelindungmu?"
Sam-bi-sin-ong terbahak-bahak, "Hahahaha, granat berasap adalah salah satu senjata andalanku, betapa kurang gemilang senjata rahasiaku ini juga lebih terhormat daripada main kerubut seperti kalian ini"!"
Habis berkata, serentak tongkatnya berputar sehingga menerbitkan deru angin dahsyat.
"Blang!"
"Aduuhh!"
Rupanya Sih-Hou juga terkena serangan sehingga menjerit.
Pada umumnya jago silat kelas tinggi tentu mahir mendengar suara angin untuk membedakan datangnya serangan. Tapi kalau tidak terbiasa bertempur di tempat gelap tentu sukar terhindar dari kecundang.
Bagi Sam-bi-sin-ong, jika dia sudah biasa menggunakan granat tabir asap sebagai pelindung dan untuk mencapai kemenangan, dengan sendirinya pula dia pasti sudah terbiasa bertempur di tempat gelap.
Begitulah maka terdengar suara orang bersin disertai suara benturan senjata dan suara jeritan berulang-ulang.
"Lo-ji dan Lo-sam, marilah kita angkat kaki saja!" terdengar seruan Sih-Hou.
Suara sambaran angin tongkat masih menderu-deru, namun tidak terdengar lagi suara bersin Sih-Hou bertiga, jelas mereka sudah mencari selamat alias kabur.
Sam-bi-sin-ong menghentikan putaran tongkatnya, gumamnya, "Hm, licin juga ke tiga keparat ini sehingga mereka sempat lari."
Gunung tinggi angin besar, dalam sekejap saja asap tebal tadi sudah buyar sebagian besar, samar-samar sudah dapat memandang sesuatu. Tapi pada saat itu Kalina dan Su-Kiam-eng masih terus menerus bersin sehingga ingus air mata pun bercucuran, keadaan mereka agak lucu dan konyol.
Dengan tertawa Sam-bi-sin-ong mendekati mereka dan bertanya, "Su-Kiam-eng, dari mana kau tahu aku buntuti dirimu?"
Kiam-eng kucek-kucek hidung untuk menghentikan bersin dan mengusap air dan ingus di mukanya, lalu menjawab dengan tersenyum, "soalnya caramu menguntit kurang pandai sehingga jauh sebelumnya sudah aku ketahui."
Sam-bi-sin-ong menarik muka dan berkata pula, "Hm, jika kamu tidak ingin bekerja sama denganku, pada saat menghadapi bahaya kamu justru menghendaki bantuanku memangnya apa maksudmu?"
"Bahwa engkau membuntuti diriku, ini menandakan masih ada kemungkinan diriku akan kau peralat.
Maka tadi sengaja aku teriaki agar engkau tampil untuk menghalau musuh, masakah salah tindakanku ini?"
"Hm, omong kosong!" jengek Sam-bi-sin-ong untuk apa perlu aku peralat dirimu?"
Kiam-eng berpikir sejenak, katanya kemudian "Aku kira engkau dan Lau-ho-li tidak berhasil menyusul para ketua Hoa-san-pai, Tiam-jong-pai di Thai-kek-bun, betul tidak?"
"Tidak, kami justru dapat menemukan mereka," sahut Sam-bi-sin-ong.
"Jika begitu, apa peta dan obat itu sudah berhasil kau rebut?"
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Tidak, makanya aku putar balik untuk membuat perhitungan denganmu!"
"Oo, apa artinya?" tanya Kiam-eng bingung.
"Pada waktu mereka aku temukan, mereka ternyata sudah lama dibunuh orang," tutur Sam-bi-sin-ong.
Kiam-eng terkesiap dan berseru, "Hah, mereka terbunuh" Ke tiga ketua perguruan ternama itu terbunuh?"
"Betul, mereka mati terbunuh dengan punggung tertikam belati," tutur Sam-bi-sin-ong dengan mengangguk.
"Wah, tentu perbuatan si orang berkedok kain hitam itu."
"Orang berkedok kain hitam yang mana?" tanya Sim-bi-sin-ong dengan heran.
"Yaitu ke tiga orang yang menculik su-heng ku itu. Kemudian dapat aku bunuh dua di antaranya kini tersisa seorang saja."
"Dari mana kau yakin dia yang membunuh?"
"Dia memiliki semacam granat tabir asap yang dapat membuat orang pingsan, hari ini pernah kami temukan tiga sosok mayat di tengah rimba, yang mati ternyata adalah Hek-Tai-kian, The-Thian-siu dan Toan-Yan-kui dari Cong-lam-pai, mereka pun mati dengan punggung tertikam belati tapi lantaran ketika mati wajah mereka kelihatan tenang dan tentram saja setelah aku pelajari aku yakin mereka pasti terbunuh sehabis pingsan oleh asap berbisa si orang berkedok hitam. Kematian ke tiga ketua Hoa-san-pai dan lain-lain juga serupa dengan mereka, jelas itu pasti perbuatan orang berkedok hitam."
Sam-bi-sin-ong mengangguk, ucapnya kemudian, "Oo, analisamu memang tidak salah, kematian ke tiga ciang-bun-jin itu memang kelihatan sangat tenang ..."
"Pernah kau geledah tubuh ke tiga mayat ciang-bun-jin itu dan tidak menemukan peta dan obat begitu bukan?" tanya Su-Kiam-eng.
"Betul, jika menurut ucapanmu, jadi peta dan obat telah diambil oleh orang berkedok hitam itu?"
"Tentunya begitu. Dia membunuh ke tiga ketua perguruan besar itu, jelas tujuannya juga ke dua macam benda itu,"
Sam-bi-sin-ong berpikir sejenak, lalu tanya "Tadi kau sebut-sebut seorang yang menamakan dirinya sebagai 'raja rimba', orang macam apa pula dia?"
"Seorang tokoh misterius yang jauh terlebih lihai daripada si orang berkedok," jawab Kiam-eng. Dia sangat mungkin adalah si pengganas yang membunuh ke-18 tokoh persilatan dahulu itu. Tempo hari dia menyerangku secara menggelap dan hampir saja aku menjadi korban ..."
Lalu ia ceritakan apa yang dialaminya serta apa yang terjadi atas diri su-heng nya atas perbuatan si orang berkedok hijau.
Berulang Sam-bi-sin-ong mengangguk, tanyanya, "Jadi orang berkedok hijau yang kau katakan itu adalah orang yang menculik nona Ih?"
"Betul, sayang nona Ih di tangannya rasanya lebih banyak celaka daripada selamatnya."
"Ke tiga orang tadi apakah anak buah si orang berkedok hijau?" tanya pula Sam-bi-sin-ong.
"Betul, dendam mereka serupa dengan orang berkedok hijau apalagi tujuan mereka hanya ingin membunuh diriku dan tidak mengincar peta, suatu tanda mereka pastilah anak buah si orang berkedok hijau.
"Padahal kung-fu ke tiga keparat tadi terhitung jago yang jarang ada tandingannya, jika si orang berkedok hijau mampu menguasai mereka, jelas kung-fu orang berkedok hijau sendiri pasti sangat tinggi
...." "Ya, aku pun berpikir begitu, selanjutnya bisa jadi dunia persilatan akan terjadi malapetaka besar."
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Dia merintangi kalian mengambil Jian-lian-hok-leng, dengan sendirinya dia kuatir penyakit ingatan InAng-bi disembuhkan sehingga akan terbongkar rahasia kekejamannya, maka kalau kau mau meninggalkan kehendak mengambil Jian-lian-hok-leng itu, mungkin selanjutnya takkan mendatangkan bahaya bagimu."
"Ini kan sama artinya dengan bertekuk lutut terhadap kejahatan?" ucap Kiam-eng tersenyum.
Sam-bi-sin-ong mengangkat bahu, "Dia membunuh ke-18 tokoh terkemuka, mungkin dia juga mempunyai maksud tujuan tertentu. Sekarang tujuannya sudah tercapai, asalkan kamu tidak mengusut seluk-beluknya, mungkin ia pun takkan membikin onar lagi di dunia persilatan."
"Hm, apakah engkau Sam-bi-sin-ong sendiri sekarang hanya ingin menemukan kota emas itu saja, begitu?" jengek Kiam-eng.
Sam-bi-sin-ong tertawa, "Betul, kalau tidak apa aku putar balik ke sini untuk mencari dirimu?"
"Padahal peta dan obat sudah tidak ada padaku lagi, apa gunanya kau cari diriku?" tanya Kiam-eng ketus.
"Meski peta sudah tidak berada padamu, aku yakin kamu pasti sudah apal jalan menuju ke kota emas."
"Tidak, aku tidak ingat, apalagi apal segala" " sahut Kiam-eng menggeleng setelah berpikir.
"Ah, jangan kau bohongi aku, kamu ini pemuda macam apa masakah aku tidak tahu?" ucap Sam-bi-sin-ong dengan tertawa.
"Jika begitu, jadi engkau tetap akan mengikuti perjalananku?" tanya Kiam-eng.
"Betul, ini kan cuma menguntungkanmu dirimu tidak ada ruginya," Sam-bi-sin-ong mengangguk dengan tertawa. "Sebab sepanjang jalan dapat aku kawal dirimu sehingga tiba di tempat tujuan dengan aman dan dapat pula membantumu mengambil Jian-lian-hok-leng itu.
"Terima kasih atas maksud baikmu, namun aku sudah mendapat pembantu, yaitu Ang-pang-cu maka tidak perlu lagi bantuanmu," kata Kiam-eng.
Rupanya Sam-bi-sin-ong belum tahu akan kedatangan It-sik-sin-kai maka ia terkejut oleh ucapan Kiam-eng itu, "Apa katamu" Ketua Kai-pang It-sik-sin-kai juga datang kemari?"
Melihat orang tua itu terperanjat, diam-diam Kiam-eng merasa senang katanya sambil mengangguk,
"Betul. Dia tidak serupa dirimu, tujuannya bukan untuk berebut harta karun di kota emas. Tapi dia mengejar si orang berkedok hijau, aku yakin sebentar lagi akan kembali ke sini."
Sam-bi-sin-ong menatap anak muda itu dengan tajam, "Nama kebesaran It-sik-sin-kai terletak di atas namaku, akan tetapi kalau bicara sesungguhnya, belum pasti dia dapat mengalahkan diriku, jika hendak kau gunakan dia untuk diriku, huh, kan lucu?"
"Apakah engkau tidak percaya bahwa Ang-pang-cu sudah tiba di daerah liar ini?" tanya Kiam-eng.
"Ya, aku rada kurang percaya," ucap Sam-bi-sin-ong dengan tertawa.
"Jika begitu. bolehlah kau duduk dan menunggu sebentar."
"Sam-bi-sin-ong benar-benar duduk di atas batu di depan Su-Kiam-eng, ia berpaling dan tanya Kalina dengan tertawa, nona Ka, apakah benar tadi ada seorang pengemis tua berada bersama Kalina?"
"Ada, ilmu silatnya sangat tinggi, sekali loncat mencapai belasan meter tingginya," jawab Kalina. "Jika engkau tidak lekas pergi, sebentar bila dia datang kembali tentu aku minta dia menghajarmu."
Melihat gelagatnya, Sam-bi-sin-ong tahu It-sik-sin-kai memang sudah datang, maka hatinya rada kurang tentram, ia tahu jiwa pengemis tua itu sangat benci terhadap kejahatan dan tidak kenal ampun, bila kepergok dia urusan memang bisa repot, ia pikir paling aman lekas tinggal pergi saja, tapi bila pergi begitu saja kan juga malu, maka sedapatnya ia berlagak tenang.
"Hahaha, bagus sekali, memang sudah sekian tahun tidak pernah aku lihat dia, kalau sekarang dapat bertemu sobat lama di sini, terasa menggembirakan juga," serunya dengan tergelak.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Plok", mendadak dari dalam hutan melayang ke luar sesuatu benda dan jatuh di depan Sam-bi-sin-ong.
Waktu semua orang mengamatinya, ternyata gulungan tikar butut, jelas itulah barang milik It-sik-sinkai.
Air muka Sam bi-sin-ong berubah, ia berdiri dan berseru, "Haha, Ang-pang-cu, mengapa engkau suka bercanda dengan kawan lama?"
Perlahan suara It-sik-sin-kai berkumandang dari dalam hutan, "Caraku bercanda ini masakah tidak dapat kau pahami?"
Seketika wajah Sam-bi-sin-ong berubah kecut, katanya. "Paham, jadi engkau mengusirku pergi dari sin!
... Bilamana tidak pergi setelah melihat tikarmu yang butut itu berarti memusuhi si pengemis tua, begitu bukan?"
"Begitu," jawab It-sik-sin-kai dari dalam hutan. "Kalau sudah tahu maksudku, mengapa tidak lekas enyah?"
"Hehehe," Sam-bi-sin-ong terkekeh. "Kan sederhana sekali jika menghendaki kepergian dari sini. Cuma setahuku, kebiasaan pengemis tua melempar tikar butut begini, sasaranmu hanya terbatas pada kaum keroco kelas kambing saja, sekarang kau pun menggunakan cara begini terhadapku, apakah engkau tidak merasa terlampau pongah?"
"Aku lempar tikar butut, maksudku memang bukan meremehkan engkau Sam-bi-sin-ong melainkan tidak ingin bertemu denganmu!" sahut It-sik-sin-kai ketus.
"Di antara kita kan, tiada perselisihan apa pun, apa halangannya sekedar bertemu?" ujar Sam bi-sin-ong.
"Tidak, kuatir bilamana bertemu denganmu, mungkin aku akan kehilangan kesabaranku alias tidak tahan."
"Tidak tahan apa?" tanya Sam-bi-sin-ong heran.
"Kemarahanku!"
"Oo, adakah engkau marah padaku?"
"Betul!"
"Huh, memangnya dalam urusan apa aku bikin marah padamu?"
"Soalnya aku tidak tahan melihat tindak-tandukmu!"
"Oo, maksudmu mengenai tindakanku mengincar kota emas, begitu?"
"Betul!"
"Hahahaha!" Sam-bi-sin-ong tergelak, "Dengan nama dan kedudukanku di dunia persilatan, memang terasa agak merosotkan derajatku jika datang ikut-ikutan mengincar kota emas segala. Akan tetapi nama dan kedudukanmu Ang-pang-cu akan malah di atasku lalu apa tujuanmu kedatanganmu ke sini?"
"Kedatanganku hanya ingin mengusut siapa pembunuh anggota kami si Tok-kau-seng-jiu, sama sekali bukan maksudku ikut mengincar kota emas dengan harta karunnya."
"Tok-kau-seng-jiu dari Pang kalian itu diketahui terbunuh oleh Hu-kui-ong di sekitar Kun-san sana, sedangkan Hu-kui-ong Liong-Ih-kong jelas tidak datang ke sini, masakah engkau tidak tahu hal ini?"
"Baru kemarin aku tahu dari cerita Su-Kiam-eng," jawab It-sik-sin-kai.
"Sudah tahu duduknya perkara, untuk apalagi engkau masih berada di sini?"
"Su-Kiam-eng minta bantuanku untuk mengambil Jian-lian-hok-leng di kota emas, tentu kau tahu untuk apa dia ingin menemukan Jian-lian-hok-leng itu, maka pengemis tua mau membantunya dengan senang hati."
"Hehe, bukan mustahil diam-diam Ang-pang-cu pun mempunyai perhitungan sendiri?"
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Tidak perlu banyak omong lagi. Akan aku hitung sampai tiga, apabila kamu belum lagi pergi, terpaksa pengemis tua tidak kenal sahabat lagi."
"Ah, tidak perlu pakai hitung segala. Dahulu dalam pertemuan besar para ksatria kita pun pernah bertanding selama dua hari dua malam tanpa ketahuan unggul dan asor, aku tidak ingin mengulangi pertarungan yang tidak ada kepastian begitu, biarlah sekarang juga aku pergi dari sini."
Chapter 16. Rahasia 180 Patung Mas
"Nah, lekas silakan!"
"Cuma engkau perlu hati-hati sedikit, setiba di kota emas, kalau engkau sampai mengambil sesuatu benda di sana, tentu aku akan membongkar kemunafikanmu agar selama hidup kamu akan menanggung malu."
"Baik, nah, lekas enyah!" bentak It-sik-sin-kai.
Sam-bi-sin-ong mendengus satu kali dan segera melompat pergi dengan cepat hanya sekejap saja sudah menghilang di tengah hutan sana.
Kemudian It-sik-sin-kai pun tampil dari dalam hutan, ia mendekati batu yang tadi dibuat tempat duduk Sam-bi-sin-ong itu, selagi ia hendak duduk dan baru saja tubuhnya setengah berjongkok, sekonyong-konyong ia tergeliat dan mulut tertumpah darah segar.
Keruan Kiam-eng terkejut dan cepat memburu maju untuk memayang orang tua itu, tanyanya kuatir,
"Hei, Ang-pang-cu ..."
Cepat It-sik-sin-kai mendekap mulut anak muda itu sambil mendesis, "Ssst, jangan tanya lagi lekas duduk dan anggap saja seperti pengemis tua tidak terluka apa-apa."
Lalu ia dorong agar Kiam-eng duduk di atas batu.
"Cara bagaimana Ang-pang-cu sampai terluka?" tanya Kiam-eng.
"Mungkin kamu tidak percaya bila aku ceritakan. Si orang berkedok hijau itulah yang melukaiku."
"Huh, masa kepandaian orang itu bisa melebihi Ang-pang-cu?" Kiam-eng menegas dengan terkesiap.
"Ya, betapa tinggi kung-fu nya sungguh jarang aku lihat selama hidup ini ..."
"Memangnya bisa lebih tinggi daripada Kiam-ong Ciong-Li-cin?" tanya Kiam-eng pula dengan heran.
"Pasti tidak di bawah Kiam-ong Ciong-Li-cin dan juga gurumu," tutur si pengemis tua dengan prihatin.
Sungguh berita yang sangat mengejutkan. Padahal sejak pertemuan besar para jago kelas wahid pada belasan tahun yang lalu itu, Kiam-ong Ciong-Li-cin dan Kiam-ho Lok-Cing-hui sudah diakui sebagai tokoh nomor satu dan dua yang tidak ada tandingannya. Malahan pernah ada orang yang berani memastikan bahwa selama Kiam-ong dan Kiam-ho masih hidup, mutlak takkan ada tokoh lain yang dapat mengungguli mereka.
Bahkan untuk mengungguli tokoh lain seperti Tok-pi-sin-kun, It-sik-sin-kai dan Sam-bi-sin-ong yang merupakan tokoh nomor tiga, empat dan lima itu pun sulit sebab betapa tinggi kung-fu antara ke lima tokoh teratas itu boleh dikata tidak banyak selisihnya.
Misalnya Kiam-ong Ciong-Li-cin yang diakui sebagai nomor satu, meski dia dapat mengalahkan Sam-bisin-ong, namun untuk itu juga diperlukan melalui suatu pertarungan sengit baru akhirnya dapat menentukan kalah dan menang. Dan sekarang hanya dalam waktu setengah jam saja si orang berkedok hijau itu sudah dapat melukai It-sik-sin-kai, maka betapa tinggi ilmu silatnya sungguh sangat mengejutkan.
Begitulah, setelah termenung sejenak, kemudian Kiam-eng tanya pula dengan kuatir, "Sesungguhnya bagaimana kejadian yang dialami Ang-pang-cu tadi?"
"Waktu meloncat ke atas puncak tadi, aku lihat sesosok bayangan secepat terbang lari ke arah tenggara, segera aku kejar ke sana. Kira-kira beberapa li jauhnya tetap sukar aku susul, akhirnya dia sendiri yang berhenti untuk menghadapi aku, ia mengaku sebagai Raja Rimba, katanya barang siapa masuk ke Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
wilayah kekuasaannya harus mati di bawah pukulannya. Cuma ia bilang pengemis tua adalah tokoh lain daripada yang lain, maka pengemis tua hanya di suruh menyembah dan minta maaf padanya, lalu jiwaku akan di ampuni. Hm, caranya bicara itu jelas memaksaku untuk bergebrak dengan dia, maka tanpa banyak bicara lagi segera aku labrak dia ..."
Ia berhenti sejenak, lalu menyambung, "Semula aku sangka gin-kang nya sangat tinggi dan kung-fu lain mungkin tidak seberapa, maka sebelum bergerak sudah aku remehkan dia, mungkin lantaran inilah sehingga pengemis di kalahkan dengan cepat ..."
Kiam-eng tidak tahan dan cepat tanya lagi "Memangnya sampai berapa lama Ang-pang-cu bergebrak dengan dia?"
"Lebih tiga ratus jurus," tutur si pengemis tua. "Pada jurus terakhir dadaku terkena pukulannya dan aku dikalahkannya."
Kiam-eng pikir jika gurunya hendak mengalahkan ketua Kai-pang ini, paling banter juga diperlukan ribuan jurus, maka kejutnya tak terperikan oleh cerita It-sik-sin-kai itu, segera ia tanya pula, "Adakah Ang-pang-cu mengenali asal-usul ilmu silatnya?"
"Tidak." si pengemis tua menggeleng. "Yang paling mengejutkan dan juga memalukan pengemis tua adalah sama sekali aku tidak kenal asal-usul kung-fu nya, tampaknya ilmu silatnya sangat majemuk, seperti segala macam ilmu silat di dunia sama dikuasainya, bahkan dia dapat menggunakan telapak tangan sebagai pedang dan memainkan ilmu pedang andalan Kiam-ong Ciong-Li-cin dan Peng-lui-kiam-hoat perguruanmu."
"Hah, masa bisa terjadi begitu?" seru Kiam-eng kaget.
Bahwasanya si orang berkedok hijau dan ke tiga anak buahnya sama mahir berbagai ilmu silat dari beberapa perguruan, biarpun hal ini cukup mengejutkan, namun masih dapat dimengerti bilamana pada waktu muda mereka pernah belajar pada berbagai perguruan itu.
Akan tetapi si orang berkedok hijau itu juga mahir kung-fu andalan Kiam-ong dan Kiam-ho betapapun hal ini sukar dimengerti. Sebab kung-fu ke dua tokoh top itu sangat tinggi dan ajaib, siapapun sukar menirunya kalau tidak mendapat ajaran langsung dari ke dua tokoh itu sendiri.
It-sik-sin-kai menghela napas, tuturnya pula "Aku kira orang berkedok hijau itu pasti seorang tokoh yang sudah sangat kita kenal."
Dengan tak acuh Kiam-eng mengangguk dan menjawab. "Ya, kalau tidak, mengapa pakai kedok segala?"
"Namun aku justru tidak habis pikir siapakah dia sebenarnya ..."
Kiam-eng juga tidak ingat tokoh dunia persilatan mana yang dalam waktu sepuluh tahun singkatnya itu dapat menguasai kung-fu yang melebihi Kiam-ong dan gurunya sendiri, maka ia coba tanya lagi, "Dari suara orang itu dapatkah Ang-pang-cu memperkirakan berapa usianya?"
"Ya, aku taksir lebih 90-an tahun," kata It-sik-sin-kai.
"Tepat, wan-pwe juga merasa dia seorang tua berusia lebih 90 tahun, berdasarkan ini, dapatkah Ang-pang-cu meraba beberapa tokoh yang sekiranya mencurigakan?"
Si pengemis tua menggeleng, "Tetap tidak teringat olehku. Dahulu dalam pertemuan besar itu. Tokoh pilihan yang hadir seluruhnya aku kenal dengan baik dan tiada satu pun di antaranya, perlu dicurigai, sebab orang mampu atau tidak mencapai sukses latihan kung-fu nya, pada umur 30-an sudah dapat dipastikan. Selewatnya umur 30, kalau
tidak ada penemuan istimewa, rasanya sukar mencapai kemajuan yang berarti. Dan bila orang berkedok hijau itu dahulu pernah hadir dalam pertemuan besar para ksatria itu, waktu itu usianya tentu juga sudah sekitar 50-an, dan dilihat dari kepandaiannya sekarang, waktu itu seharusnya dia sudah mampu menandingi Kiam-ong dan Kiam-ho."
"Ya, jika dia sebenarnya seorang kosen yang suka mengasingkan diri, sekarang dia sengaja muncul secara mendadak di dunia persilatan, mengapa pula dia tidak berani memperlihatkan wajah aslinya kepada umum?" kata Kiam-eng.
"Betul, makanya aku pun tidak mengerti ..."
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Ke tiga anak buahnya juga mempunyai kepandaian yang hebat, tadi kalau Sam-bi-sin-ong tidak menggunakan granat asap pedas, mungkin dia akan dikalahkan lawan."
"Oo, orang berkedok hijau itu ada tiga anak buah?" si pengemis tua menegas dengan terkesiap.
"Betul," lalu Kiam-eng menceritakan munculnya Sih-Hou bertiga sesudah si pengemis tua mengejar musuh tadi.
"Wah, jika begitu, Sam-bi-sin-ong ternyata benar telah menyelamatkan jiwamu," kata It-sik-sin-kai.
"Ya, maka dalam hatiku juga sangat berterima kasih padanya. Cuma sayang dia tetap tidak lupa pada kota emas itu, betapapun bukanlah orang golongan kita."
It-sik-sin-kai menghela napas gegetun, "Si makhluk aneh Pek-li-Pin itu memang dikenal tidak menentu tindak-tanduknya dan terletak di antara baik dan buruk, sekarang ia pun mengincar kota emas itu, biarpun aku tonjolkan Kiam-ong atau gurumu untuk menasehati dia juga jangan harap membuatnya mundur teratur. Pendek kata, kalau dia tidak mencelakaimu, ya biarkan saja."
"Dan bagaimana dengan luka Ang-pang-cu, apakah parah?" tanya Kiam-eng.
"Mendingan, baru saja aku sudah minum obat, setelah istirahat semalam, tentu besok sudah dapat pulih seperti biasa."
"Jika begitu, marilah kita mengaso di tempat dara dekat parit sana, di sana tidak ada pepohonan, kalau ada musuh atau binatang buas akan lebih mudah diketahui ..."
Begitulah mereka bertiga lantas turun ke tempat datar di bawah dan duduk bersandar dinding tebing untuk istirahat. Semalaman pun dilalui tanpa terjadi apapun.
Paginya, Kiam-eng berhasil memburu seekor babi hutan. Mereka lantas bekerja keras, yang satu memotong hewan itu dan yang lain membuat api serta memanggang babi hutan itu.
Habis makan kenyang, sisa babi panggang itu dibagi menjadi tiga dan dibungkus dengan baik dan dibawa mereka, lalu melanjutkan perjalanan.
Menurut dugaan, si orang berkedok hijau dan ke tiga anak buahnya pasti akan berusaha merintangi mereka. Tak tersangka, meski sudah dua hari mereka menempuh perjalanan tidak terjadi lagi sesuatu.
Hari ke tiga, pada waktu magrib, ketika mereka menuruni lereng tebing yang curam menuju ke depan hutan yang tampaknya berada di sebuah selat, mendadak Su-Kiam-eng menghentikan langkahnya dan berkata, "Apabila kita tidak salah jalan, mungkin kita sudah hampir sampai di kota emas itu."
Semangat It-sik-sin-kai terbangkit, ucapnya dengan gembira, "Wah, semoga tepat perhitunganmu dan bukannya tersesat. Sungguh runyam bila terus menerus kita harus menelusuri rimba purba yang lebat dan banyak binatang buas ini."
Segera Kiam-eng mendahului memimpin ke depan dan masuk ke hutan yang terletak di tempat datar itu.
Tidak seberapa jauh, tiba-tiba terasa dingin dan lembab luar biasa di dalam hutan, bahkan ada semacam bau busuk yang memualkan dan sangat menusuk hidung, ia tahu kembali ada gas racun lagi. Cepat ia berhenti dan mengeluarkan pil yang disimpannya dalam baju, disodorkannya kepada It-sik-sin-kai dan Kalina setiap orang satu biji, ia sendiri juga minum satu biji.
"Di tempat ini di mana-mana ada gas racun, kalau tidak membawa obat anti gas racun, mungkin sangat sulit untuk mencapai kota emas itu," tanya Kiam-eng.
Dahulu, cara bagaimana su-heng mu mencapai kota emas?" tanya si pengemis tua.
"Sebelum su-heng ku mencapai kota emas dia sudah cacat total, dia bawa ke sana oleh ayah nona Ka dan beberapa suku Pek-ih yang baik hati mungkin suku bangsa Pek-ih itu juga paham cara menghindari gas racun, maka dapat mencapai kota emas dengan aman."
Sembari bicara ia melanjutkan lagi ke depan.
Setelah beberapa puluh meter lagi, tiba-tiba dari dalam hutan di depan sana sayup-sayup terdengar suara rintihan yang lemah.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Terkesiap hati Kiam-eng, ia menoleh dan mendesis, "Coba dengarkan, Ang-pang-cu, agaknya di depan ada orang."
It-sik-sin-kai coba mendengarkan dengan cermat, lalu katanya dengan lirih, "Dari suaranya seperti seorang sakit yang mendekati ajal, cuma sangat mungkin pula sesuatu perangkap yang diatur oleh si orang berkedok hijau, biarlah pengemis tua memeriksa dulu ke sana."


Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Habis berkata ia terus maju ke arah suara itu.
Hutan sangat lebat dan rapat, untuk lalu di situ hampir setiap kali harus memiringkan tubuh, pula hutan tidak tembus cahaya matahari, maka hanya sebentar saja si pengemis tua sudah lenyap dalam kegelapan.
Kiam-eng melolos pedang dan mengawal di samping Kalina, ia tahu semakin mendekati kota emas, semakin besar pula bahaya yang akan dihadapi. Bilamana si orang berkedok hijau itu hendak merintangi dia mengambil Jian-lian-hok-leng, jelas orang takkan membiarkan dia masuk ke kota itu dengan aman.
Kiam-eng pasang mata telinga dengan cermat, ia tunggu sebentar dengan diam, tiba-tiba terdengar suara It-sik-sin-kai di depan sana, "Su-lau-te, bolehlah kalian maju kemari!"
Segera Kiam-eng menarik Kalina dan menuju ke arah suara, setelah menerobos hutan yang rimbun, sekilas terlihat It-sik-sin-kai berdiri di samping seorang tua berbaju hijau, ia sangka si orang berkedok hijau telah dibekuk, dengan girang ia memburu maju.
Tapi setelah dekat dan diamati baru diketahui si kakek baju hijau ini adalah Lau-ho-li Cu-kat-Leng.
"Huh, dia"!" seru Kiam-eng kaget. "Apakah dia keracunan dan akan mati?"
Keadaan Lau-ho-li Cu-kat Leng memang tampak payah, si rase tua yang biasanya disegani orang kangouw itu sekarang mukanya tampak pucat dan sinar mata buram, dengan kempas-kempis menggeletak di bawah pohon, agaknya memang sudah dekat dengan ajalnya.
Kiam-eng coba berjongkok dan memeriksa orang tua itu, katanya kemudian, "Lau-ho-li, apakah engkau terkena gas racun?"
Wajah Lau-ho-li kelihatan kaku, mulut setengah menganga, hanya terdengar suara "ah-uh" saja dan sukar untuk bicara.
Cepat Kiam-eng mengeluarkan dua biji pil anti racun dan dijejalkan ke mulut Lau-ho-li, lalu katanya kepada It-sik-sin-kai, "Tampaknya sangat parah keracunan, entah obatku dapat menyelamatkan dia atau tidak ... "
"Ya, coba saja," ucap si pengemis tua.
"Lau-ho-li ini semula berada bersama Sam-bi-sin-ong, yaitu karena ingin mendapatkan peta rahasia kota emas, jika peta itu sudah direbut oleh si orang berkedok hitam, dengan sendirinya kerja sama di antara mereka berdua tidak diperlukan lagi."
Tengah bicara, tiba-tiba kedua kaki Lau-ho-li kelihatan berkelojotan dua kali, kepala lantas miring, nyata sudah menghembuskan napas terakhir.
Kiam-eng melengong, tanyanya kepada si pengemis tua, "Aneh, mengapa bisa terjadi demikian?"
It-sik-sin-kai coba memeriksa kelopak mata Lau-ho-li, katanya kemudian, "Ah, kita salah duga. Lau-ho-li bukan mati keracunan melainkan mati terluka."
"Dia mengalami luka apa?" tanya Kiam-eng heran.
It-sik-sin-kai meraba kaki dan tangan Lau-ho-li, lalu membuka pula dada bajunya, maka terlihatlah ada sebuah bekas telapak tangan di bagian dada bekas tapak tangan itu ambles cukup dalam.
Rupanya Lau-ho-li mati terpukul musuh dengan pukulan yang dahsyat sehingga hancur isi perutnya.
Melihat bekas telapak tangan itu, seketika air muka It-sik-sin-kai berubah, ucapnya, "Hm, kiranya dia!"
"Dia siapa" Maksudmu si orang berkedok hijau?" Kiam-eng menegas.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Betul," jawab si pengemis tua. "Waktu aku juga kena pukulannya, keadaan serupa Lau-ho-li, tapi isi perutku tidak sampai tergetar hancur."
"Kung-fu Lau-ho-li meski di luar ke-10 tokoh terkemuka jaman ini, tapi bicara tentang tipu akal dia justru nomor satu di dunia. Tak tersangka dia juga tidak dapat lolos dari pukulan maut si orang berkedok hijau," ucap Kiam-eng dengan gegetun.
"Cuma kalau bicara tentang tingkah lakunya, kematian Lau-ho-li tidak perlu disayangkan," ujar It-sik-sinkai.
"Mengingat sesama orang persilatan, biarlah kita mengubur dia," ajak Kiam-eng sambil melolos pedang.
Dengan sendirinya It-sik-sin-kai tidak membantah, ke dua orang lantas menggali liang untuk mengubur Lau-ho-li.
"Inilah mayat ke enam yang kita kubur sejak memasuki rimba raya ini," ucap Kiam-eng dengan menyesal. "Semoga selanjutnya takkan terjadi lagi ..."
"Ini sukar dipastikan, bukan tidak mungkin esok akan menjadi giliran kita ..." si pengemis tua tersenyum getir.
Kiam-eng terdiam sebentar, tanyanya kemudian. "Lain kali bila memergoki dia, umpamakan kita berdua mengerubut dia, menurut perhitungan Ang-pang-cu dapatkah mengalahkan dia?"
"Tidak, paling banter hanya dapat menandingi dia dengan sama kuat saja," jawab si pengemis tua.
"Wah, jika begitu, jelas kita pasti akan kalah, sebab dia masih ada tiga anak buah yang sangat lihai, "
ujar Kiam-eng. "Ya, tahu begini, malam tempo hari mestinya tidak boleh kita usir Pek-li-Pin," kata si pengemis tua.
"Meski dia juga bukan tandingan si orang berkedok hijau, namun dia memiliki Yan-mo-tan untuk menghadapi Sih-Hou bertiga tentunya tidak menjadi soal."
Baru habis ucapannya, sekonyong-konyong ada orang bergelak tertawa di belakang mereka, "Hahaha, jika begitu ucapan Ang-pang-cu, biarlah aku perlihatkan diri lagi."
Jelas itulah suara Sam-bi-sin-ong.
It-sik-sin-kai melengak, tapi lantas memaki, "Keparat, rupanya sejauh ini kamu masih membuntuti kami."
Terdengar Sam-bi-sin-ong yang sembunyi di dalam hutan itu tergelak pula dan menjawab, "Haha, aku hanya sendirian, kalau tidak membuntuti kalian, ke mana aku dapat pergi?"
"Lekas menggelinding ke luar!" bentak It-sik-sin-kai.
Maka terdengarlah suara gemersek daun pohon, lalu Sam-bi-sin-ong melompat turun dari kelebatan pohon, katanya sambil memberi hormat kepada si pengemis tua, "Ang-pang-cu, sekarang kita sedang menghadapi musuh tangguh, selanjutnya kita perlu bekerja sama jika ingin pulang ke Tiong-goan dengan hidup, maka jangan lagi Ang-pang-cu suka marah-marah padaku."
"Asal saja kamu Pek-li-Pin tidak melulu mementingkan diri sendiri saja tentu aku pun tidak perlu banyak omong."
"Baiklah kan sejak mula sudah aku katakan mau membantu Su-Kiam-eng mengambil Jian-lian-hok-leng,"
kata Sam-bi-sin-ong.
"Tapi kau pun harus mengerti, kerja sama kita hanya terbatas untuk menghadapi si orang berkedok hijau saja, mengenai emas di kota misterius yang hendak kau rebut itu adalah urusan sendiri," kata It-sik-sinkai dengan kereng.
"Sudah tentu. Cuma menurut pandanganku, selama si orang berkedok hijau belum ditumpas, selama itu pula Su-Kiam-eng takkan mampu mengambil Jian-lian-hok-leng dan selamanya juga harta karun itu takkan aku peroleh."
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Jadi maksudmu harus menumpas dulu si orang berkedok hijau?" tanya si pengemis tua.
"Betul," Sam-bi-sin-ong mengangguk. "Biarpun belum pernah aku bergebrak dengan orang itu, namun aku tahu kung-fu nya sangat tinggi dan sukar untuk ditandingi kita dengan satu lawan satu. Maka aku kira perlu gabungan kita baru dapat menumpasnya."
It-sik-sin-kai tampak marasa ragu, katanya, "Hm, selama aku berkecimpung di dunia kang-ouw belum pernah aku main kerubut ... "
"Akan tetapi jangan lupa, keadaan sekarang luar biasa, jika kamu benar-benar ingin membantu Su-Kiam-eng mendapatkan Jian-lian-hok-leng, maka untuk sementara kamu harus kesampingkan dahulu nama baik dan kedudukanmu di dunia persilatan."
"Lalu, siapa pula yang akan menghadapi ke tiga orang yang lain?"
"Dengan sendirinya dia yang harus melayani mereka," Sam-bi-sin ong menuding Su-Kiam-eng.
Kamu saja tidak dapat menandingi mereka, masa Su-lau-te sanggup?"
"Bila ke dua pihak sudah berhadapan tentu dapat aku bantu dia dengan Yan-mo-tan, asalkan dia sanggup bertahan sebentar, mungkin kita sudah dapat membereskan si orang berkedok hijau."
Lalu It-sik-sin-kai tanya Su-Kiam-eng, "Dapatkah kamu bertahan sebentar di tengah Yan-mo-tan?"
"Mungkin bisa, kalau tidak tahan, biarlah aku berdiri diam saja, dengan cara begini sudah cukup membuat bingung mereka," ujar Kiam-eng.
"Baiklah, boleh lakukan cara begitu," kata si pengemis tua.
"Jika begitu, sekarang juga kita masuk saja ke kota itu," ajak Sam-bi-sin-ong.
"Sekarang juga" Kau tahu kota emas itu terletak di dekat sini?" It-sik-sin-kai menegas dengan heran.
"Betul," Sam-bi-sin-ong mengangguk. "Tadi waktu aku melayang di puncak pohon sudah aku lihat benteng emas itu. Kalau tidak percaya boleh coba kalian loncat ke atas untuk melihatnya sendiri."
Habis berkata ia terus mendahului meloncat lagi ke puncak pohon.
Tergetar juga hati It-sik-sin-kai dan Su-Kiam-eng demi mendengar orang sudah menemukan kota emas atau benteng emas. Cepat mereka ikut meloncat ke atas.
Sudah berada di puncak pohon dan coba memandang jauh ke sana, seketika It-sik-sin-kai dan Su-Kiam-eng berseru gembira.
Ternyata memang benar, kira-kira beberapa li di tengah rimba sana berdiri menjulang tinggi lima buah pagoda itu mirip sumbu bunga teratai, tinggi tegak dan memantulkan cahaya ditimpa sinar matahari senja, dipandang dari jauh mirip lima buah obor raksasa, sungguh megah dan indah sekali.
Itulah Kota Emas!
Itulah Benteng Emas!
Benteng Emas purba yang sudah dilupakan oleh manusia!
Terbelalak Kiam-eng memandangi kemegahan bangunan kuno yang indah itu, darah serasa bergolak dalam rongga dadanya, sangat gembiranya hampir saja ia berteriak seperti orang gila.
Sebelum ini, betapapun ia ragu apakah di tengah rimba purba ini bisa terdapat sebuah bangunan kuno yang indah" Tapi percaya!
Cukup melihat bangunan ke lima pagoda raksasa itu saja sudah tidak sulit untuk membayangkan keadaaan di dalam benteng, juga tidak sulit untuk menerka dahsyat yang pernah menghuni kota itu dahulu dan orang mencatat dalam lembaran sejarah yang gemilang.
Akan tetapi, mereka itu termasuk orang apa" Suku bangsa apa" Negara mana"
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Mengapa pula mereka bisa punah"
Kiam-eng termenung sampai lama dan ingin menemukan setitik jawaban.
Setelah memandang sejenak, tiba-tiba It-sik-sin-kai berpaling dan tanya Sam-bi-sin-ong, "Pek-li-Pin, jika kota emas itu sudah kau temukan, mengapa kamu tidak datang sendirian ke sana?"
"Hehe, sebabnya aku dapat hidup panjang umur sampai sekarang, yang utama adalah karena aku selalu waspada dan hati-hati ... " jawab Sam-bi-sin-ong dengan tertawa. "Aku yakin si orang berkedok hijau pasti bersembunyi di sana untuk menjebak mangsanya."
"O, maka kau perlu cari beberapa pembantu begitu?" tanya si pengemis tua.
"Betul. Sebaiknya bila kalian tidak aku bantu sama juga bahayanya, betul tidak?"
It-sik-sia-kai tidak menanggapi lagi, ia lompat turun dan berseru, "Ayo berangkat mumpung hari belum gelap, marilah kita masuk ke benteng itu!"
Ke tiga orang lantas melompat turun ke bawah. Segera It-sik-sin-kai dan Sam-bi-sin-ong mendahului berangkat disusul oleh Su-Kiam-eng dan Kalina.
Setelah meneruskan perjalanan dua-tiga li, mendadak hutan lebat di depan menghilang yang muncul di depan mereka adalah sebidang tanah rumput yang lapang dan seperti pernah diolah manusia.
Dan bangunan raksasa yang misterius tadi kini pun sudah terlihat jelas di depan tanpa halangan apa pun.
Terlihat di bawah ke lima pagoda raksasa itu ada benteng kurung sepanjang dua li dipandang dari jauh seperti berlapis-lapis dan berderet-deret, sungguh sangat megah.
Cuma benteng batu raksasa ini tampaknya tidak mirip sebuah kota melainkan lebih mirip sebuah puri raksasa.
Selagi mereka berempat memandang dengan terkesima, lebih-lebih Kalina, wajahnya tampak pucat dan tubuh pun gemetar.
Kiam-eng memegang tangan si nona dengan erat, katanya lirih dengan menahan perasaan sendiri yang bergolak, "Jangan takut, nona Ka, masa tidak kau rasakan betapa indah bangunan benteng kuno ini"
Dengan gemetar Kalina menjawab, "Kabarnya ... kabarnya kota emas ini pernah ... pernah dimanterai oleh setan iblis ... barang siapa masuk ke sana pasti akan mati. Apakah benar kalian hendak ... hendak masuk ke sana?"
"Jangan percaya pada obrolan yang menyesatkan itu." ujar Kiam-eng tertawa. "Bukankah ayahmu dan su-heng ku pernah masuk ke sana, kemudian juga sama pulang dengan selamat?"
"Tapi sesudah pulang ayahku pernah jatuh sakit payah dan hampir saja meninggal," tutur Kalina.
"Sam-bi-sin-ong melirik si nona sekejap dengan rasa geli, lalu berkata kepada Kiam-eng, Su-Lau-te, tampaknya su-heng mu pernah berdusta juga."
"Apa maksudmu?" tanya Kiam-eng dengan melengak.
"Bahwa bangunan ini sebuah benteng kuno memang tidak salah, namun jelas bukan dibangun dengan emas seperti cerita su-heng mu itu."
"Apakah menurut bayanganmu, kau kira 'kota emas' ini dibangun dengan emas murni," tukas It-sik-sinkai.
Muka Sam-bi-sin-ong agak merah, jawabnya, "Ya, mungkin yang dimaksud dia adalah ke-180 patung dan puri yang dibangun dengan lantakan emas, semuanya terdapat di dalam benteng kuno."
Kiam-eng menunjuk bangunan raksasa itu dan bertanya, "Menurut pandangan Ang-pang-cu, bangunan itu lebih tepat disebut benteng atau puri?"
"Aku pun tidak mengerti," jawab si pengemis tua. "Kalau dibilang benteng, ternyata tidak ada tembok bentengnya, dikatakan puri, nyatanya ada parit yang mengelilingi bangunan raksasa itu."
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Sam-bi-sin-ong mendahului jalan ke depan, katanya, "Peduli kelenteng atau benteng, marilah kita periksa ke sana dan semuanya akan jelas."
Setelah melintasi sebuah parit pelindung benteng yang lebarnya beberapa meter, lalu menelusuri sebuah jalan sepanjang beberapa ratus meter, kemudian mereka mendaki tiga tingkat panggung batu yang datar dan luas, lalu mendaki lagi banyak undak-undakan batu, akhirnya mereka berada di depan pintu gerbang bangunan yang bukan benteng dan bukan puri ini.
Baru sekarang mereka dapat melihat jelas, bangunan bukan benteng dan bukan puri ini disusun oleh batu-batu raksasa, dinding dan lantai penuh ditumbuhi lumut dan rumput, sebuah pagoda tinggi yang tepat menghadap pintu gerbang tingginya hampir seratus meter, dipandang dengan mendongak dapat membuat orang pusing kepala dan mata berkunang-kunang.
Ke dua samping gerbang adalah dua serambi yang luas dan lurus, panjangnya ada satu li, pilar batu yang besar berjajar dan sukar dihitung jumlahnya.
Meski di mana-mana sama tertutup oleh lumut dan debu, namun samar-samar terlihat jelas bangunan raksasa ini pernah mengalami masa jayanya yang gemilang. Hampir di mana-mana terdapat ukiran timbul gambar malaikat dan setan.
Mereka tidak berani langsung memasuki pintu gerbang itu, lebih dulu mereka meninjau di sekitar serambi dan melihat pilar dan dinding juga banyak terukir gambar timbul bidadari, semua gambar bidadari itu diukir telanjang bulat, hanya bagian kepala memakai topi bunga yang entah apa namanya, leher pun pakai hiasan kalung dan bagian pinggang memakai "gaun" yang terbuat mirip benang atau rumput.
Cuma gaya ukiran bidadari itu tampak sangat indah, semuanya bergaya seperti lagi menari, kelihatannya sangat suci dan anggun, tiada tanda-tanda cabul setitik pun.
"Aha, tempat ini tentu bekas sebuah puri raksasa untuk upacara adat!" kata It-sik-sin-kai sambil berhenti.
Sam-bi-sin-ong dan Su-Kiam-eng sama mengangguk dan menjawab, "Betul, tempat ini memang sebuah puri tempat upacara sembahyang."
"Bahkan berani aku katakan bahwa inilah puri upacara sembahyang yang terbesar sejak dulu sampai sekarang," ucap si pengemis tua dengan khidmat.
"Wah, melulu sebuah puri saja dibangun sebesar ini, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya keseluruhan kota emas ini," ujar Sam-bi-sin-ong dengan gegetun.
Sorot mata It-sik-sin-kai berpindah dari ukiran dinding ke wajah Kalina, tiba-tiba ia tanya "Nona Ka, suku Pek-ih kalian apakah sudah lama mengetahui tempat seperti kota emas ini?"
"Ya, sudah lama mengetahuinya," jawab Kalina, sambil mengangguk.
"Jika begitu, tentu kau tahu sejarah yang menyangkut kota emas ini?" tanya si pengemis tua dengan girang.
"Tidak, aku tidak tahu, orang dalam suku kami juga tiada seorang pun yang tahu sejarah kota emas ini mungkin sudah berumur ribuan tahun," tutur Kalina, "Suku Pek-ih kami tidak serupa bangsa Han kalian yang mempunyai catatan sejarah, maka sejauh ini kami cuma tahu di tengah rimba ini terdapat sebuah kota purba, lain tidak.
"Jika suku Pek-ih kalian sudah tahu adanya kota kuno ini, mengapa kalian merahasiakannya, padahal hubungan suku Pek-ih kalian dengan bangsa Han kami biasanya cukup akrab" tanya pula si pengemis tua.
"Soalnya kami menganggap kota kuno ini tempat bermukimnya setan iblis dan menakutkan, maka siapa pun tidak berani menyebutnya," tutur Kalina.
It-sik-sin-kai memandang lagi kian kemari, katanya kemudian, "Aku percaya orang yang menghuni kota ini dahulu pasti ada hubungan dengan negeri Tiong-goan kita. Sayang pengemis tua tidak banyak mengenyam sekolahan, entah di dalam kitab kita terdapat catatan mengenai kota emas ini atau tidak?"
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Dahulu pernah aku baca sejilid buku yang berjudul 'Catatan adat istiadat Canla' karangan Ciu-Tat-koan pada jaman kerajaan Goan. Kitab itu menulis kebiasaan penduduk sebuah negeri Canla yang terletak jauh terpencil di selatan, entah kota emas ini apakah sama dengan negeri Canla yang ditulis itu ... "
"Bagaimana menurut penuturan dalam buku itu?" tanya It-sik-sin-kai.
"Kalau tidak salah ingat, kitab itu mencatat bahwa negeri Canla itu dibangun oleh orang Kimi (mungkin bangsa Khmer di negeri Kamboja sekarang) dan merupakan sebuah negeri yang kuat dan berpengaruh, sering menyerbu dan menaklukkan negeri lain, lalu menawan rakyat negeri yang dikalahkannya itu untuk disuruh kerja paksa menggali batu dan membangun istana, hidup bangsa kami itu sangat mewah dan boros, kehidupan orang Kimi itu dilukiskan dengan gambaran. Pangan mudah diperoleh, perempuan gampang didapat tempat tinggal mudah dibangun, alat perabot serba cukup, jual-beli lancar terlaksana.
Hanya begitu saja yang aku ingat."
"Jika diumpamakan kota kuno ini benar negri Canla yang disebut dalam kitab karangan Ciu-Tat-koan itu, lalu segenap penduduknya pergi ke mana?" kata pengemis tua.
"Ada tiga kemungkinan. Pertama, karena kejayaan orang Kimi itu akhirnya menimbulkan iri negeri lain yang juga sama kuatnya dan akhirnya orang Kimi tertumpas habis. Kedua, mungkin terjadi semacam penyakit menular sehingga segenap rakyat negri ini mati semua. Ke tiga, mungkin terjadi pemberontakan kaum budak yang disuruh kerja paksa itu, segenap orang Kimi terbunuh habis, lalu semua harta benda negeri Canla dirampok habis dan dibawa kabur entah ke mana."
"Betul," It-sik-sin-kai mengangguk. "Dan kota kuno yang megah ini lambat-laun pun terkubur oleh rimba raya, lama kelamaan urusan negri ini pun terlupakan orang."
Sembari bicara mereka sambil menikmati ukiran dinding serambi, kata pula si pengemis tua dengan bersemangat, "Apa pun juga, yang jelas bangunan ini adalah sebuah kota purba yang luar biasa. Coba kau lihat ukiran timbul pada dinding ini takkan habis kita tinjau selama beberapa hari."
"Apakah Ang-heng bermaksud menikmati ukiran indah ini selama beberapa hari."
"Apakah Ang-heng bermaksud menikmati ukiran indah ini selama beberapa hari?" tanya Sam-bi-sin-ong dengan tertawa.
"Tidak, beberapa hari saja tidak cukup," jawab It-sik-sin-kai. "Harus aku nikmati dengan perlahan dan aku pelajari dengan teliti sehingga seluruh pelosok kota kuno ini."
"Tapi aku kira, urusan yang paling penting sekarang adalah mencari Jian-lian-hok-leng dan emas yang ingin aku dapatkan itu," tukas Sam-bi-sin-ong dengan tergelak.
"Baiklah, coba kita lihat dulu ke dalam puri raksasa ini," kata It-sik-sin-kai.
Waktu mereka putar balik ke pintu gerbang, hari ternyata sudah gelap, suasana itu tampak gelap gulita dan menimbulkan rasa seram seperti berada di tempat setan, juga menimbulkan keraguan jangan-jangan si orang berkedok hijau dan ke tiga anak buahnya mungkin bersembunyi di dalam dan siap menyergap setiap saat.
Maka It-sik-sin-kai lantas mencari beberapa gebung rumput kering dan diikat, lalu dinyalakan sebagai obor serta mendahului masuk ke sana.
Siapa duga, baru saja ia melangkah masuk pintu gerbang, kontan ia disambut oleh serangkum angin dahsyat yang menerjang dari depan.
It-sik-sin-kai berteriak kaget dan cepat mendak ke bawah, berbareng sebelah tangan terus menghantam.
Sam-bi-sin-ong dan Su-Kiam-eng yang mengikuti di belakangnya juga cepat setengah berjongkok untuk menghindar. Terdengar Suara "berrr" sesosok bayangan melayang lewat kepala mereka dengan cepat.
Waktu mereka menoleh, tanpa terasa mereka menghela napas panjang.
Ternyata bayangan itu adalah seekor macan tutul, setelah meloncat ke luar segera binatang buas itu menuruni undak-undakan batu dan menyusup ke dalam semak-semak.
"Busyet! Rupanya puri kuno ini telah dijadikan sarang oleh binatang buas," ucap Kiam-eng dengan terkejut.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Keparat!" caci It-sik-sin-kai. "Aku kira orang berkedok hijau itu hendak menyergap kita."
"Jika di dalam bangunan ini ada binatang buas, ini menandakan orang berkedok hijau itu tidak sembunyi di sini, maka bolehlah Ang-heng maju terus dan kuatir," ujar Sam-bi-sin-ong.
Belum lenyap suaranya, kembali terdengar suara "ser-ser" yang ramai dan melayang dari depan sana.
Kembali si pengemis tua berteriak, "Semua lekas mundur, ini kawanan kelelawar!"
Cepat mereka melompat mundur ke serambi di luar, terlihat kawanan kelelawar berterbangan bergerombol terbang ke udara di luar gerbang yang gelap. Begitu banyak jumlah kelelawar itu sehingga serupa asap yang mengepul dari cerobong.
Sampai sekian lama baru kawanan kelelawar itu habis terbang ke luar. Kening Su-Kiam-eng berkerenyit, katanya, "Ada pendapatku, lebih baik kita menjelajahi seluruh kota ini, esok pagi baru kita masuk ke dalam puri itu. Dengan begitu rasanya akan lebih aman."
"Ya, aku kira begitu lebih baik," sahut It-sik-sin-kai setuju.
Meski Sam-bi-sin-ong sangat ingin lekas menemukan ke-180 patung emas, tapi ia pun merasa kurang aman bila harus mencarinya dalam kegelapan. Maka ia tidak membantah, segera mereka berempat menuju ke sebelah kanan melalui serambi yang panjang itu.
Setelah menelusuri serambi yang panjangnya hampir satu li itu dan membelok ke kanan, akhir nya mereka dapat mengitari puri raksasa itu.
Di belakang puri juga hutan yang lebat, ketika mereka memasuki hutan, ternyata di dalam hutan juga banyak bangunan dari batu, yang mengherankan adalah banyak rumah batu itu sama terkurung oleh akar pohon raksasa.
Itu menandakan bahwa sudah ribuan tahun tidak terdapat manusia di situ sehingga akar pohon pun tidak pernah ditebas, maka bangunan itu pun ditelan oleh tetumbuhan alam yang mirip jari-jari setan iblis itu.
Setelah menelusuri hutan sekian jauh, kembali mereka menemukan banyak rumah berhala yang megah dan jalanan yang lebar, cuma sebagian besar pun sudah terdesak oleh tetumbuhan liar sehingga berubah menjadi tumpukan puing.
Di dalam kota purba ini masih ada lebih 50 buah pagoda dan dua ratusan patung kepala manusia itu hampir sama, semuanya memakai topi berujung runcing dan tingginya belasan meter, semuanya diukir dari batu raksasa.
It-sik-sin-kai terheran-heran, katanya, "patung kepala manusia sebanyak ini entah melambangkan apa?"
"Aku kira patung kepala manusia ini merupakan ukiran kepala para raja yang pernah ikut membangun kota kuno ini, dia memerintahkan kepalanya diukir, maksudnya untuk memperlihatkan wibawa dan kekuasaannya," ujar Kiam-eng.
"Jika benar begitu, maka raja yang berkuasa di sini pasti tokoh yang berwatak keras dan tentu juga lalim."
Sam-bi-sin-ong tampak celingukan kian kemari dan berkata, "Aneh, sudah sekian jauh kita mengitari tempat ini, mengapa tidak terlihat sebuah bangunan yang terbuat dari emas?"
It-sik-sin-kai memandangnya dengan mendongkol, "Terhadap segala apa yang terdapat di dalam kota kuno ini, selain emas apakah tiada sesuatu lagi yang menarik bagimu?"
"Sudah tentu aku pun tertarik oleh kota purba ini," Sam-bi-sin-ong menyengir. "Cuma kedatanganku dari jauh ini, tujuan yang utama kan jelas adalah untuk mendapatkan emas ... "
"Huh!" jengek si pengemis tua dengan jemu dan segera melangkah lagi ke depan sambil berkata kepada Kiam-eng, "Su-lau-te, mari kita coba melihat ke tempat lain." Mereka berempat lantas menyusuri kota kuno itu tanpa tempat tujuan, sampai setengah malaman ternyata belum lagi mengelilingi seluruh kota itu.
"Wah, luas amat tempat ini," seru si pengemis tua. "Entah perlu berapa lama untuk bisa menjelajahi Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
seluruh kota kuno ini?"
"Jika kota ini merupakan suatu negara, mungkin diperlukan perjalanan beberapa hari baru dapat menjelajahi seluruh tempat ini," ujar Kiam-eng.
"Kalau begitu, kota kuno ini tentu dapat memuat ratusan ribu penduduk," kata It-sik-sin-kai.
"Bila benar kota kuno ini adalah negeri Canla yang dimaksudkan Ciu-Tat-koan dalam bukunya itu, maka penduduknya bisa mencapai satu juta," kata Kiam-eng.
"Wah, ini kan jauh lebih besar daripada kota raja di negeri kita?" ucap si pengemis tua sambil menjulur lidah.
"Akan tetapi apakah kota kuno ini benar negri Canla dahulu atau bukan, hal ini tidak berani aku pastikan," kata Kiam-eng pula dengan tertawa.
"Aku yakin pasti benar negri Canla dahulu, kalau tidak masakah ada kota sebesar ini?" ujar It-sik-sin-kai.
Sembari bicara mereka sampai di depan setumpuk puing. Mendadak Sam-bi-sin-ong menarik It-sik-sinkai dan membisikinya, "Awas, di tengah puing itu bersembunyi musuh!"
Kiam-eng dan It-sik-sin-kai terkejut dan serentak berhenti sambil tanya, "Kau lihat orang sembunyi di sana?"
"Ya," Sam-bi-sin-ong mengangguk. "Baru saja aku lihat sebuah kepala orang mengeret ke balik tembok onggokan puing sana."
"Apakah si orang berkedok hijau?" dengan tegang Kiam-eng ikut tanya.
"Entah, terlampau cepat kepala orang itu mengeret ke balik tembok, tak sempat aku lihat jelas siapa dia," jawab Sam-bi-sin-ong.
It-sik-sin-kai mendesis, "Biarlah kita bertindak menurut rencana, Su-lau-te melindungi nona Ka dan pengemis tua dan Pek-li-Pin menghadapi musuh."
Segera Sam-bi-sin-ong mengeluarkan tiga buah Yan-mo-tan dan diserahkan kepada Su-Kiam-eng, katanya lirih, "Aku beri tiga Yan mo-tan ini, kalau musuh memperlihatkan diri, setiap seminuman teh boleh aku lemparkan sebuah granat berasap ini dan aku jamin kalian takkan berhalangan."
Kiam-eng menerima ke tiga granat berasap itu dengan ucapan terima kasih.
Segera It-sik-sin-kai dan-Sam-bi-sin-ong tertunduk ke depan dan mengepung puing tembok itu dari dua jurusan. Hanya sekejap saja bayangan mereka sudah menghilang di balik kerimbunan pohon.
Perlahan Kiam-eng melolos pedang dan berdiri rapat di samping Kalina. Ia tahu setiba di kota kuno ini, kalau kepergok si orang berkedok hijau adalah kejadian yang sudah terduga. Cuma yang membuatnya tenang adalah kung-fu lawan sesungguhnya terlampau tinggi, pula orang sangat apal terhadap segala sesuatu di kota purba ini, berdasarkan kung-fu dan keuntungan tempat, untuk mengalahkan It-sik-sinkai dan Sam-bi-sin-ong rasanya juga bukan mustahil, apalagi si orang berkedok hijau masih ada tiga anak buah yang langsung, maka Kiam-eng merasakan pertempuran yang bakal terjadi ini akan merupakan suatu pertarungan antara hidup mati.
Kalina juga merasakan tenangnya suasana, dengan takut ia merapat di samping Su-Kiam-eng, tanyanya lirih, "Kau lihat apakah si orang berkedok hijau atau bukan?"
Selagi Kiam-eng hendak menjawab, tiba-tiba meledak suara gelak tertawa It-sik-sin-kai di tengah puing sana, lalu dari tumpukan puing itu meloncat ke luar dua sosok bayangan.
"Blang," terjadi suara benturan keras, dua sosok bayangan yang melayang ke udara itu telah saling mengadu pukulan, lalu seorang di antaranya melayang turun lurus dan satu lagi tergetar oleh tenaga pukulan dan mencelat jauh ke sana.
Pandangan Kiam-eng cukup tajam, ia lihat yang melayang turun itu adalah It-sik-sin-kai dan orang yang tergetar mencelat itu adalah orang berkedok kain hitam. Keruan ia kegirangan dan berseru, "Ahh, kiranya dia!"
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Sembari bersuara segera ia tarik Kalina dan berlari ke onggokan puing sana.
Setiba di situ, ternyata betul, orang yang terkurung di situ memang betul si orang berkedok hitam.
Sekarang It-sik-sin-kai berdiri di depan musuh dan Sam-bi-sin-ong berdiri di belakangnya. Jarak masing-masing ada dua-tiga meter dan semuanya siap tempur.
Si orang berkedok hitam itu serupa seekor serigala yang terperangkap, berulang ia celingukan kian kemari, agaknya ingin mencari jalan untuk lolos, sikapnya kelihatan sangat tegang dan gelisah.
Melihat Kiam-eng memburu tiba, It-sik-sin-kai terbahak dan berkata, "Su-lau-te, inilah orang berkedok kain hitam yang menculik su-heng mu itu bukan?"
Dengan bersemangat Kiam-eng menjawab. "Betul, memang dia ini!"
Dia memang sangat gembira. Sejak pihak lawan menculik su-heng dan Kalana, selama ini dia telah berdaya upaya untuk mencari tahu siapa pihak lawan.
Akan tetapi pihak lawan terlampau licin, jejaknya misterius, caranya keji, semua itu tidak di bawah perbuatan si orang berkedok hijau. Namun sekarang tidak perlu pusing kepala lagi, pengganas yang menculik su-heng dan istrinya serta pembunuh para ketua Hoa-san-pai dan lain-lain itu kini sudah kelihatan belangnya.
Mendengar jawab Kiam-eng tadi, segera It-sik-sin-kai berpaling dan berkata kepada orang berkedok hitam. "Nah, sobat, sekarang biarpun kamu tumbuh sayap juga sukar terbang lagi. Kenapa tidak buka saja kedokmu agar kita bisa saling kenal?"
Si orang berkedok hitam tidak menjawab, mendadak kaki melejit, secepat kilat ia melayang ke sebelah kiri.
Akan tetapi, baru saja ia bergerak, Sam-bi-sin-ong yang berdiri di belakangnya tahu-tahu sudah menubruk tiba, tongkat berkepala ular terus menebas pinggang lawan sambil berseru, "Haha, apakah kamu ingin kabur begitu saja kawan?"
Tidak lemah juga orang berkedok hitam, tubuhnya yang mulai mengapung itu mendadak berjumpalitan dan melayang ke samping sehingga sabetan tongkat Sam-bi-sin-ong dapat dihindarkan. Lalu sebelah kakinya memanjat pilar batu yang tersisa di tengah puing itu, kembali tubuhnya melayang lagi ke sebelah kiri sana, nyata tujuannya hendak menyusup ke dalam hutan.
It-sik-sin-kai tidak membiarkan orang lolos begitu saja, melihat cara orang menghindari serangan Sambi-sin-ong segera ia tahu ke mana langkah lawan selanjutnya, maka sebelum si orang berkedok melayang ke hutan sana, lebih dulu sudah dicegat oleh si pengemis tua, pentung penggebuk anjing langsung mengemplang kepalanya.
Terhadap musuh umumnya kemplangan pentung bambu It-sik-sin-kai itu biasanya tidak pernah meleset, maka terdengarlah suara "plok", pundak kiri si orang berkedok hitam dengan tepat terpukul, kontan tubuhnya terbalik dan jatuh terbanting".
Menyusul Sam-bi-sin-ong lantas memburu maju, tongkat kepala ular segera menutuk sehingga Koh-cing-hiat lawan kena ditutuknya. Maka si orang berkedok hitam tidak dapat bergerak lagi.
Kiam-eng sangat girang, secepat kilat ia melompat ke sana dan menarik kain penutup muka lawan.
Seketika ia pun menjerit, "Hahh, ternyata kau!?"
Ia menjerit dengan melengong. Ketika It-sik-sin-kai dan Sam-bi-sin-ong tahu jelas siapa orang berkedok hitam itu, mereka pun melongo sehingga tidak dapat bicara.
Kiranya orang berkedok kain hitam ini tak-lain-tak-bukan ialah Sai-hoa-to Sim Tiong-ho adanya!"
Hal ini mungkin mimpi pun tak pernah terpikir oleh siapa pun. Siapa yang menyangka orang yang menculik Gak-Sik-lam dan Kalana serta dua kali bermaksud mencelakai Su-Kiam-eng dan hendak membunuh para ketua Hoa-san-pai dan lain-lain ternyata adalah si tabib sakti yang dipandang sebagai kawan yang paling terpercaya oleh Su-Kiam-eng itu"
Sekujur badan Su-Kiam-eng terasa dingin bagai terendam air es. Untuk pertama kalinya ia merasakan manusia adalah makhluk yang paling menakutkan di dunia ini.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Teringat olehnya untuk pertama kalinya ia bertemu dengan Sai-hoa-to Sim-Tiong-ho, ketika itu si tabib sakti sedang memancing ikan di tepi sungai, tampaknya serupa seorang pertapa yang jauh dari keramaian dunia ...
"Wah, 180 patung emas, ada lagi bangunan kuil yang terbuat dari emas murni, cara bagaimana menilai barang-barang itu?"
"Hm, engkau Sai-hoa-to juga tertarik bukan oleh harta karun itu?"
"Ya, kalau saja kota emas itu dapat dikangkangi menjadi milik sendiri, maka jadilah aku orang kaya raya, memangnya siapa yang tidak tertarik?"
Itulah percakapan yang terjadi dahulu antara Wi-ho Lo-jin dan Sai-hoa-to Sim-Tiong-ho. Waktu itu Kiam-eng menyangka mereka hanya bergurau saja, siapa tahu si tabib sakti benar-benar tertarik oleh harta karun.
Oleh karena bertekad akan ikut berebut kota emas, maka Sai-hoa-to telah berperan menjadi dua tokoh yang berbeda. Di satu pihak ia membantu usaha Kiam-eng dengan nama dan wajah asli Sim-Tiong-ho, di lain pihak ia menyamar sebagai orang berkedok hitam untuk membuntutinya, pada waktu Kiam-eng membunuh Ih-Wan-hui dan Gu-Thong dulu, dia bersama Te-Long dan Oh-Sam lantas menyerbu ke penjara di bawah tanah, ia gunakan granat berasap untuk membawa lari Gak-Sik-Lam suami-istri.
Kemudian, mungkin Gak-Sik-lam tidak mau mengaku letak kota emas, maka dia sengaja membiarkan dirinya diculik anak buah Tok-pi-sin-kun dan bermaksud merebut peta kota emas, akhirnya ia berbalik
"ditolong" oleh Su-Kiam-eng.
Begitulah makin dipikir makin gemas hati Kiam-eng, mendadak ia cengkeram Sai-hoa-to Sim-Tiong-ho dan membentak, "Bagus sekali perbuatanmu, orang she Sim!"
Muka Sim-tiong-ho tampak merah padam, ia pejamkan mata dan tidak mau bicara. Kalau saja Hiat-to tidak tertutuk, sungguh ia ingin menyusup ke dalam bumi bilamana ada lubang.
Kiam-eng mengguncang-guncang tubuh tabib sakti itu dan berteriak, "Ayo bicara! Kamu tua bangka bermuka manusia tapi berhati binatang, kamu telah mengapakan su-heng dan istrinya?"
Karena tidak tahan diguncang sekerasnya itu, akhirnya Sim-Tiong-ho menyengir dan berucap, "Lepaskan aku, biar aku bicara sejelasnya."
Kiam-eng mendorongnya sehingga tabib itu terguling di tanah, bisiknya, "Lekas mengaku terus terang, kalau tidak, hm, jangan menyesal bila aku tidak kenal ampun lagi."
Perlahan Sim-Tiong-ho berkata, "Su-heng mu dan istrinya masih hidup, aku tidak mencelakai mereka ..."
"Mereka berada di mana sekarang?"
"Di rumah Lau-bu-lai Te-Long."
"Di mana rumah Lau-bu-lai?"
"Di suatu kota kecil dekat Han-yang."
"Di mana letaknya, bicara yang jelas!"
"Biar aku katakan dengan jelas juga tidak ada gunanya sekarang, nanti kalau mau pulang ke Tiong-goan biarlah aku bawa kalian untuk menemui mereka."
"Tidak, sekarang juga harus kau katakan!" bentak Kiam-eng tak sabar.
"Setelah aku katakan, segera akan kau bunuh diriku, begitu bukan?"
"Hm, orang yang ingin membunuhmu masih banyak, buat apa perlu aku turun tangan?"
"Jika begitu, setelah aku katakan tempat su-heng mu dikurung, selera akan kau bebaskan diriku?" tanya Sai-hoa-to.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Huh, memangnya begitu enak bagimu?" jengek Kiam-eng.
"Habis, cara bagaimana akan aku perlakukan diriku?" tanya pula si tabib sakti.
"Hanya kung-fu saja akan aku musnahkan."
"Di tengah rimba raya yang banyak binatang buas seperti ini, jika kau punahkan kung-fu ku, itu terlebih kejam daripada sekali tusuk kau bunuh diriku. Seorang lelaki sejati harus bisa membedakan baik dan buruk, coba kalau dahulu tidak aku beri obat anti gas padamu, cara bagaimana kamu dapat mendatangi tempat ini?"
"Tapi jangan lupa, dua kali pernah aku hendak kau celakai."
"Itu perbuatan Te-Long dan Oh-Sam, aku tidak setuju dan tidak dapat mencegah mereka ..."
"Jangan omong kosong, lekas katakan di mana su-heng ku terkurung?" bentak Kiam-eng.
"Jika kung-fu ku akan kau punahkan, ke sana atau ke sini akhirnya tetap mati, buat apa aku beri keterangan lagi?"
"Hm, jadi kamu berkepala batu dan tetap tidak mau mengaku?"
"Ya, tidak!"
"Baik, biar kau rasakan dulu betapa enaknya otot-tulangmu dipuntir-puntir ... "
Bicara sampai di sini, sekali depak Kiam-eng membuat Sai-hoa-to terguling, segera pula ia hendak meremas iga orang.
Pada saat itulah mendadak terdengar suara jeritan anak perempuan berkumandang dari jauh, "Kakak Eng, lekas kemari, tolong!"
Jelas itulah suara Ih-Keh-ki.
Seketika tubuh Kiam-eng tergeser dan urung menyerang Sai-hoa-to, sinar matanya mencorong terang dan berteriak, "Hm, Keh-ki, itulah suara Keh-ki!"
"Betul, memang betul suara nona Ih," Sam-bi-sin-ong juga berkata dengan terkejut.
Semula Kiam-eng menyangka nasib Ih-Keh-ki pasti lebih celaka dari pada selamatnya, sekarang mendadak terdengar suara jeritan minta tolong di kota emas ini, tentu saja ia terkejut dan bergirang, ia tidak sempat mengurus Sai-hoa-to lagi, cepat ia berkata kepada It-sik-sin-kai dan Sam-bi-sin-ong.
"Harap kalian mengawasi dia dan menjaga nona Ka, biar aku pergi menolong nona Ih."
Habis berkata segera ia lari cepat ke sana.
Ia pun tahu Ih-Keh-ki pasti berada dalam cengkeraman si orang berkedok hijau, ia pun tahu kung-fu orang jelas sukar ditandingi, namun sekarang ia tidak peduli lagi semua itu, tujuannya hanya ingin menyelamatkan Ih-Keh-ki dengan cara apa pun.
Suara jeritan Keh-ki itu berkumandang dari sebuah pagoda di sebelah selatan sana, segera ia lari menurut ke arah suara. Tapi setiba di bawah pagoda itu, kembali ia dengar suara teriakan serupa, akan tetapi sekarang suara itu berkumandang dari pagoda lain yang terletak di kejauhan.


Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Segera pula Kiam-eng lari ke pagoda itu, baru beberapa puluh meter ia lari, tiba-tiba terdengar ada orang mengejar dari belakang, cepat ia lolos pedang dan menahan diri, sedikit mendak, sekonyong-konyong pedang menebas ke belakang.
Begitu pedang bergerak, serentak tubuh pun ikut berputar, terlihatlah sesosok bayangan meloncat ke atas untuk menghindarkan serangannya berbareng pihak lawan pun berseru, "Hei, Su-lau-te, aku inilah!"
Kiranya It-sik-sin-kai adanya.
Kiam-eng melengong, cepat ia tarik pedang dan bertanya, "Maaf, Ang-pang-cu, mengapa engkau tidak mengawasi Sai-hoa-to?"
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Aku rasa keselamatan Su-lau-te terlebih penting daripada Sai-hoa-to maka sengaja aku susul kemari!"
jawab si pengemis tua.
Kiam-eng juga merasa harapan tertolongnya Ih-Keh-ki akan jauh lebih besar bilamana dibantu pengemis tua ini, muka ia lantas menuding pagoda di kejauhan dengan pedang dan berkata, "Nona Ih berada di pagoda itu, mari lekas kita susul ke sana!"
Berbareng mereka lantas melompat ke depan, dengan gin-kang yang tinggi mereka lari ke sana secepat terbang.
Hanya sebentar saja mereka sudah sampai di bawah pagoda yang dituju, waktu mereka mendongak, terlihat tinggi pagoda itu ada 40-50 meter, pada sebuah jendela mendekati tingkat teratas terlihat si orang berkedok hijau berdiri di sana dengan memondong Ih-Keh-ki.
Darah panas Kiam-eng bergolak, selagi ia hendak menerjang ke atas, cepat It-sik-sin-kai mencegahnya dan berbisik, "Sabar dulu, jangan terperdaya!"
Si orang berkedok hijau juga sudah melihat kedatangan mereka di bawah pagoda dengan tergelak ia berteriak, "Pengemis tua, kalau berani ayolah kalian naik kemari."
"Hehe, kau kira pengemis tua tidak berani?" jengek It-sik-sin-kai.
"Kalau berani, ayo, coba saja!" sahut si orang berkedok hijau.
"Baik, tapi kalau memang jantan janganlah kamu lari," seru si pengemis tua sambil tertawa.
Kembali si orang berkedok hijau terbahak-bahak, "Hahaha, lari atau tidak itu kan urusanku jika kalian dapat menangkap diriku barulah terhitung lihai."
It-sik-sin-kai tidak menanggapi lagi ia mendesis terhadap Su-Kiam-eng, "Boleh kau tunggu saja di bawah sini biar pengemis tua yang naik ke sana untuk melabraknya."
"Kan lebih baik aku ikut bersama Ang-pang-cu?" ujar Kiam-eng dengan lirih.
"Tidak, kau jaga saja di bawah pagoda jika dia melompat turun tentu dapat kau cegat dia, dengan begitu baru dia tidak sempat kabur."
Habis berkata ia taruh tikar bututnya, dengan memegang pentung penggebuk anjing segera ia melangkah ke pintu pagoda.
Selama berpuluh tahun bila bertempur dengan orang, tidak pernah It-sik-sin-kai menaruh tikar bututnya.
Sekali ini di luar biasanya ia tinggalkan tikar butut, suatu tanda dia sangat prihatin terhadap pertarungan yang akan terjadi.
Menyaksikan pengemis tua itu masuk ke pagoda, hati Kiam-eng merasa kurang tentram, ia merasa membebaskan Ih-Keh-ki adalah kewajibannya sendiri, biarpun harus terjun ke lautan api atau masuk air mendidih seyogianya dilakukan olehnya, namun dia juga sungkan berbantah dengan It-sik-sin-kai, sebab pengemis tua itu adalah tokoh yang sama tingginya dengan gurunya, pula dia pernah dikalahkan orang berkedok hijau itu, jika orang tua itu tidak dibiarkan maju dulu akan berarti memandang rendah padanya dan hal ini tentu takkan dilakukan olehnya.
Lantaran itulah Su-Kiam-eng hanya diam-diam berdoa saja dengan harapan pengemis tua itu dapat kembali dengan selamat, apakah berhasil menolong Ih-Keh-ki atau tidak menjadi urusan kedua malah.
Ia coba menengadah, dilihatnya si orang berkedok hijau masih memondong Keh-ki dan berada di depan jendela, ia pikir selama beberapa hari ini si nona tentu kenyang menderita, ia coba berseru, "Keh-ki, adakah engkau mengalami cedera?"
Keh-ki diam saja berada dalam pondongan orang, tidak memberontak juga tidak menjawab.
Kiam-eng tahu si nona tentu tertutuk hiat-to bisu dan kelumpuhannya, maka tidak dapat bicara dan juga tidak dapat bergerak. Ia coba tanya si orang berkedok hijau, "Hei, bukalah hiat-to bisunya, biar dia bicara denganku, boleh?"
"Apa yang ingin kau bicarakan dengan dia?" tanya si orang berkedok hijau.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Kiam-eng juga sengaja hendak main ulur waktu dan memancarkan perhatian lawan, supaya It-sik-sin-kai ada kesempatan untuk menyergapnya, maka dengan tersenyum ia menjawab, "Asalkan kau buka hiat-to bisunya tentu akan tahu apa yang akan kami bicarakan kenapa mesti tanya lagi?"
"Hehe, kamu sangat suka kepada nona Ih ini bukan?" tanya pula orang itu dengan terkekeh.
"Peduli apa kau tanya macam-macam?" jengek Kiam-eng.
Si orang berkedok hijau tertawa, "Meski aku bukan comblang, senang juga bila aku lihat pasangan kekasih berhasil menjadi suami-istri. Jika kamu benar suka kepada nona Ih ini, segera juga aku lempar mengembalikannya padamu."
Diam-diam Kiam-eng terkejut dan kuatir, ucapnya, "Biar aku katakan padamu, dia itu cucu angkat Kiam-ong Ciong-Li-cin, jika sampai kau bikin susah dia, tentu nanti Kiam-ong tidak tinggal diam."
"Hahahaha!" orang itu tergelak. "Kiam-ong Ciong-Li-cin itu terhitung barang apa, masakah hendak kau gunakan namanya untuk menggertak padaku?"
"Hm, kung-fu mu memang hebat, tapi hanya pandai membikin susah seorang nona, terhitung orang gagah macam apa itu?" jengek Kiam-eng.
"Ya, benar juga ucapanmu, biar aku lemparkan kembali nona Ih ini kepadamu," seru si orang berkedok dengan tertawa.
Habis berkata, kedua tangannya mendorong ke luar dan Ih-Keh-ki benar-benar dilemparkannya.
Tenaga lemparannya cukup kuat sehingga tubuh Ih-Keh-ki yang terlempar ke luar pagoda itu serupa panah yang terlepas dari busurnya, dengan cepat meluncur ke hutan di belakang Su-Kiam-eng berdiri sana.
Seorang biasa tanpa cedera pun kalau dilemparkan dari ketinggian seperti itu pasti juga akan terbanting mampus apalagi seorang yang hiat-to tertutuk dan tak bisa berkutik, kalau tidak cepat ditangkap tubuhnya, mustahil takkan terbanting hancur.
Karena itulah Kiam-eng sangat terkejut ia menjerit kuatir dan secepat kilat melayang ke sana.
Pada saat itulah terdengar suara bentakan It-sik-sin-kai di atas pagoda, menyusul terdengar pula suara tertawa panjang si orang berkedok hijau, nyata si pengemis tua sudah memburu sampai di atas pagoda dan mulai bergebrak dengan lawan.
Namun yang paling mendebarkan hati adalah si pihak Su-Kiam-eng sini, lantaran Ih-Keh-ki dilemparkan dari tempat ketinggian dan jelas daya luncurnya sangat cepat, maka Kiam-eng tidak sanggup sekali loncat mencapai tempat Ih-Keh-ki akan jatuh itu, maka baru saja ia memburu sampai setengah jalan sudah terdengar suara "bluk" yang keras, nyata Ih-Keh-ki sudah terbanting ke tanah, Di tanah pegunungan itu banyak batu yang tidak rata dan tajam, maka akibatnya dapat dibayangkan.
Kiam-eng menjerit, hancur luluh hatinya. Ia menubruk ke samping Ih-Keh-ki dan dirangkulnya erat-erat sambil meratap, "Keh-ki! O, Keh-ki!"
Tapi cuma dua kali saja ia berteriak dan mendadak ia berhenti dengan melongo.
Ternyata orang yang berada dalam pangkuannya itu meski sudah terbanting hancur, jelas sudah mati, namun sekali pandang saja Kiam-eng lantas mengenalnya bahwa nona ini bukanlah Ih-Keh-ki melainkan seorang gadis suku bangsa setempat yang memakai baju Ih-Keh-ki.
Hati Kiam-eng rada lega setelah mengetahui korban itu bukan Ih-Keh-ki. Ia tahu telah tertipu oleh akal si orang berkedok yang ingin memancingnya meninggalkan kawannya. Ia pun menyadari It-sik-sin-kai tentu juga akan menghadapi bahaya, maka tanpa ayal ia taruh mayat gadis itu dan putar balik ke arah pagoda tadi.
Tak terduga, baru saja ia sampai di bawah pagoda, dilihatnya It-sik-sin-kai sedang datang dari depan, ia terkejut dan heran, cepat ia berhenti dan tanya, "Hai, Ang-pang-cu tidak menyusul dia?"
"Tidak, dia sempat kabur," tutur si pengemis tua sambil menggeleng kepala.
Kiam-eng memandang ke atas pagoda dengan bingung, ucapnya kemudian. "Pagoda setinggi ini, cara Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
bagaimana dia dapat kabur?"
"Ia menggunakan gin-kang maha tinggi dan melayang ke luar melalui jendela, ketika aku susul kemari sudah ketinggalan ..." tutur si pengemis tua dengan lesu. Lalu ia tanya dengan kuatir, "Bagaimana keadaan nona Ih itu?"
"Dia bukan nona Ih melainkan seorang gadis suku setempat, ia hanya memakai baju nona Ih," tutur Kiam-eng.
"Oo, apa maksudnya keparat itu main gila cara begini?" ucap It-sik-sin-kai dengan melengak.
"Semula aku sangka orang itu pasti memasang perangkap di dalam pagoda, sekarang Ang-pang-cu ternyata tidak mengalami sesuatu bahaya, mungkin yang akan celaka adalah Sam-bi-sin-ong malah ..."
"Ya, betul, Pek-li-Pin mungkin akan disergap mari lekas kita kembali ke sana," seru si pengemis itu.
Habis bicara segera ia mendahului lari ke tempat reruntuhan tadi.
Kiam-eng segera menyusul dengan kencang hanya sekejap saja mereka sudah berada kembali di tempat reruntuhan tadi. Terlihat Sam-bi-sin-ong masih berjaga ketat di depan Kalina dengan memegang tongkat kepala ular, namun Sai-hoa-to yang semula rebah di sebelahnya kini sudah tidak tampak lagi.
Di udara situ masih mengepul asap hitam yang cukup tebal, jelas baru saja terjadi pertarungan sengit di situ.
Melihat It-sik-sin-kai dan Su-Kiam-eng sudah kembali, Sam-bi-sin-ong tampak merasa lega, dengan gembira dan juga kikuk ia berkata, "Ang-heng, sekali ini aku kehilangan orang yang kalian percayakan padaku."
It-sik-sin-kai sudah dapat menerka apa yang terjadi, tanyanya, "Sai-hoa-to telah dibawa lari mereka, begitu maksudmu?"
"Betul, tidak lama sesudah kalian pergi, ke tiga pedang emas, perak dan baja itu lantas datang.
Langsung aku ledakkan Yan-mo-tan untuk melindungi nona Kalina, siapa juga sasaran mereka bukanlah nona ini melainkan Sai-hoa-to Sim-Tiong-ho. Ketika aku tahu maksud tujuan mereka, namun sudah nasib, Sai-hoa-to sudah dibawa kabur."
"Keparat," umpat It-sik-sin-kai dengan gemas. "Orang berkedok hijau itu memang pandai mengikat sahabat, dengan ditolongnya Sai-hoa-to ini, jelas selanjutnya dia akan bekerja sepenuh tenaga untuk keparat itu."
"Hm, tahu begini, seharusnya sekali kita hantam mampus dia tadi, sekarang kita berbalik tambah seorang musuh malah," ujar Kiam-eng.
"Adakah kalian melihat nona Ih?" tanya Sam-bi-sin-ong.
"Tidak," tutur Kiam-eng. "Si orang berkedok memperalat nona Ih untuk memancing kepergian kami dari sini tujuannya justru ingin menolong Sai-hoa-to ... "
Lalu ia ceritakan apa yang terjadi tadi.
Air muka Sam-bi-sin-ong tampak prihatin, katanya, "jika begitu, sekarang si orang berkedok hijau telah bertambah seorang pembantu Sai-hoa-to, kekuatannya sudah jauh di atas kita, tentu dia akan menghadapi kita secara terbuka."
"Betul, maka kita harus lekas memikirkan cara bagaimana menghadapi mereka," ujar Kiam-eng.
Sam-bi-sin-ong termenung sejenak, katanya, "Cara yang terbaik adalah menghindari pengintaian mereka, posisi kita dari terang berubah menjadi gelap."
It-sik-sin-kai mengangguk setuju, "Ya, untuk sementara ini terpaksa begitu, tetapi cara bagaimana supaya kita dapat melepaskan penguntitan mereka?"
"Ke tiga anak buahnya sekarang mungkin sedang membawa Sai-hoa-to untuk menemui bosnya, pada kesempatan ini hendaknya lekas kita mencari suatu tempat sembunyi," ucap Sam-bi-sin-ong.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Bagus, di sini banyak bangunan terpisah, biarlah kita sembunyi di dalam salah sebuah kuil," kata pengemis tua.
Setelah mengambil keputusan, diam-diam mereka meninggalkan reruntuhan puing dan menemukan sebuah kuil yang dikelilingi pepohonan, di situlah mereka sembunyi.
Kuil itu seluruhnya terkurung oleh pepohonan tua dan lebat dan hampir tidak tertembus cahaya rembulan. Sebab itulah di dalam kuil gelap gulita segala apa pun tidak terlihat. Untung di dalam kuil tidak bersembunyi binatang buas, mereka lantas duduk di ruangan tengah lantai terasa basah dan berbau tidak enak.
Kalina bersandar erat di samping Su-Kiam-eng katanya dengan takut, "Apakah kita akan sembunyi terus di sini?"
"Tidak," bisik Kiam-eng. "Sesudah hari terang segera kita tinggalkan tempat ini."
"Mencari Jian-lian-hok-leng?" tanya Kalina pula lirih.
Kiam-eng mengangguk.
"Sesudah menemukan Jian-lian-hok-leng segera kita tinggalkan tempat ini?" kata Kalina.
"Baik, sekarang lekas kau tidur saja," jawab Kiam eng.
"Aku tidak dapat tidur," ucap Kalina manja.
"Apakah kamu sangat takut?" tanya Kiam-eng tertawa.
Kalina menggeleng, "Tidak, berada di sampingmu, apa pun aku tidak takut."
Setelah berpikir, Kiam-eng tanya pula, "Pada waktu siang hari, sendirian kau berani sembunyi di sini atau tidak?"
"Mengapa harus sembunyi sendirian di sini." tanya Kalina malah.
"Soalnya besok juga kami akan pergi mencari Jian-lian-hok-leng itu, sangat mungkin akan aku pergoki si orang berkedok hijau itu, sekarang mereka bertiga dan pihak kita cuma bertiga yang mahir ilmu silat, bilamana bertempur, mungkin sukar melindungi keamananmu."
Chapter 17. Rahasia 180 Patung Mas
"Baiklah, biar aku tinggal saja di kuil ini," Kalina mengangguk.
"Paling lambat kami akan pulang pada waktu hari mulai gelap, maka jangan kamu sembarangan ke luar,"
pesan Kiam-eng.
"Ya, aku tahu, engkau jangan kuatir," jawab Kalina.
Kiam-eng merasa si nona sangat penurut diam-diam timbul rasa suka nya, ia coba pegang tangan si nona yang halus itu, ucapnya lembut, "Sekarang jangan bicara lagi, tidurlah sebaiknya."
Kalina bersuara perlahan dan sekalian menjatuhkan diri ke dalam pangkuan anak muda itu ...
Setengah malaman itu berlalu tanpa terjadi sesuatu.
Malam gelap berganti remang fajar lagi, samar-samar keadaan sekitar kuil tempat mereka bermalam ini sudah mulai tampak. Bagian belakang kuil terlihat rada luas, yang dipuja di atas altar adalah patung yang duduk dengan badan telanjang kecuali patung ini tidak ada benda lain lagi dalam kuil ini. Melihat kotoran lembab yang tebal memenuhi lantai, jelas segala benda yang menghias kuil ini dahulu sudah lapuk semua menjadi tanah.
It-sik-sin-kai dan Sam-bi-sin-ong semalaman hanya duduk semadi, ketika terdengar suara kicau burung dari luar kuil baru diketahui hari sudah menjelang pagi. Keduanya serentak membuka mata bersama.
Sekilas mereka melihat patung yang dipuja di kuil ini, serentak mereka melompat bangun ke sana untuk meraba badan patung, air muka yang semula menampilkan rasa girang dan bersemangat itu seketika Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
buyar lagi dengan rasa kecewa.
"Hm, kembali patung batu ..." gumam mereka kesal.
Si pengemis tua mengulet kemalasan dan berdiri katanya, "Pek-li-Pin, mungkin pada waktu tidur pun selalu kau pikirkan ke-180 patung emas itu?"
"Memangnya Ang-heng sendiri tidak ingin melihat patung-patung emas itu?" jawab Sam-bi-sin-ong dengan menyengir.
"Sudah tentu aku pun ingin tahu cuma tidak ada niatku untuk berebut dan memilikinya," ujar pengemis tua.
"Jiwa luhur Ang-heng sungguh aku harus mengaku malu dan tidak sanggup mengikuti namun setiap benda di kota kuno ini kan tidak ada pemiliknya, apa salahnya jika kita mengambilnya?"
It-sik sin-kai tidak ingin banyak omong dengan dia, ucapnya dengan tertawa, "Betul juga ucapanmu.
Cuma semalam sudah aku pikirkan dengan masak, aku kira ke-180 buah patung emas dan kuil yang dibangun dengan emas itu sangat mungkin sudah diusung pergi oleh orang."
"Berdasarkan apa Ang-heng berpikir begitu?" tanya Sam-bi-sin-ong.
"Sangat sederhana," tutur it-sik-sin-kai, "Orang berkedok hijau itu mengaku sebagai Raja Rimba, ini menandakan dia adalah kelahiran dan dibesarkan di tempat ini. Kau percaya tidak pada hal ini?"
"Tidak, dia dan ke tiga anak buahnya itu jelas orang dari Tiong-goan," jawab Sam-bi-sin-ong sambil menggeleng.
"Itu dia, kalau benar mereka orang Tiong-goan pula pada waktu Gak-Sik-lam datang kemari mereka sudah berkeliaran di sini, setelah mengalami waktu sekian lama, biarpun seluruh benteng kuno ini terbangun dari emas tentu juga sudah mereka boyong hingga bersih."
"Hahh, masa bisa jadi begitu?" Sam-bi-sin-ong melengong.
"Memangnya kau kira takkan terjadi begitu?" ujar si pengemis tua.
Sam-bi-sin-ong mondar-mandir dengan gelisah akhirnya ia menggeleng kepala dan berkata, "Tidak tidak mungkin ... "
"Tidak mungkin bagaimana?" tanya si pengemis tua dengan tertawa.
"Aku yakin patung emas itu masih berada di benteng kuno ini," ucap Sam-bi-sin-ong dengan pasti.
"Apa dasarnya, coba ingin aku dengar pendapatmu?" kata pengemis tua.
"Dalil ini sangat sederhana. Apabila segenap emas di sini sudah diangkut pergi oleh si orang berkedok hijau buat apa lagi ia tetap tinggal di sini?"
"Tujuannya tinggal di sini merintangi Su-lau-te yang hendak mengambil Jian-lian-hok-leng itu," ujar It-sik-sin-kai.
Tapi Jian-lian-hok-leng itu akan disembunyikan di dalam salah sebuah daripada ke-180 patung emas itu?" sampai di sini Sam-bi-sin-ong berpaling dan tanya Kiam-eng, "Betul tidak, Su-lau-te?"
"Betul, dari mana kau tahu?" jawab Kiam-eng.
"Pernah aku dengar dirimu," kata Sam-bi-sin-ong.
"Apa betul" Seingatku tidak pernah aku beritahukan kepadamu?" ujar Kiam-eng dengan tercengang.
Sam-bi-sin-ong angkat dan berucap, "Tempo hari waktu kau bicara dengan nona Ih, diam-diam aku sembunyi dan mendengarkan di dekat kalian."
"Oo, kiranya begitu, mungkin mengenai Jian-lian-hok-leng itu disembunyikan di dalam patung ke berapa juga sudah kau ketahui?" kata Kiam-eng.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Sam-bi-sin-ong menggeleng dengan tertawa jawabnya, "Wah, itu sih tidak aku ketahui. Cuma tujuanku tidak terletak pada Jian-lian-hok-leng, hendaknya kamu jangan kuatir."
Lalu ia berpaling dan berkata kepada It-sik-sin-kai, "Nah, dalilku ini cukup untuk membantah dugaanmu tadi atau tidak?"
"Belum cukup, sebab si orang berkedok belum tentu tahu Jian-lian-hok-leng disembunyikan di dalam salah sebuah patung emas." kata si pengemis tua.
Sam-bi-sin-ong melengak, "Oo, makanya dia tidak rela meninggalkan benteng kuno ini?"
"Begitulah sedangkan tujuannya menculik nona Ih justru hendak menunggu kalau Su-lau-te sudah menemukan Jian-lian-hok-leng nanti, dengan ancaman akan membunuh nona Ih, Su-lau-te hendak dipaksa menyerahkan bahan obat mujijat itu."
"Wah, jika begitu, kita justru dapat berlagak hendak mencari patung emas itu secara terang-terangan,"
gumam Sam-bi-sin-ong.
"Biarpun begitu, tentu orang itu pun dapat berpikir bilamana kita bertiga dapat dibunuh, tentu akan jauh lebih baik daripada memaksa Su-lau-te menyerahkan Jian-lian-hok-leng, sebab orang yang sudah terbunuh pun takkan menimbulkan lagi bencana di kemudian hari."
"Menurut pendapatmu, lalu cara bagaimana harus bertindak?" tanya Sam-bi-sin-ong.
"Menurut perkiraanku, tentang ke-180 patung emas itu sudah diangkut pergi oleh si orang berkedok atau belum, ini memang belum jelas. Maka kita tidak boleh tinggal diam dan harus tetap melacaknya, adapun cara mencarinya tetap harus lakukan secara diam-diam di luar tahu lawan."
"Cara bagaimana supaya tidak dilihat lawan?" tanya Sam-bi-sin-ong.
"Kita bertiga boleh mencarinya secara berpencar dan sedapatnya jangan sampai diketahui musuh. Kota kuno ini sangat luas, pula lebat dengan pepohonan, sedangkan pihak lawan cuma ada lima orang, asalkan kita berlaku sedikit cerdik, belum tentu lawan akan dapat menemukan kita," bicara sampai di sini si pengemis tua berpaling dan tanya Kiam-eng, "Bagaimana pendapatmu, Su-lau-te?"
Yang paling dikuatirkan Su-Kiam-eng sekarang adalah tentang kebenaran ke-180 patung emas yang mungkin sudah diangkut pergi oleh si orang berkedok hijau itu, soal cara bagaimana bertindak dan bahaya yang akan dihadapi tidaklah membuatnya gentar. Maka ia mengangguk dan menjawab, "Baiklah, biar kita mencarinya secara terpencar apakah akan berhasil atau tidak, paling lambat saat magrib besok kita tetap berkumpul lagi di sini."
Selesai mengambil keputusan, mereka berempat lantas makan kenyang babi panggang yang masih ada, setelah Kiam-eng memberi pesan lagi seperlunya kepada Kalina, lalu mereka bertiga mengulur ke luar dari kuil itu dari tiga buah pintu yang tidak sama.
Karena fajar baru saja, menyingsing, di luar kuil masih diliputi kabut yang tebal. Setelah keluar dari kuil itu, dengan cepat Kiam-eng menyusup ke dalam hutan dan berjongkok di tengah semak-semak untuk mendengarkan dengan cermat, setelah tidak mendengar sesuatu suara yang mencurigakan barulah ia meloncat ke atas pohon.
Ia merasa untuk menghindarkan mata-telinga musuh, cara terbaik adalah menggunakan rerimbunan hutan itu untuk menutupi gerak-geriknya. Serupa kera saja manjat pohon dan melayang dari satu pohon ke pohon yang lain.
Ketika melompat ke atas pohon tadi sekilas terpikir olehnya, "Ah, kenapa tidak aku gunakan daun pohon untuk menutupi tubuhku, jika berjalan di tanah datar juga tidak mudah diketahui musuh."
Berpikir begitu, ia lantas menebas beberapa ranting pohon berdaun dan digunakan untuk mengelilingi tubuhnya, lalu dibedolnya akar-akaran untuk menutup kepala dan kaki, hanya sebentar saja ia sudah berubah bentuk serupa orang liar.
Kemudian ia mulai merenung, ke mana sekiranya dia harus melacak"
Ke-180 buah patung emas itu bukanlah benda kecil, semalam dia sudah banyak menjelajahi berbagai tempat dan belum menemukan sebuah patung pun. Jika patung-patung itu masih berada di kota kuno ini, tentu terbayang di dalam kuil atau di dalam pagoda.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Jika demikian halnya, lantas kuil atau pagoda mana yang besar kemungkinan dijadikan tempat penyimpanan patung emas sebanyak itu"
Teringat olehnya kuil yang ditemuinya pertama semalam itulah bangunan terbesar di benteng kuno ini, sangat mungkin ke-180 patung emas itu terletak di kuil itu.
Berpikir sampai di sini, segera Kiam-eng melompat jauh ke sana dan langsung menuju ke kuil yang dimaksud.
Setiap kali ia melintasi sebatang pohon tentu dia berhenti untuk mendengarkan dengan cermat, ketika yakin di sekitarnya tidak ada musuh dan bila ada tiupan angin yang menimbulkan suara gemersik daun barulah ia melayang lagi ke pohon yang lain.
Akhirnya, dalam keadaan tak diketahui setan sekali pun dia sampai di atas wuwungan kuil raksasa itu.
Ia mendekam diam di atas wuwungan kuil, setelah yakin pula di sekitarnya tidak ada musuh, selagi ia hendak melompat turun melalui ruang terbuka di halaman tengah, tiba-tiba terdengar suara orang bicara berkumandang dari depan kuil sana.
"Haha, Lo-toa, meski kita tidak memegang pita, akhirnya kita pun dapat mencapai benteng emas ini!
"Memang, coba kau lihat bangunan raksasa ini, sesungguhnya sebuah puri atau sebuah kuil?"
Tergetar hati Kiam-eng, tanpa melihat pun ia tahu itulah Kui-kok-ji-bu-siang.
Ia coba merambat ke tepi atap kuil dan mengintip ke bawah, terlihat kedua setan kayu dan lempung itu berdiri berjajar di tanah rumput di depan kuil besar itu dan sedang memandang kemegahan bangunan kuno ini dengan tercengang.
Saat itu terdengar si setan lempung sedang bicara, Sungguh aneh, kalau dibilang sebuah puri, mengapa tidak ada tembok sekitar. Kalau dikatakan kuil, ternyata di sekitar sini ada parit pelindung puri."
Diam-diam Kiam-eng merasa geli oleh komentar orang dogol itu, sebab apa yang dikatakan si setan lempung sekarang serupa benar dengan apa yang diucapkan It-sik-sin-kai kemarin.
Tertampak si setan kayu tepekur sejenak, lalu berkata, "Ya, juga sangat aneh benteng kuno ini disebut kota emas, padahal, coba kau lihat, bangunan ini kan dibuat dari batu belaka!"
"Betul," ujar si setan lempung, "cuma apa yang disebut kota emas kan tidak mesti terbuat dari emas seluruhnya. Yang kita lihat sekarang baru bangunan besar ini bisa jadi masih ada kuil dan ke-180 patung besar yang terbuat dari emas murni siapa tahu?"
"Eh, bagaimana kalau kita coba masuk ke sana untuk melihat keadaannya," kata si setan kayu.
"Baiklah, mari kita masuk ke sana," si setan lempung mengangguk setuju.
Bicara sampai di sini mereka lantas melangkah maju bersama melintas sebidang tanah berumput dan mulai mendaki undak-undakan kuil menuju ke pintu depan.
Diam-diam Kiam-eng merasa senang melihat mereka masuk melalui pintu besar, ia pikir kedua setan dogol itu belum tahu adanya seorang yang menamakan dirinya sebagai "raja rimba" sekarang mereka masuk begitu saja, jika kebetulan si orang berkedok hijau dan anak buahnya berada di dalam kuil, maka pasti akan terjadi pertarungan pendahuluan.
Selagi berpikir, sekonyong-konyong terdengar si setan lempung menjerit kaget. Lalu terlihat kedua orang dogol itu melompat mundur ke luar secepat kilat. Ketika sudah hinggap di dekat undak-undakan batu air muka mereka kelihatan kaget dan heran.
Habis itu empat orang berkedok lantas muncul dari dalam kuil dan berdiri berhadapan dengan Kui-kok-ji-bu-siang.
Memang tidak salah lagi, ke empat orang berkedok hijau yang menyebut dirinya sebagai "Raja Rimba"
beserta ke tiga anak buahnya, yaitu si pedang emas, pedang perak dan pedang baja. Sikap ke empat orang itu tetap garang dan menakutkan.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Ji-bu-siang memandang mereka dengan curiga dan heran, perlahan si setan kayu pulih ketenangannya, tegurnya sambil menatap tajam si orang berkedok hijau, "Siapa engkau ini?"
"Raja Rimba!" jawab orang berkedok hijau itu dengan dingin.
Si setan kayu melengak, ucapnya dengan tidak mengerti, "Apa artinya raja rimba itu?"
"Aku menguasai segenap suku bangsa di daerah masih biadab ini dan segala jenis binatang buas, maka disebut raja rimba!"
"Hehe, maksudmu, kota emas ini pun termasuk dalam wilayah kekuasaanmu?" si setan kayu menegas dengan tertawa.
"Betul," si orang berkedok hijau mengangguk. "Maka barang siapa sembarangan menerobos ke wilayah kekuasaanku, semuanya harus mati."
Si setan kayu terkekeh, umpatnya, "Kentut busuk makmu! Jika kamu ini raja rimba segala, maka aku pun dapat menyebut diriku sebagai kakek moyangnya rimba ini!"
Si orang berkedok melangkah maju dua-tiga tindak, ucapnya dengan tertawa seram, "Hehe, tampaknya kalian takkan menitikkan air mata sebelum melihat peti mati. Pendek kata tidak perlu banyak bacot lagi, boleh kalian maju saja sekaligus."
Si setan kayu mengangkat alis, ucapnya dengan tertawa, "Hah, memangnya kamu ini ingin melawan kami berdua?"
"Betul dalam serat
Hati Budha Tangan Berbisa 7 Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Bara Naga 12
^