Rahasia 180 Patung Mas 15

Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl Bagian 15


ama ke dua orang setingkatan dengan Ciong-li-Cin, sebab itulah mereka tidak mempunyai sesuatu perasaan apa-apa demi melihat Pek-ho-san-ceng.
Hanya Su-Kiam-eng dan In-Ang-bi yang baru pertama kali berkunjung ke perkampungan agung ini, betapapun mereka diliputi perasaan was-was. Terutama In-Ang-bi mengingat selekasnya akan dapat berhadapan dengan musuh pembunuh ayah, darah panas seakan-akan bergolak dalam rongga dadanya, mata pun merah.
Tidak lama kemudian rombongan mereka pun sampai di luar Pek-ho-san-ceng.
Bangunan Pek-ho-san-ceng yang terkenal ini memang hebat, megah dan luas, lebih dari 50 buah gedung berderet-deret dirimbuni oleh pepohonan yang teratur. Pada pintu gerbang perkampungan terpampang papan mereka dengan tulisan Pek-ho-san-ceng (perkampungan bangau putih). Sesuai nama perkampungannya, terlihat beratus bangau putih hinggap di sana-sini dengan sikap yang anggun dan tenang.
Melihat keadaan kampung yang hebat itu, diam-diam Kiam-eng merasa gegetun, pikirnya, "Sungguh sukar dipercaya jika penghuni perkampungan megah seperti ini nanti ternyata seorang pengganas yang membunuh ke-18 tokoh itu."
Dalam pada itu tampak seorang tua berbaju kelabu berdandan kaum hamba tampak muncul dari dalam kampung. Melihat Kiam-ho dan It-sik-sin-kai dengan dua anak muda tiba di situ, orang tua itu berseru kaget dan cepat memberi hormat katanya, "Aha, sungguh luar biasa. Mungkin sudah beberapa tahun kedua juragan tua tidak pernah berkunjung kemari, entah angin apa yang meniup kalian ke sini hari ini?"
Kiam-ho tertawa, jawabnya, "Ditiup oleh angin topan! Eh, Oh tua, tampaknya kamu masih seperti dulu, sedikit pun tidak tambah tua".
"Ah, masa!" seru si hamba. "Rambut pun sudah ubanan, mana tidak tambah tua"!"
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Oh tua, apakah Ceng-cu kalian berada di rumah?" tanya It-sik-sin-kai tertawa.
"Ada, ada!" jawab si hamba alis Oh tua. "Silakan tunggu sebentar, biar aku lapor kepada majikan!"
Habis itu segera ia lari masuk lagi ke dalam kampung.
Setelah orang itu pergi jauh, Kiam-eng coba tanya sang guru, "Su-hu, siapakah orang tua ini?"
"Doa seorang hamba tua perkampungan ini," tutur Lok-Cing-hui. "Dia she Oh bernama Ling, dahulu sering ikut berkecimpung di dunia kang-ouw bersama Kiam-eng".
"Jika demikian, tentu kung-fu nya juga tidak rendah," ujar Kiam-eng.
"Tentu saja, "Cing-hui mengangguk. "Pada waktu 20 tahun yang lalu, setiap orang semua kenal Kiu-cilian Oh-Liang".
"Di perkampungan ini, kecuali Kiam-ong bersama ke tiga muridnya, terdapat tokoh kelas tinggi siapa pula?" tanya Kiam-eng.
"Orang yang setingkat Oh-Ling, aku kira ada belasan orang, selain itu aku pun tidak tahu jelas," tutur Cing-hui.
"Ya, dahulu pernah juga aku coba kepandaian Oh-Ling, setelah ratusan jurus baru dapat aku kalahkan dia," tutur It-sik-sin-kai.
Terkesiap Su-Kiam-eng, pikirnya, "Busyet! Kalau seorang budak di perkampungan ini saja mampu bergebrak ratusan jurus melawan si pengemis sakti ini, bagiku kan perlu ribuan jurus untuk bisa mengalahkan kaum budak di sini?"
Setelah termenung sejenak kemudian ia tanya pula, "Su-hu, bilamana Kiam-ong Ciong-li-Cin adalah Thian-ong-pang-cu atau si baju hijau berkedok, tentunya kaum budaknya juga pasti akan tahu".
"Ya, tentunya begitu," Lok-Cing-hui mengangguk.
"Jika begitu, dari sikap Oh-Ling tadi adalah Su-hu melihat sesuatu yang mencurigakan?"
"Tampaknya dia bersikap sewajarnya tidak ada sesuatu yang dibuat- buat ... " sahut Lok-Cing-hui.
"Sikap wajar bagi seorang kang-ouw kawakan seperti Oh-Ling, bukan mustahil juga sengaja dibuat-buat," ujar si pengemis tua.
Cing-hui manggut-manggut, lalu katanya kepada In-Ang-bi, "Eh, Ang-bi, sebentar kalau bertemu dengan Ciong-li-Cin, hendaknya kamu jangan sembarangan bertindak".
"Ya, aku tahu, segalanya aku serahkan kepada Su-hu," sahut Ang-bi dengan menunduk.
Tengah bicara terlihat Kiu-ci-lian-hoa-ciang (si pukulan bunga teratai sembilan jari) Oh-Ling muncul pula bersama seorang tua berbaju panjang warna putih.
Usia orang tua ini antara 80-an, alis dan jenggotnya sudah putih seluruhnya. Perawakannya tinggi besar, wajahnya masih merah bercahaya, sorot matanya berkilauan, sikapnya kereng dan juga menampilkan rasa welas-asih dan membuat orang merasa segan dan hormat.
Memang tidak salah, orang inilah jago nomor satu jaman ini, Kiam-ong Ciong-li-Cin adanya.
Begitu sampai di mulut kampung, serentak ia terbahak dan menyapa, "Aha, bagus sekali sudah sekian tahun kalian tidak berkunjung kemari, tadinya aku sangka kalian sudah tidak sanggup berjalan lagi!"
"Selamat Ciong-li-heng." sahut Lok-Cing-hui dan It-sik-sin-kai berbareng.
"Selamat, selamat, sama-sama selamat!" seru Ciong-li-Cin dengan tergelak. "Ai, angin apakah yang meniup kalian ke sini?"
"Tadi sudah aku beri jawaban kepada Oh tua, kalian ditiup ke sini oleh angin topan!" kata Cing-hui.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Angin topan apa maksudmu?" tanya Ciong-li-Cin dengan melengak.
"Maksudnya, mestinya kami tidak datang kemari, tapi terpaksa datang! "tutur Cing-hui.
"Oo, apa pula artinya ucapanmu?" Ciong-li-Cin berubah tidak mengerti.
Lok-Cing-hui tersenyum, "Sukar untuk dijelaskan secara singkat, kenapa Ciong-li-heng tidak mempersilakan kami masuk ke rumah untuk bicara lebih lanjut?"
"Benar, memang harus begitu," cepat Ciong-li-Cin memberi hormat. "Silakan!"
Maka rombongan Su-Kiam-eng lantas dibawa tuan rumah ke ruang tamu yang terpajang mewah. Setelah duduk dan teh disuguhkan, lalu Lok-Cing-hui berkata terhadap Kiam-eng dan Ang-bi, "Eh, Kiam-eng dan Ang-bi, lekas kalian memberi sembah kepada Ciong-li lo-cian-pwe!"
Kiam-eng mengiakan dan memberi hormat kepada Ciong-li-Cin, sedangkan In-Ang-bi agak ogah ogahan, ia hanya memberi hormat sekadarnya saja.
Kiam-ong Ciong-li-Cin tidak menaruh perhatian, dengan tertawa ia berkata, "Eh, sejak kapan Lok-heng menerima lagi anak murid perempuan itu?"
"Belum lama," sahut Cing-hui. "Bagaimana pandangan Ciong-li-heng masakah bisa salah lagi?" ujar Ciong-li-Cin tergelak.
Lok-Cing-hui memandang sekeliling ruangan tanyanya kemudian, "Eh, kenapa beberapa anak muridmu tidak satu pun kelihatan hadir di sini?"
"Ya, bulu mereka sudah tumbuh lengkap, mana mereka mau tinggal di sini hanya untuk mendampingi seorang tua bangka seperti diriku?" ujar Ciong-li-Cin.
Sampai di sini, tiba-tiba ia seperti teringat sesuatu, katanya pula, "Kedatangan Lok-heng dengan membawa ke dua murid kesayanganmu ini, jangan-jangan ada maksudmu hendak dicoba-coba dengan beberapa muridku yang tidak becus itu?"
Lok-Cing-hui menggeleng kepala dan menjawab, "O, tidak, janganlah Ciong-li-heng salah paham, tidak ada sesuatu maksudku bertanya tentang anak muridmu".
"Oo, aku kira ... Oya, kabarnya muridmu Gak-Sik-lam jauh pergi ke wilayah selatan untuk mencari Jian-lian-hok-leng, hasilnya dia menemukan sebuah kota emas di rimba raya purba sana, kemudian lantaran sesuatu dia menjadi cacat total, apakah betul kejadian itu?"
"Memang betul," jawab Lok-Cing-hui.
"Dan sekarang di mana dia?" tanya Ciong-li-Cin pula.
"Entah, mati-hidupnya sampai kini tidak aku ketahui," tutur Cing-hui.
Ciong-li-Cin menghela napas gegetun, "Ai, pemuda berbakat seperti itu ternyata berubah menjadi cacat tanpa tangan dan kaki, sungguh memilukan hati ... "
"Dan apakah Ciong-li-heng tahu sebab apa muridku diutus ke hutan purba di selatan sana untuk mencari Jian-lian-hok-leng?"
"Aku tahu," Ciong-li-Cin mengangguk. "Konon Lok-heng ingin menyembuhkan penyakit putri kesayangan Bu-tek-sin-pian In-Giok-san?"
"Ya, dan bagaimana pandangan Ciong-li-heng tentang tindakanku ini, pantas atau tidak?"
"Sudah tentu pantas dan harus dihargai bilamana untuk mencari tahu seluk-beluk siapa pembunuh ke-18
tokoh dahulu itu".
Setelah melirik Kiam-eng sekejap, lalu Ciong-li-Cin tanya pula, "Kabarnya kemudian Lok-heng mengirim lagi muridmu yang kedua ini, lalu bagaimana hasilnya?"
"Sudah mendapatkan Jian-lian-hok-leng yang aku cari itu," sahut Lok-Cing-hui.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Syukurlah, dan apakah penyakit ling-lung nona In itu pun sudah disembuhkan?"
"Ya, sudah sembuh seluruhnya," Lok-Cing-hui mengangguk.
Air muka Ciong-li-Cin tampak agak berubah ia memandang sekejap ke arah In-Ang-bi, lalu berkata dengan ragu. "Jangan-jangan inilah nona ... "
"Betul, dia inilah In-Ang-bi!" potong Kiam-ho Lok-Cing-hui.
Sikap Ciong-li-Cin memperlihatkan rasa kurang tentram, setelah mengamat-amati In-Ang-bi sejenak, baru saja mau bicara lagi, tiba-tiba bayangan orang berkelebat, seorang budak setengah umur masuk ke ruang tamu dan melapor, "Ceng-cu, perjamuan sudah siap di Pek-ho-ting!"
Ciong-li-Cin mengiakan dan segera berbangkit, "Mari, kita makan dulu, sembari bersantap sambil bicara".
It-sik-sin-kai tertawa, "Sungguh aneh, tidak aku lihat Ciong-li-heng memberi perintah menyiapkan perjamuan, mengapa perjamuan sudah disiapkan secepat ini?"
"Ada tamu agung berkunjung, dengan sendirinya harus aku layani dengan perjamuan, masakah urusan biasa begini perlu aku beri perintah lagi kan lucu?" ujar tuan rumah.
"Betul, betul, setiap tempat yang didatangi pengemis tua, minatnya yang terbesar adalah makan! Begini cepat cara pembantumu menyiapkan perjamuan, sungguh sangat cocok dengan seleraku," seru It-sik-sin-kai dengan tergelak.
Ciong-li-Cin tersenyum, "Malahan malam ini Ang-heng dapat pula minum sejenis arak ternama, yaitu arak yang sengaja aku pesan dari Heng-hoa-cun!"
"Aha, maksudmu hun-cin {arak harum)"!" seru si pengemis tua.
"Betul," Ciong-li-Cin mengangguk. "Konon arak ini simpanan ratusan tahun yang lalu. Aku sendiri belum mencicipinya, entah bagaimana rasanya ... "
Sembari bicara ia terus mendahului melangkah ke luar ruang tamu.
Cepat It-sik-sin-kai mengintil di belakang tuan rumah sambil berkaok. "Wah, alangkah sedapatnya arak harum itu, sungguh menyenangkan. Jika benar arak simpanan ratusan tahun, rasanya tentu tidak perlu disebut-sebut lagi".
Hanya sebentar mereka sudah sampai di sebuah gardu pemandangan di tengah taman, terlihat di situ sudah siap satu meja besar penuh aneka macam santapan. Karena malam sudah tiba ada dua pelayan memegang lentera dan berdiri tegak di situ.
Kiam-ong Ciong-li-Cin menyilakan para tai-su-nya mengambil tempat duduk, ia sendiri menuangkan arak bagi mereka dan mengajak minum.
Setelah menegak satu cawan arak harum, berulang-ulang It-sik-sin-kai memuji kelezatan arak simpanan ratusan tahun itu, lalu mereka asyik bicara tentang arak yang termashur itu.
Melihat beberapa orang tua itu asyik bicara tentang arak, In-Ang-bi menjadi rada gelisah, diam-diam ia sentuh Kiam-eng dan memberi isyarat agar anak muda itu berusaha mengingatkan urusannya kepada ke tiga orang tua.
Kiam-eng juga merasakan bilamana Kiam-ong Ciong-li-Cin benar adalah si pembunuh, caranya mengulur waktu begini memang menguntungkan dia, maka dengan tertawa ia lantas bersuara. "Su-hu, coba lihat, sama sekali su-moai tidak mau minum arak dan malu untuk makan, bisa-bisa dia sakit perut karena kelaparan nanti".
"Oya," Cing-hui tertawa, lalu berkata kepada Ciong-li-Cin, "Ciong-li-heng, tadi kita membicarakan urusan Ang-bi, entah apakah Ciong-li-heng menaruh minat terhadap peristiwa terbunuhnya ke-18 tokoh di Hwe-liong-kok dahulu itu?"
Senyuman Ciong-li-Cin seketika lenyap dari wajahnya serupa awan mendung yang datang mendadak, dengan lesu ia menaruh cawan arak dan terdiam sekian lama, kemudian baru berkata sambil menatap Ang-bi, "Nona In, pada hari ayahmu tertimpa malang, apakah kau pun berada di Hwe-liong-kok?"
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Betul," jawab Ang-bi dengan dingin. "Waktu itu aku sembunyi di puncak tebing Hwe-liong-kok sana".
"Jika begitu tentu kau lihat sendiri siapa pembunuh ke-18 tokoh itu?"
"Betul, malahan si pembunuh itu kemudian kabur melalui sampingku sehingga dapat aku lihat dengan jelas".
"Siapakah dia?" tanya Ciong-li-Cin dengan sorot mata tajam.
"Siapa lagi ialah kamu sendiri. Kamu inilah si pembunuh ke-18 tokoh itu!" teriak Ang-bi sambil berdiri dan menuding tuan rumah tadi.
Seketika suasana di gardu perjamuan itu menjadi tegang.
Namun Ciong-li-Cin tetap duduk di tempatnya, hanya air mukanya yang tampak masam, sorot matanya berkilat dan menatap tajam In-Ang-bi, sampai lama sekali tetap tidak bersuara.
Sikapnya itu sukar bagi orang untuk menarik kesimpulan apakah jago nomor satu itu sedang marah atau lagi terkejut dan gelisah.
Melihat sikap Ciong-li-Cin itu, Lok-Cing-hui pun mulai goyah rasa curiganya terhadap tuan rumah. Melihat orang hanya diam saja, tanpa terasa ia berkata kepada In-Ang-bi dengan setengah mengomel. "Jangan sembarangan omong, Ang-bi".
Mendadak tercetus jengekan Ciong-li-Cin, ucapnya. "Tidak, dia tidak sembarangan omong!"
"Hah, jadi ... jadi Ciong-li-heng memang ... " berbareng Lok-Cing-hui dan It-sik-sin-kai berseru.
Ciong-li-Cin mengangguk, jawabnya, "Betul, orang yang dilihat nona In di Hwe-liong-kok dahulu itu memang benar ialah diriku. Cuma, orang itu bukanlah pribadiku sendiri, di situlah bedanya!"
Lok-Cing-hui menghela napas lega, ucapnya "Ya, memangnya sudah aku duga bahwa ada orang sengaja hendak memfitnah Ciong-li-heng".
Dengan tatapan tajam It-sik-sin-kai tanya Ciong-li-Cin. "Dari ucapanmu ini, agaknya kau pun sudah tahu siapa gerangan orang yang menyamar sebagai dirimu untuk membunuh ke-18 tokoh itu?"
"Betul, memang sudah lama aku tahu," jawab Ciong-li-Cin.
Hal ini agak di luar dugaan Lok-Cing-hui, tanyanya dengan heran, "Jika begitu, mengapa selama ini Ciong-li-heng selalu tutup mulut?"
"Sebab aku menaruh simpati terhadap si pembunuh itu," jawab Ciong-li-Cin tegas.
Cing-hui terkesiap, "Kau bilang ... kau bilang bersimpatik terhadap si pembunuh?"
"Betul," Ciong-li-Cin mengangguk. "Itulah sebabnya selama ini aku tidak mau ikut campur terhadap drama dunia persilatan itu sejauh ini aku harap peristiwa sedih itu biar terlupakan begitu saja, sebab cara demikianlah cara yang terbaik ... "
"Sedemikian Ciong-li-heng ingin melindungi si pembunuh, aku kira masih ada alasan lain, bukan?" tanya si pengemis tua.
"Benar," wajah Ciong-li-Cin tampak pedih. "Sebab kematian ke-18 tokoh itu memang sesuai dengan dosanya".
"Hah, memangnya apa kesalahan ke-18 orang itu?" tanya Cing-hui dengan kaget.
"Ai, kalau aku katakan mungkin sukar dipercaya orang." Ciong-li-Cin menghela napas. "Jika kalian adalah orang yang dapat mempercayai pribadiku, sebaliknya jangan kalian usut peristiwa ini. Di dunia ini memang banyak persoalan dan kejadian yang dari luar tampaknya sangat bagus dan indah, padahal dibaliknya adalah urusan yang busuk dan jahat. Maka lebih baik jangan kita ikut campur ... "
"Tidak bisa jadi," teriak si pengemis* tua mendadak. "Ciong-li-heng menyuruh kami mempercayai kematian ke-18 orang itu sesuai dengan dosa mereka, untuk itu perlu kau ceritakan duduk perkara sejelasnya."
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Betul Ciong-li-heng, memangnya si pembunuh yang sesungguhnya itu orang macam apa?" tukas Cing-hui.
Ciong-li-Cin terdiam sejenak, katanya kemudian, "Jika tidak aku katakan, mungkin kalian akan mencurigai diriku sebagai si pembunuhnya, begitu bukan?"
"Terus terang, memang begitu," si pengemis tua mengangguk.
"Baiklah, jika kalian barkeras ingin tahu, biarlah aku ceritakan ... " Ciong-li-Cin angkat cawan arak dan diminum seteguk, setelah berpikir sebentar dengan khidmat lalu berkisah, "Tentang si pembunuh itu, kalau diceritakan sungguh sangat harus dikasihani. Dia itu seorang anak terbaik ..."
Bicara sampai di sini, mendadak ia berpaling dan memandang ke arah pintu pagar taman berbentuk bundar itu, "Ho Sam, ada apa gugup?".
Waktu itu Cing hui berempat lagi mendengarkan cerita tuan rumah sepenuh perhatian sehingga mereka sama terkesiap oleh teguran itu. Ketika menoleh mereka lihat seorang budak tua sedang lari masuk ke situ dengan sikap gugup.
Setiba di depan gardu budak tua itu lantas berteriak, "Lo-ya, wah celaka!"
"Ada urusan apa?" tanya Ciong-li-Cin dengan muka masam.
Melihat air muka sang majikan menunjuk rasa kurang senang, budak tua itu baru merasa sikap gugupnya itu kurang hormat, ia tidak berani berteriak lagi melainkan mendekati sang majikan dan bicara lirih di tepi telinganya.
Setelah mendapat laporan, serentak sikap Ciong-li-Cin berubah hebat dan berbangkit, katanya kepada Lok-Cing-hui dan It-sik-sin-kai, "Silakan duduk dulu sebentar, ada urusan penting terpaksa harus aku tinggalkan sementara."
"Memangnya kedatangan siapa?" tanya Cing-hui bingung.
Ciong-li-Cin hanya menggeleng saja dengan prihatin, ia cuma bilang "sebentar aku beritahu", lalu tinggal pergi bersama si budak tua dengan tergesa.
Cing-hui saling pandang dengan It-sik-sin-kai dan terdiam sejenak, lalu It-sik-sin-kai melirik ke arah budak yang memegang lentera sekejap, kemudian ia coba tanya Lok-Cing-hui dengan bisikan gelombang suara, "Lok-heng, menurut pendapatmu" kira-kira apa yang terjadi?"
"Siapa tahu" Mungkin kedatangan tokoh apa-apa?" sahut Cing-hui dengan lirih.
"Jika kedatangan tetamu, siapa kira-kira menurut pendapatmu?"
"Dari sikap gugup mereka majikan dan hamba agaknya yang datang adalah seorang tokoh maha lihai."
"Di dunia persilatan jaman ini, siapakah kiranya yang dapat membuat Kiam-ong Ciong-li-Cin merasa gugup" Jangan jangan yaitu si pembunuh ke-18 tokoh dahulu?"
"Ya, mungkin ... "
Dengan tersenyum Kiam-eng ikut bicara, "Jika demikian pendapat Su-hu dan Ang-pang-cu, apakah itu berarti kalian tidak mencurigai Kiam-ong lagi?"
"Memangnya kau kira dalam hal apa dia perlu dicurigai pula?" tanya Cing-hui.
"Sedikitnya, dia tidak mempunyai cukup fakta nyata untuk membuktikan bahwa dia bukan si pembunuh,"
kata Kiam-eng. Cing-hui manggut-manggut, ia coba tanya si pengemis tua, "Bagaimana menurut pendapat Ang-heng?"
"Aku pun tidak dapat memberi kepastian," si pengemis tua menggeleng kepala. "Ia bilang sudah sejak dulu tahu orang itu menyamar sebagai dia untuk membunuh ke-18 tokoh, dikatakan pula kematian ke-18 tokoh itu pantas dengan dosa mereka. Hal ini sungguh sangat di luar dugaan".
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Memang," tukas Lok-Cing-hui. "Aku pun tidak percaya ke-18 tokoh terkemuka itu bisa melakukan hal-hal yang tidak baik".
Sampai di sini, ia coba tanya In-Ang-bi, "Eh, Ang-bi, sebelum ayahmu tertimpa malang, apakah pernah kau lihat ayahmu berbuat sesuatu yang membuatmu heran dan kuatir?"
"Tidak, pribadi ayahku aku yakin cukup dikenal oleh Su-hu, tidak nanti dia berbuat suatu kejahatan,"
sahut In-Ang-bi.
"Menurut ceritamu tempo hari, sebelum ayahmu berangkat ke Hwe-liong-kok, katamu sikapnya agak ganjil, sebentar senang sebentar sedih, seperti mengalami tekanan batin, begitu bukan?"
"Betul, tapi hal itu kan tidak dapat menantikan ayah dan ke-17 tokoh lain pernah berbuat sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani?"
"Ya, mungkin adalah alasan lain bilamana In-lo-cian-pwe sebentar sedih," tukas Kiam-eng.
"Bagaimana pendapatmu sendiri?" tanya Cing-hui.
"Kita tahu, tujuan ke-18 tokoh itu membentuk kelompok, diakui ilmu pedang adalah ingin melampaui ilmu pedang Kiam-ong Ciong-li lo-cian-pwe. Bilamana pada suatu hari mereka diberitahu bahwa Kiam-ong mau memberikan sesuatu obat mujarab untuk mempercepat keberhasilan latihan mereka. Coba menurut Su-hu bagaimana reaksi mereka kira-kira?"
"Ya, dengan sendirinya mereka akan merasa girang dan juga kuatir atau sedih," sahut Lok-Cing-hui.
"Betul, Kiam-eng memang mempunyai semacam obat mujarab yang disebut Tai-goan-sin-tan," sambung si pengemis tua. "Konon sesudah minum obat itu akan dapat menambah tenaga. Apabila ke-18 tokoh itu tahu Kiam-ong mau memberikan obat itu kepada mereka, tentu saja mereka akan gembira. Tapi di lain pihak mereka tentu juga sama sangsi, sebab biarpun Kiam-ong dikenal sebagai seorang tokoh yang terhormat dan jujur, bila dia tidak pikirkan untung-rugi terhadap kelompok diskusi ilmu pedang ke-18
tokoh itu dan berbalik mau mengorbankan obat untuk keberhasilan orang lain, hal sesungguhnya harus dipertimbangkan lebih mendalam. Manusia pada umumnya egoistis, mana ada orang yang mau membantu pihak lain untuk menjatuhkan dirinya sendiri".
"Makanya, sebabnya sebentar girang sebentar sedih In-lo-cian-pwe sebelum berangkat ke Hwe-liong-kok tentulah karena hal ini," kata Kiam-eng.
"Apabila waktu itu orang yang menyamar sebagai Kiam-ong itu memberikan sekotak obat racun dengan mengaku sebagai Tai-goan-sin-tan kepada 18 tokoh itu, bilamana kamu termasuk satu di antara mereka, coba, obat itu akan kau minum atau tidak?" tanya Lok-Cing-hui pula.
"Te-cu akan membuktikan dulu bilamana Tai-goan-sin-tan itu tulen barulah akan aku minum," jawab Kiam-eng.
Tapi menurut cerita Ang-bi, katanya tidak lama setelah Kiam-eng menyerahkan satu kotak kepada ke-13
tokoh itu, lalu racun mulai bekerja ini menandakan begitu isi kotak itu segera diminum mereka tanpa sangsi. Coba pikir, kenapa mereka bisa gegabah tanpa curiga?"
"Ya, hal ini sungguh sukar untuk dimengerti ... " sahut Kiam-eng sambil termenung".
"Bisa jadi sebelum si pembunuh memberikan Tai-goan-sin-tan palsu, dia telah meminta sesuatu imbalan tertentu dari ke-18 tokoh, lantaran itulah ke 18 tokoh itu tidak menaruh curiga sama sekali.
"Betul, pasti begitulah adanya," tukas Kiam-eng.
"Tapi masih ada sesuatu yang sukar dimengerti kata Cing-hui. "Menurut Ciong-li-Cin, dia bersimpatik terhadap pembunuh itu, ini membuktikan dia kenal baik orang itu. Sebaliknya si pembunuh pasti juga kenal Ciong-li-Cin. Jika keduanya saling kenal, mengapa pula si pembunuh perlu menyamar sebagai Ciong-li-Cin dan membuatnya menanggung tuduhan yang sukar membela diri?"
"Sebab itulah aku yakin apa yang diceritakan Ciong-li lo-cian-pwe pasti ada yang tidak jujur," kata Kiam-eng.
Lok-Cing-hui berkerenyit kening, ia pandang ke pintu pagar tembok dan berkata, "Aneh juga sudah sekian lama ia pergi belum lama kembali".
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Apakah tidak mungkin dia akan kabur?" ujar It-sik-sin-kai.
"Tidak, jika dia si pembunuh, tentu sudah diketahuinya akan kedatangan kita, bila dia tidak kabur sebelumnya, sekarang tentu juga dia takkan kabur," ucap Lok-Cing-hui pasti.
Tengah bicara, tiba-tiba terlihat si budak tua yang datang melapor dengan gugup tadi muncul lagi dengan membawa sesuatu barang.
Sesudah dekat baru diketahui yang dibawanya adalah sebuah wajan besar yang masih mengepul panas.
Terbeliak pandangan It-sik-sin-kai, air liur hampir saja menetes sebab disangkanya wajan itu pasti berisi makanan enak, tanyanya dengan sikap rakus, "Eh, barangkali kau bawakan Ang-sio-hi untuk kami?"
Wajan panas ditaruh di atas meja batu oleh si budak tua, jawabnya dengan hormat, "Betul inilah masakan khusus yang dibuat oleh koki kepala kami".
Lok-Cing-hui lantas tanya juga. "Eh, apakah saat ini Ceng-cu kalian masih menemui tamu?"
"Betul," jawab si budak tua. "Lo-ya menyilakan tuan-tuan dahar dahulu, sebentar beliau dapat datang kemari".
Sambil mengamati budak tua itu Lok-Cing-hui tanya pula, "Siapa namamu?"
"Hamba bernama Ho-Sam," si budak tua menjawab dengan hormat.
"Sudah berapa lama kamu bekerja di sini?"
"Belum lama, baru setahun lebih".
"Pantas belum aku kenal ... Baiklah, boleh kau pergi!" kata Cing-hui akhirnya.
Dengan hormat Ho-Sam lantas mengundurkan diri ke luar taman.
Sementara itu It-sik-sin-kai lagi menatap wajan panas dan hampir saja mengeces, serunya dengan tertawa, "Aha, Lok-heng, kau tahu Ang-sio-hi kalau sudah dingin tentu kurang lezat, ayolah kita ... "
"Mau makan boleh silakan, kenapa sungkan," jawab Cing-hui tertawa.
Dengan gembira It-sik-sin-kai lantas membuka tutup wajan panas itu. Siapa tahu, begitu tutup wajan tersingkap, kontan ke empat orang sama berteriak dan melonjak kaget.
Ternyata isi wajan itu bukanlah Ang-sio-hi segala melainkan sebuah kepala manusia dengan darah yang berlumuran.
Yang lebih mengagetkan lagi bahkan kepala manusia itu jelas dikenal sebagai kepala Kiam-ong Ciong-liCin.
Masih tertampak jelas ke dua mata Kiam-ong melotot murka, kulit mukanya sudah berkerut karena direbus di dalam wajan, darah masih belepotan pada jenggot di bawah dagu, keadaan seram sekali.
Pucat pasi air muka Ciong-hui ber empat, mereka melongo memandangi kepala Kiam-ong Ciong-li-Cin yang melotot di dalam wajan itu. Sampai sekian lama mereka tidak dapat bicara apa pun.
Ke dua budak yang memegang lentera juga kaget setengah mati sehingga lentera pun terjatuh ke lantai dengan gemetar seorang di antaranya melihat kepala di dalam wajan dan berucap, "Oo, Allah! Buk ...
bukankah itu kepala Lo-ya kami"!"
Lok-Cing-hui berputar cepat dan meraih lebar baju salah seorang budak itu sambil membentak "Lekas katakan, terletak di mana dapur kalian!"
Dengan gemetar budak itu menjawab, "Dapur terletak di ... di sana ..."
Cing-hui mengguncangkan tubuh budak itu sambil berseru, "Lo-ya kalian tentu terbunuh oleh Ho-Sam di dapur, lekas membawa kami ke dapur sana!"
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Budak itu mengiakan dengan gugup dan mendahului berlari sempoyongan ke luar taman dan menuju ke tengah gedung sana. Lok-Cing-hui berempat mengikut ketat di belakang orang. Setelah berputar dan menyusur beberapa ruangan, akhirnya sampai di depan pintu sebuah dapur yang tertutup rapat daun pintu dan jendelanya.
Terlihat asap masih mengepul di cerobong dapur di luar dapur juga masih ada dua pekerja sedang membersihkan alat perabot. Melihat gelagatnya agaknya mereka belum lagi mengetahui bahwa majikan mereka telah dibunuh orang.
Tanpa bicara Lok-Cing-hui menerjang maju, sekali tolak, pintu dapur lantas terpentang dan terlepas dari engselnya. Beramai mereka menerjang ke dalam dapur, bayangan Ho-Sam ternyata tidak kelihatan lagi.
Hanya di samping tungku menggeletak sesosok mayat tanpa kepala dan darah segar memenuhi lantai.
Dan mayat ini jelas adalah mayat Kiam-ong Ciong-li-Cin.
Melihat rombongan Lok-Cing-hui menerjang paksa ke dalam dapur, ke dua pekerja di tepi sumur tadi merasa bingung. Tapi segera mereka pun ikut masuk ke dalam dapur, mereka menjerit kaget demi melihat kepala sang majikan sudah terpenggal.
It-sik-sin-kai mencengkeram salah seorang pekerja itu dan dibentak, "Lekas katakan, di mana koki kalian?"
Dengan gemetar pekerja itu menjawab, "Ialah ... ialah Ho-Sam!"
"Ke mana dia?" bentak pula si pengemis tua dengan beringas.
"Hamba ... hamba tidak ... " jawab pekerja itu ketakutan. "Hamba tidak ... tidak melihat dia ke luar dari dapur ... "
"Mengapa pintu dan jendela dapur ini sama tertutup?"
"Kata si Ho-Sam hendak membuat semacam ... semacam makanan terkenal, maka ... maka orang lain dilarang ikut menyaksikan, dan .... dan kami lantas disuruh ke luar, tak terduga ... O, Tuhan, apakah dia yang membunuh Lo-ya!!"
"Hm, memangnya sejak kapan Lo-ya kalian masuk ke dapur?"
"Belum lama mungkin belum ada ... belum ada setengah jam."
"Sesudah majikanmu masuk ke situ, adakah kau dengar sesuatu suara!"
"Tidak ada, kami tidak ... tidak mendengar suara apa pun."
Selagi tanya jawab sekonyong-konyong terdengar suara teriakan ramai di tengah kampung, segera terlihat beberapa orang hamba berlari datang seperti kesetanan.
"Api! Kebakaran! Api! Di luar kedatangan serombongan musuh mereka menyiram minyak dan membakar, Pek-ho-san-ceng kita telah terkurung api!" demikian beberapa orang berteriak-teriak.
Air muka Lok-Cing-hui berubah, cepat ia tanya, "Musuh dari mana?"
Seorang budak menjawab, "Entah, tidak jelas! Mereka sama memakai kedok, berjumlah ratusan, diam-diam mereka menyiram minyak ke dalam pagar, sekarang api telah berkobar di sekeliling kampung, jalan ke luar telah dibuat buntu!"
Serentak mereka menerjang ke luar dapur dan melompat ke atas rumah, mereka coba memandang jauh keliling kampung, benar terlihat api berkobar di sana-sini, bahkan musuh pun seperti sudah menyusup ke dalam kampung untuk menyalakan api sehingga beberapa gedung pun mulai terjilat api, lidah api dan asap tebal membubung tinggi ke udara.
"Hm, ini tentu perbuatan Thian-ong pang-cu itu," jengek Lok-Cing-hui. "Ayo kita coba mencarinya di sekitar sana".
Habis berucap segera ia mendahului lari cepat ke arah pintu gerbang.
Cepat It-sik-sin-kai, Su-Kiam-eng dan In-Ang-bi ikut lari ke tengah perkampungan, terlihat beberapa Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
orang sudah menggeletak di tepi pagar, namun tidak nampak jejak musuh.
Waktu diperiksa lagi ke sekitarnya terlihat lidah api sudah menjilat sekeliling pagar tembok sehingga berbentuk lingkaran api yang mengurung rapat Pek-ho-san-ceng, api berkobar dengan dahsyat, memang benar tidak ada jalan untuk lari.
Banyak penghuni Pek-ho-san-ceng yang berlari kian kemari dengan senjata terhunus, mereka seperti sedang mencari musuh, juga seperti lagi mencari jalan untuk menyelamatkan diri. Pendek kata, Pek-ho-san ceng yang termashur itu sekarang berada dalam keadaan kemelut.
Setelah mencari kian kemari, rombongan Su-Kiam-eng tetap tidak menemukan bayangan musuh.
Padahal api sudah mulai merambat ke pusat kampung, tentu saja mereka agak cemas.
Tiba-tiba It-sik-sin-kai menengadah dan terbahak-bahak, "Hahahaha! Lok-heng, selama berpuluh tahun kita malang melintang di dunia kang-ouw, tak terduga hari ini nyawa kita harus amblas di sini. Bilamana berita ini tersiar, bukankah akan dijadikan bahan tertawaan kawan kang-ouw?"
Lok-Cing-hui tersenyum kecut, "Memang, padahal bagaimana macam Thian-ong pang-cu saja belum kita lihat, kematian ini sungguh membuat kita penasaran".
Baru habis ucapannya, tiba-tiba sesosok bayangan orang melayang tiba secepat terbang. Baru saja orang ini hinggap di tamah, segera pula in berkata kepada Lok-Cing-hui, "Harap kalian lekas mengikuti hamba!"
Yang datang ini ternyata salah seorang budak setia Kiam-ong Ciong-li-Cin, yaitu Kiu-ci-lian-hoa-ciang Oh-Ling.
Dengan girang Cing-hui bertanya, "Hei, Oh tua, apakah ada jalan lari?"
Oh-Ling berlari ke sebelah kanan halaman sana sambil menjawab, "Anda, lekas ikut padaku, ada jalan penyelamat di kamar tulis Lo-ya kami".
Segera Lok-Cing-hui dan rombongannya menyusul cepat ke sana.
Oh-Ling membawa mereka lari masuk ke kamar tulis Ciong-li-Cin, in geser sebuah rak buku, benar juga terlihat sebuah pintu rahasia di dinding belakang rak.
Setelah pintu dibuka, Oh-Ling berkata, "Ini sebuah jalan rahasia, dari sini dapat langsung menembus ke luar kampung sana".
Habis berkata segera ia mendahului menerobos ke balik pintu.
Cing-hui membiarkan Kiam-eng dan Ang-bi masuk dulu baru bersama It-sik-sin-kai ikut menyusup ke dalam pintu. Terlihat jalan di bawah tanah itu gelap gulita, apa pun tak terlihat. Untung jalan itu tidak terlalu luas. Ke dua dinding dapat diraba tangan, maka mereka dapat merambat maju ke depan tanpa halangan apa pun.
Sembari berjalan It-sik-sin-kai bertanya. "Oh tua, apakah Lo-ya kalian dibunuh oleh Ho-Sam?"
Oh-Ling menjawab dengan suara pedih, "Jika Lo-ya meninggal di dapur, jelas itu perbuatan Ho-Sam.
Tadi aku lihat dia meninggalkan perkampungan ini dengan terburu buru, aku sangka dia pergi membeli sesuatu, sama sekali tak terpikir ... "
Sampai di sini, suaranya menjadi tersendat-sendat.
"Dan orang macam apakah Ho-San?" tanya Cing-hui pula.
"Hamba pun tidak tahu asal-usulnya." sahut Oh-Ling. Setahun yang lalu dia datang melamar pekerjaan kepada Lo-ya dan diterima untuk bekerja di dapur. Pernah aku tanya kepada Lo-ya tentang asal usul Ho-Sam, namun Lo-ya seperti serba susah untuk menjelaskan ... "
"Dia pasti orang Thian-ong-pang!" kata It-sik-sin-kai.
"Akan tetapi mengapa Lo-ya kami bila berhubungan dengan orang Thian-ong-pang?" tanya Oh-Ling bingung.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Betul, hal ini memang sangat sulit dimengerti," kata It-sik-sin-kai. "Mungkin kau pun tidak tahu bahwa sebab kematian ke-18 tokoh persilatan di Hwe-liong-kok dahulu itu, si pembunuhnya justru menyamar sebagai Lo-ya kalian...."
"Hah, apa katamu, Ang-pang-cu!" seru Oh-Ling kaget.
"Maksudku, si pembunuh ke-18 tokoh persilatan itu menyamar dalam bentuk sebagai Lo-ya kalian," tutur si pengemis tua.
Oh-Ling tidak habis mengerti tanyanya bingung, "Dari mana Ang-pang-cu tahu si pembunuh melaksanakan keganasannya dengan menyaru sebagai Lo-ya kami?"
"Menurut cerita nona In," sahut si pengemis tua. "Ia lihat sendiri Lo-ya kalian menyerahkan sebuah kotak kepada ke-18 tokoh, kotak itu katanya berisi obat kuat, tapi kenyataannya berisi racun yang sangat jahat. Sesudah diminum ke-18 tokoh, semuanya lantas binasa.
"Jika begitu, jadi kedatangan Ang-pang-cu berempat sekarang semula menyangka Lo-ya kami adalah si pembunuhnya dan berniat melabraknya?" tanya Oh-Ling.
"Betul, tapi sekarang, ia ... " si pengemis tua menghela napas panjang dan tidak melanjutkan.
Oh-Ling juga tidak bicara lagi, rombongan mereka terus merambat maju di lorong yang gelap itu, rasa duka dan malu diri meliputi perasaan Lok-Cing-hui. It-sik-sin-kai, Su-Kiam-eng dan juga In-Ang-bi.
Semula mereka mengira Kiam-ong Ciong-li-Cin adalah si pembunuh ke-18 tokoh dan juga si pelaku baju hijau berkedok atau Thian-ong pang-cu, tapi sekarang dia sudah mati, bahkan kepalanya dipenggal orang dan dikukus segala hal ini sama dengan semacam sindiran tajam terhadap prasangka mereka.
Sekarang urusan sudah terbukti, maksud tujuan kepergian Gak-Sik-lam dan Su-Kiam-eng ke daerah selatan dengan harapan menyembuhkan penyakit ingatan In-Ang-bi agar si nona dapat memberi keterangan siapa si pembunuh ke-18 tokoh, sekarang tujuan tersebut jelas sudah gagal total.
Ya, si pengganas yang meracuni ke-18 tokoh persilatan di Hwe-liong-kok tidak perlu disangsikan lagi pastilah si baju hijau berkedok, namun sesungguhnya siapakah gerangan si baju hijau berkedok itu"
Begitulah mereka turun menyusuri lorong bawah tanah itu dengan bungkam, sementara itu Oh-Ling yang berjalan di depan sudah sampai di mulut gua. Ia menolak sepotong papan yang menjulur ke luar itu, lalu melompat ke atas.
Rupanya jalan ke luar lorong itu terletak di tengah sebuah rumah gubuk, di dalam gubuk ini penuh tertimbun kayu bakar dan dihuni seorang tukang kayu, dengan sendirinya tukang kayu ini adalah orang kepercayaan Ciong-li-Cin. Namun bagi orang yang tidak tahu seluk-beluknya tentu menyangka di dalam gubuk ini ada sebuah lorong di bawah tanah yang dapat menembus ke kamar tulis Ciong-li-Cin.
Setelah beberapa kaum hamba serta rombongan Lok-Cing-hui melompat ke luar dari lorong bawah tanah, tanpa bicara segera Oh-Ling mendahului berlari menuju kembali ke Pek-ho-san-ceng.
Lok-Cing-hui dan lain-lain juga merasa mungkin masih berada di luar perkampungan, maka begitu melihat Oh-Ling lari ke sana, serentak mereka pun menyusul dengan kencang.
Hanya sekejap saja mereka sudah berada lagi di luar Pek-ho-san-ceng, terlihat seluruh perkampungan sudah tertelan lautan api yang dahsyat, lidah api menjulang tinggi ke udara dan menerangi segenap pelosok perkampungan itu seperti di siang hari, namun tiada bayangan seorang musuh yang kelihatan, melihat gelagatnya musuh sudah mengundurkan diri.
Lok-Cing-hui mendengus, katanya terhadap It-sik-sin-kai, "Ang-heng, silakan mencari ke sebelah kiri bersama Oh tua, biar aku dan Kiam-eng mencari ke sebelah kanan, nanti kita berkumpul lagi di belakang kampung sana".


Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

It-sik-sin-kai mengiakan, bersama Oh-Ling dan kawanan budak mereka terus lari ke sebelah kiri kampung.
Lok-Cing-hui juga lantas pimpin rombongannya menuju ke sebelah kanan, ke tiga orang berjajar dalam jarak beberapa meter dan terus mencari sepanjang jalan.
Tidak lama kemudian ke dua kelompok pun bertemu di belakang kampung, ternyata tidak menemukan sesuatu, bahkan jejak musuh pun tidak terlihat.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Oh-Ling dan kawanan budak mencucurkan air mata menyaksikan Pek-ho-san-ceng tertelan lautan api hingga ludes.
"Lok heng," ucap It-sik-sin-kai dengan menghela napas, melihat gelagatnya, terasa sangat majemuk hubungan antara Ciong-li-Cin dan si pembunuh".
"Pembunuh yang mana?" tanya pengemis tua.
"Dengan sendirinya si pembunuh ke-18 tokoh persilatan itu," jawab Lok-Cing-hui. "Ho-Sam yang membunuh Ciong-li-Cin tadi tidak lebih hanya anak buah si pembunuh itu".
"Sebabnya Ho-Sam membunuh Ciong-li-heng tentu dengan maksud agar Ciong-li-heng tidak menyebutkan nama si pembunuh kepada kita".
"Betul, akan tetapi hubungan antara Ciong-li-heng dan si pembunuh sungguh ruwet dan sukar untuk diraba. Sudah jelas Ciong-li-heng terkekang oleh pembunuh itu, namun dia justru menyatakan bersimpatik terhadap pembunuh itu ... "
"Apakah mungkin terjadi, ada hubungan keluarga antara pembunuh itu dan Ciong-li-heng?" tanya si pengemis tua.
"Tidak mungkin," Lok-Cing-hui menggeleng. "Apabila sanak keluarga, tentu Ho- Sam tidak berani membunuhnya".
"Ya, mungkin di antara anak murid Ciong-li-heng ada yang tahu seluk-beluknya, cuma sayang tiada seorang pun di antara mereka berada di sini," kata It-sik-sin-kai sambil mendekati Oh-Ling dan bertanya,
"Eh, Oh tua, memangnya berada di manakah anak murid Lo-ya kalian?"
"Entah," jawab Oh-Ling dengan tersendat. "Sepanjang tahun mereka pun jarang berkunjung kemari.
"Seharusnya kau cari mereka agar pulang ke sini untuk membereskan urusan yang semrawut ini," ujar si pengemis tua.
Oh-Ling menuding api yang berkobar, katanya dengan pedih, "Pek-ho-san-cen sudah ludes di telan lautan api, memangnya masih ada urusan apa yang perlu dibereskan?"
"Ya, sedikitnya perlu kau beritahu kejadian ini kepada mereka".
"Tentu ... tentu hamba akan berusaha mencari mereka ... " jawab Oh-Ling dengan menangis.
"Dan sekarang, adakah sesuatu yang perlu bantuan kami?" tanya It-sik-sin-kai.
"Ang-pang-cu dan Lok-tai-hiap akan segera pergi?" Oh-Ling menegas.
"Sungguh menyesal kedatangan kami justru mendatangkan bencana maut bagi Lo-ya kalian?" jawab si pengemis tua. "Namun kami juga tidak dapat tinggal diam saja di sini dan membiarkan musuh kabur begitu saja".
"Baiklah, mohon kalian dapat menangkap si pembunuh secepatnya untuk membalas sakit hati Lo-ya kami," kata Oh-Ling.
It-sik-sin-kai mengangguk, ia mendekati Lok-Cing-hui dan mengajak, "Lok-heng, mari kita pergi!"
Lok-Cing-hui tampak sedang melamun tidak bicara dan tidak bergerak, entah apa yang lagi dipikirkan.
"Apakah yang kau renungkan, Lok-heng?" tanya si pengemis tua dengan tercengang.
Lok-Cing-hui seperti terjaga sadar, sahutnya dengan tersenyum, "Oo, maaf, aku sedang memikirkan seorang ... "
"Memikirkan siapa?" tanya It-sik-sin-kai.
Cing-hui memandang beberapa kaum hamba itu, ingin bicara tapi urung, baru kemudian ia berkata singkat, "Ah, tidak ada, marilah kita pergi".
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Habis itu ia lantas mendahului melangkah pergi.
Rombongan mereka meninggalkan Hou-ge-san dan menuju ke kota Ge-ling yang terletak 50-an li jauhnya. Setiba di tempat tujuan hari belum lagi terang, pintu kota belum terbuka. Mereka lantas duduk di kaki tembok kota untuk menunggu.
Melihat Lok-Cing-hui jadi pendiam, It-sik-sin-kai coba tanya lagi, "Lok-heng, mau kah kau perkenalkan orang yang sedang kau pikirkan itu kepada kami?"
"Mungkin Ang-heng juga pernah mendengar cerita tentang orang itu," sahut Lok-Cing-hui. "Dia adalah Su-te Ciong-li-cin, namanya Hin-thian-kiau Lau-Ging-yang".
"Oo, jadi Ciong-li-Cin mempunyai seorang su-te?" pengemis tua menegas.
"Ya, masa Ang-heng tidak pernah dengar?" Lok-Cing-hui mengangguk.
"Tidak, belum pernah aku dengar bahwa Ciong-li-Cin masih mempunyai seorang su-te".
"Cuma, su-te Ciong-li-Cin itu konon pada 30 tahun yang lalu sudah dibunuhnya".
"O, Ciong-li-Cin membunuh su-te nya?" It-sik-sin-kai menegas dengan heran.
"Betul, itulah yang disebut pembersihan rumah tangga," Cing-hui mengangguk. "Soalnya kelakuan Hin-thian-kiau Lau-Ging-yang itu kurang baik, bawaannya dengki, banyak curiga dan cemburuan, sering hanya lantaran urusan kecil ia pun membunuh orang. Tidak jarang Ciong-li- Cin memberi nasihat cara menjadi manusia yang baik, namun tidak pernah dihiraukan Lau-Ging-yang. Pada suatu hari kembali Lau-Ging-yang membunuh seorang jago Siau-lim-pai hanya disebabkan urusan sepele. Tentu saja pihak Siau-lim-pai minta pertanggung-jawaban Ciong-li-Cin. Saking gusarnya, Ciong-li-Cin menghajar sang su-te hingga terluka parah, bahkan didepak terjungkal ke dalam jurang".
"Lantas, mengapa Lok-heng teringat kepada orang ini?" tanya It-sik-sin-kai.
"Sebab kemarin Ciong-li-Cin pernah menyinggung bahwa si pengganas itu adalah seorang putra berbakti kepada orang tua. Sedangkan Hin-thian-kiau Lau-Ging-yang biarpun bukan seorang terpuji tingkah-lakunya, namun dia justru seorang yang sangat berbakti kepada ayah-bundanya".
"Akan tetapi Hin-thian-kiau kan sudah mati sekian lama?"
"Ya, tapi mungkin juga dia belum mati ... " It-sik-sin kai terbelalak, "Apa dasarnya Lok-heng berpikir begitu?"
"Pertama, Ciong-li-Cin bilang si pengganas adalah seorang putra berbakti, ke dua, Ciong-li-Cin menyatakan bersimpatik terhadap pembunuh itu, rasa simpatik ini bisa timbul dari rasa penyesalan, sebab apapun juga sebagai su-heng tentu mempunyai perasaan, apalagi mengingat dahulu dia membunuh Hin-thian-kiau dalam keadaan murka, sesudah terjadi dia pasti berduka dan menyesal.
Bilamana kemudian diketahui sang su-te ternyata tidak jadi mati dalam jurang, dia pasti akan senang dan terhibur.
"Hal ini serupa seorang ibu sehabis menghajar putranya, kemudian tentu akan merasa pedih, dan seterusnya bukan mustahil akan tambah sayang terhadap putranya. Sebab itulah, ketika, meski Ciong-liCin sudah jelas tahu siapa si pembunuh, sejauh ini dia tetap tidak mau membeberkannya kepada orang lain".
"Wah, jika begitu, tampaknya si pembunuh sangat mungkin ialah Hian-thian-kiau Lau-Ging-yang," seru pengemis tua sambil menepuk paha.
Lak-Ging-hui berpikir sejenak, katanya kemudian kepada Su-Kiam-eng, "Kiam-eng, urutan ini perlu kau selidiki hingga terbukti".
"Baik, silakan Su-hu memberi petunjuk," jawab Kiam-eng dengan hormat.
"Sekarang Kiam-ong Ciong-li-Cin sudah meninggal, maksud kita ingin menangkap si pembunuh ke-18
tokoh itu terpaksa harus dicari jalan lain. Dahulu Wi-ho-Lo-jin pernah memberitahukan padamu bahwa Boh-to-Siang-jin yang tinggal di Tai-hin-si di kota Tiang-an sangat mahir tulisan Thian-tiok. Nah, coba pikirkan, mungkinkah si pembunuh itu akan mencari Boh-to-Siang-jin untuk minta jasanya agar menerjemahkan kitab ilmu pedang itu".
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Ya, jika benar si pembunuh adalah si baju hijau berkedok, kecuali ada anak buahnya yang menguasai tulisan Thian-tiok, kalau tidak ada tentu dia akan minta jasa baik Boh-to-Siang-jin." jawab Kiam-eng.
"Maka boleh coba kau pergi ke Tiang-an," ujar Lok-Cing-hui.
"Baik, kapan kiranya te-cu berangkat?" tanya Kiam-eng.
"Kalau mau pergi hendaknya cepat, kan diperlukan setengah bulan perjalanan dari sini ke Tiang-an".
"Lantas bilamana te-cu mendapatkan sesuatu hasil, cara bagaimana untuk mengadakan kontak dengan Su-hu?"
"Aku pikir akan putar balik dulu ke sekitar Oh-pak untuk mencari jejak su-heng mu, bilamana ada urusan perlu kontak denganku boleh kau minta bantuan Kai-pang ... " sampai di sini, Lok-Cing-hui berpaling dan tanya It-sik-sin-kai. "Ang-heng, adakah perwakilan Kai-pang kalian di daerah Oh-pak?"
"Ada, yaitu di dalam kota Hau-yang," tutur si pengemis tua. "Pemimpinnya seorang buntung sebelah kaki, namanya Tok-keh-lo-han, biasanya dia tinggal di kelenteng Khong-hu-cu".
"Nah, bilamana kau mau kontak denganku, boleh kau pergi ke Han-yang dan tanya saja kepada Tok-ka-lo-han itu," kata Cing-hui terhadap Su-Kiam-eng.
Anak muda itu mengeluarkan dua potong medali emas dan diserahkan kepada sang guru, katanya.
"Kepergian te-cu ini mungkin akan kepergok sejauh, harap Su-hu pegang ke dua buah medali emas ini agar tidak jatuh ke tangan musuh."
Lok-Cing-hui menerima medali emas dan berkata, "Baiklah, boleh kau berangkat".
Selagi Kiam-eng hendak mohon diri kepada It-sik-sin-kai, tiba-tiba In-Ang-bi berkata, "Nanti dulu, tunggu sebentar!"
"Ada urusan apa?" Kiam-eng melengak.
Ang-bi tidak menjawab, ia memandang Lok-Cing-hui dan memohon. "Su-hu, bagaimana kalau aku ikut pergi bersama Su-su-heng?"
Kiam-eng terkesiap, berulang ia mengedipi sang guru. Cing-hui tahu maksudnya, dengan tersenyum ia berkata, "Jangan, kepergian su-heng mu ini sangat mungkin akan menghadapi berbagai keadilan, kungfu mu sekarang belum cukup untuk membela diri, akan lebih baik untuk sementara kau tinggal bersamaku saja".
"Tapi ... tapi kalau Su-heng pergi sendirian bila mengalami kesulitan ... "
"Jangan kuatir," sela Kiam-eng. "Jika ada kesulitan, aku sendiri dapat mengatasinya".
Habis bicara ia lantas menjura dan mohon diri kepada sang guru dan si pengemis tua, lalu berangkat menuju ke utara ... "
*********** Setengah bulan kemudian, sampailah Su-Kiam-eng di Tai-hin-si di kota Tiang-an. Biara itu sangat megah, dengan sikap seperti seorang pelancong Kiam-eng memasuki ruang pendopo biara dan menyapa seorang hwe-sio menyambut tamu. Ia mengaku datang dari Bu-lim-teh-co dan minta hwesio itu melaporkan kepada Boh-to-Siang-jin.
Rupanya hwe-sio itu pun tahu Wi-ho-Lo-jin adalah sahabat Boh-to-Siang-jin, maka tanpa ayal permintaan Kiam-eng itu disambut dengan baik,
ia bawa anak muda itu ke ruang dalam.
Setiba di satu kamar dalam biara, hwesio itu mengetuk pintu dan berseru dengan hormat, "Lapor Cu-ji (pimpinan), seorang siau-si-cu (tuan muda darmawan) dari Bu-lim-teh-co mohon berjumpa dengan Cu-ji?"
Segera terdengar jawaban suara welas asih dari dalam kamar, "Baik, silakan masuk!"
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Perlahan hwesio menyambut tamu mendorong pintu, lalu berucap "Siau-si-cu silakan masuk!"
Kiam-eng mengucapkan terima kasih, melangkah ke dalam kamar.
Ia lihat Boh-to-Siang-jin sedang duduk di tempat tidur, usianya sudah di atas sembilan puluh, ke dua alisnya putih bagai perak, namun air mukanya masih merah bercahaya. Sinar matanya tajam, jelas seorang padri saleh yang berilmu.
Ia mengamati Kiam-eng sejenak, lalu mengangguk dan berucap. "Silakan duduk, Siau-si-cu."
Kiam-eng tidak berani duduk, ia memberi hormat dan bertutur, "Cai-he Su-Kiam menyampaikan salam hormat!"
"Jangan banyak adat, Siau-si-cu, silakan duduk saja!" kata Boh-to-Siang-jin.
Setelah mengucapkan terima kasih barulah Kiam-ong duduk di sebuah bangku.
"Sudah tiga-empat tahun tidak pernah aku lihat Wi-ho-Lo-jin, apakah dia baik-baik saja selama ini?"
tanya Boh-to-Siang-jin.
Kiam-eng tidak segera menjawab, tapi berkata setelah merandek sejenak. "Apakah perlu Cai-he perkenalkan asal-usulku ... "
"O, tidak perlu," potong Boh-to-Siang-jin. "Sudah aku ketahui kamu ini ahli waris Kiam-ho Lok-Cing-hui".
"Oo, dari mana Siang-jin mendapat tahu!" tanya Kiam-eng heran.
"Bukankah sudah kau sebut namamu sendiri sebagai Su-Kiam-eng?"
"Oo, kiranya Siang-jin juga pernah dengar namaku ..."
"Nama kebesaran kalian guru dan murid sudah lama aku dengar!"
"Jika begitu tentu Siang-jin juga tahu guruku adalah sahabat baik Wi-ho-Lo-jin?"
"Ya, tentu saja tahu, apakah Siau-si-cu atas permintaan Wi-ho-Lo-jin membawakan suratnya untukku?"
"Tidak, Wi-lo-cian-pwe mengalami musibah, dua bulan yang lalu beliau diculik orang hingga sekarang belum diketahui di mana dia ... "
"Hah, mengapa bisa terjadi begitu?" tanya Boh-to-Siang-jin dengan terkesiap.
"Cukup panjang untuk diceritakan," tutur Kiam-eng. "Apakah Siang-jin tahu atas perintah guru pernah aku pergi ke wilayah selatan untuk mencari Jian-lian-hok-leng?"
"Pernah aku dengar secara kurang jelas, apakah diculiknya Wi-ho-Lo-jin ada sangkut pautnya dengan urusanmu itu?"
"Betul, jika siang-jin ingin tahu duduknya perkara dengan jelas, sudikah engkau mendengarkan ceritamu?"
"Baik, silakan," kata Boh-to-siang-jin.
Su-Kiam-eng lantas bercerita mulai dari terbunuhnya ke-18 tokoh persilatan di Hwe-liong-kok dahulu sehingga terculiknya Wi-ho-Lo-jin oleh begundal Thian-ong-pang belum lama ini.
Meski Boh-to-Siang-jin adalah seorang padri saleh yang sudah bersih dari perasaan manusiawi, tidak urung air mukanya memperlihatkan rasa heran dan kejut oleh cerita Kiam-eng itu.
"Tak tersangka Siau-si-cu bisa mengalami peristiwa yang aneh-aneh itu, saat ini berada dimanakah si baju hijau berkedok itu?" tanyanya kemudian.
"Bilamana aku tahu di mana beradanya orang berkedok itu tentu takkan datang kemari untuk mengganggu keterangan Siang-jin," jawab Kiam-eng.
"Oo, apakah barangkali aku dapat membantu Siau-si-cu untuk menemukan orang berkedok hijau itu?"
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
tanya Siang-jin bingung.
"Ya, mungkin dapat." Kiam-eng mengangguk.
"Mungkin dapat" Apa maksudmu?" tanya Siang-jin.
"Tadi sudah aku ceritakan, ke-180 patung emas yang berada di kota emas telah dibawa lari seluruhnya oleh si baju hijau berkedok itu, sedangkan nilai patung emas yang paling berharga bukan emasnya sendiri melainkan semacam ilmu pedang maha sakti yang terkandung dalam 180 patung itu, yaitu pada setiap patung tersimpan satu jurus ilmu pedang tersebut. Pada bagian leher setiap patung itu sembunyi sebuah medali yang bertuliskan kunci dari setiap jurus ilmu pedang yang bersangkutan ... "
"Baiklah, sekarang dapat aku pahami maksud kedatangan Siau-si-cu ini," kata Siang-jin dengan tersenyum.
"Dari Wi-lo-cian-pwe pernah aku dengar bahwa Siang-jin adalah satu-satunya orang yang paham tulisan Thian-tiok di negeri ini, sebab itulah guruku menyuruhku datang kemari untuk minta bantuan Siang-jin, untuk itu mohon Siang-jin suka membantu sedapatnya."
"Apakah Siau-si-cu menyangka orang berbaju hijau dan berkedok itu akan datang mencari diriku?" tanya Siang-jin setengah termenung.
"Ya, bisa jadi." Kiam-eng mengangguk. "Kecuali dia tidak menaruh minat terhadap ilmu pedang sakti itu.
Cuma mohon Siang-jin pikirkan apakah mungkin dia tidak menaruh minat terhadap ilmu pedang maha sakti itu".
"Jika dia benar datang kemari," lalu cara bagaimana akan kau hadapi dia?" tanya Siang-jin.
"Mungkin dia takkan datang sendiri, umpama datang sendiri juga tidak sanggup aku tangkap dia, maka aku pikir ... "
"Jika dia cuma mengirim utusan untuk mengundang diriku lalu apa tindakanmu?"
"Jika begitu harap aku diperkenankan menyamar sebagai pelayan Siang-jin untuk ikut pergi ke sana."
"Ehm, gagasan bagus," ucap Siang-jin dengan tertawa. "Tapi apakah kamu tidak kuatir akan dikenali mereka?"
"Aku dapat menyamar," ujar Kiam-eng.
"Menyamar sebagai hwesio cilik perlu rambutmu dicukur, apakah kamu tidak keberatan rambutmu di cukur kelimis?"
"Demi menolong Wi-lo-cian-pwe dan nona Ih, apa artinya jika aku coba mengorbankan rambut saja?"
"Bagus," kata Boh-to-Siang-jin. "Umpama lagi bila tulisan pada medali ini disalin mereka dan di bawa kemari untuk minta bantuanku untuk menerjemahkannya, lalu apa yang akan kau lakukan?"
"Itu terlebih mudah diselesaikan," ujar Kiam-eng. "Siang-jin boleh menerjemahkannya, lalu membuat satu salinan palsu untuk mereka, salinan yang tulen diberikan kepadaku".
"Di antara ke dua perumpamaan itu, Siau-si-cu kira cara mana yang akan dilaksanakan pihak lawan!"
tanya Boh-to-Siang-jin.
"Aku kira cara pertama besar kemungkinan akan digunakan pihak lawan, sebab si baju hijau berkedok itu pasti tidak mau ada orang ke dua juga mempelajari ilmu pedang sakti itu, maka setelah Siang-jin selesai menerjemahkan yang dimintanya, sangat mungkin dia akan membikin susah Siang-jin, untuk itu tentu akan lebih mudah terlaksana bilamana dilakukan di luar biara."
Boh-to-Siang-jin mengangguk, katanya. "Jika begitu, kalau Siau-si-cu ingin menyamar sebagai hwesio cilik, rasanya hari ini juga perlu dicukur".
"Untuk ini juga tidak perlu tergesa-gesa biarlah tunggu dulu kedatangan mereka baru kita bekerja menurut keadaan, bisa jadi ... "
"Tidak, sebab esok juga aku harus memenuhi undangan ke Ju-san untuk meresmikan pembukaan sebuah Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
biara baru, yaitu Kau-goan-si, ini merupakan pertama kali aku tinggalkan biara ini selama sekian tahun bisa jadi mereka akan menunggu diriku di sana."
"Oo, kiranya begitu, apakah Siang-jin tahu persis di Ju-san ada Kau-goan-si yang baru selesai dibangun?" tanya Kiam-eng.
"Benar biara itu dibangun atas sumbangsih hartawan terkenal Theng-wang-we di kota ini, dua bulan yang lalu dia sudah datang kemari untuk memohon kehadiranku di Kau-goan-si untuk upacara pembukaan secara resmi. Sebelum ini Theng-wang-we juga sering memberi sumbangan terhadap biara kami ini, maka tidak dapat aku tolak undangannya itu."
Kiam-eng meraba kepala dan berkata, "Jika begitu, memang sangat mungkin si baju hijau berkedok itu akan menculik Siang-jin dalam perjalananmu, maka bolehlah hari ini juga aku cukur rambut hingga kelimis."
Segera Boh-to-Siang-jin tepuk tangan dua-tiga kali dan segera seorang padri menolak pintu dan melangkah masuk untuk menerima perintah.
Boh-to-Siang-jin menunjuk Kiam-eng dan berkata, "Siau-si-cu ini cukur rambut untuk dibaptis, maka pergilah memanggil petugas yang bersangkutan".
Hwe-sio muda itu mengiakan dan mengundurkan diri.
Tidak lama kemudian seorang hwe-sio tua berkain kuning melangkah masuk dengan membawa sebuah kotak, seorang hwe-sio setengah baya ikut masuk. Keduanya memberi hormat kepada Boh-to-Siang-jin.
"Bing-tim," ucap Boh-to terhadap hwesio setengah baya. "Tentunya kau tahu Siau-si-cu ini dari Bu-lim-teh-co, bukan?"
Dengan hormat Bing-tim mengiakan. "Dan siapa lagi penghuni biara ini yang tahu hal ini?" tanya Boh-to pula.
"Hanya te-cu sendiri yang tahu dan tidak te-cu beritahukan kepada orang lain," tutur Bing-tim.
"Bagus," Boh-to mengangguk. "Sekarang Siau-si-cu ini minta dicukur dan menjadi anggota biara kita, hendak aku terima dia sebagai murid, maka jangan kau beritahukan kepada siapa pun bahwa dia datang dari Bu-lim-teh-co mengerti?"
"Baik," sahut Bing-tim dengan hormat.
"Dan kalau ditanya orang, katakan dia ini hwe-sio cilik yang datang dari Ngo-tai-san."
Kembali Bing-tim mengiakan.
"Baik, sekarang boleh kau carikan seperangkat baju yang cocok bagi Siau-si-cu ini," kata Boh-to-Siangjin.
Bing-tim mengiakan dan segera mengundurkan diri.
Lalu Boh-to berpaling dan berkata kepada hwe-sio tua pembawa kotak, "Cu-kong Su-te, Siau-si-cu ingin meninggalkan khalayak ramai dan minta dicukur, silakan kau bantu melaksanakan keinginannya itu".
Tanpa ragu Cu-kong Hwe-sio lantas mendekati Su-Kiam-eng untuk melaksanakan tugas.
Sembari menerima pembaptisan itu kesempatan itu digunakan Kiam-eng untuk minta petunjuk berbagai filsafat agama Budha sehingga banyak menambah pengetahuan untuk bekal hidup selanjutnya.
Tidak lama kemudian rambut Kiam-eng pun selesai dicukur kelimis. Sekaligus Boh-to memberikan nama agama kepada Kiam-eng, yaitu Ngo-lian.
Dalam pada itu Bing-tim datang pula dengan membawa seperangkat baju padri dan sepasang sepatu.
Segera Kiam-eng ganti pakaian serta merias muka seperlunya, dalam waktu singkat dia benar-benar berubah menjadi seorang hwe-sio muda, sedikit pun tidak ada bekas-bekas Su-Kiam-eng.
Kemudian Boh-to-Siang-jin mengajarkan lagi sekadar tata tertib dan tata cara orang yang beragama Budha, lalu Cu-kong disuruh membawanya untuk berkenalan dengan segenap penghuni biara.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Seharian Kiam-eng belajar keagamaan pula dengan Boh-to-Siang-jin, petangnya, Bing-tim datang melapor, "Lapor Cu-ji, atas utusan Theng-wang-we katanya perlu bicara dengan Cu-ji.
"Silakan masuk," kata Boh-to-Siang-jin.
Tidak lama Bing-tim membawa masuk seorang budak setengah umur, setelah memberi hormat budak itu berkata, "Wang-we menyuruh hamba memberitahukan kepada Siang-jin bahwa esok pagi pukul sepuluh tepat Wang-we akan datang menjemput Siang-jin untuk berangkat bersama ke Kau-goan-si."
"Baik, aku sudah siap," kata Boh-to-Siang-jin "Entah Theng-lo-si-cu menumpang kereta atau naik kuda."
"Wang-we bilang tidak ingin kelihatan menyolok, maka ingin menumpang kereta cara sederhana, maka hamba disuruh tanya Siang-jin adakah beda pendapat?"
"O, tidak, sampaikan kepada Theng-lo-si-cu bahwa esok pagi aku siap menyambut kedatangannya".
Budak tua itu membuat hormat, lalu mohon diri.
Setelah budak itu pergi jauh, Kiam-eng coba tanya Boh-to-Siang-jin, "Siapakah nama Theng-wang-we itu?"
"Lengkapnya dia bernama Theng-Loh-ie, terkenal sebagai salah seorang dermawan di kota Tiang-an ini, sehari-hari sangat murah hati dan suka padanya".
"Sudah berapa lama dia tinggal di kota ini?" tanya Kiam-eng pula.
"Dia asli kota Tiang-an ini, tahun ini berusia 68 tahun, hartanya berlimpah, cuma sayang tidak punya keturunan."
"Wah, orang berhati mulia justru tindak dikaruniai anak, sungguh tidak adil, "ujar Kiam-eng, Boh-to-Siang-jin hanya tersenyum saja tanpa tanggap.
Kiam-eng berkata pula, "Pernah te-cu mendengar orang berceramah, katanya, "Berbuat baik tanpa ada imbalan, tentu karena leluhur berbuat jahat. Berbuat jahat tanpa ganjaran, tentu karena leluhur berbuat amal. Bagaimana pendapat Siang-jin terhadap pikiran tersebut?"
Boh-to-Siang-jin tetap tersenyum tanpa menjawab. Selang sejenak, tiba-tiba ia tanya dengan tertawa,
"Apakah Siau-si-cu setuju dengan jalan pikiran seperti itu?"
"Pengalaman dan pengetahuan te-cu terlampau dangkal, maka tidak berani memberi kesimpulan," jawab Kiam-eng.
"Ganjaran bagi perbuatan baik atau jahat, selalu datang melekat bagai bayang-bayang," tutur Boh-to-Siang-jin dengan tersenyum, "Hukum sebab dan akibat akan terus berputar selama tiga turunan tanpa putus. Ucapan Siau-si-cu tadi memang tepat. Kita ambil saja Theng-wang-we sebagai contoh, konon sebelum dia berusia 40, sama sekali dia tidak pernah berbuat baik, malahan harta bendanya itu diperoleh dari usaha uang panas, yaitu menjadi rentenir, apakah kau tahu arti rentenir ... "
"Ya, lintah darat, pengisap darah kaum miskin," tukas Kiam-eng dengan tertawa.
"Omitohud! Memang begitulah," ucap Boh-to-Siang-jin. "Cuma, asalkan golok jagal dilepaskan seketika pun menjadi Budha. Bahwa Theng-lo-si-cu dapat mencapai kesadaran, sungguh harus dipuji ... "
Chapter 25. Rahasia 180 Patung Mas
"Dia sudah memiliki harta benda yang berlimpah, dengan sendirinya dia dapat membuang golok jagalnya" perbuatan baik orang semacam ini mungkin cuma untuk membuat tentram hatinya saja.
"Bisa jadi begitu, namun perbuatan baik cara demikian kan lebih baik daripada tetap berbuat jahat, betul tidak?" tanya Boh-to-Siang-jin dengan tertawa.
Kiam-eng mengangguk, ia coba tanya lagi Siang-jin, maaf jika aku tanya sesuatu, mohon Siang-jin jangan marah".
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Urusan apa?" jawab Boh-to-Siang-jin.
"Apakah ilmu silat Siang-jin bersumber dari Siau-lim-si?" tanya Kiam-eng.
Boh-to-Siang-jin tampak melengak, lalu tertawa dan menjawab, "Oo, apakah Siau-si-cu mengira ada kemampuan kung-fu pada diriku?"
"Masa tidak?" Kiam-eng berbalik heran.
"Ya, aku memang tidak pernah berlatih kung-fu," kata Boh-to.
Kiam-eng tetap tidak percaya, ucapnya, "Sinar mata Siang-jin tajam berkilauan, kalau tidak berlatih kung-fu, mustahil bila terdapat gejala demikian?"
"Dahulu Wi-ho-Lo-jin juga berkata demikian padahal aku memang tidak pernah belajar kung-fu segala.
Cuma dalam agama Budha memang juga ada ajaran panca tertib yang dapat menyehatkan tubuh dan menghilangkan penyakit, dalam hal inilah mungkin aku rada menguasainya".
"Apa itu panca tertib?" tanya Kiam-eng.
"Yaitu tertib makan minum, tertib tidur, tertib badan, tertib istirahat dan tertib pikiran. Kalau makan terlampau kenyang, maka badan gemuk dan darah tinggi, gangguan banyak. Makan terlalu sedikit juga mengganggu kesehatan. Tertib tidur juga begitu, tidur tidak cukup membuat semangat lesu dan tubuh letih. Tidak terlampau banyak juga membuat peredaran darah kurang lancar dan beku, semua ini bukan cara yang baik. Selain itu, ke tiga tertib lain pada dasarnya seperti berlatih lwe-kang saja, itulah yang disebut lima tertib."
Sampai di sini baru Kiam-eng percaya padri tua itu memang tidak mahir ilmu silat, tapi hal ini pun menambah rasa sedihnya, sebab kalau si baju hijau berkedok sudah merencanakan akan turun tangan bilamana Boh-to-Siang-jin berhasil itu berarti dirinya wajib membela keselamatan Boh-to-Siang-jin.
Padahal dalam pertarungan terang maupun gelap nanti, jelas bukan pekerjaan mudah jika mesti juga memperhatikan keamanan pribadi Boh-to-Siang-jin.
Rupanya Boh-to-Siang-jin pandai membaca air muka orang, melihat Kiam-eng diam saja, dengan tersenyum ia tanya, "Siau-si-cu, apa yang sedang kau pikirkan?"
"Oo, tidak memikirkan apa-apa ... "
"Ada rasa kuatirmu bagi diriku, bukan?" tanya Siang-jin.
Karena isi hatinya tertebak, Kiam-eng pun tidak menyangkal, jawabnya sambil mengangguk, "Betul, te-cu memang mengira Siang-jin menguasai kung-fu sakti, maka tadi berani aku mohon bantuanmu, jika Siang-jin ternyata tidak paham ilmu silat, maka ... "
"Itu tidak menjadi soal," ucap Boh-to-Siang-jin. "Baik akan dibalas dengan baik dan jahat mendapat ganjaran jahat. Aku yakin diri tak sampai mati konyol".
"Namun bila Siang-jin sampai ikut susah bukankah dosa te-cu teramat besar ... "
Kedatangan Siau-si-cu ini bukan mendatangkan bencana bagiku melainkan justru membawakan kebebasan bagiku."
Kiam-eng melengak, "Apa artinya Siang-jin ini?"
"Kalau Siau-si-cu tidak datang, pada hakikatnya tentu tidak aku ketahui maksud tujuan jahat si baju hijau berkedok, dan bila dia minta bantuanku untuk menerjemahkan kitab ilmu pedangnya, tentu tak terpikir olehku bahwa selesai aku lakukan apa yang dimintanya segera pula akan menghadapi bahaya terbunuh olehnya. Sebaliknya sekarang hal itu telah diketahui, tiba saatnya nanti tentu kita dapat berjaga-jaga lebih dulu, bukankah hal ini sama dengan Siau-si-cu telah membebaskan bencana bagiku.
"Ucapan Siang-jin ini hanya sekadar untuk mengurangi rasa pedih te-cu saja," kata Kiam-eng. "Tidak, aku bicara dengan sungguh-sungguh ... " kata Siang-jin. "Kalau Siau-si-cu tidak datang, tentu aku akan mati tanpa apa sebabnya. Dan sekarang aku telah mendapatkan kesempatan ke dua"
Sampai di sini, ia berpaling memandang cuaca di luar, ucapnya kemudian, "Malam sudah larut, silakan Siau-si-cu istirahat".
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Kiam-eng lantas mohon diri dan kembali ke kamar yang telah disediakan si padri penyambut tamu.
Semalaman ini tidak terjadi apa pun.
Esok paginya, selagi Kiam-eng sarapan pagi, si padri penerima tamu membawakan secangkir teh kepadanya serta membisikinya, "Siau-si-cu, Theng-lo-si-cu itu sudah tiba, silakan kau bawa suguhan teh ini ke ruang tamu".
Kiam-eng mengiakan dan menerima cangkir teh, tanyanya, "Jadi Theng-wang-we sudah berada di kamar Siang-jin?"
"Betul bilamana Siau-si-cu masuk ke situ, tentu Cu-ji akan memperkenalkan Theng-lo-si-cu kepadamu,"
tutur padri penerima tamu.
Su-Kiam-eng lantas membawa teh ke kamar Boh-to-Siang-jin, terlihat Theng-wang-we itu sedang duduk bicara dengan padri tua itu. Segera ia menyodorkan cangkir teh dan memberi hormat, "Silakan" Theng-lo-si-cu minum."
Theng-wang-we hanya mengangguk dan menerima cangkir teh sambil tetap bicara dengan Boh-to-Siangjin.
Terdengar Boh-to-Siang-jin lagi bertanya, "Lo-si-cu membawa berapa orang pengikut?"
"Hanya satu orang," jawab Theng-wang-we. "Dia bernama Theng-Hok, setiba di Kau-goan-si apabila Siang-jin ada keperluan boleh suruh dia mengerjakannya, budak itu cukup cekatan ... "
"Ah, aku kira tidak perlu lah, cukup aku dilayani Ngo-liau saja".
"Oo, Siang-jin juga membawa pengikut?" tanya Theng-wang-we rada melengong.
"Betul, aku bawa seorang hwe-sio cilik," tutur Boh-to-Siang-jin. Yakni, yang ada di sini ini, namanya Ngo-liau, sudah sekian bulan menjadi pelayanku. Pekerjaannya cukup memuaskan, maka hendak aku bawa dia pergi bersama".
Theng-wang-we memandang sekejap kepada Kiam-eng, ucapnya dengan tersenyum. "Boleh juga, karena kudaku cukup longgar untuk beberapa orang penumpang saja".
Boh-to-Siang-jin lantas memberi pesan kepada Su-Kiam-eng, " Nah, Ngo-liau, sesudah sarapan, hendaknya bebenah dan bawa rangsel ke dalam kereta, segera kita akan berangkat".
Kiam-eng memberi hormat dan menjawab, "Lapor Siang-jin, te-cu sudah sarapan."
"Jika begitu, marilah kita berangkat sekarang juga," kata Boh-to terhadap Theng-wang-we.
Theng-wang-we mengangguk dan berbangkit, "Baiklah, berangkat sekarang, menjelang magrib nanti mungkin dapat tiba di tempat tujuan".
Kiam-eng lantas memanggul rangsal yang sudah disiapkan dan meninggalkan kamar bersama Theng-wang-we serta Boh-to-Siang-jin.
Kawanan hwe-sio penghuni Tai-bin-si sudah berbaris menanti di luar biara, di tengah suasana gembira itulah Boh-to-Siang-jin naik ke atas kereta kuda yang mewah diikuti Theng-wang-we, Su-Kiam-eng dan Theng-Hok. Begitu cambuk menggelar, segera kuda berlari meninggalkan biara megah itu.
Hampir setengah jam kemudian barulah kereta itu meninggalkan kota Tiang-an.
Kiam-eng tahu apabila si baju hijau berkedok ingin menggunakan tenaga Boh-to-Siang-jin untuk menerjemahkan kitab, tempat yang paling baik untuk "turun tangan" tentu terletak dalam perjalanan kereta menuju ke Kau-goan-si ini.
Jika sepanjang jalan ternyata tidak terjadi sesuatu, itu menandakan si baju hijau berkedok sesungguhnya tidak tahu bahwa Boh-to-Siang-jin paham tulisan Sansekerta. Dan jika demikian halnya, jelas harapannya pun akan kosong belaka.
Sebab itulah diam-diam ia berdoa semoga si baju hijau berkedok lekas muncul.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Jalan raya di luar kota cukup lebar dan rata maka kecepatan kereta kuda menjadi langgeng dan mantap.
Menjelang lohor, kereta mereka sudah lewat Sat-oh, perjalanan sudah dilalui lebih dari separoh.
Sepanjang jalan Theng-wang-we dan Boh-to-Siang-jin selalu berunding tentang pekerjaan yang harus dilakukan setelah biara Kau-goan-si diresmikan. Dengan sendirinya Kiam-eng dan Theng-Hok tidak ada andil untuk bicara. Untung pemandangan sepanjang jalan sangat menarik sehingga tidak terasakan kejenuhan.
Tidak lama tertampaklah lahan luas di sekeliling jalan raya, kendaraan dan orang lalu lalang pun mulai sepi.
"Inilah tempat yang paling bagus untuk turun tangan, bilamana si baju hijau berkedok tidak datang, rambutku bisa ubanan memikirkannya," demikian pikir Kiam-eng.
Namun di tengah laju kereta kuda yang semakin jauh, suasana tetap aman tentram tanpa timbul sesuatu tanda yang mencurigakan.
Mau-tak-mau Kiam-eng mulai merasa kecewa tanpa terasa ia bersuara, "Aneh...."
Mendengar suara anak muda itu, Theng-Hok yang duduk di sebelahnya berpaling dan bertanya, Siau-su-hu, kau bilang aneh apa?"
Kiam-eng menjawab sekenanya, "Coba kau lihat, orang ramai bilang pepohonan itu di pegunungan Lesan sangat indah, namun sekarang terlihat tidaklah demikian".
"Oo, musim semi di daerah utara memang lebih terlambat, saat ini pepohonan baru mulai bersemu, dedaunan baru mulai menghijau, dengan sendirinya pemandangan tidak seindah sebagai diceritakan orang".
"Kiranya begitu." kata Kiam eng. "Dan entah perlu berapa lama lagi baru pepohonan di sini akan tumbuh indah?"
"Perlu sebulan dua bulan lagi tentu pemandangan indah akan muncul secara semarak dan mempesona,"
tutur Theng-Hok.
"Kabarnya pemandangan pegunungan Le-san jaga tidak jelek, entah betul atau tidak"* tanya Kiam-eng.
"Betul," sahut Theng-Hok. "Pemandangan waktu senja di Le-san merupakan salah satu keindahan alam di daerah sini, dipandang dari jauh, cahaya matahari waktu senja yang menimpa pepohonan yang hijau permai itu sungguh merupakan pemandangan yang menakjubkan".
"Jika begitu, setiba kita di Le-san tentu dapat aku nikmati pemandangan alam yang mempesona itu,"
ujar Kiam-eng dengan berlagak girang.
"Tidak," kata Theng-Hok sambil menggeleng "Kita akan menuju ke Le-san melalui sebuah jalan setapak sehingga tidak dapat menyaksikan pemandangan yang indah itu".
"Oo, mengapa harus melalui jalan setapak?" tanya Kiam-eng heran.
"Melalui jalan, setapak itu dapat menghemat waktu satu jam untuk mencapai Kau-goan-si, ini menurut cerita Lo-ya kami," tutur Theng-Hok.


Rahasia 180 Patung Mas Karya Gan Kl di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rupanya Boh-to-Siang-jin juga mengikuti ucapan Theng-Hok itu, ia coba tanya Theng-wang-we, "Untuk menuju ke Kau-goan-si apa betul harus melalui jalan setapak yang lebih dekat?"
"Betul, melalui sebuah jalan kecil sedikitnya akan mempersingkat belasan li perjalanan, cuma jalan setapak itu memang sulit ditempuh," tutur Theng-wang-we.
"Sulit ditempuh katamu, dalam hal apa maksudmu?" tanya Boh-to-Siang-jin.
"Jalan pegunungan itu terlampau sempit untuk dilalui kereta, juga banyak batu perintang."
"Tidak apa, asal saja tidak ada gangguan keamanan," ujar Boh-to dengan tertawa.
Tidak lama kemudian, lereng gunung Le-san juga kelihatan di depan, pada saat itu juga kereta Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
membelok ke sebuah jalan simpang.
Beberapa li kemudian, kereta pun memasuki jalan pegunungan yang sempit, ternyata benar jalan tidak rata dan banyak batu besar, suasana pun sepi.
Kiam-eng coba melongok ke luar kereta, pikirnya, "Inilah tempat paling baik dan juga yang terakhir, bila si baju hijau tetap tidak muncul, ini menandakan dia takkan menyatroni Boh-to-Siang-jin. Ai, semoga dia akan muncul ... "
Namun kereta sudah menempuh lagi beberapa li pula dan tetap aman.
Boh-to-Siang-jin coba tanya Theng-wang-we, "Apakah Kau-goan-si sudah dekat?"
"Betul, tujuh-delapan li lagi dapat tiba di sana," jawab Theng-wang-we.
"Jalan pegunungan ini sedemikian sunyi, kelak mungkin tidak ada orang mau datang sembahyang ke Kau-goan-si," ucap Boh-toh-Siang-jin.
"Tidak apa, beberapa hari lagi akan aku kirim beberapa pekerja untuk meratakan jalan pegunungan ini, bilamana jalanan rata dan lebar, suasana tentu tidak terasa sepi".
"Ya, gagasan yang baik ... " Boh-to manggut-manggut.
Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong kusir kereta menjerit kaget dan kereta pun berhenti mendadak.
Air muka Theng-wang-we berubah, ia membuka jendela depan dan bertanya "Ada apa, Theng-An?"
Kusir kereta bernama Theng-An, ia menuding ke depan dan berkata dengan agak gemetar, "Coba lihat Lo-ya, di sana ... di sana ada tiga orang jahat ... "
Waktu Theng-wang-we memandang ke sana, seketika air mukanya berubah pucat pasi, serunya takut,
"Wah, celaka! lekas putar balik kereta ini!"
Kiranya beberapa puluh meter di depan sana berdiri sejajar tiga orang jahat dengan golok terhunus dan bersikap buas.
Wajah mereka sama menyeringai, ketika Theng-An memutar keretanya, mereka pun tidak merintangi melainkan tetap berdiri dengan terkekeh.
Dengan gugup Theng-An memutar keretanya sesuai perintah sang majikan, tapi segera ia menjerit kaget lagi dan terkesima.
Ternyata di belakang, di arah datangnya tadi juga berdiri tiga orang jahat dengan golok terhunus.
Diam-diam Kiam-eng merasa senang demi melihat enam orang musuh muncul serentak, pikirnya,
"Bagus, ternyata perhitunganku tidak sampai meleset, akhirnya musuh muncul juga".
Cuma, biarpun merasa senang, pada lahirnya dia berlagak ketakutan, sebab saat ini adalah seorang
"hwe-sio cilik" yang tidak kenal ilmu silat segala, dia tidak dapat bergebrak dengan lawan melainkan harus menyerah "diculik" oleh musuh.
Theng-wang-we juga ketakutan hingga gemetar, dengan bingung ia tanya Boh-to-Siang-jin, "wah, bagaimana baiknya, Siang-jin?"
Boh-to-Siang-jin tahu ke enam orang jahat yang muncul itu mungkin sekali adalah anak buah si baju hijau berkedok yang dikirim untuk menculik dirinya, maka dia tidak terlampau takut, dengan tenang ia menjawab, "Jangan kuatir Lo-si-cu biarkan aku hadapi mereka".
Sembari bicara ia terus turun dari kereta dengan sewajarnya.
Kiam-eng menyusul turun dan ikut ketat di belakang Boh-to-Siang-jin, tampaknya seperti minta perlindungan padri tua itu, tapi yang benar dia yang melindungi orang, sebab dia belum lagi memastikan bahwa ke enam orang jahat yang muncul ini apakah anak buah si baju hijau atau bukan. Jika benar anak buahnya, dengan sendirinya mereka takkan membikin celaka Boh-to-Siang-jin, sebaliknya kalau bukan, maka dia harus berjaga akan segala kemungkinan.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Setelah turun dari kereta, segera Boh-to-Siang-jin memberi hormat kepada ke tiga orang jahat yang berdiri di depan tadi sambil bertanya, "Numpang tanya, dari manakah ke enam Si-cu ini, ada urusan apa menghalangi jalan lalu kami?"
Serentak ke enam orang itu mendesak maju ke arah kereta, seorang di antaranya mengangkat goloknya dan mendengus, "Hm, maksud kedatangan kami masakan kamu si keledai gundul tua ini tidak tahu?"
"Apakah kalian hendak merampok kami?" tanya Boh-to-Siang-jin dengan ramah.
"Betul," jawab orang itu sambil menyeringai.
Padahal orang beragama seperti diriku jelas tidak membawa harta benda apa pun, apakah kalian tidak salah sasaran?"
"Kamu tidak punya harta benda, yang lain kan ada, bahkan takkan habis diambil, "ucap orang jahat itu dengan tergelak.
Dengan hormat Boh-to berucap pula, "Harap kalian sudi memberi jalan, sekali ini Theng-lo-si-cu bersamaan hendak mengurus upacara peresmian Kau-goan-si, dia juga tidak membawa harta benda yang berlebihan".
Namun orang jahat itu tidak menggubrisnya lagi, mendadak goloknya menuding Theng-wang-we yang masih berada dalam kereta sambil membentak "Ayo, kenapa kalian tidak lekas menggelinding ke luar"!"
Dengan gemetar ketakutan Theng-wang-we terus "menggelinding" ke luar kereta, ia menyembah dan meratap, "Ampun. Toa-ya, hari ini memang benar aku tidak membawa sesuatu harta apa pun, kalau tidak percaya silakan kalian menggeledah ... "
Theng-Hok juga sudah ke luar dan berlutut serta ikut memohon, "Ya, benar, Lo-ya kami memang tidak membawa sesuatu benda berharga, mohon tuan-tuan sudi memberi ampun."
Orang jahat itu mendengus dan memberi tanda kepada ke tiga kawannya yang berada di depan sana.
"Coba geledah kereta mereka!"
Tiga orang di antaranya lantas melompat ke atas kereta, seorang mendepak Theng-Hok hingga terguling ke luar kereta, dua orang lagi menyusup ke dalam ruang kereta untuk menggeledah, akan tetapi mereka sudah digeledah sekian lama, yang ditemukan cuma belasan tahil perak saja dan tidak ada harta benda lain.
"Dirodok!" segera seorang di antaranya mencaci maki. Ternyata benar tidak membawa barang berharga apa pun".
Orang pertama yang menjadi pemimpinnya lantas membentak pula, "Coba geledah tubuh mereka!"
Salah seorang lantas mendekati Theng-wang-we dan menyeretnya bangun, kontan ia robek baju dada orang dan menggeledah sekujur badannya, namun tetap tidak menemukan sesuatu barang bernilai.
Pemimpin jadi tambah gusar, "Binasakan dia!"
Keruan Theng-wang-we ketakutan dan cepat berlutut dan menyembah pula sambil meratap, "Oo, ampun tuan! Biarlah sekarang juga aku perintahkan kaum budak mengambil uang ke rumah, berapa banyak kalian minta pasti aku berikan asalkan jiwaku diampuni ... "
Orang yang menggeledah tubuhnya itu sudah angkat golok dan hendak membacoknya, mendengar permohonan Theng-wang-we itu, cepat ia menahan golok dan coba tanya kawannya, "Bagaimana Lo-toa" Boleh juga alasannya, bagaimana kalau kita turuti permintaannya?"
Orang tadi termenung sejenak lalu mendengus "Hm, apa betul berapa aku minta tentu akan kau beri?"
"Benar, benar ..." berulang Theng-wang-we menyembah.
Berbinar-binar mata orang jahat itu, ucapnya sambil menyeringai, "Baik, jika begitu, karena kalian seluruhnya lima orang, boleh kau bayar lima ribu tahil perak".
Berulang Theng-wang-we menyatakan setuju lalu berseru kepada budaknya, "Nah, Theng-Hok, lekas Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
pulang dan bawa kemari lima ribu tahil perak!"
Theng-Hok mengiakan dan berbangkit hendak lari turun gunung.
Namun pemimpin tadi mendadak mengangkat golok dan merintangi jalan larinya sambil membentak,
"Nanti dulu! Urusan pembayaran itu tentu dapat aku kirim orangku sendiri untuk mengambilnya, kamu boleh menggelinding kembali ke dalam kereta saja".
Dengan takut Theng-Hok mengiakan dan menyurut mundur ke samping kereta.
Lalu si pemimpin membentak pula terhadap Theng-wang-we dan Boh-to-Siang-jin, "Kalian dengar tidak"
Semuanya menggelinding kembali ke dalam kereta!"
Theng-wang-we seperti mendapat pengampunan hukuman mati, cepat ia merangkak ke atas kereta sebaliknya Boh-to-Siang-jin hanya berdiri diam saja begitu pula Su-Kiam-eng juga tidak bergerak.
Rupanya hati ke dua orang mempunyai perasaan yang sama, yaitu ke enam penjahat ini jangan-jangan bukan anak buah si baju hijau berkedok yang dinantikan itu.
Soalnya dari nada beberapa orang jahat ini yang diincar hanya harta benda melulu, jelas cuma kaum begal biasa, dan bila benar cuma kaum begal biasa, untuk apa lagi sungkan-sungkan dengan mereka.
Sebab itulah pikiran Su-Kiam-eng sedang berputar dengan cepat apakah harus bertindak terhadap kawanan begal ini atau tidak.
Melihat mereka berdiri diam saja, wajah pemimpin penjahat itu berubah beringas dan mengangkat golok untuk menakut-nakuti, "Eh, apakah kalian berdua keledai gundul ini sudah bosan hidup?"
Boh-to-Siang-jin menyebut budha dan berucap perlahan. "Ke enam si-cu hendaknya dengarkan nasihatku. Theng-lo-si-cu dan kami ini hendak meresmikan pembukaan biara suci Kui-goan-si di atas gunung ini besok pagi, bilamana Theng-lo-si-cu kalian culik, tentu upacara pembukaan Kui-goan-si besok akan gagal, ini kan tidak baik, ketahuilah bahwa ... "
Dengan sendirinya kawanan penjahat itu tidak sudi mendengarkan khotbah padri tua itu, dengan bengis ia membentak dengan berlagak hendak membacok, "Ayo, kau mau naik ke atas kereta atau tidak?"
Su-Kiam-eng bertekad hendak melihat perubahan selanjutnya, maka ia berlagak takut dan menarik mundur Boh-to-Siang-jin, ucapnya gugup
"Wah, Siang-jin marilah lekas naik ke atas kereta!"
Melihat Kiam-eng tidak mau turun tangan, Boh-to-Siang-jin mengira anak muda itu sudah tahu jelas mereka adalah anak buah si baju hijau maka ia berlagak menghela napas panjang dan naik ke atas kereta dengan ogah-ogahan.
Menunggu setelah Su-Kiam-eng juga sudah masuk ke dalam kereta, si pemimpin penjahat lantas berkata kepada seorang kawannya, "Lo-ji, kamu menjadi kusir, Lo-sam dan Lo-si bertugas mengawasi mereka, Lo-go dan Lo-lak mengawal dari belakang bersamaku.
Begitulah kereta itu lantas meneruskan perjalanan di lereng pegunungan itu di bawah ancaman kawanan bandit itu.
Di antara ke lima penumpang, sikap Boh-to yang kelihatan paling tenang, tanpa berkedip mengamati ke dua penjahat yang duduk di dalam kereta sehingga membuat mereka merasa kikuk, seorang di antaranya melotot dan mendamprat, "Keledai tua, untuk apa kau pandang kami?"
"Jika tuan tidak memandangku, dari mana tahu aku pandang kalian?" jawab Boh-toh.
"Hm, kamu tidak takut mati barangkali?" jengek orang itu.
"Manusia hidup sejak purbakala siapa yang tidak mati" Mati adalah salah satu proses hidup yang pasti akan dilalui manusia, kenapa mesti takut?"
"Hm, bilamana golok tuan besar sudah mampir di lehermu, jangan kamu menjerit minta tolong nanti?"
orang jahat itu menakut-nakuti.
"Tidak, golokmu takkan sanggup membunuhku," jawab Boh-to-Siang-jin.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
"Oo, apakah kamu minta dicoba?" tanya orang itu dengan gusar.
"Boleh saja silakan!" kata Boh-to.
Orang itu menoleh dan berseru kepada pemimpinnya, "Lo-toa, keledai gundul tua bangka ini tidak tahu diri, bagaimana kalau aku binasakan dia saja?"
Pemimpinnya menggeleng dan menjawab, "Jangan, dia masih perlu aku manfaatkan."
Orang jahat itu mengangkat pundak dan berkata pula terhadap Boh-to-Siang-jin, "Nah mengingat ke lima ribu tahil perak itu, biarlah sementara ini jiwamu aku ampuni, hmm ... "
Boh-to-Siang-jin lantas tanya Theng-wang-we dengan tertawa, "Apakah Theng-lo-si-cu tahu, selain menuju ke Kui-goan-si, adakah jalan ini juga dapat menembus ke tempat lain lagi?"
Dengan takut-takut Theng-wang-we memandang kawanan penjahat di dalam kereta, lalu menggeleng dan menjawab. "Aku tidak ... tidak begitu jelas ... "
Boh-to-Siang-jin lantas memejamkan mata seperti orang lagi bersemadi dan tidak bicara lagi.
Setelah kereta berjalan perlahan belasan li lagi, tiba-tiba kereta berhenti di bawah pohon yang rindang.
Rupanya mereka sudah sampai di ujung jalan, ke depan lagi sudah tidak dapat dilalui kereta.
Penjahat yang menjadi pemimpin lantas membentak, "Baiklah, semuanya turun!"
Berturut-turut Theng-wang-we, Boh-toh-Siang-jin, Su-Kiam-eng, Theng-Hok dan Theng-An turun dari kereta diam-diam Kiam-eng mengamati sekitarnya, terlihat sekeliling hanya hutan lebat belaka. sejauh mata memandang tidak nampak sebuah rumah pun.
Kiam-eng pikir apalagi ke enam penjahat ini adalah anak buah si baju hijau berkedok, tentu akan membawa mereka berlima ke suatu tempat yang baik agar Boh-to-Siang-jin dapat menerjemahkan kitab pedang dengan santai. Bilamana mereka dibawa ke sebuah gua atau biara bobrok atau tempat lain yang kurang baik, itu membuktikan bahwa kawanan penjahat ini memang kaum begal biasa. Tatkala itu dirinya tidak perlu sangsi lagi untuk menyikat mereka.
Tengah Kiam-eng berpikir, si pemimpin penjahat sedang mengacungkan golok dan membentak ,"Ayo jalan, mengikuti jalan kecil ini!"
Salah seorang penjahat ini segera mendahului melintasi jalan kecil berliku itu disusul oleh Theng-wangwe, Boh-to-Siang-jin dan lain-lain.
Rombongan mereka berjalan kira-kira satu li di jalan kecil yang berliku-liku itu, setelah menerobos hutan, mendadak pandangan terbeliak terang, rupanya mereka sudah sampai di depan sebuah biara kuno.
Bangunan biara kuno ini cukup luas, cuma sebagian besar sudah rusak dan retak, hanya ruang pendopo dan beberapa rumah di belakang biara serta sebuah pagoda tujuh tingkat yang kelihatan masih bertengger dengan tegaknya. Dipandang dari luarnya kompleks biara ini, dahulu sebuah biara megah yang ternama dan ramai dikunjungi penganutnya.
Tadinya Kiam-eng mengira pihak lawan akan membawa mereka ke sebuah gua atau kelenteng bobrok, dengan demikian akan terbukti ke enam orang itu memang kawanan penjarah biasa dan ada hubungan dengan si orang berbaju hijau, tapi sekarang biara ini terlihat agak luar biasa, ia merasa kalau si baju hijau menggunakan tempat ini untuk memaksa Boh-to-Siang-jin menerjemahkan kitab pedang juga bukan mustahil, maka ia mengambil keputusan akan melihat gelagat selanjutnya.
Setiba di depan biara kuno, kepala penjahat ikutan memberi perintah kepada dua kawannya, "Lo-ji, Lo-sam, boleh kalian membawa keledai gundul tua itu ke puncak pagoda!"
Ke dua orang itu mengiakan, segera Boh-to dan Kiam-eng digiring ke pagoda tujuh tingkat yang terletak di samping kiri biara.
Setelah berada di dalam pagoda, terlihat ada sebuah tangga batu melingkar ke atas. Salah seorang penjahat mendahului mendekati tangga batu disusul ke tiga orang, menuju ke puncak pagoda.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Ternyata di dalam pagoda terawat dengan bersih, malahan tersedia sebuah meja dan sebuah bangku, di pojok kanan lantai ada seonggok rumput kering, tampaknya di sinilah sarang kawanan begal itu.
Setelah membentak dan menyuruh Boh-to-Siang-jin dan Kiam-eng masuk ke ruang pagoda, lalu ke dua bandit menggembok pintu kamar dan ditinggal turun lagi.
Kiam-eng coba pasang telinga, terdengar ke dua bandit tadi sudah sampai di bawah pagoda, lalu ia berkata perlahan terhadap Boh-to-Siang-jin. "Bagaimana Siang-jin menurut pandanganmu?"
Dengan tersenyum padri tua itu menjawab "Tampaknya memang betul, cuma bikin susah Theng-wangwe dan kaum budaknya ... "
"Bilamana mereka adalah anak buah si baju hijau, paling lambat pada malam nanti si baju hijau sendiri pasti akan muncul untuk menemui Siang-jin" ujar Su-Kiam-eng. "Tatkala mana bolehlah Siang-jin minta dia membebaskan Theng-wang-we bertiga."
"Apakah dia mau?" kata Boh-to ragu.
"Mungkin mau, sebab beradanya Theng-wang-we bertiga di sini kan tidak berguna baginya," ujar Kiam-eng.
"Aku kira dia pasti takkan membebaskan Theng-wang-we, sebab sepulang Theng-wang-we di Tiang-an, bukan mustahil berita tentang diculiknya diriku akan segera tersiar."
"Betul juga, namun Siang-jin hendaknya berkukuh pada permintaanmu ini, apabila mereka tidak mau membebaskan Theng-wang-we, Siang-jin harus tegas menolak untuk menerjemahkan kitab pedang baginya."
"Apakah maksud Siau-si-cu karena kuatir sukar melindungi keselamatan Theng-wang-we bertiga?" tanya Boh-to-Siang-jin.
"Benar, sesudah Siang-jin menerjemahkan kitab, tentu dia akan turun tangan mencelakai kita. Waktu itu dengan sendirinya akan aku bawa Siang-jin untuk kabur. Tapi untuk membawa serta Theng-wang-we bertiga jelas sulit untuk aku lakukan sekaligus."
"Baik, begitu si baju hijau datang, segera akan aku ajukan permohonanku," kata Boh-to-Siang-jin.
Selagi Kiam-eng hendak bicara pula, tiba-tiba terdengar langkah dua orang menaiki tangga menuju ke atas, cepat ia mendesis, "Ssst, jangan bersuara, mereka datang!"
Segera Boh-to-Siang-jin duduk di atas onggokan rumput kering dengan sikap sedang bersemedi.
Tidak lama, pintu kamar pagoda dibuka dari luar, yang masuk adalah si kepala penjahat itu.
Ia memandang sejenak terhadap Boh-to Siang-jin lalu bertanya, "Siang-jin, apakah engkau tidur?"
Perlahan Boh-to membuka mata dan menjawab dengan tersenyum, "Oo, tidak. Adakah sesuatu petunjuk Si-cu?"
"Ada suatu hal yang perlu aku beritahukan padamu," kata si kepala penjahat. "Mungkin kau sangka kami berenam ini kawanan begal biasa bukan?"
"Memangnya bukan?" Boh-to berlagak bodoh.
"Ya, kami memang bukan kawanan begal biasa," tutur orang itu.
"Meski kata-kata begal dan bandit berbeda, namun maknanya kan sama saja?" ujar Boh-to-Siang-jin.
"Tapi kami pun bukan kaum bandit," tukas orang itu dengan tertawa.
"Oo, orang macam apakah kalian ini?" tanpa Siang-jin dengan lagak terbelalak bingung.
"Siapa kami ini selekasnya Siang-jin pasti akan tahu," ujar orang itu, "Sekarang biarlah aku perkenalkan dulu pemimpin kami kepadamu."
Sampai di sini, mendadak ia membalik tubuh dan berseru dengan hormat, "Silakan Pang-cu masuk!"
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Bayangan orang berkelebat di depan pintu, tahu-tahu Theng-wang-we melangkah masuk dengan tersenyum simpul.
Seketika Boh-to-Siang-jin dan Su-Kiam-eng sama melengong dan berbangkit sambil berseru, "Hei jadi ...
jadi engkau ... Theng-wang-we"!"
Memang tidak salah, orang yang masuk ini benar-benar adalah Theng-wang-we alias Theng-lok-ie.
Hal ini sungguh mimpi pun tak terpikir oleh Boh-to-Siang-jin dan Su-kiam-eng. Tak tersangka biang keladi kawanan penculik mereka itu justru adalah Theng-wang-we yang mengundang Boh-to-Siang-jin untuk khotbah pada peresmian pemugaran Kui-goan-si ini.
Seketika Boh-to-Siang-jin dan Su-Kiam-ang hanya melongo saja dan tidak sanggup bicara.
Theng-wang-we tertawa dan langsung mendekat dan duduk di bangku, ucapnya dengan tertawa,
"Silakan duduk, Siang-jin, duduk perkara segalanya biarlah nanti aku ceritakan padamu."
Boh-to-Siang-jin menghela napas panjang, ucapnya dengan tidak habis mengerti, "Jadi ... jadi engkau ...
Theng-wang-we adalah pemimpin mereka berenam?"
"Betul, silakan Siang-jin duduk untuk bicara dengan baik-baik," sahut Theng-wang-we.
Boh-to-Siang-jin tetap memandangnya dengan terbelalak bingung, katanya pula, "Dan untuk ... untuk keperluan apakah kau tipu diriku ke sini?"
"Sama sekali aku tidak bermaksud jahat padamu, hendaknya Siang-jin jangan kuatir, silakan duduk dulu!"
Perlahan Boh-to-Siang-jin duduk dan bertanya pula dengan tidak mengerti, "Bukankah Theng-wang-we mengundangku kemari untuk meresmikan pembukaan kembali Kui-goan-si?"
"Bukan, pada hakikatnya tidak ada Kui-goan-si segala," jawab Theng-wang-we tertawa.
Boh-to-Siang-jin berlagak marah dan mengomel, "Lantas, untuk maksud apa kau culik diriku ke sini?"
Theng-wang-we berdehem, lalu berucap, "Pertama, ingin aku beritahukan kepadamu bahwa aku bukanlah Theng-wang-we yang asli, Theng-wang-we sudah meninggal beberapa bulan yang lalu."
"Oo, jadi kamu bukan Theng-wang-we"!" Boh-to-Siang-jin menegas dengan melongo.
"Betul, Theng-wang-we yang asli sudah aku bunuh!" kata Theng-wang-we gadungan dengan mengangguk.
"Hahh! Tapi wajahmu .... wajahmu mirip dengan Theng-wang-we asli?"
"Wajah kan dapat dirias, sebab aku telah memakai kedok kulit wajah Theng-wang-we asli ... Setelah aku katakan semua ini, sekarang tentu Siang-jin paham duduknya perkara, bukan?"
"Untuk apa kau bunuh Theng-wang-we?" Boh-to-Siang-jin berlagak gusar.
"Sebab dia seorang hartawan jahat, orang baik munafik," tutur Theng-wang-we gadungan "Di satu pihak dia berlagak sosial, suka membantu yang miskin dan gemar menyumbang untuk amal, namun di lain pihak dia melepas uang panas, menjadi rentenir terhadap kaum miskin. Manusia semacam ini tidak ada gunanya hidup di dunia ini."
"Biarpun Theng-wang-we bukan manusia baik kamu kan juga tidak berhak membunuhnya. Jangan-jangan caramu membunuh Theng-wang-we juga ada maksud tujuan tertentu."
"Aha, memang betul!" seru Theng-wang-we gadungan dengan tergelak. "Sebab utama aku bunuh Theng-wang-we adalah karena aku ingin menetap selamanya di kota Tiang-an ini".
"Menetap di kota Tiang-an ini sebagai Theng wang-we?" Boh-to-Siang-jin menegas.
"Tepat, sebab ada kepentinganku untuk melakukan pergantian tubuh ini."
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Dengan sinar mata tajam Boh-to-Siang-jin menatap orang, katanya pula, "Aku kira kamu ini pasti seorang pelarian dari penjara?"
"Tidak, kalau cuma pelarian penjara tidak perlu berbuat demikian".
"Habis orang macam apakah dirimu ini sebenarnya?" tanya Boh-to.
"Pernahkah Siang-jin dengar istilah Thian-ong-pang?"
"Tidak pernah. Apa artinya Thian-ong-pang?" Boh-to-Siang-jin menggeleng.
"Siang-jin bukan orang persilatan, dengan sendirinya tidak tahu apa itu Thian-ong-pang. Ya, pendek kata, Thian-ong-pang adalah sebuah organisasi yang memimpin dunia persilatan, dan aku inilah pemimpin besar organisasi itu".
"Sebagai kepala sebuah organisasi sebesar itu, sepantasnya kan ada nama dan ada she?" ucap Boh-to dengan memandang lekat.
"Tentu saja," sahut Theng-wang-we gadungan Thian-ong-pang-cu. "Cuma namaku tidak pernah kau ketahui, sebab biarpun aku beritahukan namaku juga tidak ada faedahnya bagimu".
"Baiklah, sekarang tentunya boleh kau katakan maksud tujuanmu menculik diriku ke sini?" tanya Boh-to.
"Betul," jawab Thian-ong-pang-cu. "Sebabnya aku undang Siang-jin ke sini adalah agar kau mau menerjemahkan sedikit bahasa Thian-tiok".
"Untuk menerjemahkan bahasa Thian-tiok kenapa mesti menculik diriku ke sini?" ujar Boh-to kurang senang.
"Sebab bila Siang-jin bekerja di sini akan terjamin keamanannya," tutur Thian-ong-pang-cu.
"Sungguh aku tidak paham keteranganmu ini," Boh-to-Siang-jin menggeleng.
"Baiklah, biarkan aku jelaskan. Yang ingin aku minta diterjemahkan adalah sejilid kitab ilmu pedang.
Padahal saat ini tidak sedikit tokoh persilatan yang ikut mengincar kitab pedang ini, maka tidak dapat aku bawa kitab itu kepada Siang-jin untuk diterjemahkan di Tai-bin-si, sebab hal itu akan berarti mendatangkan bahaya bagimu".
Boh-to-Siang-jin terdiam sejenak, katanya kemudian, "Akan tetapi lebih baik Si-cu mengirim pulang diriku saja ke Tai-bin-si".
"Jadi Siang-jin menolak menerjemahkan kitab bagiku?" tanya Thian-ong-pang-cu.
"Ya, sebagai orang beribadat tidak dapat aku bantu kejahatan," jawab Boh-to dengan tenang.
Thian-ong-pang-cu tertawa, "Aku harap Siang-jin jangan menolak, asalkan Siang-jin mau menerjemahkan bagiku, aku rela menyumbangkan seribu tahil emas bagi biara kalian dan juga akan memugar biara kuno ini."
"Omitohud! Budha takkan suka transaksi semacam ini," kata Boh-to.
"Hendaknya Siang-jin mempertimbangkannya, sebab sudah menjadi tekadku untuk menyelesaikan urusan ini tanpa pikirkan apa yang harus aku lakukan."
"Itu kan keinginanmu sendiri yang muluk-muluk!" jawab Boh-to dengan dingin.
"Jadi apa pun juga Siang-jin tidak bersedia menerjemahkan kitab pedang bagiku?" Thian-ong-pang-cu menegas dengan tegas.
Boh-to mengangguk, "Betul, tidak dapat aku cemarkan ibadah suci yang telah aku tunaikan selama hidup ini."
"Sekalipun harus mengorbankan beratus jiwa penghuni Tai-bin-si juga tetap Siang-jin tak mau membantuku?"
"Apa katamu?" Boh-to-Siang-jin menegas dengan terkejut dan juga gusar.
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Dengan ketus Thian-ong-pang-cu menjawab, "Asalkan Siang-jin menjawab satu kata 'tidak' saja maka segenap penghuni Tai-bin-si akan kau temukan binasa di tengah kobaran api!"
"Sebab musabab terus berputar, hukum karma takkan berhenti, jika si-cu berani membunuh orang tak berdosa, akhirnya pasti akan mendapat ganjaran setimpal, harap si-cu suka mempertimbangkan secara masak".
"Hm, kalau kau kira aku cuma main gertak saja, bagaimana kalau sekarang juga aku bunuh satu di depanmu"!" ancam Thian-ong-pang-cu.
Bicara sampai di sini, ia berpaling dan berkata kepada penjahat yang menjadi pemimpin penculik tadi,
"Nomor satu dengarkan perintah!"
"Orang itu menjawab dengan hormat, "Hamba siap!"
"Seret ke luar hwesio cilik ini dan bunuh dia! perintah Thian-ong-pang-cu sambil menuding Su-Kiam-eng.
Orang itu mengiakan dan melangkah ke depan, sekali jambret leher baju Su-Kiam-eng terus diseret ke luar.
Kiam-eng berlagak ketakutan dan meronta-ronta, teriaknya "Ampun ... tolong! Ada perampok hendak membunuh orang, tolong ... "
Kontan orang itu menghadiahi Kiam-eng dengan tamparan dan membentak, "Diam! Buat apa berkaok-kaok" Supaya kau tahu, sampai kerongkonganmu bejat juga takkan didengar orang!"
Sembari bicara ia terus menyeret Kiam-eng ke luar.
Boh-to berlagak kuatir dan juga gusar, ia melototi Thian-ong-pang-cu dengan sikap murka, habis itu mendadak ia berlagak menyerah, ia menghela napas panjang dan berkata, "Baiklah, hendaknya kau lepaskan dia ke sini!"
"Jadi Siang-jin sudah mau?" jengek Thian-ong-pang-cu.
"Ya, akan aku terjemahkan kitab ini bagimu," sahut Boh-to-Siang-jin dengan lesu.
Segera Thian-ong-pang melongok ke luar kamar dan berseru, "Nomor satu, bawa dia kembali sini!"
Sementara itu Su-Kiam-eng sudah diseret orang itu ke tingkatan ke lima, demi mendengar sang pangcu, segera Kiam-eng diseret kembali lagi ke atas.
Kiam-eng berlagak seperti anak kecil yang ketakutan, ia sembunyi di belakang Boh-to-Siang-jin dengan gemetar.
Boh-to merangkulnya dan menghiburnya, "Jangan takut Ngo-liau, urusan sudah beres!"
Thian-ong-pang-cu lantas mengeluarkan sebuah medali emas dan diserahkan kepada Boh-to-Siang-jin katanya dengan tertawa, "Nah, barang semacam inilah yang aku minta diterjemahkan Siang-jin, silakan memeriksanya dulu!"
Boh-to mengamat-amati medali emas itu, lalu membaca perlahan, "Pedang bergerak ... cepat membawa angin ... "
Begitulah dengan penuh perhatian Thian-ong-pang-cu mengikuti apa yang disuarakan Boh-to-Siang-jin itu terkadang ia pun manggut-manggut tanda dapat meresapi makna daripada apa yang diuraikan padri tua itu.
" ... berat badan dibuat ringan, gesit serupa kera ... bagai harimau mendekam ... Nah, apakah sudah cukup?" demikian akhirnya Boh-to bertanya.
"Apakah sudah habis?" tanya Thian-ong-pang-cu.
"Belum, masih ada sebagian," jawab Boh-to.
"Baiklah, Siang-jin tidak perlu membaca lagi, di laci meja ada alat tulis, silakan Siang-jin mulai Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
menerjemahkannya saja.
"Tadi Si-cu bilang medali emas itu seluruhnya berjumlah beberapa biji?"
"Ada 180 biji, yang aku pegang cuma 178 biji."
"Oo, lantas ke mana perginya yang dua biji itu ?" tanya Boh-to.
Dengan suara geram Thian-ong-pang-cu menjawab, "Dua biji yang lain telah dicuri oleh seorang maling cilik, hmm ... "
Jika Si-cu tidak dapat menemukan kembali ke dua biji medali emas itu, biarpun kami dapat aku terjemahkan seluruh ke-178 biji medali ini kan tidak ada gunanya, betul tidak?"
"Tidak bisa jadi dari ajaran ke-178 jurus ilmu pedang ini dapat aku raba bagaimana cara ke dua jurus yang hilang itu," ujar Thian-ong-pang-cu, "Pendek kata, engkau jangan ikut campur urusan ini, cukup kau terjemahkan saja sebaik-baiknya."
"Malam ini kira-kira dapat aku terjemahkan isi enam biji medali, mulai esok, jika satu hari aku selesaikan 10 biji, maka seluruhnya diperlukan antara 17 hari. Padahal aku pamit hanya akan tinggal tiga hari di Kui-goan-si, bila lebih dari tiga hari tidak pulang, mungkin akan ... "
"Tidak menjadi soal," sela Thian-ong-pang-cu "Dapat aku kirim orang untuk memberitahukan kepada mereka bahwa Siang-jin ingin tinggal beberapa hari lebih lama di Kui-goan-si, dengan demikian tentu mereka takkan gelisah".
"Baiklah, harap Si-cu segera mengirim kabar kepada mereka," kata Boh-to.
Lalu Thian-ong-pang-cu mengeluarkan lagi lima biji medali emas dan ditaruh di atas meja katanya,
"Siang-jin dan Siau-su-hu ini boleh silakan bermalam di sini, makan minum setiap hari tentu akan aku suruh kirim kemari. Jika Siang-jin ada keperluan lain boleh saja berseru ke bawah pagoda, tapi dilarang turun agar tidak menimbulkan salah paham ... Nah, sekarang aku pergi dulu, sebentar aku datang lagi."
Habis berucap, dengan sopan ia memberi salam kepada Boh-to-Siang-jin, lalu tinggal pergi bersama anak buahnya itu.
Kiam-eng menyaksikan pintu kamar digembok dari luar, namun tidak terdengar suara langkah mereka menuruni pagoda, ia tahu mereka tentu masih berdiri di luar pintu. Maka ia menuding pintu untuk memberi tahu bahwa Thian-ong-pang-cu masih berada di luar. Kemudian ia sengaja berseru, "Ai, sungguh sangat menakutkan sekali!"
Boh-to-Siang-jin pura-pura mengomel, "Ngo-liau, kamu adalah orang beribadat, kalau bicara juga harus sopan"
"Ya, mohon ampun jika kelakuan kurang pantas," sahut Kiam-eng cepat. "Namun ... namun benarkah Siang-jin hendak menerjemahkan kitab pedang baginya?"
"Tentu, demi jiwa beratus orang penghuni Tai-bin-si, apa dayaku bila tidak aku laksanakan kehendaknya?" ujar Boh-to-Siang-jin.
"Selesai Siang-jin menerjemahkan baginya, apakah dia akan membebaskan kita?"
"Mudah-mudahan begitu. Kita tidak paham ilmu silat, tentunya dia takkan membikin susah kita".
"Ai, semoga Budha melindungi keselamatan kita ... "
"Sudahlah, dia bilang di laci ada alat tulis lekas kau keluarkan!"
Kiam-eng mengiakan dan coba menarik laci lalu dikeluarkannya alat tulis, sebuah penggosok tinta, kertas pun dibentang di meja, sambil bekerja sembari memperhatikan suara di luar. Terdengar langkah Thian-ong-pang-cu telah menuruni tangga, diam-diam ia merasa geli, pikirnya, "Keparat! Biarpun kelicinanmu melebihi siluman rase pun sekali ini juga kena aku kibuli, coba ke mana akan kau lari nanti"!"
Melihat alat tulis sudah siap, Boh-to-Siang-jin lantas duduk dan memberi tanda menuding ke pintu, maksudnya bertanya apakah orang sudah pergi"
Kang Zusi http://cerita-silat.co.cc/
Kiam-eng mengangguk dan menjawab lirih, "Sudah pergi, bolehlah Siang-jin mulai menerjemahkannya".
"Aku tidak paham ilmu silat, ingin membuat palsu juga sulit cara bagaimana sebaiknya aku salin kitab bahasa Hindu ini?" tanya Boh-to dengan perlahan.
"Sangat mudah." kata Kiam-eng. "Boleh Siang-jin menerjemahkan keras dengan lunak, kalau cepat kau tulis lambat, dan begitu pula sebaliknya. Dengan begini pun sudah cukup membuat dia pusing selamanya."
"Jika begitu, dengan cara bagaimana Siau-si-cu akan mencuri isi kitab pusaka ini?" tanya Boh-To ragu.
Kiam-eng berkerenyit kening, jawabnya, "Ya, memang serba susah, kalau menyalin satu kopi lain mungkin akan diketahuinya. Aku kira akan lebih baik pakai daya ingat untuk menghafalkannya secara paksa".
"Melihat tulisan di medali emas ini, setiap potong medali dapat diterjemahkan dua-tiga ratus huruf.
Katakanlah tiga ratus huruf, dari ke-178 potong medali itu akan berjumlah 50 ribu huruf apakah Siau-si-cu sanggup menghafalkan sebanyak ini?"
"Setiap hari menghafalkan tiga ribu huruf rasanya masih sanggup," kata Kiam-eng "Pula Siang-jin menerjemahkannya langsung, tentu mempunyai kesan cukup mendalam dan tentu dapat membantuku mengingatnya sebagian, betul tidak?"
"Baik, memang setiap hari aku selalu bergaul dengan kitab, untuk menghafalkan satu kitab pedang mungkin tidak menjadi soal. Cuma sehabis aku terjemahkan ke-178 medali emas ini, mungkin Thian-ong-pang-cu itu pun akan segera membunuh kita. Tatkala itu apakah Siau-si-cu ada akal untuk menyelamatkan diri?"
"Berada di puncak pagoda ini memang sangat sulit untuk kabur, apalagi harus aku bawa Siang-jin," ujar Kiam-eng setelah termenung sejenak. "Begini saja selang dua hari lagi hendaknya Siang-jin pakai alasan tidak biasa tinggal di puncak pagoda ini dan minta dia memindahkan kita ke ruang tengah di bawah, tatkala itu dapatlah aku mencari akal untuk meloloskan diri dengan aman."
Boh-to mengangguk, "Baiklah, sekarang boleh aku mulai menerjemahkan".
"Ia ambil sepotong medali emas dan diamati, lalu pegang pensil dan dicelup pada tinta bak yang telah digosok Kiam-eng, katanya, "Huruf yang teruk
Dendam Iblis Seribu Wajah 8 Kuda Putih Karya Okt Peristiwa Burung Kenari 9
^