Rahasia Ciok Kwan Im 8

Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long Bagian 8


ta tak lain tak bukan adalah
permaisuri Kui-ji yang selalu dikatakan berpenyakitan dan berbadan lemah
selalu di pembaringan.
Tampak mukanya tetap mengenakan cadar dari kain sari yang halus,
bentuk mukanya yang cantik jelita laksana bayangan didalam asap, seperti
kembang mawar didalam kabut, begitu cantik dam moleknya sampai siapa
saja yang memandangnya pasti menahan napas.
Sungguh girang dan kejut pula Kui je-ong dibuatnya, sampai dia lupa
bahwa sang permaisuri yang biasa berpenyakitan, entah cara bagaimana
secara tiba-tiba bisa muncul di sini dengan gerakan badan nan aneh dan
begitu menakjubkan, bergegas dia bangkit dan menyongsong maju sambil
menyapa: "Kenapa kau datang kemari?"
Permaisuri Kui-je tertawa, sahutnya: "Aku sudah datang, apa kau kurang
senang?" "Tapi... badanmu terlalu lemah, masakan kau kuat menahan panas dan
dingin yang begitu menyiksa di perjalanan nan jauh ini?"
Tiba-tiba Ki Ping-yan menyela pula dengan suara dingin:
"Jangan kata hanya cuaca buruk andaikan hujan golok angin panah juga
tidak terpandang dalam mata permaisuri bukan?"
"Y, benar!" sahut permaisuri Kui-je tertawa.
Berkilat sorot mata Ki Ping-yan, katanya pula:
"Burung habis masuk disembunyikan kelinci mampus anjing dipanggang,
memangnya permaisuri hendak membunuh kita semuanya?"
Kui-je-ong bergelak tawa ujarnya:
"Pun-ong sekali kali tiada maksud ini kalian jangan kuatir dan banyak
curiga." Permaisuri justru mengejek dingin: "Kau memang tiada maksud itu,
sebaliknya kau yakin dapat melaksanakan."
"Kau..." baru sekarang Kui je-ong benar-benar tertegun.
Pelan-pelan permaisuri tinggalkan cadar mukanya, maka terlihatlah
sepasang matanya nan bening tajam laksana air, dengan nanar dia tatap
Kui-je-ong, katanya: "Kau kenal tidak padaku, karena setiap orang yang
mengenalku, jiwanya sudah menghadap kepada raja akhirat, sudah tentu
dia tidak akan bisa hidup lagi."
Suasana hangat dalam kemah ini, seketika seperti digulung angin badai
yang dingin dan membekuknya darah, kaki tangan setiap hadirin menjadi
gemetar dingin dan berkeringat.
Karena saat mana, dalam benak setiap orang lapat-lapat sudah menebak,
siapa perempuan yang tengah mereka hadapi ini.
"Ciok koan-im! Kau adalah Ciok-koan-im !" tapi tiada seorangpun yang
berani membuka mulut.
Kui-je ong melosot duduk di atas kursinya, katanya dengan tertawa sedih:
"Akupun tidak perduli kau siapa, tapi permaisuriku... masakah kau sudah
membunuhnya?"
Suara Ciok-koan-im semakin merdu halus. "Kaupun tak perlu bersedih,
meskipun dia sudah meninggal, tapi aku masih hidup, aku tidak sebanding
dia" Memangnya kau tidak puas?"
"Kau?" Kui-je ong berjingkat kaget. "Kalau toh aku sudah mewakili dia,
maka selamanya aku tetap dalam kedudukanku seperti sekarang ini.
Mengawasi badan yang ramping semampai dan montok berisi ini, lama
kelamaan mata Kui-je ong mendelong memudar.
Mendadak Ki Ping-yan tertawa dingin, katanya: "Tidak salah, akupun tahu
kau selamanya akan mewakilinya!"
"Kau... kau tahu?" teriak Kui-je-ong pula.
Kata Ki Ping-yan: "Baginda tak punya anak cuma seorang putri, jikalau
Baginda dan tuan putri mengalami sesuatu, sebaliknya dalam negeri tak
boleh sehari tanpa ada yang memerintah, sudah tentu memilih junjungan
yang baru, demi memperebutkan kedudukan agung ini, semua orang betapa
sudah berusaha dan berjerih payah memeras keringat, tapi tanpa
mengeluarkan sedikit tenaga, ia sudah berhasil merebutnya, harus dibuat
kasihan Ang-Hak-han, An Teksan orang-orang dogol itu sia-sia saja mereka
dijadikan alat bonekanya, setelah mampus mereka bakal jadi setan
penasaran"
Dengan dingin Ciok-koan-im tatap Ki Ping-yan dengan nanar, setelah katakata
orang selesai, baru dia unjuk senyuman mekar, katanya: "Tak nyana
begitu tepat kau bisa mengorek isi hatiku, agaknya selama ini aku terlalu
pandang rendah dirimu."
"Kau hendak bunuh aku?" suara Kui-je-ong mulai ngeri.
Ciok-koan-im tersenyum, ujarnya: Sejak dahulu kala seorang raja
mempunyai tradisi cara kematiannya sendiri, akupun tidak akan melanggar
undang-undang ini cukup asal kau minum arak dalam cangkir di depanmu itu,
selanjutnya kau tidak perlu merisaukan segala persoalan dalam dunia ini."
"Kau... kau sudah menaruh racun di dalam arak cangkirku ini?"
"Tidak terlalu banyak, tapi lebih dari cukup untuk kalian ayah beranak."
Mengawasi arak dalam cangkir di depan mejanya ini, mata Kui-je-ong
mendelik, keringat dingin gemerobyos membasahi kepala dan mukanya.
Si Jambang bauk malam ini juga hadir dalam perjamuan minum arak dalam
kemah ini selama ini dia tidak pernah buka suara, cuma dia selalu pasang
mata menunggu kesempatan melihat Ciaok-koan-im tidak memperhatikan
dirinya, secara diam-diam, segera dia menggeremet mundur hendak
melolos keluar.
Siapa tahu ciok-koan-im justru seperti benar-benar mempunyai ribuan
tangan dan ribuan mata, segala gerak gerik siapapun, jangan harap bisa
lepas dari pengawasan matanya yang tajam.
Tanpa berpaling tiba-tiba dia menjengek dingin: "Apa engkau ingin keluar
mengundang bala bantuan?"
Si Jambang bauk kaget, bentaknya bengis: "Benar, jangan kau lupa anak
buahku ada delapan ratus banyaknya, semuanya sudah gemblengan di
medan laga, semuanya adalah laki-laki sejati yang tiada satupun yang takut
mati. mengandal tenagamu seorang, jangan harap kau mampu membunuh
kita semuanya, cukup asal satu diantara kita ada yang ketinggalan hidup,
melihatmu jangan harap bisa terlaksana maka kuperingatkan kepadamu,
jangan kau lakukan perbuatan gila-gilaan ini."
Mendadak Ciok-koan im berkata: "Bagus sekali ucapanmu, anak buah Ca
Bok-hap memang kesatria-kesatria gagah yang tidak takut mati, cuma
sayang jamuan kemenangan yang kalian adakan sekarang masih terlalu pagi
waktunya, para saudara-saudaramu yang gagah perwira itu sekarang sudah
sama mabok dan roboh tak sadarkan diri semuanya.
Berubah rona muka si Jambang bauk, serunya: "Memangnya kaupun
memberi racun dalam arak mereka" Memangnya tiada satupun diantara
mereka yang sadar?"
"Barusan aku sudah menebarkan racun di hadapanmu, apa kaupun melihat
kapan aku turun tangan?" ujar Ciok-koan-im tersenyum manis.
Tiba-tiba Jambang bauk menggembor kalap seperti orang gila, golok
diayun segera dia menubruk maju. Kepandaian silatnya memang belum
boleh dipandang sebagai tokoh kelas satu, tapi sudah gemblengan di medan
laga kiranya tidak berkelebihan untuk memujinya, terang serangan bacokan
goloknya ini amat sederhana tanpa mengandung variasi apa-apa, tidak
mengandung tipu-tipu perubahan, cuma dengan seluruh kekuatan dan
tumpuan dari semangatnya, besar hasratnya hendak memenggal kepala
musuh. Karena dia cukup insyaf hanya dengan kekuatan diri sendiri hendak
melawan Ciok-koan-im, sungguh jauh sekali jaraknya, seumpama telur
beradu dengan batu, jikalau serangannya ini gagal, maka tak berguna
meneruskan serangannya, malah bukan mustahil jiwa sendiri uang konyol.
Maka dia sudah bertekad mempertaruhkan jiwa raganya dalam serangan
dahsyat ini, kalau gagal dia siap berkorban.
Memangnya sudah menjadikan kebiasaan bagi ksatria-ksatria gagah yang
hidupnya sudah dipasrah demi kehidupan kemiliteran yang selalu
mempertaruhkan jiwa di medan perang, apapun yang dia lakukan, selalu
senang beres dan menyeluruh, mati ya mati, tak perlu sampai berbuntut
panjang. Oleh karena itu, bacokan goloknya itu, memang gaya dan
permainannya tidak enak dipandang mata tapi pembawaannya sungguhsungguh
mengandung daya kekuatan yang bisa menciutkan nyali orang yang
diincarnya. Tepat pada saat goloknya terayun ditengah udara, Pipok-kongcupun
membarengi bergerak laksana burung walet enteng dan cepatnya badannya
melesat terbang menubruk ke arah Ciok-koan-im pula.
Selama ini diapun bungkam saja, karena diam-diam dia sudah
mempersiapkan diri untuk bertindak, maka begitu dia menggertakkan
badannya tahu-tahu, tangannya sudah menggenggam sebilah badik yang
putih kemilau laksana perak. Tampak dimana sinar perak itu berkelebat,
laksana bintik bintang beterbangan ditengah angkasa, sekali turun tangan
beruntun tiga jurus serangan dia lontarkan, masing-masing mengincar tiga
Hiat-to besar dipunggung Ciok-koan-im.
Cara turun tangannya justru berlawanan dengan di Jambang bauk, lincah
dan gesit tapi kekuatannya tidak mantap dan sedahsyat itu, dan lagi setiap
jurus tipunya mengandung perubahan yang susul menyusul, sekali tidak
kena perubahan serangan yang segera memberondong datang pula. Kalau
dinilai secara keseluruhannya, meskipun jurus permainannya ini sangat
bagus dan menakjubkan, tapi bila sungguh-sungguh berhadapan dengan
tokoh tangguh, hakekatnya tak membawa manfaat besar yang benar-benar
berarti. Akan tetapi, Pipop Kongcu dan si Jambang bauk punya permusuhan dan
tujuan yang sama untuk mengganyang musuh mesti kepandaian silat mereka
berlainan biasanya tiada pengalaman bersama mengeroyok musuh namun
keduanya seakan akan seia sekata, oleh karena itu meski kepandaian
mereka yang satu lemah dan yang lain keras, namun tanpa disadari mereka
bisa bekerja sama dengan baik dan kebetulan.
Tampak titik perak laksana hujan deras memenuhi angkasa, selarik
lembayung berkelebatan melintang, satu di depan yang lain di belakang
bersama sama menungkup ke arah Ciok-koan-im. Ciok-koan-im ternyata
mandah berdiri di tempatnya sambil menggendong tangan tanpa
bergeming. Dalam kilasan kilat nan pendek itu sanubari Pipop-kongcu dan si
Jambang bauk sama dilintasi perasaan kegirangan yang luar biasa disaat
saat biasa golok dan badik mereka hampir mengenai sasaran itulah
sekonyong-konyong suatu hardikan keras bagai guntur menggelegar, tahutahu
Oh Thi-hoa sudah menerjang maju.
Gerakan Oh Ti-hoa laksana anak panah cepatnya, bergerak belakangan
tapi mencapai tujuan lebih dulu. Waktu si Jambang bauk turun tangan,
masih belum menunjukkan gerakan apa-apa, tapi belum golok si Jambang
bauk terayun turun, Oh Thi-hoa tahu-tahu sudah berada disamping
Jambang bauk dimana kepalan tangan kirinya menjotos, kontan di Jambang
bauk dihantamnya mencelat terbang, berbareng tangan kanannya tertekuk
dan memuntir, seperti membagi cahaya menangkap bayangan, pergelangan
tangan Pipop Kongcu tahu-tahu sudah terjepit oleh jari jarinya seketika
seluruk dengan separo badannya, terasa linu dan kemeng.
Kui Je ong menjerit kaget, serunya: "Oh Kongcu, kenapa kau malah
memberontak juga?"
Pipop Kongcupun menjerit gusar: "Kau sudah gila ya?"
Oh Thi-hoa tidak menjawab, ketika ia tarik Pipo Kongcu mundur tujuh
delapan langkah baru berdiri tegak pula, ternyata Ciok-koan-im masih
tetap berdiri di tempatnya tanpa bergerak, mukanya berseri tawa lebar.
Sebelah tangan Pipop Kongcu masih dapat bergerak, kontan dia ayun
tangannya, menggampar muka Oh Thi-hoa, tak nyana baru saja tangannya
bergerak tahu-tahu tangannya yang satu inipun tahu tahu tertelikung ke
belakang. Jurusan yang mengenai jambang bauk cukup berat, baru sekarang dia
pelan pelan merangkak bangun, serunya dengan murka: "Apa kau bukan
teman baik Siao ongya kita" Kenapa kau pukul aku malah !"
Oh Thi-hoa menghela napas katanya tertawa getir: "Sebetulnya aku tidak
berniat memukul kau, menyakiti kau, tapi barusan waktu sudah terlalu
mepet kuatir kehilangan kesempatan lagi sehingga tanganku kurang
terkontrol sehingga jotosanku terlalu berat. Maaf !" Pipop kongcu
membanting kaki, serunya meronta-ronta: "Kenapa Kau turun tangan
kepada kami malah" Memangnya kau komplotannya" Atau kau ini melihat
gelagat tidak menguntungkan, hendak menyerah dan menjadi kaki
tangannya?"
Karena tangan tak bisa bergerak, segera dia menggerakkan kedua kakinya,
sambil menendang kembali, mulutnya mengumpat caci: "Kau binatang,
sungguh tak nyana kau serendah dan sehina ini !"
Ciok-koan-im mendadak tertawa, ujarnya: "Kau menolong mereka malah
dicaci maki, buat aoa kau petingkah lagi?"
Pipop kongcu beringas, dampratnya: "Kau lah yang ditolong olehnya, bukan
aku, kalau dia tidak petingkah, sekarang jiwamu sudah ajal?"
"Kau kira dengan kedua jurus serangan kalian tadi lantas hendak
mencabut jiwaku?" jengek Ciok-koan-im.
"Kenapa tidak bisa melukai kau?" damprat Pipop kongcu pula, dengan
pongah segera dia menambahkan dengan suara lebih keras: "Jurus kita
tadi boleh dikata titik kelemahannya sekujur badanmu justru sudah
terancam dalam kurungan serangan kita, akibatnya berkelitpun kau sudah
tidak mampu lagi."
Ciok-koan-im lain menghela napas katanya: "Kau memang tidak tahu
betapa tingginya langit dan tebalnya bumi kenapa tidak kau pikir, bila
benar seranganmu tadi hebat dan lihay serta jempolan, kenapa sekali
gebrak sekali raih Oh Thi-hoa tahu-tahu sudah berhasil membekuk dan
menundukkan kalian?"
Seketika Pipop-kongcu menjublek di tempatnya dengan mata terbelalak
dan mulut melongo sungguh mulutnya tak kuasa berdebat lagi.
"Biar kuberi tahu sejujurnya kepadamu," ujar Ciok-koan-im lebih lanjut:
"Jikalau serangan kalian tadi diteruskan, kalian berdua bakal terkapar tak
berjiwa lagi, jurus serangan yang kalian anggap rapat dan ketat tiada titik
kelemahannya, bahwasanya menunjukkan banyak lobang kelemahannya,
sedikit ada tujuh delapan sasaran yang dapat kugunakan untuk balas
menyerang kalian sampai mampus." tiba-tiba lengan bajunya itu beterbaran
bagai gumpalan awan bergulung-gulung mengembang dengan enteng dan
lincah, dalam sekejap mata, beruntun berubah tujuh delapan macam gaya
dan gerakan, terdengar mulutnya berkata pula tawar: "Coba lihat, jurus
yang kumainkan ini tadi kulancarkan, apa kalian masih bisa hidup?"
Pipop-kongcu mengawasi dengan mendelong, terasa olehnya dari arah mana
saja jurus permainan Ciok-koan-im ini dilancarkan, jelas dirinya takkan
mungkin bisa melawan atau menandinginya, jikalau Ciok-koan-im mau
merenggut jiwanya, sungguh segampang orang merogoh kantong mengambil
sesuatu. Kejap lain rona mukanya sudah pucat pias, keringat dingin
bertetes-tetes menghiasi jidatnya.
"Sekarang kau sudah mengerti bukan, jurus serangan yang betul-betul
ampuh dan tak terlawan oleh musuh, bukan kalian tidak mampu
menggunakannya, malah berani kukatakan melihatpun mereka belum
pernah." sorot matanya mendadak ke arah Oh Thi-hoa Katanya dingin: "Kau
tolong mereka, memangnya kau hendak turun tangan sendiri melawan aku?"
Oh Thi-hoa mematung ditempatnya, seolah-olah dia tidak mendengar
pertanyaan orang bahwasanya diapun terkejut dan melenggong oleh
pertunjukan kepandaian lengan baja Ciok-koan-im barusan. Seolah-olah
barusan dia melihat seorang penari jelita yang sedang menarikan
selendang panjang dengan gemulai, disaat hati riang dan gembira, diiringi
musik nan merdu menarik dengan asyik. Siapapun dia, melihat tarian yang
gemulai indah ini, umpama hati sedang gundah dan merana, seketika
hatipun akan riang gembira, maka disaat hatimu ketarik dalam suasana
riang gembira itu tanpa sadar jiwanya sudah terenggut konyol.
Cepat sekali otak Oh Thi-hoa bekerja pulang pergi, pikir punya pikir tetap
tak tersimpul olehnya dengan perbendaharaan kepandaian silatnya
sekarang, dengan jurus apa baru dia kuasa memecahkan serangan lengan
baju yang hebat tadi, kalau Ciok-koan-im menggunakan jurus tadi
menyerang dirinya, mungkin sendiripun bakal terkapar mampus.
Tidak perlu dia banyak bertanya kepada Ciok-koan-im apakah orang masih
mempunyai simpanan jurus yang lebih lihay lainnya, karena bagi seorang
tokoh kelas wahid, sekali gebrak dia cukup menentukan mati hidup jiwa
seseorang. Dilihatnya sikap Ki Ping yang masih tetap tenang dan mantap, tapi butiran


Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keringat kecil mulai merembes di ujung hidungnya, terang bahwa diapun
sedang mencari daya untuk berusaha memecahkan jurus serangan Ciokkoan-
im yang didemontrasikan baru.
Lama suasana hening mencekam perasaan semua hadirin, akhirnya Oh Thihoa
tak tahan lagi, katanya: "Ilmu apakah yang barusan kau mainkan?"
"Tidak menjadi soal kuberitahu kepada kau jurus tadi kunamakan laki-laki
tak boleh lihat!"
Oh Thi-hoa melengak, "Laki-laki tidak boleh lihat" Ilmu silat apakah itu?"
"Sebetulnya bukan termasuk ilmu silat lihay tapi siapapun asal dia seorang
laki-laki setiap kali berhadapan dengan jurus ini, dia pasti mengantar jiwa,
oleh karena itu, oleh karena itu laki-laki sekali-sekali dilarang melihatnya."
Berkerut alis Oh Thi-hoa, tanyanya: "Ilmu silat dari golongan atau dari
perguruan manakah itu?"
"Di kolong langit ini golongan atau perguruan silat mana yang mampu
menciptakan jurus silat seperti itu" Umpama kata dua aliran perguruan
silat yang paling ternama sekarang kepandaian silat Siau lim pay terlalu
kental terlalu goblok, seperti semangkok besar lima macam daging
panggang, mesti penuh dan cukup mengencangkan perut, tapi paling-paling
hanya bisa memuaskan kaum kuli dan serdadu rendahan belaka bagi
seseorang yang benar-benar tahu menikmati masakan lezat, sekali-kali dia
tidak sudi memakan hidangan serba minyak, sampai di sini dia tertawa geli,
lalu melanjutkan: "Ilmu silat Bu tong pay sebaiknya malah terlalu tawar,
seumpama sepiring masakan sayur hijau campur tahu yang lupa dibumbui
garam, kelihatannya warnanya memang enak dan indah, tapi setelah kau
gares, selanjutnya pasti tidak akan menambah selera makan orang, benar
tidak?" Betapa tinggi dan hebat kepandaian silat dari aliran Siau lim pay dan Bu
tong pay yang dipandang sebagai puncak persilatan oleh seluruh kaum Kang
ouw, tapi didalam pandangan Ciok-koan-im ternyata sedemikian rendah dan
tak berharga sepeserpun, sungguh komentar yang terlalu pongah dan
takabur kelewat batas.
Akan tetapi perempuan yang diharapkan memangnya tepat dan serasi, Oh
Thi-hoa membayangkan ilmu silat Siau lim pay dan Bu tong pay, lalu
membayangkan pula apa yang dikatakan barusan, hampir tak tertahan dia
tertawa geli. Terdengar Ciok-koan-im berkata pula: "Kalau kepandaian silat mereka
sudah begitu jelek kalau tidak mau dikata celaka, namun justru
menggunakan nama-nama yang indah dan merdu kedengarannya, dinamakan
apa Lik-pit-sam-gak atau membelah gunung, Kiang-liong-hu-hou atau
menaklukan naga menundukkan harimau. Bahwasanya dinilai dari apa yang
mereka mainkan, seharusnya pantas kalau dinamakan Pit bok cai atau
membelah kayu dan Kiang mao hu kau atau menaklukan kucing menundukkan
anjing tepatnya. Akan tetapi nama yang kucantumkan dalam jurus
ciptaanku ini meski tidak enak didengar, namun betul-betul merupakan
barang tulen harga pas, kalau kukatakan laki-laki tidak boleh lihat, maka
setiap laki-laki jangan harap bisa melihatnya."
Oh Thi-hoa menghela napas, ujarnya: "Kalau demikian, jadi jurus tadi
adalah hasil ciptaanmu sendiri?"
"Untuk menciptakan jurus permainan seperti ciptaanku tadi, bukan saja
harus benar-benar hapal dan menyelami seluk beluk ilmu silat dari seluruh
aliran silat yang ada di kolong langit ini, lebih penting pula harus
mengetahui dimana titik kelemahan seseorang laki-laki, maka jurus silat
seperti itu, kecuali aku siapa pula yang mampu menciptakannya?"
Lama pula Oh Thi-hoa menjublek pula, katanya dengan tertawa getir
kemudian: "Benar kenyataan memang kau amat mendalami dan cukup
mendalam menyelidiki jiwa laki-laki."
"Sekarang kalian masih tetap berani turun tangan melawan aku?"
Tanpa janji Ki Ping-yan dan Oh Thi-hoa berbareng menghela napas,
berbareng menjawab: "Tidak berani lagi."
Begitu mendengar jawaban "Tidak berani lagi!" dari mulut Oh Thi-hoa dan
Ki Ping-yan seketika pucat pias Kui je ong, badik ditangan Pipop-kongcupun
jatuh. Siapa nyana justru pada saat itu pula. Tanpa berjanji namun Oh Thi-hoa
dengan Ki Ping-yan tahu-tahu melejit secepat anak panah, gerakan kudanya
begitu serasi dan seperti sudah direncanakan bersama, bukan saja bicara
bersama, gerakan merekapun dimulai dalam waktu yang sama pula.
Sudah tentu jauh berbeda gerakan Ki-ping yan dan Oh Thi-hoa yang
menyerang serempak ini dibanding dengan serangan si Jambang Bauk dan
Pipop-kongcu tadi. Waktu si Jambang Bauk dan Pipop kongcu menyerang
tadi udara seolah-olah disinari cahaya perak, yang berkung kunang,
perbawanya kelihatannya amat dahsyat, tapi berbeda pula waktu Oh Thihoa
dan Ki Ping-yan turun tangan ini, orang lain tidak melihat sesuatu yang
ganjil, menyolok mata atau menakjubkan.
Cuma terlihat dalam gerakan bayangan orang yang bergerak secepat kilat
itu, beruntun kedua orang sudah sama-sama melontarkan tiga jurus
serangan, tentang bagaimana dan cara apa mereka menyerang, hakekatnya
tiada orang yang melihat dengan jelas, namun paling tidak dalam tiga jurus
permulaan ini, orang-orang diluar gelanggang sama-sama masih melihat
gerakan bayangan mereka, tapi tiga jurus kemudian, jangan kata bayangan
mereka sampaipun yang mana Oh Thi-hoa dan siapa Ki Ping-yan orang
sudah tidak bisa membedakan lagi.
Terasa dalam kemah mendadak seperti terbit angin badai yang meniup
kencang laksana angin puyuh, piring mangkok dan cangkir yang berada di
atas meja sampai tersapu jatuh berkelontangan, pakaian Pipop kongcu, KuiKoleksi
Kang Zusi je-ong dan si Jambang Bauk melambai berkibar bersuara seperti dihembus
angin lalu. Pucat pasi selembar muka Kui-je-ong, seolah-olah sembarang waktu bisa
jatuh semaput, lekas Pipop-kongcu memapah ayah bagindanya yang
terhuyang mundur, tapi tangannya sendiripun gemetar keras. Sementara
dengan kencang si Jambang Bauk pegang goloknya dengan kedua tangan
berdiri jauh diambang pintu kemah, meski dia tak bisa melihat apa-apa
namun kedua matanya menatap tajam seperti biji mata ikan mas yang
melotot hampir mencotot keluar.
Entah berapa kali dia pernah mengadu jiwa dengan musuh selama hidupnya
ini, entah berapa banyak sudah luka-luka yang melekat di atas badannya
karena luka-luka bacokan atau tusukan senjata lawan, umpama musuh
menghujamkan senjatanya ke dalam badannya, diapun tidak setakut
seperti hari ini. Tapi sekarang dia justru malah lebih tegang dari pada
waktu dirinya waktu mengadu jiwa dulu.
Sudah tentu lingkungan kemah ini tidak begitu besar dan luas, ketiga
orang yang bergebrak bergerak begitu cepat lagi, namun ketiganya cukup
hanya berkutet ditempat itu-itu saja, sampai kursi meja tidak sempat
tersentuh oleh mereka.
Tak kurang diam-diam mencelos dan menarik napas panjang si Jambang
Bauk dan Pipop-kongcu dibuatnya, setelah melihat pertarungan sengit
ketiga orang ini baru mereka benar-benar sadar dan insaf bahwa
kepandaian silat sendiri hakikatnya berbeda laksana langit dan bumi
dibandingkan ketiga orang ini.
Jikalau mereka sendiri sekarang yang bergebrak, bukan mustahil meja
kursi sudah keterjang sungsang sumbal, kemungkinan dinding kemah
disekelilingnyapun sudah berlobang dan sobek dimana mana.
Sekonyong-konyong angin puyuh sirap dan segala sesuatunya menjadi
berhenti. Ternyata tiga orang yang serang menyerang secepat kilat itu
tahu-tahu pergi dan berdiri pada posisi mereka semula.
Jari jari Oh Thi-hoa terkepal kencang raut mukanya merah padam, begitu
menakutkan tampangnya. Sebaliknya muka Ki Ping-yan pucat lesi, keduanya
sama mendelong mengawasi Ciok koan-im tanpa berkesir. Sebaliknya tulang
ujung mulut Ciok koan-im tetap menyungging senyuman manis, kelihatan
masih begitu cantik jelita dan tentram, sampaipun sungguh kepalanya yang
diikat tidak kelihatan mawut atau berubah.
Selintas pandang, seolah baru saja mentas dari peraduan, baru saja
berdandan hendak keluar menemui tamu, mana ada tanda-tanda baru saja
mengadu jiwa dan berkelahi dengan orang. Tapi ketiganya berdiri
mematung tanpa bergeming sedikitpun mulutpun terkancing rapat.
Bukan saja tidak tahu kenapa mendadak berhenti, Pipop kongcu dan lain
lainnya tidak tahu kalau Thi Hoa dan Ki Ping-yan tidak bergerak, maka Kuije-
ong, Pipop kongcu dan si Jambang bauk serasa jantung mereka hampir
berhenti, merekapun tak berani bergeming.
Beberapa kejap kemudian, tampak sejalur darah mengalir keluar dari
ujung mulut Oh Thi-hoa.
Walaupun badannya tegak berdiri di tempatnya seperti tonggak,
sebaliknya melihat darah di ujung mulut orang, seketika Pipop-kongcu
rasakan kedua belah lututnya lemas dan hampir tak kuat berdiri, karena
sekarang dia sudah tahu pikah mana yang telah dikalahkan. Kekalahan ini
boleh dikata merupakan kegagalan total dan tak mungkin ditolong kembali,
bukan saja jiwa mereka berenam takkan tertolong. Beribu berlaksa rakyat
Kui-jie bakal tenggelam kehidupan kekejian dan keganasan oleh
cengkeraman elmaut yang beracun.
Terdengar Ciok-koan-im menarik napas panjang, katanya: "kalau kalian
sudah tahu bukan tandinganku, kenapa masih ingin jajal dan minta
digebuk?" Oh Thi-hoa kertak gigi, bentaknya bengis: "Seorang laki-laki berani
berbuat berani tanggung jawab ! Ada kalanya sesuatu jelas memang tak
mungkin kita capai, namun kita tetap berusaha akan mencapainya juga."
Maklumlah istilah "Bu Hiap" atau pendekar silat selalu mempunyai arti
yang berlainan satu sama lain, namun arti daripada masing-masing dari
kedua kata-kata itu sendiri jauh sekali bedanya. Untuk menempuh ke jalan
Bu atau silat bukan persoalan yang sukar, cukup asal kaki tangan
bertenaga, bisa main berapa jurus Kung Fu, bolehlah dianggap Bu. Tapi
Hiap atau pendekar itu sendiri amat sulit pula pelaksanaannya, didalam
praktek sepak terjang seseorang di dalam kehidupan Kang-ouw, memang
enteng kedengarannya dan gampang diucapkan kata "berani berbuat,
berani bertanggung jawab", namun kalau tidak dilandasi keteguhan hati,
keberanian yang luar biasa serta jiwa yang luhur dan bajik, seseorang.
Jilid 27 Tidak mungkin bisa mendapatkan gelar atau julukan "Pendekar" yang amat
berat pula arti dan kenyataannya.
Karena seorang kalau hanyamalang melintang dan bersimaharaja dengan
begal kepandaian silatnya saja, membunuh orang semena-mena, tak
ubahnya perbuatannya itu menyerupai binatang liar, hukum rimba selalu
menjadikan penengah nuraninya, memang dia setimpal dianggap sebagai
"pendekar?"
Ki Ping yan mendadak berkata: "Tadi sebetulnya ada dua kali kesempatan
kau dapat merenggut jiwaku, kenapa kau tidak turun tangan?"
Ciok-koan-im tertawa tawar, ujarnya, "Hampir dua puluh tahun aku tidak
pernah bergebrak dengan seseorang yang benar-benar berani melawan
aku, masakah begitu gampang aku harus membunuhmu?"
Tanpa berjanji Oh Thi-hoa dan Ki Ping-yan sama menghela napas,
batinnya: "Kenapa sampai sekarang Coh Liu-hiang belum kembali" Jikalau
dia datang membantu, dengan kekuatan kita bertiga, walaupun ilmu silat
Ciok-koan-im nomor satu di seluruh kolong langit, tiada bandingannya
sepanjang jaman, dia pasti dapat kita kalahkan." kalau Ki Ping-yan hanya
membatin dalam hati, Oh Thi-hoa justru tidak sabar lagi, Katanya setelah
menarik napas panjang: "Sayang Coh Liu-hiang tidak disini, kalau tidak... "
"Memang harus disayangkan sudah lama kudengar kepandaian silat Coh
Liu-hiang, biasanya jarang terlihat kebolehannya yang menonjol, tapi
musuh yang dia hadapi semakin tangguh, maka diapun bisa lebih
mengembangkan perbawa kepandaiannya, sayang sekali aku justru tidak
bisa menjajal kepandaiannya, memang harus disayangkan, suatu yang harus
kusesalkan seumur hidup !"
"Kau tidak perlu menyesal." Oh Thi-hoa mengolok, "Cepat atau lambat dia
pasti akan membuat perhitungan kepada kau."
"Mungkin sudah tiada kesempatan lagi, kalianpun tak perlu menunggunya."
Kata Coik-koan-im kalem.
Oh Thi-hoa terloroh-loroh: "Kau kira kepergiannya kali ini tidak akan
kembali pula" Kau kira hanya mengandal Go Kiok-kan bocah ingusan itu,
lantas dapat membunuhnya?"
"Ya, dalam dunia ini yang betul-betul dapat membunuh Coh Liu-hiang si
Maling Romantis, mungkin juga cuma Go Kok kan saja. Karena dia juga
sedemikian mendalamnya menyelidiki seluk beluk luar dalam Coh Lui-hiang
dari kepalanya sampai ke ujung kakinya, dalam dunia ini tiada orang kedua
yang jauh lebih paham akan kepandaian silat Coh Liu-hiang dan
kelemahannya... " tertawa tawar, lalu meneruskan:
"Coba pikir, bilamana aku punya anggapan Coh Liu-hiang si Maling Romantis
masih ada harapan pulang dengan masih hidup, buat apa dan kenapa aku
harus membuang buang waktu di sini bercengkerama dengan kalian?"
Oh Thi-hoa menyeka keringat di atas jidatnya, mendadak tertawa besar,
serunya: "Dalam dunia ini tiada seorangpun yang betul betul bisa
memahami Coh Liu-hiang, jangan kata luar dalamnya, kulitnya sajapun
jangan harap kau mengerti, sampaipun aku yang sejak kecil bersahabat
selama dua tiga puluh tahun sama dia, tidak mampu memahami dirinya, apa
lagi Go Kiok-kan!"
Ciok-koan-im mencibir, katanya sinis:
"Sudah tentu kau tidak akan bisa memahami dia, karena kau tiada
dendam, permusuhan dengan dia, hakikatnya kau tidak perlu memahaminya:
"bila kau terlalu memahami dari jiwa karakter lahir batin seseorang, kan
malah tidak akan bisa bersahabat dengan dia. Dan lagi, perlu kuberi tahu
kepada kau, orang yang paling memahamimu dalam dunia ini, jelas bukan
sahabat atau istrimu, tapi pasti adalah musuh besarmu, karena hanya
musuhmu yang benar-benar mau menyelidiki dengan segala susah payah
untuk titik kelemahanmu."
Meski tangan Oh Thi-hoa sedang kerepotan menyeka keringat, tapi air
keringat seolah-olah sengaja main-main dengan dia selamanya takkan
habis-habis dia seka, keringat yang gemerobyos sudah menghanyutkan
noda-noda darah diujung mulutnya yang meleleh keluar tadi. Tanyanya
dengan suara serak dan sangsi:
"Memangnya orang she Go itu punya dendam permusuhan apa dengan Coh
Liu-hiang?"
Ternyata Ciok-koan-im tidak hiraukan pertanyaannya lagi, pelan-pelan dia
putar badan lalu melangkah ke depan Kui-je-ong, dengan kedua tangannya
dia angkat cangkir arak di atas meja, senyuman mekar yang terkulum di
wajahnya, begitu rupawan dan mempesonakan dengan suaranya yang paling
halus, lembut mulutnya berkata: "Kuperingatkan supaya secangkir arak ini
lekas diminum, supaya lekas bertemu dengan banyak sahabat di neraka. Bin
Hong-wa, Ang Hak-han dan Ang Tek san sedang menunggumu di sana, tentu
kau tidak akan kesepian."
Tabir malam di padang pasir terasa teramat panjang, namun datangnya
terlalu pagi. Waktu itu kira-kira baru jam enam sore, namun kabut sudah
mulai mendatang dan tabir malampun sudah membikin jagat raya serasa
gelap pekat, didalam keremangan malam yang samar-samar ini, asap ungu
yang tebal itu kelihatannya menjadi begitu menyolok laksana merah darah.
xxx Rona muka Coh Liu-hiang sudah berubah tapi kejap lain mendadak dia
tertawa besar, serunya: "Kepandaian usang dipakai lagi, bukankah ini
kurang cerdik, di pesisir Toa-bing ouw tempo dulu, dengan cara ini kau
berhasil meloloskan diri, memangnya kali ini kau hendak lolos pula dengan
cara yang sama" Kau kira aku tak punya cara untuk menghadapi
permainanmu ini?"
Ditengah tawanya tiba-tiba badan Coh Liu-hiang melambung tinggi
mengikuti asap tebal yang mengepul naik menjulang ke angkasa.
Bahwasanya Coh Liu-hiang memang sudah berhasil mendapatkan cara untuk
mengatasi atau memecahkan cara melarikan diri dengan menghilang
meminjam asap tebal sesuai ajaran Jinsut seperti ini, asal meleset terbang
lebih tinggi dari tabir asap yang berkembang dan bergulung gulung di
udara, perduli ke jurusan lawan melarikan diri, jangan harap bisa
mengelabuhi sepasang matanya.
Walau cepat sekali asap tebal ini berkembang, tapi dalam waktu singkat
itu, melebarpun tidak begitu luas, begitu badan Coh Liu-hiang melayang ke
atas, tampak tiga tombak di luar gulungan asap tebal itu, pasir kuning


Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terbentang kosong, ternyata bayangan Go Kiok kan tidak dilihatnya sama
sekali, malah ditengah asap yang tebal itu mendadak kedengaran gelak
tawanya yang pongah.
Sebaliknya tenaga Coh Liu-hiang seolah-olah seketika itu juga sirna dan
badan menjadi lemas, badannya yang melambung terbang ke angkasa
seperti burung itu, seberat batu besar yang jatuh dari angkasa terus
anjlok dan terbanting keras di atas pasir.
Terdengar Go Kiok-kan terloroh-loroh:
"Kepandaian usang dilancarkan lagi memang kurang cerdik, tapi aku yakin
otakku ini tidak sampai sedemikian goblok, apalagi di hadapan Coh Liuhiang
si Maling Romantis yang serba pintar ini, masakah aku bakal
menggunakan cara yang sama untuk kedua kalinya?"
Hembusan angin malam di padang pasir amat santer, meski asap ini amat
tebal, tapi sekejap saja sudah tersapu bersih oleh deru angin yang
menghembus kencang, samar-samar kabur semakin menipis, dan melihat
sesosok bayangan berdiri diantara keremangan malam, dia bukan lain
adalah Go Kiok-kan.
Coh Liu-hiang menghela napas, ujarnya: "Benar, soalnya asap tebalmu
tempo dulu tidak beracun, kali ini aku tidak berjaga-jaga. Sungguh tidak
pernah terpikir olehku bahwa kau bagai mencampurkan obat bius yang
dapat melemaskan tulang dan menyedot sukma itu di dalam asap tebalmu
ini. "Sudah tentu kau tidak akan menduganya." ujar Go Kiok-kan tertawa
senang, "Karena setiap orang menghadapi sesuatu yang sudah amat
dipahaminya, pasti tidak akan bersikap berwaspada seperti dulu, nah
disitulah letak kelemahan watak manusia..." sampai di sini dia tertawa geli,
katanya lebih lanjut: "Setiap orang mempunyai titik kelemahannya sendiri,
dan kelemahanmu ialah keyakinanmu terhadap dirimu sendiri terlalu tebal,
hatimupun terlalu lemah.
Oleh karena faktor-faktor inilah maka berulang kali terjungkal di
tanganku. Hari ini bila kau mau menusuk ulu hatiku atau menggorok leher
ini, hari ini aku tidak akan dan tidak mungkin merangkak keluar dari liang
kubur dan hidup kembali."
Coh Liu-hiang tertawa getir, ujarnya: "Akupun tahu akan kelemahan ini,
yakni aku terlalu serius dan terlalu berat menilaimu! Oleh karena itu meski
aku tahu dalam dunia ini ada manusia rendah dan lemah yang hina dina,
demi menyelamatkan jiwa sendiri tidak segan-segan dia pura-pura menemui
ajalnya di bawah tusukan belatinya sendiri, tapi mimpipun tak pernah
terpikir olehku, seorang beribadat yang romantis hidup bebas disegani
seperti Biau-ceng Bu Hoa yang punya kepandaian silat sedemikian
tingginya, ternyata juga sudi melakukan serendah ini.
Go Kiok-kan mandah tertawa, katanya: "Aku tahu hatimu amat mendelu
sedih, karena Coh Liu-hiang si Maling Romantis yang malang melintang
tiada tandingan di kolong langit, hari ini kena diingusi dan kecundang habishabisan,
demi membalas kebaikanmu dulu kepadaku, hari ini akan kuberi
kesempatan kepadamu untuk mengundal memakimu sesuka hatimu, berapa
banyak kata-kata makian di dalam perbendaharaan hatimu boleh kau
limpahkan sesukamu untuk melampiaskan kemendongkolanmu, perduli
apapun makian kepadaku, sebelum selesai cacimu, aku pasti tidak akan
turun tangan."
Sembari bicara, pelan-pelan dia tanggalkan topinya, dengan gerakan yang
amat hati-hati mencopot rambut palsunya, lalu dengan kedua tangannya
pelan-pelan kembali dia mengelotok selapis kedok muka yang amat tipis dan
berwarna kuning.
Maka Biau keng si padri saleh Bu Hoa yang gagah cakap dan berwajah
halus putih itu kembali terpampang di hadapan Coh Liu-hiang. Coh Liuhiang
hanya mengawasinya diam dan tenang-tenang saja, sepatah katapun
tak bersuara lagi.
Bu Hoa tertawa pongah, katanya: "Agaknya kepandaian memalsu diri
Cahye meski tidak lebih unggul dari Coh Liu-hiang si Maling Romantis yang
serba pandai merobah bentuk badan dan mukanya, namun cukup baik dan
patut dipuji juga, yang terang aku sudah berhasil mengelabuimu bukan?"
"Masih terlalu jauh kepandaianmu yang satu ini!" kata Coh Liu-hiang tawar.
"Kalau masih ketinggalan jauh, masakah bisa mengelabui sepasang
matamu?" "Bahwasanya kau tidak pernah mengelabui aku, waktu pertama kali
berhadapan dengan kau aku sudah tahu dan merasakan bahwa Go Kiok-kan
adalah samaran orang lain, cuma dalam waktu selama ini tidak pernah
terpikir olehku bahwa kaulah yang membawa gara-gara ini."
Bu Hoa menghela napas, ujarnya: "Semula kukira selamanya kau tidak akan
pernah curiga kepadaku, karena aku betul-betul sudah berjerih payah dan
memeras keringat dalam usahaku ini.
Setitik Merah ku undang datang tujuanku supaya kau mengira Mutiara
hitamlah yang menjadi biang keladi dalam peristiwa ini dengan tindakan ini
bukan saja supaya kau betindak keliwat hati-hati dan selalu was-was tidak
berani sembarangan bertindak lagi, sekaligus dapat mengelabui kau
sehingga persoalan kau kira semakin rumit dan berliku-liku, tanpa sadar
kau akan tersesat ke jalan samping dan selamanya takkan berhasil kau
ketahui seluk beluk persoalannya."
Coh Liu-hiang tertawa, ujarnya: "Caramu ini memang pintar, sebetulnya
memang aku sudah tersesat ke jalan buntu dan hampir saja tak bisa
berpaling, untunglah lekas sekali kau menyadari bahwa Ciok Tho ternyata
adalah salah satu dari Hoa san chit-kiam dulu, dari sini pula baru aku sadar
dan terpikir bahwa Ciok-koan-im ternyata bukan lain adalah nona Li dari Ui
san-si keh (Keluarga besar dari Ui san).
Mendengar uraian Coh Liu-hiang ini, seketika muka Bu Hoa membeku kaku,
senyum tawanya yang manis welas asih seketika sirna tak membekas lagi.
Dulu Hoa-san-kiam-pay dan Ui-san-si-keh bertempur mati matian sampai
kedua belah pihak jatuh korban yang tak terhitung baynyaknya, pihat Ui
San-si-keh hanya tinggal nona Li saja yang berhasil melarikan diri,
beruntung lolos dari malapetaka, namun nona Li merasa tidak bisa bercokol
hidup lagi di Tiong-goan, maka dia melarikan diri keluar lautan dan
akhirnya tiba di Hu siang.
Disana bertemu dengan Thian-long-cap si long yang jatuh cinta kepadanya,
disana mereka hidup bersuami istri selama beberapa tahun, malah
melahirkan dua orang putra. Namun tatkala secara diam-diam dia berhasil
meyakinkan ilmu silat mujijat yang tiada taranya, lantas dia tinggalkan
suami, meninggalkan anak, minggat dan pulang kembali ke Tiong goan,
beruntun dia berhasil membunuh Hoa-san-chit-kiam dan berhasil menuntut
balas sakit hati Ui-san-si keh.
"Sejak itu nona Li tiba-tiba menghilangkan jejaknya secara misterius,
tiada seorangpun dalam kalangan Kang-ouw yang tahu kemana jejaknya.
Tak lama kemudian meski di dalam Bulim muncul gembong iblis perempuan
Ciok-koan-im yang berkepandaian tinggi tiada bandingannya serta
bersepak terjang aneh serta serba misterius, tapi siapapun tiada yang
mengira bahwa gembong iblis yang jahat dan laknat seperti Ciok-koan-im
itu ternyata bukan lain adalah nona Li dari keluarga besar Ui-san satusatunya
yang masih hidup."
"Latar belakang yang terahasia ini sebetulnya takkan ada orang yang bisa
membongkarnya, dan sayang sekali nona itu justru meninggalkan hidup jiwa
salah satu dari Hoa san-chit-kiam itu... sampai disini Coh Liu-hiang,
tertawa tawar lalu melanjutkan:
"Ini kemungkinan dia terlalu takabur dan merasa dirinya terlalu ampuh,
betapapun derita siksa yang pernah dia alami, tidak dia pandang tidak sudi
berlutut dan menyerah kepada nona Li itu, sebaliknya bila nona Li itu sudah
jatuh hati kepada seseorang, bagaimanapun dan apapun yang akan terjadi
dia harus mencapai dan melaksanakan keinginannya, maka selama ini dia
tidak pernah membunuhnya, tak pernah pula terpikir olehnya, orang yang
sudah tidak menyerupai manusia itu bakal dapat melarikan diri"
Rona muka Bu Hoa kini seperti dilapisi tabir dingin katanya ketus dingin:
"Teruskan!"
"Tapi hanya sumber ini saja, masih tidak mungkin membongkar rahasia
Ciok-koan-im, dan harus disayangkan pula pada dua puluh tahun kemudian,
dalam dunia ini justru muncul manusia bawel dan rewel macam Coh Liuhiang
yang suka mencampuri urusan orang lain. Kebetulan Coh Liu-hiang
cukup intim dan bersahabat baik serta amat mencocoki dengan kedua
putra putranya nona Li itu yang sudah menanjak dewasa, lebih celaka lagi
dari teman karib mereka akhirnya berubah jadi musuh yang berlawanan
muka dan tujuan. Maling Romantis yang suka petingkah itu kembali
menggali peristiwa besar di Bulim masa silam yang sudah dilupakan orang.
Sudah tentu hal ini sekali kali tidak akan pernah terpikir atau diduga oleh
nona Li alias Ciok-koan-im itu."
"Lanjutkan." desak Bu hoa pula dengan kaku dan ketus.
"Walau Coh Liu-hiang sudah tahu kisah kehidupan Thian Hong-cap-si-long
ayah beranak namun tidak pernah terbayang olehnya bahwa mereka bisa
mungkin punya sangkut paut yang begitu erat dengan Ciok-koan-im.
Kedua persoalan ini hakikatnya satu sama lain tidak boleh dibicarakan
secara bergandengan.
Sampai pada waktu salah satu murid Hoa-san-pay yang sudah lama lenyap
atau mengasingkan diri tiba-tiba muncul, dari mulut murid Hoa-san-pay ini
baru diketahui rahasia Coik-koan-im yang sebenarnya, maka kedua
persoalan ini mau tidak mau harus dibereskan bersama"
Dengan tajam dia pandang Bu hoa lekat-lekat, lalu berkata pula dengan
tersenyum: "Kalau kedua persoalan ini harus digandeng dan punya ikatan yang erat,
persoalan apa pula yang tidak akan dapat kupikirkan dan takkan jelas
seluruhnya?"
Sejenak Bu Hoa menepekur, lalu katanya kalem: "Benar, kalau kau sudah
tahu Ciok-koan-im sebetulnya adalah ibuku, maka dengan sendiri bisa kau
bayangkan pula, setelah kekalahannya secara mengenaskan di Tionggoan,
sudah tentu Bu Hoa malu bercokol di sana, maka terpaksa sia mundur
keluar perbatasan, di sini dia dapat bersandar kepada kekuatan ibunya:
Bahwa ambisi Bu Hoa selama di Tionggoan sudah kau bikin tercerai berai
dan gagal total, maka terpaksa dia harus menarik diri untuk bekerja lagi
mulai dari permulaan di padang pasir ini." biji mata Bu Hoa tiba-tiba
menyorotkan sinar terang, ujung mulutnya mengulum senyum lagi, katanya:
"Tapi cara bagaimana Bu Hoa bisa tahu bila Ciok-koan-im adalah ibu
kandungnya" Bukan mustahil Bu Hoa sendiripun tidak tahu menahu akan hal
ini, tentunya Coh Liu-hiang sendiripun kebingungan dan tak habis mengerti
bukan?" Tak kira tanpa banyak berpikir, Coh Liu-hiang segera menjawab: "Itulah
lantaran ada hubungan erat dengan Jun-hujin Chiu Ling -siok !"
"Chiu Ling-siok?" Bu Hoa mengerut kening.
"Apa pula sangkut pautnya dengan persoalan ini?"
"Ciok-koan-im tidak akan mau terima bila didalam dunia ini ada perempuan
yang berparas lebih cantik melebihi dirinya, maka karena jelusnya itu dia
merusak wajah Chiu Ling siok, sehingga Chiu Ling-siok merana dalam
hidupnya, menderita siksaan batin selama hidup"
"Tak nyana Jim pangcu justru jatuh hati dan mencintainya setulus
hatinya, bukan lantaran rusaknya wajahnya yang cantik itu cintanya
berubah, malah dia mempersuntingnya sebagai istrinya.
Orang yang hendak dirusak dan disingkirkan oleh Ciok-koan-im, Jimpangcu
justru menolongnya, sudah tentu hal inipun tidak bisa diterima oleh
Ciok-koan-im, sudah tentu dia pantang membiarkan orang-orang yang
dirasakan mengganggu dan menghalangi keinginannya."
Sungguh tak nyana Thian-hong-cap-si-liong ternyata bertindak satu
langkah lebih cepat dari dia, sang suami itu sudah menemui Jim-pangcu
lebih dulu, setelah dia tahu bahwa suaminya atau Thian hong cap-si-long
menitipkan putranya kedua-duanya, segera dia batalkan niatnya untuk
membunuh Jim-Jip, karena dia sudah dapat satu akal yang jauh lebih baik
daripada membunuhnya, tapi bukan saja dia tetap menginginkan
kematiannya, malah dia akan memberantas sampai keakar akarnya."
Sampai di sini kembali Coh Liu-haing menghela napas, lalu meneruskan
pula: "Perempuan lain tentu tidak akan sabar menunggu sedemikian lamanya,
tapi demi menjatuhkan seseorang, tidak sayang dia menghabiskan wektu
puluhan tahun, setelah kedua putra-putranya itu sudah tumbuh dewasa,
baru dia pergi mencari dan menemui mereka."
Tak urung Bu Hoa ikut menghela napas panjang pula, katanya: "Semua hal
ini, cara bagaimana kau bisa memikirkan dan menduganya?"
"Coba kau pikir jikalau bukan dia yang memberi kepada Lamkiong Ling,
bahwa Jim Jip hakekatnya bukan orang yang berbudi luhur, malah tua
bangka ini tak lain tak bukan adalah musuh bebuyutan pembunuh ayahnya.
Kalau tidak masakah Lamkion Ling tega bertindak sekejam itu kepada Jim
Jip gurunya yang mengasuh dan mendidiknya sejak kecil seperti anak
kandungnya sendiri?"
"Waktu kau masuk perguruan Siau Lim pay, boleh dikata sudah tahu
urusan, tapi waktu itu Lamkiong Ling masih merupakan bocah ingusan yang
tidak tahu apa-apa, seumpama sejak dilahirkan dia bawa bakat dan
kecerdikan yang luar biasa, tapi karena diasuh dan dibesarkan oleh Jim
Jip, sedikit banyak dalam jiwanya sudah kelunturan watak kesatria dan
pribadinya yang luhur dan bajik, memangnya mungkin dia tak segan-segan
melakukan perbuatan rendah yang dicela itu" Untuk hal ini sejak mula aku
sudah merasa heran dan tak habis mengerti bahwa si belakang persoalan
justru terselip seluk beluk yang rumit ini."
"Jadi sekarang kau sudah paham keseluruhannya, ya" jengek Bu Hoa.
"Sekarang sudah tentu kupahami seluruhnya, lantaran dia menceritakan
riwayat hidup kalian, barulah mereka sadar dan mengetahui bahwa kalian
sebetulnya adalah saudara sepupu, oleh karena itu pula rasa dendam dan
ingin membalas sakit hati kematian ayah kalian dalam sanubari masingmasing
terhadap orang-orang yang menanam budi besar kepada kalian.
Kalian melakukan perbuatan itu, bukan saja punya ambisi hendak merajai
Bulim, tujuan yang utama adalah hendak menuntut balas."
Bu Hoa menarik napas, katanya: "Kau betul maha cerdik dan selalu pintar,
cuma sayang kau terlampau dan kelewatan pandai." "Pujianmu ini entah
sudah berapa kali perbah kudengar dari mulutmu."
"Tapi kali ini, mungkin adalah penghabisan dan yang terakhir kali."
Bercahaya biji mata Coh Liu-hiang, katanya: "Sekarang aku terkena obat
biusmu, tenaga untuk melawanpun tiada lagi, memangnya kau sudi turun
tangan terhadap seseorang yang sudah mati kutu dan tidak mampu
melawan lagi?"
"Sebetulnya aku boleh tidak tega membunuhmu, tapi dari sepak terjangmu
selama ini aku berhasil mempelajari dan menyadari sesuatu."
"Sesuatu apa?"
Patah demi patah kata Bu Hoa menjelaskan dengan tandas: "Yaitu jiwa
seseorang apalagi dia seorang laki-laki, sekali-kali tidak boleh lemah hati,
kalau sebaliknya dia bakal mampus ditangan orang lain! Dan lantaran
kelemahan hatimu pula, maka hari ini kau bakal terbunuh oleh kedua
tanganku ini."
Lama Coh Liu-hiang berdiam diri, lalu katanya rawan: "Bu Hoa, Bu Hoa,
sungguh salah dan keliru benar pandanganku selama ini."
"Sreng" terdengar golok terlolos dari sarungnya, ternyata Bu Hoa sudah
menenteng senjata siap memenggal kepalanya. Begitu tajam dan mengkilap
golok di tangannya itu. Dengan nanar Bu Hoa pandang goloknya sebentar
serta katanya: "Tentunya kau masih ingat akan jurus Ni-hun it-to-jan itu
bukan?" "Masakah aku bakal melupakan kejadian yang bersejarah itu?" Coh Liuhiang
balas mengolok dengan sinis.
"Kalau aku membunuh orang dengan jurus itu, pasti tidak akan membawa
derita dan siksaan bagi si korban, malahan kau tidak akan merasa bahwa
tajam golokku ini sudah memenggal kepalamu, aku boleh memberi garansi,
dalam dunia ini pasti takkan ada cara kematian yang begitu menyenangkan
dari pada tebasan golok ini..." dia menghela napas pula, katanya: "Inilah
dharma baktiku yang terakhir yang bisa kulakukan demi sahabat baikku
seperti kau ini, bolehlah kau anggap sebagai pembalasan budiku kepada
kebaikanmu terhadapku selama ini."
Maka batang golok yang tajam dan berkilauan itu pelan-pelan terayun,
mendadak bergerak bagaikan kilat menyambar turun membacok kepala Coh
Liu-hiang. xxx

Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dalam lembah sunyi yang mengandung kesesatan itu sudah tiada
ketinggalan seorangpun hidup, sampaipun laki-laki yang terima diperbudak
seperti mayat hidup dan kerjanya cuma menyapu pasir selama hayatnya itu
pun tiada satupun yang ketinggalan hidup, di Burung Kenari ternyata tidak
memberi ampun juga kepada mereka.
Kini mayat-mayat yang malang melintang terkapar dimana-mana itu satu
persatu sudah ditutupi dengan kain panjang, yang tak sedikit jumlahnya
didalam gedung sarang Ciok-koan-im ini, tapi hawa dalam lembah masih
diliputi bau amis yang memualkan.
Hanya Ciok-koan-im seorang saja yang berada didalam kamar tidurnya
yang serba rahasia itu, suasana tetap hangat dan romantis di bawah sinar
api yang remang-remang tampak betapa cantik jelita serta memabukkan
dan merangsang birahi setiap laki-laki normal yang melihatnya.
Kini Ciok-koan-im sudah kembali di dalam kamar pribadinya, agaknya tetap
begitu tenang rupawan dan tentram, seolah-olah tidak pernah terjadi
sesuatu atau dilihatnya perobahan di sekelilingnya tiada suatu peristiwa
betapapun besarnya yang dapat membuatnya kaget dan berobah.
Di pojok tembok sana tergantung kain gordyn yang menjuntai turun, bila
kain gordin ini ditarik ke samping maka terlihatlah sebingkai kaca atau
cermin yang besar dan jernih kemilau, sedemikian besar dan mahalnya
cermin bundar ini karena sekeliling bundarannya dihiasi batu-batu jambrud
dan mutiara, dipelihara dan dijaga sedemikian berharganya laksana benda
mestika yang tiada taranya.
Seandainya batu-batu jambrud dan mutiara itu berbanding dengan sebuah
kota, kemegahan dan kebagusan dari pada cermin itu sendiri seolah-olah
mengandung kekuatan iblis yang misterius.
Siapapun yang berhadapan di depan cemin ini tak tertahan lagi pasti akan
tekuk lutut dan menyembah kepadanya. Seolah-olah kena daya sihir.
Kini Ciok-koan-im sedang berdiri dan bersolek di depan cermin besar ini,
entah berapa lama sudah dia bergaya di depan cemin ini, dengan mendelong
dan kesima dia mengawasi bayangan diri sendiri di dalam kaca. Rona
wajahnya yang pucat lambat laun mulai bersemu merah laksana buah yang
mulai masak, mungil sekali.
Lalu pelan-pelan satu persatu dia mulai menanggalkan pakaian yang
melekat di atas badannya, maka sekujur badannya yang putih halus,
montok berisi dengan telanjang bulat terpampang didalam cermin besar itu
keseluruhannya.
Cahaya api kelap-kelip menyoroti badannya, kulit badannya selicin sutra
mengkilap dan halus, kedua bukit montok nan kenyal laksana batu jade,
dengan bangga tegak menonjol di dalam hangat nan kering ditengah padang
pasir ini, kedua pahanya yang tinggi membundar rata lekuk-lekuk badannya
nan semampai dan gemulai laksana hembusan angin musim semi di Kanglam.
Ciok-koan-im berdiri tegak lurus laksana tonggak, dengan mendelong
mengawasi bayangan bentuk badan sendiri di dalam kaca, sorot matanya
itu, begitu bergairah dan menunjukkan nafsu birahi yang menyala,
berkobar lebih memuncak dari seorang laki-laki yang ketagihan sex,
sampaipun letak-letak yang sangat tersembunyipun tidak terlepas dari
pandangan dan jamahan jari-jarinya.
Entah berapa lamanya, akhirnya dia menarik napas dengan puas, katanya
seorang diri: "Seorang perempuan sebaya aku ini masih bisa
mempertahankan kecantikan badannya sedemikian rupa, kecuali aku,
mungkin tiada orang keduanya dalam dunia ini."
Ciok-koan-im didalam kacapun ikut tersenyum, agaknya seperti berkata:
"Ya, takkan ada orang kedua dalam dunia ini."
Pelan-pelan Ciok-koan-im melangkah mundur lalu duduk di sebuah kursi
besar dan nyaman yang berada tepat di depan kaca itu, agaknya memang
badannya rada letih, namun sikapnya kelihatannya begitu riang gembira.
Dengan puas dia menarik napas, katanya: "Aku amat penat! Tahukah kau,
hari ini berapa banyak urusan yang sudah kubereskan?"
Bayangan Ciok-koan-im di dalam cerminpun menjadi ikut girang, seperti
berkata: "Urusan apapun yang kau kerjakan tentu beres dan tak perlu
disangsikan lagi."
Ciok-koan-im tertawa, katanya pula: "Kui-je-ong itu ternyata tidak
ceroboh dan bodoh seperti yang kukira semula, tapi aku tetap
membunuhnya juga, sekaligus akupun bunuh putrinya yang menganggap
dirinya teramat cantik, racun di dalam cangkir arak itu, sekarang tentunya
sudah mulai bekerja."
"Soal Ki Ping-yan dan Oh Thi-hoa itu, sebetulnya aku tidak ingin selekas
itu membunuh mereka siapa nyana, malah berebutan meneguk dulu arak di
dalam cangkir yang kuberi racun itu."
Kembali ia menghela napas, katanya lebih lanjut: "Aku memang tahu orang
macam Oh Thi-hoa, lebih baik membunuh diri daripada disiksa atau
terbunuh orang lain. Tapi tak pernah terpikir olehku bahwa Ki Ping-yan
bakal bertindak seperti itu pula, sungguh suatu hal yang harus dibuat
sayang, ya toh?"
Bayangan di dalam cermin itu juga ikut menghela napas, seolah-olah ikut
merasa sayang dan gegetun.
Setelah berdiam diri beberapa kejap, Ciok-koan-im tertawa riang pula,
katanya: "Tapi bagaimana juga rencana terhitung sudah terlaksana dengan
baik, tua bangka yang suka mengagulkan diri itu membunuh An Tek-san, hal
ini memang mencocoki seleraku, memangnya cepat atau lambat aku
sendiripun melenyapkan mereka semua."
Bayangan dalam cermin kembali ikut tersenyum, seolah-olah diapun
berkata: "Tidak salah, perduli siapa saja yang mampus, tidak akan menjadi
ganjalan hatimu, hakikatnya tiada satu orangpun dalam dunia ini yang
benar-benar menarik perhatianmu, termasuk putri-putri dan suami
sendiri." Ciok-koan-im cekikikan geli, ujarnya: "Mereka membunuh semua orang
yang menghuni lembahku ini, disangkanya aku bakal bersedih dan marah, di
luar tahu mereka bahwa aku memang sedang memikirkan untuk mengganti
suasana yang lain, pergi ke negeri Kui je untuk menikmati jadi seorang
permaisuri yang disanjung puji, kalau orang-orang ini tidak mampus,
mungkin kelak bakal menjadi beban diriku, sekarang mereka sudah ajal
seluruhnya, untuk ini aku terus berterima kasih kepada mereka."
Bayangan dalam cermin juga sedang tertawa besar, seperti berkata:
"Seharusnya memang mereka sudah tahu, terhadap siapa dan mengenai
persoalan apa, kau tidak akan pernah sayang dan berkesan dalam
sanubarimu."
"Cuma kau, isi hatiku, hanya kau yang tahu, hanya kau yang memarahiku,
dikala aku berduka, hanya kau yang menemani aku ikut sedih, bila aku riang
gembira, hanya kau pula yang mengiringi kegembiraanku juga."
Senyuman muka berubah sedemikian mekar, manis dan hangat, sepasang
jari-jari tangannya yang runcing-runcing dan indah, lambat-lambat mulai
bergerak, mencomot, mencubit, meremas dan menggosok setiap jengkal
kulit-kulit dagingnya, sorot matanya yang semula dingin beku, kini mulai
berubah menjadi panas membara dan begitu bergairah, Laksana mengigau
dalam mimpi mulutnya mendesis: "Dalam dunia ini hanya kau satu-satunya
yang dapat menghibur dan membuatku senang, gembira dan puas, semua
laki-laki itu ....... seluruh laki-laki itu sudah memualkan seleraku."
Bayangan dalam cermin itu juga mulai menggeliat dan meraba-raba badan
sendiri dengan nafsu.
Ciok-koan-im mengawasi tangan si "dia" bergerak pelan-pelan mengelus di
atas kedua puncak dadanya, pelan-pelan turun ke perut, ke paha lalu
mendatangi hutan roban dan menyusup ke lembah basah, bergerak pelanpelan,
terlihat olehnya jari-jari tangan itu bergerak semakin cepat
merangsang, napasnya menjadi tersengal-sengal.
Kini kedua sorot matanya sudah membara laksana terbakar,
kerongkongannya mengeluarkan rintihan kenikmatan yang tiada taranya,
seperti ketagihan, badannya yang montok semampai itupun mulai gemetar,
menggeliat dan bergelinjang, meliuk-liuk. Terdengar mulutnya merintih
penuh kenikmatan, "Kau sungguh baik, baik sekali ...... tiada laki-laki di
dunia ini yang sebanding kau, selamanya tak ada orang yang menandingi kau
...." Pada saat itulah di luar teras diambang pintu, terdengar helaan napas
orang yang amat lirih.
Helaan napas lirih, namun didalam keheningan kedengarannya laksana
bunyi cemeti, yang meledak di tengah udara, seolah-olah melecut di atas
badan Ciok-koan-im, yang telanjang bulat itu, rona muka Ciok-koan-im yang
merah membara itu seketika seperti membeku kering, rintihan bergetar
tadipun seketika sirap, sepasang paha yang tertekuk dan bertimpah itupun
pelan-pelan mulai mengendur dan terpentang lebar.
Akan tetapi badannya masih duduk setengah rebah di atas kursi
menghadap ke arah cermin, nafsu birahinya yang sudah berkobar dan
memuncak seketika berobah menjadi amarah yang tak terkendali lagi
laksana kobaran api yang tak bisa dipadamkan lagi. Kedua jari-jari
tangannya terkepal kencang dan terangkat tinggi, setelah amarah yang
memuncak ini mulai mereda dan kembali tenang baru dia menghela napas
dan katanya: "Orang yang berada di luar apakah Coh Liu-hiang?"
Orang yang berada di luar kerai menghela napas pula, sahutnya: "Ya,
memang Cayhe adanya!"
Ciok-koan-im tertawa tawar, ujarnya: "Kalau kau sudah datang, kenapa
tidak masuk kemari?"
Ternyata Coh Liu-hiang menurut, pelan-pelan dia muncul di pintu dan terus
beranjak ke dalam. Dengan kesima tajam dia pandang bayangan Ciok-koanim
di dalam cermin, berselang lama juga, baru Coh Liu-hiang membuka
kesunyian dengan menghela napas: "Aku tahu selama hidupmu kau sedang
menganggap dan mencari, ingin menemukan seseorang yang benar-benar
dapat kamu cintai, dapat memuaskan seleramu, sebetulnya aku ikut
mengharapkan semoga kau lekas mendapatkan, tapi baru sekarang aku
sadar, bahwa selamanya kau tidak akan pernah mendapatkan lagi."
"O" Kenapa begitu?" tanya Ciok-koan-im.
"Karena kau jatuh cinta pada dirimu sendiri, hanya dirimu sendiri yang kau
cintai, maka terhadap siapapun tidak pernah kau menaruh perhatian,
sampaipun suami dan anak-anakmu."
Ciok-koan-im mendadak berjingkrak bangun dari kursinya serta berteriak
marah: "Kau... kenapa kau mencuri lihat rahasia pribadiku?"
Walau sedang marah dan mencak-mencak namun tindak tanduknya tetap
gemulai dan indah, perempuan yang selamanya halus lembut kini ternyata
berubah menjadi perempuan jalang yang galak dan buas, tak ubahnya
seperti seekor binatang liar. Sepasang matanya yang indah itu,
menyorotkan sinar kebencian yang meluap-luap. Coh Liu-hiang ditatapnya
sedemikian rupa, seolah-olah hendak ditelannya bulat-bulat. Tanpa sadar
Coh Liu-hiang bersitegang leher dibuatnya, dengan waspada dan siaga
selangkah demi selangkah dia menyurut mundur.
Tak kira tiba-tiba Ciok-koan-im menghentikan langkahnya, kembali
senyuman manis mulai menghias wajahnya nan cantik melebihi bidadari
dengan pandangan sayu dia awasi Coh Liu-hiang. Katanya lembut: "Kau
harus memaafkan kepanikanku barusan, bukan sengaja aku hendak berlaku
sekasar tadi, tentunya kau cukup tahu, jikalau rahasia pribadiku sampai
diketahui orang lain, bukan mustahil dari rasa malu menjadi marah dan
penasaran, benar tidak?"
Lama juga Coh Liu-hiang menjublek, sahutnya tertawa getir: "Aku sendiri
bukan sengaja hendak mencuri dengar dan mengintip rahasiamu, semoga
kaupun suka memaafkan kesalahanku ini."
Ciok-koan-im tersenyum ujarnya; "Kau berani berkata demikian, aku
sungguh amat girang, soalnya..." Kembali dia menyurut mundur dan duduk
ke kursi kebesarannya, katanya lebih lanjut: "Tak perlu dipersoalkan,
apakah aku yang akan membunuh kau, atau kau yang ingin membunuhku,
adalah pantas kalau diantara kami masing-masing meninggalkan kesan yang
mendalam. Seumpama disaat ajalmu tiba tidak kuharapkan kau anggap aku
ini sebagai perempuan galak yang buruk dan jelek, oleh karena itu,
andaikata kau hendak membunuh aku, paling tidak sukalah kau dudukduduk
dulu mengobrol dengan aku!" mendadak dia berubah menjadi tuan
rumah, perempuan yang genit centil dan serba halus dan pakai tata krama
lagi. Menghadapi permintaan tuan rumah yang sedemikian cantik dan lemah
lembut ini, siapapun takkan sampai hati menolaknya.
Terpaksa Coh Liu-hiang menempati sebuah kursi dan duduk dengan kaki
terpentang, katanya: "Adakah kau mempunyai pertanyaan apa-apa yang
hendak aku ajukan kepadaku?"
"Benar, sudah tentu aku punya omongan yang perlu kutanyakan kepada
kau, tapi sebagai Maling Romantis, sebagai laki-laki sejati yang patuh adat
dan sopan terhadap kaum hawa, maka kau beri kesempatan lebih dulu,
kepadaku untuk mengajukan pertanyaan." Dia berhenti untuk menghiasi
senyuman pula pada wajahnya, lalu menyambung: "Kalau begitu baiklah aku
mulai bertanya, adakah kau sudah bertemu dengan Bu Hoa?"
"Sudah bertemu," sahut Coh Liu-hiang, sikapnya terlalu baik kepadaku,
begitu besar keyakinannya dan berkukuh untuk membalas budi kebaikanku
dulu." Agaknya Ciok-koan-im melengak heran dan tak mengerti, teriaknya kaget:
"Apa, membalas budimu" Cara bagaimana kita hendak membalas budi
kebaikanmu?"
Coh Liu-hiang tersenyum, katanya kalem: "Dia hendak menggunakan jurus
Hi bun-it to-jan, sekali bacok memenggal batok kepalaku."
Ciok-koan-im tertawa cekikikan, katanya: "Cara membalas budi kebaikan
seperti itu sungguh baik dan teristimewa sekali, lucu dan menarik pula."
"Ya, memang lucu dan menarik. Cuma harus disayangkan karena batok
kepalaku ini hanya satu, tidak lebih, terpaksa dengan lemah lembut aku
tampik maksud baiknya."
Ciok-koan-im menghela napas, katanya: "Kalau begitu, bukankah
membuatnya amat kecewa?"
"Hujin sendiri, memang kau tidak ikut kecewa?" Kerlingan mata Ciok-koanim
berputar-putar diatas badan Coh Liu-hiang, katanya tertawa: "Aku sih
tidak begitu kecewa, tapi rada merasa heran saja."
"Heran" Apa yang kau buat heran?"
Ciok-koan-im menuding sebuah botol yang terletak diatas meja kecil
tinggi yang berada di pinggir cermin berwarna hijau pupus, katanya kalem:
"Sudahkah kau melihat botol itu, kusimpan obat bius yang tak berwarna,
tak berbau, obat bius ini mempunyai namanya sendiri yang enak didengar
Gan-ji-bi atau "kerlingan mata genit", karena untuk membius pingsan
seseorang, semudah gadis-gadis jelita yang mengerling matanya, lebih
nikmat lagi karena bisa bikin orang merasa dirinya seperti terbang ke
awang-awang, sedikit tenagapun takkan kuasa kau kerahkan.
Coh Liu-hiang bertanya: "Apakah Bu Hoa menggunakan obat bius semacam
ini untuk menghadapi Cayhe?"
"Benar obat bius ini biasanya selalu menunjukkan khasiatnya yang luar
biasa, namun kenapa tidak berguna untuk menghadapi kau?"
Coh Liu-hiang mengorek-ngorek lobang hidungnya, katanya dengan
tersenyum: "Selama hidup, entah berapa kali Cayhe pernah ditipu mentahmentah,
tapi selama itu juga tidak pernah aku kepecundang oleh segala
macam obat bius yang lihaipun".
Agaknya Ciok-koan-im heran dan tertarik, katanya: "Kenapa begitu?"
"Apakah Hujin pernah memperhatikan Cayhe sering menggosok-gosok
hidung!" "Bila kau menggosok-gosok hidung tampangmu kelihatan menarik sekali,
aku percaya banyak gadis-gadis remaja yang kepincut dan jatuh hati
melihat gerak-gerikmu ini, tapi apa pula hubungannya menggosok hidung
ini, dengan obat bius itu?"
"Karena kalau aku sering dan harus menggosok-gosok hidung bukan
lantaran ingin pamer, dan hendak memelet gadis, adalah karena hidungku
ini sejak lama terserang penyakit, penyakit yang luar biasa dan tak
mungkin diobati, sampai tabib sakti yang kenamaan di Kanglam Kim-ciam
toh-wi Yap Thian cu, juga berkata bahwa penyakit hidungku ini sudah tak
bisa disembuhkan dengan macam obat apapun,"
Sampai disini Coh Liu-hiang menghela napas, lalu katanya lebih lanjut:
"Seseorang bilamana pernapasannya terganggu, setiap hari pasti akan
merasa pening dan mata berkunang-kunang, boleh dikata jauh lebih
menderita dari terjangkit penyakit kronis apapun, oleh karena itu Cayhe
lantas bersumpah untuk meyakinkan semacam Lwekang yang istimewa,
ajaran Lwekang yang lain dari pada yang lain, Lwekang semacam ini tiada
manfaat lain yang khusus, tapi bagi orang yang mempelajarinya sampai


Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

matang, pori-pori kulit di badannya bisa dipakai untuk bernapas. Lama
kelamaan menjadi kebiasaan, maka hidungku ini menjadi benda yang tak
berguna yang tercantel di mukaku sebagai hiasan belaka, tapi karena
kupandang orang tanpa hidung tentu jelek mukanya, maka hidung ini tidak
kucopot." Baru sekarang Ciok-koan-im benar-benar takjub, sekian lama dia duduk
terlongong, akhirnya tertawa getir: "Kalau hidungmu itu hiasan tidak
berguna diatas mukamu, sudah tentu tiada sesuatu obat bius yang
betapappun lihay dan kerasnya dapat membikin kau roboh pingsan, kulit
dan pori-pori badanmu bisa kau gunakan untuk bernapas, hakikatnya tidak
perlu ganti napas segala, sudah tentu Ginkangmu jauh lebih hebat dari
orang lain, tak heran sering orang bilang hati dan perasaan seorang picak
jauh lebih peka dari orang lain, agaknya ada kalanya sesuatu hal dalam
dunia ini, memang betul-betul lantaran kecelakaan lantas ketiban rejeki
nomplok." "Sekarang aku sudah memberi tahu rahasia diriku yang orang lain tidak
mungkin tahu kepada Hujin, Hujin masih ada pertanyaan apa lagi?"
"Lalu bagaimana dengan Bu Hoa" Apa kau gunakan juga cara yang dia
praktekkan atas dirimu untuk membalas kebaikannya?" tanpa menunggu
jawaban Coh Liu-hiang, kembali dia tertawa dan menambahkan pula:
"Sudah tentu tidak akan bertindak demikian, kaum persilatan dalam
Kangouw sama tahu sepasang tangan si Maling Romantis, selamanya tidak
pernah berlepotan darah, benar tidak?"
Sikap Coh Liu-hiang mendadak berubah serius katanya: "Ya, memang
begitulah. Jiwa manusia atas karunia Thian Yang Maha Esa, siapapun tiada
hak untuk merenggut jiwa orang lain, sudah tentu Bu Hoa tidak akan mati
di tanganku, dia sekarang berada di suatu tempat yang tak jauh dari sini,
apa Hujin ingin menjenguknya?"
Ciok-koan-im menatap hidung Coh Liu-hiang katanya: "Jikalau aku ingin
melihatnya tentunya ada syaratnya bukan?"
"Sebetulnya sih tiada syarat istimewa apa-apa, cuma Cayhe ingin bertemu
dengan beberapa orang saja."
"Apakah Oh Thi-hoa, Ki Ping-yan, dan Kui je-ong ayah beranak?"
"Benar, masih ada lagi Liu Yan hwi, Ki Bu yong dan Setitik Merah."
"Nasib Setitik Merah dan Ki Bu-yong memang sedang mujur, waktu aku
tiba disana mereka sudah berlalu, malah meninggalkan sepucuksurat untuk
kau. Walau aku tidak pantas membukasurat orang lain, tapi apa boleh buat
tak terkendali aku untuk tidak membacanya."
Coh Liu-hiang menahan sabar, katanya: "Setelah kau baca tentunya lantas
kau sobek?"
"Tapi apa yang tertulis dalamsurat itu, masih segar kuingat dalam
benakku!" dia tertawa menggiurkan,surat itu terang adalah tulisan Ki Buyong,
katanya: "Walaupun mereka sudah cacat, namun mereka tidak ingin
minta perlindungan kalian, kelak masih banyak waktu, mereka malah
mengharap bisa melindungi dirimu."
Coh Liu-hiang tahu tentulah ucapan Ki Ping-yan yang sedang muring-muring
itu amat mengetuk sanubari mereka, tak tertahan dia menghela napas,
namun tak tahan untuk tidak tersenyum, katanya: Kedua orang ini memang
dibekali watak yang keras dan sama-sama kukuh, sama-sama angkuh dan
sombong pula. Bahwa mereka dapat rukun bersama, memang merupakan pasangan
setimpal, harus dipuji dan dibuat girang, tentunya Hujin ikut bergirang
bagi keberuntungan dan nasib mujut nona Ki itu."
"Soal Liu Yan-hwie bersaudara yang kau katakan, hakikatnya aku tidak
pernah melihat mereka, tentunya diapun sudah pergi."
Coh Liu-hiang menghela napas lega, tanyanya: "Lalu bagaimana dengan Oh
Thi-hoa dan lain-lain?"
"Mereka sih masih berada di suatu tempat tak jauh dari sini, cuma
sekarang mungkin sudah rada terlambat bila kau susul mereka kesana."
Tersirap darah Coh Liu-hiang, teriaknya tersekat: "Mereka... apakah
mereka... !" tenggorokannya seperti mendadak kejang sampai tidak dapat
bersuara lagi. "Biasanya aku tidak suka menggunakan obat racun karena aku masih punya
banyak cara untuk membunuh orang, jauh lebih mudah dan cepat dari
menggunakan racun, maka bicara soal menggunakan racun, terus terang aku
bukan tandingan Chiu Ling Siok " jikalau kau datang setindak lebih cepat,
mungkin masih bisa menolong mereka, tapi sekarang... sekarang siapapun
takkan dapat menolongnya."
Sepertinya bercerita atau mendongeng saja mulutnya menerocos tanpa
perdulikan perasaan Coh Liu Hiang, jantung orang, terasa ditusuk sembilu,
benaknya seperti digerogoti lalu dibanting berkeping keping, serasa pecah
Coh Liu hiang, darah panas seketika memuncak ke atas kepalanya.
Tapi dia cukup tahu, di hadapan seorang musuh tangguh seperti Ciok
Koan-im, sekali kali tidak boleh terburu nafsu dan emosi, sekali naik pitam,
kematian bakal lebih cepat terpaksa sedapat mungkin dia tekan dan
menahan gejolak hatinya. Sungguh bukan soal mudah dapat mengendalikan
perasaan hati, jarinya terkepal kencang, kuku jarinya malah sudah
menusuk amblas ke dalam daging kulitnya, seluruh gigi dalam mulutnya
serasa hampir remuk gemeretak.
Satu hal harus diakui, bahwa hal ini merupakan kekalahan Coh Liu-hiang
yang paling besar dan paling mengenaskan selama hidupnya, merupakan
pukulan yang teramat berat untuk diterima!. Seumpama sekarang dirinya
berhasil membunuh Ciok Koan-im, takkan mungkin dua hindarkan lagi
selama hidup ini bakal menyesal dan gegetun sepanjang masa. Apalagi
sekarang, hakikatnya dia tidak punya pegangan dan tidak yakin dengan
bekal kepandaian dan perbendaharaan silatnya belum tentu dia bisa
mengalahkan Ciok-Koan-im atau merobohkannya.
Sinar lilin masih tetap redup dan hangat. Dibawah penerangan sinar api
seperti ini, meski dia seorang perempuan biasa, apa lagi dalam keadaan
polos tanpa selarik benang menutupi badannya yang montok menggiurkan
dengan gaya dan sikap merangsang lagi, kelelaki-lakian siapa yang tidak
akan bangkit dan menggelora mengkili-kili hati, apalagi keayuan dan
kecantikan Ciok-koan-im melebihi bidadari dan diakui sebagai perempuan
tercantik di seluruh jagat, ratu duniapun takkan bisa menandinginya,
dengan berani dan meliuk-liuk badan dia bergaya di hadapan Coh Liu-hiang
seperti ratu kecantikan sedang memperagakan keindahan badannya juri
yang bakal menilai dirinya, kuatir sang juri tidak bisa memberi penilaian
tinggi, maka dia terus bergerak berganti gaya dengan gerakan gemulai.
Tapi sorot mata Coh Liu-hiang mendelong lempang ke depan, seolah-olah
apapun tidak terlihat olehnya.
Mungkin keletihan atau putus asa dan kecewa, akhirnya Coik-koan-im
menghela napas, katanya: "Aku tahu kau tentu ingin menuntut balas bagi
kematian mereka, teman-teman baikmu, tapi kuperingatkan kepada kau
lebih baik batalkan saja niatmu itu, karena meski ilmu silatmu amat tinggi,
tetap dalam seratus jurus aku mampu mengalahkan kau, merenggut jiwamu
kau percaya tidak?"
"aku percaya!" sahut Coh Liu-hiang mengangguk.
"Tapi aku sekarang belum ingin membunuhmu, asal kau tidak memaksa aku,
selamanya mungkin aku tidak akan tega membunuhmu, sekarang, boleh
dikata aku sudah kehilangan apa-apa, termasuk tiada seorangpun yang
berada di dekatku, asal kau suka, bukan saja sembarang waktu aku bisa
menjunjungmu menjabat kedudukan kerajaan di negeri Kui-je, malah boleh
juga kubiarkan kau... " jari-jari tangannya kembali bergerak pelan-pelan
mengelus kedua bukit montok di depan dadanya, dengan gerakan tanpa
suara mewakilkan pernyataan sanubarinya, memang suatu pernyataan yang
jauh lebih termakan oleh lawannya dari pada bujuk rayu dan ajakan-ajakan
manis dengan mulut.
Paras cantik, gengsi dan pamor serta kedudukan tinggi, kekuasaan tak
terbatas serta kekayaan harta benda... perduli satu diantaranya cukup
merupakan daya tarik yang tak terlawan oleh laki-laki siapapun, apalagi ke
empatnya ditumplek jadi satu.
"Jikalau kau mau terima saranku, hidupmu bakal senang dan foya-foya
sepanjang umur, kalau kau menolak, kematianlah yang mengakhiri
kehidupanmu. Memangnya sukar kau memilih satu diantaranya, atau kau
sendiri belum bisa berketetapan hati?"
Tiba tiba Coh Liu-hiang tersenyum lebarnya: "Sebetulnya memang aku
ingin menerima anjuranmu, cuma sayang sekali kau benar-benar terlalu tua
bagi aku, andai kata kau memang pandai dan sudah berpengalaman menjual
lagak, dan bergaya cabul di depanku, tapi bila kau teringat bahwa putra
putramu sudah sebaya dan mungkin malah lebih tua dari aku, seleraku
seketika menjadi dingin dan mual rasanya."
Bagi seorang perempuan yang mampu mempertahankan kecantikannya atau
perempuan yang mati-matian ingin merenggut kembali masa remajanya,
umpama kata menggunakan caci maki yang paling kotor dan rangkaian kata
kata yang paling rendah di seluruh dunia ini takkan terasa menusuk dan
melukai sanubari orang yang bersangkutan seperti apa yang terucapkan
oleh Coh Liu-hiang. Kata kata ini laksana martil besar yang telak sekali
menghujam diborok kaki Cioh-koan-im yang paling vital.
Memang dia giat berusaha untuk mempertahankan kecantikan dan
kemudaannya, senyuman manis yang menggiurkan seketika tersapu bersih
tak berbekas lagi, seluruh badan bergetar dan keringat gemrobyos
membasahi badan, suaranya mulai serak, dan menakutkan:
"Kau memaksaku untuk membunuhmu?"
"Benar, aku lebih rela mati, betapapun aku tidak sudi tidur seranjang
dengan nenek tua seperti musang berbulu merak yang suka mempersolek
diri, masih mending kalau kau memakai pakaian, lebih enak dipandang mata,
dengan telanjang sebulat ini sungguh membuat aku mual dan ingin muntah
muntah rasanya."
Kuatir tidak bisa memancing kemarahan Ciok-koan-im, maka kata demi
katanya semakin kotor dan rendah, karena dia sadar hanya membakar
kemarahan Ciok-koan-im serta membikinnya mencak-mencak gila baru
kemungkinan dia bisa mencari kesempatan untuk mengalahkannya.
Ternyata tujuan dan usahanya tak sia-sia. Saking marah selebar muka
sampai dada Ciok-koan-im merah padam meski dia sadar bahwa kata-kata
Coh Liu-hiang memang sengaja hendak memancing kemarahannya tapi tak
kuasa dia mengendalikan perasaan hatinya yang sudah memuncak ini.
Waktu Coh Kiu-hiang mengucapkan kata katanya yang terakhir, dia masih
duduk gemetar dikursi kebesarannya, tapi begitu suaranya lenyap, tahutahu
badannya sudah berjingkrak dari atas kursi terus menubruk maju
secepat kilat, beruntun dia sudah menyerang tujuh jurus, Setiap manusia
hanya dibekali dua tangan oleh yang Maha Esa, tapi didalam sekejap mata
ini, Ciok Koan-im justru seperti kelebihan tumbuh lima tangan lain, ke
tujuh jurus serangan ini ternyata dilancarkan dalam waktu yang
bersamaan. Dalam sekejap ini, tenggorokan, kedua biji mata, dada lambung
dan kemaluannya seolah-olah sudah terkurung didalam getaran angin
pukulannya yang dahsyat.
Selama hidup dan mengembara di Kang ouw entah berapa kali Coh Liuhiang
sudah pernah menghadapi tokoh-tokoh silat tingkat tinggi dari Bulim
yang mampu bergerak begitu cepat dalam menyerang, ada orang yang
mampu meraih cangkir yang mendadak jatuh dari atas meja sebelum
cangkir itu menyentuh tanah akan pecah dan berantakan, air teh yang
berada didalam cangkir setetespun tiada yang tumpah.Ada pula orang yang
mampu menjepit seekor lalat yang sedang terbang hanya dengan sepasang
sumpitnya, dengan duri ikan seorangpun bisa memantek ekor kecapung di
atas dinding. Tapi gerakan hebat dan cepat dari orang-orang itu bila dibandingkan
dengan rangsangan kilat Ciok-koan-im sekarang boleh dikata jauh
ketinggalan dan terlalu lambat seperti nenek tua yang sedang menyulam,
sungguh tak habis terpikir dalam benak Coh Liu-hiang, seseorang manusia
didalam waktu sesingkat ini, dapat menyerang tujuh jurus dalam waktu
yang hampir bersamaan, sungguh tak terpikir pula olehnya tokoh dimana
dalam kolong langit ini yang mampu melawan atau menghindarkan diri dari
ke tujuh jurus serangan telak dan hebat ini. Hakikatnya tiada satupun dari
ke tujuh jurus serangan ini yang kosong atau merupakan gerakan belaka.
Berputar biji mata Coh Liu-hiang, untung untungan dia nekad tidak
berkelit berusaha untuk menghindar diri, mendadak dia membentak keras
"Berhenti!"
Jurus serangan yang begitu ganas, culas, cepat dan dahsyat. begitu
dilontarkan, bahwa sanya tidak mungkin bisa dihentikan ditengah jalan apa
lagi ditarik balik menjadi urung, tapi Coh Liu-hiang sudah
memperhitungkan dengan tepat Ciok-koan-im pasti dapat kendalikan gerak
gerik sendiri dan membatalkan serangannya, malah dapat menarik diri
membatalkan serangan. Benar juga dalam jangka waktu seper-seratus
detik sebelum serangannya mengenai serangannya Ciok-koan-im masih
kuasa menarik diri dan menghentikan serangannya.
Tujuh jurus serangan kilat dan dahsyat laksana hujan badai ini, ternyata
dalam waktu sesingkat itu secara aneh dan menakjubkan sirna begitu saja,
sikap Ciok-koan-im seolah-olah tidak pernah turun tangan berdiri dengan
sebelah tangan terjulur ke depan dengan jari-jari terkembang dengan
nanar dia pandang Coh Liu-hiang, katanya: "Kau masih ada omongan apa"
Memangnya kau sudah berubah haluan?"
Baju bagian pungung Coh Liu-hiang sudah basah kuyup dan lengket dengan
kulit dagingnya pertarungan kali ini sungguh terlalu besar dan tak nyana,
jikalau Ciok-koan-im tidak perduli dan tak mau mendengar kata-katanya
lagi, itu berarti dia harus menyerahkan jiwanya secara konyol.
Sekarang walau secara beruntung dia menang dalam gebrakan selintas ini,
namun jantungnya serasa sudah hampir melonjak keluar dari rongga
dadanya. namun demikian, seperti juga dengan seorang penjudi kaliber
besar yang sudah pembawaan dan berbakat umpama kata hatinya amat
tenang, namun lahirnya tetap tenang dan wajar. Malah dia balas mengawasi
Ciok-koan-im dengan tertawa tawa tawar: "Umpama kau ingin turun tangan,
juga harus mengenakan pakaian lebih dulu! Tahukah kau, tampang dan
keadaanmu seperti ini, tak ubah seperti kepiting yang matang direbus,
seluruh badanmu merah menganga."
Andaikata Ciok-koan-im benar-benar menuruti katanya mau mengenakan
pakaiannyapun sudah terlambat lagi. Hakikatnya sebelum ucapan Coh Liuhiang
sendiri berakhir, serangan kilat sudah dilancarkan.
Seluruh kaum persilatan di Kang-ouw sama tahu betapa cepat dan
mengejutkan cara Coh Liu-hiang menyerang musuhnya, kalau tidak takjub
tentu ciut nyali orang yang pernah mendengar ketenarannya. Sampaipun
Setitik Merah Tionggoan waktu bergebrak sama dia, setiap orang
menyerang tujuh jurus Coh Liu-hiang sebaliknya bisa balas menyerang
sepuluh jurus. Tapi sekarang meski dia berhasil menempatkan diri dalam inisiatif
menyerang lebih dulu, namun baru tiga jurus saja, Ciok-koan-im baru mulai
turun tangan pula, dikala dia menyerang sepuluh jurus.
Terdengar Ciok-koan-im mengejek dingin: "Tak heran orang sering bilang
kau ini licik dan banyak akalnya, dari perbuatanmu hari ini memang
terbukti omongan orang lain memang tidak salah dan sesuai dengan
karaktermu, tapi jangan kau tekebur, kau bisa menipu aku sekali, jangan
harap kau bisa mengelabui aku untuk kedua kalinya."
Pada akhir kata-kata Ciok-koan-im, seluruh tempat-tempat mematikan di
sekujur badan Coh Liu-hiang sudah terkendalikan didalam genggaman
tangan lawan, setelah dia menyerang pula sepuluh jurus. Coh-Liu-hiang
hanya mampu membalas tujuh jurus. Lambat laun serangan lawan semakin
gencar, justru serangan balasan Coh Liu-hiang semakin berkurang. Baru
sekarang dia benar-benar insaf dan mau percaya, bahwa ilmu silat Ciokkoan-
im memang tiada bandingannya oleh siapapun di kolong langit ini.
Segala aliran, perguruan atau ilmu silat dari tokoh besar dan maha guru di
seluruh jagat ini sedikit atau banyak Coh Liu-hiang pasti mengenal dan tau
seluk beluknya, tapi kepandaian silat yang dimainkan Ciok-koan-im
sekarang ini, hakekatnya dari perbendaharaannya yang begitu luas,
rasanya belum pernah ada atau belum pernah dilihatnya di seluruh
mayapada ini. Siapapun yang melancarkan tipu-tipu serangan dengan jurus apapun dalam
dunia ini, Coh Liu-hiang pasti dapat menyelami seluk beluk dan asal usul
kepandaian silat orang itu, sudah tentu gerak variasi dan perubahannya
pun cukup dipahaminya pula, tapi melihat penyerangan Ciok-koan-im,
sedikitpun dia tidak berhasil menyelaminya.
Jilid 28

Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tokoh-tokoh silat maha lihai dan tinggi pada jaman ini menurut apa yang
diketahui Coh Liu-hiang kira-kira ada empat,lima orang. Ada orang bilang
Ciangbun-jin Siao lim pay sekte selatan: Thian-hong Taysu, adalah maha
guru silat nomor satu di seluruh Bulim, namun ada pula yang bilang bahwa
Lui-ting Sianjiu dari Kun-lun Congcu membekal kepandaian silat yang tiada
taranya di seluruh dunia, ada juga orang yang mengatakan bahwa pendekar
kelana Hiat-in jin yang serba misterius itu memiliki kepandaian ilmu pedang
yang jauh lebih kuat dari tokoh pedang yang manapun, sudah tentu ada
pula yang mengatakan bahwa Hiat ih-jin dapat malang melintang di dunia
persilatan lantaran dia sendiri belum pernah bentrok atau kepergok oleh
Coh Liu-hiang. Tapi Coh Liu-hiang percaya dan yakin para tokoh-tokoh silat yang
diagulkan mempunyai kepandaian serba nomor satu di dunia ini. Jikalau
bergebrak melawan Ciok koan-im tanggung tiada satupun yang kuasa
bertahan sebanyak tiga ratus jurus.
Coh Liu-hiang juga tahulima puluh jurus lagi, dirinya pasti bakal ajal.
Tatkala itu permainan Ciok-koan-im sudah mulai lambat, gerak geriknya
seperti orang sedang menari dengan lembut dan mempesonakan. Kalau
orang lain yang bergerak selambat dia ini, Coh Liu-hiang pasti dapat
mengetahui sasaran mana pada badannya yang diincar oleh Ciok-koan-im,
maka dengan gampang dan sepele dia bisa berkelit menghindarkan diri.
Akan tetapi walau serangan Ciok-koan-im dilancarkan dengan amat lambat,
namun tak bisa diselami dan dijajagi kemana arah serangannya yang
sebenarnya, ternyata semakin lambat gerak serangannya namun sasaran
dan tipunya semakin ganas dan telengas, semakin lambat semakin
menakutkan. Karena pada setiap jurus serangannya, selalu dilandasi sembilan dari
sepuluh bagian kekuatannya, malah di tengah jalan sembarang waktu dapat
diubah dan diganti dengan variasi apa saja, sebaliknya sisa satu bagian
kekuatannya itupun cukup berlebihan untuk menamatkan jiwa seseorang
yang diincarnya.
Begitu Ciok-koan-im melancarkan satu serangan, boleh dikata Coh Liuhiang
sudah tidak akan mampu berkelit lagi, karena begitu dia melawan
atau berkelit, tenaga yang dia kerahkanpun sudah ludes, begitu Ciok-Koanim
merubah tipu serangannya jelas dia takkan bisa mengegos diri lagi. Cara
pertempuran yang berat sebelah seperti ini, sudah tentu amat fatal bagi
Coh Liu-hiang, seumpamaorang bisu yang makan obat pahit , meski
kepahitan mulut tidak bisa mengeluh, mimpipun Coh Liu-hiang tidak pernah
membayangkan hari ini dirinya bakal begitu runyam.
"Coh Liu-hiang," Ciok koan-im tertawa dingin, "Apa kau masih mampu
melawan?" "Tidak bisa lagi." sahut Coh Liu-hiang sejujurnya.
"Coba kau pikir, siapa pula orangnya yang mampu menolongmu sekarang?"
tanya Ciok koan-im.
"Tiada seorangpun," sahut Coh Liu-hiang.
Sekarang kapan saja Ciok koan-im bisa merenggut jiwa Coh Liu-hiang
dengan mudahnya, umpama kata tujuh tokoh Ciang bunjin dari tujuh aliran
pedang terbesar pada jaman ini diundang kemari, merekapun takkan
mampu menolong dirinya.
Andai kata dalam waktu sesingkat mungkin ada orang mampu
mengumpulkan tokoh-tokoh silat dari seluruh jagat ini didalam lembah ini
dan memecah hancurkan badan Ciok koan-im, tapi Ciok koan-im tetap bisa
membunuh Coh Liu-hiang lebih dulu, jiwa Coh Liu-hiang tidak akan
tertolong. Sudah tentu tokoh semacam Coh Liu-hiang mempunyai banyak musuh
didalam segala tingkat dan berbagai aliran, meski banyak diantara sekian
banyak musuh musuhnya amat membenci Coh Liu-hiang sampai ke tulang
sumsumnya, namun mereka tak berani berbuat apa-apa, paling hanya
mencaci maki di belakang orang: "Kelak Coh Liu-hiang pasti mampus di
tangan perempuan, jenasahnya kelak bakal ditemukan melintang di atas
pinggang perempuan yang telanjang bulat".
Jikalau orang yang mencaci dan mengutuknya itu berada di sini, tentu
mereka tertawa terpingkal-pingkal sampai mulutnya itu menganga tak
terkatup lagi. Tampak badan Ciok koan-im yang begitu montok dan padat berisi
bertelanjang, didalam kejap ini bertambah cantik, molek dan menggiurkan,
bayangan yang berada didalam kaca memancarkan cahaya. Kembali
wajahnya menampilkan senyuman mekar yang mempesonakan, katanya:
"Apa kau sudah tahu" Setiap membunuh musuh yang tangguh dan lihai, aku
lantas merasa jiwaku jauh lebih muda, cuma membunuh kau, hatiku rada
merasa sayang". habis ucapan ini diapun melontarkan pukulan telapak
tangannya yang terakhir.
Dia sudah melihat keadaan, Coh Liu-hiang yang payah dan takkan mungkin
melawan lagi. Tak nyana badan Coh Liu-hiang tiba-tiba mengkeret,
berbareng tangannya berbalik balas menyerang. Tapi pikulannya bukan
menyerang kepada Ciok koan-im, namun yang diarahnya adalah cermin
besar itu. Jikalau pukulannya ini dia tujukan kepada Ciok koan-im, terang
takkan mungkin mengenai sasarannya, tapi cermin ini sebaliknya diam
tegak di tempatnya. Maka terdengarlah "krempyang!" cermin itu semuanya
telah hancur berantakan terkena pukulannya. Dengan sendirinya bayangan
Ciok koan-im didalam cermin pun ikut hancur lebur.
Jikalau terhadap orang lain, tindakan Coh Liu-hiang memukul hancur
cermin ini tentu tiada manfaatnya apa-apa tapi lain bagi Ciok koan-im yang
terlalu cantik rupawan ini, dia pun terlalu kuat dan tangguh, sejak
beberapa tahun belakangan ini, dia sudah menunjang jiwa raga dan
semangat hidupnya pada cermin satu-satunya ini, karena dia sudah jatuh
cinta kepada jiwa raga sendiri. Tapi tidak dia pikirkan sama sekali bahwa
bayangan dirinya yang kosong di dalam cermin yang dia cintai ini,
bahwasanya mempunyai darah daging pula. Seolah-olah orang di dalam
cermin dan jiwa raganya sudah merupakan dwi-tunggal yang tak boleh
terpisah, kental antara tulen dan khayal, sampai dia sendiripun tak bisa
membedakan lagi.
Begitu cermin itu pecah dengan suaranya yang keras, maka orang didalam
kaca itu seketika terpukul pula, demikian pula Ciok koan-im yang berada di
luar cermin juga seperti kena dipukul sekeras-kerasnya, seketika
badannya tergetar keras dan berdiri menjublek.
Pertempuran tokoh-tokoh kelas wahid mana boleh sekilas saja lena,
apalagi melongo seperti Ciok koan-im, didalam waktu yang teramat singkat
ini, beruntun Coh Liu-hiang sudah menutuklima Hiat to besar di badannya.
Ciok koan-im yang tiada bandingannya, pelan-pelan akhirnya roboh.
Sampai dia sudah rebah tak berkutik masih belum berani percaya akan
kenyataan ini, sungguh tak habis terpikir dalam benaknya cara bagaimana
Coh Liu-hiang bisa dan dapat memikirkan cara selicik ini untuk merobohkan
dirinya. Dengan mata terbelalak kaget dia pandang Coh Liu-hiang dengan
pandangan curiga dan penuh tanda tanya.
Sebaliknya Coh Liu-hiang menarik napas panjang sepuas-puasnya dengan
memejamkan mata. Lama juga dia berhasil menekan perasaan dan
menenteramkan jantungnya yang berdebar-debar keras seperti damparan
ombak samudra, ingin dia menyeka keringat di atas mukanya, tapi seluruh
pakaian dan kedua tangannya sendiripun basah kuyup seperti kehujanan.
Ciok koan-im mendelik, katanya serak: "Kau... kau merobohkan aku?"
Akhirnya Coh Liu-hiang tertawa lebar, katanya: "Tidak salah, aku
mengalahkan kau, memang sering aku bisa memukul jatuh lawan yang
sebenarnya lebih tangguh dan lebih lihai dari kepandaian sendiri, ada
kalanya aku sendiripun heran serta tak percaya akan kenyataan ini."
Sorot mata Ciok koan-im menampilkan siksa derita yang luar biasa,
seperti masih ingin mengatakan apa-apa, bibirnya sudah bergerak
beberapa kali, namun sepatah katapun tak kuasa dia ucapkan.
Coh Liu-hiang menghembuskan napas panjang dari mulut, katanya: "Kau
sudah membunuh teman-temanku yang paling baik, sungguh ingin aku
membunuhmu untuk menuntut balas kematian mereka, tapi aku pantang
berbuat demikian, sekarang terpaksa aku hanya..." suaranya tiba-tiba
terputus, bulu roma dan bulu kuduknya seketika merinding berdiri.
Ternyata hanya di dalam sekejap ini, badan montok Ciok koan-im yang
padat berisi dan menggiurkan ini secara aneh seperti disulap layaknya
sudah berubah mengering layu dan menyusut berkeriput seperti kayu
keropos yang kekeringan, darah daging badannya seolah-olah secara tibatiba
sudah tersedot hilang, tinggal kulit pembungkus tulang belaka. Badan
elok dari perempuan tercantik di seluruh jagat ini, di dalam waktu
sesingkat ini mendadak berubah jadi sesosok mayat kering kerontang yang
begitu mengerikan, siapapun yang melihatnya pasti akan bergidik seram.
Tiada seorangpun yang mampu membunuh Ciok koan-im, dia sendiri yang
membunuh dirinya sendiri.
Cuaca nan gelap sudah mulai remang-remang, sang fajar sebentar lagi
akan menyingsing, namun hawa pagi terasa semakin dingin menyusup ke
tulang sumsum. Betapa pilu sedih sanubari Coh Liu-hiang, mendelu lagi, tak henti-hentinya
dia bertanya kepada dirinya sendiri: "Apa aku sudah menang" Apa benar
aku menang?"
Garis pemisah antara perempuan cantik dengan mayat kering kulit
pembungkus tulang cukup dekat dan hanya terpaut satu garis itu saja,
memangnya berapa pula bedanya antara menang dan kalah" Walau dia
sudah berhasil merobohkan Ciok koan-im yang tiada tandingannya, meski
mendapat kabar Soa Yong-yong yang selamat dan sehat walafiat, tapi di
sini dia harus kehilangan Oh Thi-hoa dan Ki Ping yan, apakah penyesalan
dan kepiluan hatinya dapat ditambal dan diobati" Terang tidak mungkin.
Boleh dikata Coh Liu-hiang hampir tak ingat lagi kapan dirinya pernah
mengucurkan air mata. Kini air matanya sudah berderai membasahi pipi dan
menambah basah pakaiannya yang kuyup kena keringatnya tadi, tapi dia
harus menyeka kering air matanya, karena dia harus tetap bertahan hidup.
Bertahan hidup bukan saja merupakan hak seseorang, juga merupakan
kewajiban dari orang itu sendiri, tiada orang yang punya hak untuk
membunuh orang lain, juga tiada hak yang memberi kewajiban kepada
orang untuk membunuh dirinya sendiri.
Dengan membusungkan dada dengan langkah berat, Coh Liu-hiang
beranjak keluar, di depan sana ada sebuah lekukan gunung, di sana Bu Hoa
rebah tertutuk Hiat-tonya, dia sembunyikan di suatu tempat didalam lekuk
gunung itu, apapun yang akan terjadi Bu Hoa harus dia bawa pulang ke
Tionggoan, biar dia menerima hukuman undang-undang yang setimpal,
inipun merupakan kewajibannya orang yang membunuh orang dia harus
dihukum mati juga, siapapun takkan dapat meluputkan dirinya dari undangundang
atau hukuman negara ini.
Akan tetapi siapapun takkan bisa membawa pergi Bu Hoa, sebatang panah
panjang, ternyata sudah menembus tenggorokan dan mematikan
riwayatnya, darah membasahi dadanya dimana terdapat secarik kertas
putih kehijau-hijauan yang bertuliskan beberapa huruf berbunyi: "Coh Liuhiang
si Maling Romantis pantang membunuh orang, terpaksa Burung
Kenari mewakilinya."
Kembali Coh Liu-hiang tertegun dibuatnya, bahwasanya orang semacam
apakah sebenarnya si Burung Kenari itu" Apakah perbuatannya ini baik
atau punya tujuan jahat" Apa pula sebetulnya yang menjadi tujuan segala
tindak tanduknya yang serba tersembunyi ini.
Pada saat itu pula terdengar deru angin kencang melesat ke arahnya,
sebatang anak panah memecah angin terbang datang. Lekas Coh Liu-hiang
menggeser kaki dan memiringkan badan dengan kedua jari tangan kanannya
dia jepit anak panah itu, tampak ujung panah yang runcing sudah putus,
jadi si pembidik panah ini terang tidak bermaksud bermusuhan atau
hendak mengarah jiwa Coh Liu-hiang. Tapi di pangkal panah dimana ada
bulu burungnya terikat seutas benang lembut yang panjang, entah berapa
panjangnya sampai tak kelihatan pangkalnya, apakah si Burung Kenari yang
serba misterius itu sedang menunggu Coh Liu-hiang di balik ujung benang
panjang di sebelahsana "
Perduli permainan apa yang sedang dilakukan tokoh misterius yang serba
menakutkan ini Coh Liu-hiang sudah berkeputusan akan memburu kesana
melihat keadaan, tanpa banyak berpikir dan tidak ayal lagi, badannya
segera melesat berlari-lari menyusuri benang panjang ini. Pada ujung
benang yang lain ternyata memang ada orang sedang menunggu malah
bukan hanya seorang saja, tapi sekaligus empat orang, begitu melihat Coh
Liu-hiang muncul seketika empat orang ini berjingkrak dan bersorak girang
menyambutnya. Sebaliknya begitu melihat ke empat orang ini Coh Liu-hiang terkesiap
kaget dan melongo keheranan, mulut tak kuasa bicara.
Karena ke empat orang ini bukan lain adalah Kui-je ong ayah beranak dan
Oh Thi hoa serta Ki Ping yan. Apakah ini dalam impian. Tapi Oh Thi hoa
sudah meremas pundaknya, sampai tulang pundaknya terasa sakit sekali.
Coh Liu-hiang tertawa pahit, ujarnya: "Ini bukan mimpi, orang yang sedang
mimpi tidak akan merasa sakit, tapi jikalau pengalaman ini bukan mimpi,
masakah orang yang sudah mampus bisa hidup kembali?"
Oh Thi hoa bergelak tawa, katanya: "Belakangan ini akherat dan neraka
sudah penuh sesak, Giam Lo-ong "raja akherat" sendiripun sampai
kewalahan menampung kami, terpaksa sukma kami yang gentayangan ini
digebah balik ke dunia fana ini."
"O, tak heran belakangan ini banyak orang yang sudah mampus tiba-tiba
hidup kembali." Coh Liu-hiang ikut tertawa lebar.
Sebaliknya sikap Ki Ping yan seperti rada tegang, katanya: "Darimana kau
tahu peristiwa kami keracunan" Masakah kau sudah bertemu dengan Ciokkoan-
im?" "Ehm! Ya!" Coh Liu-hiang mengiakan sambil manggut-manggut.
Oh Thi hoa, Ki Ping yan, Kui-je-ong dan Pipop kongcu sama-sama melongo,
sekian lama mereka menjublek, akhirnya sama-sama menarik napas lega
pula. Oh Thi-hoa pula yang membuka suara lebih dulu dengan mengedipngedipkan
mata: "Tapi tentunya bukan kau yang membunuhnya bukan?"
"Masakah kau belum pernah dengar, ada kalanya seseorang
menyembunyikan obat beracun di sela-sela giginya, dikala perlu kapsul
obatnya dia gigit sampai pecah dan kadar racun segera tertelan ke dalam
perut dan..."
"Maksudmu bahwa dia bunuh diri?" tukas Oh Thi-hoa. "Kenapa dia harus
bunuh diri" Karena kau kalahkan?"
"Karena kecuali mati, tiada jalan lain yang baik untuk dia tempuh."
Oh Thi-hoa menatapnya dengan pandangan mendelik, biji matanya seperti
hampir mencopot keluar, seolah-olah baru hari ini dia pernah melihat orang
seperti Coh Liu-hiang ini.
Lekas Pipop-kongku mengulangi pertanyaan Oh Thi hoa tadi: "Apa kau
sudah mengalahkan dia?"
Coh Liu-hiang tersenyum ewa, katanya "Tentu kalian amat heran, benar
tidak?" Hakikatnya bukan saja mereka serba keheranan boleh dikata merekapun
tidak mau percaya.
Akhirnya Oh Thi hoa menarik napas panjang, katanya geleng-geleng
kepala: "Konyol! Konyol! Orang she Ki, coba katakan, apa kalian ada muka
untuk berdiri di hadapan orang banyak, dan bagaimana kita harus hidup
selanjutnya" Kami berdua bergabung masih bukan tandingan Ciok-koan-im,
bocah ini seorang diri malah dengan gampang dapat merobohkan si centil
itu." "Gampang katamu?" ujar Coh Liu-hiang menyengir. "Kau kira aku amat
gampang mengalahkan dia" Biar kujelaskan sejujurnya, aku bergebrak dua
ratus jurus lebih, bahwasanya tiada satu seranganku yang membuatnya
terdesak atau merupakan ancaman bagi dirinya."
"Jadi kau hanya terima dicecar saja olehnya, bagaimana pula kau bisa
mengalahkannya?"
Belum Coh Liu-hiang menjawab, Pipop-kongcu tertawa cekikikan, katanya:
"Sudah tentu dia mempunyai akal yang baik, sejak mula aku sudah tahu
bahwa dia tentu punya cara untuk mengalahkannya. Bagi pertempuran
tokoh-tokoh silat kelas wahid bukan saja mengutamakan tenaga atau
kekuatan serta tinggi rendahnya bekal kepandaian orang-orang itu, dia
haru menggunakan otaknya pula, jadi sekaligus mengadu kecerdikan, walau
ilmu silatnya bukan tandingan Ciok-koan-im, tapi jikalau mengadu
kecerdikan dan akal muslihat siapa pula dalam dunia ini yang bisa
mengungkuli dia?" sembari bicara dia maju menghampiri, akhirnya tak
tertahan dia menarik tangan Coh Liu-hiang, seolah-olah selanjutnya berat


Rahasia Ciok Kwan Im Pendekar Harum Seri Ke 2 Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk berpisah.
Kui-je-ong segera batuk-batuk dengan suara berat, katanya unjuk tawa
berseri: "Keberhasilan Kui-ong kali ini sungguh berkat bantuan berharga
para Congcu sekalian, entah sudikah kalian bertiga bertamu dan tamasya
dulu ke negri Kui-je kami...?"
Dengan tawa riang Pipop-kongcu segera menimbrung: "Sudah tentu kalian
harus kesana siapapun diantara kalian yang tidak mau pergi, aku tidak akan
tinggal diam!"
Ki Ping yan dan Oh Thi hoa tidak buka suara, mereka berpaling kearah Coh
Liu-hiang. Tak tahan Coh Liu-hiang pun batuk sebentar, katanya tertawa: "Cayhe
bertiga sudah tentu ingin benar bertamasya di negeri tuan, cuma...."
Berubah rona muka Pipop-kongcu, katanya dengan tertawa dipaksakan:
"Cuma apa?"
Coh Liu-hiang geleng-geleng kepala dengan menunduk, katanya: "Cuma
tugas lain yang cukup penting sedang menunggu kami pula untuk segera
diselesaikan, terpaksa kali ini kami mengabaikan maksud baik Ong ya!"
Pipop-kongcu segera lepaskan pegangan tangannya, mukanya pucat pias
dan jari-jari tangannya pun gemetar, selangkah demi selangkah dia
menyurut mundur, matanya sebaliknya menatap Coh Liu-hiang lekat-lekat,
suaranya pun gemetar: "Kau tidak mau" Kau benar-benar tidak mau
bertandang ke negeriku?"
Coh Liu-hiang menjawab dengan senyuman meringis. Lekas Kui-je-ong maju
menarik tangan putrinya, katanya menghela napas: "Congsu bertiga
ternyata tak sudi memberi muka kepada kami, sungguh Pun-ong amat
kecewa sekali, tapi aku maklum bahwa kalian tentu punya urusan penting
lainnya, kami pun tidak berani memaksa."
Pipop-kongcu tertunduk, mulutnya seperti mengigau: "Benar, kami tidak
boleh memaksa mereka, sebetulnya aku sudah harus tahu sejak mula
bahwa mereka tidak akan sudi ke negeriku."
Mendadak ia angkat kepala pula, kini mimik mukanya berubah berseri tawa
pula, katanya: "Aku tidak akan salahkan kalian, karena aku sendiri toh
tidak akan ikut kalian, bahwasanya kita ini terdiri dari manusia dua lapisan
dunia yang berlainan, dapat kumpul bersama secara kebetulan, aku... aku
sudah amat senang."
Fajar sudah menyingsing, angin menghembus sepoi-sepoi namun dinginnya
laksana tajam golok mengiris kulit. Coh Liu-hiang, Ki Ping yan dan Oh Thi
hoa bertiga berdiri kaku ditengah-tengah hembusan angin dingin ini, entah
berapa lama sudah mereka mematung ditempat itu.
Akhirnya Oh Thi hoa pula yang tidak tahan sabar menarik napas dalam,
mulutpun menggumam: "Dia sudah pergi, ternyata tidak menangis, sungguh
suatu di luar dugaan. Tabah pula hatinya, belum pernah aku memuji atau
mengagumi perempuan yang manapun, sekarang aku betul-betul tunduk dan
harus memujinya!"
"Apa yang dia ucapkan memang tidak salah." ujar Coh Liu-hiang. "Antara
aku sama dia hakikatnya terdiri dari manusia dua lapisan dunia yang
berlainan, meski dipaksa gaul bersama, akhirnya malah akan menambah
penderitaan masing-masing pihak, lebih baik sekarang berpisah begini saja,
ya, terhitung sebagai kenangan manis pada masa yang akan datang!"
Oh Thi hoa tertawa getir pula, katanya: "Bagaimana juga, bukan saja dia
itu cantik, lincah dan mungil, otaknyapun cerdik pandai, gadis seperti ini
kenapa belum pernah kebentur sama aku?"
Ki Ping-yan tiba-tiba menjengek: "Umpama kau pernah menemuinya, tentu
dia sudah lari terbirit-birit oleh bau arak dari mulutmu yang apek itu."
Oh Thi-hoa terloroh-loroh geli, sedapat mungkin Coh Liu-hiang pun
tertawa tawa dibuat-buat, segera ia alihkan pokok pembicaraan: "Ciokkoan-
im bilang kalian sama minum araknya beracun, tentunya omongannya
bukan bualan belaka."
Ki Ping-yan segera menutur dengan suara tawar: "Sian Oh merebut
cangkir arak itu, terus ditenggaknya separo, sisanya yang separo diberikan
kepada aku, akupun segera meminumnya habis. Karena setelah berada
dalam posisi kita waktu itu, kecuali mampus sungguh tiada jalan lain yang
lebih baik untuk kami tempuh."
Oh Thi-hoa tertawa geli, ujarnya mengolok: "Semula aku kira dia amat
tinggi menilai jiwanya sendiri, siapa tahu dia..." tenggorokannya seperti
tersumbat, kata-kata selanjutnya tak kuasa ia lanjutkan, matanyapun
basah dan berkaca-kaca, dengan kuat telapak tangannya menepuk pundak
Ki Ping-yan, mulutnya menggumam: "Pendek kata, aku tak sia-sia mengikat
persahabatan sama kau, waktu itu meski Oh Thi-hoa sudah bertekat
hendak membunuh aku, belum tentu hendak membunuhmu."
"Tapi cara bagaimana kalian akhirnya tidak sampai mampus?" tanya Coh
Liu-hiang. "Disaat jiwaku hampir melayang itulah, sekonyong-konyong terasa ada
seseorang menjejalkan sebutir obat ke dalam mulutku, lalu berbisik pula di
pinggir telingaku: "Ingat! Bukan saja Burung Kenari bisa membunuh orang,
diapun bisa menolong orang!"
"Jadi dia yang menolong kalian?" ujar Coh Liu-hiang terbelalak. "Apa
kalian ada melihat orang macam apakah dia itu?"
"Waktu itu kami sudah dalam keadaan teler, jiwa hampir melayang, apapun
tidak melihatnya." sahut Oh Thi-hoa.
Coh Liu-hiang berpaling kepada Ki Ping-yan. Ki Ping-yan segera gelenggeleng
kepala, sesaat menepekur, akhirnya Coh Liu-hiang berkata: "Tokoh
macam apakah sebenarnya si Burung Kenari itu" Kenapa dia berbuat
demikian" Apakah dia sengaja hendak menanam budi kepadaku" Ataukah..."
Oh Thi-hoa tertawa, katanya: "Mungkin dia cuma punya seorang anak
gadis yang ingin dijodohkan kepadamu, atau mungkin pula dia sendiri adalah
"gadis ayu", entah sejak kapan sudah jatuh hati dan terpincut oleh
ketampananmu..." tanpa menunggu Coh Liu-hiang bicara, segera dia
menambahkan, "Tapi bagaimanapun yang terang kita harus mencarinya
sampai ketemu bukan?"
Coh Liu-hiang menengadah mengawasi segumpal awan terbang, katanya:
"Kita tidak perlu susah-susah pergi mencarinya karena aku yakin satu
ketika pasti dia akan mencari kita."
xxx Kini hari sudah magrib.
Dalam sebuahkota yang ramai, jalan-jalan raya penuh sesak berjubel-jubel
manusia dari segala macam lapisan, laki-laki, perempuan, tua muda, ada
yang memapah orang tua, ada yang membopong anak-anak.
Semua orang kebanyakan riang gembira, karena setelah bekerja seharian
dengan tekun dan berat, kinilah kesempatan mereka menghibur diri dengan
mengenakan pakaian baru, sepatu yang baru. Dalam kantong mereka sedikit
atau banyak pasti terisi uang dari hasil jerih payah mereka yang mereka
tabung dan dari sisa ongkos-ongkos kehidupan yang mereka tabung, inilah
sekarang mereka menikmati kehidupan sore hari nan cerah dan riang.
Namun ada pula sementara lapisan masyarakat yang tidak mengenal derita
hidup dan bebas kehidupan berat, sudah tentu mereka-mereka inipun tidak
tahu mencari kesenangan serta meluangkan waktu untuk menghibur diri
melepaskan otak dan ketegangan kerja selama bekerja sehari penuh, oleh
karena itu selamanya mereka selalu bersikap masa bodoh dan kurang
semangat serta tak punya gairah kehidupan.
Seorang petani tanpa bercocok tanam di sawah ladang, namun
menginginkan panen sebanyak-banyaknya selamanya dia tidak akan
memperoleh kegembiraan hidup.
Sepanjang jalan raya ini, berderet-deret berbagai macam toko dan
warung, ada yang menjual kelontong, ada toko besi, ada yang jual daun teh,
ada yang jual kain, konveksi, ada pula yang jual pupur, semua toko-toko itu
sama menjajakan barang-barang pilihan mereka yang paling baik
kwalitetnya di depan tokonya untuk memancing para pembeli.
Pemilik toko sama mengawasi orang-orang yang sedang berlalu lalang di
depan tokonya, sorot pandangannya seolah-olah seperti orang-orang yang
lewat itu mengawasi barang-barang yang dijajakan itu, kalau orang-orang
jalan itu sama ketarik oleh barang-barang itu, sebaliknya pemilik-pemilik
toko itu sama ketarik pada uang di dalam kantung mereka. Orang-orang itu
jadi sama pandang, sama tersenyum kebanyakan orang sama kenal satu
sama lain. Tapi diantara sekian banyak orang yang berjublek-jublek itu
hanya ada dua orang yang segalanya serba asing di sini.
Mereka bukan lain adalah Oh Thi-hoa dan Coh Liu-hiang. Mereka tidak
tahu apakah namakota yang mereka kunjungi ini, mereka tidak mencari
tahu, juga tak ambil perhatian, karena perhatian mereka bukan padakota
ini. Perhatian mereka tertuju kepada orang-orang yang berjublek-jublek itu.
Dari padang pasir nan terbentang luas tak berujung pangkal serta serba
kekeringan itu, mereka kembali dan tiba di kota ini melihat suasana
hangat, ramai serta damai dan serta rukun, diantara manusia-manusia baik
dan bajik ini, sungguh jauh dan mengetuk sanubari mereka dan membuat
hati riang dan lapang pula dadanya.
Keramaian dalamkota yang ramai ini, tempat yang teramai ditempat
kesibukan orang-orang di sepanjang jalan raya, ini adalah rumah makan
yang paling besar, megah dan mewah ini. Maka mereka memilih tempat ini
untuk berpijak sementara, sekedar ganjal perut sambil melepaskan otototot.
Mereka memilih tempat duduk yang dekat jendela, dari loteng
jendela ini mereka bisa mengawasi orang-orang yang hilir mudik di bawah,
mengawasi senyuman mekar, riang dan gembira orang-orang itu,
mengendus deru napas mereka pula. Begitulah mereka duduk termenung
dengan pandangan mendelong, entah berapa lama mereka tak segan-segan
mengawasi terus, makanan sudah memenuhi meja, namun tiada satupun
yang diusik, botol-botol tak terhitung banyaknya, tapi seluruhnya kosong
melompong. Siapakah burung kenari" Laki-laki atau perempuan" Apa pula tujuannya
dibalik perbuatannya yang misterius itu" Kenapa pula setiap korbannya
selalu dicukuri alisnya"
Kenapa pula Soh Yong-yong bertiga selama ini" Bagaimana pula keadaan
Hek-tin-cu atau Mutiara hitam" Ternyata bahwa mutiara hitam adalah
seorang perempuan, bagaimana pula sikap si Maling Romantis selanjutnya"
Pengalaman Maling Romantis dipadang pasir sudah berakhir dengan
terbunuhnya Ciok-koan-im. Dapatkah Coh Liu-hiang si Maling Romantis
membongkar rahasia Sin-cui-kiong" Keraton yang khusus hanya dihuni
kaum perempuan. Cara bagaimana Bu Hoa memelet salah satu murid-murid
didik Sin cui-kiong sampai bunting dan akhirnya bunuh diri"
Kemana Setitik Merah yang minggat tanpa pamit dengan Ki Bu-yong"
Apakah mereka akhirnya menikah dan jadi suami istri"
Apakah Coh Liu-hiang bisa mengalahkan Cuibo atau Induk Air ketua Sincui
kiang seperti mengalahkan Ciok-koan-im"
Bacalah serial kelanjutan Rahasia Ciok-koan-im ini dengan temannya yang
lebih baru, realistis dan serba tegang dan menggelikan!
Tokoh-tokoh pedang bakal bermunculan, gembong silat bakal unjuk diri
dari tempat pengasingannya, apa tujuannya" Apakah Coh Liu-hiang harus
melawan dan mengalahkan mereka juga"
TAMAT Jodoh Rajawali 1 Peristiwa Burung Kenari Pendekar Harum Seri Ke 3 Karya Gu Long Kuda Putih 2
^