Rahasia Mo-kau Kaucu 7

Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung Bagian 7


gulita. Tapi Ting-hun-pin sudah menerjang ke muka orang itu, sudah melihat jelas muka orang itu. Itulah seraut wajah yang sudah mengkerut, matanya yang melotot keluar menandakan ketakutan dan kaget, seperti mata ikan mas menatap kepada Ting Hun-pin.
Ting Hun-pin pernah melihat muka ini, pernah
berhadapan dengan orang ini.
Dialah laki-laki peniup seruling yang menjadi gila karena ketakutan berdiri di antara mayat-mayat yang
bergelimpangan di ruang perjamuan. Satu-satunya orang
yang masih hidup di dalam perjamuan itu. Apakah dia ini pembunuh dari sekian banyak kurban itu"
Terkepal kencang tinju Ting Hun-pin, tiba-tiba dilihatnya setetes darah segar telah mengalir keluar dari ujung mata orang, mengalir membasahi muka orang yang memutih pucat.
Angin malam nan dingin membuat dia bergidik kedinginan dan seram.
Tiba-tiba didapatinya bahwa orang ini ternyata sudah
putus nyawa. Orang mati mana bisa bicara" Mana mungkin bisa meniup
seruling" Kini tangannya tidak memegang seruling lagi, lalu darimana datangnya suara seruling tadi" Ting Hun-pin
menyurut mundur selangkah. Baru dua langkah mendadak
sebuah tangan terulur keluar, secepat kilat sudah
menggenggam tangannya.
Tangan yang dingin seperti es, dingin kaku. Orang mati mana bisa menggerakkan tangan"
Seketika sekujur badan Ting Hun-pin ikut dingin, hampir saja dia kelenger, namun dia tidak semaput, karena
didapatinya tangan yang menangkap pergelangannya ini
terulur keluar dari balik mayat peniup seruling ini. Tapi tangan itu sungguh teramat dingin, lebih dingin dari mayat manusia. Dingin dan keras, lebih keras dari besi. Ting Hun-pin sudah kerahkan setaker tenaganya, namun dia tidak
berhasil meronta lepas.
Maka kumandang pula suara runcing tajam itu dari balik mayat peniup seruling: "Apakah kau benar-benar ingin melihat siapa aku sebenarnya?"
Ting Hun-pin gigit bibir, bibirnya sampai pecah dan
berdarah. "Jikalau kau tahu siapa aku, maka kau harus mampus,"
genggaman orang itu semakin kencang, "sekarang kau tetap ingin melihat aku?"
Mendadak Ting Hun-pin manggut-manggut dengan sekuat
tenaganya. Dalam keadaan seperti ini matipun sudah tidak dia takuti lagi. Dia awasi tangan itu, meski di malam gelap, namun tangan itu memancarkan sinar mengkilap seperti
logam. Lengan baju orang kelihatan berwarna hijau tua,
bagian atas disulami sebuah puncak gunung yang menghijau.
Itulah Putala Thian-ong, lambang dari puncak tunggal.
Serasa hampir membeku jantung Ting Hun-pin, dia malah
mengharap yang dihadapinya ini adalah setan. Memang,
didalam pandangan setiap insan persilatan, Su-thoa-thian-ong dari Mo Kau dipandangnya sebagai gembong iblis yang lebih menakutkan dari setan jahat.
Dia tidak takut mati, tapi dia insaf, seseorang yang
terjatuh ke tangan orang-orang Mo Kau, maka
pengalamannya pasti amat menakutkan, amat mengerikan.
Dari tangan orang, dia melihat lengan bajunya terus naik ke atas, akhirnya dia melihat mukanya.
Itulah seraut muka orang yang kaku dingin tak ubahnya
seperti mayat hidup. Dalam pandangan Ting Hun-pin, muka ini jauh lebih menakutkan dari muka orang mati biasa.
Akhirnya dia berteriak juga: "Kiranya kau!"
"Kau tidak mengira kalau aku?"
"Kau......kau adalah Putala?"
"Benar! Putala adalah aku, itulah raja puncak tunggal yang tingginya tak bisa dijajaki, bertengger tinggi menembus mega, siapapun yang melihat muka asliku, hanya ada dua jalan bisa dia pilih."
"Dua jalan" Kecuali mati, kiranya masih ada jalan lain?"
"Kau tidak perlu harus mati, asal kau mau masuk jadi anggota Mo Kau. Hanya orang kita sendiri yang selamanya boleh bertahan hidup."
"Bertahan hidup untuk selamanya?" Ting Hun-pin mengejek dingin, "sedikitnya aku pernah melihat tujuh delapan puluh orang-orang Mo Kau kalian yang mati
dipenggal kepalanya seperti orang menggorok leher anjing liar."
"Umpama benar mereka mati, mereka mati dengan
gembira." "Gembira" Apanya yang dibuat gembira?"
"Karena orang-orang yang membunuh mereka juga sudah mempertaruhkan imbalannya."
Terbayang akan mayat-mayat yang bergelimpangan di
perjamuan itu, hampir saja Ting Hun-pin muntah-muntah.
Berkata Putala atau Hu-hong Thian-ong: "Sekarang kau memang hidup, namun hidup tidak lebih baik daripada mati, namun asal kau mau masuk Mo Kau, perduli kau mati atau hidup, takkan ada orang berani menganiaya kau."
Ting Hun-pin kertak gigi, bujukan ini agaknya sudah
melembekkan hatinya. Belakangan ini pukulan lahir batin yang menimpa dirinya memang teramat banyak.
Sambil mengawasinya, Hu-hong (Puncak gunung)
menampilkan sorot menghina dan mencemoohkan, katanya
dingin: "Aku tahu! Kau bukan ingin mati betul-betul, tiada orang yang ingin mati."
Ting Hun-pin tunduk kepala. Dia masih muda, belum
pernah menikmati kehidupan kaum remaja yang benar-benar nikmat, kenapa dia harus mati semuda ini". Seorang gadis yang sudah kenyang dianiaya, menderita dan disiksa, kalau ada kesempatan untuk menyiksa dan menganiaya orang lain,
bukankah hal ini cukup mengenyangkan". Bujuk rayu ini
sungguh teramat besar pengaruhnya. Memang tidak banyak gadis yang bisa menolak bujukan halus ini, apalagi Ting Hun-pin memang gadis yang suka menang dan membawa adatnya
sendiri. Sudah tentu Hu-hong Thian-ong tahu akan dirinya ini,
katanya tawar: "Tiada jeleknya kau mempertimbangkannya, hanya aku memperingatkan dua hal kepadamu."
Ting Hun-pin tengah mendengarkan.
"Untuk masuk Mo Kau, bukan suatu hal yang gampang, kau punya kesempatan sebaik ini, sungguh merupakan
keberuntunganmu." lalu dengan suara kalem Hu-hong Thian-ong menambahkan, "soalnya Mo Kau kita belakangan ini kembali membuka pintu menegakkan dan menyebarkan
ajaran kita. Kalau kau sia-siakan kesempatan baik ini, kelak kau akan menyesal seumur hidup."
Tiba-tiba Ting Hun-pin bertanya: "Apakah kau ingin aku mengangkat guru kepadamu?"
Sombong sekali sikap Hu-hong Thian-ong, katanya: "Bisa menjadi muridku, merupakan keberuntungan yang terbesar bagi dirimu."
"Apakah aku berguna bagi kau?" tanya Ting Hun-pin.
Hu-hong Thian-ong tidak menyangkal.
"Apa gunanya aku ini bagi dirimu?"
"Kelak kau tentu akan tahu sendiri."
"Sekarang......"
Hu-hong Thian-ong menukas: "Kau berguna bagi diriku, aku lebih berguna bagi dirimu. Di antara sesama manusia, memangnya satu sama lain saling memperalat diri, justru kau mempunyai harga diri untuk diperalat orang lain, maka kau masih tetap hidup sampai sekarang."
Ting Hun-pin ragu-ragu, tanyanya: "Katamu kau masih hendak memperingatkan suatu hal kepadaku?"
"Tak usah kau tunggu Kek Pin untuk menolongmu, dia tidak akan menolongmu, dia tidak akan berani."
"Kenapa?"
"Karena diapun murid anggota Mo Kau kita. Beberapa tahun yang lalu dia sudah masuk Mo Kau."
Ting Hun-pin mendelik.
"Kau tidak percaya?"
Memang Ting Hun-pin tidak percaya. Walau lama dia
kenal Kek Pin, namun biasanya dia amat patuh dan hormat kepada orang lain, karena dia tahu Kek Pin adalah teman baik Yap Kay, seorang cerdik pandai yang serba bisa, namun juga tinggi hati. Sekali-kali dia tidak akan mau percaya bahwa teman baik Yap Kay, ternyata adalah manusia
bermartabat rendah dan hina dina.
Tapi kenyataan Kek Pin memang maju menghampiri, lurus
tangan kepala tunduk, berdiri di samping Hu-hong, seperti budak berdiri di samping majikannya.
Mencelos dan putus asa hati Ting Hun-pin.
"Sekarang kau percaya tidak?", tanya Hu-hong Thian-ong.
Walau Ting Hun-pin dipaksa untuk percaya kepada
kenyataan, tak urung dia masih bertanya kepada Kek Pin:
"Apa benar kau murid anggota Mo Kau?"
Ternyata Kek Pin mengakui.
Terkepal jari-jari Ting Hun-pin, katanya tertawa dingin:
"Kukira selama ini kau amat memperhatikan keselamatanku, membantuku, ku anggap kau adalah teman baik. Tak nyana kau adalah manusia rendah yang tidak tahu malu."
Muka Kek Pin tidak menunjukkan perubahan apa-apa,
seperti orang tuli saja.
"Tahukah kau biasanya aku amat menghormati dan
menyeganimu, bukan saja mengagumi ilmu pengobatanmu,
akupun menghormatimu sebagai seorang kuncu. Kenapa kau rela menjebloskan diri ke dalam dunia nista ini?"
"Masuk anggota Mo Kau bukan masuk ke dunia nista."
sentak Hu-hong Thian-ong.
"Baiklah!," ujar Ting Hun-pin menghela napas panjang,
"baik sekali, lekaslah kau bunuh aku."
"Kau sudah berkeputusan dan rela mati?"
Ting Hun-pin mengiyakan.
"Kenapa?" kelihatannya Hu-hong Thian-ong amat heran.
Ting Hun-pin beringas, teriaknya: "Karena sekarang aku sudah tahu, siapapun asal dia masuk Mo Kau, maka dia akan menjadi manusia kerdil yang rendah martabat, hina dina dan malu dilihat orang."
Mengkeret kelopak mata Hu-hong Thian-ong, katanya
kalem: "Kau tidak ingin mempertimbangkan?"
"Tiada yang perlu kupertimbangkan."
Hu-hong Thian-ong menghela napas, tiba-tiba dia berseru heran: "Kek Pin?"
"Apa?", Kek Pin segera menyahut.
"Agaknya baru saja kau yang menolong jiwanya?" ujar Hu-hong Thian-ong.
"Benar!", jawab Kek Pin.
"Maka kau tidak perlu membeli jiwanya lagi."
Kek Pin mengiyakan.
"Sekarang boleh kau merenggut jiwanya pula."
Sambil mengiyakan, kek Pin menurunkan Ban-po-siang dan Kan-kun-san. Pelan-pelan dia tudingkan ke tengah alis Ting Hun-pin.
Kalau Ban-po-siang itu piranti menolong jiwa orang,
sebaliknya Kan-kun-san khusus untuk membunuh orang,
cepat dan telak.
Kek Pin sedikitpun tidak mirip seorang tua yang ayal-
ayalan. Dia jauh lebih mengerti dari kebanyakan orang di mana tempat berbahaya yang benar-benar merupakan titik mematikan di tubuh manusia. Titik di tengah-tengah alis orang adalah salah satu tempat penting yang mematikan
jiwa orang. Tiada orang yang kuat menahan pukulan atau serangan. Tapi Ting Hun-pin bukan saja tidak berusaha
meluputkan diri malah menyongsong maju dengan tertawa
dingin. Dia tahu dirinya tidak akan bisa lolos.
Pergelangan tangannya masih digenggam erat oleh Hu-
hong Thian-ong yang mempunyai jari-jari seperti jepitan
besi. Sementara itu ujung payung sengkala itu sudah
menutuk ke jidatnya. Dilihatnya sinar dingin berkelebat, tiba-tiba 'Trap...' suaranya lirih, seolah-olah ada dua batang jarum saling bentur. Begitu cepat kejadian selanjutnya sampai dia tidak melihat jelas.
Dia hanya merasakan pegangan tangan Hu-hong Thian-
ong yang keras laksana jepitan besi itu tiba-tiba terlepas, mendadak orangnya melambung tinggi bersalto di udara.
Kelihatannya diapun seperti melihat di kala badan Hu-hong Thian-ong mencelat naik itu, tangannya yang lain terulur menepuk ke punggung Kek Pin. Tepukan ini cepat laksana samberan kilat. Dia sendiripun tidak melihatnya jelas. Yang menjadi kenyataan baginya bahwa Hu-hong Thian-ong tahu-tahu sudah menghilang pergi, sementara Kek Pin sudah
roboh menggelepar di tanah. Sedangkan dirinya masih tetap berdiri tak kurang suatu apa. Sungguh dia tidak mengerti, apakah yang terjadi barusan"
Malam semakin larut, angin menghembus semakin
kencang nan dingin, lampion yang sudah luntur warnanya itu masih kontal-kantil di atas dahan. Demikian pula mayat peniup seruling itu masih bergoyang gontai tertiup angin di atas dahan pula.
Kek Pin rebah tengkurap dengan dengus napas tersengal-
sengal berat seperti dengus sapi, terus batuk tak berhenti.
Setiap kali batuk darah menyembur dari mulutnya. Waktu angin menghembus punggungnya, baju di bagian punggungnya tiba-tiba tertiup beterbangan seperti kupu-kupu terbang, tampak bekas tapak tangan membekas tepat di tengah
punggungnya. Tapak tangan warna merah darah.
Selamanya belum pernah Ting Hun-pin saksikan ilmu
pukulan telapak tangan sehebat dan begini menakutkan, tapi akhirnya dia menyadari juga apa yang telah terjadi. Dia masih hidup, masih berdiri segar bugar, karena Kek Pin bukan saja tidak membunuhnya, malah menolong jiwanya.
Menolong dirinya dengan menyerempet bahaya, dan
sekarang orang malah tengah empas-empis meregang jiwa.
Budi besar pertolongan ini laksana jarum tajam menusuk ulu hatinya.
Perduli sedih atau haru dan terima kasih, sesuatu
perasaan kalau terlampau panas, terlalu emosi, bisa juga berubah laksana tajamnya jarum mencocok jantung hati.
Lekas dia berjongkok memeluk Kek Pin, tak tertahan air matanya bercucuran, dia kehabisan akal dan tak tahu
bagaimana dia harus memberi pertolongan kepada orang
yang telah menyelamatkan jiwanya.
Dengan napas memburu, Kek Pin menahan batuknya, tiba-
tiba berkata: "Lekas...........buka peti itu."
Cepat Ting Hun-pin menarik petinya itu serta
membukanya. "Di dalam bukankah ada sebuah botol kayu warna
hitam?". Memang ada. Baru saja Ting Hun-pin menjemputnya, lekas-lekas Kek
Pin merebutnya, langsung dia gigit putus leher botol itu, seluruh isi obat dalam botol itu dia tuang seluruhnya ke dalam mulut. Lambat-laun baru napasnya yang memburu
mulai reda. Ting Hun-pin baru bisa menghela napas lega juga.
Ban-po-siang, Kan-kun-san, raja akhiratpun kewalahan.
Jikalau orang yang tak kuasa dikendalikan oleh raja
akhirat tentunya takkan bisa mati. Kalau dia bisa menolong jiwa orang lain, sudah tentu bisa juga menolong jiwa sendiri.
Akan tetapi rona muka Kek Pin kelihatan masih begitu
mengerikan, sorot matanya yang cemerlang tadi sudah
pudar, raut mukanya sekarang tidak akan lebih elok dari muka peniup seruling itu.
Ting Hun-pin menjadi kuatir dan was-was, katanya:
"Bagaimana kalau ku papah kembali ke hotel?"
Kek Pin manggut-manggut. Baru saja hendak berdiri,
tahu-tahu meloso jatuh pula, darah kembali menyembur dari mulutnya.
Ting Hun-pin kertak gigi, katanya penuh kebencian:
"Kenapa dia begitu keji menurunkan tangan jahat?"
Tiba-tiba kek Pin tertawa-tawa, katanya: "Karena akupun turun tangan jahat kepadanya."
Ting Hun-pin tidak tahu, bahwasanya dia tidak melihat
kapan Kek Pin pernah turun tangan kepada Hu-hong Thianong.
"Cobalah kau periksa payungku," kata Kek Pin, "bagian garannya."
Baru sekarang ditemui oleh Ting Hun-pin, kiranya garan payung itu bolong bagian tengahnya. Tepat pada ujungnya yang lancip masih terdapat sebuah lubang sebesar ujung
jarum. Akhirnya dia mengerti, tanyanya: "Di dalam garan payung ini ada menyimpan senjata rahasia."
Kek Pin tengah tertawa, derita membuat tawanya
kelihatan menyedihkan dari isak tangis.
"Bukan saja ada senjata gelap, malah senjata rahasia yang paling jahat di seluruh jagat."
Kan-kun-san atau Payung sengkala miliknya ini memang
senjata piranti menghabisi jiwa orang.
"Waktu aku mengincar kau dengan ujung payungku, garan payung kebetulan tertuju kepadanya pula." demikian Kek Pin menerangkan.
Ting Hun-pin sudah paham seluruhnya.
"Waktu kau menusukku dengan ujung payungmu, senjata rahasia yang berada di garannya lantas melesat keluar."
Kek Pin manggut-manggut, agaknya dia ingin tawa gelak-
gelak. "Mimpipun dia tidak akan mengira bahwa aku bakal turun tangan kepadanya, betapapun dia sudah kena tipuku."
Bercahaya sorot mata Ting Hun-pin, tanyanya: "Dia terkena senjata rahasiamu?"
Kek Pin manggut-manggut, katanya: "Oleh karena itu, walau pukulannya amat menakutkan, kitapun tidak perlu
gentar terhadapnya."
ooo)dw(ooo Dalam ruang perjamuan masih terdapat sebuah pelita
yang memancarkan sinar remang-remang. Memang seluruh
hotel Hong-ping gelap pekat, hanya di sini saja yang masih ada penerangan, maka Ting Hun-pin terpaksa membawa Kek Pin kemari, di sini tiada ranjang, tapi banyak meja. Ceceran darah sudah dibersihkan, dari kamar sebelah dia
mendapatkan kemul tebal untuk mengemuli Kek Pin.
Muka Kek Pin masih pucat menakutkan, setiap kali batuk, darah lantas merembes dari ujung mulutnya. Untung dia
mempunyai Ban-po-siang, peti wasiat piranti menolong jiwa orang.
Melihat mimik orang yang menahan sakit, tak tega Ting
Hun-pin, tanyanya: "Adakah obat lain dalam peti untuk mengurangi rasa sakitmu?"
Kek Pin geleng-geleng, katanya tertawa getir: "Obat untuk merenggut jiwa ada banyak macam, tapi obat yang
benar-benar bisa menolong jiwa orang, biasanya hanya ada satu macam."
Ting Hun-pin tertawa dipaksakan: "Apapun yang terjadi kau sudah berusaha menolong jiwaku."
Sekilas Kek Pin mengawasinya, pelan-pelan dia pejamkan mata, seperti hendak bicara, namun tidak jadi dia utarakan.
"Aku tahu kau akan lekas sembuh, karena kau memang orang baik.", kata Ting Hun-pin.
Kek Pin tertawa. Namun Ting Hun-pin malah mengharap
dia tidak tertawa, orang lain akan ikut merasakan
penderitaannya bila melihat dia tertawa.
Angin dingin terlalu keras di luar, lekas Ting Hun-pin tutup rapat semua jendela, namun angin dingin setajam
pisau itu masih meniup masuk dari sela-sela pintu atau
jendela. Tiba-tiba dia berkata: "Kau tahu apa yang kupikirkan?"
"Kau ingin minum arak?", Kek Pin balas bertanya.
Ting Hun-pin tertawa, kali ini dia tertawa benar-benar, karena dia melihat di pojok ruangan masih menggeletak
sebuah guci arak. Segera dia menjinjingnya sebuah lalu menepuk pecah sumbatnya. Bau arak amat wangi. Begitu
mencium bau arak, seketika hati Ting Hun-pin seperti
disayat-sayat. Arak ini sebenarnya disediakan untuk perjamuan
pernikahannya. Dan sekarang" Apakah dia tega minum arak wangi ini" Terbayang Kwe Ting, teringat kepada Yap Kay dan ingat akan Han Tin yang pergi mencarikan arak buat Yap Kay. Sudah tentu diapun tidak tahu kalau Han Tin
hakikatnya belum mati. Dia hanya tahu kalau dia tidak
menusuk Yap Kay, maka Han Tin tidak akan mati. Diapun
tahu jikalau bukan karena ilmu sihir dari Mo Kau, matipun dia tidak akan sudi menusuk Yap Kay.
"Mo Kau....." tiba-tiba tercetus pertanyaan dari mulutnya,
"kenapa orang-orang macam kalian juga sampai masuk Mo Kau?"
Sesaat Kek Pin menepekur, akhirnya dia menghela napas
panjang, katanya tertawa getir: "Justru karena aku ini orang macam beginian, maka aku bisa masuk Mo Kau."
"Jadi kau masuk secara sukarela?"
"Ya." sahut kek Pin.
"Aku tak habis mengerti," ujar Ting Hun-pin, "sungguh aku tidak mengerti."
"Mungkin karena kau belum tahu orang macam apa
sebetulnya aku ini."
"Tapi aku tahu kau pasti bukan manusia jahat seperti mereka itu."
Lama sekali Kek Pin termenung-menung, katanya pelan-
pelan: "Aku belajar ilmu pengobatan, tujuanku hanya untuk menolong diriku, karena kutemui semua tabib-tabib
kenamaan di dalam dunia ini, sembilan diantara sepuluh adalah orang-orang goblok."
"Aku tahu," ujar Ting Hun-pin.
"Tapi belakangan aku belajar ilmu bukan untuk mengobati diriku sendiri, juga bukan untuk menolong orang lain."
"Jadi apa tujuanmu?"
"Belakangan aku terus memperdalam ilmu pengobatan karena aku boleh dikata sudah kesetanan."
Memang di dalam mempelajari atau mengerjakan sesuatu,
kalau terlalu tekun dan tumplek seluruh perhatian, akhirnya orang jadi gila, orang akan kesetanan oleh pekerjaan atau ilmu yang dia pelajari.
"Oleh karena itu, maka kau lantas masuk jadi orang Mo Kau?"
"Di dalam Mo Kau memang banyak sekali ilmu-ilmu setan yang menakutkan untuk membunuh orang, namun banyak
juga cara-cara rahasia yang serba aneh untuk menolong
orang, umpamanya ilmu Sip-hun-tay-hoat (sebangsa ilmu
sihir) mereka, jikalau digunakan secara halal, di waktu memberikan penyembuhan kepada pasien dapat


Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menimbulkan hasil yang luar biasa yang tak pernah terduga sebelumnya."
"Tapi apa manfaatnya Sip-hun-tay-hoat mereka untuk penyembuhan sakit?" Ting Hun-pin tetap tidak mengerti.
"Mengobati orang harus mengobati hatinya, kau paham maksudnya?" tanya Kek Pin, "maksudnya tekad seseorang apakah teguh, kadang kala merupakan titik tolak untuk
menentukan mati hidupnya."
Penjelasan ini bukan saja amat mendalam, juga masih
terlalu baru bagi Ting Hun-pin yang tetap belum mengerti.
Maka dia memberi penjelasan lebih lanjut: "Itu berarti seseorang yang sakit keras, apakah dia kuat bertahan hidup lebih lanjut sedikitnya tergantung pada dia sendiri, apakah masih mempunyai tekad untuk hidup."
Ting Hun-pin baru mengerti, karena dia teringat akan
cara yang pernah dia praktekkan sendiri. Jikalau bukan dia yang membakar tekad hidup Kwe Ting, tak perlu dia dibunuh orang-orang Mo Kau, sejak lama dia sudah meninggal.
Hatinya seperti diiris-iris, tak tertahan dia angkat guci arak itu terus tuang ke dalam mulutnya.
"Berikan aku seteguk." pinta Kek Pin.
Tahu-tahu mukanya yang semula pucat kini berubah
merah membara, seperti kepiting yang direbus.
Agaknya obat di dalam botol tadi bukan untuk menolong
jiwanya, paling hanya mempertahankan napasnya sementara.
Mengawasi muka orang yang semakin menakutkan, saking
gelisah ingin Ting Hun-pin menangis tersedu-sedu.
"Kau bagaimana perasaanmu?"
"Aku baik sekali." ujar Kek Pin memejam mata, "aku pernah bilang, aku sudah tua, tiada yang perlu ditakuti untuk mati.". Sedikitpun dia tidak takut mati.
Baru sekarang Ting Hun-pin sadar, tadi orang merasa
kuatir bukan lantaran jiwanya sendiri, namun orang
menguatirkan keselamatan dirinya. Hal ini laksana jarum menusuk ulu hatinya pula, tak tahu dia apa yang harus dia katakan, tak tahu dengan cara apa baru dia bisa membalas budi dan kebaikan orang.
"Tadi akupun bilang," ujar Kek Pin lebih lanjut, "aku sudah kesetanan mempelajari ilmu pengobatan, oleh karena itu bukan saja aku tidak punya teman, akupun tidak punya sanak kadang, karena terhadap siapapun aku tidak ambil perduli."
Tapi dia amat prihatin akan keselamatan Ting Hun-pin.
Ting Hun-pin sendiri merasakan hal ini, tapi dia sendiri tidak tahu kenapa hal ini terjadi" Betapapun orang sudah berusia lanjut, usia mereka terpaut terlalu jauh, sudah tentu tak mungkin terjadi hubungan antara laki-laki dan perempuan yang tak pernah berani dia pikirkan. Orang
memperhatikan dirinya, mungkin sebagai orang tua yang
mengasihi putrinya. Tapi mata Kek Pin sudah terbuka,
tengah menatapnya lekat-lekat. Mukanya semakin merah,
biji matanya seperti menyala, sehingga dia kehilangan
kontrol atas dirinya yang biasa tenang, dingin dan tabah.
Lambat laun dia sudah kehilangan kesadarannya.
Tanpa sadar Ting Hun-pin melengos menghindari tatapan
mata orang. Tiba-tiba Kek Pin tertawa, tawa yang pilu, katanya: "Aku sudah tua bangka, usia kita terpaut terlalu banyak, kalau tidak............."
Kalau tidak kenapa" Dia tidak melanjutkan, juga tak perlu menanyakan lebih lanjut.
Ting Hun-pin sudah mengerti maksudnya, juga sudah
menangkap limpahan isi hatinya. Setiap manusia mempunyai hal dan kewajiban untuk mencintai dan dicintai orang lain.
Orang tua tak ubahnya seperti anak-anak muda, dia juga mempunyai perasaan, dia bisa jatuh cinta, malah bukan
mustahil cinta orang tua jauh lebih murni dan lebih
mendalam. Maka setelah menghela napas, Kek Pin berkata tawar:
"Apapun yang terjadi, kau tidak usah menguatirkan diriku, barusan sudah kukatakan, aku tiada teman dan tak punya sanak kadang...... mati hakikatnya tiada sangkut pautnya dengan orang lain."
'Tapi ada sangkut pautnya dengan aku', demikian batin
Ting Hun-pin, hatinya seperti ditusuk-tusuk pula. Jikalau bukan lantaran dia, Kek Pin tidak akan segera mati. Jikalau bukan lantaran dia, sekarang dirinyalah yang mampus.
Mana bisa dikatakan mati hidup tiada sangkut pautnya
dengan dirinya" Masakah dia harus berpeluk tangan melihat orang mangkat begitu saja" Tapi dengan cara apa baru dia bisa menolongnya"
Terpejam pula mata Kek Pin, katanya lirih: "Kau
pergilah..............lekas pergi!"
"Kenapa kau suruh aku pergi?"
"Karena aku tidak suka melihat orang bagaimana keadaan kematianku."
Badan Kek Pin mulai mengejang, berkelejetan, agaknya
dia tengah mempertahankan diri mati-matian.
"Maka kau harus pergi!"
Dengan kencang tangan Tin Hun-pin saling genggam,
seolah-olah kuatir bila tekadnya berubah.
"Aku tak mau pergi!", tiba-tiba dia berteriak keras,
"tidak mau pergi!"
"Kenapa?"
"Karena aku ingin kawin dengan kau."
Mendadak Kek Pin membelalakkan matanya,
mengawasinya dengan rasa kaget.
"Apa katamu?"
"Kataku aku ingin kawin dengan kau, aku harus kawin dengan kau."
Dia betul-betul sudah berkeputusan. Dalam waktu yang
singkat ini, dia sudah lupa kepada Kwe Ting, lupa kepada Yap Kay, melupakan semua orang, melupakan segala urusan.
Dalam waktu dekat ini hanya satu hal yang terpikir olehnya,
'Dia tidak bisa berpeluk tangan mengawasi Kek Pin mati dihadapannya", asal bisa menolong jiwanya, umpama dia harus kawin dengan babi, dengan anjing sekalipun,
sedikitpun dia tidak perlu memikirkannya untuk menerima nasibnya.
Memang Ting Hun-pin adalah seorang gadis yang
mempunyai perasaan subur, kalau dia mau melakukan
sesuatu boleh tidak usah memikirkan segala sebab dan
akibatnya. Orang lain boleh memaki, menganiaya dan
menyakiti hatinya, lekas sekali sudah dia lupakan, namun dia meski hanya sedikit kau pernah menanam kebaikan
kepadanya, dia tidak akan melupakannya, akan diukir
kebaikanmu di dalam relung hatinya. Mungkin apa yang dia kerjakan terlalu ceroboh, kalau tidak mau dikatakan terlalu brutal, tapi dia pasti adalah seorang gadis yang suci, lincah dan periang, karena dia dikaruniai hati nan bajik.
ooo)dw(ooo "Kau ingin kawin dengan aku?"
Kek Pin tengah tertawa, tawa yang getir, haru, terima
kasih dan entah apalagi" Dia tidak bisa membedakan,
keadaannya belum sadar seratus persen.
Ting Hun-pin sudah berjingkrak berdiri. Mendadak
disadarinya bahwa lampu yang masih menyala di dalam ruang ini adalah sepasang lilin besar. Bukankah sepasang lilin ini dipersiapkan untuk dirinya dan Kwe Ting bersembahyang
langit dan bumi" Di hadapan sepasang lilin inilah Kwe Ting roboh terkapar. Kini kedua batang lilin ini belum terbakar habis, namun dia kembali sudah akan kawin dengan orang lain.
Kalau orang lain yang melakukan perbuatan ini, siapapun pasti menganggap perbuatan orang brutal, perbuatan orang gila. Tapi Ting Hun-pin lain, siapapun akan merasa simpati, kasihan dan haru kepada nasibnya. Karena apa yang dia
lakukan ini bukannya tidak mengenal kasih, namun justru demi cinta kasih terhadap sesamanya. Bukan pembalasan, namun sebaliknya sebagai pengorbanan. Tak segan-segannya
dia mengorbankan masa remajanya, tak lain hanya untuk
membalas kebaikan orang terhadapnya. Kecuali itu sungguh dia tidak tahu dengan cara apa baru dia bisa menolong Kek Pin.
Sudah tentu cara yang dia tempuh ini belum tentu
berhasil, akan tetapi bila seseorang rela berkorban untuk menolong orang lain, walaupun perbuatannya itu terlalu brutal, teramat bodoh, sikapnya ini tetap patut dihormati, patut dipuji dan dikagumi.
Karena pengorbanan ini betul-betul pengorbanan,
pengorbanan yang mungkin tak mau dilakukan orang lain, orang lainpun takkan bisa melakukannya.
Lilin merah itu sudah hampir habis, dan lilin itu akan menjadi kering bila sumbunya sudah terbakar habis. Sumbu lilin itu rela dirinya terbakar menyala, hanya untuk
menerangi orang lain. Bukankah perbuatan ini terlalu bodoh"
Tapi jikalau manusia umumnya sudi melakukan perbuatan
bodoh semacam ini, bukankah dunia ini akan selalu
cemerlang, akan lebih semarak"
Pelan-pelan Ting Hun-pin papah Kek Pin berdiri di depan sepasang lilin itu, katanya lembut: "Sekarang juga aku menikah dengan kau, menjadi istrimu, selama hidup
mengikuti dan bersandarkan dirimu, maka kau harus tetap hidup."
Kek Pin mengawasinya, bola matanya yang sudah pudar
tiba-tiba bercahaya terang, senyuman wajahnya kelihatan berubah tenang dan tentram.
Muka Ting Hun-pin yang masih berlepotan air matapun
mengunjuk senyuman manis mesra. Dia tahu orang akan bisa
bertahan hidup, kini dia sudah punya keluarga, punya sanak famili, dia sudah takkan mati.
Dengan berlinang air mata Ting Hun-pin berkata: "Di sini memang tiada mak comblang, tiada protokol upacara, namun kita tetap masih bisa bersembahyang kepada bumi dan
langit, asal kita bersama-sama mau, ada atau tanpa saksipun tidak menjadi soal.".
Ini bukanlah main-main, dan bukan suatu perbuatan
brutal, karena dia memang jujur dan bermaksud baik dengan hati tulus lagi.
Kek Pin manggut-manggut pelan, sorot matanya
memancarkan cahaya aneh, mengawasinya lalu mengawasi
sepasang lilin di hadapan mereka. Dapat mempersunting
gadis yang dia idamkan, sungguh merupakan kesenangan
hidup bagi seorang laki-laki yang sudah terlaksana cita-citanya. Katanya dengan tersenyum: "Selama hidup ini, selalu kuharapkan detik-detik seperti ini, supaya lekas terlaksana........ Semula aku tak mengira selama hayat masih dikandung badan, takkan terjadi hari bahagia seperti ini, tapi sekarang........".
Akhirnya tercapailah cita-citanya. Suaranya menjadi
tenang mantap dan tentram, namun dia tidak habis
mengutarakan isi hatinya, mendadak dia roboh. Elmaut
merenggut jiwanya begitu cepat, sekonyong-konyong
menyerangnya sehingga dia tidak kuasa melawan dan
bertahan. Tiada orang yang bisa melawan kodrat.
Ting Hun-pin berlutut di samping jenazah Kek Pin, air
matanya bercucuran. Di dalam tempat yang sama, di
hadapan sepasang lilin yang sama pula, di dalam satu malam
yang sama juga, dua orang laki-laki yang siap menjadi laki-lakinya roboh dihadapannya. Betapa besar pukulan ini.
Mungkin mereka memang akan mati, tanpa dia mereka
memang sudah suratan takdir untuk mati, malah mungkin
ajal lebih cepat, tapi Ting Hun-pin sendiri tidak pernah berpikir demikian.
Tiba-tiba dia merasakan bahwa dirinya adalah perempuan yang membawa sial, selalu membawa bencana dan kematian bagi orang lain. Kwe Ting sudah ajal, Kek Pin kinipun sudah tak bernyawa, demikian pula Yap Kay hampir saja terbunuh olehnya. Dia sendiri malah masih segar bugar. Kenapa aku harus hidup" Buat apa hidup dalam dunia ini" Dunia macam apakah ini"
Setiap orang yang dia kenal, kemungkinan adalah orang-
orang Mo Kau, sejak kenal dengan Thi Koh sampai Giok-siau dan terakhir Kek Pin. Demikian pula Hu-hong Thian-ong yang dingin kaku dan jahat laksana iblis itu, semuanya orang-orang yang tak pernah dia duga. Masih adakah seseorang yang bisa dia percaya dan menjadi sandaran hidupnya"
Hanya Yap Kay. Tapi di mana Yap Kay sekarang berada"
Guci arak masih berada disampingnya, arak keras, begitu masuk tenggorokan lantas dadanya dan tenggorokannya
seperti dibakar. Tapi seteguk demi seteguk dia terus minum tak kenal puas.
"Yap Kay, kau pernah bilang, setelah segala urusan selesai, kau akan mencariku, kini semua urusan sudah
berakhir, kenapa kau belum kunjung tiba..........kenapa?".
Dia lepas suaranya berteriak-teriak, mendadak dia
angkat guci arak itu terus membantingnya sekuat tenaga.
Guci hancur berkeping-keping, arak keras itu berceceran di atas lantai. Lilin yang kebetulan habis dan masih menyala itu tergetar jatuh dari atas meja, arak yang mengandung
alkohol itu seketika berkobar.
"Blup" api berkobar-kobar memenuhi seluruh ruangan, meja dan kain gordyn serta gambar-gambar di atas meja
sembahyang terjilat api lebih dulu.
Api tidak kenal kasihan, lebih berbahaya dan lebih cepat datangnya dari kematian. Memangnya siapa yang kuat
menahan kobaran api yang sudah menyala-nyala itu"
Tapi Ting Hun-pin masih berlutut terbengong, tanpa
bergerak sedikitpun. Melihat kobaran api, dalam lubuk
hatinya yang paling dalam tiba-tiba timbul rasa senang yang memilukan dan sadis. Dia ingin menyaksikan kobaran api ini membakar hangus semuanya. Tiada sesuatu yang harus dia kenang dan berat ditinggalkan. Kehancuran memangnya
berat ditinggalkan" Kehancuran memangnya suatu
pelampiasan juga" Dia harus melampiaskan, maka dia harus menghancurkan.
Cepat sekali api sudah menjilat seluruh benda-benda
yang ada di dalam ruangan, menjalar ke dinding naik ke atap rumah, cepat sekali rumah ini akan segera menjadi puing-puing, semuanya akan berakhir. Tapi mana Yap kay" Kenapa Yap Kay belum juga datang"
Waktu kobaran api menghiasi udara nan gelap, sang
fajarpun telah menyingsing, tapi Yap Kay tetap belum
kelihatan. ooo)dw(ooo Yap Kay telah mabuk. Biasanya dia tidak pernah mabuk,
tiada orang yang bisa melolohnya sampai mabuk, hanya dia sendiri yang bisa meloloh dirinya sampai mabuk. Tapi diapun jarang meloloh dirinya sampai mabuk.
Orang minum sampai mabuk bukan suatu hal yang
menggembirakan, terutama besok paginya setelah kau
siuman dari pulasmu rasanya jauh lebih tidak menyenangkan, hal ini dia jauh lebih jelas dari orang lain. Tapi semalam dia sengaja meloloh dirinya sampai mabuk dan tak sadarkan diri.
Betapapun dia orang biasa, bukan orang sakti, bukan dewa.
Tahu kekasihnya sedang bersembahyang bumi dan langit
sementara pengantin lakinya bukan dirinya, memangnya
siapa yang bisa tetap sadar dan pikiran jernih" Keluyuran di jalan raya dengan gembira" Oleh karena itu dia memasuki sebuah warung arak, di mana dia berdiam satu jam lamanya, tapi waktu dia keluar masih belum mabuk, karena arak yang dijual di sini terlalu tawar, terlalu banyak tercampur air.
Maka dia menuju ke warung arak yang ke dua. Dengan
langkah sempoyongan dia memasuki warung arak ini. Kali ini apakah dia bisa keluar pula" Sudah tak teringat lagi
olehnya. Apakah selanjutnya dia pergi ke tempat ketiga"
Diapun tidak tahu. Yang masih segar dalam ingatannya hanya waktu dia memukul kepala seorang bajingan tengik yang
membawa lonte ke warung itu. Berapa besar lubang di
kepala bajingan karena pukulannya" Diapun sudah tidak
ingat lagi. Waktu dia siuman dan terjaga dari tidurnya, didapatinya dirinya rebah di dalam tumpukan sampah di dalam sebuah
gang buntu. Sampah yang kotor dan berbau busuk, anjing liarpun takkan mau tidur di tempat sekotor ini.
Pastilah bajingan yang bocor kepalanya itu mengundang
temannya menuntut balas kepada dirinya, setelah badannya dipermak dan digasak pergi datang, lalu membuang dirinya ke tempat ini. Lekas sekali dia lantas membuktikan
dugaannya ini, karena waktu dia merangkak bangun, bukan hanya kepala terasa pening dan sakit seperti merekah,
seluruh badanpun terasa sakit linu.
Entah berapa banyak dan berapa kali kepalan dan tinju
orang yang telah menghajar badannya. Hal ini sudah pernah dia rasakan dulu, karena sebelum dia belajar memukul
orang, dia sudah biasa latihan dihajar orang.
Memang siapapun bila menyadari dirinya dilempar di atas tumpukan sampah, dipermak dan digasak begitu rupa, pasti akan naik pitam, sedih dan penasaran. Tapi Yap Kay malah tertawa. Adakalanya bila dirinya juga dihajar orang,
bukankah suatu hal yang lucu dan menyenangkan" Apalagi dia yakin tangan orang-orang yang pernah menghajarnya itu, pasti tangannya sedang kesakitan.
ooo)dw(ooo Keluar dari gang buntu itu, dia tiba di sebuah jalan raya, seperti pula jalan-jalan atau gang-gang yang terdapat di kota Tiang-an lainnya, jalan ini teramat kotor, tua dan kuno.
Di seberang jalan dilihatnya ada sebuah warung arak
kecil, sebuah holou besar yang terbuat dari besi tergantung di depan pintu.
Tiba-tiba Yap Kay teringat, semalam waktu dia minum
arak dan berkelahi, adalah di dalam warung ini. Di belakang warung itulah, ada terdapat sebuah pintu gelap, pintu
belakang yang rahasia. Lonte yang dibawa bajingan tengik itu masuk lewat pintu belakang itu. Dari sana membelok ke kiri, lalu membelok pula ke jalan raya, orang akan segera tiba di hotel Hong-ping. Selama hidupnya mungkin Yap Kay tidak akan mau ke hotel Hong-ping. Urusan yang membuat hati duka, di sana memang terlalu banyak.
Lalu kemana dia sekarang harus pergi" Apa pula yang
harus dia lakukan" Yap Kay tidak berpikir. Dia ingin
sementara tak usah memikirkan apa-apa, otaknya sedang
bebal, sedang kalut. Dia hanya tahu langkahnya jangan
menuju ke arah kiri.
Hari ini cuaca amat cerah, sinar matahari menyinari
badan manusia terasa hangat dan menyegarkan. Orang-
orang yang berlalu lalang di jalan raya semuanya berpakaian bagus, dan baru, semuanya mengunjuk riang gembira, setiap orang yang kesamplok pasti tak henti-hentinya memberi
hormat, soja dan mengucapkan selamat atau Kiong-hi.
Baru sekarang Yap Kay sadar, hari itu tanggal dua. Apa kerja orang lain pada tanggal dua ini" Tak lain membawa putra-putrinya pergi ke tetangga, ke rumah familinya,
memberi dan menyampaikan selamat tahun baru, terutama
anak-anak paling senang menerima angpao. Pada hari-hari baik ini, siapapun dilarang mengeluarkan kata-kata kotor, tidak boleh berkelahi atau marah. Tapi bagi kaum
gelandangan yang tak punya rumah, tiada sanak kadang di tempat rantau ini, apa pula yang mereka kerjakan"
Yap Kay putar kayun di jalan raya, celingukan kian
kemari, yang benar matanya seperti tertutup, tiada sesuatu yang dia lihat, tiada sesuatu yang terpikir dalam benaknya.
Mungkin hanya satu. Apa kerja Ting Hun-pin sekarang"
Sebetulnya dia sudah berkeputusan tidak memikirkannya
untuk selamanya, tapi entah kenapa, otaknya yang bebal dan berat, justru memikirkan dirinya saja. Kalau tadi dia
bertekad untuk tidak menuju ke hotel Hong-ping, tapi
waktu dia angkat kepala, tahu-tahu dia menyadari dirinya tengah melangkah di jalan raya itu, dan anehnya dia sudah tidak melihat lagi papan merk hotel Hong-ping yang
tergantung tinggi itu, hanya sekelompok orang yang
berkerumun. Ada yang bisik-bisik, ada yang geleng-geleng dan menghela napas, ada pula orang yang memeluk kepala tengah menangis terisak-isak. Apakah yang terjadi di sini"
Tak tahan Yap Kay menuju ke sana, dia mendesak maju di antara gerombolan orang banyak. Seketika sekujur
badannya seperti diguyur air dingin, berdiri mematung kaku seperti tonggak kayu. Hotel Hong-ping yang merupakan
hotel terbesar dan termewah di seluruh kota Tiang-an ini, kiranya sudah menjadi tumpukan puing.
ooo)dw(ooo Peristiwa yang terjadi di hotel Hong-ping semalam, baru diketahui khalayak ramai setelah hari terang tanah.
Maklumlah kemarin adalah tahun baru. Setiap malam tahun baru, setiap keluarga pasti makan bersama, semuanya
menyekap diri di rumah, tiada yang keluyuran di jalanan.
Umpama ada orang lewat, mereka paling adalah kawanan judi
atau bajingan tengik, tiada orang yang mau mengeduk
kantong jajan di restoran atau keluyuran di hotel.
Bagi orang-orang yang berada di rumahpun tengah sibuk, kalau tidak main kartu, minum arak dan lain kesibukan, apapun yang terjadi di luar rumah takkan menjadi perhatian mereka.
Karena hari itu adalah hari luar biasa, maka terjadi pula kejadian yang luar biasa ini. Hal ini pasti bukan kebetulan, karena setiap peristiwa pasti ada sebab musababnya.
ooo)dw(ooo Hotel Hong-ping sudah terbakar habis, namun tidak
diketemukan tulang belulang satu orangpun.
"Dimanakah Ciangkui pemilik hotel ini?"
Tiada yang tahu. Semalam apa yang terjadi di sini, boleh dikata tiada orang tahu.
"Hal lain tidak perlu kubuat heran, hanya sepasang mempelai yang katanya mengadakan pesta di hotel ini
semalam, tidak berada di kamarnya lagi, demikian juga
Ciangkui telah menghilang."
Semua yang hadir sama menebak-nebak dan satu sama
lain berdebat. Semakin dibicarakan semakin ribut dan
urusanpun semakin kalut.
"Apakah semalam hotel ini kedatangan Dewi Rase" Atau kedatangan setan jahat?"
Jikalau bukan kedatangan setan, masakah hotel ini
terbakar, sedikitnya Ciangkui tua itu pasti akan kembali.
Yap Kay tahu dunia ini tiada setan, selamanya dia tidak percaya akan dongeng-dongeng tentang setan. Tapi
peristiwa ini memang seperti dipermainkan setan, umpama dia harus memukul lubang batok kepalanya, persoalan ini tetap menjadi teka-teki.
Terasa dia berdiri seperti kayu, kayu yang dingin dan
keras. Sebetulnya bagaimana hotel ini sampai terbakar"
Kemana Ting Hun-pin dan Kwe Ting yang baru jadi pengantin itu" Dia harus menyelidiki dan menemukan jejak mereka.
Namun dia tidak tahu kepada siapa dia harus bertanya.
Pada saat itulah, di tengah orang banyak yang
berdesakan itu, tiba-tiba ada orang menarik ujung bajunya.
Waktu dia menunduk, maka dilihatnya sebuah jari-jari
tangan nan indah putih halus meruncing, tangan seorang perempuan. Siapakah yang menariknya" Apakah Ting Hun-pin"
Waktu Yap Kay angkat kepala, orang yang menariknya
sudah memutar badan, menuju ke tengah-tengah
gerombolan orang banyak. Orang ini mengenakan kerudung mantel berbulu burung, rambut panjangnya terurai mayang, tergelung oleh sebuah gelang batu giok. Apakah dia ini Ting Hun-pin" Yap Kay tidak bisa mengenalinya.
Terpaksa dia ikuti langkah orang, langkah orang gemulai dan enteng. Tiba-tiba timbul perasaan yang tak bisa
terlukiskan dalam benak Yap Kay, sebentar mengharap
perempuan ini adalah Ting Hun-pin, namun juga mengharap bukan.


Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jikalau dia benar Ting Hun-pin, setelah mereka bertemu, bagaimana perasaan hatinya" Apa pula yang harus
diperbincangkan" Kalau dia bukan Ting Hun-pin, memangnya siapa dia"
Kali ini Yap Kay tidak mundur, juga tidak menyingkir. Dia tahu perduli orang ini Ting Hun-pin atau bukan, pasti banyak omongan yang hendak dibicarakan dengan dirinya.
Pelan-pelan orang itu melangkah ke depan, tanpa
berhenti juga tidak berpaling. Setelah menyusuri sebuah jalan panjang, membelok ke jalan lain yang panjang pula.
Tiba-tiba dia membelok ke sebuah gang sempit di pinggir sana. Gang kecil yang sempit.
(Bersambung ke Jilid-14)
Jilid-14 Waktu Yap Kay memburu ke sana, hanya melihat
bayangannya berkelebat, terus memasuki sebuah pintu
sempit pula, daun pintu hanya setengah dirapatkan. Di lihat dari luar, rumah ini hanya tempat tinggal orang awam biasa saja, pintu itu penuh ditaburi debu dan gelagasi (sawang laba-laba), jelas sudah lama tidak dibersihkan.
Begitu tiba di depan pintu, jantung Yap Kay mulai
berdetak. Tiba-tiba teringat olehnya bahwa dia pernah
datang ke tempat ini, sekarang tak usah dia menerobos
masuk, dia sudah tahu siapa orang yang membawanya
kemari. Cui Giok-tin. Di tempat inilah orang tempo hari membawa Yap Kay merawat luka-lukanya di sini. Terbayang akan
kejadian hari itu, kembali timbul suatu perasaan yang tak bisa dilukiskan dalam benak Yap Kay. Entah hatinya senang"
Hambar" Atau kecewa" Yang menggembirakan adalah bahwa
Cui Giok-tin ternyata masih hidup. Hambar karena kejadian manis itu sudah lama berselang, impian manis sudah tak bisa dikejar. Lalu apakah yang dia kecewakan" Apakah relung hatinya yang paling dalam masih mengharapkan dia, yang adalah Ting Hun-pin"
ooo)dw(ooo Impian lama bukannya tak mungkin di kenang kembali,
sedikitnya di dalam hawa sedingin ini dia masih bisa sedikit membayangkannya.
Hembusan angin datang dari pekarangan belakang lewat
dapur terus ke depan, di tengah angin lalu ini, lapat-lapat tercium bau masakan bubur ayam harum. Tak urung teringat oleh Yap Kay akan kejadian pagi itu, waktu itu diapun
mencium bubur ayam, lamunannya tengah membayangkan
suguhan semangkok bubur ayam yang masih panas dengan
asap kemepul menimbulkan seleranya, diangsurkan ke
hadapannya oleh sepasang tangan yang halus elok. Siapa tahu bubur ayam itu tahu-tahu terbang masuk dari luar
pintu. Bukan tangan halus nan lembut yang dia lihat, tapi adalah tangan berlepotan darah yang piranti untuk
membunuh orang, Jik-mo-jiu, tangannya Ih-me-gao. Sejak hari itu, dia lantas menghilang tak keruan paran, sungguh tak nyana hari ini dia bisa bertemu lagi.
Dengan menghela napas Yap Kay mendorong pintu,
melangkah masuk ke dalam rumah. Almari kecil pendek itu masih tetap berada di tempatnya, sampaipun cahaya
matahari yang menyorot masuk dari pojok rumahpun tiada ubahnya dengan tempo hari. Entah kondisi badan Yap Kay masih lemah sehabis dihajar orang, atau memang hatinya
lemas, setelah masuk langsung dia merebahkan diri ke atas ranjang. Bantal yang dia tiduri masih berbau wangi dari rambutnya. Betapapun kehidupan dua hari yang tentram itu takkan terlupakan selama hidupnya. Dia jadi berpikir-pikir, jikalau hari itu Cui Giok-tin tidak mengalami sesuatu, apakah sampai sekarang dia masih akan menemani dirinya di sini"
Terdengar derap langkah lirih di luar pintu, tampak dia melangkah masuk dengan membawa sebuah mangkok berisi
bubur yang panas kemepul. Dengan senyuman manis mekar
dia melangkah mendekati dengan gemulai. Inilah keadaan yang dihadapi Yap Kay pada pagi hari itu, Cuma sekarang entah sudah berapa lama berselang sejak kejadian hari itu"
Peristiwa apa pula yang telah dialaminya"
Kalau keadaan sekarang masih tetap seperti tempo hari, namun perasaan masing-masing sudah jauh berbeda.
Memangnya siapa dalam dunia ini yang mampu menarik
kembali sang waktu yang telah lewat"
Yap Kay unjuk senyum dipaksakan, sapanya: "Selamat pagi?"
"Selamat pagi!", sahut Cui Giok-tin tersenyum lembut,
"buburnya sudah matang, apa kau makan sambil tiduran saja?"
Yap Kay manggut-manggut.
Maka bubur panas yang hangat dan wangi itu, sesendok
demi sesendok dilolohkan ke dalam mulutnya oleh sebuah jari-jari tangan yang halus elok.
Yap Kay memang amat memerlukan makanan, perutnya
sudah berontak, sehingga badannya lunglai. Bubur itu tak
ubahnya dengan bubur ayam yang pernah dilalapnya habis tiga mangkok tempo hari, namun sekarang dia hanya
mencicipi beberapa sendok lantas dia tidak kuasa
menelannya lagi.
Cui Giok-tin menatapnya, katanya lirih: "Semalam tentu kau mabuk tak sadarkan diri.........."
Yap Kay tertawa ewa, sahutnya: "Memang, aku mabuk seperti anjing sekarat!"
Lama Cui Giok-tin mengawasinya, akhirnya menghela
napas, ujarnya: "Jikalau kau mabuk, akupun akan mabuk."
"Kau tahu akan peristiwa semalam?"
"Sebetulnya belum tahu," ujarnya.
Sorot matanya yang indah cemerlang tiba-tiba berubah
menunjukkan kepedihan dan duka, pelan-pelan dia mulai
menceritakan pengalamannya.
"Pagi hari itu, aku ditangkap Ih-me-gao dan dipaksa pulang ke tempat Giok-siau, dia lantas..... aku dilarang keluar lagi. Kukira hidupku ini pasti akan berakhir. Sungguh tak terpikir olehku, gembong iblis itu akhirnya mampus juga di tangan orang lain."
"Begitu Giok-siau mati, kau lantas kemana?" tanya Yap Kay.
"Begitu mendengar kabar kematiannya, para saudara seperti burung-burung yang terlepas dari kurungan,
siapapun ingin terbang bebas ke tempat jauh, setiap orang membagi harta dan uang peninggalan Giok-siau. Dalam
jangka satu jam, mereka sudah bubar dan terpencar, hanya aku...."
Sampai di sini Cui Giok-tin menunduk kepala tidak
melanjutkan ceritanya.
Hanya dia yang tidak pergi, karena dia masih tak bisa
melupakan Yap Kay, maka dia kembali pulang ke tempat ini.
Ingin dia menemukan kembali impian lamanya yang semanis madu. Sudah tentu dia tidak utarakan isi hatinya, namun Yap Kay sudah mengetahuinya.
"Seorang diri aku mengeram di dalam rumah ini sehari penuh, bukan saja tidak ingin keluar, juga tidak mau tidur,"
dia tertawa, tertawa getir, "sebetulnya aku sudah tahu kau tidak akan kembali ke tempat ini."
Betapa hati Yap Kay takkan mendelu mendengar
ucapannya ini, tiba-tiba disadarinya bahwa dirinya memang seorang laki-laki yang tak mengenal kasih. Memang tidak pernah terpercik pikirannya untuk kembali ke tempat ini.
"Sampai kemarin pagi, aku mendengar suara petasan yang ramai di luar, baru aku ingat hari itu tanggal satu tahun baru." demikian dia melanjutkan ceritanya, "sudah tentu aku tidak ingin kelaparan di dalam rumah, akhirnya aku keluar juga keluyuran di jalan raya, tapi tak terpikir olehku, begitu aku keluar, lantas aku mendapat kabar yang menakutkan."
"Kabar apa?"
"Kudengar kabar bahwa nona Ting Hun-pin hendak
menikah." "Kabar ini tidak perlu dibuat takut." ujar Yap Kay tertawa dipaksakan.
"Tapi...." Cui Giok-tin menunduk, "waktu itu aku kira dia...
dia hendak menikah dengan kau."
Bila seorang gadis mendengar laki-laki idamannya hendak menikah, sudah tentu berita ini dianggapnya amat
menakutkan. Yap Kay dapat memaklumi perasaan orang, dia sendiri
dulu pernah mengalami kejadian ini, maka dia menghela
napas rawan. "Kudengar pula bahwa nona Ting hendak menikah dengan seorang laki-laki yang terluka, maka aku lebih yakin bahwa pengantin laki-lakinya pasti kau. Waktu itu meski hatiku mendelu, namun aku mengharap bisa melihatmu sekali lagi di perjamuan, maka aku membawa kado, ku antara ke hotel
Hong-ping."
Yap Kay tertawa getir, diapun mengirim kado, kado yang luar biasa. Setelah tahu akan kabar pernikahan Ting Hun-pin, maka dia lantas berkeputusan untuk berusaha berdaya mengobati luka-luka Kwe Ting. Sayang dia sendiri tidak punya kemampuan dalam bidang ini, maka di dalam waktu
semalam itu, dia berlari tujuh ratus li pulang pergi,
mengundang Kek Pin datang.
Cui Giok-tin menggigit bibir, katanya pula: "Tapi setelah malam tiba, aku tak berani hadir dalam perjamuan itu."
"Kau tidak berani?" Yap Kay menegas, "apa yang kau takuti?"
"Aku.......mendadak aku takut menemuimu."
"Jadi waktu itu kau belum tahu bahwa pengantin laki-laki bukan aku?"
"Belum tahu! Maka aku lantas mengeram diri di dalam rumah. Ku beli sedikit arak, kuminum sendiri di sini, kupikir, bolehlah anggap akupun sedang minum arak perjamuan
perkawinan kalian."
Seperti ditusuk hati Yap Kay, katanya: "Jikalau aku tahu kau berada di sini, aku pasti kemari menemani kau."
Cui Giok-tin akhirnya tertawa manis. Lama sekali baru dia menambahkan: "Setelah minum arak, tak tertahan besar keinginanku untuk menengokmu."
"Kau pergi tidak?"
"Lama aku bimbang, pulang pergi tak bisa ambil
keputusan, bukan saja aku kuatir aku takkan bisa menahan emosi setelah melihat kalian, namun jikalau untuk selamanya aku takkan melihatmu lagi, akupun tidak rela. Akhirnya aku berkeputusan juga."
"Keputusan apa?"
"Umpama tidak hadir dalam perjamuan pernikahan itu, cukup asal aku mengintip dari luar saja."
"Dan kau pergi juga kesana?"
"Kemarin adalah tanggal satu tahun baru. Setelah hari menjadi gelap, jalan raya menjadi sepi tiada orang lewat, lama aku keluyuran di jalan-jalan raya, baru memberanikan diri, menyusup masuk dari belakang hotel. Tapi begitu aku berada di dalam, aku lantas mendapat firasat jelek karena keadaan teramat ganjil."
"Apanya yang ganjil?"
"Hotel sebesar itu dalam suasana perjamuan lagi, kenapa sunyi senyap tak terdengar suara apa-apa" Bukan saja tidak mirip adanya perjamuan pernikahan, umpama keluarga yang sedang berkabungpun tidak sesunyi itu."
Yap Kay merasakan keganjilan ini, tanyanya: "Aku tahu yang hadir dalam perjamuan itu tidak sedikit jumlahnya, bagaimana mungkin tidak terdengar suara apapun?"
"Akhirnya aku sampai ruangan perjamuan di mana upacara sembahyang bagi kedua mempelai diadakan. Waktu aku
melongok ke dalam dari luar jendela....." tiba-tiba terunjuk mimik ketakutan yang mengerikan, seperti melihat
pemandangan yang seram, ngeri dan menakutkan sekali.
"Apakah yang kau saksikan?" tanya Yap Kay dengan tegang.
"Aku......aku...." suaranya gemetar, lama sekali baru dia kuat melanjutkan, "kulihat ruang perjamuan itu penuh ditaburi darah segar yang muncrat kemana-mana, mayat-mayat bergelimpangan, tiada seorangpun yang ketinggalan hidup."
Yap Kay melongo. Seolah-olah badannya mendadak
kejeblos ke dalam jurang neraka yang gelap-gulita.
"Waktu itu aku kira kaupun berada di dalam, maka tanpa hiraukan apa akibatnya, segera aku menerjang masuk,"
sampai di sini dia menghela napas lirih, katanya menyambung
: "Sampai pada waktu itu, baru aku tahu, nona Ting bukan hendak menikah dengan kau."
"Kau.....kau melihat pengantin prianya", suara Yap Kay gemetar, "dia sudah mati?"
Cui Giok-tin manggut-manggut, sahutnya: "Kematiannya amat mengenaskan."
"Lalu Ting Hun-pin?", walau tidak bertanya, tak tertahan Yap Kay bertanya juga, "apakah dia juga......."
"Dia tidak mati, waktu itu hakikatnya dia tiada dalam ruang perjamuan itu."
Yap Kay menghela napas panjang, sedikitnya lega hatinya, namun dia keheranan dibuatnya. Setelah dia berpisah
dengan Ting Hun-pin, apakah dia langsung pulang" Kwe Ting dan lain-lain bagaimana bisa mati seluruhnya" Siapakah pembunuh kejam ini" Orang yang hadir dalam perjamuan itu tidak sedikit jumlahnya, tidak banyak orang yang mampu menurunkan tangan sekeji itu terhadap sekian banyak
orang. "Walau waktu itu aku amat kaget dan mengkirik
ketakutan, tapi setelah melihat kau tidak di antara mayat-mayat itu, legalah hatiku."
Tiba-tiba Yap Kay bertanya: "Adakah kau melihat empat orang yang berpakaian kuning emas?"
"Aku tidak memperhatikan orang lain, juga tidak berani menelitinya satu persatu," namun sebentar dia berpikir, lalu berkata pula: "Tapi di antara mayat-mayat yang
bergelimpangan itu, memang seperti ada beberapa orang
yang mengenakan jubah kuning."
Bertaut alis Yap Kay, katanya: "Kalau merekapun mati, lalu siapakah pembunuhnya?"
"Akupun tidak habis mengerti, dalam dunia ternyata ada manusia seganas ini, yang terpikir olehku hanya lekas-lekas
meninggalkan tempat yang mengerikan itu. Tak nyana baru saja aku hendak berlalu, tiba-tiba kudengar suara lambaian pakaian dari orang-orang yang berjalan malam. Karena
tempat itu memang terlalu sunyi, maka aku bisa
mendengarnya dengan jelas, bukan saja gerak-gerik para pendatang itu cepat dan tangkas, malah bukan hanya
seorang saja."
Terbeliak mata Yap Kay, katanya: "Mungkinkah para pembunuh itu putar balik kembali?"
"Waktu itu akupun menduga demikian, saking ketakutan sampai kakiku terasa lemas lunglai, maka aku tidak berani tinggal lama-lama di sana, jikalau diriku dilihat mereka, celakalah jiwaku, untung aku ada sedikit belajar silat. Dalam gugupku, ilmu silatku naga-naganya jauh lebih maju dari biasanya, sekali lompat, ah, begitu tinggi."
'Apakah kau melompat naik ke atas belandar di tengah
ruang perjamuan itu?"
"Aku sembunyi di atas, napaspun kutahan-tahan, namun tak tertahan aku melongok ke bawah."
"Apa yang kau lihat?"
"Kulihat beberapa orang yang berpakaian serba kuning begitu menerjang masuk dari luar, mereka bekerja cepat dan cekatan. Satu-persatu mayat-mayat itu mereka lempar keluar lewat jendela, kelihatannya ada orang yang
menampani di luar jendela. Dalam waktu sekejap, mayat-
mayat yang memenuhi rumah itu sudah diangkut mereka
seluruhnya."
Membesi hijau muka Yap Kay, tanyanya: "Kau melihat jelas bila mereka benar-benar mengenakan seragam
kuning?" "Aku melihat dengan jelas, karena warna kuning mereka teramat menyolok di bawah pancaran sinar api, kelihatan kemilau seperti sinar emas murni."
Terkepal tinju Yap Kay, desisnya: "Ternyata memang merekalah yang turun tangan sekeji ini."
"Tapi aku tidak melihat mereka membunuh orang."
"Kalau bukan mereka yang membunuh, buat apa mereka wakili pembunuh mengangkuti mayat-mayat itu?"
"Setelah mereka membunuh orang, apakah hendak
melenyapkan mayat-mayat itu?"
"Membunuh orang menutup mulutnya, menghilangkan
mayat-mayat melenyapkan jejak, memang merupakan sepak
terjang Kim-ci-pang yang paling menonjol."
"Kim-ci-pang?" tanya Cui Giok-tin tidak mengerti, "orang macam apakah Kim-ci-pang itu?"
"Mereka bukan manusia."
Melihat muka orang yang murka, Cui Giok-tin tidak berani bertanya pula. Sesaat dia ragu-ragu, lalu katanya:
"Belakangan aku melihat nona Ting pula."
"Dimana kau melihatnya?" hampir berteriak pertanyaan Yap Kay.
"Di sana juga!"
"Dia kembali pula?"
"Setelah orang-orang jubah kuning membersihkan mayat-mayat itu, dia kembali pula."
"Waktu itu kau belum menyingkir?"
"Aku sudah ketakutan sampai lemas di atas belandar, setengah harian aku menyembunyikan diri di sana, baru saja aku sempat ganti napas, mereka lantas datang."
"Mereka" Jadi dia tidak seorang diri?"
"Masih ada seorang lain."
"Siapa orang itu?"
"Seorang tua yang aneh dandanannya, tengah malam kok membawa payung."
"O, kiranya Kek Pin." Yap Kay mengerti.
"Kau mengenalnya?"
"Bukan saja kenal, malah dia teman lamaku."
Cui Giok-tin menghela napas, katanya: "Kalau begitu sekarang temanmu berkurang satu lagi."
Berubah muka Yap Kay, serunya: "Diapun mati?"
"Kematiannya amat mengenaskan."
"Siapa yang membunuhnya?"
"Merekapun amat heran waktu mendapatkan mayat-
mayat itu sudah dipindah bersih, namun mereka tidak
berhenti lama, juga tidak menemukan aku yang berada di atas belandar."
"Belakangan bagaimana?"
"Begitu mereka pergi, aku lantas melorot turun. Tiba-tiba kudengar ada orang meniup seruling di luar, merekapun mendengar suara seruling ini, segera berlari balik, setelah ubek-ubekan di pekarangan, meraka lantas mengejar ke luar tembok."
"Dan kau?"
"Kulihat sikap mereka amat prihatin dan tegang, timbul juga rasa ketarikku."
"Maka kaupun mengintil di belakang mereka?"
"Aku tidak menguntit mereka, hanya sembunyi di atas tembok mengawasi keluar."
"Apa pula yang kau saksikan?"
"Di luar terdapat sepucuk pohon, kelihatan ada lampion yang tergantung di sana, di bawahnya berdiri satu orang."
"Siapa dia?"
"Jarakku terlalu jauh, tidak melihat jelas, untung waktu itu hening lelap, maka percakapan mereka dapat kudengar jelas sekali."
"Apa saja yang mereka bicarakan?"
"Setelah nona Ting mendekati, kelihatannya dia menjerit kaget, lalu tanya apakah orang itu adalah Pu............."
"Putala?" teriak Yap Kay.
Cui Giok-tin manggut-manggut, "Benar Putala, kudengar nona Ting menyebut nama ini."
"Bagaimana jawaban orang itu?"
"Dia mengakui, dikatakan pula bahwa dirinya ibarat sebuah puncak tunggal yang amat tinggi."
"Hu-hong Thian-ong?"
"Belakangan baru aku tahu orang itu ternyata adalah salah satu dari Su-thoa-thian-ong dari Mo Kau."
"Apakah Kek Pin mati di tangannya?"
"Demi menolong nona Ting, baru Kek-lo-sian-sing terkena sekali pukulan telapak tangannya, tapi orang itupun terkena senjata rahasia Kek-lo-sian-sing. Ku dengar Kek-lo-sian-sing ada memberitahu kepada nona Ting, bahwa senjata
rahasianya itu teramat lihay." sampai di sini Cui Giok-tin menghela napas lalu menyambung, "tapi pukulan telapak tangannya itu lebih menakutkan, Kek-lo-sian-sing hanya kena sedikit tepukannya, jiwanya sudah tidak tertolong lagi."
Yap Kay terbeliak lagi. Dia cukup mengerti di mana
tingkat kepandaian ilmu silat Kek Pin, juga tahu sampai dimana kelihayan ilmu pengobatan Kek Pin. Dengan bekal ilmu silat dan ilmu pengobatannya, umpama benar ada orang melukai dia, tentunya dia cukup mampu untuk menolong
jiwanya sendiri.
Sungguh Yap Kay tidak mau percaya bahwa dalam dunia
ini betul-betul ada pukulan telapak tangan selihay itu.
Masakah hanya sekali tepuk, jiwa dan sukma Kek Pin
terpaksa berpisah.
"Tapi dengan mata kepalaku sendiri aku menyaksikan Kek-lo-sian-sing terjungkal roboh, tepat roboh di tempat di mana pengantin pria roboh juga."
Ceritanya ini agaknya masih terdapat sisipan yang
dipersingkat. Kecuali pengantin pria pertama, apakah masih ada pengantin pria kedua"
Hal ini orang lain mimpipun takkan mengiranya, tapi Yap Kay justru dapat merabanya. Dia cukup memahami hati dan jiwa Ting Hun-pin, seperti pula dia memahami dirinya
sendiri. Maka Yap Kay tidak merasa heran atau di luar
dugaan setelah mendengar cerita Cui Giok-tin. Malah Cui Giok-tin sendiri merasa di luar dugaan. Dia kira siapapun bila mendengar kejadian ini, sedikit banyak pasti keheranan dan menunjukkan reaksinya.
Tapi Yap Kay hanya menghela napas, katanya: "Aku tahu dia pasti akan berbuat demikian?"
"Kau tidak menyalahkan dia?" tanya Cui Giok-tin.
"Jikalau kau adalah dia, aku percaya kaupun akan berbuat demikian, karena kalian adalah gadis bajik dan bijaksana yang mempunyai ketulusan luhur. Kalian sama-sama rela
mengorbankan diri sendiri demi orang lain, betapapun kalian tidak akan tega melihat orang lain menderita."
Suara Yap Kay menjadi lembut dan hangat, karena di
dalam hatinya hanya ada cinta kasih dan rasa prihatin, tiada terkandung rasa cemburu dan asal menyalahkan.
Sudah tentu Cui Giok-tin tahu, terhadap siapa rasa
prihatin dan cinta kasih itu ditujukan. Tak tertahan dia menghela napas, katanya menunduk: "Sayang sekali aku bukan dia, aku..........."
Yap Kay tidak biarkan orang bicara lebih lanjut, tanyanya tegas-tegas: "Waktu kau pergi, dia masih berada di tengah kobaran api itu?"
Cui Giok-tin manggut-manggut, katanya dengan tertawa
dipaksakan: "Tapi kau boleh tidak usah kuatir, sekarang dia pasti masih hidup segar bugar."
"Karena di dalam puing-puing itu tidak ditemukan
mayatnya." ujar Yap Kay.
"Dan karena dia memang gadis bajik yang bijaksana, orang baik pasti dilindungi Yang Kuasa. Aku percaya lekas sekali kalian pasti akan bertemu."
Yap Kay berpaling, dia tidak tega melihat mimik muka
orang. Cahaya surya cemerlang di luar jendela, musim semi
kelihatannya sudah akan kunjung tiba. Tiba-tiba dia berdiri melangkah kesana mendorong daun jendela, gumamnya:
"Apapun yang terjadi sekarang aku sudah mendapatkan dua kepastian."
Cui Giok-tin diam saja, dia sedang mendengarkan.
"Perduli Putala itu siapa, sekarang pasti sudah terluka, tidak sukar untuk menemukan dia."
"Kau ingin mencarinya?"
"Tapi aku akan mencari seseorang yang lain."
"Mencari siapa?"
"Pembunuh kejam itu."
"Kau......sekarang juga kau hendak pergi?"
"Sekarang juga aku harus pergi," ujar Yap Kay mengeraskan hati, "kau......kau boleh menungguku di sini, aku pasti kembali."
Sebenarnya hatinya tidak tega, suaranyapun sudah serak.
Cui Giok-tin menunduk mengawasi kakinya, lama sekali
baru dia bersuara: "Kau tidak usah kembali kemari."
"Kenapa?"


Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Karena aku..... tidak akan menunggumu di sini."
Suaranyapun mulai gemetar serak.
Tak tahan Yap Kay berpaling, tanyanya: "Kenapa?"
Semakin dalam kepala Cui Giok-tin, katanya sepatah demi sepatah: "Karena aku bukan dia, aku...."
Dia tidak melanjutkan kata-katanya, kata-katanya
menghancurkan sanubarinya sendiri.
Hati Yap Kay seperti ditusuk sembilu.
"Kau hendak kemana?", tanyanya kemudian.
"Banyak tempat bisa kudatangi. Memang aku sudah ada minat untuk pergi kemana-mana, kelak......." dia tahan air matanya, mengunjuk senyuman dipaksakan, "mungkin aku bisa bertemu dengan laki-laki jujur, pandai dan rajin
bekerja, menikah sama dia, akan kulahirkan putra-putri yang banyak, mungkin juga aku akan membuka sebuah
warung arak. Biarlah aku jadi nyonya majikan yang selalu menunggu tungku menghangatkan arak......"
"Di kala itu pasti aku akan berkunjung ke warung arakmu dan minum sampai mabuk," ujar Yap Kay tertawa.
Tawanyapun dipaksakan, karena dia kuatir bila dia tidak tertawa, air mata sendiripun mungkin sudah bercucuran.
Cui Giok-tin tersenyum gembira, katanya: "Tatkala itu aku pasti akan masak semangkok bubur ayam dengan kuah
kolesom, atau bubur ayam sarang burung."
Diapun tertawa, tapi air mata sudah meleleh membasahi
pipi. ooo)dw(ooo Cahaya matahari terang benderang.
Yap Kay tengah melangkahkan kakinya di bawah terik
matahari ini. Walau mukanya sudah tiada bekas-bekas air mata, namun
dia tahu air mata dan darah segar lekas sekali akan menjadi kering di tingkah terik matahari.
Kalau air mata tidak berbekas, sebaliknya darah tetap
meninggalkan noktah-noktah hitam dan noktah-noktah
hitam ini akan bisa tercuci bersih kecuali dengan air mata darah pula.
Hutang darah di bayar darah hutang jiwa dibayar jiwa.
Selamanya Yap Kay mengutamakan 'pengampunan' untuk
menghadapi dendam kesumat, pisaunya selama ini tak
pernah membunuh orang yang tidak perlu di bunuh. Tapi kini sanubarinya dibakar oleh dendam, diliputi amarah sakit hati yang menyala-nyala.
Mendadak dia menyadari bahwa dirinya tak ubahnya
seperti boneka kayu yang lucu dan menggelikan, selalu diikat
seutas benang yang tidak kelihatan oleh seseorang, dijinjing di tangannya.
Sudah tentu dia tidak sudi dipermainkan begitu rupa,
sudah tentu lebih tidak sudi diperalat oleh orang lain. Tiada manusia dalam dunia ini yang sudi dijadikan boneka.
Siapapun dan betapapun besar kesabarannya pasti ada
batasnya juga, demikian pula Yap Kay adanya.
ooo)dw(ooo Bumi nan luas yang semula ditaburi bunga salju, kini mulai menunjukkan muka aslinya yang gundul gersang oleh
teriknya matahari.
Jalan besar yang becek di luar kota Tiang-an kini sudah kering, namun tetap tidak kelihatan ada orang lewat di jalan raya untuk menempuh perjalanan. Memangnya siapa yang
mau tanpa keperluan penting menempuh perjalanan jauh di jalan raya yang kering kerontang di bawah terik matahari".
Hanya Yap Kay. Dia sudah mendapatkan sebuah kereta,
namun tiada orang yang pegang sais. Tapi dia tidak perduli.
Dia merebahkan diri di dalam bagasi kereta arang yang
terbuat dari kayu keras dan kotor itu.
Keledai dibiarkan jalan sesukanya menuju arah menyusuri jalan raya ke luar kota. Arang yang keras terasa menusuk kulit punggungnya, namun dia tidak memperdulikan juga.
Keledai penarik kereta ternyata jalannya tidak pelan,
tanpa sais dan tidak ada orang yang menggebahnya lari
dengan cemeti, namun di bawah teriknya matahari ini, dia malah menarik kereta lebih cepat, lebih semangat dan
mengerahkan setaker tenaganya.
Keledai memang begitulah sifatnya. Anehnya kebanyakan
manusia di dalam dunia ini memiliki watak dan karakter yang mirip keledai.
Sebelum berangkat tadi, Yap Kay ada mampir ke sebuah
warung membeli sebungkus kacang kulit. Sambil rebah di dalam kereta, satu persatu dia menguliti kacang, setiap butir kacang dia lempar ke atas terus mulutnya terbuka mencaplok kacang yang meluncur jatuh lalu pelan-pelan
mengunyahnya. Dia sendiri tidak tahu sejak kapan dia
mempunyai kebiasaan seperti ini, mungkin memang benaknya belum melupakan Liok Siau-ka si ahli pedang yang selalu mengunyah beberapa butir kacang lebih dulu sebelum
membunuh orang. Sayang sekali tiada arak, tadi dia lupa membeli arak.
Di waktu dia teringat akan arak itulah, di kejauhan depan sana dilihatnya selarik ujung kain hijau, melambai tertiup angin di dedaunan lebat di pinggir hutan. Walau hari itu tanggal dua masih dalam suasana tahun baru, namun masih ada juga yang buka toko atau warung untuk cari untung.
Segera terkulum senyuman puas pada muka Yap Kay,
gumamnya seorang diri: "Agaknya nasibku mulai baik kembali."
Bila ingin minum arak segera keinginannya bisa
terlaksana, bukankah itu merupakan suatu rejeki dan nasib yang baik"
Bergegas dia lompat bangun dan menghentikan kereta di
pinggir jalan. Pelan-pelan dia melangkah ke dalam hutan kurma yang masih ditaburi kembang salju.
Betul juga tak jauh dari jalan raya, di tengah hutan
kurma itu terdapat sebuah warung arak kecil. Tampak tujuh delapan orang berdiri di luar warung kecil itu tanpa
bergerak, mata mendelong mulut melongo, seolah-olah
manusia-manusia lempung layaknya. Satu diantaranya ada yang menggubat batok kepalanya dengan selarik kain putih yang terembes darah. Begitu melihat Yap Kay mendatangi, raut mukanya seketika menampilkan rasa ketakutan.
Yap Kay malah tersenyum senang. Dia kenal betul siapa
laki-laki yang dibalut kepalanya ini, karena dia inilah bajingan setempat yang semalam mengajak dirinya duel dan akhirnya mengeroyoknya setelah dirinya mabuk.
"To-pau-cu, To-toako," begitu dekat Yap Kay segera menyapa.
Tiba-tiba Yap Kay ingat panggilan temannya kepada laki-laki ini. Dengan tertawa segera dia menghampiri, katanya:
"To-toako (engkoh gundul) kau sudah tidak mabuk lagi?"
Menghijau muka To-pau-cu (harimau gundul), ingin dia
manggut, namun lehernya seperti mengejang, seluruh
badannya seakan-akan sudah keras seperti kayu yang
dijemur kering. Bukan saja dia, tujuh temannya yang lainpun sama keadaannya.
Yap Kay semakin lebar senyumannya, katanya: "Orang yang dihajar tidak takut, kenapa orang yang menghajar
malah ketakutan" Apakah tulang-tulangku terlalu keras
sehingga tangan kalian kesakitan" Kalau demikian, wah, maaf ya!"
Memang benar rekaan Yap Kay, jari-jari tangan dan
punggung tangan orang-orang itu memang melepuh bengkak
menghijau, rasa sakitnya bukan buatan. Memang, jikalau seseorang sudah berhasil meyakinkan ilmu silat setingkat Yap Kay, walaupun di dalam keadaan mabuk seperti anjing geladak yang tak ingat diri, dia tetap memiliki kepandaian lain untuk melindungi badan.
"Tapi kalian tak usah takut," demikian ujar Yap Kay, "aku kemari bukan mencari perkara dengan kalian, bisa tidur semalam di atas tumpukan sampah, memang rada lucu dan
menggelikan juga, seumur hidup baru pertama kali ini. Aku memang ingin mengucapkan terima kasih kepadamu."
Dia tepuk-tepuk pundak To-pau-cu, katanya pula:
"Marilah, biar aku traktir kalian minum sepuasnya."
Mimik muka To-pau-cu justru semakin pucat dan lebih
menakutkan. "Apa lagi yang masih kau takuti?" tanya Yap Kay.
"Lotoa," ujar To-pau-cu gemetar dengan suara dipaksakan, "kami sudah tahu kau memang berisi, namun bukan kau yang kami takuti."
Yap Kay melenggong. Baru sekarang dia menyadari, bahwa orang takut kiranya bukan menakuti dirinya. Katanya
tertawa getir: "Lalu apa yang kalian takuti?"
To-pau-cu tertawa menyengir, katanya: "Kami hanya takut kau menyentuh barang yang ada di atas kepala kami, kalau sampai barang ini jatuh, kematianlah bagian kami."
Baru sekarang Yap Kay melihat di atas kepala orang-
orang ini semuanya ditaruh sekeping uang logam. Uang
tembaga ini kelihatan ditingkah sinar matahari, mirip benar dengan uang emas.
"Kim-ci-pang?"
To-pau-cu menghela napas lega, katanya:" Kiranya kaupun sudah tahu aturan dari Kim-ci-pang, legalah hatiku."
Yap Kay mengedip-ngedipkan mata, tanyanya: "Aturan apa sih?"
Sebetulnya dia tahu aturan Kim-ci-pang. Uang tembaga di atas kepala mereka ini merupakan lambang mati hidup jiwa mereka, jikalau orang-orang Kim-ci-pang menaruh sekeping uang tembaga ini di atas kepalamu, maka bergerakpun orang tidak akan berani, karena kalau bergerak sampai uang ini jatuh, maka jiwa orang itupun pasti direnggut elmaut.
"Apakah kau tidak tahu, bila kau sentuh uang tembaga di atas kepala kami sampai jatuh, maka matilah kami, demikian pula kaupun harus mati, kita semua harus mati bersama."
Yap Kay tertawa lebar, katanya geleng-geleng: "Ah! Ada-ada saja peraturan ini. Aku tidak percaya!"
Tiba-tiba dia ulur tangan menjemput uang tembaga di
atas kepala To-pau-cu, mulutnya mengguman: "Uang seketip ini, entah laku tidak untuk membeli secangkir arak."
Saking ketakutan pucat dan mendelik kaku mata To-pau-
cu, seperti badannya tiba-tiba dihajar dengan cambuk, tiba-tiba lemas lunglai kedua kakinya, tanpa kuasa dia lutut menyembah di depan Yap Kay.
Yap Kay seperti tidak melihatnya, katanya pula: "Uang seketip tentunya tidak cukup untuk beli arak, untung di sini masih ada yang lain."
Badannya tiba-tiba melambung ke atas, waktu dia
meluncur turun pula, uang tembaga di atas kepala ke tujuh orang itu sudah berada di tangannya.
Sudah tentu orang-orang itu ikut ketakutan dan melongo, selama hidup mereka kapan pernah melihat kepandaian silat orang yang begini lihay dan hebat.
Mendadak To-pau-cu yang berlutut di tanah berteriak
keras: "Kehendaknya sendiri melakukan pembangkangan ini, sedikitpun tiada sangkut-pautnya dengan kami."
Yap Kay tersenyum, katanya: "Memang, hal ini tiada sangkut pautnya dengan kalian." lalu dijemputnya beberapa butir kacang, diletakkan di telapak tangan To-pau-cu,
katanya: "Tahukah kau apakah maksudnya ini?"
Sudah tentu To-pau-cu tidak tahu.
Yap Kay berkata pula: "Itu berarti sekarang kalian boleh berdiri dan masuk ke warung minum arak, atau kemanapun kalian mau pergi terserah. Jikalau orang-orang Kim-ci-pang berani mencari perkara terhadap kalian, suruh mereka
kemari memenuhi Pangcu dari Hoa-seng-pang. Katakan saja bahwa Pangcu dari Hoa-seng-pang telah menangani
persoalan ini."
Tak mengerti maka To-pau-cu bertanya gugup:
"Si......siapakah Pangcu dari Hoa-seng-pang?"
Yap Kay tuding hidungnya sendiri, katanya: "Aku inilah!"
To-pau-cu mendelong melongo.
Tiba-tiba terdengar seseorang berkata dingin: "Baik sekali! Kalau begitu biar sekarang juga kami mencari
perkara kepadamu."
Suara yang dingin, nada yang rendah menggiriskan.
Pembicarapun seorang yang memiliki muka kuning dingin, matanya jalang seperti serigala buas, hidung bengkok
seperti paruh elang, mukanya dihiasi beberapa baris bekas luka-luka bacokan senjata yang melintang, sehingga
kelihatan mukanya yang seram itu lebih menakutkan lagi.
Yap Kay memperhatikan tampang orang. Yap Kay hanya
memperhatikan pakaian yang dikenakan orang itu. Pakaian serba kuning yang menyolok pandangan, di bawah terik
matahari kelihatan seperti emas yang kemilau. Pembicara ini berdiri di undakan batu di depan warung, masih ada tiga orang yang berseragam sama berdiri di sampingnya.
Yap Kay tertawa pula, katanya: "Pakaian yang kalian pakai ini memang baik, entah boleh tidak ditanggalkan dan
diberikan kepadaku. Kebetulan untuk dipakai keledaiku yang kepanasan."
Laki-laki baju kuning menatapnya lekat-lekat, pelan-pelan kelopak matanya memicing, ternyata dia cukup tabah dan sabar, katanya kalem: "Apakah kau belum tahu akan aturan Pang kita?"
"Barusan sudah kudengar."
"Selama empat puluhan tahun, tiada orang Kang-ouw yang berani memandang rendah tata tertib dan aturan Pang kita.
Tahukah kau kenapa demikian?"
"Coba kau katakan, kenapa?"
"Karena siapapun yang berani melanggar aturan Pang kita, maka dia harus mampus."
Seorang baju kuning yang lain menyambung dingin:
"Perduli kau ini Pangcu Hoa-seng-pang atau Kwa-cu-pang, Pangcu lain sama saja, kau harus mampus."
Yap Kay menghela napas, katanya: "Tapi aturan apapun, cepat atau lambat pasti akan dilanggar orang juga, seperti pula seorang gadis pingitan yang perawan ting-ting, akhirnya dia toh harus kawin juga dengan seorang laki-laki."
Orang baju kuning saling pandang, dengan menarik muka, serempak mereka beranjak maju menaiki undakan batu.
Langkah ke empat orang sama-sama berat dan tenang
mantap, terutama laki-laki yang mukanya penuh codet luka-luka, kedua Thay-yang-hiat di pelipisnya keluar, otot-otot hijau di kedua tangannya merongkol keluar, agaknya dia ini seorang tokoh kosen dari Bu-lim.
Yap Kay mengawasi tangan orang, tiba-tiba dia bertanya:
"Apakah tuan ini pernah meyakinkan Tay-lik-eng-jiau-kang?"
Laki-laki yang ditanya hanya menyeringai dingin.
"Kulihat codet di mukamu ini, apakah kau ini Thi-bin-eng (Elang muka besi) dari Hoay-se?"
Laki-laki itu tertawa dingin, katanya: "Ternyata tajam juga matamu."
Tiba-tiba Yap Kay menarik muka, katanya: "Tahukah kau orang macam apa sebenarnya Kwe Ting itu?"
"Agaknya pernah kudengar namanya."
"Dia adalah teman baikku."
"Memangnya kenapa kalau temanmu?" tanya Thi-bin-eng.
"Tahukah kau apa aturan Hoa-seng-pang?"
"Ada aturan apa?"
"Aturan Hoa-seng-pang mengatakan, siapapun dilarang membunuh temanku, kalau tidak....."
"Kenapa?"
"Begini." seru Yap Kay. Mendadak dia turun tangan, tinjunya terkepal keras dan terayun menghajar muka Thi-bin-eng.
Thi-bin-eng bukan kaum keroco, dia cukup mempunyai
kepandaian sejati, bukan saja namanya amat tenar dan
disegani di daerah Hoay-se, di kalangan Kang-ouw diapun terhitung tokoh kelas satu, karena dia memang memiliki kepandaian asli.
Eng-jiau-kang yang dia yakinkan memang benar-benar
sudah mendapat warisan dari Eng-jiau-ong yang tulen. Hoay-se-toa-to yang dulu pernah tercantum di dalam buku daftar alat senjata Pek Hiau-seng, walau berhasil membacok luka-luka mukanya, namun dia tidak terbacok mati, malah Hoay-se-toa-to sendiri akhirnya mati oleh kekuatan Eng-jiau-kang yang hebat. Maka julukan Thi-bin-eng dia peroleh karena kemenangannya yang gemilang itu.
Umumnya, Eng-jiau (Cakar elang) amat cepat, demikian
pula matanya amat jeli, tapi begitu dia melihat Yap Kay mengayun tangan, tahu-tahu tinju orang sudah menghajar hidungnya dengan keras.
Dia tidak merasakan sakit. Untuk benar-benar merasakan sakit yang luar biasa adalah kejadian selanjutnya. Kini yang dia rasakan hanyalah pandangannya tiba-tiba menjadi gelap, mendadak kunang-kunang bertebaran di depan matanya,
pelan-pelan menyebar. Dia tidak segera terjungkal roboh.
Setelah badannya melayang setombak lebih menerjang saka salah satu tiang warung kecil itu, baru badannya terpental balik dan roboh terbanting dengan keras. Sampaipun suara remukan dari tulang hidungnya yang terpukulpun dia tidak mendengar, malah orang lain yang mendengar dengan jelas sekali.
Yap Kay awasi muka orang yang hancur, katanya tertawa:
"Ternyata bukan muka besi yang asli, kiranya mukamupun bisa ku pukul hancur."
Ketiga temannya sama kertak gigi, melirikpun tidak
kepada teman yang dihajar itu. Sekonyong-konyong sinar gemerlap kemilau saling samber, tahu-tahu tiga orang
serempak mengeluarkan senjata. Sebilah golok, sebatang pedang, dan sepasang Boan-koan-pit. Dua jurus kemudian Yap Kay sudah tahu, bukan si muka besi yang berkepandaian paling tinggi di antara empat orang lawannya ini, bukan pula si orang tua yang bersenjata sepasang potlot baja, namun justru pemuda yang bersenjatakan pedang.
Ilmu pedang pemuda ini cepat dan ganas, banyak
perubahan dan variasinya. Pedang yang dipakaipun terbuat dari baja pilihan. Tiga belas jurus kemudian Yap Kay tetap belum turun tangan, atau balas menyerang sejuruspun
kepada lawan. Bila dia mau turun tangan, pasti musuhnya tidak akan luput dari hajarannya yang parah.
Saat itulah ia sudah mulai bergerak. Sekonyong-konyong terdengar teriakan kaget disusul tulang rusuk yang remuk, terus suara gebukan yang keras dari jatuhnya sesuatu yang berat. Tahu-tahu si orang tua yang bergaman sepasang
potlot telah tertutuk Hiat-tonya, sedangkan laki-laki yang bersenjata golok memeluk dada meringkel rebah di tanah berkelejetan, goloknya patah jadi dua. Hanya pemuda
bersenjata pedang yang tidak roboh, namun mukanya sudah pucat pias saking kaget dan ketakutan.
Seenaknya saja Yap Kay lemparkan kutungan golok di
tangannya. Mendadak dia bertanya kepada si pemuda:
"Tahukah kau kenapa aku harus mengutungi goloknya?"
Pemuda itu geleng-geleng.
Yap Kay berkata tawar: "Karena serangannya terlalu telengas, maksud serangannya amat jahat pula, manusia
seperti dia hakikatnya tidak setimpal bersenjatakan golok."
Pemuda itu menggenggam kencang pedangnya, tiba-tiba
bertanya: "Kaupun pakai golok?"
Yap Kay manggut-manggut. Mungkin tiada manusia lain
dalam dunia yang benar-benar paham cara bagaimana harus menggunakan golok, tiada orang lain yang lebih mengerti dan menyelami betapa besar nilai dari mutu sebuah golok
daripada Yap Kay.
"Biasanya aku paling menghargai golok." kata Yap Kay,
"jikalau kau sendiri tidak menghargai golokmu, maka tidak setimpal kau pakai golok. Jikalau kau menghargai golokmu, maka dikala kau memanfaatkan nilai-nilainya, maka kau
harus hati-hati dan bertindak sesuai dengan
penghargaanmu."
Pemuda itu menatapnya, sorot matanya berganti dari
rasa ketakutan menjadi rasa heran dan tak mengerti. Dia sudah tahu bahwa Yap Kay seorang yang luar biasa, orang biasa tak mungkin bisa mengatakan pengertian sedemikian tinggi dan luas.
Maka tak tahan dia bertanya: "Siapa kau sebetulnya?"
"Aku she Yap, bernama Kay."
Seketika berubah pula roman muka si pemuda.
"Yap Kay!", jeritnya.
"Benar," ujar Yap Kay, "Yap artinya daun-daun pohon, Kay berarti terbuka, hati riang gembira."
Mendadak si pemuda gunakan gerakan setangkas kera
jumpalitan ke belakang dengan badan berputar seperti
kitiran terus melambung tinggi melesat ke dalam hutan.
Badannya meluncur seperti kera ketakutan dikejar
pemburu. Akan tetapi baru saja kakinya menutul bumi, mendadak
dirasakannya sekujur angin kencang menerjang tiba. Tahu-tahu selarik sinar berkelebat laksana kilat menyambar
melesat lewat dari batok kepalanya, terbang sejauh 5-6
tombak, begitu hebat dan keras kekuatannya. 'Trap...' pisau itu menancap amblas ke dalam pohon, tinggal gagangnya saja yang masih menongol di luar.
Sudah tentu serasa terbang arwah si pemuda saking
kaget, segera dia hentikan aksinya. Tahu-tahu rambutnya sudah terurai awut-awutan, gelang mas yang menggelung
rambut panjangnya ternyata sudah terpapas putus jadi dua.
Sekujur badan serasa dingin mengejang. Selamanya belum
pernah dia melihat sambaran pisau secepat ini. Pisau
terbang. Garan pisau masih bergoyang-goyang, Yap Kay lantas
mendekati, mencabutnya. Sekali tangannya terbalik, tahu-tahu pisau itu sudah lenyap.
Baru sekarang pemuda itu menarik napas panjang, rasa
tegang hatinya mereda.
"Apa benar kau ini Yap Kay?" tanyanya meyakinkan.
"Memangnya siapa lagi kalau aku bukan Yap Kay"
Pemuda itu tertawa getir, katanya: "Kenapa tidak sejak tadi kau katakan?"
Yap Kay tertawa-tawa. Mendadak dia balas bertanya:
"Apakah kau murid Kim-tam Toan-sian-sing?"
"Darimana kau bisa tahu?" tanya pemuda itu kaget.
"Bukankah Thi-bin-eng tadi sudah bilang, pandanganku selamanya tidak pernah meleset?"
Pemuda itu manggut-manggut, ujarnya: "Memang tajam pandanganmu."
"Kau murid ke berapa dari Kim-tam Toan-sian-sing?", tanya Yap Kay.
"Murid ke tiga!"
"Kau she apa?"
"She sip, bernama Bin."
"Pernahkah kau jadi sais kereta?"
"Tidak!"
"Aku tahu kau tidak pernah," ujar Yap Kay tertawa-tawa,
"tapi kerja apapun memang harus ada permulaannya.", lalu lanjutnya: "Bawa aku menemui Siangkwan Pangcu kalian, perduli di manapun dia berada, kau harus membawaku
menemukan dia." Itulah permintaan Yap Kay.
Kembali Yap Kay rebah di dalam tumpukan arang,
matanyapun sudah terpejam. Dia tahu pemuda ini pasti tiada pikiran untuk melarikan diri, orang pasti patuh mendengar petunjuknya. Memangnya siapapun setelah melihat pisau
terbangnya, pasti tidak akan berani melakukan sesuatu yang bodoh, apalagi membahayakan jiwa sendiri.
Ternyata Sip Bin benar-benar pegang sais mengendarai
kereta itu menempuh perjalanan. Kerja ini baru pertama kali ini dia lakukan seumur hidup. Kini setelah ada orang pegang kendali dan mengayunkan cambuknya, keledai itu malah
menjadi malas dan perlahan-lahan jalannya.
Entah sejak kapan Yap Kay mulai kebiasaannya pula
menguliti kacang, biji kacang dia lempar lalu di caplok oleh mulutnya. Mendadak dia bersuara: "Khabarnya Kim-tam Toan-sian-sing adalah seorang yang mengutamakan makanan dan pakaian, apa benar?"
"Ehm," Sip Bin menjawab dengan suara dalam
tenggorokan.

Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kabarnya murid-murid yang dia terima, semuanya adalah anak atau putra-putra hartawan yang mempunyai kedudukan tinggi dan disegani."
"Ehm" kembali Sip Bin hanya mengiyakan saja.
"Dan kau juga?"
"Ehm", agaknya Sip Bin ogah membicarakan riwayat hidupnya sendiri. Yap Kay justru mempersoalkan hal ini.
"Kau tidak senang akan menyinggung persoalan ini, apakah kaupun merasa segan bicara?"
Akhirnya Sip Bin terpaksa bicara: "Kenapa harus segan bicara?"
"Karena kaupun tahu, mengandal perguruan dan keluarga besarmu, tidak pantas kau terima menjadi budak di dalam Kim-ci-pang."
Merah muka Sip Bin, katanya membantah: "Aku bukan budak."
"Akupun tahu bahwa kau masuk ke Kim-ci-pang maksudmu adalah untuk melepaskan diri dari belenggu keluarga, kau ingin berjuang dan mengangkat nama demi kehidupan masa depanmu sendiri, memang setiap pemuda harus mempunyai
pambek dan cita-cita." Dengan tertawa-tawa Yap Kay menambahkan dengan tawar: "Tapi apa yang kau lakukan sekarang tak ubahnya seperti budak."
"Ini lantaran kau............." Sip Bin ingin membantah dengan muka merah.
"Benar, akulah yang suruh kau melakukan." ujar Yap Kay,
"tapi menaruh uang tembaga di atas kepala orang lain, apakah itu bukan kerja seorang budak?"
Terkancing mulut Sip Bin, dia tak bisa menjawab.
"Apalagi aku suruh kau mengerjakan tugasmu sekarang, karena kau memangnya sudah jadi budak Kim-ci-pang, kalau
tidak kau lebih suka jadi kedelai, biar aku menunggangi di punggungmu saja."
Semakin merah padam muka Sip Bin, sorot matanyapun
menampilkan rasa duka dan derita.
Tiba-tiba Yap Kay bertanya pula: "Tahukah kau kenapa tadi aku menimpukkan pisau terbangku?"
Sip Bin ragu-ragu, katanya pelan-pelan: "Akupun pernah mendengar pisaumu jarang membunuh orang, namun untuk
menolong sesama umat manusia."
"Benar! Timpukan pisauku tadi adalah supaya kau tahu, di dalam Kim-ci-pang, kau tetap tidak akan bisa melakukan kerja besar."
Sip Bin kertak gigi, katanya: "Mungkin lantaran ilmu silatku......."
Yap Kay segera menukas: "Seseorang apakah dia
mendapat kehormatan dari orang lain, bukan tergantung
ilmu silatnya. Kedua hal ini hakikatnya tiada sangkut
pautnya. Jikalau kau melakukan suatu kerja besar yang
terang gamblang, pasti takkan ada yang memandang rendah dirimu. Demikian pula pisauku, tidak akan terbang di atas kepalamu." setelah menghela napas dia menyambung: "Kalau tidak umpama aku tidak membunuhmu, cepat atau lambat
kau tetap akan terbunuh oleh orang lain."
Kembali mulut Sip Bin terkancing rapat. Kini dia sudah memaklumi apa maksud Yap Kay dengan uraiannya. Yap Kay pun tahu, dia bukan pemuda yang goblok.
"Aku percaya kau pasti tidak akan bikin aku kecewa." Yap Kay menambahkan. Lalu dia menguliti sebutir kacang
dilempar ke atas, menunggunya melayang jatuh. Dia tahu kalau biji kacang itu dia lempar ke atas, akhirnya pasti akan melayang jatuh.
Kereta kedelai itu sudah beranjak di jalan raya yang
mirip dengan jalan yang berada di kota Tiang-an. Cuma hotel Hong-ping yang ada di jalan raya ini tidak terbakar seperti yang ada di kota Tiang-an, yang tinggal tumpukan puing.
Sambil mengawasi hotel Hong-ping yang kemilau
ditingkah sinar matahari, kembali timbul perasaan aneh dalam benak Yap Kay, seperti melihat seseorang yang sudah ajal tiba-tiba hidup kembali. Kenyataannya dia memang
pernah melihat seseorang yang hidup kembali sesudah mati.
Ada kalanya segala kejadian di dalam kehidupan manusia bermasyarakat ini memang mirip sebuah impian, entah tulen atau palsu, memang jarang orang bisa membedakannya.
Kalau hati Yap Kay tengah berkeluh-kesah, namun
mukanya tengah tersenyum. Dia tahu orang-orang di pinggir jalan tengah mengawasi dirinya. Waktu itu kebetulan tengah hari, jadi orang-orang yang ada di jalan raya tidak banyak, seperti pula keadaan di kota Tiang-an, kebanyakan orang banyak menyekap diri di dalam rumahnya untuk makan dan istirahat.
Tapi orang-orang yang mondar-mandir di jalan raya ini, semua bersikap serius, kelihatannya semua tegang hati, seolah-olah sudah tahu bahwa sesuatu kejadian besar akan terjadi, sehingga sanubari mereka dirundung firasat jelek.
Yap Kay tahu, memang di sini sudah terjadi sesuatu
peristiwa besar, malah diapun tahu jelas peristiwa ini terjadi gara-gara dirinya. Kini dia berada di sini, kini dia
sudah tidak akan bersikap seperti tempo hari, keluar dari tempat ini dengan selamat dan sehat.
ooo)dw(ooo Kereta keledai berhenti di depan hotel Hong-ping. Begitu Yap Kay melangkah masuk, lantas dilihatnya Siangkwan
Siau-sian tengah duduk di meja kasir, sedang membalik-
balik buku daftar. Kelihatannya dia memang mirip kasir atau istri pemilik hotel, cuma usianya terlalu muda dan jauh lebih cantik dari istri para pemilik hotel umumnya.
Mendengar langkah Yap Kay yang mendekati, segera dia
angkat kepala sambil berseri tawa, katanya: "Aku tahu kau pasti akan datang, memang aku sedang menunggu
kedatanganmu."
Yap Kay tidak ingin berdebat dan ribut dengannya.
Memang tiada tempo buat bertengkar.
Mendadak dia bertanya: "Kau sudah menghitung
rekening" Apakah kau sedang menghitung berapa orang
yang semalam kau bunuh?"
Siangkwan Siau-sian tertawa, katanya: "Umpama benar aku membunuh orang, selamanya tidak pernah ku catat di dalam buku."
"Lalu apa yang tercatat di dalam buku daftar ini?"
"Inilah buku catatan kado," ujar Siangkwan Siau-sian, "di sini tercatat banyak nama-nama yang aneh, memberikan
berbagai macam kado yang aneh pula."
"Diberikan kepadamu?"
"Aku sih belum saatnya mendapat keberuntungan
sebesar ini," ujar Siangkwan Siau-sian tertawa, "apa kau ingin ku bacakan satu persatu orang-orang pengirim kado yang tercatat di dalam daftar ini?"
Yap Kay diam saja, namun dia tidak menolak.
Yap Kay berdiri di depan meja, mengawasinya, entah
mengapa tiba-tiba hatinya sakit seperti ditusuk-tusuk
sembilu. Perduli dia memang bersikap sungguh-sungguh atau pura-pura, yang jelas sikap orang memang tidak jelek
terhadap dirinya. Pernah beberapa hari mereka hidup
bersama, hal itu takkan bisa dia lupakan. Sebetulnya dia tidak mengharap mereka berhadapan sebagai musuh, apalagi musuh besar yang harus menentukan mati hidup dengan
duel. Dari sudut apapun pandangannya, Siangkwan Siau-sian sebetulnya tidak pantas menjadi musuhnya.
"Aku sudah siapkan beberapa macam hidangan yang kau sukai. Kini bukankah saatnya makan siang?"
"Aku kemari bukan untuk makan." kata Yap Kay dingin.
Siangkwan Siau-sian tertawa manis, katanya: "Tapi siapapun toh harus makan. Kaupun tidak terkecuali bukan?"
Siangkwan Siau-sian menghela napas, katanya: "Cui Giok-tin mengirim seekor ayam, sekilo sarang burung, Lamkiong Long menyumbang sebuah gambar, Yap Kay mengirim
seorang hidup."
Berubah air muka Yap Kay. Sudah tentu dia sudah tahu
dafatr siapa buku kado itu.
Siangkwan Siau-sian cekikikan, katanya: "Kenapa Cui Giok-tin mengirimkan ayam, apa dia kira kaulah yang jadi
pengantin prianya, supaya kau memasak bubur ayam untuk makan malam bersama istrimu di kamar pengantin?" tanpa memberi kesempatan Yap Kay bicara segera dia
menyambung sambil tertawa: "Kado yang paling aneh di dalam daftar ini kukira adalah sumbanganmu, tapi kado yang termahal kukira kau tidak pernah menduga siapakah
pengirimnya."
"Siapa" Dan barang apa sumbangannya?"
"Semuanya ada empat orang," ujar Siangkwan Siau-sian, lalu pelan-pelan dia membaca ke empat nama orang.
"Sialpu, Tolka, Putala dan Panjapana."
Berubah rona muka Yap Kay.
"Apa saja barang sumbangan mereka?", tanyanya pula.
"Mereka menyumbang sekantong batu permata, di
dalamnya ada terdapat pula sebuah lencana kemala," kata Siangkwan Siau-sian sambil mengacungkan tangan. "Lencana inilah!"
Lalu dari dalam laci meja kasirnya dia mengeluarkan
sebuah lencana kemala yang di atasnya terukir empat iblis langit. Agaknya dia memang sudah siap untuk
memperlihatkannya kepada Yap Kay. Batu kemala ini
mengkilap hijau tua dan indah, ukiran iblis-iblis di atasnya sungguh membuat hati Yap Kay terkejut sekali.
"Tahukah kau apa maksud dari lencana kemala ini?" tanya Siangkwan Siau-sian.
Yap Kay tidak tahu.
"Inilah lencana penuntut balas," ujar Siangkwan Siau-sian, "kalau Su-thoa-thian-ong dari Mo Kau mau menuntut balas, maka lencana seperti ini selalu muncul."
Terkepal tinju Yap Kay, desisnya: "Apakah mereka
menuntut balas bagi kematian Giok-siau?"
Siangkwan Siau-sian manggut-manggut, katanya:
"Sekantong permata itu pertanda nilai pembelian jiwa dari orang-orang yang mereka bunuh itu."
"Uang pembelian jiwa, apa maksudnya?"
"Sebelum melakukan pembunuhan, Su-thoa-thian-ong
sebelumnya harus membeli dulu jiwa sang korban, karena mereka tidak ingin hutang jiwa pada penitisan yang akan datang," Siangkwan Siau-sian menghela napas, "memang tidak sedikit permata yang mereka kirimkan, maka tidak sedikit pula jumlah orang-orang yang telah mereka bunuh."
"Apakah mereka pembunuhnya?"
"Umpama kau ini bukannya orang pikun, tentunya kau sudah tahu siapa pembunuh sebenarnya."
"Tapi kaulah yang menyingkirkan mayat-mayat itu."
"Membunuh orang dianggap kejahatan, namun
membereskan mayat orang adalah kerja mulia."
"Apa alasanmu membereskan mayat-mayat itu?"
"Karena aku ingin mencari satu hal."
"Hal apa?"
"Aku ingin tahu siapa sebenarnya Tolka dan Putala."
"Sayang sekali, orang-orang mati takkan bisa bicara, apalagi memberikan keterangan, apa pula gunanya kau
membereskan mayat-mayat mereka?"
"Sudah tentu ada gunanya."
"Apa gunanya?"
"Aku sudah memperkirakan dengan tetap bahwa waktu itu merekapun ada hadir dalam perjamuan itu."
Yap Kay berpendapat demikian, jikalau mereka tidak
hadir dalam perjamuan itu, masakah begitu gampang sekian banyak orang dibunuh.
"Oleh karena itu jikalau orang yang hadir di dalam perjamuan itu ada 100 orang, maka yang mati pasti ada 98
orang." "Dua orang yang tidak mati pasti adalah Tolka dan Putala."
"Memang aku tahu kau bukan orang pikun." olok Siangkwan Siau-sian.
"Oleh karena itu maka kau bereskan mayat-mayat itu.
Kau ingin tahu siapa saja yang telah mampus" Berapa banyak jumlah orang yang mati"
"Benar!"
"Tapi kau tetap tidak berhasil, kau belum tahu siapa dua orang yang tidak mati itu?"
(Bersambung ke Jilid-15)
Jilid-15 "Maka sekalian aku bawa pula daftar kado ini, ingin kuperiksa siapa saja orang-orang yang mengirim kado."
"Orang yang mengirim kado belum tentu hadir di dalam perjamuan itu, demikian pula orang yang hadir di dalam perjamuan itu belum tentu menyumbang."
"Sedikit banyak dari sini aku akan bisa menyimpulkan sesuatu yang tidak mungkin dimengerti orang lain. Aku toh bukan orang linglung."
"Lalu kau sudah berhasil menyimpulkan apa?"
"Begitu kau tiba, hatiku jadi kusut, masakah ada selera aku memeriksa lebih lanjut?" dia berdiri dan keluar dari belakang meja kasir, tiba-tiba berkata pula: "Ada sepatah pertanyaan ingin kuajukan kepadamu."
Terpaksa Yap Kay biarkan orang bertanya.
"Apakah manusia itu harus makan?"
Yap Kay diam saja, dia mengakui.
"Dan kau ini manusia bukan?"
Kembali Yap Kay diam saja, dia harus mengakui juga.
Siangkwan Siau-sian sudah menarik tangannya, katanya
berseri tawa: "Kalau begitu, hayolah kita mengisi perut."
ooo)dw(ooo Yap Kay sedang makan. Tiba-tiba disadarinya setiap kali berada di depan Siangkwan Siau-sian, dirinya lantas menjadi laki-laki pikun yang terima dituntun hidungnya saja. Tapi perutnya memang kosong, sudah keroncongan sejak tadi.
Setelah menempuh perjalanan setengah hari, selera
makannya tentu amat besar. Begitu duduk menyanding meja, sepasang sumpitnya bekerja dengan gesit, sulit dia bisa menenteramkan diri menghadapi hidangan serba lezat ini.
Apalagi semua masakan justru menempati seleranya,
terutama kuah tahu kacang yang terasa pedas kecut, bukan saja mencocoki perutnya, juga bisa menyadarkan pikirannya dari mabuk arak.
Siangkwan Siau-sian berkata lembut: "Aku tidak
menyediakan arak bagi kau karena aku tahu perutmu sedang kosong. Setelah makan, boleh kuiringi kau minum sepuasmu."
Siapapun yang menghadapi, melihat serta dilayani
perempuan selembut dan secantik ini, kesannya adalah dia gadis periang yang halus, prihatin dan pintar meladeni.
Bila seorang laki-laki berhadapan dengan perempuan
macam ini, apa pula yang dapat dia lakukan" Sebetulnya Yap Kay sudah berkeputusan dalam hati tidak perdulikan orang.
Umpama orang bisa bicara semanis madu dan kata-katanya bisa menciptakan sekuntum bunga, dia tetap tidak mau
percaya dan tidak mau perduli.
Siangkwan Siau-sian menghela napas, katanya: "Aku tahu dalam hatimu tentu membenci aku, tidak seharusnya aku
menahanmu di sini tempo hari, kalau tidak, nona Ting pasti tidak akan menikah dengan Kwe Ting, jikalau dia tidak
menikah dengan Kwe Ting, maka peristiwa malam itupun
tidak akan terjadi."
Memang itulah unek-unek hati Yap Kay yang ingin dia
utarakan. Kalau dia belum sempat mengutarakan, kini
Siangkwan Siau-sian sudah membebernya secara gamblang.
"Tapi kau harus memikirkan diriku. Aku inipun seorang perempuan, aku bukan siluman," dengan suara lembut, aleman dan rawan dia menyambung, "bila seorang perempuan betul-betul jatuh hati kepada seorang laki-laki, pasti takkan bisa menahan diri untuk tidak menahannya. Perduli
perempuan macam apa dia, keinginan seperti itu sama saja."
Yap Kay tertawa dingin, tapi dalam lubuk hatinya dia
tidak bisa tidak mengakui, bahwa apa yang dikatakan
Siangkwan Siau-sian memang beralasan.
Cinta itu sendiri tidak salah, cinta itu pula adalah murni suci, bukan kejahatan. Adalah jamak dan sudah menjadi
suratan takdir bahwa seorang perempuan mencintai seorang laki-laki, sedikitpun tidak akan salah. Bila hatinya benar-benar kepincut, cinta kepati-pati, sudah tentu dia tidak akan mengharap dirinya ditinggal pergi pujaan hatinya
seorang diri. Untuk ini tiada orang yang berani mengatakan bahwa apa yang dia lakukan salah.
Tiba-tiba Yap Kay menyadari bahwa tekadnya mulai
goyah, perasaannya tergerak dan terketuk sanubarinya.
Segera dia bangkit, katanya: "Sudah selesai belum perkataanmu?"
"Belum! Masih banyak lagi," sahut Siangkwan Siau-sian.
"Nasi sudah ku gares habis."
"Kau tidak ingin minum arak?"
"Tiada selera lagi."
"Kau tidak ingin mencari tahu siapa sebetulnya Tolka dan Putala?"
"Aku bisa mencarinya sendiri."
"Umpama kau bisa menemukan dia, memangnya apa yang dapat kau lakukan" Memangnya seorang diri kau mampu
menghadapi seluruh Mo Kau?" setelah menghela napas Siangkwan Siau-sian menambahkan, "tahukah kau berapa banyak anak murid Mo Kau" Tahukah kau berapa besar
kekuatan yang mereka milik?"
Yap Kay tahu. Betapa menakutkan Mo Kau, tidak
seorangpun di dalam dunia ini yang lebih jelas daripada dirinya.
"Oleh karena itu kaupun harus tahu, untuk menghadapi Mo Kau hanya ada satu cara."
"Cara apa?" tanya Yap Kay.
Senyuman lembut dan manis yang menghiasi muka
Siangkwan Siau-sian sudah sirna, sorot matanya yang bening jeli tiba-tiba memancarkan cahaya terang yang menekan
perasaan orang. Kini dia bukan lagi nyonya pemilik hotel yang telaten dan prihatin meladeni tamunya, namun dia adalah Kim-ci-pang Pangcu yang ditakuti seluruh dunia.
Katanya dengan menatap Yap Kay bulat-bulat: "Di seluruh kolong langit ini yang bisa bertanding dan adu kekuatan dengan Mo Kau hanya Kim-ci-pang kita."
Yap Kay bersuara dalam tenggorokan.
"Setelah mengalami persiapan dan perencanaan yang bertahun-tahun dengan pengerahan segala kekuatan,
sekarang perduli di dalam tenaga manusia atau kekuatan keuangan, Kim-ci-pang sudah betul-betul mencapai to[p, mencapai tingkat tertinggi," ujar Siangkwan Siau-sian lebih
lanjut, "Siau-lim, Bu-tong, Kun-lun, Go-bi, Hoa-san, Tiam-jong, Kay-pang, Khong-tong dan banyak lagi perguruan silat besar dan kecil di seluruh dunia, sekarang sudah ada orang-orang kita yang menyusup ke dalamnya......"
Yap Kay tiba-tiba menukas perkataannya: "Oleh karena itu sekarang kaupun hendak menghasut aku."
"Bukan menghasut," kata Siangkwan Siau-sian tegas,
"hanya untuk menghadapi Mo Kau, kau harus kerja sama dengan Kim-ci-pang kita."
Yap Kay tertawa dingin, katanya: "Apakah kau masih ingin mengangkatku menjadi Hu-hoat dari Kim-ci-pang mu?"
"Asal kau suka, malah aku boleh memberikan kedudukan Pangcu Kim-ci-pang kepadamu."
Siangkwan Siau-sian menghela napas. Kerlingan matanya
selembut riak air tenang, lembut hening, katanya pelan:
"Seorang perempuan demi laki-laki yang dia cintai, memang tidak segan-segannya mengorbankan segala miliknya,
apalagi........"
"Apalagi Mo Kau memangnya musuh tangguh Kim-ci-pang kalian."
"Bukan saja musuh bebuyutan kita, malah dua musuh yang takkan bisa hidup berdampingan, terutama belakangan
ini......"
"Kenapa belakangan ini?"
"Belakangan ini umpama aku tidak mencari perkara
dengan mereka, merekapun akan meluruk mencari aku."
Yap Kay tahu orang bukan membual. Kim-ci-pang dan Mo
Kau kedua-duanya belakangan ini sama-sama mau
menegakkan wibawa dan mengerahkan kekuatan serta
mengumpulkan tenaga serta mengisi keuangan, tujuannya
adalah berkuasa dan bersimaharajalela di Kang-ouw.
Bentrokan ke dua belah pihak demi kepentingan masing-
masing tentu semakin besar dan meruncing. Kerang dan
bangau saling berebutan, akhirnya nelayanlah yang
memungut keuntungan.
Sebetulnya situasi ini merupakan kesempatan baik bagi
Yap Kay, walau dia tidak ingin jadi nelayan yang memungut keuntungan tanpa membuang tenaga, namun sedikitnya dia bisa menggunakan kesempatan ini untuk melakukan banyak pekerjaan yang ingin dia lakukan, pekerjaan yang sebetulnya sudah dia selesaikan sejak dulu.
Siangkwan Siau-sian berkata pula: "Keadaanmu
sekarangpun sama, 2 diantara Su-thoa-thian-ong kini sudah berada di Tiang-an, maksudnya terang bukan selalu
menghadapi Kim-ci-pang kami, sekaligus merekapun hendak hadapi kau."
"Oleh karena itu umpama aku tidak mencari mereka, merekapun tetap tidak akan berpeluk tangan terhadapku."
"Mereka adalah musuhmu, sedikitnya aku ini masih
temanmu, perduli untuk pribadi atau untuk kepentingan
umum, adalah pantas kalau kau kerja sama dengan kita."
Yap Kay sudah duduk kembali di kursinya.
"Mungkin dalam hatimu kini masih mengira aku hendak memperalat kau."
"Apa tidak?"
"Umpama aku ingin bantuan tenagamu, bukankah kaupun bisa memperalat diriku" Inilah kesempatan terbaik untuk kerja sama melenyapkan Mo Kau."
Yap Kay tiba-tiba menghela napas, katanya: "Kau memang perempuan yang pandai bicara."
"Apakah aku sudah berhasil membujukmu?"
"Agaknya memang demikian."
Berseri muka Siangkwan Siau-sian, senyuman yang
berubah lembut aleman dan genit, katanya: "Lalu, apakah sekarang kita perlu minum secangkir arak?"
"Kini aku masih merasakan heran akan satu hal."
"Hal apa yang kau herankan?" tanya Siangkwan Siau-sian, matanya berkedip-kedip.
"Kerja apapun yang kau suruh aku lakukan, kenapa selalu aku tak bisa menolaknya?"
Arak sudah siap di atas meja. Arak itu sendiri tidak
memabukkan, malah Siangkwan Siau-sian yang membuatnya
kasmaran. Kelembutannya, telaten meladeni, kerlingan
matanya serta senyumannya yang menggiurkan, setiap laki-laki pasti akan kepincut kepadanya.
Apakah Yap Kay sudah jatuh mabuk" Betapapun dia
adalah laki-laki sejati, malah bukan laki-laki yang tidak mengenal kasih seperti yang pernah dia bayangkan sendiri.
Kini dia mulai curiga terhadap dirinya malah, apakah dia sudah kelelap dan terbuai oleh kehalusan dan kehangatan orang"
Siangkwan Siau-sian memang perempuan tulen. Tiada
laki-laki yang bisa menolak diajak kencan oleh perempuan seperti ini. Mungkin Siangkwan Siau-sian tidak seelok
rupawan seperti Ting Hun-pin, tidak aleman dan lemah
seperti Cui Giok-tin, tapi gadis yang satu ini jauh lebih unggul di dalam menyelami hati laki-laki. Dia lebih tahu cara bagaimana untuk menangkap dan menambat lubuk hati
seorang laki-laki. Apakah Yap Kay sudah tertambat olehnya"


Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Entahlah! "Kau sudah mabuk belum?" tanya Siangkwan Siau-sian.
"Sekarang memang belum, namun cepat atau lambat, aku akan mabuk juga."
"Jadi kau sudah siap untuk mabuk?"
"Asal mulai minum, memang harus siap untuk mabuk."
"Oleh karena itu bila aku ingin bicara, lebih baik lekas kukemukakan sebelum kau mabuk."
"Sedikitpun tidak salah."
"Kau sudah memeriksa buku daftar kado ini?"
"Sudah kuperiksa."
"Apa yang dapat kau lihat?"
"Kudapati setiap Kim-ci-pang turun tangan, tidak seroyal pihak Mo Kau."
Siangkwan Siau-sian tertawa, katanya kalem: "Kim-ci-pang tidak ingin membeli jiwa orang lain, oleh karena itu tidak perlu mengantar kado yang begitu tinggi nilai
harganya."
Yap Kay menatap arak di cangkirnya, katanya pelan-pelan:
"Mungkin kau sendiri sudah melihatnya, kado yang betapa tinggi harganya, mereka tidak akan bisa menerimanya."
"Jikalau aku bisa melihat jelas, mungkin aku bisa memberikan lebih banyak."
"Kenapa?"
"Karena perduli berapapun yang kuberikan, sekarang sudah kurampas seluruhnya."
"Lalu, apa pula yang kau temukan?"
"Aku hanya menemukan kau, seorang laki-laki yang benar-benar romantis," ujar Siangkwan Siau-sian, "oleh karen
Bentrok Para Pendekar 9 Pendekar Sejagat Seri Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Dendam Iblis Seribu Wajah 21
^