Rahasia Peti Wasiat 5

Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L Bagian 5


di sisi kiri, katanya, "Di depan kuburan itu, cukup digali sedalam tiga
kaki saja dan akan menemukannya."
Segera It-hiong melolos pedang pandak, katanya kepada Bunhiong,
"Harap wakilkan aku mengawasi dia, akan kugali
tempat itu."
Lalu ia mendekati kuburan yang dimaksud, waktu ia
memeriksanya dengan teliti, terlihat di depan makam memang
ada bagian tanah yang gembur, ia tahu keterangan Pokyang
Thian tidak dusta, segera ia gunakan pedang untuk menggali.
Bun-hiong tahu keadaan cukup gawat, bahaya senantiasa
mengintai, setiap saat bisa terjadi sesuatu yang tak terduga,
sebab itulah dia tidak berani lengah, segera ia pun menghunus
pedang dan berjaga di samping Pokyang Thian sambil
mengawasi keadaan sekitarnya.
Cara It-hiong menggali sangat cepat, hanya sebentar saja
tempat galiannya sudah sedalam tiga kaki, ujung pedang telah
menyentuh sesuatu benda keras.
Ia taruh pedangnya, lalu berjongkok dan menggunakan
tangan untuk mengeruk tanah, kemudian dari dalam liang
dapat diangkat keluar satu bungkusan.
Bungkusan itu segera dibuka, benar juga terdapat kotak hitam
itu. Melihat kotak sudah dikeluarkan oleh anak muda itu, segera
Pokyang Thian berseru, "Nah, sekarang tentu kalian boleh
membuka Hiat-toku bukan?"
"Baiklah," kata It-hiong. "Pang-heng, harap bebaskan Hiat-to
yang kututuk tadi."
Siapa tahu, belum lenyap suaranya, mendadak Pang Bunhiong
berteriak khawatir, "Awas, ada bahaya!"
"Wutt", mendadak sesosok bayangan melompat keluar dari
balik sebuah makam yang berdekatan dari situ, secepat kilat
menerjang tiba.
Penyergap ini berbaju hitam mulus, membawa Boan-koan-pit,
senjata berbentuk potlot. Begitu melompat tiba segera ujung
potlot baja menikam kepala Liong It-hiong, gerakannya cepat
dan serangannya keji.
It-hiong tertawa keras sambil menjatuhkan diri dan
menggelinding ke samping sehingga serangan orang
terhindar, berbareng ia sambar pedang pandak yang
ditaruhnya di samping tadi terus balas menusuk.
Tapi pendatang itu juga sangat gesit, sekali luput serangannya
segera ia menendang, kedua kaki menendang sekaligus secara
berantai. Terdengar suara "plok", kaki kirinya berhasil menendang
pergelangan tangan kanan It-hiong yang memegang pedang,
menyusul tangan orang berbaju hitam itu meraih, kotak hitam
hendak direbutnya.
"Eh, jangan sembrono!" teriak It-hiong sambil melejit, dengan
gerakan indah kakinya balas mendepak dan tepat mengenai
pinggang orang.
Depakan ini cukup keras, kontan orang itu terpental dua
tombak jauhnya, namun orang itu memang hebat, dia tidak
jatuh terbanting melainkan membalik tubuh selagi terapung di
udara, lalu turun ke bawah dengan enteng. Ia tidak kapok,
segera ia menerjang maju lagi.
Akan tetapi saat itu kotak hitam sudah dipegang oleh It-hiong,
begitu melihat lawan menerjang tiba, langsung ia sambut
orang dengan pedangnya sambil berseru, "Aha, sahabat,
perkenalkan dulu namamu, pedang Liong It-hiong tidak
pernah membunuh kaum keroco yang tak bernama!"
Melihat pedang pandak yang dipegang It-hiong, pendatang itu
tahu pasti pedang pusaka yang dapat memotong besi serupa
merajang sayur, seketika timbul rasa jerinya, cepat ia
menahan daya terjangnya, jawabnya sambil tertawa seram,
"Haha, baik, kuberi tahu, aku tidak perlu ganti nama dan tukar
she, Hiat-pit-siucay Hui Giok-koan adanya."
Kiranya dia ini si sastrawan pensil berdarah, malah satu dari
Lok-lim-jit-coat, saudara angkat Pokyang Thian.
Air muka Pokyang Thian kelihatan rada berubah, sedapatnya
ia memperlihatkan senyum gembira, katanya, "Ah, Lolak
(keenam), engkau sudah datang"!"
Usia Hiat-pit-siucay Hui Giok-koan belum ada 40-an, wajahnya
cukup cakap, tapi sikapnya kelihatan kejam dan seram, sinar
matanya mencorong tajam serupa setiap saat hendak
mencaplok mangsanya, menakutkan kelihatannya.
Ia mendengar teguran Pokyang Thian, tapi dia tidak balas
memandangnya, bahkan melirik pun tidak, ia hanya menjawab
dengan terkekeh aneh, "Hehe, memang betul, kudatang untuk
menolongmu!"
"Bersama siapa pula kedatanganmu ini?" tanya Pokyang
Thian. Dengan tertawa ejek Hiat-pit-siucay Hui Giok-koan menjawab,
"Tidak banyak, seluruhnya cuma tiga orang saja yang datang
kemari termasuk diriku. Siaute, tahu Pokyang-heng tidak suka
ada orang lain yang terlalu banyak ikut campur urusan ini,
maka tidak berani kuajak teman yang lain lagi."
Pokyang Thian kelihatan kikuk, katanya dengan menyengir,
"Ah, engkau salah paham, Lolak. Soalnya aku tidak sempat
memberitahukan kepada kalian, sama sekali aku tidak
mempunyai pikiran ingin menarik keuntungan untuk diri
sendiri ...."
Hiat-pit-siucay Hui Giok-koan tidak menggubrisnya lagi, ia
pandang Liong It-hiong sambil menyeringai, katanya, "Lionghiap,
sudah lama kudengar nama kebesaranmu, cuma malam
ini sudah menjadi tekadku akan mengambil kotak hitam ini,
hendaknya kau tahu gelagat sedikit dan janganlah melawan."
"Hahaha!" It-hiong tergelak. "Aku Liong It-hiong justru
seorang yang tidak mau tahu gelagat, ibaratnya sebelum
melihat peti mati takkan menangis, sebelum tiba saat terakhir
takkan menyerah. Maka kalau engkau menghendaki peti ini,
kau perlu perlihatkan sejurus dua dulu kepadaku."
"Baik, segera akan kuperlihatkan padamu!" jengek Hiat-pitsiucay.
Bicara sampai di sini, segera ia berpaling dan berseru,
"Ayo keluarlah, Hek-pek-ji-long!"
Air muka It-hiong dan Bun-hiong sama berubah demi
mendengar sebutan "Hek-pek-ji-long" atau kedua serigala
hitam dan putih.
Hampir setiap orang persilatan pasti tahu dua orang
bersaudara yang berjuluk Hek-pek-ji-long ini, sebab mereka
adalah jago kelas tinggi dunia persilatan yang sudah terkenal
sejak beberapa puluh tahun yang lalu. Bicara tentang ilmu
silat, mereka pasti tidak di bawah Koh-ting Tojin, Kim-kong
Taysu dan lain-lain, dalam hal kebesaran nama bahkan boleh
dikatakan tidak di bawah siapa pun, sebab kisah hidup mereka
memang sangat istimewa, mereka dibesarkan oleh seekor
induk serigala.
Konon pada lebih 50 tahun yang lalu, mereka diketemukan
oleh seorang kosen dunia persilatan di tengah suatu
gerombolan serigala.
Tokoh kosen itu menghalau kawanan serigala itu dan
membawa mereka kembali ke dunia manusia. Setelah dididik
selama belasan tahun barulah sifat manusia mereka dapat
dikembalikan sebagian.
Lantaran sejak kecil mereka hidup di tengah kawanan serigala,
gerak-gerik mereka menjadi gesit dan cekatan luar biasa,
maka setelah berhasil menguasai ilmu silat, Kungfu mereka
tambah mengejutkan, kemudian orang kosen itu meninggal
dunia, mereka lantas berkelana di dunia Kangouw, tidak lama
kemudian lantas terkenal sebagai Hek-pek-ji-long. Banyak
jago kelas tinggi dikalahkan mereka.
Cuma, meski ilmu silat mereka cukup tinggi, namun dalam
pandangan orang dunia persilatan mereka bukanlah "tokoh",
sebab mereka suka bertindak ngawur, tidak dapat
membedakan antara yang benar dan yang salah, tindak
tanduknya tidak mempunyai pendirian, asalkan ada orang
mengundang mereka makan minum sepuasnya dan mereka
pun siap menjual nyawa bagi siapa pun, jadinya serupa dua
ekor anjing piaraan saja.
Begitulah, maka ketika Hiat-pit-siucay berteriak, serentak Hekpek-
ji-long melompat keluar dari tempat sembunyinya, sekali
lompat saja lantas berada di depan.
Usia Hek-pek-ji-long ini sudah di atas 60-an, yang satu
berbaju hitam dan yang lain berbaju putih, wajah sama jelek
dan seram, sama sekali tidak berbau manusia.
Senjata yang digunakan Hek-long atau serigala hitam adalah
Song-bun-kiam, pedang kematian. Sedangkan senjata Peklong
atau serigala putih adalah sepasang golok.
Segera Hiat-pit-siucay mengangkat Boan-koan-pit dan
memberi tanda menyerang berbareng, ia sendiri lantas
melompat mundur.
Hek-pek-ji-long serupa dua ekor anjing yang sudah terlatih,
begitu melihat perintah sang majikan, serentak mereka
menubruk ke arah It-hiong dan Bun-hiong.
Begitu menubruk maju segera serigala hitam menusuk Bunhiong
dengan pedangnya.
Serigala putih menerjang It-hiong, ia putar kedua goloknya
dan menyerang tanpa kenal ampun.
Terpaksa It-hiong berdua menyambut serangan mereka, tapi
baru saling gebrak beberapa jurus It-hiong berdua sudah
tercecer hingga rada kelabakan.
Gerak serangan Hek-pek-ji-long selain aneh dan cepat luar
biasa, setiap jurus serangannya sangat berlawanan dengan
peraturan ilmu silat umumnya dan di luar dugaan,
ketambahan lagi sifat mereka yang liar dan suka berkelahi,
maka pertarungan mereka dilakukan dengan kalap, hanya
menyerang tanpa bertahan, sebab itulah sejak mulai mereka
sudah di atas angin sehingga It-hiong berdua terdesak
mundur melulu. Melihat Hek-pek-ji-long pasti di atas angin, Hiat-pit-siucay Hui
Giok-koan tidak perlu lagi membantu mereka, ia lantas
mendekati Pokyang Thian, dengan tertawa yang dibuat-buat
ia berkata, "Eh, Pokyang-heng, kenapa engkau hanya
berbaring saja dan tidak mau bangun?"
"Ah, jangan bercanda, Lolak," jawab Pokyang Thian dengan
menyengir. "Tadi kudatang tepat pada waktunya sehingga berhasil
menyelamatkan kotakmu, coba cara bagaimana engkau akan
berterima kasih padaku?" tanya Giok-koan dengan tertawa.
"Kita kan saudara sendiri, bagaimana kalau separuh-separuh?"
jawab Pokyang Thian.
"Aha, bagus sekali!" seru Hui Giok-koan dengan tertawa
senang. "Jika begitu, lekas kau bebaskan Hiat-toku, mereka telah
menutuk Hiat-to kelumpuhanku," seru Pokyang Thian.
"Baik, akan kubebaskan dirimu," Hui Giok-koan mengangguk.
Habis berkata, Boan-koan-pit yang dipegangnya mendadak
menikam ke hulu hati Pokyang Thian.
Keruan Pokyang Thian menjerit, "Aduhhh!"
Seketika matanya terbelalak lebar seperti tidak percaya
kepada apa yang terjadi, teriaknya pula dengan suara
gemetar, "Ah, Hui Giok-koan, keji ... keji amat kau ...."
Hui Giok-koan menarik Boan-koan-pitnya yang berlumuran
darah, ucapnya dengan tertawa, "Ah, jangan berkata begitu,
apa yang kulakukan ini kan cuma membebaskanmu dari
penderitaanmu saja."
Pokyang Thian tidak bersuara lagi, sebab dia memang benar
telah mendapatkan "pembebasan", pembebasan segalanya,
hanya kedua matanya saja yang tetap mendelik sebesar
gundu, agaknya mati pun dia masih penasaran.
Hui Giok-koan mendepak mayat Pokyang Thian sambil
memaki, "Bedebah, jika mati penasaran boleh kau mengadu
saja kepada Giam-lo-ong (raja akhirat) di neraka sana."
Ebook oleh : Dewi KZ
Scan book oleh : BBSC
Jilid 8 Dalam pada itu Liong It-hiong dan Bun-hiong sudah
beberapa puluh jurus bergebrak dengan Hek-pek-ji-long,
mereka telah mengeluarkan segenap kemahiran Kungfunya
tetap juga sukar menahan serangan kedua serigala hitam
putih yang lihai itu.
Liong It-hiong merasa kotak hitam itu masih dikuasai olehnya,
rasanya tidak perlu mengadu jiwa dengan lawan, segera ia
berteriak, "Pang-heng, ayolah kita angkat kaki saja!"
Sambil berteriak sekuatnya pedang menyabet sehingga
serigala putih terpaksa melompat mundur, kesempatan itu
digunakan oleh It-hiong untuk melompat ke belakang terus
kabur secepatnya.
Tentu saja serigala putih tidak tinggal diam, ia berteriak aneh
terus mengejar. Agaknya Hui Giok-koan sudah mempunyai
perhitungan yang mantap, ia tidak membantu serigala putih
untuk mencegat Liong It-hiong, malahan ketika dilihatnya Ithiong
melarikan diri, segera ia menubruk ke arah Pang Bunhiong.
Karena seruan It-hiong, selagi Bun-hiong hendak ikut kabur,
mendadak dirasakan angin tajam menyambar dari belakang, ia
tahu Hui Giok-koan sedang menyerangnya, cepat ia mengelak,
berbareng pedangnya balas menebas.
Hui Giok-koan menangkis dengan potlot bajanya, menyusul
dengan jurus "Tiam-ciok-sing-kim" atau menutuk batu menjadi
emas, ia tusuk pinggang lawan sambil mengejek, "Hehe,
rebahlah anak muda!"
"Kentut busuk!" teriak Bun-hiong dengan gusar sambil
berkelit, berbareng pedang balas menusuk muka orang.
Tapi pada saat itu juga pedang serigala hitam telah
menyambar tiba, mengancam kaki kirinya.
Terpaksa Bun-hiong menarik kembali pedangnya untuk
berjaga, ia tangkis serangan serigala hitam, habis itu sekali
berputar ia tebas pinggang Hui Giok-koan.
Sebenarnya serangan ini hanya gerak tipu saja, dilihatnya Hui
Giok-koan melompat mundur, serentak ia angkat langkah
seribu alias kabur.
Siapa tahu, baru saja tubuhnya melayang ke atas, tahu-tahu
pedang si serigala hitam menyambar tiba pula dari sebelah kiri
dengan cara yang aneh dan tak terduga.
Terpaksa Bun-hiong angkat pedang buat menangkis lagi,
karena tubuhnya terapung di udara, ketika kedua pedang
beradu, ia tidak tahan, seketika ia tergetar mencelat ke sana.
Kesempatan itu digunakan oleh Hui Giok-koan untuk memburu
maju, Boan-koan-pit terus mengetuk dan tepat mengenai betis
kanan Bun-hiong.


Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Keruan Bun-hiong menjerit kesakitan dan terbanting ke tanah
serta tidak sanggup bangun lagi.
Tulang betisnya tidak sampai patah atau retak, namun
sakitnya jangan ditanya lagi, hampir saja ia kelengar.
Sambil mendengus potlot baja Hui Giok-koan menutuk lagi
dan tepat mengenai Hiat-to kelumpuhan, katanya, "Rebah dan
istirahatlah!"
Mestinya pedang serigala hitam juga menusuk, mendengar itu
ia urung menyerang dan bertanya, "Tidak kau bunuh dia?"
"Tidak," kata Giok-koan. "Akan kugunakan dia untuk menukar
kotak itu."
Serigala hitam memandang ke sana, katanya, "Tapi entah lari
ke mana bocah tadi?"
"Jangan khawatir." kata Hui Giok-koan dengan tertawa.
"Umpama adikmu tidak berhasil menyusulnya, kuyakin
sebentar dia akan putar balik kembali."
Dalam pada itu Liong It-hiong sudah kabur meninggalkan
tanah pekuburan itu, sedangkan serigala putih masih terus
mengejar. Ketika melihat Bun-hiong tidak ikut lari, ia merasa
tidak pantas menyelamatkan diri sendiri, segera ia berhenti
dan melintangkan pedang di depan dada sambil membentak,
"Berhenti! Coba jawab dulu pertanyaanku!"
Si serigala putih benar-benar berhenti, tanyanya sambil
menyeringai, "Kau mau tanya apa?"
"Kalian bersaudara dibayar berapa oleh Hiat-pit-siucay Hui
Giok-koan sehingga kalian mau membantunya?" tanya Liong
It-hiong. Serigala putih memperlihatkan lima jari, jawabnya dengan
tertawa, "Lima kati, lima kati Hoa-tiau (nama arak)."
"Hah, cuma segitu" Terlampau pelit!" ucap It-hiong.
"Apa katamu?" serigala putih melengak.
It-hiong mengangkat kotak hitam, katanya dengan tertawa,
"Yang diincar Hui Giok-koan adalah kotak ini. Meski isi kotak
ini bukan harta benda mestika, namun nilainya sukar ditaksir.
Dia minta kalian membantunya merampas kotak ini, tidak
pantas kalau dia begitu pelit, hanya memberi lima kati Hoatiau
saja kepada kalian."
"Selain lima kati Hoa-tiau, masih ditambah lagi sepuluh kati
daging," tukas serigala putih.
"Ah, masih tetap kikir," ujar It-hiong sambil menggeleng.
"Bilamana aku, paling sedikit akan kuberi kalian lima ratus
tahil perak."
"Tidak, kami tidak mau perak, kami hanya menghendaki
barang makanan," kata serigala putih.
"Perak kan dapat dibelikan makanan, masa kalian tidak mau
terima uang perak?" ujar It-hiong heran.
"Kami tidak dapat membeli, kami hanya dapat makan," sahut
Pek-long alias serigala putih.
"Oo, kiranya begitu, jadi barang siapa minta bantuan kalian,
cukup mereka memberi makan kepada kalian dan segala apa
pun akan kalian kerjakan!"
"Ya, begitulah," jawab serigala putih sambil mengangguk.
"Baik, aku akan memberi sepuluh kati Hoa-tiau dan 20 kati
daging kepada kalian, mau?" tanya It-hiong.
"Sepuluh kati Hoa-tiau itu berapa jumlahnya?" tanya serigala
putih dengan bingung.
"Kira-kira satu gentong sebesar ini," ucap It-hiong sambil
kedua tangan membuat suatu lingkaran besar.
Serigala putih merasa senang, serunya. "Ha, jika begitu,
berapa pula banyaknya 20 kati daging itu?"
"Ada sebanyak seekor anjing, cukup dimakan tiga hari oleh
kalian," tutur It-hiong.
"Baik, boleh kau berikan kepada kami sepuluh kati Hoa-tiau
dan 20 kati daging, lalu takkan kubunuh dirimu," kata serigala
putih dengan kegirangan.
"Selain itu kalian harus juga membantuku membereskan Hiatpit-
siucay Hui Giok-koan itu," tukas It-hiong.
"Maksudmu, harus kubunuh dia?" serigala putih menegas.
"Ya, betul," It-hiong mengangguk.
Serigala putih tertegun dan berpikir sejenak, katanya
kemudian sambil menggeleng, "Tidak boleh, ia bilang akan
pemberi lima kati Hoa-tiau dan sepuluh kati daging kepada
kami, tidak boleh kubunuh dia."
"Coba jawab, mana lebih banyak antara lima kati dan sepuluh
kati?" tanya It-hiong tiba-tiba.
"Hm, dengan sendirinya sepuluh kati lebih banyak, jangan kau
kira aku tidak dapat terhitung," jengek serigala putih dengan
lagak cerdas. "Kalau sudah tahu sepuluh kati lebih banyak daripada lima
kati, kan harus kau turut kepada perkataanku dan jangan
tunduk kepadanya," ucap It-hiong dengan tertawa.
Kembali serigala putih berpikir sejenak, lalu tanya, "Kapan
akan kau beri sepuluh kati Hoa-tiau dan dua puluh kati daging
kepada kami?"
"Setelah membunuh Hui Giok-koan segera akan kubawa kalian
ke kota untuk makan minum," jawab It-hiong.
"Betul, tidak dusta?" serigala putih menegas.
"Pasti tidak kujilat kembali," jawab It-hiong.
"Jilat kembali apa?" tanya serigala putih dengan bingung.
"Maksudku pasti tidak ingkar janji, takkan menjilat kembali
apa yang sudah kukatakan," tutur It-hiong.
"Dan kalau dusta, engkau mengaku sebagai anak kura-kura,
jadi!" "Baik," sahut It-hiong.
"Ayo berangkat!" kata Pek-long akhirnya, segera ia putar balik
dan lari ke pekuburan tadi.
Sudah lama It-hiong mendengar cerita bahwa Hek-pek-ji-long
mudah dipikat dengan hadiah, sungguh tak terduga
sedemikian gampang caranya. Tentu saja ia sangat girang,
segera ia pun berlari ke sana.
Hanya sebentar saja kedua orang sudah lari kembali sampai di
lereng bukit tadi, tertampak Bun-hiong menggeletak di situ,
keruan It-hiong terkejut, cepat ia tanya. "He, Pang-heng,
bagaimana keadaanmu?"
Karena Hiat-to kelumpuhan tertutuk, Bun-hiong tidak dapat
bergerak sehingga masih terbujur di situ, jawabnya, "Ai, untuk
apa kau kembali lagi?"
Hiat-pit-siucay Hui Giok-koan terbahak-bahak, katanya
terhadap si serigala hitam, "Coba lihat, tidak keliru bukan
dugaanku tadi?"
Hek-long atau serigala hitam memperlihatkan rasa kagum,
jawabnya, "Ya, engkau sangat pintar."
Dengan potlot bajanya Hui Giok-koan mengancam hulu hati
Pang Bun-hiong, kembali ia bergelak tertawa dan berkata,
"Nah, Liong-hiap, engkau lebih mengutamakan kotak hitam itu
atau mementingkan sahabatmu ini?"
It-hiong berkerut kening dan tidak menjawab.
Mendadak serigala putih berseru, "Koko, lekas binasakan dia!"
Tentu saja serigala hitam melongo bingung tanyanya,
"Membinasakan siapa?"
Serigala putih menuding Hui Giok-koan dengan goloknya dan
berkata, "Dia!"
Kembali serigala hitam melenggong, "Sebab apa?"
Serigala putih menuding It-hiong dan menjawab, "Ia berjanji
akan memberi kita sepuluh kati Hoa-tiau dan dua puluh kati
daging sapi."
Serigala hitam tampak bingung, ucapnya, "Mana lebih banyak,
10 kati Hoa-tiau dan 20 kati daging atau lima kati Hoa-tiau
dan sepuluh kati daging?"
"Ai, sungguh bodoh engkau ini, dengan sendirinya 10 kati
Hoa-tiau dan 20 kati daging lebih banyak," seru serigala putih
dengan lagak lebih pintar.
"Hah, bagus!" teriak serigala hitam dengan gembira, segera
pedang bergerak dan bermaksud menyerang Hui Giok-koan.
Air muka Hui Giok-koan tampak berubah, cepat ia
membentak, "Nanti dulu!"
Serigala hitam bergaya siap serang, tanyanya, "Kau mau
bicara apa?"
Dengan gemas Hui Giok-koan menuding Liong It-hiong,
teriaknya dengan garang, "Dia menipu kalian, tidak nanti dia
mau memberikan 10 kati Hoa-tiau dan 20 kati daging kepada
kalian." "Tidak, dia sudah berjanji," sela serigala putih. "Dia
menyatakan kalau membohongi kami, maka dia mengaku
sebagai anak kura-kura (kiasan anak jadah)."
Tampaknya Hui Giok-koan sangat memahami perangai Hekpek-
ji-long, segera ia berseru pula, "Jika begitu, akan kuberi
30 kati Hoa-tiau dan 30 kati daging kepada kalian."
"Maksudmu, pemberianmu itu jauh lebih banyak daripada
pemberiannya?" tanya serigala putih.
"Betul," jawab Giok-koan.
Dengan menyesal serigala putih lantas berkata kepada Liong
It-hiong, "Wah, maaf, sekarang dia memberi terlebih banyak,
terpaksa tidak dapat kuturut perkataanmu lagi."
Habis bicara segera ia mendesak maju ke ah It-hiong.
Cepat It-hiong menggoyang-goyang kedua tangannya dan
berseru, "Sabar dulu, sabar! Dia hanya memberi 30 kati,
sekarang kuberi 60 kati, kalian tetap menurut saja kepadaku."
"Enam puluh kati itu berapa?" tanya serigala putih dengan
bingung. "Satu kali lebih banyak daripada 30 kati," jawab It-hiong.
Kembali hati si serigala putih tergelitik, ia berpaling dan tanya
serigala hitam, "Koko, dia bilang 60 kati satu kali lebih banyak
daripada 30 kati, kau mau tidak?"
"Apa benar dia tidak membohongi kita?" serigala hitam
menegas. "Pasti benar, tidak nanti dia berani menipu kita," ucap serigala
putih dengan penuh keyakinan. "Sebab dia sudah
menyatakan, bila dia menipu kita, maka dia adalah anak kurakura."
"Baik kita terima," jawab serigala hitam, sembari bicara segera
ia hendak melancarkan serangan.
Cepat Hui Giok-koan berteriak, "Nanti dulu! Biarlah kuberi
kalian seratus kati Hoa-tiau dan seratus kati daging."
Seketika serigala hitam mengurungkan lagi serangannya dan
bertanya, "Apakah seratus kati terlebih banyak daripada enam
puluh kati?"
"Tentu saja jauh lebih banyak," jawab Hui Giok-koan.
Serigala hitam sangat senang, serunya, "Nah, adikku, dia
bilang seratus kati jauh lebih banyak daripada enam puluh
kati, jadi kita tetap menuruti kehendaknya saja."
"Biar kuberi seribu kati Hoa-tiau dan seribu kati daging kepada
kalian!" tanpa ayal It-hiong lantas berteriak pula.
"Haha, tidak perlu dijelaskan lagi juga kutahu, tentu seribu
kati jauh lebih banyak daripada seratus kati, bukan?" seru
Pek-long dengan tertawa lebar.
"Betul, lebih banyak sepuluh kali," sambung It-hiong.
"Nah, Koko," serigala putih berpaling kepada serigala hitam,
"kita bekerja bagi orang lain dengan tujuan bisa banyak
mendapat makanan dan arak, jika dia mau memberi seribu
kati, kita ...."
Tidak kepalang rasa gemas Hui Giok-koan, dengan gusar ia
mengentak kaki dan berteriak, "Huh, seribu kati saja terhitung
apa" Biar kuberi kalian lima ribu kati Hoa-tiau dan lima ribu
kati daging."
Tampaknya ia khawatir Liong It-hiong akan menyaingi lagi
dengan harga lebih tinggi, dengan bengis ia mendahului
menuding anak muda itu dan membentak, "Ayo, berani kau
buka mulut lagi segera kubinasakan kawanmu ini!"
Ketika melihat Bun-hiong sudah jatuh dalam cengkeraman
musuh tadi, saat itu juga ia sudah tahu kotak hitam itu sukar
dipertahankan lagi. Sebabnya dia berlomba tawar-menawar
jasa Hek-pek-ji-long, tujuannya hanya ingin membuat utang
lawan menumpuk setingginya sehingga mendatangkan
kerepotan di kemudian hari.
Dengan tertawa It-hiong lantas menjawab, "Baiklah, aku
menyerah, engkau yang menang, engkau yang berhasil
membeli mereka."
"Tidak jadi kau beri Hoa-tiau dan daging kepada kami?" tanya
serigala putih.
It-hiong berlagak serbasusah, ucapnya, "Aku tidak punya
cukup uang untuk membeli lima ribu kati Hoa-tiau dan lima
ribu kati daging, sebaliknya dia punya, terpaksa aku menyerah
padanya." "Jika begitu, kami harus menurut kepada perkataannya dan
akan membunuhmu," kata serigala putih.
"Tidak perlu kalian membunuhku, yang dikehendaki dia hanya
kotak ini saja," ujar It-hiong. "Betul tidak, Hiat-pit-siucay?"
Hui Giok-koan mengangguk, "Betul, asalkan kau serahkan
kotak itu, segera engkau dan Hou-hiap yang menggeletak ini
boleh pergi dengan bebas."
"Jika kau ingkar janji berarti engkau anak kura-kura," tukas Ithiong.
"Selamanya orang she Hui kalau bilang satu tidak pernah
berubah menjadi dua," kata Hui Giok-koan.
"Baik, ambil ini!" seru It-hiong sambil melemparkan kotak
hitam. Hui Giok-koan menangkap kotak itu dari benar juga ia tidak
membikin susah Pang Bun-hiong, lalu melompat mundur dan
membentak, "Ayo berangkat, Hek-pek-ji-long!"
Tanpa bicara Hek-pek-ji-long ikut pergi.
Mendadak Liong It-hiong berteriak, "Hek-pek-ji-long, jangan
lupa dia sudah berjanji hendak memberi lima ribu kati Hoatiau
dan lima ribu kati daging kepada kalian."
"Tidak, kami tidak lupa," jawab serigala putih dari kejauhan,
sudah belasan tombak jauhnya mereka berlari pergi bersama
Hui Giok-koan dan akhirnya menghilang dalam kegelapan.
It-hiong lantas mendekati Bun-hiong, katanya dengan tertawa
sambil berjongkok di sampingnya, "Apakah Hiat-tomu
tertutuk?"
Bun-hiong menghela napas, katanya, "Betul, cuma yang paling
celaka adalah kaki yang terketuk ini, hampir kumati
kesakitan!"
Segera It-hiong membuka Hiat-to orang yang tertutuk, lalu
menggulung kaki celananya, tertampak bagian betis merah,
bengkak dari matang biru, ia terkejut, tanyanya dengan
khawatir, "Retak tidak tulangnya?"
"Tidak, kalau patah kan runyam," jawab Bun-hiong.
"Tadi kusuruh kau lari, kenapa tidak kau lakukan?" tanya Ithiong.
"Tentu saja aku ingin lari, tapi tak dapat lari," jawab Bunhiong.
"Ai, akibat dirimu kotak hitam itu jadi hilang lagi," ucap Ithiong.
Dengan mendongkol Bun-hiong menjawab, "Hm, bisa juga kau


Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bicara demikian. Kalau tidak ada aku tentu sejak tadi tamat
riwayatmu."
It-hiong tertawa, "Baik, tidak kusalahkan dirimu lagi. Marilah
kita pulang."
Bun-hiong meraba betisnya yang bengkak, katanya, "Jangan
tergesa dulu, sekarang aku masih kesakitan setengah mati
dan tidak sanggup berjalan."
It-hiong berpaling dan memandang jenazah Pokyang Thian,
katanya kemudian sambil menggeleng, "Orang she Hui itu
sungguh berhati keji, sampai saudara angkat sendiri juga
dibunuhnya."
"Ini menandakan biarpun mengangkat saudara juga tidak ada
gunanya, makanya tidak nanti aku mengangkat saudara
denganmu," ujar Bun-hiong.
It-hiong tertawa, "Belum pernah kuminta mengangkat saudara
denganmu, buat apa kau bicara demikian?"
Bun-hiong juga tertawa, tanyanya, "Eh, mengapa dengan
begitu saja kau serahkan kotak hitam itu kepadanya?"
"Sebab kalau kotak hilang masih dapat dicari kembali,
sebaliknya bila kau mati kan tidak dapat hidup lagi," ujar Ithiong.
Bun-hiong tersenyum, "Kita bukan saudara angkat segala,
buat apa kau tolong diriku?"
"Justru lantaran kita bukan saudara angkat, makanya harus
kuselamatkan nyawamu," jawab It-hiong.
"Dan sekarang kotak itu sudah hilang dibawa lari, apa
rencanamu sekarang?" tanya Bun-hiong.
"Akan kubawa Ni Beng-ai untuk menemui Tui-beng-poan-koan
To Po-sit," jawab It-hiong.
"Apa dengan cara demikian akan dapat menemukan kembali
kotak itu?"
It-hiong menggeleng, "Tidak, sementara ini takkan kupikirkan
kotak itu."
"Sebab apa?" tanya Bun-hiong.
"Setelah kupikir pergi datang, aku merasa tidak perlu
membuang nyawa bagi kotak itu," kata It-hiong. "Bila
sekarang kurebut kembali kotak itu soal lain tidak kuketahui,
yang jelas kawanan Lok-lim-jit-coat yang lain seperti Ang-liusoh
Ban Sam-hian, Cian-in-jiu Loh Bok-kong, Kim-ci-pa Song
Goan-po, Tok-gan-bu-siang Ong Siang dan Cong-jing-bin Seng
It-hong pasti akan muncul susul-menyusul, sebab itulah lebih
baik bagiku untuk menunggu dan melihat dulu, akan kutunggu
bilamana mereka sudah saling labrak hingga kehabisan tenaga
dan ambruk sendiri barulah kuambil kembali kotak itu."
"Masa engkau tidak khawatir dalam pada itu ada orang akan
membuka kotak itu dan membawa lari isinya?" tanya Bunhiong
dengan tertawa.
"Jika Pokyang Thian saja tidak mampu membukanya, orang
lain pasti sukar juga membukanya," ujar Liong It-hiong,
"Kupikir di antero kolong langit ini cuma ada dua orang saja
yang mampu membukanya."
"Dua orang siapa?" tanya Bun-hiong.
"Yang satu adalah orang yang memasukkan barang ke dalam
kotak itu."
"Dan seorang lagi ialah si tokoh misterius di Cap-pek-pan-nia
itu, bukan?" tukas Bun-hiong.
"Tepat!" It-hiong mengangguk.
"Sampai saat ini mungkin kedua orang itu belum lagi
mengetahui kotak hitam itu sedang menjadi incaran orang
banyak," kata Bun-hiong.
"Betul," sambung It-hiong. "Adapun kecuali kedua orang itu,
barang siapa berani sembarangan membuka kotak itu,
mungkin mereka akan ikut meledak sehingga hancur lebur
oleh obat pasang yang terisi di dalam kotak."
"Sebab itulah engkau tidak khawatir akan kehilangan kotak
itu," tukas Bun-hiong dengan tertawa.
"Betul, sebab itulah satu-satunya urusan yang akan kita
kerjakan sekarang adalah membawa Oh Beng-ai untuk
menemui To Po-sit."
Terbeliak mata Bun-hiong, "Apa katamu" Kau bilang KITA?"
It-hiong mengangguk, "Ya, kita, kecuali engkau tidak mau ikut
pergi." "Bukankah kemarin kau bilang tak dapat membawaku
menemui To Po-sit, kenapa sekarang pendirianmu berubah?"
It-hiong menengadah memandang bintang yang bertaburan di
langit, jawabnya dengan tertawa, "Sebab cuaca malam ini
sangat indah."
Dengan pedang terhunus Bun-hiong berdiri, tulang betis
terasa sangat sakit, dengan kening bekernyit ia berkata. "Wah,
tidak sanggup, aku tidak dapat berjalan ...."
"Akan kugendongmu," kata It-hiong, segera ia tarik Bun-hiong
ke punggungnya dan dibawa lari ke bawah bukit.
***** Pada suatu pagi hari yang cerah, dengan menumpang sebuah
kereta mewah Liong It-hiong datang ke Boan-wan-jun.
Jalan Kembang yang pada malam hari ramai dikunjungi orang
itu, pada pagi hari kelihatan sepi lengang. Pintu setiap rumah
hiburan itu masih tertutup rapat, para perempuan hiburan itu
masih tidur nyenyak, sudah menjadi kebiasaan mereka, kalau
hari sudah lewat tengah hari barulah mereka bangun. Habis
itu berdandan dan makan siang, lalu siap bekerja lagi
menerima tamu. It-hiong turun dari keretanya, ia pesan kusir supaya
menunggu, lalu ia mengetuk pintu Boan-wan-jun.
Sampai sekian lamanya ia mengetuk pintu baru kelihatan
seorang pesuruh membuka pintu dengan mata masih sepat,
begitu pintu terbuka ia lantas mengomel, "Ai, Tuanku, pagi
baru tiba engkau sudah datang kemari, masa .... Aduh,
ampun, kiranya Liong-kongcu adanya! Wah, maaf hamba
bermata lamur, sungguh pantas mampus!"
Setelah tahu siapa yang mengetuk pintu, seketika sikap
pesuruh itu berubah, cepat ia memberi hormat dan berulang
minta maaf. Sambil melangkah ke dalam rumah It-hiong bertanya, "Di
mana Giok-nio?"
"Dia masih tidur, masih tidur, biar hamba membangunkan
dia," seru si pesuruh dengan cengar-cengir, segera ia hendak
lari ke dalam. Tapi It-hiong lantas mencegahnya, "Tidak perlu, boleh kau
pergi tidur lagi, akan kubangunkan dia sendiri."
Pesuruh itu menjura dan mengiakan.
It-hiong tidak bicara lagi, langsung ia menuju ke belakang.
Setiba di luar kamar Giok-nio, ia coba pasang telinga, setelah
tidak terdengar suara mendengkur orang lelaki barulah ia
mengetuk pintu.
"Siapa itu?" tanya Giok-nio di dalam dengan suara yang
kemalas-malasan.
"Aku?" jawab It-hiong dengan tertawa. "Kekasihmu!"
Giok-nio mengenali suaranya, cepat ia bangun dan
berpakaian, lalu membuka pintu kamar, tegurnya dengan
tertawa genit, "Kenapa sepagi ini sudah datang kemari?"
It-hiong menyelinap ke dalam kamar, lalu berjongkok
melongok kolong tempat tidur, kemudian membuka lemari dan
menggeledahnya.
"Hei, apa yang kau cari?" tanya Giok-nio dengan terkesiap.
"Gendakmu!" kata It-hiong dengan tertawa.
"Buset!" seru Giok-nio dengan tertawa. "Jika engkau
sembarangan omong lagi, nanti takkan kugubris lagi dirimu."
It-hiong terus mendekapnya dan menciumnya di sana-sini.
Giok-nio tidak melawan, juga tidak menolak dan membiarkan
anak muda itu menciumnya.
Sudah dapat hati It-hiong terus merogoh rempela, mendadak
ia angkat si nona dan dibawa ke tempat tidur.
Keruan Giok-nio menjadi tegang, ia meronta dan berseru,
"Hei, kau mau apa" Lekas lepaskan, jangan sembrono!"
"Memangnya kenapa?" ujar It-hiong dengan tertawa.
"Tidak, tidak boleh," seru Giok-nio dengan marah.
"Wah, mana tahan!" kata It-hiong dengan tangan sibuk
menggerayang. Giok-nio memukul dadanya dan berkata, "Jika engkau
sembrono lagi segera aku menjerit minta tolong!"
"Boleh saja menjerit," kata It-hiong.
Benar juga, segera Giok-nio pentang mulut hendak berteriak.
Tapi It-hiong keburu mendekap mulutnya dan berkata, "Baik,
jangan berkaok, biar kuampunimu."
Habis berucap nona itu lantas dilepaskannya.
Muka Giok-nio tampak merah dan napas tersengal, katanya,
"Ai, engkau ini juga tidak genah, serupa lelaki busuk yang lain
saja, aku tidak gubris padamu lagi."
"Tidak gubris padaku?" It-hiong menegas.
"Ehm," Giok-nio mengangguk.
"Betul?" It-hiong menegas pula.
"Ya," kembali si nona mengangguk.
It-hiong menyengir, "Wah, jika begini terpaksa aku pulang
saja." Sembari bicara ia terus putar tubuh dan mau tinggal pergi.
Giok-nio menjadi kelabakan malah, cepat ia berseru, "Hei,
nanti dulu!"
"Ada apa lagi?" It-hiong berhenti dan tertawa.
"Kan belum kau ceritakan cara bagaimana kau selesaikan
orang yang bernama Tam Pek-sun itu, kenapa kau pergi
begitu saja?" ujar Giok-nio.
"Habis, engkau tidak menggubrisku lagi," ujar It-hiong.
Giok-nio tertawa, ia mendekati anak muda itu dan memegang
bahunya, katanya, "Mari, asalkan pakai aturan sedikit tentu
kugubris."
"Engkau bukan Ni Beng-ai, cara bagaimana aku harus pakai
aturan!" "Tapi apa pun juga aku masih suci bersih," kata si nona.
It-hiong tersenyum, katanya, "Baik, mari kita duduk dan bicara
...." Ia membawanya duduk di tepi tempat tidur, lalu berkata pula
dengan tertawa, "Biar kuberi tahukan padamu, hendaknya
engkau jangan kaget. Orang yang mengaku bernama Tam
Pek-sun itu sesungguhnya bernama Pokyang Thian dan
berjuluk In-tiong-yan, saat ini dia sudah mati."
"Hah, kau bunuh dia?" seru Giok-nio dengan terkejut.
It-hiong menggeleng, "Tidak, aku tidak membunuhnya, dia
mati di tangan seorang saudara angkatnya yang bernama
Hiat-pit-siucay Hui Giok-koan. Kemarin malam, setelah aku
dan Pang Bun-hiong membawanya pulang ke hotelnya,
kemudian dia mengaku bahwa kotak hitam yang dirampasnya
dariku itu ditanam di suatu tanah pekuburan. Kami lantas
menyewa kereta dan membawanya ke pekuburan itu ...."
Begitulah ia lantas menceritakan apa yang terjadi di
pekuburan itu semalam.
Giok-nio terkejut mengikuti kisah itu, katanya, "Wah, dan
kotak itu telah dibawa lari begitu saja oleh orang yang
bernama Hiat-pit-siucay Hui Giok-koan?"
It-hiong mengiakan.
"Lantas bagaimana keadaan luka Pang-kongcu?" tanya Gioknio.
"Tidak terlalu parah, selang dua hari pun akan sembuh,"
jawab It-hiong.
"Dan sekarang bagaimana rencanamu?" tanya pula Giok-nio.
"Kupikir hendak mengajakmu piknik ke Bok-jiu-oh," kata Ithiong.
"Kotak itu tidak kau urus lagi!"
"Tidak mau lagi. Kotak itu adalah benda yang membawa
alamat jelek, barang siapa memperolehnya akan tertimpa sial.
Aku kan orang baik-baik, buat apa mencari penyakit sendiri?"
Giok-nio berpikir sejenak, katanya kemudian dengan tertawa,
"Benar juga kotak itu tidak kau urus lagi. Barang itu memang
membawa alamat tidak baik ...."
"Eh, coba kau permisi dulu kepada Gui-coa-yo, keretaku sudah
menunggu di luar, ayolah segera kita berangkat pesiar ke Bokjiu-
oh." Giok-nio mengiakan, ia beranjak keluar.
Tak lama kemudian ia sudah kembali, katanya dengan
tertawa, "Beres. Biar kuganti pakaian dulu dan segera kita
berangkat. Sekarang silakan engkau keluar sebentar."
"Bawalah dua potong baju lebih banyak," kata It-hiong.
"Buat apa?" tanya si nona.
"Bilamana cukup menyenangkan, boleh kita tinggal beberapa
hari di sana," ujar It-hiong.
"Wah, jangan," kata Giok-nio.
"Kau khawatir kuganggu dirimu?"
"Habis engkau sudah terbiasa begitu, mau tak mau aku harus
waspada." "Jangan khawatir," ujar It-hiong dengan tertawa. "Jika hendak
kuganggu dirimu, di sini juga dapat kulakukan. Cukup kututuk
Hiat-to kelumpuhan dan Hiat-to bisu, membuatmu tidak dapat
bergerak dan bersuara, kan dapat kulakukan sekehendakku
atas dirimu?"
"Engkau harus bersumpah takkan menggangguku," pinta
Giok-nio. "Boleh," jawab It-hiong sambil berdoa. "Malaikat mahasakti,
aku Liong It-hiong bersumpah, bilamana tanpa
persetujuannya kuganggu dia, biarlah aku mati di atas tubuh
orang perempuan."
"Buset, masa mati di atas tubuh orang perempuan kau anggap
sebagai semacam hukuman?" tanya Giok-nio dengan
melenggong. "Tentu saja juga semacam hukuman," jawab It-hiong. "Coba
pikir, bilamana seorang lelaki mati di atas tubuh orang
perempuan, kan serbasusah dia."
Giok-nio mengomel, "Tampaknya mati pun engkau rela
asalkan tidur dengan orang perempuan. Tidak bisa, sumpah
lagi sekali!"
"Baik," kata It-hiong. "Malaikat mahakuasa, bilamana
kuganggu Giok-nio, biarlah kalau mati aku dijerumuskan ke
neraka." "Nah, mendingan begitu," ujar Giok-nio dengan tertawa.
"Sekarang keluarlah sebentar."
Dengan tersenyum It-hiong keluar kamar.
Giok-nio menutup pintu kamar dan mulai ganti baju dan
berdandan. Tidak terlalu lama ia membuka pintu, terlihat dia bersolek
dengan sederhana tapi anggun, sedikit pun tidak ada tandatanda
sebagai anak perempuan dunia hiburan, malahan
kelihatan terlebih cantik.
"Sudah beres?" tanya It-hiong dengan tertawa.
"Ya, boleh tidak aku berdandan begini?" tanya si nona dengan


Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tertawa. It-hiong mengangguk memuji, "Bagus setali, memangnya
engkau harus berdandan cara begini baru memper bernama Ni
Beng-ai." Giok-nio tersenyum menggiurkan, katanya, "Marilah
berangkat!"
Segera kedua orang meninggalkan Boan-wan-jun dengan
menumpang kereta.
Setelah kereta keluar kota, langsung menuju ke Bok-jiu-oh,
danau tanpa sedih.
"Di mana Pang-kongcu?" tanya Giok-nio.
"Dia tinggal di hotel dan merawat lukanya," jawab It-hiong.
"Kan menumpang kereta, kenapa tidak mengajaknya serta?"
ujar Giok-nio. "Ia bilang cuma akan merusak suasana saja bila berada
bersama kita, maka tidak mau ikut," tutur It-hiong dengan
tertawa. "Baik juga dia ...." ujar Giok-nio dengan tersenyum.
"Kau suka padanya?" tanya It-hiong.
"Jangan sembarang omong," jawab Giok-nio. "Aku cuma
bilang dia cukup baik, memangnya, engkau lantas cemburu?"
It-hiong terbahak, "Haha, masa aku cemburu. Soalnya
bilamana kau suka padanya, sedikit pun aku takkan marah
dan menyesal."
"Sebab apa?" tanya Giok-nio.
"Sebab dia memang ada segi-segi yang patut disukai, aku juga
sangat suka padanya," jawab It-hiong.
"Kalian tidak duel lagi?" tanya Giok-nio dengan tertawa.
"Sekarang kami tidak ingin duel lagi, aku tidak sampai hati
melukai dia."
"Ilmu silat kalian Pendekar Naga dan Pendekar Harimau sama
tingginya, bilamana kalian mau bergabung untuk kerja sama,
berbuat amal dan membantu kaum lemah, tentu kalian akan
dapat berbuat banyak."
It-hiong tersenyum, "Jika benar demikian jalan pikiranmu,
kami berjanji pasti takkan membuatmu kecewa."
Ia memandangnya dengan lekat-lekat, tanyanya kemudian
dengan tersenyum, "Giok-nio, apakah nama aslimu ialah Ni
Beng-ai?" Mendadak Giok-nio menunduk dan tidak menjawab.
"Eh, kenapa?" tanya It-hiong.
Giok-nio terdiam agak lama baru mengangkat kepalanya,
katanya dengan tertawa, "Namaku memang betul Beng-ai,
hanya tidak she Ni ...."
Sebenarnya It-hiong sudah mengambil keputusan, asalkan si
nona mengaku sebagai adik perempuan Oh Kiam-lam, maka si
nona akan dianggapnya sebagai gadis keluarga baik-baik dan
takkan main gerayang lagi kepadanya. Segera ia tanya,
"Engkau tidak she Ni, habis she apa?"
"Aku ... aku she Oh ...."
"She kan bukan sesuatu dosa, kenapa mesti mengaku she Ni?"
"Sebagai perempuan hiburan yang hina dina, buat apa segala
sesuatu bicara terus terang kepada orang?"
"Betul juga ucapanmu, jika, begitu kakakmu bernama Oh
Lam-hui, begitu?"
"Ya," Giok-nio mengangguk.
Melihat si nona belum lagi mau mengaku sebagai adik
perempuan Eng-jiau-ong Oh Kiam-lam, It-hiong rada kecewa
juga, ia angkat pundak dan berkata, "Ai, bilamana kakakmu
tidak mati, tentu engkau takkan telantar dan terjerumus di
dunia hiburan seperti ini."
"Mungkin sudah suratan nasib," ucap Giok-nio dengan
tersenyum getir.
"Tapi mengapa engkau tidak mau menikah saja?" ujar Ithiong.
"Dalam keadaan tidak punya sanak kadang cara bagaimana
aku dapat menikah" Masa aku harus mendatangi setiap orang
dan bertanya apakah mau menikahiku" Cara bagaimana aku
dapat bicara demikian?"
"Dan engkau lantas terjerumus ke jurang pelacuran seperti
ini?" "Ya," jawab Giok-nio. "Sejak kecil aku memang hidup miskin
dan susah, hampir tidak pernah hidup senang satu hari pun.
Makanya aku menjadi nekat dan memutuskan akan mencari
makan berdasarkan sedikit parasku yang lumayan ini,
sedapatnya ingin hidup layak."
"Dan sekarang apakah kau rasakan hidup dengan baik dan
layak?" tanya It-hiong.
Giok-nio menggeleng, ucapnya dengan tersenyum getir,
"Sekarang menyesal pun sudah terlambat."
"Kukira belum terlampau lambat, asalkan engkau bertekad
akan kembali ke tengah masyarakat yang baik engkau pasti
dapat hidup dengan baik."
"Bicara sih gampang," ujar Giok-nio dengan menghela napas.
"Sekali terpeleset menyesal selama hidup, ingin sadar kembali
pun sudah terlambat."
"Memangnya engkau sendiri merasa tidak sanggup kembali
lagi ke jalan yang baik?" tanya It-hiong.
"Bukan begitu soalnya," kata Giok-nio. "Aku cuma merasa
orang baik sukar dicari. Setiap tamu yang datang mencari
hiburan hampir seluruhnya bukan ... bukan suami idaman ...."
"Termasuk aku?" tanya It-hiong dengan tertawa.
Giok-nio tersenyum malu, katanya, "Engkau harus
dikecualikan, cuma aku cukup menyadari, orang luar biasa
seperti dirimu tidak nanti penujui bunga layu semacam diriku
ini." "Engkau bukan bunga layu, engkau kan masih suci bersih,"
kata It-hiong. "Siapa yang mau tahu?" ujar Giok-nio. "Sekali anak
perempuan sudah terjerumus ke dunia hina ini, biarpun dicuci
di sungai Kuning juga takkan bersih."
"Jangan engkau menyesali diri sendiri," kata It-hiong. "Yang
suka padamu bukan cuma aku saja, si Pang Bun-hiong pun
pernah berkata padaku, katanya bilamana aku tidak mau
padamu dia yang mau."
Muka Giok-nio menjadi merah dan bersuara, "Oo, lantas
bagaimana jawabmu?"
"Aku tidak menjawabnya," tutur It-hiong. "Cuma, kecuali aku
mati, kalau tidak, mana ada kesempatan baginya untuk
mendapatkan dirimu."
Dengan perasaan mesra Giok-nio memandangnya, katanya
dengan gembira, "Engkau tidak ... tidak dusta padaku?"
"Asalkan engkau tidak dusta padaku, pasti aku pun tidak dusta
padamu," kata It-hiong. Mendadak ia menguap kantuk,
"Semalaman aku tidak tidur dengan baik, sungguh sekarang
aku ingin tidur."
"Silakan tidur," kata Giok-nio.
It-hiong tidak bicara lagi, ia bersandar ke belakang, sebentar
saja ia benar tertidur.
Sang surya sudah condong ke barat, kereta itu masih terus
melanjutkan perjalanan, sejauh itu Liong It-hiong masih
tertidur dengan lelap.
Sering Giok-nio melongok ke luar kereta, memandang
panorama di luar, lama-lama ia tidak sabar dan juga merasa
sangsi, ia lantas mendorong It-hiong sambit berseru, "Hei,
bangun, bangun!"
It-hiong membuka mata, tanyanya, "Ada apa?"
"Sejak pagi kau tidur sampai sekarang, kan sudah cukup,"
kata si nona. It-hiong kucek-kucek matanya yang masih sepat, ucapnya,
"Oo, waktu apa sekarang?"
"Sudah dekat magrib," jawab Giok-nio.
It-hiong melongok ke luar kereta, lalu berkata, "Kiranya sudah
seharian dalam perjalanan, rasanya aku baru tidur sebentar
saja." "Kita ini kesasar atau tidak?" tanya Giok-nio tiba-tiba.
"Kesasar" Mana bisa?" kata It-hiong.
"Menurut cerita orang, letak Bok-jiu-oh tidak terlampau jauh,
sedangkan kita sudah seharian dalam perjalanan, mengapa
belum lagi sampai?"
"Mungkin sudah dekat," ujar It-hiong.
"Coba tanya si kusir, mungkin benar kesasar," kata Giok-nio.
It-hiong menyingkap tabir kereta dan tanya si kusir, "Hei,
bung, apa kamu tidak salah jalan?"
"Tidak." jawab si kusir.
"Berapa lama lagi baru akan sampai di Bok-jiu-oh?"
"Kira-kira dua jam lagi."
"Masa begitu jauh?"
"Ya."
It-hiong menurunkan tabir lalu tanya Giok-nio, "Engkau lapar
tidak?" Terlihat air muka si nona seperti menahan sesuatu perasaan,
jawabnya, "Tidak terlalu lapar, cuma aku ... aku ingin turun
sebentar ...."
"Mau apa?" tanya It-hiong.
Muka Giok-nio menjadi merah. "Mau kencing!" ucapnya lirih.
"Oo," kembali It-hiong menyingkap tabir dan berseru kepada
sais, "Hei, bung, berhenti dulu!"
Kusir mengiakan dan menghentikan keretanya.
It-hiong membuka pintu kereta dan memapah Giok-nio turun,
tanyanya, "Perlu kuantar tidak?"
"Tidak perlu, biar kupergi sendiri," jawab si nona.
Ia terus menuju ke dalam hutan di tepi jalan sana, tidak lama
kemudian ia sudah kembali dan naik ke atas kereta lagi,
katanya, "Baiklah, lanjutkan perjalanan."
Maka kereta lantas dilarikan pula ke depan.
It-hiong mengeluarkan sebungkus makanan katanya, "Mari
kita makan, ini kubawa dari hotel."
Makanan yang dibawanya terdiri dari macam-macam laukpauk
gorengan dan ada lagi kue tawar. Rupanya Giok-nio suka
makan gorengan sayap ayam, ia pilih sepotong sayap dan
dimakan dengan nikmatnya.
"Lengkap juga perbekalanmu, sungguh rapi cara berpikirmu,"
kata si nona. "Semua ini khusus disiapkan untukmu," kata It-hiong. "Maka
harus kau makan sekenyangnya."
"Lekas kau pun makan," ajak Giok-nio.
Tanpa bicara lagi It-hiong lantas makan kue dan lauk-pauk
lain. Hanya sebentar saja sebungkus makanan itu sudah disapu
bersih oleh mereka. Lalu It-hiong mengeluarkan sebotol arak,
katanya, "Ini bukan arak melainkan air minum biasa, kau mau
minum tidak!"
"Mau berikan secangkir padaku," pinta Giok-nio sambil
mengangguk. It-hiong mengeluarkan pula sebuah mangkuk, dituangnya
setengah mangkuk air minum itu kepada si nona, katanya
dengan tertawa, "Jika ini arak, berani kau minum tidak?"
"Berani," jawab Giok-nio sambil menerima mangkuk air itu.
It-hiong tersenyum. "Masa engkau tidak takut akan mabuk?"
"Tidak," jawab si nona.
"Sebab apa?" tanya It-hiong.
"Sebab engkau sudah bersumpah takkan menggangguku,"
kata Giok-nio. Habis berkata ia terus minum semangkuk air
itu. "Hihi, engkau terperangkap," ucap It-hiong dengan tertawa.
"Apa katamu?" berubah juga air muka Giok-nio.
"Telah kutaruh obat tidur di dalam air, segera engkau akan
jatuh pingsan," kata It-hiong tertawa.
Tentu saja Giok-nio tidak percaya, ia mencemooh, "Huh,
jangan kau takut-takuti aku."
"Tidak, aku bicara sesungguhnya," kata It-hiong. "Akan
kuhitung tiga kali dan engkau akan jatuh pingsan. Nah, satu
... dua ... tiga!"
"Bluk", Giok-nio benar-benar roboh terkulai.
Pada waktu yang tepat It-hiong sempat memegangi si nona
sehingga kepalanya tidak sampai terbentur benjut, lalu
direbahkannya perlahan di jok.
Pada saat itulah si kusir mendadak menyingkap tabir dan
melongok ke dalam, katanya dengan tertawa, "Wah, alangkah
kejamnya engkau ini, betul-betul telah kau kerjai dia."
"Terpaksa," kata It-hiong. "Biarlah dia tidur nyenyak kan lebih
baik, kalau tidak mungkin dia akan ribut."
"Betul, jika dia tahu engkau tidak mengajaknya piknik ke Bokjiu-
oh, pasti dia akan ribut," kata si kusir dengan tertawa.
"Cuma, engkau akan menggunakan kesempatan pada
kesempitan atau tidak?"
"Jangan khawatir, orang she Liong tidak nanti berbuat
curang," kata It-hiong.
"Sudah seharian aku mengendarai kereta, sekarang
giliranmu," kata kusir itu.
"Buset," seru It-hiong dengan tertawa. "Engkau ini kusir, aku
penumpang, masa kusir berani menyuruh penumpang menjadi
kusir bagimu" Sungguh terlalu!"
"Jangan omong kosong, lekas mengendarai kereta," seru si
kusir sambil menghentikan keretanya, lalu menyusup ke dalam
kereta. "Dan awas, jangan kau gerayangi dia, ada kemungkinan akan
kuambil dia sebagai istri," kata It-hiong.
"Ya, ya, tahu," jawab si kusir.
It-hiong tertawa dan turun dari tempat duduknya, lalu naik ke
bagian kusir di depan, ia tarik tali kendali dan dilarikan lagi
kereta itu. Kiranya si kusir yang mendadak berubah menjadi penumpang
ini tak-lain tak-bukan adalah samaran Hou-hiap Pang Bunhiong.
Sesudah duduk di kereta, Bun-hiong menyingsingkan kaki
celananya untuk memeriksa betis yang cedera dipukul Hui
Giok-koan itu, dilihatnya bagian itu belum hilang bengkaknya,
ia menggeleng kepala dan menghela napas, gumamnya,
"Sialan, hampir patah kakiku oleh pukulan Hui Giok-koan."
It-hiong tertawa mendengar ucapannya, katanya, "Hanya
terluka sedikit saja sudah berkeluh kesah panjang pendek,
tampaknya engkau ini sudah terbiasa hidup enak."
"Sejak berkecimpung di dunia Kangouw belum pernah terluka,
baru sekarang ini untuk pertama kalinya," kata Bun-hiong.
"Seorang panglima perang pun ada kemungkinan gugur di
garis depan, selanjutnya bila engkau berada bersamaku, pada
suatu hari pasti akan menderita terlebih hebat, untuk ini harus
ada persiapan mental bagimu," kata It-hiong.
"Tidak perlu kau takuti aku," kata Bun-hiong. "Pengalamanku
tidak kurang banyak daripadamu, kejadian apa pun pernah


Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kulihat." "Tapi tampaknya engkau tidak tahan sakit, bukan seorang
yang sanggup menahan derita," ujar It-hiong.
"Aku memang tidak kenal apa artinya derita, kalau dapat
menghindari penderitaan pasti akan kuhindari, hanya orang
tolol yang mau mencari susah sendiri," ujar Bun-hiong dengan
tertawa. "Kau kira engkau dapat menghindar?" tanya It-hiong.
"Akan kuhindari sedapatnya," sahut Bun-hiong.
It-hiong tertawa dan tidak menanggapi lagi.
Tidak lama kemudian cuaca pun gelap, malam sudah tiba.
Perjalanan masih terus berlangsung, dekat tengah malam
barulah It-hiong menghentikan keretanya, dikeluarkannya satu
ember makanan kuda yang sudah disiapkan sebelumnya,
setelah kuda makan kenyang baru melanjutkan perjalanan
lagi. Seterusnya kereta tidak pernah berhenti pula, ketika fajar
keesokannya tiba barulah kereta berhenti di suatu kaki bukit.
Ternyata selama sehari semalam kereta sudah menempuh
perjalanan sejauh lebih empat ratus li.
Setelah kereta berhenti, It-hiong melompat turun dan berseru,
"Sudah sampai, ayolah turun!"
Bun-hiong membuka pintu kereta dan turun, ia pandang
suasana di sekitarnya, katanya dan tertawa, "Jika tidak salah
pandanganku, tempat inilah kaki gunung Bok-kan-san sebelah
utara." It-hiong mengangguk, katanya dengan tertawa, "Betul,
tempat yang pernah kau jelajahi ternyata tidak sedikit."
"Apakah dia tinggal di atas gunung?" tanya Bun-hiong.
"Betul," jawab It-hiong.
"Ia masih tidur dengan nyenyak, apakah perlu dibangunkan?"
tanya Bun-hiong.
"Tidak perlu, sesudah bertemu dengan To Po-sit baru dia
dibangunkan," ujar It-hiong.
Ia lantas melepaskan kuda dari tali kendali kereta, kuda
dituntunnya ke tengah sebuah sungai gunung yang cetek,
dengan air sungai ia mandikan kudanya.
Warna kuda itu semula merah cokelat, akan tetapi setelah
disiram air dan disikat, seketika bulu kuda berubah warna,
sekarang berubah menjadi putih, warna merah cokelat tadi
telah luntur seluruhnya.
Kiranya kuda inilah kuda putih Pek-liong-ki kesayangan Ithiong,
demi untuk menipu Giok-nio, kemarin ia telah
mewarnai kuda putih itu dengan wenter merah cokelat.
Sesudah tiba di tempat tujuan, maka warna asli kuda itu
dipulihkan. Sesudah memandikan kuda, dituntunnya kuda itu dan
diserahkan kepada Bun-hiong, katanya, "Boleh kau naiki kuda
ini, kita masih harus menempuh suatu jarak cukup jauh."
Lalu bagaimana dengan si dia?" tanya Bun-hiong.
"Akan kugendong dia," ujar It-hiong.
"Dan bagaimana kereta itu?" tanya Bun-hiong pula.
"Buang saja," kata It-hiong.
"Kereta masih baru begini kan sayang kalau dibuang begitu
saja?" ujar Bun-hiong dengan melengak. "Kan lebih baik kita
tarik ke dalam hutan, kelak mungkin masih dapat kita gunakan
lagi." It-hiong mengangguk, "Boleh juga."
Ia masuk ke dalam kereta dan mengangkat keluar Giok-nio,
nona itu ditaruhnya di atas tanah, lalu kereta diseret ke dalam
hutan, disembunyikan di bawah pohon yang lebat dari sukar
terlihat. Lalu ia putar balik dan memondong Giok-nio dan berkata.
"Mari berangkat!"
Bun-hiong sudah pasang pelana kuda, segera ia mencemplak
ke atas kuda dan ikut It-hiong mendaki gunung.
Bok-kan-san adalah cagang pegunungan Thian-bok-san,
pepohonan tumbuh lebat, pemandangan indah permai, di
mana-mana hanya hutan bumbu yang rimbun, suatu tempat
tamasya yang terkenal.
Tentang sejarah Bok-kan-san boleh dikatakan sudah cukup
tua, konon pada waktu kerajaan Go di zaman Junciu, ketika
raja Go memerintahkan Kan Ciang menggembleng pedang, di
pegunungan inilah Kan Ciang menempa baja.
Namun baja yang ditempa ternyata tidak mau cair, maka istri
Kan Ciang yang bernama Bok Sia bertanya apa sebabnya, Kan
Ciang menjawab, "Dahulu mendiang guruku juga gagal
menempa baja, akhirnya menggunakan orang perempuan
sebagai tumbal dan pedang berhasil digembleng."
Setelah mendapat keterangan itu, malamnya di luar tahu sang
suami Bok Sia terjun ke dalam tungku, ketika Kan Ciang
mengetahui apa yang terjadi, namun Bok Sia sudah terbakar
menjadi ibu. Anehnya baja yang ditempanya lantas cair dan
Kan Ciang berhasil menggembleng dua bilah pedang jantan
dan betina serta diberi bernama menurut nama mereka. Nama
gunung Bok-kan ini pun lahir dari kisah tersebut.
Dengan sendirinya Bun-hiong juga tahu dongeng itu, dengan
tersenyum ia tanya, "Eh, kau percaya Kan Ciang memang
pernah menggembleng pedang di sini?"
"Dengan sendirinya dongeng itu sukar dipercaya dan juga
tidak ada alasan untuk dipercaya," ujar It-hiong.
"Kupikir kedua pedang pusaka yang bernama Kan Ciang dan
Bok Sia itu pasti ada, cuma sejarahnya sudah terlalu lama
sehingga sudah lama hilang jejaknya.
"Mungkin begitu," ujar It-hiong.
"Pernah kupesiar ke sini," tutur Bun-hiong, "banyak tempat
tamasya di lereng gunung ini, bahwa To Po-sit memilih tempat
ini sebagai tempat tirakatnya, sungguh harus diakui dia
memang pintar menikmati hidupnya."
"Ya, dia tinggal di sini, di dekat suatu tempat indah yang
bernama Loh-hoa-teng," tutur It-hiong.
"Apakah rumah tinggalnya sebuah gubuk bambu?" tanya Bunhiong.
"Dari mana kau tahu?" melengak juga It-hiong oleh
pertanyaan orang.
"Terus terang, pertengahan bulan 12 tahun yang lalu pernah
kupesiar ke sini," tutur Bun-hiong. "Di dekat Loh-hoa-teng
kurasakan bangunan gubuk itu sangat indah, kutaksir pemilik
rumah pasti seorang cendikia, maka timbul hasratku untuk
berkenalan, segera kudatangi ...."
"Akhirnya bagaimana?" sela It-hiong.
"Akhirnya menubruk tempat kosong, tuan rumah tidak ada di
tempat, mungkin lagi keluar."
It-hiong tersenyum, "Tidak, tuan rumahnya ada, hanya dia
tidak mau menerima tamu asing seperti dirimu ini."
"Bilamana kutahu tuan rumahnya adalah Tui-beng-poan-koan
To Po-sit, tidak bisa tidak akan kupaksa dia muncul
menemuiku," ujar Bun-hiong dengan tertawa.
"Wataknya memang nyentrik, maka jangan kau buat dia
marah, sekali dia marah, akibatnya bisa runyam," kata Ithiong.
"Runyam bagaimana?" tanya Bun-hiong.
"Kalau tidak mengomel terus-menerus selama tiga hari
sedikitnya, bisa jadi selama tiga hari pula dia tidak mau
bicara," kata It-hiong. "Pada waktu dia memaki orang tidak
ada seorang pun mampu menyuruhnya tutup mulut.
Sebaliknya ketika dia tutup mulut, juga tidak ada seorang pun
sanggup menyuruhnya buka mulut."
"Wah, jika demikian, dia benar-benar makhluk tua aneh," kata
Bun-hiong tertawa.
"Ya, meski wataknya sangat aneh, tapi otaknya justru sangat
encer," kata It-hiong. "Caranya menganalisis sesuatu urusan
biasanya sangat cepat dan tepat, semuanya dapat
diperhitungkannya dengan jitu."
"Engkau sangat memuja dia?" tanya Bun-hiong.
"Ye, bahkan aku siap sedia bekerja baginya," jawab It-hiong.
"Jika engkau berkumpul sekian lama dengan dia, tentu kau
pun akan takluk padanya lahir batin dan rela disuruh bekerja
apa pun baginya."
Begitulah keduanya sambil berjalan seraya bicara, kira-kira
dua-tiga li jauhnya, sampailah mereka di wilayah Loh-hoa-teng
yang dituju. It-hiong menjadi penunjuk jalan, ia membawa kawannya
menyusuri sebuah jalan setapak yang berliku-liku, akhirnya
sampai di pinggang gunung yang rindang dan sepi, lalu
terlihatlah rumah gedek bambu yang dimaksud.
Rumah gubuk itu tidak besar, tapi pekarangan yang dikelilingi
dengan pagar bambu cukup luas dan tertanam berbagai
pepohonan bunga yang indah dan aneh, bagi siapa pun sekali
pandang pasti akan timbul rasa senang dan yakin si tuan
rumah pasti seorang pertapa yang terpelajar.
Setiba di depan pagar bambu, segera It-hiong berteriak, "Liktiok
Lotiang (bapak bambu hijau), adakah engkau di rumah?"
Bun-hiong heran oleh ucapan It-hiong, dengan suara lirih ia
tanya, "Kau panggil dia Lik-tiok Lotiang?"
"Ya," jawab It-hiong dengan mendesis. "Ini cuma semacam
kode, supaya dia tahu akulah yang datang."
Tengah bicara, terdengar dari dalam rumah ada suara orang
tua menjawab, "Masuk saja!"
It-hiong berpaling dan berkata kepada Bun-hiong, "Kau
tunggu sebentar di luar, biar kumasuk memberitahukan
padanya, bilamana dia memperbolehkan kau masuk barulah
engkau masuk ke sana."
Bun-hiong mengangguk, ia turun dari kudanya dan menunggu
di situ. It-hiong lantas membuka pintu pagar, baru saja melangkah
masuk, tiba-tiba dari dalam rumah Tui-beng-poan-koan To Posit
berseru pula, "Yang itu juga disilakan masuk!"
Rupanya ia tahu juga ada orang asing ikut datang bersama Ithiong.
Mendengar nada ucapan To Po-sit cukup ramah, It-hiong tahu
hati orang lagi senang, segera ia berkata pula kepada Bunhiong,
"Beres, dia minta kau masuk, silakan ikut masuk
bersamaku."
Bun-hiong lantas menambat kuda dan masuk bersama Ithiong.
Ruangan rumah bambu ini sangat sederhana, namun sangat
resik, segala perabotan hampir seluruhnya terbuat dari bambu
sehingga menimbulkan semacam suasana yang khas.
Tui-beng-poan-koan duduk tenang di suatu kursi bambu yang
pakai sandaran.
Usianya antara 60 lebih, perawakannya kekar kuat, mukanya
bulat, kedua matanya sangat besar, pada waktu tidak marah
juga kelihatan seperti orang marah sehingga membuat orang
gentar. Ketika melihat It-hiong masuk dengan memondong seorang
nona, di belakangnya ikut pula seorang pemuda, wajah To Posit
memperlihatkan rasa heran dan kejut, tapi dia tidak
bertanya, agaknya dia seorang yang tidak suka banyak bicara.
Setelah It-hiong menaruh Giok-nio pada sebuah kursi bambu
yang lain, lalu ia memberi hormat kepada To Po-sit dan
berkata, "Lopothau, sudah kubawa kemari orang yang kau
minta." Tui-beng-poan-koan To Po-sit hanya bersuara perlahan,
namun pandangannya menatap Bun-hiong tanpa berkedip.
Bun-hiong rada kikuk, ia pun memberi hormat dan berkata,
"Cayhe Pang Bun-hiong menyampaikan salam hormat kepada
To-locianpwe."
Mulut To Po-sit tampak menjengkit, jengeknya, "Kuingat tahun
yang lalu pernah kau datang kemari."
"Betul," Bun-hiong memberi hormat pula. "Daya ingat
Locianpwe sungguh sangat bagus, urusan yang sudah
berselang beberapa bulan masih belum lupa."
To Po-sit menatapnya dengan sorot mata tajam, tanyanya
kemudian, "Untuk apa pula kau datang kemari?"
Cepat It-hiong menerangkan, "Dia adalah sahabatku yang
baru, sekali ini akulah yang mengajaknya kemari."
Tui-beng-poan-koan To Po-sit berpaling dan melotot padanya,
jengeknya, "Sahabat baru lantas kau bawa dia kemari begitu
saja" Apakah kau khawatir hidupku terlalu awet dan membikin
susah padamu, maka perlu dibikin mati lebih cepat?"
"Bukan begitu maksudku," jawab It-hiong. "Kutahu dia dapat
dipercaya, maka kubawa dia kemari. Dia bukan lain dari Houhiap
Pang Bun-hiong yang namanya terkenal di utara dan
selatan." To Po-sit tidak terpengaruh oleh nama "Hou-hiap", ia masih
bersikap dingin, katanya dengan nada ketus, "Biarpun dia
setan iblis juga sama, kalau aku tidak memberi izin, tidak
boleh sembarangan kau bawa orang kemari."
"Aku berani menjamin kepadamu bahwa dia pasti seorang
pemuda yang baik dan pakai aturan, tidak nanti berbuat
sesuatu yang merugikanmu," kata It-hiong.
"Hm, kau bicara seenaknya saja, memangnya engkau ini
cacing pita dalam perutnya sehingga kau tahu dia dapat
dipercaya?" damprat To Po-sit tambah marah. "Apa yang
pernah kukatakan padamu sudah kau lupakan seluruhnya"
Kenal orangnya, kenal mukanya, cara bagaimana tahu
hatinya" Berdasarkan apa kau bilang dia pemuda yang baik"
Berdasarkan apa pula kau berani menjamin dia pasti takkan
berbuat sesuatu yang merugikan diriku?"
Makin bicara makin keras suaranya, sorot matanya juga
tambah beringas serupa It-hiong hendak dicaploknya mentahmentah.
Padahal Pang Bun-hiong juga pemuda yang berwatak angkuh,
tidak pernah dihina oleh siapa pun, kini melihat sikap si kakek
sedemikian garangnya, ia naik pitam juga, tanpa pikir ia balas
memaki, "Dasar tua bangka, bila kau takut kubikin susah
padamu, biarlah kuangkat kaki saja dari sini dan habis
perkara, buat apa begitu galak?"
Mendadak To Po-sit menarik muka, ditatapnya anak muda itu
dengan tajam dan mendengus dengan kereng, "Bagus, berani
kau maki aku apa!"
Rada tegang juga perasaan Bun-hiong, namun dia tetap
bandel dan menjawab, "Kumaki tua bangka padamu, mau
apa?" "Kurang ajar! Coba maki sekali lagi?" damprat To Po-sit.
Diam-diam Bun-hiong mengumpulkan tenaga pada kedua
tangan dan siap menyambut serangan orang secara
mendadak, di mulut ia menjawab dengan bandel pula,
"Biarpun maki seratus kali lagi juga kuberani, tua bangka!"
Tentu saja It-hiong kelabakan, berulang ia memberi kedipan
mata sebagai tanda agar lekas Bun-hiong melarikan diri.
Namun Bun-hiong tidak mau lari, sebaliknya malah
memperlihatkan sikap menantang, tampaknya ia sudah
bertekad akan menghadapi labrakan Tui-beng-poan-koan To


Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Po-sit. "Coba maki sekali lagi!" jengek pula si kakek.
"Tua bangka!" tanpa pikir Bun-hiong benar-benar memaki lagi.
Sinar mata Tui-beng-poan-koan seakan-akan membara,
kembali ia berteriak, "Sekali lagi!"
Tanpa gentar Bun-hiong memaki pula, "Tua bangka, kan
sudah kukatakan, biarpun memaki lagi seratus kali juga
kuberani."
Mendadak air muka Tui-beng-poan-koan yang semula
beringas itu mengendur, rasa gusarnya mendadak buyar sama
sekali dan berubah menjadi senyuman yang welas asih,
katanya, "Bagus, maki lagi beberapa kali juga tidak menjadi
soal, cuma jangan telanjur menjadi biasa."
Bun-hiong tidak tahu mengapa sikap orang mendadak bisa
berubah, seketika ia melongo bingung malah.
"Duduklah!" kata Tui-beng-poan-koan kemudian dengan
tertawa. "Untuk apa!" tanya Bun-hiong dengan melenggong.
To Po-sit tersenyum, katanya, "Selama berpuluh tahun ini
tidak ada seorang pun berani memaki diriku secara
berhadapan, tapi kau bocah ini justru mempunyai keberanian
ini, hal ini menandakan anak muda seperti dirimu memang
bakat yang dapat dipupuk, sungguh aku sangat senang."
It-hiong tertawa geli, baru sekarang perasaannya yang tegang
merasa lega. Sebaliknya Pang Bun-hiong menyengir serbasalah. Banyak
juga orang aneh yang pernah dilihatnya, tapi tidak ada
seorang pun seaneh Tui-beng-poan-koan ini, dirinya telah
memakinya, bukannya marah, sebaliknya dia malah menaruh
kesan baik padanya, dalil macam apakah ini"
Ia masih meragukan perubahan sikap si kakek itu mungkin
cuma pura-pura saja maka dia tetap waspada, katanya
kemudian, "Sungguh aku tidak mengerti maksudmu."
"Hahaha, selanjutnya engkau tentu akan paham," seru Tuibeng-
poan-koan dengan tergelak, "Sekarang engkau adalah
tamuku, silakan duduk!"
It-hiong cukup kenal watak si kakek she To itu, ia tahu orang
sudah tidak mempunyai rasa permusuhan lagi terhadap Pang
Bun-hiong, segera ia menukas dengan tertawa, "Pang-heng,
silakan duduk, urusan sudah beres!"
Bun-hiong masih ragu sejenak, akhirnya barulah ia duduk.
Lalu Tui-beng-poan-koan berkata kepada Liong It-hiong,
"Pandanganmu memang tidak keliru, engkau telah mengikat
seorang sahabat baik."
"Tapi kami ada janji duel yang belum terlaksana," kata Ithiong
dengan tertawa.
"Oo, sebab apa?" tanya Tui-beng-poan-koan dengan
melengak. "Soalnya kami saling tidak mau mengalah, kami sudah sepakat
akan bertanding untuk menentukan siapa yang asor, tapi
lantaran macam-macam urusan, sejauh ini pertarungan itu
belum sempat berlangsung," demikian tutur It-hiong.
"O, lantas kapan kalian hendak bertanding?" tanya Tui-bengpoan-
koan dengan tertawa.
"Nanti padas waktu hatiku lagi kesal segera akan kulabrak
dia," jawab It-hiong. "Sekarang pikiranku lagi gembira, aku
tidak ingin berkelahi."
Tui-beng-poan-koan lantas berpaling ke arah Bun-hiong,
katanya dengan tersenyum, "Pernah juga kudengar nama
Hou-hiap yang tenar, tak tersangka yang dimaksudkan adalah
dirimu ini. Eh, siapa gurumu?"
"Kepandaianku adalah hasil latihanku dari berbagai perguruan
sehingga aku tidak mempunyai guru yang resmi," jawab Bunhiong.
"Aneh juga," Tui-beng-poan-koan menyatakan rasa herannya.
"Bahwa cuma perguruan biasa dapat mendidik anak muda
seperti dirimu, sungguh suatu kejutan."
"Kubelajar sedikit kepandaian dari berbagai perguruan sanasini,
lalu aku berkelana, dan mencari jago kelas tinggi untuk
bertanding, dalam pertandingan itu berhasil kucuri jurus
serangan lawan yang lihai, semuanya kukumpulkan, lamalama
dari himpunan berbagai ilmu silat itu dapatlah kulebur
dan kuciptakan semacam Kungfu tersendiri."
Tui-beng-poan-koan manggut-manggut sebagai tanda memuji,
lalu ia berkata kepada It-hiong dengan tertawa, "Berani
kukatakan dia jauh lebih pintar daripadamu, It-hiong."
It-hiong mengangkat pundak, jawabnya, "Dia memang sok
pintar ...."
"Eh, kapan kalian mulai berkenalan?" tanya Tui-beng-poankoan.
"Wah, ceritanya agak panjang," tutur It-hiong. "Apakah
engkau tidak mau memeriksa dulu nona yang kubawa ini?"
Tui-beng-poan-koan memandang Giok-nio sekejap, katanya,
"Engkau tidak salah tangkap orang, dia memang betul adik
perempuan Eng-jiau-ong Oh Kiam-lam. Apakah kau temukan
dia di Lau-jun-ih di Kim-tan?"
"Tidak, kutemukan dia di Boan-wan-jun di Kim-leng," sahut Ithiong.
"Cuma sebelum kutemukan dia di sana sudah lebih dulu
kukenal dia di suatu tempat lain."
"Bagaimana terjadinya?" tanya Tui-beng-poan-koan.
It-hiong lantas mengisahkan apa yang dialaminya, dimulai
sebelum dia datang di kota Kim-tan, lebih dulu dia bertemu
dengan Pang Bun-hiong di pedusunan itu, kedua orang lantas
bersepakat akan bertanding di bukit luar kota, di sana dirinya
bertemu dengan Si Hin yang sekarat dan memberi pesan serta
memberi kotak hitam kepadanya. Kemudian sepanjang
perjalanan selalu muncul orang mencegatnya dan hendak
merampas kotak hitam. Di Sian-li-bio berhasil ditolongnya Ni
Beng-ai, tapi pada hari berikutnya nona itu dibawa lari oleh Intiong-
yan Pokyang Thian, karena ingin menyelamatkan Ni
Beng-ai, terpaksa ia menyerahkan kotak hitam itu kepada
Pokyang Thian. Akhirnya ketika pulang ke Kim leng bersama
Pang Bun-hiong, di luar dugaan diketahuinya Ni Beng-ai
ternyata sana dengan Giok-nio adanya, begitulah semua itu
diceritakannya dengan jelas.
Habis mendengarkan kisah itu, tanpa terasa terunjuk rasa
heran pada wajah To Posit, ia tanya, "Jika demikian, jadi Oh
Beng-ai berbuat begitu hanya karena dipaksa oleh Pokyang
Thian dan bukannya sengaja berkomplot untuk menipumu?"
It-hiong mengangguk, "Ya, tampaknya memang begitu, jika
dia berkomplot dengan Pokyang Thian, tentu pada waktu
Pokyang Thian datang ke Boan-wan-jun tidak nanti dia mau
mengirim kabar kepadaku untuk datang menangkapnya, akan
tetapi dia benar-benar mengirim berita kepadaku. Dari sini
dapat diketahui dia memang tidak berkomplot dengan
Pokyang Thian."
"Bila benar begitu, kenapa Pokyang Thian tidak mau
berkomplot saja dengan perempuan lain, tapi pilihannya jatuh
padanya?" ujar Tui-beng-poan-koan.
"Ini disebabkan Pokyang Thian adalah saudara angkat
mendiang Eng-jiau-ong Oh Kiam-lam," tutur It-hiong. "Ia tahu
Oh Kiam-lam mempunyai adik perempuan yang terjerumus di
rumah pelacuran, ia anggap dapat memikat diriku dengan
kecantikan orang perempuan, maka dia memaksanya
memancing diriku. Ini cuma kejadian secara kebetulan saja,
tidak mungkin Pokyang Thian mengetahui aku hendak mencari
Giok-nio."
Ebook oleh : Dewi KZ
Scan book oleh : BBSC
Jilid 9 Tui-beng-poan-koan mengangguk, lalu tanya pula, "Dan
sekarang kotak hitam itu telah jatuh di tangan Hiat-pit-siucay
Hui Giok-koan?"
It-hiong membenarkan.
"Kau kira apa isi kotak hitam itu?" tanya Tui-beng-poan-koan
pula. "Entah, aku tidak tahu," It-hiong menggeleng.
Tui-beng-poan-koan berpikir sejenak, katanya kemudian,
"Pada waktu sebelum aku mengundurkan diri pernah juga
kudengar di Cap-pek-pan-nia muncul sekawanan bandit,
melihat gelagatnya sekarang, gembong kawanan bandit itu
pasti seorang tokoh luar biasa, agaknya dia telah
menggantikan kedudukan Eng-jiau-ong Oh Kiam-lam sebagai
pimpinan dunia hitam."
"Soalnya terletak pada kotak itu apakah miliknya atau Si Hin
juga merampasnya dari orang lain dan akan dibawa pulang ke
Cap-pek-pan-nia?" ujar It-hiong.
"Dengan sendirinya Si Hin dapat merampasnya dari orang
lain," kata Tui-beng-poan-koan. "Cuma, bagaimana
kepandaian Si Hin menurut pendapatmu?"
"Waktu kutemukan dia keadaannya sudah kempas-kempis,
cuma dinilai dari lawannya, agaknya dia bukan seorang tokoh
kelas tinggi," tutur It-hiong.
Bekernyit kening Tui-beng-poan-koan, katanya, "Aneh jika
begitu. Padahal kalau peti hitam itu dapat menimbulkan
incaran tokoh kelas tinggi seperti Miau-lolo dan lain-lain, ini
menandakan isi peti pasti benda pusaka yang tak ternilai
harganya. Mengapa benda sepenting itu hanya Si Hin saja
yang ditugaskan merampasnya oleh pimpinannya?"
"Bisa jadi perampasan peti itu oleh Si Hin bukan atas perintah
gembong iblis itu melainkan diperolehnya secara tidak
sengaja," tukas Bun-hiong.
Tui-beng-poan-koan menggeleng, "Tidak mungkin, jarak Cappek-
pan-nia dengan Kim-tan ada ribuan li jauhnya, jika Si Hin
orang dari Cap-pek-pan-nia, tanpa mendapat tugas tidak nanti
dia meninggalkan pangkalannya sejauh itu."
"Soal ini untuk sementara tidak perlu kita urus," ujar It-hiong.
"Jika Cianpwe menghendaki kutangkap kembali Oh Beng-ay,
sekarang anak perempuan itu sudah kubawa kemari, silakan
untuk diambil sesuatu tindakan."
"Tidak perlu bertindak apa-apa kepadanya, biarkan dia tinggal
saja di sini," kata Tui-beng-poan-koan tak acuh.
It-hiong melenggong, tanyanya, "Tapi engkau menyuruhku
menawannya ke sini kan ada sebabnya?"
"Dengan sendirinya ada sebabnya," jawab Tui-beng-poankoan.
"Soalnya penyakit kakiku makin lama makin berat dan
hampir tidak sanggup berjalan lagi, maka kuperlu pelayan
seorang perempuan."
"Hanya itu alasannya?" kembali It-hiong melenggong.
"Itulah salah satu alasannya," ujar Tui-beng-poan-koan.
"Alasan yang lain, biarlah kuberi tahukan lain kali saja."
It-hiong tahu alasan yang lain merupakan alasan pokok, tapi
orang tidak mau menjelaskan, hal ini membuatnya kecewa,
katanya, "Masa tidak dapat dijelaskan sekarang?"
"Tidak boleh," sahut Tui-beng-poan-koan.
"Nanti kalau dia sudah sadar, cara bagaimana kuberi
penjelasan kepadanya?" tanya It-hiong pula.
"Katakan engkau tidak tega menyaksikan dia terjerumus di
tempat kotor itu maka menolongnya ke sini, supaya dia bisa
hidup layak dan tenteram," kata si kakek.
"Kemudian?" tanya It-hiong.
"Kemudian boleh kau tinggalkan tempat ini, pergilah
merampas kembali peti hitam itu, sebab ingin kulihat
sesungguhnya apa isi peti itu sehingga menjadi incaran tokoh
sebanyak ini," kata Tui-beng-poan-koan.
"Wah, dunia seluas ini, ke mana dapat kutemukan Hiat-pitsiucay
Hui Giok-koan?" gumam It-hiong.
"Coba ke kamar tulisku, ambilkan kitab jejak tokoh ternama
dunia persilatan yang terletak di pojok atas rak buku itu," kata
Tui-beng-poan-koan.
"Apakah dalam kitab itu tercatat juga seluk-beluk dan jejak
Hiat-pit-siucay Hui Giok-koan?" It-hiong menegas.
"Ya, tercatat lengkap," jawab si kakek.
Tanpa bicara lagi It-hiong lantas menuju ke kamar tulis orang
dan mengambil sejilid kitab yang tebal, sesudah kembali di
ruangan depan, ia mulai membalik-balik halaman kitab itu.
Tidak lama dapatlah ditemukan halaman yang terdapat
keterangan mengenai Hiat-pit-siucay Hui Giok-koan, katanya,
"Aha, sudah kutemukan."
"Coba baca," pinta Tui-beng-poan-koan.
Dengan suara lantang It-hiong lantas membaca, "Hiat-pitsiucay
Hui Giok-koan, semula adalah murid Kong-tong-pay,
lantaran kelakuan buruk dipecat dari perguruan. Kemudian
bergabung dengan Eng-jiau-ong Oh Kiam-lam dan
komplotannya, bercokol di Kiu-liong-san dan melakukan
berbagai kejahatan. Senjata andalannya berbentuk Boankoan-
pit, wataknya kejam, tamak dan licin, tapi sok intelek,
suka bergaul dengan kaum cendikia, gemar makan pesut,
setiap tahun pada musim semi suka berkunjung ke pantai
Tengciu untuk makan daging pesut ...."
Mendengar sampai di sini Tui-beng-poan-koan lantas memberi
tanda, "Sudah, sudah, jangan baca lagi. Sekarang segera kau
berangkat ke Tengciu dan pasti dapat menemukan dia."
It-hiong menaruh kitab itu di meja, katanya, "Sekarang dia
sudah mendapatkan kotak hitam itu, mungkin dia takkan pergi
ke Tengciu lagi, sebab ...."
"Tidak, dia pasti ke sana," potong Tui-beng-poan-koan.
"Dan kalau tidak kutemukan dia?" tanya It-hiong.
"Jika begitu boleh kau kembali lagi ke sini dan akan kuatur
suatu akal lain bagimu, kutanggung kotak itu pasti dapat kau
temukan," kata si kakek.
"Kapan harus kuberangkat?" tanya It-hiong.
"Boleh berangkat besok pagi saja," jawab Tui-beng-poankoan.
"Dan aku bagaimana?" tanya Bun-hiong mendadak, "Cayhe
sangat ingin berbuat sesuatu bagimu, konon ada berapa
perkara lama yang aneh belum engkau pecahkan, bilamana
engkau tidak menolak, sungguh aku siap bekerja bagimu."
"Boleh sih boleh," ucap Tui-beng-poan-koan sambil berpikir,
"cuma urusan apa pun yang kau kerjakan bagiku selamanya
aku tidak memberi imbalan, untuk ini perlu kujelaskan
sebelumnya."
Bun-hiong tertawa, "Biarpun engkau mau membayar
kepadaku juga takkan kuterima. Tentu Cianpwe tahu, ayahku
adalah hartawan terkemuka di kota Kim-tan, masa aku
khawatir kekurangan uang"
"Selain tidak kuberi imbalan, terkadang, bahkan sering
kumaki-maki, apakah kau tahan dan bisa menerima?"
"Tidak menjadi soal," kata Bun-hiong. "Aku memang sangat
jarang dicaci maki orang serupa Cianpwe tadi, kalau terkadang
dicaci maki orang akan terasa nikmat malah."
"Hehe, dasar!" Tui-beng-poan-koan tertawa geli.
"Ya, pada dasarnya aku ini memang berwatak begitu," Bunhiong


Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

angkat pundak. Setelah berpikir, Tui-beng-poan-koan mengangguk, katanya,
"Baik, lain hari akan kuberi suatu tugas bagimu. Cuma ingat,
tugas ini sangat mungkin membahayakan jiwamu."
"Semakin berbahaya semakin menarik bagiku," ujar Bunhiong.
Tui-beng-poan-koan tersenyum, ia berpaling kepada It-hiong
dan berkata, "Nah, sekarang boleh kau bikin sadar dia, tapi
jangan kau ungkat tentang dia adalah adik Oh Kiam-lam,
hendaknya kalian tetap menganggap dia sebagai Giok-nio."
It-hiong mengangguk dan mengiakan, lalu ia masuk ke
belakang dan mengambil semangkuk air jernih untuk
menyiram muka Oh Beng-ay.
Hanya sebentar saja nona itu lantas bergerak dan siuman.
Sambil bersuara kemalasan perlahan Beng-ay membentang
matanya, dengan melenggong ia pandang Tui-beng-poankoan
dan Pang Bun-hiong. Sejenak kemudian barulah
pikirannya sadar benar, lalu berucap dengan bingung, "Meng
... mengapa aku berada di sini?"
"Aku yang mengantarmu ke sini," kata It-hiong dengan
tersenyum. Tersembul rasa takut pada wajah Oh Beng-ay, katanya pula,
"Tempat apakah ini!"
"Bok-kan-san," tutur It-hiong.
"Hah, Bok-kan-san"!" Beng-ay menegas dengan mata
terbelalak lebar.
"Betul," It-hiong mengangguk dengan tersenyum. "Tempat ini
jauh lebih indah untuk pesiar daripada Bok-jiu-oh."
Beng-ay berdiri, katanya dengan terkesiap, "Kau bilang
membawaku pesiar ke Bok-jiu-oh, kenapa sampai di Bok-kansan
sini?" "Seketika pendirianku berubah, yaitu karena ingin kubebaskan
dirimu dari neraka dunia itu, maka kubawa engkau ke sini,"
kata It-hiong dengan tertawa.
Beng-ay termangu-mangu sejenak, tiba-tiba ia berteriak, "Ah,
aku ingat!"
"Ingat apa?" tanya It-hiong.
"Waktu di dalam kereta engkau memberi air minum padaku,
kau bilang di dalam air minum terdapat obat tidur."
"Memang betul," kata It-hiong.
"Hm, apa artinya perbuatanmu ini?" tanya Beng-ay dengan
marah. "Soalnya aku khawatir engkau tidak mau," ujar It-hiong
tertawa. "Omong kosong," omel Beng-ay sambil mengentak kaki.
"Lekas membawaku pulang!"
It-hiong tidak menanggapi, ia tunjuk Tui-beng-poan-koan dan
berkata, "Ini guruku, lekas memberi hormat."
Beng-ay hanya melenggong saja tanpa bergerak.
"Ayo lekas," desak It-hiong.
Dengan mulut menjengkit dan ogah-ogahan Beng-ay memberi
hormat sekadarnya, lalu berkaok pula, "Aku mau pulang, ayo
lekas kau bawaku pulang!"
Mendadak It-hiong menariknya menuju ke suatu kamar sambil
berkata, "Marilah, boleh kita bicara di dalam kamar saja!"
"He, apa maksudmu"!" teriak Beng-ay sambil memberontak.
"Tidak, aku tidak mau!"
Akan tetapi It-hiong terlampau kuat baginya, betapa pun dia
meronta tetap sukar melepaskan diri dari pegangan It-hiong
dan akhirnya tetap diseret masuk ke kamar.
Setelah menutup pintu kamar segera It-hiong memeluknya
erat-erat. Beng-ay meronta lagi sekuatnya sambil menjerit, "Tidak, kau
mau apa" Lekas ... lekas lepaskan! Auhh ...."
Ia ingin berteriak lagi, tapi mulutnya keburu tersumbat oleh
mulut It-hiong.
Kembali ia meronta lagi beberapa kali, lalu sekujur badannya
lemas lunglai, berubah menjadi lunak dan pasrah.
Ciuman It-hiong membuat Beng-ay lupa daratan dan serupa
mabuk, kemudian dilepaskannya dan mendesis, "Kau bilang
ingin kembali ke masyarakat baik-baik bukan?"
"Ehmm ...." si nona mengangguk.
"Juga pernah kau tanya padaku mau padamu atau tidak,
bukan?" "Ehmm ...." kembali Beng-ay bersuara samar-samar.
"Dan sekarang aku mau padamu, apa pula yang ingin kau
katakan?" "Ti ... tidak ada."
"Jika begitu harus kau tinggal di sini dengan menurut."
"Baiklah."
Melihat usahanya berhasil dengan baik, lalu It-hiong
mendorong si nona agar duduk di kursi, dipesannya supaya
Beng-ay istirahat sendiri di situ, lalu ditinggal keluar.
Bun-hiong tersenyum dan menegurnya, "Sudah kau taklukkan
dia?" "Ya," It-hiong mengangguk.
"Hebat benar," puji Bun-hiong.
"Ah, biasa," ujar It-hiong.
Tui-beng-poan-koan berdehem, lalu berkata dengan kereng,
"Awas, jangan kau bikin susah dia, meski dia telantar, tapi
pada dasarnya dia bukan perempuan bermoral rendah."
"Ya, kutahu," jawab It-hiong.
"Dia bisa menanak nasi tidak?" tanya Tui-beng-poan-koan
pula. "Kukira bisa," jawab It-hiong.
"Jika begitu suruh dia menanak nasi, aku sudah lapar," kata si
kakek. It-hiong mengiakan dengan hormat.
Besoknya Liong It-hiong meninggalkan Bok-kan-san lagi,
seorang diri ia berangkat ke utara menuju Tengciu.
Pada pagi hari ketiga Pang Bun-hiong juga meninggalkan Bokkan-
san dengan mengemban suatu tugas, ia menuju ke
selatan. Tugas yang diberikan Tui-beng-poan-koan kepadanya adalah
menyuruh dia menyebarkan desas-desus bahwa adik
perempuan Eng-jiau-ong Oh Kiam-lam yang bernama Oh
Beng-ay telah diculik oleh Kiu-bwe-hou (rase ekor sembilan)
Kongsun Siau-hui, berita ini harus disebarkan merata ke
daerah Kanglam.
Apa maksud tujuannya tidak dijelaskan oleh Tui-beng-poankoan.
Dan orang macam apakah Kongsun Siau-hui itu"
Pertanyaan ini juga tidak dijawab oleh Tui-beng-poan-koan, ia
hanya memberi petunjuk kepada Pang Bun-hiong, bilamana
ada orang memaksa dia menjelaskan di mana jejak Kiu-bwehou
Kongsun Siau-hui, maka boleh mengaku bahwa Kongsun
Siau-hui berdiam di atas Ma-cik-san di tepi Thay-oh.
Pang Bun-hiong tidak tahu sebab apa Tui-beng-poan-koan
menyuruhnya berbuat demikian, cuma lamat-lamat dapat
dirasakannya permainan menarik segera akan naik pentas.
Dengan sendirinya ia pun tahu tugas ini sangat berbahaya dan
penuh risiko, namun dia tidak takut, ia memang suka
menyerempet bahaya, suka bertualang, dirasakannya tindakan
demikian adalah semacam kenikmatan.
Suatu hari ia sampai di kota Hauhong, dengan 80 tahil perak
ia beli seekor kuda bagus, lalu melanjutkan perjalanan ke
selatan provinsi Anhui.
Dua hari kemudian, untuk pertama kalinya sampailah dia di
suatu kota besar, yaitu Huiciu.
Bagi kaum terpelajar, Huiciu adalah tempat ternama, sebab
penduduk kota ini terkenal mahir membuat bak, yaitu batu
tinta hitam. Pang Bun-hiong adalah pemuda serbapandai, baik ilmu silat
maupun kesusastraan, maka terhadap bak keluaran Huiciu
juga sangat tertarik. Setiba di kota ini, langsung ia mendatangi
sebuah toko alat tulis yang paling besar dan paling terkenal, ia
beli beberapa potong bak ukuran besar dan berkualitas
terbaik. Lalu menyusuri jalan raya dan bermaksud mencari
sebuah restoran.
Karena tujuan perjalanan ini adalah menyiarkan berita, maka
ia anggap perlu mencari sebuah restoran yang paling ramai
dan biasa disinggahi tamu yang datang ke kota ini.
Setelah melintasi dua jalan raya, dilihatnya di depan ada
sebuah restoran dengan merek "Cip-eng-lau" (restoran tempat
berkumpulnya kaum kesatria).
Bun-hiong sangat senang, pikirnya, "Ini dia, dari namanya saja
dapat diduga restoran ini pasti tempat berkumpulnya para
kesatria, biarlah kumasuk ke situ."
Segera ia menghampiri restoran itu, kuda ditambat, lalu
masuk ke situ, cepat pelayan menyambutnya naik ke loteng.
Karena dekat tengah hari, restoran itu sudah hampir penuh
terisi tetamu yang ingin makan siang.
Bun-hiong berhenti sejenak di ujung tangga, dipandangnya
sekejap, terlihat tetamu di situ hampir seluruhnya adalah
kaum saudagar, di antaranya cuma satu-dua orang saja
serupa orang persilatan. Dengan sendirinya ia rada kecewa.
Tapi sudah telanjur naik ke atas loteng, tidaklah enak hati jika
segera mengundurkan diri, terpaksa ia pilih sebuah tempat
duduk di samping meja seorang tamu lain yang berdandan
serupa orang persilatan.
Ia memesan arak dan hidangan, kemudian ia coba melirik
tamu yang duduk di meja sebelah yang mirip orang persilatan
itu, dilihatnya usia orang antara 40-an, pakai ikat kepala kain
hijau, perawakannya kekar, meski wajahnya tidak begitu
menarik, namun kelihatan kereng dan gagah, malahan di
samping meja tertaruh sebuah bungkusan panjang, isinya
serupa sebilah golok.
Mau tak mau tergerak juga hatinya, ia membatin, "Orang ini
besar kemungkinan orang persilatan, harus kucari akal untuk
omong-omong dengan dia."
Sedang berpikir, kebetulan pelayan membawakan minuman
pendahuluan, yaitu secangkir teh panas.
Tiba-tiba Bun-hiong mendapat akal, ia angkat cangkir teh itu
dengan lagak hendak minum, lalu pura-pura tangan
kepanasan dan berteriak kaget, cangkir teh itu dilemparkan ke
samping kaki lelaki sebelah.
"Brak," cangkir pecah, teh panas juga menciprat kaki orang
itu. Dengan sendirinya lelaki itu kurang senang, omelnya, "Main
gila apa?"
"O, maaf, maaf! Tehnya terlalu panas, tanganku keselomot
dan tidak sanggup memegangi cangkirnya, apakah kaki Anda
terkena air panas?" cepat Bun-hiong minta maaf.
Dengan ketus lelaki itu hanya mendengus saja, lalu menikmati
hidangannya lagi, tampaknya urusan tak mau ditarik panjang
setelah Bun-hiong minta maaf.
Dengan cengar-cengir Bun-hiong sengaja tanya lagi, "Eh,
apakah kaki Anda terbakar?"
Lelaki itu hanya menggeleng saja.
Waktu itu pelayan datang membersihkan cangkir yang pecah,
Bun-hiong lantas menggerundel, "He, pelayan, kenapa kau
beri teh sepanas itu" Kan tidak perlu menyeduh teh dengan
air mendidih begitu?"
Lelaki setengah baya itu tertawa geli mendengar omelan Bunhiong
itu. Segera Bun-hiong membalas dengan tertawa, katanya, "Betul
kan ucapanku" Menyeduh teh kan tidak perlu pakai air
mendidih begitu" Sungguh aneh cara kerja restoran ini?"
Dengan tertawa lelaki itu menanggapi, "Teh yang baru
diseduh dengan sendirinya panas."
"Tapi seharusnya dibiarkan dingin dulu baru disajikan kepada
tamu," ujar Bun-hiong. "Air mendidih begitu mana dapat
diminum"!"
"Kurasakan teh tadi tidak terlalu panas," kata lelaki itu.
"Ah, masa, kurasakan panas sekali," ucap Bun-hiong. "Hawa
panas begini juga tidak cocok minum teh panas, biasanya aku
pun tidak suka minuman panas .... Eh, saudara ini seperti
sudah pernah kulihat, entah di mana?"
"Apa ya?" jawab lelaki setengah baya itu dengan tersenyum.
"Betul, tentu kita pernah bertemu di mana," kata Bun-hiong
dengan sungguh-sungguh. "Siapakah nama Anda yang
terhormat?"
"Cayhe she Thio bernama Hou," jawab lelaki setengah baja
itu. "Ah, kiranya Thio-heng adanya," ucap Bun-hiong sambil
memberi hormat. "Aku she Pang bernama Bun-hiong, mohon
banyak memberi petunjuk."
Serentak orang itu mengangkat kepala dan menatap Bunhiong
dengan tajam dan menegas, "Namamu Pang Bunhiong?"
"Betul," jawab Bun-hiong.
Kembali orang itu mengawasi dia sejenak, habis itu lantas
tertawa lebar dan berkata, "Haha, namamu serupa dengan
seseorang."
Bun-hiong memperlihatkan rasa tertarik, tanyanya, "Namaku
sama dengan nama siapa?"
"Sama dengan seorang pendekar muda, namanya juga Pang
Bun-hiong dan berjuluk Hou-hiap," tutur orang itu.
"Hahaha, apakah Thio-heng pernah melihat Hou-hiap Pang
Bun-hiong?" tanya Bun-hiong dengan tergelak.
"Belum, belum pernah," orang itu menggeleng kepala.
"Jika begitu, kan seharusnya Thio-heng menduga bukan
mustahil aku adalah Hou-hiap Pang Bun-hiong sendiri?"
"Memangnya engkau Hou-hiap Pang Bun-hiong asli?" orang itu
menegas dengan terkesiap sambil mengamat-amati Bun-hiong
lagi. "Ya, aku inilah orangnya," ujar Bun-hiong dengan tertawa.
"Benar?" orang itu melenggong.
"Kalau palsu uang kembali," kata Bun-hiong tergelak.
Lekas orang itu memberi hormat dan berseru, "Aha, selamat
bertemu. Tak tersangka engkau Hou-hiap Pang Bun-hiong
yang termasyhur, maaf jika aku kurang hormat."
"Terima kasih," sahut Bun-hiong.
"Bila tidak keberatan, bagaimana kalau kita minum bersama
satu meja?" ajak lelaki alias Thio Hou itu.
"Bagus sekali!" seru Bun-hiong dengan gembira.
Segera ia suruh pelayan memindahkan sendok dan sumpitnya
ke meja Thio Hou lalu duduk di depannya.
Thio Hou menuangkan arak secawan penuh, menyusul ia pun
menuang penuh cawan sendiri, katanya sambil angkat cawan,
"Mari, kuhormati Anda satu cawan!"
Bun-hiong mengucapkan terima kasih dan menghabiskan
secawan arak, lalu ia berpaling dan mendesak pelayan, "He,


Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pelayan, lekas bawakan hidangan yang kupesan!"
"Baik, segera datang!" sahut pelayan.
"Mari, mari, makan dulu hidanganku ini," kata Thio Hou.
"Baik, sekarang kumakan hidanganmu, sebentar engkau pun
makan hidanganku," ujar Bun-hiong, tanpa sungkan lagi
segera ia angkat sumpit dan makan minum.
Agaknya Thio Hou sangat menyukai kelugasan Bun-hiong,
katanya dengan tertawa, "Sungguh tak kusangka dapat
bertemu denganmu di sini, engkau ternyata berbeda daripada
Hou-hiap yang pernah kubayangkan."
"Memangnya bagaimana pribadiku menurut bayangan pikiran
Thio-heng?" tanya Bun-hiong.
"Kupikir engkau tentu bertubuh pendek gemuk, muka penuh
berewok, mata besar," tutur Thio Hou.
"Begitu bayangan Thio-heng, tentu disebabkan karena
julukanku memakai "Hou" bukan?" kata Bun-hiong dengan
tertawa. "Ya, memang begitulah," ujar Thio Hou.
"Tapi nama Thio-heng sendiri kan juga pakai "Hou", namun
tampaknya engkau toh tidak serupa harimau?"
Orang itu terbahak-bahak.
Dalam pada itu pelayan sudah mengantarkan hidangan,
segera kedua orang makan-minum terlebih asyik lagi dan
berulang-ulang saling mengangkat cawan.
"Bilamana tidak salah penglihatanku, Thio-heng ini tentu juga
orang persilatan," kata Bun-hiong dengan tertawa.
"Betul, sering juga kuberkecimpung di dunia Kangouw, tapi
aku tetap seorang Bu-beng-siau-cut (prajurit tak bernama
atau keroco), dibandingkan Hou-hiap tentu selisih terlampau
jauh." "Ah, jangan bilang begitu. Kuyakin Thio-heng pasti cukup
ternama di dunia Kangouw, justru akulah yang kurang
pengalaman dan tidak kenal padamu."
"Tidak, Cayhe memang benar seorang keroco belaka, bahwa
sekarang dapat berkenalan dengan Hou-hiap, sungguh sangat
beruntung bagiku."
"Tampang tanya, Thio-heng ini keluaran perguruan mana?"
tanya Bun-hiong.
"Ah, Cayhe bukan anak murid perguruan ternama, tidak perlu
kukatakan, hanya bikin malu saja," jawab Thio Hou.
"Wah, Thio-heng sungguh seorang yang rendah hati," ujar
Bun-hiong. "Eh, di mana Thio-heng bekerja?"
"Ah, bekerja apa, paling-paling berkeluyuran kian kemari
saja." ujar Thio Hou.
Kembali Bun-hiong mengangkat cawan lagi dengan dia, lalu
berkata pula dengan nada menyesal, "Padahal, nama seorang
menonjol atau tidak kan juga sama saja. Terkadang orang
yang namanya terlampau menonjol malah tidak baik, seperti
kata peribahasa, manusia takut ternama dan babi takut
gemuk. Orang yang terlalu terkenal justru akan mati terlebih
cepat." "Ah, juga tidak pasti begitu," kata Thio Hou.
"Kebanyakan begitu," seru Bun-hiong dengan suara yang
sengaja dikeraskan. "Misalnya saja tokoh kalangan hitam,
selama berpuluh tahun yang lalu, nama Eng-jiau-ong Oh
Kiam-lam kan cerlang-cemerlang ibarat sang surya
memancarkan cahayanya di tengah langit. Kedudukannya di
dunia Kangouw sungguh tidak ada bandingannya. Namun
pada akhirnya dia kan juga dibunuh orang?"
Thio Hou mengangguk-angguk.
Maka Bun-hiong menyambung pula, "Yang harus disesalkan,
selama masih hidup hubungan baik terpelihara, kalau sudah
mati segera ditinggalkan. Sesudah Eng-jiau-ong Oh Kiam-lam
mati, nasib adik perempuannya, Oh Beng-ay kan pantas
menimbulkan simpati orang?"
"He, kenapa dengan adik perempuannya?" tanya Thio Hou
dengan melengak.
"Sangat menyedihkan, dia terjerumus ke dunia pelacuran,"
tutur Bun-hiong.
"Aneh juga," kata Thio Hou. "Bukankah Oh Kiam-lam juga
punya beberapa saudara angkat" Mengapa mereka tidak
memerhatikan adik perempuan Oh Kiam-lam dan membiarkan
dia telantar?"
"Makanya tadi kubilang selama masih hidup hubungan baik
manusia tetap terpelihara, bilamana orangnya sudah mati,
segala sesuatu lantas berpisah dan tidak mau tahu lagi,
begitulah maksudku."
"Sungguh kasihan," ujar Thio Hou. "Meski Oh Kiam-lam bukan
tokoh golongan baik, paling sedikit dia juga seorang gembong
kalangan hitam yang pernah jaya, tak tersangka sesudah dia
mati perempuannya bisa terjerumus sejauh ini."
"Tapi masih ada lagi kemalangan lain yang lebih hebat," tukas
Bun-hiong. "Oo, apakah adik perempuannya itu juga mati?" tanya Thio
Hou. Bun-hiong menggeleng, "Tidak, dia tidak mati, hanya dibawa
lari orang."
"Siapa yang membawa lari dia?" tanya Thio Hou penuh minat.
"Kejadian itu kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri," tutur
Bun-hiong. "Hari itu kebetulan kucari kesenangan ke Boanwan-
jun di kota Kim-leng, kulihat seorang menyeretnya keluar
dan menculik dia dengan sebuah kereta. Sebelum berangkat
penculiknya sempat meninggalkan nama, ia mengaku sebagai
Kiu-bwe-hou Kongsun Siau-hui."
"Hahh, kiranya dia"!" seru Thio Hou dengan air muka berubah
rada pucat. Melihat sikap orang tentu tahu siapa Kiu-bwe-hou Kongsun
Siau-hui, segera ia tanya, "Thio-heng kenal Kiu-bwe-hou
Kongsun Siau-hui?"
"Tidak, tidak kenal," jawab Thio Hou sambil menggeleng.
"Cuma kutahu siapa dia, yaitu seorang tokoh yang sangat
ditakuti. Konon dia bermusuhan dengan Oh Kiam-lam, sekali
ini dia menculik adik perempuan Oh Kiam-lam, tentu
tujuannya ingin melampiaskan rasa dendamnya."
"Sesungguhnya ada permusuhan apa antara dia dengan Oh
Kiam-lam?" tanya Bun-hiong.
"Wah, aku sendiri tidak jelas urusan ini," jawab Thio Hou.
"Aku cuma tahu permusuhan antara mereka sangat
mendalam, cuma ... Oh Kiam-lam kan sudah mati empat lima
tahun, sebenarnya tidak pantai dia melampiaskan dendamnya
terhadap nona Oh yang tidak berdosa itu. Betapa pun
perbuatannya itu agak rendah dan pengecut."
"Memang," kata Bun-hiong.
"Tapi persoalannya juga harus ditinjau kembali," ujar Thio
Hou. "Pribadi Kiu-bwe-hou Kongsun Siau-hui itu memang
begitulah, licin, licik dan juga kejam, sedikit disakiti hatinya
pasti menuntut balas. Orang yang bersalah padanya pasti
akan disikatnya hingga habis-habisan."
"Entah akan diapakan nona Oh yang diculiknya itu!" tanya
Bun-hiong. "Kiu-bwe-hou Kongsun Siau-hui terkenal sebagai iblis perusak
orang perempuan," tutur Thio Hou, "maka dapat dipastikan
nona Oh akan diperkosa sepuasnya, habis itu baru
membunuhnya."
"Wah, perbuatannya itu terlampau tidak kenal
perikemanusiaan," ujar Bun-hiong. "Kudengar nona Oh itu
masih perawan suci bersih."
"Entah, aku tidak tahu hal ini," kata Thio Hou. "Dan entah
saudara angkat Oh Kiam-lam seperti Ang-liu-soh Ban Samhian
daun lain-lain mengetahui tidak kejadian ini?"
Bun-hiong berlagak tidak tahu dan bertanya, "Ang-liu-soh Ban
Sam-hian itu orang macam apa?"
"Dia terhitung saudara angkat Oh Kiam-lam yang paling lihai,"
tutur Thio Hou.
"Apakah dia mau menolong nona Oh jika mendapat sabar
tentang kejadian ini?" tanya Bun-hiong pula.
"Ya, hal ini memang tidak dapat dipastikan. Konon sebelum
Oh Kiam-lam terbunuh, di antara sesama saudara angkat
mereka sudah sering cekcok ...."
"Mengapa cekcok di antara mereka?" tanya Bun-hiong.
"Entah," jawab Thio Hou. "Besar kemungkinan karena
pembagian rezeki yang tidak merata sehingga menimbulkan
pertengkaran antara mereka sendiri. Terbunuhnya Oh Kiamlam
sangat mungkin juga ...."
"Juga perbuatan saudara-saudara angkatnya?" sela Bunhiong.
"Ya, ini hanya dugaanku saja," Thio Hou mengangguk.
"Ilmu silat Kiu-bwe-hou Kongsun Siau-hui sangat tinggi, aku
merasa bukan tandingannya, kalau tidak, tentu akan kutolong
nona Oh yang pantas dikasihani itu."
"Kau tahu di mana tempat tinggal Kiu-bwe-hou?" tanya Thio
Hou. Bun-hiong mengangguk, "Ya, tahu, waktu itu telah kubuntuti
dia dan mengetahui sarangnya."
Cepat Thio Hou menegas, "Di mana?"
"Wah, maaf, tidak dapat kukatakan," Bun-hiong menggeleng
sambil tertawa.
"Sebab apa?"
"Soalnya aku tidak berani menyalahi dia."
"Dari mana dia tahu engkau yang menyiarkan tempat
tinggalnya" Apa alangannya kau katakan kepadaku?"
"Tidak, jangan," kembali Bun-hiong menggeleng. "Bilamana
sampai diketahuinya, wah, bisa banyak mendatangkan
kesulitan bagiku."
"Engkau berjuluk Pendekar Harimau, kenapa engkau juga
takut urusan?" tanya Thio Hou dengan tertawa.
Bun-hiong menyengir, jawabnya, "Di hadapan Kiu-bwe-hou,
aku bukan lagi harimau tapi kucing."
"Hahaha!" Thio Hou tergelak, "Biarpun Kiu-bwe-hou
menakutkan, tapi engkau kan pendekar ternama, seorang
pendekar harus membela kebenaran dan menumpas
kejahatan."
"Namun, soalnya terletak pada nona Oh itu ada harganya
untuk ditolong atau tidak," ujar Bun-hiong. "Kakaknya kan
terkenal bukan manusia baik-baik, nona Oh itu sendiri
melacur. Kan tidak perlu aku mengambil risiko ini hanya untuk
membela seorang nona dari jenis ini?"
"Boleh kau katakan tempat tinggal Kiu-bwe-hou kepadaku,
aku yang akan menolong dia," kata Thio Hou.
"Thio-heng yakin mampu mengalahkan Kiu-bwe-hou?" tanya
Bun-hiong. "Dapat kuajak beberapa kawan untuk membantu," ujar Thio
Hou. "Ah, tidak. Betapa lihai kepandaian Kiu-bwe-hou kan cukup
diketahui Thio-heng, tidak boleh kubikin susah padamu
mengantar nyawa secara sia-sia."
"Ai, engkau ini terlampau banyak pertimbangan," kata Thio
Hou. "Kan tidak harus kugebrak dengan dia, masih banyak
jalan lain untuk menolong nona Oh, misalnya dapat kubawa
lari dia secara diam-diam."
"Tidak, tidak mungkin, tidak semudah itu," Bun-hiong
menggeleng. "Asalkan aku bertindak dengan hati-hati, mungkin akan
berhasil."
"Memangnya ada hubungan apa antara Thio-heng dengan Oh
Kiam-lam sehingga sukarela hendak menolong Oh Beng-ay
tanpa pikirkan keselamatan sendiri?"
"Tidak ada hubungan apa-apa," jawab Thio Hou. "Aku cuma
merana nona Oh itu pantas dikasihani, siapa pun harus
mengulurkan tangan untuk menolongnya."
"Jika tidak ada sesuatu hubungan, kukira engkau tidak perlu
menyerempet bahaya," ujar Bun-hiong. "Banyak campur
urusan hanya banyak menimbulkan kesulitan, marilah kita
jangan banyak ikut campur urusan orang lain tapi banyak
minum arak saja. Nah, mari minum lagi secawan!"
Thio Hou mengadu cawan lagi dengan dia, lalu bertanya
mengenai urusan lain, "Eh, ada keperluan apa Anda datang ke
Huiciu sini?"
"Tidak ada urusan apa pun," jawab Bun-hiong. "Aku biasa
melancong kian kemari, sekali ini kupesiar ke Kanglam dan
kebetulan mampir ke sini."
"Ke mana lagi kota berikutnya yang akan kau tuju?" tanya
Thio Hou. "Hiuleng, lalu putar balik ke timur, ke Soatang, tamasya ke
Liong-hou-san, kemudian mengunjungi juga Kiu-liong-san,"
tutur Bun-hiong.
"Wah, senang benar," ujar Thio Hou.
"Hidupku ada dua macam hobi," kata Bun-hiong. "Pertama
adalah perempuan, kedua adalah pesiar."
"Pesiar sendirian tidak terasa kesepian?" tanya Thio Hou.
"Tidak," jawab Bun-hiong.
"Sayang aku masih ada urusan, kalau tidak, boleh juga
mengiringimu pesiar," kata Thio Hou. "Sesungguhnya aku juga
gemar melancong."
"Lantas Thio-heng hendak pergi ke mana?" tanya Bun-hiong.
"Ada seorang teman tinggal di daerah utara, bulan yang lalu
kuterima suratnya, katanya ada sebuah Piaukiok mencari
tambahan tenaga, maka ingin kupergi ke sana untuk mengadu
untung." "Oo, kiranya begitu ...."
Setelah kedua orang mengobrol lagi sebentar, sesudah
kenyang makan minum, Thio Hou mendahului membayar
rekening, lalu meninggalkan restoran itu.
Rupanya Thio Hou juga menunggang kuda, ketika melihat
mereka mau berangkat, cepat pelayan membawakan kuda
mereka. Setelah memegang tali kendali kudanya, Bun-hiong berkata
kepada Thio Hou, "Kita baru saja berkenalan dan segera
membikin Thio-heng merogoh saku, sungguh tidak enak hati
rasanya." "Ah, soal kecil, buat apa dipikir," ujar Thio Hou dengan lugas.
"Rasanya kita sama cocok satu dengan yang lain, semoga kita
berjumpa lagi kelak," ucap Bun-hiong.
"Anda adalah pendekar ternama, kalau sudi bergaul dengan
kaum keroco seperti diriku, bolehlah kita bersahabat, kelak
tentu akan kucari Anda bila datang ke Kim-tan."
"Aha, pasti akan kusambut dengan gembira," seru Bun-hiong.
"Sampai bertemu!"
Begitulah keduanya lantas mencemplak ke atas kuda masingmasing
dan mengucapkan salam perpisahan, lalu seorang
menuju ke utara dan yang lain ke selatan.


Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Langsung Bun-hiong meninggalkan kota Huiciu dan
melanjutkan perjalanan ke selatan. Setelah mengalami
penyebaran desas-desus sekali ini telah disadarinya sesuatu,
yaitu bahwa sebabnya Tui-beng-poan-koan menyuruhnya
menyebarkan berita tentang Oh Beng-ay diculik Kiu-bwe-hou
Kongsun Siau-hui, tujuannya adalah ingin memancing seorang
untuk tampil menolong Oh Beng-ay, pada saat orang yang
dimaksud itu muncul, barulah akan ditangkapnya.
Dapat diduganya pula orang yang hendak ditangkap Tui-bengpoan-
koan pas Kuda Putih 2 Pendekar Riang Karya Khu Lung Amarah Pedang Bunga Iblis 1
^