Rajawali Hitam 1

Rajawali Hitam Karya Kho Ping Hoo Bagian 1


Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Rajawali Hitam Seri Gelang Kemala III
( LANJUTAN DEWI ULAR )
Karya Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Sumber djvu: syauqy_arr
convert & edit ebook : MCH
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
RAJAWALI HITAM Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid I Gadis itu terbangun dari tidurnya dalam sebuah kamar hotel di kota Hui-cu. Begitu terbangun dari tidurnya, gadis itu tidak segera turun dari pembaringan, melainkan duduk bersila dan bersamadhi.
Ia seorang gadis yang berusia kurang lebih duapuluh
satu tahun. Pakaiannya berkembang cerah dan wajahnya cantik jelita. Mukanya bulat telur, mulutnya kecil mungil dengan bibir merah membasah. Hidungnya mancung dan
ujungnya agak menjungat ke atas lucu sekali. Di kanan kiri mulutnya terdapat lesung pipit
Seorang gadis yang cantik jelita, bahkan dalam keadaan baru bangun tidur dan rambutnya awut-awutan, ia masih tampak cantik sekali.
Dara ini bernama Souw Lee Cin. Biarpun usianya baru
kurang dari duapuluh satu tahun, namun namanya di dunia kang-ouw
sudah terkenal, bahkan banyak orang menjulukinya Dewi Ular Cantik (Bi Coa Sian-li) karena gadis ini terkenal sebagai seorang pawang ular yang pandai. Ilmu silatnya amat tinggi karena ia digembleng oleh ibunya sendiri yang berjuluk Ang-tok Mo-li (Iblis Betina Racun Merah) Bu Siang, seorang wanita setengah tua yang juga amat cantik akan tetapi amat ganas pula sehingga mendapat julukan seperti itu. Ang-tok Mo-li telah menurunkan seluruh ilmunya kepada muridnya yang juga puteri kandungnya ini sehingga tingkat kepandaian Lee Cin sudah hampir menyamai ibunya.
Akan tetapi ibunya itu hidup terpisah dari ayahnya, dan baru saja beberapa bulan ini mereka hidup bersama.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ayah Lee Cin adalah seorang pendekar besar bernama
Souw Tek Bun yang dijuluki Sin-kiam Hok-mo (Si Pedang Sakti Penaluk Iblis) dan karena kebijaksanaannya, dalam pemilihan beng-cu dua tahun yang lalu dia terpilih sebagai Beng-cu (Pemimpin) dari dunia kang-ouw. Di waktu
mudanya, Souw Tek Bun berpisah dari Ang-tok Mo-li Bu Siang karena perbedaan watak, si wanita berwatak ganas dan kejam seperti iblis betina, yang pria berwatak gagah perkasa dan budiman seperti seorang pendekar besar.
Berkat usaha Lee Cin, maka ayah dan ibunya itu kini hidup bersama dengan bahagia di pegunungan Hong-san.
Lee Cin merupakan pendekar wanita yang gagah perkasa.
Ia memiliki sebatang pedang pusaka yang disebut Ang coa-kiam (Pedang Ular Merah) dan memainkannya dengan ilmu pedang coa-kiamsut. Selain itu, dari ibunya ia mempelajari pula Ang-tok-ciang (Tangan Racun Merah) yang amat
berbahaya, ilmu silat Sin-liong-kun (Sitar Naga Sakti) yang tangguh dan dari In Kong Thai-su, seorang tokoh besar Siauw-limpai ia pernah diberi pelajaran ilmu totok It-yang-ci yang
ampuhnya bukan main. Dengan semua ilmu kepandaiannya ini, Lee Cin berani malang melintang di dunia kang-ouw dan jarang menemukan tandingan.
Akan tetapi mengapa di pagi hari itu ia nampak demikian kusut dan terus bersamadhi setelah bangun tidur" Bahkan kedua matanya agak membengkak seperti orang yang
kebanyakan menangis. Memang sesungguhnyalah, malam
tadi Lee Cin hampir tidak dapat pulas dan sehari semalam hanya menangis saja menyesali nasib dirinya. Kurang lebih dua tahun yang lalu cintanya terhadap seorang pemuda bernama Song Thian Lee gagal karena pemuda itu mencinta seorang dara lain yang kini telah dikawininya. Kemudian, ia jatuh cinta kepada seorang pemuda bernama Cia Tin Han, akan tetapi apa yang terjadi" Baru kemarin ia melihat sendiri betapa Tin Han ditendang oleh neneknya sendiri dan terjatuh ke dalam jurang yang amat dalam! Ia menangisi Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kematian Tin Han dengan hati hancur lebur. Hanya setelah teringat akan nasihat ayahnya bahwa ia harus dapat
menerima dan menghadapi kenyataan dengan gagah, ia
dapat pulas dan pagi ini begitu terbangun, ia bersamadhi untuk menenteramkan pikirannya.
Baru saja ia menyadari bahwa ia mencinta Tin Han
setelah Tin Han ditendang ke dalam jurang! Tadinya ia masih ragu karena Tin Han dianggapnya sebagai seorang pemuda lemah lembut yang berjiwa patriot, dan iapun
tertarik kepada seorang tokoh lain yang misterius, seorang yang selalu menolongnya dan berkedok hitam, yang
disebutnya saja Si Kedok Hitam. Tidak tahunya, Si Kedok Hitam itu bukan lain adalah Cia Tin Han (Baca kisah Dewi Ular). Keluarga Cia Tin Han yang lain semua bekerja sama dengan pemberontak Panglima Phoa dan dengan orang-orang Jepang dan hal ini ditentang oleh Tin "Han, maka dia diserang sendiri oleh neneknya sehingga terlempar ke dalam jurang.
Di dalam samadhinya, bayangan Tin Han selalu mengganggunya. Akhirnya ia membiarkan bayangan itu
memasuki lamunannya. Seorang pemuda yang gembira,
tampan, agak ugal-ugalan akan tetapi pemberani luar biasa.
Kini pemuda yang dicintanya itu telah tiada, lenyap ditelan jurang yang lebar dan dalam. Akan tetapi jatuhnya ke jurang itu belum merupakan bukti bahwa dia telah mati. Bangkit kembali semangat Lee Cin setelah berpikir begitu!
Lee Cin membersihkan dirinya dan mandi sampai
tubuhnya terasa segar kembali. Ia sudah dapat mengusir semua sisa duka dari hatinya, matanya sudah bersinar terang kembali. Ia maklum bahwa ia tidak boleh hanyut dalam seretan duka. Ia harus menghadapi kenyataan dengan mata terbuka. Cia Tin Han terjatuh ke dalam jurang, akan tetapi hal itu belum berarti bahwa dia mati. Ini bukan merupakan harapan kosong untuk menghibur hatinya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Memang, terjatuh dari tempat setinggi itu tidak mungkin seseorang dapat hidup lagi. Akan tetapi ini bukan atau belum menjadi bukti bahwa dia mati. Ia harus mencari Tin Han ke dasar jurang. Ia harus melihat sendiri bahwa
pemuda itu sudah tewas dan menguburkan jenazahnya.
Kasihan kalau Tin Han tewas di dasar jurang itu tanpa ada yang mengurus jenazahnya. Ia harus mencarinya dan
membuktikan sendiri bahwa Cia Tin Han, laki-laki yang dicintanya itu, benar-benar telah tiada.
Setelah mandi dan berganti pakaian, Lee Cin membayar sewa kamar, menggendong buntalan pakaiannya, kemudian meninggalkan rumah penginapan dan segera pergi keluar kota menuju ke bukit di mana kemarin ia tertawan oleh Keluarga Cia. Dari apa yang didengarnya kemarin, ia dapat menduga
bahwa Keluarga Cia tentu telah pergi meninggalkan bukit itu, karena takut kalau disergap musuh.
Ia mendaki tempat di mana kemarin Tin Han terjengkang ke dalam jurang. Tempat itu sunyi, tidak nampak seorang pun manusia. Lee Cin menghampiri jurang itu dan melongok ke bawah. Ia merasa ngeri. Jurang itu merupakan tebing yang amat curam, dan ia tidak dapat melihat dasar jurang yang tertutup kabut. Agaknya hanya burung yang memiliki sayap saja yang akan dapat menuruni tebing itu. Ia harus mencari jalan lain untuk mencapai tebing jurang itu. Tidak mungkin rasanya menuruni jurang itu dari situ. Terlalu terjal dan sekali terpeleset, habislah sudah riwayatnya.
Ia lalu mengambil jalan lain yang turunnya tidak begitu terjal. Akan tetapi inipun amat sukarnya. Ia harus
melangkah dari batu ke batu dengan hati-hati karena sekali batu itu terlepas dan menggelinding ke bawah, ia sendiri tentu akan menggelinding ke bawah. Ia melangkah dengan hati-hati, berpegangan batu dan akar pohon. Setelah agak dalam, ia melihat batang-batang pohon banyak bertumbuh Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
di tempat itu. Dengan berpegangan pada cabang dan barang pohon, ia dapat merayap ke bawah lagi.
Lee Cin harus mempergunakan ilmu meringankan tubuh
untuk merayap seperti itu. Kadang-kadang dinding itu demikian terjalnya sehingga tegak lurus! Hanya dengan berpegang kepada cabang pohon dan lubang-lubang yang terdapat di permukaan batu dinding itu ia dapat merayap terus ke bawah. Ia harus berhati-hati sekali karena sekali pegangannya
terlepas atau injakan kakinya meleset, tubuhnya akan terhempas ke bawah dan mungkin akan
terbanting ke atas batu yang akan membuat tubuhnya
hancur lebur! Lee Cin merayap terus. Dua jam telah berlalu sejak ia merayap dari penurunan pertama. Pekerjaan ini makan banyak tenaga sehingga tubuhnya sudah basah oleh keringat.
Akan tetapi ia terus turun sampai akhirnya dasar tebing itu tampak olehnya. Sinar matahari telah mencapai dasar tebing dan ia terpesona. Seolah ia melihat taman sorga di bawah kakinya! Begitu terang, kuning kehijauan, teramat indahnya. Ada sebatang sungai kecil berlekak-lekuk di bawah sana. Ada padang rumput yang hijau segar. Ia
merayap terus dan akhirnya dapat menginjakkan kakinya ke atas
tanah datar. Ketika ia memandang ke atas, pandangannya terhalang kabut dan ia tidak dapat melihat bagian atas tebing. Alangkah tingginya seakan menembus awan. Matahari dengan sinarnyapun tidak dapat menembus kabut itu. Sinar yang jatuh ke permukaan dasar tebing datang dari jurusan lain yang tidak terhalang tebing. Tebing itu merupakan bukit yang menjulang tinggi. Hatinya
berdebar. Mungkinkah ia dapat bertemu dengan Tin Han dalam keadaan masih hidup"
Ia menutup lamunannya. Tidak, ia tidak mengharapkan
apa-apa, karena harapan ini kalau ternyata sia-sia akan menghancurkan
hatinya. Ia akan mencari dan siap Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menemukan Tin Han dalam keadaan bagaimanapun juga. Ia harus tabah dan waspada.
Mulailah Lee Cin mencari-cari. Karena ia tidak tahu
dengan presis di mana Tin Han terjatuh, tidak dapat
mengkira-kirakan dari bagian mana pemuda itu terjatuh, ia lalu menyusuri pinggir dasar tebing itu yang ternyata panjang sekali.
Setelah memakan waktu lama, sam pai di ujung sana, ia tidak menemukan sesuatu. Apa lagi tubuh Tin Han, bekas bekasnyapun tidak ada. la merasa penasaran dan memutar tubuhnya, mengulangi lagi dengan arah berbalik. Ia
menyusuri dasar tebing dari sebelah sana sampai akhirnya tiba di bagian yang tidak ada tebingnya, melainkan tanah datar dan jauh di sana tampak genteng rumah pedusunan.
Tidak juga ia menemukan tubuh Tin Han. Ia menjadi
bingung. Apakah Tin Han dapat lobos dan selamat" Rasanya tidak mungkin! Ia kembali lagi dan mulailah ia memanggil-manggil.
"Han-ko.........
Han-ko.........
Ia mengulang-ulang
panggilannya dengan pengerahan tenaga khi-kang sehingga suaranya menimbulkan gaung yang aneh. Akan tetapi tidak ada jawaban. Tin Han lenyap begitu saja seperti ditelan bumi! Ia melongok dari jurang ke jurang lain, jurang-jurang kecil yang berada di bawah tebing, namun tidak nampak ada tubuh orang di sana.
Akhirnya ia menjatuhkan diri, duduk di bawah sebatang pohon dengan tubuh lemas. Diambilnya sehelai saputangan untuk mengusap leher dan mukanya yang basah. Ia
mengambil napas panjang untuk menghimpun tenaga murni karena ia merasa lelah sekali. Lelah lahir batin. Matanya masih liar mencari-cari, kalau-kalau melihat tubuh pemuda itu tersangkut di suatu tempat.
Lee Cin duduk bersila, memejamkan matanya, menenteramkan hatinya. Tenanglah, kata hatinya kepada Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
diri sendiri. Tin Han tidak ada, tubuhnya tidak ada, berarti dia belum mati atau hilang. Rasanya tidak mungkin terjadi dari tempat setinggi itu tidak mati akan tetapi mengapa hilang" Kalau terbanting dari atas, tidak mungkin tubuhnya hancur lebur dan tidak meninggalkan sisa. Ia ber gidik, ngeri membayangkan itu. Ke manakah Tin Han" Apa jadinya
dengan dia" Ia membuka matanya lagi, memandang ke atas yang tertutup kabut dan ke kanan kiri, kembali mencari-cari. Jangan-jangan tadi karena lelahnya, ia mencari kurang teliti. Maka, iapun bangkit kembali, lalu sekali lagi menyusuri dasar tebing dari ujung sini ke ujung sana, kadang berhenti untuk meneliti satu bagian. Namun sia-sia belaka, tidak ditemukannya tubuh Tin Han atau bekas-bekasnya sedikitpun. Tin Han lenyap begitu saja!
Kembali Lee Cin duduk bersila, bertanya-tanya dalam
hatinya kemudian seperti dengan sendirinya, matanya
ditujukan ke atas, ke langit. Ya Tuhan, apa yang telah Engkau lakukan terhadap Tin Han, bisik hatinya. Masih hidup atau sudah matikah dia" Kalau masih hidup,
bagaimana dan di mana dia berada" Kalau sudah mati, apa yang terjadi dengan jenazahnya" Semua pertanyaannya
tidak terjawab. Untuk mengusir rasa ke sepiannya yang teramat mendalam, ia lalu mengambil sulingnya dan seperti tanpa disengaja ia meniup sulingnya, memanggil ular-ular di daerah itu. Ia hanya teringat bahwa kalau Tin Han dapat mendengar suara sulingnya, seperti juga ular-ularnya, pasti akan datang juga ke situ.
Akan tetapi setelah beberapa lamanya meniup suling,
yang berdatangan hanya ular-ular dari semua penjuru. Ular-ular besar kecil, dengan beraneka bentuk dan warna datang dan mengepung Lee Cin dalam jarak dua meter di bawah pohon.
Lee Cin menghentikan tiupan sulingnya, memandang
kepada ular-ular yang kini diam di sekelilingnya itu dan ia Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
merasa aman. Ular-ular itu adalah binatang-binatang yang biarpun dianggap sebagai binatang berbahaya, namun
sebenarnya merupakan binatang yang sama sekali tidak buas. Manusia lebih buas dari pada ular. Manusia
menyerang mahluk lain, membunuh mahluk lain hanya
untuk dimakan atau hanya untuk bersenang-senang.
Adapun ular-ular itu, tidak akan mengganggu siapapun kalau saja tidak lebih dulu diganggu. Ular-ular itu hanya mengenal membela diri dan melawan pengganggunya demi keselamatannya, tidak pernah menyerang lebih dulu tanpa sebab. Lee Cin melihat seekor ular putih sebesar ibu jari tangannya merayap di dekatnya. Ia menjulurkan tangannya dan ular itu segera merayap ke tangannya, melibatkan ekornya pada pergelangan tangan Lee Cin, lidahnya keluar masuk dan matanya memandang kepada Lee Cin dengan
tajam. Alangkah lucunya! Lee Cin membelai ular itu dengan jari-jari tangannya, lalu melepaskannya lagi.
Akan tetapi senyumnya menghilang ketika ia teringat lagi kepada Tin Han. Awan duka kembali menyelimuti wajahnya.
Tadi, ketika ular-ular itu datang, pikirannya sejenak melupakan Tin Han dan dukapun lenyap. Kini ia teringat lagi dan duka kembali menguasai hatinya.
Ia lalu menutup sulingnya mengusir ular-ular itu. Satu demi satu ular-ular itu merayap pergi meninggalkan Lee Cin.
Keadaan menjadi sunyi kembali setelah Lee Cin menghentikan tiupan sulingnya. Ia merasa seolah dirinya diteIan kesunyian.
Kesunyian sejati merupakan keheningin lahir batin dan keadaan ini dapat mengayun manusia ke dalam dimensi
lain, di atas suka dan duka. Akan tetapi merasa kesepian lain lagi. Merasa kesepian merupakan kerinduan akan
seseorang atau suatu dan hal ini mendatangkan siksa dalam batin. Merasa ditinggalkan, merasa kesepian dan merasa tidak ada yang memperdulikan, membuat hati merasa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
nelangsa dan hidup seolah tidak ada artinya. Pada hal, hidup harus berani berada dalam keadaan sunyi dan hening.
Hidup harus berani sendiri, karena segala sebab akibat berada dalam diri sendiri, segala tanggung-jawab juga harus dipikul sendiri. Hidup tidak dapat digantungkan kepada siapapun juga. Akhirnya, kalau nyawa sudah mening galkan badan, setiap orang manusia juga harus bersendirian, sendiri menghadapi maut, tidak ditemani siapapun juga.
Karena itu, di waktu masih hidup, harus berani bersunyi diri, berhening-hening karena hanya dalam keheningan lahir batin inilah dapat ditemukan apa yang selalu dicari-cari orang, yakni kebahagiaan. Keheningan berarti kebahagiaan, keheningan yang kosong tanpa di isi ingatan apapun
sehingga kenangan tidak sempat masuk sehingga hati akal pikiran dijauhkan dari kenangan pahit maupun manis.
Berada di atas suka dan duka, tidak dipengaruhi suka duka dan segala perasaan lain, di situlah letaknya kebahagiaan.
Kebahagiaan selalu sudah berada di dalam dan di luar diri kita dan hanya orang yang berada dalam keheningan dapat merasakan itu. Biasanya, hidup kita bergelimang nafsu daya rendah yang menimbulkan segala macam perasaan, dan
dalam keadaan seperti itu, kebahagiaanpun tidak tampak bayang annya. Ia begitu dekat, namun begitu jauh! Dekat melebihi mata sendiri, namun kalau jauh tak tampak
bayangannya. Sudah ada dan menjadi satu diri, namun
masih dicari-cari, semua ini akibat ulah nafsu daya rendah manusia yang selalu berusaha menguasai diri.
Hanya orang yang berada dalam ke heninganlah yang
berdekatan dengan Tuhan Yang Maha Kasih, kesadaran
dirinya selalu dipenuhi kekuasaan Tuhan, bahkan setiap detak jantung menyebut Nama. Tuhan dengan penuh
kepasrahan, penuh penyerahan, tunduk dan taat akan,
segala kehendakNya!
Lee Cin melamun, tenggelam ke dalam lamunannya yang
dipenuhi bayangan Tin Han. Tiba-tiba matanya terbelalak Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
karena ia seperti melihat bayangan Tin Han berkelebat jauh di depan.
"Han-ko......... !" Lee Cin melompat dan mengejar. Akan tetapi setelah agak dekat, keningnya berkerut, hatinya tak senang bahkan timbul kemarahannya yang hebat ketika ia mengenal bahwa pemuda yang dikejarnya itu sama sekali bukan Tin Han, melainkan Ouw Kwan Lok!
Kemarahannya membuat mukanya berubah merah dan
matanya menyinarkan api. Gerakan kedua kakinya dipercepat. "Ouw Kwan Lok, manusia jahanam. Engkau tidak akan dapat lari dariku!" teriaknya dan ia sudah mengambil keputusan bahwa sekali ini ia tentu akan dapat membunuh orang yang amat keji itu. Akan tetapi Lee Cin juga teringat betapa licik dan curangnya pemuda itu, maka ia lalu
mencabut pedang An coa-kiam dan melakukan pengejaran dengan hati-hati dan waspada sekali.
Pemuda itu memang Ouw Kwa Lok! Kwan Lok berlari
cepat ketika melihat Lee Cin mengejarnya dan dia memasuki hutan di depan yang menyambut padang rumput yang tebal itu. Lee Cin terus mengejar memasuki hutan itu. Akhirnya ia melihat
Ouw Kwan Lok berdiri menantinya sambil memegang sebatang pedang terhunus. Ketika Lee Cin tiba dalam jarak lima meter, tangan kirinya bergerak berulang-ulang dan sinar sinar terang menyambar ke arah Lee Cin.
Itulah pisau-pisau terbang yang amat berbahaya dari
pemuda itu. Namun, Lee Cin sudah siap siaga. Ia mengelak dengan cepat sambil memutar pedangnya dan pisau yang tidak terelakkan ditangkis pedangnya sehingga runtuh.
Setelah pisau-pisau itu habis, Lee Cin meloncat ke depan.
Ouw Kwan Lok lari lagi dan menyelinap ke balik sebatang pohon besar.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Jahanam busuk, hendak lari ke mana engkau?" Lee Cin berseru dan mengejar. Akan tetapi ketika tiba di bawah pohon, tiba-tiba saja kakinya sudah terjerat dan tali yang menjerat kaki kanannya itu ditarik ke atas oleh Kwan Lok dari balik pohon. Dengan sendirinya tubuh Lee Cin
tergantung pada sebelah kakinya yang terjerat. Akan tetapi, karena ia sudah siap siaga terhadap jebakan pemuda itu, Lee Cin tidak menjadi gugup. Sekali pedangnya berkelebat, ia telah membikin putus tali yang menjerat kakinya dan tubuhnya meluncur ke bawah kembali. Ia berjungkir balik dua kali dan dapat hinggap di atas kedua kakinya di tanah.
Akan tetapi pemuda yang memasang jerat itu sudah lari lagi.
Lee Cin mengejar sekuat tenaga dan akhirnya ia dapat menyusul Ouw Kwan Lok.
"Jahanam, bersiaplah untuk mampus!" teriak Lee Cin dan pedangnya menyambar ganas ke arah leher Kwan Lok dari belakang.
Kwan Lok membalikkan tubuhnya dan pedangnya
menangkis dengan kuatnya.
"Trangggg ..... !" Bunga api berpijar dan Ang-coa-kiam di tangan Lee Cin tertangkis. Keduanya terhuyung ke belakang.
Memang tenaga sin-kang Kwan Lok juga sudah kuat sekali sehingga dia mampu menandingi tenaga sin-kang gadis itu.
Kwan Lok membalas serangan gadis itu dengan dahsyat
pula. Dia menganggap Lee Cin musuh guru-gurunya yang harus dibunuhnya. Sesungguhnya dia tergila-gila oleh kecantikan Lee Cin dan hatinya ingin sekali mempermainkan gadis
itu lebih dulu sampai puas, baru dia akan membunuhnya untuk membalaskan dendam kedua orang
gurunya. Tadi dia sudah merasa girang berhasil menjerat kaki Lee Cin. Sayang, sebelum dia mampu menangkapnya, gadis itu telah dapat membikin putus tali jeratan itu. Kini gadis itu menyerangnya dengan mati- matian, maka Kwan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Lok juga membalas dan keduanya sudah bertanding pedang dengan seru.
"Haiiitt......... ! Singg.....!" Pedang di tangan Lee Cin menusuk dengan gerakan yang luar biasa cepat dan
kuatnya. Serangan ini dilakukan Lee Cin dengan tubuh melayang seperti terbang. Itulah serangan pedang dengan jurus Naga-terbang- menembus- awan yang luar biasa
cepatnya. Melihat serangan dahsyat ini, Kwan Lok terkejut dan dia pun mengelebatkan pedangnya menangkis dari
samping. "Wuuutt.... cringgg ..... !" Kembali bunga api berpijar dan Kwan Lok merasa betapa tangannya tergetar hebat. Setelah menangkis, Kwan Lok miringkan tubuhnya ke kiri dan
tangan kirinya meluncur ke depan untuk menangkap tangan Lee Cin yang memegang pedang. Dia menggunakan ilmu
gulat dan silat Hek-wan-kun (Silat Lutung Hitam). Sekali tubuh seorang lawan tertangkap tangannya, tentu akan disusul dengan bantingan yang cepat dan mengejutkan. Dan Lee Cin tidak dapat mengelak lagi. Lengan kanannya telah tertangkap tangan kirinya lalu bergerak, sambil kakinya menggeser sehingga pundak kirinya berada di depan, Ia menotok dengan ilmu totok It-yang-ci yang amat ampuh.
"Wuuuttt.... plakk!" Kwan Lok terpaksa melepaskan cengkeramannya dan menggerakkan lengan kanannya ke
samping untuk menangkis tangan yang menotok itu.
Keduanya melangkah mundur, kemudian maju lagi untuk
menyerang dengan lebih hebat.
Kedua orang itu bertanding dengan amat serunya,
masing- masing mengeluarkan semua kepandaiannya dan
mengerahkan seluruh tenaganya. Akan tetapi setelah Lee Cin mulai menggunakan tangan kirinya untuk menyelingi serangan pedangnya dengan totokan-totokan, mulailah Ouw Kwan Lok terdesak hebat. Pemuda ini cukup mengerti akan kehebatan totokan tangan kiri dengan satu jari itu. Totokan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
itu mengeluarkan bunyi seperti pedang di tusukkan, dan anginnya menyambar demikian dahsyat. Maka dia tidak
berani menerima totokan itu, melainkan mengelak atau menangkis dengan pedangnya.
Pertandingan antara dua orang muda

Rajawali Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini sudah berlangsung seratus jurus lebih. Biarpun dia amat terdesak dan main mundur terus, akan tetapi Kwan Lok masih dapat mempertahankan diri.
Dia mulai merasa gentar. Dia tahu bahwa kalau
dilanjutkan pertandingan itu, akhirnya dia akan kalah. Akan tetapi untuk melarikan diri tidak ada kesempatan lagi karena sinar pedang kemerahan yang bergulung-gulung itu menutup semua jalan keluarnya. Tidak ada lain jalan
baginya kecuali melawan terus.
Lee Cin juga merasa penasaran. Ia sudah mendesak,
menguasai pertandingan itu, lebih banyak menyerang, akan tapi belum juga ia mampu merobohkan lawan yang ulet dan kuat ini. Tiba-tiba ia melihat kesempatan terbuka. Ketika itu, Kwan Lok menggerakkan pedangnya membacok ke arah lehernya. Lee Cin merendahkan diri mengelak akan tetapi sambil melangkah maju dengan kaki kanannya dan
pedangnya menyambar ke arah leher lawan. Gerakannya
amat cepat dan tidak mungkin dapat dieelakkan lagi oleh Kwan Lok. Pemuda ini terkejut sekali dan terpaksa untuk menyelamatkan diri dari maut, tangan kirinya menangkis dari samping. Lengannya bertemu dengan pedang Ang-coa-kiam.
"Singg.... crokk....!!" Lengan kiri Kwan Lok sebatas sikut putus ketika bertemu dengan Ang-coa-kiam.
"Aduhhhh. ..... !!" Kwan Lok menjerit dan melemparkan tubuh ke belakang, kemudian dia melarikan diri dengan cepat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Lee Cin memandang kepada tangan yang buntung dan
menggeletak di atas tanah itu, kemudian memandang
pedangnya, lalu mengangkat muka memandang ke arah
Kwan Lok yang melarikan diri. Ia hendak mengejar, akan tetapi kembali melihat tangan itu dan kakinya tidak
bergerak. Pemuda itu memang jahat dan keji, pikirnya, akan tetapi kini telah mendapatkan pelajaran hebat, telah kehilangan sebelah lengannya. Ini sudah merupakan hajaran yang cukup keras yang mudah-mudahan akan membuat dia sadar dan jera melakukan kejahatan lagi.
Lee Cin sekali lagi
memandang kepada lengan itu, kemudian memutar tubuhnya dan
meninggalkan tempat itu.
Harapannya untuk mene-
mukan Tin Han di situ
sudah hilang. Pemuda itu
telah lenyap ke mana,
dan memang tidak ada
sedikitpun kemungkinan
seseorang akan dapat hidup setelah tiba di tebing securam itu. Hatinya terasa berat, akan tetapi ia tidak menangis lagi. Ia meng-
gigit bibirnya menahan
kepedihan hati. Ayahnya
pernah menasihatinya untuk selain siap menghadapi peristiwa apapun yang
menimpa dirinya, untuk menghadapi kenyataan yang betapa pahitpun dengan tabah dan tanpa mengeluh.
Hidup adalah tantangan, demikian ayahnya menasihatinya. Hidup berarti kita dihadapkan kepada seribu Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
satu macam tantangan. Justeru itulah yang menjadi inti dan penggerak hidupnya. Tantangan dan tantangan datang silih berganti. Seorang gagah tidak akan lari dari tantangan itu, melainkan harus menghadapinya dengan gagah, dan harus dapat mengatasi tantangan apapun juga. Kini ia menghadapi tantangan yang amat berat, yaitu dengan tewas atau
lenyapnya orang yang dicintanya. Ia tidak boleh membiarkan dirinya hanyut oleh duka, tidak boleh menangisi dan
meratapi saja. Ia harus bangkit kembali untuk melanjutkan perjalanan hidup ini, menghadapi lagi tantangan lain yang mungkin
lebih hebat lagi. Berdiri tegak dan tegar menghadapi apapun yang menimpa dirinya tanpa menggoyahkan imannya, tetap pasrah dengan penuh penyerahan kepada Tuhan namun tidak pernah patah
semangat, tidak pernah tersesat melakukan perbuatan yang menyimpang dari kebenaran, penuh kepercayaan bahwa apa yang terjadi itu tentu mengandung hikmah yang baik, yang belum diketahuinya. Memang sudah demikian digariskan dalam jalan hidupnya, harus ia lalui sabar dan ikhlas sehingga ia, tetap memiliki kekuatan untuk menghadapi segala hal baru dalam hidup ini.
Kata ayahnya, segala hal yang menimpa diri kita adalah hasil daripada perbuatan kita sendiri di masa lalu, kita tidak dapat menyingkir dari akibat itu, harus menuai apa yang telah kita tanam sendiri. Karena itu, semua perbuatan yang dilakukannya haruslah dianggap sebagai menanam benih, tentu saja harus menanam benih yang baik agar kelak ia akan menuai buah yang baik pula.
Lee Cin teringat kepada ayahnya. Ia kini harus pulang ke Hong-san. Kini sudah tiba waktunya. Bulan lima telah dekat dan pada bulan itu akan diadakan pertemuan besar di Hongsan. Pertemuan di antara para tokoh kang-ouw seperti yang dikehendaki oleh para pimpinan Siauw-lim-pai, yang akan diadakan di tempat tinggal ayahnya sebagai beng-cu. Dalam pertemuan itulah niat ayahnya untuk mundur sebagai beng-Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
cu akan disampaikan kepada semua tokoh dan utusan
partai-partai persilatan di dunia persilatan. Lee Cin mulai dengan perjalanannya pulang ke Hong-san, membawa
banyak pengalaman hebat yang lebih mematangkan batinnya. -oo(mch)oo- Setelah berpisah dari Lee Cin, Thian Lee lalu kembali ke markas pasukan di Hui-cu. Pasukan itu kini telah dipimpin oleh para perwira yang ditunjuk oleh Thian Lee untuk memimpin pasukan menggantikan Lai-ciangkun yang telah ditangkap karena pengkhianatannya.
Para perwira menyambut kedatangan Thian Lee dengan
hormat dan kagum. Panglima itu bertindak demikian cepat.
Thian Lee lalu mengajak para perwira untuk berunding dan dia mengatur siasat untuk mengerahkan pasukan ke timur dan menyerang pasukan Phoa-ciang kun yang telah
bersekutu dengan para tokoh sesat dunia kang-ouw, dan juga bersekutu dengan para bajak laut Jepang.
Seluruh pasukan Ali Hui-cu dikumpulkan dan ternyata
kekuatan mereka ada tujuhribu limaratus orang. Thian Lee membagi pasukan ini menjadi tiga barisan dan pada hari itu juga mereka berangkat menuju ke pantai timur. Tiga barisan itu setelah tiba di luar markas besar pasukan di pantai, berpencar menjadi tiga. Sebuah barisan mengepung di utara, barisan kedua datang dari barat dan barisan ke tiga
mengepung dari selatan.
Mereka membuat perkemahan di tiga tempat 'itu dan
Thian Lee lalu mengirim utusan membawa suratnya yang minta
agar Phoa-ciangkun menaluk saja dan tidak melakukan perlawanan. Kalau tidak, maka markasnya akan dihancurkan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Menerima Surat ini, Phoa-ciangkun menjadi marah dan
dia menyuruh penggal kepala utusan itu, kemudian orang-prangnya melemparkan kepala utusan itu keluar pintu
gerbang! Thian Lee menjadi marah sekali. Phoa-ciangkun boleh
saja tidak mau menyerah, akan tetapi perbuatannya
membunuh utusan itu sudah menyalahi peraturan perang, melanggar kehormatan! Para perwira bawahannya juga
marah dan menyarankan kepada Thian Lee untuk segera
menyerang. "Nanti dulu, harap kalian jangan dipengaruhi oleh kemarahan. Pihak musuh melakukan hal itu dengan
sengaja, agaknya memancing agar kita marah dan nelakukan penyerbuan tanpa perhitungan lagi dan hal ini akan mengakibatkan kerugian kepada kita karena kita
kurang waspada. Pula, aku tidak percaya bahwa semua
perajurit yang berjaga di pantai ini memiliki niat memberontak. Pasti banyak di antara mereka yang tidak setuju dengan pemberontakan komandan mereka itu. Aku akan menyelundup ke dalam markers kota itu dan aku akan menyadarkan anak buah mereka. Kalau sudah banyak yang sadar, tentu tidak akan sukar menghancurkan kekuatan mereka. Harap diingat bahwa kekuatan mereka ada sepuluh ribu orang, maka harus dibuat kacau lebih dulu dari dalam."
Kota itu terjaga ketat oleh perajurit perajurit Phoa-ciangkun yang dibantu oleh seregu pasukan bajak laut Jepang. Pada sore hari itu, seorang petani yang memakai caping mendorong gerobak penuh ubi memasuki kota. Dia dihentikan oleh para penjaga dan diperiksa, akan tetapi karena petani itu tidak memperlihatkan sesuatu yang
mencurigakan, seorang petani setengah tua, rambutnya sudah bercampur uban dan kakinya pincang, maka diapun diperkenankan mendorong gerobak itu masuk kota. Belum Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sampai malam, pintu gerbang kota itu sudah ditutup dan lalu-lalang keluar masuk pintu gerbang dilarang.
Petani ubi itu adalah Thian Lee. Dengan mewarnai
rambutnya, dia tampak setengah tua dan dengan berjalan pincang dia menjadi seperti seorang petani setengah tua yang tidak berbahaya. Thian Lee benar-benar menjual
ubinya. Setelah ubinya diborong oleh pedagang hasil bumi dan dibayar, diapun mulai dengan penyelidikannya. Kota itu merupakan benteng yang dijaga ketat. Dia sudah mendapat keterangan dari para perwira pembantunya bahwa tadinya Un-ciangkun mengirim belasan orang mata-mata untuk
melakukan penyelidikan di kota pemberontak itu. Satu di antaranya kini membuka rumah obat di sudut kota. Thian Lee lalu menuju ke toko obat itu yang sudah mulai tutup.
"Maafkan saya, harap layani keperluan saya. Saya hendak membeli obat luka yang mujarab. Saya dengar obat luka yang dijual oleh Cui-sinshe (tuan tabib Cui) amat manjur. Tolonglah saya untuk membeli obat itu."
Seorang pria setengah tua mendekatinya. "Dari mana engkau tahu tentang obat luka buatan Cui-sin-she?"
Thian Lee memandang tajam lalu menjawab lirih, "Dari sahabat Un yang tinggal di Hui-cu."
Mendengar ini, pria itu cepat menarik tangan Thian Lee dan diajak masuk ke dalam rumah. Setelah tiba di ruangan dalam, pria itu berkata, "Sayalah orang she Cui. Ada kabar apa dari Un-ciangkun?"
Thian Lee menggeleng kepalanya. "Kabar yang buruk.
Un-ciangkun telah terbunuh orang."
Cui Kang, orang itu, terbelalak dan menjadi pucat
wajahnya. Dia adalah seorang kepercayaan Un-ciangkun yang dikirim ke situ sebagai mata-mata.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Pantas saja tidak ada berita darinya. Dan engkau ini siapakah, sobat" Siapa yang mengutusmu masuk ke sini?"
Thian Lee berterus terang. "Aku adalah Panglima Song Thian Lee dari kota raja. Un-ciangkun di bunuh dan
wakilnya, Lai-ciangkun ikut memberontak. Dia sudah kami tawan dan pasukannya telah kami kuasai. Kami yang
memimpin pasukan yang kini mengepung kota ini." Agar orang itu percaya, Thian Lee mengambil surat kuasanya.
Melihat ini, Cui Kang segera berlutut dengan sebelah kakinya memberi hormat.
"Saya siap menerima perintah ciang-kun."
"Aku ingin engkau menceritakan tentang para perwira di sini. Siapa saja mereka dan siapa pula di antara mereka yang condong menentang pemberontakan Phoa-ciangkun,
siapa yang mendukung."
Karena sudah lama menjadi mata-mata di situ, dengan
mudah Cui Kang lalu menceritakan semua rahasia para
perwira di situ, juga tempat tinggal mereka. Setelah mendengar dengan jelas, Thian Lee mengangguk dan
berkata, "Terima kasih. Keteranganmu cukup jelas. Malam ini aku akan bergerak, dan engkau siapkan segala keperluan kalau-kalau
aku ketahuan dan dikejar. Aku akan menyelinap ke sini kalau dikejar dan siapkan tempat
sembunyi."
"Baik, Song-ciangkun!" kata Cui Kang.
Thian Lee mulai melakukan gerakannya ketika malam
tiba. Malam itu gelap, amat menolong pekerjaannya. Dia mengenakan pakaian serba hitam dan menutupi muka,
hanya memperlihatkan sepasang matanya saja. Hal ini perlu dia lakukan agar kalau sampai ketahuan, dia akan mudah melarikan diri' dan tidak dikenal mukanya.
Perwira Co adalah seorang perwira yang masih setia
kepada kerajaan. Dialah seorang di antara mereka yang Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ditunjuk oleh Cui Kang sebagai seorang yang diam-diam menentang pemberontakan dan Thian Lee segera menuju ke rumah perwira Co. Dengan kepandaiannya yang tinggi, dia dapat melayang naik ke atap rumah dan mengintai ke
bawah. Dilihatnya perwira yang dicarinya duduk seorang diri menghadapi meja sambil menenggak arak. Dia mengenal Co-ciang
kun karena Cui Kang sudah menggambarkan bagaimana orangnya.
Dengan amat hati-hati dia melayang turun ke dalam
kamar itu dan sebelum Co-ciangkun yang terkejut sekali sempat berteriak, Thian Lee sudah menotoknya sehingga.
perwira itu menjadi lemas dan tidak mampu bergerak
maupun bersuara. Thian Lee mendudukannya kembali ke
atas kursinya, lalu dia mengeluarkan surat kuasa, memperlihatkannya kepada Co-ciangkun sambil berbisik,
"Aku adalah Panglima Song Thian Lee yang memimpin pasukan yang kini mengepung kota ini."
Setelah berkata demikian, dia membebaskan totokannya.
Co-ciangkun lalu memberi hormat kepadanya. "Aih, Song thai-ciangkun, saya sedang bingung menghadapi keadaan ini. Apa yang harus saya lakukan?"
"Aku mendengar bahwa engkau menentang pemberontakan Phoa-ciangktm?"
"Tentu saja, akan tetapi apa yang dapat saya lakukan"
Banyak perwira mendukungnya dan kalau saya terang-
terangan menentang, tentu saya sudah di tawan atau
dibunuh." "Dengar baik-baik, aku sedang melakukan gerakan untuk mengacaukan
pertahanan di sini. Engkau harus memerintahkan anak buah, pasukan yang kau pimpin,
untuk tidak melakukan perlawanan kalau perang terjadi, membawa pasukanmu keluar dari benteng dan pura-pura
menerjang musuh, akan tetapi sebetulnya lari menyeberang.
Sebagai tanda, suruh beberapa orang membawa bendera
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kuning. Kalau melihat bendera itu, pasukan kami tidak akan menyerang dan akan menerima pasukan dengan baik.
Mengertikah engkau, Co-ciangkun" Dengan cara ini, engkau dan pasukanmu tidak akan tersangkut pemberontakan dan engkau tidak akan mendapat hukuman."
Co-ciangkun memberi hormat dan berulangkali menyatakan setuju dan mengerti. Setelah merasa yakin bahwa perintahnya akan ditaati, Thian Lee lalu pergi dari situ melalui atap seperti kedatangannya dan dia lalu mendatangi para perwira lain yang oleh Cui Kang ditunjuk sebagai perwira yang menentang pemberontakan. Seperti cara tadi, diapun dapat mempengaruhi para perwira itu untuk menyeberang di waktu ada pertempuran. Seluruhnya ada limabelas orang perwira yang sudah menyatakan
sanggup dan taat.
Lewat tengah malam, Thian Lee menuju ke sebuah
rumah di mana tinggal perwira yang membantu gerakan
pemberontakan Phoa-ciangkun. Seperti yang sudah-sudah, dia memasuki rumah itu, langsung menuju ke kamar tidur perwira itu, menotok isterinya dan menyeret perwira itu turun dari pembaringan. Sebelum perwira itu sempat
berteriak, dia menotoknya sehingga perwira itu terkulai lemas tidak mampu bergerak atau berteriak lagi.
"Manusia tidak mengenal budi," Thian Lee memaki.
"Engkau sudah memperoleh kedudukan yang baik, akan tetapi masih berkhianat dan mendukung pemberontakan
Phoa-ciangkun. Karena itu engkau layak dihukum!" Setelah ber kata demikian, Thian Lee lalu memukul dada perwira itu, tidak cukup kuat sehingga tidak mematikan, akan tetapi akan membuat perwira itu menderita luka berat yang baru akan pulih setelah beristirahat sedikitnya sebulan!
Demikianlah, Thian Lee mendatangi tidak kurang dari
duapuluh perwira yang dipukulnya seperti itu. Ketika hendak memasuki rumah besar Phoa-ciangkun, dia melihat Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
penjagaan yang teramat ketat sehingga dia tidak mau
membahayakan diri sendiri dan menganggap perbuatannya telah cukup untuk mengacaukan pertahanan benteng kota itu.


Rajawali Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pada keesokan paginya, petani yang kemarin sore
memasuki pintu gerbang sudah keluar lagi mendorong
gerobaknya yang sudah kosong. Kini pintu gerbang dijaga lebih ketat lagi dan orang yang sedikit saja mencurigakan akan ditahan atau tidak boleh keluar dari kola. Dan pada hari itu, mulailah larangan memasuki pintu gerbang kota.
Setelah tiba kembali di pasukannya, Thian Lee lalu
mengatur serangan. Dia mengumpulkan para pembantunya dan menceritakan apa yang telah dilakukannya malam tadi.
Para perwira itu merasa kagum sekali.
"Jangan lupa. Kalau ada pasukan membawa bendera kuning keluar dari pintu gerbang benteng, jangan serang, melainkan terimalah mereka karena mereka itu adalah
pasukan yang dipimpin perwira-perwira yang masih setia dan yang menyeberang kepada kita. Juga kalau keadaan musuh sudah terdesak dan terjepit, berlakulah murah
kepada perajurit musuh. Yang menaluk harus diterima
dengan baik dan jangan dibunuh."
Demikianlah, terompet dan tambur dibunyikan riuh
rendah ketika tiga pasukan kerajaan itu maju bersama dari tiga jurusan. Dari dalam pintu gerbang keluar pasukan Panglima Phoa yang menyambut serangan itu. Akan tetapi terjadi
kekacauan pada pasukan itu. Ketika musuh menyatakan perang dengan tambur dan terompet mereka
dan Phoa ciangkun mengumpulkan perwira-perwiranya, ada duapuluh orang perwira yang tidak mampu hadir karena mereka menderita sakit berat! Dan dia tidak tahu bahwa ada belasan orang perwira yang hadir adalah perwira-perwira yang
menentangnya dan yang siap melakukan penyeberangan dengan pasukan mereka kepada pasukan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dari Hui-cu. Dengan agak bingung Phoa-ciangkun memerintahkan para perwira memimpin pasukan masing-
masing untuk menyerbu keluar, dibantu oleh pasukan
gerombolan bajak laut Jepang.
Ketika Thian Lee melihat bahwa di antara pasukan
pemberontak itu terdapat seorang pemuda yang mengamuk bagaikan naga marah, dia terkejut sekali dan cepat diapun berlari
menghampiri. Ternyata pemuda itu adalah musuhnya, yaitu Siang Koan Tek!
"Jahanam Siang Koan Tek, akulah lawanmu!" bentak Thian Lee.
Melihat pemuda berpakaian panglima ini, Siang Koan Tek segera mengenalnya. Karena gentar, dia lalu meneriaki beberapa orang Jepang untuk membantunya dan segera
Thian Lee dikeroyok oleh Siang Koan Tek dan lima orang bajak
Jepang yang menggunakan samurai. Terjadi perkelahian yang seru sekali.
Sementara itu, para perwira yang memimpin pasukan
yang membawa bendera kuning telah diterima oleh pasukan dari Hui-cu, dan mereka kini membalik, membantu pasukan kerajaan melawan pasukan pemberontak. Pertempuran
menjadi kacau balau.
Setelah banyak pasukan menyeberang sekarang jumlah
mereka berimbang banyaknya. Akan tetapi pasukan pemberontak kehilangan semangat karena mereka kehilangan pimpinan perwira-perwira atasan mereka yang tidak dapat ikut ber tempur karena menderita sakit berat.
Yang memimpin mereka adalah perwira perwira muda yang kurang pengalaman, maka mereka bertempur dengan
membabi buta dan ngawur.
Perkelahian antara Thian Lee dan Siang Koan Tek yang dibantu lima orang Jepang masih berlangsung seru. Lima orang Jepang itu cukup lihai sehingga Thian Lee diserang Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dari segala jurusan. Akan tetapi, Thian Lee dengan pedang Jit-goat-kiam mengamuk. Pedang nya berubah menjadi
gulungan sinar terang dan setiap kali senjatanya bertemu dengan senjata lawan, tentu lawan itu terhuyung dan
merasa tangannya sakit, tanda bahwa dalam hal tenaga dalam, tak seorangpun di antara mereka mampu menandingi Thian Lee. Hal ini tidak mengherankan karena Thian Lee telah menguasai Thian-te Sin-kang yang amat kuat.
Setelah memutar pedangnya lebih cepat lagi, akhirnya Thian Lee dapat merobohkan dua orang pengeroyoknya. Dua orang jepang itu terpelanting dengan luka pada leher dan paha mereka sehingga mereka tidak mampu untuk bangkit kembali.
Siang Koan Tek menjadi marah. Dengan Kui-liong-
kiamsut (Ilmu Pedang Naga Setan) dia menyerang Thian Lee.
Pada saat itu, pedang Thian Lee sedang menahan dua
samurai dan begitu samurai itu terpental, sebatang samurai lain telah menyapu kakinya. Thian Lee melompat ke atas dan pada saat itulah pedang Siang Koan Tek menyerangnya dengan sebuah tusukan ke arah perut. Tubuh Thian Lee masih
berada di udara ketika serangan tiba. Dia mengerahkan tenaga Thian-te Sin-kang pada tangan kirinya, menyambut
tusukan itu dengan tangan kiri dan mencengkeram pedang dan pada saat Siang Koan Tek
terkejut, Thian Lee menggerakkan pedangnya ke depan.
"Singgg.........
cappp.......!" Pedangnya menusuk dada
Siang Koan Tek. Pemuda itu berseru keras dan roboh
terjengkang, darah bercucuran dari dada yang didekapnya dengan kedua tangan. Pedangnya sendiri terlempar entah ke mana.
Tiga orang Jepang menjadi gentar. Mereka masih
melawan, akan tetapi dalam waktu singkat saja merekapun roboh oleh pedang di tangan Thian Lee.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Thian Lee mencari-cari dengan matanya. Kalau ayah
pemuda yang baru saja roboh itu maju, yaitu Siang Koan Bhok, tidak akan ada di antara para perwira yang akan kuat melawannya. Harus dia sendiri yang maju. Akan tetapi ternyata tidak mendapatkan datuk timur itu.
Agaknya Siang Koan Bhok tidak mau terlibat dalam
pemberontakan, hanya puteranya yang berambisi besar itu yang langsung terlibat.
Pertempuran berlangsung beberapa jam saja. Setelah
terdesak hebat dan para perwira kerajaan meneriakkan agar mereka
menyerah, banyak di antara perajurit pemberontakan yang melempar senjata dan berlutut menyerah. Phoa-ciangkun masih mengamuk, akan tetapi
akhirnya dia tewas di bawah hujan senjata para perwira.
Pertempuran itupun berhenti dan banyak sekali perajurit pemberontak yang menaluk.
Selesailah penumpasan pemberontakan itu. Orang-orang Jepang yang tidak terbunuh dalam pertempuran itu,
melarikan diri dengan perahu-perahu mereka, kembali ke lautan di mana mereka menjadi bajak laut. Orang-orang kang-ouw yang membantu gerakan pemberontakan itupun
banyak yang melarikan diri setelah melihat pihaknya
menderita kekalahan. Thian Lee menguasai kota perbentengan di pantai itu dan meninggalkan lima ribu orang perajurit dengan beberapa orang perwira untuk
menguasai kota dan mengatur kembali kehidupan di situ, sementara menanti keputusan dari kota raja yang akan mengirim seorang panglima baru.
Thian Lee lalu kembali dengan pasukannya ke Hui-cu. Di sini diapun menyerahkan semua pasukan ke tangan para perwira untuk menjanjikan akan mengirimkan seorang
panglima baru dari kota raja. Setelah semua urusan selesai berangkatlah dia pulang ke kota raja, membawa berita gembira bahwa pemberontakan telah berhasil dipadamkan di Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pantai timur dan para pimpinan pemberontak dapat
ditawan. Tentu saja Kaisar menyambut kembalinya dengan penuh
kegembiraan dan memuji keberhasilan panglima besar itu.
Akan tetapi yang lebih bahagia lagi adalah Cin Lan yang menyambut suaminya dengan rasa bangga dan syukur.
Banyak yang diceritakan Thian Lee kepada isterinya, juga tentang
Lee Cin yang dijumpainya dan yang telah membantunya dalam membasmi kawanan pemberontak.
"Lee Cin" Kenapa tidak engkau ajak ia singgah di sini.
Aku sudah rindu kepadanya!" kata Cin Lan gembira.
"Ia sedang berada dalam kebimbangan. Bayangkan saja, ayahnya telah diserang dan dilukai oleh seorang yang berkedok hitam. Ia mencari Si Kedok Hitam sampai ke Hui-cu, akan tetapi di sana beberapa kali ia terancam bahaya maut dan siapa yang menolongnya" Bukan lain adalah Si Kedok Hitam itu sen diri! Tentu saja ia menjadi bimbang.
Aku sendiri pernah ditolong Si Kedok Hitam dan ilmu
silatnya memang hebat. Akan tetapi dia masih terselubung rahasia, aku dan Lee Cin tidak tahu siapa dia sebenarnya."
Thian Lee lalu bercerita tentang Keluarga Cia yang terlibat dalam pemberontakan.
"Tentu engkau sudah menangkap semua Keluarga
Cia......... bukan?"
Thian Lee menggeleng kepalanya. "Sama sekali tidak. Aku sengaja membiarkan mereka dapat meloloskan diri. Mereka adalah pendekar-pendekar patriot, bukan orang jahat.
Mereka hanya terpedaya oleh Panglima Phoa dan orang-
orang Jepang. Aku mengharap mereka akan menyadari
kesalahan mereka, berjuang bersama-sama orang Jepang dan panglima yang berkhianat. Hal ini juga diminta oleh Lee Cin kepadaku. Keluarga itu bersikap baik kepadanya
terutama dua orang mudanya yang agaknya jatuh cinta
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kepada Lee Cin. Kuharap saja ia akan menemukan jodohnya yang baik dan tepat."
"Mudah- mudahan saja, akupun mengharapkan demikian," kata Cin Lan dan ia teringat betapa dulu Lee Cin mencinta suaminya akan tetapi gadis itu mundur dan
mengalah ketika mengetahui bahwa Thian Lee mencintanya.
-oo(mch)oo- Pemandangan di luar kota benteng di pantai timur itu sungguh mengerikan. Perang baru saja berhenti dan tempat itu penuh dengan manusia yang rebah malang melintang dan berserakan, Ada yang sudah menjadi mayat, ada yang masih mengerang kesakitan karena luka parah. Banjir darah di mana-mana. Kalau tadi di waktu bertempur, mereka
merupakan orang-orang yang dipenuhi nafsu membunuh,
kini mereka menggeletak tidak berdaya dan suara yang terdengar hanyalah ratap tangis kesakitan. Pasukan yang bertugas membersihkan tempat belum sempat bekerja, dan pasukan yang mendapat kemenangan sudah memasuki kota perbentengan.
Di antara mayat-mayat yang berserakan itu, tiba-tiba terdapat seorang yang berjalan ke sana sini memandangi mayat-mayat itu, seperti sedang mencari sesuatu. Dia membalik-balikkan mayat yang telungkup untuk melihat wajah mayat itu. Dia seorang kakek berusia hampir
enampuluh tahun yang bertubuh tinggi besar dan gagah, membawa sebatang dayung baja. Orang itu bukan lair
adalah Siang Koan Bhok, datuk timur yang telah mendengar adanya
pertempuran di tempat itu. Karena putera tunggalnya, Siang Koan Tek terlibat dalam pertempuran itu, hatinya
merasa khawatir sekali dan kini setelah pertempuran selesai, dia mencari-cari puteranya di antara mereka yang tewas atau terluka.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Setelah mencari-cari beberapa Iamanya, akhirnya dia
menemukan apa yang dicarinya. Dia melihat puteranya, Siang Koan Tek, rebah telentang dengan mata terbuka, terbelalak dan muka membayangkan kenyerian hebat, telah tewas. Tubuhnya bersimbah darah dan dadanya terluka.
Sejenak dia hanya berdiri seperti berubah menjadi
patung. Matanya terbelalak memandang mayat itu, seperti tidak percaya. Akhirnya dia menghela napas, menelan
kembali rintihan yang keluar dari hatinya.
"Siang Koan Tek ..... !" Bibirnya bergerak lemah dan dia lalu membungkuk, mengangkat mayat itu dan dipondongnya mayat itu. Wajahnya penuh kerut merut, sinar matanya seperti api hampir padam, dan dia melangkah di antara mayat-mayat itu, pergi meninggalkan tempat itu sambil memondong mayat puteranya.
Di atas sebuah bukit yang hijau, Siang Koan Bhok
mengubur jenazah puteranya. Penguburan yang sunyi dan sederhana. Tidak dihadiri seorangpun, tidak ada yang berkabung, kecuali sang ayah yang mengerjakan semua
penggalian dan mengubur jenazah puteranya dengan hati yang seperti ditusuk- tusuk rasanya.
Tak lama kemudian penguburan selesai dan kakek itu
duduk bersila di depan kuburan puteranya, kemudian
perlahan-lahan dia memukul- mukulkan dayungnya ke atas gundukan tanah dan terdengar suaranya yang parau. "Siang Koan Tek, aku berjanji akan membawa kepala Song Thian Lee untuk kupakai bersembahyang di depan kuburmu ini.
Tunggu saja, anakku, dendammu akan terbalas!"
Janji itu diucapkan dengan suara serak dan perlahan, akan tetapi terdengar sangat menyeramkan. Kemudian
perlahan-lahan dia bangkit berdiri dan menyeret dayungnya, pergi dari puncak bukit itu seperti seorang yang kehabisan tenaga dan kehilangan semangat. Yang memenuhi hati dan akal pikirannya hanya dendam dan kedukaan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bagi orang yang tidak mau menghadapi kenyataan hidup, tidak mau waspada mengamati segala perbuatan diri sendiri, maka segala peristiwa yang menimpa dirinya tentu akan mendatangkan guncangan hebat. Siangkoan Bhok menerima kenyataan ini sebagai sesuatu yang amat pahit, yang
menghancurkan hatinya, sesuatu yang diakibatkan oleh perbuatan orang lain sehingga timbullah dendam yang
setinggi langit sedalam lautan. Dia lupa bahwa semua itu bersumber dari kelakuannya sendiri. Kalau saja dia menjadi seorang ayah yang baik, yang mendidik puteranya itu
menjadi seorang yang baik, belum tentu Siang Koan Tek akan mengalami kematian demikian menyedihkan. Dia tidak menyadari bahwa puteranya telah menjadi seorang pemuda yang jahat sekali, dan dia seperti buta, tidak melihat kejahatan puteranya. Inilah akibatnya kalau orang tidak pernah mawas diri, selalu menganggap dirinya baik, bahkan perbuatan yang jahat dan merugikan orangpun dianggapnya baik. Maka kalau sampai ada mala petaka terjadi atas dirinya, dia menganggap hal itu tidak adil dan menimbulkan dendam kepada orang lain.
Kakek itu -melangkah terus dan hanya satu tujuan yang terkandung di dalam hati, yaitu membalas dendam kematian anaknya kepada Song Thian Lee!
-oo(mch)oo- Pada suatu sore, Song Thian Lee sedang duduk istirahat di dalam taman di belakang gedungnya bersama Tang Cin Lan, isterinya. Mereka berdua duduk sambil mengobrol dan Cin Lan mengajak Hong San putera mereka, bermain-main.
Tidak ada seorangpun pelayan di situ karena ia ingin menyendiri menikmati udara sore yang sejuk. Bunga-bunga di taman itu sedang berkembang dan suasananya tenteram dan menyejukkan hati. Akan tetapi, agaknya ada sesuatu yang mengganggu hati Thian Lee di saat itu. Wajahnya yang Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tampan itu tidak begitu cerah. Sedikit perubahan ini sudah cukup bagi Cin Lan untuk dapat menduga bahwa ada
sesuatu yang mengganggu pikiran suaminya. Maka ia lalu memanggil
seorang pengasuh, menyuruh pengasuh membawa masuk Hong San sehingga ia kini berdua saja
dengan suaminya di dalam taman itu.
"Ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu. Apakah itu"
Bolehkah aku ikut memikirkannya?" tanya Cin Lan sambil duduk di dekat suaminya.
Thian Lee menghela napas dan memandang wajah
isterinya dengan kagum. Isterinya ternyata amat waspada, dapat menjenguk isi hatinya walaupun dia tidak menyatakan sesuatu. Diapun tidak pernah menyimpan suatu rahasia dari isterinya, maka dia menjawab dengan sejujurnya.
"Engkau benar. Ada sesuatu yang amat menggangguku, sejak aku kembali dari timur menumpas pemberontakan.
Aku melihat kenyataan bahwa kedudukanku yang sekarang ini sesungguhnya tidak tepat bagiku."
"Eh, kenapa begitu?" tanya Ci Lan sambil menatap wajah suaminya dengan tajam.#
"Hal itu kusadari ketika aku berhadapan dengan
Keluarga Cia, Lan-moi. Mereka adalah patriot-patriot yang ingin membebaskan tanah air dan bangsa dari cengkeraman penjajah, dan aku harus memusuhi dan membasmi orang-orang seperti itu. Hal ini sungguh menyedihkan hatiku.
Sudah berulang kali aku dihadapkan dengan orang-orang yang berpendirian seperti itu. Mula- mula ketika Thian Tok menemuiku dan memaki aku sebagi antek penjajah.
Kemudian Keluarga Cia itu. Sungguh menyakitkan hati
sekali, Lan-moi. Dan biarpun pada hakekatnya aku bukan membantu pemerintah Mancu untuk menindas rakyat,
namun siapakah yang percaya bahwa aku tidak melakukan penindasan terhadap para patriot" Aku menjadi serba salah, Lan-moi. Aku menghambakan diri kepada Kaisar, menerima Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
anugerah pangkat dari Kaisar karena aku yakin akan
kebijaksanaan Kaisar. Akan tetapi harus diakui bahwa tidak semua pembesar Mancu bijaksana seperti Kaisar. Di antara mereka
banyak yang telakukan penindasan sebagai penguasa-penguasa penjajah Mancu. Dengan sendirinya aku terbawa-bawa. Maka, aku sungguh melihat kenyataan
bahwa kedudukanku sebagai panglima besar ini sungguh tidak tepat bagiku." Thian Lee menghela napas panjang mengakhiri kata- katanya.
Cin Lan memandang suaminya dengan khawatir. "Lalu, apa rencanamu, Lee-ko?"
"Tidak ada jalan lain, Lan-moi. Aku harus mengundurkan diri dari jabatanku ini. Aku akan menghadap Kaisar dan akan berkata terus terang apa yang menyebabkan aku


Rajawali Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengundurkan diri. Kaisar amat bijaksana dan dia dapat menyelami perasaan dan kehidupan para pendekar. Aku
akan mengabdi kepada rakyat sebagai seorang pendekar saja, bukan melalui kedudukanku yang membuat aku
bertentangan dengan para patriot."
"Aku menyetujui saja pendapat dan pendirianmu, Lee-ko.
Akan tetapi ingatlah bahwa aku sendiri puteri seorang pangeran Mancu. Bagaimana aku harus bicara kepada
ayahku tentang pengunduran dirimu ini?"
Thian Lee memandang kepada isterinya dengan penuh
kasih. "Aku tidak menyalahkan engkau sebagai seorang puteri pangeran, Lan-moi, karena biarpun ayahmu seorang pangeran, namun beliau seperti juga Kaisar, memiliki kebijaksanaan dan tidak mau menindas rakyat jelata. Apa lagi
engkau hanya puteri tiri pangeran, dan ayah kandungmu adalah seorang pendekar patriot, seperti juga mendiang ayah kandungku."
Keduanya termenung, teringat akan ayah kandung
masing-masing. Ayah kandung Thian Lee bernama Song Tek Kwi, seorang tokoh Kun-lun-pai, seorang pendekar dan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
patriot sejati. Demikian pula ayah kandung Cin Lan adalah seorang pendekar dan patriot sejati bernama Bu Cian. Kedua orang pendekar itu tewas di tangan para perajurit kerajaan, mereka tewas sebagai patriot-patriot sejati yang menentang kelaliman pembesar Mancu.
"Akan tetapi, ayah tiriku itu, Pangeran Tang Gi Su, amat bijaksana dan amat baik kepadaku, Lee-ko. Rasanya sukar bagiku untuk menjelaskan pendirianmu kepadanya, aku
merasa sungkan sekali."
"Biarlah, kalau begitu kita berdua yang akan menghadap ayahmu, dan biarkan aku yang akan bicara kepadanya."
Tiba-tiba terdengar angin gerakan orang dan tiba-tiba saja muncul seorang kakek tinggi besar di dalam taman itu.
Thian Lee segera mengenal kakek itu yang bukan lain adalah Siangkoan Bhok, ayah dari Siangkoan Tek yang tewas dalam pertempuran di pantai timur itu. Dia lalu bangkit berdiri dan menghampiri kakek itu yang berdiri tegak, dayung di tangan kanan dan matanya mencorong memandang kepada Thian
Lee. "Selamat datang, lo-cian-pwe!" kata Thian Lee dengan suara tenang. "Keperluan, apakah yang mendorong lo-cianpwe datang berkunjung?"
Sementara itu, Cin Lan yang juga sudah mengenal kakek itu, bangkit pula berdiri dan siap siaga. Ia tahu betapa lihainya datuk dari timur, majikan Pulau Naga ini. Di waktu mudanya sebagai seorang gadis belia, ia pernah mencarikan sian-tho (buah tho dewa) untuk mengobati gurunya, Pek I Lokai yang terlalu parah. Ketika memberi buah itu ke Pulau Ular Emas, ia tersasar ke Pulau Naga dan bertemu dengan Siang Koan Tek dan ibunya yang amat lihai (baca Kisah Sepasang Gelang Kemala).
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Song Thian Lee, bersiaplah engkau untuk mampus. Aku datang untuk membalaskan kematian puteraku, Siang Koan Tek!"
"Lo-cian-pwe, Siangkoan Tek tewas dalam pertempuran karena dia membantu pemberontak yang bersekongkol
dengan bajak laut Jepang. Aku tidak sengaja membunuhnya." jawab Thian Lee membela diri.
"Tidak perduli apa alasanmu, yang jelas kematiannya adalah karena engkau dan sekarang engkau harus menebus dengan nyawamu. Kecuali kalau engkau takut melawanku, engkau boleh mengerahkan tenaga bantuan, aku tidak
takut!" Thian Lee tersenyum. "Bukan watak seorang pendekar untuk menjawab tantangan dengan pengeroyokan. Aku
hanya memberitahu kepadamu bahwa puteramu tewas
dalam perang dan bukan salahku kalau sampai dia tewas.
Akan tetapi kalau engkau menantangku, aku tidak akan mundur selangkahpun, Tung-hai-ong!" Tung-hai-ong (Raja Lautan Timur) adalah julukan Siang Koan Bhok.
"Bagus! Aku percaya akan omonganmu. Berjanjilah sekali lagi bahwa engkau akan menghadapi tantanganku tanpa
pengeroyokan. Isterimu itupun tidak boleh mengeroyok.
Kalau kemudian dia menantangku bertanding satu lawan satu, akan kulayani."
"Siang Koan Bhok, suamiku sudah berkata tidak akan mengeroyok dan kami bukanlah pengecut-pengecut yang
suka mengandalkan pengeroyokan!" kata Cin Lan yang
percaya penuh akan kemampuan suaminya.
"Kalau begitu, aku menantangmu untuk datang ke hutan buatan di utara kota raja besok pagi setelah matahari muncul, untuk bertanding satu lawan satu! Kalau engkau tidak muncul atau datang dengan bawa teman banyak,
berarti engkau seorang pengecut hina!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Jangan khawatir, aku akan datang."
Jilid II 'Dan aku akan menemaninya, bukan untuk mengeroyokmu. Aku akan hadir sebagai saksi pertandingan antara kalian." kata Cin Lan mendahului suaminya.
"Baik, kalian berdua boleh datang. Aku akan menunggu di sana!" Setelah berkata demikian, Siangkoan Bhok meloncat dan pergi dari situ melalui pagar tembok yang berada di belakang taman. Melihat betapa kakek itu dapat masuk ke taman tanpa diketahui penjaga, padahal cuaca masih terang, dapat dibayangkan betapa lihainya kakek itu.
Setelah kakek itu pergi, barulah Cin Lan merasa khawatir akan keselamatan suaminya. "Dia lihai sekali, Lee-ko.
Dapatkah engkau menandinginya dan mengalahkannya?"
Thian Lee tersenyum, penuh kepercayaan kepada diri
sendiri. "Jangan khawatir, Lan- moi, dia tidak akan dapat mengalahkan aku dengan mudah. Yang menguntungkan
aku, dia sudah mulai tua dan tentu tenaganya sudah
berkurang. Kalau dia menantangku untuk mengukur
kepandaian, hal itu tidak menjadi soal, akan tetapi yang membuat aku menyesal adalah bahwa tantangannya itu
untuk membalas dendam kematian puteranya. Dengan
begitu, tentu dia akan bertanding mati- matian dalam usahanya membalas dendam. Aku khawatir satu di antara kami terpaksa harus berkelahi sampai dapat merobohkan lawan, sebuah pertandingan antara mati dan hidup. Aku tidak takut, akan tetapi aku tidak ingin membunuhnya."
"Akan tetapi, dia yang menghendaki demikian, maka jangan ragu- ragu, Lee-ko. Keraguanmu akan merupakan kelemahan yang membahayakan dirimu sendiri."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Thian Lee mengangguk dan untuk menghibur hati
isterinya agar jangan gelisah memikirkan pertandingan yang akan di adakan besok pagi, dia lalu menggandeng tangan isterinya dan diajak masuk ke dalam rumah.
Malam itu Thian Lee tidur dengan nyenyak, sedikitpun dia tidak merasa khawatir akan apa yang terjadi besok. Dia bukanlah orang yang suka dihantui pikirannya sendiri. Apa yang akan datang besok, akan dihadapi besok pula. Dia penuh kepercayaan kepada diri sendiri, bukan berarti meremehkan orang lain, melainkan pendiriannya, dia setiap saat akan berani menghadapi apa saja. Yang landasannya adalah kebenaran. Selama dia bertindak benar, apapun akibat tindakannya itu, akan dihadapi dengan tabah.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Cin Lan sudah bangun. Wanita ini yang lebih gelisah sehingga semalam agak sukar tidurnya. Hatinya penuh kekhawatiran akan keselamatan suaminya.
Pagi-pagi sekali ia telah mempersiapkan makan pagi
untuk suaminya. Setelah Thian Lee terbangun dan mandi, mereka lalu makan pagi. Thian Lee bersikap seperti biasa, akan tetapi Cin Lan amat pendiam pagi itu. Kemudian
mereka berkemas dan Thian Lee membawa sebatang tongkat yang menjadi senjata utamanya. Dengan tongkat itu ia dapat memainkan Hok-mo-tung (Tongkat Penaluk Iblis) yang amat lihai. Kemudian keduanya pergi menunggang kuda menuju ke pintu gerbang utara. Para penjaga di pintu gerbang mengenal panglima mereka, dan biarpun mereka merasa
heran melihat panglima mereka pergi berdua dengan isteri tanpa pengawal dan berpakaian sebagai rakyat biasa,
mereka tidak berani bertanya. Mereka semua tahu belaka bahwa panglima muda mereka ini adalah seorang pendekar yang sakti, demikian pula isterinya. Mungkin keduanya akan berburu binatang di hutan, pikir mereka.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Suami isteri itu menjalankan kuda mereka perlahan-
lahan menuju ke sebuah hutan tak jauh dari pintu gerbang.
Sebuah hutan buatan yang penuh dengan binatang hutan, yang dijadikan tempat berburu binatang oleh Kaisar dan keluarganya. Matahari mulai menyinarkan cahayanya yang hangat dan pagi itu cerah dan indah sekali.
Setelah tiba di tengah hutan, di tempat terbuka yang merupakan padang rumput, mereka melihat Siang Koan
Bhok telah berdiri di sana dengan dayung baja di tangannya.
"Bagus, kalian berdua datang! Song Thian Lee, turunlah dan mari kita mulai bertanding!" kata Siang Koan Bhok sambil melintangkan dayung bajanya.
"Lan-moi, jagalah kuda kita," kata Thian Lee dan diapun melompat turun dari atas punggung kudanya. Pedangnya tergantung
di punggungnya dan dengan tenang dia melangkah menghampiri Siang Koan Bhok. Setelah menjura dengan hormat diapun berkata, suaranya tenang namun
tegas. "Siang Koan Lo-cian-pwe, sebelum kita bertanding, untuk terakhir kalinya aku hendak memberitahu kepadamu bahwa pertandingan ini sama sekali tidak kuinginkan. Di antara kita sesungguhnya tidak ada permusuhan apapun. Kematian puteramu adalah kematian wajar dari seorang yang tewas dalam perang sehingga tidak perlu disesalkan. Sekali lagi aku minta agar engkau menyadari hal ini dan membatalkan pertandingan yang tiada gunanya ini."
"Song Thian Lee, sejak dahulu engkau selalu menjadi penghalang bagiku! Andaikata puteraku tidak tewas di tanganmu sekalipun, aku tidak pernah merasa menjadi
sahabatmu, melainkan sebagai musuh. Sudahlah, jangan banyak cakap lagi. Mari kita mulai !"
Thian Lee menghela napas panjang. Dia percaya bahwa
sebagai seorang datuk besar, Siang Koan Bhok merasa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pantang untuk bertindak curang, untuk melakukan pengeroyokan. Diapun maklum melihat sikap datuk itu
bahwa tak mungkin dia membujuknya lagi, maka diapun
melangkah maju dan mencabut pedang Jit-goat-sin-kiam dari punggungnya. Menghadapi seorang lawan seperti Siang Koan Bhok dia tidak boleh bersikap ragu atau sungkan lagi.
Lawan ini terlalu tangguh dan dayung bajanya hanya dapat dilawannya dengan pedang saja.
"Kalau begitu baiklah, lo-cian-pwe, aku sudah siap,"
katanya tenang. Cin Lan menalikan kendali kedua ekor kuda pada sebatang pohon dan ia menonton pertandingan itu dengan mata tak berkedip dan hati terguncang tegang.
"Lihat serangan!" Bentak Siang Koan Bhok dan mulailah dia
menyerang. Dayung bajanya menyambar dengan dahsyatnya ke arah kepala Thian Lee. Dayung itu kuat dan keras sekali. Sebongkah batu besar akan hancur terkena pukulan dayung itu, apa lagi kepala oang!
Thian Lee mengelak ke bawah dan ketika dayung
menyambar ke atas kepalanya, diapun membalas dengan
tusukan pedang ke arah paha lawan. Siang Koan Bhok
mengangkat kaki dan mundur ke belakang, dayungnya
diayunkan berputar dan kembali menyambar ke arah tubuh Thian Lee.
Pemuda itu menggunakan segala kelincahan tubuhnya
untuk mengelak dan berloncatan menghindar sambil kadang-kadang membalas dengan pedangnya. Makin lama
gerakan mereka menjadi semakin cepat sehingga dayung dan pedang tidak nampak bentuknya lagi, sudah berubah menjadi segulungan besar sinar ke hitaman dan pedang itupun berubah menjadi sinar terang bergulung-gulung.
Hanya kadang-kadang saja kalau kedua senjata bertemu dan mengeluarkan bunyi nyaring, diketahui bahwa dua
gulungan sinar itu adalah senjata-senjata yang ampuh!
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Siang Koan Bhok menyerang dengan pengerahan seluruh
tenaga dan kepandaiannya. Dia mainkan dayung baja itu dengan ilmu Swe-kut-pang (Tongkat Penghancur Tulang) dan dayungnya berubah menjadi segulungan sinar kehitaman yang mengeluarkan angin dahsyat.
"Wirr-wirr-wirr !" Dayung itu menyambar-nyambar dalam jarak agak jauh karena senjata itu merupakan senjata yang panjang.
Akan tetapi Thian Lee adalah seorang lawan yang sakti.
Pemuda ini telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan juga pengalaman bertempur yang banyak. Dia mainkan ilmu pedang
Jitgoat-kiam-sut
(Ilmu Pedang Matahari dan Bintang), dan menggunakan kelincahannya untuk menghindari semua sambaran dayung, sementara itu diapun membalas dengan serangan pedangnya yang merupakan
sinar-sinar maut.
Cin Lan yang menonton pertempuran .itu hampir tidak
pernah berkedip. Ia merasa kagum bukan main dan diam-diam ia harus mengakui bahwa kakek itu luar biasa
lihainya. Kalau ia yang maju melawannya, tak mungkin ia dapat bertahan lebih dari limapuluh jurus. Akan tetapi ia percaya penuh akan kemampuan suaminya dan iapun
menonton dengan jantung berdegup penuh ketegangan.
Thian Lee juga maklum bahwa tidak mudah baginya
untuk mengalahkan fawannya. Dayung kakek itu sungguh ampuh dan berbahaya sekali. Dia harus dapat membuat
kakek itu melepaskan dayungnya karena selama kakek itu menggunakan dayung itu sebagai senjata, agaknya akan sukar sekali baginya untuk mendapat kemenangan.
Akan tetapi pandang mata dan pendengaran Thian Lee
awas sekali. Dia melihat betapa wajah kakek itu menjadi agak pucat dan napasnya terasa pendek. Ini menunjukkan bahwa kakek itu telah lelah. Inilah satu-satunya kelemahan lawannya. Karena usia tua, maka daya tahan kakek itu Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menurun banyak. Tenaganya memang masih amat kuat,
akan tetapi daya tahannya menurun dan napasnya memburu. Thian Lee menggunakan kesempatan itu untuk mendesak Iawannya. Pedangnya menyambar-nyambar
dengan ganas dan ketika kakek itu membalas dengan
ayunan ke arah pinggangnya, dia miringkan tubuh,
mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya dan membacok ke arah tengah-tengah dayung itu.
"Singgg .............. trakk!!" Dia berhasil! Dayung itu patah menjadi dua potong.
Thian Lee meloncat ke belakang. "Sudah cukup, Io-cianpwe. Senjatamu sudah rusak!" katanya untuk menghentikan pertandingan.
Akan tetapi Siang Koan Bhok memandang ke arah dua
potong dayung yang tinggal pendek itu di kedua tangannya, lalu
membuangnya ke atas tanah sambil meludah. Kemudian dia membentak.
"Hanya dayungku yang patah, aku belum kalah!" katanya dan dia lalu menggerak-gerakkan kedua tangannya yang berubah menjadi, kehijauan, tanda bahwa kedua tangan itu mengandung hawa beracun yang amat jahat. Itulah ilmu pukulan tangan kosong beracun yang di sebut Ban-tok-ciang (Tangan Selaksa Racun) yang dahsyat bukan kepalang.
Thian Lee adalah seorang pendekar sejati. Melihat lawan sudah kehilangan senjata dan kini maju dengan tangan kosong, diapun segera memasukkan pedangnya di sarung pedang yang tergantung di punggungnya dan menghadapi Siang Koan Bhok dengan tangan kosong pula! Dia maklum akan hebat dan berbahayanya Ban-tok-ciang, maka diapun mengerahkan tenaga Thian-te Sin-kang ke dalam kedua
lengannya sampai ke ujung-ujung jari untuk melindunginya dari hawa beracun di kedua tangan lawan, kemudian dia Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
memasang kuda-kuda dengan kedua lengan terpentang lebar seperti sayap dan kaki kirinya di angkat seperti seekor burung sedang terbang. Dan inilah pembukaan dari ilmu silat tangan kosong yang disebut Silat Elang Terbang (Hui-eng-kun).
Melihat pemuda itu sudah siap, Siang Koan Bhok mulai dengan serangannya dibarengi bentakarmya yang dahsyat,
"Hyaaaaatttt!" Tubuhnya menerjang maju, kedua tangan memukul bergantian ke depan. Akan tetapi gerakan Thian Lee amat gesit seperti seekor burung, dia mengelak beberapa kali dan membalas dengan sapuan kakinya. Datuk itu
melompat ke atas untuk menghindarkan sapuan dan ketika tubuhnya turun, kedua tangannya sudah menyerang lagi dengan hantaman atau cengkeraman. Cengkeraman tangan Siang Koan Bhok bahkan lebih berbahaya dari tamparannya, karena cengkeraman ini mengandung ilmu Jiu-jit-su yang dipelajarinya dari tokoh Jepang. Sekali kena dicengkeram, jangan harap dapat terlepas lagi dan tubuh lawan tentu akan ditekuk dan dibanting!
Namun Thian Lee agaknya maklum akan kelihaian kedua
tangan lawan itu. Dia mengandalkan kecepatannya untuk menghindar sambil membalas dengan serangan yang tidak kalah hebatnya. Sekali-kali kedua tangan mereka beradu dan ketika kedua lengan itu bertemu, kedua nya merasa tubuh mereka tergetar hebat. Siang Koan Bhok terkejut melihat betapa pemuda itu sama sekali tidak terpengaruh ketika beradu lengan dengan nya. Hawa sin-kang yang amat kuat melindungi kedua lengan pemuda itu menolak hawa beracun dari Ban-tok-ciang yang dimainkannya.
Kembali Cin Lan harus menyaksikan pertandingan yang
mendebarkan hatinya. Ia merasa tegang sekali dan diam-diam
is menyesalkan mengapa suaminya tidak menggunakan pedangnya. Ia khawatir sekali melihat betapa kedua tangan kakek itu berwarna kehijauan tanda bahwa Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kedua tangan itu mengandung hawa beracun yang amat
berbahaya. Akan tetapi nyonya muda itu tidak berkata sesuatu, hanya di dalam hati saja ia berdoa untuk
kemenangan suaminya dan menonton dengan kedua mata
jarang berkedip dan hati tegang.
Perkelahian itu memang hebat sekali. Biarpun kini
keduanya hanya mengandalkan kedua tangan dan kaki,
namun serunya tidak kalah ketika mereka menggunakan
senjata tadi. Suara pukulan mereka menderu-deru, membawa angin pukulan bersiutan dan ketika kedua lengan bertemu, tanah yang diinjak Cin Lan seakan turut bergetar.
Akan tetapi ternyata bahwa kakek itu kalah dalam daya tahan. Keringatnya telah membasahi seluruh tubuhnya. Dari kepalanya mengepul uap dan napasnya mulai memburu.
Melihat ini, Thian Lee merasa girang dan dia ingin
mengalahkan kakek itu karena kelemahannya ini. Dia akan bertahan terus sampai kakek ini kehabisan tenaga sendiri dan terpaksa menghentikan perkelahian itu.
Siang Koan Bhok juga merasa betapa tubuhnya sudah
lelah, akan tetapi dia melihat lawannya masih segar. Dia tidak akan menang kalau mengandalkan kekuatan daya
tahan dan pernapasan. Dia harus mengirim pukulan maut yang tidak akan dielakkan lawan.#
Tiba-tiba kakek itu meloncat ke depan dan menekuk
kedua lututnya. Dengan tubuh setengah berjongkok itu dia menghantamkan kedua tangan dengan telapak tangan
terbuka, mendorong sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Angin pukulan dahsyat menyambar

Rajawali Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan mengejutkan hati Thian Lee. Dia tidak dapat lagi mengelak, maka jalan satu-satunya baginya hanya menyambut pula dengan kekerasan. Diapun mendorongkan kedua tangannya yang terbuka sehingga kedua pasang tangan itu bertemu di udara dengan tenaga yang dahsyat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Wuuuuuttttt.........
dessss. !!" Pertemuan antara dua
pasang tangan itu dahsyat bukan main. Tubuh Thian Lee terdorong ke belakang walaupun kedua kakinya masih tetap memasang kuda-kuda. Dia merasa dadanya agak sesak dan cepat dia mengambil napas panjang.
Akan tetapi Siang Koan Bhok terhuyung ke belakang dan baru berhenti setelah punggungnya menabrak sebatang
pohon. Dia bersandar di pohon itu sambil memejamkan
kedua matanya, darah segar mengalir dari ujung bibirnya!
Cin Lan cepat menghampiri suaminya yang bernapas
dalam sambil memejamkan mata pula. "Lee-ko, engkau tidak apa-apa?" tanyanya khawatir.
Perlahan-lahan Thian Lee membuka matanya, memandang kepada isterinya, menghela napas, tersenyum dan menggeleng kepala. "Aku tidak apa-apa, jangan khawatir." Dia lalu memandang ke de-pan dan melihat Siang Koan Bhok yang bersandar di batang pohon sambil
memejamkan matanya. Melihat darah segar mengalir di
ujung bibir kakek itu, tahulah Thian Lee bahwa kakek itu telah terluka dalam yang cukup parah.
"Lo-cian-pwe," katanya, "Bersediakah lo-cian-pwe untuk kuobati?" Dia menawarkan.
Siang Koan Bhok membuka matanya dan sinar kebencian berkobar di dalam sinar matanya. "Aku tidak butuh bantuanmu. Sekarang aku kalah, akan tetapi akan datang saatnya engkau yang kalah melawanku. Selamat
tinggal!" Dengan terhuyung kakek itu lalu pergi dari situ.
Thian Lee bergerak hendak mengejar, akan tetapi pundaknya disentuh isterinya.
"Kalau dia tidak mau dibantu, itu salahnya sendiri, Lee-ko. Jangan perdulikan orang berkepala batu itu."
Thian Lee menahan langkahnya dan hanya memandang
kepada kakek itu yang terus melangkah dengan terhuyung.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dia menghela napas panjang dan berkata dengan penuh
sesal. "Betapa keras hatinya. Aku menyesal sekali tidak dapat menyadarkannya dari kekeliruannya. Dia kelak tentu akan merupakan ancaman bagi kita. Akan tetapi apa boleh buat, kita harus siap setiap saat menghadapinya."
Suami isteri itu lalu keluar dari dalam hutan, menunggangi kuda mereka dan kembali memasuki kota raja.
Setelah terjadi peristiwa itu, semakin besar keinginan Thian Lee untuk mengundurkan diri dari kedudukannya sebagai panglima dan hidup sebagai rakyat biasa bersama anak isterinya.
-oo(mch)oo- "San-ko, sekarang kita akan ke mana?" tanya Ceng Ceng kepada Hui San ketika mereka jalan bersama menuju ke utara.
"Aku akan pergi ke Hong-san, akan tetapi hendak singgah di kota raja dan daerahnya untuk mengundang para tokoh kang-ouw di daerah itu. Kemudian dari sana baru aku menuju ke Hong-san untuk menghadiri pertemuan penting itu. Di sana engkau akan dapat bertemu dengan gurumu, Ceng-moi."
"Baik, San-ko, aku akan ikut denganmu. Dan kebetulan sekali, kalau kita menuju ke kota raja, aku minta agar kita singgah dulu sebentar di rumah pamanku di Pao-ting. Aku tidak akan lama tinggal di sana, hanya menjenguk sebentar.
Engkau tidak keberatan, Sanko?"'
"Tentu saja tidak. Pergi ke kota ra ja memang melewati Pao-ting dan pula akupun ingin berkenalan dengan keluarga pamanmu. Bukankah engkau pernah mengatakan bahwa
mereka adalah keluargamu terdekat?" kata Hui San sambil Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menatap wajah gadis itu dengan sinar mata tajam penuh arti. Ceng Ceng mengangguk dan kedua pipinya berubah kemerahan. Kalau seorang pemuda ingin memperkenalkan diri kepada keluarganya, hal itu tentu saja mempunyai arti penting!
Beberapa hari kemudian, pada suatu pagi mereka
memasuki pintu gerbang kota Pao-ting. Mereka menjalankan kuda mereka perlahan dan tepat di pintu gerbang mereka berpapasan dengan dua orang penunggang kuda lain yang keluar dari kota itu. Ceng Ceng memandang kepada mereka dan wajahnya berubah berseri gembira.
"Hwe Li ...... ! Lai-suheng....!"
Dua orang penunggang kuda itu berhenti dan mereka
memandang kepada Ceng Ceng. Souw Hwe Li segera
mengenalnya dan iapun melompat turun dari atas punggung kudanya.
"Ceng Ceng......... "
Ceng Ceng juga melompat turun dan di lain saat kedua orang gadis itu sudah berangkulan dengan gembira.
"Hwe Li dan suheng, perkenalkan ini sahabatku!" kata Ceng Ceng sambil menunjuk kepada Hui San. "Namanya Thio Hui San. San-ko, inilah saudara misanku Souw Hwe Li dan ini suhengku bernama Lai Siong Ek."
Hui San yang sudah turun dari atas kudanya memberi
hormat kepada Hwe Li dan Siong Ek, yang dibalas oleh mereka dengan hormat pula. Ceng Ceng melihat wajah
mereka berdua yang sungguh-sungguh seperti sedang
tegang, maka ia bertanya.
"Kalian hendak pergi ke manakah?" "Ceng Ceng, ada urusan yang penting sekali telah terjadi dengan keluarga kami." Hwe Li lalu menggandeng Ceng Ceng ke pinggir dan bicara dengan suara perlahan. "Pagi tadi ayahku pergi Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
memenuhi tantangan seseorang di luar kota dan kami
hendak menyusul ke sana untuk kalau perlu membantunya."
"Ah, mengapa dia ditantang" Dan paman Souw Can pergi dengan siapa?" tanya Ceng Ceng sambil mengerutkan alisnya. "Biarlah aku ikut pergi untuk membantunya!"
"Kalau begitu, mari kita menyusul ke sana, Ceng Ceng, dan akan kuceritakan di dalam perjalanan nanti." Hwe Li berkata. Ceng Ceng segera menyetujui dan memandang
kepada Hui San.
"San-ko, kita ikuti mereka sebentar. Siapa tahu pamanku membutuhkan bantuan kita."
Mereka berempat menunggangi kuda mereka keluar dari
pintu gerbang dan di sepanjang perjalanan Hwe Li ber cerita dengan singkat. Kiranya baru beberapa bulan yang lalu, di kota Pao-ting ada orang membuka perusahaan pengawal
barang kiriman baru yang menggunakan nama Sin-liong
Piauw-kiok Perusahaan Pengawal barang Naga Sakti. Tentu saja Souw Can tidak memperdulikan, biar ada sepuluh orang membuka piauw-kiok di Pao-ting, dia tidak akan dapat berbuat apapun karena orang bebas untuk membuka
perusahaan. Akan tetapi, Sinliong Piauw-kiok yang baru itu menggunakan bendera yang sama dengan Kim-liong-piauw-kiok, yaitu bendera yang bergambar naga. Hal ini tentu saja dapat dikatakan bahwa perusahaan baru itu sengaja
menggunakan nama yang mirip dan memalsu bendera. Souw Can dengan baik-baik telah mendatangi piauw-kiok itu dan menegur mereka, dan minta agar bendera mereka diubah dan tidak sama dengan bendera Kim-liong Piauw kiok. Akan tetapi pihak Sin-long Piau kiok tidak menanggapi bahkan mengambi sikap menantang. Sejak itu, kedua piauw-kiok seolah bermusuhan.
"Permusuhan
berlarut-larut,"
Hwe Li mengakhiri ceritanya. "Pada suatu hari mereka bahkan berani Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menyerang para piauw-su (pengawal) kami yang sedang
mengirim barang ke kota raja. Tentu saja ayah menjadi marah karena banyak piauw-su kami terluka. Dia hendak mendamaikan dan mendatangi Sin-liong Piauw-kiok, akan tetapi ayah bahkan ditantang untuk mengadu ilmu pada pagi hari ini di luar kota. Pagi tadi ayah pergi seorang diri, melarang kam untuk ikut. Kami merasa tidak enak hati lalu menyusul."
"Hemm, Sin-liong Piauw-kiok bertindak sewenang- wenang dan aku khawatir Paman Souw Can akan terjebak.
Mari kita percepat perjalanan kita," kata Ceng Ceng.
Akhirnya mereka tiba di tempat itu. Karena Souw Can
pergi berjalan kaki, maka dia tersusul dan baru saja dia tiba pula di tempat itu. Dan di sana sudah menanti Ji Kui, ketua Sin-liong Piauw-kiok yang datang bersama lima orang
kawannya. Ji Kui adalah seorang pria berusia kurang lebih limapuluh tahun, bertubuh tinggi kurus, mukanya merah dan matanya tajam bersinar, berdiri tegak sambil memegang sebatang tombak setinggi tubuhnya. Lima orang kawannya rata-rata berwajah bengis dan kejam yang sepatutnya
dimiliki orang-orang jahat.
Ketika Souw Can melihat ketua Sin long Piauw-kiok itu berada di situ bersama lima orang kawannya, dia tersenyum mengejek.
"Bagus sekali! Engkau menantang untuk bertanding satu lawan satu, akan tetapi ternyata engkau membawa lima orang teman, orang she Ji!"
Ji Kui tertawa mengejek. "Ha-ha, demikian kecil nyalimu, Souw Can sehingga melihat kawan-kawanku engkau lantas ketakutan. Jangan khawatir, mereka ini hanya menjadi saksi saja atas pertandingan antara kita. Majulah dan bersiaplah untuk mampus di ujung tombakku!"
Akan tetapi sebelum Souw Can menjawab, tiba-tiba
terdengar seruan dari belakangnya. "Ayah........"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Souw Can menoleh dan melihat puterinya, Souw Hwe Li
datang bersama Lai Siong Ek dan diapun mengenal Ceng Ceng yang datang bersama seorang pemuda yang tidak
dikenalnya. Setidaknya kedatangan mereka membesarkan hatinya
karena kini kawan-kawan Ji Kui itu ada tandingannya kalau mereka membantu Ji Kui. Akan tetapi untuk tidak mendatangkan kesan buruk, dia menghardik puterinya dan muridnya atau calon mantunya,
"Hwe Li dan Siong Ek, mau apa kalian ke sini?"
Ceng Ceng sudah melompat turun dari atas kudanya dan menghampiri Souw Can, memberi hormat. "Paman Souw, saya ikut datang untuk mewakili mu menghadapi orang ini!"
"Ha-ha-ha, kiranya engkaupun bukan seorang yang jujur, Souw Can Eng kau juga mengundang datang balabantuan!"
Ji Kui mengejek.
Souw Can sudah maklum akan kepandaian puteri dan
muridnya, dan diapun percaya penuh akan kelihaian Ceng Ceng yang menjadi murid datuk pandai, maka hatinya
menjadi besar. Belum lagi diingat pemuda yang datang bersama mereka. Pemuda itu tampan dan gagah, agaknya juga bukan seorang yang lemah. Maka diapun berkata
dengan suara menantang.
"Ji Kui, sekarang kita bicara seperti seorang laki-laki.
Engkau berenam, aku berlima. Kita boleh saling bertanding dan melihat pihak mana yang lebih banyak menderita
kekalahan! Engkau boleh mengajukan kawan-kawanmu itu dan aku mengajukan puteriku, muridku, keponakanku dan sahabatnya itu dalam pertandingan satu lawan satu!"
Ji Kui yang merasa betapa pihaknya lebih banyak, tentu saja menerima tantangan itu. Apa lagi pihak lawannya memiliki pembantu-pembantu dua orang gadis muda dan
dua orang pemuda.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Baik! Kita bertanding satu lawan satu. Pihak yang kalah harus membubarkan piauw-kioknya dan meninggalkan kota Pao-ting!"
Dia lalu memberi isyarat kepada seorang pembantunya yang berkepala botak untuk maju. Si botak yang tubuhnya tinggi besar ini melangkah ma ju dan
mencabut goloknya dengan sikap angkuh.
"Hayo, siapa di antara kalian yang berani melawan aku?"
tantangnya. "Ayah, biar aku yang maju lebih dulu!" kata Souw Hwe Li dan ayahnya mengangguk setuju. Hwe Li mencabut
pedangnya dan melangkah maju, memandang si kepala
botak dengan sinar
mata "Majulah,
aku telah siap melawanmu!" bentak Souw Hwe Li.
Si kepala botak fertawa. "Ha-ha-ha, nona muda. Aku khawatir kalau kulitmu yang halus itu akan menjadi lecet oleh golokku! Biarlah kulawan engkau dengan tangan
kosong saja!" Dia beranggapan bahwa kalau melawan dengan kedua tangan kosong dia mempunyai banyak
kesempatan untuk mencolek dan memegang tubuh sintal
gadis cantik itu.
"Botak sombong! Lihat pedang!"
Hwe Li membentak dan pedangnya sudah berkelebat
menusuk ke arah dada kepala botak. Si botak mengelak, akan teiapi begitu dia mengelak, pedang Hwe Li sudah mengejarnya dan mengirim serangan bacokan ke arah
kepala botaknya. Si botak melompat ke sana sini untuk mengelak dan dia terkejut sekali karena ternyata pedang di tangan gadis cantik itu lihai sekali, cepat dan juga mengandung tenaga besar. Sebentar saja dia terdesak dan harus berloncatan seperti seekor kera. Karena tidak dapat bertahan lagi dia terpaksa mencabut goloknya dan untuk menutupi rasa malunya, dia berteriak.
"Golokku akan membunuhmul"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kini mereka bertanding dengan menggunakan senjata.
Dan ternyata permainan golok si botak itu tidak dapat dipandang ringan. Gerakannya juga cepat dan tenaganya besar sehingga goloknya menjadi segulung sinar yang
mendesak sinar pedang Hwe Li. Akan tetapi Hwe Li memiliki kecepatan yang lebih dibandingkan lawannya. Dengan
mengandalkan kecepatan gerakannya, Hwe Li berhasil
membuat si botak terdesak hebat dan akhirnya dia hanya mampu mengelak dan menangkis saja, tidak mendapat
kesempatan untuk balas menyerang! Limapuluh jurus telah lewat dan setelah mendapat' kesempatan yang balk, pedang Hwe Li menyambar ke bawah dan si botak itu berteriak keras sambil berlompat ke belakang dan paha kanannya bercucuran darah karena telah terkena pedang Hwe Li.
Tentu saja dia tidak berani maju lagi dan hanya menundukkan kepala botaknya dengan muka kemerahan
karena malu. "Ji Kui, pihakmu sudah kalah satu kali!" kata Souw Can dengan girang.
Muka Ji Kui yang kemerahan itu menjadi semakin merah saking malu dan marahnya. "Di pihak kami masih ada lima orang!" Dia memberi isyarat dan seorang di antara para pembantunya yang bertubuh pendek gendut melangkah
maju. Dia tidak membawa senjata dan dengan sikap congkak dia memandang kepada pihak Souw Can sambil tersenyum menyeringai dan berkata, "Aku tantang bertanding dengan tangan kosong. Siapa berani, melawan aku?"
Lai Siong Ek tidak mau kalah oleh tunangannya. "Suhu, biar saya menghadapinya."
Souw Can mengangguk. Dia tahu bahwa biarpun
bakatnya tidak begitu baik seperti puterinya, calon mantunya yang juga muridnya ini sudah memiliki ilmu silat yang cukup baik. "Hati-hati lah," katanya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Lai Siong Ek adalah putera jaksa Pao-ting, maka selain mengandalkan
ilmu silatnya, diapun mengandalkan kedudukan ayahnya, maka hatinya besar dan penuh
keberanian. "Majulah, aku telah siap melawanmu!" katanya sambil memasang kuda-ku da.
Si gendut pendek menyeringai. Tadinya dia mengharapkan bahwa gadis satunya lagi yang juga cantik jelita
untuk maju melawannya. Kiranya yang maju menandinginya adalah seorang pemuda!
"Bagus! Orang muda, kau jagalah seranganku ini!"
bentaknya dan diapun sudah menerjang dengan pukulan
kedua tangannya yang berlengan pendek-pendek tetapi yang memiliki tenaga besar itu.
Siong Ek mengelak dan pada pukul berikutnya, dia
menangkis. "Dukk.....!" Dua lengan bertemu dan akibatnya Siong Ek mundur dua langkah. Dari sini saja sudah dapat diduga bahwa tenaga pemuda itu masih kalah dibanding lawannya.
Akan tetapi Siong Ek tidak menjadi jerih dan diapun bersilat dengan cepat untuk membalas serangan lawan. Terjadilah perkelahian yang seru. Mereka itu saling serang, saling desak sehingga menjadi pertanding an yang seru dan
menegangkan. Saling pukul juga terjadi dimana tangkisan atau elakkan tidak sempat lagi dilakukan sehingga tubuh terkena pukulan. Kalau si gendut yang terkena pukulan, tubuhnya hanya bergoyang sedikit, akan tetapi kalau Siong Ek yang terkena pukulan, tubuhnya terhuyung mundur dua langkah! Biarpun Siong Ek yang menang cepat itu lebih banyak memukul dan mengenai tubuh lawan, akan tetapi karena tiap kali terkena pukulan dia merasa nyeri maka makin lama pertahanannya menjadi semakin lemah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Souw Can melihat bahwa kalau dilanjutkan, muridnya
itu akan kalah. Dia khawatir kalau Siong Ek terluka parah, maka dia melompat ke depan dan berka ta, "Siong Ek, mundurlah!"
Siong Ek yang sudah kewalahan itu terpaksa mundur,
dan Souw Can berkata Ji Kui. "Kami mengakui bahwa muridku kalah, maka keadaan kita kini satu-satu. Biarlah aku sendiri yang maju!"
"Tidak, paman!" kata Ceng Ceng yang sudah melompat ke depan. "Paman merupakan pimpinan, sepantasnya maju paling akhir. Biarlah aku yang menghadapi lawan!"
Souw Can yang maklum bahwa Ceng Ceng kini menjadi
lihai sekali, hanya mengangguk. Si gendut melihat Ceng Ceng maju, menyeringai lebar dan berkata kepada Ji Kui.
"Ji-toako, biar aku maju sekali lagi menghadapi gadis ini!" Ji Kui tersenyum. Dia memandang rendah Ceng Ceng yang kelihatan lemah lembut itu maka dia mengangguk.
"Nona manis, hati-hatilah melawan aku. Aku tidak ingin memukul seorang gadis cantik seperti engkau!" si gendut mengejek sambil menyeringai lebar.
"Babi .gendut! Engkau boleh pilih, menggunakan senjata atau tangan kosong?" kata Ceng Ceng.
Dimaki babi gendut, si gendut menjadi marah akan tetapi dia masih terta wa mengejek. "Mari main-main dengan tangan kosong. Aku ingin mendekap tubuhmu yang molek itu!"


Rajawali Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ceng Ceng mengerutkan alisnya. "Lihat seranganku!"
bentaknya dan secepat kilat kakinya menendang. Si gendut terkejut
dan cepat meloncat ke belakang untuk menghindarkan perutnya dari tendangan, kemudian dia
mengembangkan kedua lengannya dan menerjang maju,
menubruk untuk merangkul gadis itu. Akan tetapi dengan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
lincah dan ringannya Ceng Ceng mengelak, meloncat ke sebelah kanan si gendut dan tangannya menampar ke arah pelipisnya!
"Wuuuuttt....!" Tamparan itu dapat dielakkan, akan tetapi si gendut makin terkejut karena tamparan itu nyaris
mengenai pelipisnya dan terasa ada angin kuat menyambar.
Gadis ini tidak boleh dipandang ringan! Dia menggereng dan kini menyerang bagaikan kesetanan, bukan lagi ingin
mencolek, menowel atau mendekap, akan tetapi memukul sungguh sungguh dengan kedua tangannya.
Pertandingan ini pun berlangsung seru, akan tetapi
setelah lewat tigapuluh jurus, sebuah tendangan kaki kiri Ceng Ceng mengenai perut yang gendut itu. Si gendut
terjengkang dan terbanting keras sehingga mulutnya mengeluarkan suara "ngek!" dan dia terengah- engah!
Agalcnya dia merasa malu sekali dan menutupi mulutnya dengan kemarahan. Tangan kanannya meraba pinggangnya dan dia susah menghunus sebatang golok yang berkilauan saking tajamnya. Tanpa memberi tahu lagi, secara curang, dia telah menubruk maju dan menyerang dengan goloknya secara membabi buta!
Melihat serangan yang nekat itu, Ceng Ceng melolos
kebutannya tanpa mencabut pedang. Kebutannya yang
berbulu merah berkelebatan menangkis datangnya golok ini Baru belasan jurus saja, bulu kebutan dapat melibat golok dan sebelum si gendut dapat menarik kembali goloknya, kembali kaki kirinya menendang dengan kuatnya dan sekali ini mengenai dada si gendut.
"Ngekk........!!" goloknya terlepas, tubuhnya terbanting keras dan sekali ini dengan susah payah baru dia dapat merangkak bangun, di bantu oleh seorang kawannya.
"Hemm, Ji Kui, pihakmu kalah lagi sehingga kedudukan menjadi dua satu untuk kemenangan kami !" kata Souw Can dengan girang sekali.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ji Kui mengerutkan alisnya dan memberi isyarat kepada pembantunya yang ke tiga, seorang berwajah hitam dan bertubuh kokoh dan tegap. Si muka hitam ini maju sambil mencabut
sebatang pedang dari pinggangnya dan menantang dengan suara lantang. "Siapa berani melawan aku ?"
"Paman Souw, saya masih belum lelah. Biarkan saya menandingi kerbau muka hitam ini!" kata pula Ceng Ceng, sengaja
memaki lawan agar lawan menjadi marah. Kemarahan mengurangi kewaspadaan maka melemahkan
pertahanan lawan. Ceng Ceng dapat menduga bahwa tentu si muka hitam yang diajukan ini lebih lihai dari pada si gendut, maka ia pun tidak segan-.segan untuk mencabut pedang dengan tangan kanan sedangkan kebutan bulu
merahnya dipegang dengan tangan kirinya.
Umpan Ceng Ceng berhasil. Si muka hitam menjadi
marah sekali dimaki kerbau muka hitam dan tanpa memberi peringatan lagi dia sudah mengayun goloknya dibacokkan ke arah kepala Ceng Ceng. Agaknya dia hendak membelah
kepala itu dengan sekali bacokan saja. Namun Ceng Ceng mengelak dengan mudah, bahkan membarengi dengan
tusukkan pedangnya yang disusul dengan menyambar
kebutan ke arah muka lawan.
Si muka hitam terkejut, cepat mundur dan memutar
goloknya untuk menangkis dan membabat putus tali
kebutan. Akan tetapi usahanya gagal karena Ceng Ceng juga sudah menarik kembali kebutannya dan membiarkan
pedangnya tertangkis untuk menguji tenaga lawan.
"Trang g g......... !" Bunga api berpijar ketika golok bertemu pedang. Ceng Ceng merasakan tangan kanannya
tergetar, akan tetapi si muka hitam lebih kaget lagi karena pedang itu sedemikian kuatnya sehingga goloknya terpental ke belakang! Dia menjadi penasaran dan marah. Bagaikan seekor kerbau gila dia menyerang lagi, memutar goloknya Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
clan menyerang secara bertubi-tubi. Namun Ceng Ceng
menyambutnya dengan tenang dan cepat. Perkelahian ini lebih menegangkan dari tadi. Akan tetapi, hanya Souw Can, Souw Hwe Li dan. Li Siang Ek saja yang merasa tegang dan takut kalau-kalau Ceng Ceng kalah. Thio Hui San menonton dengan tenang dan tersenyum karena dia yakin bahwa gadis yang dicintanya itu tidak akan kalah. Baik mengenai tenaga sakti maupun kecepatannya, Ceng Ceng masih menang
setingkat dari lawannya.
Dugaannya benar. Setelah lewat limapuluh jurus, Ceng Ceng berseru nyaring, "Kena. ..... !!" Ujung kebutannya menyambar ke arah mata lawan dan ketika si muka hitam menarik
kepalanya ke belakang, kesempatan itu dipergunakan oleh Ceng Ceng untuk menusukkan pedangnya ke arah lengan kanan si muka hitam.
"Haiiiitttt....
aduhhh....!"
Si muka hitam terpaksa mejepaskan goloknya dan lengannya berdarah karena
terluka oleh ujung pedang di tangan Ceng Ceng. Tentu saja dengan luka di lengan kanan, si muka hitam tidak dapat maju lagi.
"Nah, Ji Kui, pihakmu kalah lagi.! Kedudukan menjadi tiga satu untuk kemenangan kami. Apakah engkau sudah mengaku kalah sekarang?"
"Souw Can siapa yang kalah" persama aku, kami masih mempunyai tiga orang jago!" Dia memberi isyarat kepada seorang pembantunya yang belum maju. Orang ini melompar ke depan. Orangnya bertubuh kecil kurus, akan tetapi rupanya gesit sekali dan karena dia diajukan belakangan, dapat diduga bahwa ilmu kepandaiannya tentu lebih lihai dari pada tiga orang yang pernah maju bertanding tadi.
Melihat senjatanya saja orang sudah merasa ngeri. Senjatanya itu berupa dua buah bintang baja sebesar
kepalan tangan yang disambung dengan sehelai rantai baja.
Dia sudah memegang senjatanya dan menantang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Siapa berani melawanku, majulah dan bersiaplah untuk mampus!"
Souw Can hendak maju sendiri, akan tetapi Ceng Ceng
mencegahnya. "Paman Souw, belum tiba saatnya paman maju sendiri. Di sini ada seorang sahabat baikku, dia ini bernama Thio Hui San dan biarlah aku minta bantuannya agar dia yang maju mewakili paman. San-ko, maukah
engkau membantu kami untuk menandingi orang ini?"
"Tentu saja," jawab Hui San sambil tersenyum dan memberi hormat kepada Souw Can. "Kalau saja paman mengijinkan."
"Tentu saja, orang muda. Kalau Ceng Ceng yang
mengusulkan engkau maju, tentu saja aku menyetujui
sepenuhnya!"
Hui San lalu melangkah maju menghadapi si kecil kurus yang memegang senjata rantai berujung dua bintang ba ja itu. "Sobat," katanya kepada orang itu, lalu memandang kepada Ji Kui. "Pihak kalian masih ada tiga orang sedangkan kami hanya tinggal aku dan Paman Souw, dua orang saja.
Karena itu, bagaimana kalau dari pihak kalian dua orang saja yang maju bersama untuk melawanku dan nanti
pimpinan kalian bertanding melawan Paman Souw Can?"
Sungguh sebuah tantangan yang terlalu berani. Souw
Can sendiri terkejut dan mengerutkan alisnya. Mengapa sahabat Ceng Ceng itu demikian sombong dan gegabah,
menantang dua orang sekaligus" Akan tetapi Ceng Ceng hanya
tersenyum. Dia yakin akan kehebatan ilmu kepandaian pria yang menarik hatinya itu dan dengan girang ia mendapat pikiran bahwa agaknya Hui San hendak
memamerkan ilmu kepandaiannya kepada keluarganya!
"Akan tetapi dua lawan satu" Itu tidak adil!" kata Souw Can memprotes.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ceng Ceng segera berkata, "Paman, harap paman jangan sangsi lagi. Aku yakin San-ko akan mampu menang dan
pula, pertandingan ini agar dapat diselesai kan secepat mungkin!"
Ji Kui diam-diam merasa girang dan dia memberi isyarat kepada pembantunya yang pertama, seorang raksasa yang bermata lebar, untuk maju memban to rekannya yang kecil kurus. Raksasa ini melangkah maju dan segera mencabut golok besarnya dan menyeringai!
"Bocah sombong, engkau mencari kematian sendiri!"
geramnya. Akan tetapi Thio Hui San yang bertubuh jangkung tegap, berpakaian biru itu tersenyum kepada dua orang calon lawannya. "Majulah kalian berdua dan ku akan melawan kalian dengan tangan kosong!"
Akan tetapi dua orang itu sudah marah sekali dan tanpa banyak cakap, si raksasa sudah menggerakkan goloknya yang menyambar ke arah leher Hui San sedangkan yang
kecil kurus begitu menggerakkan tangannya, dua bintang baja itu sudah mengaung-ngaung di udara dan menyambar-nyambar ke arah kepala Hui San.
Dengan tenang namun cepat sekali Hui San mengelak
mundur, kemudian cepat sekali dia sudah menyerang maju dengan kedua tangannya. Akan tetapi dua orang lawannya juga mengelak dan mereka segera menghujankan serangan dengan senjata mereka ke arah Hui San. Pemuda ini
mempergunakan ginkangnya dan tubuhnya berkelebatan di antara gulungan sinar senjata lawan, sedikitpun senjata-senjata itu tidak dapat menyentuh tubuhnya. Kadang dia bahkan berani menangkis golok dari samping dengan tangan miring dan menghantam bintang yang menyambarnya
dengan tangan terbuka!
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Perkelahian ini terjadi paling ramai dan paling menegangkan. Terutama sekali bagi pihak Souw Can,
kecuali Ceng Ceng. Gadis ini menonton dengan tersenyum kagum. Ia mengagumi ginkang dari pemuda yang menarik hatinya itu dan maklum bahwa dengan gin-kangnya itu, Hui San tentu dapat menghindarkan diri dari semua serangan. Ia kagum melihat pemuda itu menggunakan ilmu silat Kong-jiu-jip-pek-to (Tangan Kosong Menyambut Seratus Golok).
Setelah pertandingan itu berlangsung lima puluh jurus lebih, tiba-tiba Hui San mendapat kesempatan untuk menangkap sebuah di antara dua bintang baja yang menyambar
kepadanya dan dengan kecepatan kilat dia melontarkan bintang baja itu ke arah
Pendekar Sadis 22 Golok Halilintar Karya Khu Lung Pendekar Kelana 9
^