Romantika Sebilah Pedang 2

Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long Bagian 2


an juga hawa tajam
yang menggidikkan hati menekan badannya, tahu-tahu
cahaya tajam dari golok salju itu sudah muncul di depan
mata. Dalam posisi demikian, andaikata dia berkelit kekiri
maka tulang rusuk sebelah kanannya akan berlubang,
sebaliknya bila dia menghindar kekanan berarti lengan
kirinya harus di korbankan, sebaliknya jika dia berkelit ke
arah timur maka dadanya bakal bertambah dengan
dua lubang besar.
Atau dengan perkataan lain, ke arah manapun dia
menghindar, sulit baginya untuk menandingi kecepatan
gerak serangan maut itu.
Nyoo Cing adalah seorang jagoan yang sudah
banyak pengalaman dalam menghadapi pelbagai
pertarungan, namun sepanjang hidupnya belum pernah
dia jumpai serangan golok seaneh dan secepat ini.
"Sreeet!" tahu-tahu golok salju itu sudah menyambar
lewat dan merobek mantel bulu yang dia kenakan.
Pada saat yang bersamaan itulah dengan menempel
disisi mata golok lawan Nyoo Cing menggeser
badannya ke samping, ketika mata golok yang dingin
menempel diatas kulit tubuhnya, ia merasakan bulu
kuduknya pada bangun berdiri.
Agaknya si pembunuh gelap kaget juga setelah
mengetahui babatan goloknya mengenai sasaran
kosong, golok salju yang lain segera diayunkan ke udara
langsung membabat ke depan dengan gerakan
mendatar, kali ini serangannya jauh lebih cepat dan
tajam. Kendatipun serangan yang pertama berhasil dihindari
Nyoo Cing, sebenarnya dia sudah mengerahkan
segenap kekuatan yang dimilikinya, belum lagi
tenaganya pulih kembali, serangan kedua dari golok
salju telah tiba di depan mata.
Siau-tiap yang mengikuti jalannya pertarungan itu dari
tepi arena ikut bergidik juga setelah menyaksikan
keadaan tersebut, tanpa sadar peluh dingin telah
membasahi seluruh tubuhnya, dia merasa Nyoo Cing
sudah tidak sanggup lagi untuk menghindarkan diri dari
serangan yang kedua.
Pada detik terakhir yang amat kritis itulah tiba-tiba
Nyoo Cing menyambitkan botol arak dalam
genggamannya ke arah serangan golok yang kedua itu.
"Criiing!" begitu botol itu meluncur ke udara dan
membentur diatas golok salju lawan, diiringi suara
gemerincingan nyaring, golok salju itu hancur
berantakan. Meskipun Nyoo Cing berhasil memunahkan serangan
golok yang kedua, namun hancuran golok salju yang
berhamburan ibarat beribu-ribu keping senjata rahasia
segera meluncur ke depan menyongsong tubuhnya.
Jurus serangan kedua dari golok salju itu sudah
termasuk aneh dan luar biasa, namun perubahan jurus
yang terjadi saat ini terlebih diluar dugaan siapa pun,
tampaknya ancaman yang datang sulit untuk dihindari.
Dengan perasaan bangga dan puas kawanan
pembunuh itu siap menyaksikan Nyoo Cing tewas
dibawah serangan maut itu.
Mendadak hancuran golok salju yang berkepingkeping
itu berguguran keatas tanah, seolah terhadang
oleh sebuah lapisan dinding yang tidak berwujud, bukan
saja serangan itu gagal menerjang lebih ke depan,
bahkan seakan kehilangan kekuatan tahu tahu
kepingan salju itu sudah rontok semua ke tanah...
Diantara hancuran salju yang berguguran, Nyoo Cing
menyaksikan sesuatu yang aneh, dia melihat diantara
guguran bunga salju itu ternyata terselip pula putik
bunga seruni yang berwarna kuning.
Entah sejak kapan, tahu-tahu didepan pesanggrahan
salju telah muncul seorang pemuda yang berbaju
perlente, dalam genggaman orang itu terlihat sebatang
bunga seruni berwarna kuning.
"Hei anak muda!" mendadak Nyoo Cing menegur
sambil menatap wajah pemuda itu, "sudah tahu bunga
seruni itu berumur pendek, kenapa kau malah
memetiknya?"
Sudah diselamatkan jiwanya oleh pemuda itu, bukan
saja dia tidak tahu berterima kasih, sebaliknya malah
menegur orang itu karena memetik bunga seruninya,
kecuali Nyoo Cing, siapa lagi yang bisa bersikap begitu"
"Bunga seruni meski sudah kupetik, lain waktu dia
akan tumbuh kembali," sahut pemuda itu sambil tertawa
ewa, "Sebaliknya kalau orang sudah mati, memangnya
dia bisa bangkit dan hidup lagi?"
Kemudian setelah berhenti sejenak, kembali ujarnya,
"Aku benar-benar heran, bagaimana mungkin
kemunculan dua orang manusia salju di
pesanggrahanmu bisa lolos dari pengamatanmu?"
"Mungkin lantaran kau kuatir aku terlalu lama hidup
menganggur, maka dengan sengaja membiarkan
mereka datang kemari untuk mengajakku melemaskan
otot," sahut Nyoo Cing tertawa.
Anak muda itu tersenyum dan tidak bicara lagi.
Dalam pada itu paras muka kedua orang pembunuh
itu nampak berubah sangat hebat, seakan melihat ada
delapan puluh ekor harimau yang siap menerkam
mereka, dengan perasaan terkejut dan keheranan
mereka berdiri mematung ditempat.
Semula mereka mengira serangan bokongan yang
dilakukan kali ini pasti akan berhasil merenggut nyawa
lawan, tidak disangka bukan saja serangannya gagal
total, bahkan mereka berhasil dibikin keok secara
gampang oleh pihak lawan.
Serangan maut yang selama ini mereka anggap luar
biasa dan sangat mematikan, dalam kenyataan tidak
sanggup membendung serangan lawan yang Cuma
memakai sekuntum bunga seruni.
Kegagalan berarti kematian, inilah prinsip yang
dipegang anggota persilatan selama ini.
"Kalian boleh pergi sekarang!" tiba-tiba Nyoo Cing
berkata hambar, "Semoga dengan pelajaran yang
kalian terima hari ini, dikemudian hari kamu berdua bisa
lebih memahami bagaimana cara bersikap sebagai
seorang manusia."
Kedua orang pembunuh itu nyaris tidak percaya
dengan pendengaran sendiri, mereka tidak menyangka
pihak lawan mempersilahkan mereka berlalu dalam
keadaan hidup. Siau-tiap juga merasa keheranan, serunya tanpa
sadar, "Kau akan melepaskan mereka dengan begitu
saja?" "Hahahaha...kalau tidak dilepas, memang nya aku
harus memelihara mereka sepanjang hidup?" Nyoo
Cing balik bertanya sambil tertawa tergelak, "Aku pun
tidak ingin tahu siapa dalang dibalik layar yang
perintahkan mereka melakukan percobaan
pembunuhan ini."
Setelah berhenti sejenak, dia menengok kearah dua
orang pembunuh itu, kemudian lanjutnya, "Segera
pulang dan beritahu kepada tauke dibelakang layarmu,
katakan, jika dia tidak ingin hidup tenteram, lebih baik
utus orang yang lebih berguna."
Setiap masalah pasti ada si penghutang dan si
terhutang, orang-orang diluar lingkup itu tidak lebih
hanya boneka boneka yang bekerja berdasarkan
perintah, lalu apa gunanya menyusahkan para boneka
itu" Inilah prinsip hidup yang dipegang Nyoo Cing selama
ini. Maka berlalulah kedua orang pembunuh itu tanpa
kekurangan sesuatu apa pun, berbareng dengan
menyingkirnya mereka berdua, Nyoo Cing mendengar
pula suara tepuk tangan yang keras.
Pertama kali mendengar suara tepuk tangan, suara
itu berasal dari rumah kayu kecil ditengah hutan, waktu
itu yang bertepuk tangan adalah Ti Cing-ling, lalu siapa
pula yang bertepuk tangan kali ini"
"Bagus, bagus sekali, Nyoo Cing memang tidak malu
bernama Nyoo Cing," suara tepuk tangan kali ini berasal
dari atas dinding pekarangan yang dilakukan seorang
nona. "Anak perempuan tidak baik memanjat dinding
pekarangan, apalagi yang kau panjat adalah dinding
pekarangan orang!" tegur Nyoo Cing.
"Aach, perduli amat, asal aku senang, perduli baik
atau tidak baik!" sahut perempuan itu yang tidak lain
adalah Cong Hoa "Apalagi yang kupanjat bukan
dinding pekarangan orang lain tapi dinding
pekaranganmu."
"Apa bedanya?" seru Nyoo Cing keheranan.
"Aku memanjat pekaranganmu tentu saja karena
mau mencari kau, masa ada tamu berkunjung, kau
sebagai tuan rumah malah mengusir tamunya?"
"Itu tergantung tamu macam apa dia!" sang
pemuda yang selama ini membungkam tiba-tiba ikut
menimbrung, "Selain itu juga mesti diketahui dulu ada
urusan apa datang mencari tuan rumah."
"Hey, siapa kau?" tegur Cong Hoa.
"Aku bernama Thay Thian," sahut sang pemuda,
"Suya dari ong-ya!"
"Ooh! Jadi kau adalah Thay Thian yang disebut orang
sebagai siau-lautau si kakek kecil?" seru Cong Hoa
sambil mengamati lawannya lekat-lekat.
"Siapa pula kau?"
"Aku" Aku bernama Cong Hoa!"
"Oooh, rupanya kau adalah Cong Hoa yang disebut
orang sebagai Yajin Huang-hoa, Put-cong-ya-huang
(manusia liar bunga latah, tidak disimpan pun tetap
latah)" timbrung Nyoo Cing dari samping.
"Memangnya kau pernah berjumpa dengan Cong
Hoa kedua?"
"Untung Cuma ada satu! Mau apa kau memanjat ke
dinding pekaranganku?"
"Aku ingin minta bantuanmu," ucap Cong Hoa
sepatah demi separah, "Aku ingin tahu bagaimana
ceritanya semenjak kau selamatkan Cong Hui-miat dari
penjara bawah tanah!"
BAB 5. Daya pikat kekasih.
Salju kembali turun dengan derasnya.
Bunga salju telah menyelimuti seluruh permukaan
tanah, menyelimuti juga daun jendela, begitu lembut
bunga-bunga salju itu persis seperti bisikan lembut
seorang kekasih.
Jalan raya tampak bersih bagaikan baru dicuci,
walaupun tumpukan salju yang turun semalam sudah
disapu ke tepian, namun bunga salju yang turun pagi ini
kembali menyelimuti seluruh permukaan.
Dalam suasana seperti ini, tampak dua orang masih
terjaga, semalaman suntuk mereka telah bergadang.
Tu Bu-heng duduk sambil memandang ke tempat
kejauhan, meski dia memegang cawan arak namun
tidak setegukpun yang dia minum, hidangan dimeja pun
tidak disentuhnya, dalam cuaca sedingin ini tampak
hidangan itu sudah mulai membeku.
Un Hwee duduk disampingnya sambil menikmati
semangkuk bakmi tarik. Dalam cuaca sedingin ini, bakmi
tarik yang masih panas memang merupakan hidangan
yang sangat nikmat.
Namun paras muka Un hwee sama sekali tidak
menunjukkan perasaan gembira atau menikmati,
berulang kali keningnya berkerut kencang, seolah-olah
bakmi kuah yang sedang dimakannya sama sekali tidak
lezat. "Apa dia benar-benar bisa menyelamatkan Cong
Hui-miat?" Un Hwee bertanya kepada Tu Bu-heng.
"Kalau orang lain mungkin tidak sanggup," perlahan
Tu Bu-heng menghirup araknya, "Tapi bagi Cong Hoa,
urusan ini tidak terlalu sulit."
"Mengapa kau tidak terus terang beritahu
kepadanya kalau orang yang akan diselamatkan
adalah Cong Hui-miat" Kenapa kau harus
membohonginya?"
"Kalau kita berterus terang, belum tentu dia bersedia
menolongnya!"
"Setibanya di penjara bawah tanah, dia pasti akan
tahu kalau kita sedang membo-honginya, bagaimana
kalau saat itu dia menolak untuk menyelamatkannya?"
"Tidak mungkin, dia pasti akan menyelamatkannya,"
kata Tu Bu-heng yakin, "Setiap orang tentu mempunyai
rasa ingin tahu, dia pasti akan berpikir mengapa kita
harus membohonginya, apa tujuan membohonginya?"
Setelah memenuhi kembali cawan dengan arak,
kembali dia melanjutkan, "Dia pasti pingin tahu apa
maksud dan tujuan kita dibalik kesemuanya itu, untuk
mengetahui rahasia ini, mau tidak mau dia mesti
selamatkan dulu Cong Hui-miat setelah itu baru melihat
permainan apa yang sedang kita lakukan."
"Tapi Lo Kaysian yang menjaga penjara bawah tanah
bukan lentera yang kehabisan minyak," Un Hwee masih
sedikit sangsi.
"Dia tak nanti akan minta tolong kepada Lo Kaysian
untuk selamatkan Cong Hui-miat."
"Terus dia akan minta tolong kepada siapa?"
"Nyoo Cing!"
"Nyoo Cing?" Un Hwee tercengang, "Belum pernah
ada seorang manusiapun bisa menyelamatkan
seseorang dari tangan Nyoo Cing."
"Ada! Dan Cong Hoa pasti berhasil!" sahut Tu Bu-heng


Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sangat yakin. Baru selesai dia berkata, mendadak terdengar
seseorang berseru lantang, "Terima kasih, terima kasih
atas pujianmu!"
Dengan wajah penuh senyuman Cong Hoa
melangkah masuk ke dalam ruangan.
"Bagus sekali," Tu Bu-heng turut tertawa,
"Kedatanganmu memang tepat waktu, jadi aku tidak
perlu mengulang lagi apa yang barusan kukatakan."
"Kelihatannya kau sangat memahami watakku,"
Cong Hoa ambil tempat duduk, menyambar cawan
arak dan meneguk isinya, "Kau telah memperhitungkan
watak dan jalan pemikiranku secara tepat sekali."
"Sayang aku tidak mengira kalau kau bakal datang
seorang diri."
"Kadangkala watak dan jalan pemikiran seseorang
bisa sedikit melenceng dari kebiasaan," kata Cong Hoa
sambil menatap tajam Tu Bu-heng, "Kalau toch kau bisa
meraba watakku sejelas itu, semestinya kau bisa
menduga kalau aku pasti akan sangat penurut dengan
kata-katamu bukan?"
"Lain kali aku pasti akan memperhatikan lebih
seksama." "Bagus, tahu salah dan mau berubah itu baru lelaki
sejati!" jengek Cong Hoa tertawa.
Angin diluar rumah masih berhembus kencang,
hembusan angin yang membawa bau lembab daundaunan
yang telah membusuk.
Walau dipagi hari, lentera masih menerangi ruangan
itu, Tu Bu-heng sedang mengawasi api lentera dengan
termangu, seolah dia sedang memikirkan sesuatu.
Un Hwee tetap sibuk dengan anglo nya,
mengkonsentrasikan diri menghangati arak, sikapnya
seakan dia sama sekali tidak tersangkut dengan
persoalan ini. Cong Hoa menghirup araknya dengan santai, dia
sama sekali tidak gelisah pun tidak usah terburu napsu,
karena dia tahu Tu Bu-heng tentu akan memberikan
sebuah jawaban yang memuaskan.
Untuk sesaat suasana jadi hening, ketiga orang itu
sama sama membungkam, sama-sama tidak berbicara.
Entah berapa saat sudah lewat, akhirnya Tu Bu-heng
buka suara namun sorot matanya masih tetap
bergeming, mengawasi lidah api diujung lentera.
"Cerita tentang kedatangan pendeta Ku-heng-ceng
dari negeri Thian-tok yang membawa rahasia "mummi"
sebenarnya bukan kabar bohong," nada suara Tu Buheng
seolah datang dari kejauhan sana, "Tujuan
kedatangannya yang paling utama adalah membawa
sebuah tugas yang amat rahasia."
"Tugas rahasia apa?"
"Dia datang dengan membawa sebuah Sebuah
nama" "Benar, nama seorang pengkhianat negara, seorang
penjahat penjual negara," Tu Bu-heng menerangkan,
"Dua puluh tahun berselang, seorang pejabat kerajaan
telah bersekongkel dengan seorang jenderal perang
dari negeri Thian-tok, mereka berencana berkhianat dan
melakukan pemberontakan."
Setelah berhenti sejenak, sambil mengalihkan sorot
matanya mengawasi wajah Cong Hoa, lanjutnya,
"Nama yang dibawa pendeta Ku-heng-ceng adalah
nama si pengkhianat kerajaan itu."
Tampaknya Cong Hoa menaruh minat yang besar
terhadap kejadian yang menyangkut keamanan
kerajaan. Terdengar Tu Bu-heng berkata lebih jauh, "Jauh
sebelum pendeta Ku-heng-ceng berjum-pa dengan Ti
Cing-ling, kami telah melakukan kontak dengannya."
"Maksudmu, kau dan Un Hwee sianseng?"
"Betul, sayangnya ketika kami berhasil bertemu
dengan pendeta itu, napasnya sudah tinggal satu dua."
"Kenapa?"
"Rupanya ada orang yang datang lebih awal
daripada kami, di tempat yang dijanjikan kami jumpai
pendeta itu sudah terkapar ditanah, saat itu dia sedang
menulis sesuatu dilantai dengan menggunakan
hidungnya yang penuh berpelepotan darah."
"Menulis dengan hidung?" gumam Cong Hoa
keheranan, "Hey, apa kau lupa, kalau ingin menulis
sesuatu harus memakai tangan?"
"Tentu saja aku tahu, tapi saat itu dia sudah tidak
mampu menulis dengan tangannya lagi," Un Hwee
sianseng menerangkan, "Sebab kedua tangan dan
kedua kakinya sudah ditebas orang hingga kutung."
Cong Hoa paling benci dengan tindakan kejam
seperti ini, tidak aneh dia langsung menggeram gusar.
"Kelihatannya orang yang berusaha membunuhnya
mengira dia sudah mati," ujar Tu Bu-heng lagi, "Siapa
sangka ilmu yang dilatih pendeta Ku-heng-ceng adalah
kepandaian untuk mempertahankan diri, daya
kemampuannya untuk tetap hidup luar biasa besarnya."
"Tapi sayang baru menulis dua huruf dia sudah keburu
putus nyawa," sambung Un Hwee sianseng, "Selama
hidup belum pernah kusaksikan satu sorot mata
ketakutan yang begitu mengerikan daripada sorot
matanya." ... Tidak jelas ketakutan itu lantaran dia merasa ngeri
dengan sang pembunuh" Atau dia ketakutan karena
harus menghadapi maut"
"Mungkin saja perasaan takutnya lantaran alasan
lain," kata Tu Bu-heng sambil menghela napas panjang,
"Sayangnya, rahasia ini telah dia bawa pergi untuk
selamanya."
"Tapi kadangkala satu huruf pun sudah bisa
mengungkap banyak rahasia, apalagi dia telah menulis
dua huruf, apa yang dia tulis?" tanya Cong Hoa.
"Dia hanya meninggalkan dua huruf, Tanpa dosa!"
"Tanpa dosa?" seru Cong Hoa tercengang. "Benar!"
"Lalu apa arti dari kedua hurud itu" Dia
melambangkan apa?" gumam Cong Hoa, "Tanpa dosa
itu dimaksudkan pembunuhnya yang tidak berdosa atau
dia menjelaskan dirinya yang tanpa dosa?"
"Kami butuh tujuh belas tahun untuk berpikir dan
menganalisa sebelum akhirnya berhasil memecahkan
rahasia kedua huruf itu," ucap Un Hwee sianseng.
"Tujuh belas tahun" Wouw... satu perjuangan yang
luar biasa, lalu rahasia apa yang berhasil kalian
singkap?" "Ternyata kedua huruf itu melambangkan nama
seseorang," Tu Bu-heng menerangkan.
"Nama dari si pengkhianat penjual negara itu?"
"Mula mula kamipun menduga begitu," ujar Tu Buheng
setelah menghirup arak setegukan, "Semua arsip
dan buku catatan yang ada didalam istana telah kami
bongkar, namun tidak seorangpun yang ada
hubungannya dengan kedua huruf itu."
"Kami butuh waktu dua tahun lamanya untuk
membongkar pula arsip yang berhubungan dengan
pendeta Ku-heng-ceng," Un Hwee sianseng berkata
pula setelah memenuhi cawan Cong Hoa dengan arak,
"Ternyata pendeta itu berasal dari marga Cong, dia
mempunyai seorang putra yang sudah belasan tahun
hidup berpisah, putranya itu bernama Cong Bo-cui!
(Cong tanpa dosa)"
"Cong Bo-cui" Cong si Tanpa dosa" Masa sang anak
membunuh bapaknya sendiri?" seru Cong Hoa
tercengang. "Menurut hasil penyelidikan kami, ternyata maksud
kedatangan Ku-heng-ceng masuk ke daratan kali ini
selain hendak melaksanakan tugas rahasia itu, dia pun
bermaksud untuk menjumpai putranya."
"Kini putranya berada di mana" Apa sangkut
pautnya dengan masalah yang berhu-bungan dengan
Cong Hui-miat ?"
"Ternyata Cong Hui-miat tidak lain adalah Cong Bocui!"
"Benar," kata Un Hwee sianseng pula, "Kami duga,
setelah kematian pendeta itu, seluruh rahasia yang dia
bawa tentu sudah terjatuh ke tangan putranya."
"Oleh sebab itu kami inginkan kau pergi menolong
Cong Hui-miat," sambung Tu Bu-heng, "Cuma kamipun
berharap jangan sampai kejadian ini diketahui pihak
kerajaan, termasuk Nyoo Cing sekalipun."
Setelah melewati sebuah jembatan kecil yang
berlapiskan salju, sebuah hutan bunga bwee terbentang
luas. Sisi hutan bwee adalah ujung dari sebuah air terjun.
Sebuah air terjun yang memuntahkan airnya dari
tengah bukit, melatar belakangi sebuah hutan bunga
bwee yang luas, pemandangan semacam ini persis
seperti sebuah lukisan indah.
Di dalam lukisan itu terdapat pula sebuah rumah kecil,
juga ada manusianya.
Manusia itu berpakaian panjang berwarna hijau,
dandanannya amat rapi bahkan rambutnya juga disisir
hingga berkilap.
Di tangan kanannya terlihat menggotong sebuah
gentong air, sementara tangan kirinya nampak
kosong.... karena dia memang berlengan tunggal.
Usianya seputar tujuh puluh tahunan, tapi bila diamati
dengan teliti, usianya paling banter baru empat-lima
puluh tahunan. Usianya memang sukar diduga, waktu itu dia sudah
menggotong tong berisi air melewati hutan bunga bwee
memasuki rumah kayu. Dalam bangunan itu meski tiada
perabotan yang mewah namun segala sesuatunya
nampak bersih mengkilap, tidak sedikit debu pun yang
kelihatan. Disudut ruangan terdapat sebuah meja bulat, lelaki
setengah umur itu mengambil selembar kain lap dari
dalam tong air kemudian mulai membersihkan meja. Dia
membersihkan dengan amat lambat tapi cermat,
seakan-akan tidak satu debu pun yang boleh tertinggal
disitu. "Lan toako, kau sedang membersihkan ruangan?"
dari balik ruangan terdengar suara teguran seorang
wanita. "Daripada menganggur hujin!" sahutnya sambil
berpaling. Orang ini tidak lain adalah Sin-gan-sin-kiam (mata
sakti pedang sakti) Lan Toa-sianseng, Lan It-ceng.
Walaupun wajahnya nampak jauh agak tuaan
namun mimik mukanya sama sekali tidak berubah,
hanya sorot matanya tidak setajam tempo hari.
Sebagaimana diketahui, demi menjajal kepandaian
Nyoo Cing dalam menggunakan senjata kait
perpisahan, dia tidak segan telah mengorbankan
sebuah lengannya.
Dia pernah berjanji kepada Nyoo Cing untuk tetap
tinggal di rumah kayu diluar hutan belukar itu untuk
menemani Lu Siok-bun hingga sepulangnya Nyoo Cing.
Tapi mengapa dia berada disana saat ini" Apakah dia
tersangkut dengan peristiwa lenyapnya Lu Siok-bun"
Tirai kamar disingkap orang dan muncullah seorang
perempuan setengah umur. Perempuan itu berparas
putih pucat, sepasang matanya yang semula indah kini
nampak sudah kehilangan pamornya, namun tidak
menutupi sifat kekerasan hatinya. Wajah itu hambar
tanpa perasaan, seolah dia sudah merasa hambar
dalam menghadapi hiruk pikuknya kehidupan duniawi.
Melihat kemunculan perempuan itu, Lan Toa-sianseng
segera maju menghampiri sambil menegur, "Hujin,
kesehatanmu belum pulih, kenapa turun dari
pembaringan?"
"Aku sudah bosan berbaring terus, tulang belulangku
terasa pada kendor," jawaban perempuan itu
kedengaran begitu tawar, begitu kesendirian dan
kesepian, "Mumpung cuaca hari ini agak segar, aku
ingin sedikit beroleh raga."
Lan Toa sianseng segera membimbingnya untuk
duduk dibangku dekat jendela, perempuan itu duduk
dengan perlahan lalu membuang pandangan matanya
keluar jendela, mengawasi hutan bunga bwee
dikejauhan sana.
"Tampaknya bunga bwee di tahun ini berkembang
lebih awal," katanya lagi perlahan, "Ini artinya musim
dingin akan datang pula lebih cepat."
"Benar," Lan Toa-sianseng mengangguk, "Itulah
sebabnya bunga bwee tumbuh lebih semarak dan lebat
di tahun ini."
Kembali perempuan itu mengalihkan sorot matanya
ke tempat kejauhan sana, setelah lama sekali dia baru
berkata lagi, "Aaai... entah bagaimana dengan bunga
bwee di sana, apakah tahun ini ikut mekar dengan
indahnya?"
"Pasti mekar sangat indah, suhu udara disana jauh
lebih dingin daripada tempat ini."
"Kalau tidak ada yang merawatnya, apakah bungabunga
itu bisa mekar?"
"Dia pasti akan merawatnya dengan baik!" sahut Lan
Toa-sianseng setelah termenung berapa saat.
Suasana kembali hening berapa saat lamanya, tibatiba
perempuan itu menarik kembali pandangan
matanya dan mengawasi wajah Lan Toa-sianseng lekatlekat,
tanyanya lirih, "Apakah dia....dia masih hidup?"
"Pasti masih hidup!" jawab Lan Toa-sianseng penuh
keyakinan, "Ada semacam manusia di dunia ini yang
tidak gampang mati, kebetulan dia termasuk manusia
jenis ini."
"Hari ini sudah bulan sembilan tanggal dua puluh


Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

delapan, berarti dua puluh tahun telah lewat..." air mata
mulai mengembang diujung mata perempuan itu.
"Hujin, apakah perlu aku menemanimu pergi ke
sana?" tanya Lan Toa-sianseng perlahan.
"Waktunya belum tiba, mana mungkin kita boleh
melanggar janji?" sahut perempuan itu sedih, "Dua
puluh tahun sudah kita lewati, kenapa mesti kita
hiraukan sisa waktu yang terus berjalan?"
"Aaai, benar juga," Lan Toa-sianseng menghela
napas panjang. "Aku ingin tahu bagaimana keadaan Hoa-ji saat ini"
Mungkin dia sudah tumbuh semakin dewasa..."
"Pasti dia tambah cantik dan pintar!" senyuman yang
menghiasi ujung bibir Lan Toa-sianseng penuh diliputi
kelembutan yang mendalam.
Walaupun dia tahu mengenang kembali masa lalu
ibarat meneguk arak yang getir, namun perempuan itu
seakan rela mencicipi arak kegetiran itu.
Bulan sembilan tanggal dua puluh delapan, selewat
tengah hari, beruntung sinar matahari masih
memancarkan cahayanya yang hangat.
Sinar sang surya yang lembut menembusi daun
jendela, menerangi kulit tubuh Hoa U-gi yang halus licin
bagaikan kaca, air dalam bak kayu masih tampak
hangat, dia berbaring didalam air dengan bermalasmalasan.
Walaupun berada dalam suasana santai, namun
perasaan Hoa U-gi sangat tidak gembira.
Padahal bisa mandi air hangat ditengah cuaca
musim salju yang begini dingin merupakan satu kejadian
yang sangat menggembirakan, namun apabila
seseorang sedang dirundung pikiran dan perasaan
seperti apa yang dialaminya saat ini, mungkin mereka
pun ikut merasa murung.
Sejak tiba di istana Ongya-hu tiga hari berselang, dia
baru dua kali bersua dengan ayahnya, apakah dia
kelewat sibuk sehingga tidak punya waktu" Ataukah
sedang berusaha menghindarinya"
Sejak kecil dia sudah mendambakan bisa bersua
dengan ayahnya, seringkaki dia menciptakan sebuah
bayangan yang indah tentang ayahnya itu, bahkan
kadangkala, ditengah mimpi pun dia berharap
senyuman hangat ayahnya secemerlang bintang di
langit. Kadangkala diapun memungut daun kering yang
berguguran di halaman rumah dan menganggapnya
sebagai surat yang dikirim ayahnya, menyimpan surat itu
dengan penuh seksama, lalu ketika malam sudah tiba,
dia akan mengeluarkannya dan memandangnya
dengan penuh kerinduan.
Segala sesuatu yang dia lakukan pertanda betapa
besarnya dia mengharapkan kehadiran seorang ayah,
tapi kini..."
Biarpun hidup seatap dengan ayahnya, namun
hubungan mereka terasa lebih asing daripada orang
dijalanan. Pikir punya pikir, Hoa U-gi merasa semakin sedih,
tanpa terasa butiran air mata jatuh berlinang
membasahi pipinya.
... Mengapa kenyataan selalu berbeda dengan
impian" Air hangat dalam bak kayu semakin mendingin, Hoa
U-gi tidak melanjutkan lamunannya... air yang dingin
tidak lebih menyiksa daripada dinginnya perasaan hati.
"Daripada berjumpa, lebih baik tidak," kini, Hoa U-gi
dapat menyelami apa arti yang sebenarnya dari
perkataan itu. Butir air mata perlahan-lahan meleleh keluar
membasahi pipinya dan menetes ke dalam air, riak air
yang terjadi bagaikan pergolakan perasaan hatinya
saat ini. "Nona, kau baik-baik saja bukan?" tiba-tiba terdengar
suara sapaan dayang dari luar pintu, "Ong-ya sedang
menunggu bersantap."
Berbinar sepasang mata Hoa U-gi, mimik mukanya
sedikit berubah tapi tidak ketahuan dia sedang girang"
Ataukah kaget"
Dua orang dengan delapan macam hidangan
tertata rapi dimeja, selain aneka macam sayuran,
hidangan daging musang buah yang langka pun ikut
dihidangkan diatas meja.
"Apa kau terbiasa dengan hidangan disini?" tanya
Nyoo Cing. "Asal kau temani, hidangan apa pun akan terasa
lezat," sahut Hoa U-gi dengan kepala tertunduk.
Nyoo Cing merasakan hatinya pedih bagaikan ditusuk
jarum tajam, dia awasi wajah gadis itu sekejap,
kemudian baru katanya lagi, "Mumpung masih panas,
makanlah yang banyak, nanti kalau sudah dingin malah
kurang lezat."
Sembari berkata dia menghabiskan isi cawannya
kemudian menuang lagi secawan penuh arak.
"Ayah..." nada panggilan ini kedengaran begitu
asing, "Jangan banyak minum arak, kurang baik untuk
kesehatan!"
"Jarang kita bisa makan bersama, aku... ayah sangat
gembira, apa salahnya minum sedikit lebih banyak?"
Kembali dia meneguk habis isi cawannya.
Langit semakin gelap, bunga salju kembali
berhamburan diseluruh angkasa, udara yang semakin
dingin membuat perasaan hatinya semakin gundah.
"Apa... apakah ibumu baik baik saja?" tanya Nyoo
Cing lirih. Sebuah pertanyaan yang amat bodoh.
Hoa U-gi mendongakkan kepalanya, mengawasi
wajah Nyoo Cing sekejap lalu balik bertanya,
"Bagaimana pula dengan kehidupan ayah selama dua
puluh tahun terakhir?"
"Aku..." Nyoo Cing tidak tahu bagaimana mesti
menjawab pertanyaan ini.
"Ibu pernah berkata begini kepadaku," nada suara
Hoa U-gi kedengaran sedih dan murung, "Di dalam
perjalanan hidupnya kali ini, dia pernah hidup, pernah
mencintai, pernah datang dalam kehidupan ini, apa
pun akibat yang harus dideritanya, dia tidak pernah
akan menyesal."
Pernah datang dalam kehidupan, pernah hidup dan
pernah mencintai seseorang, kalau seseorang sudah
pernah mengalami ketiga hal itu, apalagi yang harus
disesalkan"
"Pernah datang, pernah hidup, pernah mencintai?"
Nyoo Cing mengangkat cawannya sambil termangu,
entah sampai berapa saat kemudian dia baru
melanjutkan, "Mengapa manusia harus hidup" Apa
tujuan manusia hidup di dunia ini" Karena duit" Karena
cinta" Atau karena ingin berkarya?"
Setelah menghela napas panjang, terusnya, "Sayang
sekali... apa pun tujuanmu hidup, kemurungan dan
kemasgulan tetap akan menyertai kehidupanmu."
Dia teguk habis isi cawannya, arak yang mengalir
masuk melalui tenggorokan ke dalam lambung terasa
panas bagaikan dibakar, namun sepanas apa pun tidak
akan mengatasi rasa sakit yang dia rasakan dalam
hatinya. Hoa U-gi mengawasi ayahnya dengan penuh rasa
sayang, namun dia hanya termangu- mangu.
Air mata mengembang dalam kelopak matanya
membuat pandangan jadi kabur, sekabur cahaya
bintang di langit yang makin redup.
"Ayah, apakah dia... benar-benar selihay apa yang
dikatakan orang selama ini?" tiba-tiba Hoa U-gi
bertanya. Yang dia maksudkan sebagai "dia" adalah Ti Cingling.
"Aku hanya tahu, sejak dulu hingga sekarang, kaum
sesat tidak akan bisa menangkan kaum lurus," sahut
Nyoo Cing. "Lalu, mengapa kau tidak berusaha untuk
mengalahkannya dan menangkap lagi dirinya?"
Setiap orang yang berlatih silat, disaat ilmu silatnya
sudah mencapai puncak kesempurnaan maka dia akan
mulai merasa kesepian, karena saat itu akan semakin
sulit baginya untuk menemukan seorang lawan yang
benar-benar sanggup menghadapinya.
Oleh karena itu ada sementara orang yang tidak
segan "mengharapkan kekalahan", karena dia
beranggapan, asal dapat berjumpa dengan seorang
lawan yang betul-betul tangguh, biar kalah pun
kekalahan itu akan diterima dengan gembira.
Sekalipun begitu, perasaan Nyoo Cing "saat itu" sama
sekali tidak gembira, pikiran dan perasaan hatinya
sangat kalut.. ... Ketika secara tiba-tiba dia mendapat tahu kalau
orang yang dicintai belum tewas, ketika secara tiba-tiba
dia tahu kalau dirinya punya keturunan dan
keturunannya mendadak berdiri dihadapannya,
bagaimana mungkin perasaan hatinya tidak kalut"
Waktu itu dia pun sadar, bila harus berduel melawan
jago tangguh macam Ti Cing-ling dengan membawa
perasaan hati sekalut ini, kecil sekali kemungkinannya
untuk meraih kemenangan.
Dia bukan lelaki yang takut mati, tapi dalam keadaan
begini, dapatkah dia mati dengan begitu saja"
BAB 6. Pengalaman Cong Hoa.
Musim gugur sudah mencapai ujungnya, daun kering
berguguran memenuhi seluruh permukaan bumi.
Biarpun angin yang berhembus sudah makin mereda,
namun bunga salju mulai berguguran di seluruh udara.
Dalam suasana begini, langit terasa begitu suram,
sesuram perasaan hati manusia yang sedang dirundung
kesedihan. Jalan perbukitan itu Berliku-liku tidak rata, namun
sambung-menyambung dari kaki bukit menuju ke arah
kota. Meski Cong Hui-miat mengenakan satu stel baju yang
masih baru, namun tidak dapat menutupi raut mukanya
yang penuh kesendirian, kesepian dan penderitaan
yang amat menekan batinnya.
Terutama bekas bacokan golok yang melintang
diantara alis matanya, terkesan perasaan sendu yang
mendalam. Biarpun dia mengayunkan langkahnya cukup cepat,
namun kecepatannya sangat terbatas,
penghidupannya selama banyak tahun dalam penjara
membuat semangat, kekuatan dan pamornya terlibas
habis. Dengan wajah penuh keheranan dan rasa ingin tahu
yang besar Cong Hoa mengawasi cara Cong Hui-miat
berjalan, dia merasa cara orang ini berjalan amat
berbeda dengan kebanyakan orang, berjalan
selangkah demi selangkah.
Kaki kirinya selalu melangkah lebih duluan kemudian
baru disusul dengan ayunan langkah kanannya, setiap
kali melangkah kelihatan sekali kalau dia amat tersiksa
dan menderita. Apakah dia berjalan dengan cara begini lantaran
sudah kelelahan" Ataukah sepasang kakinya memang
sudah cacad" Cong Hoa pingin sekali menanyakan
persoalan ini, dia ingin tahu mengapa dia berjalan
dengan cara begitu" Namun akhirnya gadis itu
mengurungkan niatnya, dia memang selalu menghargai
rahasia pribadi seseorang.
Dia beranggapan, setiap orang berhak untuk
merahasiakan masalah pribadinya yang tidak ingin
diketahui orang lain, setiap orang pun berhak untuk
menolak menjawab pertanyaan yang tidak berkenan di
hatinya. Sejauh mata memandang hanya salju putih yang
menyelimuti seluruh permukaan, bunga salju yang masih
melayang turun tiada hentinya salju telah mengotori
rambut, wajah dan ujung hidung Cong Hui-miat,
membuat ayunan langkahnya semakin melambat.
Anehnya, dia sama sekali tidak berusaha untuk
menyeka wajahnya dari noda bunga salju, orang ini
seakan sudah begitu malas untuk hidup sehingga dia
enggan untuk melakukan perbuatan apapun.
Dengan susah payah Cong Hoa telah selamatkan dia
dari siksaan penjara, walaupun nona ini tidak berharap
orang lain menangis dihadapannya karena terharu,
paling tidak orang itu harus mengucapkan rasa terima
kasih kepadanya.
Tapi dia tidak melakukannya. Dengan pandangan
yang sangat tenang dia hanya mengawasi Cong Hoa
sambil bertanya hambar, "Kau ingin aku melakukan apa
untukmu?" Mula mula Cong Hoa melengak, akhirnya dengan
rasa geli bercampur mendongkol ia tertawa getir dan
menjawab, "Tidak perlu melakukan apa pun, lakukan
saja apa yang ingin kau lakukan."
Kembali Cong Hui-miat mengawasinya sesaat, setelah
itu dengan cara berjalan yang sangat aneh ia mulai
meninggalkan kota menuju ke tanah perbukitan itu.
Tentu saja Cong Hoa harus mengikuti dari
belakangnya, tujuannya menolong orang ini tidak lain
karena dia ingin tahu rahasia dibalik "Mummi" yang
penuh misteri itu.
Dia masih berjalan terus, walaupun tidak terhitung
lamban namun setiap langkahnya dilalui dengan penuh
siksaan. Kalau berjalan terus dengan cara begini, harus
menunggu sampai kapan dia baru tiba ditempat
tujuan"

Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia tidak tahu, bahkan untuk dibayangkan pun malas.
Setelah mulai berjalan, dia tidak ingin berhenti lagi,
sekalipun ancaman maut sudah menanti
dihadapannya, dia tidak akan menghentikan ayunan
kakinya. Sebelum mencapai tujuan, dia tidak akan berhenti.
Waktu itu hari masih pagi, memandang jauh ke kaki
bukit didepan sana, lamat-lamat kelihatan bayangan
sebuah kota. Jalan raya yang membentang dalam kota itu meski
tidak terlalu panjang dan lebar, namun disisi kiri
kanannya terdapat puluhan buah warung dan toko.
Saat itu suasana dijalanan itu cukup ramai, bahkan
seramai suasana di kotaraja, aneka macam barang
dijual disitu, kaki lima memenuhi pinggir jalan.
Tiba di tempat seperti ini, sepasang mata Cong Hoa
segera berbinar, dia tidak menyangka kalau Cong Huimiat
akan menuju ke tempat seperti ini.
Sejak pandangan pertama Cong Hoa sudah
menyukai suasana di kota ini, dia merasa setiap orang
dan benda yang ada disitu mendatangkan kesan yang
mendalam baginya, keramah tamahan penduduk disitu
tebal dengan perasaan kemanusiaan.
Para nona dengan dandanan yang sederhana
bergerombol dimuka penjual kelontong, mencari bedak
dan gincu yang memenuhi selera mereka.
Sementara si tauke penjual kelontong, mencuri
kesempatan untuk diam diam "melahap" "tahu" si nona
bergaun merah. Nona bergaun merah itu segera tertawa cekikikan,
dengan wajah memerah lantaran jengah dia buru buru
berlalu dari situ.
Seorang nyonya setengah umur yang gemuk dengan
membawa seorang bocah yang rambutnya dikuncir
seperti sebuah mercon, mendekati penjaja makanan
kecil dan membeli gula gulali.
Tiga orang kakek yang wajahnya sudah penuh keriput
dimakan usia, duduk bergerombol disudut dinding dan
menikmati air teh sambil mengisahkan kembali
kegagahannya di masa muda dulu.
Seorang lelaki kekar berbaju kasar, dengan
mendorong sebuah kereta barang bergerak dari ujung
jalan sana menuju kemari, sambil mendorong keretanya
dia berteriak minta jalan.
Sementara disudut lain, serombongan penjual
akrobatik sedang memainkan topeng monyet.
Tempik sorak yang gegap gempita mengiringi
pertunjukkan itu, banyak malah diantara penonton yang
sudah kerogoh kocek dan melemparkan kepingan uang
ke tengah arena.
Kehidupan yang manusia, suasana kota yang tebal
mendatangkan perasaan yang nyaman bagi Cong
Hoa, dia berpendapat, bila seseorang dapat
mempertahankan suasana seperti ini, maka tidak nanti
akan terjadi kejahatan disitu.
Bagi Cong Hui-miat sendiri meski dia tidak dapat
mendalami suasana seperti itu, namun kepedihan yang
tersirat diantara kerutan alis matanya, kini nampak jauh
lebih tawar. Tanpa terasa mereka telah tiba dibagian tengah dari
jalan raya itu, persis dekat lapangan dimana
pertunjukkan topeng monyet sedang berlangsung.
Pada saat itulah mendadak terdengar seseorang
meneriakkan dua kata dengan lantang, kemudian
semua peristiwa pun terjadi dalam waktu sekejap,
sedemikian cepatnya sampai sebelum Cong Hoa
mengetahui apa yang terjadi, semuanya telah berakhir.
Ternyata dua kata yang diteriakkan itu adalah kata:
"Tanpa dosa."
Belum habis teriakan itu, si monyet yang semula
sedang melakukan pertunjukkan topeng monyet itu
sudah melompat melewati gerombolan orang banyak
dan langsung mencakar wajah Cong Hui-miat.
Bersamaan waktunya, perempuan setengah umur
penjual gula gulali itu pun sudah turun tangan pula,
dengan satu ayunan kuat, gulali yang ada ditangannya
sudah disodokkan ke dada orang she-Cong.
Bukan Cuma begitu, tiga orang kakek yang sedang
duduk bergerombol pun tiba-tiba melejit ke udara, lalu
dengan gerakan tubuh yang gesit mereka menyerang
sepasang kaki lawan, sedangkan lelaki yang mendorong
kereta barang telah memutar keretanya lalu
diterjangkan ke tubuh Cong Hui-miat.
Seluruh serangan yang dilancarkan hampir semuanya
ditujukan ke tubuh Cong Hui-miat, ketika Cong Hoa baru
saja ingin maju memberi bantuan, tiba-tiba si nona
bergaun merah yang baru saja membeli bedak itu
sudah melemparkan bedak ditangannya ke wajah
perempuan itu. Dalam waktu singkat bedak beterbangan di udara,
menutupi seluruh pemandangan disitu, untung sebelum
datangnya serangan dia sudah menyadari kalau atap
rumah merupakan tempat yang paling aman untuk
meloloskan diri.
Maka sambil memejamkan matanya dia melejit ke
udara, sesaat sebelum melompat, ia menyempatkan diri
berteriak ke arah Cong Hui-miat, "Cepat sembunyi ke
atap rumah!"
Dalam suasana yang amat kabur dia seolah
menyaksikan Cong Hui-miat melompat naik ke atap
rumah, dia pun lamat-lamat menyaksikan si tauke
penjual barang kelontong meloloskan sebatang cambuk
panjang kemudian diayunkan ke udara untuk
menggulung tubuh Cong Hui-miat.
Bagaikan seekor ular berbisa, cambuk panjang itu
langsung menjerat tengkuk orang she-Cong itu.
Bagaimana kejadian selanjutnya, dia tidak tahu.
Waktu itu, meski tubuhnya sudah berada diatap
rumah, namun matanya tidak mampu dibuka lantaran
kemasukan bedak.
Dalam keadaan begini, dia hanya bisa mendengar
dengan menggunakan telinga, tapi tempat yang
semula ramai dan penuh suara hiruk pikuk itu tiba tiba
berubah jadi hening, sepi, tidak kedengaran sedikit suara
pun, sedemikian sepinya hingga mirip dengan suasana
di tanah pekuburan.
... Sebenarnya apa yang telah terjadi disitu"
...Apakah Cong Hui-miat berhasil kabur dari sergapan
itu" ...Mengapa orang-orang dikota ini menyerang Cong
Hui-miat secara serentak"
... Kenapa secara tiba-tiba suasana jadi hening, sama
sekali tidak kedengaran suara"
Cong Hoa ingin sekali segera mengetahui
jawabannya, apa mau dikata sepasang matanya yang
kemasukan bedak terasa pedih sekali, sedemikian
pedihnya sehingga tidak mampu dibuka kembali.
Ada angin berhembus lewat.
Sebuah papan nama yang ada disisi jalan bergoyang
kencang ketika terhembus angin, goncangan keras
menimbulkan suara denyutan yang nyaring. Papan
nama itu sebenarnya merupakan papan nama sebuah
toko, tapi kini keadaannya sudah rongsok dan lapuk,
persis seperti gigi orang tua.
Dibalik noda darah yang mengotori papan nama itu,
lamat-lamat masih terbaca berapa tulisan, "toko
keluarga Li". Sayang suasana dijalan raya itu jauh lebih
parah ketimbang keadaan papan nama tersebut.
Cong Hoa berdiri ditengah jalan dengan termangu,
berdiri sambil mengawasi papan nama yang bergoyang
dihembus angin, menanti hembusan angin telah berlalu,
dia baru perlahan-lahan mengalihkan pandangan
matanya ke ujung jalan.
Walaupun tempat itu bukan sebuah kota besar,
namun kota ini amat ramai, tamu yang kebetulan dalam
perjalanan dari utara ke selatan atau sebaliknya, selalu
akan menginap selama dua-tiga hari disitu.
Tapi sekarang, keadaan kota itu seolah sebuah kota
kecil yang sudah tiga tahun tidak pernah dihuni
manusia. Coba kalau bukan masih terlihat sisa-sisa
barang dagangan yang berserakan di sepanjang jalan,
Cong Hoa akan mengira dia sedang bermimpi buruk.
Seburuk apa pun mimpi itu suatu ketika orang akan
mendusin kembali dari tidurnya, tapi impian buruk yang
dialami Cong Hoa, sampai kapan baru bisa mendusin
dari tidurnya" Apakah Cong Hui-miat masih hidup" Atau
sudah mati" Mengapa penghuni kota itu berniat
membunuhnya" Kini, kemana perginya orang-orang itu"
Mengapa dalam waktu sekejap sudah lenyap tidak
berbekas" Mengapa Cong Hui-miat mengajaknya
kemari" Mungkinkah kota kecil ini adalah kota dimana
Ku-heng-ceng menemui ajalnya" Iblis bengis macam
apa yang bersembunyi dalam kota itu" Apakah dia
sedang menanti kedatangan orang asing, lalu
menelannya bulat-bulat"
Tengah hari baru saja lewat, ada sinar matahari, ada
angin, tapi tidak ada salju.
Dalam akhir musim gugur yang sangat dingin ini, hari
ini merupakan hari yang paling hangat udaranya,
namun sayang Cong Hoajustru merasakan munculnya
hawa dingin dari dasar telapak kakinya dan merasuk ke
dalam tulang sumsumnya.
Dalam keheningan yang mendekati suasana mati,
hanya angin yang berhembus melewati jendela
menimbulkan suara desis, tapi dalam suasana dan
keadaan seperti ini, suara itu justru lebih mirip suara
depakan sayap kelelawar yang sedang terbang keluar
dari pintu neraka.
Mengapa Cong Hoa masih berdiri tenang disana" Dia
sedang memikirkan semua peristiwa yang baru saja
dialami" Ataukah sedang menantikan sesuatu"
Kalau sedang membayangkan kembali semua
peristiwa yang baru lewat, sejak awal hingga akhir dia
tidak pernah bisa menyaksikan secara jelas, lalu apa
pula yang mesti dibayangkan"
Jika sedang menantikan sesuatu, apa pula yang
sedang dia nantikan" Menanti kemunculan orang-orang
tadi" Atau kematian" Kalau kematian" Apakah
kematian yang kedua kalinya"
Langit sudah mendekati senja, salju mulai turun
membasahi permukaan tanah.
Ada salju, angin pun tetap berhembus. Diantara deru
angin, mendadak dia menangkap suara nyanyian...
Suara nyanyian yang muncul dari balik keheningan,
muncul dari balik kemisteriusan, seolah-olah nyanyian
yang datang dari neraka.
"Diujung jalan kehidupan, lenyap musnahkan
manusia. Manusia tengah diujung jalan kematian, belum putus
nyawa sudah terlanjur musnah.
Begitu mendengar suara nyanyian itu, dari balik
pandangan mata Cong Hoa yang kosong, tiba-tiba
terbesit cahaya yang sangat aneh.
...Terlepas seaneh apapun penampilannya waktu itu,
yang pasti bukan penampilan kesedihan atau
penderitaan. Suara nyanyian makin lama semakin mendekat,
akhirnya muncullah sang penyanyi, ternyata dia adalah
seorang pengemis.
Ternyata pengemis itu berjalan keluar dari dalam
ruang toko dimana masih tergantung papan namanya,
"toko keluarga Li".
Pengemis itu bernyanyi sambil menundukkan
kepalanya, dalam genggaman tangannya dia
memegang sebiji goanpo, langkahnya tidak terhitung
cepat, namun dia pun tidak pernah memperhatikan
jalanan. ... Apakah dia sudah tahu kalau kota kecil ini tidak
berpenghuni" Apakah dia tahu kalau sesosok mayatpun
tidak ada disitu maka dengan perasaan lega dia
berjalan sambil menundukkan kepala"
Cong Hoa masih berdiri disitu, berdiri di satu-satunya
tempat dijalanan itu yang masih bisa dilewati, maka
tidak ampun pengemis itupun menumbuk tubuh Cong
Hoa. "Kenapa kau berdiri disitu sehingga tertabrak aku?"
teriakan pengemis itu ternyata keras sekali.
Cong Hoa sangat geli, biasanya dia memang geli bila
bertemu manusia macam begini.
"Sobat, siapa namamu?"
"Aku bukan sahabatmu, kaupun bukan sahabatku!"
pengemis itu melotot besar, "Buat apa kau menanyakan
namaku?" Cong Hoa masih tetap tersenyum.
"Sobat, siapa kau?" kembali bertanya.
"Aduuh... bagaimana sih kau ini" Aku paling benci
kalau ada orang bertanya begitu kepadaku, siapa pula
kau?" teriakan pengemis itu semaian keras.
"Aku justru paling senang bertanya begitu, siapa
kau?" Tampaknya pengemis itu memang bloon, biarpun
satu pertanyaan yang sederhana namun dia mesti
mengulangnya berulang kali seperti orang kebingungan
saja. Sementara Cong Hoa akan berganti cara lain,
pengemis itu sudah berkata duluan, "Dengarkan baikbaik,
sekarang akan kukatakan siapa aku."
Sambil menunjuk hidung sendiri, katanya, "Aku she-Ui,
bernama Sauya, Ui sauya adalah aku, aku adalah Ui
Sauya."

Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ui sauya?" Cong Hoa sedikit tercengang.
Ternyata pengemis itu bernama Ui sauya atau Tuan
muda Ui! "Sudah ingat baik-baik?" pengemis itu seakan kuatir
gadis itu lupa dengan namanya, kembali dia bertanya,
"Siapa namaku" Siapa aku?"
"Sudah kuingat baik-baik, kau adalah Ui sauya, Ui
sauya adalah kau."
"Betul, lain kali jangan bertanya lagi kepadaku, siapa
kau?" pengemis itu menggelengkan kepalanya
berulang kali, "Aku paling benci kalau ada yang
bertanya kepadaku, siapa kau. Tapi orang lain justru
selalu bertanya kepadaku, siapa kau" Aaai....!"
Pengemis itu menghela napas panjang, tiba-tiba dia
menyusup melalui bawah ketiak Cong Hoa kemudian
kabur secepat cepatnya meninggalkan tempat itu.
Cepat sekali lari orang itu, bahkan kecepatannya
tidak berada dibawah orang yang punya dasar ilmu
meringankan tubuh.
Tampaknya lari cepat memang merupakan
kepandaian khas para pengemis.
Sayang Cong Hoa dapat berlari jauh lebih cepat
darinya. "Hey, mau apa sih kau ini?" sambil belari pengemis itu
berseru dengan napas terengah, "Apakah kau hendak
merampas goanpo yang ada ditanganku?"
Cong Hoa tertawa geli, tiba-tiba dia menyambar ke
muka dan betul-betul meram-pas goanpo yang berada
dalam genggaman pengemis itu.
"Tolong, tolong... ada rampok merampas uangku!"
kontan pengemis itu menjerit keras.
Masih untung jalanan itu sepi dan tidak ada orang,
kalau tidak entah apa yang akan dilakukan Cong Hoa,
kalau sampai uang milik seorang pengemis pun
dirampas, bukankah dia sudah menjadi seorang bandit
kelas teri"
"Cepat kembalikan uang itu kepadaku!" teriakan si
pengemis semakin keras, "Kalau tidak, aku akan beradu
nyawa denganmu."
"Asal kau bersedia menjawab berapa pertanyaanku,
bukan saja uang ini akan kukembalikan, bahkan akan
kutambah dengan sekeping goanpo yang jauh lebih
besar dari yang ini."
Pengemis itu mengerdipkan matanya berulang kali,
setelah mempertimbangkan lama sekali dia baru
mengangguk. "Baik, apa yang ingin kau tanyakan?"
"Sudah lama kau berdiam di kota kecil ini?"
"Benar."
"Apakah kau ikut menyaksikan semua peristiwa yang
telah terjadi di jalanan ini tengah hari tadi?"
Pengemis itu kelihatan agak gemetar, tapi dia segera
mengangguk. "Coba ceritakan, apa yang telah terjadi di kota ini"
Apakah sahabatku itu masih hidup atau sudah mati" Ke
mana perginya semua penghuni kota ini"
Secara beruntun Cong Hoa mengajukan tiga buah
pertanyaan, tapi ketiga buah pertanyaan itu seolah tiga
batang tiang salju yang menghujam ke tubuh pengemis
itu, tubuhnya seketika gemetar keras, bahkan giginya
pun seakan sedang berkelahi.
"Aaku.. .aku.. .melihat.. .tidak.. .tidak.....melihat..."
Pada dasarnya dia memang tidak pernah bicara
secara jelas, apalagi sekarang, dalam keadaan
ketakutan setengah mati, ucapannya semakin melantur
tidak jelas. Mendadak Cong Hoa mengeluarkan sekeping
goanpo besar lalu digoyang-goyangkan dihadapan
pengemis itu. Ternyata goanpo itu jauh lebih berkasiat ketimbang
obat mujarab, bukan saja pengemis itu sudah tidak
gemetar, sepasang matanya terbelalak lebar lebar,
mengawasi goanpo yang ada ditangan perempuan itu
tanpa berkedip.
"Dapatkah kau menceritakan kembali peristiwa yang
terjadi tengah hari tadi?" tanya Cong Hoa perlahan.
"Dapat... boleh..."
Baru saja pengemis itu akan mengambil goanpo
tersebut, Cong Hoa telah menariknya kembali, ujarnya,
"Ceritakan dulu kejadiannya, kemudian baru kuberikan
kepadamu."
"Baik!" pengemis itu menengok sekejap ujung jalanan,
wajahnya mulai diselimuti perasaan ngeri, tampaknya
dia sedang mengenang kembali kejadian yang
dialaminya tengah hari tadi.
"Ketika kau melompat ke atap rumah, sobat yang
punya bekas bacokan di alis matanya juga ikut
melompat..."
Kejadian sebelum itu sudah diketahui semua oleh
Cong Hoa, justru yang dia ingin tahu adalah peristiwa
yang terjadi kemudian.
"Ketika tauke penjual gincu melihat sobatmu ikut
melompat, tiba-tiba dari dalam tangannya me....
melompat keluar seutas cambuk yang amat panjang..."
makin berbicara pengemis itu nampak semakin
ketakutan, "Cambuk panjang yang meliuk-liuk di udara
itu seakan mempunyai mata, dengan cepatnya dia
menyambar tengkuk sahabatmu, kemudian..."
"Kemudian...kemudian bagaimana?" tanya Cong
Hoa gelisah. "Kemudian... kemudian..." pengemis itu menelan air
liurnya sambil menatap si nona tanpa berkedip,
"Kemudian tidak ada lagi."
"Tidak ada lagi" Barang apa yang tidak ada lagi?"
"Tidak ada lagi yaa tidak ada lagi," pengemis itu
menyengir lirih, "Tak ada lagi maksudnya aku hanya
menonton sampai disitu saja, karena selanjutnya aku
pingsan." "Kau..." saking jengkelnya Cong Hoa sampai tidak
mampu berbicara.
"Kau... kau kenapa kau" Aku pun manusia yang terdiri
dari darah dan daging. Memangnya kau suruh aku
menyaksikan semua peristiwa tragis itu dengan mata
melotot" Karena aku tidak sanggup menolong
sahabatmu, maka aku pun jatuh tidak sadarkan diri."
Cong Hoa hanya bisa mengawasi pengemis itu
dengan mata melotot, dia tidak tahu mesti mendongkol
atau geli"
Mendadak pengemis itu merebut goanpo yang ada
ditangannya sambil berseru, "Kau berjanji akan berikan
goanpo ini kepadaku begitu selesai aku menjawab
pertanyaanmu, sekarang aku sudah selesai menjawab,
maka goanpo ini sudah menjadi milikku."
Biarpun sudah ditanyakan, hasilnya tetap percuma,
karena apa yang dia katakan, diketahui juga oleh nona
itu, tapi apa yang ingin dia ketahui justru tidak terjawab
oleh pengemis itu.
Jika kejadian ini dialami dimasa dulu, mungkin dia
sudah merampas balik goanpo itu kemudian
menghadiahkan pula dua tempelengan keras.
Untung Cong Hoa sekarang bukan manusia semacam
itu, dia hanya menghela napas sambil ujarnya sedih,
"Pergilah, goanpo itu sudah menjadi milikmu."
"Sungguh?" pengemis itu sedikit kurang percaya.
Cong Hoa m anggut m anggut.
"Kau tidak akan merampasnya kembali?" sambil
melangkah pergi, tiada hentinya pengemis itu berpaling.
Cong Hoa menggeleng.
"Aku boleh pergi dari sini?" kembali dia
menggeserkan tubuhnya.
Sekali lagi Cong Hoa mengangguk. "Aku pergi dulu?"
Kali ini Cong Hoa sudah malas untuk mengangguk.
"Aku betul-betul boleh pergi?" tampaknya pengemis
itu seakan tidak percaya, kali ini dia malah berjalan balik
satu langkah. Cong Hoa merasa muak, dia benar benar sudah
sebal untuk mendengarnya.
Sekali lagi pengemis itu melangkah pergi, bisiknya,
"Kali ini aku benar benar akan pergi?"
"Sudah selesai belum ributmu?" Cong Hoa mulai
mendidih hatinya.
"Sudah, sudah selesai," pengemis itu segera kabur
terbirit birit, dari kejauhan sana dia masih
menyempatkan diri untuk berpaling memandang
kearah Cong Hoa, kalau ditinjau dari mimik mukanya,
mungkin dia sudah menganggap gadis itu sebagai satu
makhluk aneh. Cong Hoa masih berdiri tenang ditengah jalan, paras
mukanya sama sekali tidak menampilkan perubahan
apa pun. Namun perasaan hatinya amat kalut.
Walaupun Tu Bu-heng bisa menebak kalau dia bakal
menolong Cong Hui-miat dari tangan Nyoo Cing, namun
tidak seorang pun yang tahu dengan cara apa dia
menyelamatkan Cong Hui-miat dari dalam penjara.
Tentu saja kecuali Nyoo Cing seorang.
Tapi sekarang, jangan lagi berbicara soal Cong Huimiat,
apakah dia masih hidup atau sudah mati pun
sama sekali tidak diketahui olehnya, bagaimana
mungkin dia bisa menghadap Nyoo Cing"
Dengan cara apa pula dia memberikan tanggung
jawabnya kepada Nyoo Cing"
Kabur. Bisa saja dia melarikan diri ke ujung langit,
sekalipun Nyoo Cing punya kekuasaan sehebat seorang
Kaisar pun belum tentu dia bisa berbuat banyak.
Tapi gadis itu tidak sudi kabur, dia pun tidak bisa
kabur. Karena itulah prinsip hidupnya selama ini.
Betapa pun serius dan beratnya suatu masalah, dia
tetap akan menghadapinya secara jantan, betapa
beratnya hukuman yang bakal dilimpahkan kepadanya,
dia tetap akan menjalaninya.
Yang pasti, dia tidak akan melarikan diri.
"Siapa pun tidak akan mengabulkan permintaanmu
yang kelewatan ini," Nyoo Cing berkata sambil menatap
tajam wajah Cong Hoa.
"Tapi aku percaya kepadamu, kau boleh membawa
pergi Cong Hui-miat, tapi setengah bulan kemudian
harus kau bawa kembali kemari."
"Aku pasti akan mengembalikan kemari,
membawanya balik dalam keadaan utuh!" dengan
nada serius dan meyakinkan Cong Hoa berjanji.
"Bila hingga waktunya kau belum juga membawa
balik, aku akan menuduhmu sebagai komplotan yang
bersekongkel untuk membawa kabur narapidana
penting kerajaan," sepatah demi sepatah kata Nyoo
Cing berkata, "Kau bisa dijatuhi hukuman mati, bahkan
seluruh keluargamu akan ditumpas!"
Hari ini, kendatipun jaraknya dengan setengah bulan
masih ada tiga belas hari, namun Cong Hoa tidak tahu
Cong Hui-miat berada di mana, bahkan mati hidupnya
pun tidak diketahui.
Dengan cara apa dia akan mencarinya" Kemana dia
harus pergi untuk mencari jejaknya"
Kegelapan malam hari akhirnya mulai menyelimuti
seluruh jagad. Walaupun salju sudah lama berhenti, namun hawa
yang dingin dan membeku telah mengubah jalan raya
itu seakan lapisan salju yang keras, tiang salju yang
bergelantungan di wuwungan rumah persis seperti gigi
serigala yang sedang menyeringai, seolah sedang
bersiap-siap akan menggigit manusia.
Tidak ada manusia yang berlalu lalang di jalanan,
seluruh kota kecil itu tercekam dalam keheningan yang
luar biasa, keheningan bagaikan sebuah tanah
pekuburan, seluruh angkasa dan bumi seolah telah
diselimuti oleh selapis hawa "kematian" yang membeku.
Tiada angin, bahkan air hujan pun seakan ikut
membeku jadi bongkahan salju.
Cong Hoa duduk didalam sebuah rumah makan,
rumah makan diujung jalan, ternyata diatas meja
tersedia arak dan hidangan.
Hidangan ditemukan dari dalam dapur, tentu saja
arak diperoleh dari guci dibelakang meja kasir.
Dia duduk disisi jendela, saling berhadapan dengan
jalanan yang sepi dan mati, sorot matanya dialihkan
keujung langit, mengawasi bayang bayang kegelapan
nun jauh di sana.
Dia masih tetap berada di kota kecil itu, bukan berarti
dia sedang menunggu munculnya "kemukjijatan",
dalam keadaan seperti ini, dia butuh sebuah tempat
yang tenang, duduk manis sambil mereka ulang seluruh
kejadian yang dialaminya, dari awal hingga akhir.
... Tempat mana lagi yang jauh lebih tenang
ketimbang tempat ini" Cong Hoa memang manusia
macam begitu, diwaktu biasa, tingkah lakunya macam
orang sinting, perbuatan apapun berani dilakukan,
terhadap masalah apa pun tidak acuh.
Tapi setelah menjumpai persoalan yang pelik, dia
dapat berpikir secara tenang dan kepala dingin, dia
dapat menganalisa dan mengambil kesimpulan,
kemudian mengatur strategi guna menyelesaikan
persoalan itu. Diambilnya cawan arak dimeja, lalu pelan pelan
meneguk isinya.
Dia mulai mereka ulang semua peristiwa itu, sejak dia
mencari Tu Thian dan mengajaknya bertaruh, hingga Tu
Thian dan Un-hwee sianseng mengemukakan identitas
sebenarnya serta tujuan mereka.
Diantara peristiwa ini, semestinya tidak ada bagian
yang pantas dan patut dicurigai, satu satunya yang


Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencurigakan hanya munculnya seorang lelaki
gelandangan yang batuk tiada hentinya disaat dia
sedang bertaruh dengan Tu Thian, waktu itu si
gelandangan mengucapkan berapa kata yang hingga
kini masih belum dipahami maksudnya.
"Buat apa?"
"Kenapa harus begitu?"
Sebenarnya siapakah lelaki gelandangan itu" Apa
maksud dia mengucapkan dua kata itu"
Kembali Cong Hoa meneguk habis isi cawannya,
kendatipun kota kecil ini amat sepi dan terpencil,
ternyata arak yang tersedia disitu adalah arak
kenamaan Tiok-yap-cing.
Tentu saja hidangan yang tersedia bukan terhitung
lezat dan mewah, tapi dalam situasi seperti ini, hidangan
tersebut sudah lebih dari cukup.
Cong Hoa meletakkan kembali cawan araknya, sekali
lagi dia mengalihkan sepasang matanya yang bening
dan penuh kehangatan itu memandang ke tempat
kejauhan sana. Tu Bu-heng telah menggunakan Ti Cing-leng sebagai
umpan, memancing hingga kegembiraannya mulai
berkobar maka dia pun menceritakan rahasia yang
menyangkut Cong Hui-miat dengan boneka 'mummi' itu.
Kalau urusan sudah menjadi begini, biar Cong Hoa
tidak ingin mencampuri urusan juga sudah tidak
mungkin... siapa suruh dia punya watak ingin tahu yang
kelewat besar"
Dia menggunakan cara yang paling tidak masuk akal
berhasil 'meminjam' Cong Hui-miat dari tangan Nyoo
Cing, maka diapun bersama Cong Hui-miat tiba di kota
kecil ini. Kemudian pada hari ini terjadilah peris-tiwa yang
membuat kepalanya pusing tujuh keliling, kejadian aneh
yang sangat mencengangkan hati.
Dan akibatnya dia pun jadi perempuan linglung yang
harus menunggu macam orang bodoh di tempat
gersang, dimana burungpun enggan bertelur, meneguk
arak 'pengangguran' yang masam.
Walaupun persoalan ini menyangkut masalah
'mummi' yang penuh misteri, tapi secara keseluruhan
rasanya tidak ditunggangi rencana busuk lainnya.
Semakin berpikir Cong Hoa merasa semakin aneh dan
keheranan, dia sendiri tidak tahu dimana letak
keanehan itu, tapi dia sadar bahwa ada sesuatu yang
tidak beres dengan kejadian ini.
Malam, tiada rembulan tiada bintang.
Rembulan dan bintang yang biasanya menghiasi
angkasa, saat ini pada sembunyi semua, seolah merasa
takut juga dengan suasana 'kematian' yang mencekam
kota kecil itu.
Hembusan angin gunung membawa bau tanah
lumpur dari tanah perbukitan dike-jauhan sana,
membawa pula suara batuk yang lirih.
Cong Hoa seketika membelalakkan matanya lebarlebar,
dia segera pasang telinga sambil mendengarkan
dengan seksama.
Kembali suara batuk bergema memecahkan
keheningan, kali ini suara tersebut muncul dari tengah
jalan raya. Tidak tahan lagi Cong Hoa melongok ke luar jendela.
Dari balik kegelapan malam, lamat-lamat dia seperti
melihat ada sesosok bayangan manusia sedang
berjalan mendekat dari ujung jalan sana, setiap berjalan
dua langkah, orang itu kembali terbatuk batuk hingga
membungkukkan tubuh.
Setiap kali setelah meludahkan riak kentalnya, dia
baru meluruskan tubuhnya dan melanjutkan perjalanan
menuju ke rumah makan itu. Menanti dia sudah muncul
di depan pintu, Cong Hoa baru dapat melihat jelas raut
mukanya. Dia mengenakan sebuah jubah panjang berwarna
putih yang kini telah berubah jadi keabu-abuan lantaran
kelewat sering dicuci, perawakan tubuhnya tinggi kurus,
wajahnya pucat pias persis seputih bunga ombak
samudra yang memecah ditepian karena menghantam
batu karang. Usianya sudah tidak muda, diujung matanya terlihat
banyak kerutan, dari setiap kerut matanya seakan
tersimpan kepedihan dan kesendirian yang dideritanya
selama perjalanan hidup.
Biarpun wajahnya tidak memperlihatkan perubahan
perasaan apa pun, tapi meninggalkan kesan hampa
dan murung bagi siapa pun yang memandangnya.
Hanya sepasang matanya yang kelihatan masih
muda. Sepasang mata anehnya itu seakan berwarna
biru tua, sebiru langit disiang hari, mata itupun seakan
hembusan angin musim semi yang menggoyangkan
ranting pohon liu, lembut tapi lincah.
"Ada tamu yang datang dari jauh, kenapa tuan
rumah tidak menyapa?" itulah ucapan pertama yang
diutarakan begitu memasuki pintu rumah makan.
Ternyata dia telah menganggap tempat itu sebagai
rumah kediaman Cong Hoa dan menganggap gadis itu
sebagai tuan rumah.
Mula-mula Cong Hoa agak melengak, tapi segera
disahutnya sambil tertawa, "Telah kusiapkan arak kasar
dan hidangan seadanya, anggap saja sebagai rasa
hormatku."
Orang itu menarik napas panjang, lewat lama
kemudian dia baru berbisik, "Ehmm, arak bagus, jelas
tiok-yap-cing ini paling tidak telah berusia dua puluh
tahunan." Benar benar seorang setan arak, hanya dari bau nya
saja dia sudah dapat membedakan kwalitas arak itu.
Cong Hoa menuangkan secawan arak dan
disodorkan kepadanya, lalu memenuhi juga cawan arak
sendiri. "Keringkan secawan arak ini!" ujar Cong Hoa, "Perduli
siapa kah kau dan apa tujuanmu kemari, memandang
kemampuan yang baru saja kau perlihatkan, aku sudah
putuskan untuk bersahabat denganmu."
Selesai menghabiskan secawan arak itu, lelaki
setengah umur itu kembali batuk tiada hentinya, batuk
yang hebat dan tiada putusnya membuat paras
mukanya yang semula memucat muncul semu merah
membara. ...Cahaya merah yang mirip jilatan api dari neraka,
api neraka yang sedang membakar tubuh dan
sukmanya. "Aneh, sungguh aneh..." Cong Hoa mulai bergumam,
"Aku seakan pernah bertemu dengannya?"
Akhirnya berhenti juga batuk lelaki setengah umur itu,
dia menarik napas dalam-dalam, mengatur napas,
kemudian memenuhi kembali cawan araknya dan
mengangkat cawan itu dengan penuh keriangan.
"Sekali lagi kita telah berjumpa muka, terima kasih
banyak atas hadiah arakmu."
"Berjumpa sekali lagi?" Cong Hoa mulai berpikir,
mendadak dia teringat akan sesuatu, kontan teriaknya,
"Yaaa. Sekarang teringat sudah aku! Bukankah kau
adalah lelaki gelandangan yang berjalan keluar dari
belakang pohon ketika hari itu aku sedang bertaruh
dengan Tu Thian?"
Sekulum senyuman segera menghiasi ujung bibir lelaki
setengah umur itu.
"Tadi aku malah sempat terpikir akan dirimu, tidak
tahunya kau benar-benar telah muncul!" seru gadis itu
lagi. "Oya?"
"Apa maksud perkataan yang kau ucapkan pada
hari itu?"
"Kau benar benar tidak mengerti?"
"Tidak mengerti."
Lelaki setengah umur itu meneguk araknya lalu
tertawa, tampaknya dia ingin batuk lagi, tapi akhirnya
ditahan, ditatapnya wajah Cong Hoa sambil tertawa.
"Buat apa?" senyuman secerah udara yang baru
diguyur hujan kembali tersungging diujung bibirnya,
"Padahal kau sudah tahu dengan jelas, tidak perlu
menjatuhkan diri kebawah, buat apa kau tetap
membiarkan tubuhmu tersiksa rasa sakit dan
penderitaan?"
"Ooh, jadi kau telah melihatnya?" ujar Cong Hoa,
"Bayangkan saja, dalam sepuluh menit aku harus
selesai memanjat tiga puluh batang pohon. Aku hanya
rikuh untuk membuat dia kalah secara mengenaskan."
"Kau anggap Tu Thian benar-benar telah kalah
bertaruh?" kembali lelaki setengah umur itu bertanya.
"Memangnya tidak?"
"Sekalipun dia tidak kalah dalam pertaruhan ini,
kujamin Tu Thian tetap akan pergi mencarimu."
"Mencari aku?" Cong Hoa tercengang, "Lantaran
urusan Cong Hui-miat?"
"Sebetulnya persoalan itu hanya satu urusan kecil
diantaranya."
"Jadi masih ada urusan lain?" berkilat sepasang mata
Cong Hoa, "Berarti urusan lain itulah baru persoalan
besar yang sebenarnya?"
"Nah begitu baru agak mirip Cong Hoa yang
sebenarnya."
Perkataan apa itu" Tapi Cong Hoa sangat
memahaminya. Jika harus ditukar dengan perkataan lain, kira kira dia
sedang berkata begini,"Nah begitu baru mirip Cong Hoa
yang konon sangat pintar dan cekatan."
Cong Hoa meneguk habis isi cawannya, kemudian
menatap cahaya lentera dengan termangu.
"Jadi cerita tentang Mummi dan pengkhianat penjual
negara yang dikisahkan Tu Bu-heng, semuanya hanya
cerita bualan belaka?"
"Tidak, semuanya merupakan kenyataan, bahkan
kejadian sebenarnya jauh lebih serius daripada apa
yang dia kisahkan."
"Kelihatannya aku harus sedikit mengubah sifat rasa
ingin tahuku."
"Sudah terlambat!" kata lelaki setengah umur itu
hambar, "Menurut apa yang kuketahui, dalam lima hari
mendatang, paling tidak akan muncul enam tujuh orang
yang mencarimu."
"Mencari aku" Demi persoalan besar itu?"
"Kalau demi urusan besar itu, mungkin Coh Liu-hiang
dan Siau-Li si pisau terbang sudah ikut datang sejak
dulu," senyuman yang menghiasi bibir lelaki setengah
umur itu makin tebal, "Mereka datang karena persoalan
mummi." "Aneh, kenapa dari jaman dulu hingga sebelum
kejadian ini belum pernah ada orang yang bicara soal
mummi itu, tapi sekarang, tiba tiba saja benda itu seolah
merupakan harta karun, setiap orang ingin
mendapatkannya."
"Masalah ini disebabkan ada orang yang sengaja
menyiarkan berita ini ke dalam dunia persilatan."
"Benarkah rahasia seputar mummi itu sangat menarik
perhatian orang banyak?"
"Jaman dulu, raja Chin Shi-huang saja sampai
mengirim utusan untuk mencari obat panjang umur,
apalagi kalau sekarang terdapat ilmu rahasia yang bisa
membuat orang yang sudah mati bisa bangkit kembali,"
ujar lelaki setengah umur itu sambil tertawa getir.
"Sesungguhnya bukan masalah seseorang bisa hidup
panjang umur atau tidak, yang penting justru hidupmu
cukup berharga atau tidak" Mendatangkan makna
yang berarti atau tidak?"
"Jika setiap orang bisa memiliki pemikiran seperti kau,
dunia ini pasti aman."
"Manusia itu memang tidak kenal puas!"
... Tidak kenal puas memang merupakan salah satu
kelemahan manusia yang terbesar.
Musim gugur telah berakhir, namun malam belum
kelewat larut. Hembusan angin terasa makin kencang, membuat
satu satunya papan nama yang masih tersisa di kota
kecil itu bergoyang tiada hentinya.
"Kau bilang dalam lima hari mendatang ada enamtujuh
orang akan datang mencariku," kata Cong Hoa,
"Manusia macam apa sih ke enam orang itu?"
"Tentu saja jagoan yang memiliki kungfu hebat,
terutama tiga orang diantaranya."
Cong Hoa tidak memberi komentar, tapi dia
mendengarkan dengan asyik.
"Kau pernah mendengar tentang Say Siau-li?" tanya
lelaki setengah umur itu.
"Say Siau-li?"
"Benar!" lelaki setengah umur itu meneguk secawan
arak, "Sudah enam tahun dia terjun ke dalam dunia
persilatan, tapi pisau terbangnya baru digunakan
sebanyak enam belas kali."
"Tidak pernah meleset?"
"Tidak pernah meleset!" sorot mata lelaki itu
menerawang ke tengah jalan raya.
"Sekalipun pisau terbangnya lebih hebat pun, ada
satu hal dia tidak akan mampu menandingi Li Sin-huan."
"Dalam hal apa?"
"Pisau terbang Li Sin-huan digunakan untuk menolong
orang, sementara pisau terbang dia digunakan untuk
membunuh orang," kata Cong Hoa, "Dalam hal ini jelas
dia tidak akan mampu mengungguli Siau-Li si pisau
terbang." Lelaki setengah umur itu manggut-manggut,


Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lanjutnya, "Nama orang yang kedua amat tersohor
diseantero jagad, jarang yang tidak pernah mendengar
namanya." "Benarkah?"
"Betul, dia adalah Liong-ngo kongcu!"
"Liong Ngo dari Kwangtong?" Cong Hoa berkerut
kening. "Rasanya Cuma ada seorang Liong Ngo di dunia
kangouw saat ini."
"Waaah, tampaknya sangat menarik..." seru Cong
Hoa, setelan termenung sejenak bertanya lagi, "Lantas
siapakah orang ketiga?"
Lelaki setengah umur itu tidak langsung menjawab,
sebaliknya malah perlahan-lahan mengangkat
cawannya lalu menghirup isinya dengan santai, dari
mimik mukanya bisa diduga kalau dia sedang
mempertimbangkan sesuatu.
Entah sedari kapan angin telah berhenti berhembus,
suasana terasa hening dan sepi, sedemikian heningnya
hingga mendatangkan perasaan tidak enak bagi siapa
pun. Kendatipun angin telah berhenti, hawa dingin justru
semakin merasuk tulang.
Setelah ditunggu sekian waktu belum juga
kedengaran lelaki setengah umur itu berbicara, Cong
Hoa tidak sanggup menahan diri lagi, teriaknya keras,
"Malaikat darimana sih orang ketiga itu?"
"Aku tidak tahu."
Jawaban dari lelaki setengah umur itu kontan
membuat Cong Hoa terperanjat, ia memandang orang
itu dengan mata terbelalak.
"Tidak tahu?"
"Sebenarnya akupun berharap bisa tahu siapakah
dia," kata lelaki setengah umur itu sambil meletakkan
kembali cawannya ke meja, "Konon orang itu
bertingkah laku macam orang sinting, setiap hari dia
selalu mondar mandir ke sana kemari sambil memegang
sekeping goanpo ditangannya."
Dalam benak Cong Hoa segera terlintas bayangan si
pengemis cilik yang dijumpainya sore tadi.
"Jika dia berikan goanpo miliknya kepadamu sambil
tertawa cengar-cengir, itu berarti sebentar lagi kau akan
berpesta bersama raja akhirat," kata lelaki setengah
umur itu lebih jauh, "Biasanya tidak sampai tiga hari,
orang itu akan lenyap tidak berbekas!"
"Memangnya kalau lenyap lantas berarti sudah
mampus?" tanya Cong Hoa.
"Mati atau tidak, paling tidak mesti ada mayatnya,
tapi kalau bertemu dengan orang ini, kau tidak akan
menemukan apa-apa lagi."
"Maksudmu selain nyawanya diambil, mayatnya pun
ikut diambil?"
"Rasanya begitu."
Bayangan tentang si pengemis cilik itu semakin jelas
melintas dalam benak Cong Hoa.
Benarkah seorang pengemis cilik yang begitu menarik
sesungguhnya adalah seorang raja iblis pembunuh
manusia" "Darimana kau bisa mengetahui semua persoalan itu
secara jelas?" dengan sorot mata setajam sembilu Cong
Hoa mengawasi lelaki setengah umur itu, "Siapa pula
dirimu?" "Aku hanya seseorang yang sudah mati," sekilas
perasaan pedih melintas diwajah lelaki setengah umur
itu, "Semestinya aku adalah seseorang yang sudah
mati." "Kau orang mati" Orang mati berarti setan?"
Lelaki setengah umur itu tidak menjawab, namun
senyuman dingin segera tersungging diujung bibirnya.
"Kau ini termasuk setan gantung atau setan
penasaran" Atau mungkin setan penuntut balas?"
kembali Cong Hoa menggoda.
"Namanya adalah setan yang sepantasnya
mampus!" mendadak seseorang menanggapi, suara itu
seakan datang dari ujung jalan, tapi seperti juga berasal
dari dalam ruangan rumah makan itu.
BAB 7. Kehilangan satu hari.
"Namanya adalah setan yang sepantasnya
mampus!" Mendengar teriakan tersebut, kembali lelaki setengah
umur itu menghela napas panjang, namun kepedihan
diwajahnya sudah jauh berkurang, sebagai gantinya
terlintas perasaan hormat yang tebal.
Sementara itu Cong Hoa sudah tertawa terbahakbahak,
dia merasa amat geli dengan seman itu.
Bersamaan dengan bergemanya suara teriakan itu,
terendus juga bau ikan bakar yang harum semerbak.
... Ikan bakar mana yang bisa menangkan ikan bakar
hasil olahan Lo Kay-sian"
"Sekarang aku baru sadar, ternyata menilai orang
jangan hanya menilai dari wajahnya," kata Cong Hoa
sambil menghela napas panjang.
"Kenapa?" suara itu masih mengalun ditengah udara.
"Bukan saja kepandaianmu memanggang ikan
terhitung nomor wahid, pura-puramu jadi orang bodoh
jauh lebih hebat lagi."
"Darimana kau bisa tahu kalau aku...?"
"Aku toh bukan seekor kucing, siapa yang tahan
dengan bau amis ikanmu?" ejek Cong Hoa tertawa.
"Sekalipun bukan kucing, tapi hidungmu lebih tajam
daripada hidung seekor anjing," menyusul perkataan itu,
Lo kay-sian muncul dari mulut tangga.
"Tapi ada sementara orang yang justru jadi anjing pun
tidak pantas!" kata Cong Hoa uring-uringan, "Sudah
jelas memiliki kemampuan untuk melacak jejak orang,
tapi dia masih bersikeras tidak mau mengakui."
"Dia tidak punya kemampuan untuk melacak," kata
lelaki setengah umur itu sambil tertawa, "Akulah yang
telah mengundangnya kemari."
Sambil tertawa terkekeh Lo Kay-sian mengambil
tempat duduk, ternyata ditangannya telah membawa
sebuah cawan. "Orang ini memang kebangetan, memangnya dia
anggap kita tidak bakal mengundangnya minum arak"
Masa membawa cawan sendiri!" seru Cong Hoa lagi.
"Kau toh sudah tahu kalau aku ini malas sekali," kata
Lo Kay-sian sambil memenuhi cawannya dengan arak,
"Kalau urusan bisa sekaligus diselesaikan, kenapa aku
mesti mengerjakannya dua kali?"
"Tapi kau pandai berlagak edan, sudah puluhan
tahun kau berlagak begitu."
"Dia bukan berlagak edan, sesungguhnya dia hanya
pegang janji," lelaki setengah umur itu menerangkan.
"Pegang janji siapa?"
"Cong Poan-long."
"Cong Poan-long" Siapa Cong Poan-long?"
"Cong Poan-long adalah bapanya Cong Hui-miat,
yaitu pendeta Ku-heng-ceng," lelaki setengah umur itu
mulai batuk-batuk.
Setelah meneguk secawan arak dan menarik napas
panjang, dia melanjutkan, "Ketika pertama kali masuk ke
daratan Tionggoan, orang pertama yang hendak
dijumpai Cong Poan-long adalah dia!"
Dia menuding ke arah Lo Kay-sian, kemudian
terusnya, "Mereka adalah sahabat yang amat karib."
Lo Kay-sian tertawa, namun tertawanya amat sedih
dan getir. "Tempat pertemuan yang mereka janjikan kebetulan
adalah tempat ini."
Berarti disinilah Ku-heng-ceng menemui celaka.
"Dia datang selangkah lebih awal ketimbang Tu Buheng
serta Un-hwee, tapi toh tetap terlambat!" kata
lelaki setengah umur itu, "Ketika tiba disini, dia jumpai
Cong Poan-long sudah tergeletak bersimbah darah,
buru buru dia bertanya siapakah pembunuhnya, tapi
Cong Poan-long hanya mengawasinya dengan sinar
mata penuh ketakutan."
"Aku cukup mengerti apa yang menjadi
kehendaknya," kata Lo Kay-sian pula hambar, "Dia tahu
kepandaian silatku masih kalah jauh bila dibandingkan
pembunuh itu, dia takut setelah kuketahui namanya
maka akan pergi mencarinya dan balaskan dendam
sakit hatinya."
"Cong Poan-long memohon kepadanya agar
merawat Cong Hui-miat secara baik baik," ujar lelaki
setengah umur itu, "Untuk melaksanakan permohonan
tersebut maka selama puluhan tahun dia berlagak
bodoh." "Kalau memang Cong Poan-long datang dengan
membawa rahasia, kenapa dia tidak langsung bertemu
dengan Tu Bu-heng sekalian?" tanya Cong Hoa.
"Inilah salah satu sebab yang tidak kami pahami,"
kata lo Kay-sian.
"Dia takut kau tidak mampu melawan pembunuh itu,
kenapa dia tidak beritahu kepada Tu Bu-heng sekalian"
Masa dengan kekuatan kerajaan, merekapun tidak
sanggup menghadapinya?"
Persoalan inipun merupakan salah satu hal yang
mencurigakan. "Kalau dia memang membawa rahasia itu untuk
diserahkan kepada Pemerintah, kenapa setelah
dibunuh, rahasia tersebut malah tidak disampaikan"
Kemudian jika masalah ini menyangkut satu kejadian
yang luar biasa, kenapa hingga akhir-akhir ini persoalan
tersebut baru mencuat?"
Setelah berhenti sejenak, kembali Cong Hoa berkata
kepada lelaki setengah umur itu, "Jika kau memang
orang yang sepatutnya mati, kenapa sekarang bisa
bangkit dan hidup kembali" Kenapa kau pun
mengetahui dengan sangat jelas semua seluk beluk
mengenai peristiwa ini?"
Setelah menarik napas, lanjutnya, "Kenapa Cong Huimiat
mengalami kejadian begitu sampai disini" Kenapa
pula kau mengundang Lo Kay-sian untuk berjumpa
disini?" Tiada rembulan, tiada bintang, yang tersisa hanya
awan gelap yang bergeser terhembus angin.
Pikiran dan perasaan Cong Hoa pun diliputi pelbagai
kecurigaan dan perasaan tidak habis mengerti.
Lelaki setengah umur itu meski sedang memandang
Cong Hoa, namun ditinjau dari mimik mukanya yang
penuh diliputi kedukaan, seakan dia sedang
melamunkan kembali kejadian lama...
Tiga puluh enam orang bocah berbaju putih dengan
membawa tujuh puluh dua batang tempat lilin yang
terbuat dari tembaga hijau perlahan-lahan berjalan
masuk, meletakkan tempat lilin itu disekeliling dinding
ruangan, kemudian mengundurkan diri dari situ.
Tempat itu merupakan sebuah bangunan rumah
yang luas, dindingnya berwarna putih bersih tanpa
debu, lantainya terbuat dari keramik yang bening
bagaikan cermin.
Dalam ruangan itu tidak ada benda lain, kecuali dua
buah alas duduk.
Ing Bu-oh duduk bersila diatas salah satu alas duduk,
sebuah tongkat bambu hijau yang didalamnya terselip
sebilah pedang ular berbisa, diletakkan diatas lututnya,
dia duduk tidak bergerak, seakan sedang berada dalam
keadaan 'tenang'.
Ti Cing-ling juga duduk di sebuah alas duduk yang
lain, mereka berdua duduk saling berhadapan, siapa
pun tidak tahu sudah berapa lama mereka duduk disitu.
Malam semakin larut... saat itupun akhir musim gugur.
Tiba-tiba Ti Cing-ling bangkit berdiri, dengan sangat
hormat dia menjura ke arah Ing Bu-oh, ujarnya, "Tecu Ti
Cing-leng akan melakukan percobaan pedang untuk ke
sebelas kalinya, mohon suhu sudi memberi petunjuk."
Pertarungan antara dua jago tangguh seringkah akan
selesai dalam satu gebrakan, mati hidup menang kalah
pun akan ditentukan sesaat.
Tapi sekarang mereka sedang menjajal pedang,
menjajal pedang milik Ti Cing-ling.
Cahaya fajar sudah mulai mencorong masuk melalui
atap ruangan, Ti Cing-ling memutar cahaya pedangnya
satu lingkaran, tiba-tiba dia menghentikan serangannya.
Mereka sudah bertempur semalam suntuk.
Ing Bu-ok mundur beberapa langkah kemudian
perlahan lahan duduk diatas alas duduk, tampaknya dia
amat kelelahan.
Paras muka Ti Cing-ling sama sekali tidak berubah,
pakaiannya yang berwarna putih tetap bersih tanpa
debu, setetes keringat pun tidak nampak membasahi
wajahnya. "Kali ini adalah kali ke sebelas kau menjajal pedang,
tidak kusangka kau telah berhasil!" kata Ing Bu-ok
perlahan, dia tidak tahu harus gembira atau sedih
karena kejadian ini.
Ti Cing-ling tidak mengucapkan sepatah kata pun,
tiba-tiba dia berjalan keluar dengan langkah lebar,
sewaktu lewat disamping Ing Bu-ok, tiba tiba dia
membalikkan pedangnya dan menusuk punggung
gurunya hingga tembus ke jantung.
Kembali lelaki setengah umur itu termenung, dia
merasakan juga sakit yang luar biasa di bekas lukanya
persis disisi jantung, sorot matanya yang semula dipenuhi
kehangatan kini mulai suram dan dicekam kesedihan,
matanya redup seakan mata seorang lelaki buta.
Tiba-tiba paras muka Lo Kay-sian berubah amat serius,
sambil menatap lelaki setengah umur itu perlahan-lahan


Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ujarnya, "Dialah Ing Bu-ok!"
Ku-bok sinkian (pedang sakti mata buta) Ing Bu-ok.
Ketika nama besar Ing Bu-ok menggetarkan sungai
telaga, mungkin orang tua Cong Hoa belum lagi mulai
'berpacaran'. Tentu saja diapun tahu kalau Ing Bu-ok tewas diujung
pedang Ti Cing-ling.
Tapi, kenapa Lo Kay-sian mengatakan kalau lelaki
setengah baya ini adalah Ing Bu-ok"
"Bukankah Ing Bu-ok sudah dibunuh oleh Ti Cing-ling?"
tanya Cong Hoa.
"Benar, Ing Bu-ok memang sudah dibunuh!"
"Lalu... kenapa bisa muncul seorang Ing Bu-ok lagi?"
tanya Cong Hoa sambil melirik lelaki setengah baya itu
sekejap. "Dia adalah guru Ti Cing-ling, Ing Bu-ok. Dia juga Ing
Bu-ok yang telah dibunuh Ti Cing-ling."
Cong Hoa semakin kebingungan, dengan termangu
diawasinya kedua orang itu, lama kemudian ia baru
bertanya lagi, "Memangnya waktu itu Ti Cing-ling
merasa tidak tega sehingga memperingan tusukannya"
Atau Ing Bu-ok yang memiliki dua buah jantung?"
"Aku tidak mempunyai dua buah jantung, serangan Ti
Cing-ling pun tidak lembek," lelaki setengah umur itu
berkata hambar, "Tapi, aku mempunyai seorang
sahabat karib."
Sepasang mata lelaki setengah baya yang sudah
bagaikan mata orang buta itu kembali bersinar, dia
memandang ke arah Lo Kay-sian kemudian katanya
lagi, "Meskipun aku sudah tahu dengan jelas manusia
macam apakah Ti Cing-ling, namun aku tetap melengak
juga sewaktu dia membalikkan tubuh sambil
menghadiahkan sebuah tusukan ke tubuhku, aku tidak
menyangka kalau dia bisa menggunakan saat, tempat
dan situasi semacam itu untuk melancarkan
tusukannya."
Setelah berhenti sejenak, lanjutnya, "Mungkin lantaran
aku melengak itulah tusukan yang dilancarkan Ti Cingling
jadi sedikit melenceng."
... Disaat orang melengak bercampur kaget, konon
jantung seseorang bisa menyusut kecil lantaran terkena
rangsangan. "Oleh sebab itu ketika Bong Si-khong datang kesitu,
kendatipun napasku sudah tinggal satu dua, namun
setelah berusaha hampir tiga hari tiga malam lamanya,
akhirnya dia berhasil juga menarik keluar diriku dari pintu
gerbang Kui-bun-kwan."
"Ooh, pendekar pedang rindu?" Cong Hoa
menghela napas panjang, "Biarpun jantungku sudah
berapa kali berdebar hari ini, namun debaran jantungku
benar-benar menghebat setelah tahu kalau kau adalah
Bong Si-khong."
"Puluhan tahun sudah lewat, tidak kusangka masih
ada orang yang masih teringat akan diriku," gumam Lo
Kay-sian sambil meneguk isi cawannya.
'Pendekar pedang rindu, satu tusukan bikin orang
selalu rindu'. Dengan sebilah pedangnya, dulu dia
pernah mengalahkan tujuh orang jago pedang paling
kosen dalam dunia persilatan.
Jurus pedangnya bukan Cuma ganas dan telengas,
reaksi dan gerakannya luar biasa cepatnya, membuat
orang tidak menyangka kalau serangan itu telah
merenggut nyawanya. Pendekar ini memang selalu
membuat orang merasa rindu.... khususnya kaum
wanita. "Aku berani jamin, dari seratus orang paling tidak ada
sembilan puluh sembilan setengah orang tidak akan
percaya jika Pendekar pedang rindu telah menjadi
seorang kepala sipir penjara," kata Cong Hoa sambil
menatap orang tua itu.
"Pendekar pedang rindu sudah mati lama sekali,"
ucapan Lo Kay-sian lirih tidak bertenaga, "Sudah mati
semenjak belasan tahun berselang."
Dengan termangu Cong Hoa mengawasi Lo Kay-sian,
setelah lama kemudian dia baru berkata, "Benar,
pendekar pedang rindu sudah mati!"
Dengan perasaan berterima kasih Lo Kay-sian melirik
sekejap ke arahnya.
Tidak gampang bagi seseorang mendapat 'nama
besar', untuk mempertahankannya juga teramat sulit,
tapi untuk memusnahkannya, ternyata dapat dilakukan
dalam waktu sekejap.
"Mari kita bersulang satu cawan arak!" Cong Hoa
mengangkat cawannya, "Manusia yang tidak dapat
dipercaya tidak akan bisa tancapkan kaki di dunia ini,
ucapan tersebut bisa saja diucapkan setiap orang, tapi
ada berapa banyak yang sanggup melaksanakannya?"
Sekali teguk menghabiskan isi cawan, hawa
kehangatan seketika muncul dari perut dan menyebar
ke seluruh bagian tubuh.
"Darimana kau bisa tahu kalau aku akan kemari?"
tanya Cong Hoa kemudian sambil berpaling ke arah Ing
Bu-ok, "Mau apa kau undang Bong Si... Lo Kay-sian
datang kemari?"
"Seandainya kau menjadi Cong Hui-miat, setelah
keluar penjara, pertama-tama tempat mana yang akan
kau kunjungi?" bukannya menjawab, Ing Bu-ok malah
baik bertanya. "Tentu saja datang kemari," jawab Cong Hoa setelah
berpikir sejenak.
"Itulah dia, aku pun mengajak Lo Kay-sian untuk
berjumpa disini, kami bermaksud bersama-sama pergi
mencari Cong Hui-miat dan menerangkan beberapa
masalah, kemudian merundingkan bagaimana langkah
berikut, tidak disangka...."
"Tidak disangka telah terjadi peristiwa di pagi hari
tadi," sambung si nona.
"Betul, tidak kusangka tindakan yang dilakukan pihak
lawan jauh lebih cepat daripada apa yang kuduga."
"Siapa sih pihak lawan?"
"Perkumpulan naga hijau, Cing-liong-hwee."
"Perkumpulan naga hijau?" tampaknya Cong Hoa
agak terperanjat, "Wah, tampaknya aku mesti
membayar mahal untuk mengetahui duduk persoalan
yang sebenarnya!"
... Ada benarnya juga perkataan ini, sebab peristiwa
tesebut merupakan sebuah intrik paling besar yang
pernah terjadi selama seratus tahun terakhir dalam
dunia persilatan, bukan saja menyangkut banyak pihak,
yang mati dan terluka pun sudah banyak sekali, sebuah
peristiwa yang tidak mudah dibayangkan.
"Hampir selama belasan tahun lamanya aku selalu
melacak dan menyelidiki sebab musabab kematian
Cong Poan-long," ujar Ing Bu-ok, "Hasil analisaku adalah
terdapat dua hal yang sangat aneh!"
"Hal aneh" Apa itu?"
"Ternyata sebelum tiba disini, Cong Poan-long telah
bertemu lebih dulu dengan Cong Hui-miat."
"Mereka sudah berpisah hampir belasan tahun
lamanya, kenapa begitu sampai di daratan Tionggoan,
dia langsung dapat menemukan jejaknya?" kata Cong
Hoa, "Kenapa selama ini Cong Poan-long selalu
merahasiakan kejadian nya?"
"Ketika Lo Kay-sian tiba di tempat kejadian,
kendatipun kondisi Cong Poan-long sudah kritis dan
napasnya tinggal satu dua, namun kaki dan tangannya
masih dapat bergerak, anehnya, kenapa ketika Tu Buheng
sekalian berjumpa dengan Cong Poan-long, kaki
dan tangannya sudah dipotong orang" Kenapa pula
dia meninggalkan tulisan "Tidak berdosa" dua patah
kata?" Arak sudah tidak jelas mengisi poci yang ke berapa,
namun ketiga orang itu sama sekali belum menunjukkan
pertanda mabuk.
Rahasia dibalik peristiwa ini tampaknya jauh lebih
manjur ketimbang "air teh penyadar mabuk", membuat
peredaran darah ditubuh mereka beredar lebih cepat
dan panas. Cahaya fajar sudah mulai menghiasi ufuk timur, kini
angin telah berhenti berhembus, namun bunga salju
belum lagi beterbangan.
Seluruh bumi dicekam dalam keheningan dan udara
beku. ...Mengapa udara selalu terasa dingin membeku,
suasana selalu dicekam keheningan disaat malam
hampir lewat, fajar hampir menyingsing"
"Aku pernah bertemu dengan Ui sauya," kata Cong
Hoa sambil menerawang ujung jalan.
"Kau pernah bertemu?" tanya Ing Bu-ok keheranan,
"Kapan" Di mana?"
"Kemarin, disini. Dia adalah seorang lelaki yang
bertubuh mungil tapi punya kepala yang sangat besar,
waktu bicara senang membalikkan bola matanya
sehingga sekilas pandang, dia lebih mirip dengan
seorang bocah idiot."
"Dia tidak menghadiahkan goanponya kepadamu?"
tanya Lo Kay-sian agak tegang.
"Tidak!" sahut Cong Hoa sambil menarik kembali
pandangan matanya dan berpaling ke arah Lo Kay-sian,
"Justru dia yang telah melarikan goanpoku."
Lo Kay-sian maupun Ing Bu-ok segera
menghembuskan napas lega.
Ui Sauya tidak menghadiahkan goanpo nya kepada
gadis itu, berarti untuk sementara waktu nyawa si nona
masih dapat dipertahankan.
"Ui sauya sangat percaya dengan hukum karma, dia
tidak pernah mau berhutang pada orang lain, maka
setiap kali hendak membunuh seseorang, dia selalu
akan menyerahkan dulu sejumlah uang, uang untuk
membeli nyawa orang tersebut," Ing Bu-ok
menerangkan. "Anehnya, kalau toh dia tidak berniat membunuhmu,
kenapa pula malah merebut uangmu?" sambung Lo
Kay-sian. "Jangan jangan...dia pernah menyelamatkan
nyawamu, maka uangmu baru dibawa lari?"
Cong Hoa berpikir sejenak, kemudian menggeleng.
"Tidak mungkin, dia mengambil uangku lantaran aku
mengajukan pertanyaan kepadanya."
"Bertanya soal apa?"
"Tanya apa yang telah terjadi setelah aku melompat
naik ke atap rumah."
"Apakah dia telah menyaksikan peristiwa itu sejak
awal hingga akhir?"
"Dia hanya bilang..."
Mendadak Cong Hoa menghentikan perkataannya,
perasaan terkejut, kaget, ngeri dan tidak percaya
berkecamuk diatas wajahnya.
Dia mengawasi ujung jalan tanpa berkedip, seakanakan
ditempat itu sudah menyaksikan sesosok
bayangan setan yang gemar makan manusia.
Sebenarnya apa yang telah dia saksikan"
Kejadian berharga apa yang telah dia saksikan di
jalanan itu sehingga membuatnya terkesiap"
Bukan hanya di kota propinsi atau kota besar saja, di
desa kecil pun pasti ada rumah penduduk, juga ada
pertokoan. Dimana ada rumah penduduk dan pertokoan, ibarat
muncul cahaya terang dari balik kegelapan, suasana
pasti lebih hidup dan ramai.
Tatkala cahaya pertama memancar keluar dari ufuk
timur, ayam pun mulai berkokok dan anjing pun mulai
menggonggong. Bunga salju yang melapisi permukaan jalan kini sudah
mulai mencair, lamat lamat dapat terlihat alas batu hijau
yang tertanam dibalik lapisan salju.
Hari kesibukan untuk penduduk kota pun dimulai. Para
pedagang mulai membuka pintu toko nya dan
berharap dagangannya hari ini laris manis.
Asap mulai mengepul dari arah dapur, para ibu mulai
mempersiapkan sarapan untuk keluarganya, sementara
bocah bocah nakal mulai kelayapan di tengah jalan.
Tapi keramaian semacam itu tidak dijumpai di kota
kecil ini, suasana yang mencekam tempat itu sangat
berbeda dengan suasana di kota kota lain.
Semenjak usaha pembunuhan terhadap Cong Huimiat
terjadi dikota itu, seluruh penduduk kota seakan ikut
lenyap tak berbekas.
Suasana yang mencekam kota itu sedemikian sepi
dan heningnya hingga melebihi suasana di tanah
pekuburan, jangan lagi manusia, kokokan ayam dan
gonggongan anjing pun sama sekali tidak kedengaran.
Mengapa setelah lewat satu malaman, orang-orang
itu kembali muncul disitu" Bahkan seolah tidak pernah
terjadi peristiwa di siang kemarin"
Tauke penjual bedak dan gincu masih dengan
pakaian yang dikenakan kemarin, menjajakan barang
dagangannya ditepi jalan.
Tiga orang kakek masih tetap duduk di kaki lima,
berbincang tentang kegagahan mereka di masa
lampau. Bahkan nona bergaun merah yang
melemparkan bedaknya ke arah Cong Hoa pun, hari ini
muncul kembali dengan senyuman yang penuh
keriangan. Semua orang, semua kejadian, sama persis seperti
keadaan kemarin siang, bayangkan saja bagaimana
mungkin Cong Hoa tidak terperanjat dibuatnya"
Sinar sang surya menebarkan kehangatan ditengah
suasana yang dingin membeku, tapi gadis ini justru
merasakan tubuhnya makin menggigil, semakin


Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kedinginan, seakan akan tubuhnya telah terjerumus ke
dalam sebuah jurang yang dalamnya mencapai ribuan
kaki. Dia seakan merasakan tubuhnya terperosok ke dalam
neraka. Apa yang dia saksikan di jalan raya itu bahkan
jauh lebih menakutkan daripada apa yang terdapat di
dalam neraka. "Apakah orang-orang itu yang kau saksikan
kemarin?" bisik Lo Kay-sian.
Cong Hoa tidak menjawab, dia hanya mengangguk.
"Jadi merekalah yang menyerang Cong Hui-miat
kemarin siang?" tanya Ing Bu-ok pula.
Meski Cong Hoa sudah mengangguk, namun dia
merasa tubuhnya seakan sudah membeku kaku.
Dengan termangu Ing Bu-ok mengawasi orang yang
berlalu lalang ditengah jalan, entah lewat berapa saat
kemudian, sekilas perasaan aneh melintas diatas
wajahnya. Pada saat itulah terdengar ada orang sedang
berbicara. "Tuan bertiga, tampaknya kalian sedang bergembira,
sepagi ini sudah datang minum arak?"
Dengan mata masih mengantuk dan berjalan sambil
menguap, seorang pelayan muncul dari belakang
ruangan, kendatipun dia berbicara dengan penuh
sopan namun nadanya jelas sedang menegur,
mengapa sepagi ini Cong Hoa sekalian sudah datang
mengusik tidurnya.
Menyaksikan munculnya pelayan rumah makan itu,
rasa kaget dan tercengang yang semula menghiasi
wajah Cong Hoa seketika hilang lenyap.
"Kau keliru besar, bukan sedari pagi tadi tapi sejak
semalam aku sudah minum disini," sahut Cong Hoa
sambil tertawa, "Memangnya semalam kau sedang
libur" Tidak ada ditempat?"
"Kekkoan, kau sedang bergurau nampaknya, tamu
terakhir yang meninggalkan rumah makan ini adalah
Sam sauya keluarga Tan yang tinggal di seberang jalan,"
kata si pelayan cepat, "Dia malah minum sampai
menjelang kentongan pertama, akulah yang
memayangnya pulang."
"Benarkah begitu" Masa kau tidak melihat peristiwa
yang terjadi ditengah jalan siang kemarin" Masa kau
tidak mengetahuinya?"
"Peristiwa yang terjadi kemarin siang?" walaupun
sang pelayan tidak paham apa maksud perkataan itu,
namun sahutnya juga sambil tertawa, "Tempat kami
adalah kota kecil, jarang orang yang berlalu lalang
disini, sekalipun pernah terjadi urusan kecil, paling tidak
kejadian tersebut akan menjadi bahan perbincangan
sampai tiga hari tiga malam. Boleh tahu kejadian mana
yang kekkoan maksudkan?"
Sikap maupun nada bicaranya masih amat jujur dan
sopan, namun dalam hati kecilnya dia sudah
menganggap ketiga orang tamunya itu sebagai orang
sinting. Ing Bu-ok berlagak memandang sekejap cahaya
sang surya diluar ruangan, lalu katanya sambil menghela
napas panjang. "Aaaai... melihat sang surya pada tanggal satu bulan
sepuluh, dikemudian hari pasti akan terjadi bencana
besar." "Untung hari ini baru akhir bulan Sembilan," sambung
pelayan itu sambil tertawa.
"Ooh, aku sangka hari ini sudah tanggal satu bulan
sepuluh!" Ing Bu-ok diam-diam memberi tanda kepada
Cong Hoa dan Lo Kay-sian, kemudian terusnya,
"Kelihatannya aku sudah mulai pikun, masa sampai hari
apa pun tidak jelas."
Hari ini jelas sudah tanggal satu bulan sepuluh,
mengapa pelayan itu masih ngotot mengatakan hari ini
baru akhir bulan sembilan"
Jangan-jangan dia pun mengidap penyakit lupa hari"
Atau mungkin ada sebab yang lain"
"Kelihatannya mereka sudah kehilangan satu hari,"
ketika beranjak keluar dari rumah makan itu Ing Bu-ok
berbisik. "Kehilangan satu hari?" tanya Cong Hoa,
"Maksudmu, semua penduduk kota yang muncul di hari
kemarin bukan orang-orang ini?"
Dia memandang sekejap orang yang sedang berlalu
lalang di jalanan, kemudian lanjutnya, "Berarti orang
yang membunuh Cong Hui-miat adalah anggota
perkumpulan naga hijau yang menyamar jadi penduduk
kota?" Tidak menunggu Ing Bu-ok menjawab, kembali dia
menambahkan, "Ini berarti semua penduduk kota telah
dibius dengan semacam obat pemabuk sehingga
mereka tertidur sehari semalam, karena itulah mereka
jadi kehilangan satu hari."
"Rasanya memang begitu," kata Ing Bu-ok tertawa
getir, "Dan memang kejadiannya juga begitu."
Ketika sinar matahari menyinari wajah Ing Bu-ok, siapa
pun semestinya dapat melihat betapa sangsi perasaan
hatinya, dia merasa curiga, merasa serba salah...
Cong Hoa berlagak seakan tidak melihat apa-apa,
tiba di tengah jalan, dia menarik napas panjang lalu
membenahi bajunya yang kusut.
Salju yang melapisi permukaan jalan kini sudah
mencair, entah darimana datangnya hembusan angin,
selembar daun kering melayang dari udara dan jatuh ke
tanah. Cong Hoa memungut daun itu dan diselipkan disisi
bajunya, kemudian setelah berjumpalitan beberapa kali
di tengah udara, dia menghampiri Lo Kay-sian dan
katanya sambil tertawa, "Coba tebak, apa yang
sedang kupikirkan sekarang?"
Lo Kay-sian bukan Cuma terperanjat, tampaknya ia
sudah tertegun dibuatnya. Ing Bu-ok pun tidak sanggup
mengucapkan sepatah kata pun.
"Aku ingin mencari sebuah tempat dan tidur."
"Saat ini kau ingin tidur?" Lo Kay-sian semakin terkejut.
"Besok aku masih ada urusan, tentu saja aku harus
menyimpan tenaga."
"Memangnya kau bisa.... bisa tidur?"
"Kenapa tidak bisa...."
"Tapi kota ini...Cong Hui-miat lenyap di kota ini..."
"Bagaimana pun sekarang kita sudah tahu kalau
Cong Hui-miat tewas ditangan perkumpulan naga hijau,
jadi urusan yang lain bisa kita bicarakan dikemudian
hari." Dengan wajah melongo Ing Bu-ok mengawasi gadis
itu, dia seolah belum pernah berjumpa dengan manusia
semacam ini. Tapi sejujurnya, manusia macam begini
memang jarang sekali dijumpai.
Bila orang lain yang sedang menghadapi masalah
semacam ini, mereka tentu murung, kesal dan sedih, tapi
gadis itu" Dia seakan sudah melupakan semua
persoalan, seolah semua kemurungan dan kesedihan
telah dibuangnya jauh jauh.
Setelah menghela napas panjang dan tertawa getir,
kata Lo Kay-sian, "Kelihatannya meski sedang
menghadapi persoalan yang lebih besar pun, dia
sanggup membuang semuanya dalam waktu singkat."
"Di dunia ini sesungguhnya memang tidak ada
persoalan yang berharga untuk dirisaukan."
"Aaai, manusia macam kau memang orang yang
paling hokki," Ing Bu-ok menghela napas panjang.
Cong Hoa tidak menyangkal.
"Besok kau masih ada urusan apa lagi?" tidak tahan
Lo Kay-sian bertanya.
"Sebuah urusan yang amat penting."
Sambil tersenyum Cong Hoa menggapaikan
tangannya, lalu seakan selembar pelangi yang
menyambar lewat, tahu-tahu dia sudah jauh
meninggalkan tempat itu.
Mengawasi hingga bayangan tubuh nona itu lenyap
diluar kota, Lo Kay-sian baru menghela napas panjang,
ujarnya sambil tertawa getir, "Sekarang aku baru tahu
kenapa dia tidak pernah risau, rupanya dia bisa
berjumpalitan, setiap setelah berjumpalitan maka semua
kerisauan pun ikut lenyap."
Cong Hoa memang memiliki kemampuan itu, bila
tidak menguasai kepandaian ini, mungkin sekarang dia
sudah menumbukkan kepalanya diatas dinding.
BAB 8. Dia sudah mengerti.
Tanggal dua, tengah hari.
Cong Hoa sudah balik ke kota propinsi, dengan
langkah lebar dia memasuki rumah makan Cin-cun-wan.
Bila berganti orang lain yang menjumpai pelbagai
kejadian seperti apa yang dialaminya sekarang,
mungkin orang itu sudah mampus sejak dulu, tapi ketika
memasuki rumah makan, wajahnya masih tetap berseri,
semangatnya bugar seakan akan baru saja mendapat
rejeki nomplok.
Begitu melihat kehadirannya, sang pelayan segera
maju menyambut dengan hormat, "Selamat pagi
nona." "Pagi!" sambil tersenyum Cong Hoa men-cari tempat
duduk yang dekat jendela.
"Selama dua hari belakangan mencari rejeki di
mana" Sudah tidak kelihatan selama berhari-hari."
"Aaah, menemani teman lama keluar kota."
"Silahkan duduk, silaukan duduk, segera akan
kupersiapkan hidangan."
Matahari bersinar cerah, hari ini udara memang
nampak segar. Setelah balik ke sana, Cong Hoa merasakan perasaan
hatinya jauh lebih riang, jauh lebih gembira.
Dia memang patut gembira, sebab dia sudah
mengerti, telah berhasil memahami sesuatu..." Jika
bukit tidak datang ke hadapanmu, kaulah yang
mendatangi bukit itu."
Sekalipun peristiwa ini aneh dan penuh misteri, asal
mau rajin melacak dan menyelidiki, Cong Hoa yakin
akhirnya dia pasti akan berhasil mencapai tujuan.
Tapi Cong Hoa tetap bingung, kejadian ini
nampaknya saja sederhana tanpa liku liku, akan tetapi
dia tidak tahu harus dimulai dari mana.
Karena bingung tidak tahu harus berbuat apa, maka
diapun putuskan untuk menunggu disitu.... biar orang
lain yang datang mencarinya.
Tapi mimpi pun Cong Hoa tidak menyangka kalau
orang pertama yang datang mencarinya ternyata
adalah dia. Meskipun agak kepagian untuk minum arak sepagi ini,
namun ditengah udara yang begini dingin, tidak ada
salahnya untuk meneguk satu dua cawan arak guna
menghangatkan tubuh.
Setelah melahap sesuap sayur dan menghirup
seteguk arak, Cong Hoa menghembuskan napasnya
perlahan. Ditepi jalan tumbuh sebatang pohon, seseorang
duduk disisi pohon sambil memegang sebuah cupucupu
berisi arak, anehnya orang itu tidak menenggak
isinya tapi hanya mengendusnya dengan hidung,
kemudian setelah menghirup napas dalam dalam, dia
membuang napas itu perlahan.
Kalau dilihat dari tampangnya, orang itu seperti ingin
sekali meneguk arak wangi itu, tapi dia pun merasa
sayang untuk menghabiskan isinya, maka dia hanya
mengendusnya untuk memenuhi hasratnya.
Menyaksikan orang itu Cong Hoa langsung tertawa,
bahkan tertawanya sangat gembira.
"Orang persilatan menyebut Ui sauya, hanya sayang
otaknya sedikit miring."
Ternyata orang yang sedang duduk dibawah pohon
itu tidak lain adalah si pengemis yang tidak tahu diri itu,
Ui sauya. Hari ini dia tidak muncul sambil mem-bawa goanpo
tapi memegang sebuah cupu-cupu berisi arak, ap
Dendam Iblis Seribu Wajah 15 Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pemetik Harpa 32
^