Romantika Sebilah Pedang 8

Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long Bagian 8


ira tulangku masih patah, padahal
pada hari ke empat setelah diobati, kakiku sudah sama
sekali sembuh, bahkan secara diam diam aku sudah
mulai melatih kembali kekuatan kakiku ini."
"Tidak nyana Coan Hong-sin pun berhasil kau
kelabui!" "Tentu saja, sebab sesuai dengan metode
penyembuhannya, paling tidak butuh seratus hari untuk
pulih kembali seperti sedia kala."
"Tampaknya tidak ada yang mengira kalau kau
sudah sembuh secepat itu."
"Bukan sembuh lebih cepat, melainkan luka di kakiku
memang tidak terlampau parah."
"Masa Coan Hong-sin tidak bisa melihat serius
tidaknya luka mu"'
"Dia toch tidak membelah tulang kakiku, darimana
bisa tahu kalau lukaku parah atau tidak?" Nyoo Cing
tertawa, "Makanya jangan terlalu percaya dengan apa
yang terlihat didepan mata, sebab tidak ada yang tahu
bagaimana keadaan didalam yang sebenarnya."
"Aku pasti akan mengingat terus perkataanmu ini!"
tiba-tiba orang berbaju hitam itu tertawa dingin,
"Akupun perlu memberitahukan satu hal kepadamu, bila
ada orang ingin membokongmu, janganlah banyak
bicara dengannya, apalagi kalau sampai membiarkan
dia tahu akan rahasiamu."
Pedangnya digetarkan dan seketika menciptakan
tujuh kuntum bunga pedang yang menyebar ke empat
penjuru dan mengancam tujuh buah jalan darah
kematian di tubuh Nyoo Cing.
Menghadapi datangnya ancaman, Nyoo Cing sama
sekali tidak bergerak.
Tidak berhenti sampai disitu, kembali orang berbaju
hitam itu memutar tubuhnya bagai gangsingan, semakin
berputar semakin cepat, bahkan menimbulkan suara
pekikan yang amat menu suk pendengaran.
Rupanya dibalik suara pekikan yang dipancarkan
melalui perputaran tubuhnya itu, terkandung
gelombang suara pembunuh yang amat menakutkan.
Ilmu gelombang suara pembunuh manusia termasuk
salah satu ilmu andalan kaum ninja dari negeri Hu-siang.
Disaat suara pekikan itu mulai mendengung, Nyoo
Cing telah mengerahkan tenaga dalamnya untuk
melindungi gendang telinga, tidak heran bila ilmu
gelombang suara pembunuh ini sama sekali tidak
berpengaruh terhadapnya.
Disaat kertas kertas daun jendela mulai retak
kemudian hancur berkeping, dari tengah pusaran yang
kencang mendadak berkelebat keluar berapa titik
cahaya tajam berwarna hijau tua.
Dibawah cahaya bintang yang redup, sinar hijau itu
sangat lemah dan tidak mencolok, sekalipun
diperhatikan dengan seksama pun tidak gampang
untuk menjumpainya, apalagi bagi Nyoo Cing dalam
keadaan begitu.
Cahaya tajam berkelebat lalu lenyap.
.....Biasanya, hilangnya cahaya menandakan sebuah
kematian. Itulah cahaya pembunuh, sebuah ilmu ninja yang
menakutkan dari negeri Hu-siang.
Yang mematikan dari cahaya pembunuh bukan
terletak pada sinarnya, melainkan pada senjata rahasia
yang dilancarkan berbareng kilauan cahaya itu.
Tatkala kau menyadari ada cahaya berkelebat lewat,
biasanya senjata rahasia sudah menghujam ke dalam
tubuhmu, menanti kau merasakan datangnya hawa
kematian, cahaya itupun hilang lenyap tidak berbekas.
Nyoo Cing bukan jagoan kemarin sore, begitu
cahaya tersebut berkelebat, dia sudah menyambar kain
selimutnya untuk menghadang didepan tubuh.
Cahaya tajam telah lenyap, senjata rahasia pun
sudah musnah dibalik tebalnya kain selimut.
Dengan lenyapnya cahaya hijau itu, pusaran tubuh
pun ikut berhenti, untuk kesekian kalinya orang berbaju
hitam itu memandang lawannya dengan perasaan
terkesiap. Nyoo Cing sendiri seharusnya gembira karena berhasil
mematahkan ilmu mematikan yang diandalkan kaum
ninja, tapi dia sama sekali tidak nampak senang, bahkan
mimik muka yang tidak seharusnya tampil diwajahnya,
kini terlintas diatas wajahnya.
Mimik muka itu penuh dengan perasaan murung,
sedih, ketidak berdayaan dan masgul.
Sepasang matanya seakan berkaca-kaca, menahan
air mata yang nyaris jatuh berlinang.
Nyoo Cing yang dihari biasa selalu tampil tegar dan
penuh wibawa, saat ini hanya duduk mematung
bagaikan sebuah arca tanah liat.
"Belum pernah terlintas dalam benakku untuk
membunuhmu," ujar Nyoo Cing sedih.
"Tapi aku.... aku harus membunuhmu!" nada suara
orang berbaju hitam itupun kedengaran amat pedih.
"Aku tahu," Nyoo Cing manggut-manggut, "Sebab
sejak lahir di dunia ini, kau sudah ditakdirkan untuk
memainkan peranan ini!"
"Peranan apa?"
"Memerankan seseorang yang harus membunuhku,
wajib membunuhku tapi tidak tega untuk
melakukannya," ujar Nyoo Cing sambil menatapnya
tajam, "Karena kau memang tidak pernah berpikir ingin
membunuh aku."
Sekilas perasaan sedih melintas di wajah orang
berbaju hitam itu, tubuhnya mulai gemetar keras.
"Kena... kenapa aku tidak ingin membunuhmu?"
"Buat apa aku mesti menerangkannya lebih jauh?"
kata Nyoo Cing sambil menghela napas panjang,
"Padahal kaupun sudah tahu kalau aku telah
mengetahui identitasmu, buat apa mesti bertanya lagi?"
Siapakah dia sebenarnya"
Permulaan musim dingin, rembulan bersinar
terang, bintang bertaburan di angkasa, tapi aneh,
dalam cuaca seindah ini mengapa suasananya justru
memedihkan hati"
"Siapakah aku?" sepasang mata orang berbaju hitam
itu mulai kabur.
"Aku tahu, sudah sejak dulu aku tahu siapakah kau,"
kata Nyoo Cing makin sedih.
"Katakanlah, siapakah aku" Sebenarnya siapakah
aku?" "Hoa U-gi!" suara Nyoo Cing berubah sangat tenang,
"Kau adalah putri kesayanganku, Hoa U-gi!"
BAB 4. Perasaan kasih dari Hoa U-gi.
Suasana diluar jendela sangat tenang, sedemikian
tenangnya hingga suara serangga yang seharusnya
mulai berbunyi, saat ini seolah ikut bungkam, ikut
menikmati keheningan yang mencekam.
Tubuh orang berbaju hitam yang semula gemetar, kini
sudah mulai tenang kembali, pancaran sinar matanya
pun tidak seemosi tadi.
"Benar, aku adalah Hoa U-gi!"
Dia melepaskan kain penutup wajahnya dan
memperlihatkan raut mukanya yang cantik.
Dengan mata yang sembab merah, Hoa U-gi
mengawasi Nyoo Cing lekat lekat, kemudian dengan
suara yang aneh ujarnya, "Rupanya kau sudah tahu
identitasku yang sebenarnya sejak bertemu pertama kali
dulu di rumah kayu kecil."
"Benar."
"Mengapa kau tidak membongkar kedokku?"
"Apa gunanya membongkar kedokmu" Bila kau
gagal, tentu ada orang lain yang akan menggantikan
posisimu, bila rencana yang satu gagal tentu akan
muncul rencana yang lain."
Setelah menghela napas, lanjutnya, "Demi
melaksanakan tugas ini, berapa banyak sudah yang
menjadi korban."
....."Kenapa aku harus mengorbankan pula dirimu?"
meski ucapan tersebut tidak sampai diutarakan Nyoo
Cing, tapi Dia percaya gadis tersebut tentu mengerti.
"Kalau sudah mengetahui identitasku, apakah kau
tidak kuatir aku akan membunuhmu?"
"Kalau belum tiba saatnya, tidak nanti kau akan turun
tangan, apalagi tujuan utama dari Ti Cing-ling dengan
menempatkan dirimu disisiku bukan lantaran ingin
membunuhku."
"Lalu karena apa?"
"Dia berharap agar perasaan hatiku jadi lembek,
agar tumbuh perasaan kasihku kepadamu," ujar Nyoo
Cing sambil tertawa getir.
"Tapi sejak awal kau sudah mengetahui identitasku,
berarti rencananya sudah gagal semenjak dulu."
"Tidak, dia tidak gagal."
"Tidak gagal" Kenapa dia tidak gagal?" tanya Hoa Ugi.
"Meskipun kau bukan putri kandungku, namun raut
wajahmu mirip sekali dengannya."
"Dia" yang dimaksud adalah Lu Siok-bun.
"Setiap kali berjumpa denganmu, akupun teringat
akan dirinya, lebih banyak memandangmu sama seperti
lebih banyak merindukan dirinya, semakin merindukan
dia, perasaanku makin kalut, karena semakin kalut maka
hatiku pun semakin tersiksa."
Dengan termangu Hoa U-gi mengawasi lelaki
dihadapannya, orang ini adalah target yang harus
dibunuh, tapi sekarang dia sadar ternyata dia tidak
sanggup untuk melakukannya. Kendatipun dia bukan
putri kandungnya, juga bukan orang yang dirindukan
olehnya, mengapa dia tidak tega untuk turun tangan"
Yaa, kenapa"
Hoa U-gi sendiripun tidak tahu, dia sendiripun tidak
sanggup menjawab pertanyaan ini, apakah lantaran
dia sudah jatuh hati kepada lelaki itu" Atau perasaan
hatinya sudah tersentuh, sudah dibuat terenyuh oleh
sikap lelaki itu"
"Cinta tumbuh karena pergaulan yang rutin,"
ternyata ungkapan ini memang tidak keliru.
Mereka berdua boleh dibilang selalu bersua tiap hari,
tidak bisa dijamin tidak ada perasaan cinta atau sayang
yang tumbuh diantara mereka berdua, apalagi urusan
ini menyangkut urusan antara lelaki dan wanita, siapa
yang bisa menjamin, siapa yang bisa menduga kalau
hal ini tidak mungkin terjadi"
Tahun ini Nyoo Cing sudah berusia empat puluh
delapan tahun, sementara Hoa U-gi baru dua puluh
tahunan, biarpun selisih usia mereka berdua sangat
banyak, bukan berarti tiada cinta yang bisa tumbuh
dalam hati mereka berdua.
Hoa U-gi mulai termangu, dengan sorot mata yang
memancarkan rasa cinta, rasa sayang, dia mulai
mengawasi wajah lelaki itu.
Nyoo Cing berusaha menghindar dari pandangan
mesra itu, buru-buru dia membuang pandangan
matanya ke luar jendela.
"Rupanya hari ini kau mendapat perintah untuk
membunuhku?" dia berkata.
"Benar."
"Kau gagal dalam melaksanakan tugas, bagaimana
pertanggungan jawabmu nanti?"
"Aku tidak perlu memberikan pertanggungan
jawab." "Kenapa?"
"Seperti yang kau ungkap tadi, bila aku gagal, akan
muncul orang lain untuk melanjutkan tugasku," kini
pancaran sinar matanya sudah tidak selembut tadi lagi,
"Gerakan pembunuhan yang datang gelombang demi
gelombang, apakah tidak membuatmu ketakutan?"
"Takut!" jawab Nyoo Cing, "Tapi apa yang bisa
kuperbuat?"
"Apakah kau tidak berusaha untuk pergi
mencarinya?"
"Mencarinya" Siapa dia" Perkumpulan Cing Liong
Hwee" Atau Ti Cing-ling?"
"Semua perencanaan dan semua perbu-atan diatur
dan diperintahkan oleh Ti Cing-ling," ujar Hoa U-gi, "Asal
kau berhasil menemukan Ti Cing-ling maka semua
persoalan dapat segera diselesaikan."
"Aku rasa persoalan yang sebenarnya tidak
sesederhana apa yang kau bayangkan."
"Menurut apa yang kuketahui, untuk mendukung
rencana dari Ti Cing-ling ini, pihak perkumpulan Cing
Liong Hwee hanya mengu-tus dua orang Tongcu, ini
membuktikan kalau perkumpulan Cing Liong Hwee
sebenarnya tidak bermaksud untuk menghadapi dirimu,"
nada suara Hoa U-gi kedengaran makin lembut dan
menawan hati, "Aku bersedia membantumu untuk
menemukan Ti Cing-ling."
Akhirnya Nyoo Cing berpaling, menatap wajahnya.
"Mengapa kau harus berbuat begini" Tindakan yang
kau lakukan bisa mendatangkan nasib tragis untukmu,
tahukah kau bahwa perbuatan semacam ini tidak boleh
kau lakukan?" serunya.
Tentu saja Hoa U-gi tahu, bahkan mengetahui
dengan amat jelas. Akhir bagi seseorang yang berani
mengkhianati perkumpulan Cing Liong Hwee biasanya
merupakan akhir yang tragis, semacam kematian yang
amat mengenaskan.
Gadis itu mulai tertawa, sekulum senyuman yang
penuh dengan perasaan apa boleh buat.
"Masa kau belum pernah melakukan sesuatu
perbuatan yang jelas tahu kalau itu tidak boleh


Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dilakukan?" dia balik bertanya.
Nyoo Cing segera terbungkam.
Tentu saja dia pernah melakukannya. Bukan saja
pernah, sekarangpun sedang dia lakukan dan
dikemudian hari pun tetap akan dia lakukan.
.....Ada sementara persoalan, walaupun kau tahu
tidak patut dilakukan, tapi kau tetap nekad untuk
melakukannya, sebab terkadang diri sendiripun tidak
sanggup untuk mengendalikannya.
Ada sementara persoalan, seakan mempunyai daya
tarik yang sukar dilawan, "perasaan kasih" termasuk
salah satu diantaranya.
.....Ada pula sementara persoalan yang mau tidak
mau harus kau lakukan, karena kau sudah didesak oleh
keadaan, kau sudah terjepit sehingga ingin menghindar
pun tidak mungkin bisa dihindari.
"Masa kau masih belum tahu mengapa aku berbuat
begini?" dari balik pandangan mata Hoa U-gi seakan
terpancar nada teguran.
Nyoo Cing masih tetap membungkam.
Tentu saja dia sangat paham dengan niat gadis itu,
tapi bagaimana mungkin dia dapat menerimanya"
Sebagai seorang lelaki dewasa tentu saja Nyoo Cing
mengerti apa sebabnya gadis itu berbuat begini, diapun
sangat memahami perasaan hatinya.
Orang tua adalah manusia, orang muda juga
manusia, orang jahat manusia, orang baikpun manusia,
selama dia adalah manusia maka dia mempunyai hak
untuk mencintai orang lain.
Perasaan terharu, terima kasih terpancar dari balik
mata Nyoo Cing, namun terselip juga perasaan sedih
dan ketidak berdayaan.
"Aku mengerti maksudmu, akupun mengerti
mengapa kau berbuat begini," kata Nyoo Cing,
"Tapi sayang...... tapi sayang perjumpaan kita terlalu
lambat." "Tapi sayang perjumpaan kita terlalu lambat!"
Dari dulu hingga sekarang, entah berapa banyak
manusia yang pernah mengucapkan perkataan itu,
entah berapa banyak manusia yang pernah
mendengar perkataan itu.
Tapi kecuali kau sendiri pernah mengucapkan, kau
sendiri pernah mendengarnya, tidak nanti kau bisa
meresapi betapa pedih dan tersayatnya perasaan
hatimu waktu itu.
Mengawasi Nyoo Cing yang penuh
ketidakberdayaan, mendengar ucapan yang begitu
memilukan hati, Hoa U-gi hanya merasakan seluruh
tubuhnya menjadi ringan, pikirannya kosong,
perasaannya hampa.
Perlahan-lahan dia menundukkan kepalanya,
mengawasi bayangan tubuh sendiri, dalam keadaan
seperti ini Hoa U-gi tidak tahu apa yang mesti diperbuat,
tidak tahu apa yang meski diucapkan.
"Aneh, kenapa kabut ini datang secara aneh?"
mendadak terdengar Nyoo Cing berseru sambil
mengamati kabut tipis yang mulai menyelimuti ruangan
mereka. "Kabut?"
Mendadak Hoa U-gi tersentak kaget, menyaksikan
kabut tipis yang mulai mengalir masuk ke dalam
ruangan, paras mukanya berubah hebat, serunya
tertahan, "Kabut itu beracun, cepat tutup pernapasan!"
Belum selesai berkata, gadis itu sudah menerjang ke
depan Nyoo Cing.
Saat itu paras muka Nyoo Cing telah berubah,
berubah bukan lantaran dalam kabut mengandung
racun, wajahnya berubah karena melihat Hoa U-gi
menubruk ke arahnya.
"Jangan mendekat, berbahaya!" segera jeritnya.
Begitu berteriak, diapun melompat ke depan dan
menubruk ke arah gadis itu.
Menyaksikan Nyoo Cing menubruk ke arahnya,
sekulum senyuman manis segera menghiasi ujung bibir
Hoa U-gi, tapi sayang belum selesai senyuman itu
berkembang, tubuhnya sudah menjadi kaku.
Saat itulah Nyoo Cing sudah tiba disisi tubuhnya,
menyambar pinggangnya dan memeluk tubuhnya yang
mulai roboh terjungkal.
Ketika kabur tipis mulai mengalir masuk ke dalam
ruangan, ketika Hoa U-gi berteriak memberi peringatan,
tiba-tiba Nyoo Cing menyaksikan berkelebatnya dua titik
cahaya hitam dan merah dari luar jendela, tapi ketika
dia berusaha menarik untuk Hoa U-gi untuk menghindari
serangan tersebut, sayang kedua titik cahaya tadi sudah
menghujam masuk melalui punggungnya.
Kini Nyoo Cing hanya bisa memeluk tubuh Hoa U-gi
yang terkulai lemas.
"Kabut itu beracun!" gadis itu masih berusaha
memperingatkan dengan suara yang lemah.
"Aku tahu," jawab Nyoo Cing lembut, "Permainan
busuk macam itu tidak nanti bisa mengelabuhi aku, tidak
nanti bisa meracuni aku."
"Ku... kukira kau tidak tahu," bisik Hoa U-gi semakin
lemah, pancaran sinar matanya bertambah lembut dan
mesrah. "Lo Kay-sian, Tu Bu-heng, Un-hwee, mereka semua
tewas oleh kabut tersebut, justru yang aku kuatirkan
adalah kau..."
"Mereka pun tahu, kabut beracun semacam ini tidak
nanti bisa membunuhku, senjata sesungguhnya yang
mematikan adalah sepasang Cing-jin-ciam (panah
kekasih) berwarna hitam dan merah dibalik kabut itu..."
... Yang hitam bagaikan sepasang mata kekasih, yang
merah bagaikan darah kekasih.
"Cing-jin..cing-jin-ciam" (panah kekasih)?"
Gadis itu mulai tertawa, tapi tertawa semacam ini
jauh lebih memedihkan hati, jauh lebih menyayat hati
ketimbang kematian itu sendiri.
"Tidak mungkin aku... tidak mungkin aku menjadi
kekasihmu lagi, tapi aku... aku dapat merasakan
bagaimana disayang seorang... seorang kekasih..."
suara Hoa U-gi semakin lirih, "Kini aku... aku sudah puas...
puas sekali..."
Dia berpaling, memandang keluar jendela sana.
Apa yang sedang dia lihat" Diluar jendela hanya ada
kegelapan" Apakah dia masih berharap bisa melihat
cahaya matahari di hari esok" Tapi... sekalipun bisa
melihat, apa gunanya"
"Pergilah..." kembali Hoa U-gi berbisik, "Aku sadar,
tidak mungkin lagi aku tetap hidup... kau.... kau tidak
usah menemani aku."
"Tidak, aku harus menemanimu, menungguimu
hingga sembuh kembali," bisik Nyoo Cing sambil
menggenggam tangannya erat-erat, "Aku tahu, kau
pasti akan hidup terus."
Hoa U-gi menggeleng, menggeleng sambil tertawa
pedih. ..... Bila seseorang sudah kehilangan keyakinan
untuk hidup terus, siapa yang bisa selamatkan dirinya"
"Bila kau benar-benar mati, maka kau telah menyakiti
hatiku," bisiknya.
"Kenapa?"
"Karena... karena aku sudah siap meminangmu....aku
sudah siap mengawinimu..."
Wajah Hoa U-gi yang pucat terlintas warna semu
merah karena jengah.
"Sungguh?" bisiknya.
"Tentu saja sungguh!" tegas Nyoo Cing sambil
berusaha menahan air matanya agar tidak mengalir,
"Setiap saat kita bisa menikah."
Lagi-lagi sebuah perkataan bohong yang selamanya
tidak mungkin bisa terwujud. Pipi Hoa U-gi semakin
memerah, sorot matanya pun seakan memancarkan
bara api asmara yang kuat.
"Aku selalu berharap bisa menikmati suasana seperti
hari ini..." dia mulai memejamkan sepasang matanya,
"Pergilah, kau cepat pergi..."
"Kenapa aku harus pergi?"
"Karena aku... aku tidak ingin kau menyaksikan saat
kematianku," sekujur tubuhnya mulai mengejang, "Maka
kau harus pergi..."
"Tidak, aku tidak akan pergi, aku tidak bakal pergi!"
teriak Nyoo Cing tiba-tiba.
Dengan penuh keharuan dia genggam sepasang
tangannya, dia seakan kuatir gadis itu meninggalkan
dirinya secara tiba-tiba.
"Sekalipun kau harus mati, kau harus mati dalam
pelukanku."
Nyoo Cing tidak kuasa membendung air matanya
lagi, butiran air mata meleleh mebasahi pipinya,
menetes ke bawah, membasahi mata gadis itu.
Tapi Hoa U-gi tidak berkedip lagi, dia tidak sanggup
membuka matanya kembali, namun ketika air mata
membasahi matanya, tiba-tiba sekulum senyuman yang
tenang, penuh rasa puas tersungging diujung bibirnya.
Maut datang bagaikan sambaran kilat.
Gadis itu tidak sanggup melawan datangnya maut.
Memang tidak seorang pun bisa melawan datangnya
maut. Lilin sudah padam, air mata belum juga mengering.
Nyoo Cing masih memeluk tubuh Hoa U-gi erat-erat,
sementara air mata meleleh terus bagaikan bendungan
yang jebol. Fajar sudah mulai menyingsing diufuk timur, malam
yang gelap akhirnya berlalu.
Kini lilin sudah lumer, air mata pun sudah mengering.
Bekas air mata sudah tidak nampak lagi tapi bekas
noda darah masih meninggalkan jejaknya, noda yang
hanya bisa dicuci bersih dengan air mata darah.
"Gigitan dibalas gigitan, darah dibalas darah."
Selama ini Nyoo Cing selalu menggunakan
pengampunan untuk menggantikan pembalasan
dendam, goloknya tidak pernah digunakan untuk
membunuh manusia, tapi sekarang, perasaan hatinya
penuh diliputi hawa amarah, benci dan dendam.
Matahari sudah memancarkan sinarnya, langit pun
sudah terang benderang.
Nyoo Cing membaringkan tubuh Hoa U-gi diatas
ranjangnya, menutupi dengan selimut lalu dia sendiri
duduk disampingnya, sorot mata yang sayu mengawasi
luar jendela, mengikuti gerakan cahaya matahari yang
kian lama kian meninggi.
Dia mengawasi ke luar jendela karena dari situ dia
mendengar suara petikan rebab bersenar tiga.
Irama rebab yang memilukan seolah menyebar
bersama melayangnya kabut pagi.
Menyusul kemudian dari balik pepohonan diluar
taman, tampak sesosok bayangan tubuh munculkan diri.
Begitu mendengar suara rebab, Nyoo Cing kontan
tertawa dingin, raut mukanya nampak semakin murung
dan penuh perasaan dendam.
"Hmm, orang bilang bila irama rebab bergema, usus
akan putus hati akan hancur, hmmm, tiga senar yang
tidak berguna!"
Irama rebab seketika berhenti, tampak orang itu
berjalan semakin mendekat.
"Kau tahu siapakah aku?" dia menegur.
"Tiga puluh tahun berselang, banyak gadis terpikat
oleh irama rebab bersenar tiga, berapa banyak nyawa
harus hilang dengan percuma, kenapa aku tidak tahu?"
"Siapa menang dia adalah raja, siapa kalah dia
adalah penyamun, dari dulu hingga sekarang teori itu
tidak pernah berubah," kata kakek itu hambar.
"Jadi kedatanganmu hari ini adalah untuk
melaksanakan perintah, membunuhku?" ejek Nyoo Cing
sambil tertawa dingin.
Ketika mengucapkan "Melaksanakan perintah", kata
itu sengaja ditekan keras-keras dan penuh dengan nada
penuh penghinaan.
Tentu saja Bu Sam-sian si kakek rebab bersenar tiga
dapat menangkap nada menghina itu, tapi dia tidak
menggubris pun tidak menanggapi, dia hanya tertawa.
"Konon kait perpisahanku sudah terjatuh ke
tanganmu?"
"Benar."
"Hari ini kau akan menggunakan kait perpisahan
untuk menghadapiku?"
"Mana mungkin?" sahut Bu Sam-sian tertawa, "Kapan
kau pernah melihat orang menimpuk anjing dengan
menggunakan bakpao?"
"Perumpamaan macam apa itu?"
"Untuk menghadapi manusia macam kau, tentu saja
aku harus menggunakan rebab bersenar tiga."
Irama rebab kembali bergema, ditengah alunan
suara tampak tiga titik cahaya berkelebat lewat.
Cahaya tajam dengan tujuh warna. Begitu irama
rebab berkumandang, Nyoo Cing sudah menyambar
vas bunga yang ada dimeja dan menimpuknya ke
depan. Ketiga titik cahaya terang itu segera menyongsong
datangnya vas bunga itu, "Blaaaam!" terjadi ledakan di
udara menyusul meletupnya tiga kuntum bunga cahaya
yang menyilaukan mata.
Kilauan cahaya berwarna warni. Vas bunga itu
hancur berkeping dan berhamburan ke mana-mana.
Ditengah kilatan cahaya warna warni, Nyoo Cing
sudah melejit ke udara dan melesat keluar melalui
jendela, langsung menerkam ke balik pepohonan.
Belum lagi tubuhnya mencapai sasaran, angin


Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pukulan sudah meluncur keluar, langsung menghantam
keatas rebab bersenar tiga itu.
Bu Sam-sian segera berkelit ke samping kemudian
berjumpalitan di utara, mengikuti gerakan tersebut dia
melepaskan sebuah pukulan ke punggung Nyoo Cing.
Dibawah sinar matahari pagi, terlihat sekilas cahaya
biru berkilauan diantara jari tengahnya, ternyata dia
sudah selipkan sebatang jarum beracun diantara jari
tangannya. Ketika tubuh Nyoo Cing sudah berada tiga inci dari
ujung jarum, mendadak dia terperosok ke bawah,
seakan-akan sebuah batu cadas yang tiba-tiba tercebur
ke dalam jurang.
Gagal dengan pukulannya Bu Sam-sian seketika
membalikkan tubuh, dari balik rebabnya tahu-tahu dia
meloloskan sebilah pedang yang tajam, tipis lagi sempit,
kemudian secara beruntun melancarkan tiga tusukan.
Dari balik tiga tusukan tercipta enam kuntum bunga
pedang. "Sreet, sreet, sreeet!" tiga desingan tajam bergema di
udara, dada kiri Nyoo Cing sudah tersambar hingga
muncul tiga buah luka memanjang.
Tahu-tahu Bu Sam-sian sudah menarik balik
pedangnya disusul melancarkan sebuah serangan lagi.
Semua gerakan nyaris dilakukan hampir bersamaan
waktu. Lagi-lagi sebuah serangan pedang, tiga tusukan,
enam kuntum bunga pedang, yang ditusuk pun dada
sebelah kiri Nyoo Cing.
Kali ini Nyoo Cing sudah membuat persiapan, kaki
kanannya sedikit menekuk, tubuhnya mengigos dari
samping kanan sementara tangan kirinya diangkat
melakukan tangkapan ke udara. Ternyata dia berusaha
merebut pedang itu dengan tangan kosong.
Begitu jari tangannya menggenggam, darah pun
bercucuran melalui sela jari tangannya dan menetes
dari ujung pedang.
Bu Sam-sian nampak sangat terkesiap, dia tidak
menyangka ada manusia semacam ini dikolong langit,
merampas pedang tajam dengan tangan kosong"
Ketika tangan kirinya mencengkeram pedang, tinju di
tangan kanannya sudah disodokkan ke muka.
Belum sempat Bu Sam-sian melakukan reaksi, tiba-tiba
terdengar suara tulang yang hancur terkena bogem
mentah. Suara tulang retak itu berasal dari tulang hidungnya.
Menyusul kemudian diapun menyaksikan cucuran darah
segar menyembur keluar dari bawah matanya dan
memercik ke empat penjuru.
Akhirnya dia merasakan juga bagaimana rasanya
darah segar, darah yang bercucuran dari tubuh sendiri.
Tulang hidungnya telah hancur, meski tidak sampai
mencabut nyawanya namun dia sudah tidak sanggup
bangkit berdiri lagi.
Bukan saja bogem mentah itu sudah menghancurkan
tulang hidungnya, menghancurkan pula rasa percaya
diri serta semangat tempurnya yang semula berkobar
kobar. Matahari sudah bersinar terang, hawa hangat telah
menyelimuti udara, namun Bu Sam-sian merasa sangat
kedinginan, dia merasa hawa dingin telah merasuk
hingga ke tulang sumsumnya.
Berhasil dengan serangan pertamanya, Nyoo Cing
tidak melanjutkan dengan serangan berikut, dia hanya
mengawasi Bu Sam-sian dengan pandangan dingin.
"Pulang dan beritahu Ti Cing-ling, tidak perlu
menunggu satu tahun lagi, setiap saat aku sudah
menantikan kedatangannya."
Tempat pertemuan adalah rumah kayu diluar hutan
Bwee. Walaupun rumah itu sudah dibangun kembali, namun
kenangan masa lalu telah musnah.
Kepala pusing. Kepala yang amat pening menyadarkan Cong Hoa
dari pingsannya, dia seakan baru sadar dari mabuk
berat, kepalanya terasa pening, mulutnya kering dan
lidahnya seperti terbakar.
Dia mencoba meraba kepalanya, tapi segera sadar
kalau tubuhnya sudah diikat orang, terikat diatas sebuah
bangku. Dia mencoba mengerdipkan matanya sambil
memperhatikan sekeliling tempat itu, segera dijumpai
ada dua orang lain mengalami nasib yang sama seperti
dirinya, terikat diatas bangku.
Bangku itu terbuat dari bambu, bahkan dinding
rumah pun terbuat dari batang bambu.
Berada di manakah dia"
Baru saja Cong Hoa hendak bertanya, tiba-tiba
terdengar seseorang berkata/Tempat inilah rumah
bambu!" Kedengaran jelas, suara itu berasal dari Tay Thian.
Cong Hoa pun menengok ke arah Tay Thian yang
terikat di bangku sebelah kanan.
"Darimana kau tahu?" serunya.
"Karena hampir saja dia mampus disini!"
Suara itu berasal dari Ui sauya yang berada disisi
kirinya. "Jadi kalian sudah sadar semua?"
Tay Thian dan Ui sauya mengalami nasib sama seperti
Cong Hoa, terikat diatas bangku bambu.
Di dalam rumah bambu itu hanya ada mereka
bertiga. "Kelihatannya kita dikirim kemari pada saat tidak
sadarkan diri," kata Cong Hoa.
"Kemana perginya Hong Coan-sin?" tanya ui sauya,
"Kenapa dia mengirim kita ke tempat ini?"
"Kenapa lagi" Tentu saja akan memberi pelayanan
sebaik-baiknya kepada kita semua!" seru Cong Hoa
tertawa. "Tepat sekali!" berbareng dengan bergemanya
ucapan tersebut tampak seseorang munculkan diri.
Dia masih mengenakan pakaian yang sama, dia
masih memiliki kecantikan yang sama, dia pun masih
bertingkah laku aneh, mengenakan pakaian yang
terbelah dua, satu sisi berpakaian, sisi yang lain telanjang
bulat. Budak darah dengan membawa suara tertawanya
yang merdu bagai keleningan berjalan masuk ke dalam
ruangan. Menyaksikan dandanan yang dikenakan perempuan
itu, tidak kuasa Cong Hoa menghela napas panjang.
"Kalau di musim dingin pun kau mengenakan pakaian
cara begini, bagaimana kalau di musim panas?"
"Kalau musim panas tentu saja telanjang bulat,"
sambung Ui sauya sambil tertawa, "Selain sejuk juga irit,
sekali raih mendapat dua."
"Biasanya aku tidak berpakaian bila berada dalam
satu keadaan," ujar budak darah.
"Keadaan apa?"
"Diatas ranjang," jawab budak darah genit, "Lagipula
biasanya disaat sedang berduaan."
"Sewaktu diatas ranjang, biasanya aku pun suka
telanjang bulat," kata Ui sauya cepat, "Tapi kalau
sedang berduaan, bukan saja aku akan berpakaian
bahkan akan mengenakan pakaian lebih banyak
banyak dan lebih rapi."
"Itulah sebabnya sampai hari ini masih belum ada
perempuan yang mau denganmu," tukas budak darah
sambil menghela napas panjang.
Ucapan tersebut bagaikan sebatang jarum tajam
yang menusuk hati Ui sauya.
Tapi hanya sejenak dia tertegun menyusul kemudian
dia pun tertawa terbahak-bahak, bukan saja suara
tertawanya tidak sedap didengar, bahkan jauh lebih
mengenaskan daripada suara tangisan.
"Kemana perginya Hong Coan-sin?" agaknya Tay
Thian pun mengetahui keadaan Ui sauya yang sedang
dibikin malu, buru-buru dia mengalihkan pokok
pembicaraan ke soal lain, "Kenapa dia tidak berani
datang menjumpai kami?"
"Dia sedang mempersiapkan peralatan untuk
menjamu kalian dengan sebaik-baiknya, tanggung
jamuan yang bakal dia berikan akan sulit dilupakan
untuk selamanya, bahkan setelah itu kalian bertiga pun
tidak pernah akan berpisah lagi."
"Tidak pernah akan berpisah lagi" Apa maksudmu?"
tanya Cong Hoa.
"Asal sudah menyaksikan benda yang kutunjukkan,
kalian pasti mengerti!"
Budak darah tertawa makin jalang, tiba-tiba dia
bertepuk tangan tiga kali.
Tidak lama kemudian, Cong Hoa sekalian pun
menyaksikan seseorang berjalan masuk ke dalam
ruangan. Tapi begitu menyaksikan orang itu, mereka
semua segera terbelalak dengan perasaan tertegun.
Orang itu mempunyai sepasang mata yang besar,
wajahnya menampilkan kekerasan hatinya yang kuat,
hidungnya mancung dan bibir mulutnya tebal. Ternyata
orang itu adalah Nyoo Cing.
Tidak tepat, seharusnya dibilang mirip Nyoo Cing,
khususnya Nyoo Cing pada dua puluh tahun berselang.
Begitu menyaksikan wajah orang itu, Cong Hoa
segera merasakan hatinya bergidik, tanpa sadar bulu
romanya pada bangkit berdiri.
Rupanya raut wajah orang itu dipenuhi dengan bekas
jahitan yang malang melintang, jahitannya tidak
berbeda dengan bekas jahitan diatas pakaian.
Aneh sekali, kenapa wajah orang itu bisa muncul
begitu banyak bekas jahitan"
Mengapa orang ini bisa memiliki wajah yang mirip
sekali dengan Nyoo Cing"
"Kalian terperanjat bukan?" ujar budak darah sambil
tertawa terkekeh.
"Si.... siapa orang ini?" tanya Cong Hoa.
"Dia bukan satu, melainkan lima orang," budak darah
menjelaskan. "Lima orang?"
"Benar, dia terbentuk dari penggabungan lima
orang." "Penggabungan lima orang?" gumam Tay Thian.
"Tepat sekali, dari tubuh lima orang diambil bagian
tubuh yang berbeda, kemudian setelah melalui
semacam tehnik yang canggih digabungkan kembali di
tubuh orang ini, maka terbentuklah sebuah wujud
manusia yang berbeda."
Setelah berhenti sejenak, sambil menatap ketiga
orang itu kembali budak darah melanjutkan, "Dia baru
contoh produk kami yang pertama!"
"Contoh produk?" tanya Ui sauya.
"Ehmm!" budak darah mengangguk.
"Berarti benda yang di produk sesungguhnya lebih
mirip.... lebih mirip dengan Nyoo Cing?" tanya Tay Thian.
"Bukan mirip lagi, boleh dibilang bagai pinang
dibelah dua."
Mendadak Tay Thian teringat akan satu peristiwa
yang menyeramkan, meski penampilannya masih tetap
biasa dan berusaha tenang, namun suaranya sudah
kedengaran agak gemetar.
"Apakah kalian akan suruh dia untuk.....untuk
menggantikan Nyoo Cing?"
"Bukan menggantikan, tapi dialah Nyoo Cing," ujar
budak darah dengan bangganya.
"Lantas bagaimana dengan Nyoo Cing yang asli?"
tanya Ui sauya.
"Lenyap."
"Lenyap" Apa maksudnya lenyap?"
"Lenyap itu artinya sudah tidak ada lagi, setelah Nyoo
Cing produk baru diciptakan, tentu saja Nyoo Cing yang
asli harus dimusnahkan."
"Hmm, aku rasa tidak segampang itu untuk
memusnahkan dirinya," sela Cong Hoa.
Budak darah hanya tertawa dingin.
Kadangkala tertawa dingin menandakan kalau
pandangannya berbeda.
"Walaupun kalian dapat menciptakan seorang Nyoo
Cing yang persis bagai pinang dibelah dua, sayang
tetap masih ada satu kelemahan," kata Tay Thian,
"Bagaimana dengan ilmu silatnya" Masa dia pun bisa
menguasai jurus maut kait perpisahan yang tidak pernah
diwariskan kepada siapa pun?"
"Jika dikolong langit terdapat seseorang yang sang.it
memahami Nyoo Cing, bisa ditebak siapakah dia?"
tanya budak darah.
.....Musuh bebuyutan.
Hanya musuh bebuyutan yang berusaha untuk
memahami dan mendalami segala sesuatu yang dimiliki
lawannya. Hampir pada saat yang bersamaan Cong Hoa, Tay
Thian serta Ui sauya teringat akan seseorang.
"Ti Cing-ling?" serunya serentak.
"Benar, meskipun dia tidak menguasai jurus kait
perpisahan sepenuhnya, namun baginya sudah melebihi
dari cukup," ujar budak darah sambil tertawa,
"Bayangkan saja, siapa sih orang di dunia ini yang tidak
jemu-jemunya pergi mencari Nyoo Cing dan
mengajaknya berduel tanpa sebab yang jelas?"
Angin dingin berhembus lewat, mengalir masuk
melalui celah celah bambu dan meniup ditubuh Cong
Hoa bertiga. Tanpa terasa mereka semua bergidik, bulu roma


Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pada bangkit berdiri.
"Tadi kau bilang akan membuat kami bertiga tidak
pernah berpisah lagi, apakah akan kau gunakan bagian
tubuh kami untuk dilebur ke dalam tubuh tuan Nyoo
Cing tersebut?" tanya Cong Hoa.
"Bukan."
"Lalu kami bertiga akan dilebur menjadi siapa?"
"Tay Thian!" jawab budak darah sambil berpaling ke
arah Tay Thian.
"Tay Thian?" Cong Hoa merasa sedikit terkejut, "Disini
sudah hadir Tay Thian yang asli, buat apa kalian
membentuk lagi Tay Thian baru?"
"Sebab Tay Thian yang ini tidak mau menuruti
perintah kami, bukan begitu?" kata budak darah,
"Sekalipun kami menguasai tehnik membentuk produk
baru, tapi kemampuan kami baru terbatas pada
penampilan, sementara pikiran dan tingkah lakunya
masih belum berhasil kami kuasai."
"Oleh sebab itu kalian harus mencari seseorang yang
dapat dikendalikan untuk menjadi bonekamu semua?"
"Benar."
"Siapa yang menjadi bonekanya Nyoo Cing?"
"Biar kusebut namanya, kalian juga tidak kenal!"
"Lalu siapa yang menjadi bonekanya Tay Thian?"
"Sahabat karib kalian semua."
"Sahabat karib?" Cong Hoa tertawa, "Masa kami
mempunyai sahabat karib yang begitu tidak tahu
malu?" Sekali lagi budak darah tertawa dingin, kadangkala
tertawa dingin pun melambangkan pengakuan, dia
bertepuk tangan perlahan.
Ketika menyaksikan orang yang muncul kali ini, mau
tidak mau Cong Hoa harus merasa amat terperanjat,
diawasinya orang itu dengan mata terbelalak lebar.
"Ternyata kau?" serunya.
"Betul, memang aku," orang itu tertawa, namun dari
kerutan bekas lukanya yang melintang diatas alis mata,
dia kelihatan sedang tertawa dingin.
Bertemu dengan orang itu, Tay Thian sama sekali tidak
menampilkan mimik muka kaget, dia hanya mendengus
dengan nada menghina.
Sebaliknya Ui sauya langsung berteriak keras,
andaikata kaki dan tangannya bisa bergerak bebas,
mungkin dia sudah menyerbu ke hadapan orang itu,
menempelengnya berulang kali kemudian membanting
tubuhnya didepan Cong Hoa, memaksanya berlutut
dan minta maaf kepadanya.
"Gara-gara kau, nyaris Cong Hoa tidak bisa
mempertanggung jawabkan diri kepada Nyoo Cing,
gara-garamu, dia tidak segan bermusuhan dengan
perkumpulan Cing Liong Hwee, demi kau, dia sempat
sedih karena mengira kau sudah mampus, siapa sangka
bukan saja kau masih hidup segar bugar, bahkan malah
bergabung dengan perkumpulan naga hijau!" umpat Ui
sauya gusar. "Dia memang anggota perkumpulan Cing Liong
Hwee!" sela Tay Thian.
"Apa" Kalau dia memang anggota perkumpulan
Cing Liong Hwee, kenapa masih meminta Cong Hoa
untuk membawanya pergi?"
"Walaupun kita jelas mengetahui kalau dia adalah
anggota Cing Liong Hwee, namun sama sekali tidak
punya bukti, lagipula masa tahanannya juga segera
akan berakhir," kata Tay Thian, "Oleh sebab itu kita
berlagak seolah-olah masuk perangkap dengan
membiarkan Cong Hoa membawanya pergi,
maksudnya menggunakan kesempatan ini kita mencari
tahu markas perkumpulan Cing Liong Hwee, siapa
tahu..." "Siapa tahu setibanya di kota Say-cu-tin mendadak
dia lenyap," sela Cong Hoa sedikit agak mendongkol.
"Yaa, kami tidak menyangka kalau perkumpulan Cing
Liong Hwee akan memainkan sandiwara tersebut di kota
Say-cu-tin," tiada nada menyesal dibalik perkataan Tay
Thian. "Masih banyak urusan yang kalian tidak duga!" seru
Cong Hoa, "Tahukah kau, gara-gara perbuatan kalian,
nyaris aku ikut kehilangan nyawa. Hmm, coba aku tidak
dilibatkan dalam urusan ini, mungkin saat ini aku sedang
berbaring sambil minum arak."
"Atau mungkin juga kau sudah terperosok dalam
keadaan berbahaya lainnya," sambung Ui sauya.
Apa yang diucapkan memang ada benarnya juga,
Cong Hoa bukan orang yang bisa duduk tenang, dia usil
dan suka mencampuri urusan orang lain, kalau disuruh
berdiam diri didalam rumah, belum sampai tiga hari
mungkin dia sudah gila.
Maka setelah mendengar perkataan Ui sauya itu,
perasaan hatinya terasa agak tenang kembali.
Ternyata orang yang munculkan diri itu tidak lain
adalah Cong Hui-miat.
Dengan penuh rasa bangga dia awasi Cong Hoa
ribut dengan Tay Thian berdua, apalagi pokok persoalan
yang sedang diributkan adalah masalah yang
menyangkut dia.
Menyaksikan rasa bangga yang ditampilkan Cong
Hui-miat, tanpa terasa Cong Hoa teringat kembali
dengan Lo Kay-sian, terbayang pula akan Cong Poanlong
beserta rahasia manusia mummi nya.
"Cong Hui-miat adalah anggota perkumpulan Cing
Liong Hwee, lantas bagaimana dengan ayahnya, Cong
Poan-long?" tanya Cong Hoa.
Kali ini yang menjawab ternyata bukan Tay Thian.
"Bila dia tidak keras kepala dan tidak tahu diri, tidak
nanti nasibnya akan begitu tragis," ujar Cong Hui-miat
tawar. "Jadi kau yang membunuhnya dan membawa lari
rahasia tentang manusia mummi?" dengan perasaan
terkejut Cong Hoa menatap ke arahnya.
Yang menjawab kali ini ternyata bukan Cong Huimiat.
"Bukan dia, tapi aku!" sambil menjawab Hong Coansin
munculkan diri dari balik ruangan.
Berjumpa dengan pembunuh orang tuanya ternyata
Cong Hui-miat tidak menunjukan sikap apapun, Cong
Hoa mulai menaruh curiga terhadap orang ini,
sebetulnya dia masih terhitung manusia atau bukan"
"Dia adalah pembunuh ayahmu, masa kau sama
sekali tidak bereaksi?" tegur Cong Hoa.
"Dalam organisasi Cing Liong Hwee, yang berlaku
hanya perintah, sama sekali tidak mengenal perasaan,"
Cong Hui-miat bicara tanpa emosi.
"Waah mending jadi seekor anjing ketimbang jadi
kaki tangan organisasi Cing Liong Hwee, paling tidak bila
anjingnya mampus, majikannya akan berusaha untuk
menguburnya."
Tampaknya Cong Hoa sudah mulai muak
menyaksikan wajah orang ini, dia berpaling
memandang kearah Hong Coan-sin, kemudian ujarnya
lebih lanjut, "Jadi kau berencana melebur tubuh kami
bertiga ke dalam tubuh orang... orang itu?"
Tampaknya sedemikian muak Cong Hoa terhadap
orang itu sehingga untuk menyebutkan namanya saja
segan. "Benar."
"Aku boleh memohon satu hal?"
"Soal apa?"
"Lebih baik bunuhlah aku kemudian buang mayatku
ke hutan biar dimakan anjing!"
"Jadi kau lebih ikhlas tubuhmu dimakan anjing liar
daripada membiarkan bagian tubuhmu menempel
diatas tubuhnya?"
"Benar."
Hong Coan-sin segera tertawa terbahak-bahak,
sambil tertawa dia menepuk bahu Cong Hui-miat
berulang kali. "Tampaknya kau memang tidak malu menjadi
Tongcu cap-ji-gwee dari perkumpulan Cing Liong
Hwee!" serunya.
"Dia adalah Tongcu bulan dua belas?" tanya Ui
Sauya. "Benar."
"Dalam perkumpulan Cing Liong Hwee terdapat dua
belas orang tongcu, tongcu cia-gwee bertanggung
jawab mencari target, tongcu ji-gwee bertugas
penyusupan, tongcu sa-gwee.."
"Tongcu sa-gwee bertanggung jawab
menyampaikan berita, Si-gwee bertanggung jawab
masalah sumber dana, Go-gwee bertanggung jawab
soal hukuman, Lak-gwee bertanggung jawab soal
pelatihan, jit-gwee soal perencanaan, peh-gwee, kaugwee,
cap-gwee bertanggung jawab dalam aksi, cap-it
gwee bertanggung jawab soal pembersihan, siapa yang
berkhianat dialah yang harus melakukan pembersihan,
sedang cap-ji gwee bertanggung jawab soal
pembokongan, jika ada target yang tidak boleh
diumumkan secara terbuka, cap-ji gweelah yang
bertanggung jawab melenyapkannya secara diamdiam."
"Waah, kalau begitu tongcu cap-ji gwee adakan
tongcu tukang membokong?"
"Benar," kali ini yang menjawab adalah budak darah,
"Bukan saja dia adalah tongcu cap-ji gwee, diapun
menjabat sebagai tongcu lakgwee yang bertanggung
jawab soal pelatihan."
"Kalau begitu dia satu orang merangkap dua
jabatan" Imbalannya tentu dobel juga?"
"Benar, Cing Liong Hwee tidak pernah pelit soal
imbalan." "Dia telah membunuh ayahnya sendiri Cong Poanlong,
untuk jasanya itu apakah diapun mendapat
imbalan?" tanya Ui sauya sambil melirik sinis ke arah
Cong Hui-miat. Dia sama sekali tidak menjadi gusar, malah senyuman
masih menghiasi wajahnya.
Cong Hoa mau tidak mau harus kagum juga
terhadap orang ini, sekalipun sedang berhadapan muka
dengan pembunuh ayahnya, dia masih bisa
menghadapinya sambil tertawa.
"Sebenarnya aku ingin menjamu kalian secara baikbaik,
sayang waktunya sudah tidak sempat lagi!"
terdengar Hong Coan-sin berkata.
"Kalau begitu kami sudah tidak disukai disini" Kalian
ingin cepat cepat suruh kami gelinding pergi?"
Terhadap sindiran semacam ini, Hong Coan-sin sama
sekali tidak menanggapi, dari meja dia menuang tiga
cawan arak. "Satu jam sebelum melakukan pembedahan, perut
harus dibiarkan kosong," kata Hong Coan-sin lagi, "Tapi
untuk menghindari perut kalian keroncongan dan
gelisah dalam penantian, maka sudah kusiapkan sejenis
arak yang bisa membuat kalian tertidur sangat pulas."
"Arak yang barusan kau tuang ke dalam tiga cawan
itu?" tanya Tay Thian.
"Benar."
"Setelah meneguknya, kami tidak pernah akan
mendusin lagi?" tanya Ui sauya.
"Ooh tidak, aku pasti akan memberi kesempatan
kepada kalian untuk menyaksikan dengan mata kepala
sendiri bagaimana aku melebur tubuh kalian bertiga
kedalam tubuhnya."
"Menyaksikan bagian tubuh kami dipisah lalu dilebur
ke dalam tubuh Cong Hui-miat?" tanya Cong Hoa.
"Benar."
"Aku boleh menolak untuk minum?" tiba-tiba Ui sauya
bertanya. Tentu saja tidak boleh. Maka mereka bertiga pun
terpaksa harus meneguk habis isi ketiga cawan arak itu.
Kini arak sudah mengalir ke dalam perut, mungkinkah
saat kematian sudah semakin mendekat"
Lagi-lagi kasih yang tidak berdaya.
Berjalan menuju ke tengah hutan, perasaan kecut
dan sedih kembali mencekam perasaan Nyoo Cing.
Bunga bwee harum semerbak, cahaya matahari
memancar masuk melalui sela sela dedaunan, cahaya
yang terang menyinari permukaan tanah yang becek.
Bangunan rumah kayu itu sudah dibangun kembali,
tapi perasaan sedih tidak pernah sirna dari dalam
hatinya. Dia mendorong pintu dan berjalan masuk, tirai
jendela dibuka lebar, membiarkan angin dan cahaya
matahari menyusup masuk ke balik ruangannya yang
lembab. Nyoo Cing sudah cukup lama duduk ditepi meja,
duduk sambil melamunkan si "dia" yang entah berada
dimana. Lama kemudian, akhirnya dia berpaling mengawasi
selembar papan yang tergeletak disudut ruangan.
..... Dibawah papan, tertanam sebuah peti besi yang
telah berkarat.
Dia berjalan menghampiri, perlahan-lahan
berjongkok. Meskipun dia tahu dibawah tanah mustahil
akan muncul lagi sebuah peti besi yang berkarat,
namun tidak tahan dibukanya juga papan kayu itu.
BAB 5. Ketika papan disingkap, Nyoo Cing segera
menjumpai sebuah peti besi yang telah berkarat
tertanam disana.
Peti besi itu sangat dikenalnya, karena memang
miliknya. ..... Mengapa peti besi itu bisa muncul dari situ"
Apakah didalamnya masih berisi kait perpisahan"


Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Didalam peti besi itu tidak ada kait perpisahan, yang
ada hanya seikat rambut manusia.
Rambut itu hanya rambut yang sangat biasa,
berwarna hitam, panjang, tidak harum pun tidak bau,
sama persis seperti rambut manusia pada umumnya.
Tapi Nyoo Cing memandang rambut itu dengan
termangu. ..... Sebenarnya apa keistimewaan rambut itu"
Tidak terlihat, siapa pun tidak dapat membedakan.
Wajah Nyoo Cing bertambah berat, sepasang
matanya mulai memerah.
Selama hidup belum pernah dia bersikap demikian,
biar sedang mabuk beratpun sepasang matanya tetap
memancarkan sinar tajam.
"Rambut itu panjang sekali, pasti rambut seorang
wanita." Kesimpulan ini tentu saja betul dan Nyoo Cing yakin
analisanya tidak bakal keliru, sebab rambut seorang pria
jarang yang dipelihara sepanjang itu.
"Bagaimana pun, benda itu tidak lebih hanya berapa
ikat rambut, apa istimewanya?"
Suara itu muncul secara tiba-tiba dari belakang Nyoo
Cing, jelas suara seorang wanita.
Nyoo Cing sama sekali tidak kaget, seakan dia sudah
tahu siapakah perempuan itu dan mengapa dia bisa
sampai di tempat tersebut.
"Ada keistimewaannya," dia menjawab tanpa
berpaling. "Apa keistimewaannya?"
"Aneh, bahkan sangat aneh," ujar Nyoo Cing masih
mengawasi rambut itu.
"Bagian mana yang aneh?"
"Banyak sekali, umpama kenapa rambut itu bisa
berada dalam peti besiku, kenapa peti besi itu bisa
muncul lagi disini" Siapa yang meletakkannya disitu"
Apa maksud tujuannya berbuat begitu?"
Agaknya perempuan itu sempat tertegun, akhirnya
tanpa mengucapkan sepatah katapun dia berjalan
menuju ke hadapan Nyoo Cing dan duduk, sementara
sorot matanya yang bening mengawasi lelaki itu lekat
lekat. Ternyata gadis itu tidak lain adalah si nona hitam,
Hek-niu. Nona hitam ikut memperhatikan ikatan rambut diatas
meja, sekali lagi dia menghela napas panjang.
"Bila tebakanku tidak meleset, seharusnya benda ini
adalah hasil karya Ti Cing-ling," tiba-tiba Nyoo Cing
mendongakkan kepalanya dan memandang nona itu.
"Ti Cing-ling" Mengapa dia berbuat begitu?"
"Tujuannya agar aku melihat rambut tersebut."
"Tapi apa istimewanya rambut itu" Biar sudah
dilihatpun tidak akan bereaksi apa-apa" Tindakannya ini
bukan sangat lucu dan menggelikan?"
Meskipun bicara begitu namun dalam hatinya sudah
timbul perasaan tidak beres, dia tahu persoalan tidak
mungkin sesederhana itu.
Manusia macam Ti Cing-ling tidak nanti akan
melakukan perbuatan yang menggelikan.
"Aku melepaskan Bu Sam-sian dalam keadaan hidup,
tujuannya adalah agar Ti Cing-ling tahu kalau aku
sedang menunggunya disini," ujar Nyoo Cing, "Sekalipun
Bu Sam-sian tidak menyampaikan berita ini kepadanya,
diapun pasti sudah menduga kalau aku bakal datang
kemari, itulah sebabnya dia siapkan dulu peti besi ini
dibawah papan kayu."
Nona hitam mengawasi Nyoo Cing berapa saat,
mendadak seperti teringat akan sesuatu, tanyanya
dengan suara gemetar, "Berarti kau sudah tahu rambut
siapakah itu?"
Nyoo Cing termenung, lama kemudian dia baru
menghela napas panjang.
"Yaa, aku tahu."
"Apakah kau yakin?"
"Aku..."
"Kau tidak yakin bukan?" seru nona hitam.
Kemudian tanpa menanti Nyoo Cing buka suara, dia
berkata lebih jauh, "Ti Cing-ling sengaja berbuat begitu
karena dia ingin kau mengira rambut itu adalah rambut
milik Lu Siok-bun, dia berharap kau mengira Lu Siok-bun
sudah terjatuh ke tangannya, agar perasaanmu tidak
tenang, agar dia memiliki kesempatan untuk
membunuhmu."
Nada suara nona hitam agak emosi, dia menatap
lelaki itu tanpa berkedip.
Setelah berhenti sejenak, katanya lagi, "Kenapa kau
mesti tertipu" Seandainya nona Lu benar-benar terjatuh
ke tangannya, kenapa dia tidak langsung tunjukkan
dihadapanmu kemudian memaksa kau untuk menuruti
kehendaknya?"
"Mungkin orang lain akan berbuat begitu, tapi dia
tidak akan," kata Nyoo Cing sambil menghela napas,
"Sebab dia tidak boleh berbuat begitu."
"Kenapa dia tidak boleh berbuat begitu?"
"Karena dia adalah Ti Cing-ling!"
Bila umat persilatan mengetahui kalau Ti Cing-ling
menggunakan cara semacam itu untuk meraih
kemenangan, mungkin dia akan dipermalukan oleh
seluruh manusia di dunia ini.
"Tapi sekarang dia tidak mengatakan apa pun, dia
tidak lebih hanya memperlihatkan seutas rambut saja,"
kata nona hitam.
"Justru disinilah letak kehebatan dan kelicikannya."
"Bisa saja rambut itu bukan miliknya."
"Bisa bukan, bisa benar," Nyoo Cing mencoba
menerawang angkasa diluar jendela sana, "Siapa pun
tidak bisa meyakini mana yang benar."
"Bila kau tidak menggubrisnya sama sekali, bila kau
tidak menganggapnya sebagai sebuah persoalan dan
bila kau berlagak seolah-olah tidak melihat, maka jerih
payahnya akan mengalami gagal total."
"Tapi sayang aku telah melihatnya."
"Justru karena dia tidak mengatakan apa-apa maka
kau jadi curiga, sebab dia sudah memperhitungkan
secara tepat kalau kau bakal curiga, maka dari itu dia
berbuat begini!" seru nona hitam, "Kaupun sudah
mengetahui dengan jelas maksud tujuannya, tapi
mengapa kau tetap nekad untuk masuk ke dalam
perangkapnya?"
"Begitulah kejadian di dunia ini," Nyoo Cing tertawa
hambar, "Ada sementara persoalan, walaupun sadar
sudah tertipu namun kau tetap melakukannya."
"Sekarang kau sudah curiga kalau rambut itu milik
nona Lu, itulah sebabnya pikiranmu kalut, bila saat ini
harus bertarung melawan seseorang, biar kungfu
musuhmu lebih rendah pun, kau tetap akan kalah
ditangannya."
Sekalipun harus kalah, apa yang bisa dia lakukan"
Tujuan Ti Cing-ling memang ingin membuat pikiran
Nyoo Cing kalut, terlepas dia mau percaya atau tidak,
selama Nyoo Cing mulai memikirkan persoalan itu maka
tujuan Ti Cing-ling boleh dianggap sudah tercapai.
Bagaimana mungkin Nyoo Cing tidak memikirkannya"
Perempuan itu memang merupakan sosok bayangan
yang diimpikan siang malam, bagaimana mungkin dia
dapat melupakannya"
Sekalipun dia tahu dengan pasti bahwa rambut itu
bukan miliknya, tidak urung pikiran dan perasaannya
kalut juga dibuatnya.
Karena Ti Cing-ling telah berhasil mencongkel keluar
perasaan hati Nyoo Cing yang sebenarnya, sebab Ti
Cing-ling telah membuatnya teringat dan terbayang
kembali perempuan impiannya itu.
Sebuah bilik batu, sebuah meja batu, seorang Ti Cingling
dan seorang wanita berbaju putih.
Diatas meja batu tersedia arak.
Perlahan-lahan Ti Cing-ling menghirup satu tegukan
arak, kemudian sambil menga-wasi perempuan berbaju
putih itu, ujarnya perlahan, "Persoalannya bukan terletak
pada rambut siapakah itu, melainkan pada Nyoo Cing
adalah manusia macam apa?"
Perempuan berbaju putih itu tetap membungkam.
"Siasat ini memang khusus dirancang untuk
menghadapi Nyoo Cing," kembali Ti Cing-ling berkata
sambil tertawa, "Seandainya digunakan pada orang
lain, mungkin siasat tersebut sama sekali tidak ada
gunanya, sebab orang lain tidak bakal berpikir terlalu
banyak, terlalu jauh."
Ditatapnya perempuan itu dalam dalam, kemudian
terusnya, "Sebab orang lain tidak akan romantis macam
dia." Nyoo Cing masih duduk dengan tenang, sorot
matanya mulai bergeser dari rambut diatas meja ke luar
jendela sana. "Kau pasti sedang merindukannya?" nona hitam
berbisik. Nyoo Cing tetap tidak menjawab, terkadang tidak
menjawab itu berarti sedang menjawab.
"Tentu saja kau harus memikirkannya," nona hitam
mewakilinya menjawab, "sebab kalau tidak
memikirkannya, kau akan lebih sedih, lebih tersiksa
ketimbang memikirkannya."
Ditatapnya wajah lelaki itu lekat lekat, kemudian
tambahnya, "Sebab kau kelewat romantis!" Kadangkala
orang yang kelewat romantis, kelewat perasaan pun
merupakan orang yang tak berperasaan, sebab bila
rasa cinta sudah mencapai pada puncaknya maka
perasaan itu akan berubah jadi tak berperasaan.
Tampaknya Ti Cing-ling sudah melupakan akan hal ini,
tapi dengan kecerdasannya dia pasti akan mengetahui
kesalahannya itu, mungkin bukan hari ini, bukan hari
esok, bukankah masih ada hari lusa dan hari yang lebih
lama lagi"
"Satu hari dia tidak muncul, pikiranmu akan kalut
selama satu hari, sepuluh hari tidak muncul, pikiranmu
akan kalut selama sepuluh hari," nona hitam menghela
napas panjang, "semakin dia mengulur waktu, pikiranmu
semakin kalut, makin resah, aku lihat siapa menang
siapa kalah dalam pertarungan ini sudah jelas
terpampang."
Nyoo Cing termenung lama sekali, tapi akhirnya ia
berkata juga, "Tapi ada sementara persoalan, walaupun
kau sadar tak dapat melakukannya, tapi kau toch
melakukannya juga."
"Memangnya dia teramat penting bagimu"
Sedemikian pentingnya hingga jauh lebih berharga dari
nyawamu sendiri?" tanya nona hitam.
Sepasang mata nona hitam kelihatan mulai basah,
basah oleh air mata.
Tapi aneh, mengapa dia bisa begitu"
"Dalam pikiranmu, apakah tiada orang lain yang bisa
menggantikannya?"
Kembali Nyoo Cing termenung, termenung sampai
lama sekali, kemudian dia baru mendongakkan
kepalanya, menatap tajam perempuan itu.
Tapi buru buru nona hitam menghindari sorot
matanya. "Aku hanya berharap kau memahami akan satu hal,"
sepatah demi sepatah Nyoo Cing berkata, "seandainya
kau berganti jadi aku, aku yakin kaupun akan berbuat
demikian, bila dia berganti kau, akupun akan bersikap
demikian terhadapmu."
Nona hitam tidak bergerak, dia seakan sama sekali
tidak mendengar perkataan itu, namun air matanya
telah jatuh bercucuran.
Kedua orang itu saling berhadapan dengan mulut
membungkam, entah berapa lama sudah lewat seolah
sudah melebihi sepuluh tahun, akhirnya nona hitam
buka suara terlebih dulu, katanya, "Ketika berkenalan
denganmu waktu itu, aku masih berumur dua belas
tahun, pertama kali berjumpa dengan kau di tempat ini.
Hari itu sama dinginnya seperti hari ini, aku bersembunyi
dibalik pintu sambil berdiri menggigil, ketika malam
semakin larut, udara semakin dingin, tubuhku makin
lama semakin membeku, namun angin yang menusuk
tulang tanpa perasaan menyusup terus melalui
pakaianku yang tipis, waktu itu aku benar benar
membenci langit dan bumi, membenci semua manusia
yang ada di dunia ini, membenci diriku sendiri, mengapa
hidup sebagai seorang anak yatim piatu, mengapa
musim dingin selalu begitu menggigil..."
Suaranya seolah datang dari balik angkasa yang
membeku, dingin dan menyakitkan.
"Saat itulah kau muncul dihadapanku, muncul
bagaikan pangeran berkuda putih dalam cerita
dongeng," lanjut nona hitam setengah bergumam, "Kau
mengajakku masuk kemari, melepaskan jubah luarmu
dan kau kenakan ditubuhku yang menggigil, kemudian
kaupun serahkan hidangan malammu yang paling lezat
untuk mengisi perutku yang lapar....."
Akhirnya gadis itu berpaling, mendongakkan
kepalanya dan menggunakan sorot mata yang penuh
kemesrahan menatap lelaki dihadapannya.
"Sejak saat itu kau selalu muncul dalam impianku,"
gadis itu melanjutkan, "Lima tahun kemudian, suatu hari
kau berkata kepadaku bahwa seorang musuh
tangguhmu telah melarikan diri dari dalam penjara,
kemungkinan besar setiap saat orang itu akan datang
mencarimu untuk menuntut balas, bila dia muncul maka
pertempuran sengit tak terhindarkan, kaupun bertanya
kepadaku, bersediakah melakukan satu tugas
deminya?"

Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tentu saja nona hitam menyanggupinya.
"Kau suruh aku meninggalkan tempat itu, minta aku
membuka toko dan menjual sesuatu," kata si nona lebih
jauh, "Kemudian kaupun memberitahukan sejumlah kata
sandi, bila suatu hari ada orang mengucapkan kata
sandi tersebut maka kau suruh aku membunuh orang
tersebut seketika, kemudian datang kemari untuk
menunggu kau, sebab saat itu pasti menyangkut soal
mati hidupmu."
Pancaran sinar minta maaf mencorong keluar dari
balik mata Nyoo Cing.
"Setiap malam aku selalu berdoa, minta kepada
Thian agar hari semacam ini jangan pernah datang!"
bekas air mata belum mengering dari wajah nona hitam,
"Kemarin, sewaktu gadis itu datang ke tempatku, waktu
itu aku benar-benar amat cemas, ingin sekali aku segera
menyusul kemari untuk membantumu, setelah
menunggumu seharian, tidak disangka akhirnya yang
kusaksikan adalah sikapmu seperti saat ini."
Nyoo Cing tidak berbicara, dia memang tidak tahu
harus bicara apa, berhadapan dengan nona hitam,
berhadapan dengan cinta kasihnya yang tulus, dia
merasa pikirannya semakin kalut.
Bila seorang wanita betul-betul mencintai seorang
lelaki, dia selalu berharap dirinya menjadi satusatunya
wanita yang berada dalam benaknya, dia tidak
akan mengijinkan pihak ketiga menyusul masuk ke
dalam kehidupannya.
Tapi sayang dalam pikiran dan perasaan Nyoo Cing,
dia hanya ada Lu Siok-bun seorang.
Dengan termangu-mangu nona hitam
mengawasinya, entah bagaimana perasaan hatinya
waktu itu" Kecut" Getir" Manis" Atau ketidak
berdayaan"
"Tiba-tiba aku sadar kalau diriku adalah seorang tolol,
kau sudah kenal dengannya jauh sebelum bertemu aku,
sebelum kehadiranku, diantara kalian sudah terjalin
banyak persoalan dan kejadian, aku baru muncul
belakangan, maka tidak seharusnya aku marah
kepadamu, yang salah sebetulnya adalah aku."
Tiba-tiba dia tertawa, meski senyumannya penuh
kegetiran, kepahitan dan ketidak berdayaan, namun
senyuman tetap senyuman.
"Bila kau anggap perbuatan ini merupakan
perbuatan yang ingin kau lakukan dan harus kau
lakukan, pergilah untuk melakukan!" katanya tajam,
"Tapi ada satu hal perlu kusampaikan kepadamu, ada
satu hal akupun harus dan tetap akan kulakukan."
"Apa yang hendak kau lakukan?"
"Kau memikirkan dia disini dan aku memikirkan kau
disini!" Selapis kabut tebal seolah melintas dan menyelimuti
mata Nyoo Cing. Kabut itu bagai kabut tebal dimusim
gugur, dingin, sepi dan tidak berdaya.
"Cinta" mengapa selalu membuat seseorang jadi
tidak berdaya"
Angin masih berhembus kencang diluar jendela, daun
kering mulai berguguran memenuhi permukaan, kini
matahari senja sudah condong di langit barat.
"Ada satu hal aku selalu merasa keheranan!" tiba tiba
nona hitam mengalihkan pokok pembicaraan, "Yang
mengetahui tempat dimana Ti Cing-ling disekap hanya
berapa orang, selain jalan darahnya sudah tertotok,
diapun sudah diborgol dengan besi baja yang terbuat
dari inti baja hasil tambang bukit Hong-san, borgol itu
bukan setiap orang sanggup membukanya, rahasia
inipun paling banter hanya lima orang yang tahu, tapi
anehnya kenapa ada orang tetap berhasil
menyelamatkan dirinya?"
Nyoo Cing tidak menjawab, dia hanya
mendengarkan dengan serius.
"Menurut hasil analisa yang dilakukan kemudian,
konon seorang wanita yang telah menyelamatkan Ti
Cing-ling dari penjara, siapa sih wanita itu" Kenapa dia
bisa mengetahui rahasia ini"
Siapa yang mampu menjawab pertanyaan pelik ini"
"Pada mulanya aku sangka perempuan itu adalah
Siau-tiap, tapi kenyataan membuktikan kalau bukan
hasil perbuatannya, jadi aku simpulkan perempuan yang
berhasil menolongnya tentu sangat memahami tentang
dirimu, atau bisa jadi dia adalah orang yang sangat kau
percaya." "Orang yang memenuhi seluruh syarat tersebut
rasanya hanya kau seorang," ujar Nyoo Cing sambil
tertawa. "Betul, kalau melihat semua fakta yang ada, memang
aku seorang yang paling mencurigakan," kata nona
hitam sambil menatapnya tajam, "Tapi aku percaya kau
pasti tidak akan mencurigai diriku."
Nyoo Cing hanya tertawa tanpa menjawab. Apa
pula arti dari senyuman itu" Percaya" Atau tidak"
"Kalau bukan aku, lantas siapa?" katanya lagi.
"Mungkin saja orang yang menyelamatkan Ti Cingling
bukan seorang wanita."
"Laki laki maksudmu?"
"Mungkin saja."
"Bila kita dapat selidiki siapakah orang itu maka tidak
sulit untuk melacak tempat persembunyian Ti Cing-ling
saat ini," kata nona hitam lagi, "Dengan begitu kita pun
tidak usah menanti kedatangannya di tempat ini, kita
bisa langsung pergi mencarinya."
"Tidak perlu!"
"Apa arti tidak perlu?"
"Tidak perlu artinya walau kita mengeta-hui tempat
persembunyiannya pun tidak usah pergi mencarinya."
"Kenapa?"
"Sebab dia telah melupakan satu hal!"
"Soal apa?"
"Dia lupa, meskipun pikiran dan perasaanku sekarang
amat kalut, namun dia sendiripun tidak pernah akan
tenang karena pikirannya dipenuhi dengan prasangka
dan keraguan."
"Maksudmu, diapun sedang menduga-duga
bagaimana reaksimu sekarang?"
"Benar."
....Bila kau berharap orang lain menunggu
kedatanganmu, bukankah kau sendiripun berada dalam
kondisi menanti"
Banyak kejadian didunia ini sebenarnya merupakan
pedang bermata dua, disaat kau sedang mencelakai
orang lain, terkadang kau sendiripun mengalami
keadaan yang sama bahkan seringkali penderitaan
yang kau peroleh justru jauh lebih parah dan berat.
Bila seseorang sudah terbiasa hidup menyendiri, hidup
kesepian, maka baginya penantian sudah bukan
merupakan sebuah penderitaan lagi.
Nona hitam menghembuskan napas panjang,
akhirnya dia berhasil mengetahui titik kelemahan yang
dimiliki Ti Cing-ling dalam rencana kejinya. Ini berarti
dalam pertarungan tersebut, sesungguhnya Ti Cing-ling
tidak berhasil peroleh keuntungan apa pun, atau
dengan perkataan lain belum tentu Nyoo Cing akan
menderita kekalahan dalam pertarungan ini.
Ruang batu itu tidak berjendela, oleh sebab itu sulit
bagimu untuk mengetahui bagaimana cuaca saat itu,
apakah di siang hari atau sudah menjelang tengah
malam. Diatas anglo tembaga terlihat sebaskom bubur bunga
teratai yang masih hangat, uap putih masih mengepul
dari balik hidangan tersebut.
Ditengah kabut yang tipis, Ti Cing-ling seakan sudah
tertidur pulas, wanita berbaju putih itu masih
mengawasinya dengan seksama.
Sudah banyak tahun dia kenal dengan orang ini,
sudah banyak tahun mereka bekerja sama menggalang
suatu perencanaan besar, namun hingga kini dia masih
belum dapat menebak manusia macam apakah dirinya
itu. Jelas kepandaian silatnya sangat tangguh, latar
belakang keluarganya sangat terhormat bahkan diapun
terhitung seorang bangsawan kelas satu yang kaya
raya, tapi justru dengan status sosialnya yang terhormat,
dia senang terlibat dalam pertikaian dunia persilatan.
Apakah kesemuanya ini merupakan masalah
kejiwaan baginya"
Wanita berbaju putih itu menuang secawan arak,
baru saja akan diteguk, mendadak terdengar suara Ti
Cing-ling berkata, "Aku selalu keheranan dengan satu
hal." "Soal apa?"
"Siau-tiap bukan saja merupakan sagwee Tongcu dari
perkumpulan Cing Liong Hwee kalian, diapun seorang
gadis berbakat hebat, mengapa pihak Cing Liong Hwee
menghabisi nyawanya?"
Wanita berbaju putih itu tidak menjawab, dia hanya
meneguk araknya.
"Apakah dia berkhianat?"
Wanita itu menggeleng.
"Apakah lantaran identitasnya sudah tersingkap?"
"Juga bukan."
"Atau karena dia sudah tidak berharga lagi untuk
dipergunakan?" Ti Cing-ling menatap tajam wajah
wanita berbaju putih itu, "Atau mungkin dia sudah
mengetahui sebuah rahasia yang tidak seharusnya dia
ketahui?" "Kenapa secara tiba-tiba kau punya pikiran
semacam itu?" bukan menjawab wanita berbaju putih
itu malah balik bertanya.
"Bukannya tiba-tiba, tapi persoalan tersebut selalu
membelenggu jalan pikiranku," katanya cepat,
"Sekalipun identitas Siau-tiap sudah tersingkap, namun
dengan kepandaian silat serta kecerdasan otaknya,
bukan masalah sulit baginya untuk lolos dari ancaman
bahaya, seandainya dia tidak mampu pun, bagi Cing
Liong Hwee, menolong seseorang bukanlah satu
perbuatan yang sulit dilakukan."
Sambil menatap wanita itu tajam tajam, sepatah
demi sepatah kata tanyanya, "Mengapa Cing Liong
Hwee tidak menolongnya" Mengapa harus
membunuhnya" Apa arti dan makna dari ucapan Siautiap
menjelang ajalnya?"
"Menjelang ajalnya" Apa yang dia katakan?" tanya
wanita itu keheranan.
"Dia bilang, semua gerakan dan rencana yang kita
lakukan sesungguhnya tidak lebih hanya sebiji bidak
dalam papan catur orang lain, apa maksud dari
perkataannya itu?"
Wanita berbaju putih itu termenung sambil berpikir,
kelihatannya dia pun seakan tidak mengerti apa
maksud dari perkataan Siau-tiap itu.
"Aku tidak mengerti," tiba-tiba wanita itu berkata.
"Kau tidak mengerti" Kau pun tidak memahami arti
dari perkataannya itu?"
"Aku tidak mengerti kenapa atasan harus
membunuhnya, dulu belum pernah terjadi peristiwa
semacam ini, seperti apa yang telah kau katakan, Siautiap
merupakan seorang gadis berbakat yang sangat
pintar, akupun tidak mengerti mengapa atasan harus
membunuhnya?"
Sebetulnya Ti Cing-ling ingin mencari jawaban dari
pertanyaan tersebut dari mulut wanita berbaju putih itu,
siapa sangka bukan saja tidak peroleh apa-apa, malah
sebaliknya wanita itu yang bertanya kepadanya.
Ti Cing-ling pun tertawa getir, dia memang hanya bisa
tertawa getir. "Pertanyaan ini seharusnya aku yang bertanya
kepadamu, sekarang malah kau yang bertanya
kepadaku."
"Karena aku sama seperti kau, tidak mengerti kenapa
atasan harus membunuh Siau-tiap," kata wanita berbaju
putih itu, "Mengenai berapa patah kata yang dia
ucapkan menjelang ajalnya, aku rasa hanya atasan saja
yang memahami."
Jawaban tersebut jelas jawaban gombal, sama
artinya tidak diucapkan.
Tapi Ti Cing-ling seolah bisa menerima perkataan dari
wanita berbaju putih itu, dengan riang dia mengangguk.
"Kait perpisahan milik Nyoo Cing adalah demi bisa
berkumpul kembali dengan wanita kecintaannya, oleh
sebab itu disebut kait perpisahan, lalu bagaimana
dengan golok tipismu itu, apa pula nama golok milikmu
itu?" Sekulum senyuman segera tersungging diujung bibir Ti
Cing-ling, tangan yang semula menggenggam cawan,
tiba-tiba saja berubah jadi sebilah golok.
Sebilah golok yang tipis sekali, cahaya kebiru-biruan
terpancar keluar dari tubuh golok itu.
"Ada bayangan tidak berwujud, ada bentuk tidak
bisa diraba, cepat bagai kilat, lembut bagai rambut,"
kata Ti Cing-ling sambil memandang golok andalannya,
"Karena golok ini lebih tipis dari kertas maka kuberi nama
sebagai golok kelembutan."
"Golok kelembutan?" gumam wanita berbaju putih
itu sambil menatap golok tersebut berapa kejap, "Golok
yang biasa digunakan untuk membunuh orangpun kau
sebut sebagai golok kelembutan?"
"Benar, sebab disaat golok itu merenggut nyawa
manusia, keadaannya persis seperti seorang kekasih
yang sedang memeluk cintanya, bukan saja lembut
bahkan amat romantis."


Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Konon golok ini bersama kait perpisahan milik Nyoo
Cing merupakan hasil tempaan dari empu Siau Gongcu?"
"Benar."
"Kau masih memiliki golokmu sementara kait
perpisahan sudah tidak berada ditangan Nyoo Cing
lagi, sekarang kau dapat menggunakan golok
kelembutan maupun kait perpisahan, siapa yang bisa
menandingimu lagi dikolong langit saat ini?"
Tangan kiri Ti Cing-ling yang semula kosong, kini sudah
bertambah dengan sebuah senjata kaitan, kait
perpisahan. Setelah meneliti sekejap bentuk aneh dari senjata itu,
dengan senyuman makin melebar katanya, "Tahukah
kau, apa sebabnya kait milik Nyoo Cing ini bisa menebar
begitu banyak perpisahan di dunia ini?"
"Karena semua jurus serangan yang tercipta untuk
senjata tersebut merupakan jurus perpisahan, konon
kitab yang digunakan Nyoo Heng untuk mempelajari
jurus maut tersebut berasal dari sejilid kitab pusaka yang
sudah cacad dan tidak utuh?"
"Tapi bukan itu penyebabnya."
"Bukan" Lalu lantaran apa?"
"Meskipun jurus serangan yang digunakan kait
perpisahan berasal dari sejilid kitab yang tidak utuh,
namun yang paling menakutkan justru kecepatan Nyoo
Cing." "Kecepatan?"
"Benar, inilah yang paling menakutkan, biarpun dia
menyerang belakangan namun serangannya selalu
mencapai sasaran jauh melebihi orang lain, ketika
tenaga serangan musuh belum sempat mencapai pada
puncaknya, kait milik Nyoo Cing seringkah sudah
menghabisi dulu nyawa lawannya."
"Dan musuhnya pun segera berpisah dengan dunia
ini?" "Benar."
"Bila kait perpisahan jatuh ke tangan orang lain,
dapatkah orang lain melakukan hal yang sama?"
"Tidak dapat."
"Kenapa?"
"Sekalipun kungfu yang dimiliki orang lain jauh lebih
hebat pun tidak mungkin dia sanggup menggunakan
kelebihan yang dimiliki senjata kait perpisahan ini."
"Aku mengerti maksudmu, kecuali Nyoo Cing sendiri,
rasanya tidak ada orang lain yang bisa memanfaatkan
setiap peluang yang muncul."
"Kelihatannya ilmu silatmu sudah bertambah maju."
Wanita berbaju putih itu tertawa.
Tidak diketahui apa makna dari tertawanya itu,
namun Ti Cing-ling ikut tertawa, senyumannya jelas
senyuman gembira.
"Ada keinginan untuk mencoba kecepatan Nyoo
Cing?" "Tidak!"
"Jadi kau tahu kalau kemampuanmu masih bukan
tandingannya?"
"Menurut apa yang kuketahui, di dunia saat ini
mungkin hanya ada tiga sampai lima orang yang
sanggup menandinginya."
"Salah satu diantaranya adalah Liongtau lotoa dari
perkumpulan Cing Liong Hwee?"
"Benar."
"Satunya lagi tentu aku?"
"Benar."
"Keliru besar," perlahan-lahan Ti Cing-ling berkata,
"Tidak ada orang yang bisa mengendalikan dia, akupun
paling banter hanya bisa menghabisi nyawanya."
.....Sebab manusia yang bernama Nyoo Cing persis
seperti senjata kait perpisahannya, kau bisa
mematahkannya namun tidak akan mampu
membuatnya bengkok.
"Tapi sekarang aku masih belum ingin
membunuhnya."
..... "Karena kau masih sangsi untuk menghadapi
kemampuannya!"
Perkataan ini hanya melintas dalam benak wanita
berbaju putih itu, tentu saja tak sampai diutarakan.
"Sekarang aku hanya ingin agar dia pergi membunuh
orang," kata Ti Cing-ling, "Makin banyak yang dibunuh
semakin baik."
..... "Agar dia pergi membunuh" Sampai kapan
pembunuhan itu baru berhenti" Membunuh hingga
semua orang ingin membunuhnya" Membunuh sampai
dia jadi kalap?"
Dengan sorot mata yang tajam wanita berbaju putih
itu mengawasinya.
"Siapa saja yang telah kau persiapkan agar dibunuh
olehnya?" dia bertanya.
"Tentu saja orang-orang yang paling menarik,
sekarang aku sudah teringat akan seseorang yang
paling menarik itu..."
Malam bersalju yang sangat dingin. Semakin larut
malam, salju turun semakin deras.
Nyoo Cing masih duduk bersandar didepan jendela
sambil mengawasi bunga bwee dikebun muka.
Bunga salju beterbangan dari angkasa, berhamburan
ke mana mana, melapisi bunga bwee yang ada di
ranting. Ranting yang menerima beban berat segera
melengkung, makin tebal salju yang melapisi, makin
melengkung ranting itu tapi dia tidak pernah patah
karena beban salju yang berat.
Sebagai manusia, kau harus belajar dari sifat ranting
pohon, makin besar tekanan yang kau hadapi, semakin
ulet kau menghadapi, jangan hanya disebabkan sedikit
tekanan, kau sudah kehilangan rasa percaya diri serta
semangat untuk bertempur.
Nyoo Cing sudah berjalan keluar dari rumah kayu,
seorang diri duduk ditepi sungai yang mulai membeku,
duduk sambil mengawasi bunga bwee disekelilingnya.
Salju yang tebal membuat seluruh permukaan
berubah jadi putih keperak-perakan, air yang mengalir
ditengah malam bergerak perlahan tanpa menimbulkan
suara. Aliran air disungai bagaikan napas seorang yang
sekarat, air tetap akan mengalir untuk selamanya tapi
napas manusia setiap saat kemungkinan akan berhenti.
Mati sebetulnya bukan sesuatu yang menakutkan,
juga bukan sesuatu yang menyedihkan.
Yang menakutkan justru kepedihan hati.
Angin kembali berhembus menggoyangkan ranting
pepohonan. Bunga salju beterbangan ke bawah, sebagian
menodai tubuh Nyoo Cing.
Dalam suasana begitulah dari ujung sungai terlihat
ada sebuah sampan, sebuah tungku, seorang kakek
kesepian pelan-pelan bergerak mendekat.
Kakek itu masih duduk bersila diujung perahu, bertopi
lebar, mengenakan jas hujan dari jerami dan rambutnya
telah beruban semua.
Air dalam teko diatas tungku sudah lama mendidih,
bau harum semerbak terendus makin kental, sekental
darah segar. "Air teh" Atau obat?"
"Air teh, juga obat."
"Perduli teh atau obat, aku sudah tidak ingin
mencicipinya."
"Aku pun tidak akan membiarkan kau untuk
mencicipinya," kakek itu berpaling, memandang Nyoo
Cing yang ada di daratan dan tiba-tiba tertawa.
"Orang yang memasak teh belum tentu akan menjadi
peminum teh, aku bukan orang yang membuat teh,
akupun tidak ingin minum air teh itu," kata Nyoo Cing
sambil tertawa pula.
"Manusia macam apa yang akan minum air tehku?"
"Seseorang yang hampir mampus, termasuk juga
sejenis manusia."
"Sejenis manusia?"
"Orang yang datang menagih hutang."
Air teh masih panas sekali, tapi cawannya sudah lama
dingin membeku.
Kakek itu menuang air teh di cawannya, kemudian
meneguknya sendiri.
"Teh ini teh ampas!" kakek itu berkata.
"Aku tahu."
"Kau tahu?"
"Walaupun kau bisa meracik bubuk ngo-ma-san,
namun bahan untuk membuat obat tersebut susah
diperoleh," kata Nyoo Cing sambil tertawa, "Apalagi hari
ini tidak ada orang yang hampir mati ditempat ini, apa
gunanya disediakan bubuk ngo-ma-san?"
Tiba-tiba kakek itu tidak bicara lagi, dengan sepasang
mata tuanya dia awasi Nyoo Cing dengan tenang,
lewat lama, lama kemudian dia baru membungkukkan
tubuh dan meloloskan sebilah pedang hitam pekat dari
samping tungku.
Sarung pedangnya berwarna hitam, gagang pedang
pun berwarna hitam pekat.
Sedemikian hitamnya hingga menyerupai lapisan
kegelapan yang menyelimuti ujung langit nun jauh
disana. "Selamat bersua kembali!" Nyoo Cing pun sedang
mengawasi pedang hitam itu, tiba-tiba dia
mengucapkan perkataan tersebut kepada benda itu.
"Sudah berapa lama kau tidak pernah bertemu
dengannya?" tanya kakek itu.
"Delapan tahun," Nyoo Cing menghela napas
panjang, "Delapan tahun delapan bulan delapan hari."
"Ditambah delapan jam," kakek itu menambahkan,
"Waktu itu baru menjelang senja dan sekarang sudah
lewat tengah malam."
"Kelihatannya daya ingat mu sangat bagus."
Kakek itu tertawa ewa.
"Hampir setiap menit, setiap detik, setiap jam, setiap
hari, setiap bulan, setiap tahun aku selalu mendoakan
agar kau bisa tidur dengan nyenyak."
"Tampaknya doamu sudah dikabulkan, sebab setiap
hari aku dapat tidur dengan sangat nyenyak."
"Aku telah berhutang kepadamu....."
"Aku rasa hutang itu sudah impas!"
"Sudah impas?"
"Benar."
Akhirnya kakek itu mendongakkan kepalanya,
mengawasi Nyoo Cing dengan wajah tanpa perasaan,
sinar matanya kelihatan sangat aneh, entah sorot mata
kegembiraan ataukah sorot mata kesedihan.
Nyoo Cing pun balas menatapnya, sorot matanya
pun memancarkan sinar yang tidak terurai dengan
perkataan. "Aku telah dating!" tiba-tiba kakek itu berkata.
"Aku tahu kau pasti akan datang."
"Tentu saja aku akan datang dan tentu saja kau pasti
tahu," kata kakek itu sambil menatapnya makin tajam,
"Kalau tidak, mengapa kau biarkan aku pergi pada
delapan tahun berselang?"
Sekali lagi Nyoo Cing memandang pedang hitam
yang berada ditangan kakek itu, lewat sesaat kemudian
dia baru menghembuskan napas panjang.
BAB 6. Pedang hitam bagai kegelapan malam.
Pedang itu melebur jadi satu dengan kegelapan
malam, karena sama-sama hitamnya.
Mengawasi pedang hitam yang berada dalam
genggamannya, kakek itupun menghela napas
panjang. "Delapan tahun berselang, aku kalah diujung kait
perpisahan."
"Mungkin tidak seharusnya kau kalah," kata Nyoo
Cing hambar, "Tapi sayang meski usiamu belum tua, ilmu
pedangmu justru sudah kelewat tua."
Kakek itu termenung seolah sedang mencoba untuk
mencerna apa yang barusan dia dengar, lewat lama
kemudian baru perlahan-lahan tanya nya, "Menurut
pandanganmu, berapa usiaku sekarang?"
Kakek itu rambutnya sudah beruban, wajahnya
penuh keriput dan kelihatan sudah amat lelah, lemah
dan tua, jauh lebih tua dibandingkan sewaktu Nyoo
Cing bertemu untuk pertama kalinya dulu.
"Aku sudah termashur ketika berusia tujuh-delapan
belas tahun, ketika bertemu delapan tahun berselang,
usiaku tidak lebih baru tiga puluh enam tahun, dan
tahun ini aku baru berusia empat puluh enam tahun."
Dengan wajah terperangah Nyoo Cing
mengawasi kakek itu, delapan tahun berselang, rambut
kakek itu sudah mulai memutih, menurut taksirannya
waktu itu, meski belum mencapai usia enam puluh,
paling tidak sudah mencapai lima puluh tujuh, delapan
tahunan. "Aku tahu, tampangku memang mirip orang tua,
sejak delapan tahun berselang rambutku sudah mulai
beruban," ujar kakek itu sambil tertawa.
Nyoo Cing menghela napas panjang.
"Akupun tidak menyangka kalau delapan tahun
berselang Liong Ngo dari Kwang-tong baru berusia tiga
puluh enam tahun."
Kakek itu tertawa pedih.
"Ini semua disebabkan aku terlalu memusatkan
konsentrasi dan kekuatan tubuhku untuk melatih diri,
kendatipun dengan mengandalkan pedang ini aku
berhasil meraih nama besar dan reputasi, namun


Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pedang tersebut telah menghisap seluruh darah dan
sumsum dalam tubuhku."
Nyoo Cing cukup memahami maksud perkataannya,
bila seseorang kelewat kesemsem dalam satu bidang
tertentu, maka keadaan itu ibarat sudah melakukan
transaksi dengan setan iblis.
"Kaupun terhitung seseorang yang pernah belajar
ilmu pedang, bila kau mengalami keadaan seperti aku,
setelah mengorbankan segala sesuatunya demi ilmu
pedang, tahu-tahu suatu saat kau dirobohkan dalam
sekali gebrakan saja, bagaimana perasaanmu waktu
itu?" Nyoo Cing tidak menjawab.
"Tentu saja kau tidak akan memahami perasaanku
waktu itu," kata si kakek lagi sambil menghela napas,
"Sebab kau belum pernah dikalahkan orang!"
Nyoo Cing pingin tertawa, tertawa keras, tentu saja
dia tidak sanggup tertawa.
..... Tak pernah kalah" Dua puluh tahun berselang dia
pernah kalah, kalah oleh nasib. Tapi, siapa yang
mengetahui akan hal ini" Kalau dia tidak pernah
mengatakannya siapa yang akan tahu"
Meja batu yang besar dan lebar bersih tanpa debu, Ti
Cing-ling pun selalu bersih tanpa sedikit debu pun yang
menempel ditubuhnya.
"Siapakah manusia menarik yang kau maksudkan?"
tanya wanita berbaju putih itu.
"Liong Ngo dari Kwang-tong."
"Liong Ngo si pedang hitam?" wanita itu sedikit
terperanjat, "Liong Ngo inikah yang kau maksud?"
"Benar."
"Kenapa dia ingin membunuh Nyoo Cing?"
"Sebab dia berhutang kepada Nyoo Cing."
"Hutang apa?"
"Hutang pedang," jawab Ti Cing-ling hambar,
"Delapan tahun berselang, Liong Ngo dari Kwangtong
ibarat matahari ditengah hari, dengan sebilah pedang
hitamnya dia malang melintang tanpa lawan, suatu hari
tiba-tiba dia bertemu Nyoo Cing..."
.... Senjata kaitan termasuk jenis pedang, sebab Liong
Ngo hanya mau bertanding dengan orang yang
menggunakan pedang, dia telah memasukkan senjata
kaitan milik Nyoo Cing sebagai salah satu jenis senjata
pedang. Dua orang itu bertempur lama sekali, dari tengah hari
hingga menjelang senja, disaat matahari mulai
terbenam itulah Nyoo Cing berhasil menggaet pedang
hitam milik Liong Ngo hingga berpisah.
"Padahal sejak pertarungan dimulai, Nyoo Cing
seharusnya sudah menang," kata Ti Cing-ling,
"Sebagaimana diketahui, Nyoo Cing adalah seseorang
yang sangat mengagumi bakat alam, dia tidak tega
membuat Liong Ngo menderita kekalahan secara
mengenaskan, oleh sebab itu pertarungan dibiarkan
berlangsung hingga senja."
"Kalah berarti mati, kalau memang Liong Ngo sudah
kalah, mengapa dia tidak mati?" tanya wanita berbaju
putih itu. "Nyoo Cing tidak membunuhnya sudah dapat diduga
sejak awal, tapi dengan status dan posisi Liong Ngo
dalam dunia persilatan, mana sanggup dia
menanggung rasa malu dan terhina?"
"Sebelum pertarungan dimulai, Nyoo Cing sudah
memberi pernyataan lebih dahulu kalau pertarungan ini
bukan pertarungan antara mati dan hidup," ujar Ti Cingling,
"Siapa yang kalah anggap saja berhutang budi
satu kali, dan dia harus membayar kapan saja dan
dalam masalah apa saja, pokoknya yang kalah tidak
boleh menampik."
"Oleh sebab itu Liong Ngo berhutang budi kepada
Nyoo Cing?"
"Benar."
"Sudah terbayar?"
"Belum lama hutang itu terbayar," kata Ti Cing-ling
sambil tertawa, "Sewaktu Cong Hoa pergi mengambil
kait perpisahan, dia bertemu ninja dalam hutan bunga
bwee dan terkena ilmu Bu-hwee-sut, seandainya tidak
ada Liong Ngo, mungkin nyawanya sudah lama
melayang dan sekarang dia tidak perlu lagi hidup
tersiksa ditangan Hong Coan-sin."
"Jadi Liong Ngo mengerti ilmu pertabiban?"
"Kau jangan lupa, marga asli dari Liong Ngo adalah
Toan." "Toan capsa?"
"Benar."
"Jadi dia adalah putra Toan Capsa?"
"Bukan, dia hanya keponakannya," Ti Cing-ling
menjelaskan, "Bukan saja dia telah pelajari ilmu
pertabiban milik Toan Capsa, bahkan dia pun berhasil
menguasahi ilmu pedang ke lima belas."
"Ilmu pedang ke lima belas?" wanita berbaju putih itu
terperanjat, " Ilmu pedang ke lima belas dari tiga belas
ilmu pedang pembetot sukma milik Yan Capsa?"
"Benar."
"Jadi Toan Capsa sesungguhnya adalah Yan
Capsa?" "Konon begitu."
"Kenyataannya keliru?"
Ti Cing-ling manggut manggut.
"Demi mengalahkan Sam sauya, Yan Capsa tidak
segan membarter ilmu pedang tiga belas jurus
pembetot sukmanya dengan ilmu pertabiban milik Toan
Capsa." "Resep Ngo-ma-san?"
"Betul!" sekali lagi Ti Cing-ling mengangguk, "Yan
Capsa sengaja menolong Sam sauya bukan lantaran
menghendaki balas jasa dari Sam sauya, tapi demi
kelangsungan pertarungannya melawan orang itu, bila
dia tidak dapat mengobati racunnya, bagaimana
mungkin bisa melangsungkan pertarungan
melawannya?"
"Lantas kenapa dia tidak langsung suruh Toan capsa
yang pergi menolong" Kenapa dia mesti menukar ilmu
tersebut dengan tiga belas jurus ilmu pedang pembetot
sukmanya?"
"Sebab saat itu Toan Capsa sudah sakit parah dan
hampir mati."
"Yan Capsa telah mempelajari resep Ngo-ma-san
dan ilmu pertabiban dari Toan Capsa, berarti Toan
Capsa tentu sudah mempelajari pula ketiga belas jurus
ilmu pedang pembetot sukmanya?"
"Justru lantaran dia sudah hampir mati, maka Yan
Capsa baru bersedia menukarnya dengan ilmu
pedang?" "Yan Capsa mengira Toan Capsa segera akan mati,
biar mendapatkan tiga belas jurus ilmu pedang
pembetot sukma pun tidak ada gunanya," kata Ti Cingling
sambil tersenyum lebar, "Tidak disangka ternyata
Toan Capsa telah mewariskan simhoat dari tiga belas
ilmu pedang pembetot sukma itu kepada Toan In-seng."
"Toan In-seng" Apakah dia adalah Liong Ngo dari
Kwangtong?"
"Benar."
Wanita berbaju putih itupun termenung, termenung
sambil meneguk araknya.
"Kalau memang Liong Ngo sudah mewarisi tiga belas
jurus ilmu pedang pembetot sukma, mengapa dia masih
bisa dikalahkan oleh Nyoo Cing" Bahkan Sam sauya
sendiripun sulit untuk menghindari serangan ke lima
belas, kenapa Nyoo Cing malah mampu
menghadapinya?"
"Yan Capsa harus mengalami banyak kegagalan dan
kekalahan sebelum akhirnya berhasil menguasahi jurus
yang ke lima belas, sementara Toan In-seng masih
muda, belum pernah menderita, belum pernah kalah,
bagaimana mungkin dia bisa menyelami dan
memahami inti sari dari jurus ke lima belas?"
"Oleh sebab itu delapan tahun berselang dia kalah?"
Ti Cing-ling manggut-manggut.
"Oleh karena dia sudah merasakan menderita dan
tersiksanya karena kekalahan, maka dalam delapan
tahun terakhir ia berhasil menyelami inti dari jurus ke lima
belas?" "Benar."
"Kalau begitu, pertarungan kali ini bukankah menjadi
milik Liong Ngo?"
"Menurut kau?"
Tangan yang pucat telah meloloskan pedang yang
hitam, dibawah cahaya rembulan, pedang itu nampak
jauh lebih hitam dan gelap.
Berbinar sepasang mata Toan In-seng, bisiknya tibatiba,
"Aku telah membayar hutangku kepadamu."
"Benar, hutang sudah terbayar."
"Tapi pertarungan pada delapan tahun berselang
belum tuntas," kata Toan In-seng hambar, "kau tentu
tahu bukan, kepandaian yang kugunakan adalah tiga
belas jurus ilmu pedang pembetot sukma?"
"Aku tahu."
"Dulu, sebenarnya aku sangat membencimu karena
kau telah memaksaku merasakan menderita dan
tersiksanya sebuah kekalahan," ujar Toan In-seng sambil
mengulumkan senyuman, "Tapi setelah lewat delapan
tahun, aku sudah tidak membencimu lagi."
Tiba-tiba kelopak mata Nyoo Cing menyusut
kencang, dia seakan agak takut untuk menengok ke
arah lawannya. ..... Kekalahan pada delapan tahun berselang,
penderitaan selama delapan tahun, apakah
kesemuanya ini justru membuat dia dapat menyelami
jurus ke lima belas"
Dari balik sinar ngeri yang terpancar dari wajah Nyoo
Cing, terselip juga sekilas perasaan gembira. Seandainya
Toan In-seng berhasil menyelami inti sari dari jurus ke lima
belas, kejadian ini memang pantas digembirakan.
Cahaya pedang berkelebat, pedang itu lagi lagi
disarungkan ke dalam sarungnya yang gelap.
"Bila pedang sudah terhunus dan disarungkan
kembali sebelum mencium darah, ini pertanda tidak
mujur." Mengapa Toan In-seng menyarungkan kembali
pedangnya"
Nyoo Cing ikut tertegun, dia tidak habis mengerti
kenapa orang itu melakukan tindakan tersebut.
"Ketika bertarung delapan tahun berselang, belum
sampai lima puluh gebrakan aku seharusnya sudah
kalah," kata Toan In-seng hambar, "Tapi kau telah
menemani aku bertempur hingga senja, dan hari ini kau
tidak memegang senjata kaitan, sama seperti waktu itu
dihatiku pun tidak ada pedang."
Tiba tiba ia melemparkan pedangnya ke arah Nyoo
Cing sambil berseru, "Sambut pedang itu!"
Nyoo Cing sama sekali tidak tercengang sebab dia
memahami maksud lawannya, namun dengan sorot
mata tidak berdaya ditatapnya orang itu sekejap sambil
ujarnya, "Pedang digunakan untuk membunuh, bukan
untuk ditonton, pedang ini tak ingin bertemu orang, dia
hanya ingin melihat darah."
"Pedang tajam yang pernah dipakai untuk
membunuh, pasti ingin membunuh lagi bila diloloskan
dari sarungnya, terkadang si pemiliknya sendiripun tidak
mampu menguasahi, aku yakin perasaan semacam itu
pasti pernah kau rasakan."
"Benar, memang begitu rasanya," kata Nyoo Cing
sambil mengawasi pedang itu.
"Pedang tajam berjiwa, begitu juga orang yang
pandai menggunakan pedang, jika tubuh dan pedang
telah bersatu, bila perasaan dan pedang telah terpadu,
saat itulah kau bisa menggunakannya sekehendak hati."
"Aku mengerti."
"Oleh sebab itu bila pedang tersebut sudah memiliki
hawa membunuh, otomatis orang yang memegang
senjata itupun akan tergerak hawa pembunuhannya,"
kata Toan In-seng, "Bila hawa pembunuhan telah
bangkit, setiap serangan yang dilancarkan pasti tak
akan memberi kesempatan kepada lawannya untuk
tetap hidup."
"Aku tahu."
Perlahan-lahan Toan In-seng berdiri tegak, tubuhnya
masih berada disampan, seakan sama sekali tidak
bergerak, tapi tahu-tahu tubuhnya sudah berada
ditengah hutan pohon bwee, mematahkan sebatang
ranting dan ranting itupun seakan berubah begitu
berada dalam genggamannya.
Dengan ibu jari, jari manis dan jari kelingkingnya dia
membentuk satu gerakan melingkar, sementara ranting
pohon itu ditarik ke belakang hingga sejajar dengan
kepala, tampaknya ia sudah mempersiapkan sebuah
serangan dahsyat ke arah Nyoo Cing.
Nyoo Cing tak berani berayal, dia pegang gagang
pedang kuat kuat, mimik mukanya memancarkan
perubahan aneh, siapa pun tak bisa menebak apakah
dia sedang gembira, sedih atau tidak berdaya.
Begitu memegang gagang pedang, tubuhnya ikut
bangkit berdiri dan "Criiing!" pedang itu sudah diloloskan
dari sarungnya.
Kini Nyoo Cing sudah meluruskan tubuhnya, sama
sekali telah berdiri, ujung pedangnya masih menuding ke
bawah tapi seluruh tubuhnya seakan telah berubah.
Toan In-seng berdiri disisi sungai, mengawasi lawannya
tanpa berkedip, ranting dalam genggamannya telah


Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berubah jadi pedang, dengan satu gerakan ringan dia
lancarkan sebuah tusukan ke muka.
Hampir pada saat bersamaan Nyoo Cing
melancarkan serangan juga, tidak ada yang tahu
bagaimana dia menggerakkan pedangnya, tahu-tahu
senjata itu sudah melesat ke depan dengan kecepatan
bagaikan petir.
"Criiing!" benturan keras terjadi, cahaya kilat
berhamburan ke empat penjuru, mendadak cahaya
pedang lenyap, gerak seranganpun seakan terhenti.
Toan In-seng memeriksa sekejap batang rantingnya,
bara api seakan memancar dari matanya, walaupun
pedang masih berada dalam genggaman namun dia
telah melakukan pelbagai perubahan yang tidak
terhingga. Pedang hitam ditangan Nyoo Cing masih tertuju ke
arah ranting lawan, bila ranting Toan In-seng bagai
seekor ular berbisa maka pedang ditangan Nyoo Cing
bagai sebatang paku. Paku yang telah memantek
diatas tujuh inci dari kepala sang ular, membuat ular
berbisa itu mati kutu.
Pertarungan yang seharusnya telah berakhir itu
mendadak kembali terjadi perubahan, suatu perubahan
yang aneh. Daun yang semula beterbangan di udara tiba tiba
saja rontok semua ke tanah, bumi yang semula bergetar
tiba-tiba berubah jadi hening dan sepi.
Tiba-tiba kelopak mata Nyoo Cing berkerut kencang,
sekilas rasa ngeri dan seram melintas diwajahnya, dia
merasa pedangnya seakan sudah tidak mampu
bergerak lagi, seakan setiap saat serangan lawan akan
menembusi dada dan tenggorokannya, seolah tiada
kekuatan lagi di dunia ini yang dapat membendung
datangnya serangan lawan.
Ancaman itu seolah datangnya kematian, tatkala
maut datang menjemput, kekuatan apa di dunia ini
yang sanggup mencegahnya" Tidak ada, kecuali
kematian itu sendiri.
Inilah jurus ke lima belas dari tiga belas jurus ilmu
pedang pembetot sukma. Dulu, Sam sauya yang sangat
ampuh pun sulit untuk menghindarkan diri, apalagi Nyoo
Cing! "Jadi itulah jurus ke lima belas dari Toh-mia-capsakiam
milik Yan Capsa yang tidak bisa dipatahkan Sam
sauya tempo dulu?" tanya wanita berbaju putih itu
sambil menatap wajah Ti Cing-ling, Bagaimana dengan
Nyoo Cing" Mampukah dia menghindari serangan maut
itu?" "Tidak mungkin!" Ti Cing-ling menggeleng, "Menurut
apa yang kuketahui, belum ada seorang manusia pun di
dunia ini yang mampu menghindari serangan dari jurus
ke lima belas."
"Kalau begitu Nyoo Cing pasti mati kali ini?"
Ti Cing-ling tertawa, sorot matanya lembut, selembut
cahaya yang memancar dari lampu kristal asal Persia,
ujarnya, "Tujuh tahun, yaaa.....sudah tujuh tahun,
tahukah kau bagaimana aku melewatkan hidupku
dalam tujuh tahun itu?"
Wanita berbaju putih itu tidak menjawab.
"Selama tujuh, tahun, yang kuminum adalah air yang
mengalir keluar dari celah batu, yang ku makan adalah
serangga yang lewat dihadapanku, jika kebetulan
nasibku lagi beruntung, ada bajing yang lewat
dihadapanku, tapi dalam setahun paling hanya terjadi
satu kali."
Siapa pun orangnya, bila dia harus melewatkan
hidupnya selama tujuh tahun dalam kondisi se tragis itu,
tidak kejam pun pasti akan berubah jadi buas dan jahat.
"Bila hanya menginginkan kematian Nyoo Cing, buat
apa aku mesti membuang banyak tenaga dan pikiran?"
kembali Ti Cing-ling berkata sambil tertawa sinis.
"Kalau memang tidak menginginkan kematiannya,
kenapa kau biarkan Toan In-seng pergi
membunuhnya?" tanya perempuan berbaju putih itu,
"kalau sampai sam sauya pun tak sanggup menghindari
serangan tersebut, mana mungkin dia bisa lolos dari
kematian?"
"Ada sebangsa orang, dia selalu ditakdirkan
beruntung, setiap kali sedang bertemu musibah seberat
apapun, pasti akan muncul tuan penolong yang
menyelesaikan masalahnya."
"Apakah Nyoo Cing adalah manusia semacam itu?"
"Benar."
"Siapa tuan penolongnya kali ini?"
"Menurut kau?"
Bunga bwee telah berguguran ke tanah, daun pun
sudah berguguran bagaikan hamparan permadani
hijau, seluruh langit dan bumi serasa dicekam dalam
suasana kematian.
Air sungai seakan berhenti mengalir, salju dan kabut
pun seolah membeku semua.
Menyaksikan jurus ke lima belas yang penuh diliputi
"kematian", pancaran mata Nyoo Cing mulai
memperlihatkan rasa ngeri yang luar biasa, bahkan jauh
lebih ngeri ketimbang yang diperlihatkan Sam sauya
tempo hari. Yang membuatnya merasa ngeri bukan kematian,
tapi dia seakan menyaksikan bagaimana jurus serangan
itu mendatangkan bencana demi bencana, musibah
demi musibah dalam dunia persilatan.
Bila jurus serangan ini dibiarkan berkembang terus,
maka masa depan dunia persilatan pasti suram,
sekarang dia baru mengerti kenapa Yan Capsa waktu
itu tidak membunuh Sam sauya melainkan justru
menggorok leher sendiri.
Rupanya disaat terakhir, Yan Capsa telah
menemukan ancaman bahaya maut, kemusnahan dan
kematian yang dibawa jurus serangan tersebut, dia tidak
ingin jurus mematikan itu diwariskan ke generasi berikut,
dia tak ingin menjadi manusia paling berdosa bagi umat
persilatan. Dibalik kegelapan, hanya sorot mata Toan In-seng
yang memancarkan cahaya tajam, itulah cahaya yang
mendekati kekalapan.
Dalam pandangannya sudah tak ada yang lain, yang
tersisa hanya kemusnahan dan kematian. Hanya
kemusnahan dan kematian yang bisa memadamkan
api kekalapannya.
Serangan berikut langsung diarahkan ke ulu hati Nyoo
Cing, langsung menusuk ke jalan kematian.
Disaat kematian hampir menjelang tiba, mendadak
dari balik rumah kayu berkelebat lewat sesosok
bayangan manusia, bayangan itu langsung menerkam
ke tengah badai kematian.
Tusukan itu langsung menghujam ke tubuh bayangan
itu, darah pun menyembur keluar membasahi seluruh
permukaan. Seluruh wajah Nyoo Cing basah kuyup oleh semburan
darah, namun secara lamat-lamat dia masih dapat
melihat penderitaan dan siksaan yang tercermin
diwajah orang itu, wajah sekarat.
Seluruh wajah Toan In-seng ternoda pula oleh
semburan darah, ketika pedangnya berhasil menghujam
di dada lawan, disaat darah segar mulai menyembur
keluar, dia pun mulai tertawa, tertawa keras, tertawa
seperti orang kalap.
Darah yang meleleh diwajah Nyoo Cing makin lama
makin bertambah banyak, hawa amarah yang
menyelimuti wajahnya pun makin lama semakin
menebal, dengan tangan kanan memegang pedang,
tangan kirinya merangkul tubuh seseorang.
Ternyata tusukan pedang dari Toan In-seng bukan
menghujam di dada Nyoo Cing, tapi menembusi dada si
nona hitam yang pada detik terakhir melesat keluar dari
dalam rumah. Ranting pohon itu masih menancap di dada nona
hitam, darah segar masih menyembur keluar tiada
hentinya. Kini Toan In-seng baru sadar kalau sasaran yang
tertusuk bukan Nyoo Cing, dia pun sempat melihat
pancaran hawa amarah yang mencorong dari mata
lawannya. Dalam keadaan begini, buru-buru dia ingin mencabut
keluar ranting pohon itu, tapi dengan sekuat tenaga
nona hitam memeganginya.
Bersamaan waktunya, Nyoo Cing mengayunkan pula
pedang hitamnya, langsung menusuk ke balik
kegelapan, menusuk ke sumber cahaya kebrutalan.
Setelah itu Nyoo Cing tidak bergerak lagi, dia hanya
mengawasi tubuh nona hitam yang berada dalam
pelukannya, mimpi pun dia tak menyangka semalam
orang yang masih menyatakan kasih kepadanya, kini
harus mati dalam pelukannya.
Tapi, mau tidak mau dia harus percaya, karena nona
hitam memang terbukti sudah mati, denyut nadi nona
hitam telah berhenti, tangan dan kakinya telah
membeku. Yang seharusnya mati adalah Nyoo Cing, bukan dia.
Dengan termangu Nyoo Cing mengawasi wajah nona
hitam yang menampilkan kepuasan, rasa sedih yang
tidak terhingga seketika menyelimuti seluruh
perasaannya. Akhirnya dia melepaskan jubah yang dikenakan dan
ditutupkan diatas tubuh nona hitam, kemudian dengan
penuh kasih dibelainya rambutnya yang halus.
Lama, lama kemudian, dengan membopong tubuh
nona hitam, selangkah demi selangkah Nyoo Cing
berjalan meninggalkan arena pertarungan, perlahanlahan
dia balik kembali ke rumahnya, rumah kayu kecil.
BAGIAN - 5. Pedang amarah, musim semipun marah.
BAB 1. Kejadian di rumah bambu.
Matahari bersinar cerah diluar rumah, namun lentera
masih menerangi ruangan dalam, satu satunya pintu
yang tembus ke dunia luar berada dalam keadaan
tertutup. Tampaknya Ti Cing-ling mempunyai bakat untuk
meramal perubahan cuaca, sambil memandang
cahaya lentera, ujarnya perlahan, "Hari ini, cuaca diluar
pasti amat cerah, sedemikian cerahnya hingga
membuat perasaan orang gampang gembira."
Kelihatannya wanita berbaju putih itu tidak terlalu
memperhatikan soal cuaca, yang ingin dia ketahui
segera adalah bagaimana akhir dari pertarungan Nyoo
Cing. "Sekarang pagi hari sudah lewat, semestinya
pertarungan itupun telah berakhir," kata perempuan itu
sambil menatap lawannya, "apakah si nona hitam bakal
mati" Apakah Nyoo Cing berhasil lolos dari musibah kali
ini?" Ti Cing-ling tidak segera menjawab, dia memenuhi
cawannya dulu dengan arak anggur, setelah itu baru
ujarnya, "Ada dua jenis lelaki yang selalu menarik
perhatian kaum wanita, yang pertama adalah lelaki
muda yang banyak duit."
"Contohnya seperti kau!"
Dalam hal ini Ti Cing-ling selamanya tidak pernah
menyangkal, bukan saja dia banyak duit, wajahnya
terhitung tampan, perawakan tubuhnya tinggi besar
dan pandai merayu wanita, perempuan mana di dunia
ini yang bisa lolos dari cengkeramannya"
"Lelaki jenis kedua adalah lelaki yang kelewat serius
dalam bercinta, bila dia sudah mencintai seorang
wanita maka tidak nanti dia mau menerima cinta kedua
dari wanita lain, tapi apa mau dikata justru banyak
wanita yang tergila-gila terhadap lelaki macam begini,"
kata Ti Cing-ling sembari melirik sekejap ke arah wanita
berbaju putih itu, sekilas rasa iri sempat melintas
diwajahnya. "Mereka bilang lelaki semacam inilah baru
merupakan lelaki sejati," dia menambahkan.
"Contohnya Nyoo Cing?"
"Benar," Ti Cing-ling tertawa, "Bukan saja perempuan
menyukai lelaki semacam ini, ada kalanya terhadap
sesama lelaki pun banyak yang merasa tidak tega untuk
membunuhnya."
"Bukannya tidak tega, semestinya lebih tepat kalau
dikatakan banyak lelaki yang tidak menginginkan dia
mati kelewat gampang," sela wanita berbaju putih itu.
Ternyata didalam hal inipun Ti Cing-ling tidak
menyangkal, perlahan dia meneguk habis isi cawannya,
membiarkan arak memenuhi mulutnya kemudian baru
sedikit demi sedikit menelan arak itu ke dalam perut.
"Akibat yang dihasilkan jurus ke lima belas dari Tohmia-
cap-sa-kiam hanya kemusnahan dan kematian,
hanya ada satu cara untuk mematahkan serangan
tersebut yaitu dengan kematian," kata Ti Cing-ling,
"Dengan kematian mematahkan kematian, atau
dengan perkataan lain hanya kematian saja yang
dapat memunahkan kekuatan dari hawa serangan
tersebut."
"Seandainya nona hitam yang mati, bukankah Nyoo
Cing masih tetap hidup?"
"Betul, dan kuduga pasti demikian yang bakal
terjadi," kata Ti Cing-ling sambil mengangguk, "Dengan
matinya nona hitam, maka Nyoo Cing pun terbebas dari
ancaman kematian itu. Tapi dia pun akan hidup
sendirian, tidak ada yang menunjang, tidak ada yang
mendukungnya lagi."


Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah berhenti sejenak, lanjutnya, "Semangat dan
pikirannya akan terjerumus dalam situasi yang pelik, dia
akan hidup dalam kesendirian, tiada bala bantuan,
tiada harapan."
"Jangan lupa, dia masih mempunyai seorang kurakura
tua." "Kura-kura itu hanya bisa membantu Nyoo Cing
mengemukakan usul atau saran, tidak nanti dia akan
turun tangan membantunya," kata Ti Cing-ling lagi
sambil tertawa, "Sejak tiga puluh tahun berselang, dia
sudah bersumpah untuk mundur dari keramaian dunia
persilatan."
Empat buah meja panjang berlapis besi putih berjajar
jadi satu, tiga diantaranya berisi tiga sosok tubuh
manusia. Dalam ruangan itu tergantung tujuh buah lentera
kristal, cahaya yang terang hampir menyinari setiap
sudut ruangan itu.
Disisi meja panjang terdapat berapa buah meja
pendek, diatas meja tersebut tersedia pelbagai bentuk
pisau kecil, ketika tersorot cahaya l
Rahasia Peti Wasiat 1 Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pemetik Harpa 9
^