Senyuman Dewa Pedang 4

Senyuman Dewa Pedang Karya Khu Lung Bagian 4


iri pun tak tahu siapakah aku, darimana aku bisa memberitahukan kepadamu?"
"Apakah masih ada orang lain yang bisa memberitahukan padaku?"
"Ada satu."
"Siapa?"
"Nenek yang duduk di sudut ruangan itu."
Semua nenek sama bentuknya. Begitu juga dengan nenek yang duduk di sudut ruangan itu.
Mungkin ia belum terlalu tua, mungkin juga sudah tua, mungkin ia berwajah menarik tapi mungkin juga berwajah kurang menarik.
Terlepas ia sudah tua atau tidak, menarik atau tidak, yang pasti ketika orang melihat ia hanya duduk dengan sopan di sudut ruangan, biarpun belum pernah melihat seorang perempuan, mereka tetap akan menganggapnya sebagai seorang nenek.
Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
161 Sejak awal Sukong Ti-sing sudah merasa ia tidak mirip seorang nenek, tiada sesuatu yang janggal, tapi indera keenamnya mengatakan begitu. Tiga biji bintang.
Sukong Ti-sing tahu, orang yang sedang dihadapi bukan manusia, tapi sebiji bintang.
Seperti juga Liok Siau-hong, Sebun Jui-soat, Yap Koh-seng, bintang-bintang yang cemerlang.
Sepeti juga dirinya, sebuah bintang gemerlapan! Tapi ketika ia sadar bintang apa yang sebenarnya sedang ia petik, ia tak sadarkan diri.
Di kemudian hari si Kuah daging bercerita, "Dengan mata kepala sendiri kusaksikan Sukong Ti-sing berjalan menghampirj nenek itu, si nenek membisikkan sesuatu di sisi telinganya."
"Kemudian?"
"Kemudian aku lihat Sukong Ti-sing yang menyamar sebagai Sebun Jui-soat dan sengaja berlagak dingin, sadis tanpa perasaan berubah hebat wajahnya, dengan mata melotot ia mengawasi nenek itu tanpa berkedip, begitu besar matanya melotot, nyaris kedua bin matanya rontok ke tanah."
"Lalu?"
"Lalu aku lihat ia duduk di kursi, peluh bercucuran, matanya mendelong seperti orang kehilangan sukma, kemudian setelah menenangkan diri ia berdiri, tapi mulutnya komat-kamit seperti Tosu yang sedang membaca doa, entah sedang bicara dengan siapa?"
"Kau tidak mendengar apa yang ia komat-kamitkan?"
"Tidak."
"Sebenarnya siapa sih nenek itu?"
"Selama hidup kau tak bakal menyangka, biar Cukat Liang hidup kembali juga ia takkan bisa menebak siapa nenek itu. Ketika Sukong Ti-sing balik ke sisiku, mukanya persis orang yang baru ketemu setan berkepala besar, kepala yang lebih gede dari gilingan tahu."
Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
162 Begitu melihat muka Sukong Ti-sing yang amat tak sedap dipandang itu, tidak tahan si Kuah daging bertanya, "Memangnya barusan kau melihat setan berkepala besar?"
"Tidak ... sayang, di sini mana ada setan kepala besar?"
"Sayang" Apa maksudmu?"
"Aku lebih suka berjumpa dengan setan berkepala besar."
"Jadi nenek itu jauh lebih menakutkan ketimbang setan berkepala besar?"
"Hmm!"
"Siapa dia?"
"Hmm!"
"Apa maksudmu?"
"Biarpun aku tahu juga takkan kukatakan, apalagi aku tidak tahu."
"Tampaknya kau sedang berbohong."
Sukong Ti-sing ingin mendengus pun tak sanggup lagi.
Sesudah menghela napas panjang si Kuah daging berkata pula, "Sungguh tak disangka Sukong Ti-sing tak lebih orang macam begini, selain pintar berbohong juga pengecut bernyali kecil, baru saja orang membisikkan sesuatu, ia sudah ketakutan setengah mati macam cucu kura-kura saja, jangankan bicara, mau kentut pun tidak berani."
Mendadak Sukong Ti-sing berdiri, katanya, "Selamat tinggal!"
Belum selesai perkataan itu diucapkan, tubuhnya sudah tak kelihatan lagi.
Kini tinggal si Kuah daging duduk termangu-mangu di situ, percuma ia marah dan tertegun, semua berakhir tanpa hasil.
Jika Sukong Ti-sing ingin pergi, tak seorang pun bisa menghalangi, tak seorang pun dapat menyusulnya. Biar kemampuan si Kuah daging lebih hebat lagi, ia juga cuma bisa menyaksikan dengan mata terbelalak.
Bisa dibayangkan betapa dongkol dan gusarnya gadis itu.
Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
163 Padahal pencuri itu sudah berjanji akan menemaninya pergi ke kota Ui-sik, tapi sekarang ia pergi begitu saja. Apa gunanya ia marah" Kecuali marah pada diri sendiri, apa yang bisa ia lakukan"
Suami istri misterius itu masih duduk di sudut ruangan sambil komat-kamit, kadang mereka menoleh ke arahnya dan tertawa.
Akhirnya si Kuah daging tak kuasa menahan diri, tiba-tiba badannya melejit ke udara, dengan langkah lebar ia menghampiri meja di sudut ruangan itu.
Begitu tiba di situ, si Kuah daging dibuat makin mendongkol dan gusar.
Ternyata hidangan yang disantap si kakek berwajah kuning dan si nenek berbadan bongkok itu jauh lebih banyak ketimbang jatah makan dua ekor kuda.
Hidangan yang mereka santap semuanya hidangan paling lezat yang biasa dimakan orang yang pandai menikmati masakan enak.
Kebetulan si Kuah daging termasuk orang yang pandai menikmati hidangan lezat, saat ini ia sedang kelaparan.
Yang membuatnya dongkol adalah kedua kura-kura tua itu tidak mempersilakan ia duduk, bahkan mengundangnya bersantap pun tidak.
Hati si Kuah daging tenang kembali.
Tiba-tiba ia duduk, duduk di bangku bekas Sukong Ti-sing, kemudian disambarnya sumpit di hadapannya dan tanpa sungkan lagi ia mulai menyikat hidangan di atas meja.
Dengan terperanjat nenek itu mengawasinya, lalu setelah menghela napas panjang, katanya, "Rasanya banyak perubahan yang telah terjadi tahun ini, padahal sewaktu masih nona, aku tak pernah berbuat begitu."
"Bagaimana keadaan kalian waktu itu?" si Kuah daging bertanya.
"Waktu itu walau ada orang mengundang makan pun belum tentu kami berani mengambil sumpit."
"O, jadi kalian tak berani mengambil sumpit" Berarti waktu itu kalian makan dengan tangan telanjang?"
Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
164 Si kakek tertawa, sementara si nenek mendelik karena mendongkol, sebaliknya si Kuah daging tertawa cekikikan tiada hentinya, saking gelinya sampai sepotong ayam yang sudah disumpitnya lupa dimasukkan ke mulut.
Tiba-tiba ia merasa kedua kura-kura tua itu ternyata tidak memuakkan seperti yang dibayangkan semula.
Baru selesai ingatan itu melintas, mendadak si nenek menggenggam tangan gadis itu, lalu memandangnya dengan sinar mata iba dan simpati, ujarnya,
"Nona cilik, pikiranmu harus lebih terbuka, jangan sekali-kali kau merasa bersedih."
"Sedih?" si Kuah daging tertegun, "siapa bilang aku sedang sedih?"
"Kau tidak sedih?"
"Kenapa aku mesti sedih" Nyonya tua, masa kau tidak tahu bahwa aku adalah seorang yang sangat terbuka?"
Si nenek menghela napas, kali ini ia tidak bicara lagi.
Si Kuah daging juga tidak bicara, ia siap melanjulkan santapannya, namun tiba-tiba mengurungkan niatnya.
Di antara si kakek dan si nenek yang misterius itu seakan-akan muncul sesuatu benda, yang membuat ia tak mampu menelan sisa hidangan yang ada.
Benda itu merupakan semacam perasaan yang sangat aneh, bahkan aneh luar biasa.
Dorongan perasaan yang sangat aneh itulah yang membuat si Kuah daging meletakkan sumpitnya.
"Nyonya tua, bukankah tadi kau mengatakan agar aku tidak bersedih,"
katanya. "Hmm," nenek itu tidak menjawab, hanya menghela napas.
"Kalau begitu tolong tanya, untuk apa aku bersedih?"
"Aku sendiri tidak tahu, keadaan belakangan ini telah banyak berubah, aku sendiri tidak tahu apakah urusan semacam ini dapat membuat orang bersedih."
Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
165 Kemudian setelah menghela napas lagi, lanjutnya, "Aku hanya tahu, sewaktu kami masih kecil, bila menghadapi kejadian seperti ini bukan saja hati kami amat sedih, bahkan secara diam-diam menangis."
Si Kuah daging mulai panik, ia mulai gelisah, lalu desaknya, "Nyonya tua, sebenarnya apa yang terjadi?"
"Tahukah kau Sebun Jui-soat telah tiba di kota Ui-sik?"
"Ya, baru saja kudengar berita itu."
"Tahukah kau apa sebabnya ia pergi ke sana?"
"Katanya pergi mencari Liok Siau-hong, bagaimanapun juga ia adalah sahabatnya."
"Kau keliru, dia ke sana bukan untuk mencari Liok Siau-hong, karena di dunia ini tak ada orang yang bisa menemukan Liok Siau-hong."
"Kenapa?"
"Sebab orang hidup tak mungkin bisa menemukan orang mati, jika orang hidup ingin menemukan orang mati, maka ia mesti mati lebih dulu. Sebun Jui-soat bukan pergi untuk mati, ia pergi untuk membalas dendam bagi Liok Siau-hong."
Liok Siau-hong sudah tewas di kota Ui-sik, tak bisa disangkal berita itu dengan cepat menyebar ke seluruh dunia persilatan.
Tampaknya si kakek dan si nenek bukan termasuk orang yang suka berbohong, kalau tidak, mana mungkin mereka bisa membuat kaget Sukong Ti-sing hingga kabur terbirit-birit"
Si Kuah daging sendiri tidak tahu dengan cara bagaimana ia menuruni rumah makan itu, lebih-lebih tak tahu bagaimana reaksinya waktu mendengar berita itu.
Ia hanya tahu saat ini sudah duduk di bawah sebatang pohon besar dan rindang, bahkan sudah menangis hingga berubah jadi seorang gadis penuh air mata.
Zaman dulu sampai sekarang sama saja keadaannya, seorang gadis normal yang punya perasaan pasti akan bersedih untuk lelaki yang dicintainya.
Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
166 Dalam hal yang lain mungkin sikap serta tindakan si Kuah daging agak berbeda dengan orang kebanyakan, tapi perasaannya sama sekaii tidak di bawah perasaan perempuan mana pun.
Air matanya yang bercucuran, tidak lebih sedikit ketimbang air mata orang lain.
--00" Angin berhembus kencang menerbangkan pasir kuning di tepi perbatasan.
Kota Ui-sik, sebuah kota yang terlupakan oleh waktu, penduduk kota Ui-sik memang sengaja melupakan waktu.
Terlepas dilupakan atau melupakan, ada satu persamaan di antara keduanya, yaitu kota Ui-sik sama sekali tidak berubah.
Ketika pertama kali mengayunkan langkah memasuki kota Ui-sik, yang terlihat pertama kali oleh Sebun Jui-soat adalah seorang pengemis yang berbaring di tepi jalan.
Tentu saja si pengemis itu adalah anak murid angkatan kedua puluh tiga Kay-pang, Ui Siau-cong. Ketika Ui Siau-cong melihat kehadiran Sebun Jui-soat, sinar matanya yang berbinar persis sama ketika melihat Liok Siau-hong.
Tapi Sebun Jui-soat bukan Liok Siau-hong.
Kalau Liok Siau-hong segera mencari tahu dimana letak rumah penginapan, Sebun Jui-soat hanya menatapnya dengan sorot mata dingin.
Sinar mata dingin itu seakan anak panah yang langsung menghujam hati Ui Siau-cong.
"Kau ingin mencari rumah penginapan?" tanyanya kemudian.
Sebun Jui-soat tidak menjawab, kadangkala membungkam merupakan semacam jawaban, paling tidak bagi orang macam Ui Siau-cong yang sudah terbiasa bicara menurut perubahan wajah orang, kebungkaman Sebun Jui-soat dianggap sebagai jawaban.
Rumah kelontong milik si Mata besar yang terbuat dari kayu masih tetap seperti sedia kala, di situ masih tersedia sebuah ranjang kayu, di atas ranjang terbentang seprei berwarna putih, hanya bedanya, seprei itu Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
167 nampak bersih, baru dan sangat putih, seputih pakaian yang dikenakan Sebun Jui-soat.
Ui Siau-cong mengawasi mata Sebun Jui-soat tanpa berkedip, sementara sorot mata Sebun Jui-soat terpancang pada kertas merah yang ditempelkan di atas ranjang kayu, kertas yang bertuliskan beaya sewa kamar dan makanan.
Ui Siau-cong ingin mencari tahu sesuatu dari perubahan wajah Sebun Jui-soat, tapi wajah orang itu seakan salju beku berusia ribuan tahun, dingin dan keras, seakan ditusuk dengan pedang pun tak tembus, apalagi hanya dengan sepasang mata"
Terpaksa Ui Siau-cong berkata sambil tertawa, "Inilah satu-satunya tempat menginap di kota Ui-sik, Kongcu puas bukan?"
"Tentu saja puas, selain tidur dan makan, permintaan apapun dapat kami layani dengan baik, masakah tidak puas?"
Tentu saja yang menjawab bukan Sebun Jui-soat, karena suara itu merdu dan nyaring, sudah jelas suara seorang perempuan.
Menyusul Laopan Nio berjalan masuk sambil meliuk-liukkan badannya.
Dengan senyuman genit dan goyangan pantat merangsang ia berjalan ke hadapan Sebun Jui-soat, "Kongcu ...."
Tiba-tiba Laopan Nio menutup mulut, bukan saja perkataannya tidak diselesaikan, senyuman genit di wajahnya pun seketika hilang tak berbekas.
Salju, bila bertemu cahaya matahari yang hangat pasti akan mencair, akan tetapi bila bongkahan salju yang telah membeku ribuan tahun, jangankan mencair, malah sebaliknya cahaya matahari yang berubah, berubah jadi dingin dan suram.
Wajah Sebun Jui-soat yang dingin sudah cukup membuai Laopan Nio tak tahan, jangankan menanggapi, melirik sekejap ke arah perempuan itupun tidak, ia segera membalikkan badan dan pergi dari situ.
Dalam keadaan begini, bagaimana mungkin Laopan Nio dapat melanjutkan perkataannya dan senyumnya tidak lenyap"
Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
168 "Kongcu ... Kongcu ...." Ui Siau-cong memanggil sambil mengintil di belakangnya.
Sebun Jui-soat seperti orang tuli, ia melanjutkan langkahnya menuju ke depan pintu toko kelontong
Bagi Ui Siau-cong, tindakan semacam ini termasuk juga jawaban.
Ui Siau-cong kecewa pada Ong Toa-yan dan Laopan Nio, sikapnya apa boleh buat, lalu ia pentang mulut hendak mencaci-maki Sebun Jui-soat.
Mulutnya sudah terpentang lebar, namun keburu tertegun, dengan mata terbelalak ia mengawasi pintu toko tanpa berkedip.
Sebun Jui-soat! Baru saja kakinya melangkah masuk, tiba-tiba ia memutar badan dan kembali keluar.
Sekulum senyuman tersungging di ujung bibir Laopan Nio, senyumannya secerah bunga yang mekar di musim semi.
Sayang Sebun Jui-soat adalah Sebun Jui-soat, ia masih juga tidak memandang ke arah Laopan Nio. Sorot matanya tidak melihat manusia tapi benda.
Tangannya bergerak, bergerak mengikuti sorot matanya, lalu mengambil sebuah obor dan mercon dari atas rak.
Dengan tangan kiri ia comot obor serta mercon itu, sementara tangan kanan menyentil ke depan, sekeping uang segera terjatuh di atas meja kasir.
Tingkah laku Sebun Jui-soat menarik rasa ingin tahu Laopan Nio, tak kuasa ia ikut keluar.
Buat apa Sebun Jui-soat membeli obor dan mercon"
Ketika Sebun Jui-soat melangkah di jalanan berpasir di kota Ui-sik, mercon dalam genggamannya tiba-tiba mendesis, lalu meluncur ke tengah udara.
Ketika meledak, mercon itu memancarkan cahaya api ke empat penjuru, kemudian terhembus angin berpasir dan lenyap.
Kemana Sebun Jui-soat akan pergi"
Laopan Nio sekalian tahu, arah yang dituju bukan meninggalkan kota itu.
Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
169 Ia tidak meninggalkan kota Ui-sik, bahkan mencari sebuah batu besar di tepi jalan dan duduk di situ bagai seorang pendeta tua, mirip sebongkah es yang sepanjang tahun tak pernah ketemu cahaya.
--00" Bersambung ke 7
Bagian 7 Matahari telah tenggelam di balik bukit, cahaya senja merah menghiasi seluruh langit, ketika cahaya membias di atas tubuh Sebun Jui-soat yang putih, terpantullah selapis cahaya berkilauan yang memedihkan mata.
Angin berhembus makin kencang. Suaranya keras, namun tak dapat menutupi suara derap kaki kuda yang sangat ramai.
Menyusul dua puluh empat ekor kuda telah muncul di jalan berpasir menuju kota Ui-sik.
Kuda-kuda itu berlari sangat cepat dan tiba-tiba berhenti, berhenti di luar kota Ui-sik.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun semua penunggang kuda itu melompat turun, kedua puluh empat ekor kuda membentuk garis memanjang.
Siapa mereka" Mau apa datang kemari"
Pertanyaan ini melintas dalam benak Laopan Nio sekalian.
Kedua puluh empat orang melompat turun dari kuda dengan gerakan sangat terlatih, mulai melakukan tugas dan pekerjaan, bangga pengemis cilik itu berkata.
"Kau tahu?"
"Ya."
"Coba katakan mau apa mereka kemari?"
"Mereka datang mengantar air untuk mandi."
Kontan Laopan Nio mengangkat tangan siap menjitak batok kepala pengemis cilik itu, tapi tidak benar-benar dilakukan, bukan lantaran Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
170 pengemis cilik itu mengegos, melainkan karena secara tiba-tiba Laopan Nio telah memahami sesuatu.
Sekarang ia tahu, pengemis cilik itu bukan sedang mengerjai dirinya.
Kedatangan rombongan itu memang khusus mengantar air mandi.
Maka dengan mata terbelalak dan mulut melongo ia berseru, "Jadi ia benar-benar adalah Sebun Jui-soat?"
"Omong kosong, selain Sebun Jui-soat, siapa lagi yang berani masuk ke kota Ui-sik tanpa mengucapkan sepatah kata pun?"
"Betul. Kecuali Sebun Jui-soat, siapa lagi yang suka kebersihan" Siapa lagi yang enggan menginap di hotel paling megah di kota Ui-sik ... toko kelontong milikku?" Lopan toko kelontong itu seakan berubah jadi sangat pintar.
"Untuk sampai di kota Ui-sik, orang harus menempuh perjalanan sehari penuh dengan diterpa pasir kuning, kecuali Sebun Jui-soat, siapa lagi yang teringat untuk mandi dan ganti pakaian?" kata si pengemis cilik dengan bangga.
Mendadak Laopan Nio mengernyitkan alis.
"He, kenapa kau?" pengemis cilik menegur.
"Kenapa" Masa kau tidak melihat, berapa banyak anak buah yang diajak Sebun Jui-soat?"
"Soal itu kau tak perlu kuatir," tukas pengemis cilik sambil tertawa, "jika Sebun Jui-soat meraih kemenangan dengan mengandalkan jumlah banyak, dari dulu ia sudah bukan Sebun Jui-soat. Selama hidup ia selalu melakukan sepak terjangnya seorang diri."
"Lalu bagaimana dengan orang-orang berbaju hitam itu?"
"Mereka tak lebih hanya sekawanan pelayan yang khusus bertugas melayani keperluannya. Penampilan Sebun Jui-soat tak ubahnya seperti hartawan kaya, bukan seorang pendekar pedang."
Kening Laopan Nio yang semula berkerut kencang kini kembali normal.
Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
171 Ternyata kawanan berbaju hitam itu memang datang untuk mengantar air mandi buat Sebun Jui-soat, begitu semuanya siap, Sebun Jui-soat bangkit berdiri dan berjalan menuju tenda.
"Mari kita pergi!" kata Lopan toko kelontong ketika melihat Sebun Jui-soat masuk ke dalam tenda, lalu ia berbalik dan kembali ke tokpnya.
"Pergi" Kalau mau pergi, kalian boleh pergi lebih dulu," jawab Laopan Nio.
"Kenapa" Memangnya kau ingin melihat Sebun Jui-soat mandi?" pengemis cilik membelalakkan mata.
"Dasar anak pintar, sekali tebak sudah benar," Laopan Nio tertawa cekikikan.
"Apa bagusnya melihat orang mandi?" tanya Lopan toko kelontong.
"Kalau orang lain yang mandi memang tidak menarik, tapi yang mandi adalah jago pedang kenamaan macam Sebun Jui-soat, jelas peristiwa ini merupakan pertunjukan yang sangat langka."
Dengan kening berkerut Lopan toko kelontong segera membalikkan badan, siap meninggalkan tempat itu.
"Tunggu sebentar!" tiba-tiba pengemis cilik berteriak.
"Ada apa" Memangnya kau pun ingin mengintip Sebun Jui-soat mandi?"
"Sstt, coba dengar!"
Suara derap kaki kuda.
Lopan toko kelontong segera memandang ke arah pengemis kecil, si pengemis memandang ke arah Laopan Nio, sedang Laopan Nio berbalik memandang Lopan toko kelontong.
Tak aneh kalau mereka saling pandang, tenda sudah didirikan, air mandi sudah digotong masuk, pakaian bersih sudah diantar, keempat nona yang melayani mandi pun sudah tiba, lalu mau apa pendatang itu kemari"
Dengan cepat kuda itu mulai kelihatan, juga penunggangnya.
Kali ini bukan lelaki berbaju hitam yang menunggang kuda, melainkan seorang nona berbaju kembang-kembang.
Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
172 Nona itu melarikan kudanya amat kencang dan mendekati tenda, begitu melompat turun, langsung menyelinap masuk ke balik tenda.
Hanya sebentar ia berada dalam tenda itu, lalu keluar kembali. Sesudah keluar, ia tidak lagi menungggang kudanya, melainkan menuntun kuda itu mendekati Laopan Nio.
"Itu dia, kau bakal dapat order," ujar pengemis cilik kepada Lopan toko kelontong.
"Order apa?"
"Kama bobrok di belakang rumahmu bakal disewa orang malam ini."
"Darimana kau tahu?"
"Masa kau tidak melihat perempuan itu hanya masuk sebentar lalu keluar lagi" Ia pasti ingin numpang menginap dalam tenda Sebun Jui-soat tapi segera diusir keluar, Sebun Jui-soat pasti sudah memberitahukan satu-satunya kamar mewah yang ada dalam toko kelontongmu kepadanya, kamar paling megah di kota Ui-sik."
"Sejak kau melihat Sebun Jui-soat, sudah berapa patah kata yang ia ucapkan?" tanya Lopan toko kelontong.
"Tak sepatah kata pun."
"Kau sangka Sebun Jui-soat bakal mengobral kata untuk memberitahukan kamar mewahku kepada perempuan itu?"
Pengemis cilik garuk-garuk kepalanya yang tak gatal, segera katanya lagi,
"Diberitahu atau tidak bukan masalah, toh di kota Ui-sik hanya kamar di tokomu yang bisa disewa, jika ia ingin mondok malam ini, berarti kau bakal mendapat order."
Lopan toko kelontong tidak menanggapi perkataannya, karena perempuan itu sudah mendekati mereka.
"Kau ingin mencari kamar pondokan?" tiap kali melihat nona berparas cantik, mata pengemis cilik selalu nampak berkilauan.
"Memang aku mau cari tempat menginap, tapi itu urusan kedua."
Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
173 "Aku tahu apa urusanmu yang perlama," wajah pengemis cilik semakin bersinar.
"Kau benar-benar tahu?"
"Tentu saja, biasanya orang yang mencari penginapan adalah orang yang melakukan perjalanan, perutnya tentu lapar, pekerjaan pertama yang ingin ia lakukan pasti menangsal perut, maka persoalan pertamamu adalah ingin tahu dimana bisa membeli makanan enak, bukankah begitu?"
"Salah!"
"Oya?"
"Pertama, kalau ingin makan, aku pasti akan makan rangsum yang kubawa sendiri. Kedua, sebelum datang kemari aku sudah makan kenyang."
"Lantas kau ...."
"Aku kemari untuk menyampaikan pesan."
"Menyampaikan pesan" Pesan siapa?"
"Pesan Sebun Jui-soat."
Pengemis cilik tak mampu berkata lagi, ia hanya melongo.
"Pesan apa yang hendak disampaikan?" akhirnya Laopan Nio bertanya.
"Ketika aku masuk ke dalam tenda, tahukah kau apa yang ia katakan?"
"Apa yang ia katakan?" tanya pengemis cilik.
"Enyah!"
"Maka kau pun datang kemari" Berarti ia tidak menyuruhmu menyampaikan pesan!"
"Ada!"
"Ada" Aku tak mengerti," pengemis cilik itu garuk-garuk kepala lagi.
"Sebentar kau bakal mengerti. Karena yang disuruh enyah bukan aku, melainkan kalian!"
Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
174 "Darimana kau tahu kalau bukan kau yang disuruh enyah" Mana mungkin ia menyuruh kami enyah" Toh kau yang memasuki tendanya?"
"Benar, tapi memasuki tenda orang bukan pelanggaran, yang melanggar adalah mengintip orang sedang mandi."
Perempuan itu menengok ke arah Laopan Nio, lalu melanjutkan, "Walaupun yang ingin ia sampaikan hanya kata 'enyah', tapi arti sesungguhnya adalah minta kalian segera enyah dari sini, jangan mengintip lelaki sedang mandi."
"Apa hubunganmu dengannya?" tanya Laopan Nio, "apakah kau cacing pita dalam perutnya" Kalau tidak, darimana kau tahu maksudnya?"
"Tentu saja aku tahu."
"Kenapa?"
"Karena ia adalah sahabatku, Sebun Jui-soat belum pernah menyuruh temannya enyah dari hadapannya."
Laopan Nio tidak bicara lagi, pengemis cilik serta Lopan toko kelontong juga tak bicara.
--00" Selesai membaca kertas merah Jiang tertempel di dinding bagian dalam rumah kecil di belakang toko kelontong, perempuan itu berkata kepada Laopan Nio, "Kuputuskan untuk menyewa kamar ini, apakah harus bayar di rnuka?"
"Tentu saja," jawab pengemis cilik cepat.
"Aku bukan bertanya kepadamu, siapa yang menjadi Lopan tempat ini?"
Pengemis cilik tidak bicara lagi.
Setelah menerima 50 keping mata uang, Laopan Nio mengerling sekejap ke arah pengemis cilik, kemudian beranjak keluar kamar.
"Tunggu sebentar," tiba-tiba perempuan itu berseru.
"Ada apa" Ingin menyampaikan pesan Sebun Jui-soat lagi?"
"Heran, darimana kau tahu?"


Senyuman Dewa Pedang Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
175 Benarkah pesan Sebun Jui-soat"
Sambil garuk-garuk kepala, seru pengemis cilik, "Bukankah ia hanya mengucapkan kata 'enyah'?"
"Benar, tapi tahukah kau bahwa perkataan itu mengandung arti yang sangal luas?"
"Darimana aku tahu" Kau benar-benar tak tahu aturan!"
"Sekarang baru kau tahu" Tahukah kau siapa namaku" Aku bernama si Kuah daging, nama ini sudah cukup bukan?"
Lagi-lagi pengemis cilik tak sanggup bicara.
"Dengarkan baik-baik, kata Sebun Jui-soat seluruh penghuni kota ini mulai besok pagi hingga matahari menyinari pantat kalian, secara bergilir kalian harus mendatangi tendanya, ia ingin rnengajukan pertanyaan."
"Dia sangka siapa dirinya" Memangnya kaisar?" jengek pengemis cilik sinis.
"Tepat, mulai saat ini dialah kaisar kota Ui-sik!" si Kuah daging menegas.
"Kalau kami tak bersedia?" tanya Iopannio.
"Tidak bersedia" Boleh saja, mungkin di kemudian hari sudah tak ada kesempatan lagi."
"Kenapa?"
"Bagaimana mungkin orang yang tak berkaki bisa berjalan ke sana?"
--00" Cahaya matahari membuat debu yang beterbangan nampak jelas. Cahaya matahari pun membuat tenda putih yang berdiri di luar kota Ui-sik nampak lebih menyolok.
Kain tenda di bagian depan tersingkap sedikit ke samping, terlihal jelas sebuah meja yang tertata rapi di tengah tenda, tampak pula dua orang yang sedang duduk di tepi meja.
Seorang berwajah dingin kaku tak lain adalah Sebun Jui-soat. sedang yang lain menebar senyuman cerah, si Kuah daging.
Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
176 Di atas meja tersedia sayur, juga penganan. Di situ pun terdapat arak, tentu saja arak keras.
Sambil menuding bayangan manusia yang sedang berjalan mendekat dari kota Ui-sik, bisik si Kuah daging, "Sudah datang!!"
Wajah Sebun Jui-soat tetap dingin, kaku, tanpa perasaan.
Kelihalannya si Kuah daging sama sekali tak keberatan dengan sikapnya yang dingin kaku itu, katanya dengan suaranya yang merdu bagaikan lonceng, "Semalam aku mengumpulkan seluruh penghuni kota Ui-sik untuk datang menghadap satu per satu, coba lihat. sekarang orang pertama sudah datang."
Sebun Jui-soat belum bicara, ia mengangkat cawannya, lalu perlahan-lahan menghirup arak dalam cawan.
"Bila mereka sudah datang, aku mewakilimu mengajukan pertanyaan, mencari tahu kabar Liok Siau-hong, bagaimana menurut pendapatmu?"
Masih belum ada jawaban.
"Tapi aku mesti jelaskan lebih dulu, apa yang kukatakan berdasarkan pendapatmu, bila pembicaraan kurang lancar hingga mereka ingin bertarung, itu urusanmu."
Sebun Jui-soat masih belum bicara, ia hanya menggunakan sorot matanya yang dingin, mengawasi orang yang sedang berjalan masuk ke dalam tenda.
"Siapa yang datang?" tegur si Kuah daging.
Orang itu memandang sekejap ke arah Sebun Jui-soat, tapi begitu menatap sorot mata yang dingin bagaikan mata panah, segera ia alihkan sorot matanya ke wajah si Kuah daging .
"Aku she Tio, si Buta Tio."
"Matamu tidak buta, kenapa dipanggil si Buta Tio?"
"Sama seperti nona, aku tidak mengendus bau daging, juga tidak melihat ada kuah daging yang mengepul, kenapa disebut si Kuah daging?"
"Ehm, lihai benar mulutmu, aku malas bersilat lidah, sekarang aku ingin mengajukan pertanyaan, dengarkan baik-baik, pertanyaan ini bukan Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
177 pertanyaanku, aku hanya mewakili Sebun Jui-soat, jadi kau mesti menjawab sejujurnya, kalau tidak, hm, jangan sampai dirimu berubah seperti julukanmu."
"Berita apa yang ingin nona ketahui?"
"Bukan aku yang ingin tahu, Sebun-tayhiap yang ingin tahu."
"Ya!"
"Baik, pernahkah kau berjumpa Liok Siau-hong?"
"Pernah."
"Dimana?"
"Di sini."
"Bagus, dimana dia sekarang?"
"Sudah mati."
"Mati?" si Kuah daging membelalakkan mata dengan mulut melongo.
Sementara Sebun Jui-soat masih tidak menunjukkan reaksi apapun.
"Kau tidak membohongi aku?" suara si Kuah daging terdengar gemetar.
"Bila tidak percaya, boleh kau tanya pada orang berikutnya."
"Tentu saja aku tak percaya, siapa yang percaya Liok Siau-hong mati" Kau percaya?"
Si Kuah daging menengok ke arah Sebun Jui-soat, suaranya masih gemetar.
Sebun Jui-soat tidak menjawab, matanya mengawasi orang yang muncul di jalan raya kota Ui-sik.
Orang itu adalah si pengemis cilik.
Selanjutnya Lopan toko kelontong, lalu Laopan Nio. Mereka memberikan jawaban yang sama.
"Liok Siau-hong sudah mati."
Apakah si Kuah daging percaya"
Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
178 "Aku tidak percaya, masih ada seorang lagi, jika dia pun mengatakan. Liok Siau-hong sudah mati, mungkin aku bakal percaya."
"Siapa?" sebelum meninggalkan pintu Laopan Nio bertanya.
"Sah Toa-hu!"
Sah Toa-hu tidak datang, yang muncul salah satu kacungnya. Kacung keluarga Sah datang dengan membawa sepucuk surat undangan, ditujukan kepada Sebun Jui-soat yang sangat dikagumi, mengundangnya makan malam bersama.
Selesai membaca tulisan yang tertera di undangan itu, si Kuah daging mendongkol bercampur panik, tiba-tiba ia mengeluarkan tiga buah tanda waktu dari pasir.
Ia letakkan ketiga tanda waktu itu di atas meja, lalu ujarnya kepada kacung itu, "Sudah kau lihat ketiga tanda waktu itu?"
Kacung itu mengangguk.
"Bila kubalik, maka pasir akan mulai mengalir ke bagian bawah, ketika pasir itu habis, berarti sudah saatnya kau balik ke rumah Sah Toa-hu, mengerti?"
Kacung itu mengangguk.
"Tanda waktu yang kedua akan kubalik" saat yang pertama habis, ketika pasir habis, berarti saatnya Sah Toa-hu tiba di sini mengerti?"
Kembali kacung itu mengangguk.
"Tanda ketiga tak perlu digunakan lagi jika Sah Toa-hu telah datang, tapi bila ia menolak datang, maka sebelum pasir ketiga habis, batok kepalanya pasti sudah melayang meninggalkan raga, kau percaya tidak?"
"Aku percaya."
"Kalau begitu cepatlah pulang, sekarang juga aku akan mulai menuang pasir yang pertama."
Kacung itu ketakutan hingga mukanya pucat, bagaikan seekor anjing digebuk, ia kabur terbirit-birit.
Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
179 Tanda waktu pasir pertama sudah hampir habis tertuang, si Kuah daging memandang Sebun Jui-soat sekejap, lalu tanyanya, "Seharusnya kacung itu sudah tiba di rumah bukan?"
Sebun Jui-soat tidak menjawab, matanya bahkan tak pernah melirik sekejap pun ke arah tanda waktu itu.
Si Kuah daging telah membalik tanda waktu kedua, tangannya sedikit gemetar.
Apakah ia takut akan kedatangan Sah Toa-hu" Ataukah takut jika Sah Toa-hu pun mengatakan Liok Siau-hong telah mati"
Akhirnya Sah Toa-hu datang.
Pasir mesin waktu kedua sudah hampir habis tertuang.
Dari jauh tampak bayangan Sah Toa-hu sedang mendekat dengan langkah terburu-buru.
Sekujur tubuh si Kuah daging mulai gemetar, menggigil.
Kali ini Sebun Jui-soat pun dapat merasakan si Kuah daging sedang menggigil, katanya, "Tenang!"
Biarpun hanya sepatah kata, namun mendatangkan reaksi yang cukup menghangatkan badan, si Kuah daging tidak menggigil lagi.
Si Kuah daging benar-benar tenang kembali, dengan nada amat tenang, ujarnya kepada Sah Toa-hu yang sedang mendekati tenda.
"Jadi kau yang bernama Sah Toa-hu?"
"Betul, setiap penghuni kota ini memanggil aku Sah Toa-hu."
"Ehm, kau memang mirip dari keluarga besar."
"Nona terlalu memuji."
"Aku tidak memujimu, sebagai kepala keluarga sebuah keluarga besar, kau mesti tahu diri, orang yang tidak tahu diri mana mungkin bisa menjadi kepala keluarga di tempat semacam ini?"
Sah Toa-hu tertawa.
Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
180 Kembali si Kuah daging berkata, "Apakah selanjutnya kau masih bisa menjadi kepala keluarga, itu belum pasti."
"Oya" Kenapa?"
"Sebab harus dibuktikan dulu, apakah sekarang kau sudah tahu diri dan pandai menyesuaikan diri dengan kenyataan."
"Kalau aku tak tahu diri, tak pandai menyesuaikan diri dengan kenyataan, buat apa berdiri di sini?"
"Bagus sekali, kalau begitu sekarang aku mewakili Sebun-tayhiap mengajukan pertanyaan kepadamu, kau harus menjawab dengan sejujurnya."
"Pertanyaan apa" Apakah sama seperti pertanyaan yang hari ini kau ajukan kepada seluruh penghuni kota?"
"Kalau memang sudah tahu. langsung saja jawab."
"Aku mesti menjawab apa?"
"Jawab saja sejujurnya."
"Sejujurnya" Biar aku menjawab sejujurnya pun kalian tetap tak percaya!"
Paras si Kuah daging berubah hebat, pucat-pasi. Mulutnya ternganga lebar, namun tak sepatah kata pun sanggup diucapkan.
Setetes air mata mengembeng di ujung matanya dan makin lama makin bertambah besar, akhirnya perlahan-lahan meleleh ke bawah rnembasahi pipinya.
Kembali ia berkata dengan suara terisak, "Maksudmu ... dia ... dia sudah ...
sudah mati?"
"Ya, dia sudah mati!" tiba-tiba suara Sah Toa-hu berubah sangat dingin.
Si Kuah daging tidak sanggup bicara lagi, dengan sepasang tangannya ia menutupi wajah.
Kembali Sebun Jui-soat bertanya, "Kau punya bukti?"
"Punya!"
Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
181 Bukti terbaik tentu saja kalau dapat melihat jenazah Liok Siau-hong. Untuk melihat jenazah Liok Siau-hong, tentu saja harus berkunjung ke toko penjual peti mati. Ini menurut pandangan Sah Toa-hu.
Biasanya jenazah akan dikebumikan di pekuburan, kenapa untuk melihat jenazah harus berkunjung ke toko penjual peti mati"
Sebab tak ada orang yang mengurusi jenazah, penghuni kota Ui-sik tak bakal mengubur jenazah orang yang telah mati.
Itupun menurut Sah Toa-hu.
Sah Toa-hu sudah selesai berkata, mereka pun tiba di toko penjual peti mati, segala sesuatu telah diperhitungkan dengan matang, mereka sudah berdiri di depan pintu..
Si Buta Tio sudah tahu mereka bakal datang ke situ, sambi! mendengus dingin, katanya, "Perkataanku tidak kalian percaya, ucapan Sah Toa-hu baru kalian percaya. Ini namanya jawaban yang benar pun tergantung status sosial."
Perkataannya sangat masuk akal, tak ada yang bicara, semua orang tidak menaruh perhatian kepadanya, sama sekali tidak peduli kehadirannya, mereka hanya mengayunkan langkah, memasuki toko penjual peti mati.
Kali ini si Kuah daging benar-benar menangis, isak tangisnya keras sekali.
Ia sudah melihat peti mati, telah melihat pula meja abu yang berada di depan peti mati, siapa yang tidak sedih"
Malah Sebun Jui-soat yang selalu tampil dingin, kaku, tanpa perasaan pun kelihatan wajahnya sedikit berubah.
Sebab di atas leng-pay tertulis: "Sahabat lama Liok Siau-hong".
Kata Sebun Jui-soat, "Buka!"
"Sudah kuduga pasti ada yang akan datang menengoknya," kata si Buta Tio,
"oleh sebab itu tutup peti mati ini tak dipaku."
"Buka!" kata Sebun Jui-soat singkat dan sederhana.
Si Buta Tio memandang Sah Toa-hu sekejap, lekas mereka menggeser penutup peti mati itu.
Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
182 Suara tangis si Kuah daging bertambah keras dan nyaring.
Tiba-tiba si Buta Tio menatap si Kuah daging, tegurnya, "Buat apa kau menangis, apakah kau yakin tubuh yang terbaring dalam peti mati itu Liok Siau-hong?"
Si Kuah daging tidak menangis lagi, dengan melotot ia mengawasi si Buta Tio. Lalu perlahan-lahan berjalan menuju ke tepi peti mati.
Dengan seksama si Kuah daging memeriksa jenazah dalam peti mati itu, ia periksa wajahnya, luka mematikan di atas dadanya.
Kemudian tiba-tiba ia tertavva.
Ia mendongakkan kepala sambil terlawa terbahak-bahak, lalu menuding si Buta Tio, serunya, "Kau memang sangat menarik, kau bilang ia bukan Liok Siau-hong ...."
Mendadak suara tawanya berubah amat mengenaskan.
Lama sekali Sebun Jui-soat mengawasi tubuh Liok Siau-hong, parasnya sama sekali tak berubah.
Ia memandang terus, hingga suara tawa si Kuah daging yang mengenaskan berubah jadi jeritan tangis, lalu sesenggukan, setelah itu baru ia berkata,
"Tutup!"
Ketika peti mati ditutup si Kuah daging pun tidak menangis lagi, tiba-tiba Sebun Jui-soat berkata pula, "Turun!"
Sewaktu mengucapkan perkataan itu, kepala Sebun Jui-soat sama sekali tidak menengadah. Justru yang menengadah adalah si Kuah daging, Sah Toa-hu serta si Buta Tio.
Begitu mendongak, mereka lihat orang itu bergelantungan di wuwungan rumah, wajahnya menghadap jendela.
Orang itu melompat turun.
"Pengemis cilik!" tegur si Buta Tio, "mau apa kau sembunyi di luar jendela"
Ingin mencuri peti matiku?"
"Sialan, tutup bacot busukmu, buat apa aku mencuri peti mati. Kalau terpaksa mencuri, buat siapa lagi kalau bukan untukmu?"
Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
183 "Lantas mau apa kau di situ?"
"Tak apa-apa, hanya datang mengantar surat undangan."
"Mengantar surat undangan" Untuk siapa?"
"Bukan untukmu, tampang busukmu menyeramkan, siapa yang mau memberi undangan" Aku mengantar undangan untuk Sebun-tayhiap."
Isi undangan hanya terdiri beberapa patah kata: "Lama mengagumi nama besar Tayhiap, meski aku hidup terasing kehadiranmu harus disambut, besok tengah hari, dengan air teh khusus menyambut kedatanganmu".
Apakah Sebun Jui-soat akan datang memenuhi undangan"
Tentu saja tak mungkin ia datang untuk mencari Liok Siau-hong, kini Liok Siau-hong sudah mati dan ia harus menyelidiki sebab kematiannya, mana ada selera minum teh"
Tapi ia tetap akan menghadirinya.
Sebab di surat undangan itu masih tertera sebaris tulisan, "Aku mengetahui sedikit kabar sebab kematian Liok-tayhiap."
Bila ingin tahu siapa yang paling tidak sopan, jawabannya mudah sekali.
Sebun Jui-soat.
Seorang yang tidak banyak bicara, tentu saja ia pun tak bakal mengucapkan perkataan basa-basi yang tak berguna.
Asal memahami watak dan kebiasaan Sebun Jui-soat, mereka tak bakal menganggapnya seorang yang tak tahu sopan santun.
Oleh sebab itu dalam dunia persilatan tinggal tersisa satu orang yang benar-benar tak mengerti sopan santun.
Si Kuah daging.
Bukan saja ia tak kenal sopan santun, bahkan ia pun tak mau membicarakan soal sopan santun.
Maka ketika berjumpa Kiong So-so, dengan nada mendesak ia menegur,
"Kau tahu sebab kematian Liok Siau-hong?"
Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
184 Dalam hal mengendalikan diri, Kiong So-so adalah yang terbaik.
Sehabis mendengar kata-kata si Kuah daging, Kiong So-so tidak menjadi gusar, bahkan parasnya sama sekali tak berubah, ia masih tampil dengan sikapnya yang anggun, dingin dan cantik.
Sesudah menghela napas panjang, ujarnya, "Orang baik kenapa justru mati dalam usia muda?"
"Siapa yang mernbunuhnya?" tanya si Kuah daging.
Kembli Kiong So-so menghela napas panjang. "Liok Siau-hong adalah orang yang paling kukagumi, ternyala ia tewas di kota Ui-sik, aku sungguh merasa sedih."
"Seharusnya akulah yang paling sedih," sela si Kuah daging.
"Kenapa?"
"Masa kau tidak tahu hubunganku dengannya" Cepat katakan, siapa pembunuhnya" Aku pasti membalaskan dendam baginya."
"Siapa pembunuhnya" Siapa yang mampu membunuh Liok Siau-hong"
Tentu hanya orang yang paling dekat dengannya, hanya dialah yang dapat membuatnya lengah."
"Siapa?"
"Kau akan segera mengetahuinya. Aku telah mengutus orang mengundangnya, sebelum mereka kemari, bagaimana kalau kita minum satu dua cawan, anggap saja sebagai penghormatan kita bagi arwah Liok-tayhiap?"
Kembali Kiong So-so menghela napas panjang, ia mengambil cawannya dan meneguk habis isinya
Kuah daging meneguk juga isi cawannya hingga habis.
Bahkan Sebun Jui-soat pun dengan cepat menenggak habis arak dalam cawan, lalu meletakkan kembali cawan itu di atas meja.
Saat tangan kanannya masih memegang cawan, dari balik tirai sutera, persis di belakang tubuhnya, tiba-tiba meluncur seseorang.
Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
185 Seorang perempuan yang menggenggam pedang.
Saat Sebun Jui-soat meletakkan cawan adalah kesempatan terbaik untuk menghabisi nyawanya. Ia baru selesai menghabiskan isi cawannya, seluruh konsentrasinya belum terpusat, bahkan ia sedang meletakkan cawan, tangan kanannya dalam keadaan tak berjaga-jaga.
Tampaknya perempuan itu sudah memperhitungkan secara tepat, serangan itu pasti akan mengenai sasaran.
Sayang dugaannya keliru besar.
Kalau segampang itu Sebun Jui-soat tertusuk serangan gelap, namanya bukan Sebun Jui-soat lagi, seharusnya bernama sesosok mayat busuk.
Mayat busuk tak bisa bergerak, tapi Sebun Jui-soat mampu bergerak.
Tubuh Sebun Jui-soat bergeser miring ke sisi kanan, dengan meminjam kekuatan di saat ia meletakkan cawan ke atas meja, ia meluncur dengan kecepatan tinggi, menghindari tusukan maut itu.
Ketika serangan gelap itu gagal mengenai sasaran, perempuan itu tidak melanjutkan kembali bokongannya, ia hanya berdiri tegak di tengah ruangan, berhadapan langsung dengan Sebun Jui-soat.
Sebun Jui-soat masih berdiri dengan sikap dingin, seakan-akan sama sekali tidak melihat kehadiran perempuan itu.
Dalam pada itu Kiong So-so telah melompat bangun sambil membentak nyaring, "Kiong Peng, apa yang kau lakukan?"
"Aku dengar ilmu pedang Sebun-kongcu telah mencapai tingkatan tanpa pedang, aku ingin menjajal kemampuannya."
"Hm! Rupanya kau sudah bosan hidup," ejek si Kuah daging.
Jangankan menanggpi, memandang sekejap ke arah si Kuah daging pun tidak, Kiong Peng hanya menatap tajam wajah Sebun Jui-soat sambil ujarnya, "Cabut pedangmu!"
"Agaknya kau benar-benar sudah bosan hidup," kembali si Kuah daging berkata, "berani amat kau suruh Sebun-tayhiap mencabut pedangnya" Kau tahu apa akibatnya bila ia mencabut pedangnya?"
Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
186 Kiong Peng tetap tidak menggubris.
"Kali ini kau pasti mampus," kembali si Kuah daging berseru.
Kiong Peng tertawa dingin.
"Setiap persoalan pasti ada pengecualian," katanya.
Begitu selesai berkata ia menggetarkan pedangnya dan melancarkan serangan, dalam waktu singkat ia telah melancarkan dua puluh empat jurus.
Sebun Jui-soat dengan cepat menghindar, kemudian terlihat cahaya pedang berkelebat.
Tak seorang pun yang melihat dengan cara apa Sebun Jui-soat mencabut pedangnya, juga tak seorang pun melihat dengan cara apa pedang Sebun Jui-soat menusuk tubuh Kiong Peng, mereka hanya sempat melihat cahaya berkelebat.
Kiong Peng roboh terjungkal, tanpa sempat mengeluarkan suara.
Sah Toa-hu masuk sambil bergelak tertawa dan bertepuk tangan, katanya,
"Ilmu pedang yang hebat, ternyata tingkatan tanpa pedang Sebun Jui-soat memang bukan nama kosong belaka."
Di belakang Sah Toa-hu menyusul Laopan Nio, Lopan toko kelontong serta Ui Siau-cong, si pengemis cilik
Lopan toko kelontong memandang Sebun Jui-soat dan si Kuah daging sekejap, kemudian katanya, "Padahal sejak awal aku sudah tahu pembunuhnya."
"Siapa?" tanya si Kuah daging.
Lopan toko kelontong hanya tertawa tanpa menjawab, yang menjawab malah Laopan Nio, "Padahal ia sama sekali tak tahu siapa pembunuhnya."
"Siapa bilang aku tidak tahu pembunuhnya"'
"Kalau tahu, mengapa tidak kau katakan sejak awal?"
"Kalau sejak awal kukatakan, memangnya aku masih bisa hidup hingga sekarang?"
Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
187 "Kau tidak kuatir sang pembunuh akan membunuhmu untuk menghilangkan saksi?" tiba-tiba pengemis cilik menimbrung.
"Membungkam aku" Bukankah kedoknya akan terbongkar?"
"Sebenarnya siapa pembunuhnya?" desak si Kuah daging.
"Banyak orang yang terlibat dalam pembunuhan ini."
Ucapan itu berkumandang dari luar pintu.
"Kenapa?" tanya pengemis cilik pada si Buta Tio yang sedang melangkah masuk.
"Kenapa" Semakin banyak orang terlibat berarti semakin banyak orang yang akan membeli peti mati, bukankah daganganku semakin laris?"
Dari wajah Sebun Jui-soat yang dingin, mendadak terlintas tawa dingin, katanya, "Benar, pembunuhnya memang banyak."
Siapa pun yang mendengar kata-katanya pasti akan terkesiap.
Semua orang berdiri melengak, termasuk si Kuah dagin sorot mata mereka serentak dialihkan ke wajah Sebun Jui-soat.
Si Kuah daging tak kuasa menahan diri lagi, desaknya, "Siapa orangnya?"
"Dia!" Sebun Jui-soat menuding ke arah Sah Toa-hu.
"Dia!" kembali Sebun Jui-soat menuding Lopan toko kelontong, lalu menuding Laopan Nio, si Buta Tio dan pengemis cilik.
"Masih ada lagi," Sebun Jui-soat menambahkan.
"Masih ada?" si Kuah daging membelalakkan matanya.
"Dia!" Sebun Jui-soat menuding ke arah Kiong So-so.
Mendadak gelak tawa berkumandang di seluruh ruangan.
Tentu saja bukan Sebun Jui-soat atau si Kuah daging yang tertawa, melainkan seluruh orang yang ditunjuk Sebun Jui-soat.
Mereka tertawa dengan penuh rasa bangga, suara tawa yang membuat si Kuah daging tercengang, sebab ia tahu ilmu silat orang-orang itu masih Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
188 bukan tandingan Sebun Jui-soat, tapi mengapa mereka tertawa" Apakah karena mereka bukan pembunuhnya"
Tiba-tiba Kiong So-so berhenti tertawa dan berkata, "Sebun Jui-soat, tebakanmu tepat sekali. Setiap penghuni kota Ui-sik adalah pembunuh Liok Siau-hong."
"Sayang kau terlambat mengetahuinya," sambung Laopan Nio.
"Tidak, belum terlambat," sela si Buta Tio.


Senyuman Dewa Pedang Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kenapa?" tanya pengemis cilik.
"Sebab masih sempat berbaring sendiri dalam peti mati."
Wajah mereka kembali riang dan puas.
Wajah Sebun Jui-soat berubah hebat.
Bukan hanya berubah, peluh dingin juga mulai membasahi jidatnya.
Menyaksikan perubahan wajah Sebun Jui-soat, paras si Kuah daging ikut berubah, ia sudah membuka mulut, namun tak sepatah kata pun yang sanggup diucapkannya.
Kiong So-so memandang si Kuah daging sekejap,. Kemudian ujarnya dengan bangga, "Bukankah kau ingin bertanya, apakah dalam arak dicampuri racun?"
Mata si Kuah daging terbelalak semakin lebar.
"Aku beritahukan kepadamu, arak itu memang beracun." Gelak tawa Kiong So-so makin keras, semakin bangga. Pengemis cilik berjalan menghampiri si Kuah daging, lalu meraba pipi perempuan itu, ujarnya sambil tertawa terkekeh, "Bukankah sekarang kau merasa semakin tak jelas menyaksikan benda di sekelilingmu?"
Kembali pengemis cilik meraba wajah si Kuah daging, ejeknya, "Apakah sekarang kau masih bisa berlagak" Apakah masih ada pesan dari, Sebun-tayhiap yang ingin disampaikan kepada kami?"
Si Kuah daging berusaha meronta, berusaha berjalan menuju ke hadapan Sebun Jui-soat, tapi baru melangkah dua tindakan, ia sudah roboh terjungkal, kebetulan jari tangannya menyentuh sepatu Sebun Jui-soat.
Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
189 Tangan yang lemas tak bertenaga, sentuhan lembut yang tak berkuatan, seolah-olah ada benda ribuan kati yang jatuh menimpa, membuat tubuh Sebun Jui-soat ikut terjungkal.
Sekali lagi gelak tawa berkumandang memenuhi seluruh ruangan.
-- 0o0 -- Di tengah jalan kota yang penuh sesak, dalam sebuah warung arak yang ramai, siapa yang mau peduli dengan kehadiran sepasang kakek nenek berusia lanjut" Biarpun tak ada yang memperhatikan, kakek nenek bertubuh kecil itu duduk disudut yang gelap, suara pembicaraan mereka amat lirih.
Dengan kening berkerut si kakek memandang si nenek sekejap, lalu bisiknya, "Sekarang kau akan berangkat ke Ui-sik?"
"Kalau tidak berangkat sekarang, kapan lagi?"
"Tentu saja kita berangkat setelah situasi diketahui dengan jelas."
"Aku takut ekadaan sudah terlambat."
"Mana mungkin terlambat"''
"Biarpun sampai saatnya kasus ini terbongkar, namun sahabat kecil kita mungkin ikut celaka."
"Masakah Sebun Jui-soat bisa celaka?"
"Ya, dia yang kumaksud."
"Dia bisa celaka?"
"Kau anggap hal ini menggelikan?"
"Tidak, jangan lupa, Liu Ji-kong tewas dan Liok Siau-hong tewas di kota Ui-sik."
Kening si kakek berkerut makin kencang, tiba-tiba ia bangkit.
"Mau apa kau?" si nenek menariknya.
"Mau apa" Tentu saja pergi ke Ui-sik."
--0o0" Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
190 Dari seluruh perusahaan ekspedisi di tiga belas propinsi utara dan selatan sungai besar, andaikata Congpiauthau Tiong-goan-piau-kiok, Pek-li Tiang-cing, tampil dan mengatakan perusahaan ekspedisinya hanya sebuah perusahaan kecil, berarti di kolong langit tiada perusahaan ekspedisi yang berani mengatakan perusahaannya besar.
Pek-li Tiang-cing hanya berani mengatakan perusahaannya nomor dua.
Sebenarnya Tiong-goan-piau-kiok memiliki berapa kantor cabang"
Jangankan orang lain, Pek-li Tiang-cing sendiri pun tak jelas.
Kelewat banyak kantor cabang dan tersohor. Semua itu sudah cukup menjamin kehidupan Pek-li Tiang-cing, cukup membuatnya hidup santai, setiap hari ia bisa memelihara burung, menikmati bunga sambil tiduran.
Sudah tujuh belas tahun Pek-li Tiang-cing tidak mengawal barang, setiap order ia serahkan pada Kim Bong sang Hu-congpiauthau untuk mengurusnya. Kim Bong telah menjadi tangan kanannya, belum pernah ia melakukan kesalahan.
Oleh sebab itu ketika Kim Bong melapor segala sesuatunya telah siap, ia seharusnya manggut-manggut sambil tertawa puas.
Tapi kali ini ia sama sekali tidak tertawa, bahkan dengan wajah serius bertanya, "Apakah semua rute telah diperiksa dengan seksama?"
"Sudah, dan aman," jawab Kim Bong, "kami telah membuat persiapan hampir satu tahun lamanya, Congpiauthau boleh lega."
"Untung ada kau, selama ini kau tak pernah melakukan kesalahan, aku memang seharusnya lega, tapi barang yang harus kita kawal kali ini sangat penting, sangat mempengaruhi kelangsungan hidup kita."
"Aku mengerti, tiga puluh juta lima ratus ribu tahil emas merupakan jumlah yang bisa digunakan untuk apapun, bisa menghidupi delapan puluh keturunan kita."
"Benar, itulah sebabnya kali ini kita tak boleh melakukan kesalahan sekecil apapun, kalau tidak, jangankan kita berdua, mungkin usaha ekspedisi kita bakal jatuh dan musnah, bahkan kita akan dijatuhi hukuman pancung."
"Aku tahu, karena itu secara khusus pihak kerajaan telah mengirim Liu Ji-kong sejak tujuh bulan lalu untuk mengatur rute yang akan kita lalui."
Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
191 "Apakah dari Liu Ji-kong sudah ada berita yang dikirim kemari?"
"Setiap lima belas hari sekali pasti ada berita yang dikirim," jawab Kim Bong, "tapi semuanya hanya berisi sepatah kata."
"Sepatah kata?"
"Ya, aman."
Kalau memang jalur yang akan dilalui sudah terkendali dan aman, berarti sudah waktunya mereka berangkat.
Perjalanan kali ini dipimpin langsung oleh Pek-li Tiang-cing.
-- 0o0 -- Si Kuah daging betul-betul gelisah, selama hidup belum pernah ia merasa sedemikian gelisah seperti ini.
Lebih baik mampus dibacok golok daripada terkurung dalam penjara besar, menunggu pelaksanaan hukuman.
Saat menanti hanya akan mendatangkan kegelisahan, gelisah mendatangkan rasa duka dan tersiksa.
Ia mulai tak tahan, tak sanggup mengendalikan diri.
Sekuat tenaga ia menghantam dinding penjara, menggedor sekeliling ruangan, ia pun mulai menjerit.
Namun selain suara pantulan yang menggema dalam ruang penjara, jawaban yang diperoleh hanya tatapan mata.
Tatapan mata yang dingin.
Tatapan mata yang belum tentu memandang ke arahnya, mungkin yang dipandang hanya kekosongan di belakang tubuhnya.
Sebun Jui-soat memang manusia begitu, tak acuh terhadap keadaan sekelilingnya, keadaan di situ seakan tidak membuatnya goyah atau sedih.
Tiba-tiba si Kuah daging berhenti berteriak dan menggedor, ia berdiri di hadapan Sebun Jui-soat.
Dengan sorot mata putus asa ia pelototi wajah Sebun Jui-soat yang dingin.
Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
192 "Mereka bakal membunuh kita?" tanyanya.
Jangankan menanggapi, memandang sekejap ke arahnya pun tidak, seolah-olah pertanyaan itu tak pantas untuk dijawab.
"Apakah mereka bakal membunuh kita?"
Sekali lagi si Kuah daging mengulangi pertanyaannya, kali ini sambil menggoyang bahu Sebun Jui-soat.
"Tidak."
Jawaban itu seakan bukan diucapkan Sebun Jui-soat, seolah-olah keluar karena goncangan si Kuah daging, melompat keluar dari perut, melalui kerongkongan dan melompat dari sela-sela giginya.
Biarpun jawaban itu seakan diucapkan tanpa tenaga, namun mendatangkan pengharapan yang tak terhingga bagi si Kuah daging.
Sinar keputus-asaan tiba-tiba hilang dari balik matanya, terpancar cahaya berkilau.
"Sungguh" Mereka tak akan membunuh kita?"
Sebun Jui-soat tidak menggeleng, juga tidak mengangguk.
Tapi si Kuah daging hampir saja menari dan menyanyi saking girangnya, kembali katanya, "Aku mengerti maksudmu, mereka hanya mencampuri arak dengan obat pemabuk, bukan racun jahat, jadi mereka tak ingin menghabisi nyawa kita, bukankah begitu?"
"Salah," kembali si Kuah daging mengoceh, "kalau mereka tak ingin membunuh kita, mengapa menyekap kita di sini?"
Kelihatannya hal ini satu persoalan yang pantas dipikirkan secara mendalam. Kenapa mereka menyekap si Kuah daging dan Sebun Jui-soat, dan bukannya dibacok mampus" Mereka sama sekali tak ada harganya.
Liok Siau-hong sudah mati, mereka datang untuk menuntut balas, tidak membunuh mereka berarti akan menambah ancaman bahaya, sama sekali tak ada faedahnya.
Si Kuah daging mustahil mengetahui persoalan ini, biar otaknya pecah pun tak mungkin tahu.
Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
193 Sebab jawabannya berada dalam otak gerombolan pembunuh di kota Ui-sik.
Kelihatannya Sebun Jui-soat mengetahui hal ini, maka ia lebih memilih memejamkan mata.
"Mengapa Sebun Jui-soat tidak dibunuh saja?" Pertanyaan itu diajukan Sah toa-hu. Kelihatannya Sah Toa-hu sendiri tidak memahami hal ini.
"Betul, kenapa tidak kita bunuh Sebun Jui-soat?" Pertanyaan ini diajukan Lopan toko kelontong dan Lopan toko peti mati.
Kelihatannya hanya satu orang yang mengetahui jawabannya. Sorot mata orang yang mengajukan pertanyaan itu tertuju ke wajah scseorang.
"Kita tidak membunuhnya karena kita butuh kiam-boh (kitab pedang) miliknya," kata Kiong So-so sambil bangkit berdiri.
"Kiam-boh?" tanya Sah Toa-hu tercengang, "buat apa kiam-boh miliknya?"
"Kau tak ingin mempelajari ilmu pedangnya yang tiada tandingan di kolong langit?"
"Sehetulnya ingin, tapi sekarang tidak."
"Kenapa?"
"Sebab kita segera akan menjadi hartawan yang kaya raya, buat apa mempelajari ilmu pedang?"
"Setelah berduit, lantas kau tak ingin mempelajari ilmu silat?" tanya Kiong So-so.
"Betul. Tahukah kau, berapa banyak bagian kita?"
"Aku tak mampu menghitungnya."
"Aku pun tak sanggup menghitungnya, tapi aku tahu, uang bagian kita bisa digunakan untuk menghidupi delapan puluh generasi keturunan kita."
Sesudah memandang semua yang hadir dalam ruangan, kembali Sah Toa-hu berkata, "Dengan bekal uang sebanyak itu, kalau tidak dipakai makan-minum sepuasnya, buat apa mesti bersusah-payah berlatih pedang?"
Paras Lopan toko peti mati yang semula pucat bagai mayat, sekarang berubah cerah, seakan telah berubah menjadi manusia lain, berubah dari Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
194 sesosok mayat menjadi seorang kaisar. Dengan gembira serunya, "Betul, setelah berduit, kita bisa berfoya-foya, berpesta pora, peduli apa dengan ilmu pedang?"
"Apalagi dengan menahan Sebun Jui-soat, berarti menambah ancaman untuk kita," kata Sah Toa-hu.
"Kalian tak usah kuatir, penjara itu sangat kuat, jangankan Sebun Jui-soat, setan pun jangan harap bisa melarikan diri," Kiong So-so memandang sekejap wajah rekan-rekannya, katanya pula, "baiklah, bila yang kalian pikirkan cuma duit, biarlah urusan kiam-boh dan Sebun Jui-soat kuselesaikan sendiri."
"Tapi...." Sah Toa-hu ingin mengatakan sesuatu, tapi urung.
"Kau takut ia kabur dari penjara" Jangan kuatir, serahkan urusan ini padaku."
"Kenapa harus diserahkan padamu seorang" Sepantasnya urusan ini kita pikul bersama."
Tiba-tiba pengemis cilik muncul dengan setengah berlari, begitu masuk ke dalam ruangan, katanya, "Tahukah kau, persoalan apa yang sedang kita bicarakan?"
"Persoalan apa?" tanya Kiong So-so.
"Persoalan yang sudah kita bicarakan secara baik-baik!"
"Jadi mereka sudah d'atang?"
"Benar," pengemis cilik mengangguk.
Mereka" Siapakah mereka"
-- 0o0 Kelihatannya si kakek kecil sangat menguasai jalanan di kota Ui-sik, la sengaja berputar kian kemari, ketika sampai di luar kota, waktu sudah mendekati senja.
"Coba lihat, benar bukan perkataanku," ujar si kakek sambil memandang matahari senja, "kan sudah kubilang, kita tiba di kota Ui-sik waktu pasti menjelang senja, aku tidak bohong bukan?"
Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
195 "Kau memang tidak membohongi aku, tapi membohongi dalam hal lain,"
kata si nenek. "Yang lain" Soal apa?"
"Kau membohongi aku hingga mesti menempuh perjalanan setengah harian dengan percuma."
"Aku tidak membohongimu, aku hanya bilang, ketika tiba di kota Ui-sik, paling tidak matahari sudah turun gunung, tapi kau bersikeras mengatakan kalau saat itu tentu tengah hari."
Panji kebesaran Tiong-goan-piau-kiok berkibar terhembus angin malam, angin kencang membuat panji berkibar menimbulkan suara gemerisik. Pek-li Tiang-cing duduk di atas kudanya sambil mengawasi sekeliling tempat itu dengan sorot mata tajam.
"Kim Bong, apakah di depan sana adalah kota Ui-sik?"
"Benar."
"Apakah dijamin aman?"
"Orang-orang kita selalu melakukan penyelidikan setiap tiga bulan sekali, semua penghuni kota bertampang lugu kecuali orang yang bernama Sah Toa-hu."
"Sah Toa-hu?"
"Sah Toa-hu adalah seorang bangsawan yang dibuang kemari, ia berhasil menggali emas dalam jumlah besar di atas bukit di luar kota Ui-sik, sejak itu ia tinggal di sini. Karena orang ini berduit, maka terkadang ia menampung para pelarian yang kebetulan lewat di sini.
"Ilmu silat para pelarian itu tidak cukup tangguh buat kita, cukup dengan sebuah jari pun sanggup merobohkan mereka."
"Kalau begitu malam ini kita bisa tidur dengan nyenyak."
"Aku pun berpendapat begitu."
"Bagaimana pendapatmu?" tanya si kakek.
Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
196 "Aku pikir, bila mereka bisa tidur dengan tenang dan nyenyak, maka hanya ada semacam keadaan," sahut si nenek.
"Keadaan apa?"
"Hanya orang mati yang bisa tidur tenang dan nyenyak."
"Kenapa mereka mati?"
"Berani membawa begitu banyak uang dan mendatangi kota Ui-sik yang sepintas nampak tenang, namun di balik ketenangan justru tersembunyi gelombang yang maha dahsyat, kalau bukan cari mati lantas apa?"
"Darimana kau tahu mereka membawa banyak uang?"
"Masa tidak kau periksa bekas roda kereta mereka" Coba lihat, betapa dalamnya bekas itu" Mungkin barang yang mereka kawal adalah emas murni."
"Aku rasa bukan."
"Oya?"
"Kalau emas, masakah hanya membawa beberapa pengawal?"
"Lantas barang apa yang sedang mereka kawal?"
"Batu!"
"Batu?"
"Benar, batu."
"Darimana kau tahu?"
"Aku rasa barang yang berada dalam kereta pasti batu. Justru karena mengangkut batu, maka mereka bernyali, berani memasuki Ui-sik dengan membawa beberapa orang saja."
"Kau tahu, siapakah mereka?"
"Siapa?"
"Mereka adalah Pek-li Tiang-cing, Kim Bong, Go-bi Lihiap Suto Hong, Suto Hun, Suto Yan dan jago pedang dari Cing-shia, Hian-tocu."
Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
197 "Sungguh?"
"Memangnya mataku rabun?"
"Jadi barang yang mereka angkut adalah emas murni?"
"Aku tidak tahu."
"Aku tahu, cara terbaik adalah pergi ke sana dan periksa sendiri."
Gedung tempat tinggal Sah Toa-hu terang bermandikan cahaya lentera.
Bagi Sah Toa-hu, hari ini merupakan hari terpenting baginya sepanjang hidup. Bisa menjamu seorang Congpiauthau perusahaan ekspedisi terbesar di tiga belas propinsi utara dan selatan sungai besar, jelas merupakan kejadian yang tak pernah dibayangkannya.
Sementara ia perintahkan koki menyiapkan hidangan paling lezat untuk menjamu tamunya, ia sendiri sejak awal sudah berdiri menanti di pintu gerbang, menyambut kedatangan Pek-li Tiang-cing.
Bukan hanya dia, hampir seluruh penghuni kota Ui-sik telah berdiri berjajar di depan pintu, menyambut kedatangan tamunya.
Senyum bangga menghiasi wajah setiap orang.
Pada saat itulah terdengar pengemis cilik berseru lantang, "Mereka telah datang."
Tentu saja yang dimaksud "mereka" adalah orang-orang Tiong-goan-piau-kiok.
Padahal yang dimaksud pengemis cilik adalah barang kawalan yang berada dalam kereta rombongan.
Emas murni yang bisa menghidupi delapan puluh generasi keturunan mereka.
"Mereka telah memasuki gedung Sah Toa-hu," ujar si kakek kecil.
"Benar, sang ikan sudah masuk jaring."
"Bagaimana selanjutnya?"
"Tentu saja menonton pertunjukan."
Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
198 "Dalam keadaan seperti ini kita hanya menonton?"
"Kalau bukan begitu, apa yang hendak kau lakukan?"
"Tentu saja pergi menolong orang."
"Menolong orang" Siapa?"
"Mereka!"
"Mereka" Sekarang keadaan mereka belum berbahaya, belum makan kenyang, belum minum sampai mabuk, mana mungkin berbahaya?"
"Lalu ...." si kakek mulai bingung, tak tahu apa yang mesti diperbuat.
"Kita pergi menolong orang," ajak si nenek.
"Bukankah kau mengatakan mereka tidak berbahaya?"
"Bukan mereka yang kumaksud, tapi orang lain."
"Orang lain" Siapa?"
"Sebun Jui-soat."
"Dia" Kau tahu dimana dia sekarang?"
"Tentu tahu, jika tidak, buat apa kuusulkan menolongnya?"
"Kenapa ia butuh pertolongan?"
"Karena ia tidak berada dalam tenda, kulihat Sah Toa-hu sekalian amat senang, kalau Sebun Jui-soat masih berada di luar, mana mungkin mereka bisa sedemikian gembira?"
"Kenapa harus menolong Sebun Jui-soat?"
"Bukankah sudah kukatakan, ia adalah sobat kecilku?"
"Karena sobat kecilmu maka harus ditolong?"
"Karena sobat kecilku ini bisa membantu kita melakukan banyak pekerjaan, misalnya memeriksa isi kereta itu, berisi batu atau emas murni?"
"Kalau begitu, kenapa tidak cepat sedikit?"
Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
199 Belum selesai perkataan itu diucapkan, si kakek sudah beranjak lebih dulu.
Tapi ia tak mampu berlalu, karena kerah bajunya sudah ditarik si nenek.
"Apa-apaan kau?"
"Seharusnya pertanyaan itu aku yang ajukan kepadamu?"
"Tentu saja menolong orang."
"Menolong orang" Kalau ingin menolong orang, larinya ke arah situ."
--00" Bersambung ke 8
Bagian 8 Malam semakin kelam, malam tanpa rembulan. Biasanya penjara yang amat menyeramkan akan nampak lebih menggidikkan di tengah malam semacam ini.
Menyaksikan betapa seramnya rumah penjara itu, alis si kakek kecil berkenyit, bahkan si nenek pun ikut mengernyitkan dahi.
"Kenapa kau mengernyitkan dahi?" tanya si kakek.
"Karena kau mengernyitkan alis."
"Apa sangkut-pautnya?"
"Tentu saja ada."
"Apa hubungannya?"
"Karena kerutan alismu mirip seseorang."
"Siapa?"
"Liok Siau-hong!"
"Sungguh" Aku mirip Liok Siau-hong?"
"Betul, cuma alismu berwarna abu-abu."
Si kakek tertawa, tampaknya ia merasa sangat bangga,
"Asal mirip Liok Siau-hong, peduli amat alis abu-abu atau kuning?"
Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
200 Tiba-tiba ia menghela napas panjang, lanjutnya, "Hanya sayang ...."
"Liok Siau-hong sudah mati?"
"Itu alasan pertama."
"Lalu alasan kedua?"
"Sayang saat ini kita sedang melakukan tugas penting, kalau tidak, aku pasti akan mengundangmu minum sepuasnya."
"Kenapa?"
"Karena belum pernah ada orang mengatakan aku mirip Liok Siau-hong."
"Apa bagusnya mirip Liok Siau-hong" Malah ada orang memanggil Liok Siau-hong sebagai Liok-siau-khe, apalagi Liok Siau-hong sudah mati, apa bagusnya kau mirip orang mati?"
Si kakek tidak bicara lagi, ia berjalan menuju ke pintu penjara dengan mulut bungkam.
Lagi-lagi tangannya ditarik si nenek.
"Apa-apaan kau ini?" tegur si kakek.
"Apa yang hendak kau lakukan?"
"Bukankah kita akan menolong orang" Kini Liok Siau-hong sudah mati, bagaimanapun Sebun Jui-soat tak boleh rnampus."
"Tiba-tiba aku merasa ada satu hal yang jauh lebih penting ketimbang menolong Sebun Jui-soat. Lebih baik kita menolongnya seusai menyelesaikan pekerjaan itu saja."
"Pekerjaan apa?"
Si nenek tak menjawab, hanya melempar senyuman misterius.
--00" Malam semakin larut, malam tanpa rembulan yang gelap. Perjamuan dimulai menjelang malam, seharusnya tengah malam perjamuan usai.
Perjamuan yang diselenggarakan di ruang tengah gedung Sah Toa-hu sudah tiba saat bubar.
Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
201 Perjamuan yang diselenggarakan Sah Toa-hu adalah untuk menyambut kedatangan tamu agung dari Tiong-goan-piau-kiok.


Senyuman Dewa Pedang Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika perjamuan usai, para tetamu bersiap meninggalkan ruang perjamuan.
Para tetamu sudah berdiri, tiba-tiba Sah Toa-hu mengangkat cawannya, katanya, "Ada satu hal aku merasa perlu minta maaf."
"Saudara Sah telah menjamu kami, budi kebaikan ini sudah membuat kami berterima kasih, kenapa kau minta maaf?" sahut Pek-li Tiang-cing sambil menjura.
"Hidangan kami sederhana, Congpiautau mau mencicipinya sudah memberi muka kepada kami. Oleh sebab itu aku harus didenda secawan arak sebagai ungkapan permintaan maaf."
"Soal apa?" tanya Pek-li Tiang-cing.
"Rumah kami kelewat kecil."
"Apa hubungannya?"
"Tentu saja ada, karena kami hanya bisa melayani tiga orang pengawal perusahaanmu."
Sebelum Pek-li Tiang-cing sempat mengucapkan sesuatu, Lopan toko kelontong menimpali, "Tidak jadi masalah, tempatku bisa menampung dua orang."
"Benar," sambung Kiong So-so pula, "biar kedua Cici ini tinggal selama beberapa hari di rumahku."
Lopan toko peti mati tak mau kalah, selanya pula, "Bila kalian ada yang bernyali besar dan tak takut tidur dalam peti mati, boleh tinggal di tokoku."
Bagi Pek-li Tiang-cing, tentu saja tawaran ini disambut dengan terima kasih.
Maka anggota Tiong-goan-piau-kiok pun terpisah-pisah dan tinggal di tiga gedung yang berbeda. Dengan demikian kekuatan Tiong-goan-piau-kiok terpecah.
Sekalipun malam itu kelam tanpa rembulan, kereta barang yang berjajar di depan rumah Sah Toa-hu masih nampak jelas. Bukan cuma kereta barang Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
202 saja yang terlihat jelas, bahkan para penjaga yang bertugas mengawal kereta pun terlihat jelas.
Salah seorang penjaga yang sedang berdiri di samping kereta mendadak mengalihkan pandangannya ke balik pepohonan tak jauh di hadapannya. la seolah menyaksikan sesosok bayangan manusia berkelebat, kemudian lenyap.
la sama sekali tidak berteriak, mendengus pun tidak, sebab disangkanya ia salah lihat. Orang yang terlalu banyak minum arak, terkadang matanya kabur.
Andaikata ia ingin menjerit pun percuma, karena sudah tak sempat menjerit lagi. Sebatang jarum emas yang lembut dan kecil meluncur dari balik pepohonan bersamaan dengan lenyapnya bayangan itu. Jarum emas melesat cepat, langsung menyambar tenggorokan penjaga itu. Ia hanya bisa membelalakkan mata, menjerit pun tak sempat, sementara tangan kanannya berusaha melolos golok.
Lalu sabetan golok menggorok tenggorokan penjaga lain.
Sementara seutas tali rnenjerat tengkuk penjaga ketiga.
Malam semakin kelam, sepi, hening, tak terdengar sedikitpun suara.
Biarpun di tengah malam buta, bangunan rumah Kiong So-so masih terang benderang.
Cahaya lentera mendatangkan kehangatan dan keramahan bagi tetamu.
Paling tidak kedua orang piausu perempuan Tiong-goan-piau-kiok mempunyai perasaan semacam ini.
Sejak melangkah masuk ke dalam ruang tengah rumah Kiong So-so, mereka telah merasakan kehangatan dan kenyamanan. Orang yang merasa nyaman biasanya akan berusaha mengungkapkan perasaannya.
Kiong So-so hanya tersenyum, dengan tenang mendengarkan kata pujian dan sanjungan yang diberikan tamunya.
Kemudian katanya, "Sulit untuk bertemu dengan nona berdua, bagaimana kalau kita menghabiskan waktu dengan berbincang?"
Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
203 Ketika seseorang berada dalam suasana hangat dan nyaman, bagaimana bisa menampik ajakan ini"
Tentu saja sulit.
Kiong So-so pun bertepuk tangan dua kali. Tak lama kemudian makanan kecil dan arak pun dihidangkan, tertata rapi di atas meja.
Seorang nenek mengantar arak dan sayur. Langkah nenek itu amat gesit dan lincah, sedikitpun tidak mirip gerak-gerik seorang nenek.
Jika gaun nenek itu disingkap, akan terlihat sepasang kaki yang halus, mulus dan kenyal, persis kaki gadis muda belia.
Sayang kedua piausu perempuan itu tidak melihatnya. Kedua orang itu tidak memperhatikannya, malah tiada rasa waswas atau curiga, ketika Kiong So-so menghormati mereka dengan secawan arak, kedua orang itu segera meneguk habis isinya.
Reaksi si nenek sangat cepat, segera kembali menuang penuh kedua cawan itu dengan arak.
Kini sudah cawan ketiga.
Ketika mengisi cawan untuk keempat kalinya, tiba-tiba nenek itu mengangkat tinggi poci arak di tangan kanannya, lalu sekuat tenaga dihantamkan ke atas kepala kedua piausu perempuan yang berada di sampingnya.
Dengan wajah berubah, cepat kedua piausu perempuan itu mengangkat tangan kanannya menangkis. Sayang, tangannya sudah tak mampu digerakkan lagi.
Parasnya berubah hebat, jelek dan tak sedap dipandang.
Ia tak tahu, paras muka rekannya yang duduk di samping telah berubah jauh lebih jelek. Karena batok kepalanya telah hancur, hancur dihajar poci arak.
Rekannya sudah berusaha menggerakkan tangan menangkis datangnya ancaman, tapi sayang, tenaganya telah hilang.
Tiba-tiba sekujur badannya sudah kaku, tak mampu bergerak. Satu-satunya bagian tubuhnya yang masih normal hanya tinggal pendengarannya.
Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
204 Ia dengar suara tawa Kiong So-so yang dingin, penuh kebanggaan dan rasa puas.
Lalu seluruh penerangan dalam rumah Kiong so-so padam.
Malam makin larut, terasa menyeramkan dan menggidikkan, Sebetulnya yang menyeramkan dan menggidikkan adalah peti mati serta suara tawa si Buta Tio.
"Kalian berani tidur di sini?" tanya si Buta Tio.
"Tentu saja berani, kami sudah terbiasa melakukan perjalanan dalam dunia persilatan, tidur di tanah kuburan pun sudah pernah, kenapa mesti takut dengan peti mati?"
Sambil berkata piausu itu menyikut rekannya.
Rekannya segera menimpali, "Benar, apalagi peti mati ini masih baru."
"Justru karena masih baru, maka aku bertanya."
"Kenapa?"
"Karena peti mati baru hanya untuk orang yang baru mati."
"Kau jangan bergurau.."
"Bergurau?"
"Memangnya bukan?"
"Bukan."
Jawaban terakhir berasal dari seseorang yang secara tiba-tiba melompat keluar dari balik sebuah peti mati.
Kedua orang piausu itu benar-benar terperanjat.
Di saat mereka masih tercekat, seseorang telah melompat keluar dari dalam peti mati itu.
Sementara sepasang tangan si Buta Tio telah berubah menjadi cakar harimau, langsung mencakar tubuh piausu yang berada di hadapannya.
Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
205 Hanya dengan dua kali benturan, nyawa kedua piausu itupun seketika berakhir.
Si Buta Tio segera menyambar tubuh kedua piausu itu, ketika didorong ke belakang, mayat kedua orang itupun dengan tepat masuk ke dalam kedua peti mati itu.
Sekulum senyuman menghiasi wajah si Buta Tio, teriaknya kepada orang yang baru melompat keluar dari dalam peti mati, "Pengemis cilik, tidak jelek bukan?"
"Tentu, jago macam begitu saja ingin mengawal barang?"
"Lantas mereka cocok jadi apa?"
"Jadi begini," sahut si pengemis cilik sambil menuding ke arah peti mati.
"Tepat sekali, aku rasa bukan hanya mereka berdua saja, semua orang pantas tidur dalam peti matiku. Eh, pengemis cilik, masih ada berapa banyak peti mati kosong?"
"Rasanya sudah tidak terlalu banyak."
"Tentu saja tidak banyak, hanya tersisa enam buah."
"Enam buah" Masa sebanyak itu?"
"Dalam toko kelontong ada dua, di rumah Sah-lopan ada dua.
"Bukankah di rumah Sah-lopan ada tiga?"
"Ada tiga" Memangnya kau pun ingin membunuh Lotoa?"
"Mana berani, berarti baru empat, lantas siapa dua orang yang lain?"
"Kau lupa" Si Kuah daging dan Sebun Jui-soat."
"Mana bisa lupa" Siapa yang bisa melupakan Sebun Jui-soat?"
Betul, siapa yang dapat melupakan Sebun Jui-soat"
Paling tidak si kakek kecil tak dapat melupakantvya.
Selesai melaksanakan tugas yang diberikan si nenek, kakek kecil itu sudah mendesak si nenek, "Sekarang sudah saatnya menolong Sebun Jui-soat bukan?"
Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
206 "Tentu, sekarang memang saatnya kita menolong dia."
"Kenapa?"
"Karena semua penghuni kota Ui-sik sedang memusatkan seluruh kekuatan dan perhatiannya untuk menghadapi orang-orang Tiong-goan-piau-kiok, mereka takkan mengutus orang menjaga rumah penjara itu."
"Apa semua orang itu akan mereka bunuh?"
"Bisa jadi."
"Lantas kenapa kau tidak berusaha menolong mereka?"
"Memangnya kau punya akal untuk menolong mereka?"
Kakek kecil itu tidak bicara, karena tak sanggup rnenjawab pertanyaan ilu.
Mampukah mereka mcnyelamatkan orang-orang Ku hanya mengandalkan kekualan mereka berdua"
Selain itu, mereka pun tak bisa tampil secara terang-terangan, karena belum berhasil menemukan biang keladinya.
Sebelum berhasil melacak biang keladinya, siapa percaya perkataan si kakek dan nenek" Siapa percaya kalau sekelompok manusia jujur dan polos yang tinggal di Ui-sik adalah kelompok penjahat yang mencelakai anggola Tionggoan-piau-kiok"
Justru karena Liok Siau-hong pun tak percaya maka terbunuh di sana.
"Menurut kau, siapa dalangnya?" tanya si kakek.
"Bcrdasarkan keadaan di depan mata, hanya dua orang yang paling pantas dicurigai."
"Siapa?"
"Pek-li Tiang-cing dan Kim Bong."
"Mereka" Kenapa" Mereka kan Congpiauthau dan Hu-congpiauthau perusahaan itu, masa ingin membegal barang kiriman sendiri?"
"Kenapa tidak" Tahukah kau nilai barang kawalannya?"
"Berapa?"
Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
207 "Tiga puluh lima juta lima ratus ribu tahil emas."
"Seberapa banyak itu?"
"Jumlah yang tak akan habis unluk menghidupi delapan puluh generasi keturunanmu!"
"Wah, banyak sekali. Uang siapa itu?"
"Menurut apa yang kuketahui uang itu biaya persiapan peperangan milik kerajaan."
"Kenapa harus diangkut kemari?"
"Konon daerah selatan sedang dilanda pemberontakan, maka uang itu dikirim kemari sebagai persiapan biaya peperangan."
"Kenapa tidak langsung diangkut ke sana?"
"Kuatir menyolok, hingga memancing perhatian orang, bila pihak pemberontak mengetahui pengiriman ini, bisa jadi akan terjadi peristiwa yang tak diinginkan."
"Maka tanggung jawab pengiriman diserahkan ke pihak Tiong-goan-piau-kiok?"
"Benar," si nenek membenarkan.
"Kelihatannya mereka sudah merencanakan segalanya sejak setengah tahun lalu, darimana mereka tahu sedini itu?"
"Itulah sebabnya aku curiga dalang peristiwa ini kalau bukan Pek-li Tiang-cing pastilah Kim Bong."
"Oh!" kakek itu mengangguk, "memang mereka berdua yang mengetahui terlebih dulu rencana pengiriman uang ini, tapi ... bukankah uang mereka tak ada habisnya, kenapa mesti membegal barang kiriman?"
Si nenek tertawa, katanya, "Apakah sekarang kau punya duit?"
"Punya."
"Bisa digunakan berapa lama?"
"Sampai mati pun tidak habis."
Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
208 "Andaikata di depan matamu terdapat sepuluh juta tahil emas, apakah kau menginginkannya?"
"Aneh kalau tidak mau."
"Nah, itu dia, siapa sih yang tak ingin harta lebih banyak."
"Ada seseorang!"
"Siapa?"
"Liok Siau-hong!"
Kembali si nenek tertawa, katanya pula, "Tentu saja orang yang sudah mati tak perlu menumpuk harta lebih banyak lagi."
Si kakek ikut tertawa.
"Benarkah Liok Siau-hong sudah mati?" tanyanya.
"Memangnya belum?"
Si kakek tidak rnenjawab, tiba-tiba ia menempelkan jarinya di atas bibir sambil berbisik, "Ssttt!"
Rupanya mereka sudah tiba di luar kamar penjara, itulah sebabnya si kakek memberi tanda agar si nenek tidak bersuara.
Padahal sekalipun suara si kakek dan nenek itu lebih keras lagi, orang yang berada dalam penjara tak bakal mendengar.
Karena penjara itu memang tak ada penjaganya. Yang ada hanya Sebun Jui-soat dan si Kuah daging yang tersekap di sana, seandainya mereka mendengar suara pembicaraan itupun tak masalah.
Jika ada yang berpendapat begitu, maka orang itu keliru besar.
Karena Sebun Jui-soat sudah mendengar suara manusia di luar pintu, bahkan ia sudah memadamkan lentera dalam kamar penjara.
Menyusul ia dekap mulut si Kuah daging dengan tangannya dan berbisik di sisi telinganya, "Jangan berisik!"
Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
209 Setelah itu tanpa menimbulkan suara, ia tempelkan badannya di dinding dekat pintu penjara.
Perlahan-lahan pintu penjara didorong orang.
Arah pintu yang terdorong itu kebetulan ke arah tubuh Sebun Jui-soat yang menempel di dinding penjara.
Baru saja pintu penjara terdorong setengah, si kakek sudah berseru tertahan.
Ia lihat suasana dalam penjara gelap gulita, lalu terdengar ia bergumam,
"Kita datang terlambat, Sebun Jui-soat sudah tak ada."
"Siapa bilang aku tak ada?"
Bersamaan dengan itu, segulung havva pedang telah menusuk ke tubuh si kakek.
Cepat tubuh si kakek merandek dan secepat kilat melayang mundur ke belakang.
Pedang Sebun Jui-soat dengan kecepatan tak terkirakan kembali menusuk ke arah si nenek.
Si nenek sama sekali tidak mundur, dengan gerakan yang amat cepat ia mengangkat tangannya. Kedua jarinya tahu-tahu sudah menjepit pedang Sebun Jui-soat.
"Ah, rupanya kau!" Sebun Jui-soat menjerit kaget.
"Bukan aku," jawaban si nenek pun membingungkan.
"Betul, kau!" kembali Sebun Jui-soat berseru.
Kemudian perlahan-lahan ia mencabut kembali pedangnya dari jepitan jari si nenek dan cahaya api pun menerangi ruangan.
Cahaya lentera telah menerangi seluruh tempat, dengan kening berkerut si Kuah daging memandang nenek itu sekejap, kemudian serunya, "Ternyata kau?"
"Nona masih ingat aku?"
Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
210 "Tentu saja ingat, ketika Sukong Ti-sing bertemu denganmu, seperti bertemu setan saja, mana mungkin aku melupakan dirimu?"
"Kau kenal dengannya?" tanya Sebun Jui-soat.
"Kenal."
"Siapakah dia?"
"Jadi kau tidak mengenalnya?"
"Darimana aku tahu?"
"Seharusnya kau pun tahu siapa dia."
"Oya" Lantas siapa dia?"
Sebun Jui-soat diam, hanya mengawasi wajah nenek itu.
Si nenek pun tidak bicara, mengawasi wajah si Kuah daging.
Mendadak si Kuah daging merasa pipinya merah dan panas, seakan yang memandang wajahnya bukan seorang nenek, melainkan seorang pemuda romantis.
"Kau adalah ...."
"Benar," suara si nenek mendadak berubah jadi lebih muda. "memang aku!"
Tidak salah, ia memang Liok Siau-hong, Liok Siau-hong yang tiada duanya.
"Bukankah Liok Siau-hong sudah mati?"
"Mati" Mana mungkin Liok Siau-hong mati'?" si nenek tertawa riang.
Begitu si Kuah daging menyaksikan senyuman si nenek, sorot matanya yang nakal, ia segera tahu si nenek tak lain adalah Liok Siau-hong.
Mengetahui Liok Siau-hong belum mati, seharusnya si Kuah daging merasa amat gembira, tapi ia justru melototkan sepasang matanya dengan garang dan berteriak penuh amarah, "Kenapa Liok Siau-hong tak bisa mati" Paling baik jika Liok Siau-hong mampus!"
"Benarkah paling baik Liok Siau-hong mampus?" kakek yang berada di samping si nenek menyela.
Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
211 "Siapa kau" Apa urusannya denganmu?" seru si Kuah daging.
"Aku" Aku bukan siapa-siapa, cuma kalau tak ada aku, Liok Siau-hong terpaksa harus benar-benar mampus."
"Kenapa?"
"Karena aku paling ahli mengubah wajah."
"Kau" Jadi kau adalah Sukong Ti-sing?"
"Betul."
"Lantas ...." si Kuah daging terbelalak dengan mulut melongo, "lanlas siapa pula Sukong Ti-sing yang berada di atas loteng rumah makan itu?"
"Dia" Dia adalah si setan mampus Liok Siau-hong."
"Bukankah dia pun Liok Siau-hong?" seru si Kuah daging sambil menuding nenek itu, ia benar-benar bingung dibuatnya.
"Dia adalah Liok Siau-hong hidup."
"Lalu sewaktu hidup, siapakah si setan mampus Liok Siau-hong?"
"Lausit Hvvesio!"
"Lausit Hwesio?"
"Betul, padahal ia lebih panlas disebut Put-lausit Hwesio."
"Kenapa?"
"Sebab dia seharusnya berbaring tanpa gerak dalam peti mati, tapi dia justru datang mencariku, minta aku mengubah wajahnya agar seperti Sebun Jui-soat. Katanya tidak enak menyamar sebagai Sebun Jui-soat, dia pun menyamar sebagai aku, coba bayangkan, bukankah dia sangat tidak jujur?"
kata Sukong Ti-sing.
"Berarti orang yang kami saksikan berada dalam peti mati itu adalah Lausit Hwesio?"
"Betul, Lausit Hwesio asli."
"Tapi orang dalam peti mati itu jelas adalah sesosok mayat."
Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
212 "Tentu saja sesosok mayat, kalau tidak, mana mungkin bisa mengelabui kawanan perampok dari Ui-sik?"
"Kalau ia sudah mati, kenapa sekarang bisa hidup kembali?"
"Karena ia adalah Lausit Hwesio yang tiada duanya dalam dunia persilatan."
"Jadi Lausit Hwesio bisa hidup kembali?"
"Tentu saja."
"Kenapa?"
"Sebab Lausit Hwesio pandai Kui-si-kang (ilmu pernapasan kura-kura)."
"Aku mengerti sekarang."
"Kau benar-benar mengerti?"
"Tentu saja, karena Lausit Hwesio pandai ilmu pernapasan kura-kura, maka Liok Siau-hong mencari Lausit Hwesio dan minta ia menyamar sebagai dirinya dan pura-pura mati, begitu bukan?"
"Tepat sekali, bukankah waktu itu kau sempat mengintip?"
"Ah, kau ...." teriak si Kuah daging , "tapi masih ada satu hal yang tidak kupahami."
"Kau tidak mengerti kenapa aku mencari Lausit Hwesio dan memintanya pura-pura mati bukan?"
"Benar."
"Sebenarnya Ui-sik merupakan kota kecil yang tak menarik perhatian orang, ketika aku tiba di sini, hampir setiap orang berusaha menyembunyikan ilmu silatnya, aku segera tahu di balik semua ini pasti ada persoalan yang tidak beres."
"Darimana kau tahu mereka menyembunyikan ilmu silatnya?"
"Jangan lupa, aku adalah seorang nenek, sepasang mataku sudah banyak melihat kejadian besar, kau sangka si nenek hidup percuma selama puluhan tahun?"
Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
213 "Benar, maaf kalau begitu, aku tidak tahu kau memiliki mata yang amat lihai," tak tahan si Kuah daging tertawa cekikikan, Liok Siau-hong memandang Sebun Jui-soat sekejap, kemudian katanya lagi,
"Maka aku pun pergi mencari Sukong Ti-sing, minta ia membekal bahan untuk menyamar dan ikut aku. Ternyata tanpa bicara sepatah kata pun ia ikut aku pergi mencari Lausit Hwesio.
"Begitu bertemu Lausit Hwesio, aku langsung memukul kepalanya sambil berkata, 'He, Hwesio, tanggalkan seluruh pakaian yang kau kenakan.
Tahukah kau apa reaksi Lausit Hwesio begitu mendengar pcrkataanku itu?"
< "Pasti sangat terperanjat," jawab si Kuah daging.
"Keliru, ternyata tanpa mengucapkan sepatah kata pun ia tanggalkan seluruh pakaiannya hingga telanjang bulat, kemudian katanya kepadaku,
'Napsu adalah kosong, kosong adalah napsu. Sungguh tak kusangka Liok Siau-hong pun sudah bosan dengan keduniawian dan sekarang ingin mengenakan pakaian Hwesio untuk hidup dalam pengasingan.' Coba bayangkan, kau jengkel tidak mendengar perkataan itu?"
"Sama sekali tidak," sahut si Kuah daging.
"Oya" Kenapa tidak jengkel?"
"Karena kau mencarinya dan minta menggantikan posisimu pergi mati, apa salahnya dia pun mengejekmu dengan beberapa patah kata" Kenapa mesti jengkel?"
Mendadak Siau-hong memandang si Kuah daging lekat-lekat.
"Apa yang kau lihat?"
"Secara tiba-tiba aku merasa kau berubah begitu memahami perasaan orang. Itulah sebabnya ingin kubuktikan, benarkah kau adalah si Kuah daging yang asli."
"Menurut pendapatmu?"
"Susah untuk dijawab, apalagi setelah melakukan perjalanan bersama Sukong Ti-sing."
Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
214 Pada saat itulah Sebun Jui-soat yang jarang bicara berkata, "Aku mengerti sekarang."
"Mengerti apa?"
"Karena mengira kau sudah mati maka penjagaan mereka pun semakin kendor, dan kau pun secara diam-diam mulai melacak dan menyelidiki rencana busuk mereka."
"Ternyata kau benar-benar mengerti."


Senyuman Dewa Pedang Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sebenarnya rencana busuk apa pula yang sedang mereka lakukan?" tanya si Kuah daging.
"Sekarang juga akan kuajak kalian menyaksikan rencana busuk mereka."
-- 00 -- Ruang utama gedung Sah Toa-hu.
Di atas tiang penglari terikat tubuh seseorang dengan rambut awut-awutan dan sekujur tubuh terluka. Tampaknya orang itu berhasil dibekuk dan diikat setelah pertempuran yang amat sengit.
Orang itu tak lain adalah Pek-li Tiang-cing.
Suasana dalam ruangan terasa amat hening dan mencekam.
Napas Pek-li Tiang-cing masih tersengal, matanya melotot penuh gusar.
Sah Toa-hu sambil menggendong tangan berjalan mondar-inandir dalam ruangan dengan kepala tertunduk.
Kiong So-so dan Laopan Nio duduk di atas bangku, mereka sama sekali tak bergerak.
Pengemis cilik dan si Buta Tio hanya berdiri saling pandang, mereka pun tak mengucapkan sepatah kata pun.
Suasana yang mencekam serasa amat menyesakkan napas, membuat orang ingin menarik napasnya yang terengah.
Akhinrya si Buta Tio tak tahan menghadapi suasana seperti ini, tiba-tiba ia melompat bangun dan serunya, "Kenapa Kim-lotoa minta kami mengampuni jiwanya?"
Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
215 Sah Toa-hu membalikkan badan menghadap si Buta Tio, sahutnya, "Kim-lotoa berbuat begitu sudah pasti ia punya maksud tertentu."
"Benar."
Kim Bong berjalan keluar dari balik ruangan, ia mengenakan pakaian yang sangat indah dan mevvah dengan renda terbuat dari emas murni.
Pakaian yang dikenakan Kim Bong mewah dan menyilaukan mata, namun raut wajahnya justru gelap, murung dan menyeramkan, membuat siapa pun enggan memandang ke arahnya.
"Tahukah kalian, kenapa aku tetap membiarkan dia hidup?"
Dengan sorot mata gusar ia melotot ke arah Pek-li Tiang-cing. Sementara Pek-li Tiang-cing pun balas melotot gusar ke arahnya.
"Aku telah membuang banyak pikiran dan tenaga untuk merancang rencana yang tiada duanya irii," sorot mata Kim Bong perlahan-lahan dialihkan ke wajah setiap orang yang berada dalam ruangan, "kita sudah banyak membunuh orang sebelum kota Ui-sik terjatuh ke tangan kita, tapi sekarang semua usaha kita sia-sia, tahukah kalian apa sebabnya?"
Tak seorang pun menjawab, karena tak ada yang tahu kenapa Kim Bong mengucapkan perkataan itu, bahkan mereka tak jelas apa yang dimaksud dengan ucapannya itu.
Semua tidak paham, terpaksa Kim Bong mengajak mereka keluar gedung, menghampiri kereta barang yang parkir di tepi lapangan.
"Buka!" perintah Kim Bong.
Peti yang termuat dalam kereta barang pun dibuka.
Emas lantakan yang seharusnya berwarna kuning serta memancarkan sinar berkilauan, tiba-tiba berubah jadi tak bersinar lagi. Ternyata semua emas murni itu telah berubah menjadi besi rongsok yang hitam pekat.
Mereka pun balik ke ruang utama.
Kini suasana dalam ruangan semakin mencekam dan suram, bukan saja membuat napas jadi sesak, bahkan membuat kepala setiap orang tak sanggup diangkat kembali.
Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
216 Semua orang menundukkan kepala, mengawasi besi rongsok berwarna hitam yang dibawa Kim Bong dan kini diletakkan di atas meja.
Sejenak kemudian sinar mata semua orang dialihkan kembali ke wajah Lotoa mereka, Kim Bong.
"Ini membuktikan di anlara kita ada yang telah membocorkan rahasia ini."
"Siapa yang menjadi pengkhianat di antara kita?" tanya Sah Toa-hu.
"Siapa?" seru Laopan Nio.
Dengan sorot mata berapi-api Laopan Nio menatap tajam wajah si ButaTio.
Si Buta Tio terperanjat, ia balas menatap wajah Laopan Nio, kemudian secara tiba-tiba berpaling ke arah pengemis cilik.
Pengemis cilik pun memandang ke arah Kiong So-so.
Kiong So-so balas menengok Lopan toko kelontong, sang Lopan berbalik memandang Laopan Nio.
Kini semua orang saling pandang, saling mengawasi dengan penuh curiga.
Suasana makin mencekam, serius dan menggidikkan.
Tiba-tiba Kim Bong melompat bangun, katanya, "Sebenarnya yang penting saat ini bukan menemukan siapa pengkhianatnya."
Sambil berkata ia menghampiri Pek-li Tiang-cing, katanya pula, "Yang penting sekarang adalah mencari tahu dimana emas murni yang telah tertukar ini disimpan."
Mendadak ia menarik rambut Pek-li Tiang-cing dan ujarnya lagi, "Sekarang tentu kau tahu bukan kenapa aku membiarkanmu tetap hidup" Asal kau bersedia menunjukkan dimana emas itu kau sembunyikan, bukan saja aku akan membebaskan dirimu, akan kubebaskan juga seluruh anak buahmu, aku pun takkan menyelidiki siapa pengkhianat itu, malahan akan kubagikan satu bagian emas untuk bekalmu."
Pek-li Tiang-cing mengangkat kepala, memandang Kim Bong sekejap, mendadak ia menyemburkan ludah ke wajahnya.
"Bagus!" mendadak seseorang berseru dari luar pintu.
Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
217 Semua orang segera berpaling, dialihkan ke wajah orang yang barusan bicara.
Tak seorang pun kenal si pembicara, karena ia hanya seorang nenek bertubuh kecil.
Kembali si nenek berkata; "Kalau kau anggap benar-benar ada orang bakal mempercayai perkataanmu, itu namanya bertemu setan di siang hari bolong."
"Siapa kau?" tegur Kim Bong gusar.
"Aku" Aku hanya seorang yang sudah mati."
"Kurang ajar!"
Kim Bong melambung ke udara. sebuah pukulan dilontarkan menyerang tubuh si nenek. Dengan cekatan si nenek mengegos ke samping, kembali ejeknya, "Sebelum tahu siapa aku, kau sudah menyerang lebih dulu, jika menderita kerugian, bagaimana jadinya?"
Kim Bong tak mempedulikan ejekan itu, pukulan dilancarkan semakin dahsyat, angin serangan menderu-deru, yang dituju bagian mematikan.
Si nenek hanya berkelit sambil tersenyum, tak sejurus pun ia membalas.
Semua orang yang menonton jalannya pertarungan nyaris tak percaya dengan pemandangan yang terpampang di depan mata.
Di kolong langit dewasa ini, rasanya hanya ada seorang yang mampu menghadapi tiga puluh jurus serangan Kim Bong secara beruntun tanpa membalas.
Liok Siau-hong!
Bukankah Liok Siau-hong sudah mampus"
Dalam benak setiap orang nyaris dipenuhi oleh pertanyaan itu, tiba-tiba pengemis cilik teringat sesuatu, teringat akan perkataan pertama sewaktu si nenek muncul tadi.
Aku hanya seorang yang sudah mati.
Tiba-tiba sekujur badan pengemis cilik itu gemetar keras.
Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
218 "Dia ... dia ... dia adalah Liok Siau-hong!"
Si Buta Tio dan rekan-rekannya terkesiap, perasaan mereka bergetar keras setelah mendengar teriakan itu.
Si nenek yang sedang berkelit kian kemari, mendadak melambung ke udara, kemudian setelah berjumpalitan, sahutnya, "Tepat sekali, akulah Liok Siau-hong."
Sewaktu tubuh si nenek melayang turun ke tanah, sebagian besar dandanan wajahnya telah rontok.
Ketika berdiri kembali, wajah aslinya pun segera terpampang jelas.
"Kau belum mampus?" jerit Kiong So-so kaget.
"Tentu saja aku belum mati, mana mungkin Liok Siau-hong mati" Kalau mampus, bukankah rencana busuk kalian akan sukses?"
"Tapi...."
"Kalian pasti ingin tahu bukan siapa yang telah mampus?"
Tak ada yang menjawab, sebab semua memang ingin tahu.
"Baiklah, biar kuberitahukan kepada kalian, tak ada yang mati. Yang ada hanya orang yang pura-pura mati."
"Pura-pura mati?"
"Yang pura-pura mati adalah Lausit Hwesio," Siau-hong menjelaskan, "aku minta kepada Sukong Ti-sing untuk mengubah wajahnya, menyamar menjadi aku, kemudian di atas dadanya kuikat sebuah lempengan baja serta sebuah bungkusan berisi cairan merah seperti darah ...."
"Masih ingat peristiwa pengeroyokan kalian terhadapku di senja itu" Padahal yang kalian kerubut bukan aku, tapi Lausit Hwesio, sementara aku sendiri telah bersembunyi di sisi arena sambil mengamati ulah kalian.
"Kulihat Sah Toa-hu mahir ilmu golok Sin-hong-to-hoat (ilmu golok angin sakti) dari samudra timur, seketika itu juga aku sadar, ternyata kalian memang kawanan perompak lautan timur yang termashur, membunuh orang tanpa berkedip."
Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
219 "Waktu itu sudah menjelang senja, Lausit Hwesio sengaja berkelit ke kiri menghindar ke kanan, sampai akhirnya ia tabrakkan dadanya ke ujung pedang Kiong Peng. Karena benturan itu, bungkusan yang berisi cairan merah pun pecah, darah pun segera mengucur dari dadanya, saat itulah si Hwesio segera menggunakan ilmu pernapasan kura-kuranya untuk berlagak mampus."
"Ketika ia tergeletak di tanah, langit sudah bertambah gelap, tentu saja kalian tak bisa menyaksikan keadaannya dengan jelas, apalagi kalian kelewat yakin dengan tusukan pedang Kiong Peng."
"Oleh sebab itulah ia tewas di ujung pedang Sebun Jui-soat," sambung Sah Toa-hu.
"Dia mampus karena terlalu yakin dengan kemampuannya, kegagalan kalian pun dikarenakan kebiasaan buruk manusia, siapa sih yang bakal menambahi sebuah tusukan pada sesosok mayat" Tidak ada, maka dari itu usaha si Hwesio yang pura-pura mati pun berhasil dengan sukses."
"Kau jangan senang dulu," ejek Laopan Nio, "jangan lupa, Sebun Jui-soat dan si Kuah daging masih berada di tangan kami."
"Benarkah begitu?" kembali dari luar pintu terdengar seorang berseru.
Tentu saja suara itu berasal dari si Kuah daging yang mengejek dengan bangga.
Sebun Jui-soat yang selamanya jarang bicara, kali ini kembali berkata,
"Kalau aku tidak sengaja berlagak masuk perangkap hingga tertawan, bagaimana mungkin rahasia Kim Bong bisa terbongkar?"
Tak ada yang menjawab, sebab paras muka semua orang telah berubah, seakan tercebur dalam pecomberan.
"Masih ada satu hal yang tidak kupahami," tiba-tiba Kim Bong berkata.
"Soal apa?" tanya Siau-hong.
"Jadi kalian yang telah mengganti emas itu dengan besi rongsokan?"
"Benar."
"Hanya mengandaikan kau seorang dapat mengganti seluruh emas itu?"
Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
220 "Pa'ahal sama sekali tidak kuganti emas itu."
"Aku tidak mengerti"
"Sederhana sekali."
Siau-hong berjalan menghampiri sekeping besi rongsok yang tergeletak di meja, diambilnya kepingan besi itu, lalu dari sakunya ia mengeluarkan sebuah kipas, dengan kipas itu ia gosok besi rongsok tadi.
Tak lama kemudian warna hitam yang melapisi besi itu mengelupas, dari balik warna hitam itu muncullah sinar kuning emas yang menyilaukan mata.
Lagi-lagi semua orang terperangah.
"Padahal aku hanya melapisi emas itu dengan warna khas, warna hitam seperti besi berkarat," Siau-hong menjelaskan.
"Tapi mana mungkin kau lakukan seorang diri?"
"Tentu saja tidak mungkin," kembali dari luar berkumandang suara seseorang.
Lausit Hwesio telah mengenakan kembali jubah pendetanya, Sukong Ti-sing pun telah mengenakan pakaian ringkasnya yang siap digunakan untuk memetik bintang.
"Tanpa bantuan Lau-sit Hwesio, mana mungkin Liok Siau-hong dapat melumuri seluruh emas murni itu?"
"Tanpa Sukong Ti-sing memangnya kalian mampu melumuri seluruh emas murni itu?"
Tak ada yang bicara lagi, siapa yang masih mampu bicara" Dalang rencana busuk ini sudah terungkap, apalagi yang perlu dibicarakan"
Satu-satunya yang bisa mereka lakukan hanya menggunakan nyawa dan darah untuk melampiaskan rasa gusar, kecewa dan dongkolnya.
Secara tiba-tiba Kim Bong melolos pedangnya, langsung menyerang Siau-hong.
Sah Toa-hu dan si Buta Tio menyerang Sebun Jui-soat.
Laopan Nio menyerang si Kuah daging.
Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
221 Kiong So-so menyerang Sukong Ti-sing.
Si pengemis cilik menyerang Pek-li Tiang-cing yang masih terikat di belandar rumah.
Di antara sekian banyak orang, yang paling punya harapan berhasil dalam serangannya hanya pengemis cilik.
Karena Pek-li Tiang-cing sudah kehilangan kemampuannya untuk melawan.
Tapi sayang dugaan si pengemis cilik keliru besar.
Tiba-tiba ikatan tali yang melilit tubuh Pek-li Tiang-cing terlepas, di saat si pengemis cilik menyangka serangannya bakal berhasil, tinju Pek-li Tiang-cing dengan telak bersarang di atas dadanya.
Pengemis cilik itupun roboh terjungkal, ketika tubuhnya terpelanting, ia sempat mendengar Pek-li Tiang-cing berkata, "Ketika Liok Siau-hong menghindari gempuran Kim Bong secara diam-diam ia telah memutuskan tali di tubuhku."
Pertarungan tak seimbang pun berakhir dalam waktu singkat.
Siapa yang mampu menandingi Liok Siau-hong dan Sebun Jui-soat saat ini"
Apalagi mereka turun tangan bersama" Bukan cuma itu, masih ada Sukong Ti-sing serta Lausit Hwesio!
--O0O" Fajar telah menyingsing, pagi diselimuti kabut. Fajar di kota Ui-sik terasa tenang, tiada angin berhembus. Tak ada pasir kuning yang beterbangan.
Mungkin sang angin tahu gejolak yang melanda kota Ui-sik sudah reda"
Lambat-laun sang surya pun muncul, menyinari seluruh jagat.
Sinar mentari memancarkan cahayanya menerangi seluruh jagad, menyinari tanah pasir berwarna kuning.
Pek-li Tiang-cing tertawa puas, tersenyum sambil mengawasi anak buahnya mengangkut peti berisi emas murni.
Tiba-tiba seorang piausu mendongakkan kepala dan bertanya kepada Pek-li Tiang-cing, "Siapa yang telah menyelamatkan kita?"
Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
222 "Kecuali dia, siapa lagi?"
"Dia" Siapa?"
"Aku."
Semua piausu berdiri bodoh, ada tiga orang yang menjawab pertanyaan itu.
Si kakek kecil telah menghapus penyamarannya, Liok Siau-hong!
Si nenek pun muncul dengan wajah aslinya, Lausit Hwesio!
Sedang Liok Siau-hong adalah penyamaran Sukong Ti-sing!
Semua piausu pun tertawa, tertawa terbahak-bahak.
Terlebih si Kuah daging, tertawa terpingkal-pingkal.
Di antara gelak tawa mereka, yang paling nyaring adalah suara tawa Liok Siau-hong. Karena ia mendengar suara tawa seseorang dan orang itu belum pernah tertawa.
Sebun Jui-soat!
T A M A T Koleksi KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
223 Golok Halilintar 1 Perkampungan Misterius Seri Pendekar Cinta 4 Karya Tabib Gila Pendekar Kembar 6
^