Kilas Balik Merah Salju 1

Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long Bagian 1


"Kilas Balik Merah Salju
BIAN CHENG DHAO SHENG
THE SOUND OF THE SABRE IN A BORDER TOWN
Karya : Gu Long
Saduran Tjan ID
BAGIAN I. DI TEPI KOTA
Bab 1. DONGENG KUNO
Konon di langit terdapat sebuah bintang terang,
yang muncul satu kali setiap tujuh puluh enam
tahun. Setiap kali muncul selalu mendatangkan
bencana bagi umat manusia.
Tahun ini adalah saatnya muncul kembali.
Ruang Ban be tong di wilayah Kwan tang.
Sebuah gedung yang cemerlang, gemerlapan.
Banyak orang memuja dan mengaguminya.
Entah sejak kapan gedung Ban be tong telah
terlupakan" Telah menjadi kenangan sebuah
kemenangan" Telah menjadi tempat tanpa
kegiatan dan mulai dilapisi debu dan pasir.
Sebaris pagar kayu, pagar yang terbuat dari
batang kayu setinggi tiga kaki, berdiri
mengelilinginya hingga seakan terpisah dari
padang rumput, terus menjelujur hingga ke ujung
lain yang berada nun jauh di sana, mengelilingi
bangunan yang berderet begitu rapat, seperti
taburan bintang di tengah kegelapan malam.
Entah sejak kapan pagar kayu itu pun telah
tertelan dan tenggelam di balik rumput ilalang
yang tumbuh liar.
Apalagi bangunan di balik pagar, kondisinya
sudah lapuk, berantakan dan hancur, lapisan
debu yang tebal nyaris menyelimuti seluruh lantai
dan dinding rumah, membuat seekor anjing yang
semula berwarna putih dan meringkuk di sudut
ruangan, kini berubah jadi anjing berbulu hitam.
Sorot matanya kehilangan kelincahan serta
kepekaan sebagai seekor binatang, sekarang
nyaris tak mirip lagi sebagai seekor anjing.
Mungkin anjing inilah satu-satunya kehidupan
yang masih tersisa dalam gedung Ban be tong.
Tak tahan Yap Kay menggeleng kepala sambil
menghela napas.
Bukankah kelaparan merupakan salah satu cara
penyelesaian kehidupan yang tepat"
Tetapi bukan termasuk salah satu cara yang
paling keji dan menakutkan.
Sejak zaman kuno, bukankah cara menghabisi
kehidupan yang paling keji, jitu, menakutkan dan
paling purba adalah pembunuhan yang dilakukan
manusia" Manusia membunuh manusia, manusia
membunuh semua kehidupan, bukankah cara ini
terhitung cara yang paling tepat"
Sam-lopan dari Ban be tong, Be Khong-cun.
Kongsun Toan yang bicara seperti namanya,
bicara terputus-putus. Sim Sam-nio yang tak
segan tidur menemani musuh besarnya demi
membalas dendam. Be Hong-ling yang
mencampur-baurkan cinta dan dendam...
masih ada lagi banyak orang, bukankah
semuanya kehilangan nyawa lantaran Yap Kay
dan Pho Ang-soat" Sepuluh tahun.
Ya, sepuluh tahun sudah lewat!
Selama sepuluh tahun, berapa banyak manusia
yang muncul di dunia persilatan" Berapa banyak
orang yang mati karena nama, berapa banyak
jago yang patah tumbuh hilang berganti" Berapa
banyak waktu dan musim yang berlalu begitu saja
di tengah senyuman Yap Kay"
Lalu bagaimana pula dengan Pho Ang-soat"
Sudah sepuluh tahun, apakah dia pun telah
berubah" Berubah semakin murung" Makin masgul"
Makin menyendiri dan angkuh"
Atau berubah semakin hambar memandang
nama dan pahala, semakin bisa menyelami
perasaan manusia"
Atau mungkin dia masih seperti dulu, acuh
terhadap orang lain, malang melintang seorang
diri" Udara malam sangat bersih, cahaya bintang
bertaburan di angkasa, mendampingi bulan
purnama yang bergayut di ujung langit
Suasana malam amat hening, langit bumi
terasa tenang penuh kedamaian, begitu
tenangnya sampai katak-katak musim panas yang
biasanya suka berdendang kini terbungkam,
seolah-olah sudah ter hanyut dalam tidurnya.
Yap Kay duduk bersila di lantai, bersandar pada
tiang bendera yang berdiri tegak di tepi pintu
gerbang, sepasang matanya menerawang ke
udara malam yang bersih, menatap terpesona,
seolah-olah sedang menantikan sesuatu.
Apakah sedang menunggu seseorang"
Siapakah yang bakal mendatangi tempat yang
sepi dan terlupakan itu" Datang hanya untuk
bersua dengannya"
Angin berhembus lembut, selembut belaian
tangan sang kekasih yang sedang membelai kerut
wajah Yap Kay. Sang anjing yang sedang meringkuk di sudut
dinding seakan mem biarkan angin malam
membelai tubuhnya, ia meringkuk di sana sambil
menikmati keheningan malam.
Menyaksikan tingkah-laku anjing itu, tak tahan
Yap Kay mulai tertawa ringan, kemudian
perlahan-lahan memejamkan mata.
Pada saat itulah mendadak dari balik kegelapan
malam di langit utara berkelebat sekilas cahaya
yang menyilaukan mata.
Yap Kay membuka matanya, mendongak
memandang ke langit utara.
Setelah muncul dari balik kegelapan malam di
langit utara, cahaya itu bergerak makin cepat dan
makin menyilaukan mata, bergerak dengan
meninggalkan ekor cahaya yang panjang sekali,
menggores langit dan berderak menjauh ke langit
selatan. Ternyata sebuah komet!
Komet yang muncul sekali setiap tujuh puluh
enam tahun. Keindahan cahayanya tak tertandingi oleh
keindahan cahaya bintang mana pun.
Meskipun sinarnya hanya bertahan sejenak,
namun keindahan dan terangnya terkenang
sepanjang masa.
Biarpun dengan cepat lenyap di balik kegelapan
malam di langit selatan, namun keindahan dan
kecantikannya akan selalu terkenang dalam hati
Yap Kay. "Cantik!" gumam Yap Kay, "pemandangan
langka seperti ini tak cukup dilukiskan hanya
dengan perkataan cantik."
Pada saat bersamaan, di dalam sebuah loteng
di sebuah kota kecil, tak jauh dari Ban be tong,
seseorang sedang duduk pula di depan jendela,
duduk bermain kartu sambil menikmati
keindahan alam itu.
Langit nan biru terbentang begitu bersih,
sementara pasir kuning membentang di daratan
sejauh mata memandang.
Begitu luasnya pasir kuning seakan
bersambungan dengan ujung langit.
Angin mulai berhembus kencang, berhembus
hingga ke ujung langit.
Begitu pula manusianya, dia pun berada nun
jauh di ujung langit.
Yap Kay seolah baru datang dari ujung langit
berjalan begitu perlahan menelusuri jalan raya,
berjalan menuju ke arah satu-satunya rumah
makan yang terdapat di sana.
Entah berasal darimana, sekuntum bunga
terbawa hembusan angin dan jatuh di atas tanah.
Bunga itu seakan datang dari ujung langit
bergulingan dihembus angin bercampur pasir
kuning .... Yap Kay mengulurkan tangan, memungut
guguran bunga itu.
Putik bunga telah berguguran, hanya tersisa
beberapa biji kelopak bunga paling bandel yang
masih bertahan, masih bertengger kaku.
Yap Kay memandang sekejap bunga dalam
genggamannya, lalu sambil tertawa dia kebutkan
pakaian dekilnya yang seharusnya sudah pantas
dimasukkan ke dalam tong sampah, kemudian
menyisipkan bunga itu ke bajunya.
Lagaknya seperti seorang lelaki romantis yang
berdandan rapi, kemudian menyisipkan sekuntum
bunga merah paling indah di jubah suteranya
yang halus dan mahal
Dengan senyum puas dia mendongakkan
kepala, membusungkan dada dan berjalan masuk
ke dalam rumah makan dengan langkah lebar.
Begitu mendorong pintu, ia segera melihat Pho
Ang-soat. Betul, Pho Ang-soat dengan goloknya.
Tangannya kelihatan begitu pucat, sementara
goloknya kelihatan begitu hitam.
Hitam pekat bagaikan datangnya kematian.
Apakah putih pucat pun melambangkan
semakin dekatnya elmaut"
Golok hitam berada dalam genggamannya,
dalam genggaman tangan yang putih pucat.
Yap Kay mulai memperhatikan golok Pho Angsoat,
lalu memandang tangannya, setelah itu dari
tangan ia beralih memperhatikan wajahnya.
Paras muka orang itu masih tetap seperti dulu,
pucat-pias, sedang sepasang matanya masih
tetap memancarkan cahaya kehitaman yang
penuh misteri. Warna hitam yang indah berkilat, bersih tapi
penuh kemisteriusan.
Begitu melihat Pho Ang-soat, Yap Kay
tersenyum, lalu berjalan menghampirinya sambil
tertawa tergelak, ia berjalan ke hadapan Pho Angsoat,
kemudian duduk.
Waktu itu Pho Ang-soat sedang bersantap.
Yap Kay masih ingat, ketika untuk pertama
kalinya bersua Pho Ang-soat sepuluh tahun lalu,
di tempat yang sama, saat itu dia pun sedang
bersantap. Cara makannya pun aneh, makan sesuap nasi
baru kemudian ayur sesuap, makannya pun
lambat, karena dia makan menggunakan sebelah
tangan. Tangan kirinya tak pernah digunakan untuk hal
lain, tangan itu selalu menggenggam goloknya.
Peduli sedang melakukan pekerjaan apa pun,
belum pernah dia melepas goloknya itu.
Kini Yap Kay mulai mengawasi Pho Ang-soat.
Gerakan sumpit Pho Ang-soat tidak berhenti
lantaran itu, dia masih tetap menyuapi mulutnya
dengan nasi dan sayur, sama sekali tak ada niat
untuk berhenti makan.
Umpama saat itu ada delapan puluh orang jago
pedang dengan delapan puluh bilah pedang tajam
yang tertuju ke tubuhnya pun, dia tak bakal
berhenti bersantap.
Tapi bagaimana kalau ada delapan puluh orang
gadis cantik" Delapan puluh orang gadis cantik
yang berbugil ria di hadapannya"
Yap Kay memandang wajah Pho Ang-soat, tibatiba
ia tertawa lagi, tegurnya, "Kau tak pernah
minum arak bukan?"
Pho Ang-soat tetap menunduk memperhatikan
makanan di mejanya, juga tidak menghentikan
sumpitnya, perlahan-lahan dia habiskan sisa nasi
dalam mangkuknya, kemudian baru meletakkan
sumpit, mendongakkan kepala ia balas
memandang wajah Yap Kay.
Senyuman Yap Kay persis seperti cahaya
matahari yang mendadak muncul dari balik badai
pasir. Sebaliknya mimik muka Pho Ang-soat lebih
dingin dari bongkahan salju di musim dingin.
Dia balas memandang Yap Kay, lama kemudian
baru sahutnya sepatah demi sepatah, "Aku tidak
minum arak "
"Biarpun kau tidak minum, bagaimana kalau
mentraktir aku minum barang satu dua cawan?"
"Kau sendiri punya duit, kenapa aku harus
mentraktirmu?"
"Justru arak gratis merupakan arak yang paling
enak dinikmati," Yap Kay tertawa tergelak,
"apalagi kalau kau yang traktir, jelas arak itu
akan menjadi arak langka."
"Aku tak suka minum arak, juga tak suka
mentraktir orang minum arak"
Jawaban Pho Ang-soat diucapkan sangat
lamban, seolah setiap patah katanya harus


Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melalui pertimbangan yang matang sebelum
diucapkan, seakan setiap patah kata yang
diucapkan dari mulutnya, dia merasa wajib untuk
mempertanggungjawabkan
Oleh sebab itu dia tak ingin salah bicara, walau
hanya sepatah kata saja.
Tentu saja Yap Kay mengetahui hal ini, maka
dia pun menanggapi sambil tertawa,
"Kelihatannya selama hidup tak ada harapan
bagiku untuk menikmati arak gratismu."
Biarpun Pho Ang-soat dan Yap Kay terhitung
sahabat karib, namun di antara mereka berdua
seakan terpisah oleh sebuah jarak yang tak
kelihatan, membuat hubungan mereka berdua
seperti dua orang asing yang tak pernah saling
kenal. Pho Ang-soat menatap Yap Kay,
memandangnya sampai lama sekali, kemudian
baru ujarnya, "Belum tentu, mungkin kau punya
kesempatan untuk menikmati arak gratisku."
"Kesempatan" Kesempatan apa?"
"Arak kegirangan."
"Arak kegirangan?" Yap Kay terperanjat, "arak
kegiranganmu" Dengan siapa" Cui long?"
Begitu nama itu disebut, Yap Kay sendiri
merasa menyesal, bahkan mengumpat dirinya
sebagai telur busuk yang tolol, sebab kembali dia
saksikan penderitaan dan siksaan batin yang luar
biasa terlintas pada mata Pho Ang-soat.
Sepuluh tahun sudah berlalu, masakah dia
masih belum dapat melupakannya"
Mampukah dia melupakannya"
Perempuan pertama dalam hidupnya, cinta
pertama dalam hatinya, siapa pula yang dapat
melupakannya"
Mungkin orang lain bisa, tapi tidak untuk Pho
Ang-soat. Bukan lantaran dia kelewat bodoh, bukan pula
karena dia mabuk tapi rasa cintanya terhadap
perempuan itu kelewat dalam.
Barang siapa cintanya kelewat dalam,
seringkah rasa sedih dan sakit yang dideritanya
akan lebih berat dan parah.
Makin dalam menggunakan perasaan, makin
tersayat penderitaan.
Kalau memang saling mencintai, mengapa pula
harus saling melukai hatinya"
Perlahan-lahan Pho Ang-soat menundukkan
kepala, sorot mata sayu mulai menerawang
kosong ke sana kemari, rasa sakit dan derita yang
terpancar dari balik matanya pun kian bertambah
kental. Menyaksikan keadaannya itu, Yap Kay ingin
sekali berlagak seolah berjiwa besar, ingin
mengucapkan satu-dua patah kata senda-gurau,
tapi dia benar-benar tak tahu darimana harus
mulai. Untunglah pada saat itu muncul seorang yang
membantunya menyelesaikan kerumitan itu.
"Kenapa kau selalu ingin ditraktir orang minum
arak?" suara itu datang dari mulut tangga,
"apakah kau sudah lupa, terkadang mentraktir
orang minum arak pun merupakan suatu
kenikmatan tersendiri?"
Tak perlu berpaling pun Yap Kay tahu siapa
pembicara itu, segera sahutnya sambil tertawa,
"Siau Piat-li wahai Siau Piat-li, rupanya kau masih
hidup." Tempat ini adalah sebuah tempat yang sangat
aneh. Di sini terdapat tempat judi tapi bukan sarang
perjudian, di sini pun terdapat arak tapi bukan
rumah makan. Malahan setiap saat terdapat
perempuan yang siap melayani keinginanmu, tapi
tempat ini pun bukan sarang pelacuran.
Tempat ini adalah satu-satunya tempat hiburan
yang terdapat di kota kecil ini, "Ko ih wan lok"
(tempat bermain sepuasnya).
Di tengah ruangan yang luas berjajar enam
belas meja, meja mana pun yang kau pilih, kau
dapat menikmati hidangan serta arak yang paling
bagus. Di bagian belakang ruangan besar itu terdapat
anak tangga yang menjulang tinggi ke atas, tak
ada yang tahu tempat apakah di atas loteng, juga
tak ada yang ingin naik ke sana, sebab apa pun
yang kau butuhkan, apa pun yang kau inginkan,
semuanya sudah tersedia di bawah loteng.
Di mulut tangga, sepanjang tahun selalu
tersedia sebuah meja persegi rada kecil, di
belakang meja selalu berduduk seorang lelaki
setengah umur berdandan rajin dan perlente.
Orang ini selalu duduk seorang diri di situ,
selalu bermain kartu seorang diri, jarang ada
orang melihat dia melakukan pekerjaan lain, juga
jarang ada yang melihat ia bangkit dari tempat
duduknya. Kursi yang dia duduki sangat besar, lebar dan
nyaman, di sisi bangku tersandar dua batang
tongkat yang terbuat dari kayu merah, di tempat
yang paling gampang baginya untuk meraih.
Walaupun banyak orang berlalu-lalang di
hadapannya, namun ia tak pernah menaruh
perhatian, bahkan jarang sekali mengangkat
wajah untuk menengoknya sekejap, seolah-olah
baginya perbuatan apa pun yang dilakukan orang
lain sama sekali tak ada sangkut-paut dengan
dirinya. Padahal dialah tuan rumah tempat itu,
namanya Siau Piat-li. Dan tempat itu disebut
Siang ki lau. Sambil tertawa Yap Kay berpaling, dalam
sekejap ia sudah melihat Siau Piat-li yang sedang
duduk di mulut tangga, dia masih sama seperti
sepuluh tahun berselang, sama sekali tak
berubah, yang berbeda hanya rambut yang mulai
beruban serta lebih banyak kerutan di wajahnya.
Entah berapa banyak kegembiraan, berapa
banyak penderitaan, berapa banyak rahasia dan
berapa banyak ketidak berdayaan yang telah
menggurat di setiap kerutan wajahnya, tapi
sepasang tangannya masih tetap lembut dan
halus, selembut tangan seorang gadis remaja.
Pakaian yang dikenakan masih kelihatan
mewah dan mentereng, cawan arak terbuat dari
emas terletak di atas meja, cawan itu dipenuhi
arak berwarna kuning kecoklat-coklatan yang
memancarkan cahaya lembut bagai batu permata.
Saat itu dia sedang menjajarkan kartunya di
atas meja, berjajar membentuk sebuah Pat-kwa.
Sambil bermain dia balas memandang Yap Kay
dan melempar senyumannya.
Tentu saja Yap Kay masih tertawa, ujarnya
dengan tersenyum lebar, "Orang mengundangku
adalah satu persoalan, sementara aku
mengundang orang adalah persoalan lain."
"Betul," sahut Siau Piat-li, "memang sama
sekali berbeda." "Oleh sebab itu aku akan
mengundang, mengundang setiap orang yang
sedang berada dalam gedung ini."
"Sayang, saat ini hanya ada tiga orang dalam
gedung ini," Siau Piat-li menghela napas, "kau
pun seakan telah melupakan sesuatu."
Saat itu di dalam gedung memang hanya
tinggal tiga orang, tapi apa yang telah dilupakan
Yap Kay" Yap Kay benar-benar tak habis mengerti, dia
langsung bertanya, kalau tidak ditanyakan
bagaimana tanggung jawabnya terhadap diri
sendiri nanti"
"Apa yang kulupakan?"
"Kelihatannya kau lupa, bila ingin mengundang
orang, yang penting kau harus punya uang."
"Uang" Jadi kau anggap aku tak mirip orang
yang menggembol uang?"
"Tepat sekali, kau memang tak mirip," sahut
Siau Piat-li sambil tertawa, "pada hakikatnya kau
lebih mirip orang miskin yang benar-benar sudah
kere habis."
"Jika aku mengundang orang, belum tentu
harus membawa uang," tiba-tiba Yap Kay
menyela. "Tak perlu uang" Mau dibayar pakai apa?"
"Hutang," kembali Yap Kay tergelak, "masa kau
lupa aku bisa berhutang di sini?"
"Berhutang" Itu sudah lewat, kejadian pada
sepuluh tahun lalu." "Sekali berhutang, dua kali
pun berhutang, setahun berhutang, sepuluh
tahun pun tetap hutang," Yap Kay tertawa
tergelak, "apalagi aku tak pernah mengemplang
hutang, setiap berhutang pasti kulunasi. Aku
termasuk tamu yang bisa dipercaya. Buat tamu
yang bisa dipercaya, lumrah kan jika berhutang
agak banyak" Bukankah begitu Siau-lopan?"
Aturan darimana itu" Mungkin aturan
seenaknya macam begitu hanya bisa
dikemukakan oleh Yap Kay.
Kalau sudah bertemu orang semacam ini,
bayangkan sendiri, apa yang bisa dilakukan Siau
Piat-li" Dia hanya bisa tertawa getir. Ya, selain tertawa
getir, apalagi yang bisa diperbuat Siau Piat-li"
Pada saat itulah Pho Ang-soat yang selama
ini hanya menepekur dalam kesedihan tiba-tiba
buka suara, "Yang aku maksud minum arak
kegirangan, bukanlah arak kegiranganku." "Aku
tahu." Jawaban Yap Kay dan Siau Piat-li diucapkan
hampir bersamaan, begitu selesai bicara, mereka
saling bertukar pandang sambil tertawa.
Kemudian Siau Piat-li pun berkata, "Oh, jadi
arak kegirangan yang kau maksud adalah arak
kegirangan Yap Kay dan Ting Hun-pin" Jika Yap
Kay jadi mengawini Ting Hun-pin, dia pasti akan
mengundangmu mencicipi arak kegirangannya."
"Betul," dengan nada amat tenang Pho Angsoat
berkata kepada Yap Kay, "selama hidup aku
tak pernah mengundang orang lain minum arak,
namun asal kau menikah, aku pasti akan
mengundang."
Pho Ang-soat bukannya tak pernah minum
arak, ia pernah minum, bahkan pernah mabuk
selama empat-lima hari di rumah seorang
perempuan yang hidupnya tergantung dari jualan
daging. Dia bisa minum, bisa mabuk, tentu saja
lantaran cinta. Dan biasanya hanya cinta sepihak
yang membuatnya begitu menderita dan tersiksa.
Sejak mabuk berat itu, hingga kini dia tak
pernah lagi minum arak, jangankan minum,
mencicipi pun tidak.
Dia selalu berpendapat walaupun mabuk arak
bisa melupakan semua penderitaan, namun bila
sudah sadar, penderitaan masih tetap utuh
bahkan jauh lebih berat dan mendalam.
Mabuk arak belum mendusin, kemurungan
mendusin lebih dahulu. Hanya orang yang
pernah minum arak, baru bisa
membayangkan keadaan itu"
Arak memenuhi cawan dan cawan itu berada di
tangan Yap Kay sambil menikmati harumnya
arak, dia menyaksikan Siau Piat-li bermain kartu.
Perlahan-lahan Siau Piat-li menyusun kartunya
menjadi bentuk Pat-kwa, matanya mengawasi
kartu-kartu itu tanpa berkedip. Paras mukanya
yang tirus penuh kerutan nampak murung dan
serius, sampai lama kemudian baru ia
mendongakkan kepala sambil menghela napas
panjang. "Apa yang telah kau saksikan," Yap Kay
bertanya, "betulkah kau bisa melihat banyak
kejadian melalui deretan kartumu itu?" "Benar."
"Lalu apa yang kau saksikan hari ini?"
Siau Piat-li tidak langsung menjawab, dia
mengangkat cawan emasnya sambil pelan-pelan
dihirup, matanya memandang ke atas dinding dan
menerawang jauh ke depan.
Selang sesaat kemudian baru ia meletakkan
cawannya dan menyahut, "Ada sebagian bencana
yang tak mungkin bisa dihindari, ya... sama sekali
tak bisa dihindari
"Bencana" Bencana apa?" tanya Yap Kay tak
habis mengerti.
"Bencana alam," sahut Siau Piat-li sambil
menarik pandangan matanya dan dialihkan ke
wajah Yap Kay, "bencana alam susah diramal!"
Setelah menghela napas panjang, kembali
lanjutnya, "Tahukah kau, di atas langit terdapat
sejenis komet yang mempunyai ekor panjang,
panjang sekali?"


Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, tahu. Komet itu bernama Hui seng."
"Betul, komet itu muncul setiap tujuh puluh
enam tahun satu kali, setiap kali muncul selalu
mendatangkan bencana besar bagi umat
manusia." "Kemunculan komet akan mendatangkan
bencana" Bencana macam apakah itu?"
"Entahlah, terlepas bencana macam apa yang
bakal terjadi, yang pasti bencana itu akan
mendatangkan ketidak beruntungan bagi seluruh
umat manusia"
Yap Kay termenung beberapa saat, kemudian
katanya, "Semalam, aku pun sempat melihat
komet itu."
"Ya, aku pun melihatnya, cahaya yang
ditinggalkan komet itu begitu tajam dan
berkilauan, benar-benar indah hingga sulit
dilukiskan dengan kata-kata."
Kali ini dia mengalihkan sorot matanya dari
tempat kejauhan ke wajah Yap Kay, gumamnya,
"Entah bencana apa yang dibawa komet kali ini
untuk umat manusia?"
"Peduli bencana apa pun, tak ada hubungannya
denganku," tiba-tiba Pho Ang-soat menyela.
"Salah besar," tukas Siau Piat-li sambil
menatap tajam wajah Pho Ang-soat, "menurut
hasil perhitungan kartu, bencana besar yang
bakal terjadi kali ini justru punya sangkut-paut
erat dengan dirimu."
"Menyangkut diriku?" Pho Ang-soat tertawa
dingin, rasa tak percaya menyelimuti wajahnya,
"kalau memang ramalan kartu itu sangat manjur,
kenapa kau tidak meramal untuk dirimu sendiri....
" Tiba-tiba Pho Ang-soat menghentikan
perkataannya, mata yang tajam dialihkan ke arah
pintu gerbang. Yap Kay pun mengalihkan perhatiannya ke
pintu. Tidak ada hal yang aneh di depan pintu
gerbang, di sana hanya berdiri seseorang,
seorang lelaki yang mengenakan pakaian ringkas.
Sesudah memandang Yap Kay dan Pho Angsoat
sekejap, ia maju selangkah sambil menegur,
"Maaf mengganggu, boleh tahu apakah kalian
berdua adalah Pho-kongcu dan Yap-kongcu?"
"Akulah Yap Kay, ada urusan apa?"
"Majikan kami ingin berbincang-bincang dengan
kalian." "Siapa majikanmu?"
"Sam lopan," jawab orang itu sambil
tersenyum, "Sam lopan dari Ban be tong"
"Sam lopan dari Ban be tong?" ular Yap Kay
melengak. Bukankah Ban be tong sudah hancur dan
tinggal puing-puing yang berserakan" Darimana
munculnya Sam lopan dari Ban be tong"
"Tolong tanya, siapakah Sam lopan dari Ban be
tong?" kembali Yap Kay bertanya.
Lelaki berbaju ringkas itu tertegun,
dipandangnya Yap Kay sekejap, kemudian sekali
lagi tertawa. Kali ini dia benar-benar tertawa,
dianggapnya setiap orang sudah seharusnya tahu
siapakah Sam lopan dari Ban be tong.
"Sam lopan adalah Be Khong-cun," sahutnya
sambil tertawa.
Yap Kay tertegun, Pho Ang-soat pun ikut
tertegun. Be Khong-cun"
Bukankah Be Khong-cun sudah tewas sepuluh
tahun berselang, tewas dalam Ban be tong, tewas
di hadapan Yap Kay, kenapa sekarang bisa
muncul lagi di sini"
Mungkinkah Be Khong-cun yang sekarang
berbeda dengan Be Khong-cun yang dulu"
Siau Piat-li sendiri pun merasa heran, kepada
orang itu tanyanya, "Be Khong-cun yang mana?"
"Siaulopan, memangnya kau sudah mabuk
berat di siang hari bolong begini," orang
berpakaian ringkas itu tertawa tergelak, "tentu
saja sahabat karibmu Be Khong-cun, bukankah
putri Sam-lopan kami sering datang ke sini untuk
mengobrol denganmu?"
Semakin mendengar ocehan orang itu, Yap Kay
semakin terperanjat, dengan mata terbelalak
lebar tegasnya, "Bukankah putri Sam-lopan
bernama Be Hong-ling?"
"Benar," jawab orang itu sambil tertawa.
Apa yang sebenarnya telah terjadi"
Mana mungkin seorang yang telah mati, kini
muncul kembali bahkan mengundang mereka
untuk berkunjung"
"Pulanglah dan beritahu Sam-lopan, kami pasti
akan tiba tepat waktu," akhirnya Yap Kay
berkata kepada orang itu.
"Terima kasih."
Hingga bayangan punggung orang itu lenyap di
balik pintu, rasa kaget dan tercengang yang
meliputi wajah Yap Kay belum juga luntur, begitu
pula dengan Pho Ang-soat.
Siau Piat-li sendiri dengan wajah murung
sedang memandang ke tempat jauh tanpa
berkedip. "Sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Yap Kay
setelah meneguk secawan arak.
"Asal datang ke sana, bukankah semuanya
akan jelas?" sahut Siau Piat-li sambil meneguk
pula secawan arak, "tampaknya bencana besar
yang bakal terjadi kali ini memang ada sangkutpautnya
dengan kalian berdua. Ramalan kartuku
sungguh tepat."
"Kau sangka kejadian inilah bencana besar
yang dibawa komet itu?" senyuman ringan
kembali menghiasi bibir Yap Kay.
"Semoga saja bukan!" sahut Siau Piat-li
hambar. Bab 2. WAKTU BERJALAN TERBALIK
Bagaimana mungkin Be Khong-cun yang sudah
tewas sejak sepuluh tahun berselang bisa muncul
lagi, bahkan mengundang tamu"
Mungkinkah Be Khong-cun yang sekarang
adalah Be Khong-cun yang lain"
Tempat undangan adalah Ban be tong, apakah
gedung Ban be tong yang telah tinggal puing
berserakan itu yang dimaksud" Menjamu tamu di
tengah reruntuhan bangunan"
Tampaknya berbagai pertanyaan yang
membingungkan ini hanya bisa terjawab setelah
malam nanti, setelah mereka tiba di gedung Ban
be tong. Cahaya bianglala memancar masuk dari arah
barat, persis menyinari Ban be tong.
Yap Kay berdiri di bawah sinar senja,
mengawasi cahaya berwarna kemerah-merahan
itu sambil termenung.
"Begitu indah matahari senja, hanya sayang
sudah mendekati magrib."
Lalu apa pula bedanya dengan kehidupan
manusia" Kalau kehidupan manusia hanya sesaat, hanya
numpang lewat, lantas buat apa manusia mesti
meributkan sesuatu yang kosong" Buat apa saling
gontok hanya untuk memperebutkan nama dan
kedudukan yang sama sekali tak berarti"
Sekalipun diributkan, lalu untuk apa" Jika
menang bagaimana dan andaikata kalah pun mau
apa" Yap Kay menghela napas panjang, baru saja
akan beranjak dari situ, tiba-tiba ia saksikan ada
seseorang sedang berjalan dari depan,
menghampiri ke arahnya.
Pho Ang-soat sedang berjalan dari arah depan.
Ia berjalan sangat lamban namun sama sekali
tak berhenti, biarpun malaikat elmaut sudah
menunggu di hadapannya pun dia tak bakal
menghentikan langkahnya.
Caranya berjalan sangat aneh bahkan
cendereng istimewa, kaki kiri maju selangkah
lebih dulu kemudian kaki kanan baru mengikuti
secara perlahan-lahan, sepintas cara
melangkahnya kelihatan begitu sulit.
Biarpun tampak sengsara, namun ia sudah
menempuh perjalanan yang tak terhitung
jauhnya, pernah mengarungi jalan raya yang tak
terhitung panjangnya, semuanya itu dia lakukan
sendiri, selangkah demi selangkah.
Kalau berjalan dengan cara begini, sampai
kapan baru dia akan tiba di tempat tujuan"
Pho Ang-soat tidak tahu, bahkan tak
pernah membayangkannya, sekarang ia sudah
berjalan sampai di sini, bagaimana selanjutnya"
Benarkah di depan sana kematian telah
menunggunya" Yap Kay coba mengamati Pho
Ang-soat, dilihatnya cara berjalan Pho Ang-soat
selalu memandang ke tempat jauh.
Mungkinkah di kejauhan sana, terdapat
seseorang yang sudah begitu terukir dalam lubuk
hatinya, seseorang yang selalu diimpikan siang
malam, sedang menanti kedatangannya"
Kalau memang begitu, kenapa pula sorot
matanya nampak begitu dingin, begitu hambar"
Sekalipun ada perasaan yang terpancar, yang
pasti perasaan itu bukan perasaan cinta yang
hangat, melainkan penderitaan, dendam kesumat
dan kesedihan. Sudah lama hal itu berlangsung, mengapa ia
masih belum dapat melupakannya"
Matahari senja telah condong ke langit barat,
sang manusia berada di bawah cahaya senja.
Hawa dingin dan sepi menyelimuti seluruh
jagad, membuat matahari senja pun ikut berubah
warna lantaran kesepian, berubah menjadi putih
dan memilukan. Begitu juga dengan sang manusia.
Di tangan Pho Ang-soat masih tergenggam
sebilah golok. Tangan yang pucat dengan golok
berwarna hitam pekat.
Bukankah warna pucat dan hitam merupakan
warna yang melambangkan semakin dekatnya
kematian" Kematian, bukankah merupakan juga puncak
dari semua kehampaan dan kesepian"
Kini dari balik kehampaan dan kesunyian yang
terpancar dari balik tatapan mata Pho Ang-soat,
seolah terlihat kematian itu.
Benarkah kematian akan terjadi di kaki langit
dimana matahari senja sedang tenggelam"
Peternakan kuda Lok-jit, gedung Ban be tong!
Pho Ang-soat memandang gedung Ban be tong
di kejauhan, begitu pula Yap Kay.
Langit semakin gelap, namun dilihat dari
kejauhan, bangunan Ban be tong lamat-lamat
masih nampak dengan nyata.
Benarkah Ban be tong sedang menuju ke alam
kematian" Tanpa terasa Yap Kay terbayang
kembali kejadian pada sepuluh tahun lalu, saat
dia melalui jalan yang sama pergi ke Ban be tong,
hanya waktu itu dia naik kereta, sementara kali
ini berjalan kaki.
Dari dalam kereta tiba-tiba ia mendengar suara
nyanyian yang aneh, suara nyanyian itu muncul
dari tengah semak belukar.
Orang itu bersenandung dengan nada pedih,
seperti orang sedang merintih, seperti juga
sedang menangis, tapi ketika diamati lebih
seksama, suara itu lebih mirip orang sedang
berdoa. Langit cerah, bumi cemerlang, air mata bagai
darah, manusia dicekam kepedihan, seorang
dalam gedung selaksa kuda, golok bisa patah,
manusia bisa duka.
Langit cerah, bumi cemerlang, air mata bagai
darah, manusia dicekam kepedihan, seorang
dalam gedung selaksa kuda, jajigan mimpi bisa
balik ke desa Kegelapan malam semakin mencekam.
Tanah pegunungan yang luas terasa makin
sepi, makin dingin dan makin lebar, gedung Ban
be tong masih bersembunyi di balik kegelapan
malam yang tiada batas.
Sambil mengawasi angin berpasir yang sedang
berhembus di tengah kegelapan malam, Yap Kay
pun berkata sambil tersenyum, "Dulu di dalam
gedung Ban be tong tersimpan tiga ribu guci arak
wangi, entah bagaimana keadaannya sekarang"
Apa mungkin masih tersimpan arak wangi?"
Perkataan itu seakan ditujukan kepada Pho
Ang-soat, tapi seperti juga Yap Kay sedang
bergumam. Ternyata Pho Ang-soat bukan cuma
mendengarkan, malah kali ini dia pun menjawab.


Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku hanya tahu Be Khong-cun telah mampus,
sudah mampus sejak sepuluh tahun lalu," sahut
Pho Ang-soat hambar, "malam ini pun kita tak
perlu pergi ke sana"
"Tapi kita tetap akan ke sana," Yap Kay
tertawa, "sebab kita ingin melihat siapa gerangan
yang menjadi Be Khong-cun, apakah dia bangkit
dari liang kubur" Ataukah ada orang lain yang
menyaru sebagai dirinya?"
Senyuman Yap Kay seakan tak pernah padam,
ujarnya pula sambil tertawa, "Kalau Be Khong-cun
masih hidup, entah bagaimana dengan Hun Caythian,
Kongsun Toan, Hoa Boan-thian serta Sambu
Siansing Loh Loh-san, mungkinkah mereka
masih sehat wal'afiat?"
Sudah jelas orang-orang itu telah lama mati,
mengapa Yap Kay mengatakan mereka masih
sehat wal'afiat"
Mungkinkah dia sudah tahu akan rahasia di
balik peristiwa ini"
Angin malam berhembus makin kencang.
Di tengah hembusan angin, selain pasir yang
beterbangan, tercium bau harum bunga dari
ujung bukit, terdengar pula suara ringkik kuda
serta suara roda yang berputar kencang.
Begitu mendengar suara ringkik kuda, suara
tawa Yap Kay makin nyaring dan cerah.
"Benar, memang beginilah gaya orang Ban be
tong," katanya, "kalau menyambut tamu pasti
dengan kereta kuda, jika tidak, hal ini bisa
menjatuhkan pamor Ban be tong."
Baru selesai dia berkata, sebuah kereta hitam
yang dihela delapan ekor kuda telah muncul dari
balik kegelapan dan berhenti tepat di depan Yap
Kay serta Pho Ang-soat.
Kereta hitam itu persis sama dengan kereta
kuda yang dipakai untuk menjemput mereka pada
sepuluh tahun berselang, bahkan kedelapan ekor
kuda yang digunakan pun tak jauh berbeda.
Sebuah panji segitiga berwarna putih tertancap
di atas kereta, di tengah panji itu tertera lima
huruf sulaman yang amat besar, "Kwan tang Ban
be tong" Baru saja Yap Kay memperhatikan panji itu,
pintu kereta telah dibuka orang, disusul
munculnya seseorang dari dalam ruang kereta,
seorang lelaki setengah umur berbaju putih bersih
bagai salju. Begitu melihat wajah orang itu, kontan
senyuman Yap Kay berubah jadi kaku, dengan
sorot mata tercengang setengah tak percaya
diawasinya orang itu tanpa berkedip.
Walaupun tiada senyuman yang menghiasi
wajah Pho Ang-soat, mukanya pun ikut berubah,
dia hanya mengawasi lelaki setengah umur
berbaju putih itu dengan mata mendelong.
Siapakah sebenarnya orang itu" Mengapa
kemunculannya membuat Yap Kay berdua
memperlihatkan mimik muka seaneh itu"
Begitu turun dari kereta, lelaki setengah umur
itu langsung menjura dan menyapa, "Cayhe Hun
Cay-thian mohon maaf yang sebesar-besarnya
karena datang terlambat."
Ternyata orang ini adalah Hun Cay-thian.
Tapi... bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi"
Bukankah dia sudah tewas sejak sepuluh tahun
berselang" Bagaimana mungkin dapat muncul
kembali" Sebetulnya orang ini Hun Cay-thian atau setan
gentayangan"
Raut mukanya tidak jauh berbeda dengan
wajahnya sepuluh tahun lalu, masih tetap bulat,
putih tanpa kumis dan jenggot, malah sewaktu
tidak tertawa ia nampak imut-imut
menyenangkan, usianya masih sekitar empat
puluh tahunan. Biarpun sepuluh tahun berselang ia belum mati,
seharusnya saat ini usianya sudah mencapai lima
puluh tahun, sedikit banyak paras mukanya pasti
berubah, biarpun ia memiliki kemampuan
merawat muka, mana mungkin tiada kerutan
yang tertampak di wajahnya"
Tapi kenyataan sekarang mukanya benar-benar
tanpa kerutan, wajahnya tetap putih gemuk dan
halus bagai sebuah cermin.
Kali ini Yap Kay bukan cuma tertegun, ia benarbenar
berdiri bodoh, untuk sesaat ia tak tahu apa
yang sebenarnya telah terjadi.
Mungkinkah seseorang yang telah mati bisa
bangkit dan hidup kembali"
Satu kejadian yang mustahil dan tak masuk
akal, tapi sekarang justru terpampang di hadapan
Yap Kay. Angin malam berhembus mengibarkan ujung
baju Hun Cay-thian yang berwarna putih, namun
dalam pandangan Yap Kay, Hun Cay-thian justru
bagaikan roh gentayangan yang muncul dari balik
kegelapan malam, tak kuasa lagi ia bergidik dan
bersin beberapa kali.
Pho Ang-soat pun sedang mengawasi Hun Caythian,
mendadak ia maju ke depan dan menegur,
"Kau benar-benar Hun Cay-thian?"
"Betul!"
"Lantas siapa Hun Cay-thian yang tewas
sepuluh tahun lalu?"
Giliran Hun Cay-thian yang melengak, dengan
wajah tak mengerti dan penuh keraguan ia balas
menatap wajah Pho Ang-soat, lalu bisiknya, "Aku
sudah mati" Mati sejak sepuluh tahun lalu?"
"Betul, Hun Cay-thian sudah mampus sepuluh
tahun lalu!" jawab Pho Ang-soat kata demi kata.
"Mati dimana" Mati di tangan siapa" Masakah
mati di ujung golokmu?"
"Bukan, mati di ujung pedang Be Khong-cun."
"Sam-lopan Be Khong-cun?" tiba-tiba Hun Caythian
tertawa tergelak, "Pho-kongcu, pandai amat
kau bergurau, hampir saja membuat aku tersedak
saking gelinya."
Sebetulnya Pho Ang-soat masih ingin bicara
lagi, tiba-tiba Yap Kay tertawa pula, sambil
tergelak dia menepuk bahu Hun Cay-thian
berulang kali. "Siapa suruh kau datang terlambat, itulah
sedikit hukuman dari Pho-kongcu," kata Yap
Kay, "tentunya Hun-heng tidak marah bukan?"
"Mana mungkin aku marah" Datang terlambat
memang pantas mendapat hukuman."
Sudah jelas semua ini adalah kenyataan,
mengapa Yap Kay masih berusaha
merahasiakannya"
Hun Cay-thian memandang Yap Kay sekejap,
lalu katanya sambil tersenyum, "Tentu kau adalah
Yap Kay, Yap-kongcu bukan?"
"Kau kenal aku?"
"Rasanya belum kenal."
Sepuluh tahun lalu mereka pernah bertemu,
mengapa dia mengatakan tak kenal"
"Kalau memang tidak kenal, darimana tahu aku
adalah Yap Kay?"
"Biarpun usiamu masih muda, tapi seorang diri
kau sanggup membongkar rahasia-siangkoan
Siau-sian, menghancurkan Kim ci pang, siapa
yang tidak tahu dan mendengar peristiwa besar
itu?" sahut Hun Cay-thian sambil tertawa.
Beberapa peristiwa itu baru terjadi beberapa
tahun berselang, terjadi setelah Be Khong-cun
sekalian tewas, jika Hun Cay-thian sudah mati
sejak sepuluh tahun lalu, darimana dia bisa tahu
semua kejadian ini"
Dia jelas sudah mati!
Dan sekarang Hun Cay-thian muncul dalam
keadaan segar-bugar, sama sekali tak mirip
mayat yang baru bangkit dari liang kubur,
mungkinkah ada orang lain yang telah menyaru
sebagai dirinya"
Bila orang itu sedang menyaru, seharusnya tak
mungkin bisa lolos dari ketajaman mata Yap Kay
maupun Pho Ang-soat.
"Silakan naik kereta," Hun Cay-thian
mempersilakan. Yap Kay hanya tersenyum sebagai jawaban,
tapi sebelum naik ke kereta tiba-tiba dia berpaling
sambil ujarnya kepada Pho Ang-soat, "Apakah
kau masih seperti sepuluh tahun berselang,
berjalan kaki?"
Pho Ang-soat tidak menyahut, dia menjawab
pertanyaan itu dengan tindakan, kaki kiri
melangkah lebih dulu kemudian kaki kanan
mengikut, dengan langkah kakinya yang aneh dan
istimewa dia berjalan menuju ke balik kegelapan.
"Dia tak mau naik kereta?" tanya Hun Caythian
keheranan. "Tidak, dia lebih suka berjalan kaki."
Memandang bayangan punggung yang semakin
menjauh, kembali Hun Cay-thian berkata,
"Kelihatannya kaki dia bemasalah?"
"Benar, kakinya kena polio, sudah sejak kecil,"
sahut Yap Kay. "Polio?"
Ruang kereta itu sangat nyaman dan bersih,
paling tidak bisa menampung delapan orang
sekaligus, tapi kini hanya ditempati Yap Kay dan
Hun Cay-thian berdua.
"Entah masih ada tamu lain tidak?" Yap Kay
bersandar pada dinding kereta dengan sepasang
tangannya sebagai bantal.
"Seharusnya masih ada tiga orang, hanya tidak
jelas apakah Hoa-tongcu diundang tidak?"
"Hoa-tongcu?" berkilat mata Yap Kay, "Hoa
Boan-thian Hoa-tongcu?"
"Kau kenal?"
"Seharusnya kenal," Yap Kay tertawa, "sayang
kedatanganku sepuluh tahun lebih lambat"
"Apa maksudmu?"
"Kalau kedatanganku sepuluh tahun lebih awal,
bukankah kami pasti sudah saling mengenal?"
sahut Yap Kay tertawa lirih.
"Kalau memang berjodoh, akhirnya pasti akan
bertemu, cepat atau lambat sama saja."
"Betul, perkataanmu betul separoh," Yap Kay
manggut-manggut, "eh, omong-omong, apakah
dalam kereta tersedia arak wangi?"
"Ada, pasti ada," Hun Cay-thian tertawa
tergelak, "ada tamu agung macam kau, mana
boleh tak tersedia arak?"
Dari dalam sebuah laci Hun Cay-thian
mengambil keluar dua cawan kristal dan sebotol
arak Tiok yap cing.
Begitu tutup botol dibuka, bau harum semerbak
pun segera tersiar ke seluruh ruang kereta.
Sambil menarik napas dalam, seru Yap kay
dengan penuh rasa puas, "Wah, arak Tiok yap
cing yang telah berusia empat puluh tahun lebih."
"Baru mengendus baunya sudah tahu-tahun
pembuatannya, bagus, bagus sekali, tampaknya
Yap-kongcu memang jagoan minum susu macan,"
gumam Hun Cay-thian sambil menuangkan arak
ke cawan. "Suka minum memang betul, kalau dibilang
jagoan, rasanya belum tentu."
Setelah menerima cawan arak, Yap Kay tidak
langsung meneguk isinya, diendusnya lebih dulu
tepi cawan, baru dia meneguk habis isi cawannya.
Begitulah cara setan arak menikmati
minumannya, memang begitulah salah satu cara
menikmati arak keras.
Biarkan bau pedas arak menelusuri lubang
hidung masuk ke tenggorokan, kemudian setelah
tenggorokan terbiasa dengan bau arak, sekali
tenggak habiskan isi arak itu. Dijamin pedas dan
panasnya susu macan tak bakal terasa.
Malam terasa semakin kelam, yang terdengar
saat itu hanya ringkik dan derap kaki kuda yang
memecah keheningan.
Memandang keluar jendela, Yap Kay menghela
napas panjang, gumamnya, "Ai, mungkinkah
malam ini ada orang yang akan bersenandung
untuk menambah kegembiraan?"
"Bersenandung untuk menambah kegembiraan"
Oh, ternyata Yap-heng suka permainan semacam
ini" Jangan kuatir, Cayhe bisa atur untukmu."
"Terima kasih Hun-heng, sayang yang ingin
kunikmati bukanlah seperti apa yang kau
bayangkan."
"Lalu apa yang ingin kau nikmati?"
Yap Kay masih bersandar santai di dinding
ruang kereta, lalu sambil mengetuk jendela di
sisinya dia mulai bersenandung.
"Langit cerah, bumi cemerlang, air mata bagai
darah, manusia dicekam kepedihan, seorang
dalam gedung selaksa kuda, jangan mimpi bisa


Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

balik ke desa".
Lambat-laun paras Hun Cay-thian mulai
berubah, tapi Yap Kay masih tetap memicingkan
mata sambil tersenyum, menanti suara
senandungnya sirna, baru ia berkata sambil
menyeringai, "Apakah Hun-heng pernah
mendengar lagu ini sebelumnya?"
"Lagu yang indah, dengan syair yang
menggugah hati, selain Yap-heng, mungkin orang
lain.... "
"Sayang, bukan aku yang menulis syairnya,
lagu itu pun bukan hasil ciptaanku," Yap Kay
tertawa, "aku tak lebih hanya mengulang lagu itu
satu kali."
"Oh, lantas siapa yang menciptakan lagu itu?"
"Sudah mati."
"Sudah mati?"
"Benar, sudah mati sepuluh tahun berselang.
Kalau orangnya sudah mati dan masa silam tak
akan kembali lagi, rasanya Hun-heng tidak
keberatan bukan bila Cayhe mengulang sekali lagi
lagu itu?"
"Bisa mendengar Yap-heng bersenandung pun
sudah merupakan satu kejadian langka, masa aku
malah menegur?" buru-buru Hun Cay-thian
menyahut, "apalagi lagu itu jauh lebih enak
didengar dibanding isu tentang Ban be tong yang
tersiar di luaran."
"Ternyata Hun-heng memang seorang lelaki
berjiwa besar, kebesaranmu sungguh
mengagumkan."
Hun Cay-thian tersenyum, belum sempat
mengucapkan sesuatu, tiba-tiba Yap Kay bertanya
lagi, "Boleh aku tahu, apakah malam ini Samlopan
akan menjamu tamunya di ruang tamu?"
"Darimana Yap-heng bisa tahu?" sekilas rasa
kaget melintas di wajah Hun Cay-thian.
"Ban be tong begitu luas, wilayahnya
terbentang dari timur ke barat, walau berangkat
waktu fajar menyingsing dengan menggunakan
kuda tercepat pun, paling tidak sampai lohor baru
tiba di ujung yang lain," kata Yap Kay, "jika Ban
be tong tidak memiliki gedung penerima tamu,
memangnya Sam-lopan berkeinginan
mengundang kami untuk sarapan pagi?"
"Wah, tidak kusangka dengan usiamu yang
masih begitu muda, ternyata memiliki kecerdasan
luar biasa, sampai urusan sepele dan tetekbengek
pun diperhitungkan secara matang, Cayhe
betul-betul merasa kagum."
"Ah" kembali Yap Kay bergumam,
"tentu saja aku tahu jelas, bukankah
sepuluh tahun lalu pernah datang satu kali
kemari." "Apa kau bilang?"
"Ah, tidak apa-apa" Yap Kay tertawa, "aku
hanya bertanya, tentunya kita sudah hampir
sampai gedung penerima tamu bukan?"
"Betul, gedung penerima tamu berada di depan
sana " Semalam gedung Ban be tong masih berupa
puing bangunan terbengkalai, puing kotor yang
penuh dikelilingi semak belukar. Tapi bagaimana
dengan malam ini"
Mungkinkah hanya berselisih semalam segala
sesuatunya telah berubah"
Yap Kay tak bisa membayangkan bangunan
macam bagaimana Ban be tong nanti.
Kalau semua penghuninya saja telah...
sekalipun kini mereka telah bangkit dari liang
kubur" Yap Kay tertawa getir, semua kejadian yang
dialaminya hari ini mungkin merupakan kejadian
paling misterius, paling aneh bahkan paling horor
yang pernah dialaminya sepanjang hidup.
Suara ringkik kuda lamat-lamat berkumandang
masuk ke dalam ruang kereta, Yap Kay melongok
keluar jendela, alis matanya segera bekernyit,
ketika dilihatnya ada begitu banyak cahaya
lentera yang bermunculan dari balik kegelapan
malam. Dia masih ingat, di luar gedung penerima tamu
Ban be tong memang terdapat banyak cahaya
lentera yang menerangi suasana, tapi dia masih
ingat juga semalam tak setitik cahaya api pun di
tempat itu. Lalu darimana datangnya lautan cahaya
lentera" Keadaan Ban be tong saat ini jauh berbeda
dibanding keadaan semalam.
Kereta berhenti di depan pagar kayu, pintu
gerbang berbentuk setengah busur berdiri tegak
di balik kegelapan, sebuah tiang bendera berdiri
tegak di balik pintu, mengibarkan panji kebesaran
Ban be tong. Dua deret lelaki kekar berbaju putih berdiri
berjajar dengan kedua belah tangan lurus ke
bawah, begitu kereta kuda berhenti, empat orang
lelaki itu segera tampil ke depan membukakan
pintu kereta. Turun dari kereta, Yap Kay memeriksa
sekeliling tempat itu, tanpa terasa dia menarik
napas panjang, ternyata benar, hanya dalam
semalam Ban be tong telah berubah seratus
delapan puluh derajat.
Bukan saja telah berubah seperti keadaan pada
sepuluh tahun berselang, bahkan suasana
terbengkalai, suasana mengenaskan yang
ditemuinya semalam, kini sudah lenyap tak
berbekas. Selayang pandang, yang terlihat bersih, rapi,
gagah dan mentereng, sedikit pun tidak mirip
bangunan kuno yang sudah terbengkelai hampir
sepuluh tahun lamanya.
Hun Cay-thian ikut turun dari kereta, ia berdiri
di samping Yap Kay dengan wajah penuh
kebanggaan. "Bagaimana menurut pendapatmu keadaan
tempat ini?" tanya Hun Cay-thian sambil
tersenyum. Sepuluh tahun lalu, ketika pertama kali Yap Kay
tiba di tempat itu, pertanyaan itu pula yang
diajukan Hun Cay-thian untuk pertama kalinya,
tak disangka sepuluh tahun kemudian, kejadian
yang sama kembali terulang.
Waktu itu Yap Kay menjawab, "Aku merasa
sudah sewajarnya bila seorang lelaki sedang
sukses, Sam-lopan bisa mencapai taraf hidup
seperti ini, rasanya tidak menyia-nyiakan
perjuangan hidupnya."
Dan sekarang Yap Kay tak ingin menjawab
yang sama, dia ingin memberikan jawaban yang
sedikit berbeda, "Sudah pasti Sam-lopan adalah
seorang luar biasa, kalau tidak, bagaimana
mungkin ia bisa menciptakan keajaiban seperti
sekarang ini?"
"Dia memang seorang luar biasa, namun bukan
pekerjaan gampang untuk bisa mencapai
kesuksesan seperti hari ini."
"Benar, rasanya bukan hanya kata gampang
saja yang bisa melukiskan keadaan sebenarnya,"
Yap Kay menghela napas panjang.
Benar sekali, kalau bukan menyaksikan dengan
mata kepala sendiri, siapa bakal percaya dengan
pengalaman yang sedang dialami Yap Kay saat
ini" Yap Kay tertawa getir, mendadak biji matanya
berputar, sesudah berpikir sejenak ia berbalik
menghampiri kusir kereta yang sedang
tertunduk sambil menyeka keringat, setelah
menepuk bahunya, sambil tersenyum dia
menegur, "Kau pasti lelah sekali!"
Kusir kereta agak tercengang, tapi segera
jawabnya sambil tertawa paksa, "Ah, hal ini sudah
menjadi kewajiban hamba."
"Padahal seharusnya kau bisa ikut duduk santai
di dalam ruang kereta," tukas Yap Kay, "buat apa
mesti menyiksa diri?"
Setelah tertegun beberapa saat, kusir kereta itu
melepas caping lebarnya sembari tertawa
terbahak-bahak.
"Bagus, bagus sekali, pandangan mata yang
sangat tajam, sungguh mengagumkan, sungguh
mengagumkan."
"Kau bisa menerobos keluar dari dasar kereta
di saat kereta sedang dilarikan kencang, bahkan
berhasil menotok jalan darah kusir itu dan
mengganti pakaian miliknya, kecepatan serta
ketelitianmu dalam bekerja boleh dibilang lembut
bagai serat, cepat bagai sambaran kilat."
"Darimana kau tahu siapa diriku?" kembali
kusir kereta itu tercengang.
"Di kalangan Kangouw kecuali kau Hwi thian ci
cu (laba-laba terbang), siapa pula yang
mempunyai gerakan selincah dan secepat itu?"
Lagi-lagi seseorang yang seharusnya sudah
mati, tapi sekarang secara membingungkan telah
hidup kembali. Hwi thian ci cu terbahak-bahak, ia segera
melepas pakaian putih dari tubuhnya hingga
tampak pakaian ringkasnya yang berwarna hitam
pekat, kemudian menjura kepada Hun Cay-thian,
ujarnya, "Untuk permainan tololku, harap Hunsiangcu
jangan marah."
"Aku sudah senang kau bersedia hadir, silakan
masuk," jawab Hun Cay-thian sambil tersenyum.
Hembusan angin malam di pinggir kota terasa
kencang sekali, untung cahaya rembulan lembut
dan terang seperti cahaya rembulan di wilayah
Kanglam, bahkan terasa jauh lebih suram dan
sunyi. Cahaya rembulan membiaskan bayangan tubuh
Hun Cay-thian hingga panjang, mengawasi
bayangan itu tiba-tiba Yap Kay teringat akan satu
hal, dia teringat cerita orang tua di kala dirinya
kecil dulu, konon setan tak punya bayangan.
Yang mempunyai bayangan sudah pasti bukan
setan, berarti Hun Cay-thian tak mungkin setan.
Kalau bukan setan lantas apa" Mayat hidup"
Sekali lagi Yap Kay tertawa getir, selama hidup
ia tak pernah percaya takhayul, tidak percaya
orang setelah mati akan berubah jadi setan, tapi
yang dialaminya hari ini membuat dia bingung,
tak habis mengerti, tak mampu menemukan
suatu alasan yang cocok untuk menjelaskan
semua kejadian ini.
Orang yang telah mati pada sepuluh tahun
berselang, satu per satu muncul kembali di
hadapannya, semua peristiwa yang pernah terjadi
dulu, satu per satu terulang kembali di
hadapannya. Apakah waktu sedang berjalan terbalik"
Atau..... Setelah melalui sebuah halaman yang sangat
luas, di ujung jalan ada pintu besar yang tertutup,
kedua daun pintu terbuat dari kayu putih.
Biarpun pintu dalam keadaan tertutup, Yap Kay
percaya sebentar lagi pasti akan dibuka orang dan
seseorang bagaikan malaikat langit bakal berdiri
tegak di depan pintu.
Orang itu wajahnya pasti penuh cambang dan
mengenakan baju serba putih, sebuah sabuk kulit
kerbau besar terlilit di pinggangnya dan sebilah
golok melengkung bersarung perak yang aneh
bentuknya terselip di dalamnya.
Cara bicara orang ini persis sama seperti
namanya, dia bernama Kongsun Toan.
Yap Kay masih ingat perkataan pertama yang
dia ucapkan sepuluh tahun lalu, dia berkata,
"Apakah semua tamu telah datang?"
Yap Kay pun masih ingat, suaranya keras dan
nyaring bagaikan guntur yang menggelegar di
angkasa, membuat telinga semua orang
mendengung keras.
Benar saja, baru tiba di depan pintu gerbang,
pintu kayu putih yang semula tertutup segera
terbuka lebar, di antara cahaya lentera yang
memantul keluar, terlihat seseorang berdiri tegak
di depan pintu.
Tepat sekali, orang itu benar-benar berpakaian
serba putih, hanya saja perawakan tubuhnya
tidak tinggi kekar seperti malaikat langit, wajah
pun tidak bercambang, bahkan di pinggangnya
tidak nampak golok lengkung berbentuk aneh
dengan sarung peraknya.
Orang itu bukan Kongsun Toan melainkan Hoa
Boan-thian. Melihat kemunculan Hoa Boan-thian, kembali
Yap Kay berdiri melongo, ternyata kejadian hari
ini tidak sama persis seperti kejadian sepuluh
tahun berselang, berarti waktu bukan sedang


Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berputar balik.
Orang-orang yang bermunculan di sana
kebanyakan adalah mereka yang sudah mati
sepuluh tahun lalu, yang membingungkan mereka
telah bermunculan di hadapan Yap Kay,
mengulang kembali semua adegan dan kejadian
seperti yang berlangsung sepuluh tahun
berselang, namun tidak semua kejadian sama
seperti dulu. Terlepas kejadian aneh apa yang bakal terjadi
malam ini, Yap Kay mulai tertarik, mulai terkesan.
Sekulum senyuman baru saja tersungging di
ujung bibir Yap Kay, sambil tertawa Hun Caythian
bertanya kepada Hoa Boan-thian, "Mana
Sam-lopan?"
"Ada dalam gedung utama."
Tiba-tiba Yap Kay bertanya sambil tertawa,
"Apakah semua tamu telah datang?"
"Termasuk kalian, sudah empat orang yang
hadir," jawab Hoa Boan-thian, "tinggal menunggu
satu orang lagi"
"Satu orang yang belum hadir tentunya orang
aneh yang datang ke kota bersamaku bukan?"
"Asal kau masuk ke dalam, bukankah
semuanya akan menjadi jelas?" sahut Hoa Boanthian
tertawa. "Masuk akal, heran, urusan segampang ini pun
tak bisa kupikir, sudah sepantasnya didenda tiga
cawan arak."
"Arak dan sayur telah disiapkan, Sam-lopan
juga telah menunggu di gedung utama, silakan,"
seru Hoa Boan-thian sambil menyingkir ke
samping. "Terima kasih."
Baru berjalan dua langkah, mendadak Yap Kay
berhenti seraya berpaling, tanyanya kepada Hun
Cay-thian, "Aku dengar siapa pun dilarang
membawa senjata waktu memasuki gedung Ban
be tong apakah kau perlu menggeledah
tubuhku?" "Siapa yang berkata begitu" Sejak didirikan
hingga kini, Ban be tong sudah mempunyai
sejarah sepanjang empat puluh tahun,
pertarungan besar maupun kecil sudah tak
terhitung dengan jari, masa kami kuatir orang
yang masuk Ban be tong menggembol senjata?"
"Lagi-lagi masuk akal, tampaknya malam ini
aku harus mabuk sampai mati dalam gedung Ban
be tong." Diiringi gelak tawa, kembali Yap Kay
mengayunkan langkah masuk ke balik pintu.
Di balik pintu gerbang ada penyekat, setelah
melalui sekat itu, tibalah dia di ruang gedung
utama. Gedung utama masih sama seperti dulu,
bentuknya juga masih sama, biarpun sepuluh
tahun lalu Yap Kay pernah berkunjung ke situ ia
masih dibuat kesemsem oleh kemegahan dan
kementerengan bangunan itu.
Pada dinding sebelah kiri gedung utama
tergantung lukisan besar, menggambarkan
beberapa puluh ekor kuda sedang berlarian, ada
yang sedang meringkik, ada yang sedang berlari
kencang, setiap ekor kudanya gagah, indah dan
seakan-akan hidup.
Pada sisi dinding yang lain tertera tiga
huruf raksasa yang tingginya melebihi
manusia, setiap huruf ditulis dengan gaya
yang indah dan menawan, seindah naga yang
sedang beterbangan di angkasa. Ketiga huruf itu
berbunyi: "Ban be tong".
Di bagian tengah gedung berjajar rapi meja
panjang yang terbuat dari kayu putih, meja
panjang itu disambung jadi satu baris persis
seperti sebuah jalan raya, sementara di kedua sisi
meja berjajar empat ratus bangku yang terbuat
juga dari kayu putih.
Tapi kini di antara jajaran bangku yang tersedia
hanya di tempati dua orang.
Yap Kay pernah bertemu mereka dulu, Buyung
Bing-cu serta Sam-bu Siansing Loh Loh-san.
Di ujung meja terdapat sebuah bangku besar
dan lebar, di sana duduk seorang berbaju putih.
Biar dalam gedung tak ada orang lain pun Yap
Kay tahu, orang itu masih tetap akan duduk
dengan sopan dan beraturan, biarpun bangku itu
ada sandarannya, namun punggungnya tetap
akan tegak lurus bagaikan sebuah tombak.
Orang itu pun masih sama seperti dulu, duduk
seorang diri di sana, duduk dengan jarak yang
begitu jauh dari setiap orang yang hadir.
Begitu jauh dia menjaga jarak dengan semua
kehidupan duniawi, sampai dengan umat manusia
pun menjauh. Tapi bagaimana jaraknya dari saat kematian"
Yap Kay mencoba memperhatikan dari
kejauhan, biarpun ia masih nampak gagah dan
bersemangat, namun garis kesendirian dan
kesepian sudah nampak jelas membekas di raut
mukanya. Orang itu seolah sudah memisahkan diri dari
segala keramaian duniawi, tiada kegembiraan,
tiada kenikmatan, tiada sahabat.
Kini tampak ia sedang termenung, entah
sedang mengenang pertarungan gagahnya di
masa lampau" Atau sedang merasakan
penderitaan karena kesepian dan kesendirian"
Atau.... Orang itu tak lain adalah pemilik Kwan tang
ban be tong, Be Khong-cun.
Ya, dia memang Be Khong-cun.
Mimik mukanya sama seperti dulu, begitu juga
dengan raut wajahnya, malah secercah sinar
kepedihan yang berada di balik matanya pun
masih seperti dulu. Biarpun orangnya masih
duduk di sana, namun dia seolah-olah mempunyai
jarak yang begitu jauh dengan setiap orang.
Benar, dia seakan begitu jauh meninggalkan
semua benda perasaan yang ada di dunia fana ini.
Begitu masuk ke ruang utama, Hoa Boan-thian
langsung berjalan menghampiri dengan langkah
lebar, ketika tiba di samping Be Khong-cun, dia
sedikit membungkuk dan membisikkan sesuatu.
Saat itulah, seolah baru tersadar dari impian, ia
segera bangkit, menjura seraya berkata,
"Silakan teman-teman, silakan duduk."
Menunggu semua orang mengambil duduk, Be
Khong-cun baru berkata lagi sambil tertawa, "Ada
pun maksudku mengundang kalian pada malam
ini adalah "Untuk kejadian yang pernah berlangsung
sepuluh tahun lalu," suara orang menukas dari
arah pintu, "karena putra Pek Thian-ih datang
mencarimu untuk menuntut balas bukan?"
Dengan tercengang semua orang berpaling ke
arah pintu, hanya Yap Kay seorang yang tidak
berpaling, karena dia tahu siapa yang sedang
berbicara. Selain Pho Ang-soat, siapa lagi yang bisa
mengucapkan perkataan semacam itu"
Tak kuasa Yap Kay tertawa getir, namun sorot
matanya masih menatap tajam Be Khong-cun, dia
ingin tahu perubahan apa yang bakal ditunjukkan
orang itu setelah menghadapi kejadian seperti ini,
apa pula reaksi yang akan dilakukannya.
Tidak ada! Ternyata Be Khong-cun sama sekali
tidak menunjukkan reaksi apa pun, dia hanya
menggunakan sorot matanya yang serius dan
tajam untuk menengok ke arah pintu, mengawasi
Pho Ang-soat. Hoa Boan-thian segera melompat bangun,
ditatapnya Pho Ang-soat yang berada di depan
pintu dengan penuh amarah, tegurnya, "Siapa
kau" Berani amat bicara kasar di hadapan Ban be
tongcu?" "Pho Ang-soat!" teriak Hun Cay-thian pula
sambil menggebrak meja, "mau bergurau boleh
saja, tapi jangan kelewatan!"
Menghadapi caci-maki Hun Cay-thian maupun
Hoa Boan-thian yang keras dan kasar, Pho Angsoat
tetap tak menggubris, jangankan
menanggapi, melirik sekejap pun tidak, baginya
kecuali Be Khong-cun, di tempat itu seolah tak
ada orang lain.
Dengan sorot mata tajam dan tak berkedip,
Pho Ang-soat mengawasi wajah Be Khong-cun,
kemudian selangkah demi selangkah maju
menghampirinya.
Sekalipun dia pincang, biarpun caranya berjalan
nampak bebal, tolol dan lambat, namun setiap
orang yang hadir dalam gedung itu seakan tidak
melihat kecacatan itu, karena benda bersinar lain
yang berada di tubuhnya telah menutupi seluruh
kekurangan itu.
Semua orang sedang mengawasi golok dalam
genggamannya. Golok berwarna hitam pekat! Golok pekat
bagaikan datangnya elmaut.
Padahal tangan yang menggenggam golok itu
putih pucat, sepucat tubuh orang yang sekarat.
Perhatian semua orang tertuju pada golok
dalam genggaman Pho Ang-soat. Semua orang
percaya dan yakin, golok itu golok kematian.
Golok itu tidak dilengkapi sarung yang indah,
tiada hiasan yang menyolok atau menarik
perhatian. Sarung golok hanya terbuat dari dua
lembar bambu berusia ribuan tahun, gagang
golok pun terbuat dari balok kayu biasa.
Bentuk senjata itu seolah memberi kesan hanya
sebuah mainan anak-anak, begitu sederhana,
begitu jelek dan tidak menarik. Tapi setiap orang
sadar, golok itu jelas bukan golok mainan anakanak.
Bila ingin menghentikan semua kehidupan yang
ada di dunia ini, golok itu pasti akan
melakukannya dalam sekejap mata.
Lantas bagaimana dengan setan" Apakah golok
itu pun dapat menghabisi nyawa setan dalam
sekejap" Sambil menatap wajah Be Khong-cun tanpa
berkedip, dengan langkah kaki yang lambat dan
bodoh, selangkah demi selangkah maju
mendekat, tangan kiri Pho Ang-soat
menggenggam kencang golok itu, sedemikian
kuat hingga nampak otot-ototnya merongkol
hijau. Dengus napas setiap orang semakin memburu,
menyusul langkah kaki Pho Ang-soat yang
semakin mendekati sasaran
Tiba-tiba semua orang menghembuskan napas
lega, wajah yang tegang pun berangsur
mengendor, karena saat itu Pho Ang-soat telah
menghentikan langkahnya.
Dia berhenti bukan karena sudah tiba di
hadapan Be Khong-cun, dia terpaksa berhenti
karena di hadapannya secara tiba-tiba muncul
sebilah golok lain.
Sebilah golok melengkung tak beraturan,
sebilah golok dengan bentuk yang aneh.
Kongsun Toan! Akhirnya Kongsun Toan muncul.
Seharusnya orang itu muncul di pintu gerbang,
seharusnya dia menghadang di depan pintu
gerbang, menghalau orang-orang bersenjata yang
ingin memasuki Ban be tong, tapi sekarang dia
muncul di dalam gedung dengan membawa golok
lengkungnya yang berbentuk aneh, di tangan
kirinya dia masih menggenggam sebuah cawan
emas. Pho Ang-soat sama sekali tidak memandang
wajah Kongsun Toan, dengan sorot mata dingin
dan kaku dia hanya mengawasi golok lengkung
yang menghadang jalannya.
Begitu juga dengan Kongsun Toan, sorot
matanya yang tajam sedang mengawasi golok
Pho Ang-soat tanpa berkedip.
"Tak seorang pun boleh membawa pedang
memasuki Ban be tong," dengan suara berat tapi
tegas Kongsun Toan berkata, "begitu pula tak
seorang pun boleh membawa golok datang
kemari." Pho Ang-soat tidak langsung menjawab,
beberapa saat kemudian perlahan-lahan baru
ia berujar, "Belum pernah ada?" "Belum pernah!"
"Bagaimana dengan kau?" sinar mata Pho Angsoat
berhenti pada golok lengkungnya, "jadi kau
bukan terhitung manusia?"
Berubah hebat paras Kongsun Toan, otot-otot
hijau merongkol. Pada saat itulah Be Khong-cun
yang duduk di bangkunya mendadak
mendongakkan kepala dan tertawa
terbahak-bahak, serunya, "Bagus, pertanyaan


Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang sangat bagus "
Cawan emas di tangan kiri Kongsun Toan telah
diremas hingga gepeng, sementara isi cawan
meluap keluar, tercecer di antara telapak
tangannya yang hitam bagai besi baja, raut
wajahnya sudah mulai mengejang lantaran marah
bercampur mendongkol
"Bagus, ternyata punya keberanian, punya
nyali," gelak tawa Be Khong-cun berubah jadi
senyuman, "apakah dia Pho Ang-soat Phokongcu,
yang seorang diri berhasil membongkar
rahasia Pek-kongcu dengan mengandalkan
goloknya?"
Ketika Pho Ang-soat bertarung melawan
Kongcu Gi, peristiwa itu terjadi sepuluh tahun
sebelum Ban be tong dihancurkan.
Bila Be Khong-cun sudah mati sejak sepuluh
tahun lalu, darimana dia bisa mengetahui
kejadian ini"
Kembali sorot mata Pho Ang-soat dialihkan ke
wajah Be Khong-cun.
"Pho-kongcu," kembali Be Khong-cun berkata
sambil tertawa, "kalau sudah datang, mestinya
berilah muka padaku, silakan duduk."
Kongsun Toan berpaling, dengan mata melotot
mengawasi Be Khong-cun katanya, "Bagaimana
dengan goloknya?"
"Aku hanya melihat orangnya, mana goloknya"
Aku tidak melihat goloknya," jawaban Be Khongcun
sangat hambar. Perkataan itu mengandung arti yang sangat
dalam, apakah dia maksudkan wibawa orangnya
telah menutupi kehadiran goloknya" Ataukah dia
ingin mengatakan bahwa ancaman bahaya yang
sebenarnya bukan datang dari goloknya
melainkan dari orangnya"
Kongsun Toan mengertak gigi, otot-otot
badannya mengejang menahan emosi, tiba-tiba ia
menghentakkan kaki ke lantai, lalu dia sarungkan
pula goloknya dan duduk kembali di bangkunya.
Loh Loh-san yang selama ini hanya mendekam
di meja seolah sedang mabuk air kata-kata,
mendadak menggebrak meja dan tertawa
terbahak-bahak, "Bagus! Perkataan yang bagus."
Saat itu dia masih mendekam di meja, tidak
jelas masih mabuk atau sudah tersadar kembali,
tangannya meraba ke seluruh permukaan meja,
kembali gumamnya, "Mana arak" Aneh, kenapa di
tempat ini gampang sekali menemukan golok dan
pedang, belum pernah tersedia arak yang
melimpah?"
Be Khong-cun tersenyum, lalu katanya,
"Sebenarnya tujuanku mengundang kalian tak
lain hanya ingin mengajak mabuk bersama."
"Apakah tak akan bubar sebelum mabuk?"
sambil mendongakkan kepala yang masih
mengantuk Loh Loh-san mendongakkan kepala.
"Tepat sekali."
"Kalau sudah mabuk, apakah boleh bubar?"
"Tentu."
"Ah, kalau begitu hatiku pun lega," Loh Loh-san
menghela napas panjang. Kembali ia sandarkan
kepalanya di meja dan bergumam, "Arak" Mana
araknya" Apakah dalam Ban be tong tidak ada
arak?" Yap Kay yang selama ini membungkam ikut
menimbrung, "Dalam gudang bawah tanah Ban
be tong tersedia tiga ribu gentong arak wangi,
jika hanya kau seorang yang menikmatinya,
mungkin kau bisa mabuk sampai mati."
"Kalau soal itu Yap-heng tak perlu kuatir, Ban
be tong bukan saja tempat berkumpulnya para
pemabuk, bahkan manusia macam Cayhe pun
masih sanggup menemanimu meneguk beberapa
cawan," kata Hoa Boan-thian sambil tertawa.
"Sungguh?" sengaja Yap Kay membelalakkan
mata. "Wah, kalau dalam Ban be tong benarbenar
telah berkumpul begitu banyak jagoan
tangguh, tampaknya malam ini aku bakal
mampus di sini."
"Kalau setan arak memang banyak, siapa
bilang ada jago tangguh?" senyuman Hoa Boanthian
tampak membeku kaku.
"Yang kau maksud tentu jago tangguh minum
arak," lagi-lagi Loh Loh-san buka suara. "Jika ada
begitu banyak orang yang bakal mengajak aku
minum, aneh kalau aku tak mati lantaran
mabuk." "Ah, tujuan Sam-lopan mengundang kalian tak
lain hanya ingin menyaksikan kehebatan kalian,"
akhirnya Hun Cay-thian buka suara, "meski
hanya untuk minum arak, itu kan hanya untuk
basa-basi, siapa bilang kami berniat meloloh
kalian sampai mabuk?"
"Tapi aku tetap merasa takut."
"Takut apa?"
"Takut kalian bakal melolohku sampai mabuk."
Bab 3. ADIK PEREMPUAN YAP KAY
Cawan arak terbuat dari emas, gentong arak
yang sangat besar berisi arak berwarna hijau
pupus. Di samping arak, berbagai hidangan yang
mahal dan lezat pun sudah tersedia di atas meja.
Orang pertama yang menggerakkan sumpit
adalah Buyung Bing-cu, sedang orang pertama
yang meneguk arak bukan Loh Loh-san melainkan
Kongsun Toan. Begitu arak dihidangkan, Kongsun Toan
langsung meloloh tenggorokannya dengan dua
belas cawan, karena hawa amarahnya tadi tak
terlampiaskan, terpaksa dia gunakan arak untuk
melampiaskan kemarahannya itu.
Semakin banyak minum wajahnya berubah
semakin tak sedap dipandang, dalam keadaan
seperti ini lebih baik tidak mencari gara-gara atau
mendekatinya, kalau tidak, dia bisa meledak
seperti gudang mesiu yang terbakar.
Pho Ang-soat sama sekali tidak meneguk arak,
sumpit juga tak pernah menyentuh hidangan,
tangan kirinya masih tetap menggenggam golok,
matanya yang cekung bagai sebuah jeram masih
mengawasi Be Khong-cun tanpa berkedip.
Hanya mulut dan tangan Yap Kay yang tak
pernah berhenti, sebentar dia menyumpit
hidangan, sebentar menenggak arak, orang ini
memang hidup santai dan gembira. Bahkan
matanya pun memancarkan cahaya kegembiraan,
gayanya seperti lagi menghadiri pesta perkawinan
kerabatnya saja.
Sambil makan dia memperhatikan semua orang
yang hadir di situ, mula-mula ditatapnya Loh Lohsan,
bergeser ke wajah Hoa Boan-thian,
kemudian beralih ke wajah Buyung Bing-cu dan
akhirnya berhenti di wajah Be Khong-cun.
Entah disengaja atau tidak, kebetulan waktu itu
sinar mata Be Khong-cun pun sedang menatap ke
arah Yap Kay, begitu sorot mata kedua orang itu
saling bertemu, ibarat dua komet yang saling
bentur, percikan bunga api segera memancar
keluar dari mata mereka berdua.
Tiba-tiba Be Khong-cun tersenyum, senyuman
terpaksa, paling tidak dalam pandangan Yap Kay,
dia seakan mempunyai beribu patah kata yang
hendak diucapkan.
Namun Be Khong-cun hanya tersenyum saja,
berlagak meneguk arak untuk mengalihkan
pandangannya, dia seolah kuatir Yap Kay berhasil
membaca rahasia hatinya.
Lalu apa yang dia kuatirkan"
Yap Kay mulai tertarik, sepantasnya yang
kuatir adalah Yap Kay, apalagi setelah melihat
orang-orang yang seharusnya sudah tewas sejak
sepuluh tahun lalu tiba-tiba hidup kembali,
bahkan bisa makan minum dengan wajar, tidak
mati semaput saking kagetnya pun sudah
terhitung lumayan.
Tapi kenyataan sekarang, justru Be Khong-cun
yang merasa takut, merasa kuatir, tidak heran
kejadian seperti ini langsung menarik minat dan
perhatian Yap Kay.
Sepuluh tahun berselang, pada malam yang
sama, tempat yang sama dan orang-orang yang
sama berkumpul menjadi satu, tujuan Be Khongcun
tak lain adalah ingin menemukan putra Pek
Thian-ih. Lalu bagaimana dengan malam ini"
Apakah kejadian lama terulang kembali"
Apakah tujuannya juga mencari putra Pek Thianih"
Bila kejadian dulu benar-benar akan terulang
lagi, kejadian berikut seharusnya Buyung
Bing-cu mulai mendendangkan lagu,
"...golok kehilangan ketajaman, manusia
kehilangan perasaan.... "
Tapi dari keadaan Buyung Bing-cu saat ini,
sama sekali tak nampak gejala dia siap
bersenandung. Kalau semua kejadian terulang kembali,
mengapa berbeda" Yap Kay memandang wajah
Loh Loh-san, tapi Sam-bu Siansing sudah roboh
kembali di atas meja, bahkan mulai mendengkur
keras setelah menghabiskan dua cawan arak.
Dia coba memperhatikan pula wajah Hoa Boanthian,
Hun Cay-thian serta Hwi thian ci cu,
walaupun wajah mereka bertiga pun dihiasi
senyuman, namun senyuman mereka justru jauh
lebih jelek, jauh lebih tak sedap dilihat ketimbang
sewaktu tertawa.
Yap Kay tertawa getir, tampaknya pesta arak
malam ini bakal tidak meriah.
Baru ingatan tadi melintas lewat, tiba-tiba Be
Khong-cun angkat bicara, katanya, "Golok kuda
dari Kwan-tang tiada duanya di seluruh dunia,
entah pernahkah kalian dengar pameo ini?"
Ini dia, akhirnya sampai juga pada pokok
masalah, Yap Kay mulai membetulkan posisi
duduknya dan siap menyambut datangnya pokok
permasalahan yang akan dibahas.
"Perguruan Sin to tong (golok sakti) dan Ban be
tong sudah lama malang melintang, siapa yang
tidak kenal, siapa yang tidak tahu," kata Hwi
thian ci cu sambil tertawa,
"Lopan, tampaknya kau sedang bergurau."
"Aai.... kejadian itu sudah berlangsung pada
dua puluh tahun berselang" Be Khong-cun
menghela napas panjang, "sejak ketua perguruan
Sin to tong, Pek Thian-ih meninggal dunia, selama
dua puluh tahun terakhir, nama besar perguruan
Sin to tong sudah jadi legenda dalam sejarah."
"Apa sebabnya Pek-locianpwe bisa mati?"
Pertanyaan itu diajukan oleh Buyung Bing-cu.
Sebetulnya Yap Kay pun ingin mengajukan
pertanyaan itu, karena dia ingin mendengar
bagaimana Be Khong-cun akan menjawab
pertanyaan itu.
Tiba-tiba saja Be Khong-cun terbungkam,
sampai lama kemudian baru ia menghela napas
panjang, sahutnya, "Peristiwa paling menjemukan
yang sukar dihindari manusia bukankah mati tua
atau mati lantaran sakit?"
Dia meneguk isi cawannya, membiarkan arak
hangat perlahan-lahan mengalir melalui
tenggorokan menuju ke lambung, setelah itu
terusnya, "Pek-heng selama hidup belum pernah
melakukan perbuatan memalukan atau merugikan
orang, biarpun dia 'mati muda', namun
kematiannya amat tenang dan penuh
kegembiraan, sebab dia pergi tanpa menderita
siksaan atau rasa sakit apa pun."
Jawaban yang tidak betul! Jawaban ngawur!
Setiap orang Bu-lim tahu dengan jelas bahwa Pek
Thian-ih tewas oleh intrik busuk Be Khong-cun,
mengapa sekarang dia berkata begitu"
Yap Kay yang tak kuasa menahan diri,
langsung saja memprotes, "Bukankah Peklocianpwe
mati lantaran intrik dan rencana busuk
seseorang?"
"Ah, kabar berita yang tersiar dalam Kangouw
ibarat daun yang gugur karena hembusan angin,
tak seorang pun berani memastikan
kebenarannya," Be Khong-cun menjawab hambar,
"kalau betul dia tewas karena intrik dan rencana
busuk, mana mungkin aku tidak berduka dan ikut
berkabung" Mana mungkin aku berpeluk tangan
tanpa melakukan sesuatu?"
Oleh karena pihak lawan bersikeras dengan
perkataannya, mau tak mau Yap Kay hanya bisa
mendengarkan lebih jauh, dia ingin tahu
permainan apa lagi yang akan dilakukan orang
itu. "Untung saja Pek-heng masih mempunyai


Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keturunan, paling tidak dia punya seorang putri
untuk melanjutkan keturunannya," lanjut Be
Khong-cun sambil tersenyum.
"Punya seorang putri?" bukan cuma Yap Kay,
bahkan Pho Ang-soat pun ikut terperanjat hingga
berteriak dengan mata terbelalak lebar.
"Benar!"
"Boleh tahu berapa usia putri Pek-locianpwe
itu?" tanya Yap Kay kemudian.
"Tidak tua, juga tidak muda, tahun ini tepat
berusia dua puluh tahun," kembali dia menghela
napas, lalu meneguk isi cawannya. "Ada pameo,
kawin dengan ayam ikut ayam, kawin dengan
anjing ikut anjing. Anak Lelaki meneruskan nama
marga, anak perempuan mengikuti marga suami,
jadi hal semacam itu jamak dan tidak aneh,
hanya saja lantaran hal ini.... "
"Pek-locianpwe tak mampu melanjutkan
keturunan," sambung Buyung Bing-cu.
"Benar," ujar Be Khong-cun manggut-manggut,
"sebagai saudara baiknya, masakah aku tega
membiarkan peristiwa ini berlangsung" Oleh
karena itulah aku... aku...."
"Jadi maksud Sam-lopan, kau ingin mencarikan
menantu untuk putri tunggal Pek-locianpwe?"
kembali Buyung Bing-cu menyela.
"Rasanya apa yang bisa kulakukan sebagai
saudaranya hanyalah begitu" kembali Be Khongcun
manggut-manggut, "tapi sayang, selama ini
dia hidup di pinggiran kota, jarang keluar rumah,
apalagi sebagai seorang gadis muda, kurang
leluasa baginya untuk sering tampil... untung
saja... untung saja hari ini...."
"Untung saja hari ini secara kebetulan muncul
kami beberapa orang di sini," sambung Yap Kay
sambil tertawa, "oleh karena itu Sam-lopan
khusus mengundang kami dan ingin mencarikan
menantu untuk Pek-locianpwe?"
"Benar sekali."
Benarkah Pek Thian-ih mempunyai seorang
anak gadis" Kalau sepuluh tahun berselang dia
mengumpulkan orang-orang itu di Ban be tong
karena ingin menemukan jejak putra tunggal Pek
Thian-ih, maka sepuluh tahun kemudian, kembali
dia mengumpulkan orang-orang itu karena ingin
mencarikan calon suami untuk putri tunggal Pek
Thian-ih. Tak kuasa lagi Yap Kay tertawa geli, seingatnya
dia tak pernah mempunyai saudara perempuan,
lalu darimana munculnya seorang adik
perempuan" Dan siapa pula namanya"
"Siapa namanya?" tanya Yap Kay kemudian.
"Pek Ih-ling."
Buyung Bing-cu menuang sisa arak ke lantai,
kemudian baru mendongakkan kepala
memandang Be Khong-cun seraya berkata,
"Menantu ikut mertua, aku rasa banyak lelaki
yang enggan hidup satu rumah dengan
mertuanya."
"Itulah sebabnya mas kawin yang ditawarkan
termasuk sedikit istimewa," ucap Be Khong-cun
sambil tertawa.
"Bagaimana terhitung istimewa?" tampaknya
Buyung Bing-cu mulai tertarik dengan tawaran
itu. "Karena selain memperoleh separoh kekayaan
Ban be tong, masih ada lagi kitab pusaka ilmu
golok sakti warisan Pek Thian-ih."
Separoh bagian kekayaan Ban be tong pun
sudah terhitung sebuah tawaran yang
menggiurkan, apalagi ditambah kitab pusaka ilmu
golok sakti warisan Pek Thian-ih, rasanya tak
seorang lelaki pun yang bakal menolak tawaran
ini. Tak kuasa kembali Yap Kay tertawa lebar, ia
sudah menangkap sinar tamak yang terpancar
dari mata Buyung Bing-cu.
Bahkan Loh Loh-san yang setengah hidupnya
sudah terbenam dalam liang kubur pun jadi
mendusin dari mabuknya dan menunjukkan
gairah serta kerakusan yang luar biasa.
Sementara reaksi Hwi thian ci cu meski tidak
sejelas kedua orang rekannya, namun dari balik
sorot matanya telah terpancar pula sinar aneh.
Mas kawin yang begitu menggiurkan jika
ditambah dengan si nona cantik bak bidadari dari
kahyangan, jelas tawaran itu luar biasa!
Rasanya hampir semua orang sudah tergoda
oleh pernyataan itu, namun pada akhirnya Yap
Kay juga yang mengajukan pertanyaan, "Syarat
yang kau ajukan memang menarik, tapi
bagaimana pula dengan wajah orangnya?"
"Tak usah kuatir, biarpun belum terhitung
cantik bak bidadari dari kahyangan, namun lebih
dari cukup untuk membuat kalian ter belalak
dengan mulut melongo."
"Boleh tahu syarat apa yang Sam-lopan ajukan
dalam sayembara pencarian calon menantu ini?"
tanya Buyung Bing-cu.
"Urusan ini menyangkut kebahagiaan
sepanjang hidup, aku tak bisa melakukannya
seperti mainan anak-anak, tentu saja keputusan
terakhir tetap berada di tangan yang
bersangkutan."
"Lalu mana orangnya?" tanya Yap Kay, "sampai
kapan kita baru dapat bersua dengan si nona
yang cantik manis itu?"
Sambil tertawa Be Khong-cun mengalihkan
sinar matanya keluar jendela, mengawasi
kegelapan malam yang menyelimuti angkasa,
menyaksikan bintang nun jauh di ujung langit.
Melihat sinar yang cemerlang menyusup keluar
dari balik awan yang sedang bergerak, kembali
sorot mata Be Khong-cun bersinar tajam.
"Kini malam sudah semakin kelam, lebih baik
kalian pergilah istirahat dulu," katanya tertawa,
"aku percaya besok pagi Pek Ih-ling pasti sudah
muncul di sini."
Segulung angin berhembus, menyingkirkan
awal tebal yang menyelimuti cahaya rembulan.
Berada di pinggiran kota yang sepi, berada di
tengah malam yang hening dan suram, siapa pula
yang dapat tidur nyenyak"
Sepasang mata Yap Kay melotot lebar, melotot
sembari mengawasi kegelapan malam di luar
jendela sana, saat ini dia tak lagi bisa tertawa.
Senyum manis yang selalu tersungging di ujung
bibirnya memang selalu akan hilang sirna tiap kali
dia berada seorang diri dan tak ada orang lain.
Dia belum tidur, meskipun Ban be tong hening,
namun jalan pikirannya masih bergolak, bergelora
bagaikan ada ribuan prajurit berkuda yang
sedang berlari bersama, hanya sayang tak
seorang pun yang tahu persoalan apa yang
sedang dia pikirkan.
Dengan santai dia membelai tangan sendiri,
membelai ibu jari dan jari telunjuk tangan
kanannya yang sudah mengeras bagai batu
karang, begitu pula dengan telapak tangannya
yang telah dilapisi kulit tebal, bekas yang
tertinggal karena lama menggenggam pisau.
Siau-li si pisau terbang memang selalu melepas
pisau terbangnya menggunakan ibu jari dan jari
telunjuk, dilepas disertai tenaga murni yang kuat.
Lantas dimana pisaunya" Dia tak pernah
membawa pisau. Apakah karena pisaunya
disembunyikan di dalam hati"
Pho Ang-soat berbaring di atas ranjang.
Dia pun belum tertidur, di tangannya masih
tergenggam golok hitamnya.
Cahaya rembulan yang sendu menyinari
wajahnya yang pucat dan kaku, membuat lekukan
dan guratan di wajahnya terpampang semakin
jelas. Sepasang matanya yang tajam namun
membawa rasa kesepian yang tiada tara, sedang
mengawasi langit-langit ruangan.
Seekor serangga sedang merangkak di langitlangit,
sorot mata Pho Ang-soat bergerak kian
kemari mengikuti gerakan serangga itu.
Tiba-tiba pintu kamarnya dibuka orang, dengan
senyum di kulum Yap Kay melangkah masuk.
"Belum tidur?" tegurnya.
"Apakah kau tak tahu aturan, harus mengetuk
pintu dulu sebelum memasuki kamar orang lain?"
ujar Pho Ang-soat dingin.
"Aku tahu kau belum tidur," Yap Kay menarik
sebuah bangku untuk duduk, "kan kau bukan
termasuk orang yang takut rahasiamu diketahui
orang lain, jadi apa salahnya aku langsung
masuk kemari."
Yap Kay bukan muncul dengan tangan hampa,
dia membawa arak dan cawan, setelah menuang
secawan, mengendusnya dan meneguknya,
katanya pula, "Bagaimana pandanganmu atas
kejadian itu?"
"Kejadian yang mana?" pandangan Pho Angsoat
masih pada serangga itu, seolah serangga
itu jauh lebih menarik ketimbang Yap Kay.
"Tentu saja kejadian yang menyangkut Be
Khong-cun, Hoa Boan-thian, Ban be tong serta
yang lain. Apa pendapatmu atas semua peristiwa
yang telah terjadi pada malam ini?"
"Aku harus mengucapkan selamat kepadamu!"
tiba-tiba Pho Ang-soat berseru.
Begitu santai hal itu diucapkan, membuat Yap
Kay nyaris tersedak oleh arak yang baru
diteguknya, cepat dia seka ceceran arak di tepi
bibirnya, lalu mengawasi rekannya dengan mata
terbelalak. "Apa kau bilang" Bisa diulang sekali lagi?"
"Aku harus menyampaikan selamat kepadamu."
"Mengucapkan selamat kepadaku"
Kegembiraan apa yang sedang ku alami hingga
pantas mendapat ucapan selamat?" seru Yap Kay
ter tegun. "Kau sudah mendapat adik perempuan, masa
peristiwa semacam ini tak boleh disebut kejadian
yang menggembirakan?"
Sekali lagi Yap Kay tertegun, akhirnya dia
tertawa getir dan meneguk habis sisa araknya.
"Jadi menurut pendapatmu, peristiwa yang
terjadi malam ini adalah kejadian lumrah?" ujar
Yap Kay sambil tertawa getir, "seakan pula
sepuluh tahun berselang kita tak pernah
mendatangi Ban be tong dan Be Khong-cun serta
jago lainnya belum tewas?"
Pho Ang-soat tidak menjawab pertanyaan itu,
dia kembali mengalihkan sorot matanya
mengawasi serangga yang sedang berjalan di
langit-langit. "Jadi kau pun masih sama seperti sepuluh
tahun yang lalu, menggembol golok datang
kemari untuk menuntut balas" Sementara aku
pun masih seperti dulu, seorang gelandangan
yang suka mencampuri urusan orang lain?"
imbuh Yap Kay. Mendengar ucapan itu, mata Pho Ang-soat
nampak mengejang sejenak, namun mulutnya
tetap membungkam, sama sekali tak bergerak.
"Jika kejadian pada sepuluh tahun lalu harus
terulang kembali, seharusnya perempuan itu
adalah adikmu," kata Yap Kay lagi sambil
tersenyum, "jadi sepantasnya akulah yang harus
menyampaikan selamat kepadamu."
Sudut bibir Pho Ang-soat kembali nampak
mengejang, tapi sayang Yap Kay tak menyaksikan
hal itu karena pada saat itulah tiba-tiba terdengar
pekikan ngeri. Belum lewat suara jeritan itu, tubuh Yap Kay
bagaikan anak panah terlepas dari busur telah
menerobos keluar melalui jendela, begitu daun
jendela terbuka, bau anyir darah yang
memualkan segera berhembus masuk
Pho Ang-soat mengernyitkan alis, kemudian
perlahan duduk terus turun dari pembaringan,
berjalan keluar pintu.
Begitu tiba di luar pintu, ia pun menyaksikan
Buyung Bing-cu dan Loh Loh-san baru saja keluar
dari pintu kamarnya, yang tidak nampak hanya
Hwi thian ci cu, pintu kamarnya masih tertutup
rapat. "Barusan seperti ada orang menjerit
kesakitan?" ucap Buyung Bing-cu sambil menatap
Pho Ang-soat. Yang ditatap sama sekali tidak menjawab, dia
hanya berpaling ke arah datangnya jeritan itu.
"Apa yang telah terjadi?" seru Loh Loh-san
pula, kelihatannya ia belum seratus persen
tersadar dari mabuknya.


Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Asal kita datangi tempat itu, bukankah semua
akan jelas?"
Sambil berkata Buyung Bing-cu segera
bergerak menuju ke arah tempat yang sedang
dipandang Pho Ang-soat, sementara Loh Loh-san
segera mengikut di belakangnya.
Menanti mereka sudah berjalan jauh, Pho Angsoat
baru menyusul dari belakang dengan
langkahnya yang bebal lambat dan aneh.
Hingga sekarang tabiatnya yang tak suka
berjalan mendahului orang lain masih dipelihara
dengan baik, baginya seolah selama hidup dia
hanya mau berjalan mengikut dari belakang.
Mungkinkah hal ini disebabkan karena dia
kuatir ada orang bakal memenggal tengkuknya
dari belakang"
Meskipun begitu mendengar suara jerit
kesakitan Yap Kay segera berjalan menuju ke
sana, ternyata dia bukan orang pertama yang tiba
di tempat kejadian.
Sewaktu tiba, di sana sudah hadir empat orang,
satu orang sudah mati dan tiga orang masih
hidup. Hoa Boan-thian, Kongsun Toan serta Hun Caythian
sama-sama mengawasi mayat yang
tergeletak di tanah tanpa berkedip, wajah mereka
bertiga penuh dicekam perasaan curiga, kaget
dan ngeri. Padahal ketiga orang itu termasuk jago yang
sudah banyak pengalamanan menghadapi
berbagai peristiwa, jangankan cuma sesosok
mayat, korban yang pernah kehilangan nyawa di
tangan mereka pun sudah tak terhitung
jumlahnya, tapi mengapa mereka mengunjuk
mimik muka seperti itu"
Ketika Yap Kay tiba di tempat kejadian, ketiga
orang itu masih piea belum bergerak, sorot mata
mereka masih tetap mengawasi mayat itu tanpa
berkedip. Dengan keheranan Yap Kay berjalan mendekat,
tetapi setelah menyaksikan mayat itu, sama
seperti ketiga orang lainnya, sorot matanya ikut
terpaku tanpa berkedip.
Siapa sebenarnya sang korban" Jenazah
siapakah dia"
Mengapa jenazah itu bisa menimbulkan reaksi
yang begitu luar biasa dari orang-orang itu"
Bukan sang korban yang membuat mereka
tercengang dan ngeri, tapi mimik muka mayat
itulah yang membuat mereka bergidik dan ngeri.
Rembulan telah condong ke tepi langit, namun
cahaya lembut yang terpancar masih cukup
terang menyinari jagad raya, terutama menyinari
raut muka Hwi thian ci cu.
Selama hidup belum pernah Yap Kay
menyaksikan raut muka seseram dan mengerikan
ini, apalagi wajah sesosok mayat.
Mimik muka Hwi thian ci cu mengejang lantaran
ketakutan, wajahnya yang pucat tak ubahnya
seperti bunga salju di tengah musim dingin yang
membeku. Belum pernah Yap Kay menjumpai kulit muka
sesosok mayat yang bisa berubah jadi putih pucat
seperti itu, apalagi menyaksikan kulit seseorang
macam kulit badan Hwi thian ci cu saat ini.
Hwi thian ci cu selama ini tersohor karena ilmu
meringankan tubuhnya, kulit serta otot tubuhnya
sangat lentur bagaikan seekor kuda jempolan,
lantaran sudah terlalu lama kena cahaya sang
surya, kulit itu telah berubah warnanya menjadi
hitam berkilat.
Tapi sekarang otot dan daging tubuhnya sudah
berubah jadi daging gembur yang lunak, kulitnya
seakan sebuah balon udara yang kehilangan gas,
menyusut dan berkerut menempel jadi satu di
atas tulang badan.
Ternyata mayat itu nyaris mengering, darah
yang semula mengalir dalam tubuhnya, kini
hampir semuanya telah terisap keluar.
Yap Kay berdiri termangu sambil mengawasi
mayat Hwi thian ci cu, kepandaian silat apakah
yang mampu mengisap darah seseorang hingga
habis" "Kau pernah menyaksikan kematian semacam
ini sebelumnya?" gumam Hoa Boan-thian.
"Belum pernah," Kongsun Toan menggeleng.
"Coba kalian lihat," ujar Hun Cay-thian pula,
"tiada bekas luka di tubuhnya, jangan-jangan dia
mati lemas karena ketakutan?"
Sementara tanya jawab sedang berlangsung,
Yap Kay sudah berjongkok memeriksa jenazah itu
dengan lebih seksama, akhirnya ia berhasil
menjumpai bekas luka di tengkuk sebelah kiri.
Kedua mulut luka itu berbentuk bulat dan
besarnya tak lebih sebutir kacang kedelai, bekas
darah kering masih menempel di sekeliling mulut
luka itu. "Luka bekas apa ini?" seru Hoa Boan-thian
berempat serentak, perhatian mereka sama-sama
dialihkan ke kedua bekas luka itu
"Dari keadaan jenazah, tampaknya darah di
dalam tubuhnya telah terisap hingga kering
melalui kedua bekas luka itu," Hun Cay-thian
berkata. "Tapi senjata apa yang digunakan" Rasanya
belum pernah kujumpai bentuk senjata di dalam
Kangouw yang meninggalkan bekas luka
semacam itu," ujar Kongsun Toan pula.
Yap Kay yang selama ini hanya membungkam
tiba-tiba buka suara, katanya lirih, "Itu bekas
gigitan!" "Bekas gigitan?"
"Benar, mulut luka itu jelas terbentuk dari
bekas gigitan."
"Gigitan?" satu perubahan aneh mendadak
melintas di wajah Hoa Boan-thian, "jadi
maksudmu... dia... darah dia terisap .... "
"Benar, diisap setan pengisap darah!" Paras
muka semua orang berubah hebat.
Menurut dongeng orang kuno, konon bila ada
orang mati yang jenazahnya dilompati kucing
hitam pada masa tujuh kali tujuh hari sejak
kematiannya, maka mayat itu dapat berubah
menjadi mayat hidup.
Mayat hidup semacam ini biasanya akan
bangkit dari kubur dan mengejar korbannya
dengan melompat-lompat.
Ada pula dongeng lain yang mengatakan jika
seseorang yang telah meninggal dan kebetulan
dikubur di "liang serigala", maka setelah melalui
tujuh kali tujuh empat puluh sembilan hari, di
saat mayat itu telah mengisap kekuatan inti
matahari dan rembulan, maka sesudah seratus
hari kemudian, jenazah akan hidup kembali dan
bangkit dari liang kubur.
Ketika tengah malam menjelang tiba, di saat
cahaya rembulan sedang bersinar terang, mayat
hidup itu akan menjebol peti mati untuk
melompat keluar dari liang kuburnya dan pergi
mencari manusia bagai mangsanya.
Dengan mengandalkan sepasang taringnya
yang panjang, mayat itu akan menggigit urat nadi
manusia dan mengisap habis darahnya.
Mayat hidup semacam ini biasanya disebut
setan pengisap darah.
Konon setan pengisap darah ini tidak bisa
dibunuh dengan menggunakan senjata apa pun,
hanya bisa dimusnahkan bila jantungnya ditusuk
dengan kayu bunga Tho yang diruncingkan
ujungnya. Selapis awan gelap bergerak pelan menutupi
cahaya rembulan di tengah kegelapan yang
mencekam, terasa pula hembusan angin utara
yang kencang, mendatangkan hawa dingin yang
menggigilkan. Tak kuasa Hoa Boan-thian dan Hun Cay-thian
bergidik, bulu romanya berdiri, tanpa terasa
mereka menggigit bibir, entah karena kedinginan"
Atau mungkin karena ketakutan"
"Ah, apa yang kau katakan tak lebih hanya
dongeng yang beredar di kalangan rakyat,"
bantah Kongsun Toan, "mana mungkin ada
kejadian seperti itu?"
"Rasanya hingga saat ini kita harus mengakui
cerita itu sebagai kenyataan," kata Yap Kay pula,
"memang kau masih mempunyai penjelasan yang
lain?" "Aku tidak percaya!"
Yang mengucapkan perkataan itu adalah Pho
Ang-soat, walaupun dia berjalan paling akhir, di
belakang Buyung Bing-cu, namun tiba tidak
selisih banyak.
"Oya?" Yap Kay mulai tertawa, "jadi kau tak
percaya Hwi thian ci cu tewas karena diisap
darahnya oleh setan pengisap darah?"
"Aku tidak percaya di kolong langit ini terdapat
setan pengisap darah" kembali Pho Ang-soat
menegas sambil mengawasi dua lubang darah di
tengkuk Hwi thian ci cu.
"Lantas menurut kau, bekas luka itu
disebabkan jenis senjata seperti apa?" tanya Hoa
Boan-thian. "Aku tidak tahu!"
Hembusan angin malam di pinggiran kota
terasa semakin dingin, begitu dingin bagaikan
berada di puncak gunung salju, ditambah sinar
rembulan yang begitu sayu dan pucat, membuat
suasana di tempat itu terasa makin
menggidikkan. Loh Loh-san memandang kembali jenazah yang
terkapar di hadapannya, lalu dengan suara
gemetar bisiknya, "Konon orang yang tewas
karena diisap darahnya, dia akan berubah pula
jadi setan pengisap darah pada keesokan harinya,
dan dia pun akan mencari korban lain untuk
diisap darahnya...."
"Betul, bahkan dia akan dikuasai dan
dikendalikan setan pengisap darah sebelumnya,"
imbuh Hun Cay-thian.
"Aku pun pernah mendengar dongeng
semacam ini," Yap Kay tertawa tergelak,
"tampaknya kita harus menunggu sampai esok
malam untuk membuktikan apa benar bakal
muncul setan pengisap darah lainnya."
"Andaikata benar-benar muncul... apa yang
harus kita lakukan?" tanya Loh Loh-san dengan
suara masih gemetar.
"Ya, apa boleh buat, jika benar-benar muncul
setan pengisap darah, terpaksa kita hanya bisa
kabur, aku dengar setan semacam ini usah
dibunuh." Loh Loh-san tidak buka suara lagi, tapi setiap
orang dapat mendengar dengan jelas kedua baris
giginya sedang saling beradu aking takutnya.
"Menurut apa yang kutahu," tiba-tiba Buyung
Bing-cu berkata, "cara untuk membunuh setan
pengisap darah semacam ini hanya ada satu
yakni meruncingkan batang kayu bunga Tho,
kemudian gunakan kayu itu untuk menusuk
jantungnya."
"Kalau begitu besok kita semua menyiapkan
sebatang kayu bunga Tho untuk berjaga-jaga"
sela Yap Kay sambil tergelak.
Saat itu jarak dengan terang tanah sudah tak
lama lagi, dengan cepat jenazah Hwi thian ci cu
digotong masuk ke gudang bawah tanah Ban be
tong. Dengan tubuh letih, setiap orang pun kembali
ke kamar masing-masing untuk beristirahat, Yap
Kay belum juga bisa memejamkan mata, sambil
mementang mata lebar-lebar dia mengawasi
keluar jendela tanpa berkedip.
Alisnya berkerut kencang, setiap kali sedang
menghadapi masalah dan perlu pertimbangan,
alisnya selalu bekernyit kencang.
Dalam keadaan begitulah pikir punya pikir,
tanpa terasa dia pun terlelap tidur.
Tak lama kemudian, dari luar jendela tampak
ada segumpal kabut tebal perlahan-lahan
bergerak memasuki ruangan itu, dalam waktu
lingkat seluruh ruangan telah diselimuti oleh
kabut tebal. Dari balik kabut muncullah seseorang, seorang
wanita bertubuh ramping dan berambut
sepanjang bahu.
Perempuan itu berdiri lurus di balik ketebalan
kabut yang dingin membeku, seolah-olah sejak
dulu hingga sekarang dia selalu berdiri kaku di
sana, seolah-olah baru saja melumer dari balik
kebekuan bongkahan es yang keras.


Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Biarpun orang itu lebih dingin dari bongkahan
salju, namun justru ringan dan mengambang
bagaikan segumpal kabut.
Lamat-lamat terlihat dia adalah seorang wanita,
tapi sayang tak terlihat jelas bagaimana raut
wajahnya, yang tampak hanya dia mengenakan
pakaian seputih kabut, raut mukanya terselubung
di balik asap putih.
Perempuan di balik kabut itu hanya berdiri kaku
sambil menatap Yap Kay yang masih berbaring di
ranjang, lama kemudian baru ia menghela napas
panjang. Seandainya waktu itu Yap Kay berada dalam
keadaan mendusin, dia pasti akan merasakan
hatinya hancur lantaran helaan napas itu.
Tak ada orang yang bisa melukiskan betapa
pedihnya helaan napas itu, tapi setiap orang
pasti dapat menangkap bahwa di balik helaan
napas itu terselip beribu patah kata yang ingin
disampaikan, terselip rasa kangen yang luar
biasa, terselip pula rasa kesal dan menggerutu
yang mendalam. Setelah menghela napas panjang, kembali
perempuan di balik kabut itu bergumam, "Ada
begitu banyak peristiwa di dunia ini yang tak
mungkin bisa dibayangkan siapa pun di dunia ini."
Setelah berhenti sejenak, kemudian lanjutnya,
"Kau harus percaya bahwa di jagad raya yang
amat luas ini terdapat sebuah kekuatan misterius
yang tak mungkin dimiliki umat manusia pada
umumnya, kau tak boleh mencari kekuatan itu
apalagi bertarung melawan kekuatan misterius
itu, ingat baik-baik pesanku ini."
Kabut putih kelabu yang menyelimuti orang
berbaju putih kelabu pula, membuat orang itu
seolah menghilang, begitu samar-samar, begitu
tak nyata. Manusiakah dia" Ataukah roh gentayangan"
Dalam keadaan sadar, sikap Pho Ang-soat
selalu dingin, angkuh dan acuh terhadap setiap
orang, bagaimana sikapnya sewaktu tidur"
Ia merebahkan tubuh miring ke samping
dengan kaki ditekuk dan pinggang melengkung,
raut mukanya memancarkan sinar ketidak
berdayaan seorang anak-anak, bahkan dari balik
matanya yang terpejam lamat-lamat terpercik
juga secercah harapan.
Apa yang dia harapkan"
Kasih sayang keluarga" Kehangatan
persahabatan" Ataukah kemesraan percintaan"
Jangankan orang lain, bahkan dia sendiri pun
belum tentu dapat menjawab pertanyaan ini,
semisal tahu pun dia tak bakal mengatakan
kepada orang lain, apalagi minta dia
mengakuinya. Dari balik wajah Pho Ang-soat yang dibalut
keletihan, secara lamat-lamat masih dapat
ditemukan jiwa kekanak-kanakannya yang polos,
ketika melihat sikapnya sewaktu tidur saat ini, dia
tak ubahnya seperti seorang anak nakal yang
terlelap tidur karena kelelahan, begitu
nyenyaknya dia tertidur seakan walau ada guntur
yang menggelegar di sisi telinganya pun tak bakal
membuatnya mendus in.
Hembusan angin menjelang fajar biasanya
terasa paling dingin, juga terasa paling kencang,
membuat daun jendela terpentang lebar.
Dari luar jendela lamat-lamat berkumandang
suara nyanyian yang seakan datang dari neraka,
suara itu melantun di tengah hembusan angin,
melayang dan menggaung, seperti suara yang
bergema di dalam jeram sangat dalam.
"Di ujung jalan buntu, tak nampak kau
kembali, Baru melangkah dijalan kematian, nyawa
keburu putus."
Begitu suara nyanyian berkumandang, tiba-tiba
Pho Ang-soat membuka matanya, mementang
matanya lebar-lebar dengan cahaya berkilat,
sementara otot-otot hijau merongkol pada tangan
kirinya yang menggenggam golok.
"Bunga belum layu,
Rembulan belum gumpil,
Dimana bulan purnama memancarkan
cahayanya" Apakah menyinari bunga mawar di
tepi hutan."
Ketika suara nyanyian itu sekali lagi
berkumandang, kening Pho Ang-soat bekernyit
makin kencang, dia merasa sangat mengenal bait
lagu itu, seakan-akan baru saja mendengarnya di
suatu tempat. "Di ujung jalan buntu, Tak nampak kau
kembali, Tengah malam kentongan ketiga, Putus
napas hilang nyawa."
Begitu mendengar bait syair terakhir,
mencorong sinar tajam dari balik mata Pho Angsoat,
sekarang dia tahu siapa pembawa nyanyian
itu. Yan Lam-hui! Betul, dia adalah Yan Lam-hui
yang dilatih Kongcu Gi untuk menjadi bonekanya.
Baru saja keningnya mengendor, sekali lagi dia
mengernyitkan alis, bahkan mengernyit lebih
kencang, Pho Ang-soat belum melupakan satu
hal. Pho Ang-soat belum lupa Yan Lam-hui tewas di
ujung goloknya. Kalau bukan Yan Lam-hui yang
membawakan nyanyian itu, lalu siapa yang
barusan bersenandung"
Siapa yang dapat membawakan lagu itu"
Mengapa dia datang ke pinggiran kota untuk
membawakan lagu itu"
Apakah dia khusus datang ke situ hanya untuk
membawakan lagu itu" Khusus bersenandung
agar Pho Ang-soat dapat mendengarnya"
Untuk mencari jawaban berbagai pertanyaan
itu, tampaknya dia harus segera menjumpai
orang yang melantunkan lagu itu.
Mengikuti asal suara nyanyian itu, dengan
cepat Pho Ang-soat berjalan keluar meninggalkan
Ban be tong, kelihatannya orang itu berada di
tengah hutan. Menanti ia memasuki hutan, Pho Ang-soat baru
sadar ternyata hutan itu sangat lebat, sejauh
mata memandang hanya pepohonan tinggi yang
menyelimuti sekeliling tempat itu.
Setelah membetulkan pakaiannya, selangkah
demi selangkah Pho Ang-soat berjalan menembus
kegelapan malam, semakin dalam dia menembus
hutan, semakin jelas suara nyanyian itu
terdengar. Ternyata benar, suara nyanyian itu berasal dari
balik hutan lebat, tapi siapa yang membawakan
lagu itu" Bab 4. IRAMA LAGU BAYANGAN SETAN
Angin malam berhembus kencang,
menggoyang dedaunan yang rimbun hingga
tampak bagai tangan raksasa yang sedang
mencabik ke sana kemari.
Dengan pandangan mata tajam Pho Ang-soat
berjalan menelusuri pepohonan, bergerak
menghampiri sumber suara nyanyian itu.
Tak lama kemudian tibalah dia di sebuah tanah
lapang yang luas, di saat itu pula suara nyanyian
tiba-tiba berhenti.
Tiada seseorang pun yang terlihat di sana,
kecuali sebuah gundukan tanah kecil, tak
nampak bayangan apa pun.
Bagaimana mungkin bisa terjadi" Sudah jelas
suara nyanyian itu berasal dari sana, mengapa
tak nampak seorang pun"
Suara nyanyian itu baru berhenti setelah Pho
Ang-soat melangkah masuk ke tanah lapang itu,
dia tak percaya ada orang mampu bersembunyi
dari hadapannya dalam waktu secepat itu.
Atau mungkin orang itu bersembunyi di suatu
tempat" Misalnya bersembunyi di pohon" Atau di
tempat gelap" Atau... bersembunyi di balik
gundukan tanah kecil itu"
Baru saja Pho Ang-soat bersangsi dengan
penuh tanda tanya, mendadak suara nyanyian itu
kembali berkumandang.
Kali ini Pho Ang-soat dapat mendengar suara
itu dengan jelas, bahkan berani memastikan dari
arah mana suara itu berasal.
Ternyata suara nyanyian itu berasal dari
belakang gundukan tanah itu!
Sambil tertawa dingin Pho Ang-soat perlahanlahan
berjalan ke depan, melewati gundukan itu.
Tapi begitu tiba di balik gundukan tanah itu,
lagi-lagi dia dibuat terperanjat, ternyata tak
nampak seorang pun di balik gundukan itu,
mungkinkah suara nyanyian itu jelas bersumber
dari situ"
Sekali lagi Pho Ang-soat pasang telinga
mendengarkan lebih seksama, kali ini dia benarbenar
terkesiap, ternyata suara nyanyian itu
berasal dari dalam tanah.
Dari dalam gundukan tanah kecil itu telah
muncul suara nyanyian yang begitu menggidikkan
bagaikan suara dari neraka, mungkinkah tanah
kecil ini adalah pintu masuk menuju neraka"
Mungkinkah suara itu adalah jeritan sukma
gentayangan yang berusaha kabur dari dalam
neraka" Seperti apakah neraka itu" Siapa yang pernah
mendatanginya"
Benarkah orang yang telah mati arwahnya akan
gentayangan bahkan tersesat ke dalam neraka"
Benarkah neraka terdiri dari delapan belas
tingkat yang dijaga pasukan manusia berkepala
kerbau berwajah kuda"
Benarkah terdapat raja akhirat yang mengatur
kematian dan penitisan kembali umat manusia"
Pho Ang-soat tidak percaya segala cerita
ta Pukulan Naga Sakti 6 Kuda Putih Karya Okt Jodoh Rajawali 31
^