Kisah Bangsa Petualang 3

Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen Bagian 3


dia berkata tak kalah nyaringnya : "Di mataku kaulah
dahulu buaya darat sekarang buaya darat juga! Bedanya ialah
sekarang kau berbuat kejahatan lebih banyak dan lebih besar !
Dulu kau cuma mencelakai rakyat jelata, rakyat baik-baik,
sekarang kau mencelakai rakyat berbareng tentara juga !
Hahaha ! Apakah kau sangka setelah kau menjadi ciat-touwsu
lantas aku memandang tinggi kepadamu" Hm !"
An Lok San sudah memikir memainkan sandiwara kucing
menangkap tikus. Ia percaya tak nanti Toan Kui Ciang dapat
lolos lagi Maka ingin ia lebih dulu mengejek dan menghinanya,
guna melampiaskan kemendong-kolannya, maka sungguh di
luar dugaan sekarang ia justeru didamprat habis habisan oleh
musuhnya ini ! Bahkan ia dihina di muka umum, di beber
rahasianya dibadapan tetamu dan orang orang sebawahannya !
Bukan main gusarnya ia. Tak dapat ia tertawa pula. Ia lantas
mengasi lihat romannya yang bengis.
"Manusia tak tahu diri !" ia membentak. "Hayo, kamu semua
hajar dia sampai mampus" Toan Kui Ciang tidak takut. Dia
tertawa berkakak.
"Aku telah berani datang ke tempatmu ini, itu tandanya aku
sudah tidak memikir untuk berlalu pula dengan masih hidup!"
dia kata, keras. "Hanya untuk kau membinasakan aku, rasanya
itu taklah terlalu mudah! Haha!"
Sambil berkata begitu, Kui Ciang tidak berdiam saja. Orang
sudah maju untuk menyerang padanya. Ia memasang mata
tajam, kakinya bergerak, tangannya bergerak juga.
"Aduh !" demikian satu jeritan. Maka seorang busu telah
tertancap dadanya dengan pedang hingga darahnya
mengucur keluar, hingga terpaksa dia mesti mengundurkan diri.
"Kantong nasi ! kantong nasi !" An Lok San mencaci berulang
ulang. "Lekas panggil beberapa orang yang berarti !"
Sie Siong maju meskipun ia jeri. Ia kenal baik liehaynya si
orang she Toan. Ia malu mendengar dampratan pembesarnya
itu. "Bagus !" berseru Kui Ciang menyambut pecundangnya itu.
Ia lantas bersilat dengan sebat. Sie Siong kaget hingga ia
terpaksa mundur. Toh ia masih terlambat. Tahu-tahu
pundaknya terasa dingin dan sakit, pundak itu mengeluarkan
darah. Ujung pedang musuh membuat goresan pada
pundaknya itu !
Syukur untuknya, selagi dia diserang itu, Kui Ciang pun
diserang oleh seorang wiesu yang bersenjatakan sepasang
gaetan. Wiesu itu bukan sembarang wiesu. Untuk menolong diri
Kui Ciang menarik pulang pedangnya sambil ia berkelit, kalau
tidak pastilah dia bakal patas tulang pipeenya. Dengan tak
perduli bakal di damprat, dia terus berkelit, uutuk mundur.
Toan Kui Ciang benci sekali sama pecundangnya ini. Dialah
yang secara bengis sudah menangkap Su It Jie. Maka ia tidak
sudi melepaskannya Habis membebaskan diri dari *aetan
sambil berseru, ia berlompat maju, guna menyusul orang she
Sie ini. Di depannya menghalang seoranj wiem ia men dupak
dengan kaki kanannya. Wiesu yang bergegaman gaetan pun
menghadang pula tapi dia dipaksa mundur setelah gae;annya
dibik.n terpental. Setelah itu meluncurlan pedang yang tajam
ke punggungnya si pecundang!
Tepat di waKtu yang berbahaya untuk Sie Siong itu Kui Ciang
dibikin terkejut oleh suara angin di sebelah belakangnya. Ia
menduga kepada serangan membokong. Batal ia menikam Sie
Siong, terpaksa ia memutar tubuh sambil menyampok
kebelakang. "Aku tidak menyangka An Lak San mempunyai orang
seliehay ini, "pikirnya. Sebagai juga punggungnya ada matanya,
pedang menyambar kelengan orang, sedang tubuhnya
mendadak untuk berkelit.
Kedua senjata mereka lantas beradu keras. Si penyerang
mundur tiga tindak, orang yang diserang berguncang tubuhnya.
Senjata mereka itu memperlihakan api meletik.
"Ilmu golok yang bagus! Ilmu pedang yang liehay! Ya, dua
duanya liehay "Itulah pujiannya U bun Thong
Kui Ciang sudah lantas melihat penyerangnya, ia menjadi
tercengang saking heran Orang itu ialah Liap Hong, yang
berulang kali sudah menolongi ia secara diam diam yang
mengisiki secara samar untuk ia menyingkirkan diri.
Wiesu yang bersenjata gaetan bernama Thio Tiong Cie dia
kosen seimbang denpan Sie Siong. Dialah salah seorang yangdiandalkan
An Lok San. Melihat musuh menju-blak, dia lantas
maju menyerang pula. Hebat dia menggunai sepasang
gaetannya, yang me nyamber ke bawah
Kui Ciang kaget. Itulah serangan di luar sangkaan. Ia lantas
berkelit, tetapi tidak untung, ujung celananya kena tersamber
juga hingga robek!
Liap Hong pun maju pula sambil berseru nyaring: "Sorga ada
jalannya kau tidak pergi kau memasuki neraka yang tiada
pintunya! saat kematiaumu sudah tiba, masih kau berani,
mengganas!?"
Hebat kata-kata itu tetapi Kui Ciang menerimanya sebagai
nasihat untuk ia mengangkat kaki, maka ia heran dan kata
dalam hatinya: "Dia Hu Ciang pribadi dari An Lok San pantas
kalau dia bekerja sungguh-sungguh untuk majikannya, tetapi
heran dia seperti menyayangi aku. Kenapakah?"
Liap Hong maju. Ia berkelahi sungguh-sungguh sekarang ia
mendapat kenyataan Kui Ciang jauh terlebih liehay dari
padanya, ia menyerang tanpa ragu-ragu.
Kui Ciang tidak ingin mencelakai orang yang baik hati itu, ia
melayani dengan keias. tetapi tanpa menfgunai tipu silatnya
yang" dapat merobohkan orang. Karena ini. dikepung berdua, ia
menjadi kalah angin. Ia terdesak.
U Bun Thong menyaksikan pertempuran itu
Ia kata didalam hatinya: "Toan Kui Ciang memiliki ilmu
pedang yang sempurna ia dapat tergolong orang kelas satu,
akan tetapi ia belumlah pantas dan sesuai seperti yang dunia
Rimba Persilatan memujinya!"
Ketika itu Tan Sin Su datang bersama beberapa kawannya.
Mereka melibat Kui Ciang terdesak, lantas mereka maju. Sia Su
dengan bernapsu. Ia ingin membalas sakit hati untuk peristiwa
dirumah makan, karena ia ta hu pedang Kui Ciang pedang
mustika, sengaja ia membawa golok yang berat tiga puluh tiga
kati, yang tebal sekali ia percaya pedang musuh tak bakal
dapat memapas kutung gokol-nya itu, Ini pula yang membikin
ia berani merangsak.
Repot Kui Ciang dikepung oleh enam wiesu pilihan. Ia
menangkis kekiri dan kanan ia menyerang selekasnya ada
kesempatan. Satu kali pedangnya bentrok ji ga dengan golok
Sin Su. Ia dapat menyampingkan pedangnya itu yang kena
dibikin mental. Justeru itu. ga-etannya Thio Tiong Cie masuk,
kali ini tangan bajunya yang kena dirobek. Syukur ia dapat
meneruskan mengelir, tangannya. Meski begitu lengannya
tergores jaga, kulitnya mengeluarkan darah.
Liap Hong miju selagi orang terlukakan itu. Dia menyerang
dengan tikaman "Ular putih menyemburkan bisa." Goloknya
meluncur ke tenggorokkan lawan.
Kui Ctng melihat bahaya mengancam, ia memutar tubuhnya.
Itulah tipu silat "Membungkuk menanam yangliu". Sambil
berputar ia membalas menyerang.
Mendadak terdengar jeritan "Aduh! " itu-lah jeritannya Liap
Hong, yang kena perutnya terlukakan Dia masih mencoba
berlompat mundur, habis itu dia toh roboh. Hingga dengan
begitu pengurungan menjadi mengasi lihat satu lowongan.
Bukannya tak disengaja Lip Hong terluka dan roboh. Sampai
disaat itu ia masih hendak menolongi Kui Ciang, guna
membukai jalan lolos, lain orang tidak ketahui pertolongannya
itu tetapi Kui Ciang menginsafinya.
Maka Kui Ciang melengak sedetik dan berkata di dalam
hrtinya : "Jikalau aku tidak terbinasa, di belakang hari mesti
aku balas budinya orang ini. Hanya sekarang, mana dapat aku
menerima budi kebaikanmu! Tanpa dapat menolongi Su Toako,
mana ada muka aku menyingkir seorang diri ?"
Kui Ciang menggunai ketikannya itu. la keluar dari kurungan
Tetapi ia tidak lari menyingkir, ia justeru memburu kearah An
Lok San ! Tian Sin Su dan yang lainnya menjgdi kaget, lekas-lekas
mereka menyusul guna merintangi. Selagi mereka repot dan bi
gung tiba-tiba terdengar suara nyaring dari U-bun Thong-
Jago istana itu tertawa terbahak, dia kata. : "Setelah
menyaksikan ilmu pedang Tuan Toan yang demikian indah, aku
menjadi rada gatal! tuan-tuan, tolong kamu menunda seoentar,
biarlah aku mempertontonkan kejelekanku ! Ya, kejelekanku !"
Suaranya itu segera dibaiengi dengan lompat majunya, kedua
tangannya terlihat kosong, jubahnya berkibar kibar, maka
sekejab saja ia sudah tiba di hadapan Toan Kui Ciang.
Menampak majunya jago istana itu, Tian Sin Su semua
bernapas lega. Mereka tahu kejumawaannya jago itu, tanpa
periniah lagi, mereka peda mengundurkan diri. Hingga disitu
terbuka suatu gelanggang.
Toan Kui Ciang mengawasi orang bicara demikian macam,
sedang sikap dedak orang pun garang. Katanya di dalam hati :
"Kiranya ini utusan Raja seorang gagah ! . . . ."
Berdiri di depan Kui Ciang. U bun Thong memperlihatkan
siap terkebur. "Tuan Toan ahli pedang yang terbesar, bukankah
tadi kau bermaksud menangkap aku ?" dia tanya "Sekarang aku
sudah herdiri di depanmu, mengapa kau masih tidak mau turun
tangan ?" Kui Ciang berlaku tenang. "Kau hendak mengadu kepandaian
secara orang Bu-Iim, tidak mau aku menang sendiri, ia
menyahut sabar. ,Kau keluarkanlah senjatamu!"
U-bun Thcng tertawa lebar. "Benar-benar kau ahli pedang
kenamaan. Tuan Toan" ia berkata. "Tak kecewa kau! Tapi tak
usahlah kau berkuatir untuk diriku walaupun kau memiliki
pedang mustika, tidak nanti kau mudah saja melukai aku U-bun
Thong!" Mendengar orang memperkenalkan diri itu barulah Toan Kui
Ciang mendapat tahu utusan raja ini sebenarnya salah satu
Jago istana yang namanya tersohor berendeng dengan Ut-tie
Pak. Ia tidak takut, bahkan ia mendongkol. Belum pernah ia
menghadapi orang yang berani memandang tak matanya
secara begini. Ia kata dalam hatinya : "Apakah kau sangka
nama besarmu sebagai jago istana dapat menindih padaku "
Aku sangsi kepandaianmu berkelahi dengan tangan kosong
dapat melebihkan keliehayannya Ut-tie Pak !"
Dalam iimu silat tangan kolong melawan senjata, Ut-tie Pak
memang kesohor sebagi jago nomor satu. selama pertempuran
di rumah makan, Kui Ciang sudah menguji jago itu. ia menang
unggul, maka itu ia menganggap U-bun Thong terlalu jumawa.
"Benarkah ?" ia berkata menjawab jago istana yang jumawa
itu, "Kalau begitu, silahkan kau mulai memberikan
pengajaranmu!"
Meski kegusarannya meluap-luap, Ku Ciang masih dapat
menguasai diri uutuk tidak menyerang terlebih dulu. Lawan
bertangan kosong, ia hendak mengalah untuk memberi
kesempatan kepada lawan itu.
"Baik" jawab U-bun Thong dengan berseru. "Untuk berlaku
hormat tak ada jalan yang terlebih baik dari pada menerima
perintah ! Nah. kau berlaku hati-hatilah menyambutnya".
Jago istana itu segera mulai dengan penyerangannya. Toan
Kui Ciang memasang mata. Ia melihat orang tidak menggunai
ilmu silat Kim-na-ciu atau Menangkap, juga bukannya ilmu silat
Lo Han Kun yang liehay hanya ilmu silat Utara Tiang Kun yang
umum. In menjadi heran.
Mungkinkah dengan ilmu silat umum ini dia dapat melayani
pedangku?" ia tanya di dalam hati. ,Ia disohorkan sebagai jago
istana aku tidak percaya dia benar benar demikian liehaynya . .
. . " Tengah Kui Diang berpikir itu kepalan yang besar dari lawan
sudah jaenyambar, ia menangkis tanpa bersangsa sedikit
juga. "Trang!" Itulah satu suara bentrokan yang nyaring, yang
diiring dengan terpencarnya lelatu api akibat bentrokan itu,
Nyatalah U-bun Thong bukan besar omong tetapi juga ia licik
sekali.Didalam genggamannya dia telah menyiapkan
senjatanya, ialah sepasang poankoan pit yang sangat pendek,
Sengaja dia tidak mau memberitahukan itu. Sengaja ia mau
membikin Kui Ciang menyangka dia bertangan kosong, supaya
Kui Kui Ciang menjadi mendongkol dan memandang
kepadanya. Dia sudah pikir, kalau orang gu sar dan menyerang
dengan sengit baru dia menyambut dengan senjatanya yang
istimewa itu. Demikian sudah terjadi Tentu sekali dia membuat
lawannya heran, Justeru itu. dia melakukan penyerangan lebih
jauh. Dengan Cara sangat cepat. Dengan tangan kiri diangkat.
dia menyerang dengan tangan kanannya, Dua-dua dengan
senjatanya itu, Dia menyerang selagi orang belum sempat
menarik pulang pedangnya, Dia sudah siap-sedia, dia da pat
melakukannya. Sasarannya ialah jalan jalan darah jia-khie
dibawahan tiga lawannya itu.
Sungguh cara berkelai yang licin sekali, Syukurlah Toan Kui
Ciang bernyali besar dan teliti sekali. Ia tidak tahu U-bun Thong
menyembunyikan senjata rahasia dalam tangannya akan tetapi
melihat dia menggunai Pak-pay Tiang Kun. ilmu silat "Tangan
panjang" dari pihak utara semacam ilmu silat yang umum
sekali, timbul kecurigaan maka itu ia tidak kena dicurigai
lawannya itu. Ia tidak saja tidak memandang tak mata
lawannya ini sebaliknya ia waspada luar biasa, hingga ia
ketahui dengan jurus yang pertama itu lawan itu belum
mengeluarkan kepandaiannya.
Demikian disaat seperti kilat berkelebat itu kedua pihak
sudah bergerak sangat sebat dan lincah. Poankoan Pit U bun
Tnong me-nyambar ke jalan darah Jie khie dan Toan Kui Ciang,
Tepat ketika ujung pit hampir mengenai baju lawan, sekonyong
konyong pedang Kui Ciang berkeredep. ujungnya menusuk ke
kaki penyerangnya itu. Kui Ciang berbuat demikian sambil ia
mendak. Itulah siasat memenolong diri dengan mengancam
kelemahan musuh.
U-bun Thong terkejut. Dengan seoat ia berkelit. Dengan
begitu bebaslah dirinya. Dengan begitu selamat juga Toan Kui
Ciang. Dengan jago istana itu berkelit terpisahlah mereka
berdua. Hanya sejenak kedua pihak sudah memperlihatkan
kepandaian mereka itu. Hampir kedua-duanya roboh sebagai
kurban senjata masing masing.
Baru sekarang U bun Thong menginsafi liehaynya Kui Ciang.
Rupanya tadi orang belum menggunai seluruh kepandaiannya,


Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Diam diam ia merasa jeri sendirinya.
Habis merenggang itu, kedua pihak lantas merapat pula. Kui
Ciang ii.gin melakukan pembalasan, ia memutar pedangnya,
untuk menaikan terus terusan sampai tiga kali, hingga
pedangnya itu bersinar tak hentinya, datangnya bagaikan dari
delapan penjuru angin.
Dengan begitu, tubuh U bun Thong nampak seperti dikurung
sinar pedang. Menyaksikan itu, semua busu melongo, hati mereka gentar.
Sungguh henat si orang she Toan, sungguh bercahaya
keselamatannya U-bun Thong ".
Sebagai jago istana, U-bun Thong meng-gunai poan-koanpit,
alat mirip perabot tulis, yang luar biasa. Umumnya poankoanpit
berukuran dua kaki delapan dim, akan tetapi sepasang miliknya
ini cuma tujuh dim seluruhnya. Ukurannya senjata ini sesuai
dengan pepatah dalam ilmu silat yang berbunyi : "Satu dim
pendek, satu dim bahaya" Berbahaya untuk musuh, tetapi pun
berbahaya untuk diri sendiri apabila ada ketemui lawan yang
jauh terlebih liehay. U bun Thong ketahui itu, maka ia telah
membuat persiagaan.
Selagi Toan Kui Ciang mendesak itu dengan timbul
harapannya akan memperoleh kemenangan sekonyongkonyong
ia mendengar suara menjentrek pada senjata lawannya.
Untuk herannya ia mendapat kenyataan poankoanpit
musuh mendadak tambah panjang dengan tujuh dim. Itulah
persiagaannya U-bun Thong, yang gamannya genggaman rahasia.
Sebab koanpoanpit itu dilengkapi dengan pesawat
rahasia, hingga kapan dikehendaki, panjangnya dapat
diiambah dengan empat kali tujuh dim setiap kali memencetnya
tujuh dim. Itulah hebat. Tak perduli Toan Kui Ciang sangat liehay, ia toh
menjadi kurban senjata rahasia itu. Dengan terdengarnya suara
rnem-berebet, pecahlah ujung bajunya tersentuh ujung senjata
lawannya itu. Hebatnya ujung baju itulah ujung di depan perut.
Semua busu yang menonton, lantas bersorak. Hanya, belum
lagi berhenti sorak mereka itu tiba-tiba mereka dikejutkan
teriakan "Aduh!" tertahan dari mulutnya U bun Thong tubuh
siapa sudah lantas mencelat mundur Apabila orang melihatnya,
pundak jago istana itu mengucurkan darah yang memerahkan
bajunya. Toan Kui Ciang tidak melainkan liehay ilmu pedanenya tetapi
ia juga mahir tenaga dalamnya, ketika barusan ujung
poankoanpit mengarah perutnya, ia menyedot napas membuat
perutnya kempes ciut, hingga bajunya yang kena tersentuh
senjata lawan itu. Berbareng dengan itu, ia bukan hanya
mengelit diri, ia jjga bekerja Dengan sebat sekali pelangnya
diluncarkan ke arah pundak lawan justeru tangan lawan lagi
diulur. Pula ia dengan terhisap, tubuhnya turut maju ke depan.
Maka walaupun U bun Thoag lekas mengundurkan diri tak luput
pundaknya itu di mampirkan ujang pedang, hingga kulit dagingnya
tergores luka mensucirkan darah. Masih syukur, saking
sebatnya dia mundur, dia dapai melindungi tulang pipeenya.
Begitulab, saking kaget berhentilah soraknya semua busu,
semua berbalik menjadi tercengang !
Baru saja U bun Thong sesumbar bahwa pedang Toang Kui
Ciang tidak bakal melukai dia, atau sekarang pedang lawan itu
membikin darahnya mengalir, tentu saja da menjadi sangat
kaget dan malu berbareng. Dia bukan menjadi putus asa dan
menyerah dia justeru menjadi sangat murka. Maka dia berseru
: Orang she Toan, jikalau malam ini aku dapat membiar kau
lolos, aku sumpah U-bun Thong bukanlah seorang manusia!"
Dan dengan sepasang senjatanya itu ia lantas menyerang
dengan hebat sekali. Sebagai keistimewaan poankoanpit,
senjata itu dipakai menosok jalan darah.
Toan Kui Ciang mengerti lawannya kalap, ia tidak mau
memandang enteng. An Lok San pun berseru : "Benar ! paling
benar dia ditawan hidup-hidup ! Hayo, kenapa kamu semua
menjublak saja " Kenapa kamu tidak segera membantui U bun
Touw-ut meringkus bangsat ini Kata-kata Jerderai itu
merupakan anjuran" berbareng titah. Tian Sin Su bersama Thia
Tiong Cis bukannya tidak mempunyai pikiran untuk turun
tangan guna memberikan bantuan mereka. Mereka tidak
mewujudkan pikiran itu lantaran mereka ragu ragu Mereka
kenal U bun Thong sebagai seorang jumawa dan besar kepala,
mereka tidak berani sembarang maju. Mereka juga ingin
menyaksikan kepandaiannya jago itu, maka ita, mereka terus
menonton, Mereka mau menduga, meskipun Kui Ciarng gagah,
tak nanti orang, sbe Toan itu dapat bertahan terus menens.
Siapa nyana kesudahannya ada di luar sangkaan mereka,-Maka
itu sekarang, dengan adanya suara An Lok San, mereka tak
bersangsi. pula. Dengan lantas mereka maju menyerarg.
U bun Thong tidak melarang orang membantui ia. Sekarang
ia tahu bahwa ialah bukan lawan Kui Ciang. Justeru karena
majunya dua kawan ini segera suasana berubah lain. Ialah ia
telah mendapat angin.
Pertempuran terlangsung dengan, sinar pedang Toan Kui
Ciang nampak makin lama, makin ciut kalangannya,
An Lok San melihat, itu, legalah hatinya Sekonyong-konyong
saja, selagi Toan Kui Ciang mulai dirangsak itu, terdengar
seruannya yang nyaring dan tubuhnya berlompat bagaikan
naga lincah sedang pedangnya berkelebat bagaikan kilat
Kesudahannya itu Tian Sin Su terhuyung-huyung beberapa
tindak, karena dengkulnya telah ditikam pedang lawan, sedang
Thio Tiong Cie menjerit lantaran sebuah jeriji tangannya kena
terpapas kutung !
Semua itu terjadi selagi si orang she Toan mencoba
membarengi menoblos kurungan U bua Thong berseru sereya
berlompat menyerang musuh. Ia kaget melihat kedua
kawannya itu menjadi kurban. Maka ia menjadi gusar dan
sengit. Ia menyerang selagi musuh baru saja menabas jari
tangannya Tiong Cie, sebelum pedangnya ditarik pulang.
Berbareng dengan itu, Kui Ciang pun berseru, pedangnya
diayun ke belakang. Lantas, jatuhlah poankoanpit orang she Ubun
itu! Kui Ciang terpaksa berlaku berani demikian melawan
poankoanpit dengan tangan kirinya itu. Tangannya itu terluka
parah hingga selanjutnya tak dapat diangkat pala untuk
digunakan lagi.
U-bun Thong terkejut mendapatkan Toao Kui Ciang berlaku
nekad demikian, Tapi kesudahannya itu membikin ia puas juga.
Biar bagaimana, ialah pihak menang.
Seorang siesu menjemput toankoanpit untuk dilemparkan
kepada jago istana itu. U-bun Thong menyambuti, terus ia
berkata nyaring : "Bangsat ini tinggal sebelah tangannya,
biarnya dia galak, dia tidak dapat mengganas lagi. Lekas
ringkus padanya, Jaga, jangan kasi dia lari."
---ooo0dw0ooo---
Jilid 5 Kui Ciang bersiul lama dan kata keras, "Sungguh satu jago
istana! Sungguh liehay luar biasa! Sungguh garang! Bukan saja
kau menjadi orang berharga di depan Sri Baginda, pula kau
berbareng menjadi anjing penjaga pintu dari An Lok San! Hm!
Kau takut aku lari" Jangan kau kuatir! Sejak aku masuk ke
istana ini, aku sudah tidak memikir untuk keluar pula dengan
masih hidup!"
Seluruh mukanya U-bun Thong menjadi. merah. Ia sangat
terhinakan. "Aku tidak mau adu lidah denganmu!" ia membentak "Lihat
poan-koan-pit!"
Benar-benar ia lompat maju, untuk menyerang.
Kui Ciang pun maju, dari itu, keduanya lantas bertarung
pula. Semua U-bun Thong, Toan Kui Ciang, Thio Tiong Cie dan
Tian Sin Su telah terluka, yang terparah ialah lukanya Kui
Ciang. Yang kedua yaitu Tian Sin Su, yang terbacok
dengkulnya, meski dia tak leluasa lagi berlompatan, dia masih
bisa membantu mengurung musuh. Walaupun tinggal sebelah
tangannya, Kui Ciang berkelahi dengan nekad, ia tetap gagah.
Di antara orang-orangnya An Lok San, yang tergagah ialah
Tian Sin Su, Sie Siong, Liap Hong dan Thio Hong Cie berempat.
Liap Hong dan Sie Siong bergantian terluka parah, sekarang
tinggal Sin Su bersama Tiong Cie. Ini sebabnya mereka masih
dapat membantu U-bun Thong.
Yang lainnya semua tak punya guna, ketika mereka mencoba
maju mendekati Kui Ciang, dengan lantas mereka kena
dilukakan dan mesti mundur karenanya. Maka itu, yang lainlainnya
tidak dapat membantu lagi. Bahkan mereka membikin
gelanggang terhalang oleh kehadiran mereka.
U-bun Thong melihat orang seperti "menyesakkan dunia,"
dia menjadi mendelu, maka dia berteriak keras, "Pergi kamu
melindungi Tayswe! Jangan kamu berkumpul di sini
mendatangkan malu!"
Sekalian Wiesu itu mendengar kata, semua lantas
mengundurkan diri, hingga tinggallah Sin Su berdua Tiong Cie,
yang membantu terus.
Tidak lama, Sin Su berkelit dengan sia-sia, ketika dia lompat,
dia kena ditikam. Untung bagus baginya, lukanya enteng. Meski
begitu, ia merasa sangat nyeri.
Menggunai ketika Kui Ciang menyerang Sin Su itu, U-bun
Thong juga menggunai ketikanya, bahkan dia memencet poankoan-
pitnya, untuk diulur terlebih panjang. Dengan begitu, dia
dapat menyerang sedikit lebih jauh.
Kui Ciang dapat melihat serangan pit, ia berkelit. Hanya
celaka " miliknya, tengah ia berlompat, gaetan Tiong Cie
menyamber pahanya, hingga paha itu tergores luka. Syukur ia
tidak sampai roboh.
An Lok San kaget dan kagum. Ia menjadi berkuatir U-bun
Thong juga bukan lawannya musuh yang tangguh itu. Kalau
orang she U-bun itu kalah, ia pasti akan menghadapi ancaman
bahaya. Sebaliknya, ia tidak dapat berlalu dari situ. U-bun
Thong menjadi utusan kaisar dan utusan itu sekarang lagi
berkelahi mati membelai dia.
Selagi An Lok San bingung, ia melihat munculnya Sie Siong
bersama beberapa Wiesu lainnya, yang mendorong datang
seorang tawanan. Sie Siong muncul sambil mengasih dengar
seruannya berulang kali.
"Su Toako!" Kui Ciang memanggil keras ketika ia sudah
melihat siapa itu yang dibawa datang.
Orang itu ialah Su It Jie. Dia kurus kering, romannya seperti
orang sakit. Teranglah dia sangat tersiksa.
Sie Siong memasang pedangnya di punggung orang tawanan
itu, dia berkata nyaring, "Toan Kui Ciang, berhenti beraksi! Asal
kau maju lagi satu tindak, akan aku tikam Su Toako-mu ini!"
Gusarnya Kui Ciang bukan alang kepalang, akan tetapi buat
keselamatannya Su It Jie, ia berhenti bersilat. Ia hanya
menyiapkan pedangnya kalau-kalau U-bun Thong
menyerangnya. Ia memandang An Lok San, untuk berkata dengan gagah,
"Musuhmu ialah aku, ada hubungannya apakah kau dengan
orang she Su ini" Kau boleh bunuh atau cingcang aku, aku
bersedia, tetapi kau mesti merdekakan dia!"
Baru sekarang An Lok San dapat bernapas lega. Ia tertawa
lebar. "Bagus!" serunya. "Sekarang letakilah pedangmu, nanti aku
Beri ampun pada orang she Su ini, supaya dia tidak
memperoleh kematiannyaf!"
Kui Ciang tertawa dingin.
"Apakah kau sangka aku bocah umur tiga tahun yang dapat
kau permainkan?" ia kata nyaring. "Tak sukar untuk kau
menghendaki aku meletaki pedangku! Sekarang kau biarkan
aku mengantar Su Toako, sampai lewat sepuluh lie, dari sana
aku nanti balik lagi bersama-sama orang-orangmu, itu waktu
aku nanti serahkan pedangku ini!"
An Lok San tertawa.
"Kau tidak percaya aku, maria dapat aku percaya kau!"
katanya. "Lekas kau letaki pedangmu! Tidak ada tawar
menawar lagi!"
Kui Ciang sangat gusar dan mendongkol, otaknya bekerja
keras sekali. Ketika itu U-bun Thong bersama Tian Sin Su dan Thio Tiong
Cie berdiri mengitari Kui Ciang dengan senjata mereka
diancamkan ke arah tubuh yang berbahaya. Sulit untuk
menyingkir dari ancaman itu.
Tiba-tiba Su It Jie berkata, "Kasihlah aku bicara sebentar
dengan Toan Toako!"
"Baik!" menjawab Lok San. "Kau boleh menasihati dia supaya
dia suka menakluk! Aku- hargai kau sebagai sastrawan, pasti
aku tidak nanti membikin susah padamu! Jikalau kau sudi
memangku pangkat, aku nanti berikan pangkat, jikalau
sebaliknya, kau segera akan dimerdekakan, supaya kau hidup
berkumpul dengan keluargamu! Toan Kui Ciang ini sahabat
kekalku, walaupun dia berlaku tidak menghormati aku, dapat
aku memberi ampun padanya! Maka itu tak usahlah kau
menguatirkan keselamatan sahabatmu ini."
Mendengar disebut-sebutnya keluarganya, muka It Jie
menjadi merah dan pucat bergantian. Ia gusar bukan main.
Beberapa kali bibirnya bergerak tanpa menerbitkan suara,
alisnya juga berkerut dan bergantian, akhirnya alis itu bangun
berdiri dan ia kata nyaring, "Toan Toako, daripada aku yang
hidup untuk mencari balas, lebih baik kau! Untuk kau tidak
dipaksa mereka, aku akan berangkat terlebih dulu! Kau
sayangilah dirimu, pergi kau menerobos keluar!"
Belum berhenti suaranya orang she Su ini, ia sudah
membuang dirinya dengan keras kebelakangnya, maka
punggungnya lantas nancap di ujung pedangnya Sie Siong yang
dipakai mengancamnya itu!
Mimpi pun tidak Sie Siong bakal terjadi hal demikian. Ia
kaget sekali, tak keburu ia menarik pedangnya. Malah
hebatnya, selain darah lantas menyemprot keluar, ujung
pedang juga menembusi ulu hati si orang tawanan!
Su It Jie mendengar perkataan An Lok San, ia tidak
mempunyai harapan lagi, maka ia pikir, daripada ia yang
ketolongan, lebih baik Kui Ciang yang kabur. Kalau ia
berkurban, tak akan dua-duanya roboh.
Berbareng dengan berkurbannya It Jie itu, Kui Ciang berseru
keras dan pedangnya bekerja. Matanya pun merah menyala.
Sebatang gaetannya liong Jie sapat sebagai kesudahan dari
serangan dahsyat itu. Dia tidak sempat menarik pulang
senjatanya itu. U-bun Thong sebaliknya mengulur pula poankoan-
pitnya.

Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kui Ijiang tidak menyerang orang she U-bun itu, ia hanya
lompat ke depan, guna menghampirkan An Lok San. Ia terlalu
bersakit hati hingga ia melupai segala apa. Keinginannya yang
keras ialah membalas untuk sahabatnya itu.
Karena itu, ujung poan-koan-pit mengenai punggungnya.
Tapi ia liehay, ia menutup dirinya dan membikin tubuhnya licin
dengan ilmu silat "( iam le Sip-pat Tiat". Maka itu, meski poankoan-
pit mengenai tepat tetapi lak telak. Dasar U-bun Thong
liehay, ujung senjatanya dapat menggores
Berbareng dengan itu, Tiong Jie maju pula dengan terus
menolak, maka selagi berlompat, Kui Ciang tak dapat
mempertahankan diri lagi, terus ia jatuh roboh.
U-bun Thong girang sekali. Ia maju sambil menyerang
dengan poan-koan-pit kiri.
Kui Ciang sendiri lagi jatuh itu ingat suatu apa, di dalam
hatinya ia kata, "Tidak! Aku tidak dapat mati!"
Ia ingin membalas untuk Su It Jie. Maka entah dari mana
datangnya tenaganya, sambil berteriak ia mencelat bangun
dengan lompatan "Le Hie Ta Teng" atau "Ikan gabus meletik".
U-bun Thong merasa telinganya pekak, sampai ia
tercengang. Pedangnya Kui Ciang, yang menyerang, bentrok dengan
poan-koan-pit hingga ujung pit itu putus.
U-bun Thong menjerit, telapakan tangannya terasa nyeri.
An Lok San kaget, mukanya menjadi pucat, dengan gugup
dan suara terputus-putus, ia memberikan perintahnya,
"Datangkan...! I >atangkan barisan panah dan gaetan!" \
"An Tayjin, jangan takut!" U-bun Thong berseru. Dia kaget
tetapi dia lekas sadar. Dialah orang dengan banyak pengalaman
bertempur. "Penjahat ini tidak dapat mengganas terlebih jauh!
Jangan dekati dia! Kilarkan saja!"
Siasat itu lantas digunai, Kui Ciang benar-benar dikurung.
Sia-sia dia berlompatan, tenaganya sudah berkurang. Dia
terluka di tangan, kaki, pundak dan punggung, dia juga telah
mandi darah. Dia tampak seperti orang kalap.
Sin Su dan Tiong Cie turu-t mengurung saking terpaksa.
Tiong Cie menggunai cuma sebatang gaetan. Sin Su tak
merdeka bergerak sebab luka di dengkulnya itu. Mereka berdua
bertempur dengan hati gentar.
Sie Siong tak terluka parah, terpaksa ia turut mengurung.
Bersama ia ada dua orang Wiesu lainnya yang menjadi
pembantunya. Dalam ilmu silat, mereka ini terhitung kelas lima
atau enam. Dengan cepat tibalah dua belas serdadu yang bersenjatakan
gaetan peranti menggaet tubuh dan kaki musuh. Gaetan itu
panjang setombak lebih. Mereka lantas mengurung di empat
penjuru, terus mereka bekerja.
Kui Ciang berseru, ia membabat kutung dua buah gaetan
yang menyamber kakinya. Tapi serangan datang berbareng dari
empat penjuru, betisnya kena tergaet juga, maka robohlah
rubuhnya. Ia lantas bangun untuk berduduk di lantai.
Sin Su girang, ia maju membacok.
Kui Ciang berseru pula, berbareng dengan itu pedangnya
dapat membabat kutung lagi dua gaetan. Gaetan yang
mengenai betisnya nancap terus, hingga kakinya mengucurkan
darah. Ia cabut itu, untuk dipakai menimpuk Sin Su.
Orang she Tian itu kaget, hingga ia mendelong. Syukur
untuknya, Sie Siong menolak tubuhnya. Meskipun demikian,
gaetan melukai kulit kepalanya. Gaetan itu meluncur terus,
maka celaka si serdadu yang bersenjatakan itu, dia terhajar
dadanya, dia roboh terjengkang.
Kui Ciang masih duduk di lantai, ia putar pedangnya guna
membela dirinya. Dalam keadaan seperti itu, ia melupakan rasa
nyerinya. Lagi tiga gaetan kena ia babat putus!
An Lok San jeri. Kata ia di dalam hati, "Aku sudah
berpengalaman berperang tetapi belum pernah aku melihat
orang sekosen dia!"
Sie Siong mundur, dia berdiri di samping jenderalnya itu. Dia
kata, "Dia sudah tak dapat bangun berdiri untuk menyingkir,
baiklah Tayswe datangkan barisan panah, untuk segera
mengambil jiwanya!"
Lok San setuju, ia mengangguk.
"Memang inilah cara satu-satunya," katanya. "Ya, kenapa
masih belum juga tiba?"
Ia memberikan pula titahnya, untuk mendesak lekas
datangnya barisan itu. Kepada U-bun Thong ia menyerukan,
"U-bun Touw-ut! Jangan adu jiwa lagi dengannya! Barisan
panah akan segera tiba!"
Muka U-bun Thong merah. Ia malu dan mendongkol. Musuh
sudah mendeprok tapi dia masih juga belum dapat diringkus.
Dari enam orang, tinggal ia sendiri yang belum mundur. Dalam
penasaran, ia menggertak gigi, terus ia merangsak. Ia tidak
berkeinginan mengasih hidup pada musuh yang gagah ini.
Selagi ia maju, mendadak ia mendengar suara berisik
datangnya dari luar. Di sana orang berteriak-teriak dan lari
mendatangi. An Lok San menduga pada barisan panahnya. Atau ia
menjadi heran. Suara berisik itu suara orang kaget dan
ketakutan. Selagi ia heran, di muka pintu terlihat seorang
pengawal berteriak-teriak, "Kebakaran! Kebakaran! Celaka!
Kebakaran!"
Lok San menjadi bingung.
"Tangkap pembunuh! Tangkap pembunuh!" demikian datang
lain suara berisik.
Pengawal pintu terdiri dari beberapa orang, suara
teriakannya mereka itu belum berhenti, atau bagaikan
terdampar gelombang, mereka kena digempur roboh dari
tempat jagaannya masing-masing!
Menyusul itu tertampak munculnya dua orang, yang satu
mengenakan seragam, yang lainnya seorang bocah umur enam
atau tujuh belas tahun.
"Ada apa?" bentak Lok San. "Kenapa kamu lancang masuk
kemari?" Pertanyaan itu belum berhenti, atau dia sudah dibentak, "An
Lok San! Kau mencelakai Toan Toako, maka ingin aku
mengambil jiwamu!"
Berbareng dengan itu, orang itu lompat untuk menerjang.
Untuk^ ini ia tidak menanti sampai dapat mengusir mundur
semua Wiesu, hanya1 ia lompat lewat di atasan kepala mereka!
Beberapa tukang gaet lagi menggaet, gaetan mereka kena
ditabas kutung, maka itu berisiklah bentrokan golok dengan
pelbagai gaetan besi itu.
Juga si anak muda turut maju. Dia muda tetapi dia hebat.
Dia menggunai goloknya, tangan kosong dan tendangan!
Beberapa Wiesu kena dibikin terjungkal, juga beberapa tukang
menggaet. Lalu terdengar seruan Tian Sin Su, "Lam Ce In, kau bernyali
besar sekali!"
Dua orang itu memanglah Ce In bersama Mo Lek!
Toan Kui Ciang tidak mau merembet-rembet sahabat, ia
mendusta terhadap Ce In, tetapi Mo Lek bocah cerdik, dia
dapat menduga hati orang, diam-diam dia telah mengingat baik
tempat kediaman orang. Kepada Kui Ciang ia berjanji tidak
akan meninggalkan kuil, tetapi seberlalunya sanak itu, lantas
dia pergi mencari Ce In.
Lam Ce In telah berjanji dengan Lie Pek malam itu, untuk
habis magrib berkumpul di rumah Hoo Tie Ciang. Ketika Mo Lek
sampai di tempat menginapnya Ce In waktu sudah jam tiga, Ce
In belum pulang. Dia meninggalkan surat, lantas dia pergi ke
rumah Tie Ciang.
Ce In minum gembira sekali hingga ia lupa pulang. Mo Lek
muncul dengan tiba-tiba. Lie Pek tidak takut atas datangnya
bocah itu, bahkan dia lantas mengajak minum bersama!
Mo Lek tidak mempunyai kegembiraan untuk bersuka-ria, ia
lantas bicara pada Ce In, menutur dugaannya mengenai
maksudnya Kui Ciang.
Ce In kaget, lantas ia pamitan dari Lie Pek, terus ia lari
bersama si anak muda. Meski demikian, ia datang terlambat, Su
It Jie sudah hilang jiwanya dan Kui Ciang lagi terancam bahaya
maut. Tian Sin Su mengenali orang, dia berteriak, tetapi dia tidak
berani melayani, bahkan dia mundur.
An Lok San melihat suasana buruk. Sekarang ia juga lupa
kepada utusan raja. Ia melupai kedudukannya sebagai
"Tayswe". Maka dengan mencekal tangan Sin Su, untuk orang
melindunginya, ia mundur ke houwtong, ruang belakang!
Hati Sie Siong telah dibikin ciut oleh Lam Ce In. Sudah
begitu, dia tak secerdik Tian Sin Su. Pula karena lukanya lebih
hebat, ketika itu dia masih belum sempat mengundurkan diri.
"Orang she Sie!" Ce In membentak. "Rupanya kau belum
puas dengan pertempuran kita di rumah makan! Mari kau maju,
mari!" Ce In berkata demikian, toh ia sendiri yang lompat untuk
menghampirkan lawan itu, begitu sampai, begitu ia menyerang
dengan golok mustikanya.
Sie Siong tidak berani melawan, apapula itu waktu dia sudah
terluka. Maka dia mendahului berlompat, untuk berlari. Adalah
Thio Tiong Cie yang maju, untuk membantu padanya. Orang she Thio
ini menyerang dengan lantas.
Lam Ce In berkelit ke samping, sambil berkelit, ia menangkis
serangan gaetan dari lawan itu. Ia menggunai jurus "Burung
belibis berbaris di tengah udara".
Gaetan Tiong Cie sudah dirusak yang sebelah oleh Toan Kui
Ciang, sekarang tinggal yang sebelah lagi, ketika senjata itu
beradu dengan golok Ce In, dia kaget sekali. Senjatanya itu
terkuningkan menjadi dua potong, hingga dia menjadi
bertangan kosong.
Menampak demikian, sedang dua orang itu sudah berlepotan
darah, Ce In berseru, "Golok mustika tak membunuh orang
yang sudah terlukai"
Benar-benar ia menarik pulang goloknya itu, yang sudah
diayun, sebaliknya, dengan kesehatan luar biasa, ia berlompat
dengan dupakan dua-dua kakinya. Itulah tendangan "Wan-yoh
Siang Hui Kiak" atau "Kaki kerlingnya burung Wan-yoh".
Sie Siong kena didupak punggungnya, tubuhnya lantas
terjerunuk. I'hio Tiong Cie kena tertendang pinggangnya. Kalau
Sie Siong terjungkal jauh setombak lebih, orang she Thio ini
terguling menggelinding seperti luili buh
Ketika itu U-bun Thong menyerang Toan Kui Ciang yang
sudah terluka dan duduk. Ia telah pikir untuk paling dulu
membinasakan lawannya ini. Begitulah, dengan poan-koan-pit
kiri menangkis pedang lawan, dengan yang kanan ia menotok
hebat sekali. Justeru itu Lam Ce In sudah berlompat, untuk membacok
punggung orang she U-bun itu, guna ia menolongi Kui Ciang.
U-bun Thong liehay. Ia mendapat tahu adanya bokongan.
Batal menikam Kui Ciang, ia berkelit ke samping, seraya
memutar tubuh, ia menangkis.
Ia membuat dua gerakan berbareng. Untuk berkelit, ia
menggunai tipu "Naga mendekam bertindak" dan buat
menangkis, ia pakai tipu "Menabuh lonceng emas".
Ketika senjata mereka beradu, terdengarlah suara yang
nyaring. Akibatnya itu poan-koan-pit kena dibikin gompal
sedikit dan tangan komandan itu sakit dan kesemutan, sedang
tubuhnya terhuyung tiga tindak.
Toan Kui Ciang sudah tidak dapat bergerak. Ia melihat
musuh terhuyung ke arahnya, ia mencoba menabas, tetapi ia
gagal, ujung pedangnya tak sampai kepada dengkul lawan'itu.
Lam Ce In tak sempat mengejar U-bun Thong.
"Toako!" ia memanggil seraya ia lompat kepada kawannya,
yang tubuhnya segera diangkat.
"Oh, saudara Lam, kau datang...!" kata Kui Ciang, yang terus
muntah darah dan tak sadarkan diri. Itulah sebab ia telah
berkelahi terlalu lama dan terluka, hingga tenaganya habis.
U-bun Thong girang melihat Lam Ce In menolongi Toan Kui
Ciang. Coba ia disusul, mungkin ia terancam bahaya. Ia kata di
dalam hatinya, "Kau menggendong Toan Kui Ciang, aku tidak
takut padamu!" Maka ia maju pula dengan berani.
Dengan dua-dua poan-koan-pit, jago istana ini melakukan
serangannya. Dengan pit kiri ia mencari tiga jalan darah tionghu,
kiok-tie dan siauw-hu, dan dengan pit kanan mengancam
jalan darah te-hu di kakinya Kui Ciang.
Lam Ce In tidak menangkis, hanya dengan berlompat ia
mengelit diri berbareng menyingkirkan Kui Ciang dari ancaman
bahaya. U-bun Thong tidak puas, dia merangsak, untuk mengulangi
serangannya. "Kau telengas sekali!" Ce In berteriak.
Ia berlompat untuk serangan ke kakinya, selagi turun itu, ia
membalas menyerang dengan bacokan goloknya.
Inilah tidak disangka. Luar biasa Ce In, yang dapat
berlompat sambil menggendong orang. U-bun Thong berkelit,
kedua tanganya ditarik pulang. Hampir kedua senjatanya kena
tertabas golok mustika.
Ia menjadi jengah karena kelitnya itu. Ia bukannya mundur
hanya menjatuhkan diri, hanya ia tidak kelabakan seperti Sie
Siong tadi. Toh pakaiannya kotor.
Ce In terus membuka jalan, untuk menyingkir dari tempat
berbahaya itu. Dua orang Wiesu kena ditendang hingga
terjungkal. Dengan suara bengis ia berseru, "Hidup siapa
membuka jalan! Mati siapa merintangi aku!" Dan goloknya
diputar hebat, sinarnya bergemirlapan.
Kawanan Wiesu jeri, tak ada lagi yang merintangi.
Tatkala itu api sudah berkobar-kobar. Tiat Mo Lek sudah
bekerja. Bocah ini hidup dalam kalangan penjahat, dia banyak
pengetahuannya dan pula cerdik, dia senantiasa membekal
bahan api. Maka dia menyelusup ke dalam gedung An Lok San
dan membakar di beberapa tempat, guna menerbitkan
kebakaran. Itu juga suatu siasat mengalutkan, untuk
memudahkan pihaknya mengangkat kaki.
Rombongan Busu repot berlari-lari guna memadamkan api,
maka kacaulah keadaan di istana peristirahatan An Lok San itu.
Pasukan panah t?lah disiapkan tapi pasukan ini tidak berani
lancang menggunai panah mereka, takut nanti memanah
kawan. Tiat Mo Lek menyaksikan itu, dengan berani ia tertawa dan
kata nyaring, "Malam ini aku tidak berhasil membunuh An Lok
San, tetapi hatiku puas!"
U-bun Thong gusar dan penasaran, ia lompat kepada si


Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bocah, untuk menotok.
Mo Lek berani, ia bukannya lari menyingkir hanya
menangkis. Ia menggunai satu tipu silat ajarannya Toan Kui
Ciang. Nampak ia gagah sekali.
Jago istana itu heran hingga dia tidak berani berlaku
sembrono. Dengan berhati-hati dia mendesak.
Mo Lek berlaku gesit, kecuali menangkis, ia lebih banyak
berkelit. .Satu kali ia terdesak, ia samber tubuh seorang Wiesu,
yang ia terus lemparkan pada jago istana itu.
U-bun Thong tidak berani melukai orangnya An Lok San,
terpaksa ia memapaki tubuh si Wiesu, guna dipegang dan
dikasih turun dengan perlahan. Hanya dengan begitu, ia
membikin si bocah sempat menyingkir jauh, hingga ia hilang di
antara orang banyak, guna menyusul I ie ln.
Bukan main mendongkolnya U-bun Thong, dia lari mengejar
keras sekali. Mo Lek main api, akibatnya ada baiknya ada buruknya.
Baiknya ialah orang repot memerangi api. Buruknya ialah
rombongan Wiesu lainnya berlari-lari mendatangi, untuk datang
membantu. Dengan begitu, mereka jati i memapaki dua orang
yang lagi berlari-lari untuk menyingkir itu.
Syukur Lam Ce In cerdik.
"Bagus kamu datang!" ia teriaki kawanan Wiesu itu. "Lekas
kamu membantu memadamkan" api! Di dalam juga ada
beberapa penjahat yang belum kena dibekuk!"
Karena teriakannya ini, ia tidak dipegat kawanan Wiesu itu.
Inilah sebab ia mengenakan seragam Wiesu dan orang tak
sempat melihat tegas atau berpikir lagi. Dengan cepat sekali ia
lari ke lain arah, di bagian dimana jumlah Wiesu sedikit sekali,
untuk nyeplos di antara mereka itu...
Tengah kawanan Wiesu itu bingung, mereka mendengar
teriakannya U-bun Thong dan Leng-ho Tat, "Pegat dua orang
itu! Merekalah orang-orang jahat yang menyamar!"
U-bun Thong mengejar dari belakang dan Leng-ho Tat
memegat dari depan, untuk merintangi. Ketika itu mereka ini
berdualah yang bergilir menjaga dan semua Wiesu itu menjadi
orang-orang sebawahan mereka.
Lam Ce In bekerja terus. Dua Wiesu roboh di ujung
goloknya. Ia lari ke tanjakan, ia masuk ke dalam rimba.
Tiat Mo Lek tercandak seorang Wiesu, lantas ia kena dibikin
repot. Wiesu itu pandai ilmu Te-tong-too, berkelahi dengan
golok sambil bergulingan di tanah, dengan menyerang sambil
bergelindingan itu, dia membuat si anak muda bingung. Dua
batang goloknya menyamber-nyamber.
Si anak muda gagah tetapi ia kurang pengalaman berkelahi,
tak biasa ia melayani Te-tong-too. Sudah begitu, dua Wiesu lain
keburu menyandak, hingga ia jadi dikepung bertiga. Dua Wiesu
yang belakangan ini bersenjatakan gembolan dan sepasang
ruyung, keduanya senjata-senjata yang berat.
Lam Ce In di dalam rimba menoleh ke belakang. Ia lihat
kawannya terhalang, ia menjadi berkuatir.
"Mo Lek, sambut pedang!" ia berseru. Ia menghunus
pedangnya Toan Kui Ciang, yang ia terus lemparkan.
Celaka Wiesu yang bergegaman ruyung itu, pedang nancap
di punggungnya tanpa dia berdaya, hingga lantas dia roboh.
Tiat Mo Lek mendengar dan melihat, ia lompat kepada Wiesu
itu, di saat tubuh orang roboh, ia menyamber gagang pedang,
untuk dicabut. Ia berlompat dengan kepala turun dan kaki naik,
tepat samberannya, sebat tarikannya. Maka lantas pedang
berada di tangannya. Gerakannya ini membikin tercengang
kedua Wiesu lawannya itu.
Tiat Mo Lek tidak mau mensia-siakan ketika. Ia lompat
kepada Wiesu yang berkelahi dengan ilmu Te-tong-too itu,
ketika ia menyerang, ia membabat kutung sepasang golok
orang. Ketika ia membalik tubuh, ia kena tikam lengannya
Wiesu yang memegang gembolan, hingga gembolan yang berat
itu terlepas dan jatuh bergelindingan ke bawah bukit.
"Leng-ho Tat!" Ce In membentak. "Jikalah kau tidak sayang
jiwamu, mari masuk ke dalam rimba ini!"
Bukan main kerasnya bentakan itu, burung-burung pada
kaget dan terbang kabur.
Kaget dan ciut hatinya, Leng-ho Tat tidak berani mengejar
ke dalam pepohonan lebat itu.
"Kamu maju!" terdengar perintahnya U-bun Thong, yang
sudah menyusul.
Leng-ho Tat mengambil busur dari tangannya seorang
serdadu tukang panah, ia menarik itu, untuk dilepaskan ke arah
Lam Ce In. Sayang untuknya, tangannya bergemetaran, maka
anak panahnya meluncur ke samping sasarannya.
U-bun Thong menyaksikan itu, dia mendongkol.
"Mari!" serunya seraya merampas busur dari tangan
kawannya. Ia memang lebih menang dalam ilmu silat dan
tenaga daripada kawan ini. Ketika ia memanah, anak panahnya
meluncur sambil memperdengarkan suara nyaring.
Tiat Mo Lek sudah menyusul Lam Ce In ketika ia melihat
aksinya si orang she U-bun. Tentu sekali ia kuatir Ce In kena
terpanah sebab kawan itu lari membawa tubuh Kui Ciang. Ia
lantas lompat seraya menyampok anak panah itu.
U-bun Thong mendongkol panahnya dirintangi.
Mo Lek pun bukannya tidak mendapat hajaran. Anak
panah^itu melesat sangat keras, meski ia menyampok, telapak
tangannya tergetar dan terasa nyeri, hingga ia terperanjat.
"Bagus, bocah cilik!" U-bun Thong berseru saking
mendongkol. "Kau berani menghalang-halangi aku, kau mesti
dibunuh lebih dulu!"
Segera meluncur anak panah yang kedua, sekarang arahnya
ke arah si bocah.
Tiat Mo Lek sudah sampai di tepi jurang. Tidak ada jalan
mundur untuknya. Buat tangkis panah juga sukar. Mendadak ia
menjadi nekad, bukannya ia lompat nyamping atau
menyampok, ia justeru berseru melemparkan dirinya ke bawah.
Lam Ce In melihat itu, ia kaget stekali. Tapi kagetnya tak
cuma sampai di situ. Anak panahnya U-bun Thong sudah
meluncur pula, sekarang ke arahnya. Dalam kagetnya, ia
menangkis meruntuhkan anak panah itu.
Ketika itu, U-bun Thong sudah lari mendekati.
"Orang she Lam, kau masih memikir untuk kabur?"
tanyanya, mengejek. "Taruh kata kau sendiri dapat kabur,
tidaklah si orang she Toan! Untuk kebaikan kau, kau letaki
orang she Toan itu, melihat kau seorang laki-laki, suka aku
membiarkan kau lolos!"
Lam Ce In murka.
"U-bun Thong, kau majulah!" ia menantang. "Mari kita
melakukan pertempuran yang memutuskan!" U-bun Thong
tertawa. "Buat apa aku melayani kau si orang yang bakal segeramenemui
ajalnya?" katanya mengejek. "Tapi suka aku memberi
nasehat kepadamu! Mari menyerah! Jikalau kau tidak suka
dengar nasehat baik, biarlah, kau boleh temani si orang she
Toan membuang jiwa! Lihat ini panahku!"
U-bun Thong liehay dan telengas, dengan saling susul ia
melepaskan anak panah yang kempat dan kelima.
Lam Ce In menjadi repot. Ia mesti melindungi Kui Ciang
yang ia terus gendong. Tak leluasa ia menangkis, tak merdeka
ia berlompatan dengan gesit seperti biasanya.
U-bun Thong tidak mau berhenti dengan panahnya. Ia
melepaskan terus menerus hingga tiba saatnya anak panah
yang kesembilan, yang memilih kakinya Kui Ciang sebagai
sasarannya. Sekarang ini orang she Lam itu menghadapi bencana. Ia
sampai di tepi jurang hingga tak ada jalan lainnya lagi. Ia mesti
nekad melawan atau roboh terpaksa. Tapi ia ingin hidup, ia
ingin sahabatnya bebas.
Mendadak ia mengertak gigi, ia kata dalam hatinya, "Toan
Toako, kita sama-sama terbebas atau sama-sama terbinasa!
Mari kita serahkan jiwa kita kepada Thian!"
U-bun Thong tidak mau memberi kesempatan orang berpikir,
kembali ia menyerang dengan anak panah, sampai beruntun
tiga kali! Dalam keadaan sangat terancam itu, mendadak Lam Ce In
berseru keras, sambil tangan kirinya memondong erat-erat
tubuhnya Toan Kui Ciang, ia lompat turun, tangan kanannya
mencekal keras goloknya! Ia menelad perbuatannya Tiat Mo
Lek! U-bun Thong terkejut bahna heran. Inilah ia tidak pernah
sangka. Ketika ia melongok ke bawah, ia melihat jurang curam
dan gelap, ia berdiri menjublak.
"Dia terjun berdua, dia mestinya mati..." demikian pikirnya,
la tidak berani terjun untuk menyusul. Sebenarnya ia pun
memperoleh tiga luka pedang hanya semuanya itu ringan.
Lam Ce In nekad tetapi ia membekal golok mustikanya.
Golok itu dipakai sebagai andalan terakhir. Ketika ia lompat
turun, dengan goloknya ia tancapkan ke tembok jurang. Tiga
kali ia berbuat demikian, hingga saban-saban tubuhnya
tertahan tergantung. Baru setelah itu ia tiba di dasar jurang,
kakinya menginjak tanah yang keras.
Walaupun jiwanya ketolongan, jago she Lam ini tidak luput
dari belasan luka-luka baret, hanya karena ia kuat, ia dapat
bertahan. Kalau lain orang, pastilah dia sudah rebah dengan
napas empas-empis...
"Mo Lek! Mo Lek!" Ce In memanggil beberapa kali, setelah ia
dapat berdiri dengan tegar.
Belum berhenti panggilan itu, dari rumpun di samping
terlihat sesosok bayangan hitam merayap keluar, dari mulutnya
bayangan itu terdengar jawaban yang perlahan yang disusul
rintihan. Ce In tahu bocah itu kuat dan berkepala besar, maka itu, ia
terkejut mendengar rintihannya.
"Mo Lek, bagaimana?" tanyanya cepat. "Apakah lukamu
parah?" Si anak muda menggigit keras giginya atas dan bawah.
"Tidak seberapa," sahutnya, "Cuma kakiku keseleo...
Bagaimana dengan paman Toan?"
Tak dapat bocah ini melupakan pamannya.
"Apakah kau membawa bahan api?" Lam Ce In balik
menanya. "Ada," jawab Tiat Mo Lek, yang terus merogo ke sakunya,
untuk segera menyalahkannya. "Ini!" katanya pula, tangannya
diulur. Di terangnya api tampak muka Kui Ciang sangat pucat,
tubuhnya berlumuran darah, masih ada darah hidup yang
meleleh keluar.
Bukan main berkuatirnya Ce In. Ia lantas pondong sahabat
itu, dibawa ke solokan, untuk mencuci luka-lukanya, buat
segera diobati. Untuk membersihkan darahnya, ia menyobek
ujung baju. Tiat Mo Lek merayap menghampirkan.
"Bagaimana, ada harapan?" tanyanya, berkuatir.
"Untuk sementara, darahnya sudah berhenti mengalir..."
sahut Ce In, suaranya dalam.
"Bagaimana?" tanya pula Mo Lek.
Ce In tidak lantas menjawab. Selang sedikit lama, baru
terdengar suaranya.
"Toako bertubuh kokoh dan kuat tenaga dalamnya,"
katanya, "Nadinya pun belum berhenti. Yang perlu sekarang
ialah pertolongan tabib..."
Mendengar itu, Mo Lek bergerak cepat untuk berduduk. Ia
mementang matanya lebar-lebar.
"Bagaimana?" katanya, bingung. "Di sini di mana kita dapat
mencari tabib?"
"Jangan bergelisah!" kata Ce In. "Mesti ada jalannya! Apakah
baju dalammu bersih" Mari, kasih aku buat membalut
lukanya..."
Ce In dan Mo Lek mandi darah, cuma pakaian dalamnya
yang masih bersih. Demikian mereka berdua bekerja.
Baru mereka selesai, dari atas jurang tertampak sinar api.
Ce In lantas mendekam.
Dari atas itu lantas terdengar suara orang, "Aku tidak
percaya tiga manusia itu masih hidup! Besok saja kita datang
ke mari untuk mengangkat mayat mereka!"
"Setan bernyali kecil!" terdengar bentakan yang lain.
"Apakah kau takut jatuh dan nanti mampus karenanya" Kau
peganglah pinggangku! Mari kita satu demi satu turun!"
"Benar!" kata orang yang ketiga. "Kita makan gaji, kita mesti
bekerja setia! Kita perlu lekas-lekas mendapatkan mayat
mereka, supaya tayswe menjadi tenang hatinya!"
Itulah beberapa Wiesu, yang lagi menacari, yang mau turun
ke jurang dengan menggunai bantuannya dadung.
"Mo Lek," tanya Ce In gelisah, suaranya perlahan, "Apakah
dua-dua kakimu terluka?"
"Bukan, cuma sebelah yang keseleo," sahut si bocah.
"Mari kasih aku lihat," kata Ce In, sesudah mana ia
menyambung tulang yang keseleo itu, untuk terus diuruti,
setelah mana ia menabas cabang pohon, untuk batangnya
dijadikan tongkat. Kemudian ia kata, "Mo I ek! Inilah saat mati
dan hidup! Lekas kita menyingkir!"
Suara itu dalam dan berpengaruh.
Ce In pun segera memanggul tubuhnya Kui Ciang.
Mo Lek menggigit giginya, ia bangun berdiri, lalu dengan
menggunai tongkatnya itu, ia paksa ikut si orang she Lam
menyingkir dari jurang itu.
Hampir tanpa berhenti, mereka lari sepuluh lie lebih, hingga
jauh di sebelah depan mereka, mereka menampak samarsamar
sebuah rumah sucinya malaikat tanah.
Mereka berlari-lari terus.
Mo Lek menguatkan hati, napasnya memburu. Ia sudah lari
jauh kira-kira dua puluh lie.
Lam Ce In mendengar napas orang makin memburu, ia
menoleh. Ia melihat Mo Lek mandi peluh, jalannya setindak
demi setindak. Ia merasa sangat terharu, kemudian ia berhenti
untuk pasang telinga.
"Untuk mereka itu dapat menyusul, sedikitnya mereka
memerlukan tempo satu jam," pikirnya. Maka ia melanjuti pada
si bocah, "Saudara kecil, kau menderita... Mari kita singgah di
dalam kuil malaikat tanah itu!"
Rumah berhala itu sudah rusak tidak keruan, sarang labahlabahnya
pun banyak, akan tetapi aneh, di dalamnya mereka
dapatkan satu orang yang lagi tidur menggeros di depan meja
abu. Dialah seorang tua dengan pakaian rombeng, kedua kakinya


Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melintang, tongkatnya menjadi bantalnya. Dia tidur nyenyak
sekali, sebagaimana nyaring bunyi hidungnya mendengkur. Di
sisinya ada buli-buli arak, yang baunya menyerang hidung.
Setumpuk tabunan, apinya sudah mulai padam.
"Rupanya dia seorang pengemis pengembara," kata Mo Lek.
Ce In mengawasi, lalu ia menyerukan suara perlahan bahna
herannya. Ia mendapat kenyataan, walaupun orang hanya
tukang minta-minta dan pakaiannya banyak tambalannya,
pakaian itu bersih, sedang tongkatnya yang hitam bukannya
tongkat kayu hanya mestinya dari besi.
Mo Lek sangat letih, ia tak perduli apa juga. Ia lantas
menjatuhkan diri untuk berduduk. Kedua kakinya terasa sangat
sakit, begitu ia bercokol, begitu ia tak berkutik pula!
Lam Ce In masih bersangsi, akan tetapi ketika ia merasai
tubuh Kui Ciang mulai dingin, terpaksa ia pun berduduk.
"Sayang tabunan itu sudah padam..." kata Mo Lek.
"Nanti aku tambahkan kayunya," mengucap Ce In, yang
terus menghampirkan si pengemis untuk mengambil beberapa
potong kayu yang berserakan di sisi dia.
Orang she Lam ini heran atas tongkat orang, tanpa sanggup
melawan bujukan hatinya, ia mengulur tangannya untuk
menyentilnya perlahan. Ia lantas mendengar suara yang luar
biasa, bukan suara kayu, bukan juga suara besi. Maka, entah
tongkat itu terbuat dari bahan apa...
(Tambahan dari cetakan baru)
Sekonyong-konyong pengemis itu membalik tubuhnya, terus
ia bergerak untuk bangun berduduk. Dengan lantas ia
menunjuki gusarnya, dia kata, "He, bocah, aku si tuan besar
pengemis lagi enak-enak tidur, kenapa kau bikin banyak berisik
hingga aku menjadi mendusin" Eh, eh, kamu, kamu orang
apa?" Dia terus menanya, sedang matanya kesap-kesip. Dia kaget
untuk mendapatkan orang yang berdiri di depannya, orang
yang mandi darah.
Lam Ce In memberi hormat.
"Maaf, lo-toaya!" katanya. Ia memanggil "lo-toaya" atau tuan
besar. "Bukannya sengaja kami membuat berisik membikin kau
mendusin! Sahabatku itu terluka, kami meminjam rumah suci
ini untuk singgah dan beristirahat..."
"Kenapa kau terluka?" si pengemis tanya. Nampak dia masih
heran. "Kami ketemu berandal!" sahut Mo Lek.
"Ah!" mengeluh si pengemis. "Jaman sekarang ini makin
lama jadi makin tidak keruan macam! Kita terpisah dari kota
raja Tiang-an Cuma tiga puluh lie, toh di sini masih ada orang
jahat..." Tiat Mo Lek tahu keterangannya itu mungkin disangsikan
orang, akan tetapi ia mempunyai alasan apa lainnya" Terpaksa
ia mendUsta demikian.
Syukur si pengemis, habis mendumal, dia tak menanyakan
lebih jauh. Ketika itu Lam Ce In sudah letih bukan main. Ia merasakan
tulang-tulangnya seperti telah pada copot. Akan tetapi,
dibanding dengan Tiat Mo Lek, ia masih lebih mendingan.
Diam-diam ia memasang mata. Ia mendapatkan mata si
pengemis tajam luar biasa. Itulah bukan mata dari kebanyakan
tukang minta-minta. Maka itu, ia kaget di dalam hati.
"Entahlah dia orang macam apa?" pikirnya. "Celaka kalau dia
seorang jahat. Rasanya tak sanggup aku menempur dia..."
Pengemis tua itu mengawasi Toan Kui Ciang.
"Lukanya sahabatmu ini tak ringan," katanya.
"Memang," sahut Ce In. "Hebat kawanan penjahat tidak
mempunyai perikemanusiaan itu, mereka telah membacoknya
belasan kali..."
"Hawa udara sekarang sangat dingin, sahabatmu luka parah,
ada kemungkinan dia bertambah berat keadaannya," kata pula
si pengemis. "Nanti aku tolongi kamu menyalakan api, untuk
kamu dapat menghangatkan diri."
Melihat orang baik hati, hati Ce In menjadi sedikit lega.
"Terima kasih, sahabat," bilangnya. "Memang aku hendak
meminta beberapa potong kayu untuk dinyalakan."
"Kita sama-sama orang bersengsara, jangan sungkansungkan,"
kata pengemis itu.
Ia berhenti sebentar, ia tertawa, terus ia menambahkan,
"Beberapa potong kayu bakar ini masih kurang. Touw Te Kongkong
biasa melindungi orang baik, maka itu baik kita pinjam
meja abunya, pasti dia tidak bakal menyalahkan kita..."
Kata-kata itu disusul perbuatan si pengemis. Ia mengangkat
tongkat hitamnya dan menghajar meja hingga roboh ringsak.
"Sungguh tenagamu besar, lo-jinke!" Tia Mo Lek memuji.
"Aku sudah tua, aku sudah tak punya guna!" kata si
pengemis tertawa. "Rupanya meja ini sudah terlalu lanjut
usianya, maka diketok perlahan saja, dia lantas habis
nyawanya..."
Tabunan ditambah kayu, lantas nyalanya bertambah besar,
suaranya juga meretek.
"Aku masih mempunyai setengah buli-buli arak, mari kita
minum bersama," kata lagi si pengemis, yang ramah. "Kita
minum seorang sedikit, guna menambah kesegaran!"
"Mana dapat kami mengganggu kau, lo-jinke?" kata Lam Ce
In. Si pengemis tua tertawa.
"Seumurku aku biasa makan dan minum makanan dan arak
orang secara Cuma-Cuma!" kata dia. "Jikalau aku mesti
menelad kamu, segala apa mesti dengan berterang, maka tak
usahlah aku menjadi si tukang minta-minta lagi! Mari, mari!
Habis minum dapat aku si tua mengemis pula!"
Dan ia mengulurkan buli-bulinya.
Lam Ce In mengangkat tangan guna menyambuti, ia
membuka tutupnya buli-buli itu. Lebih dulu ia membaui. Ialah
seorang Kang Ouw ulung, ia pandai membedakan bau arak
yang dicampuri racun atau tidak. Apabila ia tidak merasakan
sesuatu, dengan hati lega ia mencegluknya satu kali.
"Baguskah arak ini?" si orang tua tanya, tertawa.
"Bagus, bagus!" Ce In menjawab dengan pujian. "Baunya
pun harum, harum sekali!"
Akan tetapi air kata-kata itu bukan melainkan harum. Setelah
turun ke dalam perut, Ce In merasakan sesuatu yang
mengagum ia. Arak itu mendatangkan hawa hangat di dalam
tubuhnya. Ia tidak merasakan sari obat atau lainnya. Ia
menjadi heran juga. Kecuali rasa hangat, lekas sekali, ia
merasa segar, kesehatannya hampir pulih dalam sesaat itu.
"Ah, aku menduga keliru terhadapnya," ia pikir. Ia menyesal
yang ia sudah menaruh curiga sedang orang bermaksud baik.
Habis Ce In, datang gilirannya Mo Lek minum arak itu. Ia
mencegluk dua kali.
"Harum, harum!" ia memuji.
Pengemis itu tertawa.
"Kamulah orang-orang yang mengerti barang baik!" dia
memuji. "Sebenarnya inilah arak simpanan seratus tahun yang
sukar aku si orang tua mendapatkannya."
Ce In sudah mengetahui khasiatnya obat itu, ia tidak
bersangsi sedikit juga.
"Terima kasih lo-jinke," ia kata. "Hanya sahabatku ini luka
parah dan ia masih pingsan..."
"Tak apa, itulah mudah!" kata si pengemis.
Ia lantas pegang mulutnya Toan Kui Ciang, untuk dibuka,
setelah mana, ia menuang araknya, kemudian terus ia meraba
enteng ke punggung orang yang terluka tak sadar itu.
Tiba-tiba Kui Ciang bergerak, tubuhnya berbalik, kontan dia
tumpah darah, yang menyembur. Darah Itu hitam dan bau.
Tiat Mo Lek kaget, lupa pada kakinya yang sakit, ia
berjingkrak bangun.
"Kau... kau... kau bikin apa?" tanyanya. Ia tahu pengemis itu
orang luar biasa, tetapi melihat kelakuan orang, ia jadi curiga,
maka ia jadi gusar sekali. Ia hendak mendamprat atau baru ia
kata, "Kau..." maka Lam Ce In sudah mengedipi mata padanya,
dari itu lekas-lekas ia mengubah haluan, dampratannya
berubah menjadi pertanyaannya itu.
"Terima kasih lo-jinke!" Lam Ce In kata. "Dengan darahnya
keluar, maka tak usahlah kami menguatirkan pula jiwanya
sahabatku ini!"
Mendengar itu barulah Mo Lek mendusin si pengemis justeru
lagi menolongi. Ia menjadi malu sendirinya.
Ce In lantas peluk tubuh Kui Ciang, untuk terus memanggilmanggil
di telinga orang, "Toako! Toako, sadarlah! Di sini
siauwte! Apakah toako dengar siauwte?"
Kui Ciang tidak menjawab, hanya ia muntah darah pula. Baru
habis itu, mendadak ia berseru, "Su Toako! Su Toako, jangan
pergi dulu, tunggu aku! An Lok San! An Lok San! Kau... kau...
sangat kejam! Kalau nanti aku Kui Ciang mati, akan aku bekuk
padamu!" Ce In kaget. Kawannya itu telah membuka rahasia.
"Toan Toako! Toan Toako!" ia kata di telinga sahabat itu.
"Inilah aku! Inilah aku! Apakah kau sudah tidak mengenali
aku?" Kelihatannya Kui Ciang menjadi tenang, tetapi ia masih
menyebut-nyebut, "Su Toako" dan mencaci An Lok San, hanya
sekarang ia seperti caranya orang sakit ngelindur.
Matanya si pengemis bersinar tajam kapan dia mendengar
disebutnya nama An Lok San dan nama orang yang luka itu
sendiri, paras mukanya juga menyatakan dia heran.
Hanya sekilas lalu, romannya kembali seperti biasa. Dia
menunjuk pada darah di mulut sakit itu dan kata pada Ce In,
"Darah yang telah berubah menjadi merah itu tak dapat kena
ditelan pula. Sekarang biarlah dia dapat tidur barang sekejap."
Sembari berkata begitu, dengan kesehatan luar biasa, ia
menotok tubuh Kui Ciang pada dua jalan darah. Ia berlaku
sebat, tetapi totokannya enteng. Dengan lantas Kui Ciang
berhenti ngelindur. Maka lekas juga dia tidur pulas di dalam
pelukan Ce In, yang sejak tadi masih memelukinya. Lantas
pengemis itu menghela napas lega.
"Syukur masih ada arakku hingga dapat darah dia dibikin
lumer ilnn keluar, kalau tidak, habislah dayaku si pengemis!"
katanya. Ia tertawa sekarang.
Sebagai ahli silat, Ce In ketahui si pengemis ialah seorang
liehay. Totokan dia itu luar biasa dan besar faedahnya. Ia
ketahui, dengan darah kotornya keluar, Kui Ciang menjadi
mendapat darah bersih. Ia tahu baik, ia sendiri tak dapat
menotok cara demikian.
Oleh karena lenyap semua kecurigaannya, lantas Ce In
berkata, menanya, "Lo-cianpwe, terima kasih untuk
pertolonganmu ini! Apakah lo-cianpwe sudi memberitahukan
she dan nama besar lo-cianpwe kepadaku?"
Si pengemis tertawa.
"Tak usahlah kau repot menanyakan tentang siapa diriku,"
sahutnya. "Sebaliknya ingin aku menanya lebih dulu kepada
kamu. Rupanya musuh kamu bukannya penjahat, hanya An Lok
San!" "Tidak salah!" Tiat Mo Lek menalangi Ce In menjawab.
"Benarlah itu babi terokmok yang harus dicincang mampus
berlaksa kali! Dia telah menganiaya Paman Toan sampai paman
menjadi begini rupa! Tadi aku tidak tahu kau siapa, lo-cianpwe,
terpaksa aku mendusta, sekarang aku minta lo-cianpwe suka
memberi maaf padaku."
"Kau tidak salah!" berkata si pengemis tertawa. "Walaupun
An Lok San menjadi Ciat-touw-su dari tiga kota, dia tak
bedanya dengan penjahat!"
Mo Lek masih hendak bicara, ketika dia batal secara
mendadak. Dia berlc-ga hati melihat si pengemis tidak
menggusarinya. Tapi barusan dia berjingkrak, itulah berbahaya
untuk kakinya yang terluka, di waktu baru lompat, dia tidak
merasa apa-apa, tapi sekarang dia merasa nyerai sekali, hingga
hampir dia menjerit karenanya.
"Engko kecil jangan bergerak!" berkata si pengemis tua.
"Aku si pengemis, kecuali minta-minta, masih ada kebisaan
pada tanganku, maka jikalau kau percaya aku, mari aku obati
juga lukamu!"
Mo Lek juga lenyap semua kecurigaannya.
"Terima kasih, lo-cianpwe, terima kasih!" katanya. "Suka
sekali aku menerima pertolongan lo-cianpwe."
Pengemis itu sudah lantas "memberikan pertolongannya. Ia
meraba ke kaki orang yang terluka dan mengurutnya
perlahanMahan, ia menekan jalan darahnya.
Mo Lek merasa heran. Seketika itu rasa nyerinya seperti
lenyap, hingga ia dapat meluncurkan kakinya dan menendang!
Saking girang, ia tertawa lebar.
"Lo-jinke, sungguh lo-jinke liehay!" dia memuji. "Sekarang ini
aku sudah tidak merasa sakit, dapat aku berkelahi satu kali
lagi!" Sebaliknya si orang tua mengasih lihat roman sungguhsungguh.
"Tidak dapat!" katanya keras. "Jangan kata berkelahi,
bergerak pun kau tak dapat sembarang bergerak! Luka kamu
berdua bukannya ringan! Kau tahu, melihat gerak nadi kamu,
kamu rupanya habis berlompat dari tempat yang tinggi sekali
hingga anggauta-anggauta dalam tubuhmu pada bergerak.
Sekarang ini baru luka luarmu yang tersembuhkan, baru
darahmu dapat disalurkan pula. Untuk menyembuhkan luka di
dalam itu, kamulah yang mesti berikhtiar sendiri. Eh engko
kecil, apa kau mengerti ilmu semedhi, untuk menyalurkan
napasmu?" Kembali Ce In dibuat kagum oleh pengemis tua ini. Orang
seperti menyaksikan sendiri peristiwa tadi. Dia jadinya pandai
mengobati dan pandai ilmu silat juga, matanya sangat tajam.
Dengan dia menanya Mo Lek saja berarti dia sudah menduga
bahwa ia mengerti ilmu semedhi itu.
"Aku mengerti sedikit, lo-jinke," Mo Lek jawab.
"Bagus!" berseru pengemis itu. "Sekarang telah pulih
kesegaran kamu, kamu boleh duduk bersemedhi, guna
menyalurkan pernapasan kamu, untuk mengembalikan seluruh
tenaga kamu. Kamu boleh bersemedhi dengan hati tenang, apa
juga terjadi di sekitar kamu, jangan hiraukan! Kamu mesti
dapat menenangkan diri hingga kamu melihat seperti tak
melihat, mendengar seperti tak mendengar. Baiklah, sang
tempo pun sudah tidak ada lagi, lekas kamu mulai
bersemedhi!"
Ce In mengerti maksudnya pengemis itu. Dengan tidak
menanyakan sampai jelas urusan mereka, si pengemis ingin
kesegaran mereka pulih dan tenaga mereka kembali di dalam
tempo yang paling cepat. Rupanya pengemis itu juga sudah


Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berjaga-jaga kalau-kalau orang atau orang-orangnya An Lok
San datang menyusul.
Sebagai orang yang telah berdasar baik, Ce In bersemedhi
tak lama, lantas nyamanlah ia merasa seluruh tubuhnya.
Justeru itu, ia lantas mendengar ringkikan kuda dan suara
bicara orang yang telah lantas tiba di depan kuil
Ia mendengar satu suara, "Di dalam kuil itu ada sinar api,
mari kita lihat!"
Walaupun ia merasa pasti si pengemis seorang luar biasa, Ce
In toh berkuatir.
"Tidak kusangka, musuh datang begini lekas," pikirnya.
"Sekarang aku lagi bersemedhi di saat paling penting, tidak
dapat aku membantu dia... Dapatkah dia bertahan seorang
diri?" Tengah Ce In berpikir begitu, serombongan orang sudah
bertindak masuk di ambang pintu kuil. Benar saja mereka
orang-orangnya An Lok San, bahkan yang memimpinnya ialah
U-bun Thong serta Leng-ho Tat.
U-bun Thong itu cerdik, tidak menanti orang-orangnya
memeriksa lembah atau selat, ia sudah lantas dapat menerka,
ia segera menyusul dengan menunggang kuda.
Di sebelah Leng-ho Tat, ia telah minta bantuannya dua jago
lainnya dari istana, ialah Gu Cian Kin dan Liong Ban Kun.
Mereka ini ialah dua di antara empat Siewie yang mendapat Su
Toa Kimkong atau Empat Kimkong Besar. Mereka ini tak
seliehay U-bun Thong sendiri, atau Ut-tie Pak atau Cin Sian,
tetapi mereka masih lebih menang daripada Leng-ho Tat.
Demikian mereka sampai di rumah suci malaikat tanah itu.
U-bun Thong bertindak di depan. Begitu ia tiba di ambang
pintu, ia lantas mendengar dampratan, yang ia duga mesti
keluar dari mulutnya seorang tua.
"He, dari mana datangnya sekawanan anak kambing haram
hingga mereka mengganggu ketenteramannya aku si pengemis
di dalam rumah suci ini?" demikian dampratan itu.
U-bun Thong menjadi gusar, hingga hendak ia mengunibar
kegusarannya itu, atau mendadak Leng-ho Tat, dengan muka
pucat dan tubuh menggigil, dengar suara gemetaran, berkata,
"Maaf, maaf! Aku yang muda tak ketahui lo-cianpwe berdiam di
sini! Harap lo-cianpwe terima hormatnya aku yang muda!"
Si pengemis mengangkat kepalanya, sepasang matanya
mencilak. "He, Leng-ho Tat, bocah, kau masih mengenali aku, ya?"
katanya dingin. Lalu ia menuding dengan tongkatnya untuk
membentak, "Bocah, kalau kau masih mengenali aku, kau
mestinya masih ingat juga tabiatku! Apakah kau masih tidak
mau lekas-lekas menggelinding pergi?"
Leng-ho Tat ketakutan, mukanya menjadi sangat pucat.
"Ya, ya," sahutnya, terus ia membalik tubuh, untuk berlari.
U-bun Thong gusar sekali, ia mengulur tangannya,
menjambak rekan itu.
Leng-ho Tat kaget. Baru sekarang ia ingat ia ada bersama
kawan itu. Ia menjadi malu dan takut, mukanya menjadi
merah, dengan terpaksa, lekas-lekas ia kata, "U-bun Tayjin, locianpwe
itu ialah Se-gak Sin Liong Hong-hu Sianseng!"
Mendengar itu, U-bun Thong juga terperanjat. Ia memang
ketahui orang bernama Hong-hu Siong itu, yang gemar
merantau, yang hidupnya sebagai pengemis. Dialah satu di
antara Kang Ouw Cit Koay, Tujuh Siluman Kang Ouw. Karena
dia jago Hoa San Pan dan gerak-geriknya mirip "Naga sakti
yang terlihat kepalanya tak ekornya," dia memperoleh
julukannya itu Se-gak Sin Liong, Naga Sakti dari Se-gak Hoa
San, gunung Hoa San di barat.
Leng-ho Tat asal orang Hek Too, Jalan Hitam, kira sepuluh
tahun yang lalu dia turut gurunya membegal serombongan
saudagar, gurunya itu kejam, sudah membegal juga
membunuh. Mereka bertemu Hong-hu Siong, mereka kena
dibekuk. Sang guru lantas dihukum rangket tiga puluh rotan. Dia,
yang itu waktu belum terkenal dan baru masuk golongan kelas
dua, diberi keringanan, yaitu Cuma dirangket lima rotan, meski
begitu karena luka-lukanya dia mesti merawat diri setengah
tahun. Dia tidak sangka, di sini dia bertemu pula jago dari
gunung Hoa San itu.
Ketika U-bun Thong baru menginjak ambang pintu, ia lantas
mendapat lihat keadaan di dalam ruang berhala malaikat itu.
Lam Ce In dan Tiat Mo Lek lagi duduk bercokol dan Tan Kui
Ciang rebah di dekat mereka. Di depan mereka itu berada si
pengemis. Meski ia jeri terhadap pengemis itu, ia toh tidak
dapat melepaskan orang-orang yang lagi dicarinya.
Ia berpikir, "Toan Kui Ciang sudah mirip mayat, Lam Ce In
telah terluka, taruh kata pengemis bangkotan ini liehay,
mustahil tidak dapat aku melawannya" Aku toh ada bersama
saudara-saudara Gu dan Liong! Dia kesohor, itu baru
pendengaran saja! Mustahil dia benar-benar liehay luar biasa?"
U-bun Thong jago kelas satu, dia tidak dapat disamakan
dengan Leng-ho Tat dan lainnya, walaupun dia dikejutkan oleh
nama Se-gak Sin Liong, si Naga Sakti dari gunung Hoa San, dia
toh tidak takut. Maka dia maju pula satu tindak, dengan
merangkap kedua tangannya, dia memberi hormat.
"Hong-hu Sianseng," katanya, "Kita ada seumpama air
sumur yang tidak saling bentrok, oleh karenanya tidak ada
niatku untuk mengganggu kau, hanya oleh karena aku
mendapat firman Sri Baginda Raja, untuk menangkap orang
jahat yang menentang raja, tak dapat aku tak datang ke mari.
Aku minta, sianseng, sudi apakah kau membiarkan aku dapat
melakukan tugasku ini."
Biasanya U-bun Thong berkepala besar, maka itu inilah yang
pertama kali dia bicara dengan cara sungkan dan hormat
terhadap lain orang.
Hong-hu Siong tidak menyambut sikap menghormat itu
sebagaimana layaknya. Sebaliknya, kedua matanya mencilak.
Dan ia tertawa dingin pula.
"Ha, aneh!" katanya. "Memang aku si pengemis tua kadangkadang
suka juga meminta belas kasihan secara memaksa akan
tetapi sejak dahulu belum pernah ada sepak terjangku yang
ingin menggulingkan pembaringan naga atau umpama kata
perbuatan mengemplang mati kepada putera mahkota! Maka
kenapakah sekarang mendadak aku dituduh menjadi orang
jahat yang melawan Raja?"
U-bun Thong menahan kemendongkolannya, dia menahan
sabar sebisa-bisa.
"Aku bukan menyebut kau, sianseng, aku hanya menunjuk
kepada ketiga sahabat itu!" kata dia seraya menuding Toan Kui
Ciang bertiga. "Mereka ini membakar istananya An Ciat-touw-su
serta sudah juga melukakan beberapa Siewie istana! Aku
menjadi Liong Kie Touw-ut, aku mengepalai sekalian Siewie itu,
tak dapat tidak, aku mesti mengundang kedua sahabat ini pergi
ke kantor pembesar negeri untuk menanya jelas kepada
mereka!" Hong-hu Siong menggaruk-garuk kepalanya.
"Ah, urusan ini sungguh membikin aku si pengemis tua
menjadi bingung!" katanya.
Mau atau tidak, U-bun Thong menunjuki juga rasa
kemendongkolannya.
"Aku telah bicara begini jelas, ada apa lagi yang masih
membingungkan kau?" tanya dia.
"Nah, kau lihat saja keadaan mereka itu!" kata Hong-hu
Siong. "Sahabat she Toan itu, jiwa dia pun tak dapat terjamin
akan dapat tertolong atau tidak! Menurut keterangan mereka,
mereka sudah bertemu kawanan penjahat yang mau merampas
harta benda dengan melakukan pembunuhan jiwa orang,
mereka melawan, mereka tak berdaya, maka terjadilah lukaluka
begini macam! Sebaliknya kau membilang merekalah
orang-orang jahat yang menentang Raja! Mereka Cuma dua
orang dewasa serta seorang bocah cilik, mungkinkah benar
mereka menyateroni rumahnya An Lok San untuk melakukan
pembakaran serta mencoba melakukan pembunuhan" Hm! Hm!
Tidak, aku tidak percaya sama sekali! Kecuali kau keluarkan
firman raja untuk diperlihatkan padaku!"
U-bun Thong tak dapat menahan sabar lagi. Dia gusar.
"Aku memandang hormat kepada kau sebagai seorang
cianpwe Rimba Persilatan, aku berlaku luar biasa sungkan
terhadapmu!" dia kata keras. "Kenapa kau sebaliknya
mempersulit aku" Kejahatan itu baru dilakukan mereka,
didalam keadaan sangat kesusu, mana sempat aku meminta
firman Sri Baginda Raja" Kau lihatlah seragamku ini! Akulah
Liong Kie Touw-ut! Mungkinkah palsu?"
Hong-hu Siong tertawa dingin.
"Sukar untuk dibilang! Sukar!" katanya. "Di jaman seperti
sekarang ini ada banyak penjahat yang memalsukan diri
menyamar menjadi pembesar negeri! Laginya, bukankah kau
barusan omong dari hal firman raja" Dan sekarang kau tidak
dapat membuktikannya! Maka terang sekali kau sudah omong
dusta! Satu kali kau sudah mendusta, aku si pengemis tua tidak
dapat percaya lagi pada kau!"
U-bun Thong gusar hingga dia kelabakan. Tapi dia masih
menginsafi kedudukan pengemis itu. Maka dia mencoba
menguasai dirinya, masih dia ingin bicara dengan caranya kaum
Kang Ouw. Dia dapat berlaku sabar, tidak demikian dengan
kedua kawannya yang menjadi jago-jago istana itu.
Sudah belasan tahun Hong-hu Siong tak muncul di muka
umum, kedua orang itu tidak kenal dia. Maka juga belum
berhenti suara Hong-hu Siong mendengung, mereka berdua
sudah menghunus senjatanya masing-masing.
Gu Cian Kin bergegaman sebuah kapak soan-hoa-hu yang
besar dan berat, dan Liong Ban Kun bersenjatakan kim-pwe-too
yang tebal. Sembari maju mereka berseru, "Segala pengemis
sebagai kau berhak untuk membutuhkan firman Sri Baginda
Raja" Hm! Hm! Kau menghendaki firman" Nah, inilah dia
firmannya!"
Dengan berbareng, mereka itu menyerang.
Hong-hu Siong mengangkat tongkatnya untuk dilintangi,
guna menangkis, hingga di situ terdengarlah bentrokan yang
sangat keras yang memekakkan telinga. Ia pun berseru, "Inilah
firman yang tak tepat!"
Bentrokan itu mendatangkan lelatu api. Tapi yang hebat
ialah akibat lainnya. Tubuh Gu Cian Kin dan Liong Ban Kun
besar seumpama badan kerbau, akan tetapi tubuh mereka itu
mental hingga ke luar pintu kuil!
Kagetnya U-bun Thong tidak terkira. Kedua kawan itu ahliahli
silat Gwa-kang yang liehay, yang tenaganya besar luar
biasa. Kapaknya Cian Kin saja berat lima puluh enam kati, dan
goloknya Ban Kun berat empat puluh tiga kati.
Di lain pihak, tongkat Hong-hu Siong tetap sebatang tongkat,
walaupun itu terbuat dari besi. Maka dihajar kapak dan golok
berat, mestinya tongkat itu kutung buntung!
Kejadiannya taklah demikian. Tongkat itu utuh, tak kurang
suatu apa, sebaliknya, kapak dan golok gompal! Dan anehnya,
kecuali senjata mereka rusak bercacad, tubuh mereka mental
terbang! Baru sekarang U-bun Thong menginsafi liehaynya si Naga
Sakti dari gunung Hoa San, jadi nama orang terkenal bukan
terkenal melulu. Hebat kepandaian si pengemis dalam hal ilmu
meminjam tenaga untuk menghajar lawan. Itulah kepandaian
di puncaknya kemahiran.
Dengan kulit mukanya merah padam, U-bun Thong
menghampirkan si pengemis. Ia mengulur sebelah tangannya
seraya berkata dengan pujiannya, "Sungguh aku kagum!
Sungguh aku kagum! Lo-cianpwe, dengan memandang kepada
muka terang lo-cianpwe, suka aku U-bun Thong menyudahi
saja urusan ini sampai disini!"
Hong-hu Siong melemparkan tongkatnya, ia tertawa lebar.
"Terima kasih untuk kebaikan hati Touw-ut!" sahutnya. Ia
pun mengulur tangannya, guna menyambuti tangan si
pahlawan istana, guna berjabatan.
U-bun Thong menjadi ahli menotok jalan darah, dia kesohor
sekali. Di waktu tangan mereka bersampokan, dengan lantas
dia mengerjakan jeriji-jeriji tangannya, tengah, telunjuk dan
manis, untuk menotok si pengemis. Sebab dengan sikapnya
yang manis itu dia lagi menggunai akal muslihat keji, supaya
diluar tahu orang, diluar dugaan, dapat dia menotok!
"Tak usah sungkan!" kata Hong-hu Siong. "Silahkan Touw-ut
berangkat pergi!"
Mendadak U-bun Thong kaget. Mendadak jari-jari tangannya
membentur telapakan tangan yang panas seperti bara marong!
Tak tahan dia untuk tidak menjerit keras. Rasa nyerinya segera
menyerang ulu hatinya. Lekas-lekas dia melepaskan jabatan
tangannya, untuk lompat mundur ke pintu, untuk terus
mengangkat langkah panjang!
Tiat Mo Lek menyaksikan peristiwa di depan matanya itu, ia
girang bukan kepalang.
"Bagus! Bagus!" serunya. "Aduh...!" dan ia meringis-ringis.
Bocah ini masih rendah pokok dasar tenaga dalamnya, di
saat bersemedhi itu, dia tak dapat berseru semacam itu, maka
juga habis berseru kegirangan, ia menjerit kesakitan.
Hong-hu Siong mengerutkan alisnya.
"He, bocah, mengapa kau tak dengar nasihatku si orang
tua?" dia menegur. "Sudah kukatakan, apa juga yang terjadi,
tak dapat kau usil, sekarang kau menentangnya!"
Meski dia menegur, pengemis itu toh lekas-lekas menolongi
bocah itu dengan jalan mengurutnya, guna membantu
mengumpul pula tenaga dalamnya itu.
Sementara itu, semua musuh sudah kabur, maka kuil
kembali kepada ketenangannya.
Hong-hu Siong menggunai ujung tongkatnya mengorek api,
untuk dibikin menyala pula. Ia berdiam, seperti ia lagi
memikirkan sesuatu. Tak jarang ia melongok ke arah pintu, ke
luar pintu. "Ha, langit bakal lekas menjadi terang!" tiba-tiba ia berkata
seorang diri. Ketika itu Lam Ce In sudah selesai dengan semedhinya,
maka tenaganya bakal segera pulih seluruhnya. Dia
menyaksikan kejadian barusan, dia dapat mengendalikan diri,
tetapi sekarang, melihat kelakukannya si pegemis, dia heran,
hingga ingin dia bicara.
Tapi justeru itu Hong-hu Siong tiba-tiba bangun berdiri,
untuk memesan dengan sungguh-sungguh, "Sebentar, apa juga
yang terjadi, aku minta kamu kedua tuan-tuan jangan campur
tahu!" Itulah pesan yang tadi, yang sekarang diulang, hanya


Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekarang i lengan terlebih sungguh-sungguh.
Ce In berdiam, ia heran. Katanya di dalam hati, "Kenapa dia
mengulagi pesannya ini begini wanti-wanti" Mungkinkah bakal
terjadi pula peristiwa yang luar biasa, yang diluar sangkaan?"
Tengah Lam Ce In berpikir itu, telinganya mendengar suara
kelenengan kuda yang datangnya jauh dari luar kuil. Ia menjadi
heran, maka ia menduga-duga. Ia ingat kepada An Lok San.
"Sekalipun U-bun Thong sudah kalah, dia masih mempunyai
pahlawan siapa lagi yang gagah?" demikian terkanya. "Taruh
kata ada datang lagi beberapa orang, mereka pasti bukannya
lawan dari Hong-hu Siong. Ah, dasar orang yang usianya sudah
lanjut, cara bicaranya pun menjadi rada melit... Aku telah
mengenal ilmu silatmu, buat apa kau memesan lagi berulangulang?"
Suara kelenengan terdengar makin dekat.
Hong-hu Siong terus duduk bersila. Wajahnya nampak luar
biasa. Ia seperti bergelisah dan berduka.
Ce In sekarang telah mendapat kepastian, orang yang
datang itu Cuma seorang penunggang kuda. Tentu saja, ia
menjadi semakin heran. Ia kata dalam hatinya, "Dengan satu
dua gebrakan, Hong-hu Siong dapat mengusir pergi pada Ubun
Thong. Habis, ada siapa lagi yang dapat membuatnya
jeri?" Selagi ia berpikir itu, Lam Pat melihat masuknya seorang ke
dalam kuil. Untuk herannya, ia melihat seorang nona dengan
pakaian serba putih, la tadinya menyangka seorang pria yang
romannya gagah dan bengis, tak tahunya seorang gadis remaja
yang cantik manis, yang tubuhnya ramping!
Begitu ia bertindak di ambang pintu, mata si nona diarahkan
ke seluruh ruang. Ia melihat seorang rebah karena terluka
parah dan dua orang lagi berduduk bersemedhi dengan
tubuhnya berlepotan. Darah.
Ia nampaknya heran. Tapi terang sasarannya bukan Toan
Kui Ciang. Segera ia menyapu ke arah Hong-hu Siong, terus ia
mengawasi tajam.
"Bangsat tua she Hong-hu.?" Sekonyong-konyong ia
mendamprat, "Hari ini telah tiba hari kematianmu! Masih kau
tidak mau lekas berbangkit buat menerima kebinasaanmu?"
Hong-hu Siong mengangkat kepalanya. Dia memandang si
nona itu. Dia tak menjadi gusar atau kurang senang.
"Apakah kau Nona He?" dia tanya perlahan, tenang. "Aku
telah menduga bahwa kau bakal mencari aku. Kita berdua tidak
berselisih tidak bermusuh, sekarang ini pertemuan kita ialah
pertemuan yang pertama kali, mengapa kau hendak
membunuh aku?"
Nona itu memegang gagang pedangnya.
"Bangsa ceriwis dan cabul yang jahat, siapa pun berhak
membunuhnya!" ia kata bengis. "Apakah untuk itu di antara
kita mesti ada permusuhan dulu?"
Ce In lagi bersemedhi akan tetapi mendengar kata-kata si
nona, dia terkejut. Tentu sekali, herannya menjadi bertambah.
Aneh sikapnya dua orang itu. Hong-hu Siong memang aneh
tingkah lakunya, di dalam kalangan Kang Ouw ada yang
membusukinya, tetapi di mata ia, dialah seorang gagah perkasa
yang berhati mulia, yang sering berbuat baik.
Sekarang si nona mengatakan Hong-hu Siong cabul dan
jahat, untuk itu Hong-hu Siong katanya harus dibunuh. Ia
heran, ia tidak percaya! Ia menyangsikan pendengarannya itu.
Seorang gagah perkasa dikatakan cabul dan jahat, dia mesti
gusar sekali. Tidak demikian dengan Hong-hu Siong si jago. Dia
tetap sabar. "Siapakah orangnya yang bicara demikian terhadapmu?" dia
tanya, perlahan. Biar bagaimana, suaranya tawar.
"Tak dapat kau perdulikan itu!" si nona menjawab dengan
bentakannya. "Nama busukmu sudah tersiar sangat luas!
Apakah kau tidak punya telinga untuk mendengarnya?"
"Tidak apa kau tidak sudi menyebutkannya," kata Hong-hu
Siong, tenang luar biasa. "Tanpa kau membilangnya, aku telah
dapat menerka beberapa bagian. Sekarang aku hendak
tanya kau, bukankah kau mendengarnya dari seorang yang
kau paling percaya?" Nona itu menjadi gusar.
"Aku bukan datang ke mari untuk mendengar pelbagai
pertanyaanmu!" katanya keras. "Hm! Apakah kau hendak
memancing keteranganku supaya kau dapat pergi dengan
diam-diam untuk membunuh orang itu" Jangan kau bermimpi!
Sekarang aku menghendaki kau terbinasa di ujung pedangku
ini!" Hong-hu Siong menanya pula, "Kau hendak membunuh aku.
Adakah itu pikiran kau sendiri atau kau diperintahkan lain
orang?" Nona itu agaknya tidak sabaran. Dia menegur, "Apakah kau
masih hendak memutar lidahmu untuk memperlambat waktu?"
"Bukan! Aku hanya tak sudi menjadi setan penasaran yang
mati tidak keruan!" sahut Hong-hu Siong. "Jikalau kau hendak
membunuh aku, kau mesti mengasih keterangan supaya aku
mati puas!"
Si nona menahan sabar.
"Bagaimana kalau pikiranku sendiri" Bagaimana kalau
perintahnya lain orang?" dia tanya.
"Jikalau itu kehendakmu sendiri, kau harus mempunyai bukti
yang cukup kuat untuk membeber kejahatanku, supaya aku
menjadi rela menyerah."
Kata-kata Hong-hu Siong ini juga jadi pemikirannya Lam Ce
In. Nona itu melengak sejenak. Dia seperti tidak mempunyai
bukti untuk menunjuki kejahatan orang.
"Jikalau lain orang yang hendak membinasakan aku!" kata
pula Hong-hu Siong, tanpa menanti orang sempat berpikir,
"Maka pergilah kau pulang untuk memberitahukan dia itu
bahwa di dalam dunia ini ada terlalu banyak urusan yang
sangat sukar dibedakan kebenaran dan kepalsuahnya, karena
itu kau suruhlah dia bersabar lagi sekian waktu, sampai nanti
ketahuan duduknya hal yang sebenarnya. Selama hidupnya,
aku Hong-hu Siong, mungkin aku juga pernah melakukan
sesuatu perbuatan yang buruk, akan tetapi kopiah kecabulan
dan kejinahan pastilah tak dapat dipakaikan di atas kepalaku!"
"Aku tak percaya obrolan setanmu!" bentak si nona, gusar.
"Aku Cuma tahu kaulah si hantu jahat yang tak ada kejahatan
apa juga yang kau tak lakukan! Hm! Hm! Apakah kau takut
mati, hantu" Percuma-Cuma kau mainkan lidahmu untuk
menyangkal, maka kau bangkitlah menyambut " pedang!"
Hong-hu Siong tertawa.
"Jikalau aku takut mati, tidak nanti aku menjanjikan kau
datang ke mari!" katanya.
"Bagus!" kata si nona. "Kalau begitu, kenapa kau masih tidak
mau menggeraki tanganmu" Apakah bukan kau masih hendak
menantikan beberapa kawanmu lagi?"
"Seumurku aku tidak mempunyai kawan!"
"Baiklah! Kau mempunyai kawan, baik! Kau tidak mempunyai
kawan, baik juga! Sekarang aku hendak mengandalkan
pedangku ini untuk mengadu jiwa denganmu!"
"Jikalau kau benar hendak membunuh aku, kau bunuhlah!
Pasti aku tidak mau menggeraki tangan terhadapmu!"
Nona itu berdiri menjublak.
"Aku tidak akan membunuh orang di tangan siapa tak ada
sepotong besi juga! Lekas kau ambil tongkatmu!"
"Aku sudah bilang tidak mau menggeraki tanganku, pasti aku
tidak akan menggerakinya! Jikalau kau hendak membunuh aku,
bunuhlah! Jikalau tidak, hendak aku pergi!"
Nona itu tetap hendak menggunai cara kaum Kang Ouw
untuk membunuh orang di depannya itu, sekarang Hong-hu
Siong membantah, dia menjadi hilang pegangannya. Maka itu
ia terus berdiam saja
"Sekarang aku telah ketahui tentang dirimu," berkata Honghu
Siong, sabar, "Dan aku ketahui juga siapa itu yang
menghendaki jiwaku! Jikalau aku kehilangan jiwaku tetapi
dengan begitu dapat aku membikin lenyap penasaran sesuatu
orang, itu juga suatu perbuatan baik! Baiklah, telah aku bicara,
apabila tetap kau tidak hendak membunuh aku, aku si
pengemis tua mau pergi!"
Nona itu menggigit giginya, dia menjumput tongkat di tanah.
"Bangun!" serunya. "Sambutlah!"
Hong-hu Siong menyambuti tongkatnya, untuk dilemparkan
ke sisinya. Sembari tertawa, dia kata, "Apa yang diri sendiri tak
menyukai, janganlah itu dilakukan atas diri lain orang! Aku
pikir, pepatah ini cocok denganmu, ialah kau juga pasti tidak
menyukai lain orang memaksakan kau melakukan sesuatu yang
kau tak sukai!"
Nona itu menggigit gigi pula. Ia mengangkat pedangnya dan
membentak, "Baik! Kau hendak menggunai akal muslihatmu ini
untuk meloloskan jiwamu! Tak dapat aku diperdayakan! Kau
mesti dibunuh!"
Kali ini dia benar-benar telah mengambil keputusannya.
Segera pedangnya meluncur ke dadanya Hong-hu Siong!
Di saat ujung pedang maut itu hendak merampas jiwa si
pengemis, mendadak ada sinar putih bagaikan rantai perak
berkelebat, lalu terdengarlah suara senjata bentrok. Pedang si
nona kena tertangkis mental!
Hong-hu Siong menghela napas.
"Lam Tayhiap, buat apa kau usilan?" katanya perlahan.
Tapi Lam Ce In, yang telah bergerak secara tiba-tiba, tidak
membenarkan jawabannya, hanya dia memandang si nona,
untuk berkata dengan keras, "Nona, jikalau kau hendak
membunuh orang, kau harus memakai aturan! Kau menuduh
Hong-hu Cianpwe sebagai manusia cabul dan jahat tetapi kau
tak dapat menunjuki buktinya! Tak puas aku si orang she Lam
dengan caramu itu!"
Si nona menarik pulang pedangnya, untuk diperiksa, maka ia
melihat ujung senjata itu telah gompal sedikit. Ia menjadi
sangat gusar. "Kau membantu setan ini, kau juga pasti bukan orang baikbaik!"
dia membentak. "Baik! Kau tidak puas, akan aku bunuh
kau dulu, baru kita bicara lagi!"
Si nona menyangka Ce In konco Hong-hu Siong, ia lantas
menyerang dengan sengit sekali, hingga pedangnya itu bersinar
berkelebatan. Tiga kali beruntun ia menikam bagian-bagian
anggauta yang berbahaya karena selama itu Ce In terus main
mundur atau berkelit.
Menampak demikian, Ce In pun jadi panas hati, maka ingin
ia menabas kutung pedang orang. Begitulah ia membacok
dengan hebat! Si nona tahu lawan menggunai golok mustika, ia mau
menyingkir dari bentrokan
Di saat Ce In hendak berseru, "Kena!", mendadak ia tarik
pulang pedangnya secara lincah sekali, untuk setelah itu,
segera menikam pula!
Ce In terperanjat. Syukur ia tidak menabas dengan sepenuh
tenaganya. Dengan tindakan "Poan Liong Jiauw Pou," ia
menyingkirkan dirinya, goloknya ditarik untuk melindungi
tubuhnya. Meski demikian, ia masih terlambat, ujung bajunya
masih kena tertikam!
Si nona tak berhenti sampai disitu, terus dia mendesak, terus
dia menikam berulang-ulang.
Ce In telah mendapat .pulang tenaganya,, akan tetapi
karena rangsakan si nona, ia repot juga, ia sampai Cuma bisa
membela diri. Pembelaan dirinya itu kokoh sekali, ia pun
membuat si nona tak mampu menoblosnya.
Ketika itu juga Mo Lek telah pulih kesehatannya sampai tujuh
atau delapan bagian. Dia tetap berdiam di tempatnya, sambil
beristirahat, ia menjagai Toan Kui Ciang. Di lain pihak, dengan
perasaan tertarik, ia menonton pertempuran itu. Ia kagum
untuk kepandaian menggunai pedang dari nona itu. Ia masih
muda tetapi ia mengerti baik halnya ilmu pedang. Maka ia kata
dalam hatinya, "Kelihatannya ilmu pedang nona itu tak
dibawahnya ilmu pedang Paman Toan dan Ceng Ceng Jie..."
Lam Ce In melayani dengan ilmu golok Yu Sin Pat-kwa Toohoat,
maka dia bergerak dan menjaga diri dalam kedudukan
"Delapan pintu" dan "Lima tindak". Sedikit juga dia tak kacau
meskipun dia didesak hebat. Selama bertempur itu, dengan
perhatiannya, dia mulai menginsafi ilmu pedang nona itu.
Begitulah satu kali mendadak dia berseru sambil membacok
hebat, akan kemudian merangsak terus sama hebatnya.
Si nona, dari merangsak menjadi kena terdesak, hingga ia
terpaksa main mundur.
Begitu ketarik hati Mo Lek hingga ia berseru memuji, "Bagus!
Bagus!" Mo Lek telah bersemedhi cukup, tak takut ia terganggu
karena seruannya itu. Akan tetapi, melihat lagaknya itu, Honghu
Siong mendelik kepadanya.
Menyusul seruan Mo Lek, si nona bergerak pula secara luar
biasa. Dia dapat membebaskan diri dari desakan, kembali dia
balik merangsak. Di antara sinar golok, dia bergerak bagaikan
kupu-kupu berkelebatan di antara bunga-bunga. Maka itu,
mereka berdua menjadi sama hebatnya.
Nona itu heran mendapatkan Lam Ce In demikian gagah.
Tiba-tiba ia menunda penyerangannya, untuk menanya keras,
"Kau siapa" Kau begini gagah, kenapa kau kesudian menjadi
gundalnya si bangsat tua?"
Ce In berseru keras dan lama, ia melintangi goloknya di
depan dadanya. Lantas ia menjawab nyaring, "Satu laki-laki,
berjalan dia tidak menukar namanya, berduduk dia tidak
menukar shenya! Aku ialah Lam Ce In dari Gui-ciu! Nona, aku
numpang tanya she dan namamu yang mulia" Kenapakah nona
hendak membunuh Hong-hu Sianseng?"
Nona itu terkejut.
"Apakah kau Gui-ciu Lam Pat?" dia tanya cepat.
"Benar, itulah aku yang rendah," sahut Ce In. "Ada
pengajaran apakah, nona?"
Nona itu tampak bingung. Semenjak Toan Kui Ciang
mengundurkan diri, selama sepuluh tahun ini, Yu-hiap atau
jago pengembara di jaman itu yang hidup berpetualangan,
ialah Lam Ce In yang paling ternama.
Dia telah mendengar nama orang, baru sekarang dia
menemui orangnya. Dia heran mendapatkan orang baru
berumur lebih kurang tiga puluh tahun.
Setelah berpikir sebentar, nona itu berkata sabar tapi tetap,
"Lam Tayhiap, baiklah kau jangan campur urusan umum ini!"
Ce In berkata, "Membunuh orang ialah urusan sangat besar,
mana dapat itu dikatakan urusan umum" Kau hendak
mambunuh orang, kau mesti dapat menjelaskan alasannya,
jikalau tidak, aku si orang she Lam, tak dapat aku tidak


Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencampur tahu!"
Mukanya si nona menjadi merah.
"Lam Ce In, kecewa kau disebut tayhiap!" katanya nyaring.
Nyata dia tak sabaran. "Mengapa kau tak dapat membedakan
hitam dari putih" Kau kira bangsat tua ini orang macam apa?"
"Hong-hu Sianseng ialah orang gagah perkasa yang berhati
mulia!" sahut Ce In. "Siapakah yang tak tahu itu" Kau mencaci
dan menghina Hong-hu Cianpwe, kau tak dapat menyebutkan
alasannya, itulah tak selayaknya!"
Nona itu tertawa mengejek.
"Bangsat tua she Hong-hu ini ialah bangsat tukang tipu
dunia!" kata dia nyaring. "Namanya saja kesohor tetapi
sebenarnya dialah si hantu yang biasa berbuat jahat secara
sembunyi-sembunyi! Kecewa kau menjadi tayhiap, kau kasih
dirimu diabui!"
"Kau menuduh dia jahat, mana buktinya?" Ce In tanya.
Nona itu terbangun sepasang alisnya. Dia seperti juga tak
sudi bicara. Tapi akhirnya dia mengambil juga keputusannya.
Kata dia keras, "Ibuku ialah saksinya! Apa yang dikatakan ibuku
tak dapat aku tidak percaya! Ibuku pernah melihat dengan
matanya sendiri bangsat tua ini membunuh suami orang dan
merampas isteri korbannya itu! Aku mencaci dia sebagai si
penjahat cabul, apakah aku salah" Aku mendapat tugas dari
ibuku untuk menyingkirkan dia! Lam Ce In, kau terkenal gagah
mulia, malam ini aku tidak membutuhkan bantuanmu, tetapi
kau sendiri, sedikitnya kau harus berpeluk tangan saja, kau
menonton, jangan kau menghalangi aku!"
Ce In kaget, hingga mau atau tidak, ia menoleh kepada
Hong-hu Siong. Ia melihat si pengemis gagah menghela napas
perlahan. Tentu sekali, ia menjadi heran, hingga ia beragu-ragu
dalam hatinya, "Mungkinkah benar tuduhannya nona ini?"
Ia melirik pula, tetapi ia tidak melihat orang likat atau
jengah, orang menghela napas rupanya karena merasa kasihan
atau sayang. Itulah melainkan rasa terharu.
Maka sebagai seorang yang bermata tajam dan luas
pengalamannya, ia berpikir pula, "Melihat sikapnya Hong-hu
Siong ini, dia pastilah terfitnah. Mengapa dia tidak menyangkal"
Kenapa, dia rela membiarkan nona ini hendak membunuhnya"
Pastilah urusan yang ruwet bagian dalamnya, urusan yang dia
tidak mengingini orang luar mengetahuinya..."
Si nona melihat Ce In masih tetap menghadang, ia gusar
hingga sepasang alisnya bangun berdiri. Dia kata gusar, "Aku
telah omong jelas! Apakah kau masih hendak menghalangi
aku?" "Aku telah mendengar tetapi masih ada bagian-bagian yang
kurang jelas bagiku," sahut Ce In tenang. "Kau menyebut
Hong-hu Sianseng telah membunuh suami orang dan
merampas isterinya. Siapakah sepasang suami isteri itu"
Apakah she dan namanya" Selainnya ini, apakah masih ada
saksi lainnya atau bukti sesuatu barang" Dan, bagaimana
sebenarnya duduknya peristiwa dulu hari itu..."
Nona itu gusar sekali.
"Semua itu ibuku yang membilangi aku!" ia kata sengit.
"Ibuku tidak nanti mendusta! Maka itu, buat apa saksi atau
bukti barang lagi?"
Lam Ce In sebaliknya berpikir, "Kelihatannya ibunya juga
menyembunyikan sesuatu, atau dia belum menjelaskan
semua..." Dalam sengitnya si nona sudah menyerang.
Ce In tangkis serangan itu, ia menahannya, lantas ia kata
"nyaring, "Kau percaya ibumu, aku percaya Hong-hu Cianpwe,
inilah soal sulit! Sekarang aku berada di sini,- maka malam ini
tak dapat kau membunuh orang! Menurut pikiranku, baiklah
kau menunda, kau berhenti dulu sampai disini. Kau berikan she
dan namamu serta alamatmu juga, lalu kau menunggu sampai
aku sudah membuat penyelidikan. Selambatnya dalam tempo
tiga bulan, pasti akan aku mengunjungi kau, untuk aku
menjenguk ibumu, guna kita bicara dengan terang dan jelas."
Nona itu kembali gusar.
"Kau tidak mau percaya ibuku, buat apa kau menemuinya?"
dia tanya. "Hm! Jangan kau menyangka kau telah ternama
besar! Belum pasti ibuku suka menemui kau! Hayo, kau minggir
atau tidak" Jikalau tidak, jangan kau katakan aku tak sungkansungkan!"
Di mulut si nona mengatakan demikian, kakinya telah
bertindak maju, dengan pedangnya ia sudah menyerang pula.
Ce In telah tidak mau mundur. Ia sudah mulai mengenal
ilmu silat nona itu, maka ia percaya, walaupun ia sulit
mengalahkannya, sedikitnya ia bakal menang di atas angin.
Hanya di dalam hatinya, ia kata, "Sungguh malu aku mesti
melayani dia... Tanpa golok mustika, ada kemungkinan aku
bukan lawannya!"
Di dalam halnya tenaga dalam atau latihan, Ce In jauh
terlebih unggul, maka itu habis menyerang hebat terus
menerus tanpa hasil, dahi si nona sudah mandi peluh.
Dia melihat lawannya tetap tenang dan segar. Lantas dia
merasa bahwa dia akan tak ungkulan. Akhirnya dia kata dengan
sangat mendongkol, "Kenapa kau mengadu jiwamu melindungi
bangsat tua ini?"
Lam Ce In menyahut sabar, "Sebabnya ialah pertama aku
percaya I long-hu Cianpwe bukan orang busuk dan kedua dia
telah melepas budi menolongi jiwaku. Kau hendak
membinasakan dia, mana aku dapat membiarkannya?"
Nona itu heran.
"Apakah itu pertolongan jiwamu?" ia tanya.
Justeru itu Toan Kui Ciang ngelindur pula, "Su Toako! Su
Toako! Aku di sini! Aku di sini! Apakah toako masih mengenali
aku Toan Kui Ciang?"
Nona itu kaget, dia berseru, segera dia lompat ke arah Kui
Ciang. Tiat Mo Lek lagi menjagai Kui Ciang, melihat kelakuan si
nona, dia kaget, dengan lantas dia menyambar dengan
pedangnya dan membabat seraya membentak, "Bangsat wanita
kejam! Paman Toan telah terluka parah begini rupa tetapi kau
masih hendak mencelakainya?"
Berbareng dengan itu, Ce In juga berlompat sambil
menyerang. Nona itu melihat pedangnya Mo Lek, dia menangkis dengan
ilmu huruf "Menempel," lalu meneruskan memutar tangan, dia
menyampok ke belakang kepada goloknya jago dari Kui-ciu.
Terus dia berseru dan menanya, "Tahan dulu! Siapakah dia?"
Dia menunjuk kepada Toan Kui Ciang.
Ce In menjawab tenang, "Dialah Yu-ciu Tayhiap Toan Kui
Ciang! Apakah kau pernah mendengar namanya Toan
Tayhiap?" Nona ini melengak, dia terkejut.
"Benarkah dia Toan Kui Ciang?" dia menegasi. "Habis mana
orang yang bernama Su It Jie?" Ce In juga heran.
"Nona, kau kenal Su It Jie?" ia menanya cepat.
"Jangan tanya aku!" kata nona itu. "Kau bilang saja
sekarang, bagaimana dengan Su It Jie?"
"Su It Jie?" Ce In balik menanya. "Dia telah dipaksa An Lok
San hingga dia telah membunuh diri!"
Wajah si nona menjadi padam.
"Kalau begitu Toan Tayhiap ini telah dilukakan An Lok San?"
dia tanya. Ce In heran, bukannya ia menjawab, ia justeru menanya,
"Nona! Kau rupanya ketahui duduknya kejadian! Tidak salah,
untuk menolongi Su It Jie, Toan Tayhiap sudah menyateroni An
Lok San di istananya, di sana dia sendirian saja, dia tidak
sanggup melawan banyak kaki tangannya An Lok San, maka
dia terlukakan parah! Syukur kami bertemu dengan Hong-hu
Cianpwe ini, dia memberikan pertolongannya, jikalau tidak,
pastilah sudah sedari siang-siang Toan Tayhiap kehilangan
jiwanya..."
Lam Pat berhenti sejenak, lantas dia menambahkan, "Kami
juga tadi malam telah bertarung di dalam istananya bangsat
she An itu, sayang kami terlambat, kami tak berhasil menolongi
Su It Jie..."
"Ah, aku tahu sudah!" kata nona itu, sekarang sikapnya
berubah. "Syukur ada kamu, maka Toan Tayhiap tidak terjatuh
ke dalam tangan bangsat she An itu, bukankah?"
"Betul, tepat terkaanmu!" Mo Lek campur bicara. "Mari aku
jelaskan pula! Lukanya Lam Tayhiap dan lukaku ini juga Honghu
Lo-cianpwe yang menyembuhkannya! Bahkan Hong-hu Locianpwe
telah memukul mundur barisan pengejar dari bangsat
she An itu! Kenapa kau mengatakan lo-cianpwe busuk?"
Nona itu tampak bingung. Ia berpikir.
"Dan bagaimana dengan isterinya Su It Jie?" tanya ia
kemudian. Ce In melengak.
"Aku tak tahu..." sahutnya.
"Gila!" si nona membentak. "Bagaimana kau tak tahu?"
Memang Ce ln tidak tahu apa-apa sebab Kui Ciang belum
pernah menuturkannya. Ketika Mo Lek menariknya, mengajak
ia membantui Kui Ciang, Mo Lek juga tidak menyebut-nyebut
hal isteri It Jie itu.
Melihat nona itu memperhatikan urusan dua keluarga Toan
dan Su, walaupun ia tak menyukai sikap si nona, Mo Lek sudi
juga bicara. Ia kata, "Kami tidak melihat isteri dan anaknya
orang she Su itu. Mungkin mereka masih terkurung An Lok San
di sana. Jikalau kau ingin ketahui hal mereka, jikalau kau
mempunyai nyali besar, pergilah kau cari An Lok San untuk
menanya padanya!"
Disenggapi Mo Lek, parasnya si nona berubah. Mendadak
dengan pedangnya dia menuding Hong-hu Siong, terus dia kata
bengis, "Dengan memandang Toan Tayhiap maka malam ini
aku memberi ampun kepada jiwamu, hanya lain kali, apabila
aku telah mendapat bukti dari perbuatanmu yang jahat, akan
aku perhitungan pula denganmu!"
Hong-hu Siong tertawa berduka. Ia nampak mau bicara,
tetapi akhirnya batal.
Nona itu mendadak berlari keluar, untuk lompat naik ke "
atas punggung kudanya, lantas dia berkata nyaring, "Aku He
Leng Song! Kamu boleh beritahukan namaku ini kepada Toan
Tayhiap!" Menyusul itu terdengar suara kelenengan kuda, yang
kudanya dikaburkan, hingga lenyaplah suaranya. Hingga
sunyilah gelanggang itu.
Tiat Mo Lek heran bukan main.
"Hong-hu Lo-cianpwe," kata ia pada Hong-hu Siong. "Nona
He ini tangguh tetapi dia tak nanti dapat melebihkan U-bun
Thong, selagi dengan mudah saja lo-cianpwe dapat
mengalahkan orang she U-bun itu, mengapa lo-cianpwe seperti
jeri terhadapnya" Bukankah dia pasti bukan lawan lo-cianpwe?"
Hong-hu Siong tertawa meringis.
"Aku si pengemis tua menerima cacian dan dibikin
mendongkol, itu perkara yang lumrah, itulah tidak ada artinya,"
sahutnya. "Sebenarnya ingin aku terbinasa di tangan dia,
supaya dia tak usah pergi membunuh lain orang..."
Tiat Mo Lek heran. Ia hendak menanya pula, atau Hong-hu
Siong sudah mendahului, "Aku si pengemis tua sudah bicara
banyak, tentang urusan ini tak suka aku membicarakannya
pula. Lam Tayhiap, jikalau kau percaya aku si pengemis tua,
aku minta sukalah kau jangan perdulikan lagi urusanku ini."
Ce In menduga pasti orang mempunyai kesukaran yang tak
dapat dijelaskan. Maka ia pikir, "Menurut dia, rupanya dia
bertanggung jawab untuk urusan lain orang, tetapi tuduhan
cabul dan jahat itu hebat sekali, bagaimana dia dapat
menerimanya" Di dalam urusan lain bolehlah orang menjamin
sesuatu..."
Karena berpikir begini, ia terus berdiam.
Mo Lek juga tidak menanya lagi.
"Langit sudah terang," berkata Hong-hu Siong kemudian.
"Aku si pengemis tua masih mempunyai lain urusan, ingin aku
berangkat lebih dulu. Tentang Toan Tayhiap, tak usahlah kamu
buat kuatir, mungkin lagi dua jam dia bakal mendusin. Di sini
ada satu peles obat, kamu kasihlah dia makan satu hari tiga
butir, setiap kalinya satu. Setelah dia makan habis obat ini,
mungkin dia akan mendapat pulang kesehatannya seperti
sediakala."
Lam Ce In menyambuti peles obat itu. Ia melihat jumlah
butirnya dua puluh. Maka itu, itulah obat untuk tujuh hari.
"Lo-cianpwe," ia tanya jago tua itu, "Apakah lo-cianpwe
hendak memesan sesuatu untuk Toan Tayhiap?"
Hong-hu Siong tertawa. Dia kata, "Aku si pengemis tua telah
terlalu sering menerima budi orang, dari itu tak suka aku bicara
dari hal pembalasannya. Laginya, untuk membalas begitu
banyak, tentu aku tidak sanggup. Bukankah barusan kamu juga
telah menolongi selembar jiwaku" Itu pun sudah berarti
pembalasan."
Ia berhenti sebentar, baru ia menambahkan lagi, "Toan
Tayhiap menjadi seorang yang sadar akan budi dan dendaman,
kalau sebentar dia mendusin, aku minta jangan kamu
memberitahukan dia bahwa obat ini pemberianku si pengemis
tua, supaya tak usahlah dia buat pikiran."
"Itulah tak dapat, lo-cianpwe!" kata Mo Lek, menentang.
"Jikalau dia tanya siapa yang menolongnya, tak dapat kami
tidak menjelaskan!"
"Begini saja," kata si pengemis tua. "Kau beritahukan dia hal
ditolongnya lukanya, dan halnya obat, kau bilang itulah obatnya
Lam Tayhiap. Bukankah siapa mengerti ilmu silat, dia
senantiasa membekal obat-obatan buatan sendiri, kecuali yang
beda hanya khasiatnya" Jikalau diberitahukan aku si pengemis
tua yang memberikan, nanti menjadi tidak enak..."
Mendengar kata-kata orang, Ce In menjadi timbul pula
kecurigaannya. Tiat Mo Lek tertawa. Dia kata pula, "Lo-cianpwe yang
mengobati dia kalau Toan Tayhiap ketahui itu, bukankah itu
sama membuat pikirannya?"
Hong-hu Siong berpikir.
"Kalau begitu baiklah, akan aku memesan sesuatu
kepadanya," kata dia. "Dengan begini maka kita satu pada lain
jadi tidak berhutang budi..."
"Apakah itu, cianpwe?" Ce In tanya.
Hong-hu Siong mengeluarkan sebuah cincin besi, ia masuki
itu ke subuah jerijinya Toan Kui Ciang, sembari melakukan itu,
ia kata, "Tolong kamu sampaikan pesanku kepada Toan
Tayhiap. Aku minta pertol
Pendekar Kembar 16 Pendekar Satu Jurus Karya Gan K L Pendekar Laknat 3
^