Kisah Bangsa Petualang 9

Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen Bagian 9


njelasan dari Ce In, atas mana, Ce
In memberikan keterangannya.
Mendengar itu, ia tertawa dan kata, "Jikalau Nona Leng Song
dapat datang ke mari maka kita pun bakal dapat membangun
pasukan tentara wanita! Kepergianmu ini ada kefaedahannya
untuk urusan pribadi dan umum, justeru sekarang belum ada
titah untuk pergi berperang, silahkan kau pergi, asal kau lekas
pergi dan lekas pulang! Semoga urusanmu itu beres, aku
bersedia untuk mengurus pernikahan kamu di sini!"
Ce In mengucap terima kasih.
Mo Lek dan Cie Hun memberi selamat. Kemudian Mo Lek
menegur suheng itu, yang tak mau dari kemarinnya bicara
terus terang hal perjodohannya itu.
Dengan muka: merah Ce In kata, "Tetapi di dalam urusan itu
Leng Song mesti menanti dahulu persetujuan ibunya!"
Kwe Cu Gie tertawa dan berkata pula, "Orang semacam kau,
Lam Ciangkun, mana mungkin Nyonya Hee akan tak
memberikan persetujuannya" Dalam hal kamu ini, sudah wajar
saja calon baba mantu nanti menemui bakal mertuanya! Nah,
sudah, Ciangkun, kau lagi menghadapi soal kegirangan, tak
dapat kami menghalang-halangimu. Silahkan kau pilih seekor
kuda, untuk kau segera berangkat pergi!"
Cie Hun tertawa.
"Di sini ada kuda jempolan, baiklah, akan kupinjamkan itu
padamu!" katanya. "Cuma kuda itu biasanya tak suka tunduk
kepada orang asing, maka nanti aku yang ambil sendiri buat
ajar kenal dia dengan kau!"
Cie Hun benar-benar lantas pergi mengambil kudanya.
Melihat uy-piauw-ma, Ce In memuji.
Cie Hun tertawa, ia kata, "Sebenarnya kuda ini bukan
milikku! Pemiliknya yang sah ialah Liong-kie Touw-ut Cin
Siang!" Ce In telah ketahui halnya Cin Siang dari Mo Lek, dia
tertawa. "Cin Siang itu aku cuma kenal namanya!" katanya. "Sayang
selama di kota raja belum pernah aku bertemu dengannya.
Baiklah nanti, sepulangnya aku, akan aku menyiapkan kuda
untukmu dan membayar pulang kudanya ini. Sekarang aku
terima budinya dengan menunggang kudanya!"
Demikian dengan membekal rangsum kering, Lam Ce In
pamitan dari Kwe Cu Gie, Mo Lek dan Cie Hun, buat berangkat
mencari Leng Song di gunung Giok Liong San.
Dari Kiu-goan ke Giok Liong San, jauhnya delapan ratus lie
lebih. Kalau orang naik kuda biasa, tempo perjalanan yang
diperlukan ialah empat hari. Tidak demikian dengan uy-piauwma,
yang dibiarkan lari sekeras-kerasnya.
Besoknya tengah hari, Ce In telah tiba di tempat tujuannya.
Terus ia memasuki dusun tanpa menanya keterangan lagi.
Pernah Leng Song memberitahukan ia bahwa rumah si nona
ialah yang di depannya ada tiga buah pohon Yang-liu selaku
pertanda yang tegas.
Sambil menuntun kudanya, ia pergi langsung ke depan pintu.
Ia girang berbareng rada likat, hatinya bimbang. Ia mendugaduga
bagaimana sikapnya ibu si nona, ia akan disambut dengan
manis atau tidak...
Pintu rumah ditutup rapat, maka itu, Ce In mencekal gelang
pintu dan menggoyangnya. Dua kali ia menggoyang, tak ada
jawaban dari dalam, pintu pun tidak ada yang bukai. Ia menjadi
heran dan bersangsi. Kemudian dengan terpaksa ia membuka
mulut, memberitahukan bahwa ialah "Lam Ce In dari Gui-ciu
yang datang memohon bertemu nyonya rumah."
Dua kali ia mengasih dengar suaranya, tetap ia tidak
memperoleh jawaban.
"Taruh kata ibunya tak menyetujui perjodohan kita, tak ada
alasan kenapa dia tidak membukai pintu?" akhirnya ia kata di
dalam hati saking herannya, hingga ia menjadi bercuriga.
"Mungkinkah ada sedemikian kebetulan yaitu ibu dan
anaknya itu lagi pergi keluar?"
Akhirnya Ce In memberanikan hati.
"Leng Song, inilah aku!" kata ia keras. "Lekas buka pintu!"
Ia pun bicara dengan nyaring hingga tidak ada alasan orang
di dalam rumah tidak mendengar suaranya itu. Toh tetap tidak
ada jawaban. Saking curiga, Lam Ce In tidak mau bersangsi pula. Dengan
menghunus goloknya, ia lompat naik ke atas tembok
pekarangan, la mencelat tinggi dan pesat dengan tipu loncatan
"Burung jenjang menyerbu langit," hingga lantas ia melihat dari
atas tembok ke pekarangan dalam, yang sepi dan sunyi, seperti
juga rumah itu tidak ada penghuninya.
"Heran!" kata Ce In dalam hati.
Ia terus lompat turun, dengan berhati-hati ia bertindak maju.
Ketika ia baru sampai di undakan tangga, mendadak ia
mendengar bentakan begnis, "Sungguh bernyali besar! Siang
hari bolong berani lancang memasuki rumah orang! Kau mau
bikin apa, ha?"
Di dalam ruang itu ada berduduk seorang opsir yang
mukanya seperti muka kera, hingga Ce In menjadi heran dan
kaget. Sebab dia itu bukan lain orang daripada Ceng Ceng Jie.
Sungguh tak disangka Ceng Ceng Jie dapat berada di dalam
rumah Leng Song sedang rumah itu dikunci dari luar dan
kosong. Dari heran dan kaget, Ce In menjadi mendongkol.
Ketika ia hendak menegur, Ceng Ceng Jie mendahului ia.
Sambil menyeringai, dia itu berbangkit dan kata tawar, "Aku
kira bangsat dari mana yang mempunyai nyali sangat besar
berani datang kemari, kiranya kau! Bagus, Lam Ce In! Bagus
perbuatanmu ini! Kau juga opsir tentara Pemerintah Agung!
Tanpa perkenan tuan rumah, dan di waktu siang begini, kenapa
kau lancang memasuki rumah orang" Bahkan kau membekal
senjata terhunus!- Kau tahu atau , tidak adanya aturan
Pemerintah?"
"Kau gila!" bentak Ce In gusar. "Kau mirip si jahat yang
mendahulukan orang mendakwa! Rumah ini toh rumahnya
Nona Hee! Mau apa kau berada di sini" Mana dia Nona Hee?"
Ceng Ceng Jie tertawa dingin.
"Pasti aku tahu rumah ini rumahnya Nona Hee!" sahutnya,
menantang. "Tapi kau, kau pernah apa dengannya maka kau
berani lancang memasuki rumahnya ini?"
Ce In menjadi bertambah mendongkol dan gusar. Tapi malu
ia menyebut bahwa ialah tunangan Leng Song. Maka ia
mengendalikan diri.
"Kau sendiri, kau pernah apa dengan Nona Hee?" ia balik
menanya. Ceng Ceng Jie tertawa pula.
"Dialah tunangannya saudaraku dari Keluarga Ong!"
sabutnya lantang. "Dialah calon ensoku! Saudara Ong minta
aku datang kemari menyambut tunangan berikut ibu
tunangannya itu, supaya mereka bisa melangsungkan
pernikahan mereka! Sekarang ini aku lagi ditugaskan di sini,
menjaga rumah si Nona Hee. Hm! Kau berani mencuri masuk
kemari, ke dalam rumahnya tunangan orang! Kau sebenarnya
mengandung maksud apa?"
Ce In gusar bukan kepalang.
"Kau ngaco belo!" bentaknya. "Lihat golok!"
Ia lantas maju dengan tindakan "Menunggang harimau
mendaki gunung," goloknya diayun dipakai membacok.
Ceng Ceng Jie tertawa dingin, masih dia berkata, "Siang hari
terang benderang kau membawa-bawa golok lancang
memasuki rumah orang! Jikalau kau bukannya si tukang
berkendak tentulah kau pencuri, maka itu aku justeru hendak
membekuk padamu buat dibawa kepada pembesar negeri!"
Sembari berkata itu ia berkelit, tangannya menghunus
pedangnya maka dengan cara sangat sebat ia dapat segera
balas menyerang, membabat lengan penyerangnya itu.
Dengan begitu keduanya jadi bertempur seru.
Lam Ce In rrienguatirkan keselamatan Leng Song dan ibu, ia
pun mendongkol untuk lagak Ceng Ceng Jie, ia menjadi gusar
luar biasa. Inilah tak baik untuknya, yang mesti menghadapi
lawan tangguh. Berdua mereka memang seimbang.
Karena kemurkaannya ini, ia menjadi kalah tenang. Tidak
demikian dengan Ceng Ceng Jie, yang memang sengaja
mengocok orang. Karena Ce In gusar dan sembrono, ia jadi
kalah unggul. Demikianlah satu kali Ceng Ceng Jie berhasil menikam
lawannya itu. Ketika Ce In menolong diri, toh bajunya kena
terobek. Syukur ia mengenakan baju lapis baja dan berlaku
gesit, jikalau tidak, dadanya bisa tertembuskan pedang hingga
ke jantungnya...
Biar bagaimana, Ce In telah menjadi seorang yang
berpengalaman dalam pertempuran, dengan lekas ia insaf,
maka ia terus mengendalikan diri, untuk berlaku tenang.
Bertempur terlebih jauh, ia menggunai golok "Ngo-bun Pat Kwa
To" - "Golok lima pintu segi delapan". Dengan begitu, walaupun
Ceng Ceng Jie liehay sekali, setiap serangannya dapat dihalau,
bahkan sampai lewat lima puluh jurus, adik seperguruannya
Khong Khong Jie masih belum memperoleh hasil.
Ceng Ceng Jie menang dalam ilmu ringan tubuh akan tetapi
bertarung di dalam sebuah kamar, ia menjadi seperti
terkekang, kemahirannya tak dapat dipergunakan dengan
merdeka, sedang dalam hal tenaga dalam, Lam Ce In menang
setingkat, apalagi sekarang, Ce In berkelahi dengan sungguhsungguh.
Tengah bertarung seru itu, mendadak Ce In berseru keras
dan menyerang. Ia mengerahkan tenaganya dan mencari
lowongan lawan. Goloknya pun bergerak dalam ilmu silat
"Merantai memegat sungai". Itulah tabasan yang disusul
dengan serangan tangan kiri terbuka.
Ceng Ceng Jie liehay, ia berkelit dengan lincah, ia balas
menyerang dengan tipu silat "Jarum emas menembusi benang".
Ce In telah menduga akan sepak terjang lawan itu, ia
bertindak sambil mengegos, membuat ujung pedang lewat di
samping iganya. Sambil berbuat demikian, ia menyerang pula.
Kali ini ia menggunai pukulan tangan kosong yang langka, yaitu
ilmu silat "Im Yang Siang Tong Ciu," atau "Tangan Im Yang
saling menyentuh".
Ceng Ceng Jie banyak pengalamannya toh ia heran. Diluar
dugaan didalam keadaan seperti itu orang bukan menggunai
golok hanya tangan kosong. Tak ampun lagi, dadanya kena
terhajar keras hingga bersuara "Buk!" Setelah itu, lawan baru
membacok. Dasar dia gesit dan berpengalaman, Ceng Ceng Jie tidak
terhajar hebat, ketika menjejak lantai untuk mencelat
mengapungi diri ke atas penglari, untuk menjambretnya.
"Ceng Ceng Jie, kau turun!" Ce In membentak menantang.
"Hm!" Ceng Ceng Jie sebaliknya mengasih dengan ejekan di
hidung. "Apakah kau sangka aku jeri padamu" Hm!"
Ia terus naik ke atas penglari itu, untuk jongkok, habis itu,
sebelah tangannya diayun ke bawah. Maka serupa barang yang
berkilau menyambar pada lawannya itu.
Lam Ce In ketahui musuh mempunyai pisau yang beracun,
dengan sebat ia putar goloknya, guna melindungi diri.
Tiga kali terus menerus Ceng Ceng Jie mengayun tangannya,
tidak ada pisaunya yang mengenai sasaranganya, ketiga pisau
jatuh tersampok ke lantai.
Lam Ce In dapat membela diri tetapi sukar ia lompat naik,
untuk menyusul musuh yang licik itu. Tidak ada kesempatan
untuknya. Kalau ia paksa mencoba, selagi berloncat itu, musuh
bisa menggunai ketikanya menyerang padanya.
Ceng Ceng Jie tertawa dingin.
"Beranikah kau naik?" dia kata.
Mendadak dia bersiul panjang, kedua tangannya diayun.
Maka dengan begitu enam batang pisau belati terbang ke arah
Lam Ce In. Orang yang diserang memutar golok mustikanya. Suara
"ting-tang" lantas terdengar saling susul, suaranya berisik
menulikan telinga, setiap pisaunya lantas terpental jatuh.
Walaupun demikian, Ce In terdesak mundur beberapa tindak.
Ketika itu di samping ruang tetamu masing-masing ada
sebuah kamarnya, pintunya itu semua tertutup rapat. Ce In
telah mundur ke mulut pintu kamar samping yang timur.
Ceng Ceng Jie bersiul pula. Belum berhenti suaranya itu,
atau pintu kamar samping itu mendadak terjeblak jatuh,
menimpa ke arah Ce In. Menyusul itu terdengar juga suara
angin menyambar, membawakan melesatnya sebatang anak
panah. Sekonyong-konyong, pintu kamar samping yang barat juga
roboh, lalu dari arah pintu itu menyambar sebuah pot bunga
yang besar. Ce In tidak sempat menoleh ke belakang, karena belakang
kepalanya tidak ada matanya, tak ia melihat serangan itu terdiri
dari senjata macam apa, maka itu, guna menangkis, ia
mengayun tangannya ke belakang. Ia pun tak sempat berpikir
banyak. Senjata rahasia dan tangan beradu keras, suaranya keras
juga. Karena hancur, pot itu jatuh berhamburan. Hebat untuk
Ce In, ia jadi terlukakan pecahan pot bunga itu. Inilah luar
biasa. Mau atau tidak, ia terkejut, perhatiannya menjadi
teralihkan. Berbareng dengan itu dari kedua pintu samping itu terlihat
lompat keluarnya masing-masing satu orang. Yang dari pintu
timur, Sie Siong, yang dari barat, Tian Sin Su. Sebenarnya
mereka sudah lama bersembunyi di kamar samping itu, kalau
baru sekarang mereka muncul, itu disebabkan Ceng Ceng Jie
berkepala besar dan menyangka seorang diri dia dapat
membekuk Ce In, tak tahunya lawan gagah, hingga akhirnya
dia terpaksa meminta bantuan kawan itu.
Walaupun demikian, serangan membokong dua orang itu
masih tidak dapat merobohkan musuh, sampai datanglah
serangan dengan pot bunga itu.
Sie Siong yang tiba paling dulu, dia lantas menyerang. Ce In
berseru keras, ia pun menyerang dengan melintangi goloknya.
Sie Siong menyerang denga tipu silat "Pian Cong menikam
harimau," pedangnya menyambar ke dengkul.
Ce In menyambut hingga senjata mereka beadu keras,
dengan akibatnya pedang menjadi melengkung.
Ketika itu datang serangannya Tian Sin Su, yang' menggunai
gaetan. Tanpa berpaling lagi, Ce In meneruskan menyambut
pula, tepat ia mengenakan lengan lawan, sampai lawan
kesakitan dari sepasang gaetannya terlepas jatuh. Sebab dia
memangnya pecundang, begitu senjatanya hilang, Sin Su lantas
lari pergi! Ceng Ceng Jie kembali bersiul, kali ini dia berlompat turun


Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari atas penglari kemana dia lompat naik dengan niatnya
membokong, sembari lompat turun, dia menyerang dengan
pedang besinya yang berat dan tajam itu.
Tak keburu Ce In menyerang pada Sie Siong, ia mengangkat
naik goloknya guna menyambut serangan dari atas itu. Ia
kesusu sekali. Ketika senjatanya beradu dengan pedang Ceng
Ceng Jie, ia merasakan serangan sangat berat. Inilah tak heran
sebab Ceng Ceng Jie turun dari atas. Selagi pedangnya
tersampok, tangan lain dari lawan menyerang dengan tipu silat
Kim-na-ciu. Ia menjadi bingung, tahu-tahu pundaknya telah kena
tertotok. Hebat totokan itu, sebelah tubuhnya menjadi kaku,
lantas ia terhuyung dua tindak, tak dapat pertahankan diri lagi,
terus ia roboh terguling.
Ceng Ceng Jie yang liehay ilmu ringan tubuhnya berlompat
maju, bukan buat mencekal hanya buat mengulangi
serangannya, menotok pula moa-hiat, jalan darah yang dapat
membekukan tubuh. Sembari berbual begitu, dia tertawa
berkakak. "Lihat, bocah!" ejeknya. "Lihat, kau masih dapat bertingkah
alau tidak" Apakah kau menghendaki Nona Hee" Baik, akan aku
antarkan kau melihat padanya!"
Sie Siong, yang tepukul mundur sampai ke tembok, sudah
lantas maju. "Bagus, orang she Lam!" dia kata bengis. "Kau toh menemui
juga harimau seperti hari ini!"
Saking sengit, ia menikam dengan pedangnya.
"Sie Ciangkun, jangan!" Ceng Ceng Jie mencegah sambil
menangkap tangan orang.
"Buat apa membiarkan dia hidup terus?" tanya perwira she
Sie itu. "Dia besar sekali gunanya!" kata Ceng Ceng Jie tertawa.
"Kau hendak membinasakan dia tetapi mungkin cukong
membutuhkannya! Jikalau kau membinasakan dia, bagaimana
aku dapat bertanggung jawab terhadap cukong" Mustahilkah
kau tidak ketahui dialah panglima kepercayaannya Kwe Cu
Gie?" Sie Siong sadar. Memang cukong mereka, An Lok San,
membutuhkan orang tawanan ini. Memang dialah orang
kepercayaannya Kwe Cu Gie. Karena itu, biarnya ia sangat
menyesal, terpaksa ia menungkuli diri.
Ceng Ceng Jie mengangkat tubuh Ce In, buat dibawa keluar.
Kuda uy-piauw-ma masih berada di depan, dia belum tahu
majikannya telah tertawan, dia lantas datang menghampirkan.
Melihat kuda itu, Ceng Ceng Jie girang.
"Kiranya kudanya Cin Siang ada di sini!" katanya, tertawa.
Dengan menjejak tanah, tubuhnya lantas lompat sambil
membawa Ce In naik ke atas punggung kuda itu.
Kuda itu cerdas. Rupanya dia melihat majikannya tidak
berdaya, dia meringkik keras, kedua kakinya diangkat untuk
melompat. Ceng Ceng Jie gusar.
"Binatang! Kau berani tak tunduk padaku?" bentaknya,
lantas dia menekan.
Kuda itu kesakitan, dia berbunyi, tubuhnya terus mendekam,
tak berkutik. Ceng Ceng Jie lantas bekerja. Ia mengambil tambang
dengan apa ia ringkus Ce In di atas kuda, kemudian ia
menghunus pedangnya dengan sebelah tangannya mencekal
kuda itu, lalu ia mengancam dengan pedangnya kepada orang
tawanannya. "Jangan kau tidak menurut padaku! Nanti aku bunuh
majikanmu ini, baru akan kukeset kulitmu dan betot ototototmu!"
katanya bengis.
Kuda itu mengerti, dia takut. Lantas dia bangun berdiri.
Ceng Ceng Jie tertawa mengejek.
"Orang she Lam ini sebenarnya bukan majikanmu yang
tulen!" katanya. "Binatang, kenapa kau menurut kepadanya,
tidak menurut kepadaku" Hm! Hm! Maka mesti aku bikin kau
tunduk padaku, tak dapat tidak! Mulai hari ini akulah
majikanmu, tahu tidak?"
Kuda itu menggedruk-gedruk tanah dengan keempat
kakinya, agaknya dia mau menentang. Berulang-ulang dia
berbenger keras. Tapi Ceng Ceng Jie bercokol di atasnya, dia
tidak berani berontak atau berjingkrakan guna membuat orang
roboh dari punggungnya.
"Kuda itu dapat lari lebih keras daripada aku," kata Ceng
Ceng Jie pada kedua kawannya, "Maka itu hendak aku
berangkat pulang terlebih dahulu, kamu berdua boleh menyusul
belakangan!"
Lantas dia mengeprak kuda uy-piauw-ma itu.
Tian Sin Su dan Sie Siong mendongkol bukan main. Sudah
orang mengangkangi kuda, dia pun pergi lebih dahulu guna
merebut jasa. Tapi mereka kalah, mereka tidak dapat berbuat
suatu apa, terpaksa mereka menyabarkan diri. Dengan masgul
dan lesu, mereka menyusul pulang...
Ce In kena ditotok dengan totokan yang berat, dia tak danai
berkutik, walaupun demikian, pikirannya tetap sadar. Diamemiliki
pelajaran tenaga dalam asli, dia pun telah mencapai
puncak kemahiran kelas satu, maka itu tak mau dia tak
berdaya. Diam-diam dia mencoba memusatkan perhatiannya, guna
menggeraki tenaga dalamnya itu. Diluar dugaannya, dia tidak
berhasil. Ilmu totoknya Ceng Ceng Jie ialah ilmu totok
istimewa, tak sembarang orang dapat membebaskannya.
Terpaksa dia berdiam terus dibawa musuhnya itu.
0o0dw0o0 Gunung Giok Liong San luas dan panjang beberapa ratus lie,
selewatnya itu ialah batas kota Yu-ciu, kota wilayah
pengaruhnya An Lok San. Untuk dapat lekas tiba, Ceng Ceng
Jie tidak mengambil jalan umum hanya dia memotong. Dia
berani berbuat demikian karena dia merasa dirinya gagah dan
kudanya dapat lari keras.
Ketika itu sudah lewat Iohor dan jalanan makin lama makin
sukar. Lekas juga Ceng Ceng Jie sampai di sebuah lembah,
jalanannya sempit, kedua sisinya berlamping tembok gunung
yang tinggi. Didua buah puncak berdiri berendeng. Walaupun
jalanan sempit, sukar dan berliku, tapi uy-piauw-ma dapat
berlari-lari keras seperti biasa.
Tepat di saat hampir Ceng Ceng Jie melintasi mulut selat, ia
melihat tubuh seorang pengemis rebah melintang di tengah
jalan sekali. Rambutnya tukang minta-minta itu terletak pada
sebuah batu yang menjadi seperti bantalnya. Separuh mukanya
ketutupan pohon rumput. Keras dia menggeros, hingga
terdengar oleh si penunggang kuda.
"Ada kuda! Ada kuda!" Ceng Ceng Jie berteriak-teriak. "Eh,
pengemis bau, pengemis bau! Lekas minggir!"
Si pengemis lagi tidur menggeros, dia seperti tak dapat
dengar teriakan-teriakan itu, dia tetap tidur nyenyak.
"Hai, pengemis bau, apakah kau tuli dengkak?" bentak Ceng
Ceng Jie pula, hatinya panas. "Apakah kau sudah tidak
menghendaki lagi jiwamu?"
Baru sekarang si pengemis menggeraki tubuhnya, bual:
berbalik. Dia mengasih dengar suara "Hm!" tetapi dia tidak
bangun, sebahknya dia menggeser kedua kakinya, untuk
dipentangi di tengah jalan.
Ceng Ceng Jie menjadi gusar. Dia mengaburkan kudanya
untuk melewatinya. Di dalam hati, dia kata, "Inilah kau sendiri
yang mencari mampus, jangan kau sesalkan aku!"
Kudanya lari terus. Tepat kaki kuda hampir menginjak tubuh
orang, sekonyong-konyong terdengar bentakan si pengemis,
"He, kunyuk cilik, kau bergelindinglah turun!"
Dengan mendadak, larinya kuda jempolan itu terhalang,
hingga dia berhenti secara kaget.
Ceng Ceng Jie tidak menyangka si pengemis demikian liehay,
dia menjadi kurang waspada, maka tanpa ampun lagi,
tubuhnya mencelat dari punggung kudanya itu. Sementara itu
tubuh si pengemis pun mencelat bangun, sebelah tangannya
terulur, guna mencekuk sebelah kaki orang!
Melihat demikian, Ceng Ceng Jie terkejut. Akan tetapi dia
tabah dan liehay, tubuhnya sangat gesit dan lincah. Dia
menekuk pinggangnya, menarik tangannya menyerang kepada
pundak pengemis itu.
"Kunyuk cilik, kurang ajar!" bentak si pengemis. "Karena
tidak ada orang yang urus padamu, kau jadi berani berontak!"
Lalu tangannya bergerak.
Ceng Ceng Jie terkejut. Tangan mereka bentrok, lantas dia
merasakan satu tenaga yang kuat sekali menolak padanya.
Untuk menolong diri, mau atau tidak, lekas-lekas dia lompat
jumpalitan! Pengemis tua itu sudah menggunai tipu silat "Ciam Ie Sip-pat
Tiat," yang membutuhkan tenaga dalam yang mahir, maka
syukur untuk adiknya Khong Khong Jie ini, dia pun liehay,
masih sempat dia membela diri.
Dia berkelit dengan lompatan "Ikan gabus meletik". Tiba di
tanah, dia berlompat bangun, untuk berbangkit berdiri. Ketika
dia menoleh kepada si pengemis, dia mendapatkan orang
sudah menghadap pula di depannya.
"Aku tengah enak tidur nyenyak, mengapa kau membuat
banyak berisik membuat aku mendusin!" dia menegur, nada
suaranya menyatakan dia tak senang sekali. "Sudah begitu,
kenapa kau jahat sekali, kau juga hendak membuat celaka
padaku! Hm! Hm! Coba aku si pengemis tua tidak punya sedikit
kepandaian, pasti tulang-tulangku sudah remuk diinjak
kudamu!" Justeru itu waktu, hati Ceng Ceng Jie bercekat. Mendadak ia
ingat satu orang.
"Bukankah pengemis tua ini dia adanya?" demikian pikirnya.
Karenanya, lekas-lekas ia memberi hormat dan berkata
dengan suara perlahan, "Lo-cianpwe, maafkan aku yang muda.
Aku mesti memburu waktu, sampai aku tak dapat menahan
kudaku! Aku harap sangat lo-cianpwe suka berlaku murah hati
dan mengijinkan aku lewat..."
Pengemis tua itu berlenggak, dia tertawa terbahak.
"Kau bicara enak sekali!" katanya,'tertawanya itu dingin.
"Jikalau kau ingin aku memberi lewat padamu, lebih dulu kau
harus menggantikan serupa barang kepadaku!"
"Lo-cianpwe menghendaki aku mengganti barang apa?"
Ceng Ceng Jie tanya.
"Aku tengah bermimpi sedap tatkala kau membuat aku
mendusin dengan terkejut, hingga lenyaplah impianku itu!" kata
si pengemis. "Maka itu, kau harus mengganti aku dengan
impian satu macam..."
Ceng Ceng Jie terperanjat, akan tetapi dia menyabarkan hati.
"Impian bagaimana dibalasnya?" dia tanya. "Aku pun mesti
segera melanjuti perjalananku... Lo-cianpwe, silahkan kau tidur
pula..." "Ngaco belo!" membentak si pengemis tua. "Kantukku sudah
lenyap, mana dapat aku tidur pula" Taruh kata aku dapat tidur,
belum tentu aku akan dapat bermimpi pula! Atau walaupun aku
bisa mimpi, belum pasti itulah impian yang manis!"
"Kalau begitu, aku tidak berdaya," kata Ceng Ceng Jie. "Locianpwe,
biarlah aku menghaturkan maaf pula padamu..."
"Kalau kau tak dapat mengganti dengan impian yang manis!"
kata si pengemis, "Baik kau boleh mengangguk tiga kali
padaku, sampai kepalamu membentur batu dan bersuara
nyaring! Dengan demikian kau benar-benar menghaturkan
maaf padaku!"
Ceng Ceng Jie tidak puas. Dialah bangsa besar kepala. Meski
dia jeri terhadap pengemis ini, tak sudi dia berlaku demikian
hina dina. Maka dia mengawasi pengemis itu.
Si pengemis berbalik mengawasi juga. Mendadak dia tertawa
berlenggak. "Apakah kau tidak bersedia mengangguk?" tanyanya. "Baik!
Kau serahkan saja kudamu itu padaku!"
Ketika itu sang kuda telah berdiri diam jauh-jauh di
pinggiran, dia seperti ketahui si pengemis liehay sekali.
Ceng Ceng Jie terus berdiam. Dia sangat ragu-ragu.
"Bagaimana, eh?" si pengemis menegaskan. "Tak rela kau
menyerahkan kudamu itu! Kau harus ingat, kudamu juga kuda
boleh merampas! Kalau kau serahkan kuda itu padaku,
bukankah itu wajar?"
Ceng Ceng Jie terperanjat.
"Kiranya dia pun kenal asal usul kuda ini..' pikirnya. Maka ia
lantas berkata, "Lo-cianpwe, tidak apa andaikata aku
menghadiahkan kau-kuda ini, cuma dengan berbuat demikian
aku menjadi mendapat kesulitan. Sekarang ini aku lagi
menjabat pangkat, aku tengah bertugas mengantarkan pulang
seorang tawanan, tak dapat aku tak menggunai kuda. Begini
saja, lo-cianpwe, lewat lagi tiga hari, silahkan lo-cianpwe
datang mengambil sendiri di kantor Ciat-touw-su di Hoan-yang!
Bagaimana?"
Kedua mata si pengemis terbuka lebar dan bijinya memain.
"Ha, ha!" dia tertawa. "Tak kusangka bahwa kaulah
punggawanya An Lok San! Siapa itu yang kau tangkap dan
iringkan" Aku si pengemis tua paling suka usilan, maka itu hayo
kau kasih keterangan padaku!"
Ceng Ceng Jie sendiri sudah lantas memikiri jalan untuk
meloloskan diri.
"Tentang orang tawanan ini, lo-cianpwe, tak apa aku
memberikan keterangannya kepadamu," ia menjawab sabar.
"Dia... dia..."
Si pengemis tua mengawasi dengan mendelong, agaknya dia
sangat menaruh perhatian.
Ceng Ceng Jie melihat sikap orang, bukan ia meneruskan
perkataannya yang tertahan itu, mendadak dia mengayun
tangannya atas mana sebuah pisau belati menyambar kepada
si pengemis. Dia rupanya habis daya dan karenanya dia
membokong. Berbareng dengan itu, Lam Ce In berseru, "We Lo-cianpwe,
inilah aku! Aku... Lam Ce In dari Gui-ciu!"
Ce In terus mengerahkan tenaga dalamnya, walaupun ia
tetap belum berhasil membebaskan diri, ia toh sudah dapat
mendengar dan berbicara, maka itu ia mengenali suara orang,
ia lantas mengasih dengar suaranya itu, memperkenalkan diri.
Ceng Ceng Jie terkejut. Berbareng dengan penyerangannya
itu, dia lompat ke arah kuda, niatnya buat menaiki kuda itu dan
kabur. Dia ketahui si pengemis liehay, dia tidak memikir buat
berhasil melukakan atau merobohkan, hanya dia ingin, dengan
rintangan bokongan itu, dia sempat menunggang kudanya. Dia


Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merasa pasti, biarnya si pengemis liehay sekali, asal dia sudah
mulai kabur, dia bakal lolos...
Tepat orang berlompat, si pengemis tua membentak,
"Kunyuk kecil, apakah kau memikir untuk merat" Nah, kau juga
sambutlah senjata rahasiaku!"
Ceng Ceng Jie kaget. Mendadak ia melihat daun-daun
menyamber dari empat penjurunya. Itukah bukan lain karena si
pengemis adalah Hong-kay We Wat si Pengemis Edan, yang
sangat kesohor dalam dunia Kang Ouw atau Sungai Telaga.
Bersama-sama Ciu-kay Kie Tie, si Pengemis Pemabukan, dan
See-gak Sin Liong Hong-hu Siong, We Wat merupakan Kang
Ouw Sam Ie Kay, Tiga Pengemis Aneh.
Di antara mereka bertiga, We Wat yang paling tua dan kalau
turun tangan, dia terlebih telengas, sedang ilmu kepandaiannya
yang istimewa ialah "Hui Hoa Tek Yap," atau "Menerbangkan
bunga, memetik daun," dengan apa, ia dapat melukai orang
hingga terbinasa.
Ceng Ceng Jie kenal baik senjata rahasia yang liehay dari
pengemis itu, batal lompat terus kepada kuda uy-piauw-ma, dia
berkelit. Tidak urung dia kurang gesit, meski dia sudah
menutup jalan darahnya, dia toh terkena selembar daun, saking
sakitnya, dia menjerit, terus rubuhnya berjumpalit jatuh ke
lembah! "Hm!" We Wat mengasih dengan ejekannya. "Jikalau aku
tidak pandang gurumu yang sudah mati, kunyuk cilik, pastilah
aku sudah rampas jiwamu!"
Melihat orang mengusir Ceng Ceng Jie, kuda uy-piauw-ma
seperti mengenal budi, dia lantas memutar tubuhnya,
menghampirkan pengemis itu sambil menggoyang-goyang
kepala dan ekornya.
Ciu-kay tertawa bergelak.
"Sungguh seekor kuda yang baik!" katanya, gembira. "Lantas
dia angkat tubuhnya Lam Ce In, buat dikasih turun ke tanah,
sekalian terus dia membebaskannya dari belengguan dan
totokan. Ce In menjalankan kehormatan sambil menghaturkan terima
kasihnya. "Lam Hiantit," tanya Hong Kay, "Kenapa kau terjatuh ke
dalam tangan jahanam itu?"
"Itulah melulu disebabkan pelajaranku tidak sempurna,
hingga aku membuat malu pada guruku," sahut Ce In.
"Sebenarnya aku malu sekali."
Dalam hal kepandaian, Ce In tidak kalah dari Ceng Ceng Jie
dan mereka pun bukannya bertempur satu dengan satu maka
ia kena ditawan, tetapi ia jujur, sesudah kalah, ia rela mengaku
kalah, jadi tak sudi ia membuat pembelaan lagi.
We Wat mengawasi orang, ia agaknya heran sekali. Ia
percaya mesti ada sebabnya kenapa orang tertawan. Akhirnya
ia tertawa. "Kalah atau menang memang umum dalam pertempuran!
Tak perlu itu dibuat pikiran," kata ia. "Baiklah, kita jangan
bicara pula dari soal itu. Mari kita bicara dari hal yang lain. Kau
tahu, memang aku berniat pergi ke Kiu-goan mencari kau.
Sekarang aku mau minta dahulu keteranganmu perihal satu
orang." "Siapakah orang itu, lo-cianpwe?" Ce In tanya.
"Kabarnya kau bersahabat erat dengan puterinya Leng Soat
Bwe, benarkah itu?" si pengemis tanya.
Inilah pertanyaan diluar dugaan Ce In. Kenapa orang justeru
menanya hal tunangannya" Maka ia menjadi heran dan
tercengang. Tapi tak dapat ia tak menjawab, dan ia pun tak
ingin mendusta.
"Sebenarnya, lo-cianpwe," sahurnya, "Aku dengan nona itu
sudah bertunangan..."
We Wat tertawa berkakak.
"Selamat! Selamat!" katanya gembira. "Kebetulan aku
menanya kau! Sekarang hendak aku si pengemis tua bertanya,
apakah kau dapat mengijinkan aku bertemu dengan
tunanganmu itu" Aku hendak menanyakan sesuatu
kepadanya."
Sebenarnya Ce In tidak ingin bicara banyak, tetapi orang
telah menanyakannya, tak dapat ia tidak melayani. Jago tua ini
pun sahabat karib dari gurunya.
"Lo-cianpwe, aku baru saja kembali dari rumahnya Nona
Hee," ia berkata. "Justeru di sana aku telah bertemu dengan
Ceng Ceng Jie!"
Lantas Ce In menjelaskan apa yang terjadi di rumah Leng
Song dimana nyonya rumah dan puterinya tidak ada, hanya di
sana menanti Ceng Ceng Jie serta dua kawannya hingga ia
kena dikeroyok.
"Lo-cianpwe," ia tanya habis ia memberikan keterangannya
itu, "Apakah di sini lo-cianpwe melihat ada lewat orang atau
orang-orangnya Keluarga Ong?"
We Wat heran. "Oh, telah terjadi perkara demikian?" tanyanya. "Jadinya kau
menyangka hilangnya mereka ibu dan anak sebagai
perbuatannya pihak Ong itu" Kepandaiannya Leng Soat Bwe
ibu dan anak sama terkenalnya dengan Toan Kui Ciang, maka
itu, nyonya itu dan anaknya, tak selayaknya roboh di tangan
orang-orangnya Keluarga Ong, paling sedikitnya mereka
sepadan..."
"Senjata -berterang mudah dikelit, panah gelap sukar
dijaga," kata Ce In, "Maka itu, segala apa sukar buat diduga
dari di muka. Aku pula heran sekali kenapa Ceng Ceng Jie
ketahui alamatnya itu ibu dan anaknya..."
"Sudah setengah harian aku rebah di sini, tidak pernah aku
melihat ada orang yang lewat," berkata We Wat. "Tapi, kalau
benar mereka ditangkap Keluarga Ong, walaupun aku mesti
membuang jiwaku, mesti aku pergi ke Liong Bin Kok guna
mengacau di sana!"
Pengemis itu hening sejenak, terus dia berkata seorang diri,
"Kiranya Leng Soat Bwe tinggal di kaki gunung ini... Kalau
begitu rupanya benar apa kata orang. Dia menjanjikan aku
bertemu di sini, janji itu benar..."
Ce In heran. "Lo-cianpwe," tanya ia, "Lo-cianpwe hendak menemui Nona
Hee untuk menanyakan urusan, sebenarnya urusan apakah
itu?" "Aku hendak minta keterangan dari hal kematiannya Ciu-kay
Kie Tie," menjawab Hong-kay. "Aku dengar kabar dahulu hari
itu si nona bersama-sama suami isteri Toan Kui Ciang pergi ke
gunung Giok Sie San dan dia melihat sendiri waktu Ciu-kay
terbinasakan. Ingin aku mendapat kepastian apa benar-benar si
pembunuh ialah See-gak Sin Liong Hong-hu Siong?"
"Perihal itu pernah Nona Hee menuturkan padaku," berkata
Ce In. "Ia membilangi aku bahwa si pembunuh benar-benar
Hong-hu Siong. Ketika itu katanya Kie Lo-cianpwe hendak
membeber sebuah rahasia kepada Toan Tayhiap, belum lagi dia
membuka mulut, dia sudah diserang Hong-hu Siong yang
menggunai senjata rahasianya yang berupa jarum berbisa. Adik
seperguruanku, Tiat Mo Lek, kemarin tiba d\ Kiu-goan, katanya
peristiwa itu oleh Toan Tayhiap telah diberitahukan kepada
guru kami. Keterangannya Toan Tayhiap sama dengan
keterangannya Nona Hee, karena itu aku mau percaya
keterangan itu bukan keterangan palsu."
We Wat berpikir.
"Lam Hiantit," katanya, "Bukankah kau tak kesusu pergi?"
"Apakah lo-cianpwe hendak menitahkan sesuatu kepadaku?"
tanya Ce In. "Aku telah membuat perjanjian dengan Hong-hu Siong,"
berkata We Wat. "Janji itu ialah malam ini kita bakal membuat
pertemuan di gunung ini. Niatku ialah menanyakan dia
peristiwa itu. Umpama kata kau tidak mau lekas pergi, maukah
kau mendengari pembicaraan kita?"
Sebenarnya Ce In ingin lekas kembali ke Kiu-goan, guna ia
memikirkan daya upaya terlebih jauh, akan tetapi urusan Kie
Tie itu urusan penting, bahkan ada sangkut pautnya dengan
Leng Song, maka suka ia mendengarnya. Ia sendiri ingin tahu
duduknya perkara yang benar.
"Baiklah jikalau lo-cianpwe tidak berkeberatan aku turut
mengetahui perkara itu," katanya. "Sebenarnya memintanya
juga aku tidak berani..."
We Wat senang. Ketika itu sang malam telah tiba dan Puteri Malam mulai
muncul. We Wat melihat langit, dia tertawa.
"Tadi mimpiku disadarkan Ceng Ceng Jie," katanya, "Maka
itu, aku masih ingin tidur pula lagi sejenak. Kau juga baiklah
beristirahat dulu."
Pengemis ini merebahkan diri pada suatu batu, didalam
tempo yang pendek, dia sudah pulas menggeros.
Ce In heran. "Dia menantikan janji pertemuan, toh dia dapat tidur..."
pikirnya. Tapi ia membiarkannya, ia lantas mengobati luka-lukanya
sendiri, sesudah mana ia duduk bersila, untuk beristirahat
sambil bersemedhi. Dengan cara demikian sempat ia melatih
tenaga dalamnya. Di dalam tempo yang pendek sekali, lenyap
sudah segala letihnya, hingga ia menjadi segar seperti sedia
kala. Sang waktu lewat tanpa terasa, rembulan sudah mulai
berada di tengah, justeru begitu, dalam suasana sunyi itu, hati
Ce In terasa tegang sendirinya.
"We Lo-cianpwe! We Lo-cianpwe!" ia mengasih bangun
kawannya. Tak dapat bersabar lagi.
We Wat membuka kedua matanya, ia bergerak untuk
berduduk. "Buat apa kau sibuk tidak keruan!" katanya. "Hong-hu Siong
menjanjikan tempo tengah malam, maka itu dia pasti bakal
datang seperti janjinya itu."
"Coba lo-cianpwe lihat rembulan itu" kata Ce In, tangannya
menunjuk. Pengemis Edan itu dongak. "Ya, hampir waktunya?" katanya.
"Lihat di sana, di kaki gunung," kata Ce In pula, "Di sana
tampak orang lagi mendatangi..."
We Wat menoleh, alisnya berkerut. Ia lompat naik ke atas
sebuah batu besar dan tinggi, untuk memasang mata ke arah
bawah. Ketika itu si Puteri Malam tepat berada di tengahtengah
langit. Itulah tengah malam.
"Ah!" seru si pengemis perlahan. "Inilah aneh! Hong-hu
Siong bukanlah semacam orang yang suka menyalahkan janji"
Kenapa sekarang dia gagal?"
Si Puteri Malam bergerak terus, menggeser diri ke arah
barat. Lewat lagi setengah jam, masih juga See-gak Sin Liong
belum muncul. We Wat jadi mulai tak sabaran, sedang Ce In
bercuriga. "Mungkinkah dia tak berani datang menemui lo-cianpwe?"
tanyanya. Belum berhenti suaranya Ce In ini atau satu bayangan orang
nampak lari mendatangi dengan cepat.
"Hm!" kata We Wat perlahan tapi sengit. "Begini waktu dia
baru tiba, mesti aku damprat dulu padanya"!
Justeru itu ia menjadi heran, hingga ia kata di dalam hati,
"Aneh! Kenapa ilmu enteng tubuh Hong-hu Siong menjadi
begini sempurna?"
Saking pesatnya orang itu berlari-lari, mukanya sukar
tertampak tegas. Lalu tahu-tahu dia sudah sampai, berdiri di
hadapannya mereka itu berdua.
We Wat menjadi terperanjat. "Apa" Kau?" tegurnya.
Ce In juga telah lantas melihat tegas, dia heran seperti jago
tua. Orang itu bukan Hong-hu Siong, hanya Khong Khong Jie.
Sambil melirik, dengan lagak temberang, orang yang baru
datang itu berkata tawar, "Kau sangka siapa?"
Menurut tingkat martabat, Khong Khong Jie menjadi orang
yang terlebih muda daripada We Wat, maka itu mendongkol
Hong-kay menampak orang bersikap jumawa itu.
"Orang yang dinanti-nantikan datangnya oleh aku si
pengemis tua ialah satu orang lain!" katanya dingin. "Tak usah
aku memberitahukan halnya orang itu kepada kau.' Kau sendui
.ula urusan apa kau dalang kemari?"
Khong Khong Jie tertawa dingin.
"Tanpa kau menyebutkan, aku juga sinlali lalui'" katanya,
tetap temberang. "Bukankah Hong-hu Siong yang dinanti! an
k.m mi?" We Wat tercengang. "Kalau benar, bagaimana?" dia
tanya. "Hong-hu Siong bilang kau tak dapat d i perai ya dan tidak
mempunyai kehormatan!" sahut Khong Khong Jie, dingin I Ha
kala orang semacam kau tak usah lagi diajak bersahabat! Dia
tak ki-auli.m menemui kau!"
Sepasang mata We Wat terbalik.
"Gila!" serunya. "Apa itu tak dapat dipercaya dan tak punya
kehormatan?"
"Sebab kau percaya segala obrolan yang tersiar!" kata Khong
Khong Jie. "Sebab kau percaya dialah orang yang telah
membinasakan Ciu-kay Kie Tie! Bahwa sekarang kau
menjanjikan bertemu dengannya di sini karena kau berniat
mencurangi padanya! Benar, bukan" Ketika kau mengirim
orang menyampaikan janji padanya, bukankah kau
membilangnya untuk memasang omong saja" Jadi, bukankah
benar kau telah memperdayakan dia" Kau tidak menghiraukan
persahabatan kau memancing sahabatmu ke dalam akal
muslihatmu! Apakah dia keliru jikalau dia berpendapat kau tidak
dapat dipercaya dan tak mempunyai kehormatan?"
Sepasang mata We Wat terputar pula, lalu nampak dia
tenang. "Benarkah kata-katamu ini kata-katanya Hong-hu Siong?" dia
tegaskan. Khong Khong Jie mengangkat sebelah tangannya, pada jeriji
tengahnya ada terdapat sebuah cincin besi. la tertawa dingin
ketika ia menanya, "Kau gila! Apakah kau sangka aku bicara
tidak-tidak" Kau kenali atau tidak cincin ini?"
We Wat mengenali bendanya Hong-hu Siong. Dia menjadi
gusar sekali sampai tubuhnya bergemetar.
"Jikalau dia bukannya si pembunuh, kenapa dia tidak berani
datang menemui aku?" dia tanya. "Kenapa dia menyuruh kau,
kunyuk cilik, yang datang menyampaikan pesannya" Hm! Hm!
Sebelumnya ini, aku masih ragu-ragu mempercayainya?"
Dengan Hong-hu Siong dan Kie Tie, We Wat niempunyai
persahabatan puluhan tahun, maka itu tak dapat dimengerti
sekarang See-gak Sin Liong mengirim pesuruh seorang yang
tingkatnya terlebih muda. Ia menjadi sangat gusar.


Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Khong Khong Jie kembali tertawa dingin.
"Urusan kau dengan Hong-hu Siong tidak ada sangkut
pautnya dengan aku!" katanya, ketus. "Bahwa kau benar tidak
dipercaya dan tak mempunyai kehormatan, aku juga tak
memperdulikannya! Tetapi lagakmu, si tua bangka yang
menjual ketuabangkaannya, yang jumawa tak terkirakan, tak
puas aku Khong Khong Jie melihatnya! Kau sudah melihat Ceng
Ceng Jie, adik seperguruanku! Bukankah kau tak sangkal itu?"
We Wat gusar hingga kumis dan alisnya bangun berdiri.
"Khong Khong Jie, kau sendirilah si manusia temberang!" dia
membentak. "Tahukah kau apa yang telah diperbuat adik
seperguruanmu itu" Jikalau aku tidak pandang pada gurumu
yang telah mampus menjadi setan, ingin aku menghajar mati
padanya!" Pengemis tua ini tertawa berlenggak. Dengan suara nyaring,
dia berkata pula, "Khong Khong Jie, apakah matamu telah
pindah ke dahimu" Coba bilang, adik seperguruanmu itu, juga
kau sendiri, bukankah dapat aku mengurusnya" Kalau tidak,
maka aku harus malu terhadap mendiang gurumu!"
"Baik, kau uruslah aku jikalau kau mampu!" kata Khong
Khong Jie, menantang. "Kau telah melukai adik seperguruanku
itu, jikalau tidak memberi sedikit pengajaran padamu, aku juga
malu terhadap mendiang guruku!"
Kata-kata ini dibarengi dengan lompatan tubuh yang pesat
yang diberikuti serangan hebat!
"Anak celaka!" We Wat mendamprat saking murka. "Hendak
aku lihat berapa tinggi kepandaianmu!" ^
Ia lantas mengangkat tangannya guna menyambut serangan
itu. Khong Khong Jie merasakan tubuhnya tergetar, ia lantas
berkelit ke samping. Justeru itu, We Wat menyamber
pinggangnya, untuk dicekuk. Ia terkejut, tetapi masih sempat ia
menjejak tanah, untuk lompat mencelat dengan tipu silat
"Burung walet terbang menembusi mega". Sembari berkelit itu,
ia menyerang. Dengan satu suara nyaring, Khong Khong Jie mendapatkan
ikal' pinggangnya terjambret putus, akan tetapi lengan kiri We
Wat juga kaku, sebab jalan darahnya - jalan darah ]<:iok-tie - -
kena tertotok lawan yang tingkatnya terlebih muda itu.
Bukan main terkejutnya si jago tua, hingga dia kata dalam
hali, "Pantas dia menjadi begini jumawa, kiranya dia benar jauh
terlebih liehay daripada Ceng Ceng Jie, hingga dia tak usah
kalah dengan gurunya dahulu hari itu!"
Di dalam tempo yang pendek itu, Hong Kay sudah lantas
mengerjakan tenaga dalamnya hingga dengan lekas ia dapat
memulihkan jalan darahnya, hingga lengannya menjadi tidak
kurang suatu apa.
Khong Khong Jie yang telah menginjak tanah pula tertawa
dingin, sembari tertawa dia maju lagi, sembari berkata, "Tua
bangka she We, apakah sekarang kau masih berani menjual
ketuabangkaanmu" Dengan memandang kau sahabatnya
mendiang guruku, lekas kau menghaturkan maaf kepadaku!"
We Wat menjadi semakin gusar, hatinya menjadi semakin
panas "Anak muda, kau terlalu jumawa!" bentaknya. "Kau
terlalu bernyali besar dan kurang ajar! Hari ini, meski kau
berlutut liga kali kepadaku, tidak nanti aku sudi memberi
ampun padamu!" Khong Khong Jie mengganda tertawa.
"Oleh karena sama-sama tidak sudi melepaskan satu pada
lain," kata dia, "Nah, mari kita bertempur pula, bertempur
secara kaum Kang Ouw sejati! Mari dengan tangan kita
mengambil keputusan siapa jago siapa betina! Eh, pembantu
yang diundang olehmu itu, kenapa dia tidak mau maju
berbareng?"
Khong Khong Jie menuding kepada Lam Ce In. Dia ini
menjadi tidak puas sekali, maka dia kata, "We Lo-cianpwe,
silahkan kau perkenankan aku belajar kenal dengan dia! Locianpwe
sendiri cukup berdiri di sisi sambil memberi pelbagai
petunjuk padaku!"
Lam Ce In dan Khong Khong Jie sederajat satu dengan lain.
We Wat terlebih tinggi daripada mereka, maka itu, kalau si tua
melayani si muda, ia menang pun tak akan ia dianggap gagah,
sedang kalau ia kalah, ia bakal ditertawakan umum. Itulah
sebabnya Ce In berani menempuh bahaya menantang
lawannya. Dengan air muka padam, We Wat memberikan jawabannya.
"Lam Hiantit, urusan ini bukan urusan kau," katanya. "Aku
bersedia mengorbankan tulang-tulangku yang tua guna
menertibkan dunia Rimba Persilatan, maka sekarang ini, aku
tidak menghiraukan pula nama baikku!"
Inilah yang diharap-harap Khong Khong Jie. Ia tahu We Wat
liehay tetapi ia percaya dapat ia melayani, tetapi jikalau We
Wat dibantu Lam Ce In, itulah berbahaya untuknya. Maka ia
memancing kemarahan orang dengan menantang sekalian
pada si orang she Lam.
Lantas ia tertawa dingin dan kata, "Tua bangka, kau makin
menjadi-jadi! Sudah kau menghina adik seperguruanku,
sekarang kau mementang bacot begini lebar! Bagaimana kau
berani menyebut-nyebut menertibkan dunia Rimba Persilatan"
Hm!" Dua-dua pihak mempunyai masing-masing keberaniannya
sendiri. We Wat melukai Ceng Ceng Jie, perbuatannya itu
kurang tepat. Seharusnya dia menyerahkan Ceng Ceng Jie pada
kakak seperguruannya itu karena Ceng Ceng Jie sudah tidak
punya guru. Di waktu menyerang Ceng Ceng Jie, We Wat tidak memikir
kesitu. Ia hanya menganggap ialah orang yang terlebih tua, ia
mesti dihormati, tetapi Ceng Ceng Jie bersikap garang ia jadi
memikir banyak.
Sekarang, Khong Khong Jie pun tak berlaku benar, karena
dia terlalu temberang, sama sekali dia tak menghargai lagi si
jago tua. Begitulah, dengan mencegah Ce In, We Wat lantas melayani
Khong Khong Jie, hingga mereka menjadi bertempur pula.
Khong Khong Jie mengeluarkan sebatang pedang pendek, ia
tak berlaku sungkan lagi, ia berkelahi dengan mengandalkan
kepandaian ringan tubuhnya, dengan berani ia mendesak. Ia
selalu menyerang dengan bengis, saban-saban ia mengarah
bagian anggauta tubuh yang lemah dari lawannya yang tua itu.
We Wat menang tenaga dalam, dia tak segesit lawannya ini,
maka itu, sesudah diserang berulang-ulang secara
membahayakan dia menjadi mendongkol.
Mendadak dia menyerang dengan sebelah tangannya,
dengan Pek Khong Ciang, yaitu pukulan Udara Kosong.
-oo0dw0ooo- Jilid 16 Dia membuat hancur sepotong batu besar hingga batu itu
pecah berhamburan hancurannya menyamber kalang kabutan
mirip senjata-senjata rahasia, menyamber ke arah Khong
Khong Jie. Itulah hebat. Khong Khong Jie memperdengarkan seruan
nyaring. Dengan berlompat tinggi, ia menghindari diri dari
pelbagai batu itu, dengan pedangnya, ia melakukan pembelaan
diri. Maka berulang kali pedang bentrok dengan batu mengasih
dengar suara nyaring beruntun-runtun, terus jatuh ke tanah
bagaikan hujan.
Setelah itu, Khong Khong Jie bersiul lama, tubuhnya
berjumpalitan, hingga kepalanya menjadi di bawah dan kakinya
di atas. Dengan cara itu ia menyerang dengan pedangnya,
yang berkelebat dalam sinar perak.
We Wat juga dengar seruan bagaikan guntur, dengan
sebelah tangannya ia menyerang, menyambut terjangan lawan
itu. Dapat dimengerti jikalau ia telah mengerahkan tenaganya.
Akibatnya itu ialah rubuhnya Khong Khong Jie melesat lewat
di atasan kepala Hong-kay si Pengemis Edan, bagaikan
tubuhnya Ceng Ceng Jie tadi, tubuh itu melayang terus ke arah
lembah! Segera juga dari dalam lembah itu terdengar suara ini, "Tua
bangka yang telengas! Ingatlah, gunung hijau tak ubahnya, air
biru mengalir tak putusnya! Pukulanmu ini akan aku ingat baikbaik!
Lain kali akan aku minta belajar kenal pula dari kau!"
Suara itu rada parau, tetap toh terdengarnya tegas.
Mendengar itu, hati Lam Ce In menggetar. Barusan pun
hatinya benar-benar. Ketika ia menoleh kepada We Wat, ia
menjadi tercengang. Ia mendapatkan bajunya Hong-kay
berlepotan darah, mukanya pucat sekali dan jenggotnya yang
panjang bergemetar, romannya sangat kucel. Dengan lantas ia
lompat menghampirkan, guna mempepayang.
"Lo-cianpwe, kau kenapa...?" tanyanya bingung.
Jago tua itu menghela napas.
"Inilah yang pertama kali aku si pengemis tua roboh,"
sahutnya, berduka. "Lukaku tidak berarti hanya hatiku yang
terasa sakit sekali..."
We Wat menganggap Khong Khong Jie berlaku sangat
telengas, maka itu, ia menyambut dengan pukulannya itu,
walaupun demikian tidak ada niatnya merampas jiwa orang,
sambutannya dimiringkan sedikit. Ia merasa, sambutan itu
sudah cukup buat membuat Khong Khong Jie terpental
mundur. Siapa tahu, Khong Khong Jie liehay diluar sangkaan, dari itu,
kesudahannya mereka rusak dua-duanya. Lukanya Khong
Khong Jie bukannya ringan, tetapi ia pun terlukakan panjang
tiga dim... Khong Khong Jie tidak tahu We Wat berlaku murah
terhadapnya, karena itu, dia mengutarakan penasarannya
dengan mengatakan si jago tua telengas dan dia mengancam
untuk menuntut balas kelak dibelakang hari.
Lam Ce In memeriksa luka jago tua itu, hatinya lega. Ia
mendapat kenyataan luka itu tidak parah. Ia turut merasa
menyesal. Maksud baik dari jago tua ini nyata diterima salah
oleh Khong Khong Jie.
"Sudahlah, lo-cianpwe" ia menghibur. "Lo-cianpwe
bermaksud baik tetapi dia temberang, maka sudah cukup dia
menerima ajaran itu. Tak usah lo-cianpwe berduka karena
sikapnya yang kurang ajar itu, dia seperti mencari penyakit
sendiri." "Khong Khong Jie menjadi satu soal," kata We Wat, menarik
napas. Masih saja ia berduka. "Aku juga menyesal buat
sikapnya Hong-hu Siong dengan siapa aku mempunyai
persahabatan beberapa puluh tahun. Dengan begini didalam
cuma satu hari habis sudah persahabatan itu... Aku menyesal
sekali yang dia tak mau datang kemari untuk memenuhkan
janji. Tak datangnya itu membuktikan bahwa dialah benar
orang yang membinasakan Kie Tie sahabatku itu. Sebenarnya
kami ketiga pengemis, kami menjadi seperti saudara-saudara
kandung, tetapi karena urusan Kie Lojie ini, ada kemungkinan
aku bakal membunuh dia!"
Lam Ce In terperanjat. Ia lantas ingat suatu apa.
"Lo-cianpwe," katanya, "Apakah lo-cianpwe masih ingat itu
cincin besi yang barusan Khong Khong Jie perlihatkan pada locianpwe"
Aku merasa sangsi mengenai cincin itu, aku heran..."
We Wat melongo.
"Apakah yang aneh?" dia tanya.
"Cincin semacam itu pernah aku melihatnya," sahut Ce in.
"Itulah cincinnya Hong-hu Siong."
"Benar!" berkata We Wat. "Karena aku kenal cincin itu
sebagai miliknya Hong-hu Siong, aku menjadi menyangsikan
perkataannya Khong Khong Jie itu."
"Lo-cianpwe tahu, cincin itu pernah dikasihkan Hong-hu
Siong kepada seorang lain," kata Ce In pula.
"Kepada siapakah diserahkannya?" tanya We Wat.
"Dia memberikannya kepada Toan Kui Ciang." Jago tua itu
menjadi heran. Lam Ce In pikir hendak memberi penjelasan hal
diserahkannya cincin itu, tetapi We Wat mendahulukan berkata
padanya, "Lam Hiantit, kau tahu satu tidak tahu dua.
Sebenarnya cincin itu sepasang dan akulah yang memberikan
kepada Hong-hu Siong."
Ce In pun menjadi heran, maka ia mengawasi orang tua itu.
"Pada tiga puluh tahun dulu," berkata We Wat, memberi
keterangan, "Ketika aku lagi berada di wilayah Hwe Kiang, aku
mendapatkan sepasang cincin itu. Katanya itu miliknya seorang
raja setempat, bahwa cincin itu mempunyai khasiat mengusir
pengaruh-pengaruh jahat. Dari istana raja, cincin itu terjatuh ke
dalam tangannya seorang kepala suku. Aku telah melepas budi
kepada kepala suku itu, untuk membalasnya, dia memberikan
itu padaku. Lalu aku memberikannya pula kepada Hong-hu
Siong. Karena itu, tak dapat kau menyangka Khong Khong Jie
main gila. Hanya aku tidak mengerti kenapa Hong-hu Siong
menceraiberaikan sepasang cincin itu dan memberikannya satu
kepada Toan Kui Ciang. Itulah aneh! Kau bersahabat erat
dengan Toan Kui Ciang, tahukah kau sebabnya itu?"
"Aku tahu ada sebuah cincin lagi yang segalanya mirip
dengan cincin itu," kata Ce In, "Dan cincin itu tidak berada di
tangannya Hong-hu Siong..."
We Wat tak mengerti.
"Bagaimana itu?" tanyanya.
Lam Ce In lantas menutur halnya dulu hari itu Toan Kui
Ciang dikejar-kejar orang-orangnya An Lok San, bahwa karena
terluka parah, Toan Kui Ciang sampai pingsan dan tak ingat
suatu apa, tetapi di dalam kuil tua itu dia bertemu dengan
Hong-hu Siong, yang menolongnya mengusir musuh, habis
mana, bukan saja Hong-hu Siong menolong memberikan obat
tetapi juga memberikan cincinnya itu. Hong-hu Siong tahu Toan
Kui Ciang tidak mudah menerima budi orang, maka juga cincin
diberikan dengan dimasuk ke dalam jeriji tangan selagi Kui
Ciang belum sadar.
"Karena Toan Kui Ciang lagi pingsan, Hong-hu Siong kata
padaku, 'Aku minta pertolongan kau untuk disampaikan kepada
Toan Tayhiap, yaitu kalau dibelakang hari dia bertemu dengan
satu orang dan orang itu memakai sebuah cincin yang sama
dengan cincin ini, sukalah dia memandang kepada mukaku,
supaya suka dia menaruh belas kasihan pada orang itu.'
Demikianlah sepasang cincinnya Hong-hu Siong itu, yang satu
berada di tangan Toan Kui Ciang, yang lain berada di
tangannya seorang yang aku tidak tahu siapa. Inilah sebabnya
aku merasa aneh sekarang."
We Wat turut menjadi heran, hingga ia berpikir keras.
"Tetapi aku ingat benar cincin itu, tak salah lagi, itulah cincin
yang dulu hari aku berikan kepada Hong-hu Siong," katanya
selang sejenak. "Dari mana Khong Khong Jie mendapatkan


Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cincin itu" Dia bolah mencuri atau bagaimana?"
"Khong Khong Jie sangat kesohor buat kepandaiannya
mencuri, di kolong langit ini tidak ada tandingannya," kata Ce
In. "Maka itu aku kuatir... aku kuatir..."
"Kau kuatir cincinnya Toan Kui Ciang telah dicuri Khong
Khong Jie?" tanya We Wat. "Itu mungkin terjadi. Kalau Khong
Khong Jie mau mencuri, dia pasti berhasil tak perduli cincin
berada di tangan siapa. Cumalah... Tentang janji pertemuan di
antara aku dan Hong-hu Siong ini, yang ketahui cuma tiga
orang. Kecuali aku bersama Hong-hu Siong, orang yang ketiga
itu ialah orang yang aku suruh menyampaikan pesanku..."
"Siapakah orang itu?"
"Dialah seorang muridku yang aku paling percaya. Tidak
nanti dia membocorkan rahasia. Kecuali Hong-hu Siong yang
memberitahukan sendiri, tidak mungkin Khong Khong Jie
mendapat tahu itu..."
Keduanya berdiam, sama-sama mereka berpikir. Mereka
heran sekali. "Sudahlah," kata We Wat kemudian. "Sekarang baik aku
pulang dulu, untuk menanyakan muridku itu, apabila aku tidak
memperoleh penjelasan, baru nanti aku pergi ke Kiu-goan
menjengukmu, buat membantui kau mencari Leng Soat Bwe
ibu dan anak."
Ce In bingung hingga ia tak dapat berpikir lain. "Baiklah,"
katanya tak berdaya.
Keduanya lantas berdiam, sampai terang tanah, baru mereka
berpisahan. Ce In menghaturkan terima kasih kepada jago tua
itu. Ia menunggang kuda jempolan, besoknya magrib ia sudah
tiba kembali di Kiu-goan, di kantor Thaysiu. Karena cuaca
sudah gelap, tak mau ia mengganggu Kwe Cu Gie, dari itu ia
menuju langsung ke tempat kediamannya.
Tiat Mo Lek lekas-lekas keluar menyambut, waktu ia
dikabarkan kembalinya suheng itu.
"Eh, bagaimana, suheng?" tanya sutee ini heran. "Kenapa
kau tidak datang bersama dia?"
Menanti jawaban, Mo Lek memandang suheng itu. Maka ia
terkejut melihat wajah suram dan kucai. Beda daripada waktu
perginya, gembira luar biasa, sekarang orang seperti lagi
menderita sakit...
"Suheng, bagaimana?" ia menanya pula.
Ketika itu Ce In terbengong, sebab pikirannya sangat kusut.
"Ceritaku panjang, mari kita bicara di dalam saja," kata
suheng itu kemudian.
Mo Lek menurut, mereka lantas masuk. Dengan sabar Ce In
menuturkan pengalamannya yang hebat dan diluar dugaan itu.
"Kalau begitu, mesti peristiwa ini ada hubungannya dengan
si bangsat cilik she Ong!" berkata Mo Lek, yang terus berpikir.
"Suheng, mari kita pergi ke lembah Liong Bin Kok untuk
mengacau, guna membuat mereka kacau mirip langit ambruk
bumi amblas!"
Ce In tertawa meringis.
"Kita terpisah ribuan lie dari Liong Bin Kok, enak saja kau
membilang mau pergi lantas pergi?" katanya. "Sekarang pun
urusan tentara begini genting. Kita harus mendengar
perintahnya Kwe Thaysiu, tak dapat kita lancang bergerak."
Mo Lek terpaksa menurut.
Malam ini Ce In berpikir keras sekali, hatinya sangat
berkuatir, dari itu sukar ia mendapat tidur pula. Ia menghibur
diri dengan berkata, mengingat kegagahannya Soat Bwe dan
Leng Song tak nanti mereka itu terjatuh ke dalam tangannya
Keluarga Ong. Ia pun menghiburi diri, andaikata Leng Song
jatuh di tangan Liong Kek, tidak nanti si nona sudi
menyerahkan diri, karena itu lama-lama ia merasa juga sedikit
lega dan tentaram.
Kwe Cu Gie telah lantas mendapat tahu Lam Ce In sudah
kembali, baru terang tanah ia sudah mengundang orang dan
adik seperguruannya itu datang ke kantornya. Dilain pihak,
sebagai seorang, yang berpengalaman, ia mengerti
perjalanannya Ce In itu mestinya gagal. Ia telah diberitahukan
bahwa orang gagah itu lesu dan muram...
Maka itu, melihat orang muncul, ia tidak menanyakan urusan
kepergian Ce In, hanya sembari bersenyum ia bilang,
"Sekarang ini masanya negara menghadapi kesukaran,
sekarang ialah saatnya bangsa lakilaki sejati berbuat sesuatu
untuk negara! Maka itu urusan rumah tangga bolehlah
dikesampingkan dulu. Lam Ciangkun, kau kembali pada saat
yang tepat!"
"Adakah telah terjadi pula perubahan baru?" tanya Ce In.
"Keadaan sangat genting," berkata Kwe Cu Gie. "An Lok San
ini lantaran putera sulungnya dihukum mati oleh Pemerintah
Agung, melakukan penyerangan dengan hebat sekali. Begitulah
kabarnya seluruh pasukannya Ciat-touw-su di propinsi Hoolam
sudah ludas semuanya, sedang angkatan perangnya Hong
Siang Ceng, yang ditugaskan membasmi pemberontakan,
sudah buyar kacau balau, hingga dia dikabarkan telah mundur
ke kota Tong-kwan."
Warta itu memang hebat.
Kwe Cu Gie menjelaskan lebih jauh, "An Lok San mempunyai
dua orang putera. Putera sulung Keng Cong. Putera bungsu
Keng Sie. Keng Sie tinggal di Hoan-yang membantui ayahnya.
Keng Cong tinggal di kota raja, menjadi kun-ma, ialah suami
dari Eng Bun Kuncu, keponakan perempuan dari Sri Baginda
Raja. Berhubung dengan pemberontakannya An Lok San, Keng
Cong dihukum mati. Dia dikuatir nanti membantu ayahnya dan
menjadi pengkhianat di bagian dalam. Karena ini isterinya, Eng
Bun Kuncu, diberi kelonggaran dengan mati membunuh diri. An
Lok San gusar sekali mengetahui kebinasaan puteranya itu. Dia
sesumbar, 'Kau telah membunuh seorang anakku, hendak aku
mengilas-ilas kota Tiang-an, untuk membunuh habis semua
menteri militer dan sipil di dalam istana!' Lalu dia membiarkan
tentaranya membasmi rakyat di mana saja mereka tiba dan
lewat, hingga umpama kata, ayam dan anjing juga tidak dikasih
tinggal hidup. Pemerintah telah mengirim dua angkatan perang
besar untuk membasmi pemberontakan Ang Lok San itu.
Angkatan perang yang pertama dipimpin Hong Siang Ceng,
Ciat-touw-su yang baru dari Hoan-yang dan Peng-louw. Dia ini
mempunyai enam puluh ribu serdadu baru dengan kedudukan
di Hoopak. Angkatan perang yang lainnya dipimpin Tayciang Ko
Sie Han, tentaranya tentara campuran orang Han dan Ouw
dengan kedudukan di kota Tong-kwan, buat menjadi tameng
bagi kota Tiang-an. Masih ada lagi satu angkatan perang lain
dibawah pimpinan Ciat-touw-su Thio Kay Jian dari propinsi
Hoolam, tentaranya terdiri dari tentara gabungan tigabelas kota
di sekitar Tin-liu. Angkatan perang ini untuk Hong Siang Ceng.
An Lok San maju terus. Hong Siang Ceng kucarkacir dan mesti
berlindung kepada Ko Sie Han di Tong-kwan. Sri Baginda gusar
dan menyuruh Ko Sie Han menghukum mati pada Siang Ceng."
Darahnya Ce In naik mendengar kemajuannya Lok San itu.
"Kalau begitu tak dapat kita berdiam saja!" katanya
penasaran. "Leng-kong, apakah Pemerintah Agung
memerintahkan leng-kong untuk turun tangan?"
"Inilah soal yang hendak aku damaikan dengan kau,"
menjawab Kwe Cu Gie. "Baru kemarin datang perintah dari Sri
Baginda menitahkan aku bersiap sedia, buat bergerak dengan
mengimbangi salatan. Musuh sedang mendapat hati, kalau kita
hanya membela diri, itu merupakan ketika baik baginya
menerjang kita. Sebaliknya, kalau kita maju, kita sedikit musuh
besar, aku menyangsikan kemenangan kita. Menjaga salah,
menyerang salah, habis bagaimana baiknya?"
"Thio Thaysiu di Hoay-yang sudah siap sedia, baiklah lengkong
ajak dia bekerja sama," Ce In usulkan.
"Baik dengan Thio Sun dari Hoay-yang dan Gan Cin Keng
dari Peng-goan, aku sudah membuat perjanjian," kata Kwe Cu
Gie, "Hanya tetap jumlah kita masih kecil sekali."
Tiba-tiba Tiat Mo Lek campur bicara. Ia kata ia mempunyai
satu pikiran entah itu dapat dijalankan atau tidak.
"Saudara Tiat, coba utarakan pikiranmu itu," kata Kwe Cu
Gie. "Kau tahu sendiri, pikiran seorang pendek, pikiran dua
orang panjang. Kita selamanya harus saling mengutarakan."
"Bagaimana kalau ada satu pasukan, yang menerjang musuh
dari belakang?" Mo Lek tanya.
"Pikiran ini baik! Hanya dari mana datangnya pasukan untuk
itu?" tanya Kwe Cu Gie. "Kalau kita mengirimnya dari sini, mana
bisa pasukan itu melintasi wilayah penjagaan musuh yang
lebarnya beberapa ribu lie?"
"Itu benar, tayjin. Tapi di dalam wilayah Yu-ciu ada sebuah
gunung Kim Kee Nia, dimana ada Cecu Sin Thian Hiong yang
aku kenal baik. Dia gagah dan setia, dia bersedia bekerja untuk
negara. Ketika An Lok San dan Ong Pek Thong berkongkol,
Thian Hiong yang membeber rahasianya. Banyak jago Rimba
Hijau yang dibeli Lok San tetapi dia tidak. Dia pernah
membilangi aku, asal tenaganya dibutuhkan, ia bersedia
memberikannya. Soalnya ialah apa tayjin sudi atau tidak
menerima kaum Jalan Hitam itu..." Kwe Cu Gie tertawa.
"Asal dia setia kepada negara, aku tak ambil mumat, dia
orang Jalan Putih atau Jalan Hitamf" kata Thaysiu ini. "Siapakah
rakyat yang tidak ingin hidup aman dan berbahagia" Ada
banyak orang jahat tetapi mereka karena terpaksa. Ini
sebabnya, terhadap mereka yang dikatakan jahat itu, aku selalu
bersedia memberikan ketika. Kalau ada orang Rimba Hijau
sebagai dia dan dia rela digunai olehku, tentu sekali suka aku
menerimanya.'"
Mo Lek menjadi girang sekali.
"Jikalau begitu, Tayjin," katanya, "Tolong Tayjin memberikan
aku sepucuk surat untuk mengangkat dia, supaya dia dapat
mengubah pasukan dari Kim Kee Nia menjadi satu pasukan
sukarela. Aku percaya, meski belum tentu dia bakal berhasil
merampas kemenangan, sedikitnya dia dapat dipakai
mempengaruhi An Lok San."
Kwe Cu Gie lantas berpikir.
"Meski dia tentara sukarela, dia membutuhkan pimpinan,"
katanya kemudian. "Lam Hiantee, aku minta sukalah kau
bersama saudara Mo Lek pergi mewakilkan aku ke Kim Kee Nia
untuk mengangkat Sin Thian Hiong menjadi panglima yang
memimpin pasukan di garis belakang musuh. Kepadanya harus
diterangkan, kecuali rombongan dari Kim Kee Nia sendiri, dia
dapat menerima rombongan Rimba Hijau yang mana saja asal
yang benar-benar suka bekerja untuk negara. Apa yang aku
harap, saudara, supaya kau berhasil mengumpulkan pelbagai
kemenangan yang gilang gemilang."
Ce In setujui sekali pikiran Thaysiu itu.
"Siauw-ciang terima perintah!" sahutnya sambil berbangkit.
Kwe Cu Gie sudah lantas menulis surat keangkatannya untuk
Sin Thian Hiong. Ia pula menyerahkan sebatang leng-cian
kepada Ce In seraya berkata, "Di garis belakang musuh ada
sisa-sisa tentara negeri, kau dapat mengumpul mereka buat
ditaruh dibawah perintahmu, supaya mereka dapat diajak
bekerja sama."
Ce In menerima baik tugas itu. Ia kata, "Kalau siauw-ciang
berhasil mengumpulkan pasukan, lebih dulu siauw-ciang
hendak menyerang Liong Bin Kok, guna melabrak sarangnya
Ong Pek Thong. Jalan ini, kesatu guna menggempur sayapnya
An Lok San, kedua menjadi jalan untuk mengumpulkan orangorang
Rimba Hijau yang suka mengubah cara hidupnya yang
sesat, supaya mereka memperoleh ketika kembali ke jalan yang
benar. Ong Pek Thong menjadi ketua Ikatan Rimba Hijau, kalau
dia kena dirobohkan, pasti banyak orangnya yang akan turut
kepada kita."
"Baiklah," kata Kwe Cu Gie, "Mengenai siasat perang,
semuanya terserah kepada kau, Lam Hiantee, tak usah kau
memohon segala petunjuk atau perintah lagi dari aku. Kita
perlu bekerja cepat. Nah, silahkan kau dan Tiat Hiantee
berangkat, aku hanya mengharap warta kemenanganmu!"
Dengan menjabat tangannya Ce In, Thaysiu ini
mengantarkan orang keluar dari ruang tetamu. Sembari jalan ia
memerintahkan orangnya menyiapkan kuda untuk dua orang
itu. Ce In berdua Mo Lek kembali ke tempatnya, untuk
berkemas. "Suheng, kau harus mengucap terima kasih padaku!" kata
Mo lek tertawa. "Kau kuatir tak dapat pergi ke Liong Bin Kok
tetapi sekarang aku mintakan perkenan dan kekuasaan
untukmu! Bagaimana berbahagianya kau andaikata Nona Hee
berada di Lembah Naga Tidur itu!"
"Jangan kau menggodai aku!" kata Ce In, juga tertawa.
"Bukankah ini pula ketika akan menemui Nona Han! Kau jangan
kuatir, umpama kala kau ingin bicara yang sedap-sedap
dengannya, tak nanti aku mencuri dengar!"
Sejak Cie Hun tiba di Kiu-goan, ia disukai Nyonya Kwe Cu
(Yic, maka itu ia diajak tinggal bersama di dalam kantor
Thaysiu. Karena itu juga, ia jadi jarang bertemu dengan Mo
Lek. Lantaran ini, Ce In menggoda supaya si suteee mengajak
Nona Han itu. Mo Lek jengah, mukanya bersemu dadu. Kata ia, "Suheng,
tak dapat kau sembarang berkelakar begini macam padaku!
Kau dengan Nona Hee sudah bertunangan, tetapi aku dengan
Nona Han melainkan kakak beradik!"
Ce In tertawa. "Akulah orang yang berpengalaman!" katanya. "Aku pun
mulanya berkakak beradik dengan Nona Hee!"
Tengah suheng dan sutee ini tertawa, Cie Hun muncul.
Lantas saja dia kata, "Mo Lek, bagus sekali pikiranmu ini! Aku
memang lagi pepal pikiran berdiam saja di dalam gedung
berkumpul bersama nyonya-nyonya itu! Bukankah kamu mau
pergi ke Liong Bin Kok?"
"Benar!" sahut Ce In mendahului Mo Lek. "Nona Han, ada
apakah saranmu yang bagus?"
"Jangan kata yang bagus, yang jelek pun tidak!" sahut si
nona tertawa. "Aku cuma gemar bertempur! Gadisnya Ong Pek
Thong hutang satu gaplokan padaku, hendak aku
membayarnya!"
"Bagus!" kata Ce In. "Kali ini ada ketikanya untuk kamu
menguji pula kepandaian kamu! Kakak beradik Keluarga Ong
itu bukan orang baik-baik, aku pujikan supaya kau dapat
menusuk tembus jantungnya!"
Mendengar itu, Cie Hun melirik Mo Lek. Ia mengasih lihat
roman bersenyum bukannya bersenyum.
"Tak berani aku melakukan itu!" katanya. "Kalau aku
binasakan nona itu, habis dengan apa aku nanti menggantinya
kepada Mo Lek" Lam Toako tidak tahu, Nona Ong dengan Mo


Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lek bersahabat rapat sekali!"
Muka Mo Lek menjadi merah, dia bergelisah.
"Cie Hun!" katanya keras, "Bukankah aku telah bilangi kau,
tak perduli apa dia lakukan terhadap aku, dia tetap menjadi
musuhku - musuh yang telah membinasakan ayah angkatku!"
Meski orang tak puas, Cie Hun tertawa.
"Jikalau hatimu tidak terluka, jangan kau bergelisah begini
macam!" katanya. "Sudah, kita jangan omong saja, kuda sudah
siap, mari kita berangkat!"
Bersama-sama mereka bertiga keluar dari kantor.
Opsir pengawal pintu heran, dia tanya Ce In, "Lam Ciangkun,
baru kemarin kau kembali, apakah sekarang kau mau
berangkat pula" Ada urusan apa kau begini kesusu" Eh, Nona
Han juga mau berangkat bersama?"
Ce In tahu urusan militer tak dapat sembarang diomongkan,
ia cuma mengganda bersenyum, demikian juga Nona Han.
Dengan lantas ketiganya naik kuda dan berangkat.
Kuda uy-piauw-ma tetap dipakai Cie Hun. Buat Ce Iri dan Mo
Lek berdua, Kwe Cu Gie memberikan masing-masing seekor
kuda pilihan lainnya. Syukur kuda itu cukup tangguh untuk
mengikuti kudanya Cin Siang.
Di tengah jalan, saking iseng Ce In bertiga membicarakan
urusan Liong Bin Kok, perihal tujuh tahun dulu mereka
mengacau dalam pestanya Ong Pek Thong. Tiba-tiba Mo Lek
ingat suatu apa, ia lantas menahan kudanya.
"Apa" Apakah kudamu sudah tidak kuat jalan?" tanya Ce In.
"Bukan!" sahut Mo Lek. "Aku justeru lagi memikir perlu apa
tidak kita lekas kembali ke Kiu-goan...?" Suheng itu heran.
"Buat apakah?" tanyanya. "Aku baru ingat satu hal," sahut si
sutee. "Apa sih hingga kau nampak gelisah?" tanya Cie Hun
tertawa. "Kita sudah jalan begini jauh, mendadak kita hendak
pulang lagi! Hayo kau bicara, sembari kita berjalan terus, nanti
Lam Toako yang mengutarakan pikirannya.
Mo Lek tidak menjawab si nona. Ia hanya menatap Ce In.
"Suheng," tanyanya, "Tadi opsir yang menanya kau di
kantor, siapakah dia, apakah namanya?"
"Dialah Ho Kun!" sahut suheng itu. "Kenapa dia?"
"Ketika pertama kali aku tiba di Kiu-goan, toako lagi berlatih
di dalam kantor," sahut Mo Lek, "Di tanah lapang itu
diantaranya aku melihat opsir itu. Dia berhasil memanah tiga
kali, bukan?"
"Tidak salah! Memang ilmu panahnya mahir! Apakah kau
kenal dia?"
"Ketika itu hari aku melihatnya, aku merasa seperti
mengenal dia. Barusan, karena kita bicara peristiwa di Liong Bin
Kok, mendadak aku ingat dia pula! Aku ingat aku melihatnya di
lembah itu. Kemarin ada banyak orang, aku tak dapat
mengingat-ingat dia."
Ce In terperanjat.
"Apa benar?" tanyanya. "Apakah kau ingat benar-benar"
Apakah kau tidak salah?"
"Pasti tidak salah!" sahut Mo Lek. "Apakah suheng ingat"
Ketika itu aku menyamar jadi kacungnya Sin Cecu, selagi lainlain
orang berkumpul di dalam taman, aku bersama lain-lain
kacung berkumpul di istal kuda. Dialah orang yang bersantap
bersama aku pada sebuah meja. Lain-lain orang bicara dengan
gembira, cuma dia yang berdiam saja, karena itu kesanku jadi
kuat sekali. Coba suheng pikir! Kalau dialah orangnya Ong Pek
Thong, dengan beradanya dia di dalam pasukan kita, bukankah
itu berbahaya?"
"Ketika itu, apakah semua orang yang berkumpul denganmu
hamba-hambanya Ong Pek Thong?" Ce In tegaskan.
"Bukan semuanya, ada kacungnya lain-lain cecu lagi..."
Ce In berdiam, tetapi otaknya bekerja keras.
"Semenjak Kwe Leng-kong mendapat tahu An Lok San
berniat berontak," kata ia, "Dengan lantas ia sudah berdaya
mengumpulkan orang-orang gagah, menurut apa yang aku
tahu, Ho Kun adalah yang pertama mendaftarkan diri.
Kelihatannya dia teliti dan setia kepada pekerjaannya, maka itu,
sekarang tak dapat kita lancang mengambil sesuatu terkaan
terhadapnya, terutama tak dapat dipastikan dialah orangnya
Ong Pek Thong. Tanpa bukti, kita tak bisa menuduh dia, atau
kita berlaku sembrono. Urusan kecil jadi diperbesar..."
"Bukan begitu maksudku. Aku ingin memberitahukan kepada
Kwe Leng-kong sendiri," kata Mo Lek.
"Kalau sekarang kita kembali, kita dapat menimbul
kecurigaan orang," kata Ce In. "Kalau dia benar orang jahat,
kita dapat membuat seperti kita menggeprak rumput membuat
ular kaget. Sekarang baik kita atur begini, kita masih dalam
wilayah Kiu-goan, sebentar di sebelah depan, kita singgah di
kantor. Akan aku menulis surat rahasia, minta orang membawa
dan menyampaikan kepada Kwe Leng-kong. Di dalam surat itu
kita beritahukan hal siapa adanya Ho Kun dan supaya dia
diawasi. Surat menyurat dinas hal umum, surat kita tidak bakal
mendatangkan kecurigaan."
Mo Lek anggap suheng itu benar, ia suka menurut.
Kuda mereka dilarikan keras, sebentar lagi mereka tiba di
kantor. Ce In mampir, untuk menulis surat, setelah menutup
rapi, ia suruh pegawai kantor itu lekas menyampaikan ke Kiugoan.
Selesai itu, bertiga mereka melanjuti perjalanan mereka.
Tiga hari kemudian, sampailah mereka di daerah
pengaruhnya An Lok San. Lantas mereka sering melihat
kelompok-kelompok rakyat yang lagi mengungsi, ada orangorang
tua yang dituntun atau anak-anak yang diempo atau
digendong. Suasana tempat sepi dan menyedihkan. Kadang kali juga
terlihat serombongan tentara negeri, yang dikejar-kejar tentara
An Lok San. Kalau melihat tentara An Lok San, bertiga mereka
menyingkir jauh-jauh. Tak mau mereka timbulkan onar di
tengah jalan. Dengan cara demikian, mereka bisa lewat dengan
aman terus sampai di Kim Kee Nia.
Ketika Sin Thian Hiong mendengar berita tibanya ketiga
tetamu, ia menyambut dengan mengajak semua orang
sebawahan serta kawannya, diantaranya Cie Hun melihiat
ayahnya, hingga in girang bukan kepakmu. Tidak tempo lagi, ia
lompat turun dari kudanya, akan lari kepada oiang lua itu.
"Ayah! Ayah!" ia memanggil-manggil "Oh, ayah sudah
kembali' Han Tam tertawa, dia menarik tangan pulennya.
"Aku memang kenal tabiatmu, kau paling gemar mengacau'''
lata ayah itu. "Kau paling bisa membuat orang bergelisah! Baru
kemarin duJu aku kembali lantas pamanmu membilangi bahwa
kau sudah minggat' h .m tahu, kau membuat aku kaget sekali!"
Si nona menjebi pada Thian Hiong
"Paman, mengapa kau mengatakan ilnnikian?" ia menyrsali
"Bukankah ketika aku berangkat telah aku memberitahukan
paman?" Thian Hiong tertawa.
"Aku cuma bergurau dengan ayahmu'" .sahutnya.
"Sebenarnya, kenapa hari itu kau demikian kesusu" Sesudah
kau menunggang kuda, baru kau bicara denganku, aku lihat
romanmu gelisah aekali! Ingat kelakukanmu hari ini, sekarang
aku mau tertawa! Coba kau pikir mana dapat aku menolak
padamu, untuk mencegah kau pergi?"
Han Tam tertawa.
"Syukur kau berangkat bersama Tiat Hiantit, kalau tidak,
entah berapa besar kekuatiranku!" kata ayah ini.
Kemudian ia bicara dengan Ce In dan Mo lek, yang pada
memberi hormat padanya, habis itu, ia pegang tangannya Tiat
Siauw-cecu, untuk berkata, "Hiantit, kau sudah jadi begini
jangkung,! Sungguh kau pemuda yang gagah, yang membuat
orang gembira!"
Dilain pihak, orang tua itu masih memegangi tangan
gadisnya, hingga Mo Lek menjadi likat.
Melihat demikian, Ce In kata di dalam hati, "Harap saja
jodoh mereka terangkap dengan lurus dan menyenangkan,
jangan seperti jodohku dengan Leng Song yang banyak
penderitaannya..."
Setelah bertemu dengan semua orang, Ce In mendapatkan
di bentengnya Thian Hiong berada pula beberapa orang baru,
seperti Touw Pek Eng dan Hu Leng, jago pengembara dari
Siamsay Selatan, yang semua menjadi sahabat karibnya,
hingga pertemuan itu sangat menggirangkan mereka.
Setelah orang bicara maka sekarang ternyata Han Tam turun
gunung, kesatu guna menjenguk sahabat dan kedua buat
mencari tenaga-tenaga baru untuk Kim Kee Nia.
Gunungnya Sin Thian Hiong terpisah dekat dari Liong Bin
Kok, jago tua she Han itu telah menduga Ong Pek Thong bakal
bergerak, jadi ia bersedia payung buat sahabatnya itu, supaya
sembarang waktu mau gerakannya pihak Ong dapat dilayani.
"Sekarang ini keadaan genting, kenapa kamu dapat
meninggalkan Kiu-goan?" tanya Thian Hiong heran pada kedua
tetamunya. "Kenapa Kwe Leng-kong dapat mengijinkan kamu
pergi?" "Itulah berhubung dengan urusan yang hendak aku
bicarakan," sahut Ce In. "Mari kita bicara di dalam."
Sin Thian Hiong mempersilahkan kedua tetamunya masuk,
untuk duduk berkumpul di ruang Cie-gie-thia. Di sini Ce In
tuturkan rencananya Kwe Cu Gie untuk menghadapi
pemberontakan An Lok San, supaya Kim Kee Nia dapat
menghajar Liong Bin Kok.
"Aku setuju!" Thian Hiong memberikan persetujuannya. "Han
Lo-cianpwe kenal Liong Bin Kok baik sekali, buat menerjang
saja, tepatlah lo-cianpwe yang menjadi kunsu kami!"
Semua orang setuju. Memang tepat Han Tam menjadi
kunsu, ahli pemikir.
Karena ini, segera mereka berunding lebih jauh,
membicarakan rencana penyerbuan atas Liong Bin Kok. Harinya
ditetap tiga hari setelah itu.
0odwo0 Hee Leng Song telah diculik oleh Liong Kek, dia dikurung di
dalam sebuah kamar dimana ia mesti menungkuli diri. Ketika
itu hari ia diculik, ia lagi beristirahat, tiba-tiba kamarnya
dimasuki empat orang la terkejut dan heran.
Orang yang pertama ia kenali, ialah Ceng Ceng Jie. Orang
yang kedua bukan lain daripada Ong Liong Kek sendiri. Orang
yang ketiga ia tidak kenal. Dialah seorang tosu atau imam yang
romannya aneh, yang tubuhnya jangkung dan kurus. Yang
paling mengherankan ialah orang yang keempat. Dialah Seegak
Sin Liong Hong-hu Siong!
Yang sangat berkesan pada Leng Song ialah peristiwa
sedetik itu. Begitu Hong-hu Siong muncul, begitu ibunya
menjerit kaget, mukanya lantas menjadi pucat pasi. Ibunya
kaget seperti melihat hantu jahat atau binatang liar yang galak!
Ibu itu kaget, jeri dan gusar menjadi satu. Ibu itu menampak
jeri hingga ia seperti sangat mengharapi datangnya penolong...
Sudah dua puluh tahun Nona Hee berkumpul bersama
ibunya, belum pernah ia menyaksikan ibunya demikian kaget,
takut dan gusar dan putus asa. Ketika itu dengan sendirinya ia
lompat sambil menghunus pedangnya, menyerang pada Honghu
Siong. Akan tetapi, belum ia berhasil menikam, hidungnya sudah
mendapat cium serupa bau harum yang aneh, lantas tenaganya
hilang sendirinya, tubuhnya menjadi lemah, kepalanya pusing,
matanya berkunang-kunang. Ia cuma merasa ingin
merebahkan diri dan tidur.
Didalam keadaan samar-samar itu, ia melihat Ong Liong Kek
mendekati padanya. Justeru itu, ia mendengar jeritan ibunya.
Ia masih dengar si ibu kata pada Hong-hu Siong, "Aku larang
kau bicara sekalipun pada anak Song!"
Menyusul itu terdengar bentrokan pelbagai senjata, golok
bentrok dengan pedang. Setelah itu, ia tak sadarkan diri.
Ketika kemudian ia mendusin, ia sudah berada di dalam
kamarnya ini. Mulanya ia kaget dan berkuatir, sesudah merasa
tubuhnya tak kurang suatu apa, baru hatinya menjadi sedikit
lega. Hanya itu waktu, tetap ia kehilangan seluruh tenaganya, ia
rebah di atas pembaringan tanpa berdaya. Sudah beberapa hari
ia dikurung di dalam kamar itu, sudah beberapa kali juga Ong
Liong Kek muncul, saban-saban ia mendamprat pergi padanya.
Nona Hee sedang masgul dan mendongkol tempo kerai
disingkap dan Liong Kek bertindak masuk. Ia terkejut, ia
mendongkol, hingga ia mengertak gigi. Segera ia memutar
tubuhnya, membaliki belakang, untuk tak memperdulikan.
Tiba-tiba terdengar tertawanya pemuda she Ong itu.
"Kau sudah berada di sini beberapa hari, apakah
kemurkaanmu masih belum lenyap juga?" demikian tanyanya.
"Ya, semua ada salahku, tanpa ijin dahulu dari kau, aku telah
lancang membawa kau kemari. Tapi, baiklah kau mengerti, hal
ini aku lakukan sebab aku sangat menyukai kau. Maka itu,
sudah selayaknya saja kau memaafkan aku! Eh, apakah
dadamu masih terasa sesak" Tak apa! Buat sementara belum
dapat aku memberikan obat untuk menyembuhkannya. Tapi
sekarang aku membawakan kau Liong-yan-hio, yang asapnya
dapat menyadarkan otakmu. Asal kau dapat mencium hio ini,
kau tentu akan merasa enak sekali..."
Leng Song berdiam. Tak usah lama, lantas hidungnya dapat
mencium asap, yang berbau harum. Benar sekali, hatinya
lantas terasa lega. Meski demikian, ia tetap tidak mau
menghiraukan pemuda itu.
"Nona Hee," terdengar Liong Kek berkata pula, "Apa pun kau
ingin aku lakukan, dapat aku lakukan, cukup asal kau suka
bicara denganku!"
Dalam gusarnya itu, si nona kata keras, "Jangan kau
mengangkat-angkat membaiki aku! Aku lebih suka kau
kuningkan batang leherku!" Liong Kek tertawa pula.
"Kenapa kau begini gusar terhadapku?" tanyanya. "Apakah
kau kira aku mengundang kau datang kemari untuk aku
membunuhmu" Tidak! Kau jangan kuatir! Meski aku mati tak
nanti aku tega melukai kau! Apa yang aku ucapkan padamu
keluar dari hatiku yang jujur!"
Mendadak si nona memutar tubuh.
"Bagus! Bagus kata-katamu ini!" katanya, keras. "Aku mau
tanya kau, kenapa kau tidak pertemukan aku dengan ibuku?"
Liong Kek memegang kipas, ia goyang-goyang itu.
"Ibumu tidak ada di sini," sahutnya halus. "Tapi, setelah kita
berdua menikah, pasti kau bakal dapat menemui ibumu..."
"Tidak tahu malu!" bentak si nona. "Dengan beginikah kau
hendak mengancam aku?"
"Nona Hee, dengan setulusnya aku meminang dirimu," kata


Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pula Liong Kek. "Aku minta kau jangan salah paham. Tentang
ibumu, jangan kau buat kuatir. Ibumu berada di satu tempat
lain, buat sementara, tidak ada niatnya datang ke lembah Liong
Bin Kok, ini, tetapi, begitu lekas kita berdua menikah, dia tentu
akan datang kemari guna menyaksikan puterinya menikah, dan
akan menemui baba mantunya!"
Leng Song gusar hingga mukanya menjadi merah dan
alisnya berdiri.
"Hm! Kau hendak memaksa kawin denganku!" katanya.
"Kalau begitu, kaulah si kodok buduk yang mimpi ingin gegares
daging angsa khayangan! Biarnya tubuhku hancur lebur, tidak
nanti aku menikah denganmu!"
Sedari tadi Liong Kek berdiri dengan romannya ramah tamah
dan sikapnya halus, ia berlaku sabar dan lunak, akan tetapi
sekarang, mendengar suara si nona, parasnya menjadi pucat
lalu guram. Ia menungkuli hati dengan menggoyang-goyang
kipasnya. Baru selang beberapa detik, ia mengasih dengar
suaranya yang dingin.
"Nona, apakah kau tidak mau berpikir sejenak?" tanyanya.
"Kalau benar seperti katamu akulah si kodok buduk yang ingin
makan daging angsa khayangan, pastilah sudah sedari siangsiang
daging telah masuk ke dalam mulutku! Kau harus ingat,
kau telah berada di dalam genggamanku, apa juga aku hendak
bikin atas dirimu, dapat aku lakukan! Tapi sebab aku
menghormati kau, karena aku menyinta padamu, karena aku
ingin kita menjadi pasangan suami isteri yang paling manis,
maka aku tidak mau berlaku keras memaksa kau! Nona, kau
ingatlah baik-baik, biar bagaimana kita pernah bersahabat, kita
pernah saling menyukai! Nona, kenapa sekarang kau begini
membenci aku?"
"Aku telah mempunyai tunanganku, kau bukannya tidak
tahu!" kata si nona sengit. "Kau tahu aku telah bertunangan
dengan Lam Ce In, toh kau culik aku dan membawa aku
kemari" Apakah dengan begitu bukannya kau menghina aku"
Jikalau kau mau bicara dari hal persahabatan, lekas kau
merdekakan aku, supaya aku boleh pergi dari sini! Dengan
berbuat demikian mungkin kau bakal membuat kurang sedikit
dari kebencianku!"
Liong Kek ingin merebut hati si nona, ia berpikir untuk
berlaku sabar, biar orang mencacinya, tak mau ia bergusar,
akan tetapi sekarang, ia mendengar disebutnya nama Lam Ce
In. Inilah lain. Tak dapat ia terus menerus menyabarkan diri.
Parasnya berubah menjadi merah sedang kipasnya ia banting
ke lantai! "Didalam hal apa aku kalah dari si orang she Lam?" katanya
keras. "Dia cuma sebawahannya Kwe Cu Gie! Apa dia dapat
buat" Dia cuma menggunai golok atau pedangnya untuk
mendapatkan nama kosongnya dalam dunia Kang Ouw! Dia tak
mengenal keramahan tak tahu akan asmara! Apakah yang
berharga dari dia hingga kau demikian jatuh hati terhadapnya"
Laginya, aku mengenal kau lebih dahulu daripadanya! Kita
pernah bersahabat erat! Sekarang kau menggeser cintamu,
mana aku mau mengerti?"
Selagi orang bergusar dan menumpahkan itu, Leng Song
sebaliknya berdiam saja. Ia berlaku tenang sekali. Ia menjadi
ingat segala peristiwa yang telah lalu.
Pada tujuh tahun dulu, ketika pertama kali Leng Song
muncul dalam dunia Kang Ouw, pernah satu kali di tengah jalan
ia berpapasan dengan sepasukan tentara negeri. Opsir pasukan
itu melihat ia cantik, dia hendak mempermainkannya.
Disaat ia hendak menyerang opsir itu, di situ lewat seorang
muda, yang mencegah si opsir berlaku kurang ajar. Dengan
begitu ia ditolong dari keruwetan. Pemuda itu ialah Ong Liong
Kek. Tatkala itu ia belum tahu tentang dirinya Ong Liong Kek, ia
menyangka dialah seorang pemuda gagah dari keluarga
berkenamaan, diam-diam ia jatuh hati terhadapnya. Ia percaya
dia karena r5mannya yang ganteng dan gagah dan halus
gerak-geriknya. Semenjak itu, berdua mereka bersahabat,
sering keduanya berjalan bersama.
Ia belum berpengalaman, Liong Kek banyak memberi
petunjuk padanya. Kemudian Liong Kek membantu ia
menyingkirkan seorang opsir rakus dan dua okpa, jago yang
jahat. Maka ia semakin percaya si pemuda ialah pemuda
pengembaraan yang mulia hatinya. Hanya selama itu belum
mereka omong tentang cinta dan perihal pernikahan.
Kemudian mereka berpisah. Itulah sebab Liong Kek mesti
pulang, guna membantu ayahnya membangun usaha besar,
untuk mana, mereka bentrok dengan Keluarga Touw.
Sampai waktu itu, tetap ia belum ketahui hal diri si pemuda.
Lalu tiba saatnya Ong Liong Kek memegat Toan Kui Ciang di
Loan Cio Kong dimana dia kena dikalahkan Lam Ce In.
Mengetahui kejadian itu, ia mulai melihat siapa si pemuda.
Kemudian terjadilah penyerbuan, pada Liong Bin Kok, hingga
terbuka rahasia Keluarga Ong bersekutu dengan An Lok San,
kejadian itu membuat ia berduka dan putus asa.
Sekarang," di saat Liong Kek berlaku keras dan membangkitbangkit,
Leng Song ingat semua peristiwa lama itu. Ketika si
anak muda masih saja mengudal rasa hatinya, ia menjadi tidak
puas. Ia mengangkat kepala dan kata tegas, "Kau benar! Sama
sekali kau tak dapat dibandingkan dengan Lam Ce In!"
Liong Kek melengak.
"Kenapa aku tak dapat dibandingkan dengannya?" dia tanya,
suaranya keras. "Akulah siauw-bengcu, ketua muda, dari Ikatan
Rimba Hijau! Aku lagi membangun usaha besar! Dia... dia
makhluk apa?"
"Dialah seorang gagah yang hatinya mulia!" sahut si nona
berani. "Dia biasa membantu si lemah tak berdaya! Dia lagi
bekerja untuk negara dan rakyat! Kau sebaliknya! Kau
berkongkol dengan bangsa Tartar! Kau biasa mencelakai rakyat
jelata! Kau bukanlah makhluk yang baik! Mana dapat kau
dibandingkan dengannya?"
Liong Kek gusar sampai di puncaknya. Akan tetapi, setelah
matanya berputar, sekonyong-konyong dia tertawa bergelak.
"Kau benar-benar berpandangan cupat sebagai wanita!"
katanya "Apakah kau pernah membaca sejarah?"
"Aku cuma membandingkan kamu berdua!" kata si nona.
"Apakah hubungannya kamu dengan sejarah?"
Liong Kek menjemput kipasnya, ia menggoyang-goyangnya.
Dengan cara itu ia mencoba menekan hawa amarahnya.
"Bukankah kau memandang persekutuanku dengan bangsa
Tartar sebagai suatu dosa besar?" katanya kemudian,
sebisanya bicara dengan sabar. "Apakah kau tak tahu contoh
dari kaisar-kaisar dahulu yang meminjam bantuan bangsa asing
untuk merebut negara" Umpama kata kau belum pernah
membaca sejarah, kau t6h ketahui lelakonnya kerajaan kita
sekarang. Tempo Lie Yan ayah dan anak bersaing dengan
pelbagai raja muda memperebuti Tionggoan, dia pernah
menghamba kepada bangsa Turk, dia telah kirim Lauw Bun
Ceng utusannya kepada Khan dari Turki, menjanjikan akan
menyerahkan kepada Khan itu semua wanita, kemala dan cita
yang dia peroleh sebagai hasil kemenangan perangnya. Justeru
karena mendapat bantuan Turki itu, kemudian Lie Yan berhasil
menjadi Kaisar pertama dari Kerajaan Tong sekarang ini!.
Sekarang aku berserikat dengan An Lok San, itulah tak lebih tak
kurang karena pihakku menelad Lie Yan! Untuk sementara aku
meminta bantuannya, akan tetapi nanti, setelah aku berhasil,
dapat aku membasmi dia, supaya aku sendirilah yang
mengangkangi Kerajaan Tong! Ha, ha! Itu waktu maka aku
akan jadi sama dengan Thay Cong Hongtee Lie Sie Bin, aku
menjadi satu raja yang membangun negara! Mana kau ketahui
cita-citaku yang besar dan luhur itu" Sekarang kau mencaci
aku, bukankah itu menyatakan pandanganmu yang cupat
seperti pandangan wanita biasa?"
Liong Kek pandai bicara, dia percaya dapat dia menakluki
Leng Song. Tapi diluar dugaannya, si nona menyambutnya
dengan tertawa dingin. Dia justeru dipandang semakin rendah.
"Oh, kalau begitu, maaf, maaf, aku kurang hormat
terhadapmu!" kata si nona, mengejek. "Jadinya kau mempunyai
cita-cita demikian besar dan luhur! Menyesal aku yang rendah
belum pernah membaca buku sejarah! Walaupun demikian, aku
toh ketahui satu hal! Siapa mencelakai rakyat jelata dialah si
jahat dengan sepuluh kedosaan tak berampun! Sedang seorang
yang memandang bangsat sebagai ayahnya dialah si
pengkhianat yang setiap orang dapat membunuhnya!"
Itulah tak disangka Liong Kek. Dia menyangka si nona akan
menjadi kagum dan takluk, tak tahunya, dia justeru dicaci
habis-habisan. Belum pernah dia dicaci sebagai ini, maka itu
mukanya menjadi merah padam, matanya menjadi merah.
Saking malu, dia menjadi gusar. Mendadak dia maju satu
tindak, dia tertawa sebagai hantu!
"Bagus, ya, bagus!" katanya sengit. "Jadinya aku di mata kau
ialah orang jahat dengan sepuluh dosa tak berampun! Kalau
begitu, buat apa aku bicara banyak lagi denganmu! Karenanya
aku cuma dapat menggunai caranya si orang jahat untuk
menghadapi kau! Ha, ha, ha! Nona Hee, ini yang dibilang arak
kehormatan ditampik, arak hukuman diterima!"
Lantas pemuda ini membungkuk, kedua tangannya
dipentung. Hendak dia merangkul nona manis yang tak berdaya
itu. "Bagus!" berseru Leng Song, yang tak dapat berontak.
"Sungguh kau gagah perkasa! Hm, manusia rendah yang tak
tahu malu!"
Mendengar itu. Liong Kek malu dan mendongkol sekali, dia
mengawasi tajam. Ketika sinar matanya beradu dengan sinar
mata si nona, dia melihat nona itu memandang enteng
kepadanya. Sinar mata si nona tajam dan berpengaruh! Tanpa
merasa, hatinya bercekat, hingga timbul keragu-raguannya.
Karena itu, batal ia merangkul nona itu.
Untuk sejenak, pemuda ini mengertak gigi. Tak dapat dia
menyerah, tapi berat untuk dia meninggalkan si nona. Masih
dia berdiam ketika tiba-tiba dia mendengar satu tertawa dingin,
perlahan tapi tegas. Orang yang tertawa itu seperti berada di
sisinya! Dia mengawasi Leng Song, dia mendapatkan nona itu rebah
di atas pembaringan dengan matanya lagi mengawasi padanya,
mulutnya tertutup rapat, bibir atau pipinya tak meninggalkan
bekas habis tertawa. Dia menjadi heran. Terang itulah bukan si
nona yang tertawa...
"Siapa itu di luar?" dia membentak.
Tidak ada jawaban. Ada juga jawaban yang berupa tertawa
dingin seperti barusan!
Kembali hati Liong Kek bercekat. Tanpa merasa, dia menjadi
jeri. Tak dapat dia berdiam lebih lama di dalam kamar itu. Mau
atau tidak, dia lompat meninggalkan si angsa khayangan. Dia
menyingkap tirai, untuk lompat keluar.
Leng Song bernapas lega.
"Sungguh berbahaya..." katanya di dalam hati.
Ia pun bingung. Ia juga telah mendapat dengar dua kali
tertawa dingin itu. Ia tidak mengerti. Siapa itu yang mengasih
dengar tertawanya" Kenapa datangnya demikian tepat, di saat
ia terancam bahaya"
Dengan berlalunya Liong Kek, kamar menjadi sunyi. Dari
sebelah luar juga tidak terdengar apa-apa.
Adalah berselang sekian lama, di luar itu terdengar tindakan
kaki. Sendirinya, Leng Song terkejut pula, hingga hatinya
menjadi tidak tenang. Ia menduga kepada Ong Liong Kek, yang
balik kembali. Selagi ia memasang mata ke arah tirai, Leng Song melihat
satu rubuh berkelebat masuk bagaikan bayangan, begitu lekas
ia sudah melihat tegas, ia menjadi heran.
Yang datang itu Ong Yan Ie, adiknya Liong Kek! Leng Song
membenci sangat Keluarga Ong, maka itu, terhadap Yan Ie ia
tidak berkesan manis. Ia mengawasi nona itu dengan sikapnya
sangat dingin, mulutnya tertutup rapat.
Yan Ie sebaliknya. Nona ini memperlihatkan wajah berseriseri.
Tak nampak sedikit juga bahwa ia bermaksud buruk.
Hanya mendapatkan orang bersikap demikian tawar, ia agak
heran. Dengan bersenyum pula, ia bertindak menghampirkan.
"Ende Hee," ia menyapa, manis, "Kakakku berbuat kurang
ajar terhadap kau, tidak heran jikalau kau menjadi gusar, maka
itu sekarang aku datang untuk menghaturkan maaf kepadamu!"
Leng Song heran akan tetapi ia tertawa dingin. "Baru saja
aku mencaci habis kakakmu itu, yang ngeloyor pergi seperti
anjing menggoyang ekor!" katanya. "Sekarang kau datang ke
mari, apalagi kau hendak pertunjuki" Hm! Kamu dua saudara,
yang satu berbuat buruk, yang lain bersikap manis! Dapatkah
kamu menipu aku?"
"Encie, aku minta encie jangan mencurigai aku," berkata Yan
Ie. Ia merasa tidak enak hati akan tetapi ia menyabarkan diri.
Ia dapat mengerti kemurkaan si nona.
"Dengan setulusnya hati aku datang menghaturkan maaf
kepada encie. Bahkan aku juga memikir untuk menebus dosa
kakakku itu..."
"Hm!" bersuara Nona Hee sengit. "Kau hendak menebus
dosa kakakmu itu" Bagaimanakah caranya" Hm! Aku kenal kau!
Telah aku mendengar kaulah si hantu wanita cilik yang biasa
membunuh orang tanpa mata berkedip! Baik kau keluarkan
kepandaianmu yang dahulu kau pertunjuki sewaktu kau
membunuh lima saudara Touw! Kau'bunuhlah aku! Dengan
membunuh aku sekarang, tak usahlah selanjutnya aku
menderita dari kamu, supaya tak usahlah aku menyaksikan lagi
lagak kamu bangsa menjemukan!"
Parasnya Yan Ie berubah menjadi pucat. Hebat cacian itu.
Tapi ia bukannya gusar, sebaliknya air matanya meleleh turun.
Ia lantas tunduk, ia berkata perlahan, "Ketika dulu hari itu aku
membunuh kelima paman Touw itu, aku melakukan itu karena
kehendak ayahku. Kalau aku ingat itu, sekarang pun aku
merasa sangat menyesal. Akan tetapi bicara sebenarnya,
kelima paman itu pantas menerima kematiannya, cuma tidak
selayaknya aku yang membunuh mereka. Encie, mengenai
urusan itu, tak dapatkah kau memaafkan aku?"
Sebenarnya juga, mengenai kelima saudara Touw itu, Leng
Song sendiri tidak mempunyai kesan terlalu baik, kalau ia toh
menyebut-nyebut mereka, itu melainkan sebagai bukti akan
ketelengasannya nona she Ong ini. Sekarang, mendengar si
nona, ia menjadi heran. Ia melihat orauj; bersikap bersungguhsungguh.
"Sudahlah!" katanya, "Tak usahlah kau menjadi si kucing
yang berpura murah hati terhadap si tikus tua! Kau telah
membunuh mereka itu, terserah kepada kau sendiri, kau mau


Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyesal atau bergirang! Urusanmu itu tidak ada sangkut
pautnya dengan aku! Sekarang lekas kau omong tenis terang!
Kakakmu memerintahkan kau datang ke mari, apa maksudnya"
Kau... kau hendak berbuat apakah" Hendak aku menyatakan
singkat kepadamu, aku tidak dapat menerima apa juga! Sia-sia
kau mengancam aku dengan golok atau pedang atau racun
atau kata-kata manis seperti madu!"
"Akulah adik kakakku itu, tak heran kau tidak dapat lantas
percaya aku," berkata Nona Ong. "Tapi hendak kau
menjelaskan kepada kau bahwa aku datang ke mari bukan
karena titah kakakku. Aku datang alas kehendakku sendiri.
Encie tanya aku - aku hendak berbuat apakah" Datangku ini
ialah untuk membantu encie menyingkir dari sini. Nah, encie,
apakah sekarang kau percaya aku?"
Nona Hee melengak. Inilah aneh.
"Kau hendak menolongi aku menyingkirkan dari sini?" ia
tanya "Ah! Apakah kebaikannya itu untukmu" Denganmu tak
dapat aku bersahabat!"
"Jadinya encie ingin ketahui apakah kebaikannya bagiku
dengan menolongi encie menyingkir dari sini?" Nona Ong
menegaskan, "baiklah, nanti aku beritahu! Aku tahu encielah
tunangan dari Lam Tayhiap, maka itu hendak aku mohon
pertolongan kau! Encie, apabila nanti kau telah bertemu dan
berkumpul dengan Lam Tayhiap, tolong kau menyampaikan
sepalah dua patah kata-kataku terhadapnya..."
"Ah, inilah lebih aneh pula!" kata Leng Song, heran sekali.
"Apakah yang kau inginkan aku menyampaikan kepadanya?"
Mukanya Yan Ie menjadi merah. Biar bagaimana, dia jengah.
"Aku cuma mohon kau menjelaskan kepada Lam Tayhiap
tentang segala sesuatu urusan di sini," katanya terpaksa. "Aku
ingin biarlah Lam Tayhiap mendapat tahu bahwa aku bukanlah
si orang jahat yang tak dapat tertolong lagi. Cukup dia
mengetahui ini!"
Biarnya Leng Song cerdas, ia toh bingung. Aneh Nona Ong
ini! "Kenapakah dia hendak mendapatkan kesan baik dari Engko
Lam?" tanyanya di dalam hati. "Kenapa dia nampak masgul
begini rupa?"
Coba Leng Song tidak sangat percaya Ce In dan ketahui baik
di antara Ce In dan Yan Ie tidak pernah ada hubungan sesuatu,
mungkinlah ia bercuriga dan bercemburu atau menduga
sesuatu. Tengah Nona Hee ini berdiam dalam keragu-raguannya itu,
Yan Ie mengeluarkan dari sakunya sebuah botol kecil terbuat
dari perak, yang isinya ialah barang cair berwarna dadu. Sambil
mengangsurkan itu, dia kata, "Encie Hee, kau telah kena
makan obat bius Cui Bie Hio yang membuat orang lemas
selama seribu hari. Inilah obat untuk memunahkan itu. Obat ini
aku telah curi dari kakakku."
Leng Song mengawasi. Ia sangat bersangsi.
"Kau telah mencuri obat untukku?" katanya. "Apakah dengan
begitu kau tak takut nanti digusari ayah atau kakakmu itu?"
"Mengenai itu, tak usah encie memperdulikan aku," sahut
Yan Ie. "Sekarang ini lekas encie makan ini obat, lalu lekasTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
lekas kau pergi menyingkir. Kalau kau menanti sampai kakakku
mendapat tahu bahwa aku telah mencuri obatnya, pasti sudah
tak nanti kau dapat berlalu dari sini!"
Melihat sikap orang demikian mendesak, Leng Song justeru
menjadi bercuriga.
"Dengan perbuatanmu ini, kau jadinya membuat dirimu
bakal bentrok dengan saudaramu cuma sebab urusan seorang
yang tiada sangkut pautnya denganmu!" katanya tawar. "Kau
telah menentang, memusuhkan kakakmu itu! Hm! Tidak
kusangka bahwa kau begini baik hati! sKiranya si harimau tua
juga dapat bermurah hati!"
Yan Ie nampak bingung sekali, ia menjadi bergelisah.
"Bagaimana kau kehendaki supaya kau dapat mempercayai
aku?" dia tanya. "Ah, kau tidak tahu aku! Aku..."
Dengan mata dibuka lebar, Leng Song memandang nona di
depannya itu. "Kau... kau mau apa sebenarnya...?"
Justeru itu dari luar kamar terdengar suara memanggil,
"Nona! Nona!"
Suara itu sangat mendesak. Itulah suaranya seorang budak
dari Yan Ie. Rupanya telah terjadi sesuatu yang penting.
Nona Ong terkejut. Tapi ia masih sadar. Maka ia letaki
botolnya itu di sisi Leng Song.
"Kau tidak percaya aku, terserah kepada kau!" katanya,
cepat. "Kau mau makan obat ini atau tidak, juga terserah
padamu! Bukankah kau hendak mencari kematianmu" Baik, kau
anggaplah obat ini sebagai racun!"
Habis berkata begitu, nona ini lantas pergi keluar dengan
cepat. Leng Song bengong mengawasi orang berlalu, lalu ia
mengawasi ke arah obat. Ia heran untuk tingkahnya Yan Ie itu,
yang sangat kesusu atau gelisah, yang romannya mendongkol
tetapi pun masgul. Sungguh sulit untuk menerka hati orang,
apapula hati seorang nona...
"Ah, dia benar!" kemudian nona itu kata di dalam hatinya.
"Taruh kata benar obat ini sebetulnya racun, untukku toh tetap
tinggal satu kematian! Dengan meminum obat ini tidak nanti
aku bakal lebih menderita daripada penderitaanku sekarang
ini!" Tak dapat Leng Song berbangkit. Syukur kedua tangannya
masih dapat digeraki walaupun dengan sangat perlahan. Ia
mencoba menggeraki juga tubuhnya, ia mengulur kedua
tangannya. Dengan banyak susah bisa ia memegang peles obat
itu, untuk terus dibuka tutupnya.
Segera ia mendapat cium bau yang harum yang
menyegarkan. Hanya beragu-ragu sedetik, segera ia cegluk isi
peles perak itu.
Yan Ie di lain pihak sudah lantas menemukan budaknya yang
memanggilnya. "Apakah kau bertemu dengan kakakku?" dia tanya. Itulah
pertanyaannya nanti kepergok kakak itu.
"Siauw-cecu sudah pergi ke ruang depan!" menyahut si
budak. "Katanya ada tetamu datang..."
Yan Ie tahu yang selama beberapa hari ini telah datang
orang-orang Rimba Hijau, toh hatinya tak tenang.
"Habis kenapa kau begini bergelisah?" dia tanya.
"Yo Congkoan telah menyampaikan titah kepada lo-cecu,"
sahut budak itu, menerangkan, "Supaya lo-cecu pun
menitahkan nona keluar untuk menemui tetamu itu! Yo
Congkoan pernah mencari sendiri pada nona!"
Yan Ie heran sekali.
"Tetamu siapa itu yang agaknya seorang tetamu besar?" ia
menerka-nerka. "Kenapa ayah sampai mencari aku" Bukankah
kakak sudah ada di depan" Kenapa aku dicari juga?"
Lantas ia kata, "Baik, akan aku pergi keluar! Tapi ingat, kau
jangan beritahukan siapa juga bahwa aku telah datang ke
mari!" Budak itu mengangguk.
-oo0dw0oo- Jilid 17 Lantas si nona bertindak cepat. Tiba di depan, ia berhenti di
belakang pintu angin. Segera juga ia menjadi tercengang.
Tetamu yang datang terdiri dari dua orang. Merekalah
orang-orang yang si nona kenal. Hanya mereka orang-orang
yang kedatangannya tidak disangka-sangka. Merekalah Toan
Kui Ciang serta isteri!
Toan Kui Ciang menjadi menantu Keluarga Touw, ketika
pihak Ong menghancurkan benteng Hui Houw Ce di gunung
Hui Houw San, hingga lima saudara Touw itu menemui ajalnya
secara hebat, pihak Ong telah menerka bahwa nanti satu waktu
dia bakal datang mencari balas.
Hanya setelah berselang tujuh tahun, Ong Pek Thong dan
keluarganya mau percaya dia tak bakal datang. Siapa tahu,
sekarang dia muncul di waktu malam!
Baru sekarang Yan Ie mengerti. Kata dia di dalam hati,
"Pantas ayah menyuruh aku keluar! Kiranya merekalah si
tetamu! Ini sulit! Kalau sampai terjadi bentrokan, bagaimana
dengan aku?"
Toan Kui Ciang mempunyai hubungan sangat erat dengan
Tiat Mo Lek. Inilah Yan Ie ketahui baik sekali. Kalau sekarang
Kui Ciang datang untuk menuntut balas, sukar untuknya tidak
menghadapi tetamu itu. Inilah sulitnya. Maka ia lantas berdiam
saja di belakang pintu angin itu, matanya mengawasi,
telinganya mendengari.
Selama itu terlihat sikap tawar dari Ong Pek Thong.
"Aku numpang bertanya, Toan Tayhiap," kata tuan rumah
itu, "Sekarang ini tayhiap berdua datang ke mari, adalah ini
disebabkan tayhiap mampir karena kebetulan lewat di sini atau
dengan maksud sengaja?"
"Tanpa urusan tidak nanti aku datang menjenguk," Kui-
Ciang menjawab. "Dengan sebenarnya kami datang karena
satu maksud. Kami mempunyai urusan."
Ong Pek Thong tertawa dingin.
"Kalau seorang Kuncu berkata-kata, itulah seumpama
dicambuknya seekor kuda yang larinya pesat!" kata dia.
"Tayhiap, sekarang ingin aku tanya kau, apakah tayhiap masih
ingat akan kata-katamu yang dikeluarkan dahulu hari di atas
gunung Hui Houw San?"
"Apakah yang itu waktu aku katakan?" Kui Ciang tanya.
"Dahulu hari itu di atas gunung Hui Houw San aku tengah
berbicara dengan Touw Lo-toa," menyahut Ong Pek Thong.
"Ketika itu kau, Toan Tayhiap, sebagai orang bukan orang
Rimba Hijau, kau telah mengatakan bahwa kau tidak mau
campur tahu urusan kedua keluarga Ong dan Touw. Kemudian
kau berdua isterimu telah mengadu silat dengan Khong Khong
Jie dengan membuat perjanjian. Hal itu telah diketahui dan
diterima baik oleh isterimu juga. Janji itu ialah, siapa menang
dan siapa kalah, urusan ialah urusan kamu dengan Khong
Khong Jie seorang, kamu tidak bakal memusuhkan Keluarga
Ong. Bukankah demikian kata-katamu sewaktu itu?"
Kui Ciang bersikap keren.
"Ong Cecu," ia kata, tawar, "Mengapa tanpa menanya tegas
lagi kau lantas menyangka kami datang ke mari guna menuntut
balas untuk Keluarga Touw itu" Mustahilkah kecuali urusan itu
aku Toan Kui Ciang tidak dapat datang kemari?"
Pek Thong tercengang. Tapi dialah seorang yang
berpengalaman dan licik. Hanya sejenak, lantas dia tertawa
terbahak. "Maaf!" katanya. "Kalau begitu teranglah aku si orang tua
keliru mengerti! Aku bersyukur yang tayhiap sudi menganggap
aku si orang tua sebagai sahabat, sehingga kau sudi datang
menjenguk aku! Sungguh, bagaimana aku beruntung! Anak
Liong, lekas menyuguhkan teh!"
"Tahan dulu!" berkata Kui Ciang, tawar. "Teh tak diminum
tak apa, itulah urusan tak berarti! Ong Cecu, kembali kau
keliru!" Pek Thong melengak pula.
"Bagaimana, eh?" tanyanya.
"Malam ini kami berdua datang ke mari, kesatu bukan untuk
menuntut balas, kedua bukan untuk mengunjungi sahabat!
Mana berharga aku untuk menjadi sahabat dari cecu!"
Tuan rumah mengawasi.
"Jikalau begitu, untuk urusan apakah Toan Tayhiap datang
ke mari?" dia menanya.
Toan Kui Ciang melirik tajam kepada Ong Liong Kek.
"Aku mempunyai seorang sahabat kekal yang mempunyai
anak perempuan," ia menjawab. "Aku datang untuk anak
perempuan itu! Anak itu telah diculik oleh siauw-cecu kamu,
dibawa ke sini! Sekarang aku minta supaya anak itu
dimerdekakan!"
Liong Kek melengak, tetapi segera dia membuka mulutnya,
"Ngaco belo! Kapannya aku menculik seorang anak
perempuan?"
Parasnya Kui Ciang merah padam, tangannya meraba
gagang pedangnya. y
"Anak Liong!" Pek Thong membentak puteranya. "Di depan
Toan Tayhiap tak dapat kau berlaku kurang ajar!"
Kemudian lantas ia menoleh kepada tetamunya, untuk
meneruskan sambil tertawa manis, "Anakku ini selalu berada di
sampingku. Taruh kata benar satu waktu dia berlalu dari
sampingku, tidak nanti dia sampai menculik anak perempuan
orang! Itulah perbuatan yang merusak martabat! Toan Tayhiap,
mungkin tayhiap telah keliru mendengar kata-kata orang..."
Pek Thong berkata demikian dengan hatinya berpikir keras.
Jadi orang datang untuk Hee Leng Song. Ia bingung juga.
Sebisanya ingin ia menyangkal. Paling dulu ia ingin supaya Kui
Ciang tak tahu jelas akan tuduhannya itu...
Alis sang tetamu bangun berdiri.
"Aku Toan Kui Ciang, jikalau aku tidak tahu pasti, tidak nanti
aku berani datang ke lembah Liong Bin Kok ini!" katanya
nyaring. "Nona itu bernama Hee Leng Song! Sekarang kau
boleh tanya anak mustikamu ini, benar atau tidak dia kenal
Nona Hee itu?"
"Tidak salah!" Liong Kek berkata cepat. "Aku memang kenal
Nona Hee itu! Dia juga sahabatku! Kau mempunyai bukti apa
berani menuduh aku menculiknya?"
"Memang benar!" Pek Thong membenarkan anaknya itu. Ia
tidak menjadi gusar yang si anak mendahului ia menjawab.
"Memang merek.? berdua bersahabat satu dengan lain!
Seorang yang tidak dikenal barulah dapat diculik, tetapi
seorang sahabat, bagaimana dapat dia dibawa lari" Sahabat
seharusnya diundang!"
Kui Ciang tertawa dingin.
"Tanpa penjelasan kamu tentu masih hendak menyangkal!"
katanya. "Pada tanggal dua puluh tujuh bulan yang lalu kamu
menculik si nona dan ibunya dari dusun See Kong Cun di
gunung Giok Liong San! 1 alu pada tanggal empat bulan ini,
Nona Hee sendirian telah dibawa ke lembah Liong Bin Kok ini!
Ketika itu si nona sudah terkena obat bius yang membuatnya
tak berdaya sama sekali! Anakmu itu, dengan menggunai
sebuah joli kecil telah membawa nona itu. Jalan yang diambil
ialah pintu samping di ujung kanan kebun bunga kamu! Benar
atau tidak?"
Pek Thong dan puteranya kaget sekali. Kui Ciang bicara
aaperti dia menyaksikan dengan matanya sendiri kejadian itu.


Kisah Bangsa Petualang Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dalam sekelebatan s
Golok Halilintar 9 Kuda Putih Karya Okt Golok Yanci Pedang Pelangi 4
^