Kisah Pedang Bersatu Padu 2

Kisah Pedang Bersatu Padu Karya Okt Bagian 2


bengis romannya. Bendera itu
berkibar-kibar dengan angkatnya.
Melihat bendera itu. hati Keng Sim bercekat.
Mendadak ia ingat kepada ceritera tentang "Sin Liong
Giok Houw." artinya "Naga Sakti dan Harimau Kumala."
Ia lantas menduga kepada Giok Houw. si Harimau
Kumala. Penunggang kuda yang di tengah itu segera sampai
bersama dua pelopornya itu. si pembawa bendera.
Begitu melihat dia. semua busu menjadi heran. Mereka
menyangka kepala berandal mestinya bertubuh tinggi
besar dan keren romannya. Tidak tahunya, dialah
seorang muda belia, umurnya belum lebih daripada dua
puluh tahun, romannya seperti kekanak-kanakan, cuma
dia benar tampan.
Begitu sampai kepala berandal itu, yang dipanggil
congtocu. atau pemimpin besar, lantas mengangkat
tinggi tangannya dan diulapkan.
"Aku datang terlambat!" katanya nyaring. "Ciu Jiko,
apakah kamu sudah berhasil" Semua itu bingkisan dari
propinsi-propinsi mana?"
Melihat si pemimpin, Bhok Lin tercengang, hingga ia
berseru, "Oh!" Tadinya ia hendak membuka mulut lebih
jauh, atau mendadak Keng Sim menotok urat gagunya
hingga suaranya berhenti tertahan.
79 Siapakah si pemimpin berandal yang muda itu" Dialah
orang yang dikenal Bhok Lin dan Keng Sim. maka juga si
hertog muda kaget. Baiknya Keng Sim sabar, ia dapat
mengambil sikapnya yang tenang, ia mencegah kongtia
muda itu membuka mulutnya.
Penunggang kuda yang muda itu, yang baru tiba.
adalah Siauw Houw Cu. Dialah putera dari bekas
Gilimkun Tongnia Thio Hong Hu.
Karena Thio Hong Hu tidak sudi membantu Kaisar Ki
Tin. yaitu Kaisar Eng Cong. ia telah dibinasakan secara
kecewa dan kejam. Mulanya Siauw Houw Cu berguru
kepada Hek Moko dan Pek Moko, kedua orang India yang
berilmu silat tinggi, yang umumnya dikenal sebagai Hek
Pek Moko, baru kemudian ia menjadi muridnya Thio Tan
Hong. Pada tujuh atau delapan tahun yang lalu. Bhok Lin
melihat Siauw Houw Cu di gunung Chongsan di Tali, di
saat mereka bertemu sama guru mereka. Ketika itu
Siauw Houw Cu baru berumur tiga atau empat belas
tahun, usianya itu berimbang sama usia ini putera Bhok
Kokkong. Sebenarnya Bhok Lin berusia dua tahun
terlebih tua, akan tetapi menurut peraturan rumah
perguruan silat, ia masuk runtunan lebih muda, maka ia
mesti memanggil siauwsuko. yaitu kakak seperguruan
yang kecil. Sama-sama mereka berdua bergaul, mainmain.
mereka akrab sekali satu dengan lain. Semenjak
mereka berpisahan, Bhok Lin sangat mengharap-harap
suko cilik itu, siapa sangka di sini, dalam cara luar biasa
ini. mereka dapat bertemu satu dengan lain, tidak heran
ia menjadi heran dan lantas berseru memanggil. Tapi
Keng Sim berpikir lain, dia lantas mencegah dengan
totokannya itu pada urat gagu. Totokan ini tak diketahui
yang lainnya, sebab perhatian orang lagi ditujukan
80 kepada si kepala berandal yang muda dan tampan itu.
Bhok Lin sebaliknya mendongkol, tapi selagi ia bergusar,
Keng Sim membisiki kupingnya: "Adik Lin. ingat
kedudukanmu! Kaulah hertog muda dan pula tengah
mengantar bingkisan ke kota raja, sebaliknya di sana,
Siauw Houw Cu kepala berandal yang hendak merampas
bingkisan ini! Mana dapat kamu saling memperkenalkan
diri" Jikalau hal ini diketahui umum, ayahmu bisa celaka!"
Hertog muda ini dapat dikasih mengerti, ia
mengangguk, lenyaplah kegusarannya.
Sampai di situ. Keng Sim menotok bebas urat gagu
iparnya itu. Karena ia masih berkuatir, ia memesan pula:
"Kelihatannya Siauw Houw Cu masih memandang kepada
kau, maka kalau sebentar kita bertempur, aku nanti maju
merintangi dia, kau sendiri menyingkir dengan barang
bingkisan kita."
Sementara itu si berandal muda sudah cecatur kepada
pemimpinnya. "Inilah bingkisan ketiga propinsi Kwitang, Kwisay dan
Inlam." katanya. Dan itu Toasuhu menantang buat
bertempur menurut aturan kaum kangouw, yaitu
bertempur satu demi satu. Bagaimana pendapat
congtocu?"
Si pemimpin muda tertawa terbahak.
"Ah. mengapakah begitu rumit?" katanya, lantang.
"Baiklah setiap propinsi mengajukan satu wakilnya, dia
boleh menempur aku, siapa dapat menyambut
seranganku sepuluh jurus, aku akan lepaskan dia lewat
di sini!" 81 Di waktu ia berusia muda, Coa Hok Ciang beradat
keras, setelah sekarang sudah tua, ia sabar sekali, tidak
gampang ia dibangkitkan hawa amarahnya, akan tetapi
mendengar suara jumawa si anak muda, ia jadi berpikir:
"Kau begini muda, berapa tinggi kepandaianmu"
Walaupun kau banyak lipat lebih tangguh dari si berandal
tadi, mungkinkah kau dapat merobohkan aku dalam
sepuluh jurus?" Ia tetap berlaku tenang, ia merangkap
kedua tangannya. Katanya, "Benarlah, gelombang yang
di belakang mendampar gelombang yang di depan,
orang gagah itu asalnya anak muda, aku sendiri sudah
tua tidak berdaya, tetapi biarlah, dengan mengadu
tulang-tulangku yang sudah tua ini, aku menyambut
sepuluh jurusmu!"
Kata-kata itu halus tetapi sebenarnya menunjuki
ketekadan, kepercayaan atas diri sendiri. Siauw Houw Cu
ketahui itu. tetapi ia pun pikir dalam hatinya,
"Mustahilkah kau dapat melayani aku sampai sepuluh
jurus?" Segera juga Coa Hok Ciang memperlihatkan sikap siap
sedianya. Lebih dulu ia angkat tangan kirinya, limajarinya
separuh dikepal, lama jari itu dimadapi ke atas. Inilah
tanda menghormat. Menyusul itu ia mengepal tangan
kanannya, diangkat dengan sikap "tangan
mempersilahkan." tanda pembukaan dari ilmu silat
Siauwlim Pay, sembari berbuat mana, mulutnya
mengucap, "Silahkan!"
Di dalam Siauwlim Pay, gerakan tangan kiri itu
dinamakan "sianciu." atau "tangan baik." dan tangan
kanan itu "okciu," atau "tangan jahat." Hok Ciang berlaku
hormat begini, di satu pihak ia menghormati lawan, di
lain pihak ia mau menunjuki ialah orang dari tingkat lebih
82 tua. dari itu ia mengundang pihak lawan, ialah Siauw
Houw Cu, turun tangan terlebih dulu.
Siauw Houw Cu bersenyum.
"Maaf!" katanya seraya kedua tangannya diadu
bagaikan orang bertepuk tangan. Perlahan gerakannya
itu, agaknya acuh tak acuh, akan tetapi menyusuli
tepukan itu, mendadak tangan yang satu meluncur ke
depan, anginnya mendesir, jari tangannya menyambar ke
muka atau ke dada ke arah jalan darah soankihiat. Sudah
gerakan ini aneh. itu terus dibarengi sama gerakan
tangan kiri, yang menuju ke rusuk di mana ada jalan
darah kibun hiat.
Coa Hok Ciang tangguh dan berpengalaman.
menyaksikan serangan lawan itu. ia bingung juga, tak
dapat ia menduga, lawan sebenarnya hendak menyerang
ia di jurus yang mana
Sebetulnya Siauw Houw Cu telah mempergunakan
ilmu pedang "Pekpian Hian Ki Kiamhoat," ialah ilmu
pedang Hian Ki Itsu. yang mempunyai seratus
perubahan, hanya ini kali ia tidak menggunakan pedang,
ia ubah itu menjadi ilmu silat bertangan kosong, tanpa
senjata. Sudah tentu Hok Ciang menjadi bingung
karenanya. Syukur ia berpengalaman, ia lantas melayani
dengan ketenangan. Ia menekuk tangan kanan ke
dalam, tangan kiri ke luar, kakinya menindak dengan
"Hankee pouhoat." yaitu tindakan "Ayam kedinginan."
lalu ia membebaskan diri dengan tipu "Pekhoo liangci"-
"Burung ho mementang sayap." Itulah gerakan
membebaskan diri sambil membela diri juga, sambil
separuh menyerang.
83 "Bagus!" memuji Siauw Houw Cu. yang sambil berseru
sambil menyerang, atau "Plak! plak! plak!" terdengar tiga
kali suara tangan yang mengenai tubuh, tahu-tahu ahli
silat yang telah berusia tua itu kena disambar tiga kali
beruntun. Hok Ciang kaget dan mendongkol, sambil berseru
keras, ia menyerang dengan "Ciongkun," ialah pukulan
rangsakan yang dahsyat sekali.
Apa yang barusan terjadi itu membuatnya semua busu
terperanjat. Siapa sangka sekejap saja, Hok Ciang kena
diserang, hingga busu ini jadi seperti kalap.
Siauw Houw Cu pun kagum.
Serangannya barusan mengenai lawannya tetapi tidak
secara yang membahayakan, karena serangan itu
diperingan oleh perlawanan. "Pekho liangci " Karena ini,
ia berlaku waspada dan gesit.
Coa Hok Ciang sabar tetapi sekarang ia tidak mau
mengandali kesabarannya itu. Ia menginsafi musuhnya
ini muda tetapi lihay, dari itu daripada membela diri.
pikirnya, ia lebih baik mendesak. Demikian ia sudah
merangsak hebat, hingga sebentar saja sudah lewat tiga
jurus. Segera datangnya serangan dahsyat dari Hok Ciang,
yang terus berkelahi dengan bengis.
Menurut kebiasaan, Siauw Houw Cu mesti
menyambuti, untuk keras melawan keras. Untuk berkelit,
itulah sulit. Hanya aneh Hok Ciang merasakan, selagi ia
menyerang itu, mendadak ada berkelebat sesuatu di
depan matanya disusul sama desiran angin. Yang aneh,
yang berkelebat di depan, angin menyambar dari
84 belakang, sebab sambil dengan kesehatannya
mendahului mengancam, si begal muda sudah melejit ke
samping terus belakang!
Keng Sim melihat gerakan begal lihay itu, ia pun
terkejut. Kali ini Siauw How Cu telah menggunakan ilmu silat
ajarannya In Loei, yaitu "Coanhoa kiauwsu." atau.
"Menembusi bunga, menyiram pohon." Itulah ilmu
kegesitan tubuh yang luar biasa. Keng Sim ketahui ini
ketika dulu, untuk pertama kali ia bertemu dan
bertempur sama le Sin Cu. si nona telah mempermainkan
ia dengan itu ilmu silat yang membuatnya kewalahan.
Karena ini. ia pun menjadi ingat si nona...
Bhok Lin menonton pertempuran dengan mata
terbuka lebar dan mulut menganga. Ia kagum bukan
main menyaksikan Siauw Houw Cu begitu gesit dan lihay,
hampir-hampir ia memperdengarkan seruan dari
pujiannya, syukur Keng Sim keburu mencegahnya.
Selagi menonton terus, Keng Sim dan Bhok Lin melihat
sebelah tangan Coa Hok Ciang melayang, akan tetapi
sebelum hertog muda itu melihat tegas, mendadak ia
mendengar Hok Ciang berseru keras dengan tubuhnya
terhuyung hingga tiga tindak.
Kali ini Siauw Houw Cu menggunakan tipu silat "Itci
Siankang." atau "Tusukan Sebuah Jari Tangan," yang ia
memperolehnya dari Ouw Bong Hu. Ia memapaki
serangan Hok Ciang, ia menusuk telapakan tangan
penyerangnya itu. Hok Ciang tidak menyangka, ia kalah
sebat, telapakan tangannya itu kena tertusuk, maka dia
menjadi kesakitan dan kaget, hingga dia mesti mundur.
Yang hebat sebelah tangannya itu menjadi seperti mati,
85 tidak dapat dia menggerakinya pula. Sedang itu waktu
barulah jurus yang ke lima.
Hok Ciang penasaran sekali, mukanya merah,
romannya sangat gusar, setelah kakinya terpasang tetap,
dia mengawasi dengan bengis.
Siauw Houw Cu melenggak, melihat langit, lalu ia
tertawa lebar. "Sebenarnya hari sudah malam tetapi masih ada sisa
lima jurus lagi." ia berkata, tenang-tenang saja. "Karena
kita sudah menggunakan banyak tempo, baiklah, aku
memberikan ketika untuk kau beristirahat dulu, sebentar
kita mulai pula. Apakah kau sudi aku menguruti
tanganmu."
Hok Ciang melengak. Ia mendongkol kepada lawan
muda ini tetapi ia toh mengagumi untuk hati besarnya
dia itu, untuk sifat laki-lakinya.
"Tidak, tidak berani aku membuatnya kau capai,"
katanya menyeringai. "Asal kau dapat menyambut lima
seranganku. maka ini bingkisan dari propinsi Kwitang
bolehlah kau bawa pergi!"
"Aku kuatir kau nanti tak usah menggunakan lima
jurusmu itu," berkata Siauw Houw Cu, menyahuti.
Hok Ciang tidak menjawab, ia hanya mengerahkan
tenaganya sambil mengusut-usut tangannya yang kaku
itu, ia meluruskan jalan darahnya. Selagi berbuat begitu,
dengan mendadak ia menyerang kepada si anak muda,
dengan jurus yang dinamakan Kepalan Meriam Kiri.
Itulah serangan dengan sepenuhnya tenaga, dengan
tangan kiri yang tidak terluka, serangan itu dibarengi
desirannya angin keras.
86 "Luar biasa!" Siauw Houw Cu mengasi dengar
pujiannya. Ia bukannya mundur, ia bukannya berkelit
juga, hanya ia mengangsurkan kepalannya, menyambut


Kisah Pedang Bersatu Padu Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepalan lawan itu, maka kepalan lawan kepalan: "Duk!"
Itulah namanya adu tenaga, bukan mengadu tipu
daya, maka siapa yang terlebih kuat dialah yang
seharusnya menang.
Hok Ciang kaget bukan main. Ia merasakan sakit pada
kepalannya itu, sebab ia seperti bukan memukul tangan
lawan hanya menghajar besi yang berupa martil,
sakitnya tidak cuma di lima jeriji tangan tetapi meresap
ke ulu hati, sedang tangannya itu sendiri lantas
mengeluarkan darah. Akan tetapi ia menahan sakit,
tanpa menanti lagi, ia menyerang pula, dengan tangan
kanannya yang kaku tadi. Untuk ini ia sampai mengertak
giginya. Ia telah menggunakan jurus "Lianhoan twi," atau
"Martil berantai."
Siauw Houw Cu seperti juga tidak menyangkanyangka
bakal diteruskan dihajar secara demikian rupa,
dadanya kena terhajar "Buk!" dan mulutnya
mengeluarkan suara tertahan. Sebab telak sekali
serangan itu mengenai sasarannya.
Bhok Lin tadi melihat tegas sambutan Siauw Houw Cu
kepada serangannya Coa Hok Ciang, ia kenali namanya
jurus sambutan itu. ialah "Liongkun" atau "Kepalan
Naga" dari ilmu silat "Lohan Ngoheng Sinkun" atau
Kuntauw Arhat. Ilmu silat itu si anak muda
memperolehnya dari Hek Pek Moko, dan selama mereka
berdiam di Chongsan, Siauw Houw Cu pernah
mengajarinya padanya. Maka itu. bukannya cuma kaget
87 untuk Hok Ciang, ia pun diam-diam memuji siauwsukonya
itu. Tidak demikian dengan Tiat Keng Sim.
"Celaka Coa Hok Ciang!" keluhnya kaget.
Semua busu bersorak. Nyata sekali mereka melihat
telaknya serangan Hok Ciang, jago mereka itu. Tapi
hanya sejenak, lantas mereka berdiri diam, mata mereka
melongo, mulut mereka terbuka. Sunyi mereka semua
Apakah yang telah terjadi"
Coa Hok Ciang memukul telak ke dada Siauw Houw
Cu, hanya aneh, kepalannya itu lantas seperti tak dapat
ditarik pulang, tubuhnya pun terjerunuk ke depan,
sebagai kena terbetot, maka itu leluasa saja kepalan
Siauw Houw Cu melayang ke pinggangnya, hingga
segera dia roboh berlutut.
Beda daripada tadi-tadinya, sekarang Siauw Houw Cu
menggunakan ilmu yoga dari India, ia membuatnya
tubuhnya, yaitu kulit dan dagingnya, ngelepot ke dalam
dan jadi licin, maski kena dihajar, kenanya tidak
berbahaya. Bahkan dengan itu ia memancing lawan
hingga tubuhnya maju ke depan, supaya merdeka ia
membalas menyerang.
Demikian di jurus ke delapan, robohlah busu yang
tangguh itu. Siauw Houw Cu memandang ke arah pihak lawan.
"Siapa lagi yang hendak melawan aku sepuluh jurus?"
ia menantang. Keng Sim menghunus pedangnya, ia maju. Tapi
justeru itu, ia dibarengi Wi Kok Ceng. Busu ini menjerit
88 sambil berlompat maju mengajak kawan-kawannya
maksudnya untuk menerjang keluar.
Kawanan busu itu menginsafi tanggung jawab besar
dari mereka, di balik itu, mereka jeri terhadap musuh ini
yang tangguh. Bukankah Coa Hok Ciang yang lihay itu
roboh secara gampang" Maka itu mereka pun
menyangsikan kesanggupannya Tiat Keng Sim si anak
sekolah. Atau taruh kata Keng Sim dapat bertahan, dia
pasti cuma bisa melindungi bingkisannya sendiri,
bingkisan lainnya tak nanti terjamin olehnya. Maka
serentak mereka berpikiran, selagi Keng Sim bertempur,
mereka mau nerobos keluar, membawa kabur bingkisan
mereka.. Wi Kok Ceng maju di depan, panahnya dikasih
bekerja. Dua begal sudah lantas kena dirobohkan.
Siauw Houw Cu melihat aksinya kawanan busu itu, ia
berlaku tenang. Ketika Kok Ceng memanah pula ia
mengayun tangannya, menerbangkan sebatang golok
terbang, maka di lain saat. biang panah si busu lantas
saja terpapas kutung.
Menampak kesudahan itu. Siauw Houw Cu berkata
sambil tertawa. "Ciu Jiko, kau bereskanlah ini kawanan
ikan yang mau molos dari dalam jaring! Jaga baik-baik
supaya kau tidak mencelakai jiwa orang..." Kemudian ia
memutar tubuhnya, akan menghadapi Tiat Keng Sim.
"Kau ini dari propinsi mana?" ia menanya. "Nyalimu
bukan kecil eh?"
Sengaja Siauw Houw Cu menanya demikian dan Keng
Sim yang cerdik mengetahui itu. Inilah semacam
sandiwara agar orang tidak ketahui yang mereka kenal
89 baik satu dengan lain, agar di belakang hari tak usahlah
Keng Sim dan Bhok Lin menjadi menampak kesulitan.
Keng Sim berterima kasih tetapi di dalam hatinya ia
berkata: "Dengan kepandaianku ini, aku tidak percaya
yang aku bakal kalah denganmu! Apa perlunya aku
menerima budimu?" Karena ini, ia lantas mengulapkan
pedangnya. "Tocu, silahkan kau menghunus senjatamu!" katanya
nyaring. "Aku Tiat Keng Sim, ingin aku belajar kenal
denganmu, tak usah dibataskan sampai sepuluh jurus,
asal kau dapat mengalahkan aku maka bingkisan dari
lnlam ini akan akupeserahkan dengan kedua belah
tanganku!"
Siauw Houw Cu tertawa dengan di dalam hatinya ia
kata: "Pantas kakak seperguruanku tidak menyenangi
dia, kiranya setelah berselang beberapa tahun, dia tetap
jumawa, sedikit juga tak ada perubahannya." Maka
dengan kedua mata memandang langit, ia menyahuti
dengan tawar: "Hari sudah sore. tak usahlah kita
mengubah batas sepuluh jurus tadi! Kau boleh
menggunakan pedangmu, aku tetap dengan sepasang
tangan kosongku!"
Keng Sim heran berbareng mendongkol. Ia tidak
menyangka yang Siauw Houw Cu lebih temberang
daripadanya sendiri. Karenanya, ia menjadi tertawa
sendirinya. "Kau memberi batas sepuluh jurus, ingat, itulah bukan
keinginanku!" ia kata. Lantas ia menyerang, dengan
jurusnya "Naga sakti masuk ke laut," atau
"Sinliongjiphay." Serangan ini berantai tiga kali, ialah
setelah yang pertama gagal, menyusul yang kedua, lalu
90 yang ketiga. Sembari menyerang, ia kata di dalam
hatinya: "Sebenarnya aku menyayangi kau bagaimana
sukarnya kau belajar silat, tetapi anak bau, di depanku
kau banyak tingkah!" Maka hebatlah serangannya itu.
Keng Sim menganggap ia sudah bergerak dengan
sebat sekali, di luar terkaannya, ia masih kalah sebat.
Dengan gesit sekali Siauw Houw Cu berkelit, menghalau
diri dari ancaman bahaya itu, setelah mana, ia menunjuki
kelincahannya terlebih jauh. untuk mencoba menyerang
sambil mendesak. Setelah memecahkan tikamantikaman
pedang, ia berbal ik merangsak. Lincah sekali ia
bergerak ke empat penjuru.
Segera Keng Sim heran dan kaget, hingga ia terkesiap.
Inilah ia tidak pernah menduga. Terpaksa ia perlihatkan
ilmu silat pedangnya, Keng To Kiamhoat, hingga
pedangnya bergemirlapan di depannya bagaikan
bianglala perak. Ia hendak membataskan desakannya
Siauw Houw Cu. Gerakannya ini adalah perubahan dari
jurusnya tadi, "Sinliong jiphay," namanya yaitu "Poyong
Kimsan" atau "Gelombang merendam kuil Kimsan Si."
Dalam ilmu silat pedang, Tiat Keng Sim telah
mewariskan KengTo Kiamhoat, yaitu ilmu silatnya Cio
Keng To, gurunya, maka itu ia membuatnya pedangnya
itu bagaikan gelombang pedang.
"Bagus!" memuji Siauw Houw Cu. Ia dirangsak tetapi
ia tidak membiarkan dirinya kena terdesak. Untuk
membuat perlawanan, ia keluarkan ilmu kelincahannya.
"Coanhoa jiauwsi," atau "Menembusi bunga, melibat
pohon." Begitu lekas ia dapat membebaskan diri dari
serbuan gelombang pedang itu, ia membalas dengan
totokan Itcisian, mengarah lengannya lawan.
91 Keng Sim tidak mengenal ilmu totok Itci Siankang itu,
akau tetapi ia selalu waspada, maka itu ketika ia ketahui
ia ditotok. ia tertawa dingin, pedangnya dipakai menahas
jeriji tangan orang. Hebat serangannya ini hingga Siauw
Houw Cu mesti lekas-lekas menarik pulang tangannya
itu. Ia menjadi girang sekali, sebab ia telah berhasil.
Adalah di luar sangkaannya, bahwa dengan tabasannya
ini di lain pihak ia telah membuat lowongan tanpa
disengaja. Siauw Houw Cu melihat nyata bagaimana ia ditabas,
maka ia mengelit tangannya dengan cepat, begitu lekas
tabasan lewat, ia maju, merangsak dengan serangan
membalasnya, sebelum lawan keburu membalik atau
menarik pedangnya itu. Dan ini dilakukan dengan gencar,
satu tinjuan dengan satu tinjuan. untuk membuat
lawannya itu repot.
Benar-benar Keng Sim kena dibikin, hingga dia
kewalahan membela diri.
Siauw Houw Cu menyerang bertubi-tubi bukan dengan
tinjunya yang serupa, hanya pelbagai macam, pelbagai
cara. Kecuali langsung dari gurunya, dari beberapa
sahabat gurunya pun ia telah memperoleh pelbagai
petunjuk yang berharga. Memang benar, selama tujuh
tahun tidak pernah Keng Sim mengabaikan ilmu silatnya
tetapi pun benar bagi Houw Cu, yang juga telah
memperoleh kemajuan pesat. Maka kemajuannya bocah
ini, oleh Keng Sim diimpikan pun tidak. Segera dia
merasa Siauw Houw Cu sekarang beda jauh dengan
Siauw Houw Cu yang bengal dan nakal tujuh tahun yang
lampau, pula beda daripada Sin Cu.
92 Dengan beruntun Siauw Houw Cu menggunakan
serangan-serangan dari Liongkun. Hokun. Coakun.
Pekpian Hian Ki Cianghoat. Itci Siankang. Taylek
Kimkong C iang dan yoga. ia membuatnya Keng Sim
mundur terus, setelah mana sambil berseru, ia mengirim
serangannya yang terakhir, yang memutuskan, tubuhnya
bergerak begitu cepat hingga mata Keng Sim berkunang,
baru ia angkat pedangnya, untuk menutup diri. atau ia
merasakan lengannya sakit sekali bagaikan dibacok.
Adalah di itu waktu, sambil tertawa nyaring. Siauw Houw
Cu telah dapat merampas pedang orang, pedang Cihong
kiam! Heran dan kaget, Keng Sim berdiri menjublak
Siauw Houw Cu mengawasi lawannya itu, lantas ia
berkata, "Aku membilang satu, satu, aku mengatakan
dua, dua, tidak hendak aku memperdaya kau!"
"Pergilah kau ambil bingkisan itu. tak guna kau banyak
omong!" kata Keng Sim setelah sadar. Ia malu dan putus
asa, ia pun mendongkol. Ia pikir, "Aku menyangka dia
masih ingat persahabatan sama adik Lin. siapa tahu
setelah menjadi kepala berandal, dia tidak sungkansungkan
lagi!" Siauw Houw Cu menggeleng kepala. Ia membalik
pedang rampasannya, gagangnya ia angsurkan kepada
lawannya itu. "Tidak!" katanya tertawa. "Mana dapat aku mengambil
bingkisanmu itu" Kau tahu. kau telah dapat melawan aku
hingga sebelas jurus!"
Keng Sim tidak ingat lagi pertempuran telah berjalan
berapa banyakjurus. Ia terdesak hebat hingga ia merasa
93 kepalanya pusing dan matanya kabur. Setelah
mendengar perkataan orang, baru ia ingat janjinya Siauw
Houw Cu itu serta perkataannya sendiri. Ia sendiri tidak
menghendaki batas sepuluh jurus. Ia malu tetapi ia
menyambuti pedangnya itu, lalu tanpa membilang suatu
apa, ia memutar tubuh untuk mengangkat kaki.
Ketika itu pertempuran kacau sudah sampai di
akhirnya, pihak busu telah dikalahkan. Keng Sim pun
tidak melihat Bhok Lin, maka tanpa pikir lagi, ia lari
keluar dari lembah.
"Cihu. mari!" tiba-tiba ia mendengar panggilannya
Bhok Lin. "Syukur, Cihu. bingkisan kita tidak lenyap!"
Keng Sim berpaling. Ia melihat Bhok Lin, iparnya itu.
di tepi jalan, tangannya mengangkat bingkisan yang
mereka lindungi. Sambil berlari-lari, dia itu
menghampirkan Cihu-nya.
"Sungguh berbahaya tadi!" katanya pula ipar ini sambil
tertawa. "Aku telah nerobos di antara orang-orang jahat
itu. hampir aku kena dibacok hingga dua kali. Syukur
tidak kena!..."
"Sebenarnya kawanan itu memandang kepada
kepalanya." kata Keng Sim, yang dapat menduga.
"Apakah kau kira kau benar mempunyai kepandaian
menerobos kepungan mereka itu?"
Bhok Lin tertawa pula.
"Sama-sama tahu saja!" katanya. "Siauw Houw Cu
pun berbuat baik terhadapmu! Kalau tidak, kau pun
mana bisa nerobos keluar hingga kau tiba di sini?"
94 Keng Sim jengah, la malu akan memberitahukan
iparnya ini duduknya hal yang sebenar-benarnya.
"Sudahlah!" kata Bhok Lin. lagi-lagi tertawa, "kita
jangan perdulikan dia berbuat baik atau tidak, sekarang
kita sudah lolos dari bahaya. Sayangnya untukku, aku
tidak mempunyai kesempatan untuk berbicara dengan


Kisah Pedang Bersatu Padu Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siauw Houw Cu!"
Belum lagi berhenti suaranya Hertog muda ini atau di
sana terdengar suara nyaring dari kelenengan kuda,
ketika ia menoleh, ia melihat sekor kuda lagi dikasih lari
larat ke arahnya.
"Ah, Siauw Houw Cu!" serunya.
Siauw Houw Cu. si penunggang kuda, tiba dengan
segera, la tertawa berkakak, tubuhnya mencelat
jumpalitan dari atas kudanya, tiba di depan Hertog muda
itu. Nampak nyata kebinalannya seperti dulu hari. Dia
lantas memeluk erat-erat.
"Aku kira," katanya, tertawa.
"setelah menjadi Hertog muda, kau tidak
memperdulikan pula padaku!"
"Ah. Siauw Houw Cu!" Bhok Lin pun berkata.
"Sungguh kau kosen sekali tadi! Aku mengira, sesudah
menjadi congtococ. kau tidak kenal aku lagi! Haha,
syukur kau masih mengenal persahabatan!"
Keduanya tertawa bergelak.
Keng Sim berdiri mcnjublak di pinggiran, ia serba
salah, menanya salah, tidak menanya salah. Orang pun
seperti melupakan padanya. Tapi sedangnya ia likat itu.
Siauw Houw Cu berpaling padanya.
95 "Tiat Kongcu, maaf, tadi aku telah berbuat salah
terhadapmu!" katanya.
Keng Sim malu dan mendongkol, mukanya menjadi
merah. "Di sana ada barang bingkisan, pergilah kau ambil!"
katanya, mengambul.
Siauw Houw Cu tertawa. Ia tidak gusar.
"Apakah kau tidak hendak memberi ketika padaku
untuk pasang omong dengan Siauwkongtia yang menjadi
sahabatku?" tanyanya. "Laginya mana dapat aku
menelan pula perkataanku" Kau toh telah dikalahkan
sesudah jurus yang ke sebelas! Tidak. aku tidak
menghendaki barang bingkisan, sebaliknya, hendak aku
mengundang kamu naik ke gunungku berdiam sedikitma
dua hari!"
Keng Sim berdiam. Kembali ia malu. Mestikah ia
menampik undangan itu" Atau pantaskah ia berkeras
terus" Bhok Lin segera datang sama tengah. Dia bertepuktepuk
tangan. "Bagus! Bagus!" katanya. Ia menerima baik undangan
itu. "Laginya," berkata pula Siauw Houw Cu. "kedua busu
kamu sudah ada di atas gunungku! Tentunya tidak baik
untuk kamu meninggalkan mereka, bukan" Tiat Kongcu,
jikalau kau masih hendak mempersalahkan aku, baiklah,
di sini aku menghaturkan maaf kepadamu!"
"Cihu." kata Bhok Lin sebelum orang sempat
membilang sesuatu, "kau telah dapat melayani sampai
96 sepuluh jurus, itulah bagus, kau telah menang banyak
daripada Wi Kok Ceng dan Coa Hok Ciang!"
Keng Sim dapat menggunakan otaknya, maka di
akhirnya, ia tertawa.
"Memang untuk kalangan Kangouw, menang atau
kalah tak ada artinya." demikian katanya. "Kalau aku
menampik undanganmu ini, nanti orang mengatakan aku
cupat pandanganku!"
Siauw Houw Cu girang, begitupun Bhok Lin. Congtocu
itu lantas bersiul panjang dan nyaring, itulah isyaratnya
untuk orangnya membawa datang kuda tunggangan.
"Sungguh aku tidak menyangka kaulah si perampas
pelbagai barang bingkisan dari sembilan propinsi!" kata
pula Bhok Lin kemudian sambil tertaw a.
"Dengan bersendirian saja, aku pun tidak sanggup
melakukan itu!" Siauw Houw Cu mengaku. Dia juga
tertawa. Ketika itu terlihat orang datang dengan membawa
kuda. Lekas-lekas Siauw Houw Cu berdiri berendeng
sama Bhok Lin, sembari berbuat begitu, ia kata dengan
perlahan-lahan: "Siauw Bhok, kau perhatikan! Di sini kau
boleh panggil aku Siauw Houw Cu, tidak ada
halangannya, tetapi sebentar, setibanya di atas gunung,
aku minta kau memanggil aku dengan namaku saja. Aku
bernama Thio Giok Houw!"
Bhok Lin tertawa. Bagus nama kawan ini. Giok Houw
berarti Harimau Kumala.
97 "Benar!" katanya. "Kau sekarang ialah Congtocu!
Baiklah, di depan orang banyak, aku tidak akan panggil
Siauw Houw Cu padamu!"
Siauw Houw Cu bersenyum.
Tidak lama dari itu, mereka mulai mendaki gunung.
Keng Sim mendapatkan perkemahan kawanan berandal
ini buruk sekali. Itu hanya belasan petak rumah yang
terbuat dari atap, yang rupanya dibangun secara darurat.
"Siauw... Siauw... eh. engko Houw," berkata Bhok Lin,
"rupanya cuma untuk merampas barang-barang
bingkisan maka kau telah membangun perkemahanmu
ini?" "Sedikitpun tidak salah," Thio Giok Houw menyahuti.
"Kali ini kau membuat perjalanan, kau lantas mengerti
tak sedikit segala sesuatu mengenai kaum Kangouw!
Lewat lagi dua hari, aku bakal meninggalkan tempat ini,
aku mesti pergi merampas pula barang bingkisan dari
lain-lain propinsi."
Malam itu Siauw Houw Cu menjamu Bhok Lin dan
Keng Sim. I ladir di antara mereka si anak muda she Ciu,
sebagai kawan. Setelah menenggak beberapa cawan arak. Siauw
Houw Cu tertawa dan berkata: "Sebenarnya sayang
sekali barang bingkisan kamu dihaturkan kepada raja si
iblis tua itu! Itu artinya mengilas-ilas barang yang sangat
berharga! Coba kami mengambil itu, faedahnya bukan
main besarnya! Bhok Lin, dapat kau memikir
kefaedahannya itu?"
"Cobalah kau menjelaskannya." meminta Bhok Lin.
98 Kembali Siauw Houw Cu tertawa.
"Siauw Bhok, kau ingatkah Yap Seng Lim Yap Toako?"
ia tanya. "Kenapa tidak" Kecuali kau, dialah yang aku paling
ingat! Ya. mana dia enci Sin Cu" Apakah ia ada bersamasama
Yap Toako?"
"Sabar." kata Giok Houw. tersenyum, "nanti aku
menjelaskannya."
Ia menuang pula araknya dan mencegluk itu.
"Kami merampas pelbagai barang bingkisan itu,
sebagian untuk Yap Toako." katanya kemudian.
Mendengar itu, hati Keng Sim bercekat. Ia lantas
berkata di dalam hatinya: "Dahulu hari aku telah
menasihati Sm Cu supaya sekali-sekali jangan dia hidup
dalam dunia Kangouw. Buktinya Seng Lim itu, dia tetap
tidak dapat mengubah cara hidupnya. Menurut suaranya
Siauw Houw Cu ini. terang Seng Lim telah menjadi
kepala berandal! Dengan begitu sayang adik Sin Cu,
dialah sekuntum bunga segar ditancap di antara najis..."
Bhok Lin sementara itu heran.
"Jadinya Yap Toako yang menitahkan kau merampas
barang-barang bingkisan?" ia tanya.
"Bukan. Dia bahkan tidak tahu menahu!" sahut Siauw
Houw Cu. "Siauw Bhok, jangan kau memotong
omenganku." Lalu dia meneruskan. "Dan sebagian lagi,
itulah untuk orang tua dari Ciu Jiko ini." Ia menunjuk
pada si pemuda she Ciu. "Kamu dengan saudara Ciu ini
baharu pernah bertemu, sebaliknya suhu dan subo
adalah sahabat keluarganya turun temurun. Tahukah
99 kamu ia siapa" Kakeknya adalah orang yang pernah
menggemparkan wilayah asing dan Tionggoan ialah
Kimto Cecu Ciu Kian! Dan ayahnya ialah kepala ikatan
kaum Rimba Hijau di wilayah Utara sekarang ini yakni
Bengcu Ciu San Bin! Dia bernama Ci Hiap, yang sekarang ini dikena! di
dalam kalangan kangouw sebagai Kimto Siauwhiap.
Sayang hari ini kamu belum sempat melihat
kepandaiaanya dalam ilmu golok Kimto..."
"Sudahlah!" berkata Ciu Ci Hiap tertawa. "Congtocu,
jangan kau mengangkat-angkat aku!" Kemudian ia
berpaling kepada Keng Sim, akan menambahkan:
"Tentang Tiat Kongcu ini, telah lama aku mendengar
namanya yang besar yang menulikan kuping."
Keng Sim senang diangkat-angkat itu, akan tetapi ia
merendahkan diri.
"Itulah pujian yang tidak berani aku terima," katanya.
"Sebenarnya sudah lama aku mengundurkan diri dari
kalangan kangouw, maka aku tidak menyangka masih
saja ada orang-orang yang menyebut-nyebut namaku!"
Ia merendah tetapi ia masih mengutarakan
kebanggaannya. "Ketika aku pertama kali bertemu sama Toako Yap
Seng Lim," berkata Ci Hiap, "kita telah merundingkan
tentang orang-orang gagah di zaman ini, dan yang
pertama disebut oleh Yap Toako itu ialah kau, kongcu,
Yap Toako mengatakan bahwa kau pernah
membantunya dengan menempuh bahaya."
100 Ketika itu Keng Sim membantui Seng Lim sebenarnya
untuk Sin Cu, tetapi yang sekarang peristiwa itu
ditimbuli, hal itu membuat hatinya senang juga.
"Itulah urusan kecil, tidak ada artinya!" katanya. "Aku
tidak nyana urusan dari tujuh atau delapan tahun yang
lampau itu masih disebut mereka suami isteri."
Dari kata-katanya ini, nyata Keng Sim tak bersikap
memusuhkan terus pada Seng Lim.
Siauw Houw Cu menenggak pula araknya, kemudian ia
berkata lagi: "Sekarang ini bangsa Manchu tengah
membangun di timur laut, sedang bangsa Tartar belum
lagi nampak kelemahannya. Keadaan kita pun
mempunyai sifatnya yang lain. Kakek dari Ciu Jiko ini
telah lama menutup mata, usahanya itu dilanjuti oleh
ayahnya. Sekarang Peehu Ciu San Bin mempunyai
kekuatan beberapa laksa serdadu, ia tidak berani
dipandang enteng oleh pemerintah, juga oleh bangsa
Manchu dan bangsa Tartar itu. Di timur laut, di barat
daya, di tempat seluas beberapa ribu li. Ciu Peehu
malang melintang, ia membuatnya bangsa asing tidak
berani pergi menggembala ke selatan. Maka itu meskipun
benar Ciu Peehu menentang pemerintah, sebaliknya
benar juga, nyatanya ia membantu kaizar Beng
melindungi negara, bantuan itu lebih berharga daripada
pembelaannya lenteranya yang di tempatkan di tapal
batas." "Kalau begitu," berkata Bhok Lin, "sudah sepantasnya
kalau pemerintah mengangkat Ciu Peehu menjadi
pangeran!"
"Aha, siauwkongtia kami!" tertawa Siauw Houw Cu
alias Thio Giok Houw, "sayang Ciu Jiko tidak berejeki
101 besar seperti kau, sebab ayahnya itu bukan saja tidak
menerima anugerah bahkan dia sering-sering diserang
tentera pemerintah. Sudah begitu, ada lagi hal yang
menyedihkan. Sekarang ini di perbatasan tanah belukar
adanya, rangsum sulit dikumpulkannya maka juga sering
kejadian tenteranya Ciu Peehu berperang dengan perut
mereka kosong!"
Bhok Lin mementang lebar matanya. Dalam soal
begini, ia tak tahu banyak.
"Oleh karena itu orang-orang gagah telah berhimpun,"
berkata Thio Giok Houw terlebih jauh. "mereka itu telah
merundingkan soal memberi bantuan kepada Ciu Peehu.
Mengenai itu akulah yang mengajukan usul untuk
merampas saja barang-barang bingkisan dari pelbagai
propinsi. Bukankah raja naik di tahta dan pelbagai
propinsi akan menghadiahkan sesuatu kepadanya" Maka
inilah ketika kita yang paling baik. Kita telah mendapat
kesetujuan, separuh dari hasil rampasan itu bakal
diserahkan kepada Ciu Peehu itu dan yang separuhnya
lagi untuk Toako Yap Seng Lim. Sebab paman dari Yap
Toako, ialah Siokhu Yap l'jong Liu, seperti Ciu Peehu,
sedang berkumpul di ketiga belas kepulauan di Tanghay,
di sana Yap Siokhu telah menghimpun orang-orang gagah serta
nelayan-nelayan yang melarat di sepanjang pesisir untuk
menentang perompak-perompak bangsa kate. Benar
perompak kate itu pernah dilabrak pada sepuluh tahun
yang lalu akan tetapi golongannya kaum ronin besar
jumlahnya, mereka itu mengumpul diri menjadi
perompak pula, mereka bergerak kembali. Yap Toako
adalah pembantu berharga dari Yap Siokhu. dia sering
bekerja sama enci Sin Cu, bekerja sama di pesisir."
102 Setelah memberikan keterangannya itu, Giok Houw
menenggak pula tiga cawan, terus ia memandang Bhok
Lin dan tertawa, menanya. "Nah. Siauw Bhok, kau
bilanglah, pantas atau tidak perampasan kami ini atas
barang-barang bingkisan untuk raja itu?"
"Pantas! Pantas!" sahut Hertog muda itu tanpa
berpikir lagi. Keng Sim kaget, ia bergelisah. Ia melirik tajam pada
iparnya itu. Di lain pihak, tidak berani ia mengawasi
Siauw Houw Cu. Bukankah ia sendiri lagi bertugas
mengantar bingkisan untuk raja"
Thio Giok Houw mengerti keadaan orang. Ia tertawa
dan berkata: "Sebenarnya aku pun hendak merampas
barang bingkisan kamu, akan tetapi Yap Toako


Kisah Pedang Bersatu Padu Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membilangi aku. mengingat yang Tiat Kongcu pernah
membantu meloloskan tentera rakyat dari bahaya,
baiklah kaujangan diganggu."
Mendengar ini, Keng Sim berlega hati, hingga kembali
kejumawaannya. "Dia toh memandang kepadaku!" pikirnya. Tapi ia
tidak memikir terlebih jauh. walaupun adanya pesan dari
Seng Lim itu. jikalau dia bukan berada bersama Bhok Lin,
tentulah Siauw Houw Cu tidak ragu-ragu untuk
merampasnya juga.
"Di dalam rapat itu juga telah lantas diambil
keputusan," berkata pula Thio Giok Houw, melanjuti,
"karena usul keluar dari aku, akulah yang diminta
bekerja. Demikian untuk pertama kali di dekat kota raja,
di luar dugaan mereka itu. aku telah merampas barang
bingkisan dari sembilan propinsi. Berhubung dengan
103 kejadian itu, sekarang di sekitar beberapa ratus li di kota
raja itu telah di tempatkan pasukan-pasukan tentera.
Tentu saja, karena itu, kami pun tidak turun tangan
dengan menanti barang-barang sudah tiba di wilayah
kota raja. Pelbagai propinsi terpisah jauh dari kota raja.
kalau ada bingkisan di kirim, tentu sekali pengiriman itu
tidak dapat diiring oleh pasukan besar, tentulah hanya
dipilih pelindung-pelindung yang kosen. Oleh karena
sikap pemerintah itu, aku lantas merubah rencanaku,
ialah aku minta bantuan orang-orang gagah di pelbagai
tempat, untuk mereka memegat dan merampasnya di
wilayah mereka masing-masing. Siauw Bhok, hari ini aku
mengundang kau ke gunungku ini, untukmu ada
faedahnya yang besar, kalau tidak, meskipun kau
berhasil lewat di daerahku ini, tidak nanti kau bebas dari
wilayah lainnya."
Sembari berkata Siauw Houw Cu mengeluarkan
sehelai bendera kecil, ia terus menyerahkan itu pada si
Hertog muda. "Kau bawalah benderaku ini." katanya. "Bendera ini
ada lebih menang daripada seratus busu pengiring!
Dengan aku tanggung, di tengah jalan tidak bakal ada
orang yang berani mengganggu bingkisanmu itu."
Keng Sim melihat bendera itu di mana ada disulamkan
gambar sekor harimau. Itulah benderanya Siauw Houw
Cu. Bhok Lin menyambuti itu bendera, lalu ia kasihkan
pada Keng Sim. "Cihu," katanya, "kaulah pengiring bingkisan kita,
maka itu bendera ini baiklah kau yang bawa"
104 Tapi Keng Sim tidak senang, ia bahkan mendongkol.
"Siauw Houw Cu ini mahluk apa?" katanya dalam
hatinya. "Kenapa aku mesti berlindung di bawah
pengaruhnya?" Tapi cuma sejenak ia berpikir demikian,
atau segera ia ingat: "Asal aku sampai dengan selamat di
kota raja, apakah artinya urusan sekecil ini?" Maka ia
menyambuti bendera itu.
"Ada beberapa nona-nona kecil, adakah mereka itu
sebawahanmu?" kemudian Bhok Lin menanya Ia ingat
nona-nona pengirim surat memakai pisau. "Kenapa
sekarang aku tidak melihat mereka itu?"
Semenjak mulai mendaki gunung, Bhok Lin sudah
ingat halnya nona-nona itu dan hendak ia
menanyakannya, barang sekarang datang saatnya.
Ditanya begitu, Siauw Houw Cu melengak.
"Nona-nona macam apakah itu?" ia menanya.
Bhok Lin memberi keterangan halnya semasa di
Kunbeng ia menerima surat budek yang ditancapkan
pisau belati di waktu malam serta perampasan barang
bingkisan propinsi Kuiciu oleh beberapa nona-nona.
Thio Giok Houw heran mendengar keterangan itu akan
tetapi pada paras mukanya ia tidak mengentarakan
keheranannya itu.
"Engko Houw," berkata pula Bhok Lin habis
berceritera, "ilmu silatnya nona-nona itu tidak dapat
dicela akan tetapi meski begitu, aku tidak mengerti
kenapa kau berlega hati membiarkan mereka
menghadapi Poan Thian Lo" Jikalau bukannya cihu
memberikan bantuannya, mungkin dua nona kecil yang
105 datang paling dulu bercelaka di bawah cambuk
gergajinya Poan Thian Lo..."
"Oh begitu?" kata Siauw Houw Cu tertawa, "Tiat
Kongcoc, kalau begitu aku mesti menghaturkan terima
kasih padamu walaupun aku tidak kenal mereka itu."
Bhok Lin heran.
"Apa" Kau tidak kenal mereka?" tanyanya. "Jadi
mereka itu bukan sebawahanmu?"
"Aku telah minta bantuannya orang-orang gagah di
pelbagai tempat," sahut Thio Giok Houw menjelaskan,
"mereka itu dapat bekerja sendiri-sendiri, dari itu
mungkin nona-nona itu adalah anak-anak gadis mereka"
Siauw Houw Cu mengatakan demikian meskipun ia
tahu siapa-siapa yang ia mintakan bantuannya dan
mengetahui keadaan keluarga mereka tentang nonanona
itu ia tidak tahu sama sekali, maka ia cuma dapat
menduga, mereka mestinya dari suatu rombongan lain.
Hanya, rombongan siapakah itu" Kenapa rombongan itu
bernyali demikian besar berani merampas sendiri barang
bingkisan" Bukankah untuk perampasan itu,
keputusannya telah diambil oleh suatu rapat umum dan
pelaksanaannya diserahkan kepadanya sendiri"
Seharusnya, siapa hendak membantu, ia mesti ketahui,
dan siapa yang ia tak kenal dan hendak membantu juga,
mesti mohon perkenan dulu daripadanya. Maka itu dari
mana munculnya itu beberapa nona-nona"
Tentu sekali Siauw Houw Cu tidak dapat
menampakkan segala apa pada Bhok Lin, oleh karena itu
setelah menahan Bhok Lin dua hari di atas gunungnya, ia
antarkan sahabat itu bersama Tiat Keng Sim turun
gunung. Bersama mereka pun dibebaskan kedua busu
106 yang ditahan, bahkan mereka diberikan kuda tunggang
yang baru. Dengan adanya bendera kecil dari Siauw Houw Cu itu,
perjalanan dapat dilakukan dengan aman. Lima hari
kemudian mereka sudah tiba di wilayah gunung Buie
San, setelah nanti melintasi Huncuikwan di bukit itu,
mereka akan sudah berada di perbatasan kedua propinsi
Kangse dan Ciatkang dan memasuki propinsi yang
belakangan itu. Di situlah terletak kampung halamannya
Tiat Keng Sim. Sekian lama Keng Sim masgul dan
mendongkol karena ia dikalahkan Siauw Houw Cu, baru
sekarang ia dapat melegakan hati.
Buie San adalah sebuah gunung yang kenamaan dari
Tiongkok. Di situ ada terdapat tiga puluh enam puncak
serta tujuh puluh dua karangnya yang curam, ada kalinya
yang berliku-liku hingga disebut "Buie Kiukiok," atau
Sembilan Tikungan, karena mana, gunung itu ada
kalinya, kali ada gunungnya Maka siapa keluar dari
propinsi Hokkian, di mana gunung Buie San terletak, di
mana adanya Huncuikwan, yang merupakan sebagai
pintu kota. di segala penjuru nampak pemandanganpemandangan
alam indah permai. Ada sangat melegakan
hari dan menyenangi untuk bertunggang kuda sambil
jalan perlahan-lahan di situ menikmati semua
pemandangan itu. Maka tempat ini tepat untuk orang
sebagai Keng Sim. yang di samping ilmu silat paham juga
ilmu surat, hingga ia pun adalah seorang sasterawan.
Buie San tak terpisah jauh dari kampung halamannya
tetapi belum pernah ia datang ke gunung ini, maka ia
menjadi kagum sekali.
"Jikalau bukannya lagi mengantar bingkisan, pasti aku
akan berdiam beberapa hari di sini," katanya sambil
107 tertawa. Senang ia dengan ini gunung terkenal, yang
mengeluarkan teh Tiongkok paling terkenal (bohea tea).
Bhok Lin pun gembira sekali. Ia bertepuk tangan dan
berkata: "Kita mempunyai benderanya Siauw Houw Cu,
kita aman di perjalanan, aku lihat tidak ada halangannya
untuk berdiam di sini barang dua hari."
Kedua busu pengantar sebaliknya tidak setuju. Mereka
menganggap tugas mengantar bingkisan ada tugas
berat, yang tidak boleh dialpakan.
"Kamu tidak gemar pesiar," berkata Bhok Lin, "baiklah
kamu berangkat lebih dulu mengatur pondokan di
Siangjiauw, di sana kamu boleh menantikan kami.
Umpama kata kita bertemu sama orang jahat, kamu toh
tidak dapat membantui kami..."
Kedua busu itu menjadi jengah sekali.
"Ya, baiklah Jiwi pergi dulu ke Siangjiauw untuk
beristirahat dua hari di sana," Keng Sim pun berkata.
"Kedua kuda kami pun Jiw ie bawa bersama. Tentang
barang bingkisan, biarlah kami yang membawanya. Kami
ada membawa benderanya Siauw Houw Cu, mungkin tak
ada orang jahat yang merampasm a. Di kolong langit itu
ada berapakah Siauw Houw Cu?"
Mendengar suaranya Keng Sim itu, kedua busu
tersebut tidak berani membantah, maka itu dengan
membawa kuda Keng Sim dan Bhok Lin, mereka
berangkat lebih dulu ke Siangjiauw.
Setelah berada berduaan, Bhok Lin dan Keng Sim
masuk jauh ke pedalaman gunung. Di atas itu ada hawa
salju, puncak-puncak bagaikan ketutupan, maka
tongkrongannya mirip dengan naga melingkar atau
108 harimau mendekam. Keindahan pun ditambah sama air
mancur dan kali yang berlugat legot.
Mereka melintasi tikungan pertama (kiok kesatu) yang
disebut Thio Sian Giam, tikungan kedua, Tiat Poan Ciang,
lalu tikungan yang ketiga, Siauw Chong Hong. Di sini ada
sepotong papan, yang menjulang ke atas. Menurut
dongeng maka di jaman kerajaan Cin di sana ada
seorang dewa yang bernama Bu Ie Kun yang selama hari
raya Tiongciu, pertengahan musim rontok, sudah
mengadakan pesta di antara dewa-dewa, habis berpesta
diciptakan bianglala menjadi jembatan untuk masuk ke
guha, makajadi adalah sisa peninggalan itu.
Mereka pun pergi ke tikungan yang ke empat, Tay
Chong Hong, di bawah mana ada Go Liong Tam atau
muara Naga Tidur. Di samping muara itu. di atas batu.
ada ukir-ukiran empat huruf "Liu Hee Hui Cui" dari Cu
Hie, sasterawan jaman Song.
"Cu Hie sasterawan tetapi ia mengenal baik keindahan
alam," kata Keng Sim sambil tertawa pada Bhok Lin.
"Pernahkah kau baca syairnya yang memuji keindahan
Buie Kiukiok ini?"
"Aku tidak terpelajar sebagai kau," sahut sang ipar.
"Coba kau bacakan."
Keng Sim menurut, ia membacakan syair pujian itu.
Baru ia mengapal sampai di pujian tikungan yang ke
empat, mendadak ada terdengar suara bagaikan
kumandang: "Kalau bukannya sasterawan, mana dia
lancang dapat menjelaskan begini rupa" Hebat, hebat!"
Mendengar suara itu, Keng Sim menjadi tidak senang.
Ia merasa dirinya diejek. Maka ia lantas lari ke arah dari
109 mana suara itu datang, dari dalam rimba, untuk mencari
orangnya Akan tetapi ia tidak menemukan siapa juga di
dalam rimba atau gunung yang luas itu.
"Sudahlah!" berkata Bhok Lin tertawa. "Kalau nanti
kita pulang, cihu tolongi saja aku menulis syair keindahan
gunung ini. Lihat puncak itu, romannya aneh, mari kita
mendakinya."
Ia menunjuk sebuah puncak di hadapan mereka.
Keng Sim mendongak, untuk mengawasi. Ia
mendapatkan sebuah puncak yang atasnya besar dan
bawahnya kecil, mirip dengan pusut, maka anehlah
puncak itu. Di atas itu pun ada sebuah batu besar.
Luasnya puncak itu mungkin sepuluh bauw lebih dan
tingginya dua sampai tiga puluh tombak. Untuk naik ke
atas, di tengah-tengah ada renggangan yang ada
tangganya, tangga kayu, tangga mana pasti disediakan
untuk orang pesiar naik.
Keng Sim berdua Bhok Lin lantas naik di tangga itu,
yang terdiri dari tujuh undakan, yang berliku-liku. Baru
mereka sampai di tingkat ketiga,, kembali mereka
mendapat dengar suara tertawa manis seperti yang tadi.
"Mesti orang itu berada di atasan dua undak," Keng
Sim menerka. Ia mendapat kenyataan, suara datang dari
atasan mereka. Ia lantas naik terus, karena di situ tidak
dapat orang mengejar seperti di tanah datar. Karena itu,
hatinya tegang sendirinya.
Tiba-tiba terdengar pula suara, kali ini pertanyaan:
"Eh, Cu Heng, Hee Lian, orang macam apa itu yang
mengantar barang bingkisan dari propinsi Hokkian!"
110 "Dialah seorang piauwsu tua," terdengar suara
jawaban, suaranya seorang nona diuga. "Enci Hee Lian
telah bergurau dengan dia itu, yang kumisnya telah
dicabuti! Bingkisan itulah yang paling gampang
dirampasnya"
Kata-kata ini disusuli dengan tertawa geli.
"Hee Lian, inilah kekeliruanmu!" berkata suara nona
yang pertama. "Sudah cukup yang barangnya dirampas.
Kenapa kau pun menghina dia?"
"Tetapi nona tidak tahu," berkata nona yang dipanggil
Hee Lian itu. "Piauwsu tua itu sangat bertingkah, sudah
dia tidak memandang pada kami. kami pun
dipermainkan, diganggu olehnya. Karena aku sangat
mendongkol, aku cabut kumisnya supaya dia tahu rasa!"
Keng Sim terkejut. Teranglah Cun Heng dan Hee Lian


Kisah Pedang Bersatu Padu Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini ada kedua nona yang di Kuiciu telah mempermainkan
Poan Thian Lo. Mendengar suaranya, mestinya
merekalah budaknya nona yang suaranya terdengar
paling dulu itu. Inilah heran! Mereka berdua sudah lihay,
entah bagaimana nona majikannya itu! Siapakah ini nona
majikan" Lalu terdengar pula suaranya si nona, yang tertawa.
"Kamu tidak mengecewakan aku yang telah mengajari
silat beberapa tahun pada kamu!" demikian katanya.
"Satu kali saja kamu turun tangan, kamu telah berhasil
merampas barang bingkisan dari beberapa propinsi!
Hanya kenapa kamu mengasi lewat barang bingkisan dari
propinsi Inlam?"
111 "Harap nona ketahui." terdengar jawabannya Hee
Lian, "bingkisan itu diantar oleh putera dan menantunya
Bhok Kokkong sendiri..."
"Kalau Bhok Kokkong kenapa?" si nona tanya.
"Tidak kenapa-napa, nona," menyahut Hee Lian.
"Mustahilkah kita takut akan pengaruh kekuasaannya"
Hanya... hanya..."
"Hanya kenapa?" menegaskan si nona.
"Bocah itu berhati baik. Menantunya Bhok Kokkong
juga pernah membantui kami."
"Tapi sebenarnya dia bukannya bersungguh-sungguh
hati membantui kami!" berkata Cun Heng. "Sebenarnya
ialah enci Hee Lian menggunakan tipu daya memancing
harimau meninggalkan gunungnya."
Lantas mereka itu tertawa. Sebab Cun Heng itu
menjelaskannya terlebih jauh.
Keng Sim menjadi mendongkol sekali.
"Aku telah membantu mereka tetapi sekarang aku
ternyata dipermainkan sebagai si tolol!" pikirnya panas.
"Eh, Hee Lian," menanya pula si nona, "sebenarnya
kenapa kau mengasihani mereka itu?"
"Bukan, nona," si Hee Lian menyangkal. "Kami cuma
bekerja menuruti aturan kaum kangouw. Kami memberi
ampun satu kali."
"Bagus!" seru si nona. "Kau telah melepaskan mereka,
kalau nanti untuk kedua kalinya kau menemukan mereka
itu, pastilah sulit."
112 "Harta yang sudah dituliskan tidak nanti lenyap,
nona!" kata Hee Lian, suaranya pasti. "Siapa tahu kalau
mereka justeru mengantarkannya sendiri?"
Hati Keng Sim terkesiap. Menurut suaranya Hee Lian,
mungkin mereka itu sudah ketahui yang ia berdua Bhok
Lin berada di dekat mereka, dan mereka merasa pasti
sekali akan berhasil mendapatkan barang bingkisan yang
dilindunginya itu
Selagi menantu hertog ini mendongkol, mendadak
matanya melihat sinar terang.
Kiranya mereka telah sampai di batu renggangan,
maka itu mereka dapat melihat ke atas. Di situ. di atas
sebuah batu tawas yang besar, terlihat lima nona tengah
berkumpul sambil berdiri. Empat di antaranya ada nonanona
berumur tak lebih daripada lima atau enam belas
tahun. Dan merekalah nona-nona tanggung yang
diketemukan di tengah jalan di propinsi Kuiciu. Nona
yang ke lima berusia lebih tua tetapi lebih kurang baru
dua puluh tahun. Ia berdiri di tengah, bajunya berwarna
kuning gading. I"a cantik sekali, dalam kecantikannya itu
ada pengaruh kegagahan.
"Selamat bertemu! Selamat bertemu!" berkata Keng
Sim lantas seraja ia tertawa. "Ketika itu hari kita bertemu
di Kuiciu. sebenarnya hatiku tak tenang!"
Sengaja ia mengucap begitu karena ia mendongkol
terhadap si nona. Tapi ia bicara kepada ke empat nona
yang ia kenali itu.
Hee Lian adalah nona yang terjangkung. ia pun paling
lincah, bahkan ia segera dapat membade nada suaranya
si anak muda menantu Bhok Kokkong itu.
113 "Oh. Tiat Kongcu!" katanya tertawa "Sebenarnya
kongcu. kami belum menghaturkan terima kasih
kepadamu. Jikalau bukannya kau yang menghalau Poan
Thian Lo, meskipun mungkin kami tidak bakal terluka
cambuk gergajinya itu, teranglah tak gampang-gampang
dapat kami berhasil dengan usaha kami."
Mendengar itu Keng Sim berkata: "Sebenarnya kamu
masih mesti belajar silat lagi beberapa tahun, baru kamu
boleh masuk dalam dunia kangouw. Aku tidak mengerti
kenapa nona kamu demikian tega membiarkan kamu
keluar untuk melakukan pekerjaan yang sangat
berbahaya itu"..."
Satu nona yang ternyata bernama Hee Ho. berkata
sembari tertawa geli: "Aku juga tidak mengerti, selagi di
dalam istana Bhok Kokkong ada banyak sekali
sebawahannya yang pandai, kenapa ia justeru mengutus
kamu beberapa anak sekolah yang tidak tahu apa-apa?"
"Aku mohon menanya," berkata Bhok Lin. "kenapa kita
dibilang tidak tahu apa-apa?"
"Sebab beberapa kali kami sudah mengasi nasihat
supaya kamu kembali, kamu tidak sudi dengar nasihat
itu." menyahut nona yang bernama Cun Heng. "Kenapa
kamu masih hendak mengantarkan barang bingkisaa ke
kota raja" Bukankah itu berarti bahwa kamu hendak
membikin dirimu jatuh sendirinya?"
Keng Sim tertawa sambil melenggak.
"Aku kira tidak sedemikian gampang!"
katanyajumawa. "Jikalau kamu tidak percaya, nah, kamu
coba-cobalah!"
114 Si nona yang sedari tadi berdiam saja, mendadak
mengibas tangannya.
"Kamu semua mundur!" katanya. Terus ia berpaling
pada Keng Sim, untuk mengatakan: "Ajaranmu benar
sekali! Memang mereka masih harus belajar lebih jauh
beberapa tahun! Cuma mereka itu biasanya nakal,
mereka gemar bergurau, tidak senang mereka jikalau
mereka tidak membuat keramaian. Aku sendiri tidak
sanggup melarang mereka. Syukur untuk mereka,
selama mereka bekerja, mereka belum pernah menemui
lawan yang lihay. karenanya mereka jadi jumawa. di
depan matanya seperti tidak ada orang lainnya lagi!"
Kata-kata ini ada mengandung sindiran. Di antara
orang-orang yang Hee Lian berempat pernah ketemui di
dalam pekerjaan mereka, Keng Sim terhitung satu di
antaranya, dengan begitu, Keng Sim pun tak masuk
dalam hitungan orang yang lihay itu. Terdengarnya si
nona menegur budak-budaknya tetapi sebenarnya. Keng
Sim disindir untuk kejumawaannya itu. Tentu sekali Keng
Sim mengerti maksud orang. Ia menjadi tidak senang. Ia
hendak membuka mulutnya, atau si nona sudah berkata
pula. "Kamu berempat benar-benar tidak tahu diri!"
katanya, menegur empat budaknya itu, "Kenapa kamu
berani mau menempurTiat Kongcu" Kamu masuk dalam
dunia Kangouw. kamu mesti mengetahui aturan kaum
Kangouw! Tahukah kau apakah aturan Kangouw yang
nomor satu" Tong Bwee. kaulah yang bicara!"
"Di dalam dunia Kangouw, yang diutamakan ialah
bertempur satu lawan satu," menyahut budak yang
dipanggil Tong Bwee itu, yang berdiri di paling belakang.
115 "Kalau kita mengutamakan orang banyak, artinya main
keroyok, menang pun tidak ada artinya, itu menang tak
gemilang."
"Enci Tong Bwee, kcteranganmu belum lengkap, ada
satu yang kelupaan!" berkata Hee Ho. tertawa. "Jikalau
tingkat derajat orang tak sama. atau usianya terlalu
lanjut atau terlalu muda. bedanya sangat jauh, maka
itulah tak masuk hitungan."
"Nona benar." Tong Bwee berkata lagi, "dengan Tiat
Kongcu mempunyai pedang di pinggangnya itu. di antara
kami berempat, tidak satu jua yang dapat melayani dan
memperoleh kemenangan."
Keng Sim bukan main mendongkol. Teranglah itu nona
dan budak-budaknya lagi mempermainkan ianya Ke
empat budak itu pun mau mengatakan, kalau mereka
meluruk berbareng mustahil mereka tidak menang.
"Aku menghaturkan banyak terima kasih yang kamu
menghargai aku." ia kata sambil tertawa lebar. "Aku juga
bukannya orang tukang menghina! Hanya aku ketahui, di
bawahnya panglima yang kosen tidak ada serdadu yang
lemah. Seperti di dalam halnya kamu. budaknya saja
sudah berani merampas barang bingkisan untuk kaizar,
maka itu. tentang si nona sudah dapat diduga sendiri!
Baiklah, aku si orang she Tiat, aku tidak mengukur diriku
sendiri, ingin aku meminta pengajaran dari nona kamu!"
Nona itu melihat orang gusar, ia tapinya bersenyum.
Ia lantas memotes secabang pohon liu di sampingnya, ia
menekuk itu hingga berkelung bundar.
116 "Apa?" kata Keng Sim mendongkol. "Apakah aku si
orang she Tiat tidak tepat untuk memohon pengajaran
dari kau?"
Selagi si nona belum menyahuti.
Tong Bwee sudah berkata: "Tiat Kongcu, aku minta
sukalah kau serahkan peti bukumu yang kecil itu kepada
Siauwkongtia!"
Mendengar itu. Keng Sim melengak.
Tong Bwee tidak menghiraukannya, ia tertawa dan
berkata pula: "Kalau sampai rusak mustika di dalam peti
itu, bukankah sia-sia belaka nona kami meletihkan
dirinya?" Kata-kata ini berarti kepastian bahwa ia bakal kalah,
maka juga Keng Sim menjadi bertambah murka. Tapi ia
pun ingat, memang celaka kalau sampai isinya peti itu
rusak. Maka itu, ia menahan sabar. Ia lantas
menyerahkan peti buku itu kepada Bhok Lin.
"Baiklah!" katanya seraya terus ia memberi hormat
kepada si nona. "Dengan begini kita sama-sama boleh
melegakan hati. Jikalau kau menang, nona, aku akan
persembahkan mustika di dalam peti itu kepadamu!"
Melihat suasana genting itu, Bhok Lin lompat maju.
"Cihu, kau pun melupakan aturan kangouw!" ia
berkata. "Kau tahu apa?" kata cihu itu muram.
"Benderanya Siauw Houw Cu!" Bhok Lin
memperingati. Lantas dia mengasi hormat kepada si
nona seraya meneruskan berkata: "Seorang sahabatku
telah memberikan kami selembar bendera kecil, aku ingin
117 untuk memperlihatkan dulu itu kepada nona Jikalau
kedua pihak kenal satu pada lain. kalau kerukunan kita
terganggu, bukankah itu tidak bagus" Mana kita bisa
enak hati" Nona, sahabatku itu bernama Thio Giok
Houw! Nona. apakah she dan namamu yang mulia?"
"Benar, dalam dunia kangouw memang ada itu
aturan!" Hee Ho menyeletuk. "Siauwkongtia, kali ini kau
mengenal aturan. Nona kami she Liong!"
Bhok Lin terperanjat, tanpa merasa mulutnya mengasi
dengar suara perlahan: "Mulut harimau melepas budi,
naga sakti mendelik matanya! "Ah, nona kamu she
Liong!" Hertog muda ini ingin mendamaikan, siapa tahu ia
lantas ingat pada bunyinya kata-kata surat peringatan
yang ditancapkan dengan pisau belati. Maka ia menjadi
tidak enak hati.
Si nona she Liong tertawa.
"Tolonglah keluarkan bendera itu!" katanya nyaring.
Mulanya Keng Sim tidak niat mengasi lihat bendera
Siauw Houw Cu itu, tetapi sejenak kemudian, ia
mengambil putusan lain. Ia ingin melihat sikap orang. Ia
lantas merogo sakunya, untuk terus mengibarkan
bendera bersulam harimau itu. Ia berkata dengan tawar:
"Sahabatku ini adalah orang yang baru muncul dalam
dunia kangouw, maka jikalau kamu tidak kenal bendera
ini, harap kamu tidak mentertawakannya." Ia
mengatakan demikian sedang di hatinya ia pikir: "Siauw
Houw Cu ialah pemimpin dari kaum Rimba Persilatan
yang mengepalai perampasan barang bingkisan, kamu
beberapa budak bukankah di bawah pimpinan dia?"
118 Keng Sim bukannya mau menggunakan pengaruh
Siauw Houw Cu, ia hanya hendak menjengeki supaya
orang menjadi jengah.
Tapi si nona pun berlaku tawar.
"Benar-benar aku belum pernah mendengar orang
semacam ini dalam dunia kangouw!" demikian katanya.
Ia nampak tenang sekali, tetapi mendadak ia menggeraki
tangannya, cabang yangliu menyambar, lalu di lain detik,
bendera itu kena tergaet dan terampas, terus saja ia
robek menjadi dua potong, robekannya dibuang ke
tanah! Setelah berbuat begitu, ia tertawa dan kata pula
dengan nyaring: "Aku tidak mengambil perduli Kalangan
Putih atau Kalangan Hitam! Serahkanlah itu bingkisan
dari propinsi Inlam!"
Keng Sim bukan sembarang orang, tetapi bendera di
tangannya dapat dirampas secara demikian gampang,
maka mau atau tidak, ia terkejut juga.
Bhok Lin kaget bukan main
"Kau... kau..." serunya, "kau merusak bendera ini?"
Si nona tidak menggubris hertog muda itu. ia
mengawasi Keng Sim seraya tertawa.
"Apakah kau pernah bertempur sama Siauw Houw
Cu?" ia menanya
"Kenapa?" tanya Keng Sim tanpa merasa.
"Dalam berapa jurus dia mengalahkan kau?" si nona


Kisah Pedang Bersatu Padu Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanya pula. "Hai, orang perempuan, buat apa kau banyak rewel!"
membentak Keng Sim, yang menjadi panas, "Sebenarnya
kau mau atau tidak mengadu pedang denganku?"
119 Bhok Lin pun mendongkol.tanpa pikir lagi, ia berkata:
"Siauw Houw Cu mengalahkan dia dalam jurus yang ke
sebelas! Untuk apa kau menanyakan itu?"
Nona itu tertawa manis.
"Aku menanya saja, tidak ada maksudnya!" sahutnya.
Bhok Lin berdiam, atau mendadak ia berseru: "Aku
mengerti sekarang! Secara begini dengan diam-diam kau
hendak mengadu kepandaian sama engko Siauw Houw
Cu kami itu! Dia mengalahkan orang dalam sebelas jurus,
sekarang aku mau lihat kau menggunakan berapajurus!"
"Sungguh kau cerdik!" Hee Ho kata tertawa. "Dengan
sekali menerka saja kau dapat membade hati nona
kami!" Nona itu tidak menyangkal atau mengaku benar, ia
memandang si Hertog muda sambil bersenyum. Lalu ia
menanya pula: "Engko Siauw Houw Cu dari kamu itu
menggunakan senjata apa?"
Nona itu tidak menyangkal atau mengaku benar, ia
memandang si Hertog muda sambil bersenyum. Lalu ia
menanya pula: "Engko Siauw Houw Cu dari kamu itu
menggunakan senjata apa?"
Mendengar itu, darahnya Keng Sim meluap. Maka juga
ia berlompat maju, kedua tangannya disilangkan,
matanya mendelik.
"Pembicaraan kamu ini ada waktunya habis atau
tidak?" ia tanya, bengis. Dengan gerakannya ini, ia
hendak membikin kabur matanya si nona, sebab ia tidak
berani datang-datang menerjang dengan pedangnya.
Maksudnya pun untuk menghentikan kata-kata orang.
120 Si nona Liong seperti dapat menebak maksud orang,
ia tidak berkelit, cuma kepalanya dimiringkan.
"Aku cuma menanya sepatah kata saja!" katanya pula.
"Lekas bilang dia menggunakan senjata atau tidak?"
Bhok Lin lantas menyahuti: "Dia tidak menggunakan
senjata! Adalah Cihu-ku yang menggunakan pedang
mustika yang dapat menabas besi seperti menabas
lumpur!" Ia mengatakan demikian sedang di hatinya ia
berpikir: "Aku mau lihat kau berani atau tidak berkelahi
dengan tangan kosong..."
Segera ia mendengar pula suara si nona, yang lebih
dulu tertawa bergelak.
"Baiklah, aku sudah tahu!" demikian katanya Lalu dia
mengawasi Keng Sim, tangannya menuding, mulutnya
membentak: "Masih kau tidak hendak menghunus
pedangmu! Kau hendak menantikan apa lagi?"
Keng Sim tidak dapat menguasai lagi dirinya, maka ia
maju menyerang dengan kedua tangannya. Ia tidak
perduli lagi bahwa ia lagi berhadapan sama seorang
wanita, bahkan satu nona, jerij i tangannya mencari
kedua mata sebagai sasaran!
Serangan ini menjadi lebih hebat karena mereka
berada dekat sekali satu dengan lain.
Di waktu menyerang, Keng Sim lupa diri, tetapi ketika
sudah menyerang, mendadak ia sadar, ia lantas menjadi
menyesal sendirinya. Tapi ia sudah menyerang, ia tidak
dapat membatalkan nya.
Di luar dugaan, si nona sangat celi matanya dan
sangat gesit tubuhnya. Hanya dengan satu kaki
121 bergerak, dia dapat berkelit, tubuhnya melesat ke
samping! Keng Sim kaget bukan main. Ia kuatiryang ia nanti
dibokong. Ia lantas menggeser kakinya, ia menggeraki
lebih jauh kedua tangannya, untuk menutup diri. Ia
tapinya kalah gesit. Si nona sudah berkelebat pula dan
segera berada di depannya lagi. tangannya tambah
serupa barang yang berkeredepan! Sebab itulah
pedangnya yang telah terhunus! Pedang Cihong kiam!
Ke empat budak wanita itu lantas serempak menepuk
tangan dan bersorak.
"Bagus!" pujinya
Mukanya Keng Sim menjadi bersemu merah. Ia lantas
mengulur tangan kirinya, lima buah jarinya dibuka, untuk
menyengkeram pedang, guna dirampas. Itulah gerakan
"Kimpa tamjiauw," atau "Macan tutul emas
menyengkeram."
"Memangnya pedang ini hendak aku berikan kepada
kau, kenapakah kau tergesa-gesa?" kata si nona tertawa.
Dan dengan memutar pedang itu, ia menyodorkan
gagangnya kepada si anak muda, untuk disesapkan ke
dalam telapakan tangan!
Dalam sekejap itu, Keng Sim sadar. Ia mengerti,
karena ia tidak dapat menarik pedang itu. si nona
sengaja membuatnya demikian, supaya ia dapat menarik
itu, seperti juga ialah yang menariknya sendiri. Ia
menganggap itulah penghinaan untuk dirinya, yang
dipandang terlalu enteng. Sebenarnya, menurut
keangkuhannya, tidak sudi ia menerima pedang itu, akan
tetapi buktinya, ia mengertak diri, dengan mendadak ia
122 membetot keras, sesudah mana ia menghunusnya cepat
sekali. Terhadap Siauw Houw Cu itu hari, ia cuma
mengharap mendapat kemenangan, tetapi terhadap si
nona sekarang, ia bagaikan hendak mengadu jiwa. Ketika
ia mencabut pedangnya itu terdengar suaranya "Ser!"
keras sekali, sebab gerakannya dibarengi sama
serangannya, ialah jurus "Hoankang tohay" atau
"Membalik sungai, menumpakan laut." Itulah salah satu
jurus terlihai dari Keng To Kiamhoat. Sinar pedangnya
pun berkelebat berkilauan.
"Sungguh satu pedang mustika!" berseru si nona.
Agaknya dia terperanjat, tetapi tubuhnya mencelat ke
samping, kedua belah tangannya dikibaskan, mengebut
dengan tangan bajunya, hingga tangan baju itu bagaikan
gerakan menari. Tangan baju yang kiri menyambar ke
kanan, dan tangan baju yang kanan bagaikan
menggulung ke kiri.
Tiat Keng Sim heran menyaksikan gerakan itu. Di
dalam hatinya ia menjerit kaget dan kagum ketika tangan
baju itu berkelebat di depan matanya, sedang gerakan
pedangnya sendiri tidak mengasi hasil apa-apa. Dengan
sebat ia menarik pedangnya itu. untuk sebaliknya dipakai
menutup diri. guna melindungi tubuhnya, sesudah mana
barulah ia menyerang pula. Ia tidak sudi terus menjadi si
pembela diri. Nona Liong menginsafi tajamnya pedang mustika
orang, ia tidak mau berlaku sembrono. Ia mengerti baik
sekali, salah sedikit saja, tangan bajunya bakal terpapas
kutung, la lantas mengasi lihat kelincahannya, untuk
senantiasa menyingkir dari papasan atau tikaman
pedang. Maka biarnya Keng Sim bergerak dengan sangat
cepat, ia tidak dapat melanggar saja baju si nona.
123 "Sungguh ilmu pedang bukan sembarang!" berkata si
nona tertawa. Tidak enak Keng Sim mendengar pujian itu, sebab
nadanya rada mengandung sindiran. Di dalam keadaan
seperti biasa, tentunya ia sudah melepaskan pedangnya
itu, guna melawan dengan tangan kosong, tetapi
sekarang, tidak dapat ia berbuat demikian. Lawannya ini.
walaupun hanya seorang nona, ada lihai luar biasa. Di
sini ada bergantung kehormatannya. Sedang bingkisan
yang ia lindungi itu pun istimewa.
Habis tertawa, si nona bergerak lebih jauh.
Keng Sim penasaran, ia membabat ke arah pinggang
si nona. Nona itu berkelit, lincah gerakan pinggangnya, sebat
sampokan tangan bajunya. Dan pedang suaminya Bhok
Yan kena di bikin terpental nyamping!
Bukan main herannya Keng Sim. Ia menjadi kaget
ketika ujung tangan baju hampir melanggar nadinya.
Syukur ia cepat menghalau lengannya itu.
"Bagus! Bagus!" si nona memuji pula, sambil tertawa.
"Dengan beruntun kau dapat membebaskan diri dari tiga
jurusku!" Mendadak tubuhnya nona itu mencelat, kedua ujung
bajunya dikibaskan pula. Ia lantas mendesak.
Agaknya sia-sia belaka Keng Sim bersenjatakan
pedang, ia kena dirangsak si nona. Ia repot membela diri
hingga tidak ada saatnya untuk ia mencoba melakukan
penyerangan membalas. Saban-saban pedangnya itu
kena disampok mental.
124 Segera juga datang satu serangan, yang mengenakan
pundak si anak muda, hingga ia terhuyung, tetapi saking
sehatnya, dapat ia membalas menabas kutung sedikit
dari ujung baju nona itu, ujung baju yang kanan. Biar
bagaimana, dengan bersenjatakan pedang tajam, sedang
ia sebenarnya pun sangat gesit, pemuda ini tidak
selamanya jatuh di bawah angin.
Adalah di luar sangkaan si nona yang ujung bajunya
itu kena dilabas kutung. Pula Keng Sim sendiri tidak
menyangka yang ia bakal berhasil itu.
Segera setelah itu, anak muda ini kembali didesak
lawannya. Ia bagaikan tidak hendak diberikan ketika
untuk bernapas.
Bhok Lin menonton dengan melongo. Hebat gerakan
pedang cihu-nya tetapi tak kurang hebatnya ujung baju
menyambar-nyambar. Ujung baju itu dapat dibikin lemas
dan kaku sekehendak si nona. Saking kagum, ia
mengharap-harap pertandingan itu nanti berlangsung
lama... Lama-lama, hati Keng Sim menjadi ciut. Ia mendapat
kenyataan yang ia telah terdesak hebat sekali. Si nona
sebaliknya tetap lincah. Kalau keadaan terus berlangsung
demikian, setelah letih, mana sanggup ia melayani
terlebih jauh" Oleh karena ini, ia terpaksa mengubah
pula ilmu silatnya Keng To Kiamhoat memang bukan
sembarang ilmu pedang. Kalau tidak, gurunya tidak akan
tersohor sekali. Kali ini ia mengambil sikap, daripada
kalah baiklah bercelaka berdua!
Karena ini, ia menjadi seperti mendapat tenaga baru.
125 Sesudah menonton sekian lama Bhok Lin dapat
melihat kenyataan. Dalam tenaga dalam, nona itu kalah
dari Siauw Houw Cu, sebaliknya dalam ringan tubuh, si
nona menang daripada Keng Sim. Dalam halnya gerakan
yang luar biasa, nona itu seperti terlebih lihai daripada
Siauw Houw Cu. Mungkin si nona tak kalah dengan Sin
Cu yang pandai dalam ilmu "Coanhoa Jiauwsi."
Kemenangan Keng Sim adalah berkat pedang mustikanya
itu. Lantas saja Bhok Lin mendapat serupa pikiran: "Kalau
nona ini bertempur sama Siauw Houw Cu, alangkah
menariknya! Tentu sekali mereka sama unggulnya..."
Tidak lama Keng Sim mengasi lihat perubahan
pedangnya. Sebab ia telah keluarkan jurus "Samhoa
kayteng," atau "Tiga kuntum bunga menutupi batok
kepala." Pedangnya itu seperti saling susun menyerang si
nona. Bhok Lin kaget dan berkuatir. Kasihan sekali kalau si
nona, yang demikian cantik, mesti roboh di ujung
pedang. Kalau dia tidak terbinasa, mestinya dia bercacad.
Sungguh sayang... Di lain pihak, kalau sang cihu yang
kalah, hilanglah barang bingkisan itu! Bagaimana dengan
tanggungjawabnya nanti" Bukankah akan gagal
kepergian mereka ke kota raja"
Tengah Bhok Lin bingung, kupingnya mendengar
tertawanya si pelayan yang bernama Ciu Kiok, yang pun
berseru: "Sungguh indah itu jurus "Tangan baju terbang
mega melayang"!"
Pula si pelayan Tong Bwee, yang turut tertawa, juga
berkata: "Kau lihat gerakan nona! Bukankah indah
jurusnya Tangan Baju Besi itu?"
126 Baru saja berhenti suaranya pelayan itu atau Keng Sim
sudah mengasi dengar seruan tertahan. Dengan tiba-tiba
saja pedangnya terlepas dari cekalannya pedang itu
mencelat ke tinggi, seperti terbang ke tengah udara!
Sebab berhasillah si nona dengan jurusnya "Tangan
baju besi" itu dengan apa ia mengetok nadi si anak
muda, hingga dia ini terkejut dan tanpa merasa
kendorlah cekelan pada pedangnya, hingga ketika kena
disampok ujung baju, lantas pedang itu terbawa terbang
tinggi. Hanya syukur, habis serangannya itu yang
berhasil nona itu tidak mengulanginya menyerang pula.
Keng Sim berdiri menjublak, tak keruan rasanya,
wajahnya pun pucat. Ia kaget dan malu.
Bhok Lin juga berdiam, ia menyesal bukan main.
Tapi aneh juga si nona, sesudah menang, dia tidak
tertawa, atau bersenyum, dia tidak bergirang, sebaliknya,
dia menghela napas...
Hertog muda itu heran.
"Dia menang secara cemerlang, kenapa dia justeru
bersusah hati?" pikirnya.
Itu waktu lantas terdengar tertawanya Hee Ho. yang
berkata: "Walaupun nona mesti menggunakan dua jurus
lebih banyak tetapi itulah karena perbedaannya ilmu
silat, maka itu belumlah dapat dipastikan yang Sin Liong
kalah dari Giok Houw!"
Mendengar ini barulah Bhok Lin mengerti. "Sin Liong"
atau si Naga Sakti ialah si nona, dan "Giok Houw" atau
Harimau Kumala, ialah si anak muda atau Siauw Houw
Cu, dan mereka itu telah menggunakan jurus yang


Kisah Pedang Bersatu Padu Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

127 berlainan. Nona itu memperoleh kemenangan sesudah
jurusnya yang ketiga belas.
Setelah berdiam sebentar, nona itu mengibaskan
tangannya seraya berkata dengan tawar: "Ambillah
barang bingkisannya itu!"
Hee Ho tertawa, dia menghampirkan Bhok Lin.
"Siauwkongtia, maaf!" katanya seraya tangannya
menjambret ke punggung si Herlog muda, mengambil itu
kotak buku yang berwarna merah, sesudah mana ia
berlalu bersama tiga kawannya, mengikuti nonanya.
Bhok Lin tercengang.
Jalan belum terlalu jauh, Hee Ho menoleh ke belakang
kepada pengiring atau pelindung barang bingkisan itu,
sambil tertawa, ia mengacungkan barang rampasannya,
kemudian ia melanjuti perjalanannya.
Ketika itu tengah hari tepat. Air mancur tertampak
indah tertojoh sinar matahari, bagaikan bianglala. Di
seluruh gunung itu terlihat daun-daun hijau dari pohon
teh, yang menghembuskan bau harum yang halus.
Keng Sim berdiri menyender pada sebuah pohon teh,
ia mirip seorang sakit, yang telah kehabisan tenaganya.
"Cihu, pedangmu!" berkata Bhok Lin.
Hertog ini memungut pedang iparnya itu, untuk
dikembalikan. Keng Sim mengawasi air mancur, ia seperti
mendengar dan tidak melihat. bahkan ia bersenandung
perlahan: "Bagaikan perahu menggeser ke muara,
128 satu muara lewat lain muara,
bertambah sukar,
demikian habisnya sinar pedang...
Kalau air mancur mengalir terus,
maka bayangan matahari telah membeku..."
Anak muda ini berduka, hingga ia ingat itu
pembilangan, gelombang yang di depan digempur ombak
yang di belakang, bahwa benda itu senantiasa bertukar,
sebagai juga anak muda terus muncul. Rasanya baru
beberapa tahun ia hidup merantau, atau sekarang sudah
ada orang yang melomba... Entah masih ada berapa
banyak lagi orang yang jauh terlebih pandai
daripadanya..."
"Itulah kejumawaan!" berkata Bhok Lin tertawa.
Keng Sim berdiam, ia jengah sekali.
Bhok Lin terus menggoda, dia tertawa pula.
"Jangan ngaco!" kemudian ipar itu membentak.
"Sudahlah, mari lekas kita menuju ke Siangjiauw,"
kata Bhok Lin yang masih dapat tertawa. "Kalau sebentar
sang sore datang dan angin dingin meniup keras, hawa
bakal menjadi bertambah dingin!"
Hatinya Keng Sim benar-benar tawar, akan tetapi ia
masih ingat yang kedua guru silat yang menjadi
kawannya tentu tengah menantikan di Siangjiauw. maka
itu, umpama kata ia mesti kembali ke Kunbeng, dua
orang itu mesti diberitahu dulu.
"Baiklah," katanya terpaksa.
129 Maka dengan lesu keduanya berangkat.
Tiba di Siangjiauw, hari sudah gelap. Keng Sim
mencari hotel yang paling besar. Selagi ia menanya
kalau-kalau di situ ada menumpang dua guru silatnya, si
guru silat sendiri sudah lantas muncul. Mereka ini
memang tengah menantikan, sebab habis bersantap
malam mereka belum melihat datangnya si Hertog muda
dan menantunya Bhok Kokkong itu.
Heran kedua busu itu menyaksikan roman kucel dari si
menantu Hertog.
"Apakah sudah terjadi?" diam-diam Yo Po menanya
Bhok Lin. "Jangan banyak omong!" Keng Sim membentak. "Mari
kita bicara di dalam!"
"Ya," sahut guru silat yang kedua. "Kamar sudah
disediakan. Di kamar sebelah selatan ada seorang
tetamu tengah menantikan..."
Bhok Lin heran.
"Siapakah dia?" ia menanya. "Kalau Siauwkongtia
sudah menemui dia, nanti kau ketahui sendiri."
Bhok Lin mengawasi guru silat itu. yang tertawa
secara aneh, hingga ia jadi bertambah heran.
"Di sini di mana aku mempunyai kenalan?" pikirnya.
Mereka lantas masuk ke dalam.
"Tetamu itu ada di sini." berkata si guru silat tadi.
"Katanya dia mau bicarakan urusan penting sama
Siauwkongtia, karenanya tidak usah kami turut masuk."
Keng Sim mendongkol.
130 "Siapakah yang main gila!" katanya. Dengan keras ia
menolak daun pintu kamar sebelah selatan itu.
Pintu tidak dikunci, maka itu, karena ditolak keras,
daunnya lantas menjeblak. Hampir si anak muda
terjerunuk ke dalam karena ia telah menggunakan
tenaga besar. Di dalam kamar lantas terdengar tertawa dingin.
Itulah Siauw Houw Cu, yang tengah duduk bercokol,
mukanya tersungging senyuman.
Mau atau tidak, Keng Sim menjadi melengak.
Bhok Lin lompat masuk.
"Siauw Houw Cu!" katanya berteriak. "Kau bikin kami
celaka!..."
Hertog muda ini mendongkol, maka ia lantas
menyerang sahabatnya itu.
Siauw Houw Cu menangkap tangan orang, ia
menekan. "Kenapa aku membikin kau celaka?" tanyanya.
"Benderamu itu!" kata si anak muda. "Begitu aku
mengasi lihat benderamu, bendera itu lantas disobek!
Barang bingkisan kita juga dirampas! Kalau tidak ada
benderamu itu, mungkin orang masih menimbangnimbang!
Hm!" "Ha!" bersuara sahabat itu. "Jadi benar terjadi
perampasan! Jadi benarlah, selama dua hari. mereka
sudah merampas barang bingkisan dari Hokkian dan
Inlam!" 131 Memang, baru tadi Siauw Houw Cu mendengar kabar
hal bingkisan dari Hokkian telah ada yang rampas di
tengah jalan. Ia datang dengan cepat, maksudnya untuk
melindungi Keng Sim dan Bhok Lin ini, siapa sangka, ia
ketinggalan, sebab perampasan sudah terjadi di Buie
San. Bhok Lin sudah lantas tuturkan terjadinya perampasan
itu. Siauw Houw Cu mendengar dengan sabar, kemudian
ia pentang kedua matanya.
"Sekarang pergilah kamu terus ke kota raja!" katanya
kemudian. "Untuk apakah?" kata Siauwkongtia "Apakah untuk
orang tertawakan?"
"Bukan. hanya untuk memperlihatkan muka terang!"
kata Siauw Houw Cu. "Tentang bingkisan dari Inlam itu
kau serahkan padaku, nanti aku yang merampas pulang!
Asal kamu telah tiba di kota raja. aku ada mempunyai
jalan untuk menyerahkan itu kepada kamu!"
"Benarkah itu?" tanya Bhok Lin. Dia lantas menjadi
girang. "Mustahil aku bicara main-main?" Siauw Houw Cu
membaliki. "Bagus!" Bhok Lin berkata pula. "Kau seperti membagi
aku obat untuk menenteramkan pikiran! Kau tahu, dia
telah merobohkan Cihu dalam jurusnya yang ketiga
belas! Aku percaya asal kau dapat cari dia kau bakal
menang dengan hanya separuh jurus itu!"
Siauw Houw Cu tertawa
132 "Aku mengerti!" katanya. Lantas dia tertawa, sambil
tertawa, dia lompat menembrak jendela, maka di lain
saat. menghilanglah dia!
III. Harimau Kumala ketemu Naga Sakti
Seberlalunya dari hotel, Siauw Houw Cu alias Thio
Giok Houw telah melangsungkan terus perjalanan-nya
maka di hari kedua tengah hari, tibalah ia sudah di
Sianhee Leng, gunung yang menjadi perbatasan tiga
propinsi Ciatkang, Kangse dan Hokkian.
Semasa jaman ahala Tong, di sana pemberontak Hong
Cauw (Uy Cauw) telah membuka jalanan gunung
panjangnya tujuh ratus li hingga sampai di Thongciu.
maka setelah diadakannya sebuah kota, Sianheekwan
namanya itulah jalanan untuk kedua propinsi Ciatkang
dan Kangse (Kangsay).
Thio Giok Houw mengatakan hendak menolongi Bhok
Lin mendapati pulang barang bingkisan, sebenarnya di
dalam hatinya ia bingung, la mesti meraba-raba!
Siapakah nona she Liong itu" Kenapa si nona seperti
menyaterukannya" Apakah maksud si nona merampas
barang bingkisan itu"
Sia-sia Giok Houw coba mencari keterangan.
Sebaliknya, ia memperoleh endusan, bahwa kiriman
bingkisan tiga propinsi Ouwlam, Kangse dan Ouwpak,
bakal lewat dalam beberapa hari ini. Maka berpikirlah ia.
133 Ia menerka, sesudah kepalang si Nona Liong tentunya
akan merampasjuga barang bingkisan ketiga propinsi ini.
Oleh karena ini ia menitahkan Ciu Ci Hiap,
pembantunya itu, pergi ke Ciatkang, untuk memimpin
perampasan pada barang bingkisan dari Kanglam. ia
sendiri hendak mencari Nona Liong itu, yang sepak
terjangnya bagaikan naga sakti, yang nampak kepalanya,
tidak ekornya...
Jalanan pegunungan ini adalah jalanan penting di
antara kedua propinsi Ciatkang dan Kangse, maka itu, di
situ tak sedikit orang yang berlalu lintas, hanya di antara
mereka itu. tidak ada yang Thio Giok Houw melihatnya
mencurigai. Bukan saja ia tidak melihat si Nona Liong,
pula tidak ada seorang hamba negeri yang bisa disangka
sebagai pelindung atau pengiring barang bingkisan.
Sampai tengah hari Giok Houw berjalan, tibalah ia di
sebuah lembah di mana pun ada air mengalir. Di sini,
orang yang berlalu lintas menjadi jarang sekali, la lantas
mempercepat jalannya, sampai mendadak kupingnya
mendengar suara bentakan di sebelah depannya. Ia
lantas mengangkat kepalanya, memandang ke depan itu,
hingga ia nampak sesuatu yang mendatangkan
keheranannya. Di depan itu ada berjalan dua orang yang dari kepala
hingga di kakinya dibungkus dengan kain minyak. Mereka
itu berjalan sambil berlompat berjingkrak, setiap
lompatannya sama dengan dua tindakan orang biasa,
hanya lompatnya perlahan. Di belakang mereka
mengikuti dua orang dengan pakaian serba hitam, yang
tangannya mencekal cambuk, yang saban-saban diayun.
Mereka ini berdualah yang terdengar suara bentakannya
134 itu, seperti orang lagi menggebah, menyuruh orangjalan
cepat. Mereka ini pula menunjuki roman tawar...
"Bukankah ini yang dinamakan mayat hidup yang jalan
selaksa li?" Thio Giok Houw menduga-duga. Ia memang
pernah mendengar bahwa di Ouwlam Barat ada
semacam kebiasaan. Ialah kalau ada orang asing, artinya
orang dari lain kampung atau propinsi mati. karena
sukarnya pengangkutan mayat, maka digunailah "ilmu"
yang membikin mayat itu bisa berjalan, ada orang atau
dukunnya yang mengantar, yang dapat memerintahkan
mayat itu berjalan atau berhenti sekehendaknya si
dukun. Sampai belasan hari, mayat itu tidak akan berbau
busuk. Hanya ilmu itu adalah ilmu yang dirahasiakan dan
juga banyak pantangannya. Ada dibilang, kalau orang
menemui mayat hidup itu, dia mesti lekas menjauhkan
dirinya, terutama jangan berbicara sama si pengiring
mayat itu. Orang Kangouw hampir tak ada yang tak tahu hal
kegaiban itu. Thio Giok Houw tidak menjadi kecuali,
tetapi ia barulah kali ini melihatnya dengan mata sendiri.
Tentu sekali ia menjadi heran dan bercuriga, tapi ia
berhati besar, ia tidak takut, bahkan karena rasa ingin
tahunya, ia lantas menguntit.
Sesudah mengintil sekian lama. Giok Houw melihat di
sebelah depan ada seorang yang bercokol tepat di
tengah jalan sekali. Orang itu mestinya mengetahui di
situ ada mayat hidup tengah berlewat tapi dia tidak
menghiraukannya, dia tidak mau minggir juga. Dia
membawa sikap seperti dia tidak melihatnya.
Juga kedua pengiring mayat hidup itu seperti tidak
melihat ada orang mengandang di tengah jalan itu.
135 seperti biasa mereka jalan terus, cambuknya tetap sering
diayun, bentak-bentakannya saban-saban terdengar.
Thio Gok Houw mengawasi pada orang di tengah jalan
itu. "Ah, rasanya aku seperti mengenal dia..." pikirnya. "Di
mana pernah aku menemukannya" Dia bernyali besar
sekali. Coba aku lihat, apa bakal terjadi..."
Segera juga kedua mayat hidup sudah berlompat
sampai di depan orang itu. Mendadak dia berlompat
bangun, terus dia menegur kepada si kedua pengiring:
"Eh, apakah kamu berjalan tanpa membawa mata kamu"
Kenapa kamu membiarkan dua mahluk sial ini melanggar
aku?" Te guran ini diikuti sama serangan sebelah
tangannya! Dua pengiring itu tetap tidak meladeni, air mukanya


Kisah Pedang Bersatu Padu Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pun tidak berubah sedikit juga. Mereka seperti manusia
yang tak berperasaan, mirip dengan si mayat hidup, yang
tidak perdulikan segala apa.
Tepat di saat tangan menyerang itu mengenai baju
mayat hidup, mendadak dia berteriak keras, bagaikan
orang kalap, dia terus berlompat berjingkrakan seperti
mayat hidup itu, lompatnya lebih tinggi lagi. Dia masih
berjingkrakan terus sampai mendadak kakinya terpeleset,
tubuhnya roboh terguling. Celaka untuknya,
diatergulingketepi jalanan di mana ada jurang, tidak
ampun lagi, tubuhnya jatuh ke tempat yang dalam kira
seratus tombak. Berbareng dengan jatuhnya itu
terdengar jeritannya yang menyayatkan hati.
Thio G:ok Houw bernyali besar akan tetapi mendengar
jeritan itu, ia bergidik, hatinya berdenyutan. Selagi ia
136 heran, karena ia tidak tahu kenapa orang itu menjerit
dan berjingkrakan, mayat hidup itu berserta pengiringnya
terus berjalan maju seperti biasa, si mayat hidup
berjingkrakan, dua pengiringnya membentak-bentak...
"Apakah benar ada mayat hidup?" Thio Giok Houw
berpikir keras. "Benarkah di kolong langit ini ada
keanehan ini?"
Ia lantas lari ke tepi jurang, akan melongok ke bawah.
Ia melihat orang tadi terbawa hanyut air solokan yang
deras, tubuhnya nyangsang di sebuah batu besar.
Solokan itu pun berair dangkal. Untuk dapat menolongi,
ia lari ke hilir itu, terus turun ke bawah. Kemudian
dengan lompat jumpalitan, ia menaruh kaki di batu besar
itu, tangannya menjambret tubuh orang, untuk diangkat
dan dibawa lompat lebih jauh pula. Maka kembalilah ia
ke tepian bersama orang itu. Ia lantas meletakkannya di
tanah, untuk menatap muka orang, jang pakaiannya
telah basah semua. Mendadak ia terkejut.
"Eh, kaukah Lo Toako?" tanyanya.
Ia tidak memperoleh jawaban. Orang itu sudah
berhenti bernapas. Sekarang ia mengenali betul, si Lo
Toako ini ---- kakak she Lo ---- adalah Lo Ceng,
pemimpin kedua dari kawanan dari benteng Cayhong Ce
di gunung Sianhee Nia. Kawanan dari Cayhong Ce ialah
salah satu yang bertugas turut memegat dan merampas
barang bingkisan pelbagai propinsi untuk raja di kota
raja. Ia memang berniat pergi ke benteng Cayhong Ce
itu, untuk menanyakan keterangan hasil mereka siapa
tahu di sini ia menemui pemimpinnya yang kedua yang
menerima ajalnya secara aneh dan hebat sekali.
137 Selagi bengong mengawasi mayat orang sedang
pikirannya bekerja tiba-tiba Thio Giok Houw merasakan
tangannya gatal-gatal. Ia menjadi heran dan bercuriga,
dengan lantas ia merobek baju Lo Ceng di betulan
dadanya. Maka sekarang ia melihat tubuh orang matang
biru seperti terkena racun.
"Ah!" ia berseru seorang diri. Lantas ia mengeluarkan
senjatanya dengan apa ia menusuk jeriji tengahnya,
untuk memeras keluar darahnya, habis mana ia merogoh
saku untuk mengambil obatnya peranti memunahkan
racun, obat mana ia telan dengan cepat. Ia tahu yang ia
telah keracunan karena memegang tubuh Lo Ceng itu.
Sukur untuknya karena kecebur di air dan terhanyutkan,
racun di baju Lo Ceng itu sudah hampir habis, maka ia
cuma merasa gatal. Kalau tidak, entah bagaimana
jadinya, la pun lantas bersamedhi, guna meluruskan
pernapasannya. Tidak lama, dengan menguatkan hati, Thio Giok Houw
meninggalkan mayat Lo Ceng itu. Dengan merayap ia
mendaki jurang. Ia bertambah heran dan curiga, ia jadi
ingin mengetahui duduknya hal, maka ia berlari-lari, akan
menyusul mayat-mayat hidup itu serta dua pengiringnya
yang aneh. Syukur, belum terlalu lama, ia telah melihat
punggung mereka itu. Maka ia lantas menguntit pula.
Ketika itu sudah magrib, cuaca telah berubah menjadi
guram. Kuping Thio Giok Houw mendengar bentakanbentakan
yang serupa tadi, dan matanya menampak
kedua mayat hidup berjingkrakan, tanpa merasa, ia
merasa seram sendirinya. Mereka sekarang berada di
tanah pegunungan yang sunyi sekali.
138 "Biarnya kamu mayat hidup tulen, akan aku mencari
tahu terus," Thio Giok Houw telah mengambil putusan.
Maka ia mengikuti, terus sampai di sebuah kuil tua.
Sekarang ini jagat sudah mulai gelap. Ia pergi ke
belakang kuil, hatinya bekerja.
"Tidak bisa salah lagi, Lo Ceng itu mesti terkena
tangan jahat kedua mayat hidup itu," pikirnya. "Tapi kaki
dan tangan mereka tertutup kain minyak, cara
bagaimana mereka menurunkan tangannya" Aku tidak
melihat gerakan mereka itu... Kenapa mereka menyamar
sebagai mayat hidup dan begitu bertemu orang lantas
menyerang hebat" Baik di kalangan Hitam maupun di
kalangan Putih, belum pernah aku mendengar ada orang
demikian ganas..."
Tidak lama lagi sang Puteri Malam mulai menaik
tinggi, maka itu. Giok Houw lantas melompati tembok
masuk ke pekarangan dalam dari mana dengan hati-hati
ia pergi ke depan. Ia masuk ke dalam pendopo. Di sini ia
bersembunyi di belakang sebuah tihang yang besar. Ia
mendapat keleluasaan akan melihat ruang pendopo itu.
Segala apa sudah tua dan rusak di dalam pendopo itu.
Di atas meja ada patungnya Sang Buddha. Di atas
meja itu pun ada pelita, yang apinya berkelak-kelik.
Kelambu patung pun sudah tinggal separuh.
Kedua pengiring mayat hidup duduk bersila, dan
kedua mayat hidup bersender di tihang. Maka suasana di
dalam kuil itu sungguh menjerikan hati.
Selagi Giok Houw terus mengawasi, mendadak ia
mendengar kedua pengiring mayat hidup itu mengasi
dengar suara kaget sendirinya.
139 "Ah, di sini seperti ada suara napasnya orang hidup!"
berkata satu di antaranya.
Giok Houw terkejut, ia tercengang.
"Benarkah orang telah mendengar aku?" pikirnya. Ia
heran sekali. Kenapa orang mendapat dengar suara
napas" Sebagai juga jawaban untuk pengiring mayat itu,
mereka lantas mendapat dengar suara tertawa geli di
dalam ruang itu juga. Mereka menjadi kaget, keduanya
lantas berpaling.
"Siapa?" mereka menegur. "Perlu apa di sini kau main
gila seperti malaikat atau iblis?"
Tiba-tiba kelambu patung tersingkap, maka di atas
meja nampak duduk bercokol seorang nona.
Selain dua orang itu, juga Giok Houw heran bukan
main. Tidak ia pernah menyangka bahwa di situ ada
seorang lainnya lagi. Dua pengiring itu tercengang.
Nona itu tertawa terkekeh.
"Aku justeru hendak mencari tahu siapa yang
sebenarnya main gila seperti malaikat atau iblis!"
katanya, mengejek.
Belum nona itu bicara habis, di situ telah terdengar
bunyi menyambarnya senjata rahasia. Ia lantas
mengibaskan tangan bajunya. Dua batang senjata
rahasia menyambar ke arahnya. Itulah serangan kedua
pengiring mayat itu, yang menggunakan pusut beracun.
Sesudah menangkis, nona itu bercokol, tangannya
menghunus pedang. Ia berlompat ke depan salah satu
mayat hidup, yang terus ia tikam!
140 Thio Giok Houw melihat nyata gerakan si nona, ia
kagum sekali. Caranya dia menangkis senjata rahasia,
berlompat seraya menghunus pedang dan menikam,
sebat luar biasa.
Seorang pengiring mayat hidup berseru: "Di sini ada
mayat hidup, orang hidup tidak boleh datang dekat! Kau
mencari mampusmu sendiri?" Tapi belum dia menutup
mulutnya, pedang si nona sudah mengenai baju minyak
dari si mayat hidup. Berbareng dengan itu terdengarlah
suara pedang mengenai batu atau kayu keras, bukannya
mengenai tubuh yang berdarah daging. Dan membarengi
tikaman itu, di situ menghembus asap berwarna kuning!
Giok Houw kaget bukan main, dengan sebat ia
menahan napas dan memasuki obat pemunah ke dalam
mulutnya. Selagi asap kuning itu berkebul, di situ pun terus
terdengar suara beradunya senjata tajam. Asap itu tidak
berdiam lama, ketika dari luar ada angin bertiup masuk,
buyarlah semua.
Thio Giok Houw lantas melihat suatu sinar terang
berkelebat, atau tertampak robohnya dua orang-orangan
kayu disusuli serta jatuh belarakannya batu-batu permata
di lantai pendopo itu. Di situ pun lantas tertampak si
nona mulai dikepung oleh dua orang, melihat siapa, hati
bisa berdenyutan keras. Luar biasa dua orang itu. Di
leher mereka tergantung rencengan uang-uangan kertas,
baju mereka ialah baju berkabung, sedang langan
mereka memegang senjata yang berupa tangthung.
Dilihat seluruhnya, mereka mirip dengan mayat.
Menyaksikan itu semua, hatinya Giok Houw
berdenyutan. Ia pernah mengikuti Hek Pek Moko dan
141 pernah melihat banyak macam barang permata tetapi ini
yang bergeletakan di depan matanya benar-benar
istimewa, beberapa di antaranya berharga seharganya
sebuah kota. Jadi itu bukanlah barangnya sembarang
saudagar permata.
Di antara itu pun ada satu amplop besar yang
tersegel. Dengan matanya yang awas, Giok Houw
melihat ceplokan cap dari pembesar negeri, yang
warnanya merah. Adalah setelah melihat surat itu, ia
lantas mengerti duduknya hal.
Teranglah permata itu ada barang bingkisan dari
propinsi Ouwlam dan kedua mayat hidup itu serta kedua
pengiringnya adalah si pelindung. Di dalam kain minyak
dari mayat hidup itu ada disimpan juga dua orangorangan
kayu itu. Sungguh suatu pikiran bagus akan
menyamar menjadi mayat hidup. Memang, siapa berani
mengganggu mayat hidup, sedang untuk melanggar saja
orang takut" Siapa akan menduga, barang bingkisan itu
bisa berada di tubuh si mayat hidup itu"
Tapi sekarang ini yang menarik sangat perhatiannya
Thio Giok Houw bukan lagi barang-barang permata atau
upeti yang berharga besar sekali itu hanya si nona yang
lagi menempur kedua mayat hidup. Ia lantas menduga
kepada nona yang disebutkan Bhok Lin. Dia ini tentulah
si Nona Liong itu. Ia berdiam terus, ingin ia menyaksikan
kesudahannya pertempuran itu.
Kedua mayat hidup itu berkelahi dengan tetap
berjingkrakan, gerakan tangthung mereka luar biasa,
itulah bukan ilmu silat tongkat atau toya yang biasa.
Sudah kira-kira tiga puluh jurus mereka bertempur,
lalu mendadak si nona berseru: "Apakah kamu masih
142 tidak mau mengasi lihat wajah kamu yang sebenarnya"
Kamu hendak menunggu sampai kapan lagi?" Terus
pedangnya berkelebatan cepat sekali, menikam ke kiri,
membabat ke kanan.
Kedua mayat hidup itu nyata bukannya orang-orang
lemah, mereka melawan dengan tidak kurang hebatnya.
Mereka pula dapat memainkan tangthung mereka
dengan sempurna Demikian selagi dirangsek si nona,
mendadak mereka menghajar dengan berbareng.
Kelihatannya si nona sudah sangat terdesak, untuknya
seperti tidak ada ketika lagi buat menangkis atau
berkelit. Benar-benar dia lihai sekali, tubuhnya sangat
lincah. Hanya sedetik saja, dia dapat mengelit diri, kedua
tangthung lewat di sampingnya. Sebaliknya, selagi
senjata lawan jatuh di tempat kosong, pedangnya
bekerja terus. Celaka mayat hidup yang di kanan, dia
kena tertusuk. Mayat hidup yang kiri mencoba menutup diri. ia pakai
senjatanya untuk berlindung. Ia berhasil dengan
tangkisannya, hanya berbareng dengan itu, gegamannya
itu beradu dengan pedang, tertabas putus seketika juga.
"Bagus!" berseru Giok Houw di dalam hatinya memuji
ilmu pedang si nona.
Mayat hidup yang di kanan itu tidak roboh, berbareng
sama kawannya, yang tangthungnya putus, dia tertawa
terbahak. Sebab menyusuli kutungnya senjata itu,
semacam tongkat hauwlam atau anak berbakti selama
waktu upacara penguburan orang yang menjadi ayah
atau ibunya, dari kutungan senjata menghembus hawa
kuning bagaikan asap!
143 Giok Houw melihat hawa itu, dia kaget sekali. Tubuh si
nona yang lemas menggeliat, lantas dia roboh terguling!
Mayat hidup yang di kanan itu tertawa pula,
tangthungnya menyusuli menyerang.
Hebat serangan ini, dengan suara nyaring senjata luar
biasa itu mengenai lantai. Oleh karena si nona yang gesit
sekali, telah menggulingkan tubuhnya jauh kira-kira satu
tombak. "Ah!" Giok Houw menghela napas lega. Si nona syukur
tidak terkena hawa beracun itu.
Satu bencana baru lewat, atau lain bencana menyusul.
Nona itu menggulingkan diri justeru ke arah kedua
pengiring mayat hidup itu. yang semenjak tadi berdiri
menonton saja. Mereka ini melihat saatnya yang baik,
dengan lantas mereka menyambuti, menghajar nona itu
dengan cambuk mereka. Itulah cambuk kulit bukan


Kisah Pedang Bersatu Padu Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sembarang cambuk.
Lagi-lagi Giok Houw terkejut, hanya kali ini ia terus
turun tangan. Ia menganggap si nona berada dalam
ancaman bahaya Tanpa bersangsi lagi, ia menimpuk
dengan dua batang jarumnyajarum Bweehoaciam, yang
ia telah siapkan di dalam telapakan tangannya.
Si nona terancam bahaya tetapi mendadak dia tertawa
panjang, tubuhnya mencelat dari tanah, menyingkir dari
cambuk. Bagaikan terbang, dia melewati atasan
kepalanya dua penyerangnya itu, yang menghajar ia
sambil tubuhnya sedikit membungkuk. Si dua penyerang
sebaliknya kaget dan kesakitan, hingga mereka berkaok.
Lengan mereka terkena jarum. Lantaran ini, cambuk
144 mereka pun nyasar dari sasarannya, terus mengenakan
hiolouw hingga abu hio jadi muncrat berhamburan!
"Ah!" kata Giok Houw di dalam hatinya, kalau tahu dia
begini lihai, tak perlu aku membantu dia dengan
jarumku..."
Sementara itu. gerakan si nona berlangsung terus.
Kembali terdengar tertawanya yang panjang. Kali ini
disebabkan dia berhasil bergantian menyontek mukanya
kedua mayat hidup, yang memakai topeng, hingga
tertampaklah wajah mereka yang asli.
"Haha!" demikian tertawanya si nona. "Aku
menyangka siapa, kiranya kamulah kedua Ciok Toaya
dari Kiangsi Bun dari Sinciu!"
Kedua mayat hidup itu melengak sejenak. Mereka
memanglah Ciok Ciat dan Ciok Hu, dua saudara kembar
dari Sinciu di propinsi Ouwlam. Sinciu adalah kota di
mana terdapat ilmu gaib, tempatnya dukun-dukun yang
biasa disebut ciokyuko. Kiangsi Bun berarti partai Mayat
Kaku, atau lebih benar, mayat hidup. Segala keanehan di
sana, yang bersifat tahayul, tentu dilakukan dua saudara
ini atau murid-muridnya. Karena ilmu sesat mereka itu,
kaum Rimba Persilatan juga malui mereka. Sunbu dari
Ouwlam hendak mengirim bingkisan ke kota raja, untuk
menjamin keselamatan, tanpa merasa hina diri, ia
mengundang dua saudara Ciok itu, untuk membantu ia
melindungi bingkisannya itu. Mereka ini, yang umumnya
disebut tianglo, atau ketua, menerima tugas itu. Untuk
namanya keselamatan, mereka dapat memikir akalnya itu
yang lihai. Dua pengiringnya itu ialah murid-murid
mereka yang dapat diandali. Mereka sendiri berparas
145 sebagai mayat, karena mereka selalu membawa dan
mengenakan topeng.
"Hai, kedua mahluk aneh, untuk apa kamu melotot
saja?" tanya si nona tertawa. "Siapa yang takut kepada
kamu?" Dua saudara kembar itu menjadi gusar sekali.
"Oh, nona cilik yang tak tahu mampus!" membentak
mereka yang terus terseru: "Mari!" Maka bersama kedua
murid mereka, mereka mengurung nona itu.
Si nona benar bernyali besar. Ia tidak menjadi jeri
meskipun ia menghadapi empat musuh yang mempunyai
senjata rahasia beracun itu. Ia bahkan tertawa. Dengan
tiba-tiba ia membalingkan pedangnya.
Ciok Ciat berempat merasakan sambarannya hawa
dingin dari pedang itu, seperti juga ujung pedang nempel
di muka mereka. Hampir berbareng mereka berlompat
mundur. Kemudian baru mereka maju menyerang.
Mereka tidak mendesak tetapi mereka bisa mengepung
dengan baik. karena mereka menggunakan senjata
panjang terutama kedua murid itu dengan cambuk
mereka. Nona itu melayani dengan baik. cuma sebab musuh
berjumlah banyak dan tidak dapat dipandang ringan,
pertempuran mengambil tempo yang lama. Dengan
cepat telah berlangsung seratus jurus tetapi mereka
masih sama unggulnya.
Thio Giok Houw menonton dengan kekaguman.
Sekarang ia melihat tegas ilmu silat si nona adalah ilmu
silat suatu partai tersendiri, sedang kelincahan tubuhnya
tidak usah kalah dengan kelincahannya sendiri yang
146 didapat dari ilmu "Coanhoa jiauwsi," atau "Menembusi
bunga, mengitari pohon."
Tengah mereka berkutat seru, sekonyong-konyong
tubuh si nona mencelat ke belakang dari si kedua
pengiring, yang berbaju hitam. Mereka ini lantas
menyambuk ke belakang tanpa memutar tubuh lagi.
Si nona berkelit seraya kakinya terus menyambar,
membikin belasan mutiara di lantai bergerak
bergelindingan.
Semenjak tadi semua mutiara itu terletak di tanah,
tidak ada seorang yang berani menginjaknya. Barang
bundar dan licin, siapa menginjak itu, dia bisa terpeleset.
Sekarang si nona menendangnya.
"He, kau bikin apa?" membentak si kedua pengiring.
Mereka berlompat, akan menyingkir dari butir-butir
mutiara itu. Di luar dugaan, nona itu menyapu dengan kakinya
dengan sengaja menyapu belasan butir mutiara itu yang
besar-besar ke arah mereka.
Sebenarnya mutiara itu. kalau baru satu kali keinjak,
tidak nanti pecah, akan tetapi mereka, yang mengiringi
barang bingkisan, cuma memikirkan barang-barang yang
dilindunginya itu tidak rusak, maka itu, tak sempat
mereka berpikir, justeru mereka berkelit, justeru mereka
kena melanggar mutiara itu. begitu kakinya menginjak,
dua di antaranya lantas roboh terguling, ke empat kaki
mereka menjulang ke atas!
Segera setelah itu, si nona maju sambil pedangnya
berkelebat. 147 Ciok Ciat mengangkat senjatanya, tongkat koksong
pang ialah semacam tangthung. untuk menangkis.
Karena tangkisannya ini, kedua senjata beradu dengan
menerbitkan suara. Kesudahannya, ia kaget sekali.
Tongkatnya itu kena terbabat pedang dan kutung!
Menyaksikan itu, Thio Giok Houw berpikir: "Hebat
nona ini, dia baru dipedayakan atau dia telah bertindak
pula!" Tongkat Ciok Ciat yang putus itu lantas
menyemburkan satu sinar terang serta segumpal hawa
hitam, menyusul itu Ciok Ciat sendiri mengayun
tangannya, untuk menerbangkan songbun teng, paku
rahasianya yang lihai, yang ada racunnya. Ia pun
menimpuk dengan beberapa batang dalam sekali pukul.
Berbareng sama menyemburnya sinar terang dan
hawa hitam itu, si nona mengibaskan tangannya yang
panjang, hingga anginnya menghembus keras. Maka itu
sinar dan hawa hitam itu lantas tersampok balik ke arah
Ciok Ciat. Atas itu, tanpa bersuara lagi, Ciok Ciat roboh terguling
tak sadarkan diri. sedang tiga barang paku beracunnya
juga berbalik menancap di badannya setiap lawan itu.
Menyaksikan itu barulah Thio Giok Houw sadar.
Jadinya nona itu sudah siap sedia, dia menangkis
serangan beracun itu dengan sampokan Tiatsiu Sinkang,
yaitu ilmu silat Tangan Baju Besi yang langka
Si nona sendiri lantas tertawa terbahak seraya
mengatakan: "Kamu main gila kamu cari mampus
sendiri! Jangan kamu sesalkan aku!"
148 Dua orang dengan baju hitam merayap bangun,
dengan mata mendelik saking bencinya, ia mengawasi si
nona, akan tetapi setelah mendapat kenyataan nona itu
tidak hendak turun tangan terhadap mereka, lekas-lekas
mereka mengangkat tubuh guru mereka, untuk
digendong, buat segera dibawa lari ke luar kuil itu!
Hebat tetapi tak terdugalah kesudahannya
pertempuran ini, sebab pihak Kiangsi Bun, partai Mayat
Kaku, telah terbinasa dua guru dan dua muridnya.
Habis itu si nona menepuk tangannya dengan
perlahan. "Karena barang toh barang hanyut, sukalah aku
berlaku sedikit dermawan!" ia kata. "Mengingat kepada
kedua batang jarum Bweehoa ciam itu, sukalah aku
membagi dua bagian!"
Teranglah dengan kata-katanya itu si nona
memaksudkan Thio Giok Houw, yang ia ketahui
bersembunyi di luar kuil dan telah mengguna! jarum
rahasianya membantu secara diam-diam kepadanya.
Thio Giok Houw tertawa, ia bertindak keluar dari
tempat sembunyinya la masuk ke dalam kuil.
"Aku datang ke mari bukannya dengan maksud
meminta bagian dari kau!" katanya terus terang. "Nona
bukankah kau she Liong" Aku numpang tanya, gurumu
itu ialah Cianpwee yang mana?"
Nona Liong tertawa terkekeh.
"Jadinya kau bukan datang untuk mendapat bagian!"
katanya. "Sang tempo masih banyak, maka itu kau
149 tunggulah sebentar, hendak aku membereskan dulu
barang-barang ini!"
Ia lantas bertindak, untuk mengangkat sambil
menyontek dua lembar kain minyak yang ada gambarnya
Mayat Kaku yang terletak di tanah. Ia masih jalan dua
tindak lagi ketika ia menoleh dan berkata sambil tertawa
manis: "Aku membuat capai kepada kau! Sukakah kau
menolongi aku membenahkan itu?"
Sembari berkata, tangan kirinya merogoh ke sakunya,
akan mengeluarkan sebuah kantung kulit, yang terus ia
lemparkan kepada Giok Houw sambil ia berkata pula:
"Ouwlam ialah sebuah propinsi yang makmur, barang
bingkisannya bukan sedikit! Kau tolong masuki itu ke
dalam kantung ini. Palangan pit dari batu itu serta
mutiara dan kopiah Hongkhoa, tolong kau pisahpisahkan!"
Setelah itu, masih ada aksi yang menyusul dari si
nona. Tangannya menyentilkan sebutir obat pulung yang
berwarna merah dadu ke arah pemuda she Thio itu
seraya ia berkata pula: "Kalau sebentar kau merasa
dadamu penuh dan muak, aku minta sukalah kau makan
obat ini!"
Giok Houw melengak, tetapi ia menyambuti obat itu Di
dalam hatinya ia berkata: "Pertemuan ini ada pertemuan
yang pertama kali di antara kita berdua, dia sudah
menaruh kepercayaan begini besar kepadaku, sama
sekali dia tidak takut aku menyembunyikan sesuatu!..."
Untuk membuka kantung itu, supaya terbuka lebar, ia
meniup ke mulut kantung. Segera ia mendapatkan, di
dalam situ ada beberapa lapisannya, yang merupakan
kantung rahasia, yang terbuat dari kulit rase yang lemas.
150 Maka itu, kantung itu saja sudah bukan sembarang
kantung. Lantas ia bekerja, memungut dan memasuki
barang-barang permata itu ke dalam kantung. Ia bekerja
dengan terliti. seperti juga ia kuatir nanti membuatnya
ada yang hilang.
Nona Liong sendiri pergi ke luar kuil. ia tumpuk dua
helai kain minyak itu di bawah sebuah pohon, lantas ia
menyalakan api untuk menyulutnya buat membakar itu.
Begitu api telah bekerja di sana tersiar bau bacin, bau
mana terbawa angin masuk ke dalam kuil. Giok Houw
membaui itu, lekas-lekas ia memasuki obatnya si nona ke
dalam mulutnya untuk ditelan. Cepat sekali ia merasakan
hawa harum, yang seperti segera masuk ke dalam
peparunya, makajuga lenyaplah bau bacin itu yang tak
sedap. Dengan begini tahulah Giok Houw yang kain minyak
itu telah direndam di air racun, menjadi tidak heran yang
pemimpin kedua dari Cihong Ce, karena kesentuh sedikit
saja kain itu, telah mesti mengantarkan jiwanya.
Setelah api padam. Nona Liong menggali sebuah
lubang di dekat tempat pembakaran itu, di situ ia
pendam abunya kain minyak yang beracun itu, kemudian
baru ia masuk pula ke dalam kuil di mana ia
mendapatkan Thio Giok Houw sudah selesai bekerja.
"Terima kasih! Terima kasih!" katanya tertawa seraya
mengulur tangannya, guna menyambuti kantungnya.
Akan tetapi Thio Giok Houw berkata: "Kantung ini
tidak dapat lantas dikembalikan kepadamu!"
"He, kenapakah?" si nona menanya heran. "Bukankah
katanya seorang ksatriya ada sebagai kuda jempolan
151 diberikan satu cambukan" Bukankah kau telah
mengatakan padaku bahwa kau tidak mengharapi barang
bingkisan ini" Haha! Jikalau benar kau tak segan
melanggar janjimu, baiklah, barang bingkisan ini suka
aku menghadiahkan padamu!"
"Aku bukan menghendaki barang bingkisanmu ini,"
menerangkan Thio Giok Houw. "Aku cuma ingin menanya
kau, kenapa kau merampas ini barang bingkisan?"
Nona itu mengawasi.
"Bukankah dua hari yang lalu kaulah yang merampas
barang bingkisan dari dua propinsi Kwitang dan Kwisay?"
ia menanya. "Tidak salah!" menjawab Giok Houw terus terang.
"Bahkan pada bulan yang sudah aku telah merampas
juga barang bingkisan dari sembilan propinsi!"
"Nah, kau lihatlah!" berkata si nona. "Kau dapat
merampas kenapa aku tidak" Sekarang aku mohon kau
sudi memberikan alasannya!"
Giok Houw berdiam, karena ia bersangsi.
"Tentang asal-usulnya dia ini aku masih belum tahu."
pikirnya, "pantaskah kalau aku menjelaskan kepadanya
bahwa perampasan barang-barang bingkisan itu ada
untuk mengumpulkan rangsum untuk Ciu Peehu dan Yap


Kisah Pedang Bersatu Padu Karya Okt di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Peehu?" Masih anak muda ini berdiam sekian lama, baru
akhirnya ia menyahuti juga.
"Nona," katanya, "ada apa-apa yang kau masih belum
tahu. Aku merampas barang bingkisan itu bukannya
untukku sendiri."
152 "Habis, untuk apakah itu?" si nona menanya,
mendesak. "Di dalam ini hal aku minta nona sukalah percaya
aku." Giok Houw menyahut pula. "Pendeknya, barang
bingkisan yang aku rampas itu. sedikit juga bukan untuk
keperluan diriku sendiri."
Nona itu tertawa.
"Jadi kau maksudkan itu untuk orang banyak?"
tanyanya. "Benar," jawab Giok Houw cepat. "Nona Liong,
maafkan aku omong terus terang. Kita berdua bukannya
manusia-manusia yang kemaruk harta benda maka itu
jikalau barang-barang rampasan ini kau tidak dapat
menyerahkan kepada pihak yang sangat
membutuhkannya, baiklah kau serahkan saja padaku."
"Apakah dapat aku mengandal hanya kepada katakatamu
ini?" si nona menegaskan.
Pemuda itu mulai menjadi tidak senang.
"Jikalau kau tidak percaya aku, aku tidak perlu banyak
bicara lagi!" ia bilang. "Sekarang aku hendaktanya
singkat padamu Barang ini kau suka serahkan padaku
atau tidak?"
Nona Liong itu mendadak tertawa geli.
"Kita baru bertemu kali ini, kau lantas menghendaki
barang-barang yang demikian berharga supaya
diserahkan padamu!" katanya. "Ha! Umpamakan aku
percaya kau dan aku pun tidak menanyakan kau, kau
hendak gunai itu untuk apa. Tapi... tapi..."
"Tapi apa nona?"
153 Nona itu tertawa pula.
"Aku ingin ketahui dengan cara apa kau dapat
membuktikan kepadak
Petualang Asmara 24 Anak Berandalan Karya Khu Lung Pendekar Gelandangan 3
^