Kisah Pedang Di Sungai Es 11

Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen Bagian 11


segera ia pun menerjang ke atas. Namun baru setengah badan menongol di
atas atap rumah, tahu-tahu kedua kakinya terasa digubat oleh
selendang Auyang-jinio.
Keruan Auyang-jinio sangat girang, selagi dia hendak
menarik sekuatnya untuk menyeret kembali Ki Hiau-hong,
sekonyong-konyong selendang itu berubah menjadi kaku dan
sedingin es, satu arus hawa maha dingin merasuk ke dalam
tulangnya. Tentu saja kejut Auyang-jinio lak terkatakan, cepat
ia melepaskan selendang sutera itu.
"Hahaha!" demikian Ki Hiau-hong terbahak-bahak di luar
rumah kain sutera itu apa hendak kau hadiahkan kepadaku
untuk lap kaki" dan sekejap kemudian suara tertawanya
sudah menjauh untuk kemudian lantas lenyap
Kiranya Siu-lo-im-sat-kang yang dilatih Ki Hiau-hong sudah
mencapai tingkatan ketujuh, dan sudah dapat menyalurkan
tenaga serangannya melalui sesuatu benda. Cuma ilmu dari
kalangan hitam itu ingat mengganggu tenaga dalam bila
digunakan, maka bila tidak perlu Ki Hiau-hong tidak mau
sembarangan mengeluarkan kepandaiannya itu
Maka Auyang-jinio telah menggigil kedinginan sejenak,
syukur Bun Ting-bik lantas memegang tangannya serta
mengelusnya beberapa kali
"Apa yang kau perbuat, Bun-jinkeh?" teriak Auyang Pek-ho
dengan kurang senang melihat kelakuan besannya itu.
Auyang-jinio juga berubah merah mukanya. Selagi dia
hendak mengipatkan tangan orang, tiba-tiba terasa satu arus
hawa hangat mengalir dari telapak tangan Bun Ting-bik. Baru
sekarang ia tahu sang besan telah menolong menghilangkan
rasa dinginnya dengan tenaga dalamnya yang tinggi. Dan
demi melihat Auyang-jinio sebentar menggigil dan lain saat
telah gagah kembali, sebagai seorang ahli silat segera Auyang
Pek-ho lantas insaf juga dirinya tadi telah salah paham. Lekas
ia bersama sang ipar menghaturkan terima kasih kepada Bun
Ting-bik. "Kita, jangan ayal lagi, hayo lekas kejar!" ujar Ting-bik.
"Ginkang Ki Hiau-hong tiada bandingannya di jagat ini,
mungkin susah kita akan mengejarnya," sahut Auyang Pek-ho.
"Jinkeh tidak perlu kuatir, aku tanggung pasti dapat
menyusul-nya,-" kata Ting-bik dengan tertawa.
Melihat orang berkata dengan penuh keyakinan, meski
masih ragu, akhirnya Auyang Pek-ho dan sang ipar ikut
memburu keluar.
Dalam pada itu, sekeluarnya dari rumah keluarga Auyang,
segera Ki Hiau-hong mengajak lari Kang Hay-thian secepat
terbang. Meski Hay-thian sudah mengeluarkan sepenuh
tenaga serta menyusul sekencang mungkin, mula-mula ia
masih sanggup bertahan, tapi akhirnya mulai ketinggalan.
Sebentar lagi, lambat-laun ia dapat menyusulnya pula,
akhirnya dapatlah berlari sejajar. Hay-thian mengira sang
paman sengaja menunggunya, tapi kemudian ketika
mendengar napas Ki Hiau-hong tersengal-sengal hebat,
barulah ia tahu keadaan sang paman rada tidak benar.
Sementara itu mereka berlari ke dalam rimba di lereng Cinnia.
"Ki-pepek," kata Hay-thian. "Mereka tidak mungkin dapat
menyusul kita lagi, marilah kita mengaso saja."
Di luar dugaan, baru selesai ia bicara, sekonvong-konyong
terdengar suara teriakan Bun Ting-bik, "Ki Hiau-hong masakah
kau mampu lari kemana" Lekaslah berhenti jika kau ingin
selamat, tinggalkan sedikit sisa tenagamu, supaya tidak susah
sendiri. Ha, masih kau lari terus" Hayo berhenti!"
Kang Hay-thian sampai kaget mendengar suara yang
sangat dekat itu, tapi ketika dia celingukan kian kemari, toh
tidak nampak sesuatu bayangan orang.
Sebaliknya Ki Hiau-hong malah tertawa geli, katanya
kemudian, "Kau telah tertipu, Hiantit. Dia sengaja
menggunakan ilmu mengirim gelombang suara untuk
membingungkan pikiran kita. Jangan kau masuk
perangkapnya."
Sebenarnya Kang Hay-thian juga pernah mempelajari ilmu
mengirimkan suara jarak jauh demikian, cuma dalam keadaan
gugup, seketika ia tertipu.
"Dari suaranya itu, jarak mereka dengan kita paling sedikit
masih tiga li jauhnya dari sini," ujar Hiau-hong, "Hiantit,
bagaimana maksudmu" Hendak melabrak mereka lagi atau lari
terus?" "Pepek, engkau sendiri terluka bukan?" tanya Hay-thian.
"Tidak, hanya terganggu sedikit kelancaran hawa murni
lantaran tutukan musuh dari jauh tadi," sahut Hiau-hong,
"Hiantit, untuk lari, akhirnya kuduga akan tersusul juga. Maka
biarlah kita labrak mereka mati-matian saja. Aku akan
menggunakan Siu-lo-im-sat-kang, biarpun tak dapat
merobohkan Bun Ting-bik, paling tidak akan dapat
mampuskan Auyang-jinio, begitu pula Auyang Pek-ho
sedikitnya juga akan terluka parah. Dengan demikian tidak
susah bagimu untuk menangkan Bun Ting-bik dengan pedang
pusakamu itu."
Sungguh Hay-thian sangat terharu dan berterima kasih atas
keikhlasan sang paman yang sudi mengorbankan diri demi
keselamatannya. "Terima kasih atas maksud baikmu, Kipepek,
tapi kita tak dapat berlaku demikian, betapapun aku
tak bisa membiarkan paman menerima resiko itu," katanya.
"Habis, apakah kita mesti mandah dibinasakan musuh?"
ujar Ki Hiau-hong.
"Paling baik kita mencari suatu tempat sembunyi untuk
sementara, cukup satu atau setengah jam kita sudah dapat
memulihkan semangat dan tenaga," kata Hay-thian.
"Dalam keadaan terburu-buru, kemana harus mencari
tempat sembunyi" Jika sembarangan tempat, akhirnya tentu
akan ketahuan musuh."
Kang Hay-thian sendiri pun tak berdaya. Tiba-tiba ia ingat
peta pemberian In Ciau, di dalam peta itu katanya terlukis
tempat-tempat di wilayah Sepak serta nama-nama tokoh
persilatan. Cepat Hay-thian mengeluarkan peta itu, begitu
lihat, tiba-tiba ia berseru heran, "He, benar juga ada seorang
Ih Tay-peng, rupanya Ih Siau-kun tidak mendustai aku. Ih
Tay-peng ini tentu benar adalah ayahnya."
"Ih Tay-peng adalah anak murid Siau-lim-pay dari keluarga
biasa (bukan paderi), masakah engkau tidak tahu?" kata Hiauhong.
"Ada apa tentang dia, kenapa tiba-tiba kau sebut dia?"
"Tentang ini biarlah akan kuceritakan nanti, sekarang kita
lekas pergi mencari Ih Tay-peng, ia tinggal tak jauh dari sini,"
kata Hay-thian.
"He, jadi Ih Tay-peng tinggal di pegunungan ini" Terletak
dimana?" tanya Hiau-hong cepat.
"Di tepi Bin-khim-kan di puncak Sin-li-hong," sahut Haythian
sesudah memeriksa peta.
"Darimana kita tahu dia mau menerima kita?" Hian-hong
menjadi ragu-ragu.
"Aku membawa Kim-say-leng milik In Ciau," kata Hay-thian.
Tapi Ki Hiau-hong masih ragu-ragu. Akhirnya katanya
dengan tersenyum getir, "Baiklah, keadaan terpaksa, apa
boleh buat!"
Dari nada ucapan itu Kang Hay-thian merasa sang paman
seakan-akan tidak suka bertemu dengan Ih Tay-peng, tapi ia
pun tidak sempat bertanya lagi. Tiba-tiba dilihatnya Ki Hiauhong
melompat ke depan, kedua tangannya terpentang
menyampuk daun pepohonan yang rindang, maka
berhamburanlah hujan daun kering.
"Ki-pepek, salah jalan engkau, bukan jurusan sana!" buruburu
Hay-thian mengingatkan.
Sejenak kemudian, tahu-tahu Ki Hiau-hong sudah memutar
balik, katanya dengan tertawa, "Daerah Cin-nia sini aku sudah
menjelajahi beberapa kali, tanpa melihat peta juga aku dapat
membawa kau ke Bin-khim-kan sana. Perbuatanku tadi hanya
untuk menyesatkan musuh saja."
Dan baru sekarang Kang Hay-thian paham, ia pikir sang
paman benar-benar seorang Kangouw ulung, cerdik dan
cekatan, hal ini dirinya masih perlu belajar banyak.
"Marilah kita berangkat, gunakanlah Ginkang 'Tah-swat-buhin'
(menginjak salju tanpa bekas), supaya tidak meninggalkan
jejak bagi musuh," ujar Hiau-hong.
Begitulah segera Kang Hay-thian mengikut di belakang Ki
Hiau-hong dengan cepat, tiada setengah jam, tibalah mereka
di tepi Bin-khim-kan atau empang harpa berbunyi.
Kiranya adalah sebuah air terjun, air yang menggerujuk dari
atas karang menghambur ke tengah empang hingga
menimbulkan suara nyaring mirip bunyi piano, makanya diberi
nama Bin-khim-kan.
Ketika Ki Hiau-hong memandang sekeliling situ, ia tidak
melihat sesuatu rumah penduduk.
"Itu dia, di atas karang sana memang ada lima pohon
Siong," seru Hay-thian sambil menunjuk ke atas.
Segera mereka menggunakan Ginkang untuk merayap ke
atas karang, namun begitu, baju mereka juga banyak terciprat
butiran air terjun.
Setiba di atas karang, kata Ki Hiau-hong dengan tertawa,
"Sampailah sekarang, tidak sia-sia jerih-payah kita."
Maka tertampak di antara kelima pohon Siong yang rindang
itu menongol sebagian tembok rumah, nyata di situlah
kediaman orang yang dicari.
"Untung In-cengcu telah memberi catatan secara jelas di
dalam petanya, kalau tidak, tentu susah untuk mencari tempat
demikian ini," kata Hay-thian.
"Kita justru perlu suatu tempat yang susah dicari seperti
ini," ujar Hiau-hong, segera ia pun mendekati rumah di tengah
pohon-pohon Siong itu.
Tengah Hay-thian bersangsi apakah nanti harus
memberitahukan tentang kematian Ih Siau-kun atau tidak,
sementara itu Ki Hiau-Hong sudah berjalan sampai di depan
rumah. Tiba-tiba ia merandek dan membisiki Hay-thian, "Di dalam
rumah ada orang!"
"Orang macam apa?" tanya Hay-thian.
"Seorang wanita," sahut Hiau-hong. "Padahal kawan hidup
Ih Tay-peng sudah lama meninggal, aku cuma tahu dia
mempunyai dua putra dan tiada putri, darimana datangnya
seorang wanita?"
Sebagai pencuri sakti, dalam hal ketajaman indera
pendengaran dan penglihatan sudah tentu Ki Hiau-hong jauh
lebih lihai daripada orang biasa. Maka sebelum Kang Hay-thian
mengetahui, lebih dulu ia sudah mendengar.
Segera Kang Hay-thian mengetok pintu. Sayup-sayup Ki
Hiau-hong mendengar lagi suara seorang tua berbisik di dalam
rumah dengan nada gugup, "Lekas sembunyi, lekas!"
Dan selagi Hiau-hong merasa heran, tiba-tiba daun pintu
sudah dibuka. Dari dalam muncul seorang tua dengan air
muka terkesiap, segera orang tua itu membentak Kang Haythian,
"Siapa kau" Ada keperluan apa datang ke sini?"
"Lau Ih, masih kenal padaku tidak?" mendadak Hiau-hong
tampil ke muka dengan tertawa.
Orang tua itu memang benar Ih Tay-peng, ia terkejut.
"Bagus, Ki Hiau-hong, berani kau datang kemari!" bentaknya
dengan gusar. Sudah banyak engkau membikin susah padaku
dulu, sekarang hendak menggerayangi rumahku lagi, ya?"
Dan tanpa bertanya lebih jauh terus saja ia menghantam
dengan Tiat-sah-ciang (pukulan pasir besi) yang lihai dari
Siau-lim-pay. Sudah tentu Ki Hiau-hong tidak mudah terkena serangan,
sedikit menggeser, dengan enteng ia sudah menghindarkan
serangan itu. Katanya dengan tertawa, "Lau Ih, kedatanganku
ini bukan untuk menjadi maling lagi. Coba pikir, bila aku
hendak mencuri barangmu, buat apa aku mesti permisi dari
pintu depan?"
Benar juga pikir Ih Tay-peng. Tapi ia masih was-was
menghadapi Ki Hiau-hong yang banyak tipu akalnya itu,
dengan masih marah-marah ia melotot pada Hiau-hong.
"Lau Ih, mungkin sudah lama engkau tidak tilik ke Siau-limsi,"
kata Hiau-hong kemudian. "Tentang kedua jilid kitab
pusaka kuil kalian yang kupinjam itu sudah lama kukembalikan
kepada Tay-pi Siansu. Untuk urusan itu malahan Kim-tayhiap
sengaja berkunjung ke kuil kalian untuk memintakan maaf
bagiku, syukur ketua kalian, Thong-sian Siangjin telah
memaafkan perbuatanku itu karena kitab pusaka juga sudah
pulang kandang. Nah, Lau Ih, engkau sendiri selalu
mengurung diri di dalam rumah, kenapa sampai sekarang
masih memandang aku sebagai musuh?"
Kiranya dahulu waktu Ki Hiau-hong mencuri kilab di Siau-lim
si, tatkala itu Ih Tay-peng baru tamat belajar dan sedang
menjalankan tugas 'wajib bhakti', yaitu menurut aturan Siaulim-
si setiap murid dari keluarga biasa (bukan paderi) yang
tamat belajar, harus menjalankan tugas kerja kasar selama
tiga tahun di dalam kuil. Waktu itu Ih Tay-peng malahan
adalah satu di antara ke-12 penjaga ruang perpustakaan yang
digerayangi Ki Hiau-hong. Untuk itu ia telah menerima
hukuman juga dari ketua Siau-lim-si berhubung kitab pusaka
dicuri orang. Makanya demi bertemu dengan Ki Hiau-hong, ia
lantas marah-marah dan menganggap Ki Hiau-hong telah
membikin susah padanya.
Begitulah, meski sudah ada penjelasan dari Ki Hiau-hong,
namun Ih Tay-peng masih ragu-ragu.
"Andaikan kau tidak percaya padaku, rasanya terhadap
seorang lain lagi engkau tentu dapat mempercayainya?" ujar
Hiau-hong dengan tertawa. "In-cengcu, In Ciau dari Cui-inhiang
itu adalah sobat baikmu, bukan?"
"Apa maksudmu?" tanya Tay-peng sesudah tertegun
sejenak. Sebelum Ki Hiau-hong menyahut. Kang Hay-thian lantas
maju memberi hormat, katanya, "Ini adalah Kim-say-leng
tanda pengenal In-locianpwe, silakan Ih-pepek periksa. In-
Iocianpwe memberikan tanda pengenal ini kepadaku untuk
menemui Ih-pepek."
"Siapakah kau?" tanya Tay-peng terkejut. "Kenapa In Ciau
percaya dan menyerahkan Kim-say-leng padamu?"
"Nama dan asal-usul Wanpwe mungkin putramu sudah
pernah mengatakan kepada Ih-pepek, Wanpwe adalah..."
"Ah, kiranya engkau inilah putra Kang Lam dan murid Kim
Si-ih, ksatria muda yang bernama Kang Hay-thian?" demikian
Tay-peng menegas.
Kang Hay-thian hanya mengiakan saja.


Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lalu Ih Tay-peng merenung sejenak, katanya kemudian,
"Sayang putraku tiada di rumah .... Eh, kau mengaku sebagai
Kang Hay-thian, apa buktinya?" Rupanya ia menjadi sangsi
lagi, biarpun Kim-say-leng milik In Ciau itu memang tulen, tapi
siapa berani menjamin bahwa barang itu bukan curian Ki Hiau
hong" Sudah tentu Kang Hay-thian melengak oleh pertanyaan itu,
cara bagaimana ia harus memberikan bukti pengenal diri"
Dengan sendirinya di zaman dulu tiada kartu penduduk segala.
Mendadak Ki Hiau-hong melolos Cay-in-pokiam yang
tergantung di pinggang Kang Hay-thian. Dalam kagetnya
sampai Ih Tay-peng melompat mundur. Tapi Ki Hiau-hong
sudah lantas berkata, "Lau Ih, pertemuan di Jian-ciang-peng
di atas Ko-san dahulu engkau juga ikut hadir, tentu kau masih
kenal pedang pusaka milik Kim-tayhiap ini, bukan?" Dan ketika
ia tebaskan pedang itu ke atas batu, kontan batu itu terbelah
menjadi dua bagai memotong tahu. Lalu sambungnya pula,
"Nah, katakanlah bila dia bukan ahli waris Kim-tayhiap,
masakah pedang pusaka Cay-in-pokiam ini berada padanya?"
Tay-peng pikir Ki Hiau-hong mungkin masih berani mencuri
Kim-say-leng milik In Ciau, tapi pedang pusaka Kim Si-ih
biarpun dia sudah menelan hati singa atau empedu harimau
juga tidak nanti berani menggerayanginya.
Dalam pada itu Hay-thian juga teringat suatu benda lain
lagi, cepat ia unjukkan peta yang diterima dari In Ciau,
katanya, "Silakan Ih-pepek periksa peta ini, malahan nama Ihpepek
juga dicatat di sini oleh In-Iocianpwe."
Tay-peng kenal tulisan tangan In Ciau, bukti Kim-say-leng
ditambah peta plus pedang pusaka, kesemuanya ini sudah
cukup membuktikan siapa diri Kang Hay-thian yang
sebenarnya. Maka tanpa ragu-ragu lagi Tay-peng berkata, "Maaf, Kangsiauhiap,
soalnya karena ..."
"Karena melihat aku si maling ini berada di sini, bukan?"
sela Hiau-hong dengan tertawa.
Karena tepat kena dikatai, Tay-peng menjadi kikuk, katanya
kemudian, "Ki Hiau-hong, hari ini engkau telah membonceng
Kang-siauhiap, terpaksa aku mesti percaya padamu. Marilah
silakan masuk semua."
"Dan sekali sudah menjadi kawan, kau tidak perlu kuatir
lagi kalau aku akan mencuri barangmu?" kata Hiau-hong
dengan tertawa. Dan begitu masuk ke dalam rumah, segera ia
membuka suara lagi, "Kita tidak perlu main sungkan lagi, aku
masih perlu pinjam sebuah kamarmu yang sunyi untuk
menenangkan diri."
Baru sekarang Ih Tay-peng dapat melihat air muka maling
sakti itu agak kurang benar, itulah tanda kehilangan tenaga
dalam terlalu banyak sesudah mengalami pertarungan sengit.
Kembali ia menjadi curiga lagi.
"Biarlah sebentar dijelaskan Kang-siauhiap saja, aku sudah
tidak dapat menunggu lama-lama lagi," ujar Hiau-hong ketika
melihat tuan rumah ragu-ragu.
"Baiklah, jika demikian boleh Ki-siansing mengaso di kamar
bacaku," sahut Tay-peng. "Eh, di sebelah sana kamar bacaku!"
Kata-kata terakhir itu diserukan ketika dilihatnya Hiau-hong
lagi celingukan dan longak-Iongok ke kamar sebelah.
Oleh karena tidak tahu sebab-musababnya, diam-diam
Kang Hay-thian merasa risih, pikirnya, "Dasar maling, watak
Ki-pepek ini memang susah diubah. Berada di rumah orang
masakah bersikap seperti di pasar saja. Kalau di dalam kamar
sana ada tinggal keluarga tuan rumah kan merikuhkan."
Sudah tentu ia tidak tahu bahwa Ki Hiau-hong justru telah
mengetahui di dalam kamar yang diincarnya itu ada orang
bersembunyi. Sebagai seorang Kangouw ulung, segera ia
dapat mengetahui dari suara napas orang yang bersembunyi
itu pasti seorang persilatan pula.
Dan yang paling kebat-kebit dengan sendirinya adalah Ih
Tay-peng, diam-diam ia pikir, "Maling ini benar-benar cerdik,
jangan-jangan dia sudah tahu rahasiaku?" Tapi mengingat
datangnya Kang Hay-thian toh tiada maksud jahat, ia menjadi
ragu-ragu apakah mesti memberitahukan rahasianya itu atau
tidak" Sesudah mengantar Ki Hiau-hong ke dalam kamar bacanya,
dengan penuh ragu-ragu Ih Tay-peng lantas bertanya pada
Hay-thian, "Kang-siauhiap, sebenarnya ada keperluan apakah
kedatangan kalian ini" Kenapa Ki-siansing perlu memulihkan
tenaga untuk merawat diri?"
"Waktu In-cengcu memberikan Kim-say-leng kepadaku,
beliau telah berpesan bila ada kesulitan mendadak bolehlah
minta bantuan kepada Ih-pepek, maka dari itu secara
sembrono aku datang kemari," sahut Hay-thian.
Tay-peng terkesiap, tanyanya, "Kalian menemui kesulitan
apa?" "Aku telah bertemu dengan putramu," sahut Hay-thian.
"Ya, betul, anakku juga pernah mengatakan padaku."
"Tapi maksudku bukan pertemuan di Hian-im-kok
tempat gurunya itu, tapi hari ini aku telah ketemu dia lagi."
Hati Tay-peng tergetar "Apa katamu" Hari ini kau bertemu
dengan dia" Dimana?" tanyanya cepat.
Dan belum lagi Hay-thian menjawab, sekonyong-konyong
dari kamar sebelah yang diincar Ki Hiau-hong tadi telah berlari
keluar seorang wanita muda sambil berseru, "Kang-siangkong,
ternyata benar engkau adanya! Kenapa engkau juga datang
ke sini?" Kejut Kang Hay-thian tak terkatakan demi melihat gadis itu
tak lain tak bukan adalah Auyang Wan. Bukankah nona itu tadi
sedang menjalankan upacara nikah, kenapa tahu-tahu
sekarang sudah berada di rumah Ih Tay-peng"
"Eh, kenapa engkau terlongong?" tegur Auyang Wan
dengan tertawa. "Ai, tentu engkau masih marah padaku
karena aku telah mencuri kantong obat Gihumu itu bukan"
Biarlah kukatakan terus terang sekarang. Orang yang mencuri
kantong obat serta mengiringi Yap-kongcu merecoki rumah In
Ciau itu bukanlah diriku, tapi adalah Enciku. Orang yang
kemudian mengantar obat penawar itulah diriku yang
sebenarnya."
Baru sekarang pertanyaan-pertanyaan yang sudah sekian
lamanya itu terjawab, namun rasa sangsi Hay-thian masih
belum lenyap, tanpa pikir ia lantas bertanya, "Baiklah!
Peristiwa-peristiwa itu dapat kuketahui sekarang. Tapi tadi
pengantin wanita yang kulihat itu apakah juga bukan engkau?"
Auyang Wan melengak sekejap. "Jadi... jadi engkau telah
pergi ke rumahku?" tanyanya kemudian dengan rasa manisnya
madu. Ia pikir pemuda itu ternyata masih ingat padanya
hingga rela menghadapi bahaya melabrak kedua orang tuanya
dengan datang ke rumahnya Maka jawabnya dengan tertawa,
"Pengantin wanita itu adalah Taciku Wajah kami memang
sangat mirip, pula pengantin mesti memakai kerudung, pantas
engkau salah mengenali orang."
"Aneh juga, habis Suhengmu itu ..." demikian Hay-thian
menjadi heran, jika Auyang Wan melarikan diri ke rumah
keluarga Ih, kenapa sebaliknya Ih Siau-kun malah mencarinya
ke rumah Auyang Wan dan telah menyerang si pengantin lakilaki
serta mengira pengantin wanita itu benar-benar adalah
Auyang Wan. Tapi Auyang Wan rupanya salah paham, sahutnya, "Kenapa
mesti heran" Aku tidak sudi kawin dengan orang she Bun itu
dan melarikan diri ke rumah Ih-suheng. Kami adalah putraputri
Kangouw masakah memakai peraturan kuno dan
pantangan apa segala?"
Hay-thian tahu gadis itu telah salah wesel, tapi ia tidak
pandai bicara, terpaksa ia cuma menunduk saja dengan muka
merah. "Di antara saudara-saudara seperguruan kami," Auyang
Wan menyambung lagi, "hanya Ih-suheng saja paling jujur
orangnya. Dia pernah menganjurkan aku jangan mau
dinikahkan dengan orang she Bun itu. Padahal biarpun orang
she Bun betapa baiknya juga aku tidak sudi. Adapun
sebabnya, tanpa kukatakan juga engkau tentu sudah tahu."
Hati Hay-thian berdebar, ia kuatir gadis itu makin berteletele
bicaranya, cepat ia bertanya, "Sebelumnya apakah engkau
belum bertemu Suhengmu lagi?"
"Baru semalam aku melarikan diri dan minta Enci
memalsukan diriku, darimana aku sempat bertemu dengan
Suheng?" "Kalian sudah tahu orang she Bun itu bukan manusia baikbaik,
kenapa Encimu mau menggantikan kau?" tanya Haythian.
"Tentang itu, ai, aku tidak dapat menceritakan terus terang
padamu," sahut si gadis. "Pendek kata Enciku sedang patah
hati, sifatnya berbeda pula daripadaku. Pertama, demi
kebaikan diriku, kedua, setelah patah hati, ia sengaja hendak
menikah kepada siapa pun juga. Kata Enci, biarpun orang she
Bun itu bukan manusia baik-baik, tapi ilmu silatnya
sebenarnya boleh juga."
Sebenarnya Hay-thian hendak menceritakan kejadian
tentang Ih Siau-kun, tapi kuatir Ih Tay-peng berduka, maka ia
menjadi ragu-ragu. Sebaliknya Auyang Wan lantas berkata
pula, "Kukira lewat besok, urusanku tentu takkan menjadi soal
lagi. Sayang Ih-suheng tidak berada di rumah, entah pergi
kemana.'" "Eh, benar, tadi Kang-siauhiap bilang telah bertemu dengan
putraku itu, dimanakah kalian bertemu?" tanya Tay-peng tibatiba.
Sekarang terpaksa Hay-thian mesti memberitahu, "Kami
bertemu di tengah jalan, tapi Ih-heng lantas mengundang aku
menghadiri pernikahan nona Auyang."
"Aneh, padahal Ih-suheng sendiri menganjurkan aku jangan
menikah dengan orang she Bun itu, kenapa dia sudi hadir
dalam upacara?" ujar Auyang Wan agak heran. Berbareng ia
pun kecewa sebab diketahui kedatangan Kang Hay-thian ke
rumahnya bukan atas kemauan sendiri, tapi adalah ajakan Ih
Siau-kun. "Siau-kun benar-benar sembrono, sejak pagi sudah pergi
tanpa memberitahu tempat tujuannya, dan begitu dia
berangkat, tidak lama nona Auyang lantas datang," Tay-peng
ikut berkata dengan mengerut kening.
Segera Kang Hay-thian menceritakan pengalamannya waktu
bertemu dengan Ih Siau-kun di tengah jalan, lalu bertanya,
"Apakah Ih-pepek benar telah bertemu dengan ayahku?"
"Tidak, aku tidak tahu kenapa anak itu mendustai engkau,"
sahut Tay-peng menggeleng kepala. "Memang, dahulu pernah
beberapa kali kulihat ayahmu, cuma sejak pertarungan di Jianciang-
peng, kemudian tidak pernah bertemu lagi."
"Sama sekali Ih-pepek tidak tahu kabar berita ayahku?"
Hay-thian bertanya.
Ih Tay-peng berpikir sejenak, lalu jawabnya, "Teringatlah
aku sekarang. Tahun yang lalu ada seorang sobat datang dari
Jinghay dan mengatakan pernah bertemu dengan ayahmu
dalam istana Orsim dari raja agama Lama Putih, tatkala itu
ayahmu sedang bertamu di dalam istana raja agama itu.
Sobatku itu hanya membawakan bahan-bahan obat untuk
Kau-ong (raja agama), ia bukan tamu agung segala. Eh, ya,
lalu bagaimana Kang-siauhiap" Sesudah kalian menghadiri
perayaan pernikahan itu, lantas terjadi apa lagi?"
Diam-diam Kang Hay-thian merasa serba salah, sejak tadi ia
sengaja mengulur-ulur dengan tujuan tidak hendak
mengatakan berita kematian Ih Siau-kun. Tapi kini tak bisa
ditutupi lagi rahasia itu, terpaksa ia berkata dengan samarsamar,
"Sesudah kami sampai di rumah nona Auyang, ketika
itu nona Auyang, eh ... tidak, Enci nona Auyang sedang
melakukan upacara pernikahan, mendadak Ih-toako
menimpukkan Liat-yam-tan (granat berapi) hingga pengantin
laki-laki terluka parah!"
Memangnya Ih Tay-peng sedang berkuatir bagi putranya,
keruan ia menjadi kaget mendengar kejadian itu, serunya,
"Ha, binatang itu benar-benar telah membikin onar, pantas dia
meninggalkan surat seperti itu untukku!"
"O, Ih-suheng meninggalkan surat di rumah?" Auyang Wan
menegas. "Ah, pantas, makanya waktu aku datang, Ih-pepek
tampak muram, kiranya disebabkan..."
"Ya, dalam surat itu ia minta aku segera pergi ke kotaraja
untuk mencari Tin-wan Piaukiok. Kiranya dia sudah
merencanakan hendak membikin onar," tutur Tay-peng.
"Tin-wan Piaukiok" Bukankah Piaukiok yang diusahakan
Tiat-wan-yang?" tanya Hay-thian.
"Benar, putraku yang lain menjadi Piausu pada perusahaan
itu, aku pun sudah berpuluh tahun bersahabat dengan suamiistri
Tiat-wan-yang," sahut Tay-peng.
Tapi rupanya ia belum tahu bahwa Piaukiok itu sudah lama
bangkrut. Dan baru sekarang juga Kang Hay-thian teringat sesudah Ih
Siau-kun melukai pengantin laki-laki, tidak mungkin Auyangjinio
mau menyudahi peristiwa itu, tentu ayah Siau-kun yang
akan dimintai pertanggungan jawab. Lambat atau cepat tentu
akan datang membikin perhitungan dengan Ih Tay-peng.
Maka cepat katanya, "Jika demikian, urusan sudah mendesak,
kita harus lekas menyingkir. Ai, aku belum lahu apakah tenaga
Ki-pepek sudah pulih kembali atau belum, biarlah kupergi
melihatnya!"
"Nanti dulu, Kang-siauhiap, tentang anakku itu sebenarnya
bagaimana jadinya kemudian" Harap engkau menjelaskan
dahulu?" Tanya Tay-peng pula dengan tak sabar.
"Kemudian ... kemudian ... ai, ceritanya terlalu panjang,
biarlah kita lari lebih dulu," sahut Hay-thian dengan
gelagapan. "Cukup engkau mengatakan saru kalimat saja, mati atau
hidup?" tanya Tay-peng dengan suara gemetar.
"Dia ... dia ... telah ...." belum lagi kata-kata "mati"
diucapkan Keng Hay-thian, sekonyong-konyong terdengarlah
suara anjing menggonggong beberapa kali.
Selagi Tay-peng dan Hay-thian merasa darimana datangnya
anjing itu, tiba-tiba terdengar seruan Bun Ting-bik, "Tentu Ki
Hiau-hong dan bangsat kecil she Kang itu berada di sekitar
sini. Eh, toh di sini tiada tempat sembunyi apa-apa?"
Kiranya Auyang Pek-ho memelihara dua ekor anjing
pemburu yang sangat bagus jenis negeri Turfan, dengan
bantuan anjing-anjing itu, akhirnya mereka dapat menyusul
jejak Kang Hay-thian dan Ki Hiau-hong sehingga sampai di air
terjun itu. Karena terhalang tebing air terjun yang tinggi, lalu
kedua ekor anjing itu menggonggong tiada hentinya.
"Ah benar, di atas situ ada rumah tinggal orang, yaitu


Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kediaman Ih Tay-peng," kata Auyang-jinio.
"Ih Tey-peng siapa?" tanya Bun Ting-bik.
"Yaitu ayah dari bangsat kecil yang melukai keponakanmu
tadi," sahut Jinio. "Hm, pasti sebelumnya mereka sudah
bersekongkol, dan kini mereka tentu bersembunyi di rumah
orang she Ih itu. Hayolah kita mencari ke sana, aku tahu
jalannya."
Diam-diam Tay-peng menjadi kuatir, bisiknya kepada Haythian,
"Lekas kalian bersembunyi dulu, biarlah aku yang
melayani mereka, kalau dapat dibohongi adalah lebih baik,
kalau tak bisa dan sudah terpaksa, bolehlah nanti Kangsiauhiap
keluar untuk membantu."
Datangnya Bun Ting-bik dan lain-lain juga sangat cepat,
hanya sebentar saja sudah terdengar suara "blang" yang
keras, daun pintu telah didobrak orang dari luar hingga
terpentang. Dengan marah-marah Auyang-jinio tampak
mendahului menerjang masuk terus membentak Ih Tay-peng,
"Putramu main gila di rumahku, kau tahu tidak?"
Namun Auyang Pek-ho keburu mencegah sang ipar, lalu
katanya, "Lau Ih, paling tidak kita terhitung kenalan lama.
Tentang putramu itu biarlah sementara ini aku takkan
mengusutnya. Aku cuma ingin bertanya, Ki Hiau-hong tentu
kau kenal, masih ada pula saru bocah she Kang, mereka
berdua bersembunyi di rumahmu atau tidak, lekas kau
serahkan mereka dan urusan putramu mungkin dapat
kuampuni."
"Auyang-lotoa," seru Ih Tay-peng dengan mata berapi-api,
"putraku itu bagaimana" lekas kau pulangkan dia dan aku
bersedia minta maaf padamu."
"Hm, putramu sudah membikin onar sebesar itu, masih kau
mengharapkan pulangnya dengan hidup?" jengek Auyangjinio.
"Apa katamu?" teriak Tay-peng mendadak dengan mata
mendelik dan berjingkrak gusar. "Jadi kalian telah
membunuhnya?"
"Jika sudah kubunuh, lantas mau apa?" jengek Auyangjinio.
Saking gemasnya karena Siau-kun telah mengacaukan
pernikahan putrinya, maka nyonya itu sengaja hendak
melampiaskan rasa dongkolnya terhadap Ih Tay-peng meski
kematian Ih Siau-kun sebenarnya membunuh diri.
"Perempuan bejat, biarlah aku mengadu jiwa denganmu!"
bentak Tay-peng dengan murka. Terus saja ia menghantam.
Sebagai murid Siau-lim-pay, dengan sendirinya ilmu
pukulannya sangat hebat.
"Huh, betapa tinggi harga jiwamu, hingga mesti
disayangkan pula," ejek Jinio. Ia yakin kepandaian sendiri
masih di atas Ih Tay-peng, maka ia tidak memandang sebelah
mata kepada lawan. Tak terduga pukulan Tay-peng telah
menggunakan antero tenaga yang ada padanya, tenaga
tangkisan Auyang-jinio ternyata tidak cukup untuk
menahannya hingga nyonya itu tergentak terjungkal oleh
tenaga maha hebat Ih Tay-peng itu.
"Buat apa kita bicara persahabatan segala dengan dia," ujar
Bun Ting-bik dengan tak sabar. "Mampuskan dia saja dan kita
sendiri segera menggeledah rumahnya."
"Jika demikian, silakan Jin-keh bereskan dia saja," ujar
Auyang pek-ho. Tanpa bicara lagi Bun Ting-bik terus melangkah maju,
dengan Iwekang maha sakti 'Sam-siang-kui-goan', ia lantas
memukul. Maka terdengarlah "blak" sekali, telapak tangan
beradu dengan kepalan. Ih Tay-peng tak kuat berdiri lagi, ia
terhuyung-huyung sampai belasan kali bagai pelita tertiup
angin. Namun betapapun serangan Bun Ting-bik itu ternyata
belum dapat membinasakannya dengan segera.
"Ih-locat, rasakan pula kelihaianku!" bentak Auyang-jinio.
Pada kesempatan lawan sedang sempoyongan, ia terus
menubruk maju, sekali pegang lengan lawannya, "krak",
secepat kilat lengan Ih Tay-peng dipuntirnya hingga terlepas
dari ruasnya. Dan tampaknya jiwa Tay-peng pasti akan melayang dengan
segera, mendadak terdengar jeritan Auyang Wan sambil
berlari keluar, "Berhenti dulu, bu, kalau tidak, biar kumati di
hadapanmu!" Ternyata rambut gadis itu kusut masai, air mata
berlinang-linang dan tangannya memegang sebilah belati yang
mengancam hulu hati sendiri.
Keruan yang paling heran dan terkejut adalah Bun Ting-bik.
Ia bersuara heran sekali, dengan membelalak ia pandang
Auyang Wan, lalu memandang pula Auyang-jinio. Sudah tentu
Auyang-jinio serba susah dan runyam. Putri kedua itu yang
dipinang oleh keluarga Bun, tapi di luar tahu pihak laki-laki,
secara darurat putri kedua itu terpaksa ditukar dengan putri
sulung. Siapa duga upacara gagal setengah jalan, kini putri
kedua yang menghilang itu muncul pula di depan sang besan.
Namun putri kedua itu memang paling dicintainya, meski
serba susah dan gusar pula, terpaksa ia mesti meninggalkan
Ih Tay-peng dulu untuk mendekati sang putri dan
mengomelinya, "Budak goblok, lekas buang belatimu dan
kemari memberi hormat kepada Bun-pepek!"
"Kalian keluar dulu dari sini dan segera aku akan ikut kalian
pulang," sahut Auyang Wan. "Sampai di rumah terserahlah
kepada keputusanmu, tapi sebelum pulang, belati ini tidak
nanti kulepaskan!"
"Che-em, sebenarnya apa-apaan urusan ini?" tanya Bun
Ting-bik "Ah, sudahlah, anggaplah aku sudah tidak punya anak
seperti ini, putri beginipun aku tidak mau lagi, terserahlah
kepada kehendakmu," sahut Auyang-jinio dengan gegetun.
"Engkau tidak perlu kuatir, Che-em," ujar Ting-bik. "Putrimu
tetap akan kau bawa pulang, kemudian kita dapat bicara
secara baik-baik pula. Cuma terpaksa aku mesti berlaku
kurang sopan sedikit!"
Mendengar ucapan orang yang terakhir itu, hati Auyang
Wan tergetar, tanpa pikir lagi belati terus ditikamkan ke hulu
hati sendiri. Namun gerakan Bun Ting-bik lebih cepat dari dia,
hanya terdengar "crit" sekali, pergelangan tangan si gadis
serasa tertusuk jarum sekali, "trang", belati itu jatuh ke lantai,
tubuhnya menjadi kaku dan tak berkutik. Nyata telah kena
ditutuk oleh Bun Ting-bik dari jauh, walaupun hulu hati
Auyang Wan tidak jadi tertikam, tapi dimana belati yang
tajam itu menyerempet, lecet juga kulit dagingnya dan
mengeluarkan darah.
Dengan kuatir, cepat Auyang-jinio memburu maju untuk
mendukung sang putri, demi diketahui hanya terluka ringan
saja, barulah ia merasa lega.
Mendadak Kang Hay-thian juga menerjang keluar sambil
membentak, "Masakah kau sesuai untuk mengaku sebagai
ibunya pula?" Segera pedangnya berputar, sebelah tangan lain
terus hendak dipakai menarik Auyang Wan.
Karena jeri pada pedang pusaka orang, terpaksa Auyangjinio
meninggalkan putrinya dan melompat mundur.
Sebaliknya Auyang Pek-ho menjadi gusar, "Bangsat cilik kau
berani menyenggol badan keponakan perempuanku?"
Maksud Hay-thian sebenarnya hendak membuka Hiat-to
Auyang Wan, tapi karena teguran Auyang Pek-ho itu, ia
menjadi malu dan gusar pula. Dalam pada itu dengan cepat
sekali Auyang Pek-ho juga sudah menubruk maju, ia
menghantam dan menutuk dengan Pi-Iik-ciang serta Lui-sin-ci
sekaligus. Namun dengan pedang pusakanya Kang Hay-thian
dapat menangkis serangan lawan, teriaknya, "Lekas lari, Ihlopek!"
Namun sekali hantam, pukulan Auyang Pek-ho telah
menyampuk pedang Kang Hay-thian ke samping. Dalam pada
itu Auyang-jinio juga sudah melepaskan ikat pinggangnya
untuk digunakan sebagai senjata myung lemas buat
menggubat pedang lawan. Tapi sekali menggertak, Hay-thian
putar pedangnya dengan kencang laksana selapis jaringan
sinar, ia telah mainkan 'Tui-hong-kiam-hoat' (ilmu pedang
pengejar angin) dari Thian-san-pay yang lihai. "Bret", tahutahu
ikat pinggang .utera Auyang-jinio terpapas putus
sebagian, cepat Auyang-jinio dan Auyang Pek-ho menyingkir
mundur. "Bocah keparat, rasakan pukulanku!" jengek Bun Ting-bik,
mendadak ia menggeser ke belakang Kang Hay-thian terus
menghantam. Betapapun tinggi kepandaian Kang Hay-thian sebenarnya
juga sama kuat dengan Auyang Pek-ho, belum lagi dia mesti
dikerubut Auyang-jinio. Sebabnya dia dapat bertahan,
sebagian besar adalah berkat pedang pusakanya yang lihai.
Tapi kini ditambah pengeroyok ketiga yang terus
menyerangnya dari belakang, jika dia menangkis, tentu akan
memberi kesempatan kepada Auyang Pek-ho untuk
menyerang. Dalam kedudukan digencet dari tiga jurusan,
kedudukan Kang Hay-thian benar-benar sangat berbahaya. Ia
tak dapat berpikir panjang lagi, terpaksa ia mesti menerima
resiko kena tutukan Lui-sin-ci dari Auyang Pek-ho, dengan
cepat ia putar tubuh untuk menangkis hantaman Bun Ting-bik.
Di luar dugaan mendadak terdengar Ih Tay-peng
menggerung sekali. "Kalian telah membunuh putraku, maka
aku pun tidak ingin hidup lagi," bentaknya sambil menubruk
ke arah Bun Ting-bik.
Sama sekali Ting-bik tidak menduga akan tindakan Ih Taypeng
itu, terpaksa ia tarik kembali pukulannya pada Kang Haythian
untuk membela diri. Maka terdengarlah "bluk" sekali,
kedua orang saling tumbuk, pukulan Bun Ting-bik yang
dikerahkan sepenuh tenaga telah membikin tulang iga dan
dada Ih Tay-peng merentas alias patah semua. Sebaliknya
karena tabrakan itu, Bun Ting-bik juga kena diseruduk hingga
jatuh terjengkang.
Tanpa ayal lagi Kang Hay-thian putar balik pedangnya terus
menusuk ke bawah. Tapi Bun Ting-bik sempat menggulingkan
diri ke samping. "Blang", daun pintu kamar dimana Ki Hiauhong
bersemadi telah jebol, Dan pada saat yang sama Haythian
merasa punggungnya juga kena ditutuk sekali oleh
Auyang Pek-ho. Untunglah ia memakai jaket pusaka yang
kebal senjata hingga tidak sampai terluka. Dalam pada itu
Auyang-jinio sudah merangsek maju pula hingga kembali Haythian
dikerubut dari dua jurusan, terpaksa ia tidak dapat
mencecar Bun Ting-bik yang sudah terguling.
"Kang-siauhiap!" tiba-tiba Ih Tay-peng berseru dengan
suara parau. "Maafkan aku tak dapat membantu engkau lagi.
Tolong sukalah engkau membawa kabar kepada Siau-lim-si
Makin lama makin lemah suaranya hingga kata-kata "agar
membalaskan sakit hatiku" tidak terang lagi diucapkan.
Waktu Hay-thian memandang, ia lihat lantai sudah banjir
darah. Ih Tay-peng sudah tak berkutik lagi bermandikan
darah. "Oh, Ih-lopek, aku telah menyusahkan engkau!" seru
Hay-thian dengan pedih. Mendadak ia menggerung keras
sekali, pedangnya menyabet dan menebas berulang-ulang
dengan tipu serangan mematikan, ia mengamuk bagai
banteng ketaton.
Semula Auyang Pek-ho dan Auyang-jinio sudah di atas
angin, tapi karena kenekatan Kang Hay-thian, mereka menjadi
terdesak malah. Dalam pertarungan mati-matian itu, tiba-tiba
"nyes", Auyang-jinio merasa kulit kepalanya menjadi dingin,
secomot rambutnya terpapas oleh pedang lawan.
"Blang", mendadak dinding kamar dimana Ki Hiau-hong
berada ambrol menjadi satu lubang, tampak Hiau-hong terus
menerobos keluar dari lubang itu. Menyusul terdengar Bun
Ting-bik berteriak dan ikut mengudak keluar. Baju Hiau-hong
tampak compang-camping dan kotor, sebaliknya Bun Ting-bik
tampak basah-kuyup, kepala dan mukanya penuh ludah dan
riak. Kiranya waktu Bun Ting-bik tanpa sengaja menjebol pintu
kamar dan terguling ke dalam tadi, kebetulan Ki Hiau-hong
sudah hampir pulih seluruh tenaganya. Tanpa pikir lagi terus
saja ia gunakan Yu-sin-pat-kwa-ciang untuk menyerang lawan
sambil menghujani Bun Ting-bik dengan air ludah.
Cara demikian adalah ajaran Kim Si-ih. Meski air ludah tidak
sampai melukai jago silat kelas satu, paling tidak akan
memancing kegusaran musuh hingga sudah memusatkan
pikiran dan bertempur dengan tenang. Dan bila kedua mata
yang kena diludahi, mungkin dapat membuat matanya buta.
Tadi karena ditubruk Ih Tay-peng dengan mati-matian
hingga terjungkal, maka Bun Ting-bik kena dihujani ludah.
Tapi segera ia pun tahu maksud Ki Kiau-hong adalah untuk
membikin marah padanya, lalu akan melarikan diri. Dengan
menahan hinaan itu, Bun Ting-bik lantas mencegat dulu jalan
lari Ki Hiau-hong, lalu ia merangkak bangun sambil
menghadapi lawan dengan Pik-khong-ciang dari jauh. Suatu
kali ia sedang memaki kalang kabut pada Ki Hiau-hong, tapi
baru mulutnya menganga, mendadak sekumur riak kental
mencolok di atas jenggotnya. Untung dia cukup cepat
mengatupkan kembali mulutnya, kalau tidak, tentu riak itu
sudah masuk ke dalam perutnya.
Bun Ting-bik menjadi murka, segera ia keluarkan 'Samsiang-
kui-joan' yang lihai dan menerjang maju, sekali hantam
tampak Ki Hiau-hong yang sudah terdesak sampai di pojok
dinding takkan dapat lolos lagi. Siapa duga Ginkang si pencuri
sakti itu memang terlalu sakti, tahu-tahu orangnya
memberosot ke samping bagai belut licinnya, karena itu
pukulan Bun Ting-bik telah menghantam dinding hingga jebol
menjadi satu lubang dan segera digunakan sebagai jalan lari
malah oleh Ki Hiau-hong.
Begitulah maka Kang Hay-thian merasa lega ketika melihat
Ki Hiau-hong dalam keadaan tak kurang apa-apa. Sebaliknya
Bun Ting-bik agak terkejut demi nampak Auyang Pek-ho dan
Auyang-jinio masih tak dapat mengalahkan Kang Hay-thian,
bahkan kedua kawan itu terdesak oleh pemuda itu.
Maka kedua pihak kembali saling bergabung lagi, Ki Hiauhong
membantu Kang Hay-thian dan Bun Ting-bik juga cepat
membantu Auyang Pek-ho. Lebih dulu Ki Hiau-hong menjentik
sekali ke belakang kepala Auyang-jinio, kuatir kena serangan
Siu-lo-im-sat-kang yang lihai, dengan jeri nyonya itu melompat
mundur. Kesempatan itu segera digunakan Kang Hay-thian
untuk menerjang keluar dan mendekati Auyang Wan pula,
segera ia membuka Hiat-to si gadis yang tertutuk.
"Nona Auyang, lekas kau melarikan diri! Orang tua
semacam itu lebih baik jangan kau bertemu dengan mereka!"
demikian seru Hay-thian.
"Kurangajar, kau berani memecah belah ibu dan anak?"
bentak Auyang-jinio dengan gusar. Ia menubruk maju terus
menghantam.

Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi sekali Kang Hay-thian putar pedangnya, seketika
terjadilah selapis sinar pedang yang rapat untuk menahan
majunya Auyang-jinio.
Dari sebelah lain segera Bun Ting-bik memaksa Ki Hiauhong
melompat mundur dengan sekali pukulannya, menyusul
ia menggeser ke samping, tangan kiri menghantam dari jauh
dengan Pik-khong-ciang untuk mengguncang ke samping
pedang Kang Hay-thian agar Auyang-jinio sempat menerjang
ke depan. Berbareng jari kanan terus menutuk pula, dengan
cara yang sama ia hendak menutuk Hiat-to di tubuh Auyang
Wan dari jauh. ---ooo0dw0ooo---
Jilid 9 Namun Kang Hay-thian sudah menduga kemungkinan Itu,
belum lagi serangan Bun Tan-bik tiba, lebih dulu ia sudah
menggeser kesamping untuk mengaling-aling didepannya
Auyang Wan, berbareng jarinya menjentik, iapun keluarkan Itci-
sian-kang. Maka terdengarlah suara mencicit saling
benturnya dua tenaga, maka tutukan Bun Ting-bik dari jauh
itu kena dipatahkan.
Dalam pada itu mendadak Bun Ting-bik telah menubruk
maju. Segera Hay-thian putar pedangnya secepat angin untuk
menahan rangsakan musuh, berbareng iapun berteriak-teriak:
"Nona Auyang, lekas lari, apakah kau ingin ditangkap mereka
lagi untuk memaksa kau menikah?"
Mendadak Auyang Wan menangis keras-keras, ia berlari
keluar sambil menutupi mukanya. Karena Auyang-jinio tak
dapat menembus jaringan sinar pedang Kang Hay-thian, pula
Auyang Pek-ho tertahan oleh Ki Hiau-hong. terpaksa mereka
hanya menyaksikan gadis itu melarikan diri.
Sudah tentu Auyang Pek-ho bertiga semakin murka, mereka
bertempur dengan sengit hingga akhirnya Kang Hay-thian
berdua terdesak dan terkepung dltengah-tengah pula.
"Ki-pepek, pesan Ih-locianpwe agar memberitahukan
kematiannya itu kepada Siau-lim-si, tugas itu terpaksa
kubebankan atas diri Ki-pepek saja, Siautit masih banyak
tugas lain, terpaksa tak dapat melaksanakan pesan itu," seru
Hay-thian tiba-tiba. Berbareng ia mainkan Tui-hong-kiam-hoat
dengan kencang sekali hingga Bun Ting-bik dipantek
ditempatnya dan tidak dapat sembarangan menggeser.
Dalam keadaan begtu bila Ki Hiau-hong mau sebenarnya
dapat la melarikan diri. Tapi sekejapan itu ia menjadi raguragu.
Kalau tidak lari, akhirnya mereka berdua mungkin akan
mati semua. Bila melarikan diri, itu berarti mempercepat
kematian Kang Hay-thian pula.
Melihat Ki Hiau-hong ragu-ragu, dengan kuatir Kang Haythian
berseru padanya: "Ki-pepek, apakah kau tega
menyaksikan kematian Ih-locianpwe secara penasaran dan
tidak mau menyampaikan berita dukanya ini seperti apa yang
dia pesan?"
Namun Ki Hiau-hong sudah bertekad akan bertempur
sampai titik darah penghabisan, teriaknya: "Pikirkan yang
hidup lebih dulu baru urus yang sudah mati! Kang-hiantit,
apakah kau lupa hubunganku dengan ayahmu" Masakah aku
boleh meninggalkan kau dengan begitu saja, bagaimana aku
harus berkata kepada ayahmu kelak?" Maka bukannya dia lari,
sebaliknya ia menerjang ma-ju lagi, sekali jarinya menjentik,
kembali ia serang Auyang-jinio pula dengan "Hian-im-ci".
"Bagus, biar aku yang belajar kenal dengan kau punya Siulo-
im-sat-kangl" seru Anyang Pek-ho dengan gusar.
"Lui-sio-ci" yang diyakinkan Auyang Pek-iio itu adalah
tenaga murni Yang, jadi kebetulan adalah lawan keras dari
"Hian-im-ci" yang bertenaga Im. Maka begitu kedua arus
tenaga saling beradu, segera terdengarlah suara mencicit
disertai kepulan uap putih. Kontan Ki Hiau-hong terdesak
mundur dua tindak oleh hawa panas lawan itu.
"Hahaha!" Auyang Pek-ho terbahak-bahak mengejek.
"Kukira betapa hebatnya Siu-lo-im-sat-kan, siapa tahu hanya
sebegitu saja macamnya!"
Belum lenyap suaranya, sekonyong-konyong serangkum
angin keras me-nyambar kearahnya dibarengi jengekan Ki
Hiau-hong: "Hm, tua hangka, kau terlalu picik, lihatlah Siu-loim-
sat kang yang ingin kau rasakan ini!"
Kiiranya "Hian-im-ci" itu hanya suatu bagian daripada Siulo-
im-sat-kang, dengan sendirinya daya serangannya tidak
selihay pukulan Im-sat-kang yang sudah mencapai tingkatan
ketujuh seperti apa yang telah dilatih Ki Hiau-hong itu.
Maka dengan cepat sekali pukulan kedua orang sudah
saling bentur, "blang". Auyang Pek-ho tampak terhuyunghuyung
hingga mepet dinding, giginya sampai berkerurukan
kedinginan mirip orang sakit demam.
Sebaliknya Ki Hiau-hong juga baru saja memulihkan tenaga
murninya, kini mesti menggunakan Siu-lo-im-sat-kang yang
banyak mengorbankan tenaga murni itu, ia merasa agak
payah juga dengan napas tersengal dan mengucurkan keringin
dingin. Disebelah sana terang Bun Ting-bik lebih ulet daripada
Kang Hay-thian. Maka sesudah Kang Hay-thian melancarkan
serangan ranpa hasil, ketika Ting-bik menggunakan lwekang
dari "Sam-goan kui-ciang", pedang Kang Hay-thian terguncang
miring, kesempatan itu segera digunakan Bun Ting-bik untuk
melepaskan diri dari cecaran pedang Hay-thian itu. Dan begitu
keluar dari lingkaran pedang pemuda itu, dengan tertawa
dingin Bun Ting-bik lantas berkata: "Ki Hiau-hong, sayang kau
punya Siu-lo-im-sat-kang itu baru mencapai tingkatan
ketujuh!" Dengan gemas Ki Hiau-hong menghimpun antero tenaga
pada tangannya dengan maksud hendak menyerang pula,
namun Kang Hay-thian sudah mencegat didepannya sambil
berseru: "Ki-pepek, tidak perlu engkau banyak mencapekan
diri!" Tapi Bun Ting-bik juga telah menjentik sekali, "cring",
pedang Kang Hay-thian terjentik kesamping. Bahkan Ting-bik
terus merangsang maju, tangannya lantas menampar bagai
gugur gunung dahsyatnya.
Terpaksa Kang Hay-thian memapaknya pula dengan
pukulan, begitu kedua tangan beradu, kontan Kang Hay-thian
terpental kebelakang hingga berjumpalitan, sebaliknya Bun
Ting-bik ju-ga tergetar hingga berputaran bagai gasingan
cepatnya. Nyata gebrakan ini telah dimenangkan oleh Bun
Yan"bik, ia terbahak-bahak. lalu mendesak maju pula.
Sementara itu Auyang Pek-ho dan Ki Hiau-hong juga sudah
mulai bergebrak lagi Auyang Pek-ho sudah terluka oleh tenaga
Siu-lo-im-sat-kang, sebaliknya keadaan Ki Hiau-hong juga
sangat payah, kekuatan kedua orang menjadi seimbang.
Dalam pada itu Auyang-jinio juga tidak tinggal diam, ia
sudah terlalu benci kepada Kang Hay-thian, segera ia
menerjang maju untuk membantu Bun Ting-bik.
Melawan seorang Bun Ting-bik saja Kang Hay-thian sudah
kewalahan, apalagi sekarang ditambah Auyang-jinio, sudah
tentu ia lebih payah Maka tidak terlalu lama, serangan Bun
Ting-bik semakin gencar dan akhirnya Kang Hay-thian serta Ki
Hiau-hong telah terkurung didalam tenaga pukulannya. Dalam
keadaan demikian, biarpun Ki Hiau-hong hendak lari juga tidak
dapat lagi. Dalam pertarungan sengit itu terpaksa Kang Hay-thian
mesti mengadu pukulan sekali lagi dengan Bun Ting-bik, sekali
ini pemuda itu menggunakan "Si-mi-ciang-hoat" yang paling
bagus diantara ilmu pukulan untuk membela diri, ilmu pukulan
yang lemas ini dapat menahan serangan lawan yang lebih
kuat. Maka Bun Ting-bik menjadi kaget ketika Kang Hay-thian
sedi-kitpun tidak bergerak waktu menangkis serangannia itu,
sebaliknya mendadak terdengar jeritan Ki Hiau-hong disusul
dengan menyemburnya darah segar dari mulut copet sakti itu.
Kiranya Kang Hay-thian dapat menyelamatkan diri sendiri
dengan "Si-mi-ciang" yang hebat itu, tapi ia menjadi tidak
dapat pikirkan kawannya lagi, terdesak oleh tenaga pukulan
Bun Ting-bik itu, Ki Hiau-hong yang memang sudah payah itu
segera terluka pula.
Sungguh malu dan menyesal sekali Kang Hay-thain.
Pikirnya "Mengapa aku begini semberono, hanya pikirkan diri sendiri
hingga melupakan keselamatan Ki-pepek?"
Sebagai seorang ahli silat terkemuka, segera Bun Ting-bik
dapat melihat ilmu pukulan Kang Hay-thian yang bagus itu
hanya tiba cukup untuk bertahan dan tidak mampu buat balas
menyerang. Maka sambil terbahak-bahak segera ia mendesak
lebih kencang lagi.
Ditengah tertawa Bun Ting-bik yang senang itu, tiba-tiba
terseling pula oleh suara tertawa seorang yang tak dikenal.
Suara tertawa orang itu sangat menusuk telinga hingga Bun
Ting-bik terperanjat, cepat ia membentak: "Siapa?"
Maka tertampaklah seorang pemuda berbaju putih telah
melangkah masuk sambil tertawa dan berkata: "Lwekang dari
Sam-siang-kui-goan" benar-benar jarang terdapat didunia ini,
Si-mi-ciang-hoat juga luar basa, haring barulah aku dapat
menyaksikan dua macam ilmu sakti itu, benar-benar sangat
beruntung!"
"Hai, kiranya Yap-kongcu, angin apakah yang telah meniup
engkau kesini?" demikian seru Auyang-jinio dengan girang.
"Sungguh kedatanganmu, ini sangat kebetulan."
Jka Auyang-jinio kegirangan atas kedatangan pemuda baju
putih itu, adalah sebaliknya Kang Hay-thian menjadi kaget.
Pemuda baju putih itu tak-lain-tak-bukan adalah "Yapkongcu"
yang telah bergebrak sengit dengan dia dilereng
gunung Ki lian-san itu.
Maka terdengar pemuda baju putih itu menjawab: "Ya,
benar, memang sangat kebetulan, ada sesuatu urusanku yang
perlu kuminta penjelasan padamu."
"Ada urusan apa, bolehkah kita bicarakan nanti saja?" ujar
Auyang-jinio. "Sekarang marilah kita bereskan bocah ini dulu.
Bocah ini juga musuhmu, bukan?"
"Tidak, sebelum aku mengetahui dengan jelas teka-teki
yang menyelubungi hatiku ini, aku tiada semangat buat
berkelahi," kata pemuda itu sambil menggeleng.
Terpaksa Auyang-jinio menanya: "Habis, urusan apakah
Kong-cu ingin minta penjelasan padaku?"
"Tadi aku telah datang kerumahmu." kata pemuda baju
putih, "maksudku ingin menemui nona Cing, tapi entah sebab
apa dia tidak mau menemui aku" Engkau adalah ibunya, tentu
kau tahu duduknya perkara."
Hati Auyang-jinio berdebur keras, pikirnya: "Ai. celaka!
Jangan-Jangan dia benar-benar penujui budak Cing kami itu
dan sekarang dia hendak menegur padaku" Pantas dalam
mimpi juga budak Cing suka mengigau namanya."
Kiranya nona Cing yang dimaksudkan itu adalah puteri
sulung Auyang-jinio, lengkapnya Auyang Cing. Sejak gadis itu
kenal dengan "Yap-kongcu" ini, maka tanpa syarat ia telah
jatuh cinta padanya Sebaliknya pemuda itu pura-pura tidak
tahu, bahkan sengaja bersikap dingin pada Auyang Cing.
Keruan gadis itu sangat mendongkol.
Sebenarnya Auyang-jinio juga tahu maksud puterinya itu
.dan bermaksud setelah melangsungkan pernikahan Auyang
Wan, lalu akan mencari orang perantara untuk menjodohkan
mereka. Siapa sangka pada malam sebelum upacara, diamdiam
Auyang Wan telah minggat, untung Auyang Cing rela
menggantikan adiknya. Karena kuatir dicelah Bun Ting-bik dan
keponakannya, pula waktunya sudah sangat mendesak,
terpaksa Auyan-jinio menjalankan tipu akal "langsat
menggantikan duku", ia tukar Auyang Wan dengan Auyang
Cing. Begitulah, karena melayani pembicaraan "Yap-kongcu" itu.
dengan sendirinya Auyang-jinio tidak dapat menyerang
sepenuh tenaga, dan Kang Hay-thian menjadi dapat bertahan
dengan baik. Mendadak Ki Hiau-hong tergelak-gelak, katanya: "Haha,
sungguh menggelikan Orang she Yap, sebenarnya kau purapura
pikun atau sengaja datang kemari untuk berebut kasih
dengan orang?"
"Tutup bacotmu!" bentak Auyang-jinio dgn murka. Ia kuatir
rahasianya menukar puteri itu terbongkar.
Namun Ki Hiau-hong sudah melanjutkan dengan tertawa:
"Ha-haha, harini kau telah mengawinkan puterimu, mengapa
takut diketahui orang" Haha, orang she Yap, biarlah
kukatakan padamu saja, kau punya nona Cing itu sedari pagi
sudah menjalankan upacara pernikahan dengan orang. Nah,
orang she Bun itulah paman dari pengantin laki-lakinya.
Hahaha, dihadapan orang tua kedua pihak kau sengaja
menanyakan pengantin perempuannya, apa kau tidak kuatir
didamperat orang?"
"Ki-locat!" bentak Auyang Pek-ho dengan gusar. "kau.
berani mengaco-belo tak keruan dan mengadu-dombakan
kami, ini, rasakan dulu pukulanku!"
Tapi karena keadaan lukanya cukup parah, maka begitu
ditangkis Ki Hiau-hong, Auyang Pek-ho sendiri tergentak
mundur malah. Lalu terdengar "Yap-kongcu" itu telah berkata: "O, kiranya
begitulah urusannya, jika begitu sudilah maafkan
kedatanganku yang semberono ini."
Namun diam-diam Auyang-jinio menjadi sangsi. Pemuda
baju putih itu menyatakan sudah datang kerumahnya, dengan
sendirinya telah mengetahui keadaan rumahnya yang moratmarit
itu, masakah sekarang mengatakan tidak tahu apa yang
terjadi itu. Karena tidak tahu apa maksud kedatangan pemuda she Yap
itu, diam-diam Auyang-jinio tidak tenteram, ia coba melirik
sikap pemuda itu, maka terdengar pemuda itu telah berkat;,
lagi: "Apa yang dikatakan orang she Ki ini biarlah dianggap
kentut saja dan jangan digubris. Tapi, Ji-nio, aku tetap akan
menyalahkan kau?"?"?"". Ya, betapapun juga aku toh pernah
membantu sedikit urusanmu tempo hari, tapi harini kau
menikahkan puterimu. mengapa dilakukan secara diam-diam
tanpa mengundang aku minum secawan arak?"
"Hahaha! Orang she Yap, mukamu benar-benar tebal juga,"
tiba-tiba Ki Hiau-hong menyela dengan terbahak-bahak
"Andaikan kau sudi minum arak nikah kekasihmu itu, namun
sang ibu mertua masakah leluasa mengundang laki-laki
gendak dari puterinya sendiri dalam upacara nikahnya?"
"Tutup bacotmu jika tidak ingin kurobek-robek mulutmu?"


Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bentak Bun Ting-bik dengan gusar. Berbareng ia terus
menggablok. namun sedikit menggeser, serangan itu dapat
dihindarkan Ki Hiau-hong, sebaliknya Kang Hay-thian yang
terus menangkiskan pukulan itu.
Dan Auyang-jinio ternyata tetap menjawab dengan ranah:
"Hari nikah puteriku ini diadakan secara tergesa-gesa, maka
tidak sempat mengirimkan undangan kepada Kongcu, untuk
ini hendak lah Kongcu suka memaafkan. Tentang bantuan
Kongcu kepada kami itu sudah barang tentu kami sangat
berterima kasih. Biarlah sebentar kalau kami sudah bereskan
kedua bangsat ini, asal Kongcu sudi mampir, pasti kami akan
mengundang Kongcu sekedar menyatakan terima kasih kami.
Dan untuk sekarang masih diharapkan Kongcu suka memberi
bantuan lagi."
Tiba-Tiba "Yap-kongcu" itu tertawa, sahutnya: "Ji-nio. sekali
ini justeru aku yang ingin minta bantuanmu!"
"Urusan apapun pasti kami siap sedia menerima perintah
Kongcu," sahut Anyang-jinio. "Tapi sekarang ini kedua bangsat
ini harus dibereskan lebih dulu."
"Tidak, apa yang aku mintakan bantuan kalian justeru
adalah?"?"?"?"?"."
"Justeru adalah apa?" tanya Auyang-jinio dengan tak sabar.
"Justeru adalah kalian suka melepaskan mereka ini," sahut
si-pemuda dengan tenang.
Keruan ucapan ini tidak saja mengherankan Kang Haythian,
bahkan juga diluar dugaan Auyang-jinio. Cepat nyonia
itu menegas: "Apa katamu, Yap-kongcu" Melepaskan mereka"
Engkau tidak bergurau bukan" Dia kan musuhmu juga, pula
adalah orang yang hendak ditangkap oleh Kim-eng-kiong?"
"Ya, selamanya aku tidak suka bergurau," sahut sipemuda
baju putih. "Tentang perintah Kim-eng-kiong akupun tidak
peduli, kepada siapa aku suka membantu, segera akan
kubantu tanpa syarat."
"Tapi?"?". tapi urusan ini terpaksa tak dapat kami terima,
harap suka dimaafkan," sahut Auyang-jinio.
"Baru sekali ini aku minta bantuan padamu dan sudah kau
tolak mentah-mentah," jengek pemuda itu. Baiklah, hubungan
kita yang sudah lalu sekaligus kuhapuskan sekarang juga,
untuk selanjutnya aku ingin?"?"?"?"?"
"Yap-kongcu," cepat Auyang-jinio memotong, ia cukup
kenal kepandaian sipemuda yang lihay itu, maka sedapat
mungkin ia menghindarkan permusuhan dengan pemuda itu,
"bukanlah aku berani melawan kehendakmu, tapi urusan
harini sesungguhnya Bun-sian-sing yang memegang peranan,
maka silakan engkau bitiara sendiri dengan Bun-siansing Eh,
kalian belum pernah kenal bukan" Nah. ini adalah Bun
Hukaucu dari Thian-mo-kau dan ini adalah pangeran dari
negeri Masar, Yap Tiong-siau."
Sungguh Kang Hay-thian menjadi bingung ketika
mendengar Auyang-jinio menyebut "Yap-kongcu" sebagai
pangeran dari Masar. Diikalau pemuda itu benar adalah
saudarania Kok Tiong-llan, itu berarti dia adalah putera
mahkota radia Masar yang telah digulingkan itu. Sedangkan
raja yang sekarang justeru yang meng gulingkan raja yang
dulu itu, sesudah naik tahta, konon raja baru sih" lantas
banyak mengumpulkan orang pandai dan menyebar-kan
begundalnya untuk mentiari .jejak kedua putera-puteri raja
lama. Dan kalau pemuda she Yap ini benar adalah putera raja
lama, mengapa ia berani perlihatkan asal-usulnya yang
sebenarnya" Jika tidak, gelar "pangeran" itu diperoleh
darimana lagi" Dan.... dan sesudah dia kembali kepada asalusulnya
sebagai putera raja Masar. mengapa masih
menggunakan nama bangsa Han dan orang luar juga
menyebutnya "Yap-kongcu?"
Tengah Kang Hay-thian merasa heran, sementara itu Bun
Ting-bik juga tak kuranq curiganya. Tiba-Tiba ia terbahakbahak
dan berkata: "Jika demikian, kita Ini sebenarnya adalah
orang sendiri Aku adalah sahabat Koksu (imam negara) kalian.
Po-siang Hoat-ong. malahan rencanaku setelah mengawinkan
keponakanku ini, kami lantas akan berangkat bersama
kepertemuan Kim-eng-kiong yang diadakan oleh Hoat-ong
itu." "Sudah lama aku mengagumi Buu-siansing adalah seorang
yang serba pandai." ujar Yap Tiong-siau dengan tawar sadia
sambil melangkah maju, "dalam pertemuan di Kim-eng-kiong
nanti dlika mendapat kunjungan Bun-siansing, pasti suasana
akan bertambah semarak. Tapi entah Bun-slangsing akan
membantu pihak mana?"
"Sudah tentu aku akan membantu pihak Po-siang Hoat-ong
kalian, masalah perlu ditanya lagi?" udiar Bun Ting-bik.
"Jika begitu, mungkin aku tiada kesempatan untuk minta
pe-tunjuk kepada Bun-siansing dalam pertemuan itu nanti,
mumpung kita sudah bertemu disini, maka..."
Keruan Bun Ting-bik melotot, ia memotong dengan tertawa
diingin: "Hm, jadi Tianhe (yang mulia pangeran) sengaja
datang buat meniguji kepandaianku, ya?"
"Mana aku berani," sahut Yap Tiong-siau. "Cuma aku ingin
tahu sebenarnya sampai dimanakah tingginya ilmu silat 'tokoh
nomor satu dalam Bu-lim' yang katanya susah dijajaki. Dan
kalau Bun-siansing sudi memberi petuhjuk barang sejurus-dua
guna menambah pengalamanku, sungguh akan bahagialah
aku ini." Sebagai seorang yang tinggi hati, sudah tentu Bun Ting-bik
sangat mendongkol oleh tantangan Yap Tiong-siau yang
terang-terangan itu. Diam-Diam ia pikir: "Dengan
persahabatanku dengan Fb-siang Hoat-ong dan kedudukanku
didunia persilatan, jika aku berkun-jung kenegeri Masar,
betapapun juga aku akan dihormati oleh rajanya, jangankan
kau bukan putera kandung raja, andaikan putera mahkota
yang tulen, dihadapanku juga mesti berlaku menghormat
sebagay kaum muda."
Kiranya perkenalan Bun Ting-bik dengan Po-siang Hoat-ong
itu memangnya sengaja dilakukan atas perintah Thian-mokaucu,
pu la disebabkan ilmu silat Hoat-ong itu berasal dari
Thian-tiok yaiyg agak berbeda daripada ilmu silat Tionggoan,
dengan persahabatan itu masing-masing akan mendapat
manfaat yang sama bagi kemajuan ilmu silat kedua pihak.
Po-siang Hoat-ong itu jangkat menjadi Kok-su atau imam
neqara oleh raja Masar serta diberikan suatu istana baru yang
disebut Kim-eng-kiong, istana garuda emas Paling akhir ini
paderi agung itu banyak menerima murid dan pengikut hingga
pengaruh nya semakin besar, sebaliknya raja sendiri malah
banyak bersandar padanya, segala usul dan akalnya selalu
dituruti. Dari itu kedudukan Po-siang Hoat-ong didalam negeri-
Masar boleh dikata hanv pir melebihi kekuasaan raja. Dan Bun
Ting-bik toh tiada maksud mencari pangkat dan kedudukan
dinegeri Masar itu, pula mengandalkan persahabatannya
dengan Hoat-ong, maka iapun tidak perlu rikuh-rikuh lagi
kepada pangeran pungut negeri Masar itu.
Keruan yang kuatrr adalah Auyang-jinio demi nampak
kedua orang yang dihormatinya itu akan saling gebrak. Tapi
belum lagi ia sempat mencegah, disaiia Bun Ting-bik sudah
berkata: "Ji-nio, silakan kau dan Toapek mengawasi Ki-locat,
jangan sampai dia meloloskan diri. Nah, marilah, Yap-kongcu,
kau ingin men jajal diriku, boleh silakan sekarang!"
Nyata, dengan ucapanhya itu ia sudah sedia hendak satu
lawan dua orang, yaitu Yap Tiong-siau dan Kang Hay-thian
yang masih dihadapinya itu.
Namun Yap Tiong-siau lantas berkata:"Kang-heng, harap
eng kau suka mundur sementara, biarlah kubelajar kenai dulu
dengan kepandaian Bun-siansing, bila aku sudah mendapatkan
petunjuk nya, kemudian boleh silakan Kang-heng maju untuk
membantu."''
Kang Hay-thian memang tidak sudi menygeroyok, maka
setelah ragu-ragu sejenak, segera katanya: "Baiklah, terima
kasih!" Melihat Hay-thian sudah undurkan diri, Bun; Ting-bik
merasa lebih ringan menghadapi seorang lawan, dengan
tertawa ia lantas berkata: "Yap-Kdngcu benar-benar berjiwa
kesatria sejati dan tidak sudi mendapat keuntungan sedikitpun
dari orang lain. Nah, silakah unjuk senjata!"
"Dan kau sendiri memakai senjata apa, Bun-siansing?"
tanya Yap Tiong-siau.
"Sejak aku menginjak tanah daratan ini, selamanya aku
tidak pernah memakai senjata untuk bergebrak dengan
siapapun juga," sahut Ting-bik.
"Kabarnya 'Sam-siang-kui-goan' yang dilatih Bun-siansing
itu sudah mencapai tingkatan yang paling sakti, jika Bunsiansing
tidak mamakai senjata, boleh silakan mulailah
menghantam!" ujar ss-pemuda.
Bun Ting-bik menjadi gusar. Katanya didalam bati: "Bocah
ini benar-benar tidak kenal tingginya langit "dan tebalnya
bumi, berani dia tunjuk agar aku menggunakan 'Sem-siangkui-
goan' yang sakti!" Tanpa bicara lagi sebelah tangannya
terus menyurung kedepan, gerakannya sangat lambat, dan
kira-kira setengah meter didepan dada Yap Tiong-siau, telapak
tangannya lantas berhenti, lalu katanya dengan pelahan:
"Yap-kongcu, hati-hatilah, bila perlu setiap' waktu kau boleh
berseru dan setiap saat aku akan hentikan serangan!"
Yap Tiong-siau tertawa dingin oleh ucapan yang
memanciang rendah padanya itu, sahutnya: "Terima kasih
atas maksud baikmu! Tapi ucapanmu ini agaknya terlalu buruburu
kau katakan.". Selesai bicara, kontan iapun memapak
dengan telapak tangannya ke-depan.
Pukulan pemuda itu tampaknya sangat enteng, sedikitpun
tidak bertenaga. Bun Ting-bik juga mengira orang sengaja
memandang rendah padanya. Tak tersangka begitu kedua
tangan beradu, seketika terasa tenaga pukulan yang
dilontarkan pemuda itu kerasnya luar biasa, bahkan sayupsayup
membawa suara gemuruh bagai guntur melempem.
Seketika Bun Ting-bik terhuyung setindak kebelakang,
wajahnya berubah hebat. Sungguh $ak terkira olehnya
pukulan sakti apakah dari pihak lawan itu"
Diam-Diam Kang Hay-thian geli dan mentertawai Bun Tingbik
yang menganggap dirinya sebagai jago nomor satu di
dunia, tapi ter-nyata tidak kenal "Tay-seng-pan-yyak-kang"
yang lihay itu. Padahal "Tay-seng-pan-yak-kang" itupun
termasuk salah satu ilmu sakti warisan Beng Sin-thong. tempo
hari In Khing kakak-beradik justeru hampir tewas dibawah
pukulan hebat itu.
Sebenarnya Bun Ting-bik jauh lebih ulet dan lebih tinggi
setingkat daripada Yap Tiong-siau, tapi karena dia sudah
bertempur sejak tadi, telah ditumbuk mati-matian oleh Ih Taypeng
dan saling gebrak dengan Kang Hay-th4an secara keraslawan-
keras, banyak tenaga dalamnya telah terbuang, maka
jadinya sekarang m malah terdesak oleh Yap Tiong-siau.
"Bagus, kepandaian hebat" seru Ting-bik dengan tertawa
ewa. Berbareng ia menghantam sekuat-kuatnya pula dengan
mata mendelik. Maka terdengar pula suara gemuruh yang hebat, kedua
pukulan saling bentur lagi. Yap Tiong-siau sekali ini tergentak
hingga mencelat, sebaliknya Bun-Ting-bik terdesak mundur
kebelakang dengan air darah merembes keluar dari ujung
mulutnya, jidatpun penuh keringat dingin. Temyata sesudah
gebrakan pertama tadi, oleh karena Bun Ting-bik memandang
enteng lawannya hingga tidak menyerang sepenuh tenaga,
maka urat nadinya sudah ter-guncang dan terluka, meski
pukulan kedua dikerahkan anteto tenaganya. namun sudah
jauh lebih lemah daripada mestinya, maka keadaan tetap tak
menguntungkan pihaknya.
Dan sesudah Yap Tiong-siau berjumpalitan diatas udara,
kemudian ia dapat turun kebawah lagi, katanya dengan
dingin: "Jikalau Bun-siansing merasa tenaga kurang kuat.
tiada halangan-nya buat pulang mengaso dulu. kelak boleh
kita sambung pula pertarungan ini"
Waktu itu memang Bun Ting-bik merasa badan lemas dan
tenaga susah diatur lagi urat nadi terasa kaku. diam-diam ia
terkejut. Tapi iapun menjawab dengan dingin: "Bagus,
memang pukulan yang keji. Tapi caramu berlagak gagah
inipun tiada paedahnya bagimu, kau sendiripun perlu
mengaso. Pertengahan bulan depan akan tiba pertemuan di
Kim-eng-kiong, jikalau nanti Kongcu tetap sehat walafiat,
disanalah nanti kuminta petunjuk padamu lagi."
Setelah Bun Ting-bik angkat kaki, berturut-turut Auyangjinio
dan Auyang Pek-ho terpaksa mengikuti jejak jago yang
mereka andalkan itu. Sebelum pergi, Auyang-jinio tampak
melirik sekejap kearah Yap Tiong-siau, agaknya ingin omong
apa-apa, tapi urung.
Melihat muka Yap Tiong-siau pucat pasi, segera Kang Haythian
bertanya: "Yap-heng, engkau tak apa-apa bukan?"
Namun Yap Tiong-siau tak tahan lagi darah segar terus
menyembur keluar dari mulutnya. Lalu katanya dengan
tertawa: "Iblis itu benar-benar sangat lihay, tapi juga tak
dapat mencabut nya-waku."
Sebenarnya ada maksud Kang Hay-thian hendak membantu
untuk menyembuhkan luka dalam itu, tapi sebelum ia
membuka suara, mendadak Yap Tiong siau ter bahak-bahak
dan mendahului berkata: "Kang-siauhiap, apakah sekarang
kau masih dendam padaku berhubung aku telah melukai In
Khing berdua hingga engkau yang telah korbankan darah
untuk menolong mereka" Untuk mana sungguh aku merasa
menyesal, biarlah disini aku minta maaf padamu. Dan, jika
engkau sudi berkawan, boleh aku tinggal lebih lama disini
untuk bicara lagi, jika tidak, biarlah sekarang juga aku mohon
diri saja!"
Dasar hati Kang Hay-thian memang terbuka, memangnya ia
merasa terima kasih pada pemuda yang telah mengenyahkan
Bun Ting-bik itu, rasa bencinya tempo hari sudah
dikesampingkan olehnya. Kini mendengar Yap Tiong-siau
mengungkat sendiri ke-jadian tempo hari, mau-tak-mau Haythian
terkenang kembali perbuatan pemuda she Yap yang keji
itu, sudah melukai In Khing dan In Bik, memalsukan dirinya
pula. Tapi sebagai seorang polos, tanpa tedeng aling-aling lagi
ia lantas berkata: "Yap-kongcu, atas bantuanmu harini,
persoalan diantara kita yang lalu biarlah kuhapus sekarang
juga dan tidak perlu disinggung pula. Tapi apakah keluarga
Hoa dan In akan bikin perhitungan padamu atau tidak, itulah
aku tidak dapat menjamin dan terserah mereka."
"Hahaha, Kang-siauhiap ternyata seorang yang suka terus
terang, apa yang kau katakan cukup beralasan, masingmasing


Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengurusi urusan diri sendiri dan akupun takkan
memaksakan kesulitan kepada orang lain," kata Yap Tiongsiau
dengan terbahak.
Dalam pada itu dengan tertawa Ki Hiau-hong juga maju
menimbrung: "Yap-kongcu, tadi kau memaki ucapanku seperti
kentut, hal inipun aku takkan marah padamu. Aku tidak biasa
bicara tentang kebaikan apa-apa dengan orang, tapi aku
sekarang, ada setengah tangkai Leng-ci, marilah kita bagi
menjadi dua untuk dimakan. Eh, ada apa, mengapa kau
melotot doang?"
"He, bukankah itu milik Auyang Pek-ho, mengapa kau telah
mencurinya?" tanya Yap Tiong-siau.
"Benar, aku sengaja pinjam uang orang untuk bayar utang."
ujar Hiau-hong dengan tertawa. Tapi jangan kau kuatir,
sekarang kau adalah sobat keponakanku ini, pasti aku takkan
men-curi barangmu."
Segera Ki Hiau-hong memotong Leng-ci itu menjadi dua.
Setelah menerima sebagian Leng-ci itu, dengan tertawa Yap
Tiong-siau berkata: "Baiklah. maka untuk selanjutnya perhitungan
kitapun kubikin beres sampai disini, jangan kau dendam
padaku, akupun takkan marah padamu pula."
Sesudah Yap Tiong-siau makan sepotong Leng-ci itu, kasiat
rumput obat itu ternyata sangat hebat, semangat pemuda itu
seketika pulih kembali. "Ehm, memang benda baik!" kata Yap
Tiong-siau. "Dan, kepandaianku tidak melulu dalam hal mencuri saja,
aku masih pintar menjalankan tugas kurir pula bagi yang
memerlukan tenagaku, dalam hal ind apakah kau inginkan
jasaku?" tanya Ki Hiau-hong dengan cengar-cangir.
"Banyak terima kasih, sementara ini belum perlu, kelak bila
perlu pasti akan kuminta bantuanmu," sahut pemuda she Yap
itu. "Eh, katanya engkau suka kepada Toasiocia keluarga
Auyang itu, masakah kau benar-benar rela membiarkan dia
menikah dengan orang lain?" tanya Hiau-hong pula.
Mendadak Yap Tiong-siau bergelak tertawa, sahutnya: "Jika
aku inginkan puterinya orang she Auyang itu, masakan aku
tak bisa merampasnya dari laki-laki yang penujui dia itu" Tapi
Auyang Cing dapat menikah dengan pemuda she Bun Itu
justeru cocok dengan hatiku."
"Sungguh aneh," ujar Hiau-hong, "bukankan orang she Bun
itu terkenal jahat, mengapa kau malah senang nona Auyang
itu memperoleh seorang suami jahat?"
"Kau sudah berumur, mengapa masih hijau dalam hal ini?"
kata Yap Tiong-siau, ia tidak tahu bahwa sampai kini Ki Hiauhong
masih membujang. "Jika dia menikah dengan orang
yang sebenarnya tak disukai olehnya, barulah setiap saat dia
akan terkenang padaku. Sebaliknya aku menjadi bebaslah
sekarang dari recokannya yang menyebalkan."
"Benar-Benar pikiran aneh," kata Ki Hiau-hong sambil
geleng kepala. "Perasaan orang muda seperti kau ini aku
benar-benar tidak paham!"
Sebaliknya diam-diam Kang Hay-thian telah membatin:
"Ternyata orang she Yap ini tidak hanya hatinya culas dan
tangannya ganas, bahkan akhlaknya juga tidak baik."
"Ki-siansing." kata Yap Tiong-siau kemudian, "kau adalah
seorang simpatik, segala maksud baikmu telah kuterima
didalam hati, mungkin kelak aku benar-benar akan minta
bantuanmu. Tapi sekarang aku ingin mohon engkau suka
minta Kang-heng membantu sesuatu urusanku."
"Silakan berkata, asal tidak mengingkari kebenaran, pasti
akan kuterima dengan senang hati," kata Hay-thian.
"Urusan ini bukan saja tidak melanggar kebenaran, bahkan
engkau sendiri akan menyesal jika tidak menyelesaikan urusan
ini," ujar Yap Tiong-siau dengan tertawa. "Marilah silakan ikut
padaku!" Melihat sikap orang yang aneh dan tertawanya penuh
rahasia. Kang Hay-thian menjadi ragu-ragu.
"Jangan kuatir. sekali-sekali aku tiada maksud jahat," kata
Yap Tiong-siau. "Aku hanya ingin berunding urusan penting
dengan kau. Adapun Ki-siansing diharap suka membuang
sedikit tenaga untuk mengubur jenazah Ih Tay-peng ini.
sebentar boleh menyu-sul kami dibalik bukit sana."
"Baiklah, memangnya aku juga belum menghaturkan terima
kasih kepada sobat lama ini," sahut Ki Hiau-hong. Lalu ia
memberi hormat kepada jenazahnya Ih Tay-peng dan berkata:
"Lau Ih, kebaikanmu padaku pasti takkan kulupakan. Tentang
pesanmu juga pasti akan kulaksanakan dengan baik. Bolehkah
kau tidur dengan tenang untuk selamanya.". Meski sifat Ki
Hiau-hong biasanya suka melucu, tapi kata-katanya itu cukup
sungguhi, bahkan hampir-hampir meneteskan air mata.
Teringat kepada kematian Ih Tay-peng dan puteranya itu,
Kang Hay-thian menjadi terharu juga, iapun maju memberi
hormat. Diam-Diam ia memikir: "Kematian Ih Tay-peng ini
boleh dikata penasaran, tewasnya puteranya juga memilukan.
Meski Ih Siau-kun itu bukan berasal dari aliran yang baik, tapi
orangnya cukup prihatin dan berbudi, agaknya jauh lebih
bermoral daripada Yap-kongcu ini."
Dalam pada itu Yap Tiong-siau sudah tak sabar lagi, segera
ia tarik Kang Hay-thian dan berkata padanya: "Orang toh
sudah mati, buat apa mesti main hormat apa segala tanpa
habis-habis".
Kang Hay-thian tidak enak buat mendebat, terpaksa ia ikut
berangkat bersama pemuda she Yap itu. Sedang Ki Hiau-hong
lantas mencari sebuah pacul, ia menggali sebuah liang dibelakang
rumah untuk mengubur Ih Tay-peng.
Ditengah perjalanan tiu Yap Tiong-siau telah berkata: "Sebabnya
aku buru-buru mengajak kau berangkat adalah supaya
orang tidak menunggu terlalu lama pada kita."
"Siapa yang menunggu" Dimana?" tanya Hay-thian dengan
ter-heran-heran.
"Sebentar tentu kau akan tahu sendiri," kata Tiong-siau
dengan mempercepat langkahnya.
Mau-tak-mau Hay-thian kagum juga melihat ketangkasan
pemuda she Yap itu, meski habis bertempur dan terluka, tapi
jalannya masih secepat terbang.
Karena Hay-thian sendiri juga ingin tahu rahasia asal-usul
pemuda she Yap itu, maka cepat iapun menyadarinya dan bertanya:
"Dari logat Yap-heng, agaknya berasal dani Tanliu di
propinsi Holam, entah betul atau tidak?"
"Benar, sejak kecil aku sudah meninggalkan kampung
halaman, tapi logat suaraku tidak berubah," sahut Yap Tiongsiau.
"Di Tanliu ada seorang tokoh bernama Yap Kun-san Locianpwe,
entah Yap-heng kenal tidak dengan beliau?" tanya Haythian
pula. "O, beliau justeru adalah ayahku," sahut Tiong-siau.
Tergetar hati Hay-thain, ini dia, mungkin memang benar
adalah saudaranya Lian-moay, demikian pikirnya. Maka
kembali ia tanya: "Tapi mengapa tadi kudengar mereka
memanggil Yap-heng sebagai Tianhe?"?"?""
"Hahaha!" tiba-tiba Yap Tiong-siau menyela dengan gelak
ketawa-nya. "Kalau diceritakan, sungguh suatu pengalaman
yang aneh. Oleh karena sejak kecil ayah sudah wafat hingga
aku bergelandangan ditapal perbatasan, akhimya aku dipungut
oleh raja Masar dan diaku sebagai anak angkat. Sekarang
jabatanku dinegeri Masar adalah 'Ci-kim-ngo Ciangkun'.
Sebenarnya raja menganu-grahi aku dengan she kerajaan,
tapi aku lebih suka orang memanggil aku sebagai Yap Tiongsiau."
Hay-thian bertambah sangsi, dan belum ia menanya lagi,
tiba-tiba Yap Tiong-siau berseru dengan tertawa: "Nah, sudah
sampai di tempatnya. Lihatlah siapa itu?"
Maka terlihatlah dari balik semak pohon sana muncul
seorang yang sedang memandang kearah sini. Sungguh
girang dan kejut Hay-thian, cepat serunya: "Nona Auyang,
kiranya kau berada di sini dan belum pergi?"
"Justeru dialah yang mengundang aku kesini, sebelum tahu
bagaimana keadaanmu, sudah tentu dia belum lega untuk
pergi," kata Yap Tiong-siau.
Gadis itu ternyata Auyang Wan adanya. Sesudah dekat dan
mengamat-amati Kang Hay-thian, lalu katanya dengan lega:
"Baiklah, ternyata kau tidak cidera apa-apa."
"Dan sekarang aku sudah memenuhi permintaanmu untuk
mem-bawanya kemari, boleh kau merasa lega bukan?" ujar
Yap Tiong-siau dengan tertawa.
"Dan dimanakah ibuku?" tanya Auyang Wan.
"Ibumu juga tidak cidera apa-apa," sahut Tiong-siau.
"Sesudah kuhantam lari orang she Bun itu, ibumu dan
pamanmu lantas pulang juga."
"Terima kasih kepada kalian berdua; tadi aku benar-benar
sangat kuatir," kata sigadis,
"Tapi sayang sekarang kau tak bisa pulang kerumah," kata
Tiong-siau. Auyang Wan menunduk, sahutnya: "Ya, memang aku lagi
bingung sekarang."
"Hahaha, bukankah telah kudatangkan seorang, yang akan
men-jaga kau?" kata Tiong-siau dengan terbahak. "Kangheng,
ba-gaimana akan kau atur nona Auyang ini?"
Hay-thian melengak sejenak, seketika mukanya merah
jengah, katanya dengan tergagap-gagap: "Urusan ini nona?"?".
nona Auyang lebih pintar, masakah tidak tahu cara bagaimana
harus menempatkan dirinya."
"Ai, kenapa Kang-heng berkata demikian," ujar Yap Tiongsiau.
"Sebagai kaum persilatan, sekali menolong orang harus
menolong sampai akhirnya. Apalagi nona Auyang justeru
membela kepentinganmu hingga telah cecok dengan keluarga
sendiri." Dengan muka merah dan menunduk, Auyang Wan berkata
dengan sedih dan lirih: "Kang-siankong, beberapa kali ayahbun-
daku bermaksud membikin susah padamu, sungguh aku
merasa menyesal dan malu pula. Maka aku telah menuruti
nasihatmu untuk seianjutnya akan meninggalkan mereka,
sejak kini aku tidak mau-pulang kesana lagi. Cuma dunia
seluas ini, kemanakah aku harus pergi?"
Segera Kang Hay-thian ingat apa yang telah dikatakannya
sendiri waktu menolong Auyang Wan, yaitu waktu mendesak
gadis itu melarikan diri dan tidak perlu mempunyai orang tua
yang jahat itu. Kini demi dipikir pula, ia merasa ucapannya
sesungguhnya terlalu semberono, gegabah dan dapat
menimbulkan salah paham orang. Dasarnya memang dia tidak
pandai bicara, kini ia menjadi makin kikuk dan bingung cara
bagaimana harus menyelesaikan hal ini.
Celakanya Yap Tiong-siau lantas mendesaknya pula: "Nah,
memang dia sudah menurut nasihatmu dan meninggalkan
orang tua, sekarang dia sudah sebatangkara, masakah kau
tega membiarkan dia terluntang lantang dikangouw tanpa
mengurusnya?"
Dengan wajah merah terpaksa Hay-thian menyahut: "Habis,
aku sendiri juga terlunta-lunta kemana-mana dan sedang
mencari ayah dan guru, bagaimana aku dapat mengurus
orang lain lagi?"
"Eh, aku ada satu usul," ujar Tiong-siau tiba-tiba. "Konon
engkau akan datang kenegeri kami, apa betul?"
Mendengar orang telah membilukan pokok bicara, cepat
Haythian menjawab: "Benar, aku pernah mewakilkan Kok
khiap, itu Ciangbunjin dari Bin-san-pay, menerima kartu
undangan dari pemilik Kim-eng-kiong dinegeri kalian itu."
"Jika begitu, urusan menjadi kebetulan," kata Tiong-siau.
"Aku masih ada urusan lain yang harus kuselesaikan dilain
tempat, boleh jadi aku tidak keburu menghadiri pertemuan di
Kim-eng-kiong nanti. Maka Kang-heng boleh membawanya
kenegeri kami dan menemui ayah-baginda, tinggallah didalam
istana sebagai tetamu beliau. Pabila kelak engkau akan
meninggalkan negeri kami, apakah kau akan membawa serta
nona Auyang atau tidak aku tidak tahu, tapi yang terang dia
sudah ada tempat tinggal yang terang dan dapat ditanggungjawabkan,
andaikata ayah-bundanya tahu juga tidak berani
sembarang masuk kekeraton untuk menawannya kembali.
Baik tidak usul ini?"
"Usul bagus," segera Auyang Wan menyatakan setuju.
Watak Kang- Hay-thian jujur dan polos, tapi tidak berarti dia
bodoh, sesudah banyak mengalami berbagai peristiwa,
pengetahuan sudah banyak bertambah pula, maka setiap
urusan .selalu dipikirkan sebelum bertindak. Ia pikir: "Jangan-
Jangan ini memang rencana mereka agar aku masuk kedalam
keraton raja Masar?" Padahal dari tindak-tanduk Yap Tiongsiau
yang tidak beres ini, jangan-jangan mereka sudah
mengatur perangkap apa-apa atas diriku?"
"Nona Auyang sendiri sudah setuju, masakah kau masih
perlu kuatir apa?" desak Yap Tiong-siau dengan tertawa.
"Aku justeru masih kuatir," sahut Hay-thian
"Silakan berkata terus terang," pinta Tiong-siau.
"Aku tidak tahu ada perselisihan apa dengan Kok-su dari
negeri kalian," tutur Hay-thian. "Yang terang aku telah
mewakili Kok-Lihiap menerima kartu undangannya dan
menyatakan akan hadir dalam perjamuannya nanti. Hal ini
dengan sendirinya telah dilaporkan oleh utusannya. Dan
sebagai bakal tetamunya, sepantasnya dia harus melayani aku
secp.ra hormat. Tapi entah sebab apa, belum aku sampai
dinegeri kalian, tahu-tahu ia sudah kirim orang hendak
menangkap aku."
"He, bisa terjadi begitu?" demikian kata Tiong-siau dengan
unjuk rasa heran.
"Nona Auyang itu dapat menjadi saksi, gurunya yang
menyatakan telah diperintahkan oleh majikan Kim-eng-kiong
untuk menawan aku. Tapi, hm, agaknya Yap-heng tidak perlu
berlaga-pilon. Juteru tadi Auyang-jinio juga pernah nyatakan
padamu bahwa aku inilah orang yang hendak ditangkap oleh
Kim-eng-kiong dan kau diharapkan membantunya. Tentu kau
belum lupa bukan?"
Air muka Yap Tiong-siau tampak rikuh, tapi. lantas berkata
dengan tertawa: "Haha, memang didalam urusan ini ada
kesalahpahaman. Setahuku antara Po-siang Hoat-ong ada
sedikit percek-cokan dengan gurumu. Padahal biasanya Hoatong
sangat kagumi gurumu, sebaliknya gurumu tidak sudi
menerima maksud baik-nya itu. Pernah Hoat-ong berkata
padaku bahwa sekali-sekali dia tiada rasa bermusuhan dengan
gurumu, soalnya gurumu yang salah paham, maka alangkah
baiknya jika terdapat seorang kepercayaan gurumu yang suka
menjelaskan hal itu kepadanya. Dari itu, menurut dugaanku,
mungkin Im Seng-koh diperintahkannya agar .menyambut'


Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kedatanganmu, boleh jadi Im Seng-koh salah terima dan
berbalik akan menangkap kau. Mengenai Auyang-jinio, karena
dia cuma mendengar perintah itu dari Im Seng-koh, dengan
sendirinya ikut salah melaksanakan perintah itu."
"Ya, rekaan Yap-kongcu itu memang beralasan, watak
guruku itu memang suka .gerusah-gerusuh," sela Auyang Wan
cepat. Diam-Diam Hay-thian geli kedua orang itu telah anggap dirinya
sebagai anak kecil saja. Tapi ia tahan perasaannya itu,
sebaliknya menanya lagi: "Diantara guruku dan Po-siang Hoatong
ada percecokan apa?"
"Akupun kurang jelas, hanya Po-siang Hoat-ong pernah
berkata begitu padaku," sahut Tiong-siau. "Baiklah kelak
gurumu juga akan hadir disana, sebagai perantara yang
sangat dibutuhkan tenagamu, tentu Hoat-ong akan
menjelaskan duduknya perkara padamu. Pula sesudah
bertemu dengan gurumu, tentu juga gurumu akan ceritakan
padamu." Sungguh girang Hay-thian tak terkatakan, sejak tinggalkan
rumah, baru sekarang untuk pertama kalinya ia mendengar
berita tentang gurunya yang ternyata akan menghadiri juga
dalam pertemuan di Kim-eng-kiong nanti. Ia pandang Auyang
Wan seke-jap, ia menjadi serba salah dan kesal. Kalau
berangkat bersama gadis itu. tentu akan dibuat cerita orang.
Lantas bagaimana caranya agar gadis itu dapat dilepaskan"
Sebagai pemuda yang cerdik, melihat air muka Kang Haythian
yang sebentar girang dan sebentar kesal, segera ia
dapat meraba pikirannya. Dengan terbahak kembali ia
berkata: "Kang-heng, jika kau masih sangsi, disini sudah
kusediakan dua pucuk surat."
Karena otak Hay-thian tidak secepat Yap Tiong-siau cara
ber-pikirnya, maka ia malah tanya: "Surat untuk siapa?"
"Sepucuk untuk Po-siang Hoat-ong dan sepucuk untuk Huong
(ayah baginda raja)," sahut Tiong-siau. "Terus terang
kukatakan, biarpun cuma anak angkat, tapi Hu-ong sangat
sayang padaku, segala apa yang kukatakan selalu diturutnya.
Po-siang Hoat-ong juga termasuk guruku secara tidak resmi.
Dengan membawa suratku, pasti dia akan melayani kau
dengan segala hormat. Apalagi Hu-ong paling suka pada
pemuda yang kosen. haha, jika Kang-heng sudi tinggal
dinegeri kami demi usaha besar, kujamin hari depanmu pasti
akan gilang-gemilang."
"Gilang-gemilang bagaimana dan usaha apa?" tanya Haythian
dengan menahan rasa dongkol.
"Meski Hu-ong adalah raja dari suatu negeri kecil, tapi
beliau mempunyai cita-cita setinggi langit, sudah lama
terkandung mak-sudnya menjajah dunia ini, biarpun tidak
berani menyentuh tanah Tionggoan, tapi paling sedikit juga
dapat merajai benua barat. Bukankah ini merupakan suatu
usaha besar" Seorang laki-laki harus mempunyai cita-cita
setinggi bintang dilangit, entah Kang-heng ada maksud
merajai benua barat atau tidak?"
"Aku tidak mempunyai kepandaian apa-apa, juga tidak
punya re-jeki sebesar itu," ujar Hay-thian.
Melihat orang tidak tertarik oleh bujukannya. segera Tiongsiau
berkata: "Jika begitu, urusan ini boleh kita bicarakan lagi
kelak. Sekarang silakan Kang-heng terimalah dua pucuk
suratku ini."
Namun Hay-thian bersedakap dan diam saja takmau terima
surat orang, katanya dengan dingin: "Yap-heng, maafkan
kesemberonoanku, aku ingin tanya sesuatu pula padamu."
Mau-tak-mau Yap Tiog-siau mendongkol juga, tapi tetap ia
menanya dengan ramah: "Tentang apa" Silakan berkata!"
"Tentang asal-usul Yap-heng sendiri, apakah kau tahu?"
kata Hay-thian.
"Rupanya Kang-heng sedikit-banyak juga sudah tahu asalusul
diriku, maka tiada halangannya kukatakan terus terang,"
sahut Tiong-siau. "Aku justeru lagi kesal urusan ini, maka ingin
minta bantuan Kang-neng."
Diam-diam Hay-thain bersyukur orang masih tahu akan
kesal segala, segera katanya: "Asal tenagaku sanggup
melakukan, pasti kuterima."
"Begini soalnya," kata Tiong-siau, "aku tahu gurumu dan
Kok-lihiap dari Bin-san-pay itu adalah bekas kekasih, Kok-lihiap
itu adalah sobat baik ayahmu pula. Maka tentang murid Koklihiap
yang bernama Kok Tiong-lian, tentu Kang-heng
mengenalnya sejak kecil?"
"Benar, kami terhitung teman memain sejak kecil!"
"Kabarnya waktu kecil dia dipelihara oleh Khu Giam di
Tiong-bo-koan, apakah Kang-heng tahu dengan pasti?"
"Sed-kitpun tidak salah," sahut Hay-thian. "Sebelum Khu
Giam wafat, dia telah menyerahkan Tiong-lian kepada Ekpangcu
dari Kay-pang. Ek-pangcu adalah Suhengnya Koklihiap.
maka akhirnya Tiong-lian diterima Kok-lihiap sebagai
anak angkat."
"Tepatlah jika begitu," kata Tiong-siau. "Untuk bicara terus
terang, aku memang saudara sekandung dengan dia, bahkan
ber asal dari negeri Masar. Dahulu lantaran terjadi gegergeger
di negeri Masar, aku dipelihara oleh Yap Kun-san di
Tanliu dan adikku dipelihara oleh Khu Giam. Hanya aku tidak
tahu apakah dia sudah mengetahui asal-usulnya sendiri atau
belum?" "Setahuku, Kok-lihiap sudah tentu mengetahui, dan
entahlah apakah beliau pernah memberitahu kepada Tionglian
atau tidak." kata Hay-thian.
Tiba-Tiba Yap Tiong-siau menghela napas, katanya:
"Namun aku sudah dapat menemukan dia, tapi dia tidak sudi
mengakui diriku."
"He, jadi kalian kakak-beradik sudah bertemu?" tanya Haythian
dengan kejut dan girang.
"Ya, aku ingin mengakui dia sebagai, adikku, tapi dia tak
sudi mengaku aku sebagai kakaknya," sahut Tiong-siau.
"Maklumlah, mungkin kau sendiri belum cukup memberi
penjelasan padanya sebab apa kau telah menjadi putera
pangeran raja Masar," ujar Hay-thian tanpa pikir. Sebagai
seorang jujur, ia sangka setelah Yap Tiong-siau mengetahui
asal-usul diri sendiri, tentu sudah tahu juga bahwa raja Masar
sekarang adalah pembunuh ayahnya serta diam-diam sedang
menunggu kesempatan baik untuk menuntut balas.
Diluar dugaan Yap Tiong-siau telah menjawab: "Raja telah
mengaku aku sebagai anak, budi kebaikan itu sudah tentu
kuberitahukan kepada adik sendiri. Bahkan aku memberitahu
pula bahwa raja mengandung maksud hendak meminangnya
untuk isteri putera mahkota. Siapa duga. demi mendengar
ucapanku itu. tanpa menjawab terus saja aku diusir. Nah,
urusan yang ingin kuminta bantuan pada Kang-heng adalah
sukalah kau menasihatkan dia,."
Seketika Kang Hay-thian tertegun, hampir-hampir ia tidak
percaya pada teknganya sendiri, sekejap itu ia menjadi gusar
dan berduka bagi Kok Tiong-lian.
Sebaliknya Yap Tiong-siau menjadi heran melihat sikap
Kang Hay-thian itu, serunya: "He, Kang-heng, mengapa kau?"
Auyang Wan juga bingung, diam-diam ia merasa urusan
pasti menyangkut hubungan baik antara Kang Hay-thian
dengan Kok Tiong-lian. Segera ia coba memancing:
"Sebenarnya permintaan Yap-kongcu itupun bukan pekerjaan
jelek. mengapa Kang-siang-kong merasa ragu-ragu" Ah, cpa
barangkali engkau sungkan buat menjadi perantara" Jika
demikian, boleh kau perkenalkan aku dengan nona Kok itu,
sesama kaum wanita, tentu aku akan lebih leluasa untuk
bicara padanya."
"Tutup mulut!" bentak Hay-thian mendadak. "Kalian anggap
aku ini manusia macam apa" Masakan aku bisa sekomplotan
dengan kau untuk membantu berbuat hal-hal yang durhaka
itu!" Yap Tiong-siau menjadi gusar juga,, dengan merah padam
iapun membentak: "Orang she Kang, katakanlah perbuatanku
apa yang kau anggap durhaka?"
"Kau tidak peduli negara dikacau oleh pembesar dorna,
itulah tidak setia! Kau mengaku musuh sebagai ayah, itu
namanya tidak berbakti! Kau malah berani mengorbankan adik
perempuan sendiri, itu namanya tidak bermoral! Kau ingin
menjebloskan kawan agar membantu perbuatanmu yang tak
baik, itu namanya tidak berbudi! Nah, dosa-dosa itu bukan
perbuatan durhaka?" demikian Kang Hay-thian mencercanya
habis-habisan. Yap Tiong-siau menjadi gusar, sahutnya: "Kurangajar, kau
berani mencerca juga kepada ayah-bagindaku" Kau sengaja
hendak memecah-belah kami ayah dan anak, sungguh aku
menjadi menyesal tadi telah menolong jiwamu."
"Benar, memang kau pernah menyelamatkan aku," kata
Hay-thian. "Maka kelak aku akan bayar kembali berganda
padamu, pa-bila jiwamu terancam, betapapun juga aku pasti
akan menolong kau dua kali. Nah, pembicaraan kita sudah
selesai, jika kau tetap ingin mengaku musuh sebagai ayah,
itulah urusanmu sendiri. Sekarang juga kita berpisah disini."
"Haha, masakah aku perlu kau menolong jiwaku?" kata
Tiong-siau dengan mengejek, "Kukira jiwamu sendiri yang
harus di-jaga. Jika aku dapat menyelamatkan jiwamu, tentu
juga sanggup melenyapkan nyawamu!" Habis berkata,
mendadak ia menggertak terus menghantam. Saat itu
kebetulan Kang-Hay-tbian sedang putar tubuh hendak pergi,
maka pukulan Yap Tiong-siau itu menjadi diluar penjagaan
Kang Hay-thian hingga tepat mengenai punggungnya.
Auyang Wan menjerit kaget, maka terdengarlah suara
"bluk" sekali. Kang Hay-thian terdorong kedepan beberapa
tindak, tapi pemuda itu lantas menoleh, katanya dengan
tertawa dingin: "Hm, hebat benar kepandaianmu hebat pula
caramu ini! Mengingat tadi kau telah menolong aku, maka aku
tidak akan balas menyerang padamu. Tapi kesabaranku juga
ada batasnya, jika kau berani maju lagi, terpaksa akupun tidak
sungkan-sungkan pula."
Kiranya Kang Hay-thian memakai baju pusaka tinggalan
Kiau Pak-beng, pula sebelumnya ia sudah berjaga-jaga segala
kemungkinan, maka serangan Yap Tiong-siau sama sekali
tidak membuatnya cidera. Sebaliknya Yap Tiong-siau tidak
tahu duduknya perkara itu, ia menjadi kaget, pikirnya:
"Sungguh tidak nyana ke-pandaiannya sudah setinggi ini,
pantas Bun Ting-bik ditambah dengan Auyang Pek-ho dan
Auyang-jinio juga tidak mampu mengalahkan dia."
Sebab itu, walaupun masih mendongkol, namun Tiong-siau
tidak berani mengejar pula.
Keruan Auyang Wan yang sibuk, teriaknya: "Hai, hai! Baru
saja kalian masih berkawan, mengapa mendadak cecok"
Kang-siangkong, apa kau tidak gubris padaku lagi?"
"Mengapa kau kuatir tiada oraang akan gubris padamu?"
sahut Hay-thian dengan tertawa dingin. "Mulai sekarang kau
boleh bertindak menurut keinginanmu dan aku akan pergi
menurut arahku, jangan kau merecoki aku lagi." Habis
berkata, terus saja ia berlari pergi dengan Gingkang yang
tinggi, dengan sendirinya tidak mungkin dapat disusul oleh
Auyang Wan. Apalagi gadis itupun terpaku ditempatnya demi
mendengar omelan Kang Hay-thian, ia merasa malu, dongkol
dan berduka pula.
"Sudahlah, dia toh tidak sudi padamu lagi, lebih baik kau
ikut padaku saja," ujar Yap Tiong-siau. "Rasanya kau juga
tidak perlu sedih, biarlah aku akan berdaya untuk membalas
sakit hatimu ini."
Dalam pada itu Kang Hay-thian hanya sekejap saja, sudah
menghilang dari pemandangan, dan barulah Auyang Wan
men-jerit tangis".
---ooo0dw0ooo---
Sesudah meninggalkan recokan Auyang Wan, sedang Kang
Hay-thian berlari dengan, marah, tiba-tiba dari belakang
terdengar berkesiurnya angin, dengan gusar ia terus
mencengkeram kebelakang sambil membentak: "Apakah
benar-benar kau masih ingin merecoki aku" Terpaksa aku
tidak mau sungkan-sungkan lagi padamu". Ai Ki-pepek,
kiranya kau!"
"Kau sedang marah-marah pada siapa, Kang-hiantit?" tanya
Ki Hiau-hong dengan heran. "Hampir saja tulangku remuk
kena kau remas!"
"Maaf, kusangka bangsat she. Yap itu yang telah mengejar
kemari," sahut Hay-thian.
Hiau-hong tambah heran, tanyanya: "Jadi kau telah cecok
dengan Yap Tiong-siau" Memangnya akupun tidak suka pada
manusia she Yap itu, jelas dia bukan seorang pemuda baikbaik.
Cuma, apapun juga harini dia telah membantu kita."
"Memangnya masakah dia manusia baik-baik, bahkan
durhaka," sahut Hay-thian dengan menahan gusar. "Cobalah
kau timbang, masakah didunia ada manusia durhaka seperti
dia itu?" Lalu iapun menceritakan apa yang dikatakan. Yap
Tiong-siau tadi.
Ki Hiau-hong mengkerut kening habis mendengar cerita itu,
katanya: "Jika begitu, memang orang she Yap itu boleh dikata
adalah binatang. Curna, aku agak sangsi juga."
"Sangsi" Apa yang perlu disangsikan lagi?" ujar Hay-thian.
"Sedangkan dia sudah cukup jelas asal-usulnya sendiri, tapi
toh masih berbuat hal-hal yang durhaka itu?"
"Aku bersangsi apakah dia tidak tertipu oleh raja Masar
itu?" kata Hiau-hong.
"Tertipu" Mungkin juga bila dia tidak tahu asal-usulnya
sendiri, tapi terang gamblang ia sudah tahu dengan jelas!"
"Tapi. apakah dia menyatakan telah mengetahui juga
bahwa dia adalah putera raja Masar yang lama?"
"Itu tidak dikatakannya," sahut Hay-thian. "Tapi seluk beluk
yang lain sudah diketahui semua olehnya. Boleh jadi dia
mengira aku telah mengetahui kisah hidupnya. maka tidak
perlu menying-gung lagi."
"Kukira tidak betul." kata Hiau-hong dengan menggeleng.
"Justeru itulah titik yang penting, mengapa malah tak
disinggung nya" Pula, andaikan dia tahu diri, ketika kau
memaki dia. tidak nanti dia murka dan merasa terhina."
Benar juga pikir Hay-thian, tadi Yap Tiong-siau memang
tampak sangat penasaran karena dicerca olehnya. "Habis
kalau menurut pendapat Ki-pepek, bagaimana?" tanyanya
kemudian. "Aku juga cuma menerka saja," sahut Hiau-hong. "Kuduga
raja Masar itu tentu telah menutupi sedikit sejarah hidupnya,
atau mungkin sebagian dituturkan apa mestinya. tapi sebagian


Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pula karangan belaka, jadi campur-aduk hingga Yap Tiongsiau
menjadi bingung, tapi menganggap telah tahu asalusulnya
sendiri." "Pabila begitu halnya, itu berarti aku telah salah sangka,"
kata Hay-thian. "Tapi untuk apa raja Masar itu berbuat
demikian, sesudah tahu pemuda she Yap itu adalah putera
musuh, mengapa tidak membunuhnya saja. sebaliknya
memungutnya sebagai anak?"
"Tentang itu akupun tidak tahu," sahut Hiau-hong. "Baiknya
tak lama lagi kau akan dapat bertemu dengan gurumu, dari
beliau tentu akan bisa diperoleh sedikit keterangan."
"Sayang aku lupa tanya padanya tentang tempat beradanya
Kok-khiap berdua?" ujar Hay-thian. "Ehm, katanya Lian-moay
tidak sudi mengakui dia sebagai kakak, agaknya seperti aku,
sama-sama berprasangka padanya."
"Sementara ini tak perlu kita urus orang she Yap itu," kata
Hiau-hong. "Sekarang apakah kau hendak buru-buru hadir
dalam pertemuan di Kim-eng-kiong?"
"Benar, hari yang ditetapkan adalah tanggal 15 bulan
depan, hanya tinggal sebulan lebih dua hari lagi," sahut Haythian.
"Ki-pepek, apakah enkau juga mendapat kartu
undangannya?"
"Aku adalah seorang pencuri, mana orang sudi
mengundang aku?" kata Hiau-hong dengan tertawa. "Cuma,
sebagai pencuri, tanpa diundang juga mungkin aku akan
menggerayangi tempatnya"
"Jika begitu, marilah kita berangkat bersama saja," kata
Hay-thian. "Tokoh-Tokoh yang diundang kali ini sangat banyak
dan pi lihan semua, barang yang berharga untuk digerayangi
kau pasti .tidak sedikit."
"Ya, tentu aku akan hadir disana kelak," sahut Hiau-hong.
"Tapi lebih dulu aku hendak pergi kesuatu tempat lain,
pertemuan kita disini boleh di kata sudah ditakdirkan, apa kau
tahu sebab apa aku berada disini?"
"Siautit justeru ingin tanya Ki-pepek," kata Hay-thian.
"Coba jawabiah lebih dulu, apakah kau sudah memperoleh
kabar tentang ayahmu?" tanya Hiau-hong tiba-tiba.
"Sedikitpun belum ada kabarnya," sahut Hay-thian. "kipepek
jangan-jangan kau sudah?"?"."
"Ya, belum lama berselang aku sudah bertemu dengan
ayahmu, kepergianku inipun untuk menemuinya lagi" tutur
Hiau-hong. Keruan girang Hay-thian tidak kepalang. "Ki-pepek,
mengapa tidak sejak tadi-tadi kau katakan padaku. Dimanakah
ayahku sekarang?" tanyanya dengan tak sabar.
"Sedangkan nyawa kita tadi entah dapat dipertahankan
atau tidak, darimana aku ada tempo untuk bercerita?" sahut
Hiau-hong dengan tertawa. "Tapi sekarang dapatlah
kuceritakan dengan jelas. Untuk ini, hendaklah kau bersabar,
cerita ini sangat panjang dan perlu dimulai dari awalnya, yaitu
mulai cerita ten-tang menghilangnya Tan Thian-ih, kemudian
barulah mengenai ayahmu."
Sungguh mendongkol Hay-thian oleh watak sipencuri sakti
yang suka putar kayun dalam ceritanya itu. Tapi untuk tidak
bikin urusan menjadi runyam, terpaksa ia mesti kekang
perasaannya dan bersabar sedapat mungkin.
"Cobalah kau terka sebab apa mendadak Tan Thian-ih telah
menghilang?" demikian Hiau-hong membuka ceritanya dengan
kalem. "Kiranya disebabkan isterinya telah diculik orang. Suatu
malam, rumahnya kedatangan dua orang dan telah
menidurkan mereka dengan semacam asap pembius yang
aneh. Untung Lwekang Tan Thian-ih cukup kuat, tatkala itu ia
cuma pusing kepala dan belum kehilangan pikiran sehatnya
sama sekali. Tapi iapun tidak berdaya menyaksikan isterinya
digondol lari kedua penjahat itu. syukur ia cukup cerdik, dalam
keadaan terpaksa, tiba- ia mendapat akal. sekuatnya ia gigit
ujung lidah sendiri."
"Apa gunanya menggigit lidah" Apakah dia juga paham
THan-no-kay-teh-tay-hoat?" tanya Hay-thian dengan heran.
"Maksudnya melukai lidah sendiri ialah agar kesakitan itu
akan membuat semangatnya terbangkit, paling tidak pikiran
sehatnya dapat dipertahankan meski badan tak bisa berkutik,
maksud tujuanya ialah sedapat mungkin akan mengingat baikbaik
air muka kedua penjahat itu. Sebab kalau pikirannya
remang-remang tentu susah melakukan hal itu.
"Sebenarnya kekuatan asap tidur itu dapat bertahan sampai
sehari-semalam. dan bila pingsan selama dua-tiga jam tanpa
nendapat pertolongan, sesudah sadar nanti orangnya juga
akan berubah menjadi gendeng; untung Lwekang Tan Th:anih
sudah cukup kuat, waktu itu ia menggigit ujung lidah sendiri
pula hingga kesadarannya tetap dipertahankan. Setelah
musuh pergi, sekuatnya ia meronta bangun ia buka daun pintu
dan jendela agar udara segar, lalu duduk semadi. setelah
setengah jam. Pelahan-lahan tenaganya pulih kembali. Waktu
mudanya ia pernah makan buah aneh didalam istana. es,
maka tubuhnya enteng seperti burung, bicara tentang
Ginkang, pada jaman ini mungkin jarang ada yang melebihi
dia kecuali Suhumu, Peng-khoan Thian-li dan aku. Maka waktu
itu ia masih mengharap dapat menguber penjahat-jahat itu
untuk merebut kembali isterinya. Tapi sudah terlambat
setengah jam lamanya, tanpa tidur dan tidak makan ia terus
mengejar selama sehari-semalam, tapi jejak musuh tetap tidak
ketemu. Hal ini menandakan kedua penjahat itupun bukan
sem-barangan orang dan tidak melulu mengandalkan obat
tidurnya itu. Dan kejadian selanjutnya engkau sendiripun
sudah tahu. sejak itu Thian ih tidak pernah pulang kerumah,
bagi orang lain, le-nyapnya itu lantas menimbulkan macammacam
dugaan. Kedua budaknya yang tua. yang satu telah
mati keracunan obat tidur itu, yang lain juga sudah berubah
menjadi gendeng, yaitu Nyo-lotoa yang dulu telah kita
ketemukan ditanah pekuburan keluarga Tan itu."
"Bilakah Ki-pepek bertemu dengan Tan-pepek?" tanya Haythian.
"Berturut-turut ayahmu dan aku telah pergi mencarinya,
sampai sekarang ayahmu masih belum bertemu dengan
Thian-ih, tapi aku beruntung sudah bertemu." sahut Hiauhong.
"Itu terjadi tiga tahun yang lalu ketika aku mendatangi
sebuah kuil Lama dengan maksud mencuri sebuah patung
Budha dari kayu wangi. Tak terduga kupergoki Thian-ih
sedang sembahyang Budha disana. Haha-ha! Rupanya Budha
dikuil itu sengaja bergurau dengan aku. pa-tungnya akan
kucuri, sebaliknya Thian-ih sedang menyembah patung itu,
dengan sendirinya aku tidak jadi mencurinya."
"Aneh, padahal ayahku dan Tan-pepek biasanya tidak
memeluk agama, mengapa Tan-pepek telah sembahyang
Budha?" ujar Hay-thian
"Tentu ada sebab-musababnya," kata Hiau-hong dengan
terpaksa. "Bukankah tadi kukatakan Thian-ih telah ingat baikbaik
muka kedua penjahat yang menculik isterinya itu" Dan
dia ternyata sangat pandai, wajah kedua penjahat itu telah
dilukisnya menjadi sebuah gambar dengan mirip sekali seperti
hidup." "Darimana kau tahu?" tanya Hay-thian.
"Sudah tentu aku tahu, sebab berdasarkan petunjuk
gambar itu kemudian aku telah dapat menemukan kedua
penjahat itu" Ha. ini benar-benar sangat aneh!"
"Aneh apa" Dan orang macam apakah penjahat-penjahat
itu?" "Adalah dua orang barat yang berdandan sebagai paderi
Lama" "Aneh jika mereka adalah paderi bangsa-barat, mengapa
jauh-jauh datang ke Tionggoan untuk menculik seorang
wanita" ujar Hay-thian dengan heran
"Justera aku dan Thiari-ih juga tidak habis mengarti"
maksud mereka," sahut Hiau-hong. "Jika soalnya disebabkan
Thian ih bermusuhan dengan mereka, mestinya malam itu
juga dalam keradaan lemah, dengan mudah Thian-ih dapat
mereka bunuh. Tapi hal ini toh tidak mereka lakukan. Bilang
mereka mengincar kecantikan, hal inipun tidak benar;
Isterinya Thian-ih, memang can-tik waktu mudanya. tapi
wanita yang jauh lebih cantik daripadanya masih sangat
banyak,. apalagi isterinya Thlan ih juga sudah setengah umur.
Buat apa jauh-jauh mereka datang ke Tionggoan hanya untuk
menculik seorang' wanita setengah umur?"
"Namun begitu, karena persoalannya. sudah, jelas. Thian-ih
yakin penjahat-penjahat itu pasti kaum Lama dari Baratsegera
ia menyelidiki ke tempat-tempat kaum paderi itu," tutur
Hiau-hong lebih jauh. "Iapun dapat mengenali asap penidur
yang diendusnya malam itu membawa bau harum bunga
Astulo yang khusus cuma terdapat di puncak gunung
Himalaya. siapa yang mengendus bau bunga aneh itu, segera
orangnya sinting seperti kebanyakan minum arak. Dari itu
orang dari kalangan jahat didaerah Tibet banyak yang
menggunakan bunga itu sebagai obat bius. Karena Thian-ih
mengenali asap wangi penidur itu. maka terhadap Lama
daerah Tibet itu lebih-lebih diperhatikan pula. Tapi agama
Lama tersebar luas di Tibet dan daerah barat sekitarnya,
Mongol, Jinghay (Kokonor) serta daerah Asia Tengah adalah
pusat agama Lama. di Tibet sendiri jumlah kuil Lama tidak
kurang dari puluhan ribu buah. dengan sendirinya tidaklah
gampang hendak mencari dua Lama dari kuil sebanyak itu"
"Maka waktu Thian-ih mengunjukan gambamya padaku,
lantas aku diminta membantu pula. Dengan sendirinya
kuterima syarat dan segera melaksanakan tugas itu dengan
mengambil arah lain. Aku sudah biasa menjadi pencuri,
menggerayangi tempat orang adalah kegemaranku. Tapi
meski kuil-kuil di Tibet itu sudah merata kudatangi, selama
setahun toh aku masih belum mendapatkan sesuatu jejak
yang mencurigakan."
"Terpaksa aku meninggalkan Tibet dan menyelidik kelain
tempat. Musim semi tahun yang lampau aku telah sampai di
Jinghay, dengan tujuan coba-coba saja, pada suatu malam
aku telah menyu-sup kedalam istana Oksim dari Pek-kau Hoatong
(raja agama Lama putih) untuk menyelidiki muka setiap
Lama yang berada di situ."
"Wah. engkau berani betul, Ki-pepek?" seru Hay-thian
terke-jut. "Padahal menurut cerita guruku, katanya Pek-kau
Hoat-ong itu memiliki ilmu silat maha sakti, dahulu Suhu
pernah bertanding sekali dengan dia dan kekuatan kedua
orang sama-sama kuatnya."
"Apa yang kau katakan memang tidak salah," sahut Hiauhong
dengan berseri-seri. "Memang aku agak gegabah juga
berani meng-gerayangi istana raja agama Putih itu, malam itu
benar-benar sangat bahaya bagiku. Tapi diluar dugaan,
ternyata disitulah aku telah menemukan kedua Lama menurut
gambar yang dilukis Tan Thian-ih itu. Cuma, dikala aku
menemukan mereka, merekapun lantas mempergoki aku dan
segera membunyikan alarm, serentak aku diuber-uber oleh
seluruh Lama penghuni istana'.
"Dan Hoat-ong sendiri apakah muncul?" tanya Hay-thian.
"Jika Hoat-ong muncul, masakah aku masih dapat bicara
dengan kau seperti sekarang?" sahut Hiau-hong dengan
tertawa. "Namun begitu, empat muridnya yang tertua telah
mengerubuti aku. Lihatlah ini" Lalu ia singkap bajunya bagian
iga, maka tertampaklah sebuah belang panjang dan
mendekuk. Ia suruh Hay-thian memijit tempat mendekuk itu,
ternyata daging ditempat itu halus lunak, tulang iga yang
mestinya terdapat disitu sudah hilang.
"Inilah akibatnya," kata Hiau-hong lebih jauh, "untung aku
dapat lari cepat, tapi toh masih kena digebuk sekali oleh
tongkat murid tertua dari Hoat-ong itu dan tulang iga ini telah
patah kena serangannya. Untung aku masih mempunyai sisa
obat 'Poh-thian-koh' yang dulu kucuri dari Ce-lothaucu, itu
tokoh Khong-tongpay yang ilhay. maka aku tidak sampai cacat
selama hidup. Aku sangat heran atas pengalaman dan
penemuanku didalam istana itu, sungguh tak kusangka kedua
Lama yang kucari itu ternyata adalah Lama istana Oksim, jika
aku tidak melihatnya sendiri, tentu aku tidak dapat
mempercayai kenyataan itu."
"Sebab apa?" tanya Hay-thian heran.
"Masakah kau tidak tahu bahwa agama Lama sekarang ini
terbagi menjadi tiga sekte, Ang-kau, Ui-kau dan Pek-kau
(agama-agama merah, kuning dan putih). Pengaruh Pek-kau
itu paling ke-cil, tapi paling tertib dan prihatin pengikutpengikutnya.
Pek-kau Hoat-ong itupun suatu tokoh pilihan
yang jarang terdapat, alim dan tinggi ilmu silatnya terhitung
nomor satu diantara ketiga sekte agama itu. Kawanan Lama
yang berada di istana Oksim itu setiap waktu akan diperiksa
oleh Hoat-ong, tanpa titahnya tidak mungkin berani keluar
istana. Sebaliknya untuk pergi kedaerah Kanglam buat
menculik isterinya Thian-ih, waktu yang diperlukan sedikitnya
ada setengah tahun, cara bagaimana kedua Lama itu dapat
mengelabui matanya Hoat-ong" Bukankah hal ini sangat
aneh?" "Jika Ki-pepek sangsi, mengapa tidak terang-terangan
minta bertemu dengan Hoat-ong untuk membongkar rahasia
itu, sekalian minta Hoat-ong membersihkan istananya dari
noda?" ujar Hay-thian.
"Seharusnya begitu, tapi aku takdapat berbuat demikian,"
kata Hiau-hong. "Harus kau ketahui bahwa pamanmu ini
adalah seorang pencuri, sampai sekarang asal melihat sesuatu
benda yang disukai, tentu tangannya gatal lagi dan ingin
menggerayangi. Pendek kata nama jelekku sudah tersiar luas.
dengan kedudukan Hoat-ong yang agung itu mana dia mau
menerima seorang pencuri" Andaikan aku dapat menemuinya
dengan diam-diam secara menggelap, tapi apakah dia dapat
mempercayai apa yang kukatakan"
Pendekar Pemetik Harpa 29 Anak Berandalan Karya Khu Lung Tiga Mutiara Mustika 5
^