Pendekar Pemetik Harpa 29

Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Bagian 29


a terdengar pula suara desiran
1708 ringan halus tadi, kali ini Tan Ciok-sing sengaja tidak mau
menuruti petunjuk senjata rahasia itu, tapi menuju ke arah
lain. Terdengar suara ledakan lirih seperti kacang yang dipecah
kulitnya, disusul bubuk tanah yang berhamburan berjatuhan di
atas kepalanya. Senjata rahasia yang pecah di atas kepalanya
memang adalah sebutir lempung. Sebagai ahli silat sudah
tentu Tan Ciok-sing maklum bahwa orang menggunakan Tamci-
sin-thong. Sebutir lempung dijentik pecah pada jarak tertentu yang
telah diperhitungkan dengan tepat bukan saja ini memerlukan
latihan juga harus tepat waktu yang ditentukan untuk
menggunakan tenaga yang pas-pasan pula.
Mau tidak mau Tan Ciok-sing terkejut. Tapi kejap lain diamdiam
hatinya amat senang dan lega karena dia sudah paham,
apa maksud timpukan lempung itu.
Tengah berpikir didengarnya pula suara desiran perlahan
tadi, sebutir lempung meluncur di atas kepalanya tahu-tahu
lempung itu berputar satu lingkaran terus meluncur ke sebelah
kiri. Dugaan Tan Ciok-sing memang tidak keliru, orang yang
menimpukkan lempung secara diam-diam ini memang sedang
menunjukkan arah jalan yang selamat bagi mereka.
Tanpa terasa mereka dituntun tiba di depan sebuah
gedung. Di depan gedung terdapat sebuah gunung-gunungan
sekelilingnya dipagari pepohonan. Sebutir lempung melayang
lewat di atas kepala mereka, cepat sekali berputar arah lalu
jatuh di atas kepala Ciok-sing. Tan Ciok-sing tahu, maksudnya
supaya mereka berhenti sampai disitu saja.
In San berbisik mepet telinga Ciok-sing: "Tempat ini
dinamakan Yang-sim-tiam, di tempat inilah Baginda Raja
menerima para pembantunya, ada kalanya diapun sibuk
memeriksa dokumen-dokumen penting disini. Mungkinkah
Baginda Raja ada disini?"
1709 Tan Ciok-sing sembunyi di belakang gunung-gunungan
dengan seksama dia periksa keadaan sekitarnya. Yang-simtiam
adalah gedung bersusun dua, di sebelah atasnya
terdapat sebuah baicon, sinar lampu tampak menyorot disana.
Bayangan orang tampak berpeta di jendela. Sementara
bayangan orang tampak mondar mandir diluar, jelas mereka
adalah jago-jago kosen pengawal raja.
Ciok-sing kembangkan Ginkang tinggi secara diam-diam dia
melompat ke atas pohon. Dia melompat ke atas sesaat angin
menghembus agak kencang sehingga daun pohon bergoyang
gemerisik, tapi dahan dimana dia hinggap sedikitpun tidak
bergeming, para Wisu yang berjaga diluar Yang-sim-tiam tiada
satupun yang tahu.
Malam itu tiada rembulan, bintang yang kelihatan juga
jarang-jarang, pohon dimana dia sembunyi daunnya rimbun,
tepat untuk sembunyi. Dari atas pohon yang tinggi dia dapat
melihat keadaaan di atas loteng.
Yang berada didalam sebuah kamar di atas loteng adalah
seorang pemuda berpakaian perlente dan seorang laki-laki
setengah umur. Pemuda perlente itu bukan lain adalah
Baginda Raja yang berkuasa sekarang dan pernah bertemu
dengan Ciok-sing, yaitu Cu Kian-sin. Laki-laki setengah umur
adalah komandan pasukan bayangkari Hu Kian-seng. Kungfu
Hu Kian-seng setaraf dengan kepandaian komandan pasukan
Gi-lim-kun Bok Su-kiat, dalam kalangan Bulim terhitung jago
kosen juga. Diam-diam Tan Ciok-sing membatin: "Ada orang ini di
sampingnya, supaya tidak mengejutkan orang banyak jelas
tidak mungkin." Meski dirinya di tempat gelap, lawan di
tempat terang tapi dia tidak yakin dalam sekali gebrak pasti
dapat membekuk Hu Kian-seng, sesaat lamanya dia bimbang
tidak berani bertindak gegabah. Di kala dia mencari akal
didengarnya sang raja telah membuka suara: "Apakah kedua
orang itu sudah masuk istana?"
1710 Hu Kian-seng menjawab: "Baginda ada janji, mana mereka
berani datang terlambat, sudah lama mereka masuk. Apakah
perlu mengundang mereka sekarang juga?"
Istilahnya mengundang, dari sini dapat diperkirakan bahwa
kedudukan kedua orang itu tentu luar biasa. Tergerak hati Tan
Ciok-sing: "Kedua orang itu jelas bukan aku dan San, lalu
siapa?" Terdengar sang raja berkata: "Nanti saja biar mereka
terlambat setengah jam lagi. Aku ingin membaca laporan
situasi dari laporan komandan kota Tay-tong. Entah
bagaimana peperangan yang tengah berlangsung di Gan-bunkoan?"
agaknya dia ingin tahu dulu situasi dan kondisi, baru
nanti berkeputusan bagaimana bersikap terhadap utusan
rahasia negeri Watsu.
Hu Kian-seng berkata: "Gelagatnya tidak menguntungkan.
Laporan Lau-congping dari Tay-tong dikirim dengan kuda kilat,
menjelang kentongan kedua tadi baru masuk istana. Aku
sudah memeriksa dan kuletakkan di arsip-arsip surat. Silahkan
Baginda memeriksanya."
Laporan itu khusus diselipkan di sebuah map yang ditindih
singa-singaan terbuat dari tembaga setelah Cu Kian-sin
membacanya tiba-tiba dia berseru heran. Lekas Hu Kian-seng
memburu maju ikut membaca, seketika rona mukanyapun
berobah hebat. Ternyata sepasang mata singa-singaan tembaga itu dibuat
dari dua butir mutiara, kini kedua matanya ternyata bolong
mutiaranya telah lenyap. Orang yang sengaja mengorek buta
singa-singaan tembaga ini secara langsung seperti mengolok
Baginda Raja punya mata tapi buta, atau mungkin juga
menghina laporan Lau-congping dari Thay-tong akan
laporannya yang palsu.
Sebagai komandan bayangkari, Hu Kian-seng bertanggung
jawab menjaga keselamatan raja, karuan keringat dingin
1711 berketes di atas jidatnya sesaat dia berdiri melongo. Dan yang
lebih mengejutkan lagi adalah setelah membaca surat laporan
itu wajah Cu Kian-sin tampak berubah pula, bentaknya: "Hu
Kian-seng dari mana datangnya surat laporan ini?"
Sang raja tidak mengusut kemana hilangnya sepasang
mutiara yang menjadi mata singa-singaan tembaga, tapi tanya
-asal-usul surat laporan yang sedang dibacanya sudah tentu
hal ini jauh diluar dugaan Hu Kian-seng. Sebetulnya bukan Cu
Kian-sin tidak melihat atau tidak tahu maksud orang mencukil
mutiara mata singa-singaan tembaganya, tapi surat laporan
yang bermimpipun tidak pernah dia bayangkan ini, justru amat
mengejutkan hatinya.
Hu Kian-seng keheranan katanya: "Ini., apakah bukan surat
laporan Lau-congping?"
"Coba kau periksa sendiri," sentak Cu Kian-sin.
Surat laporan dari komandan militer kota Tay-tong itu
dibungkus kain sutra kuning, bagian luarnya ditulis dengan
tinta yang bermutu paling baik, di sebelah atas kiri diberi
tanda nomor arsip dan di bawahnya terdapat tanda tangan
Taykam penerima surat laporan itu yang tembusannya dikirim
balik kepada si pengirim.
Tapi kertas lempitan yang sekarang dipegang dan dibaca
Baginda ternyata dari kertas yang berkwalitet rendah, jadi
tidak memenuhi syarat sebagai surat laporan lazimnya.
Sementara itu Cu Kian-sin sudah membuka lempitan surat
dengan kertas kasar itu, lekas Hu Kian-seng menghampiri ke
belakang, dari jarak yang agak jauh dia ikut membaca,
tampak kertas kasar itu ditulisi huruf-huruf besar yang
bergaya kuat dan indah, jadi tidak sesuai lagi sebagai laporan
yang sudah ditentukan harus ditulis dengan huruf-huruf kecil
yang rapi dan rajin.
Hu Kian-seng kaget, serunya: "Ini. siapakah yang menukar
surat laporan ini."
1712 Cu Kian-sin gusar, bentaknya: "Kau tanya aku malah" Coba
baca inilah surat tulisan Kim-to Cecu yang ditujukan
kepadaku."
Hu Kian-seng mendekat maju serta membaca lebih cermat,
baru sekarang dia melihat jelas baris pertama tulisan di atas
kertas kasar itu berbunyi:
"Ciu San-bin rakyat jelata dari kaum liar berani mati
menyampaikan sepatah dua kata. "
Saking kagetnya H u Kian-seng sampai gemetar, tiba-tiba
dilihatnya di pojok sampul surat terdapat lempitan kertas lain
yang terselip di dalamnya, lekas dia melolosnya keluar begitu
melihat tulisan di atas kertas halus ini, tanpa terasa tangannya
gemetar matanya melirik, agaknya dia tidak berani dan tidak
ingin kertas tulisan ini dilihat atau diketahui oleh Sri Baginda.
Tapi Cu Kian-sin cukup tajam. "Siapa punya" Serahkan
kepadaku."
"Inilah surat laporan Laucongping yang asli, tapi..."
Belum habis dia bicara Cu Kian-sin sudah merebut surat
laporan itu dari tangannya, setelah dibeber tampak di balik
surat laporan ada huruf-huruf besar yang berbunyi demikian:
"Jerih melihat musuh seperti berhadapan dengan harimau,
pandai membual lagi. "
Cu Kian-sin membeber surat laporan komandan militer kota
Tay-tong dan surat lempit Kim-to Cecu di atas meja lalu
dicocokkan satu dengan yang lain. Hu Kian-seng melayani dari
samping, tampak junjungannya kadang mengerutkan alis,
kejap lain berseri tawa lalu manggut-manggut, adakalanya
menepekur sekian lamanya seperti sedang memikirkan
sesuatu, tiba-tiba mengetuk meja serta bernyanyi-nyanyi kecil
entah apa yang sedang dipikir dalam benaknya. Yang terang
sikapnya kelihatan kaget, senang dan lega, namun dalam rasa
senangnya terselip juga rasa risau dan masgul.
1713 Walau Tan Ciok-sing tidak tahu apa isi surat itu, tapi dia
membadek Kim-to Cecu pasti memberi nasehat dan memberi
pengarahan situasi dan kondisi dalam negeri, membeber seluk
beluknya serta menggambarkan bagaimana Sri Baginda harus
bertindak. dinasehatinya pula supaya dia tidak menyerah atau
minta damai terhadap pihak Watsu. Dalam hati Ciok-sing
membatin: "Bila dia mau mendengar nasehat Kim-to Cecu kali
ini kurasa tidak perlu aku menemuinya secara langsung."
Tengah berpikir, dilihatnya Cu Kian-sin sudah angkat
kepala, wajahnya masih mengulum senyum katanya kepada
Hu Kian-seng: "Beritanya sih lumayan."
"Berita tentang apa?" tanya Hu Kian-seng.
"Pihak Kim-to Cecu mendapat kemenangan gilang gemilang
dalam pertempuran diluar Gan-bun-koan."
Hu Kian-seng heran, katanya: "Tapi dalam laporan Laucongping..."
"Kemenangan dicapai oleh pihak Kim-to Cecu jadi tiada
sangkut pautnya dengan Lau-congping. Sudah jelas bahwa
laporan Lau-congping ini, hm, huh, memang betul membual
dan menjilat belaka, situasi digambarkan sedemikian jelek dan
buruk." Hu Kieng-seng berkomentar: "Dari tanggalnya kedua surat
ini dikirim dalam waktu yang sama, jadi tidak mungkin dalam
satu tempat dan waktu yang sama, pihak Watsu sama-sama
menghadapi dua peperangan besar. Dan lagi dinilai
keseluruhan dari peperangan itu, yang satu bilang menang
gilang gemilang, yang lain justru bijang kalah total, ini, ini..."
"Lau-congping berhadapan dengan musuh seperti melihat
harimau, ini memang benar, jadi laporannya ini terang palsu
dan membual, dia mengharap Tim selekasnya mengirim
bantuan tentara dan rangsum." Diluar kesadarannya dia
gunakan istilah Kim-to Cecu dalam mencemooh perbuatan
Lau-congping. Dari sini dapatlah disimpulkan bahwa Cu KianTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
1714 sin lebih percaya kepada laporan Kim-to Cecu dari laporan
dinas Komando militer kota Tay-tong.
Sampai disini, mau tidak mau hati Tan Ciok-sing amat
girang, pikirnya: "Gelagatnya raja muda ini masih tidak
terlampau bejat."
Tak nyana tiba-tiba, didengarnya Cu Kian-sin menggumam
dengan melamun: "Yang Tim kuatirkan justru kelanjutan dari
peperangan ini." Kiriman surat Kim-to Cecu dia simpan,
sementara surat laporan Komandan militer kota Tay-tong dia
remas-remas lalu dilempar ke tempat sampah akhirnya dia
menghela napas panjang. Walau dia tidak melanjutkan
perkataannya tapi Hu Kian-seng pandai melihat sikap dan rona
muka orang menebak isi hatinya, diam-diam dia sudah tahu
kemana kiblat pikiran junjungannya.
Hu Kian-seng yang sudah kelihatan tak berani banyak
bersuara ini diam-diam bersorak dalam hati, katanya:
"Baginda cekatan bertindak dan bijaksana dalam menentukan
sikap, Hamba ada pendapat yang mungkin kurang enak
didengar kuping, sebelumnya mohon Baginda memberi
ampun." "Bukankah Tim sudah lama bilang kepadamu," demikian
ujar Cu Kian-sin. "Tim memang memerlukan usul dan
pendapat para pembesar jujur dan baik hati. boleh kau
katakan saja."
"Harap Baginda periksa dan pikirkan, pasukan negeri kalah
perang sebaliknya kaum berandal mencapai kemenangan di
medan laga kukira hasilnya tidak akan membawa untung bagi
Baginda." "Pcndapatmu memang tepat. Memang itulah yang Tim
kuatirkan," ujar Cu Kian-sin. "Memang Kim-to Cecu akan
membantuku dengan setia bila Tim mau kerahkan pasukan
besar negeri mengusir penjajah. Namun Tim masih sangsi
akan kesetiaan dan kejujurannya. Dan masih ada lagi. Walau
1715 kali ini dia mendapat kemenangan besar siapa tahu lain kali..."
, "Betul." timbrung Hu Kian-seng, "kalah menang di medan
laga adalah kejadian logis, umpama benar Kim-to Cecu dapat
menang perang betapapun dia adalah brandal yang
menduduki satu pegunungan sebagai daerah kekuasaannya
melulu, anak buahnya tidak lebih adalah kelompok campur
aduk yang tidak karuan kalau bertempur sungguhan, mana
mereka mampu menghadapi pasukan Watsu yang bersenjata
lengkap" Kalau kita mengandal kekuatan kaum berandal ini,


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bila pihak Watsu mengerahkan seluruh kekuatan perangnya
dan berhasil menumpas mereka, bukankah posisi kita serba
repot dan runyam" Dalam keadaan kepepet seperti itu, mana
mungkin mereka mau menerima permintaan damai kita."
Maklum Hu Kian-seng sudah disogok dan memperoleh banyak
keuntungan dari duta Watsu, begitu ada kesempatan maka dia
membesarkan kekuatan musuh dan meruntuhkan semangat
juang pihak sendiri.
"Lalu bagaimana menurut pendapatmu?" Tanya Cu Kiansin.
"Menurut pendapat hamba yang bodoh, mumpung
memperoleh sedikit kemenangan ini kita adakan kontak
dengan Watsu mengajaknya berunding, syarat yang kita
ajukan mungkin bisa lebih menguntungkan bagi kepentingan
kita." Cu Kian-sin menepekur sejenak, katanya kemudian:
"Setelah menemui, utusan rahasia pihak Watsu, sebetulnya
Tim akan merundingkan persoalan ini kepada pembesar
lainnya dalam sidang balairung besok pagi. Kalau begitu
baiklah kita laksanakan sesuai rencana semula."
"Betul. Mari kita lihat sikap dan pendapat utusan rahasia
Watsu ini bagaimana kenyataan dari hasil peperangan di luar
Yan-bu-koan. Baginda akan dapat mengambil kesimpulan lebih
1716 jelas dari mulut mereka. Apakah sekarang juga kita undang
mereka kemari?"
"Baiklah, lekas kau suruh orang mengundang Tiangsun Co
kemari." Baru sekarang Tan Ciok-sing tahu, "kiranya Tiangsun Co
datang pula sebagai utusan rahasia. Maka seorang lagi yang
akan diundang Baginda pasti adalah Milo Hoatsu."
Pada hal Hu Kian-seng masih berada di atas loteng, bila
kedua jago kosen dari Watsu itu sudah tiba, bagaimana
mungkin dia bisa berhadapan langsung dengan Sri Baginda.
Tengah dia bimbang, dilihatnya Hu Kian-seng melongokkan
kepalanya memandang keluar jendela.
Ternyata Hu Kian-seng mendengar seseorang memanggil
namanya, suaranya seperti mengambang dan tidak diketahui
arah datangnya, sayup-sayup lagi seperti ada tapi juga tiada,
entah itu suara manusia atau teriakan setan, tanpa sadar
berdiri bulu kuduknya.
Melihat sikap dan rona muka orang agak ganjil Cu Kian-sin
bertanya: "Hu Kian-seng, apa yang kau lihat diluar?"
Setelah tersirap lekas Hu Kian-seng tenangkan hati,
katanya: "Tidak apa-apa. Hamba ingin memeriksa keadaan
diluar, akan kukerahkan tenaga untuk memperkuat penjagaan
diluar." Diam-diam dia curiga kemungkinan Tan Ciok-sing secara
sembunyi-sembunyi telah menyelundup masuk ke istana pula.
Di samping kuatir sang raja tidak berani menanda tangani
surat perjanjian damai itu, tadi dia sudah kebacut omong
besar, bila Tan Ciok-sing betul-betul menyelundup ke Yangsim-
tiam ini, pamor dan kedudukannya sebagai komandan
pasukan Bayangkari ini sih boleh tidak usah dipikirkan, celaka
bila Sri Baginda menjatuhkan vonis berat akan kesalahannya.
1717 Karena itu bila betul Tan Ciok-sing menyelundup masuk,
sebelum dia menerjang kedalam Yan-sim-tiam dia sudah harus
membekuknya. Sudah tentu dia juga tahu bahwa In San pasti
datang bersama Tan Ciok-sing, tapi dia yakin tenaga yang dia
sebar di sekitar Yang-sim-tiam cukup kuat untuk menghadapi
In San maka dia tidak perlu takut bila Tan Ciok-sing
memancingnya keluar meninggalkan tempat tugasnya.
Cu Kiam-sin berpikir sejenak, katanya kemudian: "Bolehlah
kau memeriksa keadaan diluar. Sudah saatnya Koksu dari
Watsu dan Tiangcun Pwecu tiba disini, boleh kau wakili Tim
menyambut kedatangan mereka."
Hu Kian-seng memanggil dua Wisu pembantunya masuk
serta berpesan kepada mereka, "Aku akan keluar menyambut
kedatangan utusan Watsu, kalian disini hati-hati menjaga
keselamatan Baginda. Kedua Wisu ini yang satu bernama Pek
Ting, Ciangbunjin dari Eng-jiau-bun sekte utara. Seorang lagi
bernama Kiang Swan, jago kosen yang liehay dalam
permainan Pat-kwa-ciang. Kedua orang ini merupakan jagojago
top di kalangan Wisu di istana raja, taraf Kungfu mereka
hanya setengah urat di bawah Hu Kian-seng, boleh dikata
termasuk jago di antara jago. Dengan adanya mereka berada
di samping sang raja, betapapun cukup kuat hanya untuk
menghadapi In San seorang, maka dengan lega hati Hu Kianseng
berlalu. Baru saja dia keluar dan belum jauh meninggalkan Yangsim-
tiam, tiba-tiba didengarnya suara "Seeer" yang lirih, mata
kuping Hu Kian-seng setajam radar, kontan dia mengayun
tangan memukul dengan Bik-khong-ciang, sebutir lempung
kena dipukulnya hancur tapi mukanya kecipratan beberapa
lempung lembut. Sebagai seorang ahli silat, sudah tentu dia
tahu kalau lempung tadi ditimpukkan oleh seorang ahli senjata
rahasia. Dia kira pembokong itu adalah Tan Ciok-sing, karuan
hatinya gusar, pikirnya: "Kau keparat ini berani
1718 mempermainkan aku." Dia tidak ingin membuat ribut-ribut
membuat kaget sang junjungan maka tanpa bersuara segera
dia menubruk ke arah datangnya lempung. Beruntun orang itu
menimpuk tiga kali. Hu Kian-seng selalu gagal menemukan
jejaknya. Tanpa terasa dia dipancing semakin jauh
meninggalkan Yang-sim-tiam.
Karena tidak mendapat petunjuk selanjutnya dari orang itu,
Tan Ciok-sing sedang berpikir apakah perlu sekarang dia
menerjang kedalam Yang-sim-tiam, tiba-tiba dilihatnya dua
orang telah muncul dikiar Yang-sim-tiam. Sinar lampu yang
menyorot keluar dari Yang-sim-tiam cukup benderang, maka
Tan Ciok-sing yang sembunyi di atas pohon dapat melihat
jelas. Yang jalan di depan adalah seorang Taykam, dia bukan
lain adalah samaran In San. Tapi yang berjalan di belakang
ternyata mengenakan pakaian seragam bangsa Watsu, dia
bukan lain adalah utusan rahasia pihak Watsu, yaitu Tiangsun
Co. Tiga bulan yang lalu Ciok-sing pernah bertemu dengan
dia, maka dia masih kenal tampangnya.
Mau tidak mau Ciok-sing heran. Bagaimana bisa In San
berada di samping Tiangsun Co" Sudah tentu cepat sekali dia
sudah menduga mungkin Tiangsun Co yang ini adalah
samaran Han Cin" Tapi Han Cin bersama ln San waktu
menyelundup ke istana tadi sama-sama menyamar jadi
Taykam. Dalam waktu sesingkat ini dari mana dia bisa
memperoleh seragam pakaian orang Watsu" Apalagi pakaian
kebesaran seorang Pwecu" Di saat hatinya bimbang dan
bertanya-tanya sementara In San bersama Tiangsun Co sudah
tiba di depan Yang-sim-tiam.
Dugaan Tan Ciok-sing memang tidak meleset, yang
menyamar Tiangsun Co bukan lain adalah Han Cin.
Ternyata diluar tahu Tan Ciok-sing, In San dan Han Cin
yang sembunyi di belakang gunung-gunungan telah disambit
sebutir malam bundar, setelah malam bundar itu dipecah, di
1719 dalamnya ada segulung lempitan kertas, setelah dibeber
tampak kertas kecil itu bertuliskan empat patah kata:
"Masuk gua ganti pakaian. "
Itulah pesan orang yang memberi petunjuk jalan.
Tanpa ragu In San dan Han Cin menyelinap kesana
memasuki gua, didalam gua memang ada seperangkat
pakaian. Setelah diambil dan diperiksa, In San berkata: "Hancici
bukankah ini seragam pakaian orang Watsu?"
Han Cin cukup cerdik, segera dia paham, katanya: "Orang
itu suruh aku menyaru Tiangsun Co."
000OOO000 Perawakan Tiangsun Co termasuk pendek di kalangan
Bangsa Watsu yang kekar besar. Tapi badannya masih lebih
tinggi dari Han Cin. Tapi ditumpukan pakaian ini terdapat
sepasang sepatu slop yang berukuran tinggi, di dalamnya
disumbat kapas. Bila Han Cin memakai sepatu ini, maka tinggi
badannya kira-kira sebanding dengan Tiangsun Co.
Kepandaian merias Han Cin sekarang mungkin susah dicari
bandingannya di dunia, dibalik pakaiannya dia sumbat lagi
dengan gumpalan kapas sehingga tubuhnya kelihatan lebih
besar, sehingga samarannya lebih mirip lagi. Selalu dibawanya
bahan-bahan keperluan rias lagi, segera dia ganti pakaian
serta merias diri sendiri dibantu In San pula, maka sekejap
saja dia sudah ganti rupa menjadi Tiangsun Co sungguhan,
katanya tertawa: "Adik In, mirip tidak samaranku?"
"Jikalau tidak diamati dengan teliti siapapun takkan bisa
membedakan, sekarang malam gelap lagi, yakin kawanan
Wisu itu akan bisa dikelabui."
Dugaan memang tidak meleset, ada empat Wisu yang
berjaga diluar Yang-sim-tiam, satu di antaranya pernah
melihat Tiangsun Co, namun juga hanya melihat sekali saja,
ternyata dia memang tidak curiga. Diluar dugaannya kawanan
1720 Wisu itu memang tidak curiga kepada Tiangsun Co palsu, tapi
justru curiga terhadap dirinya. Siapa-siapa Thaykam kecil yang
selalu berada di samping raja mereka tahu jelas dan kenal
baik, sebaliknya Thaykam yang disamar oleh In San, selama
ini mereka tidak kenal dan belum pernah lihat. Pada hal
urusan hari ini betapa penting artinya, Bong Tit kepala dari
para Thaykam kenapa justru mengutus Thaykam kecil yang
masih asing"
Tapi mereka hanya curiga saja, tidak berani menegur apa
lagi memastikan bahwa Thaykam kecil ini adalah mata-mata
yang menyelundup dari luar. Maka Wisu yang pernah melihat
Tiangsun Co itu maju menyapa: "Harap Pwelek tunggu
sebentar." Lalu dia menoleh dengan dingin dia tanya kepada
In San: "Agaknya kami belum pernah melihatmu, apakah
Bong-kokong ada memberi tanda bukti melaksanakan tugas
kepada kau" Kau harus tahu siapapun malam ini yang mau
memasuki Yang-sim-tiam harus memiliki medali tembaga."
Untung In San sudah siap, segera dia keluarkan kipas
lempit bergagang emas itu serta digoyang-goyang, katanya:
"Coba kalian periksa dengan teliti apakah kipas ini tidak lebih
berharga dari lencana tembaga Bong-kokong?"
Kipas gagang emas ini adalah kipas yang diberikan oleh
sang raja kepada Siau-ong-ya dari Watsu tiga bulan yang lalu.
Di atas kipas ada lukisan kembang Cu Kian-sin serta sajak
ciptaannya pula. Waktu dihadiahkan kepada pangeran kecil
Watsu itu, Cu Kian-sin ada membubuhi cap dan tanda
tangannya. Sudah tentu kawanan Wisu itu tiada yang tahu
akan pemberian kipas ini, tapi mereka kenal cap dan tanda
tangan junjungan mereka. Kipas pribadi yang dibubuhi cap
tanda tangan sang raja di tangan In San, sudah tentu jauh
lebih kuat dan terpercaya dari pada lencana tembaga Bongkokong,
kawanan Wisu tidak berani mempersulit dirinya.
Maklum jumlah Thaykam di istana ada ribuan, sudah tentu
kawanan Wisu itu tidak mungkin kenal seluruhnya. Wisu itu
1721 kira In San adalah Thaykam kecil yang belakangan ini
mendapat kepercayaan sang raja, mana berani dia
merintangi"
Mendengar utusan Watsu telah tiba agaknya Cu Kian-sin
melengak, katanya: "Lho cepat sekali kalian datang, kenapa
Hu-congkoan tidak kelihatan."
Dua Wisu yang melindungi sang raja yaitu Pek Ting dan
Kiang Swan jadi curiga, Pek Ting berkata: "Bukankah Baginda
menyuruh dia menyambut mereka, mungkin mereka tidak
bertemu di tengah jalan?"
Cu Kian-sin berkata: "Tiangsun Pwelek Tim pernah
melihatnya kurasa siapa punya nyali sebesar itu berani
menyaru dirinya."
In San serahkan kipas itu kepada Han Cin, sambil
menggoyang kipas Han Cin segera berlenggang naik ke loteng
serunya: "Tiangsun Co, mohon bertemu dengan raja
junjungan dynasti Bing." Han Cin pernah tinggal di markas
Kim-to Cecu, di markas itu ada tawanan orang Watsu maka
dia meniru logat orang Watsu bicara dalam bahasa Han,
tiruannya ternyata mirip delapan puluh persen. Sudah tentu
logat suara Tiangsun Co tidak pernah diperhatikan oleh Cu
Kian-sin, cuma lapat-lapat dia masih kenal bentuk wajahnya,
namun dalam waktu sesingkat ini mana bisa dia membedakan
apakah ini barang tulen atau palsu" Tapi melihat kipas emas
itu, segera dia teringat akan kejadian yang menyenangkan
dulu sehingga dia hadiahkan kipasnya itu kepada pangeran
kecil bangsa Watsu.
Melihat kipas itu hatinya terasa riang dan bangga, pikirnya:
"Agaknya kipasku itu sengaja diserahkan kepada Tiangsun Co
untuk diperlihatkan di hadapanku bahwa mereka menghargai
karyaku, sungguh harus dipuji." Dia kira orang sengaja
menaruh hormat dan menghargainya maka cara ini memang
amat berhasil dari pada menjilat dengan kata-kata.
1722 Pepatah ada bilang kau menghargai aku satu kaki, aku
menghormatimu satu tombak, apalagi Cu Kian-sin memang
sudah sejak mula merasa jeri terhadap orang Watsu, sekarang
dia anggap dirinya sebagai raja dari negeri yang lemah
menyambut kedatangan utusan besar negeri kuat, maka
bergegas dia berdiri, katanya: "Dalam jangka tiga bulan
Pwelek harus pulang pergi menempuh perjalanan jauh,
sungguh melelahkan. Tidak usah sungkan silahkan duduk,
silahkan duduk."
Melihat sang raja menyambut dengan riang dan
mengucapkan kata-kata yang meyakinkan sudah tentu Pek
Ting dan Kiang Swan tidak berani curiga lagi bahwa Pwelek
yang satu ini tiruan" Tersipu-sipu mereka menarik kursi
membersihkan meja lalu memberi hormat menyilahkan
tamunya duduk. Dalam pada itu pintu kamar telah tertutup. Baru sekarang
Cu Kian-sin sempat melihat In San adalah Thaykam yang
asing dan belum pernah dilihatnya, namun dia tidak ambil di
hati, dia kira Thaykam ini adalah pembantu setia dan
terpercaya dari Bong Tit, melihat bibirnya merah giginya putih
rapi, hatinya agak senang dan ketarik katanya: "Baiklah disini
tiada urusanmu, kau boleh keluar."
In San mengiakan maju dua langkah memberi hormat, tibatiba
tangannya bergerak membalik menutuk Hiat-to Pek Ting.


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dalam waktu yang sama Han Cin juga telah menutuk Hiat-to
Kiang Swan dengan kipas lempitnya itu.
Kungfu kedua orang ini sebetulnya tidak lebih asor dari
mereka, soalnya mereka sedang membungkuk, mimpipun
tidak pernah menyangka, bahwa utusan Watsu ini bakal turun
tangan membokongnya, mana mereka bisa menghindar, tanpa
mengeluarkan suara keduanya roboh terkulai.
Sudah tentu kejadian membuat Cu Kian-sin kaget setengah
mati, mukanya pucat, "Ka... kalian si..." Demikian katanya
tergagap. 1723 Sebelum 'siapa' sempat diucapkan, In San sudah terima
kipas lempit itu dari tangan Han Cin terus dibeber di depan
mata Cu Kian-sin, katanya dengan tersenyum: "Apakah Baginda
masih ingat janji pertemuan denganku dulu" Mohon maaf Binli
(perempuan jelata) datang terlambat beberapa hari.
Kuharap Baginda tidak bicara keras-keras."
Kipas itu ada lukisan dan sajak tulisan Cu Kian-sin tapi di
sebelahnya ada tulisan tangan Tan Ciok-sing pula yang
berbunyi: "Janji tiga bulan, harap Baginda selalu ingat. Mengingkari
janji dan kebenaran, tidak terampunkan oleh yang Kuasa. "
Sebelum meninggalkan istana tempo hari Tan Ciok-sing
pernah meninggalkan pesannya ini di hadapan Cu Kian-sin
sebagai peringatan tegas. Mana Cu Kian-sin berani melupakan
melihat huruf-huruf besar di balik kipas itu hatinya gugup
seketika. "Lalu dia ini..." Matanya melirik ke arah Han Cin, baru
sekarang dia sadar, makin diamati Tiangsun Co yang satu ini
agak berbeda dengan Pwelek yang pernah dilihatnya tiga
bulan yang lalu, tapi juga tidak mirip Tan Ciok-sing.
In San berterus-terang, katanya:
"Dia ini bukan Tiangsun Pwelek, dia adalah teman baikku
nona Han."
Lega sedikit hati Cu Kian-sin, pikirnya: "Pemuda itu tidak
datang syukurlah."
"Nona In, kakekmu pernah membuat pahala besar bagi
negara, ayahmupun menjadi pembesar teladan, keluargamu
adalah keluarga pembesar setia bagi kerajaan, Tim tidak
pernah melupakan jasa-jasa baik keluargamu. Ada persoalan
apa boleh kau bicarakan di depanku, silahkan duduk."
1724 "Memang ada persoalan yang ingin kubicarakan dengan
kau maka aku datang pula kemari." Tawar suara In San.
"Umpama aku mau membunuhmu sekarang, semudah aku
membalikkan telapak tanganku saja?"
Setelah lenyap rasa kagetnya hati Cu Kian-sin menjadi
tenang dan mantap, pikirnya: "Bila kau tidak menbunuhku
urusan sih gampang diselesaikan, maka dengan suara lembut
dia berkata: "Baik apa yang ingin kau utarakan, boleh kau
kemukakan di hadapan Tim, Tim pasti menuruti kehendakmu."
"Apa yang perlu kukatakan didalam surat Kim-to Cecu
sudah dijelaskan, sekarang tergantung sikap Baginda apakah
kau mau menerima nasehat baiknya."
"Peperangan adalah urusan negara, menyangkut kehidupan
urat nadi bangsa dan tanah air, soal ini kukira Tim masih
harus berpikir secara cermat."
"Kami sudah memberi waktu tiga bulan untuk kau berpikir
panjang, seorang laki-laki harus berani berkeputusan dalam
sepatah kata, apalagi kau adalah raja yang berkuasa, apa
pula yang membuatmu bimbang..." Belum habis dia bicara
tiba-tiba dilihatnya mimik Cu Kian-sin agak ganjil seperti
hendak menekan atau menyembunyikan perasaan, tapi
perasaan kaget dan senang itu tak kuasa dia tutupi. Tergerak
hati In San, mendadak dirasakan angin berkesiur ada orang
membokong di belakangnya.
Pembokong ini adalah Pek Ting yang tadi telah ditutuk Hiattonya,
ternyata Lwekang Pek Ting memang tangguh, tadi In
San kurang teliti menutuk tidak dengan Jong-jiu-hoat, setelah
mengatur napas dan mengerahkan Lwekang ternyata Pek Ting
berhasil membebaskan tutukan jalan darahnya.
Sedikitpun In San tidak siaga, sergapan ini sebetulnya
takkan bisa dia hindarkan, untung dia melihat mimik muka Cu
Kian-sin aneh otaknya cukup cerdik lagi, meski belum tahu
1725 apa yang bakal terjadi secara reflek dia menggeser ke
samping. Dia berhadapan dengan raja berarti membelakangi Pek
Ting. Cengkraman Pek Ting memang mengincar tulang
pundaknya. kalau Bi-ba-kut kena dicengkram ilmu silatnya
yang pernah diyakinkan In San akan punah seketika. Gerakan
menghindar ke samping tanpa sengaja justru tepat dan
berhasil menyelamatkan dirinya. "Krak" jari-jari Pek Ting
mencengkram bolong meja. Karena serangan luput, sigap
sekali dia sudah membalik seraya mencengkram ke arah Han
Cin. Pek Ting adalah Ciangbunjin Eng-jiau-bun sekte utara,
Kim-na-jiu-hoat yang diyakinkan jarang ketemu tandingan di
Bulim. Melihat jari lawan sekuat baja, mau tidak mau Han Cin
tersirap kaget.
Cepat sekali In San sudah memutar tubuh, pedang sudah
terlolos terus menusuk. "Wut, wut" dua kali gerakan tangan
Pek Ting menderu menyerang untuk membela diri Han dan In
kena didesak mundur beberapa langkah. Setelah mendengus
baru saja dia hendak berteriak, tiba-tiba tubuhnya mengejang
kaku seperti kena sihir saja berdiri mematung, kedua
tangannya bergaya seperti hendak mencengkram, wajahnya
beringas dengan mulut menyeringai, keadaannya kelihatan
lucu menggelikan.
Tiada angin, tiba-tiba daun jendela terbuka sendiri, sesosok
bayangan laksana panah tiba-tiba menyeplos masuk.
Pendatang ini adalah Tan Ciok-sing. Sembunyi di atas pohon
dari ketinggian dia dapat melihat jelas keadaan didalam
rumah. Melihat Pek Ting menyergap dari belakang In San
segera dia bertindak, sebelum tubuhnya menerjang masuk
senjata rahasianya telah bekerja, senjata rahasia yang
digunakan adalah biji buah yang baru dipetiknya di atas
pohon. Gerakan Ciok-sing cepat dan seenteng daun melayang, dari
pohon dia meluncur kedalam rumah tunpa mengeluarkan
1726 suara. Sehingga kawanan Wisu yang jaga di bawah tiada
satupun yang memergoki perbuatannya. Tapi suara ramai di
atas loteng, mereka sih sudah mendengarnya.
Mereka tidak tahu apa yang terjadi di atas loteng, namun
mereka tahu bahwa Baginda sedang berunding dengan utusan
rahasia negeri Watsu, jikalau mereka tidak diminta naik ke
loteng, betapapun mereka tidak berani gegabah bertindak.
Seorang Wisu berkata bisik-bisik: "Agaknya orang Watsu
berangasan dan kasar, karena gusar Baginda mendebatnya
sehingga terjadi perang mulut. Suara tadi mirip orang yang
menggebrak meja. Entah Baginda atau orang Watsu tadi yang
menggebrak meja?"
Wisu lain berkata: "Kalau demikian kurasa tidak perlu kita
risaukan."
Wan Giap adalah Wisu tertua didalam pasukan bayangkari
yang bertugas di istana, sudah puluhan tahun dia setia kepada
kerajaan, sejenak dia berpikir, lalu katanya: "Jikalau Baginda
yang dihina orang Watsu, kurasa kita tidak boleh berpeluk
tangan. Hu-congkoan tidak berada disini, umpama terjadi
sesuatu diluar dugaan siapa di antara kita yang harus
bertanggung jawab. Menurut hematku, satu di antara kita
perlu naik melihat keadaan."
Tiga Wisu temannya cuma menggeleng, katanya: "Mencuri
dengar perundingan" Baginda dengan utusan Watsu bisa
dihukum mati, jikalau kau berani menanggung akibatnya boleh
kau saja yang naik." Seorang lagi bicara: "Justru karena Hucongkoan
tidak disini, kami tidak berani sembarangan
bertindak tanpa mendapat perintahnya. Wan toako, kau
berani, boleh kau mewakili kami naik ke atas. Ai, kami
memang bernyali kecil yang kami harapkan hanya selamat,
aku tidak ingin mengejar jasa."
Wan Giap yakin dirinya adalah Wisu tertua yang biasa
mendapat kepercayaan dan disayang raja, terhadap sang
junjungan dia memang amat setia, makin dia pikir hatinya
1727 makin kuatir, akhirnya dia menepuk dada, katanya: "Baiklah
biar aku naik ke atas."
Setelah menutuk Hiat-to kedua Wisu pula, lekas Tan Cioksing
membalik tubuh merenggut Cu Kian-sin serta
mengancam: "Aku tidak bermaksud jahat kepada Baginda,
tapi Baginda harus bertindak menurut petunjukku. Jikalau satu
di antara kami ada yang cidera akupun tidak akan menjamin
keselamatan Baginda.
Saking ketakutan dan kaget muka Cu Kian-sin pucat pasi,
katanya gemetar: "Baiklah aku mendengar petunjuk Hiapsu."
Biasanya dia yang memberi perintah, kapan dia pernah tunduk
kepada orang lain, selama hidup mungkin baru sekali ini dia
bilang mau menerima petunjuk orang lain.
Tanpa sungkan Tan Ciok-sing segera berbisik di pinggir
telinganya memberi petunjuk apa-apa. Pada saat itulah
terdengar derap langkah naik ke atas, Wan Giap si Wisu tua
telah naik ke atas loteng. Meski bernyali besar, namun Wan
Giap tidak berani gegabah. Didengarnya Cu Kian-sin
membentak: "Siapa diluar?" Mana dia berani mendorong
pintu, tersipu-sipu dia berlutut diluar pintu serta berseru:
"Hamba Wan Giap sengaja naik kemari untuk melayani
Baginda." Cu Kian-sin membentak: "Kau adalah Wisu tertua, kenapa
masih tidak tahu aturan. Tanpa Tim yang mengundang untuk
apa kau kemari. Mengingat jasamu selama ini setia dan
berbakti kepada kerajaan, kali ini tidak kutimpakan hukuman
kepadamu lekas menggelinding ke bawah."
Wan Giap berkeringat dingin, tersipu dia mengiakan terus
merangkak turun ke bawah loteng. Meski kaget den ketakutan
namun hatinya lega. Karena dia sudah mendengar suara
junjungannya jelas bahwa sang raja tidak kurang suatu apa.
Pada hal suara makian Cu Kian-sin juga gemetar. Tapi karena
Wan Giap sendiri juga gemetar mana dia memperhatikan
secermat itu. 1728 Kalau hati Wan Giap sudah lega, adalah perasaan Cu Kiansin
makin tertekan. Pada hal Tan Ciok-sing paling dia takuti,
lalu apa yang akan dilakukan Tan Ciok-sing pada dirinya"
Tan Ciok-sing membimbingnya duduk, lalu memberi
hormat, katanya: "Aku terlambat beberapa hari, mohon
Baginda memaafkan."
Walau hanya penghormatan biasa sebagaimana lazimnya
yang terjadi di kalangan rakyat jelata, Cu Kian-sin merasa lega
juga, pikirnya: "Gelagatnya mereka tidak bermaksud jahat
terhadap Tim" Katanya: "Hiapsu tidak usah banyak adat, Tim
tidak akan menyalahkan kau. Entah kedatangan Hiapsu kali
ini..." Kalem suara Tan Ciok-sing:
"Percakapanmu dengan nona In tadi sudah kudengar jelas,
kedatanganku kali ini hanya mengulang pertanyaan lama.
Apakah harus angkat senjata melawan serbuan Watsu atau
akan minta damai kepada mereka, apakah kau masih belum
memutuskannya?"
Cu Kian-sin tertunduk diam, hatinya berpikir: "Kenapa
utusan Watsu belum juga tiba, Hu Kian-seng kenapa pergi
begini lama?" Pada hal setengah jam lebih lewat.
Tan Ciok-sing berkata lebih lanjut: "Kuharap Baginda tidak
banyak curiga. Jikalau Kim-to Cecu ingin jadi raja, kenapa di
saat pasukan Watsu menyerbu ke Tay-tong dia angkat senjata
melawannya, tidak mengalihkan sasarannya merebut tahta
kerajaan, pada hal kekuatannya ibarat telur menumbuk batu,
betapa besar korban yang telah dideritanya" Kini mereka
terpencil diluar Gan-bun-koan tapi masih gigih melawan
musuh demi kemerdekaan nusa dan bangsa."
"Harap Baginda berpikir lebih cermat, mungkin Baginda
berpendapat, minta damai dan terima dihina dapat bertahan
hidup sementara sebaliknya menurut pendapatku, bangsa
Watsu liar dan punya ambisi besar mereka tidak akan
memberikan kehidupan tentram dan sejahtera kepadamu.
1729 kepada rakyat jelata yang hidup tertindas 'dalam
kemiskinan. Bila tiba saatnya mereka menyusun kekuatan
besar menyerbu datang mungkin singgasana Bagindapun
takkan bisa dipertahankan lagi. Dari pada Baginda dihina dan
ditipu oleh bangsa Watsu, mumpung sekarang ada
kesempatan untuk mencapai kemenangan kenapa tidak kau
bangkit melawannya."
Pidato Tan Ciok-sing memang tidak enak bagi pendengaran
sang Raja, tapi tepat mengorek penyakit hati Cu Kian-sin, rasa
curiganya terhadap Kim-to Cecu rada berkurang. Di samping
itu dia memang merasa keki dan penasaran melihat sikap
pongah orang-orang Watsu meski dia bukan seorang raja
besar yang memiliki kemampuan besar pula, tapi juga bukan
raja lalim yang terlalu ceroboh, mendengar anjuran Tan Cioksing
semangat terbakar jiwa patriotnya bangkit. Akhirnya Cu
Kian-sin manggut-manggut, katanya: "Utusan Watsu sebentar
lagi akan tiba, baiklah Tim akan menerima petunjuk."
"Bagaimana pula persoalan Liong Bun-kong?" Tanya In
San. "Tim tahu dia adalah musuhmu, besok juga Tim akan pecat
dia dari semua jabatan."
"Bangsat tua itu merugikan rakyat dan negara, tujuanku
bukan melulu untuk menuntut balas sakit hati pribadi.
Hukuman yang Baginda jatuhkan kepadanya kurasa terlalu
ringan." "Lalu bagaimana menurut pendapatmu?"
"Tolong Baginda memberi surat kuasa kepadaku, biar aku
yang membekuk bangsat tua itu." Ujar In San.
Cu Kian-sin masih ragu-ragu tapi akhirnya dia terima
permintaan In San.
Semula dia masih ingin melindungi dan mempertahankan
Liong Bun-kong tapi setelah dipikir lebih mendalam, bila
1730 kepala Liong Bun-kong terpenggal tapi dapat meredakan
kemarahan masa bukankah ada manfaatnya juga bagi dirinya.


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maka dia berkata: "Baik, boleh kau susun redaksinya nanti Tim
yang tanda tangan dan dibubuhi cap pula." Dalam kamar itu
tersedia lengkap peralatan tulis, hanya beberapa kejap In San
sudah rampung menulis surat kuasa itu.
Pada saat itulah diluar tiba-tiba terjadi keributan.
Seorang membentak: "Kurang ajar, kalau aku bukan
Tiangsun Pwelek, lalu siapa Tiangsun Pwelek?" Ucapan bahasa
Han orang ini amat fasih tapi logat suaranya terang dan nyata
bahwa dia adalah Tiangsun Co, utusan rahasia Watsu yang
tulen. Suara seorang yang lain kedengaran amat jelek, seperti
gesekan benda logam: "Kalian sedang apa disini" Hayo
tunjukan tempatnya aku akan bicara dengan rajamu. Hmm
siapa berani menghadangku?" Yang bicara bukan lain adalah
Koksu negeri Watsu, Milo Hoatsu adanya. Sengaja dia mau
pamer Lwekangnya yang tangguh suaranya mendengung
keras,, Cu Kian-sin yang ada di atas loteng merasa pekak
telinganya. Sebetulnya bujukan Tan Ciok-sing sudah termakan oleh Cu
Kian-sin, kini mendengar utusan Watsu telah tiba hatinya
menjadi gugup dan gelisah. Tapi diapun merasa heran:
"Kemana sih Hu Kian-seng yang membawa mereka kemari?"
In San berkata: "Baginda tidak usah gugup biar kami yang
menghadapi mereka, supaya selanjutnya tidak berani
bertingkah di hadapan Baginda."
000OOO000 Bagaimana In Sah akan melayani utusan Watsu, baiklah
kukesampingkan dulu. Mari kita ikuti pengalaman Hu Kianseng.
1731 Mengudak jago kosen yang mempermainkan dirinya, tanpa
terasa Hu Kian-seng terus mengudak sampai pojok Sia-hoa
wan yang belukar dan jarang diinjak orang. Betapapun Hu
Kian-seng adalah orang yang berpengalaman, akhirnya dia
sadar, pikirnya: "Kungfu Tan Ciok-sing pernah kusaksikan.
Ilmu pedangnya amat tinggi, Ginkangnya juga tidak lemah.
Tapi Ginkangnya tidak setinggi ini, mungkin aku salah raba
orang yang mempermainkan aku bukan dia."
Mau tidak mau hatinya jadi tidak tentram. "Walau aku
sudah mengatur segala sesuatunya, tidak takut dipancing dari
tempat dinasku, bila Tan Ciok-sing dan In San bergabung
dengan ilmu pedang mereka menerjang masuk ke Yang-simtiam,
Pek Ting dan Kiang Swan jelas bukan tandingan mereka.
Em, ya, entah Milo Hoatsu dan Tiangsun Co sudah tiba di
Yang-sim-tiam belum, bila mereka sudah tiba disana, Milo
Hoatsu pasti dapat menghadapi mereka."
Tengah dia kebingungan sayup-sayup tiba-tiba didengarnya
suara Milo Hoatsu yang lagi marah-marah.
Milo Hoatsu berkaok-kaok sambil berlari, pada hal mereka
belum tiba di Yang-sim-tiam. Tapi Hu Kian-seng dapat
membedakan arah datangnya suara maka dia tahu bahwa Milo
Hoatsu sedang menuju ke Yang-sim-tiam.
Milo Hoatsu memaki dengan bahasa Mongol sayup-sayup
Hu Kian-seng hanya paham sepatah dua patah kata, karena
pulang pergi dia memaki: "Kurang ajar." Karuan Hu Kian-seng
melengak heran, pikirnya: "Siapa yang berani berbuat kurang
ajar kepada mereka?"
Karena tidak tentram, Hu Kian-seng tidak berani mengudak
jago kosen yang misterius tadi. Tapi baru saja dia putar
badan, bayangan misterius itu mendadak muncul, terasa angin
menyamber tahu-tahu orang telah menyergap di belakangnya.
Reaksinya Hu Kian-seng cukup cekatan, secara reflek dia
membalik tangan mencengkram ke belakang.
1732 Suaranya masih dekat di kupingnya, tak nyana
cengkramannya mengenai tempat kosong. Begitu Hu Kianseng
menoleh, dilihatnya sesosok bayangan hitam menyelinap
ke semak-semak kembang. Orang itu sudah menampakkan
diri, tapi Hu Kian-seng belum melihat bentuk wajahnya tapi
akhirnya dia melihat juga bayangannya.
Dia seorang gembong silat, cengkramannya tidak berhasil
namun dia sudah tahu bahwa Lwekang orang ini sedikit di
bawahnya. Tapi meski dia sudah tahu namun Ginkang sendiri
jauh ketinggalan, bila kejar mengejar ini dilanjutkan, mungkin
pihak sendiri yang bakal runyam. Akhirnya dia sadar: "Orang
ini melibatku disini, jelas tujuannya menahanku selama
mungkin, kenapa aku harus ditipunya."
"Setan alas, kau tidak berani keluar, memangnya aku harus
melayanimu disini, biar malam ini kuampuni jiwamu."
Demikian bentak Hu Kian-seng.
Orang itu tertawa, katanya: "Setan alas, kau tidak berani
mengejar, aku justru ingin bermain petak dengan kau."
Kali ini Hu Kian-seng sudah siaga, begitu merasa angin
menyamber kedua tangannya segera bergerak, Pun-lui-ciang
dilancarkan dengan sembilan puluh persen tenaganya.
"Aduh." Orang itu menjerit. Hu Kian-seng kira orang itu
terluka, hatinya girang. Tak nyana belum lenyap suara
jeritannya, orang itu telah berkata pula: "Syukur aku selamat.
Tidak kena." Begitu dia menoleh seperti tadi dia hanya melihat
bayangan orang sekali berkelebat telah lenyap di balik rumpun
kembang. Meski berkepandaian tinggi bernyali besar, mau tidak mau
Hu Kian-seng tersirap hatinya: "Gerak gerik orang ini laksana
setan gentayangan aku harus hati-hati jangan terbokong
olehnya." Kali ini dia sudah kapok dan tak berani menoleh lagi,
segera dia angkat langkah seribu lari menuju ke Yang-simtiam.
1733 Baru setengah jalan dia ketemu seorang Thaykam yang
sedang lari kencang dengan napas sengal-sengal. Hu Kianseng
kenal Thaykam ini kepercayaan Bong Tit, kali ini Bong Tit
mengutus Thaykam ini untuk menemani utusan Watsu
menghadap kepada Baginda.
Hampir saja mereka bertumbukan, keduanya sama-sama
kaget. "Eh, Hu-congkoan, kenapa kau tidak berada di samping
Baginda, koh berada disini malah?"
"Bukankah Bong-kokong mengutusmu menemani utusan
Watsu menghadap Baginda" Kenapa seorang diri kau berlarilari
sipat kuping."
Tanpa berjanji kedua orang sama mengajukan pertanyaan.
Hu Kian-seng berkata: "Semula tujuanku memang hendak
ke tempatmu menyambut utusan Watsu, tadi kudengar suara
Milo Hoatsu yang marah-marah. Aku tahu kalian sudah
menuju ke Yang-sim-tiam, kukira kau telah temani mereka.
Apakah yang telah terjadi?"
"Aku juga tidak tahu apa yang terjadi," tutur Thaykam itu,
"kejadian memang aneh dan ganjil."
"Baiklah, coba kau jelaskan kejadian yang menimpa dirimu,
nanti kita menganalisa bersama."
"Bukankah Baginda berjanji akan menerima utusan Watsu
pada kentongan ketiga, akhirnya ditunda setengah jam lagi.
Milo Hoatsu sudah kurang senang. Tak tahu..."
"Ada kejadian apa?"
"Tak nyana, tiba saat yang ditentukan Tiangsun Pwelek
tidur di ranjang tidak bisa bangun."
"O, dia, dia dibokong orang?"
"Bukan begitu saja, pakaiannya malah dibelejeti orang."
1734 Hu Kian-seng kaget, teriaknya: "Wah celaka, pasti
seseorang telah menyaru dirinya menemui Baginda." Tanpa
banyak bicara segera Hu Kian-seng berlari kencang
meninggalkan si Thaykam berdiri terlongong.
000OOO000 Dengan marah-marah akhirnya Milo Hoatsu dan Tiangsun
Co tiba di depan Yang-sim-tiam. Sambil membusung dada
Tiangsun Co berseru: "Apakah raja kalian ada disini" Lekas
beritahu padanya, aku sudah datang."
Kawanan Wisu yang dinas saling pandang, katanya
seseorang: "Tuan ini..."
Tiangsun Co naik pitam, sentaknya: "Kau ini anggota
bayangkari yang bertugas jaga disini malam ini?"
Wisu itu mengiakan sambil manggut.
Tiangsun Co mendengus, rasa gusarnya makin bertambah.
"Kalau benar kau petugas jaga disini kenapa tidak tahu siapa
yang malam ini akan diterima rajamu di Yang-sim-tiam ini"
Aku inilah Tiangsun Pwelek dari Watsu."
Wan Giap, Wisu tertua tampil ke depan, katanya: "Apa
betul kau ini Tiangsun Pwelek" Lalu kenapa..." Maksudnya
mau tanya kenapa tiada Thaykam yang mengiringi mereka,
karena menurut kebiasaan dan rencana yang telah disepakati,
kedatangan mereka sebenarnya diiringi seorang Thaykam
yang dapat dipercaya dengan membawa lencana tembaga
sebagai tanda dinas.
Memangnya Tiangsun Co sudah marah dan penasaran,
karuan dia tak kuat menahan gejolak penasarannya lagi,
semprotnya: "Bedebah, kalau aku bukan Tiangsun Pwelek lalu
siapa Tiangsun Pwelek. Aku tidak maki kalian bertugas tidak
genah, malah memeriksa diriku. Minggir, biar aku masuk
sendiri menemui Cu Kian-sin, tak usah kalian memberi
laporan." 1735 Wan Giap adalah Wisu tua yang paling setia kepada raja,
mendengar Tiangsun Co kurang ajar langsung menyebut
nama junjungannya, hatinya marah juga, pikirnya: "Umpama
benar kau ini utusan Watsu, tapi petingkah dan seangkuh ini,
betapapun aku tidak akan biarkan kau kurang ajar terhadap
junjungan kita. Maka dia coba bicara halus: "Maaf, dalam
istana ada tata tertib, harap tuan tunggu sebentar." Dengan
menyeringai dingin Wan Giap mengadang di depannya.
Tiangsun Co berjingkrak gusar. "Tata tertib kentut anjing.
Minggir." Wan Giap memang sudah siap waktu mengadang di depan
orang, kedua jarinya segera menutuk ke Lau-kiong-hoat di
tengah telapak tangan lawan yang memukul tiba, sementara
sisa tiga jarinya yang lain agak ditekuk, itulah salah satu
gerakan liehay dari Liong-jiau-jiu. Sebagai ahli silat, sekali
turun tangan, lantas tahu apakah lawannya berisi. Mau tidak
mau Tiangsun Co kaget juga, insaf dirinya bukan tandingan
Wan Giap lekas dia menarik tangan.
"Kalau benar tuan adalah utusan Watsu kuharap kau
menjaga harga diri." Demikian kata Wan Giap tawar sambil
menarik gerakan Liong-jiau-jiu.
Tiba-tiba Milo Hoatsu melangkah lebar dalam matanya
seolah-olah tiada Wan Giap yang berdiri di depannya.
Jari Wan Giap segera mencengkram, Milo mengebas lengan
baju, kontan Wan Giap sempoyongan tujuh tindak, setelah
berputar dua lingkar baru dia berhasil kendalikan dirinya.
Ternyata dalam kebutan lengan bajunya, Milo Hoatsu telah
kerahkan tujuh lapis Liong-siang-kang. Untung yang melawan
adalah Wan Giap, kalau Wisu lain tanggung sudah jatuh
terjengkang sungsang sumbel.
"Mutiara sebesar beras juga coba memancarkan cahaya."
Demikian jengek Milo Hoatsu, "sudah tahu keliehayanku"
Pwelek, mari kita masuk coba siapa berani merintangi?"
1736 Pada saat itulah seorang Thaykam beranjak keluar sambil
memegang kipas lempit. Thaykam ini jelas adalah samaran In
San. Menuding dengan kipasnya In San membentak: "Ada apa
ribut-ribut disini?"
Wan Giap segera menyahut: "Ada orang yang mengaku
sebagai utusan Watsu minta bertemu dengan Baginda."
"Baginda sudah tahu. Baginda ada perintah suruh orang
yang mengaku sebagai utusan Watsu masuk menghadap
kepadanya."
"Kurcaci," maki Tiangsun Co penasaran, "aku ini jelas
adalah utusan Watsu, kenapa dikatakan mengakui?"
Milo tahu di belakang kejadian ini pasti ada sebabnya maka
dia berkata: "Pwelek tak usah marah, setelah kita berhadapan
dengan Cu Kian-sin nanti tanyakan persoalannya."
In San menuding pula dengan kipasnya. "Yang diundang
hanya orang yang mengaku sebagai utusan Watsu, Hwesio ini
dilarang masuk."
Milo Hoatsu adalah Koksu negeri Watsu kedudukannya
lebih tinggi dari Tiangsun Co mendengar Cu Kian-sin hanya
mengundang Tiangsun Co, karuan gusarnya bukan buatan.
Sementara itu banyak Wisu telah lari mendatangi, Wan
Giap segera memberi tanda Milo Hoatsu segera dikurung
rapat. Melihat dirinya dikurung, otak Milo Hoatsu malah menjadi
jernih, pikirnya: "Tidak sukar aku membunuh habis kawanan
Wisu kentut busuk ini, bukankah urusan malah runyam"
Baiklah hari ini aku telan penghinaan demi tercapainya
rencana besar, biar hari ini aku mengalah, biar Tiangsun Co
seorang diri menemui Cu Kian-sin. Asal perjanjian damai
sudah ditanda-tangani, apapun kehendak kami dia harus
tunduk dan melaksanakannya, coba saja apa dia berani
1737 menentang kehendakku untuk menghukum mati kawanan
Wisu ini."
Bahwa Milo Hoatsu tidak berani mengumbar amarah, sudab
tentu Tiangsun Co juga hanya menelan penasaran, seorang
diri dia ikut In San naik ke loteng.
Han Cin yang menyaru Tiangsun Co sementara itu sudah
berganti pakaian mengenakan seragam Thaykam, sementara
Pek Ting dan Kiang Swan yang tertutuk Hiat-tonya masih
berdiri kaku dengan gaya masing-masing yang lucu.
Tan Ciok-sing memang berpakaian sekolah, kini dia
mengenakan serenceng kalung mutiara berdiri di belakang Cu
Kian-sin pura-pura menjadi pelayan pribadinya.
Begitu In San membawa Tiangsun Co masuk ke kamar
dinas dimana Cu Kiam-sim bekerja, daun pintu .yang tebal dan
besar itu segera dia tutup dan kunci.
Tiangsun Co tidak tahu kalau Pek Ting dan Kiang Swan
tertutuk Hiat-tonya, melihat gaya mereka amarahnya makin
berkobar, pikirnya: "Kurang ajar, Cu Kian-sin suruh kedua
Wisu ini petingkah untuk menghinaku, memangnya aku
gampang digertak?" Dengan membusung dada segera dia
berkata lantang: "Khan Agung dari Watsu ada perintah untuk
menyampaikan salam hormatnya kepada Raja dynasti Bing."
"O," Cu Kian-sin mengangguk, "silahkan duduk."
Tak tahan Tiangsun Co menahan emosi serunya keras:
"Kedatanganku ini untuk membicarakan perjanjian damai,


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tolong tanya Baginda, orang-orangmu ini sedang main apa,
bertindak..."
"Kurang ajar." Belum sempat dia mengucapkan katakatanya,
Tan Ciok-sing telah menghardiknya: "Tiangsun Co, di
hadapan Baginda Raja kau petingkah."
Tiangsun Co kira dia hanya sebagai pembantu sekretaris
yang akan membuat notulen pembicaraan hari ini, hakikatnya
1738 dia tidak pandang sebelah mata, bentaknya: "Aku belum
menuding kalian, kalian malah menuding aku. Hm, kau ini
barang apa, berani kau membacot disini."
Sikap kasar Tiangsun Co sudah diduga oleh Tan Ciok-sing,
bagaimana dia akan menghadapinya juga telah dia rancang
bersama Cu Kian-sin, segera dia memberi lirikan mata kepada
Cu Kian-sin. Pertama Cu Kian-sin memikirkan keselamatan jiwa sendiri,
kedua melihat sikap Tiangsun Co yang jumawa, hatinya keki
maka segera dia bertindak sesuai pesan Tan Ciok-sing tadi,
bentaknya sambil menggebrak meja: "Kau ini utusan Watsu
yang mau minta damai terhadap Tim bukan?"
Begitu dia gebrak meja meski tidak keras tapi Tiangsun Co
sudah dibuat kaget setengah mati, matanya mendelik,
katanya: "Betul. Aku membawa mandat penuh sebagai wakil
Khan Agung, memangnya Baginda belum tahu?"
"Tim tahu. Tapi apa kau tahu siapakah Tan-haksu ini?"
Tiangsun Co kira, pemuda ini paling adalah pembesar
kesayangannya, tetap angkuh dia berkata: "Dia siapa"
Omongnya kasar, kenapa Baginda membelanya?"
"Dia inipun sebagai wakil Tim sepenuhnya. Kau ingin damai
boleh kau bicara dengan dia."
Kaget dan gusar pula hati Tiangsun Co, katanya: "Soal ini
menyangkut urusan besar nasib negara, kenapa Baginda
mengajukan wakil, umpama perlu kumohon supaya Baginda
mengganti seorang lain..."
"Siapa utusan Khan Agung kalian, Tim tidak peduli. Siapa
wakilku yang akan berunding dengan kau kalianpun tidak
perlu turut campur. Kau harus tahu di garis mana kau
berbicara, disini kau harus tunduk kepadaku, Tim yang
berkuasa." Di bawah pengawasan Tan Ciok-sing dengan
membesarkan nyali, petunjuk apa yang tadi Tan Ciok-sing
1739 berikan kepadanya sekarang dia bacakan seperti murid yang
lagi menghapal pelajaran yang diberikan gurunya, sehingga
suaranya sudah agak gemetar. Tapi karena suaranya yang
bergetar ini lebih menunjukkan bahwa dia seperti menekan
emosi saking marahnya.
Mimpipun Tiangsun Co tidak menyangka bahwa Cu Kian-sin
bakal menuding dirinya serta bicara sekeras dan seberani itu,
mau tidak mau ciut nyalinya maka dia tidak berani banyak
bicara lagi. Maka Tan Ciok-sing menimbrung dengan suara dingin:
"Sebelum kau mengajukan permohonanmu untuk mengikat
perdamaian, ingin aku bertanya kepadamu, entah kau tahu
tidak akan dosa-dosamu?"
Mendelik Tiangsun Co, tanyanya: "Aku punya dosa apa?"
"Sebagai utusan sebuah negara, sepantasnya kau tahu tata
tertib seorang diplomat. Kenapa setelah berhadapan dengan
raja kita, kau tidak segera berlutut?" lalu dia menghardik
dengan suara kereng: "Hayo berlutut." Tangan diulur
menekan tubuh orang.
Umpama Tiangsun Co mau berlutut, dalam keadaan seperti
ini juga pasti melawan karena dipaksa secara kasar, saking
gusar matanya menjadi gelap, kontan dia ulur jari menutuk Jiti-
hiat disikut orang, maksudnya hendak membikin malu Tan
Ciok-sing dengan tubuh terguling jatuh, supaya tak mampu
merangkak berdiri lagi.
Tak nyana ujung jarinya seperti menumbuk dinding batu
waktu menyentuh anggota badan Tan Ciok-sing, jelas jarinya
telah menutuk Ji-ti-hiat, tapi sikap Tan Ciok-sing tetap wajar
tidak berobah sama sekali, malah dia sendiri yang menjerit
kesakitan. Cepat sekali tangan Tan Ciok-sing sudah pegang
pundaknya. Karuan Tiangsun Co tidak tahan lagi, pundaknya
1740 seperti ditindih benda ribuan kati, tanpa kuasa kedua lututnya
tertekuk sehingga dia jatuh berlutut.
"Bagus, sekarang boleh kau bicara. Bagaimana maksud
damai negerimu?" Pelan-pelan dia melepas pegangan dan
tekanan tangannya di pundak orang.
Kejut Tiangsun Co lebih besar lagi, pikirnya: "Cu Kian-sin
sengaja hendak menghina aku. Haksu apa orang ini, jelas dia
seorangjago silat kosen yang menyamar jadi sekretaris raja.
Seorang laki-laki harus bisa melihat gelagat, biarlah
kubicarakan dulu soal perjanjian damai itu baru nanti
berusaha membuat perhitungan." Dia insaf gelagat tidak
menguntungkan dirinya, perjanjian damai juga belum tentu
dicapai namun betapapun harus dicoba.
Maka dia angkat kepala, serunya membantah: "Tiga bulan
yang lalu, konsep perjanjian itukan sudah dibuat. Kedatangan
kali ini hanya ingin tahu jawaban Baginda, kenapa sejauh ini
perjanjian itu belum juga kau tanda tangani."
"Tan-haksu," kata Cu Kian-sin, "lemparkan kembali konsep
perjanjian damai itu kepadanya."
Tan Ciok-sing mengiakan, lalu dia robek konsep perjanjian
damai yang ditulis sendiri oleh Liong Bun-kong tiga bulan yang
lalu serta dibuang di atas lantai.
Saking marah mata Tiangsun Co mendelik merah padam,
katanya: "Apa maksudmu Baginda?"
"Dari pada perang aku memang lebih cinta damai, tapi
bagaimana perjanjian damai itu ditanda tangani, kalian harus
tunduk akan kehendakku."
"Konsep perjanjian damai itukan sudah dirancang bersama
oleh dua pihak setelah redaksinya diganti berulang kali, bila
mau dirobah juga hanya mengganti beberapa huruf yang
dirasa perlu saja," demikian bantah Tiangsun Co.
1741 "Tutup mulutmu!" bentak Tan Ciok-sing, "kau sedang
bicara dengan raja kami, mana boleh bersikap kasar, main
bentak lagi. Ketahuilah konsep tetap konsep, jadi belum
positip. Kami sudah tentu mempunyai maksud tujuan kami
sendiri, mana boleh kau mencampuri kehendak kami."
Baru saja Tiangsun Co sudah merasakan keliehayannya,
melihat Ciok-sing bicara dengan muka bengis dan bersikap
gagah, mau tidak mau menciutkan nyalinya. Sesaat kemudian
baru dia menghela napas, giginya berkerutuk saking menahan
emosi, katanya dingin: "Baiklah lalu menurut pendapat kalian,
bagaimana perjanjian damai ini harus ditanda tangani?"
Cu Kian-sin berkata: "Tan-haksu silahkan kau bicarakan
dengan dia."
Tan Ciok-sing berkata: "Tiongkok adalah negara berbudaya
tinggi, kalian kalah perang dan minta damai, kami mau tidak
menerima adalah hak kami. Tapi Baginda memang arif
bijaksana beliau mau menerima permohonan kalian, oleh
karena itu cukuplah asal sebetulnya kalian mengirim
pernyataan menyesal akan kesalahan yang telah dilakukan."
"Apa-apaan, kenapa kami harus menyesal dan minta
maaf?" "Kalian mengerahkan pasukan menyerbu dan menduduki
wilayah kami, apakah tidak pantas kalian minta maaf dan
mengaku salah, memangnya kami yang harus minta maaf
malah?" Tiangsun Co berkata: "Memberi sedikit kelonggaran kepada
kalian memang bukan mustahil, tapi kami mengajukan
beberapa syarat yang harus dipatuhi: 1. Dua negeri kita harus
bergabung memberantas kawanan brandal di perbatasan. 2.
Dynasti Bing harus menarik mundur pasukannya dari Taytong.
3. Harus menyerahkan Coh-hun, Yu-giok dan beberapa
daerah. 4...." 1742 Belum habis dia bicara, Tan Ciok-sing sudah menggebrak
meja serta menudingnya. "Besar mulutmu, kalian kalah
perang, daerah kita harus diserahkan kepadamu malah,
menarik mundur tentara, minta damai segala" Syarat-syarat
itu sepantasnya kalian sendiri yang harus memikulnya. Tapi
sekarang kami cukup murah hati kami hanya menuntut kalian
mohon maaf dan menarik mundur pasukan, persoalan boleh
dianggap rampung, lalu apa pula kehendak kalian?"
"Baginda harus berpikir cermat," Tiangsun Co masih
berusaha putar lidah, "pemerintahmu terlalu mengandal
kekuatan kaum brandal, itu jelas tidak akan mengangkat
gengsi. Memang beberapa kali kami pernah mengalami
kegagalan tapi bila kami mau mengerahkan pasukan besar."
Tan Ciok-sing menjengek dingin: "Bila Khan Agungmu
masih tidak sadar, mengerahkan tentara main kekerasan,
terpaksa kami akan memberi hajaran setimpal kepadanya. Bila
kalian berani mengerahkan pasukan besar boleh silahkan
kapan saja akan kami sambut."
Mau tidak mau timbul curiga Tiangsun Co, pikirnya: "Haksu
yang satu ini bagaimana berani bicara sebebas ini di depan
junjungannya" Baiklah peduli siapa dia, aku harus menakuti
Cu Kian-sin..." Segera dia menarik muka, katanya membusung
dada dengan sikap temaha: "Baginda, kau harus berani
berkeputusan mencari jalan yang benar, jangan mudah kau
dipermainkan kaum dorna, kalau tidak, hm, hm..."
Sikapnya yang sombong dan tengik justru menimbulkan
reaksi tegas Cu Kian-sin, jengeknya sinis: "Kalau tidak
kenapa?" "Jikalau pasukan besar kita sudah kerahkan batu jadepun
bakal menjadi abu, kedudukanmu sebagai raja tidak akan
berlangsung lama lagi."
1743 Walau Cu Kian-sin takut terhadap Watsu kini dia tidak
tahan lagi, serunya gusar: "Kurang ajar! Kau sedang bicara
dengan Tim tahu!"
Tiba-tiba Tan Ciok-sing mencengkram kuduk Tiangsun Co
serta menjinjingnya ke atas, katanya: "Utusan Watsu berani
menghina Baginda, kalau bersalah tidak dijatuhi hukuman,
akan menghilangkan pamor negeri besar kita."
Setelah amarahnya berkobar, diam-diam Cu Kian-sin kuatir
bila bertindak terlampau jauh. Tapi Tan Ciok-sing bertindak
demi mempertahankan nama baik dan gengsinya, apalagi ada
Tan Cioksing di sampingnya, sementara pasukan besar Watsu
jauh ribuan li diluar perbatasan maka rasa takut terhadap Tan
Ciok-sing sekarang jauh lebih besar bila pasukan besar negeri
Watsu kenyataan menyerbu negerinya. Maka samar-samar dia
berkata: "Tan-haksu memang betul hukuman apa yang harus
dia terima, boleh terserah kepadamu saja."
Tan Ciok-sing mengiakan, pelan-pelan dia gunakan Hunkin-
joh-kut-jiu-hoat, Tiangsun Co yang dijinjingnya dia lempar
ke atas lantai. Rasa sakit seperti meresap ke tulang sungsum,
sekuatnya Tiangsun Co berusaha menahan sakit, bentaknya
serak: "Boleh buktikan kalian bisa berbuat apa terhadapku..."
Mulutnya masih ingin memaki tapi Hun-kin-joh-kut-jiu yang
digunakan Tan liehay, tenaga yang disalurkan kedalam tulang
sungsum tubuhnya baru sekarang mulai bekerja, kontan
tubuhnya mengejang, seperti dicocoki ribuan jarum, meski
sudah kertak gigi menahan napas, akhirnya tak tertahan dia
merintih juga, rangkaian kata-kata yang siap dilontarkan tak
kuasa diucapkan lagi.
Tan Ciok-sing berkata: "Kau menghina Raja, semestinya
hukumannya mati. Tapi mengingat kau ini seorang utusan
negara asing hari ini kuampuni jiwamu." Sampai disini sengaja
dia merandek. Meski kesakitan namun dalam hati Tiangsun Co amat
senang, pikirnya: "Memangnya kau berani membunuh aku"
1744 Asal jiwaku selamat, kapan saja aku pasti menuntut balas."
Saking kesakitan dia tidak mampu bersuara, juga tidak berani
bicara. Tapi rasa bangga dan puas tak urung tampil di
wajahnya. Tan Ciok-sing berkata lebih lanjut: "Hukuman mati boleh
diperingan menjadi hukuman siksa. Baiklah, laksanakan
pukulan empat puluh kali."
In San dan Han Cin mengiakan bersama. Mereka tarik
Tiangsun Co serta membalikkan tubuhnya hingga tidur
tengkurap serta ditekan punggungnya, palang pintu memang
tersedia di kamar buku itu, dengan palang pintu itulah pantat
Tiangsun Co dihajar empat puluh kali.
Waktu Hu Kian-seng buru-buru kembali ke Yang-sim-tiam,
anak buahnya masih mengurung Milo Hoatsu. Melihat gelagat
jelek ini, sungguh terkejut H u Kian-seng bukan main. Lekas
dia tarik Wan Giap ke pinggir serta tanya perlahan: "Kenapa
hanya Milo Hoatsu yang ada disini" Mana Tiangsun Co?"
"Baginda hanya mengizinkan Tiangsun Co saja yang
menghadap." Sahut Wan Giap.
Hu Kian-seng tahu kedudukan Milo Hoatsu lebih tinggi,
katanya: "Bagaimana mungkin Baginda memberi perintah
begitu. Apakah baginda sendiri yang memberi pesan
kepadamu?"
"Bukan, seorang Thaykam keluar menyampaikan
perintahnya." Demikian tutur Wan Giap. "Thaykam itu
memegang kipas pribadi Baginda."
"Sebelum ini kalian belum pernah melihat Thaykam itu?"
Tanya Hu Kian-seng.
"Belum pernah melihatnya."
"Bagaimana dia bisa masuk?"
1745 "Bukankah Bong-kokong yang mengutusnya mengantar
utusan Watsu" Oh ya, hampir lupa aku memberitahu
kepadamu, urusan agak ganjil, Tiangsun Co yang duluan
memang tidak mirip Tiangsun Co yang belakangan."
Hu Kian-seng kaget, pikirnya: "Ternyata ada orang yang
menyaru." Katanya gugup: "Jangan kalian berbuat salah
kepada Milo Hoatsu, Tiangsun Co yang datang bersama dia itu
yang tulen. Sekarang aku harus segera menemui Baginda..."
Baru saja Hu Kian-seng beranjak di undakan loteng, dia
sudah mendengar suara palang pintu menghajar pantat, rasa
kejutnya bertambah besar, tapi dia belum berani memastikan
bahwa Tiangsun Co yang dihajar pantatnya, lekas dia


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memburu ke atas serta berteriak: "Baginda, Baginda..."
Ternyata kejadian selanjutnya menambah rasa kejutnya
pula, baru dua kali dia berteriak, belum sempat dia mohon
supaya menghentikan hukuman hajar pantat itu, suara
junjungannya sudah membentak: "Siapa berani naik ke atas
tanpa kuperintah?"
Terpaksa Hu Kian-seng menghentikan langkah, serunya
lantas: "Hamba Hu Kian-seng sudah kembali."
Sebagai Komandan pasukan Bayangkari, biasanya selalu
mendampingi raja, tadi atas kehendak raja dia keluar untuk
menyambut kedatangan utusan Watsu. Sekarang sudah
kembali sebetulnya adalah kejadian yang logis, jadi hakikatnya
tidak perlu harus dipanggil. Maka setelah dia berteriak, dia
harap Cu Kian-sin akan mengenal suaranya dan segera
memanggilnya. Tak nyana didengarnya suara Cu Kian-sin lebih beringas,
bentaknya: "Disini tak perlu tenagamu. Disana tenagamu
diperlukan kenapa kau tidak kesana. beginikah rasa baktimu
terhadap Tim?"
Saking kaget dan takut lekas Hu Kian-seng berlutut diluar
pintu, serunya: "Mohon Baginda memberi petunjuk."
1746 "Ada apa di bawah loteng, kenapa ribut?" Sentak Cu Kiansin.
"Ada, ada..."
"Jangan membela orang luar, apakah Koksu dari Watsu
yang membuat onar?"
Terpaksa Hu Kian-seng memberi laporan: "Ya, ya, Milo
Hoatsu mohon izin untuk naik kemari, menemui Baginda."
Kereng suara Cu Kian-sin: "Tim larang dia naik kemari, dia
berani membuat keributan, memangnya dia masih memberi
muka kepada Tim" Hu Kian-seng, tenagamu tidak diperlukan
disini, tidak lekas kau turun ke bawah melarang dia membuat
onar!" Sudah tentu apa yang diucapkan Cu Kian-sin telah didikte
oleh Tan Ciok-sing, mana Hu Kian-seng tahu bahwa di
belakang peristiwa ini Tan Ciok-sing telah memegang peranan.
Namun demikian, rasa curiganya bertambah besar. Sikap
keras dan tindakan tegas Cu Kian-sin kali ini, tidak mirip
keadaan biasanya yang dia ketahui benar.
Setelah pantatnya dihajar keras, meski tidak mampu
bersuara, tak tertahan Tiangsun Co merintih-rintih. Begitu
mendengar suara Hu Kian-seng diluar pintu, segera dia
berkaok-kaok kesakitan. In San tidak berani menutuk Hiattonya.
Hu Kian-seng mendengar rintihan, namun dia tidak berani
menerjang masuk. Maklum setiap patah kata yang keluar dari
mulut sang raja merupakan perintah yang tak boleh dibantah.
Dengan kupingnya sendiri dia mendengar Baginda marahmarah
memaki Koksu negri Watsu kalau Koksunya juga
dimaki, menghajar utusan Watsu juga menjadi urusan biasa.
Dia pikir bila dugaannya meleset, bila menghajar pantat
utusan Watsu memang kehendak Baginda sendiri, kalau
dirinya menerjang masuk berarti melanggar aturan, mana
berani dia memikul dosa yang tidak terampun" Karena itu dia
1747 tidak pingin mengejar pahala, syukurlah kalau awak sendiri
tidak berbuat salah.
Dan lagi Hu Kian-seng memang seorang yang pandai
menggunakan otak, berpandangan jauh dan luas, dia pikir bila
Baginda menjadi sandera, kalau dirinya masuk bukankah
keadaan Cu Kian-sin akan lebih berbahaya" Kalau Baginda
sudah dijadikan sandera, dirinya gegabah lagi, akibatnya tentu
fatal, salah-salah jiwa sang raja bisa mati secara konyol.
Apa boleh buat terpaksa Hu Kian-seng mengiakan, buruburu
dia lari turun ke bawah. Ternyata keributan semakin
besar di bawah. Kiranya Milo Hoatsu sudah mendengar
rintihan Tiangsun Co yang sedang disiksa di atas.
Melihat Hu Kian-seng keluar, Milo Hoatsu lantas
membentak: "Apa yang dilakukan raja kalian" Kenapa Tiangsun Pwelek
merintih-rintih?"
Hu Kian-seng jeri bila padri asing ini benar-benar
mengamuk, terpaksa dia membual: "Koksu, mungkin kau
salah dengar. Jangan banyak curiga, sabarlah, tunggu lagi
sebentar."
"Apa, jadi kau tidak disuruh mengundangku naik ke atas?"
Semprot Milo Hoatsu, "aku harus menunggu disini pula, kalian,
hm, hm, termasuk raja kalian memangnya sudah tidak ingin
hidup?" Wan Giap paling setia kepada sang junjungan, tak tahan
berkobar amarahnya, bentaknya: "Kami menyambutmu
dengan kehormatan, kalianpun harus tahu diri, mana boleh
kau lancang dan petingkah disini," kata-katanya mengobarkan
pula amarah kawanan Wisu yang lain, serempak mereka
bersorak terus merubung maju.
Milo Hoatsu membentak: "Aku, jijik melayani kalian, Hu
Kian-seng, hayo temani aku naik ke atas."
1748 Hu Kian-seng berkata perlahan: "Maaf, atas perintah
Baginda, aku disuruh turun menemani kau disini."
"Apa?" Milo Hoatsu berjingkrak, "kau juga melarang aku ke
atas?" "Bukan aku yang melarang, Baginda ingin supaya kau
menunggu di bawah saja."
"Bedebah, aku justru ingin berhadapan dengan raja dan
akan kutanya kepadanya, memangnya kalian mampu
menahanku disini. Di tengah bentaknya kedua lengannya
menggentak, dua Wisu terpental setombak lebih.
Apa boleh buat, urusan sudah terlanjur sejauh ini, terpaksa
Hu Kian-seng turun tangan. Milo Hoatsu mendorongkan
telapak tangannya, terpaksa dia gunakan jurus Hud-in-jiu,
pukulan lunak yang dapat memunahkan tenaga keras. Sayang
Lwekangnya, memang setingkat lebih asor dibanding Milo
Hoatsu apa lagi dia tidak berani kerahkan seluruh tenaganya,
akibatnya meski pukulan Milo Hoatsu berhasil dipunahkan
sebagian besar tak urung dia sendiri tergentak mundur
beberapa langkah, setelah berputar satu lingkaran baru berdiri
tegak. Wan Giap membentak: "Berani kau betingkah lagi, biar aku
adu jiwa dengan kau."
Kedua wisu tadi dilempar jatuh hingga kepalanya bocor
tulang patah, karuan teman-temannya naik pitam, belasan
orang segera merangsak maju.
Milo Hoatsu juga seorang ahli, gebrak percobaan dengan
Hu Kian-seng tadi dirasakan bahwa lawannya belum
menggunakan tenaga sepenuhnya, dia pikir bila terjadi
pertempuran sengit, Hu Kian-seng dibantu belasan anak
buahnya, pihak sendiri yang tetap dirugikan.
Terpaksa dia berdiri tegak di tempatnya, bentaknya
beringas: "Hu Kian-seng, sementara boleh aku memberi muka
1749 kepadamu, kau harus memberi penyelesaian kepadaku, apa
yang terjadi di atas?"
"Aku tidak tahu."
"Kau melihat Tiangsun Pwelek tidak?"
"Tidak."
Karuan Milo kaget dan gusar, makinya sambil menuding Hu
Kian-seng: "Hu Kian-seng, lalu apa kerjamu?"
"Apa kerjaku memangnya kau tidak tahu, aku komandan
bayangkari yang berkuasa disini, tahu!" Akhirnya Hu Kian-seng
naik pitam setelah dibentak dan dituding.
"Sebagai Komandan bayangkari yang berkuasa, ada musuh
menyelundup kedalam istana kenapa tidak kau usut dan
periksa." Hardik Milo Hoatsu.
Bercekat hati H u Kian-seng, tapi dia mengeraskan kepala,
katanya: "Darimana kau tahu ada mata-mata musuh
menyelundup ke istana?"
"Tiangsun Pwelek telah dikerjai orang di penginapannya,
pakaiannya diblejeti dan dicuri orang, setiba kami disini, anak
buahmu ternyata mencurigai kami, coba kau berterus terang
bukankah ada seorang Tiangsun Pwelek lain yang telah
datang lebih dulu?"
Milo Hoatsu ternyata cukup teliti, walau dia tidak
mendengar persoalan apa yang diucapkan Wan Giap dengan
Hu Kian-seng, tapi bahwa seseorang telah menyaru jadi
Tiangsun Pwelek sudah dalam dugaannya. Maka dia duga
Wan Giap melaporkan kejadian ini kepada Hu Kian-seng.
Hu Kian-Seng pentang kedua tangannya, katanya: "Hoatsu,
sabarlah, jangan marah-marah dengarkan penjelasanku."
"Tulen atau palsu sudah jelas, apa pula yang perlu
dibicarakan?" Seru Milo Hoatsu gusar. Lahirnya dia bersikap
1750 kasar dan garang, namun hatinya juga jeri menghadapi Hu
Kian-Seng, setelah maju dua langkah dia berhenti pula.
"Seperti apa yang kau bilang," demikian ujar Hu Kian-Seng,
"urusan pasti bisa diusut sampai terang, harap kau tunggu
sebentar" Tiangsun Pwelek segera akan keluar."
Milo Hoatsu mendengus, "Siapa tahu apa yang rajamu yang
bodoh itu lakukan terhadap Tiangsun Pwelek. Bila kalian
menganiayanya sampai mati, apa aku harus menunggunya
seumur hidup?"
Wan Giap menyemprot gusar:
"Kata-katamu terlalu kurang ajar terhadap Baginda, jangan
kau menyesal bila kami bertindak kasar terhadapmu."
Diam diam Hu Kian-seng panggil seorang Wisu serta
memberi pesan apa-apa terhadapnya, tugasnya ialah
mengundang bala bantuan sebanyak mungkin, diberitahukan
pula bahwa ada mata-mata musuh berada di Sia-hoa-wan.
Sebelum kawanan Wisu tiba, Tiangsun Pwelek telah keluar.
Tapi bukan berjalan tegak, tapi dengan merintih-rintih dia
terguling jatuh dari atas tangga.
Maklum empat puluh kali pukulan palang pintu cukup
membuat pantatnya mekar, untung Lwekangnya sudah punya
dasar kuat meski luka-luka luar cukup parah, sebetulnya masih
cukup kuat. Bahwa dia sengaja menggelinding jatuh dari atas
loteng, tujuannya, adalah mau memancing kemarahan Milo
Hoatsu, supaya sakit hati dan dendamnya terbalas.
Melihat keadaannya Milo Hoatsu memang naik pitam,
amarahnya seperti api disiram bensin, teriaknya: "Tiangsun
Pwelek, siapa menghajarmu sampai begini?"
Tiangsun Pwelek merangkak, serunya serak: "Siapa lagi
kecuali raja anjing mereka!"
1751 Sambil menggerung Milo Hoatsu lantas menerjang,
bentaknya: "Kalian berani menghina utusan negeri kita, biar
aku membuat perhitungan dengan raja anjing kalian."
Mendengar Baginda dimaki "Raja anjing" amarah Wan Giap
lebih berkobar, bentaknya: "Peduli siapa dia, gampar
mulutnya." Dua orang Wisu lain juga tidak kuat menahan
amarah, mereka menelat tindakan Wan Giap memburu kesana
terus meringkusnya. Lekas Milo Hoatsu tarikan sepasang
telapak tangannya, Wan Giap kena dipukulnya jungkir balik,
demikian pula dua Wisu yang lain kena ditendangnya
mencelat. Urusan amat mendesak Hu Kian-seng tidak banyak pikir
lagi, terpaksa dia maju merintangi. "Blang", mereka adu
pukulan. "Huuuaaaah", kontan Hu Kian-seng muntah darah.
Taraf Lwekang mereka sebetulnya tidak terpaut jauh, sayang
Hu Kian-seng tidak berani menggempur sekuat tenaga, maka
dia yang kena rugi.
Melihat pemimpin mereka muntah darah entah bagaimana
luka-lukanya, kawanan wisu marah-marah. Mereka tidak
hiraukan keselamatan sendiri, tidak peduli apa pula akibatnya,
ganyang musuh lebih dulu, maka beramai-ramai mereka
merangsak. Milo Hoatsu menanggalkan jubahnya, bentaknya: "Siapa
merintangi aku dia mati. Aku akan membuat perhitungan
dengan Cu Kian-sin anak keparat itu."
Wan Giap yang terpukul jungkir balik itu, luka-lukanya lebih
parah dari Hu Kian-seng, tapi mendengar Milo Hoatsu
langsung menyebut nama sang raja serta memakinya pula,
amarahnya tak terbendung lagi, entah dari mana datangnya
kekuatan, segera dia meletik bangun, bentaknya: "Hayo
kawan-kawan, kita adu jiwa."
1752 Milo Hoatsu sudah menyendal jubahnya laksana segumpal
mega merah, jubahnya menggulung ke arah kawanan Wisu
yang menyerbu dirinya.
Kawanan Wisu ini terhitung jago-jago kosen dalam istana,
tapi dibanding Hu Kian-seng terang ketinggalan jauh, pula
dibanding Milo Hoatsu. Maka terdengarlah suara gemerantang
yang ramai, gaman ketiga orang Wisu kena digulung lepas
dan jatuh. Di kala jubah Milo menggulung ke depan tiba-tiba terasa
angin kencang menyamber, sinar kemilau menyilau mata, dari
samping seorang Wisu menusuk dengan pedang secepat kilat.
Bercekat hati Milo Hoatsu: "Siapa kira anak buah Hu Kianseng
ada juga yang berkepandaian setinggi ini."
Tersipu-sipu dia memutar tubuh menghadapi serangan
orang ini, sekaligus jubah yang menggulung ke depan disendai
miring ke pinggir, sebelah tangan yang lain menyambut
serangan Hu Kian-seng dan dua orang pembantunya.
Karena itu perhatian terpencar tenagapun tidak seimbang
karena harus melayani dua pihak, "cret" jubah kasanya yang
tebal itu telah tertusuk bolong oleh pedang lawan.
Kasanya itu digunakan sebagai senjata setelah dilandasi
kekuatan Lwekangnya, berkembang kencang laksana layar.
Kini mendadak tertusuk bolong, karuan seketika melambai
lemas seperti ban kempes, sudah tentu kekuatannya seketika
sirna. Tadi Hu Kian-seng tidak gunakan tenaga sepenuhnya
hingga mengalami rugi besar. Kini menghadapi detik-detik
mati hidup, mana berani dia berlaku ayal" Blang, telapak
tangan beradu, kali ini Milo Hoatsu tergempur mundur tiga
langkah. Terasa kerongkongannya anyir, darah yang sudah
menyembur ke lehernya telah ditelannya pula bulat-bulat.
Maklum sebagai seorang Koksu yang berwatak tinggi hati,
betapapun dia malu dikalahkan.
1753 Hu Kian-seng berterima kasih kepada Wisu yang telah
menolongnya, dalam keadaan genting seperti itu, tak sempat


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dia berpikir, di antara anak buahnya siapa yang memiliki
kepandaian pedang seliehay itu" Kini baru dia ada
kesempatan, sekilas dia pandang Wisu di sebelahnya. Hatinya
lantas heran dan bertanya-tanya, karena Wisu ini bukan anak
buahnya, agaknya diapun belum pernah melihat Wisu ini.
Saat mana Wan Giap baru saja melompat berdiri melihat
Wisu ini diapun melengak, tanyanya: "Siapa kau?" Sikap
setianya memang takkan luntur meski jiwanya hampir
mampus, maka dalam keadaan seribut itu, dia masih tidak
lupa memperhatikan lawan dan kawan.
Wisu ini bukan lain adalah samaran Toan Kiam-ping.
Seperti diketahui Toan Kiam-ping sembunyi di belakang
gunung-gunungan siap menyambut dan membantu Tan Cioksing.
Mendengar Milo Hoatsu membuat keributan di depan
Yang-sim-tiam, terpaksa dia keluar dari tempat sembunyinya.
Kedatangannya tepat pada waktunya, sehingga jiwa Hu Kianseng
berhasil ditolong.
Satu hal yang tidak dia kira, dalam keadaan seribut ini,
Wan Giap, Wisu yang setia kepada rajanya ini masih sempat
memperhatikan dirinya. Seluruh Wisu yang ada di istana
semua kenal baik dengan Wan Giap hanya Wisu yang satu ini
yang tidak dikenalnya.
Toan Kiam-ping sudah tahu, masih mungkin dia mengelabui
Hu Kian-seng, tapi sukar ngapusi Wan Giap. Dasar cerdik,
hatinya tabah lagi, segera dia mengeluarkan sebentuk lencana
terus diacungkan, katanya: "Aku disuruh Bok-jongling kemari
untuk membantu melindungi Baginda, inilah lencana
pemberian Bong-kokong. Bok-jongling dan Bong-kokong
sudah bilang, peduli siapapun, bila dia berani membuat onar di
istana, kita harus mengusirnya."
Bok Su-kiat adalah komandan Gi-lim-kun, Gi-lim-kun adalah
pasukan pribadi sang raja tugasnya melindungi keselamatan
1754 istana di bagian luar, bila sang raja mengadakan inspeksi ke
daerah, menjadi tugas Gi-lim-kun untuk mengawal dan
melindunginya. Jadi jelas tugas Gi-lim-kun berbeda dengan
pasukan Bayangkari, satu tugas diluar yang satu bertugas
didalam, tanpa mendapat perintah raja Gi-lim-kun dilarang
sembarang masuk ke istana.
Satu hal lagi, bahwa seragam pasukan Gi-lim-kun berbeda
dengan seragam pasukan bayangkari. Toan Kiam-ping
mengaku seorang perwira Gi-lim-kun, tapi mengenakan
seragam pasukan Bayangkari. Sudah tentu Toan Kiam-ping
tidak tahu akan seluk beluk ini, karena di hadapan komandan
pasukan Bayangkari dan Wisu tua ini tidak mungkin dia
mengaku sebagai anggota pasukan Bayangkari, sekenanya dia
menyaru jadi anggota Gi-lim-kun. Bualannya memang
menyerempet bahaya dengan pengharapan lawan percaya,
dan tidak sempat perhatikan dirinya lagi. Ternyata dia
berhasil. Bukan Wan Giap tidak melihat kelemahan alasannya, tapi
keterangannya yang membual itu, justru hampir cocok dengan
kenyataan. Janji pertemuan Cu Kian-sin dengan Tan Ciok-sing
sebetulnya terjadi lima hari yang lalu, kuatir tenaga pasukan
bayangkari masih belum kuat, pernah timbul niatnya hendak
meminta kepada Bok Su-kiat untuk mengirim beberapa jago
kosennya bantu bertugas didalam istana. Persoalan ini dia
serahkan kepada Hu Kian-seng, tapi Hu Kian-seng kurang
senang jikalau Bok Su-kiat menginterfensi ke daerah
kekuasaannya, maka dia simpan maksud atau kehendak sang
raja dan tidak memberi tahu kepada Bok Su-kiat. Yang terang
sang raja hanya berpesan secara lisan, tiada bukti hitam di
atas putih. Beberapa hari kemudian, suasana tentram tidak terjadi
apa-apa, Bagindapun telah melupakan akan hal ini.
1755 Tapi Wan Giap tahu akan pesan raja, cuma dia tidak tahu
bila Hu Kian-seng menahan pesan secara lisan ini. Karena
terdesak sekenanya Toan Kiam-ping membual, ternyata
hampir cocok dengan kenyataan. Lenyap rasa curiga Wan
Giap, serta merta matanya melirik ke arah Hu Kian-seng.
Sudah tentu Hu Kian-seng tahu bahwa Toan Kiam-ping
membual, tapi Toan Kiam-ping telah menolong jiwanya,
sedikit banyak dia merasa hutang budi, maka dia segan untuk
bertindak membalas kebaikan orang dengan membongkar
asal-usulnya. Apalagi dia harus menyimpan rahasia, jikalau
perintah raja yang dia peti eskan sampai terbongkar
kedudukannya tidak terjamin lagi, sudah kebacut salah biarlah
salah lebih lanjut. Apalagi dia belum mendapat laporan
tentang asal-usul Toan Kiam-ping, kepandaian silatnya tinggi
lagi, maka dia menduga bukan mustahil Bok Su-kiat memang
mengutus dia masuk ke istana.
Hatinya maklum lirikan mata Wan Giap kepada dirinya
adalah ingin memperoleh jawaban dari mulutnya. Tapi dalam
keadaan seperti ini, cara yang terbaik adalah pura-pura tidak
tahu sementara diam sebagai jawaban.
Melihat Hu Kian-seng diam saja, Wan Giap kira dia
membenarkan. Maka sisa curiganya telah sirna. Apalagi
keadaan segawat ini, mana sempat dia tanya kepada Hu Kianseng.
Pembicaraan beberapa patah kata itu berlangsung amat
singkat, tapi peluang ini telah dimanfaatkan oleh Milo Hoatsu
untuk mengatur napas lalu melancarkan rangsakan pula.
Pelan-pelan dia mengembangkan kedua lengannya,
terdengar ruas-ruas tulangnya berbunyi berkeretekan, sinar
matanya tambah menyala, bentaknya: "Kurang ajar, berani
kau memaki aku gegabah" Hm, baiklah, coba buktikan, siapa
yang akan terlempar keluar dari sini." Belum lenyap suara
bentakannya, kedua tangannya bekerja pula, kali ini
membelah ke arah Wan Giap. Jarak mereka ada satu tombak,
1756 telapak tangannya tidak mungkin mencapai Wan Giap, tapi
perbawa Bik-khong-ciangnya ternyata sedahsyat gugur
gunung. Wan Giap tertindih oleh damparan angin pukulan,
dadanya sesak seketika, sakit dan tak mampu bicara.
Toan Kiam-ping bertindak cekatan, "Sret" pedangnya telah
menusuk Lau-kiong-hiat di telapak tangan lawan. Bila Laukiong-
hiat tertusuk, betapapun tinggi Lwekangnya, bila hawa
murni bocor Kungfunya akan punah.
Sudah tentu Milo Hoatsu tidak membiarkan telapak
tangannya tertusuk tembus, jarinya tertekuk lantas menjentik.
Kungfunya memang sudah mencapai taraf tinggi, jentikannya
tepat dan telak. "Creng" pedang lawan kena diselentiknya
pergi. Telapak tangan Toan Kiam-ping pecah berdarah, getaran
selentikan lawan ternyata hampir membuat dia tidak kuat
memegang pedang. Tanpa kuasa dia menjejak kaki, tubuhnya
jumpalitan mundur beberapa tombak.
Hu Kian-seng sudah berada di damping Wan Giap,
berdampingan mereka menyerang bersama, baru gempuran
Milo Hoatsu berhasil dibendung. Kekuatan tiga jago top
menimbulkan getaran hawa yang cukup dahsyat, jendela tak
jauh di samping mereka tergetar jebol. Beberapa Wisu lain
yang tidak terluka segera terjun ke arena pertempuran, sekuat
tenaga mereka merintangi Milo Hoatsu yang hendak
menerjang ke atas loteng.
Dalam pada itu Toan Kiam-ping sudah berdiri pula, dari
jendela dia melongok keluar lapat-lapat di tempat sembunyi
Tan Ciok-sing tadi kini muncul pula bayangan seorang. Tapi
jelas bukan Tan Ciok-sing, tapi adalah Han Cin. Han Cin
melambaikan tangan ke arahnya.
Walau dihajar empat puluh kali gebukan di pantatnya, lukaluka
Tiangsun Co hanya di kulit dagingnya saja, diam-diam dia
sudah merangkak bangun, terus menyergap seorang Wisu.
1757 Wisu itu tercengkram tulang pundaknya, saking kesakitan dia
menjerit sekali terus jatuh semaput. Tapi di kala meronta
seraya menyikut, sikutannya telah mengenai dada Tiangsun
Co sehingga pandangannya berkunang-kunang tanpa kuasa
dia menyurut mundur beberapa langkah dan jatuh terguling.
Toan Kiam-ping mencelat maju, pedang dipindah ke tangan
kiri, dengan jurus Pek-hong-koan-jit, langsung dia menusuk ke
arah Tiangsun Co. Umpama segar bugar Tiangsun Co bukan
tandingannya, apalagi sekarang luka ditambah luka, mana dia
mampu melawan tusukan pedang secepat kilat ini"
Tahu dirinya tidak mampu berkelit, amarahnya malah
berkobar, tidak mundur dia malah memapak maju, bentaknya:
"Berani kau membunuhku." Dia pikir sebagai utusan negrinya,
dalam keadaan kepepet dia jadi nekat.
Tapi belum habis dia bicara, dadanya sudah terasa dingin,
serasa sudah terbang arwahnya, anehnya ternyata tidak
merasa sakit sama sekali. Ternyata ilmu pedang Toan Kiamping
sekarang telah mencapai taraf sempurna, gerakannya
dapat dikendalikan menurut perintah otaknya, begitu ujung
pedang menyentuh tubuh lawan, segera dia robah
serangannya menjadi tutukan ke Hiat-to lawan, yang diincar
adalah Hiat-to pelemas di dada orang sehingga Tiangsun Co
lunglai, seperti menjinjing kucing layaknya, Toan Kiam-ping
merenggut Tiangsun Co terus dilempar ke arah Wan Giap,
serunya: "Bila dia berani membuat onar pula, pukul lagi bocah
ini empat puluh kali."
Bukan kawanan wisu itu tidak mikir untuk menyandera
Tiangsun Co, soalnya orang adalah utusan Watsu, maka
mereka tidak berani bertindak secara gegabah. Bahwa Toan
Kiam-ping melempar Tiangsun Co ke arah Wan Giap, tepaksa
Wan Giap menerimanya. Begitu Tiangsun Co jatuh ke
tangannya, keadaan seperti orang di punggung harimau,
langkah yang tidak dia lakukan terpaksa juga harus
dihadapinya. 1758 Sudah tentu amarah Milo Hoatsu tak tertahankan lagi,
langsung dia menubruk ke arah Wan Giap sambil membentak:
"Apa yang hendak kau lakukan terhadap Pwelek kami, hayo
turunkan, kupuntir kepalamu."
Berulang kali dirinya dimaki dan terluka pula, akhirnya Wan
Giap mata gelap dan nekat, Tiangsun Co diangkat terus
diputar sebagai tameng, bentaknya balik:
"Baik, mari, kau puntir, coba buktikan kepala siapa yang
kepuntir patah."
Lekas Hu Kian-seng menerobos ke tengah mereka,
teriaknya: "Hoatsu berhenti dulu, persoalan bisa dibicarakan.
Wan Giap, jangan kau kurang ajar terhadap Tiangsun Pwelek,
lekas turunkan dia." Betapapun Hu Kian-seng adalah
atasannya, karena dibentak terpaksa Wan Giap turunkan
Tiangsun Pwelek, tapi jari-jarinya mencengkram
punggungnya. Meski amarah berkobar, tapi orang sendiri
disandera lawan, Milo Hoatsu tidak berani sembarang
bertindak lagi.
"Kalian berani menghina utusan kita, persoalan apa pula
yang perlu dibicarakan?"
"Kalau kau tidak ribut, sudah tentu kami tidak akan
bertindak kasar." Wan Giap balas membentak.
"Sebetulnya apa kehendak kalian?" Bentak Milo Hoatsu.
"Kami justru ingin tahu apa kehendakmu?" Bantah Wan
Giap pula. "Wan Giap," sentak Hu Kian-seng, "jangan kurang ajar
lekas bebaskan Tiangsun Pwelek."
"Paling tidak dia harus berjanji dulu tidak akan membuat
keributan, baru aku akan membebaskan orangnya. Tiangsun
Co memang sebagai utusan Watsu, tapi Baginda Raja kita
berada disini, mana boleh kalian petingkah disini, sama-sama
berlaku hormat kan juga harus dipatuhi kedua pihak." Tekad
1759 setianya kepada raja memang harus dipuji, bila dia
mengumbar adat, meski Hu Kian-seng adalah atasannya juga
berani dibantah.
Sudah tentu makin murka Milo Hoatsu mendengar ocehan
Wan Giap. Tapi dalam keadaan kepepet begini, seorang diri
jelas dirinya kewalahan, apalagi tadi dia mengerahkan Thianmo-
ciang-lat yang teramat ganas, hawa murni sendiri sudah
banyak dikorting, jikalau urusan belum beres dan harus
bertempur lagi, umpama dirinya berhasil menerjang
kepungan, dirinya pasti akan jatuh sakit parah. Apalagi
umpama dia berhasil lari, Tiangsun Co masih menjadi tawanan
lawan. Begitu menerima Tiangsun Co segera dia membebaskan
tutukan Hiat-tonya, tanpa banyak bicara lagi terus beranjak
keluar. "Hoatsu, Pwelek," teriak Hu Kian-seng, "tunggu sejenak,
biar aku menghadap Baginda, nanti kita bicara lagi. Kuyakin
dalam kejadian ini pasti ada kesalah pahaman..."
Hu Kian-seng menduga pasti ada mata-mata musuh yang
sengaja mengadu domba, sayang pihaknya tiada orang yang
tepat diserahi tugas untuk memberi penjelasan kepada Milo
Hoatsu. Tapi urusan menjadi ribut sebesar ini memang diluar
dugaannya. Segera dia cwlingukan, Wisu yang tadi menolong dirinya
sudah tidak kelihatan, sekarang baru dia paham duduknya
perkara. Tapi bila dia membongkar rasa curiganya ini. Wan
Giap tentu menyalahkan dirinya, kenapa tidak sejak tadi
membeber soal ini. Oleh karena itu, dia bertindak menurut
perhitungannya sendiri, setelah dia menemui baginda, dan
jelas duduk persoalan seluruhnya, baru akan memberi
penjelasan kepada Milo Hoatsu.
1760 Tapi tak pernah terpikir olehnya, setelah Tiangsun Co
dihajar, Milo Hoatsu kebacut marah, apakah perhitungannya
dapat dapat terlaksana"
Dengan muka merah padam, Milo Hotsu membentak: "Hu
Kian-seng, tiada yang perlu dibicarakan lagi. Kalau berani hayo
bunuh kami berdua, memangnya kami harus kau tahan disini
mendengar penghinaan kalian." Sembari bicara kedua
lengannya bekerja terus menerjang ke depan. Para Wisu yang
dibuat kaget dan melenggong mana berani merintangi.
Setelah Hiat-to dibebaskan, rasa sakit Tiangsun Co
bertambah-tambah, dengan murka diapun berteriak serak:
"Beritahu kepada raja anjingmu, tunggulah pasukan besar
Watsu kita menyerbu tiba."
"Tiangsun Co," bentak Wan Giap, "mulut anjingmu tidak
tumbuh gading, berani-berani kau bermulut kotor, aku, aku..."


Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

belum habis dia bicara, mulutnya sudah didekap Hu Kian-seng.
Sebetulnya Tiangsun Co juga sudah kapok, namun dia
pura-pura temberang: "Kau berani apa?" Tersipu-sipu
bersama Milo Hoatsu mereka meninggalkan Yang-sim-tiam.
Kawanan Wisu tiada yang berani mengadang, terpaksa
mereka dibiarkan pergi.
Lega hati Wan Giap, katanya: "Hu-congkoan, mari
kutemani kau menghadap Baginda."
Terbeliak mata Hu Kian-seng, katanya: "Kau kira urusan
sudah beres" Hm, jangan kau mimpi, tak usah kau kuatir akan
keselamatan Baginda, sekarang lekas sampaikan perintahku,
kerahkan seluruh pasukan untuk mengudak jejak mata-mata."
"Mata-mata dari . mana datangnya" Macam apa mata-mata
itu?" Tanya Wan Giap, dia maklum Tiangsun Co yang datang
duluan tadi pasti mata-mata, tapi Tiangsun Co tiruan itu
sejauh ini belum dilihatnya keluar dari Yang-sim-tiam, buat
apa mengejar jejaknya ke tempat lain"
1761 Saking jengkel Hu Kian-seng membanting kaki, katanya:
"Aku tiada tempo menjelaskan, aku sendiri juga belum
berhadapan dengan mata-mata itu, mana aku tahu bagaimana
tampangnya" Pendek kata, melihat orang yang tidak kau kenal
ringkus dia."
"Tapi Baginda sendiri..."
"Aku yang akan melindungi Baginda, kau tidak usah kuatir,
lekas, lekas laksanakan."
Setelah komandannya sendiri yang berjanji akan menjaga
keselamatan junjungannya, Wisu tua yang setia ini baru
merasa lega, bergegas dia meninggalkan tempat tugasnya.
Hu Kian-seng sendiri belum tahu apakah Tiangsun Co
tiruan sekarang masih berada di samping Baginda, dengan
perasaan kebat-kebit, dengan langkah munduk-munduk dia
naik tangga mendekati kamar buku, di depan pintu dia batukbatuk
beberapa kali. "Siapa diluar." Cu Kiam-sin membentak dari dalam.
"Hamba Hu Kian-seng."
"Kenapa baru sekarang kau datang?"
Hu Kian-seng melenggong, katanya: "Tadi hamba sudah
kemari, tapi Baginda suruh hamba turun menemani Koksu dari
Watsu." Cu Kian-sin mendengus hidung, katanya lagi:
"Kedatanganmu sudah terlambat. Tahukah kau, orang yang
Tim ingin temui telah kemari."
Setelah melihat Baginda, duduk persoalannya sudah terang
bagi Hu Kian-seng, tapi Cu Kiam-sin sendiri masih kebat-kebit,
perasaannya tidak tenang, seperti kehilangan apa-apa, tapi
juga seperti memperoleh sesuatu.
Menurut rencananya semula dia hendak minta damai
dengan pihak Watsu, tapi setelah bertemu dengan Tan CiokTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
1762 sing, malah tak pernah dia bayangkan meski dalam mimpi
setelah kejadian ini, rencananya semula mau tidak mau harus
direnungkan kembali.
Dia sudah tahu bahwa Kim-to Cecu telah memperoleh
kemenangan besar diluar Gan-bun-koan. dia sudah menerima
janji setia Kim-to Cecu yang diwakili Tan Ciok-sing, bersumpah
bila dia angkat senjata melawan Watsu, Kim-to Cecu tidak
akan memberontak.
Dengan tangannya sendiri dia membuang konsep
perjanjian damai yang telah dirobek itu di depan Tiangsun Co,
malah memaki Tiangsun Co pula yang berani kurang ajar dan
mengancam dirinya. Empat puluh pukulan di pantat Tiangsun
Co itupun atas persetujuannya. Walau dia setuju karena
terpaksa karena dia disandera. Tapi betapapun dia masih
memiliki wibawa seorang raja, betapapun dia malu untuk
membeber kenyataan yang dihadapi di hadapan orang Watsu,
apa lagi mengaku dosa dan meminta maaf kepada Watsu.
Apalagi seperti yang dikatakan Tan Ciok-sing, bila Kim-to
Cecu setia membantu dirinya, kenapa dia takut tidak kuat
melawan Watsu. Sebaliknya bila Kim-to Cecu memberontak,
rakyat banyak pasti tunduk pada perintahnya, sama-sama
angkat senjata melawan penjajah. Bila hal itu terjadi, maka
singgasananya yang sekarang telah agak kukuh ini akan
goyah dan bukan mustahil akan terguling.
Satu hal lagi, kepandaian Tan Ciok-sing betul-betul amat
menakjubkan, sehingga nyalinya pecah, Tan dan In boleh
pergi datang seenak udelnya. Bila gagal menangkap mereka,
pasti akan meluruk datang pula. Bila teringat peringatan.
"ingkar janji menghianati bangsa, Yang Kuasa tidak akan
memberi ampun " hatinya goncang tubuh gemetar.
Apa boleh buat, terpaksa dia harus berani mengorbankan
Liong Bun-kong, dan mencegah Hu Kian-seng turut campur.
1763 Walau Hu Kian-seng tidak turut campur tapi Tan In
berempat tidak seleluasa yang mereka duga untuk
meninggalkan istana.
Waktu itu sudah menjelang pagi, cuaca sudah remangremang
tampak sebarisan Gi-lim-kun memasang busur telah
berjaga dan menanti di punggung kuda.
Ternyata pasukan jaga Gi-lim-kun yang berada diluar istana
telah mendengar juga gema lonceng peringatan dari istana,
tapi mereka tidak tahu apa yang telah terjadi didalam, tanpa
diundang, mereka tidak berani masuk, terpaksa
mempersiapkan diri, seluruh pasukan yang ada dikerahkan
dan siap siaga, seluruh jalan keluar ditutup dan dijaga ketat.
Komandan Gi-lim-kun Bok Su-kiat saat mana kebetulan berada
di Tang-hoa-bun.
Toan Kiam-ping berkaok-kaok: "Minggir. Atas perintah
Baginda, kita akan keluar kota, lekas memberi jalan." Sembari
berteriak lencana tembaga diangkat tinggi-tinggi.
Tiba-tiba seorang membentak: "Peduli siapa, harus
berhenti." Seorang penunggang kuda tampil dari barisan
berkuda Gi-lim kun, suaranya keras membuat kuping
mendengung pekak.
Pembentak ini bukan lain adalah Komandan Gi-lim-kun
sendiri Bok Su-kiat adanya.
Melihat gelagat jelek, lekas Han Cin berteriak: "Sedang
menjalankan tugas, maaf kami tidak boleh menunda waktu."
Dia yakin Bok Su-kiat tidak akan berani merintangi, kuda tetap
dikeprak menuju ke arah yang berlawanan.
Diluar tahunya, Bok Su-kiat tidak pandang lencana Bong
Tit, mengambil panah memasang busur, "ser, ser, ser".
Beruntun empat batang panah dia bidikan. Ke empat batang
anak panah ternyata melesat bersama ke arah tujuan, dua
mengincar ln San, dua lagi membidik Han Cin.
1764 Tidak sukar untuk memukul jatuh kedua anak panah itu,
tapi ln San dan Han Cin, sekarang masih menyaru sebagai
Thaykam, meski para Taykam di istana tidak sedikit yang bisa
main silat, tapi tiada yang memiliki kepandaian tinggi. Daya
luncuran panah berantai bidikan Bok Su-kiat amat kencang
bidikkannyapun tepat, bila mereka memperlihatkan dirinya
pandai silat, maka samaran mereka akan terbongkar.
ln dan Han memang cerdik dan tangkas tanpa berjanji
mereka berpikir: "Betapapun besar nyali Bok Su-kiat, dia tidak
akan berani memanah Thaykam pribadi junjungannya." Maka
mereka hanya sedikit menarik tali kendali, tapi tidak
mengembangkan kepandaian menyambuti anak panah.
Gerakan mereka ternyata tepat. Dua batang panah melesat
terbang menyerempet pelipis mereka, mereka merasakan
batang panah yang dingin, namun kulit mereka sedikitpun
tidak terluka. Betapa liehay dan menakjubkan kepandaian memanah Bok
Su-kiat, tak urung mereka sampai kaget gemetar dan
merinding, jantung mereka serasa hampir melonjak keluar dari
rongga dada. Tapi untung juga mereka memperlihatkan sikap
gugup dan kaget, sehingga rasa curiga Bok Su-kiat agak
berkurang. Toan Kian-ping mengacungkan medali tembaga seraya
berseru: "Apakah Bok-jongling tidak percaya bahwa kami
utusan Bong-kokong?"
"Untuk apa Bong-kokong mengutus kalian keluar?"
"Untuk itu, maaf kami tidak berani menjawab." Sahut Han
Cin. Bok Su-kiat mendengus, katanya: "Kalian tidak mau
menerangkan, aku tidak akan. izinkan kalian keluar."
Tan Ciok-sing menimbrung: "Urusan memang tidak boleh
ditunda. Kalau tidak percaya Bok-jongling boleh suruh orang
1765 tanya kepada Bong-kokong, biarlah kami berangkat lebih
dulu." "Tidak boleh. Aku pasti akan suruh orang tanya kepada
Bong-kokong, tapi kalian harus tunggu jawabnya disini. Bila
asal-usul kalian sudah genah, baru aku akan izinkan kalian
pergi." "Bok-jongling," ,ujar In San dingin, "kau boleh tidak usah
peduli apakah benar medali ini dikeluarkan oleh Bong-kokong,
memangnya tanda kebesaran baginda juga kau tidak pandang
sebelah mata." Sembari bicara dia melebarkan kipas lempit
emas yang ada tulisan dan tanda tangan serta cap pribadi
baginda. Bok Su-kiat kenal tulisan baginda, semula dia memang
kaget, tapi rasa curiganya belum lenyap, dia tetap bandel
tidak mau memberi jalan. Dalam hati dia berpikir: "Para
Thaykam dan wisu di istana memang tidak seluruhnya
kukenal, tapi urusan sebesar dalam suasana segenting ini, bila
benar mereka mendapat tugas penting, yang diutus pasti juga
Thaykam pribadi yang dipercaya oleh Raja. Demikian pula
Wisu yang dipilih pasti seorang yang berkepandaian tinggi dan
cekatan, kalau benar mereka, mana mungkin aku tiada
satupun tidak kenal."
Tapi karena In San memperlihatkan kipas berkerangka
emas itu, maka Bok Su-kiat tidak bercuriga bahwa mereka
tiruan" "Aku tahu kipas itu milik Baginda, tapi itu bukan tanda
kuasa," kata Bok Su-kiat.
"O, jadi kau ingin melihat surat kuasa dari Baginda?"
jengek Han Cin.
"Betul," ujar Bok Su-kiat, "dalam istana sedang terjadi
keributan, aku sedang menjalankan tugas, lebih baik aku
disalahkan baginda surat kuasa itu aku tetap ingin
melihatnya."
1766 Han Cin tertawa dingin, katanya: "kau ingin lihat, boleh
kuperlihatkan, tapi tak boleh kuserahkan kepadamu. Ini
menyangkut urusan besar, Baginda berpesan supaya kami
tidak membocorkan kepada siapapun." Sembari bicara dia
membeber gulungan kertas yang berisi surat kuasa untuk Tan
Ciok-sing dalam memberantas anasir-anasir jahat kerajaan
termasuk Liong Bun-kong yang jadi pentolannya. Hanya
sedikit yang dibuka Han Cin, dia memperlihatkan tanda tangan
dan cap baginda. Surat kuasa ini ditulis di atas kertas tebal
yang mempunyai dasar warna biru dengan corak khusus yang
diperuntukan raja saja orang lain tiada yang menggunakan
kertas macam itu, hanya melihat kertasnya saja, sebetulnya
Bok Su-kiat sudah percaya bahwa itulah surat kuasa, melihat
cap dan tanda tangannya, maka dia yakin tidak salah lagi.
Sayang waktu Han Cin sedikit membuka gulungan kertas
itu, meski redaksi surat kuasa tidak sampai terlihat, namun
mata Bok Su-kiat memang jeli, sekilas dia sudah melihat di
baris terakhir dari surat kuasa itu ada tercantum nama
Liong Bun-kong.
Hubungan pribadi Bok Su-kiat dengan Liong Bun-kong amat
intim, melihat surat kuasa ini ada mencantumkan namanya,
diam-diam dia amat kaget, hatinya bimbang: "Surat kuasa ini
bermaksud baik atau membawa malapetaka baginya?"
Pada saat itulah, tiba-tiba didengarnya derap lari kuda,
waktu Bok Su-kiat menoleh dilihatnya dua orang menunggang
kuda sedang dibedal dari arah Tang-hoa-bun, kedua orang ini
bukan lain adalah Milo Hoatsu dan Tiangsun Co.
Dalam kalangan Gi-lim-kun terbatas pada beberapa perwira
saja yang tahu adanya utusan rahasia negeri Watsu yang
masuk ke istana, anak buahnya boleh dikata tiada yang tahu
asal-usul mereka.
Pasukan Gi-lim-kun sekarang dikerahkan atas perintah
komandan mereka, siapapun, sebelum diperiksa identitasnya,
1767 dilarang keluar. Oleh karena itu, meski mereka merasa heran
melihat orang-orang Watsu ini, maka beramai-ramai mereka
maju menghadang, bagaimana juga mereka tidak diijinkan
keluar. Memangnya hati sedang keki, Milo Hoatsu keprak kudanya
terus menerjang, beberapa anggota Gi-lim-kun yang di depan
barisan diterjangnya jatuh terguling, bentaknya: "Siapa berani
merintangi aku" Yang ingin hidup lekas menyingkir."
Seorang perwira yang jujur berangasan segera membentak
gusar: "Hayo turun, peduli kau ini anak kura-kura, siapapun
tidak boleh mondar-mandir sesuka hatinya di daerah terlarang
ini." Sembari membentak tombak panjang terangkat terus
menusuk kuda Milo Hoatsu.
Perwira ini hanya memiliki Kungfu biasa mana kuat dia
melawan Milo Hoatsu" Sambil tertawa dingin, sekali raih Milo
Hoatsu telah merampas tombaknya, tahu-tahu perwira itu
sendiri yang terjungkal roboh dari punggung kudanya
termakan oleh tombaknya sendiri.
Sudah tentu kekasarannya menimbulkan amarah masai,
umumnya anggota Gi-lim-kun memang membenci orangorang
Watsu, soalnya mereka terikat disiplin dan selalu
ditekan oleh atasan, maka rasa dendam mereka sukar
terlampias. Kini mumpung komandan mereka ada perintah,
cukup kuat untuk dijadikan alasan, sebelum perintah dirobah,
kedua orang Watsu ini bertingkah lagi, maka beramai-ramai
mereka maju hendak menggasaknya.
Entah siapa yang memberi aba-aba, tiba-tiba anak panah
berhamburan sederas hujan lebat. Hujan anak panah
seluruhnya dirontokkan oleh jubahnya yang lunak tapi kuat
itu. Sayang Tiangsun Co tidak memiliki kepandaian setinggi
Milo Hoatsu, terluka lagi, karena Milo Hoatsu sedikit lena, paha
Tiangsun Co terkena sebatang panah, kontan dia tersungkur
ke bawah kuda.

Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

1768 Mau tidak mau Milo kaget dan kebingungan, terpaksa dia
berteriak: "Berhenti, berhenti. Kalian tidak kenal kami. Bok Sukiat
kenal baik dengan aku, lekas suruh komandan kalian
keluar minta maaf kepadaku."
Sebetulnya Bok Su-kiat masih ingin tanya kepada Tan Cioksing,
tapi kejadian mendadak ini lebih menarik perhatiannya,
mau tidak mau dia ikut gugup juga. Lekas dia putar kuda serta
dikeprak kesana, serunya: "Berhenti, berhenti. Lekas
hentikan."
Mendengar suaranya baru pasukan Gi-lim-kun
menghentikan aksinya. Karena paha terpanah, ditambah luka
Tiangsun Co tidak mampu bangun lagi. Untung meski luka luar
cukup berat, tenaganya tidak lenyap seluruhnya.
Mumpung ada keributan, lekas Han Cin gulung pula surat
kuasa itu terus keprak kudanya, berempat mereka bedal kuda
keluar dari kota terlarang.
Dalam keadaan seperti itu. Bok Su-kiat tidak sempat
banyak tanya lagi, apalagi dia sudah percaya bahwa surat
kuasa itu memang tulisan sang raja, maka dia tidak berani
perintahkan anak buahnya mencegat mereka pula.
Tapi setelah anak buahnya menghentikan serangannya,
sebelum dia minta maaf kepada Milo Hoatsu, tidak lupa dia
panggil tiga orang perwira, kepada mereka Bok Su-kiat
menyuruhnya lekas pergi ke sekretariat negara menemui
Liong Bun-kong. Bukan dia curiga akan surat kuasa tadi, tapi
karena hubungan pribadi yang kental, maka anak buahnya ini
disuruh mencari berita kesana bila ada kesempatan boleh
bekerja mendahului surat perintah itu memberi kisikan kepada
Liong Bun-kong. Ketiga perwira itu cukup cerdik dan tangkas
bekerja, tak perlu dijelaskan secara terperinci, mereka juga
sudah maklum. Melihat Bok Su-kiat muncul, baru Milo Hoatsu lega hati,
katanya setelah mendengus: "Kalian memanah Tiangsun
1769 Pwelek, sakit hati ini akan kucatat saja, kelak akan
kuperhitungkan. Sekarang lekas kalian ganti dua ekor kuda,
kau sendiri antar kami sejauh tiga puluh li."
Sekretariat negara dimana Liong Bun-kong menempati
kantornya dibangun diluar kota lewat pintu barat, itulah
daerah pariwisata yang indah dan permai pemandangannya.
Setelah mereka keluar dari pintu barat, tak lama kemudian,
mereka mendengar derap lari kuda yang dibedal, tahulah
mereka bahwa di belakang ada pengejar. Begitu
Bentrok Rimba Persilatan 13 Golok Yanci Pedang Pelangi Karya Gu Long Seruling Samber Nyawa 7
^