Kisah Pedang Di Sungai Es 15

Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen Bagian 15


ula. "Kukira ini bukan permainan biasa, tapi justeru dapat
membantu melancarkan tenaga dalam kita," ujar Kang Haythian.
"Suheng." kata Cu-mu. "marilah kita berdua coba-coba
dulu!" Segera ia dan Hay-thian masing-masing menarik ujung
batang pohon itu. Hasilnya ternyata Kang Hay-thian lebih kuat,
Cu-mu terbetot maju beberapa tindak.
"Cobalah kau membantu aku, Moay-moay," pinta Cu-mu
kepada Tiong-lran.
Dan dengan tenaga kakak beradik itu, kini Kang Hay-thian
yang kewalahan, lama kelamaan ia terbetot maju beberapa
tindak. Kiranya Lwekang Kang Hay-thian mestinya seimbang
dengan Da-nu Cu-mu. Tapi Hay-thian sendiri menelan tiga biji
Thian-sim-ciok, sebaliknya Cu-mu dan Tiong-ltan masingmasing
minum dua biji, maka dengan tenaga gabungan
mereka, dengan sendirinya Kang Hay-thian kalah kuat.
Dalam pada itu Kok Tiong-lian lagi gosok-gosok kepalan
dengan girang, katanya: "Sungguh tidak nyana tenagaku telah
bertambah hebat secara mendadak. Koko, besok adalah hari
pertemuan Kim-eng-kiong, malam ini kta tiada pekerjaan,
marilah, kita pergi mencabut nyawa Kan-ong itu dulu. Sakit
hati orang tua kita sedalam lautan, sungguh sedetikpun aku
merasa tidak sabar lagi."
Sudah tentu keinginan membalas dendam dalam hati Danu
Cumu sekali-kali tidak dibawah adiknya. Tapi ia lebih hati-hati,
sesudah memikir sejenak. lalu katanya: "Beralasan juga
usulmu ini, malam ini Po-siang dan begundalnya tentu lagi
sibuk mengatur di Kim-eng-kiong. didalam istana raja sendiri
tentu Kurang penjagaan, memang ini adalah suatu
kesempatan baik. Tapi kitapun tidak perlu buru-buru
mencabut nyawa Kan-ong, kita lebih baik menawannya hiduphidup
dan besok membawanya ke Kim-eng-kiong agar jagojago
yang dia undang sendiri itu kaget dan kacau-balau. Ya,
kukira jalan ini paling baik, walaupun agak berbahaya, tapi
kalau berhasil, tentu akan banyak menghindarkan jatuhnya
korban yang tidak sedikit. Dan untuk keberangkatan malam
nanti, kau sendiri lebih dulu harus mengadakan persiapan."
"Persiapan apa lagi?" tanya Tiong-lian heran.
"Mempelajari kedudukan istana raja," kata Cu-mu. "Istana
itu dibangun membelakang gunung. Bangunan istana itu
besar-kecil seluruhnya ada ratusan buah. Jika kita ingin
mencari Kan-ong, paling tidak kita harus memahami dulu
keadaan didalam keraton dan peta disekitarnia. Untung
sebelumnya aku sudah memahaminya dengan baik, yaitu
kupelajar dari cerita guruku, maka terhadap istana raja itu
boleh kukatakan sudah apal diluar kepala. Untuk jelasnya,
biarlah kulukiskan sekedarnya sekarang."
Lalu ia menggunakan jari tangan untuk menggores-gores
ditanah untuk menggambarkan peta istana raja itu. Maka
dalam waktu singkat saja Kok Tiong-lian sudah dapat
mengapalkan, keadaan istana raja itu, begitu pula Kang Haythian.
"Malam ini biarlah kuikut kalian kesana, hitung-hitung
sebagai pengawal kalian." ujar Hay-thian dengan tertawa.
"Bagus, dengan seorang pengawal seperti kau, biar masuk
sarang harimau atau kubangan naga juga aku tidak perlu
takut lagi," kata Tiong-lian dengan tertawa.
"Moaymoay," kata Cu-mu dengan sungguh-sungguh,
"dengan ikut sertanya Kang-suheng, sudah tentu kita tak perlu
kuatir apa-apa lagi. Tetapi kitapun jangan terlalu meremehkan
kekuatan musuh. Meski Po-siang tiada berada didalam istana
raja, tapi jago-jago pilihan lain masih tidak sedikit."
"Aku tahu," kata Tiong-lian. "Sampai waktunya nanti, aku
akan taat kepada pimpinanmu".
Sementara itu sudah lewat lohor, kata Cu-mu dengan
tertawa: "Marilah kita kembali untuk mengisi perut. Kira perlu
mengaso sebaik-baiknya."
Begitulah sehabis makan, lalu mereka sama bersemadi
untuk memelihara tenaga. Tatkala senja sudah tiba, Cu-mu
berkata kepada kedua kawannya: "Marilah kita berangkat
sekarang. Istana raja dibangun dilereng bukit Mincikapi, yaitu
terletak diarah utara sini, sesudah melintasi gunung ini dan
menurun kesana, tiada sampai 30 li akan kelihatanlah istana
itu." Dengan Ginkang mereka yang tinggi, maka tiada satu jam
mereka sudah sampai dipuncak Mincikapi. Waktu mereka
memandang kebawah. tertampaklah bangunan istana yang
megah bermandikan cahaya dengan beratus-ratus pelita yang
telah memancarkan sinarnya itu.
Dengan Cu-mu sebagay penunjuk jalan, mereka bertiga
dapat melintas kebawah bukit dan pelahan-pelahan mendekati
kompleks istana.
Meski jauh disekitar istana itu banyak juga terdapat
penjaga. tapi siapapun tiada mengira bahwa dari tebing bukit
yang terjal itu akan datang musuh. Apalagi Cu-mu bertiga
menggunakan Ginkang yang tinggi, tanpa suara dan tanpa
berisik, dengan sendirinya tiada seorang pun penjaga yang
mengetahui jejak mereka.
Akhirnya Cu-mu membawa kedua kawannya melintasi pagar
tembok istana yang tinggi, dibalik pagar tembok itu adalah
kebun raja. Tiba-Tiba Cu-mu berhenti disitu, ia mengeluarkan
tiga batang panah kecil warna hijau.
"Untuk apakah itu?" tanya Tiong-lian.
"Coa-yam-clan ini berguna untuk saling memberi tanda,"
tutur Cu-mu dengan suara pelahan. "Kita harus membagi
tugas. Aku dan kau akan terpencar untuk mencari Kan-ong itu.
Kang suheng boleh menunggu diatas bukit-bukitan ditaman ini
untuk mengawasi kami Pabila diantara kita ada yang perlu
bala bantuan, segera kita menyalakan panah berapi ini."
Segera ia membagi-bagikan Coa-yam-cian itu kepada T mghan
dan Kang Hay-thian. Lalu katanya pula: "Keadaan didalam
istana sudah kita pelajari dari peta yang kulukiskan itu.
Moaymoay, sekarang kau menyelidiki kt.uah barat dan aku
akan menuju ke-timur. Kau harus memperhatikan keadaan di
Yan-khing-Wong. Se-lok-wan, Jing-hoa-kok. Siau-yau-tian dan
istana-istana lain itu. Tidak peduli apakah dapat menawan
Kan-ong atau tidak, asal sudah pukul empat, kita harus
kembali kesini untuk berkumpul lagi."
Tiong-lian mengiaknn pesan saag kakak itu. Lalu mereka
terpencar melaksanakan tugas masing-masing.
---ooo0dw0ooo---
Lebih dulu kita mengikuti perjalanan Kok Tiong-lian.
Tempat yang paling dekat dan didatanginya adalah Se-lokwan.
Itulah sebuah papilyun yang dibangun ditepi sebuah
empang. Setiba ditepi empang, segera Tong-Lian mendengar
suara tabuhan alat musik. Kiranya tempat itu adalah ruangan
latihan menari dan menyanyi dayang-dayang istana Kan-ong
juga sering datang kesitu untuk mencari hiburan.
Ginkang Kok Tiong-lian memangnya sangat tinggi,
ditambah sesudah makan Thian-sim-ciok, kepandaiannya
menjadi berlipat ganda. Dengan enteng sekali ia melayang
keatas atap rumah, dari situ lalu mengintai kebawah. Ia lihat
satu baris Kiongli (dayang istana) sedang menari-nari diiring
suara musik yang mengalun merdu.
Tiba-Tiba didengarnya suara seorang yang mungkin adalah
pelatih-nya, sedang berkata: "Belum sempurna, ulangi lagi
sekali supaya lebih baik Malam ini Hongsiang menyatakan
akan berkunjung kemari."
Sungguh girang Tiong-lian tak terkatakan, tanpa sengaja ia
telah dapat kabar tentang musuh, ia pikir mungkin sudah
ditakdirkan Kan-ong itu akan binasa ditanganku.
Dan selagi rombongan Kiongli itu akan mulai menari, tibatiba
pintu terbuka, masuklah seorang pemuda. Itulah dia Yap
Tiong-siau adanya.
Segera orang yang mirip pelatih itu maju memberi hormat,
ka-tanya: "Selamat datang Tianhe, apakah baginda sebentar
juga akan tiba?"
"Tidak, malam ini Hongsiang tiada tempo senggang, beliau
takkan datang," kata Tiong-siau. "Kalian tentu sudah lelah
juga. silakan mengaso saja".
Seorang Kiongli yang paling cantik diantaranya mungkin
biasanya sangat rapat hubungannya dengan Yap Tiong-siau,
dengan manja ia menarik-narik lengan baju putera pangeran
itu dan berkata: "Kalau Hongsiang tidak dapat datang, Tianhe
yang datang juga sama saja. Biarlah kami mulai menari lagi
untukmu!" Tapi malam ini rupanya Tiong-siau lagi ada sesuatu yang
menekan perasaannya, dengan kurang bersemangat ia
menarik kembali lengan bajunya dan berkata: "Malam ini
akupun tiada tempo, biarlah besok malam saja aku akan
datang lagi."
Habis itu ia lantas melangkah pergi meninggalkan Kiongli
yang bersengut kurang senang dan kecewa itu.
Tapi Kok Tiong-lian lebih-lebih kecewa, karena tidak jadi
menyergap Kan-ong disitu. Mendadak terpikir olehnya: "Untuk
mencari tempat Kan-ong. kenapa aku tidak menguntit
dibelakang bocah itu?"
Segera dengan Ginkangnya yang kini telah jauh lebih tinggi
dari Yap Tiong-siau itu ia terus melayang turun dari atap
rumah. Tapi ketika ia memburu kesana, ternyata jejak Yap
Tiong-siau sudah tak kelihatan lagi. Ia merasa heran masakah
pemuda itu dapat menghilang begitu cepat, ia menduga
disekitar situ pasti ada jalanan rahasia.
Tiong-lian agak gegetun. Terpaksa ia mencari terus
menurut garis yang ditentukan saudaranya itu.
Tak lama, tiba-tiba dilihatnya dua orang Kiongli sedang
mendatangi dengan membawa tenglong (pelita berkerudung).
Cepat ia ber-sembunyi dibalik batu gunung-gunungan. Maka
terdengar salah seorang Kiongli itu sedang berkata: "Kau
pernah membunuh orang tidak?"
Tiong-lian menjadi heran oleh percakapan itu. Ia coba
mendengarkan terus. Maka terdengar Kiongli yang lain telah
menyahut: "Menyembelih ayam saja aku tidak pernah!
Makanya hatiku menjadi tidak tenteram sekarang."
"Akupun seperti kau," kata Kiongli yang duluan. "Sungguh
tidak mengira bahwa Hongsiang menugaskan kita untuk
melenyapkan nyawa orang. Untung beliau menyuruhnya
membunuh diri saja dan kita tidak perlu turun tangan sendiri.
"Tapi kalau dia takmau membunuh diri, terpaksa kita harus
membunuhnya juga," ujar Kiongli yang lain.
"Ai, semoga dia rela minum racun yang diberikan padanya
dan urusan cepat selesai, kalau tidak, gorok leher sendiri juga
boleh, tapi kalau gantung diri, wah. lidahnya akan menjulur
keluar, hiiiih, aku menjadi ngeri," demikian Kiongli pertama
tadi. "Ya. sungguh sialan, kebetulan tugas ini diserahkan pada
kita," kara kawannya. "Eh, apa kau tahu siapakah gerangan
wanita itu?"
Dan memang inilah yang ingin diketahui juga oleh Kok
Tiong-lian. Maka terdengar Kiongli yang pertama telah menjawab: "Aku
sendiripun tidak tahu. Konon wanita itu sudah dikurung
belasan tahun didalam kamar tahanan itu. Besar kemungkinan
adalah bekas selir yang sudah tidak disukai lagi."
"Jika sudah terkurung belasan tahun, seharusnya toh
urusan yang lalu sudah menjadi dingin, mengapa mendadak
Hongsiang memerintahkan hukuman mati baginya?" kata
kawannya. "Akupun tidak tahu sebab-musababnya," sahut yang lain.
"Perintah ini kuterima dari Cin-tek Hong-ck-nio (bibi baginda).
Beliau hanya menugaskan kita memaksa wanita itu
membunuh diri, katanya urusan ini adalah rahasia, tidak boleh
tersiar, kalau sampai bocor, jiwa kita bakal melayang juga."
"Ya. Hong-ek-nio itu sebenarnya juga aneh, dia?"?"
karena jarak merekapun makin menjauh, maka sampat dislni
ucapan-nya menjadi kurang jelas.
Dari percakapan kedua Kiongli itu, diam-diam Tiong-lian
menduga merekapun tidak tahu dimana beradanya Kan-ong,
maka tidak perlu mempersukar mereka. Tentang wanita yang
mereka bicara-kan itu entah siapakah" Apakah mesti diselidiki
sekalian atau mencari Kan-ong dahulu"
Demikian selagi Tiong-lian ragu-ragu sejenak, tiba-tiba
tampak suatu bayangan orang muncul didepan gununggunungan
itu. Ketika mendadak orang itu berpaling, segera ia
membentak: "Siapa yang berada disitu?"
Tahu dirinya sudah kepergok, tanpa bicara lagi Tiong-tian
mendahului melompat maju. segera iapun menutuk kedada
orang. Tapi dengan cepat orang itu sempat menarik diri
kebelakang hingga hampir satu meter jauhnya Tiong-Lian
terkesiap, ia insaf telah ketemukan tandingan berat. Dan
selagi ia hendak melontarkan serangan yang lain, tahu-tahu
"gedebuk", orang itu roboh sendiri.
Tiong-Lian tertegun, semula ia heran, ia sangka ada orang
lain lagi yang membantu. Ia coba celingukan kian kemari, tapi
tiada seorangpun yang kelihatan. Waktu ia depak badan orang
itu, memang betul orang itu tertutuk kaku dan takbisa
berkutik. Tiba-Tiba hatinya tergerak, ia coba menutuk pula
kearah batu gunung-gnungan itu dari jauh, seketika terdengar
"crit" sekali, batu itu menghamburkan bubuk. Maka tahulah
Tiong-Lian sekarang bahwa disebabkan minum Thian-sim-ciok,
kini Lwekangnya telah bertambah lipat ganda, maka tanpa
terasa ia telah berhasil meyakinkan "Bu-heng-cing-gi" (hawa
murni tanpa wujut) yang lihay dan dapat merobohkan orang
dari diarak jauh.
Sungguh girang Tiong-Lian tak terkatakan. Ia pikir ilmu silat
lawannya itu tidak rendah, agaknya bukan sembarangan
pengawal, kebetulan aku dapat memaksa pengakuannya.
Maka cepat ia seret orang itu kebelakang gunung-gunungan
taman itu, dengan sebelah tangan ia cengkeram dipunggung
orang, lalu ia membuka Hiat-to orang yang tertutuk itu serta
mulai tanya padanya dengan suara tertahan: "Aku ingin tanya
sesuatu padamu, kau harus mengaku terus terang, jika
bohong sedikitpun saja segera kucabut nyawamu!"
Orang itu sudah tahu ilmu silat Kok Tiong-Lian sangat
tinggi, ia menjadi jeri dan mengangguk.
"Nah, katakan, dimanakah raja?" tanya Tiong-Lian.
Tapi orang itu hanya geleng-geleng kepala saja tanda tidak
tahu.

Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagus, kau berani berdusta padaku,?" damperat Tiong-Lian
dengan gusar. Dan sekali ia kerahkan tenaga, pelahan-pelahan
ia salurkan tenaga dalamnya yang hebat hingga isi perut
orang itu seakan-akan disayat-sayat.
Dengan menahan sakit terpaksa orang itu membuka suara:
"Sung?""sungguh aku tidak tahu dimana beradanya
baginda raja, aku menerima perintah baginda melalui
komandan pengawal."
"Tugas apa yang diserahkan padamu, lekas mengaku!"
bentak Tiong-Lian pula dengan suara tertahan.
"Hongsiang menugaskan aku mengambil kepala seseorang,"
sahut orang itu.
"Hm, dasar raja lalim, selalu membunuh orang," jengek
Tiong-Lian. "Siapakah orang yang harus kau bunuh itu, lekas
katakan?" "Bu?""bukan membunuh, tapi aku?""aku hanya
ditugaskan mengambil kepalanya saja," sahut orang itu
dengan tergagap-gagap.
Tiba-Tiba hati Tiong-Lian tergerak, ia tanya: ,Ya, tahulah
aku, orang yang kau maksudkan itu bukankah wanita yang
dikurung dalam penjara istana itu" Bukankah tadi sudah
dikirim dua orang Kiongli untuk memaksa wanita itu
membunuh diri, kenapa kau ditugaskan menyusulnya kesaaa".
"Hongstang kuatir kedua Kiongli itu tak dapat melaksanakan
tugasnya, maka aku diperintahkan meniusul kemari!"
"Siapakah gerangan wanita itu sebenaraya?" tanya Tiong-
Lian. "Tentang itu, ampun, aku?"" aku tidak tahu," sahut orang
itu dengan gemetar.
Tapi Tiong-Lian semakin curiga. Ia merasa wanita yang
hendak bunuh itu pasti bukan sembarangan orang, kalau
tidak, masakah beruntun-runtun dikirim orang untuk
membinasakannya.
Segera ia menaoya: "Dimana letak penjara istana itu?"
"Berada disebelah sana, ialah apa yang disebut Cui-gwatam
. " Belum lagi orang itu menjelaskan seluruhnya, segera Tiong-
Lian memotong: "Sudahlah, aku sudah tahu tempatnya.
Sekarang boleh kau tidur dulu disini, lewat dua jam lagi tentu
kau akan mendusin sendiri."
Dari petunjuk-petunjuk yang d lukiskan Danu Cu-mu itu,
terhadap keadaan didalam kompleks keraton itu Tiong-Lian
sudah apal Maka sekali mengetahui yang dimaksudkan
penjara itu adalah Cui-gwat-am, ya"tu sebuah rumah berhala
didalam istana, segera ia tahu dimana letaknya. Segera ia
tutuk pingsan tawannnnya itu. lalu tinggal pergi dengan
Ginkangnia yang tinggi.
Hanya sebentar saja. tepat ia masih dapat menyusul kedua
Kiongli tadi ketika sampai didepan Cui-gwat-am Yang
merupakan sebuah hutan bambu yang rindang. Dengan
Ginkangnya yang tinggi itu, dengan sendirinya kedua Kiongli
tidak tahu kalau mereka sudah didahului oleh Kok Tiong-Lian
yang melesat lewat dari atas pohon bambu dan naik kearas
atap rumah. Ketika Tiong-Lian melongok kebawah, ia lihat didalam
pekarangan rumah ida dua orang Bu-su (pengawal) yang
menjaga disitu. Cui-gwat-am itu terdiri dari beberapa kamar,
tapi dikamar lain tiada tampak dijaga orang, hanya kamar
menghadap pekarangan itulah terdapat kedua Bu-su itu. Maka
Tiong-lian yakin didalam kamar itulah pasti wanita yang
hendak dibunuh raja itu disekap.
Dengan enteng sekali Tiong-lian lantas mengitar kebelakang
jen dela kamar itu, dengan gaya "To-kui-cu"liam" atau kerai
mutiara tergantung, ia gantolkan kedua kakinya diemper
rumah, lalu tubuh-nya menjuntai kebawah, ia basahi kertas
jendela dengan ludah hingga berlubang kecil, lalu mengintip
kedalam. Tiba-Tiba ia mendengar suara seorang wanita lagi
menghela napas dan berkata sendiri didalam kamar: "O, Cumu.
Lang-ma! Cu-mu Lang-mal O, kasihan anak-anakku itu
entah sekarang berada dimana?"
Seketika hati Kok Tiong-lian terguncang hebat. hampirhampir
ia terperosot dari emperan rumah itu. "Mengapa
namaku disebut dan katanya adalah anaknya" Apakah dia
adalah ibu kandungku?" demikian ia ragu-ragu.
Waktu ia perhatikan, ia lihat wanita didalam kamar itu
berusia antara 40-an. mungkin terlalu lama dikurung didalam
kamar, maka rnukanya tampak pucat lesi sekali. Dari air
mukanya yang kurus dan cantik itu, lapat-lapat Tiong-lian
seakan-akan melihat bayangannya sendiri.
Kalau Tiong-l;an seperti melihat bayangan sendiri dari
wajah wanita itu, sebaliknya wanita itu sedang memandangi
bayangan sendiri dari sebuah kaca rias diatas meja. Sambil
bercermin wanita itu membelai-belai rambutnya sendiri yang
sudah mulai ubanan itu, lalu ia berkata pula seorang diri
dengan menghela napas: "Ai, aku sendiri sampai pangling
pada diriku sendiri, maka lebih-lebih kedua anak itu, jika
ketemu pasti takkan kenal lagi. Tahun ini mestinya mereka
sudah 18 tahun, ya, sudah dewasalah mereka. Semoga Tuhan
memberkahi mereka selamat bahagia!"
Mendengar sampai disini, hati Tiong-lian lebih-lebih
terguncang lagi. Sudah cocok menyehut nama mereka kakak
beradik, kini cocok pula umur yang d katakan itu. Terang
sudah yang dimaksudkan itu adalah dirinya bersama Danu Cumu,
Tak tertahan lagi air matanya berlinang-linang.
Jika diluar Kok Tiong-lian meneteskan air mata, maka
wanita didalam rumah itupun sedang mencucurkan air mata.
Kemudian terdengar ia bicara sendiri pula: "Cu-mu dan Langma
kedua anak itu telah dibawa lari orang, tentang
keselamatan mereka masih dapat kuharapkan. Sebaliknya
Tuang Hong sibocah ini harus dikasihani benar-benar, entah
dia masih hidup atau sudah mati. Ai, besar kemungkinan dia
sudah tewas!"
Selagi Tiong-lian merasa heran siapakah gerangan Ciang
Hong yang dimaksudkan wanita itu, apakah seorang
saudaranya pula" Dan pada saat itulah kedua Kiongli tadi
sudah datang. Mereka memperlihatkan surat perintah raja kepada kedua
Bu-su, sesudah surat perintah itu diperiksa, kemudian kedua
Bu-su itu membuka gembok pintu dan menyilakan kedua
Kiongli itu masuk kedalam kamar.
Rupanya kedatangan kedua Kiongli itu sama sekali tak
terduga oleh wanita tahanan itu. Sesudah mengusap air
matanya, kemudian ia tanya: "Siapakah kalian" Ada keperluan
apa datang kesini" Aku sudah dikurung selama limabelas
tahun disini, selama itu tak pernah dijenguk siapapun juga."
Segera kedua Kiongli itu berlutut, tutur mereka: "Hongsiang
memerintahkan kami menyampaikan tiga macam barang ini
kepada Nionio!"
Sebenarnya kedua Kiongli itu tidak kenal siapakah wanita
tahanan itu, tapi mereka gentar terhadap sikapnya yang
agung dan berwibawa itu hingga tanpa merasa mereka
terpengaruh dan berlutut sambil memanggil "Nionio" (sebutan
kepada wanita kesayangan raja).
Tapi dengan sikap dingin wanita itu menjawab: "Aku bukan
Nionio kalian. Barang apakah yang dikirim bangsat itu
untukku" Boleh kalian bawa kembali saja, katakan aku tidak
sudi segala barangnya, tidak perlu pura-pura menaruh belas
kasihan apa segala!"
Baru sekarang kedua Kiongli itu sangat terperanjat. Semula
mereka mengira wanita itu adalah bekas selir raja yang telah
kehilangan cinta, tapi mendengar wanita itu berani
mendamperat raja sebagai "bangsat", maka segera mereka
insaf dugaan mereka telah salah, bukan mustahil asal-usul
wanita itu akan jauh lebih terhormat daripada sangkaan
mereka. Maka Kiongli yang berlutut lebih depan itu berkata: "Lapor
Nionio, ketiga macam barang dari Hongsiang in tidak dapat
kami bawa kembali. Menurut perintah Hongsiang, Nionio harus
memiih satu diantaranya."
Dengan tergopoh-gopoh Kiongli itu lantas mengeluarkan
tiga macam barang, yaitu seutas tambang, sebilah pisau dan
satu bungkusan kertas. Lalu katanya: "Dalam bungkusan ini
adalah racun. Dari tiga macam barang ini Nionio disilakan
memilih semacam diantaranya!"
Dari ketiga macam barang yang disuruh memilih itu, terang
berarti suruh wanita itu membunuh diri menurut mana suka.
Wanita itu tertegun sejenak. kemudian katanya dengan
mendengus: "Hm, memangnya aku sudah menduga pasti akan
terjadi seperti sekarang ini. Dia telah memberi kesempatan
hidup selama 15 tahun kepadaku, hal ini sudah membuat aku
heran. Dan sebab apakah baru sekarang dia inginkan
kematianku, apakah kalian tahu sebabnya?"
"Hamba hanya melaksanakan tugas saja, selain itu tidak
tahu apa-apa" sahut si Kiongli."
Wanita itu berjalan mondar-mandir didalam kamar, ia
menggu mam sendir: "Ehm, mungkin telah terjadi sesuatu apa
secara mendadak yang tidak menguntungkan dia, makanya
dia ingin lekas-lekas membunuh aku. Soal kematianku sih
tidak menjadi soal, hanya putera-puteriku itu masih belum
datang kembali, matipun aku tidak rela!"
"Hongsiang sedang menunggu laporan kami, harap Nionio
memaafkan," kata Kiongli tadi.
"Baiklah, boleh kau tuangkan satu cangkir teh, campurkan
sekarang racunnya," kata wanita itu.
Segera kedua Kiongli itu membagi tugas, yang satu
memegang teh, yang lain mencampurkan bubuk racun.
Mereka merasa lega karena wanita itu mau membunuh .diri
tanpa rewel-rewel. Kemudian mereka angsurkan cangkir teh
beracun itu. Sambil memegangi racun itu, dengan kertak gigi wanita itu
memaki: "Sungguh jahanam yang maha keji. sudah
membunuh suamiku dan merebut tahtanya. kami ibu dan anak
menjadi tercerai-berai pula, semuanya itu dia masih belum
puas dan kini hendak membinasakan aku juga. Sungguh
binatang yang maha keji. Biarpun menjadi setan juga aku
akan menuntut balas padanya!"
Habis berkata, segera ia angkat cangkir berisi racun itu dan
hendak menenggaknya.
Tapi baru saja cangkir itu mendempel bibirnya, "prak",
tahu-tahu cangkir itu pecah berantakan. Berbareng itu dari
diluar jendela lantas menerobos masuk seorang.
Kiranya Kok Tiong-lian segera bertindak sebelum wanita itu
minum racun daiam cangkir. ia mendobrak jendela terus
menyambitkan tusuk kundainya kecangkir yang dipegang
wanita itu. Menyusul ia terus berseru: "Mak, engkau jangan
mati, puterimu ini telah pulang!"
Sesudah mendengar ucapan siwanita ketika hendak minum
racun tadi, maka Kok Tiong-lian semakin yakin bahwa wanita
itu pasti adalah ibundanya, maka tanpa ragu-ragu ia lantas
turun tangan. Keruan kedua Kiongli tadi terkejut, cepat mereka melompat
bangun hendak melarikan diri.
"Mengingat kalian toh tidak jahat, biarlah jiwa kalian
kuampuni, sementara ini boleh kalian tidur saja disini," kata
Tiong-lian, berbareng ia terus tuding kearah Kiongli-Kiongli itu
Kontan saja kedua Kiongli itu merasa kesemutan kakinya dan
segera roboh terjungkal.
Dan pada saat lain, kedua Bu-su yang menjaga diluar tadi
sudah menyerbu kedalam, mereka membentak-bentak gusar:
"Siapa kau bangsat wanita ini berani kau masuk kesini?"
"Mak, kau inginkan mereka mati atau hidup?" seru Tionglian.
Namun wanita tua itu merasa seperti di alam mimpi, ia
tidak percaya kepada apa yang terjadi itu adalah kenyataan.
Ia hanya pandang Tiong-lian dengan terlongong-longong dan
tak sanggup membuka suara.
"Baiklah, biar kurobohkan mereka dahulu," ujar Tiong-lian.
Segera iapun labrak kedua Bu-su itu.
Kepandaian Bu-su itu lumayan juga, tapi sudah tentu
mereka bukan tandingan Kok Tiong-lian. Baru beberapa
gebrakan, segera seorang diantaranya kena tertutuk oleh
gadis itu dan terjungkal.
Bu-su yang lain menjadi kaget dan murka, bentaknya:
"Perempuan siluman. kau main gila dengan ilmu apa?"
berbareng goloknya terus membacok.
"Jangan membunuh puteriku," demikian siwanita tua tadi
berteriak kuatir.
Sudah tentu bukan Kok Tiong-lian yang terbacok,
sebaliknya sebelum Bu-su itu mendekat atau dia sudah
tertutuk juga dari jauh dan mengeletak tak berkutik lagi.
Melihat kepandaian Kok Tiong-lian sedemikian lihay, wanita
tua itu menjadi girang dan kaget dan ragu-ragu pula.
Dalam pada itu Tiong-lian sudah lantas menubruk
kepangkuan sang ibu sambil berseru: "Mak, puterimu telah
kembali!" Wanita itu termangu-mangu, dengan ragu-ragu ia bertanya:
"Apa betul-betul kau adalah Lang-ma yang kurindukan selama
ini?""
"Lihatlah ini, mak," sahut Tiong-lian sambil mengeluarkan
surat kulit yang dibawanya itu.
Dan sesudah memeriksa surat kulit itu, barulah wanita itu
mau percaya Seketika mereka saling rangkul dengan erat dan
air mata mereka bcrcucuran.
Setelah hilang rasa haru mereka, kemudian wanita itu
pelahan-lahan membelai rambut Kok Tiong-lian, katanya
dengan penuh rasa rindu: "O, anakku, siang malam aku
merindukan kau, akhir nya kita dapat berjumpa juga. Maka
aku takdapat berpisah lagi dengan kau."
"Jangan kuatir, mak. sedetikpun aku takkan menanggalkan
kau. sekali-sekali tak boleh kau dicelaka, orang jahat," sahut
Tiong-lian. Kedatangannya ini sebenarnya ialah untuk mencan Kanong,
tapi karena pertemuan kembali dengan ibunya yang tidak
sengaja ini, terpaksa ia tunda maksud tujuarmya itu. Ia harus
mendampingi sang ibu untuk menghilangkan rasa rindu orang
tua itu. Saking terharunya hingga mereka terekam sampai
sekian Iamanya.
"Apakah mereka ini sudah mati semua?" tiba-tiba ibunya
bertanya. "Tidak, mereka hanya tak sadarkan diri untuk sementara


Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saja" sahut Tiong-Lian.
"Ai, aku merasa takut melihat keadaan mereka ini," kata
ibunya. "Ya, mereka harus disingkirkan dari sini agar tidak
mengganggu pembicaraan kita," kata Tiong-Lian. Lalu ia
menyeret keluar tawanan-tawanannya itu, kemudian ia masuk
kembal: dan tanya ibundanya: "Apa kah ditempat ini masih
ada orang jahat lain?"
"Entah, akupun tidak tahu, tapi tempat ini sengat terpencil,
ra-sanya tiada orang lain lagi," kata siorang tua.
Kemudian Tiong-Lian lantas membuang pisau, tambang dan
racun yang dibawakan Kiongli tadi, katanya kepada sang ibu:
"Mak, untuk selanjutnya engkau takkan diganggu lagi".
Wajah ibu yang masih berlinang-linang air mata itu
menampilkan senyuman bahagia, itulah senyuman pertama
kalinya sejak 15 tahun yang lalu. "Kau?"?" kau masih
mempunyai seorang saudara kembar!" demikian katanya
kemudian. "Aku sudah tahu, mak," Tiong-Lian. "Koko sekarang juga
sudah berada disini."
"Ha, dimana dia, mengapa tidak kelihatan?" tanya ibunya
cepat. "Kami datang bersama kesini untuk mencari Kan-ong, tadi
kami telah terpencar. tapi nanti akan dapat bertemu lagi."
tutur Tiong-Lian.
"Apa" Kalian hendak mencari Kan-ong?" tanya ibunya
dengan terkejut.
"Benar, sahut Tiong-Lian. "Ibu tidak perlu kuatir,
kepandaian Koko jauh lebih kuat daripadaku. Bahkan kami
mempunyai seorang teman lagi yang berkepandaian maha
tinggi, rasanya tiada seorangpun didalam keraton ini
mampu menandingi dia."
Sang ibu sudah menyaksikan kepandaian Kok Tiong-Lian
tadi, maka ia dapat mempercayai cerita itu. Katanya dengan
penuh perhatian: "Kiranya kalian sudah berhasil mempelajari
kepandaian yang tinggi. itulah sangat baik. Sudah 15 tahun
kita menderita, kiai sudah waktunya menuntut balas. Ai, hanya
si Ciang Hong entah berada dimana sekarang?"
"Siapakah gerangan Ciang Hong itu" Apakah masih ada
seorang saudaraku yang lain?" tanya Tiong-Lian.
"Benar, Ciang Hong memang betul adalah Toako (kakak
tertua) kalian," kata ibunya. "Mungkin nasibnya sekarang lebih
sengsara lagi daripada kita."
"Mak. cara bagaimanakah Toako itu terpsah dari kau?"
tanya Tiong-Lian tiba-tiba. "Apa juga. terjadi pada waktu
kerusuhan itu" dan adakah orang yang melindungi
keselamatannya" Mengapa dalam surat wasiat Hu-ong ini
sama sekali tidak menyebutnya?"
"Toakomu itu ketika baru lahir sudah lantas diculik orang
jahat, bahkan ayahmu sendiri tidak tahu apakat dia masih
hidup atau sudah mati,?" ujar ibunya.
Tiong-Lian menjadi heran. "Ayah adalah seorang raja,
mengapa tidak dapat melindungi puteranya sendiri?" Ia tanya
dengan heran. "Ayahmu adalah raja, tapi aku bukanlah permaisurinya,"
tutur sang ibu. "Anakku, apa kau masih ingat diwaktu kecil
pernah kau tnggal dimana?"
"Ya. aku masih ingat pernah tingggal disuatu perkemahan
yang besar, diluar kemah itu adalah padang rumput iang
luas," sahut Tiong-Lian.
"Sejak kapan kau mengetahui dirimu adalah puteri raja?"
tanya ibunya. "Belum lama berselang, yaitu waktu kami memasuki wilayah
negeri Masar ini dan sesudah memahami tulisan didalam surat
wasiat ayah itu," sahut Tiong-Lian.
"Dan sesudah tahu asal-usul dirimu, apakah kau tidak heran
mengapa diwaktu kecilmu kau tinggal disuatu perkemahansepi?"
tanya siorang tua.
"Ya, memang aku merasa sangat heran, mengapa selama
itu ayah baginda tidak pernah datang menjenguk kami," kata
Tiong-Lian. "Mak, malahan engkau sendiri juga cuma satu kali
mengunjungi kami."
Kembali wanita itu meneteskan air mata, katanya: "O,
anakku, syukurlah kau masih ingat. Tatkala itu kau baru
berumur tiga, dengan menempuh bahaya aku telah datang
menjenguk kau. Kemudian ada orang memberitahu padamu
bahwa ibu kandungmu sudah meninggal, bukan?"
"Benar. Khu-yaya yang menyelamatkan aku itulah yang
memberitahukan padaku," kata Tiong-Lian. "Tadi aku masih
ragu-ragu ketika mendengar ucapan ibu, kemudian sesudah
aku yakin benar-benar barulah anak berani masuk kesini untuk
menemui ibu Mak. Khu-yaya itu sangat baik padaku, tapi
mengapa beliau mendustai aku pula tentang keadaan ibu"
"Sebenarnya kejadian yang memilukan dimasa dahulu itu
aku tidak ingin mengungkatnya lagi," kata ibunya. "Tapi
malam ini kita ibu dan anak telah berjumpa kembali, mau-takmau
aku harus menjelaskan padamu tentang apa-apa yang
sudah terjadi dahulu."
Tiong-Lian mengeluarkan saputangannya untuk
mengusap air mata sang ibu.
Kemudian terdengar ibundanya menutur pelahan dengan
suara yang berat: "Sebenarnya aku bukan permaisuri ayahmu,
tapi aku cuma seorang selirnya yang tidak resmi. Permaisuri
sendiri adalah puterl seorang pembesar yang sangat
berpengaruh, wataknya dengki dan melarang baginda
mendekati selir dan wanita lain. Tapi sayang dia punya perut
sendiri tidak bercus membahagiakan dia, selama itu tidak
melahirkan seorang anakpun. Sedangkan usia Hongy-siang
sudah lebih setengah abad. sudah tentu beliau sangat sedih
menghadapi hari tua dan mahkotanya, begitu pula sebagian
pembesar-pembesar serta ikut merasa sedih.
"Kemudian ada seorang pembesar setia yang tua
mengusulkan suatu akar, dengan sukarela pembesar itu
menyelundupkan puteri-nya sendiri kedalam keraton diluar
tahu permaisuri, maksud tujuannya ialah supaya puterinya
sendiri itu akan dapat memberikan keturunan bagi baginda
raja. Cara demikian itu sebenarnya sangat berbahaya, bila
diketahui permaisuri, bukan mustahil puterinya itu akan d
bunuh oleh permaisuri, bahkan pembesar setia itu dan seluruh
keluarganya juga akan ikut tersangkut. Namun demi untuk
pengabdiannya, pembesar itu bersedia menerima risiko itu.
Dan demi kebaktiannya, puterinya itu juga rela mengorbankan
diri di-jadikan selir raja. Dan puteri pembesar itu tak laki
adalah diriku sendiri".
"Sungguh bikn susah padamu, mak!" ujar Tiong-lian.
"Tidak, aku malah tidak merasa dibikin susah," sahut
ibunya. "Ayahmu adalah seorang raja yang arif bijaksana, suka
memperhatikan kesukaran rakyat jelata, dapat mengemban
amanat penderitaan rakyat, beliau terhitung seorang raja baik.
Demi kemakmuran negeri ini beliau telah banyak merombak
susunan masyara-kat yang kolot, beliau mendirikan balai
bacaan umum dan mengadakan persahabatan akrab dengan
negeri tetangga, beliau banyak mengundang cendekiawan
bangsa Han untuk memberi didikan kepada rakyatnya. Cuma
sayang beliau masih banyak dipengaruhi oleh sebagian
pembesar-pembesar jahat yang lain, komplotan permaisuri
juga berlawanan dengan beliau. Namanya saja beliau itu raja,
tapi sebenarnya hatinya kosong, hidupnya hampa seorang diri
Meski ada juga beberapa pembesar setia angkatan tua, tapi
kebanyakan mereka tidak berkuasa dalam pemerintahan.
Semula aku hanya turut kepada perintah ayah dengan tekad
mengorbankan diriku sendiri. Tapi lama kelamaan aku merasa
ayahmu benar-benar cinta padaku, maka lambat-laun akupun
menyukainya."
Dan sesudah menghela napas, kemudian sang ibu
menyambung lagi: "Cuma sayang, masa bahagia itu takbisa
kekal abadi, setahun kemudian, aku telah mengandung dan
melahirkan kakakmu yang tertua, ayahmu memberikan nama
Luang Kong padanya. Yaitu mengambil nama puncak gunung
tertinggi didalam negeri kita, Ayahmu sangat girang karena
cita-citanya mendapatkan keturunan terkabul, siapa duga
kegirangan itu telah mendatangkan malapetaka pula. Entah
siapa yang membocorkan rahasia kami hingga dapat diketahui
oleh permaisuri, segera dia mendatangi aku dengan
begundalnya, dengan paksa mereka merampas puteraku dan
tanpa kenal ampun aku lantas diusir keluar keraton meski aku
baru saja melahirkan. Masih untung kakekmu terhitung
pembesar tiga angkatan dalam kerajaan hingga permaisuri
tidak berani terlalu gegabah, kalau tidak, mungkin seketika itu
juga aku sudah dibunuh olehnya."
"Sungguh permaisuri yang kejam," ujar Tiong-lian dengan
gusar. "Dan sesudah Toako dirampasnya, apakah tiada kabar
apa-apa selanjutnya?"
"Semula kukira dia akan memiara anak itu," kata ibunya,
"tapi kemudian ternyata tidak demikian halnya. Permaisuri
benar-benar wanita keji yang jarang terdapat didunia in;. Dia
kuatir anak itu kelak akan dapat mengetahui asal-usulnya, hal
mana tentu akan tidak menguntungkan dia. Maka demi
keselamatannya dia tidak segan-segan mencelakai puteraku,
darah-daging keturunan raja satu-satunya itu."
"Jadi Toako telah dibunuh olehnya?" tanya Tiong-liang
dengan suara gemetar.
"Mungkin sekali," sahut ibunya. "Banyak kabar berita yang
kudengar. Ada yeng mengatakan anak itu sudah dibuang
kekali, ada yang bilang telah dfcolong oleh orang yang
diperintahkan membunuh anak itu. Akupun tidak tahu kabar
manakah yang betul." Sampai disini ia menangis sedih lagi.
Tapi kemudian lantas menyambung pula: "Ketika permaisuri
mengganas ketempatku, kebetulan ayahmu sedang sibuk
mengadakan persidangan dengan para pembesar. Sungguh
kasihan, belum lagi Toako-mu bertemu muka dengan ayahmu
atau dia sudah dirampas permaisuri. Ketika ayahmu buru-buru
datang demi mendengar berita itu, namun sudah terlambat,
puteranya dan kekasihnya sudah takdapat dijumpainya lagi.
"Sejak itulah beliau lantas putus hubungan dengan
permaisuri, cuma mengingat pengaruh ayah permaisuri yang
besar, ayahmu tidak berani memecat permaisuri, namun
begitu ia tidak sudi lagi untuk menemui permaisuri. Beliau
sangat rindu padaku, juga sangat berduka kehilangan
puteranya, tanpa peduli pengawasan permaisuri, diam-diam
beliau keluar istana untuk menemui aku. Karena itu, pada
tahun berikutnya aku telah melahirkan pula kalian kakakberadik
kembar. Walaupun ayahmu menyatakan tidak takut
lagi pada permaisuri, tapi beliau juga mesti berjaga-jaga kalau
permaisuri membikin susah kita".
"Mak. janganlah engkau berduka, kita seharusnya
bergirang," ujsr Tiong-Lian kemudian.
"Ya, kita harus gembira, aku hanya teringat dan kuatir
kepada kakakmu saja," kata ibunya.
"Tidak lama lagi kakak juga dapat berjumpa dengan ibu,
tatkala mana ibu tentu akan makin senang," kata Tiong-Lian.
"Benar, dua diantara tiga anak-anakku sudah kutemukan
kembali, untuk mana sudah seharusnya aku merasa puas" ujar
sang ibu. Baru sekarang Tiong-Lian tahu bahwa kakak yang
dimaksudkan ibunya tadi adalah kakak tertua yang tak
dikenalnya itu. Katanya nasib kakak tertua itu jauh lebih
mengenaskan, mau-tak-mau Tiong-Lian ikut terharu. Tapi
dengan senyuman ia coba menghibur ibunya: "Apa yang
terjadi didunia ini seringkali diluar dugaan manusia, boleh jadi,
Toako akan pulang juga dengan selamat seperti pertemuan
kita ini."
"Ya, semoga begitulah harapanku," kata ibunya dengan
sedih. "Tapi didunia ini masakah ada kejadian sedemikian
kebetulan?"
Tiba-Tiba ia merangkul Tiong-Lian kedepan cermin, maka
tertampaklah dua wajah yang sangat mirip. Dengan tertawa
ibunya berkata: "Apakah kakakmu Cu-mu itu juga memper
kau?" "Kami adalah saudara kembar, sudah tentu seperti pinang
di-belah dua," sahut Tiong-Lian.
"Ciang Hong lebih tua dua tahun dari kalian, tahun ini
usianya mestinya sudah 20 tahun," kata ibunya. "Dasar
pembawanya memang lebih kekar, perawakannya boleh jadi
lebih besar sed"kit dari kalian, tapi kurasa wajahnya takkan
berbeda jauh dengan kalian."
Sekonyong-konyong perasaan Tiong-Lian terkesiap oleh
ucapan itu. Lapat-Lapat ia merasakan sesuatu yang ganjil.
Tapi lantas terpikir oleh nya: "Memang benar juga ucapan ibu,
masakah didunia ini bisa terjadi sedemikian kebetulan" Mana
mungkin dia adalah kakakku" Dan akupun tidak sudi
mempunyai kakak semacam dia. Tapi, ai, celaka jika benarbenar
dia adalah kakakku Bila ibu mengetahui tingkah-
Iakunya, tentu beliau akan gusar tak kepalang".
Kiran ya yang terpikir oleh Tiong-lian adalah dirinya Yap
Tiong-siau. Meski dengan berbagai alasan ia coba menentukan
bahwa Yap Tiong-siau tidak mungkin adalah kakaknya, namun
tidak urung timbul juga semacam rasa kuatir dalam
hatinya?""
---ooo0dw0ooo---
Dalam pada itu, marilah kita mengikut keadaannya Danu
Cu-mu yang mencari kejurusan lain itu.
Cu-mu adalah pemuda yang cerdik dan teliti, maka segenap
pelosok yang didatanginya pasti diselidikinya dengan baik.
Tapi meski sudah ada belasan ruang istana yang diintai, tetap
tidak kelihatan jejak musuh yang dicari itu.
Sementara itu sudah dekat tengah malam, usahanya masih
nihil. Selagi ia merasa gopoh, tiba-tiba dibawah sebuah loteng
dide-ngarnya ada suara percakapan dua wanita yang tinggal
diatas loteng, yang seorang sedang berkata: "Jika begitu, jadi
mereka kakak-beradik sudah datang semua?"
"Ya, aku tidak tahu apakah yang lelaki itu adalah kakaknya
atau bukan, yang terang air muka mereka sangat mirip," ujar
yang lain. Suara percakapan mereka itu sebenarnya sangat lirih, tapi
dasar Lwekang Danu Cu-mu sudah kuat, apalagi setelah
makan Thian-sim-ciok, kepandaiannya menjadi maju pesat.
Maka percakapan kedua wanita itu dapat didengarnya dengan
cukup jelas. Ia menjadi tergerak oleh pembicaraan itu,
pikimya: "Bukankah mereka sedang mempercakapkan kami


Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kakak beradik?"
Segera ia menggunakan Ginkang yang tinggi, ia melompat
ke-atas atap rumah dan mengitar kejendela belakang, dari situ
ia dapat mengintip kedalam.
Kiranya didalam kamar loteng itu berduduk dua orang
wanita, yang satu agak tua, yang lain lebih muda. Yang agak
tua itu kira-kira berumur lebih 40 tahun, berdandan sangat
perlente dan memakai mantel berbulu binatang yang mahal.
Wanita yang lebih muda itu ternyata bukan lain adalah Thianmo-
kaucu yang telah bergebrak dengan Danu Cu-mu
semalam. Wanita yang berdandan mentereng itu kelihatan sangat
tidak tenteram, mendadak ia gebrak meja dan berkata dengan
sengit: "Memang sudah dulu-dulu aku minta Hongsiang
membunuh budak perempuan itu saja, tapi beliau tidak mau
menurut. Dan sekarang, coba, dapatlah dia melarikan diri dan
telah datang kembali membikin rusuh!"
"Harap Hong-ek-nio tidak perlu kuatir, meski ilmu silat
kedua kaka-beradik itu tidak lemah, tapi kita masih cukup kuat
untuk mengalahkan mereka, rasanya mereka juga tidak berani
sembarangan mendatangi istana untuk mengganggu Nionio,"
demikian Thian-mo-kaucu berkata.
Cu-mu menjadi heran. Menurut sebutan bangsawan
kerajaan Masar, "Hong-ek-nio" atau bibi raja itu mempunyai
kedudukan yang sangat terhormat, pada umumnya gelar itu
hanya diberikan kepada anggota keluarga angkatan tua dari
sanak pamili raja yang terdekat dan berjasa besar. Tapi wanita
ini usianya baru lebih 40 tahun, sedangkan raja lalim sekarang
usianya malah sudah lebih 50 tahun, maka Cu-mu menjadi
heran dari mana datangnya seorang Hong-ek-nio yang tidak
beres ini" Dari percakapan mereka tadi, agaknya perempuan
siluman ini sangat kuatir kami mencari balas pada mereka
Padahal aku toh tidak pernah tahu adanya seorang wanita
seperti ini"
Dalam pada itu terdengar "Hong-ek-no" itu sedang berkata
pula: "Dan waktu itu apakah Kian-tian-he juga hadir disana?"
"Ya, aku dan dia hadir semua disana," sahut Thian-mokaucu.
"Selain itu ada pula dua muridnya Po-siang Hoatsu."
"Hm, biasanya mereka suka sombong katanya ilmu silat
guru mereka tiada tandingannya dikolong langit ini, mengapa
mereka toh tidak mampu menangkan anak haram itu?" jengek
Hong-ek-nio. Sudah tentu Cu-mu tahu "Kian-tian-he" (putera mahkota
pungut) yang dimaksudkan itu adalah Yap Tiong-siau, dan
"anak haram" yang dimaksudkan itu adalah dia sendiri.
Keruan Cu-mu sangat gusar, pikirnya: "Kurangajar, ada
permusuhan apakah antara kau dengan aku, berani kau
mencaci-maki ayah-ibu bagindaku?" Saking gemas hampirhampir
ia menerjang kedua perempuan itu, untung ia masih
dapat menguasai perasaan nya dan bersabar.
Maka terdengar Thian-mo-kaucu lagi bicara pula: "Memang
Kian-tian-he agak besar sedikit omongnya, tapi ilmu silatnya
sesungguhnya juga lumayan, paling tidak masih dapat
menandingi kakak sibudak perempuan itu. Cuma saja budak
itu membawa pedang pusaka, pula aku telah terluka dulu
hingga tidak dapat banyak membantu padanya, sungguh
akupun ikut merasa malu."
Tiba-Tiba Hong-ek-nio itu menarik muka dan bertanya:
"Coba katakan terus terang, apakah Kian-tian-he yang sengaja
melepaskan kedua anak haram itu" Kau tidak perlu kualir,
tidak nanti aku mencurigai kau."
"Ai, mengapa Hong-ek-nio terlalu banyak pikiran," sahut
Thian-mo-kaucu dengan tertawa. "Betapa baiknya Hongsiang
terhadap Kian-tian-he, masakah dia tega menghianati ayah-ibu
angkat yang sangat mencintainya itu?"
Kedengaran Hong-ek-nio itu menghela napas, katanya
kemudian: "Bukanlah aku suka mencurigai orang, tapi sesungguhnya,
ai?"" agaknya a hendak mengutarakan sesuatu rahasia, tapi
urung diucapkan, dan sejenak kemudian barulah ia
menyambung: "Selama beberapa hari terakhir ini kulihat sikap
Kian-tian-he agak berubah. Ai , bahkan semalam aku
bermimpi dia membawa golok dan hendak membunuh aku."
"Hanya mimpi saja kenapa Hong-ek-nio mesti dibuat
pikiran?" ujar Thian-mo-kaucu.
"Tapi selama beberapa hari hatiku selalu tidak tenteram dan
kedutan, dan harini benar-benar aku mendapat kabar buruk
ini, kedua anak haram itu betul-betul sudah berhasil
meyakinkan ilmu silat yang tinggi dan pulang untuk menuntut
balas." "Hendaklah Hong-ek-nio jangan takut, jika engkau merasa
tidak aman, biarlah kumendampingi kau disini, cuma
Hongsiang mungkin tidak mengidinkan."
Tiba-Tiba "Hong-ek-nio" itu berkata dengan penuh
menyesal: "Jangan lagi kau menyebut lelaki berhati palsu itu.
Sungguh aku sangat menyesal, baik-baik aku menjadi
permaisuri, tapi kena dipelet oleh mulutnya yang manis untuk
membantu dia merebut tahta. Padahal mendiang baginda raja
yang dulu meski kurang baik padaku, namun sikapnya padaku
juga selalu ramah-tamah. Sebaliknya dia, hm, hanya
memberikan gelar kosong ini padaku, lalu tidak pernah
menggubris padaku lagi. Gelarku adalah Hong-ek-nio, tapi
kenyataannya tiada berbeda daripada nasib siluman rase
(maksud-nya wanita penggoda laki-laki) yang dikurung
didalam kamar tahanan itu."
Sampai disini. Cu-mu merasa terperanjat, pikirnya pula:
"Wanita ini mengaku sebagai permaisuri raja yang dulu, apa
bisa jadi dia adalah ibuku" Tapi masakah dia begini kejam
berse-kongkal dengan orang luar untuk membunuh suami
sendiri dan merebut tahtanya?"
Kiranya selama ini Cu-mu menyangka bahwa ibunya pasti
permaisuri dari raja yang dulu, padahal ibu kandungnya
sebenarnya bukanlah permaisuri. Tapi ia lantas ragu-ragu
juga, ia yakin tidak nanti didunia ini ada seorang ibu
menganggap anaknya sendiri sebagai "anak haram". Ia
merasa dibalik urusan ini tentu ada sesuatu yang tidak beres.
Dalam pada itu terdengar Hong-ek-nio itu lagi menghela
napas dan berkata pula: "Karani, dimasa hidup ibumu,
hubungannya dengan aku laksana saudara sekandung,
selamanya akupun pandang kau sebagai keponakanku, dan
harini yang kupercayakan juga cuma kau seorang."
"Urusan apa yang Nionio inginkan bantuanku, silakan bicara
saja," kata Thian-mo-kaucu.
"Sebenarnya yang lebih aku kuatirkan justeru adalah
bahaya dari orang yang berada disekitar kita sendiri," kata
Hong-ek-nio. Thian-mo-kaucu tampak melengak sekejap, tapi seperti
paham pula apa yang dimaksudkan. Segera ia tanya: "Bahaya
yang datang dari orang sendiri" Sukalah Hong-ek-nio memberi
penjelasan."
"Karani, bagaimana ilmu sialtmu kalau dibandingkan Kiantian-
he?" tanya wanita itu tiba-tiba dengan pandangan
melekat. "Kalau bicara tentang ilmu silat sejati. sesungguhnya
tidaklah gampang jika aku hendak mengalahkan dia, tapi dia
ingin menangkan akupun susah," demikian sahut Thian-mokaucu.
"Namun aku masih mempunyai cara lain untuk
menangkan dia."
"Ya, kabarnya sudah lama Le Seng-lam mengembalikan
kitab "Pek-tok-cin-keng" kepada keluargamu, dan
kepandaianmu manggunakan racun tentunya sangat hebat,"
ujar Hong-ek-nio itu.
"Untuk menggunakan racun juga mesti melihat siapa
sasarannya, jika ketemu orang Lwekangnya sudah sempurna
betul-betul, tentu segala racun takkan mempan
merobohkannya," tutur Thian-mo-kaucu. "Tapi kalau untuk
menghadapi orang yang ilmu silat-nya setanding dengan aku
seperti Kian-tian-he, rasanya tidak susah untuk merobohkan
dia." Sungguh girang Hong-ek-nio itu bukan buatan, katanya:
"Karani, engkau tentu maklum bahwa bahaya dari orang
sendiri yang kumaksudkan itu justeru adalah Kian-tian-he".
Thian-mo-kaucu pura-pura heran, lalu tanya: "Sungguh
tidak nyana bahwa Nionio ada permusuhan dengan Kian-tianhe,
apakah maksud Nionio?"?""
"Karani, kau harus membantu aku untuk melenyapkan
orang yang berbahaya itu." kata Hong-ek-nio. "Masih banyak
urusan yang belum kau ketahui, jika kau sudah membasmi
dia, kelak tentu akan kujelaskan padamu."
Thian-mo-kaucu mengunjuk rasa ragu-ragu, kemudian
katanya: "Nionio, urusan ini bukan urusan kecil. Kian-tian-he
adalah orang kesayangan Hongsiang, kini menjadi panglima
yang berkuasa pula, apalagi dia adalah muridnya Po-siang
Hoatsu, jika terjadi apa-apa atas diri Kian-tian-he, tentu Posiang
Hoatsu dan murid-muridnya yang berjumlah tidak sedikit
itu tidak akan tinggal diam".
"Jika begitu apakah segala usahaku akan sia-sia saja?" kata
Hong-ek-nio dengan lesu.
"Kecuali jika aku sudah mendapatkan sesuatu benda
mestika," kata Thian-mo-kaucu.
"Barang apakah itu?" tanya Hong-ek-nio.
"Barang itupun tergantung atas diri Nionio," sahut Thianmo-
kaucu. "Asalkan Nionio dapat mencarikan "Liong-lik-pitcong"
hingga aku dapat meyakinkan ilmu silat yang tertulis
didalam kitab pusaka itu, walaupun belum tentu mampu
melawan Po-siang Hoat-su, tapi sedikitnya aku tidak takut lagi
kepada anak muridnya dan maksud Nionio tentu dapat
terlaksana pula."
Maka terdengar Hong-ek-nio itu menghela napas panjang.
katanya: "Karani, masakah kau tidak percaya padaku"
Bukankah aku sudah pernah katakan padamu bahwa aku
sudah pernah mencari "Liong-lik-pit-cong" itu keperpustakaan
negara, tapi kitab itu sudah lenyap, mungkin sudah dibakar
oleh mendiang raja yang sial itu. Yang terang dia telah
menurun dua kopi kitab itu dan dibawakan kepada kedua anak
haram itu."
Mendengar itu, Cu-mu terkesiap, tapi ia menjadi sadar juga,
kiranya rahasia selama belasan tahun yang tidak diketahui
adiknya itu kini dapat terbongkar. Apa yang tertulis didalam
surat kulit itu tak lain adalah "Liong-lik-pit-cong" yang
dimaksudkan itu.
Belasan tahun yang lalu ketika Tiong-Lian baru berusia
tujah tahun, Thian-mo-kaucu Taci beradik tetek datang ke Binson,
semula Tacinya. yaitu Mo-hujin mengaku Tiong-Lian
adalah puterinya dari hubungan tidak sah, kemudian Thianmo-
kaucu datang pula hendak merebut secara paksa surat
kulit itu, tatkala mana semua orang merasa heran apa maksud
tujuannya. Tapi kini Cu-mu dapat paham semua duduknya
perkara. Kiranya rahasia itu telah dibocorkan oleh "Hong-eknio"
ini, dan "Hong-ek-nio" ini sebenarnya adalah permaisuri
ayah bagindanya almarhum. Dari percakapan kedua wanita ini
terang mereka ada hubungan kekeluargaan turun temurun.
Pantas "Heng-ek-nio" ini anggap Thian-mo-kaucu sebagai
orang kepercayaannya.
Sungguh Cu-mu gusar bukan kepalang, pikirnya:
"Perempuan siluman ini benar-benar jahat sekali, betapapun
aku tidak bisa mengampuni dia. Biarlah sesudah kubereskan
Kan-ong, tentu akan kucabut juga nyawanya, sementara ini
biar kuampuni dulu supaya tidak membikin geger musuh."
Dalam pada itu kelihatan "Hong-ek-nio" itu sedang memikir,
sejenak kemudian baru ia menyambung: "Tentang "Liong-likpit-
cong" yang kau inginkan itu terang aku tidak dapat
mencarikan, tetapi aku masih menyimpan sebuah kunci dari
gudang kerajaan yang lain, didalam gudang kerajaan itu tentu
tidak sedikit tersimpan benda-benda mestika yang tidak kalah
daripada Liong-lik-pit-cong. Aku sendiri tidak berani membuka
gudang rahasia itu, tapi kau sendiri boleh coba-coba masuk
kesana. Pernah kudengar bahwa didalam gudang masih
terdapat sesuatu benda yang sangat berguna bagi kaum
persilatan. Cuma sayang aku sendiri tidak paham ilmu silat,
maka dahulu aku tidak tanya jelas tentang benda mestika apa
yang dimaksudkan itu. Tapi kuyakin pasti sesuatu benda
mestika yang berharga."
Betapapun Thian-mo-kaucu merasa terpikat juga, pikirnya:
"Kesaktian dari kasiat Thian-sim-ciok sudah kusaksikan sendiri.
jangan-jangan didalam gudang rahasia itu masih terdapat
juga" Atau masih ada benda mestika lain yang lebih hebat
pula?" "Karani, jika kuberikan kunci gudang rahasia itu untuk
menukar jiwa Kian-tian-he, bagaimana pendapatmu?" kata
Hong-ek-nio itu tiba-tiba.
"Baiklah," sahut Thian-mo-kaucu "Jika Nionio sudah
bertekad ingin membasmi dia, biarlah kulaksanakan tugas itu,
meski harus menempuh bahaya."
"Sungguh keponakanku yang baik" puji Hong-ek-nio. "Dan
bila kau membawakan daun telinga kirinya sebagai bukti,
segera kuserahkan kunci gudang mestika itu kepadamu."
Diam-Diam Thian-mo-kaucu menggerutu karena toh orang
juga tidak percaya padanya. Tapi iapun tidak kuatir orang
mengingkar janji. bahkan bila dapat membunuh Yap Tiongsiau,
tentu iapun akan kabur sejauh mungkin dan sekalian
akan kuras bersih antero benda mestika isi gudang kerajaan
itu. Maka katanya kemudian: "Baiklah, jika demikian, silahkan
Nionio menunggu sementara disini."
"Ya. kupujikan kau akan berhasil dengan baik" kata Hongnio
itu dengan senang.
Maka cepat Cu-mu menyembunyikan diri, segera dilihatnya
Thiam-no kaucu melompat keluar dari jendela dan melayang
pergi. Segera Cu-mu membuka sepotong genting, ia pikir
perempuan siluman itu harus diberi rasa sedikit biarpun
sementara ini jiwa-nya d biarkan hidup. Maka ketika Hong-eknio
itu terkejut dan mendongak, tahu-tahu ia telah kena
ditutuk oleh Cu-mu dengan ilmu Tiam-hiat dari jarak jauh.
Ilmu tutuk yang digunakan Cu-mu itu adalah kepandaian
tunggal dari kakek gurunya. yaitu Tok-liong Cun-cia. Maka
sekali "Ciang-bun-hiat" bagian punggung Hong-ek-nio itu
tertutuk, seketika rasanya linu pegal tak keruan, tapi justeru
takbisa berkutik, hendak menjeritpun takdapat.
Setelah melampiaskan rasa dongkolnya, lalu Cu-mu


Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meninggalkan gedung itu, dibawah sinar bulan yang remangremang
dilihatnya sesosok bayangan orang berkelebat
dijurusan barat laut sana, jaraknya sudah agak jauh.
Diam-Diam Cu-mu harus mengakui betapa cepat gerakan
Thian-mo-kaucu itu, ia pikir Yap Tiong-siau belum tentu
mampu melawan iblis itu. Tiba-Tiba timbul rasa herannya
mengapa perempuan yang mengaku bekas permaisuri itu
justeru ingin membunuh Yap Tiong-siau" Jangan-Jangan
dibalik itu ada sesuatu rahasia yang luar biasa"
Sebenarnya Cu-mu sangat benci kepada Yap Tiong-siau
karena orang telah memalsukan dirinya. Tapi betapapun juga
ia merasa pemuda itu toh tidak terlalu keji sebagaimana Hongek-
nio itu. Entah mengapa, demi teringat Yap Tiong-siau akan
dibunuh oleh perempuan kejam itu, rasa benci Cu-mu kepada
Ticng-siau menjadi banyak berkurang, bahkan timbul
simpatinya. Pikirnya kemudian: "Aku sedang susah mencari jejak Kanong
itu, kenapa aku tidak menemukan Yap Tiong-siau
dahulu?" Dia adalah putera angkat Kan-ong, boleh jadi dia dapat
mengetahui dimana beradanya raja jahanam itu. Malahan aku
obleh tinggal diam dulu untuk melihat cara bagaimana iblis
perempuan itu akan mengincar nyawa Yap Tiong-siau, bukan
mustahil dari perbuatan mereka nanti aku akan dapat
memperoleh rahasia-rahasia lain lagi."
Sambil memikir segera Cu-mu menyusul kearah Thian-mokaucu
tadi dengan cepat. Setelah makan Thian-sim-ciok. kini
Gin-kangnya sudah jauh lebih tinggi daripada Thian-mo-kaucu.
Maka hanya sebentar saja jarak mereka sudah sangat dekat.
Kuatir kalau diketahui, Cu-mu tidak berani terlalu dekat lagi, ia
pertahankan jarak antara puluhan meter jauhnya.
Tertampaklah Thian-mo-kaucu melompat masuk kedalam
sebuah istana. Segera Cu-mu menyusul melintas pagar
tembok istana itu. Tapi segera terendus bau harum yang
aneh, bau harum itu sangat halus, kalau indera pencium tidak
tajam tentu akan sasah mengendusnya.
Cu-mu tahu Thian-mo-kaucu sangat pandai menggunakan
ra-cun, ia kuatir kena diselomoti, maka lebih dulu ia mengulum
sepotong Swat-lian didalam mulut untuk menjaga segala
kemungkinan. Istana itu sunyi senyap tiada suatu suara apa-apa. Semula
Cu-mu agak heran, tapi segera iapun sadar: "Ah, tahulah aku,
tentu iblis perempuan ini telah menggunakan dupa penidur
hingga penjaga-penjaga istana telah kena dikelabuhi semua."
Dipojok pekarangan istana itu ada sebuah pohon besar, Cumu
lantas sembunyi diatas pohon yang lebat itu, dari situ
dapat dilihatnya dengan jelas gerak-gerik Thian-mo-kaucu
yang sedang melongak-longok didalam istana itu, agaknya Yap
Tiong-siau tidak dilihat oleh Thian-mo-kaucu karena dia tidak
masuk kesesuatu ruangan. Selang tak lama, Thian-mo-kaucu
tampak berhenti di luar jendela sebuah kamar untuk mengintip
kedalam. Dari atas pohon Cu-mu juga dapat melihat keadaan didalam
kamar itu melalui lubang jendela. Didalam kamar itu kelihatan
kosong tiada seorangpun. Thian-mo-kaucu tampak merasa
kecewa, agaknya kamar itu adalah kamar tidur Yap Tiong-siau,
hari sudah jauh malam toh pemuda itu tidak kelihatan berada
di dalam kamarnya.
Setelah menunggu sejenak diluar jendela dan tidak
menemukan apa-apa, Thian-mo-kaucu tampak tidak sabar
lagi, dan baru dia hendak tinggal pergi, tiba-tiba terdengar
suara berkeriut didalam kamar. Th"nn-mo-kaucu menjadi
heran dan coba mengintip ke dalam. Ternyata ranjang besar
yang dekat dinding itu dapat menggeser setengah meter
kedepan. Lalu dari bawah ranjang mendadak menongol keluar
seorang. Itulah dia Yap Tiong-siau.
Kiranya dibawah ranjang itu ada sebuah jalanan rahasia,
ranjang itu berdinding yang tepat menutupi jalan keluar
dbawah tanah itu. Untuk bisa membuka pintu jalanan itu,
ranjang itu harus digeser kedepan dulu.
Setelah muncul. tertampak Yap Tiong-sian mengulet
kemalas-malasan, terdengar ia berkata sendiri: "Ai, aku cuma
minum dua cawan arak, mengapa sudah terasa kepala
pening?" Lalu ia berjalan beberapa langkah, benar juga Thian-mokaucu
melihat pemuda itu agak sempoyongan, air mukanya
juga merah. Diam-Diam Thian-mo-kaucu bergirang, jika
pemuda itu benar-benar mabuk, tentu akan lebih gampang
baginya untuk turun tangan.
Tiba-Tiba Yap Tiong-siau mengambil sebuah cermin diatas
meja, ia mengaca dirinya sendiri, lalu menggumam: "Aneh,
memang benar, aku sangat mirip kakaknya Kok Tiong-Lian
Pantas Hu-ong suruh aku memalsukan dia. Tapi Hu-ong kan
tidak pernah melihat bocah itu, darimana dia tahu bila sudah
dewasa aku akan mirip dia" Sejak kecil aku disuruh memakai
namanya dan suruh aku berkelana di Kangouw dengan
mengaku sebagai Yap Tiong-siau."
Diam-Diam hati Danu Cu-mu ikut tergetar mendengar
gumaman Yap Tiong-siau itu. Pikirnya: "Benar juga rasa
sangsinya itu. Waktu kecil aku pernah d"tawan oleh
begundalnya Kan-ong tapi mereka sudah dibinasakan semua
oleh Pui-locianpwe. Andaikan satu-dua orang diantaranya
beruntung lolos hingga memberitahukan wajahku kepada Kanong,
toh juga tidak gampang untuk mencari satu anak lain
yang rupanya mirip aku untuk dipiara, pula sesudah besar
juga belum tentu sedemikian mirip dengan aku" Ditinjau dari
ucapannya tadi, agaknya sejak kecil dia sudah diharuskan
memakai namaku, jadi memang Kan-ong "itu mempunyai tipu
muslihat tertentu."
Rupanya mabuk Yap Tiong-siau itu makin menjadi, ia makin
sempoyongan, tiba-tiba ia berseru: "Ya, tahulah aku, tahulah
aku, tahulah aku!" dan mendadak kaca yang pegangnya itu
jatuh pecah berantakan. Lalu ia menjerit pula sambil menekap
muka sendiri : "Ya, tahulah aku, sebabnya Hu-ong memiara
aku, memungut aku sebagai Kian-tian-he dan memberi
kekuasaan padaku, kiranya adalah disebabkan mukaku mirip
dengan bocah itu Beliau sudah lama mengetahui akan terjadi
seperti sekarang ini, maka aku disuruh menipu rahasia budak
perempuan itu agar Hu-ong tidak perlu kuatir lagi akan bahaya
yang mungkin mengancamnya."
Diam-Diam Thian-mo-kaucu membatin: "Rupanya apa yang
di katakan Hong-ek-nio memang tidak salah, raja hanya
menggunakan Yap Tiong-siau sebagai alat saja. Kiranya Hongek-
nio tidak membohongi aku."
Demi mengetahui rahasia itu, Thian-mo-kaucu tidak merasa
takut-takut lagi, segera ia bermaksud turun tangan menyergap
Yap Tiong-siau. Tiba-Tiba didengarnya ada suara tindakan
orang sedang mendatangi.
Cepat Thian-mo-kaucu menyelinap kebelakang gunungan
di-dekat situ, ketika ia mengintip, kiranya yang datang itu
adalah seorang gadis, itulah dia Auyang Wan yang semalam
hampir menewaskannya dengan jarum berbisa itu.
Tertampak Auyang Wan langsung mendatangi kamar Yap
Tiong-siau, tanpa permisi ia terus mendorong pintu dan masuk
kedalam, terdengar ia berkata dengan nada dingin: "Kian-tianhe,
apakah sekarang kau masih marah padaku?"
Mendadak Yap Tiong-siau meloncat maju, katanya dengan
gusar: "Bocah she Kang itu sudah lama lari, bukankah kau
boleh merasa lega, untuk apalagi kau datang kemari?"
"Justeru karena mereka sudah lolos dari bahaya, makanya
aku suka memandang kau sebagai kawan dan sengaja datang
kemari," kata Auyang Wan. "Hm, pabila kau membikin susah
mereka, apakah aku bisa mengantepi kau?"
"Ya, sudahlah, kukira kau lekas pulang saja, tidaklah
menguntungkan kau jika tinggal lebih lama disini." ujar Tiongsiau.
"Sebab apa?" sahut Auyang Wan "Kedatanganku kesini
adalah undangmu sendiri, sekarang kau hendak mengusir
aku?" "Sekarang aku adalah Kian-tian-he, tapi nasibku selanjutnya
aku sendiripun tidak tahu," sahut Tiong-siau. "Kau telah
menyalahi Thian-mo-kaucu, dia adalah orang kepercayaan
Hong-ek-nio, mahir menggunakan racun pula, Hu-ong
sendiripun jeri padanya. Kukuatir tenagaku tidak cukup untuk
melindungi kau."
"Eh, rupanya tidak jelek juga hati nuranimu, ternyata kau
masih dapat memikirkan diriku, maka sebagai timbal balik
akupun ingin memikirkan dirmu, ingin kutanya, mengapa kau
tidak mau meninggalkan tempat ini saja?"
"Kemanakah aku harus pergi?" sahut Tiong-siau dengan
tersenyum pahit. "Apalagi sudah belasan tahun Hu-ong
membesarkan aku, biarpun akhirnya Hu-ong tidak suka lagi
padaku, tapi budi kebaikannya takbisa kulupakan begini saja.
Aku mesti membalas budinya itu, dan mana boleh sekarang
juga aku meninggalkan beliau?"
"O, kiranya kau masih ingin membalas budi kebaikan ayahbagindamu?"
jengek Auyang Wan.
"Kenapa?" seru Tiong-siau dengan gusar. "Apakah kau kira
aku ini manusia yang tidak kenal budi kebaikan" Ya, mungkin
aku ini orang busuk, tap. belumlah sebusuk sebagaimana kau
sangka." "Baiklah, urusanmu ini kita kesampingkan dulu," kata
Auyang Wan "Kau bilang dirimu bukan seorang manusia yang
tipis budi, sekarang ingin kutanya, apakah kau masih ingat
kepada Ciciku!"
"Ya. aku sangat menyesal takdapat memenuhi maksud
baiknya", sahut Tiong-siau.
"Hm, jangan kau pura-pura berwelas-asih," jengek sinona.
"Ketahuilah bahwa Ciciku telah mati gara-garamu."
"Hah! Cicimu sudah meninggal" Kapan meninggalnya"
Mengapa kau bisa tahu?" seru Tfong-s"au dengan kaget.
"Ayah-ibuku sudah datang semua kesini, masakah kau tidak
tahu?" sahut sinona. "Ibu sudah teramat benci padamu,
sebenarnya beliau melarang aku memberitahukan kabar ini
padamu, tapi aku ingin tahu apakah kau sudah mempunyai
perasaan atau tidak, makanya aku datang kemari."
Kiranya Tacinya Auyang Wan, yaitu Auyang Jing, telah
dipaksa menikah dengan Bun To-ceng oleh kedua orang
tuanya, tapi dalam waktu singkat saja perkawinan itu telah
berakhir dengan matinya Auyang Jing karena menderita sakit.
Bun To-ceng sendiri masih tinggal dirumah Auyang Tiong-ho
untuk merawat lukanya. Maka tentang kematian isterinya itu
juga belum diketahui oleh pamannya, yaitu Bun Ting-bik.
Walaupun Yap Tiong-siau tidak menyukai Auyang Jing, tapi
bila teringat maksud baik sinona yang mencintainya dengan
murni tanpa balas itu, ia menjadi terharu dan meneteskan air
mata. Dengan sikap dingin Auyang Wan mengikuti perubahan air
maka Yap Tiong-siau itu, demi melihat dia mencucurkan air
maka, kemudian katanya: "Mengingat air matamu ini, biarlah
akan kutolong jiwamu!"
"Apa katamu?" seru Tiong-siau dengan kaget.
"Ayah bagindamu sedang mengincar nyawamu. masakah
kau tidak tahu?" sahut sinona.
"Apa" Ngaco-belo kau!" seru Tiong-siau sambil melonjak.
Tapi baru saja ia berdiri atau kakinya sudah terasa lemas
hingga hampir-hampir ia jatuh tersungkur.
Untung Auyang Wan keburu menahannya. katanya: "Nah,
apakah kau masih tidak percaya" Coba pikir, kau hanya
minum dua cawan arak, mengapa tenagamu telah lenyap
sama sekali?"
Tiong-siau makin kaget, tanya: "Darimana kau tahu aku
cuma minum dua cawan?"
"Sesudah ayahku datang kesini, Bun Ting-bik telah
membawanya menghadap raja," demikian tutur Auyang Wan.
"Ketika baginda raja tanya keadaan pertarunganmu dengan
Kok Tiong-lian kakak-beradik, Bun Ting-bik menceritakan
bahwa kau sengaja melepaskan kedua bocah itu, maka
baginda sangat gusar, seketika juga memberi perintah kepada
Bun Ting-bik untuk melenyapkan jiwamu."
"Kurangajar, Bun Ting-bik itu manusia apa, berani
mengadu-biru dihadapan Hu-ong, aku harus menerangkan
duduknya perkara kepada Hu-ong nanti," seru Tiong-s;au
dengan marah-marah.
"Kau benar-benar sudah pikun," ujar Auyang Wan "Coba
pikirkan, pabila baginda tiada mempunyai maksud
melenyapkan kau, masakah Bun Ting-bik berani sembarangan
menjelekan dirimu dihadapannya. Biarkan kukatakan terus
terang padamu, kedua cawan arak yang kau minum itu adalah
beracun, hal mana terjadi sebelum datangnya Bun Ting-bik".
Seketika Yap Tiong-siau terbelalak kesima, sungguh hal tu
sama sekali tak terduga olehnya.
Maka terdengar Auyang Wan telah menyambung lagi:
"Baginda raja masih jeri kepada Ilmu silatmu yang tinggi,
maka tidak berani membinasakan kau seketika itu, kau hanya
diberi minum dua cawan arak berbisa yang akan bekerja
dengan pelahan-lahan hingga kaupun tidak menaruh curiga
apa-apa. Habis itu, kebetulan Bun Ting-bik datang menghadap
beliau, maka baginda lantas menyerahkan tugas membunuh
dirimu kepada Bun Ting-bik. Menurut perhitungan mereka,
arak yang kau minum tidak lama tentu akan bekerja, maka
dalam waktu singkat ini mungkin Bun Ting-bik akan datang
kemari. Tentang ini aku dapat mendengar dari percakapan
ayah-bundaku."
Ketika Yap Tiong-siau coba mengerahkan tenaga, benar
juga ia merasa lemas lunglai, keruan ia pucat lesi. Serunya
dengan lemah: "Tolong, nona Auyang! Tolonglah aku!"
"Kalau tidak ingin menolong kau, buat apa aku datang
kemari?" sahut Auyang Wan.
"Disini ada sebuah jalan rahasia, marilah kita melarikan diri
dari situ," kata Tiong-siau.
"Mana boleh kita melalui situ?" sahut sinona.
Tiong-siau tertegun sejenak. kemudian iapun sadar jalan itu
tidak mungkin digunakan. Bagi orang luar mungkin jalanan
rahasia itu akan merupakan jalan yang baik, tapi bagi raja
tentu jalan rahasia itu bukan rahasia lagi. Bahkan boleh jadi
dijalan keluar ujung sana sudah disiapkan penjaga.
"Marilah, biar kugendong kau saja," ujar Auyang Wan
kemudian. Sungguh Tiong-siau merasa malu dan kikuk, sama sekali


Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tak terduga olehnya bahwa sedemikian buruk keadaannya
hingga perlu bantuan seorang gadis yang kepandaiannya jauh
dibawahnya. Apa lagi kalau mesti digendong, betapapun ia
merasa tidak enak. "Sudahlah, jangan sungkan-sungkan lagi,
lekas!" desak Auyang Wan "Buat apa lekas-lekas, toh sudah
terlambat!" demikian mendadak suara seorang mengejek.
menyusul daun jendela telah didobrak orang hingga pecah.
Kiranya Thian-mo-kaucu sejak tadi sengaja mendengarkan
apa yang hendak dilakukan Auyang Wan terhadap Yap Tiongsiau,
setelah mengetahui bahwa raja memang benar juga
ingin membunuh pemuda itu, sudah tentu hal ini sangat
kebetulan baginya, maka tanpa sungkan-sungkan lagi segera
ia turun tangan.
Tiong-siau terkejut demi melihat datangnya Thian-mokaucu
yang tak terduga-duga itu. "Kau mau apa?" tanyanya
dengan gugup. "Mau apa" Mau kepalamu atas pesanan Hong-ek-nio," sahut
Thian-mo-kaucu dengan mengekek tawa.
"Ha, Hong-ek-nio juga ingin membunuh aku" Toh aku tidak
pernah bermusuhan apa-apa dengan dia?" seru Tiong-siau
dengan terkejut.
"Apakah kau bermusuhan atau tidak dengan dia, aku tidak
peduli," ujar Thian-mo-kaucu.
"Baiklah, aku tahu keinginanmu," kata Tiong-siau dengan
ce-mas. "Biarlah kuberikan kitab asli pelajaran Tay-seng-panyak-
kang padamu, mau?"
"Baik, memangnya akupun tidak harus inginkan jiwamu,
asalkan kau potong sebelah daun telingamu sudahlah cukup,"
kata Thian-mo-kaucu, "Nah, boleh kau turun tangan sendiri
saja. Eh, barangkali kau tak bertenaga lagi, biarlah aku
membantu kau saja. Nona Auyang, bolehkah pinjamkan
pedangmu?"
Baru saja Auyang Wan mencabut pedangnya, tahu-tahu
Thian-mo-kaucu sudah melompat kedepannya, tanpa bicara
lagi Auyang Wan terus menusuk.
Sudah tentu Thian-mo-kaucu bukan lawan empuk. "Hm,
malahan aku belum bikin perhitungan dengan utangmu tempo
hari dan sekarang mau berani main kayu lagi padaku?"
ejcknya sambil mengebas dengan lengan bajunya hingga
pedang Auyang Wan tergubat.
Sekonyong-konyong terdengar suara mendesir beberapa
kali, secomot jarum berbisa telah menyambar kedepan.
Kiranya batang pedang Auyang Wan itu kopong tengahnya
dan terpasang alat rahasia yang dapat menjepretkan jarum
halus. "Ha, mutiara sebesar beras juga bisa berbahaya?" jengek
Thian-mo-kaucu. Tahu-Tahu jarum-jarum itu bersarang dan
menggerombol didepan dada Thian-mo-kaucu, sebuahpun
tiada yang dapat menembus bajunya.
Kiranya Thian-mo-kaucu sudah siap sedia karena kejadian
tempo hari, kini ia telah memakai selapis besi semberani
didepan dadanya hingga jarum-jarum halus itu tersedot semua
oleh besi semberani itu. Dan sekali Thian-mo-kaucu terkekek
tawa, segera pedang Auyang Wan sudah dirampasnya dan
sekaligus menutuk-nya pula.
Dengan pedang rampasan itu lalu Thian-mo-kaucu
mendekati Yap Tiong-siau. Katanya dengan tertawa nyaring:
"Kion-tian-he, harap kau tahan sakit sedikit, hanya sebelah
daun telinga saja, bukan kepalamu yang kuinginkan!"
Tadinya Yap Tiong-siau mengira dapat membujuk orang
dengan kitab ilmu silatnya, siapa duga orang tetap inginkan
daun kupingnya. Dalam keadaan terdesak, mau-tak-mau ia
menjadi murka juga. Sebagai seorang yang biasanya dipujapuji,
sudah tentu iapun tidak sudi dipermainkan orang.
Dengan gemas ia berteriak: "Jika mau bunuh, lekas bunuh
saja, tapi jangan harap bisa menghina diriku!" habis berkata,
tanpa pikir ia terus menyeruduk kedepan. dengan kepalanya ia
incar ujung pedang lawan.
Tapi sedikit Thian-mo-kaucu mengegos, serudukan Yap
Tiong-siau itupun mengenai tempat kosong, bahkan lengannya
lantas kena dipegang oleh Thian-mo-kaucu, berbareng itu
pedangnya lantas memotong kepinggir kepala pemuda itu.
Syukurlah sebelum daun kuping itu lenyap, lebih dulu telah
me-nyambar tiba sesuatu benda dan luar jendela, "Cring",
pedang Thian-mo-kaucu terbentur menceng.
Kiranya Danu Cu-mu yang telah turun tangan menolong
Yap Tiong-siau, ia telah petik sepotong ranting kayu sebagai
senjata rahasia untuk menyambit pedang lawan.
Keruan Than-mo-kaucu terkejut, cepat ia putar tubuh,
sementara itu Cu-mu sudah melompat masuk kedalam kamar,
katanya dengan dingin: "Letakan pedangmu dari lekas enyah
dari sini."
"Ai, ai, kukira siapa, tahunya adalah kau!" tiba-tiba Thianmo-
kaucu tertawa. "Dengan menyaru sebagai kau, beberapa
kali dia hendak membikin susah kalian kakak beradik,
mengapa sekarang kau malah mengeloni dia?"
"Urusanku sendiri tidak perlu kau peduli." sahut Cu-mu
dengan ketus. Belum selesai ucapannya, sekonyong-konyong Thian-mokaucu
ayun tangannya. serangkum hawa ungu terus
menghambur keluar dari lengan bajunya. Kiranya dia sengaja
memancing Cu-mu membuka mulut, dan dengan tiba-tiba ia
menaburkan asap berbisa itu.
Tak terduga kepandaian Cu-mu sekarang sudah lain dulu,
selain sudah berlipat Lwekangnya, bahkan ia sudah mengulum
Swat-lian dulu hingga asap beracun Thian-mo-kaucu itu tidak
mempan atas dirinya.
Keruan Cu-mu sengat gusar, terus saja ia menutuk dengan
ilmu Keh-khoug-tiam-hiat atau menutuk dari jarak jauh.
Kepandaian Thian-mo-kaucu sebenarnya seimbang dengan
Danu Cu-mu, maka ketika melihat pemuda itu menutuk,
seenaknya saja ia mengebas dengan lengan bajunya.
Tak terduga tenaga dalam Cu-mu sekarang sudah berlipat
ganda lebih kuat, dimana tenaga tutukannya sampai lantas
terdengar suara mencicit. tahu-tahu Thian-mo-kaucu merasa
iganya kesemutan, pedangnya terjatuh dan lengan ikut
merasa lemas. Sungguh kejut Thian-mu Kaucu tidak kepalang, katanya
dida-lam hati: "Ai, mengapa lewat semalam saja ilmu silatnya
sudah maju sepesat ini" Jangan-Jangan dia juga sudah makan
Thian-sim-ciok?"
Sebaliknya Cu-mu agak heran juga karena tutukannya tak
dapat merobohkan lawan. Ia tidak tahu bahwa tenaga
dalamnya itu baru saja tumbuh hingga untuk digunakan masih
belum lan-car. Dan karena sedikit meradeknya itu, kembali
Thian-mo-kaucu menghamburkan pula granat berapi yang
mengeluarkan kabut tercampur jarum berbisa.
Tapi Cu-mu sempat memukul kedepen dengan kedua
telapak tangan, begitu hebat cara pukulannya itu. dengan
sebelah tangan ia tepuk dari jauh Hiat-to Auyang Wan yang
tertutuk itu. sedangkan sebelah tangan lain memapak granat
lawan hingga senjata rahasia itu mencelat keudara sebelum
meletus. Maka terdengar suara menggelegar, granat itu
meledak diatap rumah, pecahan granat itu ada sebagian
menyambar kedalam kamar dan mengenai kasur dan kelambu
hingga api lantas berkobar.
Melihat Danu Cu-mu begitu lihay, tengah Thian-mo-kaucu
merasa bingung, tiba-tiba terdengar dua kali suitan panjang,
diantara sinar api itu telah melompat tiba dua orang. Mereka
adalah Bun-Ting-bik dan Auyang Tiong-ho.
Sungguh girang Thian-mo-kaucu tak terkntakan, cepat ia
berseru: "Kebetulan sekali ketanganmu, Bun-hukaucu, lekas
kau ringkus bocah ini!"
Demi tahu pemuda itu bukan Kang Hay-thian, Bun Ting-bik
lantas terbahak-bahak. Katanya: "Kaucu. kiranya kau juga
sudah datang" Jangan kuatir, bocah ini sudah pernah keok
dibawah tanganku, tidak nanti ia bisa lolos."
"Hati-Hati, Bun-hukaucu. jangan kau pandang enteng dia,"
pesan Thian-mo-kaucu.
Belum lenyap suaranya, segera terdengarlah suara "blang"
sekali, Sun Ting-bik sudah saling adu pukulan dengan Danu
Cu-mu. Tempo hari waktu mereka saling gebrak dipulau kecil i?u,
tatkala mana Cu-mu belum lagi minum Thian-sim-ciok, dengan
sendirinya ia bukan tandingan Bun Ting-bik yang sudah
berhasil meyakinkan ilmu sakti "Sam-siang-kui-goan" yang
lihay. paling-paling ia cuma sanggup tahan dua-tiga kali
gebrakan saja. Tapi kini sekaligus kedua tangan beradu,
seketika Bun Ting-bik merasa ditolak oleh suatu tenaga maha
besar, keruan ia terkejut dan baru sekarang ia tahu lihaynya
pemuda itu. Dengan ilmu "Sam-siang-kui-goan" yang telah diyakinkan
ilu Bun Ting-bik sanggup melawan Kim Si-ih hingga beberapa
gebrakan. Kini kepandaian Danu Cun-mu meski sudah
bertambah hebat, tapi kalau dibandingkan gurunya sudah
tentu masih selisih jauh. Maka dengan sepenuh tenaga sakti
Bun Ting-bik dengan sekedamya masih dapat bertahan. Cuma
ia merasa tenaga dalam pemuda lawannya terus membanjir
bagaikan tidak habis-habis, keruan ia terkesiap dan mengeluh,
jika begini naga-naganya. pasti celaka dia nanti.
Disebelah sana Thian-mo-kaucu lantas bertindak juga. ia
lihat Bun Ting-bik dapat bertahan sementara segera ia
gunakan kesempatan itu untuk mendekati Yap Tiong-siau.
Namun Auyang Wan sudah mendahului bertindak, segera ia
jemput kembali pedangnya yang dirampas Thian-mo-kaucu
tadi serta mengadang didepannya Yap Tiong-siau, beruntunruntun
ia menusuk tiga kali stoelum musuh sempat mendekat.
Sudah tentu kepandaian Thian-mo-kaucu jauh lebih tinggi
daripada Auyang Wan, tadi dengan gampang saja ia sudaii
dapat merampas senjata gadis itu. Tapi kini keadaannya agak
berubah, serangan tiga kali beruntun-runtun itu telah
membikin Thian-mo-kaucu agak repot juga.
Mengapa bisa begitu" Ha! ini disebabkan serangan berantai
Auyang Wan itu dilakukan dengan nekat karena sudah
kepepet, dilain pihak Thian-mo-kaucu baru saja kena ditutuk
satu kali oleh Danu Cu-mu, walaupun Hiat-to yang tertutuk itu
tidak buntu seketika, tapi kelancaran jalan darahnya juga
terganggu hingga gerak-geriknya masih agak kaku. Sebab lnin
lagi adalah Auyang Tiong-ho juga ikut berada disitu,
betapapun Thian-mo-kaucu mesti mengingat kehormatan
kawannya sebagai ayah sinona.
Dalam pada itu Auyang Tiong-ho sudah lantas membentak:
"Wan-ji, lekas berhenti, jangan main gila disini! Dia bukan
lagi Kian-tian-he apa segala, tapi adalah buronan yang hendak
dibunuh baginda raja, buat apa kau masih membela dia?"
sembari bicara ia terus melengkah maju juga.
Tiong-siau kenal lihaynya orang, dengan kuatir ia coba
kumpulkan tenaga agar bila perlu bisa mengadu jiwa dengan
musuh. Tapi ia merasa perutnya seakan-akan kosong,
sedikitpun tidak mendatangkan tenaga apa-apa.
Sebaliknya Auyang Tiong-ho juga jeri pada Tay-seng-panyak-
ciang pemuda itu hingga seketika itu iapun tidak berani
sembarangan bertindak.
Dan selagi ia bersiap-siap hendak menyerang, tiba-tiba
Auyang Wan menjerit: "Tiatia, harap kau mengingat diri Cici
yang sudah meninggal itu dan jangan bikin susah Yapkongcu!"
Hati Auyang Tiong-ho agah lemah, ia tertegun oleh
permohonan putcrinya itu. Tapi lantas katanya dengan
mengkertak gigi: "Masih kau bicara tentang Cicimu" Justeru
dia inilah yang menyebabkan kematian Cicimu!"
"Tapi apakah ayah tidak memikirkan lagi pesan Cici sebelum
menghembuskan napasnya yang penghabisan?" ujar Auyang
Wan. "Jika ayah membunuh orang yang dicintai Cici. di alam
baka juga Cici takkan rela."
Karena itu, Auyang Tiong-ho benar-benar tidak tega lagi,
tiba-tiba ia berpaling dan berkata: "Baiklah, aku menurut
permintaanimu. tapi hanya ini saja, aku takkan membunuh
dia, sebaliknya kalau orang lain yang membunuhnya, aku
takdapat menanggung!"
Mendengar ayahnya sudah luluskan pcrmohonannya,
Auyang Wan menjadi lega, kini ia tinggal melawan Thian-mokaucu
dengan mati-matian.
"Auyang-cianpwe jangan kuatir," demikian Thian-mo-kaucu
ikut menimbrung. "Sekali-Sekali aku takkan membinasakan
menantumu ini. silahkan kau pergi membantu Bun-siansing
saja." Habis berkata, segera ia merangsang maju lagi. Kini ia tidak
perlu sungkan-sungkan lagi karena Auyang Tiong-ho sudah
lepas tangan atas urusan Yap Tiong-siau, sedang tenaga
dalamnya juga mulai lancar kembali. Keruan Auyang Wan
kewalahan, hanya belasan jurus saja ia sudah terkurung
dibawah tenaga pukulan Thian-mo-kaucu.
Sama sekali Tiong-siau tidak menyangka Auyang Wan
bersedia membelanya dengan mati-matian, sungguh ia merasa
sangat berterima kasih dan menyesal pula. Ia kuatir janganjangan
sigadis akan menjadi korban keganasan lawan, segera
serunya: "Nona Auyang, aku terima kebaikanmu, harap kau
jangan pikirkan diriku lagi. silahkan kau menyelamatkan diri
saja!" Auyang Wan takdapat membagi perhatiannya, terpaksa ia
hanya geleng-geleng kepala saja tanda keteguhan hatinya
akan membela si pemuda?"?"
Disebelah sana pertarungan Bun Ting-bik melawan Danu
Cu-mu sudah meningkat sampai tarap mengadu tenaga
dalam, keduanya sama-sama mencurahkan tenaga sekuatnya.
Mendadak Auyang Tiong-ho menggertak sekali, berbareng
Pi-lik-ciang dan Lui-sin-ci dilontarkan sekaligus untuk
menyerang Danu Cu-mu.
Dan baru pukulan Auyang Tiong-ho itu dilontarkan, tiba-tiba
terdengar suara "blang" sekali. Bun Ting-bik tampak
terhuyung-huyung mundur.
Kiranya dia sedang mengadu tenaga dalam dengan Danu
Cu-mu, pada saat yang terdesak itu kebetulan Auyang Tiongho
menerjang. tiba, terpaksa Cu-mu harus memencarkan
tenaganya untuk melayani Auyang Tiong-ho dan karena itulah
Bun Ting-bik sempat melepaskan diri.
Tapi celakalah sekarang Auyang Tiong-ho, ia sendiri lantas
terkurung dibawah tenaga pukulan Danu Cu-mu, baru saja
Lui-sin-ci ditutukan, tahu-tahu Cu-mu juga menutuk, Auyang
Tiong-ho merasa lengan lawan yang tertutuk itu lunak licin


Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hingga hasilnya nihil. Sebaliknya tutukan Danu Cu-mu
membawa tenaga dalam yang kuat dan tepat mengenai
tengah telapak tangan Auyang Tiong-ho, seketika suatu arus
hawa panas menyusup kedalam tangan Auyang Tiong-ho,
tangan itu merah hangus seperti habis terbakar.
"Mengingat puterimu, biarlah kuampuni kau!" kata Cu-mu
dengan dingin. Dalam pada itu api sudah menjilat-jilat dengan hebat,
dldalam kamar penuh asap tebal disertai suara gemertak yang
riuh, suara terbakarnya kayu dan benda-benda lain. Api
semakin ber-kobar-kobar.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara "trang" sekali,
kiranya pedang Auyang Wan telah kena disampuk jatuh oleh
Thian-mo-kaucu. Habis itu. segera Thian-mo-kaucu menubruk
kearah Yap Tiong-siau. Tapi tahu-tahu serangkum angin keras
menumbuk dari belakang, sudah tentu Thian-mo-kaucu tidak
berani sembarangan menangkis, cepat ia berjumpalitan dan
meloncat kesamping. Pada lain saat terlihatlah sesosok
bayangan orang sudah melayang kesana, Yap Tiong-siau
dikempitnya terus menerobos keatas melalui lubang atap
karena ledakan granat tadi.
Ternyata orang yang menyelamatkan Yap Tiong-siau itu
bukan lain adalah Danu Cu-mu.
Tiong-siau menjadi kebat-kebit, ia membayangkan siksaan
yang akan dideritanya dengan tertawannya itu oleh musuh.
Sementara itu Cu-mu sudah mengempitnya melayang lewat
belasan atap rumah, akhirnya sampai dibelakang sebuah
gunung-gunungan, disitulah Cu-mu menurunkan Yap Tiongsiau
dari kempitannya.
"Aku?".aku telah memalsukan dirimu, harini aku jatuh
dalam cengkeramanmu, akupun tidak pikirkan nyawaku
lagi, tapi aku?" aku minta agar aku diperlakukan secara
tegas dan cepat, jangan menyiksa aku lebih dulu!" demikian
pinta Tiong-siau dengan suara terengah-engah.
"Permusuhan ada biangkeladinya. buat apa aku menyiksa
kau," sahut Cu-mu. "Meski kau membantu pihak yang jahat,
seharus-nya aku tidak pantas menolong kau. Tapi mengingat
kau sudah mulai sadar, maka aku ingin memberi kesempatan
padamu untuk memperbaiki dosamu itu. Nah, katakanlah,
dimanakah beradanya Kan-ong itu sekarang?"
Tapi Tiong-siau masih ragu-ragu.
"Hm, dengan macam-macam tipu daya "Hu-ong"mu yang
tercinta itu hendak mencabut jiwamu, masakah sampai
sekarang kau masih sudi mengaku ayah padanya?" jengek Cumu
"Bu?"bukan aku tidak mau mengatakan, aku cuma kuatir
dia?""dia sekarang tiada didalam keraton lagi," sahut Tiongsiau
kemudian. "Habis kemana dia sekarang?" desak Cu-mu.
"Semula beliau bermaksud menikmati tari-tarian di papiliun
Se-lok-waa. tapi mendadak suruh aku membatalkan rencana
itu." tutur Tiong-siau. "Beliau bilang besok adalah pertemuan
besar di Kim-eng-kiong, maka beliau tingin menemui dulu Posiang
Hoatsu. mungkin malam ini akan bicara semalam suntuk
dengan Po-siang. Didalam Kim-eng-kiong tidak sedikit
terkumpul tokoh-tokoh persilatan pilihan, ilmu silat guruku.
Po-siang Hoatsu lebih-lebih hebat lagi, sungguh aku berharap
jangan kau menempuh bahaya kesana"
Cu-mu terpaksa membiarkan Kan-ong itu hidup sehari lebih
lama lagi, sebab tidak mungkin ia menemukannya jika
memang Kan-ong sudah datang ke Kim-eng-kiong.
Saat itu sinar bulan terang benderang, mereka berdua
duduk ditepi empang didekat gunung-gunungan itu. Air
empang itu tenang jernih bagai kaca. tiba-tiba angin meniup
sepoi-sepoi hingga bayangan mereka dipermukaan air itu
buyar kacau. Perasaan Cu-mu seperti terketok, tiba-tiba ia mendongak
dan mengamat-amati Yap Tiong-siau, pikirnya: "Sungguh
aneh, wajah orang ini memang benar sangat mirip diriku.
Pantas Kan-ong itu menyuruh dia memalsukan aku. Tapi
darimanakah Kan-ong itu tahu bahwa wajahku akan mirip
dengan dia?"
Dalam herannya Cu-mu lalu mengeluarkan satu iris Swatlian
dan diberikan kepada Tiong-siau, katanya: "Swat-lian dari
Thian-san ini dapat memunahkan segala macam racun. boleh
jadi aka? berguna bagimu, coba kau mengulumnya. Sebentar
kalau semangatmu sudah pulih, aku masih ingin bicara sedikit
dengan kau."
Sesudah mengulum Swat-lian itu, Tiong-siau merasakan
peredaran darah dalam badannya mulai lancar, semangatnya
tambah kuat, meski tenaganya masih belum pulih.
"Sungguh tidak nyana Hu-ong yang biasanya cinta padaku
itu, justeru malam ini aku hendak dibunuhnya." kata Tiongsiau
dengan gegetun. "Sebaliknya kau adalah musuhku, tapi
malah telah menolong aku."
"Cara bagaimanakah kau bisa menjadi penghuni istana?"
Cu-mu mulai tanya.
"Aku adalah anak piatu, ketika baginda raja dan Hong-eknio
berburu, aku didapatkan sedang memain dipadang
rumput. Entah mengapa baginda raja sangat suka padaku,
dan Hong ek-nio diperintahkan membawa pulang aku serta
mengangkat aku sebagai anak."
Padahal kejadian itu sengaja diatur oleh Kan-ong itu dan
bukan mendadak Tiong-siau diketemukan dipadang rumput. Di
balik itu tentu masih ada maksud tujuan lain yang tak
diketahui oleh Yap Tiong-siau.
Maka Cu-mu semakin sangsi oleh cerita Itu, katanya
kemudian: "Dan apakah kau tahu siapakah aku" Mengapa
sejak ke-cil Kan-ong menyuruh kau memalsukan curiku?"
"Semula akupun heran ketika beliau memberikan suatu
nama bangsa Han padaku," tutur Tiong-siau. "Kemudian
barulah aku diberitahu bahwa ada seorang musuhnya
mempunyai sepasang anak kembar. Kakak dari anak kembar
itu entah hilang kemana, adik perempuannya masih hidup.
Katanya musuh itu sebenarnya adalah bekas sahabatnya yang
karib, tapi berhubung perebutan kekuasaan, terpaksa
membunuh sahabat itu. Katanya dia sangat menyesal atas
peristiwa itu, maka ingin sekali menemukan kembali puteri
bekas sahabat itu. Untuk mana aku diminta menyaru sebagai
kakak sianak perempuan, agar aku dapat membujuknya bila
kelak saling bertemu. Agaknya beliau sudah menyelidiki
hingga jelas keadaanmu sewaktu kecil, semuanya aku telah
diberitahu den diajarkannya. Hanya aku tidak diberitahu
tentang siapakah kau dan mengapa bisa terjadi pengalamanpengalamanmu
Itu". "Sungguh aneh bin ajalb bahwa kau memalsukan aku, tapi
ternyata tidak tahu siapakah orang yang kau palsukan Itu."
ujar Cu-mu dengan tertawa.
"Ya, baginda cuma menerangkan kau adalah putera
sahabat yang dibunuhnya karena perebutan kekuasaan
dahulu, maka aku menyangka kau adalah keturunan pembesar
setia dari raja yang dulu. Baru kemarin dulu ketika aku
membaca surat wasiat kulit itu, meski cuma sebagian kecil
yang sempat kubaca karena sudah keburu direbut kembali
olehmu, tapi aku sudah lantas terang duduknya perkara
bahwa kau sendirilah adalah putera mahkota yang tulen."
Habis berkata, karena merasa orang adalah tuan
penolongnya, pula adalah putera mahkota, segera Tiong-siau
bermaksud memberi hormat peradatan.
Tapi Cu-mu sudah mencegahnya. Katanya: "Tidak perlu
begini. Kedatanganku kembali ini bukan karena kemaruk
kedudukan, tapi adalah untuk membalas dendam. Jika kau
dapat membantu aku, tentu aku akan sangat berterima kasih!"
Dan karena rasa sang-sinye masih belum terjawab semua,
segera ia tanya lagi: "Habis, siapa lagi Hong-ek-nio itu?"
"Masakah kau belum tahu?" sahut Tiong-siau. "Dia bukan
lain adalah permaisuri raja yang dulu, ialah ibumu."
"Tidak, sekali-sekali dia bukan ibuku," kata Cu-mu. "Kau
tidak perlu takut, biarpun dia hendak membunuh kau, tidak
nanti kutinggal diam. Aku justeru mendengar perundingannya
dengan Thian-mo-kaucu yang merencanakan hendak
membunuh kau, makanya aku menguntit dibelakang Thianmo-
kaucu kesini untuk menolong kau."
"Jika demikian, jadi apa yang dikatakan iblis perempuan itu
memang betul?" tanya Tiong-siau.
"Ya, sedikitpun tidak salah," kata Cu-mu. "Sungguh aku
ingin tanya padamu, sebab apakah Hong-ek-nio itu sangat
benci padamu hingga bertekad mesti membinasakan kau?"
Tiong-siau kelihatan bingung, ia memikir sejenak, lalu
katanya: "Akupun merasa tidak tahu. Sejak kecil Hong-ek-nio
itu seperti sangat jemu padaku, padahal aku adalah dia yang
memungut. Baginda mengharuskan aku menghormati dia
sebagai ihu, tapi aku takut pada kebengisannya, selamanya
aku jarang mendekati dia."
"Baik, sekarang mari kita pergi menemuinya kita harus
menyelidiki urusan ini hingga jelas," ajak Cu-mu. Tapi Tiongsiau
tampak serba susah dan ragu-ragu. Pada saat itulah,
sekonyong-konyong diudara terdengar suara mendesus
disertai sinar biru yang panjang. "Wah, celaka, adikku ada
kesulitan, aku harus pergi menolongnya. Marilah, kaupun ikut
padaku," seru Cu-mu.
Terpaksa Tiong-siau menurut. Sementara itu tenaganya
sudah, pulih sebagian besar, ia sudah dapat berlari.
Dengan Ginkang yang hebat, kedua orang segera berlari
menuyu kearah panah berapi itu. Dalam waktu singkat saja
terdengarlah suara gemerincing beradunya senjata sudah
sangat berdekatan.
"He, disitu adalah penjara istana," kata Tiong-siau.
Cu-mu merasa heran juga mengapa adiknya bisa
mendatangi penjara istana, masakah Kan-ong yang hendak
mereka cari itu berada disitu" Dan mengapa telah ketemukan
musuh pula"
Cepat Cu-mu menerobos kedalam, maka tertampaklah
banyak orang berkerumun diruangan dalam situ. Kok Tionglian
sedang dikerubut oleh 20-30 orang lawan. Diantaranya
seorang Hwesio asing berkasa merah dengan sebatang
tongkat tampak paling tangkas. Kok Tiong-lian sendiri
mengadang didepan seorang wanita, ia putar pedangnya
dengan kencang, terang sepenuh tenaga ia sedang melindungi
wanita itu. Kiranya raja sebenarnya tidak pergi ke Kim-eng-kiong, apa
yang dikatakan itu hanya untuk membohongi Yap Tiong-siau
saja, sebalik-baliknya diam-diam ia mengatur rencanania yang
telah ditetapkan.
Tapi sesudah menunggu sampai lama kedua Kiongli yang
ditugaskan membunuh pesakitannya itu masih belum tampak
kembali, ia lantas tahu ada sesuatu yang tidak beres, segera ia
mengirim kawanan Bu-su untuk memeriksa penjara istana.
Disitulah terja di pertarungan sengit, berulang kali Kok Tionglian
tidak berhasil menerjang keluar kepungan musuh,
terpaksa ia melepaskan Coa-yam-c an untuk minta bantuan.
Begitulah, sekali Cu-mu sudah menerjang kedalam, kontan
dua orang Bu-su kena dicengkeram olehnya terus dilempar
pergi. Hwesio asing itu menggertak sekali, dengan gerak "Hoankang-
to-hay" atau membalikan sungai dan menjungkirkan laut,
segera tongkatnya yang besar itu menyerampang kepinggang
Cu-mu. Dari sambaran angin yang keras itu. Cu-mu insaf
ketemukan tandingan berat. Segera ia menghantam dengan
Tay-seng-pan-yak-ciang untuk menahan tongkat lawan,
berbareng jarinya menutuk dari jauh. Maka terdengarlah suara
mendesis dua kali, Hoan-ceng atau Hwesio asing itu tergetar
mundur dua-tiga tindak, mukanya merah dan matanya
meotot, diubahnya berlubang kena tutukan itu, tapi
orangnya tidak sampai roboh.
Selagi Cu-mu hendak menyusuli serangan lain lagi, tiba-tiba
terdengar suara gemerantang yang keras, dua batang ruyung
musuh telah menyambar tiba dari atas. Cepat Cu-mu
menggunakan gerakan "Hong-hong-tiam-thau" atau burung
Hong manggut kepala, untuk hindarkan sabatan ruyung,
menyusul iapun melontarkan pukulan-pukulan dahsyat untuk
menahan senjata orang, tapi kedua batang ruyung lawan
ternyata sangat lihay, baru terguncang pergi, segera merapat
kembali lagi. Cu-mu terkesiap, tak terduga olehnya bahwa didalam istana
terdapat jago pilihan sebanyak itu.
Kalau satu lawan satu sebenarnya Cu-mu tidak nanti kalah,
tapi karena dikerubut, mau-tak-mau ia agak repot juga.
Sebaliknya Tiong-lian menjadi longgar dengan datangnya
sang kakak itu, segera ia putar Pokiam dengan kencang. maka
terdengarlah suara mendering yang nyaring. beberapa batang
senjata musuh sudah kena terkutung hingga Hcen-ceng itu
terpaksa mesti menarik kembali tongkatnya untuk menahan
rangsakan Tiong-lian. Dengan tongkatnya yang besar itu,
meski batang tongkat babak-belur juga kena pedang, tapi
tidak sampai kutung.
"Mak. itulah dia, Koko sudah datang!" demikian terdengar
Tiong-lian berseru kepada wanita tua yang dibelanya itu.
Maka terdengar wanita itu bersuara heran tercampur kejut.
Sebaliknya Danu Cu-mu juga tcrperanjat, serunya bertanya:
"Apa katamu, Moaymoay" Siapa dia?"
"Ibu kita" sahut Tiong-lian. "Hayolah lekas kita hancurkan
musuh, nanti kita bicarakan lagi!"
Dalam girang dan kejutnya Cu-mu menjadi sedikit ayal
hingga hampir-hampir, kena kesabat ruyung musuh.
Disebelah sana siwanita tua kembali bersuara heran pula,
diam-diam ia ragu-ragu apakah bukan dialam mimpi" Hal-Hal
yang susah dipercaya itu sekaligus telah dapat terjadi dalam
semalam! Tapi mengapa Lang-ma hanya memanggil Koko
pada seorang saja, lalu, pemuda yang lain itu siapa lagi?"
Kiranya saat itu Yap Tiong-siau juga sudah menyusul masuk
kesitu. Hoan-ceng itu belum tahu tentang keputusan
bagindanya yang bermaksud membunuh Yap Tiong-siau itu,
maka ia menjadi girang dan berseru: "Kian-tian-he, sangat
kebetulan kedatanganmu, lekas kau membantu aku!"
Mendengar Hwesio asing itu memanggil sipemuda sebagai
"Kian-tian-he". wanita tua itu merasa seperti terpukul
dadanya. "Ah, kiranya dia bukan puteraku. Ya. aku sudah
menemukan kembali kedua putera-puteri, hal ini sebenarnya
sudah jauh melebihi harapan ku.?"


Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Daipm pada itu Cu-mu lagi memikir: "B"arkan dia, ingin
kulihat pihak mana yang akan dibantunya?" Ternyata Yap
Tiong-siau kelihaian bingung, tiba-tiba ia berseru: "Toasuheng,
wah celaka! Kim Sih-ih bersama orang-orang dari empat aliran
terbesar sudah membikn geger Kim-eng-kiong. Suhu memberi
perintah agar kau lekas kembali kesana!"
Kiranya Hwesio itu adalah muridnya Po-siang Hoatsu yang
tertua. Mengira apa yang dikatakan Yap Tiong-siau itu adalah
benar, segerl tongkatnya mengemplang kearah Danu Cu-mu
untuk kemudian lantas mengundurkan diri.
Tapi Cu-mu sengaja perlihatkan ilmu saktinya, mendadak ia
menghantam kearah tongkat lawan, "trang", tahu-tahu
tongkat Hwesio itu melengkung, karena mati-matian Hwesio
itu memegang kencang-kencang senjatanya hingga orangnya
ikut berputar oleh tenaga pukulan Cu-mu itu. Lantaran
puteran itu hingga kedua ujung tongkatnya kontan mengenai
dua orang Bu-su yang berdiri disekitarnya dan roboh binasa.
Hoan-ceng itu sendiri rrasih sempat menggunakan tenaga
benturan itu untuk mengapung keatas. Ia jeri benar-benar
terhadap kesaktian Danu Cu-mu itu, tanpa blcara lagi segera
ia melayang lewat diatas kawanan Bu-su dan melarikan diri.
Beberapa anak muridnya segerapun ikut kabur.
Diam-Diam Cu-mu terkesiap juga oleh ketangkasan Hwesio
itu. meski tergetar oleh tenaga pukulannya yang hebat itu toh
masih dapat melarikan diri secepat terbang, maka dapat
dibayangkan betapa lihaynya Po-siang Hoatsu, mungkin
dirinya takdapat menandingi paderi itu.
Dalam pada itu Tiong-siau telah berseru pula: "Loh Yu, Loh
Jik, Hongsiang memberi perintah agar kalian lekas kembali
istana untuk melindungi beliau, mungkin ada kawanan
perusuh yang akan menyelundup kesitu! Kedua bocah ini
boleh kau serahkan padaku saja "
Loh Yu dan Lok Jik adalah kedua Bu-su yang bersenjatakan
ruyung itu. Mereka adalah komandan dan wakil komandan
pasukan pengawal raja, adalah jago-jago terkemuka dinegeri
Masar. Temyata kedua orang itu agak ragu-ragu terhadap seruan
Yap Tiong-siau, mereka tidak lantas mengundurkan diri.
Sebal"knya Loh Yu berkata: "Atas perintah Hongsiang, aku
diharuskan menangkap hidup-hidup penjahat yang
mengacaukan penjara ini, masakah Hongsiang mendadak bisa
mengubah keputusannya?"
"Kian-tian-he. lebih baik kau saja yang kembali kesana
untuk melindungi Hongsiang," kata Lok Jik. Sembari bicara,
ruyung kedua orang itupun terus berputar, mereka masih
terus menyerang. Mereka adalah saudara kembar, permainan
ruyung mereka satu-sama-lain dapat bekerja sama dengan
sangat rapat hingga dalam waktu singkat Danu Cu-mu juga
takdapat mengalahkan mereka.
"Baiklah, jika begitu biar kubantu kalian bekuk dulu kedua
bangsat cilik ini agar kalian bisa lekas-lekas pulang keistana,"
kata Tiong-siau. Habis itu, terus saja ia menyelinap maju.
Dalam ke-dudukannya sebagai "Kian-tian-he", sudah tentu
kawanan Bu-su itu tiada satupun yang curiga.
Dlluar dugaan, ketika sampai disamping Lok Yu, sekonyongkonyong
Tiong-siau rrelontarkan pukulan kepunggung Bu-su
itu Tampak-nya pukulan Tiong-siau itu pelahan saja, tapi
sebenarnya memakai tenaga Tay-seng-pan-yak-ciang Yang
hebat. Cuma sayang tenaganya belum pulih seluruhnya hingga
tenaga pukulan yang digunakan itu baru setengahnya saja.
Keruan Loh Yu menggereng kesakitan oleh serangan
mendadak itu. Tapi kontan iapun balas menyikut kebelakang.
Sudah tentu Tiong-siau sudah siap sedia sebelumnya, dikala
memukul tadi, berbareng tangannya yang lain telah sambar
seorang Bu-su disamping nya untuk dipakai sebagai tameng.
Maka sikutan Loh Yu itu tepat mengenai dada Bu-su itu,
sebaliknya Yap Tiong-siau sempat berkelit kesamping.
Ilmu silat Danu Cu-mu sebenarnya lebih tinggi daripada Loh
Yu bersaudara, cuma ruyung mereka bisa bekerja sama
dengan sangat rapat, maka seketika susah untuk
mengalahkan mereka. Tapi kini Loh Yu kena dihantam sekali
oleh Yap Tiong-siau, betapapun juga Loh Yu sempoyongan.
Maka pecahlah permainan ruyung mereka, kesempatan itu
segera digunakan oleh Cu-mu dengan baik, ketika ruyung
mereka menyambar tiba lagi, sekonyong-konyong Cu-mu
menyambar ujung ruyung mereka yang kacau itu, dan sekali ia
betot dan ayun. kontan tubuh kedua saudara she Loh itu kena
dilemparkan keluar pagar tembok.
Hoan-ceng jubah merah tadi bersama kedua saudara Loh
itu adalah tiga jago tertinggi ilmu silatnya didalam keraton,
sesudah mereka dikalahkan, sudah tentu kawanan Bu-su yang
lain tidak berani main gila lagi. Sekali berteriak, beramai-ramai
mereka lantas kabur semua.
Kok Tiong-lian menjadi heran melihat Yap Tiong-siau
membantu pihaknya. Tapi Cu-mu lantas berkata dengan
tertawa: "Dia sekarang bukan Kian-tian-he lagi, maka kitapun
tidak perlu pikirkan permusuhan yang dulu-dulu."
Dengan kemalu-maluan Tiong-siau lantas mendekati Kok
Tiong-lian dan menyatakan penyesalannya.
"Kau telah memalsukan kakakku hingga benar-benar
memancing datang kakakku yang tulen, hal ini ada baiknya
juga bagiku, maka akupun tidak marah padamu lagi," kata
Tiong-lian. Dan bila teringat olehnya centa ibunya, tiba-tiba hati Tionglian
tergerak. Ia coba melirik sang ibu, ia lihat orang tua itu
tampak bimbang, entah bergirang atau bersedih.
Kaanya sang ibu juga sedang memikir: "Dia telah
memalsukan Cu-mu, itu berarti adalah orang luar. Tapi
siapakah gerangan yang menyuruh dia memalsukan Cu-mu?"
Karena tidak sempat menceritakan perubahan pendirian
Yap Tiong-siau, maka lebih dulu Cu-mu lantas maju menemui
ibunya. Dengan singkat Tiong-lian hanya dapat menuturkan
apa yang di-deagarnya dari cerita ibunya itu. Tentang mereka
masih ada seorang Toako yang tak diketahui nasibnya. untuk
sementara iapun tidak sempat bercerita.
"Mak, tadi aku sudah ketemukan Hong-ek-nio yang jahat
itu, kiranya dia adalah permaisuri yang dulu membikin susah
ibu itu," kata Cu-mu kemudian. "Pantas dia sangat benci
kepada kita kakak beradik, asal bicara tentang kami, tentu dia
mencaci maki. Tapi sekarang dia telah kena kututuk, sebentar
ibu boleh bersama kami pergi melibatnya, cara bagaimana ibu
akan membereskan dia, terserah kepada keputusanmu."
Air mata sang ibu bercucuran saking terharu dan girang,
katanya: "Kini aku sudah menemukan kembali dua anakku,
sebaliknya perempuan keji itu tinggal sebatangkara, segala
kemewahan dan ke-jayaannya akhrinya hampa belaka. Jika
demikian, terang aku lebih beruntunglah dari dia. Sudahlah,
biarkan dia hidup didunia ini untuk merasakan masa-masa
yang sunyi. akupun tidak pikirkan membalas dendam lagi."
Melihat mereka ibu dan anak saling bertemu kembali,
sebaliknya Yap Tiong-siau sendiri merasa sebatangkara,
bahkan orang tua sejak lahir tak pernah dilihatnya, mau iakmau
ia menjadi muram dan berduka.
"Yap-kongcu, coba silakan kemari," tiba-tiba ibunya Cu-mu
menegurnya. Kiranya waktu Itu Cu-mu sedang menuturkan apa yang
didengar-nya dari Hong-ek nio tentang penemuan Yap Tiongsiau
dipadang rumput waktu kecilnya dahulu, maka ibunya
menjadi sangsi, dan lantas minta Yap Tiong-siau
mendekatinya untuk ditanya duduknya perkara.
Segera Tiong-siau melangkah maju dan memberi hormat.
Orang tua itu tampak memandangi Tiong-siau dengan sinar
mata melekat, sikapnya tampak keheran-heranan. Sejenak
kemudian, tiba-tiba ia menanya: "Kabarnya kau adalah putera
pungut Kayun (nama pribadi raja) dan kedudukanmu dalam
kerajaan adalah Kian-tian-he, betul demikian?"
"Ya, dahulu, tapi sekarang tidak lagi," sahut Tiong-siau
dengan malu-malu.
"Mengapa tidak lagi?" tanya orang tua itu dengan heran.
Maka Cu-mu lantas mewakilkan Tiong-siau menjawab:
"Mak, dia hendak dibunuh oleh Hu-ong yang diakunya itu,
dengan sendiri-nya ia tidak dapat menganggap ayah lagi
kepada orang yang hendak membunuhnya".
"O, jadi sekarang Kayun hendak membunuhnya" Sebab
apa?" tanya ibunya.
"Mungkin disebabkan Kayun menganggap dia tidak
melaksanakan, kewajibannya untuk menangkap kami kakak
beradik," sahut Cu-mu.
"Sejak kecil Kajun menyuruh kau memalsukan puteraku,
apakah kau tidak merasa heran akan urusan itu?" tanya pula
ibunya kepada Tiong-siau.
"Ya, aku sendiri juga merasa bingung, aku tidak tahu
mengapa dia tahu bahwa sesudah dewasa air mukaku akan
mirip dengan Tian-he," sahut Tiong-siau.
"Lalu, sebab apakah Hong-ek-nio juga hendak membunuh
kau?" tanya lagi ibunya Cu-mu.
"Akupun tidak tahu, yang terang, sejak kecil aku sudah
dibenci olehnya," sahut Tiong-siau.
Tiba-Tiba air mata orang tua itu bercucuran, ia pegang
tangan Tiong-siau dan berseru: "O, Cing Hong, bukankah
dibawah telapak kakimu terdapat sebuah andeng-andeng
merah?" Pertanyaan ini bagaikan halilintar disiang hari bolong hingga
Yap Tiong-siau tertegun, dengan mata terbelalak ia tanya:
"Darimana?"?" darimana kau tahu?"
Kiranya "Ciang Hong" itu memang nama kecilnya, nama
kecil itu hanya diketahui oleh orang tua yang memiaranya
diwaktu kecilnya itu. Sesudah dia dibawa kedalam istana,
nama kecil itu sudah tidak pernah digunakan lagi hingga tiada
seorangpun dalam keraton yang kenal nama kecilnya itu.
Lebih-Lebih tentang andeng-andeng merah dibawah telapak
kakinya, sudah tentu hal ini hanya dia sendiri yang tahu.
Begitulah segera ibunya Cu-mu memeluk Tiong-saiu eraterat
dan berseru: "O, Allah, jadi memang betul adalah kau!"
"Mak, siapakah dia?" tanya Cu-mu terkejut.
"Terima kasih kepada Thian yang maha murah!" kara
ibunya. "Lekas kalian menemuinya lagi, dia adalah Toako
kalian!" Hal ini memang sejak tadi sudah dalam bayangan Kok
Tiong-lian, maka iapun tidak terlalu heran. Katanya: "Koko,
cerita tentang Toako ini kau belum tahu, nasibnya yang
menyedihkan sesungguhnya tidak kalah daripada kita. Mak,
silakan kau mengulangi cerita lagi."
Maka mulai ibunya menuturkan pula apa yang terjadi
dahulu. Saking terharunya demi mengetahui rahasia. asal-usul
sendiri, tak tertahan lagi air mata Yap Tiong-siau bercucuran.
Segera ia berlutut dan menyembah dalam pangkuan ibunda.
Kiranya dahulu sesudah permaisuri yang kejam itu
merampas bayi yang baru dilahirkan itu, karena kuatir juga
kalau diusut oleh raja. maka ia tidak berani membunuh bayi
itu, tapi ia serahkan kepada seorang kepercayaannya untuk
memiarania diluar istana.
Sebaliknya baginda raja mengira puteranya itu telah
dibunuh oleh permaisuri yang kejam, maka ia telah putuskan
segala hubungan suami-isteri dengan permaisuri. Tapi karena
jeri kepada komplotan permaisuri yang berpengaruh, baginda
raja tidak berani mengusut lebih jauh peristiwa itu. Dan tidak
lama kemudian lantas terjadi pemberontakan Kayun dan
berhasil merebut tahtanya. Setelah mengetahui rahasia
keluarga raja lama. Kayun sengaja menggunakan Yap Tiongsiau
untuk memalsukan saudara kembar nya Kok Tiong-lian
dengan tujuan dapat memancing datang keturunan raja lama
untuk dibasminya.
Begitulah sesudah terang seluk-beluknya riwayat itu,
dengan gegetun Tiong-lian berkata: "Tipu muslihat Kan-ong
itu benar-benar sangat keji. Jika kita terjebak oleh intriknya
itu, maka itu berarti kita bersaudara akan saling gasak dan
saling menghianat."
"Ya, tapi untuk mana kita harus berterima kasih juga
kepada Kayun, kalau tiada usahanya itu, mungkin sampai
harini kita tak dapat berkumpul seperti sekarang," kata ibu
mereka dengan tertawa.
Tapi Tiong-siau masih penasaran, katanya dengan gemas:
"Selama ini aku telah ditipu habis-habisan oleh Kan-ong tu,
sungguh aku merasa berdosa kepada ibu dan berdosa kepada
adik-adikku sekalian."
"Ini bukan salahmu, anakku," kata ibunya. "Syukur harini
kita telah bertemu kembali dengan baik, untuk segala kejadian
yang lalu tak perlu lagi kita ungkat."
Sementara itu sudah dekat subuh, tiba-tiba Tiong-lian ingat
sasuatu: "He, aneh?"
Segera Cu-mu menyambung juga: "Ya, aneh, mengapa
Kang-suheng tidak nampak datang?"
Mereka bertiga telah berjanji saling memberi tanda dengan
Coa-yam-cian jika terjadi apa-apa, kini Coa-yam-can itu sudah
dilepaskan oleh Tiong-lian, sudah hampir setengah jam masih
tidak kelihatan bayangan Kang Hay-thian, sudah tentu hal ini.
menimbulkan rasa kuatir.
"Jangan-Jangan disana juga terjadi apa-apa, maka dia tidak
sempat melepaskan Coa-yam-cian?" kata Tiong-lian.
"Kepandaian Kang-suheng sudah jarang ada tandingannya,
andaikan terjadi apa-apa juga tidak perlu dikuatirkan," udiar
Cu-mu. "Siapakah Kang-suheng kalian itu?" tanya ibunya.
"Dia adalah Suhengku dari seperguruan, adalah teman main
Moay-moay sejak kecil," tutur Cu-mu. "Orangnya gagah dan
kepandaiannya tinggi, bila ibu ketemu dia tentu akan
menyukainya."
Mendengar itu, sebagai orang tua, dapatlah ibunya
menaksir beberapa bagian duduknya perkara Katanya dengan
tertawa: "Asal orang yang disukai Lang-ma, tentu saja akupun
akan suka".
Keruan muka Tiong-lian menjadi merah Katanya kemudian:
"Mesti kepandaian Hay-ko sangat t.ngg!, namun kita juga
mesti mencarinya hingga ketemu."
"Sudah tentu," kata Cu-mu. "Kini hari sudah hampir pagi,
pertemuan di Kim-eng-kiong akan dibuka pada sianq nanti,
jika Kang-suheng tidak ada, tentu akan kurang semarak."
Seperti diketahui, sebenamya mereka berjanji akan
berkumpul dibukit buatan ditaman situ pada sebelum subuh


Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tiba. Maka segera Kok Tiong-lian menggendong sang ibu, Cumu
dan Tiong-siau berdua mengawalnya dari muka dan
belakang, rombongan mereka lantas menuju ketaman sana
tanpa rintangan sedikitpun karena para Bu-su penjaga sudah
lari ketakutan.
Adapun Kang Hay-thian yang ditinggalkan menunggu diatas
bukit itu, karena bukit itu adalah tempat paling tinggi didalam
bangu nan keraton, maka ia dapat memandang sekelilingnya
dengan cu-kup jelas. Waktu itu sudah lewat tengah malam,
tapi keadaan masih sunyi senyap dan tiada kelihatan tanda
Coa-yam-cian. Sudah tentu Kang Hay-thian tidak tahu
Bukit Pemakan Manusia 12 Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Pendekar Panji Sakti 24
^