Kisah Pedang Di Sungai Es 21

Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen Bagian 21


sudah seperti saudara saja,
apalagi Hay-thian pernah menolong dimanya, maka perasaan
sedih tu hanya terjadi sebentar saja, sesudah itu ia malah
merasa gembi-ra dan bahagia bagi Kok Tiong-lian.
Begitulah mereka melanjutkan perjalanan. Sementara itu
jalan pegunungan itu makin susah ditempuh.
Thay-san atau gunung Altai adalah salah satu pegunungan
yang terkenal didunia. tidak cuma lereng-lerengnya yang
terjal, yang paling susah ditahan adalah hawa didataran tinggi
itu. zat asam yang diperlukan manusia semakin sedikit
sehingga pernapasan terasa sangat susah sesudah mencapai
ketinggian selaksa kaki dipermukaan laut.
Oleh karena tekanan atmosfir yang semakin tipis, maka
sinar sang surya yang langsung memancar kearah mereka itu
menjadi terasa sangat panas. Tapi bila berada ditempat yang
tak terkena sinar ma-tahari atau bila matahari sudah mulai
terbenam, maka dinginnya sampai menusuk tulang sumsum.
Dalam keadaan begitu, biarpun mempunyai kulit tembaga dan
tulang besi juga takkan tahan.
Lwekang daripada Kang Hay-thian, Danu Cu-mu dan Hoa
Thian-hong bertiga sangat tinggi sehingga mereka masih
dapat bertahan, tapi In Khing dan In Bik yang masih cetek
Lwekangnya. baru sampai ditengah gunung mereka sudah
menggigil tak tahan. Untung Thian-hong telah siap sedia
sebelumrca. ia memberikan masing-masing orang 12 biji
"Yang-ho-tan", obat bikin hangat badan yang dimakan
menjadi tiga kali, dengan bantuan obat ini mereka taksir
dalam waktu dua hari sudah dapat melintasi Leng-ciu-hong
dan akan menurun kebalik gunung sana.
Besoknya waktu lohor rombongan mereka sudah mencapai
pun-cak Leng-ciu-hong itu. Bentuk puncak gunung itu
menyerupai bu-rung raksasa yang sedang pentang sayap,
bagian tengah puncak itu menjulang tinggi mencakar langit.
Sungai es bersiropang-siur tak terhitung banyaknya laksana
ular perak yang berkeliaran dilereng pegunungan Itu.
Sambil menghela napas gegetun Thian-hong berkata:
"Leng-ciu-hong sebenarnya tidak terhitung puncak yang
tertinggi dianta-ranya ketiga puncak terkenal pegunungan
Altai ini, tapi toh sudah begini sulit dipendeki. Hoa-san yang
kudiami itu juga terkenal terjal, tapi kalau dibandingkan
dengan keadaan disini boleh dikata tiada artinya lagi."
"Tapi puncak yang tertinggi dipegunungan Altai ini juga
ma-sih jauh kalau dibandingkan dengan puncak Cumulangma
dari-pada gunung Himalaya. Puncak Cumulangma itu dahulu
Suhuku sendiri juga tidak sanggup mencapainya," demikian
kata Cu-mu. Thian-hong kelihatan muram dna bungkam, dalam hati ia
sedang berpikir: "Pik-ji bila benar-benar mengalami bahaya
dipuncak Leng-ciu-hong ini, jangankan ketemu musuh
tangguh, biarpun tiada rintangan apa-apa. juga dia akan mati
kedinginan disini, kecuali ka-lau waktu itu kebetulan ada orang
kosen yang telah menolongnya. Ai, rasanya tidak mungkin
terjadi secara begitu kebetulan, tampak-nya dia lebih banyak
celakanya daripada selamatnya. Ya, aku hanya berusaha
mencarinya sebisa mungkin, adapun nasibnya hanya
ter-gantung takdir ilahi saja."
Begitulah mereka lantas mulai menyelidiki keadaan puncak
gu-nung itu. Thian-hong dan Hay-thian mencari dari kedua
samping lereng, tapi yang kelihatan cuma salju melulu,
bahkan bekas-bekas bi-natang buas atau burung juga tidak
kelihatan, jangankan jejak manusia. Sesudah mereka kembali
ketempat berkumpul, mereka men-adi lesu dan saling
pandang dengan muram.
"Mungkin setengah jam lagi kita baru dapat melintasi
puncak utama ini, marilah kita mencari lagi keatas sana," kata
Cu-mu kemudian.
"Tapi aku sudah merasa sangat payah," kata Thian-hong
dengan tersenyum getir. "Kulihat tiada gunanya kita" mendaki
puncak utama sana, biarlah aku bersuara untuk
memanggunya saja, syukur kalau dia masih hidup dan tentu
akan mendengarnya."
Kiranya bukanlah Thian-hong merasa tidak tahan lagi, tapi
se-sungguhnya dia tidak tega membikin In Khing berdua
saudara ikut menderita, makanya ia gunakan alasan itu.
"Biarlah aku saja yang memanggilnya," segera Hay-thian
mengajukan diri. Lalu ia menghimpun tenaga dalamnya,
dengan ilmu "Thian-tun-thoan-im" (mengirimkan gelombang
suara) yang he bat ia terus menggembor: "Adik Bik, kami.
telah datang untuk men-cari kau, bila kau mendengar suara
kami, harap kau lemparkan sepotong batu kebawah!"
Dengan Lwekang Kang Hay-thian yang tinggi itu, semua
orang percaya biarpun In-pik berada dalam jarak sejauh tiga
sampai lima li juga pasti akan mendengarnya dengan jelas,
jadi kalau dia berada diatas puncak utama pegunungan Altai
itu, tentu gadis itu akan dapat mendengarnya.
---ooo0dw0ooo---
Jilid 17 KAGUM sekali Thian Hong terhadap Lwekang anak
angkatnya itu yang bukan saja sangat kuat, tapi nyaring tanpa
menggetar sehingga tidak akan kuatir salju akan longsor
akibat kuatnya teriakannya itu.
Namun sesudah Kang Hay Thian mengulangi seruannya
beberapa kali, tetap tiada suara sahutan apa-apa tapi
merekapun tiada kecewa sebab sebelumnya merekapun tiada
menaruh harapan akan berhasilnya seruan Kang Hay Thian.
Mereka melanjutkan perjalanan kedepan.
Didepan tampak menghadang sebelah tebing es yang
sangat tinggi dan curam, licin sebagai kaca dan gemerlap
dibawah cahaya sinar matahari.
Sedang mereka mengamat amati tebing itu tiba-tiba dari
atas jatuh sepotong batu, hampir2 Kang Kay Thian tidak
percaya akan matanya sendiri ia tertegun sejenak lalu
serunya: "Tentu Pik moay telah mendengar suaraku tadi!"
"Mungkin batu ini hanya jatuh secara kebetulan saja." ujar
Thian Hong, nyata ia tidak percaya bahwa batu itu sengaja
dilemparkan puterinya dari atas.
Tapi baru saja selesai ucapannya, dari atas kembali
berjatuhan pula batu kedua dan ketiga, sungguh girang Hay
Thian tak terkira serunya: "Tidak, ini pasti bukan kebetulan
saja! Pik moay, Pik moay, aku telah datang"
Tebing itu halus licin sehingga susah untuk dipegang
dengan tangan, Kang May Thian tidak menghiraukan dingin es
yang merasuk tulang itu, segera ia tempelkan tubuhnya didinding
es itu, dengan "Pia hou yu Jiangkang?" (ilmu cecak
merayap di dinding), terus saja ia. "merayap" keatas.
Beberapa kali ia tergelincir turun kembali. tapi ia tidak patus
asa ia merayap lebih cepat, untung Ginkangiya sangat hebat.
dikala keadaan tidak enak, segera ia mengeluarkan pedang
dan ditancapkan kedalam dinding es itu untuk menahan
tubuhnya. Maka dengan kepandaian merayap itu diseling dengan
menikam pedang kedalam dinding es secara bergantian,
lambat laun Kang Hay Thian sudah hampir mencapai puncak
tebing es itu. lapat-lapat dapat dilihatnya diatas puncak
setinggi ini ada tempat tinggal orang, pikirnya. Segera terpikir
juga olehnya "Ya tentu Pik moay telah ditolong oleh tuan
rumah ini kalau tidak, mana mampu dia tahan hawa dingin
dipuncak setinggi ini?"
Dan selagi ia hendak merayap untuk mencapai puncaknya
tiba-tiba didengarnya suara seruling yang sayup-sayup merdu
mengharukan, penyuling itu tampak nya penuh menahan
perasaan yang tak terlampiaskan.
Diam-Diam Hay Thian heran: iKiranya adik Pik pandai
meniup seruling, dari seruling ini agaknya dia masih sangat
menyesali diriku"
Karena akhirnya dapat diketetnukan jejak nya Hoa In Pik.
biarpun bagaimana Hay Thian merasa sangat girang, maka
segera ia merayap lebih cepat keatas.
Tidak lama kemudian, kira-kira dua meier lagi sudah dapat
mencapai puncak es itu, tiba-tiba ada sepotong batu
menggelinding pula dari atas. batu-batu itu menyambar lewat
disisinya sehingga memecahkan lapisan dinding es. Cepat
Kang Hay Thian meloncat sekuatnya sehingga tubuhnya
melayang keatas sambil berseru: "Adfk Pik, aku sudah datang!
Jangan kau melempar batu itu lagi!"
Tapi mendadak ia di papak oleh suara mengerang yang
keras, didipannya tahu-tahu sudah berdiri seekor binatang
aneh, binatang yang dapat berdiri tegak seperti manusia,
bahkan kakinya yang depan dapat menggenggam sepotong
batu dan siap ditimpukkan, dibelakang binatang itu terdapat
pula seekor binatang yang serupa dan sedang meringis-ringis
buas sehingga kelihatan siungnya yang tajam. Segera Kang
Hay Thian dapat mengenali dua iikor binatang itu bukan lain
adalah Kim Mo Soan piaraan Le Hok Sing.
Dengan susah payah akhirnya Kang Hay Thian dapat
merayap keatas puncak es itu, siapa duga Hoa Jn Pik tak
kelihatan jejaknya, sebaliknya ketemu kedua ekor Kim Mo
Soan ia menjadi gusar dan mendamprat: "Kiranya kalian
binatang ini yang mempermainkan diriku !"
Rupanya kedua Kim Mo Soan itu juga masih kenal Kang Hay
Thian, meresa beberapa kali pernah dihajar pemuda itu maka
mereka sudah kapok dan takut pada nya. Begitu lihat pemuda
itu meloncat naik keatas, dengan segera mereka ngacir
dengan mencawat ekor sambil mengeluarkan suara yang
aneh. Jika binatang-binatang, ini berada disini, agaknya Le Hok
Sing berada disini pula. Biarlah kuperiksa kedalam rumah itu.
demikian pikir Hay Thian
Tapi sebelum ia memburu kearah Kim Mo Soan, tiba-tiba
terdengar suara seorang menggema disebelahnya, "janganlah
kau memaki kedua eker binatang itu, sebab aku yang suruh
mereka melemparkan batu kebawah"
Hay Thian terkejut, waktu ia berpaling, di lihatnya seorang
pemuda dengan baju berbulu sambil memegang sebatang
seruling sedang berdiri diatas sepotong batu tipis yang mirip
altar dan lagi memandang padanya dengan sorot mata
dingin.?" Pemuda itu memakui baju kulit berbulu warna putih dan
berdiri pula dialas batu es sehingga hampir! susah dilihat kalau
tiada bayangannya yang tercetak ditanah itu Pula waktu itu
Kang Hay Thian meloncat keatas, yang Segera dipergoki
adalah kedua ekor Kim Mo Soan tadi sehingga dia tidak
mengetahui disebelahnya masih ada seorang lagi.
Baru sekarang Kang Hay Thian tahu bawa peniup seruling
tadi bukanlah Hoa In Pik tapi adalah pemuda ini. Dengan
mendongkol ia lantas tanya: "Siapakah saudara" mengapa kau
menggoda diriku ?"
iApakah orang ini yang dikatakan sebagai muridnya Kim Si
Ih ?" terbalik pemuda itu menanya, tapi bukan kepada Kang
Hay Thian, melainkan kearah lain.
Waktu Hay Thian memandang kearah yang dipandang
pamuda itu, baru sekarang dapat di lihatnya bahwa Le Hok
Sing sedang menongol dari samping orang aneh itu.
"Ya, benar, itulah dia", demikian terdengar Le Hok Sing
menjawab. Maka terdengar pemuda baju pulih iiu mendengus sekali,
lalu katanya- dengan tertawa dingin: "Huu, ada guru begitu
tentu adu murid yang sama, kalian guru dan murid memang
setali tiga uang."
Hay Thian tercengang tanyanya: iKita selamanya tidak
pernah kenal, mengapa tiba kau lantas memaki orang" Apa
kesalahanku?"
iHm, aku tidak kenal kau, tapi apa yang perbuat apa
akupun juga tidak tahu menahu?" sahut pemuda itu. "Hm, kau
memang satu cetakan dengan gurumu orang yang tak berbudi
dan tak kenul kebaikan, sedikitpun tidak punya perasaan, tepi
disebut sebagi Tayhiap dan Siauhiap apa segala, hra,
hakikatnya menipu orang belaka!"
Sudah tentu-caci maki. yang tak keruan juntrungannya itu
membuai Kang Hay thian menjadi bingung. Tiba-Tiba tergerak
hatinya, cepat ia tanya: "Apa yang kau maksudkan dengan
ucapanmu itu" Apa barangkali kau telah ketemu dengan nona
Hoa?" "Lekas katakan, lekas, dimanakah dia sekarang" Aku tiada
tempo buat berdebat dengan kau!" seru Hay Thiaa dengan
tak sabar, Dan pada saat itu juga tiba-tiba dari dalam rumah aneh itu
terdengar suara seruan orang yang berulang-ulang: "Hay ko!
Hay ko!" suara itu lemah dan lirih, tapi dapat didengar Hay
Thian dengan jelas.
Kejut dan girang pula Kang Hay Thian, tanpa menghiraukan
pemuda dihadapannya lalu segera ia berlari kearah rumah itu
sambil berteriak: "Adik Pik, aku sudah datang!"
Rumah itu terbuat dari balok es, sekelilingnya juga halus
licin, tapi saking tebalnya dinding rumah itu. sehingga tak
kelihatan keadaan didalam rumah. Yang paling aneh ialah
pintu keluar masuk rumah itu tak dapat diketemukan. Diam-
Diam Kang Hay Thian membatin: "Dalam keadaan sakit,
apakah adik Pik tahan tinggal didalam rumah es seperti ini?"
segera ia menerjang maju kedepan, ia ingin buru-buru
menyelamatkan Hoa In Pik.
Mendadak sipemuda baju putih tertawa dingin katanya:
"Apakan belum cukup kau membikin susah padanya?" belum
lenyap suaranya, bagaikan burung terbang saja orangnya
sudah menubruk tiba, dimana serulingnya bergerak seperti Ih
Gi Hiat dibawah ketiak Kang Hay Thian hendak ditutuk.
Ih Gi Hiat adalah salah satu Hiat to-yang mematikan
ditubuh manusia, namun dengan cepat sekali Kang Hay Thian
sempat menggeser kesamping dengan Thiau lo poh hiat. in
menjadi gusar sekal", semprotnya: "Nona Hoa adalah adik
angkatku, nama yeng ia panggil tadi bukan lain adalah aku
sendiri, mengapa kau melarang aku melihatnya" Ada urusan
apa tentu dia akan bicara sendiri padaku, buat apa kau ikut
campur urusan orang lain" Kau pernah apanya dia?"
"Persetan apakah kau saudara angkatnya atau bukan?"
bentak pemaia baju putih itu dengan bengis. "Kau berdosa
padanya, itu berarti hubungan persaudaraan kalian sudah
putus, Sekarang dia adalah tetamuku, sekali aku melarang kau
menemuinya, maka tetap aku melarang" sambil berkata, maka
serangannya tidak menjadi kendor, hanya dalam sekejap saja


Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

3 Hiat-to penting diatas tubuh Kang Hay Thian telah merata
diserangnya. Namun Kang Hay Thian dapat menggunakan ginkangnya
yang tinggi dengan Thian lo poh hoat yang lincah untuk
menghindari setiap serangan lawan, cuma tetap tak dapat
menerjang maju.
Akhirnya ia menjadi tak sabar juga, bentak nya: "Jangan
kau salahkan aku jika kau tetap merintangi aku !"
"Enyah kau, Kau mau berbuat apa boleh coba kau lakukan,
jangan kau salahkan pula padaku jika kau tidak mau enyah
dari sini" balas bentak pemuda baju putih.
Diam-Diam Hay Thian mengerahkan tenaga dan memukul
kedepan, Cuma ia menaksir pemuda yang membela ln Pik itu
besar kemungkinan bukan orang jahat, maka tenaga yang
dilontarkan hanya tipu bagian saja dengan maksud memaksa
pemuda baju putih itu menyingkir kepinggir. lalu ia hendak
menerobos kedepan.
Diluar dugaan pemuda itu hanya tergeliat sedikit saja dan
tetap menghadang didepannya keruan diam-diam Hay Thian
heran, "Apa barang kali diapun berhasil meyakinkan ilmu
sakti?" Hendaklah diketahui setelah makan Thian Sim Ciok maka
kekuatan Kang Hay Thian mungkin selain jurunya, yaitu Kim Si
Ih. maka boleh dikata tiada seorangpun yang mampu
menandingi lagi. Dengan menggunakan tiga bagian tenaganya
saja ia sudah kuatir kalau pemuda baju putih itu tidak tahan.
Ia menaksir bila pemuda itu tidak terjatuh roboh, paling tidak
pasti akan menyingkir pergi Siapa duga pemuda baju putih itu
justeru tangkis mentah-mentah pukulannya itu dan hanya
tergeliat sedikit saja. Namun begitu, segera wajah pemuda
itupun tampak merah, marah dan gusar dan rupanya
ketangkasan Kang Hay Thian itu pun diluar dugaannya.
Dan selagi Kang Hay Thian tertegun sejenak, sekonyongkonyong
terasa serangkum angin hawa panas meniup dari
depan, kiranya pemuda baju putih itu telah meniupkan Sun
yang cinggi (hawa panas murni) dengan bumbung
serulingnya. Walaupun lwekang pemuda itu belum mencapai
tingkitan tertinggi, tapi lwekang yang dilatihnya agak
istimewa, senjata yang dipakainya itu bernama "Un Giok Siau"
(seruling kemala hangat) yang juga merupakan semacam
senjata pusaka, maka hawa yang ditiupkan olehnya ini juga
sangat panas seperti api Kang Hay Thian memiliki ilmu
pelindung badan, sudah tentu tidak takut terpengaruh hawa
panas itu tapi mau tak mau ia harus berjaga kaku mata dan
bagian lemah lain kena serangan. Segera ia penjamkan mata,
dengan menunduk segera ia menyusup kesamping, dengan
kepandaian "Thing hongi pian gi" (mendengarkan angin
membedakan senjata), segera ia hendak merampas seruling
lawan. Tapi pemuda baju putih itupun sangat cekatan pada detik
Kang Hay Thian mengedip mata, segera ia mendahului
menutuk, "plak", dengan tepat "Cing ciok niat" dipunggung
Kang Hay Thian, tapi tangan pemuda itu merasa sakit pegal
sendiri dan terhuyung-huyung mundur, namun begitu maksud
Kang Hay Thian hendak merebut seruling lawan menjadi gagal
juga karena tempat yang tertutuk itu lantas terasa kemeng.
Tenaga lawan ternyata jauh lebih kuat dari pada dugaannya.
Melihat Kang Hay Thian tertegun sejenak sipemuda baju
putih segera menubruk maju pula, kembali hiat to berbahaya
diincarnya lagi
Hay Thian menjadi gusar, bentaknya: "Bagus, karena kau
tidak tahu malu, biarlah ku beri tahu rasa juga padanya?"
menyusul Cay In Pokiam segera dilolosnya, mendadak
menyabat kedepan".
Maka terdengarlah suara "trang" sekali pedang dan seruling
saling bentur. Dengan pedang mustikanya Hay Thian menduga
pasti akan menahas kutung seruling lawan. Tak terduga
Sesudah kedua senjata saling beradu, seruling si pemuda baju
putih ternyata tidak rusak sedikitpun. bahkan pada
kesempatan lain pemuda itu terus memutar lagi kebelakang
untuk menutuk "Kong hu hiat" dipunggung Kang Hay Thian.
Waktu Hay Thian memutar pedangnya ke belakang untuk
menangkis, sekali ini pemuda baju putih tak mau mengadu
senjata lagi, mendadak ia mengganti tipu serangan ditengah
jalan dan mematuk "km cong liiui" dibawah iga Kang Hay
Thian, bahkan disertai menyindir pula: "Hm, katanya lihay,
kiranya cuma sekian saja !"
Dalam pada itu rasa kemeng Kang Hay Thiaa tadi sudah
hilang tenaganya sudah dapat dikerahkan sepenuhnya. "sretsret-
siet". beruntun ia menyerang tiga kali sehingga pemuda
baju putih agak kerepotan. "Kau mau menyingkir atau tidak ?"
bentak Hay Thian.
Meski pemuda baju putih itu berani menyindir, tapi diamdiam
dia tahu betapa liehay nya Kang Hay Thian, ketika sinar
pedang lawan se-akan mengurung rapat disekelilingaya, mau
tak mau ia menjadi jeri, maka ketika Kang Hay Thiau
menambahi pula serangan-serangannya dengan pukulanpukulan
dahsyat akhirnya pemuda baju putih itu terpaksa
harus menyingkir kepinggir.
Cepat Kang Hay Thian menerjang kedepan "blang", ia
menghantam keras-keras sekali diatas dinding rumah aneh
tadi, lapisan es tampak retak dan bertebaran, tapi saking
tebalnya dinding es itu, maka tetap susah untuk
membobolnya, "Adik Pik akulah yang datang, jangan takut !" seru Hay
Thian. Tapi aneh juga, ketika tadi ia naik kepuncak situ masih
didengar suaranya Hoa In Pik yang memanggilnya, tapi
selanjutnya tidak terdengar pula sesuatu suara nona itu,
sekarang Kang Hay Thian sudah berada di depan rumah dan
bermaksud membobolnya untuk menerjang kedalam,
sepatutnya sekarang ln Pik mesti ber suara pula, namun
didalam rumah es itu tetap tiada terdengar sesuatu suara apaapa.
Sekuatnya Kang Hay Thian coba menghantam pula dinding
rumah dengan Kim kong ciang yang dahsyat, "prak", kembali
lapisan es bertebaran dan rontok sebagian, sekarang dari
dinding es yang jernih remang-remang dapat kelihat an
didalain rumah itu. terdapat sebuah tempat tidur yang besar
dengan bentuk yang aceh, warnanya hijau gelap, entah
terbuat dari apa, di atas tempat tidur merebah seorang yang
menghadap kesana, tapi lapat-lapat kelihatan seperti
seorang wanita.
"Orang itu adik Pik atau bukan?" demi kian Hay Thian agak
ragu-ragu. "Tapi suara In Pik tadi sekali-sekali tak keliru
baginya, scsu dari memanggilnya tadi kenapa sekarang nona
itu ttmpak sudah tertidur" Jangan-Jangan?" demikian ia
menjadi kuatir pula, sebab dengan suara pukulannya yang
keras menggempur dinding tadi harusnya In Pik akan terkaget
sekali pun dalam keadaan pulas kecuali kalau nona itu
keracunan atau sudah meninggal dunia."
Tapi Kang Hay Thian tidak berani memikirkan terus. Dan
pada saat itu juga terdengar sipemuda baju putih sedang
membentuk: "Apa kau ingin membikin mati dia ?" menyusul
serulingnya menutuk tiba pula.
Hay Thian menangkisnya sambil berseru. "Bagaiamana
dengan adik Pik, kau telah mengapakan, dia" Mati atau hidup
dia sekarang?""
"Ngaco belo!" bentak sipemuda baju putih "Kau
menghantam sembarangan kedinding es itu. kau yang sengaja
hendak membikin celaka dia?"
Hay Thian terkesiap, baru sekarang ia ingat babwa dinding
es itu tidak dapat disamakan dengan dinding batu yang takkan
ambruk meski berlubang tapi dinding es itu dapat retak dan
mungkin runtuh kena pukulannya. Karena itu ia tak berani
menghantam lagi :
"Jika begitu, harap kau mengatakan padaku cara
bagaimana aku harus masuk kedalam rumah
"Aku mengatakan kau harus lekas enyah dari sini-sini!"
sahut sipemuda baju putih.
Dengan mendongkol Hay Thian coba memohon: "Apakah
kau tidak dapat membiarkan aku melihatnya sebentar saja ?"
"Dia tidak sudi melihat kau lagi," sahut sipemuda.
"Dari mana kau tahu?" tanya Hay Thian.
"Dia sendiri yang mengatakan padaku kata sipemuda,"
"Tapi tadi dia telah memanggil namaku?"
"Persetan, aku tiada tempo buat banyak cingcong dengan
kau, Pendek kata, kau mau lekas enyah dari sini atau tidak ?"
dan kembali pemuda itu putar serulingnya dan menyerang
pula dengan cepat.
Diam-Diam Hay Thian merasa pedih juga, pikirnya: "Dia
merebah dan membelakangi aku. apa barang kali dia benarbenar
tidak sudi melihat aku lagi" Tapi ah, tidak, aku harus
menemui dia !"
Dengan tekad itu, segera ia hantamkan sebelah tangannya
sehingga serangan seruling lawan kena ditolak pergi,
menyusul ia gunakan pedang untuk menusuk dinding es itu,
dengan melubangi dinding es dengan pedang tentu tak akan
mengakibatkan rumah itu runtuh tergetar Sejak tadi Le Hok
Sing hanya menonton disamping. kini mendadak membentaki
"Kau memang bocah yang tak tahu adat, dan berani main
gila disini! Baiklah terpaksa kami menggebuk kau sampai
ngacir" segera ia pun mengeluarkan senjata Giok Jiok (mistar
kemala) dan dengan marah-marah terus menghantam keatas
kepala Hay Thian,
Giok Jiok yang dipakai Le Hck Sing itu adalah benda
mestika dan tidak takut pada Cay ln Pokiam, maka begitu
saling bentur segera mencipratkan lelatu api.
"Le sioksiok, mengingat Suhu dan Subo (guru dan ibu guru)
maka aku tidak bermusuhan dengan kau, kenapa kau terus
menerus mempersulit urusan Ku?" seru Kay Thian.
Dari ayahnya dan Ki Kiau Hong pernah Hay Thian
mendengar bahwa Le Kok Sing itu tentu ada bubungan
kekeluargaan dengan Le Seng Lam, isteri resmi (tapi tak
pernah hidup ber sama) Kim Si Ih, makanya ia bicara seperti
tadi. "Kau masih berani mengungkat tentang gurumu" Kalian
guru dan murid bukan manusia baik-baik semua," sahut Le
Hok Sing dengar gusar. Segera ia menyerang puia dengan
gencar. Dibawab keroyokan dua orang, walaupun Kang Hay Thian
tidak sampai kalah tapi repot juga menghadapi ilmu tutuk
sipemuda baju putih yang lihay itu, sehingga berulang-kali ia
terpaksa mundur dan menjauhi rumah es itu.
Sedang pertempuran itu berlangsung dengan sengit, tibatiba
terdengar suaranya Danu Cu Mu dan Hoa Thian Hong
yang hampir bersamaan dan menanya Hay Thian apakah
sedang bertempur dengan musuh. Rupanya mereka tidak
sekuat Kang Hay Thian, maka baru sekarang mereka dapat
menyusul keatas puncak es itu.
Hay Thian sangat girang, cepat ia berteriak: "Kalian cepat
kemari, adik Pik berada disini!"
Mengetahui Kang Hay Thian kedatangan bala bantuan,
sipemuda baju putih tidak berani terlibat lebih lama dalam
pertempuran itu mendadak ia bersuit dan segera melarikan
diri bersama Le Hok Sing.
Karena tujuan Kang Hay Thian adalah ingin menolong Hoa
In Pik, maka iapun tidak mengejar melainkan mendekati
rumah es itu. Tak terduga baru saja ia sampai didepan rumah aneh itu,
dari dinding yang di hantamnya sehingga sudah tipis dan
tembus itu kelihatan kedua ekor Kim Mo Soan itu be rada
didalam rumah. Keruan Hay Thian kaget. Hanya sekejap saja
tahu-tahu kedua ekor Kim Mo Soan sudah menghilang begitu
pula Hoa in Pik sudah tidak kelihatan lagi.
Sesudah terkesima sejenak, segera Hay Tln-an sadar: "Ya,
tentu dalam rumah itu ada jalan rahasia di bawah tanah dan
kedua ekor binatang itu telah masuk melalui jalan rahasia itu.
Benar Juga, sejenak kemud"an tiba-tiba tertampak kedua
ekor Kim Mo Soan menerobos keluar dari bawah tarnah
ditempat puluhan meter jauhnya. Dan sipemuda baju putih
serta Le Hok Sing sudah menungga disana, begitu Kim Mo
Soan itu muncul, segera sipemuda baju putih memondong In
Pik dari punggmg Kim Mo-Soan terus dibawa lari bersama Le
Hok Sing dengan menunggang Kim Mo Soan itu.
---ooo0dw0ooo---
Keruan Kang Hay-thian menjadi gugup, cepat ia berseru,
"Adik Pik! Adik Pik! Kembalilah, ayahmu telah datang!" Dan
sekuat mungkin ia melompat maju, dengan tiga kali lompatan
naik-turun, bagai anak panah cepatnya akhirnya ia dapat
menyusul sampai di belakang Kim-mo-soan dan hampirhampir
dapat menangkap ekornya.
Pada saat itu juga In-pik seperti bergerak sedikit di atas
punggung si pemuda baju putih tadi serta mengeluarkan suara
rintihan yang lemah perlahan, "Hay-ko, Hay-ko!"
Dengan jelas Hay-thian dapat melihat keadaan In-pik
seperti tak sadarkan diri dan ucapannya seperti disuarakan
dalam keadaan mengigau. Dengan girang dan kuatir segera
Hay-thian berseru pula, "Adik Pik, bagaimanakah kau?"
Namun tiada jawaban, In-pik seperti telah terpulas lagi.
Sekuatnya Hay-thian melompat maju lagi dan segera
hendak membetot ekor Kim-mo-soan. Tapi mendadak si
pemuda baju putih menoleh, "berrr", kembali ia meniupkan
hawa panas melalui serulingnya.
Kuatir kalau salah melukai Hoa In-pik, maka Kang Hay-thian
tak berani balas menyerang, terpaksa ia hanya mengegos ke
samping. Karena itu juga jambretan Hay-thian atas ekor Kimmo-
soan menjadi luput dan binatang itu sudah berlari lebih
cepat ke depan.
Dari dua jurusan Hoa Thian-hong dan Danu Cu-mu saat itu
juga sudah sampai di atas puncak, Thian-hong lebih dekat
dengan si pemuda baju putih, segera ia berseru, "He, siapakah
kau" Lekas lepaskan putriku!"
Si pemuda baju putih tampak tercengang sejenak, tapi tidak
menghentikan Kim-mo-soan. Dalam pada itu dengan cepat
sekali Danu Cu-mu telah menimpukkan sepotong salju. Tapi
ketika kena hawa panas tiupan si pemuda baju putih, seketika
batu salju itu mencair menjadi hawa. Habis itu barulah
pemuda itu berkata kepada Thian-hong, "Biarpun kau adalah
ayahnya, tapi aku tetap tidak dapat menyerahkannya padamu.
Di seluruh jagat ini hanya aku saja yang dapat menyembuhkan


Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dia, apa kau tahu?"
Dan ketika Thian-hong dan Cu-mu tertegun, dalam sekejap
saja kedua ekor Kim-mo-soan sudah makin menjauh secepat
terbang dan akhirnya menghilang. Hanya dari jauh terdengar
suara seruling si pemuda baju putih yang nyaring merdu. Dari
lagu serulingnya itu lapat-lapat Thian-hong dapat menduga
bahwa pemuda baju putih itu pasti tiada maksud jahat atas
diri In-pik, bahkan menunjukkan rasa sukanya kepada si nona.
Diam-diam Thian-hong merasa lega, tapi lantas terpikir
olehnya, "Biar bagaimanapun, kalau kaum muda-mudi berada
bersama tetap akan tidak baik, jangan-jangan akan
menimbulkan hal-hal yang tak diharapkan."
Maklum dalam pandangan Thian-hong sudah sejak lama ia
anggap In-pik dan Hay-thian adalah suatu pasangan yang
setimpal. Sebab itulah ia menjadi kuatir ketika si pemuda baju
putih membawa lari In-pik.
Sebaliknya Kang Hay-thian di samping kecewa karena tak
dapat menolong In-pik, tapi merasa lega juga baginya. Selama
ini ia selalu masgul mengenai keselamatan nona itu, tapi
sekarang nona itu telah diketemukan dan dari ucapan si
pemuda baju putih yang mencaci-maki padanya dapat
diketahui mempunyai maksud baik kepada In-pik. Maka
kemudian ia tuturkan kepada Thian-hong apa yang terjadi
sesudah dia naik ke atas puncak itu.
Katanya dengan tertawa, "Dari ucapan pemuda bafu putih
itu agaknya ia sedang sibuk mengobati adik Pik, sungguh
menggelikan, dia tidak tahu bahwa ayah angkat justru adalah
tabib sakti di zaman ini."
"Macam-macam penyakit aneh di dunia ini juga belum tentu
dapat kusembuhkan semua," ujar Thian-hong. "Marilah kita
coba periksa ke dalam rumah es itu."
Dan sesudah Hay-thian membobol dinding es dengan
pedangnya, akhirnya mereka dapat menyusup ke dalam
rumah. Demi melihat tempat tidur yang aneh itu tiba-tiba
Thian-hong berseru, "Kiranya di dalam rumah ini terdapat
benda mestika ini, pantas Pik-ji tahan hawa dingin."
"Terbuat dari bahan apakah tempat tidurnya?" tanya Hay
Thian "Coba kau raba," sahut Thian-hong. "Tempat tidur ini
terbuat dari batu kemala hangat yang hanya terdapat di
pegunungan Kun Lun dan paling berguna bagi orang sakit."
Waktu Kang Hay-thian meraba tempat tidur itu, benar juga
rasanya hangat-hangat nyaman, diam-diam ia menyesal, "Jika
begini, perbuatanku tadi berarti telah membikin susah adik Pik
malah." "Jangan kuatir, asal masa bahayanya sudah berlalu, ada
lebih baik malah kalau dia dirawat di bawah gunung," ujar
Thian Hong. "Pemuda baju putih itu entah orang macam apa, kenapa
tinggal di dalam rumah aneh seperti ini dengan tempat tidur
mestika," kata Hay thian.
"Ya, entah kenapa dia seorang diri tinggal terpencil di atas
gunung ini, hal ini memang luar biasa mengingat usianya yang
masih muda", sahut Thian-hong.
Walaupun mereka tidak dapat menerka asal-usul si pemuda
baju putih, tapi mereka pun merasa lega karena tahu pemuda
itu pasli tiada maksud jahat terhadap In-pik.
Kemudian mereka keluar kembali dari rumah es batu. Tiba
Hay Thian-hong mengendus-endus dan berkata, "He, kalian
mencium bau wangi tidak?"
"Ya, tapi bau ini sangat aneh, di tengah bau wangi
tercampur bau busuk pula," sahut Hay-thian.
Tapi arah tiupan angin berlainan, maka ketika mereka
datang tadi tidak merasakan bau-bau aneh itu. Sekarang
sesudah menghirup hawa udara lagi barulah mereka
merasakan bau itu.
"Kedua macam bau ini memang berbeda, yang satu harum
dan yang lain busuk," ujar Thian-hong. "Bau busuk itu entah
bau apa, tapi bau harum itu pasti adalah bau bunga tri-warna
yang hanya terdapat di atas puncak gunung ini, boleh juga
kita coba melihatnya."
Hay-thian dan Cu-mu juga merasa tertarik, segera mereka
menuju ke arah angin untuk mencari tempat yang
mendatangkan bau aneh itu.
Setiba di suatu tempat, tampaklah di situ terdapat sebatang
pohon di sekitarnya tiada tumbuh-tumbuhan lain lagi. Pohon
itu tidak berbunga, tapi di tanah tampak ada beberapa kelopak
bunga yang rontok, ada yang berwarna putih, ada yang
kuning dan ada pula yang bersemu merah. Kelopak bunga itu
memang sama seperti bunga yang dibawa elang piaraannya
itu. Thian-hong coba menjemput sepotong kelopak bunga dan
dicium, baunya memang sangat wangi. Katanya, "Aneh, habis
bau busuk itu datang darimana?"
Mereka coba memeriksa di sekitar situ, akhirnya Hay-thian
dapat menemukan sesuatu benda panjang, waktu ia gunakan
pedang untuk mencungkilnya dan memeriksa, kiranya adalah
seekor ular aneh yang badannya bening tembus, bagian
lehernya pecah bekas cakaran. Ular itu sudah lama mati, tapi
karena badannya bening-bening tembus, maka susah untuk
dilihat di antara salju yang putih. Ketika bangkai ular itu
diangkat, seketika bau busuk itu melebihi bau harum bunga
tri-warna tadi.
"Lekas buang saja yang jauh," seru Thian-hong. "Untung
ular itu sudah mati, kalau tidak, tentu kita bisa keracunan."
"Ular apakah ini, kenapa begini lihai?" tanya Hay-thian
sesudah melemparkan bangkai ular.
"Ular aneh ini bernama Soat-lian-coa (ular salju), yang
berbisa adalah kabut semburannya, sedikit kena racun
semburannya sudah dapat mengakibatkan kematian," tutur
Thian-hong. "Yang paling celaka ialah si penderita akan
tersiksa dulu seperti terendam di dalam peti es, jadi beratus
kali lebih hebat dari orang yang menggigil sakit demam."
"Apakah ular salju ini selalu mesti hidup berdampingan
bunga tri-warna ini," sahut Hay-thian.
"Ya," sahut Thiang-hong. "Pada umumnya dimana terdapat
benda mestika atau tumbuh-tumbuhan mukjizat, tentu di situ
terdapat pula penjaganya. Dan tampaknya ular salju ini
memang dilahirkan sebagai penjaga bunga tri-warna ini?"
"Apakah dunia ini tiada benda lain yang dapat mengatasi
ular jahat ini" Apakah tiada obatnya kalau kena semburannya
yang berbisa?" tanya Cu-mu
"Hanya ada sesuatu makhluk yang dapat mengalahkan dia,"
sahut Hoa Thiang-hong. "Yaitu sejenis Hwe-lian-coa (ular api)
yang hanya terdapat di lereng gunung Hwe-yam-san di daerah
Turfan yang penuh lahar."
"Ayah, tadi kau mengatakan penderita racun ular salju itu
akan lebih parah daripada orang sakit demam, apakah
penderita juga pasti dalam keadaan tak sadar?" tanya Haythian
tiba-tiba teringat kepada sesuatu. "Dan penderita itu
juga akan mengigau?"
"Ya, sudah tentu saja dalam keadaan tak sadar," sahut
Thiann-hong. Dan mendadak ia berseru, "Celaka! Memang
benar Pik ji sudah kena racun ular salju itu."
Lalu Hay-thian menceritakan kejadian tadi, ketika
didengarnya suara In-pik, tapi nona itu toh kelihatan dalam
keadaan pulas. Thian-hong mondar-mandir, tampaknya sedang memikirkan
sesuatu. Sejenak kemudian, tiba-tiba ia berseru "Untung,
untung?" "Kenapakah ayah?" tanya Hay-thian cepat.
"Bukankah leher ular salju yang kau temukan tadi tampak
pecah"' tanya Thian-hong.
"Benar," sahut Hay-thian.
"Ular itu sangat keras kulitnya, menurut dugaanku, pasti
lehernva itu pecah karena cakaran elang piaraanku," ujar
Thian-hong. "Menurut perhitunganku, tentu saat itu Pik-ji
jatuh di samping pohon bunga tri-warna itu, maka ia sempat
memetik setangkai bunga itu dan dibawakan kepada elang
untuk disampaikan kepadaku. Aku pun dapat menduga kenapa
Pik-ji bisa jatuh di puncak ini."
Kemudian ia menyambung pula, "Pada umumnya setiap
binatang tentu mempunyai musuh pembawaan, seperti kucing
tentu makan tikus dan ular pasti makan kodok. Elang
piaraanku itu paling suka menangkap ular, apalagi ular ini
mempunyai bau yang tajam, begitu mengendus baunya,
dengan segera elangku ini menerjun ke bawah untuk
memagutnya. Semburan berbisa ular itu tak dapat mencelakai
elang, tapi telah mencelakai Pik-ji."
"Dan darimana pula kedua batang panah yang mengenai
elang itu?" tanya Hay-thian.
"Itulah perbuatan si pemuda baju putih," sahut Thian-hong.
"Inilah aneh," ujar Kang Hay-thian. "Dia tampak sangat baik
pada adik Pik, kenapa pula menyerang binatang piaraannya?"
"Kukira sebabnya pemuda itu tinggal terpencil di puncak
gunung ini justru ialah untuk menunggu berkembangnya
bunga tri-warna 'si cantik di dalam salju' ini," ujar Thian-hong.
"Bunga aneh ini hanya berkembang sekali selama 60 tahun.
Boleh jadi leluhur pemuda itu sudah menemukan pohon bunga
ini, tapi tak tahu bilamana akan berbunga, makanya mereka
mendirikan rumah es ini dan mengumpulkan batu kemala
hangat dari Kun-lun-san, mereka menetap di sini untuk
menunggu mekarnya bunga tri-warna itu, berbareng mereka
meyakinkan ilmu sakti dengan bantuan tempat tidur hangat
itu. Boleh jadi hal itu sudah dimulai sejak kakek si pemuda
hingga turun-temurun sampai sekarang barulah bunga triwarna
itu mekar. Rupanya kebetulan elang yang membawa
Pik-ji lewat di sini, karena mencium bau ular salju yang aneh,
maka telah menerjun ke sini untuk menerkam mangsanya,
sebab itulah Pik-ji telah tersembur racun ular dan elang itupun
keburu kena panah si pemuda baju putih, pada saat
berbahaya In Pik-ji sempat memetik setangkai bunga aneh ini
dan dibawakan kepada elang yang dapat melarikan diri. Dan
karena elang itu terluka, maka sampainya di rumah menjadi
ketinggalan daripada perjalanan Hay-ji."
"Jadi kemudian adik Pik telah ditolong juga oleh pemuda
baju putih itu, tampaknya dia toh memang bermaksud baik,"
ujar Hay-thian.
"Dan dia dapat melukai elang sakti Hoa-locianpwe itu, hal
ini menandakan kepandaiannya juga sangat hebat," kata Cumu.
"Anehnya, kenapa dia tidak mau menyerahkan kembali
adik Pik kepada kita, meski Hoa-locianpwe telah diketahui
adalah ayahnya."
"Ya, masih ada sesuatu yang aku merasa heran," kata
Thian hong. "Tentang apa?" tanya Hay-thian.
"Le Hok-sing adalah wakil Kaucu dari Thian-mo-kau, tidak
nyana ia pun berada di sini dan berada bersama dengan
pemuda baju putih itu. Hal ini membuat aku menjadi kuatir
bagi Pik-ji," kata Thian-hong.
"Meski Le Hok-sing adalah Hukaucu Thian-mo-kau, tapi
tidak pernah terdengar dia berbuat sesuatu kejahatan," cepat
Hay-thian menerangkan. "Malahan guruku juga pernah
mengatakan dia adalah orang baik."
Thian-hong tercengang, katanya kemudian, "Jika betul
gurumu berkata demikian, maka dia tentu bukan orang jahat."
"Ya, yang terang si pemuda baju putih telah memolong adik
Pik maka dapat dipercayai dia pasti seorang baik," sahut Hay
Ihian "Jika demikian kita boleh tidak kuatir lagi," ujar Cu mu
"Marilah sekarang kita turun ke bawah gunung saja supaya In
Khing berdua tidak menunggu terlalu lama."
Begitulah mereka lantas memutar kembali ke bawah
gunung. Tapi tebing es yang terjal itu lebih gampang didaki
daripada turunnya .kalau sedikit kepleset bukan mustahil akan
jatuh ke bawah jurang dan hancur lebur.
Hoa Thian-hong sudah lanjut usianya, kuatir orang tua itu
tergelincir maka Hay-thian selalu mengiring di sampingnya,
dengan demikian Danu Cu-mu telah mendahului berjalan di
depan. Kira-kira sampai di pinggang gunung, tiba-tiba Cu-nui
berseru "Dengarkan, Kang-suheng, apakah suara itu bukan
suara benturan senjata?"
Hay-thian terkejut, ia coba mendengarkan dengan cermat
benar juga, ia lantas berseru, "Ya, betul, ada empat orang
yang sedang bertempur. Agaknya In Khing berdua telah
ketemu musuh, lekas kau turun dahulu untuk membantu
mereka." Segera Danu Cu-mu berlari ke bawah, maka dalam sekejap
ia sudah jauh meninggalkan Hay-thian berdua. Sesudah dekat
dengan tempat pertempuran, dapatlah Cu-mu melihat jelas
siapa musuh In Khing dan In Bik itu.
Ternyata kedua musuh itu dikenalnya semua, yang satu
adalah Bun Ting-bik dan yang lain adalah Kaso, putra Kayun.
Dengan mati-matian tampak In Khing melawan Bun Ting-bik,
tapi karena selisih kekuatan kedua pihak sangat jauh, maka
berulang-ulang In-khing tampak terdesak mundur. Cuma usia
In Khing masih muda, tenaganya kuat, ditambah Tay-lik-kimkong-
ciang keluarga In mereka bukanlah sembarangan ilmu
pukulan, maka dalam 30 jurus permulaan ia masih dapat
menahan rangsekan Bun Ting-bik.
Pada partai lain tampak In Bik melawan Kaso dengan
bersenjata, selisih kepandaian mereka tidak jauh maka
kekuatan kedua pihak hampir seimbang, cuma In Bik juga
terdesak di bawah angin.
"Jangan kuatir, adik Bik, aku telah datang!" teriak Cu-mu.
Mendengar suara Cu-mu, In Bik menjadi girang,
semangatnya terbangkit seketika, "sret-sret-sret", ia
menyerang tiga kali secara beruntun sehingga Kaso dipaksa
melompat mundur dan keadaan mereka menjadi seimbang
lagi. Sedangkan Bun Ting-bik lantas menyerang lebih gencar
sehingga In Khing terpaksa mesti main mundur lagi. Melihat
itu, Cu-mu pikir lebih penting membantu dulu In-Khing, maka
segera ia memburu ke arah situ.
Sementara itu In Khing sudah terkurung di bawah tenaga
pukulan Bun Ting-bik, tampaknya dengan segera In Khing
akan kena dihantam roboh, kebetulan Danu Cu-mu tepat
datangnya, "biang", dengan segera ia telah menangkis
hantaman Bun Ting-bik yang sedang dilontarkan itu. Karena


Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

benturan kedua tangan, Bun Ting-bik tergetar mundur
setindak dan Danu Cu-mu juga tergeliat.
Pada saat itu pula terdengarlah suara suitan panjang yang
nyaring keras. Bun Ting-bik terkejut, pikirnya, "Celaka, kiranya
bocah she Kang itupun berada di sini."
Dalam pada itu kembali Danu Cu-mu telah menghantam
pula, terpaksa Bun Ting-bik harus menangkis, "bluk", kini
tampak ia terhuyung-huyung ke belakang.
Diam-diam Cu-mu menjadi heran kenapa Bun Ting-bik
begini tak becus. Padahal dahulu kekuatan mereka seimbang
ketika bertanding di negeri Masar. Tapi ia pun tak sempat
berpikir lebih jauh, segera pukulan ketiga dilancarkan lagi
dengan sepenuh tenaga. Begitu dahsyat pukulan Cu-mu itu
hingga bagaikan gugur gunung lihainya.
Maka terdengarlah Bun Ting-bik menjerit sekali, belum lagi
tangan Cu-mu mengenai tubuhnya, lebih dulu Bun Ting-bik
sudah mencelat pergi sejauh beberapa meter dan tampaknya
sudah tak bernyawa lagi.
Pada saat itulah terdengar Kaso juga menjerit sekali dan
segera angkat langkah seribu. Mungkin karena dilihatnya Bun
Ting-bik sudah binasa, maka segera ia melarikan diri dengan
ketakutan. Kaso adalah putra raja lalim Kayun, pula pernah
bersekongkol dengan utusan negeri Kunbran menyelundup ke
dalam gudang pusaka kerajaan Masar, sudah tentu Danu Cumu
tidak membiarkan dia lolos.
Segera ia membentak sambil mengejar, "Keparat, masih
ingin lari ?"
Tampaknya dengan segera Kaso akan dapat dibekuk oleh
Cu mu mendadak didengarnya di belakang ada suara
gedebukan suara jatuhnya orang. Menyusul terdengarlah
suara bergerak tertawa Bun Ting Bik, sebaliknya In Bik
sedang menjerit kaget.
Sungguh kejut Cu-mu tak terkatakan. Waktu ia menoleh
dilihatnya In Khing telah jatuh di tanah dan belum sempat
merangkak bangun, sedangkan Bun Ting-bik sudah
mengempit In Bik terus dibawa lari ke arah sana.
Rupanya kejadian Bun Ting-bik muntah darah dan mencelat
tadi sebenarnya cuma pura-pura saja. Biarpun Lwekang Danu
Cu mu sudah mencapai kemajuan setelah makan Thian-simciok,
tapi juga belum dapat mematikan Bun Ting-bik dengan
pukulan-pukulan tadi, sebabnya Ting bik sengaja pura-pura
mati ialah karena jeri kepada Kang Hay thian la sengaja
memancing Danu Cu-mu memburu ke arah Kaso, dengan
demikian ia dapat segera menggunakan akal liciknya dengan
menawan In Bik sebelum Kang Hay-thian tiba.
Sebenarnya dengan kepandaian In Khing dan In Bik juga
masih dapat melawan Bun Ting-bik dan tidak mudah tertawan,
tapi karena mereka pun menyangka musuh sudah mati, paling
tidak juga tentu terluka parah, sebab itulah mereka tidak siap
siaga dan tahu tahu In Khing dihantam roboh serta In Bik
kena ditangkap.
Keruan Danu Cu-mu sangat kuatir demi melihat In Bik
dibawa lari musuh. Terpaksa ia melepaskan Kaso dan
memutar balik untuk mengejar Bun Ting-bik.
Ginkang Danu Cu-mu memang lebih tinggi daripada Bun
Ting bik, apalagi sekarang Ting-bik mengempit seorang
tawanan, maka dalam sekejap saja ia sudah disusul oleh Cumu.
Terpaksa Ting-bik berhenti, serunya dengan tertawa dingin,
"Hm, jika kau tidak menguatirkan jiwa anak dara ini, nah,
bolehlah maju!" menyusul ia terus menghantam sekali ke
belakang. Sudah tentu Danu Cu-mu tidak gentar kepada lawan, tapi ia
kuatn salah melukai In Bik, maka terpaksa ia mesti
menghindarkan serangan lawan, dengan demikian jarak
mereka menjadi tertarik beberapa langkah lebih jauh lagi.
Sementara itu In Khing juga sudah merangkak bangun dan
ikut mengejar. Tapi mereka pun tidak berdaya karena mesti
ingat pada keselamatan In Bik yang tertawan musuh.
Terpaksa mereka hanya mengejar terus, tapi tak berani
menyerang. Kemana Bun Ting-bik lari, ke situ juga mereka
mengudak sehingga akhirnya sampai di sebuah selat gunung
yang sudah membeku menjadi es. Setelah kejar mengejar
melalui selat es dan membelok ke suatu lereng es, tiba-tiba
tertampak puncak es di depan sana menyemburkan hawa
panas dan lapisan es di sekitarnya sama mencair, percikan air
berhamburan di udara sehingga menimbulkan warna-warni di
bawah cahaya sang surya yang gilang-gemilang.
Kiranya daerah dataran tinggi di wilayah barat-laut banyak
terdapat pegunungan berapi di bawah tanah, cuma saja
gunung api yang sudah sekarat, artinya sudah hampir mati,
hanya permukaannya saja yang masih menyemburkan air
panas. Tapi bagi Danu Cu-mu biarpun waktu itu di depannya
menghadang sebuah gunung berapi hidup juga pasti akan
diterjangnya. Apalagi saat itu jarak lembah es itu masih
beratus-ratus meter jauhnya dari pancuran air panas di atas
puncak gunung itu.
Saat itu Bun Ting-bik sedang mendaki sepotong cadas es
yang menonjol. Mendadak ia terpleset dan hampir-hampir
jatuh. Tentu saja Cu-mu sangat girang kesempatan itu segera
digunakan untuk menutuk dari jauh dengan tenaganya yang
kuat. Terdengar Bun Ting-bik berteriak sekali, dan pada saat
itulah telah terjadi sesuatu yang luar biasa. Mendadak batu es
yang diinjaknya telah retak, menyusul terdengarlah suara
letusan yang gemuruh, suatu arus air bah sekonyong-konyong
menyembur ke atas. Keruan semangat Bun Ting-bik serasa
terbang ke awang-awang saking kagetnya. Cepat ia lemparkan
In Bik sekenanya dan mendadak ia melompat sekuatnya
dengan tujuan menghindarkan tempat bahaya.
Dalam keadaan berbahaya itupun Danu Cu-mu juga
melompat ke atas. Cuma tujuannya bukan bermaksud
menghindarkan tempat bahaya itu, melainkan menubruk ke
arah In Bik. Ketika In Bik dilemparkan ke atas batu es yang mendadak
retak dan dibanjiri air bah, seluruh badan nona itu sudah
terendam di dalam air, hanya rambut dan tangannya yang
kelihatan di permukaan air.
Kiranya tempat dimana mereka berpijak itu di bawahnya
adalah sebuah sungai es. Di permukaan sungai telah
membeku, tapi bagian bawah arus sungai masih terus
mengalir. Oleh karena dekat di situ ada sumber air hangat
gunung berapi, maka lapisan es yang beku di permukaan
sungai tidak tebal. Ketika ada sepotong batu es retak diinjak
Bun Ting-bik, seketika terjadilah reaksi berantai dan
mengakibatkan batu-batu es di sekitarnya retak semua,
seketika pulihlah keadaan asalnya, air sungai penuh batu es
yang terapung dan arus sungai mengalir dengan derasnya.
Ketika Cu-mu melompat maju hendak menyambret In Bik,
tapi di bagian bawah menjadi kehilangan tempat berpijak,
sebab di sekelilingnya hanya arus sungai belaka. Sedapat
mungkin Cu-mu berusaha mengenjot tubuhnya, tapi
bagaimanapun juga susah untuk melintasi sungai yang
puluhan meter lebarnya itu. Maka akhirnya dia bersama In Bik
terjeblos ke dalam sungai dan terhanyut oleh arus sungai yang
deras. Cu-mu tidak dapat berenang, terpaksa ia hanya
mengandalkan Lwekangnya yang tinggi untuk menahan napas
berbareng ia merangkul In Bik sekencangnya supaya tidak
terhanyut oleh arus. Dalam keadaan tak bisa berbuat apa-apa,
terpaksa Cu-mu hanya pasrah nasib saja.
Bun Ting-bik sendiri juga tidak dapat melompat ke tepi
sungai, waktu turun ke bawah, kebetulan kakinya menginjak
sepotong batu es yang terapung. Tapi kebetulan pula In Khing
berada di sebelahnya, dengan berpegang pada sepotong batu
es terapung, In Khing tidak sampai tenggelam ke dasar
sungai, maka ia sempat menggunakan sebelah tangannya
untuk menghantam sekali pada Bun Ting-bik.
Menghadapi bencana es longsor yang tak terduga-duga itu,
Bun Ting-bik sudah ketakutan setengah mati, sudah tentu ia
tak menduga di sebelahnya terdapat musuh, pula tidak
sempat menangkis, seketika ia kena dihantam hingga
terjungkal dan tenggelam di tengah arus sungai yang deras.
"Haha, bangsat tua! Akhirnya aku dapat membalas sekali
pukulan padamu!" seru In Khing dengan tertawa gembira.
Tapi belum lenyap suara tertawanya sekonyong-konyong
batu es yang dibuat pegangan itupun pecah, seketika In Khing
kehilangan sandaran dan ikut terhanyut pula di tengah
gelombang air sungai yang mengamuk.
Bencana yang mendadak itu benar-benar tak terduga sama
sekali. Saat itu Kang Hay-thian baru saja turun dari Leng-ciuhong,
ketika mendengar suara gemuruh retaknya batu es,
cepat ia memburu tiba, sampai di tepi tebing, dilihatnya di
bawah situ sebuah sungai dengan arusnya yang bergolak,
sedangkan Danu Cu-mu dan In Khing kakak beradik sudah tak
tertampak bayangannya.
Hay-thian berteriak-teriak memanggil, tapi yang terdengar
hanya suara gemuruhnya gelombang arus sungai yang
mengamuk. Seperti orang gila Hay-thian berlari-lari menyusur
tepi sungai hingga beberapa li jauhnya, akhirnya ia
menghadapi jalan buntu karena di depan hanya tebing curam
belaka, terpaksa ia berdiri terpaku di situ memandang
gelombang sungai yang mendampar-dampar, dia hendak
menangis tapi tak keluar air matanya, pandangannya serasa
gelap dan perasaannya hampa.
Entah sudah berapa lama, akhirnya didengarnya suara
seorang yang welas asih sedang memanggilnya, "Hay-ji,
marilah kita pergi dari sini!"
Itulah Hoa Thian-hong yang telah menyusul tiba. Maka
menangislah Kang Hay-thian sepert anak kecil, katanya
dengan sedih, "Mereka ... mereka telah terhanyut tanpa
bekas!" "Ya, apa boleh buat, semuanya tergantung takdir, nasib
orang siapa yang tahu?" ujar Thian-hong. "Diharap saja
mereka akan dapat selamat biarpun tak pandai berenang, tapi
dengan ilmu silat mereka yang tinggi, mungkin mereka dapat
menahan hawa dingin dan tidak sampai meninggal di dalam
sungai. Semoga mereka terdampar ke tepi sungai atau
akhirnya diketemukan orang dan tertolong."
Sudah tentu Hay-thian tahu apa yang dikatakan ayah
angkatnya itu hanya sekadar untuk menghiburnya saja.
Tidaklah mungkin di pegunungan es itu kebetulan ada orang
lewat yang dapat menolong Danu Cu-mu bertiga.
Padahal meski lahirnya Hoa Thian-hong berlaku sangat
tenang dan menghibur Kang Hay-thian, tapi batinnya
sebenarnya juga sanga susah. In Khing dan In Bik ikut
padanya dalam perjalanan ini, kalau terjadi apa-apa atas diri
muda-mudi itu sudah tentu dia malu untuk bertemu kembali
dengan In Ciau. Jadi sebenarnya di dalam batin Thian-hong
jauh lebih sedih daripada Kang Hay-thian. Tapi dia sudah
kenyang asam-garam, dalam segala hal ia bisa berlaku lebih
tenang. "Apakah kita akan meninggalkan mereka begini saja?"
tanya Hay-thian dengan sedih.
"Paling penting sekarang kau harus memberitahukan
kejadian ini kepada saudara Cu-mu," ujar Thian-hong. "Aku
sendiri akan melintasi pegunungan ini untuk mencari muara
sungai, bila dapat kuketemukan mereka, boleh jadi akan dapat
segera ditolong."
Hay-thian menjadi teringat kepada Kok-Tiong-lian, tapi ia
pun merasa kuatir membiarkan Hoa Thian-hong sendirian
mencari jejak Danu Cu-mu bertiga.
Namun Thian-hong telah berkata, "Aku sudah biasa
berkelana di pegunungan, maka kau jangan kuatir. Sebaliknya
kau seorang diri mesti pergi ke negeri Kunbran yang masih
asing bagimu, yang akan kau cari adalah putri kerajaan Masar
yang sedang bersengketa dengan mereka, mungkin dimanamana
akan bertemu musuh, untuk ini hendaklah kau berlaku
hati-hati. Ya, sebenarnya lebih baik kalau kau pulang dulu
untuk memberitahukan hal ini kepada Yap Tiong-siau, tapi
urusan adik perempuannya memang juga mendesak, pula di
sini sudah termasuk wilayah negeri Kunbran, maka aku pun
susah untuk bicara lagi, pendek kata segala sesuatu hendaklah
kau berlaku hati-hati."
Begitulah sesudah Thian-hong berjanji pula akan menyusul
ke Kunbran bila dapat menemukan Danu Cu-mu bertiga dan
Kang Hay-thian diminta mencari kabar In-pik, kemudian
mereka lantas berpisah ....
Adapun tentang keadaan Danu Cu-mu yang terhanyut oleh
arus sungai yang deras itu, dengan susah payah terkadang ia
sempat meloncat ke permukaan air untuk berganti napas.
Untung Lwekangnya sangat tinggi, sesudah bernapas ia lantas
dapat bertahan lebih lama. Di tengah gelombang arus itu
selalu ia merangkul In Bik dengan kencang, di kala mumbul ke
atas air untuk bernapas ia pun membawa serta In Bik sekalian.
Suhu di bawah air selamanya lebih hangat daripada di
permukaan air, di dasar sungai itu paling dingin juga bertahan
antara 4?C dan hanya bagian atas saja yang membeku
menjadi es, bagian bawah selamanya tak pernah beku. Sebab
itulah meski Lwekang In Bik lebih lemah, tapi tidak sampai
mati beku. Karena tidak dapat berenang, sudah tentu Danu Cu-mu
sangat kuatir, meski tenaganya kuat, akhirnya ia menjadi
lemas juga, pandangannya mulai buram. In Bik yang dirangkul
olehnya lamat-lamat juga tidak bergerak lagi sama sekali.
Diam-diam Cu-mu mengeluh apakah mereka akan terkubur di
dasar sungai itu"
Selagi Cu-mu merasa putus asa, tiba-tiba terasa arus sungai
menjadi lamban, kiranya mereka sudah terhanyut keluar dari
selat sungai yang sempit, sekarang permukaan sungai sangat
lebar, tanahnya lebih datar sehingga aliran air tidak sederas
tadi. Waktu Cu-mu sekuatnya meloncat lagi ke permukaan air,
tiba-tiba dilihatnya di depan sana ada sepotong batu es
terapung yang besar, ke depan lagi batu es terapung itu
semakin banyak sehingga mirip getek atau rakit saja.
Kiranya muara sungai ini sudah sangat jauh jaraknya dari
gunung api, hawa udara sangat dingin sehingga batu es
terapung itu sangat keras terbeku, ke depan lagi bahkan
permukaan air sungai juga membeku menjadi es.


Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Danu Cu-mu sangat girang, sekuatnya ia memegang ujung
batu es terapung dan mendadak ia meloncat ke atas, ia
membawa In Bik naik ke atas rakit es itu. Meski keadaan Cumu
sudah lemas, tapi dalam girangnya ia menjadi lupa akan
keadaannya sendiri, segera ia memondong In Bik, ia keluarkan
Ginkangnya dan melompat dari satu batu es ke batu es
terapung yang lain sehingga akhirnya dapatlah mencapai
tepian dengan aman.
Sesudah meletakkan In Bik ke tanah, Cu-mu coba
memanggilnya beberapa kali, tapi kedua mata nona itu
tertutup rapat, mukanya pucat menghijau, sedikitpun tidak
bisa bergerak lagi. Hanya perutnya tampak gembung, terang
nona itu telah banyak kemasukan air sungai.
Cu-mu tidak ingat pada keletihannya sendiri, pula tidak
menghiraukan pembatasan antara pria dan wanita lagi, segera
ia mengurut dan memijat In Bik, sesudah tenggorakan
nona itu mengeluarkan suara. Lalu ia pegang kakinya dan
dijungkir sehingga nona itu memuntahkan air yang tertahan di
dalam perutnya. Sejenak kemudian perlahan-lahan In Bik
mulai siuman, tapi tetap lemas dan susah untuk bicara. Segera
Cu-mu membantunya dengan menyalurkan hawa murni sendiri
untuk melancarkan darah si nona. Selang agak lama, akhirnya
dapatlah In Bik bersuara perlahan. "Adik Bik! Adik Bik!" seru
Cu-mu. Perlahan-lahan In Bik membuka matanya, tanyanya dengan
bingung, "He, dimanakah aku berada" Apa di alam mimpi?"
"Ya, kita memang habis bermimpi buruk!" ujar Cu-mu
dengan senyum getir.
Tiba-tiba In Bik teringat kembali apa yang sudah terjadi.
Katanya, "Ai, bukankah kita terjerumus ke dalam jurang dan
tentu ... ya, tentu engkau yang telah menyelamatkan aku"
Apakah kau telah membinasakan bangsat she Bun itu?"
"Tidak perlu dibinasakan juga dia sudah mati tenggelam,"
lalu Danu Cu-mu menceritakan apa yang sudah terjadi.
"Wah, celaka, dimanakah kakak Khing, apakah dia juga
selamat?" seru In Bik dengan kuatir.
"Jangan kuatir, kuyakin dia pasti juga akan selamat," ujar
Cu-mu. "Tapi dia tak bisa berenang," kata In Bik.
"Bukankah aku pun tak bisa berenang" Dan kita toh dapat
menyelamatkan diri," sahut Cu-mu.
Karena itu In Bik agak terhibur dan lega.
Melihat nona itu basah kuyup pakaiannya, tertampak agak
gemetar, terang sangat kedinginan, diam-diam Cu-mu menjadi
bingung, "Kemana aku harus mencari pakaian untuk menyalin
bajunya yang basah" Apalagi mesti mencari makanan pula
untuk tangsal perut."
Selagi Cu-mu merasa bingung, tiba-tiba terdengarlah suara
seruling yang sayup-sayup merdu entah darimana datangnya.
Seketika semangat Cu-mu terbangkit, serunya "He, dengarlah,
ada suara seruling, besar kemungkinan di sekitar sini ada
rumah tinggal orang!"
Ia coba mendengarkan lagi. Ia menjadi terkejut, ternyata
suara seruling itu berkumandang dari tempat yang sangat
jauh, hal ini menandakan Lwekang peniup seruling itu pasti
sangat kuat, yang aneh ialah lagu yang dibawakannya adalah
sama dengan lagu yang ditiup seruling si pemuda baju putih di
atas Leng-ciu-hong. Diam-diam ia berpikir, "Sungguh tidak
nyana bahwa pemuda yang aneh itupun berada di sekitar sini,
entah nona Hoa dibawanya ke sini atau tidak" Biarpun belum
diketahui kawan atau lawan, tapi orang muda itu tampaknya
bukan orang jahat. Namun begitu dia berada bersama
Hukaucu dari Thian-mo-kau, betapapun aku harus waspada
padanya." Melihat Cu-mu termenung, segera In Bik bertanya, "Apa
yang kau pikirkan, kakak Cu-mu" Jika di sekitar sini ada
tempat tinggal orang, marilah kita lekas ke sana."
"Adik Bik, sebaiknya kau bersembunyi di sini dulu, di sana
ada sebuah gua karang, boleh kau berteduh di situ, biarlah
aku menyelidiki dulu siapakah peniup seruling itu, agar kita
tidak terjebak keperangkap musuh."
"Baiklah, dengan pakaian yang basah kuyup begini
memangnya aku pun malu untuk berkunjung ke rumah
orang," ujar In Bik.
Lalu Cu-mu membawa In Bik ke dalam gua karang itu, ia
pesankan pada nona itu agar menunggunya di situ, kemudian
ia tinggal pergi.
Saat itu sudah tengah malam, lapisan salju yang tertimpa
rembulan muda membuat suasana cukup terang. Dengan
Ginkang yang tinggi Cu-mu berlari di tanah salju itu. Sesudah
melintasi sebuah lereng gunung ia merasa badannya agak
hangat, rasa dingin dari pakaian yang basah sudah tak terasa
lagi. Tertampak di depan sana ada serumpun pepohonan,
selang tak lama lagi, keadaan bangunan di balik pohon-pohon
itupun kelihatan dengan jelas.
Bangunan itu terdiri dari beberapa gedung yang berderetderet
dengan megahnya. Genting-genting bangunan itu
rupanya adalah genting kaca sehingga mengeluarkan cahaya
kemilauan ketika tertimpa sinar rembulan.
Diam-diam Cu-mu sangat heran, pikirnya, "Asal-usul
pemuda baju putih itu benar-benar sangat aneh. Dia tinggal di
sebuah rumah es di atas Leng-ciu-hong yang terpencil, di sini
terdapat pula kediamannya yang megah mirip istana. Biarlah
kuselidiki asal-usulnya dahulu."
Dalam pada itu suara seruling tadi bergema pula. Lagunya
sedih menawan hati, meski Cu-mu bukan ahli seni suara, tapi
ia pun menjadi heran ada dendam perasaan apakah atas diri
pemuda baju putih itu" Ah, apa barangkali dia pun
merindukan nona Hoa"
Suara seruling itu seperti penunjuk jalan bagi Cu-mu, maka
dalam sekejap saja ia sudah sampai di tempat tujuan, dengan
enteng ia melompati pagar tembok dan dengan gampang
dapat menemukan tempat peniup seruling itu.
Di belakang rumah ada sebatang pohon besar yang cukup
untuk dipakai sebagai tempat sembunyi. Cu-mu melompat ke
atas pohon. Dari situ ia melongok ke bawah, tapi ia menjadi
tercengang. Ternyata peniup seruling itu bukan si pemuda baju putih
seperti dugaannya semula, tapi adalah seorang nona jelita.
Namua begitu, dari roman mukanya dapatlah Cu-mu
mengenal dia bukan lain adalah si pemuda baju putih yang
dilihatnya di Leng-ciu-hong. Bahkan seruling kemala yang
masih dipegangnya itupun sama.
Cu-mu merasa seperti baru sadar dari sebuah impian buruk
dan sekarang kembali berada di dunia mimpi pula, sungguh
tak dinyana bahwa dia sebenarnya adalah seorang wanita!
Kiranya Danu Cu-mu juga mempunyai perasaan yang sama
seperti Kang Hay-thian, yaitu berharap agar Hoa In-pik
mendapatkan jodoh lain yang setimpal. Dan si pemuda baju
putih yang diketemukan di atas Leng-ciu-hong itu adalah calon
yang mereka harapkan dapat merangkap perjodohan dengan
Hoa In-pik mengingat mereka telah tinggal bersama selama
itu dan yang satu telah diselamatkan oleh yang lain, kejadian
demikian tentu akan memudahkan berlangsungnya
perjodohan, dan bila hal ini terlaksana, maka kesulitan Kang
Hay-thian selama ini akan berakhir. Siapa tahu sekarang
'pemuda' yang mereka anggap setimpal menjadi suami Hoa In
pik tahu-tahu adalah wanita juga. Keruan Cu-mu menjadi
kecewa, dalam keadaan limbung hampir-hampir ia terjatuh
dari atas pohon.
Sungguh kejadian di luar dugaan ini membuat Danu Cu-mu
menjadi bingung, apakah meski menemuinya di dalam rumah
atau tinggal pergi saja"
Tiba-tiba terdengar nona di dalam rumah itu sedang
memanggil, "Maisah!"
Lalu terdengar suara jawaban seorang wanita lain, waktu
kerai tersingkap, masuklah seorang pelayan, katanya dengan
tertawa, "Siocia, sudah jauh malam masih belum tidur, apakah
engkau masih memikirkan urusan nona Hoa itu?"
"Ya, nasib nona Hoa memang sangat harus dikasihani, tapi
wanita yang harus dikasihani di dunia ini tidak hanya dia
seorang saja," ujar si nona dengan terharu.
Nyata yang sedang mereka bicarakan pasti adalah Hoa Inpik.
Diam-diam Cu-mu bersyukur pula karena nona itu
memang berada dalam keadaan baik-baik.
Kemudian si nona berbisik-bisik dengan pelayannya, entah
apa pula yang dibicarakan. Tak lama, pelayan itu lantas keluar
dari kamar si nona.
Cu-mu menduga pelayan itu tentu akan pergi menjenguk
Hoa In-pik, maka diam-diam ia mengikut di belakangnya.
Benar juga, pelayan itu terus menuju ke belakang suatu
taman, di tengah taman itu terdapat sebuah empang yang
cukup luas, di tengah empang terdapat pula sebuah rumah
yang indah. Sesudah melalui sebuah jembatan gantung, tiba-tiba
pelayan itu memperlambat jalannya, sambil berjinjit-jinjit ia
mendekati rumah itu. Pada saat itulah dari dalam rumah
terdengar suara seruan girang seorang nona, "Hay-ko! Hayko!"
Terang itulah suara In-pik. Walaupun sudah menduga Inpik
berada di situ, namun suaranya toh membuat Cu-mu
bergirang pula. Dengan perlahan ia mendekati si pelayan.
Tampaknya pelayan itu sedang memperhatikan gerak-gerik
di dalam rumah sehingga Cu-mu hampir berada di sampingnya
baru ia tahu, tapi sebelum ia bersuara, secepat kilat Danu Cumu
sudah menutuk Hiat-to yang membuatnya kaku dan bisu
untuk sementara.
Pada saat lain tiba-tiba Cu-mu mendengar suara seorang
lain sedang berkata di dalam rumah itu, "Aku adalah In Khing)
nona Hoa, apakah kau masih ingat padaku?"
Maka terdengar In-pik berseru kaget, katanya, "He, kenapa
kau adanya" Eh, tempat apakah ini" Apakah aku dalam
mimpi" Darimana kau bisa berada di sini?"
Rupanya kedua muda mudi itu baru saja mendusin.
Mungkin In Khing merasa pedih karena dirinya salah
disangka sebagai Kan Hay Thian, maka suaranya tadi agak
cemplang. Bahwasanya In Khing juga berada di dalam rumah itu,
sungguh hal ini sama sekali di luar dugaan Danu Cu-mu.
Sekejap itu sungguh ia merasa seperti sedang mimpi belaka.
Maka terdengar In Khing sedang berkata, "Ya, aku sendiri
pun heran. Aku masih ingat, aku terhanyut di tengah arus
sungai, kenapa sekarang aku berada di sini, pakaianku juga
sudah tertukar. Eh, nona Hoa, bukannya aku sengaja masuk
ke dalam kamarmu, sebelumnya aku tidak tahu bahwa engkau
juga berada di sini."
"Aku pun tidak kenal tempat ini," sahut In-pik. "Wah,
tampaknya kita sama-sama telah dipermainkan orang."
Kemudian kedua muda-mudi itu agaknya telah berbangkit.
Tak lama kemudian terdengar In Khing berkata, "Sungguh
aneh kenapa rumah itu dibangun serapat ini, sama sekali tak
kelihatan sebuah pintu pun?"
Diam-diam Cu-mu berpikir apakah barangkali rumah ini
sama seperti rumah es di atas Leng-ciu-hong itu dan harus
melalui jalan di bawah tanah untuk bisa keluar masuk.
Sebenarnya ia ingin lantas bersuara, tapi demi ingat kata-kata
"dipermainkan orang" yang disebut In-pik tadi, tiba-tiba
hatinya tergerak dan tidak jadi memanggil kedua muda-mudi
itu. Ia yakin beradanya In Khing dan In-pik di dalam suatu
rumah itu tentu sengaja diatur oleh pemilik rumah itu dan
mempunyai maksud tertentu.
"He, aku ingat seakan-akan ada seorang nona berbaju putih
selalu berada di sampingku, entah siapa dia?" tiba-tiba In-pik
berkata. "Aku pun merasa seperti pernah dijenguk oleh
ayahku, oleh Hay-thian, dan kalian kakak-beradik pula serta
lain-lain lagi."
"Ah, kau hanya mimpi saja," ujar In Khing dengan tertawa.
"Ya, nona baju putih itupun mengatakan aku telah
bermimpi, tapi aku sendiri menjadi bimbang apakah mimpi
atau sungguh-sungguh," ujar In-pik. "Pula nona baju putih itu
manusia tulen atau cuma khalayanku saja, entahlah, aku pun
tidak tahu pasti."
"Kukira nona baju putih itu benar-benar ada orangnya,
justru dia yang telah menyelamatkan kau," kata In Khing.
"Dan kau memang telah mendengar suara Kang-suheng ketika
berada di Leng-ciu-hong."
"Ya, aku pun berpendapat demikian," kata In-pik.
"Dimanakah Leng-ciu-hong itu?"
"Aku bersama Kang-suheng dan ayahmu sekalian hendak
pergi ke Kunbran
"Tahulah aku, tentu kalian bersama Hay-thian hendak pergi
mencari nona Kok bukan?" sela In-pik dengan suara hampa.
Diam-diam Danu Cu-mu merasa heran, darimanakah In-pik
mendapat tahu hal itu" Ia menduga air muka si nona tatkala
itu tentu sangat kecewa.
Maka terdengar In Khing telah menjawab, "Tidak, aku dan
adikku justru datang untuk mencari kau, sebab aku ... aku pun
tidak ingin bertemu dengan Kok Tiong-lian lagi."
Tiba-tiba In-pik meneteskan air mata, katanya dengan
terharu, "Terima kasih, kukira di dunia ini selain ayahku, sudah
tiada orang lain lagi yang ingat padaku."
Orang duka berhadapan dengan orang sedih, dalam
sekejap itu perasaan kedua muda-mudi itu sama-sama
terharu. Tanpa terasa In Khing telah memegang tangan Inpik,
katanya, "Segala sesuatu di dunia ini masing-masing
memang mempunyai jodoh sendiri-sendiri. Sekarang aku
sudah paham. Mungkin kau pun tahu bahwa aku pernah
penujui Tiong-lian, tapi ketika aku tahu bahwa hatinya telah
terisi, tatkala itu aku pun sangat berduka. Tapi sekarang aku
bergirang malah bagi mereka, sebab bila mereka merasa
bahagia, maka aku pun akan sangat bahagia."
Ucapan In Khing ini dimaksudkan untuk menghibur In-pik,
tapi juga untuk menghibur dirinya sendiri. Tapi apa yang
dikatakan In Khing itupun merupakan apa yang hendak
diucapkan In-pik. Seketika itu In-pik seperti dikemplang satu
kali, meski hatinya tetap luka, tapi orangnya sudah 'sadar'
kembali. Sungguh sangat kebetulan bahwa In Khing dan In-pik
justru senasib dan mempunyai perasaan yang sama, karena
itu ucapan masing-masing menjadi lebih meresap ke dalam
lubuk hati mereka.
Dengan air mata bercucuran In-pik juga memegang tangan


Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

In Khing dengan erat dan penuh haru. Meski air mata
memenuhi pipi si nona, tapi In Khing dapat merasakan bahwa
kini sudah habis hujan terbitlah terang.
Pada saat itu Danu Cu-mu yang mendengarkan di luar
rumah menjadi paham juga duduknya perkara. Kiranya si nona
baju putih memang mempunyai tujuan tertentu dengan
menaruh In Khing dan In-pik di dalam suatu kamar yang
sama. Cu-mu sendiri tidak tahu bagaimana jadinya dengan
kedua muda-mudi itu kelak, yang terang mereka sekarang
tidak merasakan kekosongan hati lagi. Dalam keadaan lemah,
perasaan setiap orang memang perlu saling hibur di antara
orang-orang yang senasib dan rasa kesal mereka tentu akan
banyak berkurang.
Kedatangan Cu-mu ini sebenarnya hendak mencari In-pik,
tapi sekarang setelah paham maksud tujuan si nona baju
putih, ia urungkan niatnya dan tidak ingin mengejutkan In-pik
dan In Khing. Segera ia meninggalkan tempat itu dan kembali
ke rumah depan tadi.
Setelah mengikuti semua kejadian itu, Cu-mu lebih yakin
lagi bahwa si nona baju putih pasti tiada mempunyai maksud
jahat. Sementara itu sudah lewat tengah malam, Cu-mu pikir si
nona baju putih tentu belum tidur karena lagi menantikan
kembalinya si pelayan yang ditutuknya itu, pelayan itu
sedikitnya satu jam lagi baru dapat bergerak dengan
sendirinya. Maka ia ambil keputusan hendak pergi menemui si
nona baju putih.
Tapi baru saja ia sampai di depan rumah itu, tiba-tiba
terdengar suara auman binatang buas, terang itulah suara
Kim-mo-soan. Cu-mu terkesiap, pikirnya, "Ya, hampir-hampir
aku lupa bahwa Hukaucu dari Thian-mo-kau itupun berada di
sini." Karena itu segera Cu-mu mengubah rencananya, segera ia
menyusur ke depan dengan Ginkang yang tinggi. Baru saja ia
melalui sebuah gunung-gunungan di pojok taman situ, tibatiba
tertampak seorang lelaki sedang mendatangi dengan
mengomel sendiran, "Tengah malam buta begini orang
disuruh melayani binatang kurangajar itu. Dasar tukang
gegares, sudah makan dua ekor kelinci masih kurang. Untung
di dalam dapur masih ada daging lembu, biarlah kuberikan
saja ini."
Memangnya Danu Cu-mu sedang kelaparan, ketika
mengendus bau daging masak yang mungkin baru saja
diangkat dari wajan, tentu saja hal itu sangat kebetulan
baginya. Dari samping segera ia menutuknya, lalu menyambar
daging yang dibawa lelaki itu.
Daging itu memang masih hangat, tanpa pikir lagi segera ia
menggerogotinya dengan lahap. Kiranya daging itu adalah
daging Yak, semacam lembu yang hanya terdapat di daerah
dataran tinggi Tibet dan sekitarnya, Daging Yak jauh lebih
halus dan lezat daripada daging lembu jenis lain. Apalagi
dalam keadaan lapar, maka Cu-mu merasa daging itu jauh
lebih enak daripada daharan yang pernah dirasakannya di
dalam istana sendiri. Diam-diam ia merasa geli pula bahwa
seorang raja ternyata sekarang mesti berebut pangan dengan
hewan. Setelah kenyang menangsal perut, semangat Cu-mu
menjadi bertambah. Sementara itu ia sudah sampai di tempat
tadi, ia bersembunyi pula di atas pohon semula untuk
mengintai keadaan di bawah.
Benar juga tertampak Le Hok-sing sudah berada di dalam
kamar dan sedang bercakap-cakap dengan si nona baju putih.
"Ternyata kau juga pandai merangkap perjodohan orang,"
demikian terdengar Le Hok-sing sedang berkata dengan
tertawa. "Tapi apakah dapat jadi atau tidak tergantung pada mereka
sendiri," ujar si nona.
"Sungguh aku tidak tahu dimana kehebatan bocah itu
sehingga begitu banyak nona jelita yang jatuh hati padanya,"
kata Le Hok-sing.
Si nona baju putih tampak tertawa, sahutnya, "Tentu
disebabkan gurunya, makanya kau benci padanya bukan?"
"Dan nona Hoa sesungguhnya juga sangat kasihan," kata
Hok-sing menyimpangkan kata-kata si nona. Nyata ia tidak
suka mengungkit diri Kim Si-ih dan Le Seng-Iam di masa lalu.
Dan entah siapakah pemuda itu"
"He, apakah kau kira aku sembarangan menjodohkah orang
saja?" sahut si nona dengan tertawa. "Sudah tentu aku sudah
mencari tahu dengan jelas. Pemuda itu adalah putra Incengcu
dari Cui-in-ceng. Malahan In Ciau adalah sobat baik
mendiang ayahku."
Mendengar itu Danu Cu-mu menjadi girang. Pikirnya,
"Kiranya si nona ini mempunyai hubungan baik dengan Incengcu,
pantas dia telah menyelamatkan In Khing dan hendak
menjodohkan dia pula. Jika dia tahu kedatanganku, tentu dia
akan menyambut aku dengan baik."
Dalam pada itu terdengar si nona sedang tertawa dan
berkata, "Le-sioksiok, kau sendiri memerlukan aku jadi
comblang atau tidak?"
"Ah, nona Giok suka bergurau," sahut Le Hok-sing dengan
nada kemalu-maluan.
"Bukankah kau senantiasa terkenang kepada bibi Karani,"
sahut si nona mengolok-olok.
Karani adalah nama pribadi Thian-mo-kaucu. Tentang Le
Hok-sing jatuh cinta kepada Thian-mo-kaucu memang sudah
didengar oleh orang Bu-lim, namun bagi Danu Cu-mu baru
pertama kali ini mendengarnya. Diam-diam ia merasa heran
dan geli pula, pikirnya, "Meski usia Le Hok-sing sudah lebih 20
tahun, tapi tingkah-lakunya masih kekanak-kanakan.
Sebaliknya usia Thain-mo-kaucu jauh lebih tua dari dia,
bahkan lebih pintar dan lebih masak, segalanya sangat
berbeda dengan Le Hok-sing, bagaimanapun susah untuk
dipercaya bahwa mereka dapat terangkap menjadi jodoh. Tapi
Le Hok-sing justru telah jatuh cinta padanya, nyata cinta itu
memang buta."
Mungkin karena olok-olok si nona tadi dan Le Hok-sing
menjadi kikuk. Maka si nona telah berkata pula dengan
tertawa, "Le-sioksiok, kau telah membantu aku, maka aku pun
akan membantu kau, maukah aku menjadi comblang
bagimu?" "Tiada gunanya, nona Giok," ujar Le Hok-sing sambil
menghela napas. "Masakah dia sendiri tidak tahu perasaanku,
tapi dia selalu menganggap aku sebagai adiknya saja,
sungguh aku sendiri tidak tahu cara bagaimana membikin
suka dia. Aku menjadi kuatir kalau ... kalau dia tertipu oleh
orang she Bun itu."
"Dia takkan tertipu, jangan kuatir," ujar si nona. "Aku cukup
tahu isi hati bibi Karani. Dia ingin membangun Thian-mo-kau,
maka dia hanya menginginkan bantuan tenaga Bun Ting-bik
saja, tentang pribadi orang she Bun itu bibi sudah cukup tahu.
Menurut aku, orang yang benar-benar disukainya tak lain tak
bukan adalah engkau."
Le Hok-sing terdiam sejenak, kemudian ia berkata,
"Perasaannya susah untuk diraba, ia pun tidak suka orang luar
mengetahui urusanku dengan dia. Nona Giok, terima kasih
atas maksud baikmu, lebih baik kau jangan... jangan..."
"Kau sangat ingin, tapi tidak berani minta aku menjadi
comblangmu," goda si nona dengan tertawa. "Baiklah, jika
begitu boleh kau meneruskan usahamu sendiri. Aku dapat
menyarankan padamu, boleh kau memberikan sesuatu barang
kesukaannya, saking girangnya mungkin dia akan
"Apakah kau tahu apa yang menjadi kesukaannya?" tanya
Le Hok-sing. "Dia paling sayang pada roman mukanya, takut tua," sahut
si nona. "Maka aku akan memberikan setangkai bunga triwarna
yang aneh itu padamu. Bunga ini telah diambil kakakku
setangkai, aku sendiri masih mempunyai dua tangkai. Bicara
tentang kakakku, aku menjadi kuatir baginya, entah usahanya
akan lancar atau tidak?"
"Pasti berhasil dengan baik, aku sudah meminjamkan
seekor Kim-mo-soan padanya," ujar Le Hok-sing. "Dia telah
membawa bunga ajaib pemberianmu, dibantu pula Kim-mosoan,
kukira usahanya pasti akan berhasil dengan baik."
Apa yang mereka bicarakan itu sudah tak diketahui Danu
Cu-mu, tapi dapat diduganya bahwa pasti mempunyai
hubungan dekat dengan Thian-mo-kau, dengan sendirinya
asal-usulnya menjadi lebih susah untuk diselidiki.
Maka terdengar si nona sedang berkata pula, "Baiklah,
semoga benar seperti apa yang kau katakan. Aku pun berdoa
semoga urusan ini bisa terlaksana dengan baik. Setangkai
bunga ini boleh kau ambil saja."
Dengan girang Le Hok-Sing menerima hadiah itu, lalu ia
mohon diri untuk pergi.
Si nona tampak termenung sambil bertopang dagu di
ambang jendela menyaksikan kepergian Le Hok-sing, ia
menggumam sendiri/ "Semoga semua kekasih di dunia ini
dapat terkabul semua cita-cita mereka. Sekarang hanya
tinggal nona Hoa dan In-kongcii saja, entah bagaimana
dengan mereka sekarang. Eh, kenapa Maisah masih belum
tampak kembali?"
Dan selagi Cu-mu hendak melompat turun untuk menemui
si nona, tiba-tiba terdengar suara auman Kim-mo-soan yang
menuju ke arah sini. Ia menjadi heran apakah Le Hok-sing
telah putar balik lagi. Tapi segera tertampaklah seekor Kimmo-
soan sedang mendatangi dengan membawa seorang lelaki
dan seorang wanita. Baru sekarang ia tahu ada Kim-mo-san
yang lain, begitu pula kedua orang itu bukanlah Le Hok-sing.
"Koko, Kongcu, kalian sudah datang!" tiba-tiba si nona baju
putih tadi telah berseru.
Kiranya lelaki yang baru datang ini adalah kakak si nona,
dan si wanita yang disebut sebagai 'Kongcu' (putri raja) itulah
yang mengherankan Danu Cu-mu. Tempat ini adalah wilayah
kerajaan Kunbran, jika demikian tentu adalah putri raja
Kunbran. Sungguh luar biasa bahwa seorang Putri melarikan
diri dengan seorang pria di tengah malam buta.
"Cara lari binatang ini benar-benar sangat cepat sehingga
dalam sekejap saja pasukan pengejar musuh sudah
ketinggalan jauh," ujar Kongcu itu dengan tertawa.
"Ya, untung ada binatang ini," kata lelaki tadi sambil
menepuk-nepuk punggung Kim-mo-soan dan menyuruhnya
pergi. Lalu ia bertanya pada adiknya, "Ketika kami datang,
kebetulan melihat Le-hukaucu baru saja hendak pergi, kenapa
begitu buru-buru?"
"Sama halnya seperti kau, dia juga buru-buru ingin
memberikan setangkai bunga 'si cantik di dalam salju' kepada
kekasihnya," sahut si nona baju putih dengan tertawa.
"Haha, bunga yang kuterima dari kau itu justru telah
kuberikan kepada seorang yang aku paling benci," ujar si
lelaki. "He, jadi tidak kau berikan kepada Kongcu?" tanya si nona
dengan heran. "Tidak, tapi kuberikan kepada si nenek siluman penjaga
Kongcu itu," sahut si lelaki. "Dan berkat hadiah itu, maka dia
mengizinkan aku menemui Kongcu."
Dan sesudah ketiga orang itu mengambil tempat duduk
masing-masing, setelah menghela napas lega, lalu Kongcu itu
berkata pula, "Sungguh bahaya, apabila malam ini kakakmu
tidak datang menolong aku, maka besok juga aku sudah akan
dipaksa kawin dengan pangeran pelarian dari Nepal itu. Raja
dan pangeran Nepal itu membawa banyak pengawal
menyelamatkan diri ke tempat kami dan berserikat dengan
kakak-Baginda, mereka berjanji akan membantu kakak
mencaplok Masar, habis itu kakak akan membantu dia merebut kembali
takhtanya."
Diam-diam Danu Cu-mu terkejut mendengar cerita itu,
sungguh tidak nyana bahwa di balik kejadian mereka terdapat
pula muslihat lain.
"Entah bagaimana keadaan di Nepal sekarang" Apakah
Kongcu mendengar siapakah raja yang baru?" tanya si nona
baju putih. "Belum diketahui," sahut si Kongcu. "Paling akhir ini aku
merasa kesal sehingga tidak banyak mencari tahu keadaan di
luaran." "Moaymoay tentu terkenang pada Teng Ka-goan bukan?"
tanya si lelaki tiba-tiba.
"Siapakah Teng Ka-goan?" tanya Kongcu.
"Dia adalah putra Teng Keng-thian dan Peng-choan Thianli,"
sahut lelaki itu. "Peng-choan Thian-li asalnya adalah putri
kerajaan Nepal. Tiga tahun yang lalu Teng Ka-goan telah
datang ke Nepal. Kabarnya pemberontakan kali ini justru
dikerahkan oleh Teng Ka-goan. Waktu itu dia pun lewat di sini
dan pernah bertemu sekali dengan Moaymoay. Rupanya sejak
itu lantas Moaymoay selalu terkenang padanya."
"Aku hanya memperhatikan seorang kawan, tapi kau telah
menggoda diriku," sahut si nona dengan merah jengah. "Eh,
Koko, kita telah kedatangan seorang tamu yang juga selalu
kau kenangkan. Coba kau terka siapakah dia?"
"Aku tidak pandai main teka-teki, coba kau katakan saja,"
sahut kakaknya.
"In Khing dari Cui-in-ceng," kata si nona. "Dahulu sesudah
kau kembali dari mengunjungi In-locianpwe, bukankan kau
sering menyebut tentang dirinya kepadaku?"
"Maksudku sebenarnya hendak menjadi comblang bagimu,
tapi jika kau sudah mempunyai pilihan sendiri, terpaksa aku
tidak jadi," kata kakaknya dengan tertawa.
"Ha, tentu kau takkan menduga bahwa sekali ini justru
akulah yang telah menjadi comblang baginya," ujar si nona
dengan tertawa.
"Mengapa bisa demikian?" sahut kakaknya dengan heran.
"Kenapa In Khing bisa berada di sini" Kau akan menjadi
comblang baginya, habis siapakah pihak perempuan?"
"In Khing jatuh ke dalam sungai es dan aku yang telah
menyelamatkan dia," tutur si nona. "Sekarang aku menaruh
dia sekamar dengan nona Hoa."
"Apa keadaan nona Hoa sudah baik?" tanya kakaknya.
"Kemarin aku sudah memindahkan dia ke sini," tutur si
nona. "Kukira malam ini juga dia sudah dapat sadar kembali
dan untuk selanjutnya hawa dingin berbisa dalam tubuhnya itu
takkan kumat lagi. Dan begitu mendusin, dia tentu akan


Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melihat In Khing berada di sebelahnya, pasti dia akan
terheran-heran sekali." Habis berkata ia lantas cekikikan geli.
"Kau benar-benar keterlaluan mempermainkan mereka,"
ujar kakaknya dengan geleng-geleng kepala.
"Nona Hoa sungguh harus dikasihani," kata si nona. "Selang
beberapa hari ini dia selalu mengigau dan ternyata tidak
permah melupakan bocah she Kang itu. Dari igauannya,
tampaknya orang she Kang itu hanya mencintai putri kerajaan
Masar saja. Karena merasa kasihan padanya, makanya aku
sengaja mengatur demikian, biarpun kau anggap aku
keterlaluan."
"Apakah yang kalian maksudkan itu adalah putri Masar yang
bernama Kok Tiong-lian?" tiba-tiba Kongcu yang sejak tadi
diam saja itu bertanya.
"Ya, benar, aku justru ingin tanya padamu tentang keadaan
putri kerajaan Masar itu," sahut si nona.
Mendengar adik perempuannya yang menjadi pokok
percakapan mereka, sudah tentu Danu Cu-mu pasang kuping
dengan penuh perhatian.
Maka terdengar Kongcu itu telah berkata, "Kakakku
bermaksud menjadikan dia sebagai sandera untuk
menaklukkan Masar. Semula dia dikurung di dalam kamar
tahanan, kemudian hal ini diketahui oleh kakek, entah kenapa
orang tua itu ternyata sangat kasih-sayang kepada putri Masar
itu, beliau sendiri telah datang ke tempat tahanan dan
melepaskannya sendiri, bahkan mengaku dia sebagai cucunya.
Kakak tidak berani bertindak apa-apa. Hanya penjagaan
diperkeras dan melarang tawanannya keluar istana, di dalam
istana dia diperbolehkan kemana pun dengan bebas."
Hati Cu-mu tergetar demi mendengar kabar tentang Kok
Tionglian, baru sekarang diketahui bahwa adik perempuannya
itu ternyata sudah tertawan musuh. Berbareng ia pun heran
kenapa maharaja tua (ayah raja yang bertakhta) begitu baik
kepada adiknya. Dan jika Tiong-lian diperbolehkan bergerak
secara bebas, kenapa dia tidak mau melarikan diri, toh
kepandaiannya tidak rendah" Apakah mungkin karena di
Kunbran ada seorang sakti yang lihai seperti Po-siang Hoatsu
yang telah menaklukkan Tiong-lian"
Dalam pada itu terdengar Kongcu itu sedang melanjutkan,
"Selain kakek sangat suka pada putri Masar itu, bahkan dia
pun dapat bergaul dengan baik dan menganggap aku sebagai
saudara. Ia pernah minta aku mengirimkan berita tentang
dirinya kepada saudaranya yang menjadi raja Masar, tapi dia
tidak tahu bahwa aku pun dalam pengawasan kakak, makanya
aku tidak dapat melaksanakan permintaannya itu. Sekarang
aku sudah bebas, aku menjadi ingin melakukan sedikit
kewajiban baginya."
"Ini terlalu mudah sekali, dengan menunggang Kim-mosoan,
besok juga aku sudah bisa sampai di kotaraja Masar,"
ujar si lelaki dengan tertawa.
Diam-diam Cu-mu tertawa sendiri, ia pikir bukankah
sekarang aku sudah berada di sini. Dan selagi ia bermaksud
melompat turun untuk menemui mereka, tiba-tiba terdengar
suara orang berlari-lari mendatangi sambil berteriak, "Ada
mata-mata musuh menyelundup ke dalam taman, lekas
dicari!" Kiranya pelayan yang ditutuk Danu Cu-mu akhirnya telah
ditemukan oleh peronda sehingga suasana menjadi geger.
Supaya urasan tidak telanjur runyam, segera Cu-mu
berseru, "Aku bukan Tapi baru saja ia bersuara, sekonyongkonyong
terdengar auman Kim-mo-soan, berbareng binatang
itu sudah lantas menubruk ke atas pohon. '
Terpaksa Cu-mu menghantam ke bawah, betapapun Kimmo-
soan itu tidak tahan akan tenaga sakti Danu Cu-mu
walaupun tenaga yang digunakan hanya sebagian saja, kontan
Kim-mo-soan tertolak ke bawah, namun begitu lengan celana
Cu-mu juga telah robek kena dicakar.
Cepat Cu-mu melompat turun. Dan belum lagi ia dapat
berdiri tetap, dengan cepat luar biasa si lelaki di dalam rumah
sudah menubruk keluar, kelima jarinya bagai kaitan terus
mencengkeram ke muka Danu Cu-mu. Karena cengkeraman
yang hebat itu, terpaksa Cu-mu menangkisnya, walaupun
serangan lawan dapat dihindarkan, tapi pergelangan tangan
yang dibuat menangkis itupun terasa sakit. Diam-diam ia
terkesiap akan kelihaian lawan.
"Apa kau ingin merampas kembali Kongcu" Huh, jangan
harap!" bentak lelaki itu. Rupanya ia salah menyangka Cu-mu
sebagai jago yang dikirim dari Kunbran. Menyusul kedua
tangannya lantas memukul pula, karena dia berlatih di puncak
es, maka pukulannya membawa hawa dingin.
Cu-mu tidak berani ayal dan memapak dengan pukulan
yang hampir memakan seluruh tenaganya, maka lelaki itu
telah tergetar mundur beberapa tindak.
"Aku bukan orang yang hendak merebut kembali putrimu
itu, tapi aku adalah raja Masar yang justru hendak kalian
sampaikan berita itu!" teriak Cu-mu cepat.
"Omong kosong, mana mungkin raja Masar bisa datang
kemari?" bentak lelaki itu tidak percaya dan segera hendak
menyerang pula.
Syukur putri kerajaan Kunbran itu lantas berseru, "Tahan
dulu, Toako! Lekas kau minta maaf!"
Lelaki itu merandek dan mengurungkan serangannya,
sikapnya menjadi kikuk, tanyanya, "Apa dia betul-betul adalah
raja Masar?" Sungguh ia tidak habis heran darimana Kongcu
kenal akan raja Masar"
Namua Kongcu sudah lantas maju dan memberi sembah
hormat. Karena itu si lelaki menjadi gugup. Lekas ia pun
memberi hormat dan berkata, "Maafkan, hamba tidak tahu
akan kedatangan Sri Baginda sehingga telah berlaku
sembrono."
Cu-mu tersenyum sambil membalas hormat, sahutnya, "Aku
sendiri pun ingin minta maaf atas kedatanganku yang tidak
permisi ini. Sesungguhnya kedatanganku ini justru ingin minta
bantuan dan tidak dalam kedudukanku sebagai raja. Maka
hendaklah kita bergaul sebagai teman biasa saja."
Danu Cu-mu hanya bergaya hormat dan seperti hendak
membangunkan orang, tapi dari jauh si lelaki dan Kongcu itu
merasa seperti diangkat oleh sesuatu tenaga yang tak
kelihatan sehingga tidak dapat menyembah. Keruan lelaki itu
menjadi terheran-heran, sama sekali tak terduga olehnya
bahwa seorang raja Masar ternyata memiliki ilmu sakti selihai
ini. Maka dengan tertawa Cu-mu berkata, "Apakah Kongcu
merasa pernah kenal mukaku, makanya tahu siapakah aku?"
"Benar, Baginda benar-benar sangat mirip dengan adik
Baginda," sahut Kongcu itu dengan tertawa.
Baru sekarang si lelaki tadi paham duduknya perkara,
kiranya karena Danu Cu-mu kakak beradik mempunyai wajah
yang mirip, maka Kongcu, kekasihnya itu, dapat memastikan
Danu Cu-mu adalah raja Masar.
Dalam pada itu sesudah mengamat-amati Cu-mu sejenak,
tiba-tiba ia berseru, "Ah, kiranya kau adalah teman Kang Haythian
di atas Leng-ciu-hong itu?"
"Ya, tidak nyana kita berjumpa pula di sini" sahut Cu-mu
dengan tertawa. "Terima kasih atas pertolonganmu kepada
kedua kawanku."
Sementara itu para hamba yang mencari penjahat itu telah
memburu tiba, seorang di antaranya yang ketolol-tololan terus
berteriak demi nampak Danu Cu-mu, "Nah, ini dia penjahatnya
berada di sini!"
"Hus!" cepat si lelaki tadi membentaknya, "Tuan ini adalah
... adalah sobat kami. Lekas kalian enyah!"
"Ya, memang seharusnya demikian, terima kasih atas
kesudian kalian menganggap aku sebagai sobat," ujar Cu-mu
dengan tertawa.
Melihat keramah-tamahan Cu-mu kakak beradik, tuan
rumah dan putri dari Kunbran itu menjadi senang. Kata sang
putri, "Sekarang aku bukan Kongcu kerajaan lagi, namaku
yang sebenarnya adalah Romina."
"Dan aku bernama Giok Kun-lun adik Giok Ling-liong,"
sambung pemuda tadi.
Mendengar nama kedua muda-mudi yang luar biasa itu,
tiba-tiba hati Cu-mu tergerak, segera ia bertanya, "Ada
seorang Locianpwe dari dunia persilatan, orang menyebutnya
sebagai Kun-lun-in-hiap (pendekar terpendam di pegunungan
Kun-lun) Giok Bin-ko, entah beliau penah/apa dengan kalian?"
Giok Kun-lun tampak tercengang, sahutnya, "Beliau adalah
ayahku, darimanakah Baginda mengenalnya?"
"Aku pernah mendengar cerita dari guruku," sahut Cu-mu.
"Siapakah guru Baginda?" tanya Giok Kun-lun.
"Aku satu guru dengan Kang-suheng, maka tentu kalian
sudah dapat mengetahui siapakah beliau?" sebut Cu-mu.
Giok Ling-liong terkejut, katanya, "Kiranya guru Baginda
adalah Kim ... Kim-tayhiap. Pantas kepandaian Baginda begini
hebat." Ketika dia mengolok-olok Kang Hay-thian di atas Lengciu-
hong, pernah juga dia menyinggung nama Kim Si-ih, maka
sekarang ia menjadi rikuh menghadapi Danu Cu-mu.
"Kita sama-sama adalah orang Bu-lim, hendaklah tidak
perlu banyak adat dan tidak perlu pakai sebutan Baginda
segala," ujar Cu-mu. "Dari guruku pernah kudengar ayah
kalian pernah sekali bertempur dengan Jik-sin-cu, gembong
iblis dari perbatasan Tibet dan katanya iblis itu telah
dikalahkannya. Guruku sangat kagum sekali kepada ayah
kalian dan pernah tiga kali berkunjung kemari, cuma sayang
tidak pernah berjumpa."
Dasar watak Giok Kun-lun memang tulus, segera ia
menjawab, "Jika Baginda tidak suka sebutan-sebutan yang
lumrah, maka biarlah aku memanggil engkau sebagai Cu-mutoako
saja. Tentang pertarungan ayah dengan Jik-sin-cu
memang pernah terjadi. Cu-mu-toako bukan orang asing lagi,
maka biarlah kukatakan terus terang. Dalam pertarungan yang
memakan waktu sepanjang hari, sampai tengah malam ayah
telah kehabisan tenaga dan tampaknya sangat berbahaya,
untung saat itu kebetulan In-cengcu, In Ciau berlalu di sini
dan telah membantu dengan Tay-lik-kim-kong-ciang beliau
sehingga iblis itu dihantam ngacir. Ayah terkena racun panas
pukulan Jing-sin-ciang iblis itu dan susah disembuhkan,
kemudian beliau mendapat petunjuk orang kosen dan terus
melatih Lwekang di puncak es, dengan bantuan hawa dingin
dari alam itu ditambah Lwekang diri sendiri yang kuat, barulah
dapat memunahkan racun panas dalam badan. Sebab itulah
ayah telah pindah dari Kun-lun-san ke Leng-ciu-hong dan
membangun rumah es di puncak itu. Dengan demikian barulah
ayah dapat hidup lebih lama belasan tahun sehingga kami
kakak-beradik dapat dididik hingga dewasa."
Baru sekarang Cu-mu mengetahui sebab-musabab
hubungan keluarga mereka dengan In Ciau, lantas Giok Lingliong
telah menyelamatkan In Khing dan sengaja merangkap
perjodohannya dengan Hoa In-pik. Maka berkatalah Cu-mu,
"Kami pun mempunyai hubungan baik dengan In-cengcu.
Putra-putrinya juga dalam perjalanan bersama kami."
"Dan dimanakah In-cici?" tanya Giok Ling-liong.
"Dia bersembunyi di suatu gua karang sedang menantikan
aku," sahut Cu-mu. "Karena dia kehabisan tenaga, maka tidak
ikut datang bersama aku."
Baru sekarang kedua saudara Giok itu melihat pakaian Cumu
masih basah, tahulah mereka duduknya perkara. Kata Giok
Ling-liong, "Kiranya kalian juga jatuh ke dalam sungai?"
"Tidak cuma kami bertiga saja, bahkan Bun Ting-bik,
Hukaucu dari Thian-mo-kau juga jatuh ke dalam sungai es,"
sahut Cu-mu dengan tertawa. "Waktu tertimpa bencana, aku
berada bersama nona In, sedangkan In-toako berada tidak
jauh dengan Bun Ting-bik, sayup-sayup aku mendengar orang
she Bun itu kena dihantam oleh In-toako." Lalu ia pun
menceritakan kejadian kemarin secara ringkas, kemudian
tanyanya. "Waktu kau menolong In-toako, apakah tidak
mendapatkan Bun Ting-bik di sana?"
"Tidak," sahut Giok Ling-liong. "Andaikan melihatnya juga
aku takkan menolong dia Dia mempunyai hubungan baik
dengan bibi Karani dan menjabat sebagai Hukaucu, tapi aku
tidak suka padanya."
Diam-diam Cu-mu merasa heran, "Giok Bin-ko adalah
seorang pendekar dari golongan baik, kenapa keluarga mereka
ada hubungan rapat dengan Thian-mo-kaucu?" Tapi karena
baru saja berkenalan, maka ia tidak enak untuk bertanya.
Kemudian Giok Ling-liong telah berkata pula, "Sekarang
juga aku suruh seorang pelayan untuk pergi memapak In-cici."
'Segera ia memanggil seorang pelayannya dan memberi pesan
padanya, "Di atas meja riasku ada sebuah kipas, bawalah dan
carilah nona In di dalam gua karang di tepi sungai es sana,
katakan namaku dan perlihatkan kipas* itu dan tentu nona In
akan percaya serta ikut kau kemari. Selain itu bawalah
sekalian seperangkat pakaianku untuk nona In."
Dan sesudah pelayan itu pergi menunaikan tugasnya,
kemudian Ling-liong memberi penjelasan, "Tahun lalu waktu Koko
berkunjung ke Cui-in-ceng untuk menyambangi In-pepek,
meski aku tidak ikut pergi, tapi In Khing dan In Bik
mengetahui diriku. Maka ketika Koko hendak pulang, mereka
telah banyak memberi hadiah, nona In bahkan sengaja
mengirim sebuah kipas lukisan kepadaku. Maka dengan tanda
pengenal kipasnya itu pasti dia akan dapat ke sini dengan
tidak sangsi." Lalu ia menyambung lagi, "Eh, ia, In-toako dan
nona Hoa juga berada di sini, biarlah mereka diundang kemari
untuk bertemu. Aneh, sudah pergi sekian lamanya, kenapa
Maisah masih belum kelihatan kembali."
"Tentang ini aku harus minta maaf padamu, nona Giok,"
kata Cu-mu dengan tertawa. "Maisah telah kututuk dan
mungkin saat ini masih belum pulih kembali."
"Kiranya kau juga sudah mengetahui tentang diri mereka,"
kata Giok Ling-liong.
"Ya, karena aku mendengar mereka bicara dengan sangat
asyik dan sangat cocok, maka aku tidak ingin mengganggu
mereka," sahut Cu-mu tertawa. Menyusul ia memberitahukan
Hiat-to Maisah yang ditutuknya itu.
Segera Giok Ling-liong menyuruh seorang pelayannya yang
pandai agar pergi menolong Maisah, dipesannya pula, "Lalu
kau boleh mengundang nona Hoa dan tuan muda In kemari,
jangan katakan namaku jika kau ditanya, katakanlah akan
tahu sendiri bila nanti sudah bertemu, biar mereka nanti


Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terkejut dan girang semua."
Giok Kun-lun hanya geleng-geleng kepala dengan tertawa
atas kejahilan adik perempuannya itu.
Dan baru sekarang Cu-mu ada kesempatan untuk bertanya
tentang putri Kunbran itu, "Bagaimanakah adikku bisa
tertawan. Ada pula utusan resmi yang kami kirim ke negerimu,
keadaan mereka bagaimana pula?"
"Aku sendiri dalam pengawasan mereka, maka aku pun
tidak jelas keadaan di luar," tutur putri itu. "Tapi kudengar
bahwa kakakku telah dihasut oleh Kaso dan ketika utusan
kalian menyerahkan surat kepercayaan maka kakak, lantas
menuduh negeri kalian telah membunuh duta kerajaan kami
serta akan mengumumkan perang kepada kalian. Dengan
demikian maka para utusan kalian lantas ditawan. Konon telah
terjadi pertarungan sengit dahulu dan ada seorang di
antaranya berhasil lolos."
"Itu pasti adalah adik perempuanku," ujar Cu-mu.
"Benar," kata putri Kunbran itu. "Adikmu mestinya dapat
melarikan diri, tapi dia justru tidak melakukan hal itu, pada
malamnya dia kembali lagi ke dalam istana dan hendak bicara
dengan kakakku, tapi belum lagi bertemu dengan kakak, dia
sudah kena ditawan oleh Bok-lolo."
Cu-mu terkejut, cepat ia bertanya "Siapakah Bok-lolo itu"
Apakah dia sendiri yang menangkap adikku?"
"Tiada orang tahu asal-usul Bok-lolo," sahut putri itu. "Aku
cuma tahu dia telah menyembuhkan penyakit ayahku yang
tadinya sudah kehabisan akal. Dia mengaku sebatangkara,
dan karena ayah merasa hutang budi padanya, maka telah
minta dia tinggal di dalam istana. Belakangan baru diketahui
bahwa kepandaiannya ternyata sangat tinggi dan luas, baik
ilmu pertabiban sampai ilmu perbintangan, semuanya ia serba
tahu, bahkan ilmu silatnya juga tiada bandingannya, semua
jago silat di dalam istana tiada yang dapat melawannya.
Sebab itulah semua orang sangat kagum padanya. Sudah
tentu ayahku bertambah senang dan menganugrahi dia
sebagai Kim-lun-seng-bo, malahan membuatkan sebuah istana
baginya dan melayani dia bagai ibu angkat saja. Tapi aku
sendiri tidak suka padanya, kalau bertemu aku juga
menyebutnya sebagai 'Seng-bo', tapi di belakangnya aku
menyebut dia sebagai Bok-lolo yang memuakkan."
"Tentu kakakmu mengetahui kau tidak suka kepada Boklolo,
makanya orang tua itu diminta mengawasi tingkah
lakumu," ujar Giok Ling-long dengan tertawa.
Lalu putri Kunbran itu melanjutkan, "Dan sesudah kakakku
naik takhta menggantikan ayah, kakak bertambah
menghormat pula kepada nenek celaka itu, segala apa diturut,
segala usulnya diterima. Malam itu meski nenek itu dapat
menawan adik perempuanmu, tapi kabarnya ia pun terluka
ringan. Menurut dia, mestinya adikmu hendak dihukum mati,
tapi kemudian sesudah diketahui adikmu adalah putri kerajaan
Masar, maka kakak memutuskan akan menggunakannya
sebagai sandera dalam menghadapi kalian, makanya
keputusan terakhir ialah memenjarakan dia. Belakangan kakek
yang telah melepaskan sendiri adikmu dan menginginkan dia
bebas bergerak di dalam istana. Sudah tentu Bok-lolo
mendongkol tak kepalang, tapi dia tidak berani melawan
perintah kakek."
"Sungguh aneh juga, jika ayah dan kakakku sangat
menghormat kepada nenek itu, sebaliknya kakek sama halnya
seperti aku, selamanya tidak suka berdekatan dengan nenek
itu. Cuma saja usia kakek sudah sangat tua dan tidak ikut
campur urusan luar lagi, maka nenek celaka itu mendapat
kesempatan untuk tinggal di dalam istana. Ia boleh juga
karena kepandaian nenek itu sangat tinggi, maka kakek tidak
berani terang-terangan menceritakan kebenciannya."
"Apakah usia kakekmu sudah sangat tua?" tanya Cu-mu
tiba-tiba. "Ya, tahun ini usia beliau sudah 89 tahun," sahut putri
Kunbran itu. "Kakak-baginda adalah cucunya yang tertua dan
langsung menggantikan takhta kakek."
"Dan ayahmu bagaimana?" tanya Cu-mu.
"Ayah hanya hidup dalam usia 50 tahun lebih sedikit,
tatkala itu kakek masih bertakhta," sahut si putri.
"Jika begitu, masa takhta kakekmu agaknya sangat lama
sekali," kata Cu-mu.
"Ya, sejak umur 19 tahun kakek sudah naik takhta dan
berada di atas singgasana selama 60 tahun," tutur Kongcu itu.
"Dan baru sepuluh tahun yang lalu beliau mengundurkan diri
serta digantikan oleh kakakku." Diam-diam ia pun heran
kenapa Danu Cu-mu bertanya seteliti ini tentang seluk-beluk
keluarganya. KIRANYA Danu Cu Mu jadi teringat kepada dokumendokumen
rahasia yang diketemukan-nya didalam gudang
pusaka kerajaannya itu, antara lain yaitu surat kenegaraan
dari raja baru Kunbran. Cu Mu masih ingat tanggal surat itu
memang benar adalah 70 tahun yaug lalu Maka tahulah dia
sekarang bahwa raja Kunbran yang menulis surat itu kiranya
adalah kakek sang puteri dihadapannya sekarang.
Surat pemberitahuan tentang raja baru itu sebenarnya
adalah jamak saja, tapi Cu Mu heran mengapa leluhurnya
telah menyimpan surat itu dengan penuh perhatian, maka
dapat diduga bahwa bukan mustahil dibalik surat itu ada
urusan-urusan luar biasa. Dan sebabnya kakek raja Kunbran
itu sedemikian baik nya kepada Tiong Lian, tampaknya juga
ada sangkut pautnya dengan surat yang pernah dikirimkannya
itu. Ia masih ingat, selain surat kenegaraan itu masih ada pula
dua pucuk surat yang lain. Yang sepucuk adalah surat cinta
dari seorang wanita dan surat lain juga ditulis oleh wanita
yang sama itu yang memberitahukan seorang pntera serta
mengharap mereka kelak jangan sampai bertemu dimedau
perang. Kata-Kata inilah yang dirasakan Danu Cu Mu sebagai
pesan yang luar biasa dan susah dimengerti. Tapi cekarang
kalau dipikir lagi ia merasa beberapa hal itu lapat-lapat seperti
ada sangkut pautnya satu .sama lain, diam-diam ia da pat
menerka beberapa bagian, cuma tidak berani dikatakan.
Dan sesudah memikir sejenak, kemudian ia bertanya pula:
"Waktu adikku ditawan, apa kakak kakakmu pernah
menggeladah badannya?"
"Itulah aku tidak tahu, kukira, biarpun kakakku tidak baik
tindak tanduknya, tapi tidak sampai dia mengincar benda
mestika milik orang lain." sahut Kongcu itu dengan kurang
senang, rupanya dia salah paham atas pertanyaan Cu Mu itu.
Maka cepat Cu Mu memberi penjelasan: "Aku tidak
maksudkan kakakmu mengincar harta mestika adikku, padahal
diapun tidak membawa sesuatu yang berharga. Tapi dia
membawa sepucuk surat kenegaraan, yaitu surat
pemberitahuan kepada leluhurnya dari kakekmu yang ditulis
pada 70 tahun yang lalu."
Kongcu itu merasa heran, tanyanya: "Surat itu kalian
simpan begini lama dan sekarang adikmu sengaja
membawanya pula, apa sebenarnya maksud tujuan kalian?"
"Hanya secara iseng dia membawanya saja, sebab kukira
ada baiknya untuk membuktikan kepada kalian akan
hubungan persahabatan kedua negara kita!" sahut Cu Mu.
Padahal Kok Tiong Lian telah membawa serta kotak perhiasan
yang diketemukan didalam gudang pusaka serta dua pucuk
surat lain yang ditulis wanita yang sama itu. Tapi untuk
sementara ini Cu Mu tidak ingin, mengatakan dulu soal itu.
Kemudian Cu Mu tanya pula: "Bok Lolo itu tinggal sekian
lamanya didalam istana kalian, apakah selama ini tiada pernah
dijenguk oleh kawan atau sanak keluarganya?"
"Bibi Karani pernah beberapa kali menyambangi dia!" sahut
Kongcu. "Itulah Thian Mo Kaucu, bukan?" tanya Cu Mu,
"Thian Mo Kaucu apa?" berbalik Kongcu itu menegas.
"Bibi Karani telah mendirikan suatu agama didaerah
Tionggoan dan dia mengangkat dirinya sendiri sebagai
Kauwcu," kata Giok Ling Liong dengan tertawa. "Mungkin
karena kau bukan orang Bu Lim, maka dia tidak katakan
padamu. Meski dia agamanya sebagai Thian Mo, tapi orangnya
sebenarnya sangat baik.
Diam-Diam Cu Mu tidak dapat membenarkan ucapan Giok
Ling Liong itu, sebab Thian Mo Kaucu selama ini telah
dikenalnya sebagai wanita keji dan kejam. Tapi karena baru
saja berkenalan, maka ia tidak enak untuk menyatakan pula:
"Waktu aku masih kecil, pernah juga seorang bibi yang lain
datang menyambangi Bok Lolo, yaitu cucinya bibi Karani.
Kemudian bibi itu kabarnya sudah menikah didaerah
Tionggoan, lalu tidak pernah datang lagi. Perempuan itu suka
berlagak sangat berbeda dengan adiknya, maka aku sangat
tidak suka padanya,"
Diam-Diam Cu Mu menjadi heran dan sangsi pikirnya:
"Menurut cerita Tiong Lian, katanya encinya Thian Mo Kaucu
itu adalah nyonya Holam. Diwakktu kecilnya pernah dia
memalsukan sebagai ibu kami dan hendak menipu baju
mestika yang dipakai liong Lian. Dalam pemberontakan
didalam negeri kami sehingga Kayun berkuasa dan ibu tiriku
rela diperalat olehnya, maka Thian Mo Kaucu kakak beradik
juga mempunyai hubungan dengan ibu iri itu. Sungguh tidak
nyana bahwa diantara mereka juga mempunyai
persekongkolan dengan Bok Lolo di negeri Kunbran.
Tampaknya Thian Mo Kaucu dan keluarga kami sedikit banyak
juga ada sangkut pautnya, cuma saja mereka selalu tak
mempunyai maksud baik. Kedatanganku ke Kunbran ini harus
kugunakan untuk menyelidiki persoalannya sehingga jelas!"
Dalam pada itu terdengar ada suara tindakan orang yang
datang, lalu terdengar pela yan berseru melapor: "Siocia. nona
Hoa dan tuan In sudah datang?"
"Silahkan masuk, kalian sudah ditunggui lama oleh
kawanmu " seru Giok Ling Liong dengan tertawa sambil
membuka pintu kamar menyambut In Khing dan Hoa In Pik.
Ketika melihat Cu Mu juga berada disitu, In Khing terkejut
dan bergirang pula, serunya heran. "He, bagaimana jadinya
ini" Mengapa kaupun berada disini" Dimanakah adik ku?"
"Sebentar lagi adik Bik juga akan datang kemari," sahut Cu
Mu dengan tertawa. "Lebih dulu kau harus berterima kasih
kepada tuan rumah, dia yang menyelamatkan kau.".
"In toako, masih ingat kepada Siauwte tidak"!" segera Giok
Kun Lun menyela.
Sesudah mengamat-amati, segera In Khing dapat
mengenali pemuda itu, ia tambah girang dan segera saling
rangkul. "Giok toako jadi kau yang telah menolong aku"!"
"Bukan, tapi adik perempuanku yang menyelamatkan kau,"
sahut Kun Lun "Ling Liong kemirilah untuk memberi hormat
kepada toako."
Sejak masuk kedalam kamar Hoa In Pik juga terus
mengamat-amati Giok Ling Liong, sekarang tiba-tiba ia
berkata: "Buk". bukankah engkau adalah nona baju putih
yang selalu berada disimpingku itu, Apakah?" apakah ini
bukan dalam mimpi ?"
"Kau telah keracunan yang disemburkan ular salju itu dan
aku telah mengobati kau," sahut Ling Liong. "Sekarang kau
sudah sembuh betul-betul dan takkan kumat lagi."
Baru sekarang In Pik tahu siapa yang telah menyelamatkan
jiwanya, segera ia menyatakan terima kasihnya yang tak
terhingga. Kata Giok Ling Liong pula dingan tertawa: "Aku tahu
engkau kenalan baik In toako, maka aku membiarkan kalian
berada bersama supaya tidak kesepian, tentu kalian takkan
marah padaku, bukan ?"
In Pik menjadi merah jengah. Sebagai seorang gadis cerdik,
sudah tentu Cara mengatur Giok Ling Liang itu tentu
mempunyai maksud tertentu. Seketika ia menjadi bingung
apakah mesti marah atau terima kasib padanya, Akhirnya pun
berkata: "Terima kasih atas kebaikanmu telah mengantar In
toako untuk-bertemu dulu dengan aku sehingga segera aku
bisa mendapat kabar tentang ayah."
Namun begitu katanya, dari sikapnya yang kikuk dari air
mukanya yang merah jengah, semua orang dapat meraba
betapapun terguncang rasa mesranya itu.
Diam-Diam Giok Ling Liong dan Daun Cu Mu tersenyum
penuh arti. Yang seorang berpikir: "Usahaku ini sembilan
bagian pasti jadilah "Ang Pau" bagi seorang comblang pasti
akan kuterima kelak ."
Sedangkan Cu Mu berpikir, "Dengan demikian, maka
perasaan Kang Suheng yang tertekan dapatlah dibebaskan."
Sebaliknya In Khing tidak memperhatikan percakapan
kawan-kawannya itu, ia lagi asyik bicara sendiri dengan Giok
Kun Lun. Maklum, pertemuan sobat lama secara tidak
terduga-duga sudah tentu membuatnya heran dan girang,
maka berulang-ulang ia telah tanya duduknya perkara kepada
Giok Kun Lan. "Sejak aku berkunjung ketempat kediamanmu, kemudian
akupun ada suatu pengalaman aneh. Dan paling akhir ini aku
telah pergi kekotaraja Kunbran," demikiau tutur Kun Lun.
"Nanti dulu, coba ceritakan pengalaman aneh apakah
sibenarnya ?" tanya In Khing.
Tapi Giok Kun Lun tidak menjawab, ia memandang sekejap
kearah Kongcu kerajaan Kunbran itu seperti hendak
menceritakan, tapi ragu-ragu. Melihat kelakuannya itu, diamdiam
In Khing sudah dapat menerka beberapa bagian.
Maka dengan tertawa Giok Ling Liong telah berkata :
"Kongcu. bolehkah aku mewakilkan kalian untuk menceritakan
pada mereka."
Puteri kerajaan Kunbran tidak terikat oleh adat istiadat kolot
bangsa Han, maka dia tidak merasa kikuk sedikitpun.
sebaliknya ia berkata dengan tertawa.: "Baiklah, boleh kau
katakan saja, kenapa menjadi rikuh ?"
Maka Giok Ling Liong bercerita : "Tidak lama sesudah Koko
kembali dari kunjungannya Le Cui In Ceng kalian, pada suatu
hari Kongcu dengan pengiringnya satu regu perajurit telah
mengadakan pemburuan dikaki gunung sini dan kebetulan
ketemukan seekor badak yang sangat ganas. Kulit badak
sangat tebal dan tidak mempan dipanah maupun dibacok
dengan golok, jika binatang itu sedang mengamuk maka
tanduknyapun menghancurkan batu, bahkan jauh lebih
menakutkan daripada singa maupun harimau, Karena itu
perajurit pengiring Kongcu itu sibuk melindungi tuan puterinya
dengan menghujani badak itu dengan anak panah maksudnya


Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghalau binatang itu. Mendadak bad
Bentrok Para Pendekar 3 Pendekar Setia Pendekar Kembar Bagian Ii Karya Gan K L Rahasia Ciok Kwan Im 6
^