Kisah Pedang Di Sungai Es 4

Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen Bagian 4


Thian-mo-kau. Sampai sekarang, masih
belum pernah melihat muka Kaucu dan Hukaucu", demikian
sahut penggotong-penggotong joli itu. "Kali ini kami
diperintahkan menghamba kepada Mo-hujin itu. Iapun tidak
diperkenalkan kedudukan dirinya pada kami, maka kamipun
tidak tahu apakah sebenarnya dia adalah Kaucu kami atau
memang nyonya gubernur segala?"
Karena tak berhasil memancing keterangan lebih banyak,
pikir Eng-kiat kemudian: "Kedua orang ini, memang cuma
golongan kerucuk dari Thian-mo-kau tampaknya apa yang
mereka ketahui juga terbatas".
Maka segera ia cekoki kedua penggotong joli itu terus
menerus hingga mabuk, lalu cepat datang ketempat Kok Cihoa
untuk melapor. Terkejut juga Kok Ci-hoa ketika mendengar bahwa Mo-hujin
itu mungkin adalah Thian-mo kaucu sendiri, tapi segera
katanya gusar: "Selama ini kami tiada Permusuhan dan
sangkut paut apa-apa dengan agama jahat kalian. Mengapa
kau datang mengacau ke Bin-san sini?".
Mo-hujin itu ter-bahak". Ia tidak menyangkal dan juga tidak
membenarkan terhadap tuduhan Pek Eng-kiat bahwa dirinya
mungkin adalah Thian-mo-kaucu.
Setelah tergelak-gelak aneh sebentar, mendadak ia
melancarkan serangan gencar pula kepada Kok Ci-hoa sambil
mendamprat : "Kau berani memaki agama suci kami sebagai
agama jahat" Cukup dengan alasan ini saja permusuhan
dengan Bin-san-pay kalian sudah terang jadi kini, apalagi kau
telah mengangkangi puteriku!"
Suara tertawa Mo-hujin itu seram melengking, Lwekang Pek
Eng-kiat lebih tinggi, maka tidak terpengaruh, tapi bagi
pendengaran Loh Eng-ho, seketika merasa telinganya seolaholah
ditusuk benda tajam. Dasar wataknya memang
berangasan, dalam gusarnya segera ia lolos senjata hendak
mengembut maju.
Syukur pelayan Kok Ci-hoa keburu mencegah, "Jangan, Loh
Susiok, lekas mundur!"
Dalam Pada itu, dengan cepat luar biasa
"Seerrr"
Tahu-tahu Mo-hujin telah lolos keluar seutas pecut panjang.
"Taar!"
Sekali, dengan tepat punggung tangan Loh Eng-ho kena
tersabet. Saking kesakitan. Loh Eng-ho sampai menjerit. Ternyata
pecut Mo-hujin itu penuh ditaburi bubuk racun sengat
kalajengking, ujung pecut dipasangi pula dengan duri-duri
baja berkait yang halus, sekali tangan Loh Eng-ho tersabet
seketika terasa panas seperti dibakar, kulit daging bagian
tangan itupun terbeset sepotong.
Akan tetapi karena Kok Ci-hoa telah melarang orang lain
maju membantunya, terpaksa Loh Eng-ho-mengundur diri
dengan menahan sakit dan penasaran.
"Hm, apakah Bin-san-pay kalian hendak main keroyokan?"
demikian Mo-hujin mengejek. "Jika begitu, terpaksa aku
gunakan senjata untuk melayani kalian!"
Padahal Loh Eng-ho tadi belum lagi bertindak dan
menyerang, sudah lebih dulu dilukai olehnya. Sebenarnya tak
bisa dikatakan orang Bin-san-pay hendak mengeroyok.
Soalnya karena Mo-hujin sendiri sudah terdesak dibawah
angin, maka, dengan alasan itulah sekarang dia akan
menempur Kok Ci-hoa dengan senjata.
Dengan pecut berbisa yang dimainkan dengan kencang itu,
Karuan Mo hujin bertambah iihay mirip harimau tumbuh
sayap, ia menyerang lebih gencar hingga kedudukannya yane
terdesak tadi bisa diperkuat kembali.
Sementara itu Kang Lam yang, sedang diliputi rasa raguragu
dan curiga itu, ketika mendadak mendengar Pek Eng-kiat
bilang Mo-hujin itu mungkin adalah Thian-mo-kaucu sendiri,
hati Kang Lam terguncang. Ia adalah seorang yang jujur
mulus dan tidak pakui perhitungan untung-rugi, biarpun tahu
kepandaian Mo-hujin itu entah berapa kali lebih lihay dari
dirinya, toh ia Tetap merangsang maju tak peduli.
Melihat Kang Lam sekonyong-konyong ikut menerjang
kekalangan, cepat Ci-hoa berseru: "Kang Lam, aku tidak perlu
bantuanmu, lekas mundur!"
Tapi Kang Lam menjawab: "Dia telah menculik puteraku,
aku harus mengadu jiwa dengan dia! Aku bukan anak murid
Bin-san-pay kalian, aku boleh tidak tunduk pada perintahmu!"
Tercengang juga Mo-hujin itu, segera ia mendamprat:
"Bocah dogol, mengaco-belo belaka! Siapa yang pingin pada
anakmu" Baiklah, jika kau sudah bosan hidup, biar akupun
memberikan kartu undangan Giam-lo-ong (raja akhirat)
padamu!" Pecut Mo-hujin yang lemas itu, bagaikan ular menjulurkan
lidahnya yang bisa diulur dan mengkeret dengan leluasa,
sekali sabet, jaraknya mencapai setombak lebih. Maka
sebelum Kang Lam dapat menubruk kehadapannya, mendadak
"Tarrr!" Sekali
Pecut panjang itu sudah menyambar kearahnya.
Lekas Kok Ci-hoa membarengi menusuk dengan
pedangnya, dia utara berkelebatnya sinar pedang
dandayangan pecut, tertampak Kang Lam mendadak
berjumpalitan maju keatas hingga pecut Mo-hujin itu
menyerempet lewat di bawah punggung Kang Lam.
Kiranya cara berjumpalitan Kang Lam yang aneh itu adalah
ajaran Kim Si-ie, biarpun pengalaman Mo-hujin itu sangat luas,
luput juga serangannya itu.
Dalam pada itu sudah terdengar Kang Lam membentak
sekali, secepat kilat ia telah membalik turun terus menutuk ke
"Giok-coan hiat" dibawah dada Mo-hujin.
Pecut Mo-hujin saat itu lagi dipakai menangkis tusukan Kok
Ci-hoa tadi. Untuk menarik kembali buat menyambut serangan
Kang Lam sudah tidak sempat lagi, terpaksa ia berkelit
sebisanya. Namun ilmu Thian-hiat Kang Lam itu sudah mencapai
tingkatan kelas satu. Justru pada saat lawan menggeser tubuh
itulah, kedua jarinya masih sempat mengait hingga, "Bret".
Baju di bagian dada Mo-hujin telah sobek sepotong. Menyusul
juga suara gedebukan. Kiranya pada saat baju Mo-hujin sobek
dikait jarinya, berbareng iapun kena disikut oleh nonya itu
hingga tepat kena "Ih-gi-hiat" di bagian iga
Walaupun Mo-hujin tidak kena tertutuk tapi bajunya robek
menjadi malu, dalam murkanya, "Sret" pecutnya kembali
menyabet pula kearah Kang Lam sambil mendamperat:
"Bocah kurang ajar! Nih, rasakan pecutnya ini. lekaslah
menuju ke akhirat!"
Ih-gi hiat dibagian iga iiu adalah salah satu, hiat-to yang
mematikan dibadan manusia. Setelah kena disikut. Mo-hujin
menduga Kang Lam sekalipun tidak lantas mampus, paling
tidak juga takkan mampu berkutik, maka ia sengaja hendak
menambahi sabetan pecutnya lagi.
Tak terduga Kang Lam memiliki kepandaian "Tian-to-hiapto"
yang ajaib, hingga tutukan nyonya itu tidak mempan.
Sekali ini Kang Lam tidak ingin menunggu pecut lawan itu
menyambar lagi, cepat-cepat ia mendahului melejit bangun
dengan gerakan "Le-hi-bah-ting" atau ikan lele melonjak,
berbareng ia membentak: "Kau telah menculik puteraku,
masih Kau berani bicara tentang sopan santun dengan aku"
Hm... aku justru ingin adu jiwa dengan kau!"
Sungguhpun kepandaian Kang Lam bukan tandingan Mohujin.
tapi iapun cukup cekatan begitu melejit bangun
berbareng pedang sudah dilolosnya, kontan dengan tipu Junhong-
kay-tong atau Angin Semilir Mencairkan Es, ia tusuk
musuh. Serangan Kang Lam ini adalah salah satu jurus yang hebat
dari Peng-coan-kiam-hoat, biarpun ilmu pedang kelas wahid,
walaupun cuma sekelumit diantaranya sudah cukup untuk
menggertak lawan.
Karuan Mo-hujin terperanjat. Sudah terang Kang Lam kena
ditutuk ih-gi-hiat olehnya kenapa tidak terjadi apa-apa"
Bahkan masih bisa melontarkan ilmu pedang sebagus itu"
Diam-Diam ia berpikir: "Jangan-Jangan aku telah salah lihat"
Apa bocah ini juga sudah berhasil melatih ilmu sakti yang tak
mempan serangan?" Maka dia tidak berani pandang enteng
Kang Lam lagi. Sekarang ia hadapi Kang Lam seperti dia melayani Kok Cihoa.
Separuh tenaganya kini kusus untuk dipakai menempur
Kang Lam. Padahal kepandaian Kang Lam yang sejati selisih sangat
jauh daripada Mo-hujin. Dengan perubahan itu, maka tiada
balasan gebrakan. Kang Lam mulai kewalahan dan kerepotan.
Untung dia sudah mahir "Thian-Loh-po-hoat", dibantu pula
dengan "Hian-li-kiam-hoat" Kok Ci-hoa yang lihay, hingga Mohujin
tidak terlalu berani mencecar kang Lam. Sebab itulah
beberapa kali Kang Lam mulai terancam bahaya, namun
dapatlah ia selamatkan diri.
Sebaliknya karena harus melindungi Kang Lam, pertarungan
Kok Ci-hoa menjadi terganggu. Namun ilmu silat Kang Lam
sekarang sudah bukan golongan kerucuk, pula ia bertempur
dengan kalap, mau tak mau Mo-hujin rada jeri juga, hal ini
pun banyak membantu bagi Kok Ci-hoa.
Kalau bicara tentang kepandaian sejati, sebenarnya Kok Cihoa
masih lebih tinggi setingkat daripada Mo-hujin, coba kalau
bukan ingin lindungi Kang Lam, mungkin sejak tadi musuh
sudah bisa dilukainya.
Rupanya Mo-hujin itupun dapat melihat titik kelemahan
Kang Lam itu. Dalam pertarungan sengit itu, mendadak dia
mainkan ilmu pecut "Hwee-hong-sau-liu atau Angin puyuh
merobohkan pohon Liu. Beruntun-runtun tiga kali
memberondongi Kok Ci-hoa sebagai pancingan. Benar juga
melihat ada kesempatan, segera Kang Lam merangsang maju.
Mo-hujin sengaja membiarkan Kang Lam berhasil
mendekatinya sekonyong-konyong dia menyebul dengan hawa
dingin hingga tidak tertahan Kang Lam bergidik. Pada detik
itulah secepat kilat Mo-hujin ayun kakinya menendang.
Melihat itu, Kok Ci-hoa sangat terkejut cepat pedangnya
menusuk. Dan pada saat itulah terdengar Kang Lam menjerit
sekali sambil berjumpalitan mundur ketepi tembok. Menyusul
mana, hampir berbareng terdengar Mo-hujin itu pun menjerit
tajam sekali, lalu orangnya terhuyung huyung. Karena itu
tusukan Kok Ci-hoa tadi tak bisa dihindarinya, "Cret", sebagian
daging diatas lengannya kena dipapas oleh pedang Kok Cihoa.
Kiranya Kang Lam yang ketolol-tololan itu sama sekali tidak
kenal sungkan-sungkan segala. Pada saat ia kena ditendang
Mo-hujin berbareng iapun pentang mulut terus menggigit
sekeras-kerasnya ke betis nyonya itu. Sebab itulah tusukan
Kok Ci-hoa dapat melukai musuh dengan mudah.
Berturut-turut Mo-hujin terluka pedang dan tergigit, tak bisa
tahan lagi, sekali berteriak, terus ia berlari kearah pintu.
Kok Ci-hoa tak sempat mengejar, ia tanya Kang Lam lebih
dulu: "Bagaimanakah keadaanmu?"
"Tidak apa-apa!" sahut Kang Lam. "Lekas kejar siluman
itu.!" Namun untuk bangun, terpaksa ia harus berpegangan
dinding, suatu tanda tendangan tadi sesungguhnya tidak
ringan. Kepandaian Mo-hujin itu benar-benar luar biasa, waiaupun
terluka dan sebelah kaki agak pincang, namun larinya masih
sangat cepat. Diluar memang ada beberapa anak murid Binsan-
pay, maka begitu dia lari keluar, kontan dia sebarkan
segulung asap tebal dan api, diantara asap api itu terseling
pula suara mencicit.
Pek Eng-kiat kenal itu adalah "Tok-bu-kim ciam-liat-yamtan"
yang dahulu sering digunakan Le-Seng-lam, maka cepat
ia bersama Thia Go memukul ke depan. Mereka adalah muridmurid
tertua dari Bin-san-pay, kepandaian mereka terhitung
paling tinggi. Dengan pukulan Pi-khong-cio" mereka bisa tolak
samberan asap yang tebal itu hingga menebar keatas, tapi toh
masih ada beberapa kawan yang terluka oleh jarum beracun.
Anak-Anak murid Bin-san-pay itu menjadi murka, sambil
membentak-bentak, beramai-ramai mereka menghujani Mohujin
dengan am-gi atau senjata rahasia.
Mo-hujin menjengek sambil putar pecutnya yang lemas itu,
hingga mirip seekor naga menari-nari diangkasa sambil
pentang mulut dan cakarnya. Seketika hujan am-gi tadi
tersapu bersih, ada sebagian yang sengaja tidak digubris oleh
Mo-hujin hingga, mengenai badannya, tapi senjata-senjata
rahasia itupun jatuh sendiri ketanah begitu menempel
bajunya. Hanya sekejap saja nyonya itu sudah berlari keluar pintu
kedua, yang menjaga pintu ketiga adalah Kam Jin-liong dan
Lim-sing dari Lak-toa-tecu atau enam murid tertua.
Kam Jin-liong adalah keponakan mendiang Kang-lam-tayhiap,
Kam Leng-ti yang tersohor itu. Ia telah mewarisi ilmu
pukulan sakti sang paman, maka begitu nampak musuh berlari
tiba, kontan ia menghantam kedepan.
"Awas, jangan menyenggol tangannya yang berbisa" cepat
Pak eng-kiat memperingatkan sambil menyusul tiba.
Namun sudah terlambat, "Blaang!" sekali. Lontaran telapak
tangan Mo-hujin sudah saling beradu dengan kepala Kam Jinliong
mampu menembus perut kerbau.
Mo-hujin rasa sempoyongan juga terbentur oleh pukulan
hebat itu. Tapi ia mendengus sekali, serangan kedua segera ia
gaplokan keatas kepala Kam Jin-liong.
"Perempuan siluman jangan main garang!" bentak Lim Sing.
senjata yang dia gunakan adalah sebatang seruling, begitu
bergerak, segera ia tutuk urat nadi musuh.
Ilmu "Giok-tik-tiam-hiat" atau menutuk dengan seruling,
merupakan salah satu kepandaian tunggal juga dari Lim Sing.
Seruling adalah senjata pendek, maka pertarungannya itu
boleh dikata merupakan pergulatan dari dekat. Karena tak
sempat memutar kembali pecutnya, Mo-hujin terkesiap, cepat
ia menggeser ke samping.
Dan pada saat itulah terdengar Kam Jin-liong menjerit
sekali ngeri terus jatuh terguling. Terpaksa Lim Sing dan Pek
Eng-hiat membiarkan Mo-hujin lari pergi dan sibuk menolong
Kam Jing-liong lebih dulu.
Ternyata wajah Jin-liong sudah matang blru, orangnya
sudah tak sadar, keadaannya serupa dengan Cia In-cin.
Sementara itu ketika Kok Ci-hoa mengetahui Kang Lam
tidak terluka, lalu memburu keluar, namun sudah terlambat


Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedikit. Waktu itu Mo-hujin sudah menerjang keluar ketiga
pintu kelenting dan sampat dipelataran luar.
Kedua penggotong joli yang sudah mabuk itu menjadi kaget
dan sadar ketika mendengar suara ramai-ramai. Dengan
gugup mereka berlari ke luar. Waktu mendongak, mereka
melihat orang yang lagi berlari kearah mereka itu tak lain tak
bukan adalah Mo-hujin yang harus mereka mengabdikan diri
itu. Mereka tidak tahu kalau di dalam kelenting sudah terjadi
geger". Dengan masih dipengaruhi alkohol, kedua penggotong
joli itu menanya: "Apakah Hujin akan turun gunung sekarang"
Silahkan tunggu sebentar, katai ambilkan joli."
Tiba-Tiba Mo-hujin menjengek dan mendamprat "Hai, garagara
kalian yang tolol ini hingga rahasiaku terbongkar, apakah
aku masih perlu kalian menggotong joli lagi" Boleh kalian
enyah kerumah kakek moyangmu saja".
Dalam keadaan masih belum sadar seluruhnya kedua
penggotong joli itu masih menyangka sang nyonva besar itu
benar-benar telah bebaskan kewajiban mereka. Untuk sedetik
mereka tertegun dan belum lagi sempat menyatakan terima
kasih sekonyong-konyong terdengar suara mendesis dua kali.
Mo-hujin sudah bidikan dua batang panah kecil hingga
menembus tenggorokan mereka, kontan kedua penggotong
joli itu melayang jiwanya.
Tindakan Mo hujin itu cepat sekali, disamping membidikkan
panah membinasakan kedua penggotong joli, tanpa melihat
lagi pecut ditangan lain terus menyabet keatas,
"Tarr!" ujung cambuk semampir di atas pagar tembok,
menyusul tubuhnya ikut mumbul keatas, sekali berjumpalitan,
orangnya sudah melintasi pagar tembok dengan gayanya yang
indah. Malahan berbareng dengan lompatan itu, melepaskan
pula sebutir peluru berasap dan berjarum berbisa untuk
menahan pengejarnya.
Tapi Kok Ci-hoa lantas melontarkan pukulan kosong 'Pikhong-
cio untuk membuyarkan asap dan serangan jarum.
Waktu Pek Eng-kiat melompat ke atas tembok, bayangan Mohujin
sudah tak tampak lagi.
"Dia kena digigit sekali oleh Kang Lam terluka oleh
pedangku pula, tadi waktu melintasi tembok diperlukan
bantuan tenaga cambuknya agaknya lukanya juga tidak
ringan, biarlah dia pergi saja!" demikian kata Kok Ci-hoa.
Peristiwa ini ternyata banyak melukai anak murid Bin-sanpay.
Kecuali Cia In-cin dan Kam Jin-liong yang terluka parah,
ada pula 5-6 anak murid terkena jarum beracun.
Kok Ci-hoa rasa kesal oleh kejadian itu, bersama Kang Lam,
mereka pergi memeriksa keadaannya Cia In-cin.
Sesudah minum Pek-ling-tan, pernapasan Cia In-cin sudah
mulai rada teratur, cuma masih tetap tak sadar. Kok Ci-hoa
agak lega, bersama Kang Lam mereka pergi melibat anak
pungutnya. Begitu melihat Kang Lam segera Kok Tiong-lian berteriakteriak
"Siok-siok. andaikata lain kali pinggulmu telanjang lagi,
tentu aku takkan mentertawai kau, sebab kau adalah orang
baik!" Kang Lam tertawa kikuk, sahutnya: "Setan cilik, dari mana
kau tahu aku adalah orang baik?"
"Tadi aku diberi tahu bahwa paman telah membantu ibu
mengusir maling wanita" sahut Tiong-lian. "Sungguh aku tadi
sangat takut, apabila kena diculik oleh dia, entah bagaimana
nasibku ini?"
"Aai, tapi putraku sudah diculik olehnya", kata Kang Lam
dengan menghela napas.
"Maling wanita itu sungguh jahat", ujar Tiong-lian. "Sioksiok,
jangan kau kuatir, kali ini kau telah bantu ibu, maka
akupun minta ibu membantu engkau untuk mencari kembali
puteramu itu. Sudah berapa besarnya dia" Tahun ini aku
berumur tujuh tahun, aku ingin tahu, aku harus panggil dia
kakak atau adik?".
"Seperti kau, kebetulan iapun tujuh tahun" sahut Kang Lam.
"Bagus!" seru Tiong-lian bertepuk tangan. "lekaslah engkau
membantu paman ini mencari kembali puteranya agar aku
mempunyai teman cilik. Eh, Sioksiok maukah engkau juga
tinggal disini?"
Sebenarnya Kok Ci-hoa lagi masgul, tapi demi sampak anak
yang lincah menarik itu, tak tertahan lagi ia tertawa, katanya:
"Baiklah, apabila Kang Sioksiok sudi padamu, nanti kalau
Kang-koko sudah ditemukan, aku lantas berikan kau untuk
menjadi bininya".
Sudah tentu Kok Tiong-lian masih belum paham tentang
"laki-bini" segala, dengan moncongkan mulutnya yang kecil
mungil itu ia berkata pula: "Aku hanya ingin dia untuk menjadi
temanku, tapi aku tidak mau meninggalkan engkau, Ah. baju
kapasku ini telah sobek dicakar maling wanita iiu, harap ibu
sukalah menjahitkannya"
Waktu Kok Ci-hoa menyambut baju kapas yang diangsurkan
itu, seketika hatinya tergerak. Terbayang olehnya adegan tadi,
dimana ketika Mo-hujin mohon bertemu dengan bocah itu, ia
telah minta pula agar anak itu memakai baju kapasnya
sekalian. Hal mana dapat diikutinya dengan jelas bahwa cara
turun tangan Mo-hujin itu sangat kejam. Hakikatnya tidak
peduli apakah cengkeraman itu akan melukai sibocah atau
tidak. Karena itu dapatlah dipastikan, Bukan saja anak itu
bukan anak kandungnya, bahkan maksud tujuannya bukan
bocah itu, tapi adalah baju kapasnya.
Biji kancing diatas baju kapas itu adalah benda mestika
yang menjadi idam-idaman setiap orang Bu-lim, hal ini sudah
lama diketahui Kok Ci-hoa. Tapi Mo-hujin tidak tahu. Maka
dapat diduga bahwa baju kapas yang ingin dlarahnya ini
bukan disebabkan rahasia biji-biji kancing itu telah
diketahuinva. Jika demikian, tentu di dalam baju kapas itu
masih mempunyai suatu rahasia besar lain yang belum
terbongkar"
Begitu Kok Ci-hoa menjadi ragu-ragu. Ia coba periksa baju
itu dengan teliti. Baju itu sudah sobek suatu bagian oleh
cakaran Mo-hujin. Waktu Ci-hoa menarik garis sobekan itu,
tiba-tiba dilihatnya didalam baju itu seperti ada sepotong
barang apa. Waktu ditarik keluar, kiranya adalah secarik kertas
kulit kambing yang sangat halus dan tipis buatannya. Yang
lebih mengherankan adalah diatas kertas kulit itu penuh
tertulis huruf-huruf yang tak dikenal oleh Kok Ci-hoa.
DARI samping Kang Lam juga pentang mata lebar-lebar
untuk melihat huruf diatas kertas kulit itu, tiba-tiba Ci-hoa
menanya: "Kang Lam, kau pernah tinggal sepuluh tahun di
Tibet, apakah kau paham tulisan Tibet?".
"Paham sedikit saja," sahut Kang Lam.
Tapi sesudah kertas itu diterimanya dan di baca, kemudian
ia menggelengi kepala dan berkata: "Ini bukan tulisan Tibet,"
Dan sesudah memikir sejenak, ia menyambung pula: "Dahulu,
ketika aku berada di Saka, terkadang aku suka menyampaikan
surat dinas bagi orang yang datang menghadap Loya kami.
Maka itu tulisan demikian aku seperti pernah melihatnya,
cuma tidak paham. Gihengku Tan Thian-ih kenal beberapa
bahasa daerah barat itu, biarlah kelak akan aku ajak kesini
dan boleh kau minta dia bacakan tulisan ini"
Karena tiada jalan lain, terpaksa Kok Ci-hoa menerima usul
Kang Lam dan masukkan kembali kertas kulit itu ke dalam
baju kapas, lalu dijahitnya dengan baik.
Dengan sorot mata yang terheran-heran Kok Tiong-lian
menyaksikan ibu angkatnya itu menjahitkan bajunya. Maka
berkatalah Kok Ci-hoa dengan suara halus: "Lian-ji, apa kau
masih ingat kejadian dimasa kecilmu?"
Biji mata Kok Tiong-lian yang kecil ini tampak mengerling
kesana-kesini, tampaknya merasa serba salah untuk bicara.
Karena itu Kok Ci-hoa berkata pula: "Lian-ji, jika kau tidak
ingin katakan, aku tidak ingin tahu lagi."
"Khu Ya-ya yang pesan padaku agar jangan sembarangan
ceritakan pada orang urusan diwaktu kecilku", sahut Tionglian.
"Tapi engkau adalah ibuku, kalau kuberitahukan rasanya
Khu Ya-ya tidak takkan salahkan aku. Cuma akupun tidak
begitu ingat"
Dara cilik itu mengingat-ingat sebentar, lalu menutur, "Aku
masih ingat diwaktu kecil tinggal di tenda yang sangat besar.
Didalamnya banyak terdapat kamar-kamar lagi. Di luar tenda
adalah tanah rumput yang sangat luas dan banyak lembu dan
domba." Termangu-mangu Kok Ci-hoa oleh cerita itu, pikirnya, "Ia
tinggal didalam tenda sehebat itu apa bukan keluarga
bangsawan Mongol atau puteri kepala suku dan sebagainya di
daerah Sin-kiang?"
Segera Kok Tiong-lian menyambung lagi: "Dan aku
mempunyai banyak budak. Aku masih ingat orang yang sering
membopong aku adalah seorang wanita tua yang sudah
ubanan. Suatu kali aku bermain ditanah rumput dan
mendengar satu anak lain memanggil ayah dan ibunya, dan
itu baru aku mengetahui bahwa tiap orang seharusnya
mempunyai ayah-ibu. Aku pulang dan menanya nenek tua itu
apakah dia ibuku" Tapi dia bilang bukan, ia mengaku adalah
budak yang mengemban aku saja. Ia beritahu padaku bahwa
semua orang didalam tenda itu adalah budakku, tapi tidak
menerangkan padaku dimana beradanya ayah bundaku.
Tatkala itu aku masih bodoh, maka tak bisa banyak bertanya,
aku menyangka diriku dikecualikan memiliki ayah dan ibu.
Cuma tidak lama kemudian lantas tahu juga bahwa akupun
mempunyai seorang ibu."
"Dari mana kau tahu?" tanya Ci-hoa tak sabar.
"Suatu malam", demikian Tiong-han melanjutkan, "ada
seorang wanita datang kedalam tenda, jenguk aku. Apa yang
dia katakan aku sudah lupa, aku hanya ingat beliau adalah
seorang wanita cantik. Sesudah dia pergi, nenek itu baru
memberitahu padaku bahwa wanita itulah ibu kandungku"
"Ah... kiranya ibu kandungmu masih hidup didunia ini?"
kata Ci-hoa. "Tidak beliau sudah meninggal," sahut Tiong-lian.'"Hal ini
adalah Khu-yaya yang katakan padaku kemudian. Suatu hari,
entah apa yang terjadi dipadang rumput, sekonyong-konyong
semua orang berlari kacau balau, aku dibopong Khu-yaya dan
dibawa lari dengan menunggang kuda selama beberapa hari.
Akhirnya aku lantas tinggal bersama Khu-yaya. Tidak, semula
masih belum tinggal bersama dia, tapi tinggal disebuah gubug
reyot. Kira-Kira beberapa bulan kemudian baru Khu-yaya
membawa diriku ke rumahnya yang besar itu."
"Siapa lagi yang berada dirumahnya itu?" tanya Ci-hoa.
"Aia seorang paman she Sin, kemudian aku tahu dia adalah
buruh tani Khu-yaya," sahut Tiong-lian. "Sio-sioksiok itu
mengajar dalam bahasa yang serupa dengan anak-anaknya"
"Lalu sebelumnya bahasa apa yang kau ucapkan?" tanya
pula Ci-hoa. "Entahlah, aku sudah lupa sama sekali", sahut Tiong-lian
mengkerut kening.
Hendaklah diketahui bahwa ketika Kok Tiong-lian dibawa
kerumah Khu Giam, usianya baru tiga tahun. Seorang bocah
tiga tahun dapat mengingat hal-hal sebanyak itu sebenarnya
sudah terlalu bebat. Namun setelah mendengar cerita itu,
meski sudah terbuka jalan-jalan untuk menyelidikinya, Kok Cihoa
merasa teka-teki pribadi anak itu masih belum tersingkap,
bahkan bertambah aneh dan penuh rahasia.
Dalam teka-teki mengenai diri bocah itu ada terdapat dua
titik persoalan yang sangat susah dipahami dan dipecahkan.
Pertama, mengapa ayah bundanya tidak tinggal bersama dia"
Bahkan untuk menjenguknya, ibunya perlu datang secara
diam-diam dimalam hari"
Semula Kok Ci-hoa menduga anak ini mungkin adalah
keturunan bangsawan Mongol atau puteri kepala suku daerah
Sinkiang, tapi juga teringat olehnya cerita buatan yang
diceritakan Mo-hujin, yaitu boleh jadi anak ini adalah hasil
hubungan tak sah. Tapi bila benar demikian, soalnya lebih
rumit lagi. Sebab harus diketahui bahwa adat istiadat suku bangsa di
daerah barat laut itu sangat berbeda dengan bangsa Han.
Mereka hidup secara berkelompok-kelompok tergantung
keadaan setempat, dimana rumput subur bagi peternakan
mereka. Jumlah mereka juga tak bisa terlalu banyak, tapi
selamanya mereka hidup berkumpul hingga satu sama lain
sangat kenal. Setiap peristiwa pribadi, susah sekali untuk
ditutup. Kedua, pabila bocah ini adalah anak tak sah dari pihak
lelaki, padahal umumnya kepala suku dari Sinkiang atau
bangsawan Mongol memiliki kekuasaan sangat besar, tidak
perlu main sembunyi-sembunyi hanya karena seorang anak
haram. Sebaliknya kalau anak tak sah dari pihak wanita, mana
dia berani menaruh anaknya di dalam tenda yang begitu besar
dan megah" Bahkan diemban oleh kawan-hamba sebanyak
yang diceritakan itu" Pula, katanya tenda itu berada disuatu
tempat yang tetap dan tidak di pindah-pindah. Begitu juga
apa dia tidak kuatir diketahui oleh suaminya yang besar
pengaruhnya itu kalau menaruh anaknya disuatu tempat yang
penduduknya tidak terlalu banyak.
Ketiga, Khu Giam adalah seorang hartawan kecil dikota
Tiong-bo-koan didaerah Ho-lam. Pergaulannya juga tidak luas,
mengapa dia bisa pergi kepadang rumput sejauh itu untuk
membawa lari anak perempuan ini, bahkan rela
mengorbankan jiwa sendiri demi rahasia pribadi bocah ini":
TENGAH Kok Ci-hoa termenung-menung bingung, tiba-tiba
pelayan datang melapor bahwa Pek Eng-kiat mohon bertemu.
"Eh, ya, Pek Toako banyak tipu-akalnya, kenapa tidak coba
berunding dengan dia,'' ujar Kang Lam girang.
Tapi Ci-hoa ragu-ragu, katanya sesudah memikir sejenak:
"Sampai matipun Khu Giam tidak mau bocorkan rahasia ini,
pula pernah pesan bocah itu jangan sembarangan ceritakan
pada orang lain. Maka dapat dipastikan rahasia ini sangat
penting sekali. Meski Pek-toako cukup bisa dipercaya, tapi aku
pikir lebih sedikit yang mengetahui ada lebih baik. Kali ini
kalau bukan disebabkan perempuan siluman tadi hendak
menipu, tentu akupun tidak suka menanyakan asal-usulnya."
Habis berkata, ia pandang sekali pada Kang Lam seakanakan
ada apa-apa yang tidak enak diucapkan.
Biarpun dogol Kang Lam bukan orang tolol. Mendengar
kata-kata Ci-hoa itu, segera dia paham segera katanya: "Koklihiap
tak perlu kuatir. Aku hanya secara kebetulan saja hingga
ikut mendengar urusan ini. tapi aku pasti takkan sembarangan


Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menceritakan lagi pada orang lain. Aku berani bersumpah,
pabila aku membocorkan rahasia ini, biarlah lidahku tumbuh
suatu bisu besar."
Kok Ci-hoa mengikik geli, katanya: "Aku percaya padamu
Kang Lam, tak usah kau sumpah segala." lalu ia suruh pelayan
menyilahkan Pek Eng-kiat masuk.
Setelah berhadapan, segera Pek Eng-kiat memberi laporan:
"Beberapa saudara kita yang terkena jarum beracun itu sudah
disedot keluar jarumnya, racun yang mengenai mereka tidak
seberapa lihaynya, sesudah minum obat penawar racun buat
kita sendiri, mereka tidak perlu dikuatirkan lagi. Hanya Kamsute
yang saling adu tangan dengan perempuan siluman itu,
keadaannya yang rada payah!"
"Payah bagaimana....?" tanya Kok Ci-hoa terkejut.
"Sesudah minum Pek-ling-tan, Kam-sute masih tetap tak
sadar, barusan malah muntahkan darah mati beberapa
gumpal," tutur Pek Eng-kiat.
"Hal ini adalah karena Lweekang yang masih dibawah Ciasuso,
maka keadaannya tampaknya lebih payah", ujar Ci-hoa.
"Tapi sesudah muntahkan darah mati, itu malah lebih baik,
racun yang menyesap dibadannya itu malah bisa berkurang."
Kok Ci-hoa sendiri dahulu sudah pernah mengalami
keracunan demikian, maka ia cukup kenal betapa lihaynya.
Pek-ling tan hanya bisa untuk mencegah, tapi tak bisa
menyembuhkan sama sekali. Maka ia menjadi masgul bila
mengingat obat penawar racun itu susah diperoleh.
"Masih ada sesuatu yang istimewa dari perempuan siluman
itu, entah Ciangbun memperhatikannya atau tidak?" kata Engkiat
pula. "Tentang apa?" tanya Ci-hoa.
"Rambutnya!" sahut Eng kiat. "Diantara rambutnya itu
banyak yang berwarna keemas-emasan, tampaknya bukan
bangsa Han totok"
"He ya, betul!" teriak Kang Lam. "Aku melihatnya, bahkan
biji matanya juga berwarna biru, besar kemungkinan adalah
peranakan campuran Han dan orang asing!"
Kok Tiong-lian tidak paham, tentang totok dan peranakan,
apa segala tapi demi mendengar percakapan itu tiba-tiba
iapun menimbrung: "He, ibu rambutku juga ada beberapa utas
yang berwarna kuning emas. Lihat inil"
Setiap hari Kok Ci-hoa tentu menyisir rambut bocah itu,
maka sudah iama ia mengetahui tentang rambutnya. Kini bila
dia perhatikan pula biji matanya, baru dia tahu kalau warnanya
juga rada berbeda, meski tidak sebiru matanya Mo-hujin,
tapi rada bersemu coklat.
Kok Ci-hoa menjadi lebih ragu-ragu lagi, pikirnya: "Meski
benar mereka rada mirip, tapi berdasarkan kejadian tadi serta
apa yang diceritakan Lian-ji, tidak mungkin perempuan
siluman itu adalah ibunya. Namun suatu hal dapatlah
dipastikan ialah Lian-ji mungkin adalah peranakan dari ayah
ibu yang berlainan bangsa. Segera iapun berkata pula: "Wajah
setiap orang tiada yang sama, rambutpun tak bisa serupa
seluruhnya. Kalau rambutmu ada yang bewarna kuning emas,
bukankah lebih manis tampaknya, Lian-ji. Sekarang sudah
waktunya tidur siang. Nah! pergilah tidur".
Setelah bocah itu dibawa pergi pelayan dan Pek Eng-kiat
juga sudah keluar, lalu Kok Ci-hoa menanya Kang Lam lagi:
"Sebelum perempuan siluman itu datang tadi, kau sedang
cerita bertempur dengan kedua Hoanceng dan diam-diam ada
orang membantu kau. Lalu bagaimana lanjutannya?".
"Lalu, lalu ketemulah aku dengan perempuan itu," sahut
Kang Lam. "Semula penggotong jolinya itu yang bergebrak
dengan aku, kemudian ia sendiri pun hendak mencelakai aku,
tapi hahaha, aku Kang Lam memang punya rejeki gede, di
mana-mana selalu dibantu orang kosen".
Begitulah Kang Lam lantas menceritakan Sejelas-jelasnya
apa yang telah dialaminya itu. Kok Ci-hoa bertambah kesal
mendengar itu, pikirnya diam-diam: "Jika demikian, nyata Si-ie
diam-diam sudah mengintai gerak-gerik perempuan siluman
itu. Tapi kalau begitu kenapa tadi waktu perempuan itu
mengacau disini dia tidak mau unjukkan diri" Apakah dia
belum ingin menemui aku?"
Dan bila teringat pula kejadian! dimasa yang lalu, tak
tertahan lagi ia menjadi masgul pula.
Sehabis makan malam, Kok Ci-hoa memberi ajaran
membaca pada Kok Tiong-lian. Kang Lam ikut duduk omongomong
disamping. Selagi mereka asyik bicara, sekonyong-konyong terdengar
suara genta bertalu-talu. Kok Ci-hoa terkejut. Dan pada saat
itu juga, tiba-tiba terdengar suara tertawa orang yang nyaring
di luar. Suara tertawa itu mula-mula kedengaran masih di luar pintu
kelenting, tapi hanya sekejap saja sudah terdengar
mendenging-denging di tepi telinga hingga Kang Lam merasa
bising oleh suara itu. Seketika ia melonjak bangun sambil
berteriak: "Kurang ajar! Masakah perempuan siluman itu
datang kembali?"
Kok Ci-hoa juga terkejut, ia pikir: "Perempuan siluman itu
terluka tidak ringan, siang tadi waktu melarikan diri juga
diperlukan bantuan tenaga cambuknya baru bisa melintasi
pagar tembok. Kenapa lukanya bisa sembuh begitu cepat dan
tahu-tahu sudah pula selekas ini?"
Dalam pada itu, suara tertawa tadi mendadak berhenti,
sebaliknya orang itu sudah buka suara di luar pintu ruangan
situ, "Thian Mo-kaucu mohon bertemu dengan ketua Bin-san".
Dan baru saja Kok Ci-hoa berdiri, tiba-tiba didalam ruangan
situ sudah berdiri tiga wanita berkedok. Yang menjadi kepala
mereka itu malah sedang memberi hormat padanya.
Ci-hoa dan Kang Lam tercengang seketika sebab bukan saja
suara ketawa Thian Mo-kaucu ini mirip Mo-hujin itu, bahkan
perawakannya juga sama. Cuma kalau diperhatikan barulah di
ketahui Thian Mo-kaucu ini lebih langsing, jalannya lebih luwes
gemulai. Cepat Ci-hoa membalas hormat orang dan belum lagi
sempat menanya, tiba-tiba terdengar suara tindakan dan
bentakan orang yang ramai Lo To-lin, Pek Eng-kiat, Thia Go
dan lain tampak memburu dalang!
"Lapor Ciangbun, perempuan siluman ini sengaja bikin onar
kesini dan sudah banyak mencelakai anak murid kita," seru
Thia Go. Kok Ci-hoa coba bersabar, ia tetap menurut peraturan Bulim
dan membalas hormat orang, lalu menanya: "Ah, kiranya
Thian Mo-kaucu yang datang, maafkan, maafkan aku tak
keluar menyambut! Selamanya kami tiada sangkut paut apaapa
dengan Kui-kau (agamamu). Entah ada keperluan apa
atas kunjungan Kaucu dan mengapa datang-datang Kaucu
lantas turun tangan mencelakai orang kami?".
Thian Mo-kaucu itu mukanya tertutup sebatas mata dengan
kain kedok dan sutera tipis, tampak biji matanya berputar,
sikapnya tenang wajar, sahutnya dengan tersenyum: "Aah,
Thia Siansing suka berlebih-lebihan kalau bicara. Masakah aku
dikatakan mencelakai anak murid golonganmu, soalnya karena
aku dirintangi masuk, sedang aku tidak sabar menunggu
terlalu lama, maka terpaksa menutuk Hiat-to mereka, selang
satu jam nanti mereka akan pulih kembali dengan sendirinya,
maka kau tidak perlu kuatir. Hahaha, sekian banyak jago-jago
golonganmu, masakan hanya urusan begini saja tidak tahu?"
SeKetika Thia Go, Pek Eng-kiat dan lain-lain menjadi
jengah. Kiranya belasan orang yang ditutuk roboh oleh Thian Mokaucu
itu semuanya kaku tak bernafas mirip orang mati.
Padahal umumnya orang yang kena tertutuk tidak begitu
tanda-tandanya, paling tidak pasti bernafas. Sebab itulah Thiago
dan lain-lain menyangka kawan-kawannya itu terkena
racun jahat. Hakikatnya tidak terpikir kalau tertutuk. Kini meski sudah
diberitahu, toh mereka masih ragu-ragu akan kebenarannya.
Bin-san-pay adalah suatu aliran terkemuka di Bu-lim. Kini
kena diterjang Thian Mo-kaucu secara tidak semena-mena,
bahkan baru diketahui sesudah banyak anak muridnya kena
dirobohkan. Dengan sendirinya Thia Go dan lain-lain merasa
malu dan dongkol. Tapi kini musuh sudah berhadapan dengan
ketua mereka, untuk main kerubut terang akan lebih
memalukan lagi. Maka sehabis diolok-olok, Thia Go dan lainlain
menjadi diam malah, mereka sama-sama menunggu
tindakan apa yang akan diambil Kok Ci-hoa.
Maka terdengar Ci-hoa berkata dengan dingin: "Jika anak
murid kami kurang sopan menyambut, aku sendiri bisa
menghukum mereka, tidak perlu Kaucu capekan diri!"
"Oo, kiranya Kok-ciangbun juga suka bicara tentang
peraturan dengan orang?" sahut Thian Mo-kaucu terbahakbahak.
"Baiklah, aku mengaku salah telah menutuk roboh
anak murid kalian, syukurlah mereka tidak terluka apa-apa,
maka Kok-ciangbun boleh tak usah marah. Masih ada suatu
urusan lain, aku justeru ingin minta keadilan pada Kokciangbun."
"Urusan apa" Silahkan berkata," sahut Ci-hoa.
Thian Mo-kaucu melangkah maju setindak dengan sinar
mata tajam ia pandang Kok Tiong-lian dan berkata: "Urusan
ini enciku sudah bicara dengan Kok-ciangbun, yalah
mengenai..."
"Jadi Mo-hujin itu adalah enci-mu?" sela Ci-hoa dengan
terkesiap sambil melangkah maju untuk mengaling-aling
didepan Kok Liong-lian serta memberi tanda agar pelayan
membawanya pergi.
"Hemmm, meski kedatanganku ini adalah untuk
keponakanku itu, tapi sekali-kali tidak sampai main rebut pakai
kekerasan. Harap Kok-ciangbun jangan kuatir,'' demikian
Thian Mo-kaucu mengejek.
Tapi Kok Ci-hoa sudah dapat melihat bahwa Thian Mokaucu
ini meski mengaku sebagai adiknya Mo-hujin, tapi ilmu
silatnya terang jauh lebih lihay, ia menjadi kuatirkan kalau
prang mendadak main kasar, maka iapun tidak berdebat
dengan sindiran orarig tadi tapi lantas menyahut: "Jika Kaucu
sudi bicara secara beraturan, itulah paling baik. Lian-ji,
pergilah kau belajar, ibu akan melayani tamu dahulu."
Dan baru saja thian Mo-kaucu dipersilahkan duduk, belum
lagi mulai bicara dengan Kok Ci-hoa, tiba-tiba Kang Lam sudah
berseru, "He!, jadi kau suka bicara menurut aturan. Bagus,
biarlah aku yang bicara dahulu! Kau bilang takkan main rebut
anak orang, namun kenapa kau telah merampas puteraku?"
Saking bernafsu bicaranya hingga tangannya ikut acung
kekanan dan kekiri terus maju mendekati Thian Mo-kaucu itu.
"Hem, bocah dogol, berani kau kasar padaku!" jengek
kaucu itu. Dan belum selesai ucapannya, mendadak kedua dayang
Thian Mo-kaucu sudah menghadang dihadapan Kang Lam.
Sudah tentu Kang Lam mengenal mereka adalah dua
diantara wanita-wanita berkedok yang bikin kacau rumahnya
dahulu, bahkan yang memakai baju hitam ini adalah yang
menggondol lari puteranya itu. Seketika Kang Lam naik darah
sekali ulur tangan, terus ia cengkeram dayang baju hitam itu
sambil membentak: "kembalikan anakku!".
Namun dengan lemah gemulai, dayang baju hitam itu
mengegos, berbareng jari tengahnya terus menutuk ke "Ingie-
hiat" diperut Kang Lam, sedang dayang satunya lagi purapura
memukul dengan tangan kanan, sebaliknya tangan kiri
terus-pegang urat nadi Kang Lam.
Karuan Thia Go dan Eng-kiat terkejut, serentak merekapun
menubruk maju hendak membantu.
Tapi Kang Lam dapat menggunakan gerakan "Kim Sian Toat
Kak" atau "Tonggeret Emas mengganti kulit" tarik sikut dan
pendekan tubuh, segera ia dapat melepaskan diri dari
cengkeraman musuh, tapi perut dan pergelangan tangan
sudah terasa panas sakit. Dan pada saat itulah Thian Mokaucu
telah membentak kedua dayangnya supaya berhenti.
Melihat itu, Thai Go dan Eng-kiat juga maju.
Untung Kang Lam mahir ilmu "Thian To Hiat To" atau
memutar balikkan Hiat-to, meski kecundang, namun tiada
halangan, tapi ia menjadi kaget juga. Sebab dapat dikenalnya
bahwa ilmu silat yang dilontarkan kedua dayang tadi
hakekatnya adalah kepandaiannya sendiri yang diperoleh dari
Kim Si-ie. Dulu ketika delapan dayang Thian Mo-li itu bergilir
mengukur tenaga dengan Kang Lam untuk menipu silat ajaran
Kim Si-ie kini ternyata sudah dapat mereka yakinkan lebih
hebat daripada Kang Lam sendiri hingga hampir-hampir
senjata makan tuan malah.
Setelah Thian Mo-kaucu berhentika dayangnya, segera dia
arahkan sinar matanya kepada Kang Lam dan mengejek:
"Anak dogol kalau harus bergebrak, kau sendirilah yang cari
gebukan. Jika kau ingin bicara aturan, aku justeru ingin tanya
aturan padamu!"
"Huh, kau masih tahu aturan!. Baiklah coba aku ingin
mendengar" sahut Kang Lam marah.
"Bukankah tempo hari dayangku sudah pesan padamu agar
kau jangan sembarangan minta bantuan orang untuk
mengusut asal-usul kami" tanya Thian Mo-kaucu. Tapi kau
sudah memberitahukan pada Ki Hiau-hong, kini datang ke Binsan
untuk minta bala bantuan pula. Sekali kau sudah ingkar
janji, terpaksa sementara ku tahan dulu anakmu."
Kejut dan gusar sekali Kang Lam. Terkejut karena apa yang
dirinya dibicarakan dengan Ki Hiau-hong mengapa dapat
diketahui oleh Thian Mo-kaucu ini" Dan gusarnya karena
orang menyatakan hendak menahan puteranya. Segera ia
berseru mendebat: "Dulu itu adalah dayangmu sendiri yang
mengoceh, aku sendiri tidak pernah memberi janji apa-apa!"
"Tapi kau tidak turut pesan dayangku itu, berarti berbuat
salah", ujar Thian Mo-kaucu dengan tersenyum. "Hehe, pabila
kau tidak terima, silahkan kau ajak begundalmu sebangsa
sebangsa maling keju itu ke Ci Lay San dan mengukur
kepandaian dengan aku menurut aturan Kang-ouw. Beginilah
aturan yang kutetapkan. Sekarang aku masih ada urusan
penting akan berunding dengan Kok-ciangbun jangan kau
mengacau lagi".
"Jangan kuatir, Kang Lam!" seru Ci-hoa, "Se kali-kali aku
takkan membiarkan kau diganggu orang. Biarlah dia bicara
tentang kebenaran dari keonaran yang dia kerjakan barusan,
pabila tiada sesuatu alasan yang benar, kedua urusan kita
segera kita bereskan sekaligus."
"Baik, aku justru ingin tahu dengan alasan apa kau telah
mengangkangi keponakan itu?" jengek Thian Mo-kaucu.


Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lian-ji hakikatnya bukan anak Encimu. Hal ini sudah terang
gamblang kukatakan padanya, masakah engkau belum tahu
dan perlu aku mengulangi menerangkan?" sahut Ci-hoa.
"Aku hanya percaya pada Enciku, dia mempunyai bukti
nyata, pasti tidak palsu!" ujar Thian Mo-kaucu
"Hmm, caramu percaya pada suatu pihak melulu, terang
tidak beralasan," jengek Ci-hoa
"Baik, biarlah kuberi pula suatu bukti lain" kata Thian Mokaucu.
"Kau menuduh Enciku tidak tahu rahasia kancing dibaju
kapas itu, Ya, memang, rahasia ini memang tidak diketahui
olehnya, sebab biji kancing itu adalah aku yang
memasangkannya. Biji kancing-kancing itu adalah Thian-simciok
yang hanya terdapat dipuncak Sing-siok-hay!"
Kok Ci-hoa terkesiap, tapi segera ia mendebat pula:
"Alasanmu inipun susah diterima. Kau adalah adiknya, biji
kancing dari barang apa yang kau pasangkan, mengapa dia
tidak tahu" Seumpama mulai tidak tahu, sesudahnya
seharusnya kaupun beritahu padanya!"
"Beritahu atau tidak, itulah adalah urusanku", sahut Thian
Mo-kaucu. "Alasanmu ini tiada sangkut pautnya dengan soal
pokok kita. Maka aku tidak perlu menjawab. Yang terang, aku
sudah bisa katakan rahasia kancing, itulah bukti nyata yang
paling kuat."
"Baik, seumpama apa yang kau katakan ini sudah cocok,
tapi apa kau tahu didalam baju kapas masih ada rahasia
lainnya?" "Masih ada rahasia lain apa". Coba kau katakan. Aku bilang
tidak ada. Kalau kau katakan ada, silahkan kau keluarkan dan
aku pasti akan mengaku kalah"
Terkesiap Ci-hoa oleh jawaban pokrol orang, pikirnya:
"Terang dia hendak menipu rahasiaku. Kertas kulit putih itu
pasti sangat penting, mana boleh kuperlihatkan padanya?"
Maka segera ia berkata pula: "Jika engkau tidak tahu ada
rahasia lain, itu tandanya bocah ini bukan keponakanmu!"
"Tapi kaupun tak bisa mengunjukkan buktinya! siapa tahu
kalau kau hanya omong kosong belaka!" jengek Thian Mokaucu.
Perdebatan demikian dengan sendirinya tidak
mendatangkan hasil konkrit. Mendadak Thian Mo-kaucu hanya
tertawa dingin, ia gabrukan cangkir teh didepannya keatas
meja sambil berkata pula: "Jika masing-masing sama kukuh
pada alasannya sendiri-sendiri dan susah diputuskan, terpaksa
kita selesaikan menurut peraturan Kangouw. Aku tidak tahu
diri. sudah lama mendengar lweekang dan kiam-hoat Kokciangbun
sangat lihay, maka aku ingin belajar kenal lebih jauh,
lalu minta petunjuk beberapa jurus kiamhoat lagi!"
(SEDIKIT KETERANGAN: Untuk mempermudah tat letak
nama, selanjutnya setiap nama akan ditulis dalam tiga suku
kata. Sebagai contoh seperti Kok Ci-Hoa menjadi Kok Ci Hoa
Begitu juga dengan Thian Mo-kaucu menjadi Thian Mo Kaucu.
Harap para pembaca menjadi maklum)
Cangkir teh itu adalah pelayan Kok Ci Hoa yang barusan
saja menyuguhkan wedang padanya, cangkir itu adalah
buatan porselin yang terkenal dari Kangsay tapi hanya sekali
digabrukkan olehnya, seketika cangkir itu ambles ke dalam
meja dan hampir rata dengan permukaan meja. Sebaliknya
isinya sedikitpun tidak muncrat keluar.
Kepandaian demikian seketika membikin anak murid Bin
San Pay yang menyaksikan itu ternganga semua. Diam-diam
Kok Ci Hoa pun terperanjat. Meja itu terbuat dari kayu cendana
yang keras, sekalipun memiliki ilmu Tian Sah Ciang yang
hebat juga tidak gampang untuk meremukkan meja itu, apa
lagi yang dipakai Thian Mo Kaucu ini adalah sebuah cangkir
yang lemah dan mudah pecah. Sekalipun Lweekang Kok Ci
Hoa sudah mencapai tingkat tertinggi, namun ia percaya
dirinya masih belum sanggup berbuat seperti lawannya itu.
Tengah serba sulit, tiba-tiba dari sudut ruangan sana
seseorang berseru: "Ciangbunjin kami masakah boleh
sembarangan bertanding dengan orang. Kalau kau ingin
menjajal lwekang dan Kiamhoat, marilah kulayani. Bila dapat
menangkan aku, barulah kau ada harganya untuk menantang
Ciangbun kami".
Ketika pandangan semua orang diarahkan ke tempat
datangnya suara itu, maka tertampak seorang laki-laki
berbadan sedang, wajahnya dingin tanpa emosi, sepintas
pandang mukanya seakan-akan bukan manusia hidup, tapi
lebih mirip mayat yang keluar dari kuburan!
Tiada seorangpun yang kenal laki-laki ini, maka dengan
dingin Thian Mo Kaucu menjawab: "Siapakah engkau?"
"Aku?" orang itu menegas. "Ah. aku cuma seorang murid
Bin San Pay yang baru saja mulai belajar".
Thia Go dan lain-lain menjadi heran dan curiga oleh
pengakuan laki-laki itu, pikir mereka: "Darimanakah mendadak
bisa muncul seorang saudara seperguruan macam begini?"
Tapi dari suara orang tampaknya sengaja membuat-buat
suaranya sedemikian rupa, supaya tidak dikenal.
Semula Kok Ci Hoa juga heran, tapi segera hatinya
tergerak, teringat seorang olehnya hatinya menjadi berdebardebar,
girang dan kejut sedapat mungkin ia berusaha
menahan perasaan yang bergolak itu, maka katanya dengan
tawar: "Boleh juga kalau kau ingin maju untuk minta
pengajaran pada Kaucu untuk menambah pengalaman, cuma
kau harus hati-hati sedikit".
"Kok Ciangbun, bukankah kau terlalu memandang rendah
padaku, masakan aku cuma sesuai untuk belajar kenal dengan
seorang anak muridmu yang belum berpengalaman?" ejek
Thian Mo Kaucu.
Tapi laki-laki itu tidak menunggu Kok Ci Hoa menjawab,
terus saja ia balas tertawa dingin dan berkata: "Kaucu, engkau
datang kesini karena membela Encimu, sedang aku ingin
berbakti pada Ciangbunjin kami. Apakah cara demikian
melanggar peraturan Bu Lim" Biarpun aku belum pengalaman,
tapi engkau sendiri, Kaucu, agaknya kaupun tiada punya
nama apa apa dikalangan Kangouw, mana bisa dikatakan
memandang rendah padamu?"
Sebenarnya ilmu silat Thian Mo Kaucu ini sangat tinggi, tapi
memang benar dia belum pernah muncul di Kangouw. Yang
dia kenal masih sedikit.
Karena itu ia menjadi gusar oleh sindiran laki-laki itu,
katanya dengan dingin: "Baguslah, jika engkau ingin mewakili
ciangbun kalian turun kalangan. Silahkan, barusan aku sudah
unjuk sedikit kepandaian tak berarti. Sekarang giliranmu untuk
pamerkan kemahiranmu"
Ucapan ini sama dengan memberi suatu soal yang sulit.
Kecuali Kok Ci-hoa, anak murid Bin San Pay sama-sama
berkuatir bagi laki-laki itu, pikir mereka: "Thian Mo Kaucu ini
mampu ketok cangkir ambles kedalam meja, masakan masih
ada kepandaian lain yang bisa mengungguli dia?"
Namun sikap laki-laki itu tenang wajar saja. katanya: "Aku
yang baru mulai belajar ini mana bisa mempunyai kepandaian
yang berarti" Biarlah aku menyuguh engkau minum secangkir
teh dulu. Jauh-jauh kau bertamu kemari, teh juga tidak mau
minum, engkau rada keterlaluan juga"
"Sayang cangkir ini sudah tak bisa dikeluarkan. Bolehlah
kau menuang secangkir lagi lainnya." sahut Thian Mo Kaucu
tertawa dingin.
Ucapannya ini bermaksud mengolok-olok orang Bin San Pay
pasti tiada yang mampu mengeluarkan cangkir yang terjepit
meja itu, dan kedua ingin membikin malu laki-laki itu, yaitu
dikala dia menuangkan air teh nanti, ia akan pamerkan ilmu
saktinya lagi. Tak terduga laki-laki itu menyambutnya dengan tersenyum
saja, lalu berkata pula: "Secangkir teh enak itu agak sayang
kalau dibuang begitu saja. Maka aku ingin menyuguh Kaucu
tetap dengan cangkir teh itu. Belum selesai perkataannya,
tertampaklah tangannya terangkat dan memukul sekali ke
arah meja itu dari jauh.
"Pletak".
Sekonyong-konyong, meja yang tebal dan kuat itu merekah
pecah dan cangkir teh yang masih hangat-hangat itu terus
mencelat keatas.
Menyusul laki-laki itu menggunakan gerakan yang luar biasa
cepatnya menjentik sekali diatas cangkir hingga cangkir itu
melayang lurus kencang kearah Thian Mo Kauwcu.
Seketika semua orang ternganga kesima saking takjubnya.
Gunakan Pi-khong-cio atau pukulan kosong dari jauh, untuk
membelah meja. Kepandaian itu sudah cukup
mengguncangkan, apa lagi sesudah meja pecah, tapi cangkir
tidak remuk, bahkan bisa mencelat keatas tanpa muncratkan
isinya setetespun, kepandaian ini sunggah susah dibayangkan!
Ilmu sakti demikian ini entah berapa kali lebih tinggi dan
bagus daripada cara Thian Mo Kaucu mengetok meja cangkir
mengamambles ke meja tadi.
Diantara anak murid Bin San Pay, seperti Pek Eng Kiai, Thia
Go dan lain-lain, mereka sudah banyak pengalamannya seperti
ketika Teng Hiau Lan menempur Beng Sin Thong dalam
pertemuan di Jian Ciang Peng dulu, merekapun hadir disana.
Tapi kalau melihat ilmu sakti laki-laki ini, mereka menjadi
kaget dan ragu. Sekalipun umpamanya Teng tayhiap juga
belum tentu mampu berbuat demikian!. Tapi orang kosen ini
mengapa sudi mengaku-aku sebagai murid Bin San Pay"
Ditengah kejut dan sangsi mereka itulah, sementara cangkir
teh tadi sudah melayang sampai didepan Thian Mo Kaucu.
Tampak tangan Kaucu itu menolak sekali kedepan hingga meluncurnya
cangkir itu tertahan sedikit, lalu tangannya
mengulur untuk menyambuti cangkir itu sambil berkata:
"Terima kasih atas suguhanmu!" dan sekali teguk, ia habiskan
isi cangkir itu.
Namun begitu, tidak urung ia terhuyung-huyung mundur
dua tindak sesudah cangkir itu dipegangnya, suatu tanda
betapa hebat daya luncur cangkir itu. Karuan, seketika
perbawa kaucu yang congkak itu mengkeret banyak.
Cangkir itu terus dilemparkan Kaucu ke lantai, tapi dengan
sebat Kang Lam dapat menyambarnya serta mengolok-olok:
"Wah kalau kalah, kenapa marah pada cangkirnya".
Namun Thian Mo Kaucu itu tidak sempat gubris Kang Lam
lagi, begitu cangkir dilemparkan, segera pedang sudah
dilolosnya, katanya sambil menuding laki-laki tadi:
"Lwekangmu ternyata benar sangat hebat, maka tidak perlu
bertanding lebih lanjut. Sekarang apakah kau masih ingin
mewakili Ciangbun kalian agar aku bisa belajar kenal dengan
ilmu pedang dari Bin San Pay kalian?"
Laki-Laki itu masih tetap kaku tanpa menunjuk perasaan
apa-apa sahutnya dengan tawar: "Kaucu sudah memberi
petunjuk pada diriku yang Bu Beng Siau Cut (kerucuk yang tak
terkenal) ini, sudah tentu aku sangat mengharapkan. Marilah
silahkan mulai!"
Namun kedua tangan laki-laki itu tampak kosong, tiada
sesuatu senjata pula yang dia bawa. Segera Pek Eng-kiat
mengangsurkan sebatang pedang dan katanya: "Sute,
terimalah pedang ini!"
Diam-diam Eng Kiat telah dapat membade siapakah lakilaki
ini, cuma untuk menghilangkan kecurigaan musuh sengaja
dia membahasakan "sute".
Tapi laki-laki itu tetap menolak, katanya: "Tenagaku kecil,
tak sanggup menggunakan senjata seberat ini. Aku sendiri
bisa memilih senjata yang cocok. Pek suheng tak perlu kuatir
bagiku". Habis itu, tiba-tiba ia beekata pada Thian Mo Kaucu, "Aku
ingin pinjam sesuatu barang darimu!".
Thian Mo Kaucu itu terkesiap, kontan pedangnya terus
menyabet, namun sudah terdengar angin berseliweran.
Sesosok bayangan berkelebat, laki-laki itu sudah menyambar
lewat samping Thian Mo Kaucu. Ketika Pek Eng-kiat menegas,
ternyata tangan orang itu sudah bertambah sesuatu benda
mengkilap. Dan pada saat itu juga, Thian Mo Kaucu itu lantas
membentak gujar: "Kurangajar, kau terlalu menghina padaku".
Menyusul pedangnya bekerja cepat. Beruntun-runtun ia
melontarkan serangan-serangan mematikan kepada laki-laki
itu. Baru sekarang semua orang melihat jelas bahwa diantara
dua jari laki-laki itu telah menjepit sebuah tusuk konde kemala
yang panjangnya kira-kira belasan sentimeter.
"Jangan kuatir, aku takkan merusakkan barangmu, hanya
pinjam sebentar saja" demikian kata laki-laki itu sambil
tunjukkan konde itu pada lawan.
Nyata tusuk konde itu bolehnya dia sambar dari atas kepala
Thian Mo Kaucu. Karuan Kaucu itu menjadi murka, tanpa
bicara lagi ia menghujani laki-laki itu dengan serangan
pedang. Setiap serangan selalu mengincar tempat-tempat
yang mematikan. Tapi aneh juga, tidak kelihatan cara
bagaimana laki-laki itu berkelit, namun seujung rambutpun
tidak terganggu.
Dibawah hujan serangan pedang itulah, sekonyongkonyong
laki-laki itu bersuara, "Eh" sekali seakan-akan penuh
keheranan. Dan pada lain detik, tiba-tiba Thian Mo Kaucu
itupun mengejek sekali seperti sudah dapat mengenali siapa
laki laki itu, mendadak serunya: "Bagus! Jadi kau..."
Ia tarik panjang kata-kata "kau" itu hingga mendengingdenging
diudara. Mendadak ilmu pedangnya berubah dengan
cepat hingga tubuh laki-laki itu terkurung rapat oleh sinar
pedangnya. Heran sekali Pek Eng-kiat menyaksikan pertarungan itu.
Dahulu, waktu Ciong Tian, murid Teng Hiau Lan, kawin
dengan Li Jim Bwe, yaitu putri Li Ti dan Pang Lin (kisah masa
muda kedua tokoh ini dapat dibaca dalam "kang Ouw Sam
Lihiap-Tiga Dara Pendekar). Pek Eng Kin hadir upacara
pernikahan itu mewakili Bin San Pay, tatkala mana mendadak
Le Seng Lam datang mengacau hingga bertanding kiamhoat
dengan Teng Hiau Lan yang menjabat ketua Thian San Pay.
Meski Eng Kiat bukan jago pedang, tapi terhadap ilmu pedang
yang dimainkan Le Seng Lam waktu itu mempunyai kesan
sangat dalam. Kini melihat Lian Hoan Cit Kiam atau tujuh kali
serangan secara berantai dari ilmu pedang Thian Mo Kaucu
ini, seketika hatinya tergerak. Ia merasa ilmu pedang itu
sudah pernah dilihatnya. Ketika kemudian nampak orang
mengeluarkan jurus "Sin Kong Li Hap" atau sinar sakti melibat
badan, ia menjadi lebih yakin bahwa ilmu pedang itu adalah
dulu yang pernah dimainkan Le Seng Lam. Ia masih ingat
dahulu waktu Le Seng Lam melontarkan jurus ini. Teng Hiau
Lan juga berseru memuji!


Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi kini laki-laki itu tidak memuji, hanya berseru heran
sekali, seakan-akan mendadak tertegun. Betapa lihaynya jurus
Sin Kong Li Hap dari Thian Mo Kaucu itu. Dalam sekejap itulah
sinar pedangnya sudah mengurung ke atas kepala lawan.
Melihat itu, beberapa arak murid Bin San Pay sampai
menjerit kuatir. Tapi di kala mereta menjerit itulah, tertampak
laki-laki itu mengacungkan tusuk konde kemala ke depan.
Selarik sinar kemilauan tiba-tiba menembus cahaya pedang
yang mengurung dirinya itu, terus menusuk ke mata Thian Mo
Kaucu. Serentak suara jeritan tadi berhenti. Kini bukan saja anak
murid Bin San Pay yang terkesima kaget, bahkan Kok Ci Hoa
sendiri juga terpesona. Sebabnya bukan karena Kiamhoat
yang dimainkan laki-laki itu dengan tusuk kondenya yang
hebat itu, tapi disebabkan jurus serangan yang dilontarkan itu
tak lain tak bukan adalah ciptaan cakal-bakal Bin San Pay
sendiri, yaitu Tok Pi Sin Ni, sipaderi sakti berlengan satu, yang
bernama "Giek Li Coan Ciam" atau si gadis ayu menyusup
jarum. Hian Li Kiam Hoat diciptakan Tok Pi Sin Ni berdasarkan
ajaran kuno yang disesuaikan dengan gaya wanita, sebab
pada umumnya tenaga kaum wanita lebih lemah. Maka Hian Li
Kiam Hoat tidak mengutamakan kekerasan, tapi luwes dan
lemas gemulai, namun gesit. Anak murid Bin San Pay yang
belajar Hian Li Kiam Hoat boleh dikata sembilan pulu persen
adalah wanita dan diantara mereka Kok Ci Hoa yang paling
tinggi memahaminya.
Namun jurus Hian Li Kim Hoat yang dimainkan laki-laki itu
dengan tusuk konde barusan sangat cocok dengan gaya
aslinya. Indah dan luwes, persis wanita lagi menyulam dan
lagi menisikkan jarumnya. Betapa indah dan tepatnya jurus
serangan itu, jangankan anak murid lelaki Bin San Pay,
sekalipun murid wanitanya juga mesti mengaku tak mampu
sebagus itu. Bahkan mereka menduga sekalipun Kok Ciang
Bun mereka juga paling-paling sedemikian saja.
Dilain pihak, perasaan Kok Ci Hoa terguncang juga, katanya
dalam hati: "Ya, pasti dia, pastilah dia!"
Belum lenyap renungannya itu, "Bret", tahu-tahu kain kedok
Thian Mo Kaucu itu sudah disingkap oleh tusuk konde laki-laki
tadi. Seketika pandangan semua orang terbeliak. Ternyata wajah
Thian Mo Kaucu itu putih bersih, cantik molek tiada
taranya. Walaupun raut mukanya memang rada mirip Mohujin,
tapi cantiknya entah beratus kali lebih menggiurkan dari
pada nyonya itu.
Dalam pada itu Thian Mo Kaucu terus berseru murka:
"Bagus, Kim Si-ih!! Kau hendak membela buah hatimu, ya"
Marilah kau membunuh aku saja"
Laki-Laki itu tercengang juga mendadak, sahutnya "Kau...
kau pernah apanya nona Le?"
"Nona Le apa" Jadi isterimu sendiri sudah tidak kau akui
lagi". Oh Le-cosu, betapa penasarannya kematianmu itu!"
demikian Thian Mo Kaucu itu berteriak dengan gusar sambil
menangis. "He, he, aku ingin bicara padamu lagi!" seru laki-laki itu.
Namun Thian Mo Kaucu sudah melayang keluar pintu
sembari tutupi mukanya yang berlinang-linang air mata itu.
Mendengar bahwa laki-laki itu adalah Kim Si-ih, seketika
perhatian semua orang terpusatkah pada orang itu hingga
tiada seorangpun yang merintangi larinya Thian Mo Kaucu.
Hanya sekejap mata saja sudah terdengar suara seruan Thian
Mo Kaucu yang diucapkan diluar pintu: "Jika berani, bunuhlah
aku, aku tidak sudi bicara dengan laki-laki berhati palsu
macam kau!"
Untuk sejenak laki-laki ini menjadi ragu-ragu. Ia pandang
Kok Ci Hoa sekejap, tampak seperti serba salah. Tapi
sekonyong-konyong ia berteriak sekali terus mengudak keluar,
malahan terus berseru, "Hai... hai...! kau telah salah dendam
pada orang, salah wesel. Inilah kukembalikan tusuk kondemu!
Dengar dulu penbicaraanku!"
Sungguh pedih sekali hati Kok Ci Hoa ternyata Kim Si-ih
meninggalkannya begitu saja.
Tampaknya dia pandang Le Seng Lam yang sudah mati itu
jauh lebih penting dari pada dirinya, sebab Le Seng Lam
diangkat sebagai Cosu atau cakal-bakal oleh Thian Mo Kaucu
itu lantas dia menyusulnya hendak minta maaf padanya!.
Serentak semua murid Bin Sen Pay ikut merasa penasaran
sekali, maka tiada seorangpun yang mau menyusul laki-laki
itu, hanya Kang Lam yang terus berteriak-teriak: "Kim
Tayhiap, Kim Tayhiap, kembalilah engkau!"
Pada saat itulah, sekonyong-konyong suara seorang yang
nyaring jelas telah menjawabnya dengan tertawa: "Kang Lam,
bukankah aku sudah berada disini?"
Menyusul mana segera terdengar suara "Blang" sekali, lakilaki
yang menguber keluar tadi telah terpental masuk kembali,
hampir berbareng dengan itu, ada lagi seorang lain yang ikut
melayang masuk!
Karuan Kang Lam terbelalak kesima, Kim Si-ih kini sudah
berada dihadapkannya. Tapi ia jadi ternganga, sebab lelaki
yang pertama tadi bukanlah Kam Si Ie yang sebenarnya.
Sebaliknya yang masuk belakangan adalah Kim Si-ih tulen.
Hal inipun diiuar dugaan semua orang. Sebelum itu, mereka
menyangka lelaki pertama itulah Kim Si-ih adanya, siapa tahu
telah salah sangka!
Maka terdengarlah laki-laki yang tadi telah berkata dengan
tertawa: "Ha ha ha, Kim Si-ih, baru sekarang kau muncul,
kenapa kau merintangi kepergianku?"
Namun Kim Si-ih tetap merintangi jalan pergi orang dan
menegurnya: "Sungguh penasaran, segala apa boieh kau
lakukan, tapi kenapa kau memalsukan namaku dan secara
diam-diam menggerayang ke Bin San sini?"
"Hmm.. sungguh menggelikan, emangnya namamu Kim Siih
ini merupakan jimat, hingga aku orang she Bun perlu
memalsukan namamu?" sahut laki-laki itu dengan gusar.
"Kenapa tak kau tanya mereka, apakah aku telah memalsukan
namamu" Aku telah membantu kesukaran sobat baikmu,
sudah tidak menghaturkan terima kasih, bahkan datangdatang
engkau lantas mendamprat padaku!"
"Kim Tayhiap, apa yang dia ucapkan itu ada benarnya
juga!" tiba-tiba Kang Lam menyela. "Kalau tiada dia, kami
semua takkan mampu menangkan Thian Mo Kaucu. Begitu
pula dia memang tidak pernah mengatakan siapakah dirinya."
Namun Kim Si-ih meng goyang-goyang kan tangannya dan
berkata: "Kang Lam, kau belum kenal betapa licik akal
bulusnya. Hm apakah kau sangka aku tidak tahu maksud
tujuanmu" Awas pedang!"
Ucapan yang belakangan itu ditujukan kepada lelaki itu, dan
belum lenyap suaranya, tiba-tiba sinar pedang berkelebat
kontan tenggorokan lelaki itu ditusuknya.
Tapi laki-laki itu berganda ketawa saja, serunya: "Haha, Kim
Si-ih, kau tak mampu menangkan aku hingga sekarang perlu
dibantu dengan Pokiam, ya" Baiklah, jika kau tidak malu
ditertawai para kesatria dijagat ini, teruskanlah tusukanmu
ini!" Lelaki itu memang bertangan kosong belaka, sebaliknya Kim
Sin Ie menusukannya dengan pedang pusaka "Cat Hun
Pokiam" tinggalan Le Seng Lam almarhum. Karena itu, bagi
penglihatan kaum kesatria seperti Thia Go, Pek Eng Kiat dan
lain-lain, mereka juga merasakan ketidak-adilan, pikir mereka:
"Dengan kedudukan dan nama mereka yang cukup agung
besarnya Kim Si-ih, kenapa dia tidak menghiraukan harga diri
dan menggunakan pedang untuk melawan seorang yang
bertangan kosong?"
Belum lagi selesai pikiran mereka, sekonyong-konyong
terdengar suara "Breet" robeknya sebangsa kain tebal atau
kulit, menyusul tampak Kim Si-ih telah masukkan pedangnya
sambil terbahak-bahak, katanya; "Nah, sebab kulit mukamu
terlalu tebal, aku sengaja ingin robek kulitmu kamu itu, supaya
semua orang disini dapat menyaksikan wajahmu yang
sebenarnya dan supaya waspada dikemudian hari"
kiranya serangan pedang Kim Si-ih tadi sedikitpun tidak
melukai laki-laki itu, melainkan mengiris sobek kedoknya saja.
Kang Lam terkesiap demi nampak wajah asli lelaki itu. Ia
merasa sudah pernah kenal wajah demikian ini.
Ketika diingat lebih jauh, akhirnya ia ingat pada si pemuda
Bun-kongcu yang mengawal harta pusaka bagi Ho Kun, tapi
dirampas di tengah jalan tempo hari. Bedanya cuma laki-laki
ini berusia lebih tua, di bawah dagunya memiara sedikit
jenggot. Rupanya lelaki itu cukup kenal watak Kim Si-ih yang suka
pegang derajat diri, maka ia berani menghadapi dengan
menggunakan tangan kosong. Tak terduga Kim Si-ih tidak
bermaksud melukainya dengan pedang melainkan hanya
penyingkap topengnya saja hingga wajah aslinya dikenal
semua orang. Apa yang terjadi benar-benar senjata makan tuan. Tadi lakilaki
itu menggunakan tusuk konde untuk membuka kedok
Thian Mo Kaucu, kini ia sendiripun disingkap topengnya oleh
pedangnya Kim Si-ih.
Paras lelaki itu ternyata putih tampan mirip seorang
sekolahan yang ramah tamah, maka semuanya menjadi
heran, terutama Kang Lam, mengapa orang yang tiada tandatanda
sesuatu yang mencurigakan, Kim Tayhiap
menganggapnya sebagai orang jahat"
Sedang Kang Lam merasa sangsi, tiba-tiba dilihatnya mata
orang itu mulai mendelik dengan gusar, seketika wajahnya
yang sopan santun tadi berubah beringas. Air muka yang putih
halus itu lantas bersemu hijau, sorot maianya penuh
mengunjukkan rasa benci dan dendam tak terkatakan.
"Kim Si-ih" segera orang itu berkata dengan tertawa dingin.
"Dahulu ketika kau datang ke Bwe Beng To, aku telah
melayani kau sebagai tamu terhormat. Kini aku datang di Bin
San sini. sebenarnya kaupun terhitung setengah tuan rumah,
mengapa kau malah memperlakukanku secara kasar begini?".
"Hm. memang engkau telah memperlakukan aku terlalu
baik. Bun Tocu, mana aku berani melupakan budi kebaikanmu
itu, sekarang aku justru ingin membalas budimu itu, marilah
kita mulai" demikian sahut Kim Si-ih mengejek.
Mendengar tanya jawab yang membingungkan itu, semua
orang menjadi heran pula, katanya mereka pernah bersahabat
dengan baik, mengapa sekarang Kim Si Ih mendadak
mengajaknya berkelahi pula"
Maka terdengar laki-laki itu telah menjawab, "Jika engkau
sudi mengajak, mana berani aku menolak". Aku justru ingin
tahu sampai dimana kemajuanmu selama tiga tahun ini?"
Habis berkata, sekonyong-konyong ia mendahului
menubruk kearah Kim Si-ih.
Seketika pandangan semua kabur, sekeliling ruangan itu
seakan-akan penuh bayangan orang itu yang menghambur
kearah Kim Si-ih berbagai jurusan.
Umumnya, orang yang mahir ilmu ginkang bila sudah
mencapai tingkatan maha tinggi, maka setiap gerak-geriknya
jika dilakukan dengan cepat, makin lama akan makin
menyilaukan mirip kitiran, tapi laki-laki itu hanya sekali
bergerak saja sudah lantas begitu cepat hingga muncul
bayangannya yang tak terhitung banyaknya, hal ini sungguh
susah dipahami orang.
Ditengah bayangan yang mengaburkan pandangan mata
itu, tiba-tiba terdengar Kim Si-ih bersuit panjang sekali,
serunya: "Biarpun kau punya Pat Kwa Ki Bum Sin Hoat
memang hebat tapi aku masih ingin tahu lebih jauh sampai
dimana kepandaianmu yang sejati!"
Sekonyong-konyong kedua tangannya menyodok kedepan
ditengah serangan laki-laki yang gencar itu, lalu bayangan
orang yang tadinya berterbangan membingungkan itu
mendadak hilang sirna. Terdengar laki-laki itu bersuara
tertahan sekali, tahu-tahu sudah melompat mundur setombak
lebih jauhnya dari Kim Si-ih dan berdiri terpaku tanpa
bergerak. Begitu pula Kim Si-ih juga sudah pusatkan
perhatiannya sedang memandang laki-laki itu.
Ternyata dipunggung laki-laki itu sudah terdapat sebuah
cap tangan, sebaliknya baju Kim Si-ih terobek beberapa jalur.
Selang sejenak, lelaki itu membuka suara, "Kau memiliki
ilmu Kim Kong Put Sin Kang tapi akupun mempunyai
kepandaian Sam Siang Kui Goan. Marilah kita coba-coba lagi".
Sembari berkata, Pelahan-lahan ia angkat tangannya dan
memukul pula kearah Kim Si-ih.
Anak murid Bin San Pay yang lain tidak paham tentang ilmu
Sam Siang Kui Goan (Tiga Menjadi Satu) yang dikatakan lakilaki
itu, tapi bagi KoK Ci Hoa, ia menjadi terkejut sekali.
"Sam Siang Kui Goan" yang dimaksud adalah semacam ilmu
silat yang paling sempurna, yaitu sudah dapat melebur
menjadi satu diantaranya tenaga, perasaan dan semangat.
Setahu Kok Ci Hoa, mendiang gurunya, Lu Si Nio pernah
mencapai ke tingkatan itu. Tapi pada jaman ini, mungkin
hanya tinggal Teng Hiau Lan saja yang memiliki kepandaian
setinggi itu. Dan dikala laki-laki itu berbicara tadi bekas telapak tangan
dipunggungnya itu lantas lenyap. Karuan Kok Ci Hoa tambah
terkejut. Orang lain mungkin tidak tahu cara bagaimana Kim
Si-ih menyerang laki-laki itu, tapi Kok Ci Hoa dapat mendengar
bahwa serangan Kim Si-ih yang mengenai punggung laki-laki
itu adalah menggunakan pukulan berat "Kim Kong Ciang yang
lihay. terang laki-laki itu sudah terluka dalam, tapi hanya
sebentar saja bekas pukulan itu sudah hilang. Suatu tanda
dengan cepat luka dalam itu telah disembuhkan oleh
Lweekangnya yang tinggi. Untuk menahan serangan Kim Si-ih
itu saja jarang ada yang mampu" Apalagi bisa menyembuhkan
luka dengan sistim kilat, terang kalau kepandaiannva tidak
salisih jauh dari Kim Si-ih.
Sementara itu pukulan lelaki yang dilontarkan dengan
pelahan-lahan sekali itu, tampaknya sedikitpun tidak
membawa tenaga, tapi justeru pada saat itulah, semua orang
yang berdiri disekitar situ merasa ditekan oleh arus hawa yang
kuat hingga tanpa marasa semua terdesak mundur, bahkan
ada beberapa yang lebih rendah kepandaiannya sudah lantas
jatuh kelantai. Hanya sekejap saja, dalam jarak lingkaran kirakira
dua meter, tiada seorangpun yang mampu berdiri tegak
disitu. Walaupun demikian hebat daya tekanan pukulan laki-laki
itu, namun Kim Si-ih tetap berdiri dengan tenang ditempatnya


Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanpa bergoyang sedikitpun. Melihat itu, barulah Ci Hoa dan
Kang Lam merasa lega.
Menunggu pukulan orang itu sudah dilontarkan
sepenuhnya, barulah Kim Si-ih berkata dengan tertawa, "Kalau
menerima tanpa membalas, itulah kurang hormat. Ini biar
akupun menjajal kepandaianmu Sam Siang Kui Goan sudah
mencapai tingkatan seberapa tingginya?"
Berbareng tangannya sedikit memutar, lalu dipukulkan
pelahan juga kedepan.
Tampaknya laki-laki itupun tidak bergeming sedikitpun, tapi
bajunya ternyata berkerut-kerut seperti air telaga ditiup angin,
hingga menimbulkan gelombang-gelombang halus. Biarpun
setiap orang tidak tahu dimana letak kelihayan serangan Kim
Si-ih itu, tapi dibandingkan tadi, mereka paham juga bahwa
Lwekang Kim Si Ih ternyata lebih menang setingkat.
Wajah lelaki itu berubah seketika, tiba-tiba ia melesat pergi
secepat terbang, sambil berseru: "Selama gunung tetap
menghijau, kelak tentu akan berjumpa pula. Asal aku orang
she Bun masih bernapas, suatu waktu pasti aku akan minta
petunjuk pula padamu!"
Baru selesai ucapannya, segera orangnya lenyap.
"Setiap waktu kau boleh datang, dan setiap saat aku siap
sedia" seru Kim Si Ih menjawabnya.
Habis ia betulkan bajunya yang rada kusut itu, lalu saling
memberi hormat dengan Kok Ci Hoa, katanya dengan
menyesal, "Maafkan kedatanganku agak terlambat hingga
bikin susah kalian."
"Siapakah orang she Bun itu. Sungguh lihay benar!" kata
Kang Lam. "Mungkin kau sudah pernah melihat keponakannya, dia
adalah paman sipemuda yang pernah mengawalkan harta
pusaka milik Ho Kun itu," tutur Si Ie. "Dia adalah Tocu (kepala
pulau) dari Bwe Beng To (Pulau Tak Bernama) di Lamhay (laut
selatan). Tiga tahun yang lalu pernah juga aku menelan
kekalahan dari dia"
Kang Lam menjadi heran, tanyanya cepat: "Kim Tayhiap,
dengan kepandaianmu yang sudah tiada taranya ini, mengapa
juga bisa dikalahkan olehnya?"
"Hati manusia terlalu keji, melulu mengandalkan ilmu silat
masih belum cukup." sahut Si Ie. "Terutama orang berhati
bajik seperti kau Kang Lam, lebih mudah lagi tertipu. Maka
sekarang juga biarlah kuceritakan pengalamanku itu, agar bisa
menambah kewaspadaanmu. Kelak kalau menghadapi sesuatu
urusan harus berhati-hati, terhadap setiap orang mesti selalu
waspada." Kiranya dahulu, sesudah patah hati karena tragedi
percintaannya yang gagal itu, Kim Si-ih menjadi putus asa.
Dengan perasaan hampa ia lantas berkelana menuruti kemana
perginya sang kaki.
Tiga tahun yang lalu, timbul hasratnya pesiar keluar lautan.
Seorang diri ia lantas mendayung sampan menjelajahi Pulau-
Pulau di sekitar pantai selatan.
Suatu hari, tiba-tiba dilihatnya diatas suatu pulau kecil ada
mengepul asap, ia tahu disana tentu ada penghuninya. Segera
ia mendarat ke pulau itu untuk berkenalan dengan kepala
pulau kecil itu.
Kiranya Tocu atau kepala pulau she-Bun. Ia sambut
kedatangan Kim Si Ih dengan sangat hormat. Ia mengaku
berasal keturunan pembesar dijaman kerajaan Beng. Setelah
dinasti Beng runtuh, leluhurnya tidak sudi menjadi rakyat
jajahan, maka bersama-sama sanak keluarganya lantas hijrah
kepulau kecil itu.
Mendengar orang adalah keturunan keluarga patriot, Kim
Si-ih sangat kagum. Pula melihat tutur kata orang sangat
sopan, Kim Si-ih menjadi suka juga akan pribadi orang she
Bun itu. Sebagai seorang ahli, segera Si Ie dapat melihat
bahwa orang she Bun Tocu itu seorang jago silat juga. Tanpa
merasa mereka akhirnya berbicara pula tentang ilmu silat. Bun
Tocu menerangkan bahwa ilmu silatnya diperoleh dari warisan
leluhur. Menurut cerita, katanya banyak diilhami dari intisari
kitab I Keng ditambah lagi turun temurun leluhurnya
memperdalam ilmu silat warisannya di pulau sunyi itu. Maka
sampai ditangan Bun Tocu sudah mengalami banyak
kemajuan, cuma tidak diketahui sampai dimana tingkatannya
kalau dibandingkan ilmu silat didaerah Tionggoan sekarang"
Ilmu silat yang dipelajari Kim Si-ih boleh dikata mencakup
dari segala jenis aliran Cing dan Sia, tapi dari isi kitab I Keng
bisa diciptakan ilmu silat, hal ini benar-benar belum pernah di
dengar olehnya. Sesudah diadakan tukar pikiran benar juga ia
merasa aliran silat Bun Tocu itu sangat bagus dan lihay, lebihlebih
dalam hal Lweekang boleh dikata lain dari yang lain. Kim
Si-ih tidak tahu, aliran silat Bun Tocu itu harus digolongkan
dalam aliran Cing atau Sia.
Sebaliknya Bun Tocu juga sudah dapat melihat Kim Si-ih
tentu seorang kosen, sorenya ia lantas mengadakan
perjamuan besar, disaat perjamuan sedang asyiknya, ia lantas
mengusulkan saling coba-coba kepandaian masing-masing.
Watak Kim Si-ih memang juga gila silat, selama hidupnya
justru sangat suka menjajal ilmu silat orang. Malahan dimasa
mudanya entah berapa banyak tokoh persilatan yang
terjungkal ditangannya. Kini meski usianya sudah menginjak
setengah umur, tabiatnya yang suka ugal-ugalan sudah
berkurang, tapi dalam hal ilmu silat, tidak pernah berhenti
diselaminya lebih mendalam. Kini orang sendiri mengajaknya
coba-coba kepandaian masing-masing, tentu saja ia terima
dengan senang hati.
Dan sekali gebrak, nyata memang lain dari yang lain,
sesudah hampir dua jam, barulah Si Ie dapat menangkan
sejurus. Habis pertandingan itu, persahabatan Si Ie dengan Bun
Tocu menjadi lebih erat. Bun Tocu memberi pelayan lebih
hormat dan lengkap. Sebaliknya Si Ie juga berat untuk mohon
diri maka lantas tinggal bertamu lebih lama dipulau itu.
Dengan begitu, selama beberapa hari mereka terus
menerus tukar pikiran membicarakan ilmu silat. Bun Tocu
sangat tertarik dan menanya berbagai aliran dan siapa-siapa
tokoh terkemuka kalangan persilatan didaratan. Sebab itu,
tanpa sengaja iapun mengunjukkan sedikit tanda-tanda bahwa
sebenarnya keadaan dunia persilatan didaratan sebenarnya
tidak sama sekali asing baginya. Dari itulah, diam-diam Kim Siih
mulai timbul curiga.
Rupanya Bun Tocu juga dapat menerka Kim Si-ih sudah
mulai curiga, maka tanpa ditanya ia lantas mendahului
memberitakan seluk beluk dipulaunya itu.
Kiranya setiap dua tiga tahun sekali, dari pulau itu pasti
dikirim orang kekota-kota sekitar pantai untuk belanja barangbarang
keperluan sehari-hari. Karena itu, hubungan dan kabar
berita pulau itu sebenarnya tidak terputus sama sekali dengan
dunia luar. Benar juga, lewat beberapa hari kemudian, ada sebuah
kapal telah pulang dari pelayarannya itu, orang yang pulang
itu adalah keponakan Bun Tocu sendiri, namanya Bun To
Cheng. Malamnya, dipulau itu lantas diadakan perjamuan untuk
memberi selamat pada Bun To Cheng yang baru pulang itu,
dengan sendirinya Kim Si-ih diundang serta hadir.
Ditengah perjamuan, tiba-tiba Bun To Cheng kasai sesuatu,
ia menyatakan bahwa perdana menteri Ho Kun sedang
mencari jago-jago silai pilihan, maka ia bermaksud pergi ke
Pakkhia untuk menambah pengalaman, maksudnya itu
dimintakan persetujuan sang paman.
Mendengar itu, Kim Si-ih memberitahukan padanya bahwa
Ho Kun adalah Perdana Menteri yang korup, dikutuki rakyat.
Kalau cuma sekadar menambah pengalaman saja tidak
mengapa, tapi jangan sekali-kali sudi mengabdikan diri kepada
Ho Kun itu, demikian saran Si Ie.
Agaknya Bun To Cheng rada heran oleh ucapan Si Ie itu,
terbahak-bahak ia berkata: "Keluarga kami justeru karena
tidak sudi bekerja sama pada pemerintah Boan, maka lari
kepulau ini, masakah sekarang aku sudi mengabdi untuk
mereka" tujuanku melulu hendak gunakan kesempatan itu
untuk menyelami ilmu silat dari aliran terkemuka didaratan
sana". Mendengar kata-kata yang terus terang itu, segera Si Ih
berjanji akan mengajaknya kembali kedaratan untuk
memperkenalkannya kepada semua para tokoh-tokoh
persilatan, ia menyatakan pendapatnya pula bahwa Ho Kun
takkan mampu mendapatkan jago-jago yang bernilai
Sebenarnya Kim Si-ih biasanya tidak sudi orang mengetahui
asal usul dirinya meski selama beberapa hari itu dalam
pembicaraan ia merasa sangat cocok dengan Bun Tocu itu,
namun sampai saat itu iapun belum perkenalkan nama sendiri
yang sebenarnya. Tapi dalam perjamuan itu ia telah meneguk
beberapa cawan arak hingga tanpa merasa, tutur katanya itu
meyakinkan kesimpulan orang bahwa pengalamannya ternyata
sangat luar biasa dan lain dari yang lain.
Dalam percakapan selanjutnya Bun To Cheng menceritakan
pula apa yang dia lihat dan dengar dalam perjalanan paling
akhir itu. Akhirnya ceritanya menyinggung juga atas diri Kim
Si-ih. Kiranya dia mengetahui tentang kejadian-kejadian atas diri
Kim Si-ih, Le Seng Lam, Teng Hiau Lan, Beng Sin Thong dan
lain-lain. Setelah dia ceritakan peristiwa pertandingan Le Seng
Lam melawan Teng Hiau Lan, kemudian katanya. Kini Le Seng
Lam dan Seng Sin Thong sudah meninggal, kitab-kitab ilmu
silat dari mereka jatuh ditangannya Kim Si-ih itu, maka kini
mungkin Teng Hiau Lan juga mesti mengaku kalah setingkat
daripada Kim Si-ih. Buat jaman sekarang, bicara tentang ilmu
silat, tentunya Kim Si-ih yang harus menduduki kursi utama.
Dengan sendirinya, Kim Si-ih tidak enak ikut bicara hal-hal
yang bersangkutan dengan dirinya Tapi demi mendengar kisah
roman dirinya dengan Le Seng Lam dibuat cerita orang,
betapapun ia merasa berduka, maka berulang kali ia meneguk
arak. Untuk mana, seperti tidak sengaja berulang kali Bun
Tocu telah memandangnya, beberapa kejap.
"Cuma kabarnya kini Le Seng Lam juga sudah mempunyai
ahli-waris, ia dipuja sebagai cakal-bakal dari apa yang
dinamakan Thian Mo Kaucu. Agama itu banyak menarik jagojago
silat dari kalangan jahat, kabarnya tidak sedikit juga
orangnya." demikian cerita Bun To Cheng lebih lanjut.
Kabar itu ternyata juga baru pertama kali itu didengar Kim
Si-ih, tentu saja sangat menarik perhatiannya, cepat ia tanya:
"Dari masa engkau dapat dengar kabar itu?"
"Bukannya aku dengar dari orang lain tapi aku sendiri
malah sudah bertemu dengan Thian Mo Kaucu pribadi." sahut
To Cheng. "Bagaimana macam Thian Mo kaucu?" tanya Si Ie
"Ia memakai kedok, maka tak jelas parasnya tapi terang
seorang wanita muda" tutur To Cheng. "Suatu hari, setelah
kujual mutiara dan barang-barang dagangan lain dikota
Coanciu serta membeli barang-barang keperluanku, aku
lamtas ke luar kota akan kembali kekapal. Rupanya harta
benda yang kubawa dapat diincar beberapa penjahat kecil.
Ditengah jalan aku telah dicegat hendak dibegal, sudah tentu
aku tidak gentar, bahkan aku telah permainkan mereka
dengan menutuk urat ketawa mereka hingga mereka tertawa
keras terus menerus sampai berguling-guling di tanah, lalu
kutinggal pergi. Sejam kemudian baru mereka itu bisa berhenti
sendiri dari ketawanya".
Kejadian itupun tidak kupikirkan, siapa duga ilmu silat
serupa dengan harta benda yang tidak boleh menyolok mata
orang. Sekali aku unjukkan kepandaianku, ternyata lantas
menarik perhatian Thian Mo Kaucu itu. Malam itu aku
menginap disebuah kelenting. Tengah malam, tiba-tiba ada
orang mengetok pintu dan minta aku keluar".
"Aku menjadi heran ketika diluar kulihat orang itu adalah
wanita berkedok, segera dia menegur aku, "Apakah engkau ini
yang siang tadi menutuk orang-orang dari Jing Yang Pang
itu". Semula aku sangka dia adalah pemimpin wanita dari Jing
Yang Pang, dengan maksud menyelesaikan peristiwa itu. Aku
lantas maaf padanya serta menjelaskan bahwa aku tidak tahu
asal-usul penjahat itu.
Siapa duga ia tidak mau tahu apa yang ku katakan itu.
sahutnya dengan tertawa dingin: Aku tidak urus
percekcokanmu dengan orang-orang Jing Yang Pang itu. Yang
kuinginkan ialah karena melihat kepandaianmu masih boleh
juga, maka bermaksud menerima kau sebagai anak murid
dalam agama kami! Aku menjadi ketarik oleh keterangan itu.
Segera kutanya apakah nama agamanya, bagaimana asas
tujuannya serta apa yang telah dilakukannya."
"Dan dari jawabannya baru aku mengetahui bahwa agama
mereka bernama Thian Mo Kau. Wanita itu adalah Kaucunya.
Cakal bakal yang mereka puji adalah iblis wanita Le Seng Lam
yang meninggal belum lama berselang. Dengan mendirikan
agama itu, tujuannya ialah ingin menempur orang Bu Lim dari
golongan Cing Pay. Konon tidak lama sasaran pertama yang
akan ditangani adalah Bin San. Ketua Bin San Pay yang akan
dicobanya lebih dulu. Setelah mendapat penjelasan itu. aku
segera berkata: "Terima kasih atas Perhatianmu tapi aku
mempunyai tempat tujuan sendiri. Tidak ingin masuk menjadi
anggota agama kalian"
"Wanita berkedok itu menjadi marah katanya dengan
dingin: "Kau tidak mau masuk agama kami, akupun tidak
perlu memaksa cuma menurut aturan agama kami, setiap
orang luar yang mengetahui rahasia agama kami, dia harus
menyerahkan jiwanya!" Dengan sendirinya aku naik darah
juga, sahutku: "Asal kau mampu ambil jiwaku yang tidak laku
lima sen ini boleh kau ambil"
Sekali pembicaraan sudah buntu, segera terjadilah saling
gebrak. Ternyata Thian Mo Kaucu itu memang sangat lihay,
tiada sepuluh jurus aku sudah terluka parah, untung aku
paham ilmu menutup napas dengan Lwekang aku pura-pura
mati menggeletak ditanah dan berhasil mengelabuinya.
Untung juga dia tidak membekal senjata tajam, hanya
badanku didepaknya dua kali dan melihat aku sudah tak
bernapas, lalu tinggal pergi. Lukaku ini sampai dua bulan
lamanya baru bisa sembuh. Sebab itulah, paman makanya aku
pulang sangat terlambat"
H3bis mendengar cerita itu, diam-diam Kim Si-ih sangat
kuatir, tapi juga timbul curiganya.


Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kuatir karena mendengar Thian Mo Kaucu sangat lihay dan
akan mencari onar ke Bin San. Jangan-Jangan Kok Ci Hoa
tidak sanggup melawannya. Dan curiga sebab apakah Thian
Mo Kaucu itu sudi mengatakan tentang maksudnya bikin rusuh
ke Bin San itu kepada Bun To Cheng"
Memang apa yang dicurigai Kim Si-ih itu cukup beralasan.
Dari cerita Bun To Cheng tentang Bin San Pay akan menjadi
sasaran pertama dalam gerakan Thian Mo Kau itu sebenarnya
memang karangan belaka, sekedar untuk memancing diri Kim
Si-ih. Tapi kemudian ternyata apa yang terjadi cocok juga
dengan karangannya itu.
Begitulah, dengan rasa kuatir atas diri Kok Ci Hoa, pula
ingin tahu sangkut paut apakah diantara Thian Mo Kaucu itu
dangan Le Seng Lam, Kim Si-ih menjadi gugup, seketika
timbul keinginannya segera pulang kedaratan. Segera ia
mengemukakan maksudnya kepada Bun Tocu bahwa
besoknya ia ingin mohon diri. Apabila bun To Cheng ada minat
mencari pengalaman dan berkenalan dengan tokoh-tokoh
persilatan, boleh juga ikut bersama dia.
Bun Tocu pura-pura merasa heran dan ia tanya sebab apa
tiba-tiba Si ie hendak pulang. Terpaksa Si Ih juga pura-pura
mengatakan timbul rasa rindunya kepada kampung halaman
yang sudah lama ditinggalkan itu.
Karena tak bisa menahan lagi, kemudian Bun Tocu berkata:
"Sungguh terasa sangat berat kalau mesti berpisah dengan
saudara. Padahal kita baru saja merasakan kecocokan satu
sama lain. Jika Jinheng (saudara) sudi membawa serta
keponakanku itu kedaratan untuk menambah pengalamannya,
sungguh aku merasa sangat berterima kasih. Marilah
keringkan secawan sebagai tanda ucapan selamat jalan
padamu dan rasa terima kasihku atas perhatianmu terhadap
keponakanku."
Si Ie merasa berat juga untuk berpisah, maka tanpa pikir ia
terima suguhan orang dan meneguknya habis.
Tak tersangka, baru saja arak itu masuk perut, segera ia
merasa minuman itu tidak beres dan baru saja Kim Si-ih sadar
ketidak wajaran itu, dalam pada itu arak dalam perut sudah
bekerja, seketika kepala terasa pening, mata berkunangkunang,
akhirnya lantas tak sadarkan diri.
Dalam keadaan remang-remang entah sudah lewat berapa
lamanya, tiba-tiba Si Ie mendengar ada berapa orang
memanggilnya. Cepat ia melompat bangun, tapi sekitarnya
ternyata gelap gulita. Ketika diraba sekeliling adalah dinding
batu saja. Tengah Si Ie merasa bingung, tiba-tiba terdengar suara terbahaknya
Tocu dan sedang berkata, "Kim Si-ih, sekarang tidak
mungkin lagi kau tidak mengaku siapa sebenarnya engkau,
Hahaha. selama ini kupandang engkau sebagai teman, tapi
kau sengaja menutupi rahasia dirimu. Coba katakan, apa
hukumanmu itu?"
"Seumpama aku tersalah dalam hal itu, kelakarmu ini
sesungguhnya juga keterlaluan, Bun Tocu!" seru Si Ie.
"Siapa berkelakar dengan kau" Hmm, aku paling benci pada
manusia yang tidak setia kawan. Aku mesti memberi hajaran
setimpal padamu!" demikian mendadak Bun Tocu mendamprat
dengan bengis. Sementara itu ia sudah membuka pintu kamar
itu. Melihat sikap Tocu yang tadinya ramah tamah itu kini telah
berubah menjadi beringas, Kim Si-ih terkejut. Baru sekarang ia
tahu orang bermaksud jahat pada dirinya.
Ia menjadi gusar juga, segera damperatnya "Jangan kau
putar lidah, namaku sendiri belum kuberitahu, darimana bisa
dikatakan aku tak setia" Sebaliknya perbuatanmu yang bagus
inilah lebih sesuai kalau dikatakan tidak setia kawan dan tak
berbudi. Ya hitung-hitung mataku yang buta telah berkenalan
denganmu" "Hahaha" Bun Tocu terbahak-bahak, "Memang tidak salah
katamu itu, dan sekarang sudah menjadi tawananku. Apabila
engkau tidak turut pada kemauaku, jangan harap selama
hidupmu dapat kembali lagi kedaratan sana"
"Apakah keinginanmu?" dengan menahan perasaannya Si
Ie menanya. "Kitab ilmu silat tinggalan Kiau Pak Beng berada padamu,
Nah, hanya itulah yang kuinginkan!" sahut Bun Tocu.
Si Ie bergilir mentertawakan lawannya, katanya: "Hahaha,
tentunya kau sudah menggeledah badanku serta buntalanku
bukan" Dan sudahkah kau menemukan kitab ilmu silat itu"
Buat bicara terus terang, biarlah kukatakan bahwa kitab itu
memang benar tadi ia berada padaku, tapi sudah lama telah
kubakar. Ha ha, untung juga kalian tahu bahwa kitab itu jadi
abu. Aku sudah mengetahui kemungkinan akibatnya kalau
kusimpan sampai sekarang, tentu akan membikin geger
orang-orang dari kalangan hitam seperti kau ini"
Bun Tocu menarik muka, katanya pula: "Tapi kulihat
engkau sudah berhaail melatih ilmu silat dari kitab pusaka itu,
biarpun kitabnya sudab kau bakar, kau harus menulisnya
kembali". "Hahaha, berdasarkan apa kau berani memberi perintah
padaku?" "Dan kau sendiri, berdasarkan apa kau berani kepala batu"
Hm, apa kau sangka ilmu silatmu lebih tinggi dari aku" Haha,
engkau salah besar, Kim Si Ih! Kemarin dulu aku sengaja
mengalah padamu, kalau kau tidak percaya, marilah boleh kau
coba-coba lagi, aku justeru akan menaklukkan kau
berdasarkan ilmu silatku."
SUDAH tentu Kim Si-ih tidak sudi terima mentah-mentah
hinaan itu, terus dia terima tantangan itu dan bertanding pula
dengan Bun Tocu didalam kamar batu itu.
Pertandingan kali ini bagi Kim Si-ih bukan lagi tukar
kepandaian, tapi merupakan pertarungan mati atau hidup.
Sebaliknya Bun Tocu itu ternyata berlaku tenang sekali, seperti
sedang latihan dengan sobat baik saja. Dan sungguh aneh
juga, setiap kali Kim Si-ih melihat ilmu silat orang toh masih
setingkat lebih rendah dari dirinya, tapi disaat menentukan,
senantiasa Si Ie merasakan keinginan ada tenaga kurang.
Biarpun tipu serangannya sangat bagus, tapi karena kurang
tenaga sedikit, dengan mudah lantas dapat dihindarkan
musuh. Berpuluh jurus permulaan Kim Si-ih masih belum merasakan
kepincangan itu, sampai akhirnya terasalah olehnya bahwa
kekuatannya sudah jauh menurun dan pada dulu.
Nyata Kim Si-ih sudah keracunan arak suguhan Bun Tocu
semalam itu, telah dicampur deraan obat bubuk pembius otot
tulang "Moa Kin Hoa Kut San" Untung tatkala itu Kim Si-ih
sudah hampir mencapai tingkatan kebal, kalau tidak, tentu ia
bisa celaka karena minum arak beracun itu.
Bekerjanya racun itu berjangkit dengan perlahan-lahan
saja, karena tenaga dalam Kim Si-ih sudah sangat mendalam,
akibat dari racun itu menjadi enteng, maka seketika ia belum
lagi berasa. Tapi setelah hampir dua ratus jurus, akhirnya ia
kena dipukul roboh oleh Bun Tocu.
"Nah, sekarang kau takluk padaku tidak?" tanya Bun Tocu
dengan terbahak-bahak.
Dalam bingungnya karena kekalahan itu, Si Ie menjadi
gusar pula, sahutnya ketus: "Jika kau mau bunuh aku,
silahkan lekas lakukan. Tapi aku ingin takluk padamu, jangan
harap. Hanya kepandaianmu ini saja huh...."
"Kenapa kepandaianku ini...?" Bun Tocu menegas
Sebenarnya Si Ie ingin berkata ilmu silat orang juga tiada
sesuatu yang luar biasa, tapi buktinya dirinya toh sudah
dirobohkan pun dalam hati tidak rela, terpaksa ia tahan
dongkolnya itu.
Bun Tocu itu pintas melihat sikap orang sebera ia berkata
pula dengan tertawa: "Buat apa aku membunuh engkau" Aku
justru ingin menahan kau disini untuk hiburanku, tampaknya
kau masih penasaran oleh kekalahanmu tadi bukan" Baiklah
lewat dua hari lagi aku akan datang pula untuk menempur
engkau". Habis berkata, ia lantas keluar dari kamar batu itu serta
menutup pintu besinya.
Seperginya Bun Tocu, Si Ie duduk semadi menjalankan,
pula tenaga dalamnya. Baru sekarang ia merasa bahwa hawa
murni dalam dalam badan ada gangguan-gangguan dikala
mengeluarkan lewat perut, seringkali terhalang, tahulah dia
telah dipedayai Bun Tocu. Lewat dua hari kemudian kembali
Bun Tocu datang lagi mengajak bertanding. Kontan Kim Si-ih
mencaci maki terus melabrak orang, tapi akhirnya lagi Kim Si
lh menderita kekalahan.
Dengar sampai disini, tiba-tiba Kang Lam menyela, "Wah!
celaka. Kim Tayhiap, bukankah engkau berulang kali telah
masuk perangkapnya orang she Bun itu" Justeru karena
engkau tidak mau tuliskan ilmu silat ajaran Kiau Pak Beng
kepadanya, maka dia sengaja mengatur muslihatnya untuk
menipu ilmu silatmu".
"Pintar juga kau, adik cilik." sahut Si Ie tertawa. "Tapi hm,
masakah aku tidak tahu maksud tujuannya" Cuma tatkala itu
aku sedang naik darah, maka aku tidak ambil peduli. Namun
harus diakui juga, walaupun benar dia berhasil mencuri sedikit
kepandaianku, sebaliknya akupun dapat menyelami sedikit
ilmu silatnya yang hebat itu."
"Tapi toh tetap engkau yang rugi", ujar Kang Lam.
"Memang benar," sahut Si Ie. "tapi itu hanya dipandang
dari keadaan pada saat itu. Kalau sekarang, aku yang
beruntung malah."
"Kenapa bisa begitu?", tanya Kang Lam heran.
"Sebab setelah beberapa kali bertanding, terhadap inti ilmu
silatnya aku telah dapat memahami 6-7 bagian diantaranya.
Sebaliknya dia, menurut dugaanku, paling-paling hanya 2-3
bagian dari kepandaianku yang dipahaminya"
"Namun begitu, dengan sedikit kepandaianmu yang dia
peroleh itu tentu akan menambah modal kejahatannya".
"Tapi pada garis besarnya, yang kumaksudkan lebih
beruntung itu tidak hanya keuntungan ilmu silat yang aku
peroleh dari dia itu" ujar Si Ie. "Memang apa yang engkau
pikir sekarang juga sudah kupikirkan waktu itu. Pintu besi dari
kamar batu itu dapat ditutup dari luar dan dalam, maka
sesudah aku diakali dalam beberapa pertandingan, aku lantas
kancing pintu itu dari dalam, dengan tekad mati kelaparan,
aku tidak sudi membuka pintu lagi biar pun dia mencaci maki
dari luar. Tapi rupanya Bun Tocu itu mengharap bisa
memperoleh lebih banyak kepandaianku, kuatir kalau aku mati
kelaparan, ia telah membobok sebuah lubang diatas kamar
batu itu sebagai jalan untuk memberi makanan padaku setiap
hari." "Bukankah engkau mempunyai Cat Hun Pokiam dan bisa
menggunakannya membobok lubang batu itu?" ujar Kang
Lam. "Tentu saja Bun Tocu itu tidak sebodoh itu. Mungkin yang
kau sangka, dikala aku tak sadarkan diri, semua barang,
bekalku sudah dirampas semua, termasuk pedang pusaka itu"
sahut Si Ie. "Jika begitu, kemudian siapa yang menolong engkau keluar
dari kamar itu?" tanya Kang Lam
"Aku sendiri!", sahut Si Ie
Kiranya sejak Kim Si-ih memperoleh rahasia tinggallan Kiau
Pak Beng, ia lantas bertekad hendak melebur semua aliran
silat yang dipahaminya untuk menciptakan suatu aliran silat
terendiri yang gilang gemilang. Dan sesudah beberapa tahun
diyakinkan lambat laun sudah ada kemajuan, cuma masih ada
beberapa kesulitan diantara ilmu-ilmu silat itu belum dapat
dipecahkannya. Sebab itulah, ia lantas gunakan kesempatan dikamar batu
itu untuk menyelami lebih tekun daripada apa-apa yang belum
dapat dipecahkannya itu. Setiap hari ia tenggelam dalam
dalam pemikirannya itu, ditambah lagi sedikit paham yang
diperolehnya dari ilmu silat Bun Tocu yang ternyata satu sama
lain ada titik-titik persamaannya, maka lewat tiga bulan
kemudian, pada su tu malam, mendadak semua kesukaran
dalam itlmu silat dapat dipecahkannya dengan sempurna juga
telah menciptakan ilmu silat alirannya tersendiri yang
didasarkan pada lweekang aliran Thian San dan ilmu silat
ajaran Kiau Pak Beng sebagai saka guru, ditambah pula
berbagai ilmu silat dari aliran Cing dan Sia lainnya sebagai
atap dan genting, maka terbangunlah ilmu silatnya itu yang
berbeda dari aliran manapun juga. tapi adalah asli ciptaan Kim
Si-ih tulen. Setelah berhasil melatih badan yang sempurna, dengan
sendirinya racun yang diminumnya itu dapat dilebur oleh hawa
murni dalam tubuhnya. Bukan saja tenaga dalamnya pulih
semua, bahkan lebih hebat daripada semula dan pada malam
itulah, ia gunakan ilmu saktinya itu untuk membobok lubang
batu selebar badan, lalu menerobos keluar.
"Bagus!", seru Kang Lam girang. "Dan kau harus beri
hajaran setimpal pada Bun Tocu itu, kenapa engkau tidak
punahkan ilmu silatnya sekalian?".
"Bukankah aku sudah mengatakan lebih banyak untungnya
dari dia" Kalau dia tidak menyekap aku dikamar batu itu, tentu
aku tak secepat itu bisa meyakinkan kepandaianku. Pada
waktu itu, ia hanya marajai partai situ saja, kejahatannya
belum nyata, buat apa aku bermusuhan dengan dia". Sesudah
keluar, segera aku bertempur dengan dia. Tentu saja ia
menjadi kaget ketika melihat aku bisa lolos dari kamar batu
itu. Tapi ilmu silatnya benar-benar hebat juga. Lebih dari 50
jurus kemudian dia baru terjungkal oleh seranganku. Aku
paksa dia serahkan kembali pedang dan barangku yang lain,
minta disediakan sebuah kapal dengan perbekalan lengkap,
lalu berlayar kembali ke daratan."
"Sayang. Sayang... Terlalu enteng hukuman yang kau
jatuhkan padanya," ujar Kang Lam gegetun.
"Ya, sebab waktu itu aku tidak menyangka bahwa mereka -
paman dan keponakan- bisa masuk komplotannya perdana
mentari dorna Ho Kun serta bermusuhan dengan tokoh Bu Lim
di Tionggoan," ujar Si Ie. "Sayang dikala aku belayar palang
itu, ditengah jalan telah mengalami damparan badai hingga
baru permulaan tahun ini aku tiba didaratan. Sementara itu
Ban To Cheng sudah lebih dulu sampai di Pakkhia. Tentang
dia mengawalkan harta karun-nya Ho Kun, aku dapat kabar.
Dan tidak lama kemudian aku mendapat berita pula pamannya
juga sampai di daratan, maka aku selalu mengawasi gerakgerik
mereka berdua"


Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jika begitu, tentang keinginan Ki Hiau Hong menemui
engkau, apakah engkau juga tahu", tanya Kang Lam.
"Justeru Ki Hiau Hong sendirilah yang telah merampas harta
kawalan Bun To Cheng itu dan kemudian akupun mengangkat
saudara dengan dia serta....."
"Tak usah kau ceritakan lagi, semuanya aku sudah tahu,"
potong Si Ie dengan tertawa. "Oleh karena waktu itu aku
mengetahui taci-beradik Thian Mo Kaucu dan Bun Tocu itu ada
maksud mengacau ke Bin San sini, maka aku tidak sempat
menemui Ki Hiau Hong. Biarlah nanti kalau dia sudah pulang
dari Ci Lay San, tentu aku akan pergi mencarinya untuk
memenuhi harapannya."
Oleh karena berkuatir atas puteranya yang berada dibawah
cengkeraman Thian Mo Kau, Kang Lam menjadi ingin sekali
bisa mengetahui hal-hal yang bersangkutan dengan agama
jahat itu, maka ia lantas kesampingkan diri Bun Tocu dan
menanya, "Jika engkau sudah tahu Thian Mo Kaucu itu bakal
merecoki Kok Lihiap, tentu sebelum datang kemari, engkau
sudah menyelidiki dahulu kesarang mereka" Dan darimanakah
asal-usui Thian Mo Kaucu itu, begitu pula tentang diri Mohujin?"
"Hal mana aku kurang terang, hanya mengetahui sedikit,"
sahut Si Ie. "Kalau dibicarakan kepandaian Thian Mo Kaucu itu
sekali-kali bukan ajaran Le Seng Lam, bahkan leluhur mereka
saling bermusuhan".
"Aneh, jika begitu mengapa Thian Mo Kaucu itu sudi
mengangkat Le Seng Lam sebagai cakal bakal Thian Mo Kau
mereka" tanya Kang Lam heran.
"Ceritanya begini" tutur Si Ie. "Dahulu, di jamannya Kiauw
Pak Seng dan Ho Thian Toh, ada pula seorang gembong
wanita yaag sangat lihay, dia boleh dikata berdiri diantara
golongan Cing dan Sia, malahan juga pernah mendirikan
agama apa yang dinamakan Chit Im Kau. Chit Im Kau itu
mempunyai seorang puteri, namanya Im Siu Lan. Dahulu Kiau
Pak Beng pernah melamar Im Siu Lan untuk isteri puteranya,
tapi ditolak oleh Im Siu Lan. Karena itu puteranya Kiau Pak
Beng telah menggunakan kekerasan untuk menculik Im Siu
Lan. Belakangan suami isteri Ho Thian Toh yang telah
menolongnya kembali. Dan dikala itu, leluhur Le Seng Lam
yaitu Le Kong Thian adalah budak setianya Kiau Pak Beng.
Peristiwa menculik Im Siu Lan diapun ikut serta, maka
keluarga Im sebenarnya adalah musuh"
"Kemudian Im Siu Lan telah menikah dengan seorang
Kesatria gagah she Ciu. Ayah pemuda she Ciu itu adalah
pemimpin Lok-lim di kala itu. Karena diuber-uber oleh pasukan
pemerintah, Im Siu Lan dan suaminya telah melarikan diri
kesuatu negeri diluar perbatasan wilayah barat dan menetap
di sana. Thian Mo Kaucu itu adalah keturunan dari keluarga
Im Siu Lan itu. Karena sejak itu menetap dinegeri barat sana,
dengan sendirinya terjadi juga asimilasi diantara mereka
dengan penduduk setempat, maka tidaklah heran kalau
banyak terjadi percampuran darah diantara keturunan
mereka". "Kira-Kira sepuluh tahun yang lalu, waktu itu Le Seng Lam
telah cekcok dengan aku, pernah untuk beberapa waktu ia
berkelana diluar perbatasan didaerah barat itu dan kira-kira
tatkala itu juga, Le Seng Lam telah bertemu keluarga dari
orang yang kini menjadi Thian Mo Kaucu itu. Le Seng Lam
cukup bijaksana. Mungkin untuk menebus kesalahan
leluhurnya, dia telah kembalikan sejilid kitab Pek Tok Cin Keng
(Kitab Tulen Beratus Resep Racun) yang aslinya memang milik
keluarga Im"
"Pantas senjata gelapnya yang berbisa itu tiada habis
digunakan olehnya, kiranya kitab Pek Tok Cin Keng itu sudah
jatuh ditangan mereka", seru Kang-Lam. "Eh. sudah banyak
yang kau ceritakan, tapi kau belum terangkan siapakah nama
mereka?" "Turun temurun mereka tinggal dinegeri asing, maka
mereka termasuk dalam kelompok suku Masar, adat
kehidupan mereka sudah hampir seluruhnya membaurkan diri
dengan perduduk setempat. Tentang nama mereka aku telah
mendapat tahu dan suku bangsa mereka. Yang tua yaitu
kakak, namanya Karani, dan adiknya bernama Ipicuma.
Kabarnya masing-masing mempunyai juga nama dalam
bahasa Han, tapi orang mereka tak bisa mengucapkannya."
"Jika demikian, jadi mereka memang benar benar taci
beradik," kata Kang Lam. "Dan itu Karani, apakah juga benarbenar
isteri gubernur segala?"
"Hal ini dia memang tidak berdusta. Suaminya bernama Mo
Lam Ting. Dahulu pernah menjabat panglima besar dikota
Holam. Tahun mereka menikah, adalah bertepatan juga
dengan tahun dimana Le Seng Lam berkenalan dengan
mereka diwilayah barat itu."
"Cuma bagaimana tentang perhubungan Le Seng Lam
dengan mereka, aku sendiri kurang terang", tutur Si Ie lebih
jauh. "Tapi kalau Le Seng Lam sudah sedia mengembalikan
kitab Pek Tok Cin Keng kepada mereka, dapat diduga mereka
pasti sudah berubah menjadi kawan dari pada lawan. Ilmu
silat dalam kitab tinggalan Kiau Pak Beng tentu tak diajarkan
oleh Le Seng Lam, namun mereka mungkin dapat pula
mengetahui. Sebab itulah, belakangan Ipicumi telah
menggunakan namanya Le Seng Lam untuk mendirikan Thian
Mo Kau. Ia kumpulkan semua bekas dayangnya Le Seng Lam
dan mendapat tambahan sedikit kepandaian berasal dari kitab
Kiau Pak Beng, yaitu diselami dari ilmu silat yang dimiliki
kawanan dayang itu, dengan sendirinya mereka bertambah
lihay. Kakak beradik dari suatu sumber tapi ilmu silat si adik
ternyata berlipat kali lebih tinggi dari sang kakak, apa
sebabnya sampai sekarangpun aku belum mengetahui."
Tiba-Tiba Kok Ci Hoa tergerak hatinya, segera ia tanya: "Ek
Suhengku, mempunyai seorang kawan, adalah seorang tuan
tanah kecil di Tiong Bo Koan, namanya Khu Giam, apakah kau
kenal orang ini". Aku ingin tahu apakah Khu Giam pernah
datang kewilayah barat dan apakah kenal dengan taci beradik
yang hebat itu?" ujar Ci Hoa.
"Hal ini aku tidak tahu. Apakah ada terjadi sesuatu?" tanya
Si Ie. "Justru ada sesuatu urusan yang menyangkut diri Khu Giam
itu, hal ini biarlah nanti kuceritakan. Kini aku ingin tanya lebih
dulu obat penawar yang pernah Le Seng Lam berikan padamu
dahulu, apakah engkau bawa sekarang" Cia Suso dan Kang
Suheng telah kena pukulan berbisa perempuan iblis itu, tandatanda
lukanya yang keracunan itu sama seperti apa yang
kualami dahulu."
"Ya, apabila kau datang siangan sedikit, tentu kami takkan
kecundang oleh perempuan iblis itu," demikian Kang Lam
menggerundel. "Sungguh aku tidak mengerti, apakah orang
yang diam-diam pernah menolong aku dan membikin jeri Mo
Hujin itu dijalan pegunungan itu adalah kau". Jika engkau,
mengapa kedatanganmu terbelakang?"
Si Ie ierkesiap oieh cerita itu, tanyanya cepat, "Bisa terjadi
begitu" Orang yang membantu kau mengalahkan kedua Hoanceng
tempoo hari memang aku adanya, tapi kau mengalami
bahaya lagi dipegunungan ini, aku sama sekali tidak tahu. Aku
hanya seorang diri, tidak punya ilmu membagi diri. Aku tahu
betapa lihaynya kedua wanita taci dan adik itu, tapi menduga
Ci Hoa masih sanggup melawannya. Yang paling lihay adalah
Bun Tocu itu. Maka sejak naik ke Bin San, diam-diam aku
lantas mengawasi setiap gerak-geriknya. Aku bersama dia
masuk kesini disaat Thian Mo Kaucu lagi pamerkan
kepandaiannya mengetok cawan terjepit ke dalam meja itu.
Kalian tidak mengetahui Bun Tocu, sebaliknya Bun Tocu itu
juga tidak merasa kalau aku lagi menguntitnya".
"He sungguh aneh sekali!" seru Kang Lam. Jika menurut
ceritamu, jadi orang yang diam-diam membantu aku itu
bukanlah engkau dan juga bukan orang she Bun itu?"
"Cara bagaimana kau dibantu orang?" tanya Si Ie.
Maka bercerita Kang Lam apa yang dialami.
Si Ie terperanjat, pikirnya, "Orang itu memiliki kepandaian
membisikkan gelombang suara segala, ini sungguh
mengherankan. Siapakah gerangan orang itu". Jangan-Jangan
ada pula tokoh lihay macam Bun Tocu lagi?"
"Kim Tayhiap. menurut dugaanmu siapakah gerangannya
orang itu?" tanya Kang Lam.
"Entah, akupun tak bisa menebaknya" sahut Si Ie.
"tampaknya sobat itu datang ingin menjumpai aku, kelak
urusan ini pasti akan menjadi terang. Sementara ini tak perlu
kita pikirkan. Ci Hoa, harap bawalah beberapa pil ini untuk
diminumkan dulu kepada Cia Suso dan Kam Suheng. Untung
aku selalu membawanya. Ai.. tidak nyana hari ini kebetulan
membutuhkannya."
5egera Kok Ci Hoa terima botol obat penawar itu dan suruh
Pek Eng Kiat membawa ke belakang untuk Cia In Cin berdua.
Melihat botol obat itu, Ci Hoa dan Si Ie menjadi terkenang
pada peristiwanya Le Seng Lam dahulu. Perasaan kedua orang
berbeda, yang satu suka yang lain duka, tapi sama-sama
berdiam saja. "Kim Tayhiap", tiba-tiba Kang Lam menanya pula, "tadi
engkau bicara tentang Thian Mo Kaucu itu, apakah kau itu
pernah mengobrak-abrik sarangnya di Ci Lay san?"
"Tentang puteramu diculik, hal ini sudah kuketahui", sahut
Si Ie. "Akupun pernah mendatangi Ci Lay San. Cuma kejadian
itu sudah setengah tahun yang lalu. Maka tidak melihat
puteramu disana."
"Ya, sudah tentu, sebab anakku baru diculik sebulan yang
lalu," kata Kang Lam dengan kecewa. "Untung Ki Toako sudah
pergi kesana dan menolong anakku. Meski dia mempunyai
ilmu sakti mencuri, tapi mungkin bukan tandingan Thian Mo
Kaucu itu".
"Kecepatan berlari Ki Hiau Hong tiada bandingannya. Jika
dia sampai di Ci Lay San mungkin Thian Mo Kaucu masih
belum pulang dari sini dan dia kebetulan bisa bekerja dengan
leluasa," ujar Si Ie. "Cuma saja Kang Lam, kau jangan kuatir,
aku sudah berjanji akan menerima anakmu sebagai muridku,
tentu aku tidak berpeluk tangan membiarkan muridku diculik
Thian Mo Kaucu. Sekalipun Ki Hiau Hong berhasil
menolongnya, hal itu pasti aku yang menanggung
keselamatannya".
Mendengar janji Kim Si-ih ini, barulah Kang Lam merasa
lega. Katanya dengan tertawa: "Jika kau campur tangan,
biarpun kepandaian musuh lebih lihay dari pada Thian Mo
Kaucu, aku tidak perlu takut lagi".
"Dan masih ada sesuatu yang kurang jelas", kata Ci Hoa.
"Jikalau betul Betul Bun Tocu seorang culas keji, buat apa lagi
dia membantu aku menempur Thian Mo kaucu itu?"
"Maksud tujuannya aku tidak berani mengatakan secara
pasti, tapi menurut dugaanku ada dua pokok tujuan", sahut Si
Ie. "Pertama ia sengaja hendak menjajal sampai berapa
banyak ilmu silat dalam kitab rahasia Kiau Pak Beng yang
telah dipahami Thian Mo Kaucu itu. Kedua dia sengaja
membantu engkau sebagai jalan untuk menipu kepandaianmu
Siau Yang Sin Kang. Sebab waktu dipulau sana, dia pernah
mendengar ceritaku tentang berbagai persilatan di Tionggoan.
Bahwa pelajaran Lweekang dari Thian San Pay serta Siauw
Yang Kang tinggalan gurumu tergolong ilmu Lwekang aliran
suci yang paling bagus, tadi bila aku tidak membongkar
rahasianya, boleh jadi dia akan memalsukan diriku".
"Ya, tatkala itu aku benar-benar menyangka dia sebagai
dirimu," kata Ci Hoa dengan tertawa. "Cuma, bila dia memang
ingin menipu diri aku, buat apa dikala Thian Mo Kaucu
melarikan diri, segera ia terus mengudak keluar" Ehm, waktu
itu aku malah menyangka engkau sudah tidak gubris padaku
lagi." Si Ie terguncang perasaannya mendengar suara Ci Hoa
yang penuh kasih mesra itu, pikirnya. "Aah... sudah sekian
tahun lamanya ternyata dia masih belum melupakan daku."
Ketika berpaling sekilas terlihat Kang Lam lagi memandangi
dirinya dengan tersenyum penuh arti.
Cepat Si Ie tenangkan diri, lalu berkata: "Waktu itu mungkin
dia sudah mengetahui diriku, bisa juga dia merasa tidak
gampang hendak menipu engkau, maka sasarannya dialihkan
kepada diri Thian Mo Kaucu itu."
Bicara sampai disini, Pek Eng Kiat telah kembali dan
melapor pada Kok Ci Hoa: "Obat penawar itu ternyata sangat
mujarab, habis minum obat itu, Cia Suso dan Kam Sute lantas
siuman, bahkan Kam Sute menggembor katanya perutnya
sangat lapar dan minta diberi makanan. Melihat gelagatnya,
besok pagi mereka sudah dapat sembuh semua, dengan
perantaraanku mereka ingin menyampaikan terima kasih
kepada Kim Tayhiap."
"Pek heng," tiba-tiba Kang Lam berbangkit, "Harap kau
membawa aku pergi menjenguk mereka. Kam suheng te
Pendekar Setia 3 Pendekar Gelandangan - Pedang Tuan Muda Ketiga Karya Khu Lung Kilas Balik Merah Salju 4
^