Kisah Si Rase Terbang 10

Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung Bagian 10


alah rakyat baik-baik, mana berani kami
mengambil jiwa manusia," kata Kui-long dengan suara tenang.
"Aku datang ke sini hanya untuk mengundang Biauw-tayhiap
untuk beristirahat beberapa hari di rumahku. Siapa kata, kami
mempunyai niatan yang kurang baik?"
Ia mengeluarkan kata-kata itu dengan nada seperti seorang
yang menang perang. Ia menganggap bahwa Biauw Jin-hong
sudah masuk ke dalam jaring dan tak akan bisa meloloskan
diri lagi. Ciong-sie Sam-hiong yang namanya kesohor sudah
kena ditawan, sedang Ouw Hui dan Leng-so yang berdiri di
pintu dipandang sebelah mata olehnya. Kegirangannya
meluap-luap, ia merasa sudah memperoleh kemenangan total.
Sementara itu, Ouw Hui mengasah otak untuk mencari
jalan keluar. Ia mengerti, bahwa pihaknya berada dalam
keadaan terjepit. Jumlah musuh banyak lebih besar dan di
antara mereka tentulah terdapat banyak jago-jago yang
berkepandaian tinggi. Di pihaknya, Ciong-sie Sam-hiong yang
boleh diandali, sudah kena ditawan musuh.
Dengan mata tajam, ia mengawasi barisan musuh. Di
belakang Tian Kui-long berdiri dua wanita, seorang tua yang
berbadan kurus kering dan seorang lelaki setengah tua yang
mencekal sepasang tameng. Mata kedua orang itu bersinar
terang dan sudah bisa diduga, bahwa mereka bukan lawan
enteng. Di samping itu, terdapat pula tujuh-delapan orang
lelaki yang mencekal dua rantai besi yang sangat panjang dan
halus. Semula, Ouw Hui tak mengetahui kegunaan rantai itu,
tapi sesudah memikir sejenak, ia mendusin. "Mereka tentu
ingin melibat kaki Biauw-tayhiap," katanya di dalam hati.
"Mereka tentu menganggap, karena sudah buta, Biauwtayhiap
pasti akan roboh jika ditarik oleh tujuh-delapan
orang." Sembari berpikir begitu, ia mengawasi Tian Kui-long
dan begitu melihat mukanya manusia itu, darahnya lantas saja
mendidih. "Bangsat!" ia mencaci dalam hatinya. "Sesudah
merampas istri orang, kau rupanya belum puas kalau belum
membinasakan juga suaminya."
Tapi keadaan yang sebenarnya adalah, Tian Kui-long yang
sangat busuk tak terluput dari penderitaan batin yang sangat
hebat. Semenjak membawa kabur Lam-lan, istri Biauw Jinhong,
tak pernah ia enak makan dan enak tidur, karena ia tak
dapat melupakan bahwa wanita yang dibawa lari itu adalah
istri seorang ahli silat yang tiada tandingannya di kolong
langit. Setiap berkerisiknya rumput mengejutkan hatinya,
sebab ia selalu berkata, bahwa suara itu adalah tanda, dari
kedatangan Biauw Jin-hong.
Semula, Lam-lan memang tergila-gila dan menyerahkan
seluruh kecintaannya terhadap Kui-long. Tapi belakangan,
setelah melihat lelaki itu ketakutan siang-malam, harga Tian
Kui-long lantas saja merosot di matanya Lam-lan. Dalam
anggapan nyonya itu, yang selalu memandang rendah bekas
suaminya, Biauw Jin-hong adalah seorang yang tak perlu
ditakuti. Di samping itu, Lam-lan juga berpendapat, bahwa
jika mereka berdua sungguh-sungguh saling mencintai,
kebinasaan bersama-sama di ujung pedang Kim-bian-hud tak
merupakan soal besar yang mesti ditakuti sampai begitu.
Dengan demikian Lam-lan segera mendapat kenyataan,
bahwa Tian Kui-long lebih menghargai jiwanya sendiri
daripada kecintaannya seorang wanita yang sudah
meninggalkan suaminya, yang meninggalkan juga putrinya
dan yang sudah rela dicaci orang untuk mengikuti dia.
Karena selalu diliputi ketakutan, Kui-long tak dapat
melayani lagi perempuan itu seperti biasanya. Ia tak #h.>.a
mengungkuli Lam-lan dengan tetabuhan khim, dengan main
tiokie atau menyusun syair. Mau tak mau, sebagian besar
waktunya digunakan untuk main pedang atau berlatih
lweekang guna menjaga kedatangan Kim-bian-hud. Apa mau,
wanita itu justru paling tak suka orang berlatih silat.
Tian Kui-long adalah seorang jahat yang berotak pintar. Ia
mengetahui, bahwa sebegitu lama Biauw Jin-hong masih
hidup, segala rencananya akan berakhir dengan kegagalan.
Segala harta kekayaan yang diimpi-impikan olehnya akan
hanya merupakan satu bayangan rembulan di muka air.
Sementara itu, Leng-so yang berdiri di samping Ouw Hui,
terus mengawasi tanpa mengeluarkan sepatah kata. Seperti
Ouw Hui, ia pun sedang menimbang-nimbang bagaimana
harus merobohkan musuh. Perlahan-lahan ia merogoh saku,
mengeluarkan potongan lilin racunnya dan mengeluarkan juga
bahan api. Begitu lekas lilin disulut, dalam tempo cepat,
semua orang pasti akan roboh pingsan. Dengan mata tajam,
ia mengawasi semua orang dan setelah melihat, bahwa
mereka tidak memerhatikan, ia segera menyalakan bahan api
dan menyulut lilin itu. Bahwa di malam yang gelap seseorang
menyalakan lilin, adalah kejadian yang tidak luar biasa.
Tapi, sebelum lilin tersulut, mendadak terdengar
menyambarnya senjata rahasia yang mengenai tepat pada lilin
itu yang lantas saja jadi kutung dua dan jatuh di lantai.
Leng-so terkejut dan menengok ke jurusan menyambarnya
senjata rahasia itu. Ia mendapat kenyataan, bahwa orang
yang melepaskan senjata rahasia adalah satu nona kecil yang
baru berusia kira-kira lima belas tahun. "Jangan main gila
kau!" membentak nona itu. Mata semua orang sekarang
ditujukan kepada Leng-so yang sudah mengetahui, bahwa
senjata rahasia yang digunakan oleh nona itu adalah sebatang
tiat-tui (pusut besi). Ia merasa agak jengah dan berkata
dengan suara tawar, "Main gila apa?" Ia merasa sangat tidak
mengerti, bagaimana gadis cilik itu bisa mengetahui
rahasianya, sehingga sekarang adalah sukar untuk ia turunkan
tangan. Tian Kui-long hanya melirik dan tidak menaruh perhatian
terhadap kejadian itu. "Biauw Toako," katanya. "Hayolah ikut
kami!" Hampir berbareng, satu gundalnya Tian Kui-long
mendorong pundak Ouw Hui sembari membentak, "Siapa kau"
Minggir! Di sini bukan tontonan." Dia menganggap, bahwa
Leng-so dan Ouw Hui adalah tetangga Biauw Jin-hong yang
datang menengoki. Ouw Hui sengaja berlagak tolol, ia lantas
minggir tanpa mengeluarkan sepatah kata.
"Saudara kecil," kata Kim-bian-hud. "Pergilah menyingkir!
Jangan pedulikan aku lagi. Jika kau bisa menolong Ciong-sie
Sam-hiong, aku Biauw Jin-hong sudah merasa berterima kasih
tak habisnya."
Mendengar kata-kata itu, ketiga saudara Ciong dan Ouw
Hui merasa terharu sekali. Mereka kagum akan kesatriaan
Biauw-tayhiap yang dalam bahaya besar, masih ingat
kepentingan orang lain, tanpa mengingat kepentingan sendiri.
Kui-long yang selalu berwaspada, lantas saja jadi terkejut.
Ia melirik Ouw Hui dan berkata dalam hatinya, "Apakah bocah
ini mempunyai kepandaian tinggi?" Ia mengambil putusan
untuk tidak menyia-nyiakan tempo lagi dan lantas
membentak, "Harap Biauw-tayhiap lantas berangkat!"
Berbareng dengan perkataan itu, lima gundalnya Tian Kuilong
lantas menyerang Kim-bian-hud dengan senjatanya.
Ruangan itu sangat sempit dan diserang secara begitu, Biauw
Jin-hong kelihatannya tak akan bisa meloloskan diri lagi. Tapi
di luar dugaan, dengan sekali mengebas dengan kedua
tangannya, ia sudah berhasil meloloskan diri dari antara dua
musuh dan semua senjata yang ditujukan kepadanya, jatuh di
tempat kosong. Di lain saat, Kim-bian-hud memutar badan dan dengan
paras muka angker, ia berdiri di tengah-tengah pintu. Dengan
tangan kosong dan kedua mata diikat, Kim-bian-hud mencegat
jalan keluar lima musuhnya. Tadinya, Ouw Hui ingin lantas
menerjang untuk membantu, akan tetapi, begitu melihat
gerakan Biauw Jin-hong, ia segera mengetahui, bahwa
meskipun belum tentu menang, Kim-bian-hud pasti tak akan
bisa dirobohkan dengan mentah-mentah.
Di lain pihak, kelima musuhnya mendongkol bukan main.
Jika mereka berlima masih belum bisa merobohkan satu Biauw
Jin-hong yang sudah buta matanya, sungguh-sungguh mereka
tak ada muka untuk berkelana lagi di dunia Kang-ouw.
"Saudara kecil," kata Kim-bian-hud. "Jika sekarang kau tak
mau lari mau tunggu sampai kapan lagi?"
"Biauw-tayhiap, jangan kau khawatir," jawab Ouw Hui.
"Kalau baru kawanan anjing semacam itu, belum bisa mereka
menghalang-halangi aku."
"Bagus!" kata Biauw Jin-hong. "Saudara kecil, sungguh
besar nyalimu." Hampir berbareng dengan perkataannya itu,
ia menerjang lima musuhnya.
Lima lawan itu juga bukan sembarang orang. Melihat
serangan Kim-bian-hud yang sangat dahsyat, mereka lantas
loncat mundur dan main petak di sepanjang dinding, akan
kemudian menyerang, jika ada kesempatan bagus. Dalam
sekejap kursi meja sudah jadi rusak dan penerangan menjadi
padam. Dua gundalnya Tian Kui-long lantas saja mendekati
pintu dan mengangkat obor tinggi-tinggi. Bagi Biauw Jin-hong,
ada penerangan atau tidak adalah sama saja. Tapi bagi lima
orang itu, adanya penerangan merupakan satu keuntungan
besar. Sesudah bertempur beberapa saat, sembari membentak
keras satu orang menikam kempungan Kim-bian-hud dengan
tombaknya. Biauw Jin-hong mementang kaki kanannya dan
coba merampas tombak yang sedang menyambar itu. Tapi
tanpa diketahui olehnya, satu musuh yang berjongkok sedari
tadi di sebelah tenggara, mendadak membabat dengan
goloknya yang mengenai tepat pada dengkul Biauw Jin-hong.
Si pembokong itu adalah manusia yang sangat licik. Ia
mengetahui, bahwa Kim-bian-hud berkelahi dengan
mengandalkan kupingnya. Sambil menahan napas, ia segera
berjongkok di satu sudut untuk menunggu kesempatan baik.
Waktu Biauw Jin-hong mementang kakinya di dekat dia,
secara mendadak dia membacok, sehingga biarpun sangat
lihai, Kim-bian-hud tak dapat mengelakkan lagi serangan itu.
Melihat Biauw-tayhiap terluka, semua kawannya Tian Kuilong
lantas saja bersorak-sorak girang.
"Saudara kecil!" membentak Tiauw-eng. "Lekas menolong!
Jika terlambat, mungkin tak keburu lagi!" Pada saat itu,
pundak kiri Biauw Jin-hong kembali kena dibacok.
Sampai di situ, Kim-bian-hud jadi keder juga. "Tanpa
bersenjata, aku sukar menoblos ke luar dari kepungan,"
pikirnya. Ouw Hui yang bermata sangat tajam, juga mengetahui,
bahwa apa yang diperlukan oleh Biauw Jin-hong adalah
senjata. Jika ia memberikan goloknya kepada Biauw Jin-hong,
ia sendiri bisa berbahaya, karena musuh yang berada di luar
pintu berjumlah besar. Untuk sejenak, ia bingung dan
bimbang. Tapi, sebab melihat keadaan mendesak, tanpa
memikir panjang-panjang lagi, ia lantas saja berseru, "Biauwtayhiap,
sambutlah golok ini!" Berbareng dengan seruannya, ia
melontarkan golok itu dengan menggunakan lweekang. Ia
sudah menghitung pasti, bahwa dengan menggunakan
lweekang yang dahsyat, hanya Biauw Jin-hong yang akan
dapat menyambuti goloknya itu. Jika di antara lima orang itu
ada yang mau mencoba, tangannya sendiri yang akan
tertebas kutung.
Pada saat itu, Biauw Jin-hong sendiri sedang memancing
musuh yang tadi membokongnya. Ia sengaja melonjorkan
tangan kirinya ke jurusan tenggara. Melihat kesempatan,
orang itu kembali membacok. Cepat bagaikan kilat, Kim-bianhud
membalik tangannya dan di lain saat, ia sudah merebut
golok musuh. Pada detik itulah, ia mendengar sambaran
goloknya Ouw Hui. Ia segera memapaki belakang golok Ouw
Hui dengan belakang golok yang dicekal olehnya. Trang!
Lelatu api berhamburan dan golok Ouw Hui terpental balik
keluar pintu! "Saudara kecil!" berseru Biauw Jin-hong. "Kau sendiri
memerlukan senjata! Lihatlah! Lihat aku, si buta, membasmi
kawanan bangsat ini!" Dengan mencekal senjata, Kim-bianhud
seakan-akan seekor harimau yang tumbuh sayap.
Goloknya menyambar-nyambar dengan dahsyatnya, sehingga
lima musuhnya terpaksa main petak lagi sambil mepet-mepet
di dinding ruangan itu.
Kelima musuh itu mengetahui, bahwa Biauw-kee Kiam-hoat
(ilmu pedang keluarga Biauw) lihai bukan main. Akan tetapi,
seorang yang pandai menggunakan pedang, jarang sekali bisa
menggunakan golok. Maka itu, mereka menduga, bahwa
walaupun sudah bersenjata, Kim-bian-hud tak akan bisa
berbuat banyak, karena senjata yang digunakan olehnya
bukan senjata yang biasa digunakan. Maka itu, dengan hati
lebih tabah, sembari membentak keras, mereka kembali
mengurung terlebih rapat.
Mendadak, dari luar berkelebat satu sinar terang dan
terbang masuk sebilah golok yang dilontarkan untuk orang
yang tadi goloknya kena direbut oleh Biauw Jin-hong. Begitu
memperoleh senjata, dengan geregetan dia menyerang Kimbian-
hud untuk menebus malu.
Sesaat itu, dengan kupingnya yang sangat tajam, Biauw
Jin-hong mengetahui, bahwa dari depan menyambar golok
dan dari samping kiri menyambar cambuk. Ia tetap berdiri
tegak, tidak berkelit dan juga tidak coba menangkis. Pada
waktu, kedua senjata itu hanya terpisah kira-kira setengah
kaki dari badannya, bagaikan kecepatan arus listrik, Biauwtayhiap
memutar badan sembari membacok tangan musuh
yang mencekal cambuk. Bacokan itu mengena jitu, sehingga
tulang tangan musuh putus dan cambuknya terlempar jatuh di
atas lantai. Orang yang bersenjata golok kaget bukan main
dan buru-buru loncat mundur, akan kemudian menggulingkan
diri di lantai untuk menyingkir sejauh mungkin.
Melihat pukulan Kim-bian-hud, Ouw Hui terperanjat. "Ah!
Itulah pukulan Yo-cu-hoan-sin (Elang Memutar Badan),"
katanya di dalam hati. "Terang-terang, pukulan itu adalah
pukulan dari Ouw-kee To-hoat (ilmu golok keluarga Ouw).
Bagaimana Biauw-tayhiap bisa menggunakannya secara
begitu bagus?"
Pemuda itu tentu saja tidak mengetahui, bahwa waktu dulu
mendiang ayahnya, Ouw It-to, pie-bu (bertanding) dengan
Biauw Jin-hong, kedua kesatria itu saling menghargai dan lalu
saling menurunkan ilmu silat masing-masing. Sebagai orang
berkepandaian tinggi, setelah mendapat petunjuk langsung
dari Ouw It-to, Biauw Jin-hong lantas saja dapat menyelami
intisarinya Ouw-kee To-hoat, sehingga dapat dimengerti, jika
pengetahuannya mengenai ilmu golok itu ada banyak lebih


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendalam daripada pengetahuan Ouw Hui yang hanya
menarik pelajaran dari kitab peninggalan mendiang ayahnya.
Demikianlah, dengan sekali gebrak saja, ia sudah berhasil
merobohkan satu musuh yang tangguh.
Empat musuh lainnya tentu saja kaget dan menjadi keder.
"Awas!" berteriak satu antaranya. "Si buta pandai
menggunakan golok!"
Mendengar itu, Tian Kui-long lantas saja ingat peristiwa di
tempo dulu, kapan Ouw It-to dan Biauw Jin-hong saling
menurunkan ilmu. "Dia menggunakan Ouw-kee To-hoat!"
berteriak Kui-long. "Semua orang harus berhati-hati!"
"Benar," kata Kim-bian-hud. "Hari ini kawanan tikus boleh
berkenalan dengan lihainya Ouw-kee To-hoat." Ia maju dua
tindak dan memapas dengan goloknya dengan menggunakan
pukulan Hway-tiong-po-goat (Memeluk Rembulan di Depan
Dada). Tapi pukulan itu hanyalah pukulan gertakan yang
segera disusul dengan Geng-bun-po-bun-tiat-san (Bertindak
Menghampiri Pintu dan Menutup Daun Pintu Besi), golok
menyodok dan membabat dan kembali satu musuh roboh
terguling, dengan pinggang tertebas golok.
"Benar, benar!" kata Ouw Hui dalam hatinya dengan
kegirangan yang meluap-luap. "Biauw-tayhiap memang benar
menggunakan Ouw-kee To-hoat. Sekarang baru aku
mengetahui, bahwa dua pukulan itu, yang satu gertakan dan
yang lain serangan sesungguhnya, dapat digunakan secara
begitu." Sesudah mendapat angin, Biauw Jin-hong tak kasih hati
pada sisa musuhnya dan terus menyerang dengan ilmu golok
keluarga Ouw. "See-ceng-pay-Hud (See Ceng Menyembah
Sang Buddha)!" ia berteriak dan satu musuh terbacok
pundaknya, sedang tombaknya terpapas kutung.
"Siang-po-cek-seng-to (Ilmu Golok Memetik Bintang)!"
berteriak pula Biauw-tayhiap dan lagi-lagi goloknya berhasil
mengutungkan kakinya satu musuh yang lantas saja roboh tak
bisa bangun lagi.
Tian Kui-long bingung. "Cian-sutee!" ia berteriak. "Keluar,
lekas keluar!"
Ketika itu dalam ruangan tersebut hanya ketinggalan satu
musuh yang dipanggil "Cian-sutee" (adik seperguruan she
Cian) oleh Tian Kui-long. Orang she Cian itu mengerti, bahwa
meskipun ia mengirim bala bantuan ke ruangan tersebut,
belum tentu Biauw Jin-hong bisa dirobohkan. Maka itu, ia
segera mengambil putusan untuk memancing Kim-bian-hud
keluar dari ruangan tersebut untuk dibekuk dengan
menggunakan rantai besi. Tapi, dengan Biauw-tayhiap selalu
mengadang di sekitar mulut pintu, orang she Cian itu tak
gampang-gampang bisa meloloskan diri. Biauw Jin-hong
mengetahui, bahwa orang she Cian itu adalah orang yang
sudah membokong dan melukai dengkulnya, sehingga dengan
geregetan ia terus mengirim serangan-serangan hebat. Dalam
sekejap ia sudah mendesak musuhnya sampai di pojok
ruangan, akan kemudian, dengan pukulan Coan-chiu-cong-to
(Melonjorkan Tangan Menyembunyikan Golok), ia membacok.
Trang! Golok musuh terbang ke tengah udara. Tapi orang she
Cian itu, lantas saja menggulingkan diri di atas lantai untuk
coba menoblos ke luar dari bawah meja. Tapi Biauw-tayhiap
yang sudah mata merah, sungkan memberi kesempatan pada
manusia licik itu. Ia menjemput satu kursi yang lantas
ditimpukkan ke orang itu. Sesaat itu, ia justru sedang
bergulingan keluar dari bawah meja. Prak! Kursi menyambar
tepat pada dadanya. Timpukan Biauw-tayhiap yang disertai
lweekang, hebat bukan main. Kursi hancur, tulang dada orang
she Cian itu patah dan ia menggeletak tanpa bergerak lagi.
Begitulah, dengan seorang diri Biauw-tayhiap sudah
merobohkan lima musuhnya yang sangat tangguh. Dalam
pada itu, ia mengetahui, bahwa walau bagaimanapun, orangorang
itu hanya merupakan alat Tian Kui-long dan sama sekali
tidak mempunyai permusuhan dengan dirinya sendiri. Maka
itu, menurunkan tangan, ia tidak berlaku kejam. Ia membatasi
diri, hanya melukai, tapi tidak mengambil jiwa musuhmusuhnya
itu. Sementara itu, tak usah dikatakan lagi, Tian Kui-long dan
konco-konconya jadi kaget tak kepalang. Sekarang baru
mereka mengakui, bahwa gelaran Tah-pian Thian-hee Bu-tekchiu
sungguh-sungguh bukan gelaran kosong. Jika Biauw Jinhong
bisa melihat, siang-siang mereka tentu sudah terpukul
mundur. Sesudah bisa menetapkan hatinya, Tian Kui-long
yang busuk lantas saja tertawa dan berkata dengan suara
nyaring, "Biauw Toako! Semakin lama, ilmu silatmu jadi
semakin tinggi. Siauwtee sungguh merasa kagum. Mari, mari!
Siauwtee ingin menggunakan Kiam-hoat Thian-liong-pay untuk
belajar kenal dengan Ouw-kee To-hoat." Sembari berkata
begitu, dengan lirikan mata, ia memberi isyarat kepada kaki
tangannya yang mencekal rantai panjang. Mereka lantas maju
ke depan dan yang lainnya lantas mundur ke belakang.
"Baiklah," jawab Biauw Jin-hong dengan pendek. Ia
mengerti, bahwa tantangan Tian Kui-long mesti ada buntutnya
yang berbahaya, meskipun begitu, sebagai seorang jago tulen,
tak mau ia menolak tantangan itu.
Tapi, sebelum ia bergerak, Ouw Hui sudah mendahului.
"Tahan!" katanya sembari mengadang di depan pintu. "Jika
kau ingin belajar kenal dengan Ouw-kee To-hoat, tak perlu
Biauw-tayhiap yang turun tangan sendiri. Aku sendiri sudah
cukup untuk memberi satu-dua petunjuk kepadamu!"
Tadi, setelah melihat Ouw Hui melemparkan dan
menyambuti golok, Kui-long sudah mengetahui, bahwa
pemuda itu bukan orang sembarangan. Akan tetapi, biar
bagaimana juga, ia sama sekali tak memandang sebelah mata
pun kepada Ouw Hui yang masih berusia begitu muda. Ia
tertawa dingin dan menanya, "Siapa kau" Sungguh besar
nyalimu, berani mementang bacot di hadapan Tian-toaya."
"Aku adalah sahabat Biauw-tayhiap," jawabnya. "Sesudah
menyaksikan Ouw-kee To-hoat, aku telah menghafalkan satudua
pukulan dan sekarang justru aku ingin mencoba-coba.
Hayolah!" Muka Tian Kui-long menjadi merah padam, bahana
gusarnya. Tapi, sebelum ia bisa membuka mulut lagi, Ouw Hui
sudah membentak. "Jagalah golokku!" Berbareng dengan
bentakannya, ia menyerang dengan pukulan Coan-chiu-congto,
yaitu pukulan yang tadi digunakan Biauw-tayhiap terhadap
"Cian-sutee". Kui-long mengangkat pedangnya dan
menangkis. Trang! Kedua senjata itu beradu keras. Badan KuiTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
long bergoyang-goyang, sedang Ouw Hui sendiri mundur
setindak. Tian Kui-long adalah ciangbunjin (pemimpin) dari partai
Thian-liong-bun. Ilmu pedang Thian-liong Kiam-hoat sudah
diyakinkannya kira-kira empat puluh tahun dan tenaga
dalamnya jauh lebih kuat daripada Ouw Hui. Maka itu, dalam
peraduan lweekang, Ouw Hui kalah setingkat. Akan tetapi,
bahwa pemuda itu hanya terhuyung setindak dan paras
mukanya sama sekali tidak berubah, adalah di luar dugaan
Kui-long. Melihat usia Ouw Hui yang masih begitu muda ia
menduga, bahwa dalam bentrokan senjata tadi, golok Ouw
Hui pasti akan terbang ke udara dan pemuda itu akan
memuntahkan darah, atau sedikitnya, mendapat luka di
dalam. Dengan mengandalkan ketajaman kupingnya, Biauw Jinhong
yang berdiri di belakang pintu, sudah mengetahui
bagaimana kesudahan gebrakan tadi. "Saudara kecil,"
katanya. "Kau sudah menggunakan Coan-chiu-cong-to dengan
bagus sekali. Akan tetapi, kelihaian Ouw-kee To-hoat terletak
pada pukulan-pukulannya yang sangat luar biasa dan bukan
mengandalkan tenaga untuk melawan tenaga. Saudara kecil,
kau minggirlah! Lihatlah, bagaimana aku si buta membereskan
dia!" Kata-kata Biauw-tayhiap itu bagaikan sinar terang yang
tiba-tiba muncul di tempat gelap. Ouw Hui lantas saja
mengerti, bahwa dengan caranya, tenaga melawan tenaga, ia
sebagai juga menggunakan kelemahannya sendiri untuk
menyerang bagian musuh yang kuat. Memikir begitu, lantas
saja ia berseru, "Sabar! Ouw-kee To-hoat yang tadi diperlihatkan
oleh Biauw-tayhiap, baru saja dijajal satu
pukulannya olehku. Masih ada beberapa puluh pukulan lain
yang belum kucoba." Ia memutarkan badan dan berkata
kepada Tian Kui-long, "Bagaimana" Apakah kau sudah
merasakan lihainya Coan-chiu-cong-to?"
"Anak kurang ajar!" bentak Kui-long. "Hayo minggir!"
"Jangan memandang rendah kepadaku," kata Ouw Hui.
"Jika aku tak bisa mengalahkan kau dengan Ouw-kee To-hoat,
aku bersedia untuk berlutut di hadapanmu. Tapi bagaimana
jika kau yang keok?"
Tian Kui-long merasakan dadanya seperti mau meledak.
"Aku juga akan berlutut di hadapanmu!" ia berteriak.
"Tak usah," kata Ouw Hui sembari tertawa. "Sudah cukup
jika kau melepaskan Ciong-sie Sam-hiong. Ilmu silat ketiga
saudara itu masih jauh lebih unggul daripada kau. Jika satu
melawan satu, mana kau bisa menempil dibandingkan dengan
mereka" Kemenanganmu selalu didapatkan dari
pengeroyokan. Cis! Tak tahu malu!" Ouw Hui sengaja berkata
begitu untuk memancing marah Tian Kui-long dan membantu
melampiaskan kegusaran Ciong-sie Sam-hiong. Ketiga saudara
itu yang terikat tangannya, merasa berterima kasih
mendengar perkataan pemuda itu.
Sebenarnya Tian Kui-long adalah seorang yang dalam
kelicikannya selalu berlaku hati-hati. Tapi ejekan Ouw Hui
sudah membikin ia tak bisa mempertahankan lagi
ketenangannya. "Hm! Jika kalah, kau ingin berlutut?" pikirnya,
dengan hati panas. "Hari ini, kau tak akan bisa terlolos dari
pedangku." Sebelum menyerang, ia maju tiga tindak sembari
mengebaskan tangan kirinya dan mencekal pedangnya eraterat
dalam tangan kanan. Walaupun sedang gusar, ia tidak
berlaku ceroboh dan begitu menyerang, ia segera
mengeluarkan ilmu pedang Thian-liong-bun yang sangat lihai.
Melihat pemimpinnya sudah mulai bergebrak, semua kaki
tangannya segera mundur sembari mengangkat obor mereka
tinggi-tinggi guna menerangi gelanggang pertempuran.
"Hway-tiong-po-goat! Geng-bun-po-pit-bun-tiat-san!" seru
Ouw Hui sembari membuka dua serangan, yang pertama
adalah serangan gertakan, yang kedua baru serangan
sungguh-sungguh. Sebagaimana diketahui, dua pukulan itu
telah digunakan tadi oleh Biauw Jin-hong.
Tian Kui-long berkelit dan balas menikam.
"Biauw-tayhiap!" seru Ouw Hui. "Bagaimana pukulan yang
berikutnya" Aku sudah tak kuat menghadapi dia!"
Waktu Ouw Hui berseru "Hway-tiong-po-goat" dan "Gengbun-
po-pit-bun-tiat-san", Kim-bian-hud sama sekali tak dapat
mendengar apa juga yang luar biasa. Ouw Hui tak membuat
kesalahan, gerakannya adalah sesuai dengan kemestiannya.
Dilihat luarnya, Ouw-kee To-hoat hampir tiada bedanya
dengan ilmu-ilmu golok lain. Keistimewaannya terletak pada
perubahannya yang aneh dan tak dapat diduga terlebih dulu.
Dalam Ouw-kee To-hoat, setiap serangan mengandung
pembelaan diri dan dalam setiap gerakan membela diri
tersembunyi serangan.
Sesaat itu, mendengar pertanyaan Ouw Hui, alis Biauwtayhiap
berkerut. "See-ceng-pay-Hud!" ia menjawab.
Ouw Hui lantas saja menyerang dengan pukulan See-cengpay-
Hud. Kui-long mengegos dan berbareng mengirim
serangan balasan. Sebelum ujung pedang itu mendekati
pergelangan tangan Ouw Hui, Biauw Jin-hong sudah berteriak,
"Yo-cu-hoan-sin!"
Cepat bagaikan kilat, Ouw Hui membacok dengan gerakan
Yo-cu-hoan-sin. Kui-long meloncat mundur dengan hati
mencelos, tapi tak urung, ujung bajunya kena dirobek juga
oleh golok Ouw Hui.
Muka orang she Tian itu lantas saja berubah merah, karena
malu dan keder. Sembari mengempos semangatnya, ia segera
mengirimkan tiga serangan berantai, yang cepat luar biasa.
"Aku mau melihat, apakah Biauw Jin-hong masih keburu
memberikan petunjuk," katanya di dalam hati.
"Celaka!" Kim-bian-hud mengeluarkan seruan tertahan,
karena ia tahu, bahwa tiga serangan itu dahsyat luar biasa.
Tapi di lain detik, dengan hati lega, ia mendengar gelak
tertawa Ouw Hui. "Biauw-tayhiap," kata pemuda itu. "Aku
sudah terlolos dari serangannya. Sekarang bagaimana aku
harus balas menyerang?"
"Kwan-peng-hian-in," jawab Kim-bian-hud.
"Baik!" kata Ouw Hui sembari menyerang dengan pukulan
Kwan-peng-hian-in (Kwan Peng Mempersembahkan Cap
Kebesaran). Bacokan itu hebat sekali, tapi karena Biauw Jin-hong sudah
memberitahukan lebih dulu, Tian Kui-long dapat menyingkir
dengan mudah. Tapi Ouw Hui tak berhenti sampai di situ,
Kwan-peng-hian-in disusul dengan pukulan Ya-ca-tam-hay
(Setan Jahat Menyelam ke Laut). Selagi goloknya menyambar,
Biauw Jin-hong pun berteriak, "Ya-ca-tam-hay!"
Baru bergerak belasan jurus, Tian Kui-long sudah jadi repot
dan berada di bawah angin. Semua kawannya yang
menyaksikan pertempuran itu menjadi khawatir. Dengan
geregetan, Kui-long mengubah cara bersilatnya, pedangnya
menyambar-nyambar membabat dan menikam bagaikan kilat.
Ouw Hui lantas saja mengeluarkan seantero kepandaiannya
untuk menghadapi kecepatan dengan kecepatan. Sementara
itu, Biauw Jin-hong tiada hentinya memberi komando dan
setiap pukulan yang disebutnya tidak berbeda dengan pukulan
yang dilakukan Ouw Hui. Melihat begitu, mau tak mau para
kaki tangan Tian Kui-long menjadi kagum tereampur heran.
Tapi sebenar-benarnya, kejadian itu tak begitu
mengherankan seperti dianggap orang. Harus diketahui,
bahwa pada akhir Kerajaan Beng dan permulaan Dinasti Ceng,
ilmu silat dari keluarga Ouw, Biauw, Hoan, dan Tian menjagoi
di seluruh Tiong-kok. Sebagai seorang pendekar besar pada
zaman itu, Biauw Jin-hong mengenal berbagai macam ilmu
pedang dan paham benar akan ilmu pedang Thian-liong-bun.
Dalam pertempuran antara Tian Kui-long dan Ouw Hui,
walaupun matanya tak bisa melihat, tapi dengan mendengar
kesiuran anginnya saja, ia sudah mengetahui, apa yang
dilakukan oleh kedua belah pihak. Sesaat itu, Ouw Hui sedang
bertempur dengan menggunakan seluruh kepandaiannya dan


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dapat dibayangkan, bahwa gerakan-gerakannya cepat
bagaikan kilat. Dalam gerakan-gerakan yang secepat itu, tak
mungkin lagi baginya untuk menunggu komando Biauw Jinhong.
Tapi kenapa komando Biauw Jin-hong selalu cocok dengan
pukulan-pukulannya"
Sebagaimana diketahui, Ouw-kee To-hoat yang dipelajari
Ouw Hui adalah sama dengan Ouw-kee To-hoat yang
dipelajari Kim-bian-hud. Sebagai ahli-ahli silat kelas utama
pada zaman itu, jalan pikiran dan pendapat kedua orang
tersebut juga tak berbeda. Apa yang dipikirkan Ouw Hui,
terpikir juga oleh Biauw Jin-hong. Itulah sebabnya, mengapa
mereka bisa mencapai suatu persesuaian yang total dan di
mata orang banyak, kejadian itu mengherankan tak habisnya.
Makin lama, Tian Kui-long jadi semakin bingung. "Apakah
bocah ini murid Biauw Jin-hong?" ia menanya dirinya sendiri.
"Apakah Biauw Jin-hong hanya pura-pura buta dan bisa
melihat dengan tegas lewat lapisan kain itu?"
Sedang hatinya semakin keder, serangan Ouw Hui jadi
semakin cepat. Ketika itu, Biauw Jin-hong sendiri sudah tak
dapat membedakan serangan-serangan mereka dan ia sudah
menghentikan komandonya. Ia berdiam dan banyak
pertanyaan muncul di dalam hatinya, "Siapakah pemuda itu"
Bagaimana ia bisa begini mahir dalam Ouw-kee To-hoat"
Siapa gurunya?"
Jika kedua matanya bisa melihat, ia tentu lantas saja
menduga, bahwa pemuda itu adalah ahli waris tulen dari
Liaotong-tayhiap Ouw It-to!
Sementara itu, gelanggang pertempuran, semakin lama
sudah jadi semakin luas, karena semua orang mundur
semakin jauh, khawatir kesambar senjata. Suatu ketika, selagi
memutarkan badan, Ouw Hui melihat, bahwa Thia Leng-so
sedang berdiri di dalam gelanggang dan mengawasi dirinya
dengan sorot mata penuh kekhawatiran. Entah bagaimana,
pada detik itu, ia ingat perkataan si tukang besi dan tanpa
merasa, ia menengok kepada si nona sembari bersenyum.
Mendadak, ia membentak sembari menyerang, "Hwaytiong-
po-goat sebenarnya satu serangan gertakan!" Hampir
berbareng, dengan satu suara trang! pedang Tian Kui-long
terlempar jatuh di lantai, sedang lengannya menyemburkan
darah. Ia terhuyung beberapa tindak dan mulutnya
memuntahkan darah.
Kenapa bisa terjadi begitu"
Sebagaimana diketahui, Hway-tiong-po-goat memang juga
adalah serangan gertakan yang selalu disusul dengan pukulan
Geng-bun-po-pit-bun-tiat-san, yaitu pukulan yang
sesungguhnya. Kedua pukulan itu sudah digunakan satu kali
oleh Biauw Jin-hong dan satu kali lagi oleh Ouw Hui sendiri,
sehingga Tian Kui-long sudah mengenalnya.
Maka itu, begitu lekas ia mendengar bentakan "Hway-tiongpo-
goat sebenarnya satu serangan gertakan", secara otomatis
ia segera bersiap untuk menyambut Geng-bun-po-pit-bun-tiatsan.
Tapi ia tidak mengetahui bahwa kelihaian Ouw-kee Tohoat
justru terletak pada perubahannya yang tak diduga-duga.
Setiap pukulan gertakan bisa berubah menjadi pukulan
sungguh-sungguh dan begitu juga sebaliknya. Demikianlah,
Hway-tiong-po-goat berubah menjadi pukulan sungguhsungguh
dan golok Ouw Hui tepat mengenai pergelangan
tangan Tian Kui-long. Hampir berbareng dengan terlukanya
musuh, tangan kiri Ouw Hui menyambar dan mampir telak
pada orang she Tian itu.
"Ah! Kenapa kau begitu terburu nafsu?" tanya Ouw Hui
dengan suara mengejek. "Tadi aku belum selesai bicara.
Sebetulnya aku ingin mengatakan begini, Hway-tiong-po-goat
sebenarnya satu serangan gertakan, tapi bisa juga berubah
menjadi serangan sungguhan. Rupanya kau merasa tak sabar
untuk mendengar bagian terakhir dari omonganku itu!"
Tian Kui-long tak bisa meladeni lagi ejekan itu. Kepalanya
pusing, dadanya sesak, seperti juga mau memuntahkan darah
lagi. Ia mengetahui, bahwa sekali ini ia sudah menampak
kegagalan dan mendapat malu besar. Di samping itu, ia pun
menduga, bahwa Biauw Jin-hong hanya berlagak buta.
Maka itulah, sembari mengerahkan lweekangnya untuk
coba mempertahankan diri, ia menuding ke arah Ciong-sie
Sam-hiong dan memberi isyarat dengan gerakan tangan,
supaya ketiga saudara Ciong itu segera dilepaskan. Sesudah
itu, sambil mengebaskan tangan, ia memutarkan badan untuk
mengangkat kaki. Sesaat itu dadanya menyesak hebat dan
"uwa!" ia memuntahkan darah lagi.
Nona cilik yang tadi melepaskan pusut kepada Leng-so,
menubruk dan berkata dengan suara duka, "Ayah, marilah kita
berangkat!" Ia itu adalah putri Tian Kui-long yang didapatnya
dari istri pertama. Kui-long menghela napas dan memanggutmanggutkan
kepalanya. Sesudah pemimpinnya dirobohkan,
walaupun berjumlah banyak, kaki tangan orang she Tian itu
jadi kuncup nyalinya.
Biauw Jin-hong sendiri lalu masuk ke ruangan tadi dan
melemparkan ke luar lima musuhnya yang terluka, yang lalu
disambut oleh kawan-kawan mereka.
Sebelum rombongan musuh itu mengangkat kaki,
mendadak terdengar seruan Leng-so, "Nona kecil, ambil
pulanglah tiat-tuimu!" ia mengayunkan tangannya dan pusut
besi itu terbang ke arah putri Kui-long. Tanpa menengok,
dengan gerakan yang indah dan lincah nona cilik itu
menyambuti pusutnya. Tapi, baru tereekal, ia sudah
melemparkan lagi pusut itu sembari melompat tinggi.
Ouw Hui tertawa bergelak-gelak. "Cek-kiat-hun!" katanya.
Leng-so menengok dan juga tertawa. Memang juga,
sebagai pembalasan budi, ia telah memoles senjata rahasia itu
dengan bubuk Cek-kiat-hun.
Dalam tempo sekejap, Tian Kui-long dan gundal-gundalnya
sudah berlalu dari rumah Biauw Jin-hong dan keadaan kembali
berubah sunyi. "Biauw-tayhiap," kata Ciong Tiauw-eng dengan suara
nyaring. "Kawanan penjahat sudah mabur dan mereka tentu
tidak berani menyatroni lagi. Kami bertiga saudara merasa
malu sekali, karena tak dapat melindungi kau. Kami hanya
berharap supaya kedua matamu akan segera menjadi
sembuh." Ia berpaling kepada Ouw Hui dan berkata pula,
"Saudara kecil, kami merasa beruntung sekali, bahwa kita
telah bisa mengikat tali persahabatan. Jika di lain kali, kau
memerlukan tenaga kami, biarpun mesti mati, kami pasti akan
membantu dengan sekuat tenaga." Sehabis Tiauw-eng
berkata begitu, mereka bertiga lantas saja memberi hormat,
kemudian berlalu dengan tindakan cepat.
Ouw Hui mengetahui, bahwa sebab kena ditawan, mereka
hilang muka dan merasa malu untuk berdiam lama-lama lagi.
Maka itu, ia tidak mencegah dan hanya balas memberi
hormat. Biauw Jin-hong yang tidak suka banyak bicara, juga
hanya mengangkat kedua tangannya sebagai pernyataan
terima kasih untuk budinya ketiga saudara itu. Ia mengetahui,
bahwa rombongan Tian Kui-long pergi ke jurusan utara,
sedang Ciong-sie Sam-hiong berjalan ke arah selatan.
Sesaat kemudian, Leng-so tertawa seraya berkata, "Kalian
berdua memiliki ilmu silat yang luar biasa tinggi. Seumur
hidup, belum pernah aku melihat kepandaian seperti itu.
Biauw-tayhiap, marilah masuk. Aku ingin memeriksa kedua
matamu." Mereka lantas saja masuk ke dalam dan Ouw Hui lalu
membereskan meja kursi yang kalang kabut serta menyalakan
lampu. Leng-so sendiri lalu membuka ikatan mata Biauw Jinhong
dan mulai memeriksa mata itu dengan teliti.
Hati Ouw Hui berdebar-debar. Kedua matanya mengawasi
muka si nona untuk mencari tahu, apa mata Biauw-tayhiap
masih bisa ditolong. Tapi muka nona Thia hanya
memperlihatkan paras sungguh-sungguh, sama sekali tidak
menunjuk kejengkelan atau kegirangan, sehingga ia sukar
meraba-raba. Biauw Jin-hong adalah seorang yang bernyali besar. Tapi
pada saat itu, tak urung jantungnya memukul lebih keras.
Sesudah lewat beberapa lama, Leng-so masih terus
memeriksa, tanpa mengeluarkan sepatah kata.
"Nona," kata Kim-bian-hud sembari tertawa. "Racun itu
sudah lama sekali mengeram di mataku. Jika sukar ditolong,
Nona boleh memberitahukan saja tanpa ragu-ragu."
"Tak sukar untuk menyembuhkan mata itu sehingga
bersamaan mata orang biasa," sahut si nona. "Tapi Biauwtayhiap
bukan orang biasa."
"Kenapa begitu?" tanya Ouw Hui dengan perasaan heran.
"Biauw-tayhiap adalah seorang yang bergelar Tah-pian
Thian-hee Bu-tek-chiu," menerangkan si nona. "Ia mempunyai
ilmu silat yang sangat tinggi dan kedua matanya tentu saja
berbeda dengan mata kebanyakan orang. Selain itu, seorang
yang memiliki lweekang tinggi, kedua matanya bersinar
terang, bersemangat dan bersorot angker. Bukankah sayang
sekali, jika aku tak dapat memulihkan sinar dan keangkeran
mata itu?"
Biauw-tayhiap tertawa bergelak-gelak. "Perkataanmu
sangat luar biasa dan kepandaianmu tentu juga luar biasa
pula," katanya. "Apakah aku boleh mendapat tahu, pernah
apakah kau dengan It-tin Thaysu?"
Si nona kelihatan agak terperanjat dan segera menjawab,
"Kalau begitu, Biauw-tayhiap adalah sahabat dari mendiang
guruku ...."
"Apakah It-tin Thaysu sudah berpulang ke alam baka?"
tanya Kim-bian-hud dengan suara kaget.
"Benar," jawabnya sembari mengangguk.
Mendadak, Biauw Jin-hong berbangkit dan berkata,
"Tunggu dulu. Aku ingin bicara dengan Nona."
Melihat sikap orang yang luar biasa, Ouw Hui menjadi
heran. "Guru Thia Kouwnio bergelar Bu-tin," katanya di dalam
hati. "Kenapa Biauw Tayhiap mengatakan It-tin?"
"Dulu antara gurumu dan aku telah terjadi satu sengketa
kecil," kata Biauw Jin Hong. "Dalam hal itu, aku sudah berlaku
kurang ajar dan melukai gurumu itu."
"Ah!" kata Leng So. "Tangan kiri mendiang guruku hilang
dua jerijinya. Apa jeriji itu diputuskan oleh Biauw Tayhiap?"
"Tak salah," jawabnya. "Tapi gurumu segera membalas
secara kontan, sehingga dapat dikatakan tak ada yang kalah,
tak ada yang menang. Maka itulah, waktu saudara kecil itu
ingin pergi pada gurumu untuk meminta obat, aku sudah
mencegah karena merasa bahwa usaha itu akan mendapat
kegagalan. Aku tadinya menduga, bahwa kedatang-an nona di
had ini adalah atas perintah gurumu yang ingin membalas
kejahatan dengan kebaikan. Tapi tak dinyana, gurumu
sebenarnya sudah meninggal dunia dan nona tentu tidak
mengetahui adanya peristiwa itu."
"Tidak, aku tidak mengetahui," kata Leng So.
Biauw Jin Hong segera masuk ke dalam dan ke luar lagi
dengan membawa satu kotak besi kecil yang lalu diangsurkan
kepada Leng So. "Inilah barang peninggalan mendiang
gurumu. Bukalah! Nona akan segera mengenalnya!"
Kotak itu sudah karatan, sehingga bisa diduga, sudah
disimpan lama sekali. Leng So membuka tutupannya dan
ternyata, di dalamnya terdapat tu-lang seekor ular kecil dan
satu peles dengan tulisan: Obat pemunah racun ular. Si nona
mengenali, bah-wa peles itu adalah milik gurunya, tapi ia tak
dapat menebak, apa artinya tulang ular itu.
Biauw Jin Hong tertawa tawar seraya berkata: "Karena
bereekeok, gurumu dan aku segera bertem-pur. Pada esok
harinya, ia memerintahkan satu orang untuk menyerahkan
kotak itu kepadaku, dengan pesan begini: 'Jika kau
mempunyai nyali, bukalah kotak ini. Jika kau tak berani,
lemparkanlah kotak ini ke dalam sungai.' Tentu saja aku
segera membukanya. Begitu terbuka, dari dalam kotak ke luar
seekor ular kecil yang lantas menggigit be-lakang tanganku.
Racun ular itu hebat luar biasa. Dengan kontan, tanganku
kesemutan. Masih un-tung, gurumu mengirimkan juga
obatnya. Sesudah makan obat itu, jiwaku ketolongan, tapi
masih harus menderita kesakitan yang sangat hebat." Sesudah
memberi keterangan, Kim-bian-hud lantas saja tertawa
terbahak-bahak.
Ouw Hui dan Leng So saling mengawasi sem-bari tertawa.
Mereka merasa geli dengan gerak-gcriknya Tok-chiu Yo-ong
yang luar biasa itu.
"Sekarang aku sudah menerangkan apa yang harus
diterangkan," kata pula Biauw Jin Hong. "Aku adalah seorang
yang tak suka menarik keuntungan secara diam-diam. Dengan
hati yang sangat mulia, nona sudah bersedia untuk menolong
aku. Akan tetapi, sekarang aku mengetahui, bahwa kedatangan
nona bukan atas perintah mendiang gurumu. Bahwa nona
sudah sudi memberi pertolongan, dengan jalan ini aku
menghaturkan banyak-banyak terirna kasih." Sehabis berkata
begitu, ia menyoja dan menghampiri pintu, seperti juga orang
meng-antarkan berangkatnya satu tetamu.
Bukan main kagumnya Ouw Hui. Sikap itu adalah sikap
kesatria tulen. Sungguh tak malu, Biauw Jin Hong bergelar
"Tayhiap" (pendekar be-sar).
Tapi Thia Leng So sama sekali tidak bergerak. "Biauw
Tayhiap," katanya dengan suara terharu. "Guruku sudah tidak
menggunakan lagi gelaran It-tin."
"Apa?" menegas Kim-bian-hud.
"Pada sebelum menjadi orang beribadat, guruku
mempunyai adat yang sangat jelek," kata si nona. "Kejelekan
itu sudah diketahui oleh Biauw Tayhiap. Sesudah memeluk
agama, ia menggunakan nama Thaytin. Belakangan, setelah
mendapat kemajuan dalam pelajaran kebatinan, ia merubah
namanya menjadi It-tin. Jika pada waktu bertempur dengan
Biauw Tayhiap, guruku masih menggunakan nama gelaran
Tay-tin, di dalam kotak itu tentulah juga tidak terdapat peles
obat." Biauw Jin Hong mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah
kata. "Pada waktu menerima aku sebagai murid, Suhu
menggunakan nama Wie-tin," kata pula Leng so. "Tiga tahun
berselang, barulah ia merubah namanya menjadi Bu-tin.
Biauw Tayhiap, dengan kata-kata-mu yang barusan, kau
sungguh memandang guruku terlalu rendah."
Mendengar itu, Biauw Jin Hong mengeluarkan seruan "ah!"
Leng So mesem dan lalu meneruskan per-kataannya:
"Sebelum berpulang ke alam baka, guruku sudah memperoleh


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kesadaran. Ia sudah men-capai ketenangan yang wajar, bebas
dari kegusaran (Bu-tin) dan bebas pula dari kegirangan (Buhie).
Maka itu, sangat tak bisa jadi kalau Suhu masih menaruh
dendam terhadap Biauw Tayhiap karena sengketa yang tak
ada artinya itu."
Kim-bian-hud jadi girang bukan main. Ia menepuk dengkul
sembari berseru: "Aduh! Benar-benar aku sudah memandang
terlalu rendah kepada sahabatku itu! Sesudah berpisah
belasan tahun, ia telah memperoleh kemajuan yang sangat
jauh, tak seperti Biauw Jin Hong yang masih di situ juga.
Nona, kau she apa?"
"Aku she Thia," jawabnya sembari mesem dan lalu
mengeluarkan satu kotak kayu dari bungkusan-nya. Ia
membuka kotak itu, mengambil satu pisau kecil dan sebatang
jarum emas. "Biauw Tayhiap," kata si nona. "Harap kau sudi
mengendurkan semua otot-otot dan jalan darah."
"Baiklah," jawabnya.
Melihat Leng So menghampiri Kim-bian-hud dengan
membawa pisau dan jarum, jantung Ouw Hui memukul keras.
"Biauw Tayhiap dan To-chiu Yo-ong mempunyai permusuhan,"
pikirnya. "Hati orang Kang-ouw sukar ditaksir. Jika ada orang
yang mengatur siasat busuk dan meminjam tangan Thia
Kouwnio untuk turun tangan jahat, bukankah untuk kedua
kalinya aku Ouw Hui menjadi alat pembunuh orang" Dengan
semua otot dan jalan darah diken-durkan, jika sekali totok
saja, jiwa Biauw Tayhiap bisa melayang."
Selagi ia bimbang tiba-tiba Leng So menengok sambil
mengangsurkan pisau kecil itu. "Tolong pe-gang," katanya.
Sesaat itu, ia melihat paras muka Ouw Hui yang luar biasa.
Sebagai orang yang sangat cerdas, lantassaja
iadapatmenebakapayangdipikir oleh pemuda itu. "Biauw
Tayhiap sama sekali tidak berkhawatir, kenapa kau masih
bereuriga?" tanya-nya sembari tertawa.
"Jika aku yang diobati olehmu, sedikit pun aku tidak merasa
khawatir," jawab Ouw Hui berterus terang.
"Ouw Toako," kata si nona, "Katakanlah, apa aku manusia
baik atau manusia jahat?"
Ditanya begitu, Ouw Hui tergugu. "Tentu saja kau seorang
baik," jawabnya.
Leng So merasa senang dan ia tertawa girang. Dengan
kulitnya yang berwarna kuning dan badan-nya yang kurus
kering. Thia Leng So tak bisa dikatakan satu wanita cantik.
Tapi tertawanya mempunyai daya penarik yang sangat luar
biasa. Tertawa itu yang wajar, bersih dan bebas dari segala
ke-kotoran dunia, seakan-akan angin musim semi yang sejuk
di atas bumi yang panas ini. Begitu melihat tertawanya si
nona, Ouw Hui merasakan dadanya lapang dan bebas dari
setiap kekhawatiran.
"Apa benar-benar kau pereaya padaku?" tanya si nona.
Mendadak, paras mukanya bersemu dadu, ia melengos dan
tak berani mengawasi lagi kedua mata Ouw Hui.
Ouw Hui jadi jengah sendiri. Ia mengangkat tangannya dan
menggampar pipi sendiri. "Biarlah aku hajar bocah yang
kurang ajar ini!" katanya. Tiba-tiba hatinya berdebar. 'Kenapa
sesudah bicara, Leng So melengos dengan paras muka
merah"' tanyanya dalam hati. Memikir begitu, ia jadi ingat
perkataan si tukang besi.
Sementara itu, dengan menggunakan jarum emas, si nona
sudah menusuk jalan darah Yang-pek-hiat di atas mata Biauw
Jin Hong, jalan darah Gan-beng-hiat di pinggir mata dan Sinkie-
hiat di bawah mata. Sesudah itu, ia membuat satu operasi
kecil di bawah jalan darah Sin-kie hiat dan ke mudian
menusuk lubang itu dengan jarum emas Begitu lekas si nona
mengangkat jempolnya yanj menutupi pantat jarum, darah
hitam lantas saj; mengalir ke luar. Ternyata, jarum itu
berlubang d? tengah-tengahnya. Perlahan-lahan darah hitam
yang mengalir ke luar, berubah ungu dan dari ungu berubah
menjadi merah. Sesudah selesai dengan mata yang satu, ia
mengulangi pada mata yang lain. Ouw Hui mengetahui,
bahwa keluarnya darah yang berwarna merah adalah tanda,
bahwa racun yang mengeram sudah ke luar semua. "Bagus!"
katanya dengan suara girang.
Leng So Kemudian memetik empat lembar dauri Cit-sim
Hay-tong yang lalu dihancurkan dan han-curan itu
ditempelkan pada kedua mata Biauw Jin Hong. Begitu kena,
otot-otot pada muka Kim-bian-hud bergerak dan kursi yang
diduduki olehnya, berkisar sedikit. "Biauw Tayhiap," kata Leng
So. "Menurut Ouw Toako, kau mempunyai satu Cian-kim
(gadis) yang sangat cantik. Di mana ia berada sekarang?"
"Oleh karena di sini tak aman, aku menitipkan dia di rumah
tetangga," jawabnya.
"Sekarang sudah selesai," kata si nona sembari mengikat
kedua mata Biauw Jin Hong yang di-bubuhkan hancuran daun
obat dan dibalut dengan sobekan kain. "Lewat tiga hari, rasa
sakit akan hilang dan begitu lekas Biauw Tayhiap merasakan
kegatalan luar biasa, bukalah ikatan ini dan kedua matamu
akan sudah sembuh seluruhnya. Sekarang, pergilah mengaso.
Ouw Toako! Mari kita menanak nasi."
Biauw Jin Hong berbangkit seraya berkata: "Saudara kecil
aku ingin mengajukan satu per-tanyaan. Pernah apakah Liaotong
Tayhiap Ouw It To dengan kau" Peh-hu atau siok-hu"
(Peh-hu berarti paman yang usianya lebih tua dari ayah,
sedang Siok-hu berarti paman yang usianya lebih muda dari
ayah)." Harus diketahui, bahwa meskipun tak bisa meiihat, dengan
menggunakan ketajaman kuping, Biauw Jin Hong mengetahui,
bahwa kemahiran Ouw Hui dalam menggunakan Ouw-kee Tohoat,
tak nanti dapat dilakukan oleh orang lain, kecuali ahli
waris tulen dari keluarga Ouw. Ouw It To mempunyai satu
putera, tapi sepanjang pengetahuannya, putera itu sudah mati
tenggelam di dalam sungai. Maka itulah, ia menduga, bahwa
Ouw Hui adalah ke-ponakan dari Liao-tong Tayhiap.
Ouw Hui tertawa sedih. "Ouw It To bukan Peh-hu dan juga
bukan Siok-huku," jawabnya.
Biauw Jin Hong merasa sangat heran, karena ia yakin,
bahwa Ouw-kee To-hoat tak akan sem-barangan diturunkan
kepada orang luar. "Pernah apakah kau dengan Ouw It To,
Ouw tayhiap?" ia tanya lagi.
Ouw Hui merasa duka, tapi karena ia masih belum dapat
membuka tabir rahasia yang menyc-lubungi hubungan
mendiang ayahnya dan Biauw Jin Hong, maka ia tak mau
lantas bicara sebenarnya. "Ouw Tayhiap," ia menegas.
"Mereka sudah meninggal dunia lama sekali. Mana aku
mempunyai rejeki begitu besar untuk mengenalnya?" Ouw Hui
mengucapkan kata-kata itu dengan suara sedih. 'Jika aku bisa
memanggil ayah dan ibu dan sekali saja mereka bisa
menjawab panggilanku, aku sudah merasa sangat puas dan
tidak menginginkan suatu apa lagi dalam dunia ini,' katanya di
dalam hati. Biauw Jin Hong berdiri bengong dan kemudian ia berjalan
masuk ke dalam kamar dengan tindakan perlahan.
Melihat paras muka Ouw Hui yang guram, dalam hati Leng
So segera timbul satu keinginan untuk menggembirakannya.
"Ouw Toako," katanya. "Kau sudah capai sekali. Duduklah!"
"Aku tak capai," jawabnya.
"Kau duduklah," mendesak si nona. "Aku mau bicara."
Ouw Hui tidak membantah lagi, tapi baru saja pantatnya
menyentuh kursi, mendadak terdengar suara kedubrakan dan
kursi itu berantakan jatuh di lantai menjadi beberapa potong.
Leng So menepuk-nepuk tangan dan berseru sembari
tertawa: "Aduh! Kerbau yang beratnya lima ratus kati, tak
seberat badanmu!"
Sebagai orang yang berkepandaian tinggi, ke-dua kaki Ouw
Hui sangat teguh dan biarpun kursi itu berantakan secara
mendadak, ia tak sampai turut jatuh terguling. Tapi ia
sungguh merasa heran dan tak mengerti, bagaimana bisa
terjadi begitu.
Leng So tertawa dan lalu memberi keterangan. "Daun Citsim
Hay-tong yang ditempel di mata, mengakibatkan
kesakitan yang sepuluh kali lebih hebat daripada luka biasa.
Jika kau yang kena, mungkin kau akan berteriak setinggi
langit." Ouw Hui turut tertawa dan sekarang baru ia mengerti,
bahwa untuk menahan sakit Biauw Jin Hong telah
mengerahkan tenaga dalamnya yang mengakibatkan
hancurnya kursi itu.
Sesudah itu, dengan gembira kedua orang muda tersebut
menanak nasi dan memasak liga rupa sa-/ur, kemudian
mengundang Biauw Jin Hong untuk makan bersama-sama.
"Apa aku boleh minum arak?" tanya Kim Biau Hud sesudah
menghadapi meja makan.
"Boleh," jawab Leng So. "Sama sekali tak ada pantangan."
Biauw Jin Hong lalu mengambil tiga botol arak yang
kemudian ditaruh di depan setiap orang. "Tuanglah sendiri,
jangan sungkan-sungkan," katanya sembari menuang satu
botol ke dalam mangkok yang lalu diteguk kering isinya.
Ouw Hui yang doyan arak, juga lantas meminum setengah
mangkok. Leng So sendiri tak minum arak, tapi ia menuang
setengah botol ke dalam mangkok dan lalu menyiram Cit-sim
Hay-tong dengan arak itu. "Inilah rahasianya," kata si nona.
"Jika kena air, pohon ini akan segera mati. Itulah sebabnya,
sesudah berusaha belasan tahun, saudara-saudara
seperguruanku masih belum bisa menanamnya." Sem-bari
berkata begitu, ia menuang sisa arak yang setengah botol !agi
ke mangkok Biauw Jin Hong dan Ouw Hui.
Sekali lagi Biauw Tayhiap mengangkat mang-kok dan
mencegluk isinya. Dikawani oleh dua jago muda yang sudah
menolong dirinya, hatinya gem-bira bukan main. "Saudara
Ouw," katanya. "Siapa vang ajarkan kau Ouw-kee To-hoat?"
"Tak ada yang ajar," jawabnya. "Aku mempe-lajari itu dari
satu kitab ilmu silat."
"Hm," menggerendeng Biauw Tayhiap sembari
mengangguk. "Belakangan aku bertemu dengan Tio Sam tong-kee dari
Ang-hoa-hwee," kata pula Ouw Hui "la telah menurunkan
beberapa rahasia dari ilmu silat Thay-kek-kun kepadaku."
Biauw Jin Hong menepuk dengkul. "Apakah Cian-ciu Jie-lay
(Buddha Seribu Tangan) Tio Poan San, Tio Sam-tong-kee?"
tanyanya. "Benar," sahutnya.
"Tak heran!" kata Kim-bian-hud. "Kalau begitu, tak heran."
"Kenapa?" tanya Ouw Hui.
"Selama hidup, aku selalu mengagumi kekesa-triaannya
Tan Cong-to-cu (pemimpin besar dari Ang-hoa-hwee, Tan Kee
Lok)," jawabnya. "Aku juga mengagumi semua orang gagah
dalam Ang-hoa-hwee. Hanya sayang, mereka sekarang sudah
menyembunyikan diri di Hui-kiang, sehingga aku masih belum
mendapat kesempatan untuk menemui mereka. Hal ini adalah
kejadian yang selalu dibuat menyesal olehku."
Mendengar penghargaan terhadap Ang-hoa-hwee, Ouw Hui
jadi girang sekali.
Sekonyong-konyong, sesudah mencegluk arak, Biauw
Tayhiap berbangkit dan mengambil sebatang golok yang
terletak di atas meja teh. "Saudara Ouw," katanya dengan
suara terharu. "Dulu, aku pernah bertemu dengan seorang
kesatria, she Ouw ber-nama It To. Ia telah menurunkan ilmu
golok Ouw-kee To-hoat kepadaku. Hari ini, ilmu golok yang
digunakan olehku untuk merubuhkan musuh dan ilmu golok
yang digunakan olehmu untuk merubuhkan Tian Kui Long,
adalah Ouw-kee To-hoat. Ha-ha! Sungguh indah, sungguh
indah Ouw-kee To-hoat!"
Tiba-tiba ia dongak dan mengeluarkan satu teriakan yang
panjang dan nyaring. Di lain saat, bagaikan seekor burung,
tubuhnya "terbang" ke luar pintu dan begitu kedua kakinya
hinggap di atas bumi, ia segera bersilat dengan Ouw-kee Tohoat.
Ouw Hui mengawasi dengan menumpahkan seluruh
perhatiannya. Ia mendapat kenyataan, bah-wa setiap gerakan
Kim-bian-hud adalah sesuai dengan apa yang tereatat dalam
kitab ilmu silat yang berada dalam tangannya. Perbedaannya
adalah, gerakan golok itu lebih ringkas dan lebih perlahan dari
apa yang ia biasa lakukan. Ia menganggap, bahwa Biauw Jin
Hong sengaja memperlambat ge-rakannya supaya dapat
dilihat olehnya secara lebih tegas.
Sesudah selesai bersilat, Kim-bian-hud berdiri tegak dan
berkata: "Saudara kecil, dengan kepan-daianmu yang
sekarang, secara mudah kau akan dapat menjatuhkan Tian
Kui Long. Akan tetapi, kau masih belum bisa menandingi aku."
"Tentu saja," kata Ouw Hui. "Tentu saja boan-pwee bukan
tandingan Biauw Tayhiap."
"Bukan, bukan begitu yang dimaksudkan aku," kata Biauw
Jin Hong sembari menggeleng-geleng-kan kepala. "Dulu,
dengan menggunakan ilmu golok itu, empat hari lamanya Ouw
tayhiap telah ber-tempur dengan aku, tanpa ada yang kalah
atau menang. Dalam pertempuran itu, gerakan goloknya jauh
lebih lambat daripada kau."
"Begitu?" menegas Ouw Hui dengan perasaan heran.
"Benar," jawab Biauw Jin Hong. "Daripada jadi tuan rumah
yang menghina tamu lebih baik jadi tamu yang merubuhkan
tuan rumah. 'Leng' (Muda) lebih baik daripada 'Loo' (Tua). 'Tit'
(Perlahan) menang dari 'Kie' (Cepat) Cam, Kut, Kiauw, Cah,
Ciu dan Kiat ada lebih baik daripada Tian, Mo, Kauw, Kan, Pek
dan Tok." Apa yang dikatakan oleh Biauw Tayhiap, seperti "daripada
jadi tuan rumah yang menghina tamu lebih baik jadi tamu
yang merubuhkan tuan rumah", adalah istilah dari pukulanpukulan
ilmu golok. Dengan ujung golok menindih senjata
musuh adalah 'Leng' (Muda). Dengan mata golok di dekat
gagang menangkis senjata musuh dinamakan 'Loo' (tua).
Menebas senjata musuh dengan gerakan perlahan adalah 'Tit'
(Perlahan), sedang memapaki senjata musuh ialah 'Kie'
(Cepat). Cam, Kut, Kiauw dan Iain-lain adalah istilah dari
macam-macam pu-kulan.
Sesudah itu, Biauw Jin Hong lalu duduk pula dan menyuap
nasi dengan menggunakan sumpit. "Sesudah kau dapat
menyelami rahasia yang baru-san diberitahukan olehku, di
kemudian hari kau pasti akan menjadi satu jago Rimba
Persilatan," katanya.
Ouw Hui mengangguk sembari mengangkat sum-pit untuk
menyumpit sayur. Ketika, karena otak sedang diasah,


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sumpitnya berhenti di tengah udara. Leng So tertawa dan
sembari menyentuh sumpit Ouw Hui dengan sumpitnya, ia
berkata: "Hayo. jangan bengong!"
Karena seluruh perhatiannya sedang ditumpah-kan ke arah
To-koat (teori ilmu golok), tanpa merasa semua tenaga Ouw
Hui berkumpul di lengan kanannya, dan begitu tersentuh
sumpit si nona, secara otomatis sumpit Ouw Hui
mengeluarkan tenaga menolak. Tek! kedua sumpit Leng So
patah, jadi empat potong.
"Ah!" Leng So mengeluarkan seruan tertahan.
"Memperlihatkan kepandaian?" tanyanya sejenak kemudian
sembari tertawa.
"Maaf," kata Ouw Hui sembari tertawa juga. "Karena
sedang memikirkan keterangan Biauw Tayhiap, aku jadi sedikit
linglung." Ia mengangsurkan sumpitnya sendiri kepada si nona
yang lalu menyambuti dan mulai bersantap.
Ouw Hui kembali bengong dan mulutnya ber-kata-kata
dengan suara perlahan: "Leng menang dari Loo, Tit lebih baik
daripada Kie, daripada jadi tuan rumah yang menghina
tetamu...."
Tiba-tiba ia dongak dan mendapat kenyataan, bahwa Leng
So sedang makan tanpa ragu-ragu dengan sumpit yang bekas
digunakan olehnya. Muka Ouw Hui lantas saja berubah merah.
Sebenarnya, sebelum menyerahkan sumpit yang bekas
digunakan olehnya, ia harus membersihkannya terlebih dulu.
Tapi sekarang sudah terlambat. Ia ingin meng-haturkan maaf,
tapi mulutnya terkancing. Ia tak tahu, harus berbuat
bagaimana. Akhirnya, tanpa mengeluarkan sepatah kata,
dengan perasaan je-ngah, ia pergi ke dapur dan mengambil
sepasang sumpit baru.
Sesudah menyuap nasi, Ouw Hui mengang-surkan sumpit
untuk menjepit peh-cay-ca. Sesaat itu, sumpit Biauw Jin Hong,
yang juga ingin menyumpit makanan itu, menyentuh sumpit
Ouw Hui yang lantas saja jadi terpental.
"Inilah Kiat," kata Kim-bian-hud.
"Benar," kata Ouw Hui sembari turunkan kedua sumpitnya
untuk menjepit peh-cay-ca itu. Tapi Biauw Jin Hong terus
menjaga dengan sumpitnya, sehingga, sesudah mencoba
beberapa kali, sumpit Ouw Hui tak bisa turun ke bawah.
Bukan main herannya Ouw Hui. "Walaupun kedua matanya
tak bisa melihat, dalam pertem-puran dengan menggunakan
golok, memang ia ma-sih bisa menangkap gerakan-gerakan
pukulan dengan mendengar kesiuran angin," katanya di dalam
hati. "Tapi sekarang, aku hanya menggunakan sepasang
sumpit yang begini kecil dan yang gerakan-nya sama sekali
tidak menerbitkan kesiuran angin. Bagaimana ia masih bisa
mengetahui setiap gerakanku?"
Ia berusaha pula beberapa kali, tapi tetap tidak "berhasil,
karena Biauw Jin Hong terus menjaga dengan rapatnya di atas
piring peh-cay-ca, sambil menggoyang-goyang kedua
sumpitnya. Ouw Hui mengasah otaknya. Mendadak ia
mendusin. Ia sa-dar, bahwa ilmu yang digunakan oleh Biauw
Jin Hong adalah apa yang dinamakan Houw-hoat-cu-jin
(Melawan musuh dengan gerakan yang bela-kangan).
Dalam usaha tadi, dengan rupa-rupa cara, sum-pit Ouw Hui
menyambar dari atas ke bawah dan dalam gerakan itu, sumpit
tersebut selalu terbentur dengan sumpit Biauw Jin Hong yang
terus ber-goyang-goyang kian ke mari. Biauw Jin Hong sendiri
mengambil sikap menunggu. Sesudah sumpitnya membentur
sumpit Ouw Hui, barulah dengan meng-imbangi gerakan
(pukulan) pemuda itu, ia meng-hantam dengan sumpitnya.
Itulah yang dinamakan 'tamu merubuhkan tuan rumah' atau
'dengan Tit (Perlahan) mengalahkan Kie (Cepat)'.
Ouw Hui adalah seorang yang sangat cerdas. Begitu lekas
membuka tabir rahasia, ia segera menukar siasat. Jika tadi
sumpitnya selalu menyambar dari atas ke bawah (ke piring
peh-cay-ca), sekarang ia mengangkat sumpitnya dan
menghentikan ge-rakannya di tengah udara. Kemudian, sambil
meng-awasi gerakan sumpit Biauw Jin Hong, ia turunkan
sumpitnya sendiri sedikit demi sedikit, sampai sum-pit itu
berada di atas sumpit Biauw Jin Hong yang terus bergoyanggoyang.
Mendadak, pada detik sum-pit Biauw Jin Hong
bergoyang ke tempat yang paling jauh, ia turunkan
sumpitnya, menjepit sepotong peh-cay yang lalu dimasukkan
ke dalam mulutnya. Gerakan itu dilakukan dengan kecepatan
yang sungguh luar biasa, kecepatan yang tak kalah dengan
arus listrik. Kim-bian-hud lantas saja tertawa berkakakan dan
melemparkan kedua sumpitnya di atas meja.
Pada saat itulah, puteranya Liao-tong Tayhiap Ouw It To
masuk ke dalam kalangan ahli-ahli silat kelas utama!
Mengingat bagaimana ia sudah meng-gunakan begitu banyak
tempo dan tenaga yang tak perlu untuk merubuhkan Tian Kui
Long, mau tak mau, Ouw Hui jadi merasa jengah sendiri. Di
lain pihak, Leng So turut merasa girang melihat ber-hasilnya
pemuda itu dalam merebut peh-cay-ca yang "dilindungi"
Biauw Jin Hong.
"Had ini Ouw-kee To-hoat sudah mempunyai ahli waris
yang tulen," kata Kim-bian-hud. "Ah, Ouw Toako, Ouw
Toako!" Kata-kata yang terakhir itu diucapkan olehnya dengan
nada menyayatkan hati.
Leng So yang mengetahui, bahwa antara Biauw Jin Hong
dan Ouw Hui terdapat satu persoalan yang tak mudah
dibereskan, segera menyelak untuk menyimpangkan pokok
pembicaraan. "Biauw Tayhiap," katanya. "Sengketa apakah
yang terjadi antara kau dan mendiang guruku" Bolehkah kau
mencerita-kannya kepada kita?"
Biauw Jin Hong menghela napas. "Sampai di ini hari, aku
juga masih belum mengetahui terang," jawabnya. "Pada
delapan belas tahun berselang, secara tak disengaja aku
sudah melukai seorang sahabat baik. Karena pada senjata itu
terdapat racun yang sangat lihay, maka jiwa sahabatku itu tak
bisa ditolong lagi. Belakangan, aku mendugaduga, bahwa
racun itu mempunyai sangkut paut dengan gurumu. Aku
segera menanyakan gurumu yang dengan keras sudah
menyangkal tuduhanku itu. Mungkin, karena tak bisa bicara
dan juga sebab waktu itu hatiku sedang jengkel, aku sudah
menge-luarkankan kata-kata keras, sehingga satu pertempuran
tak dapat dielakkan lagi."
Ouw Hui tak mengeluarkan sepatah kata dan sesudah lewat
beberapa saat, barulah ia menanya: "Kalau begitu, bukankah
sahabatmu itu telah binasa dalam tanganmu sendiri?"
"Benar," jawab Kim-bian-hud.
"Bagaimana dengan isterinya sahabat itu?" ta-nya pula
Ouw Hui. "Bukankah kau juga mem-binasakan ia untuk
membasmi sampai ke akar-akarnya?"
Dengan hati berdebar Leng So mengawasi Ouw Hui yang
paras mukanya pucat dan tangannya men-cekal gagang golok.
Ia merasa, bahwa makan minum yang gembira itu akan
segera berubah menjadi pertempuran. Ia tak tahu, siapa yang
salah, siapa yang benar, tapi di dalam hati, ia sudah
mengambil keputusan. "Jika mereka bertempur, aku akan
mem-bantu dia," pikirnya. Tak usah dikatakan lagi, "dia" itu
berarti Ouw Hui.
"Isterinya telah membunuh diri untuk mengikut sang
suami," kata Biauw Jin Hong dengan suara duka.
"Jadi... jiwa nyonya itu pun melayang karena gara-garamu,
bukan?" tanya Ouw Hui.
"Benar!" jawabnya.
Ouw Hui berbangkit, ia tertawa terbahak-ba-hak, tertawa
yang sangat menyeramkan. "She apa dan siapa nama sahabat
itu?" tanyanya pula.
"Benar-benar kau ingin mengetahui?" menegas Kim-bianhud.
"Aku ingin mengetahui," jawabnya.
"Baiklah," kata Biauw Jin Hong. "Ikutlah aku!" Dengan
tindakan lebar, ia berjalan ke ruangan dalam, diikut oleh Ouw
Hui. Buru-buru Leng So memondong paso Cit-sim Hay-tong
dan mengikuti di belakang Ouw Hui.
Setibanya di depan satu kamar samping, Biauw Jin Hong
mendorong pintu. Dalam kamar itu ter-dapat satu meja yang
ditutup dengan taplak putih dan di atas meja berdiri dua Lengpay
(papan pe-mujaan). di atas Leng-pay yang satu terdapat
tulisan seperti berikut: "Leng-wie (tempat pemujaan) dari
saudara angkatku, Liao-tong Tayhiap Ouw-kong It To (Ouwkong
berarti paduka she Ouw)", sedang di Leng-pay yang
satunya lagi terdapat tulisan: "Leng-wie dari Gie-so (isteri dari
saudara angkat) Ouw Hujin (Nyonya Ouw)".
Ouw Hui mengawasi kedua Leng-pay itu dengan kaki
tangan dingin bagaikan es dan badan gemetar. Sudah lama ia
menduga, bahwa kebinasa-an kedua orang tuanya mempunyai
sangkut paut yang sangat rapat dengan Biauw Jin Hong. Akan
tetapi, melihat kekesatriaan Kim-bian-hud, siang malam ia
berdoa, supaya dugaannya itu tak benar adanya. Sekarang
Biauw Jin Hong telah berterus terang dan dalam
pengakuannya, ia telah mem-perlihatkan satu kedukaan yang
tak ada batasnya. Ouw Hui berdiri terpaku, kepalanya pusing
dan ia tak tahu, harus berbuat bagaimana.
Perlahan-lahan Biauw Tayhiap memutar badan "Jlka kau
Ingin membalaskan saklt hati Ouw Tayhla sekarang juga kau
boleh turun tangan,* kata Biauw J Hong. Ouw Hui
mengangkat goloknya, tetapi golok I terhenti dl tengan udara
tak dapat ia menurunkan senatanya itu dan sembari
menggendong tangan, ia berkata: "Jika kau tak sudi
memberitahukan hubunganmu dengan Ouw It Tayhiap, aku
pun tak berani memaksa. Saudara kecil, kau sudah berjanji
akan melihat-lihat anak perempuanku. Aku harap, janji itu tak
dilupa-kan olehmu. Baiklah! Jika kau ingin membalaskan sakit
hatinya Ouw Tayhiap, sekarang juga kau bolch turun tangan."
Ouw Hui mengangkat golok, tapi golok itu berhenti di
tengah udara. "Jika aku turunkan golok ini dengan gerakan
'Tamu merubuhkan tuan rumah' seperti yang diajarkan
olehmu, kau tentu tak akan bisa berkelit lagi,' katanya di
dalam hati. "Dengan demikian, aku bisa membalas sakit
hatinya ayah dan ibu."
Akan tetapi, sebelum menurunkan golok, ia mengawasi
paras Biauw Jin Hong. Paras kesatria. itu, dengan segala
keangkerannya, adalah tenang dan damai, bebas dari rasa
menyesal dan bebas pula dari rasa takut. Tangan Ouw Hui
yang mencekal golok bergemetar. Bagaimana... bagaimana ia
dapat menurunkan senjata itu di lehernya seorang kesatria
seperti Kim-bian-hud"
Mendadak, mendadak saja, sembari memutar badan, Ouw
Hui mengeluarkan teriakan keras dan terus kabur.... Leng So
lalu mengejar dengan menggunakan ilmu entengkan badan.
Dalam sekejap, seperti orang kalap, Ouw Hui sudah melalui
belasan li. Sekonyong-konyong ia bergulingan di atas tanah
dan menangis sekeras-kerasnya. Leng So menge-tahui, bahwa
dalam keadaan begitu, tak guna ia coba menghibur. Tanpa
mengeluarkan sepatah kata, ia duduk di tanah dan
membiarkan Ouw Hui melampiaskan perasaan sedihnya.
Lama sekali pemuda itu menangis, ia baru berhenti
sesudah air matanya kering. Sesudah berhenti menangis, ia
duduk bengong sekian lama dan sesudah kenyang bengongbengong,
barulah ia berkata: "Leng Kouwnio, yang
membinasakan ayah dan ibuku adalah dia. Sakit hati ini
aeNlah sangat besar, aku dan dia tak bisa berdiri bersamasama
di kolong langit."
"Kalau begitu, kita sudah bertindak salah," kata Leng So.
"Sebenarnya tak seharusnya kita meng-obati matanya."
"Tidak, kita tak salah dalam mengobati dia," kata Ouw Hui.
"Sesudah kedua matanya sembuh, aku akan balik lagi untuk
membalas sakit hati." Ia berdiam sejenak dan kemudian
berkata pula: "Ha-nya ilmu silatnya terlalu tinggi. Untuk
memperoleh kemenangan, aku harus berlatih terus."
"Sesudah ia menggunakan senjata beracun untuk
membinasakan ayahmu, apa halangannya jika kita pun
membalas dengan senjata beracun pula!" kata Leng So.
Mendengar perkataan itu, bukan main rasa terima kasihnya
Ouw Hui. Akan tetapi, sungguh heran, begitu mendengar si
nona ingin mengambil jiwa Biauw Jin Hong dengan
menggunakan racun, hatinya jadi kurang enak. 'Otak Leng
Kouwnio sepuluh kali lebih cerdas daripada aku dan ilmu
silatnya pun dapat dikatakan lumayan,' katanya di dalam hati.
'Tapi hari ketemu hari, ia terus ber-kawan dengan macammacam
racun. Biar bagai-manapun juga....' Ia tak dapat
meneruskan jalan pikirannya. Ia hanya merasa, bahwa mainmain
dengan racun terus-menerus adalah tidak benar.
Sesudah kenyang menangis, sebagian besar kejengkelannya
sudah dapat dilampiaskan. Sesaat itu, fajar
sudah menyingsing. Tapi, baru saja ia ber-bangkit untuk
meneruskan perjalanan, mendadak ia berseru: "Celaka!"
Ternyata, waktu kabur dan rumah Biauw Jin Hong, ia sudah
lupa untuk membawa bungkusan-nya. Tentu saja ia bisa balik
pula untuk mengambil-nya, tapi ia sangat sungkan bertemu
muka lagi dengan Kim-bian-hud.
"Lain barang masih tak apa, tapi Giok-hong-hong (burungburungan
Hong yang terbuat dari batu pualam, pemberian
Wan Cie Ie) tidak boleh hilang," kata Leng So sembari mesem.
Muka Ouw Hui lantas saja berubah merah. Sesudah berpikir
sejenak, ia berkata: "Kau tunggu di sini sebentar, aku pergi
untuk mengambil bung-kusan itu. Jika tak diambil, kita tak
mempunyai uang untuk makan nginap."
"Aku mempunyai perak dan malahan mempunyai juga
emas," kata si nona sembari menge-luarkan dua potong emas
dari sakunya. "Barang yang paling penting dalam bungkusan itu adalah
kitab ilmu silat warisan leluhurku," kata Ouw Hui. "Biar
bagaimana juga, kitab itu tak boleh hilang."
Leng So merogoh saku dan mengeluarkan sejilid kitab.
"Apa ini?" tanyanya.
Ouw Hui kaget bereampur girang, karena kitab itu memang
benar adalah kitab yang dimaksudkan olehnya. "Kau sungguh
hati-hati dan ingat segala apa," ia memuji.
"Hanya sayang Giok-hong-hong itu jatuh di tengah jalan,"
kata Leng So. "Hatiku sungguh merasa tak enak."
Melihat parasnya si nona yang sungguh-sung-guh Ouw Hui
jadi bingung. "Aku akan coba men-carinya," katanya.
"Barangkali saja masih bisa di-dapatkan." Ia memutar badan
dan lantas berjalan pergi.
"Ih! Apa itu yang berkeredepan?" Tiba-tiba Leng So


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berseru. Ia membungkuk dan memungut serupa benda dari
rumput-rumput. Ternyata, benda itu bukan lain daripada Giokhong-
hong. "Kau sungguh satu Cukat perempuan atau Thio Liang
kecil," ia memuji. "Aku menyerah kalah." (Cukat dimaksudkan
Cukat Liang, seorang perdana menteri dari kerajaan Han, di
jaman Samkok, sedang Thio Liang adalah salah satu menteri
utama dari kaisar Lauw Pang, pendiri dari kerajaan Han. Baik
Cukat Liang, maupun Thio Liang, dikenal sebagai orang-orang
pandai pada jaman itu).
"Aduh! Girangnya!" mengejek Leng So. "Nih. aku
pulangkan!" Sembari berkata begitu, ia menye-rahkan kitab
dan Giok-hong-hong kepada Ouw Hui.
Si nona berdiam sejenak dan tiba-tiba ia berkata: "Ouw
Toako, sampai ketemu lagi!"
Ouw Hui terkejut. "Kau marah!" tanyanya.
"Kenapa mesti marah?" Leng So balas menanya. Mendadak
kedua matanya merah dan ia melengos ke lain jurusan.
"Ke mana... ke mana kau mau pergi?" tanya Ouw Hui
dengan suara tak lampias.
"Tak tahu," jawabnya.
"Kenapa tak tahu?" Ouw Hui mendesak.
"Aku sudah tak mempunyai ayah dan bunda," jawabnya.
"Guruku juga sudah meninggal dunia. Tak ada orang yang
memberikan Giok-hong-hong atau Giok-kie-lin kepadaku....
Bagaimana... bagai-mana aku tahu, kemana aku mesti pergi?"
Berkata sampai disitu, Leng So tak dapat mempertahankan
dirinya lagi dan air mata meleleh turun di kedua pipinya yang
kurus. Semenjak bertemu, Ouw Hui mengagumi Thia Leng So
yang pintar luar biasa dan selalu dapat memecahkan setiap
persoalan yang sulit-sulit. Akan tetapi pada detik itu melihat
badannya yang kurus bergemetar di antara tiupan sang angin
pagi, tanpa merasa dalam hatinya timbul rasa kasihan. "Leng
Kouwnio," katanya dengan suara halus. "Ijinkanlah aku
mengantarkan kau."
Dengan menggunakan ujung baju, Leng So menepis air
matanya. "Ke mana kau mau mengan-tarkannya?" katanya.
"Aku sendiri tak tahu, mau pergi ke mana. Terhadap kau,
tugasku sudah selesai. Kau ingin aku mengobati mata Biauw
Jin Hong dan aku sudah memenuhi keinginan itu."
Tiba-tiba Ouw Hui ingat suatu hal yang kiranya dapat
menimbulkan kegembiraan si nona. "Leng Kouwnio," katanya,
"Tapi masih ada satu hal yang dilupakan olehmu."
"Apa?" tanya Leng so.
"Waktu aku memohon supaya kau mengobati mata Biauw
Jin Hong, kau pernah mengatakan, bahwa kau sendiri ingin
mengajukan serupa permin-taan kepadaku," kata Ouw Hui.
"Permintaan apakah itu" sampai sekarang kau belum
mengajukannya."
Biar bagaimana juga orang muda tetap orang muda, yang
gampang jengkel dan gampang pula gembira. Mendengar
perkataan Ouw Hui, Thia Leng So yang barusan masih
bersedih hati, lantas saja tertawa geli. "Benar, jika tidak
diingatkan kau, aku sendiri sudah lupa," katanya. "Baiklah.
Bukankah kau sudah berjanji akan meluluskan segala permintaanku?"
"Dalam batas-batas kemampuanku, aku akan melakukan
apa pun juga yang diperintah olehmu," jawab Ouw Hui.
Leng So mengangsurkan tangannya seraya berkata:
"Bagus! Sekarang serahkanlah Giok-hong-hong itu kepadaku."
Ouw Hui terkejut, tapi karena ia adalah seorang yang selalu
memegangjanji, makawalaupun dengan perasaan berat, ia
segera mengangsurkan Giok-hong-hong itu kepada si nona.
Leng So tidak menyambuti. Ia menatap wajah Ouw Hui
seraya berkata: "Guna apa barang begitu" Aku ingin kau
menghancurkan Giok-hong-hong itu!"
Itulah satu keinginan yang benar-benar tak dapat diturut
oleh Ouw Hui. Ia mengawasi Leng So dan kemudian
mengawasi Giok-hong-hong, tanpa mengetahui harus berbuat
bagaimana. Pada saat itu, wajah dan gerak-geriknya Wan Cie
le terbayang pula di depan matanya.
Perlahan-lahan Leng So menghampiri dan meng-ambil
Giok-hong-hong itu, yang kemudian lalu di-masukkan ke
dalam saku Ouw Hui. "Mulai dari sekarang," katanya dengan
suara halus. "Janganlah sembarangan berjanji lagi. Kau harus
mengetahui. bahwa dalam dunia ini terdapat banyak sekali pe-kerjaan
yang tidak dapat dilakukan. Sudahlah! Mari kita berangkat."
Perasaan Ouw Hui pada waktu itu, sukar di-lukiskan.
Dengan terharu, ia segera memondong paso Cit-sim Hay-tong
dan berjalan mengikuti di belakang si nona.
Kira-kira tengah had, mereka tiba di satu kota. "Mari kita
cari rumah makan untuk menangsal perut dan kemudian coba
membeli dua tunggangan," kata Ouw Hui.
Baru saja ia mengucapkan perkataan itu, seorang lelaki
setengah tua yang mengenakan thung-sha (jubah panjang)
dan baju sutera dan gerak-geriknya seperti satu saudagar,
menghampiri dan memberi hormat. "Apakah aku sedang
berhadapan dengan Ouw-ya?" tanyanya.
Ouw Hui tak kenal orang itu, tapi lantas saja ia membalas
hormat seraya berkata: "Aku yang rendah memang benar she
Ouw. Bagaimana tuan bisa rae-ngetahui?"
Orang itu tertawa dan lalu menjawab dengan sikap hormat.
"Atas titahnya majikanku, sudah lama aku menunggu di sini.
Marilah kita makan dulu seadanya." Sehabis berkata begitu ia
segera berjalan menuju ke satu restoran, diikuti oleh Ouw Hui
dan Leng So. Tanpa diperintah, beberapa pelayan segera mengeluarkan
makanan dan arak. Apa yang dikatakan "Seada-adanya",
adalah makanan pilihan dari kelas satu.
Ouw Hui dan Leng So tentu saja merasa sangat heran, tapi
karena orang itu tidak menyebut-nyebut lagi siapa
majikannya, mereka pun merasa tak enak untuk segera
menanyakan lagi.
Sehabis bersantap, orang itu berkata: "Sekarang marilah
Jie-wie mengaso di gedung yang sudah disediakan."
Di luar restoran sudah menunggu tiga ekor kuda, yang lalu
ditunggang oleh mereka. Sesudah melalui kurang lebih lima li,
tibalah mereka di depan satu gedung besar yang sangat
indah. Di depan gedung itu sudah menunggu enam tujuh bujang
yang menyambut mereka dengan sikap hormat sekali. Si
saudagar lantas saja mengundang kedua tamunya masuk ke
ruangan tengah, di mana sudah disediakan satu meja teh
penuh buah-buah dan kue-kue yang lezat rasanya.
Ouw Hui jadi semakin heran. "Jika aku menanyakan sebabsebab
perlakuan yang begini luar biasa dia tentu tak akan
bicara terus-terang," kata-nya di dalam hati. "Biarlah aku
menunggu bagaimana akhirnya permainan ini dan bertindak
dengan mengimbangi keadaan."
Sehabis minum teh, si saudagar lantas saja berkata: "Ouwya
dan nona tentu tentu merasa capai. Mandilah tukarlah
pakaian dulu."
"Didengar dari bicaranya, dia ternyata tidak mengenal Leng
Kouwnio," pikir Ouw Hui. "Hm!" Jika dia berani main gila di
hadapan murid Tok-chiu Yo-ong, dia pasti akan mendapat
hajaran keras."
Seorang pelayan segera mengantarkan Ouw Hui masuk ke
ruangan dalam, sedang seorang pelayan lain mengantarkan
Leng So. Sesudah mandi, menukar pakaian dan mengaso sebentar,
mereka berdua lalu kembali ke ruangan tengah. Mereka saling
mengawasi dengan perasaan geli, karena masing-masing
sudah mengenakan pakaian baru.
"Ouw Toako," kata Leng So sembari tertawa. "Apakah hari
ini hari perayaan Tahun Baru" Dan-dananmu ganteng benar."
Ouw Hui juga turut tertawa, karena mendapat kenyataan,
bahwa si nona bukan saja memakai pakaian baru, tapi juga
memakai bedak dan yancie (rouge). "Aduh!" katanya. "Kau
kelihatannya seperti pengantin saja!"
Muka Leng so lantas saja berwarna dadu dan ia melengos
tanpa meladeni ejekan orang.
Ouw Hui terkejut, sebab ia merasa sudah ber-bicara salah.
Ia melirik ke arah Leng So dan hatinya agak lega, karena
paras si nona tidak menunjukkan kegusarannya.
Sementara itu, dalam ruangan tersebut sudah diatur meja
perjamuan dengan makanan dan arak kelas satu. Sesudah
mengundang Ouw Hui dan Leng So minum tiga cawan si
saudagar segera masuk ke dalam dan ke luar lagi dengan
kedua tangan menyanggah satu penampan. Di atas penampan
itu terdapat sebuah bungkusan sutera merah yang ke-tika
dibuka, ternyata berisikan sejilid buku yang disulam indah
sekali dengan benang emas. Di atas kulit buku itu dituliskan
perkataan seperti berikut: "Dipersembahkan dengan segala
kehormatan ke-pada Ouw Toaya, Ouw Hui".
Dengan kedua tangannya, dengan sikap meng-hormat luar
biasa, saudagar itu mengangsurkan buku tersebut kepada
Ouw Hui. "Atas perintah majikanku, siauwjin (aku yang
rendah) mempersembahkan segala apa yang tereatat dalam
buku ini, kepada Ouw Toaya, " katanya.
Ouw Hui tak lantas menyambuti buku itu. "Sia-pa majikan
tuan?" tanyanya. "Kenapa ia memberi hadiah yang begitu
besar kepadaku?"
"Siauwjin telah dilarang memberitahukan nama beliau,"
jawabnya. "Dikemudian hati, Toaya sendiri tentu akan
mengetahuinya."
Didorong keheranannya, Ouw Hui menyambuti buku itu
dan segera membuka halaman itu terdapat tulisan seperti
berikut: "Sawah kelas satu, empat ratus lima belas bouw". Di
bawah tulisan itu terdapat penjelasan tentang kedudukan
sawah itu, nama-nama penggarapnya, hasil setiap tahunnya
dan sebagainya.
Bukan main herannya Ouw Hui. Ia membuka halaman
kedua yang bertuliskan seperti berikut: "Sebuah gedung dari
lima bagian dengan dua belas kamar loteng dan tujuh puluh
tiga kamar bawah". Di bawah itu, dengan huruf-huruf kecil,
juga terdapat penjelasan mengenai kedudukan gedung itu,
letak taman bunganya, ruangan-ruangannya, kamarkamarnya,
dapurnya dan Iain-lain.
Pada halaman-halaman yang lain terdapat daf-tar nama
bujang-bujang, biaya sehari-hari, makanan yang diperlukan,
kuda-kuda, kereta, perabot rumah tangga, pakaian dan
sebagainya. Ouw Hui yang berotak cerdas sekarang benar-benar
merasa bingung di dalam hatinya. "Coba kau lihat," katanya
sembari menyerahkan buku itu kepada Leng So.
Sesudah membaca isinya, si nona pun tak dapat menembus
tabir rahasia yang meliputi keanehan itu.
"Selamat, selamat!" katanya sembari tertawa. "Kau
sekarang sudah menjadi hartawan besar."
"Sekarang siauwjin ingin mengantar-antarkan Ouw Toaya
untuk memeriksa keadaan gedung ini," kata si saudagar.
"Kau she apa?" tanya Ouw Hui. "Siauwjin she Thio,"
jawabnya. "Untuk seinen-tara waktu, siauwjin mewakili Ouw
Toaya untuk mengurus sawah-sawah dan gedung ini. Jika ada
apa-apa yang kurang mencocoki keinginan Ouw Toaya,
siauwjin harap Ouw Toaya suka lantas mem-beritahukannya.
Surat-surat sawah dan rumah ber-ada di sini. Harap Ouw
Toaya sudi menerimanya." Sembari berkata begitu, ia
mengangsurkan seikat surat-surat.
"Kau simpan saja dulu," kata Ouw Hui. "Kata orang: 'Tanpa
berjasa, tidak menerima hadiah.' Ha-diah yang begini besar
belum tentu aku dapat menerimanya."
"Ah! Ouw Toaya terlalu sungkan," kata si saudagar.
"Majikanku pernah mengatakan, bahwa ia merasa malu,
karena hadiah ini terlalu kecil."
Sedari kecil, Ouw Hui berkelana di kalangan Kang-ouw dan
ia sudah kenyang menemui atau mendengar kejadian-kejadian
aneh. Akan tetapi, apa yang dialaminya sekarang adalah
kejadian yang belum pernah dimimpikannya.
Dilihat gerak-geriknya, orang she Thio itu bu-kan seorang
yang mengerti ilmu silat dan bicaranya pun bukan cara
seorang Rimba Persilatan ber-bicara. Ouw Hui merasa, bahwa
sebagai seorang yang diperintah, belum tentu ia mengetahui
latar belakang kejadian ini.
Sehabis bersantap, Ouw Hui dan Leng So segera ke kamar
buku untuk mengaso. Kamar itu, yang diperlengkapi dengan
perabotan yang ber-harga mahal, penuh dengan lukisanlukisan,
buku-buku dan alat-alat musik. Tak lama kemudian
seorang kacung datang mengantarkan teh dan sesudah
meletakkan tehkoan dan cangkir di atas meja, ia segera
mengundurkan diri.
Leng So tertawa geli seraya berkata: "Ouw Wan-gwee
(hartawan), tak dinyana di tempat ini kau menjadi seorang
Loo-ya (panggilan untuk seorang berpangkat atau hartawan)."
Ouw Hui pun turut tertawa, tapi sesaat kemudian, ia
mengerutkan alisnya. "Leng Kouwnio," katanya. "Aku merasa
pasti, bahwa orang yang mem-berikan hadiah ini mempunyai
maksud kurang baik. Akan tetapi, aku tak dapat menebak
siapa adanya orang itu. Siasat apa yang sedang diaturnya?"
"Apakah tak mungkin kerjaan Biauw Jin Hong?" tanya si
nona. Ouw Hui menggelengkan kepalanya dan berkata: "W upi.n
aku dan dia mempunyai permu-suhan be.-.ir, tapi menurut
pendapatku, ia adalah i:iki-laki tulen yang tak akan main
bergelap-ge-lapan."
"Tapi kemungkinannya tetap masih ada," kata Leng So.
"Apakah tak bisa jadi, hadiah ini diberikan >lehnya karena kau
sudah membantu dia dalam nenghadapi bahaya-bahaya.
Mungkin sekali ia ha-nva bermaksud untuk menghaturkan
terima kasih Jan menghilangkan permusuhan."
"Mana bisa aku melupakan sakit hati orang jdku karena
silau melihat harta?" kata Ouw Hui.
"Tidak, tidak?" Biauw Jin Hong tak akan meman-dang aku
begitu rendah."
Leng So meleletkan lidah. "Kalau begitu, aku-lah yang
sudah menaksir kau terlalu rendah."
Lama juga mereka berunding, tapi hasilnya nihil. Akhirnya
mereka mengambil keputusan untuk menginap semalam, guna
menyelidiki hal itu lebih lanjut.


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Malam itu, Ouw Hui tidur dalam kamar be-sarnya terletak di
ruangan belakang, sedang Leng So mengambil kamar di atas
loteng, di pinggir taman bunga. Selama hidupnya, belum
pernah Ouw Hui tidur dalam kamar yang begitu mewah, tapi
sekarang, bukan saja kamar itu, tapi seluruh gedung itu juga
sudah menjadi miliknya sendiri.
Kira-kira jam dua malam, sesudah berdandan rapi dan
membekal golok, Ouw Hui ke luar lewat jendela dan melompat
naik ke atas genteng. la mendapat kenyataan, bahwa di
bagian belakang gedung itu masih terdapat penerangan lilin.
Dengan menggunakan ilmu mengentengkan badan, ia ber-larilari
ke arah sinar api itu. Sambil mencantelkan kedua kakinya
di payon rumah, sehingga badannya menggelantung ke
bawah, ia mengintip dari jendela. Di dalam kamar itu terdapat
si orang she Thio yang sedang menghadapi suiphoa (alat
hitung Tionghoa) dan buku-buku, dengan dikawani oleh
seorang tua. Ternyata, apa yang sedang dikerjakannya adalah
pem-bukuan mengenai sawah dan gedung itu dan apa yang
dibicarakan dengan si orang tua adalah soal-soal yang
bersangkut paut dengan tugasnya. Sesudah mende-ngarkan
beberapa lama, Ouw Hui belum juga men-dapatkan yang
tengah dicarinya itu.
Baru saja ia ingin berlalu, ketika mendadak terdengar suara
luar biasa, sehingga dengan cepat ia bersiap-siap sembari
mencekal gagang goloknya. Tapi yang datang hanyalah Leng
So yang segera memberi isyarat dengan gerakan tangannya.
Ouw Hui menghampiri.
"Aku sudah menyelidiki seluruh gedung ini dari depan
sampai di belakang, tapi belum juga bisa mendapat apa-apa
yang mencurigakan," kata si nona. "Bagaimana dengan kau?"
Ouw Hui menggelengkan kepalanya dan mereka segera
kembali ke masing-masing kamarnya. Sampai pagi mereka
terus berjaga-jaga, tapi semalam itu tak terjadi suatu apa
yang luar biasa.
Pagi-pagi sekaii, seorang kacung sudah meng-antarkan
somthung (kuwah yo-som) dan yan-o-pauw, kue-kue dan arak
merah yang tua sekaii.
"Dengan mempunyai Leng Kouwnio sebagai kawan, enak
juga hidup di sini," kata Ouw Hui di dalam hatinya. Tapi di lain
saat, ia mendapat pikiran lain. "Orang she Hong itu yang
sudah membinasa-kan seluruh keluarga Ciong A-sie, sampai
sekarang masih hidup dengan selamat," pikirnya. "Jika aku tak
bisa membalaskan sakit hati keluarga Ciong, mana aku punya
muka untuk hidup terus dalam dunia ini?" Mengingat begitu,
darah kesatrianya lantas saja mendidih.
"Apakah kita lantas berangkat sekarang?" ta-nyanya
kepada Leng So.
"Baiklah," jawab si nona tanpa menegaskan mau pergi ke
mana. Mereka segera kembali ke masing-masing kamarnya dan
mengenakan lagi pakaian yang lama.
Sesudah rapih berdandan, Ouw Hui segera menemui si
orang she Thio dan berkata: "Aku mem-punyai urusan penting
dan harus berangkat sekarang juga." Sehabis berkata begitu,
ia segera berjalan pergi, diikuti Leng So.
Orang she Thio itu terperanjat dan berkata dengan suara
terputus-putus: "Kenapa... kenapa... begitu cepat" Ouw....
Toaya.... Tunggu.... Siauwjin ambil sedikit ongkos." Ia masuk
dengan berlari-lari dan ke luar lagi dengan membawa
penampan, tapi Ouw Hui maupun Leng So sudan tak kelihatan
bayangannya lagi.
Dengan cepat Ouw Hui dan Leng So mene-ruskan
perjalanan mereka ke arah utara. Kira-kira tengah hari mereka
tiba di sebuah kota dan sesudah mencari keterangan, barulah
mereka mengetahui, bahwa semalam mereka menginap di
kota Gie-tong-tin. Ouw Hui segera membeli dua ekor kuda dan
mereka meneruskan perjalanan itu dengan menunggang kuda,
sambil membicarakan kejadian ke-marinnya yang luar biasa
itu. "Kita makan minum dan menginap dengan cuma-cuma dan
sama sekali tidak terjadi apa-apa yang merugikan," kata Leng
So. "Mungkin sekali, majikan rumah itu tak mengandung
niatan jelek. "Tapi aku justru mengharapkan datangnya ba-haya itu,"
kata si nona sembari tertawa. "Eh, Ouw Toaya! Sebenarnya,
kemana kita akan pergi?"
"Aku ingin pergi ke Pakkhia," jawabnya. "Apa-kah tak baik
jika kau mengikuti?"
"Baik sih baik," kata Leng So sembari mesem. "Hanya aku
khawatir, jika kau akan menjadi tidak leluasa."
"Kenapa!" Ouw Hui menegas.
"Ouw Toako," kata Leng So. "Bukankah kau ingin mencari
nona yang menghadiahkan Giok-hong-hong itu kepadamu!"
"Bukan," jawab Ouw Hui dengan paras sung-guh-sungguh.
"Aku ingin mengejar seorang musuh. Ilmu silat orang itu tidak
seberapa tinggi, tapi ia tnempunyai banyak kaki tangan dan
banyak akal busuknya. Leng Kouwnio, dalam hal ini aku
sangat mengharapkan bantuanmu."
Ouw Hui lantas saja menuturkan segala keja-hatan Hong
Jin Eng, bagaimana manusia itu sudah membasmi keluarga
Ciong A-sie dan bagaimana dia sudah terlolos dari kejarannya.
Ketika menceritakan pengalamannya pada malam itu di bio
rusak. suara Ouw Hui agak tak lampis.
"Bukankah nona pemberi Giok-hong-hong itu juga berada
di bio tersebut!" tanya Leng So secara mendadak.
Ouw Hui terkejut. Si nona ternyata cerdas luar biasa dan
tak dapat dikelabui. Oleh karena yakin, bahwa segala sepak
terjangnya adalah putih bersih, Ouw Hui segera bereerita
tanpa tedeng aling-aling lagi. Ia menceritakan segala apa,
antaranya bantuan Wan Cie le kepada Hong Jin Eng.
"Wan Kouwnio adalah wanita yang sangat can-tik, bukan?"
tanya Leng So. Muka Ouw Hui lantas saja berubah merah. "Lumayan,"
jawabnya. "Bukankah ia jauh lebih cantik, jika diban-dingkan dengan
aku, si wanita jelek?" tanya Leng So pula.
Mendengar pertanyaan yang tak diduga-duga itu, Ouw Hui
jadi termangu-mangu. Sesudah be-ngong sejenak, barulah ia
berkata: "Siapa mengata-kan, bahwa kau wanita jelek" Dia
berusia beberapa tahun lebih tua daripada kau. Tentu saja,
tubuhnya lebih tinggi dan besar."
Leng So tertawa. "Ketika berusia empat tahun, aku pernah
bereermin dengan menggunakan kaca ibu," katanya. "Ketika
itu, Ciciku berkata: 'Muka jelek, tak perlu kau mengaca.
Mengaca atau tidak, jelek tetap jelek.' Hm! Aku tak
memperdulikan kata-katanya. Apakah bisa menebak kejadian
selan-jutnya?"
"Asal kau jangan meracuni kakakmu," kata Ouw Hui di
dalam hatinya. Ia mengawasi si nona dan berkata: "Mana aku
tahu?" Leng So, yang rupa-rupanya dapat menebak jalan pikiran
Ouw Hui, segera berkata sembari bersenyum: "Kau takut aku
meracuni Cici" Waktu itu aku baru berusia empat tahun. Hm!
Besoknya, semua cermin di rumahku hilang."
"Heran benar," kata Ouw Hui.
"Tak heran," kata si nona sembari tertawa. "Aku
membuang semua cermin itu ke dalam sumur." Ia berdiam
sejenak dan kemudian berkata pula: "Tapi, sesudah itu, aku.
mengerti, bahwa aku beroman jelek. Walaupun tak ada kaca,
jelek tetap jelek. Permukaan air sumur masih merupakan
sebuah kaca besar yang setiap waktu bisa mencerminkan
rupaku yang jelek. Waktu itu, benar-benar aku ingin
membuang diri ke dalam sumur!" Sehabis berkata begitu,
mendadak ia mencambuk tunggangannya yang lantas saja lari
seperti terbang.
Ouw Hui menyusul dan sesudah melalui belasan li, barulah
Leng So menahan larat kudanya. Melihat kedua mata si nona
yang bersemu merah, Ouw Hui mengetahui, bahwa Leng So
sedang berduka dan ia tak berani mengawasi terlalu lama.
"Leng Kouwnio, tidak secantik Wan Kouwnio, tapi juga tak
bisa dikatakan jelek," katanya di dalam hati. "Bagi ma-nusia,
yang terutama adalah watak dan kedua barulah kecerdasan
otak, sedang bagus atau jeleknya muka adalah pengasih
Tuhan yang tak dapat di-ubah-ubah. Leng Kouwnio adalah
seorang pintar, kenapa ia tak dapat melihat kenyataan ini?"
Melihat badan si nona yang kurus kering, ia jadi merasa
sangat kasihan. "Leng Kouwnio," katanya dengan mendadak.
"Aku ingin mengajukan suatu permintaan, tapi aku tak tahu,
apakah kau sudi meluluskannya atau tidak. Aku tak tahu,
apakah aku mempunyai kehormatan yang begitu besar." Leng
So terkejut. "Apa...?" tanyanya. Dari belakang, Ouw Hui dapat
melihat, bahwa kedua daun kuping dan pinggir pipi si nona
ber-warna merah. "Kau dan aku sama-sama sudah tak
mempunyai ayah bunda," katanya. "Aku ingin meng-angkat
saudara dengan kau. Apakah kau setuju?" Dalam sekejap
paras si nona yang tadi berwarna merah berubah menjadi
pucat. Ia tertawa terbahak-bahak seraya berkata: "Bagus!
Kenapa tak setuju" Aku sungguh merasa sangat beruntung
mempunyai kakak seperti kau."
Ouw Hui merasa jengah karena ia merasa, bahwa suara si
nona mengandung nada mengejek. "Aku mengajukan usul itu
dengan setulus hatiku," katanya dengan suara perlahan.
"Siapa kata kau main-main?" kata Leng So sembari
meloncat turun dari tunggangannya. la segera mengambil
beberapa ranting pohon yang kecil untuk digunakan sebagai
hio dan lantas saja berlutut di pinggir jalan. Melihat begitu,
Ouw Hui pun segera turut berlutut. Sesudah bersembahyang
kepada Tuhan, mereka saling memberi hormat de-ngan
berlutut. "Menurut kata orang mengangkat saudara adalah
Pat-pay-cie-kauw (perhubungan dari delapan kali berlutut),
maka itu kita harus berlutut delapan kali," kata Leng So.
"Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan.... Hm!
Aku yang men-jadi adik, harus berlutut dua kali lebih banyak."
Benar saja, ia segera menambahkan dua kali berlutut.
Sesudah menjalankan upacara mengangkat saudara,
mereka sama-sama berbangkit. Melihat per-kataan dan gerakgerik
Leng So yang agak luar biasa, diam-diam Ouw Hui
merasa kikuk. "Mulai dari sekarang, aku memanggil kau Jiemoay
(adik perempuan yang kedua)," katanya.
"Hm! Kau jadi Toako," kata si nona. "Tapi kenapa kita tidak
mengucapkan sumpah, seperti senang susah bersama-sama?"
"Dalam mengangkat saudara, yang penting adalah
kecintaan di dalam hati," jawab Ouw Hui. "Ber-sumpah atau
tidak adalah sama saja."
"Oh begitu!" kata si nona sembari menyemplak
tunggangannya yang lalu dilarikan dengan keras. Sampai
magrib mereka melangsungkan perjalanan itu tanpa
mengucapkan suatu apa.
Malam itu, selagi mereka mencari rumah penginapan di
suatu kota, mendadak muncul seorang pelayan hotel yang
menghadang di depan kuda mereka. "Apakah tuan
OuwToaya?" tanyanya. "Mari-lah menginap di rumah
penginapan kami."
"Bagaimana kau tahu?" tanya Ouw Hui dengan perasaan
heran. "Siauwjin sudah menunggu di sini lama sekali," jawabnya
sembari tertawa. Sehabis berkata begitu, ia segera
mengantarkan Ouw Hui dan Leng So ke sebuah hotel yang
besar dan mewah. Dua kamar yang paling bagus, makanan
dan minuman yang paling baik sudah disediakan untuk
mereka, sedang semua pelayan melayani dua tamu itu dengan
penuh perhatian.
Dengan perasaan heran, Ouw Hui menanya seorang
pelayan, siapa yang sudah mengatur itu semua. "Siapakah
yang tak mengenal Ouw Toaya dari Gie-tong-tin!" kata
pelayan itu sembari tertawa.
Keesokan paginya, pengurus hotel itu menolak pembayaran
mereka sembari membongkok-bong-kok. Ia memberitahukan,
bahwa sudah ada lain orang yang membayarnya dan ia tak
berani menerima uang Ouw Hui. Dengan begitu, Ouw Hui
hanya bisa memberi persen kepada beberapa pelayan.
Beruntun beberapa hari, mereka mendapat peng-alaman
yang sama. Pada hari keempatnya, sesudah berangkat dari
sebuah rumah penginapan, Leng So berkata: "Toako, sesudah
memperhatikan beberapa hari, aku mendapat kenyataan,
bahwa sama sekali kita tidak dikuntit orang. Kemungkinan
satu-satu-nya ialah kita didahului seseorang yang mengatur
segala apa dan melukiskan romanmu. Sekarang, menurut
pendapatku, paling baik kita menyamar dan memperhatikan
segala apa dari pinggir. Barang-kali saja dengan berbuat
begitu, kita bisa mengorek rahasia ini."
"Bagus!" kata Ouw Hui dengan girang. "Sia-satmu sungguh
bagus." Setiba mereka di sebuah pasar, mereka lalu membeli
beberapa stel pakaian, sepatu dan topi dan kemudian berganti
pakaian di luar kota yang sepi. Dengan menggunakan
rambutnya, Leng So mem-buat sebuah kumis palsu sehingga,
sesudah memakai kumis, Ouw Hui kelihatan seperti seorang
yang berusia kira-kira empat puluh tahun, sedang si nona
sendiri, yang mengenakan jubah panjang dan topi, seperti
juga seorang pemuda kurus. Pe-nyamaran itu bagus sekali
dan mereka saling rae-mandang sembari tertawa besar.
Selanjutnya di pasar, mereka menukarkan kuda mereka
dengan keledai, sedang Ouw Hui sendiri membeli sebatang
huncwee (pipa panjang).
Di waktu magrib, mereka tiba di kota Kong-sui. Begitu
masuk ke dalam kota, di tepi jalan sudah menunggu dua
orang pelayan hotel yang matanya memperhatikan setiap
orang yang berlalu lintas. Ouw Hui merasa geli, karena
mengetahui bahwa mereka sedang menunggunya.
Bersama Leng So, ia segera pergi ke sebuah rumah
penginapan dan meminta kamar. Melihat dandanan mereka
yang sederhana, pengurus hotel tidak memandang sebelah
mata dan memberikan kepada mereka dua kamar samping
yang sempit. Sesudah siang berganti malam, dua pelayan yang
menunggu di pinggir jalan itu, pulang dengan uring-uringan
dan memberi laporan kepada pengu-rus rumah penginapan,
bahwa orang yang ditunggu tak kelihatan muncul.
Ouw Hui yang ingin mengorek keterangan, segera


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memanggil seorang antaranya untuk diajak bicara. Baru saja
ia coba memancing-mancing, ke-tika di luar mendadak
terdengar tindakan kuda, disusul masuknya beberapa orang.
"Aha!" kata pelayan itu dengan girang. "Ouw Toaya sudah
datang!" Ia segera tinggalkan Ouw Hui dan berlari-lari ke luar
untuk menyambut "Ouw Toaya".
Karena kepingin tahu, Ouw Hui juga segera ke luar dari
kamarnya dan pergi ke ruangan tengah.
Sementara itu, di antara suara ramai terdengar teriakan
seorang pelayan: "Bukan Ouw Toaya! Orang-orang dari
piauwkiok!"
Hampir berbareng dengan itu, dari luar ma-suklah seorang
pegawai piauwkiok yang membawa sebuah bendera
piauwkiok. Ouw Hui terkejut melihat bendera itu yang berlatar kuning
dengan sulaman kuda terbang dari benang hitam. Ia ingat,
bahwa bendera itu adalah lambang Hui-ma Piauw-kiok,
perusahaan Pek-seng Sin-kun Ma Heng Kong yang telah
menemui ajalnya di Siang-kee-po. Siapakah yang sekarang
menge-palai piauwkiok itu" Bendera itu sudah kumal dan
pegawai yang mencekalnya juga seorang tua yang berbadan
lemah, sehingga dapatlah ditarik kesim-pulan, bahwa selama
beberapa tahun Hui-ma Piauwkiok tidak mendapat kemajuan
apa-apa. Sesaat kemudian, dari luar berjalan masuk lagi seorang
lelaki yang bertubuh kekar dan berparas keren, sedang
mukanya penuh jerawat. Ouw Hui segera mengenali, bahwa ia
itu adalah Cie Ceng, murid Ma Heng Kong. Di belakang Cie
Ceng ber-jalanlah seorang wanita muda yang menuntun dua
anak laki-laki. Wanita tersebut bukan lain daripada Ma It
Hong, yang masih tetap cantik, hanya muka-nya kelihatan lesu
dan mencerminkan penderitaan. Kedua anak itu, yang baru
berusia kira-kira empat tahun, tampak mungil sekali dan
roman mereka sangat mirip satu dengan yang lain, sehingga
mung" kin sekali mereka adalah saudara kembar.
"Ibu, aku lapar," kata yang satu.
"Sebentar," kata sang ibu dengan suara per-lahan.
"Sesudah ayah mencuci muka, kita makan beramai-ramai."
"Kalau begitu mereka sudah menikah dan sudah
mempunyai anak," kata Ouw Hui di dalam hatinya.
Sebagaimana diketahui, di waktu Ouw Hui ditang-kap oleh
Siang Lootay dan kemudian dihajar oleh Siang Po Cin. Ma It
Hong pernah berusaha untuk menolong dirinya. Kejadian itu
sering diingat oleh Ouw Hui dengan rasa terima kasih. Jika
bukan berada dalam penyamaran, ia tentu sudah menghampiri
dan menegur kenalan lama itu.
Pada jaman itu, rumah-rumah penginapan bia-sanya tak
berani berlaku sembarangan terhadap orang-orang piauwkiok.
Maka itu, walaupun kereta piauwyang dilindungi Hui-ma
Piauw-kiok tak lebih dari sebuah dan pakaian para pegawainya
pun butut sekali, pengurus hotel tetap melayani mereka
dengan sikap hormat.
Begitu mendengar, bahwa kamar-kamar kelas satu sudah
terisi semua, Cie Ceng mengerutkan kedua alisnya. Baru saja
ia mau membuka mulut,
satu pegawai piauwkiok muncul dari ruangan belakang
sembari berkata: "Dua kamar besar yang meng-hadap ke
selatan masih kosong. Kenapa kau kata sudah tak ada kamar
kosong lagi?"
"Harap tuan sudi memaafkan," kata si pengurus hotel
sembari tertawa. "Dua kamar itu sudah di-pesan orang,
mungkin sekali akan digunakan malam ini."
Sebagai orang yang hidupnya tak begitu berun-tung, Cie
Ceng gampang sekali naik darah. Mendengar keterangan si
pengurus hotel, ia segera mengangkat tangan dan paras
mukanya berubah gusar. Tapi, sebelum ia mengumbar nafsu,
Ma It Hong sudah menarik ujung bajunya seraya berkata:
"Sudahlah! Kita hanya menginap semalam. Guna apa cerewetcerewet?"
Cie Ceng yang selalu mengindahkan isterinya, tak berani
bergerak lebih jauh. Sesudah mengawasi pengurus hotel itu
dengan mata melotot, ia segera mengikut isterinya ke sebuah
kamar yang letaknya di sebelah barat.
"Pembayaran mengantar piauw ini ada sangat kecil dan
supaya tidak menjadi rugi, kita harus berlaku hemat," kata Ma
It Hong sembari menarik tangan kedua puteranya. "Dengan
mengambil kamar ini kita bisa menghemat sedikit."
"Perkataanmu memang benar," kata Cie Ceng. "Aku hanya
merasa mendongkol melihat lagak an-jing-anjing itu yang
sama sekali tidak memandang orang."
Harus diketahui, bahwa sesudah Ma Heng Kong binasa di
Siang-kee-po, Cie Ceng dan Ma It Hong segera menikah dan
mereka berdua mewarisi Hui-ma Piauw-kiok. Akan tetapi, baik
dalam hal ke-pandaian maupun mengenai nama, Cie Ceng
masih kalah jauh dari gurunya. Di samping itu, ia berwatak
terus terang dan beradat berangasan, sehingga dalam tiga
empat tahun, beberapa kali ia "membentur tembok". Hanya
berkat usaha isterinya, baru ba-haya-bahaya itu dapat diatasi.
Dengan begitu, usaha Hui-ma Piauw-kiok lantas saja jadi
merosot dan mereka tak mendapat kepereayaan lagi untuk
meng-antar piauw yang besar. Kali ini, seorang saudagar ingin
mengirimkan sejumlah perak ke kota Po-teng, di propinsi
Titlee. Karena jumlah uang itu hanya sembilan ribu tahil dan
jika diserahkan kepada piauwkiok besar, ongkosnya terlalu
mahal, maka tugas itu lalu diserahkan kepada Hui-ma Piauwkiok.
Sedari bermula, kedua suami isteri itu selalu mengantar
piauw bersama-sama. Kali ini, karena tidak mempunyai orang
yang dapat dipereaya, maka It Hong mengambil keputusan
untuk membawa juga dua puteranya. Ia menganggap, bahwa
jumlah uang yang begitu kecil tak akan menarik perhatian dan
perjalanan itu bisa dilalui tanpa bahaya.
Sesudah mengawasi kereta piauw itu, Ouw Hui pergi ke
kamar Leng So. "Jie-moay," katanya. "Kedua suami isteri itu
adalah kenalan lama." Sehabis berkata begitu, dengan ringkas
ia menuturkan peng-alamannya di Siang-kee-po.
"Biarlah besok saja kita menegur mereka di jalan yang
sepi," kata si nona.
Ouw Hui tak menjawab, ia seperti sedang memikirkan apaapa.
"Jika kita menegur di jalan yang sepi, apakah kau khawatir
mereka akan menerka kita peram-pok?" tanya Leng So
sembari tertawa.
Ouw Hui juga turut tertawa. "Hm!" katanya. "Piauw yang
begitu kecil tak berharga untuk Ouw Toa-cee-cu (Cee-cu
berarti kepala rampok) turun tangan sendiri. Bagaimana
pendapat Thia Jie-cee-cu?"
Mendengar kakaknya berkelakar, Leng So tertawa geli.
Sesaat kemudian, paras mukanya berubah sungguh-sungguh.
"Jika tak salah, mereka berdua kosong kantongnya," katanya.
"Apakah tak baik kita memberikan mereka sedikit uang?"
Ouw Hui tertawa terbahak-bahak. Ia memang mempunyai
niatan begitu. Apa yang tengah di-pikirannya, adalah cara
bagaimana hadiah itu harus diberikan, supaya tak sampai
menyinggung pera-saan suami isteri Cie Ceng.
Malam itu, sesudah bersantap, Ouw Hui segera beristirahat
di kamarnya sendiri. Kira-kira tengah malam, di atas genteng
mendadak terdengar suara luar biasa. Sebagai orang yang
berkepandaian tinggi, Ouw Hui mempunyai panca indera yang
lebih tajam dari manusia biasa. Meskipun sedang pulas, suara
itu sudah cukup untuk menyadarkannya. Dengan cepat ia
bangun dan turun dari pembaringan. Ia mengetahui, bahwa di
atas genteng itu terdapat dua orang, yang sesudah bertepuk
tangan dengan per-lahan, segera melompat turun ke bawah.
"Siapakah manusia yang bernyali begitu besar, seolah-olah di
tempat ini tiada manusianya?" tanyanya kepada dirinya
sendiri. Dengan sebuah jarinya ia segera melubangkan kertas
jendela dan mengintip ke luar. Ia melihat, bahwa dua orang
yang mengenakan jubah panjang tanpa bersenjata, sedang
menuju ke pintu sebuah kamar yang menghadap ke selatan.
Begitu masuk, mereka segera menyalakan lampu.
"Ah, kalau begitu mereka bukan orang jahat," kata Ouw Hui
di dalam hatinya.
Tapi baru saja ia mau merebahkan diri di pem-baringan,
mendadak terdengar bunyi diseretnya ka-sut. Ternyata, yang
menyeret kasut adalah pelayan hotel yang menghampiri pintu
kamar dan berteriak: "Siapa" Kenapa tengah malam buta tak
masuk dari pintu luar dan turun seperti bangsat?" Ia mendorong
pintu itu dan kakinya melangkah ke dalam.
Tiba-tiba terdengar teriakan, "Aduh!" disusul terpentalnya
tubuh pelayan itu yang jatuh ngusruk di luar kamar.
Dengan serentak semua tamu mendusin dari tidurnya.
Salah seorang dari dua tamu yang mengenakan jubah panjang
itu, berdiri di tengah pintu. "Atas perintah Kee Kong Ong Toace-
cu, malam ini kami datang ke sini untuk merampas piauw,"
ia berteriak. "Yang kami cari adalah Cie Piauwtauw dari Huima
Piauw-kiok. Orang lain yang tak ada sangkut pautnya lebih
baik masuk ke kamar masing-masing dan tidur saja dengan
tenang." Mendengar perkataan itu, Cie Ceng dan Ma It Hong
menjadi gusar berbareng khawatir. Mereka merasa heran,
bagaimana kedua penjahat itu bisa mempunyai nyali begitu
besar untuk menghina orang di kota Kong-sui yang tidak kecil.
Kesombongan si penjahat adalah kejadian yang belum pernah
di-alami oleh mereka.
"Aku, si orang she Cie, berada di sini," kata Cie Ceng
dengan suara nyaring. "Siapakah sebenarnya Jie-wie?"
Orang itu tertawa bergelak-gelak. "Serahkan sembilan ribu
tahil perak itu dan benderamu kepada tuan besarmu,"
katanya. "Guna apa kau menanya-nanya namaku" Biarlah kita
bertemu pula di sebelah depan." Sehabis mengancam ia
bertepuk tangan dua kali dan kemudian, bersama kawannya,
ia melompat ke atas genteng.
Cie Ceng mengayun tangannya dan dua piauw bajanya
menyambar ke atas. Orang yang melompat belakangan
menyambut piauw itu dengan tangannya dan kemudian balas
menimpuk. Berbareng dengan muncratnya lelatu api, kedua
piauw itu rae-nancap di batu hijau yang terletak kira-kira satu
kaki dari tempat berdirinya Cie Ceng. Timpukan itu yang tepat
dan bertenaga besar berada di atas kepandaian Cie Ceng.
Kedua penjahat itu lalu tertawa terbahak-ba-hak, menyusul
mana terdengar derap kaki kuda yang dilarikan ke jurusan
utara. Sesudah mereka pergi jauh, barulah semua orang berani ke
luar lagi dari kamar mereka dan berunding berkelompokkelompok.
Ada yang mengusulkan supaya pengurus hotel
segera melaporkan kejadian ini kepada pembesar negeri, ada
yang membujuk supaya Cie Ceng mengambil jalan lain dan
sebagainya. Cie Ceng sendiri tidak mengeluarkan sepatah kata. Sesudah
mencabut senjata rahasianya yang menancap di batu, ia
segera kembali ke kamarnya. Dengan suara perlahan ia segera
berunding dengan isterinya. Mereka yakin, bahwa kedua orang
itu bukan penjahat sembarangan. Tapi, jika benar mereka
adalah orang-orang Kang-ouw yang kenamaan, kenapa
mereka raau merampas piauw yang ber-jumlah begitu kecil"
Biarpun mengetahui, bahwa jalan di depan penuh bahaya,
menurut kebiasaan, piauw yang sudah ke luar tak boleh
berbalik pulang. Jika mereka berbuat begitu, sama saja
mereka gulung tikar.
"Sahabat-sahabat di Hekto (jalanan hitam, yaitu perampok)
makin lama semakin tidak memandang orang," kata Cie Ceng
dengan suara mendongkol. "Apakah kita tak boleh mencari
sesuap nasi dengan melakukan pekerjaan begini" Sudahlah!
Biar aku mengadu jiwa dengan mereka" Kedua anak kita...."
"Dengan kawanan Hekto, kita sama sekali tidak mempunyai
permusuhan," kata sang isteri dengan suara menghibur.
"Urusan ini hanyalah urusan uang. Aku merasa, mereka bukan
maui jiwa kita. Tak apa jika kita membawa terus kedua anak
ini." Mulutnya berkata begitu, tapi hatinya sudah merasa
sangat menyesal. Memang tak pantas ia membawa-bawa dua
anak itu berkelana dalam dunia Kang-ouw yang penuh
bahaya. Dengan mengintip di jendela, Ouw Hui dan Leng So sudah
melihat dan mendengar segala apa. Diam-diam mereka
merasa heran, karena di sepanjang jalan, mereka telah
menemui kejadian-kejadian luar biasa. Sesudah menyamar,
mereka sendiri berhasil meloloskan diri dari perhatian orang,
tapi tak dinyana, mereka segera berpapasan dengan peristiwa
aneh lain yang mengenai Hui-ma Piauw-kiok.
Besok paginya, orang-orang Hui-ma Piauw-kiok segera
berangkat, dengan diikuti oleh Ouw Hui dan Leng
Cinta Bernoda Darah 18 Kekaisaran Rajawali Emas Pendekar 4 Alis I Karya Khu Lung Duel 2 Jago Pedang 1
^