Kisah Si Rase Terbang 12

Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung Bagian 12


an itu berakhir seri.
Tapi, baru menarik tangan kanan Ouw Hui sudah menangkap
tangan kanannya dan hampir berbareng, tangan kiri pemuda
itu menepuk sikut kanannya. Si tua mencelos hatinya dan
mem-berontak, tapi tidak berhasil. Keringat dingin mengucur
dari dahinya, ia merasa pasti lengan kanannya akan terpukul
patah. Di luar dugaan, seko-nyong-konyong Ouw Hui meloncat
ke pinggir dengan badan terhuyung. "Loo-ya-cu," katanya.
"Te-nagamu benar hebat, aku takluk."
Bukan main rasa berterima kasihnya si tua. Bahwa Ouw Hui
tidak menghantam lengannya, sudah merupakan suatu budi.
Tapi, budi yang lebih besar adalah, ia sudah berlagak
terhuyung, sehingga seolah-olah pertempuran itu berakhir seri
dan sudah menolong mukanya di hadapan orang-orang yang
dipimpinnya. Dengan demikian, nama besar-nya yang sudah
dijaga seumur hidup, jadi tertolong. Itulah suatu budi yang
benar-benar sukar dibalas. Buru-buru ia mencekal tangan Ouw
Hui seraya berkata sambil tertawa: "Saudara kecil, kau sungguh-
sungguh seorang gagah yang mulia. Marilah kita omongomong
di situ, supaya tidak terganggu."
Dengan bergandengan tangan, mereka masuk ke dalam
hutan. Tiba-tiba si tua melompat naik ke satu pohon besar dan
menggapai. Ouw Hui turut melompat dan mereka lalu duduk
di batang pohon. "Di tempat ini kita bisa bicara dengan
leluasa," kata orang tua itu.
Ouw Hui menggangguk dan hatinya merasa sangat girang.
"Dari Ong Tiat Gok, aku mendapat tahu, bahwa tuan
adalah seorang she Ouw bernama Hui," kata si tua. "Aku
sendiri she Cin, bernama Nay Cie. Selama berkelana di
kalangan Kangouw, aku sudah pernah menemui banyak juga
orang-orang gagah. Akan tetapi, orang yang seperti tuan,
yang berusia begitu muda dan berkepandaian begitu tinggi,
baru sekarang aku pernah bertemu." la berdiam sejenak dan
kemudian berkata lagi: "Tuan adalah seorang yang berhati
mulia dan berpemandangan jauh, sehingga aku berani
mengatakan, bahwa dalam Rimba Persilatan jarang terdapat
orang gagah seperti tuan. Tanpa malu-malu, aku, si tua,
mengaku kalah ter-hadapmu."
Sesudah mengucapkan kata-kata merendahkan diri, Ouw
Hui berkata: "Cin-ya (Ya adalah panggilan untuk orang
berpangkat atau orang yang berkedu-dukan tinggi), boanpwee
ingin memohon sedikit petunjuk."
"Saudara kecil, janganlah kau menggunakan panggilan itu,"
kata Cin Nay Cie dengan paras sungguh-sungguh. "Begini
saja: Karena aku berusia lebih tua dari padamu, biarlah aku
memanggil sau dara kepadamu, sedang kau memanggil Cin
Toako. Dengan menaruh belas kasihan, kau sudah menolong
muka si tua bangka. Ajukanlah segala pertanyaan dan aku
akan menjawab sebjsa-bisaku."
"Ah! Jangan Toako mengatakan begitu," kata Ouw Hui
dengan sikap jengah. "Apa yang ingin ditanyakan olehku,
adalah satu pukulan luar biasa yang tadi digunakan oleh Cin
Toako. Barusan, sam-bil melenggakkan badan ke belakang,
Toako telah mengirim satu pukulan luar biasa, yaitu lengan kiri
disilangkan di atas lengan kanan. Pukulan itu yang mempunyai
banyak perubahan aneh sudah membingungkan aku dan oleh
karenanya, aku merasa sangat kagum dan kepingin tahu."
Perkataan Ouw Hui menyenangkan sangat hati Cin Nay Cie.
Sesudah dikalahkan, ia harus menepati janji dan
memberitahukan hal ihwal mengenai "pe-rampokan" itu. Tapi
di luar dugaan, sebaliknya dari menagih janji, pemuda itu
sudah menanyakan suatu pukulan yang sangat dibanggakan
olehnya dan yang merupakan salah satu pukulan rahasia dari
Pat-kek-kun. Ia tersenyum seraya berkata: "Itulah suatu pukulan dari
partai kami yang memang agak berguna dan dinamakan
Song-tah-kie-bun (Dengan dua tin-ju memukul pintu)." Secara
terus terang ia segera menjelaskan lihaynya pukulan itu dan
perubahan-perubahannya yang luar biasa. Ouw Hui mendeTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
ngarkan dengan penuh perhatian dan mengajukan satu dua
pertanyaan untuk mendapat keterangan lebih jelas.
Dalam Rimba Persilatan, setiap cabang yang sudah menjadi
partai dan mempunyai banyak murid, sedikit banyak adalah
cabang persilatan yang di-segani orang. Pat-kek-kun juga
pernah mengalami jaman makmurnya dan di suatu masa,
nama be-sarnya tidak kalah dari partai-partai kenamaan lainnya,
seperti Thay-kek, Pat-kwa dan sebagainya.
Pada waktu bertempur melawan Cin Nay Cie, Ouw Hui
telah memperhatikan setiap pukulannya, sehingga ia bisa
mengajukan pertanyaan-pertanya-an tepat. Semula, Cin Nay
Cie masih sungkan mem-buka rahasia terlalu banyak, tapi
karena setiap pertanyaan Ouw Hui mengenakan jitu intisari
Pat-kek-kun, maka pada akhirnya, ia tidak dapat menahan lagi
hatinya dan lalu memberi keterangan sejelas-jelasnya. Di
samping itu, Ouw Hui juga menambah dengan pendapatnya
sendiri dan komen-tarnya itu telah membuktikan bahwa ia
sudah menyelami dasarnya ilmu silat Pat-kek-kun.
Satu jam sudah lewat, tapi mereka belum juga turun dari
pohon. Kawan-kawan Cin Nay Cie yang mengawasi dari
sebelah kejauhan, tak tahu apa yang dibicarakan. Mereka
hanya melihat kedua orang itu bicara sambil tertawa-tawa dan
menggerak-gerak-kan kaki-tangan, seperti orang sedang
bersilat. Sesudah lewat beberapa lama, mereka tidak memperhatikannya
lagi. Semakin beromong-omong, penghargaan Cin Nay Cie
terhadap Ouw Hui jadi semakin tinggi. "Saudara Ouw,"
katanya. "Pat-kek-kun adalah ca-bang persiratan yang sangat
lihay. Hanya sayang, aku belum mencapai puncaknya,
sehingga kena dirubuhkan olehmu."
"Cin Toako, jangan kau bicara begitu," kata Ouw Hui.
"Dengan setulus hati, aku mengagumi ilmu silat Pat-kek-kun.
Sekarang sudah sore dan tak pantas aku meminta pelajaran
lebih banyak lagi. Di hari kemudian, jika datang di Pakkhia,
aku tentu akan mengunjungi Toako untuk memohon lagi petunjuk-
petunjukyang lebih jelas. Untuk sementara, kita
berpisahan saja." Sehabis berkata begitu, ia menyoja dan
bergerak untuk melompat turun.
Orang tua itu kaget dan berkata dalam hatinya: "Sebelum
bertempur, kita sudah berjanji, bahwa jika aku kalah, aku
harus memberitahukan kepadanya hal ihwal perampokan ini.
Tapi ia hanya menanya-kan soal-soal ilmu silat dan tidak
menagih janjiku itu. Ah! Aku mengerti. Pemuda ini ingin
memberi muka kepadaku. Tapi mana bisa aku melanggar
janji?" Memikir begitu, lantas saja ia berkata: "Tung-gu dulu!
Saudara Ouw, jika tidak berkelahi, kita tidak bersahabat.
Sesuai dengan janjiku, biarlah sekarang aku memberitahukan
seluk beluk peris-tiwa ini."
"Baiklah," kata Ouw Hui. "Sebenarnya, aku pun mengenal
Siang Po Cin. Aku sungguh tidak mengerti, mengapa Ma
Kouwnio mendadak membinasakan-nya." Sehabis berkata
begitu lantas saja ia menuturkan apa yang dulu dialaminya di
Siang-kee-po. Kejujuran Ouw Hui yang telah bicara berterus terang, lagilagi
mengagumkan Cin Nay Cie. "Sau-dara Ouw," katanya.
"Penuturanmu telah meng-ingatkan aku apa yang sering
dikatakan orang, bahwa budi semangkok nasi, harus dibayar
dengan seribu uang emas. Bahwa kau tidak melupakan budi
Ma Kouwnio adalah suatu bukti, bahwa kau laki-laki sejati.
Tadi kau mengatakan, bahwa kau tak mengerti, mengapa Ma
Kouwnio begitu tega raem-binasakan Siang Po Cin,
kecintaannya. Apa kau menduga, dua putera Ma It Hong itu
adalah anak-nya Siang Po Cin?"
Ouw Hui mengagaruk-garuk kepalanya. "Sebelum menutup
mata, Cie Ceng telah mengatakan, bahwa dua anak itu bukan
puteranya," katanya. la adalah seorang pintar, tapi sekarang ia
benar-benar bingung.
"Saudara kecil," kata Cin Nay Cie. "Waktu kau berada di
Siang-kee-po, apakah kau pernah berte-mu dengan seorang
kongcu agung?"
Ouw Hui terkesiap, seolah-olah orang baru tersadar dari
pulasnya. Waktu berada di Siang-kee-po, ia hanya
memperhatikan Siang Po Cin yang duduk berduaan bersama
Ma It Hong dan ber-omong-omong di bawah pohon. Sebagai
bocah yang baru berusia belasan tahun, ia sama sekali tidak
memperhatikan lirikan-lirikan antara Ma It Hong dan si kongcu
"mahal". Sambil mengawaskan Cin Nay Cie, ia menanya: "Apa
Toako maksudkan si kongcu yang diiringi oleh Ong-sie
Hengtee dari Pat-kwa-bun?"
"Benar," si tua mengangguk. "Waktu itu Hok Kongcu
dilindungi oleh Ong-sie Hengtee."
Ouw Hui bengong dan alisnya berkerut. Ia coba mengingatingat
kejadian yang dulu itu sambil ber-kata dengan suara
perlahan: "Hok Kongcu.... Hok Kongcu.... Hm! Orangnya
cakap.... Ya! Memang mirip-mirip dengan kedua bocah itu...."
Cin Nay Cie menghela napas panjang seraya berkata: "Di
ini waktu Hok Kongcu adalah seorang pembesar tinggi yang
diuruk dengan kemuliaan, kekuasaan dan kekayaan. Mengenai
kekuasaan, be-liau hanya kalah setingkat dari Hongsiang
(kaisar). Mengenai kekayaan, apa pun juga yang diinginkan
olehnya, tentu diberikan oleh Hongsiang. Tapi, sesudah
berusia setengah tua, masih terdapat suatu ganjalan yang
tidak memuaskan hatinya. Ganjalan itu adalah: Beliau tidak
mempunyai putera atau puteri."
"Apakah Hong Kongcu yang sekarang dikenal sebagai Hok
Kong An?" tanya Ouw Hui.
"Benar," jawabnya. "Beliau adalah Hok Thay-swee yang
pernah menjadi Touw-tong (panglima besar) dari bala tentara
Boanciu, pernah menjadi Congtok propinsi Hunlam dan Kwiciu,
Congtok propinci Sucoan dan sekarang menjabat pangkat
Thaycu Thaypo (pembesar agung yang menilik putera
mahkota) merangkap Pengpo Siangsie (Men-teri
peperangan)."
"Hm! Sekarang aku mengerti," kata Ouw Hui. "Dua anak itu
adalah puteranya Hok Thayswee dan ia telah memerintahkan
kalian untuk menyambut-nya."
"Bukan begitu," membantah Cin Nay Cie. "Hok Thayswee
masih belum mengetahui, bahwa ia mempunyai dua putera
dan kami pun barusan saja mengetahuinya, sesudah
diberitahukan oleh Ma Kouwnio."
Ouw Hui manggutkan kepala dan berkata da-lam hatinya:
"Tak heran barusan Ma Kouwnio merah mukanya. Guna
kepentingan anaknya, dengan menahan malu, ia sudah
membuka rahasia itu ke-pada orang luar."
"Hok Thayswee hanya memerintahkan kami untuk menilik
keadaan Ma Kouwnio," kata pula orang tua itu. "Tapi dengan
meraba-raba maksud beliau, kami mengambil putusan, paling
benar mengajak Ma Kouwnio pulang ke Pakkhia. Sekarang,
suaminya meninggal dunia dan ia tak mempunyai senderan
lagi. Di kota raja, Ma Kouwnio bisa berkumpul dengan Hok
Thaysweee dan kedua puteranya. Aku merasa, penghidupan
itu adalah sepuluh kali lipat lebih baik daripada melakukan
pekerjaan piauw-kiok. Saudara Ouw, aku memohon supaya
kau sudi membantu kami dengan membujuk Ma Kouwnio."
Pikiran Ouw Hui kusut sekali. Mendengar perkataan Cin Nay
Cie, ia mengakui, bahwa itu adalah paling baik untuk Ma It
Hong dan dua puteranya. Tapi dalam hatinya ia merasa ada
apa-apa yang kurang tepat, hanya ia belum bisa mengatakan,
apa itu yang kurang tepat. Sesudah memikir beberapa saat, ia
menanya pula: "Bagaimana dengan Siang Po Cin" Bagaimana
ia bisa berada dalam rombongan kalian?"
"Siang Po Cin bekerja pada Hok Thayswee atas pujian
Ongsie Hengtee," menerangkan Cin Nay Cie. "Karena ia
mengenal Ma Kouwnio, maka ia turut datang ke mari."
Paras muka Ouw Hui lantas saja berubah. "Ka-!au begitu,
apakah ia membunuh Cie Toako atas perintah Hok
Thayswee?" tanyanya.
Si tua menggeleng-gelengkan kepala. "Bukan, bukan
begitu," ia membantah. "Hok Thayswee yang selalu teruruk
dengan pekerjaan, mana tahu Ma Kouwnio sudah menikah
dengan si orang she Cie" Beliau memerintahkan kami datang
ke sini untuk rnenyelidiki, karena didorong dengan peringatan,
dengan rasa cinta, yang dulu. Sekarang aku sudah menyuruh
dua saudara untuk pergi ke kota raja guna melaporkan
kejadian girang ini kepada Hok Thayswee yang sudah pasti
akan merasa girang sekali."
Bagi Ouw Hui, segala apa sudah menjadi terang. Pada
hakekatnya, ia merasa, bahwa dalam urusan ini, ia tak dapat
menyalahkan Hok Kong An atau Ma It Hong. Tentu saja Siang
Po Cin tidak pantas menurunkan tangan jahat terhadap Cie
Ceng, tapi karena ia sudah membayar hutang dengan jiwanya
sendiri, maka soal itu boleh tak usah dibicarakan lagi. Ia
hanya merasa sedih dan penasaran, karena mengingat nasib
Cie Ceng yang sangat buruk. Sebagai seorang jujur dan kasar,
semenjak dulu ia sudah mengetahui, bahwa dua anak itu
bukan anak-nya. Tapi ia sudah menutup mulut dan baru membuka
rahasia pada waktu hampir menarik napas yang
penghabisan. Makin dipikir Ouw Hui jadi makin kasihan,
sehingga suaranya bergemetar ke-tika ia berkata: "Cin Toako,
urusan ini sudah terang semua. Aku memohon maaf, bahwa
aku terlalu banyak mencampuri urusan orang lain." Ia
memberi hormat dan melompat turun ke bawah.
Cara melompat pemuda itu sudah mengejutkan sangat hati
Cin Nay Cie. Batang dan daun pohon sedikit pun tidak
bergoyang dan kenyataan ini mem-buktikan, bahwa waktu
melompat, Ouw Hui sama sekali tidak meminjam tenaga dari
pohon itu. Ke-pandaian itu adalah kepandaian yang tak bisa
diukur bagaimana tingginya. Cin Nay Cie mengakui, bahwa
andaikata ia berlatih terus dalam sepuluh tahun, belum tentu
ia bisa memiliki ilmu entengkan badan yang begitu tinggi. Ia
merasa heran, sungguh heran. bagaimana seorang yang
begitu muda sudah mem-punyai kepandaian yang sedemikian
lihay. Dengan rasa masgul, ia meloncat ke bawah dan ia
melihat Ouw Hui sudah masuk ke rumah batu,
Leng So yang sudah merasa bingung, girang sekali melihat
kembalinya Ouw Hui. Melihat paras kakaknya yang guram, si
nona tak berani menanya apa-apa. Tak lama kemudian, Ong
Tiat Gok datang dengan membawa sebakul nasi, daging
masak angsio dan tiga botol arak. Ouw Hui lantas saja
menuang arak itu, tapi sebelum ia meminumnya, Leng So


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah mengeluarkan sebatang jarum perak dan mencelupnya
di dalam arak untuk menyelidiki, apa arak itu mengandung
racun atau tidak. "Sebegitu lama Ma Kouwnio masih berada di
sini, mereka tak akan berani menaruh racun," kata Ouw Hui.
Muka Ma It Hong lantas saja berubah merah.
Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Ouw Hui terus minum
air kata-kata itu sehingga tiga botol arak kosong semuanya.
Dalam keadaan mabuk, ia menengkurap di atas meja dan lalu
tidur menggeros.
Waktu tersadar pada esokan paginya, pung-gungnya
ditutup dengan jubah panjang. Ia yakin, bahwa hal itu tentu
dilakukan oleh adiknya.
Dengan penuh rasa berterima kasih dan kasih-an, ia
mengawasi si nona yang sedang berdiri di depan jendela
dengan beberapa lembar rambutnya berkibar-kibar ditiup
angin pagi. "Jie-moay!" ia memanggil.
"Hm," sahutnya sambil memutar badan dan lalu
menghampiri. "Kau tak tidur?" tanya Ouw Hui seraya meman-dang muka
adiknya yang lesu. "Semalam aku lupa memberitahukan,
bahwa dengan adanya Ma Kouwnio, kita tak usah khawatir
gangguan mereka."
"Tengah malam tadi Ma Kouwnio telah ke luar dan sampai
sekarang ia belum kembali," kata si nona. "Ia berjalan keluar
dengan indap-indap, seperti khawatir kau tersadar, maka aku
pun lantas pura-pura pulas."
Ouw Hui terkejut dan lalu membuka pintu. Bersama Leng
So ia segera pergi ke hutan, ke tempat berkumpulnya
kawanan Cin Nay Cie. Benar saja di situ sudah tidak terdapat
seorang manusia.
Tertambat di satu pohon, mereka menemukan dua ekor
kuda yang rupanya sengaja ditinggalkan untuk mereka
berdua. Tak jauh dari dua kuda itu, terdapat dua ku-buran baru,
tanpa pertandaan apa-apa, sehingga mereka tak bisa
menebak, mana kuburan Cie Ceng, mana kuburan Siang Po
Cin. Dengan hati duka, Ouw Hui memandang dua gundukan
tanah itu. "Yang satu suami, yang lain musuh besar,
pembunuh suami," katanya di dalam hati. "Akan tetapi, di
mata Ma Kouwnio, mereka berdua mungkin tak banyak
bedanya. Mereka hanya merupakan dua manusia yang
mencintai Ma Kouwnio, tapi tidak dicintai, dan mereka
hanyalah orang-orang yang bernasib buruk, yang sudah
mengorbankan jiwa untuk Ma Kouwnio." Mengingat begitu, ia
menghela napas ber-ulang-ulang.
Sesudah itu, ia lalu menceritakan kepada Leng So segala
pengalaman dan pembicaraan dengan Cin Nay Cie kemarin.
"Oh begitu?" kata Leng So. "Cin Nay Cie di-kenal oleh
mendiang guruku dan ia mempunyai gelaran mentereng, yaitu
Pat-pi Lo-cia (Lo Ciayang bertangan delapan). Aku tak nyana,
dia sekarang sudah menjadi anjingnya bangsa Boan. Ouw
Toako, kita boleh tak usah mengenal dia lagi."
"Benar," sahut sang kakak.
"Hm!" menggerendeng Leng So. "Dengan isteri mencintai
satu Thay-cu Thay-po Peng-po Siang-sie, memang lebih baik
Cie Ceng mati siang-siang."
"Tak salah, lebih cepat mampus, memang lebih baik," sahut
Ouw Hui. Dengan berendeng, mereka lalu berlutut beberapa kali di
hadapan dua kuburan itu. "Cie Toako, Siang Kongcu," kata
Ouw Hui dengan suara parau. Tak perduli apa semasa hidup,
kalian telah mera-buang budi atau mendendam sakit hati
terhadapku, sesudah kalian berpulang ke alam baka, budi dan
sakit hati itu sudah lunas semuanya. Mengenai Ma Kouwnio, ia
sekarang sudah berenang dalam ke-mewahan dan kekayaan.
Aku hanya memberitahu-kan kalian, supaya kalian jangan
ingat-ingat pada-nya."
Sehabis bersembahyang, sambil menuntun dua ekor kuda
itu, Ouw Hui dan Leng So lalu mening-galkan hutan. "Toako,
ke mana kita sekarang per-gi?" tanya si nona.
"Paling dulu cari rumah penginapan," jawabnya. "Kau harus
tidur sampai puas. Aku tak mau adikku sakit."
Mendengar kata-kata "adikku", bukan main senangnya
Leng So. Ia mengawasi sang kakak dan tertawa manis.
* Thia Leng So pulas nyenyak sekali, sampai lohor baru ia
tersadar. Sesudah mencuci muka, seorang diri ia ke luar dari
rumah penginapan dengan mengatakan mau ke pasar untuk
membeli barang.
Waktu kembali ia membawa dua bungkusan besar.
"Toako," katanya sambil tertawa, "Coba te-bak, barang apa
yang dibeli olehku?"
Melihat pada bungkusan itu terdapat cap "Toko Pakaian
Loo Kiu Hok", Ouw Hui menyahut: "Apa kita menyamar lagi?"
Leng So lalu membuka dua bungkusan itu yang masingmasing
berisi sestel pakaian, pakaian lelaki yang berwarna
hijau muda dan pakaian perempuan, berwarna kuning muda.
Sesudah makan malam, si nona minta kakaknya mencoba
pakaian baru itu yang ternyata agak terlalu panjang dan
terlalu besar, sehingga ia lantas mengeluarkan gunting,
benang dan jarum dan mulai mengecilkannya di bawah sinar
lilin. "Jie-moay," kata Ouw Hui. "Menurut pikiranku, paling baik
kita sekarang pergi ke Pakkhia untuk melihat-lihat keramaian."
Leng So tertawa seraya berkata: "Benar tidak dugaanku"
Itulah sebabnya, aku sudah membeli dua stel pakaian baru,
supaya orang jangan mentertawai pakaian gadis dusun yang
jalan-jalan di kota raja."
"Jie-moay, kau benar pintar!" memuji sang kakak.
"Memang, kita, orang dusun, sekarang ingin menemui
pentolan-pentolan di bawah kakinya Anak Allah (kaisar) dan
menonton itu pertemuan para Ciangbunjin dari Hok Kongcu."
Kata-kata itu yang dikeluarkan dengan sikap acuh tak acuh,
bernada angker sekali.
"Apa maksud Hok Kongcu dengan mengadakan pertemuan
Ciangbunjin itu?" tanya si nona sambil terus menjahit.
"Bagaimana pendapatmu?"
"Terang bagaikan siang," jawabnya. "Dia tentu ingin
menjaring orang-orang gagah di seluruh ne-geri untuk
dijadikan kaki tangannya."
Leng So mesem, di dalam hati ia yakin, bahwa orang gagah
yang tulen belum tentu sudi menghadiri pertemuan itu. "Tapi
kenapa orang gagah yang seperti kau tak mau menghadiri
pertemuan itu?" tanyanya sambil tertawa.
"Aku belum termasuk orang gagah," kata Ouw Hui. Ia
berdiam sejenak dan berkata pula sambil menghela napas.
"Hm! Jika ayahku masih hidup, jika ia menyatroni dan
mengacau pertemuan itu, hasilnya tentu menggembirakan
sekali." "Aku rasa, kepandaianmu sendiri sudah cukup tinggi untuk
mengganggu Hok Kongcu," kata si nona. "Bukankah baik jika
kau mengacau sedikit rencananya" Menurut taksiranku ada
seorang sa-habat yang pasti akan pergi ke situ."
"Siapa?" tanya Ouw Hui.
"Kau jangan berlagak pilon!" kata sang adik.
Ouw Hui memang sudah menebak siapa yang dimaksudkan
Leng So, sehingga ia lantas saja berkata: "Belum tentu dia
datang." Ia berdiam sejenak, seperti orang berpikir, dan
berkata pula: "Mengenai Wan Kouwnio, aku masih merasa
sangsi, apa dia kawan atau lawan."
Leng so tertawa. "Jika aku mempunyai lawan yang
menghadiahkan Giok-hong-hong, aku rela bermusuhan
dengan semua manusia di dunia ini," katanya sambil tertawa.
Baru saja Leng So mengucapkan perkataan itu, di luar
jendela mendadak terdengar suara seorang wanita: "Baiklah!
Aku pun menghadiahkan kau seekor Hong-hong!"
"Srt!" serupa benda menyambar masuk dari kertas jendela.
Dengan cepat Ouw Hui menyambar garisan kayu dan
menghantam benda itu yang lantas saja jatuh di meja, dan
dengan berbareng, tangan kirinya mengebas api lilin yang
segera padam dan ruangan itu jadi gelap gulita.
"Omong-omong dengan memadamkan lilin, sungguh
bagus!" kata pula suara wanita itu.
Mendengar suara itu yang menyerupai suara Wan Cie Ie,
jantung Ouw Hui memukul keras. "Wan Kouwnio!" ia
memanggil. Hampir berbareng, ia mendengar tindakan kaki
yang sangat enteng yang menyingkir dari bawah jendela.
Ouw Hui menyulut lilin dan dari sinar pe-nerangan, ia
melihat muka Leng So yang berubah pucat. "Mari kita
menyelidiki," ia mengajak.
"Kau saja sendiri," jawab si nona.
"Hm!" menggerendeng Ouw Hui, kakinya tidak bergerak. Ia
mengambil benda yang barusan di-timpuk dari luar dan
ternyata benda itu adalah satu batu kecil. "Orang itu sangat
luar biasa," katanya di dalam hati. "Bagaimana ia bisa
mendengari di bawah jendela, tanpa diketahui olehku?"
Walaupun mengetahui, bahwa Leng So merasa sangat
kurang senang, ia membuka jendela dan melongok keluar. Di
luar gelap gulita, sunyi senyap, tanpa seorang manusia.
Dengan hati masgul, ia menutup jendela dan mendekati
adiknya. "Sudah malam, baik Toako pergi tidur," kata Leng So.
"Aku belum ngantuk," jawabnya.
"Tapi aku merasa capai," kata si nona. "Besok pagi-pagi
kita sudah mesti berangkat."
"Baiklah," kata Ouw Hui yang lalu bertindak ke luar dan
kembali di kamarnya. Malam itu, ia tak bisa pulas. Sambil
gulak-gulik di atas bantal, rupa-rupa pikiran masuk ke dalam
otaknya. Ia ingat Wan Cie Ie, ia ingat Thia Leng So, ia ingat
peristiwa Ma It Hong dan Cie Ceng. Sampai jam empat pagi,
baru-lah ia bisa pulas.
Besok paginya, dengan membawa pakaian Ouw Hui, Leng
So mengetuk pintu kamar pemuda itu. "Ouw Toako, lekas
bangun!" ia memanggil. "Ada barang baik untukmu."
Begitu pintu terbuka, si nona bertindak masuk, menaruh
pakaian itu di atas meja dan lalu keluar lagi. Ouw Hui segera
menukar pakaian dan ternyata, bahwa pakaian baru itu, yang
semula terlalu panjang dan longgar, sekarang pas persis di badannya.
Semalam, waktu kembali ke kamarnya, Leng So baru
saja mulai menjahit, sehingga dapatlah ditaksir, bahwa
semalaman suntuk si nona menger-jakan pakaiannya. Dengan
rasa berterima kasih, ia segera pergi ke kamar adiknya dan
berkata sambil menyoja: "Jie-moay, terima kasih banyak untuk
ke-baikanmu."
"Terima kasih apa?" kata sang adik sambil ter-tawa. "Lain
orang menghadiahkan kau seekor kuda yang sangat bagus."
Ouw Hui terkejut. "Kuda apa?" tanyanya.
Mereka lantas pergi ke pekarangan belakang dan benar
saja, seekor kuda bulu putih tertambat di tambatan kuda. Ouw
Hui kaget bukan main, karena kuda itu adalah kuda yang dulu
ditunggang Tio Poan San dan belakangan digunakan oleh Wan
Cie Ie. "Tadi pagi, baru saja aku bangun, pelayan hotel ribut-ribut
dan mengatakan, bahwa pintu depan dibuka pencuri,"
menerangkan Leng So. "Sesudah diselidiki, tak ada kehilangan
apa pun juga, tapi di pekarangan belakang tertambat kuda itu,
yang tak diketahui kapan datangnya." Sehabis berkata begitu,
ia mengangsurkan satu bungkusan sutera ke-pada Ouw Hui
dan di atas bungkusan itu tertulis: "Dipersembahkan kepada
Ouw Siangkong dan Thia Kouwnio".
Ouw Hui membukanya dan... matanya membe-lalak. Ia
terperanjat, karena isinya adalah seekor Giok-hong (burung
hong yang terbuat dari batu giok), yang tiada bedanya dengan
Giok-hong yang pernah dihadiahkan kepadanya oleh Wan Cie
Ie. "Apa Giok-hongku jatuh" Apa dicuri olehnya?" Ouw Hui
menanya diri sendiri, sambil merogoh saku. Tapi Giok-hong itu
masih tetap berada dalam sakunya dan ketika dikeluarkan,
ternyata kedua Giok-hong tiada bedanya, hanya yang satu
mengha-dap ke kiri, yang lain menghadap ke kanan.
Dalam bungkusan itu terdapat sehelai kertas dengan
tulisan: "Kuda kembali pada majikannya, Hong dihadiahkan
kepada pendekar wanita." Lagi-lagi Ouw Hui terkejut. "Kuda
itu bukan milikku," pikirnya. "Kenapa dikatakan, kuda kembali
pada majikannya" Apa dia ingin aku mengembalikannya
kepada Tio Samko?" Ia mengangsurkan kertas itu dan Giokhong
kepada Leng So seraya berkata: "Wan Kouwnio juga
menghadiahkan seekor Giok-hong kepadamu."
"Aku bukan pendekar wanita," kata si nona sesudah
membaca tulisan itu. "Giok-hong itu bukan untukku."
"Bukankah di atas bungkusan terang-terangan ditulis Thia
Kouwnio'?" kata Ouw Hui. "Dan semalam, ia pun telah berjanji
untuk menghadiahkan Giok-hong kepadamu."
Leng So mengangguk seraya berkata: "Jika kau
mengatakan begitu, biarlah aku menerimanya. Wan Kouwnio
begitu baik hati, tapi aku tak mempunyai apa-apa untuk
membalasnya."
Sesudah itu, mereka meneruskan perjalanan ke arah utara.
Di sepanjang jalan tak ada kejadian penting dan Wan Cie le
pun tak pernah muncul lagi. Mereka berjalan tanpa menyebutTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
nyebut lagi halnya nona itu, tapi di dalam hati, mereka selalu
mengingatnya. Setiap kali mereka bicara di dalam kamar, Wan
Cie le seolah-olah berada di luar jendela. Setiap kali mereka
berpapasan dengan penunggang kuda, hati mereka terkesiap,
seperti juga penunggang kuda itu adalah Wan Cie le.
Perjalanan ke Pakkhia bukannya dekat. Perjalanan itu harus
ditempuh dengan melawan salju, hujan dan angin. Semakin
lama, Leng So kelihatan jadi semakin kurus, mungkin karena
terlalu capai. Akhir-akhirnya, sesudah menderita banyak ke-sengsaraan,
mereka tiba juga di Pakkhia dan pada suatu hari, sambil
merendengkan kuda, mereka masuk ke kota raja.
Selagi masuk di pintu kota, Ouw Hui melirik adiknya dan
lapat-lapat, ia seperti melihat jatuhnya sebutir air mata Leng
So di atas tanah. Ia tidak melihat tegas, karena pada saat itu,
si nona melengoskan mukanya.
Tiba-tiba saja Ouw Hui merasa sangat menyesal dan ia
mengeluh dalam hatinya: "Ah! Guna apa aku datang ke
Pakkhia. Guna apa?"


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Waktu itu adalah jaman Kaisar Kian-liong, ka-pan seluruh
Tiongkok aman dan makmur dan kota Pakkhia menjadi pusat
segala kemewahan dan ke-indahan. Ouw Hui dan Thia Leng
So masuk dari pintu Ceng-yang-bun. Terlebih dulu mereka
men-cari rumah penginapandan minta dua buah kamar.
Sesudah makan tengah had, mereka keluar jalan-jalan di
jalanan raya yang ramai dan diapit dengan gedung-gedung
besar dan indah.
Sesudah mondar-mandir tanpa tujuan lebih dari satu jam,
Ouw Hui membeli kembang gula dan bebuahan dan
memakannya bersama Leng So sem-bari berjalan. Tiba-tiba
mereka mendengar suara gembreng dan melihat
berkerumunnya sejumlah orang di sebidang tanah lapang.
Setelah didekati, orang-orang itu ternyata sedang menonton
pertunjukan seorang penjual silat. Ouw Hui jadi tertarik. "Jiemoay,
mari kita lihat," katanya.
Mereka lalu mendesak maju dan melihat seorang lelaki
yang bertubuh tinggi-besar berdiri di tengah gelanggang
dengan tangan mencekal golok. "Tuan-tuan, sekarang aku
hendak bersilat dengan ilmu golok Su-bun To-hoat," katanya
sambil menyoja. "Aku memohon tuan-tuan suka memberi
pengajaran jika terdapat bagian-bagian yang kurang benar."
Sesudah memasang kuda-kuda, ia mulai bersilat dan
memperlihatkan macam-macam pukul-an, seperti Tay-pengtian-
cie (Garuda membuka sayap), Kim-kee-tok-lip (Ayam
emas berdiri dengan satu kaki), Hway-tiong-po-goat
(Mendukung bu-lan) See-Ceng-pay-Hud (See Ceng memberi
hormat kepada Sang Budha) dan Iain-lain. Pukulan-pu-kulan
itu dapat dikatakan dijalankan menurut per-aturan, hanya
gerakan kakinya "kosong" (tidak man-tap) dan sabetansabetan
goloknya agak "melayang" (tidak bertenaga),
sehingga pertunjukan itu tiada harganya untuk ditonton. Ouw
Hui merasa geli dan berkata dalam hatinya: "Aku memang
sudah lama mendengar, bahwa orang di kota raja kebanyakan
hanya bisa omong besar, tapi tidak berisi."
Baru saja ia menarik tangan Leng So untuk meninggalkan
tempat itu, dari antara orang banyak tiba-tiba terdengar suara
tertawa dan cacian. "Hei! ilmu golok apa yang dipertunjukkan
olehmu" Ilmu golok kentut anjing?"
Si penjual silat tentu saja jadi gusar sekali. Dengan mata
mendelik, ia membentak: "Kurang ajar kau! Ilmu golokku
adalah Su-bun To-hoat yang tulen. Apa ada bagian yang
salah" Jika benar, aku ingin minta pengajaranmu."
Hampir berbareng, seorang pria yang bertubuh kekar dan
mengenakan seragam bu-khoa (pem-besar militer) melompat
masuk. "Baiklah," katanya. "Aku bersedia untuk memberi
pelajaran." Sehabis berkata begitu, ia menghampiri si penjual
silat dan mengambil goloknya. Mendadak secara tak
disengaja, ia melihat Ouw Hui. Untuk sejenak, ia ter-tegun
dan kemudian berteriak dengan suara girang: "Ouw Toako!
Kau datang di Pakkhia" Ha-ha-ha! Kau adalah ahli silat golok
pada jaman ini. Cobalah jalankan sejurus dua jurus, supaya
bocah ini bisa membuka matanya."
Begitu lekas orang itu masuk ke gelanggang, Ouw Hui dan
Leng So sebenarnya sudah mengenali, bahwa ia adalah Ong
Tiat Gok, seorang tokoh dari Eng-jiauw-gan-heng-bun. Waktu
mengejar Ma It Hong, ia nyamar sebagai perampok dan
sekarang ia ternyata seorang bu-khoa. Ouw Hui tahu, bahwa
dia adalah seorang polos, bukan manusia licik. Ia tersenyum
seraya berkata: "Kepandaianku tak ada artinya. Ong Toako,
kau sajalah yang memper-lihatkan kemahiranmu."
Ong Tiat Gok jadi malu hati. Ia tahu, bahwa kepandaian
Ouw Hui banyak lebih tinggi dari pada-nya dan di hadapan
pemuda itu, mana ia berani memperlihatkan kepandaiannya"
Maka itu, ia lan-tas saja melemparkan golok yang dicekalnya.
"Mari!" katanya sambil tertawa. "Ouw Toako, nona ini she...
she Thia. Ya. Thia Kouwnio, mari kita minum beberapa cawan.
Dengan kalian datang sebagai tamu, aku mesti mengambil
peranan tuan rumah." Ia menarik tangan Ouw Hui dan lalu
berjalan pergi. Si penjual silat tentu saja tak berani cari urusan
dengan seorang pembesar dan tanpa mengatakan suatu apa,
ia lantas saja menjemput goloknya.
Sambil berjalan, Ong Tiat Gok berkata dengan suara
gembira: "Ouw Toako, orang kata tidak ber-kelahi, tidak jadi
sahabat. Aku benar-benar kagum melihat ilmu silatmu. Biarlah
besok aku memberi laporan kepada Hok Thay-swee. Ia tentu
akan memberi jabatan penting kepadamu. Aha! Kalau sudah
kejadian begitu, aku sendiri akan dipayungi olehmu...." Tibatiba
suaranya berubah perlahan. "Ouw Toako," katanya
separuh berbisik. "Kau tahu bagaimana keadaan Ma Kouwnio
sekarang" Ber-sama kedua puteranya, ia sekarang berdiam
dalam gedung Thayswee. Hidup beruntung dan mewah.
Hok Thayswee tidak kekurangan apa pun jua. Ia hanya
kekurangan anak. Mungkin sekali di satu hari Ma Kouwnio
akan diangkat menjadi Thayswee Hu-jin. Ha-ha-ha! Jika Toako
tahu, hari itu sudah pasti Toako tak akan bertempur dengan
rombongan kami. Bukankah begitu?" Sehabis berkata begitu,
ia tertawa terbahak-bahak.
Ouw Hui hanya mengangguk, ia tak mengeluar-kan sepatah
kata. Ia menganggap, bahwa sesudah suaminya meninggal
dunia, Ma It Hong memang merdeka untuk menikah lagi. Akan
tetapi, meng-ingat nasib Cie Ceng, hatinya jadi duka sekali.
Tak lama kemudian, mereka tiba di depan sebuah restoran
besar, yang di depannya digantung merek "Kie Eng Lauw"
(Loteng atau restoran tern-pat berkumpulnya orang-orang
gagah). Begitu melihat Ong Tiat Gok, pelayan buru-buru
mengham-piri seraya berkata: "Ong Tayjin, siang-siang kau
sudah datang. Mau makan apa" Apa mau minum arak dulu?"
"Baiklah," jawabnya. "Hari ini aku mengundang dua orang
sahabat yang berkedudukan tinggi. Kau harus membuat
sayur-sayur yang paling lezat."
"Tak usah Tayjin memesan," kata si pelayan sambil
mengantar tetamunya ke sebuah meja dengan kursi yang
indah. Sambil minum arak, Ouw Hui menyapu seluruh ruangan
dengan matanya. Ia mendapat kenyataan, bahwa sebagian
besar tamu berpakaian seragam militer atau orang-orang dari
Rimba Persilatan. Restoran itu ternyata adalah langganan
orang-orang dunia persilatan.
Makanan di kota raja tentu saja berbeda dengan makanan
di kota-kota lain. Lebih-lebih karena Ong Tiat Gok ingin
mempertahankan "muka", maka sa-yur-sayur yang dipesannya
semua sayur kelas satu. Sambil makan, Ouw Hui tak hentinya
memuji le-zatnya makanan itu.
Sesudah mencegluk belasan cawan arak, tiba-tiba
terdengar masuknya sejumlah orang di kamar sebelah dan tak
lama kemudian, mereka mulai berjudi.
"Thian-ong-kiu, makan semuanya!" demikian terdengar
teriakan seseorang.
Ouw Hui terkejut karena suara itu kedengaran-nya tak
asing lagi. "Kawan lama!" kata Tiat Gok sambil tertawa. "Cin Toako!"
ia berteriak. "Coba tebak, siapa yang lagi bersantap
denganku?"
Ouw Hui lantas saja ingat, bahwa yang dipanggil "Cin
Toako" mestinya Cin Nay Cie, Ciangbunjin dari Pat-kek-kun.
"Tak perduli!" teriak seorang di kamar sebelah. "Tak perduli
kau punya tamu babi atau tamu anjing. Keluarlah, mari ikut
jajal-jajal peruntungan."
"Tak apa kau mencaci aku, tapi jangan kau mencaci
seorang sahabat baik," kata Tiat Gok seraya tertawa. Ia
bangun berdiri dan berkata pula sambil menarik tangan Ouw
Hui: "Ouw Toako, mari kita lihat."
Begitu mereka menyingkap tirai dan bertindak masuk ke
kamar sebelah, Cin Nay Cie menengok dan ia kaget tak
kepalang. "Aduh! Kau!" teriaknya dengan girang. "Sungguh
tak dinyana!" Sambil mendorong kartu ( Kartu Paykiu terbuat
dari tulang) ia bangun berdiri dan lalu memukul kepalanya beberapa
kali. "Maaf! Maaf! Benar-be-nar aku kurang ajar," katanya
seraya tertawa. "Siapa nyana yang datang adalah Ouw Toako.
Mari, mari! Kau jadi 'cong' (bandar)."
Ouw Hui mengawasi dan ternyata, di seputar meja paykiu
berkumpul belasan orang dengan Cin Nay Cie sebagai "cong".
Antara mereka, kira-kira separuh terdiri dari orang-orang yang
pernah menyerang rombongan Hui-ma Piauw-kiok dengan
menyamar sebagai perampok. Ia mengenali si orang she Tie
yang bersenjata Lui-cin-tong, si orang she Siangkoan yang
menggunakan San-tian-tui dan si orang she Liap yang
bersenjata pedang. Melihat kedatangannya, ruangan yang tadi
ribut dengan mendadak berubah sunyi senyap.
Sambil menyoja keempat penjuru, Ouw Hui berkata:
"Terima kasih atas kebaikan tuan-tuan yang sudah sudi
mengajak aku turut berjudi."
Sesudah saling mengucapkan kata-kata meren-dah, orang
she Liap itu berkata: "Ouw Toako, ayolah, kau jadi 'cong'. Apa
kau bawa uang" Aku sedang mujur. Gunakanlah dulu
uangku." Sambil berkata begitu, ia mendorong tiga bungkusan
uang ke arah Ouw Hui.
Ouw Hui adalah seorang yang pandai bergaul. Biarpun ia
tak punya rasa simpati terhadap orang-orang itu yang menjadi
kaki tangan bangsa Boan, tapi karena melihat sikap mereka
yang manis dan juga karena ia sendiri memang gemar berjudi,
maka ia lantas saja berkata: "Biar Cin Toako saja yang
menjadi 'cong'. Siauwtee hanya mau coba-coba sedikit. Liap
Toako, simpan dulu uangmu. Kalau uangku sudah habis, baru
aku pinjam." la menengok dan berkata pula: "Jie-moay, apa
kau mau turut?"
Si nona tertawa dan menggelengkan kepalanya. "Tidak,
biar aku bantu kau mengangkut peraknya saja," katanya.
Cin Nay Cie tidak berlaku sungkan lagi dan lalu mencuci
kartu serta melempar biji-biji dadu. Ouw Hui dan Ong Tiat Gok
lantas saja turun ke ge-langgang. Semula, karena datangnya
seorang luar, beberapa bu-khoa agak kikuk, tapi sesudah beberapa
lama, suasana jadi gembira kembali dan semua orang
bisa berjudi dengan memusatkan seantero perhatiannya.
Ouw Hui main kecil, ada kalah, ada memang. la berjudi
tanpa perhatian, karena pikirannya sedang bekerja di jurusan
lain. "Hari ini adalah Pee-gwee Ceekauw (Bulan Delapan
tanggal sembilan)," pikirnya. "Lagi lima hari perayaan Tiongchiu.
Pesta besar untuk menyambut pertemuan para Ciangbunjin
yang dihimpunkan oleh Hok Kongcu, ke-banyakan akan
diadakan pada harian Tiong-chiu. Mungkin sekali bangsat
Hong Jin Eng, sebagai Ciangbunjin dan Ngo-houw-bun, akan
datang ke sini. Tapi andaikata ia tak datang, aku masih bisa
mencari tahu halnya dalam pertemuan itu. Orang-orang ini
adalah pembantu-pembantu yang diper-caya oleh Hok
Kongcu. Banyak sekali untungnya jika aku bergaul dengan
mereka." Sesudah meng-ambil keputusan itu, ia mulai main
dengan gembira. Selang beberapa lama, kartunya mulai dapat
angin dan dalam sekejap, ia sudah menang kurang-lebih lima
ratus tahil perak.
Selang satu jam lebih, siang mulai terganti dengan malam
dan semakin lama orang main semakin besar. Tiba-tiba di luar
terdengar suara tindakan sepatu, tirai tersingkap dan tiga
orang kelihatan berjalan masuk. Melihat mereka, Ong Tiat Gok
lantas saja bangun berdiri dan berkata dengan sikap
menghormat: "Aha! Toasuko, Jiesuko, kalian juga datang."
Semua orang yang berjudi turut menyambut dengan macammacam
panggilan, ada yang memanggil "Ciu Toaya" dan "Can
Jieya", ada pula yang menggunakan istilah "Ciu Tayjin" dan
"Can Tayjin". Ouw Hui dan Leng So lantas saja bisa menebak
siapa mereka itu. "Mereka tentunya Ciu Tiat Ciauw dan Can
Tiat Yo dari Eng-jiauw-gan-heng-bun," kata Ouw Hui dalam
hatinya. "Mereka memang mempunyai nama yang tidak kecil."
Ia mengawasi dan mendapat kenyataan, bahwa Ciu Tiat
Ciauw bertubuh kurus-kecil, tingginya tidak lebih dari lima
kaki, usianya baru kira-kira lima puluh tahun, tapi rambutnya
sudah berwarna putih, sedang Can Tiat Yo, yang berusia
sedikit lebih muda dari kakak seperguruannya, berbadan
jangkung-kurus, tangan-nya mencekal pipa Pit-yan-hu, pada
makwanya ter-gantung rantai emas dan gerak-geriknya
seperti seorang bangsawan. Melihat orang yang ketiga, Ouw
Hui agak terkejut, karena ia mengenali, bahwa orang itu
bukan lain dari pada In Tiong Shiang yang dulu pernah
bertemu dengannya di Siang-kee-po. Rambutnya orang itu
sudah berwarna dauk dan ia kelihatannya banyak lebih tua.
Begitu masuk, mata In Tiong Shiang menyapu muka Ouw Hui,
tapi ia tidak memperdulikan, karena menganggap pemuda itu
sebagai seorang pemuda desa biasa. Sebagai-mana diketahui,
dalam pertemuan di Siang-kee-po,
Ouw Hui baru berusia dua belas atau tiga belas tahun.
Cin Nay Ciauw buru-buru bangun berdiri seraya berkata:
"Ciu Toako, Can Jieko, aku mohon mem perkenalkan kalian
dengan seorang sahabat. Inilah Ouw Toako yang mempunyai
kepandaian tinggi. la baru saja datang di kota ini."
Ciu Tiat Ciauw dan adik seperguruannya hanya
mengangguk sedikit. Sebagai orang-orang ternama di kota
raja, mereka tentu saja tidak memandang sebelah mata
kepada Ouw Hui yang dianggapnya sebagai pemuda desa.
Sementara itu, Tiat Gok mengawasi Leng So dengan rasa
heran, karena si nona sama sekali tidak menegur kedua
saudara seperguruannya, sedang ia pernah mengaku
mengenal mereka. Ia tentu saja tak tahu, bahwa pada ketika
itu, si nona bicara sembarangan saja untuk memancing
dirinya. Leng So sendiri hanya tersenyum sambil manggutmanggutkan
kepalanya dan Tiat Gok tak berani menanya apaapa.
Sesudah menjadi "cong" dua kali lagi, Cin Na Cie
menyerahkan kepada Ciu Tiat Ciauw. Dengan kedatangan tiga
"musuh" baru, pertaruhan lantas saja berubah besar. Ouw Hui
semakin mujur. Belum setengah jam ia sudah menang seribu
tahil lebih Yang paling apes adalah Ciu Tiat Ciauw. Baru jadi
bandar, sebagian besar uangnya sudah amblas. Sesudah
menjadi "enng" sekali lagi dengan kekalahati yang lebih ht
bat. ia mendorong kartu seraya berkata: "Aku laci sial. Jietee,
biarlah kau yang jadi bandar."
Kartu Can Tiat Yo sedang-sedang saja, tak mujur dan juga
tak sial. Ouw Hui terus dapat angin, dengan beruntun ia
mengeduk kira-kira sembilan Ratus tahil lagi, sehingga di
depannya penuh dengan Tumpukan perak.


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Anak desa lagi disayang oleh Malaikat uang." kata Tiat Yo
sambil tertawa. "Mari. Kau saja yang jadi bandar."
"Baiklah," kata Ouw Hui yang lalu mencuci kartu. Dadu
dibuang dan kartu-kartu dibagi. Ouw hui membuka kartunya
yang ternyata dua kartu pertama delapan mata, sedang dua
kartu yang kedua sepasang "Panteng" (nama kartu) dan ia
"makan" dua orang.
Biarpun kalah, Ciu Tiat Ciauw tidak jadi mendongkol dan
Can Tiat Yo pun menerima kekalahan dengan sikap tenang
sambil tertawa-tawa dan guyon-guyon. Orang yang uringuringan
adalah In Tiong Shiang dan semakin ia marah-mai ah
semakin besar kekalahannya. Akhirnya, dengan mata melotot
ia mendorong semua sisa uangnya yang berjumlah kira-kira
dua ratus tahil. Selelah kartu dibuka, ia keok lagi, tiga mata
dimakan tiga mata, sembilan mata dimakan sembilan mata.
Muka In Tiong Shiang lantas saja berubah pucat. Ia
mengangkat tangan dan menggebrak meja, sehingga kartu,
biji dadu dan uang pada meloncat ke atas. 'Kartu si anak desa
ada setannya!" teriaknya,"Mana bisa begitu gila" Tiga mata
makan tiga, sembilan makan sembilan. Biarpun mujur, tak
mungkin mujur sampai begitu!"
"In Toako," kata Cin Nay Cie. "Jangan kau bicara
sembarangan. Ouw Toako adalah seorang sahabat baik."
Semua orang mengawasi In Tiong Shiang dan kemudian
memandang Ouw Hui. Orang-orang yang pernah menyaksikan
kelihayannya pemuda itu, semua menduga, bahwa ia tak akan
tinggal diam tuduhan main curang yang bersembunyi dalam
kata-kata In Tiong Shiang. Mereka yakin, jika sampai
bergebrak, si orang she In akan mendapat malu besar.
Tapi di luar dugaan, Ouw Hui tak jadi gusar. "Menang-kalah
adalah kejadian lumrah dalam pe-perangan," katanya sambil
tersenyum. "Perlu apa In toako jadi panas perut?"
Tiba-tiba In Tiong Shiang bangun berdiri dan membuka tali
ikatan pedangnya yang tergantung di pinggang. Semua orang
menduga ia mau turun tangan, tapi mereka tidak mencegah.
Harus dike-tahui, bahwa terjadinya perkelahian karena garagara
judi adalah kejadian biasa di kota raja. Tapi In Tiong
Shiang bukan mau bertempur. Sambil meletakkan pedangnya
di atas meja, ia berkata: "Pe-dangku ini paling sedikit
berharga lima ratus tahil perak. Mari kita bertaruh lima ratus
tahil sekali pukul!" Pedang itu indah sekali dengan sarungnya
yang tertahta emas dan batu-batu permata dan dapat ditaksir,
bahwa harganya memang tak kecil.
"Baiklah," kata Ouw Hui sambil tersenyum.
Sambil mengambil kartu dan biji dadu, In Tiong Shiang
berkata: "Kali ini satu lawan satu, aku dan si anak desa. Lain
orang tak boleh turut."
Ouw Hui segera mengambil lima ratus tahil dan
mendorongnya ke depan. "Lemparlah dadu," katanya dengan
suara tenang. In Tiong Shiang memegang dua biji dadu dalam tangannya
dan menggoyang-goyang beberapa kali. Sesudah meniup
keras, ia melontarkannya. Sebuah dadu lima mata, yang
sebuah lagi empat mata, jadi semuanya sembilan mata, yang
mana berarti, bahwa ia berhak menarik empat kartu terlebih
dulu. Begitu melihat kartunya, paras mukanya lantas saja
berseri-seri. "Anak desa, kali ini kau tak bisa main gila lagi!"
katanya seraya membuka tangan kirinya di mana terdapat dua
kartu dengan sembilan mata dan setelah ia membuka
telapakan tangan kanannya, ter-lihatlah sepasang Thian-pay.
Ouw Hui sendiri tidak membuka kartunya. Dengan jari ia
meraba-raba muka kartu dan kemudian, ia menaruh keempat
kartu itu, dengan ditengkurep-kan, di atas meja, dua di depan
dan dua di belakang.
"Anak desa!" bentak In Tiong Shiang. "Balik kartumu!"
Karena merasa pasti menang, ia segera menyapu lima ratus
tahil uang Ouw Hui ke ha-dapannya.
"Jangan terburu nafsu, lihat dulu kartu Ouw Toako," kata
Tiat Gok. Ouw Hui tak mengeluarkan sepatah kata. Ia melonjorkan
tiga jarinya dan perlahan-lahan menepuk belakang keempat
kartunya. Sesudah itu, ia mendorong empat kartu itu yang
lantas saja ber-campuran dengan kartu-kartu lain yang sudah
di-buang. "Kau menanglah!" katanya sambil tersenyum.
Bukan main girangnya In Tiong Shiang. Tapi... baru saja ia
niat mengejek si anak desa, secara kebetulan matanya melihat
meja dan semangatnya terbang! Mukanya pucat dan ia
mengawasi meja dengan mata membelalak.
Mengapa" Di muka meja yang dicat merah terdapat peta dari empat
kartu itu. Dua kartu yang di depan adalah sepasang "Tiangsam",
sedang dua kartu di belakang, yang satu tiga mata,
yang lain enam mata, sehingga jika dipersatukan terdapatlah
kartu "Cie-cun-po".
Apa yang mengagumkan adalah peta kartu itu yang sangat
nyata dan setiap matanya seolah-olah menonjol ke atas.
Bahwa dengan sekali menepuk Ouw Hui sudah dapat
melakukan itu, merupakan bukti, bahwa ia memiliki Lweekang
dan ilmu yang sukar ditaksir tingginya. Para penjudi adalah
ahli-ahli silat dan melihat kejadian itu, tanpa merasa mereka
bersorak sorai.
Muka In Tiong Shiang jadi merah padam. Dengan kasar, ia
mendorong pedang dan perak ke depan Ouw Hui. Cepat-cepat
ia bangun dan lalu berjalan ke luar.
Sambil mencekal pedang, Ouw Hui memburu seraya
berteriak: "In Toako, aku tak bisa meng-gunakan pedang.
Guna apa pedang ini?" Seraya berkata begitu, ia
mengangsurkan pedang tersebut kepada In Tiong Shiang.
In Tiong Shiang tidak menyambuti. Ia meng-awasi dan
berkata: "Apakah aku boleh tahu nama tuan yang terhormat?"
Sebelum Ouw Hui sempat menjawab, Ong Tiat Gok sudah
mendului: "Sahabat ini she Ouw ber-nama Hui."
"Ouw Hui".... Ouw Hui...." In Tiong Shiang berkata seorang
diri. Tiba-tiba ia seperti baru men-dusin dari tidurnya. "Ah!" ia
mengeluarkan seruan tertahan. "Kita pernah bertemu di
Shoatang, di Siang-kee-poo...."
"Benar," kata Ouw Hui. "Aku pernah bertemu muka dengan
In-ya, hanya sayang barusan In-ya tidak mengenali."
Muka In Tiong Shiang jadi semakin pias. Ia menyambuti
pedang itu yang kemudian lalu dilem-parkan ke atas meja.
"Tak heran! Tak heran!" katanya sambil menyingkap tirai dan
lalu berjalan pergi dengan tindakan lebar.
Semua orang lantas saja ramai bicara, dan ada yang
memuji kepandaian Ouw Hui, ada yang men-cela In Tiong
Shiang yang dikatakan berjiwa kecil dan marah-marah karena
kalah berjudi. Perlahan-lahan Ciu Tiat Ciauw bangun berdiri dan sambil
menunjuk tumpukan perak di depan Ouw Hui, ia menanya:
"Saudara Ouw, berapa jum-lah uangmu?"
"Empat-lima ribu tahil," jawabnya.
Sambil mengocok-ngocok dadu dalam tangan kirinya,
tangan kanan Ciu Tiat Ciauw merogoh saku dan mengeluarkan
sebuah amplop yang lalu diletak-kan di atas meja. "Baiklah,"
katanya. "Kita berjudi satu kali lagi."
Di atas amplop itu tidak tertulis apa pun juga. sehingga tak
diketahui apa di dalamnya. Semua orang menganggap, Ouw
Hui akan menolak tan-tangan yang luar biasa itu. Bagaimana
jika di dalamnya hanya terisi selembar kertas putih" Tapi di
luar dugaan, tanpa memikir dan tanpa menanya, ia
mendorong semua perak seraya berkata: "Baiklah!"
Ciu Tiat Ciauw dan Can Tiat Yo saling meng-awasi dengan
perasaan kagum. Di dalam hati, mereka memuji pemuda itu
yang luar biasa dan tidak memandang harta dunia.
Ciu Tiat Ciauw segera menjemput dadu yang lalu
dilemparkannya dan hasilnya tujuh mata, sehingga Ouw Hui
paling dulu menarik kartu, sedang ia sendiri mendapat giliran
yang ketiga. Sesudah melirik kartunya dengan sikap acuh tak
acuh, ia membaliknya dan menepuknya dua kali di atas meja.
Semua orang mengawasi dengan mata membelalak dan
kemudian bersorak sorai.
Mengapa mereka bersorak"
Ternyata, empat kartu itu, dua di depan dan dua di
belakang, telah melesak masuk di meja dan muka kartu rata
dengan permukaan meja. Andai-kata seorang tukang kayu
memahat meja itu dan memasukkan kartu-kartu tersebut ke
dalam lubang yang dipahatnya, dia pasti tak akan bisa
melakukan secara begitu sempurna seperti yang dilakukan
oleh Ciu Tiat Ciauw. Nilai kartu itu tidak tinggi, yang di depan
lima mata dan yang di belakang enam mata.
Ouw Hui lantas saja bangun berdiri. "Ciu Toaya," katanya
seraya tertawa. "Maaf, kali ini aku kembali menang!"
Berbareng dengan perkataannya, ia melemparkan kartuTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
kartunya ke atas. Di lain saat, empat kartu itu melayang turun
ke atas meja dan jatuh dengan mengeluarkan suara "plakplak"
dan... lho! Empat kartu itu pun melesak masuk di meja,
muka kartu rata dengan permukaan meja, dua di depan dan
dua di belakang!
Dengan menggunakan Eng-jiauw-lat (Tenaga kuku garuda)
yang sudah dilatih puluhan tahun, Ciu Tiat Ciauw telah
memperlihatkan kepandaiannya dengan menepuk kartu-kartu.
Kepandaian itu memang sudah hebat bukan main. Tapi di luar
dugaan, apa yang diperlihatkan Ouw Hui berlipat ganda lebih
hebat. Dengan melontarkannya ke atas, ia dapat melakukan
apa yang dilakukan Ciu Tiat Ciauw dengan menepuk. Itulah
kepandaian yang sungguh belum pernah dimimpikan oleh
setiap orang dan kekagetan mereka adalah sedemikian besar,
sehing-ga mereka tak dapat bersorak lagi.
Dengan paras muka tenang Ciu Tiat Ciauw mendorong
amplop itu kepada Ouw Hui seraya berkata: "Hari ini kau
benar-benar mujur." Ternyata empat kartu pemuda itu bernilai
"Pat-pat-koan" yang di depan delapan mata dan yang di
belakang pun delapan mata.
Ouw Hui tertawa dan mendorong balik amplop itu. "Ciu
Toaya," katanya. "Barusan kita hanya gu-yon-guyon dan tak
boleh dianggap sebagai sung-guhan."
Alis Ciu Tiat Ciauw berkerut dan berkata dengan sikap
keren: "Saudara Ouw, jika kau menolak, kau seperti juga
menghina aku, si orang she Ciu. Jika aku yang menang, aku
pun tak akan sungkan-sungkan lagi. Apa yang dipertaruhkan
olehku adalah sebuah rumah yang baru dibeli olehku di Soanbu-
bun. Rumah itu tidak besar dan juga tidak kecil, tanahnya
hanya seluas empat bauw." Sambil berkata begitu, ia
mencabut sehelai surat rumah dari dalam amplop itu.
Semua orang terkejut. Mereka tak nyana, per-taruhan itu
ada sedemikian besar. Mereka tahu, bahwa sebuah gedung di
daerah Soan-bu-bun paling sedikitnya berharga selaksa tahil
perak. Seraya mengangsurkan surat rumah itu kepada Ouw Hui,
Ciu Tiat Ciauw berkata: "Hari ini kau diikuti Malaikat harta.
Sekarang kita berhenti saja. Kalau kau menolak rumah ini,
artinya kau memandang rendah kepadaku."
Ouw Hui tertawa seraya berkata: "Kalau begitu, baiklah aku
menerima saja. Nanti, sesudah meng-ambil alih, aku akan
mengundang saudara-saudara sekalian untuk berjudi lagi."
Semua orang lantas saja mengiyakan dengan hati gembira.
Ciu Tiat Ciauw segera menyoja dan bersama Can Tiat Yo, lalu
meninggalkan rumah makan itu. Tak lama kemudian, Ouw Hui
dan Leng So pun meminta diri dan kembali ke rumah penginapan.
"Memang sudah nasibmu harus menjadi seorang kaya
raya," kata Leng So seraya tertawa geli. "Biarpun ingin
menolak, kau tak bisa menolaknya. Di Gie-tong-tin, kau telah
meninggalkan rumah dan tanah. Siapa duga, baru saja datang
di Pakkhia, kau kembali mendapat sebuah gedung."
"Orang she Ciu itu dapat dikatakan seorang gagah," kata
Ouw Hui. "Kepandaian yang dipertun-jukkannya bukan
kepandaian yang bisa dimiliki oleh sembarang orang. Aku tak
nyana dalam kalangan pembesar negeri terdapat orang
begitu." "Bagaimana dengan gedung itu?" tanya Leng So. "Mau
ditinggali atau mau dijual?"
Ouw Hui tertawa terbahak-bahak. "Mungkin sekali besok
aku akan kalah habis-habisan," kata-nya. "Apa kau kira
Malaikat harta bisa terus menerus mengikuti aku?"
Pada keesokan paginya, baru saja mereka sa-rapan,
pelayan hotel sudah datang bersama seorang setengah tua.
"Ouw Toaya, tuan ini ingin menemui kau," katanya.
Ouw Hui tak kenal orang itu yang memakai kaca mata
hitam, mengenakan thungsha dan makwa baru dan berkuku
panjang. la memberi hormat dengan menekuk lutut kanannya.
"Ouw Toaya," katanya. "Ciu Tayjin menyuruh aku datang ke
mari untuk menemui dan menanya Toaya, kapan Toaya
mempunyai waktu untuk memeriksa gedung di Soan-bu-bun.
Jika ada sesuatu yang kurang cocok, Toaya boleh
memberitahukanku, supaya aku bisa panggil tukang untuk
mengubahnya. Aku she Ong, pe-ngurus gedung itu."
Karena memang ingin lihat macamnya gedung itu, ia
segera berpaling kepada Leng So dan berkata: "Jie-moay,
mari kita tengok."
Begitu tiba, Ouw Hui dan Leng So mengawasi dengan
mulut ternganga. Gedung itu ternyata sebuah gedung besar
dan mewah, pintunya dicat merah, temboknya tinggi dan
undakan tangga dibuat dari batu marmer hijau. Mereka masuk
di pintu tengah, ke ruangan depan, ruangan belakang, ruangan
samping, terus sampai ke kamar-kamar samping yang
terletak di kiri kanan. Gedung itu bukan saja besar dan
mewah, tapi semua perabotannya pun indah dan lengkap.
"Ouw Toaya, jika kau sudah setuju, pindahlah sekarang,"
kata si orang she Ong. "Can Toaya sudah memesan meja
perjamuan untuk menjamu Toaya, malam ini. Ciu Toaya, Ong
Tayjin dan yang Iain-lain pun akan datang ke sini untuk
memberi selamat."
Ouw Hui tertawa terbahak-bahak. "Aha! Mereka sudah
mengatur sempurna sekali," katanya. "Kalau begitu, baiklah."
6i pengurus rumah segera membungkuk dan berlalu untuk
mengurus segala keperluan.
"Toako," kata Leng So. "Menurut pendapatku, gedung ini
berharga lebih dari dua laksa tahil perak. Aku merasa, bahwa
dalam peristiwa ini bersem-bunyi apa-apa yang luar biasa."
"Benar," kata sang kakak. "Bagaimana penda-patmu?"


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku menduga ada seseorang yang diam-diam menyukai
kau," jawabnya sambil tersenyum. "Maka itu, berulang-ulang
ia memaksakan hadiah besar kepadamu."
Paras muka Ouw Hui berubah merah, karena ia merasa,
bahwa "seseorang" itu dimaksudkan Wan Cie Ie. Ia
menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum. Leng So
tertawa geli. "Toako, aku hanya guyon-guyon," katanya. "Aku
tahu, kakakku adalah seorang jantan yang tidak memandang
sebelah mata segala kekayaan dunia. Orang yang memberi
hadiah sudah pasti bukan sahabatmu. Jika benar ia, bukankah
lebih baik ia memberi sebuah Giok-hong-hong" Orang
yang bersembunyi di belakang layar tentunya bukan manusia
biasa." "Hok Thayswee?" tanya Ouw Hui. "Mungkin sekali,"
jawabnya. "Hok Thayswee berkedudukan tinggi, beruang dan
banyak kaki ta-ngannya. Siapa yang bisa menandinginya" Di
sam-ping itu, kau tak boleh melupakan Ma Kouwnio. Sesudah
ia mendapat kedudukan tinggi dan hidup mewah, sepantasnya
saja jika ia ingin memberi apa-apa kepadamu. Mereka tahu,
kau adalah manusia jujur dan keras kepala yang pasti tak mau
menerima harta terkejut. Maka itu, mereka mengatur siasat
dan memerintahkan orang-orangnya menyerahkan hadiah itu
di atas meja judi."
Ouw Hui mengangguk. "Aku rasa tebakanmu tidak
meleset," katanya. "Semalam jika benar Ciu Tiat Ciauw
sengaja ingin menyerahkan gedung ini kepadaku, biarpun ia
menang pada babak itu, ia tentu akan mengajak berjudi terus
dan pada akhir-nya ia pasti bisa mendapat jalan untuk
mencapai maksudnya."
"Bagaimana pikiranmu sekarang?" tanya si adik.
"Malam ini aku akan mengajak mereka berjudi lagi dan
akan sengaja membuat diriku kalah untuk mengembalikan
gedung ini," jawabnya.
"Bagus!" kata si nona sambil tertawa geli. "Ke-dua belah
pihak bukan berebut menang, tapi be-rebut kalah. Sungguh
menarik!" Malam itu, Can Tiat Yo telah mengirim satu meja
perjamuan yang terdiri dari sayur-sayur pilihan dan si
pengurus she Ong lalu mengaturnya di ruang-jn tengah dan
menyalakan lilin-lilin besar, sehingga ruangan itu terang
benderang bagaikan siang.
Tamu pertama adalah Ong Tiat Gok. Ia melihat-lihat
seluruh gedung itu, dari depan sampai di belakang, dan
mulutnya tak hentinya memuji Ouw Hui yang dikatakan sangat
mujur dan berjiwa besar. "Ong Tiat Gok adalah seorang jujur,
polos dan sangat mungkin ia tak tahu rahasia yang
bersembunyi di balik peristiwa ini," kata Ouw Hui dalam
natinya. "Biarlah sebentar di atas meja judi aku menyerahkan
gedung ini kepadanya. Aku mau lihat bagaimana lagak kedua
Suhengnya."
Tak lama kemudian, tibalah Ciu Tiat Ciauw dan Can Tiat Yo,
disususl oleh si orang she Tie, si orang she Siangkoan dan si
orang she Liap. Selagi mereka beromong-omong, masuklah
Cin Nay Cie sambil tertawa terbahak-bahak. "Saudara Ouw,
aku mem-bawa dua orang sahabat," katanya. "Coba lihat, apa
kau kenal atau tidak?"
Ouw Hui mengawasi dan ternyata di belakang Cin Nay Cie
mengikuti tiga orang, yang berjalan paling belakang adalah In
Tiong Shiang. Bahwa si orang she In yang kemarin berlalu
dengan penuh kegusaran, datang berkunjung adalah kejadian
di-luar dugaan. Dua orang lainnya adalah kakek-kakek yang
tindakannya gagah dan bersemangat. Ouw Hui terkejut karena
ia merasa sudah pernah bertemu dengan mereka dan
mengenali, bahwa tindakan itu adalah tindakan-tindakan ahli
Pat-kwa-bun. Di lain saat, ia mendusin dan buru-buru ia
menghampiri sambil memberi hormat. "Aha! Aku tak nyana,
bahwa yang datang adalah Jie-wie Cianpwee," katanya.
"Semenjak berpisahan di Siang-kee-poo, Jie-wie kelihatannya
semakin gagah." Mereka itu memang bukan lain dari pada dua
saudara Ong, Ong Kiam Eng dan Ong Kiam Kiat, dari Pat-kwabun.
Ouw Hui lantas saja mengundang para tamunya mulai
bersantap dan mereka makan-minum dengan gembira sekali.
Sebagai jago-jago dalam Rimba Per-silatan apa yang
diomongkan mereka adalah soal-soal Kang-ouw orang-orang
gagah. Antara lain, In Tiong Shiang menuturkan
pengalamannya di Siang-kee-po, cara bagaimana, waktu ia
dan sejumlah orang lain dikurung api di dalam gedung
keluarga Siang, Ouw Huilah yang sudah menolong mereka
dengan kecerdikan dan kegagahan. Mendengar ce-rita yang
menarik itu, semua orang memuji Ouw Hui tak habisnya.
Sesudah selesai bersantap, rembulan sudah naik tinggi dan
memancarkan sinarnya yang gilang gemi-lang. Hari itu ialah
Peegwee Ceecap (tanggal sepuluh Bulan Delapan) dan hawa
udara masih agak hangat. Si pengurus rumah tangga lantas
saja menyediakan satu meja buah-buahan di pendopo dalam
taman bunga dan kemudian mengundang semua orang duduk
beromong-omong di situ sambil memandang sang Dewi
Malam. "Sekarang kita minum teh dan sebentar boleh berjudi lagi,"
kata Ouw Hui. "Bagaimana pendapat saudara-saudara
sekalian?" Para tamu lantas saja mengiyakan dengan gembira.
Tapi baru saja mereka berduduk di pendopo itu, tiba-tiba
terdengar suara pereekeokan antara pengurus rumah tangga
dan seseorang. Di lain saat si orang she Ong berteriak
kesakitan, disusul dengan suara robohnya tubuh manusia.
Hampir berbareng, mendadak muncul seorang lelaki yang
mukanya hitam dan tubuhnya tinggi besar dan menghampiri
pendopo dengan tindakan lobar. Begitu berhadapan, tanpa
mengeluarkan sepatah kata, ia menepuk meja, sehingga
cangkir-cangkir teh dan piring-piring pada melompat dan jatuh
hancurdi lantai. Sesudah itu, sambil menuding Ciu Tiat Ciauw,
ia berteriak: "Ciu Toako, ini sa-lahmu! Aku menjual gedung ini
kepadamu dengan harga dua laksa tahil. Harga itu harga
separuh hadiah, karena aku memandang mukamu. Apa kau
kira aku tak kenal uang" Sungguh tak dinyana, kau sudah
menyerahkannya dengan begitu saja kepada orang lain.
Benar-benar gila! Cobalah saudara-saudara pikir, apa ini
bukan keterlaluan" Aku sungguh merasa penasaran."
"Jika kau merasa tak cukup, kau boleh bicara baik-baik,"
kata Ciu Tiat Ciauw dengan suara tawar. "Rumah ini adalah
milik sahabatku. Perlu apa kau datang mengacau?"
Orang itu jadi semakin gusar dan lalu meng-angkat
tangannya untuk menepuk meja lagi.
Dengan cepat Ciu Tiat Ciauw menangkap dan
menyengkeram kedua pergelangan tangan orang kasar itu. la
bertubuh kurus kecil dan tingginya hanya sebatas pundak
orang itu, tapi begitu ia menyengkeram, si tinggi besar tak
bisa berkutik lagi. Ia lalu menyeretnya ke luar pendopo dan
bicara bisik-bisik. Tapi orang itu kelihatannya tetap tak mau
mengerti, sehingga ia jadi gusar dan men-dorongnya dengan
keras. Begitu didorong, orang itu terhuyung beberapa tindak
dan menubruk satu pohon, sehingga patah beberapa
cabangnya. "Manusia semberono!" bentak Ciu Tiat Ciauw. "Tunggu di
luar! Kalau kau sudah bosan hidup, hayolah mengacau terus!"
Sambil mengusut-usut pundaknya yang sakit, si kasar lalu
berjalan ke luar tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi.
Can Tiat Yo tertawa terbahak-bahak. "Manusia semberono
itu benar-benar sudah menyapu kegem-biraan kita," katanya.
"Toasuko, sebenarnya kau harus menghajar dia."
"Aku hanya mengingat, bahwa biarpun dia kasar, hatinya
cukup baik," kata sang kakak. "Maka itu, aku sungkan
meladeninya. Ouw Toako, kejadi-an ini sangat memalukan."
"Jika rumah ini dibeli terlalu murah, biarlah aku memberi
sedikit tambahan kepadanya," kata Ouw Hui.
"Ouw Toako, jangan kau berkata begitu," kata Ciu Tiat
Ciauw dengan terburu-buru. "Urusan ini akan dibereskan
olehku sendiri dan Toako tak usah buat pikiran. Manusia kasar
itu memang sangat kurang ajar. Ia tak tahu, bahwa Toako
adalah seorang jantan tulen. Aku yakin, ia sekarang sudah
merasa sangat menyesal dan kuingin memanggilnya ke mari
supaya ia bisa menghaturkan maaf. Dengan memandang
mukaku dan Iain-lain saudara yang berada di sini, aku
mengharap Toako bisa melupakan kejadian yang tak enak ini.
Bagaimana" Apa Toako bisa menyetujui usulku ini?"
Ouw Hui tertawa seraya berkata: "Ciu Toako, soal meminta
maaf jangan disebut-sebut lagi. Jika ia sahabatmu, undanglah
ke mari supaya kita bisa minum bersama-sama."
Ciu Tiat Ciauw lantas saja bangun berdiri. "Ouw Toako
adalah seorang enghiong dan kami semua merasa beruntung
bisa mengikat tali persahabatan denganmu," katanya pula.
"Untuk kekeliruannya manusia semberono itu, kami beramai
ingin menghaturkan maaf. Kami tahu, bahwa Ouw Toako
adalah seorang yang berjiwa besar dan tentu tak akan
menaruh dendam lagi."
Cin Nay Cie dan Can Tiat Yo pun segera bangun berdiri dan
berkata seraya menyoja: "Ouw Toako, kami juga ingin
menghaturkan terima kasih kepadamu.",
Ouw Hui buru-buru bangun dan membalas hor-matnya
kedua orang itu.
"Nah, biarlah sekarang aku memanggil orang kasar itu
supaya dia bisa menghaturkan maaf," kata Ciu Tiat Ciauw
sambil berjalan pergi.
Ouw Hui dan Leng So saling mengawasi dengan perasaan
bimbang. Walaupun perbuatan orang itu melanggar
kesopanan, tapi cara-cara dan perkataan Ciu Tiat Ciauw yang
begitu manis dan bertele-tele sangat mencurigakan. Ada apa
yang bersembunyi di belakang kata-kata yang manis itu"
Selang beberapa saat dari luar terdengar suara tindakan
dua orang dan Ciu Tiat Ciauw segera muncul sambil menuntun
tangannya seorang. "Ma-nusia semberono!" teriaknya sambil
tertawa ter-bahak-bahak. "Lekas kau mengangkat tiga cawan
arak untuk Ouw Toako! Inilah yang dinamakan, tidak berkelahi
tidak jadi sahabat. Ouw Toako Sudan meluluskan untuk
memaafkan kau. Perkataan seorang laki-laki tak dapat dikejar
oleh kuda yang paling cepat larinya. Hari ini kau mendapat
peng-ampunan."
Tiba-tiba, seperti dipagut ular Ouw Hui bangun dan
melompat ke luar pendopo, akan kemudian, dengan sekali
menjejak kaki, ia sudah berada di belakang orang yang
dituntun Ciu Tiat Ciauw dan mencegat jalanan mundurnya.
"Orang she Ciu!" bentaknya dengan paras muka merah
padam. "Permainan gila apakah yang sedang dijalankan
olehmu" Jika aku tidak membunuh ma-nusia keji itu, pereuma
saja Ouw Hui hidup di kolong langit!"
Siapakah orang yang dibawa Ciu Tiat Ciauw"
Dia bukan lain dari pada Hong Jin Eng, jagoan Hud-san-tin
yang telah membinasakan keluarga Ciong A-sie! Sesaat itu
Ouw Hui mengerti. Ia mengerti, bahwa Ciu Tiat Ciauw telah
menyuruh seorang kaki tangannya yang dinamakan sebagai
"si-semberono", untuk mengacau dan kemudian men-jalankan
siasat, sehingga ia berjanji untuk memaafkan orang yang
bersalah kepadanya. Sesaat itu juga, di depan matanya
terbayang kebinasaan yang mengenaskan dari keluarga Ciong
dan mengingat itu, kedua matanya seolah mengeluarkan api.
"Ouw Toako, sekarang baiklah aku berterus terang saja,"
kata Ciu Tiat Ciauw. "Rumah dan tanah di Gie-tong-tin adalah
hadiah dari si semberono ini. Rumah ini dan segala
perabotannya juga diberikan olehnya. Maka itu dapat dilihat,
bahwa ia sungguh-sungguh ingin menghaturkan maaf
kepadamu. Seorang laki-laki harus bisa mengambil dan juga
bisa memberi. Perlu apa kita terus menaruh dendam karena
pertikaian kecil pada masa yang lampau" Hong Lootoa, lekas
memberi hormat kepada Ouw Toako!"
Melihat Hong Jin Eng mengangkat kedua tangannya, Ouw
Hui segera membentak: "Tahan!" Ia berpaling kepada Thia
Leng So seraya memanggil: "Jie-moay, ke mari!" Si nona
buru-buru mengham-piri dan mereka lalu berdiri dengan
berendeng pundak. Sesudah itu, barulah ia berkata dengan
suara nyaring: "Saudara-saudara, dengarlah sedikit
perkataanku! Aku hanya bersahabat dengan orang-orang yang
bersatu pikiran, dengan orang-orang yang dapat membedakan
benar dan salah. Makan-minum dan berjudi bersama-sama tak
menjadi ukur-an. Bukankah manusia-manusia rendah pun bisa
makan-minum dan berjudi bersama-sama" Seorang laki-laki
sejati mengutamakan ksatriaan. Jika ada orang ingin membeli
aku, si orang she Ouw, dengan kekayaan dunia, orang itu
sungguh memandang diriku sebagai manusia tidak berharga
sepeser buta."
"Ouw Toako, kau salah mengerti," kata Can Tiat Yo sambil
tersenyum. "Hong Lootoa memberi ha-diah yang tak berharga
hanya untuk mengunjuk rasa hormatnya. Pemberian hadiah
itu sama sekali tidak berarti ia memandang rendah
kepadamu."
Ouw Hui menggoyangkan tangannya dan ber-kata pula:
"Manusia she Hong ini adalah jagoan yang sangat sewenangwenang
di propinsi Kwitang. Hanya karena ingin merampas
sebidang tanah yang sangat kecil, dia telah membunuh
seluruh keluarga Ciong, besar dan kecil semuanya tak
mendapat ampun. Dengan keluarga Ciong, Ouw Hui tak punya
sangkutan famili atau persahabatan. Tapi sesudah aku
mengambil keputusan untuk mencam-puri urusan ini, aku
bersumpah untuk tidak hidup bersama-sama dengan buaya itu
di kolong langit. Kalau sikapku ini menyinggung saudarasaudara,
yah, apa boleh buat. Aku hanya mengharap kalian
sudi memaafkan, Ciu Toako, terimalah surat rumah ini." Ia
merogoh saku dan lalu melontarkan amplop yang berisi surat
rumah kepada Ciu Tiat Ciauw. Amplop tersebut melayang
perlahan-lahan ke de-pan Tiat Ciauw yang terpaksa
menyambutinya. Semula ia ingin melempar balik, tapi ia
mengurungkan niatannya karena merasa Lweekangnya tidak
cukup tinggi untuk menyontoh perbuatan Ouw Hui.
"Tempat ini adalah kota raja, yaitu tempat ke-diaman
kaisar," kata pula Ouw Hui. "Aku tak tahu, manusia she Hong
ini mempunyai berapa banyak kaki tangan dan sahabat. Tapi
aku sudah mengambil ke putusan untuk mempertaruhkan
jiwaku. Saudara-saudara! Mereka yang menganggap dirinya
sebagai sahabat Ouw Hui, janganlah campur-cam-pur urusan
ini. Mereka yang menjadi sahabat manusia she Hong itu,
hayolah maju beramai-ramai!" Sehabis berkata begitu, ia


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mamasang kuda-kuda, siap sedia untuk menyambar setiap
serangan. Ia insyaf, bahwa di kota raja terdapat banyak sekali
ahli-ahli silat yang berkepandaian tinggi. Bahwa Hong Jin Eng
sudah berani muncul, tentulah juga dia sudah mempunyai
senderan kuat. Jangankan kaki tangan yang lain, sedangkan
kedua saudara Ong, Ciu Tiat Ciauw dan Can Tiat Yo saja
sudah merupakan lawan yang sangat berat. Tapi, sebagaimana
telah dikatakan Ouw Hui, pada waktu itu ia sudah tidak
memikir hidup. Ciu Tiat Ciauw tertawa terbahak-bahak. "Ouw Toako,"
katanya. "Jika kau tak sudi memberi muka, urusan ini tentu
tak akan dapat didamaikan. Su-dahlah! Hong Lootoa, kau
boleh pulang. Kami ingin berdiam terus di sini untuk minum
arakdan berjudi."
Tapi Ouw Hui mana mau mengerti" Sesudah mencari di
mana-mana, baru sekarang ia bertemu dengan manusia kejam
itu. Mana bisa ia melepas-kannya dengan begitu saja" Tanpa
mengeluarkan sepatah kata, ia lalu mengangkat kedua
tangannya clan menerjang manusia she Hong itu.
Alis Ciu Tiat Ciauw berkerut. "Inilah keter-laluan," katanya
seraya melompat dan membalik tangan kanannya untuk
menyengkeram pergelang-an tangan Ouw Hui. Sebelum
menyerang, Ouw Hui sudah memperhatikan gerak-gerik setiap
orang. Melihat gerakan Ciu Tiat Ciauw, ia berkata dalam
hatinya: "Kamu berlagak manis-manis terhadapku, maka
biarlah dalam gebrakan ini, aku tak turun tangan." Memikir
begitu, ia membiarkan pergelang-an tangannya dicekal si
orang she Ciu. Di lain pihak, Ciu Tiat Ciauw jadi girang bukan main. "Aku
tak mengerti bagaimana Cin Nay Cie, Hong Lootoa dan yang
Iain-lain memuji bocah ini setinggi langit," pikirnya. "Kalau aku
tahu kepan-daiannya hanya sebegini, aku tentu tak sudi
berlaku begitu sungkan terhadapnya." Ia segera mengempos
semangat dan coba menyeret Ouw Hui seraya ber-kata:
"Sudahlah! Jangan berkelahi."
Tapi si orang she Ciu lantas saja kaget tak kepalang. Ia
merasa pergelangan tangan pemuda itu keras bagaikan besi,
sedang badannya seperti juga sebuah gunung yang melekat di
tanah. Muka-nya lantas saja berubah pucat karena malu. Tibatiba
saja, ia merasa semacam tenaga yang sangat dahsyat
menerobos ke luar dari pergelangan tangan pemuda itu dan
mendorongnya ke belakang. Tanpa berdaya, ia melepaskan
cekalan dan tubuhnya ter-huyung ke belakang beberapa
tindak. Harus diketahui, bahwa barusan Ciu Tiat Ciauw
menyengkeram dengan menggunakan ilmu paling tinggi dari
Eng-jiauw-gan-heng-bun. Dengan begitu, dalam gebrakan
tersebut, Ouw Hui sudah menjatuhkan seorang tokoh penting
dari partai tersebut.
Dengan menggunakan kesempatan itu, cepat-cepat Hong
Jin Eng memutar badan dan terus kabur. Sambil membentak
keras, Ouw Hui melompat dan mengirim satu pukulan yang
ditangkis oleh musuhnya.
Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar teriakan Can Tiat Yo:
"Ouw Toako! Kita lagi enak-enak minum. Perlu apa kau
merusak keakuran?" Sambil berteriak begitu, ia juga turut
melompat dan lima jarinya yang ditekuk bagaikan cakar
garuda menyambar punggung Ouw Hui. Di luar, ia kelihatannya
hanya ingin menarik baju pemuda itu untuk mencegah
pertempuran, tapi sebenarnya, dengan cengkeraman itu, ia
turunkan tangan jahat. Ouw Hui yang sedang menerjang
musuhnya, seolah-olah tak tahu bakal dibokong, sehingga
tanpa merasa, si orang she Liap berteriak: "Ouw Toako,
awas!" Hampir berbareng dengan peringatan itu, lima jari Can Tiat
Yo sudah mampir di punggung Ouw Hui! Tapi, seperti juga
kakaknya, si orang she Can kaget bukan main, karena lima
jarinya seperti juga menyengkeram besi.
Melihat dua kawannya tak bisa merintangi pemuda itu, In
Tiong Shiang lantas saja meloncat dan, tanpa pura-pura, ia
lalu menghantam muka Ouw Hui. Bagaikan kilat, Ouw Hui
menunduk dan meng-egos ke samping, sedang tangan kirinya
menyambar punggung musuh. Sambil membentak, ia mengangkat
dan melontarkan tubuh In Tiong Shiang yang lantas
saja terbang ke arah Hong Jin Eng.
Dengan berbuat begitu, tujuan Ouw Hui adalah untuk
mencegah maburnya manusia she Hong itu. Jika Hong Jin Eng
berkelit, kepala In Tiong Shiang pasti akan membentur sebuah
gunung-gunungan. Maka itu, menurut kepantasan, ia harus
menyam-buti tubuh kawannya yang sedang melayang ke
arahnya. Dan jika ia menyambuti, Ouw Hui akan bisa
menyandaknya. Tapi sebagaimana diketahui, Hong Jin Eng adalah manusia
kejam. In Tiong Shiang turun ta-ngan untuk menolong
jiwanya, tapi dia hanya ingat kepentingan sendiri. Sebaliknya
dari menyambuti tubuh si kawan, dengan cepat ia
menendangnya untuk meminjam tenaga dan badannya lantas
saja melesat ke atas tembok taman. "Buk!" tubuh si orang she
In membentur gunung-gunungan batu dan ia pingsan seketika
itu juga. Orang-orang yang berada di situ rata-rata mem-punyai
kepandaian tinggi. Melihat perbuatan Hong Jin Eng, bukan
main rasa kecewa mereka. Kedua saudara Ong sebenarnya
sudah ingin membantu, tapi mereka lantas saja merasa muak
dan meng-urungkan niatan mereka.
Melihat musuhnya melompat ke atas tembok, Ouw Hui jadi
agak bingung. Ia merasa, bahwa jika Hong Jin Eng bisa mabur
ke luar, ia bakal mengha-dapi pekerjaan lebih berat, sebab di
luar gedung itu tentulah juga sudah berkumpul kaki tangannya
manusia she Hong itu. Memikir begitu, sambil meng-empos
semangat, ia menjejak kedua kakinya. Dilain pihak, begitu
kedua kakinya hinggap di atas tembok, Hong jin Eng merasa
adanya seorang lain di sam-pingnya. Begitu menengok,
kagetnya bagaikan di-sambar petir, sebab orang itu bukan lain
dari pada Ouw Hui. Dengan cepat ia menyambut sebilah pisau
belati dan lalu menikam pemuda itu.
Ouw Hui menendang pergelangan tangan mu-suh dan
pisau itu terbang ke atas akan kemudian jatuh di luar tembok.
Tapi Hong Jin Eng pun bukan seorang lemah. Begitu lekas
pisaunya terpukul jatuh, ia segera menghantam dengan tinju
kiri. Sebaliknya dari berkelit atau menangkis, sambil mengempos
semangat Ouw Hui memapaki tinju musuh dengan
dadanya. "Buk!" Badan Hong Jin Eng ber-goyang-goyang dan
terpelanting ke bawah. Ter-nyata, tinju yang menghantam
dada telah didorong dengan serupa tenaga yang tidak
kelihatan. Begitu musuhnya roboh, Ouw Hui turut melompat
ke bawah dan menjejak kepala si orang she Hong dengan
kakinya. Pada detik terakhir, dengan mengguling-kan badan,
ia masih dapat menyelamatkan dirinya dan kemudian,
melompat pula ke atas tembok. Kali ini, Ouw Hui yang sudah
mata merah, sungkan memberi kesempatan lagi kepada
musuhnya. Ia mengempos semangat dan menjejak kedua
kakinya, sehingga tubuhnya ngapung ke atas beberapa kaki
lebih tinggi dari pada Hong Jin Eng. Mereka melayang turun
dengan berbareng. Kedua kaki Hong Jin Eng hinggap di atas
tembok, tapi Ouw Hui sendiri menyemplak pundak musuhnya,
seperti orang menunggang kuda. Begitu ia menjepit dengan
kedua lututnya, Hong Jin Eng merasa dadanya sesak.
Sekarang manusia kejam itu putus harapan. Ia meramkan
kedua matanya dan menunggu ke-binasaan.
"Bangsat!" bentak Ouw Hui. "Hari ini kedosaan-mu sudah
meluber." Ia mengangkat tangan untuk menepuk batok kepala
Hong Jin Eng. Tapi... sebelum tangannya turun, tiba-tiba saja ia
merasakan kesiuran angin yang sangat tajam di punggungnya.
"Tahan!" bentak seorang dengan sua-ra merdu.
Ouw Hui terkejut, tanpa menengok satu tangannya
mengebas ke belakang untuk menangkis serangan itu.
Gerakan orang itu ternyata gesit luar biasa. Begitu tikamannya
yang pertama tertangkis, dengan beruntun ia mengirim dua
tikaman pula ke pundak Ouw Hui. Karena sedang
menunggang pun-dak musuh, Ouw Hui tak bisa memutar
badan dan dengan terpaksa ia lalu melompat turun dari atas
tembok. Bagaikan bayangan orang itu menyusul dan terus
mengirim serangan-serangan berantai.
"Wan Kouwnio!" bentak Ouw Hui. "Mengapa kau selalu
merintangi aku?" Ternyata, orang yang mengenakan baju biru
dan kepalanya dibungkus dengan kain hijau, bukan lain dari
pada Wan Cie Ie. Di bawah sinar rembulan, paras si nona
kelihatan separuh gusar dan separuh geli dan ia membentak
dengan suara merdu: "Hari ini aku justru ingin meminta
pengajaran Ouw Tayhiap mengenai ilmu Kong-chiu Jip-pek-to
(Dengan tangan kosong ma-suk di rimba golok)."
Tunggu sampai di lain hari," kata Ouw Hui sambil
melompat untuk mengubar Hong Jin Eng. Tapi bagaikan kera,
si nona turut meloncat dan di lain saat, pisau belati sudah
menyambar tenggo-rokan, sehingga, mau tak mau, Ouw Hui
mesti berkelit. Wan Cie Ie sungkan memberi kesempatan lagi
dan terus mencecar dengan serangan-serangan hebat dan
mereka lantas saja bertempur mati-mati-an. Itulah satu
pertempuran yang menarik luar biasa. Cepat, gesit lawan
gesit, apa yang dilihatnya hanya bayangan badan, tangan dan
pisau yang ber-kelebat-kelebat bagaikan kilat. Ciu Tiat Ciauw,
Can Tiat Yo, kedua saudara Ong dan yang Iain-lain adalah
ahli-ahli silat yang kenamaan. Tapi biarpun begitu, mata
mereka berkunang-kunang dan mereka menonton
pertempuran itu dengan rasa kagum bukan main.
Mendadak, berbareng dengan bentakan Ouw Hui, tubuh
mereka melayang kembali ke atas tembok, akan kemudian
bersama-sama melompat turun ke luar tembok. Pertempuran
lantas saja dilang-sungkan dengan tidak kurang hebatnya.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa Hong Jin Eng yang
panjang, nyaring dan menyeramkan. "Saudara Ouw!"
teriaknya. "Aku tak bisa menemani kau lagi. Lain hari kita
bertemu kembali." Suara tertawa itu semakin lama jadi
semakin jauh kedengarannya.
Ouw Hui jadi gusar bukan main. Ia ingin mengubar, tapi
Wan Cie Ie terus mencecarnya dengan pukulan-pukulan yang
membinasakan. "Wan Kouwnio!" bentaknya. "Aku dan kau
sama sekali tidak punya permusuhan...." Belum habis
perkataannya, pisau si nona sudah menyambar pundak
kirinya. Harus diketahui, bahwa dalam pertempuran mati-matian
antara jago dan jago, siapa pun tak dapat memecah
pemusatan perhatiannya. Ilmu silat Ouw Hui hanya lebih
unggul setengah tingkat dari pada si nona, tapi dengan
bertangan kosong dan lawannya bersenjata pisau, keunggulan
itu hilang dan kekuatan mereka jadi berimbang. Maka itulah,
dalam jengkelnya selagi ia berteriak dengan penuh
kedongkolan, pisau Wan Cie Ie sudah mampir di pundak
kirinya. "Brt!" baju Ouw Hui robek tergores pisau. Sebenarnya jika
sedikit saja si nona menekan ke bawah, pundak itu tentu
sudah berlubang. Tapi di luar dugaan, pada detik terakhir, ia
mengangkat sedikit tangannya, sehingga pisau yang
menyambar bagaikan kilat itu, hanya menggores baju. "Ah!
Mengapa ia tidak menikam?" tanya Ouw Hui dalam hatinya.
Si nona tertawa terpingkal-pingkal. Ia melon-tarkan
pisaunya ke arah Ouw Hui dan berbareng membuka Joan-pian
(pecut) yang terlibat di ping-gangnya. "Ouw Toako, mari kita
menjajal-jajal ke-pandaian dengan menggunakan senjata,"
katanya. Baru saja Ouw Hui mau menyambuti pisau itu, mendadak
terdengar teriakan Leng So: "Ouw Toako, gunakanlah golok
ini!" Hampir berbareng si nona yang berdiri di atas tembok,
melemparkan sebatang golok. Ternyata, nona Thia yang
khawatirkan keselamatan Ouw Hui buru-buru mengambil
senjatanya dan melompat ke atas tembok.
"Aduh! Manis benar adiknya!" kata Wan Cie Ie dengan
suara mengejek. Mendadak ia menyabetkan pecutnya ke
tembok dan Leng So buru-buru melompat turun kembali ke
dalam taman. Begitu pecutnya tersangkut di atas tembok,
dengan sekali meminjam tenaga, bagaikan seekor elang,
tubuh Wan Cie Ie terbang melewati tembok itu. Dan sebelum
kakinya hinggap di tanah, ia sudah menyabet dengan
pecutnya seraya berteriak: "Moay-moay, sambutlah
seranganku!" Leng So berkelit, tapi Wan Cie Ie tidak berhenti
sampai di situ dan dalam sekejap nona Thia sudah dikurung
dengan bayangan pecut yang berkelebat-kelebat seperti kilat.
Ouw Hui mengetahui, bahwa Leng So bukan tandingan Cie
Ie. Sebenarnya, dengan menggunakan kesempatan itu, ia
ingin sekali mengubar Hong Jin Eng. Tapi, karena memikir
keselamatan nona Thia, ia segera mengurungkan niatannya
itu dan lalu melompat masuk pula ke dalam taman. "Wan
Kouwnio!" bentaknya seraya mengangkat golok. "Jika kau
ingin menjajal ilmu, marilah!"
"Aduh! Manisnya sang kakak!" seru nona Wan dengan
suara mengejek dan terus menyapu Ouw Hui dengan
pecutnya. Dengan masing-masing menggunakan senjata yang biasa
digunakannya, apa yang terlihat dalam gelanggang
pertempuran berbeda dari pada tadi. Kalau tadi mereka hanya
mengutamakan kelin-cahan, tenaga Lweekang dan tipu-tipu
rahasia yang luar biasa. Ouw Hui sendiri segera menyerang
dengan menggunakan Ouw-kee To-hoat. Ilmu golok yang
lihay itu mengandung kekerasan dalam ke-lembekan dan
mengandung kelembekan dalam ke-kerasannya, bacokanTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
bacokannya dahsyat dan ce-pat, bagaikan geledek dan angin,
sedang keteguhan-nya seolah-olah sebuah gunung. Di lain
pihak, ilmu Joan-pian dari si nona pun tak kurang hebatnya.
Pecut itu terputar- putar dan menyambar-nyambar, seakanakan
seekor naga yang sedang bermain-main di tengah lautan
besar. Dalam tempo sekejap, mereka sudah bertempur
puluhan jurus, dengan ditonton oleh para ahli silat sambil
menahan napas. Akan tetapi, walaupun di luarnya Wan Cie Ie seperti juga
sedang bertempur mati-matian, Ouw Hui mengetahui, bahwa
si nona tidak bertempur untuk mengadu jiwa. Pada detik-detik
yang ber-bahaya, si nona selalu menarik pulang pecutnya


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pada saat terakhir atau sengaja tidak meneruskan
serangannya yang membinasakan. Melihat begitu, ia jadi
semakin heran dan mendongkol.
Sementara itu, melihat Ouw Hui sudah "diikat" oleh Wan
Cie Ie, Ciu Tiat Ciauw dan Can Tiat Yo yang tadi telah
dirobohkan oleh pemuda itu, lantas saja timbul niatan
curangnya. Sesudah saling mem-beri isyarat dengan kedipan
mata, mereka segera berdiri berpencaran untuk menunggu
kesempatan guna membokong Ouw Hui dengan berbareng.
Sebagaimana diketahui, biarpun seorang ahli silat yang
berkepandaian tinggi selalu berwaspada, mata dan kupingnya
tajam luar biasa dan raera-perhatikan segala apa yang terjadi
di seputarnya. Maka itu, gerak-gerik Ciu Tiat Ciauw dan
adiknya tidak terlolos dari mata Ouw Hui dan Cie Ie.
"Celaka!" mengeluh Ouw Hui. "Kalau mereka menyerang,
meskipun aku masih dapat menyela-matkan diri, Thia Moaymoay
bisa celaka." la melirik adiknya yang tetap berdiri
dengan paras muka tenang.
Dalam bingungnya, ia mengempos semangat dan lalu
mengirim tiga bacokan beruntun dengan menggunakan
pukulan yang terlihay dari Ouw-kee To-hoat.
Dengan gesit, Wan Cie Ie mengegos satu bacokan dan
menangkis bacokan yang kedua. Sesudah itu, tanpa
menghiraukan bacokan ketiga yang menyambar pinggangnya,
ia membentak keras sambil menyabet dengan pukulan Honghong-
sam-tiam-tauw (Burung Hong tiga kali manggut) ke arah
Ciu Tiat Ciauw, Can Tiat Yo dan Cin Nay Cie, yang jadi kaget
bukan main sebab pukulan itu menyambar secara tidak
diduga-duga. Dengan serentak mereka melompat mundur,
tapi Can Tiat Yo yang gerakan-nya agak terlambat sudah
tergores ujung pecut, sehingga mukanya mengeluarkan darah.
Pada detik itu bacokan Ouw Hui yang ketiga menyambar
terus dan ujung golok hanya terpisah setengah kaki dari
pinggang si nona. Melihat ke-anehan Wan Cie Ie yang
mendadak mengambil pihaknya dan menghantam musuh
dengan menggunakan seantero kepandaiannya Ouw Hui
menahan gerakan goloknya yang mendadak berhenti di
tengah jalan. Harus diketahui, bahwa kepandaian itu adalah
sepuluh kali lebih sukar dari pada mengirim bacokan yang
hebat. Sambil melirik dengan sepasang matanya yang sangat
bagus, si nona berkata: "Mengapa kau tidak menikam terus?"
Tiba-tiba Can Tiat Yo berteriak: "Aduh! Manis-nya kakak
dan adik!"
Paras muka Wan Cie Ie sekonyong-konyong berubah dan ia
lalu melibat Joan-pian di pinggangnya. Ia menengok ke arah
Ouw Hui seraya berkata: "Ouw Toako, bolehkah kau
memperkenal-kan enghiong-enghiong itu kepadaku?"
Untuk sejenak Ouw Hui mengawasi si nona karena merasa
heran melihat caranya. "Baiklah," katanya. "Yang ini adalah
Ciangbunjin dari Pat-kek-kun Cin Nay Cie Toaya, yang itu
Ciangbunjin Eng-jiauw-gan-heng-bun Ciu Tiat Ciauw Toaya...."
Ia terus memperkenalkan Ong Kiam Eng, Ong Kiam Kiat, Can
Tiat Yo dan yang Iain-lain.
Ketika itu Ong Kiam Kiat sudah berhasil menyadarkan In
Tiong Shiang yang lalu mencaci maki Hong Jin Eng sebagai
manusia yang tak mengenal pribudi.
Paling belakang, Ouw Hui berkata: "Nona ini adalah Wan
Kouwnio." Ia berdiam sejenak dan, seperti orang yang ingat
apa-apa, ia menyambung perkataannya: "Wan Kouwnio
adalah Cong-ciang-bun (pemimpin umum) dari tiga partai,
yaitu Siauw-lim Wie-to-bun, Pat-sian-kiam dari Kwisay, Kiuliong-
pay dari Ek-kee-wan di propinsi Ouwlam."
Mendengar itu, semua orang berubah parasnya. Mereka
tahu, bahwa Ouw Hui tak akan berdusta, tapi di dalam hati,
mereka merasa sangsi.
Wan Cie Ie tersenyum seraya berkata: "Kau belum
memberi keterangan selengkapnya. Aku juga telah menjadi
Ciangbunjin dari partai Kun-lun-to dari Han-tan-koan, di
propinsi Hopak, partai Thian-kong-kiam dari Ciang-kek-hu dan
dari partai Lo-cia-kun di Po-teng-hu."
"Ah! Selamat, selamat!" kata Ouw Hui sambil tertawa
terbahak-bahak. "Aku tak tahu, di sepan-jang jalan, nona juga
sudah merebut kedudukan Ciangbunjin dari tiga partai."
"Terima kasih," kata Wan Cie Ie. "Dalam per-jalanan ke
Pakkhia, aku sebenarnya berangan-angan untuk menjadi
Congciangbun dari sepuluh partai. Hanya sayang, aku tak
berhasil mengalahkan Ceng-hie Toojin dari Bu-tong-san di
Ouwpak dan aku pun tak berani mengganggu Bu Sit Hweeshio
dari Siauw-lim-sie di Holam. Maka itu, sungguh kebetulan di
tempat ini berkumpul tiga orang Ciangbunjin. Eh, Tie Toaya,
apakah Ciangbunjin Lui-tian-bun dari Saypak, Ma Loo-hu-cu
sudah tiba di Pakkhia?"
Mendengar Wan Cie Ie menanyakan gurunya, si orang she
Tie yang bernama Hong, segera men-jawab: "Guruku belum
pernah datang di wilayah Tionggoan. Segala urusan
diserahkan saja kepada muridnya."
"Bagus!" kata si nona sambil tersenyum. "Oleh karena kau
adalah murid pertama, maka kedu-dukanmu adalah separuh
Ciangbunjin. Nah! Malam ini aku ingin merebut kedudukan
tiga setengah Ciangbunjin!"
Semua orang mendongkol bukan main. Seraya merangkap
kedua tangannya, Cin Nay Cie tertawa terbahak-bahak.
"Ciangbunjin dari Siauwlim Wie-to-bun Ban Ho Seng Toako
telah bersahabat de-nganku puluhan tahun lamanya.
Bagaimana ia telah menyerahkan kedudukan Ciangbunjin
kepada nona?"
"Ban Toaya sudah meninggal dunia," jawabnya. "Suteenya,
yaitu Ban Ho Cin, tak bisa menangkan aku, sedang tiga
muridnya lebih tolol lagi. Kita sudah mengadu kepandaian
dengan menggunakan senjata, sehingga biarpun mereka tak
sudi, mereka harus menyerahkan juga kedudukan Ciangbunjin
kepadaku. Cin Loosu, lebih dulu aku ingin belajar kenal
dengan ilmu pukulan Pat-kek-kun. Sesudah itu, barulah aku
meminta pengajaran dari Ciu Loosu, Ong Loosu dan Tie
Loosu. Aku sudah meng-ambil putusan untuk lebih dulu
merebut kedudukan Ciangbunjin dari sepuluh partai dan
kemudian, barulah aku menghadiri pertemuan antara para
Ciangbunjin yang bakal diadakan."
Dengan berkata begitu, terang-terang si nona tidak
memandang sebelah mata kepada Ciu Tiat Ciauw dan yang
Iain-lain. Mereka itu adalah orang-orang gagah yang namanya
besar dalam Rimba Persilatan, sehingga biarpun mesti mati,
mereka tentu tak akan mundur.
Sambil tersenyum Ciu Tiat Ciauw lantas saja berkata:
"Semenjak guru kami meninggal dunia, di antara muridmuridnya
tak satu pun yang boleh dilihat orang. Dari sepuluh
bagian kepandaian Sian-su (mendiang guru), tak satu bagian
yang berhasil dipelajari kami. Bahwa Kouwnio sudi memberi
pe-lajaran, adalah sangat menggirangkan. Tapi oleh karena
kami semua adalah orang-orang tolol, kami hanya mengerti
ilmu partai sendiri dan tak pernah belajar ilmu dari cabang
lain." "Tentu saja," kata si nona. "Jika aku tak mahir dalam ilmu
Eng-jiauw-gan-heng-bun, cara bagai-mana aku berani menjadi
Ciangbunjin dari partai tersebut. Untuk hal ini, Ciu Loosu boleh
legakan hati."
Ciu Tiat Ciauw dan Can Tiat Yo jadi semakin gusar,
sehingga paras mereka sebentar pucat dan sebentar merah.
Sedari ke luar dari rumah per-guruan, belum pernah ada
orang berani memandang enteng mereka.
Sementara itu, Cin Nay Cie yang pintar sudah menghitunghitung
segala kemungkinan. Sesudah menyaksikan
pertempuran antara Ouw Hui dan Cie Ie. ia yakin, bahwa ilmu
silat si nona kira-kira berimbang dengan pemuda itu. Ia sendiri
pernah dijatuhkan Ouw Hui, sehingga ia juga tentu tak bisa
menangkan Cie Ie. Dari sebab begitu, jalan yang paling baik
ialah membiarkan nona Wan bertempur iebih dulu dengan Ciu
Tiat Ciauw, Ong Kiam Eng dan yang Iain-lain dan kemudian,
sesudah si nona lelah, barulah ia yang turun tangan.
Mengingat begitu, lantas saja ia berkata: "Kepandaian Ciu
Loosu dan Ong Loosu banyak lebih tinggi daripada-ku. Maka
itu, biarlah aku yang maju paling bela-kang."
Wan Cie Ie tertawa geli. "Biarpun tidak diakui olehmu, aku
sudah tahu," katanya. "Sekarang paling dulu aku mau
bertempur dengan yang paling lemah. Diluar tanahnya licin,
mari kita main-main di dalam pendopo. Mari!" Sambil
menantang ia melompat masuk ke dalam pendopo dan
memasang kuda-kuda dengan merapatkan kedua kakinya,
sedang sepuluh jarinya yang dirapatkan dengan telapakan
tangan menghadap ke atas, digunakan untuk melindungi
kempungan. Inilah kuda-kuda pukulan Hway-tiong-po-gwat
(Mendukung rembulan di dada) dari partai Pat-kek-kun.
Cin Nay Cie terkesiap. Sudah ditantang, ia tak bisa mundur.
"Ilmu silat dari partaiku tidak banyak tersiar dalam Rimba
Persilatan," pikirnya. "Dari mana ia belajar?" Tapi walaupun
hatinya heran, paras mukanya tidak berubah. "Baiklah,"
katanya. "Biarlah aku menyingkirkandulu kursi-meja, supaya
tidak merintangi gerakan kita."
"Cin Loosu salah," kata si nona. "Ilmu silat dari partai kita
yang terdiri dari empat puluh sembilan jalan mengutamakan
kegesitan dan kelincahan, sehingga bisa bertempur di tempattempat
yang paling sulit. Jika Loosu menghiraukan kursi-meja,
apakah Loosu bisa menyuruh musuh menyingkirkan kursimeja,
jika sedang berhadapan dengan musuh tu-len?"
Mendengar kata-kata itu yang diucapkan dengan nada
seorang guru terhadap muridnya, paras muka Cin Nay Cie
lantas saja berubah merah. Tanpa mengeluarkan sepatah kata
lagi, ia segera meloncat dan menghantam dengan pukulan
Tui-san-sit (Men-dorong gunung).
Si nona menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tidak berkelit,
hanya maju setindak ke sebelah kiri dan karena dirintangi
meja, Cin Nay Cie tak dapat memukul lagi. Sesudah pukulan
yang pertama meleset, dengan geregetan ia lalu mengirim tiga
pukulan berantai dengan beruntun-runtun. Gesit luar biasa, si
nona mengegos tiga pukulan itu dan ke-mudian, pada akhir
pukulan ketiga, ia lalu balas menyerang dengan tinju kanan
dan tinju kiri dengan pukulan "keras" dan pukulan "lembek".
Itulah Song-tah-ke-bun (Dua tinju memukul pintu rahasia),
pukulan keempat puluh empat dari Pat-kek-kun.
Cin Nay Cie tidak keburu menangkis lagi pukulan itu yang
menyambar bagaikan kilat, sehingga ia terpaksa melompat ke
belakang. "Brak!" ia mem-bentur meja dan tiga cangkir teh
jatuh hancur. "Hati-hati!" kata Wan Cie Ie sambil tersenyum dan lalu
mencecar lawannya dengan pukulan-pukul-an Pat-kek-kun.
Dalam sekejap si tua sudah keteter, ia hanya mampu
membela diri tanpa bisa balas menyerang. "Eh, mengapa kau
hanya menangkis dan tidak menyerang?" mengejek si nona.
"Perempuan hina!" teriak Cin Nay Cie dengan mata merah.
Dalam gusarnya, dengan nekat ia menyerang dengan pukulan
Ceng-liong-cut-sui (naga hijau keluar dari air), tangan kirinya
ditekuk bagaikan gaetan, sedang tinju kirinya digunakan untuk
memukul. Si nona berkelit dan membarengi dengan pukulan
Sio-chiu-can-kun (Mengunci tangan menangkap tinju), lebih
dulu ia menyikut dengan sikut kanan dan lalu menangkap
pergelangan tangan kanan Cin Nay Cie dengan tangan
kanannya sambil menggeser tubuhnya ke belakang si tua,
akan ke-mudian menyengkeram jalan darah Kian-tin-hiat di
pundak orang. Dengan sekali menekan ke bawah dengan
tangan kirinya, kepala Cin Nay Cie menunduk dan mulutnya
menyentuh cangkir teh. "Mi-numlah!" bentak si nona.
Ilmu yang digunakan oleh si nona, yaitu Hun-kin-co-kunchiu
(Ilmu memecah urat mencopot tu-lang), adalah ilmu yang
biasa saja dan dapat di-pelajari oleh siapa pun juga. Akan
tetapi, kelihayan-nya terletak pada kecepatannya yang luar
biasa dan hebatnya Lweekangyang menyertainya. Begitu
pergelangan tangannya tereekal, Cin Nay Cie bergerak lagi.
"Perempuan hina!" ia mencaci bagaikan kalap.
Mendengar cacian itu, Wan Cie Ie tersenyum tawar sambil
membetot. "Tuk!" lengan kanan si tua copot dari tempat
sambungan di pundak! Sesudah menghajar adat, Wan Cie Ie
melepaskan korbannya dan lalu duduk di kursi bundar.
"Bagaimana?" tanya-nya seraya tersenyum. "Apa kau rela
menyerahkan kedudukan Ciangbunjin kepadaku?"
Sambil menggigit gigi, Cin Nay Cie menahan sakit, sehingga
keringat membasahi selebar muka-nya yang pucat pias. Ia
memutar badan dan tanpa mengeluarkan sepatah kata,
segera meninggalkan pendopo dengan tindakan lebar.
Melihat penderitaan kawannya, buru-buru Ong Kiam Eng
memberi pertolongan. Dengan satu tangan ia mencekal lengan
Cin Nay Cie dan tangannya yang lain memegang leher orang.
Dengan sekali membetot dan mendorong, ia sudah
memulihkan sambungan lengan itu ke tempatnya yang
sediakala. "Nona!" bentaknya. "Pat-kek-kunmu memang lihay
sekali. Sekarang aku ingin menjajal dengan ilmu Pat-kwaciang."
Sehabis berkata begitu, ia meloncat masuk ke
pendopo. Melihat tindakan orang yang mantap, Wan Cie Ie tahu,
bahwa ia sedang menghadapi lawan berat. Bahwa setiap
orang yang mempelajari Yu-sin Pat-kwa-ciang, tindakannya
sangat enteng, seolah-olah tidak menyentuh tanah. Akan
tetapi, tindakan Ong Kiam Eng justru mantap dan berat luar
biasa. Itulah suatu tanda, bahwa ia sudah mencapai tingkatan
"dari berat sehingga enteng dan dari enteng sehingga berat"
dan tingkatan itu hanya bisa dicapai dengan latihan puluhan
tahun. Sebelum mereka berhadapan, tiba-tiba Ouw Hui mendului
masuk ke pondopo dan mengambil secangkir teh yang lalu
diminumnya. "Orang itu lihay, hati-hati," bisiknya.
Wan Cie Ie menunduk. "Beberapa kali aku telah merusak
pekerjaanmu. Apa kau tidak gusar?" tanyanya dengan suara
perlahan. Ouw Hui tidak menjawab. Jika ia mengatakan tidak gusar,
memang juga si nona beberapa kali sudah menolong Hong Jin
Eng dari tangannya. Ia mau mengatakan gusar, tapi di dalam
hati ia merasa tak tega.
Di lain pihak, peringatan Ouw Hui telah meng-girangkan
sangat hati si nona. Sebenarnya ia pun merasa ragu-ragu
dalam menghadapi jago Pat-kwa-bun itu. Tapi begitu


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendengar perkataan Ouw Hui, semangatnya lantas saja
terbangun dan ia ber-kata dengan suara perlahan: "Kau tak
usah kha-watir." Dengan sekali menjejak kaki, ia sudah
melompat ke atas kursi bundar dan berkata: "Ong Loosu, ilmu
silat Pat-kwa-bun mengutamakan ke-dudukan Pat-kwa.
Marilah kita main-main di atas kursi ini."
"Baiklah!" kata Ong Kiam Eng sambil melompat ke atas
kursi dan memasang kuda-kuda, satu tangan dilonjorkan ke
depan dan satu tangan ditarik ke belakang.
"Ong Loosu," kata pula si nona. "Aku mendengar, Ongsie
Hengtee (kakak beradik she Ong) dari Pat-kwa-bun
mempunyai nama yang sama be-sarnya. Sebentar, sesudah
Ong Loosu roboh apakah adikmu akan turun tangan?"
Ong Kiam Eng adalah seorang yang tenang sifatnya. Akan
tetapi, mendengar pertanyaan Wan Cie Ie, darahnya lantas
saja meluap, karena dengan kata-kata itu, si nona sudah
memastikan lebih dulu, bahwa ia bakal memperoleh
kemenangan. Tapi, sebelum ia sempat menjawab, Ong Kiam
Kiat sudah mendului membentak: "Perempuan sombong, jangan
ngaco belo kau! Jika kau bisa melayani ka-kakku dalam
seratus jurus, kami berdua tak akan menggunakan lagi Patkwa-
ciang." Harus diketahui, bahwa dalam Rimba Persilatan,
kedua saudara Ong itu mempunyai kedudukan yang sangat
tinggi. Ahli-ahli yang biasa tak akan bisa melayani mereka
lebih dari sepuluh jurus. Maka itu, dengan menyebut seratus
jurus, Ong Kiam Kiat sama sekali tidak memandang rendah si
nona. Mendengar jawaban Kiam Kiat, Wan Cie Ie melirik dengan
sorot mata memandang rendah. "Sesudah aku menjatuhkan
kakakmu, apakah kedudukan Ciangbunjin berarti sudah
direbut oleh-ku?" tanyanya pula tanpa menghiraukan jawaban
orang. "Dan juga, sesudah kakakmu roboh, apa kau akan
turun tangan atau tidak?"
"Sombong sungguh kau!" bentak Kiam Kiat dengan
mendongkol. "Sesudah menang, barulah kau boleh bicara."
"Tidak, sebelum bertempur aku mau tanya dulu seterangterangnya,"
kata si nona. Kiam Eng yang sedari tadi belum membuka mulut, lantas
saja menyelak. "Siapa gurumu?" tanya-nya.
"Perlu apa kau tanya guruku?" Wan Cie Ie balas menanya.
Tiba-tiba biji matanya memain dan sambil tersenyum ia
berkata puia: "Ah, aku tahu! Ong Loosu rupanya sudah jadi
gusar dan ia ingin turun-kan pukulan yang membinasakan.
Maka itu, ia merasa perlu untuk tanya nama guruku. Ong
Loosu, nama Suhu terlalu besar dan jika kuberitahukan, kau
bisa mati lantaran kaget. Jangan takut. Ke-luarkanlah seantero
kepandaianmu. Aku berjanji tak akan membawa-bawa guru.
Orang kata, tak tahu, tak berdosa. Andaikata kau
membinasakan aku, guruku tentu tak akan gusari kau."
Jawaban itu mengena jitu apa yang dipikir Ong Kiam Eng.
Memang juga, sesudah menyaksikan kepandaian Wan Cie Ie
yang sangat luar biasa, ia menarik kesimpulan, bahwa guru si
nona adalah seorang yang namanya sangat besar dalam
Rimba Persilatan. Ia sangat khawatir urusan berbuntut
panjang, jika ia sampai melukai lawan yang muda belia itu.
"Saudara-saudara, kalian sudah mendengar jawaban Wan
Kouwnio dan aku harap kalian suka menjadi saksi," katanya
seraya mengirim pukulan ke muka si nona. Wan Cie Ie lantas
saja melayani dengan menggunakan juga Pat-kwa-ciang dan
serangan-serangan Kiam Eng yang pertama dengan mudah
telah dipunahkannya. Mereka bertempur di atas dua belas
kursi batu bundar yang ditaruh di seputar sebuah meja bundar
pula. Semakin lama pertempuran jadi semakin cepat dan
mereka melompat berputar-putar seperti main petak. Sesudah
bertempur beberapa lama, Ong Kiam Eng jadi mendongkol
sekali. "Perempuan ini sungguh licik dan sudah berhasil
memancing aku untuk bertempur di atas kursi," pikirnya.
"Tenaga pukulannya masih kalah jauh dari tenagaku, tapi
dengan adanya rin-tangan meja, ia masih bisa bertahan."
Sesudah lewat lagi beberapa jurus, ia berkata pula dalam hati:
"Bocah ini memiliki macam-macam ilmu silat, sehingga aku
tentu tak akan bisa merobohkannya dengan menggunakan
lain ilmu silat." Di lain saat, sambil membentak keras, ia
mengubah cara ber-silatnya, tindakannya seolah-olah kacau
dan ia mengirim pukulan-pukulan dari samping.
Ternyata, dalam kedongkolannya, ia mulai menyerang
dengan ilmu Pat-tin Pat-kwa-ciang, yaitu ilmu simpanan dari
mendiang ayahnya, Wie-tin Ho-sok Ong Wie Yang. Harus
diketahui, bahwa ilmu yang sangat lihay itu hanya diturunkan
kepada ke-dua puteranya oleh Ong Wie Yang. Murid-murid
lainnya, seperti Siang Kiam Beng, belum pernah diajar ilmu
tersebut. Pat-tin Pat-kwa-ciang adalah Pat-kwa-ciang yang
dirangkap dengan ilmu Pat-tin-touw, ialah barisan luar biasa
gubahan Cukat Bu-houw di jaman Samkok. Dengan
dimasukkannya sendi-sendi Pat-tin-touw ke dalam ilmu silat,
maka ilmu silat tersebut mengandung macam-macam perubahan
yang aneh-aneh dan tidak dapat diduga oleh orangorang
yang belum pernah mempelajarinya.
Jangankan mempelajari, sedangkan mende-ngar, Wan Cie
le belum pernah mendengar nama Pat-tin Pat-kwa-ciang.
Maka itu tidaklah heran, jika baru saja beberapa gebrakan, ia
sudah terdesak. Ouw Hui yang terus memperhatikan jalan pertempuran
di luar pendopo, jadi kaget bukan main. Tapi ia
tidak bisa membantu, sebab tadi si nona sudah membuka
suara besar. Ong Kiam Eng jadi girang dan terus mencecar
lawannya dengan pu-kulan-pukulan hebat. Tiba-tiba, pada
saat yang sa-ngat berbahaya, nona Wan melompat ke atas
meja seraya berkata: "Berkelahi di atas kursi, kita tak bisa
menggunakan seantero kepandaian. Mari kita main-main di
atas meja. Ong Loosu, marilah, tapi awas, kau tak boleh
menginjak hancur cangkir-cangktr dan piring buah. Siapa
memecahkan cangkir, dia yang kalah."
Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Ong Kiam Eng turut
meloncat ke atas meja. Sekarang mereka bertempur dalam
jarak dekat dan mau tak mau, si nona harus melawan
kekerasan dengan kekerasan. Tapi, jika dalam pukulan
tangan, ia menderita ke-rugian, dalam gerakan kaki, ia
memperoleh ke-untungan. Mengapa" Karena di atas meja
terdapat dua belas cangkir teh dan empat piring buah, yang
tak boleh pecah. Memang, jika bertempur di atas tanah datar,
Pat-tin Pat-kwa-ciang dahsyat bukan main. Tapi, dengan
adanya pembatasan itu, Ong Kiam Eng tak bisa mengeluarkan
ilmunya sesuka hati. Ia hampir tak berani bertindak, sebab
khawatir memecahkan cangkir-cangkir itu. Oleh karena itu, ia
terpaksa berdiri tegak dan melayani si nona dengan pukulanpukulan
tangan saja. Di lain pihak, Wan Cie Ie yang gesit yang memiliki ilmu
mengentengkan badan sangat tinggi, dapat bergerak dengan
leluasa. Bagaikan seekor kera, tubuhnya melesat ke sana-ke
sini untuk tneng-egos pukulan-pukulan lawan atau mengirim
serang-an-serangan.
Sesudah lewat beberapa jurus lagi, sambil mengempos
semangat dengan geregetan Kiam Eng memukul dengan
telapakan tangan kanannya. Tiba-tiba, Wan Cie Ie menyontek
sebuah cangkir dengan ujung kaki kirinya dan cangkir itu
lantas saja menyambar ke muka lawan. Dengan kaget Kiam
Eng buru-buru menarik pulang tangannya dan berkelit. Tapi,
baru saja cangkir pertama lewat, tiga cangkir lainnya
menyambar dengan saling susul. la berhasil mengegos tiga
cangkir itu, tapi yang keempat dan kelima mengenai tepat di
kedua pundaknya. Cangkir ketujuh dan kedelapan dipukul
jatuh dengan tangannya, tapi tak urung mukanya basah sebab
kecipratan air teh. la gusar dan bingung, sehingga cangkir
kesembilan dan kesepuluh mampir di dada-nya.
Semua orang kaget, terutama Ong Kiam Kiat yang tanpa
merasa mengeluarkan seruan tertahan. Sementara itu, cangkir
kesebelas dan kedua belas sudah menyambar ke arah mata.
Bagaikan kalap, Kiam Eng segera menghantam kedua cangkir
itu dengan tangannya. Inilah saat yang ditunggu si nona.
Bagaikan kilat, badannya berkelebat dan tangan kanannya
menangkap pergelangan tangan ka-nan lawan, sedang tangan
kirinya menyengkeram jalanan darah Kie-tie-hiat di lengan
orang. Dengan sekal' Tendorong dan membetot, berbareng
dengan terdengarnya teriakan kesakitan, sambungan lengan
Kiam Eng copot dari tempat sambungannya.
Apa yang digunakan Wan Cie Ie adalah Hun-kin-co-kut-chiu
yang biasa saja. la sudah berhasil sebab gerakannya yang luar
biasa cepat, sehingga seorang ahli seperti Ong Kiam Eng
masih tak dapat menyelamatkan diri.
Melihat kakaknya dikalahkan, sambil memben-tak keras,
Kiam Kiat melompat dan mengirim pu-kulan hebat dengan
kedua tangannya. Ouw Hui yang terus berwaspada segera
turut meloncat dan mendorong, sehingga Kiam Kiat terhuyung
ke be-lakang beberapa tindak. "Ong-heng, jangan mengerubuti!"
bentaknya. "Menurut janji, pertandingan ini satu
lawan satu."
Dengan paras muka pucat bagaikan kertas, Kiam Eng
duduk di atas meja. "Jika aku melepaskan dia sekarang,
dengan saudaranya dia bisa menye-rang lagi dan bisa-bisa aku
dirobohkan," kata Wan Cie Ie dalam hatinya. Memikir begitu,
tanpa sung-kan-sungkan lagi tangannya kembali bekerja dan
sambungan lengan kiri Ong Kiam Eng kembali copot dari
lempatnya. "Bagaimana" Apa kamu rela menyerahkan
Ciangbunjin Pat-kwa-bun kepadaku?" tanyanya.
Kiam Eng tak menyahut. la meramkan kedua matanya
untuk menunggu kebinasaan. "Lepas ka-kakku!" bentak Kiam
Kiat. "Jika kau mau, ambillah kedudukan Ciangbunjin."
Si nona tersenyum dan lalu melompat turun dari atas meja,
sedang Kiam Kiat sendiri lalu meng-gendong kakaknya dan
meninggalkan gedung itu tanpa menengok lagi.
Sekarang tiba giliran Ciu Tiat Ciauw. Sambil mengawasi
Wan Cie Ie, ia berkata: "Nona, kau benar-benar pintar. Siasat
apa yang kau hendak gunakan untuk menghadapi aku, si
orang she Ciu?" Dengan berkata begitu, si tua seperti juga
ingin mengatakan, bahwa kemenangan Wan Cie Ie telah
didapat karena siasat dan bukan lantaran kepan-daian tinggi.
Si nona lantas saja naik darahnya. Ia mengeluarkan suara
di hidung dan menjawab: "Masakah aku perlu menggunakan
siasat untuk menghadapi ilmu silat tiada artinya dari Engjiauw-
gan-heng-bun" Ciu Loosu, apa katnu bertiga maju
berbareng atau satu lawan satu?"
"Wan Kouwnio, dengan berkata begitu kau memandang
enteng semua ahli silat di kota Pak-khia," kata Tiat Ciauw
dengan suara tawar. "Semenjak berusia tiga belas tahun, aku
Ciu Tiat Ciauw selalu berkelahi seorang diri."
"Oh begitu?" mengejek si nona. "Dengan lain perkataan,
sebelum berusia tiga belas tahun, kau bukan seorang gagah
dan biasa main keroyok."
"Aku baru belajar silat pada usia tiga belas tahun,"
menerangkan Kilas Balik Merah Salju 4 Golok Halilintar Karya Khu Lung Golok Halilintar 12
^