Kisah Si Rase Terbang 16

Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung Bagian 16


p-kok-hiat, sehingga In-bun-hiat pasti
dibuka oleh Ouw Hui. Maka itu, seraya tersenyum, keduaduanya
lantas menarik pulang Lweekang mereka dan
melompat mundur.
Si sasterawan segera mendukung San Hui Hong dan
kemudian kabur secepat-cepatnya. "Hok Kong An sudah
dibunuh olehku," teriaknya. "Orang-orang gagah dari Siauwlim-
pay, seranglah bagian timur! Orang-orang gagah Bu-tongpay,
seranglah bagian barat! Hayo, serang! Serang! Serang!"
Di antara suara beradunya senjata, teriakan itu kedengarannya
menyeramkan sekali.
Mendengar Hok Kong An dibinasakan, para Wie-su
mengeluarkan keringat dingin. Di samping itu, teriakan si
sasterawan juga mengejutkan banyak orang. Apa benar
Siauw-lim-pay dan Bu-tong-pay memberontak"
Dalam keadaan kalut, tiba-tiba terdengar teriakan Tong
Pay: "Hok Thayswee tidak kurang suatu apa! Jangan kena
dikelabui kawanan penjahat!"
Waktu lilin-lilin sudah dinyalakan lagi, Tio Poan San, Cio
Siang Eng, si sasterawan dan San Hui Hong sudah tak
kelihatan mata hidungnya.
Hok Kong An kelihatan duduk tenang di kur-sinya dengan
diapit oleh Tong Pay dan Hay Lan Pit, sedang di sekitarnya
berdiri kurang lebih enam puluh Wie-su. Ciangbunjin Siauwlim-
pay, Tay-tie Siansu dan Ciangbunjin Bu-tong-pay, Buceng-
cu, juga masih duduk di kursi mereka.
Hok Kong An tersenyum seraya berkata: "Penjahat telah
berdusta dan kuharap Siansu serta Too-tiang jangan jadi
jengkel." Sehabis Hok Kong An bicara, An Teetok meng-hampiri dan
berkata seraya membungkuk: "Aku tak punya kemampuan,
sehingga kawanan penjahat bisa kabur. Harap Thayswee suka
memaafkan."
Pembesar itu tertawa dan menggoyang-goyang-kan
tangannya. "Bukan, itu bukan kesalahan kalian," katanya.
"Kutahu, bahwa karena ingin melin-dungi aku, maka kalian
tidak memperdulikan lagi beberapa penjahat kecil itu." la
merasa senang sekali, sebab ia telah membuktikan, bahwa
semua pengawalnya cukup setia terhadap dirinya. Sesudah
berdiam sejenak, ia berkata pula: "Pengacauan beberapa
bangsat kecil itu tidak berarti. Kehilangan sebuah cangkir...
hm... juga tidak berarti banyak. Di hari kemudian, mungkin
sekali ada seorang Ciang-bunjin yang dapat merebut pulang
cangkir itu dan membekuk penjahatnya. Jika benar terjadi
begitu, maka cangkir yang direbut pulang itu akan dihadiahkan
kepadanya. Untuk merebut pulang, orang bukan saja
harus mengadu ilmu silat, tapi juga harus mengadu
kepintaran. Bukankah kejadian itu akan lebih menarik hati dari
pada pertandingan yang dilangsungkan pada malam ini?"
Pernyataan pembesar itu disambut dengan so-rak sorai
oleh para hadirin.
Hok Kong An benar-benar lihay. Ouw Hui meliriknya dan
diam-diam ia pun memuji kepintaran pembesar itu yang bisa
segera menggunakan setiap kesempatan untuk keuntungan
dirinya sendiri. dengan berkata begitu, Hok Kong An bukan
saja sudah mengecilkan kedosaan akibat kehilangan cangkir,
tapi juga melontarkan racun ke pihak Ang-hoa-hwee. Dalam
Rimba Persilatan terdapat banyak sekali manusia-manusia
yang haus akan harta dan pangkat. Mereka itu sudah pasti
akan menggunakan segala rupa jalan untuk merebut cangkir
Giok-liong-pwee dari tangan Ang-hoa-hwee dan dengan
sendirinya, Ang-hoa-hwee harus mengha-dapi banyak lawan
berat. "Biarlah mereka melangsungkan pertandingan," kata
pembesar itu kepada An Teetok.
"Baiklah," jawab An Teetok yang lalu bicara dengan suara
nyaring. "Hok Thayswee telah memerintahkan supaya
pertandingan diteruskan untuk merebut ketiga Giok-liongpwee."
Mendengar itu, orang-orang yang ingin turut dalam
pertandingan lantas saja siap sedia. Dengan hati berdebardebar,
sebagian mengawasi tujuh cangkir yang berdiri di atas
meja dan sebagian pula melirik empat kursi Thay-su-ie yang
masih kosong. Mereka mendapat kenyataan, bahwa
Ciangbunjin Kun-kun-to, See-leng Toojin, sudah meninggalkan
kursi Thay-su-ie yang tadi didudukinya. Rupanya, karena
merasa tidak ungkulan menghadapi begitu banyak lawan
tangguh, ia mengundurkan diri supaya tidak mendapat malu.
Sementara itu, Ouw Hui merasa bingung karena di dalam
hatinya muncul beberapa pertanyaan. Cara bagaimana kedua
putera Hok Kong An direbut pulang" Ia menyamar sebagai
Ciangbunjin Hoa-kun-bun. Apakah rahasianya terbuka"
Apakah pihak lawan sudah memasang jebakan, sehingga sampai
sekarang mereka masih belum turun tangan" Siapakah
yang tadi mengadu tenaga Lweekang de-ngannya"
Ia mengerti, bahwa makin lama dirinya jadi makin
terancam. Akan tetapi, sebab pertama per-tanyaanpertanyaan
itu belum mendapat jawaban, kedua, sebab Hong
Jin Eng berada di situ dan ia merasa tidak rela kalau sampai
manusia kejam itu bisa kabur lagi dan ketiga, lantaran ia
sangat ke-pingin tahu siapa yang akan merebut ketiga cangkir
giok itu, maka, biarpun sangat ingin berlalu, ia masih tetap
duduk di situ. Tapi sebab yang terutama ialah karena ia merasa, bahwa
Wan Cie Ie pasti akan datang ke tempat itu. Itulah sebab yang
sebenarnya, mengapa, meskipun menghadapi bahaya, ia
masih tidak berkisar.
Sementara itu, dalam gelanggang sudah ber-tempur dua
pasang Ciangbunjin yang semuanya menggunakan senjata.
Dengan sekali melirik, Ouw Hui mengetahui, bahwa ilmu silat
mereka banyak lebih tinggi dari pada orang-orang yang sudah
turun ke gelanggang terlebih dahulu. Beberapa saat kemudian,
seorang yang bersenjata Sam-ciat-kun kena
dikalahkan. Pihak pemenang, seorang yang bersenjata Liuseng-
tui (bandering), ialah Tong Hway To dari Thay-goan-hu,
yang bergelar Liu-seng Kan-goat (si Bandering mengejar
bulan). Ouw Hui lantas saja ingat, bahwa pada beberapa bulan
yang lalu, ketika ia bertempur dengan Ciong-sie Sam-hiong,
mereka pernah menyebut-nyebut "Liu-seng Kan-goat Tong
Loosu". Bandering Tong Hway To benar lihay. Dalam belasan
jurus saja, ia sudah menjatuhkan orang yang bersenjata Samciat-
kun. Sesudah itu, maju lagi dua orang, tapi mereka pun
dapat dikalahkan dengan mudah sekali.
Dalam pertandingan antara jago-jago silat, ke-cuali kalau
mereka sedang mengadu tenaga Lwee-kang, dalam satu-dua
gebrakan saja, mereka sudah tahu, siapa yang lebih kuat,
siapa yang lebih lemah.
Orang-orang yang sekarang bertanding kebanyakan belum
pernah mengenal satu sama lain dan pada hakekatnya,
mereka sungkan menanam bibit per-musuhan. Maka itu,
begitu lekas seseorang merasa kepandaiannya kalah, buruburu
ia mengundurkan diri. Orang-orang yang berkepandaian
cetek diam-diam merasa kecewa, karena pertandingan-pertandingan
yang sekarang berlangsung tidak sehebat pertempuran
yang tadi terjadi di antara San Hui Hong, Auwyang
Kong Ceng, Hachi Hweeshio dan Iain-lain.
Akan tetapi, orang-orang yang berkepandaian tinggi
mengetahui, bahwa makin lama jago-jago yang turun ke
gelanggang makin tinggi kepandaiannya. Melihat begitu,
beberapa Ciangbunjin yang semula ingin turut bertanding, jadi
mundur dengan sendirinya.
Walaupun mereka semua berlaku hati-hati, tapi karena
begitu turun ke gelanggang setiap orang berusaha untuk
merebut kemenangan dan juga karena senjata tiada matanya,
maka, sesudah pertandingan berlangsung beberapa lama, tiga
Ciangbunjin binasa dan tujuh orang lain terluka berat. Hanya
sebab orang merasa jeri terhadap Hok Kong An, maka muridmurid
korban-korban itu tidak berani mengumbar nafsu.
Tapi dalam Rimba Persilatan pada jaman itu, soal sakit hati
sangat diutamakan dan dalam sejarah persilatan, banyak
sekali manusia menjadi korban sebab gara-gara sakit hati.
Demikianlah, Ciangbunjin Thayswee yang diadakan oleh Hok
Kong An telah membawa akibat yang sangat buruk dalam
Rimba Persilatan di wilayah Tionggoan.
Selama pemerintahan kaisar-kaisar Sun-tie,
Kong-hie dan Yong-ceng, orang-orang gagah dalam Rimba
Persilatan berulang-ulang memberontak ter-hadap kekuasaan
bangsa Boan-ciu. Seratus tahun lebih pemerintah Boan gagal
dalam usaha untuk menindas mereka. Tapi sesudah kaisar
Kian-liong, mereka saling bunuh membunuh dan tidak mempunyai
semangat lagi untuk turut serta dalam ge-rakan
merobohkan pemerintahan Boan. Dengan demikian, suatu
penyakit hebat di dalam perut kaisar-kaisar Boan telah dapat
disingkirkan. Dari sini dapatlah dilihat, bahwa meskipun tujuan
Ciangbunjin Tayhwee tidak berhasil selu-ruhnya, akan tetapi
maksud terutama dari Hok Kong An yaitu mengadu domba
jago-jago silat -telah tereapai.
Belakangan sejumlah tokoh persilatan telah berdaya
sekeras-kerasnya untuk mengakhiri per-musuhan. Untung
juga, berkat usaha mereka, per-musuhan agak mereda,
biarpun tidak habis sean-teronya. Orang-orang yang tidak
mengerti busuk-nya siasat Hok Kong An, hanya menganggap,
bahwa permusuhan dalam Rimba Persilatan adalah karena
bangsa Boan masih besar rejekinya dan mereka tinggal
berpeluk tangan.
* * Sementara itu, Liu-seng Kan-goat Tong Hway To sudah
merobohkan lima orang Ciangbunjin. Lain-lain orang yang
tadinya ingin menyerbu, jadi jeri sendirinya.
"Dia sahabat Ciong-sie Sam-hiong, biarlah dia memperoleh
sebuah cangkir," kata Ouw Hui di dalam hati.
Pada saat itu dari luar tiba-tiba berjalan masuk seorang
perwira. la mendekati Hok Kong An dan bicara bisik-bisik Hok
Kong An mengangguk beberapa kali dan perwira tersebut
Iantas saja berjalan ke luar lagi. Setibanya di depan pintu, ia
berseru: "Hok Thayswee mengundang masuk Tian Loosu,
Ciangbunjin Thian-liong-bun bagian Uta-ra!"
Seorang perwira lain yang menjaga di luar pintu, Iantas
saja mengulangi undangan itu.
Ouw Hui dan Leng So saling melirik. Di dalam hati, mereka
agak terkejut. Beberapa saat kemu-dian, Tian Kui Long
bertindak masuk. Ia mengena-kan thungsha (jubah panjang)
dan ma-kwa, paras mukanya tersenyum-senyum dan di
belakangnya mengikuti delapan orang. Ia menghampiri Hok
Kong An dan memberi hormat dengan membung-kuk.
Pembesar itu mengangkat kedua tangannya dan berkata
sambil tertawa. "Tian Loosu, kau duduklah!"
Semua jago mengawasi Tian Kui Long, banyak antaranya
dengan rasa mendongkol. Nama Thian-liong-bun telah
menggetarkan Rimba Persilatan dan selama lebih dari seratus
tahun, sedang keluar-ga Tian berdiri berendeng dengan tiga
keluarga lain, yaitu Ouw, Biauw dan Hoan. Dalam setiap
turunan, keempat keluarga itu selalu mempunyai jago-jago
yang dimalui orang. Orang she Tian itu masuk ke dalam
Ciangbunjin Tayhwee dengan lagak agung-agungan dan
bahkan Hok Kong An sendiri mem-perlakukannya dengan
segala kehormatan. Apakah ia benar-benar mempunyai "isi?"
Menurut surat undangan, setiap partai yang menghadiri
pertemuan itu hanya boleh datang dengan empat orang. Tapi
Tian Kui Long membawa delapan pengikut. Di samping itu,
untuk memperlihatkan bahwa dia ada-lah lain dari yang lain,
dia datang sangat terlambat. Itulah beberapa sebab yang
menerbitkan rasa men-dongkolnya banyak orang.
Sesudah memberi hormat kepada Hok Kong An, Tian Kui
Long manggut-manggutkan kepalanya kepada Ciangbunjin
Siauw-lim dan Bu-tong-pay. Rupanya mereka belum
bersahabat. Tapi Kam-lim-hui-cit-seng Tong Pay
menyambutnya dengan ha-ngat sekali. Sambil menepuknepuk
pundak Kui Long, Tong Pay berkata: "Hiantee, aku
sangat memikirkan kau. Aku bingung karena kau belum juga
datang. Jika kau terlambat dan tidak keburu mengantongi
sebuah Giok-liong-pwee, mana enak aku membawa pulang
cangkirku" Aku khawatir dikemudian hari kau akan meminta
cangkirku. Kalau sampai kejadian begitu, aku hanya bisa
menyerahkan kepada kau dengan kedua tangan." Sehabis
berkata begitu, ia tertawa terbahak-bahak.
Tian Kui Long turut tertawa. "Mana bisa aku menandingi
Toako?" katanya. "Dengan memper-oleh perlindungan Toako,
aku sudah merasa sangat girang jika bisa membawa pulang
sebuah cangkir perak."
Pembicaraan itu menambah rasa mendongkol dalam
hatinya banyak orang. Meskipun kata-kata mereka sopan
santun, tapi dalam kata-kata itu menggenggam arti, bahwa
mereka menganggap, cangkir Giok-liong-pwee sudah berada
di dalam saku. Hal ini dengan sendirinya merupakan sikap
memandang rendah kepada Iain-lain Ciangbunjin. Tong Pay
biasa berlaku manis terhadap semua orang. Tapi sikapnya
terhadap Tian Kui Long luar biasa manis, seolah-olah mereka
berdua adalah saudara-saudara angkat.
Antara orang yang naik darahnya adalah Ouw Hui sendiri.
Mengingat perbuatannya Tian Kui Long yang sangat rendah
terhadap Biauw Jin Hong, ia segera mengambil keputusan,
bahwa andaikata si orang she Tian bisa mengantongi cangkir
giok, ia akan segera turun tangan.
Waktu Tian Kui Long masuk, pertandingan terhenti untuk
sementara waktu, tapi sekarang sudah dimulai lagi. Tian Kui
Long tidak lantas turun ke gelanggang tapi duduk menonton
sambil minum arak. Ia mengambil sikap acuh tak acuh,
kadang-kadang tersenyum dan kadang-kadang berbisik-bi-sik
dengan Tong Pay. Tapi semua orang sudah bisa menebak akal
liciknya. Di luar dia mengambil sikap seperti jago jempolan
yang sungkan mengadu ilmu dengan orang biasa. Tapi
maksud sebenarnya, dia mau menunggu sampai yang Iain-lain
lelah supaya bisa mengantongi kemenangannya dengan sekali
pukul. Sesudah menunggu beberapa lama di kursi Thay-su-ie dan
belum ada orang yang menantang lagi, Liu-seng Kan-goat
Tong Hway To sekonyong-ko-nyong melompat bangun dan
menghampiri Tian Kui Long. "Tian Loosu," katanya, "Aku si


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang she Tong memohon pelajaran."
Semua orang terkejut. Menurut pantas, orang yang duduk
di kursi Thay-su-ie yang ditantang. Tapi sekarang, ia berbalik
menantang. "Perlu apa terburu-buru?" kata Kui Longsambil tersenyum,
sedang tangannya masih tetap mencekal cawan arak.
"Menurut pendapatku lebih cepat kita bertan-ding lebih baik
lagi," kata Tong Hway To. "Sekarang, mumpung masih
bertenaga, aku memohon pelajaran dari Tian Loosu.
Janganlah Loosu menunggu sampai aku sudah lelah sekali."
Tong Hway To adalah seorang polos - segala apa yang
dipikirnya lantas saja keluar dari mulutnya. Perkataannya itu,
yang melucuti topeng si orang she Tian, disambut dengan
sorakan oleh sejumlah orang.
Sekarang Tian Kui Long tidak bisa menolak lagi. Ia tertawa
terbahak-bahak dan berkata kepada Tong Pay: "Toako,
sekarang aku terpaksa harus memperlihatkan kebodohanku."
"Aku memberi selamat kepada Hiantee dan kupereaya,
begitu bergebrak, begitu kau merebut kemenangan," kata
Tong Pay. Tong Hway To menengok dan menatap wajah Tong Pay
dengan mata mendelik. "Tong Loosu!" katanya dengan suara
kasar. "Hok Thayswee telah menganggap kau sebagai seorang
dari empat Ciang-bunjin besar dan mengundang kau datang
ke sini sebagai wasit. Tapi kurasa, kenyataannya tidak sesuai
dengan tugasmu."
Disemprot begitu, paras muka Tong Pay lantas saja
berubah merah. Dengan memaksakan diri untuk tertawa, ia
berkata: "Di bagian mana yang aku berlaku kurang benar"
Kuharap Tong Loosu suka memberi petunjuk."
"Sebelum aku bertempur dengan Tian Loosu, sebagai
seorang wasit kau sudah mengeluarkan perkataanyang
miringsebelah," jawabnya. "Orang gagah di kolong langit
berkumpul di sini dan mereka semua mendengar apa yang
diucapkan olehmu."
Bukan main rasa malu dan gusarnya Tong Pay. Selama
beberapa tahun, jago-jago Rimba Persilat-an sangat
menghormatinya dan selalu memanggil-nya dengan panggilan
"Tong Tayhiap". Tak di-nyana, di hadapan orang banyak, ia
telah disikat begitu pedas. Tapi ia seorang yang sangat cerdik.
Biarpun gusar, ia masih bisa menahan sabar. Ia tersenyum
seraya berkata: "Baiklah. Aku pun men-doakan agar Tong
Loosu bisa memperoleh kemenangan."
Tian Kui Long melirik Tong Pay dengan sorot mata penuh
arti, seolah-olah ia hendak mengata-kan, bahwa ia pasti akan
menghajar yang tak tahu adat itu. Perlahan-lahan ia bertindak
masuk ke dalam gelanggang dan berkata: "Tong Loosu, hayolah!"
Melihat Kui Long tidak membuka pakaian luar dan juga
tidak membawa senjata, Tong Hway To jadi gusar. "Tian
Loosu, apakah kau mau menyambut Liu-seng-tui dengan
tangan kosong?" tanyanya.
Tian Kui Long adalah seorang licik yang sangat berhati-hati.
Tadi, ia merasa, bahwa jika ia bisa menjatuhkan lawannya
dalam dua tiga ge-brakan, maka namanya akan naik tinggi.
Tapi sekarang, melihat tubuh Tong Hway To yang kekar kokoh
dan tindakannyayangsangat mantap, iaagak bersangsi. Maka
itu, buru-buru ia memutar haluan dan berkata sambil tertawa:
"Tong Loosu adalah seorang kenamaan dalam Rimba
Persilatan. Di kalangan Kang-ouw, siapakah yang tidak
mengenal ilmu Liu-seng Kan-goat. Meskipun menggunakan
senjata, belum tentu aku bisa menandingi Loosu." Ia
menggapai dan murid kepalanya, Co Hun Kie, segera
menyerahkan sebatang pedang kepadanya.
Sambil mengibas dengan tangan kirinya, Kui Long berkata:
"Hayolah!"
Melihat lawannya tidak menghunus pedang, Tong Hway To
jadi makin mendongkol, tapi sekarang, tanpa memperdulikan
lagi, ia segera meng-gerakkan kedua bandringnya. Begitu
digerakkan dengan mennggunakan Lweekang, rantai bandring
lantas saja berdiri tegak, bagaikan toya. "Bagus!" banyak
orang memuji sambil menepuk tangan.
Di lain saat, sedang bandring kiri masih berdiri tegak di
tengah udara, bandring kanan sudah menyambar dada Tian
Kui Long. Tapi, waktu terpisah hanya setengah kaki dari dada
Kui Long, bandring itu mendadak berhenti, disusul dengan
bandring kiri yang menyambar kempungan. Ternyata,
serangan bandring pertama hanya gertakan dan serangan
yang kedua barulah serangan sesungguhnya. Itulah salah satu
jurus dari ilmu bandring Liu-seng Kan-goat.
Kui Long agak terkejut - sambil menggeser kaki, ia
mengangkat pedang yang masih berada dalam sarungnya
untuk menangkis. Tong Hway To jadi makin gusar, karena
perbuatan itu terang-terang menghina padanya. Sambil
mengerahkan Lweekang, ia memutar kedua bandringnya dan
menyerang bagaikan hujan dan angin. Kedua bandring itu
menyambar-nyambar tak hentinya yang satu perlahan, yang
lain cepat, yang satu serangan gertakan, yang lain serangan
sesungguhnya, yang cepat belum tentu "berisi", yang perlahan
belum tentu "kosong", kosong-kosong berisi dan berisi-berisi
ko-song. Tian Kui Long terus melayani dengan sarung pedang,
dengan menggunakan pukulan-pukulan dari Thian-liong-kiam.
Sesudah bertempur tiga puluh jurus lebih, Tian Kui Long
mulai dapat memahami ilmu bandring lawannya. Mendadak
sarung pedangnya menyambar lutut Tong Hway To. Serangan
itu bukan menggunakan ilmu pedang, tapi ilmu menotok
lengan Poan-koan-pit. Tong Hway To kaget, buru-buru ia
menarik kaki kirinya ke belakang. Kui Long segera
melintangkan sarung pedang dan menyabet paha lawan. Kali
ini ia menyerang dengan menggunakan ilmu silat gada. Dalam
bingungnya Tong Hway To jadi nekat. Dengan sekali
mengedut, bandring kiri naik ke atas dan kemudian, dengan
sekali men-dorong dengan tangan kiri, bandring itu
menyambar alis Tian Kui Long.
Itulah pukulan nekat yang bertujuan, biarlah celaka
bersama-sama. Tian Kui Long sedikit pun tidak menduga,
bahwa lawan akan bertindak begitu. Sarung pedangnya sudah
hampir mengena pada Tong Hway To, tapi bandring pun
sudah dekat sekali dengan alisnya. Kalau sama-sama kena,
Tong Hway To akan lumpuh satu kakinya, tapi ia sendiri akan
binasa. Tapi dia sungguh lihay. Pada detik yang sangat
berbahaya, ia masih keburu menyampok rantai bandring
dengan sarung pedang. Sekarang, dari menyerang ia berbalik
membela diri dan ke-dudukannyaberubahjelek.
HampirberbarengTong Hway To mengedut Liu-seng-tui dan
rantainya lan-tas saja melibat di sarung pedang. Ia membetot
dan bandring kanan digunakan untuk menghantam lawan.
Semua orang mengawasi sambil menahan na-pas. Dengan
senjata sudah terlibat, jika Tian Kui Long ingin menyelamatkan
jiwa, tidak boleh tidak ia harus melepaskan pedangnya dan
melompat mun-dur.
Tiba-tiba terdengar suara "srt!" sesosok sinar hijau
berkelebat dan pedang Tian Kui Long yang sudah keluar dari
sarungnya. Sekali menyambar, pergelangan tangan kanan
Tong Hway To sudah terluka. Ternyata, karena sarungnya
dibetot, secara kebetulan pedang itu terhunus dan Tian Kui
Long yang tidak mau menyia nyiakan kesempatan baik, segera
melukai lawannya. Ia maju dua tindak dan telunjuk tangan
kirinya menotok tiga jalan darah di dada Tong Hway To, yang
lantas saja tidak bisa bergerak lagi, sedang kedua bandringnya
jatuh di lantai. Sambil tertawa Kui Long memasukkan
pedangnya ke dalam sarung. "Tong Loosu sudah mengalah!"
katanya. Meskipun menang, tapi sebab kemenangan itu diperoleh
lantaran kebetulan, maka kecuali Tong Pay dan beberapa
orang lain, para hadirin tidak bersorak-sorai untuk memujinya.
Tanpa membuka jalan darah Tong Hway To, Kui Long
segera duduk di kursi Thay-su-ie dan beromong-omong
dengan Tong Pay sambil tertawa-tawa. Sedikit pun ia tidak
menghiraukan bekas lawannya yang masih berdiri terus di
tengah ge-langgang bagaikan patung. Di antara para tamu
terdapat banyak ahli Tiam-hiat. Mereka merasa mendongkol
akan sikap si orang she Tian, tapi mereka tahu, bahwa jika
menolong Tong Hway To, mereka akan bermusuhan dengan
Tian Kui Long dan Tong Pay. Si orang she Tian masih tidak
apa, tapi nama Kam-lim-hui-cit-seng Tong Pay terlalu besar
untuk disentuh. Maka itulah, mereka tidak berani mencari
urusan. Sekonyong-konyong di bagian barat ruangan perjamuan
berdiri seorang pria yang bertubuh tinggi besar. Ia mencekal
sebatang toya baja yang panjang dan besar dan dengan
tindakan lebar ia mengham-piri Tian Kui Long.
"Orang she Tian!" bentaknya. "Mengapa kau membiarkan
dia berdiri terus di situ?"
"Siapakah kau, Tuan?" tanya Kui Long.
"Aku Lie Teng Pa," jawabnya. "Hayo! Buka jalan darah
Tong Loosu!" Suaranya keras dan nya-ring luar biasa,
sehingga seluruh ruangan seolah-olah tergetar.
Mendengar nama "Lie Teng Pa", semua orang agak herna.
Lie Teng Pa adalah murid kepala dari Ciangbunjin partai Ngotay-
pay. Ia membuka sebuah piauw-kiok di Yan-an, propinsi
Siam-say, dan toyanya yang diberi nama Ngo-long-kun telah
mendapat nama besar dalam Rimba Persilatan, sedang Ngolong
Piauw-kiok sangat terkenal di tujuh propinsi Tiongkok
Utara. Semua orang merasa agak heran, bahwa sebagai congpiauw-
tauw yang nama-nya kesohor, ia ternyata seorang
kasar dan sem-brono.
Tian Kui Long tetap duduk di kursinya. Sebe-narnya ia
sudah mendengar nama Lie Teng Pa, tapi ia berlagak pilon.
"Tuan dari partai mana?" tanyanya dengan pura-pura heran.
Lie Teng Pa jadi gusar. "Apa kau belum pernah mendengar
nama Ngo-tay-pay?" bentaknya.
Kui Long menggelengkan kepala. "Ngo-tay-pay?" ia
menegas dengan nada mengejek. "Bukan Cit-tay, bukan Pattay?"
"Orang she Tian," kata pula Lie Teng Pa. "Kita sama-sama
orang Rimba Persilatan. Bukalah jalan darah Tong Loosu."
"Apakah kau sahabat Tong Loosu?" tanyanya.
"Bukan," jawabnya. "Aku belum pernah mengenalnya. Tapi
karena kau mempermainkan orang, aku merasa tak tega
untuk melihatnya."
Kui Long mengerutkan alis. "Aku hanya bisa Tamhiat,
guruku tidak mengajar aku membuka jalan darah yang
tertotok," katanya dengan suara menyesal.
"Aku tidak pereaya!" teriak si sembrono.
Sementara itu, Hok Kong An dan orang-orang
sebawahannya menonton kejadian itu dengan ter-senyumsenyum.
Mereka tahu, bahwa Tian Kui Long sedang
mempermainkan bekas lawannya, tapi sesudah menonton
banyak pertempuran, lelucon itu merupakan selingan yang
menarik hati. Melihat Hok Kong An tertawa-tawa, Kui Long jadi
makin "mangkak". "Begini saja!" katanya. "Kau tendanglah
lututnya. Sekali ditendang, jalan darahnya akan terbuka."
"Apa benar?" tanya Lie Teng Pa. "Itulah apa yang diajarkan
oleh guruku, tapi aku sendiri belum pernah mencoba,"
jawabnya. Si sembrono segera menghampiri Tong Hway to dan
menendang salah satu lututnya. Tendangan itu tidak keras,
tapi Tong Hway To roboh terguling dengan tak bisa bangun
berdiri. Lie Teng Pa baru tahu, bahwa ia sudah diakali.
Hok Kong An tertawa terbahak-bahak, diturut oleh kaki
tangannya. Beberapa orang gagah seb-enarnya ingin menegur
Tian Kui Long untuk le-luconnya yang melewati batas, tapi
melihat ke-gembiraan kawanan pembesar itu, mereka tidak
berani membuka mulut.
Sekonyong-konyong, selagi suara tertawa belum mereda,
terdengar suara "tring!" tiga cawn arak terbang ke atas,
berbentrok satu sama lain dan jatuh hancur di lantai.
Semua orang terkejut. Semua mata coba men-cari-cari
orang yang melemparkan cawan-cawan itu dan kemudian
mengawasi hancuran cawan di lantai. Di lain saat Tong Hway
To sudah bangun berdiri dengan satu tangan mencekal
sebuah cawan. "Sa-habat dari mana yang sudah menolong
aku secara diam-diam?" tanyanya. "Tong Hway To tak akan
melupakan budi yang besar itu." Ia memasukkan cawan itu,
mengawasi Tian Kui Long dengan sorot mata gusar dan
kemudian, dengan tindakan lebar ia meninggalkan ruangan
perjamuan. Sekarang semua orang mengerti, bahwa dilem-parkannya
ketiga cawan itu, adalah untuk menyim-pangkan perhatian
orang dan dengan berbareng, si penolong menimpuk dengan
sebuah cawan lain untuk membuka jalan darah Tong Hway
To. Kecuali Tong Pay, semua orang kena dikelabui. Tanpa
mengeluarkan sepatah kata Tong Pay menuang dua cawan
arak dan dengan membawa kedua cawan itu, ia menghampiri
meja Ouw Hui. "Sau-dara," katanya, "Aku belum pernah
mengenal kau. Bolehkah aku mendapat tahu she dan nama
saudara yang mulia. Aku merasa sangat kagum akan ilmu
Kay-hiatmu."
Ouw Hui agak terkejut. Barusan, ia memberi pertolongan
karena mengingat, bahwa Tong Hway To sahabat Ciong-sie
Sam-hiong. Tak dinyana, tin-dakannya itu tidak terlolos dari
mata Tong Pay yang sangat tajam.
Karena sungkan menarik perhatian, ia segera menjawab:
"Aku yang rendah dari Hoa-kun-bun. Aku she Thia, bernama
Leng Ouw. Perkataan Tong Tayhiap yang menyebut-nyebut
soal Kay-hiat sung-guh tak dimengerti olehku."
Tong Pay tertawa terbahak-bahak. ^Janganlah saudara
coba menyembunyikan did," katanya. "Ka-lau bukan saudara,
mengapa jumlah cawan di meja ini berkurang dengan empat
buah?" Ouw Hui sekarang mengetahui, bahwa dugaan Tong Pay
berdasarkan berkurangnya jumlah cawan. Ia berpaling kepada
Kwee Giok Tong seraya ber-kata: "Kwee Loosu, kalau begitu
kaulah yang telah menolong Tong Loosu. Aku sungguh merasa
kagum. Kwee Giok Tong yang bernyali kecil buru-buru berkata:
"Bukan, bukan aku! Kau jangan omong sembarangan."
Tong Pay sudah mengenal Kwee Giok Tong lama dan ia
tahu, bahwa orang she Kwee itu tidak mempunyai kepandaian


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang begitu tinggi. Coa Wie memiliki nama besar, tapi ia pun
tak akan mampu berbuat begitu. Maka itu, sambil tersenyum,
ia mengangsurkan secawan arak kepada Ouw Hui seraya
berkata: "Thia-heng, aku merasa syukur, bahwa hari ini kita
bisa berkenalan. Ijinkanlah aku memberi hormat kepadamu
dengan secawan arak." Seraya berkata begitu, ia menyentuh
cawan yang dipegangnya dengan cawan Ouw Hui.
"Tring!" cawan Ouw Hui jatuh hancur dan arak membasahi
dadanya. Ternyata, untuk menjajal Ouw Hui, pada waktu
membenturkan cawan, ia menge-rahkan Lweekang. Tapi Ouw
Hui yang cerdik sama sekali tidak melawan, sehingga Tong
Pay menjadi bingung. "Maaf," katanya dan lalu kembali ke
kursi-nya dengan perasaan sangsi.
Sementara itu Tian Kui Long sudah bertempur dengan Lie
Teng Pa. Sekarang ia tidak berani mengunjuk lagak seperti
tadi - begitu bergerak, ia segera menggunakan pedang.
Dengan bernafsu Lie Teng Pa menyerang dengan jurus-jurus
Ngo-long Kun-hoat. Toya yang berat itu menyambar-nyambar
bagaikan kilat, disertai dengan gerakan badannya yang gesit
dan lincah. Semua orang menonton dengan rasa kagum.
Nama Cong-piauw-tauwdari Ngo-long Piauw-kiok ternyata
bukan nama kosong. Tapi walaupun begitu, apa mau Tian Kui
Long merupa-kan lawan yang sangat berat. Thian-liong Kiamhoat
adalah salah satu ilmu pedang yang paling tersohor dalam
Rimba Persilatan dan si orang she Tian pun memang memiliki
kepandaian yang sangat tinggi. Karena itu, sesudah bertempur
puluhan jurus, per-lahan-lahan Tian Kui Long berada di atas
angin, tapi untuk menjatuhkan lawannya dalam tempo cepat
bukan pekerjaan mudah.
Mendadak selagi berkelahi hebat, Kui Long meraba
pinggangnya dan menghunus sebilah golok pendek.
Begitu kena sinar lilin, golok itu berkeredepan, tiada
bedanya seperti kaca atau es. Tiba-tiba Lie Teng Pa menjabat
tangan toyanya, dengan menggunakan pukulan To-hoan-kiankun
(Membalik la-ngit dan bumi). Kui Long mengibas dengan
pe-dangnya dan Lie Teng Pa buru-buru menukar pukulan dan
menyodok dengan jurus Ceng-liong-cut-tong (Naga hijau
keluar dari gua). Pukulan itu adalah salah satu jurus terhebat
dari Ngo-long Kun-hoat yang harus digunakan oleh seorang
bertenaga besar. Tapi Tian Kui Long tidak melompat atau
berkelit. Toya yang menyambar dipapaki olehnya dengan
golok pendek. "Trang!" toya baja yang besar itu kutung dua!
Hampir berbareng, dia mendesak dan pedangnya menggores
pergelangan tangan la-wan dan memutuskan urat-uratnya.
Sambil mengeluarkan teriakan keras, Lie Teng Pa
melemparkan toyanya. Satu tangannya tak dapat digunakan
lagi untuk selama-lamanya. Seumur hi-dupnya, ia hanya
mempelajari ilmu silat toya Ngo-long-kun yang harus
menggunakan kedua tangan. Rusaknya satu tangan berarti ia
tidak bisa menggunakan lagi toya. Pada detik itu, ia ingat,
bahwa nama besarnya yang telah didapat dengan susah
payah sudah hancur dalam sekejap mata dan per-usahaan
piauw-kioknya harus segera ditutup. Dalam tahun-tahun yang
lalu, karena gampang men-dapat uang, ia hidup royal dan tak
punya simpanan. Sekarang, secara mendadak, keluarganya
mengha-dapi bahaya kelaparan. Ia pun ingat, bahwa karena
beradat berangasan. Tapi sekarang, bagaimana ia bisa
menghadapi musuh-musuh itu"
Ia seorang jujur dan polos. Pada detik itu, ia merasa,
bahwa kebinasaan ada lebih baik daripada hidup terus untuk
menerima hinaan. Ia jadi nekat. Dengan tangan kirinya ia
mengambil potongan toya dan lalu menghantam batok
kepalanya sendiri sekuat-kuatnya. Demikianlah seorang gagah
berpu-lang ke alam baka dalam keadaan yang menyedih-kan.
Para hadirin mengeluarkan seruan tertahan -dengan
serentak mereka berbangkit. Barusan, ke-tika Lie Teng Pa
mengambil potongan toya, semua orang menduga ia ingin
bertempur lagi dengan mati-matian. Kenekatan Lie Teng Pa
benar-benar di luar dugaan.
Sementara itu An Teetok segera memerintah-kan orang
menyingkirkan mayat Lie Teng Pa.
Perbuatan Tian Kui Long menggusarkan ba-nyak orang.
Jika Lie Teng Pa binasa dalam per-tempuran, tak seorang pun
yang bisa merasa kurang senang. Tapi kekejaman Tian Kui
Long terhadap Tian Kui Long terhadap lawan yang sudah
kalah, adalah perbuatan yang keterlaluan.
Tiba-tiba di sudut tenggara ruangan itu berdiri seorang.
"Tian Loosu!" teriaknya. "Sesudah memutuskan toya, kau
sudah mendapat kemenangan. Mengapa kau memotongjuga
urat-urat pergelang-an tangan Lie Loosu?"
"Senjata tak ada matanya," jawab Tian Kui Long dengan
suara tawar. "Kalau ilmu silatku kurang tinggi, bukankah aku
pun bisa dihajar mampus dengan toyanya?"
Orang itu mengeluarkan suara di hidung. "Dengan lain
perkataan, kau ingin mengatakan, bahwa ilmu silatmu tinggi
sekali, bukan?" tanyanya.
"Bukan begitu," jawab Kui Long. "Kalau sau-dara merasa
kurang senang, aku bersedia melayani saudara dalam
gelanggang."
"Baiklah," kata orang itu.
Tanpa memperkenalkan diri, orang itu yang bersenjata
pedang lantas saja menyerang dengan sengit. Tian Kui Long
melayani dengan pedang dan golok mustika dan baru saja
pertempuran berjalan tujuh delapan jurus, dengan satu suara
"trang!" pedang orang itu terpapas putus dan dadanya terluka
ditusuk pedang.
Dengan beruntun beberapa orang lain, yang naik darah,
menantang Tian Kui Long. Mereka bukan ingin merebut
cangkir, tapi mau menghajar si orang she tian. Tapi, apa mau
dikata, golok mustika Kui Long terlalu hebat. Senjata apa pun
jua, begitu tersentauh begitu putus. Beberapa senjata berat,
seperti roda Ngo-heng-lun dan Tok Kak Tong-jin (anak-anakan
tembaga kaki satu), tidak terkeeuali.
"Tian Loosu," kata seorang. "Ilmu silatmu biasa saja dan
kau memperoleh kemenangan dengan ha-nya mengandalkan
golok mustika. Enghiong apa kau" Jika kau mempunyai nyali,
mari kita mengadu kepandaian dengan tangan kosong."
Tapi Tian Kui Long tidak kena "dibakar". la tertawa seraya
berkata: "Golok ini adalah mustika turunan dari Thian-liongbun.
Hari ini Hok Thay-swee mengadakan pertemuan antara
para Ciang-bunjin untuk mengukur tinggi rendahnya
kepandaian mereka. Sebagai ciangbunjin Thian-liong-bun, jika
tidak menggunakan golok ini, senjata apa yang harus
digunakan olehku?"
Makin diejek, ia makin telengas. Goloknya memutuskan
senjata, pedangnya melukai belasan orang telah dirobohkan
dengan mendapat luka berat. Sesudah itu, tak ada lagi yang
berani maju, karena meskipun beberapa orang tidak takut
akan ilmu silatnya, mereka merasa jeri terhadap golok yang
luar biasa itu.
Melihat tak ada orang yang berani menantang lagi, Tong
Pay tertawa terbahak-bahak. "Hiantee," katanya. "Hari ini kau
telah mengangkat naik nama Thian-liong-bun dan sebagai
kakak, aku turut merasa girang. Mari, mari, aku memberi
selamat dengan secawan arak."
Ouw Hui melirik Leng So yang segera memberi isyarat
dengan menggelengkan kepala. Si nona juga merasa sangat
mendongkol terhadap Tian Kui Long. Tapi sebab adanya
beberapa pertimbangan, ia mela-rang kakaknya turun tangan.
Pertama, mereka tidak dapat membuka rahasia sendiri. Tadi,
pada waktu Ouw Hui menolong Tong Hway To, hampir-hampir
topeng mereka terlucut. Kedua golok Tian Kui Long memang
benar-benar lihay. Jika Ouw Hui turun tangan, sebelum
mengadu kepandaian, dalam hal senjata, ia sudah jatuh di
bawah angin. Sambil mengawasi orang she Tian, Ouw Hui
berkata di dalam hati: "Hari itu waktu menyerang Biauw Jin
Hong, mengapa dia tidak membawa golok mustika itu" Kalau
dia menggunakan golok tersebut mung-kin sekali jiwaku sudah
melayang."
Sementara itu, dengan muka berseri-seri, Kui Long
mengangkat cawan arak. Tapi sebelum cawan menempel pada
bibirnya tiba-tiba terdengar suara "srt!" dan sebutir Tiat-pootee
menyambar cawan itu.
Si orang she Tian bersikap acuh tak acuh -cawan terus
diangkat ke bibirnya.
"Suhu, hati-hati!" teriak Co Hun Kie.
Pada detik senjata rahasia itu hampir menyen-tuh cawan
bagaikan kilat dia menyentil dengan jart tangannya, sehingga
Tiat-poo-tee terpental ke luar pintu. Melihat kelihayan itu,
tanpa merasa beberapa orang berteriak. "Bagus!"
Apa mau, dari luar bertindak masuk seorang dan senjata
rahasia itu menyambar dadanya. Seraya menyentil dengan jari
tangannya, orang itu berseru: "Hei! Apa ini caranya orang
menyambut tamu?"
Sentilan itu mengejutkan semua orang, sebab Tiat-poo-tee
menyambar balik ke arah Tian Kui Long dengan suara nyaring
dan tajam - suatu bukti, bahwa kepandaian orang itu banyak
lebih tinggi daripada kepandaian si orang she Tian.
Dalam kagetnya Tian Kui Long tidak berani menyambuti
senjata rahasia itu dan lalu mengegos ke kanan. Apa lacur, di
belakangnya berdiri seorang Wie-su, yang sebab sudah tidak
keburu berkelit lagi, buru-buru mengangkat tangannya untuk
menangkap senjata rahasia itu. Hampir berbareng dengan
saura "tak", ia berteriak kesakitan, karena tulang pergelangan
tangannya patah.
Semua orang terkesiap karena mematahkan tulang dengan
sebutir Tiat-poo-tee yang begitu kecil adalah kepandaian yang
sungguh hebat. Hampir berbareng semua mata mengawasi
orang itu. Dia bertubuh jangkung kurus, di pundaknya
tergantung sebuah kantong obat-obatan, jubah panjangnya
yang berwarna hijau sudah banyak luntur sebab terlalu sering
dicuci, sedang kedua kakinya menyeret sepasang sepatu kulit
tua yang penuh lumpur. Dilihat dari dandanannya, ia
menyerupai seorang tabib kelas rendah yang banyak terdapat
di pasar-pasar. Apa yang luar biasa adalah sepasang matanya
yang besar dan bersinar tajam, alisnya yang tebal, hi-dungnya
yang besar, mulut dan kupingnya yang besar pula. Itulah
muka, yang sekali lihat, tak dapat dilupakan lagi. Dengan
rambut yang berwarna abu-abu, paling sedikit ia sudah
berusia lima puluh tahun. Tapi kulit mukanya licin dan berisi,
seperti juga kulit seorang kanak-kanak. Di belakangnya
mengikuti dua orang - mungkin murid atau pelayannya.
Ouw Hui dan Leng So juga turut mengawasi orang
jangkung itu. Tapi yang mengejutkan mereka adalah kedua
orang yang mengikuti di belakang si jangkung, karena yang
satu - seorang sasterawan tua - bukan lain daripada Boh-yong
Keng Gak, Toasuheng Leng So, sedang yang lain - seorang
wanita bongkok yang kakinya pincang - adalah Sie Kiauw,
Sam-suci nona Thia.
Dengan rasa heran Ouw Hui melirik adik angkatnya.
"Mengapa kedua musuh besar itu datang bersama-sama?"
tanyanya di dalam hati. "Ke mana perginya Kiang Tiat san,
suami Sie Kiauw" Siapa orang jangkung itu?" Leng So pun
tidak kurang herannya. Ia balas melirik kakaknya sambil
meng-gelengkan kepala.
Mendadak terdengar teriakan kesakitan yang menyayat hati
dan Wie-su yang tulangnya patah bergulingan di lantai sambil
mencekal tangannya. Semua orang merasa heran, sebab
seorang Wie-su dari Hok Thayswee mestinya jago pilihan,
sehingga tak bisa jadi ia berteriak-teriak begitu rupa hanya
karena tulangnya patah. Di lain saat, mereka men-dapat
kenyataan bahwa tangan yang tulangnya patah itu berwarna
hitam dan sekarang mereka mengerti, bahwa Wie-su tersebut
sudah kena senjata beracun.
Wie-su itu orang sebawahan Ciu Tiat Ciauw yang tentu saja
turut merasa malu. Sambil mengerutkan alis, ia membentak:
"Bangun!"
"Baik, baik," jawab Wie-su itu dengan ketakut-an. Ia
berusaha untuk berbangkit, tapi mendadak ia terhuyung dan
roboh dalam keadaan pingsan.
Tiat Ciauw kaget dan lalu mengambil sepasang sumpit yang
segera digunakan untuk mengambil senjata rahasia itu. Pada
Tiat-poo-tee itu ternyata terukir satu huruf "Kwa" dan paras
muka Tiat ciauw lantas saja berubah. "Kwa Cu Yong Kwa
Sam-ya dari Lan-ciu!" teriaknya dengan nyaring. "Makin lama
kau maju makin pesat. Sekarang kau menaruh racun lihay
pada Tiat-poo-teemu!"
Hampir berbareng, seorang pria yang bertubuh tinggi besar
dan bermuka bopeng berbangkit dari salah sebuah meja. "Ciu
Looya, janganlah kau menyembur orang dengan darah,"
katanya dengan sua-ra mendongkol. "Tiat-poo-tee itu
memang benar milikku. Aku hanya ingin menghancurkan
cawan arak yang dipegang oleh manusia sombong. Dari satu
turunan ke lain turunan, leluhur kami selalu melarang anak
cucunya menggunakan senjata be-racun. Biarpun bukan
seorang berbakti, Kwa Cu Yong pasti tak berani melanggar
peraturan leluhur-ku."
Cu Tiat Ciauw adalah seorang yang berpeng-alaman luas
dan ia tahu, bahwa leluhur keluarga Kwa, yang tersohor dalam
menggunakan tujuh ma-cam senjata rahasia, selalu melarang
anak cucunya menggunakan racun. Sesudah berpikir sejenak,
ia berkata: "Sungguh mengherankan!"
"Coba aku periksa," kata Kwa Cu Yong yang lantas saja
bertindak ke tengah ruangan dan meng-ambil Tiat-poo-tee
yang menggeletak di lantai. "Benar, memang benar senjata
rahasiaku," katanya. Tapi mengapa ada racunnya..." Aduh...!"
Seko-nyong-konyong ia berteriak sambil melontarkan Tiatpoo-
tee itu dan mengibas-ibaskan tangan ka-nannya, seperti
juga tangan itu menyentuh bara. Paras mukanya berubah
pucat dan ia mengangkat tangannya untuk mengisap jerijinya.
"Jangan!" teriak Tiat Ciauw seraya menghantam lengan
Kwa Cu Yong. Sesaat itu, jempol dan te-lunjuk Kwa Cu Yong
sudah bengkak dan warnanya hitam, sedang badannya
bergemetaran dan keringat sebesar-besar kacang hijau keluar
dari dahinya. Selagi orang kebingungan, si jangkung mene-ngok kepada
Boh-yong Keng Gak dan berkata: "Obati mereka."
Keng Gak mengangguk dan mengeluarkan ko-yo yang lalu
ditempelkan pada tangan Kwa Cu Yong dan Wie-su yang
patah tulang. Sesaat kemudian, Kwa Cu Yong sudah tidak


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bergemetaran lagi, sedang si Wie-su pun lantas saja tersadar.
Sekarang baru orang tahu, bahwa yang menaruh racun pada
Tiat-poo-tee adalah si jangkung. Bahwa racun itu dapat
ditaruh selagi dia menyentil Tiat-poo-tee, benar-benar
merupakan serupa kepandaian yang luar biasa. Karena itu,
dalam hati beberapa orang lantas saja muncul satu
pertanyaan: "Apakah dia Tok-chiu Yo-ong, si raja racun?"
Sementara itu, Ciu Tiat Ciauw sudah meng-hampiri si
jangkung dan bertanya sambil merangkap kedua tangannya:
"Bolehkah aku mendapat tahu she dan nama tuan yang
mulia?" Dia tidak menjawab dan hanya tersenyum.
"Aku yang rendah Boh-yong Keng Gak," kata Keng Gak.
"Ini isteriku, Sie Kiauw." Ia berhenti sejenak dan kemudian
berkata pula: "Ini guru kami, Cio Sinshe, yang dalam kalangan
Kang-ouw dijuluki sebagai Tok-chiu Yo-ong."
Semua orang terkejut. Sudah lama mereka men-dengar,
bahwa Tok-chiu Yo-ong adalah ahli racun pada jaman itu. Tapi
yang paling kaget adalah Leng So dan Ouw Hui, lebih-lebih
nona Thia yang ka-getnya tereampur juga dengan rasa gusar.
Siapa adanya manusia itu yang berani menggunakan nama
mendiang gurunya" Lebih celaka lagi, pengakuan itu diberikan
oleh kakak seperguruannya sendiri. Lain halnya yang sangat
mengherankan ialah soal Sie Kiauw. Samsuci itu adalah isteri
Kian Tiat San, Jie-suhengnya dan dari pernikahan itu mereka men-dapat
seorang putera yang sekarang sudah dewasa. Mengapa Bohyong
Keng Gak memperkenalkan Sie Kiauw sebagai "isteriku?"
Leng So adalah seorang cerdas yang sangat berhati-hati. la
mengerti, bahwa peristiwa ini pasti mempunyai latar belakang
yang luar biasa. Maka itu, ia tidak mengeluarkan sepatah kata
dan hanya memperhatikan perkem-bangan yang selanjutnya.
Walaupun seorang jago, mendengar nama "Tok-chiu Yoong",
paras muka Ciu Tiat Ciauw lantas saja berubah. Sambil
membungkuk, ia ber-kata: "Sudah lama aku mendengar nama
tuan yang besar."
Chio Sinshe tertawa, ia mengangsurkan tangan-nya seraya
berkata: "Tuan she apa" Boleh aku mendapat tahu nama tuan
yang besar?"
Ciu Tiat Ciauw mundur setindak. "Aku yang rendah Ciu Tiat
Ciauw," jawabnya sambil merang-kap kedua tangannya.
Biarpun bernyali besar, ia tidak berani menjabat tangan Tokchiu
Yo-ong. Cio Sinshe tertawa terbahak-bahak. Ia lalu meng-hampiri
Hok Kong An dan menyoja seraya membungkuk. "Orang dari
pegunungan menghadap ke-pada Thayswee," katanya.
Melihat lihaynya orang itu dan sesudah mengetahui asalusul
Tok-chiu Yo-ong dari seorang Wie-su, buru-buru Hok
Kong An berbangkit dan membalas hormat, seraya berkata
sambil tersenyum. "Cio Sinshe, duduklah."
Bersama Boh-yong Keng Gak dan Sie Kiauw, dia segera
duduk pada sebuah meja kosong. Begitu mereka duduk, jagojago
pada meja-meja di sekitarnya dan sambil berdiri di
tempat yang jauhnya kira-kira lima kaki dari meja Cio Sinshe
ia men-jelaskan pertaruan pie-bu (adu silat) dan perebutan
cangkir yang dihadiahkan kaisar. Begitu selesai memberi
keterangan, cepat-cepat ia bertindak mundur.
"Boleh aku tanya she tuan yang mulia?" tanya Cio Sinshe.
"She Pa," jawabnya.
"Pa Looya," kata pula Cio Sinshe, "Mengapa kau begitu
takut terhadapku" Loohu bergelar Tok-chiu Yo-ong dan di
samping menggunakan racun, loohu juga pandai mengobati
penyakit. Kulihat pada muka Pa Looya terdapat sinar hijau,
suatu tanda, bahwa dalam perutmu mengeram beberapa ekor
kelabang. Jika tidak cepat-cepat diobati, aku khawatir dalam
tempo sepuluh hari Pa Looya akan berpulang ke alam baka."
Perwira itu kaget tak kepalang. "Mana bisa jadi?" katanya
dengan suara sangsi.
"Apakah belakangan ini Pa Looya pernah ber-selisih atau
bertempur?" tanya Cio Sinshe.
Bahwa seorang perwira di kota raja sering ber-cekeok atau
berkelahi, adalah kejadian yang sangat lumrah. Maka itu, ia
lantas saja menjawab dengan suara kaget: "Benar...! Apa...
apakah bangsat anjing itu yang sudah turunkan tangan jahat
terhadapku?"
Cio Sinshe segera mengeluarkan dua butir yo-wan hijau
dari sakunya. "Kalau Pa Looya pereaya, telanlah pel ini,"
katanya. Perwira itu bangun bulu romanya dan sesaat itu juga ia
merasa beberapa kelabang sedang bergerak-getak di dalam
perutnya. Tanpa memikir panjang-panjang lagi, ia segera
menyambuti kedua yo-wan itu yang lalu ditelan dengan
bantuan arak. Selang beberapa saat, perutnya sakit, ulu
hatinya mual dan ia muntah-muntah.
Cio Sinshe mendekati dan mengurut-urut dada-nya.
"Muntahkan semua!" bentaknya.
Perwira itu muntah lagi. Tiba-tiba ia melihat tiga ekor
binatang kecil bergerak-gerak di antara sisa makanan.
Binatang itu, yang kepalanya merah dan badannya hitam,
memang bukan lain daripada kelabang! Dia terkesiap, hampirhampir
dia ping-san. Ia segera menekuk kedua lututnya dan
meng-haturkan terima kasih untuk pertolongan Tok-chiu Yoong.
Beberapa pelayan segera membersihkan bekas muntahan
itu. Hampir semua orang merasa kagum, tapi ada juga yang
tidak pereaya, antaranya Ouw Hui sendiri. "Jangankan
kelabang yang kecil, sedang ular pun aku dapat mengeluarkan
dari perutmu," bisik Leng So.
"Bagaimana?" tanya Ouw Hui. "Selagi memberi-kan pel
muntah, aku sudah menyediakan binatang itu dalam tangan
baju," jawabnya.
"Benar! Kau sungguh pintar," memuji sang ka-kak.
Leng So tersenyum. "Dia sengaja mengurut-urut dada
penvira itu supaya orang pereaya kepada-nya," kata nona
Thia. "Tapi kepandaian orang itu memang sangat tinggi," kata
Ouw Hui. "Sebenarnya ia tak usah mengeluarkan permainan
sulap itu."
"Toako," bisik Leng So dengan suara hampir tidak
kedengaran, dalam ruangan ini, yang paling disegani olehku
adalah orang itu. Kau harus sangat berhati-hati."
Semenjak mengenal Leng So, Ouw Hui telah menyaksikan,
bahwa nona itu pintar dan tabah dan belum pernah ia
mendengar perkataan "takut" ke-luar dari mulutnya.
Sekarang, dengan mengatakan begitu, si adik menunjukkan
bahwa manusia yang menyamar sebagai Tok-chiu Yo-ong itu
benar-be-nar tidak boleh dibuat gegabah.
Sementara itu, Cio Sinshe tertawa dan berkata: "Biarpun
mempunyai beberapa murid, aku belum pernah mendirikan
partai apa pun jua. Hari ini, dengan belajar dari para
Cianpwee, biarlah aku membentuk sebuah partai yang diberi
nama Yo-ong-bun. Jika bisa memperoleh sebuah cangkir perak,
aku dan murid-muridku sudah merasa berun-tung sekali."
Sedang mulutnya berkata begitu, kaki-nya menghampiri kursi
Thay-su-ie dan ia lalu duduk di samping Tian Kui Long.
Dengan demikian, te-rang-terang ia menunjukkan bahwa
tujuannya bukan cangkir perak, tapi cangkir giok dan ia sendiri
ingin berdiri di antara delapan Ciangbunjin yang terutama.
Dengan nama Tok-chiu Yo-ong yang sudah tersohor selama
puluhan tahun dan dengan kepandaian yang tadi
diperlihatkannya, tak seorang pun di antara para hadirin yang
berani menantang-nya.
Untuk beberapa saat, ruangan yang besar itu sunyi senyap.
Tiba-tiba Tay-tie Siansu, Ciangbunjin Siauw-Iim-pay,
menengok seraya bertanya: "Cio Sinshe, pernah apa antara
kau dengan Bu-tin Hwee-
"Bu-tin?" menegas Cio Sinshe. "Tidak, aku tidak
mengenalnya."
Tay-tie Siansu merangkap kedua tangannya dan memuji:
"Omitohud!"
"Apa?" tanya Cio Sinshe.
"Omitohud!" kata pula Tay-tie.
Semenjak ketiga orang itu masuk, setiap gerak-gerik
mereka tidak terlepas dari incaran mata Leng So. Sesaat itu,
Boh-yong Keng Gak perlahan-lahan memutar kepalanya dan
saling mengawasi dengan Tian Kui Long. Paras muka mereka
tidak menunjukkan perasaan apa pun juga dan mereka bersikap
seperti belum pernah bertemu satu sama lain. Tapi Leng
So lantas saja dapat menebak rahasia mereka. "Hm! Mereka
berpura-pura, tapi sebenar-nya mereka sudah mengenal satu
sama Iain," kata-nya di dalam hati. "Tian Kui Long sudah tahu
nama guruku. la sudah tahu, bahwa Bu-tin Taysu ialah Tokchiu
Yo-ong. Pendeta Siauw-lim itu juga rupa-nya sudah tahu
hal tersebut." Tiba-tiba ia ingat serupa hal lain dan berkata
pula di dalam hatinya: "Toan-chung-co yang digunakan Tian
Kui Long untuk membutakan mata Biauw Jin Hong, tak salah
lagi didapat dari Toasuko."
Sementara itu, di dalam gelanggang, pertem-puran sudah
dilangsungkan pula untuk merebut Giok-liong-pwee yang
terakhir. Pertandingan ber-jalan tenang-tenang saja - yang
satu roboh, yang lain menggantikan dan begitu seterusnya.
Sesudah lewat beberapa lama, kentongan berbunyi empat
kali, sebagai tanda, bahwa waktu itu sudah lewat tengah
malam. Tadi, dalam gelanggang bertempur dua pasang lawan,
tapi sekarang hanya ketinggalan dua orang saja yang
kelihatannya merupakan lawan setimpal.
Mereka itu serang menyerang dengan meng-gunakan
Lweekang yang sangat tinggi dan apa yang diperlihatkan
adalah ilmu silat kelas satu. Tapi di mata Hok Kong An yang
sudah lelah dan ngantuk, pertandingan yang berlaru-larut itu
sangat menye-balkan. Sesudah berbangkis beberapa kali, ia
berkata dengan suara perlahan: "Sungguh menyebal-kan!"
Di luar dugaan perkataan itu yang diucapkan separuh
berbisik, telah didengar oleh kedua orang yang sedang
bertempur. Paras muka mereka lantas saja berubah dan
dengan berbareng, mereka melompat mundur. "Kita bukan
sedang mempertun-jukkan lelucon kera dan kita tidak perlu
dipuji orang, bukan?" kata yang satu.
"Benar! Lebih baik kita pulang dan menggen-dong anak,"
jawab yang lain.
Mereka tertawa berkakakan dan sambil bergan-dengan
tangan, mereka berjalan ke luar dari ruang-an itu.
Ouw Hui manggut-manggutkan kepalanya. "Mereka
berkepandaian sangat tinggi dan berpeman-dangan luas
sekali," pikirnya. "Hanya sayang, aku tidak tahu nama
mereka." Ia menanya Kwee Giok Tong, tapi si orang she Kwee
pun tidak mengenal mereka. "Pada waktu mereka datang, An
Teetok telah menanyakan nama dan partai mereka, tapi
mereka hanya menjawab dengan tertawa," mene-rangkan si
tua. Ouw Hui menghela napas ia merasa kagum akan kedua
orang itu, yang seperti naga, kelihatan kepalanya tak
memperlihatkan buntutnya.
Selagi ia bicara dengan Kwee Giok Tong, tiba-tiba Leng So
menyentuh sikutnya. Ia mengangkat kepala dan segera
mendengar seruan seorang per-wira: "Inilah Hong Jin Eng
Loosu, Ciangbunjin dari Ngo-houw-bun!"
Hampir berbareng, sambil mencekal sebatang toya
tembaga, Hong Jin Eng menghampiri kursi Thay-su-ie yang
masih kosong dan lalu menduduki nya. "Siapa yang ingin
memberi pelajaran kepada-ku?" ia menantang.
Ouw Hui jadi girang. Akhirnya, kesempatan yang ditunggutunggu
sudah tiba. Tapi ia merasa agak heran, karen,! ia tahu
bahwa ilmu silat si orang she Hong belum mencapai tingkat
kelas satu. "Cara bagaimana dia berani coba-coba merebut
Giok-liong-pwec?" tanyanya di dalam hati. Ia segera mengambil
keputusan untuk lebih dulu mempermainkan musuhnya
dan kemudian barulah mengambil jiwa manusia kejam itu.
Dengan beruntun Hong Jin Eng sudah mero-bohkan tiga
lawan. Kegirangannya meluap-luap -paras mukanya berseriseri.
Di lain saat, lawan keempat yang bersenjatakan golok,
maju menantang. Orang itu berkepandaian tinggi dan baru
saja mereka bertempur tiga jurus, Ouw Hui sudah ber-kata:
"Si orang she Hong bukan tandingannya."
Benar saja. baru saja lewat beberapa jurus lagi, sambil
menggcram berulang-ulang. Hong Jin Eng berkelit kian ke
mari untuk meloloskan diri dari serangan-serangan yang
dahsyat. Tapi orang itu, tidak bermaksud jahat. Ia hanya
mendesak supaya si orang she Hong menyerah kalah.
Beberapa kali ia mendapat kesempatan baik, tapi ia tidak
mengirim jurus yang membinasakan. Sekarang Hong Jin Eng
menukar siasat. Ia main mundur dan tidak mau mengaku
kalah. Tiba-tiba ia me^yapu dengan toyanya dan lawannya
segera menunduk, sehingga toya lewat di atas kepalanya.
Baru saja orang yang bersenjata golok itu mau balas
menyerang, seko-nyong-konyong ia berteriak "aduh!" dan
bergu-lingan di lantai. Dengan cepat ia melompat bangun, tapi
begitu lekas menginjak lantai, kaki kanannya lemas dan ia
roboh kembali. "Manusia tak mengenal malu! Kau
menggunakan senjata rahasia!" bentak-nya dengan gusar.
Hong Jin Eng tertawa gelak. "Dalam peraturan
pertempuran sama sekali tidak dilarang orang menggunakan
senjata rahasia," katanya. "Sesudah masuk dalam gelanggang,
orang masuk dalam ge-langgang, orang boleh menggunakan
senjata apa pun."
Orang yang bersenjata golok itu segera meng-gulung kaki
celananya dan melihat, bahwa di lutut-nya di jalan darah Tokpit-
hiat, tertancap sebatang jarum perak yang panjangnya
kira-kira dua dim. Tok-pit-hiat terletak di sambungan antara
tulang paha dan tulang betis, sehingga jika jalan darah itu
terluka atau tertotok, kaki tidak dapat digunakan lagi. Semua
orang merasa heran, sebab pada saat terlukanya orang itu,
Hong Jin Eng yang sedang repot tdak akan bisa menggunakan
senjata rahasia dan dia pun tidak pernah mengayun
tangannya dalam gerakan melepaskan jarum perak itu. Cara
bagaimana ia melepaskannya"
Sesudah orang yang bersenjata golok mundur, seorang lain
yang bersenjata cambuk besi maju menantang. Begitu
berhadapan, ia segera menye-rang bagaikan hujan dan angin
- jurus yang satu lebih hebat dari jurus yang lain dan sedikit
pun ia tidak mau memberi kesempatan kepada si orang she


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hong. Ia tahu, bahwa ilmu silat Hong Jin Eng tidak seberapa
tinggi dan yang harus dijaga adalah jarum perak itu yang
entah dari mana datangnya. Maka itu, ia menyerang sehebathebatnya
supaya Hong Jin Eng tidak sempat melepaskan
senjata rahasia. Tapi sungguh di luar dugaan, baru saja
bertempur dua puluh jurus lebih, tiba-tiba ia mengeluarkan
teriakan kesakitan dan lalu melompat mundur. Dari
kempungannya ia mencabut sebatang jarum perak dan dari
lubang luka mulai keluar darah.
Keheranan orang makin bertambah. Cara Hong Jin Eng
melepaskan senjata rahasia belum pernah dilihat atau
didengar mereka. Memang mungkin dan dibantu oleh seorang
kawannya secara diam-diam. Tapi, jika begitu, di bawah
sorotan begitu banyak mata dari ahli-ahli silat ternama,
bantuan itu sudah pasti dilihat orang. Kenyataannya ialah: Tak
seorang pun melihat dari mana datangnya senjata rahasia itu.
Dari mana" Itulah pertanyaan yang tak dapat dijawab oleh
segenap hadirin.
Beberapa orang yang merasa sangat penasaran dengan
beruntun turun ke dalam gelanggang. Salah seorang, yang
terlalu memusatkan perhatiannya kepada jarum aneh itu,
sudah terpukul toya Hong Jin Eng, sedang tiga orang lainnya
dilukai dengan Bu-eng Gin-ciam (jarum perak yang tidak ada
ba-yangannya). Seluruh ruangan gempar. Semua orang saling
mengutarakan pendapat yang berbeda-beda. Antara mereka,
Ouw Huilah yang paling bingung. "Dari mana dia belajar ilmu
yang luar biasa itu" Bagaimana aku dapat membereskannya?"
tanyanya di dalam hati.
Ouw Hui dan Leng So adalah orang-orangyang berotak
cerdas dan bermata sangat tajam, tapi biar-pun mengawasi
dengan sepenuh perhatian, mereka masih juga belum bisa
memecahkan teka-teki itu. Tadi, Ouw Hui sudah menghitunghitung
untuk membinasakan manusia kejam itu pada waktu
dia sedang tergirang-girang karena kemenangankemenangan.
Tapi sekarang, ia bersangsi untuk turun tangan.
Ia mngerti, bahwa jika gagal, bukan saja ia akan mendapat
hinaan, tapi jiwanya pun akan turut melayang.
Leng So ternyata bersamaan pendapat. Sambil
menggelengkan kepala, ia berkata: "Sudahlah. Biar kita
lepaskan saja Giok-liong-pwee itu."
Ouw Hui menengok kepada Coa wie dan Kie Siauw Hong
seraya berkata: "Ilmu silat Hong Loosu tidak seberapa tinggi,
hanya...."
"Benar," memutus Kie Siauw Hong, "Jarum yang
dilepaskannya aneh sekali, dia seperti meng-gunakan ilmu
siluman." "Ya," menyambung Coa Wie. "Orang baru bisa melawan dia
jika memakai topi tembaga dan mengenakan pakaian perang
yang terbuat daripada besi."
Ia mengatakan begitu sebenarnya hanya untuk berguyonguyon.
Tapi di luar dugaan, di antara para perwira benarbenar
ada seorang yang merasa sangat penasaran dan segera
memerintahkan orang sebawahannya mengambil pakaian
perang. Sesudah mengenakan pakaian itu, dengan tangan
mencekal sebuah kapak besar, ia masuk ke dalam gelanggang
dan lalu menantang Hong Jin Eng.
Perwira itu yang bernama Bok Bun Cay adalah seorang
panglima ternama dalam angkatan perang kerajaan Ceng dan
pada waktu mengikut Hok Kong An menyerang Ceng-hay, ia
telah membuat banyak pahala besar. Sekarang ia berdiri di
tengah gelanggang dengan sikap angker dan mendapat tepukan
tangan riuh rendah dari para hadirin. Untuk menambah
semangatnya, Hok Kong An sendiri memberi selamat
kepadanya dengan secawan arak.
Begitu bergebrak, bentrokan senjata mereka seolah-olah
menggetarkan seluruh ruangan. Kedua senjata berat itu
menyambarnyambar dengan dah-syatnya, sehingga lilin
berkedip-kedip, sebentar te-rang, sebentar gelap. Karena
mengenakan pakaian yang sangat berat, gerakan Bok Bun Cay
tidak segesit Hong Jin Eng. Tapi Hong Jin Eng sendiri merasa
jeri akan tenaga panglima itu yang besar luar biasa. Seiagi
mereka bertempur, Ciu Tiateiauw, Can Tiat Yo, Ong Kiam Eng
dan Ong Kiam Kiat berdiri di seputar Hok Kong An, sebab
mereka khawatir kalau-kalau salah sebuah senjata terlepas
dan melukai majikan mereka.
Sesudah bertempur dua puluh jurus lebih, tiba-tiba Hong
Jin Eng meyabet kepaia Bok Bun Cay dengan toyanya. Perwira
itu menunduk dan balas menghantam kaki kanan lawannya.
Mendadak ter-dengar salu suara "tak", disusul dengan seruan
ter-tahan dari para hadirin. Di lain saat, kedua lawan itu
melompat mundur dengan berbareng.
Apa yang sudah terjadi"
Di atas lantai menggeletak sebuah bola merah yang terbuat
daripada benang wol dan pada bola itu tertancap sebatang
jarum perak-bola benang wol itu adalah perhiasan di atas topi
tembaga Bok Bun Cay. Rupanya, Hong Jin Eng melepaskan
jarum pada waktu panglima itu menyabet kakinya.
Rasa kagum orang jadi semakin besar. Bola wol itu
dilekatkan ke topi tembaga dengan mengguna-kan sebatang
kawat halus. Bahwa Hong Jin Eng dapat memutuskan kawat
itu, biarpun dari jarak yang sangat dekat, benar-benar
merupakan kepan-daian yang sangat langka dalam Rimba
Persilatan. Sesudah hilang kagetnya, Bok Bun Cay mem-bungkuk
sambil merangkap kedua tangannya. "Te-rima kasih atas belas
kasihan Hong Loosu," katanya.
Hong Jin Eng membalas hormat. "Ilmu silat siauwjin (aku
yang rendah) kalah jauh jika diban-dingkan dengan
kepandaian Bok Tayjin," katanya. "Dalam medan perang, ilmu
melepaskan senjata rahasia tiada gunanya. Kalau kita
bertanding dengan menunggang kuda, siang-siang aku sudah
binasa." Mendengar perkataan Hong Jin Eng yang so-pan santun
dan tidak bt rsikap sombong (erhadap jendralnya yang telah
dipecundangi, Hok Kong an merasa senang sekali. "Hong
Loosu memiliki ke-pandaian yang sang! tinggi," ia memuji dan
sambil "Tienyerahkan pit-yan-hu (pipa) yang terbuat daripada
giok kepada Ciu Tiat Ciauw, ia berkata pula: Aku
menghadiahkan ini kepada Hong Loosu."
Hong Jin Eng girang tak kepalang dan ia meng-naturkan
terima kasih berulang-ulang.
Sesudah Bok Bun Cay mengundurkan diri dan selagi para
hadirin ramai membicarakan pertan-dingan-pertandingan yang
terjadi barusan, tiba-tiba salah seorang berbangkit dan
berkata dengan suara nyaring: "Hong Loosu memiliki
kepandaian sangat tinggi dalam melepaskan senjata rahasia.
Akuyang rendah ingin meminta pengajaran."
Orang itu yang mukanya bopeng, bukan lain daripada Kwa
Cu Yong yang tadi melepaskan Tiat-poo-tee. Sesudah
tangannya ditempelkan ko-yo, ia terbebas dari racun. "Tokchiu
Yo-ong." Keluarga Kwa di Lan-ciu mempunyai nama besar dalam
ilmu melepaskan tujuh macam senjata rahasia dan mereka
dikenal sebagai Kwa-sie Cit-ceng-bun. Tujuh senjata rahasia
itu ialah panah tangan, batu Hui-hong-sek, Tiat-poo-tee, Tiatkie-
lee, golok terbang, piauw baja dan paku Song-bun-teng.
Semua itu senjata rahasia biasa, yang luar biasa ialah cara
melepaskannya. Anggota keluarga Kwa bisa melepaskan golok
bersama batu, paku bersama piauw dan sebagainya. Di
samping itu, mereka juga dapat melepaskan beberapa macam
senjata di te-ngah udara, di mana senjata-senjata itu saling
mem-bentur dan menyambar musuh dari berbagai ju-rusan.
Jika pertempuran dilakukan di lapangan ter-buka, si musuh
masih bisa melompat jauh kian ke mari. Tapi dalam sebuah
gelanggang yang kecil dan tertutup, sambaran-sambaran
tujuh macam senjata rahasia itu hampir tidak dapat dielakkan
lagi. Dengan sikap hormat Hong Jin Eng Iebih dulu
membungkus pit-ya-hu dengan sapu tangannya dan kemudian
memasukkannya ke dalam saku. Sesudah itu, ia berkata
dengan suara nyaring. "Aku merasa girang, bahwa Kwa Loosu
ingin bertanding dengan-ku dalam ilmu melepaskan senjata
rahasia. Akan tetapi, dalam ruangan yang sempit ini, aku
khawatir ada senjata yang menyasar dan mengenai para
Tayjin." Ciu Tiat ciauw tertawa. "Hong Loosu tak usah berkhawatir,"
katanya. "Kau boleh mengeluarkan seantero kepandaianmu.
Apakah Loosu kira para Wie-su makan gaji buta?"
"Maaf! Maaf!" kata Hong Jin Eng sambil ter-senyum.
Kwa Cu Yong segera membuka jubah luar dan terlihatlah
pakaian dalamnya yang ringkas dan ber-warna hitam. Pakaian
itu sangat luar biasa, karena penuh dengan saku-saku yang
berisi macam-macam senjata rahasia - saku-saku itu dipasang
dari dada sampai di lutut, bahkan sampai di punggung. Hok
Kong An tertawa terbahak-bahak. "Pakaian itu sungguh aneh,"
katanya. Sesudah masuk ke dalam gelanggang, dari ba-wah bajunya
Kwa cu Yong mencabut semacam senjata yang menyerupai
gayung air. Gayung itu, yang mulutnya tajam bagaikan mata
golok, adalah senjata turunan keluarga Kwa yang diberi nama
Cio-sim Toa-hay (Batu tenggelam di lautan). Sen-ata itu dapat
digunakan dalam dua cara: Pertama, seperti ilmu golok atau
kampak yang mempunyai "iga puluh enam jurusdan kedua,
untukmenangkap senjata dan bisa digunakan untuk balas
menyerang. Cio-sim Toa-hay tidak termasuk dalam delapan
belas rupa senjata yang \azimnya dikenal da\am Rimba
Persilatan dan sebagian orang Kang-ouw menamakannya
sebagai "Ciat-cian-siauw" (Gayung meminjam anak panah),
dalam artian, bahwa sen-jata itu dapat digunakan untuk
meminjam anak panah musuh.
Melihat Cio-sim Toa-hay yang tidak dikenal oleh sebagian
hadirin, Hong Jin Eng tertawa. "Hari ini Kwa Loosu menambah
pengalaman kami," kata-nya.
Melihat pakaian Kwa Cu Yong yang menyolok, banyak
orang merasa sebal, antaranya Ouw Hui. "Tio samko pun
seorang ahli dalam menggunakan senjata rahasia, tapi ia
sangat sederhana," pikirnya. "Tidak pernah Samko
memamerkan senjatanya. Jiwa orang she Kwa itu terlalu
kecil." Sementara itu, Kwa Cu Yong sudah menyerang dengan
gayungnya, tapi dalam gebrakan-gebrakan pertama, ia belum
menggunakan senjata rahasianya.
Sesudah bertempur belasan jurus, tiba-tiba ia berteriak:
"Awas piauw!" Hong Jin Eng berkelit.
"Hui-hong-sek, panah tangan!" teriak pula Kwa Cu Yong.
Kali ini dua senjata rahasia menyambar dengan berbareng,
tapi Hong Jin Eng dapat menyelamatkan diri dengan mudah
sekali. "Tiat-kie-lee menghantam pundak kirimu! Go-lok terbang
menghajar lutut kananmu!" teriaknya lagi. Karena sudah
diperingatkan, serangan ketiga pun dapat dielakkan dengan
gampang oleh Hong Jin Eng.
Semua orang jadi heran. Mereka baru pernah mengalami,
bahwa seorang penyerang lebih dulu memberitahukan
serangannya. Tapi di luar dugaan. makin lama teriakan Kwa
Cu Yong makin cepat dan menyambarnya senjata pun makin
banyak. Seka-rang teriakan dan menyambarnya senjata tidak
cocok lagi. Misalnya, ia berteriak, bahwa panah tangan akan
menghantam mata kiri, tapi ia menimpuk dada dengan Huihong-
sek. Hong Jin Eng jadi bingung, ia harus berhati-hati
sekali. Apa yang lebih hebat ialah tidak semua teriakan
bertentangan dengan menyambarnya senjata. Dalam lima kali
menimpuk, empat kali cocok dengan teriakannya dan hanya
satu kali yang tidak cocok. Dengan demikian, seranganserangan
itu jadi lebih sukar dielakkannya.
"Senjata rahasia Kwa-sie Cit-seng-bun benar-benar lihay,"
kata Kwee Giok Tong. "Kalau tidak salah, teriakan-teriakannya
pun adalah hasil dari latihan yang lama."
"Tapi cara-caranya yang licik adalah sangat tidak bagus,"
kata Coa Wie. Sambil membuat main huncwee Yan-hee Sanjin, Leng So
berkata: "Mengapa Hong Loosu belum melepaskan jarumnya"
Kalau dia tidak segera turun tangan, mungkin sekali di
dirobohkan oleh si orang she Kwa."
Tapi kuanggap si orang she Hong sudah mengatur
siasatnya dengan sempurna sekali," menyelak Kiee Siauw
Hong. "Ia hanya melepaskan jarum pada saat yang tepat.
Sebatang saja sudah cukup untuk menjatuhkan lawannya."
Selagi mereka beromong-omong, senjata rahasia terus
menyambar-nyambar dalam ruangan itu. - Tiat Ciauw dan
beberapa Wie-su kelas satu berdiri di sekitar Hok Kong An
untuk menjaga keselamatan pembesar itu, sedang Iain-lain
Wie-su mendampingi An Teetok serta pembesar-pembesar
lain. Mereka bukan saja menjaga senjata rahasia Kwa Cu
Yong, tapi juga memasang mata, kalau-kalau ada musuh
gelap yang menyerang Hok Kong An dengan menggunakan
kesempatan itu.
Tiba-tiba Leng So berkata: "Si orang she Kwa menyebalkan
sekali. Biarlah aku main-main sedikit dengannya."
"Tiat-kie-lee menghantam pundak kirimu!" te-riak Kwa Cu
Yong. "Bapauw daging menghantam mulutmu!" teriak Leng So
dengan meniru suara Kwa Cu Yong. Ham-pir berbareng
tangan kanannya menyentuh kepala pipa dan lalu melontarkan
sebuah senjata rahasia, yang sangat enteng sebab
menyambar tanpa ber-suara, tapi mengeluarkan beberapa
letikan api. Orang sering mengatakan, bahwa kalau "bapauw daging
digunakan untuk menimpuk anjing, bapauw itu tak akan
kembali". Maka itulah, men-dengar teriakan Leng So - yang
seolah-olah meng-anggap Cu Yong sebagai seekor anjing -
banyak orang lantas saja tertawa.
Melihat menyambarnya senjata rahasia, Kwa Cu Yong
segera menangkapnya dengan Ciat Cian-siauw. Sesudah itu,
tangan kirinya merogoh mulut gayung untuk mengambil
senjata rahasia itu guna dikirim balik kepada pemiliknya.
"Dak!" Semua orang terkesiap, sedang Kwa Cu Yong sendiri
melompat tinggi. Di lain saat, ke-pingan-kepingan kertas
terbang berhamburan dan ruangan itu penuh dengan batu


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

belerang. Ternyata senjata rahasia itu hanyalah sebuah
petasan. Semua orang tertegun, kemudian bersorak-sorai.
Meskipun gusar, Cu Yong yang sedang memu-satkan
seantero perhatiannya untuk menjaga-jaga Bu-eng Gin-ciam,
tidak berani memecah kewaspadaannya untuk mencari orang
yang melepaskan petasan dan ia hanya mencaci: "Binatang!
Kalau kau mempunyai nyali, datanglah ke mari!"
Seraya tertawa haha-hihi, Leng So berjalan ke sebelah
timur dan mengeluarkan pula sebutir petasan yang lalu
disulutnya di kepala pipa panjang. "Batu besar menghantam
Cit-cunmu!" teriaknya sambil melemparkan petasan itu.
Dengan berteriak begitu, nona Thia menyama-kan Cu Yong
sebagai seekor ular. Bagian kematian seekor ular ialah "citcun"
(tujuh dim), di sebelah bawah lehernya, sehingga orang
sering mengatakan: "Kalau mau pukul ular, pukullah citcunnya."
Seperti yang pertama, teriakan itu juga disambut
dengan gelak tertawa.
Sesudah dikelabui satu kali, Kwa Cu Yong tidak menyambut
lagi dengan Ciat-cian-siauw, tapi menimpuk dengan sebatang
paku Song-bun-teng, sehingga petasan itu meledak di tengah
udara. Untuk ketiga kalinya Leng So menimpuk dengan petasan.
"Batu hijau menghantam batokmu di punggung!" teriaknya.
Kali ini ia menyamakan Cu Yong dengan seekor kura-kura. Si
orang she Kwa menyambutnya lagi dengan Song-bun-teng
dan petasan itu meledak pula di tengah udara.
Sambil tertawa An Teetok membentak: "Hai! Orang yang
sedang bertanding tidak boleh digang-gu!" Melihat kedua
petasan itu meledak di dekat meja Giok-liong-pwee, ia segera
berkata kepada dua orang Wie-su yang berdiri di dekatnya.
"Jaga cangkir-cangkir itu. Jangan sampai pecah terlanggar
senjata rahasia." Kedua pengawal itu mengangguk dan lalu
berdiri di depan meja.
Nona Thia tertawa geli dan segera kembali ke kursinya.
"Dia sangat licin, sesudah diakali sekali, dia tidak mau
menyambut lagi petasanku," katanya.
Diam-diam Ouw Hui merasa heran. "Jie-moay tahu, bahwa
Hong Jin Eng adalah musuhku," katanya di dalam hati.
"Mengapa dia berbalik memper-mainkan Kwa Cu Yong?"
Sesudah dipermainkan dan ditertawakan orang, Kwa Cu
Yong berusaha mengambil pulang kehor-matannya dengan
melepaskan senjata rahasia secepat-cepatnya, sehingga Hong
Jin Eng jadi repot sekali. Sekonyong-konyong si orang she
Hong menarik sesuatu di kepala toyanya. Cu Yong melompat
mundur, sebab menduga bahwa musuhnya mau melepaskan
jarum. Tapi ternyata, apa yang ditariknya adalah suatu benda,
yang dengan sekali dikibaskan, lantas saja terpentang lebar
seperti payung dan ternyata adalah sebuah tameng yang
lemas tipis dan berwarna hitam, sedang di atasnya terlukis
lima kepala harimau. Melihat itu, semua orang baru
mengetahui, bahwa nama Ngo-houw-bu" (Partai lima
harimau) didapat dari lukisan tersebut.
Dengan toya dan tameng, Hong Jin Eng dapat menangkis
semua senjata rahasia itu. Biarpun tipis, tak sebatang senjata
yang dapat menembus tameng itu.
Sementara itu, Sesudah Hong Jin Eng mengeluarkan
tamengnya, Ouw Hui baru tersadar. Sekarang ia mengerti,
bahwa jarum perak orang itu disimpan di dalam toya yang
diperlengkapi dengan alat rahasia. Begitu alatnya dipijit,
jarum-jarum itu lantas menyambar musuh. Sesudah dapat
meng-ungkap teka-teki itu, semangat Ouw Hui terbangun dan
rasa jerinya terhadap Bu-eng Gin-ciam lantas saja lenyap.
Kini Hong Jin Eng melayani lawannya sambil mundur - ia
mundur ke arah delapan kursi Thay-su-ie. Mendadak, tanpa
diketahui sebabnya, Kwa Cu Yong mengeluarkan teriakan
kesakitan, sedang si orang she Hong tertawa terbahak-bahak.
Seraya memegang kempungannya, Cu Yong terhuyung
beberapa tindak, kemudian jatuh berlutut. Dengan paras muka
berseri-seri Hong Jin Eng duduk di kursi Thay-su-ie.
Dua orang Wie-su segera menghampiri dan
membangunkan Kwa Cu Yong. Sambil merapatkan gigi, ia
mencabut sebatang jarum dari kempungannya. Meskipun
jarum itu sangat kecil, tapi sebab yang tertusuk adalah jalan
darah yang penting, maka lukanya tidak bisa dikatakan
enteng. Dengan di-papah oleh kedua Wie-su itu, ia keluar dari
ge-langgang. Sekonyong-konyong Tong Pay mengeluarkan suara di
hidung. "Yang melukai orang dengan anak panah gelap,
bukan seorang gagah," katanya.
Hong Jin Eng menengok. "Apakah Tong Tay-hiap
maksudkan aku?" tanyanya.
"Aku mengatakan, bahwa seorang yang meng-gunakan
anak panah gelap bukan orang gagah," jawabnya. "Seorang
laki-laki harus bertindak te-rang-terangan."
Tiba-tiba Hong Jin Eng bangkit. "Apakah aku bukan
bertindak terang-terangan?" bentaknya. "Dalam pertandingan
tadi sudah dinyatakan terang-terangan, bahwa kami
bertanding dalam ilmu melepaskan senjata rahasia. Apakah
kurang terang?"
"Apakah Hong Loosu mau mencoba-coba de-ngan aku?"
tanya Tong Pay dengan suara kaku.
"Nama Tong Tayhiap menggetarkan seluruh dunia, mana
aku berani mencabut kumis harimau?" jawabnya. "Apakah
orang she Kwa itu sahabat Tong Tayhiap?"
"Benar," terdengar pula jawaban Tong Pay yang kaku,
"Keluarga Kwa di Lan-ciu mempunyai sedikit hubungan
denganku."
"Kalau begitu, biarlah aku menyerahkan jiwa untuk
melayani Tong Tayhiap," kata Hong Jin Eng dengan gusar.
"Tong Tayhiap boleh memilih cara bertanding."
Melihat kedua orang itu bertengkar makin he-bat, Ouw Hui
berkata dalam hatinya. "Biarpun dia berhubungan erat dengan
pembesar negeri, ter-nyata Tong Pay bukan manusia jahat."
Tapi sebelum kedua jago itu masuk ke dalam gelanggang,
An Teetok sudah mendekati dan berkata sambil tertawa: "Hari
ini Tong Tayhiap berlaku sebagai wasit dan ia tidak boleh turut
bertanding. Beberapa hari lagi, siauwtee akan menjadi tuan
rumah dan Tong Tayhiap dapat memperlihatkan
kepandaiannya supaya kita semua bisa menambah
pengalaman."
"Kalau begitu, lebih dahulu aku menghaturkan terima kasih
kepada Teetok Tayjin," kata Tong Pay. Ia menengok dan
mengawasi Hong Jin Eng dengan mata mendelik, akan
kemudian mengangkat sebuah kursi Thay-su-ie dan
mengetrukkannya di atas lan-tai. Sesudah itu, ia
memindahkan kursinya supaya bisa duduk agak jauh dari
Hong Jin Eng. Di lain saat, orang-orang yang duduk
berdekatan melihat, bahwa di atas lantai terdapat empat
lubang, akibat ketrukan tadi. Mereka mengerti, bahwa pertunjukan
itu adalah hasil dari latihan Lweekang selama puluhan
tahun dan tanpa merasa mereka bertepuk tangan. Orangorang
yang duduk di bagian belakang serentak bangkit untuk
menyelidiki sebab musabab dari tepukan tangan itu.
Hong Jin Eng tertawa dingin. "Kepandaian Tong Tayhiap
memang Iihay," katanya dengan suara mengejek. "Biarpun
berlatih dua puluh tahun lagi, aku pasti tak akan bisa
menandiftgi Tayhiap. Tapi di luar langit masih ada langit dan
di atas manusia masih ada manusia. Dalam kalangan ahli-ahli
kelas satu, kepandaian itu hanya kepandaiannya biasa saja."
"Benar," sahut Tong Pay. "Di mata pentolan-pentolan
Rimba Persilatan, kepandaian itu memang tidak berharga
sepeser buta. Tapi tak apa - asal bisa menang dari Hong
Loosu, hatiku sudah merasa puas."
"Sudahlah! Kedua Loosu jangan bertengkar lagi," kata An
Teetok sambil tersenyum. "Fajar sudah menyingsing dan di
antara tujuh buah cangkir giok, yang enam sudah ada
pemiliknya. Sesudah Giok-liong-pwee selesai dibagi, besok
malam kita akan membagi Kim-hong-pwee dan Gin-lee-pwee.
Siapa lagi yang mau bertanding dengan Hong Loosu?"
Sesudah berteriak tiga kali beruntun tanpa mendapat
jawaban, ia berpaling kepada Hong Jin Eng seraya berkata:
"Aku memberi selamat kepada Hong Loosu. Cangkir giok
sekarang sudah jadi milikmu!"
"Tahan!" sekonyong-konyong terdengar teriakan seorang.
"Aku ingin menjajal kepandaian Hong Jin Eng." Hampir
berbareng dengan itu seorang berewokan yang bertangan
kosong, melompat ma-suk ke dalam gelanggang.
Perwira yang bertugas lantas saja berseru: "Ciangbunjin
See-gak Hoa-kun-bun Thia Leng Ouw, Thia Loosu!"
Hong Jin Eng segera berbangkit. "Senjata apa yang ingin
digunakan Thia Loosu?" tanyanya.
"Sukar dikatakan,"jawab Ouw Hui. "Senjata apa yang
digunakan olehmu pada waktu kau membi-nasakan keluarga
Ciong A-sie di kelenteng Hud-san-tin?"
Hong Jin Eng terkesiap. Sambil mencekal toya-nya eraterat,
ia bertanya: "Kau... kau...." Sebelum Hong Jin Eng dapat
meneruskan perkataannya, bagaikan kilat Ouw Hui melompat
ke hadapan Tian Kui Long, kedua jari tangannya dipentang
dan disodokan ke mata si orang she Tian dengan ge-rakan
Siang-liong-cio-cu. (Sepasang naga merebut mutiara).
Itulah kejadian yang tidak disangka-sangka. Dalam
kagetnya, Tian Kui Long masih keburu meng-angkat kedua
tangannya untuk menangkis serangan itu. Kui Long cepat, tapi
Ouw Hui lebih cepat lagi. Sekali bergerak, kedua tangannya
sudah menyeru-pai sebuah lingkaran dan coba menotok kedua
Tay-yang-hiat dengan gerakan Hwa-tiong-pou-goat
(Mendukung rembulan di dada). Kui Long menge-luarkan
keringat dingin. Ia tidak keburu bangkit untuk menyambut
musuh dan jalan satu-satunya ialah mengibaskan kedua
tangannya untuk menangkis kedua pukulan yang berbareng
itu. "Hway-tiong-pou-goat sebenarnya serangan gertakan!"
teriak Ouw Hui.
"Dengan Hway-tiong-pou-goat sebenarnya serangan
gertakan," *) di rumah Biauw Jin Hong, Ouw Hui pernah
menghantam Tian Kui Long sehingga dia muntah darah. Demi
mendengar kata-kata itu, si orang she Tian terkejut dan
berseru: "Kau...! Kau...."
Ouw Hui memang tidak berdusta. Pukulan Hway-tiong-pougoat
hanyalah pukulan gertakan. Selagi Kui Long mengibaskan
kedua tangannya, sehingga bagian iganya kosong, dengan
sekali mem-balik tangan, Ouw Hui sudah menghunus golok
mustika yang terselip di pinggang Tian Kui Long. Di lain detik,
ia sudah memutar tubuh melompat dan membacok toya
tembaga Hong Jin Eng.
"Trang...! Trang...! Trang!" Sebelum Hong Jin Eng tahu apa
yang terjadi, toyanya sudah jadi empat potong, kedua
tangannya masing-masing mencekal sepotong yang
panjangnya hanya kira-kira satu kaki.
Sekarang Hong Jin Eng sudah sadar, bahwa ia berhadapan
dengan Ouw Hui. Dengan rasa kaget yang sukar dilukiskan, ia
melompat beberapa tin-dak.
Pada detik itu, mendadak saja Ong Tiat Gok yang berdiri di
ambang pintu berseru: "Cong-ciang-bun dari tiga belas partai
tiba!" Ouw Hui terkejut. Ia mengangkat kepalanya dan
mengawasi ke arah pintu. Seorang niekouw (pendeta wanita)
yang mengenakan jubah pertapa-an dan sepatu rumput,
sedang sebelah tangannya menggenggam kebutan, kelihatan
melangkah masuk.
Ia bukan lain daripada Wan Cie Ie! Melihat kepala si nona
yang gundul, mata Ouw Hui ber-kunang-kunang - ia tidak
pereaya pada kedua mata-nya sendiri. Ia melangkah maju
untuk melihat lebih tegas. Tapi tak salah, pendeta itu ialah
Wan Cie Ie. Ouw Hui merasa seolah-olah segala-gala ber-putar-putar,
kepalanya puyeng. Dengan mata mem-belalak ia berkata
dengan suara parau: "Kau... kau...!"
Bhiksuni itu merangkap kedua tangannya dan berkata:
"Siauwnie (aku si pendeta kecil) Wan-seng."
Sekonyong-konyong, bagaikan seorang ling-lung, Ouw Hui
merasa dua jalan darahnya - di punggungnya sakit bukan
main. Badannya ber-goyang-goyang dan ia roboh ke lantai.
"Tahan!" bentak Wan Cie Ie dengan suara gusar sambil
melompat dan mengalingi tubuh Ouw Hui dengan badannya
sendiri. Semua kejadian itu terjadi dalam sekejap mata. Melihat
kakaknya terluka, Leng So melompat untuk memberikan
pertolongan. Cie Ie sebenarnya sudah membungkuk untuk
membangunkan Ouw Hui, tapi begitu melihat nona Thia, ia
menarik pulang tangannya dan berbisik: "Bawalah ke pinggir!"
Mendadak ia menyabet ke belakang dengan kebutannya,
seperti hendak menangkis suatu serangan.
Dengan air mata berlinang-linang, nona Thia mendukung
Ouw Hui, "Toako, bagaimana keadaan-mu?" tanyanya.
Sang kakak tertawa getir. "Punggungku terkena senjata
gelap, di jalan darah Sian-kie dan Beng-bun," jawabnya.
Tanpa menghiraukan perasaan malu lagi, Leng So segera
membuka jubah luar dan baju Ouw Hui. Benar saja, di jalan
darah Sian-kie dan Beng-bun terdapat dua lubang kecil yang
mengeluarkan darah sedang jarumnya amblas ke dalam
daging. Cie Ie mendekati seraya berkata: "Jarum itu jarum perak,
tidak beracun, kau tak usah khawatir." Ia menyingkap
benang-benang kebutan dan men-cabut sebatang jarum dari
kebutan itu. Kemudian ia menempelkan kebutan itu di jalan
darah Sian-kie dan Beng-bun di punggung Ouw Hui dan
menarik-nya perlahan-lahan. Leng So girang bukan main
karena kedua jarum perak itu telah tertarik keluar. Ia tahu,
bahwa dalam kebutan itu disembunyikan sesuatu yang
mempunyai daya tarik terhadap logam-logam mulia sangat
kuat. Ouw Hui mengawasi Cie Ie dengan sorot mata berduka dan
berkata: "Wan Kouwnio... kau...."
"Aku memang sangat kurang ajar," bisik nona Wan. "Aku
mendustai kau." Sesudah berdiam s-ejenak ia berkata pula:
"Sedari kecil aku sudah menjadi pendeta dengan
menggunakan nama Wan-seng."
Ouw Hui menatap wajah si nona dengan perasaan yang
sukar diiukiskan. Sesaat kemudian, ia berkata: "Tapi... tapi


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengapa kau mendustai aku?"
Wan-seng menunduk dan menjawab dengan suara
perlahan: "Atas titah Suhu dengan seorang diri, dari
Hweekiang aku datang ke Tionggoan. Jika aku mengenakan
pakaian pertapaan, di tengah jalan aku mungkin bertemu
dengan banyak rintangan. Maka, aku sudah menyamar
sebagai orang biasa dan menggunakan rambut palsu. Tapi aku
tetap tidak makan makanan berjiwa dan hal ini rupanya tidak
diperhatikan olehmu."
Mendengar keterangan itu, Ouw Hui menghela napas
panjang. Tiba-tiba An Teetok berteriak dengan nyaring: "Siapa lagi
yang mau bertanding dengan Hong Loosu?"
Dalam kedukaannya Ouw Hui tidak menghirau-kan teriakan
pembesar itu. Sesudah berteriak tiga kali dan tak ada orang
yang menjawabnya, An Teetok menghampiri Hok Kong An dan
berkata: "Thayswee, apakah tujuh cangkir giok itu boleh
diserahkan saja kepada ketujuh orang Loosu?"
"Baiklah," kata Hok Kong An.
Malam sudah berganti dengan siang dan dari jendela sudah
menyorot masuk sinar matahari pagi. Sesudah berkutat
semalam suntuk, pemilik ketujuh Giok-liong-pwee sudah
terpilih. Seluruh ruangan jadi ramai - semua orang
berbincang-bincang dan berlomba-lomba menyatakan
pendapat mengenai pertandingan-pertandingan yang telah
terjadi dan mengenai Wan-seng yang diperkenalkan sebagai
Cong-ciang-bun dari tiga belas partai. Mereka merasa heran
karena tidak mengenai siapa adanya pendeta wanita yang luar
biasa itu. Sementara itu, An Teetok sudah menghampiri meja Giokliong-
pwee dan mengangkat dulang cangkir. la bertindak
masuk ke dalam gelanggang dan berkata dengan suara
nyaring: "Giok-liong-pwee hadiah Sri Baginda Kaisar sekarang
diserahkan kepada Tay-tie Siansu, Ciangbunjin Siauw-lim-pay,
Bu-ceng-cu Toojin, Ciangbunjin Bu-tong-pay, Tong Pay,
Ciangbunjin Sam-cay-kiam, Hay Lan Pit, Ciangbunjin Hekliong-
bun, tkl, Ciangbunjin Thian-liong-bun...." la berhenti, lalu
mendekati Cio Sinshe dan berbisik: "Cio Sinshe, boleh aku
mendapat tahu nama dan partai Sinshe yang mulia?"
Cio Sinshe tersenyum. "Namaku Ban Tin," ja-wabnya.
"Mengenai partaiku, kau katakan saja partai Yo-ong-bun."
An Teetok balik ke tengah gelanggang dan berkata
pula:".... Cio Ban Tin, Ciangbunjin Yo-ong-bun, dan Hong Jin
Eng, Ciangbunjin Ngo-houw-bun. Terima kasih kepada Sri
Baginda Kaisar."
Mendengar kata-kata "terima kasih kepada Sri Baginda
Kaisar", Hok Kong An, para pembesar dan sejumlah orang
gagah yang mengerti peraturan ke-raton serentak bangkit.
Sejumlah orang masih tetap duduk sehingga dibentak oleh
beberapa Wie-su: "Bangun semua!" Tay-tie Siansu dan Buceng-
cu segera menjalankan kehormatan menurut agama
masing-masing sedang Tong Pay dan yang Iain-lain
menghaturkan terima kasih dengan berlutut.
Sesudah selesai upacara menghaturkan terima kasih
kepada kaisar, An Teetok segera berkata: "Selamat! Aku
menghaturkan selamat kepada kalian semua." la menghampiri
ketujuh Ciangbunjin itu lalu mengangsurkan dulang cangkir.
Tay-tie dan yang Iain-lain lalu mengambil cangkir - seorang
sebuah. Mendadak, mendadak saja, terjadi sesuatu yang sungguh
luar biasa. Memegang cangkir-cangkir itu, tangan ketujuh
Ciangbunjin seperti juga mencekal bara! Tak tahan! Mereka
tak tahan! Dan... Prang!" semua cangkir jatuh di lantai dan
hancur lebur! Seluruh ruangan seunyi senyap. Suara "prang!" itu
bagaikan halilintar di tengah hari bolong. Tangan ketujuh
Ciangbunjin memegang cangkir, su-dah bengkak dan mereka
menyusut-nyusutnya di pakaian mereka. Hay Lan Pit yang
merasa tak tahan sudah memasukkan lima jarinya ke dalam
mulut. Sesaat kemudian, ia berteriak-teriak kesakitan sam-bil
meleletkan lidah.
Ouw Hui melirik Leng So dan manggutkan kepalanya
dengan perlahan. Sekarang baru ia tahu, bahwa dalam tiga
butir petasan itu terisi racun bubuk kalajengking dan karena
dua antaranya me-ledak di atas meja cangkir, maka semua
cangkir telah keracunan. Tipu daya si adik sedemikian ha-Ius,
sehingga kecuali oleh dia sendiri, tak dapat ditebak oleh siapa
pun jua. Ia merasa kagum dan bangga.
Sementara itu, Leng So sudah mulai menghisap huncwee
dan mengepul-ngepulkan asapnya. Setiap kali tembakau
habis, ia lalu mengisi lagi. Parasnya tenang-tenang saja sedikit
pun tidak berubah, tidak menunjukkan rasa girang karena
siasatnya berhasil. Tangan kirinya mencekal empat butir yowan
dan diam-diam ia memberikan dua butir kepada Ouw Hui
dan dua butir pula kepada Wan-seng. "Telan-lah!" bisiknya.
Ouw Hui dan Wan-seng segera menelannya. Gerakan Leng So
tidak dilihat oleh siapa pun jua, karena pada saat itu, semua
orang sedang memperhatikan peristiwa hancurnya Giok-liongpwee.
Sekonyong-konyong Wan-seng bertindak masuk ke tengahtengah
ruangan dan sambil menuding Tong Pay dengan
kebutannya, ia membentak: "Tong Pay! Kau sungguh bernyali
besar. Dengan tipu busuk, kau sudah menghancur leburkan
cangkir-cangkir Giok-liong-pwee hadiah Sri Baginda Kaisar.
Dengan bersekongkol dengan Ang-hoa-hwee, kau coba
menggagalkan Ciangbunjin Tayhwee. Per-buatanmu itu tak
dapat dibiarkan saja oleh segenap orang gagah." Ia
mengucapkan tuduhan itu dengan suara nyaring dan tegas,
sehingga Hok Kong An lantas saja menjadi gusar dan sekali ia
mengibas tangan, Ong Kiam Eng, Ciu Tiat Ciauw dan Iain-lain
Wie-su yang berkepandaian tinggi lantas saja mengurung
Tong Pay. Meskipun Tong Pay sudah kenyang mengalami gelombang,
paras mukanya berubah pucat pasi, badannya bergemetaran -
ia kaget bereampur gusar. "Pendeicar siluman!" bentaknya.
"Pendusta besar! Jangan kau ngaco belo!"
Wan-seng tertawa dingin. "Apa benar aku pendusta besar?"
tanyanya. Ia berpaling kepada Ong Kiam Eng seraya berkata:
"Ong Loosu, Ciangbunjin Pat-kwa-bun." Kemudian ia
menengok kepada Ciu Tiat Ciauw dan berkata pula: "Ciu
Loosu, Ciangbunjin Eng-jiauw Gan-heng-bun. Kalian berdua
sudah mengenal aku. Gelaran Cong-ciang-bun dari berbagai
partai agak terlalu berat untuk diterima olehku. Tapi apakah
aku seorang pendusta atau seorang yang bertanggung jawab
atas segala per-kataannya" Mengenai pertanyaan ini, aku
meng-harap pendapat kalian berdua."
Begitu Wan-seng tiba, Kiam Eng dan Tiat Ciauw lantas saja
merasa tak tentram, karena mereka khawatir, kalau-kalau
niekouw itu akan mem-buka rahasia, bahwa kedudukan
Ciangbunjin mereka telah direbut olehnya. Mereka adalah
orang kepereayaan Hok Kong An dan berkedudukan tinggi.
Jika rahasia itu sampai diketahui umum bagai-_ mana mereka
bisa berdiam terus di kota raja" Tapi begitu mendengar
perkataan Wan-seng, hati mereka lega. Pendeta itu bukan
saja bicara dengan mereka dengan menggunakan istilah
"Ciangbunjin", tapi juga mengatakan, bahwa "gelaran Congciang-
bun terlalu berat untuk diteirma" olehnya, sehingga hal
itu berarti, bahwa dengan suka rela Wan-seng mengembalikan
kedudukan Ciangbunjin yang sudah direbut kepada mereka.
Selain begitu, Sesudah menyaksikan hancurnya Giok-liongpwee
dan mendengar tuduhan Wan-seng, mereka pun
mencurigai Tong Pay.
Maka itulah, sambil membungkuk Ong Kiam Eng segera
menjawab: "Loo-jin-kee memiliki ilmu silat yang sangat tinggi
dan aku merasa sangat takluk. Di samping itu, Loo-jin-kee pun
mempunyai jiwa besar dan hati yang mulia. Loo-jin-kee adalah
seorang yang jarang terdapat dalam Rimba Per-silatan." (Loojin-
kee ialah panggilan terhadap orang yang lebih tua atau
yang sangat dihormati).
Sesudah dijatuhkan, Ciu Tiat Ciauw tentu saja merasa sakit
hati terhadap Wan-seng. Tapi karena takut rahasianya dibuka,
ia pun lantas saja berkata: "Aku pereaya, bahwa setiap
perkataan Loo-jin-kee adalah hal yang sebenarnya. Sebegitu
jauh Loo-jin-kee selalu bersetia kawan terhadap sesama orang
Rimba Persilatan dan kalau bukan terlalu terpaksa, Loo-jin-kee
pasti tak akan membuka rahasia orang."
Dalam jawabannya itu, Ciu Tiat Ciauw sebenarnya bicara
untuk kepentingannya sendiri. la bermaksud untuk
mengatakan, bahwa sebagai seorang bersetia kawan terhadap
sesama orang Rimba Persilatan, Wan-seng pasti tak akan
membuka rahasianya.
Mendengar keterangan kedua orang keperea-yaannya yang
bahkan sudah memanggil pendeta wanita itu dengan
menggunakan istilah "Loo-jin-kee", Hok Kong An tidak
bersangsi lagi. "Tangkap padanya!" ia membentak dengan
suara keras. Ong Kiam Eng, Ciu Tiat Ciauw dan Hay Lan Pit lantas saja
bergerak. Sambil mengerahkan Lwee-kang dan mendorong
ketiga orang itu, Tong Pay berteriak: "Tahan!" Ia berpaling
kepada Hok Kong An dan berkata pula: "Hok Thayswee,
siauwjin memohon supaya dipadu dengan dia. Kalau dia bisa
memberi bukti-bukti yang kuat, siauwjin rela untuk menerima
hukuman yang paling berat. Tapi jika siauwjin dihukum karena
tuduhan membuta-tuli, siauwjin akan merasa sangat
penasaran."
Pembesar itu yang mengenal Tong Pay sebagai seorang
yang mempunyai narna besar, lantas saja berkata: "Baiklah."
Tong Pay mengawasi Wan-seng dengan mata mendelik.
"Aku belum pernah mengenal kau, tapi mengapa kau sudah
menuduh aku secara seram-pangan?" katanya dengan suara
gusar. "Siapa kau?"
"Benar," jawab Wan-seng, "Aku tidak mengenal kau dan
juga tidak mempunyai permusuhan dengan kau. Aku memang
tidak berurusan dengan kau. Tapi oleh karena aku
bermusuhan dengan Ang-hoa-hwee dan kau sudah bersekutu
dengan perkumpulan itu untuk mengacau Ciangbunjin
Tayhwee, maka aku tidak bisa tidak melucuti topengmu.
Bahwa kau mempunyai banyak sahabat dan kenalan, sama
sekali tidak da sangkut pautnya denganku. Tapi jika kau
berserikat dengan Ang-hoa-hwee, aku tidak bisa berpeluk
tangan." Ouw Hui jadi heran sekali. Ia tahu, bahwa Wan-seng
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan Ang-hoahwee
dan ia pun tahu, bahwa hancurnya Giok-liong-pwee
adalah "kerjaan" Leng So. Tapi mengapa ia memfitnah Tong
Pay" Sudah memikir beberapa saat, tiba-tiba ia ingat, Wanseng
pernah memberitahukan, bahwa ibunya diusir dari
Kwitang oleh Hong Jin Eng, orang tua itu pernah meneduh di
rumah Tong Pay. Apakah kematian ibu Wan-seng ada sangkut
pautnya dengan Tong Pay" Beberapa pertanyaan keluar dalam
otaknya, tapi karena sedang berduka, ia tidak bisa memikir
secara tenang. Hok Kong An mempunyai sakit hati hebat terhadap Anghoa-
hwee karena ia pernah ditawan oleh orang-orang gagah
perkumpulan itu. Maksud terutama dari Ciangbunjin Tayhwee
adalah untuk menghadapi Ang-hoa-hwee. Mengingat, bahwa
Tong Pay adalah seorang tokoh Rimba Persilatan yang
mempunyai hubungan sangat luas, ia merasa, bahwa tuduhan
Wan-seng bukan hal yang meng-herankan.
Sementara itu, Tong Pay sudah berkata pula: "Kau
menuduh, bahwa aku telah berhubungan dengan penjahat
Ang-hoa-hwee. Siapa saksinya" Mana buktinya?"
Wan-seng berpaling kepada An Teetok dan berkata:
"Teetok Tayjin, aku tahu adanya sepucuk surat yang dapat
dijadikan bukti. Apakah Tayjin menyimpan surat Tong Pay
yang dapat dicocokkan dengan surat itu?"
"Ada, ada!" jawab An Teetok yang lalu bicara beberapa
patah dengan seorang sebawahannya. Orang itu segera
menghampiri sebuah meja persegi, membuka-buka
setumpukan surat dan mengambil beberapa di antaranya yaitu
surat-surat Tong Pay kepada An Teetok untuk menerima baik
undangan dan tugas menjadi wasit dalam Ciangbunjin
Tayhwee. Tapi Tong Pay tidak jadi keder, parasnya te-nang-tenang
saja. la adalah seorang yang berhati-hati dan ia tidak
mempunyai hubungan dengan Ang-hoa-hwee. Maka itu,
menurut anggapannya, andaikata Wan-seng mengeluarkan
surat palsu, ke-palsuannya akan segera terlihat jika
dicocokannya suratnya sendiri.
"Kam-lim-hui-cit-seng Tong Pay, Tong tayhiap, apa yang
disembunyikan di dalam kopiahmu?" tanya Wan-seng dengan
suara dingin. Tong Pay kaget. "Apa?" menegasnya. "Kopiah-ku?" Ia
membuka kopiahnya, membolak-baliknya dan kemudian
menyerahkannya kepada Hay Lan Pit, yang sesudah
membolak-balik beberapa kali, lalu mengoperkannya kepada
An Teetok. Untuk beberapa saat pembesar itu meneliti kopiah
ter-sebut dan kemudian berkata: "Tidak ada jalan luar
biasa...."
"Coba Tayjin buka jahitannya," kata Wan-seng.
Pada jaman kerajaan Ceng, dalam setiap per-jamuan besar
selalu disediakan daging babi rebus yang diiris dengan pisau
oleh orang yang hendak memakannya. Maka itu pada setiap
perangkat piring mangkok selalu terdapat sebilah pisau untuk
maksudtersebut.Mendengarperkataan Wan-seng, An Teetok
segera mengambil pisau dari atas meja dan memotong jahitan
kopiah. Benar saja, di antara lapisan kain dan kapas terselip
sepucuk surat. "Aha...!" seru pembesar itu sambil
mencabutnya. Paras muka Tong Pay lantas saja berubah pucat dan
berkata dengan suara terputus-putus. "Itu... itu...." Ia
mendekati An Teetok untuk melihat surat itu, tapi "srt!" Ong
Kiam Eng dan Ciu Tiat Ciauw serentak menghunus golok dan
menghadang di de-pannya.
An Teetok membuka surat itu lalu membaca dengan suara
nyaring: "Aku yang rendah Tong Pay mempersembahkan surat ini
kepada Tan Congtocu. Aku akan menunai-kan tugas sebaikbaiknya
guna membalas budi yang sangat besar. Di dalam
pertemuan para Ciangbunjin sudah pasti akan diadakan
penjagaan yang sangat keras. Jika gaga I, aku pasti akan


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengorbankan jiwa di kota raja, secara kebetulan aku telah
mendapat tahu...."
Membaca sampai di situ, An Teetok merandek lalu
menyerahkan surat itu kepada Hok Kong An.
Hok Kong An segera membaca tanpa bersuara "....
mendapat tahu segala rahasianya. Jika kita bisa bertemu
muka, aku akan mencerilakan sejelas-jelasnya. Ah! Kapan kita
bisa mengurung dia lagi di puncakpagoda Liok-hoa-tah dan
menawan diapula dalam kota terlarang. Kalau kejadian itu bisa
terulang pula, bukankah kita akan merasa gembira sekali?"
Makin membaca, paras muka Hok Kong An jadi makin tak
enak dilihatnya. Kegusarannya meluap-luap dan ia merasa
dadanya seperti mau meledak.
Mengapa" Pada belasan tahun berselang, waktu pesiar di kota Hanciu
dengan menyamar sebagai rakyat je-lata, Kaisar Kian-liong
pernah ditawan oleh jago-jago Ang-hoa-hwee dan dikurung di
puncak pagoda Liok-ho-tah. Belakangan Hok Kong An pun
kena ditawan oleh Ang-hoa-hwee di dalam kota Pakkhia
sendiri. Kedua peristiwa itu adalah kejadian yang paling
memalukan dalam riwayat hidup Kian-liong dan Hok Kong An.
Untuk membendung penyiaran warta, pembesar-pembesar
dan pengawal-pengawal yang tahu kejadian yang paling
memalukan dalam riwayat hidup Kian-liong dan Hok Kong An.
Untuk membendung penyiaran warta, pembesar-pembesar
dan pengawal- pengawal yang tahu kejadian itu satu persatu
sudah dibunuh Kian-liong. Oleh karena peristiwa tersebut
mempunyai sangkut paut dengan pertalian riwayat hidup
antara Kian-liong dan Tan Kee Lok (Pemimpin umum Ang-hoahwee),
maka malah pihak Ang-hoa-hwee sendiri tidak pernah
menyiarkan kejadian itu. Jumlah orang Kang-ouw yang tahu
sangat sedikit dan dalam belasan tahun, sakit hati Hok Kong
An pun sudah agak mereda. Di luar dugaan, surat Tong Pay
telah menyentuh borok yang lama.
Membaca, "... secara kebetulan aku telah men-dapat tahu
segala rahasianya," mata Hok Kong An berkunang-kunang
bahna gusarnya. Sebagaimana diketahui, dia sebenarnya
putera Kaisar Kian-liong dan "segala rahasianya" mempunyai
arti yang luas sekali.
Dengan tangan bergemetar Hok Kong An menyambuti surat
Tong Pay yang dialamatkan kepada An Teetok. Waktu
dicocokkan, gaya tulisan antara kedua surat itu ternyata tidak
berbeda. Sementara itu, Tong Pay sudah menggigil. Ia mengerti,
bahwa ia sudah "dikerjakan" oleh Wan-seng, tapi ia tidak
berdaya, ia dapat menebak, bahwa kopiah dan surat itu telah
disiapkan oleh Wan-seng yang kemudian menyuap salah
seorang pelayan rumah penginapan untuk menukarnya
dengan ko-piahnya sendiri. Tapi mana bisa ia membela diri"
Waktu An Teetok berhenti membaca dan menye-rahkan surat
itu kepada Hok Kong An, ia jadi makin ketakutan. Ia tahu,
bahwa dalam surat itu tentulah juga ditulis kata-kata yang
sangat hebat. Tapi dia memang jago yang berakal budi. Dalam
keadaan terjepit, ia masih dapat menggunakan otaknya. "Jalan
satu-satunya untuk membela diri ialah menye-lidiki asal
usul perempuan bangsat itu," pikirnya.
Sesudah mengawasi Wan-seng beberapa saat, tiba-tiba ia
terkejut. "Ah! Mukanya seperti tidak asing lagi," katanya di
dalam hati. "Aku pernah bertemu dengannya. Tapi... kedosaan
apa yang telah diperbuat olehku" Aku merasa pasti, dahulu ia
bukan seorang pendeta." Ia mengawasi pula dan sekonyongkonyong
ia berteriak: "Kau...! Apa kau bukan anaknya Gin
Kouw!" Wan-seng tertawa dingi. "Akhirnya kau menge-nali juga,"
jawabnya. "Hok Thayswee!" teriak pula Tong Pay. "Nie-kouw itu
adalah musuh besar siauwjin. Dia telah mengatur tipu untuk
mencelakakan siauwjin. Thayswee tidak boleh pereaya segala
pengaduannya."
"Benar," kata Wan-seng, "Aku adalah musuh besarmu.
Dalam keadaan terlunta-lunta, ibuku telah kesasar ke
rumahmu. Kau manusia bertopeng, lagakmu seperti seorang
mulia, hatimu bagaikan hati binatang buas. Melihat kecantikan
ibuku, kau coba melanggar kehormatannya, sehingga ibuku
mati menggantung diri. Coba kau jawab: Apakah tuduhanku
tuduhan yang tidak-tidak?"
Tong Pay jadi serba salah. Kalau ia mengaku, hancurlah
nama baiknya. Tapi ia sekarang sedang menghadapi mati atau
hidup dan Sesudah memikir sejenak, di antara kedua jalan itu,
ia memilih jalan hidup. Ia menghitung, bahwa jika ia
mengaku, ke-pereayaan Hok Kong An atas dirinya akan pulih
kembali. Pembesar itu akan pereaya, bahwa karena
bermusuhan, Wan-seng sudah mengatur tipu untuk
mencelakakan dirinya. Maka itu, ia lantas saja mengangguk
seraya menjawab: "Benar. Memang benar sudah terjadi
kejadian itu."
Semua orang terkejut. Ruangan itu lantas saja jadi ramai
dengan suara orang yang berlomba-lomba mengutarakan
pendapat - ada yang menamakan dia sebagai "kuncu tetiron",
ada yang mengejeknya sebagai "manusia berhati binatang"
sebagainya. Sesudah suara biara mereda, Wan-seng ber-kata: "Aku
sungguh ingin mencabut jiwa binatang-mu untuk membalas
sakit hati ibuku, hanya sayang, karena ilmu silatmu terlalu
tinggi, aku tak bisa mengalahkan kau. Maka itu, apa yang bisa
diperbuat olehku ialah siang-malam bersembunyi di ba-wah
jendelamu untuk mengamat-amati setiap ge-rak-gerikmu.
Ternyata Tuhan menaruh belas ka-sihan atas diriku. Secara
kebetulan aku mendengar pembicaraanmu dengan Tio Poan
San, dengan dua saudara Siang, dengan Cio Siang Eng dan
Iain-lain penjahat dari Ang-hoa-hwee. Barusan si sasterawan
muda yang coba merebut Giok-liong-pwee bukan lain daripada
Sim Hie, kacung Tan Kee Lok, Cong-tocu dari Ang-hoa-hwee.
Bukankah dia Sim Hie" Jawab kau!"
Mendengar disebutnya nama Sim Hie, Hok Kong An seperti
orang baru mendusin dari tidurnya. "Benar, benar dia Sim
Hie," katanya di dalam hati. "Dia sungguh berani mati. Apa dia
tak takut aku akan mengenalinya?"
"Tidak aku tidak kenal dia!" bentak Tong Pay. "Kalau benar
aku bersekutu dengan Ang-hoa-hwee, aku pasti tidak akan
membekuk dia."
Wan-seng tertawa dingin. "Kau memang sangat pintar dan
mengatur setiap siasat secara licin sekali," katanya. "Kalau
tidak kebetulan mendengar perundingan rahasia antara kau
dan penjahat-pen-jahat Ang-hoa-hwee, aku pun pasti akan
kena di-kelabui. Sekarang dengarlah keteranganku. Semua
orang tahu, bahwa Tong Tayhiap memiliki ilmu Tiam-hiat yang
sangat istimewa. Seseorang yang jalan darahnya ditotok
olehmu tak akan bisa di-tolong oleh orang lain. Tadi, dengan
Tiam-hiat yang luat biasa, kau sudah menotok jalan darah
penjahat Ang-hoa-hwee itu. Sekarang jawablah pertanyaanku:
Mengapa, selagi semua lilin padam, jalan darah penjahat
itu terbuka dengan tiba-tiba dan dia bisa melarikan diri"
Mengapa" Jawab kau!"
Tong Pay tergugu. Sesaat kemudian, barulah ia bisa
menjawab: "Itu... itu... mungkin dia ditolong orang lain."
"Jangan menyangkal kau!" bentak Wan-seng. "Di dalam
dunia, kecuali Tong Pay, Tong Tayhiap, tidak ada orang lain
yang bisa menolongnya."
Ouw Hui kagum bukan main. "Lidahnya sung-guh tajam,
biarpun Tong Pay mempunyai seratus mulut, dia tak akan bisa
melawan," pikirnya. "Jalan darah sasterawan itu terang-terang
dibuka olehku. Tapi aku hanya membuka separuh, entah siapa
yang membuka yang separuhnya lagi. Tapi orang itu pasti
bukan Tong Pay."
Sementara itu, Wan-seng sudah berkata pula: "Hok
Thayswee, Tong Pay dan penjahat-penjahat Ang-hoa-hwee
sudah menentukan tipu daya yang sangat bagus. Pertama,
sasterawan itu berlagak ter-tawan, supaya dia bisa
ditempatkan di dekat Thayswee. Sesudah itu, rombongan
penjahat yang lain memadamkan lilin, supaya, di dalam
kekalutan, si sasterawan dapat membunuh kau. Tapi rejeki
Thayswee sangat besar, sehingga bahaya itu berubah menjadi
keselamatan. Semua Wie-su telah menun-jukkan kesetiaannya
dan begitu lekas lilin padam, mereka berkumpul di sekitar
Thayswee untuk melindungi, sehingga kawanan penjahat tidak
bisa mencapai maksudnya yang busuk."
"Bohong! Dusta besar!" teriak Tong Pay ba-gaikan kalap.
Di depan mata Hok Kong An terbayang kejadi-an tadi dan
tanpa merasa, ia berkata: "Sungguh berbahaya!" Sambil
mengawasi Ong Kiam Eng dan Ciu Tiat Ciauw, ia berkata pula:
"Kamu berjasa besar dan aku akan menaikkan pangkatmu."
Wan-seng tak mau menyia-nyiakan kesempatan yang baik
itu. "Ong Tayjin, Ciu Tayjin, bukankah tipu busuk kawanan
penjahat begitu adanya?" tanyanya.
Karena pertanyaan itu adalah untuk kebaikan mereka,
maka Ong Kiam Eng lantas saja menjawab: "Sasterawan
bangsat itu memang coba menerjang Thayswee, tapi untung
juga pereobaannya telah digagalkan oleh kami."
"Di dalam kegelapan kami diserang oleh seorang yang
berkepandaian sangat tinggi," menyam-bungi Ciu Tiat Ciauw.
"Kami terpaksa melawan mati-matian... kami tak pernah
menduga, bahwa musuh itu Tong Pay adanya. Sungguh
berbahaya!"
Tong Pay merasa dadanya seperti mau meledak dan
matanya berkunang-kunang. Otaknya yang cer-das tidak
dapat bekerja lagi dan ia hanya berkata dengan suara
terputus-putus: "Kau... kau... dusta! Tadi kau tidak berada di
sini... bagaimana kau tahu?"
Wan-seng tidak meladeni. Sekarang i a mengawasi Hong
Jin Eng, dari kepala sampai di kaki. Hong Jin Eng adalah
ayahnya sendiri, tapi dia sudah mencelakakan ibunya,
sehingga akhirnya sang ibu binasa menggantung diri. Ia
pernah bersumpah, bahwa sesudah tiga kali memberi
pertolongan, untuk menunaikan tugas seorang anak kepada
ayah-andanya, ia akan mengambil jiwa Hong Jin Eng.
Sekarang, sesudah memfitnah Tong Pay, ia sebenar-nya bisa
menyeret juga Hong Jin Eng. Akan tetapi, Sesudah mengawasi
sejenak, ia merasa tak tega dan bersangsi.
Tong Pay adalah seorang dorna besar yang sangat licin.
Begitu melihat kesangsian Wan-seng, di dalam otaknya lantas
saja berkelebat serupa ingatan dan ia menarik kesimpulan,
bahwa fitnahan pendeta itu adalah "kerjaan" Hong Jin Eng.
"Hong Jin Eng!" teriaknya. "Sekarang baru kutahu, ini semua
kerjaanmu! Kau minta bantuanku supaya kau bisa merebut
sebuah Giok-liong-pwee, tapi tidak dinyana, kau juga
menyuruh anakmu mem-fitnah aku."
Jin Eng terkejut. Dengan suara bergemetar ia menanya:
"Anakku" Dia... anakku?"
"Kau tak usah berlagak pilon," kata Tong Pay seraya
tertawa dingin. "Lihatlah muka pendeta bangsat itu! Lihat
mukanya! Ada apa bendanya dengan muka Gin-kouw?"
Dengan mata membelalak, si orang she Hong menatap
wajah Wan-seng. Segera juga ia mendapat kenyataan, bahwa
ia seperti berhadapan dengan Gin Kouw dalam pakaian
pendeta. Dulu, dengan membawa puterinya dari Hud-san-tin Gin
Kouw lari ke Ouw-pak di mana ia bekerja di rumah Tong Pay
sebagai pembantu ru-mah tangga. Tong Pay adalah seorang
manusia busuk yang pandai berpura-pura - di luar dia kelihatan
alim mulia, diam-diam dia sering melakukan perbuatan
menyeleweng. Melihat Gin Kouw yang cantik, ia memaksa
nyonya itu menyerahkan kehor-matannya, sehingga dalam
malu dan gusar, Gin Kouw menghabiskan jiwanya sendiri
dengan meng-gantung diri. Secara kebetulan kejadian itu
dike-tahui oleh seorang niekouw dari Go-bie-pay yang
mempunyai kedudukan sangat tinggi. Ia menolong Wan-seng
yang lalu dibawanya ke gunung Thian-san. Semenjak kecil
Wan-seng telah dicukur ram-butnya dan diajar ilmu silat.
Tempat tinggal pendeta tersebut tidak berjauhan dengan
tempat tinggal Thian-tie Koay-hiap Wan Su Siauw dan orangorang
gagah Ang-hoa-hwee. Wan-seng sangat ber-bakat dan
cerdas otaknya. Di bawah pimpinan seorang guru yang
berkepandaian tinggi, ia memper-oleh kemajuan pesat. Di
samping itu, ia juga sering datang kepada Wan Su Siauw dan
minta diajari sejurus dua jurus. Dalam pergaulannya dengan
jago-jago Ang-hoa-hwee, ia pun telah memperoleh pe-lajaran
dan petunjuk-petunjuk yang sangat ber-harga. Tan Kee Lok,
Hok Ceng Tong dan yang Iain-lain rata-rata telah memberikan
ilmu-ilmu isti-mewa kepadanya, sehingga akhirnya ia dapat
meng-gabung intisari daripada macam-macam ilmu silat
berbagai partai dan menambal kekurangan tenaga dengan
kecerdasan otaknya. Kalau bukan Lwee-kangnya masih cetek
sebab usianya masih sangat muda, ia sudah boleh berendeng
dengan ahli-ahli silat kelas satu pad
Pendekar Satu Jurus 13 Perkampungan Misterius Seri Pendekar Cinta 4 Karya Tabib Gila Rahasia 180 Patung Mas 12
^