Kisah Si Rase Terbang 5

Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung Bagian 5


patung Malaikat Pak-tee-ya, Ciong Sie-so berlutut
dan manggut-manggutkan kepala-nya. 'Pak-tee Ya-ya,'
katanya. 'Anakku tak nanti mencuri barang orang, tahun ini
dia baru berumur empat tahun. Dia masih belum bica bicara
betul, suaranya masih pelo, di depan tuan besar dia
mengatakan: Cia-o, Cia-o. Aku sekeluarga tidak bisa mencuci
hinaan ini, sedang Tiekoan yang sudah makan sogokan, tidak
berlaku adil. Maka itu, jalan satu-satunya adalah memohon
keadilan dari Pak-tee Ya-ya.' Sehabis berkata begitu, ia
membelek perut Siauw-sam-cu!"
Ouw Hui mendengarkan penuturan itu dengan hati panas.
Ketika si gemuk menutur sampai di situ, tak dapat ia menahan
sabar lagi. Ia menumbuk meja dengan tinjunya, sehingga
piring mangkok terbalik semua.
"Apakah benar begitu kejadiannya?" ia menanya dengan
mata mendelik. Melihat keangkeran Ouw Hui, kedua saudagar itu jadi
gemetar sekujur badannya. "Cerita itu sedikit pun tidak
menyimpang dari kejadian yang sebenarnya," jawabnya.
Ouw Hui berbangkit. Dengan kaki kiri di lantai loteng dan
kaki kanan di atas bangku, mendadak ia menghunus goloknya
yang lalu ditancapkan di atas meja.
"Cerita terus!" ia membentak. "Ke... ja... dian itu tak... tidak
ada... sangkut pautnya dengan aku," kata si gemuk terputusputus.
Roman Ouw Hui yang bengis menakutkan semua
tetamu. Beberapa antaranya yang bernyali ke-cil, buru-buru
makan dan turun dari loteng. Para pelayan hanya mengawasi
dari kejauhan, tak berani mendekati.
"Bilanglah!" bentak Ouw Hui. "Apakah dalam perut Siauwsam-
cu terdapat daging angsa?"
"Tidak," jawab si gemuk. "Yang kedapatan adalah daging
keong. Keluarga itu keluarga miskin dan kedua bocah itu pagipagi
mencari keong di sawah untuk dimakannya. Dia kata: ciao,
cia-o (makan angsa), sebenarnya dimaksudkan: Cia-lo
(makan keong). Kasihan! Anak yang tidak berdosa itu mesti
binasa secara begitu rupa. Mulai saat itu, Ciong Sie-so menjadi
gila." "Di mana rumah orang she Hong itu?" tanya Ouw Hui.
Sebelum si saudagar sempat menjawab, dari sebelah jauh
mendadak terdengar suara menyalak-nya anjing.
"Gila! Benar-benar gila!" kata si saudagar kurus sembari
menghela napas.
"Ada apa lagi?" tanya Ouw Hui.
"Itulah kaki tangan Hong Looya yang sedang mengejarngejar
Siauw-jie-cu dengan membawa an-jing-anjing galak,"
sahutnya. Darah Ouw Hui naik semakin tinggi. "Satu jiwa sudah
menjadi korbannya, dia mau apa lagi?" kata-nya.
"Menurut Hong Looya, kalau bukan Siauw-sam-cu yang
makan, angsa itu tentu dimakan Siauw-jie-cu," si kurus
menerangkan. "Maka itu, Hong Looya mau menangkap Siauwjie-
cu untuk diperik-sa lebih jauh, katanya. Beberapa tetangga
yang merasa kasihan, sudah mengisiki, supaya Siauw-jie-cu
kabur. Hari ini, kaki tangan Hong Looya sudah pergi ke
beberapa tempat untuk mencari bocah itu."
Sesudah menahan hawa amarahnya, Ouw Hui segera
berkata: "Keterangan Jie-wie cukup jelas. Selaksa tail perak
aku akan minta dari Hong Looya."
Sehabis berkata begitu, ia mengangkat ciu-hu (tempat
arak) dan menenggak isinya. Dalam sekejap ia sudah
menghabiskan tiga ciu-hu, lalu ia berteriak untuk minta
ditambah lagi. Di saat itu, gonggongan kawanan anjing itu terdengar lebih
keras dan beberapa saat kemudian, anjing-anjing itu
kedengarannya sudah tiba di ujung jalan. Ouw Hui melongok
ke bawah. Ia melihat seorang bocah yang berusia kira-kira
dua belas tahun, sedang kabur sekeras-kerasnya, dengan pakaian
robek-robek dan berlepotan darah, bekas gigitan anjing.
Di belakang bocah itu, dalam jarak kira-kira delapan tombak,
mengejar belasan anjing galak.
Ketika itu, si bocah yang bernama Ciong Siauw Jie, sudah
lelah sekali. Melihat ibunya, ia berteriak: "Ibu?" Kedua lututnya
mendadak lemas dan ia ru-buh, tak bisa bangun lagi.
Walaupun gila, Ciong Sie-so masih mengenal puteranya.
Dengan sekali lompat, ia sudah meng-hadang di tengah jalan,
menghadapi kawanan anjing galak yang tengah mengejar itu.
Didorong rasa cinta seorang ibu kepada anaknya, ia berdiri
tegak dengan paras muka angker dan kedua matanya yang
berapi mengawasi kawanan anjing itu.
Anjing-anjing itu, yang biasa mengikut Hong Looya
berburu, galak bukan main. Jangankan ma-nusia, harimau
sekalipun mereka berani terjang. Tapi, melihat keangkeran
Ciong Sie-so mereka agak sangsi.
Kaki tangan Hong Looya segera memberi ko-mando,
supaya anjing-anjing itu menyerang.
Di lain saat, dua ekor anjing sudah menubruk Siauw Jie.
Sembari berteriak, Ciong Sie-so menubruk puteranya dan
menggunakan badannya sen-diri untuk menutupi tubuh
anaknya. Anjing per-tama lantas menggigit pundak Ciong Sieso,
yang kedua mencakup lutut si bocah. Kaki tangan Hong
Looya berteriak-teriak menghasut anjing-anjing-nya. Tapi sang
ibu terus mendekam di atas tubuh puteranya, seolah-olah
tidak merasakan sakit digigit anjing.
Sementara itu, Ciong Siauw Jie molos ke luar dari pelukan
ibunya dan sembari menangis, ia meng-gebuk kalang kabutan
dengan kedua tinjunya yang kecil. Dalam sekejap, belasan
anjing galak itu sudah mengurung ibu dan anak itu.
Orang banyak berkerumun dan menonton dari kejauhan.
Tak satu pun yang berani menolong, karena semua orang
merasa jeri akan kebuasan Hong Looya.
Semua kejadian itu sudah disaksikan oleh Ouw Hui dari
atas loteng. Ia tidak mau lantas turun tangan, karena ingin
mendapat bukti lebih dulu benar tidaknya cerita kedua
saudagar itu. Ia tak mau sembarangan turun tangan dan
mencelakakan orang yang tidak berdosa.
Selagi si saudagar gemuk menuturkan kejadian itu,
amarahnya sudah naik tinggi. Tapi, mendengar bagian terakhir
dari cerita itu tentang kekejaman Hong Looya yang melewati
batas, Ouw Hui sangsi-kan kebenarannya. Dan sesudah
menyaksikan serangan kawanan anjing itu, barulah
kesangsian Ouw Hui lenyap seluruhnya.
Sesaat itu, pada detik yang berbahaya bagi jiwa si ibu dan
anak, ia menjumput tiga pasang sumpit. dan menimpuk
sembari mengerahkan tenaga da-lamnya.
Kawanan anjing yang sedang memperlihatkan
kebuasannya, mendadak terkuing-kuing dan enam antaranya
rubuh binasa, dengan kepala berlubang ditembus sumpit.
Anjing-anjing yang masih hidup berhenti menunjukkan
kegarangannya, mereka agak ragu-ragu. Ketika itu, di atas
loteng Ouw Hui sudah menimpuk lagi dengan tiga cawan arak.
Tim-pukan itu jitu sekali, setiap cawan mampir di hidung
seekor anjing. Hampir berbareng, tiga ekor rebah di tanah,
tanpa bisa bangun lagi. Sisanya beberapa ekor lagi jadi
kuncup dan buru-buru kabur sembari menghimpit buntut.
Kaki tangan Hong Looya yang menggiring anjing berjumlah
enam orang. Dengan mengandalkan pengaruh sang majikan,
mereka sudah biasa berlaku sewenang-wenang di Hud-san-tin.
Melihat sembilan ekor anjing itu dibinasakan secara begitu,
tanpa mengenal mati, mereka lantas berteriak: "Hei! Sia-pa
yang berani menjual lagak di Hud-san-tin" Anjing Hong Looya
harus diganti dengan jiwamu!" Sehabis berteriak, dengan
golok terhunus dan men-cekal rantai besi, mereka naik ke
loteng restoran.
Melihat gelagat tak baik, para tamu lantas saja lari
serabutan. Rumah makan itu dibuka oleh Hong Jin Eng,
sehingga dari pengurus sampai pelayan semua adalah kaki
tangan hartawan kejam itu. Melihat enam rekannya mau
membekuk orang, mereka lantas saja mengambil macammacam
senjata untuk membantu.
Ouw Hui mengawasi mereka sembari mesem, ia tak
bergerak dari kursinya.
Sembari mengebaskan rantai, orang yang men-jadi kepala
lantas memaki: "Hei! Anak bau! Ikut tuan besarmu!"
Ouw Hui menghela napas melihat kegalakan orang itu yang
membawa-bawa rantai, seolah-olah dia alat negara. Tanpa
berkisar dari tempatnya, tangan Ouw Hui menyambar dan
tepat sekali meng-hajar pipi orang tersebut. Sesudah
menggampar ia menotok jalan darah Cie-kiong-hiat dan Honghu-
hiat di leher si galak, yang lantas saja tak dapat bergerak
lagi. Dua kawannya yang tak mengenal bahaya, segera
menyerang dari kiri kanan dengan mengguna-kan golok.
Mereka ternyata pandai ilmu silat dan dari sini bisa ditarik
kesimpulan, bahwa Hong Looya benar-benar seorang manusia
jahat yang mempu-nyai banyak tukang pukul. Tapi tentu saja,
ke-pandaian dua tukang pukul itu, tidak dipandang sebelah
mata oleh Ouw Hui. Tangannya bergerak bagaikan kilat dan
mereka berdua seperti kawannya, lantas saja berdiri terpaku.
Tiga tukang pukul lainnya jadi ketakutan. Salah seorang
dari mereka lantas memutarkan badan untuk melarikan diri,
sedang seorang lagi berteriak: Hong Cit-ya, ilmu siluman
apakah ini?"
Orang yang dipanggil Hong Cit-ya masih terikat t'amili jauh
dengan Hong Jin Eng dan dia diangkat sebagai pengurus
rumah makan. Ilmu silatnya tidak seberapa, tapi dia licin
sekali. Melihat Ouw Hui bukan sembarang orang, buru-buru ia
menghampiri. "Aku tak tahu hari ini seorang gagah datang berkunjung,"
katanya sembari merangkap kedua tangannya. "Benar-benar
aku mempunyai mata tak bisa melihat gunung Thaysan yang
besar." Melihat tiga tukang pukul Hong Looya per-lahan-lahan
mendekati mulut loteng untuk kabur, Ouw Hui segera
mengambil rantai besi dari tangan si tukang pukul yang sudah
tak dapat bergerak lagi. Sekali Ouw Hui menyabet, rantai itu
melibat enam kaki ketiga orang itu dan kemudian, sekali
digentak, mereka bertigajatuh terguling. Dengan tenang dan
tanpa meladeni Hong Cit-ya, Ouw Hui mengikat erat-erat
kedua ujung rantai dan ia sendiri lalu mulai minum arak lagi.
Meskipun Ouw Hui sudah memperlihatkan ke-pandaiannya,
tapi para pegawai restoran masih te-rus mengurung dengan
mata beringas. Mereka ha-nya mertunggu komando Hong Citya
untuk menyerang. Mereka menganggap, bahwa dengan
seorang diri pemuda itu tentu bisa dirubuhkan dengan
beramai-ramai. "Eh, Hong Jin Eng, masih pernah apa dengan kau?" tanya
Ouw Hui sembari mencegluk isi cawan-nya.
"Saudara sekaum," jawabnya. "Apa tuan kenai Hong
Looya?" "Tidak," kata Ouw Hui. "Pergi, panggil dia untuk menemui
aku." Hong Cit-ya mendongkol, tapi paras mukanya terus berseriseri.
"Bolehkah aku mengetahui she dan nama tuan yang
mulia?" tanyanya. "Supaya aku bisa melaporkan kepada Hong
Looya." "Baiklah," jawabnya dan tertawa. "Aku she Pat, Pat yang
berarti cabut, seperti mencabut bulu ayam."
"Kenapa shenya begitu aneh?" pikir Hong Cit-ya yang
lantas saja tertawa dan berkata: "Oh, kalau begitu aku sedang
berhadapan dengan Pat-ya! She Pat-ya jarang sekali terdapat
di daerah Selatan. Inilah yang dikatakan, bahwa apa yang
langka, ber-harga mahal."
"Benar," kata Ouw Hui. "Memang juga, apa-apa yang aneh
dan jarang terdapat selalu berharga ting-gi. Kau tahu apa
artinya Hong-mo Lin-kak (Bulu burung Hong, tanduk Kielin)"
Namaku adalah Hong Mo."
Paras muka Hong Cit-ya lantas saja berubah gusar.
Perkataan "Pat Hong Mo", yang berarti "Mencabut bulu burung
Hong" terang-terangan mengejek Hong Looya. (Hong dari
Hong Jin Eng berarti burung Hong).
"Tuan ini siapa sebenarnya?" tanyanya dengan suara keras.
"Ada urusan apa tuan datang ke Hud-san-tin?"
"Sudah lama aku mendengar, bahwa di sini terdapat seekor
burung Hong jahat," jawabnya. "Oleh karena sudah keteianjur
aku bernama Pat Hong Mo, maka aku sengaja datang kemari
untuk mencabut bulu Hong itu."
Hong Cit-ya mundur setindak sembari meraba pinggangnya
dan dilain saat, ia sudah mencekal seutas Joanpian (pecut). Ia
mengebaskan tangan kirinya sebagai tanda supaya semua
orang berhati-hati dan kemudian, sembari melompat, ia menghantam
Ouw Hui dengan pecutnya.
Ouw Hui yakin, bahwa kejahatan Hong Jin Eng sudah
menjadi-jadi karena mendapat bantuan dari tukang-tukang
pukulnya. Maka itu, sedari tadi, ia sudah mengambil putusan
untuk menurunkan tangan tanpa sungkan-sungkan lagi.
Begitu pecut itu menyambar, dengan mudah Ouw Hui
dapat menangkapnya. Ia membetot dan selagi Hong Cit-ya
terhuyung, ia menepuk pundak pengurus restoran itu, yang
lantas jatuh berlutut, karena kedua lututnya mendadak lemas.
"Jangan terlalu hormat!" kata Ouw Hui sembari tertawa.
Kemudian dengan menggunakan pecut, ia melibat badan
Hong Cit yang lalu diikatkan ke kaki meja.
Melihat kejadian itu, para pegawai restoran tidak berani
turun tangan lagi.
"Eh, serahkan golok sayur itu kepadaku," kata Ouw Hui
sambil menuding seorang koko gemuk. Si gemuk tak berani
membantah dan lalu menyerah-kan apa yang diminta.
"Eh," kata pula Ouw Hui. "Kalau masak daging tulang
punggung, kau mengambil daging apa?"
"Daging babi," jawabnya. "Diambil dari kiri ka-nan tulang
punggung babi. Boleh masak asam manis, boleh masak pakai
lada dan garam, semuanya lezat sekali. Apa Siauwya mau?"
Dengan bengis, Ouw Hui merobek baju Hong Cit. "Di sini?"
tanyanya sembari mengusap-usap tulang punggung orang.
Koki itu terkesiap, ia hanya mengawasi dengan mulut
ternganga dan tak dapat memberi jawaban.
"Ampun Siauw-ya!" Hong Cit memohon.
Memang bukan maksud Ouw Hui untuk mengambil jiwa
Hong Cit. Ia hanya ingin memberi sedikit hajaran, supaya
manusia itu merasakan sedikit pen-deritaan. Ia mengangkat


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

golok itu dan menggores punggung Hong Cit.
"Cukup setengah kati?" tanyanya.
"Cu... kup..." jawabnya, gemetar.
Hong Cit terbang semangatnya. Ia merasakan kesakitan
luar biasa di punggungnya dan menduga, bahwa dagingnya
benar-benar sudah dipotong.
"Bahan apa kau menggunakan untuk memasak hati babi
goreng dan otak babi masak kuwah?" tanya pula Ouw Hui.
Sekujur badan Hong Cit jadi bergemetar, tak hentinya ia
membenturkan jidat di lantai loteng. "Siauwya!" ia merintih.
"Perintahlah aku, jika kau ingin memerintah, tapi ampunilah
selembar jiwaku."
Sampai di situ, Ouw Hut merasa manusia itu sudah cukup
mendapat hajaran. "Apakah kau masih berani membantu
Hong Jin Eng melakukan ke-jahatan?" tanyanya dengan
bengis. "Tidak, tidak berani," jawabnya dengan cepat.
"Baiklah," kata Ouw Hui. "Sekarang lekas kau gebah semua
tamu yang tadi makan di loteng, tapi tetamu yang makan di
bawah, seorang pun tak boleh keluar."
"Anak-anak," seru Hong Cit, "Lekas lakukan perintah Siauwya!"
Para tamu yang bersantap di atas loteng, rata-rata adalah
kaum beruang. Begitu melihat terjadi-nya perkelahian, buruburu
mereka turun untuk berlalu, tapi pinlu depan dijaga oleh
pegawai restoran yang bersenjata. Maka itu, perintah Ouw Hui
sudah disambut oleh mereka dengan kegirangan besar.
Orang-orang yang makan di ruangan besar, di bawah loteng,
sebagian besar adalah kaum miskin yang sedikit banyak sudah
pernah dipersakiti oleh Hong Jin Eng. Melihat ada orang berani
membentur Hong Jin Eng, mereka jadi gembira dan ingin
menyaksikan sampai di mana pemuda itu akan mem-beri
hajaran. "Hari ini aku mengadakan pesta besar!" teriak Ouw Hui.
"Semua arak dan makanan yang diroakan oleh sahabatsahabat,
akan dibayar olehku. Tak boleh kau menerima uang
sepeser pun dari mereka. Lekas keluarkan guciguci arak dan
masak sayur-sayur yang paling enak. Potong sembilan anjing
jahat itu dan masak dagingnya."
Hong Cit yang sudah mati kutu mengiyakan atas sesuatu
perintah dan para pegawai restoran pun tak ada yang berani
berlaku ayal-ayalan.
Melihat kegarangan pemuda itu, hati enam tukang pukul
Hong Jin Eng berdebar-debar, mereka tak tahu Ouw Hui akan
rnenjatuhkan hukuman apa terhadap mereka.
Sesudah semua perintahnya diturut, dengan tindakan lebar
Ouw Hui turun ke bawah loteng. Ia menuang semangkok arak
dan berkata dengan sua-ra nyaring: "Saudara-saudara, hari ini
siauwtee mengundang sekalian untuk minum. Apa yang kalian
ingin minum, apa yang kalian ingin makan, minta saja, jangan
sungkan. Jika orang-orang di sini berani mernbandel, dengan
sebuah obor aku nanti mem-bakar seluruh rumah makan ini."
Undangan itu disambut dengan tampik sorak oleh para hadirin
yang lantas saja mencegluk cawan arak mereka.
Sesudah itu, Ouw Hui naik pula ke atas loteng dan
membuka jalan darah tiga tukang pukul Hong Jin Eng. la
mengambil enam rantai besi yang terus dilibatkan ke leher
mereka dan ketiga kawannya yang lain.
Kemudian, dengan mencekal ujung rantai, ia menarik enam
orang itu turun ke bawah loteng.
"Di mana rumah gadai Hong Jin Eng?" tanya-nya. "Aku mau
menggadaikan enam anjing jahat."
"Dari sini jalan terus ke arah timur, sesudah melewati tiga
persimpangan jalan, kau akan ber-temu dengan sebuah
gedung yang bertembok ting-gi," sahut seorang. "Itulah
rumah gadai Hong Looya."
"Terima kasih!" kata Ouw Hui yang terus menyeret keenam
tawanannya itu. Sejumlah orang lantas saja mengikuti dari
kejauhan untuk menyak-sikan, bagaimana pemuda itu
menggadaikan ma-nusia hidup.
Setibanya di depan Penggadaian Enghiong, Ouw Hui lantas
berteriak: "Hei! Enghiong (orang gagah) menggadaikan
anjing!" Sembari menyeret enam orang itu, ia menghampiri
meja tinggi tempat menerima gadaian. "Aku mau
menggadaikan enam ekor anjing, setiap ekor seribu tail
perak," katanya.
Pegawai rumah gadai itu terkejut bukan main. Semua
orang di Hud-san-tin mengetahui, bahwa penggadaian itu
adalah milik Hong Jin Eng dan selama belasan tahun, belum
pernah terjadi kekacauan. Kenapa sekarang muncul orang gila
yang mau menggadaikan manusia" Ia mengawasi lebih teliti
dan hatinya jadi lebih-lebih terkejut sebab ia mendapat
kenyataan, bahwa enam orang itu adalah kaki tangan
majikannya sendiri.
"Kau... kau... mau menggadaikan apa?" tanya-nya.
"Tuli kau!" membentak Ouw Hui. "Aku mau menggadaikan
enam anjing jahat, setiap ekor seribu tail, seluruhnya
berjumlah enam ribu tail."
Sekarang si pegawai penggadaian mengetahui, bahwa ia
sedang berhadapan dengan seorang yang sengaja mau
mencari urusan. Ia segera membisiki seorang kawannya,
supaya dia buru-buru memberi-tahukan busu (ahli silat) yang
melindungi rumah gadai tersebut.
Sesudah itu, dengan sikap hormat ia berkata: "Menurut
peraturan, rumah gadai kami tidak dapat menerima gadaian
berjiwa. Maka itu, harap tuan suka memaafkan aku."
"Baiklah," kata Ouw Hui. "Jika kau menolak anjing hidup,
aku akan menggadaikan anjing mam-pus."
Enam orang itu mencelos hatinya. "Jie Suya!" mereka
berteriak. "Terimalah kami. Tolong jiwa kami."
Tapi pegawai itu mana mau gampang-gampang
mengeluarkan enam ribu tail perak" "Duduklah," katanya.
"Apakah tuan mau minum teh?"
"Sesudah anjing hidup menjadi anjing mati, barulah aku
minum tehmu," jawab Ouw Hui. Sehabis berkata begitu, ia
menghampiri pintu, men-cekal sebelah daun pintu tersebut
dengan kedua tangannya dan sekali ia mengangkat, daun
pintu itu sudah copot dari engselnya.
Melihat keadaan semakin runyam, si pegawai lantas
menegur: "Tuan, apa sih sebenarnya mak-sudmu?"
Ouw Hui tak menyahut, tapi menyapu beberapa kali
dengan kakinya dan enam tawanannya lantas rubuh di atas
lantai. Tanpa berkata suatu apa, ia menindih badan mereka
dengan daun pintu itu.
"Sahabat!" kata si pegawai dengan suara jeng-kel.
"Sudahlah! Jangan mengacau di sini. Apa kau tahu, ini tempat
apa" Kau tahu rumah gadai ini milik siapa?"
Melihat muka manusia itu yang seperti muka tikus, Ouw
Hui mengetahui dia tentunya bukan manusia baik. Dengan
mulut tetap membungkam, ia menghampiri meja tempat
menggadaikan sesuatu dan menjambret thaucang orang itu,
yang lalu di-angkat dan kemudian ditindih di bawah daun
pintu. Sesudah itu, dengan kedua tangannya, ia mengangkat
sebuah tambur batu besar yang terletak di pinggir pintu.
Dengan tetap tak mengeluarkan sepatah kata, ia
melemparkan tambur itu ke atas daun pintu!
Jika orang mengetahui, bahwa berat tambur itu tidak
kurang dari lima ratus kati, dapatlah ia mem-bayangkan
hebatnya timpukan itu. Dengan ber-bareng, ketujuh orang itu
tertindih di bawah daun pintu, mengeluarkan teriakan yang
menyayatkan hati. Orang-orang yang menonton di luar dan
para pegawai penggadaian juga mengeluarkan teriakan kaget.
Belum cukup dengan itu, Ouw Hui kembali memondong
sebuah tambur batu lain dan berseru: "Anjing jahat belum
mampus, harus ditambah lagi dengan sebuah tambur!"
Sembari berseru ia melem-parkan tambur itu ke atas! Sekali
lagi semua orang mengeluarkan teriakan kaget, sedang batu
besar itu melayang turun ke arah daun pintu itu dengan
kecepatan luar biasa. Pada detik yang sangat ber-bahaya,
mendadak Ouw Hui mementang kedua tangannya dan batu itu
berhenti dalam pelukannya! Di lain saat, dengan perlahan ia
meletakkan tambur tersebut di atas daun pintu tadi. Sekarang
berat tindihan sudah kira-kira seribu kati yang seluruhnya
harus dipikul oleh ketujuh orang itu.
"Hoohanya (orang gagah) ampun!" teriak si orang she Jie.
"Lekas ambil uang!"
Melihat kejadian itu, kawan-kawannya tak bisa berbuat lain
daripada mengeluarkan enam ribu tail perak secepat mungkin.
Dengan tenang Ouw Hui menumpuk kantong-kantong perak
tersebut di atas daun pintu itu.
"Enam ekor anjing laku digadaikan enam ribu tail," kata
Ouw Hui. "Sekarang ditambah lagi dengan seorang pegawai
rumah gadai. Masakah pegawai Rumah Gadai Enghiong yang
kesohor, berharga lebih rendah dari seekor anjing" Hm!
Sedikitnya tiga ribu tail." Berat enam ribu tail perak ada kirakira
tiga ratus tujuh puluh kati lebih dan dapatlah orang
menaksir-naksir hebatnya penderitaan ketujuh orang itu yang
ditindih dengan seribu tiga ratus kati lebih.
Selagi ribu-ribut, di luar pintu tiba-tiba ter-dengar suara
bentakan: "Manusia dari mana yang berani mengacau di sini?"
Di lain saat, dua orang yang bertubuh tinggi besar
meloncat masuk ke dalam. Mereka berpa-kaian serba hitam
dengan kancing-kancing putih, yaitu pakaian seorang busu
(ahli silat). Dengan sekali meloncat, Ouw Hui sudah ber-ada di
belakang mereka dan kedua tangannya yang seperti besi
sudah mencengkeram leher kedua busu itu. Mereka itu adalah
tukang-tukang pukul rumah gadai, yang ketika Ouw Hui baru
datang, sedang berjudi di sarang judi Enghiong Hweekoan.
Begitu mendapat laporan tentang kekacauan di rumah gadai,
buru-buru mereka kembali, tapi sebelum melihat tegas muka
si pengacau, leher mereka sudah kena dicengkeram.
Ouw Hui mengerahkan tenaganya dan tubuh kedua orang
itu terangkat naik. Ia menggoyang kedua tangannya dan
badan mereka terkocok pu-lang pergi di tengah udara. Hampir
berbareng, beberapa kartu Thiankiu jatuh dari badan seorang
busu dan dua biji dadu terlepas dari tangan busu yang lain.
"Bagus!" kata Ouw Hui sembari tertawa. "Ter-nyata kamu
adalah setan-setan judi!" Sembari ber-kata begitu, ia
melemparkan kedua tukang pukul itu di atas daun pintu.
Demikianlah, berat tindihan jadi bertambah lagi dengan kirakira
empat ratus kati.
Pengurus rumah gadai, yang khawatir kawannya binasa,
terpaksa menyoja kepada Ouw Hui ber-ulang-ulang dan
memerintah beberapa pegawai mengambil tiga ribu tail perak
lagi. Hatinya merasa heran sekali, kenapa Hong Jin Eng masih
juga belum datang menolong.
Harus diketahui, bahwa dengan mengacau di restoran dan
di rumah gadai, Ouw Hui ingin memancing supaya Hong Jin
Eng muncul sendiri. Sesudah mendapat pengalaman getir di
Siang-kee-po, ia selalu berlaku hati-hati.
la yakin bahwa sebagai orang yang bergelar Lam-pa-thian
(orang yang menguasai daerah Selatan), gedung Hong Jin Eng
tentu lebih hebat persiapannya daripada Siang-kee-po. Maka
itu, jika menyatroni rumah Hong Jin Eng, ia khawatir terjebak.
Dan ia sama sekali tidak menduga, bahwa sesudah
membikin ribut di dua tempat, orang she Hong itu masih juga
belum muncul. Melihat beberapa pegawai rumah gadai sudah
mengeluarkan tiga ribu tail perak, lantas saja ia memerintah:
"Letakkan di atas daun pintu!"
Beberapa pegawai itu mengetahui, bahwa dile-takkannya
perak tersebut di atas daun pintu, berarti bertambahnya
tindihan dengan seratus delapan pu-luh kati. Tapi mereka tak
berani membantah dan lalu menumpuk bungkusan-bungkusan
perak itu di tempat yang ditunjuk.
"Hei!" Ouw Hui berteriak. "Apakah rumah gadai ini dibuka
oleh paduka Kaisar" Kenapa kamu begitu tak tahu aturan?"
"Apa lagi yang diinginkan tuan?" tanya si pengurus sembari
membungkuk. "Aku menggadai, kenapa tidak diberikan surat gadai?"
tanya Ouw Hui dengan mata melotot.
Si pengurus yang sedang kebingungan, lantas saja
berteriak: "Lekas tulis surat gadai." Para pegawai tak
mengetahui apa yang harus ditulisnya. Tapi dalam keadaan
terdesak, mereka menulis saja seperti berikut:
"Digadaikan enam pegawai gedung keluarga Hong dan satu
pegawai rumah gadai. Kulit pecah, daging hancur, kaki tangan
tak lengkap. Digadaikan untuk sembilan ribu tail perak."
Menurut kebiasaan pada jaman pemerintahan Boan, jika
seseorang menggadaikan barang, mes-kipun barangnya itu
masih baru, akan tetapi dalam surat gadai selalu ditulis barang
"rusak". Maksud tulisan itu untuk mencegah pereekeokan
diwaktu barang tersebut ditebus. Menggadaikan manusia
hidup adalah kejadian yang baru pernah mereka alami dan
karena kebiasaan, pegawai rumah gadai sudah menambah
kata-kata "kulit rusak, daging hancur, kaki tangan tak
lengkap". Sembari mesem Ouw Hui menerima surat gadai itu dari
tangan si pengurus.
"Angkat kedua tambur batu itu!" bentak Ouw Hui kepada
dua busu itu. Karena tak kuat mengangkat sendiri, mereka berdua lalu
menggotongnya dengan mengeluarkan banyak keringat.
"Bagus!" kata Ouw Hui pula. "Sekarang marilah kita jalanjalan
ke tempat judi. Gotonglah modalku yang berada di atas
daun pintu itu."
Kedua busu itu yang sudah menjadi luar biasa jinaknya,
lantas saja menurut perintah Ouw Hui dan mengikuti pemuda
itu dari belakang.
Rakyat menyaksikan, bagaimana dengan tangan kosong,
Ouw Hui sudah mengobrak-abrik rumah gadai terbesar di
Hud-san-tin, rata-rata merasa syu-kur dan girang hati. Tapi
sebab takut dimarahi Hong Looya, mereka tak berani
mendekati pemuda gagah itu. Sekarang mendengar Ouw Hui
hendak pergi ke tempat judi, mereka jadi lebih bersemangat
dan jumlah orang yang mengikuti menjadi semakin besar.
Rumah judi itu dibuka dalam kelenteng Kwan-tee-bio, di
ujung kota. Di depan pintu terdapat empat huruf besar yang
berbunyi: Enghiong Hweekoan.
Dengan tindakan lebar, Ouw Hui masuk ke dalam. Di


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ruangan besar kelihatan berkerumun sekelompok orang
mengelilingi meja dadu. Si bandar judi, yang tebal alisnya dan
besar matanya, duduk di tengah-tengah meja. la mengenakan
pa-kaian sutera hitam, keluaran Hud-san-tin yang ter-kenal,
dengan baju tidak terkancing, sehingga dada-nya yang
berbulu kelihatan menyolok sekali.
Melihat masuknya Ouw Hui bersama kedua busu itu yang
menggotong daun pintu dengan tum-pukan kantong-kantong
perak, si bandar terkejut dan menanya: "Coa-pie Thio (Thio si
Kulit ular), bikin apa kau?"
Orang she Thio itu monyongkan mulutnya ke arah Ouw
Hui, seraya berkata: "Hoohan-ya itu hendak main-main di
sini." Hong Jin Eng adalah seorang yang mempunyai pergaulan
luas dan banyak sekali kawannya. Melihat sikap ketakutan
Coa-pie Thio, bandar itu menduga, bahwa Ouw Hui adalah
satu kawan ma-jikannya.
"Bagus!" katanya di dalam hati. "Orang kata. buka warung
nasi tak takut akan tamu yang pe-rutnya besar, buka rumah
judi tak takut penjudi kaya. Dua daun pintu lagi, aku masih
bersedia menerima."
Memikir begitu, lantas saja ia berkata sembari tertawa:
"Sahabat, bolehkah aku mengetahui shemu yang mulia"
Duduk, duduklah."
"Aku she Pat, namaku Hong Mo," jawab Ouw Hui sembari
mengambil tempat duduknya.
Si bandar terkejut, ia mengerti, bahwa pemuda itu mau cari
gara-gara. Tapi sebagai orang yang sudah sering menempuh
badai, dengan tenang ia lantas mengocok mangkok dadu dan
meletakkannya di atas meja. Puluhan penjudi segera
memasang taruhannya, ada yang pasang di "besar", ada pula
yang pasang di "kecil".
Ouw Hui yang sebenarnya sedang menunggu keluarnya
Hong Jin Eng, tidak turut memasang dan hanya menonton
sembari senyum simpul.
Si bandar lalu membuka mangkok dan tiga dadu
memperlihatkan sebelas mata. Mereka yang memasang di
"besar" bersorak girang, sedang yang memasang "kecil" pada
meringis. Tiga kali bandar itu membuka mangkok dan tiga-tiganya
nomor "besar".
Dalam judi banyak penipuan, apalagi dalam rumah judi
Hong Jin Eng yang terkenal "jahat", kata Ouw Hui dalam
hatinya. "Coba kuperhatikan dan kalau terselip penipuan, biar
aku membikin ribut sekali lagi."
Memikir begitu, matanya yang jeli lantas saja mengincar
mangkok dadu, sedang kupingnya yang tajam mendengarkan
bunyi jatuhnya dadu. Sesudah memasang kuping beberapa
saat, ia mendapat kenyataan, bahwa dadu itu adalah tulen,
tidak dijejal timah.
Sebagai orang yang pernah melatih kupingnya dengan ilmu
Am-kee Teng-hong-sut (ilmu untuk mengetahui serangan
senjata rahasia dengan mendengar sambaran angin), kuping
Ouw Hui tajam luar biasa. Meskipun ia diserang dengan
senjata rahasia dalam gelap gulita, dengan mendengar
sambaran anginnya saja, ia sudah bisa mengetahui dari mana
menyambarnya senjata itu, macamnya senjata dan besarnya
tenaga yang digunakan untuk menimpuk. Sebagai contoh,
diwaktu terjadi peristiwa di Siang-kee-po, dengan hanya
mendengar sambaran angin, Tio Poan San sudah bisa
menebak, bahwa yang membokong ia adalah murid Siauwlim-
sie dari Siong-san. Biarpun kuping Ouw Hui masih belum
dapat menandingi kuping Poan San, tapi sesudah
mendengarkan beberapa lama, ia sudah bisa menduga
dengan jitu, berapa jumlah mata tiga dadu yang celentang ke
atas. Sebagaimana diketahui, setiap dadu mempu-nyai enam
muka dengan jumlah mata yang ber-lainan, yaitu mata satu,
mata dua, mata tiga, mata empat, mata lima dan mata enam.
Untuk orang biasa, tentu saja tak akan dapat membedakan
suara jatuhnya dadu-dadu itu, karena perbedaannya sa-ngat
sedikit. Akan tetapi, untuk seorang ahli yang sudah mahir
dalam ilmu Am-kee Teng-hong-sut, tak terlalu sukar untuk
membedakannya. Sesudah mendengarkan lagi beberapa kali dan setelah
mempunyai pegangan yang pasti Ouw Hui segera berkata
sembari lertawa: "Saudara bandar, apakah uang pasangan
dibatasi atau tidak?"
"Seluruh propinsi Kwitang mengetahui, bahwa rumah judi
dari Lam-pa-thian belum pernah mem-batasi pasangan!" seru
si bandar dengan suara som-bong, "Kalau ada pembatasan,
guna apa dinamakan Enghiong Hweekoan?"
"Bagus!" puji Ouw Hui sembari mengaeungkan jempolnya.
"Kalau dibatasi, bisa-bisa orang menamakan Kauwhiong
Hweekoan (Enghiong Hweekoan berarti Perkumpulan orang
gagah, sedang Kauwhiong Hweekoan adalah Perkumpulan
kawan-an anjing)."
Ouw Hui segera memasang kuping.
Mangkok dadu lalu dikocok.
"Coa-pie Thio, pasang di 'besar' seribu tail," Ouw Hui
memerintah. Ia mengetahui, sekali ini tiga dadu bermata dua
belas. Meskipun sudah mempunyai pengalaman pu-luhan tahun,
bandar itu belum bisa mengetahui lebih dulu, apakah dadu
yang bakal dibuka akan bermata "besar" atau "kecil". Melihat
pasangan seribu tail, hatinya berdebar-debar juga. Dengan tangan
agak gemetar, ia membuka mangkoknya.
Mukanya lantas saja menjadi pucat karena tiga dadu yang
celentang masing-masing memperlihat-kan empat mata,
semuanya dua belas mata, jadi termasuk "besar". Seorang
pegawai segera menye-rahkan seribu tail perak kepada Ouw
Hui. Dalam kocokan yang berikutnya, Ouw Hui tak ikut
memasang sebab ia ragu-ragu. Yang dibuka adalah "kecil"
(delapan mata). Pada kocokan ketiga, Ouw Hui memasang
dua ribu tail di "kecil". Kali itu benar saja dibuka "kecil", enam
mata. Demikianlah sesudah memasang lima enam kali, Ouw Hui
sudah mengantongi sebelas ribu tail perak. Si bandar jadi
semakin bingung, keringat dingin mengucur dari dahinya.
Dengan geregetan ia mengocok dadu berulang-ulang dan
meletakkannya di atas meja. Ouw Hui merasa pasti, tiga dadu
itu bermata empat belas. Ia berpaling kepada si busu seraya
memerintah: "Coa-pie Thio, pasang dua laksa tail di 'besar'!"
Sebungkus demi sebungkus, kedua busu itu lalu meletakkan
uang Ouw Hui di atas meja judi.
Karena pasangan yang luar biasa besarnya itu dan
majikannya sudah menderita kerugian selaksa lebih, bandar
itu menjadi nekat dan coba meng-gunakan kelicikannya.
Ia berlagak mendorong mangkok dadu dan ge-rakannya
yang sudah terlatih, mangkok itu terbuka sedikit, tapi sudah
cukup untuk ia mengetahui,. bahwa ketiga dadunya bermata
empat belas. Dengan kelingkingnya ia menyontek sedikit
mangkok itu dan sebiji dadu yang tadinya memperlihatkan
enam mata, lantas terbalik, sehingga empat belas mata
berubah jadi sembilan mata (kecil). Kepan-daian yang sangat
lihay itu telah dimiliki olehnya sesudah berlatih puluhan tahun.
Melihat Ouw Hui terus bersikap tenang, seolah-olah tidak
mengetahui, bahwa dirinya sedang diliciki, si bandar jadi
merasa girang sekali dan menduga pasti, kali ini bukan saja ia
akan mendapat pulang semua kekalahannya, tapi juga akan
mendapat keuntungan besar.
"Sudah?" ia menanya dengan hati girang.
Ouw Hui mendorong tumpukan uang sembari berkata:
"Sudah! Kalau kau memang, boleh makan semua."
"Baik aku makan semua," jawabnya menyeringai sembari
membuka mangkok dadu.
Dilain saat, mulut bandar itu ternganga, mata-nya melotot,
sebab tiga dadu itu memperlihatkan dua belas mata!
Kali itu, semua penjudi tidak turut memasang dan mereka
mengawasi dengan hati berdebar-de-bar. Begitu dadu dibuka
"besar", dengan berbareng mereka berseru: "Ah!" Mereka
kaget, heran dan kagum, sebab seumur hidup, mereka belum
pernah menyaksikan pertaruhan yang begitu besar.
Ouw Hui tertawa berkakakan. Dengan sebelah kaki
dinaikkan ke atas kursi, ia berteriak: "Hayo, keluarkan dua
laksa tail!"
Bagaimana bisa terjadi begitu" Ternyata, ke-licikan bandar
itu sedikitpun tak dapat mengelabui mata Ouw Hui. Walaupun
tak dapat melihat terang cara main gilanya bandar itu, ia
sudah dapat memastikan, bahwa mata "Besar" telah dirubah
menjadi mata "kecil". Maka itu, selagi tangan kirinya
mendorong bungkusan uangnya, tangan kanannya
dimasukkan ke bawah meja dan dari situ, ia menyentil ke atas,
ke arah mangkok dadu.
Sebelum disentil, kedudukan dadu itu adalah:
Satu bermata tiga, satu bermata satu dan satu lagi bermata
lima, jadi semua sembilan mata. Sentilan Ouw Hui yang
disertai dengan tenaga dalam yang tepat, sungguh luar biasa!
Dengan serentak tiga dadu itu terbalik jumlah matanya
berubah seperti berikut: Satu bermata empat, satu bermata
enam dan satu pula bermata dua, jadi total dua belas mata
"besar".
Muka si bandar menjadi pucat bagaikan mayat. Tiba-tiba ia
menumbuk meja sambil membentak: "Coa-pie Thio, siapa dia"
Kenapa kau membawa pengacau itu ke sini?"
"Aku... aku... tak... tahu..." jawab yang ditanya dengan
suara terputus-putus sembari meringis.
"Lekas bayar!" seru Ouw Hui. "Dua laksa tail! Sudah cukup,
Siauwya-mu tak mau berjudi lagi!"
Sekali lagi, si bandar menumbuk meja keras-keras.
"Bangsat!" ia memaki. "Berani betul kau main gila di sini! Kau
kira aku tak tahu?"
"Baiklah," kata Ouw Hui sembari tertawa. "Kau agaknya
senang sekali menepuk meja. Jika kau ingin bertaruh
menepuk meja, aku pun bersedia meng-iringkannya." Sehabis
berkata begitu, ia menepuk ujung meja yang lantas saja
somplak dan ketika ia menepuk kedua kali, ujung meja yang
sebelah lagi juga somplak.
Melihat ilmu Ouw Hui yang sangat tinggi, si bandar tak
berani menunjukkan kegarangannya lagi. Mendadak, ia
menendang meja dengan niatan kabur selagi meja itu
terguling. Hampir berbareng beberapa buaya darat lantas
berteriak: "Rampas uangnya!"
Ouw Hui tetap bersikap tenang. Bagaikan kilat, ia
menangkap kaki si bandar yang tubuhnya lalu diangkat tinggitinggi
dan kemudian kepalanya di-benturkan ke atas meja.
Benturan itu yang di-lakukan dengan bertenaga, sudah
menobloskan meja judi yang tidak seberapa tebal, sehingga
kepala si bandar berada di bawah meja, sedang tubuhnya,
sebatas pundak, berada di atas meja! Kaki tangan bandar itu
lantas saja memukul kalang kabutan dan memperlihatkan
pemandangan yang luar biasa.
Semua orang mengeluarkan seruan kaget dan pada
mundur ke belakang. Sesaat itu, dari depan pintu sekonyongkonyong
menerobos masuk seorang pemuda yang baru
berusia kira-kira sembilan belas tahun. Ia mengenakan
thungsha sutera warna biru, sedang tangan kanannya
mencekal kipas.
"Sahabat dari mana yang datang berkunjung?" tanya
pemuda itu. "Aku tak dapat menyambut dari jauh, harap
sahabat suka memaafkannya."
Melihat tindakan orang itu yang sangat enteng dan paras
mukanya yang angker, Ouw Hui jadi agak terkejut.
"Bolehkah aku mengetahui she dan nama saudara yang
mulia?" tanya pemuda itu sembari memberi hormat.
Ouw Hui juga lantas menyoja dan balas menanya:
"Siapakah saudara?"
"Aku she Hong," jawabnya.
Ouw Hui mendelik dan tertawa berkakakan. "Kalau begitu,
she dan namaku agak berbentrok dengan she saudara,"
katanya. "Aku she Pat, namaku Hong Mo. Pernah apakah
Looheng dengan Hong Jin Eng?"
"Ayahku," sahutnya. "Kedatangan saudara sebenarnya
harus disambut oleh ayah sendiri. Akan tetapi, berhubung
dengan adanya urusan penting, ia sudah mengutus aku untuk
mengundang saudara datang di rumah kita guna minum
secangkir arak tawar."
Sehabis berkata begitu, ia berpaling kepada dua tukang
pukulnya dan membentak: "Tentulah juga kau yang berlaku
kurang ajar terhadap Pat-ya, sehingga ia menjadi gusar. Lekas
minta maaf!"
Kedua busu segera membungkuk dan meng-ucapkan katakata
meminta maaf. Ouw Hui tak berkata suatu apa, ia hanya
tertawa dingin.
Sementara itu, si bandar judi terus berteriak-teriak.
Pemuda itu lalu mencekal punggungnya dan membalikkan
tubuhnya, sehingga ia berdiri pula di atas lantai. Tapi, meja
itu, dengan empat kakinya terangkat ke atas, terus melekat di
lehernya, sehingga memberi pemandangan yang lucu sekali.
Dengan kedua tangan menyanggah meja, bandar itu berkata:
"Toaya, untung benar kau keburu datang. Dia... dia...." Ia
mengawasi Ouw Hui dan tak berani melanjutkan
perkataannya. "Kau tak mau berjudi lagi, bukan?" kata Ouw Hui. "Baiklah.
Tapi mana uangku" Apa Enghiong Hweekoan tidak mau
bayar." ''Berapa kemenangan Pat-ya?" tanya pemuda itu. "Lekas
bayar! Kenapa lambat-lambatan?" Ber-bareng dengan
perkataannya, ia mencekal kedua ujung meja dan sekali ia
membeset, meja itu menjadi dua potong! Melihat kepandaian
itu, semua orang jadi bersorak.
Dengan munculnya majikan muda itu, nyali si bandar
menjadi besar lagi.
Ia mengawasi Ouw Hui dengan sorot mata membenci dan
berkata dengan suara keras: "Dia main gila!"
"Dusta!" bentak si pemuda. "Tuan itu adalah seorang
gagah sejati. Apakah uang tak cukup" Jika tak cukup, ambillah
di rumah gadai."
Melihat ilmu silat si pemuda yang cukup tinggi dan sikapnya


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang tidak sembrono, Ouw Hui jadi lebih berwaspada.
"Aku memberi jaminan, bahwa uang Pat-ya, sepeser pun
tak akan dikurangkan," kata pula pemuda itu. "Orang-orang di
sini berpemandangan sangat cupat, belum pernah bertemu
dengan enghiong sejati. Maka itu, aku memohon Pat-ya
jangan menjadi kecil hati dan sekarang, marilah mampir di
rumahku." Pemuda itu tentu saja mengetahui, bahwa "Pat Hong Mo"
bukan nama Ouw Hui yang sebenarnya dan juga mengetahui,
bahwa Ouw Hui memang sengaja mau mencari urusan. Tapi
sebagai orang yang berpemandangan jauh, ia menahan sabar
sedapat mungkin. Ia yakin, bahwa orang yang berani
menantang keluarga Hong, tentulah bukan orang
sembarangan. "Eh, aku menjadi bingung karena di sini ter-dapat keliwat
banyak Hong-hong (burung Hong)," kata Ouw Hui, "Boleh aku
mendapat tahu nama saudara?"
"Siauwtee bernama It Hoa," jawab pemuda itu, seperti tak
merasakan ejekan orang.
"Aku masih sangat ingin berdiam di sini be-berapa jam lagi
untuk berjudi terus," kata Ouw Hui. "Paling benar undang
ayahmu datang kemari untuk menemui aku."
Mendengar Ouw Hui ingin berjudi terus, muka si bandar
menjadi terlebih pucat. "Jangan... ja-ngan...!" ia berseru.
"Diam!" bentak It Hoa, sembari menengok ke arah Ouw Hui
dan berkata sembari tertawa.
"Ayahku selamanya belum pernah berlaku ku-rang ajar
terhadap sahabat-sahabat. Mendengar ke-datangan saudara,
ia girang bukan main. Tapi, karena hari ini dua Gie-cian Siewie
(ahli silat yang melindungi kaisar) datang berkunjung,
ayahku tak dapat meninggalkan rumah. Maka itu, aku mengharap
pat-ya sudi memaafkannya."
Ouw Hui tertawa dingin dan berkata: "Gie-cian Tay-to Siewie!
Aduh! Tinggi benar pangkat itu. Saudara It Hoa, dalam
kalangan Kang-ouw aku mempunyai satu gelaran yang
mestinya sudah di-ketahui olehmu."
Hong It Hoa yang sedang kepingin tahu siapa sebenarnya
Ouw Hui, menjadi girang mendengar ia menyebutkan soal
gelarannya. "Siauwtee tak tahu, mohon Pat-ya sudi
memberitahukannya," katanya. "Masakah, sebagai seorang
dari Rimba Per-silatan, kau belum pernah mendengar nama
Sat-khoa Auw-su Pat Hong Mo (Pat Hong Mo si tukang
membunuh pembesar negeri dan menggebuk utus-an raja)
yang bgitu kesohor?" tanya Ouw Hui.
Hong It Hoa terkejut. "Aah! Pat-ya main-main," katanya
sembari meringis.
Sekonyong-konyong tangan kiri Ouw Hui menyambar
tangan baju It Hoa. "Hei! Besar benar nyalimu!" ia
membentak. "Mengapa kau berani ge-gares daging burung
Hongku?" Sampai di situ, putera Hong Jin Eng tak dapat bersabar
lagi. Tangan kanannya mengirimkan pu-kulan gertakan,
sedang tangan kirinya coba men-cengkeram pergelangan
tangan Ouw Hui. Cepat bagaikan kilat, Ouw Hui membalikkan
tangannya yang terus menggampar pipi Hong It Hoa, sedang
tangan yang satunya lagi mencengkeram tangan kananHonglt
Hoa. "Bayar daging burung Hongku!" ia membentak dengan
suara bengis. Hong It Hoa adalah seorang pemuda yang mempunyai
kepandaian cukup tinggi, tapi ketika itu, ia merasakan
tangannya seperti dijepit jepitan besi dan rasa sakit meresap
ke tulang-tulangnya. Ia mengangkat dan mengirimkan
tendangan hebat ke kempungan Ouw Hui. Sebelum kaki
musuh mampir di kempungannya. Ouw Hui sudah
memapakinya dengan jejakan kaki. "Aduh!" teriak It Hoa
karena kakinya seperti diketok martil. Selagi ia kesakitan,
tangan Ouw Hui sudah melayang ke pipi kanannya, sehingga
kedua pipinya segera menjadi bengkak dan berwarna ungu,
seperti hati babi.
"Saudara-saudara, dengarlah!" kata Ouw Hui dengan suara
nyaring. "Dari tempat yang jauhnya ribuan lie, dari Utara aku
datang ke Hud-san-tin, di mana aku telah membeli sepotong
daging burung Hong dari saudara Ciong A-sie. Tapi daging itu
sudah digegares oleh bocah ini. Bilanglah, apakah bocah ini
harus digebuk atau tidak?"
Semua orang yang berada di situ saling meng-awasi, tanpa
berani membuka suara.
Sekarang mereka mengetahui, bahwa pemuda itu sedang
membalaskan sakit hati Ciong A-sie. Hong It Hoa sendiri, yang
sudah dijejak kakinya dan dicekal tangannya, tak dapat
bergerak lagi. Sesaat itu, dari antara orang banyak muncul seorang tua
yang tangannya mencekal huncwee pendek. Orang itu adalah
pengurus Rumah Gadai Enghiong yang telah terpaksa
menyerahkan sem-bilan ribu tail perak kepada Ouw Hui.
Sesudah mengirim orang untuk memberi laporan kepada
majikannya, ia sendiri mengikuti sampai di rumah judi untuk
mengawasi sepak terjang Ouw Hui.
Ia menghampiri dan berkata sembari tertawa: 'Hoohan-ya,
ia itu adalah putera tunggal Hong Looya dan Hong Looya
mencintainya seperti jiwa-nya sendiri. Jika Hoohan-ya
menghendaki uang, katakanlah jumlahnya, tapi kuharap,
Hoohan-ya suka melepaskan ia ini."
"Tutup mulut!" bentak Ouw Hui. "Daging bu-rung Hong
adalah obat kuat nomor satu di dalam dunia. Siapa yang
makan, mukanya lantas berubah merah, dan kontan menjadi
gemuk. Lihatlah, sau-dara-saudara! Bukankah muka bocah ini
sudah jadi merah dan banyak lebih gemuk daripada tadi" Hm!
Masih berani kau menyangkal sudah gegares daging burung
Hongku?" "Ah! Hoohan-ya, jangan guyon-guyon," kata si pengurus
rumah gadai yang gusar bukan main, tapi tak berani
menunjukkan kegusarannya. "Sudah menggampar, kau masih
guyon-guyon."
"Saudara-saudara!" Ouw Hui berteriak pula. "Sekarang aku
mau tanya pendapatmu: "Apakah bocah ini mencuri daging
burung Hongku atau tidak"!"
Orang-orang yang berada di situ sebagian adalah kaki
tangan Hong Jin Eng, sebagian lagi kawanan buaya darat dan
yang lain adalah orang-orang miskin yang biasanya sangat
takut akan kekejaman hartawan itu. Mendengar pertanyaan
Ouw Hui, beberapa orang lantas saja mengatakan, bahwa tuTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
duhan Ouw Hui hanyalah lelucon, tidak mungkin putera Hong
Jin Eng mau mencuri daging.
"Bagus!" kata Ouw Hui. "Jadi kamu hendak membela dia,
bukan" Dia tidak gegares dagingku, bukan" Bagus! Sekarang
marilah kita bersama-sama pergi ke Pak-tee-bio untuk
mendapat keputusan!"
Perkataan Ouw Hui adalah bagaikan halilintar di tengah hari
bolong. Mereka semua mengetahui, apa maksudnya dengan
perkataan itu. Mereka semua masih ingat akan peristiwa
membelek perut di kuil tersebut.
Si pengurus rumah gadai bergemetar sekujur badannya
dan menyoja kepada Ouw Hui tak henti-hentinya. "Hoohan-ya
benar, kami yang salah," katanya. "Majikan mudaku memang
sudah mencuri daging burung Hong. Apa juga yang Hoohanya
inginkan sebagai ganti kerugian, kami akan segera
membayarnya."
"Jangan putar-putar!" membentak Ouw Hui. "Enak benar
kau menggoyang lidahmu! Aku tahu, orang-orang di sini masih
penasaran. Kalau sekarang aku tak pergi ke Pak-tee-bio, aku
tak mempunyai muka lagi untuk bertemu dengan manusia di
kemudian hari."
Sehabis berkata begitu, sambil mengempit Hong It Hoa, ia
keluar dari rumah judi itu dengan tin-dakan lebar dan dengan
bertanya-tanya di sepan-jang jalan, ia menuju ke kuil Pak-teebio.
Pak-tee-bio adalah sebuah kelenteng yang besar dan indah
sekali. Di pekarangan depannya terdapat pengempang dan
pengempang itu dihiasi dengan kura-kuraan dan ular-ularan
batu di tengah-tengahnya.
Dengan bengis, Ouw Hui menyeret It Hoa ke ruangan
sembahyang. Di situ, di depan patung ma-laikat Pak-te, ia
melihat tanda-tanda darah. Sesaat itu juga, di depan matanya
terbayang peristiwa yang menyedihkan itu. Darahnya lantas
saja mendidih. Sekali Ouw Hui mendorong, tubuh Hong It Hoa
jatuh ngusruk di depan meja sembahyang.
Ia mengawasi patung Malaikat Pak-tee dan berkata: "Paktee-
ya, sebagai malaikat yang angker, aku memohon supaya
kau tolong membalaskan sakit hati rakyat kecil. Bangsat ini
sudah mencuri dan gegares daging burung Hongku, tapi
banyak orang mengatakan tidak...."
Belum habis perkataannya, tiba-tiba ia merasa-kan kesiuran
angin tajam dan sesaat itu juga, dua serangan menyambar
dari kiri kanan.
Ouw Hui menunduk dan mengkeratkan ba-dannya. Selagi
kedua orang itu menubruk angin, Ouw Hui membarengi
mendorong pundak mereka dan... "duk!" kepala mereka
beradu keras, kemudian dua-duanya rubuh dalam keadaan
pingsan. Di lain saat, sekonyong-konyong terdengar ben-takan dan
seorang musuh lagi menghantam dari belakang. Dari tindakan
kaki orang itu dan kesiuran angin serangannya, Ouw Hui tahu,
bahwa ia sedang menghadapi seorang lawan berat. Dengan
cepat ia miringkan badannya dan hampir berbareng dengan
itu, suatu sinar golok berkelebat disusul dengan lewatnya
sesosok badan manusia sebesar kerbau.
Karena membacok angin, tubuh orang itu ter-huyung ke
depan dan goloknya terus menyambar ke arah kepala Hong It
Hoa. Untung juga, orang itu berkepandaian tinggi. sehingga
pada detik terakhir, ia masih keburu miringkan lengannya dan
goloknya menghantam lan-tai, sehingga ia kenyuknyuk sendiri
di atas lantai.
"Bagus!" seru Ouw Hui sembari menekan sikut orang itu
dengan kakinya, sehingga mau tak mau, orang itu harus
melepaskan senjatanya sembari berteriak keras. Ouw Hui
menyontek dengan kakinya dan golok itu meloncat ke atas,
untuk kemudian disambuti dengan sebelah tangannya. "Aku
justru sedang bingung karena tidak mempunyai golok untuk
membelek perut," katanya sembari tertawa. "Terima kasih
untuk jerih payahmu."
Orang itu gusar bukan main. Ia berontak sekuat tenaganya
dan berhasil melepaskan diri dari te-kanan kaki Ouw Hui untuk
kemudian loncat ba-ngun. Ouw Hui terkejut karena kakinya
agak ke-semutan. Ternyata, orang itu mempunyai tenaga
yang luar biasa besarnya.
Dengan mata merah, jago Hong Jin Eng ini mementang
sepuluh jerijinya yang seperti gaitan besi dan menubruk Ouw
Hui. Dengan sekali memutarkan tubuh, Ouw Hui sudah berada
di belakang musuh itu. Dengan tangan kiri, ia menyambar
pan-tat orang itu dan mendorongnya ke atas seraya berseru:
"Naik!"
Dorongan itu yang meminjam tenaga orang tersebut yang
sedang berlompat menubruk, ditam-bah dengan tenaganya
sendiri, dahsyat bukan main. Bagaikan bola, tubuh orang itu
yang sebesar kerbau meleset ke atas dan dalam sekejap,
kepalanya sudah hampir membentur genteng. Semua
penonton mengeluarkan teriakan tertahan.
Dalam bingungnya, ia memeluk sebuah balok besar yang
melintang di bawah wuwungan. Bukan main kagetnya, karena
meskipun kepalanya sela-mat, tubuhnya bergelantungan di
tengah udara! Ketika ia melongok ke bawah, ia bergidik sebab ia berada di
tempat yang tingginya tak kurang dari tujuh tombak. Orang
itu, seorang ahli gwakee (ilmu luar) yang bertenaga besar,
tidak mempunyai ilmu mengentengkan badan dan oleh
karenanya, tak berani ia loncat turun. Dalam partai Ngo-houwbun,
ia menduduki kursi ke tiga dan merupakan kaki tangan
Hong Jin Eng yang paling diandalkan. Dia adalah manusia
yang sangat ditakuti oleh segenap penduduk Hud-san-tin. Tapi
sekarang, dengan badan bergelantungan di tengah udara,
keadaannya sangat menyedihkan, naik dia tak mampu, turun
pun dia tak berani.
Sementara itu, dengan bengis Ouw Hui rae-robek baju
Hong It Hoa. Sembari mengusap-usap perut orang, ia
mengangkat goloknya.
"Sahabat-sahabat!" teriak Ouw Hui. "Bukalah matamu
lebar-lebar. Apakah dia sudah gegares da-ging burungku,
sekarang kamu bisa mendapat buk-tinya. Janganlah kamu
mengatakan, bahwa aku mem-bikin orang baik-baik jadi
penasaran."
Melihat putera Hong Jin Eng akan segera menemui ajalnya,
empat lima orang yang macamnya seperti orang hartawan,
maju mendekati dan coba membujuk supaya Ouw Hui
mengurungkan niatnya.
Ouw Hui mendongkol melihat lagak orang-orang itu. "Eh,
aku mau tanya," katanya. "Ketika Ciong Sie-so mau membelek
perut anaknya, kenapa kamu tidak coba menolong" Hm! Jiwa
anak orang kaya memang berharga besar. Tapi apakah jiwa si
miskin tak berharga sepeser buta" Sekarang lekas kamu
pulang dan balik ke mari dengan masing-masing membawa
anakmu sendiri. Awas! Jika kamu tidak menurut perintah, ke
ujung langit kau lari. aku bisa mencari kamu!"
Mendengar itu, semangat mereka terbang ke awangawang.
Dengan muka pucat, mereka menye-lesap di antara
orang banyak dan tidak berani membuka suara lagi. Sesaat
itu, di luar pintu ke-lenteng tiba-tiba terdengar suara ribut,
disusul dengan masuknya sejumlah orang yang dikepalai
seorang yang tubuhnya tinggi besar. Sekali ia mengebaskan
kedua tangannya, tujuh delapan penonton sudah jatuh
terguling. Melihat sikap dan lagak orang itu, Ouw Hui berkata
di dalam hatinya: "Aha! Akhirnya dia datang juga."
Dengan mata tajam ia memperhatikan orang itu, dari
kepala sampai di kaki, dari kaki sampai di kepala. Orang itu
berusia kira-kira lima puluh ta-hun, kumisnya sudah berwarna
abu-abu, tangan kanannya memakai gelang batu giok dan
tangan kirinya mencekal pipa Pit-ya-hu. Dilihat dari roman dan
dandannya, ia lebih mirip dengan seorang hartawan besar
daripada dengan seorang jago jahat dalam Rimba Persilatan.


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang itu memang bukan lain daripada Hong Jin Eng.
Ciangbunjin (pemimpin) partai Ngo-houw-bun. Hari itu, ia
repot sekali melayani dua Sie-wie yang baru datang dari kota
raja. Dengan beruntun ia mendapat laporan jelek, akan tetapi,
karena sungkan kehilangan muka, ia tetap tidak berkisar dari
meja perjamuan. Ia menganggap sepi gangguan itu dan
merasa pasti, bahwa kaki tangannya akan dapat
membereskan si pengacau. Belakangan, sesudah mendengar,
bahwa puteranya sendiri kena dirubuhkan dan dibawa ke
kelenteng Pak-tee-bio untuk dibelek perutnya, baru ia benarbenar
kaget dan buru-buru menyusul ke kelenteng itu.
Tadinya ia menduga, bahwa si pengacau adalah salah seorang
musuh besarnya. Akan tetapi, ia merasa agak heran ketika
mendapat kenyataan, bahwa seterunya itu adalah seorang
muda yang sama sekali tak di-kenalnya. Begitu masuk, tanpa
berkata suatu apa, lebi dulu ia coba membangunkan
puteranya. "Sombong benar lagak si tua bangka," kata Ouw Hui di
dalam hatinya, sembari menepuk pinggang Hong Jin Eng.
Tanpa menengok, Hong Jin Eng menyampok ke belakang
dengan tangan kirinya. "Plak!" tubuh Hong Jin Eng bergoyanggoyang,
hampir-hampir ia rubuh di atas badan puteranya.
Sekarang ia mengetahui, bahwa musuhnya benar-benar
tangguh. Ia segera mengurungkan niatnya untuk menolong
anak-nya dan sembari menggereng seperti harimau ter-luka,
ia menerjang Ouw Hui.
Melihat serangan orang yang cepat dan ber-tenaga, Ouw
Hui pun yakin, bahwa ia sedang meng-hadapi musuh yang
berkepandaian tinggi. Sesudah beberapa gebrakan, mendadak
Ouw Hui menyabet tinju Hong Jin Eng dengan goloknya.
Walaupun hebat, bacokan itu dengan mudah akan dapat dielakkan,
jika Hong Jin Eng menarik pulang tinjunya. Akan
tetapi, jika ia menarik pulang tinjunya, golok itu tentu akan
menghantam puteranya yang rebah di atas lantai.
Pada detik yang sangat berbahaya itu, setelah tangan Hong
Jin Eng menyambar taplak meja sem-bahyang, yang setelah
digulung cepat-cepat lalu digunakan menangkis golok Ouw
Hui. "Bagus!" seru Ouw Hui sembari menangkap taplak itu
dengan tangan kirinya. Mereka saling membetot dan "brt",
taplak itu putus menjadi dua.
Sekarang Hong Jin Eng tak berani lagi meman-dang rendah
kepada Ouw Hui. Ia meloncat, mundur setengah tombak dan
seorang muridnya lantas menyerahkan sebatang toya emas
kepadanya. Toya itu yang panjangnya sembilan kaki,
seluruhnya terbuat dari emas tulen dan merupakan salah satu
senjata termahal dalam Rimba Persilatan.
Sesudah mengebaskan toyanya, ia berkata dengan suara
nyaring: "Siapakah guru tuan" Kesa-lahan apa yang aku, si
orang she Hong, sudah lakukan terhadap tuan?"
"Sepotong daging burung Hongku telah dicuri dan
digegares oleh anakmu," jawab Ouw Hui. "Aku sekarang
menuntut untuk membelek perutnya guna memperoleh bukti."
Selama banyak tahun, dengan sebatang toya tembaga,
Hong Jin Eng tak pernah menemui tan-dingan di seluruh
wilayah Lenglam. Belakangan ia membentuk partai Ngo-houwbun
dan tinggal menetap di kota Hud-san-tin. Sesudah
menjadi mak-mur dan kaya raya, toya tembaga itu digantinya
dengan toya emas. Dalam Rimba Persilatan, menurut
kebiasaan, panjang toya tidak boleh lebih dari sebatas alis
orang yang menggunakannya. Toya semacam itu dinamakan
Cee-bie-kun (Toya sebatas alis), paling pendek kira-kira lima
kaki dan paling panjang tujuh kaki, menurut pendek tingginya
orang yang menggunakannya. Tapi panjang toya Hong Jin
Eng sampai sembilan kaki dan disamping itu, berat emas
adalah kira-kira dua kali lipat dari-pada berat logam sebangsa
besi. Dari sini dapatlah orang membayangkan bagaimana
besar tenaga jago-an Hud-san-tin itu.
Mendengar jawaban Ouw Hui, ia mengetahui, bahwa hari
ini ia mesti bertempur juga. Dengan dua kali mengebaskan
toyanya, ia membuat dua batang lilin sembahyang lantas saja
menjadi padam. "Semenjak dulu, belum pernah aku berlaku
kurang hormat terhadap sahabat-sahabat," katanya dengan
suara gusar. "Aku dan tuan belum pernah saling mengenal,
maka itu guna apa tuan merusak ke-akuran dalam kalangan
Kang-ouw untuk seorang bocah miskin" Sekarang, apakah
tuan mau menjadi kawan atau menjadi lawan, terserahlah
kepada tuan."
Harus diketahui, bahwa toya emas itu adalah senjata berat,
tapi sekali ia mengebaskannya, ke-siuran angin senjata itu
sudah dapat memadamkan api lilin. Dengan memperlihatkan
kepandaiannya dan dengan perkataan yang dalam
kelembekannya mengandung kekerasan, Hong Jin Eng ingin
men-desak supaya Ouw Hui mengundurkan did dan jangan
campur tangan dalam urusan orang.
"Benar, benar sekali perkataanmu," kata Ouw Hui sembari
tertawa. "Begitu lekas kau membayar daging burung Hong itu
tanpa banyak rewel lagi, aku akan segera meninggalkan
tempat ini."
Wajah Hong Jin Eng lantas saja berubah menyeramkan.
"Baiklah. Tak ada lain jalan daripada membereskan urusan ini
dengan senjata," katanya dengan suara gusar. Sehabis
berkata begitu, dengan menenteng toya, ia loncat ke
pekarangan depan.
Ouw Hui menendang Hong It Hoa dan men-campakkan
goloknya di pinggir badan pemuda itu.
"Jika kau lari, ayahmu yang mesti mengganti dengan
jiwanya!" ia membentak dan segera berjalan ke luar dengan
tangan kosong. "Hei! Pasang kupingmu terang-terang!" ia ber-teriak. "Tuan
besarmu tak pernah menukar she dan berganti nama. Aku
adalah Sat-khoa Auw-su Pat Hong Mo yang namanya kesohor
di seluruh dunia. Jika tak dapat mencabut bulu burung Hong,
men-cabut bulu bau juga boleh."
Baru habis ia mengucapkan perkataannya, tangan kirinya
mendadak menyambar toya Hong Jin Eng. Melihat musuhnya
tak bersenjata Hong Jin Eng jadi merasa girang dan begitu
Ouw Hui ber-gerak, ia menyapu leher pemuda itu dengan
gerakan Leng-kong-sauw-goat. (Di tengah udara menyapu
rembulan). Cepat seperti kilat, Ouw Hui memutar-kan badan
mengikuti sambaran toya musuh, dan sesaat membalas
dengan suatu pukulan dahsyat.
Semua orang mengawasi pertempuran hebat itu, sambil
menahan napas. Di antara penonton tentu saja terdapat
banyak sekali kaki tangan Hong Jin Eng.
Akan tetapi, tanpa diperintah, mereka tidak berani
sembarang membantu sang majikan. Selain itu, bagi orangorang
yang tidak mempunyai ke sebatas alis orang yang
menggunakannya. Toya semacam itu dinamakan Cee-bie-kun
(Toya sebatas alis), paling pendek kira-kira lima kaki dan
paling panjang tujuh kaki, menurut pendek tingginya orang
yang menggunakannya. Tapi panjang toya Hong Jin Eng
sampai sembilan kaki dan disamping itu, berat emas adalah
kira-kira dua kali lipat dari-pada berat logam sebangsa besi.
Dari sini dapatlah orang membayangkan bagaimana besar
tenaga jago-an Hud-san-tin itu.
Mendengar jawaban Ouw Hui, ia mengetahui, bahwa hari
ini ia mesti bertempur juga. Dengan dua kali mengebaskan
toyanya, ia membuat dua batang lilin sembahyang lantas saja
menjadi padam. "Semenjak dulu, belum pernah aku berlaku
kurang hormat terhadap sahabat-sahabat," katanya dengan
suara gusar. "Aku dan tuan belum pernah saling mengenal,
maka itu guna apa tuan merusak ke-akuran dalam kalangan
Kang-ouw untuk seorang bocah miskin" Sekarang, apakah
tuan mau menjadi kawan atau menjadi lawan, terserahlah
kepada tuan."
Harus diketahui, bahwa toya emas itu adalah senjata berat,
tapi sekali ia mengebaskannya, ke-siuran angin senjata itu
sudah dapat memadamkan api lilin. Dengan memperlihatkan
kepandaiannya dan dengan perkataan yang dalam
kelembekannya mengandung kekerasan, Hong Jin Eng ingin
men-desak supaya Ouw Hui mengundurkan diri dan jangan
campur tangan dalam urusan orang.
"Benar, benar sekali perkataanmu," kata Ouw Hui sembari
tertawa. "Begitu lekas kau membayar daging burung Hong itu
tanpa banyak rewel lagi, aku akan segera meninggalkan
tempat ini."
Wajah Hong Jin Eng lantas saja berubah menyeramkan.
"Baiklah. Tak ada lain jalan daripada membereskan urusan ini
dengan senjata," katanya dengan suara gusar. Sehabis
berkata begitu, dengan menenteng toya, ia loncat ke
pekarangan depan.
Ouw Hui menendang Hong It Hoa dan men-campakkan
goloknya di pinggir badan pemuda itu.
"Jika kau lari, ayahmu yang mesti mengganti dengan
jiwanya!" ia membentak dan segera berjalan ke luar dengan
tangan kosong. "Hei! Pasang kupingmu terang-terang!" ia ber-teriak. "Tuan
besarmu tak pernah menukar she dan berganti nama. Aku
adalah Sat-khoa Auw-su Pat Hong Mo yang namanya kesohor
di seluruh dunia. Jika tak dapat mencabut bulu burung Hong,
men-cabut bulu bau juga boleh."
Baru habis ia mengucapkan perkataannya, tangan kirinya
mendadak menyambar toya Hong Jin Eng. Melihat musuhnya
tak bersenjata Hong Jin Eng jadi merasa girang dan begitu
Ouw Hui ber-gerak, ia menyapu leher pemuda itu dengan
gerakan Leng-kong-sauw-goat. (Di tengah udara menyapu
rembulan). Cepat seperti kilat, Ouw Hui memutar-kan badan
mengikuti sambaran toya musuh, dan sesaat membalas
dengan suatu pukulan dahsyat.
Semua orang mengawasi pertempuran hebat itu, sambil
menahan napas. Di antara penonton tentu saja terdapat
banyak sekali kaki tangan Hong Jin Eng.
Akan tetapi, tanpa diperintah, mereka tidak berani
sembarang membantu sang majikan. Selain itu, bagi orangorang
yang tidak mempunyai kepandaian tinggi, jangankan
membantu, sedang ke-langgar angin pukulan saja mereka
sudah akan merasa tak tahan.
Selagi pertempuran itu berlangsung dengan he-batnya,
sekonyong-konyong dari luar menerobos tiga orang. Yang
jalan paling dulu adalah seorang wanita, rambutnya terurai
dan berlepotan darah, ia bukan lain daripada Ciong Sie-so,
diikuti oleh sua-minya, Ciong A-sie, dan puteranya, Ciong
Siauw Jie. Begitu masuk, Ciong Sie-so berlutut dan ter-tawa
terbahak-bahak. "Hong Looya adalah seorang yang sangat
mulia," katanya. "Pak-tee-ya tentu akan memberkahi kau,
supaya banyak rejeki, panjang umur dan banyak anak. Kau
tentu akan diberkahi dengan emas dan batu permata serta
harta kekayaan yang berlimpah-limpah. Anakku Siauw-sam-cu
te-lah mengadu kepada Giam-loo-ong dan Giam-ong Looya
mengatakan, bahwa kau adalah seorang yang mempunyai
rejeki sangat besar." Sembari berkata begitu, ia menyojanyoja
tak hentinya, sebentar menangis, sebentar tertawa.
Suaminya berdiri di sampingnya dengan paras muka pucat,
tanpa mengeluarkan sepatah kata.
Baru bertempur belasan jurus, Hong Jin Eng sudah jatuh di
bawah angin. Munculnya keluarga Ciong sangat
menggoncangkan hatinya dan silatnya lantas saja menjadi
semakin kalut. Ia mengetahui, bahwa dalam tempo cepat, ia
akan dirubuhkan oleh pemuda itu. Dalam bingungnya, dengan
nekat ia mengerahkan seluruh tenaga dalamnya di kedua
lengan dan menyabet janggut Ouw Hui dengan sekuat
tenaganya. Dahsyat sungguh sabetan toya itu yang disertai dengan
kesiuran angin yang sangan tajam. Tapi. sebaliknya dari
berkelit atau meloncat mundur. Ouw Hui mengangsurkan
kedua tangannya dan menangkap toya musuh.
Hong Jin Eng terkesiap dan segera menyodok dengan
seantero tenaganya. Dengan mundur sedikit, Ouw Hui sudah
bisa memunahkan tenaga dorongan si orang she Hong. Tapi
Hong Jin Eng yang sudah melatih ilmunya lebih dari tiga puluh
tahun, tentu saja sungkan menyerah mentah-men-tah.
Dengan menggunakan tenaga Gwa-kang (tenaga luar) yang
paling hebat, ia menyontek dan membetot toyanya. Entah
bagaimana, demi sekali berkelebat, tubuh Ouw Hui sudah
maju ke depan dan tangannya menyambar ke arah
tenggorokan musuh, sedang toya musuh yang dirapati dan
dicekal dengan sebelah tangannya, tak dapat memukul dirinya.
Hong Jin Eng terbang semangatnya. Sembari menunduk, ia
mengangkat sebelah tangannya untuk melindungi lehernya.
Tapi Ouw Hui menang cepat. Tangan kirinya sudah
mendahului menepuk kepala Hong Jin Eng dan mencopot topi
batoknya, sedang tangan kanannya menjambret ujung
thaucang har-tawan kejam itu. "Sekali ini aku mengampuni
jiwa-mu!" Ouw Hui membentak dan tangan kirinya, yang
masih mencekal topi musuhnya, menjambret bagian atas
thaucang itu: kemudian, sekali ia membetot dengan kedua
tangannya, thaucang Hong Jin Eng sudah ditariknya putus!
Paras muka manusia kejam itu pucat pias dengan
mendadak. Buru-buru ia loncat menyingkir. Ouw Hui
mengayun tangan kirinya dan kopiah sekall mengayun tangan,
Ouw Hui melemparkan kopiah Hong Jin Eng yang Jatuh tepat
dl kepala ular batu. Sesudah ttu loncat dan sekall
menghantam, kepala kura-kura batu sebatas leher sudah
menjadl putus. Hong Jin Eng terbang keluar, jatuh persis di atas kepala
ular-ularan batu. Ia loncat ke arah pe-ngempang sembari
menghantam kepala kura-kura batu itu dengan tangannya.
"Tak!" kepala yang mendongak ke atas itu patah dan jatuh ke
dalam air. Ouw Hui tertawa berkakakan dan melibatkan potongan
thaucang Hong Jin Eng di leher kura-kuraan batu tersebut.
Sembari mengebut-ngebut debu di bajunya, ia menanya
dengan tertawa: "Mau lagi?"
Melihat ilmu silat yang begitu tinggi, paras muka semua
penonton jadi berubah. Mereka kaget berbareng kagum. Hong
Jin Eng sendiri menge-tahui, bahwa barusan pemuda itu
masih berbelas kasihan kepadanya. Jika ia memukul kepalanya
dengan tenaga yang sebesar digunakannya menghantam
kepala kura-kuraan batu tadi, jiwanya tentu sudah melayang:


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Akan tetapi, pemutusan thaucang-nya yang kemudian
dilibatkan ke leher kura-kura dan pelemparan kopiahnya ke
kepala ular, adalah hinaan besar yang tak dapat ditelannya
mentah-mentah. Maka dengan mata merah ia menerjang lagi
dan menyapu Ouw Hui dengan pukulan Ceng-liong-kian-wie
(Naga hijau menyabet dengan bun-tutnya). Sesaat itu, Hong
Jin Eng sudah menjadi nekat dan ia menyerang tanpa
memperdulikan lagi keselamatan jiwanya.
Ouw Hui yang sudah mengambil ketetapan untuk menyapu
bersih muka hartawan kejam itu, lantas saja melayaninya
dengan bersemangat. Ia mendapat kenyataan, bahwa
meskipun pukulan-pukulan orang she Hong itu ada terlebih
berat, tapi gerakannya tidak begitu gesit lagi. Sesudah beberapa
gebrakan, dengan pukulan Thie-gu-keng-tee (Kerbau
besi meluku tanah), Hong Jin Eng menyapu kaki musuhnya.
Begitu ujung toya itu menyambar ke bawah dan menyentuh
tanah, dengan berani Ouw Hui menjejak dengan kaki
kanannya. Hong Jin Eng terkesiap dan buru-buru menarik
pulang toyanya. Tapi sudah kasep! Hampir berbareng dengan
jejakan itu kepada ujung toya, kaki kiri Ouw Hui sudah
menjejak batangnya dan pada saat itu juga, toya emas
tersebut terlepas dari kedua tangan Hong Jin Eng. Apa celaka,
diwaktu jatuh, toya itu menimpa kaki kanan Hong Jin Eng dan
dua tulang jeriji kakinya lantas menjadi remuk. Muka Hong Jin
Eng menjadi pucat seperti kertas, tapi dengan mengertak gigi,
ia menahan sakit.
"Aku sudah kalah dan tak usah banyak bicara lagi," katanya
dengan suara nyaring. "Mau bunuh, boleh lantas bunuh."
Ketika itu, Ciong Sie-so masih terus berlutut dan menyojanyoja.
"Hong Looya," katanya sembari menangis. "Coba bilang
sekarang, apa benar anakku sudah makan daging angsamu?"
Sebagai seorang yang berhati mulia, Ouw Hui sebenarnya
merasa tak tega untuk menghina Hong Jin Eng terlebih jauh.
Tapi, melihat Ciong Sie-so yang sudah menjadi gila dan
penuh tanda-tanda darah, lantas saja ia ingat, bahwa manusia
yang bergelar Lam-pa-thian ini tentu juga sudah sering
melakukan perbuatan yang berada di luar batas kemanusiaan.
Mengingat begitu, darahnya kembali naik tinggi.
Dengan tindakan lebar ia masuk ke ruangan sembahyang,
menenteng Hong It Hoa dan men-cabut goloknya yang
barusan ditancapkan di atas lantai. Ia berpaling kepada Hong
Jin Eng seraya berkata: "Hong Looya, aku dan kau sebenarnya
tak mempunyai permusuhan apa pun juga. Akan tetapi,
anakmu sudah makan daging burung Hongku, sedang orangorang
di Hud-san-tin coba melindungi-nya. Maka itu, oleh
karena sukar mendapat bukti, jalan satu-satunya adalah
membelek perut anakmu. Hei! Saudara-saudara! Sekarang
buka matamu le-bar-lebar!"
Ia mengangkat goloknya yang lalu diguratkan di atas perut
Hong It Hoa. Sesaat itu juga, di kulit yang berwarna putih itu
tertampak darah yang ber-warna merah.
Meskipun Hong Jin Eng adalah manusia yang banyak
dosanya, tapi dapat juga ia memperlihatkan sikap laki-laki dari
seorang Kang-ouw. Sesudah rubuh dalam tangan Ouw Hui, ia
tetap keras kepala dan tidak menodai namanya sebagai
Ciangbunjin suatu partai. Akan tetapi, begitu lekas ia melihat
goresan berdarah di atas perut putera tunggalnya, habislah
semua keangkerannya. "Tahan!" ia berseru sembari
mengambil sebilah golok dari tangan salah seorang
pegawainya. "Mau bertempur lagi?" tanya Ouw Hui sembari tertawa.
"Siapa yang berbuat, dialah yang harus memikul segala
akibatnya," jawabnya dengan suara duka. "Aku sudah
melakukan perbuatan yang tidak benar, sehingga kau turun
tangan. Urusan ini tak ada sangkut pautnya dengan anakku.
Aku tak berani hidup terus di dalam dunia, hanya aku
mengharap supaya kau sudi mengampuni anakku."
Sehabis berkata begitu, ia mengangkat golok-nya untuk
menggorok lehernya sendiri.
"Hong Toako!" mendadak terdengar teriakan orang.
"Jangan!" Orang itu adalah si lelaki tinggi besar yang sedang
bergelantungan di balok dekat wuwungan.
Hong Jin Eng tertawa dan tetap melaksanakan niatnya.
Semua orang terperanjat, tapi tak seorang pun berani
membuka suara. Pada detik yang terakhir, mendadak terdengar suara "srr"
dan sebuah senjata rahasia menyambar dari pintu ruangan
sembahyang. "Criing!" senjata itu membentur golok yang
lantas saja terpukul miring, tapi meskipun begitu, golok itu tak
urung menggores juga pundak Hong Jin Eng yang lantas saja
mengucurkan darah.
Dengan matanya yang sangat jeli. Ouw Hui segera melihat,
bahwa senjata rahasia itu adalah sebatang tusuk konde perak.
Ia membungkuk dan memungut perhiasan wanita itu, yang
ternyata bu-kan saja kecil, tapi juga enteng sekali. Ouw Hui
terkesiap. Bahwa dengan senjata yang begitu kecil dan
enteng, penimpuknya dapat memukul miring golok Hong Jin
Eng, adalah suatu kejadian yang hampir-hampir tak dapat
dipereaya. Tapi kejadian itu sudah merupakan suatu
kenyataan, Ouw Hui merasa bukan main, sedalam-dalamnya
ia mengakui, bahwa kepandaian orang itu mungkin sekali
berada di sebelah atasnya.
Dengan cepat ia pergi ke cimehe dan dengan sekali
mengenjot badan, ia sudah berada di atas genteng. Sesaat
itu, di sebelah tenggara terlihat berkelebatnya bayangan
manusia yang dalam sedetik, sudah menghilang dari
pemandangan. Ouw Hui memburu ke jurusan tenggara, tapi ia tak dapat
menemukan suatu apa. "Dari belakang, orang itu berbadan
langsing, seperti potongan seorang wanita," pikirnya. "Apakah
mungkin, bahwa dalam dunia terdapat seorang perempuan
yang berkepandaian begitu tinggi?"
Karena khawatir Hong Jin Eng dan puteranya akan
melarikan diri, ia tak berani berdiam lama-lama di atas
genteng. Setibanya kembali di ruangan sembahyang, ia
melihat ayah dan anak itu sedang berpelukan sembari
menangis. Sebagai seorang mu-lia, dalam hati pemuda itu
lantas timbul niatan untuk mengampuni kedua orang tersebut.
Melihat kedatangan Ouw Hui, Hong Jin Eng segera
melepaskan puteranya dan lalu berlutut di atas lantai. "Jiwa
tuaku sekarang sudah berada dalam tanganmu," katanya
dengan sedih. "Harapan-ku satu-satunya adalah supaya kau
sudi mengampuni jiwa anakku."
"Tidak!" seru It Hoa. "Bunuh saja aku. Biarlah aku yang
mengganti jiwa bocah she Ciong itu."
Ouw Hui sangsi bukan main, ia tak tahu harus berbuat
bagaimana. Jika mesti mengambil jiwa dua orang, ia merasa
tidak tega, tapi kalau mengampuni mereka secara begitu saja,
ia juga merasa tidak benar. Selagi bersangsi, Ciong A-sie
mendadak menghampiri dan berkata dengan suara terharu:
"Hoohan-ya, kau sudah menolong jiwa isteriku dan mencuci
rasa penasaran keluarga kami. Budi yang sangat besar itu,
dengan sesungguhnya siauwjin tak akan dapat membalasnya."
Sehabis berkata begitu, ia berlutut dan manggutkan kepalanya
berulang-ulang.
Buru-buru Ouw Hui membangunkan orang itu dan
mengucapkan beberapa perkataan menghibur. Sembari
mengawasi Hong Jin Engdengan paras muka merah padam
bahna gusarnya, Ciong A-sie berkata: "Hong Looya, hari ini di
hadapan Pak-tee-ya, cobalah kau katakan terus terang:
Apakah anak-ku Siauw-sam-cu benar-benar sudah mencuri
da-ging angsamu?"
Hong Jin Eng menunduk dan menjawab dengan suara
perlahan: "Tidak. Akulah yang bersalah."
"Hong Looya," kata pula Ciong A-sie. "Bilang-lah menurut
liangsimmu (perasaan hati): Kau sudah memenjarakan aku
dan mendesak sehingga anakku binasa, apakah itu bukan
hanya untuk mengang-kangi kebun sayurku?"
Hong Jin Eng melirik. Ia mendapat kenyataan, bahwa si
petani miskin yang biasanya sangat takut kepadanya, disaat
itu memandangnya dengan sorot mata berapi-api dan paras
muka menyeramkan. Kembali ia menunduk dan tak dapat
menjawab pertanyaan orang.
"Lekas bilang! Bukankah begitu?" bentak Ciong A-sie
dengan suara memburu.
Perlahan-lahan Hong Jin Eng melongok. "Be-nar,"
sahutnya. "Hutang jiwa dibayar jiwa. Bunuhlah aku."
Sesaat itu, sekonyong-konyong di luar terdengar suara
cacian. "Hei! Bangsat kecil yang mengaku bernama Pat Hong
Mo!" teriak seseorang. "Apakah kau berani keluar untuk
bertempur dengan tuan besarmu" Jangan bersembunyi! Havo
keluar!" Semua orang jadi tereengang, Ouw Hui juga kaget dan
lantas meloncat ke luar. Di luar, ia melihat tiga penunggang
kuda sudah kabur ke arah barat.
"Kura-kura!" teriak seorang antaranya sembari menengok
ke belakang. "Apakah kau berani bertempur dengan tuan
besarmu?" Ouw Hui gusar bukan main. Pada pohon di depan
kelenteng kelihatan tertambat dua ekor kuda. Tanpa
mengucapkan sepatah kata, buru-buru ia membuka tambatan
seekor antaranya dan meloncat ke punggung hewan itu yang
lantas dikabur-kan sekeras-kerasnya untuk mengejar ketiga
orang itu. Jauh-jauh Ouw Hui melihat tiga musuhnya kabur di
sepanjang tepi sungai. Kepandaian mereka menunggang kuda
tidak seberapa, tapi kuda mereka lebih bagus daripada
tunggangan Ouw Hui. Sesudah mengejar satu lie lebih, belum
juga mereka dapat disusul, Ouw Hui menjadi jengkel. Seperti
caranya seorang akrobat, sedang tunggangannya dikabur-kan
terus, ia menjumput beberapa butir batu dari atas tanah.
Sekali ia mengayun tangannya, lima enam batu menyambar
ke arah tiga orang itu. "Aduh!" mereka berteriak. Hampir
berbareng, batu-batu itu mengenai punggung mereka. Dua
antaranya terjungkal tanpa bisa bangun lagi, sedang yang
ketiga diseret-seret tunggangannya, karena kaki kirinya
tersangkut pada sanggurdi. Dilain saat, kuda itu sudah
membelok dan bersama penunggangnya yang diseret-seret ia
lenyap dari pemandangan karena terhalang pohon-pohon.
Ouw Hui loncat turun. Dua orang itu merintih sembari
memegang-megang pinggang. Ouw Hui menendang dan
membentak: "Eh! Kau kata mau ber-tempur denganku. Hayo,
bangun!" Orang itu merangkak bangun dan memaki: "Tak tahu malu,
kau! Sudah tidak mau bayar hutang judi, masih begitu galak!
Suatu hari, Hong Looya, tentu akan membereskan kau."
Ouw Hui terkejut. "Aku hutang judi?" tanyanya. Sekonyongkonyong,
orang yang satunya lagi menerjang dan meninju.
Ouw Hui mesem, sebab ia mendapat kenyataan, bahwa orang
itu sama sekali tidak mengerti ilmu silat. Dengan sekali
menyam-pok, ia membuat orang itu berbalik menghantam
hidung kawannya yang lantas saja mengeluarkan kecap. Ia
terkejut dan mengawasi dengan mulut ternganga.
"Anjing! Kau berani memukul aku?" teriak orang yang
kepukul, sembari menendang kawannya. Dilain saat, mereka
sudah berkelahi dan melupakan Ouw Hui yang berdiri
menonton di samping mereka. Melihat kedua orang itu sama
sekali tidak mengerti ilmu silat, tapi toh sudah berani
menantang padanya, Ouw Hui mengetahui, bahwa dalam ha4
itu mesti terselip latar belakang lain. Sekali men-jambret
dengan kedua tangannya, ia memisahkan mereka. Kedua
orang itu terus saling memaki, yang satu mencaci lawannya
sebagai pencuri lobak, yang lain menuduh musuhnya sebagai
pencuri ayam. Mereka itu ternyata adalah buaya-buaya darat
dan Ouw Hui jadi semakin bereuriga.
"Siapa yang menyuruh kau mencaci aku?" bentak Ouw Hui
sembari menggaplok dan pipi mereka lantas saja bengkak.
Si pencuri ayam, yang nyalinya lebih kecil, lantas saja
meminta ampun. "Jangan rewel! Jawab pertanyaanku!" Ouw Hui membentak
pula. "Menurut kata Thio Po-koan (bandar she Thio) dari
Enghiong Hweekoan, kau hutang judi tak mau membayarnya,"
si pencuri ayam menerangkan.
"Maka itu, ia menyuruh kami bertiga menge-rubuti kau
dengan menjanjikan upah lima tail perak untuk setiap orang.
Kuda itu juga adalah kuda Thio Po-koan. Apa kau hutang atau
tidak, sebenarnya bukan urusan kami...."
"Celaka!" Ouw Hui mengeluh. "Kenapa aku begitu tolol"
Aku sudah dipancing dengan tipu memancing harimau keluar
gunung." Sembari memikir begitu, ia mendorong kedua buaya kecil
itu yang lantas saja jatuh terguling dan sesaat kemudian ia
buru-buru menyemplak kudanya yang lalu dikaburkan sekeraskerasnya
ke arah ke-lenteng Pak-tee-ya.
"Sudah pasti Hong Jin Eng dan anaknya akan
menyembunyikan diri," katanya di dalam hati. "Hud-san-tin
begini luas, bagaimana aku harus mencari-nya" Tapi biarlah!
Bangsat itu mempunyai banyak sekali perusahaan. Biar aku
mengaduk di setiap perusahaannya. Aku mau melihat, apakah
dia bisa bersembunyi terus."
Sebentar saja, ia sudah tiba kembali di depan kelenteng.
Hati Ouw Hui lantas saja merasa tidak enak. Keadaan di situ
sunyi senyap, orang-orang yang tadi berkerumunan sudah tak
kelihatan mata hidungnya. "Ah! Benar-benar Hong Jin Eng
kabur," pikirnya sembari loncat turun dari tunggangannya.
Dengan tindakan lebar, ia memasuki pekarangan dan terus
menuju ke ruangan sembahyang. Begitu masuk, ia merasakan
dadanya sesak... hampir-ham-pir ia jatuh duduk!
Ternyata, di ruangan sembahyang menggeletak tiga mayat,
yaitu mayat Ciong A-sie, Ciong sie-so dan Ciong Siauw Jie,
yang semuanya penuh dengan bacokan.
Ouw Hui berdiri terpaku, darahnya bergolak-golak.
Mendadak, ia melemparkan diri di depan meja sembahyang
dan menangis sedu sedan. "Ciong Sie-ko, Sie-so dan saudara
Ciong," katanya dengan suara gentar. "Ouw Hui tolol sekali,
sehingga kalian menjadi korban."
Sesudah kenyang memeras air mata, tiba-tiba ia meloncat
bangun. Ia menuding patung malaikat dan berkata dengan
suara nyaring dan tetap, "Pak-tee Ya-ya! Hari ini aku motion


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau menjadi saksi: Jika aku, Ouw Hui, tak bisa membunuh
Hong Jin Eng, bapak dan anak, untuk membalaskan sakit hati
keluarga Ciong, aku akan kembali ke sini untuk menggorok
leherku di hadapanmu!" Berbareng dengan perkataannya, ia
menghantam ujung meja sembahyang yang lantas saja
menjadi hancur dan dua ciaktay (tempat tancap lilin) jatuh
terguling di atas lantai.
Beberapa saat kemudian, ia berjalan keluar dan masuk lagi
dengan menuntun kuda. Ia mengangkat ketiga mayat itu yang
lalu diletakkan di atas pung-gung kuda. Bukan main rasa
menyesalnya. "Ah! Karena belum mempunyai pengalaman,
aku sungguh luar biasa gobloknya," katanya di dalam hati.
"Tanpa mengerti seluk-beluk dan kekejaman dunia Kang-ouw,
aku sudah berani turun tangan, karena gara-garaku, tiga jiwa
jadi melayang. Biarpun rumah keluarga Hong merupakan
rimba senjata, hari ini akan kuterjang juga." Sambil
menunduk, perlahan-lahan ia menuntun kudanya dan menuju
ke jalan raya. Ketika itu, Hud-san-tin seolah-olah sebuah kota mati.
Semua pintu tertutup rapat, sedang di jalan tak terdapat
seorang manusia. Ketika melewati Rumah Gadai Enghiong dan
Rumah Makan Enghiong, ia menendang pintu kedua rumah itu
dan ternyata keadaan di kedua tempat itu pun sunyi senyap
seperti kuburan. Apa yang mengherankan adalah: Di rumah
gadai dan di restoran tertumpuk ramput dan kayu bakar. Ia
tak dapat menebak, untuk apa bahan bakar itu.
"Tak bisa salah lagi, Hong Jin Eng sedang mempersiapkan
jebakan untuk menghadapi aku," katanya dalam hati. "Mereka
berjumlah banyak, aku seorang diri. Aku harus berhati-hati,
supaya jangan kena diakali lagi."
Setindak demi setindak ia maju dengan was-pada. Sesudah
membelok beberapa kali, tibalah ia di depan gedung keluarga
Hong yang sungguh besar serta mentereng dan di depannya
tergantung sebuah papan indah dengan tulisan : Lamhay
Hongtee (Rumah keluarga Hong di Lamhay). Di gedung itu,
lagi-lagi Ouw Hui mendapatkan pemandangan yang luar biasa.
Semua pintu, besar dan kecil, semua jendela terpentang lebar,
sedang di gedung yang luas itu, tak kelihatan seorang
manusia juga! "Tak perduli jebakan apapun juga, aku tak takut," Ouw Hui
menggerendeng. "Biar kubakar gua kura-kuramu. Aku mau
lihat, apakah kau keluar atau tidak."
Tapi baru saja ia niat mencari bahan bakar untuk
melepaskan api, di belakang gedung seko-nyong-konyong
terlihat asap mengepul! Ouw Hui terkesiap, sekarang ia dapat
menebak tindakan Hong Jin Eng. "Lihay sungguh tangan Hong
Jin Eng dan benar-benar dia jagoan," pikirnya. "Dia rela
membakar sarangnya sendiri. Dilihat begini, dia dan
keluarganya tentu akan kabur ke tempat jauh."
Sembari memikir begitu, ia terus masuk ke kebun sayur
dengan menuntun kudanya. Dengan sebuah pacul ia menggali
tanah dan mengubur tiga jenazah itu.
Di kebun itu, lobak dan pekeay hijau tumbuh subur, sedang
di antara galangan tanaman sayur terdapat topi anak kecil dan
sebuah anak-anakan tanah. Sedih hati Ouw Hui dan dalam
kesedihannya, hatinya kemudian menjadi panas bukan main.
Ia berlutut di depan kuburan itu dan mulutnya ber-kemakkemik:
"Ciong-heng dan Ciong Sie-so. Jika rohmu mempunyai
keangkeran, bantulah aku untuk membekuk batang leher
manusia berdosa itu."
Selagi bersembahyang, di jalan raya tiba-tiba terdengar
suara tindakan kaki puluhan orang, di-susul dengan teriakanteriakan.
"Tangkap pembunuh dan pembakar rumah!" teriak
seseorang. "Cegat! Jangan kasih bajak laut itu melarikan did!" seru
seorang lain. "Di sini! Di kebun sayur!" teriak orang ketiga.
Ouw Hui meloncat ke atas sebuah pohon besar dan
memandang ke luar. Ternyata sejumlah opas dan serdadu
yang bersenjata busur dan anak panah serta Iain-lain, sedang
berteriak-teriak di depan gedung Hong Jin Eng, tapi tuan
rumahnya sendiri tidak kelihatan mata hidungnya.
"Hm! Manusia itu sekarang menggunakan tangan pembesar
negeri," menggerendeng Ouw Hui. Ia meloncat turun dan
menyemplak tunggangannya yang lalu dikaburkan ke luar kota
dengan meng-ambil jalan dari belakang gedung keluarga
Hong, yang ternyata tidak terjaga sama sekali.
Ouw Hui menahan kudanya dan dari sebelah jauh, ia
memandang ke arah kota. Di beberapa tempat, yaitu kira-kira
di gedung keluarga Hong, di rumah makan, di rumah gadai
dan beberapa tempat lainnya, kelihatan sinar api dan asap
yang mengepul ke atas. Sekarang ia mengetahui bahwa Hong
Jin Eng telah memusnahkan seantero harta bendanya dengan
tangannya sendiri dan dia tentu tak akan kembali lagi ke kota
Hud-san-tin. Walaupun hatinya gusar dan ia membenci
hartawan kejam itu, tak urung ia merasa kagum.
"Ke mana aku mesti mencarinya?" tanya Ouw Hui pada diri
sendiri, sembari mengedut les.
Sayup-sayup ia masih bisa mendengar suara teriakan
ratusan manusia yang sedang coba mema-damkan api.
Perlahan-lahan Ouw Hui menjalankan kudanya sembari
mengasah otak. "Tadi ketika aku mengejar tiga buaya darat itu, pergi
pulang belum cukup satu jam," pikir Ouw Hui. "Hong Jin Eng
adalah seorang hartawan yang mempunyai perusahaan besar.
Dengan cara apa, dalam tempo yang begitu pendek, ia dapat
membereskan semua urusannya" Tidak bisa salah lagi, jika
malam ini ia sendiri tidak pulang, tentulah juga ada orang
kepereayaannya yang pergi ke tempat sembunyinya, untuk
minta petunjuknya. Paling benar aku berjaga-jaga di jalan."
Ia menduga, bahwa diwaktu siang pasti tak akan ada orang
yang berani muncul. Maka itu, ia lantas pergi ke tempat sepi
dan memanjat sebuah pohon besar untuk mengaso.
Setelah siang berganti dengan malam, ia pergi ke pinggir
jalan raya dan menyembunyikan diri di antara rumput-rumput
yang tinggi. Ia membuka mata lebar-lebar dan mengawasi ke
empat penjuru. Beberapa jam telah lewat dengan pereuma. Ia
menunggu terus sehingga fajar, tapi kecuali beberapa petani
yang masuk ke kota dengan memikul sa-yuran, tak ada orang
lain keluar masuk Hud-san-tin. Selagi Ouw Hui uring-uringan
mendadak ter-dengar derap kaki kuda yang sedang
mendatangi dari jurusan kota. Beberapa saat kemudian, dari
kejauhan muncul dua penunggang kuda yang mengenakan
pakaian militer, yaitu seragam Gie-cian Sie-wie.
Hati Ouw Hui berdebar-debar. Ia ingat perkataan Hong It
Hoa yang mengatakan, bahwa ayahnya tak bisa datang
karena sedang melayani dua orang Gie-cian Sie-wie. Di lain
saat, mereka sudah melewati tempat persembunyian Ouw Hui.
Buru-buru ia menjumput sebuah batu tajam dan menimpuk.
Batu itu tepat mengenai lutut belakang salah seekor kuda
yang lantas rubuh dengan tulang patah.
Si penunggang kuda ternyata berilmu tinggi, sebab dengan
sekali mengenjot badannya, ia sudah hinggap dengan selamat
di pinggir jalan. Kuda itu yang menderita kesakitan hebat,
berbenger-benger tak hentinya. "Ah, celaka!" kata si
penunggang kuda sembari menghela napas berulang-ulang.
Dari jarak tujuh delapan tombak, Ouw Hui dapat melihat,
bahwa rambut orang itu berwarna abu-abu sedang mukanya
agak tidak asing baginya, tapi ia lupa dimana ia pernah
bertemu dengan orang itu.
Kawan Sie-wie itu menahan les dan membelok-kan
tunggangannya seraya menanya: "Kenapa?"
"Kudaku terpeleset dan lututnya patah," jawab-nya.
"Rasanya tak dapat ditunggang lagi."
Begitu mendengar suaranya, begitu Ouw Hui ingat, bahwa
orang itu bukan lain daripada Ho Sie Ho dengan siapa ia
pernah bertemu di Siang-kee-po beberapa tahun yang lalu.
"Paling baik kita balik kembali ke Hud-san-tin untuk
menukar kuda," si kawan mengusulkan.
"Hong Jin Eng tak ketahuan ke mana perginya, sedang
seluruh Hud-san-tin lagi kalang kabut," kata Ho Sie Ho. "Paling
benar kita pergi ke Lam-hay-koan untuk meminta seekor
kuda." Sehabis berkata begitu, ia mencabut pisau dan
menikam perut kuda itu, supaya hewan itu jangan menderita
terlalu lama. "Biarlah kita berdua menunggang kuda ini, ja-lankan saja
perlahan-lahan," kata kawannya. "Ho Toako. Bagaimana
pendapatmu" Apakah sungguh-sungguh Hong Jin Eng tak
akan kembali lagi ke Hud-san-tin?"
"Ia menghancurkan rumah tangganya untuk menyingkirkan
bencana," jawab Ho Sie Ho. "Bagaimana dia bisa pulang
kembali?" "Hm!" kata kawan itu. "Sekali ini kita pergi ke selatan,
bukan saja tidak mendapat hasil suatu apa, sebaliknya malah
sudah hams mengorbankan kuda-mu yang bagus."
Ho Sie Ho menyemplak kuda kawannya dan berkata: "Ah,
belum tentu tak ada hasilnya. Per-himpunan besar dari para
Ciangbunjin (pemimpin partai silat) di kolong langit yang bakal
diadakan di gedung Hok Kongcu, adalah suatu kejadian yang
sangat luar biasa. Sebagai Ciangbun dari partai Ngo-houwbun,
belum tentu ia tak datang." Sembari berkata begitu, ia
menepuk punggung kuda itu yang lantas lari dengan perlahan.
Mendengar perkataan itu, Ouw Hui menjadi girang, sebab
biar bagaimanapun juga, ia sudah mendapat endusan.
Andaikata Hong Jin Eng tidak datang di Pakkhia untuk
menghadiri perhimpunan itu, tapi dalam satu pertemuan
antara jago-jago Rimba Persilatan, sedikit banyak ia akan
mendapat keterangan tentang orang she Hong itu. Tapi ada
suatu hal yang mengherankan Ouw Hui. Untuk apa Hok
Kongcu menghimpunkan para Ciangbunjin dari berbagai
partai" Sembari memikir begitu, ia kembali ke bawah pohon dan
segera menunggang kudanya yang di-jalankan ke arah utara.
Di sepanjang jalan ia coba menyelidiki tentang Hong Jin
Eng dan partainya, tapi sedikitpun ia tidak memperoleh hasil.
Sesudah melewati Ngo-leng, ia masuk ke dalam wilayah
propinsi Ouw-lam. Tanah di situ adalah tanah merah dan
segala pemandangan agak berbeda dengan apa yang dapat
dilihat di Lenglam.
Sesudah melewati Ma-kee-po dan selagi men-dekati
penyeberangan Kie-hong, tiba-tiba di sebelah belakangnya
terdengar tindakan kuda yang cepat luar biasa. Ouw Hui
menengok dan melihat seekor kuda putih sedang mendatangi
bagaikan angin. Ia menahan les dan minggirkan kudanya ke
pinggir jalan. Dilain saat, berbareng dengan ber-kesiurnya
angin, bagaikan melesatnya anak panah, kuda putih itu
melewati ia dengan keempat kaki seolah-olah tidak menginjak
tanah. Penunggang kuda itu adalah seorang wanita yang
mengenakan baju warna ungu, tapi ia tidak dapat melihat
terang mukanya, karena kuda itu lari terlalu cepat. Apa yang
ia tahu, adalah bahwa wanita itu berbadan langsing.
Ouw Hui terkejut. "Kuda putih itu seperti juga tunggangan
Tio Samko," katanya di dalam hati. "Kenapa muncul lagi di
Tionggoan?" Sebenarnya ia niat memanggil dan mengejar,
tapi untuk itu sudah tidak keburu lagi, karena kuda itu sudah
kabur terlalu jauh. Si wanita menengok ke belakang sekali dan
beberapa saat kemudian, ia dan tunggangannya sudah tidak
kelihatan bayang-bayangannya lagi.
Akan tetapi, meskipun mengetahui, bahwa ia tak akan
dapat menyusul, Ouw Hui mengejar juga untuk
menghilangkan rasa penasarannya.
Pada hari ketiga, tibalah ia di kota Hengyang, sebuah kota
penting di Ouwlam selatan dekat gu-nung Hengsan, yang
dikenal sebagai Lam-gak. Baru saja masuk di pintu kota
sebelah selatan, tiba-tiba Ouw Hui melihat seekor kuda putih
yang sangat gagah di depan sebuah rumah makan. Ia lantas
saja mengenali, bahwa kuda itu adalah tunggangan si nona
baju ungu. Dengan girang, ia lantas masuk ke rumah makan
itu, tapi si nona tidak berada di situ.
Tadinya ia ingin menanya kepada pelayan, tapi lantas saja
ia mengurungkan niatnya, karena kurang baik untuk
menanyakan hal seorang wanita yang belum dikenalnya. Ia
lalu mengambil tempat duduk di dekat pintu dan minta
makanan. Di Ouwlam, orang makan dengan menggunakan
sumpit yang sangat panjang dan mangkok yang sangat besar.
Setiap sayur pedas rasanya, sedang bumbunya pun
menyolok sekali, sehingga sifat makanan Ouwlam adalah
"gagah", cocok sekali dengan sifat Ouw Hui.
Ia bersantap sembari mengawasi kuda putih itu, sedang
otaknya diasah untuk mencari kata-kata yang cocok, jika nanti
ia bicara dengan si nona, mendadak, ia ingat satu hal.
"Dengan menunggang kuda itu, ia tentu mem-punyai
hubungan yang sangat rapat dengan Tio Sam ko," pikirnya.
"Kenapa aku tak mau meletakkan saja bunga merah
pemberian Samko di atas meja" Dengan melihat bunga
tersebut, ia tentu akan mencari jalan untuk menegur aku."
Memikir begitu, ia meraba meja untuk mengambil
bungkusannya dan... ia sangat terkejut ketika mendapat
kenyataan, bahwa bungkusan itu sudah tak berada lagi di
tempatnya. Terang-terang ia ingat, bahwa tadi ia meletakkan
bungkusan itu di atas meja. Ke mana perginya" Ia menyapu
seluruh ruangan dengan matanya yang tajam, tapi ia tak
dapat melihat orang yang bisa dicurigai. "Jika manusia biasa
yang mengambil bung-kusanku, tak mungkin aku tidak
mengetahui," katanya di dalam hati. "Dilihat gelagatnya, hari
ini aku bertemu dengan orang yang mempunyai kepan-daian
luar biasa tingginya."
Mau tak mau, ia terpaksa menanya seorang pelayan: "Eh,
ke mana perginya bungkusanku yang tadi kuletakkan di atas
meja" Apakah kau melihat siapa yang mengambilnya"!"
Pelayan itu menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata:
"Barang tuan harus dijaga sendiri. Kecuali barang itu dititipkan
kepada kami, kami tidak bertanggung jawab."
"Aku bukan menyuruh kau bertanggung jawab," kata Ouw
Hui sembari tertawa. "Aku hanya menanya, apakah kau
melihat, siapa yang mengambilnya?"
"Tidak, tentu saja tidak," kata pula pelayan itu. "Mana bisa
ada bangsat berkeliaran di sini" Tuan janganlah bicara
sembarangan."
Ouw Hui mengetahui, bahwa ia tak perlu tarik urat dengan


Kisah Si Rase Terbang Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang itu. Selagi ia memikirkan, ba-gaimana ia harus
bertindak, pelayan itu berkata pula: "Makanan dan arak yang
tuan makan semua-nya berharga tiga chie lima hun. Aku
minta tuan suka membayarnya sekarang."
Dalam bungkusannya, Ouw Hui menyimpan beberapa ratus
tail perak yang ia menangkan di rumah judi Hong Jin Eng, tapi
dalam sakunya sendiri tidak terdapat sepeser buta. Mendengar
perkataan si pelayan, ia terkejut dan paras mukanya lantas
saja berubah merah.
"Jika tuan tidak membawa uang, jangan mengatakan
bungkusan hilang," kata pelayan itu sembari tertawa dingin.
Ouw Hui mendongkol mendengar ejekan itu, tapi ia
sungkan bertengkar. Tanpa berkata suatu apa, ia ke luar
untuk mengambil kudanya. Tiba-tiba mendapat kenyataan,
bahwa kuda putih itu sudah tidak berada lagi di tempat
tambatannya. "Bung-kusanku dan kuda itu tentu mempunyai
sangkut paut yang sangat rapat," katanya di dalam hati.
Ia lalu menuntun kudanya dan sembari menye-rahkan
hewan itu kepada si pelayan, ia berkata: "Hewan ini sedikilnya
berharga delapan ataau sem-bilan tail perak. Untuk sementara
aku menitipkannya di sini. Sesudah memperoleh uang, aku
akan datang menebusnya."
Paras muka pelayan itu lantas saja berubah manis.
"Baiklah, baiklah," katanya sembari tertawa. Baru Ouw Hui
berjalan beberapa tindak, tiba-tiba pelayan itu sudah
memburu seraya berkata: "Tuan, jika kau tidak mempunyai
uang, aku bisa memberi suatu petunjuk dan tanggung kau
bisa makan kenyang."
Ouw Hui mendongkol. Ia sudah hendak mem-buka mulut
untuk mendamprat, tapi ia mengurung-kan niatnya dan
manggutkan kepalanya.
"Kejadian ini mungkin tidak terjadi sekali dalam seratus
tahun," kata si pelayan sembari tertawa. "Sebenarnya, untuk
tuan bagus. Beberapa hari ber-selang, Ban Loo-kun-su (guru
silat she Ban) telah meninggal dunia dan hari ini adalah hari
sembah-yang Tauwcit (sembahyang tujuh hari)."
"Ada sangkut paut apakah hal itu dengan aku?" tanya Ouw
Hui. "Ada, ada sangkut pautnya yang sangat rapat," kata si
pelayan yang lalu mengambil sepasang lilin putih dan
sebungkus hio dari atas meja. Sesudah menyerahkan kedua
rupa barang itu kepada Ouw Hui, ia berkata pula: "Jika dari
sini kau berjalan terus ke utara, belum cukup tiga lie, kau akan
tiba di sebuah rumah besar yang dikelilingi beberapa ratus
pohon hong. Rumah itu adalah Hong-yap-chung tempat
tinggal Ban Loo-kun-su. Kau hanya perlu bersembahyang dan
berlutut beberapa kali dan aku berani memastikan, bahwa kau
akan bisa makan kenyang. Besok, di waktu mau berangkat,
kau mengaku terus terang tidak punya ongkos dan aku
merasa pasti, bahwa akan diberikan setail dua tail."
Mendengar kata-kata "Ban Loo-kun-su", Ouw Hui
mengetahui, bahwa yang meninggal dunia ten-tulah juga
seorang ternama dalam Rimba Persilat-an. Ia jadi merasa
ketarik dan menanya: "Kenapa Hong-yap-chung begitu manis
budi terhadap te-tamu?"
"Di Ouwlam selatan, siapakah yang tak mengenal Ban Lookun-
su yang mempunyai pergaulan sangat luas?" jawabnya. Di
waktu hidupnya, ia ge-mar bergaul dengan orang-orang
gagah. Orang-orang seperti tuan yang tidak mengerti ilmu
silat, bolehlah menarik sedikit keuntungan sesudah ia
meninggal dunia."
Ouw Hui panas perutnya, tapi akhirnya ia jadi tertawa.
"Terima kasih," katanya sembari menyoja. "Apakah orangorang
gagah dan sahabat-sahabat Ban Loo-kun-su akan
datang berkunjung untuk menyatakan turut berduka cita?"
"Tentu saja," jawab si pelayan. "Dengan pergi ke situ, tuan
akan memperoleh pengalaman berharga dan akan mengenal
banyak orang gagah."
Perkataan itu sangat penting artinya bagi Ouw Hui. Maka
itu, dengan gembira, ia lalu berangkat dengan membawa lilin
dan hio. Sesuai dengan petunjuk pelayan itu, belum cu-kup tiga lie,
Ouw Hui tiba di depan sebuah rumah besar yang dikitari
pohon-pohon hong. Di depan rumah itu digantungkan teng
putih, sedang di pintu dipasangkan muilie (tirai) dari
kaianbelacu. Begitu Ouw Hui melangkah masuk, tambur dan
pat-im (musik Tionghoa) lantas dibunyikan. Ruangan semTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
bahyang sangat besar dan di sekitarnya digantungkan banyak
sekali lian dan tiok.
Ia memasang hio dan berlutut di depan meja sembahyang.
"Tak perduli siapakah kau ini, kau adalah seorang Cianpwee
dari Rimba Persilatan," katanya di dalam hati. "Aku merasa,
bahwa kau cukup kuat untuk menerima hormatku ini."
Selagi ia berlutut, tiga hauwlam (putera dari orang?yang
meninggal) yang mengenakan pakaian kain belacu, juga turut
berlutut untuk membalas hormatnya itu. Sesudah Ouw Hui
berbangkit ketiga hauwlam itu lalu menyoja untuk
menyatakan terima kasih mereka yang dibalas sebagaimana
mestinya oleh Ouw Hui.
Dua di antara mereka berbadan kasar dan yang seorang
lagi bertubuh kecil, sedang muka mereka berlainan satu
dengan yang lain. "Tiga putera ini rasanya bukan dilahirkan
oleh satu ibu," pikir Ouw Hui.
Dalam ruangan tengah terdapat banyak sekali tamu,
sebagian penduduk di situ dan sebagian pula orang-orang
gagah dari Rimba Persilatan, Ouw Hui menyapu dengan
matanya dan dapat kenyataan, bahwa Hong Jin Eng dan si
nona baju ungu tidak berada di situ.
Tidak lama kemudian, para tamu diundang untuk
bersantap. Kira-kira tujuh puluh meja dipasang di ruangan
tengah dan di ruangan timur dan barat. Ouw Hui mengambil
tempat duduknya di suatu pojok dan sembari makan, ia
memperhatikan gerak-gerik para tamu itu. Orang-orang yang
berusia tua kelihatannya berduka, tapi para tamu yang berusia
muda kebanyakan bereakap-cakap dengan gembira.
Di lain saat, ia melihat di meja utama ketiga hauwlam
sedang melayani dua orang perwira dengan sikap
menghormat. Ouw Hui agak terkejut karena kedua pembesar
militer itu mengenakan seragam Gie-cian Sie-wie, tapi mereka
bukan Ho Sie Ho atau kawannya. Selain mereka pada meja itu
duduk juga tiga busu yang berusia lanjut.
Meskipun dari jarak jauh, dengan memusatkan perhatinnya,
Ouw Hui dapat menangkap pembi-caraan di meja itu. Sesudah
semua tamu mengambil tempat duduk, salah seorang
hauwlam lalu berdiri sambil mengangkat cawan untuk
menghaturkan terima kasih, disusul oleh hauwlam ketiga.
Ouw Hui merasa heran sekali.
"Satu saja sudah cukup," bisik seorang muda yang duduk
bersama-sama dengan Ouw Hui.
"Jika Ban Loo-kun-su mempunyai sepuluh putera, bukankah
mereka akan menghaturkan terima kasih sepuluh kali?"
"Jika Ban Hoo Seng mempunyai seorang putera saja, ia
tentu sudah kegirangan setengah mati," kata seorang busu
yang berusia kira-kira empat puluh tahun.
"Apa ketiga haulam itu bukan puteranya?" ta-nya si
pemuda. "Kalau begitu, saudara bukan sanak dan bukan kadang dari
Ban Loo-kun-su," kata busu itu. "Sung-guh jarang ada orang
yang mau datang di rumah kematian tanpa mengenal orang
yang meninggal dunia."
Pemuda itu merah mukanya, ia menunduk tan-pa berkata
suatu apa. Ouw Hui jadi geli. "Ah! Saudara ini seperti juga aku
yang datang ke marL hanya untuk numpang makan," katanya
di dalam hati. "Aku merasa ada baiknya untuk memberi sedikit
keterangan kepadamu, supaya jika ditanya orang, kau tidak
jadi gelagapan," kata busu itu. "Ban Loo-kun-su adalah
seorang yang ternama dan kaya raya. Hanya sayang, ia tidak
mempunyai anak. Ia mempunyai tiga orang murid. Yang
berbadan kecil bernama Sun Hok Houw, murid kepalanya.
Yang mukanya putih dan badannya kekar adalah murid-nya
yang kedua, Oe-tie Lian namanya. Yang mukanya merah
adalah Yo Peng, murid ketiga. Ketiga orang itu masing-masing
telah mewarisi serupa ke-pandaian Ban Loo-kun-su dan
mereka semua mempunyai ilmu silat yang lumayan. Hanya
sayang, sebagai orang-orang kasar, mereka tak begitu
mengenal adat istiadat. Sesudah si Toasuheng meng-haturkan
terima kasih, dua yang lain masih merasa perlu untuk
menghaturkan terima kasih lagi."
Busu itu tidak mengetahui, bahwa penghaturan terima
kasih mereka bertiga mempunyai latar be-lakang lain.
Beberapa saat kemudian, di meja tamu sudah timbul
pertengkaran antara tiga saudara seperguru-an itu. Asal mula
pereekeokan itu muncul dari perkataan salah seorang Gie-cian
Sie-wie. Katanya, "Kami datang di sini atas perintah Hok
Kongcu untuk mengundang Ban Loo-kun-su menghadiri
perhimpunan para Ciangbunjin di kota raja, agar ilmu silat
Siauw-lim Wie-to-bun jadi semakin ter-kenal. Hanya sayang
Ban Loo-kun-su sudah keburu meninggal dunia."
Sesudah beberapa orang menghela napas, ka-wannya lalu
menyambungi: "Meskipun Ban Loo-kun-su sudah meninggal
dunia, tapi sebagai suatu partai besar, Wie-to-bun tentu akan
segera mempunyai seorang Ciangbunjin baru. Siapakah yang
akan mewarisi kedudukan itu?"
Ketiga saudara seperguruan itu saling meng-awasi tanpa
mengeluarkan sepatah kata. Berselang beberapa saat, barulah
Yo Peng, yang bermuka merah, berkata: "Suhu meninggal
dunia karena ma-suk angin. Begitu kena, ia lantas pingsan dan
tidak keburu meninggalkan pesan lagi."
"Beberapa paman guru bertempat tinggal di tempat jauh
dan mereka belum diberi warta tentang meninggalnya Suhu,"
sambung Oe-tie Lian.
"Kalau begitu, soal mengangkat Ciangbun masih
memerlukan tempo," kata Sie-wie itu. "Perhimpunan
Ciangbunjin akan diadakan pada bulan Peh-gwee, Tiongchiu,
dari sekarang masih ada dua bulan lagi. Kami mengharap,
partai tuan akan dapat mem-bereskan soal itu terlebih siang."
"Semenjak dulu, warisan orang tua diberikan kepada anak
yang paling budiman atau anak yang paling tua," celetuk
seorang busu tua. "Jika Ban Loo-kun-su tidak meningalkan
pesan, kedudukan Ciangbunjin haruslah diserahlah kepada
Sun Su-heng." Sun Hok Houw tertawa, paras mukanya
kelihatan girang sekali.
"Menyerahkan warisan kepada yang paling tua memang
benar sekali," kata seorang busu lain. "Akan tetapi, meskipun
Sun Suheng berguru lebih dulu, tapi jika dihitung usia, Oe-tie
Suheng lebih tua setahun daripada Sun Suheng. Oe-tie
Suheng adalah seorang yang berkepandaian tinggi dan sangat
bijaksana. Jika kedudukan Ciangbunjin diserahkan
kepadanya, ia tentu akan mengangkat naik nama Siauw-lim
Wie-to-bun, sehingga di alam baka, arwah Ban Loo-kun-su
akan merasa terhibur."
Mendengar itu, Oe-tie Lian menyusut kedua matanya
dengan ujung baju, seperti juga merasa sedih karena
mengingat sang guru.
Baru saja perkataan itu habis diucapkan, busu ketiga
menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali. "Tidak
begitu," katanya. "Dalam keadaan biasa, aku sangat
menyetujui pendapat itu. Tapi sekarang lain persoalannya.
Dalam pertemuan di Pakkhia, berbagai Ciangbunjin tentu akan
memperlihatkan kepandaiannya yang paling tinggi. Jika
Ciangbunjin dari Wie-to-bun tak bisa bersaing dengan mereka,
maka nama partai yang sudah gilang-gemilang selama
beberapa ratus tahun, akan menjadi runtuh. Dari sebab itu,
menurut pendapatku, kita haruslah mengangkat seorang
Ciangbunjin yang mempunyai kepandaian paling tinggi dalam
kalangan Wie-to-bun."
Beberapa orang lantas saja manggut-manggutkan
kepalanya dan mengiakan pendapat busu tua itu. "Ketiga
Suheng adalah murid-murid Ban Loo-kun-su yang disayang
dan masing-masing mempunyai kepandaian yang tinggi," kata
lagi busu itu. Akan tetapi, jika dibanding-banding dan
ditimbang-tim-bang, adalah Siauwsutee Yo Peng yang
berkepandaian paling tinggi."
Busu pertama lantas saja mengeluarkan suara di hidung.
"Hm! Belum tentu begitu," katanya. "Menurut pelajaran ilmu
silat, semakin lama seseorang berlatih, semakin tinggi
kepandaiannya. Walaupun Yo Suheng adalah seorang yang
berotak cerdas, akan tetapi dalam hal tenaga dalam ia masih
kalah jauh dari Sun Suheng."
"Tapi aku berpendapat lain," kata busu kedua. "Dalam
menghadapi lawan, yang paling penting adalah kecerdikan.
Hal mengadu otak harus lebih diutamakan daripada mengadu
tenaga. Aku adalah orang luar. Akan tetapi, jika aku harus
bicara menurut perasaan hatiku, orang yang paling cerdik dan
mempunyai paling banyak tipu daya adalah Oe-tie Suheng."
Demikianlah ketiga orang itu mulai berebut bicara. Bermula
mereka masih sungkan-sungkan, tapi kemudian, sesudah
ketiga-tiganya menjadi pa-nas, suara mereka jadi semakin
keras dan aseran. Para tamu lantas saja berhenti makan
minum untuk mendengarkan pertengkaran itu.
Di antara tamu-tamu, kira-kira seratus orang adalah
anggota-anggota partai Wie-to-bun. Mereka itu sebagian besar
adalah cucu-cucu murid Ban Loo-kun-su, sehingga dapat
dimengerti, jika masing-masing menyokong gurunya sendiri.
Demikianlah, tarik urat itu yang dimulai dengan bisik-bisik
lantas saja berubah menjadi pereekeokan hebat.
Sejumlah orang berusaha untuk meredakan suasana, tapi
mana mereka bisa berhasil" Beberapa orang yang berdarah
panas lantas saja menepuk-nepuk meja dan mencaci maki.
Suasana sangat tegang. Sedang jenazah Ban Loo-kun-su
masih be-lum dingin, murid-murid dan cucu muridnya sudah
siap untuk bertempur.
Kedua Sie-wie itu tidak mengeluarkan sepa
Kisah Para Pendekar Pulau Es 5 Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung Pukulan Naga Sakti 21
^