Kitab Pusaka 17

Kitab Pusaka Karya Tjan Id Bagian 17


nasib. Panglima langit penegak bumi Si Tay Kong membawa Suma
thian yu menuju ke depan sebuah bukit, kemudian
membantingnva keras-keras keatas tanah, setelah tertawa
dingin katanya:
"Bocah keparat setelah terjatuh ke tangan toaya, berarti
kau telah bertemu dengan raja akhirat, membunuh orang
barus membayar dengan nyawa, tentunya kau mengerti akan
perkataan ini bukan" Nah sekarang toaya akan menyuruh kau
merasakan dulu bagaimana enaknya nya bila otot dibetot dan
tulang dikilir..."
Sambil berkata dia lantas mengangkat tangan-nya dan siap
ditotokkan keatas jalan darah Ki tiong hiat di depan dada
pemuda tersebut.
Seandainya torokan ini sampai dilakukan, niscaya Suma
Thian yu akan tersiksa setengahmati, mau hidup tak bisa mau
mati pun tak dapat....sepanjang hidup mungkin akan
menderita terus.
Disaat totokan hampir mengena ditubuh pemuda itulah,
mendadak dari tengah udara terdengar seseorang membentak
nyaring: "Si Tay kong, jangan tertindak kurang ajar!"
Cepat-cepat Si Tay kong menarik kembali tangannya seraya
berpaling, ternyata kokcu hujin dan putri kesayangan kokcu
nya telah berditi disitu sambil mengawasi perbuatannya
dengan sorot mata yang tajam dan mengerikan hati.
Tak kuasa lagi peluh dingin membasahi seluruh tubuhnya
karena terperanjat, dengan cepat dia berkata dengan sikap
hormat: "Hujin, mengapa kau bisa berada disini?"
Nyonya kokcu itu sudah berusia tujuh puluh tahunan,
rambutnya telah berubah semua, mukanya juga penuh
berkerut, kini dengan muka yang dingin dan kaku dia menegur
sambil tertawa dingin:
"Si Tay kong, cara kerjamu ini benar-benar licik dan
munafik, cepat enyah dari sini, lain kali bila kau berani berbuat
semacam ini lagi, jangan salahkan bila Linio akan membacok
kepalamu sampai kutung...."
Tanpa bercuit sekejap pun Malaikat langit penegak bumi Si
Tay kong ngeloyor pergi bagaikan seekor anjing yang baru
kena digebuk, dalam waktu singkat bayangan tubuhnya sudah
lenyap dari pandangan.
Nyouya kokcu segera menghampiri Suma Thian yu,
mengempit tubuhnya lalu bersama sama putrinya berangkat
menuju ke penjara bukit sana... .
Yang dimaksudkan penjara bukit adalah sebuah gua
dipunggung bukit yang bagian depannya ditutup dengan pintu
besi dan dijaga oleh beberapa orang jago berilmu tinggi.
Bila seseorang sudah dijebloskan ke dalam penjara bukit
ini, maka biarpun kau bersayap pun jangan harap bisa terbang
keluar dari situ, kecuali kau mampu menjebolkan pintu
bajanya. Setibanya didepan penjara bukit, nyonya kokcu segera
membuka piutu besi dan mendorong pemuda itu kedalamnya,
dalam sekejap mata itu pula nyonya kokcu telah
membebaskan pula pengaruh totokan atas dirinya.
Menanti Suuma Thian yu merasa jalan darahnya sudah
bebas, tahu-tahu pintu baja telah tertutup rapat kembali,
dalam keadaan begini biar pun kau akan berteriak sampai
serak suaranya juga percuma.
Suma Thian yu benar-benar merasa putus asa, habis sudah
pengharapan-nya sekarang.
Ketika beranjak masuk ke ruang penjara itu, tiba-tiba
disudut ruangan itu dia menjumpai ada seseorang berbaring
pula disitu, orang itu sedang tertidur nyenyak dengan muka
menghadap ke dalam sehingga tidak ke lihatan raut wajah
aslinya. Suma Thian yu tidak ingin membangunkan dirinya, maka
sambil duduk disampmg orang itu, dia mulai duduk sambil
melancarkan peredaran darah didalam tubuhnya.
Lebih kurang setengah per minum teh kemudian,
mendadak terdengar orang itu menjerit kaget kemudian
berseru: "Hiante, mengapa kau pun bisa berada disini?"
Mendengar orang itu menyebut dirinya sebagai hiante,
Suma Thian yu turut menjadi terperanjat, ketika diamatinya
lagi dengan seksama, dia segera berseru tertahan:
"Tio toako, kau...."
Kata selanjutnya belum sempat diteruskan, dia
sesungguhnya tak mampu melanjutkan kembali kata-katanya.
Maklumlah, siapa yang akan menyangka bekal bertemu
orang yang dikenal di dalam penjara bukit semacam ini,
apalagi orang itu adalah satu-satunya sobat karibnya, si pena
baja bercambang Tio Ci Hui" Bagaimana pula dia tak dibuat
terkejut, sedih dan gembira"
Si Pena baja bercambang Tio Ci hui segera memeluk tubuh
Suma Thian yu dan menangis tersedu-sedu.
Lama, lama kemudian, pena baja bercambang Tio Ci hui
barulah berkata:
"Hiante, mengapa kau pun terjatuh ke tangan kelompok
manusia-manusia tersebut?"
"Sekarang habis sudah riwayat kita, mengapa nasib kita
harus mengalami nasib begini?"
Suma Thian yu sendiripun amat sedih, secara ringkas
diapun lantas menceritakan semua kisah pengalamannya
selama ini, diantaranya dijelaskan pula sebab musabab
sehingga sahabatnya menaruh kesalahan paham kepadanya.
Ketika selesai dengan perjelasannya ini, dia pun bertanya
kemudian: "Tio toako, apakah kau masih mencurigai diriku?"
Malu dan menyesal bercampur aduk didalam hati si pena
baja bercambang Tio Ci hui, segera jawabnya:
"Hiante, kesemuanya ini memang kesalahan toako yang
bertindak kurang teliti sehingga, menaruh kesalahan paham
kepadaku, tapi berbicara sesungguhnya, keadaan pada saat ini
memang benar-benar telah mengguncangkan jalan pikiranku,
maafkan aku, aku memang tidak becus sehingga harus
mencelakai dirimu sedemikian rupa"
"Tio toako, peristiwa yang sudah lewat lebih baik kita
lupakan saja, bukankah kau sendiripun mengalami nasib
demikian gara-gara urusanku" Andaikata kau tidak
meninggalkan perusahaan Sin liong piau kiok, kau pun tidak
akan mengalami nasib seperti apa yang kau alami hari ini,
bukankah hal ini sama artinya dengan akulah yang telah
mencelakai dirimu?"
Setelah perbincangan dilanjutkan, suasana menyeramkan
yang semula mencekam penjara gunung itupun semakin
berkurang. Mendadak Suma Thian yu teringat kembali dengan kitab
pusaka tanpa kata yang berada dalam sakunya sekarang,
tanpa terasa semangatnya berkobar kembali, dia akan
mengajak rekannya pena baja bercambang untuk sama-sama
membicarakan tentang kitab pusaka ini.
Pena baja bercambang Tio Ci hui yang mendengar
penuturan itu menjadi terkejut bercampur gembira, sehabis
menepuk bahunya, dia lantas berseru:
"Hiante, nampaknya ditengah kesulitan kita masih
menjumpai jalan hidup, kita bakal tertolong sekarang....!"
"Kenapa?"
"Mengapa kau tidak menggunakan kesempatan yang
sangat baik ini untuk mempelajari isi kitab pusaka tersebut
didalam penjara ini, bukan saja dapat mengusir waktu, dapat
juga menambah kepandaian silatmu, suatu ketika apabila ilmu
tersebut telah berhasil kau kuasai, memangnya pintu baja
tersebut mampu merintangi kita?"
Suma Thian yu menjadi gembira sekali, inilah yang
dikatakan orang sebagai: Say ang yang kehilangan kuda, siapa
yang bisa menduga kalau ini bukan rejeki"
Sekalipun kedua orang itu sudah terkurung didalam penjara
bukit, namun justru karena hal ini mereka telah berhasil
mempelajari isi kitab pusaka yang menggetarkan seluruh
kolong langit, tentu saja hal semacam ini tak pernah diduga
sama sekali oleh kokcu lembah Put kui kok tersebut.
Diatas bukit tiada waktu, entah berapa waktu pemuda itu
harus berdiam dalam penjara tersebut.....
oooOooo oooOooo
UNTUK sementara waktu baiklah kita tinggalkan dulu Suma
Thian yu dan Tio Ci hui yang sedang melatih ilmu didalam
penjara bukit lembah Put Kui kok.
Sementara itu, suasana didalam dunia persilatan telah
berubah kacau, badai pembunuhan berdarah pun mulai
mengancam setiap orang di dunia ini.
Keheningan sebelum menjelangnya suetu per tarungan
besar terasa paling menyesakkan, paling mengerikan dan
paling tidak menentramkan hati orang, seakan-akan seluruh
jagad telah mampus semua....
Kaum iblis dari golongan hitam nampaknya sudah mulai
berubah sasaran mereka, kini tiada yang mengusik atau
mengganggu kaum rakyat kecil lagi, mereka saling
menghimpun tenaga dan kekuatan masing-masing untuk
bersama-sama menghadapi para jago dari golongan lurus.
Kaum hitam kini telah mengangkat Kul lun indah Siau wi
goan sebagai pemimpin mereka, sebaliknya dari pihak kaum
lurus belum ditemukan seorang pemimpin pun, seakan-akan
semua orang sedang menunggu kedatangan Suma Thian yu
dari Tibet untuk memimpin mereka semua.
Begitulah, siang malam para jago dari kaum lurus samasama
berharap kedatangan pemuda itu dengan membawa
serta kitab pusaka tanpa kata, mereka pun berharap
kemampuan pemuda itu sanggup untuk melenyapkan
ancaman badai pembunuh yang kian mengancam tiba.
Hampir setiap orang mempunysi jalan pemikiran demikian,
namun siapa pun tidak yakin Suma Thian yu dapat kembali
terutama sekali bagi sepasang manusia bodoh dari bukit Wu
san yang tahu pemuda itu sudah terjatuh ke dalam jurang.
Dalam keadaan demikian, mau tidak mau para jago kaum
lurus harus mempertimbangkan kembali pilihan mereka, dan
akhirnya diusulkan mengangkat Hui im tongcu Gak say bwe
sebagai pemimpin mereka.
Semua peristiwa ini sudah barang tentu diselenggarakan
dan diumumkan oleh masing-masing secara diam-diam dan
rahasia, itulah sebabnya pula suasana didalam dunia
tenteram. Siapakah yang menduga kalau dibalik ketenangan tersebut,
suatu pertarungan antara kaum sesat dan lurus segera akan
berkobar... Sesungguhnya ilmu silat yang dimiliki Kun lun indah Siau Wi
goan tidak terhitung hebat, namun akal muslihat serta
kecerdasan otaknya memang jauh lebih unggul dari siapa pun,
terutama dengan silat lidahnya yang lihay, banyak kaum lurus
yang terbujuk olehnya sehingga mau berpihak kepadanya,
antara lain It cu hoa kiam dari Tiam cong pay dan lain
sebagainya. Yang paling hebat lagi adalah Sip hiat jin mo atau manusia
iblis penghisap darah serta si mayat hidup, dua tokoh kaum
iblis yang berilmu tangguh pun bersedia menerima
perintahnya, ini semua membuat pertentangan diantara
mereka sendiri semakin berkurang, namun kerja sama mereka
dalam menghadapi kaum lurus semakin bertambah kokoh dan
menakutkan. Hingga kini, para gembong iblis kaum hitam sejak yang
hebat sampai yang rendahpun telah berkumpul semua
didalam gedung kediaman Siau Wi goan yang berada dalam
kota Tiang an, sudah barang tentu orang-orang yang dapat
diundang Siau Wi goan pastilah jago-jago kaum rimba hijau
yang terpandang.
Dengan gaya pimpinan Kun lun indah Siau Wi goan yang
sudah mendendam terhadap para jago kaum lurus, secara
otomatis semua perencanaannya yang licik ditunjuk kan untuk
memusnahkan kaum dari muka bumi ini.
Orang bilang: Bila tahu lawan bila tahu diri, maka setiap
pertarungan pasti akan dimenangkan.
Sepanjang masa ini tujuan dari Siau Wi goan adalah
berupaya sedapat mungkin untuk menyelidiki gerak-gerik
kaum lurus, agar di dalam penggebrakan selanjutnya pihaknya
dapat meraih kemenangan dan keberhasilan besar.
Itulah sebabnya dia mulai menyelidiki setiap orang yang
dicurigai, terutama terbadap jago-jago pilihan seperti Siau yau
kay Wi Kian,sepasang manusia bodoh dari Wu san, Bu lim ji ci
dan Ciong liong lo sian jin sekalian.
Kemudian setelah mengetahui kekuatan lawan serta
kemampuan mereka, dia pun mulai mengatur, rencana untuk
menggasak mereka sedemikian rupa sehingga semuanya
dapat di tumpas habis.
Sudah barang tentu untuk menyusun perencanaan
semacam ini bukanlah suatu pekerjaan yang gampang sekali.
Tapi bagi Kun lun lndah Siau wi goan yang licik, segala
sesuatunya ternyata bisa dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Satu-satunya manusia yang membuatnya merasa kuatir
adalah jejak Suma Thian yu yang belum diketahui bagaimana
nasibnya itu, ia benar-benar merasa menyesal terutama atas
kegagalannya menumpas Suma Thian yu ketika berada di
lembah Toan hun kot tempo hari, padahal saat tersebut dia
mempunyai peluang yang bagus sekali.
Setiap kali teringat akan Suma Thian yu, wajah berseri
yang selalu menghiasi wajahnya pasti akan menghilang,
hatinya pun seakan-akan dikalungi dengan beban besi yang
berat sekali. Baginya sehari Suma Thian yu masih hidup berarti ancaman
terhadap semua rencana belum hilang karena satu-satunya
orang yang mampu mengobrrak-abrik semua perencanaannya
ini hanya anak muda tersebut seorang.
Selama ini Sau Wi goan sudah banyak mengirim orang
untuk menyelidiki jejak pemuda itu, namun hasilnya masih
tetap merupakan sebuah teka teki besar.
Beberapa hari berselang dia mendapat tahu dari Leng kong
kalau Suma Thian yu telah tewas terjatuh dalam jurang, berita
ini mendatangkan kegembiraan yang singkat bagi
Kun Lun indah, tapi dia pun kembali menjadi murung dan
resah bila teringat bahwa mati hidup pemuda lawannya ini


Kitab Pusaka Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masih tetap merupakan suatu teka teki besar.
Kaluu dibicarakan memang sangat mengherankan, dia
bukannya merasa kuatir meng hadapi Ciong liong lo sianjin
dan sekalian tokoh-tokoh tua yang lihay, mengapa justru
merasa resah dan kuatir terhadap Suma Thian yu seorang
bocah yang masih ingusan"
Mungkinnah dia selalu beranggapan bahwa Suma Thian yu
lah yang mampu menghancurkan semua usahanya ini"
Yaa, setelah terjadi bentrokan beberapa kali, dia memang
mulai sadar bahwa musuh sesungguhnya baginya adalah
Suma Thian yu....
Ditambah lagi dengan perjalanan Suma Thian yu ke Tibet,
dia semakin memahami beban tugas yang sedang diembankan
pada pemuda tersebut, sudah pasti pemuda inilah yang
diserahi tugas untuk mententeramkan dunia persilatan dari
gangguan pihaknya.
Ditambah pula ketika berada ditebing Toan hun say Suma
Thian yu telah berhasil merebut kembali kitab pusaka tanpa
kata dari tangan San yap koay mo, betul keaslian kitab pusaka
itu masih merupakan sebuah tanda tanya besar, namun
selama teka teki itu belum terungkap, berarti sudut ancaman
pun belum bisa dihilangkan pula.
Berdasarkan banyak alasan inilah, maka setiap hari Kun lun
indah Siau Wi goan se lalu murung, resah dan tidak gembira...
Suatu hari, ketika Bi kun lun Siau Wi goan masih duduk
diruang tengah dengan resah, tiba-tiba dari luar muncul
seorang petugas yang melaporkan:
"Lapor tayjin, diluar datang utusan dari lembah Put kui kok
yang mohon berjumpa"
Mendengar kata "Put kui kok" paras muka Kun lun indah
Siau Wi goan segera berubah hebat, bagaimanapun juga
lembah Put kui kok merupakan sekelompok kekuatan yang
tidak boleh dianggap remeh.
Selama banyak tahun teraknir ini, belum pernah ada orang
yang bisa munculkan diri setelah tiba dilembah Put Kui kok
tersebut, tapi hari ini dari pihak Put kui kok telah muncul
orang yang datang menghadap, bisa di duga urusannya pasti
gawat sekali. Maka dia segera menurunkan perintahnya:
"Undang utusan ini masuk!"
Tak lama setelah kepergian petugas itu, seorang lelaki
berusia empat puluh tahunan telah muncal dimuka ruangan,
Kun kun indah segera turun dari singgasananya untuk me
nyambut kedatangan tamu agungnya itu...
Orang ini berusia empat puluh tahunan, bertubuh
jangkung, bertangan panjagn dan berwajah serius, dia
mengenakan pakaian ringkas yang amat ketat.
Orang tersebut bukan lain adalah monyet sakti berlengan
panjang Ko Lip kun yang pertama kali dijumpai Suma Thian
yu. Setelah berjumpa dengan Kun Lun indah Siau wi goan, si
monyet sakti berlengan panjang Mo Lip kun segera memberi
hormat sambil menyapa ramah:
"Apakah anda adalah Siau tayhiap?"
"Yaa betul"
"Aku Ko Lip kun mendapat perintah dari Kokcu untuk
datang menyampaikan kabar gembira"
"Kabar gembira" Darimana datangnya kabar gembira buat
aku Siau wi goan?" Kun lun indah Siau Wi goan balik bertanya
dengan wajah keheranan.
Monyet sakti berlengan panjang Ko Lip kun segera tertawa
terbahak-bahak.
"Haah...haah...haah...apakah selama berapa waktu
belakangan ini Siau tayhiap sedang murungkan sesuatu
persoalan....?"
"Persoalan yang sedang kuhadapi kelewat banyak,
bersediakah Ko tayhiap mengutarakan secara langsung saja?"
"Sudahkah Siau tayhiap mendapat tahu kabar berita
tentang Suma siauhiap?"
Begitu mendengar nama 'Suma Thian yu' disebut orang,
Kun lun indah, Siau wi goan segera merasakan kepalanya
menjadi pusing dan dadanya seperti terhantam benda yang
amat berat sekali, dengan agak gelagapan ia segera tertanya:
"Apakah bocah keparat itu masih hidup hingga sekarang?"
"Yaa, dia masih hidup..."
"Dimana?" tukas Wi Siau wi goan lagi dengan perasaan
panik dan tidak sabar.
Sekali lagi monyet sakti berlengan panjang Ko Lip kun
mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak.
Haah...haah... haah... dia berada di dalam lembah Put kui
kok sekarang"
Setelah mendengar jawaban tersebut, Kun lun indah Siau
wi goan menjadi gembira setengah mati, dia ikut
mendongakkan kepalanya dan tertawa tergelak.
Mendadak dia seperti teringat akan sesuatu, segera
tanyanya kembali.
"Apakah mati hidupnya sudah ditetapkan?"
"Belum. Cuma lebih banyak mampusnya daripada
hidupnya, sebab saat ini dia sudah disekap didalam penjara
bukit" Mendadak Kun lun indah Siau Wi goan menjerit kaget:
"Aduh celaka, dia membawa benda mestika...."
Ketika berbicara sampai disini Kun lun indah Siau Wi goan
tidak melanjutkan kemkali kata-katanya, sebab dia memang
sengaja berbuat demikian agar Suma Thian yu menjadi
incaran orang-orang lembah Put kui kok dan cepat
dibinasakan. Monyet sakti berlengan panjang Ko Lip kun kontan saja
membelalakkan matanya lebar-lebar, kemudian berseru cepat:
"Benda mestika apakah itu" Apakah Siau tayhiap bersedia
memberi keterangan kepada kami?"
Kun lun indah Siau Wi goan kembali menggelengkan
kepalanya sambil menghela napas.
"Aku tahu bocah keparat itu tidak akan menyerahkan benda
mestika tersebut dengan begitu saja"
"Sebenarnya mestika apakah itu?"
"Kau pernah mendengar tentang kitab pusaka Kun tun kan
kun kun huan siu cinkeng" Nah, mestika itulah yang berada
disakunya"
"Apa?" teriak monyet sakti berlengan panjang Ko Lip kun
segera menjerit kaget, "kau maksudkan kitab pusaka tanpa
kata?" "Benar, kitab pusaka tersebut berada di tangan bocah
keparat tersebut"
000O000 Setelah mengetahui kalau Suma thian yu menggembol
mestika yang tak ternilai harganya itu, Monyet berlengan
panjang Ko lip kun menjadi sangat panik, dia segera
memohon diri kepada tuan rumah dan segera berangkat
kembali ke lembahnya.
Menanti Ko Lip kun sudah berlalu, Kun lun indah Siau wi
goan baru mendongakkan kepalanya dan tertawa tergelak,
dalam anggapan-nya kali ini, biarpun Suma Thian yu
mempunyai berapa buah batok kepala pun semuanya akan
terpengal habis.
Tiba-tiba suara tertawanya terhenti sampai ditengah jalan,
lalu sambil bertepuk tangan serunya:
"Cepat undang Lim tayhiap"
Yang dimaksudkan Lim tayhiap adalah si harimau angin
hitam Lim Khong, tak selang berapa saat kemudian Lim Kong
telah muncul. Secara ringkas Siau wi goan lantas menceritakan tentang
soal Suma Thian yu yang baru didengarnya, setelah itu
katanya: "Hiante, ajaklah beberapa orang jago lihay dan segera
berangkat, begitu ada kabar, segera kirim kabar kembali, bila
bertemu dengan bocah keparat tersebut, bagaimana pun juga
kau harus membunuhnya sampai mampus!"
Harimau angin hitam Lim Kong tertawa seram.
"saat itu tak usah toako kuatirkan, selama hayat masih
dikandung badan, aku bersumpah akan bertarung dengan
Suma Thian yu keparat itu hingga dia mampus!"
Setelah mengundurkan diri dari ruangan, dia lantas
memerintahkan kepada si ular berekor nyaring Mo Pun ci,
Leng Kong taysu dan Hu hok cu sekalian agar bersiap sedia
untuk berangkat, sedangkan dia sendiri berangkat kegedung
timur untuk berpamitan dengan gurunya si mayat hidup Ciu jit
hwee. Dengan mengikuti dibelakang si monyet sakti berlengan
panjang, berangkatlah rombongan yang dipimpim harimau
angin hitam Lim Khong menuju ke sekitar lembah Put kui kok
dengan maksud berjaga-jaga bilamana Suma Thian yu sempat
melarikan diri dari sana.
Dalam pada itu, Suma thian yu dan pena baja bercambang
Tio ci hui yang terkurung dalam penjara bukit, kecuali
bersantap makanan yang dihidangkan oleh pihak Put kui kok,
mereka selalu mempelajari ilmu silat secara tekun.
Berkat kecerdasan otak dari Suma Thian yu, maka tidak
sampai dua bulan kemudian semua isi kitab Kun tun kan kun
cinkeng tersebut telah berhasil dipelajari dengan matang,
yang sekarang tinggal melaksanakan secara praktek.
Ilmu silat yang tercantum didalam kitab pusaka itu
memang benar-benar merupakan ilmu sakti yang jarang
ditemui dalam dunia persilatan, semuanya berjumlah tujuh
jurus, dari setiap jurus mempunyai daya kekuatan yang luar
biasa. Apabila ketujuh jurus seraTgan tersebut dipergunakan
secara beruntun maka perubahan yang dapat dikembangkan
akan meningkat, luar biasa biarpun harus bertarung sebanyak
dua ratus gebrakan pun, orang tetap akan dibuat
kebingungan. Tapi sekarang Suma Thian yu baru bisa mengingat-ingat
cara mempergunakan ketujuh jurus serangan itu saja,
sekalipun demikian, orang yang sanggup menghadapinya
sekarang boleh dibilang hanya beberapa gelintir saja.
Pena baka bercambang Tio Ci hui sendiri semenjak
pertemuan-nya dengan Suma thian yu, ia nampak lebih ceria
dan terbuka, keputusasaan yang semula mencekam perasaannya
sudah lenyap tak berbekas, sedangkan harapan-nya untuk
bisa hidup lebih jauh pun berkobar kembali...
Oleh sebab itulah, selama Suma Thian yu mempelajari kitab
pusaka tanpa kata, dia sendiri tidak mengganggu, satu demi
satu semua ilmu silat yang dipelajarinya dulu dilatih kembali,
bahkan dari Suma Thian yu pun dia berhasi mempelajari
berbagai macam ilmu kepandaian.
Hanya dalam dua bulan yang singkat, dasar tenaga dalam
maupun ilmu silat yang dimiliki kedua orang ini telah
memperoleh kemajuan yang pesat.
Hari ini ketika mereka baru selesai sarapan, tiba-tiba pintu
baja dibuka orang dan muncullah Monyet sakti berlengan
panjang Ko lip kun serta panglima langit penakluk bumi Si tay
kong. Sebenarnya suma Thian yu sedang berbaring, maka begitu
berjumpa dengan kedua orang itu, diapun segera merintih dan
bersikap seolah-olah menjadi lemah dan sekarat karena
kekurangan makanan.
Monyet sakti berlengan panjang Ko Lip kun hanya berdiri
didepan pintu saja sambil mengawasi kedua orang itu sekejap,
kemudian sambil mengawasi Suma Thian yu, tegurnya dingin:
"Sahabat kecil, pelayanan Put kui kok terhadapmu tentunya
tidak terlalu jelek bukan?"
Suma Thian yu kembali merintih, lalu sambil duduk dengan
wajah murung sahutnya"
"Dua bulan ini hampir saja nyawaku turut lenyap, apakah
pelayanan semacam ini pun kau anggap sebagai pelayanan
yang baik" Kau benar-benar bedebah...."
Monyet sakti berlengan panjang Ko Lip kun sama sekali
tidak terpengaruh oleh kata-kata tersebut, lain dengan
panglima langit penegak bumi Si Tay Kong, dia tak sanggup
menahan diri lagi, sambil membentak gusar ia siap
menerjang ke depan untuk menghajar Suma Thian yu, tapi
niat tersebut segera dicegah oleh monyet sakti berlengan
panjang. "Hiante, buat apa sih kita mesti bercekcok dengan setan
cilik itu" Ingat saja apa tujuan kedatangan kita sekarang"
Janganlah disebabkan urusan kecil sampai masalah besar pun
turut terbengkelai, kenapa sih kau selalu mengumbar watak
kerbaumu?"
Dengan gemas dan penuh amarah panglima langit penegak
bumi Si Tay kong segera mengumpat:
"Kau bebedah keparat, anak jadah..."
Niatnya untuk memberi hajaran kepada pemuda tersebut
pun segera diurungkan.
Kemudian monyet sakti berlengan panjang Ko Lip kun baru
berkata lagi dengan senyum an licik menghiasi wajahnya:
"Sobat cilik, aku dengar kau membawa sejilid kitab pusaka
yang tak ternilai harganya, bolehkah dipinjamkan sebentar
kepadaku?"
Suma thian yu amat terkejut setelah mendengar perkataan
ini, sampai-sampai Pena baja bercambang yang berada di
sampingnya pun turut merasa terkejut.
Untung Suma Thian yu cukup cekatan, setelah berpikir
sebentar ia segera dapat menebak jalan pemikiran orang,
maka katanya kemudian:
"Kitab pusaka apa sih" Aku tidak memilikinya"
"Bocah keparat, kau masih bermaksud untuk berlagak
pilon?" bentak panglima langit penegak bumi dengan gusar,
"di hadapan orang pintar tidak usah berbohong, kami tahu kau
menggembol kitab pusaka tanpa kata. Hmm, memangnya
berusaha mau membohongi toaya mu?"
"Didalam saku ku hanya terdapat selembar kertas
rongsokan, benarkan kertas itu kitab pusaka atau bukan, aku
sendiripun kurang tahu, apakah kalian berdua menginginkan
kertas rongsokan itu?"
Kemudian dengan ilmu menyampaikan suara dia berkata
pada si Pena baja bercambang:
"Toako, untuk sementara waktu kau hadapi seorang
diantara mereka, jangan biarkan mereka kabur, sebab inilah
satu-satunya ke sempatan buat kita untuk melarikan diri.
Buru-buru pena baja bercambang menghimpun segenap
tenaga dalam yang dimilikinya bersiap sedia untuk membunuh


Kitab Pusaka Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

salah seorang musuhnya itu.
Mendadak Suma Thian yu teringat kembati dengan
perbuatannya sewaktu memper mainkan Sam yap koay mo
dan manusia iblis berkepala ular tempo hari, maka dengan
cara yang sama diapun berseru:
"Apakah kedatangan kalian berdua dikarenakan kertas
rongsokan ini...?"
Dia segera mengeluarkan kitab pusaka itu dan diperlihatkan
di hadapan ke dua orang itu.
Bagaikan kucing melihat ikan asin, Ko Lip kun dan Si Tay
kong segera melototkan matanya besar-besar.
Kembali Suma thian yu mengoceh:
"Rupanya kalian berdua menginginkan kertas rongsokan ini,
sayang seribu kali sayang, kertas ini hanya selembar saja,
bagaimana cara untuk membaginya?"
Dalam perkiraan Suma Thian yu, ke dua orang itu pasti
akan saling berebut setelah mendengar perkataan itu.
Siapa tahu kedua orang itu menjadi gusar sekali setelah
mendengar ucapan yang bernada adu domba ini, Monyet sakti
berlengan panjang Ko Lip kun segera mengumpat:
"Bocah keparat, kau anjing licik, memangnya kau anggap
dengan hasutanmu itu lantas kami akan saling bentrok
sendiri" Toaya mu tak akan termakan oleh tipu muslihat
anjing keparat macam kau!"
SERAYA berkata dia lantas maju kedepan dan menghampiri
Suma Thian yu. Sebaliknya panglima langit penegak bumi Si Tay kong
menghampiri si pena baja bercambang.
Tindakan yang dilakukan kedua orang tua itu justru
merupakan apa yang diharapkan oleh pemuda tersebut, diamdiam
ia menjadi kegirangan setengah mati.
Mendadak terdengar Monyet sakti berlengan panjang Ko
Lip kun menjulurkan tangannya kedepan sambil membentak
penuh amarah: "Bawa kemari bocah keparat!"
Suma Thian yu sengaja memperlihatkan kitab pusaka itu
dihadapan lawannya kemudian dimasukkan kembali kedalam
sakunya sambil mengejek sinis.
"Tak akan semudah itu, kau anggap dikolong langit
terdapat manusia bodoh yang mau menyerahkan mustikanya
dengan begitu saja" Huuh, kalau sauya enggan menyerahkan
kepadamu lantas mau apa kau?"
Meledaklah hawa amarah si Monyet sakti berlengan
panjang Ko Lip kun sehabis mendengar perkataan ini, otototot
hijaunya sampai menonjol keluar semua saking
marahnya, sambil membentak keras, kelima jari tangannya
dipentangkan lebar-lebar kemudian menyambar tubuh Suma
Thian yu sambil umpatnya:
"Kepingin mampus rupanya kau?"
Siapa tahu belum sampai kelima jari tangan-nya mencapai
sasaran, Suma thian yu sudah berkelebat lewat dan lenyap
dari pandangan mata.
Belum sempat Monyet sakti berlengan panjang Ko Lip kun
membalikkan badannya, mendadak punggungnya terasa amat
sakit, seluruh tulang belulangnya bergemerutuk keras, lalu
diiringi jeritan ngeri yang memilukan hati tubuhnya roboh
terkapar keatas tanah.
Panglima langit penegak bumi Si Tay kong memang tidak
malu disebut manusia licik, begitu menjumpai Ko Lip kun
roboh keatas tanah ia tidak berusaha membantu kawannya
malahan sebaliknya kabur keluar pintu.
Pena baja bercambang Tio Ci hui kuatir musuhya itu
berhasil melarikan diri, sudah barang tentu dia tak akan
membiarkan lawannya lolos dengan begitu saja, sambil
membentak dia melompat kedepan untuk mengejar.
"Tunggu dulu!"
Suma Thian yu pun tidak berani berayal sebab dia tahu
setengah langkah saja dia terlambat, pintu penjara akan
tertutup kembali, berarti dia harus berusaha lebih dulu
sebelum berhasil lolos dari situ.
Karenanya pada saat yang hampir bersamaan mereka
berdua bersama-sama menerobos keluar dari pintu penjara.
Setelah dua bulan tak bertemu sinar matahari, mereka
merasakan semangatnya berkobar kembali setibanya dialam
bebas, begitu melihat dua orang sipir penjara ada disitu, tanpa
banyak bicara, seorang satu mereka hajar lelaki penjaga bui
itu sampai tewas.
Dalam pada itu si pena baja bercambang Tio Ci hui telah
berhasil mengejar hingga dibelakang Si Tay kong, menyadari
kalau jalan untuk kabur telah tertutup, panglima langit
penegak bumi ini segera membalikan badan dan
mengayunkan telapak tangan-nya bersama-sama melancarkan
sebuah pukulan dahsyat.
Bagaimanapun juga pena baja bercambang adalah seorang
piasu, ilmu silatnya biasa-biasa saja bila dibandingkan dengan
musuhnya yang merupakan jago lihay kalangan rimba hijau,
tentu saja selisihnya jauh sekali.
Begitu melihat musuhnya membalikkan badan sambil
melancarkan serangan ia menjadi gelagapan dibuatnya dan
cepat-cepat menghindar ke samping....
Sudah barang tentu Si Tay kong tidak akan menyia-nyiakan
kesempatan yang amat baik ini dengan begitu saja, mendadak
ia merubah gerakan tubuhnya, lalu dengan jurus Naga sakti
mengebaskan ekor, dia hantam batok kepala Tio Ci hui.
Gerak serangan tersebut amat gencar lagi dahsyat,
mustahil rasanya buat Tio Ci hui untuk meloloskan diri lagi, tak
ampun lagi dia berseru tertahan dan memejamkan matanya
menunggu kematian tiba.
Di dalam detik yang amat kritis inilah, mendadak terdengar
suara pekikan nyaring bergema memecahkan keheningan.
Suma Thian yu dengan gerakan secepat sambaran petir
menerobos masuk diantara kedua orang itu kemudian ia
sambut serangan dari Si Tay kong tadi dengan kekerasan,
sementara telapak tangan yang lain membacok tubuh
lawannya ini. Di dalam serangan tersebut Suma Thian yu hanya,
mempergunakan tenaga sebesar emapt bagian saja, tapi ilmu
silat yang digunakan justru ilmu sakti dari kitab pusaka tanpa
kata. Disamping berniat mencoba kemampuan ilmu silat
tersebut, dia pun ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk
membalas sakit hatinya terhadap Si Tay kong yang pernah
memperlakukan dirinya sangat buruk dua bulan berselang.
Biarpun niat yang sebenarnya hanya memberi hukuman
kepada lawan sehingga menjadi cacad, apa mau dibilang
kepandaian silat yang dihasilkan dalam serangan tersebut
benar-benar luar biasa dahsyat dan hebatnya.
Mimpi pun Si Tay kong tidak menyangka kalau Suma Thian
yu bakal menggunakan serangan maut sedemikian dahsyatnya
untuk menghadapi dirinya.
Menanti angin pukulan lawan yang amat dahsyat dan tak
terlawan itu sudah tiba didepan mata, terlambat sudah
baginya untuk menarik kembali serangannya tersebut.
"Blaaarr.....!"
Suatu benturan dahsyat segera terjadi, menyusul kemudian
ditengah udara bergema suara jeritan ngeri yang memilukan
hati. Tubuh si panglima langit penegak bumi Si Tay kong segera
mencelat seperti layang-layang yang putus benang dan
terlempar ketengah udara, sewaktu terjatuh kembali ke bumi,
kepalanya lebih dulu yang menembuk batu cadas.
Tak ampun lagi, kepalanya sagera hancur berantakan, isi
benaknya berhamburan kemana-mana, manusia tersebut
tewas dalam keadaan yang benar sangat mengerikan.
Suma Thian yu menjadi melongo dengan mata terbelalak
besar setelah menyaksikan peristiwa ini, sampai lama sekali
dia masih belum mampu mengucapkan sepatah katapun.
Mendadak.... Ditengah udara berkunaandang lagi suara tertawa seram
yang dingin dan menggidikkan hati:
Suatu pembunuhan yang bagus sekali...hitung-hitung
menambah pengetahuanku.
Suma Thian yu menjadi sangat terperanjat setelah
mendengar seruan tersebut, dengan cepat dia berpaling,
ternyata si makhluk pembalik awan Ay Siang telah muncul
pula disana. Dengan langkah pelahan Ay Siang mendekati pemuda
tersebut, sementara dibelakangnya mengikuti gorilla hitam
andalan-nya itu.
Setelah berhasil membinasakan musuhnya barusan, rasa
percaya pada kemampuan sendiri dari Suma thian yu semakin
bertambah, dia tidak merasa jeri lagi terhadap kakek tersebut
namun tetap merasa sangsi terhadap gorilla yang berada di
belakangnya. Sementara itu makhluk pembalik awan Ay Siang telah
berdiri tegak hanya enam langkah dihadapan si anak muda
itu, setelah memandang sekejap kearah sang pemuda dengan
pandangan hina, kemudian memandang pula ke arah Tio ci
hui, katanya kemudian:
"Nyali kalian berdua benar-benar amat besar, kau anggap
lembah Put kui kok merupakan tempat yang gampang dibuat
huru-hara" Hmm, bukan saja membunuh Ko Lip kun dan Si
tay kong berdua kalian pun berani menyerbu keluar dari
penjara. Hmm... boleh saja bila ingin keluar dari lembah Put
kui kok ini, cuma kalian harus sanggup merobohkan diriku
lebih dulu"
Semua perkataan-nya diucapkan dengan nada tegas dan
bertenaga, bukan saja kelewat mengunggulkan kemampuan
sendiri, jumawanya bukan kepalang.
Suma Thian yu segera menjawab dengan ketus:
"Siapa yang akan menurut aku akan hidup, siapa yang
menentang akan mati, setan tua kau jangan mencoba-coba
hendak merintangi perjalananku ini"
Begitu selesai berkata, dengan jurus dewa memetik buah
dia menghantam tubuh Si makhluk pembalik awan Ay Siang
keras-keras. Siapa tahu baru saja dia bergerak gorilla yang berada
dibelakang Ay Siang turut bergerak pula, agaknya binatang
tersebut cukup memahami maksud majikan-nya, begitu
melihat ada orang menyerang majikan-nya, dia segera
menghadapi serangan tersebut dengan cepat.
"Blaaamnm..!"
serangan dahsyat dari Suma Thian yu itu nyaris
menghantam diatas dada Gorilla tersebut.
Biarpun serangan tersebut sangat dahsyat ternyata sama
sekali tidak berpengaruh pada sang gorilla tersebut, jangan
lagi terluka, bergetar pun tidak.
Suma thian yu menjadi keder sendiri, dia melompat mundur
dua langkah ke belakang, tapi gorilla itu sambil menggerakkan
tangan-nya malahan mendesak lebih kedepan.
Lama-kelamaan Suma Thian yu dibuat mendongkol dengan
sendirinya, dia segera menarik napas panjang begitu melihat
gorila itu sudah berada tiga langkah dihadapan-nya, dia lantas
mengeluarkan ilmu pukulan Sian poo hwe hong ciang ajaran
Ciong liong sianjin untuk menyerang binatang tersebut.
Dalam pada itu, makhluk pembalik awan Ay Siang yang
menyaksikan gorilanya sudah mencegat Suma thian yu, dia
segera mengalihkan sasarannya ke arah pena baja
bercambang Tio Ci hui.
Sementara itu Tio Ci hui telah bersiap siaga dengan
menghimpun segenap kekuatan yang dimilikinya ke dalam
sepasang lengan, begitu melihat Ay Siang datang mendekat ia
segera membentak keras:
"Lihat serangan!"
Serangan tersebut segera menumbuk dada si makhluk
pembalik awan dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat.
"Serangan yang bagus!" jengek Ay Siang sambil tertawa
dingin. Tubuhnya miring kesamping, lalu telapak tangan kirinya
dilontarkan ke depan, dengan jurus Awan melintangi bukit Wu
san, dia hantam pinggang Tio Ci hui.
Dalam pada itu Tio Ci hui benar-benar sangat gelisah,
dengan mengeluarkan semua kepandaian silat yang pernah
dipelajarinya selama puluhan tahun terakhir ini dia bertarung
sengit melawan makhluk pembalik awan.
Bila dibicarakan sesungguhnya, keadaan Ay Siang dengan
Tio Ci hui sekarang ibaratnya orang dewasa menghadapi anak
kecil, pada hakekatnya dia hanya mempermainkan si pena
baja bercambang itu saja.
Berbeda dengan Tio Ci hui, dia telah mempergunakan
seluruh kepandaian yang dimilikinya, setiap jurus, setiap
gerakan semuanya disertai dengan tenaga penuh, sayang
sekali kemampuannya memang kalah setingkat, biarpun dia
sudah menggunakan segenap kemampuan yang dimilikipun
sama sekali tak berguna.
Di pihak lain, pertarungan antara Suma thian yu melawan
gorilla itu pun berlangsung seru, berbicara soal tenaga dalam
Suma Thian yu masih jauh lebih unggul apa lagi manusia
berotak dan gorilla tidak, jadi posisi sungguhnya lebih
menguntungkan bagi anak muda kita.
Ketika ia melihat Ay Siang telah bertarung melawan Tio ci
hui, hatinya mulai gelisah tak hentinya, ia mencoba
mengamati jalan-nya pertarungan tersebut.
Kalau tidak dilihat masih mendingan, begitu melihat
keadaan tersebut, peluh dingin segera terjatuh bercucuran
membasahi tubuhnya, ternyata Tio Ci hui sudah terdesak
hebat, keadaannya berbahaya sekali, ibarat telur diujung
tanduk. Buru-buru Suma Thian yu menghimpun segenap tenaga
yang di milikinya dengan melangsungkan pertarungan cepat,
semua pelajaran yang baru saja dipelajari dari kitab tanpa
katapun di keluarkan semua.
Bagaimana pun jua gorilla cuma seekor hewan, dia hanya
mengandalkan kulit tubuh nya yang keras saja untuk
menghadapi musuh, sadarlah Suma Thian yu, apa bila dia
ingin meraih kemenangan, maka akallah yang harus
digunakan. Maka dengan mengerahkan tenaga besar enam bagian dia
hantam perut gorilla itu keras-keras.
Termakan pukulan yang di lancarkan dengan ilmu sakti dari


Kitab Pusaka Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kitab tanpa kata ini, gorilla tersebut tidak mampu
mempertahankan diri, begitu terhajar badannya segera
terjungkal keatas tanah.
Begitu hewan tersebut roboh, Suma thian yu tidak menyianyikan
kesempatan baik yang ada, bersamaan waktunya dia
cabut keluar pedagnya lalu menusuk tenggorok-kan binatang
itu dengan kecepatan bagakan sambaran kilat.
Mendadak terdengar gorilla itu menjerit kesakitan, dari
tenggorokannya muncrat keluar darah segar yang menyembur
ke mana-mana, setelah meronta berapa saat akhirnya lemas
dan tewaslah binatang tersebut.
Sementara itu makhluk pembalik awan Ay Siang yang
sedang bertarung menjadi tertejut ketika mendengar jeritan
ngeri dari binatang kesayangannyam ketika dia berpaling dan
mengetahui binatang itu sudah mampus, hatinya menjadi sakit
sekali seperti diiris-iris dengan pisau, serangannyapun secara
otomatis turut terhenti.
Padahal pada waktu itu napas si pena baja bercambang Tio
Ci hui sudah ngos-ngosan seperti kerbau, melihat musuhnya
meng-hentikan serangan secara tiba-tiba ia segera
menganggap inilah kesempatan yang baik sekali.
Dengan menghimpun segenap kekuatan yang dimilikinya,
sebuah bacokan kilat segera dilontarkan ketubuh lawan.
Makhluk pembalik awan Ay Siang adalah seorang jagoan
yang berilmu sangat tinggi, sekalipun dia sedang terpengaruh
oleh binatang kesayangannya, namun tidak lupa sedang
menghadapi lawan.
Baru saja angin serangan menerpa tubuhnya, dia telah
sadar dari kekilafan tersebut.
Terbakar oleh amarahnya karena kematian gorila
kesayangannya, Ay Siang segera melampiaskan semua
perasaan dendam, benci dan amarahnya itu kepada Tio Ci hui.
Mendadak terdengar ia membentak keras:
"Lebih baik kau temani dia masuk kubur saja!"
Bersamaan dengan selesainya perkataan itu, sebuah
pukulan dahsyat telah dilontarkan kedepan.
Tio ci hui mengira musuhnya sama sekali tidak membuat
persiapan apa-apa karena sedang terpengaruh oleh kematian
binatang kesayangannya, maka dia menyerang secara kalap
dengan melupakan pertahanan diri.
Menanti ia saksikan Ay Siang menyerang dengan amarah,
terlambat sudah baginya untuk menjaga diri, tahu-tahu
dadanya terasa sakit, pandangan matanya menjadi gelap
kemudian roboh tak sadarkan diri.
Ilmu pukulan yang digunakan makhluk pembalik swan Ay
Siang adalah tenaga Im, bagi korban serangannya tidak akan
merasakan kesakitan yang enteng akan segera roboh pingsan,
sedang yang parah segera tewas dalam seketika.
Barusan, makhluk pembalik Awan Ay Siang melancarkan
serangan dalam keadaan gusar, otomatis dia menyerang
dengan tenaga yang maha dahsyat, kasihan pena baja
bercambang Tio Ci hui, dengan sudah payah dia meloloskan
diri dari penjara, tapi siapa sangka sebelum keluar dari lembah
Put kui kok, jiwanya keburu terbang ditangan Ay Siang Si
setan tua ini! Disaat Suma Thian yu berhasil menghabisi nyawa gorila itu,
tepat pada saatnya Tio Ci hui roboh termakan serangan, dia
mau menolong sudah tak sempat lagi, segera teriaknya
dengan kaget: "Tio toako!"
Tubuhnya segera menerjang kedepan dan memeriksa
denyut nadi Tio Ci hui tapi denyut nadi orang itu sudah
berhenti. "Dia telah tewas!" dengan pedih Suma Thian yu
bergumam. Kemudian ia bangkit berdiri, sorot matanya memancarkan
sinar buas penuh hawa napsu membunuh, ditatapnya Makhluk
pembalik Awan itu lekat-lekat, kemudian bentaknya sambil
menggigit bibir:
"Suma Thian yu bersumpah akan membunuhmu!"
Makhluk pembalik awan Ay Siang mendesis sinis dengan
angkuhnya dia berkata:
"Hmm, dengan mengandalkan kemampuan sekecil itupun
kau berani bicara besar...."
Namun semua perkataan ini tak ada sepatah katapun yang
masuk ketelinga Suma Thian yu, dia sudah hilang
kesadarannya, kematian Tio Ci hui telah membuatnya kalap,
karena Tio Ci hui adalah teman senasib sependeritaannya,
sebab hanya Tio Ci hui yang mempercayai kesucian dirinya....
Makhluk pembalik awan Ay Siang melirik sekejap kearah
Suma Thian yu yang masih termangu karena kesedihan yang
memuncak, tiba-tiba timbul suatu ingatan jahat dalam hatinya,
mengapa dia tidak menyergap dan membunuh pemuda itu
selagi lawannya tidak siap"
Berpendapat demikian, diam-diam dia lantas menghimpun
segenap tenaga dalamnya sedalam lengan dan siap
melancarkan serangan yang mematikan.
Siapa tahu baru saja dia bergerak, Suma thian yu sudah
merasakan hal tersebut, hanya saja dia tetap berlagak bodoh
dan berdiri seperti keadaan semula.
Diiringi bentakan keras penuh amarah dari Mahluk pembalik
awan Ay Siang, sepasang telapak tangannya dengan menghim
pun tenaga sebesar sepuluh bagian langsung dibabatkan
kedada dan lambung si anak muda tersebut.
Keadaan Suma Thian yu saat ini tak ubahnya seperti
perasaan Ay Siang yang kehilangan gorilanya, rasa gusar,
sedih dan kosong sedang menunggu sasaran pelampiasan,
dan Ay Siang kebetulan merupakan satu-satunya sasaran
pelampiasan. Suma Thian yu telah menghimpun tenaga dalamnya
sebesar sepuluh bagian yang mengelilingi seluruh badan, dia
tak mau memandang Ay Siang yang busuk dan munafik itu,
maka pandangannya dialihkan ke tempat jauh sana.
Tatkala serangan Ay Siang dengan telak menghajar diatas
dada dan lambung Suma Thian yu, mendadak terdengarlah
suara ledakan yang memekikkan telinga.
Tubuh Suma Thian yu seolah-olah sudah tumbuh akarnya,
sama sekali tidak bergerak sedikitpun, bagaimana dengan A
Siang si setan tua itu"
Ketika sepasang tangan-nya menghantam tubuh lawan
tadi, dia merasa seolah-olah menghajar diatas dinding baja
yang kuat, sepasang lengan-nya menjadi sakit sekali hingga
menusuk-nusuk tubuhnya, kemudian ia merasakan pula
seguluag tenaga pantulan yang kuat melemparkan tubuhnya
ke luar. Sekalipun selama berada diudara dia masih dapat
merasakan segala sesuatunya, akan tetapi badannya seperti
tidak bertenaga lagi, tubuhnya segera mencelat sejauh dua
kaki lalu terbanting keras keatas diatas tanah dan tewas
seketika. Begitulah nasib manusia yang berhati keji, siapa yang telah
melakukan kejahatan, dia pasti akan menerima ganjaran yang
setimpal dengan kejahatan yang pernah diperbuatnya.
Setelah berhasil membunuh Ay Siang si mahkluk pembalik
awan tersebut, perasaan Suma Thian yu sama sekali tidak
riang, apalagi ketika sorot matanya memandang mayat Tio Ci
hui yang membujur kaku diatas tanah, rasa sedih kembali
mencekam perasaannya.
Ketika dia membangunkan mayat Tio Ci hui, air matanya
tak terbendung lagi, setetes demi setetes jatuh membasahi
tubuh Tio Ci hui yang telah kaku.
Tanpa tujuan pemuda itu membopong jenasah temannya
dan selangkah demi selangkah berjalan ke depan.
Untuk mencapai lembah depan, maka dia harus melewati
sebuah tebing bukit yang dijaga ketat.
Suma Thian yu segera membaringkan jenasah Tio Ci hui
diatas tanah, membuat liang kubur disisi sebuah tebing dan
mengubur jenasah rekannya itu disana.
Ia teringat pula sumpah Tio Ci hui ketika dia bertekad
hendak membalas dendam kepada penyamun berkerudung
yang telah menewaskan tiga belas orang jagonya.
Pemuda itu segera berlutut didepan pusara temannya yang
masih baru itu, kemudian dengan sedih dia bersumpah:
"Tio toako semoga arwahmu dialam baka dapat beristirahat
dengan tenang. Lindungilah Thian yu agar secepatnya dapat
menemukan penyamun pembegal barang kawalan itu. Thian
yu bersumpah akan membalaskan dendam bagi dia dan sakit
hatimu itu"
Selesai berdoa dia bangkit dan pelan-pelan menuruni bukit
tersebut, kematian dari Tio toako nya membuat pemuda itu
cepat-cepat ingin kembali kedaratan Tionggoan.
Sebenarnya dia hendak membantai semua orang dalam
lembah Put kui kok tapi setelah teringat bahwa selain kokcu
tua yang angkuh tersebut, nyonya kokcu serta putrinya
pernah menyelamatkan dia dari siksa dan penderitaan, maka
niat tersebut di urungkan kemudian.
Disiang hari, penjagaan dalam lembah Put kui kok amat
ketat, Suma thian yu menunggu sampai tibanya malam baru
selangkah demi selangkah meninggalkan lembah tersebut
kembali ke daratan Tionggoan.
Ketika pemuda itu sudah tiba di kota Aun yang, mendadak
didengarnya suatu berita yang mengejutkan, yaitu
pertarungan antara kaum sesat dan lurus sudah tersiar sampai
dimana-mana. Konon waktu pertarungan sudah ditentu kan pada malam
Tiong ciu bulan delapan tanggal lima belas.
Tempat pertarungan adalah puncak bukit Hoa san.
Ketika Suma Thian yu menghitung dengan jari ternyata
jarak sampai bulan delapan tanggal lima belas masih ada tiga
puluh lima hari, hal ini membuat pemuda tersebut amat
gelisah. Sebab bagaimana pun juga sebelum pertarungan itu
diseleng-garakan, dia harus berangkat ke Hui im tong dan
menyambangi Ciong liong lo sianjin sambil memberitahukan
pengalamannya kepada orang tua itu.
Berbicara dari situasi sekarang, biarpun Ciong liong lo
sianjin berhasil mendapatkan kitab tanpa kata pun belum
tentu mampu memadamkan kobaran api yang mulai membara
itu. Suatu badai pembunuhan berdarah ternyata berhasil
diramalkan oleh Ciong liong Lo sianjin secara tepat sekali.
Tiga puluh hari lagi malam liong Ciu akan tiba, bila
golongan lurus dan golongan sesat mulai bertarung yang pasti
darah akan berceceran d seluruh bukit Hoa san, tapi siapakah
yang akhirnya akan muncul sebagai pemenang"
Kota Hun Yang adalah sebuah kota yang besar dan ramai,
tidak kalah bila dibandingkan dengan kota Tiang An. Suma
thian yu yang baru memasuki kota tersebut segera terkesan
oleh ramainya orang yang berlalu lalang di kota tersebut.
Tiba-tiba ia melihat seorang tosu diantara kerumunan
orang banyak, wajahnya seperti amat terkenal, tapi untuk
sementara waktu ia lupa mengingat siapakah dia, sementara
dia sedang berpikir, tosu itu telah membalikkan tubuhnya dan
lenyap dikeramaian orang banyak.
Cepat-cepat Suma Thian yu mengejar kedepan, tapi saking
tegangnya tanpa sengaja ia menumbuk orang yang berjalan
dibelakangnya. Orang itu segera menjerit kesakitan lalu mengumpat kalang
kabut: "Setan cilik, kau sialan! kemana kau taruh sepasang
matamu, mau menumbuk aku mati ya...
aduh...tolong...aduh.... tolong kau si pembunuh cilik!"
Kecut hati Suma Thian yu setelah mengetahui korbannya
adalah seorang kakek tua berambut putih yang telah berusia
kira-kira tujuh puluhan, kakek itu roboh terlentang sambil
mengaduh tiada hentinya, sehingga mengenaskan sekali
keadaannya. Cepat-cepat Suma Thian yu membimbing tangan kakek itu,
lalu katanya dengan nada minta maaf:
"Maaf pak tua, aku memang kelewat pikun sehingga tanpa
sengaja menumbukmu hingga terjerembab, maaf, maaf sekali
lagi maaf....."
Kakek itu mengaduh tiada hentinya, lama kelamaan
kemudian hal ini telah banyak menarik perhatian orang
sehingga datang mengerubung.
Tampaknva kakek itu mencari gara-gara, semakin banyak
orang yang mengerubung jeritnya semakin menjadi-jadi,
mendadak ia mencengkeram baju Suma Thian yu dan mulai
berkaok-kaok: "Coba kalian lihat bocah keparat ini mau menginjak-injak
aku sampai mati, aduh biung... perutku sakit sekali, hei
kunyuk... kauingin membunuh aku ya?"
Sebenarnya Suma Thian yu sedang kalut pikirannya apalagi
setelah mendengar kaokan kakek itu dan melihat orang-orang
yang mengerubung semakin banyak, wajahnya menjadi
merah padam seperti udang direbus.
Ulah kakek itu semakin menjadi-jadi, melihat paras muka
pemuda itu memerah, ia berteriak semakin keras.
"Ayoh ganti, kau harus mengganti kerugian, aduh habis
sudah uangku, tadi aku membawa lima tahil perak rupanya,
bocah ini sudah mencomotnya sekaligus, aduh mak, aku tak
mau hidup lagi"
Mendengar kata-kata itu sadarlah Suma thian yu bahwa
tujuan kakek tersebut dengan ulahnya adalah ingin memeras
dia, coba kalau disana tiada orang lain apalagi memang ia
yang tanpa sengaja menubruknya, sejak tadi kakek itu sudah
ditempelengnya.
Sekarang kakek tersebut hanya bermaksud minta uang
saja, hal ini justru dianggap olehnya sebagai suatu yang
kebetulan sekali, karenanya diapun memohon:
"Lopek, maafkanlah aku, kalau kau tak punya uang, aku
bersedia memberi lima tahil untukmu, cuma disini banyak
orang, bagaimana katau kita minum dua cawan arak dirumah
makan?" Agaknya kakek itu seperti tertarik, dia segera berhenti
mengaduh dan mengawasi pemuda tersebut dengan mata
melotot. "Baiklah, sekarang juga kita boleh berangkat" katanya
kemudian. Dengan melepaskan diri dari kerumunan orang banyak, dia


Kitab Pusaka Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

segera beranjak pergi lebih dulu.
Para penonton yang menyaksikan kejadian tersebut bukan
saja tiada yang menaruh simpatik, sebaliknya diam-diam
malah menyumpai kakek tersebut.
Suma Thian Yu dengan mulut membungkam mengikuti di
belakangnya, ternyata kakek itu tidak menuju kepusat kota
sebaliknya malahan pergi keluar kota.
Melihat hal ini, Suma Thian Yu menjadi keheranan dan tak
tahu obat apa yang sedang dipersiapkan kakek tersebut, tapi
dia menduga tentu bukan mengandung maksud baik.
Setelah keluar dari pintu kota, kakek itu membalikkan
badan dan menghadang jalan perginya sambil berkata:
"Setan cilik, apakah ingin menghantar kematianmu?"
"Empek tua, aku tidak mengerti apa yang kau maksudkan!"
"Kau mengejar terus tosu siluman tersebut, kalau bukan
ingin mengantar kematian, lantas mau apa?"
Suma Thian yu jadi tertelan setelah pendengar ucapan ini,
diam-diam pikirnya:
"Sungguh aneh, darimana dia tahu kalau aku sedang
mengejar tosu tua itu" tampaknya dia adalah seorang manusia
yang punya nama atau asal usul...."
Meski begitu dia toh telah menyangkal:
"Tidak, aku sedang meneruskan perjalananku..."
"Meneruskan perjalanan" Hmm aku lihat kembali ke gua
Hui im tong yang benar bukan?"
Begitu ucapan tersebut diutarakan, Suma Thian yu semakin
terkejut lagi, jangan-jangan dia telah bertemu dengan seorang
dewa..." Kembali kakek itu berkata:
"Ciong liong si tua bangka itu sudah tidak berada di Hu im
tong lagi ke sana pun percuma saja. Bagaimana kalau aku
memberi petunjuk kepadamu" Lebih baik kau berangkat ke
perkampungan Lu ming ceng di kaki bukit Hoa san saja!"
Suma thian yu segera sadar bahwa dibalik kesemuanya itu
tentu ada hal-hal yang tak beres, cepat-cepat dia memberi
hormat seraya berseru:
"Terima kasih atas petunjuk dari cianpwe, bolehkah aku
tahu siapa nama cianpwe?"
Kakek itu segera tertawa terkekeh.
"Aku tak punya nama, hidupku sederhana dan hambar,
sampai nama sendiripun kulupakan"
Semula Suma Thian yu tidak menangkap sesuatu dibalik
ucapan tersebut, namun setelah berpikir lebih jauh, dia seperti
teringat akan sesuatu, segera serunya:
"Apakah locianpwee adalah Tam Pak cu?"
kakek itu segera tertawa terbahak bahak:
"Haaa... haaa... rupanya gurumu sudah pernah
menyinggung diriku?"
"Suhu boanpwee seringkali membicarakan tentang nama
besar cianpwee, dan boanpwe pun sangat berharap dapat
berjumpa dengan cianpwee, sunggah beruntung hari ini kita
dapat bersua muka"
"Cukup, cukup, kau tidak usah berkentut terus, buat apa
kau membicarakan soal begini" Aku masih mempunyai banyak
tugas dan tak ada waktu untuk berbicara betele-tele lagi, yang
penting gurumu berada di perkampungan Lu ming ceng
sekarang, sedangkan suhengmu Hian cing totiang berada
dirumah penginapan Cing keng di sebelah selatan kota..."
Mendapat kabar tentang suhengnya Hian ceng totiang,
Suma Thian yu merasa girang di samping malu, dia girang
karena gurunya put gho cu pernah berpesan agar dia mencari
suhengnya itu sampai ketemu.
Sebaliknya Tam pak cu adalah satu diantara dua tokoh
dunia persilatan yang angkat nama bersama-sama dengan
gurunya Put gho cu, sudah barang tentu kelihayan ilmu
silatnya luar biasa sekali.
Tanpa memberi kesempatan kepada lawannya untuk
menjawab, dengan cepat Tam pak cu berkata lagi:
"Adapun tosu yang kau kejar tadi tak lain adalah utusan
dari Kun lun indah untuk mencabut nyawa mu, selanjutnya
kau mesti berhati-hati, mara bahaya masih akan muncul
diperjalanan selanjutnya, asalkan kau selalu waspada, sudah
tentu setiap bencana berubah menjadi rejeki. Nah, aku mau
pergi dulu"
Selesai berkata, dia segera bersajak pergi meninggalkan
tempat tersebut.
Suma Thian yu segera membalik-kan badan masuk kembali
ke kota Hoa yang, dari orang ditepi jalan dia mencari tahu
letak rumah penginapan Cing keng.
Sebenarnya rumah penginapan adalah tempat untuk
menginap para pelancoang yang se dang berkunjung, tetapi
rumah penginapan Cing keng justru khusus disediakan bagi
kaum tojin. Ketika Suma Thian yu sampai didepan pintu, dia masih
mengira dirinya sudah salah alamat dan mendatangi sebuah
pertokoan. Rumah penginapan Cing keng memang khusus dibangun
menyerupai sebuah pertokoan. Seandainya didepan pintu
tidak terpancang papan nama yang bertuliskan Cing keng,
niscaya Suma Thian yu sudah pergi meninggalkan tempat itu.
Sementara dia masih berdiri termangu, seorang seperti
orang bodoh, dari balik rumah penginapan telah muncul
seorang tosu kecil yang segera menegur:
"Apakah tuan sedang mencari seseorang?"
"Benar, aku sedang mengunjungi Hian cing tojin"
Tosu kecil Itu memperhatikan seluruh badan Sumaa Thian
yu dari atas sampai kebawah, kemudian baru katanya:
"Silahkan masuk ke dalam"
Ia mengajak Suma Thian yu menelusuri beranda menuju
kesebuah kamar dipaling ujung, kemudian sembari menunjuk
kamar itu, kata tosu kecil itu:
"Itu dia kamarnya"
Seusai berkata diapun beranjak pergi.
Suma Thian yu segera mengetuk pintu kamar itu pelanpelan,
dari balik kamar pun terdengar suara seseorang
menegur: "Siapa disitu?"
"Aku Suma Thian yu"
Pintu kamar segera dibuka dan muncul seorang tosu tua
yang berwajah penuh welas kasih.
"Silahkan masuk" katanya lembut.
Setelah melangkah masuk kedalam ruangan, Suma thian yu
segera berseru lagi:
"Bolehkah aku tahu apakah Hian cing totiang adalah...."
"Yaa, pinto lah orangnya, siauhiap menyebut diri sebagai
Suma Thian yu, apakah kau sute?"
Suma Thian yu segera menjatuhkan diri berlutut sambil
memberi hormat, tapi Hian Ceng totiang segera
membangunkan pemuda itu dan tertawa terbahak-bahak.
"Haah...haah...haah...silahkan bangun hiante, kita bukan
orang luar, tak usah kelewat banyak adat"
Setelah bangkit berdiri, Suma Thian yu baru berkata:
"Sewaktu aku berpamitan dengan suhu tempo hari, suhu
memerintahkan kepadaku untuk menyambangi suheng, sudah
sepantasnya bila aku memberi hormat kepadamu setelah
berjumpa, apalagi selama inipun aku belum sempat mencari
suheng karena tugas yang bertumpuk, untuk itu harap suheng
sudi memaafkan"
Hian cing totiang sudah berusia enam puluh tahun,
berwajah keren, gagah dan berwibawa, namun memancarkan
pula sinar welas kasih, membuat siapapun yang berjumpa,
segera timbul perasaan hormat dan kagum terhadapnya.
Sesudah mempersilahkan Suma Thian yu duduk, Hian cing
totiang baru berkata lagi:
"Bulan berselang, suhu telah berkunjung ke Bu tong dan
membicarakan soal hiante, saat itulah pinto baru tahu kalau
hiante sudah pulang dari Tibet dengan selamat, sungguh tak
disangka diluar dugaan hiante telah datang berkunjung"
Suma Thian yu segera menuturkan pengalamannya secara
ringkas bagaimana dia bertemu dengan Tam pak cu dan
bagaimana dia diberi petunjuk untuk menjumpai Hian cing
totiang, disamping itu dia pun menceritakan pula semula
pengalamannya selama ini.
000O000 Dengan cermat dan seksama Hian cing totiang
mendengarkan semua penuturan tersebut, ketika mengetahui
adik seperguruan telah berhasil mempelajari isi kitab tanpa
kata, sudah barang tentu tosu itu manjadi amat girang.
Pembicaraan diantara merekapun segera berlangsung lebih
akrab dan santai, sementara Hian cing totiang menceritakan
pula semua peristiwa yang belakangan ini terjadi didalam
dunia persilatan kepada pemuda tersebut.
Saat itulah Suma Thian yu baru mengetahui pangkal pokok
perselisihan dari kaum lurus dan sesat.
Sebetulnya pihak kaum lurus sama sama mengusulkan
Ciang liong lo sianjin sebagai pimpinannya, namun usul ditolak
oleh yang bersangkutan karena merasa dirinya sudah tua dan
tak ingin terikat lagi, sehingga dalam pertarungan inipun dia
enggan untuk turut menghadirinya.
Namun setelah direcoki terus, akhirnya dia memberikan
juga kesanggupannya untuk memberi bantuan.
Disamping itu diapun mengusulkan agar Hui im tongcu
sebagai pemimpin, sebab berbicara soal tingkatan kedudukan
sudah sepantasnya jika Hui im tongcu sebagai pimpinan.
Tapi kalau berbicara menurut keadaan situasi didalam
dunia persilatan, maka Hian cing totiang yang terasa lebih
cocok untuk menduduki jabatan tersebut.
Bagaimana pun juga, Hian cing totiang adalah seorang
ketua dari Bu tong pay, kedudukan maupun posisi Bu tong pay
dalam mata masyarakat amat tinggi dan disegani.
Namun Hian cing totiang tak ingin melibatkan segenap
anak muridnya kedalam persoalan ini, dia hanya bersedia turut
serta sebagai seorang preman yang yang terlepas dari ikatan.
Sesungguhnya tindakan ini memang merupakan sebuah
pilihan yang amat tepat, sebagai seorang ketua partai,
memang sepantasnya bila dia mengutamakan keselamatan
orang banyak lebih dulu, tentu saja dia tak ingin dikarenakan
ambisi pribadi sehingga menjerumuskan seluruh partai ke
dalam posisi yang sulit.
Kini segenap jago dari golongan lurus lelah berdatangan
dari empat arah delapan penjuru untuk berkumpul di
perkampungan Le ming ceng di kaki bukit Hoa san.
Hui im tongcu Gak Say bwee dengan membawa Gak Sin
liong yang binalpun telah pindah pula ke perkampungan Lu
ming ceng. Sepintas lalu pertarungan antara golongan lurus dan sesat
ini hanya biasa saja, padahal bencana tersebut tak ubahnya
seperti pertempuran antara dua neraka besar.
Begitulah, dari keterangan dan laporan yang diberikan Hian
cing totiang kepadanya, Suma Thian yu banyak mendapat
tahu tentang segala gerak gerik dan sepak terjang dari Kun
lun indah belakangan ini.
Ketika berpamitan dengan Hian ceng totiang, waktu sudah
menunjukkan tengah malam, berhubung dia adalah seorang
preman, maka ia tak diperkenankan berdiam dalam rumah
penginapan Cing keng. Hian cing totiang sama sekali tidak
menghantarnya sampai pintu, Suma thian yu muncul dari
rumah penginapan seorang diri.
Setelah menarik napas panjang, dengan kepala tersuruk dia
melangkahkan kaki.
Tak lama setelah meninggalkan rumah penginapan,
pemuda itu segera merasa dirinya sedang diikuti orang, satu
ingatan segera timbul didalam benaknya.
"Mengapa tidak kugunakan sedikit akal untuk
mempermalukannya?"
Cepat-cepat dia berganti arah dan menuju keluar kota,
setelah itu dia pun secara diam-diam memperhatikan apakah
para penguntitnya masih mengikuti terus.
Belum sampai setengah li, dia telah menjumpai bahwa
orang yang menguntilnya bukan hanya seorang saja.
Siang hari tadi, dari mulut Tam pak cu, ia mendapat tahu
kalau si harimau angin hitam sekalian telah menyusul kesana,
maka dia pun bisa menduga kalau orang yang menguntilnya
sekarang sudah pasti merupakan jago-jago kelas satu.
Maka diapun mempercepat langkahnya menuju keluar kota.
Tak lama setelah meninggalkan kota, tiba-tiba dari
belakang tubuhnya terdengar seseorang membentak keras:
"Bocah keparat jangan pergi dulu!"
Suma Thian yu memperhatikan sekejap sekeliling tempat
itu, melihat tempat tersebut adalah sebuah jalan raya menuju
kekota yang gampang menarik perhatian orang, maka dia
segera bergerak meluncur kearah hutan di sebelah kanan
jalan. Pada saat Itulah dari belakang tubuhnya terdengar suara
desingan angin tajam, ketika Suma Thian yu berpaling, la
jumpai ada tiga sosok bayangan manusia sedang meluncur
datang dengan kecepatan luar biasa.
Dalam sekilas pandangan saja Suma Thian yu segera
mengenali ketiga orang itu sebagai si ular berekor nyaring Mo
Pun ci yang merupakan musuh besarnya, lalu leng khong
taysu dari Go bi pay dan seorang tosu lagi yang pernah
dijumpainya waktu masuk kota pagi tadi, Hu hok cu adanya.
Selesai memperhatikan orang-orang itu, Suma thian yu
segera mendongakkan kepalanya dan tertawa keras, serunya:
"Heeh... heeeh... heeeh... aku mengira sobat dari mana
yang telah datang, rupanya tayhiap bertiga. Orang she Mo,
perjumpaan kita hari ini benar-benar suatu kebetulan, jadi aku
tak perlu mencarimu kemana-mana lagi"
Sebelum si ular berekor nyaring Mo Pun ci menjawab, Leng
khong taysu telah berseru lebih dulu:
"Bocah keparat, tak kusangka kau belum mampus. Hmm,
nyawanya sungguh amat panjang, sudah kukirim kau ke
neraka kau justru kau balik lagi ke dunia, tampaknya kau ingin
memilih cara kematianmu" Hmm, baiklah, terpaksa pinto
harus mengirimmu sekali lagi"
Sambil menjejakkan kakinya ke atas tanah, dia menerjang
kedepan sambil mengayunkan tangan-nya melepaskan sebuah
pukulan kearah tubuh Suma Thian yu.
Begitu berjumpa dengan Leng khong taysu, Suma thian yu
pun merasakan darah panas mendidih dalam tubuhnya, ia bisa


Kitab Pusaka Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terkurung dalam lembah Put kui kok selama ini, tak lain adalah
berkat hasil karya dari orang ini, dia merasa dendam sakit hati
semacam ini harus dibalas.
Berpikir demikian, dia menjadi nekad dan diam-diam
mengerahkan tenaga dalamnya kedalam telapak tangan.
Tapi satu ingatan kembali melintas didalam, ia berpikir:
"Seandainya kubunuh Leng khong dalam sekali pukulan,
niscaya perbuatanku ini akan mengejutkan yang lain dan
sudah pasti si ular berekor nyaring dan Hu hok cu pasti akan
melarikan diri ketakutan, mengapa aku tidak berbuat
begini...begini saja?"
Baru saja ingatan tersebut melintas lewat dalam benaknya,
telapak tangan Leng kong taysu sudah mengancam didepan
dada. Pemuda itupun segera berseru keras:
"Sebuah serangan yang amat bagus!"
Dia segera miringkan badan-nya kesamping lalu dengan
mengeluarkan ilmu pukulan Tay ciong to liong ciang ajaran
Put gho cu, dia melangsungkan pertarungan seru melawan
musuhnya. Tempo hari Leng kong taysu sudah pernah merasakan
kelihayan dari ilmu silat yang di miliki lawannya, oleh sebab itu
begitu bertarung, dia segera mengeluarkan ilmu pukulan Go bi
pay dan melepaskan serangkaian serangan yang mematikan
ditujukan kebagian tumbuh yang mematikan dari lawannya.
Suma Thian yu yang melihat musuhnya mengambil taktik
pertarungan kilat, segera merasakan semangatnya turut
berkobar pula, cepat-cepat dia memperkokoh pertahanan-nya
terus dilawan dengan jurus, pukulan disambut dengan
pukulan, dalam waktu singkat dua puluh gebrakan sudah
lewat. Sementara itu si ular berekor nyaring Mo pun ci yang
menonton jalan-nya pertarungan dari sisi arena mulai ragu
setelah menyaksikan kesemuanya itu, dia berpikir nama besar
Suma thian yu sudah cukup termasyur dikolong langit,
mengapa dia bertarung begitu" Padahal sewaktu bertempur
ditelaga Tong ting tempo hari, pemuda itu perkasa seperti
harimau ganas, atau mungkin selain permainan ilmu
pedangnya, dia tak memiliki kemampuan yang lain"
Hu Hok Ci pun turut bergembira oleh keadaan tersebut,
sebab dia menganggap ilmu silat yang dimiliki lawan amat luar
biasa, dalam anggapannya tidak akan sulit baginya untuk
membekuk musuhnya.
Sementara semua orang sedang merasa gembira, tiba-tiba
dari arah arena bergema suara jeiitan ngeri yang memilukan
hati, pada mulanya si ular berekor nyaring mengira Leng
khong taysu telah berhasil memenangkan pertarungan itu,
namun dia segera menjerit kaget:
"Aaaahhh!"
Ternyata batok kepala Leng khong taysu sudah memar dan
hancur berantakan, mayatnya tergelepar diatas tanah dalam
keadaan yang amat mengerikan.
Bagaimana mungkin Leng khong taysu bisa binasa"
Ternyata mereka berdua tidak berhasil melihat keadaan
tersebut secara jelas, padabal berbicara dari gerakan tubuh
Suma Thian yu tadi, sudah jelas mustahil baginya untuk
membunuh Leng khong taysu dalam sekejap mata.
Padahal orang yang menghabisi nyawa Leng khong taysu
bukan Suma Thian yu, melainkan Leng khong taysu sendiri,
ketika dia sedang melancarkan pukulan kearah lawan-nya tadi,
tahu-tahu segulung tenaga lembut yang sangat kuat telah
menghadang tenaga serangannya, maka ketika tenaga
pukulan itu memantul balik, akibatnya senjata makan tuan, ia
dihajar mampus oleh tenaga pukulan sendiri.
Menyaksikan Leng khong taysu mati mengenaskan,
sebelum si ular berekor nyaring Mo pun ci sempat berbicara,
Hu hok cu telah menerjang lima langkah ke depan Suma thian
yu, lalu dengan mata merah membara, bentaknya keras:
"Bocah keparat, tak nyana kau masih mempunyai
kepandaian juga, mari, mari, biar aku saja yang mengirimmu
pulang ke neraka"
Sambil menerjang kedepan, dia segera melepaskan sebuah
pukulan dashyat keatas jalan darah ki hay hiat ditubuh Thian
yu dengan jurus Guntur menggelegar petir menyambar.
Melihat serangan tersebut, Suma Thian yu segera
mendengus dingin, jengeknya:
"Huuh...kau mah belum pantas untuk bertarung melawan
diriku...!"
Begitu kata terakhir diucapkan, tubuhnya sudah menyelinap
ke belakang punggung Hu hok cu, lalu dengan jurus
menyembah Buddha diruang emas, dia totok jalan darah Ki
tong hiat di punggung lawan.
Hu Hok cu bukan seorang jago yang bodoh, begitu
serangan-nya mengenai sasaran kosong, tiba-tiba dia
membalikkan badan lalu menyergap pusar lawan dengan jurus
Burung merak pentang sayap.
Pertarungan sengit pun segera berkobar dengan serunya,
untuk sesaat sulit rasanya untuk menentukan siapa menang
siapa kalah. Sementara itu si ular berekor nyaring Mo pun ci yang
menonton jalan-nya pertarungan dari sisi arena pun sudah
melihat kalau Suma Thian yu sedang menggunakan akal licik
untuk membohongi mereka, tanpa terasa dia bergeser maju
ke depan sambil mempersiapkan sebatang senjata rahasia
beracun, dia bersiap-siap menyerang lawannya di saat pe
muda itu sedang lengah nanti.
Suma Thian yu pun bukan manusia bodoh, ia memiliki
ketajaman mata yang melebihi siapapun, apalagi pertarungannya
melawan Hu Kok cu ibarat orang yang sedang
mempermainkan seekor monyet saja, semua dilakukan
dengan seenaknya dan santai.
Oleh sebab itulah segala gerak gerik dari si ular berekor
nyaring dapat disaksikan olehnya dengan jelas, hal ini justru
semakin mengobarkan perasaan dendam dari pemuda itu.
Maka dia pan berpekik nyaring, gerakan tubuhnya segera
dirubah dan kali ini dia melancarkan serangan dengan ilmu
pukulan angin pusing ajaran Cong liong lo sianjin. Kalau tadi
Hu Hok cu masih dapat menghadapi serangan lawan dengan
terpaksa, maka begitu lawan-nya berganti serangan, dia
menjadi keteter hebat dan kelabakan setengah mati.
Bayangan tubuh Suma Thian yu yang terlihat didepan
matanya seakan-akan menjadi banyak, sebentar kekiri,
sebentar lagi ke kanan, membuat Hu Hok cu menjadi pening
dan kebingungan setengah mati, diam-diam dia mulai
mengeluh. Ular berekor nyaring Mo pun Ci yang menyaksikan kejadian
tersebut pun ikut menjadi gelisah, tiba-tiba dia membentak
keras: "Lihat serangan!"
Tangannya segera diayunkan kedepan, sekilas cahaya
tajam bagaikan sambaran kilat cepatnya langsung menerjang
ketubuh Suma Thian yu.
Menyaksikan kejadian tersebut, Suma Thian yu segera
tertawa terbahak-bahak, dengan gerakan tubuh Ciok tiong
loan poh dia menyelinap kebelakang tubuh Hu Hok cu, bukan
begitu saja, sepasang telapak tangan-nya segera dilontarkan
pula kedepan, seketika itu juga muncul segulung angin
pukulan yang melemparkan tubuh Hu Hok cu sejauh satu kaki
lebih dari posisi semula.
Ketika tubuh Hu hok cu terlempar kedepan, secara
kebetulan pula senjata rahasia beracun dari si ular berekor
nyaring sedang menyambar dengan kecepatan luar biasa.
Tak ampun lagi, Hu Hok cu segera menjerit kesakitan
dengan suara yang memilukan hati, sekujur badan-nya
gemetar keras, disusul kemudian tubuhnya terbanting keatas
tanah, muntah darah lalu berkelejetan sebelum ajalnya tiba.
Tak terlukiskan rasa geram si ular berekor nyaring Mo pun
ci melihat rekan-nya tewas oleh senjata rahasia sendiri,
bagaikan orang kalap dia segera melompat kehadapan Suma
thian yu, kemudian tanpa banyak cincong mengayunkan
kepalan-nya melepaskan sebuah pukulan ke depan.
Dengan sangat cekatan Suma Thian yu mengegos
kesamping untuk meloloskan diri dari ancaman tersebut,
kemudian sambil tertawa dingin jengeknya:
"Orang she Mo, jangan keburu menyerang, berbicara dulu
sebelum bergebrak"
"Tiada perkataan yang bisa di bicarakan lagi denganmu,
bocah keparat, lihat serangan!" bentak si ular berekor nyaring
Mo Pun ci sambil mengertak gigi.
Lalu dengan jurus mencari hari berganti waktu, dia bacok
ubun-ubun Suma Thian yu.
Si anak muda itu sama sekali tidak memberikan
perlawanan, dengan cekatan tubuhnya menyapu ke samping
untuk menghindarkan diri dari ancaman tersebut.
Si ular berekor nyaring segera mengira lawan-nya takut,
tanpa terasa dia mendesak maju ke depan sambil
menyarangkan sebuah pukulan lagi.
Namun semua serangannya itu berhasil dipunahkan atau
dihindari oleh Suma Thian yu secara gampang, andaikata si
ular berekor nyaring cukup teliti, dia seharusnya tahu diri dan
segera mengundurkan diri.
Siapa tahu orang ini sudah dibikin kalap lantaran gusar
dan dendamnya, bukannya berhenti, secara beruntun dia
malah melancarkan tiga buah serangan lagi.
Sebetulnya Suma Thian yu bermaksud menghabisi nyawa
lawannya dalam satu gebrakan saja, namun berhubung masih
banyak persoalan yang merupakan teka teki baginya, maka
sembari melompat mundur, serunya:
"Bajingan Mo, apakah kau masih belum juga mau sadar?"
Si ular berekor nyaring Mo Pun ci tertawa dingin dengan
suara yang menyeramkan:
Heeh...heeh...heeeh bocah keparat, yang harus sadar
adalah kau, toaya mendapat perintah untuk membereskan
nyawa anjingmu, apakah kau masih belum juga mau
menyerah?"
"Bajingan Mo, jawab dulu, siapa yang telah membunuh
ayahku?" kata Suma Thian yu dengan wajah serius.
"Kalau toaya, mau apa kau?" jawab si ular berekor nyaring
dengan angkuh. "Kau" Suma Thian yu melotot gusar, kau tidak berbohong?"
Si ular berekor nyaring Mo Pun ci tertawa terbahak-bahak
dengan suara yang menyeramkan.
"Bocah keparat, toaya lah yang telah membunuh Suma
Tiong ko, apakah kau kurang jelas" Kalau memang begitu
menghadaplah kepada raja akhirat dan tanyakan sendiri
kepada bapak anjingmu setibanya disana nanti, tanya kepada
mereka apa betul aku she Mo yang melakukan perbuatan
tersebut?"
Suma Thian yu benar-benar amat gusar, dadanya mau
meledak saja, kepalanya berputar, kesadarannya hampir saja
punah. Sambil menancapkan kakinya keatas tanah, ia segera
menggetarkan tangannya keras-keras sambil membentak
nyaring, tulang belulang disekujur badannya segera berbunyi
gemerutukan nyaring.
Inilah gejala dari seseorang yang sedang menghimpun
tenaga dalamnya, sebagai seorang yang berpengalaman
sudah barang tentu si ular berekor nyairing dapat melihat
akan hal ini. Maka diapun segera menghimpun tenaga dalamnya dan
bersiap sedia melakukan suatu pertarungan beradu jiwa.
Mendadak terdengar Suma Thian yu membentak keras:
"Bajingan tengik, serahkan nyawamu!"
Sepasang telapak tangannya segera dilontarkan bersama
kedepan, segulung angin pukulan yang maha dahsyat
langsung menyambar kearah tubuh si ular berekor nyaring Mo
pun ci. Si ular berekor nyaring adalah seorang manusia licik yang
berotak cerdas, melihat datangnya serangan, dia tak berani
menyambut dengan kekerasan sebaliknya malah kabur untuk
menghindarkan diri, dengan demikian angin serangan Suma
Thian yu yang maha dahsyat itu pun menyapu lewat dari sisi
tubuhnya. Meskipun demikian, sisa tenaga pukulan yang terpancar
keluar toh cukup membuat sekujur badan si ular berekor
nyaring Mo pun ci merasakan panas dan peri, rasanya benarbenar
amat tak sedap.
Atas kejadian ini, semangat si ular berekor nyaring Mo Pun
ci menjadi luntur, sekujur tubuhnya bergetar keras, sambil
tertawa dingin serunya:
"Bocah keparat, tak kusangka kau mempunyai kepandaian
yang cukup tangguh, sayang sekali kau telah salah mencari
sasaran, selama berada dihadapan toaya, lebih baik kau
serahkan saja nyawa mu tanpa melawan daripada toaya mesti
repot-repot turun tangan"
Suma Thian yu sama sekali tidak menggubris, ketika
serangannya tidak mengenai sasaran, dia segera menerjang
lebih kedepan sambil mengembangkan ilmu pukulan Siap poo
bwee hong ciang.
Dua buah pukulan beruntun yang dilancarkan memaksa si
ular berekor nyaring Mo Pun ci merasakan daya tekanan yang
amat berat menyiksa dadanya, hal ini membuatnya cepatcepat
menghindarkan diri.
Akan tetapi Suma Thian yu sama sekali tidak memberi
kesempatan lagi baginya untuk berganti nafas, jurus demi
jurus dilancarkan bagaikan air yang mengalir ke bawah, dia
menguasahi seluruh keadaan dan kemenangan sudah berada
ditangan-nya. Dengan demikian keadaan dari si ular berekor nyaring Mo
Pun ci berubah sebagai sasaran pemukulan, bukan hanya
dipihak yang terserang, sampai akhirnya hakekatnya dia
bagaikan seekor anjing gila yang berada di dalam
kerangkengan saja, sebentar harus berkelit kekiri sebentar lagi
menghindar kekanan, namun belum berhasil juga meloloskan
diri dari lingkaran angin pukulan Suma Thian yu.
Berbicara soal tenaga dalam, perbedaan dari ular berekor
nyaring dengan Suma Thian yu pada hakekatnya seperti langit
dan bumi, asalkan Suma Thian yu mengeluarkan jurus yang
mana pun dari ilmu yang dipelajari dalam kitab tanpa kata,
niscaya dia akan ber hasil membinasakan bajingan cabul ini.
Namun dia tidak ingin berbuat begitu secepatnya, dia


Kitab Pusaka Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

butuh penjelasan yang lebih banyak lagi tentang seluk beluk
terbunuhnya ayahnya dan persoalan tentang dibasminya
keluarga Suma. Itulah sebabnya dia mengambil keputusan untuk
melancarkan serangkaian serangan yang gencar dan
melelahkan, alhasil tindakan diambilnya ini memang sangat
tepat, praktis semua gerakan si ular berekor nyaring Mo pun ci
terbelenggu, dia tinggal menunggu saat ajalnya saja.
Peluh sebesar kacang kedelai jatuh bercucuran membasahi
seluruh tubuh si ular berekor nyaring, napasnya mulai
tersengal-sengsal, kendatipun segenap kepandaian sakti yang
dimilikinya telah dipergunakan semua, kenyataannya tak
berhasil menjawil seujung baju pun dari lawannya.
Sebaliknya dia sendiri justru sudah di penuhi dengan luka,
akhirnya dengan perasaan putus asa dia membentak keras:
"Bocah keparat, apabila kau punya keberanian, ayoh
hadiahkan sebuah pukulan untuk membunuh toaya ini!"
Suma Thian yu tertawa terbahak-bahak:
"Haah...haah...haah, sauya justu mau menyiksamu habishabisan,
mau apa kau?"
Dengan mengeluarkan ilmu langkah Ciok tiong luan poh
cap lak tui, tampak bayangan manusia berkelobat lewat dan
menyelinap ke belakang tubuh si ular berekor nyaring, dimana
kelima jari tangannya menyambar lewat, pakaian yang
dikenakan segera sobek dan tubuhnya terlihat jelas.
Si ular berekor nyaring Mo Pun ci segera membentak
marah, sambil membalikkan badan-nya, dia balas melancarkan
sebuah serangan ke tubuh lawan.
Dengan cekatan Suma Thian yu mengibaskan bahunya
menghindarkan diri dari ancaman tersebut, mala bersamaan
waktunya dia sempat mencubit pinggang si ular berekor
nyaring itu dengan sebuah cubitan yang keras.
Tak heran kalau si ular berekor nyaring segera menjerit
kesakitan dan mundur beberapa langkah sempoyongan.
Suma thian yu segera bertindak lebih cepat, pada saat si
ular berekor nyaring mundur ke belakang, pedang Kit hong
kiam nya segera dicabut keluar dari punggungnya, di mana
cahaya pedang menyambar lewat, bagaikan sekilas petir yang
menyambar, tahu-tahu sudah meluncur mundur ke arah tubuh
orang itu. Dalam sekejap mata ujang pedang Suma Thian yu sudah
menempel diatas tenggorokan si ular berekor nyaring, dalam
keadaan demikian Mo pun ci praktis mati kutunya, sekarang
biarpun ada malaikat yang datang menolongnya pun tak ada
gunanya lagi. Dengan suara dingin Suma thian yu segera membentak:
"Orang she Mo, ayoh cepat terangkan hal ikhwal sampai
mencelakai keluarga ku, asal kau bersedia menjawab dengan
jujur, sauya pun akan memberi kematian yang memuaskan
untukmu, kalau tidak, sebelum ajalmu tiba, mungkin kau
harus merasakan dulu suatu penghidupan yang penuh
siksaan" Sesungguhnya si ular berekor nyaring Mo Pun ci adalah
seorang manusia keparat yang bernyali kecil, dia adalah
bajingan cabul yang pengecut dan takut mati, berada dalam
keadaan begini kembali timbul niatnya untuk membohongi
pemuda tersebut.
Dengan suara keras segera teriaknya:
"Orang yang membunuh ayahmu adalah orang she Lim,
bukan toaya mu...."
Kalau tidak mendengar perkataan tersebut mungkin Suma
thian yu masih kuat menahan diri, tapi begitu mendengar
kata-kata tersebut, amarahnya segera berkobar kembali,
pedangnya menyambar kebawah dengan cepat.
Sebuah telingan si ular berekor nyaring Mo pun ci pun
segera terkepas kutung dan rontok ke atas tanah.
"Ayoh bicara, cepat bicara!" bentak Suma Thian ya dengan
penuh kegusaran.
Ular berekor nyaring Mo Pun ci kembali ngotot menuduh
Lim khong sebagai pembunuhnya, Suma Thian yu yang
semakin marah segera mengayunkan pedangnya sekali lagi,
kali ini batang hidung ular berekor nyaring yang terpapas
kutung sampai rata.
Jeritan kesakitan segera bergema memenuhi angkasa
berbareng dengan pancaran darah segar dari luka dihidung
ular berekor nyaring tersebut...
"Ayoh cepat berbicara, benarkah kau ingin mampus secara
pelan-pelan?" ancam Suma Thian yu dengan suara keras.
Ular berekor nyaring Mo Pun ci tak sanggup menahan rasa
sakit yang mencekam dirinya lagi, ia segera berteriak:
"Toaya yang membunuh"
"Kau tidak bohong?" seru Suma Thian yu dengan perasaan
bagaikan disayat-sayat setelah mendengar pengakuan itu.
"Toaya yang telah melakukan pembunuhan itu, seorang
lelaki sejati berani berbuat berani bertanggung jawab, seluruh
keluarga Suma Thiong ko mati ditangan toaya seorang"
Akhirnya Ular berekor nyaring Mo Pun ci mengaku juga
secara berterus terang.
Berhadapan dengan musuh besar pembunuh keluarganya,
Suma Thian yu benar-benar merasa geram dan marah,
sekujur badannya gemetar keras menaban emosi, pedangnya
segera ditusukkan kedepan keras-keras....
Diiringi jeritan ngeri yang memilukan hati, darah segar
muncrat keluar dari tenggorokan si ular berekor nyaring Mo
pun ci dan memancar kemana-mana, tak selang berapa saat
kemudian habis sudah riwayatnya.
Menanti si ular berekor nyaring Mo Pun ci sudah mampus,
Suma Thian yu baru merasakan hatinya amat lega, dia
menyeka darah dari ujung pedangnya kemudian
menyarungkan kembali, setelah itu dengan perasaan riang
gembira dia berjalan kembali kekota Hun yang.
Tak lama setelah Suma Thian yu berlalu, dari balik hutan
muncul kembali seseorang, dia adalah si harimau angin hitam
Lim Khong. Semua peristiwa yang barusan terjadi dapat diikuti olehnya
dengan jelas sekali, tapi mengapa ia tidak segera terjun
kearena, sebaliknya baru muncul setelah ketiga orang
rekannya terbunuh dan Suma Thian yu berlalu dari situ"
Disinilah letak kelicikan dari harimau angin hitam Lim Kong
kali ini, sebenarnya dia memperoleh perintah dari Kun lun
indah Siau Wi goan untuk datang ke Hun yang dengan tujuan
utama adalah menyelidiki jejak dari Suma Thian yu, kemudian
kedua, bagaimana caranya menghadang, menyergap dan
membinasakan pemuda tersebut.
Dari kedua macam tugas yang di bebankan kepadanya satu
diantaranya sudah berhasil dilaksanakan, sedangkan
mengenai penyergapan dan membinasakan pemuda tersebut,
ia tidak berani bertindak secara sem barangan, sebab dia tahu
Suma Thian yu amat kosen bagaikan seekor harimau dan tak
mungkin bisa dibunuh oleh mereka berempat.
Oleh sebab iiu dia merasa tidak perlu mengorbankan diri
secara percuma apalagi konyol, dia bertekad untuk
melanjutkan hidupnya sambil menanti kesempatan untuk
menbinasakan pemuda tersebut.
Tatkala Leng khong taysu dan Hu hok cu terbunuh tadi,
sebenarnya dia sudah bersiap sedia untuk turun tangan, tapi
kemudian ia merasa lebih baik berpeluk tangan belaka
membiarkan orang-orang itu mati konyol, sedangkan diapun
bisa pulang dengan cerita-cerita hebat yang melukiskan
kegagahan sendiri.
Bagaimana pun juga dia beranggapan bahwa Kun lun indah
tak mungkin akan memperdulikan persoalan-persoalan
semacam itu. Bersahabat dengan bajingan, tak ubahnya seperti sekulit
dengan harimau, rasanya ucapan ini memang tepat sekali.
Jangan dilihat dihari-hari biasa mereka selalu berhubungan
akrab seperti saudara sendiri, mati hidup bersama-sama, tapi
bila salah satu pihak mulai terancam bahaya, maka kalau bisa
kabur mereka pasti akan berusaha untuk melarikan diri.
Begitulah si harimau angin hitam Lim khong memeriksa
sekejap ke tiga sosok mayat itu, kemudian beranjak pergi
meninggalkan tempat tersebut.
Dalam pada itu, Suma Thian yu menginap satu malam di
kota Hun yang untuk kemudian pada keesokan harinya, sesuai
dengan petunjuk dari Tam Pak cu berangkat menuju ke
perkampungan Lu ming ceng di kaki bukit Hoa san.
Hari ini Suma Thian yu menyeberangi sungai sampai di
dusun Bun Siang, ketika melihat bahwa waktunya sampai
bulan Tiong ciu nanti tinggal lima hari lagi, dan bilamana
ditempuh dengan berjalan kaki mungkin akan terlambat
sampai di perkampungan Lu ming ceng, maka di dusun
tersebut dia membeli seekor kuda.
Di dusun itu terdapat sebuah peternakan yang sangat
besar, letaknya disebelah utara dusun, konon pemiliknya
adalah seorang pedagang kuda terkenal dari Shoa tiang, atas
petunjuk orang maka berangkatlah dia menuju kepeternak an
tersebut. Ketika dia akan memasuki pintu gerbang peternakan itu,
dari hadapannya muncul tiga ekor kuda yang berlarian amat
kencang. Tergesa-gesa Suma Thian yu menghindar ke samping,
namun apa yang kemudian terlihat membuat pemuda itu
menjerit kaget.
"Aaah, saudara Thia..."
Atas panggilan tersebut ketiga orang penunggang kuda itu
serentak melompat turun dari atas pelana dan melayang turun
dihadapan anak muda tersebut.
Ternyata mereka bertiga adalah sahabat-sahabat karib
Suma Thian yu, mereka adalah sastrawan pena baja Thian
Cuan serta Toan im siancu Thia Yong dan Bi hong siancu wan
Pek lan. Sastrawan berpena baja Thian Cuan langsung berjalan
menuju kehadapan Suma Thian yu kemudian digenggamnya
tangan pemuda tersebut tanpa mengucapkan sepatah
katapun. Sampai lama kemudian, sastrawan berpena baja Thia Cuan
baru berseru dengan suara gemetar:
"Thian yu kau kah" aku tidak percaya...aku benar-benar tak
berani percaya"
Memandang sikap hangat dari sastrawan berpena baja itu,
Suma Thian yu merasa amat terharu dan girang sehingga
untuk beberapa saat pun dia tak mampu mengucapkan
sepatah katapun.
Bi hong siancu Wan Pek lan dan Toan im siancu Thia Yong
serentak mengerubungi pemuda itu pula, mereka turut terharu
atas perjumpaan tersebut, sehingga keduanya sama-sama
berdiri mematung tanpa mengucapkan sepatah katapun.
"Kau belum mati" Ooooh, sungguh bagus, Thian yu bagus
sekali...aku saigat merindukan dirimu..."
"Saudara Thia..." Suma Thian yu pun hanya sanggup
memanggil namanya, sebab kata-kata selanjutnya tertelan
oleh suara sesenggukkan yang menyumbat kerongkongannya.
"Aku bukan lagi bermimpi bukan, ooh...Thian yu, bukankah
kau sudah terjerumus kedalam jurang" Sungguh suatu
keajaiban, benar-benar suatu keajaiban, nampaknya nasib
baik masih berada dipihakmu, oh Thian yu, aku benar-benar
kelewat gembira"
Setelah pembicaraan yang akrab, Sastrawan berpena baja
Thia Cuan baru bertanya maksud tujuan Suma Thian yu
datang kesana, Suma Thian yu menunggu sampai ketiga
orang itu menjadi tenang kembali baru menceritakan semua
pengalamannya secara ringkas.
Mengetahui akan pengalaman yang dialami Suma Thian yu
selama ini, Thia Cuan sekalian bertiga menjadi kegirangan
setengah mati, maka mereka pun kembali ke peternakan
untuk membelikan seekor kuda lagi bagi Thian yu kemudian
baru berangkat meninggalkan dusun tersebut.
Setibanya di Tong kwan, mereka meneruskan
perjalanannya menuju ku Hoa im. Sastrawan berpena baja
Thian Cuan segera mengusulkan untuk beristirahat semalam,
sebenarnya Suma Thian yu merasa berat hati, karena dia ingin
cepat-cepat berangkat ke perkampungan Lu ming ceng dan
menjumpai Ciong liong lo sianjin untuk menyerahkan kitab
tanpa kata tersebut kepadanya.
Tapi akhirnya ia merasa tak baik untuk menampik
permintaan rekan-rekannya, maka diapun memberi
persetujuannya.
Sepanjang perjalanan, Bi hong siancu Wan Pek lan selalu
tidak memperoeh kesempatan untuk menyampaikan rasa
rindunya terhadap Suma Thian yu berhubung disampingnya
hadir Thia Cuan bersaudara, ini menyebabkan perasaannya
menjadi gelisah dan murung.
Suma Thian yu yang sedang memikirkan persoalan lain
tentu saja tak akan menemukan hal tersebut, tidak demikian
dengan Thia Yong ia dapat menyaksikan kesemuanya itu
dengan jelas. Biasanya kaum wanita memang berpikir lebih cermat
terutama sekali Thia Yong yang sudah lama menaruh
perasaan cinta terhadap Suma Thian yu, tidak heran kalau ia
menaruh perhatian secara khusus.
Tampaknya sastrawan berpena baja Thia Cuan pun dapat
menjumpai keanehan itu, maka setelah termenung sejenak dia
pun mencari alasan untuk menginap semalaman, disana
diapun segera mengajak adiknya pergi ke kota untuk
mengunjungi sanak keluarga.
Dengan demikian didalam penginapan tinggal Suma Thian
yu dan Bi hong siancu dua orang, sebagai seorang pemuda
yang baru pertama kali mengunjungi kota tersebut ia segera
mengajak Wan Pek lan untuk berjalan-jalan pula.
Berangkatlah mereka keluar kota dan memasuki sebuah
warung teh yang termashur disebelah utara kota, setelah
mengambil tempat duduk mereka pun memesan air teh.
Suasana hening untuk sesaat, tiba-tiba Bi hong siancu wan
Pek lan berkata:
"Engkoh Thian yu, bukankah tadi kau pernah
membicaiakan soal paman Tio?"
"Ya, kasihan Tio toako, dia telah menemui ajalnya di
lembah Put kui kok" kata Suma Thian yu sedih, "bencana ini
bisa terjadi gara-gara ulah ku, kalau diingat kembali sekarang
aku benar-benar merasa menyesal sekali"


Kitab Pusaka Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Padahal wan Pek lan menyinggung soal Tio Ci hui tak lain
karena hendak mencari alasan untuk mengajak pemuda itu
berbincang-bincang.
Siapa sangka Suma Thian yu tidak menduga sampai disitu,
berbicara soal Tio Ci hui diapun berbicara terus tiada hentinya.
Atas perkataan itu, boleh dibilang Wan pek lan sama sekali
tidak memperhatikan-nya, barang sepatah kata pun dia tak
menaruh perhatian.....
Apa yang dikuatirkan wan Pek lan sekarang adalah
bagaimana menggiring si anak muda untuk membicarakan
persoalan diantara mereka, sedang mengenai tewasnya Tio Ci
hui, dia tak ingin memperhatiannya untuk sementara waktu.
Suma Thian yu yang sedang berbicara tiada hentinya, tibatiba
saja menjumpai paras muka Wan Pek lan amat dingn dan
hambar, ia menjadi tertegun dan segera bertanya keheranan:
"Adik Lan, apakan kau merasa tak enak badan?"
"Tidak"
"Aku lihat paras muka mu rada tak beres, cepat katakan
kepadaku, sebenarnya apa yang sedang kau murungkan?"
"Kau!"
"Aku?" Suma Thian yu terkejut di samping keheranan,
menguatirkan aku....?"
"Tapi sekarang sudah tidak kuatir lagi"
Sejak berpisah dengan dirimu... dengan tersipu-sipu malu
dia menundukkan kepalanya kembali.
Suma Thian yu segera menggeserkan badan-nya mendekati
gadis itu, kemudian bertanya lirih:
"Adik Lan persoalan apa yang membuat hatimu sedih?"
"Aku menguatirkan keselamatan jiwamu"
"Bukankah sekarang aku berada dalam keadaan baik baik?"
"Tapi..."
"Tapi kenapa?"
"Sewaktu kau pergi ke Tibet aku telah jatuh sakit"
Suma Thian yu segera menjadi paham, digenggamnya
tangan Wan Pek lan erat-erat lalu katanya:
"Adik Lan, aku telah mencelakaimu, tapi aku pun
mempunyai kesulitan ku sendiri yang tak dapat diutarakan
kepada orang, sudahlah, kau tak usah bersedih hati lagi, aku
toh sudah kembali kesisimu tanpa kekurangan sesuatu apa
pun?" "Aku takut kehilangan kau" bisik Wan Pek lan tersipu-sipu,
"engkoh Thian yu, masih ingatkah kau dengan sumpah dan
janji kita dulu.....?"
"Tentu saja masih ingat, adik Lan kau kelewat curiga, demi
kau, aku telah pulang dengan menyerempet bahaya,
kesemuanya ini kaulah yang memberikan semangat dan
keberanian kepadaku, kini kita dapat berkumpul kembali untuk
selamanya"
Mendengar perkataan tersebut, Wan Pek lan menjadi
tenang kembali bagaikan menelan obat penenang saja, pikiran
dan perasaan-nya segera menjadi cerah kembali.
Tapi bila teringat olehnya bahwa badai pembunuhan
berdarah sudah makin mendekat, rasa murung dan sedih
segera timbul kembali.
"Aku selalu merasa takut" katanya kemudian, "berapa hari
lagi, pertarungan antara kaum lurus dan sesat akan
berlangsung, aku kuatir kau...."
"Aai....adik Lan kau jangan terlalu menguatirkan persoalan
itu" "Tidak, mungkin kau tak merasakan apa-apa, tapi aku
sudah pernah merasakan bagaimana menderitanya akibat
suatu perpisahan, aku tak ingin merasakan kembali siksaan
akibat berpisah dalam kematian...."
"Adik Lan, buat apa sih kau mengucapkan perkataan yang
tidak mendatangkan keberuntungan seperti itu" Kau
seharusnya mendorongku, memberi semangat kepadaku, kita
adalah orang-orang persilatan yang memandang tawar soal
mati hidup, apalagi badai berdarah itupun sudah merupakan
suatu takdir yang tak mungkin bisa diselamatkan oleh setiap
orang, sekali pun kita bakal tewas didalam pertarungan
berdarah ini, kematian tersebut merupakan suatu
kebanggaan, apa kau lupa dengan ucapan Bu Thian sang"
Dari dahulu sampai sekarang manusia manakah yang sanggup
menghindari kematian" Bila kita dapat mati secara kesatria
demi kepentingan dan keadilan orang banyak, maka kematian
kita itu merupakan suatu kematian yang terhormat, bukankah
demikian?"
Wan Pek lan segera tertunduk malu sesudah
mendengarkan perkataan dari Suma Thian Yu yang gagah
perkasa itu, tapi dari ini pula dapat di ketahui bahwa
kekasihnya memang seorang pemuda gagah berjiwa besar,
beruntunglah dia dapat memperoleh seorang calon suami
yang begini gagah dan perkasa seperti Suma thian yu.
Maka dia pun tersenyum, tersenyum manis sekali, cantik
sekali dan menawan hati.
Sementara mereka masih berbincang-bincang dengan riang
gembira, mendadak dari samping meja mereka berdiri seorang
lelaki kekar yang langsung berjalan menghampiri mereka.
Lelaki kekar itu bertubuh tinggi besar dan berwajah
menyeramkan, setibanya disamping wan pek lan, ia segera
tertawa cengar-cengir sambil menegur:
"Nona manis, apakah kau berasal dari luar daerah?"
Wan Pek lan mendongakan kepalanya memandang sekejap
ke arah orang itu, kemudian sama sekali tidak menggubris,
kembali dia melanjutkan pembicaraannya dengan Suma Thian
yu. Melihat wan Pek lan sama sekali tidak mengubris
tegurannya, lelaki kekar itu menjadi amat gusar, dengan suara
menggeledek ia segera membentak:
"Nona manis, apakah kau tidak mendengar perkataan toaya
mu" Ayoh bangkit berdiri, kau harus menemani toaya mu
secara baik-baik, kalau tidak, toaya akan menghajar batok
kepala mu sampai hancur berantakan"
Rupanya lelaki ini memang sengaja datang untuk mencari
gara-gara, ketika dilihatnya kedua orang muda mudi itu
berasal dari luar daerah, timbul niatnya untuk
mempermainkan mereka, sayang seribu kali sayang, ia justru
sudah salah mencari sasaran.
Pelan-pelan wan pek lan bangkit berdiri, lalu dengan suara
yang tetap lembut katanya:
"Bangkit berdiri ya bangkit berdiri, mau apa kau?"
Lelaki kekar itu diam-diam tertegun melihat korbannya
sama sekali tidak takut, tapi segera bentaknya keras-keras:
"Ayoh cepat menyembah kepada toako mu untuk minta
maaf atau kalau tidak turut toaya pulang ke rumah, tanggung
kau akan senang sepanjang hidup"
Mendingan kalau tidak mendengar perkataan itu, paras
muka Wan Pek lan segera berubah hebat, matanya melotot
besar dan mukanya merah membara karena marah.
Suma Thian yu yang berada disisinya kuatir nona itu
mencari urusan, cepat-cepat dia menarik gadis itu sambil
berkata: "Adik Lan, duduklah saja, buat apa kau mesti mencari garagara
dengan anjing budukan semacam itu"
"Bocah keparat, apa kau bilang!" teriak lelaki itu dengan
kening berkerut dan mata mendelik, "toaya adalah anjing
budukan" bagus sekali kau berani mencari gara-gara dengan
toaya mu" Hmm tampaknya kau sudah bosan hidup!"
Dia segera mengayunkan telapak tangan-nya membacok
tubuh Suma Thian yu.
Menghadapi serangan tersebut Suma Thian yu sama sekali
tidak gugup, segera disambutnya ancaman itu lalu
mencengkeram pergelangan tangannya kencang-kencang, tak
ampun lagi lelaki itu segera menjerit kesakitan bagaikan ayam
yang mau disembelih.
Dengan wajah tetap tenang dan senyumaan dikulum, Suma
Thian yu berkata:
"Saudara kau benar-benar manusia bermata anjing, terus
terang saja aku katakan, bila ingin mempermainkan orang,
lebih baik carilah korban yang lemah, jika berani membuat
gara-gara dengan sauyamu, maka sama artinya kau lagi
mencari penyakit buat diri sendiri!"
Sementara itu si lelaki kekar tadi sudah mandi keringat,
wajahnya menunjukkan penderitaan yang hebat, suara
rintihannya yang semula keras makin lama semakin pelan dan
akhirnya lirih sebagai gantinya dia mulai merintih dan
merengek minta ampun.
Suma Thian yu segera melepaskan kembali
cengkeramannya dan duduk kembali ke tempat semula.
Siapa tahu lelaki itu memang tak tahu diri, dia bukannya
mundur teratur setelah peristiwa tersebut sebaliknya malahan
mengayunkan telapak tangannya membacok batok kepala
Suma Thian yu. Padahal jarak diantara mereka berdua amat dekat, apa lagi
lelaki itupun menyerang disaat anak muda tersebut tidak siap
akibatnya semua orang yang berada dirumah makan itu samasama
menjerit tertahan karena kaget.
Pada saat kepalan lelaki itu hampir mengenai batok kepala
Suma Thian yu, tiba-tiba saja pemuda itu berkelit sambil
mengayunkan kembali tangan-nya.
"Enyah kau dari sini!"
Lelaki kekar itu menjerit kesakitan, seluruh badan-nya
terlempar ketengah udara bagaikan layang-layang putus
benang, setelah melewati dua buah meja, badannya segera
terbanting keras-keras diatas tanah.
Sekali lagi lelaki tersebut mengerang kesakitan.
Suma Thian yu yang menyaksikan masalahnya sudah
berkembang semakin besar menjadi kehilangan kegairahnya
untuk tetap berada disitu, ia segera menarik Wan Pek lan,
membayar rekening dan segera beranjak dari situ.
Baru saja kedua prang itu melangkag keluar dan pintu
warung, mendadak terdengar seseorang membentak keras:
"Berhenti, tunggu dulu!"
Ketika mendengar bentakan tersebut, Suma Thian yu
mengira rekan-rekan dari lelaki kekar itu datang mencari garagara,
dengan cepat ia berpaling.
Tampak seorang kakek berbaju sastrawan yang kumal dan
penuh tambalan, ternyata kakek berusia enam puluh tahunan
itu tak lain adalah Sin sian siangsu Yu Seng see.
Sejak berpisah digua Jit yang sian tong, baru kali ini Suma
Thian yu berjumpa lagi dengan orang ini, dia segera berteriak
gembira: "Yu locianpwee"
Mengetahui siapa yang memanggilnya, Sin sian siangsu
segera tertawa terbahak-bahak dengan gembiranya.
"Haahh...haaahh...ternyata kau belum mati" Dunia
persilatan pasti akan selamat, haaahh...haaahh..."
Kemudian setelah melirik sekejap kearah Bin hong siancu,
sambil tertawa misterius, terusnya:
"Heeehh...heeehh...orang bilang kalau lolos dari kematian
rejeki pasti akan berdatangan, tampaknya rejekimu sedang
berdatangan semua...haaa... haaa.."
Tapi ketika tertawa sampai setengah jalan, mendadak ia
seperti teringat akan sesuatu, segera ujarnya lagi kepada
Suma Thian yu: "Bocah cilik, mari kuperkenalkan seorang sahabat
kepadamu" Tidak sampai Suma Thian yu menjawab, dia sudah
berpaling sambil teriaknya:
"Hey, setan cilik ayoh cepat keluar!"
Suma Thian yu tidak tahu siapakah yang akan
diperkenalkan kepadanya, sementara dia masih berpikir,
dihadapan matanya telah muncul seorang pemuda yang amat
tampan. Begitu bersua pemuda tadi, mula-mula Suma Thian yu
merasa agak terkesiap, kemudian sambil tertawa terbahakbahak,
katanya: "Saudara Chin" mengapa kau pun berada disini, tampaknya
dunia memang bulat, di mana saja kita akan bersua, selamat
berjumpa, baik-baik bukan dirimu selama ini?"
Sin sian siangsu yang menyaasikan kejadian ini menjadi
tercengang juga, serunya keheranan:
"Hei, rupanya kalian adalah kenalan lama, kalau begitu
aneh jadinya"
Ternyata pemuda itu tak lain adalah Chin Siau, musuh
bebuyutan dari Suma Thian yu.
ooOoo TERDENGAR Chin Siau berkata:
"Saudara Suma, siaute merasa kangen sekali denganmu,
semua kesalahan paham di masa lampau kini sudah menjadi
jelas, akulah yang salah sehingga mau percaya perkataan
orang dengan begitu saja, hampir aku menyusahkan kau,
harap kau sudi memaaafkan"
"Aaah, mana, mana..."
Suma Thian yu yang mendengar bahwa kesalahan paham
sudah dapat diselesaikan tentu saja merasa amat gembira,
senyuman yang menghiasi wajahnya pun nampak semakin
tambah cerah. Tampaknya Chin Siau memang senang mengguyur orang
dengan sebaskom air dingin, mendadak ia berkata lagi:
"Namun siaute masih ingin mencoba sekali lagi kelihayan
ilmu silatmu itu"
"Apa" kau ingin bertaru lagi dengan ku?" Suma Thian yu
termangu-mangu.
"Benar, tapi niatku ini berlandaskan maksud baik, lagipula
menentukan menang kalah dibawah syarat yang sangat adil,
tanpa dilandasi rasa dendam ataupun sakit hati, kitapun bisa
bertarung dengan memakai bambu sebagai pengganti pedang.
Dengan begitu kitapun tidak usah saling melukai, saudara
Suma, apakah kau bersedia memberi muka kepada siaute...?"
Semua perkataan dari Chin Siau ini diutarakan dengan nada
tulus dan bersungguh-sungguh.
Sin sian siangsu yang berada disisinya, segera menyela
pula: "Bagus, bagus sekali, aku si pelajar rudin yang setuju
nomor satu, mari, mari, aku bersedia menjadi saksi, mari kita
segera berangkat keluar kota"
Suma Thian yu yang menghadapi kejadian ini hanya bisa
menggelengkan kepalanya sambil menghela napas, namun dia
pun merasa kagum atas keinginan Chin Siau yang begitu


Kitab Pusaka Karya Tjan Id di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mantap dan tidak tergoyahkan oleh pengaruh apa pun.
Berangkatlah mereka berempat menuju keluar kota dengan
mengerahkan ilmu meringankan tubuh masing-masing, tak
selang berapa saat kemudian mereka sudah tiba diluar kota.
Tampaknya Sin sian siangsu hapal sekali dengan daerah
disekitar tempat itu, dia mengajak ketiga orang lain-nya
menuju ketengah sebuah lapangan yang luas, kemudian
katanya: "Ayoh cepat persiapkan pedang bambu, waktu sudah tak
banyak lagi, bila sampai terlambat dan pintu kota sudah tutup,
kita bakal kerepotan sendiri"
Yang dimaksud sebagai pedang bambu tak lebih hanya
sebatang bambu biasa, hampir pada saat yang bersamaan
mereka berdua telah mempersiapkan sebuah bambu dan
kembali ke tengah lapangan.
Sin sian siangsu segera berkata lagi:
"Apabila diantara kalian berdua tiada ikatan dendam
ataupun sakit hati, lebih baik batasilah pertarurgan dengan
saling menutul daripada pertarungan ini mesti berekor
panjang dikemudian harinya, nah sekarang kalian boleh
mulai!" Selesai berkata dia lantas mengajak Bi hong siancu wan
pek lan mundur kesamping.
Chin Siau segera melompat ke depan arena, sedangkan
Suma Thian yu pun pelan-pelan berjalan ke depan lawannya.
Chin Siau adalah murid kesayangan Bu bok ceng (pendeta
bermata buta), dia termashur karena ilmu pedang butanya.
Ketika ia sudah mengetahui posisi dari Suma Thian yu,
sepasang matanya segera dipejamkan rapat-rapat, pedang
bambunya dilintangkan di depan dada, perhatian dipusatkan
ke depan dan ia siap-siap melancarkan serangan pertama.
Suma Thian yu segera menghimpun pula segenap
perhatian dan pikirannya dengan, memusatkan pandangan ke
ujung pedang, hatinya tenang bagaikan air dan tubuhnya
kokoh bagaikan bukit Thay san.
Sin sian siangsu yang menyaksikan kejadian ini segera
berbisik kepada Bi hong siancu:
"Chin Siau pasti kalah"
"Darimana kau bisa tahu?"
"Tunggu saja nanti, kau pasti akan mengetahui dengan
sendirinya bahwa perkataanku ini tak bakal salah"
Dalam pada itu, Chin siau telah turun tangan, dengan jurus
naga sakti masuk samudra, secepat sambaran kilat dia
melancarkan sebuah babatan ke wajah Suma thian yu.
Menghadapi datangnya ancaman tersebut, Suma Thian yu
sama sekali tidak gugup ataupun panik, ditunggunya serangan
lawan dengan tenang, menanti ujung bambu itu hampir
mencapai batok kepalanya, dia baru bertindak cepat
membabat pinggang Chin Siau dengan jurus memetik tali pie
pa. Sesungguhnya Chin Siau hanya bermaksud memancing
musuhnya dengan jurus serangan tadi, karenanya ketika jurus
pertama di lepaskan, ia telah mempersiapkan jurus kedua,
karena itu serangan dari Suma Thian yu pun tidak berhasil
mengenai sasaran.
Secara beruntun kedua orang itu bertarung sampai tujuh
gebrakan lebih, namun posisinya tetap setali tiga uang alias
sama-sama kuat, siapapun tak berhasil meraih ke untungan
dari lawannya. Bagaimana pun juga Chin Siau adalah seorang pemuda
yang ingin mencari menangnya sendiri, melihat usahanya
gagal untuk meraih keuntungan, ia menjadi amat gelisah.
Mendadak gerakan tubuhnya dirubah, pedangnya dengan
jurus Nuri terbang Hong menari, secepat kilat menusuk keulu
hati Suma Thian ya dengan kecepatan bagaikan sambaran
petir. Siapa tahu waktu serangan tersebut mencapai tengah
jalan, tiba-tiba gerakan-nya berubah dengan jurus selaksa
bunga dipersembahkan Buddha, ia melepaskan serangan
berikut. Suma Thian yu yang menyaksikan kejadian ini diam-diam
tertawa geli, ia tahu untuk menaklukan pemuda ini satusatunya
jalan adalah mengalah kepadanya dengan begitu
hubungan diantara kedua belah pihak pun dapat terjalin
dengan lebih akrab.
Berpikir demikian, diapun segera merubah kembali
serangannya. Mendadak terdengar dua kali jerit kesakitan bergema
memecahkan keheningan, tahu-tahu orang yang sedang
bertarung di tengah arena itu sudah berpisah satu sama lainnya.
Sambil meraba bahu sendiri, Suma Thian yu segera berseru
sambil tertawa:
"Saudara Chin memang benar-benar memiliki kepandaian
tanggung, aku benar-benar merasa kagum"
Chin Siau sendiripun sedang memegang perut sendiri
dengan kening berkerut, katanya kemudian sambil meringis:
"Aku mengaku kalah, kalah dengan setulus hati, kagum,
sungguh mengagumkan, apabila Suma heng tidak memberi
muka kepadaku, sudah dapat di pastikan aku pasti akan
semakin malu"
"Aaaah, bila tidak menyerempet bahaya, mana mungkin
aku bisa memukul saudara Chin" kata Suma Thian yu tetap
merendah, "keberuntunganku kali ini tak lebih hanya karena
saudara Chin sudi mengalah"
"Saudara Suma, dengan ucapanmu itu aku merasa semakin
malu sendiri" kata Chin Siau tertawa, "aku benar-benar sudah
takluk, berbicara sesungguhnya aku dapat merasakan bahwa
saudara Suma memiliki kepandaian silat yang amat tangguh,
mau diserang tiada lubang kelemahan, kokoh dan tangguh
bagaikan lapisan baja, betul-betul suatu kemampuan yang
hebat" Sin sian siangsu yang menonton jalan-nya pertarungan itu
dari samping pun segera menimbrung pula sambil tertawa
tergelak. "Apa yang dikatakan Chin Siau memang benar, kali ini aku
benar-benar merasa terbuka mataku, sampai aku sendiri pun
dibuat kagum setengah mati, aku percaya diriku sendiripun
tidak akan bisa menahan sebanyak sepuluh jurus di tangan
setan cilik ini!"
"Sudah, sudahlah, tak usah kalian tempeli emas diwajahku,
mari kita masuk kekota!"
Setelah kejadian hari ini, Chin siau semakin menaruh
perasaan kagum dan hormat kepada Suma thian yu dan sejak
itu pula persahabatan mereka berjalan semakin akrab dan
rapat. Ketika Suma thian yu dan Bi hong siancu kembali kerumah
penginapan, dua bersaudara Thia segera menyambut
kedatangan mereka.
Begitu bersua muka, sastrawan berpena baja Thin cuan
segera menegur sambil tertawa tergelak.
"Haah...haahh... gembira kah hiante berpesiar?"
Dari pertanyaan tersebut Suma Thian yu tahu bahwa yang
dimaksudkan dua bersaudara Thia adalah hubungannya
dengan Wan pek lan, maka ia segera menggelengkan
kepalanya sambil menghela napas:
"Merusak kegembiraan saja...merusak kegembiraan saja....
"Apa" Kalian berdua....."
"Bukan!" tukas Suma Thian yu segera.
Secara ringkas dia pun segera menceritakan semua
pengalaman yang baru saja dialaminya bersama wan pek lan.
Mendengar kalau Suma Thian yu beradu kepandaian
dengan Chin Siau, dua bersaudara Thia segera mendepakdepakan
kakinya berulang kali sambil berseru:
"Sayang, sungguh sayang kami tak punya rejeki untuk turut
menyaksikan tontonan bagus itu, mengapa kau tak kembali
dulu untuk mengundang
Harpa Iblis Jari Sakti 28 Bentrok Para Pendekar Karya Gu Long Pendekar Kembar 7
^