Laron Pengisap Darah 1

Laron Pengisap Darah Karya Huang Yin Bagian 1


" Laron Pengisap DarahKarya : Huang Ying
Ide Cerita : Gu Long
Terjemahan Tjan ID
Bab 1. Nyawa terbang sukma buyar.
Bulan tiga, hujan gerimis membasahi wilayah Kanglam.
Berdiri seorang diri ditengah guguran bunga.
Burung walet melintas ditengah hujan.
2 Ketika sepasang burung walet terbang melintas diatas
dinding pekarangan, Siang Huhoa masih berdiri seorang diri
ditengah halaman.
Butiran air hujan telah membasahi pakaiannya, namun dia
seolah belum merasa, wajahnya kusam, kesepian.
Pancaran sinar matanya sayu dan kesepian, dia tidak
memandang guguran bunga di sekelilingnya, pun tidak
mengejar burung walet yang terbang berpasangan, sorot mata
itu hanya tertuju keatas sepucuk surat, surat yang berada
ditangannya. Selembar kertas berwarna putih, dengan tulisan berwarna
hitam. Setiap huruf yang tertera nyaris meliuk tidak beraturan,
seakan si penulis surat sedang tercekam rasa takut dan ngeri
yang luar biasa, demikian takutnya hingga batang pit juga
tidak sanggup digenggam kencang.
Mungkin semuanya adalah sebuah kenyataan. Sebab surat
itu adalah sepucuk surat permohonan minta tolong.
Laron Penghisap Darah tiap hari mengintai, nyawa kami
berada diujung tanduk!!!
Betapapun besarnya nyali Siang Huhoa, tidak urung
bergidik juga setelah membaca sampai disitu.
"Laron penghisap darah" Apa itu Laron penghisap darah?"
Berapa saat dia termenung, paras mukanya yang semula
kusam karena kesepian, kini telah berubah jadi penuh keraguraguan,
penuh rasa sangsi, setelah buru-buru menyelesaikan
pembacaan surat itu, dia segera beranjak dari tempat itu.
Langkah kakinya amat ringan, seringan bunga yang
berguguran. 3 Diujung kebun bunga sebelah depan, berdiri sebuah gardu
kecil, dua orang gadis secantik bunga, selembut tangkainya,
sedang duduk santai di dalam gardu.
Suara mereka indah, merdu bagaikan kicauan burung nuri,
senyum mereka pun cerah secerah bunga dimusin semi.
Bahkan nama mereka pun mengandung arti yang tidak
jauh dari jenis bunga.
Siau-tho mengenakan pakaian serba merah paras mukanya
putih lembut, Siau-tho meski mengenakan pakaian yang
sederhana, paras mukanya justru lebih mirip bunga Hua
ketimbang wajah Siau-tho.
Sebenarnya mereka berdua adalah dua ekor lebah jahat,
penyamun wanita yang seringkali malang melintang
disepanjang sungai Tiangkang, orang menyebutnya Heng
kang It ok Li ong hong (Seonggok lebah ratu dari sungai
besar), tapi sekarang, mereka lebih lembut ketimbang kupu
kupu, berdiam dalam perkampungan Ban hoa ceng dan selalu
melayani kebutuhan Siang Huhoa.
Hal ini bukan lantaran Siang Huhoa pernah selamatkan
nyawa mereka, tapi justru karena Siang huhoa adalah idola
mereka, Enghiong mereka, kuncu diantara kaum penyamun!
Mereka menyebut diri sebagai budak bunga dari Ban hoa
ceng (perkampungan selaksa bunga), pelayan Siang Huhoa.
Sementara Siang Huhoa sendiri selalu menganggap mereka
sebagai temannya, sahabat karibnya.
Tidak lebih tidak kurang hanya sebagai sahabat. Inilah
satu-satunya persoalan yang membuat mereka tidak puas.
Biarpun begitu mereka tetap gembira, asal masih bisa
berdiam dalam perkampungan selaksa bunga, mereka tetap
gembira, tetap merasa puas.
4 Aneka bunga selalu mekar di perkampungan Ban hoa ceng,
mekar di empat musim, begitu pula dengan senyuman diwajah
Siang Huhoa, senyum yang riang selalu menghiasi bibirnya
sepanjang tahun.
Mereka senang bunga, tapi lebih senang melihat wajah
Siang Huhoa yang ramah, dengan senyuman yang memikat
hati. Tentu saja Siang Huhoa tidak selalu tertawa, ada kalanya
dia pun tidak tertawa.
Tidak heran kalau saat itu ke dua orang gadis itu dibuat
terperanjat setelah melihat Siang Huhoa berjalan mendekat
tanpa senyuman dibibir.
Mereka segera sadar, suatu peristiwa yang luar biasa tentu
telah terjadi! Suara canda dan tawanya berhenti seketika, Siau-sin dan
Siau-tho serentak melompat bangun dari tempat duduknya.
Siang Huhoa melangkah masuk ke dalam gardu, sambil
mengacungkan surat dalam genggamannya, tiba tiba dia
bertanya: "Siapa yang mengirim surat ini kemari?"
"Seorang lelaki setengah umur berdandan kacung, dia
mengaku bernama Jui Gi, datang dari Perpustakaan Ki po cay"
jawab Siau-tho.
Baru saja Siang Huhoa akan mengajukan pertanyaan lagi,
Siau-sin yang berada disisinya telah menyela duluan:
"Sebetulnya surat dari siapa itu?"
"Pemilik Perpustakaan Ki po cay, Jui Pakhay"
"Apakah dia temanmu?"
"Dulu yaa!" Siang Huhoa menghela napas riangan.
5 "Dan sekarang?" Siau-sin mendesak lebih jauh.
"Sekarang sudah tidak lagi"
Siau-sin tidak bertanya lebih lanjut, dia cukup tahu manusia
macam apakah Siang Huhoa itu, bila Jui Pakhay tidak kelewat
memuakkan, tidak kelewat memandang hina dirinya, tidak
mungkin dia tidak menganggap orang itu sebagai sahabatnya.
"Ada urusan apa dia menulis surat kepadamu?" tanya Siautho
sesaat kemudian.
"Suruh aku pergi menolong jiwanya"
"Suruh atau minta?"
"Suruh!"
"Memangnya Jui Pakhay belum tahu kalau kau sudah tidak
menganggap dia sebagai sahabatmu lagi?"
"Dia sudah tahu"
"Kalau memangnya sudah tahu, kenapa masih berkirim
surat?" tanya Siau-tho keheranan.
"Sebab ketika masih menjadi sahabatku dulu, dia pernah
menolongku satu kali, biarpun aku belum tentu akan mati
meski tidak peroleh bantuannya, bagaimanapun aku tetap
telah menerima bantuannya, sudah berhutang budi
kepadanya"
Setelah berhenti sejenak untuk menukar napas, lanjutnya:
"Dia tahu dan yakin, aku bukan orang yang lupa budi,
membalas air susu dengan air tuba!"
"Ooh, jadi dia minta balas jasa budi mu?"
"Setahuku, dia bukan manusia semacam ini, bisa jadi
peristiwa yang dialaminya kali ini kelewat horor, kelewat
menggidikkan hati, terjadi sangat mendadak sehingga
membuat hati dan pikirannya kalut, oleh karena tidak yakin
6 bisa menghadapi ancaman tersebut hingga terpaksa dia
datang minta bantuanku"
"Kesulitan macam apa yang dia hadapi sebenarnya?"
Pelan-pelan Siang Huhoa mengalihkan sorot matanya
keatas surat yang berada dalam genggamannya, dia bertanya:
"Apakah kalian pernah mendengar sesuatu benda yang
disebut Laron penghisap darah?"
"Laron penghisap darah?" sambil miringkan kepalanya Siautho
berpikir sejenak, ketika tidak peroleh jawaban, dia
berpaling ke arah Siau-sin.
Siau-sin sendiri pun balas memandangnya dengan mata
terbelalak lebar, tampaknya dia pun tak tahu.
"Apakah kalian sama sekali tidak punya gambaran?" tanya
Siang Huhoa kemudian setelah melihat tingkah laku ke dua
orang gadis itu.
"Sebetulnya benda apakah itu?"
"Aku sendiripun kurang begitu jelas" sahut Siang Huhoa.
Setelah berpikir sejenak, kembali dia melanjutkan:
"Bila kita telaah tulisan dalam surat itu, semestinya yang
dia maksud adalah seekor Laron penghisap darah"
Tiba-tiba Siau-tho mendongakkan kepalanya memandang
sebuah belandar berukir yang ada diatas gardu kecil itu.
Seekor kupu-kupu sedang hinggap diatas tiang belandar
berukir itu. Seekor kupu-kupu dengan tujuh warna warni, walaupun
bukan berada dibawah cahaya sang surya, namun
keindahannya amat menawan hati.
Sebetulnya bukan belandar berukir yang diamati Siau-tho,
dia sedang mengawasi kupu kupu yang hinggap disitu:
7 "Menurut pandanganku, Laron tidak beda jauh dengan
kupu-kupu......."
"Dipandang sepintas dari bentuk tubuhnya memang agak
mirip" tukas Siang Huhoa cepat, "padahal beda didalam
banyak hal, kupu kupu akan hinggap didahan jika malam tiba,
sementara Laron akan muncul diwaktu malam, ketika hinggap,
sepasang sayap kupu-kupu berdiri tegak dibelakang
punggungnya, sedang sayap Laron terpentang di kiri kanan"
Ternyata bukan saja dia memiliki pengetahuan yang luas
mengenai bunga-bungaan, pengetahuannya dalam hal
serangga pun amat mengagumkan.
"Paling tidak dalam satu hal ada kesamaan" kata Siau-tho.
"Hal yang mana?" tanya Siau-sin tidak tahan
"Serangga-serangga itu tidak suka darah, terlebih
menghisap darah"
"Itulah sebabnya aku merasa kejadian ini sangat aneh"
Siang Huhoa menerangkan.
Siau-sin dan Siau-tho tertegun, untuk sesaat mereka hanya
bisa berdiri termangu.
Kembali Siang Huhoa merentangkan suratnya seraya
berkata: "Jui Pakhay sengaja berkirim surat kepadaku karena si
Laron penghisap darah itu mengintainya setiap hari, siang
maupun malam, keselamatan jiwanya sudah berada diujung
tanduk" Sekali lagi Siau-sin dan Siau-tho tertegun.
"Benarkah ada kejadian seperti ini?" seru Siau-tho tanpa
terasa. "Bila kita tinjau dari isi surat ini, rasanya memang benarbenar
telah terjadi peristiwa semacam ini"
8 "Jangan-jangan nama tersebut hanya julukan seseorang?"
tiba tiba Siau-sin menyela.
"Rasanya sih bukan"
"Tapi anehnya, kenapa Laron penghisap darah itu mencari
gara gara dengannya?" kembali Siau-tho bertanya.
Tiba-tiba Siang Huhoa bergidik, bulu kuduknya pada
bangun berdiri, setelah bersin berulang kali dengan nada
suara yang berubah sangat aneh jawabnya:
"Karena bininya adalah jelmaan Laron penghisap darah,
seorang siluman Laron!"
Bukan merasa takut atau ngeri, Siau-sin dan Siau-tho
malah tertawa tergelak.
"Aaah, masa kaupun percaya kalau di dunia ini terdapat
setan iblis atau siluman?" ejek Siau-tho sambil tertawa.
"Aku bicara demikian lantaran isi surat berbicara begitu"
kata Siang Huhoa cepat, kemudian dia sodorkan surat itu ke
tangan mereka. Serentak Siau-sin dan Siau-tho menerima sodoran surat
tersebut, tapi begitu selesai membaca isi surat itu, senyuman
mereka seketika hilang lenyap tidak berbekas
"Jangan jangan otak Jui Pakhay kurang waras atau tidak
beres?" gumam Siau-tho dengan wajah hijau membesi.
"Paling tidak pada tiga tahun berselang dia masih waras,
kalau sekarang mah aku kurang tahu"
"Berarti sudah tiga tahun kau tidak pernah bersua
dengannya?"
"Yaa, tiga tahun lamanya" Siang Huhoa membenarkan
sambil menghela napas panjang, pelan-pelan dia alihkan
sorotnya ke angkasa.
9 "Apakah tiga tahun berselang dia sudah berbini?" kembali
Siau-tho bertanya.
Siang Huhoa menggeleng.
"Maksudmu kau belum pernah berjumpa dengan bininya?"
Siau-tho bertanya lagi.
"Benar, sampai sekarang aku belum pernah bertemu muka"
Siang Huhoa mengangguk, "tapi tidak lama kemudian kami
akan segera berjumpa"
"Berarti kau sudah putuskan untuk berangkat ke sana?"
Siau-tho nampak agak terperanjat.
"Benar, apa pun yang terjadi, aku tetap harus berangkat"
"Kau tidak kuatir bininya benar benar adalah siluman
Laron?" Siau-tho mulai cemberut tidak puas.
"Hingga detik ini aku belum merasa perlu untuk takut"
"Oya?"
"Karena hingga saat ini, seekor Laron penghisap darah juga
belum pernah kujumpai"
"Tidak ada salahnya kita ikut meramaikan suasana, toh
sudah agak lama kita tidak pernah berjalan-jalan" timbrung
Siau-sin sambil tertawa.
Siang Huhoa tersenyum.
"Tapi sayang, kali ini hanya aku seorang saja yang akan
berangkat ke sana"
"Aah....." Siau-sin mendesis lirih lalu terbungkam seketika.
Siau-tho ikut jadi lemas dan tidak bersemangat lagi.
Mereka tahu apa yang telah diputuskan Siang Huhoa, tidak
mungkinada seorangpun yang dapat merubahnya.
10

Laron Pengisap Darah Karya Huang Yin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Persoalan ini adalah urusan pribadiku, aku tidak ingin
kalian ikut campur di dalam masalah ini" sambung Siang
Huhoa lagi sambil tertawa.
Siau-sin dan Siau-tho tetap terbungkam tanpa bersuara.
"Apakah Jui Gie si penghantar surat itu sudah berlalu?"
kembali Siang Huhoa bertanya setelah hening sesaat.
"Aku menyuruh dia menunggu jawabanmu di serambi
samping" jawab Siau-tho.
Ternyata orang itu masih menunggu di serambi samping.
Rupanya Jui Gie kenal dengan Siang Huhoa , begitu melihat
orang itu muncul di dalam serambi, dia segera bangkit berdiri.
"Ternyata memang benar kau" sapa Siang Huhoa dengan
mata mendelik. "Tidak nyana Siang-ya masih kenal dengan hamba" ujar Jui
Gie sambil soja.
"Sewaktu mengabdi kepada Jui Pakhay, rasanya usiamu
sudah tidak terlalu muda lagi?"
"Turun temurun hamba selalu mengabdi kepada keluarga
Jui" "Ooh...." Siang Huhoa kembali manggut-manggut,
kemudian dia mengalihkan pembicaraan dan bertanya lagi,
"sebenarnya apa yang telah terjadi di perkampunganmu?"
"Selama berapa hari beruntun majikan selalu di teror Laron
penghisap darah, mengerikan sekali............." jawaban Jui Gie
tergagap seperti orang yang amat ketakutan.
Ternyata benar-benar ada Laron penghisap darah!!
Siang Huhoa agak tertegun, desaknya kemudian:
"Jadi kaupun sudah pernah bertemu dengan Laron
penghisap darah?"
11 "Belum, belum pernah" Jui Gie menggeleng.
"Bagaimana dengan penghuni yang lain?"
"Setahuku, mereka pun tidak pernah melihat"
"Berarti hanya Jui Pakhay seorang yang pernah melihat
makhluk itu?" Jui gie tertawa getir:
"Dalam hal ini aku sendiripun kurang begitu jelas"
Kembali Siang Huhoa berpaling sambil bertanya lebih jauh:
"Ketika menyerahkan surat itu kepadamu, apa yang dia
katakan?" "Dia hanya berpesan agar secepat mungkin menyerahkan
surat ini ke perkampungan selaksa bunga:
Dan dia memang melaksanakan tugas itu dengan amat
cepat! Ketika surat itu terkirim masih tanggal tujuh bulan tiga, hari
ini adalah bulan tiga tanggal tiga belas.
Jarak dari Perpustakaan Ki po cay menuju perkampungan
selaksa bunga ternyata bisa ditempuh tidak sampai enam hari.
Siang Huhoa berpikir sejenak, lalu katanya lagi:
"Waktu itu, apakah kau menjumpai sesuatu yang tidak
beres dengan dirinya?"
"Paras muka majikan sangat tidak sedap dipandang waktu
itu, bahkan sepasang tangannya gemetar terus tiada hentinya"
Siang Huhoa tidak bertanya lebih lanjut, sebab dia tahu
ditanya pun percuma karena orang ini tidak akan bisa
memberi penjelasan yang diperlukan.
Tiba-tiba dia berpaling, kemudian perintahnya:
"Siapkan kuda!"
12 Kakek yang berdiri menanti didepan pintu baru saja
menyahut dan siap mengundurkan diri, tiba tiba dari halaman
luar sudah berkumandang suara ringkikan kuda.
Ternyata Siau-tho dan Siau-sin telah menyiapkan kuda
baginya. Sambil tersenyum Siang Huhoa segera melangkah keluar
diikuti Jui gie yang menguntil ketat di belakangnya.
Kulit tubuh yang putih, gagang pedang berwarna kuning
emas dengan sarung pedang berwarna merah tua.
Siau-tho segera membantu Siang Huhoa menggembolkan
pedangnya sementara Siau-sin memasangkan mantel
ditubuhnya. Sambil tersenyum Siang Huhoa segera melompat
naik ke punggung kudanya.
Lautan bunga menyelimuti seluruh halaman tengah, diluar
pintu bunga terhampar bagai menyelimuti langit, hujan
gerimis masih berderai ditengah kabut nan tebal, entah
berapa banyak bunga yang berguguran tertimpa olehnya.
Dengan sekali bentakan, Siang Huhoa melarikan kudanya
menembus lapisan hujan dan kabut yang menyelimuti udara.
Hari ini bulan tiga tanggal dua, kentongan ke dua,
rembulan yang melengkung bagai sabit menghiasi langit yang
bening bagai permukaan air. Perasaan hati Jui Pakhay terasa
lega dan nyaman bagai ikan yang berenang di dalam air.
Berapa butir mutiara mestika yang bernilai tiga ratus tahil
emas murni ternyata laku dijual dengan harga lima ratus tahil
emas murni. Kejadian semacam ini pada hakekatnya
merupakan satu kejadian yang layak digirangkan.
Setelah menghantar tamunya hingga didepan pintu
gerbang, sambil menggembol uang kertas senilai lima ratus
tahil emas murni, dia berjalan masuk dengan langkah yang
ringan dan cepat, menelusuri serambi panjang, melalui jalan
13 setapak ditengah kebun bunga dan kembali ke
perpustakaannya di halaman paling belakang.
Perpustakaan ini merupakan tempatnya untuk membaca
buku, juga merupakan tempatnya untuk menyimpan dan
menyembunyikan harta kekayaannya. Pada dinding samping
perpustakaan itu terdapat sebuah pintu rahasia, dibalik pintu
terbentang satu susun undak-undakan yang terbuat dari batu,
langsung berhubungan dengan sebuah ruang bawah tanah.
Dari pintu rahasia sampai ke ruang bawah tanah,
semuanya terdapat tujuh lapis alat jebakan rahasia yang bisa
mencabut nyawa siapa pun dalam sekejap mata, selain dia,
belum pernah ada orang yang berhasil melalui ke tujuh lapis
alat jebakan rahasia itu dengan aman dan selamat.
Dia percaya dan sangat yakin, karena ke tujuh lapis alat
jebakan maut itu adalah hasil rancangannya, dia sendiri yang
merancang, mencipta, membuat dan dia sendiri pula yang
memasangkan. Dia memang murid paling buncit dari Hiun-cicu, seorang
ahli tehnik yang amat tersohor namanya dalam dunia
persilatan, hampir semua kepandaian gurunya dalam
menciptakan pelbagai peralatan telah dikuasahinya dengan
matang, tidak heran kalau ke tujuh lapis alat jebakan maut itu
merupakan hasil karyanya yang paling hebat.
Dia percaya dan yakin, ke tujuh buah alat jebakan mautnya
sangat dapat diandalkan, diapun sadar betapa dahsyatnya
kekuatan penghancur yang dihasilkan alat-alat jebakan itu.
Tombol buka tutup untuk membuka pintu rahasia itu
dipasang diatas dinding, dibalik dinding itu tergantung sebuah
lukisan antik. Sebuah lukisan antik dari Tong Pak-hau, padahal lukisan itu
tidak ternilai harganya, namun dia hanya menggantungkan
dengan begitu saja, karena harta karun yang tersimpan dibalik
14 kamar rahasia, beribu kali lipat lebih berharga daripada lukisan
antik itu. Kini, dia sedang berdiri dihadapan lukisan antik tersebut.
Tertimpa cahaya lentera yang terang benderang, diatas
dinding terbias bayangan tubuhnya yang tinggi besar.
Ketika dia mulai menyingkap lukisan tersebut, bayangan
tubuhnya juga bagai terbelah dari atas kepala hingga ke
bawah, terbelah jadi dua.
Keadaan semacam ini sudah banyak kali dialami, tapi baru
kali pertama ini tiba-tiba muncul suatu perasaan yang aneh
sekali dalam hati kecilnya.
Bersamaan waktunya, tiba-tiba bayangan tubuhnya hilang
lenyap tidak berbekas, lenyap ditengah bayangan aneh yang
tinggi besar dan sangat luar biasa.
Bayangan itu sudah pasti bukan bayangan tubuhnya sendiri
yang mendadak berubah menjadi besar, raksasa dan sangat
aneh: Sejenis makhluk tiba-tiba sudah muncul dari belakang
tubuhnya, merampas bayangan tubuh sendiri yang semula
terbias karena pantulan cahaya lentera.
Sejenis makhluk, yang jelas bukan manusia!
Dipandang dengan cara apa pun, bayangan tersebut sudah
pasti tidak mirip bayangan manusia, sama sekali tidak mirip,
malah kalau mau bicara jujur, bayangan itu mirip sekali
dengan bayangan kupu-kupu.
Bayangan itu sama sekali tidak bergerak, dia hanya muncul
secara mendadak, terlewat tiba-tiba sehingga mencekam
perasaan hatinya.
Agak tertegun Jui Pakhay merendahkan separuh badannya,
begitu merendahkan badannya, dia langsung menerobos
masuk ke balik ruang rahasia.
15 Bayangan itu langsung menutupi seluruh wajahnya, hampir
bersamaan waktunya dia pun telah melihat suatu makhluk.
Makhluk itu bukan kupu-kupu, melainkan seekor Laron!
Seekor Laron berwarna hijau kemala yang bening dan indah,
Laron itu menempel diatas kain penutup diatas lampu lentera
yang terletak dimeja tulis.
Dibawah pancaran sinar lentera, dari seluruh tubuh Laron
itu seakan memancarkan cahaya seram yang membawa
pancaran sinar siluman! Dibalik pancaran sinar siluman itu
tampak sepasang mata berwarna merah darah.
Bukan mata, ternyata bukan sepasang mata! Benda itu
tidak lebih hanya guratan garis merah darah yang berbentuk
mata, satu di sebelah kiri satu lagi disebelah kanan sayap
Laron hijau itu.
Disekeliling guratan sisik merah darah berbentuk mata itu
merupakan guratan-guratan sisik lain yang berwarna merah
darah pula, seakan sekujur tubuhnya terdiri dari serat-serat
berdarah. Serat darah itu meliuk-liuk dari bawah membentang sampai
di atas dan berkumpul disekeliling "mata" itu, sekilas pandang
bentuknya mirip dengan sepasang alis mata, sementara garis
bulatan dibagian perut Laron hijau itu berbentuk seperti
sebuah hidung. Dengan komposisi semacam ini, pada hakekatnya
terbentuklah selembar wajah, wajah tanpa muka, sebuah
wajah setan!! Manusia, rasanya belum tentu bisa memiliki sebuah raut
wajah yang begitu menakutkan dan begitu menyeramkannya.
Raut wajah itu ternyata tidak lain adalah sepasang sayap
dari Laron itu, diatasnya pun terdapat guratan sisik berwarna
merah darah, hanya jumlahnya lebih tipis dan sedikit,
16 sepasang sayapnya ini berbentuk seperti sebuah mahkota
kemala hijau yang aneh sekali bentuknya.
Ditengah mahkota kemala hijau itu tentu saja terletak
kepala dari sang Laron.
Disebelah kiri kanan kepala Laron itu terdapat sebuah
sungut berbentuk sayap, selain itu terdapat pula sepasang
benda berbentuk bulat bagaikan bola, inilah sepasang mata
yang sebenarnya.
Ternyata sepasang mata inipun memiliki warna yang sama
dengan sepasang mata yang tumbuh diatas sayapnya itu,
merah bagai pancaran darah segar, bahkan memancarkan
pula sinar tajam yang menggidikkan hati
Cahaya darah! Sepasang mata yang memancarkan cahaya
darah itu seakan sedang melotot ke arah Jui Pakhay!
Benarkah Laron tersebut sedang mengawasinya" Jui
Pakhay tidak tahu dan tidak yakin, namun paling tidak dia
mempunyai perasaan semacam ini. Tidak heran kalau seketika
itu juga timbul perasaan ngeri dan perasaan takut yang luar
biasa dari dalam lubuk hatinya.
Semacam rasa ngeri, rasa takut yang belum pernah dialami
sebelumnya! Dia ingin sekali mengalihkan sinar matanya ke tempat lain,
namun dalam detik tersebut, tiba-tiba dia menjumpai bahwa
sepasang matanya sudah jadi kaku, bahkan sekujur tubuhnya
mulai terasa kesemutan, mulai menjadi kaku.
Sepasang mata Laron yang berwarna merah darah itu
seakan menyimpan semacam kekuatan iblis yang maha aneh
dan maha dahsyat, yang menghisap sepasang mata Jui
Pakhay sehingga tidak mampu bergeser.
Kini, bukan Cuma sepasang matanya saja yang terhisap, Jui
Pakhay merasa bahkan sukmanya dan nyawanya pun seakan
ikut terhisap. 17 Lambat laun dia mulai merasakan betapa sukmanya,
nyawanya perlahan-lahan mulai melambung, mulai melayang
meninggalkan rongga badan kasarnya.
Pada detik itulah, dia pun mulai melihat mulut dari Laron
penghisap darah itu.
Dari balik mulut Laron merah darah itu menyembur keluar
sebatang tabung penghisap yang berwarna merah darah pula,
bagaikan sebatang jarum tajam, membiaskan cahaya tajam
yang menyilaukan mata ketika terkena cahaya lentera.
Segulung hawa dingin yang menggidikkan hati seketika
muncul dari dasar telapak kaki Jui Pakhay dan menyusup naik
ke atas kepala, bagaikan tertusuk jarum yang amat tajam,
dengan cepat menyusup naik dan menghujam ke ulu hatinya.
Dia sangat terkesiap, amat tercekat perasaan hatinya,
kesadaran otaknya seakan menjadi terang kembali, sekujur
badannya seakan tercebur ke dalam kolam yang berisi air
dingin, nyawanya, sukmanya seolah sudah terbang melayang
ke angkasa. Dari balik matanya sudah mulai terpancar sinar kengerikan,
cahaya ketakutan yang luar biasa, tiba-tiba dia seakan sudah
teringat dengan suatu kejadian yang amat menakutkan!
Tak kuasa lagi dia menjerit keras:
"Laron penghisap darah!!"
Suara jeritannya parau dan gemetar, sama sekali tidak
mirip dengan suara jeritannya dihari hari biasa.
Begitu kata "Laron penghisap darah" meluncur dari
mulutnya, seluruh otot dan kulit wajahnya mengejang keras,
seluruh badannya menggigil keras bagaikan orang kedinginan,
raut muka itupun sama sekali tidak mirip dengan raut
wajahnya. 18

Laron Pengisap Darah Karya Huang Yin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia seakan-akan telah berubah jadi orang lain, menjelma
jadi manusia yang berbeda!
"Sreeet!" bergema suara robekan yang tersayat oleh suatu
benda, tahu tahu di atas kain penutup lampu lentera itu sudah
muncul sebuah lubang kecil, tabung penghisap berwarna
merah darah dari Laron hijau itu tahu-tahu sudah menancap
diatas lubang tersebut.
Tidak dapat disangkal lagi kalau tabung penghisap itu
bentuknya memang tidak berbeda jauh dengan sebatang
jarum, bahkan dalam kenyataan memiliki ketajaman yang
melebihi ujung dari sebatang jarum.
Benda setajam itu tentu saja tidak terlalu sulit untuk
menusuk masuk ke dalam tubuh manusia dan menembusnya.
Mengawasi tutup lentera yang tertusuk hingga berlubang
itu, Jui Pakhay merasa seakan-akan kulit tubuh sendiripun ikut
tertusuk hingga tembus, terasa darah segar sedang terhisap
keluar dengan derasnya.
Kini sepasang tangannya mulai dingin membeku, sepasang
tangan yang dingin membeku itu sudah ditekan berbarengan
ke atas pinggangnya.
Ikat pinggang itu bukan ikat pinggang biasa, dibalik ikat
pinggang tersebut tersembunyi senjata tajam andalannya,
senjata yang membuat dia tersohor di dalam dunia persilatan,
Jit seng coat mia kiam (pedang tujuh bintang pemusnah
nyawa). Pedang lemas sepanjang tiga depa dengan tujuh biji
senjata rahasia berbentuk bintang yang tersembunyi di balik
senjata tersebut, ketika melepaskan tusukan dengan
menyalurkan tenaga dalamnya, maka ke tujuh buah senjata
rahasia berbentuk bintang itu akan melesat keluar dengan
kecepatan luar biasa, mencabut nyawa lawan disaat musuh
sama sekali tidak menduga.
19 Hingga kini, belum pernah ada seorang manusia pun yang
berhasil mempertahankan selembar jiwanya dibawah ujung
pedang Jit seng coat mia kiam itu.
"Jit seng toh hun, It kiam coat mia" (tujuh bintang
pembetot sukma, satu tusukan mencabut nyawa) begitulah
gambaran senjatanya ketika menghadapi manusia, tapi
bagaimana pula kehebatannya sewaktu berhadapan dengan
seekor Laron"
Tabung penghisap telah ditarik kembali, setitik cahaya yang
luar biasa tajamnya terbias dari ujung jarum diatas kepala
Laron itu. Dari balik keheningan yang mencekam suasana
Perpustakaan itu, tiba-tiba bergema suara yang sangat aneh..
"Seeerrr...serrrrr...!"
Sepasang sayap Laron itu mulai bergetar, mulai dikibaskibaskan,
perasaan hati Jui Pakhay mulai menyusut, mulai
mengecil sementara suara "Seerrr, seerrr" itu makin lama
semakin bertambah nyaring.
Laron hijau yang semula hanya sebesar kepalan tangan,
kini berubah selebar telapak tangan... suara "Seerrr, seerrr"
pun makin lama bergema makin keras dan memekikkan
telinga. Akhirnya seluruh penutup lentera itu sudah tertutup oleh
tubuh Laron hijau itu.
Kelopak mata Jui Pakhay makin menyusut, peluh yang
bercucuran makin deras, peluh itu peluh dingin.
"Sreeet!" diiringi suara kebasan keras, Laron itu mulai
terbang meninggalkan penutup lentera, bagaikan setan iblis
yang ganas, langsung menerkam ke arah Jui Pakhay.
Sepasang mata diatas kepala Laron itu, sepasang mata
bermotif bunga di sayap Laron itu, bagaikan kobaran api yang
20 membara ditengah genangan darah, berkilauan ditengah
cahaya api yang membara.
Mendadak jarum penghisap itu kembali disemburkan
keluar, bersamaan waktunya pedang pun melepaskan sebuah
tusukan kilat. Laron penghisap darah!! Jui Pakhay nyaris menjerit ngeri,
hampir pecah nyalinya membayangkan kengerian serta teror
horor yang terbentang di depan mata, akhirnya dia turun
tangan, pedang jit-seng-coat-mia-kiam melancarkan sebuah
tusukan maut. Cahaya pedang yang meluncur bagai sambaran kilat, sinar
dingin yang cemerlang bagaikan cahaya bintang, sekali serang
tujuh bintang meluncur berbarengan ke arah depan.
Jit seng toh hun, It kiam coat mia (tujuh bintang pembetot
sukma, satu tusukan mencabut nyawa).
"Traak, traak, traak" tujuh kali dentingan nyaring bergema
memecahkan keheningan, ke tujuh batang senjata rahasia
berbentuk bintang itu sudah menancap semua diatas
permukaan meja.
Ditengah kilatan cahaya pedang yang menyambar diatas
penutup lentera, benda itu terpapas kutung jadi dua bagian,
tapi....... "Sreet!" satu suara desingan angin melejit tinggi ke tengah
udara. Lidah api dari lentera itu ikut terpapas kutung menjadi dua,
terpapas ditengah kilatan cahaya pedang yang menyambar
lewat bagai sambaran halilintar, melejit dan terbang ke tengah
udara. Seketika itu juga suasana di dalam ruang perpustakaan
dicekam kegelapan yang luar biasa, sementara lidah api dari
lentera yang terbelah dan mencelat ke udara itu masih
menari-nari di angkasa bagaikan api setan yang membara.
21 Bagaimana dengan sang Laron" Dalam waktu singkat
tubuhnya berubah bagaikan setan gentayangan membuat
tubuh Laron penghisap darah itu berubah menjadi tembus
pandang hingga tersisa segulung lingkaran cahaya yang
memancarkan sinar terang, ketika tusukan pedang itu
menghampiri badannya, lingkaran cahaya itupun turut hilang
lenyap tidak berbekas.
Lenyap bagaikan setan iblis! Jui Pakhay celingukan ke sana
kemari, peluh bercucuran membasahi seluruh tubuhnya.
Tiba-tiba serangan pedangnya kembali dilancarkan,
menyambut lidah api yang sedang menari ditengah udara dan
menggesernya kembali ke atas lentera.
Sekali lagi cahaya lentera menerangi seluruh ruangan,
lambat laun suasana ditempat itupun jadi terang benderang,
dibawah cahaya lampu, dengan jelas Jui Pakhay menyaksikan
bahwa disana, dalam perpustakaan buku itu hanya ada dia
seorang. Tidak ada Laron, nyamuk dan lalat pun tidak nampak
seekor pun, apa yang terpampang dihadapan matanya tadi
seolah hanya sebuah ilusi, sebuah khayalan yang tidak nyata.
Dia membungkukkan badan, memungut kembali penutup
lentera yang terjatuh diatas lantai.
Sebuah lubang tusukan kecil sebesar tusukan jarum,
terlihat muncul diatas penutup lentera itu, lubang tersebut
tidak lain adalah tempat yang ditusuk oleh Laron penghisap
darah itu dengan alat penghisapnya yang tajam.
Jelas peristiwa itu bukan sebuah ilusi, bukan sebuah
lamunan atau khayalan!! Sekujur badan Jui Pakhay mulai
gemetar keras, peluh dingin mulai bercucuran membasahi
seluruh tubuhnya.
Bab 2. 22 Teka teki seputar Raja Laron.
Bulan tiga tanggal dua, menjelang tengah hari, di tepi
telaga. Air kelihatan jernih berwarna hijau dengan latar belakang
bukit nan biru, pepohonan Liu tumbuh rimbun disepanjang
tepi telaga, musim semi memang musim yang mudah
membuat orang mabuk, membuat orang terpesona.
Perasaan Jui Pakhay sangat murung, kesal dan masgul,
jauh lebih murung ketimbang mabuk oleh air kata-kata,
kemurungan yang susah terurai, bahkan semakin berusaha
dihilangkan, perasaan itu semakin mencekam.
Kejadian semalam masih jelas terbayang di depan matanya,
meski kini dia sedang berjalan menelusuri pepohonan Liu yang
rindang, namun langkah kakinya terasa berat.
Pemandangan alam nan indah yang terbentang
dihadapannya tidak membuat perasaannya tenang, dia bahkan
seakan tidak melihatnya, seakan tidak merasakannya.
Dalam keadaan seperti ini, dia memang tidak punya napsu
untuk menikmati kesemuanya itu.
Hari ini dia memang sengaja datang kesana, karena
ditempat inilah dia akan menemukan Tu Siau-thian.
Tu Siau-thian adalah sahabat karibnya, diapun seorang
wakil opas diwilayah itu, seorang jago golok yang handal,
selain pintar, kungfunya juga hebat. Hingga sampai hari ini
sudah begitu banyak kasus besar yang berhasil dibongkar
olehnya. Ada orang bilang, bila latar belakang Tu Siau-thian
setengah saja melebihi Nyoo Sin, maka yang jadi komandan
opas di kota ini bukan Nyoo Sin melainkan Tu Siau-thian.
Menanggapi gurauan semacam ini, Tu Siau-thian tidak
pernah memberikan pandangan maupun pendapat pribadinya.
23 Dia seperti sudah amat puas dengan posisinya sekarang, wakil
komandan opas. Sekarang dia sedang berjalan menuju ke sisi Jui Pakhay,
lagak maupun gayanya persis seperti orang yang sedang
terbuai karena mabuk oleh keindahan alam di tepi telaga yang
rimbun dengan pohon liu itu.
Berbicara sejujurnya, kedatangannya ke tempat itu
memang khusus untuk menikmati pemandangan alam disana.
Karena belum lama ini dia berhasil membongkar sebuah
kasus kriminal yang sangat berat, dalam kondisi demikian, dia
butuh tempat rileks untuk mengendorkan semua otot dan
uratnya yang telah cukup lama kencang dan tegang.
Dia baru terperanjat setelah Jui Pakhay berada disisinya,
dengan pandangan terkejut bercampur keheranan ditatapnya
wajah sahabatnya lekat-lekat.
Dia seperti tertegun, keheranan dan tidak percaya kalau
bakal berjumpa dengan Jui Pakhay ditempat seperti ini, dia
sangat mengenal siapa Jui Pakhay itu dan tahu pasti apa
kegemerannya. Tempat semacam ini jelas bukan tempat yang cocok bagi
Jui Pakhay, dia bukan termasuk type manusia yang bisa
menikmati keindahan alam, terlebih kedatangan Jui Pakhay
kali ini hanya seorang diri.
Jui Pakhay sedang mengawasi dirinya pula, dia menatap
wajah rekannya dengan mimik muka yang sangat aneh, mimik
muka istimewa. Tu Siau-thian semakin keheranan, setelah menyapanya
sambil tertawa, dia menegur:
"Jadi kaupun menyukai tempat ini?"
"Tidak terlalu suka" jawab Jui Pakhay dengan sorot mata
tidak tenang. 24 "Sungguh aneh, aku tidak menyangka bakal berjumpa
dengan kau di tempat semacam ini" kembali Tu Siau-thian
berseru sambil tertawa.
"Tapi aku dapat menduganya"
"Oya?" Tu Siau-thian tertegun.
"Aku telah berkunjung ke rumahmu, orang rumah yang
mengatakan kalau kau berada disini"
"Ooh, jadi kau sengaja datang kemari karena ada
keperluan denganku?" seru Tu Siau-thian seperti baru
mengerti. Jui Pakhay manggut manggut pelan.
"Persoalan apa yang kau hadapi" Kenapa terburu-buru
mencari aku?" kembali Tu Siau-thian bertanya keheranan.
"Aku khusus kemari karena butuh petunjukmu tentang satu
hal" bicara sampai disitu, dia berbalik badan dan kembali
berjalan menelusuri jalanan yang baru saja dilaluinya.
Dalam keadaan begini terpaksa Tu Siau-thian mengikuti
dari belakang. Sambil berjalan kembali Jui Pakhay berkata lagi:
"Aku tahu kau sudah banyak mengembara di seantero
jagad, pengetahuan dan pengalamanmu sangat luas, banyak
kejadian, banyak wilayah yang mungkin tidak pernah diketahui
orang, bagimu bukan satu kejadian yang aneh atau paling
tidak sama sekali tidak ada bayangan"
"Sebenarnya apa masalahmu?" tidak tahan Tu Siau-thian
menegur. "Pernah tahu makhluk yang bernama Laron penghisap
darah?" tanya Jui Pakhay sambil bersin beberapa kali.
25 "Laron penghisap darah?" Tu Siau-thian agak tertegun,
"maksudmu Laron penghisap darah yang banyak hidup di
dalam belantara hutan diwilayah Siau-siang?"
"Aaah, rupanya kau tahu juga tentang hal ini" seru Jui
Pakhay kegirangan.
"Aku memang berasal dari wilayah Siau-siang"
"Bagus sekali....."
"Kenapa secara tiba-tiba kau menanyakan soal makhluk
itu?" Tu Siau-thian bertanya lebih jauh.
Jui Pakhay tidak langsung menjawab, kembali dia bertanya:
"Sebenarnya makhluk apakah itu?"
"Salah satu jenis Laron" sahut Tu Siau-thian sambil
berusaha menekan perasaan heran dan tercengangnya.
"Jadi sama persis seperti jenis Laron pada umumnya?"
"Bentuk luarnya memang sama persis, tapi warnanya
sangat berbeda"
"Apa warnanya?"
"Hijau muda" Tu Siau-thian menerangkan sambil tertawa,
"hijau muda mendekati warna batu kemala hijau, matanya
berwarna merah, pada kedua belah sayapnya terdapat pula
guratan merah bermotif mata, sepasang mata itupun
berwarna merah, semerah darah segar, sementara disekeliling
matanya dipenuhi serat-serat merah seperti guratan darah
segar" "Apakah karena sering menghisap darah manusia dan
hewan, maka dia berubah menjadi bentuk seperti itu?"
"Ooh, jadi kaupun terpengaruh oleh cerita dongeng itu?"


Laron Pengisap Darah Karya Huang Yin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seru Tu Siau-thian sambil gelengkan kepalanya berulang kali.
"Memangnya berita itu hanya sekedar berita angin?"
26 "Memang begitulah!" seru Tu Siau-thian sambil tertawa dan
manggut manggut.
"Kalau memang begitu, kenapa makhluk tersebut
dinamakan Laron penghisap darah?"
"Ini disebabkan sepasang matanya yang berwarna merah
darah, garis guratan mata yang merah darah serta garis garis
darah pada sepasang sayapnya, orang yang kurang tahu
beranggapan bahwa merahnya mata tersebut lantaran
kebanyakan menghisap darah manusia dan hewan, akhirnya
semua orangpun menyebut Laron tersebut sebagai Laron
penghisap darah"
Setelah berhenti sejenak, kembali terusnya:
"Orang bukan hanya menyebutnya sebagai Laron
penghisap darah, malahan ada yang menyebutnya sebagai
penyamun bermuka setan"
"Yaa, betul, jika dipandang dari punggungnya makhluk itu
memang mirip sekali dengan selembar wajah setan" tanpa
terasa Jui Pakhay mengangguk membenarkan.
Tiba-tiba Tu Siau-thian tertawa tergelak, selanya:
"Kapan sih kau pernah bertemu setan?"
Jui Pakhay melengak, sesaat kemudian dia menggeleng:
"Belum pernah aku melihat setan"
"Lantas darimana kau bisa membayangkan tampang setan
itu seperti apa?"
"Aku sendiripun kurang tahu, aku hanya berpendapat
tampang manusia tidak mungkin sejelek dan seseram itu"
Tu Siau-thian kembali tertawa tergelak, terusnya:
"Ada sementara orang menyebut makhluk itu sebagai Laron
bermata burung gereja, Laron bermata iblis, hal ini disebabkan
27 pada sepasang sayapnya terdapat guratan merah bermotif
mata darah"
"Apakah Laron semacam ini dapat menghisap darah?"
"Tentu saja tidak dapat, sebab guratan merah darah
bermotif mata yang tumbuh di sayap makhluk itu sudah ada
semenjak lahir"
"Kau yakin?"
Tu Siau-thian tidak menjawab, dia terbungkam.
Melihat itu, Jui Pakhay segera menatapnya lekat-lekat
Ditatapnya wajah rekannya itu sekejap, kemudian setelah
tertawa getir kembali Tu Siau-thian berkata:
"Walaupun aku tidak berani mengatakan yakin, namun
hingga detik ini belum satu kalipun menyaksikan ada Laron
yang bisa menghisap darah, bahkan mendengar cerita orang
pun belum pernah"
"Siapa tahu orang yang benar-benar pernah melihatnya
sudah pada mampus semua, mati karena badannya kering,
mati karena cairan darahnya telah dihisap habis oleh si Laron
penghisap darah itu"
Setelah menarik napas dalam-dalam, lanjutnya:
"Orang mati kan tidak mungkin bisa berbicara"
Tu Siau-thian tertawa getir:
"Mungkin saja apa yang kau katakan itu benar, tapi
menurut apa yang kuketahui, jenis Laron itu tidak suka darah"
"Siapa tahu ada pengecualian?"
Sekali lagi Tu Siau-thian gelengkan kepalanya berulang kali,
ujarnya: 28 "Hingga detik ini aku tetap berpendapat bahwa apa yang
kau ucapkan itu hanya sekedar berita angin, isapan jempol,
hanya sekedar dongeng!"
"Akupun berharap kesemuanya itu hanya sekedar berita
isapan jempol belaka"
"Oya...?"
"Paling tidak, aku sudah tidak perlu menguatirkannya lagi"
lanjut Jui Pakhay.
"Sebenarnya apa yang kau kuatirkan?" tanya Tu Siau-thian
agak melengak. "Aku kuatir ada Laron penghisap darah yang menghisap
darah tubuhku hingga mengering"
Tu Siau-thian semakin tercengang, dengan perasaan tidak
habis mengerti kembali tanyanya:
"Kapan kau telah bertemu dengan Laron penghisap darah?"
"Kemarin malam"
"Kemarin malam?" Tu Siau-thian semakin tercengang.
"Walaupun aku pernah mendengar cerita dongeng
mengenai Laron penghisap darah, namun selama hidup belum
pernah berkunjung ke wilayah Siau-siang, akupun belum
pernah melihat Laron penghisap darah, tapi kemarin
malam..........."
"Atas dasar apa kau yakin kalau makhluk yang kau jumpai
semalam adalah Laron penghisap darah?" sela Tu Siau-thian
cepat. Jui Pakhay menghela napas panjang:
"Karena Laron yang tiba tiba muncul di dalam perpustakaan
ku semalam, persis sama seperti Laron penghisap darah yang
dilukiskan dalam cerita dongeng"
29 "Tapi wilayah Siau-siang selisih jauh sekali dari tempat ini,
mana mungkin Laron penghisap darah bisa terbang melewati
wilayah yang begitu luas hingga tiba disini" Belum pernah
kudengar ada kejadian seperti ini" seru Tu Siau-thian semakin
keheranan. "Benar, aku sendiripun belum pernah dengar orang
bercerita kalau di tempat ini bisa melihat kehadiran Laron
penghisap darah"
"Mungkin juga lantaran ketidak sesuaian suasana dan hawa
ditempat ini dengan daerah asalnya, walau begitu bukan
berarti suasana dan hawa disini tidak mungkin bisa terjadi
perubahan, juga tidak menutup kemungkinan ada Laron
penghisap darah yang mampu terbang melintasi wilayah yang
luas untuk tiba di sini"
Setelah tertawa dan berganti napas, kembali terusnya:
"Padahal meskipun kau telah melihat munculnya seekor
Laron penghisap darah disini, bukan berarti kau mesti kuatir
setengah mati. Ketika masih berdiam di daerah Siau-siang
dulu, akupun sering bertemu dengan Laron penghisap darah,
tapi kenyataannya bukankah hingga detik ini aku masih bisa
hidup segar bugar?"
"Tatkala kau bertemu dengan makhluk-makhluk tersebut
tempo hari, bisa jadi mereka sudah kekenyangan sehingga
tidak berniat menghisap darahmu lagi" ujar Jui Pakhay.
"Hahaha.. mungkin saja perkataanmu itu benar"
Jui Pakhay tidak ikut tertawa, wajahnya semakin murung,
keningnya makin berkerut.
Tu Siau-thian merasa kurang leluasa untuk tertawa
sendirian, maka sambil berhenti tertawa katanya lagi:
"Aku lihat kau sudah dibikin ketakutan lantaran bertemu
dengan Laron penghisap darah semalam"
30 Jui Pakhay tidak menyangkal, dengan mulut membungkam
dia mengangguk berulang kali.
"Memangnya Laron penghisap darah yang kau jumpai
semalam ada niat akan menghisap darahmu?" tanya Tu Siauthian
lebih lanjut. Paras muka Jui Pakhay berubah hebat, sahutnya tegas:
"Yaa, aku memang melihat kalau dia bermaksud demikian!"
"Kemudian, apakah dia sudah menghisap darahmu?" ejek
Tu Siau-thian lagi sambil tertawa.
Bila dilihat dari lagaknya, dia seakan telah menganggap
perkataan dari Jui Pakhay itu sebagai bahan gurauan.
Jui Pakhay masih tetap membungkam, tidak tertawa, pun
tidak perduli dengan ejekan dari Tu Siau-thian, ujarnya
bersungguh-sungguh:
"Tidak, baru saja dia akan menerkam tubuhku, pedangku
sudah melancarkan serangan maut ke tubuhnya"
Kali ini Tu Siau-thian nampak terperanjat, serunya
tertahan: "Untuk menghadapi seekor Laron pun kau telah
menggunakan senjata andalanmu?"
Jika ditinjau dari lagak serta logat bicaranya, dia seolah
sedang menyindir Jui Pakhay karena membesar-besarkan
sebuah masalah yang sesungguhnya kecil.
Jui Pakhay sama sekali tak menggubris, bahkan
tambahnya: "Bukan hanya menggunakan senjata andalanku, bahkan
senjata rahasia telah kugunakan juga"
"It kiam jit seng, satu pedang tujuh bintang?"
31 "Benar, hampir semuanya telah aku gunakan" jawab Jui
Pakhay serius. Kini Tu Siau-thian baru benar benar terkesiap, akhirnya dia
sadar bahwa apa yang diceritakan Jui Pakhay bukanlah cerita
lelucon. Jit seng toh hun, It kiam coat mia (tujuh bintang pembetot
sukma, satu tusukan mencabut nyawa) merupakan
kepandaian pamungkas andalan Jui Pakhay, tidak
sembarangan jago yang mampu menghadapi nya, selama
inipun kepandaian pamungkas ini tidak ikan digunakan bila
keadaan tidak terlampau gawat.
"Lantas, bagaimana hasilnya?" tanya Tu Siau-thian
kemudian. "Begitu aku lancarkan serangan dengan satu pedang tujuh
bintang, tahu-tahu Laron penghisap darah lenyap tidak
berbekas" "Bagaimana lenyapnya?" desak Tu Siau-thian.
"Hilang lenyap dengan begitu saja, lenyap secara tiba-tiba
bagaikan setan iblis"
"Apakah semalam kau mabuk berat?" tegur Tu Siau-thian
kemudian sambil menatap rekannya lekat-lekat.
"Tidak, jangan lagi mabuk, minum arak setetespun tidak"
"Berarti kau tidur kelewat awal hingga bermimpi?" kata Tu
Siau-thian lebih jauh.
"Waktu itu aku baru saja menghantar tamuku pulang,
kemudian balik ke perpustakaan dan baru saja akan masuk ke
dalam" Tu Siau-thian membelalakkan matanya lebar-lebar, serunya
cepat: 32 "Kalau memang bukan mabuk kepayang karena pengaruh
alkohol, juga bukan bermimpi karena kebanyakan tidur, berarti
apa yang kau ceritakan merupakan kejadian yang beneran?"
Jui Pakhay menghela napas panjang:
"Haai, masa sampai sekarang kau masih sangsi dengan
perkataanku?"
Tu Siau-thian tertawa getir:
"Kini kau sudah menceritakan semua kejadian dengan
begitu nyata, biar masih sangsi juga aku harus mulai belajar
menerima ucapanmu sebagai satu kenyataan"
"Padahal kalau bukan mengalami sendiri belum tentu aku
percaya kalau peristiwa ini merupakan sebuah kenyataan"
kata Jui Pakhay pula sambil tertawa getir.
"Kali ini kau datang mencari aku, apakah tujuanmu hanya
ingin beritahukan kejadian ini saja?"
"Masih ada dua alasan lain"
"Apa alasanmu yang pertama?"
"Aku ingin tahu secara jelas, apakah benar terdapat
makhluk yang disebut Laron penghisap darah?"
"Dan sekarang kau sudah jelas, lantas apa alasanmu yang
kedua?" "Minta petunjukmu, bagaimana cara menanggulangi
serangan dari makhluk semacam ini"
Untuk sesaat Tu Siau-thian berdiri termangu, agaknya dia
tidak menyangka kalau harus menghadapi permintaan
semacam ini. Terdengar Jui Pakhay berkata lebih jauh:
"Sebenarnya cara apa yang paling tepat untuk
menanggulangi serangan mematikan dari Laron penghisap
33 darah" Benda apa pula yang paling dipantang Laron
penghisap darah semacam ini?"
Tu Siau-thian berdiri melongo, lama kemudian dia baru
tertawa getir sembari menggeleng:
"Aku sendiri juga tidak tahu"
Seketika itu juga semangat Jui Pakhay surut kembali, dia
jadi lemas dan tidak bernapsu untuk bicara lagi.
"Tapi kaupun tidak usah kelewat kuatir" buru buru Tu Siauthian
menghibur, "aku rasa makhluk tersebut belum tentu
sangat menakutkan seperti apa yang diceritakan orang"
Tiba-tiba Jui Pakhay berkata lagi:
"Aku masih dengar ada orang bercerita demikian, Laron
pertama yang munculkan diri biasanya adalah utusan dari raja
Laron penghisap darah, ketika sang raja Laron sudah memilih
sasaran yang akan dijadikan korban penghisapan darah, dia
akan mengirim utusannya, seakan hendak memberi kabar
kepada orang tersebut bahwa dia akan terpilih menjadi
korban, maka setelah kemunculan sang utusan, Laron
penghisap darah baru akan muncul berikutnya, menanti sang
raja Laron sudah menampilkan diri, kawanan Laron itu baru
akan menyerang bersama-sama, setiap Laron akan
menusukkan tabung suntiknya ke tubuh sang korban lalu
beramai-ramai menghisap cairan darah korbannya sampai
mengering!"
"Benar, cerita yang beredar memang mengatakan begitu"
Tu Siau-thian mengangguk tanda membenarkan.
"Aku dengar raja Laron baru akan muncul disaat malam
bulan purnama"
"Konon memang begitu" kembali Tu Siau-thian
mengangguk setelah termenung dan berpikir sejenak.
Menyusul kemudian ia berkata lebih jauh:
34 "Malam ini baru tanggal dua, hingga tanggal lima belas
berarti masih ada tiga belas malam"
"Tapi dengan cepat tiga belas malam akan berlalu dengan
begitu saja"
"Kalau begitu selama berapa malam nanti cobalah lebih
waspada dan berhati-hati, apabila Laron penghisap darah itu


Laron Pengisap Darah Karya Huang Yin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

muncul kembali, rasanya belum terlambat bagi kita untuk
mencari akal guna menghadapinya"
Jui Pakhay tidak bicara lagi, dia terbungkam dalam seribu
bahasa. "Berapa hari lagi, aku pasti akan datang berkunjung ke
rumahmu" kembali Tu Siau-thian berjanji.
Jui Pakhay tetap membungkam tanpa menjawab,
mendadak dia menghentikan langkah kakinya.
Tanpa terasa Tu Siau-thian ikut menghentikan langkahnya
sembari bergumam:
"Mungkin apa yang kau tampak hanya gambar ilusi yang
muncul sesaat, karena terpengaruh oleh ilusi tersebut maka
kau kira ada Laron penghisap darah hendak menghisap
darahmu" Ketika selesai mengucapkan perkataan itu, dia baru
menjumpai kalau sepasang mata Jui Pakhay sedang terbelalak
lebar-lebar, dengan wajah tertegun dan mulut melongo dia
sedang mengawasi sebuah dahan pohon liu yang tumbuh
ditepi jalan. Tanpa terasa dia mengikuti arah pandangan mata rekannya
dan mengawasi pula dahan pohon itu.
Namun dengan cepat paras mukanya berubah hebat,
ternyata diatas dahan pohon itu bertengger dua ekor Laron.
35 Laron hijau yang tubuhnya mengkilat bagaikan batu kemala
hijau, diatas sayapnya seakan dipenuhi garis-garis merah
darah dengan sepasang mata yang merah membara.
Sepasang mata Laron yang tumbuh diatas kepalanya juga
berwarna merah membara, begitu merahnya sehingga mirip
dengan darah segar.
Laron penghisap darah!! Tu Siau-thian tertegun, matanya
mendelong, wajahnya berubah hebat, setelah tertegun sesaat
tiba tiba dia melangkah maju, dengan satu gerakan cepat
dihampirinya dahan pohon Liu itu.
Jui Pakhay mencoba menghalangi namun tidak berhasil,
untuk sesaat dia jadi melongo dan tidak sepatah kata pun
mampu diucapkan.
Ketika tiba di dekat pohon Liu itu, Tu Siau-thian
memperlambat langkah kakinya, begitu dia berhenti
melangkah, tangan kanannya secepat kilat menyambar ke
depan, mencengkeram seekor Laron penghisap darah yang
berada disitu. Biarpun gerakan serangannya amat cepat, ternyata
gerakan Laron penghisap darah itu jauh lebih cepat, belum
sempat menyentuh makhluk tersebut, tahu-tahu ke dua ekor
Laron penghisap darah itu sudah terbang ke angkasa.
Reaksi maupun ke sensitifan Laron penghisap darah itu
ternyata sama sekali tidak berada dibawah kecepatan reaksi
kupu-kupu. Gerakan tubuh Tu Siau-thian semakin cekatan, mendadak
dia melambung ke tengah udara sambil melancarkan tiga kali
sambaran, akhirnya dengan satu gerakan cepat dia berhasil
menangkap Laron penghisap darah itu.
Jangan dilihat gerakan tubuhnya sangat cekat dan kasar,
ternyata kekuatan yang digunakan telah diperhitungkan
dengan matang, hal ini menyebabkan Laron penghisap darah
36 itu sama sekali tidak sampai tergencet mati walau telah
berhasil dicengkeram olehnya, sepasang sayapnya masih
bergetar tiada hentinya.
Bubuk Laron berwarna hijau kepucat-pu catan telah
memenuhi telapak tangan Tu Siau-thian, melihat itu dia
tertawa terbahak bahak.
Tampaknya Laron penghisap darah itu seakan sudah
ketakutan setengah mati hingga mendekati gila, sepasang
matanya yang merah kini bertambah merah tajam, bahkan
seolah sudah mulai melelehkan darah segar.
Sambil tertawa Tu Siau-thian segera berpaling ke arah Jui
Pakhay, kemudian ujarnya:
"Bila Laron semacam ini benar-benar pandai menghisap
darah, sekarang sudah seharusnya menghisapkan
darahku..............."
Belum habis perkataan itu diucapkan, tiba-tiba paras
mukanya berubah hebat.
Satu tusukan keras yang menimbulkan perasaan sakit yang
luar biasa muncul dari ibu jarinya, dengan perasaan
terperanjat dia berpaling
Tampak olehnya sebuah tabung hisap berwarna merah
darah dengan ujung jarumnya yang tajam telah menancap di
ibu jari tangannya dan saat itu darah segar miliknya mulai
dihisap oleh Laron penghisap darah itu.
Tidak terlukiskan rasa kaget bercampur ngeri yang dialami
Tu Siau-thian waktu itu, paras mukanya sampai berubah
menjadi hijau membesi.
Ketika dia mulai merasa bahwa darah segar telah dihisap
keluar melalui jari tangannya, saat itu pula dia berdiri
termangu, benarkah apa yang sedang dialaminya saat ini
merupakan sebuah kejadian nyata" Apakah bukan hanya
37 sebuah ilusi" Untuk berapa saat dia jadi kebingungan dan
tidak bisa membedakan secara jelas.
"Laron penghisap darah!!" dengan perasaan takut
bercampur ngeri yang luar biasa dia menjerit.
Karena teriakan yang keras disertai perasaan kaget yang
luar biasa ini, tanpa sadar genggamannya pada Laron
penghisap darah itupun jadi mengendor.
"Sreeet!" diiringi desingan angin tajam, Laron penghisap
darah itu meloloskan diri dari genggamannya dan terbang ke
udara, langsung menyusup ke balik pepohonan Liu yang
rindang. Dalam pada itu, Laron penghisap darah yang ke dua pun
sudah terbang lenyap entah ke mana.
Sorot mata Tu Siau-thian tidak pernah terlepas dari tubuh
Laron yang sedang terbang ke balik rimbunnya pepohonan.
Menanti bayangan tubuh makhluk itu sudah lenyap dari
pandangan, dia baru mengalihkan kembali sorot matanya
keatas ujung jari telunjuk sendiri.
Tidak ada darah yang meleleh keluar, diujung jari
tangannya hanya tersisa setitik darah segar, namun hal itu
sudah cukup membuat pandangan matanya terbelalak lebar.
Jui Pakhay ikut mengawasi ibu jari tangan Tu Siau-thian
yang berdarah itu, paras mukanya kini telah memucat
bagaikan selembar kertas.
Rasa takut, ngeri dan seram yang mencekam perasaan
hatinya sekarang sediktpun tidak berada dibawah perasaan Tu
Siau-thian. Untuk berapa saat lamanya kedua orang itu hanya bisa
berdiri termangu tanpa mampu melakukan suatu perbuatan
apa pun. 38 Entah berapa saat sudah lewat, lama kemudian akhirnya Tu
Siau-thian memecahkan kesunyian lebih dahulu, katanya:
"Tidak disangka ternyata makhluk ini benar-benar mampu
menghisap darah"
Dalam keadaan seperti ini, ternyata dia masih sanggup
tertawa walaupun senyuman yang menghiasi bibirnya boleh
dibilang sama sekali tidak mirip sebuah senyuman.
Terlebih Jui Pakhay, boleh dibilang dia tidak sanggup
tertawa lagi, sambil mengamati ujung jari Tu Siau-thian yang
berdarah, gumamnya lirih:
"Kemarin malam hanya muncul seekor, hari ini sudah dua
ekor, berapa banyak yang akan muncul besok malam?"
Ucapan tersebut diutarakan dengan suara yang sangat
aneh, boleh dibilang sama sekali tidak mirip dengan suara
aslinya. Tu Siau-thian hanya mendengarkan dengan wajah
tertegun, hatinya bergidik, bulu romanya tanpa terasa pada
bangun berdiri.
Tiba-tiba Jui Pakhay mengalihkan sorot matanya ke atas
wajah Tu Siau-thian, kemudian katanya lirih:
"Begitu kau berhasil menemukan cara yang tepat untuk
menanggulangi serangan makhluk itu, cepatlah beritahu
kepadaku" Begitu selesai berkata, ia segera beranjak pergi dari tempat
itu dengan kecepatan luar biasa.
"Kau akan ke mana sekarang?" teriak Tu Siau-thian keraskeras.
"Aku akan mencari teman-teman yang lain, siapa tahu
mereka punya cara untuk menghadapinya" ketika selesai
mengucapkan perkataan itu, tubuhnya sudah berada jauh
sekali. 39 Tu Siau-thian tidak mengejar, sekujur tubuhnya seolah
sudah menjadi kaku dan membeku ditengah rimbunnya
pepohonan. Dia sebetulnya tidak mau percaya kalau kejadian semacam
ini merupakan sebuah kenyataan, tapi sekarang mau tidak
mau dia harus mempercayainya.
Menjelang tengah hari, kabut tipis makin menyelimuti tepi
telaga, membungkus seluruh pepohonan Liu hingga tampak
samar. Dahan Liu bergoyang terhembus angin musim semi,
bergerak naik turun ditengah gulungan kabut, sesungguhnya
pemandangan saat ini sangat indah, namun dalam pandangan
Tu Siau-thian justru terasa menyeramkan dan mendirikan bulu
roma. Dahan pohon Liu yang bergoyang, ibarat kerumunan Laron
yang sedang menggeliat, Laron penghisap darah!
0-0-0 Bulan tiga tanggal tiga, senja telah menjelang tiba, hujan
disertai angin membasahi seluruh jagad, membuat udara
terasa dingin. Jui Pakhay duduk termenung seorang diri di dalam ruang
kamarnya, kemasgulan dan kemurungan jelas membekas
diatas raut mukanya
Dia baru saja selesai bersantap, ketika sisa nasi dan sayur
dibawa keluar, semuanya utuh seolah tidak satupun yang
pernah disentuh olehnya, dalam dua hari belakangan selera
makannya memang kurang begitu baik.
Kemarin malam, meski Laron penghisap darah tidak muncul
lagi, namun kemunculan dua ekor Laron penghisap darah
ditepi telaga siang tadi sudah lebih dari cukup untuk
mempengaruhi selera makannya.
40 Menyaksikan mimik mukanya itu, Gi Tiok-kun ikut hilang
selera makannya, jangan lagi bersantap, selera untuk
berbicara pun ikut lenyap tidak berbekas.
Gi Tiok-kun bukan orang lain, dia adalah istri Jui Pakhay,
usianya sepuluh tahun lebih muda dibandingkan usia
suaminya. Tiga tahun berselang, dia masih nampak bagaikan
sekuntum bunga segar yang terhembus angin musim semi,
segar dan bergairah sehingga memancing datangnya kupukupu
dan serangga, cantik, segar dan menawan hati.
Tapi tiga tahun kemudian, dia nampak jauh lebih tua
ketimbang Jui Pakhay.
Meskipun belum tampak kerutan dahinya namun masa
remaja seakan sudah jauh meninggalkan dirinya, yang tersisa
sekarang hanya sepasang matanya yang jeli, sepasang mata
jeli yang masih membawa sebuah kehangatan dari masa
remajanya. Biji matanya yang berkilat ibarat dua gulungan bara api
berwarna hitam, masih tetap berkialauan, masih tetap
membara. Siapa pun yang pernah bersua dengannya, pasti
dapat menduga kalau penghidupannya selama tiga tahun
terakhir pasti kurang nyaman, pasti kurang bahagia.
Kehidupan yang serba kecukupan bukan jaminan dapat
menghilangkan semua kemurungan, kemasgulan dan
kesengsaraan perasaan hatinya.
Karena orang yang dinikahi sekarang bukanlah orang yang
dia ingin nikahi.
Semenjak menikah dengan Jui Pakhay, kehidupannya
seolah sudah mati separuh.
Walaupun sampai kini dia belum sampai mati, namun
wajahnya, perasaan hatinya tidak berbeda dengan sekuntum
41 bunga yang mulai layu karena tidak pernah mendapat siraman
air segar. Jui Pakhay sama sekali tidak bisa menyelami perasaan hati
istrinya, berbeda dengan Gi Toa-ma, ibu angkatnya, orang tua
ini sangat memahami perasaan hati anak asuhnya, hanya
sayang Gi Toa-ma tidak pernah memikirkan persoalan itu ke
dalam hatinya. Apa yang dipikirkan Gi Toa-ma tidak lebih hanya semacam
benda, semacam benda yang bisa digunakan untuk membeli
apa-apa, duit! Dulu, dia sengaja memelihara Gi Tiok-kun karena dia tahu
perempuan ini adalah seorang perempuan cantik, setelah
tumbuh dewasa nanti, dari tubuhnya dia bisa meraup duit
dalam jumlah yang sangat besar.
Itulah sebabnya dia selalu memberikan hidangan dan
pakaian terbaik untuk Gi Tiok-kun, melatihnya menyanyi,
menari dan memainkan alat musik, dia paksa gadis itu
menjual nyanyi tanpa menjual badan, menemani orang minum
arak tapi tidak menemani tidur, hal ini bukan dikarenakan dia
sayang dengan perempuan ini, tapi ingin menunggu hingga
munculnya sang pembeli yang ideal dan sesuai dengan
kehendak hatinya.
Ketika tawar menawar mencapai satu angka kesepakatan,
maka diapun serahkan Gi Tiok-kun kepada Jui Pakhay
bagaikan menyerahkan sebuah barang pesanan saja.
Saat itulah Gi Tiok-kun baru tahu manusia macam apakah
Gi Toa-ma dan apa maksud tujuannya, namun dia tidak bisa
berbuat lain kecuali pasrah.
Gi Toa-ma punya banyak anak buah dan begundal, terlebih
Jui Pakhay, dia adalah seorang jagoan yang luar biasa, bila
dirinya menolak perkawinan tersebut, bisa dipastikan hanya
jalan kematian yang terbentang di depan matanya
42 Tentu saja dia tidak ingin memilih jalan kematian, sebab
usianya masih sangat muda, sewaktu dikawinkan dengan Jui


Laron Pengisap Darah Karya Huang Yin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pakhay, usianya baru mencapai sembilan belas tahun.
Orang muda mana yang tidak menyayangi nyawanya
sendiri" Apalagi seorang gadis yang baru berusia sembilan
belas tahun. Selama ini dia selalu beranggapan bisa menahan semua
siksaan batin itu. namun kenyataan membuktikan dia harus
menerima kesemuanya itu dengan susah payah.
Biarpun dia tumbuh dewasa dalam lingkungan pelacuran,
gadis ini tidak pernah tertular gaya hidup serta tingkah laku
kaum pelacur. Tapi kesemuanya itu bukan merupakan alasannya yang
paling utama, alasannya yang terutama adalah karena hatinya
sudah dimiliki orang lain.
Pada malam pertama dia menikah dengan Jui Pakhay,
malam pengantin harus dia lalui bagaikan dalam malam
siksaan, malam perkosaan, dia merasa bagaikan sedang
dinodai orang, diperkosa orang lain, siksaan batin tersebut
selalu tersimpan dalam lubuk hatinya hingga detik ini.
Dia tidak menjadi gila sudah merupakan satu mukjizat,
bayangkan saja, perempuan mana yang bisa hidup tenteram
dalam suasana seperti ini.
Tidak heran kalau kini raut mukanya berubah menjadi
cepat tua. Meski penampilan mukanya hanya lebih tua sepuluh
tahun, namun perasaan hatinya sudah lama mati, mati
ketuaan. Tidak seorang manusia pun yang memahami perasaan
hatinya, bahkan Jui Pakhay sendiripun sama sekali tidak tahu.
Selama ini dia selalu menunjukkan sikap seakan dia amat
mencintai Gi Tiok-kun, selalu berusaha dan berupaya untuk
43 merebut hati perempuan itu, berusaha membuatnya senang,
gembira..... Sayang dua hari ini sikapnya agak berubah, selama dua
hari ini dia sama sekali tidak berselera untuk melakukan
kebiasaan itu, dia sama sekali tidak punya semangat untuk
melakukannya. Kehadiran Laron penghisap darah telah membuat
pikirannya kalut, membuat perasaan hatinya kacau balau.
Mengapa Laron penghisap darah selalu menampakkan diri
dihadapannya" Apakah Raja Laron telah jatuhkan pilihannya
terhadapnya"
Laron yang muncul pada malam tanggal satu bulan tiga,
apakah dia adalah utusan dari Raja Laron" Apakah Laron
penghisap darah itu adalah utusan khususnya"
Mengapa si Raja Laron justru jatuhkan pilihannya terhadap
dia" Bila seandainya kawanan Laron penghisap darah datang
menghisap darahnya, apa yang harus dia lakukan" Tindakan
apa yang harus dia ambil"
Setiap hari setiap waktu dia selalu memikirkan persoalan
itu, tidak terkecuali pada saat sekarang.
Butiran air hujan sudah lama berhenti menetes, namun air
masih mengalir dari luar jendela, butir air berkilauan ketika
tertimpa cahaya lentera, sekilas lewat kemudian lenyap dari
pandangan mata.
Dengan pikiran kusut Jui Pakhay mengawasi butiran air
diluar jendela, pikiran dan perasaan harinya kusut sekusut
tumpukan jerami, tiba tiba cahaya lentera meredup lalu mati,
kegelapan segera mencekam seluruh ruangan.
Bagaikan burung yang takut dengan anak panah, Jui
Pakhay segera melompat bangun sambil memutar badannya
44 secepat kilat, sorot matanya segera ditujukan ke atas lentera
perak diatas meja kecil, tidak jauh dihadapannya sana.
Diatas penutup lentera perak itu bertengger empat ekor
Laron penghisap darah, satu disisi kiri, satu di kanan, satu
diatas dan satu lagi di bawah, persis membentuk tanda salib.
Empat ekor Laron penghisap darah dengan empat pasang
mata pada sayapnya yang berwarna merah darah, seakan
akan sedang mengawasi Jui Pakhay tanpa berkedip,
mengawasinya dibawah sorot cahaya yang redup......
Tidak diketahui mereka datang dari mana, juga tidak
terdengar suara sayap mereka sewaktu terbang memasuki
ruangan itu, cahaya lentera hanya terasa redup bagaikan
padam secara tiba-tiba lalu mereka telah muncul disana,
muncul bagaikan kehadiran setan iblis.
Sepasang mata Jui Pakhay terbelalak semakin lebar,
diawasinya ke empat ekor Laron penghisap darah itu tanpa
berkedip, kulit, otot dan daging wajahnya mulai mengejang
keras lalu berdenyut tiada hentinya.
Tangan kanannya sudah menggenggam kencang pedang
Jit seng coat mia kiam, peluh dingin membasahi seluruh
jidatnya. Biarpun senjatanya belum diloloskan, meskipun serangan
belum dilancarkan, namun hawa pembunuhan telah
menyelimuti seluruh udara.
Ke empat ekor Laron penghisap darah itu seolah belum
merasakan datangnya ancaman, mereka tidak bergerak, pun
tidak menunjukkan reaksi apapun.
Justru yang dibuat terkejut oleh ulah dan tingkah laku Jui
Pakhay adalah Gi Tiok-kun.
Sebenarnya dia sedang duduk terpekur disampingnya,
duduk sambil menundukkan kepalanya, dia sama sekali tidak
memperhatikan Jui Pakhay, maka ketika suaminya melompat
45 bangun secara tiba-tiba, bangku tempat duduk itu ikut dipukul
balik oleh ulahnya.
"Blaaam!" ditengah keheningan yang mencekam, suara itu
kedengaran amat nyaring dan memekikkan telinga.
Dengan perasaan terkesiap dia mendongakkan kepalanya,
dengan cepat perempuan itu telah menyaksikan raut muka Jui
Pakhay yang dicekam rasa takut, selembar wajah yang begitu
ketakutan dan penuh diliputi rasa gelisah bercampur ngeri.
"Apa yang terjadi?" tanpa terasa dia menegur.
"Laron!" bisik Jui Pakhay dengan suara gemetar.
"Apa" Laron apa?" Gi Tiok-kun keheranan.
"Laron penghisap darah!"
"Laron penghisap darah?" Gi Tiok-kun semakin keheranan.
Dia belum pernah mendengar judulan itu, belum pernah tahu
makhluk apakah itu.
"Yaa, empat ekor Laron penghisap darah!" ulang Jui
Pakhay dengan nada parau.
"Di mana?"
"Itu, diatas penutup lentera!" seru Jui Pakhay sambil
menuding ke depan.
Gi Tiok-kun segera menoleh dan memandang ke arah mana
yang ditunjuk. Tadi dia duduk persis dibawah lentera perak itu, sama
sekali tidak merasa kalau diatas penutup lentera itu sudah
bertengger empat ekor Laron penghisap darah, ketika cahaya
lentera jadi redup tadi, dia pun seakan tidak merasakan
kehadiran makhluk-makhluk itu.
Kini, sorot matanya telah dialihkan ke atas penutup lentera
itu, perasaan tercengang, keheranan dan tidak habis mengerti
terlintas diwajahnya.
46 Hanya perasaan keheranan, sama sekali tidak terbias rasa
takut, atau ngeri atau seram.
Dengan keheranan dia berpaling lagi memandang wajah Jui
Pakhay, kemudian serunya:
"Empat ekor Laron penghisap darah yang bertengger di
penutup lentera" Mana" Kenapa aku tidak melihatnya?"
Jui Pakhay tertegun, dia tidak sanggup menjawab,
sepasang matanya terbelalak semakin lebar.
Dengan sangat jelas dan nyata dia saksikan ada empat
ekor Laron penghisap darah, bahkan sekarang pun masih
bertengger diatas penutup lentera itu.
Kenapa Gi Tiok-kun tidak melihatnya" Jangan-jangan
sewaktu dia berpaling tadi, ke empat ekor Laron penghisap
darah itu sudah menyembunyikan diri"
Dia membelalakkan matanya semakin lebar, serunya
gelisah: "Coba perhatikan lagi dengan seksama"
Gi Tiok-kun mengiakan seraya berpaling, kali ini dia sama
seperti Jui Pakhay, membelalakkan sepasang matanya lebarlebar.
Biarpun ukuran badan ke empat ekor Laron penghisap
darah itu lebih kecil dari lalat pun, sekarang, seharusnya
sudah tidak bisa lolos dari pengamatan matanya.
Dia memeriksa dengan lebih seksama lagi, namun akhirnya
tetap menggeleng, ternyata perempuan itu tetap tidak
menyaksikan sesuatu apa pun.
"Sudah kau lihat?" tidak tahan Jui Pakhay bertanya.
"Belum" Gi Tiok-kun menggeleng.
"Tapi.... aku melihat dengan jelas, ada empat ekor Laron
penghisap darah!"
47 "Haai, tapi aku tidak melihatnya, walau hanya seekor pun"
sahut Gi Tiok-kun sambil menghela napas panjang.
Dia tidak mirip lagi berbohong, atau jangan-jangan
pandangan mata sendiri yang telah kabur"
Sambil mengucak matanya berulang kali kembali Jui Pakhay
berpaling mengawasi penutup lentera itu.
Bab 4. Gerombolan Laron muncul kembali.
Bulan tiga tanggal tujuh, guguran bunga beterbangan di
kebun sebelah timur, kabut pun ikut beterbangan.
Padahal bukan kabut yang beterbangan tapi air hujan.
Air hujan dimusim semi lembut bagaikan serat, kabut tipis
menyelimuti seluruh halaman, Jui Pakhay berada pula dalam
halaman itu. Biarpun kerutan alis matanya masih terbesit perasaan ngeri
dan ketakutan yang dialaminya semalam, namun perasaan
hatinya sudah tidak seberat semalam, karena secara rahasia
dia telah menulis sepucuk surat, secara rahasia mengutus Jui
Gi untuk menyampaikannya kepada Siang Huhoa.
Sepucuk surat permintaan tolong. Secara ringkas dia telah
menceritakan situasi yang sedang dihadapinya sekarang,
menyampaikan juga betapa butuhnya dia akan perlindungan
dari Siang Huhoa.
Dia tidak menulis surat kepada orang lain, surat semacam
ini hanya diberikan untuk Siang Huhoa seorang.
Hal ini bukan hanya lantaran kepandaian silat yang dimiliki
Siang Huhoa sangat hebat, hal inipun disebabkan meski Siang
Huhoa adalah seorang penyamun, namun dia adalah seorang
48 penyamun budiman, seorang pendekar pedang sejati yang
menjunjung tinggi kebenaran dan kesetia-kawanan.
Sekalipun di dunia ini benar-benar terdapat setan iblis atau
siluman jelmaan, dia yakin kawanan siluman itu tidak nanti
berani mengusik seorang pendekar pedang sejati.
Dia hanya berharap Siang Huhoa bisa datang tepat pada
waktunya, dia sama sekali tidak perlu kuatir bila Siang Huhoa
tak mau datang.
Dia sama sekali tidak lupa kalau mereka sudah bukan
sahabat lagi, juga belum pernah lupa kalau sewaktu mereka
masih bersahabat dulu, dia pernah menyelamatkan selembar
nyawa Siang Huhoa.
Siang Huhoa bukan orang yang melupakan budi. Tentang
hal ini dia jauh lebih jelas dari siapa pun.
Bila Siang Huhoa memang bukan orang yang suka
melupakan budi, bagaimana mungkin dia tidak akan datang
untuk membalas budinya"
Sayang seluruh mental dan kekuatan tubuhnya sudah
rontok, sudah hancur berantakan, dia memang tidak bisa
menjumpai orang ke dua lainnya yang bisa dimintai
pertolongan. Hujan rintik di musim semi masih turun dengan tiada
hentinya, ketika angin berhembus lewat, berpuluh puluh
kuntum bunga jatuh berguguran, bunga yang berguguran
sekilas tampak bagaikan hujan, bagaikan kabut tipis yang
menyelimuti udara.
Mengawasi bunga-bunga yang berguguran, tiba tiba Jui
Pakhay merasa amat sedih, perasaan hatinya amat pedih.
Tanpa terasa dia mengambil sekuntum bunga yang rontok.
Diatas putik bunga berwarna putih itu ternyata muncul titik
warna merah, merah darah.
49 Jui Pakhay agak tertegun, belum sempat ingatan ke dua
melintas lewat, tiba tiba ujung jari tengahnya terasa amat
sakit, sakit sekali, sakit karena tertusuk oleh sebuah benda
yang sangat tajam.
Dari balik titik cahaya merah darah diujung putik bunga itu
tiba-tiba sudah muncul sebatang jarum tajam berwarna merah
darah, sementara putik bunga berwarna putih itu tahu-tahu
sudah berubah jadi hijau bening!
Laron penghisap darah!!
Seekor Laron penghisap darah ternyata sedang berdiam diri
diatas putik bunga berwarna putih itu, ketika Jui Pakhay
mengambil bunga itu, Laron penghisap darah pun
menusukkan tabung hisapnya yang tajam, langsung ke ujung
jari tengahnya.
Jui Pakhay terkesiap, buru buru dia ayunkan tangannya
kuat-kuat, membanting kuntum bunga yang berada dalam
genggamannya itu ke atas tanah.
Belum lagi kuntum bunga itu mencapai permukaan tanah,
Laron penghisap darah tersebut sudah melejit dan sang bunga
dan terbang ke udara.
Hanya didalam waktu singkat makhluk itu sudah terbang ke
angkasa dan lenyap dari pandangan mata.
Jui Pakhay segera menghembuskan napas lega......... tapi
sayang hembusan napas leganya kelewat awal dilakukan.
Angin masih berhembus kencang, bunga masih terus
berguguran ke tanah, dalam waktu Hekejap diatas bunga yang
berguguran itu kembali muncul setitik warna merah, merah d
irah. Dari setiap kuntum bunga yang berguguran itu segera
bermunculan titik warna merah darah, setitik merah darah
yang berubah menjadi seekor Laron penghisap darah.
50 Berapa banyak bunga yang berguguran disitu" Dan berapa


Laron Pengisap Darah Karya Huang Yin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

banyak Laron penghisap darah yang hinggap diatasnya"
Menyaksikan kesemuanya itu Jui Pakhay mulai merasakan
jantungnya berdebar keras, hatinya seakan menyusut kecil,
tubuhnya mundur sempoyongan dan mulai menggigil keras
bagaikan orang kedinginan.
Setelah mundur sejauh berapa kaki, pedang Jit seng toh
hun kiam nya segera diloloskan dan digetarkan ditengah udara
hingga tegak kaku.
Kawanan Laron penghisap darah itu serentak terbang
meninggalkan guguran bunga-bungaan, lalu sambil
memuntahkan jarum tajam penghisap darahnya mereka
menyerang tubuh Jui Pakhay habis-habisan.
Rontokan bunga berwarna hijau pucat ditambah sayap
Laron berwarna hijau muda dan lidah mata berwarna merah
darah, membentuk serangka! lukisan yang sangat aneh dibalik
hujan berkabut itu.
Dalam keadaan begini, Jui Pakhay tidak berminat untuk
menikmati keanehan alam itu, sambil membentak gusar
kembali pedang Jit seng toh hun kiam nya melancarkan
selapis hujan pedang yang menyelimuti angkasa.
"Sreeet, sreet, sreet!" air hujan terbelah oleh babatan
cahaya pedang, guguran bunga hancur berkeping terhajar
angin tajam. Yang nampak hanya air hujan, hanya guguran bunga yang
hancur, sementara puluhan ekor Laron penghisap darah itu
tidak satupun yang terhajar hingga rontok ke tanah, hampir
semuanya hilang lenyap dengan begitu saja.
Dalam waktu sekejap puluhan ekor Laron penghisap darah
itu seakan selapis kabut yang tipis, buyar, hilang dengan
begitu saja, seakan menguap ke angkasa,
51 Jui Pakhay sadar, lenyapnya kawanan Laron penghisap
darah itu bukan karena kepandaiannya, dia sadar kemampuan
yang dimiliki masih belum mencapai taraf sehebat itu, dia pun
tahu puluhan ekor Laron penghisap darah itu lagi-lagi hilang
lenyap seakan musnahnya setan iblis.
Menghadapi musuh tangguh semacam ini, dia benar-benar
dibuat kehabisan akal, dia merasa tidak tahu bagaimana harus
berbuat Sambil melintangkan pedangnya di depan dada, dia berdiri
kaku ditempat, otot dan kulit badannya mengejang kencang,
dalam kelopak matanya meski tak ada air mata, namun serasa
ada gerakan yang membuat dia pingin melelehkan air mata.
Meskipun surat permintaan tolong telah dikirim, paling
cepat pun butuh enam hari untuk tiba di perkampungan
selaksa bunga, seandainya Siang Huhoa langsung berangkat
sehabis membaca surat itu, paling tidak dia baru bisa tiba di
perpustakaan Ci-po-cay pada tanggal delapan belas bulan tiga.
Itu berarti hati yang ditentukan kawanan Laron penghisap
darah itu untuk mulai melancarkan pembunuhan!
Bila Raja Laron sudah menampakkan diri, berarti kawanan
Laron penghisap darah itu akan mulai menyerang secara
serentak, mereka akan menggunakan badannya sebagai
sasaran penusukan jarum jarum penghisap darahnya, lalu
menggunakan cairan darah di dalam tubuhnya sebagai bahan
konsumsi. Konon Raja Laron selalu akan muncul disaat bulan sedang
purnama, malam bulan purnama berarti malam tanggal lima
belas Bila dongeng yang selama ini tersiar merupakan kenyataan,
berarti ketika Siang Huhoa tiba disana, kehadirannya sudah
terlambat tiga hari, seandainya kawanan Laron penghisap
darah itu benar-benar akan menghisap darahnya, waktu itu
52 dia sudah tinggal sesosok mumi, sesosok mayat yang telah
mengering. 0-0-0 Bulan tiga tanggal delapan, malam itu kawanan Laron
penghisap darah kembali munculkan diri.
Satu rombongan besar Laron penghisap darah, jumlahnya
satu kali lipat lebih banyak ketimbang jumlah yang muncul
pada malam sebelumnya, kawanan Laron itu mengelilingi
cahaya lentera dan menari-nari kian kemari
Jui Pakhay sama sekali tidak menggubris, juga tidak
mengusik, ketika kawanan Laron penghisap darah itu sudah
beterbangan selama seperminum teh lamanya, bagaikan
bayangan setan, lagi-lagi hilang lenyap tidak berbekas.
0-0-0 Bulan tiga tanggal sembilan, malam itu ketika Jui Pakhay
pulang dari bepergian, dia pulang dengan wajah yang muram.
Hari ini sudah berapa kali dia ceritakan kisah Laron
penghisap darah itu kepada sebelas orang sahabatnya.
Diantara ke sebelas orang sahabatnya itu ada yang sebagai
piausu, ada pedagang bahkan ada pula penjual obat keliling.
Tempat ini merupakan tempat yang dipenuhi dengan
pejabat-pejabat tinggi, Komandan opas Nyoo Sin termasuk
salah satu orang yang mengetahui kisah horor yang
dialaminya. Sebagian besar orang orang itu merupakan orang yang
sudah cukup lama hidup menjelajahi seluruh kolong langit,
pengetahuan mereka sangat luas, Jui Pakhay sengaja
memberitahukan kejadian ini kepada mereka, tujuannya tidak
lain adalah berharap agar mereka bisa mengusulkan
kepadanya untuk menghubungi seseorang yang sanggup
menghadapi kejadian seperti ini, bahkan kalau mungkin
53 sebuah cara yang ampuh untuk membasmi serangan horor
dari kawanan Laron penghisap darah itu.
Tapi alhasil dia merasa sangat kecewa, malahan dia merasa
sedikit menyesal.
Kawanan orang-orang itu bukan saja tidak mempercayai
apa yang dia katakan, malah dianggapnya dia sedang
bergurau, hanya ada dua orang di antaranya yang terkecuali.
Ke dua orang ini menganggap otaknya sudah miring, ada
penyakitnya sehingga berpikiran yung bukan-bukan, Jui
Pakhay sama sekali tidak membantah ataupun berdebat, dia
hanya tertawa getir.
Sebab sejak awal dia sudah menduga, kemungkinan besar
akan peroleh hasil seperti ini.
Seandainya peristiwa Laron penghisap darah bukan
menimpa dirinya, dia pun sama seperti rekan-rekan lainnya,
tidak bakal percaya kalau ada kejadian seperti ini.
Sejak tanggal enam malam, dia sudah tidak berani lagi
tidur bersama Gi Tiok-kun.
Selama dua malam sebelumnya, dia selalu tidur seorang
diri di dalam perpustakaan bukunya.
Malam ini pun ada rembulan yang bersinar di angkasa.
Jui Pakhay berdiri seorang diri di depan jendela, mengawasi
cahaya rembulan yang bening bersih, timbul perasaan sedih
dan murung yang amat sangat di dalam hatinya.
Tiba tiba dia merasa sangat kesepian, merasa dirinya hidup
seorang diri, sebatang kara.
"Sreet, sreet, sreet" tiba-tiba bergema suara gemerisik dari
belakang tubuhnya, suara semacam ini sudah tidak terlalu
asing lagi baginya.
54 Setiap kali Laron penghisap darah itu munculkan diri,
mereka selalu muncul dengan membawa suara desiran tajam
semacam ini. Suara itu muncul dari kebasan sayap kawanan Laron
penghisap darah itu, dengan satu kecepatan luar biasa dia
berpaling. Tapi sepanjang mata memandang hanya kegelapan yang
menyelimuti seluruh ruangan, rupanya ketika memasuki ruang
perpustakaan dengan perasaan masgul tadi, dia lupa menyulut
api lentera. Ditengah kegelapan yang mencekam seluruh ruangan, tiba
tiba tampak berpuluh puluh bintik cahaya redup berwarna
hijau muda, cahaya api yang berkedip kedip persis seperti api
setan yang sedang gentayangan.
Dibalik setiap cahaya berwarna hijau itu tampak pula setitik
cahaya berwarna merah, walaupun titik cahaya itu kecil dan
lembut namun justru amat terang dan mencolong, cahaya
darah yang menakutkan!
Berpuluh-puluh titik cahaya hijau bercampur merah darah
itu beterbangan di udara bagaikan berpuluh pasang mata
setan yang sedang mengintai dan mengawasinya dari balik
kegelapan. Laron penghisap darah!!
Jui Pakhay mulai menjerit di dalam hati, namun
tenggorokannya seolah telah tersumbat oleh sesuatu, suara
jeritannya sama sekali tidak bisa muncul keluar.
Mendadak ia membalikkan badannya lalu menerjang masuk
ke balik kegelapan!
Dia sudah hapal dengan setiap seluk beluk di dalam
Perpustakaan bukunya, karena itu dia bisa langsung
menerjang ke depan meja tulis, dia masih ingat, diatas meja
itu terletak sebuah lentera.
55 Jui Pakhay segera mengayunkan tangan kirinya, "PlaakF
cahaya api berkelebat lewat, tahu tahu dia sudah menyulut
sebuah korek api dan menyulut lampu lentera yang berada di
atas meja. Seketika itu juga cahaya lentera yang redup mengusir
kegelapan yang mencekam ruangan itu.
Bersamaan dengan munculnya cahaya lentera, kerlipan
cahaya hijau kemerah-merahan itu hilang lenyap seketika,
bahkan suara desingan tajam dari sayap sayap itu pun ikut
lenyap tidak berbekas.
Tidak nampak seekor Laron penghisap darah pun di dalam
ruang baca Perpustakaan buku itu.
Ketika sinar hijau kemerah merahan itu sirna tertimpa
cahaya lentera, kawanan Laron penghisap darah itupun ikut
lenyap tidak berbekas! Sambil memegangi lentera untuk
menyinari sekeliling tempat itu, Jui Pakhay mulai bersumpah
serapah di dalam hati kecilnya.
0-0-0 Bulan tiga tanggal sepuluh, suasana amat hening, rembulan
bersinar lembut, angin berhembus sepoi.
Jui Pakhay berbaring seorang diri di dalam perpustakaan
bukunya, dia merasa lelah sekali, meski begitu dia belum
sampai tertidur pulas.
Dia paksakan diri untuk mementang sepasang matanya
lebar-lebar, tujuh buah cahaya api sebesar kepalan tangan
menyinari ruangan perpustakaan itu.
Tujuh buah lentera besar dengan tujuh buah lidah api yang
besar menerangi setiap sudut ruangan.
Separuh bagian dari lidah api itu terbenam didalam sebuah
tabung tembaga yang dipenuhi minyak, tabung tersebut
56 berada diatas sebuah meja kecil, sementara meja kecil itu
berada ditengah sebuah tempat yang ceper bentuknya.
Kuali ceper itu dipenuhi air, membuat meja kecil itu
terbenam didalam air, bahkan tabung tembaga itupun
setengah bagiannya terendam air.
Tujuh buah lidah api yang besar bersama-sama
memancarkan cahaya yang terang benderang, ketika terpantul
diatas permukaan air, membuat seluruh ruang perpustakaan
itu menjadi terang bagaikan disiang hari.
Jui Pakhay harus berpikir satu harian penuh sebelum
akhirnya berhasil menemukan jebakan tersebut.
Biasanya Laron akan mendekati cahaya api, maka bila ada
rombongan Laron yang menghampiri cahaya dan menari hari
disekelilingnya, jika penutup lentera diambil, otomatis Laron-
Laron itu akan menerjang langsung ke tengah jilatan api.
Bila kawanan Laron itu sampai menubruk ke atas jilatan
api, dapat dipastikan kawanan makhluk itu akan terbakar, bila
di bawah lentera diberi sebaskom air, tidak dapat disangkal
lagi binatang-binatang itu pasti akan mati semua.
Sementara kawanan Laron yang terluka akan segera
tercebur ke dalam air, bila sayapnya sudah basah maka
mereka tidak bakal mampu terbang tinggi lagi.
Kini, Jui Pakhay hanya berharap kebiasaan I aron
penghisap darah menghampiri cahaya api tidak berbeda
dengan keadaan pada umumnya.
Dia lebih berharap lagi jika api dapat memusnahkan
pengaruh sihir, dengan air pun bisa menenggelamkan sihir,
asal kawanan Laron penghisap darah itu sudah menubruk ke
dalam ipi lalu tercebur ke air maka mereka akan musnah dan
lenyap untuk selamanya.
Asal dia bisa mendapatkan satu saja bangkai Laron
penghisap darah, maka dia dapat menggunakannya untuk
57 membuktikan dihadapan teman-teman lainnya bahwa dia
bukan lagi berbohong.
Asal kecurigaan mereka bisa dihilangkan, dengan
sendirinya rekan-rekannya akan bersedia melakukan
penyelidikan, atau bahkan bergabung dengannya untuk
bersama-sama menghadapi kawanan Laron penghisap darah
itu. Paling tidak dia tidak akan terpencil, tidak akan sendirian
seperti keadaannya saat ini.
Sekarang dia tidak tidur, berusaha dengan sekuat tenaga
untuk mempertahankan diri, dia ingin menunggu munculnya
kawanan Laron penghisap darah itu, menunggu kawanan
makhluk itu masuk perangkap dan bunuh diri.
Tiga kali suara kentungan bergema dari luar kamar,
ternyata waktu sudah menunjukkan kentongan ke tiga.
Jui Pakhay dengan menahan rasa kantuk yang luar biasa
berusaha memejamkan sejenak sepasang matanya, sementara
perasaan hatinya mulai gelisah, mulai tidak sabar.
Berbicara menurut pengalaman yang dirnilikinya di masa
lampau, bila kawanan Laron penghisap darah itu akan muncul
lagi pada malam ini, sudah seharusnya mereka muncul pada
saat ini. Tapi anehnya, hingga sekarang kawanan Laron penghisap
darah itu belum juga menampakkan diri.
Benarkah kawanan makhluk itu sangat cerdas dan pandai
melihat gelagat sehingga tahu kalau disitu telah dipasang
sebuah perangkap maut"


Laron Pengisap Darah Karya Huang Yin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Baru saja ingatan tersebut melintas lewat, tiba-tiba Jui
Pakhay mulai mendengar suara desingan angin tajam.
Setiap kali Laron penghisap darah munculkan diri, dia pasti
akan mendengar suara aneh semacam ini.
58 Suara itu memang suara sayap Laron penghisap darah
ketika berkebas menembusi angkasa.
...............Apakah sudah datang"
Jui Pakhay segera merasakan semangatnya bangkit, dia
membuka sepasang matanya lebar-lebar.
Baru saja dia membuka matanya, tiba tiba dirasakan
kelopak matanya berat sekali bagaikan diberi beban besi
ribuan kati, beberapa kali dia ingin membuka matanya namun
tidak berhasil.
Terpaksa dia pejamkan matanya sambil mengatur
pernapasan, dia hanya pejamkan matanya tapi berusaha
untuk tidak tertidur. Aneh, sebenarnya apa yang telah terjadi"
Belum lama berselang dia masih segar bugar, mengapa
sekarang berubah jadi lemas tidak bertenaga"
Buru buru dia menggerakkan tangannya, mencoba untuk
meraba kelopak matanya, siapa tahu biarpun sudah dicoba
berapa kali ternyata tangannya sama sekali tidak sanggup
untuk digerakkan.
Dalam waktu sekejap mata, seluruh tenaga dalam yang
dirriiliknya seakan hilang lenyap tidak berbekas.
Tidak terlukiskan rasa kaget, ngeri dan takut yang
mencekam perasaan hatinya sekarang. Apa yang sebenarnya
telah terjadi"
Dia menjerit di dalam hati namun tenaga untuk berbicara
pun tidak punya, namun dia masih dapat merasakan, juga
masih bisa mendengarkan dengan sangat jelas.
"Sreet, sreett" suara desingan makin lama semakin jelas,
makin lama semakin bertambah nyaring.
Rupanya kawanan Laron penghisap darah itu mulai
beterbangan dalam ruang perpustakaan, mulai menari-nari
kian kemari. 59 Jui Pakhay merasa hatinya makin lama makin gelisah, dia
ingin sekali meronta untuk bangkit berdiri, mendadak
perasaan kantuk yang luar biasa hebatnya, sedemikian
hebatnya sehingga serasa tidak mampu dilawan, menyerang
dan mencekam seluruh tubuhnya.
Lambat laun pikirannya mulai kabur, bahkan perasaan nya
pun lambat laun ikut lenyap tidak berbekas.
Entah berapa saat sudah lewat, mendadak Jui Pakhay
mendapatkan kembali semua kesadaran dan perasaannya.
Begitu kesadarannya pulih kembali, dia mulai mendengar
semacam suara, semacam suara yang sangat aneh, seakan
ada sesuatu benda sedang menjerit lengking, sedang merintih
penuh kesedihan.
Dia ingin sekali melihat berada dimanakah dirinya sekarang,
sudah berubah menjadi apakah dirinya" Sebab dia memang
sangat kuatir, kuatir sewaktu tidak sadar tadi kawanan Laron
penghisap darah itu sudah memindahkan tubuhnya keluar dan
perpustakaan, menghisap darahnya hingga mengering.
Masih untung semua kejadian yang telah dialaminya
sebelum tidak sadarkan diri tadi, dia masih teringat semuanya,
dia pun amat kuatir dapatkah sepasang matanya dibuka
kembali, dapatkah dia menggerakkan tubuhnya lagi.
Dia mencoba untuk membuka matanya, begitu
dipentangkan lebar dengan cepat dia memejamkan kembali
matanya. Walau pun hanya membuka matanya sebentar, namun dia
menjumpai tubuhnya masih berada di dalam ruang
perpustakaan, paling tidak satu hal tidak perlu dikuatirkan lagi.
Biarpun dia sangsi apakah masih berada dalam
perpustakaan, walaupun masih ragu apakah perasaannya
sudah pulih kembali, asal Laron penghisap darah belum
60 menghisap kering darah dalam tubuhnya, dia percaya dia
masih dapat hidup terus.
Dia mencoba membuka matanya lagi, kali ini keadaannya
jauh lebih mendingan.
Menanti matanya sudah terbiasa dengan keadaan diseputar
sana, paras mukanya pun ikut berubah jadi sangat aneh.
Dia telah menyaksikan sebuah kejadian yang luar biasa
anehnya. Dari tujuh buah lidah api yang membara di tabung tembaga
itu ada dua diantaranya sudah terjatuh ke dalam air dan
padam, kini tinggal lima buah lidah api yang masih membara.
Lima buah lidah api memancarkan cahaya yang amat
terang, membuat seluruh ruangan perpustakaan itu jadi
terang benderang bermandikan cahaya.
Dibawah pancaran sinar api, cahaya air sudah tidak
nampak sama sekali, sejauh mata memandang hanya selapis
cahaya hijau yang berkedip, seluruh permukaan air seakan
dilapisi oleh cahaya kemala berwarna hijau.
Diantara kerlipan cahaya kemala hijau terbesit setitik
cahaya lain, cahaya terang berwarna merah darah.
Lapisan hijau kemala itu bukan terbentuk dari sebuah
lapisan besar, tapi terbentuk karena gabungan dari lembaranlembaran
kecil, penggabungan itu tidak terlalu rapi, tidak
terlalu rapat satu dengan lainnya.
Ketika cahaya merah darah itu berkedip tiada hentinya,
lapisan-lapisan kecil dibawahnya pun ikut bergoncang,
bentuknya mirip sekali dengan lapisan sisik ikan.
Tentu saja Jui Pakhay tahu lapisan itu bukan lapisan sisik
ikan, dia telah menyaksikan dengan jelas sekali, sisik-sisik
bening itu tak lain adalah laron-laron penghisap darah yang
61 mengambang diatas permukaan air, titik cahaya merah darah
tidak lain adalah mata laron-laron itu.
Perangkap yang dipersiapkan ternyata mulai membuahkan
hasil, kawanan laron penghisap darah itu benar-benar
berkumpul begitu berjumpa dengan cahaya api.
Tujuh buah lidah api yang besar dan kasar nyaris telah
membakar dan melukai sayap kawanan laron penghisap darah
itu, membuat tubuh mereka tercebur ke dalam air dalam
baskom. Tapi kejadian aneh yang berlangsung justru bukan
mengambangnya bangkai laron penghisap darah yang
memenuhi permukaan air.
Sorot mata Jui Pakhay yang keheranan bukan tertuju ke
atas kawanan laron penghisap darah diatas permukaan air,
sinar matanya justru terpaku oleh seekor laron penghisap
darah yang sedang terbang mengelilingi baskom air itu
Laron penghisap darah yang sama namun berbeda dalam
keindahan warnanya, bentuk badan laron penghisap darah ini
tiga-empat kali lipat lebih besar dari rekannya, sayap
ditubuhnya selebar telapak tangan, ketika dikebaskan maka
bergemalah suara dengungan yang keras bagaikan kipas yang
sedang diayunkan kuat-kuat, sayap itu dikebaskan disekeliling
lidah api sehingga membuat jilatan api itu bergoyang tiada
hentinya. Laron penghisap darah itu tidak menerkam ke arah jilatan
api yang membara, dia hanya beterbangan naik turun
disekeliling api.
Setiap kali tubuhnya bergerak naik turun, maka ada seekor
laron penghisap darah yang tercengkeram dari permukaan air
kemudian diangkat dan diletakkan disisi baskom air itu.
62 Ternyata dia sedang memberi pertolongan kepada rekan
rekan laron penghisap darah yang terluka bakar dan tercebur
ke dalam air. Sekeliling baskom sudah dibuat basah kuyup, sekitar duatiga
puluhan ekor laron penghisap darah yang terluka sedang
mengerang dan menggeliat disitu, menggeliat sembari
menggetarkan sayapnya
Jeritan lengking yang begitu aneh, desisan lirih yang begitu
mengibakan hati ternyata berasal dari kawanan laron
penghisap darah yang terapung diatas permukaan air dan
tergeletak disekeliling baskom itu.
Tatkala kesadarannya pulih kembali, otomatis ketajaman
pendengaran-nya pun semakin meningkat tajam, semua suara
itu terdengar semakin jelas dan nyata, membuat perasaan hati
Jui Pakhay semakin tercekat.
Ditatapnya laron penghisap darah yang luar biasa besarnya
itu tanpa berkedip.
Tampaknya upaya pertolongan yang dilakukan laron
penghisap darah raksasa itu sudah berlangsung cukup lama,
kemunculannya paling tidak disaat kawanan laron penghisap
darah lainnya mulai muncul disitu dan menerjang ke arah
jilatan api, kalau tidak kenapa tak ada lagi kawanan laron
penghisap darah yang menerkam api" Kenapa tiada lagi
kawanan laron penghisap darah yang tercebur ke air"
Begitu sibuknya laron penghisap darah raksasa itu bekerja
sehingga rupanya diapun tidak tahu kalau Jui Pakhay sudah
mendusin dan sedang menatapnya lekat-lekat, bahkan sudah
bersiap sedia melakukan tindak selanjutnya.
Waktu itu, Jui Pakhay memang sudah siap melakukan
langkah selanjutnya, tangannya mulai meraba dan
menggenggam kencang gagang pedangnya.
63 Jit seng coat mia kiam miliknya memang selalu berada
disisi tubuhnya, gagang pedang memang selalu menempel
diantara telapak tangannya.
Tatkala dia selesai menyiapkan perangkap maut itu,
pedang jit seng coat mia kiam juga telah dipersiapkan dan
diletakkan pada posisi yang paling strategis dan paling
gampang untuk digunakan.
Memang sejak awal dia sudah siap melancarkan serangan
maut. Begitu tangannya mulai menggenggam gagang pedang, dia
pun mulai sadar kalau tenaga dalam miliknya sama sekali tidak
buyar, dia pun tidak merasakan rasa sakit dibagian tubuhnya
yang mana pun. Lalu mengapa dia tidak sadarkan diri" Apa benar lantaran
dia kelewat lelah sehingga tidak sanggup membendung rasa
kantuk yang luar biasa ketika mulai menyerang tubuhnya tadi"
Jui Pakhay tidak sempat berpikir lebih jauh, dia memang
tidak punya waktu untuk berpikir ke situ, sekarang dia hanya
tahu memusatkan seluruh pikiran dan perhatiannya untuk
membantai laron penghisap darah raksasa itu.
Bila ditinjau dari bentuk dan sepak teriang laron penghisap
darah itu, kalau dia bukan raja laron penghisap darah, sudah
pasti merupakan pimpinan dari kawanan laron penghisap
darah yang datang menyerang
Asal pemimpinnya sudah dibantai, tidak terlalu sulit untuk
menghabisi anak buahnya, apalagi kecuali pemimpin laron
penghisap darah yang amat besar itu, sebagian besar
kawanan laron penghisap darah lainnya sudah terluka parah
atau mati atau tergeletak lemas ditepi baskom.
Tanpa pemimpin ditambah jumlah korban yang tewas dan
terluka sangat banyak, biarpun raja laron penghisap darah
64 datang untuk menuntut balas, setelah melihat keadaan seperti
ini, dia tentu akan mempertimbangkan kembali rencananya.
Itu berarti raja laron penghisap darah akan menunda saat
munculnya, tatkala rombongan besar laron penghisap darah
itu berdatangan untuk melancarkan serangan, dia percaya
Siang Huhoa tentu sudah tiba disana.
Maka dari itu, bila dia ingin menyelamatkan jiwa sendiri
maka mau tidak mau saat ini dia harus berusaha untuk
membunuh pentolan laron penghisap darah itu, harus dibantai
hingga mampus! Gagang pedang segera digenggam semakin kencang, hawa
napsu membunuh mulai menyelimuti seluruh wajah Jui
Pakhay, dia sudah siap menyerang, siap melakukan
pembunuhan besar-besaran.
Dalam waktu singkat seluruh tubuh Jui Pakhay sudah
dilapisi oleh selapis kabut tipis yang berwarna putih. Cahaya
tentera dalam ruangan pun seakan ikut berubah jadi remang
karena lapisan kabut.
Tampaknya laron penghisap darah yang sangat besar itu
mulai merasakan datangnya hawa pembunuhan yang
menekan tubuhnya, tiba-tiba dia menghentikan semua
gerakannya kemudian sambil menggerakkan sayapnya dia
berbalik menerjang ke arah Jui Pakhay.
Dengan membalikkan tubuhnya, kini Jui Pakhay dapat
melihat bentuk laron penghisap darah itu dengan lebih jelas,
ternyata laron penghisap darah tersebut benar benar luar
biasa besarnya.
Tidak terlukiskan rasa kaget Jui Pakhay setelah melihat
kejadian ini, hatinya tercekat, jantungnya berdebar keras,
bukan saja bentuk tubuh serangga ini luar biasa besarnya,
sepasang matanya pun lebih besar daripada bentuk mata
manusia. 65 Sepasang mata laron penghisap darah itu merah membara,
jauh lebih merah dari kentalnya darah, begitu merah seperti
lidah api yang membara, selain mencolok juga amat
mengerikan dan menggidikkan hati.
Apalagi ketika sepasang mata Jui Pakhay saling bertatapan
dengan sorot mata serangga itu, rasa seram dan ngeri yang
mencekam perasaan hatinya semakin menjadi-jadi.
Namun kesemuanya itu hanya berlangsung dalam waktu
singkat, karena dengan cepat semua perasaannya itu telah
diambil alih oleh semacam perasaan yang lain.
Semacam perasaan yang tidak terlukiskan dengan kata,
bahkan termasuk Jui Pakhay sendiripun tidak dapat
menerangkan bagaimana macam perasaan hatinya saat itu.
Dia hanya merasakan sukmanya seakan sedang bergerak
meninggalkan tubuh kasarnya, dia merasa kesadaran otaknya
lambat laun makin memudar dan menghilang.
Pedang yang semula sudah digenggam kencang, sudah
siap melancarkan serangan mematikan, tahu tahu menjadi
lemas kembali bahkan tanpa sadar dia sudah mengendorkan
genggamannya. Baru saja pedang itu terangkat setengah depa, tahu tahu
genggamannya sudah mengendor dan melepaskannya,


Laron Pengisap Darah Karya Huang Yin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pedang itupun segera terjatuh ke atas kakinya.
Untung saja punggung pedang yang menjatuhi betisnya,
bukan mata pedang yang tajam sehingga sama sekali tidak
melukainya, walau begitu hawa pedang yang dingin bagaikan
es seakan jarum jarum tajam yang menusuk betisnya,
menusuk ke dalam syaraf dibalik tulang belulangnya hingga
menimbulkan rasa sakit yang luar biasa.
Dengan tubuh merinding dia tersentak kaget dan sadar
kembali! Aaah, tampaknya sepasang mata serangga itu yang
membuat ulah!! 66 Dia segera tersadar kembali apa gerangan yang telah
terjadi, hatinya makin tercekat, makin merasa seram.
Apakah serangga itu akan menghisap darahnya" Apakah
sukmanya akan dibetot dan dilarikan?" Aaah tidak! Aku harus
pertahankan hidupku, aku harus mempompa dan
membangkitkan kembali semangat tempurku! Aku tidak boleh
terpengaruh lagi oleh kekuatan magic yang terpancar keluar
dari sepasang matanya....
Begitulah dia mencoba memperingatkan diri, memberitahu
diri sendiri, meskipun sepasang matanya masih saling
bertatapan dengan mata laron penghisap darah itu, namun
semangat tempurnya harus tetap teguh, seteguh batu karang,
syarafnya juga harus tetap mengeras bagai kawat baja.
Orang yang terbiasa berlatih pedang seringkali juga melatih
pikiran dan perasaannya, tidak terkecuali dirinya.
Kembali dia menggenggam pedang itu erat erat, sorot mata
yang memancar keluar pun kini lebih tajam dari mata
senjatanya Kelihatannya laron penghisap darah yang amat besar itu
mulai sadar kalau Jui Pakhay telah memperoleh kembali
kesadaran otaknya, serangga itupun mulai sadar kalau
pengaruh matanya sudah tidak mampu mempengaruhi pikiran
lawan, tiba tiba sepasang matanya yang berwarna merah
darah itu mulai meredup dan samar.
Tidak selang berapa saat kemudian dia sudah
menggerakkan sayapnya dan terbang menuju ke sisi jendela.
Apakah dia sudah menyadari datangnya mara bahaya dan
sekarang bersiap untuk melarikan diri"
Pada saat yang bersamaan, Jui Pakhay telah meluncur ke
depan langsung menerjang ke arah jendela.
"Nguung.......1" pedang jit seng coat mia kiam telah
digetarkan hingga menegang kencang, tubuh berpadu dengan
67 pedang segera berubah menjadi sekilas cahaya bianglala dan
langsung menerjang ke tubuh laron penghisap darah itu.
Belum lagi ujung pedang mengenai sasaran, hawa pedang
yang terpancar keluar telah menderu-deru hingga
memadamkan dua lidah api yang masih menyala.
Bersamaan dengan meredupnya suasana dalam
perpustakaan buku itu, tiba-tiba terdengar suara jeritan
seseorang yang amat keras, suara itu jelas bukan suara jeritan
dari Jui Pakhay.
Suara jeritan itu tinggi melengking dan merdu, jelas suara
seorang wanita! Tapi, darimana munculnya perempuan itu"
Di dalam ruangan perpustakaan itu hanya ada seorang pria,
dia adalah Jui Pakhay.
Suara jeritan wanita itu ternyata berasal dari mulut laron
penghisap darah yang maha besar itu.
Bersamaan dengan bergemanya jeritan lengking itu, laron
penghisap darah yang maha besar itu pun bagaikan setan
yang tembus pandang, seluruh tubuhnya mendadak berubah
bening lalu menerobos dari daun jendela dan lenyap di luar
ruangan sana. Tusukan maut yang dilancarkan Jui Pakhay pun mengenai
sasaran kosong, tubuhnya tahu tahu sudah berdiri disisi
baskom besar berisi air itu.
Cahaya api menyinari tubuhnya, juga menyinari pedang
dalam genggamannya!
Diujung pedang itu nampak ada cahaya darah, Jui Pakhay
coba mendekatkan pedangnya ke depan mata.
Ternyata benar, memang noda darah, setitik noda darah
sebesar kacang kedele yang membasahi ujung pedang itu.
68 Dengan jari tangannya dia mencoba untuk meraba cairan
tersebut, memang darah! Terasa cairan itu masih hangat dan
sedikit kental, darah yang masih segar!
Biarpun ujung pedang itu mengenai tempat yang kosong,
namun semuanya itu terjadi disaat laron penghisap darah itu
belum sempat lenyap dari pandangan mata
Mungkinkah tusukan kilatnya berhasil mengenai tubuh
laron penghisap darah raksasa itu"
Benarkah cairan darah yang menodai ujung pedangnya
sekarang adalah darah dari tubuh laron penghisap darah
tersebut" Tapi anehnya, mengapa darah laron berwarna merah"
Kenapa darah laron terasa hangat seperti darah manusia"
Atau..... jangan-jangan laron penghisap darah itu benarbenar
adalah jelmaan dari siluman laron" Kalau semuanya
merupakan kenyataan, sudah pasti siluman itu adalah siluman
laron perempuan!
Bukankah suara jeritan yang terdengar tadi berasal dari
suara seorang wanita"
Dengan pandangan terkesima dan ketakutan, Jui Pakhay
berdiri termangu disisi baskom air, memandang darah yang
menodai jari tangannya sekarang, perasaan ngeri bercampur
seram menghiasi seluruh mimik mukanya.
Tanpa sadar dia tundukkan kepalanya sambil menengok,
namun perasaan hatinya makin membeku, darahnya semakin
dingin, begitu dingin dan membeku bagaikan gumpalan salju
abadi. Sebaskom laron terluka yang menggelepar diatas
permukaan air, membiaskan cahaya hijau bening yang
mencolok mata, bagai sisik ikan yang menggelepar, kawanan
serangga itu masih meronta, masih berjuang untuk
mempertahankan hidupnya.
69 Sementara suara aneh yang mirip rintihan, bergema makin
keras dan nyaring, membuat suasana disekitar situ bukan
Cuma menyeramkan, bahkan sangat menggidikkan hati.
Jui Pakhay merasa dirinya seakan-akan sudah terperosok
ke dalam neraka jahanam, terperosok dalam suasa seram
yang mencekat hati.
Kembali dia menyapu
Pendekar Sadis 6 Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen Romantika Sebilah Pedang 4
^