Laron Pengisap Darah 3

Laron Pengisap Darah Karya Huang Yin Bagian 3


ba-tiba... rembulan itu seakan retak dan mulai merekah....
Selapis awan yang berbentuk sangat aneh tiba-tiba
melayang datang, seakan ada sebuah tangan iblis yang
muncul entah dari mana dan secara tiba-tiba menerkam sang
rembulan dan mencabik-cabiknya.
Awan itu berwarna merah pekat, merah bagaikan
genangan darah segar.
Kini sang rembulan seakan sudah tercebur ke dalam
sebuah bak berisi darah, rembulan yang merah darah....
Saat itu Tu Siau-thian kebetulan sedang menengok ke
angkasa, sebenarnya dia ingin menikmati indahnya bulan
purnama, namun yang terlihat olehnya adalah bulan purnama
yang berwarna merah, merah darah kental.
Perasaan bergidik segera mencekam seluruh hatinya,
sungguh aneh, mengapa awan dan rembulan yang muncul
pada malam ini tampak begitu aneh"
140 Kini cahaya rembulan sudah sama sekali lenyap di balik
awan berwarna merah darah itu.
Dan pada saat itu pula bayangan tubuh Jui Pakhay yang
berada di tepi jendela mulai menunjukkan sebuah reaksi yang
luar biasa. Diikuti kemudian sebuah jeritan ketakutan yang sangat
menggidikkan hati:
"Laron penghisap darah!"
Suara jeritan dari Jui Pakhay, akhirnya laron penghisap
darah itu muncul juga!
Sorot mata Tu Siau-thian segera dialihkan kembali ke arah
ruang perpustakaan diikuti "Criiing!" terdengar suara pedang
yang diloloskan dari sarungnya berkumandang memecahkan
keheningan. Semua suara itu jelas muncul dari balik ruangan,
sedemikian nyaringnya suara itu sehingga Tu Siau-thian
bertiga yang berada di dalam gardu pun dapat mendengar
dengan jelas sekali.
Malam itu memang malam yang kelewat sepi.
Bayangan pedang, bayangan manusia melejit hampir pada
saat yang bersamaan, tiba-tiba seluruh cahaya lentera di
dalam ruang perpustakaan itu padam.
Seketika itu juga kegelapan yang luar biasa mencekam
seluruh bangunan perpustakaan itu.
Tu Siau-thian tidak berayal lagi, segera bentaknya:
"Cepat!"
Golok telah diloloskan dari sarungnya, hampir pada saat
yang bersamaan dia sudah melayang keluar dari gardu itu,
langsung menerjang ke arah ruang perpustakaan.
141 Reaksi dari Tan Piau dan Yau Kun cukup cepat juga, Yau
Kun segera membalikkan kedua lengannya meloloskan
sepasang tombak yang tersoren di punggungnya, "Criiiing!"
Tan Piau juga telah meloloskan senjata ruyung bajanya yang
selama ini melilit di pinggangnya, hampir pada waktu yang
bersamaan ke dua orang itu sudah menerjang keluar dari
gardu dan mengikuti di belakang komandannya.
Dalam satu kali lompatan Tu Siau-thian sudah melayang
turun tepat di depan pintu ruang perpustakaan, segera
teriaknya keras:
"Saudara Jui!"
Tiada jawaban, suasana dalam ruang perpustakaan sangat
hening, amat sepi, keheningan yang amat menakutkan!
"Bagaimana komandan?" bisik Yau Kun kemudian ketika
tiada reaksi dari dalam ruangan itu.
"Kita dobrak!" perintah Tu Siau-thian.
Begitu selesai bicara, kaki kanannya langsung melayang ke
depan dan "Duuuk!" menghajar di atas pintu ruangan.
"Braaak!" pintu ruangan segera jebol terhajar tendangan
dahsyat itu. Sambil memutar goloknya membentuk selapis cahaya
perlindungan yang membungkus seluruh tubuhnya, Tu Siauthian
siap menerjang masuk ke dalam.
Kini pintu ruangan sudah terbuka, seandainya gerombolan
laron penghisap darah itu menerjang keluar dari balik ruangan
maka lapisan cahaya golok itu dapat dipakai untuk sementara
waktu memblokir serbuannya.
Di luar dugaan tidak ada laron penghisap darah yang
muncul dari balik ruangan, jangan lagi segerombolan, seekor
pun tidak nampak.
142 Suasana di balik pintu sangat gelap, sedemikian gelapnya
hingga sulit melihat keadaan di sekelilingnya dengan jelas.
Tu Siau-thian memandang sekejap sekeliling tempat itu,
kemudian dia menjatuhkan diri ke lantai dan berguling masuk
ke dalam ruangan, mengikuti gerakan itu cahaya golok diputar
sedemikian rupa untuk melindungi tubuhnya.
Tidak usah diperintah lagi, Yau Kun dan Tan Piau segera
mendobrak jendela yang berada di kiri dan kanan ruangan,
lalu yang satu melintangkan sepasang tombaknya untuk
melindungi badan, yang lain memutar ruyungnya langsung
menerjang masuk ke dalam ruang perpustakaan melalui
jendela yang terbuka itu.
Dalam waktu singkat mereka bertiga sudah tertelan di balik
kegelapan. Kegelapan hanya berlangsung dalam waktu singkat, tibatiba
berkelebat sekilas cahaya terang, sebuah korek api telah
disulut orang. Tu Siau-thian memang bukan opas kemarin sore yang
miskin pengalaman, korek api ternyata berada di dalam
genggamannya. Kini dia telah bangkit berdiri, mengangkat tinggi korek api
tersebut dengan golok di tangan kanannya melintang di depan
dada, sorot matanya yang tajam tiada hentinya bergeser
memeriksa sekeliling tempat itu.
Sementara itu Tan Piau dan Yau Kun telah menyulut pula
dua obor, suasana di dalam ruang perpustakaan pun kembali
jadi terang-benderang.
Sekarang semuanya sudah terlihat jelas, di dalam ruang
perpustakaan itu kecuali dia bersama ke dua orang anak
buahnya, di situ tak nampak hadir orang ke empat.
Lalu ke mana perginya Jui Pakhay"
143 ?"> Lampu lentera masih berada di atas meja, namun penutup
lampu itu sudah terbelah jadi dua, begitu pula dengan sumbu
api lentera, sumbu itu terbelah juga jadi dua bagian.
Tampaknya tusukan kilat yang dilancarkan Jui Pakhay
dengan pedangnya telah membelah penutup lampu itu hingga
terpapas menjadi dua bagian.
Bacokan pedang itu tepat membelah penutup lampu, tentu
saja Jui Pakhay mempunyai alasan yang kuat untuk berbuat
begitu. Dia memang bukan orang gila, bukan orang yang tidak
waras otaknya, ... Laron penghisap darah!
Waktu itu dia memang berteriak kaget: Laron penghisap
darah! Mungkinkah laron itu muncul di sekitar atau di atas
penutup lampu itu" Karena makhluk penghisap darah itu
muncul di sana, maka serangan pedangnya ditujukan ke arah
sana dan membuat penutup lampu serta sumbu lampunya
terpapas jadi dua"
Untung sumbu lampu itu tidak terpapas habis dan masih
bisa disulut, Tu Siau-thian segera menyulut kembali lampu
lentera itu. Dengan cepat cahaya lampu menerangi seluruh sudut
ruang perpustakaan, kini suasana jadi terang benderang
bagaikan di tengah hari.
Tu Siau-thian dapat melihat setiap benda yang ada dalam
ruangan dengan jelas, Jui Pakhay memang benar-benar tidak
berada dalam ruang perpustakaan.
Tidak nampak bayangan manusia, yang kelihatan justru
bercak darah, bercak darah itu berada di tepi lampu lentera, di
bawah cahaya sinar lampu yang terang.
144 Darah itu berwarna merah cerah, cahaya darah yang
membawa hawa sesat, mungkinkah berasal dari darah
manusia" Atau darah laron"
Darah laron biasanya tidak berwarna, atau mungkin darah
laron penghisap darah adalah pengecualian"
Kalau bukan berasal dan darah laron, berarti darah itu
adalah darah yang meleleh keluar dari tubuh Jui Pakhay.
Bercak darah masih tersisa di atas meja, tapi ke mana
perginya orang itu"
Tu Siau-thian mencoba mengambil darah itu dengan ujung
jarinya kemudian diendus sebentar, setelah itu gumamnya:
"Kalau ditinjau dari baunya, darah ini semestinya darah
manusia." Sudah belasan tahun dia bekerja sebagai seorang opas,
sudah tidak terhitung jumlah penjahat yang jatuh ke
tangannya, tentu saja kawanan penyamun itu tidak akan
menyerah dengan begitu saja, ini membuat kehidupannya
selama belasan tahun ini ibarat masuk keluar di antara
kehidupan dan kematian, bahkan dia sendiripun sampai lupa
sudah berapa banyak pertarungan yang dia lakukan.
Dengan pengalaman semacam ini, otomatis bau anyirnya
darah manusia sudah sangat dikenal olehnya, karena golok
andalannya entah sudah berapa kali mesti berpelepotan darah
kental. Tapi sekarang, dia tidak yakin akan penemuannya, dia tidak
yakin kalau bercak darah itu berasal dari darah manusia.
Biarpun sudah dua kali dia menjumpai laron penghisap
darah, namun tidak sekali pun pernah melihat darah dari
kawanan laron itu.
Kawanan laron penghisap darah itu menghisap darah
manusia, berarti darah yang terhisap akan tersimpan di dalam
145 tubuhnya, mungkinkah lantaran menghisap darah manusia
maka darah yang mengalir dalam tubuh laron penghisap darah
itu berubah jadi darah manusia"
Atau mungkin cairan darah yang berada dalam tubuh laron
penghisap darah pada hakekatnya sama persis seperti darah
manusia" Tu Siau-thian tidak berpikir lebih jauh, dia kuatir pikirannya
bertambah kalut, dewasa ini masih ada persoalan lain yang
jauh lebih penting daripada persoalan tersebut, persoalan
yang butuh penyelesaiannya.
Terlepas rekannya masih hidup atau sudah jadi mayat,
yang paling penting saat ini adalah menemukan dulu Jui
Pakhay. Setelah menyimpan korek apinya, dia ambil lentera dari
atas meja dan menerangi sekeliling ruang perpustakaan itu
dengan seksama.
Dengan bergesernya dia, cahaya lentera pun ikut bergeser,
dia telusuri seluruh ruang perpustakaan, menggeledah dan
meneliti setiap bagian dari ruangan itu.
Sudah barang tentu Tan Piau dan Yau Kun tidak berpangku
tangan belaka, tempat yang telah diperiksa Tu Siau-thian,
sekali lagi mereka periksa dan geledah dengan seksama.
Dengan pemeriksaan dan penggeledahan seperti ini,
biarpun tubuh Jui Pakhay tiba-tiba berubah tinggal berapa inci
pun rasanya tidak sulit untuk ditemukan oleh mereka bertiga.
Seorang manusia dengan perawakan setinggi tujuh depa,
bila tiba-tiba berubah menjadi berapa inci saja tingginya maka
hanya ada satu jawabannya, Jui Pakhay pasti telah bertemu
dengan siluman atau dia sendirilah sang siluman itu.
Tadi dia berteriak kaget, meneriakkan laron penghisap
darah, seandainya dia benar-benar telah berjumpa dengan
146 siluman, semestinya siluman itu adalah seekor siluman laron
penghisap darah!
Masa benar bukan hanya dongeng saja" Masa di dunia ini
benar-benar terdapat setan iblis dan siluman"
Untuk ke tiga kalinya Tu Siau-thian menggeledah seluruh
ruangan, selain pintu, jendela pun dia periksa satu per satu
dengan seksama.
Pintu ruangan perpustakaan masih berada dalam posisi
terkunci dari dalam, pintu itu terbuka lantaran jebol terhajar
tendangannya, sementara Tan Piau dan Yau Kun menerjang
masuk melalui daun jendela.
Ini berarti seluruh ruangan perpustakaan itu dalam
keadaan terkunci dari dalam, sama sekali tidak ada akses
keluar yang mungkin bisa dipergunakan.
Biar Jui Pakhay punya sepasang sayap pun mustahil dia
bisa terbang meninggalkan ruangan itu tanpa membuka
jendela atau pintu, apalagi ruang perpustakaan berada di
bawah pengawasan yang ketat dari mereka bertiga.
Tidak mungkin dia meneriakkan laron penghisap darah
tanpa sebab musabab yang jelas, dia baru menjerit keras
karena telah berjumpa dengan laron penghisap darah
tersebut. Jeritan itu penuh dengan rasa takut, kaget, ngeri dan
seram, jeritan yang sangat memilukan hati.
Sekalipun tidak sempat menyaksikan perubahan mimik
mukanya, meski mereka hanya sempat mendengar suara
jeritannya, tapi tidak sulit bagi mereka untuk membayangkan
betapa ketakutannya orang itu.
Padahal bukan untuk pertama kalinya dia berjumpa dengan
laron penghisap darah.
147 Seandainya yang muncul waktu itu hanya berapa ekor laron
penghisap darah, tidak nanti dia akan berteriak sekeras itu,
tidak ada alasan baginya untuk menunjukkan rasa takutnya
yang luar biasa.
Jangan-jangan pada saat yang bersamaan di dalam ruang
perpustakaan telah muncul berjuta-juta ekor laron penghisap
darah yang secara serentak menyerangnya"
Bila hal tersebut merupakan kenyataan, kenapa kawanan
laron penghisap darah itu bisa lolos dari pengawasan Tu Siauthian
bertiga" Dengan cara apa mereka memasuki ruang
perpustakaan dan mereka masuk melalui jalan yang mana"
Kelihatannya hanya hembusan angin yang bisa membawa


Laron Pengisap Darah Karya Huang Yin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka masuk ke dalam ruang perpustakaan melalui celahcelah
pintu dan jendela yang apa, kendatipun bentuk tubuh
kawanan laron penghisap darah itu lebih tipis dari kertas,
mungkinkah dalam waktu yang relatip singkat mereka bisa
masuk secara bersama" Mungkinkah berjuta-juta ekor laron
itu bisa menyusup masuk dalam waktu singkat"
Sebenarnya laron penghisap darah yang dijumpai Jui
Pakhay adalah laron penghisap darah macam apa"
Atau jangan-jangan... yang muncul waktu itu adalah raja
sang laron" Rajadiraja dari kawanan laron penghisap darah"
Mungkinkah suasana seram yang mencekam tempat
tersebut tatkala kemunculan sang raja laron, seribu bahkan
selaksa kali lipat lebih menakutkan, lebih menyeramkan
ketimbang keseraman yang dijumpainya ketika melihat
kemunculan laron penghisap darah untuk pertama kalinya
dulu" Sejak dia menjerit kaget untuk pertama kalinya, hingga dia
mencabut pedangnya, menerjang ke muka, padamnya cahaya
lentera sampai kemunculan Tu Siau-thian bertiga dengan
mendobrak pintu, semua kejadian tersebut hanya berlangsung
dalam waktu singkat.
148 Kalau benar Jui Pakhay gagal di dalam serangannya, kalau
dia memang tewas dibantai kawanan laron penghisap darah,
andaikata mayatnya sudah dibawa kabur kawanan makhluk
seram itu, lalu... dengan cara apa mereka membawanya
pergi" Melalui jalan mana mereka kabur dari situ"
Memangnya tubuh Jui Pakhay tiba-tiba menguap seperti
segumpal kapur" Menguap di dalam ruang perpustakaan dan
hilang lenyap dengan begitu saja"
Kejadian ini jelas bukan sulap, hanya sulap yang bisa
berbuat begitu.
Benarkah di kolong langit memang terdapat setan iblis dan
siluman" Tu Siau-thian berdiri mematung, mengawasi bercak darah
di atas meja dengan termangu, dia merasa sekujur badannya
terasa sangat dingin, seolah-olah baru saja dia tercebur ke
dalam kolam yang berisi bongkahan salju beku.
Tubuhnya dingin kaku bahkan menggigil keras, namun
jidatnya basah oleh keringat, tentu saja keringat dingin!
?"> Bulan tiga tanggal enam belas, Tu Siau-thian masih
melanjutkan penggeledahannya, seluruh bangunan
perpustakaan Ki-po-cay hingga ke seluruh halaman di
sekeliling bangunan itu telah digeledah dan diperiksa dengan
seksama. Selain Tan Piau dan Yau Kun, kali ini dia melibatkan pula
sepuluh orang anggota opas lainnya. Tu Siau-thian bahkan
turunkan larangan, barangsiapa yang terlibat dalam tugas ini
dilarang membocorkan kejadian tersebut kepada siapa pun.
Sebelum melalui pembuktian yang jelas dan ditemukannya
fakta, dia tidak ingin membocorkan berita yang sangat aneh
dan menyeramkan itu kepada khalayak ramai, dia tidak ingin
149 terjadinya kehebohan dan kegaduhan dalam kehidupan
masyarakat. Walaupun perintah itu dijalankan tegas, tidak urung cerita
burung beredar juga di seantero kota dengan cepatnya.
Siapa yang telah membocorkan rahasia ini" Siapa yang
telah menyebarkan berita burung itu"
Tu Siau-thian tidak punya waktu untuk mengusut kejadian
itu, dia pun tidak membiarkan siapa pun mencegah atau
menghalangi pemeriksaan dan penggeledahan yang dilakukan.
Seharian penuh mereka menggeledah setiap jengkal tanah
yang ada di seputar gedung perpustakaan Ki-po-cay, namun
bayangan tubuh Jui Pakhay masih tetap menjadi tanda tanya
besar. Kalau seseorang sudah mati, seharusnya ada mayat yang
ditinggalkan. Mungkinkah kawanan laron penghisap darah itu sekalian
melahap mayat tubuhnya setelah menghisap kering cairan
darah yang mengalir dalam tubuhnya"
?"> Bulan tiga tanggal tujuh belas, lingkup penggeledahan
diperluas, kini mereka telah memeriksa setiap tempat yang
ada dalam kota itu.
Usul ini bukan muncul dari Tu Siau-thian, melainkan atas
perintah dari Ko Thian-liok, penguasa tertinggi kota itu.
Sebagaimana diketahui, Ko Thian-liok termasuk sahabat
karib Jui Pakhay.
Di kota tersebut Jui Pakhay bukan saja termashur sebagai
seorang hartawan yang kaya raya, dia pun termasuk seorang
tokoh masyarakat yang berstatus sosial tinggi dan sangat
terpandang. 150 Berita tentang hilangnya sang hartawan segera menyebar
ke seantero tempat, kini semua penduduk kota ikut
mengetahui kabar tersebut, maka tak sedikit penduduk yang
mulai bergabung dan ikut serta dalam pencarian itu.
Tapi alhasil, pencarian itu sama sekali tidak membuahkan
hasil. ?"> Bulan tiga tanggal delapan belas, atas perintah Ko Thianliok
dilakukan penggeledahan sekali lagi dalam gedung
perpustakaan Ki-po-cay, penggeledahan kali ini bukan
dipimpin oleh Tu Siau-thian melainkan langsung oleh
atasannya, Nyo Sin.
Akhirnya Nyo Sin harus turun tangan sendiri, dia pimpin
langsung penggeledahan dan pemeriksaan tersebut.
Selama ini Nyo sin memang selalu berpendapat dia jauh
lebih teliti ketimbang Tu Siau-thian, bahkan jauh lebih teliti
dan cekatan ketimbang siapa pun.
Tu Siau-thian tidak pernah membantah pandangan seperti
itu, tiap kali Nyo sin hadir di tempat kejadian, dia memang
sangat jarang mengemukakan pendapat pribadinya.
Dia bukan termasuk orang yang gila nama, dia pun tidak
pernah ambil perduli bagaimana pandangan orang lain
terhadap dirinya.
Selama sepuluh tahun berbakti, dia hanya tahu setia pada
tugas dan taat pada kewajiban.
Angin berhembus sepoi di pagi hari yang cerah itu, dengan
langkah lebar Nyo Sin berjalan di paling depan, baju
kebesarannya tampak berkibar ketika terhembus angin.
Tiba di depan pintu utara, dengan suara yang lantang Nyo
sin segera menghardik:
151 "Siapa yang akan masuk untuk mengabarkan
kehadiranku?"
Tu Siau-thian segera mengiakan dan melangkah maju ke
depan, saat itulah pintu utama Ki-po-cay dibuka orang,
seorang kacung cilik menongolkan kepalanya dari balik pintu.
Teriak dari Nyo Sin memang sangat keras, suaranya ibarat
guntur yang menggelegar di siang hari bolong, teriakannya
paling tidak bisa bergema hingga sepuluh kaki jauhnya.
Sementara Tu Siau-thian sedang berbincang-bincang
dengan kacung cilik itu, mendadak dari ujung jalan
kedengaran suara kelenengan yang amat merdu bergema
tiba. Suara keleningan itu berasal dari kepala seekor kuda,
begitu merdu dan nyaringnya suara tersebut membuat semua
orang tanpa terasa sama-sama berpaling.
Dua ekor kuda berlari cepat di sudut jalan sana, tapi dalam
waktu singkat ke dua ekor kuda tunggangan itu sudah
berjalan mendekat.
Suara kelenengan yang merdu itu ternyata berasal dari
kuda tunggangan yang pertama.
Kuda berbulu merah dengan kelenengan berwarna kuning
emas, penunggangnya adalah seorang pemuda tampan
berbaju putih dengan sebilah pedang mestika bergagang emas
bersarung kulit ular tersoren di pinggangnya, seorang pemuda
gagah yang nyaris mirip seorang pangeran.
Siang Hu-hoa! Bab 9. Tujuh bintang pencabut nyawa.
Akhirnya Siang Huhoa muncul juga ditempat itu.
152 Begitu suara kelenengan berhenti berdenting, kuda berbulu
merah itupun berhenti berlari tepat di depan pintu
perpustakaan Ki po cay dan "Wees!" dengan sebuah gerakan
tubuh yang enteng Siang Huhoa sudah melompat turun dari
kudanya. Jui Gi yang menyusul ketat di belakangnya segera
melompat turun juga dari kudanya dan berdiri persis di
belakangnya, tubuh yang semula tegak bagai batang pit kini
sudah terbongkok seperti udang ebi.
Maklum, kondisi badannya jelas tidak mampu menandingi
Siang Hu-hoa, apalagi secara beruntun dalam dua belas hari
dia mesti menempuh perjalanan jauh, tiap hari harus
menghabiskan waktunya duduk di pelana kuda sambil
menempuh perjalanan jauh.
Untuk itu semua dia sudah dua kali berganti kuda, jadi
harus disyukuri kalau pinggangnya tidak sampai patah dua
lantaran itu. Dengan menuntun kudanya terburu buru dia berjalan
disamping Siang Hu-hoa.
Waktu itu Siang Huhoa sama sekali tidak memperdulikan
dirinya lagi, jagoan muda ini sedang mengalihkan sorot
matanya ke arah Nyo Sin, memandangnya dengan sinar kaget
bercampur tercengang.
Kalau tidak terjadi suatu peristiwa besar, todak nanti sepagi
ini sudah berkerumun begitu banyak opas di depan pintu
rumah, ini kejadian yang sangat lumrah, orang bodoh pun
pasti akan menyadari juga.
Lantas, apa yang telah terjadi"
Baru saja Siang Huhoa akan mengajukan pertanyaan, Nyoo
Sin dengan lagaknya yang angkuh sudah melotot ke arahnya
sambil berteriak:
"Siapa kau?"
153 Biarpun lagaknya masih menunjukkan gaya seorang
pejabat, namun nada suaranya sudah tidak segalak tadi.
Dandanan maupun cara berpakaian Siang Hu-hoa sudah
menunjukkan kalau dia bukan berasal dari keluarga
sembarangan, biasanya dia memang tak pingin cari masalah
dengan orang yang berasal dari keluarga luar biasa.
Bukannya menjawab Siang Hu-hoa malah balik bertanya:
"Siapa pula dirimu?"
"Komandan tertinggi dari pasukan opas kota ini!" jawab
Nyo Sin sambil membusungkan dadanya.
"Ohh.....Nyo Sin?"
"Haah, kau juga kenal aku?" Nyo Sin tampak melengak.
"Tidak kenal, hanya kebetulan ditengah perjalanan tadi Jui
Gi sempat menyinggung tentang dirimu"
"Oooh....kau belum menyebutkan namamu!" ujar Nyo sin
kemudian, lagak orang ini memang tak bisa terlepas dari
kebiasaannya sebagai seorang pejabat negara, lagak tengik.
Baru saja Siang Huhoa akan menjawab, Jui Gi yang berada
disampingnya telah menyela duluan:
"Nyo tayjin, dia adalah sahabat majikan kami......."
"Siapa namanya?" tukas Nyo Sin cepat.
"Siang Hu-hoa!"
"Siang Huhoa?" kali ini nada suara Nyo Sin penuh diliputi
rasa kaget, heran dan tidak percaya, tampaknya dia pun
merasa tidak asing dengan nama besar tersebut.
Tu Siau-thian segera memburu maju ke depan, sapanya:
"Oooh, rupanya saudara Siang, kemarin saudara Jui sempat
menyinggung tentang dirimu, dia bilang kau pasti akan datang
kemari" 154 Siang Hu-hoa berpaling, diawasinya Tu Siau-thian sekejap
lalu balik bertanya:
"Kau adalah Tu Siau-thian, saudara Tu?"
Tu Siau-thian manggut m anggut.
"Rupanya saudara Jui pernah menyinggung tentang aku
dihadapanmu" katanya.
"Konon kau adalah sahabat paling akrab dari saudara Jui?"
"Kalau bicara soal keakraban, mungkin hubungan kami
masih kalah jauh dibandingkan hubunganmu dengannya, aku
baru kenal dia sekitar tiga tahun yang lalu"
"Keakraban suatu hubungan persahabatan tidak dinilai dari
pendek panjangnya masa perkenalan, ada orang yang begitu
berjumpa lantas hubungan jadi akrab, ada pula yang sudah
berkenalan sejak sepuluh tahun berselang, tapi hubungannya
tidak lebih hanya sekedar teman"
"Perkataanmu memang ada benarnya juga, Cuma tak
terbantahkan bahwa hubungan persahabatanmu dengannya
jauh lebih kental dan akrab ketimbang hubunganku
denganhnya"
"Atas dasar apa kau berkata begitu?"
"Seperti contohnya dalam peristiwa ini, dia tidak pernah
mau menjelaskan kepadaku secara terperinci, tapi dia justru
siap berterus terang kepadamu, agar kau bisa melakukan
penyelidikan baginya"
"Oya"' Siang Hu-hoa tampak agak tertegun kemudian
berpikir dengan wajah sangsi.
Dia memang tidak mengerti dengan ucapan Tu Siau-thian
itu, apa makna dibalik kesemuanya itu"
"Kemudian bila ditinjau dari sudutmu" ujar Tu Siau-thian
lebih jauh." begitu Jui Gi datang menyampaikan kabar,
155 nyatanya kau segera berangkat menuju kemari, bila bukan
disebabkan hubungan kalian yang begitu akrab, mana
mungkin kau sudi berbuat demikian?"
Siang Hu-hoa tertawa hambar, dia segera mengalihkan
pokok pembicaraan ke soal lain, katanya:
"Sepagi ini kalian semua sudah bergerombol ditempat ini,
apakah dalam gedung perpustakaan Ki-po-cay sudah terjadi
peristiwa yang amat serius?"
"Betul!"
"Apakah majikanku sudah ketimpa musibah?" sela Jui Gi


Laron Pengisap Darah Karya Huang Yin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tak tahan. Sebelum Tu Siau-thian sempat menjawab, tiba tiba Nyo Sin
menyela dari samping:
"Darimana kau bisa tahu kalau majikanmu ketimpa
musibah?" "Aku hanya menduga"
"Tepat amat dugaanmu itu" jengek Nyo Sin lagi sambil
tertawa dingin.
Berubah hebat paras muka Jui Gi setelah mendengar
perkataan itu, tanyana dengan perasaan terperanjat:
"Bagaimana keadaan majikanku sekarang?"
Nyo sin tidak menjawab pertanyaan itu sebaliknya malah
bertanya lagi: "Sejak kapan kau tinggalkan gedung perpustakaan Ki-pocay?"
"Bulan tiga tanggal tujuh"
"Ke mana?"
"Mendapat perintah dari majikanku untuk menghantar
sepucuk surat ke perkampungan Ban-hoa sanceng"
156 "Untuk diberikan kepada siapa?" kembali Nyo Sin
mendesak. Seraya berpaling ke arah Siang Hu-hoa, sahut Jui Gi:
"Untuk pemilik perkampungan Ba-hoa sanceng, tuan
Siang!" "Selama tenggang waktu ini, apakah secara diam diam kau
pernah berbalik kemari?"
Sekarang Jui Gi baru merasa kalau Nyo sin sedang
mengintrogasi dirinya, seakan sudah menganggapnya sebagai
seorang tersangka, sambil tertawa getir diapun berkata;
"Nyo tayjin, jarak antara Ki-po-cay dengan perkampungan
Ban-hoa-sanceng itu sangat jauh, untuk pulang pergi
dibutuhkan waktu paling tidak dua belas hari"
"Apa betul begitu?"
"Nyo tayjin, kalau tidak percaya dengan perkataan hamba,
silahkan utus orang untuk membuktikannya, setiap rumah
penginapan yang hamba gunakan masih tercatat rapi, tayjin
bisa telusuri semua tempat untuk mencocokkan perkataan
hamba" "Tidak usah" Nyo Sin segera mengulapkan tangannya.
"Jadi Nyo tayjin sudah percaya?"
"Terlalu awal untuk berkata begitu"
Jui Gi menghela napas panjang, sementara dia ingin
berkata lagi, Siang Hu-hoa sudah menukas duluan:
"Sebenarnya apa yang telah terjadi dengan saudara Jui?"
"Dia sudah lenyap selama dua hari" kata Tu Siau-thian.
"Kejadiannya berarti pada malam tanggal lima belas?"
tanya Siang Hu-hoa terperanjat.
"Benar"
157 Kembali Nyo Sin menyela pembicaraan itu, tanyanya
kepada Siang Hu-hoa:
"Darimana kau bisa tahu kalau peristiwa tersebut terjadi
pada malam tanggal lima belas?"
"Sebab dua hari berselang tepat tanggal lima belas, Raja
laron punya kebiasaan munculkan diri di malam tanggal lima
belas, persis saat bulan sedang purnama"
Begitu pernyataan itu diutarakan, paras muka Nyo sin dan
Tu Siau-thian seketika berubah sangat hebat.
"Darimana kau bisa tahu kalau saat itu si Raja laron telah
menampakkan diri?" desak Nyo Sin lagi.
"Siapa bilang aku tahu?"
"Tadi, bukankah kau berkata Raja laron muncul pada
malam tanggal lima belas, disaat bulan sedang purnama......."
"Tadi aku kan bilang si Raja laron punya kebiasaan berbuat
begitu" "Jadi kaupun mengetahui tentang kebiasaan sang raja
laron?" "Kalau cerita dongeng tentang laron penghisap darah pun
kuketahui, masa kebiasaan sang raja laron tidak kupahami?"
Sambil m anggut manggut Tu Siau-thian segera berkata:
"Atas dasar apa kau merasa yakin kalau lenyapnya Jui
Pakhay ada hubungan yang sangat erat dengan laron
penghisap darah?"
"Belum pernah kugunakan kata yakin!"
"Kau tidak pernah menyebut?" kembali Nyo Sin berseru,
"lantas darimana kau bisa tahu kalau ke dua hal itu saling
berhubungan?"
158 "Apakah di dalam surat yang ditulis saudara Jui untukmu,
dia sudah menyinggung tentang peristiwa aneh yang telah
dialaminya pada permulaan bulan?" kembali Tu Siau-thian
menyela. Siang Hu-hoa manggut manggut membenarkan.
"Apa yang ditulis dalam suratnya?"
"Laron penghisap darah tiap hari mengintai, nyawa kami
berada diujung tanduk!!!"
"Karena itu kau buru buru datang kemari?"
"Yaaa, dan kelihatannya kedatanganku sedikit agak
terlambat"
"Apa lagi yang telah dia katakan kepadamu" kembali Tu
Siau-thian bertanya.
"Semua kejadian yang dialaminya sejak tanggal satu hingga
tanggal enam telah dia sampaikan kepadaku secara terperinci
dan jelas"
Berbinar sepasang mata Nyo Sin sesudah mendengar
jawaban tersebut, baru saja dia akan menimbrung, Tu Siauthian
telah berkata duluan:
"Tanggal dua aku bersama dia berada ditepi telaga, saat
itulah kami telah berjumpa dengan dua ekor laron penghisap
darah, salah satu diantar anya malah sempat menggigit ujung
jariku, apakah dia juga menyinggung tentang peristiwa ini?"
"Benar, dia sempat menyinggung soal ini" jawab Siang Huhoa,
kemudian sambil menatap wajah orang dengan sorot
mata tajam, terusnya, "Apa benar telah terjadi peristiwa
semacam ini?"
"Benar, sama sekali tidak bohong" Tu Siau-thian
mengangguk. Agak berubah air muka Siang Hu-hoa.
159 "Jadi di kolong langit benar benar terdapat makhluk
semacam laron penghisap darah?" tegasnya.
"Memang nyata ada!"
"Kelihatannya kau begitu yakin"*
"Aku sangat yakin, karena aku memang berasal dari
wilayah Siau-siang"
"Oooh......."
"Laron semacam itu memang merupakan makhluk khas dari
hutan seputar wilayah Siau-siang, sudah sejak jaman dulu
makhluk tersebut hidup disana"
"Mereka benar benar pandai menghisap darah?"
"Kalau soal ini mah aku kurang yakin...." bisik Tu Siauthian.
"Kalau kutinjau dari isi surat yang ditulis saudara Jui,
kelihatannya laron itu selain pandai menghisap darah,
bentuknya pun sangat aneh, khas dan memiliki warna yang
sangat indah"
"Kalau dibilang bentuknya aneh, khas dan berwarna indah,
rasanya dia memang tidak berbohong" Tu Siau-thian
menegaskan. Kemudian setelah berhenti sejenak, terusnya:
"Tidak usah melihat makhluk tersebut dengan mata kepala
sendiripun, kita bisa membayangkan betapa aneh dan
indahnya binatang itu dari nama-nama yang diberikan orang"
"Ooh, mereka punya banyak nama" Apa saja?"
"Di wilayah Siau-siang, kebanyakan orang menyebutnya
laron penghisap darah, tapi ada juga yang menyebut laron
berwajah setan, laron bermata iblis, laron bermata burung
hantu" 160 "Bagaimana sih bentuk laron itu?" tidak tahan Siang Hu-hoa
bertanya lebih jauh.
"Bentuk luarnya tidak jauh berbeda dengan kebanyakan
laron, tapi warnanya sangat berbeda, laron penghisap darah
mempunyai tubuh berwarna hijau kemala, sepasang sayapnya
berwarna hijau pula"
"Hijau kemala itu warna yang cantik dan indah, kenapa
dikatakan menyeramkan?"
"Sebab dibalik warna hijau yang menyelimuti seluruh
badannya, khusus pada bagian sayapnya justru penuh ditebari
garis garis merah darah yang mencolok, diatas sepasang
sayapnya itu terdapat pula garis merah yang berbentuk seperti
mata, mata berwarna merah darah sehingga sekilas pandang
mirip sekali dengan sepasang mata hantu yang berlumuran
darah" "Oooh, tidak aneh kalau ada begitu banyak nama sebutan"
sekarang Siang Hu-hoa baru paham.
Tu Siau-thian kembali mengalihkan pokok pembicaraan,
ujarnya: "Peristiwa yang terjadi selama berapa hari belakangan
memang terasa aneh sekali, bukan Cuma aneh bahkan sulit
dipercaya dengan akal sehat"
"Ehmmm, aku pun sependapat dengan pandanganmu itu,
mana mungkin di dunia ini terdapat setan hantu atau siluman
dan sebangsanya, mana mungkin istrinya adalah jelmaan dari
laron penghisap darah" Mana ada siluman laron di jagat raya
ini?" Begitu perkataan itu diutarakan, suasana pun berubah jadi
gempar, hampir semua yang hadir dibuat terperanjat dan
keheranan. 161 "Siapa bilang istrinya adalah jelmaan dari laron penghisap
darah" Siapa bilang dia adalah siluman laron?" tidak kuasa
Nyo Sin berteriak keras.
"Apakah dia menulis begitu di dalam suratnya?" tanya Tu
Siau-thian pula.
Kini giliran Siang Hu-hoa yang melengak.
"Jadi kau tidak mengetahui secara keseluruhan peristiwa
yang terjadi waktu itu?" dia balik bertanya.
Ternyata Tu Siau-thian tidak menyangkal akan hal itu.
"Berarti kau hanya tahu peristiwa yang terjadi pada tanggal
satu saja?" kembali Siang Hu-hoa bertanya
"Dia pernah menyinggung soal peristiwa yang dialami pada
tanggal satu malam, tapi kemudian sejak tanggal tiga aku
mendapat tugas hingga mesti pergi dari sini, ketika balik lagi
waktu sudah menunjukkan tanggal empat belas bulan tiga
malam" "Pada tanggal empat belas dan lima belas, apakah kau
pernah bersua dengannya?"
"Selama dua hari ini kami selalu bersama......."
"Ketika bertemu, apakah dia sempat mengatakan sesuatu
kepadamu?"
Tu Siau-thian menggeleng.
"Aku pernah bertanya, tapi dia sepertinya enggan untuk
menjawab" katanya.
"Bila kutinjau dari apa yang kau utarakan tadi, seakan kau
sudah tahu secara jelas semua persoalan ini?"
Perasaan menyesal sempat melintas diwajah Tu Siau-thian,
sahutnya kemudian:
162 "Kalau bukan begitu, tak nanti aku bisa mengorek
keterangan sebanyak itu"
"Sudah berapa lama kau bekerja di kantor pengadilan (laksan-
bun)?" "Sepuluh tahun lebih"
"Tidak heran kalau kaupun berhasil mengorek keterangan
dari mulutku, tampaknya kau selalu menggunakan cara seperti
ini untuk mengorek keterangan dari para tersangka"
"Cara sih bukan Cuma itu saja, masih banyak macam"
"Waah, kalau begitu aku mesti lebih waspada lagi jika harus
berbicara lagi dengan orang orang dari kalangan kalian
dikemudian hari"
Tu Siau-thian tidak menanggapi ucapan itu, kembali dia
mengalihkan pokok pembicaraan, tanyanya:
"Apa lagi yang saudara Jui terangkan didalam suratnya
kepadamu?"
Sebelum Siang Hu-hoa menjawab, Nyo Sin sudah
menimbrung lagi dengan suara keras:
"Apakah surat itu masih kau simpan?"
"Masih!"
"Kau bawa dalam sakumu?"
"Tidak"
"Sekarang surat itu berada di mana?"
"Perkampungan Ban-hoa sanceng"
"Kau taruh dimana dalam perkampunganmu itu?"
"Dalam kamar bacaku!" jawab Siang Huhoa ketus,
ditatapnya pembesar itu sekejap dengan pandangan dingin.
163 "Kalau begitu akan kuutus anak buahku untuk pergi
mengambilnya"
"Sayang kecuali aku sendiri, tidak pernah ada orang lain
yang sanggup mengambil dan membawa pergi benda apa pun
yang tersimpan dalam kamar bacaku di perkampungan Banhoa
san-ceng" Mendengar perkataan itu, Nyo Sin kontan tertegun dan
tidak sanggup berkata-kata lagi.
Siang Hu-hoa tidak menggubris dia lagi, seraya berpaling
ke arah Tu Siau-thian, ujarnya:
"Ketika lenyap tidak berbekas, kebetulan saudara Jui
sedang berada di mana?"
"Di dalam ruangan perpustakaannya, Ki po cay!"
"Apakah di dalam ruang perpustakaan waktu itu hadir
orang lain?"
"Rasanya sih tidak ada"
"Diluar perpustakaan?"
"Aku dan ke dua anak buahku berjaga-jaga disitu"
"Apa yang sedang kalian bertiga lakukan waktu itu?"
"Lantaran kuatir pada malam tanggal lima belas benarbenar
akan terjadi peristiwa yang tidak diinginkan, maka aku
mengajak dua orang anak buahku untuk bersiaga disini,
maksud kami, bila terjadi sesuatu kegaduhan maka kami bisa
segera memberi bantuan"


Laron Pengisap Darah Karya Huang Yin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau memang bermaksud begitu, kenapa kalian tidak
sekalian bergabung dengannya di dalam ruangan?"
"Sebab dia bersikeras menampik tawaran kami"
"Oya?"
164 "Alasannya, dia tidak ingin ada teman yang
mempertaruhkan jiwa demi dirinya"
"Maka dari itu kalian bertiga hanya bisa berjaga jaga diluar
perpustakaan?"
Tu Siau-thian mengangguk membenarkan.
"Sebenarnya bagaimana kisah kejadian itu?" tanya Siang
Hu-hoa lagi. Waktu itu kami bertiga berjaga didalam gardu diluar
halaman perpustakaan itu sambil mengawasi gerak gerik
disekeliling tempat itu, sejak kentongan pertama hingga
kentongan kedua, dari kentongan ke dua hingga kentongan
ketiga, selama itu suasana sangat tenang, tapi begitu tiba
pada kentongan ke tiga........."
"Apa yang terjadi?"
"Tiba-tiba terdengar jeritan kaget dari dalam ruang
perpustakaan"
"Kalian yakin dia yang menjerit?"
Tu Siau-thian mengangguk.
"Waktu itu bayangan tubuhnya menempel diatas kertas
jendela, begitu berkumandang suara jeritan, bayangan
tubuhnya segera melejit ke udara diikuti suara gemerincing
senjata yang diloloskan dari sarung!"
"Apa yang dia teriakkan?"
"Hanya tiga kata, laron penghisap darah!"
"Apa pula yang terjadi sesudah dia meloloskan
pedangnya?" tanya Siang Huhoa lebih jauh.
"Tubuh dan pedangnya melejit bersama ke udara!"
"Ehmmm, itulah tujuh bintang pencabut nyawa, pedang
sakti perenggut sukma, biarpun selama tiga tahun belakangan
165 ilmu tersebut tak pernah dilatih lagi, namun bukan setiap
orang mampu menghadapi serangan maut itu"
"Sayang musuh yang dia hadapi kali ini bukan manusia"
sela Tu Siau-thian.
"Setelah dia melancarkan serangan dengan pedangnya, apa
pula yang terjadi?"
"Tiba tiba seluruh cahaya lentera di dalam perpustakaan
padam, disusul kemudian semua suara yang semula gaduh
mendadak jadi hening, sepi dan tidak kedengaran sedikit
suara pun, ketika kami bertiga menerjang masuk dengan
menjebol pintu, bayangan tubuhnya sudah lenyap tak
berbekas, yang kami jumpai hanya dua buah sayatan bekas
bacokan senjata diujung meja tepi lentera serta sebercak
darah kental"
"Bisa jadi bercak darah itu berasal dari darah musuh,
setelah berhasil pukul mundur musuhnya, dia segera
melakukan pengejaran" kata Siang Hu-hoa.
"Tapi semua pintu dan jendela berada dalam keadaan
tertutup, kami saja masuk dengan menjebol pintu sementara
semua jendela terkunci dari dalam, dengan cara apa dia
meninggalkan ruangan ini?"
"Kalian yakin tidak keliru?" Siang Hu-hoa mulai
mengerutkan dahinya.
"Kami sudah memeriksanya berulang kali dan yakin tidak
salah" Siang Hu-hoa tidak bicara lagi, dia mulai termenung sambil
memutar otak. Setelah menghela napas panjang Tu Siau-thian berkata
lagi: "Kecuali didalam waktu yang relatip singkat dia sudah
dimakan kawanan laron penghisap darah itu hingga tulang
166 belulangnya pun ikut termakan, atau dia terkena kekuatan
siluman dari si Raja laron hingga badannya menguap jadi
asap, kalau bukan begitu, dia pasti memiliki ilmu penembus
dinding, kalau tidak, tak mungkin dia bisa meninggalkan
perpustakaan itu tanpa kami ketahui......."
"Perpustakaan itu berada dimana?" tiba tiba Siang Hu-hoa
bertanya, "cepat bawa aku ke sana"
Belum sempat Tu Siau-thian memberikan jawaban, Jui Gi
yang berada disampingnya telah menyela duluan:
"Siang-ya, ikuti hamba" dia segera berjalan meninggalkan
tempat itu. Tampaknya dia jauh lebih gelisah ketimbang Siang Hu-hoa.
Tanpa banyak bicara Siang Hu-hoa mengikuti di
belakangnya. Dengan cepat mereka berdua berjalan melewati
disisi Nyoo Sin, sewaktu lewat mereka sama sekali tidak
menggubris pembesar itu, seakan mereka sama sekali tidak
memandang sebelah matapun terhadap orang ini.
Bagaimana mungkin Nyo Sin bisa menela rasa
mendongkolnya, baru saja dia hendak menghardik, Tu Siauthian
yang tiba disampingnya segera menyela:
"Komandan, kita pun harus segera masuk"
Nyo Sin mengiakan seraya berpaling, ditatapnya Tu Siauthian
dengan mata melotot, tampaknya dia segera akan
mencaci maki anak buahnya ini.
Tampaknya Tu Siau-thian tahu gelagat, buru buru ujarnya
lagi: "Nama besar Siang Hu-hoa sudah amat termashur dalam
dunia persilatan, baik ilmu silatnya maupun kecerdasan
otaknya konon jarang yang bisa menandingi, asal dia mau
membantu, aku yakin kasus ini bisa terkuak lebih cepat dan
gampang" 167 Nyo Sin tertawa dingin.
"Memangnya tanpa bantuan dia, kasus ini akan sulit
terkuak dan terselesaikan?" sahutnya tidak terima.
"Bukan begitu maksudku, kalau ada jalan pintas kenapa
kita mesti berputar" Komandan, tentunya kau paham akan
teori ini bukan?"
"Darimana kau bisa tahu kalau jalan yang bakal kutempuh
bukan jalan pintas" Dan penyelidikanku tak bakal lebih awal
mengungkap kasus ini?"
Tu Siau-thian tertawa hambar, katanya:
"Aku hanya tahu sampai sekarang kita masih tetap berada
disini, kalau memang komandan bisa menemukan kunci dari
seluruh persoalan dalam sekilas pandangan, aku yakin kita
pasti akan lebih cepat mengungkap kasus ini"
"Nah, begitu baru masuk akal" seru Nyo Sin sambil
manggut. Dia segera berpaling sambil memberi tanda, serunya:
"Ayoh anak anak, ikuti aku!"
Dibawah pimpinan Nyo Sin, berangkatlah kawanan opas itu
menuju ke gedung perpustakaan Ki-po-cay.
Tentu saja tak ada orang yang menghalangi kepergian
mereka, dimana Jui Gi dan Siang Hu-hoa bisa masuk, mereka
pun dapat memasuki juga.
Jui Gi adalah kepala pengurus rumah tangga, disaat Jui
Pakhay tidak ada dirumah, kecuali Gi Tiok-kun, urusan apa
pun yang terjadi disana dapat dia putuskan sendiri.
Kini Gi Tiok-kun sama sekali tidak munculkan diri, besar
kemungkinan belum ada orang yang menyampaikan berita
buruk ini kepadanya hingga dia sama sekali tidak mengetahui
akan terjadinya peristiwa ini.
168 0-0-0 Angin timur berhembus sepoi ditengah halaman, bunga dan
dedaunan tampak berguguran dan mengotori permukaan
tanah. Ketika menelusuri jalan setapak ditengah taman itu, tidak
tahan Nyo Sin berkata lagi:
"Aku adalah komandan opas diwilayah ini, perduli dia
seorang jago kenamaan dari dunia persilatan atau bukan,
tanpa seijin diriku siapa pun dilarang memasuki tempat
kejadian kasus barang setengah langkah pun, kalau tidak aku
bisa menjatukan tuduhan sebagai tersangka yang
mencurigakan terhadap dirinya!"
"Semestinya memang begitu" sahut Tu Siau-thian sambil
tertawa, "tapi sayang hingga sekarang keluarga Jui tidak ada
yang melaporkan kejadian ini kepada pengadilan"
Nyo Sin tertegun.
"Sekarang posisi kita tidak jauh berbeda dengan posisinya"
Tu Siau-thian berkata lebih jauh, "kita semua sama sama
masuk kemari dengan status sebagai teman Jui Pakhay, jadi
kita datang bukan untuk menyelidiki kasus ini tapi datang
untuk menjenguk teman"
Setelah berhenti sejenak, kembali terusnya: "Kini Jui
Pakhay tidak ditempat, nyonya rumah juga tidak nampak,
maka bila Jui Gi si kepala rumah tangga merasa tidak senang
menerima kita sebagai tamunya, jangankan memasuki
perpustakaan itu, mau berdiam lebih lama disini pun mungkin
akan jadi masalah besar, sebab setiap saat dia berhak untuk
mempersilahkan kita keluar dari sini"
"Tapi.....bukankah Jui Pakhay telah lenyap?"
"Kalau mereka bersikeras mengatakan tidak, apa yang bisa
kita lakukan?"
169 "Kita bisa meminta Jui Pakhay tampil keluar dan bertemu
dengan kita semua"
"Kalau mereka mengatakan bahwa tuan rumah tidak ingin
menerima tamu, apa yang bisa kita perbuat" Atau kalau
mereka mengatakan tuan rumah sedang bepergian, apa pula
yang bisa kita perbuat?"
"Tapi.....bukankah kau menyaksikan dengan
mata kepala sendiri........"
"Tuduhan tanpa bukti sama sekali tidak ada kekuatan
hukumnya, apalagi kejadian semacam itu memang sulit
dipercaya dengan akal sehat"
"Lalu........." Nyo sin mulai kelimpungan.
"Kecuali keluarga Jui melaporkan kasus kejadian ini ke
pengadilan, atau kita temukan mayat, kalau bukan begitu
kehadiran kita tetap berstatus sebagai tamu"
"Lalu bagaimana baiknya?" tanya Nyo Sin kemudian agak
tergagap. "Biarkan saja Siang Hu-hoa yang berperan"
"Kalau sampai dia yang memperoleh pahala, kita bisa
kehilangan muda"
"Dia adalah seorang anggota persilatan, sekalipun sudah
berjasa, apa gunanya?"
"Ehmm, benar juga perkataan itu"
"Seandainya dia yang bekerja keras dan berhasil
mengungkap kejadian yang sebenarnya, buat kita hal ini lebih
banyak untungnya daripada rugi" kembali Tu Siau-thian
berkata. "Ehrnmm, betul juga" Nyo Sin m anggut m anggut, ditinjau
dari mimik mukanya, dia seakan sudah punya rencana sendiri.
170 Tentu saja Tu Siau-thian dapat melihat semua perubahan
mimik muka itu dengan jelas, buru buru ujarnya lagi:
"Tapi demi martabat dan harga diri, tentu saja dalam
bidang ini kitapun mesti ikut berusaha, kalau bisa tentu saja
komandan mesti bertindak lebih dini sehingga bisa mendahului
dia" "Sudah pasti harus begitu" Nyo Sin manggut manggut
sambil mempercepat langkah kakinya.
Setelah memasuki pintu berbentuk setengah bulan dan
melewati gardu ditengah halaman, tibalah mereka di depan
gedung perpustakaan.
Nyo Sin dan Tu Siau-thian langsung melangkah masuk ke
dalam ruang gedung.
Pintu yang jebol masih tergeletak ditanah, hancuran daun
jendela pun masih berserakan disekeliling sana, segala
sesuatunya masih berada dalam posi? semula.
Cara kerja Siang Hu-hoa sangat berhati-hati, dia sama
sekali tidak menggeser benda apa pun yang ada disitu, ketika
Nyo Sin dan Tu Siau-thian berjalan masuk ke dalam ruangan,
dia sedang berdiri didepan meja sambil bergendong tangan,
seluruh perhatiannya tertuju pada bercak darah yang
tertinggal diatas meja.
Bercak darah itu sudah menghitam, sementara Jui Gi
berdiri disamping Siang Hu-hoa walaupun sorot matanya
justru tertuju ke wajah orang itu.
Tiba tiba Siang Hu-hoa mengernyitkan dahinya.
Melihat hal itu Jui Gi segera bertanya:
"Siang-ya, menurut pandanganmu apakah noda itu berasal
dari darah manusia?"
"Rasanya sih mirip, tapi darah lama atau darah baru tidak
ada bedanya, jadi lebih baik kita tanyai dulu opas Tu"
171 Dia tidak perlu berpaling sebab Tu Siau-thian sudah
menghampiri mereka dengan langkah cepat.
Begitu mendekat Tu Siau-thian segera menjawab:
"Aku rasa itu darah manusia, tapi seperti juga kalian, aku
pun tidak yakin seratus persen"
"Kenapa tidak terlalu yakin?"
Tu Siau-thian tertawa getir.
"Walaupun aku pernah bertemu laron penghisap darah
namun belum pernah menyaksikan darah dari laron laron
penghisap darah tersebut, aku tidak bisa membedakan apakah
darah dari laron penghisap darah sama seperti darah dari
manusia!" "Sebelum terjadinya peristiwa ini, apakah kalian tidak
pernah berjumpa dengan laron penghisap darah?" tanya Siang
Hu-hoa kemudian.
"Belum pernah" Tu Siau-thian menggeleng.
"Setelah kejadian, apakah kalian juga tidak melihat laron
penghisap darah itu terbang pergi dari hadapan kalian?"
Sekali lagi Tu Siau-thian menggeleng:
"Juga tidak" sahutnya, "sewaktu kami menerjang masuk
dengan menjebol pintu, tidak seekorpun laron penghisap
darah yang kami saksikan"
"Dan dia juga sudah lenyap tidak berbekas?"
Tu Siau-thian mengangguk tanda membenarkan.
Siang Hu-hoa menyapu sekejap sekeliling ruangan,
kemudian tanyanya lagi:


Laron Pengisap Darah Karya Huang Yin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Waktu itu apakah posisi dan keadaan didalam
perpustakaan persis seperti keadaan saat ini?"
172 "Benar, aku berusaha agar segala sesuatunya tetap berada
pada posisi semula"
"Selama dua hari terakhir, aku percaya kalian pasti sudah
mendatangi tempat ini dan melakukan pelacakan secermat
mungkin" "Segala sesuatunya telah kami periksa dengan seksama" Tu
Siau-thian membenarkan.
Kemudian setelah menyapu sekeliling tempat itu sekejap,
terusnya: "Gedung perpustakaan ini tidak terlalu luas, untuk
memeriksa dan melacak setiap jengkal tanah di dalam Ki-pocay
ini tidak perlu waktu satu hari"
"Ehm, bila kutinjau dari ungkapanmu itu, berarti setiap
jengkal tanah di dalam gedung Ki-po-cay ini sudah kalian lacak
dan periksa dengan seksama?"
Untuk kesekian kalinya Tu Siau-thian mengangguk.
"Kemarin, lingkup penyelidikan kami malah sudah diperluas
hingga ke setiap sudut tempat di dalam kota"
"Apa berhasil menemukan sesuatu?"
"Tidak, dia seakan sudah berubah jadi segulung asap,
seonggok debu yang terbang melayang dan menyebar ke
angkasa, hilang lenyap dari permukaan bumi"
Dengan kening semakin berkerut Siang Hu-hoa mulai
berjalan mondar mandir dalam ruangan, sembari berjalan
gumamnya tiada hentinya:
"Jelas jelas gedung perpustakaan ini berada dalam keadaan
terkunci, bagaimana mungkin di dalam waktu yang amat
singkat seorang manusia yang begitu besar bisa hilang lenyap
tidak berbekas, memangnya ini sulapan" Memangnya dia
punya ilmu siluman?"
173 "Kau pun percaya dengan segala macam ilmu siluman atau
setan iblis?" dengan pandangan keheranan Tu Siau-thian
mengawasinya. "Tentu saja tidak percaya" jawaban Siang Hu-hoa sangat
hambar. "Kalau tidak, lantas bagaimana penjelasanmu tentang
peristiwa ini?"
Siang Hu-hoa tidak menyahut, sesungguhnya dia memang
tidak tahu bagaimana mesti memberikan penjelasannya,
mendadak dia menghentikan langkah kakinya lalu berputar
berapa kali disekeliling dinding ruangan.
Bab 10. Pintu rahasia. Sorot mata Tu Siau-thian ikut bergerak menyusul gerakan
pemuda itu, tiba-tiba dia berseru:
"Aaah. Ada beberapa hal hampir saja aku lupa untuk
menyampaikan kepadamu"
"Soal apa?" Siang Huhoa segera menghentikan langkahnya.
"Malam tanggal lima belas, ketika aku bersama ke dua
orang anak buahku sedang berjaga di luar gedung
Perpustakaan, tiba-tiba dia membuka pintu dan berjalan
keluar, dia mengundangku untuk berbicara"
"Apa saja yang dia katakan?" buru-buru Siang Huhoa
bertanya. "Dia memberitahu kepadaku bahwa Jui Gi sudah diutus ke
perkampungan Ban hoa sanceng untuk mengundang
kehadiranmu, dia bilang kau pasti akan tiba disini"
"Selain itu?"
174 "Dia pun berkata kalau sebuah catatan terperinci yang
berisikan semua kejadian yang dialaminya selama belasan hari
ini telah dipersiapkan dan disimpan menjadi satu dengan
sepucuk surat"
"Dimana disimpannya?"
"Dia tidak beritahu, katanya dengan kecerdasan dan
kemampuanmu seharusnya tidak susah untuk
menemukannya"
Mendengar itu Siang Huhoa segera tertawa getir, namun
dia tidak berkata-kata.
Setelah berhenti sejenak, kembali Tu Siau-thian berkata:
"Katanya, asal kau berhasil mendapatkan kitab catatan itu
dan membaca isinya maka semua kasus peristiwa ini akan
terkuak lebih jelas, tidak sulit bagimu untuk menemukan latar
belakang yang sebenarnya dari kematiannya!"
"Kalau kudengar dari penjelasanmu itu, seolah dia sudah
tahu bakal mati, sudah tahu kalau keselamatan jiwanya
terancam, tapi, kenapa dia tidak mencari suatu tempat yang
aman dan mengungsi untuk sementara waktu?" gumam Siang
Hu-hoa dengan kening berkerut.
"Sebab dia beranggapan mau lari ke ujung dunia pun tidak
ada gunanya, sebab dia tidak akan bisa lolos dari musibah ini"
Setelah menghela napas panjang, kembali meneruskan:
"Tampaknya dia seolah-olah sudah yakin kalau kawanan
laron penghisap darah itu adalah jelmaan dari setan iblis,
bukankah orang kuno selalu berkata, setan iblis adalah
makhluk yang serba tahu dan serba bisa?"
Tanpa terasa Siang Huhoa ikut menghela napas panjang.
"Menurut apa yang kuketahui" ujarnya, "selama ini dia
bukan termasuk manusia yang terlalu percaya dengan setan
175 iblis, kenapa dalam waktu singkat pandangan dan prinsipnya
bisa berubah drastis?"
Setelah memandang lagi sekeliling tempat itu sekejap,
kembali dia bergumam:
"Gedung perpustakaan Ki po cay bukan terhitung sebuah
tempat yang kelewat kecil, memangnya gampang untuk
menemukan sepucuk surat dan sebuah buku catatan dari
dalam gedung sebesar ini?"
"Kalau dalam hal ini tentu saja kau tidak perlu kuatir"
"Oya?"
"Sewaktu dia membuka pintu dan mengajak aku berbicara,
dia bilang surat dan buku catatan itu telah selesai
dipersiapkan, setelah itu dia tidak pernah melangkah keluar
dari gedung perpustakaannya, itu berarti surat dan kitab
catatan itu seharusnya masih berada di dalam ruang
perpustakaan ini"
"Memangnya segampang itu analisamu?"
"Aku rasa analisa ku ini bukan sederhana"
"Bukankah kalian telah membuang banyak pikiran dan
tenaga untuk memeriksa dan melacak setiap jengkal tanah
disini" Apa hasilnya" Apakah berhasil menemukan sesuatu?"
Tu Siau-thian segera terbungkam, tidak bisa menjawab.
Siang Hu-hoa berkata lebih jauh:
"Diantara kalian adakah seseorang yang mengerti soal alat
rahasia?" Tu Siau-thian menggeleng.
"Apakah kau mempunyai kesan tentang seseorang yang
bernama Hiankicu?" kembali Siang Huhoa bertanya,
176 "Apakah Hiankicu yang kau maksud adalah seorang ahli
tehnik yang amat tersohor itu?"
"Benar, dialah yang kumaksud"
"Apa hubungannya dengan Hiankicu?"
"Dia justru murid adalah terakhir dari Hiankicu"
"Murid penutup?" Tu Siau-thian tertegun, "rasanya belum
pernah kudengar dia mengungkap tentang hal ini"
Tapi kemudian setelah tertawa tambahnya:
"Sekalipun dia mengerti tentang alat rahasia dan
menyembunyikan barang-barang itu dalam sebuah bilik yang
dilengkapi alat rahasia, tapi setelah melalui pelacakan dan
pemeriksaan yang begitu seksama dari kami semua, sehebat
dan serapi apapun alat rahasia tersebut semestinya tempatnya
sudah berhasil kita temukan"
"Apa benar begitu?" Siang Huhoa tertawa.
Sinar matanya dialihkan ke bawah, lalu tambahnya:
"Kalian sudah memeriksa seluruh permukaan lantai?"
"Kalau bisa dibalik, seluruh lantai gedung ini sudah kami
balikan" "Atap ruangan?"
"Seluruh atap pun sudah kami periksa"
"Apakah seluruh dinding ruangan ini ada yang
mencurigakan?"
"Sama sekali tidak" jawab Tu Siau-thian, kemudian setelah
menyapu sekejap sekeliling tempat itu tambahnya, "Setiap
benda, setiap jengkal tanah ditempat ini sudah kami periksa
dengan sangat teliti, andaikata dipasang alat rahasia, dimana
dia menaruhnya?"
"Dia bisa memasangnya di segala tempat"
177 "Oya?" perasaan ragu melintas diwajah Tu Siau-thian.
Tiba-tiba Siang Hu-hoa bertanya lagi:
"Apakah gara-gara perkataanku tadi, kau baru terbayang
kemungkinan di tempat ini sudah terpasang alat rahasia?"
"Tempo hari sudah kupertimbangkan kemungkinan itu, tapi
tidak terlalu yakin"
"Oleh sebab itu dalam pemeriksaanmu yang lalu,
kemungkinan besar, banyak tempat yang kau lewatkan karena
kelalaian, kau mesti tahu, tombol rahasia yang dirancang oleh
ilmu rahasia Hiancicu tidak gampang ditemukan"
"Atas dasar apa kau begitu yakin kalau disini sudah
terpasang alat rahasia?" tanya Tu Siau-thian mendadak.
"Sebab dibalik perkataannya, secara diam-diam dia sudah
memberi tanda"
"Berarti kau telah menemukan sesuatu?"
Siang Huhoa menggelengkan kepalanya sebagai pertanda
jawaban, kembali dia menggeser langkah kakinya.
Kali ini dia menggeser langkah kakinya dengan lebih
lambat, sementara sinar matanya berubah jadi lebih tajam dan
lebih mencorong.
Dia sebentar bergeser, sebentar berhenti, hampir seluruh
ruangan dijelajahi satu putaran lagi sebelum akhirnya
melangkah keluar dari ruangan itu.
Tu Siau-thian dan Jui Gi mengikuti terus di belakangnya,
Nyo Sin yang melihat itu tanpa sadar dia juga mengikuti pula
di paling belakang.
Matahari memancarkan sinar emas menyinari seluruh
halaman, kabut tipis tampak masih melayang diantara
pepohonan dan bunga.
178 Setibanya diluar pintu, Siang Hu-hoa mundur lagi sejauh
tiga kaki hingga tiba didepan gardu itu, kini dia berada dua
depa jauhnya dan pintu ruangan.
Tu Siau-thian segera menghampiri seraya berseru:
"Malam itu kamipun berdiri didalam gardu tersebut sambil
mengawasi gerak gerik di dalam ruang perpustakaan"
"Ehmmm, posisi ini memang cukup strategis" sahut Siang
Hu-hoa sambil mengangguk, "satu satunya kelemahan adalah
tidak bisa melihat jelas keadaan di belakang ruang
perpustakaan"
"Masih untung bagian belakang ruang perpustakaan adalah
sebuah dinding tembok, disitu juga tidak ada jendelanya" sela
Tu Siau-thian "Moga-moga saja disitu tidak ada pintu rahasianya" Siang
Hu-hoa nyelutuk.
"Pintu rahasia?" Tu Siau-thian melengak keheranan.
Siang Hu-hoa tidak berkata apa apa lagi, dengan langkah
lebar dia berjalan balik ke arah ruang perpustakaan.
Tu Siau-thian, Jui Gi dan Nyo Sin segera mengikuti di
belakangnya, mereka bertiga seakan telah berubah menjadi
anak buahnya lelaki itu.
Ternyata Siang Hu-hoa tidak jadi masuk ke dalam ruang
perpustakaan melainkan berjalan mengelilingi seputar gedung.
Gedung perpustakaan itu dikelilingi taman bunga yang
sangat luas, waktu itu aneka bunga sedang mekar dengan
indahnya. Meskipun bulan ke tiga sudah berjalan setengahnya namun
saat itu memang sedang musim bunga berkembang,
mekarnya aneka bunga membuat suasana disitu begitu tenang
dan nyaman. 179 Sayang Siang Hu-hoa tidak berminat untuk menikmati
keindahan alam, dia hanya berhenti sejenak di bagian
belakang gedung perpustakaan itu.
Di bagian belakang gedung ditanam sebatang pohon
mawar dan beberapa batang pohon pisang-pisangan.
Gedung perpustakaan itu dibangun menghadap ke timur,
waktu itu sinar sang surya yang baru terbit belum lagi
mencapai bagian belakang bangunan itu.
Waktu itu sinar mata Siang Hu-hoa sedang tertuju pada
dinding di belakang pohon mawar serta permukaan tanah
dialas rak mawar.
Setelah berhenti sejenak kembali dia beranjak pergi,
mengitari sudut lain dari gedung itu kemudian balik ke pintu
depan. Kini sekulum senyuman telah menghiasi ujung bibirnya,
langkah kakinya jauh lebih ringan dan cepat, seakan setelah
berjalan mengelilingi bangunan itu, dia berhasil menemukan
sesuatu. Waktu itu Tu Siau-thian berjalan mengikuti di belakang
Siang Hu-hoa, tentu saja dia tidak sempat melihat jelas
senyuman itu, dia hanya melihat langkah kaki lelaki tampan
itu lebih ringan dan lebih cepat.
Dia segera mempercepat langkahnya mendampingi Siang
Huhoa, kemudia bisiknya:
"Siang-heng, apakah kau berhasil menemukan sesuatu?"
Siang Hu-hoa tidak menjawab, dia hanya mengangguk
sambil meneruskan langkahnya masuk ke dalam ruang
perpustakaan. Nyo Sin yang berada di belakang dapat mendengar semua
pembicaraan itu dengan jelas dan melihat dengan jelas pula,
dia segera percepat langkah kakinya, sewaktu memasuki pintu
180 ruangan, dia sudah berebut untuk masuk mendahului Tu Siauthian.
Siang Huhoa sama sekali tidak menggubris tingkah laku
orang ini, dia tetap berjalan masuk ke dalam ruangan dan
baru berhenti setelah berada didepan dinding kurang lebih


Laron Pengisap Darah Karya Huang Yin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tiga depa dihadapan pintu masuk, perlahan-lahan sorot
matanya dialihkan ke atas dinding itu dan menelitinya dengan
seksama. Dinding itu penuh bergantungan lukisan kuno, selain itu
juga tergantung dua buah ukiran kayu yang besar lagi tua.
Kedua lembar ukiran kayu itu sama bentuknya, setengah
kaki lebar dengan satu kaki tingginya dan masing-masing
terpaku di kiri kanan dinding.
Ukiran yang berada disebelah kiri menggambarkan seorang
dewi Jian nien Kwan im sementara ukiran disebelah kanan
melukiskan seorang Milek Hud.
Walaupun ukiran itu sangat halus dan indah namun bukan
hasil karya dari pengukir kenamaan.
Kembali Siang Hu-hoa memeriksa sekeliling dinding itu, lagi
lagi sekulum senyuman tersungging diujung bibirnya.
Buru-buru Nyo Sin menyusul ke samping Siang Huhoa,
setelah mengerling sekejap ke arah lelaki itu, serunya:
"Aku rasa dibalik dinding ini ada hal yang mencurigakan"
"Oooh, jadi kau pun berpendapat demikian?" seru Siang
Huhoa seraya berpaling.
Nyo Sin tidak menjawab, dia hanya mengelus jenggot
sendiri seraya manggut-manggut.
"Menurut pendapatmu, bagian mana yang mencurigakan?"
kembali Siang Huhoa bertanya
"Dinding itu!"
181 Siang Hu-hoa segera tertawa hambar dan tidak bertanya
lebih jauh. Walaupun gerak gerik Nyo sin menunjukkan seolah dia
menemukan sesuatu, namun setelah ditanya, segera ketahuan
kalau dia tidak tahu apa-apa selain soal dinding itu.
Tu Siau-thian segera memburu maju, tanyanya:
"Saudara Siang, sebenarnya apa yang kau temukan?"
"Hanya masalah dinding ini" sahut Siang Huhoa sambil
mengalihkan kembali sorot matanya keatas dinding.
Waktu itu sorot mata Tu Siau-thian sudah tertumpu pula
pada dinding ruangan, namun setelah diperhatikan sekian
lama dia tidak berhasil menemukan sesuatu yang aneh,
serunya lagi seraya menggeleng:
"Sebenarnya apa yang aneh dengan dinding ini" Aku tidak
menemukan sesuatu yang mencurigakan"
"Sekilas pandang dinding ini memang kelihatannya wajar
dan tidak ada yang aneh, padahal dibalik semuanya, justru
terdapat ketidak wajaran yang amat besar"
"Jangan-jangan diatas dinding ini tersembunyi sebuah
lubang rahasia?"
"Bisa jadi sebuah lubang rahasia tapi bisa juga sebuah
pintu rahasia, yang jelas sebuah lubang masuk yang
berhubungan dengan ruang rahasia dibelakang dinding itu"
"Ruang rahasia di belakang dinding?" seru Tu Siau-thian
tertegun. "Sekalipun di belakang dinding benar benar tersembunyi
sebuah ruang rahasia, rasanya hal ini bukan sesuatu yang
patut diherankan"
Kontan Tu Siau-thian tertawa terbahak-bahak, serunya:
See Yan Tjin Djin
182 "Hahahaha...... tapi di belakang dinding itu hanya terdapat
sebuah rak yang berisi bunga mawar serta beberapa batang
pohon pisang-pisangan"
"Menurut perkiraanmu, seberapa tebal dinding tembok itu?"
tiba-tiba Siang Hu-hoa bertanya.
"Ketebalannya paling banter dua depa, bagian tengah yang
kosong hanya satu depa, kalau benar disitu ada ruang
rahasianya berarti luas ruangan itu hanya satu depa. sama
sekali tidak cukup untuk berdiri seorang manusia pun, masa
ruangan semacam inipun patut disebut sebuah ruang
rahasia?" "Bagaimana kalau ruangan itu mempunyai luas empat-lima
depa?" "Maksudmu ruang kosong yang terdapat dibalik dinding ini
mempunyai luas mencapai empat lima depa?"
"Bahkan bisa jadi lebih dari itu"
"Atas dasar apa kau merasa begitu yakin?" tidak tahan Tu
Siau-thian berseru.
"Sewaktu melangkah di dalam ruang perpustakaan tadi,
secara diam-diam sudah kuukur panjang lebar dari seluruh
ruangan, kemudian setelah aku berjalan mengelilingi halaman
luar gedung ini, tiba-tiba kutemukan sesuatu hal"
"Temukan apa?" desak Tu Siau-thian.
"Walaupun sekilas pandang lebar ruang dalam dan halaman
luar gedung perpustakaan ini hampir seimbang, namun dalam
kenyataan panjangnya terdapat selisih yang cukup besar,
panjang ruang dalam perpustakaan itu ternyata tujuh-delapan
depa lebih luas ketimbang panjang di halaman depan,
kemudian ketebalan dinding di bagian belakang perpustakaan
itu rata-rata mencapai dua depa, ini berarti masih ada selisih
empat sampai lima depa, lalu ke mana larinya selisih
tersebut?"
183 Seketika itu juga Tu Siau-thian jadi paham.
Terdengar Siang Hu-hoa berkata lebih jauh:
"Semula kukira bagian belakang perpustakaan itu mungkin
cekung ke dalam sepanjang berapa depa, tapi setelah
kuperiksa ternyata bukan begitu keadaannya, ini menunjukkan
hanya ada satu kemungkinan yakni tempat seluas empat lima
depa yang hilang itu kemungkinan besar tersembunyi di
belakang dinding itu"
Sambil menuding ke arah dinding dihadapannya, kembali
dia berkata: "Kecuali orang gila, kalau tidak, mustahil seorang normal
akan membuat sisi dinding ruangannya setebal tujuh delapan
depa, oleh sebab itu aku yakin dibalik dinding ini pasti
terdapat ruang kosong, ruangan itu tentu seluas empat lima
depa dan lebih dari cukup untuk digunakan berbuat sesuatu"
Mendengar sampai disitu, tanpa terasa Nyo Sin menyela:
"Kalau benar di belakang dinding ini terdapat ruang
rahasia, lalu pintu rahasianya berada dibagian dinding yang
mana?" Sebelum Siang Hu-hoa menjawab, Tu Siau-thian sudah
menyahut duluan:
"Menurut analisaku, besar kemungkinan berada dibelakang
ke dua ukiran kayu itu"
"Betul, aku pun berpendapat demikian" Siang Huhoa
manggut manggut.
Kemudian sambil meraba ukiran Milek Hud itu, dia berkata
lagi: "Sejak awal aku sudah mencurigai ke dua ukiran kayu itu"
184 "Apakah lantaran ke dua ukira kayu itu tidak serasi
digantung bersama dengan sebuah lukisan diatas dinding
yang sama?"
Siang Huhoa berpaling dan memandang Tu Siau-thian
sekejap, katanya:
"Menggantungkan sebuah lukisan tangan diatas dinding
sudah merupakan satu hal yang tidak serasi"
"Aku tidak mengerti soal lukisan"
"Kalau memang begitu, kenapa bisa timbul perasaan
kurang serasi dalam hati kecilmu?" sebuah pertanyaan dari
Siang Huhoa yang kedengaran sangat aneh.
"Bukan baru kali ini saja kulihat bentuk ukiran semacam
ini..........."
"Lalu biasanya di mana kau menjumpai ukiran semacam
ini?" "Dalam kuil!"
"Bisa saja sebagai umat Buddha dia membeli ukiran
tersebut dan digantungkan di rumahnya untuk disembah"
"Sekalipun begitu, jarang ada yang menggantungkan dalam
ruang perpustakaan, apalagi menurut apa yang kuketahui, dia
bukan penganut Buddha"
Siang Huhoa kembali manggut-manggut.
Terdengar Tu Siau-thian berkata lagi:
"Meskipun sejak awal aku sudah merasakan sesuatu yang
kurang serasi dengan tempat ini, namun tidak menaruh curiga
lebih jauh, sebab belakang dinding itu adalah halaman
terbuka, dinding disebelah situ tidak kujumpai sesuatu celah,
juga penuh ditumbuhi lumut hijau hingga mustahil terdapat
ruang rahasia dibaliknya, permukaan tanah disekeliling tempat
itupun tidak meninggalkan jejak pernah diinjak manusia"
185 Setelah berhenti sejenak, terusnya:
"Apalagi selama berapa waktu belakang, otaknya hanya
dipenuhi bayangan setan iblis dan siluman, aku mengira dia
sengaja memindahkan ukiran Buddha itu kemari karena ingin
mengatasi rasa takut dan seramnya terhadap gangguan setan
iblis" "Tapi rasanya kedua buah ukiran kayu itu tidak mirip baru
saja digantungkan disitu"
"Soal itu aku kurang jelas, sebab sejak lima belas hari
berselang aku sudah tidak pernah lagi masuk ke dalam
perpustakaan ini"
Sorot matanya kembali dialihkan keatas dinding itu,
katanya lagi: "Bagaimana pula lukisan yang tidak serasi bisa tergantung
disitu?" "Coba kau perhatikan lukisan itu" ujar Siang Huhoa sambil
menuding sebuah lukisan diantaranya yang tergantung diatas
dinding, "menurut kalian, berapa harga lukisan itu?"
Tu Siau-thian tertawa getir, dia bukan orang yang gemar
lukisan, mengerti saja tidak, darimana bisa tahu berapa harga
dari lukisan itu"
Kembali Siang Hu-hoa berkata:
"Kalau kau membawa lukisan itu ke toko, toko mana pun
diseantero negeri, maka kau segera dapat menjualnya dengan
harga dua sampai tiga ribu tahil perak"
"Wouw... mahal amat, lukisan siapa sih?" seru Tu Siauthian
tanpa sadar. "Tong Pek-hauw!"
"Ooh... pantas begitu mahal"
186 Biarpun dia tidak mengerti soal lukisan, nama besar Tong
Pek-hauw sudah lama diketahuinya dan dia sadar bahwa
orang itu memang seorang pelukis terkenal.
Setelah memandang sekejap sekitar tempat itu, ujarnya
lagi: "Ditempat ini paling tidak terdapat dua puluhan lukisan
semacam ini, padahal setiap lukisan bernilai beberapa ribu
tahil perak, bukankah sama artinya kalau dijumlahkan
seluruhnya sudah bernilai tiga puluh ribu tahil perak" Gila,
barang yang begini berharga dia hanya menempelkan diatas
dinding, jangan jangan pemilik tempat ini sudah sinting atau
tidak waras otaknya?"
"Lagi-lagi kau keliru besar" tukas Siang Huhoa hambar,
"kecuali lukisan buah tangan dari Tong Pek-hauw, jika kau
bisa menjual gabungan lukisan yang lain senilai seratus tahil
perak saja, kau sudah kuanggap luar biasa hebatnya"
"Maksudku lukisan-lukisan yang lain paling banter hanya
laku tiga-empat tahil perak?"
"Malah ada empat lukisan diantaranya tidak bakal laku lebih
dari satu tahil perak"
Dengan keheranan Tu Siau-thian menatap wajah Siang
Huhoa, dia seakan merasa kagum, tapi seakan juga merasa
tercengang dibuatnya.
Dengan tenang Siang Hu-hoa berkata lagi:
"Sebab ke empat buah lukisan itu adalah buah karya dia
sendiri" "Waah, kelihatannya kalian memang bersahabat karib
hingga dalam sekilas pandang saja kau dapat mengenali
lukisan mana yang merupakan hasil karyanya sendiri"
"Menerut spa yang kau katakan, berarti tidak susah untuk
bersahabat karib dengannya bukan!"
187 Tu Siau-thian tidak mengerti dengan ucapan tersebut, dia
hanya berdiri melongo.
Tampaknya Siang Hu-hoa tahu akan kebingungan orang,
segera dia memberi penjelasan:
"Dia sudah meninggalkan nama sendiri diatas ke empat
lukisan itu, asal mau diperhatikan dengan lebih seksama, tidak
sulit untuk mengetahuinya"
Tu Siau-thian segera menghela napas panjang, mau tidak
mau dia mesti merasa kagum atas kejelian orang ini, manusia
teliti dan cermat macam Siang Hu-hoa memang merupakan
sesuatu yang langka.
Sejak hadir dalam ruang perpustakaan hingga sekarang,
Siang Hu-hoa hanya menghabiskan waktu yang amat singkat,
tapi hasil penyelidikannya ternyata jauh lebih banyak
ketimbang pemeriksaan nya yang dilakukan selama berharihari.
Bukan cuma begitu, pemeriksaan yang berhari hari itu
bahkan sama sekali tidak membuahkan hasil apa-apa.
Terdengar Siang Hu-hoa berkata lagi:
"Bagi orang yang sama sekali tidak tertarik dengan lukisan,
tidak aneh bila tidak terlalu memperhatikan soal seperti itu"
"Benarkah lukisan hasil karyanya tidak laku barang setahil
perak pun?" tiba-tiba Tu Siau-thian tertawa.
"Harga tersebut menurut penilaianku, dalam pandanganku
lukisan hasil karyanya memang tidak laku satu tahil pun"
Setelah tertawa lebar, lanjutnya:
"Dia memang hebat dalam bermain pedang, namun soal
lukisannya.......amat payah!"
"Menurut apa yang kuketahui, dia bukan termasuk orang
yang tidak suka menyembunyikan sesuatu dihadapan orang"
188 Siang Huhoa mengangguk.
"Bukan hanya dalam soal intan permata dan mutu
manikam, dalam masalah lukisan pun dia punya selera tinggi
dan sangat memperhatikan hal hal yang detil, bagi seorang
ahli yang mengerti nilai sesuatu benda, masa dia tidak tahu
kalau lukisan tersebut adalah lukisan asli dari pelukis Tong
Pek-hauw?"
Setelah mengalihkan kembali sorot matanya keatas lukisan


Laron Pengisap Darah Karya Huang Yin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu, katanya lebih jauh:
"Sampai detik ini belum pernah kujumpai ada orang yang
berani menggantungkan sebuah lukisan ternama
disembarangan tempat, kalau dibilang tujuannya untuk
mempamerkan kekayaan, tidak ada alasan untuk
menggantungkannya ditempat ini, apalagi sejak tiga tahun
berselang dia telah berhasil mengumpulkan tiga lukisan yang
lain dari Tong Pek-hauw, kalau ingin pamer kekayaan, paling
tidak seharusnya dia gantungkan ke empat lukisan kenamaan
itu sekaligus, kenapa sekarang yang digantungkan cuma satu"
Bukankah kejadian ini sangat aneh?"
"Itu berarti dia punya maksud lain" seru Tu Siau-thian.
"Benar, tombol pembuka pintu rahasia tersebut kalau
bukan terletak diatas ke dua ukiran kayu itu, besar
kemungkinan berada di belakang lukisan antik dari Tong Pekhauw"
Baru selesai dia berkata, Nyo Sin yang berada
disampingnya telah memburu maju ke depan dan menyingkap
lukisan antik dari Tong Pek-hauw itu.
Gerak geriknya sangat berhati hati, lamban dan seakan
sangat menguras tenaga, seperti sedang memegang dua-tiga
ribu tahil perak dalam genggamannya.
Siang Hu-hoa tidak berusaha untuk mencegah, dia
membiarkan Nyo Sin berulah, sorot matanya justru mengikuti
189 gerak gerik pembesar itu dan dialihkan keatas dinding di
belakang lukisan.
Tidak ada lekukan atau tonjolan apapun ditempat itu,
permukaan dinding kelihatan rata dan halus.
"Mana tombol rahasianya?" seru Nyo Sin kemudian
tertegun. Siang Huhoa memburu maju ke depan, setelah diperhatikan
sekejap tiba-tiba dia menekan beberapa kali diatas permukaan
dinding itu. "Ternyata memang berada disini" serunya dengan
senyuman menghiasi wajahnya.
"Sudah kau temukan" Di mana?" sela Nyo sin.
"Itu dia, dibalik dinding"
"Kalau begitu biar kuperintahkan orang untuk membongkar
dinding ini"
"Tidak usah" Siang Hu-hoa menggeleng, setelah tertawa
lanjutnya, "tidak gampang menjumpai kesempatan semacam
ini, mari kita kenali lebih jauh kehebatan dan keampuhan alat
rahasia yang dirancang berdasarkan ajaran Hiankicu"
Tangannya segera diputar lalu ditabokkan ke tengah
dinding itu. Pukulan tersebut sama sekali tidak menggunakan tenaga,
tapi begitu tangannya menempel diatas dinding terdengar
suara mantap yang sangat aneh, jelas dalam pukulan tadi dia
telah sertakan tenaga dalam yang kuat.
"Triiing!" dentingan aneh seketika bergema dari balik
dinding, meski suaranya lirih dan lemah namun Nyo Sin
maupun Tu Siau-thian dapat mendengarnya dengan jelas.
190 Rupanya ketika Siang Hu-hoa melepaskan pukulannya tadi,
mereka telah menghimpun tenaga sambil pasang mata baikbaik.
Seluruh ruangan perpustakaan itu tercekam dalam
keheningan yang luar biasa, menyusul suara dentingan itu,
bergema suara gemerutuk yang panjang, suara itupun
kedengaran sangat jelas.
Lapisan dinding dimana tergantung dua buah ukisan kayu
yang melukiskan Kwan-Im bertangan seribu dan Milek Hud itu
segera bergeser ke samping kiri dan kanan, ternyata dinding
dengan dua ukiran kayu itu merupakan dua buah pintu
rahasia. Suasana dibalik pintu itu sangat gelap, tapi luasnya
memang sekitar empat-lima depa, dibelakang itu terdapat lagi
sebuah lapisan dinding, dinding berwarna hitam gelap.
Gelap dan suramnya suasana dibalik pintu rahasia itu
mungkin disebabkan warna hitam pekat yang mendominasi
warna ruang rahasia itu.
Siang Huhoa memandang sekejap ke pintu sebelah kiri
kemudian menengok pula pintu disebelah kanan, untuk berapa
saat lamanya dia hanya bisa berdiri tertegun.
Munculnya dua buah pintu rahasia yang sekaligus
tampaknya jauh diluar dugaan lelaki tampan ini, dia tidak
habis mengerti, sebuah pintu saja seharusnya lebih dari
cukup, kenapa harus dibuatkan dua buah pintu rahasia"
Lalu pintu yang manakah merupakan pintu masuk yang
sebenarnya" Apa pula gunanya pintu rahasia ke dua"
Bab 11. Kwan-Im bertangan seribu.
191 Tanpa terasa Siang Hu-hoa termenung berapa saat
lamanya, untuk sesaat dia tidak tahu apa yang mesti
dilakukan, begitu juga dengan Tu Siau-thian, dia hanya berdiri
dengan wajah penuh tanda tanya.
"Heran" tiba tiba Nyo Sin berkomentar setelah
memperhatikan wajah Siang Hu-hoa sekejap, "kenapa kau
begitu menguasahi tentang alat rahasia di sini?"
"Dia adalah sahabat karibku, sudah banyak waktu kita
sering jalan bersama, apa yang dia ketahui paling tidak aku
ketahui juga sebagian, ini toh bukan suatu kejadian yang
aneh" "Menurut anggapanmu, kita mesti masuk melalui jalan
rahasia yang mana?" Nyo Sin memperlunak nada suaranya.
"Aku belum bisa memastikan"
"Padahal gampang sekali pemecahannya" ujar Nyo Sin
kemudian, "kita masuk saja melalui salah satu pintu rahasia
itu, kalau salah masuk, keluar dan berganti dengan pintu yang
lain, urusan kan beres"
Selesai bicara dia langsung melangkah masuk melalui pintu
rahasia yang bergambar Kwan-im bertangan seribu.
"Hati-hati!" teriak Siang Hu-hoa ketika menyaksikan ulah
pembesar itu. Dengan satu gerakan cepat dia melesat maju ke depan dan
menyambar bahu Nyo Sin.
Waktu itu Nyo sin baru saja melangkah masuk ke dalam
pintu rahasia, begitu mendengar bentakan Siang Huhoa, dia
segera berpaling dengan hati kaget, belum sempat berbuat
sesuatu, seluruh badannya sudah dibetot Siang Huhoa dan
menariknya ke samping pintu luar.
Hampir pada saat yang bersamaan terdengar suara
desingan angin tajam membelah angkasa, dua tiga puluhan
192 batang anak panah mendadak meluncur keluar dari dalam
ruang rahasia dan meluncur keluar dengan cepatnya.
Untung mereka mundur dengan cepat meski bukan berarti
sama sekali sudah lolos dari ancaman yang datang, baru saja
tubuh mereka bergeser ke samping, tiga batang anak panah
sudah meluncur ke arah dada Nyo sin dengan kecepatan
tinggi. Waktu itu Siang Huhoa menarik bahu Nyo Sin dengan
tangan kanannya, dengan tangan kiri yang kosong dia segera
menyambar ke depan menangkap dua batang anak panah
diantaranya, sementara sisa satu batang yang lolos dari
sambarannya langsung menyambar ke tubuh Nyo Sin dan
merobek pakaian bagian iganya.
Tidak terlukiskan rasa kaget Tu Siau-thian menyaksikan
kejadian itu, Siang Huhoa sendiripun diam-diam bermandikan
peluh dingin. Sementara Nyo Sin sendiri sudah dibuat ketakutan
setengah mati, wajahnya berubah jadi pucat pias, sepasang
kakinya jadi lemas dan gemetaran, sewaktu Siang Huhoa
melepaskan cekalannya, nyaris dia jatuh berlutut ke tanah.
Buru-buru Tu Siau-thian memayangnya seraya menegur:
"Bagaimana keadaanmu komandan" Apakah terluka?"
Dengan pandangan terkesima Nyo Sin mengawasi bajunya
yang berlubang besar. Sampai lama kemudian dia baru bisa
menjawab: "Untung hanya pakaianku yang tersambar!"
Kemudian sambil berpaling dan memperhatikan Siang
Huhoa dari atas hingga ke bawah, dia pun menegur:
"Apakah saudara Siang tidak terluka?"
"Tidak!"
193 "Untung tidak sampai terluka" Nyo Sin segera
menghembuskan napas lega, "kalau tidak, kejadian ini pasti
akan membuat perasaan ku tambah sungkan"
Perlahan-lahan dia bangkit berdiri sorot matanya dialihkan
kembali ke permukaan lantai di depan pintu rahasia.
Tampak beberapa batang anak panah itu hampir semuanya
menancap diatas ubin, bukan hanya menancap bahkan
menembusnya hingga sangat dalam.
Dari kejadian ini bisa diketahui betapa tajamnya mata anak
panah itu dan betapa kuatnya tenaga bidikan yang dihasilkan,
bisa dibayangkan apa jadinya bila ke dua-tiga puluhan anak
panah itu serentak menghujam diatas tubuh"
Diam diam Nyo Sin bergidik sambil merinding, tanpa sadar
dia berpaling lagi ke arah Siang Huhoa sambil berseru:
"Saudara Siang, untung kau sempat menarikku........."
Sebetulnya dia ingin sekali mengucapkan sepatah dua
patah kata ucapan terima kasih, namun untuk sesaat dia pun
tidak tahu bagaimana harus mengemukakan perasaan hatinya
itu. Meskipun ungkapan kata terima kasih belum terlupakan
sama sekali dari otaknya, paling tidak sebagian besar
perbendaan katanya nyaris sudah dia lupakan.
Agaknya Siang Huhoa sama sekali tidak ambil perduli,
kembali dia mengalihkan pandangan matanya ke wajah Tu
Siau-thian. Tampaknya Tu Siau-thian mengerti yang dimaksud, dia
segera membungkukkan tubuhnya dan mencabut keluar
sebatang anak panah yang tertancap dilantai itu.
Ternyata tidak mudah untuk mencabut keluar, dia harus
mengerahkan tenaga penuh sebelum berhasil mencabutnya.
194 Begitu anak panah sudah tercabut, paras muka Tu Siauthian
kontan berubah hebat
"Kau mengira ubin apa yang terpasang dilantai?" tegur
Siang Hu-hoa sambil tertawa.
Tu Siau-thian menghela napas panjang.
"Justru karena aku tahu kalau ubin yang dipasang dilantai
ruangan ini adalah ubin hijau yang digosok dengan air, maka
aku baru merasa keheranan, kenapa panah panah tersebut
dapat menembusi lantai ini se dalam itu" katanya.
Sekali lagi sinar matanya dialihkan ke atas panah yang
berada dalam genggamannya.
Anak panah itu panjangnya tidak sampai satu depa, mata
panah tajam dan memancarkan sinar berkilauan, seluruh
tubuh panah berwarna hitam dan amat berat, jelas terbuat
dari baja asli.
Setelah diperhatikan lagi berapa kejap, dia baru meletakkan
kembali anak panah itu ke lantai, kemudian sambil bangkit
berdiri dan sekali lagi menghela napas, ujarnya:
"Sungguh tidak kusangka dia dapat menciptakan alat
jebakan sedemikian hebatnya"
"Tapi aku dapat menduganya"
"Tentu saja sebab kalian adalah sahabat lama, kau sudah
tahu sejak awal kalau dia adalah murid penutup dari Hiankicu"
"Itulah sebabnya aku pun mengetahui kebiasaan dari
Hiankicu" "Kebiasaan apa?"
"Ketika merancang alat jebakan jenis apa pun, dia pasti
akan sertakan alat pembunuh yang luar biasa hebatnya, bila
seseorang berani memasuki suatu tempat sebelum mematikan
195 alat jebakan itu maka sembilan puluh persen orang itu pasti
akan mati"
Tu Siau-thian segera manggut-manggut, dia memang tidak
perlu meragukan kebenaran dari ucapan tersebut.
Nyo Sin lebih percaya lagi, tadi, seandainya Siang Huhoa
tidak menariknya tepat waktu mungkin saat ini dia sudah mati
konyol, mati terhajar puluhan anak panah dari ruang rahasia.
Meski begitu dia bergumam juga dengan perasaan tidak
habis mengerti:
"Aneh benar, sebuah ruang perpustakaan yang begini
hebat kenapa mesti dilengkali dengan pelbagai alat jebakan
yang mematikan" Kalau bukan orang ini mempunyai tujuan
tertentu, pasti otaknya yang ada masalah"
"Sekalipun otaknya benar benar punya masalah,
masalahnya tidak akan berbeda dengan masalah setiap orang"
sambung Siang Huhoa sambil tertawa.
"Oya?"
"Bukankah siapa pun orangnya, dia pasti akan menyimpan
barang barang berharganya di suatu tempat yang paling
rahasia dan paling aman?"
Nyo Sin mengangguk.
"Itulah dia" ujar Siang Hu-hoa lagi, "dia hanya menciptakan
sebuah tempat yang rahasia dan sangat aman di dalam ruang
perpustakaannya untuk menyimpan semua barang barang
berharga miliknya"
"Mestika apa sih yang dia milik sehingga diperlukan tempat
seperti........"
Belum selesai dia berkata tiba-tiba dia menutup mulutnya
kembali. 196 Rupanya secara tiba-tiba dia teringat kembali dengan nama
gedung perpustakaan itu, Ki Po cay, perpustakaan penyimpan
mestika, apalagi pekerjaan resmi Jui Pakhay adalah seorang
pengusaha. Sementara dia masih termenung, terdengar Tu Siau-thian
telah bertanya kembali:
"Saudara Siang, apakah kau punya cara untuk mematikan
semua alat jebakan itu?"
"Akan kucoba untuk menemukan tombol rahasia itu........."
"Tidak usah dicari lagi" tukas Nyo Sin, "bukankah alat
jebakan itu sudah bekerja dengan melepaskan seluruh anak
panahnya" Aku rasa kita bisa masuk ke dalam sekarang
dengan perasaan aman"
Komentar boleh cepat, namun sepasang kakinya sama


Laron Pengisap Darah Karya Huang Yin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekali tidak bergerak, dia tetap berdiri ditempat semula.
Siang Hu-hoa mengerling sekejap ke arahnya, kemudian
menegur: "Jadi kau anggap hanya ada sebuah alat jebakan saja
disitu?" "Memangnya masih ada yang lain?"
"Aku rasa masih banyak sekali"
Tanpa sadar Nyo Sin mundur setengah langkah, kemudian
dengan pandangan berkilat ujarnya lagi:
"Alat jebakan itu pasti berada dibalik pintu rahasia, tapi
pintu mana yang benar-benar merupakan pintu masuk yang
sebenarnya" Atau mungkin pintu ke dua yang merupakan
pintu masuk sebenarnya?"
"Apakah kau yakin dibalik pintu rahasia ke dua itu tidak ada
alat jebakannya?" Siang Hu-hoa bertanya.
Nyo Sin tidak berani menjawab, dia segera terbungkam.
197 Siang Hu-hoa tidak banyak bicara lagi, tiba-tiba dia maju ke
depan, menyambar sebuah bangku lalu dilemparkan ke dalam
pintu rahasia itu kuat kuat.
"Weeess!" bangku itu segera melayang masuk melalui pintu
dan terjatuh ke balik ruang rahasia.
Ketika bangku itu menyentuh lantai, pintu itupun seketika
menutup kembali, seolah ada orang yang tiba-tiba mendorong
pintu itu kuat-kuat.
Dan pada itulah mereka semua melihat adanya kilatan
cahaya golok. Berpuluh puluh batang pisau terbang dengan dahsyatnya
menyembur keluar dari balik dinding ruang rahasia dan
menyambar ke tengah ruangan.
Dengan tertutupnya pintu rahasia itu, cahaya golok pun
turut lenyap dari pandangan mata, namun secara lamat lamat
semua orang dapat mendengar suara benturan logam dengan
lantai yang amat ramai dibalik ruang rahasia itu.
Pucat pias selembar wajah Nyo Sin setelah menyaksikan
kejadian ini. Air muka Tu Siau-thian pun nampak sangat jelek, serunya
tanpa sadar: "Waah.... sungguh mengerikan, tampaknya alat rahasia ini
jauh lebih hebat dan mematikan ketimbang alat jebakan yang
pertama tadi, begitu pintu tertutup sama artinya jalan mundur
terpotong, bila ada orang didalam ruangan itu niscaya dia
akan jadi bulan bulanan pisau terbang itu"
"Betul" Siang Huhoa mengangguk, "ruang rahasia itu paling
banter empat lima depa, biar membawa senjata tajam pun
rasanya tidak gampang untuk dipergunakan melindungi diri"
198 "Sekalipun membawa senjata, rasanya tidak gampang
untuk menghadapi serangan pisau terbang yang muncul dari
empat arah delapan penjuru"
Siang Huhoa kembali manggut manggut, sorot matanya
masih belum beralih dari pintu rahasia yang tertutup rapat itu.
Ukiran Mi lek Hud di depan pintu rahasia itu masih tetap
seperti sedia kala, mengulumkan senyumannya yang khas.
Sekarang Siang Huhoa baru dapat melihat jelas mimik
muka ukiran tersebut, rupanya Mi LekHud digambarkan
sedang tertawa lebar, tertawanya begitu lembut, begitu
gembira dan peluh welas asih.
Tampaknya Tu Siau-thian pun sedang memperhatikan
ukiran itu, tiba-tiba dia menggelengkan kepala seraya berseru:
"Tampaknya alat jebakan ini dia namakan
menyembunyikan golok dibalik senyuman!"
"Masih untung hanya sebuah ukiran kayu" sambung Siang
Huhoa, "coba kalau dia adalah orang sungguhan, biar kita
tidak masuk ke dalam pun tetap ada peluang kena dibokong
dengan pisau terbang"
Bila ada manusia mirip Mi Lek Hud, selalu tersenyum
kepada siapa pun, bila dia ingin menghadiahkan sebuah
tusukan, hal ini memang bisa dilakukan sangat mudah.
Alat jebakan itu mati, tapi manusia hidup.
Bila kau tidak menyentuhnya, alat jebakan pun tidak akan
mengejar dan berusaha membunuhmu.
Berbeda sekali dengan manusia, berada disaat apa pun,
berada dimana pun, dia tetap bisa membunuhmu.
Karena alat jebakan merupakan hasil rancangan dan karya
seorang manusia, maka benda inipun bisa membunuh.
199 Tu Siau-thian sangat memahami ucapan dari Siang Hu-hoa
itu, katanya sambil tertawa:
"Tepat sekali perkataanmu, manusia memang lebih sukar
diwaspadai ketimbang sebuah alat jebakan"
Kini Nyo Sin tidak bisa tertawa lagi, sesudah celingukan ke
sana ke mari dia baru menatap wajah Siang Hu-hoa seraya
menghela napas, katanya perlahan:
"Ke dua buah pintu rahasia itu sudah dilengkapi dengan
alat perangkap, lantas menurutmu pintu yang mana
merupakan pintu masuk yang sebenarnya?"
"Tentu saja pintu yang ini!" sambil berkata Siang Hu-hoa
menuding ke arah pintu rahasia dengan ukisan Kwan-im
bertangan seribu, "sekarang Mi-Lek-hud sudah terbongkar
kedoknya, pintu rahasia itupun sudah terkunci dari dalam,
otomatis kita hanya punya satu pilihan saja"
Nyo Sin tertawa getir.
"Kwan-im bertangan seribu ini mesti tidak
menyembunyikan pisau dibalik senyumannya, namun cukup
membuat orang berubah jadi seekor landak" keluhnya.
"Asal kita tidak mengganggu dan mengusiknya hingga
marah, dia pasti tidak akan merecoki kita lagi"
"Jadi kau punya akal untuk membuatnya tidak marah?"
"Sekarang mah belum ketemu"
Mendadak dia berjongkok lalu memeriksa sekali lagi ukiran
kayu Kwan-im bertangan seribu itu dengan lebih seksama.
Tanpa terasa Tu Siau-thian ikut mengalihkan perhatiannya
ke situ, begitu juga Nyo Sin, tapi setelah diawasi berapa saat
belum juga menemukan sesuatu yang aneh, tidak tahan
pembesar itu berteriak:
"Hey, apa yang sedang kau lakukan?"
200 "Mencari tombol yang mengendalikan alat perangkap ini"
jawab Siang Hu-hoa tanpa berpaling.
"Mungkin tombol pengendalinya berada didalam"
"Kalau tombolnya di dalam, dengan cara apa dia masuk ke
situ?" Merah jengah selembar wajah Nyo Sin, dia tidak bersuara
lagi. Terdengar Siang Huhoa berkata lebih jauh:
"Hiankicu adalah seorang ahli tehnik yang amat hebat,
sementara Jui Pakhay merupakan murid didikannya yang luar
biasa, sejak berapa tahun berselang dia sudah mampu
menyambung kunci sontekan didalam pintu dengan sebuah
tombol yang berada diluar pintu, asal kita memukul diatas
dinding yang berisi tombol rahasia itu maka getaran yang
ditimbulkan akan menggerakkan kunci dibalik dinding yang
akan bergerak menarik sontekan pintu ke samping, dengan
begitu pintu pun akan terbuka. Tapi bila kau ingin menutup
pintu itu dari luar maka kau mesti mendorong dengan
menggunakan tanganmu. Maka kalau kulihat permukaan
dinding yang licin, begitu juga dengan lantai yang licin, besar
dugaan tombol tersebut dia sembunyikan diatas pintu rahasia
itu sendiri"
Berbicara sampai disitu, tangannya mulai meraba ukiran
kayu Kwan-im bertangan seribu itu dari atas hingga ke bawah.
Ketika tangannya mulai bergeser, mendadak timbul satu
perasaan aneh dalam hatinya, perasaan seakan dia sedang
dipelototi seseorang.
Dia tidak tahu kenapa bisa muncul perasaan seperti itu,
tanpa terasa tangannya yang bergeser pun ikut berhenti.
Tapi dihadap annya tidak ada seorang manusia pun, yang
ada hanya sebuah ukiran kayu.
201 Ukiran kayu bergambar Kwan-im bertangan seribu.
Kwan-im bertangan seribu dikenal juga sebagai Kwan-im
bertangan seribu bermata seribu.
Menurut kitab suci Gavatamo, Kwan-im ini memiliki dua
puluh buah tangan dimasing masing tangannya, pada setiap
tangan terdapat sebuah mata hingga bila dijumlah maka
terdapat empat puluh tangan dengan empat puluh buah mata.
Dan sekarang, ukiran kayu bergambar Kwan-im bertangan
seribu pun memiliki empat puluh buah mata dan empat puluh
buah tangan, sama persis seperti apa yang tertera dalam kitab
suci itu. Bukan hanya bentuk bahkan cara duduknya pun persis
sama seperti apa yang dilukiskan dalam kitab suci, tiga puluh
delapan buah tangannya membentang dibelakang tubuhnya
membentuk lingkaran, sementara dua tangannya yang asli
menempel diatas lutut dengan membuat tekukan jari.
Sekarang sepasang tangan Siang Huhoa sedang menekan
tangan Kwan-im bertangan seribu yang diletakkan diatas lutut
itu. Dengan termangu-mangu dia awasi ukiran itu tanpa
berkedip, seolah ada sesuatu yang sedang dipikirkan.
Belum sempat Tu Siau-thian bertanya, sepasang tangan
Siang Hu-hoa sudah mulai bergerak dan menggeser ke
samping. Dia menggeser tangannya mulai dari jari tangan Kwan-im
bertangan seribu yang ditekuk diatas lutut itu menuju ke atas,
sementara sepasang matanya mengawasi biji mata Kwan-im
bertangan seribu itu tanpa berkedip.
Betul juga dugaannya, pupil mata Kwan-im bertangan
seribu itu ternyata ikut bergerak menyusul pergeseran jari
tangannya menuju ke atas, mata itu bergerak seakan sedang
menegurnya kenapa berani menyentuh tubuh sucinya.
202 Ternyata sepasang mata itu yang sedang mengawasi aku
terus menerus!" serunya kemudian sambil tertawa, sementara
jari tangannya mulai bergeser ke kiri kanan jari tangan Kwanim
itu. Rupanya jari tangan yang ditekuk diatas lutut itupun bukan
ukiran mati, tapi bisa digerakkan dengan leluasa.
Ketika dia menggeser ke kiri, kekanan maupun ke bawah,
tiada reaksi apa pun yang timbul, tapi ketika jari tangan itu
digeser keatas maka ......"Kraaak!" terdengar bunyi gemerutuk
yang lembut diikuti melompat keluarnya pupil mata dari ukiran
Kwan-im bertangan seribu itu ke depan.
Biji mata itu tidak melejit ke udara tapi hanya melompat
keluar sejauh setengah depa, ternyata di belakang ukiran biji
mata itu tersambung dengan sebatang kayu sepanjang
setengah depa. Siang Huhoa segera melepaskan ukiran jari tangan dilutut
itu lalu memegang sepasang biji mata yang melompat keluar
Ketika disentuh ternyata benda itu terasa dingin dan bukan
terbuat dari kayu, rupanya biji mata itu dibuat khusus dengan
baja. Siang Huhoa mulai menggerakkan biji mata itu, ketika
digeser dari kiri menuju ke kanan, dari balik pintu rahasia pun
bergema suara yang sangat aneh.
Suara itu mirip suara sekelompok tikus yang sedang
menggigit dan mencakar sesosok bangkai atau mayat.
Karena suasana waktu itu sangat hening, maka suara aneh
itu kedengaran jelas sekali.
Suasana yang semula sudah terasa menyeramkan kini
terasa makin mengerikan dan menggidikkan hati, jangan lagi
orang lain, Siang Huhoa sendiripun tidak kuasa untuk
merinding dan bersin berulang kali.
203 Tapi tidak lama kemudian sekulum senyuman telah
menghiasi ujung bibirnya, sambil bertepuk tangan dan bangkit
berdiri serunya:
"Sekarang kita sudah boleh masuk!"
"Sudah kau tutup semua alat jebakan yang ada didalam
ruang rahasia itu?" tanya Nyo Sin kuatir.
"Mungkin saja dia telah mempersiapkan alat jebakan lain di
dalam ruangan itu, tapi untuk memasuki pintu rahasia,
menurut pendapatku, semestinya memang tidak ada masalah
lagi" Biarpun sudah dikatakan kalau tidak ada masalah, Nyo Sin
tetap tidak berani beranjak dari tempatnya berdiri.
Tampaknya Siang Huhoa sendiripun tidak berani seratus
persen percaya dengan analisa sendiri, kembali dia mundur
beberapa langkah, menyambar lagi sebuah bangku kemudian
dilemparkan ke dalam pintu rahasia.
"Blaaaam!" bangku itu seketika hancur berantakan dibalik
ruang rahasia itu.
Bagaikan burung yang kaget melihat busur Nyo Sin
tergopoh gopoh melompat ke samping untuk menghindarkan
diri. Ternyata kali ini tiada reaksi apa pun yang muncul dari
balik pintu rahasia, suasana tetap tenang.
Melihat kenyataan tersebut, dengan perasaan tenang Siang
Hu-hoa baru melangkah kakinya memasuki pintu rahasia itu.
Jui Gi yang pertama kali menyusul di belakang lelaki itu.
Tu Siau-thian menyusul di belakangnya, namun baru dua
langkah, Nyo Sin sudah mendahuluinya dengan langkah cepat.
204 Meskipun berani melampui anak buahnya, ternyata
pembesar ini hanya mengintil terus di belakang Siang Huhoa
dan Jui Gi. Biarpun dia suka merebut pahala orang, bagaimana pun
termasuk juga seorang lelaki yang pintar.
Suasana dalam ruang rahasia itu gelap dan menyeramkan.
Baru satu langkah memasuki ruang rahasia tersebut, tibatiba
Siang Huhoa menghentikan kembali langkahnya.
Nyo Sin yang menyaksikan kejadian itu buru-buru
melompat ke samping untuk menghindar, dia mengira secara
tiba tiba Siang Hu-hoa telah menemukan sesuatu ancaman
mara bahaya. Tampaknya Tu Siau-thian pun berpendapat sama, tanpa
sadar dia berseru nyaring:
"Hati-hati!"
Siang Huhoa sama sekali tidak memperlihatkan rasa gugup


Laron Pengisap Darah Karya Huang Yin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

atau panik, malah sembari berpaling ujarnya:
"Saudara Tu, tolong ambilkan lampu minyak yang berada di
meja sebelah sana"
Ternyata dia berhenti karena tiba-tiba teringat untuk
membawa lampu. Tu Siau-thian segera menyahut dan membalikan badan
menuju ke arah meja.
Dia tidak mengucapkan sepatah kata pun, juga tidak
menunjukkan sikap apapun, terhadap seluruh peristiwa yang
baru terjadi dia seakan sudah melupakannya.
Siang Huhoa sendiripun berlagak seolah tidak pernah
terjadi apa-apa, dia tidak menegur Nyo Sin, pun tidak
berbicara apa apa, seolah dia sama sekali tidak tahu apa yang
telah dilakukan orang itu di belakang tubuhnya.
205 Tidak heran kalau Nyo Sin merasa rikuh bercampur jengah,
segera dia berjalan balik ke posisinya semula, kemudian baru
berkata: "Tadi, kukira kau temukan alat jebakan lagi"
Siang Huhoa hanya tersenyum tanpa menjawab, sementara
Tu Siau-thian dengan membawa lampu lentera telah berjalan
mauk lagi ke dalam ruang rahasia.
Dibawah sorot cahaya lampu, kini Siang Hu-hoa dapat
melihat sangat jelas suasana di sekelilingnya.
Ternyata ruang rahasia itu memiliki kedalaman empat-lima
depa dengan lebar lebih kurang dua kaki.
Ketika berbelok enam depa ke kiri, maka akan terlihat
sebuah dinding ruangan yang memisahkan ruang ini dengan
ruang di balik pintu rahasia dengan ukiran Mi lek Hud,
sebaliknya ujung dari belokan ke kanan adalah sebuah dinding
pula, tapi setengah kaki sebelum dinding itu terlihat
permukaan tanahnya menjorok turun ke bawah, disana
terlihat anak tangga yang menghubungkan ruang atas dengan
ruang bawah. Dari balik ruang bawah lamat-lamat terlihat ada cahaya
lampu yang memancar keluar.
Dinding disekeliling ruangan gelap karena dicat warna
hitam, diatas dinding hitam itu muncul lubang lubang kecil
yang banyak jumlahnya, dari balik lubang kecil itu terlihat
ujung anak panah yang menonjol keluar siap dibidikkan, ketika
tertimpa cahaya lampu, ujung senjata itu kelihatan
gemerlapan membiaskan cahaya tajam.
Untung tombol rahasia sudah dimatikan sebelum mereka
memasuki ruang rahasia itu, coba kalau tidak, bisa jadi hujan
panah akan berhamburan keluar melalui lubang lubang kecil
itu. 206 Padahal ruangan itu begitu sempit, tentu saja sulit bagi
mereka untuk menggerakkan badannya dengan leluasa, dalam
keadaan begini, biarpun kau memiliki kepandaian silat yang
hebat pun bukan pekerjaan yang gampang untuk menghadapi
datangnya ancaman dari empat penjuru.
Kecuali lubang lubang kecil berisi anak panah, disekeliling
dinding tidak tampak benda apa pun.
Ternyata ruang rahasia ini tidak lebih hanya sebuah lorong
penghubung. Begitu melangkah masuk ke dalam ruang rahasia dan
menyaksikan ujung panah yang gemerlapan dibalik lubang
dinding, Nyo Sin seketika merasakan sepasang kakinya mulai
lemas, buru buru bertanya lagi:
"Saudara Siang, apakah semua alat perangkap sudah
dimatikan?"
Waktu itu Siang Huhoa sudah berada didepan anak tangga
yang menuju ke ruang bawah tanah, tanpa berpaling
sahutnya: "Bukankah sampai saat ini aku baik-baik saja?"
Begitu selesai berkata, dia melanjutkan langkahnya
menuruni anak tangga.
Kini Nyo Sin baru merasa lega untuk melangkah masuk ke
dalam ruangan, agaknya baru sekarang dia merasa yakin
kalau semua alat jebakan benar-benar telah dimatikan.
Tu Siau-thian mengikuti di belakang Nyo Sin, perasaan
tidak sabar sudah muncul diwajahnya, namun dia masih
berusaha untuk menahan diri.
Memang sejak berapa tahun ini dia harus mulai belajar dan
mengerti apa arti dari sebuah kesabaran.
207 Justru karena dia memahami arti dari sebuah kesabaran,
maka sekarang dia baru bisa menjadi seorang opas yang
cekatan dan menonjol namanya.
Anak tangga yang menjorok ke bawah tanah itu tidak
terlalu panjang, paling banter hanya ada tiga puluhan
undakan. Ujung dari anak tangga berupa sebuah pintu batu, pintu itu
sudah berada dalam keadaan terbuka, dari balik ruangan
itulah munculnya cahaya lentera.
Mungkinkah buka tutupnya pintu batu ini dikendalikan dari
atas" Karena semua tombol alat jebakan telah dimatikan,
maka secara otomatis pintu batu itu terbuka dengan
sendirinya"
Siang Huhoa berhenti sebentar diluar pintu batu itu, tapi
kemudian dengan mengangkat tinggi lenteranya dia
melanjutkan langkahnya masuk ke dalam ruangan.
Cahaya lentera lembut bagaikan sinar rembulan.
Begitu masuk ke dalam pintu batu itu maka terlihatlah
sebuah ruang batu yang luas. Ukuran ruangan batu ini
sedemikian luasnya sehingga setara dengan ukuran ruang
perpustakaan yang berada diatasnya.
Interior didalam ruang batu itu amat indah, ke empat
dindingnya diberi kain tirai yang terbuat dari kain sutera halus,
sementara permukaan lantainya dilapisi permadani tebal
berwarna merah menyala, permadani dari Persia, sehingga
waktu berjalan diatasnya, sama sekali tidak kedengaran suara
langkah kaki kita.
Lampu penerangan diletakkan ditengah ruangan, delapan
buah lampu abadi yang diatur berbentuk formasi tujuh bintang
mengelilingi rembulan' berjajar rapi diatas sebuah rak
tembaga berbentuk lingkaran.
208 Rak tembaga itu digantungkan diatap ruangan dengan
memakai sebuah kawat baja yang besar dan kuat, seakan
tujuh buah bintang yang mengelilingi sebuah rembulan.
Sebab dari ke delapan buah lampu itu, hanya sebuah
dibagian tengah yang dibiarkan menyala
Dibawah gelang lampu itu terletak meja dan bangku,
sebuah meja dikelilingi tujuh buah bangku, benda benda
itupun diatur dalam formasi tujuh bintang mengelilingi
rembulan. Tentu saja meja kursi yang diletakkan disitu merupakan
meja kursi dengan kwalitas luar biasa sempurnanya.
Dibawah tirai sutera di ke empat dinding ruangan itu
terletak pula meja meja kecil, jumlahnya mencapai dua-tiga
puluhan, diatas meja meja itu lah diletakkan aneka ragam
intan permata, mutu manikam yang tidak ternilai harganya,
tiada satu benda pun yang sama dengan benda lainnya, tapi
hampir semua yang ada disitu merupakan mestika langka
yang luar biasa indah dan berharganya.
Intan permata sebesar telur ayam, mutu manikam yang
menyala bagai bara api.......membuat seluruh ruangan
bermandikan cahaya terang.
Seandainya ke delapan buah lampu disitu dinyalakan
semua, niscaya ruangan itu akan bertambah terang dan
menyilaukan mata.
Sekarang pun Nyo Sin, Tu Siau-thian serta Jui Gi sudah
dibuat silau dan terbelalak matanya setelah menyaksikan
gemerlapannya cahaya diruangan itu.
Untuk sesaat mereka bertiga berdiri terkesima dengan mata
melotot dan mulut melongo, sesaat mereka seolah hanya bisa
berdiri mematung tanpa mengetahui apa yang mesti
dilakukan, hanya Siang Huhoa seorang yang terkecuali.
209 Sambil memegang lampu dia masih menelusuri seluruh
ruangan, ditinjau dari mimik mukanya dia seakan sama sekali
tidak memandang sebelah mata pun terhadap semua intan
permata, mutu manikam dan benda berharga lainnya yang
ada disana. Selesai mengelilingi seluruh ruangan itu satu lingkaran, tiba
tiba dia menarik sebuah kursi ditengah ruangan dan duduk,
sementara lampunya diletakkan ditengah meja.
"Tuuukk.....!" suara lampu yang membentur permukaan
meja menimbulkan gema suara yang luar biasa nyaringnya
ditengah keheningan dalam ruang batu.
Seketika itu juga Nyo Sin, Tu Siau-thian dan Jui Gi tersadar
kembali dari lamunannya, sinar mata mereka serentak
dialihkan ke wajah Siang Huhoa dan menatapnya lekat-lekat.
Siang Huhoa tidak menanggapi pandangan semua orang,
kepada Jui Gi mendadak dia bertanya:
"Apa sebelumnya, kau pernah berkunjung kemari?"
Jui Gi menggeleng.
"Belum pernah" sahutnya, "baru kali ini aku tahu kalau
dibawah ruang perpustakaan ternyata terdapat sebuah ruang
rahasia macam ini, kalau tidak, meski aku tidak seberapa
mengerti soal peralatan rahasia itu, paling tidak tidak bakal
hanya berpeluk tangan belaka"
Siang Huhoa menatapnya sekejap kemudian manggutmanggut,
ujarnya lagi setelah termenung sejenak:
"Kalau sampai kau juga tidak tahu, berarti m
Pendekar Kembar 6 Cinta Bernoda Darah Serial Bu Kek Sian Su 3 Karya Kho Ping Hoo Jodoh Rajawali 5
^