Manusia Yang Bisa Menghilang 2

Manusia Yang Bisa Menghilang Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung Bagian 2


"Nanti kita bicarakan lagi setelah kumenangkan sekali," ujar Siau-hong.
Semula ia bermaksud melipat ujung uang kertas itu sebagai tanda pasang seribu tahil saja, akan tetapi pada saat terakhir, mendadak ia taruh uang kertas itu seluruhnya.
Kekalahan setan judi umumnya terletak pada ketidak sabaran, sering terdorong oleh nafsu dan kalahlah dia.
Si bandar memandangnya sekejap, lalu melemparkan dadunya ke dalam mangkuk, hasilnya adalah angka dua, namun dia tetap tenang saja.
Beberapa orang bergiliran melempar dadu, ada yang menang, ada yang kalah, lemparan Samon menghasilkan titik enam, dia menang, ia pandang Liok Siau-hong sekejap, katanya dengan tertawa, "Tampaknya engkau membawa kemujuran pula bagiku."
Tanpa tertawa saja sudah menarik perhatian Liok Siau-hong, apalagi sekarang tertawanya sedemikian manis, keruan Siau-hong hampir samaput. Mendadak ia pegang tangan Samon dan berkata, "Kubawakan rezeki bagimu, bolehlah kau pinjamkan sedikit bagiku?"
Samon ingin melepaskan tangannya, namun pegangan Siau-hong teramat erat, seketika ia menarik muka dan berkata, "Tanganku kan bukan dadu, untuk apa kau pegangi tanganku?"
Meski dia bicara dengan menarik muka, namun siapa pun tahu dia tidak benar-benar marah.
Perlahan Siau-hong melepaskan tangannya, lalu meraup dadu, semula mungkin dia cuma setengah yakin, namun sekarang dia yakin sepenuhnya. Segera ia berteriak, "Kayun!"
Kayun berarti tiga biji dadu mendapatkan angka seragam, ini berarti menang mutlak.
Padahal untuk mengalahkan angka dua tidak perlu angka kayun, cukup angka empat atau tiga. Namun sekarang Liok Siau-hong serupa anak kacil saja, asalkan ditonton oleh orang yang disukainya, tanpa sebab juga si anak akan main jumpalitan.
Perasaan Siau-hong sekarang tiada ubahnya saperti anak kecil, dia sengaja hendak memperlihatkan kemahirannya di depan si dia, sekaligus ia ingin melemparkan tiga dadu dengan angka yang sama.
Terdengar suara "trang-tring", dadu bergelindingan di dalam mangkuk, tangan Siau-hong juga sudah siap di bawah meja. Sekali ini umpama ada orang main gila juga dia mampu mengembalikan angka dadu pada titik yang dikehendakinya.
Dua biji dadu sudah berhenti, dengan sendirinya menunjukkan titik seragam, yaitu titik enam, dadu ketiga masih berputar di dalam mangkuk.
Si bandar melototi dadu itu dan menggerutu, "Keparat, dadu ini kesurupan setan!"
"Dimana setannya, marilah kita coba mencarinya," ucap Siau-hong tiba-tiba, sekali angkat, mendadak meja terangkat ke atas.
Kedua tangan si kumis yang tadi hendak berkawan dengan Liok Siau-hong itu semula menahan di atas meja, karena meja terangkat, terdengarlah suara "pluk", dua potong papan berbentuk telapak tangan lantas jatuh ke lantai, kedua tangan si kumis telah menerobos permukaan meja.
Mangkuk masih di atas meja, dan dadu juga masih berputar di dalam mangkuk.
Kebetulan angin meniup, kedua potong papan yang jatuh kelantai itu mendadak berubah menjadi bubuk seperti kapas, dalam sekejap saja lenyap tertiup angin.
Mestinya pandangan Liok Siau-hong lagi memperhatikan dadu yang berputar di dalam mangkuk, kini tanpa terasa ia pandang si kumis dua kejap, sungguh tak tersangka olehnya anak muda yang berdandan sebagai tukang foya-foya ini menguasai ilmu sakti "Hoa-kut-bian-ciang" yang sudah lama tak terlihat di dunia persilatan, ilmu pukulan lunak penghancur tulang.
"Bian-ciang" atau pukulan lunak adalah ilmu andalan Bu-tong-pay, tergolong kungfu dari aliran suci, tapi di atas Bian-ciang ditambah lagi "Hoa-kut" atau penghancur tulang, kungfu demikian menjadi berbeda sama sekali.
Ilmu pukulan ini jelas sangat keji dan menakutkan, bahkan sangat sukar dilatih, bilamana berhasil diyakinkan dengan sempurna, bila pukulan mengenai tubuh manusia, orang yang terpukul takkan merasakan sesuatu, namun dua jam kemudian tenaga pukulan itu akan bekerja, seluruh ruas tulang korban pukulan akan berubah menjadi lunak seperti kapas, biarpun malaikat dewata juga tak dapat lagi menolongnya.
bab 10 Kungfu maha ganas itu terkenal sebagai kungfu andalan Hoa-kut-sianjin, si dewa penghancur tulang, seorang tokoh pengganas yang dulu pernah mengobrak-abrik perguruan Sing-siok-hay di benua barat dan membinasakan maha guru Lamma Kuning di Tibet, sesudah itu tokoh lihai ini lantas tidak pernah muncul lagi, juga tidak pernah terdengar ada tokoh lain yang menguasai tenaga pukulan demikian. Tapi sekarang muncul si kumis yang lihai ini, entah apa hubungannya dengan Hoa-kut-sianjin dahulu itu"
Siau-hong tidak dapat memikirnya, juga tidak sempat untuk berpikir. Dilihatnya dadu terakhir itu masih berputar di dalam mangkuk, setiap kali bila mau berhenti, si kakek berambut putih yang duduk di samping Liok Siau-hong lantas menjentikkan jarinya dengan perlahan, lalu dadu itu berputar terlebih cepat lagi.
Rambut putih perak memenuhi kepala kakek itu, dandanannya rapi, tampaknya serupa seorang-tua terpelajar, sejak tadi ia duduk tertib di samping Siau-hong, di antara para penjudi itu hanya kakek ini saja yang tidak pernah memandang langsung ke arah Samon.
Biasanya Siau-hong enggan berkumpul dengan orang yang sok terpelajar begini, maka sejak tadi orang tidak diperhatikannya. Baru sekarang ketika dadu hampir berhenti berputar, mendadak terdengar suara "crit" yang lirih. angin tajam lantas menyambar lewat di sisi telinganya, ternyata timbul dari jari tengah si kakek.
Jari si kakek kelihatan kurus dan berkuku lebih satu inci panjangnya, agaknya pernah direndam dengan air obat sehingga kesepuluh kuku panjang itu melingkar, tapi bila jarinya menjentik, kuku yang melingkar itu lantas menjadi lurus dan mengeluarkan cahaya kemilau serupa pisau yang tajam.
Jangan-jangan inilah Ci-to atau pisau kuku yang pernah terkenal serupa tenaga jari sakti Hoa-san-pay masa lampau"
Ci-to juga kungfu yang sudah lama menghilang dari dunia persilatan, bahkan Liok Siau-hong juga tidak pernah melihatnya.
Tenaga jari Liok Siau-hong juga kungfu yang tiada bandingannya, mendadak dari jauh ia gunakan kedua jarinya menjepit biji dadu yang masih berputar itu, seketika dadu itu berhenti, titik dadu itu sedikitnya ada empat atau lima.
Siapa tahu pada detik dadu mau berhenti dan sebelum terlihat jelas berapa titik, sekonyong-konyong bibir si bandar bergerak dan menarik napas dalam-dalam sehingga biji dadu mendadak meloncat ke atas.
Segera jari si kakek rambut putih menjentik lagi, "pluk", dadu itu berubah menjadi bubuk dan jatuh kembali ke dalam mangkuk, kini tidak ada yang dapat melihat dadu itu menunjukkan berapa titik.
Sebagai penjudi, entah sudah berapa ribu kali Siau-hong berjudi, tapi kejadian demikian baru pertama kali ini dialaminya, sekali ini apakah dapat dibedakan kalah menang" Atau si bandar harus dianggap kalah" Siau-hong sendiri merasa bingung untuk mengambil keputusan.
Tiba-tiba Samon berpaling dan bertanya pada Siau-hong, "Dua titik enam ditambah sebuah titik satu, jadinya berapa titik?"
"Tetap satu," jawab Siau-hong.
"Sebab apa tetap satu?" tanya Samon pula.
"Sebab kalau dua dadu pertama bertitik sama, dadu terakhir yang diadu."
"Dan bagaimana bila dadu terakhir itu tidak berangka?"
"Tidak berangka berarti nol."
"Jika begitu, angka satu lebih besar atau angka nol lebih besar?"
"Dengan sendirinya satu lebih besar."
"Dan dua kan lebih besar daripada satu?"
Siau-hong menghela napas, "Ya, tentu saja dua lebih besar daripada satu, dengan sendirinya juga lebih besar daripada nol."
Padahal ketika Samon mulai bertanya, tentu ada berapa puluh cara lain yang dapat digunakan Siau-hong untuk menjawab.
Betapa cerdik, licin dan aneka macam akal Liok Siau-hong sungguh membikin pusing orang Kangouw manapun, akan tetapi di depan anak perempuan yang punya mata kucing ini, sama sekali akalnya tidak dapat digunakan. Sebab pada hakikatnya dia memang tidak mau menggunakan akalnya. Jika si dia menghendaki dia kalah, apa salahnya mengalah"
Hanya sejumlah selaksa tahil perak saja, mana dapat dibandingkan dengan tertawa manis si dia yang menggiurkan itu.
Benar juga, Samon lantas tertawa, katanya, "Jika angka dua titik lebih besar daripada enam, maka ludeslah selaksa tahil perakmu ini."
"Apa boleh buat, aku memang kalah," ujar Siau-hong sambil mengangkat bahu.
"Engkau tidak menyesal atas kekalahan ini?" tanya Samon.
"Jangankan cuma kalah selaksa tahil, biarpun delapan laksa atau sepuluh laksa tahil juga tidak menjadi soal bagiku."
Ucapan Siau-hong ini sebenarnya bukan omong kosong, tapi setelah bicara baru teringat olehnya bahwa padanya sekarang sesungguhnya satu peser pun tidak gableg.
Sungguh sayang, si bandar lelah menyapu bersih semua pertaruhan di atas meja, bahkan dengan ketus ia menyatakan, "Yang masih punya uang boleh bertaruh, yang tidak punya silakan angkat kaki."
Dan terpaksa Siau-hong harus angkat kaki.
Si kakek kecil itu seperti tidak memperhatikan keadaan di meja judi sini, ia asyik minum arak sendiri dengan riang gembira, serupa seorang yang menanti datangnya rezeki. Maklumlah, terbayang olehnya selaksa lima ributahil perak yang segera akan diterimanya dari Liok Siau-hong.
Dengan menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal, terpaksa Siau-hong mendekati orang dan coba menegur, "Apa yang lagi kau minum?"
"Tiok-yap-cing?"
"Kau pun suka minum Tiok-yap-cing?"
"Biasanya tidak suka, agaknya sekarang aku jadi ketularan dirimu."
"Baik, kuhormati engkau tiga cawan." "Wah, tambah tiga cawan lagi mungkin aku bisa mabuk." "Sekali mabuk lenyaplah seribu duka, manusia hidup bisa mabuk berapa kali" Mari minum!" segera Siau-hong mengangkat cawan.
"Engkau masih muda dan kuat, apa yang kau dukakan?" tanya si kakek.
"Meski yang kukalahkan adalah duit orang lain, tapi hati tetap merasa duka," ujar Siau-hong dengan menyengir.
Si kakek tertawa, "Itu bukan duit orang, tapi punyamu." Liok Siau-hong tercengang dan juga bergirang, "Apa betul punyaku?"
"Jika duit itu sudah kupinjamkan kepadamu, dengan sendirinya menjadi milikmu."
"Hah, tak tersangka engkau seorang yang murah hati," seru Siau-hong dengan gembira.
"Murah hati sedikit kan pantas, cuma ...." si kakek sengaja memperlambat kata-katanya, "meski duit sudah menjadi punyamu, tapi dirimu telah menjadi punyaku."
"Hah, mana boleh jadi," teriak Siau-hong. "Aku she Liok, kau she Go, kau bukan anakku, aku pun bukan bapakmu, mana boleh kau akui diriku sebagai punyamu."
"Sebab engkau tidak mampu membayar kembali selaksa lima ribu tahil perak, terpaksa harus kuterima dirimu sebagai pembayaran. Lelaki sejati, sekali bicara harus menepati janji. Demi nama baikmu, aku ingin menolak pun tidak boleh."
Siau-hong jadi melenggong, "Ai, orang semacam diriku, pemabukan yang suka foya-foya, gemar makan enak, doyan berjudi, bilamana memakai uang serupa orang menghamburkan pasir saja. Jika aku menjadi milikmu, engkau harus memiara diriku."
"Aku mampu memiaramu," sahut si kakek. "Tapi aku tidak mengerti untuk apa kau terima orang brengsek macam diriku ini!" tanya Siau-hong dengan gegetun.
"Sebab uangku terlalu banyak, aku memang lagi mencari seorang untuk ikut menghamburkan uangku agar aku tidak tersiksa sendirian."
"Kau anggap menghamburkan uang sebagai perbuatan tersiksa?" tanya Siau-hong.
"Mengapa tidak?" kata si kakek dengan sungguh-sungguh. "Umpama minum arak terlalu banyak, esoknya kepala akan sakit seperti mau pecah dan mungkin terus jatuh sakit. Bila berjudi kelewat takaran bukan cuma urat saraf menjadi tegang dan pikiran tidak tenang, pada waktu lagi sebal, bisa jadi akan mati saking dongkolnya. Kalau terlampau besar menggumbar nafsu dan setiap hari mencari perempuan melulu, tentu...."
Ia menghela napas, lalu menyambung, "Pendek kata, segala perbuatan yang membuang uang dan merugikan kesehatan bagi orang lanjut usia seperti diriku, sebaiknya jangan pula disinggung-singgung."
"Selain menghamburkan uang, hendak kau suruh aku berbuat apa lagi?" tanya Siau-hong.
"Usiamu masih muda, badanmu sehat dan kuat, kungfumu juga lumayan, urusan yang ingin kuminta kau kerjakan entah berapa banyak."
Pada waktu mengucapkan "kungfumu juga lumayan", nadanya seperti menampilkan rasa menghina, hal ini dapat dirasakan oleh Siau-hong.
Padahal nama Liok Siau-hong sudah termashur selagi masih muda begini, selama itu malang melintang di dunia Kangouw, meski tidak dapat dikatakan tiada tandingannya di kolong langit ini, tapi orang yang dapat mengalahkan dia selama ini belum pernah dilihatnya. Serupa halnya main dadu, dia juga tidak pernah kalah, jika ada orang mencela permainannya, betapapun dia tidak terima.
Akan tetapi sekarang dua kali dia melempar dadu, dua kali juga dia kalah. Jika dikatakan hal ini disebabkan orang lain ada main secara sembunyi-sembunyi, dan Siau-hong sendiri juga ada main secara diam-diam!
Hoa-kut-sin-ciang si kumis dan Ci-to si kakek berambut putih, semuanya adalah kungfu yang jarang terlihat di dunia Kangouw, terakhir adalah tenaga isapan mulut si bandar, sekaligus sebiji dadu dapat disedotnya sehingga meloncat ke atas dari tempat beberapa kaki jauhnya, sedangkan dua biji dadu yang lain sama sekali tidak bergerak, sungguh tenaga dalamnya ini lebih-lebih sukar dibayangkan.
Nyata, di pulau yang kelihatan indah permai seperti surga dunia ini ternyata penuh terisi "harimau dan naga".
Belum lagi si kakek kecil yang kelihatan ramah tamah itu, tampaknya polos dan lugu, padahal setiap isi hati orang lain sekali pandang saja lantas dapat diketahui olehnya. Inilah seorang yang maha cerdik dan pintar, orang yang kelihatan bodoh tapi sebenarnya jenius.
Bisa jadi permainan dadu ini adalah perangkap yang sengaja diaturnya, sekarang Liok Siau-hong sudah kejeblos, entah urusan aneh apa yang hendak disuruhnya kepada Liok Siau-hong untuk melaksanakanya.
Siau-hong yakin, urusan apapun yang diminta pasti bukan pekerjaan yang baik.
Makin dipikir makin tidak enak hati Liok Siau-hong, diam-diam timbul rasa menyesalnya, ia merasa dirinya seharusnya jangan datang ke sini.
"Dalam hatimu sekarang tentu lagi menyesal datang ke sini, bukan?" kata si kakek dengan tertawa. "Sayangnya, engkau justru tidak tahu permainan apa yang sedang kami lakukan sehingga menimbulkan rasa ingin tahumu dan merasa berat untuk tinggal pergi."
Sekaligus dia bongkar isi hati Siau-hong dengan tepat.
Segera Siau-hong tertawa dan berseru, "Haha, salah besar!"
"Salah apa?" tanya si kakek.
"Tebakanmu sama sekali salah," sahut Siau-hong, sekali tenggak ia habiskan satu cawan arak, lalu mencomot sepotong daging dan dimakan dengan lahapnya, lalu berkata pula dengan tertawa, "Di sini ada arak dan hidangan enak, terdapat pula gadis secantik bidadari, tersedia juga uang yang tanpa takaran untuk kugunakan berfoya-foya. Kenapa aku harus menyesal, kenapa aku tidak gembira dan kurang puas?"
"Sebab di dalam hatimu masih sangsi, tidak tahu sesungguhnya apa yang hendak kusuruh engkau melakukannya," ujar si kakek dengan tersenyum.
"Haha, orang semacam diriku ini masakah ada suatu urusan yaag tidak dapat kulaksanakan?" seru Siau-hong dengan bergelak. "Biarpun kau suruh kubunuh orang juga akan kulakukan, sekali tabas satu orang, bahkan takkan kupeduli akan dikubur atau tidak."
"Betul?" si kakek menegas.
"Tentu saja betul," jawab Siau-hong.
Si kakek kecil memandangnya lekat-lekat, tiba-tiba sorot matanya menampilkan semacam perasaan aneh, ia tersenyum dan berucap, "Baik, asalkan kau ingat apa yang kau katakan ini, kujamin selama hidupmu akan aman sentosa dan riang gembira."
Meski sambil tertawa, tapi nadanya sungguh-sungguh, seperti benar-benar hendak menyuruh Liok Siau-hong membunuh orang baginya.
Padahal di tempat ini penuh tersembunyi "harimau dan naga", banyak tokoh kelas tinggi. Hoa-kut-ciang dan Ci-to juga kungfu maha keji yang tidak ada bandingannya, membunuh orang dengan kungfu semacam ini kan jauh lebih baik daripada cara lain, kenapa mesti mencari orang lain lagi dengan susah payah"
Akhirnya terbuka juga pikiran Liok Siau-hong, ia tidak mau lagi memusingkan apa yang belum terjadi.
Sudah tiga macam santapan telah dicicipinya, satu porsi daging sapi pindang yang dipotong dengan sangat tipis, satu mangkuk sup kaki sapi yang sangat empuk, satu porsi lagi daging sapi, empal goreng, siapa tahu ketika ia mencomot lagi hidangan keempat, masakan ini tetap terdiri dari daging sapi bahkan masakan daging yang rada pedas.
Masih ada hidangan lain lagi, bakso, jerohan, sup buntut campur "torpedo", otak goreng telur, semuanya hidangan lezat. Cuma seluruhnya berbau sapi, betapa enaknya tentu juga membosankan.
"Sapi di sini apakah sama banyaknya serupa uangmu?" tanya Siau-hong.
"Hidangan hari ini memang serba daging sapi, sebab putriku memang sangat suka makan daging sapi," tutur si kakek.
Akhirnya Siau-hong teringat, kiranya hidangan hari ini adalah makanan yang pernah dirasakan oleh putri kesayangan si kakek pada waktu pertama kalinya anak perempuan itu bisa makan nasi sendiri.
Padahal waktu itu si anak perempuan paling-paling baru berumur tiga atau katakanlah lima tahun, masakah sudah perlu menyediakan hidangan daging sapi semeja penuh seperti sekarang ini"
Diam-diam Siau-hong menggeleng kepala, ia pikir anak perempuan si kakek agaknya juga makhluk aneh.
"Sebenarnya dia juga tiada sesuatu keanehan pada hal lain," ucap si kakek, "hanya dalam soal makanan saja, bila tidak makan daging sapi, dia menjadi tidak gembira. Sudah belasan tahun dia makan daging sapi dan tidak merasa bosan, untuk ini, akan salah besar jika ada orang menganggap dia sebagai makhluk aneh."
Siau-hong melototi dia dan bertanya, "Segala apa yang kupikir pasti kau ketahui?"
Si kakek kecil tertawa, "Kepandaian melihat air muka untuk meraba isi hati begini memang harus kubanggakan."
Biji mata Siau-hong berputar, mendadak ia bertanya, "Dan apakah kau tahu apa yang kupikirkan saat ini?"
"Mestinya ingin kau pikirkan hal-hal yang aneh untuk mempersulit terkaanku, tapi engkau justru tidak tahan dan ingin sekali melihat betapa bentuknya putriku yang gemar makan daging sapi itu."
"Hahaha, salah, salah besar!" seru Liok Siau-hong dengan tergelak. "Putrimu kan tidak akan dikawinkan padaku, untuk apa kulihat dia?"
Meski di mulut dia bilang salah, tapi di dalam hati mau tak mau dia merasa kagum pada ketajaman indera keenam si kakek. Ia coba bertanya pula, "Hari ini dia yang menjadi peran utama, mengapa dia malah tidak kelihatan bayangannya?"
"Dia siapa yang kau maksud?" tanya si kakek.
"Dia itulah putrimu," kata Siau-hong.
"Jika sama sekali engkau tidak mau melihat dia, untuk apa pula kau tanya dia?"
Seketika Siau-hong bungkam.
Kiranya pada lahirnya saja kakek kecil ini kelihatan ramah dan lugu, yang benar dia seorang maha licin dan licik, jauh lebih licin daripada si rase tua.
"Sayang, seumpama benar engkau tidak mau melihat dia, cepat atau lambat engkau toh akan melihat dia juga," kata si kakek pula.
"Masa tidak boleh bila aku tidak mau melihat dia?"
"Tidak boleh."
"Sebab apa?"
"Sebab begitu engkau menoleh, sekarang juga akan kau lihat dia."
Dan begitu Siau-hong menoleh, segera yang terlihat ialah si genit kuah daging.
Dengan sendirinya pada nona genit ini sekarang tidak lagi berbau kuah daging. Kalau Liok Siau-hong bukan orang yang pernah melihat dia, maka dia akan melihat jauh lebih cermat daripada orang lain, sekarang pasti juga takkan mengenali dia lagi sebagai si genit yang mau dikasihani, selalu dihina orang, bahkan ditempeleng orang juga pernah.
Sekarang dia telah berubah bentuk sama sekali, dari seorang budak kecil, seorang genduk atau babu, sekarang berubah menjadi seorang Kiongcu atau Tuan Puteri. Bahkan puterinya Tuan Puteri, siapa pun yang melihat dia pasti akan tunduk benar-benar, merasa bahagia bilamana dapat menjadi babu sang Tuan Puteri.
Manusia memang bisa berubah. Di antara sekian banyak kenalan Liok Siau-hong, sudah banyak yang berubah. Ada yang dari miskin berubah menjadi kaya, ada yang dari gentlemen berubah menjadi manusia rendah, ada ksatria berubah menjadi pengecut, sebaliknya juga ada yang dari kaya berubah menjadi rudin, orang rendah menjadi orang besar, dari pengecut berubah menjadi ksatria. Tapi tidak ada seorang pun yang berubah sebanyak dan secepat seperti si genit ini.
Sungguh dia seperti habis berganti kulit, seperti ular yang melepas kulit lamanya saja.
Apabila bukan lantaran Liok Siau-hong sudah pernah melihatnya sedemikian cermat dan jelas, bahkan bagian yang tidak dapat dilihat orang lain pun pernah dilihatnya, sungguh ia pasti takkan percaya bahwa sang Tuan Puteri adalah si genit kuah daging yang pernah telanjang bulat di hadapannya itu.
Si genit sekarang lagi memandangnya dengan dingin serupa sama sekali tidak pernah melihatnya.
"Kau kenal dia?" tanya si kakek kepada Liok Siau-hong.
"Semula kukira aku kenal dia," kata Siau-hong.
"Dan sekarang?"
"Sekarang tampaknya dia tidak kenal diriku dan aku pun tidak kenal dia."
Si genit tidak membenarkan juga tidak menyangkal, kata-kata Siau-hong itu seperti didengarnya, tapi juga seperti sama sekali tidak didengarnya.
Si kakek pun tidak menghiraukan Siau-hong lagi, ia mendekati si genit dan memegang tangannya, ucapnya dengan penuh kasih sayang, "Kan sudah kukatakan, pergilah tidur agak dini, kenapa kau malah mengeluyur keluar lagi?"
"Kudengar dari pelayan, katanya tadi ada orang pulang dari luar, entah adakah kabar beritanya Kiuko (kakak kesembilan)?" kata si genit.
Si kakek berkedip-kedip, ucapnya, "Coba kau terka?"
Seketika mencorong sinar mata si genit, "Kutahu pasti ada, tidak nanti Kiuko melupakan diriku."
"Ya, sebenarnya hendak kuberitahukan padamu esok pagi," tutur si kakek dengan tertawa. "Lokiu memang mengirim kabar, malahan dia menyuruh seorang anak buahnya yang baru dan bernama Bok It-poan membawakan hadiah bagimu."
Si genit tertawa senang, sinar matanya tambah terang, seketika seperti berubah lagi jadi seorang lain, serunya. "Hai, dimanakah Bok It-poan itu" Lekas suruh dia kemari dan bawa sekalian hadiah dari Kiuko."
Si kakek tersenyum dan memberi tanda dengan jentikan jari, segera muncul 16 budak telanjang dada dan kepala gundul dari jembatan lekuk sembilan sana dengan menggotong delapan buah peti besar.
Masih ada seorang yang berjalan di depan ke-16 budak gundul itu, seorang cacat, tangan tinggal satu, kaki juga buntung sebelah, dia memakai tongkat penyanggah badan.
Kakinya yang buntung sebelah kanan itu sebatas pangkal paha, tangannya yang putus juga tertabas mulai dari pangkal bahu. Mukanya ada bekas luka panjang dimulai dari ujung mata kanan terus menyilang ke bawah, sebaliknya mata kiri sudah buta, bahkan hidungnya juga terpapas sebagian, begitu juga daun telinganya.
Asal orang ini entah bermuka buruk atau cakap, yang jelas sekarang kelihatan sangat buruk dan menyeramkan.
Melihat orang buruk macam ini, si kuah daging seperti sangat senang, dengan tertawa ia menegur, "Pernah kudengar dari Kiuko, tentu kau inilah Bok It-poan (si kayu setengah, bok = kayu)."
Segera Bok It-poan menekuk kaki kiri dan memberi hormat sembari berkata, "Hamba Bok It-poan menyampaikan sembah hormat kepada Kiongcu."
Dia tidak menyembah, tapi si kuah daging lantas memegangnya dengan ramah, jauh lebih halus perlakuannya terhadap makhluk buruk dan cacat ini daripada sikapnya terhadap Liok Siau-hong.
Menyaksikan itu dari jauh, sungguh tidak enak perasaan Liok Siau-hong, tertampak tangan si nona yang putih bersih dan halus, sama sekali berbeda daripada tangan babu yang kotor tempo hari, bila terbayang apa yang terjadi di kamar mandi sarang rase tua dulu, tanpa terasa hati Liok Siau-hong tergelitik pula.
Dalam pada itu Bok It-poan sedang memberi komando kepada para kuli gundul agar membuka peti yang dibawanya itu. Lima peti pertama yang dibuka ternyata penuh berisi emas intan, mutu manikam dengan cahayanya yang gemerlapan menyilaukan mata, ada lagi kain sutera kualitas paling tinggi dan pupur yang mahal.
Semua barang ini pasti disukai oleh orang perempuan, setiap anak perempuan yang melihatnya bisa jadi akan berjingkrak kegirangan.
Akan tetapi si kuah daging ternyata tidak tertarik, memeriksanya pun tidak, sebaliknya mulutnya malah menjengkit dan mengomel, "Ai, Kiuko kan tahu, aku tidak menginginkan barang-barang begini, untuk apa jauh-jauh menyuruh kau mengantar kemari?"
"Silakan Kiongcu memeriksa lagi isi ketiga peti yang lain," ujar Bok It-poan dengan tertawa.
Tertawanya kelihatan misterius, sampai Liok Siau-hong juga tertarik dan ingin tahu, betapapun sukar dibayangkan ada barang apa di dunia ini yang bisa lebih menyenangkan hati anak perempuan daripada ratna mutu menikam.
Ketika ketiga peti itu terbuka, hampir saja Siau-hong berteriak kaget. Isi ketiga peti itu ternyata manusia, manusia hidup. Setiap peti berisi satu orang, dua di antara ketiga orang itu dikenal oleh Liok Siau-hong.
Orang pertama berambut ubanan, wajahnya kereng berwibawa, meski sekian lama tersekap di dalam peti, begitu berdiri tetap menegak lurus, dia adalah Tiat-ciang-kim-to Suto Kang, si telapak tangan besi bergolok emas, pemimpin besar perusahaan ekspedisi Kun-eng-piaukiok.
Tenaga pukulan Suto Kang sudah terlatih sempurna, ilmu golok emasnya yang tebal juga sangat lihai, selama ini jarang ada tandingannya di dunia Kangouw, entah mengapa ia bisa dimasukkan ke dalam peti oleh orang.
Orang kedua bertubuh tinggi kurus, kedua pelipisnya menonjol, jelas juga seorang tokoh yang lihai baik tenaga luar maupun dalam. Orang ini tidak dikenal Liok Siau-hong.
Yang paling membuat terkejut Liok Siau-hong adalah orang ketiga. Kaki orang ini cuma memakai sepatu rumput yang setengah telanjang, berjubah kasa rombeng dan dekil, mukanya yang bulat selalu mengulum senyum, jelas dia inilah satu di antara keempat paderi besar dengan nomor urutan ketiga, Lau-sit Hwesio adanya.
Siapa pun tidak tahu sesungguhnya Hwesio ini lau-sit (jujur, alim) benar atau lau-sit palsu. Tapi setiap orang tahu, betapa tinggi ilmu silatnya memang bukan omong kosong. Meski ia senantiasa tertawa dan tidak pernah marah, tapi kalau ada penjahat yang merecoki dia, seringkali terjadi jiwa seterunya itu melayang di tengah malam buta tanpa ketahuan apa yang terjadi. Sebab itulah akhir-akhir ini semakin sedikit orang yang berani mencari perkara kepada Hwesio ini, sampai Liok Siau-hong juga kepala pusing bila kepergok dia.
Setengah tahun terakhir ini jejak Lau-sit Hwesio mendadak lenyap, tidak ada yang tahu kemana perginya, siapa sangka sekarang bisa muncul mendadak dari dalam peti ini. Maka dapat dibayangkan betapa lihai orang yang mampu membekuk dan memasukkan Lau-sit Hwesio ke dalam peti itu. Kalau saja Liok Siau-hong tidak melihat sendiri, betapapun ia tidak percaya.
bab 11 Lau-sit Hwesio seperti tidak melihat kehadiran Liok Siau-hong di situ, ia merangkap kedua tangan di depan dada dan memandang si kuah daging dengan tertawa. Melihat ketiga orang ini, benar juga si kuah daging tampak sangat senang, ia pun tertawa dan berkata, "Aha, peristiwa aneh setiap tahun selalu ada, tapi tahun ini terlebih banyak. Mengapa dari dalam peti bisa mendadak muncul seorang Hwesio?"
"Nona cilik direcoki orang, Hwesio gede terpaksa masuk peti. Omitohud! Siancai, Siancai!" ucap Lau-sit Hwesio.
Segera Bok It-poan menambahkan, "Kiu-siauya tahu ketiga orang ini pernah bersalah kepada Kiongcu, maka hamba disuruh lekas mengantarnya kemari agar Kiongcu dapat memberi hukuman setimpal kepada mereka."
Berulang-ulang ia menyebut Kiongcu atau Tuan Puteri, dan si kuah daging juga menerimanya dengan wajar serupa Tuan Puteri benar-benar.
Terdengar Bok It-poan berkata pula, "Dan entah dengan cara bagaimana Kiongcu akan menghukum mereka?"
Si kuah daging berkedip-kedip, katanya kemudian, "Wan, seketika tak teringat olehku, coba, boleh kau usulkan bagiku."
"Untuk ini perlu hamba tahu apakah Kiongcu ingin memberi hukuman berat atau hukuman ringan?"
"Kalau hukuman ringan bagaimana caranya?" kata si kuah daging dengan mengikik tawa.
"Boleh lepaskan celana mereka dan pukul pantat mereka barang sekian puluh kali," kata Bok It-poan.
"Dan kalau hukuman berat?"
"Potong kepala mereka, dibikin dendeng dan dihadiahkan kepada hamba untuk lauk minum arak."
"Aha, usul bagus, usul sangat bagus, pantas Kiuko sayang padamu," seru si kuah daging sambil berkeplok.
Usui Bok It-poan itu memang sangat keji. Mendingan kalau kepala akan dipotong dan akan dijadikan dendeng untuk lauk minum arak, jika buka celana dan dirangket, jelas membuat orang tidak enak.
Si kurus yang berbaju hitam tampak pucat, sebaliknya Lau-sit Hwesio tetap tertawa saja seperti tidak menghiraukan apa yang bakal terjadi.
Watak Suto Kang sangat keras dan berangasan, kontan la berteriak, "Setelah kami jatuh dalam cengkeramanmu, mau bunuh atau sembelih boleh silakan, tidak nanti aku gentar. Tapi Jika sengaja hendak kau hina diriku, mati pun takkan kuampuni kau."
Biasanya Suto Kang malang melintang di dunia Kangouw dan tidak gampang mengaku kalah, tapi ucapan "mati pun takkan kuampuni kau", jelas menunjukkan dia mengaku bukan tandingan si kuah daging dan rela menerima nasib.
Si genit lantas berkata dengan tersenyum, "Waktu hidup saja tak bisa kau lawan diriku, setelah mati kau bilang takkan mengampuni aku, memangnya sesudah jadi setan akan kau cekik leherku?"
Suto Kang mengertak gigi dan mandi keringat, mendadak ia meraung murka. Sebelah tangannya terus menghantam kepala sendiri.
Kelima jari Suto Kang hampir sama panjangnya, kukunya juga hampir copot semua, telapak tangannya bersemu hitam, jelas ilmu pukulan telapak tangan besinya sudah terlatih cukup sempurna, pukulannya ini meski mengarah kepala sendiri, sekali kena pasti juga akan membuatnya binasa.
Siapa tahu si kuah daging lantas melayang maju, jarinya yang lentik mengebas perlahan bagai tangkai bunga bergoyang, seketika lengan Suto Kang terkulai ke bawah dan tidak dapat bergerak lagi.
"Kungfu bagus!" seru Bok It-poan.
"Ah, ini kan cuma gerakan yang paling sederhana dari Ji-ih-lan-hoa-jiu (kebasan bebas tangkai anggrek), masa kau bilang kungfu bagus segala?" ujar si kuah daging dengan tak acuh.
Meski dia meremehkan kungfu sendiri, namun Liok Siau-hong lantas terkejut, meski nama Ji-ih-lan-hoa-jiu itu kedengarannya sangat indah, namun termasuk salah satu kungfu yang paling menakutkan di dunia persilatan, dapat membuat urat orang putus dan tulang keseleo tanpa diketahui orang yang bersangkutan.
Sekarang Suto Kang tampaknya tidak terluka apa-apa, padahal sebelah lengannya sudah cacat selamanya, satu jam lagi lukanya akan kambuh dan tak terperikan sakitnya, kecuali lengan ditabas sebatas pangkal bahu, rasanya tidak ada cara pertolongan yang lain.
Muka Suto Kang menjadi pucat seperti mayat, serunya gemetar, "Masa ... masa aku ingin mati pun tidak kau luluskan?"
Meski dia berseru dengan suara keras, tidak urung terputus dan gemetar, semua ini menandakan betapa rasa takut hatinya.
Si kuah daging menghela napas, "Mati enak tidak lebih baik daripada hidup susah, kenapa kau pilih mati saja" Biarpun kau sadar akan kesalahanmu dan harus dihukum mati, kan dapat kau cari seorang untuk menggantikan kematianmu."
Suto Kang melengak, segera ia bertanya, "Cara bagaimana mencari pengganti?"
"Boleh kau pilih salah seorang yang berada di sini, asalkan dapat kau kalahkan dia sejurus saja, maka dapat kujadikan dia sebagai pengganti kematianmu," tutur si kuah daging.
"Tapi kukira tiada seorang pun yang hadir di sini berani ditunjuk olehnya," kata Bok It-poan.
"Jika tidak ada seorang, setengah orang saja bagaimana?" ujar si kuah daging dengan tertawa.
Bok It-poan menghela napas panjang, "Ai, dicari ke sana kemari, paling-paling yang dapat dicarinya memang cuma diriku yang tinggal setengah ini."
"Betul, memang hendak kucari dirimu," bentak Suto Kang mendadak, berbareng telapak tangannya lantas menghantam.
Nama perusahaan Kun-eng-piukiok termashur, gaji pemimpin umumnya sangat besar, hampir setaraf dengan gaji menteri.
Isterinya cantik dan bijaksana, pada malam sebelum berangkat telah berkasih mesra dengan dia serupa pengantin baru.
Putra-putrinya juga pintar dan berbakti, putri sulungnya sudah hampir menikah dengan cucu bupati. Asalkan dapat hidup, tentu saja Suto Kang tidak mau mati.
Meski sekarang lengan kanan sudah cacat dan tidak dapat bergerak, untung yang dilatihnya adalah dua tangan, maka pukulan tangan kiri ini tetap sangat dahsyat dan sukar ditangkis.
Lawannya adalah Bok It-poan yang cacat total, semua serba sisa setengah, namun gerakannya ternyata juga tidak kurang cepatnya, mendadak tubuhnya mendoyong ke samping, jurus serangan yang digunakan adalah ilmu pedang asli Hay-lam-pay.
Ilmu pedang Hay-lam-pay mengutamakan serangan dari samping, sekarang Bok It-poan tinggal setengah orang, kebetulan inti-sari ilmu pedang Hay-lam-pay dapat dilancarkan dengan mantap, segera terdengar suara "crat-crat" tiga kali, berbareng Suto Kang pun menjerit, tongkat panjang empat kaki itu tahu-tahu menembus ke punggungnya, darah segar lantas memancur.
"Haha, ilmu padang hebat!" seru si kuah daging sambil berkeplok.
"Ini cuma tiga jurus yang paling sederhana dari Thian-can-cap-sah-sik, mana dapat dianggap sebagai ilmu pedang hebat?" kata Bok It-poan. Dia sengaja menirukan nada ucapan si kuah daging tadi, seperti ilmu pedangnya itu tidak ada sesuatu yang istimewa.
Tapi Liok Siau-hong lantas terkejut lagi.
Thian-can-cap-sah-sik atau 13 jurus si cacat adalah ilmu pedang andalan Hay-lam-pay, cuma sayang, sejak beberapa puluh tahun yang lalu ilmu pedang ini sudah lenyap dari peredaran, sampai pejabat ketua Hay-lam-pay sekarang juga cuma menguasai dua jurus saja di antaranya. Tapi sekarang setengah manusia ini sekaligus melancarkan tiga jurus dan membinasakan Suto Kang.
Lantas tokoh macam apa dan darimanakah si manusia setengah ini"
Dengan ilmu pedang setinggi ini mengapa dia mau menjadi budak orang" Menjadi antek orang yang disebutnya Kiu-siauya itu"
Si kurus berbaju hitam itu jelas juga mengenali ilmu pedangnya, ia memandang manusia ini dengan terkejut penuh rasa takut.
"Hehe, Lo-cecu yang terkenal dengan jurus Hui-yan-gi-lay pernah malang melintang di dunia serta menimbulkan korban tak terhitung jumlahnya, hal inipun sudah lama kukagumi, entah sekarang apakah Lo-cecu juga penujui diriku?" demikian Bok It-poan berkata pula dengan tertawa.
Si kurus berbaju hitam itu ternyata Hui-yan-cu Lo Hui, si walet hitam, salah seorang gembong ke-12 pangkalan pelabuhan di lembah Tiangkang, orang ini terkenal Ginkangnya yang hebat, jurus andalannya "Hui-yan-gi-lay" atau walet terbang pergi datang, terhitung jurus maut yang jarang ada bandingannya.
Dia memandangi Bok It-poan, kakinya terus menyurut mundur, mendadak ia berputar terus melayang ke sana, menubruk seorang yang berbaring di kaki lankan jembatan lekuk sembilan sana.
Inilah jurus serangannya yang termashur Hui-yan-gi-lay, gerakannya cepat dan gayanya indah, seumpama serangan tidak kena sasarannya juga dapatlah dia mengundurkan diri dengan selamat.
Sebaliknya orang yang menjadi sasarannya itu tampak menggeletak mabuk dan lupa daratan, kopiah emas yang terpakai di atas kepalanya tampak merosot dan hampir jatuh, air liur juga menetes, keadaannya serupa orang mati Dengan sendirinya orang mati lebih mudah dihadapi daripada manusia setengah, rupanya sejak tadi Lo Hui sudah mengincarnya dengan baik.
Diam-diam Liok Siau-hong gegetun, apapun juga orang she Ho yang mabuk ini pernah memberinya secawan arak, jika sekarang orang terbunuh dalam keadaan tak sadar, hati Siau-hong merasa tidak tega.
Terdengarlah jeritan ngeri, menyusul lantas "plung", air muncrat, seorang tercebur ke dalam kolam dan tenggelam, sampai lama sekali barulah ada air darah mengapung ke atas di tengah sela-sela daun teratai, wajah seorang pun menonjol di permukaan air, ternyata Lo Hui adanya.
Si pemabuk she Ho masih berbaring di tempatnya tadi, ia hanya membalik badan dan terpulas pula. Akhirnya kopiah emas yang dipakainya itu jatuh dari kepalanya.
Segera Bok It-poan mendekati orang she Ho itu, dengan hormat ia mengembalikan kopiah emas itu ke atas kepala orang, katanya, "Liu-in-jit-sat-jiu dengan mabuk, sungguh kungfu Ho-siangsi maha lihai."
Dengan tertawa si kuah daging menanggapi, "Tajam benar pandangan Bok It-poan, sampai Jit-sat-jiu (tujuh jurus maut) orang mabuk yang sudah berpuluh tahun lenyap dari peredaran juga masih kau kenal."
Mendadak Lau-sit Hwesio menghela napas, "Satu jurus saja sudah cukup mematikan, untuk apa mesti tujuh jurus?"
"Apakah Hwesio juga ingin coba-coba?" tanya si genit.
"Hwesio masih sangat sadar buat apa merecoki setan pemabukan itu?" sahut Lau-sit Hwesio.
"Habis siapa yang akan kau cari?" tanya pula si genit.
"Barangkali ingin mencari diriku," tukas Bok It-poan.
"Jelek-jelek Hwesio kan masih satu orang penuh, tidak nanti berkelahi dengan setengah manusia," ujar Lau-sit Hwesio.
"Aku juga seorang penuh," tukas si genit.
"Paling tidak Hwesio kan seorang lelaki, tidak nanti bergebrak dengan orang perempuan."
"Ayahku juga seorang lelaki, boleh kau cari dia," sambung si genit.
"Hwesio masih muda dan kuat, tidak bertempur dengan orang tua," kata Lau-sit Hwesio.
Dalam pada itu beberapa orang di sebelah sana masih asyik main dadu, sudah ada dua orang mati di sebelah sini, namun mereka sama sekali tidak peduli, seolah-olah kejadian demikian sudah biasa bagi mereka. Jiwa orang lain seakan-akan tidak lebih penting daripada satu biji dadu dalam pandangan mereka.
"Bagaimana dengan beberapa orang itu?" tanya si genit kepada Lau-sit Hwesio.
"Hwesio sudah menganggap segala urusan duniawi sebagai kosong, bila melihat penjudi lantas merasa takut," kata Lau-sit.
"Wah, repot, pilih sini, teliti sana, tetap tiada satu pun yang cocok bagimu," kata si genit dengan tertawa. "Bagaimana kalau kupilihkan seorang untukmu?"
"Siapa yang hendak kau pilihkan?" tanya Lau-sit Hwesio.
"Bagaimana kalau dia saja," kata si genit menuding ke sana.
Orang yang ditunjuknya ternyata Liok Siau-hong adanya.
Hati Siau-hong berdetak, Lau-sit Hwesio lantas berpaling dan memandangnya, lalu berucap dengan tertawa, "Bicara sejujurnya, bilamana Hwesio ingin hidup, agaknya terpaksa harus memilih dia."
"Hahaha, tampaknya pandangan Hwesio tidak banyak keliru," seru si genit dengan tertawa.
Tapi Siau-hong lantas menggeleng dan berteriak, "Keliru, keliru besar!"
"Dimana kelirunya?" tanya si genit.
"Aku dan Hwesio ini adalah sahabat, tidak nanti dia mencabut nyawaku, sebaliknya aku pun tak menghendaki jiwanya," ujar Siau-hong.
Lau-sit Hwesio menanggapi, "Mestinya Hwesio memang tidak menghendaki jiwamu, tetapi sekarang ...." ia menghela napas, lalu menyambung, "Betapapun berharganya nyawa orang lain tetap tidak lebih penting daripada nyawa sendiri, betapa nyawa Hwesio tidak berharga tetap nyawa Hwesio sendiri dan perlu dipertahankan."
Ini memang kata-kata yang jujur, Lau-Sit Hwesio atau paderi jujur selalu bicara jujur.
"Akan tetapi kalau Hwesio memandang segala urusan dunia sebagai kosong belaka, jika jiwa teman sendiri juga kau incar, bukankah salah tindak dan keliru besar?"
"Daripada mati konyol lebih baik hidup susah," kata Lau-sit Hwesio. "Kalau urusan sudah menyangkut jiwa sendiri, biarpun keliru sedikit juga tidak menjadi soal."
Siau-hong menghela napas, "Ai, kenapa tidak kau cari orang lain dan justru mengincar diriku?"
"Sebab kau keliru," kata Lau-sit Hwesio.
"Aku keliru apa?" tanya Siau-hong.
"Sebab engkau tidak mahir Thian-can-cap-sah-sik, juga tidak menguasai Ji-ih-lan-hoa-jiu, kan keliru besar?"
"Tapi aku tidak menghendaki jiwamu," ujar Siau-hong.
"Engkau tidak menghendaki jiwaku, tapi Hwesio justru menghendaki jiwamu, sebab itulah engkau terlebih keliru."


Manusia Yang Bisa Menghilang Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Orang macam begini, mati satu lebih banyak akan lebih baik," jengek si genit. "Ayolah lekas turun tangan."
"Betul ucapan nona, segera Hwesio akan turun tangan," kata Lau-sit. Dan begitu dia bilang turun tangan, kontan lengan jubahnya mengebas, serangkum angin kuat lantas menyambar muka Liok Siau-hong.
Kiranya kedua jari Liok Siau-hong tetap membuatnya takut, betapapun ia kuatir sesuatu bagian badannya akan terpencet oleh jari Siau-hong, bila terpencet, andaikan tidak mati juga pasti tidak bisa berkutik.
Akan tetapi lengan jubah tentu tidak perlu kuatir akan dipencet atau diremas segala, apalagi ia menyalurkan tenaga murni pada lengan jubahnya sehihgga menegak dan setajam pisau, orang yang mampu memegang lengan jubahnya tidak banyak di dunia Kang-ouw.
Sejak tadi si kakek cilik hanya menonton di samping, sekarang mendadak ia bersuara, "Liok Siau-hong, apakah kau mau mati bagi Hwesio ini atau ingin mempertahankan nyawa sendiri, kau perlu berpikir sejelas-jelasnya."
Padahal soal ini sudah terpikir beberapa kali oleh Liok Siau-hong, meski dia tidak tega menyaksikan Lau-sit Hwesio mati di sini, ia pun tidak menghendaki si Hwesio menyaksikan dia mati.
Baru selesai si kakek berucap, "bret", tahu-tahu lengan jubah Lau-sit Hwesio terobek sehingga kelihatan lengannya yang lebih putih daripada tangan wanita, jelas tangan ini sudah terlalu lama tidak terjemur sinar matahari.
Berbareng itu bayangan kupu-kupu lantas bertebaran, kasa rombeng Lau-sit Hwesio itu dalam sekejap telah terobek menjadi tak keruan wujudnya.
Siau-hong lantas berseru, "Apabila Hwesio tidak mau berhenti, bisa jadi Hwesio cilik segera akan kelihatan."
"Hwesio cilik" yang dimaksudkan adalah anunya, kata-kata ini sungguh kurang sopan, tapi supaya Lau-sit Hwesio mau berhenti, terpaksa Siau-hong bicara demikian untuk membuatnya kikuk.
Siapa tahu Lau-sit Hwesio sama sekali tidak menghiraukan, ia malah bergumam, "Mendingan Hwesio cilik yang kelihatan daripada Hwesio besar terkapar menjadi mayat."
Belum lenyap, suaranya, mendadak kakinya tersandung jenazah Suto Kang, hampir saja Lau-sit Hwesio jatuh terjungkal.
Inilah kesempatan yang paling baik bagi Liok Siau-hong, tapi justru tampak ragu apakah harus menggunakan kesempatan itu atau tidak.
Sebaliknya Lau-sit Hwesio sama sekali tidak ragu, waktu jatuh kesandung, segera Merangkul pinggang Liok Siau-hong, lebih dulu ia menjatuhkan diri ke tanah, habis itu membalik tubuh dan menindih di atas Liok Siau-hong.
"Haha, bagus! Tak tersangka Hwesio juga mahir bergulat cara orang Mongol," seru si kuah daging sambil berkeplok.
"Ini bukan gulat ala Mongol, tapi judo aliran Okinawa, kecuali Hwesio, yang mahir ilmu bantingan ini memang tak banyak. Mungkin sama sekali Liok Siau-hong belum kenal judo ini, makanya sempat dikerjai Hwesio," kata Lau-sit Hwesio.
Inipun perkataan jujur, Liok Siau-hong memang benar-benar tertindih tanpa bisa berkutik.
"Ucapanmu tidak jujur," kata si kakek kecil tiba-tiba. "Hwesio selamanya tidak bicara tak jujur," kata Lau-sit Hwe-sio.
Tapi si kakek Iantas menambahkan, "Mesti dia tidak pernah melihat ilmu bantingan begini, seharusnya ia takkan diatasi olehmu, hanya lantaran dia tidak sampai hati membunuhmu, maka sempat kau banting roboh dia. Kalau tidak, mungkin saat ini Hwesio tidak dapat bicara jujur, apalagi tidak jujur."
Lau-sit Hwesio berpikir sejenak, katanya kemudian, "Umpama betul ia mengalah kepada Hwesio, kan Hwesio juga boleh berlagak tidak tahu."
"Ya, ini memang ucapan jujur," si kakek manggut-manggut. Liok Siau-hong tertindih tengkurap di atas tanah. Punggungnya tertekan oleh dengkul si Hwesio, lengan juga ditelikung, bila teringat kepada kesempatan yang disia-siakan tadi, kini mendengar lagi ocehan Lau-sit Hwesio, sungguh dadanya hampir meledak saking gemasnya.
Kalau dia mati dengan dada meledak masih mending, justru sekarang dia tidak tahu cara bagaimana dirinya akan mati.
Dalam pada itu perjudian di sebelah sana sudah berakhir, terdengar seperti ada orang bertanya, "Aku kalah tujuh laksa tahil, kau bagaimana?"
"Aku lebih banyak daripadamu," sahut seorang. Apabila ada orang kalah sebanyak itu, dengan sendirinya ada yang menang. Cuma sayang, orang yang menang itu bukan Siau-hong sendiri. Sebaliknya tubuhnya sudah digadaikan dan menjadi milik orang lain, malahan sekarang jiwanya akan amblas pula.
Beberapa penjudi sedang berjalan ke sebelah sini, hanya langkah seorang saja yang lebih berat, tentunya karena dia membawa harta benda yang sukar dihitung.
Siau-hong sangat ingin tahu siapakah gerangan orang ini, namun susah, sebab ingin mengangkat kepala saja tidak dapat.
Terdengar si genit kuah daging lagi berucap, "He, lekas kalian berkenalan dengan pengikut baru Kiuko ini, dia bernama Bok It-poan, kalau tidak salah dia anak murid Hay-lam-koh-yan, Kiuko sengaja menyuruhnya membawa macam-macam hadiah untukku."
Lalu ada orang bertanya, "Selama beberapa hari ini Lokiu pergi kemana" Bilakah dia akan pulang" Akhir-akhir ini apakah dia sehat" Adakah minum arak?"
Dengan hormat Bok It-poan lantas menjawab setiap pertanyaan itu. Akan tetapi tentang jejak Kiu-siauya atau tuan muda kesembilan itu, ia sendiri juga tidak jelas.
Mendengar kepulangan Kiu-siauya tak jelas waktunya, agaknya semua orang sangat kecewa, tapi semua orang pun gembira demi mengetahui Kiu-siauya sehat walafiat.
Terhadap petualang yang tak menentu jejaknya itu jelas semua orang sangat menaruh perhatian. Tapi terhadap orang yang baru saja berjudi dengan mereka, dan sekarang tergeletak di depan mereka, yakni Liok Siau-hong, ternyata tiada seorang pun ambil pusing, apakah dia masih hidup atau sudah mati, hakikatnya tidak menjadi perhatian mereka.
Bahkan Samon juga tidak meliriknya meski sekejap saja. Dan si kuah daging lagi bertanya padanya, "Sekali ini adakah Kiuko mengirim sesuatu untukmu?"
Dengan hambar Samon menjawab, "Dia kan tahu aku tidak tertarik kepada barang-barang apapun, buat apa mesti berbuat demikian?"
"Engkau tidak tertarik terhadap barang-barang kirimannya, apakah engkau cuma tertarik kepada orangnya?"
Samon tidak menjawab, dan biasanya diam berarti membenarkan.
Segera si kuah daging menjengek, "Hm, cuma sayang, tidak nanti dia memberikan dirinya kepadamu."
Begitulah kedua orang itu pasang omong dengan nada penuh rasa cemburu, sampai Siau-hong yang tidak bersangkutan juga merasa kecut.
Selama ini Liok Siau-hong boleh dikata kekasih orang Kang-ouw, setiap orang akan merasa bangga bila kenal dia. Kemana pun dia pergi pasti akan mendapat sambutan hangat. Apalagi anak perempuan yang melihatnya, boleh dikata tidak ada yang mampu menolak, biarpun gunung es juga akan cair.
Akan tetapi setiba di sini, dia seperti tidak berharga sepeser pun, untuk menjadi kacung penggosok sepatu bagi Kiu-siauya yang disebut-sebut itupun tidak setimpal.
Hidup dalam keadaan demikian, sungguh lebih baik mati saja dan habis perkara. Tapi sejauh ini Lau-sit Hwesio justru tidak mau turun tangan membunuhnya.
Agaknya si kuah daging tidak mau bicara lagi dengan Samon, ia berpaling dan mendeliki Lau-sit Hwesio, "Hei, kenapa engkau belum turun tangan?"
"Turun tangan apa?" tanya Lau-sit Hwesio.
"Turun tangan membunuh orang."
"Kalian benar-benar mau membunuh dia?"
"Tentu saja benar," sahut si genit.
"Baik, boleh kalian mencari siapa saja untuk membunuhnya, bagi Hwesio, asal menang satu jurus saja sudah cukup, Hwesio tidak membunuh orang."
Habis berkata, Lau-sit Hwesio tepuk-tepuk tangannya yang kotor, lalu berbangkit dan melangkah pergi, dalam sekejap saja ia sudah menghilang di balik jembatan lekuk sembilan sana.
Ternyata tiada seorang pun yang merintangi kepergian Hwesio itu, tampaknya meski tindak-tanduk orang di sini sangat misterius, tapi semuanya ksatria yang dapat pegang janji.
Tiba-tiba si kuah daging mendengus, "Hm, apa susahnya mencari pembunuh, ayolah, siapa di antara kalian yang mau membunuh orang ini, kuberi upah selaksa tahil perak."
Siau-hong berbaring di tanah, ia sengaja tidak mau bangun lagi. Untuk membunuh orang seperti dia tampaknya bukan pekerjaan sulit, tapi si kuah daging berani memberi upah selaksa tahil, entah karena caranya mencari uang teramat mudah atau tarip membunuh di sini memang sangat tinggi.
Untuk membunuh satu orang secara mudah upahnya selaksa tahil perak, Liok Siau-hong menyangka pasti banyak orang akan berebut menjadi pembunuh.
Siapa tahu semua orang diam saja, tiada reaksi apapun.
Dengan dingin Samon lantas bicara, "Jika kau mau membunuh orang, kenapa tidak kau lakukan sendiri" Memangnya tidak pernah kau bunuh orang?"
Si kuah daging tidak menghiraukan dia, ia melototi para kuli hitam penggotong peti dan berkata, "Dengan susah payah kalian menggotong peti besar selama sekian hari, paling-paling upah yang kalian terima cuma sekian tahil, sekarang kusediakan selaksa tahil perak untuk membunuh satu orang, pekerjaan enak ini masakah tidak mau kalian laksanakan?"
Namun para kuli hitam itu hanya berdiri diam saja seperti patung, kiranya mereka sama kekali tidak paham arti ucapannya.
"Bagaimana dengan kau, Bok It-poan?" tanya si genit.
Bok It-poan menghela napas, katanya, "Sebenarnya aku ingin untung selaksa tahil perak ini, cuma sayang, Kiu-siauya telah berpesan padaku, setiap hari paling banyak hanya boleh membunuh satu orang. Betapapun hamba tidak berani membangkang perintah Kiu-siauya."
Tampaknya si kuah daging juga tidak berani melawan perintah Kiu-siauya, tiba-tiba ia menjengek, "Hm, kutahu kalian anggap upahku terlalu sedikit. Baik, kusediakan lima laksa tahil, bayar dulu dan bunuh belakangan."
Seketika Liok Siau-hong melompat bangun dan berteriak pula, "Jadi!"
"Jadi apa?" tanya si genit.
"Tujuanmu kan membunuh diriku, tak peduli siapa yang akan melakukannya, yang jelas akan kau bayar lima laksa tahil kepadanya, begitu bukan?" tanya Siau-hong.
"Betul," jawab si genit.
"Jika begitu, bayarlah kepadaku."
"Bayar kapadamu" Hendak kau bunuh dirimu sendiri?" si genit menegas.
"Betul, membunuh dirinya sendiri bukanlah pekerjaan sulit, sebaliknya lima laksa tahil bukanlah jumlah yang kecil."
"Jika kau mati, untuk apa kau pegang uang ini?"
"Untuk bayar hutang," jawab Siau-hong. ia menghela napas, lalu menyambung, "Hutangku sudah segudang, kalau tidak kubayar lunas, jadi setan pun hatiku tidak tenteram."
Si genit memandangnya dengan dingin, mendadak menjengek, "Baik, biar kau dapat untung lima laksa tahil ini."
Sekenanya ia mencomot keluar segenggam uang kertas dengan nilai macam-macam, tapi nilai nominal terkecil adalah lima ribu tahil.
Siau-hong memilih beberapa lembar dan persis berjumlah lima laksa tahil. Lebih dulu ia menyerahkan sehelai kepada si kakek kecil, katanya, "Ini selaksa lima ribu tahil, yang selaksa tahil adalah modalnya, dan yang lima ribu tahil ini adalah bunganya."
"Wah, tidak sedikit rentenya," ujar si kakek dengan tertawa gembira.
"Makanya selanjutnya harus kau beri pinjam sebanyaknya kepadaku, biasanya aku memang tidak sayang memberi suku bunga yang besar," kata Siau-hong dengan tertawa. Lalu ia berpaling dan menyerahkan sehelai cek itu kepada Samon, katanya, "Ini lima ribu lima ratus tahil, yang lima ratus tahil untuk menebus golok, yang lima ribu anggap sebagai uang anakan."
"Hah, masa uang anakan lebih besar sepuluh kali daripada uang induknya?" ucap Samon.
"Di atas meja judi, lima ratus dan selaksa kukalahkan dengan sekali taruh, dengan sendirinya harus diberi bunga uang yang sama."
Samon memandangnya lekat-lekat, sorot matanya yang dingin menampilkan senyuman, katanya, "Ah, baru sekarang kutahu sebab apa engkau jatuh miskin, engkau terlalu royal, membuang uang tanpa takaran, pantas bangkrut."
"Ya, kan sangat mudah kudapatkan uang ini," ujar Siau-hong dengan tertawa. "Baru sekarang kutahu bahwa di dunia ini mungkin tidak ada pekerjaan lain yang lebih cepat mendatangkan uang daripada membunuh orang."
Air muka Samon kembali berubah dingin tanpa emosi, disodorkannya golok buatan dari pispot itu dan berkata, "Apakah hendak kau bunuh dirimu sendiri dengan golok ini."
Tapi Siau-hong lantas menggeleng, "Tidak, golok ini tidak baik, berbau pesing."
Ia memandang tumpukan uang kertas yang dipegangnya itu dengan bergumam, "Setelah membayar dua laksa lima ratus tahil, masih sisa dua laksa sembilan ribu lima ratus tahil, sebelum uang habis, kan penasaran jika mati lebih dulu?"
"Jika begitu, lekas kau habiskan uangmu," tukas si kuah daging.
Siau-hong berpikir sejenak, lalu didatangi si kakek kecil dan berkata, "Tadi kau bilang di sini terdapat segala macam arak paling enak di dunia ini, cuma harganya teramat mahal."
"Ya, aku pun bilang hari ini engkau adalah tamuku dan boleh minum arak gratis," sahut si kakek.
Mendadak Siau-hong mendengus, "Hm, putrimu menyediakan upah untuk membunuhku, mana bisa aku minum arakmu dengan cuma-cuma. Ini, ambil saja sembilan ribu lima ratus tahil ini, aku minta arak yang paling baik, dapat berapa banyak sediakan saja seluruhnya."
Mendadak si kumis tertawa dan berkata, "Kembali berkurang sembilan ribu setengah, sekarang tersisa dua laksa tahil."
"Eh, tadi kau kalah berapa?" tanya Siau-hong mendadak.
"Aku tidak kalah, sebaliknya menang," sahut si kumis.
"Baik, bagaimana kalau kita bertaruh lagi" Biar kalah ludes sekalian, daripada memegang uang dan cuma menambah beban pikiran," ujar Siau-hong.
"Haha, bagus, aku senang mendapat lawan selugas seperti dirimu ini," si kumis tergelak.
Segera dadu tersedia lagi di dalam mangkuk, arak pun sudah diantar tiba, sepuluh guci dan terdiri dari berbagai jenis, ada Li-ji-ang, ada Tiok-yap-cing dan Iain-lain.
Sembilan ribu lima ratus tahil perak cuma mendapat sepuluh guci arak, sungguh terlalu mahal. Namun Siau-hong tidak ambil pusing, ia mendahului membuka satu guci Tiok-yap-cing, mulut guci diadu mulut sendiri, terus dituang hingga hampir setengah guci ditenggaknya.
"Ehmm, arak enak!" serunya sambil mengusap mulut.
"Haha, caramu minum seperti kerbau masih dapat membedakan arak enak atau tidak, sungguh luar biasa," ujar si kumis dengan tertawa.
"Sesungguhnya aku memang tidak dapat membedakan arak enak atau tidak," kata Siau-hong. "Cuma arak yang mahal biasanya tentu arak enak. Berapa banyak minum arak enak, esoknya kepala pasti takkan sakit."
"Hm, jika kepalamu sudah terlepas, masakah peduli sakit atau tidak?" jengek si kuah daging.
Liok Siau-hong tidak menghiraukannya, ia pegang dadu dan diketuk-ketukkan di tepi mangkuk sambil bertanya, "Ayo, berapa taruhanmu"!"
"Bagaimana kalau selaksa tahil?" jawab si kumis.
"Selaksa terlalu sedikit, sebaiknya dua laksa sekalian, biarlah kita tentukan kalah atau menang dengan sekali taruh," ujar Siau-hong.
"Baik, cara begini paling menyenangkan," seru si kumis.
Belum lagi dia mengeluarkan uangnya, serentak Siau-hong sudah melemparkan dadunya, hanya berputar dua-tiga kali saja dadu lantas berhenti, ketiga biji dadu sama menunjukkan enam titik, kayun. Bandar menang total.
"Hehe, seorang kalau hampir mati biasanya bisa berubah mujur," seru Siau-hong dengan tertawa.
"Tapi taruhanku belum lagi kujatuhkan," kata si kumis dengan tangan memegang uang kertasnya.
"Tidak menjadi soal, kupercaya penuh padamu," kata Siau-hong. "Toh aku orang yang sudah hampir mati, tentunya takkan kau makan uang orang mati."
Meski penasaran, namun si kumis tidak dapat bicara lagi.
Tanpa diperintah, Siau-hong terus mencomot uang kertas dari tangan orang, lalu tanyanya pula, "Taruhan lagi tidak?"
"Tentu saja, cuma sekali ini harus giliranku menjadi bandar."
"Baik, setiap orang bergiliran menjadi bandar, asalkan dapat kau lemparkan tiga kali enam titik, semua pasangan boleh kau makan dan tidak perlu sungkan."
Dan taruhan Siau-hong sekarang tidak cuma dua laksa tahil saja, bahkan dua laksa kemenangannya juga ditaruh sekaligus, ucapnya dengan tertawa. "Masakah kau mampu mendapat tiga kali enam titik?"
Terbeliak mata si kumis, segera ia pegang dadu dan menoleh untuk bertanya kepada si kakek yang berdandan sebagai pak guru itu, "Bagaimana, kau kira aku sanggup melemparkan tiga kali enam titik, tidak?"
Kakek berambut putih itu tersenyum, "Kukira kau bisa, kalau tidak bisa barulah aneh."
Dengan penuh semangat si kumis lantas membentak dan melemparkan dadu ke dalam mangkuk, segera terlihat dua biji dadu sudah menunjukkan enam titik, dadu ketiga mendadak meloncat ke atas, waktu turun ke bawah mendadak berubah menjadi setumpuk bubuk.
"Dua daun bertitik enam ditambah satu titik menjadi berapa?" tiba-tiba Siau-hong bertanya pada Samon.
"Tetap satu titik, sebab yang diadu adalah titik dadu yang terakhir," sahut Samon.
"Apabila dadu terakhir tidak terdapat titik?" tanya Siau-hong pula.
"Tidak ada titik sama dengan nol."
"Jika begitu, nol lebih besar ataukah satu lebih besar?"
"Dengan sendirinya satu lebih besar."
"Kalau begitu, lantas bagaimana bila lemparan bandar memperlihatkan titik nol?"
"Bandar kalah dan bayar semua pasangan!"
"Hahahaha!" Siau-hong tertawa. "Nasib memang selalu berputar, tak terduga sekali ini engkau dapat menghasilkan titik nol."
Tanpa bicara apapun si kumis lantas membayar empat laksa tahil dan mendorong mangkuk dadu ke depan Liok Siau-hong, katanya, "Sekali ini giliranmu lagi menjadi bandar. Semoga engkau jangan mendapatkan titik nol."
Di mulut dia bicara demikian, di dalam hati ia pikir mustahil hasil lemparanmu bukan titik nol.
Dengan sendirinya pikiran orang lain juga sama dengan si kumis, biarpun Liok Siau-hong menggunakan dadu baja, bilamana mereka mau menghancurkan salah satu diantaranya tetap sangat mudah, seperti memites seekor semut saja.
Judi pasti curang, hal ini sudah biasa terjadi dimana pun. Tapi perbuatan tidak halal ini kini seperti berubah menjadi halal.
Segera si kakek ubanan itu menaruh tiga laksa tahil dan berkata, "Sayang bandar hanya mengeluarkan modal delapan laksa tahil."
"Giliranku dulu, aku kalah, harus mulai dari taruhanku baru kalian mendapatkan sisanya," ucap si kumis.
Segera ia mengeluarkan semua uangnya, taruhannya jelas lebih daripada delapan laksa tahil, pertaruhan ini terkecuali terjadi draw atau seri antara si kumis dan Siau-hong barulah orang lain mendapat bagian. Akan tetapi semua orang sama yakin Liok Siau-hong pasti akan kalah.
Si kakek menghela napas, "Ai, tampaknya sekali ini kita hanya akan minum air saja."
Dalam pertaruhan, bila uang bandar di atas meja sudah keburu habis, sehingga ketika bergilir pada taruhan sendiri tidak mendapat bayaran, hal ini disebut "minum air", dalam pandangan setiap penjudi, mungkin tidak ada urusan lain yang jauh lebih sial daripada "minum air".
Selagi si kakek ubanan hendak menarik kembali ketiga laksa tahil taruhannya, mendadak seorang menimbrung, "Pasang saja sesukamu. Aku ikut bandar, mau pasang berapa boleh taruh saja, tanpa limit!"
Yang bicara ini ternyata si kakek cilik adanya, dia memegangi setumpuk uang kertas, "bruk", dibantingkannya di depan Liok Siau-hong dan berseru, "Ini berjumlah seratus tiga puluh lima laksa tahil, anggaplah pinjamanku kepadamu. Kalau tidak cukup, omong saja, mau berapa akan kuberi berapa."
"Wah, wah, bilakah engkau berubah menjadi murah hati dan tangan terbuka begini?" ujar Siau-hong dengan terkejut dan bergirang.
"Soalnya sebagai kreditur, engkau cukup dapat dipercaya, bunga uang yang kau bayar juga tinggi, kalau tidak kuberi kredit padamu memangnya harus kuberikan pada siapa?" jawab si kakek dengan tertawa.
"Tapi jika aku kalah, lalu aku pun mati, lantas kepada siapa akan kau tagih hutang?"
"Itu urusan nanti," ucap si kakek sambil mengangkat bahu. "Setiap bisnis kan harus ada resiko!?"
"Tapi resiko sekali ini kukira teramat besar, mungkin modal pun sukar kembali," sela si genit kuah daging.
"Ah, saking banyaknya uangku sehingga berjamur, biarpun amblas berikut modalku juga tidak menjadi soal," ujar si kakek dengan tak acuh.
Sekaligus modal Liok Siau-hong bertambah seratus tiga puluh lima laksa tahil, seketika semangatnya terbangkit, semua orang juga berseri-seri, serupa tumpukan uang kertas itu sudah menjadi isi kantung masing-masing.
Maka pasar taruhan seketika menjadi ramai, segera meja penuh bertumpuk uang kertas dan emas intan permata, kalau dinilai sedikitnya lebih dari seratus laksa tahil.
Di samping sekarang tersedia sebuah dus berisi belasan biji dadu baru gres.
Segera Liok Siau-hong mengambil tiga biji dadu, selagi hendak dilemparkan, tiba-tiba diurungkan, ia menggeleng kepala dan bergumam, "Dadu di sini agak janggal, serupa kutu loncat saja, tanpa sebab juga bisa meloncat ke atas. Untuk ini harus kucari akal untuk mengatasinya,"
Mendadak ia mengambil sebuah piala emas di belakangnya, arak di dalam piala ditenggaknya habis, lalu tangan satunya melemparkan dadu dan tangan lain yang memegang piala terus melempar ketiga biji dadu itu, dadu masih berputar di bawah piala dan menimbulkan bunyi gemerinting.
"Nah, sekali ini coba kau loncat lagi!" omel Siau-hong.
Si kakek ubanan, si kumis dan lain-lain saling pandang dengan melongo, sungguh merasa tidak pernah menyangka akan tindakan Liok Siau-hong itu.
Ketika piala emas terangkat, ketiga biji dadu sudah berhenti berputar, semuanya menunjukkan titik enam pula.
"Aha, tiga kali enam, sapu semua!" seru Siau-hong dengan tertawa gembira, berbareng semua harta benda di atas meja lantas disapu ke depannya.
Si kumis menghela napas, ucapnya sambil menyengir, "Wah, sekali ini engkau benar-benar sapu jagat, seluruh kekayaanku telah kau sapu bersih."
"Selama masih bertaruh, belum bisa dikatakan kalah. Ayo, lagi!" seru Siau-hong.
"Sudah ludes modal kami, apa yang dapat kami pertaruhkan?" ujar si kumis dengan menyesal. la melirik Siau-hong, meski tidak bicara secara terus terang, namun maksudnya cukup jelas, yaitu kalau bisa mau hutang.
Orang yang murah hati seperti Liok Siau-hong dalam keadaan menang besar-besaran begini, seharusnya bisa disisihkan sebagian kamenangannya untuk dipinjamkan kepada orang-orang itu agar mereka dapat bermain lebih lanjut.
Siapa tahu sekali ini Liok Siau-hong tidak kenal kompromi, lebih kikir daripada si tukang kredit, semua harta benda di atas meja dikukuti, lalu berbangkit, katanya dengan tertawa, "Hari ini sudah cukup, besok kita sambung lagi. Selama aku tidak mati, kalian masih ada kesempatan untuk menang kembali."
"Dan bila angkau mati?" tanya si kumis.
Siau-hong menghela napas, "Jika aku mati, ai, mungkin harta benda ini akan ikut masuk kubur bersamaku."
Ia lantas memisahkan seratus empat puluh laksa tahil untuk dikembalikan kepada si kakek cilik, setelah dihitung masih ada sisa sembilan puluh laksa lebih.
Si kakek cilik sangat senang, "Hanya sebentar saja untung lima laksa tahil, haha, tidak ada bisnis lain bisa untung secepat dan sebanyak ini."
Siau-hong sengaja menghitung sisa uangnya dan tiba-tiba bertanya, "Jika kau pegang sembilan puluh tiga laksa tahil perak, apakah kau mau membunuh orang untuk mendapatkan lima laksa tahil?"
"Itu bergantung siapa yang harus kubunuh," jawab si kakek kecil.
"Jika yang harus kau bunuh adalah dirimu sendiri?"
"Wah, tindakan ini tidak nanti dilakukan oleh siapa pun."
"Sebab itulah aku pun tidak mau," kata Siau-hong, segera ia mengembalikan sehelai lima laksa tahil yang sudah disiapkan kepada si kuah daging, katanya, "Lebih baik kau sewa orang lain yang lebih pintar saja."
bab 12 Baru lenyap suaranya, tahu-tahu dia sudah melompat ke ujung jembatan sana dan berseru pula dengan tertawa, "Haha, soal kalian menghendaki uangku atau menginginkan jiwaku, setiap saat kalian boleh mencari diriku, toh aku takkan mampu kabur dari sini."
Habis bicara ia lantas menyusup ke semak-semak sana dan menghilang.
Semua orang manyaksikan kepergiannya dengan melongo dan tiada yang merintanginya.
Cahaya senja tampak indah. Hati Siau-hong juga sangat gembira, apapun juga sekali ini dia mendapat kemenangan besar.
Soal selanjutnya apakah orang lain akan mencarinya atau tidak dan dapatkah dia kabur, semua itu adalah urusan yang akan datang.
Sebenarnya dia sudah mengincar baik-baik jalan perginya, akan tetapi setelah berputar kian kemari sampai belasan kali, tetap tidak menemukan jalan datangnya tadi. Waktu ia pandang sekelilingnya, cuaca sudah tambah kelam.
Matahari sudah terbenam, lembah pegunungan mulai gelap, sampai jembatan lekuk sambilan tadi juga tidak dapat ditemukan lagi.
Ia berhenti dan menenangkan diri, setelah memastikan arah, lalu berjalan pula sekian lamanya, namun dia masih tetap ubek-ubekan di tengah semak-semak bunga. Ia melompat ke atas batu dan memandang sekitarnya, sejauh mata memandang hanya tetumbuhan belaka dan tiada terlihat barang lain, suasana pun sudah mulai remang-remang.
Di lembah pegunungan ini tidak terlihat setitik sinar pelita apapun, juga tidak ada sinar bulan dan kerlip bintang, hanya bau harum bunga merangsang hidung dan hampir membuat Siau-hong mabuk.
Ia heran, masakah orang yang tinggal di sini tidak menyalakan lampu pada waktu malam"
Jika dia menerjang begitu saja ke tengah semak-semak secara ngawur, bisa jadi dia akan kejeblos ke dalam perangkap dan mati konyol. Siapa pun dapat menduga tempat ini pasti bukan tempat yang boleh dibuat pergi-datang sesukanya.
Waktu dia mau pergi, orang lain tidak ada yang merintanginya, mungkin hal itu disebabkan orang sudah tahu dengan pasti bahwa dia tidak mungkin bisa pergi dari situ.
Orang-orang di sini, kecuali si kakek kecil itu, semuanya jelas memiliki kungfu maha tinggi, tapi justru tiada seorang pun yang pernah menongol di dunia Kangouw.
Umpama mereka pernah berkecimpung di dunia Kangouw, pasti juga tidak ada yang mengenali gaya ilmu silat mereka.
Misalnya si kuah daging, Liok Siau-hong yang tidak pernah salah menilai orang toh bisa salah raba terhadap nona genit itu.
Kalau dipikir sekarang, sangat mungkin si nelayan bermata satu dan si muka kuda itu mati di tangan si kuah daging.
Sesudah si muka kuda tenggelam di laut, waktu Siau-hong pergi mandi, bukankah si kuah daging juga berada di kamar mandi sana"
Ketika kapal si rase tua akan berlayar, umpama para penumpangnya masih sempat turun ke daratan, pasti juga tidak ada orang pergi mandi, kecuali kebetulan dia habis membunuh orang di tepi laut.
Pada waktu si nelayan tua mati terbenam, kebetulan juga Cuma si kuah daging saja yang sempat pergi membunuhnya.
Meski sekarang sudah banyak hal yang dimengerti oleh Liok Siau-hong, tapi urusan yang tidak dimengerti juga tetap sangat banyak. Misalnya untuk apa si kuah daging membunuh kedua orang itu" Sebab apapula kedua orang itu hendak menyergap Gak Yang" Ada hubungan apa antara Gak Yang dan si genit" Cara bagaimana pula dia tahu kapal rase tua pasti akan terbalik"
Semua ini sungguh sukar dimengerti, Siau-hong cuma menggeleng saja, ia mulai rada menyesal, mungkin dia harus menurut kepada nasihat Gak Yang dan tidak menumpang kapal si rase tua, jika demikian, mungkin sekarang dia sudah berada di kepulauan timur sana dan berada dalam pelukan anak perempuan yang hangat dan mesra.
Tanpa terasa Siau-hong menghela napas, selagi ia hendak mencari suatu tempat untuk tidur, tiba-tiba terlihat di depan sana ada cahaya lampu.
Cahaya lampu di tengah kegelapan yang tak berujung itu sungguh lebih menyenangkan daripada titik enam di atas dadu.
Tanpa pikir Siau-hong terus berlari ke arah cahaya lampu itu, umpama dia akan mati terbakar oleh cahaya itu juga tidak jadi soal baginya. Bisa mati di tempat terang kan lebih baik daripada hidup selamanya dalam kegelapan.
Cahaya lampu itu menembus keluar dari balik daun jendela berukir. Ada jendela dengan sendirinya juga ada rumah. Di situ memang ada sebuah rumah dengan tiga ruangan berderet, bangunan yang cukup indah.
Sebuah jendela terbuka, dipandang dari jauh kelihatan di dalam rumah ada sembilan orang. Satu duduk dan delapan berdiri.
Yang berwajah putih dan berjenggot jarang, berjubah sulam dan kopiah berhias mutiara, orang ini sedang memandangi sebuah tulisan di bawah lampu.
Kedelapan orang ini bukan orang yang hadir di gardu terapung tadi, dari dandanan mereka yang lebih mentereng ini jelas mereka lebih agung daripada orang-orang tadi.
Siau-hong tetap tidak dapat mengerti asal-usul mereka, dengan sendirinya juga tidak berani menerobos masuk ke situ.
Di halaman luar ada sebuah kolam, airnya jernih sehingga tertampak jelas dasarnya. Dari cahaya lampu yag menyorot keluar, tertampak di dasar kolam berbaring satu orang tanpa bergerak.
Siau-hong merasa heran, ia coba mendekat dan memandangnya lebih teliti, memang benar ada orang, kedua matanya membalik sehingga cuma kelihatan bagian putihnya saja. Kecuali ikan mati tidak mungkin orang mendelik seperti ini.
Semula Siau-hong terkejut, tapi lantas menghela napas lega, ia tahu orang ini tentu sudah mati.
"Siapakah dia" Mengapa bisa mati di sini?"
Tapi setelah berpikir, tiba-tiba Siau-hong merasa tidak betul. Orang mati di dasar kolam pasti akan mengapung ke atas, mana bisa terbenam di dasar kolam"
Tampaknya teristiwa aneh di tempat ini memang tidak sedikit.
"Ah, peduli dia orang hidup atau orang mati, apa sangkut-pautnya denganku?" demikian pikir Siau-hong.
Selagi ia hendak tinggal pergi. "plung", mendadak sesuatu melayang tiba dari kejauhan sana dan jatuh ke dalam kolam, ternyata seekor kucing hitam.
Baru saja air bergelombang, mendadak orang di dasar kolam melejit ke atas serupa ikan, pada tangannya memegang sebilah pisau tipis, tanpa menerbitkan suara air, sekali pisau berkelebat, kontan perut kucing hitam tertusuk.
Belum lagi sempat kucing itu mengeong, tahu-tahu jiwa sudah amblas. Orang itu lantas tenggelam lagi ke dasar kolam dan berbaring lagi tanpa bergerak, tampaknya menjadi seperti orang mati lagi.
Membunuh seekor kucing bukan sesuatu yang luar biasa, namun gerak tangan orang ini sungguh teramat cepat dan keji, bahkan tindak-tanduknya sangat aneh, terlalu misterius, sampai Liok Siau-hong juga merinding menyaksikan apa yang terjadi barusan.
Orang di dalam kolam itu kembali mendelik seperti tadi, seperti orang mati.
Sekonyong-konyong Liok Siau-hong membalik tubuh dan melompat masuk ke dalam rumah.
Ia tidak peduli lagi, apapun juga orang yang sedang melihat lukisan di bawah lampu itu pasti jauh lebih menyenangkan daripada orang yang berbaring di dasar kolam sebagai pembunuh kucing.
Cahaya lampu di dalam rumah tidak terlalu terang, namun orang ini masih tetap duduk di situ dengan penuh perhatian memandangi lukisan yang dipegangnya.
Sungguh Liok Siau-hong jadi ingin tahu juga gambar apa yang terlukis, mengapa bisa menarik perhatian seorang untuk memandangnya sekian lama, betapapun lukisan ini pasti ada sesuatu yang bernilai.
Sebelumnya Siau-hong sudah memperhitungkan tempat yang akan dituju, maka begitu melayang masuk ke situ, sekali berjumpalitan, tepat ia hinggap di depan meja orang itu.
Dia sudah menyiapkan beberapa kalimat ucapannya yang sekiranya akan membuat senang hati orang, ia harap bilamana orang ini senang, tentu takkan marah dan mengusirnya, bisa jadi malah akan mengeluarkan arak untuk menyuguhnya.
Siapa tahu, satu kalimat pun dia tidak bicara, pada hakikatnya dia memang tidak sempat bicara.
Pada saat dia turun ke bawah, kedelapan orang yang berdiri itu serentak lantas menubruknya. Meski gerakan kedelapan orang itu tidak terlalu gesit, namun kerja sama sangat rapat, ada yang menjotos, ada yang menendang, ada yang memotong dengan telapak tangan, ada yang menyikut, semuanya menyerang, semuanya serangan maut.
Siau-hong sempat menangkis enam serangan di antaranya, menyusul datang lagi jotosan dan pukulan telapak tangan. Selagi ia hendak memberi penjelasan agar mereka berhenti dulu, namun ketika salah sebuah tangan musuh tertangkis, segera diketahuinya betapa dia memberi penjelasan juga tidak ada gunanya, sebab kedelapan orang ini pasti tidak dapat mendengar perkataannya.
Kedelapan orang ini ternyata orang-orangan alias patung kayu.
Patung kayu juga aneka macam, ada semacam patung kayu yang terlebih menakutkan daripada manusia.
Meski Liok Siau-hong tidak pernah menerjang barisan patung kayu Siau-lim-si, tapi anak murid Siau-lim yang terluka di bawah barisan patung kayu itu pernah dilihatnya. Di antaranya ada yang memiliki kungfu yang tidak rendah.
Dia heran mengapa manusia hidup bisa dilukai oleh patung. Waktu itu kalau tidak dicegah Thi-koh Taysu, tentu dia sudah langsung menguji kelihaian barisan patung kayu Siau-lim-si itu. Dan sekarang dia baru benar-benar merasakannya sendiri.
Kedelapan patung ini jelas dibikin berdasarkan teknik pembuatan patung Siau-lim-si itu, sangat hidup, juga sangat lihai, bukan saja kuat, bahkan setiap serangannya menggunakan ilmu pukulan sakti Siau-lim-pay, barisan yang mereka gunakan juga Lo-han-tin yang terkenal.
Lo-han-tin adalah berisan penggempur Siau-lim-si yang paling tangguh, dahulu gembong Mokau yang bernama Hiat-sin-cu pernah menerjang ke Siong-san dan sekaligus mengalahkan tujuh paderi sakti Siau-lim-pay, tapi akhirnya dia terkepung oleh Lo-han-tin, selama tiga hari tiga malam dia bertempur dan tetap tidak mampu menerobos keluar dari kepungan barisan itu, akhirnya dia mati kehabisan tenaga.
Sejak itu nama Lo-han-tin menjadi sangat terkenal dan tidak ada yang berani sembarangan membikin rusuh ke Siau-lim-si lagi.
Barisan tempur itu dimainkan oleh patung kayu, daya tempurnya sangat besar, sebab patung tidak dapat mati, biarpun kau patahkan sebelah tangan atau sebelah kakinya, dia tetap berdiri tegak dan tidak mengganggu barisan tempurnya.
Sebaliknya bila tubuhmu terpukul, jelas engkau tidak akan tahan. Maka daya serang barisan patung boleh dilancarkan tanpa perhitungan, lawan menjadi sukar menghindar dan tak mampu bertahan, ingin menerobos keluar kepungan juga sangat sulit.
Tiba-tiba Liok Siau-hong menyadari dirinya hanya akan kebagian dipukul dan tidak mungkin memukul, sebab kau pukul dia, lawan tidak sakit, sebaliknya dia memukulmu, engkau kesakitan setengah mati, malahan dia tak bisa mati terpukul, sebaliknya salah-salah engkau bisa terpukul mati.
Pertarungan demikian tentu saja tidak menguntungkan, serupa penjahat di depan pengadilan, hanya ada kalahnya dan tidak mungkin menang.
Perbuatan bodoh begini biasanya tidak nanti dilakukan oleh Liok Siau-hong, tapi sayang, mau tak mau sekarang dia harus tetap bertempur.
Daya pukulan patung kayu itu sangat besar, menderu-deru sehingga cahaya pelita ikut gemerdep dan setiap saat bisa padam. Jika sampai padam, jadinya harus bertempur dengan kawanan patung dalam kegelapan, perbuatan ini lebih-lebih bodoh dan konyol.
Dalam pada itu dilihatnya kedua mata si wajah putih berjubah sulam itu lagi mengerling kian kemari seperti mau tertawa.
Orang ini jelas juga patung kayu, mengapa mata patung bisa mengerling kian kemari, bahkan seperti mengikuti arah pukulan dan tendangan kedelapan patung itu, apakah dia juga mengerti ilmu pukulan Siau-lim-pay"
Siau-hong jadi melengak, sedikit meleng, "plok", tahu-tahu kepalanya kena dijotos satu kali, hampir saja kepala pecah dan otak tercecer.
Meski otaknya tidak sampai tercecer, tapi seketika timbul kecerdasannya. Pada waktu kepalanya terjotos, tertampak kerlingan mata patung berjubah sulam itu berhenti sekejap, waktu kepalan patung lain bergerak, biji matanya juga mengerling.
Sungguh aneh, kepalan dan kaki kedelapan patung itu seakan-akan dihubungkan dengan sesuatu benang yang tidak kelihatan dengan mata patung berjubah sulam ini.
Mendadak Siau-hong melancarkan serangan, dibikin putus dua jari tangan salah satu patung dan dijepitnya, "crit-crit", segera ia menyelentik, "pluk-pluk", kedua jari kayu tepat masuk ke lubang mata patung berjubah itu.
Dengan sendirinya patung tidak dapat menjerit, dia masih tetap duduk tenang di tempatnya, tapi kedelapan patung yang lain mendadak mogok, lalu roboh semuanya.
Cepat Liok Siau-hong melompat keluar rumah. Terdengarlah suara gemertak, kedelapan patung di dalam rumah roboh tumpang tindih tak keruan. Numun dia tidak menoleh sama sekali.
Ia tidak ingin menyaksikan hasil gemilang kemenangannya itu, biarpun dia merobohkan seribu patung kayu sekaligus juga tidak menambah cemerlang namanya, asalkan dia dapat keluar dari rumah itu dengan selamat sudah untung baginya.
Pertarungan ini tarnyata tidak membuatnya rugi sesuatu, tapi malah memberi untung baginya, yaitu beberapa bagian bahu dan punggung matang biru, malahan kepalanya juga benjut.
Selain itu, peristiwa ini juga telah memberinya suatu pelajaran yang baik. Ia bersumpah selanjutnya kalau mesti berkelahi dengan orang, sedikitnya dia harus mengetahui dahulu siapa lawannya, kalau orang hidup dia akan terima, bila orang-orangan kayu alias patung, lebih baik dia angkat kaki saja.
Selagi dia merenungkan pelajaran ini, ternyata pelajaran kedua sudah menyusul tiba. Tiba-tiba dirasakan tempat dimana dia berdiri adalah kolam teratai itu, di situ tadi seorang berbaring di dasar kolam dengan mata mendelik seperti ikan mati.
Mendingan cuma babak belur dihajar oleh kawanan patung, jika disembelih orang dengan pisau tipis seperti seekor kucing kan konyol"
Tanpa memandang ke bawah pun dapat dirasakannya mata yang mendelik seperti ikan mati itu sedang melotot padanya. Belum lagi pisau tipis yang cepat itu.
Bilamana seorang sudah terjun ke bawah, baik jiwanya maupun raganya, bila ingin melepaskan diri lagi jelas bukan pekerjaan yang mudah.
Dalam keadaan anjlok ke bawah, Liok Siau-hong yakin sebentar lagi pasti akan tercebur ke dalam kolam, bukan mustahil pisau tajam orang akan segera bersarang di dadanya dan mungkin dia akan mati serupa si nelayan tua atau si muka kuda, orang lain pasti akan mengira dia mati karam karena mabuk.
Tak terduga, sebelum dia masuk air, dari dalam kolam sudah menjumbul keluar lebih dulu satu orang dengan tangan memegang pisau tipis mengkilat.
Orang ini tidak hanya cepat dan keji serangannya, bahkan dapat menyelam tanpa bergerak untuk waktu tak terbatas, maka dapat dibayangkan betapa lihai kemahiraanya di dalam air. Kalau di daratan mungkin Liok Siau-hong masih sanggup menghadapi pisau orang, tapi di dalam kolam keadaan menjadi lain.
Walaupun tidak sempat lagi melompat, untuk anjlok lebih cepat tentu tidak sulit, maka terdengarlah suara "plung", ia tercebur ke dalam kolam dan terus tenggelam, sekali melejit di dalam air, sekuatnya ia rangkul kaki orang.
Anehnya orang itu sama sekali tidak meronta, pisau tipis itupun tidak menikam ke bawah.
Pada waktu yang paling singkat setelah Siau-hong merangkul kaki orang, segera ia cengkeram Hiat-to bagian kaki dan segera menyeretnya ke dalam air.
Di bawah cahaya lampu yang remang-remang dapat dilihat oleh Siau-hong kulit muka orang ini berkerut-kerut, biji matanya melotot seperti mau melompat keluar dan lidah terjulur, nyata orang ini sudah mati tercekik.
Tadi Siau-hong mengira orang ini sudah mati, siapa tahu dia masih hidup, sekarang disangkanya orang hidup, tahu-tahu dia sudah mati.
Dengan banyak mengeluarkan tenaga, ternyata yang dihadapi Siau-hong hanyalah seorang mati belaka, sungguh hal ini membuatnya menyengir"
Untung tidak ada orang lain di bawah kolam, cepat ia lepaskan kaki orang mati itu dan mengapung ke permukaan kolam.
Mendadak ada orang berkeplok tertawa dan berseru, "Aha, kungfu hebat! Sampai orang mati pun dapat kau tenggelamkan, kagum, sungguh kagum!"
Terlihat seorang berduduk di tepi kolam, kepalanya gundul, kaki telanjang, ternyata Lau-sit Hwesio adanya.


Manusia Yang Bisa Menghilang Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kepalanya yang gundul terlihat masih ada sisa butiran air, jubah paderinya juga basah, jelas tadi dia juga baru muncul dari bawah air.
Siau-hong melototinya dengan mendongkol, katanya, "Kiranya Hwesio juga dapat membunuh orang."
"Hwesio tidak membunuh orang," kata Lau-sit Hwesio dengan tertawa, "Hwesio cuma salah sangka dia sebagai seekor ikan, maka salah tangan."
"Apakah ini ucapan jujur?" ujar Siau-hong.
"Sepertinya tidak," Lau-sit Hwesio menghela napas.
Siau-hong tertawa dan melompat ke atas serta duduk di sampingnya, lalu bertanya, "Mengapa Hwesio tidak jadi pergi?"
"Kau sendiri mengapa tidak pergi?" Lau-sit Hwesio balas bertanya.
"Aku tidak sanggup pergi," jawab Siau-hong.
"Jika kau pun tidak mampu pergi, mana Hwesio sanggup?" ujar Lau-sit dengan gegetun.
"Sebab apa Hwesio datang ke sini?"
"Jika Hwesio tidak masuk neraka, siapa yang mau masuk neraka?"
"Jadi kau tahu tempat ini neraka" Lantas untuk apa kau datang ke neraka" Orang macam apa pula Kiu-siauya itu" Mengapa bisa memasukkanmu ke dalam peti?"
Lau-sit Hwesio tidak bicara lagi.
"Kalau kau tahu, mengapa tidak kau katakan?"
Lau-sit Hwesio menggeleng dan bergumam, "Rahasia alam tidak boleh dibocorkan! Tidak boleh!"
Siau-hong menjadi tak sabar, mendadak ia melompat bangun, secepat kilat ia pencet hidung si Hwesio dan membentak, "Benar-benar tak mau kau ceritakan?"
Karena hidung terpencet, tidak dapat menggeleng juga tidak sanggup bicara, terpaksa Lau-sit Hwesio hanya menuding hidung sendiri dengan megap-megap.
"Hm, kau takut mati dan tamak hidup, suka menjual kawan, yang kau lakukan selalu hal-hal yang tidak memerlukan hidung, biarlah kupotong saja hidungmu dan habis perkara," jengek Siau-hong Meski di mulut bicara demikian, pencetannya lantas dilepaskan.
Lau-sit Hwesio mengembuskan napas lalu berucap sambil menyengir, "Meski Hwesio takut mati, perbuatan menjual kawan tidak berani kulakukan."
"Lantas sebab apa kau pilih diriku sebagai pengganti kematianmu?"
"Sebab kutahu engkau pasti takkan mati."
"Berdasarkan apa?"
"Dapat kulihat juragan tua ada maksud memungut engkau sebagai menantu."
"Siapa itu juragan tua?"
"Coba lihat yang berdiri di sana itu, siapa dia kalau bukan si juragan tua"!"
Dia lantas menuding ke depan sana, tanpa terasa Siau-hong memandang ke arah lain, sekali berjumpalitan dia lantas menghilang di kegelapan.
Ginkang si Hwesio memang terhitung nomor satu atau dua di dunia Kangouw. Namun Ginkang Liok Siau-hong juga tidak kalah hebatnya, sekali loncat segera ia mengudak ke sana.
Meski malam gelap dan terlambat selangkah, namun samar-samar bayangan Lau-sit Hwesio dapat dilihatnya sedang melayang-layang di depan.
Padahal bukan maksud Liok Siau-hong hendak membikin susah si Hwesio, soalnya di tampat asing ini kalau bisa menahan seorang kenalan untuk mendampinginya kan lebih aman rasanya.
Lari Lau-sit Hwesio sangat cepat, cara mengejar Siau-hong juga tidak lamban, jarak kedua orang semakin dekat.
Tiba-tiba di depan ada cahaya lampu lagi.
Cahaya lampu menembus dari dalam sebuah rumah yang sangat besar, dinding tinggi, wuwungan panjang, tampaknya serupa kuil atau kelenteng tapi juga seperti gedung pejabat tinggi.
Dengan sendirinya di tempat ini tidak ada kantor pejabat segala. Mendadak Lau-sit Hwesio seperti burung terbang masuk ke hutan, langsung ia menyusup masuk ke dalam gedung itu.
Diam-diam Siau-hong merasa geli, pikirnya, "Sekali ini jadi tepat sesuai pepatah yang mengatakan umpama Hwesio dapat kabur juga kelentengnya takkan lari."
Tanpa pikir ia terus mengejar ke dalam.
Suasana halaman di dalam gedung sunyi senyap. Namun cahaya lampu di ruangan pendopo terang benderang, seorang pembesar tinggi dengan lagak kereng berduduk di belakang sebuah meja yang angker. Di kedua samping ruang pendopo berdiri beberapa pengawal, ada lagi beberapa pengawal berkopiah merah dan membawa golok.
Nyata tempat ini bukanlah kelenteng, melainkan benar-benar sebuah kantor pejabat tinggi.
Sungguh aneh, di tempat seperti ini mana ada pejabat pemerintah" Kantor pejabat ini pasti palsu, orang-orang ini dengan sendirinya juga patung belaka.
Bila teringat kepada patung kayu, kepala Siau-hong lantas pusing, tanpa menghiraukan Lau-sit Hwesio lagi segera ia bermaksud mengeluyur pergi.
Siapa tahu pembesar yang berduduk di belakang meja itu mendadak menggabruk meja dengan sepotong kayu dan membentak, "Liok Siau-hong, jika sudah datang masakah mau pergi lagi"!"
Serentak para pengawal di kedua samping juga menggertak, "Masakah kau mau pergi lagi?"
Ternyata orang-orang ini tiada satu pun patung, semua orang hidup.
Siau-hong berbalik merasa lega, dalam pandangannya orang hidup ternyata tidak lebih menakutkan daripada patung kayu.
Dia tidak jadi pergi, sebaliknya terus masuk ke ruangan besar itu dan mengamat-amati pembesar itu, dari dandanannya yang mentereng itu jelas jubah menteri, kopiah emas mengkilat, segera dikenali dia inilah Ho-siangsi yang pemabuk itu. Cuma saat ini yang dipegangnya bukan botol arak melainkan sepotong kayu, yaitu kayu yang biasa digunakan hakim untuk mengetuk meja (sekarang digunakan palu kayu).
"Aha, kiranya Ho-siangsing," sapa Siau-hong dengan tertawa. "Apakah engkau hendak menyuguh arak lagi padaku?"
Meski mata Ho-siangsi atau menteri Ho kelihatan masih seperti mata orang mabuk, namun sikapnya sangat kereng, ucapnya dengan menarik muka, "Berada di depan sidang pengadilan, kau berani main gila?"
"Hah, tempat ini sidang pengadilan?" tanya Siau-hong dengan melengak.
"Betul," jawab Ho-siangsi.
"Ah, salah, salah besar!" seru Siau-hong.
"Salah apa?" tanya menteri Ho.
"Ho Ti-ciang adalah Le-poh-siangsi (menteri kesusilaan), mana bisa dia berada di sidang pengadilan?" kata Siau-hong.
Padahal pengetahuan Liok Siau-hong tentang sejarah Ho Ti-ciang dari dinasti Tong itu juga tidak begitu jelas, ucapannya itu cuma untuk membual saja, siapa tahu salah pukul justru kena dengan tepat.
Air muka menteri Ho yang gadungan ini tampak memperlihatkan rasa kikuk, tapi dari malu dia menjadi gusar, ia mengetuk palu pula dan berteriak, "Aku justru ingin duduk di sidang pengadilan ini, kau bisa apa?"
"Aku tak bisa apa-apa," ujar Siau-hong dengan tertawa. "Kau suka duduk dimana boleh silakan, apa sangkut-pautnya denganku."
"Tentu saja ada sangkut-pautnya," kata Ho-siangsi. "Sidang ini justru untuk mengadili dirimu."
Siau-hong tertawa dan berkata, "Aku tidak berbuat salah, apa yang perlu diadili?"
Kembali Ho-siangsi mengetuk palu dengan keras dan membentak bengis, "Setiba di sini, masih berani kau menyangkal?"
"Aku cuma tahu satu-satunya kesalahan" Itu adalah salah tempat dan salah berkawan," kata Siau-hong.
Dengan gusar Ho-siangsi berteriak, "Kau terima uang orang, tapi ingkar janji. Selain itu kau kumpulkan orang untuk berjudi dan main licik, kabur dengan menggondol uang orang lain. Apakah dosamu ini tidak kau akui?"
Liok Siau-hong berpikir sejenak, jawabnya kemudian, "Tentang ingkar janji rasanya memang betul!"
"Tentu saja betul, kau terima lima laksa tahil perak itu, seharusnya kau penuhi janjinya, hal ini sudah terbukti dengan jelas, memangnya dapat kau sangkal."
"Aku kan tidak menyangkal. Cuma orang yang menghasut untuk membunuh, dosanya kan lebih besar daripadaku, mengapa tidak kau tangkap dia untuk diadili labih dulu."
"Aku justru ingin mengadili dirimu lebih dulu, kau bisa apa?"
Siau-hong menyengir, "Ya, kalau setan arak menjadi hakim, tentu saja aku pun serupa bandit minta keadilan, pasti kalah dan tidak bisa menang."
"Kau ingkar janji dan melarikan diri, itulah tuduhan utama, kau berkomplot, berjudi dan main curang, itulah tuduhan subsider, lebih subsider lagi kau berani kepada pejabat yang mengadili dirimu. Nah, ketiga dosamu itu sekaligus sudah terbukti, kau terima dipukul atau dihukum?"
"Jika terima dipukul bagaimana caranya?"
"Kalau terima dipukul, segera kuperintahkan orang merangket dirimu sampai mati."
"Bila minta dihukum saja?"
"Jika begitu akan kujatuhkan hukuman 30 tahun kerja paksa, apa yang aku perintahkan harus kau kerjakan."
"Kalau kutolak seluruhnya, tidak terima dipukul juga tidak mau dihukum, lalu bagaimana?"
Ho-siangsi melenggong, agaknya dia tidak menyangka akan ditanya begitu.
Tapi Liok Siau-hong lantas mewakili dia memberi keputusan. "Jika demikian, dengan sendirinya aku harus cepat tancap gas alias kabur!"
Mengadakan sidang pengadilan pribadi dan mengangkat dirinya sendiri sebagai menteri kehakiman, semua ini adalah perbuatan yang lucu.
Tapi Liok Siau-hong juga tahu betapapun lucunya, hal yang terjadi di tempat ini sangat mungkin akan berubah menjadi gawat. Bilamana mereka menyatakan akan memberi hukuman 30 tahun kerja paksa padamu dan kau anggap sebagai bergurau saja, maka salah besarlah dugaanmu.
Namun Siau-hong juga tahu orang-orang hidup ini tidaklah lebih mudah dilayani daripada patung kayu. Meski menteri gadungan ini kelihatan sinting, namun jelas juga seorang tokoh kosen yang sukar diraba kepandaiannya.
Satu-satunya jalan selamat baginya adalah lekas kabur saja, makin cepat makin baik, makin jauh makin selamat.
Ginkang Siau-hong diakui jarang ada bandingannya, sampai Sukong Ti-sing juga mengaku kalah. Dalam hal ini biasanya Siau-hong cukup yakin akan kemampuannya sendiri.
Maka cukup dengan beberapa kali lompatan saja ia sudah meninggalkan ruangan pengadilan itu, sekaligus ia melayang beberapa puluh tombak jauhnya.
Selagi ia hendak berhenti untuk berganti napas, tiba-tiba terdengar seorang menjengek di belakang, "Ehm, boleh juga Ginkangmu, cuma sayang, biarpun kau tumbuh sayap juga tidak bisa kabur lagi."
Segera dikenali itulah suara Ho-siangsi, orang ini ternyata dapat mengintil di belakangnya seperti bayangan, jaraknya malahan cuma beberapa kaki saja.
Menteri gadungan sinting ini benar-benar memiliki kungfu maha tinggi, Ginkangnya bahkan jauh lebih hebat daripada dugaan Siau-hong.
Telah diusahakan dengan macam-macam gerak tubuh yang cepat, tapi kemana pun Siau-hong pergi si menteri gadungan masih tetap membayanginya dengan ketat.
Tertampak bayangan air berkilau, tiba-tiba Siau-hong melihat dirinya telah berada kembali di tepi kolam tadi, mayat di dalam air sudah hilang, entah orang itu dapat hidup kembali atau memang tidak pernah mati"
Orang-orang di sini memang sukar dibedakan apakah orang hidup atau orang mati, apakah orang tulen atau cuma orang-orangan alias patung.
Mendadak Ho-siangsi berucap, "Biarpun kau terjun ke dalam kolam juga tetap akan kukejar, meski kau masuk ke istana naga juga tetap tak bisa kabur."
Sebenarnya Liok Siau-hong tidak ingin terjun ke dalam kolam, sebab bukan mustahil di dalam air sudah menunggu lagi seorang yang bermata melotot seperti ikan mas, dengan pisau terhunus.
Akan tetapi setelah mendengar ucapan Ho-siangsi itu, dia berbalik terus terjun saja ke dalam air, dengan gerakan indah. Ia terus menyelam ke dasar kolam.
Dia terus menunggu dan menunggu hingga lama, ternyata tidak ada reaksi sedikit pun di atas. Kalau tidak menahan napas di dalam air, pasti Liok Siau-hong sudah bergelak tertawa.
Liok Siau-hong memang serba cerdik, ia paham ilmu jiwa. Jika seorang menantang berkelahi, biasanya penantang ini justru takut berkelahi. Sebab kalau tidak takut tentu tidak perlu menantang, langsung saja tonjok. Justru karena takut, maka berlagak menantang segala.
Dan bila Ho-siangsi tidak kuatir dia terjun ke dalam air, tidak perlu dia bicara seperti tadi. Dan memang benar, Ho-siangsi tidak berani ikut terjun ke dalam kolam.
Siau-hong menunggu lagi hingga sekian lamanya baru berani menongol ke permukaan air untuk berganti napas. Segera dilihatnya Ho-siangsi masih menunggunya di tepi kolam. Entah, darimana dia mendapatkan sebotol arak, dia lagi asyik minum arak dengan gembira.
Malahan terdengar dia lagi bergumam, "Biarlah kau berendam di dalam air yang dingin, aku minum arak sendiri sini, boleh coba kau mampu bertahan sampai kapan, aku siap menunggu."
Waktu Liok Siau-hong menongol untuk berganti napas kedua kalinya, dilihatnya Ho-siangsi telah mendapatkan sebatang galah pancing, sembari minum arak sambil memancing ikan, sungguh santai.
Liok Siau-hong bukan ikan, dengan sendirinya dia tidak dapat bernapas di dalam air seperti ikan.
Ketika untuk ketiga kalinya dia menongol ke permukaan air untuk bernapas, sekonyong-konyong seutas tali pancing menyambar ke arahnya, kalau saja kurang cepat dia berkelit, andaikan orangnya tidak terpancing, sedikitnya sepotong daging pada mukanya akan robek terpancing.
Tampaknya menteri gadungan she Ho ini tidak cuma Ginkang-nya maha tinggi, tenaga dalamnya jelas juga sangat hebat, buktinya tenaga dalamnya dapat disalurkan ke tali pancing untuk menyerang lawan di kejauhan.
Air kolam ini tidak terlalu dalam, kolamnya juga tidak terlalu basar, kemana pun kepala Siau-hong menongol pasti akan terjangkau oleh tali pancing.
Pancing ikan yang ujung talinya tajam tampak gemerdep, serupa semacam senjata istimewa yang sangat lihai. Dia dapat menghindari satu kali, lain kali belum tentu bisa semujur ini.
Bilamana seorang menongolkan kepalanya ke permukaan air, maka kepalanya akan serupa sasaran bidik, sebab sekujur tubuhnya terendam di dalam air, hanya kepala saja dapat bergerak, tapi betapa pun bergerak tetap tidak bisa cepat.
Untung Siau-hong pernah berla
Dendam Iblis Seribu Wajah 21 Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo Jodoh Si Mata Keranjang 8
^