Naga Kemala Putih 5

Naga Kemala Putih Karya Gu Long Bagian 5


meninggalkan Benteng Keluarga Tong"
Dia ikut berlari menyongsong kedatangan gadis itu. Ia
menggenggam tangan Hong-nio erat-erat, dengan perasaan girang
yang meluap-luap memanggil namanya, lalu bertanya, "Bagaimana
caranya kau meninggalkan Benteng Keluarga Tong?"
Wi Hong-nio balas menggenggam tangan Bu-ki erat-erat,
sahutnya, "Kita tak usah membicarakan dulu soal itu. Cepat ikut aku,
akan kuperlihatkan sesuatu padamu!"
Ia segera mengajak Bu-ki menuju ke ruang rahasia yang
biasa digunakan ayahnya semasa masih hidup dulu. Mereka masuk,
membuka ruang rahasia, mengeluarkan buku harian dan
menyerahkannya ke tangan si pemuda.
Bu-ki tahu benda ini pasti sesuatu yang sangat penting,
maka ia segera membuka dan membacanya.
Tulisan yang muncul di hadapannya adalah tulisan yang
amat dikenalnya. Tak heran kalau rasa haru dan sedih seketika
menyergap hatinya.
Semakin dibaca, perasaannya semakin bergolak, akhirnya
dia naik pitam, gusar sekali. Dengan wajah penuh amarah dia
mendongakkan kepalanya dan memandang perempuan itu.
Dengan penuh pengertian Wi Hong-nio menganggukkan
kepalanya, ia berkata, "Pergilah untuk menyelesaikan persoalan ini,
aku akan menanti disini, segala sesuatunya kita bicarakan lagi
sekembalimu kemari!"
Bu-ki mengangguk dan segera beranjak pergi dari situ,
perasaannya saat itu ibarat sebaskom api yang sedang membara.
Dengan nafsu meluap dan amarah yang tak terkendali ia segera
berangkat menuju ke benteng Siangkoan-po.
Rasa benci dan dendam telah menutup kesadarannya, dia
seakan sudah melupakan segala sesuatu. Lupa untuk menanyakan
persoalan yang seharusnya ditanyakan dulu.
--Bagaimana caranya Wi Hong-nio bisa keluar dari Benteng
Keluarga Tong"
--Dari mana buku harian itu diperoleh" Bagaimana bisa
ditemukan secara tiba-tiba"
Seandainya ia tetap berkepala dingin dan memikirkan segala
sesuatu dengan lebih cermat, seharusnya tak sulit untuk
menemukan banyak hal yang aneh dan mencurigakan dari kata-kata
Wi Hong-nio. Dia pasti segera akan bersangsi dan menaruh curiga
atas keaslian buku harian itu.
Tampaknya Tong Ou sudah memperhitungkan sampai di
situ. Ia memperkirakan kejiwaan lawannya, setelah membaca buku
harian itu, ia tahu dalam keadaan gusar dan penuh diliputi perasaan
dendam, Bu-ki pasti akan segera meninggalkan tempat itu. Ketika
amarahnya mulai mereda, mungkin dia sudah tiba di benteng
Siangkoan-po dan saat itu, biarpun ingin ditanyakan, segala
sesuatunya sudah terlambat!
Seperti inilah hidup manusia di dunia. Banyak kejadian
memang berlangsung dalam keadaan seperti ini. Dalam kobaran
dendam dan benci, orang gampang terlena, lupa untuk menyelidiki
dulu persoalan yang sebenarnya, lupa untuk menelitinya secara
mendalam. Ketika peristiwa sudah terjadi, menyesal tak ada
gunanya, karena bila nasi sudah jadi bubur, tak mungkin semuanya
dipulihkan kembali seperti sedia kala.
Mungkin inilah yang disebut manusia dipermainkan nasib.
Hanya saja, kadang-kadang cara manusia dipermainkan nasib bukan
hanya itu. Ooo)))(((ooo Senja, matahari sore sudah hampir tenggelam di ujung
langit. Seperti di hari-hari biasa, Pek Giok-khi mulai memasang
lampu lentera dan menggantungkannya di depan pintu.
Pesanggrahan 'Pek-giok-tay', tiga huruf yang besar nampak
memantulkan cahaya yang terang ketika tertimpa cahaya lentera.
Dengan bangga dia mengawasi sebentar papan nama sendiri
yang berwarna emas itu. Baru kemudian balik ke dalam rumah,
duduk di depan meja dan mulai mengerjakan pekerjaan malamnya,
menulis huruf indah...
Kepandaiannya menulis adalah yang terhebat di wilayah itu.
Dengan hanya menjual beberapa lembar tulisannya, ia sudah bisa
hidup cukup. Namun ia tak pernah merasa puas akan hasil itu, dia
selalu ingin memperoleh uang lebih banyak lagi.
Dia memang butuh uang banyak, karena ia perlu membiayai
semua kesenangannya, kesenangan yang memerlukan uang seperti
koleksi barang antik, menikmati wanita cantik, membeli pakaian
mewah... Oleh sebab itu mau tak mau dia harus mengkhianati
Tayhong-tong, diam-diam bekerja sebagai mata-mata Benteng
Keluarga Tong. Membuat buku harian palsu untuk Benteng Keluarga
Tong, Tong Hoa telah menghadiahkan uang sebanyak seratus tahil
perak. Dia harus pergi merayakannya, pergi menikmatinya. Dan dia
memang berniat begitu, hanya saja karena malam belum menjelang
tiba maka ia belum berangkat. Ia senang akan malam yang sepi
dengan cahaya lentera yang benderang, meneguk secawan arak,
menikmati dua tiga macam hidangan didampingi satu dua orang
gadis cantik. Hal semacam inilah merupakan kesenangannya yang
paling utama dalam hidupnya.
Malam ini, dia pun berencana untuk menikmati hiburan
semacam itu. Untuk menunggu datangnya waktu, ia mulai menulis
berapa huruf. Sedang asyik menulis, mendadak ia menghentikan
pitnya, mendongakkan kepala dan menjerit kaget.
Ternyata Tong Hoa sudah berdiri di hadapannya, mengawasi
wajahnya dengan sekulum senyuman.
Sejak kapan Tong Hoa muncul di situ" Ia sama sekali tidak
merasa apa-apa. Kejadian semacam ini belum pernah dialaminya
sejak dulu. Biasanya, asal ada langkah kaki mendekat pintu gerbang, ia
pasti akan mendengarnya, sekalipun perhatiannya sedang terpusat
untuk menulis huruf, ia tetap akan menghentikan gerakan pitnya,
bangkit berdiri dan menyambut kedatangan tamunya.
Kunci sukses bagi seorang penjual jasa adalah keramahtamahan
dan sikap yang hormat, dia tak ingin tamunya menunggu
terlalu lama. Tapi hari ini, ternyata ia tidak mendengar suara langkah kaki
Tong Hoa, mungkinkah lantaran dia kelewat gembira, kelewat
bangga" Buru-buru dia bangkit berdiri, ujarnya kepada Tong Hoa
sambil tertawa, "Tong-kongcu, ada keperluan?"
"Benar!" Tong Hoa manggut berulang kali.
"Apa yang harus kulakukan?"
"Sederhana sekali, aku percaya setiap orang dapat
melakukannya."
"Oh ya" Apa maksud Tong-kongcu" Aku tidak paham..."
"Jelasnya, aku hanya ingin kau melakukan tiga kata saja."
"Tiga kata" Menulis buku harian" Lagi-lagi menulis buku
harian?" "Bukan!"
"Lalu..."
"Segera pergilah mati!"
"Segera pergilah mati?" Pek Giok-khi seakan tidak paham
dengan kata-kata itu. Dia mengulang sekali lagi kata-kata itu dengan
nada yang lebih berat.
"Aku ingin kau segera pergi mampus!"
Dengan sangat terperanjat, Pek Giok-khi mundur selangkah,
matanya terbelalak lebar, diawasinya wajah Tong Hoa tanpa
berkedip, "Apa kau bilang?"
"Mampus! Aku menyuruh kau segera mampus, belum
mengerti?" Paras muka Pek Giok-khi berubah hebat, badannya
gemetar keras, terbata-bata ia bertanya, "Kenapa?"
"Alasan tua semacam ini pun tidak kau pahami" Tentu saja
untuk melenyapkan saksi dan membungkam mulutmu untuk
selamanya!"
"Melenyapkan saksi dan membungkam mulutku" Sudah
sekian tahun aku bekerja untuk kalian, pernahkah kubocorkan
rahasia penting kalian?"
"Belum pernah."
"Mengapa mulutku harus dibungkam?"
"Sebab kejadian apa pun pasti ada yang pertama kali, kami
tak bisa menduga atau meramalkan semua persoalan yang ada. Ini
namanya sedia payung sebelum hujan!"
"Aku..."
"Kau tak usah banyak bicara lagi. Aku amat menyukaimu,
tapi aku harus melaksanakan perintah yang kuterima. Sekarang, kau
akan menghabisi nyawamu sendiri, atau..."
Mendadak Pek Giok-khi menyambar pit yang ada di meja
dan melemparkannya ke arah Tong Hoa. Pada waktu yang sama
tubuhnya berputar cepat ke belakang, kemudian kabur secepatcepatnya
meninggalkan tempat itu.
Tampaknya Tong Hoa sudah menduga sampai ke situ, ia
segera bergerak cepat melintangkan tubuhnya ke samping, begitu
lolos dari sambitan pena, secepat anak panah yang terlepas dari
busurnya ia menerkam ke muka, pedangnya disodokkan ke depan
lalu ditarik ke belakang...
Semburan darah segar segera memancar keluar dari
punggung Pek Giok-khi, tanpa bersuara tubuhnya roboh tersungkur
di atas tanah. Tong Hoa membalikkan badan, mengambil selembar kertas
dari atas meja, membersihkan noda darah yang membasahi ujung
pedangnya, lalu sambil menyarungkan kembali senjatanya, ia
berjalan keluar meninggalkan Pesanggrahan Kemala Putih.
Ooo)))(((ooo Nasib selalu mempermainkan manusia, kata ini memang
aneh tapi begitulah kenyataannya. Mimpi pun Tong Hoa tidak
menyangka kalau perhitungan dan perkiraannya kali ini meleset
jauh. Dia tak mengira telah melakukan kesalahan besar.
Dalam anggapannya, tusukan maut yang dilancarkannya
pasti telah merenggut nyawa Pek Giok-khi.
Dia keliru besar!
Tapi kalau mesti berbicara jujur, kesalahan ini tak bisa
dibebankan ke pundaknya seorang. Manusia semacam Pek Giok-khi
adalah manusia langka, belum tentu dalam sepuluh ribu orang
terdapat satu orang seperti dia.
Orang biasa jantungnya terletak di sebelah kiri, maka
tusukan yang dilancarkan Tong Hoa tadi, seperti pada umumnya,
dihunjamkan ke dada kiri Pek Giok-khi.
Sayang dia tak menyangka, kalau Pek Giok-khi punya
kelainan, letak jantungnya tidak di sebelah kiri tapi lebih bergeser ke
arah kanan. Oleh sebab itu tusukan tersebut sama sekali tidak
membuatnya tewas seketika.
Pek Giok-khi pun terhitung manusia cerdik, begitu kena
tusukan pedang, tubuhnya langsung tersungkur ke tanah dan purapura
mati. Menanti berapa saat kemudian, setelah yakin Tong Hoa
telah pergi jauh, dia baru berusaha merangkak bangun.
Dia tahu sudah kehilangan banyak darah, walaupun tusukan
tersebut tidak membuatnya tewas seketika, namun dengan kondisi
luka seperti ini, biarpun tabib Hoa To hidup kembali belum tentu
nyawanya bisa diselamatkan.
Maka dengan langkah sempoyongan dia merangkak masuk
ke dalam kamar tidurnya, membuka peti rahasianya dan mengambil
keluar buku asli yang diserahkan Tong Hoa kepadanya.
Memang begitulah kebiasaan yang dia lakukan selama ini,
setiap kali selesai melaksanakan satu tugas, ia selalu menyimpan
bahan aslinya ke dalam peti rahasia. Baginya, menyimpan sedikit
bukti akan lebih menguntungkan, siapa tahu suatu ketika akan
diperlukan, seperti halnya sekarang, kalau toh pihak Benteng
Keluarga Tong bersikap keji terlebih dulu, tentu saja dia akan
menghadapi pengkhianatan ini dengan tindakan tidak setia kawan.
Setelah mengambil keluar buku asli, tanpa sempat lagi
membalut lukanya, dengan menahan rasa sakit yang merasuk
hingga ke tulang, ia berjalan keluar meninggalkan pesanggrahan
Pek-giok-tay. Dia berjalan dan berjalan terus hingga tiba di gedung
keluarga Tio, setiap kali jatuh terjerembab, dia merangkak bangun
dan berjalan lagi.
Akhirnya ketika tiba lebih kurang satu kaki dari pintu
gerbang gedung keluarga Tio, dia tak sanggup menahan diri lagi,
"blaaam!" tubuhnya roboh terjengkang ke tanah.
Tapi ia berusaha meronta terus, seinci demi seinci dia
merangkak terus, tangannya sudah meraih ujung pintu gerbang, tapi
sayang tenaganya sudah lenyap tak berbekas, kelima jarinya
mengendor dan akhirnya terjatuh ke tanah bagaikan segenggam
pasir. Meskipun begitu, tangan kirinya masih tetap menggenggam
kitab asli itu, memegangnya erat-erat.
Tong Hoa telah kembali ke tempat penginapannya,
memesan sayur dan arak dan menikmatinya seorang diri, dia harus
merayakan kemenangan dan keberhasilan yang telah diraihnya.
Selama berada di Benteng Keluarga Tong, dia selalu ingin
untuk meraih posisi yang lebih tinggi. Dia tahu, tidak mungkin
baginya untuk menempati posisi yang diduduki Tong Ou saat ini,
sebab tampaknya Lo-cocong amat menyayangi Tong Ou. Di samping
itu, Tong Ou memang berbakat menjadi seorang pemimpin, memiliki
kecerdasan dan kemampuan yang luar biasa. Tapi bagaimana
dengan Tong Koat" Dia berpendapat, kemampuannya sendiri masih
jauh melebihi kemampuan orang itu, jadi sepantasnya bila
posisinya berada jauh di atas posisi Tong Koat.
Setelah berhasil menjalankan siasat Naga Kemala Putih ini,
sekembalinya ke benteng nanti ia berencana untuk memamerkan
jasa di hadapan Lo-cocong. Siapa tahu si nenek moyang jadi senang
dan mengutusnya untuk menjalankan tugas penting lainnya. Bila hal
ini terjadi, sudah pasti dia akan semakin terpandang.
Terhadap kemampuannya, ia selalu merasa bangga dan
percaya diri. Maka cawan pun diisinya penuh-penuh, kemudian sekali
teguk dia habiskan seluruh isi cawannya.
Ketika meletakkan kembali cawannya ke meja, mendadak
suatu perasaan tak tenang melintas dalam hatinya.
Mengapa perasaannya tak tenang" Ia tidak tahu pasti,
sambil menggenggam cawan araknya dia mulai berpikir dengan
seksama. Ia mulai membayangkan kembali semua tingkah lakunya
selama ini, dimulai dari melaksanakan siasat Naga Kemala Putih.
Setiap langkah yang telah diperbuat kembali diingat dan
dibayangkan secara cermat. Dia ingin tahu adakah kesalahan yang
telah dilakukannya. Lebih penting lagi adalah mencari tahu persoalan
apa yang tiba-tiba membuat perasaannya tak tenang.
Tapi, perasaan tak tenang tetap berkecamuk dalam
benaknya.

Naga Kemala Putih Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mengapa bisa begitu"
Tiba-tiba ia melompat bangun. Ah benar! Dalam hal ini tidak
boleh ada kesalahan yang dia lakukan. Sekarang dia teringat,
ternyata ada satu hal dia telah lakukan secara ceroboh.
Setelah menghabisi nyawa Pek Giok-khi, seharusnya ia
menggeledah tubuh mayat itu serta seluruh bangunan rumahnya. Ia
tak boleh membiarkan naskah asli Rencana Naga Kemala Putih
terjatuh ke tangan orang lain, apalagi kalau sampai jatuh ke tangan
orang Tay-hong-tong.
Kematian Pek Giok-khi pasti akan menimbulkan
kegemparan, orang-orang Tayhong-tong pasti akan menggeledah
seluruh isi rumah, mencari barang-barang peninggalannya untuk
mencari tahu sebab musabab terjadinya pembunuhan ini. Andaikata
Pek Giok-khi belum memusnahkan naskah asli tersebut, bukankah
siasat Naga Kemala Putih terancam gagal dan berantakan"
Benar! Ternyata di sinilah letak kecerobohan yang membuat
perasaannya tidak tenang.
Buru-buru dia keluar dari kamar dan segera berangkat
menuju ke Pesanggrahan Pek-giok-tay dengan langkah cepat.
Ketika hampir tiba, hatinya mulai tenang. Sebab di depan
pintu Pesanggrahan Pek-giok-tay tidak ditemukan sesosok bayangan
manusia pun! Jika mayat Pek Giok-khi ditemukan orang, kabar berita ini
pasti akan tersebar dalam waktu singkat. Di depan pintu gerbang
Pesanggrahan Kemala Putih pasti akan dikerumuni orang-orang yang
ingin tahu, datang untuk memeriksa apa yang terjadi.
Tapi kini tak seorang pun kelihatan, tandanya kematian Pek
Giok-khi belum diketahui orang. Sungguh kebetulan sekali!
Dengan langkah lebar Tong Hoa masuk ke dalam
Pesanggrahan Kemala Putih, tapi ia tertegun, berdiri terperangah di
depan pintu. Bukankah mayat Pek Giok-khi roboh tersungkur di tempat
itu" Tapi sekarang, kecuali bercak darah yang masih menggenangi
lantai, mayatnya sudah hilang tak berbekas.
Ia melihat bercak darah itu menggenangi lantai di depan
pintu hingga ke ruang dalam, buru-buru dia ikuti bercak darah itu
hingga masuk ke dalam kamar Pek Giok-khi, kemudian dia pun
menyaksikan sebuah peti yang penuh bercak darah, sebuah peti
rahasia. "Celaka!" pekiknya di dalam hati.
Buru-buru dia lari keluar dan menelusuri jalan yang penuh
dengan bercak darah, mengikuti terus hingga tiba di depan pintu
gerbang Gedung Keluarga Tio. Sekarang ia sudah tahu apa yang
telah terjadi, tampaknya Pek Giok-khi dengan membawa naskah ask
telah mendatangi gedung keluarga Tio dan bermaksud
menyerahkannya ke tangan Wi Hong-nio.
Tapi perasaan hatinya kini sudah jauh lebih tenang, karena
ia sudah menemukan mayat Pek Giok-khi, mayat itu terkapar di
depan pintu masuk.
Dia menghampiri mayat itu, membolak-balikkan badannya
dan menggeledah seluruh isi saku Pek Giok-khi. Namun tak ada yang
ditemukan. Ia mulai keheranan, tercengang, kenapa tidak ditemukan
sesuatu apa pun" Sekali lagi digeledahnya seluruh saku mayat itu,
tetap tidak dijumpai sesuatu apa pun.
Dia mencoba memeriksa keadaan di sekelilingnya, sama
sekali tidak ditemukan tanda-tanda kalau ada orang yang pernah
mendatangi tempat itu. Lalu, apakah artinya dia sudah
memusnahkan naskah asli itu sejak awal" Berarti tujuan
kedatangannya adalah untuk mencari
Wi Hong-nio dan menuturkan kejadian yang sebenarnya,
ataukah mungkin naskah asli itu sudah keburu diambil seseorang"
Untuk beberapa saat Tong Hoa berdiri sangsi, dia tak berani
mengambil kesimpulan apa pun.
Menurut perkiraannya, sepertinya Wi Hong-nio belum tahu
kalau di depan rumahnya terkapar sesosok mayat. Bila dia tahu ada
kejadian seperti ini, dengan tabiatnya, sudah pasti jenasah tersebut
akan segera dikuburnya atau menyuruh orang untuk
menggotongnya pergi. Tak nanti dia membiarkan mayat itu tetap
terbaring di sana.
Dalam hal ini dia merasa sangat yakin.
Itu berarti naskah aslinya telah diambil oleh seseorang yang
kebetulan lewat tempat itu. Dia berpendapat perkiraannya paling
mendekati kebenaran. Gedung Keluarga Tio terletak sedikit di luar
kota, jarang orang berlalu-lalang di sana. Selama berapa hari tinggal
di situ, belum pernah ia menyaksikan banyak orang yang lewat di
sekitar sana. Satu-satunya yang bisa membuat dia agak tenang adalah
hasil perkiraannya. Tampaknya Pek Giok-khi datang ke sana untuk
menuturkan kejadian yang sebenarnya kepada Wi Hong-nio, tapi
ketika tiba di depan pintu dia sudah tak sanggup bertahan lebih jauh
hingga akhirnya tewas di situ.
Lalu, apa yang terjadi dengan peti rahasia itu" Ia tak
berhasil menemukan sebuah benda berharga pun dari saku Pek
Giok-khi, tapi mengapa dia membuka peti rahasianya" Sengaja
mengatur perangkap untuk menipunya" Pek Giok-khi pasti sudah
menduga kalau dirinya bakal balik lagi kesana, dia pun kuatir dirinya
belum tentu bisa mencapai gedung keluarga Tio sehingga
menggunakan jurus tersebut untuk mengacaukan jalan pikirannya"
Tong Hoa sama sekali tak yakin. Dengan perasaan was-was
dia meloncat ke atas atap rumah lalu memeriksa sekeliling bangunan
itu. Ia menyaksikan cahaya lentera masih bersinar terang di
balik kamar Wi Hong-nio, tanda bahwa dia masih ada di dalam.
Setelah memeriksa keliling sejenak, dia lalu melompat turun,
menyeret mayat Pek Giok-khi ke balik semak belukar kemudian pergi
meninggalkan tempat itu.
Dalam keadaan seperti ini dia hanya bisa pasrah pada nasib.
Kembali ke dalam kamarnya, Tong Hoa menghabiskan sepoci arak.
Bab 16. Kecerobohan
Sepeninggal Bu-ki, Wi Hong-nio hanya duduk sendirian di
dalam gardu kebun, dia tidak kembali ke kamarnya. Sambil duduk ia
membayangkan kembali seluruh kenangannya bersama Bu-ki, dia
merasa nasib telah mempermainkan mereka berdua.
Hari perkawinan yang sebenarnya merupakan hari paling
bahagia tiba-tiba berubah jadi hari kematian ayah Bu-ki, hari
terbunuhnya Tio Kian, kejadian yang membuat perkawinan mereka
batal dilangsungkan.
Kemudian ketika bersua dalam sekilas pandangan di bukit
Kiu-hoa-san, dia nyaris tak bisa mengenali wajah Bu-ki.
Selanjutnya mereka berjumpa di kamar rahasia dalam
Benteng Keluarga Tong, perjumpaan sekejap yang diikuti
perpisahan, perpisahan yang terasa bagaikan perpisahan antara mati
dan hidup. Dan baru saja, lagi-lagi mereka hanya berjumpa dalam
sekejap, jangan lagi bermesraan, untuk mengucapkan sepatah kata
pun tak sempat.
Nasib macam apakah kehidupan mereka ini"
Wi Hong-nio terbungkam, dengan termangu-mangu
diawasinya langit jauh di atas sana. Walaupun awan putih telah
berlalu, tetap tak ada satu jawaban pun yang bisa menjawab semua
kegundahan di hatinya.
Semakin jauh berpikir, tiba-tiba dari hati kecilnya muncul
satu pemikiran yang aneh.
Ia berpikir, mungkinkah Bu-ki tiba-tiba berbalik kembali ke
sana hanya karena ingin berkumpul lebih lama dengannya, berbagi
kehangatan bersamanya"
Terhadap pemikiran semacam ini dia merasa sedikit agak
geli, mana mungkin Bu-ki akan berbuat demikian" Dia seorang
pemuda berdarah panas yang mementingkan balas dendam, belum
pernah sikap dan pendiriannya berubah hanya karena persoalan
cinta kasih. Walaupun ia merasa jalan pikiran seperti ini amat
menggelikan, namun ia tetap berpikir terus bahkan berharap jalan
pikirannya itu menjadi kenyataan.
Itulah sebabnya dia duduk terus di gardu, duduk menanti
sambil mendengarkan suasana di luar pintu, memperhatikan semua
gerakan di situ.
Harapan berlalu sangat lambat, tapi lambat atau tidak,
waktu tetap bergulir terus tanpa henti.
Biarpun matahari bergeser sangat lambat, namun akhirnya
sampai juga di langit barat, tenggelam di kaki langit dan akhirnya
lenyap dari pandangan.
Langit dari warna biru berubah jadi merah, lalu dari merah
berubah jadi kelabu, akhirnya dari kelabu berubah jadi hitam,
kemudian bintang-bintang bertaburan di angkasa, berkelap-kelip
tiada henti. Di saat Tong Hoa berkunjung sekali lagi ke Pesanggrahan
Kemala Putih, tiba-tiba Wi Hong-nio mendengar suara langkah kaki
di luar pintu gerbang rumah.
Dia tidak bergerak, ia hanya mendengarkan dengan hatihati,
sementara pikirannya bergolak. Bu-ki kah yang datang" Apakah
dia benar-benar telah balik"
Dia menunggu, menunggu terus dan akhirnya... "Blaaam!"
sesuatu jatuh di depan pintu.
Dengan amat terperanjat ia memburu ke luar pintu, tapi
begitu pintu gerbang terbuka, lagi-lagi ia dibuat terkesiap.
Ia menjumpai Pek Giok-khi roboh terjerembab di lantai,
dalam tangan kanannya tergenggam setumpuk kertas yang cukup
tebal. Ia membungkuk sambil memeriksa napas Pek Giok-khi
dengan jari tangannya, namun tak ada tanda-tanda kehidupan,
menunjukkan bahwa orang itu sudah mati.
Mengapa ia datang kemari dalam keadaan luka separah itu"
Mau apa dia datang kemari" Minta pertolongan" Sambil berpikir Wi
Hong-nio mulai membuka jari tangan orang itu dan mengambil
tumpukan kertas yang digenggamnya.
Ia membuka lembaran kertas itu dan mulai membacanya,
tak lama kemudian ia berdiri tertegun, terkejut bercampur ngeri.
Kenapa isinya sama persis seperti isi buku harian yang
dibacanya" Setelah berpikir sejenak, tiba-tiba ia tersadar kembali, ia
tahu apa yang terjadi.
Bersama dengan itu, dia pun paham dan mengerti kejadian
apa yang sebenarnya sedang berlangsung.
Dia segera mengingat-ulang semua kejadian yang telah
dialaminya selama ini, dimulai dari Tong Hoa berusaha
mendekatinya, mengajaknya kabur dari Benteng Keluarga Tong,
kembali ke tempat ini, menemukan ruang rahasia dan akhirnya
menemukan buku harian...
Dengan cepat gadis ini menemukan banyak kecerobohan
yang telah dia lakukan selama ini, kecerobohan yang sama sekali
tidak disadarinya.
Kenapa Tong Hoa bisa begitu tergila-gila kepadanya"
Sedemikian tergila-gilanya hingga tak segan mengkhianati Benteng
Keluarga Tong dan membawanya melarikan diri" Ia kelewat bodoh,
kelewat tolol, atau mungkin inilah penyakit yang sering diderita
kaum gadis muda" Selalu mengira orang lain sudah tergila-gila
kepadanya, menganggap dirinya sangat memukau, sangat
memabukkan, walaupun ia belum tentu menyukai orang tersebut.
Inilah kecerobohan pertama yang dia lakukan.
Ketika Tong Hoa mengajaknya melarikan diri dari Benteng
Keluarga Tong, kendati dia berkata sangat hapal dengan semua jalur
keluarnya, tapi... mungkinkah sedemikian gampangnya mereka
berhasil kabur dari situ" Apalagi sewaktu menggunakan bahan
peledak untuk meledakkan lorong rahasia. Mungkinkah suara
ledakan yang begitu keras tak sampai memancing perhatian para
jago Benteng Keluarga Tong"
Kenapa di tempat itu tiba-tiba bisa muncul sebuah lorong
rahasia" Masa ada kejadian yang begitu kebetulan" Inilah
kecerobohannya yang kedua.
Setibanya di gedung keluarga Tio, ternyata Tong Hoa
berhasil menemukan tombol rahasia yang membuka ruangan
tersembunyi, lalu dia pun berhasil menemukan patung Naga Kemala
Putih. Memangnya pemuda itu luar biasa lihaynya sehingga segala
sesuatu berhasil dia pecahkan seorang diri" Padahal Bu-ki sangat
hapal dengan tempat itu, dia pun tidak menemukan apa-apa
setibanya di situ, kenapa justru Tong Hoa yang datang belakangan
bisa menemukan semua rahasia itu"
Inilah kecerobohannya yang ketiga.
Setelah berhasil menemukan buku harian, dalam waktu
singkat ternyata Tong Hoa berhasil juga mendapat tahu kalau Bu-ki
dalam perjalanan pulang, bahkan berdalih kurang leluasa bila tetap
tinggal di sana, lantas berpamitan. Bukankah dia pernah bilang kalau
dirinya tergila-gila padanya" Bahkan harus terjun ke lautan api pun
dia tak akan menolak" Kenapa sekarang malah berpamitan hanya
untuk alasan kurang leluasa"
Inilah kecerobohannya yang keempat.
Kecerobohan yang luar biasa, kecerobohan yang tak bisa
dimaafkan! Memang begitulah manusia, harus menyaksikan dulu seluruh
kenyataan yang ada, baru menyaksikan kelemahan-kelemahan yang
telah dilakukannya dulu.
Reaksi pertama yang dilakukan Wi Hong-nio adalah segera
pergi mencari Tio Bu-ki.
Ia memperhatikan mayat itu sebentar, satu ingatan segera
melintas dalam benaknya. Orang itu dengan mempertaruhkan nyawa
telah berusaha datang ke sini, jelas tujuannya adalah untuk
mengungkap kejadian yang sebenarnya, sebagai balas jasa kebaikan
itu, bukankah dia berkewajiban untuk menguburkan mayatnya"
Tapi ingatan lain kembali melintas, orang ini diburu
seseorang untuk dibunuh, berarti ada orang ingin membungkam
mulutnya serta menghilangkan saksi. Seandainya sang pembunuh
menyusul sampai ke sini dan tidak menemukan mayatnya,
pembunuh itu masih akan menghubungkan hilangnya sang mayat
dengan kehadiran dirinya di situ, atau dengan perkataan lain,
pembunuh itu sadar kalau dia telah mengetahui duduk perkara yang
sebenarnya. Dengan begitu pihak Benteng Keluarga Tong pasti akan
merubah rencananya, bisa jadi mereka akan menggunakan siasat
lain yang lebih keji untuk menghadapi Tio Bu-ki dan paman
Siangkoan. Mana bisa dia membiarkan orang Keluarga Tong tahu bahwa
dirinya telah mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya"
Setelah mengambil tumpukan kertas yang yang ada di
tangan mayat itu, buru-buru dia kembali ke dalam rumah bahkan
sengaja memasang lentera dan duduk di tepi jendela, ia berlagak
seakan tidak tahu ada yang telah terjadi di luar sana.
Dia percaya pembunuh itu segera akan tiba di situ, datang
dengan mengikuti bercak darah yang berceceran sepanjang jalan.
Ternyata dugaannya tepat sekali, sayang dia tak tahu kalau


Naga Kemala Putih Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang itu adalah Tong Hoa. Lebih-lebih ia tidak tahu sejak kapan
pemuda itu tiba di sana. Berada di dalam kamarnya, dia tak bisa
memperhatikan keadaan di luar, ditambah lagi gerakan tubuh Tong
Hoa memang sangat ringan sehingga tidak menimbulkan sedikit pun
suara. Maka Wi Hong-nio hanya bisa menunggu dan menunggu,
makin menunggu hatinya makin gelisah bercampur cemas, apakah
orang itu sudah datang"
Dia ingin sekali keluar dari kamar untuk memeriksanya, tapi
kuatir bertemu dengan orang itu. Tapi dia pun ingin secepatnya
pergi mencari Bu-ki dan menyampaikan berita ini kepadanya, dia tak
ingin kekasih hatinya ini termakan oleh rencana busuk Benteng
Keluarga Tong. Menanti dalam suasana gelisah dan tak tenang memang
amat menyiksa batin, bukan saja pikirannya bertambah kalut, sang
waktu pun seolah berjalan dengan merayap.
ooooOOoooo Akhirnya kentongan kedua tiba juga, Wi Hong-nio
memutuskan untuk tidak menunggu lagi, sebab menurut
perkiraannya, orang yang seharusnya datang semestinya sudah
datang sejak tadi, bisa jadi orang itu jauh lebih tak sabaran
ketimbang dirinya.
Tergopoh-gopoh dia keluar dari kamar, menuju ke pintu
gerbang dan membukanya.
Kini ia bisa menghembuskan napas lega, ternyata mayat
orang itu sudah lenyap. Hal ini membuktikan kalau dugaannya tepat,
orang yang membunuh Pek Giok-khi telah berkunjung ke sini dan
menyingkirkan mayat itu. Tentu saja ia kuatir kalau sampai diketahui
jati-dirinya. Sedikit banyak ia berterima kasih juga kepada orang itu,
karena telah membantunya menguburkan mayat orang itu hingga
dirinya tak perlu membuang waktu dan tenaga lagi.
Bila punya uang, setan pun bisa diperintah untuk menggiling
tepung, apalagi hanya menyewa kereta kuda untuk melakukan
perjalanan malam"
Kendati Wi Hong-nio sangat jarang berkelana dalam dunia
persilatan, namun dia masih cukup tahu arah benteng Siangkoan-po.
Si kusir kuda adalah pedagang tulen, setelah menerima uang
sewa tentu saja ia bekerja keras, kereta kudanya dilarikan kencang,
sedemikian kencang membuat gadis itu agak pusing kepalanya. Tapi
demi menyusul Bu-ki, apa artinya pusing kepala"
Dalam hati ia terus menerus berdoa, dia berharap Bu-ki
tidak menempuh perjalanan malam, dia berharap saat itu Bu-ki
sedang beristirahat, dengan begitu ia baru punya kesempatan untuk
menyusulnya, tiba lebih dulu di Benteng Siangkoan-po.
Kentongan ketiga sudah lewat, Tong Hoa masih meneguk
arak seorang diri, setiap kali habis meneguk secawan, dalam
pikirannya terbayang pula wajah seseorang yang tak diketahui
namanya. Wajah itu sangat buram, wajah yang tak mungkin bisa
berubah jadi jernih dan terang, karena yang sedang ia pikirkan
adalah orang yang telah mengambil naskah asli dari tangan Pek
Giok-khi. Baru setelah ia menghabiskan cawan yang keduapuluh
tujuh, satu ingatan melintas dalam benaknya. Mungkinkah Wi Hongnio
yang telah melarikan naskah asli itu" Mungkinkah dia yang
sedang bermain sandiwara"
Dengan cepat ia melompat bangun, dia menyesal, mengapa
selama ini selalu mengesampingkan pemikiran semacam ini.
Dipukulnya batok kepalanya sendiri keras-keras, kemudian
menerjang keluar dari kamar dan langsung menuju ke gedung
keluarga Tio. Tiba di depan pintu gerbang dia pun tidak mengetuk pintu,
dengan sekali lompat dia melewati pagar pekarangan langsung turun
di tengah halaman.
Ia menemui kamar Wi Hong-nio masih seperti tadi, cahaya
lentera menerangi seluruh ruangan.
Perlahan-lahan dia menghampiri jendela, dengan jari tangan
yang dibasahi ludah dia membuat sebuah lubang kecil di kertas
jendela kemudian mengintip ke dalam.
Ternyata Wi Hong-nio tidak ada di situ.
Ia menerjang masuk, membuka pintu dan mendekati
pembaringan. Seprei masih dalam keadaan rapi, tanda perempuan
itu tidak pernah membaringkan diri, dia menghampiri lemari dan
membukanya. Ternyata isi lemari kosong, semua pakaian yang
semula ada di situ kini hilang lenyap.
Semua ini menunjukkan apa" Tentu saja tanda kalau Wi
Hong-nio sudah meninggalkan tempat itu!
Goblok! Tolol! Dogol! Tak hentinya dia memaki diri sendiri.
Biarpun dalam hati memaki terus, kakinya sama sekali tak
berhenti berlari. Dia keluar dari gedung keluarga Tio kemudian
mencari tahu apakah ada seorang gadis yang melakukan perjalanan
malam. Jawaban diterima dalam waktu singkat. Dia pun mencari
seekor kuda lalu melakukan pengejaran dengan cepat.
Ooo)))(((ooo Benteng Siangkoan-po.
Ketika Tong Ou dan Siangkoan Ling-ling tiba di situ,
kedatangan mereka disambut dengan sangat meriah.
Di Benteng Siangkoan-po, Tong Ou sengaja tiap hari
menemui Sangkoan Jin untuk diajak merundingkan rencana berikut
dalam usahanya menyerbu benteng Tayhong-tong, setiap kali
berunding dia sengaja pulang larut malam.
Setiap kali selesai berunding sampai larut malam, dia pun
sengaja memberitahukan hal ini kepada Siangkoan Ling-ling, agar
gadis itu tahu kalau ayahnya amat penat dan menderita. Tentu saja
dia mendesaknya agar menjalankan kewajibannya sebagai seorang
putri yang berbakti.
Untuk menunjukkan bakti serta cintanya, tentu saja tak ada
cara yang lebih baik daripada membuatkan semangkok jinsom
berusia ribuan tahun.
Tentu saja cara ini merupakan cara yang paling berbakti.
Oleh sebab itu setiap hari, setiap kentongan pertama nona
ini selalu turun tangan sendiri membuatkan semangkuk kaldu ayam
untuk ayahnya. Menyaksikan cinta dan bakti putrinya, Sangkoan Jin sebagai
seorang ayah tentu saja tak pernah menaruh curiga.
Maka setiap kali disuguhi kaldu ayam, dia selalu
meneguknya hingga habis.
Tong Ou ikut girang. Tapi yang membuatnya sangat gembira
adalah setiap kali melihat mangkuk berisi kaldu itu diteguk Sangkoan
Jin hingga habis, setetes pun tak tersisa.
Dia tahu, rencananya makin lama makin mendekati puncak
keberhasilan yang gemilang.
Racun yang digunakan adalah racun bersifat lambat, bila
tidak mengerahkan tenaga dalam, siapa pun tak akan menemukan
gejala atau tanda-tanda yang mencurigakan. Bahkan sewaktu
mengatur napas pun tak akan dirasakan.
Racun itu baru bekerja bila seseorang sudah mengerahkan
tenaga dalamnya hingga mencapai paling puncak. Saat itulah
seluruh kekuatannya akan runtuh, bahkan untuk mengerahkan tiga
bagian tenaganya pun tak akan mampu.
Tong Ou percaya, dengan kepandaian silat Tio Bu-ki, bukan
masalah bagi pemuda itu untuk bertarung hingga ratusan jurus
melawan Sangkoan Jin.
Sebaliknya bagi Sangkoan Jin, pertarungan sebanyak seratus
jurus akan banyak menguras tenaganya bahkan kekuatannya akan
mengalami goncangan keras.
Keadaan semacam inilah yang dia harapkan karena akan
mencipta-kan kesempatan bagi Bu-ki untuk membunuh Sangkoan
Jin. Menanti pemuda itu berhasil menghabisi Sangkoan Jin, Tong
Ou baru akan menceritakan kejadian yang sesungguhnya bahwa
rencana Naga Kemala Putih adalah hasil rancangannya, rencana
yang khusus dia ciptakan untuk menandingi siasat Harimau Kemala
Putih. Dia bisa membayangkan reaksi Tio Bu-ki pada saat itu, dia
pasti akan merasakan pukulan batin yang amat berat, seluruh
jiwanya pasti akan roboh.
Berpikir sampai di situ Tong Ou tak bisa menahan diri lagi, ia
segera tertawa terbahak-bahak.
Jika Tio Bu-ki sudah rontok, jago mana lagi yang bisa
diandalkan Tayhong-tong" Saat itu, bukankah seluruh dunia
persilatan akan jatuh ke dalam cengkeramannya"
Dengan penuh rasa bangga dia menenggak arak seorang
diri. Dia yang biasanya kurang begitu suka minum arak, hari ini telah
menenggak susu macan hingga setengah mabuk, sedemikian
mabuknya hingga dia sendiri pun tak tahu sejak kapan dia sudah
tertidur di atas ranjangnya.
Bu-ki tahu dengan jelas kapan dia naik ke ranjang untuk
tidur, sebab dia sudah menempuh perjalanan siang malam, jangan
lagi makan, air setetes pun belum pernah membasahi
kerongkongannya apalagi memejamkan matanya untuk beristirahat.
Tapi berjalan terlalu lama membuatnya benar-benar penat.
Ia tahu dirinya sudah tak memiliki kekuatan cukup untuk menempuh
perjalanan, jika tidak dipaksakan untuk beristirahat, jangan harap
dia bias mengalahkan Sangkoan Jin.
Maka dia harus mencari tempat untuk beristirahat dan tidur
yang nyenyak. Lebih baik agak terlambat membalas dendam
daripada sama sekali tak berkesempatan melakukan pembalasan.
Itu alasannya mengapa dia mencari sebuah rumah
penginapan dan tidur dengan nyenyaknya.
Ooo)))(((ooo Tidak demikian dengan pemikiran Wi Hong-nio, yang ia
pikirkan waktu itu adalah melakukan perjalanan secepat-cepatnya.
Pada pendapatnya, kereta boleh berjalan terus sementara dia bisa
menggunakan kesempatan itu untuk beristirahat dalam kereta.
Dia cukup tahu, tidur sangat penting untuk memulihkan
kekuatan, orang yang kurang tidur tubuhnya akan lemah.
Kusir kuda yang dia sewa dua orang, mereka bisa tidur
secara bergiliran, karenanya kereta kuda tetap dilarikan kencangkencang.
Goncangan kereta tidak membuat tidur Wi Hong-nio kurang
lelap, dia justru tertidur sangat nyenyak, saking nyenyaknya sampai
bermimpi. Entah berapa lama waktu sudah lewat, mendadak ia
terbangun dari tidurnya. Begitu terbangun, hatinya merasa kaget.
Kenapa kereta kuda tidak berlari lagi" Ini alasan pertama
yang membuatnya tercengang.
Buru-buru dia bangkit berdiri, menyingkap tirai kereta dan
melongok keluar. Dua orang kusirnya sudah tak nampak lagi batang
hidungnya, yang tersisa hanya dua ekor kuda penghela kereta yang
sedang makan rumput.
Dia keluar dari kereta dan celingukan ke empat penjuru,
ternyata kereta itu diparkir di bawah sebuah pohon besar yang
rindang, tapi karena hari baru saja terang tanah, suasana di
sekelilingnya tampak hening dan sepi.
Ke mana perginya kedua orang kusir kereta itu" Karena lupa
menanyakan nama mereka, maka dia pun tak tahu bagaimana harus
memanggil orang-orang itu.
Dalam keadaan begini terpaksa dia hanya bisa duduk di luar
kereta, mengawasi kuda-kudanya yang merumput dengan
termenung. Sementara itu mendadak ia merasa seakan ada seseorang
sedang mengawasinya, dia mengira para kusir kereta telah kembali,
maka dia pun mendongakkan kepalanya.
Hampir saja jantungnya berhenti berdetak, apa yang terlihat
olehnya hampir-hampir membuatnya mati lantaran kaget. Ternyata
orang yang sedang mengawasinya bukan sang kusir kereta,
melainkan Tong Hoa.
Tong Hoa berdiri di bawah pohon dengan senyuman
menghiasi wajahnya. Sambil tersenyum selangkah demi selangkah ia
berjalan mendekat.
Untuk sesaat Wi Hong-nio jadi gelagapan, dia tak tahu harus
membalas senyuman itu atau jangan, sikapnya amat kalut, tapi
akhirnya dia mengulumkan juga senyumannya.
"Nyenyak tidurmu?" sapa Tong Hoa sambil berjalan
mendekat. Wi Hong-nio tidak menjawab, untuk sesaat dia hanya bisa
mengawasi pemuda itu dengan termangu.
"Aku khusus kemari untuk mencarimu," kembali Tong Hoa
berkata, "tapi karena melihat tidurmu amat nyenyak, maka aku
menunggu sambil berjalan-jalan di sekitar sini."
Wi Hong-nio celingukan memandang sekeliling tempat itu
sekejap, tanyanya, "Mana kusir kudaku?"
"Mereka sudah kusuruh pergi. Jangan kuatir, aku tak nanti
membunuh mereka yang tak bersalah!"
"Ada urusan apa kau datang mencariku?" tanya si nona
kemudian setelah berhasil menenangkan pikirannya.
"Tidak ada yang penting, aku hanya rindu padamu!"
"Rindu padaku" Kalau begitu, bagaimana kalau kau temani
aku melanjutkan perjalanan?"
"Bagus, tentu saja bagus. Jelas merupakan satu kehormatan
bagiku!" Sambil berkata, dia segera naik ke atas kereta dan duduk di
kursi kusir, sekali sentak tali les kuda, kereta pun berputar arah.
"Jangan, jangan, jangan ke sana!" seru Wi Hong-nio lagi,
"aku mau pergi ke arah sana!"
"Kau keliru," kata Tong Hoa seraya berpaling, "aku hanya
bisa menemanimu untuk balik ke arah sana!"
"Kenapa?"
"Sebab aku tidak berharap kau berjumpa lagi dengan Tio
Bu-ki!" "Tampaknya cemburumu semakin besar saja?"
"Aku justru melihat kemampuan sandiwaramu makin lama
makin hebat!"
"Aku bersandiwara" Aku sedang bermain sandiwara"
Sandiwara apa?"
Tong Hoa tertawa licik, kembali dia menghentikan lari
kudanya sambil berkata, "Kemarin, kau sudah membohongi aku
semalaman suntuk, apakah sekarang kau masih ingin membohongi
aku lagi?"
Wi Hong-nio tahu, rupanya pemuda itu sudah mengetahui
duduk persoalan yang sebenarnya, maka segera jawabnya, "Siapa
suruh kau menipuku lebih dulu dengan menggunakan siasat
busukmu?" "Aku hanya melaksanakan perintah," dengan sikap apa
boleh buat Tong Hoa mengangkat bahunya.
"Bagaimana sekarang" Menghalangi kepergianku juga
merupakan bagian dari perintah itu?"
"Tentu saja bukan, ini kemauanku sendiri."
"Kalau memang begitu, biarkan aku pergi!"


Naga Kemala Putih Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak bisa."
"Kenapa tidak bisa?"
"Jika kau ke sana berarti rencana Naga Kemala Putih akan
terancam gagal total. Itu berarti tugas yang kujalankan telah gagal,
atas kegagalan ini aku akan menerima hukuman. Tentunya kau tidak
berharap aku memperoleh hukuman bukan?"
"Keliru!" teriak Wi Hong-nio lantang, "aku justru berharap
rencana kalian itu bakal gagal total!"
Habis berkata tiba-tiba ia mencabut pedangnya dan
langsung ditusukkan ke tubuh Tong Hoa.
Tentu saja Tong Hoa tak akan memandang sebelah mata
ilmu silat yang dimiliki gadis ini, dalam anggapannya dia adalah
seorang gadis yang memegang pedang pun tak becus. Karenanya
dia menghindar ke samping sekenanya dan sudah lolos dari tusukan
tersebut. Padahal Wi Hong-nio memang sengaja menusuk sekenanya,
sebagaimana diketahui ia pernah belajar ilmu pedang dari Siau
Tang-lo ketika berada di bukit Kiu-hoa-san, ditambah lagi ia memang
memiliki bakat yang bagus maka kepandaiannya dalam
menggunakan pedang sudah mencapai satu taraf yang cukup hebat.
Hanya saja gadis ini tak ingin bertindak gegabah, dia sadar
kemampuan yang dimilikinya masih bukan tandingan Tong Hoa. Jika
ingin memenangkan orang itu maka dia harus mengunggulinya
dengan menggunakan akal dan kecerdasan.
Dengan pikiran itulah maka dia sengaja berlagak tak tahu
ilmu silat dan menusuk sekenanya.
Benar saja, perbuatannya itu berhasil mengelabui Tong Hoa,
di saat dia berkelit dengan sekenanya itulah mendadak Wi Hong-nio
mempercepat gerak serangannya, pedang yang ada di tangannya
seakan sekuntum bunga yang sedang mekar, tiba-tiba mengebas ke
kiri lalu menyelinap ke kanan, langsung menusuk jalan darah penting
di dada lawan. Tong Hoa jadi gelagapan dibuatnya, untung ilmu silatnya
terhitung cukup hebat, kalau tidak mungkin dia sudah tewas di
ujung pedang gadis itu.
Kendati begitu, ia keteter juga dibuatnya hingga tersudut
dalam kondisi yang berbahaya. Pakaian yang dikenakan tampak
tertusuk di beberapa tempat hingga robek tak karuan.
Sejak belajar ilmu pedang dari Siau Tang-lo, baru pertama
kali ini Wi Hong-nio menggunakannya untuk menyerang orang, pada
mulanya gerak serangannya masih kelihatan kaku, namun makin
lama gerakannya makin lancar dan cepat, pedangnya digerakkan
sedemikian rupa hingga membentuk selapis jaring pedang yang luar
biasa. Begitu melepaskan serangannya yang keenam, ujung
pedangnya yang tajam berhasil menyambar pergelangan tangan kiri
Tong Hoa, darah segar segera menyembur keluar dari luka yang
memanjang itu. Dengan cekatan Tong Hoa menjatuhkan diri ke tanah,
kemudian bagaikan gasing dia menggelinding menjauh dan
menyelinap ke balik kereta kuda.
Menggunakan kesempatan itu buru-buru dia meloloskan
pedangnya dan bersiap-siap menghadapi serangan berikutnya.
Wi Hong-nio memang tak punya pengalaman dalam
bertarung, ketika melihat Tong Hoa kabur ke belakang kereta, dia
pun tidak berusaha untuk mengejar, sebaliknya gadis itu malah
berdiri di atas kereta sambil mengawasi lawannya tanpa berkedip.
Diam-diam gadis itu merasakan jantungnya berdebar keras,
bagaimanapun selama hidupnya baru pertama kali ini dia melukai
tubuh orang hingga berdarah, untuk beberapa saat lamanya dia
hanya berdiri diam tanpa melakukan sesuatu.
Tong Hoa bukan orang dungu, dari perubahan raut muka
gadis itu, dia segera dapat menebak apa yang sedang dipikirkan,
mendadak dia buang pedangnya ke tanah dan berjalan menghampiri
sambil serunya, "Bunuhlah aku bila kau ingin melakukannya!"
Wi Hong-nio malah dibuat tertegun oleh ucapan tersebut,
pedang nya kembali diturunkan, dengan wajah menyesal katanya,
"Biarkan aku pergi!"
"Tidak, jika kau akan pergi, bunuhlah aku lebih dahulu. Toh
sekembaliku ke Benteng Keluarga Tong, aku tetap akan diganjar
mati, daripada mati tersiksa lebih baik mati saja di ujung
pedangmu."
Untuk beberapa saat lamanya Wi Hong-nio terbungkam, ia
memandang pedang dalam genggamannya sekejap lalu memandang
pula ke arah Tong Hoa, pikiran dan perasaannya amat kalut, untuk
sesaat dia tak tahu apa yang harus diperbuat.
Menggunakan kesempatan itu Tong Hoa berjalan mendekat,
kembali katanya, "Ayoh, cepat turun tangan!"
Ketika Wi Hong-nio masih tetap sangsi, Tong Hoa sudah
maju mendekat dan merebut pedang di tangannya.
Perempuan itu sama sekali tidak menjadi gusar atau
terkesiap, reaksinya tetap tenang, karena baru saja dia mengambil
keputusan, apa pun yang bakal terjadi, dia tak ingin tangannya
ternoda darah. Setelah merampas pedang itu, dengan wajah menyesal
Tong Hoa berkata lagi, "Aku terpaksa harus bertindak begini, harap
kau jangan marah." Wi Hong-nio tertawa getir.
"Tidak apa apa, toh aku sudah putuskan, tak akan
membunuh siapa pun."
Ketika Tong Hoa menyodorkan kembali pedangnya, Wi
Hong-nio segera menggeleng, "Sudahlah, aku tidak membutuhkan
pedang itu lagi, ambil saja buatmu!"
"Apa gunanya aku punya dua bilah pedang" Lebih baik
simpan sebilah untuk menjaga diri," ujar Tong Hoa sambil tertawa.
"Tidak, ilmu pedang yang kupelajari adalah ilmu untuk
membunuh manusia, bukan untuk melindungi diri, tidak baik bila
kusimpan terus pedang itu."
"Bila ingin melindungi diri dari ancaman, tentu saja kau
harus berusaha untuk membunuh lawan!"
"Aku tahu, itulah sebabnya kuputuskan tidak akan
menggunakan pedang lagi."
"Kalau begitu buang saja, aku harus pergi sekarang!"
"Pergi?" paras muka Tong Hoa agak berubah, "hendak ke
mana kau?"
"Pergi mencari Bu-ki!"
Mendadak Tong Hoa mendongakkan kepalanya dan tertawa
terbahak-bahak.
"Hei, apa yang kau tertawakan?" tegur nona itu.
"Aku sedang menertawakan kau!"
"Menertawakan apa?"
"Menertawakan dirimu yang kelewat bodoh."
"Aku bodoh" Di mana letak kebodohanku?"
"Kau tidak merasa kalau dirimu bodoh" Sekarang kau sudah
tak berpedang, memangnya aku akan membiarkan kau pergi?"
"Kenapa kau melarangku pergi" Bukankah barusan aku telah
berhasil mengunggulimu" Aku hanya tak ingin membunuhmu saja,
kenapa aku tak boleh pergi?"
Sekali lagi Tong Hoa tertawa tergelak, dia tertawa dengan
riangnya. "Bukankah sudah kukatakan" Jika kau bersikeras akan pergi,
bunuhlah aku terlebih dulu!"
"Aku tetap akan pergi dari sini, namun aku pun tak akan
membunuhmu!"
"Bagaimana caranya?"
"Caranya" Kau pergi ke tempat yang kau suka, aku pun akan
pergi ke tempat yang kupilih, bukankah semua jadi beres?"
"Tidak bisa nona besarku, aku tak akan membiarkan kau
pergi ke sana!"
"Bagaimana sih kamu ini" Mengapa terus-terusan ngotot"
Sudah kalah masih belum mau mengakui kekalahannya" Kau tetap
tidak membiarkan aku pergi?"
"Menang atau kalah bukan persoalan, yang penting dalam
masalah ini, justru adalah mati atau hidup, asal kau bunuh aku, kau
boleh pergi, bila membiarkan aku tetap hidup maka kau tak boleh ke
sana." "Baiklah! Kalau begitu kembalikan pedangku, akan kubunuh
dirimu." Sekali lagi Tong Hoa tertawa terbahak-bahak, "Ha ha ha
ha... coba lihat, sudah begini masih belum mau mengaku kalau
dirimu bodoh" Dalam keadaan seperti ini, memangnya aku akan
menyerahkan pedang ini kepadamu" Apalagi kemenangan yang
berhasil kau raih tadi hanya kebetulan saja, kau menyerang di saat
aku tak siap. Sekarang, biarpun kau berpedang belum tentu sanggup
mengungguli aku!"
"Jadi kau memang manusia macam begitu?"
"Bukan, aku bukan manusia begitu!"
"Bagus sekali kalau begitu," seru Wi Hong-nio kemudian,
"aku tahu, kau memang sengaja berkata begitu bukan?"
"Salah besar! Sekalipun aku bukan manusia macam begitu,
namun situasi yang mendesak memaksa aku mau tak mau harus
berbuat begitu."
"Maksudmu, kau tetap tidak membiarkan aku pergi?"
"Aku terpaksa harus berbuat begitu, maaf." Wi Hong-nio jadi
sewot setengah mati, dengan napas terengah-engah karena
menahan luapan emosi, serunya, "Ternyata aku telah salah menilai
dirimu!" "Aku benar-benar minta maaf."
"Sudahlah, tak usah banyak bicara lagi, aku tetap akan pergi
dari sini, tampaknya kali ini tiba giliranmu yang harus membunuh
aku." Selesai berkata, ia segera beranjak pergi dengan langkah
lebar. Tong Hoa sama sekali tidak menghalangi, dia hanya
mengintil terus di samping Wi Hong-nio, mengikutinya ke mana pun
dia pergi. "Kenapa kau tidak menghalangi aku?"
"Sebab bila melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki,
kau tak akan mampu menyusul Tio Bu-ki!"
"Lalu kenapa kau masih mengikuti diriku terus?"
"Pertama aku harus melindungi dirimu, kedua, aku harus
menghalangi kau menyewa kereta kuda."
"Kau...." dengan napas tersengal karena marah, Wi Hongnio
menuding hidung Tong Hoa, makinya, "kau memang manusia
yang payah!"
"Aku telah mengemukakan semua maksud dan tujuanku
secara jelas, kenapa kau bilang aku payah?"
Wi Hong-nio berpaling sekejap ke arah lain, lalu ujarnya,
"Sudahlah, aku tak ingin berdebat denganmu, toh akhirnya aku yang
kalah, Cuma kau harus tahu, apa pun yang terjadi aku tetap akan ke
sana, aku pun pasti akan menemukan kembali kusir keretaku untuk
melanjutkan perjalanan!"
"Baiklah, kalau kau memang bersikeras terus, biar aku yang
menghantar kau menuju ke sana."
Wi Hong-nio seakan tak percaya dengan pendengaran
sendiri, ia membelalakkan matanya lebar-lebar, diawasinya wajah
Tong Hoa tanpa berkedip.
Sungguh" serunya tertahan.
"Tentu saja sungguh, mari, kita segera balik ke kereta!"
Setelah naik ke atas kereta, Wi Hong-nio baru percaya kalau
apa yang dikatakan Tong Hoa memang benar.
Tong Hoa duduk di tempat kusir, dia menarik tali les kuda
dan kereta pun mulai bergerak meninggalkan tempat itu.
Pada mulanya Wi Hong-nio merasa sangat gembira, karena
ternyata Tong Hoa bersedia membantunya, tapi setelah berjalan
beberapa saat ia baru sadar bahwa ada sesuatu yang tidak beres,
ternyata arah yang ditempuh kereta kuda itu menuju ke tempat
yang berlawanan.
"Berhenti!" ia segera berteriak.
Tong Hoa segera menghentikan keretanya.
"Ada apa?" dia bertanya.
"Kau sedang membohongi aku! Bukankah ini jalan balik?"
"Benar, bukankah aku sudah bilang akan mengantarmu
pulang?" "Kau tak usah berlagak pilon, seperti tidak tahu ke mana aku
hendak pergi! Apa maumu?"
"Tentu saja aku tahu ke mana kau hendak pergi, tapi
dengan keadaan dan kedudukanku sekarang, mana mungkin aku
bisa mengantarmu ke sana?"
"Lalu kenapa kau mengatakan akan mengantarku?"
"Apa salahnya kalau kuantar kau pulang ke rumah"
Bukankah sejak awal sudah kukatakan, kau hanya bisa melanjutkan
perjalanan dengan kereta jika tujuanmu adalah balik ke Gedung
Keluarga Tio?"
"Segera hentikan keretamu, aku mau turun sekarang juga!"
Melihat gadis itu bersiap-siap melompat keluar dari
keretanya, Tong Hoa menghentakkan tali les kudanya hingga kereta
kembali bergerak. Tindakan sangat mendadak ini menyebabkan Wi
Hong-nio hampir jatuh terjerembab.
"Lepaskan aku!" teriak perempuan itu lagi.
Tong Hoa sama sekali tidak menggubris, dia malah
melarikan kudanya makin kencang.
"Jika kau tidak segera menghentikan keretamu, aku akan
melompat keluar!" kembali Wi Hong-nio mengancam.
Namun Tong Hoa sama sekali tidak menggubris, dia tetap
melarikan keretanya kencang-kencang.
Wi Hong-nio menjadi nekad, ia benar-benar melompat dari
atas kereta lalu bergulingan di tanah. Menyaksikan ini Tong Hoa
terpaksa menghentikan keretanya dan membangunkan perempuan
itu. "Jangan sentuh aku!" teriak perempuan itu penuh amarah,
"Aku tak ingin bertemu lagi denganmu!"
"Buat apa kau mesti marah-marah" Baiklah, kali ini aku
putuskan untuk benar-benar menghantarmu."
"Sungguh?"
"Tekadmu sudah begitu bulat, aku tahu tak akan berhasil
mengha-langimu. Mari, segeralah naik ke kereta!"
Kali ini Wi Hong-nio menolak untuk masuk ke dalam kereta,
ia bersikeras duduk di samping Tong Hoa, katanya, "Aku akan
mengawasimu, jika kau berusaha main gila lagi, aku segera akan
lompat turun dari kereta!"
Kali ini Tong Hoa tak berani main gila lagi, ia benar-benar
melarikan kudanya ke arah benteng Siangkoan-po, bahkan kudanya
dilarikan kencang.
Menyaksikan hal itu Wi Hong-nio menjadi sangat girang.
Sayang kegembiraannya hanya berlangsung satu jam lebih sedikit,
setelah itu tiba-tiba Tong Hoa menghentikan keretanya. Dengan
heran Wi Hong-nio segera menegur, "Kenapa kau hentikan
keretamu?"
"Masa kau tidak bisa melihat sendiri?"
"Melihat apa" Wajahmu tetap segar, sama sekali tak nampak


Naga Kemala Putih Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penat atau masuk angin, mengapa kau harus menghentikan kereta?"
"Tentu saja aku tidak penat, masa perjalanan sependek ini
membuatku kelelahan" Tapi coba kau lihat ke depan!"
Kini Wi Hong-nio baru mendongakkan kepalanya
memandang ke depan.
Ternyata mereka tiba di depan sebuah persimpangan, bukan
hanya bercabang dua tapi tiga!
"Oh, jadi kau tidak kenal jalan?" tanya si nona.
"Aku tentu saja kenal, tapi kau sendiri bagaimana" Kenal
jalan ini tidak?"
"Aku tidak tahu..."
"Nah itu dia!"
"Apa ada yang tak beres" Jalan saja seperti yang kau tahu!"
"Tapi, apakah kau percaya padaku?"
Begitu kata-kata itu diucapkan, langsung Wi Hong-nio
terbungkam seribu bahasa. Apakah ia percaya orang ini" Bagaimana
kalau secara sengaja dia memilih jalan yang salah"
Dia tak tahu, benar-benar tak tahu.
Lantas apa daya" Wi Hong-nio merasa pikirannya bertambah
kalut. Menyaksikan kebingungan si nona, Tong Hoa kembali
tertawa licik, ujarnya, "Itu sebabnya aku sengaja berhenti di sini,
agar kau bisa memilih jalan mana yang harus dilewati. Aku tidak
mau disalahkan karena salah memilih jalan!"
"Aku tak akan menyalahkan dirimu, jalankan saja keretamu
menuju ke arah benteng Siangkoan-po."
"Lebih baik kau saja yang pilih," Tong Hoa bersikeras
dengan pendiriannya.
Dengan sorot mata tajam Wi Hong-nio mengawasi Tong Hoa
tanpa berkedip, kemudian serunya, "Jadi kau punya tujuan lain"
Sejak awal kau sudah tahu bahwa di sini terdapat jalan bercabang
tiga kan?"
"Benar," ternyata Tong Hoa mengakui, "dan aku tak bisa
membantumu untuk memilihkan jalan yang harus diambil, lebih baik
kau pilihlah sendiri, jadi kalau sampai keliru, kau jangan marah
kepadaku!"
Dengan termangu Wi Hong-nio mengawasi tiga
persimpangan jalan yang terhampar di depan matanya. Ia sangsi,
jalan yang mana yang harus dipilih" Akhirnya, setelah berpikir
sebentar, "Baiklah, aku turuti pilihanmu!"
Tong Hoa mengerling ke arahnya, tiba-tiba ia
menghentakkan tali les kudanya dan menjalankan kereta itu menuju
ke cabang jalan yang tengah.
"Berhenti!" tiba-tiba gadis itu berteriak lagi. "Ada apa?"
"Jangan memilih jalan yang itu!"
"Lalu harus lewat yang mana?"
"Kau boleh memilih jalan yang lain kecuali jalan itu!"
Dalam pikiran Wi Hong-nio, jalan yang pertama kali dipilih
Tong Hoa pastilah jalan yang keliru maka dia sengaja menyuruh
pemuda itu memilihnya terlebih dulu, dengan begitu akan tersisa
dua pilihan saja.
Tapi persoalannya sekarang adalah Tong Hoa akan memilih
jalan yang mana" Kini pemuda tersebut sudah tahu kalau dia sedang
mencoba kejujurannya, apakah dia akan memilih jalan yang benar
atau tetap sengaja memilihkan jalan yang salah"
Untuk sesaat Wi Hong-nio jadi sangsi, dia tak tahu
bagaimana mesti memutuskan persoalan ini.
Tentu saja Tong Hoa sama sekali tidak memedulikan apa
yang sedang dipikir Wi Hong-nio, dia segera mencemplak kudanya
dan memilih jalan sebelah kanan.
Sebenarnya Wi Hong-nio ingin menggunakan siasat itu
untuk mencoba kejujuran Tong Hoa, tak disangka siasatnya itu
sekarang justru mempersulit diri sendiri!
Jalan yang sekarang dipilih Tong Hoa benarkah jalan yang
benar" Dia tahu, sulit sekali baginya untuk membuktikan kejujuran
pemuda itu. Dia mencoba berpaling, mengawasi wajah Tong Hoa dari
samping, tapi wajah itu sangat tenang, seolah tak pernah terjadi
sesuatu apa. Dia hanya berkonsentrasi mengemudikan keretanya.
Ketenangan pemuda itu membuat Wi Hong-nio semakin
sangsi, dia tak bisa menduga apa yang sedang dipikirkan Tong Hoa
saat itu. "Berhenti!" mendadak teriaknya lagi.
Tong Hoa sangat penurut, dia benar-benar menghentikan
keretanya. "Ada apa lagi?"
"Benarkah arah yang kau pilih sekarang?" sengaja gadis itu
bertanya, dia berharap Tong Hoa tanpa sengaja memperlihatkan
jawaban yang sebenarnya.
"Tentu saja benar!"
Baru saja Wi Hong-nio merasa gembira, terdengar Tong Hoa
berkata lebih jauh, "Aku telah menuruti pilihanmu, mana bisa
keliru?" "Lihay amat orang ini!" pikir Wi Hong-nio yang menjadi amat
jengkel. "Sekarang kita lewat yang mana?" terdengar Tong Hoa
bertanya lagi. "Pilih jalan yang sebelah kiri!"
Tong Hoa menurut dan membelokkan keretanya ke kiri.
"Yang ini bukan?" sengaja tanyanya.
Wi Hong-nio hanya bisa melotot, tapi tak sepatah kata
sanggup diucapkannya.
Sambil tertawa, kembali Tong Hoa bertanya, "Kau benarbenar
akan menggunakan jalan yang ini?"
Wi Hong-nio berpikir sebentar, akhirnya dia berteriak keras,
"Sudahlah, tak usah ke mana-mana!"
"Tak usah ke mana-mana" Mau menanti di sini saja?"
"Benar!"
"Aku tak punya usul lain!"
"Aku memang tidak membutuhkan usulmu!"
"Aku tahu, kau membutuhkan usul dan pendapat dari orang
lain bukan?"
Wi Hong-nio tidak menjawab. Kembali Tong Hoa berkata,
"Terus terang, biar kau menanti sampai besok pagi pun jangan
harap bisa bertemu seseorang di tempat ini karena jalan ini sudah
lama dilupakan orang! Atau mau tanya arah pada orang lewat"
Janganlah mimpi di siang hari bolong!"
Mendengar rahasia terbongkar, merah padam selembar
wajah gadis itu. Katanya kemudian, "Kau tak usah mencampuri
urusanku, mau berjumpa dengan orang lewat atau tidak, itu
urusanku sendiri. Kalau memang terjadi seperti itu, aku akan terima
nasib!" "Baiklah, kalau begitu akan kutemani kau sampai ketemu
orang lewat nanti!"
"Kau tak perlu menemani aku, toh aku tidak butuh dirimu!"
Tong Hoa tidak menggubris sindiran itu, dia hanya tertawa, "Masa
kau tidak merasa, sepanjang perjalanan sampai kemari apakah kau
pernah berjumpa dengan seseorang" Sia-sia saja penantianmu itu."
"Siapa tahu akan muncul seseorang dari depan sana!" Sekali
lagi Tong Hoa tertawa, kali ini dia hanya tertawa tanpa menanggapi.
"He, apa yang kau tertawakan?" tak tahan Wi Hong-nio
menegur. "Menertawakan kebodohanmu!"
"Kenapa?"
"Coba bayangkan sendiri, orang yang datang dari arah
depan sana itu datang dari mana" Seandainya berasal dari benteng
Siangkoan-po, berarti dia adalah anggota Keluarga Tong, bila dia
adalah anggota Keluarga Tong, memangnya mereka bersedia
memberi petunjuk jalan kepadamu?"
"Itu kan belum tentu. Asal saja kau tidak bersuara, mereka
pasti akan memberitahu..."
"Apa sangkut-pautnya aku bersuara atau tidak?"
"Tentu saja besar sekali pengaruhnya, jika kau bersuara
maka orang akan tahu tujuanku, tentu saja mereka segan
memberitahu."
"Baiklah, kalau begitu aku berjanji tak akan membuka suara,
bukan saja tidak bicara, aku akan bersembunyi di dalam kereta agar
tidak diketahui orang lain, puas?"
Tentu saja Wi Hong-nio sangat puas.
Maka Tong Hoa pun masuk ke dalam kereta, memejamkan
matanya dan beristirahat.
Sementara Wi Hong-nio tetap di luar kereta, dengan mata
melotot besar dia mengawasi sekeliling tempat itu sambil berharap
ada seseorang yang muncul.
Bab 17. Bertaruh
Setelah tidur sangat nyenyak, Tio Bu-ki bersiap untuk
mengganjal perutnya yang lapar. Dia memerintah pelayan untuk
mengantar sarapannya ke dalam kamar, sambil makan otaknya
berputar terus mencari akal guna menghadapi Sangkoan Jin.
Tentu saja Sangkoan Jin belum tahu kalau dia sudah
mengetahui sebab musabab kematian ayahnya. Ketika ia
menemuinya, Sangkoan Jin pasti tidak mempunyai persiapan apa
pun. Berhasil atau tidak mengalahkan Sangkoan Jin, bagi Tio Buki
bukan sesuatu yang terlalu dipikirkan, sebab niatnya untuk
membalas dendam sudah bulat. Buat dirinya paling banyak beradu
jiwa dengan musuhnya dan kehilangan nyawa.
Yang dia kuatirkan justru bagaimana caranya agar bisa
bertemu empat mata dengan Sangkoan Jin, sebab tempat yang akan
didatanginya sekarang sudah termasuk wilayah kekuasaan Benteng
Keluarga Tong. Bertemu berdua saja dengan pamannya itu bukan
pekerjaan yang mudah. Bukan hanya itu, seandainya bisa bertemu
pun dia tidak tahu jago mana saja yang akan mendampinginya.
Andaikan sebelum berhasil bertarung melawan Sangkoan Jin
ia sudah keburu dikepung jago-jago Benteng Keluarga Tong,
kejadian ini pasti akan sangat mengenaskan. Karena itulah dia harus
dapat mengajak Sangkoan Jin untuk bertemu satu lawan satu.
Tapi bagaimana caranya" Sampai selesai bersantap pun Tio
Bu-ki belum berhasil menemukan cara yang tepat. Di akhirnya ia
putuskan untuk melanjutkan perjalanan sambil berpikir.
Ketika hampir tiba di Siangkoan-po, akhirnya ia mendapat
suatu akal. Dengan menyamar sebagai seorang pedagang, ia menyusup
masuk ke dalam Siangkoan-po dan tinggal rumah penginapan yang
terbaik. Setelah memesan arak dan sayur, seorang diri ia bersantap
sambil menikmati air kata-kata.
Pelayanan di sana ternyata sangat baik. Penyakit lama para
pelayan penginapan adalah asal melihat orang kaya selalu akan
menunjukkan muka manis.
Ketika Bu-ki memberi kode ke arah mereka, seorang pelayan
segera berlari mendekat sambil bertanya, "Tuan, mau pesan apa
lagi?" "Tidak, aku hanya ingin bertanya apakah di sekitar tempat
ini ada rumah judi?"
"Ooh, ada, ada... Setelah keluar pintu gerbang, belok ke
kanan, rumah judi itu terletak pada deretan yang ke delapan. Di
depan rumah tergantung papan nama yang bertuliskan 'Hap-hinho'!"
"Itu rumah judi?"
"Benar, tapi rumah judi itu kelas atas, tidak sembarang
orang dapat memasukinya!"
"Bagus!" setelah memberi sekeping perak, dia buru-buru
beranjak pergi meninggalkan rumah makan itu.
Tio Bu-ki merasa mustahil baginya untuk masuk gedung
kediaman Sangkoan Jin dan bertemu muka dengan pamannya itu,
maka dia mengatur rencana lain, dia ingin semua orang yang ada di
benteng itu tahu akan kehadirannya.
Bila semua orang tahu akan kehadirannya, jago-jago
Keluarga Tong pasti akan mengatur rencana untuk menghadapinya.
Sangkoan Jin pasti akan tahu juga akan kehadirannya dan dalam
keadaan begini, dia pasti akan berusaha untuk mengadakan
pertemuan empat mata dengannya. Dan hal inilah yang diharapkan.
Tempat yang paling tepat untuk membuat keributan dan
keonaran adalah rumah judi. Apalagi judi lempar dadu yang menjadi
kepandaian andalannya, siapa yang mampu menandinginya"
Ia tahu tempat ini merupakan pusat keramaian dalam
benteng Siangkoan-po, bila kabar kehadirannya tersiar, dengan
cepat pihak Keluarga Tong akan mengetahui kehadirannya, dengan
sendirinya Sangkoan Jin juga akan segera tahu atas kehadirannya.
Dengan penuh keyakinan dan rasa percaya diri dia
berangkat ke rumah judi Hap-hin-ho.
Benar seperti yang dikatakan pelayan rumah penginapan
tadi, rumah judi Hap-hin-ho merupakan rumah judi kelas atas,
hampir semua penjudi adalah orang-orang kaya dengan dandanan
yang perlente. Kalau di rumah judi seumumnya, adalah bandar yang
melempar dadu dan pemain tinggal pasang besar atau kecil. Tetapi
di sini baik bandar maupun pemain sama-sama melempar dadu,
jumlah mata dadu terbesar atau paling kecil yang menjadi
pemenangnya. Permainan seperti ini yang paling disukai Bu-ki, sebab
permainan dengan cara ini paling gampang menimbulkan keributan
yang disusul dengan keonaran. Memang keributan yang menjadi
tujuan utamanya!
Untung dalam rumah judi Hap-hin-ho tersedia banyak meja
judi, ada meja judi yang banyak dikerumuni orang, ada pula yang
sedikit orangnya.
Meja demi meja diperiksa Tio Bu-ki satu per satu. Tidak
seberapa lama kemudian ia segera paham alasan perbedaan yang
menyolok mata itu.
Ternyata meja taruhan terkecil, antara sepuluh hingga
seratus tahil perak paling banyak dikerumuni orang, seribu tahil
hingga sepuluh ribu tahil agak jarang. Di atas sepuluh ribu tahil
perak paling sedikit petaruhnya, waktu itu termasuk bandar hanya
ada tiga orang.
Di meja judi itu bandar duduk di tengah, dua petaruh ada di
sisi kiri dan kanannya, membiarkan bangku di depan bandar kosong.
Tanpa banyak bicara Bu-ki segera menempatkan diri di situ.
Setelah menganggukkan kepala kepada tiga orang itu, Bu-ki
berkata, "Apa aku boleh melihat dulu cara mainnya?"
"Tentu saja boleh!"
Dalam pertaruhan kali ini petaruh sebelah kiri memasang
duaribu tahil sementara petaruh sebelah kanan memasang seribu
tahil. Setelah tiga putaran, ada yang kalah ada pula yang menang.
Ia lalu mengeluarkan berapa lembar uang kertas dan
diletakkan ke meja sambil serunya, "Kali ini aku ikut bertaruh!"
Bandar menghitung uang taruhan, ternyata limaribu tahil.
Maka sebagaimana peraturan yang berlaku di rumah judi Hap-hin-ho


Naga Kemala Putih Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini, bandar melemparkan dulu dadunya, kali ini dia mendapat angka
empat. Petaruh sebelah kiri mendapat angka tiga, berarti kalah. Kini
giliran Bu-ki, pikirnya, "Agar cepat terjadi keributan, biar aku
langsung unjuk kebolehanku!"
Maka dia melemparkan ketiga dadu itu dengan
mengerahkan sedikit tenaganya, begitu berhenti ternyata angka
lima, maka dia yang menang.
Anak muda ini sama sekali tidak mengambil uang
taruhannya, melihat itu sang bandar segera bertanya, "Kau ingin
bertaruh sepuluh ribu tahil?" Tio Bu-ki mengangguk.
Bandar tidak bicara lagi, dia mengambil dadu dan melempar
ke meja. Lagi-lagi Bu-ki memenangkan pertaruhan ini.
Seperti pertama kali tadi, kali ini pun dia tidak menarik
uangnya. "Mau bertaruh duapuluh ribu tahil?" bandar bertanya sambil
tertawa, diam-diam ia memaki kebodohan orang. "Mana ada penjudi
yang memasang seluruh uangnya dalam sekali taruhan?"
Kegembiraan bandar tidak berlangsung lama, untuk kesekian
kalinya kembali Bu-ki berhasil meraih kemenangan.
Dalam waktu singkat uang taruhan yang dipasang Bu-ki
sudah mencapai delapanpuluh ribu tahil perak.
Sekarang peluh sebesar kacang kedele mulai bercucuran
membasahi jidat bandar, untuk sesaat dia hanya bisa memegang
dadu tanpa berani melemparnya ke meja.
Pada saat itulah mendadak muncul seorang kongcu berbaju
perlente, setelah memandang meja judi dan Bu-ki sekejap, katanya
kepada bandar, "Kau boleh mundur dari sini."
Bandar itu menyahut dan buru-buru menyingkir dari situ.
"Aku pemilik rumah judi ini," kongcu itu memperkenalkan
diri, "Bagaimana kalau aku yang melayani permainan tuan sekalian"
Tidak keberatan bukan?"
"Tentu saja tidak," sahut Bu-ki sambil tertawa.
Dua orang petaruh yang lain buru-buru menarik kembali
uang taruhannya seraya berseru, "Kami akan jadi penonton saja."
"Baiklah, aku she Chee, boleh tahu nama anda?" tanyanya
kepada Bu-ki. "Aku she Tio."
"Bagus sekali, masih tetap dengan pasangannya?"
"Benar, pasanganku delapanpuluh ribu tahil perak!"
Chee Kongcu manggut-manggut, diambilnya ketiga biji dadu
itu dan seperti gerakan yang dilakukan Bu-ki tadi, ia melempar dadudadu
itu ke dalam mangkuk sambil mengerahkan tenaga dalamnya
dan... ia mendapatkan angka enam sebanyak tiga biji.
Sebuah kepandaian melempar dadu yang hebat.
Bu-ki merasa sangat gembira, dia tahu sekaranglah saat
yang tepat untuk menunjukkan kebolehannya.
Dia bersama Chee Kongcu masing-masing melempar satu
kali dadu dan sama-sama menghasilkan angka enam, maka
lemparan dadu kembali diulang.
Sudah enam kali mereka saling melempar dadu, namun
angka yang diperoleh tetap sama-sama angka enam. Kejadian ini
menyulut kehebohan, para penjudi lainnya berbondong-bondong
mengerubungi meja itu dan ikut menyaksikan pertarungan ini.
Sekarang adalah lemparan yang ketujuh, Bu-ki tahu inilah
saatnya untuk beraksi, apalagi ulahnya telah berhasil menarik
perhatian orang banyak, maka ketika dua dadu yang dilempar
kongcu itu mendapat angka enam, diam-diam ia mengerahkan
tenaga dalamnya dan menambahi tenaga pukulan dadu ketiga
secara diam-diam.
Dadu itu berputar lebih kencang, ketika akhirnya terhenti
ternyata angkanya adalah lima.
Berubah hebat paras muka Chee Kongcu, tapi hanya sejenak
kemudian sudah pulih lagi seperti sediakala, hanya saja diam-diam
dia mengawasi lawannya dengan lebih seksama.
Ketika tiba giliran Bu-ki yang melempar dadu, tentu saja
angka yang diperolehnya adalah tiga angka enam.
Uang sebesar delapanpuluh ribu tahil perak pun berubah
jadi seratus enampuluh ribu tahil perak.
Tak lama kemudian uang itu kembali membengkak jadi
tigaratus duapuluh ribu tahil perak.
Dalam keadaan begini Chee Kongcu mulai kehilangan
ketenangan hatinya, peluh mulai bercucuran membasahi dahinya.
Kini uang taruhan sudah meningkat menjadi enamratus
empat-puluh ribu tahil perak. Ini menunjukkan bahwa bandar lagilagi
menderita kekalahan! Bukan saja peluh telah membasahi
jidatnya, bahkan telapak tangannya mulai basah dan gemetar,
meskipun sudah memegang dadu namun sampai lama sekali belum
berani juga melemparnya.
Bukan saja ia tak berani melemparkan dadu itu sebaliknya
malah celingukan ke sana kemari, seperti sedang menunggu
kedatangan seseorang untuk membebaskan dirinya dari kesulitan.
Siapa yang ia tunggu" Dengan cepat jawaban diperoleh
karena seorang kakek berambut putih tampak sedang berjalan
menghampiri mejanya.
Begitu melihat kemunculan kakek itu, Chee Kongcu kelihatan
mulai lega dan segera menghembuskan napas panjang.
Menyaksikan hal ini tanpa terasa Bu-ki turut mengalihkan
perhatiannya ke wajah orang tua itu.
"Ayah!" Chee kongcu segera berseru kegirangan.
Ternyata orang tua ini adalah tauke yang sebenarnya dari
rumah judi Hap-hin-ho.
Dalam hati Bu-ki tertawa dingin. Dia tak bakal takut
menghadapi siapa pun, meski saat itu ada tiga batang jarum yang
dilontarkan ke arah mangkuk di atas meja judi. Sebatang demi
sebatang datang saling susul, semuanya terarah ke dadu-dadu yang
ada dalam mangkuk dan kelihatannya datang dari arah yang
berbeda-beda! Menyusul kemudian tampak Chee Tauke menyambar
mangkuk itu, tangan kanan menahan dasar mangkuk sementara
tangan kiri disilangkan di depan dada, perlahan ia duduk di
bangkunya. Tampak ketiga batang jarum itu masing-masing menembusi
dadu dalam mangkuk sampai tembus ke baliknya. Tiga batang jarum
dengan tiga dentingan, semuanya tembus dari dadu sampai tembus
di dasar mangkuk.
Yang lebih mengerikan lagi adalah bahwa ketiga batang
jarum itu mampu menembusi dasar mangkuk porselen itu dan
memantek tepat di tengah-tengahnya.
Serangan yang tepat, ketajaman mata yang hebat dan
tenaga dalam yang sempurna, tak kuasa semua yang hadir
bersorak-sorai memuji.
Bukan hanya penonton yang bersorak, bahkan Bu-ki sendiri
mau tak mau harus memuji kehebatan kakek itu.
"Sekarang giliranmu," ujar Chee Tauke kemudian sambil
menyodorkan mangkuk itu ke depan Bu-ki.
Kini sorot mata semua orang dialihkan kepada anak muda
itu, semua orang ingin tahu dengan cara apa Bu-ki akan
memenangkan pertaruhan itu.
Sekulum senyuman menghiasi wajah Chee Tauke, memang
dia tak mampu lagi membendung kegirangannya, sebab saat ini dia
sudah berada dalam posisi tak terkalahkan apalagi dia telah
menggunakan jarum panjang menembusi dadu-dadu itu kemudian
memanteknya menjadi satu, bagaimana mungkin dadu itu bisa
berubah lagi"
Dengan cara apa Bu-ki akan mengatasi tantangan itu"
Semua orang yang hadir di arena mulai menguatirkan
nasibnya. Di saat Chee Tauke sedang melemparkan dadunya, Wi
Hong-nio pun sedang menanti dengan perasaan gelisah bercampur
cemas. Sungguh aneh dan mengherankan, sepanjang hari, benar
seperti apa yang dikatakan Tong Hoa, tak nampak seorang pun yang
melewati tempatku.
Tong Hoa benar-benar menepati janjinya, dia hanya duduk
bersemedi di dalam kereta dan sama sekali tidak memedulikan
keadaan di luar.
Wi Hong-nio sudah tak sanggup menahan diri lagi, tiba-tiba
teriaknya keras, "He!"
"Ada apa?" dengan malas-malasan Tong Hoa menggeliat lalu
pelan-pelan bangun duduk.
"Aku tak ingin menunggu lagi!"
"Tidak menunggu lagi" Lantas apa yang akan kau lakukan?"
"Aku mau pergi saja!"
"Pergi" Lewat jalan yang mana?"
"Kau berharap aku lewat jalan yang mana?" Wi Hong-nio
balik bertanya.
"Aku?" untuk sesaat Tong Hoa pun tak tahu bagaimana
harus menjawab, setelah berpikir sejenak baru sahutnya, "kalau aku
sebenarnya berharap kau memilih jalan yang kiri."
"Kenapa?"
"Kenapa?" Tong Hoa menggaruk-garuk kepalanya yang tak
gatal, "tidak karena apa-apa, aku hanya menyampaikan harapanku
saja." "Baiklah! Kalau begitu kita menuju jalan yang menjadi
harapanmu itu!"
Tong Hoa melengak.
Sebenarnya semua ini merupakan satu pertarungan mental,
tujuan Wi Hong-nio adalah ingin menyelidiki niat Tong Hoa.
Andaikata pemuda itu memberikan jawaban sekenanya setelah
ditanya, hal ini menandakan kalau jalan itu sudah pasti tidak tembus
ke Benteng Siangkoan-po.
Tapi nyatanya Tong Hoa baru menjawab setelah
mempertimbangkannya beberapa saat, ini menunjukkan kalau dia
pun sedang menduga-duga bagaimana reaksi dirinya setelah
mendengar jawaban tersebut. Atau dengan kata lain, bisa jadi jalan
tersebut adalah jalan yang benar. Dia sengaja mengatakan kalau
jalan itu adalah jalanan yang dia harapkan, tujuannya jelas untuk
mengalihkan pikirannya agar dia mengambil jalan yang lain.
Sayang Wi Hong-nio kalah pengalaman, sekarang ia masuk
perangkap, justru dia digiring untuk memilih jalan yang memang
menjadi harapan Tong Hoa.
Apakah jalan yang dipilih Tong Hoa adalah jalan yang
benar" Kecuali Tong Hoa sendiri, tak ada yang tahu.
Memandang Tong Hoa yang masih termangu, kembali Wi
Hong-nio menegur, "Bagaimana" Kau batal untuk pergi?"
"Siapa bilang tak mau pergi" Ayoh jalan, kita lanjutkan
perjalanan!"
Jawaban dari Tong Hoa membuat perasaan Wi Hong-nio
semakin tenang, dia mengira pilihannya sudah tepat.
Dengan lagak seolah-olah berat hati Tong Hoa naik kembali
ke posisi kusir dan perlahan-lahan menjalankan lagi kereta kudanya.
"Ada apa" Kenapa begitu lambat?" kembali nona itu
menegur. "Suasana gelap gulita, berbahaya sekali nona."
"Berbahaya" Aku lihat kau memang sengaja memperlambat
jalanmu, sengaja mengulur waktu bukan?"
"Kenapa aku mesti mengulur waktu?"
"Sebab kau tahu kalau jalan ini menuju ke benteng
Siangkoan-po!"
Tong Hoa tidak menjawab, ia membungkam diri dalam
seribu bahasa. "Benar bukan?" desak Wi Hong-nio lebih jauh.
"Kalau kau menganggap benar, ya benar. Tapi terus terang,
aku berbuat demikian hanya karena memikirkan keselamatanmu!"
"Hmm! Hanya setan yang mau percaya!" walaupun di mulut
ia tetap ngotot, namun perempuan itu pun tahu kalau perjalanan
memang tak bisa dilakukan cepat karena permukaan tanah memang
bergelombang. "Kau merasa gembira sekarang?" tanya Tong Hoa kemudian
ketika didengarnya gadis itu mulai bersenandung kecil.
"Tentu saja gembira, aku berhasil menebak isi hatimu, tentu
saja aku jadi gembira."
"Aku rasa lebih baik kau pergi tidur saja, esok kau akan
mengetahui dengan jelas apa yang terjadi."
"Hmm, baiklah, aku akan pergi tidur, tapi ingat, jangan
berputar haluan!"
"Memangnya aku manusia kerdil macam begitu?"
"Moga-moga saja memang bukan."
Kereta kuda melanjutkan perjalanan sangat lambat, tapi Wi
Hong-nio segera terlelap tidur. Sewaktu ia bangun dari tidurnya,
matahari sudah bersinar terang sementara kereta masih bergerakgerak
tiada hentinya.
Baru saja dia melompat bangun, tiba-tiba kereta itu
berhenti. Buru-buru dia melongok keluar, tapi yang terlihat
membuatnya kembali tertegun.
Ternyata di hadapannya muncul lagi persimpangan jalan,
satu mengarah ke kiri yang lain menuju ke kanan.
Tong Hoa tahu gadis itu sudah mendusin, maka ujarnya
sambil tertawa, "Coba kau berpalinglah dan tengok ke belakang!"
Ketika gadis itu berpaling, lagi-lagi dia terperangah.
Ternyata di belakang tubuhnya terbentang pula tiga jalan, tempat
mereka berhenti saat itu tepat berada di tengah simpang lima itu.
"Apa yang terjadi?" tak tahan ia bertanya.
"Tadi kita berjalan melalui jalanan yang itu," ujar Tong Hoa
sambil menuding jalan di belakangnya, "sementara dua jalan yang
lain adalah jalan yang hendak kau pilih kemarin."
"Maksudmu ketiga jalan itu semuanya tembus balik ke sini?"
"Benar."
"Bagaimana sih kamu ini" Kau tahu, perbuatanmu telah
membuang banyak waktuku?"
"Tentu saja tahu, sebab memang itu tujuanku!"
"Kau...." Wi Hong-nio hanya mengucapkan sepatah kata dan
segera membungkam diri, dia tahu tak ada gunanya marah-marah
pada Tong Hoa pada saat seperti ini, yang paling penting adalah
bagaimana caranya agar bisa tiba di Siangkoan-po secepatnya.
"Dari sisa dua jalan yang ada, jalan mana yang betul?"
tanyanya kemudian.
"Jalan di sebelah kiri."
"Kau tidak menipuku?"
"Aku tak akan menipumu."
"Kenapa?"
"Sebab bila kita menempuh perjalanan tanpa berhenti,
paling tidak malam nanti kita baru bisa tiba di Siangkoan-po!"
"Sungguh?"
"Aku berani bersumpah."
"Kalau begitu kita lewat jalan sebelah kiri."
"Aku usulkan lebih baik kita sarapan dulu."


Naga Kemala Putih Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak... Aku sangat gelisah, lebih baik segera lanjutkan
perjalanan!"
"Menurut perhitunganku, biar lebih awal tiba di situ pun tak
ada gunanya, paling banyak kau hanya akan mengurus sesosok
mayat, kenapa mesti terburu-buru?"
"Kau..." kali ini Wi Hong-nio hanya mengucapkan sepatah
kata dan tidak dilanjutkan lagi. Ia cukup memahami watak Bu-ki,
setelah tahu kalau Sangkoan Jin adalah pembunuh ayahnya,
pemuda itu pasti tak akan menunda sedikit waktu pun untuk pergi
mencari musuhnya dan berusaha membunuhnya.
Berpikir sampai di situ, dia mulai merasa bahwa apa yang
dikatakan Tong Hoa cukup masuk di akal, buat apa ia terburu-buru
tiba di tujuan kalau hanya untuk mengurusi mayat Sangkoan Jin"
Apalagi meski terburu-buru sampai di sana, nasi toh sudah berubah
jadi bubur, Bu-ki tetap sudah melakukan kesalahan besar, bila dia
mengungkap kejadian yang sebenarnya, bukankah hal ini malah
akan membuat pemuda itu merasa menyesal sepanjang masa"
Tentu saja dia tak ingin kekasihnya menderita.
Kalau memang demikian, lalu apa gunanya terburu-buru
melanjutkan perjalanan"
Berpikir sampai di situ, akhirnya dia pun mengangguk,
"Baiklah, kita sarapan dulu!"
"Jadi pikiranmu sudah terbuka sekarang?" tanya Tong Hoa
sambil tertawa puas.
Wi Hong-nio mengangguk pelan.
"Padahal, tidak seharusnya kau datang ke Siangkoan-po,"
kembali Tong Hoa berkata. "Kenapa?"
"Sebab bila kau bertemu Bu-ki, dia pasti akan bertanya, ada
urusan penting apa hingga kau datang menyusulnya."
"Lantas bagaimana?"
"Kehadiranmu menunjukkan kalau kau punya urusan penting
yang akan disampaikan kepadanya," ujar Tong Hoa lebih jauh sambil
menatap tajam perempuan itu, "Apakah kau sanggup membuat
sebuah karangan cerita untuk membohonginya?"
Wi Hong-nio termenung tanpa bicara, sejujurnya,
mampukah dia mengelabui Bu-ki"
"Kalau tak mampu mengelabui dia, berarti kau harus
menceritakan duduk perkara yang sebenarnya," ujar Tong Hoa lebih
jauh, "padahal ia sudah terlanjur membunuh Sangkoan Jin, apakah
pengakuanmu tidak malah membuat hatinya makin tersiksa dan
menderita?"
Apa yang diucapkan Tong Hoa benar dan sangat masuk di
akal, dia memang tak boleh menjumpai Bu-ki. Yang benar dia harus
balik ke Gedung Keluarga Tio, berlagak seolah-olah tak ada kejadian
apa-apa sambil menunggu kedatangan pemuda itu.
Tapi, andaikata Sangkoan Jin berhasil membunuh Bu-ki"
Perasaan Wi Hong-nio sangat kalut, ia bingung, gelisah dan cemas.
"Kau kuatir yang mati adalah Bu-ki?" tiba-tiba Tong Hoa
bertanya lagi. Wi Hong-nio tidak menjawab, dia tak ingin mengucapkan
kata-kata yang bisa mendatangkan sial ke alamat kekasihnya.
"Kalau memang itu kekuatiranmu, baiklah, mari kita
berangkat ke sana untuk mengurusi jenasahnya!"
"Tidak! Bu-ki tak bakal mati!" teriakannya mendadak
bertambah keras, saking kerasnya nyaris membuat dia sendiri kaget.
"Bila kau yakin kalau dia tak bakal mati, seharusnya pulang
saja ke rumah dan menunggu kedatangannya di sana."
Wi Hong-nio bertambah sangsi, untuk sesaat dia tak tahu
bagaimana harus memutuskan hal ini.
Bab 18. Waktu: Mao-si, Tempat: Bukit Singa
Ketika Wi Hong-nio masih sangsi dan tak tahu bagaimana
harus mengambil keputusan, Tio Bu-ki telah menerima sepucuk
surat rahasia. Kapan surat rahasia itu dikirim. Ia sama sekali tak tahu,
tatkala bangun dari tidurnya, di celah pintu kamarnya terselip
sepucuk surat, surat rahasia itu.
Dia tahu, surat itu tentu diselipkan secara diam-diam di
tengah malam buta.
Sesudah dibuka, ternyata surat dari Sangkoan Jin, isinya
amat singkat, hanya menerangkan kalau esok pada saat Mao-si
(antara pukul 5 s/d 7 pagi) dia ditunggu di Bukit Singa.
Dia mencoba membuka jendela sambil melongok keluar,
saat itu waktu sudah menunjukkan lewat pukul 7 pagi, ini berarti
Sangkoan Jin mengajaknya berjumpa esok pagi, bukan hari ini.
Tapi Bukit Singa di mana letaknya" Ia sama sekali tidak
risau, asal ditanyakan bukankah segera akan diketahui letaknya"
Mengapa Sangkoan Jin mengajaknya bertemu esok pagi dan
bukannya hari ini" Apakah hari ini dia ada urusan" Atau hari ini dia
tak mampu menghindari pengawasan orang-orang Keluarga Tong"
Semua ini tidak penting, yang paling penting saat ini adalah
mencari tahu Bukit Singa itu sebenarnya bukit seperti apa" Cocokkah
digunakan untuk bertempur menggunakan pedang"
Ia memutuskan untuk datang ke Bukit Singa dan memeriksa
keadaannya. Ia memanggil pelayan, menanyakan letak Bukit Singa,
memesan sekati daging dan delapan biji mantau untuk menangsal
perut. Dia memang perlu makan agak banyak, sebab semalam ia
sudah menghamburkan banyak tenaga untuk bertarung melawan
Chee Tauke, pemilik rumah judi.
Jurus yang digunakan Chee Tauke memang sangat lihay,
sedemikian hebatnya sampai Bu-ki mau tak mau harus bersorak
memuji. Sebenarnya dia akan mengaku kalah begitu saja karena
tujuan kedatangannya bukan mencari keuntungan materi tapi untuk
memancing perhatian orang banyak. Asal mulai menarik perhatian
orang, pasti akan ada yang melaporkan kehadirannya kepada
pemimpin mereka, dan pemimpin mereka adalah Sangkoan Jin. Asal
Sangkoan Jin tahu, dia pasti akan berusaha menghubunginya.
Tadi ia sempat melihat kalau Chee Tauke membisikkan
sesuatu ke telinga seseorang dan orang itu segera meninggalkan
rumah judi Hap-hin-ho begitu mendapat kisikan. Ia yakin orang itu
pasti sudah pergi memberi laporan.
Oleh sebab itu menang kalah dalam pertaruhan ini sudah tak
ada artinya lagi.
Tapi jurus yang digunakan Chee Tauke membangkitkan rasa
herannya, ia jadi ingin tahu dan ingin mengalahkannya. Yang
membuat rasa ingin menangnya muncul adalah tantangan dari
lawannya, masa ia tak bisa memenangkan pertaruhan itu"
Dorongan rasa ingin tahu membuat pemuda ini memutar
otak mencari akal, cara dia bisa memenangkan taruhan ini.
Dia menyambut sodoran mangkuk dari tangan Chee Tauke,
mengawasi tiga batang jarum panjang yang menembusi dadu-dadu
itu sambil otaknya mulai berputar. Dia ingin menemukan cara paling
jitu untuk melemparkan tiga angka enam dalam lemparan berikut.
Dengan tangan kiri memegang mangkuk, tangan kanannya
mencabuti ketiga batang jarum itu kemudian diserahkan kembal i ke
tangan Chee Tauke.
Dengan perasaan puas bercampur bangga orang tua itu
mengawasi lawannya. Tiba-tiba Bu-ki merasa senyuman orang itu
amat memuakkan, dia muak melihat tampang lawannya yang seolah
sudah yakin kalau kemenangan berada di pihaknya.
Hanya muak saja tak ada gunanya, dia harus menemukan
cara untuk mengatasi kesulitan itu, ia mencoba perhatikan sekeliling
arena. Ada sebagian orang sedang memandangnya dengan
perasaan simpatik, ada pula yang memandang setengah mengejek,
seakan menertawakan kekalahan yang bakal dialaminya.
Ketika berpaling lagi ke arah Chee Tauke, ia melihat
senyuman kakek itu semakin melebar, terdengar ia sedang berseru,
"Ayoh, silahkan!"
Bu-ki termenung sejenak, tiba-tiba ia menemukan satu
gagasan bagus. "Kau memang sangat lihay," katanya kemudian. "Ehmm..."
"Sayang aku mempunyai jurus yang jauh lebih hebat."
"Oh ya?" Chee Tauke menunjukkan rasa tak percaya, "Orang
muda, tak ada gunanya kalau hanya melulu omong besar, tunjukkan
dulu kebolehanmu!"
"Kau tak percaya?"
"Tentu saja tak percaya!"
"Bagus, kalau begitu bagaimana kalau kita lipat duakan uang
taruhan?" Chee Tauke agak tertegun, setelah mengamati lawannya
sejenak ia baru menyahut, "Baik!"
"Tapi kita mesti mengganti cara kita berjudi!"
"Ganti cara" Bagaimana gantinya?"
"Kalau aku bisa mendapat tiga angka enam, bukankah
hasilnya seni?"
"Tentu, di sini tak berlaku bandar paling menang!"
"Berati kita tidak bisa menentukan siapa menang siapa
kalah." "Kenapa?"
"Sebab aku tak pernah salah perhitungan!"
"Jadi kau sangat yakin?"
"Tentu saja, kendati kau sudah melubangi setiap dadu
sehingga bobotnya berubah, aku tetap punya cara untuk
mendapatkan tiga angka enam!"
"Lantas kau ingin menang kalah ditentukan dengan cara
apa?" "Setelah kulempar dadu itu, bukan saja kujamin akan
mendapatkan tiga angka enam, bahkan aku pun berani bertaruh jika
kau melemparkan dadu itu lagi, kau pun akan peroleh tiga angka
enam." "Omong kosong, memangnya aku mesti pilih angka yang
lain?" "Maksudku, kecuali mendapatkan tiga angka enam, kau tak
nanti bisa mendapatkan angka yang lain!"
"Oh ya?"
"Jika kau bisa memperoleh angka selain tiga angka enam,
anggap saja aku yang kalah!"
Tampaknya Chee Tauke mulai tertarik, ditatapnya Bu-ki
lekat lekat. "Bila lemparanmu kembali menghasilkan tiga angka enam,
berarti akulah yang menang," kembali anak muda itu berkata.
Mendadak Chee Tauke mendongakkan kepalanya dan
tertawa terbahak-bahak.
"Ha ha ha... anak muda, kali ini kau akan kalah dengan
menyedihkan!"
Bu-ki tidak bicara, dia hanya tersenyum.
"Tak ada gunanya kalau cuma tersenyum!" Chee Tauke
segera berpaling ke arah para penonton, kemudian terusnya, "Bukan
begitu saudara sekalian?"
Semua orang segera mengiakan.
"Apakah kalian ingin turut bertaruh?" kembali Chee Tauke
bertanya. "Bertaruh apa?" ada yang tanya.
"Bertaruh siapa di antara kami berdua yang bakal menang!"
"Tentu saja Chee Tauke yang bakal menang!"
"Ada yang berani pegang aku kalah?" Tak ada yang
menjawab. "Berarti kalian semua bertaruh kalau Chee Tauke yang bakal
menang?" sela Bu-ki tiba-tiba.
"Tentu saja!" serentak semua orang berseru.
"Kalau begitu kalian boleh pasang taruhan, aku akan
bertaruh melawan kalian!"
"Sungguh?" kembali semua orang berseru.
"Tentu saja sungguh!"
Maka para penonton pun mulai berbisik-bisik, ada yang
mulai mengira-ngira ilmu simpanan apa yang akan digunakan
pemuda itu, ada pula yang menilai tindakan orang ini kelewat
goblok. Sebanyak apa pun pendapat dan pandangan orang tapi
tindakan yang mereka lakukan ternyata sama dan seragam.
Mereka mengeluarkan seluruh uang yang ada di dalam saku
untuk dipertaruhkan.
Meja judi nyaris tak muat untuk menampung semua uang
taruhan itu. Tiba-tiba Chee Tauke mengulapkan tangannya memberi
tanda agar semua orang tenang, kemudian kepada pemuda yang
ada di hadapannya dia bertanya, "Memangnya kau sanggup
membayar semua taruhan ini?" Bu-ki tertawa, dari sakunya dia
mengeluarkan sekeping goanpo dari emas, sambil diletakkan ke
meja tanyanya, "Cukup tidak emas ini?"
Kembali Chee Tauke menyapu sekejap hancuran uang perak
yang berserakan di meja, tanyanya lebih jauh, "Seandainya tidak
cukup?" "Kalau tidak cukup, kita bagi rata sama uang emas itu," ada
yang mengusulkan.
Semua orang berpendapat bahwa pertaruhan ini jelas akan
mereka menangkan, ketimbang tak ada yang dibagi, peroleh sedikit
keuntungan pun tidak apa-apa, maka serentak semua orang
menyatakan setuju.
"Baiklah," kata Bu-ki lagi sambil tertawa, "kalau toh semua
orang berbesar hati, aku pun akan memberi sedikit keuntungan
untuk kalian semua, seandainya aku yang menang maka aku hanya
akan mengambil sepuluh persen dari uang taruhan kalian!"
Sekali lagi terjadi kegaduhan, malah ada di antaranya yang
sudah mengulurkan tangannya untuk menarik kembali uang
taruhannya. Mereka agak grogi juga setelah menyaksikan keyakinan
pemuda itu, tak mungkin di dunia ini ada orang yang mau bertaruh
jika yakin pasti akan kalah.
Menyaksikan kegaduhan itu, buru-buru Chee Tauke berseru,
"Kalian tak usah kuatir, seandainya kalian kalah, aku bilang
seandainya, biarlah aku yang membayar sepuluh persen yang
menjadi tanggung jawab kalian semua."
Begitu perkataan tersebut diutarakan, sekali lagi terjadi
kegaduhan, siapa yang tak ingin ikut dalam pertaruhan yang jelas
tak bakal rugi ini!
"Apakah kami masih boleh menambah uang taruhan?" ada
yang tanya. Sorot mata semua orang dialihkan ke wajah Bu-ki, sambil
tersenyum sahut anak muda itu, "Lebih baik kalian tanyakan saja
persoalan ini kepada Chee Tauke."
"Kenapa mesti ditanyakan Chee Tauke?"
"Sebab ketika tiba saatnya untuk membayar, dia yang akan
merogoh koceknya, bukan aku!"
Chee Tauke tak kuasa menahan diri lagi, ia segera tertawa
terbahak-bahak, "Ha ha ha ha... silahkan kalau ada yang ingin
menambah uang taruhannya, cuma aku lihat sekeping uang emas
tak nanti mampu membayar seluruh taruhan yang ada!"
Bu-ki memandang sekejap uang taruhan yang semakin


Naga Kemala Putih Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggunung itu, katanya kemudian, "Baiklah, akan kutambah lagi
dengan semacam barang."
Sambil berkata dari sakunya dia mengeluarkan sebilah pisau
yang sangat kecil, di bawah sinar lentera pisau itu memantulkan
cahaya kekuning-kuningan yang amat menyilaukan mata.
Sebilah pisau kecil yang terbuat dari emas murni, selain
amat tipis, tajamnya luar biasa.
"Pisau yang hebat!" tak kuasa Chee Tauke berteriak keras.
"Bernilai?"
"Sangat!"
"Cukup untuk membayar semua taruhan itu?"
"Cukup sekali!"
"Bagus kalau begitu," seru Bu-ki sambil memasukkan
kembali pisau emasnya ke dalam saku.
"Kenapa tidak kau letakkan pisau kecil itu ke atas meja
taruhan?" "Aku punya kegunaan lain."
"Kau bermaksud ingkar janji?"
"Keliru besar, maksudku aku akan memanfaatkan pisau kecil
ini, bukankah kau boleh menggunakan jarum, tentu saja aku pun
boleh memakai pisau bukan?"
"Tentu saja."
"Bagus, sekarang kalian boleh memasang taruhan."
"Baik!" serentak para penonton menyahut, mereka ingin
melihat apa benar Bu-ki memiliki kemampuan untuk mengalahkan
Chee Tauke. Bu-ki segera menggenggam dadu-dadu itu dan diletakkan
dalam genggamannya, kepada semua yang hadir serunya,
"Sekarang aku akan melempar dadu ini!"
Sambil menahan napas semua orang memperhatikan tangan
kanannya. Bu-ki menarik napas panjang, tiba-tiba ia melemparkan
ketiga dadu itu ke atas udara, menyusul kemudian secepat kilat dia
cabut keluar pisau emasnya dari balik saku.
Dengan gerakan lurus dia melayang ke udara, menerjang ke
arah ketiga dadu itu. Di saat dadu-dadu meluncur ke bawah, pisau
emasnya menyambar ke kiri, kanan, atas dan bawah, secara
beruntun melepaskan lima tusukan.
Para penonton hanya menyaksikan pisau emas itu secepat
sambaran kilat memancarkan limabelas kali kilatan sinar
tajam, tahu-tahu Bu-ki yang sudah melayang turun telah memegang
mangkuk judi itu dan mengangkatnya ke atas.
Ting, ting, ting, tiga kali dentingan nyaring bergema di
angkasa, tahu-tahu ketiga biji dadu itu sudah jatuh kembali di dalam
mangkuk. Untuk berapa saat suasana dalam ruang judi jadi hening,
perhatian semua orang dialihkan ke atas mangkuk yang berada di
atas kepala Bu-ki.
Anak muda itu sendiri berdiri dengan wajah serius, tiada
senyuman yang menghiasi bibirnya, karena apa yang dia lakukan
sekarang belum pernah ia lakukan sebelumnya, dia tak tahu apakah
berhasil atau tidak.
Perlahan-lahan ia turunkan mangkuk itu dan meletakkannya
ke meja. Suasana mendadak menjadi riuh rendah, seruan tertahan
bergema memenuhi seluruh ruangan. Tiga biji angka enam!
Bukan saja tiga angka enam bahkan dengan sangat jelas
terlihat kalau Bu-ki telah memapas angka-angka lainnya di
permukaan dadu-dadu itu sehingga ukiran angka-angkanya sama
sekali terhapus.
Sebuah gerak serangan yang cepat, tenaga dalam yang
sempurna! Setelah berseru tertahan kini perhatian semua penonton
dialihkan ke wajah Chee Tauke, mereka ingin tahu dengan cara apa
bandar judi itu akan menghadapi kesulitannya.
Berubah hebat paras muka Chee Tauke, dengan wajah hijau
membesi dia mengawasi ketiga dadu itu tanpa berkedip.
Apa yang dikatakan Bu-ki sangat tepat, mulai saat ini,
kecuali tiga angka enam, jangan harap Chee Tauke bisa memperoleh
angka lain. Tak dapat disangkal Chee Tauke sudah kalah!
Semua orang tak berani berkata-kata, mereka memang tak
tahu harus mengucapkan kata apa. Dengan senyum dikulum Bu-ki
duduk kembali di bangkunya.
Tiba-tiba Chee Tauke mengangkat kembali wajahnya yang
hijau membesi, sambil memandang lawannya sekulum senyuman
tipis tersungging di ujung bibirnya.
Kenapa dia malah tersenyum" Bukan hanya Bu-ki yang ingin
tahu, para hadirin yang menonton keramaian pun ingin tahu.
Dengan senyuman menghiasi ujung bibirnya kembali Chee
Tauke berkata, "Kali ini kau pasti kalah!"
Bu-ki tidak berbicara, dia hanya putar otak tiada hentinya,
dalam keadaan apa ia baru bisa dianggap kalah"
"Aku beri tahu, dalam lemparanku berikut aku akan
mendapatkan dua angka enam ditambah satu angka satu, cukup
satu perubahan yang akan mengubah kekalahanku jadi
kemenangan, ha ha ha
Kisah Para Pendekar Pulau Es 11 Duel 2 Jago Pedang Pendekar 4 Alis Buku 3 Karya Khulung Lencana Pembunuh Naga 8
^