Naga Kemala Putih 6

Naga Kemala Putih Karya Gu Long Bagian 6


Chee Tauke tertawa amat riang seakan kemenangan sudah
pasti akan diraihnya, terdengar ia berkata lagi, "Sekarang letakkan
pisau emasmu ke meja taruhan, karena aku akan membayarkan
kekalahanmu itu!"
"Tak usah terburu napsu," jengek Bu-ki sambil tertawa
dingin, "hingga detik ini aku belum kalah!"
"Kau segera bakal kalah!"
Sambil berkata ia mengambil ketiga dadu yang tinggal angka
enamnya itu dan diletakkan dalam genggamannya. "Sekarang
perhatikan baik-baik!"
Sambil berkata kakek itu melemparkan ketiga biji dadu itu ke
tengah udara. Tak ada yang tahu obat apa yang sedang dijual kakek itu,
jelas tinggal angka enam yang tersisa di permukaan dadu itu, mana
mungkin dia bisa mengubahnya jadi angka satu"
Sekalipun berpikir begitu namun tak seorang pun berani
bersuara, mereka hanya mengawasi semua kejadian dengan
seksama. Ketiga dadu itu sudah mencapai puncak lemparan dan kini
mulai meluncur ke bawah.
Pada saat itulah mendadak Chee Tauke mengambil sebatang
jarum kemudian disambitkan ke atas, menyongsong datangnya
dadu-dadu itu. Bersamaan dengan tindakan tersebut, Chee Tauke ikut
melejit sambil menyongsong arah meluncur jatuhnya jarum.
Tampaknya Bu-ki segera paham akan apa yang hendak dilakukan
Chee Tauke, dengan cepat dia mempersiapkan pisau emasnya.
Benar saja, begitu memungut jarum tersebut Chee Tauke
membalikkan badan seraya membuat satu tebasan ke permukaan
dadu yang sedang meluncur turun.
Kini semua orang mulai paham obat apa yang sedang dijual
Chee Tauke, ternyata dia ingin menggunakan jarumnya untuk
mengukir angka satu di dadu itu.
Sementara para penonton siap bersorak-sorai, mendadak
Bu-ki menyambitkan pisau emasnya ke depan, langsung menyambar
ke arah jarum kecil yang dilepas Chee Tauke itu.
"Bagus!" mendadak Chee Tauke berseru keras sambil
tertawa terbahak-bahak.
Sambaran pisau emas itu sangat tepat, begitu disambit ke
udara, jarum itu segera terhajar hingga mencelat ke samping.
Situasi semacam ini jelas sangat tidak menguntungkan
kakek itu, mengapa ia justru meneriakkan kata bagus"
Belum habis semua orang tertegun, tangan kiri Chee Tauke
kembali diayun ke depan melepaskan sebatang jarum lagi dan kali
ini jarumnya tepat menancap di salah satu dadu itu.
Rupanya orang tua itu sudah menduga kalau Bu-ki pasti
akan melemparkan pisau emasnya untuk menghalangi. Di saat ia
melambung ke udara tadi, diam-diam tangan kirinya mempersiapkan
lagi sebatang jarum, ketika perhatian semua orang tertuju pada
tangan kanannya, diam-diam ia menggunakan jarum di tangan
kirinya membuat ukiran angka satu di permukaan dadu, kemudian
baru menyambitkannya ke atas. Maka tanpa sempat dicegah oleh
Bu-ki lagi, terwujudlah angka 'satu' di dadu itu.
Dua biji dadu yang jatuh duluan tentu saja berangka enam,
tapi dadu yang jatuh belakangan ternyata berangka satu.
Apa yang dikatakan Chee Tauke memang tidak keliru, angka
satu telah mengubah posisi kalahnya menjadi posisi menang.
Semua orang bersorak-sorai kegirangan, sementara Chee
Tauke pun tertawa terbahak-bahak saking senangnya.
Bu-ki sudah kalah, namun ia tidak sedih atau murung
lantaran kejadian ini, malah sambil bertepuk tangan pujinya, "Hebat,
hebat, sungguh hebat! Sangat mengagumkan, kali ini aku harus
mengakui kekalahan!"
Selesai bicara ia lemparkan pisau emasnya ke meja dan siap
beranjak pergi dari situ.
"Tunggu dulu!" mendadak Chee Tauke menghalangi.
"Ada urusan lain?"
"Kau tak ingin mengembalikan kerugianmu?"
"Lain hari saja! Aku rasa nasibku hari ini kurang mujur, bila
bertaruh terus kekalahanku akan makin besar, bukan begitu?"
"Benar, tampaknya kau sangat memahami kebiasaan orang
berjudi, setiap saat akan kunantikan kedatanganmu!"
"Pasti!"
"Boleh tahu namamu?"
"Dalam perjudian hanya ada kata menang atau kalah, peduli
amat siapa namamu?"
"Ehmm, masuk di akal, boleh bersahabat denganmu?"
"Dalam arena perjudian tak kenal siapa ayah siapa anak, aku
rasa tak perlu," kemudian sambil menjura kembali Bu-ki
menambahkan, "Selamat tinggal!"
Selesai berkata, tanpa berpaling lagi anak muda itu berjalan
meninggalkan rumah judi Hap-hin-ho.
Suara pujian dan helaan napas terdengar bergema dari
kerumunan orang banyak, mereka kagum atas kebesaran jiwa
pemuda itu, terutama keberaniannya mengakui kekalahan.
Tentu saja mereka tak tahu kalau tujuan kehadiran Bu-ki di
arena perjudian itu bukan untuk mencari kemenangan melainkan
agar Sangkoan Jin tahu akan kehadirannya, sehingga dia sama
sekali tidak mempersoalkan menang kalahnya, tak heran kalau sikap
dan penampilannya begitu santai dan tenang.
Balik kembali ke rumah penginapan, Bu-ki baru menyadari
kalau dia sudah menguras banyak tenaga untuk bertarung di arena
perjudian tadi, karena merasa sangat lelah maka begitu merebahkan
diri di ranjang, dia pun segera tertidur.
Saking nyenyaknya tidur, dia sampai tak tahu kalau ada
orang telah menyisipkan sepucuk surat ke kamarnya.
Untung saja si pendatang tidak bermaksud jahat, coba kalau
ia melepaskan bubuk pemabuk atau obat racun lainnya, niscaya saat
ini dia sudah mati secara mengenaskan.
Dalam perjalanan menuju ke Bukit Singa, Bu-ki terbayang
kembali kejadian yang dialaminya semalam, keteledoran ini
membuatnya termangu, berada di wilayah musuh, kenapa ia bisa
tidak meningkatkan kewaspadaan sendiri, bahkan berlaku begitu
ceroboh" Tiba di Bukit Singa, ia menjumpai di puncak bukit itu
terdapat sebuah tanah datar yang cukup luas. Dia tahu, di sinilah dia
bakal menantang Sangkoan Jin untuk bertarung.
Ia suka tanah lapang yang luas, karena bila dipakai untuk
bertarung maka dia tak akan merasa tertekan atau terkekang gerakgeriknya.
Dia tak senang memakai perintang untuk memuluskan
serangannya, dia anggap pertarungan semacam ini bukan satu
pertarungan yang jujur, tapi cenderung main akal busuk dan tipu
muslihat. Selama hidup ia paling benci menggunakan akal busuk dan
tipu muslihat. Dalam pandangannya, bila ingin bertarung, bertarunglah
secara jujur dan terbuka, penggunaan tipu muslihat meninggalkan
kesan curang, dia tak ingin melakukan perbuatan yang memalukan
seperti itu. Walaupun ia sadar, kepandaian silatnya masih bukan
tandingan Sangkoan Jin!
Bab 19. Kejadian yang Sebenarnya
Ketika Bu-ki sedang melakukan peninjauan di sekitar Bukit
Singa, Wi Hong-nio pun sedang mengambil satu keputusan. Ia
putuskan untuk balik ke gedung keluarga Tio. Dia berpendapat
bahwa menyusul ke Siangkoan-po adalah tindakan bodoh, ia tak
ingin Bu-ki memikul beban berat, tak ingin pemuda itu merasa
menyesal sepanjang hidupnya.
Dia tak tahu, ketidakhadirannya di Siangkoan-po justru
merupakan tindakannya yang paling bodoh, tindakan yang membuat
Bu-ki harus menanggung sesal sepanjang hidupnya.
Tong Hoa sendiri tidak bermaksud membohonginya, dia
berpendapat meski menyusul ke Siangkoan-po pun tak ada gunanya
karena waktu itu Bu-ki pasti sudah selesai bertarung melawan
Sangkoan Jin, jadi bujukan itu sesungguhnya muncul dari niat
baiknya. Dia sama sekali tidak tahu kalau waktu yang dijanjikan
Sangkoan Jin adalah esok, sebab dia selalu berpendapat, Bu-ki pasti
akan langsung menyerbu ke benteng Siangkoan-po untuk melakukan
pembalasan. Mimpi pun dia tak menyangka bahwa anak muda itu
ternyata lebih memilih beristirahat dulu semalam sebelum bertindak
lebih jauh. Mungkin takdirlah yang telah mengatur semua ini hingga Wi
Hong-nio memutuskan untuk tidak berangkat ke Siangkoan-po. Bila
takdir telah berbicara begitu, siapa yang bisa merubahnya"
Bu-ki tak pernah kembali ke rumah penginapan, ia terus
berdiam di atas Bukit Singa karena ia telah menemukan sebuah batu
besar di tanah datar itu, batu besar yang cukup dipakai untuk
berbaring sepanjang hari.
Seharian ia berbaring di atas batu sambil mengawasi mega
yang bergerak di angkasa, menikmati waktu senggang sambil
mempersiapkan diri menghadapi pertarungan besok.
Dia suka dengan perasaan seperti ini, setiap kali hendak
melakukan pertarungan ia memang biasa menenangkan dulu
pikirannya, agar dalam pertarungan nanti, dia dapat menggunakan
segenap kekuatan yang dimilikinya.
Dalam suasana dan keadaan seperti inilah, tanpa terasa Buki
mulai tertidur.
Ketika sadar kembali, bintang telah bertaburan di angkasa,
indah sekali. Agak termangu dia mengamati sejenak bintang di langit,
baru kemudian duduk bersila dan mulai mengatur napas. Ketika
terjaga untuk kedua kalinya, fajar telah menyingsing.
Bu-ki segera bangkit berdiri, mengambil pedangnya,
melompat turun dari batu cadas dan menuju ke jalan masuk menuju
ke Bukit Singa.
Ia berdiri tegak di tengah jalan, mengawasi setiap gerakan
di seputar tempat itu.
Entah berapa saat sudah lewat, akhirnya ia menyaksikan
sesosok bayangan manusia sedang bergerak mendekat. Tak salah
lagi, orang itu adalah Sangkoan Jin.
Ia segera berlalu, berjalan menuju tanah lapang yang telah
dilihatnya kemarin dan memilih posisi bagian tengah sebelah kanan
untuk bersiap sedia.
Sangkoan Jin segera menyusul tiba.
Ia berjalan sampai di hadapan pemuda itu dan baru berhenti
setelah mencapai jarak satu tombak, tanyanya, "Apakah
kedatanganmu untuk mencari aku?" Bu-ki mengangguk.
"Ada urusan penting?"
"Ada!"
"Apa urusanmu?"
"Datang membunuhmu!"
Bu-ki sangat tenang, suaranya juga tenang, membuat dia
mau tak mau harus memuji ketenangan penampilannya sekarang.
Sangkoan Jin sendiri bersikap sangat tenang, dia hanya
menyahut, "Oh ya?"
Kemudian mereka berdua diam, sama-sama membungkam,
sama-sama saling memandang.
Sampai lama kemudian Sangkoan Jin baru bertanya,
"Kenapa?"
"Karena kau telah membunuh ayahku!"
"Bukankah kau sudah tahu tentang siasat Harimau Kemala
Putih?" "Benar, tapi aku tak tahu kalau di balik rencana tersebut
ternyata masih ada rencana lain, Naga Kemala Putih!"
"Naga Kemala Putih?"
"Benar, kau pasti tercengang bukan" Dari mana aku bisa
mengetahui tentang rencana ini?"
"Betul, aku memang amat tercengang, rencana apa pula
itu?" "Masa kau tidak tahu?"
"Aku memang tidak tahu."
"Sangkoan Jin, kau tak perlu berlagak pilon lagi!" nada suara
Bu-ki mulai bergolak, mulai dipengaruhi emosi, "Kau telah
membunuh ayahku secara licik!"
"Aku tidak mengerti apa yang sedang kau bicarakan..."
"Kau telah meracuni ayahku secara perlahan-lahan,
menggunakan racun yang bersifat lambat, itulah sebabnya ayahku
menderita penyakit yang tak bisa disembuhkan. Dengan begitu kau
baru memperoleh kesempatan untuk menjalankan rencana Harimau
Kemala Putih. Padahal sejak awal kau sudah berniat mengkhianati
Tayhong-tong, kau sudah berencana untuk bergabung dengan
Benteng Keluarga Tong, bukan begitu?"
Sangkoan Jin membelalakkan matanya lebar-lebar,
diawasinya wajah pemuda itu sampai lama sekali, kemudian ia baru
bertanya lagi, "Kau punya bukti?"
"Punya!"
"Di mana?"
"Dalam buku harian ayahku!"
"Buku harian ayahmu?" Sangkoan Jin bertanya keheranan,
"Ayahmu pernah menulis buku harian?"
"Rupanya kau pun tidak tahu soal ini" Betul, persoalan ini
merupakan rahasia ayahku, semua kecurigaan dan kesaksiannya
telah dia catat dalam buku harian itu."
"Dan kau percaya?"
"Tidak ada alasan bagiku untuk tidak percaya!"
"Maka kau datang untuk membunuhku, membalaskan
dendam bagi ayahmu?"
"Benar!" jawaban Bu-ki kali ini diucapkan sangat tenang,
"tapi aku akan memberi kesempatan yang sangat adil untukmu, kita
bisa bertarung di tempat ini."
Seraya berkata dia mulai menghimpun tenaga dalamnya,
bersiap melancarkan serangan.
Sangkoan Jin tertawa, kesedihan dan perasaan apa boleh
buat terselip di balik senyuman itu, hanya saja Bu-ki tidak melihat
atau merasakannya.
Sangkoan Jin tahu, kejadian ini pasti merupakan rencana
busuk Keluarga Tong. Dia tahu, tak ada gunanya ia menjelaskan
persoalan ini kepada anak muda tersebut, tak mungkin Bu-ki mau
percaya pada semua omongannya.
Lantas apa daya sekarang" Menerima tantangan Bu-ki untuk
bertarung" Bertarung mati-matian" Seandainya dia memperoleh
peluang untuk menang, tegakah dia membunuh Bu-ki"
Kalau tidak melakukan perlawanan, apakah dia mandah
dibunuh" Mati terbunuh di tangan Bu-ki sambil membawa kesalahan
dan dosa yang sesungguhnya tak pernah ia lakukan"
Untuk beberapa saat Sangkoan Jin merasa bingung, dia tak
tahu apa yang mesti dilakukan.
Sewaktu naik ke bukit tadi, dia memang sengaja tidak
membawa senjata, bagaimana pun tujuan kedatangannya memang


Naga Kemala Putih Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bukan untuk bertarung, namun setelah melihat Bu-ki meloloskan
pedangnya, mau tak mau dia mulai mencoba untuk menghimpun
tenaga dan bersiap sedia.
Begitu dia coba mengerahkan tenaga, saat itu juga ia
menemukan sesuatu yang tak beres, ternyata ia tak mampu lagi
menghimpun tenaga dalamnya.
Kenapa bisa begini" Paras mukanya berubah hebat, ia mulai
membayangkan kembali semua kejadian yang dialaminya selama
beberapa hari terakhir.
Dia masih ingat, semenjak kedatangan putrinya di benteng
Siangkoan-po, dia tak pernah menghimpun tenaga dalamnya lagi,
hal ini membuktikan kalau masalah ini muncul pada saat ini, saat
setelah kehadiran putrinya.
Mendadak perasaan hatinya tercekat, hawa sedingin salju
mendadak muncul dari telapak kakinya dan langsung menerjang ke
rongga dada. Selama ini dia sudah cukup waspada, cukup berhati-hati
menjaga kemungkinan niat keluarga Tong untuk meracuninya, satusatunya
hal yang tak pernah dia risaukan selama ini adalah kuah
jinsom yang dihidangkan putrinya sesaat sebelum ia pergi tidur.
Mungkinkah putrinya yang telah meracuni dia"
Apakah Siangkoan Ling-ling sudah berpihak kepada Keluarga
Tong" Tidak, tidak mungkin, sudah pasti pihak keluarga Tong yang
telah mencampuri kuah jinsom itu dengan racun di saat Siangkoan
Ling-ling tidak ada.
Mendadak dia seperti memahami semua rencana busuk yang
sedang dipersiapkan Benteng Keluarga Tong. Jelas tujuan Keluarga
Tong adalah meminjam tangan Bu-ki untuk menyingkirkan dirinya.
Rencana busuk yang mereka rencanakan merupakan sebuah
rencana berantai, mula-mula mereka merekayasa satu cerita agar
Bu-ki salah paham dan menyangka dialah pembunuh ayahnya,
kemudian meminjam tangan Ling-ling untuk mencampur racun ke
dalam kuah jinsom, agar tenaga dalamnya lenyap, dengan keadaan
seperti ini Bu-ki pasti dapat mengalahkan dirinya tanpa harus
bersusah payah.
Menilik semua tindakan yang dilakukan Keluarga Tong,
semua ini membuktikan bahwa sejak awal mereka berencana untuk
melenyapkan dirinya dan ingin memperalat Bu-ki untuk mencapai
tujuannya. Mereka tak ingin turun tangan sendiri, kuatir
perbuatannya akan berakibat orang lain enggan bergabung dengan
mereka. Begitu memahami apa yang telah terjadi, perasaannya
malah semakin lega, ia tak takut menghadapi kematian namun dia
tak ingin mati dengan cara begini, dia harus membuat perhitungan
dengan Keluarga Tong, atau dengan perkataan lain dia tak ingin
mati saat ini. Berpikir sampai di situ, ia pun berkata, "Bagaimana kalau
pertarungan ini sementara kita tunda dulu?"
"Tidak bisa."
"Biarpun aku meminta sebagai paman Siangkoan?"
"Kau sudah bukan pamanku lagi!"
"Kau tidak takut menyesal?"
"Apa yang perlu kusesalkan?"
"Kau tidak kuaur sudah terjebak rencana keji yang disusun
Benteng Keluarga Tong?"
Bu-ki melengak kemudian memandang wajah Sangkoan Jin
dengan termangu.
"Pernahkah kau bayangkan," kembali Sangkoan Jin berkata,
"Benteng Keluarga Tong ingin melenyapkan aku tapi tak leluasa
untuk turun tangan sendiri, mereka kuatir di kemudian hari tak ada
yang mau bergabung lagi, maka mereka merencanakan siasat ini
agar kau yang membunuhku?"
"Kemungkinan semacam ini memang selalu ada, hanya saja
aku tak percaya."
"Kenapa?"
"Sebab cara ini kelewat bodoh."
"Apa dasarnya kau berkata begitu?"
"Kepandaian silatmu jauh di atas kemampuanku,
memperalat aku untuk membunuhmu, apakah tindakan ini tidak
kelewat bodoh?"
"Kalau sudah tahu begitu, kenapa kau tetap datang
mencariku?"
"Dendam kematian ayahku tak boleh tak dibalas, biar tahu
aku bukan tandinganmu tapi aku tetap harus mencoba. Bila
seseorang sudah terdesak hingga terpaksa mengadu jiwa, kejadian
apa pun bisa terjadi..."
"Itu berarti kau punya kemungkinan bisa membunuhku
bukan?" "Benar!"
"Apa yang bisa kau duga memangnya tak bisa diduga pihak
Benteng Keluarga Tong, khususnya oleh Tong Ou?"
"Tentu saja bisa, tapi aku masih belum percaya kalau
kejadian ini merupakan bagian dari rencana keji mereka."
"Kalau begitu kuberitahukan padamu, aku pun sudah
keracunan, kau percaya?"
"Kau?" dengan mata terbelalak Bu-ki mengawasi wajah
Sangkoan Jin. "Benar, baru berapa hari ini aku terkena racun yang bersifat
lambat, barusan aku mencoba menghimpun tenaga, tapi segera
kujumpai kalau peredaran hawa murniku tersumbat."
"Sungguh?"
"Sungguh, kenapa aku mesti membohongimu" Memangnya
kau anggap aku adalah manusia kurcaci yang takut mati?"
"Kenapa bisa begitu kebetulan?"
"Kejadian yang diatur secara teliti dan seksama baru
meninggalkan kesan seolah kejadian tesebut adalah kejadian yang
kebetulan, bukan begitu?"
"Belum tentu, kau pernah mendengar istilah yang
mengatakan: ibarat baju langit yang terjahit rapi?"
"Jadi kau masih belum mempercayai aku?"
"Aku tak punya alasan untuk percaya padamu."
"Berarti kau tetap besikeras hendak menantangku untuk
bertarung?"
"Benar, kita tak akan berhenti bertarung sebelum ada yang
mati!" jawab Bu-ki tandas.
Dengan pandangan mata tajam Sangkoan Jin mengawasi
anak muda itu, lama kemudian ia baru berkata, "Baiklah! Karena
persoalan sudah berkembang jadi begini rupa, tampaknya sudah
saatnya untuk membuka semua kejadian yang sebenarnya,
kemarilah, aku akan mengisahkan satu cerita dulu, selesai
mendengar kisah itu kau pasti akan percaya kepadaku."
Berbicara sampai di situ dia mengajak Bu-ki menuju ke batu
besar di tengah tanah datar dan duduk di situ. Setelah duduk,
Sangkoan Jin mempersilahkan Bu-ki ikut duduk.
Dengan melintangkan pedangnya di depan dada, Bu-ki
duduk persis berhadapan dengan pamannya itu.
"Tahukah kau kapan kau dilahirkan?" tanya Sangkoan Jin
tiba-tiba. Bu-ki agak tertegun, dia tak habis mengerti kenapa
Sangkoan Jin mengajukan pertanyaan yang seaneh itu. "Tentu saja
aku tahu," sahutnya.
"Bukankah kau dilahirkan pada tanggal lima bulan sebelas
jam Cho-si?"
Tidak aneh jika Sangkoan Jin mengetahui hari kelahirannya,
sudah banyak tahun ia berkumpul dengan ayahnya, tentu saja ia
ketahui hal ini dari ayahnya. Hanya herannya, kenapa ia bisa
mengingatnya sejelas itu"
Dengan perasaan heran bercampur kaget anak muda itu
mengangguk, "Benar!"
"Di kaki kiri dekat sisi kananmu terdapat sebuah tanda
berwarna hijau bukan?"
"Jadi ayahku juga menceritakan soal ini kepadamu?"
Sangkoan Jin tidak menanggapi pertanyaan tersebut,
kembali ujarnya sambil tertawa getir, "Masih ingat ketika terjatuh
dari atas pohon pada usia tiga tahun" Jidat kirimu membengkak
besar sekali, masih ingat terjatuh dari pohon apa?"
Bu-ki menggeleng.
"Kau terjatuh dari sebuah pohon waru," Sangkoan Jin bicara
lebih jauh, "waktu itu kau diajak ibumu bermain di kebun belakang,
karena teledor kau tak ditemukan meski sudah dicari ke mana-mana.
Ibumu memanggil-manggil namamu tapi tidak kau gubris, ketika ia
mulai cemas hingga nyaris menangis tiba-tiba kau memanggil 'ibu!'
dari atas pohon, ibumu yang gelisah bercampur gusar kontan
mencaci maki, saking kagetnya kau pun terjatuh dari atas dahan."
Ketika bercerita sampai di situ, wajahnya nampak sangat
murung, seakan sedang membayangkan kembali kejadian di masa
lalu. Makin didengar Bu-ki semakin tercengang dibuatnya,
kejadian masa dulu yang dia sendiri pun sudah lupa, kenapa paman
Siangkoan nya malah ingat begitu jelas"
"Kemudian sewaktu kau berusia duabelas tahun, hari itu kau
sedang berlatih ilmu pedang dengan ayahmu, karena kurang hatihati,
ayahmu sempat melukai lengan kirimu, apakah hingga
sekarang masih meninggalkan bekas luka yang dalam?"
Tentu saja Bu-ki masih ingat kejadian ini, tanpa terasa dia
lipat bajunya sambil memperhatikan bekas luka yang dimaksud.
"Ini dia, masih membekas sampai sekarang!"
Sekali lagi Sangkoan Jin tertawa getir.
"Sekalipun sudah tertusuk hingga terluka, kau sama sekali
tidak mengaduh atau mengeluh, bahkan masih melanjutkan
latihanmu, darah segar pun berhamburan ke mana-mana mengikuti
gerakan tubuhmu. Menyaksikan kejadian ini, ayahmu merasa sedih
bercampur bangga."
"Dari mana kau bisa tahu tentang perasaan ayahku?"
Kembali Sangkoan Jin tertawa getir.
"Dari mana aku bisa tahu perasaan ayahmu" Segala sesuatu
mengenai ayahmu, aku mengetahui jauh lebih jelas dari siapa pun!"
"Sudah pasti!" seru Bu-ki setelah terkesiap sejenak, "kau
sudah banyak tahun bergaul dengan ayahku, tentu saja apa yang
kau ketahui jauh lebih banyak dari siapa pun."
"Tidak, maksudku adalah semua yang kuketahui mungkin
sama banyaknya seperti apa yang ayahmu ketahui."
"Kenapa bisa begitu" Apakah setiap urusan ayah selalu
bercerita padamu?"
"Mungkinkah begitu?"
"Tentu saja tidak mungkin, tapi... dari mana kau bisa tahu
tentang urusan ayahku bahkan sebanyak apa yang ayahku ketahui?"
"Coba pikirlah sendiri, dalam keadaan seperti apa hal ini
baru mungkin terjadi?"
Bu-ki termenung sambil berpikir lama sekali, ia tetap
menggeleng. "Tidak terpikir olehku."
"Mana mungkin" Padahal sederhana sekali masalahnya!"
Bu-ki terkesiap, dipandangnya Sangkoan Jin dengan wajah
tertegun, kemudian dengan mulut ternganga dan mata melotot
besar bisiknya, "Kecuali..."
"Betul!" Sangkoan Jin manggut-manggut, "Kecuali aku
adalah ayahmu bukan?"
Benar, perkataan ini memang yang hendak diucapkan Bu-ki.
Tapi, mungkinkah itu"
Sampai lama sekali Sangkoan Jin saling berpandangan
dengan Bu-ki, kemudian ia baru bertanya lagi, "Kau masih belum
paham?" "Paham soal apa?"
"Akulah ayahmu!" tiba-tiba nada suara Sangkoan Jin
berubah, sama sekali berbeda dengan logat bicaranya tadi.
Belum selesai mendengar perkataan itu, sekujur badan Bu-ki
sudah gemetar keras, agak tergagap bisiknya, "Kau... kau..."
"Aku adalah ayahmu!" dengan menggunakan logat bicara
yang paling dikenal Bu-ki, Sangkoan Jin berseru.
Seketika itu juga Bu-ki merasakan kepalanya amat pusing,
nyaris dia jatuh tak sadarkan diri. Betul, suara itu memang suara
yang sudah didengar selama banyak tahun, suara yang amat
dikenalnya semenjak dilahirkan, tapi... bukankah orang yang berada
di hadapannya adalah paman Siangkoan" Kenapa bisa berubah jadi
ayahnya" Tak kuasa lagi dia mengamati wajah Sangkoan Jin dengan
seksama, dia ingin menemukan titik terang dari garis wajah orang
itu. Namun kecuali logat bicaranya, ia tak berhasil menemukan
sesuatu yang mencurigakan.
Wajah Sangkoan Jin tidak mirip dengan wajah seseorang
yang mengenakan topeng kulit manusia, terlebih dia amat dekat
dengan ayahnya, tapi kenapa tidak ditemukan sesuatu pertanda
yang mengarah ke situ"
"Kau tak akan menemukan apa-apa dari wajahku," ujar
Sangkoan Jin sambil tertawa.
"Tak bisa menemukan apa-apa?"
"Wajahku sudah dirombak, sudah diubah menjadi wajah
lain." "Aku tidak percaya!"
"Aku tahu kau tak bakal percaya, sebab waktu itu bahkan
aku sendiri dan paman Siangkoanmu juga tidak percaya, apalagi
kau!" Logat bicara Sangkoan Jin ternyata logat Tio Kian!
Bu-ki membelalakkan matanya semakin lebar, ia benarbenar
tak percaya pada yang dikatakan orang ini, biar digebuk
sampai mampus pun dia tak akan percaya.
Kembali terdengar Sangkoan Jin berkata, "Kau pernah
mendengar istilah tentang 'wajah suami istri'?"
"Pernah!"
"Dan tahu secara jelas arti dari perkataan itu?"
"Tahu. Jika suami istri sudah hidup bersama terlalu lama
maka lambat laun paras muka mereka berdua akan semakin mirip
satu sama lainnya."
"Benar. Kecuali suami istri, sahabat yang berkumpul terlalu
lama pun akan mengalami kejadian yang sama, tahu soal itu" Aku
dan paman Siangkoan sudah duapuluhan tahun berjuang bersamasama,
mati hidup bersama, lambat laun paras muka kami berdua
mendekati kemiripan, apa kau tidak merasakannya?"
Setelah berhenti sejenak, katanya lebih jauh, "Tentu saja
kau tak akan merasakannya, sebab termasuk kami berdua pun tidak
merasakannya, namun ada satu orang yang menemukan kemiripan
ini." "Oya" Siapa?"
"Biau-jiu, si Tangan Sakti Li Thian-hui!"
"Biau-jiu si Tangan Sakti Li Thian-hui?"
"Pernah tahu tentang orang ini?"
"Aku pernah mendengar, tapi bukankah dia hanya salah satu
tokoh dalam cerita dongeng?"


Naga Kemala Putih Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak! Benar-benar ada manusia seperti dia."
"Benar benar ada manusia macam dia" Benarkah dia
sehebat seperti yang didengungkan orang selama ini, bisa
mengubah paras muka seseorang menjadi paras muka orang lain?"
"Bukankah aku adalah salah satu contoh hidupnya?"
Sekali lagi Bu-ki mengamati wajah Sangkoan Jin sampai
lama sekali, tapi akhirnya dia tetap menggeleng.
"Aku masih belum percaya."
"Kenapa kau masih belum mau percaya?" kata Sangkoan Jin,
"baiklah, akan kuceritakan sebuah kisah lagi, moga-moga saja kau
bersedia mendengarkan."
Bu-ki tidak menjawab, dia hanya mengawasi lekat-lekat.
"Masih ingat apa yang terjadi di musim gugur tiga tahun
berselang?"
"Masih ingat," sahut Bu-ki setelah berpikir sejenak, "kau
bersama ayahku lenyap hampir setengah bulan lamanya."
Bicara sampai di situ mendadak ia terperangah, serunya
gagap, "Jadi kau..."
"Benar, kami telah bertemu Li Thian-hui," tukas Sangkoan
Jin cepat, "begitu bertemu kami, ia nampak terperangah dan
berulang kali menyatakan aneh."
"Kenapa?"
"Dia bilang kalau wajah suami istri sudah banyak yang
dilihatnya, tapi wajah sahabat belum pernah dijumpai, waktu itu
kami keheranan dan bertanya apa yang dimaksud wajah sahabat,
dia bilang, sama seperti suami istri, jika sahabat berkumpul terlalu
lama, raut muka mereka lambat laun akan semakin mirip."
Bicara sampai di sini Sangkoan Jin berhenti sejenak,
kemudian sambungnya lagi, "Maka Li Thian-hui pun mengajukan
satu pertanyaan kepada kami."
"Pertanyaan apa?"
"Dia bertanya kepada kami, ingin tidak berganti peran. Mulamula
kami kurang begitu paham dengan kemauannya, maka dia pun
berkata lagi, katanya dia mampu memindahkan wajahku menjadi
wajahnya dan wajahnya menjadi wajahku."
Bu-ki tidak bicara lagi sebab apa yang diungkap Sangkoan
Jin kelewat aneh, kelewat tak masuk di akal, membuatnya setengah
percaya setengah tidak.
Sangkoan Jin sama sekali tidak menggubris perubahan
wajah Bu-ki, secara ringkas dia pun menceritakan apa yang
dialaminya tiga tahun berselang.
Ooo)))(((ooo Ternyata Sangkoan Jin dan Tio Kian tertarik sekali setelah
mendapat tawaran dari Li Thian-hui, mereka bertekad untuk saling
bertukar wajah, sebab mereka berpendapat, dengan berganti posisi
dan identitas siapa tahu akan memperoleh hasil yang sama sekali di
luar dugaan. Bagaimanapun juga mereka sudah lama saling mengenal,
kedua belah pihak sama-sama memahami persoalan yang dialami
rekannya sehingga tidak terlalu sulit untuk menyamar sebagai
rekannya. Maka mereka pun mengajak Li Thian-hui kembali ke
rumahnya dan membiarkan ia melakukan perubahan wajah.
Kepandaian ilmu merubah muka yang dimiliki Li Thian-hui
sangat hebat, ia melakukan operasi besar dan mengubah wajah
kedua orang itu, tentu saja dengan bantuan tusuk jarum hingga
mereka tak perlu merasakan penderitaan dan siksaan.
Tiga hari kemudian, ketika mereka mulai bercermin, kedua
orang itu benar-benar terperanjat bercampur heran. Sewaktu
mereka saling berjumpa dan saling berpandangan, rasa kaget
mereka semakin menjadi.
Untuk meyakinkan kalau perubahan wajah itu tidak
meninggalkan bekas yang bisa menimbulkan kecurigaan orang,
mereka saling mengamati kembali wajah rekannya, ternyata
memang tak ditemukan titik kelemahan sekecil apa pun.
Maka mereka mulai mempelajari dan menirukan kebiasaan
hidup rekannya, setelah lewat tiga tahun lagi, gerak-gerik mereka
baru benar-benar mencapai puncak kesempurnaan, mereka sudah
terbiasa menganggap rekannya sebagai diri sendiri.
Berapa lama kemudian mereka mulai berpikir bahwa
kejadian semacam ini sangat melanggar kebiasaan, timbul perasaan
menyesal, maka mereka pun bertanya kepada Li Thian-hui apakah
ada kemungkinan untuk memulihkan kembali wajah mereka.
Jawaban yang diterima membuat mereka berdua tertegun.
"Hal ini mustahil bisa dilakukan, memangnya kalian anggap
perubahan ini hanya sebuah permainan" Mau dirubah lantas dirubah
sekehendak hati?"
"Mengapa kau bisa mengubah wajah kami tapi tak dapat
memulihkan kembali seperti sedia kala?" tanya Tio Kian.
"Karena kulit kalian sudah terluka, sudah ditarik hingga
berubah bentuk, tentu saja tak dapat dipulihkan seperti wajah
dahulu!" "Andaikata kami ingin menunjukkan identitas kami yang
sebenarnya, lalu apa caranya?"
"Tak ada caranya."
Jawaban itu terasa amat kejam, bagai sebilah pisau tajam
yang menghujam ke dada Sangkoan Jin dan Tio Kian, mereka
terkejut bercampur sedih.
"Kalian harus berganti peran, selamanya berganti peran!"
kembali Li Thian-hui berkata.
Tio Kian dan Sangkoan Jin saling berpandangan sampai
lama sekali, kemudian baru menegaskan, "Benar-benar tak ada jalan
keluar?" "Sebenarnya masih ada satu cara."
"Bagaimana caranya?"
"Sebuah cara yang amat menderita dan tersiksa."
"Cara yang menyiksa?"
"Benar!"
"Kenapa?"
"Sebab aku harus menguliti seluruh wajah kamu berdua,
agar wajah yang sekarang musnah. Kemudian membiarkan kulit
wajah kalian tumbuh kembali perlahan-lahan, kulit muka yang
tumbuh kemudian akan berwujud wajah kalian yang dulu!"
Tio Kian maupun Sangkoan Jin merasa teramat gusar,
mereka tidak menyangka kalau Li Thian-hui menggunakan mereka
berdua sebagai kelinci percobaan.
Tanpa banyak bicara lagi serentak mereka berdua
mengayunkan telapak tangannya dan dihantamkan ke dada Li Thianhui.
"Dan Li Thian-hui tewas di tangan kalian berdua?" tanya Buki
setelah selesai mendengarkan kisah tersebut.
"Ilmu merubah wajahnya memang hebat dan tiada
tandingan, tapi kepandaian silatnya teramat cetek, mana mungkin
tidak mampus?"
"Kalau mendengar kisahmu ini, berarti di dunia saat ini tak
akan ditemukan lagi saksi yang bisa membuktikan kebenaran ini?"
"Jadi kau masih tetap tidak percaya kepadaku?" tanya
Sangkoan Jin sambil menatap anak muda itu tajam.
Bu-ki tertawa. "Bagaimana mungkin aku bisa percaya" Ceritamu terlalu
khayal, kelewat tak masuk di akal!"
"Terlalu khayal" Tapi yang kuceritakan adalah kisah yang
sebenarnya. Tahukah kau, kadang-kadang kejadian sesungguhnya
bisa kedengaran agak khayal?"
"Tapi ceritamu itu..."
"Apa yang mesti kulakukan agar kau percaya kepadaku?"
tukas Sangkoan Jin tiba-tiba.
Bu-ki segera terbungkam, tak mampu menjawab.
Dengan wajah yang sangat serius Sangkoan Jin mengawasi
pemuda itu, sekejap kemudian ia baru berkata, "Coba pinjamkan
pedangmu kepadaku."
Bu-ki memandang Sangkoan Jin sekejap, dia pun tidak
bertanya apa-apa dan menyodorkan pedangnya.
Setelah menerima pedang itu, paras muka Sangkoan Jin
berubah makin serius, dia mencabut pedang itu, mengawasi
bagiannya yang tajam kemudian perlahan-lahan dia palangkan mata
pedang yang tajam itu ke lehernya sendiri.
"Hey, mau apa kau?" tegur Bu-ki terkesiap.
Sangkoan Jin tertawa sedih.
"Bukankah hanya dengan cara begini kau baru akan
mempercayaiku?"
Berubah hebat paras muka Bu-ki.
"Jadi kau hendak merusak wajahmu sendiri?" ia bertanya.
"Tidak, aku hanya akan memulihkan kembali wajah asliku,"
jawab Sangkoan Jin tenang.
Pikiran dan perasaan Bu-ki bergolak keras, untuk sesaat dia
tak tahu bagaimana harus menghadapi kejadian ini. Memang hanya
cara ini yang bisa membuatnya dapat melihat wajah orang ini yang
sesungguhnya, hanya dengan jalan menyayat kulit wajah yang ada,
dia baru bisa membuktikan apakah orang ini ayahnya atau bukan.
Tapi, andaikata dia benar-benar adalah ayahnya" Bukankah
wajahnya akan hancur musnah" Bukankah wajah itu akan
berlumuran darah" Tapi seandainya bukan" Mungkinkah tindakan
yang ia lakukan hanya bertujuan untuk membohonginya"
Andaikata orang yang berada di hadapannya adalah
Sangkoan Jin" Dia cerdas dan banyak akal, terbukti dia sanggup
mencelakai ayahnya, ini berarti bukan urusan yang sulit baginya
untuk memulihkan wajah aslinya. Dia pasti sengaja berbuat begitu
karena sudah menduga pemuda itu pasti akan mencegahnya.
Pelik, persoalan ini betul-betul teramat pelik.
Apa daya sekarang"
Memandang mata pedang di tangan Sangkoan Jin yang siap
menyayat wajah sendiri, ia bingung dan tak tahu apa yang mesti
diperbuat. Ooo)))(((ooo Berita kehadiran Bu-ki di benteng Siangkoan-po dengan
cepat sudah tersiar luas, Tong Ou pun mendengar berita ini.
Dia pun tahu, tujuan Bu-ki mendatangi rumah judi adalah
untuk menarik perhatian Sangkoan Jin, maka sejak awal dia sudah
mengutus orang untuk mengikuti secara diam-diam dan
memperhatikan arah kepergiannya.
Pertarungan antara Sangkoan Jin melawan Tio Bu-ki, tentu
saja dia ingin menjadi penonton saja, maka ia berpesan pada orang
yang mengawasi gerak-gerik Sangkoan Jin agar segera memberi
kabar bila menemui sesuatu yang tidak biasa, dia sudah siap untuk
menyusul. Tapi yang membuat ia tercengangadalah dalam seharian
penuh hari kedua, Sangkoan Jin sama sekali tidak melakukan
sesuatu. Kemudian pada hari ketiga, petugas yang mendapat
perintah untuk melakukan pengintaian itu baru muncul dengan
wajah pucat sambil melaporkan lenyapnya Sangkoan Jin.
Sejak kapan Sangkoan Jin meninggalkan tempat tinggalnya"
Tak seorang pun yang melihat. Kejadian ini sungguh membuat Tong
Ou tercengang dan tak habis mengerti.
Kenapa Sangkoan Jin harus pergi secara rahasia di luar tahu
siapa pun" Apakah di antara dia dan Tio Bu-ki benar-benar ada
rahasia yang amat besar"
Dia tidak tahu, tapi ia segera mengutus orang untuk
menyelidiki jejak Sangkoan Jin ke empat penjuru dan hasilnya tetap
tidak ada yang tahu ke mana dia pergi. Sementara menurut laporan
pelayan rumah penginapan yang didiami Bu-ki, sejak kemarin ia naik
ke Bukit Singa, anak muda itu juga tak pernah balik lagi.
Begitu mendapat laporan tersebut, Tong Ou langsung
menyambar pedangnya dan berangkat ke Bukit Singa. Menurut
perhitungannya, Sangkoan Jin pasti sudah mengundang Tio Bu-ki
untuk berjumpa di Bukit Singa.
Ketika Tong Ou berangkat, waktu sudah mendekati tengah
hari. Perasaan itu timbul karena dia teringat akan satu hal.
Pedangnya! Sebelum meninggalkan tempat itu Sangkoan Jin sama sekali
tidak mengembalikan pedang itu kepadanya.
Dengan langkah cepat dia menerjang ke muka, sembari
melesat teriaknya keras, "Jangan!"
Sayang semua sudah terlambat, segala sesuatunya sudah
terjadi. Tatkala Bu-ki berhasil menyusul, Sangkoan Jin telah
menghentikan langkahnya, menanti Bu-ki sepuluh langkah di
belakangnya dan tiba-tiba ia membalik tubuhnya.
Bu-ki segera berhenti di hadapan Sangkoan Jin, kini jarak
mereka tinggal dua-tiga langkah dan Sangkoan Jin sudah
membalikkan seluruh badannya.
Dalam waktu singkat Bu-ki berdiri dengan mata terbelalak
lebar dan mulut melongo, darah bercucuran dalam hatinya, dia
menjerit. Kenapa" Kenapa" Kenapa"
Yang dia saksikan adalah selembar wajah yang penuh
berlepotan darah!
Rupanya setelah beranjak pergi tadi, dalam jarak sepuluh
langkah dia berjalan, secara diam-diam ia mulai menyayati kulit
wajahnya. Ia baru berhenti sambil membalikkan badan ketika
mendengar Bu-ki menjerit kalap.
Ternyata dia adalah Tio Kian!
Ayah kandung Tio Bu-ki!
"Ayah!" jeritan Bu-ki seakan terhenti di tenggorokannya, dia
tak sanggup menjerit, tak mampu berteriak.
Sekulum senyuman pedih tersungging di ujung bibir Tio
Kian. Sebuah senyuman yang amat mengenaskan, senyuman
yang mengerikan di balik wajahnya yang hancur berantakan.
Sekalipun kelihatan amat menyeramkan, namun pandangannya
nampak begitu lembut, begitu ramah dan penuh kasih sayang. Suatu
pernyataan yang membuktikan bahwa ia sama sekali tidak
menyalahkan putranya.
Airmata mulai jatuh bercucuran membasahi wajah Bu-ki, ia
bertekuk lutut dan menjatuhkan diri menyembah di tanah,
bersembah sujud di hadapan Tio Kian.
"Ayah!" akhirnya dengan suara yang parau tapi
mengenaskan dia memanggil.
Tio Kian tcrt awa sedih, sahutnya, "Kau tak perlu kelewat
sedih, aku berbuat begini bukan hanya
Bab 20. Sekali Lagi Berpisah Mati
Melihat sikap ragu-ragu yang diperlihatkan Tio Bu-ki, tibatiba
Sangkoan Jin menghela napas panjang, katanya, "Aku tahu kau
pasti tak akan percaya, kau kuatir terjadi sesuatu yang di luar
dugaan bukan?" Bu-ki tidak menjawab.
"Kurasa begini saja, besok kita bertemu lagi di sini, aku
jamin sampai waktunya aku pasti dapat memperlihatkan bukti yang
bisa membuat kau percaya, kau percaya kan?"
Bu-ki memandang Sangkoan Jin seketika, kemudian
mengangguk. Memang tak mungkin baginya untuk menolak, sebab


Naga Kemala Putih Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jika dia menolak, dapat dipastikan Sangkoan Jin akan segera
merusak wajahnya sendiri, dan seandainya setelah wajah itu dirusak
dan ternyata wajah ayahnya, apa yang akan dia lakukan"
Tentu saja ia pun berpikir lebih jauh, seandainya besok
Sangkoan Jin tidak datang, apa yang akan dia lakukan" Tampaknya
dia mesti bertaruh dalam urusan ini.
Seandainya besok Sangkoan Jin benar-benar tidak muncul,
dia tetap saja dapat pergi mencarinya, bedanya ia menjadi tambah
repot. Begitu melihat anak muda itu mengangguk, Sangkoan Jin
segera membalikkan badan dan pergi. Bu-ki hanya berdiri termangumangu,
berdiri diam memandang Sangkoan Jin membalikkan badan
dan pergi. Menunggu pamannya itu sudah berada sejauh duapuluh
langkah dari tempat semula, mendadak satu perasaan tak tenang
muncul di hati kecilnya, dia merasa seperti ada sesuatu yang
mengganjal, kedukaan yang mengenaskan segera akan berlangsung
di depannya. Perasaan itu timbul karena dia teringat akan satu hal.
Pedangnya! Sebelum meninggalkan tempat itu Sangkoan Jin sama sekali
tidak mengembalikan pedang itu kepadanya.
Dengan langkah cepat dia menerjang ke muka, sembari
melesat teriaknya keras, "Jangan!"
Sayang semua sudah terlambat, segala sesuatunya sudah
terjadi. Tatkala Bu-ki berhasil menyusul, Sangkoan Jin telah
menghentikan langkahnya, menanti Bu-ki sepuluh langkah di
belakangnya dan tiba-tiba ia membalik tubuhnya.
Bu-ki segera berhenti di hadapan Sangkoan Jin, kini jarak
mereka tinggal dua-tiga langkah dan Sangkoan Jin sudah
membalikkan seluruh badannya.
Dalam waktu singkat Bu-ki berdiri dengan mata terbelalak
lebar dan mulut melongo, darah bercucuran dalam hatinya, dia
menjerit. Kenapa" Kenapa" Kenapa"
Yang dia saksikan adalah selembar wajah yang penuh
berlepotan darah!
Rupanya setelah beranjak pergi tadi, dalam jarak sepuluh
langkah dia berjalan, secara diam-diam ia mulai menyayati kulit
wajahnya. Ia baru berhenti sambil membalikkan badan ketika
mendengar Bu-ki menjerit kalap.
Ternyata dia adalah Tio Kian!
Ayah kandung Tio Bu-ki!
"Ayah!" jeritan Bu-ki seakan terhenti di tenggorokannya, dia
tak sanggup menjerit, tak mampu berteriak.
Sekulum senyuman pedih tersungging di ujung bibir Tio
Kian. Sebuah senyuman yang amat mengenaskan, senyuman
yang mengerikan di balik wajahnya yang hancur berantakan.
Sekalipun kelihatan amat menyeramkan, namun pandangannya
nampak begitu lembut, begitu ramah dan penuh kasih sayang. Suatu
pernyataan yang membuktikan bahwa ia sama sekali tidak
menyalahkan putranya.
Airmata mulai jatuh bercucuran membasahi wajah Bu-ki, ia
bertekuk lutut dan menjatuhkan diri menyembah di tanah,
bersembah sujud di hadapan Tio Kian.
"Ayah!" akhirnya dengan suara yang parau tapi
mengenaskan dia memanggil.
Tio Kian tertawa sedih, sahutnya, "Kau tak perlu kelewat
sedih, aku berbuat begini bukan hanya bermaksud agar kau percaya
kepadaku."
Lantas karena apa" Apakah masih ada rahasia lain"
Demikian Bu-ki berpikir, namun ia tak mengutarakan keraguannya
itu. "Ayah sengaja berbuat begini, setengahnya karena ingin
menebus dosa," kembali Tio Kian menerangkan.
Menebus dosa" Menebus dosa apa"
"Aku berharap kau mulai mempersiapkan diri, bersiap-siap
menghadapi segala kemungkinan," Tio Kian menyodorkan kembali
pedang itu ke tangan putranya.
Dengan sorot mata penuh perasaan ragu dan heran Bu-ki
mengawasi ayahnya, selama banyak tahun dia selalu mengira
ayahnya telah mati, sungguh tak disangka hari ini telah terjadi
perubahan yang sama sekali tak terduga olehnya.
ooooOOOoooo Ada banyak persoalan yang ingin dia tanyakan, tapi ia tak
pernah bersuara lagi, setelah menyaksikan cara ayahnya merusak
wajah sendiri, dia tahu, ayahnya pasti akan memberikan penjelasan
secara panjang lebar.
"Kau sangka paman Siangkoanmu telah membunuh aku"
Kini kau sudah yakin dengan identitasku, berarti kau pun pasti tahu
bahwa orang yang terbunuh itu sesungguhnya adalah paman
Siangkoan bukan?"
Bu-ki tidak bersuara, dia hanya mendengarkan dengan
seksama. "Padahal akulah yang merancang siasat Harimau Kemala
Putih, tapi semenjak wajahku dan wajah paman Siangkoan dirubah
oleh Li Thian-hui, tabiatku pun perlahan-lahan mulai berubah.
"Aku sering berpikir, seandainya suatu hari perkumpulan
Tayhong-tong dapat memusnahkan Benteng Keluarga Tong, maka
seluruh dunia persilatan akan jatuh ke tangan kita dan saat itu
kekuasaan tertinggi harus kubagi sama rata dengan paman
Siangkoan serta paman Sugong.
"Tiba-tiba timbul niat serakahku, aku pikir, kenapa
kekuasaan harus kubagi rata dengan mereka" Seharusnya aku
seorang yang menguasainya!"
Berbicara sampai di sini Tio Kian berhenti sejenak, setelah
menghela napas panjang lanjutnya, "Setelah muncul pikiran
semacam ini, aku sering berubah jadi berangasan dan gampang
marah, khususnya setiap kali bertemu dengan paman Siangkoanmu,
aku pasti berpikir, bila ingin mengangkangi sendiri kekuasaan besar
itu, aku harus menyingkirkan dia terlebih dulu."
"Kau tak mempertimbangkan paman Sugong?" tak tahan Buki
bertanya. "Paman Sugong-mu bukan orang yang punya ambisi besar,
maka aku tak perlu merisaukan dirinya. Berbeda dengan paman
Siangkoan, dia sama seperti aku, punya ambisi yang besar dan haus
akan kekuasaan, satu-satunya keunggulanku adalah bahwa aku lebih
cerdas dan banyak akal."
Sambil berkata Tio Kian berjalan menuju ke batu besar dan
duduk di situ, kini darah yang membasahi wajahnya sudah
mengering, dari balik mukanya yang remuk lamat-lamat masih
terpampang wajah aslinya, itulah wajah Tio Kian.
"Suatu hari," kembali Tio Kian melanjutkan ceritanya,
"akhirnya terpikir olehku untuk menjalankan siasat Harimau Kemala
Putih. Selain bisa melenyapkan Sangkoan Jin dari muka bumi, aku
pun bisa menggunakan kesempatan ini untuk menyusup ke dalam
Benteng Keluarga Tong dan menunggu saat untuk membasminya.
Maka di hari perkawinanmu itulah kupanggil Sangkoan Jin
masuk ke dalam ruang rahasia, mimpi pun dia tak mengira kalau aku
bakal melancarkan serangan untuk membunuhnya, dan cerita
selanjutnya tak perlu kuceritakan lagi, karena kau pasti sudah
mengetahuinya."
Raut muka Tio Kian menampilkan siksaan batin dan
penderitaan yang luar biasa, sesudah tertawa getir lanjutnya,
"Tahukah kau bahwa sebenarnya orang yang paling jahat adalah
ayahmu?" Bu-ki tidak berbicara, dalam hati dia pun merasakan siksaan
dan penderitaan yang luar biasa, perasaannya amat kalut. Dia tak
menyangka ayahnya yang paling dihormati dan paling disayang
selama ini ternyata adalah pembunuh yang sesungguhnya, seorang
pembunuh berdarah dingin yang tak segan menghabisi nyawa
sahabat sendiri, seorang sahabat yang telah mendampinginya
puluhan tahun Sedangkan tujuannya tak lebih hanya ingin
mengangkangi kekuasaan, ingin menguasai perkumpulan Tayhongtong
seorang diri, ingin membasmi Benteng Keluarga Tong dan
seorang diri menguasai jagad.
Perbuatan semacam ini jelas merupakan tindakan yang
biadab, perbuatan yang tak bisa dimaafkan Bu-ki, tapi apa yang bisa
dia lakukan" Apa yang bisa dia perbuat jika si pelakunya ternyata tak
lain adalah ayah kandung sendiri!
Bagaimana sekarang"
Dia awasi ayahnya, mengawasi wajah Tio Kian yang telah
hancur berantakan, sama seperti perasaan hatinya sekarang, hancur
lebur tak karuan.
"Kau tak perlu bersedih hati," terdengar Tio Kian berkata
lagi, "aku sengaja menghancurkan wajahku untuk membuktikan
identitasku yang sebenarnya tak lain karena bertujuan untuk
menebus dosa, aku tidak seharusnya mencelakai Sangkoan Jin."
"Ayah!" Bu-ki tak mampu berkata-kata, dia hanya bisa
menjerit dengan perasaan hancur lebur.
"Ayah sudah tak berguna."
"Kenapa?"
"Tong Ou si anak jadah itu telah meracuni aku!"
"Mana mungkin?"
"Tong Ou memang seorang musuh yang lihay, aku yakin dia
pasti telah memperalat Ling-ling untuk meracuni aku,
mencampurkan racun ke dalam kuah jinsom yang tiap pagi dibuat
anak itu untukku."
"Jadi kau..."
"Barusan aku mencoba mengerahkan tenaga, ternyata
peredaran darahku sudah tak lancar, kekuatan tenaga dalamku
sudah lenyap empatpuluh persen, Tong Ou memang anak jadah!"
"Kenapa dia harus berbuat begitu?"
"Dia ingin memperalat kau untuk melenyapkan aku,
berbareng dengan itu dia pun bisa menggunakan kesempatan ini
untuk memberi pukulan batin yang terberat untukmu. Coba
bayangkan saja, dia merekayasa semua kejadian dengan
menciptakan siasat Naga Kemala Putih, jika kau termakan siasatnya
dan berhasil membunuhku, kemudian dia mengungkap cerita yang
sebenarnya, apakah kau tak akan menerima pukulan batin yang
sangat parah?"
Bu-ki bisa membayangkan, saat itu saban hari dia pasti akan
bermabuk-mabukan, tak punya selera untuk mengurusi persoalan
lain, dengan begitu urusan perkumpulan Tayhong-tong pasti akan
terbengkalai, tak ada yang memimpin dan tak ada yang mengurus.
Jika kemudian Benteng Keluarga Tong memanfaatkan kesempatan
itu untuk melancarkan serangan secara besar-besaran, bagaimana
mungkin Tayhong-tong masih bisa menancapkan kakinya di dunia
persilatan" Bisa jadi perkumpulan itu akan lenyap untuk selamanya
dari muka bumi!
Kejam benar manusia ini! Bu-ki mengumpat dalam hatinya.
"Sekarang, kita harus menghadapi siasatnya dengan siasat!"
"Menghadapi siasatnya dengan siasat?"
"Benar, kau pura-pura berhasil membunuhku agar Tong Ou
menceritakan kejadian yang sebenarnya kepadamu, lalu kau
berpura-pura pikiranmu kalut, batinmu terpukul dan menyerang dia
secara mem-babibuta."
"Kau anggap aku sanggup menghadapinya?"
"Sulit untuk dikata, tapi kalau dilihat dari siasat yang dia
gunakan terhadapmu, ini membuktikan bahwa dia pun tak yakin bisa
mengungguli kemampuanmu. Kalau tidak, buat apa dia susah-susah
menggunakan berbagai jurus kembangan untuk menghadapimu?"
"Benar!"
"Oleh sebab itu kau harus berlagak sangat marah, sangat
menyesal hingga pikiranmu sangat kalut, agar dia memandang
enteng dirimu. Selain itu, begitu mulai menyerang, kau harus
berlagak seolah seranganmu kacau, banyak titik kelemahan dan
banyak melakukan kesalahan, agar dia beranggapan kau sudah
hampir gila."
"Seandainya dia memanfaatkan titik kelemahan itu untuk
membekukku, bukankah sama artinya dengan bunuh diri?"
"Tidak mungkin, dengan watak Tong Ou, tak mungkin dia
langsung membekukmu, dia pasti akan mempermainkanmu seperti
kucing menangkap tikus. Setelah membuat kau mati tak bisa hidup
tak dapat, saat itulah dia baru akan membunuhmu."
"Kau tidak berpikir cara ini terlalu berbahaya?"
"Kalau tidak berani nyerempet bahaya, mana mungkin bisa
diperoleh hasil yang baik?" sahut Tio Kian, "Soal yang tersisa adalah
waktu yang paling cocok untuk pergi mencari Tong Ou."
Setelah berhenti sejenak untuk menarik napas, kembali ia
meneruskan, "Sayang aku telah melakukan satu kesalahan!"
"Kesalahan apa?"
"Aku kuatir kau mencari aku karena ada urusan penting,
maka sewaktu menuju kemari, aku telah bertindak sangat rahasia
sehingga tak seorang pun anggota Keluarga Tong yang tahu ke
mana aku pergi."
"Apakah langkahmu itu keliru?"
"Kalau dipikir sekarang, rasanya memang keliru besar."
"Kenapa?"
"Sebab dengan watak Tong Ou, dia pasti mengutus orang
untuk mengawasiku terus menerus, jika dia tahu bahwa aku datang
kemari, sudah pasti dia akan segera menyusul kemari. Dia pasti ingin
menyaksikan pertarungan kita berdua kemudian mulai mengejek dan
mempermainkan dirimu."
"Ayah tak usah kuatir, aku telah melakukan satu perbuatan
yang sangat tepat dan benar!"
"Oh ya?"
"Aku sempat bertanya kepada pelayan rumah penginapan,
harus lewat jalan mana untuk tiba di sini."
"Bagus, kalau Tong Ou gagal menemukan jejakku, dia pasti
akan mengutus orang untuk mencari tahu jejakmu di rumah
penginapan. Saat ini dia pasti sudah tahu ke mana kau pergi."
"Soalnya adalah aku tidak mengatakan kalau akan kemari,
aku hanya bertanya harus lewat jalan yang mana untuk sampai ke
sini." "Itu sudah lebih dari cukup, Tong Ou tali bakal melepaskan
setiap titik terang yang berhasil dia dapatkan."
"Berarti dia segera akan menyusul kemari?"
"Mungkin saja ia sudah mencari jejak kita di sekitar tempat
ini." "Lalu apa yang kita lakukan sekarang?"
"Kita buat pengaturan di tempat ini."
"Pengaturan?"
"Betul! Kita lakukan pengaturan dan perubahan bentuk di
sekitar sini, seolah baru saja berlangsung pertarungan yang amat
seru, agar Tong Ou menyangka bahwa kita berdua sudah
bertarung!"
"Bagaimana dengan ayah?"
"Aku" Gampang sekali, kini wajahku sudah hancur
berantakan, jika aku berlagak mati, dia pasti dapat dikelabui."


Naga Kemala Putih Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jadi kau akan berlagak mati?"
"Benar, dengan begitu Tong Ou tak akan menyangka kalau
kau sedang bermain sandiwara!"
"Tapi..."
"Kenapa" Kau anggap kurang baik jika aku berlagak mati?"
"Bukan, bukan begitu."
"Lalu maksudmu..."
"Janji pertarunganku melawan Tong Ou!"
"Peduli amat dengan segala janji, kau harus memanfaatkan
kesempatan yang sangat baik ini untuk menghabisinya, sebab tidak
gampang untuk menemukan kesempatan lain...."
"Kau ingin pegang janji" Terhadap manusia semacam ini
pun kau ingin pegang janji" Hmm, jangan mimpi! Jadi kau anggap
dia pun akan pegang janji?"
"Paling tidak aku ingin menjadi seseorang yang pegang
janji." "Baik, jadilah orang yang pegang janji. Hanya saja aku perlu
memberitahumu, setelah bertemu denganmu nanti, dia pasti akan
memanas-manasi hatimu, memancing amarahmu agar kau
menyerangnya."
"Kalau sampai dia berbuat begitu, artinya bukan aku yang
terlebih dulu ingkar janji!"
"Anakku, dunia persilatan itu penuh dengan kelicikan dan
kemunafikan, kenapa sih kau harus menjadi seorang lelaki yang
pegang janji" Kejujuranmu akan membuat kau kujur!"
"Tapi, bukankah pegang janji merupakan hal yang
diutamakan dalam pergaulan dunia persilatan?"
"Cuh!" dengan gemas Tio Kian meludah, "Sudah banyak
tahun aku hidup dalam dunia persilatan, selama ini belum pernah
kujumpai orang yang pegang janji!"
"Tapi, bukankah ayah selalu mengajariku untuk jadi seorang
lelaki yang pegang janji?"
"Ajaran kembali soal ajaran, kenyataan jauh berbeda dengan
ajaran, kalau kau tak pandai melihat keadaan, tak pandai
menyesuaikan diri dengan keadaan, kaulah yang bakal hancur,
mengerti?"
"Aku tidak tahu..."
"Kenapa kau masih berkeras kepala?" tukas Tio Kian jengkel,
"Bayangkan saja, bila kita berhasil membasmi Benteng Keluarga
Tong maka perkumpulan Tayhong-tong akan menguasai jagad,
bayangkan sendiri, sampai waktu itu siapa yang akan memimpin
seluruh dunia" Seluruh dunia persilatan akan menjadi milik siapa?"
"Tentu saja menjadi milik ayah!"
"Aku?" Tio Kian mendengus dingin, "mungkinkah itu?"
"Kenapa tidak mungkin?"
"Kedokku sudah terbongkar, wajah asliku sudah ketahuan
setiap orang, semua anggota Tayhong-tong tahu kalau aku yang
telah membunuh Sangkoan Jin. Dalam keadaan begini apakah aku
masih pantas, masih berhak untuk memimpin mereka?"
"Lalu..."
Tio Kian tertawa getir.
"Anak selalu menggantikan posisi ayahnya, Tayhong-tong
akan menjadi milikmu, tahukah kau?"
"Aku?" Tio Bu-ki melengak, untuk sesaat dia tak tahu
bagaimana harus menanggapi perkataan itu.
"Benar, aku sengaja merusak wajahku selain bertujuan
untuk menebus dosa, aku masih mempunyai tujuan lain. Aku ingin
mengumumkan bahwa mulai saat ini aku sudah melepaskan segala
urusan Tayhong-tong, akan kuserahkan semua tugas dan tanggung
jawab ini ke tanganmu!"
Melihat pemuda itu tidak bicara, kembali Tio Kian berkata,
"Oleh karena itu, jika kau ingin memimpin Tayhong-tong dengan
baik dan benar, kau mesti paham bahwa menyelesaikan urusan di
depan mata adalah paling utama! Soal pegang janji" Hmm, itu
tergantung dengan siapa kita berhadapan!"
"Apa yang ayah katakan tidak sesuai dengan watakku!"
"Watak" Jika kau ingin mengikuti watak, lebih baik hiduplah
mengasingkan diri di atas gunung atau di dasar jurang! Kalau ingin
bergaul dan hidup dalam dunia persilatan, yang diutamakan adalah
mencapai tujuan dengan menghalalkan segala cara, jangan bicara
soal watak atau segalanya!"
"Ayah, kau sangat berubah, kau berubah sekali..."
"Jika seseorang sudah terlalu lama hidup dalam dunia
persilatan, mungkinkah dia tak berubah?"
"Benarkah kehidupan dalam dunia persilatan itu sangat
berbahaya?"
"Jauh lebih berbahaya daripada apa yang kau bayangkan
selama ini!"
Tiba-tiba Bu-ki menghela napas panjang, kesedihan muncul
dalam hatinya. Mungkinkah baginya untuk hidup terus sebagai
manusia dunia persilatan" Haruskah dia berjuang terus dalam dunia
yang penuh kelicikan dan kemunafikan ini"
Pikiran ini hanya melintas sekejap dalam benaknya, karena
perkataan Tio Kian telah memotongnya.
"Demi perkumpulan Tayhong-tong, demi melanjutkan
perjuangan dan hasil karya yang berhasil kita bentuk selama ini, kau
harus pandai menilai tiap suasana dalam dunia persilatan, pandai
menghadapi kenyataan dan pandai memilah mana yang benar dan
mana yang tidak, dengan begitu kau baru bisa bertahan sekuat batu
karang." Aku tidak mau, aku tidak mau, aku tidak mau, dalam hati
Bu-ki menjerit kalap.
Tapi Tio Kian sama sekali tidak mendengar jeritan tersebut,
kembali ia berkata, "Kau harus menyanggupi permintaanku ini,
gunakan kesempatan emas ini dan bunuhlah Tong Ou!"
"Ayah, mengapa kau paksa aku untuk melakukan perbuatan
yang bertentangan dengan sifatku?" tak tahan, akhirnya Bu-ki
berteriak. "Sifat" Liangsim" Orang mati masih punya sifat" Orang mati
juga masih punya liangsim" Jika kau tidak membunuh Tong Ou,
Tong Ou yang akan membunuhmu!"
"Aku lebih suka bertarung secara adil!"
"Bertanding secara adil" Hmh!" Tio Kian mendengus dingin,
"Masa kau masih belum tahu jelas maksud Tong Ou menghadapimu
menggunakan cara seperti ini" Kau anggap yang telah dilakukannya
itu tindakan yang adil?"
Bu-ki terbungkam. Tapi raut mukanya masih mencerminkan
kekukuhan hati untuk mempertahankan pendiriannya.
Tentu saja sikapnya tak luput dari pengamatan Tio Kian.
Saking gelisahnya ia jadi geram sendiri, keras kepala amat anaknya
ini, sudah berhadapan dengan maut masih belum juga mau sadar"
Tio Kian merasa sedih sekali.
Tio Kian tahu, Tong Ou adalah orang yang sangat
berbahaya, dari perbuatannya memperalat Siangkoan Ling-ling untuk
meracuni ayahnya sendiri saja sudah memperlihatkan betapa licik
dan busuknya hati orang ini. Yang dilakukannya ibarat 'sekali timpuk
dua ekor burung', sebuah rencana berantai yang menakutkan.
Andaikata Bu-ki benar-benar membunuh dirinya, artinya
sama saja pemuda itu telah membantu Tong Ou untuk melenyapkan
orang yang ingin dia singkirkan. Sebaliknya jika Bu-ki bukan
tandingannya, sementara dirinya sudah keracunan hingga tenaga
dalamnya telah hilang empatpuluh persen, tentu saja Tong Ou jadi
tak perlu mengua-tirkan kemampuannya sehingga setiap saat dia
dapat menghabisi nyawanya
Sebaliknya Tong Ou sendiri sama sekali tidak menyangka
kalau rencana kejinya, siasat Naga Kemala Putih, secara kebetulan
terbentur dengan peristiwa lain yang pernah dilakukan Tio Kian
terhadap Sangkoan Jin.
Mungkinkah takdir telah menentukan lain" Takdir
menentukan kalau Benteng Keluarga Tong harus musnah dari muka
bumi" Tapi sekarang Bu-ki menunjukkan sikap bahwa dia enggan
memanfaatkan peluang emas ini untuk membasmi Benteng Keluarga
Tong! Bagaimana mungkin Tio Kian tidak panik dan bersedih hati"
Menyaksikan keteguhan hati Bu-ki, mau tak mau Tio Kian
harus memutar otak mencari akal lain agar bisa mengubah pendirian
putranya itu. Untuk berapa saat lamanya mereka berdua hanya saling
berpandangan dengan mulut terbungkam.
Sesaat kemudian tiba-tiba Tio Kian mendapat akal.
Ia menjerit keras, kemudian sambil memegangi perutnya ia
mengerang kesakitan, wajahnya menunjukkan sakit dan derita yang
luar biasa. Dengan terperanjat Bu-ki segera berseru, "Ayah, kenapa
kau?" Sedemikian kesakitan yang diderita Tio Kian membuat orang
tua itu tak sanggup berkata-kata, sesaat kemudian ia baru berbisik
lirih, "Sungguh keji perbuatan Tong Ou!"
Bu-ki merasakan hatinya bagaikan disayat pisau melihat
penderitaan yang dialami ayahnya, ia berbisik, "Tong Ou, dia..."
"Kau harus membalaskan dendam bagi penderitaanku ini!"
tukas Tio Kian cepat. "Balas dendam?"
"Benar!" darah segar mulai meleleh keluar dari ujung
bibirnya. "Ayah!" jerit Bu-ki sambil memegangi bahu ayahnya.
"Sekarang kau tentu sudah tahu bukan betapa kejam dan jahatnya
Tong Ou?" Sekali lagi Bu-ki berdiri termangu, dia hanya bisa mengawasi
ayahnya tanpa mampu berkata-kata.
"Racun yang dia gunakan paling pantang bertemu darah,
sekali darah bercucuran maka aku pun akan berubah jadi begini."
"Bagaimana keadaanmu sekarang ayah?"
"Saat ini usus dan isi perutku sakit bagai diiris-iris,
pendarahan sudah terjadi di seluruh bagian dalam tubuhku!"
"Kenapa bisa begitu?"
"Di sinilah letak kekejian Tong Ou!" sekali lagi Tio Kian
menekankan kekejaman lawannya, "Dia jelas tahu kalau aku akan
bertarung melawanmu, karena kuatir aku akan memenangkan
pertarungan ini maka diam-diam ia meracuniku, sedangkan racun itu
pantang bertemu darah, maka begitu terjadi pendarahan maka
aku... maka aku..."
Suara Tio Kian makin lama semakin bertambah lirih,
akhirnya suaranya melemah.
"Ayo kita cari tabib."
"Percuma! Aku tahu, tak ada obat yang bisa menyelamatkan
jiwaku lagi!"
"Ayah!" jerit Bu-ki sambil berusaha memayang ayahnya, tapi
niat itu segera dicegah Tio Kian.
"Kau tak usah membuang tenaga lagi, setiap orang pasti
bakal mati, jadi kau pun tak usah terlalu bersedih hati."
Air mata sudah mulai bercucuran membasahi wajah Bu-ki.
"Sebelum ajal datang menjemput, aku punya dua keinginan,
semoga kau bisa memenuhi harapanku ini!"
"Katakanlah ayah," suara Bu-ki semakin sesenggukan.
"Pertama, kau harus menggunakan kesempatan ini untuk
melenyapkan Tong Ou, sebab saat inilah peluang emas bagimu."
Dengan airmata bercucuran Bu-ki mengangguk.
"Kedua, kau harus baik-baik memimpin Tayhong-tong,
wujudkan cita-citaku yang belum tercapai!"
Bu-ki tetap membungkam.
"Kau bersedia mengabulkan keinginanku ini?" sorot mata
penuh harapan terpancar dari balik mata Tio Kian. Bu-ki tetap
membungkam. "Kau harus mengabulkan keinginanku ini," suara Tio Kian
bertambah lemah dan lirih. Akhirnya Bu-ki mengangguk.
Tio Kian tertawa kemudian tubuhnya roboh terkapar ke
tanah. "Ayah!" jerit Bu-ki sedih.
Orang yang sudah mati tak mungkin bisa hidup kembali
hanya lantaran jerit kesedihan. Yang membuat manusia sama sekali
tak berdaya hanyalah kematian.
Tio Kian mati dengan gembira, sebab segala rencananya
telah berjalan sesuai dengan jadwal dan semuanya lancar.
Sewaktu dia menjajal tenaga dalamnya dan menemukan
bahwa kekuatannya sudah berkurang empatpuluh persen, ia tahu
kalau racun yang digunakan Tong Ou adalah racun yang bersifat
lambat. Biasanya racun semacam ini tak ada pemunahnya, jadi
masalah mati hanya urusan cepat atau lambat, tapi pasti akan
dialaminya. Siapa pun pasti berusaha untuk hidup lebih lama di dunia ini,
tapi keteguhan hati Bu-ki sudah sangat membahayakan rencananya,
maka untuk mengatasi hal ini Tio Kian segera mengambil keputusan
untuk mengorbankan diri.
Daripada akhirnya mati karena tersiksa, lebih baik dia
gunakan kematian sendiri untuk melunakkan pendirian putranya. Dia
sengaja melimpahkan semua tanggung jawab atas kematiannya itu
ke pundak Tong Ou, agar Bu-ki membenci orang ini, agar ia ingin
segera membunuhnya untuk membalas dendam.
Penyebab kematian Tio Kian yang sesungguhnya bukan
lantaran keracunan, melainkan karena dia telah menghancurkan isi
perutnya sendiri dengan tenaga dalamnya.
Cara mati seperti ini memang amat menyiksa, namun jauh
lebih tersiksa bila melihat Benteng Keluarga Tong berhasil
menguasai dunia. Karenanya kematian semacam ini bagi Tio Kian
tidak dianggap sebagai suatu penderitaan lagi!
Tentu saja Bu-ki tidak tahu kalau sampai akhir hayatnya,
ayahnya masih berusaha untuk menipu dirinya.
Rahasia kematian Tio Kian pun berlalu untuk selamanya,
mengikuti nyawanya yang telah meninggalkan raganya, selamanya
tak seorang pun akan tahu kejadian sebenarnya.
Kesedihan yang dialami Bu-ki saat ini tak terlukiskan dengan
kata-kata. Selama ini dia selalu menganggap ayahnya telah tewas
ketika menjalankan siasat Harimau Kemala Putih, kemudian secara
tiba-tiba ia menjumpai ayahnya ternyata masih hidup, siapa sangka
baru berkumpul satu jam, kini dia benar-benar telah mati.
Dengan termangu-mangu ditatapnya wajah ayahnya yang
mati sambil menahan penderitaan, ia biarkan air matanya jatuh
bercucuran membasahi pipinya.
Diam-diam ia bersumpah di dalam hati, dia harus
membunuh Tong Ou untuk membalaskan sakit hati ini!
Sambil mendukung jenasah ayahnya, dia berjalan turun dari
atas batu besar kemudian menuju ke satu sudut di Bukit Singa. Di
sebuah tempat dengan latar belakang pemandangan yang indah dia
mengubur jenasah ayahnya.
Setelah itu dia berdiri lama sekali di situ, mengenang
kembali semua perjalanan hidupnya bersama ayahnya di masa lalu.
Entah berapa lama sudah lewat... ia baru tersadar ketika
mendengar suara langkah kaki yang ringan datang dari arah
belakang. Tong Ou telah muncul.


Naga Kemala Putih Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bu-ki sama sekali tidak berpaling, sejak tadi airmatanya
sudah mengering, yang tersisa saat ini hanya rasa benci dan
dendam kesumat.
Ia mendengar suara langkah kaki itu makin lama makin
dekat dan akhirnya berhenti kurang lebih tiga tombak di belakang
tubuhnya. "Ternyata hatimu cukup baik!" suara Tong Ou bergema dari
belakang tubuhnya.
Perlahan-lahan Bu-ki membalikkan badan, mengawasi Tong
Ou tanpa berkedip. Kini ia sudah dapat mengendalikan hatinya, tiada
pancaran dendam dari matanya, juga tak ada raut gusar di
wajahnya, ia berdiri di situ dengan sikap yang amat tenang.
"Ternyata kau masih bersedia menguburkan jenasah musuh
besar yang telah membunuh ayahmu. Kelihatannya hubunganmu
dengan paman Siangkoanmu memang sangat akrab!"
Bu-ki tidak menjawab, dia hanya berpikir bagaimana harus
bersikap di hadapan Tong Ou agar tidak menimbulkan kecurigaan
orang. Tiba-tiba Tong Ou tertawa, dari senyum berubah menjadi
gelak tertawa. Menunggu sampai lawannya berhenti tertawa, Bu-ki baru
bertanya, "Apa yang kau tertawakan?"
"Aku sedang menertawakan dirimu!"
"Menertawakan aku?"
"Benar, menertawakan kebodohanmu, kau memang tolol,
sangat tolol, teramat tolol!"
Diam-diam Bu-ki tertawa dingin, sebab siapa yang paling
tolol hanya dia sendiri yang tahu.
"Aku sangat tolol?" dia balik bertanya.
"Tentu saja, kalau tidak goblok, mana mungkin sampai
terjebak oleh siasatku?"
"Terjebak siasatmu" Siasat apa?"
"Tahukah kau bahwa kau telah salah membunuh orang
baik?" Tentu saja Bu-ki tahu, tapi dia berlagak pilon.
"Aku telah salah membunuh siapa?" tanyanya.
"Sangkoan Jin!"
"Sangkoan Jin?"
"Benar!"
"Salahkah jika kubunuh musuh yang telah membunuh
ayahku?" "Tidak!"
"Lantas kenapa kau mengatakan aku telah salah
membunuh?"
"Masalahnya, dia bukan musuh besar yang telah membunuh
ayahmu!" "Oya?"
"Kau tidak percaya?"
"Tentu saja tidak!" Bu-ki melanjutkan sandiwaranya,
"Memangnya buku harian ayahku itu palsu?"
"Siapa bilang tak mungkin?"
"Kenapa mungkin?"
"Karena akulah pengarang buku harian itu!" Mendadak Bu-ki
mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak.
"Apa yang kau tertawakan?" tegur Tong Ou. "Apakah kau
tidak merasa geli" Mana mungkin kau yang mengarang buku harian
ayahku?" sekali lagi dia tertawa terbahak-bahak.
"Oh, jadi kau tidak percaya?"
"Tentu saja tidak, apa tujuanmu berkata begitu" Sengaja
memancing amarahku?"
"Benar, aku memang sengaja memancing amarahmu, agar
kau sedih dan merasa amat menyesal."
"Apa gunanya untukmu?"
"Aku bisa menggunakan kesempatan ini untuk
membunuhmu!"
"Kenapa" Bukankah kita berjanji akan bertarung?"
"Duel?" Tong Ou mendengus dingin, "kalau mesti duel
secara adil, belum tentu aku bisa mengungguli kemampuanmu."
"Kenapa?"
"Sebab ilmu pedang yang kau pelajari dari Siau Tang-lo
adalah ilmu pedang nomor wahid di kolong langit, kelewat hebat!"
"Maka kau sengaja memancing amarahku, agar aku emosi
dan tak mampu berkonsentrasi?"
"Tepat sekali!"
"Sayang karangan ceritamu kelewat jelek, bagaimana
mungkin aku bisa mempercayai perkataanmu?"
"Aku tahu!"
"Jadi kita ubah hari dan tempat bertarung menjadi hari ini
dan di tempat ini?"
"Aku tak akan keberatan."
"Kau tak akan menyesal?"
"Aku hanya menyesal karena telah salah membunuh paman
Siangkoan."
"Dalam kejadian ini, kau memang patut merasa menyesal,
padahal aku lihat kau kelewat goblok, kelewat gampang ditipu
orang, manusia macam dirimu tidak pantas untuk menjadi pemimpin
Tayhong-tong!"
Bu-ki tidak menjawab, dia tahu Tong Ou sedang
menggunakan kelebihannya yaitu membuat panas hati orang.
Bu-ki mendengus dingin, dengan berlagak makin lama
semakin bertambah gusar. Ia meraung keras, padahal dalam hati
kecilnya dia jauh lebih tenang dari siapa pun juga.
"Tahukah kau, dalam keadaan seperti ini kau paling pantas
jadi apa?"
"Jadi apa?"
"Jadi setan!" bicara sampai di situ Tong Ou segera tertawa
terbahak-bahak, tertawa penuh kebanggaan.
Paras muka Bu-ki berubah jadi merah padam, dia
menunjukkan sikap yang semakin gusar.
Diam-diam Tong Ou mengamati terus perubahan raut muka
Bu-ki, dia tahu, sekaranglah saat yang paling tepat untuk turun
tangan. Karena itu ujarnya, "Sekarang kita boleh bertarung secara
adil!" Diam-diam Bu-ki tertawa dingin, duel secara adil" Kau
sengaja memancing emosiku, agar kemampuan silatku terperosok,
inikah yang disebut adil"
Bu-ki semakin berlagak marah, dia memang sengaja
berlagak begitu agar Tong Ou salah menilai dirinya, agar Tong Ou
memandang enteng kemampuannya.
Memandang enteng lawan merupakan titik kelemahan yang
sangat mematikan dalam satu pertarungan.
Maka bila ditinjau dari berbagai sudut, pertarungan ini jelas
bukan sebuah pertarungan yang adil.
Bab 21. Duel Perubahan alam merupakan hal yang paling sukar
diramalkan, apalagi perubahan cuaca, boleh dibilang jauh lebih rumit
ketimbang perubahan watak manusia.
Matahari yang selama ini bersinar cerah di Bukit Singa, tibatiba
berubah menjadi redup dan gelap, perubahan itu terjadi di saat
Tong Ou dan Bu-ki siap bertarung.
Menyusul kemudian awan gelap menutup seluruh angkasa,
menghalangi cahaya matahari, membuat suasana jadi gelap remangremang.
Angin mulai berhembus kencang, udara pun turut terasa
lembab, pertanda sebentar lagi akan turun hujan angin.
Hembusan angin kencang yang menderu-deru membuat
ujung baju kedua orang yang sudah berdiri berhadapan itu berkibar
kencang. Yang tidak terpengaruh oleh hembusan angin kencang itu
hanya tubuh mereka berdua, berdiri tegar bagaikan Bukit Singa,
serta pedang yang berada dalam genggaman mereka.
Pedang yang digunakan untuk menentukan mati hidup
lawan, pedang yang saling mengancam dada lawan, keduanya sama
sekali tak bergerak kendati dihembus angin yang lebih keras.
Tangan-tangan yang menggenggam pedang itu nampak begitu
kokoh, nampak begitu siap untuk menghabisi nyawa lawannya.
Tangan kokoh yang menggenggam pedang kokoh, bagi
Tong Ou merupakan lukisan yang sangat tepat dan nyata.
Tapi bagi Bu-ki keadaan ini jauh berbeda, gambaran yang
keliru bagi saat dan tempat seperti ini.
Sebab dia sedang marah, dia sedang dicengkeram nafsu.
Orang yang sedang marah pasti rapuh pertahanannya, orang yang
dipengaruhi nafsu genggaman pedangnya pasti tak kokoh.
Ketika ini terlihat oleh Tong Ou, diam-diam ia merasa
terperanjat. Bukan karena ia telah menemukan rahasia Bu-ki, tapi ia
mempunyai pandangan lain terhadap sikap Bu-ki dalam menghadapi
lawan. Dia tak menyangka bahwa dalam keadaan marah dan penuh
nafsu, Bu-ki bisa bersikap begitu tenang selagi menghadapi lawan,
kemampuan semacam ini jauh di luar dugaan dirinya.
Bu-ki sendiri tercekat ketika menangkap perasaan kagum
yang melintas di balik mata Tong Ou, dia segera sadar kalau dirinya
telah melakukan kesalahan, dia pun mengerti kenapa Tong Ou
menampilkan perasaan kagum terhadapnya.
Dia tak boleh membiarkan Tong Ou menaruh perasaan
kagum terhadapnya, dia ingin Tong Ou memandang enteng dirinya,
dengan begitu dia baru memperoleh kesempatan untuk menemukan
titik kelemahan Tong Ou dan mengalahkannya.
Maka ia segera berganti sikap.
Tangannya mulai melakukan gerakan gemetar, dia sengaja
menggetarkan perlahan tangannya, ia sadar dengan kemampuan
Tong Ou, tidak sulit baginya untuk melihat gerakan itu.
Benar saja, Tong Ou segera melihatnya, tanpa terasa ia
tertawa dingin. Rupanya Bu-ki tidak setenang seperti yang
dibayangkan semula.
Walaupun Tong Ou sudah menangkap kalau tangan kanan
Bu-ki mulai gemetar, namun dia tidak segera turun tangan. Saat ini
bukan saat yang tepat untuk turun tangan, peluang terbaik masih
harus ditunggu.
Dia harus menunggu lagi.
Bu-ki diam-diam mengagumi sikap Tong Ou, musuhnya
benar-benar pandai mengamati lawan dengan kepala dingin. Tidak
turun tangan secara sembarangan dan hanya menyerang jika
menganggap saatnya telah tiba, manusia semacam ini sangat jarang
dijumpai dalam dunia persilatan!
Tangan Bu-ki bergetar perlahan sementara hatinya bergetar
sangat keras, sebab dia harus segera menemukan cara baru untuk
menghadapi ketenangan Tong Ou, bila bertahan terus dalam posisi
seperti ini, lambat laun dialah yang akan dirugikan.
Ia berencana memancing musuhnya agar melancarkan
serangan dengan melakukan satu gerakan.
Mendadak ia menjerit sekeras-kerasnya, seakan-akan
sedang meluapkan seluruh kekesalan hatinya, kemudian sekaligus
dia melepaskan tigabelas tusukan pedang ke tubuh lawan.
Ilmu pedang yang ia gunakan saat ini adalah jurus pedang
yang ia dapat dari ayahnya.
Sesuai dengan nama Tayhong-tong, ilmu pedang ini dinamai
Tayhong-capsah-si atau Tigabelas Jurus Ilmu Pedang Angin Topan.
Ketigabelas tusukan yang dilontarkan Bu-ki itu merupakan
jurus pertama dari Ilmu Pedang Angin Topan yang disebut Tayhongkihun
(Angin Topan Bermunculan). Dalam ilmu pedang ini, setiap
jurus serangannya terdiri dari tigabelas gerakan, gerakan yang satu
lebih cepat dari gerakan sebelumnya, ibarat disapu angin topan,
serangan saling susul secara bertubi-tubi.
Tong Ou sama sekali tidak melancarkan serangan balasan,
dia mengambil sikap mempertahankan diri. Sambil mengincar
datangnya ancaman, tubuhnya mengegos ke kiri, menghindar ke
kanan, dengan gampang dia lolos dari ketigabelas tusukan itu.
Selesai melancarkan serangan pertama, Bu-ki mundur
selangkah ke belakang disusul kemudian tubuhnya menerjang lagi
ke depan. Kali ini dia melancarkan serangan dengan menggunakan
jurus kedua, Siahong-si-ih (Angin Serong Hujan Gerimis).
Serangan ini pun terdiri dari tigabelas gerakan, kali ini yang
diarah adalah tigabelas jalan darah penting di tubuh lawan.
Sesuai dengan nama jurusnya, Angin Serong Hujan Gerimis,
setiap jurus serangan yang dilancarkan hampir semuanya bergerak
menyerong, dari atas atau dari bawah, dari kiri atau dari kanan
hampir semuanya menusuk jalan darah lawan secara miring.
Kali ini Tong Ou tidak berusaha menghindar lagi, dalam
kenyataan memang tidak mungkin bagi seseorang untuk berkelit
terus-terusan menghadapi datangnya ancaman.
Benturan nyaring bergema silih berganti, dalam waktu
singkat pedang mereka berdua sudah saling bentur dua-tigabelas
kali. Inilah ciri khas ilmu pedang Keluarga Tong, dalam setiap
gerak serangannya mereka pasti akan berusaha membentur senjata
lawan secara keras melawan keras!
Kepandaian silat yang paling diandalkan Keluarga Tong
memang bukan ilmu pedang, andalan mereka yang paling ampuh
justru senj ata rahasia.
Ilmu pedang Keluarga Tong bukan ilmu pedang yang
bertarung jarak jauh, tapi lebih cocok untuk pertarungan jarak dekat
karena ruang lingkupnya juga sangat kecil.
Ruang lingkup yang kecil ditambah seringnya terjadi
benturan senjata mendatangkan keuntungan yang luar biasa bagi
orang-orang Keluarga Tong.
Sebab mereka bisa memanfaatkan kedekatan dan
keberisikan itu untuk melepaskan senjata rahasia.
Untuk menghindari datangnya serangan senjata rahasia dari
jarak dekat sudah merupakan satu urusan yang sulit, terlebih jika
orang yang melancarkan serangan adalah jago dari Keluarga Tong
yang termashur akan keampuhan ilmu am-ginya!
Tapi Bu-ki sama sekali tidak jeri, dia bahkan menerjang
terus tanpa berhenti, sambil menyerang, tiada hentinya pedang
mereka saling beradu.
Dia tahu, jika Tong Ou hendak melukainya dengan senjata
rahasia, ia sudah melakukannya sejak tadi dan tak perlu menunggu
sampai sekarang.
Dalam hal ini Bu-ki merasa sangat yakin.
Tong Ou sendiri juga tahu kalau lawannya sadar kalau dia
tak akan melukainya dengan senjata rahasia, namun dia memang
tidak takut menghadapi Tio Bu-ki.
Kecuali yakin dengan kemampuan silat sendiri, dia pun
berpendapat bahwa Bu-ki saat ini sedang pada saat yang paling
tidak menguntungkan baginya.
Bagaimana tidak" Baru saja dia telah salah membunuh
pamannya, Sangkoan Jin!
Oleh sebab itu Tong Ou memutuskan untuk menghadapi
lawannya dengan mengandalkan ilmu pedang, dia tak akan
mempergunakan senjata rahasia.
Tentu saja kecuali ilmu pedang Bu-ki membuatnya keteter


Naga Kemala Putih Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sehingga jiwanya terancam! Kalau tidak, ia enggan menggunakan
senjata rahasia.
Ketika Bu-ki selesai melancarkan serangan dengan jurus
keduanya Siahong-si-ih, ia segera sadar kalau dirinya keliru besar.
Dia tidak seharusnya menggunakan dua jurus pertama dari
Ilmu Pedang Angin Topan, sebab kedua jurus serangan ini terlalu
lembut, kelewat lamban, setidaknya jika dibandingkan dengan jurusjurus
berikutnya. Saat ini pikiran dan emosinya sedang labil, dia butuh
pelampiasan, mana mungkin melancarkan serangan dengan jurus
yang lembut"
Dia perlu jurus serangan yang ganas dan kalap, kalau perlu
jurus-jurus serangan yang mirip orang nekad!
Dengan cepat dia merubah cara bertarungnya, dengan jurus
kesebelas Honghong-ci-ih (Angin Puyuh Hujan Deras) ia mendesak
musuhnya habis-habisan.
Di mana hawa pedangnya menyambar lewat, terdengar
suara deru angin tajam menggelegar, daun dan ranting pohon yang
berada di sekeliling tempat itu ikut beterbangan dan gugur ke tanah.
Semua gerak serangannya mirip serbuan orang kalap,
seakan-akan ada manusia gila yang sedang melampiaskan semua
amarah dan dendamnya, menyerang secara ganas, mengancam
secara brutal. Angin puyuh membuat ujung baju Tong Ou berkibar
kencang. Hujan badai menyambar ke sekujur badan Tong Ou,
menusuk jalan darahnya.
Tong Ou memang hebat! Biar diterpa angin puyuh dan
hujan badai, ia sama sekali tak bergerak, tubuhnya tetap berdiri
kokoh bagaikan batu karang.
Pedang yang berada di tangannya bergerak cepat bagai
titiran angin, membendung semua serangan yang datang bagai air
bah itu. Tigabelas kali benturan nyaring menggelegar di angkasa,
kemudian semuanya selesai.
Angin telah berhenti berhembus, hujan pun sudah mereda.
Peluh sebesar kacang kedele membasahi jidat Bu-ki. Tapi paras
mukanya merah membara, merah bagaikan orang yang sedang
murka. Penampilan macam ini memang disengaja oleh Bu-ki.
Sewaktu menggunakan jurus serangan tadi, ia sengaja mengerahkan
tenaga dalamnya dan memaksa wajahnya berubah jadi merah
membara, dia ingin musuhnya salah menduga, salah mengira, dia
sedang mencapai puncak kemarahannya.
Menyusul kemudian ia segera mengeluarkan jurus
serangannya yang keduabelas, Pohong-po-ih (Angin Topan Hujan
Dahsyat). Kecepatan gerak serangannya kali ini jauh di atas
kemampuan jurus kesebelas tadi, sementara arah serangannya pun
sama sekali berbeda.
Kalau dalam serangannya tadi dia hanya merangsek maju
dari sisi depan musuhnya, maka pada jurus serangannya kali ini dia
menyerang masuk dari tigabelas arah yang berbeda, tigabelas arah
yang tak menentu jurusan dan sasarannya.
Terhadap gerak serangan ini tampaknya Tong Ou seperti
sangat mengenal dan hapal, sebab ia bergeser mengikuti gerakan
tubuh Bu-ki, ke mana pun anak muda itu bergerak, dia selalu
bergeser tepat di hadapannya dan "Tringg!" diiringi dentingan
nyaring selalu berhasil membendung datangnya ancaman.
Yang lebih lihay lagi adalah ketika Bu-ki sengaja membuka
sebuah titik kelemahan kecil di saat melancarkan serangannya yang
keduabelas, ternyata secepat sambaran kilat Tong Ou sudah
menerjang masuk sambil menghadiahkan sebuah tusukan ke tubuh
lawan melalui lubang kelemahan itu.
Untung saja Bu-ki memang sengaja berbuat begitu sehingga
jauh sebelumnya dia sudah mempersiapkan cara untuk
mengatasinya. Meski begitu, Bu-ki sendiri tetap belum berhasil
menemukan peluang untuk melancarkan serangan balasan.
Maka sadarlah anak muda ini bahwa dia tak boleh
memancing musuhnya dengan sengaja membuka lubang kelemahan,
untuk mengalahkan lawan dia perlu menggunakan kepandaian
sesungguhnya dan lagi tak boleh bertindak gegabah.
Ketika Bu-ki memperlihatkan lubang kelemahan tadi
sebenarnya Tong Ou sudah kegirangan. Tapi begitu tahu bahwa
musuhnya segera menyadari akan hal itu dan menutup kembali
lubang tersebut, rasa girangnya segera saja sirna.
Mendadak ia jadi sadar, titik kelemahan itu sengaja dibuat
Bu-ki untuk menjebaknya, jelas dia mempunyai maksud untuk
memancingnya masuk, agar dia masuk perangkap.
Di samping itu dia juga mulai curiga, jangan-jangan
kemarahan yang diperlihatkan Bu-ki hanya pura-pura. Mungkin ada
sesuatu yang tidak beres di balik semua ini.
Maka ketika Bu-ki melancarkan serangan dengan
menggunakan jurus yang terakhir dari tigabelas jurus Ilmu Pedang
Angin Topan, dia segera merubah cara bertarungnya.
Dari bertahan, kini dia mengubah dirinya menjadi
menyerang. Jurus ketigabelas yang digunakan Bu-ki ini disebut Luitianciauka
(Guntur dan Petir Saling Menyambar), pancaran tenaga dalam
yang disalurkan ke dalam pedang menerbitkan suara nyaring bagai
guntur, di samping itu perubahan yang terjadi dalam setiap gerakan
selalu disertai kilatan cahaya bagaikan petir.
Selain itu sambaran pedang yang disertai kilatan cahaya
menimbulkan gelombang tenaga serangan yang mengerikan,
semuanya tertuju ke setiap jalan darah penting di pinggang lawan.
Selama ini Tong Ou selalu bangga dengan kecepatan gerak
yang dimilikinya, sekali ini dia tak menyangka kalau ilmu pedang
yang dimiliki Bu-ki sedemikian lihaynya.
Jika ia tetap mempertahankan cara bertarungnya seperti
tadi, mungkin sekarang dia sudah tak mampu lolos dari ancaman
maut. Paling banter yang bisa dia lakukan hanya mengadu nyawa,
bahkan itu pun harus menggunakan senjata rahasia, baru bisa
menghabisi nyawa lawannya!
Padahal dia sangat tak ingin melakukan tindakan seperti itu.
Kalau tadinya dia masih memandang enteng musuhnya,
sekarang pikiran semacam itu langsung lenyap! Sebagai gantinya ia
meningkatkan kewaspadaannya.
Sambil menghimpun tenaga ia menghindar ke kiri
menerobos ke kanan, pedangnya bagaikan seekor ular berbisa
mematuk tubuh pedang lawan yang berusaha menghampirinya.
Jelas ilmu pedang yang dia gunakan saat ini bukan ilmu
pedang keluarga Tong, itulah ilmu Pedang Ular Berbisa yang
diperolehnya dari Siau Tang-lo ketika ia datang menukar obat
pemunah racun. Bu-ki pernah juga mempelajari ilmu pedang tersebut, akan
tetapi dia tak sanggup melukai lawannya, menyentuh pun tak
sanggup. Mengapa bisa begitu"
Rupanya Tong Ou telah menggabungkan ilmu Pedang Ular
Berbisa ini dengan ilmu melepaskan senjata rahasia dari keluarga
Tong dan ini membuat jurus serangan yang digunakannya selalu
mengarah pada sasaran yang jauh berbeda dengan jurus aslinya.
Kejadian ini bukan saja membuat Bu-ki tak mampu melukai
lawannya, dia nyaris jatuh jadi pecundang di tangan lawan!
Menghadapi serangan ilmu pedang ini, boleh dibilang Bu-ki
telah hapal di luar kepala, dia menguasai setiap perubahan dalam
ilmu pedang itu dan tahu sasaran mana yang dituju. Oleh sebab itu
dia seperti tahu semua ancaman yang dilancarkan Tong Ou tertuju
ke mana. Ini sama artinya dia menguasai titik kelemahan lawan, asal
pedangnya diarahkan ke titik itu, maka ancaman lawan pasti akan
gagal total. Tapi Bu-ki sama sekali tak menyangka kalau Tong Ou telah
merubah jurus serangan itu, maka ketika dia menusuk titik
kelemahan di tubuh Tong Ou, bukan saja titik kelemahan itu gagal
dijebol, sebaliknya dia malah terperangkap dalam jebakan musuh!
Untung saja jurus Luitian-ciauka ini mengutamakan
kecepatan gerak sehingga di balik kecepatan itu Bu-ki sempat
meloloskan diri dari perangkap! Kalau tidak, mungkin dia sudah
tewas di ujung pedang Tong Ou!
Selesai menggunakan jurus itu, Bu-ki segera melompat
mundur ke belakang, berikutnya dia menyerang dengan
menggunakan jurus
Kuijiu-patsi (Delapan Jurus Tangan Setan).
Tong Ou tak ingin musuhnya memperoleh kesempatan
untuk berganti napas, begitu serangan lawan berhenti, ia segera
menggetarkan senjatanya sambil merangsek ke depan, dengan jurus
Lengcoa-juttong (Ular Lincah Keluar dari Gua) ia menusuk
pergelangan tangan kanan lawan.
Tak sempat mengubah jurus untuk memunahkan ancaman
yang datang, terpaksa Bu-ki melompat mundur lagi satu langkah.
Tong Ou merangsek lebih ke depan, tetap dengan jurus
Lengcoa-juttong ia meneruskan tusukannya ke arah pergelangan
tangan kanan anak muda itu.
Bu-ki terdesak, mau tak mau, sekali lagi dia mundur
selangkah! Masih menggunakan jurus yang sama Tong Ou menusuk
pergelangan kanan Bu-ki!
Jurus serangan yang sebenarnya sangat sederhana ini
ternyata bisa mendatangkan hasil luar biasa. Baru pertama kali ini
Bu-ki menjumpainya, sayang orang yang menggunakan jurus itu
bukan dia melainkan lawannya, kendati begitu dia berhasil juga
menarik makna di balik semua ini.
Kali ini dia tidak mundur, tangan kirinya menggunakan
sebuah jurus yang sederhana Lohan-tuicha (Orang Tua Mendorong
Kereta), berusaha menabok tubuh lawan.
Mau tak mau Tong Ou harus menangkis datangnya ancaman
itu, dia tak ingin beradu jiwa, tak ingin sama-sama terluka. Meskipun
nanti tusukannya berhasil melukai pergelangan tangan Bu-ki, namun
jika kena tabokan itu, jelas dialah pihak yang lebih rugi!
Karenanya pedang yang semula dipakai untuk mengancam
pergelangan tangan lawan segera berputar arah, kali ini dia
menyerang tangan kiri.
Siapa tahu jurus serangan yang digunakan Bu-ki di tangan
kirinya hanya jurus tipuan. Memanfaatkan peluang di saat Tong Ou
mengubah gerakan pedangnya, pedang yang ada di tangan
kanannya dengan jurus Kuikui-koaykoay (Aneh dan Menyeramkan),
bagai sukma gentayangan tanpa menimbulkan suara sedikit pun,
menusuk delapan jalan darah di dada.
Dengan terperanjat buru-buru Tong Ou mundur satu
langkah, dia menggunakan perubahan dari ilmu Pedang Ular Berbisa
untuk membendung datangnya ancaman itu.
Pertarungan pun berlangsung amat seru, satu jam sudah
lewat namun serangan demi serangan masih dilancarkan kedua
belah pihak, peluh sudah mulai bercucuran dan membasahi tubuh
mereka. Begitu serius dan rapat mereka berdua bertempur, sampai
tak seorang pun tahu akan kejadian lain di dekat situ, juga tak ada
yang menaruh perhatian pada keadaan di sekitar sana.
Mereka tidak sadar atas kehadiran beberapa orang, ada
penjual kue, ada penjual manisan... Rombongan itu muncul tanpa
bersuara sedikit pun, begitu sampai segera bersembunyi di balik
pepohonan sambil menonton jalannya pertempuran.
Lama kelamaan Tong Ou sadar, jika pertarungan berlanjut
terus, pada akhirnya dia bukanlah tandingan Bu-ki. Jika ingin
menang, satu-satunya jalan adalah menggunakan senjata rahasia,
tindakan yang sebenarnya sangat tak ingin dia lakukan. Tapi jika
nyawa saja sudah mulai terancam, apakah ada waktu baginya untuk
memedulikan nama serta kedudukan"
Tangan kirinya merogoh ke dalam saku, menggenggam
segenggam senjata rahasia.
Tatkala pedang Bu-ki membabat tiba, mendadak ia
menangkis serangan itu keras lawan keras, sehingga tubuh mereka
berdua sama-sama tergetar mundur beberapa langkah.
Menggunakan kesempatan ini, Tong Ou melepaskan senjata
rahasia andalannya!
Dia menyangka serangan itu pasti akan berhasil, semua
senjata rahasia yang dilepaskannya pasti akan terhunjam di tubuh
Bu-ki. Di luar dugaan, hampir semua am-ginya rontok dan
berguguran ke tanah.
Bukan dipukul rontok oleh Bu-ki, tapi dijatuhkan oleh
sambitan berbagai jenis hidangan seperti kue, pia, cakue, saupia dan
lain sebagainya. Makanan-makanan kecil itu melesat datang dengan
membawa desingan angin tajam, menghajar tiap senjata rahasia
yang muncul dan merontokkannya tepat di depan tubuh Bu-ki.
Tak terlukiskan rasa kaget Bu-ki menghadapi kejadian ini,
peluh dingin bercucuran membasahi tubuhnya. Sebelum dia sadar
sepenuhnya akan apa yang terjadi, satu kejadian lain yang sama
sekali di luar dugaan telah berlangsung.
Tong Ou telah tewas, tewas dibantai kawanan penjaja
makanan kecil itu!
"Mengapa kalian membunuhnya?" tanya Bu-ki keheranan.
Dia kenal orang-orang itu, kawanan penjaja makanan kecil ini adalah
jago-jago yang memiliki ilmu silat hebat, mereka semua pernah
mendapat didikan langsung dari Siau Tang-lo.
Sedemikian setianya kawanan penjaja makanan kecil ini
terhadap Siau Tang-lo, sehingga setiap kali diundang datang, berapa
pun jauhnya mereka berada, kawanan itu segera akan menyusul
datang. "Karena dia telah membunuh majikan kami!" si penjual kue
menerangkan. "Siapa majikan kalian" Siau Tang-lo?"
"Benar, dia telah membunuh Siau-ongya dengan cara yang
licik dan keji."
"Raja muda Siau" Majikan kalian itu raja muda?"
"Dulu dia adalah raja muda. Tapi bagi kami, selamanya dia
adalah raja muda kami."
Tiba-tiba Bu-ki memahami segala sesuatunya, kenapa Siau
Tang-lo bisa memiliki harta dan uang yang tiada habisnya, sampaisampai
di depan guanya, di bukit Kiu-hoa-san pun dibangun istana
yang begitu megah, ternyata dia pernah menjadi seorang raja muda!
"Dengan cara licik apa Tong Ou membunuh Siau-ongya?"
tanya Bu-ki lagi.
"Setiap tahun Ongya pasti menggunakan berbagai jenis
mustika dan barang berharga lainnya untuk ditukar dengan obat
pemunah, ada kalanya dia pun menggunakan ilmu pedang sebagai
barang persembahan. Tentunya kau sudah tahu bukan mengapa dia
sampai berbuat begitu?" kata si penjual kue.
Bu-ki manggut-manggut, dia tahu Siau Tang-lo selalu
mengguna?kan obat pemunah itu untuk mengobati si Mayat Hidup,


Naga Kemala Putih Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebagai imbalannya Mayat Hidup dengan menggunakan ilmunya
yang ampuh mengurut jalan darah dan nadi di tubuh Siau Tang-lo.
"Tahun ini Tong Ou menyerahkan obat pemunah lagi untuk
Ongya, tapi yang dia serahkan bukan obat pemunah melainkan
racun!" Bu-ki sangat kaget. Mengapa Tong Ou melakukan perbuatan
se?perti ini" Dia tak berani memercayainya!
Tapi dia bisa membayangkan apa yang kemudian terjadi.
Ketika si Mayat Hidup minum obat pemunah yang sebenarnya racun
dan kemudian keracunan, dia pasti menggunakan tangan beracun
pula untuk mengurut nadi penting di tubuh Siau Tang-lo. Akibatnya
kedua tokoh sakti itu mati bersama secara mengenaskan!
"Sudah kami selidiki, ternyata ada orang yang sengaja
menukar obat pemunah itu dengan racun," kembali si penjual kue
berkata. "Oh, siapa yang melakukan penukaran itu?"
"Tong Koat!"
"Tong Koat" Kenapa?"
"Karena dia ingin mencelakai kakaknya, agar Benteng
Keluarga Tong jatuh ke tangannya!"
Bu-ki tidak bicara lagi, dia percaya Tong Koat dapat
melakukan perbuatan seperti itu, sebab dia memang manusia
semacam itu. "Tapi Tong Koat keliru besar!" kata si penjual kue lagi,
"Dengan berbuat begitu, bukan saja dia tak dapat mengangkangi
Benteng Keluarga Tong, malah sebaliknya dia telah menghancurkan
tonggak pondasi yang paling kuat Keluarga Tong!"
"Kenapa?"
"Karena hampir semua tokoh utama Benteng Keluarga Tong
telah kami bantai hingga ludas, Tong'Ou merupakan korban kami
yang terakhir!"
Bu-ki membelalakkan matanya lebar-lebar, ia tak mampu
bicara lagi. Apakah dengan begitu kekuatan Benteng Keluarga Tong
jadi musnah"
"Dunia persilatan di masa mendatang merupakan dunia
persilatan milik Tayhong-tong kalian!" seru si penjual kue.
Berbicara sampai di situ, ia segera berbenah dan siap
beranjak pergi.
"Harap tunggu sebentar," seru Bu-ki tiba-tiba. "Ada urusan
apa lagi?"
"Aku ingin tahu nama kalian serta bagaimana caranya untuk
mengontak kalian semua di kemudian hari!"
"Aku rasa tidak ada perlunya lagi! Ongya adalah bekas raja
yang kehilangan kekuasaan, selama ini kami mengikutinya dengan
harapan suatu saat dapat membangun kembali kerajaan kami. Tak
dinyana nasibnya sangat jelek, dia harus tewas di tangan orangorang
Keluarga Tong. Bagaimanapun kami sudah terbiasa hidup
mengembara dalam dunia bebas, aku rasa dunia inilah yang akan
menjadi rumah kami sepanjang masa. Nama tak penting untuk kami
semua karena tak bermakna apa-apa. Anak muda, kau harus pandai
menjaga diri!"
Selesai berkata ia segera memberi tanda, kemudian bersama
rekan-rekannya segera berlalu dari situ. Bukit Singa yang luas sekali
lagi tercekam dalam keheningan. Kecuali desiran angin di bukit, tak
kedengaran lagi suara manusia.
Bu-ki mengubur mayat Tong Ou di sisi kuburan ayahnya,
lama sekali dia berdiri termenung di depan dua kuburan baru itu,
pikirannya bergolak keras. Pagi tadi, kedua orang ini masih hidup,
mereka masih merupakan tokoh-tokoh paling tangguh dalam dunia
persilatan. Tapi sorenya mereka berdua telah terkubur sebagai
mayat di tempat ini!
Dunia persilatan benar-benar sangat berbahaya! Jangan lagi
terha?dap orang lain, terhadap sesama saudara pun ada yang tega
untuk membunuh, contohnya seperti nasib tragis yang dialami Tong
Ou. Kini Bu-ki mulai sadar, pikirannya mulai terbuka, dunia persilatan
memang bukan tempat yang nyaman, bukan tempat yang patut
didiami. Kini Tayhong-tong memang sudah menguasai seluruh dunia
persilatan, tapi siapa yang berani menjamin tak ada kekuatan besar
lainnya yang bakal muncul" Pertikaian, pertentangan, pertarungan
hanya merupakan peristiwa yang cepat atau lambat pasti akan
terjadi. Apakah tidak lebih baik menyerahkan semua persoalan ini
kepada orang lain saja" Kenapa tidak ia serahkan saja kepada
paman Sugong, agar dia yang dibikin pusing"
Bu-ki memutuskan akan mengundurkan diri dari dunia
persilatan, mundur dari segala pertikaian yang penuh bau anyir
darah. Dia memutuskan untuk kembali ke bukit Kiu-hoa-san, tempat
yang tenang dan nyaman untuk berpikir, berlatih dan melamun.
Bila ada kesempatan nanti, mungkin saja dia akan turun
gunung, berkelana sambil menolong mereka yang butuh
pertolongan.Tapi, sebelum berangkat ke bukit Kiu-hoa-san, dia harus
pergi menemui seseorang dulu.
Kekasih yang paling dicintainya. Wi Hong-nio!
TAMAT Pukulan Naga Sakti 26 Elang Pemburu Karya Gu Long Bara Naga 10
^