Pencarian

Naga Naga Kecil 9

Naga Naga Kecil Kisah Para Naga Di Pusaran Badai Karya Marshall Bagian 9


hawa mengalir, pasrah dan kemudian menghimpun dan membiarkannya
bergerak untuk kemudian jinak dengan sendirinya.
"Baik suhu" Mei Lan kini membahasakan Liong-i-Sinni sebagai gurunya, karena
curahan tenaga dari Liong-i-Sinni kedalam tubuhnya.
"Baik mari kita mulai, resapi, ingat dan camkan semua yang kubisikkan, jalan hidup
kita ada disana" Selanjutnya proses seperti yang dialami oleh Thian Jie secara aneh,
dan dengan cara yang berbeda kembali dialami kedua orang ini. Hanya, kali ini beda
dengan Thian Jie yang membaca dari kertas dalam gelang gemuknya, maka proses ini
dengan mendengarkan hafalan Liong-i-Sinni yang mendapatkannya ketika
menemukan Cun Le dalam keadaan kosong setelah melontarkan Kiang Ceng Liong
dan menerima tenaga dari Siangkoan Tek.
Pada saat itulah Kiang Cun Le membuka rahasia yang dilakukannya dan
membacakan hafalan rahasia dari kitab jawadwipa hasil pertaruhannya dengan
Pendekar dari Thian Tok. Cara itulah yang menyelamatkan Cun Le dan kini akan
digunakan adiknya In Hong dalam mengobati Mei Lan.
Terdengar kemudian suara lembut Liong-i-Sinni:
Bumi " dalam diam & kekokohannya ". menampung segenap kekuatan. Kekuatan
apapun. Lautan ". dalam ketenangannya " menampung seluruh air di jagad raya.
Angkasa Raya " dalam gemulai geraknya ".. mewadahi seluruh hembusan angin
alam raya. Maka ".. ?" Kokohlah, sekokoh bumi
?" Tenang setenang samudra raya
?" Bergerak bagaikan angkasa raya
Manusia laksana bumi, seperti lautan, bagaikan angkasa
Pasrah akan sekokoh bumi
Pasrah akan setenang samudra
Pasrah akan seelastis angkasa raya
Karena ".. Manusia adalah alam dalam bentuk mini
Diulang lagi sarinya oleh Liong-i-Sinni untuk membuat Mei Lan mengerti,
menghafal dan mencamkannya:
Manusia laksana bumi dalam bentuk mini
Pasrah akan sekokoh bumi, setenang samudra, segagak angkasa
Pasrahkan semua tenaga dalam dirimu, karena dirimu adalah alam mini
Dan selanjutnya tidak lagi terdengar suara Liong-i-Sinni. Keduanya kini tenggelam
dalam perenungan mengenai kalimat-kalimat tersebut, tetapi pengendapan dan
pengetahuan Liong-i-Sinni memang sudah lebih dibanding Mei Lan. Itulah sebabnya
dia lebih cepat dan lebih pesat dalam memahami maknanya, dan lebih cepat juga
memperoleh hasilnya.
Manakala Mei Lan masih terombang-ambing memeriksa makna semua kalimat itu,
meski petunjuk bagian akhirnya sudah jelas, Liong-i-Sinni sudah tenggelam dalam
pergulatan untuk mencairkan kedua hawa dalam tubuhnya, sudah dalam proses
memasaknya. Dengan membiarkan hawa-hawa dalam tubuh bergerak atau
menentukan geraknya sendiri, bertabrakan, saling tarik ataupun saling melibas.
Sementara Mei Lan semakin terperosok dalam kesulitan, semakin tersiksa dan
semakin berat dalam menanggung siksaan hawa karena belum sanggup
mempersiapkan cara memasaknya.
Akhirnya terbayang wajah suhunya, terbayang kakaknya, ayahnya, adiknya, ibunya,
dan dia tenggelam dalam alam khayalan yang bila tidak cepat disadari akan
membawanya kealam maut. Terakhir dia terkenang Thian Jie, terutama ketika dia
mengenang ". ini, kalimat ini jangan melawan, ikuti arus air, biarkan pikiran kosong,
pasrah terhadap alam. Bukankah Thian Jie berkali-kali mendesiskannya, adakah
hubungannya dengan keadaanku sekarang" Semangat Mei Lan tumbuh kembali, baik
ketika mengenangkan Thian Jie, maupun semangat menemukan arti kalimat Thian Jie
yang aneh. Memikirkan Thian Jie membawa semangat untuk hidup baginya, sementara
mengingat keanehan Thian Jie menghadirkan kata "Pasrah", jangan melawan, biarkan
pikiran kosong. Dan justru petunjuk dan kenangan akan Thian Jie yang membuat Mei
Lan kembali merengut semangat hidupnya dan kemudian secara otomatis juga
nyawanya. Dikuatkanya hatinya, seluruh perhatiannya, kembali ditumbuhkan semangat hidup,
dengan kenangan hangat akan Thian Jie sebagai modal utamanya. Dan kemudian
perlahan-lahan dia mengosongkan pikirannya, dilupakannya semua yang terjadi, dan
dipasrahkannya semua pergolakan dalam tubuhnya, dan anehnya, dia kemudian
merasa nyaman, tenang dan selanjutnya malah tidak tahu lagi apa yang terjadi.
Sesekali dia merasa memang ada tonjolan sesuatu kekanan, kekiri, kepala seperti
melayang, tubuh terasa berat, tetapi tidak dilawannya. Bahkan ketika dia merasa
terbang, dibiarkannya pikiran dan semangatnya untuk membenarkan dia terbang, dan
begitu seterusnya.
Dia tidak tahu lagi berapa lama dan sampai kapan dia dalam keadaan demikian, yang
pasti hawa itu terus bermain-main, bermain-main dalam waktu yang sangat lama.
Untuk kemudian lama-kelamaan menjadi capek dan capek berlawanan, lama
kelamaan mulai membaur, tidak lagi menerbangkannya, tetapi mulai mencari tempat
dan posisi masing-masing dalam tantian, dalam pusar. Dan bahkan kemudian
kekuatan yang menjadi raksasa itu, perlahan terangsang kembali bekerja, diterjangnya
semua sisa racun, bahkan memerasnya dari sisa yang ada di hawa kekuatan Sinkang
dan pada akhirnya membersihkan darah dan tubuh.
Mei Lan tidak tahu lagi berapa lama proses itu terjadi, yang pasti ketika dia mulai
merasa nyaman, mulai merasa enak dan perlahan-lahan siuman, dihadapannya sudah
berdiri Liong-i-Sinni yang sudah menungguinya kurang lebih selama 3 jam. Dan
ketika akhirnya Mei Lan juga sadarkan dirinya, Liong-i-Sinni akhirnya menarik nafas
panjang: "Siancai, siancai, tidak salah tebakan pinni, bahwa kamu memang memiliki sesuatu
yang istimewa dan bisa melewati proses tak menentu yang mempertaruhkan nyawa.
Anakku, sesungguhnya, tidak banyak orang yang mampu melalui proses tadi. Apa
yang kau rasakan kini?" bertanya Liong-i-Sinni dengan terharu dan lembut.
"Tecu merasa sangat ringan suhu, sangat nyaman dan rasanya tidak pernah sesegar
ini" sahut Mei Lan.
"Baik, sekarang bagian paling akhir, coba kamu pusatkan pikiran, kendalikan hawa
di pusar, dan alirkan kemana saja mengikuti pikiranmu".
"Selanjutnya, periksa apakah masih tersisa hawa beracun di Sinkangmu dan juga
dibagian tubuh yang lain" .
Segera Mei Lan melakukan apa yang diperintahkan guru keduanya ini. Dia kembali
siulian, memusatkan semangat dan perlahan membangkitkan kekuatan sakti di
pusarnya. Hebat, dia merasa betapa kekuatannya mengalir seperti tak terbatas, dan
dengan mudah dialirkannya kemana dia inginkan. Padahal, kemaren-kemaren keadaan
ini sungguh sulit untuk dilakukannya.
Tapi kini, dia sudah sanggup mencapai tingkatan yang mendekati kesempurnaan
dalam penjelasan gurunya tentang tenaga sakti.
"Baik, bagaimana perasaanmu?" Tanya Liong-i-Sinni setelah Mei Lan
menyelesaikan Samadhi memeriksa Sinkang dan memeriksa racun yang tertinngal.
"Luar biasa suhu, Sinkangku bisa kugerakkan semauku. Bagaimana bisa begini?"
Mei Lan keheranan dan kegirangan sekaligus. Sungguh diluar dugaannya kekuatan
sinkangnya meningkat begitu mengagumkan, sungguh luar biasa dan sulit
dibayangkannya. Padahal menurut gurunya, untuk mencapai tahapannya ini, gurunya
membutuhkan waktu puluhan tahun, sementara dia sudah mencapainya secara sangat
kebetulan diusianya yang masih sangat muda.
Karena itu, sungguh tidak kecil rasa syukur dan terima kasihnya kepada Liong-i-
Sinni yang selain mengambil kembali jiwanya dari rengutan kematian, juga
meningkatkan ilmunya secara luar biasa.
"Itulah yang pinni katakan jodoh dan bakat. Kamu memiliki keduanya. Jodoh akibat
menerima pukulan Ha Mo Kang yang berlimpah dan memiliki kemampuan untuk
bertahan dan ulet meski diambang maut" Jelas Liong-i-Sinni.
"Tapi tanpa bimbingan suhu, mana mungkin tecu mencapainya"
"Sudahlah, karena engkaupun berjodoh dengan pinni, maka biarlah kusempurnahkan
Ilmumu sekalian. Sampaikan kepada Pek Sim Siansu bahwa Pinni berkenan
menurunkan ilmu ginkang ciptaan pinni sendiri Te-hun-thian (mendaki tangga langit).
Mengenai Ilmu Silat, bekal dari Wie Tiong Lan Locianpwe sudah lebih dari memadai.
Mari kita keluar sekarang, kita makan dan kemudian kita coba berlatih" ajak Liong-i-
Sinni. Diingatkan masalah "makan", tiba-tiba Mei Lan baru merasa betapa sangat laparnya
dia. Tanpa disadarinya, dia sudah lebih dari 2 hari tidak mengisi perutnya dalam
perjuangan meraih kehidupannya kembali. Karena itu, dia kemudian merasa sangat
antusias dan gembira, keluar dari kamar dan kemudian menikmati makanan.
Berkenalan dengan Kim Sim Nikouw dan banyak penghuni Kim Sim Tang, dan
kemudian pada sore menjelang malam kembali berkumpul bersama dengan Guru
keduanya untuk kembali mendalami Ilmu Silatnya.
Awalnya, gurunya meminta Mei Lan untuk memperdalam kembali dan memainkan
Ilmu Perguruannya dan kemudian Mei Lan menemukan betapa semua Ilmu
perguruannya sudah bisa dimainkannya dengan tingkat kesempurnaan yang bahkan
melebihi suheng-suhengnya.
Demikianlah, dari terancam kematian, Liang Mei Lan akhirnya malah menjadi murid
Liong-i-Sinni dan memperoleh warisan Ginkang istimewa dari gurunya itu, yakni Tehun-
thian (mendaki tangga langit). Terlebih karena Ginkang Liong-i-Sinni diakui
sebagai yang paling unggul dan paling cepat dalam dunia persilatan dewasa ini.
Selama sebulan, Mei Lan berlatih Ilmu ini, bahkan melatih juga Ilmu dan Jurus
perguruannya yang lain.
Dengan gembira ditemukannya kenyataan betapa sangat mudah kini dia memainkan
Ilmu Ciptaan Terakhir gurunya, Ban Sian Twi Eng Sin Ciang (Pukulan Sakti Selaksa
Dewa Mendorong Bayangan). Bahkan bisa dilakukannya hingga ke puncak
penggunaan ilmu itu yang membuatnya menjadi seperti bayangan dewa berjumlah
laksaan, sebuah pengaruh sihir bagi yang lemah. Tetapi, dengan kemampuannya
sekarang, bahkan Liong-i-Sinni menjadi terkesima, dan membandingkannya dengan
ilmunya yang diciptakannya sendiri yakni Hun-kong-ciok-eng" atau menembus sinar
menangkap bayangan yang juga akan sangat menakutkan dimainkan pada puncak
pengetrapannya.
Diam-diam dia kagum dan sadar, bahkan dibandingkan Tan Bi Hiongpun nampaknya
Mei Lan sudah bisa melampauinya. Sungguh luar biasa. Sengaja dia tidak
menurunkan Ilmu Hun Kong Ciok Eng kepada Mei Lan, karena melihat Mei Lan
sudah membekal Ilmu sejenis dari perguruan Bu Tong Pay. Sinni hanya
menggembleng Mei Lan secara khusus dalam Ilmu Ginkang istimewanya. Dan dalam
waktu sebulan, bahkan tingkatan Mei Lan sudah meningkat pesat, sudah mulai
mendekati kemampuan gurunya, meski masih kurang dalam latihan dan pengalaman
belaka. Setelah bertekun selama 1 bulan dan menurunkan ginkangnya kepada Mei Lan,
akhirnya Liong-i-Sinni mengakhiri pertemuan mereka. Kepada suhu barunya ini, Mei
Lan menceritakan perihal Sun Nio yang membuatnya terlibat perkelahian dengan
Liok te Sam Kwi, dan bahwa Sun Nio menggunakan kuda hitam yang dibawanya dari
Pakkhia. Akhirnya keduanya berpamitan dari Kim Sim Nikouw, yang juga selama
sebulan terakhir ikut melengkapi kekuatan batin Mei Lan dan menggodoknya dalam
Ilmu Keagamaan.
Sehingga ketika berpisah Kiang In Hong atau Liong-i-Sinni mewanti-wanti Mei Lan
untuk terus berjalan dijalan kebenaran. Sekaligus juga menitipkan keadaan dunia
persilatan bagi generasi Mei Lan untuk ditangani. Selanjutnya Pendeta Sakti ini
kembali melanjutkan perjalanannya sendiri menelusuri jejak muridnya, sekaligus
cucunya yang menghilang mencari orang tuanya yang raib dalam waktu yang cukup
lama. Episode 16: Pertemuan Terakhir
Ada berapa macam nama berbeda buat menamai sungai itu, sebuah sungai yang
mengalir dari gunung dan kemudian membelah ke selatan memasuki Propinsi
Kuangsi. Namanya adalah Sungai Kemala, sebuah sungai yang memiliki
pemandangan yang sangat elok, karena melalui banyak pegunungan dan bukit hingga
memasuki sebuah lembah di propinsi Kangsui. Bahkan ketika melalui beberapa bukit,
nampak bukit tersebut seperti berbaris untuk menghormati alur sungai yang cukup
lebar tersebut, dan bagaikan mengawasi apa saja yang mengalir atau dialirkan sungai
itu ke lembah. Karena itu, lukisan alam di sepanjang Sungai Kemala, sungguh luar biasa indahnya.
Tapi, sekaligus, bila terjadi gangguan atas alam atau terjadi ketidakseimbangan alam,
maka sungai ini juga bisa sangat mematikan, karena curahan air dan endapan lumpur
bahkan bisa menyeret pepohonan sampai ke daerah yang lebih rendah. Tetapi, karena
Sungai itu, melalui beberapa bukit dan pegunungan, maka terdapatlah banyak sekali
tebing-tebing gunung dan bukit yang sangat indah.
Bahkan, banyak diantara tebing tersebut yang hanya bisa disaksikan dari kejauhan
dan tidaklah mungkin didatangi karena kontur alam yang tidak memungkinkannya.
Tetapi, hampir bisa dipastikan bahwa deretan dan jajaran tebing yang demikian
banyak di sepanjang sungai kemala ini bukan bahana keindahannya.
Salah satu tebing yang "tidak mungkin" didatangi manusia itu, ternyata ada yang
memberikan nama atasnya. Tebing yang "tidak terdatangi" itu diberi nama Tebing
Peringatan 10 Tahunan. Dan memang, tebing itu hanya didatangi orang setiap 10
tahunan, dan itupun yang datang hanya 4 orang belaka.
Tetapi pada pertemuan 10 tahun sebelumnya, bertambah kehadiran 5 orang anak
yang secara aneh dan kebetulan terbawa arus sungai dan diselamatkan oleh 4 orang
yang biasa mempergunakan tebing tersebut sebagai tempat pertemuan. Dan Tebing
peringatan pertemuan 10 tahunan, tahun ini akan kembali dihadiri oleh 4 pendatang
tetapnya, dan kali ini seperti 10 tahun sebelumnya, nampaknya juga bersama dengan 5
orang lain yang seiring perjalanan waktu, telah berubah dari kanak-kanak menjadi
mahluk dewasa. Berbeda dengan 10 tahun sebelumnya, pertemuan yang diadakan pada bulan ke-7
dari tahun berjalan, nampaknya tidaklah akan diwarnai oleh amarah alam. Meskipun
tidak sangat cerah, tetapi tidak ada tanda-tanda bahwa terjadi hujan lebat di daerah
yang lebih tinggi. Dan arus sungai di bawah tebing, juga nampak tenang dan justru
melahirkan banyak inspirasi bagi mereka yang senang mengekspresikan perasaan
lewat puisi ataupun sajak.
Meskipun alam tidak sedang sangat cerah, tetapi lukisan pemandangan yang
terhampar justru bukan main indahnya. Di kejauhan nampak hamparan permadani
hijau yang dilatari oleh sebuah Gunung yang memagari hamparan hijau tersebut.
Melongok kekiri, nampak berkelok-keloknya sungai yang bagaikan naga raksasa
memanjang berkelok-kelok, dan dibeberapa tempat nampak seperti pecah jadi dua,
tetapi kemudian bersambung lagi. Memandang ke samping kanan, nampak sumber
atau hulu sungai yang tentu tak terlihat, sebuah rangkaian pepohonan lebat yang
menempel pada bebatuan gunung yang masih sangat lebat. Paduan dengan cahaya
yang tidak terlalu menusuk justru menghadirkan inspirasi yang bakal melimpah.
Dan hari ini, Tebing Peringatan ini akan kembali didatangi para pendatang tetapnya,
meski hanya setiap 10 tahunan. Seperti biasanya, yang paling dahulu tiba adalah
orang tertua, Kiong Siang Han Kiu Ci Sin Kay, yang datang bersama dengan murid
kesayangannya, Liang Tek Hoat. Seorang pendekar muda yang sudah menjulang di
dunia persilatan dengan julukan Si-yang-sie-cao (matahari bersinar cerah). Entah
bagaimana, sejak pertemuan pertama kali, selalu saja Kiong Siang Han sebagai orang
tertua yang datang lebih dahulu.
Alasannya tidaklah diketahui, yang pasti memang orang tua gagah ini yang selalu
merintis kedatangan kawan-kawan seangkatannya. Kedatangan mereka sudah tentu
tidak menimbulkan suara, suatu tanda bahwa kepandaian mereka sudah demikian
tingginya. Memang, karena 1 bulan sebelum mendatangi tempat ini, Tek Hoat
menemui gurunya untuk bersama datang. Kesibukannya membersihkan Kay Pang
membuatnya mempercepat kedatangannya di rumah orang tuanya di Hang Chouw.
Dan selama dalam perjalanan, Tek Hoat terus menerus digembleng dan
disempurnakan kepandaiannya oelh gurunya. Bahkan Kiong Siang Han sangat bangga
atas apa yang dilakukan Tek Hoat terhadap Kay Pang, yang bisa kembali
mengkonsolidasikan kekuatannya dan menumpas Hek-i-Kay Pang di daerah utara
sungai Yang Ce. Meski belum mengatakannya, Kiong Siang Han sudah memiliki
maksud untuk mengajukan murid penutupnya ini mejadi Pangcu Kay Pang pengganti
Kim Ciam Sin Kay.
Belum cukup lama kedua guru dan murid itu duduk, tak berapa lama telinga mereka
yang tajam mendengar desiran 3 pasang kaki yang bergerak mendatangi tebing
peringatan. Dan benar juga, tidak lama dihadapan mereka sudah bertambah seorang
Hwesio yang sudah sangat tua, nampak setua Kiong Siang Han dengan didampingi
kedua muridnya. Siapa lagi jika bukan bekas Ciangbunjin Siauw Lim Sie Kian Ti
Hosiang beserta kedua murid kembarnya Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Song"
Sepasang Pendekar Kembar dari Siauw Lim Sie yang mengangkat nama di daerah
Bing Lam. Seperti juga Kiong Siang Han dan muridnya, Kian Ti Hosiang datang ke Tebing
Pertemuan bersama muridnya setelah melepas kedua anak kembar untuk mengunjungi
Poh Thian dan membereskan banyak urusan disana. Tentu Kian Ti Hosiang sangat
gembira dengan hasil di Poh Thian, bahkan dia sudah menerima bisikan batiniah dari
Thian Ouw Hwesio mengenai masa depan Siauw Lim Sie Poh Thian. Seperti juga
Kiong Siang Han, sepanjang perjalanan ke Tebing, kedua murid kembar itu kembali
digodok dan disempurnakan kepandaiannya oleh Kian Ti Hosiang.
"Seperti biasa, Kiong Pangcu selalu berada mendahului yang lain. Bagaimana
keadaanmu Kiong Pangcu?" Meski bukan Kay Pang Pangcu lagi, tetapi Kian Ti


Naga Naga Kecil Kisah Para Naga Di Pusaran Badai Karya Marshall di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hosiang dan kawan-kawan, masih tetap memanggil Kiong Siang Han sebagai Pangcu.
Panggilan sejak mereka saling mengenal di masa muda dan masa-masa keemasan
mereka. Dulu, puluhan tahun lalu. Tapi, hingga sudah kakek-kakek, bahkan sudah
bukan pangcu lagi, tapi panggilan itu tetap dilekatkan kepada tokoh besar Kaypang
ini. "Seperti biasa Hosiang, tentu baik-baik" Jawab Kiong Siang Han kalem. Baru saja
kalimat itu meluncur keluar, nampak mendatangi lagi seorang pendatang tetap yang
lain, Pek Sim Siansu, Wie Tiong Lan. Kedatangannya tentu bersama dengan murid
terakhirnya, Liang Mei Lan Sian Eng Li (Nona Bayangan Dewa).
Dan yang mengagetkan Kian Ti Hosiang dan Kiong Siang Han adalah jejak kaki
yang luar biasa ringannya yang ditunjukkan oleh Liang Mei Lan, bahkan sudah nyaris
seringan gurunya. Benar-benar sangat mengejutkan mereka. Bisa juga Wie Tiong Lan
mendidik anak ini menjadi selihay itu dalam gerakan kaki atau dalam Ilmu Ginkang.
"hahaha, gimana kabar Kiong Pangcu dan Kian Ti Hosiang?" Wie Tiong Lan datang
dengan penuh kegembiraan dan langsung menyapa kedua sahabat karibnya tersebut.
Suasana dengan segera menjadi akrab diantara mereka bertiga, sementara keempat
anak muda lainya nampak juga saling bertukar cerita dan saling berkenalan. Terlebih
Mei Lan yang juga tak sempat ke Hang Chouw lagi karena kejadian di Lok Yang,
tetapi langsung ke Bu Tong San menemui gurunya.
Dia menanyakan kabar keluarganya, karena tahu pasti Tek Hoat sempat ke Hang
Chouw, dan berceritalah keduanya, meski diseling-selingi dengan bercakap dengan
kedua Pendekar Muda Siauw Lim Sie. Percakapan merekapun tidak kalah akrabnya,
persis hubungan guru-guru mereka sejak masa mudanya. Percakapan yang
menumbuhkan simpati yang dalam, terutama Kwi Song terhadap Mei Lan yang
semakin lama semakin mengagumi gadis cantik yang sangat mungil menggemaskan
ini. Suasana yang semakin riang dan meriah tersebut semakin bertambah ketika
pendatang terakhir, juga pada akhirnya tiba, inilah Kiang Sin Liong, salah satu tokoh
utama Lembah Pualam Hijau yang sangat legendaris. Kedatangannya, anehnya, hanya
sendirian saja alias tanpa disertai muridnya yang hingga keputusannya meninggalkan
pertapaan masih belum datang juga. Tapi dia punya keyakinan bahwa muridnya akan
tiba di tebing peringatan ini, karena dia merasa tiada halangan dan firasat yang jelek,
sebaliknya justru getaran yang menggembirakan yang diterimanya bila
mengenangkan cucunya ini sebulan terakhir ini.
Tapi, memang berada dimanakah Kiang Ceng Liong alias Thian Jie ini" Dan
mengapa pula dia tidak datang bersama dengan gurunya dan malah terkesan terlambat
dalam menghadiri pertemuan 10 tahunan ini" Bahkan gurunya juga bertanya-tanya.
Sama herannya dengan Tek Hoat yang sangat ingin bertemu kawan akrabnya itu, juga
Mei Lan yang sudah lama gelisah ingin bertemu Ceng Liong. Meskipun ketika
bertemu, sedikit kalimat dan kata-kata antara mereka.
Sebenarnya, proses penyembuhan dan pengobatannya memang makan waktu lebih
dari yang diduga oleh Kim Ciam Sin Kay. Dari waktu yang ditetapkannya 3 bulan,
menjadi hampir 5 bulan, karena proses kehilangan ingatan yang sudah 10 tahunan.
Karena itu, dia harus mengerahkan semua kekuatannya dan kemahirannya dalam Ilmu
Jarum Emas. Tetapi, proses itu sendiri berjalan baik, terlebih karena Kim Ciam Sin
Kay sudah menganggap Ceng Liong sebagai cucunya sendiri.
Dan baru dengan pengerahan segala cara dan pengetahuannya seperti itu, pada
pertengahan bulan kelima mampu menunjukkan tanda membaik. Dan baru pada akhir
bulan kelima, di markas utama Kay Pang dia menyatakan Thian Jie alias Kiang Ceng
Liong sembuh. Bahkan Ceng Liong sendiri sudah bisa mengingat saat-saat terakhir
sebelum berpisah dari kakeknya Kiang Cun Le dan saat-saat sebelum dia kehilangan
ingatan. Meskipun serpihan ingatan itu masih harus disusunnya kembali agar bisa
menentukan tingkat ketepatan ingatan dengan kejadian yang sebenarnya.
Dia juga kemudian bisa mengingat ayahnya, ibunya dan Lembah Pualam Hijau. Dia
mengerti siapa dirinya dan juga mengerti kedudukan dirinya dan lembahnya dalam
dunia persilatan. Yang justru sulit diingatnya adalah kejadian setelah dia kehilangan
ingatan, dan inilah yang dijelaskan oleh Kim Ciam Sin Kay sebagaimana amanat surat
gurunya atau yang juga adalah Kakek Buyutnya, Kiang Sin Liong.
Bahkan kepada Kiang Ceng Liong, Kim Ciam Sin Kay secara pribadi menceritakan
proses bagaimana Thian Jie atau Ceng Liong yang kehilangan ingatannya
menyelamatkan Pangcu Kay Pang. Semua ingatan dan memori setelah kehilangan
ingatan, sudah dihafalkan Kim Ciam Sin Kay, terutama sejak dia diselematkan Tek
Hoat dan Mei Lan sampai kemudian dia menyelamatkan Kay Pang.
Sungguh banyak cerita dan memory itu, karenanya Kim Ciam Sin Kay membutuhkan
berhari-hari untuk menceritakan kembali semua yan terjadi selama ini. Bahkan
kemudian, sebagaimana pesan Kiang Sin Liong, Kim Ciam Sin Kay menceritakan
kondisi Ceng Liong, keluarganya yang ternama dan kaitan keluarganya dengan Dunia
Persilatan. Sekaligus, juga diceritakan kemelut dunia persilatan akhir akhir ini yang
mengalami gejolak yang sangat panas dan banyak meminta korban.
Kim Ciam Sin Kay memilih waktu khusus untuk membahas kejadian yang terjadi
pada waktu Ceng Liong kehilangan ingatan, khususnya pada paroh akhir ingatannya
hilang. Atau, lebih khusus cerita mengenai Giok Hong dan racun yang ditemukan Sin
Kay dalam tubuh Ceng Liong. Juga menceritakan bahwa Ceng Liong sempat
menderita racun dewa asmara bersama Giok Hong, tapi anehnya Giok Hong
kemudian menghilang.
Tapi Kim Ciam Sin Kay menegaskan, bahwa racun dewa asmara, hanya bisa sembuh
melalui hubungan seks, sehingga menggambarkan kepada Ceng Liong kemungkinan
terburuk yang harus dihadapinya dalam kasus ini, entah dengan Giok Hong atau
dengan siapapun. Meskipun malu dan terpukul, tetapi Ceng Liong mengucapkan
terima kasih atas keterbukaan Kim Ciam Sin Kay atas peristiwa tersebut, sehingga
penting baginya untuk menilai diri sendiri ke depan. (Cerita dengan Giok Hong,
belakangan memang berkembang menarik, tetapi akan diceritakan dalam lanjutan
cerita ini nantinya);
"Liong Jie, satu hal harus kau awasi dengan cermat. Sebagaimana engkau ceritakan
kepada lohu bahwa engkau terpukul jatuh besama Giok Hong, dan kutemukan bekas
racun dewa asmara yang tipis dan baru terjernihkan, maka biarlah kuberitahukan
kepadamu" Kim Ciam Sin Kay nampak kesulitan menceritakannya, tetapi tetap harus
diberitahukan. "Racun itu, tidak ada obat penawarnya. Hanya mungkin tertawarkan melalui
pergaulan intim pria dan wanita" lanjutnya.
"Maksud lopangcu?" Ceng Liong bertanya dengan wajah berubah merah padam
"Bukan salahmu Liong Jie. Racun itu memang hanya bisa ditawarkan melalui
hubungan suami istri antara pria dan wanita" Tegas Kim Ciam Sin Kay.
"Apakah jika demikian, tecu telah melakukannya dengan nona Giok Hong?"
"Sangat mungkin demikian. Menurut beberapa orang yang memeriksa disana,
terdapat jejak kehidupan di kedalaman Goa yang kemudian menghilang begitu saja.
Kemungkinan ada yang menolong nona Giok Hong setelah kejadian itu, atau nona
Giok Hong melarikan diri setelah kejadian itu"
"Ach, sungguh tak pantas, sungguh memalukan" Ceng Liong nampak sangat terpukul
dan terkejut. "Jangan menyalahkan dirimu Liong Jie. Itu baru kemungkinan semata. Kau temukan
nona Giok Hong terlebih dahulu, baru bisa ditetapkan" pesan Kim Ciam Sin Kay.
Demikianlah, waktu bagi Ceng Liong praktis tidak sampai sebulan untuk mencari
Tebing Peringatan, yang untungnya sudah dibekalkan kepadanya sebuah Peta oleh
gurunya atau kakeknya. Ketika kakeknya tiba di tebing Peringatan, sebetulnya Ceng
Liong juga sudah tidak jauh dari tebing tersebut, cuma sedang mencocokkan arah dan
tempat dengan petanya. Begitupun masih dibutuhkan waktu hampir sejam lamanya
sampai akhirnya kemudian Ceng Liong dengan matanya yang tajam dan perasaannya
yang semakin peka, menemukan getaran keberadaan manusia di sebuah tebing yang
mustahil didatangi orang itu.
Dengan pesat kemudian dia bergerak mendekati Tebing Peringatan tersebut dan
dengan beberapa kali lompatan khas Lembah Pualam Hijau dia mendatangi kelompok
orang tersebut. Tapi, sesungguhnya tak ada seorangpun yang dikenalnya. Karena itu
dia menjadi ragu, bertindak maju terus atau berhenti. Untungnya dalam keraguannya
tiba-tiba dia mendengar bisikkan:
"Liong Jie datanglah kesini, biar yang lainnya kita tuntaskan lain waktu"
Bisikan ini berpengaruh besar baginya, sebab betapapun ada sepuluh tahun dia
mendengarkan suara yang memperlakukannya dengan sangat baik tersebut. Karena
itu, tanpa ragu kemudian dia melompat turun ke tebing tersebut dan kemudian
memberi hormat sambil berlutut:
"Tecu Kiang Ceng Liong memberi hormat kepada para locianpwe" Sambil matanya
kemudian memandang satu persatu orang tua yang semua berpandangan tajam tetapi
lembut tersebut.
"Marilah Liong Jie, engkau tentu sudah rindu dengan aku si orang tua renta ini"
Akhirnya Kakek Kiang Sin Liong yang terharu dan mengerti akan kebingungan cucu
buyutnya yang baru mendapatkan kembali ingatannya. Sapaannya itu secara tidak
langsung memperkenalkan dirinya. Karena kakek ini tahu betul, keadaan Ceng Liong
yang seperti itu, karena baru memperoleh kembali ingatannya.
"Beri hormat kepada Kiong Siang Han, Kiong Pangcu ini" ujarnya sambil menunjuk
kepada Kiong Siang Han. Sementara Kiong Siang Han memandang takjub, baik
ketika Ceng Liong meloncat turun dengan gaya yang nampak sangat wajar, maupun
ketika memandang matanya yang bercahaya luar biasa.
"Dan Hwesio sakti ini adalah Kian Ti Hosiang" Kakek Sin Liong kemudian
memperkenalkan Kian Ti Hosiang setelah Ceng Liong menghormat Kiong Siang Han.
"Dan yang terakhir, inilah Pek Sim Siansu, Wie Tiong Lan, tokoh utama Bu Tong
Pay" "Dan selanjutnya, biarlah engkau berkenalan sendiri dengan kawan-kawanmu
seangkatan, semua adalah murid kami. Kalian berkenalanlah dan bertukar cerita,
sementara kami menyelesaikan urusan tersisa", Kakek Sin Liong kemudian menyuruh
Ceng Liong ke rombongan anak muda, tetapi sambil mengamati cucunya yang
nampak sangat aneh. Nampaknya berjalan seperti biasa, tetapi nampak juga seperti
tidak biasa. Seperti juga para guru besar lainnya, dia menatap Ceng Liong dengan
perasaan tak menentu. Langkah kaki cucunya benar-benar mengejutkan, dan ketiga
guru besar lainnya, sama terkejutnya seperti ketika Mei Lan datang tadi.
===================
Demikianlah, akhirnya Pertemuan 10 Tahunan dimulai. Arenanya kini seperti 10
tahun sebelumnya, meski ada juga beberapa yang berbeda dengan pertemuanpertemuan
sebelumnya. Kali ini arena terbagi 2, arena pertama adalah arena orang
tua, para kakek renta yang semuanya sudah berusia di atas 100 tahun. Mereka nampak
berbicara dengan menggunakan Ilmu Penyampai Suara jarak jauh atau Coan Im Jib
bit atau juga sejenis Ilmu Coan-im-pekli (Mengirim Suara Seratus Mil), yang sudah
mampu ditembus keempat tokoh gaib ini.
Ketika membicarakan hal yang remeh, yakni keadaan masing-masing, mereka masih
menggunakan suara biasa, tetapi ketika mulai membicarakan keadaan dunia Kang
Ouw mereka menggunakan ilmu Coan Im Pek Li, yang tidak sembarang tokoh bisa
melakukannya. Bahkan tokoh-tokoh tingkat atas masih belum tentu mampu
menggunakan ilmu itu, Ilmu yang sangat hebat, meski sudah bisa dengan ilmu coan
im nib bit. "Nampaknya memang dalang semua kekisruhan adalah Thian Liong Pang, dan
sekarang mereka menghilang. Meskipun cara mereka menghilang sungguh sangat
mencurigakan karena pasti menyembunyikan niat lain yang perlu diteliti" Kiong
Siang Han memulai percakapan yang lebih serius antara keempat tokoh gaib itu.
"Tepatnya, menyusun kekuatan setelah dipukul murid-murid Kian Ti Hosiang di
Bing lam, dikalahkan murid Kiong Siang Han, Kiang Sin Liong dan lohu di Cin an
dan Pakkhia" Demikian Wie Tiong Lan
"Benar, mereka memang mundur selangkah, tetapi nampaknya merancang 100
langkah kedepan" Desis Kian Ti Hosiang.
"Dan bila digaanku tidak salah, mereka akan bergabung dengan tokoh-tokoh sesat,
pendekar India dan Tang ni, bahkan juga Lhama pemberontak dari tibet" Gumam
Kakek Sin Liong.
"Sejauh ini, kita sudah mendidik penerus kita dengan baik. Tapi, apakah sisa waktu 3
tahun, masih memadai mempersiapkan mereka?" bertanya Kiong Siang Han sambil
mengelus jenggotnya dan memandang kawan-kawannya dengan sorot serius.
"Apabila kita mempersiapkan mereka, sebaiknya kita melihat tingkat mereka masingmasing
saat ini. Bahkan bukan tidak mungkin kita saling melengkapkan murid-murid
kita itu" Kiang Sin Liong mengusulkan, karena betapapun dia tak sanggup menjajaki
cucunya saat ini. Dari langkah kaki Ceng Liong, dia seperti melihat kemajuan luar
biasa, tetapi tetap masih harus dijajaki dan ditelaah lebih jauh.
"Benar, biarlah kita melihat mereka saling menguji untuk melihat tingkat
kemampuan mereka yang terakhir" Wie Tiong Lan menyetujui.
"Baiklah, kita tentukan demikian" Kiong Siang Han, seperti biasa yang memutuskan.
Sesaat kemudian, nampak Kiong Siang Han dan kawan-kawan, para kakek tua renta
itu mendekati anak muda yang berkumpul tersebut. Kemudian Kiong Siang Han
sebagai juru bicara berkata:
"Anak-anakku, kalian tentu masih ingat kejadian 10 tahun berselang, ketika guru
kalian masing-masing menyelamatkan kalian dari sungai di bawah ini. Nah, setelah
10 tahun, kami ingin melihat, apakah kalian sudah cukup mampu untuk kembali
terjun menyelamatkan keadaan dunia persilatan yang sedang goncang. Karena itu,
maka kami ingin melihat sejauh mana kalian menyerap Ilmu kepandaian dari guru
masing-masing, untuk melihat kemungkinan meningkatkannya kelak. Untuk babak
pertama, biarlah Souw Kwi Beng berlatih dengan Liang Mei Lan, selanjutnya Souw
Kwi Song dengan Liang Tek Hoat, dan terakhir biarlah kita melihat entah Kwi Beng
atau Mei Lan melawan Kiang Ceng Liong"
"Anak-anakku, apakah kalian mengerti maksud kami?" Kiong Siang Han bertanya
"Mengerti locianpwe" serentak mereka menjawab. Dan kemudian tampil kedepan
adalah Souw Kwi Beng berhadapan dengan Liang mei Lan. Setelah keduanya
memberi hormat kepada para suhu mereka, akhirnya merekapun saling berhadapan.
Meskipun bertajuk latihan, tetapi kedua anak muda tersebut, termasuk juga gurunya,
merasa sedikit tegang ingin melihat sejauh mana hasil latih melatih selama 10 tahun
terakhir ini. Kwi Beng nampak tenang dan kokoh, sementara Mei Lan dipihak lain
nampak sangat tenang dan sangat percaya diri akan kemampuan saat ini, terlebih
setelah dilatih oleh Liong-i-Sinni.
"Mari kita mulai Lan-Moi" bisik Kwi Beng dan mempesilahkan si gadis untuk
memulai penyeangan membuka pertandingan antara mereka.
"Baik, maafkan aku Beng Koko" sambil bicara kemudian nampak Mei Lan sudah
membuka serangan. Untuk diketahui, saat ini Mei Lan sudah menguasai dua ilmu
ginkang tingkat tinggi, bahkan dia dilatih khusus bergerak pesat oleh rajanya ginkang
saat ini, Liong-i-Sinni.
Karena itu, meski tetap bergerak dengan ginkang Sian Eng Coan-in, (Bayangan
Dewa Menembus Awan) tetapi kepesatan dan kecepatannya sudah berlipat ganda.
Bahkan gurunya sendiri sampai geleng-geleng kepala saking terkejut dan kagumnya
menyaksikan peningkatan kepandaian bergerak muridnya. Dan secara otomatis,
kemampuan Mei Lan dalam mengembangkan Thai Kek Sin Kun dan dorongan
tenaganya, nampaknya sudah sangat jauh meningkat.
Sekilas saja, bahkan Kian Ti Hosiang sendiri sadar, bahwa Liang Mei Lan sekarang
sudah jauh meninggalkan muridnya, baik dari segi kekuatan Sinkang maupun
Ginkangnya. Tetapi, kedua guru besar itu tetap bergembira karena betapapun gerakan
dan ilmu yag dikerahkan Mei Lan adalah Ilmu Bu Tong Pay.
Bahkan yang membuat mereka bangga dan patut dipuji adalah, Liang Mei Lan tidak
bermaksud untuk menarik keuntungan dengan mempermalukan Kwi Beng maupun
gurunya Kian Ti Hosiang. Sebaliknya, meskipun unggul, dia membiarkan mereka
berdua untuk mengembangkan dan memainkan semua Ilmu kepandaian yang mereka
miliki. Mei Lan memainkan baik Liang Gie Kiam Hoat, Thai Kek Sin Kun, bahkan
juga Pik lek Ciang, yang diimbangi dengan kokoh dan tenang oleh Kwi Beng dengan
memainkan Ilmu totok Tam Ci Sin Thong, bahkan juga mainkan Selaksa Tapak
Budha, Tay Lo Kim Kong Ciang hingga ilmu barunya Pek In Ciang.
Tetapi dengan mengadu semua Ilmu tersebut, hanya mata yang sangat ahli semisal
Wie Tiong Lan dan Kian Ti Hosiang yang mengerti, bahwa Mei Lan sengaja tidak
ingin menunjukkan keunggulannya dan tidak mau mempermalukan Kwi Beng dan
bahkan gurunya. Kian Ti Hosiang sendiri heran, karena melihat Wie Tiong Lan juga
menggeleng-geleng keheranan. Para guru besar itu paham belaka, bahwa nampaknya
Liang Mei Lan sudah mengungguli Kwi Beng. Bukan hanya keunggulan tipis, tetapi
keunggulan yang cukup telak, meskipun mereka sadar Mei Lan tidak ingin
mempertunjukkannya. Meskipun demikian, capaian dan kemajuan Kwi Beng
bukannya tidak mengagumkan. Kematangan dan kekokohannya sangatlah luar biasa.
Tida disangsikan lagi, anak ini apabila menempa diri dan ditempa secara lebih serius
pasti akan menjadi tonggak dunia persilatan dan Siauw Lim Sie yang luar biasa.
Kekokohan dan keuletannya patut dipuji, dan nampaknya dia sudah mampu menjiwai
Ilmu-ilmu Siauw Lim Sie yang diyakinkannya.
Ketika Ilmu terakhir yang diciptakan masing-masing guru besar itu dikeluarkan,
yakni Ban Sian Twi Eng Sin Ciang (Pukulan Sakti Selaksa Dewa Mendorong
Bayangan) oleh Mei Lan, dan Pek-in Tai-hong-ciang (Tangan Angin Taufan Awan
Putih) oleh Kwi Beng, jelas bahwa dari penguasaan dan latihan keduanya seimbang.
Tetapi, dorongan dan penguasaan tenaga dalam serta landas gerak dalam
memainkannya, nampaknya Mei Lan sudah sanggup mengatur sesuka hatinya.
Sebaliknya, Kwi Beng nampaknya masih belum cukup sempurna dalam
menggunakan ilmu tersebut. Dan karena itu, untuk menghindari hal-hal yang tak
mengenakkan akibat benturan kedua ilmu dahsyat tersebut, Wie Tiong Lan dan Kian
Ti Hosiang, kemudian memisahkan kedua anak muda yang sednag bertanding
tersebut. Dan selanjutnya, pertandingan dianggap selesai dan seri, meskipun nampak


Naga Naga Kecil Kisah Para Naga Di Pusaran Badai Karya Marshall di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mei Lan masih segar dan tidak berkeringat, sementara Kwi Beng bahkan sudah nyaris
mandi keringat. Sebagai seorang ksatria, Kwi Beng berkata:
"Lan Moi, engkau sungguh hebat, nampaknya aku perlu banyak meningkatkan
latihanku" Dan ucapan kwi Beng ini justru membanggakan gurunya dan membuat
Kian Ti Hosiang mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun muridnya nampaknya
tidak menang, tetapi sikap satrianya sangatlah menyenangkan gurunya. Disamping
itu, Kian Ti Hosiang juga semakin heran karena melihat Liang Mei Lan demikian jauh
jaraknya dalam penggunaan hawa sakti, yang membuat muridnya suit mengimbangi.
Meskipun demikian, dia sudah memperoleh gambaran jelas, bagaimana muridnya ini
harus ditempah lebih jauh selama beberapa tahun terakhir nanti. Evaluasi dan
petunjuk lebih jauh, akan dilakukan oleh guru kedua anak muda tersebut, karenanya
tidak ada reaksi dan penjelasan dari smeua pihak terhadap hasil akhir pertandingan.
Dan pertarungan kedua kemudian mempertemukan Liang Tek Hoat melawan Souw
Kwi Song. Dibandingkan pertarungan sebelumnya, maka pertarungan ini justru jauh
lebih seru, menegangkan karena tingkat kepandaian kedua anak muda ini nyaris
seimbang. Bilapun ada kelebihan, maka lebih karena Tek Hoat yang banyak
melakukan pertempuran besar dan membuatnya mampu menguasai ilmu Saktinya
lebih baik. Tapi selebihnya, kekuatan Sinkang, Kegesitan, kecerdasan dan penguasaan
medan, keduanya nampak seimbang.
Sekali lagi, Ilmu-Ilmu Siauw Lim Sie dimainkan, kali ini dengan penuh variasi,
penuh gaya dan penuh gerak tipu yang lebih kaya. Semua orang bisa menyaksikan
betapa berbedanya Kwi Song dari Kwi Beng meskipun keduanya saudara kembar.
Kwi Beng nampak sangat "kokoh" dan text book, nyaris tidak pernah melenceng dari
ajaran pakem silat gurunya. Sementara Kwi Song bergerak penuh gaya, penuh variasi,
bahkan variasi ciptaannya sendiri.
Dibandingkan dengan Kwi Beng yang lebih kokoh, Kwi Song ini mempunya gaya
tersendiri yang lebih kreatif dalam menyerang dan berkelit dengan memadukan
banyak unsur ilmu silat yang dilihat dan dikenalnya. Sementara Tek Hoat memiliki
keunggulan dalam pengalaman bertempur dan antisipasi atas kesulitan yang mungkin
timbul oleh penggunaan jurus tertentu.
Keadaan jadi memekakkan telinga ketika Tek Hoat mainkan Pek Lek Sin Jiu yang
sudah dimatangkannya hingga tingkat ke-7, meski belum sempurna betul. Sementara
untuk mengimbanginya, Kwi Song memainkan Ilmu Ban Hud Ciang, yang membuat
tapak tangannya seakan berada di semua tempat untuk memegat ledakan petir Tek
Hoat. Sungguh sebuah pertempuran yang menegangkan, dan bahkan sangat
menggetarkan rimba persilatan seandainya ada tokoh silat lain yang menyaksikan.
Menyaksikan pameran Ilmu dahsyat dari dua guru besar maha sakti, dipertandingkan
dan dimainkan murid-murid didikan khusus dan istimewa itu. Pek Lek Sin Jiu
memperoleh tandingannya dengan gerakan-gerakan tapak tangan mujijat dari Kwi
Song yang memamerkan Selaksa Tapak Budha dengan baik. Jutaan tapak Budha
seperti memegat kiri kanan penggunaan Ilmu Petir Tek Hoat dan hanya menghasilkan
keadaan seimbang bagi keduanya.
Demikian juga ketika Hang Liong Sip Pat Ciang diadu dengan Tay Lo Kim Kong
Ciang dan diselingi dengan Tam ci sin thong. Gelegar dan serunya pertandingan
membuat baik Kiong Siang Han maupun KIan Ti Hosiang jadi ikut manggut-manggut
mengagumi kedua anak muda tersebut.
Memperhatikan bagaimana jurus-jurus Naga sakti yang penuh desis dan erangan
Naga ditandingi secara ketat oleh desingan ajri sakti dan jurus berat Tay Lo Kim
Kong Ciang. Benturan-benturan tangan tak terhindarkan, termasuk bahkan kemudian
Sin Liong Cap Pik Ciang diadu dengan Pek Kong Ci dan Pek In Ciang, kejadian yang
sama terus berulang.
Gerakan-gerakan indah Tek Hoat kembali diperagakan dengan ginkang dan sinking
terukur dan ditandingi dengan seliweran awan putih disekitar tubuh Kwi Song.
Bahkan menjadi lebih seru dan menegangkan ketika Sin kun Hoat Lek diadu dengan
Pek-in Tai-hong-ciang pada babakan akhir dari pertempuran keduanya. Kedua guru
besar yang memperhatikan muridnya bertanding sudha paham, sampai dimana nanti
kedua murid mereka perlu ditingkatkan.
Dan puncaknya adalah diadunya Sin-kun Hoat-lek (Ilmu Sihir Silat Sakti) dengan
Pek-in Tai-hong-ciang (Tangan Angin Taufan Awan Putih). Nampaknya, Tek Hoat
sudah lebih mahir dalam penguasaan ilmu ini, karena betapapun dia berkali-kali
menggunakan dan meresapi penggunaan Ilmu ini dalam pertempuran sungguhan.
Berbeda dengan Kwi Song, yang nyaris belum pernah mempraktekkannya dalam
pertempuran nyata.
Tetapi, perbedaan itu teramat tipis untuk menentukan kalah menang seorang diantara
mereka. Karena betapapn keduanya belum sampai pada tahapan sempurna dalam
mempergunakan Ilmu mujijat itu. Meskipun demikian, pertarungan ini, boleh
dikatakan berakhir benar-benar imbang, berbeda dengan pertarungan sebelumnya
yang jelas diungguli oleh Liang Mei Lan.
Dan pada akhirnya, pertarungan ketiga akan dilakukan oleh Kiang Ceng Liong
melawanKwi beng. Tetapi sebelum Kiong Siang Han menyebutkan nama Souw Kwi
Beng, Kian Ti Hosiang yang tertarik melihat keajaiban Mei Land an Thian Jie (Ceng
Liong) sudah mendahului:
"Biarlah Liang Mei Lan mencoba untuk berlatih dan berusaha menandingi Kiang
Ceng Liong"
Wie Tiong Lan sungguh mengerti maksud Kian Ti Hosiang, karena rahasia
apalagikah yang tersembunyi antara mereka berempat" Tak ada lagi. Bahkan
persaingan mereka sudah lama cair dan berubah menjadi usaha saling
menyempurnakan Ilmu masing-masing, bukan lagi mencari keunggulan. Wie Tiong
Lan yakin bahwa Kian Ti seperti dirinya, melihat sesuatu yang lain, sesuatu yang
istimewa dalam diri Liang Mei Lan.
Dan keduanya juga nampaknya mengerti bahwa Kiang Ceng Liong juga membawa
kemisteriusan yang tidak jauh berbeda, sehingga mereka semua, bahkan termasuk
Kiong Siang Han, memang ingin melihat dan memecahkan kemisteriusan tersebut.
Dan ucapan Kian Ti Hosiang nampaknya disetujui oleh semua guru besar itu,
termasuk bahkan Kiong Siang Han dan Kiang Sin Liong yang nampaknya manggutKoleksi
Kang Zusi manggut saja menyetujui usulan Kian Ti Hosiang. Melihat hal tersebut, Ceng Liong
kemudian berinisiatif untuk memulai:
"Baiklah, mari kita berlatih Lan Moi" undang Ceng Liong dengan simpatik, tetapi
sekaligus sesuatu yang lain menusuk hatinya atas perasaan mesra yang
ditunjukkannya kepada Mei Lan. Hanya dia seorang yang mengerti apa itu, dan
bagaimana ceritanya.
"Mari, maaf aku memulai koko" Mei Lan memang langsung membuka serangan.
Dan dia sendiri merasa aneh, menghadapi Kwi Beng, tidak ada rasa dan keinginannya
untuk pamer atau mengalahkan Kwi Beng. Tetapi, menghadapi Thian Jie, begitu dia
selalu mengenang Ceng Liong, dia ingin menunjukkan bahwa dirinya punya kebisaan,
punya kemampuan, bahwa dia tidak kalah dengan Ceng Liong yang pernah melukai
See Thian Coa Ong di Pakkhia.
Tiada maskud untuk mengalahkan atau apalagi mempermalukan Thian Jie, tidak. Dia
malah menghadirkan rasa kagum, kasih dan penasaran secara bersamaan. Dia hanya
ingin Thian Jie tahu, bahwa dirinya juga kini tidak kalah saktinya dari si anak muda.
Karena itu, kali ini Mei Lan justru tidak menyembunyikan dirinya.
Hal yang tentu kembali mengejutkan baik Kian Ti Hosiang, Wie Tiong Lan, maupun
Kiang Sin Liong dan Kiong Siang Han berempat. Mereka melihat sesuatu yang tadi
tidak ditunjukkan oleh Mei Lan ketika melawan Kwi Beng. Dan sesuatu itu, memang
sangat mengejutkan. Sampai Wie Tiong Lan sendiri geleng-geleng kepala dan tidak
mengerti mengapa Mei Lan menjadi selihay itu.
Liang Gie Kiam Hoat yang dimainkan Mei Lan dengan tangan kosong (Mei Lan
lupa, bahwa hanya ahli tingkat tinggi yang bisa melakukannya, bahkan Ketua Bu
Tong Pay belum sanggup melakukannya) bagaikan berkesiutnya hawa pedang yang
menyerang Ceng Liong bertubi-tubi. Tetapi, yang juga mengagetkan keempat orang
tua itu, adalah ketika Ceng Liong juga menandingi Liang Gie Kiam Hoat dengan Toa
Hong Kiam Sut dan Giok Ceng Kiam Hoat dimainkan dengan tangan dan
mengeluarkan suara berkesiutan bagaikan pedang menyambar.
Belum habis rasa heran mereka, kembali keanehan lain tersuguhkan manakala semua
serangan berat Mei Lan bisa diladeni dengan ringan oleh Ceng Liong. Serangan
memang jauh lebih banyak dilakukan oleh Mei Lan dan bahkan seakan mengelilingi
sekujur tubuh Ceng Liong, tetapi semua serangan dengan hawa pedang dari tangan
semacam Kiam Ciang, selalu bisa dihalau dengan mudah oleh Ceng Liong. Bahkan
dari getaran tangan segera nampak jika kali ini, Mei Lan yang tidak ungkulan tenaga
Sinkangnya menghadapi Ceng Liong.
Hal tersebut membuat Mei Lan menjadi teramat penasaran dan kembali memperhebat
serangannya kepada Ceng Liong. Sebelum berguru kepada Liong-i-Sin ni, kekuatan
mereka sebetulnya tidak jauh terpaut bila tidak dibilang seimbang. Tetapi, setelah kini
dia memperoleh didikan dan kemajuan menakjubkan bersama Liong-i-Sinni, mengapa
Thian Jie malah sepertinya juga mengalami kemajuan yang sama"
Melihat kenyataan ini, maka Mei Lan kemudian mengganti serangan dengan
menggunakan Thai Kek Sin Kun, yang juga segera dipapaki oleh Ceng Liong dengan
mengembangkan Giok Ceng Cap Sha Sin Kun yang dengan mudahnya memunahkan
semua serangan Mei Lan. Dalam hal pukulan, sudah jelas jika Mei Lan masih belum
sanggup mendesak Kiang Ceng Liong, tetapi Ceng Liong sendiri selalu menahan
tangan dan tidak terlampau mendesak Mei Lan.
Karena itu, dia membiarkan Mei Lan melancarkan semua serangan Thai kek Sin Kun
bahkan hingga mengkombinasikannya dengan ilmunya Pik Lek Ciang. Bahkan
dengan didukung oleh gerakan ginkangnya yang sudah disempurnakan guru
keduanya, Liong-i-Sinni. Liang Mei Lan berkelabat-kelabat mengitari Ceng Liong
dan bahkan meningkatkan gerakannya sampai mendekati batas kemampuannya.
Pergelaran ini benar-benar mengejutkan semua orang, baik ke-4 guru besar, maupun
tiga Naga muda lainnya yang memandang ternganga-ngaga atas kehebatan ginkang
Mei Lan. Tek Hoat bahkan memandang tak berkedip, dan maklum bahwa adiknya sudah
meninggalkannya cukup jauh atas penguasaan Ilmu Silat. Demikian juga Kwi Song
dan Kwi Beng, maklum mereka akan sulit menandingi Mei Lan. Berkali-kali kedua
tangan Mei Land an Ceng Liong berbenturan, dan untungnya Ceng Liong sudah
mampu menguasai tenaganya dan menyesuaikannya dengan kekuatan Mei Lan meski
pertautan dan kesenjangan sinking mereka tidaklah jauh. Meskipun, Mei Lan sendiri
sebenarnya tidaklah terpaut jauh dalam hal tenaga dalam dengan Ceng Liong, tetapi
yang membuat Ceng Liong terkejut adalah manakala gerakan Mei Lan menjadi luar
biasa cepatnya.
Yang menjadi seru adalah ketika Sian-eng Sin-kun (Silat Sakti Bayangan Dewa)
yang dimainkan dengan Sian Eng Coan-in, (Bayangan Dewa Menembus Awan),
bahkan dengan kelincahan ginkang Yan-cu Coan-in (Burung Walet Menembus
Awan) dipergunakan oleh Mei Lan sampai puncaknya. Tubuhnya berkelabat-kelabat
menakjubkan, bahkan seperti tidak menginjak tanah lagi.
Dengan terpaksa, Ceng Liong yang kewalahan dengan kelincahan dan kecepatan
gerak Mei Lan kemudian menggunakan langkah dan gerak Ilmu Jouw-sang-hui-teng
(Terbang Di Atas Rumput) sambil meningkatkan penggunaan jurus Soan Hong Sin
Ciang. Kecepatan dilawan kecepatan dan angin badai, tetapi karena sadar bahwa
gerakannya tidak sanggup menandingi Mei Lan, Ceng Liong memutuskan
meningkatkan tenaga singkangnya dalam penggunaan Soan Hong Sin Ciang yang
kemudian menghadirkan hawa khikang mujijat itu.
Akibatnya sungguh luar biasa, bahkan baik ke-tiga anak muda lainnya dan keempat
guru besar, menjadi kaget bukan kepalang ketika Mei Lan dan Ceng Liong
memperagakan kedua ilmu ini dengan sangat tangkasnya. Mereka kaget dnegan
ginkang Mei Lan, tetapi hanya keempat Guru besar yang mengerti bahwa Ceng Liong
tidak akan kalah. Karena mereka tahu, semua serangan Mei Lan tidak akan menembus
khikang yang menyebar keluar dari penguasaan matang akan sinking dalam tubuh
Ceng Liong. Hanya Kiang Sin Liong yang dengan segera menyadari, bahwa nampaknya cucunya
Kiang In Hong berada dibalik kecepatan Mei Lan. Hanya, diapun tidak menyangka,
apabila kemajuan Ceng Liong begitu menakjubkan. Dia mengerti benar bahwa
sumber tenaga sakti Ceng Liong sangatlah besar, tapi siapa yang membuatnya mampu
menggerakkan tenaga itu sesuka hatinya" Bahkan sudah hampir merendengi
kemampuannya seperti 30 tahun lalu"
Dan ketika kemudian pertempuran meningkat ke penggunaan Ilmu-ilmu pamungkas
masing-masing, yakni Mei Lan menggunakan Ban Sian Twi Eng Sin Ciang (Pukulan
Sakti Selaksa Dewa Mendorong Bayangan), sementara Ceng Liong menggunakan Pek
Hong Cao-yang-sut Sin Ciang (Tangan Sakti Awan Putih Memanggil Matahari), Sin
Liong melihat jelas, bagaimana Ceng Liong sudah jauh mahir bahkan mendekati
kesempurnaan penggunaan ilmu tersebut.
Bahkan, dia masih melihat bagaimana Ceng Liong berusaha mengukur dan
menyesuaikan Sinkangnya agar tidak melukai Mei Lan. Diam-diam Kakek sakti ini
menjadi bangga dan terharu dengan apa yang diperlihatkan dan dicapai cucu buyutnya
ini. Ketiga anak muda yang lain seperti melihat demonstrasi sihir dalam ilmu silat
yang luar biasa, karena ketiganya tanpa sadar terbawa oleh perbawa sihir dan
membawa mereka dalam alam dimanba laksaan pukulan bertalu-talu dengan awan
putih yang sekali-kali menyinarkan dan menjilat dengan petir dan kilat yang bergetar
keras. Dipihak lain, nampak Wir Tiong Lan juga sangat terkejut oleh kemajuan kedua anak
muda itu. Terhadap ginkang Mei Lan dia sudah mengetahui bahwa Liong-i-Sin ni
sudah mendidik Mei Lan dengan ketat. Tetapi, tidak disangkanya Mei Lan bahkan
sudah jauh melampaui ketiga muridnya yang lain, dan bahkan sudah tidak jauh
berselisih dengannya saat ini. Sungguh, gerakan dan sinkang mei Lan bukan lagi olaholah
hebatnya. Dalam dunia persilatan dewasa ini, nampaknya sudah sulit
menemukan tokoh sehebat Mei Lan dan juga Ceng Liong nampaknya. Dia
mengagumi khikang Ceng Liong, dan tentu juga kemajuan muridnya yang luar biasa
itu. Keempat guru besar yang menonton pertempuran itupun terpana. Karena baru kali
ini, baik Kiang Sin Liong maupun Wie Tiong Lan melihat perbawa yang mereka
bayangkan ketika menciptakan kedua Ilmu tersebut. Dan memang sungguh luar biasa,
tokoh kelas utama di dunia persilatanpun, akan sulit untuk membendung pukulan
tersebut bila dilakukan dengan kematangan yang ditunjukkan kedua anak muda
tersebut. Padahal, mereka semua melihat bahwa Ceng Liong masih mampu menahan dan
menyesuaikan penggunaan tenaganya, dan Mei Lan juga belum dipuncak pengerahan
kecepatan geraknya. Bila semua dikerahkan pada puncak kekuatan Sinkang dan
Ginkang, maka sulit dibayangkan tokoh yang mampu menahan serangan salah satu
dari kedua Ilmu tersebut. Selain perbawanya yang menakutkan, kandungan tenaga
sakti yang tersimpan dalam setiap gerakan ilmu tersebut dapat sangat menakutkan
akibatnya. Sementara itu, Liang mei Lan sendiri menjadi kaget setengah mati. Dia menyangka
setelah mematangkan Sinkangnya, menyerap Ha-Mo-Kang dan menyatukannya
dengan Sinkangnya, maka dia bisa mengungguli Ceng Liong. Ternyata dengan itu
semua, diapun masih belum sanggup, hanya mampu bertarung seimbang, meskipun
dia memiliki kelebihan dalam Ilmu Ginkang.
Tapi betapapun, keunggulannya tersebut sudah menggirangkan hatinya, setidaknya
ada kelebihanku dibandingkan dia, begitu Mei Lan berpikir. Sementara ketiga anak
muda yang lain menjadi kaget dan sadar, bahwa mereka sebenarnya tertinggal oleh
kedua anak muda ini. Hanya Tek Hoat yang heran, karena dia pernah bertempur
secara seimbang dengan Ceng Liong, tapi mengapa kini Ceng Liong bisa selihay ini"
Akhirnya pertempuran dihentikan tanpa keputusan siapa menang dan siapa kalah.
Karena bukan soal siapa menang dan siapa kalah yang dibutuhkan oleh para guru
besar tersebut, Tetapi sampai dimana tingkat dan kemampuan serta kemajuan muridmurid
mereka sampai saat ini, sehingga mereka tahu apa yang harus segera dilakukan
dalam mempersiapkan mereka memasuki pendalaman Ilmu pada 2-3 tahun terakhir.
Berakhirnya latihan diantara ke-5 anak muda itu, melahirkan beberapa tanda tanya di
benak para guru, dan karena itu nampaknya mereka akan membahasnya, dan
menentukan apa yang harus dilakukan. Terutama membicarakan bagaimana
peningkatan kemampuan 3 anak muda lainnya, serta membahas kemampuan Ceng
Liong dan Mei Lan yang nampak sudah amat jauh itu. Kemajuan yang sebenarnya
menggirangkan mereka semua, tetapi yang tetap harus dijejaki dan diwaspadai agar
tidak mengakibatkan hal-hal yang nantinya akan lebih menggemparkan. Maka,
menjadi tugas Wie Tiong Lan dan Kiang Sin Liong untuk menjejaki peristiwa
kemajuan kedua murid mereka yang sangat ajaib itu.
Pertama-tama, mereka memanggil Ceng Liong dan Mei Lan. Kepada keduanya,
keempat guru besar ini bertanya secara detail, bagaimana dan apa yang mereka alami.
Dan sungguh berdebar dada Ceng liong ketika Mei Lan menceritakan bagaimana
proses dia terluka, proses ditolong oleh Kiang In Hong dan bagaimana dia selamat
dan malah beroleh kemajuan yang luar biasa. Bahkan menurutnya, diapun sudah
diterima sebagai murid oleh Liong-i-Sinni yang direspons dengan menganggukanggukkan
kepala oleh Kiang Sin Liong.
Dia sungguh mengagumi cucu perempuannya yang selain sakti tapi juga bijak, meski
hanya mengajarkan ginkang tapi menerima sebagai murid, dan mengirim pesan
sederhana kepadanya dan kepada Wie Tiong Lan. Keduanyapun hanya saling
pandang maklum atas pesan dari apa yang dilakukan dan disampaikan oleh In Hong.
Meskipun berasal dari angkatan yang jauh lebih muda, tetapi In Hong telah
menunjukkan partisipasinya yang tidak kecil. Apalagi, semua itu dilakukan untuk
menyelematkan nyawa Mei Lan yang memang sudah diambang kematiannya. Karena
itu, tindakan menerima murid meski hanya mewariskan ginkang istimewanya,
sungguh sebuah anugerah besar bagi dunia persilatan. Dan, mana mungkin Wie Tiong


Naga Naga Kecil Kisah Para Naga Di Pusaran Badai Karya Marshall di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lan menganggap bahwa Kiang In Hong sudah lancang tangan" Tapi begitupun Kiang
Sin Liong berucap:
"Biarlah, lohu mewakili cucuku itu memintakan maaf atas kelancangannya
mengambil murid tanpa persetujuanmu Wie siansu"
"Itu bukan kelancangan, tetapi berkah bagi Mei Lan. Tidak ada alasan lohu untuk
menganggap cucumu melancangi lohu"
"Bagaimana dengan pengalamanmu Liong Jie" Kiong Siang Han bertanya untuk
mengalihkan perhatian dan percakapan dua guru besar lainnya. Selain itu, Siang Han
juga ingin mendengar apa yang sesungguhnya terjadi atas kemajuan Ceng Liong yang
bahkan sudah sanggup mengerahkan hawa khikang pelindung badan. Sesuatu yang
jarang bisa dilakukan tokoh silat, selain mereka berempat, dia belum tahu ada lagikah
tokoh lain yang sanggup melakukannya"
"Hampir sama dengan Lan Moi, para suhu. Bedanya, ketika tecu terpukul jatuh oleh
See Thian Coa Ong, diambang kematian tecu teringat pesan Kongkong Kiang Cun Le.
Pada saat penuh hawa, dan diambang kematian, gelang boleh dipecah, dan isi gelang
itu menurut Kongkong adalah selembaran kertas terjemahan dari kitab ajaran agama
di Jawadwipa yang mirip-mirip ajaran di Tionggoan" Ceng liong berhenti sejenak,
dan dia melihat pancaran kekagetan dari ke-empat guru besar itu, termasuk juga Liang
mei Lan atas cerita yang disampaikannya. Terutama Mei Lan, dia menjadi sedikit
mengerti, karena diapun mengalami hal yang sama, dan ditolong oleh adik dari kakek
Ceng Liong dan merenggutnya dari malaekat maut. Terdengar kemudian Ceng Liong
melanjutkan: "Terjemahan itu berisi petunjuk pengendalian hawa dalam tubuh untuk melebur
sinkang yang belebihan, meskipun bahkan sinkang itu bertolak belakang. Tetapi,
sinkang dasar dalam tubuh harus lebih dominan dibandingkan hawa yang masuk.
Nampaknya, lembar kertas itu hanya bagian dari kitab seluruhnya, karena lembaran
itu hanya sobekan dari bagian utuh yang siauwte sendiri tidak tahu ada dimana.
Mungkin hanya kongkong yang bisa menjelaskannya. Dalam keadaan hampir mati
itu, siauwte kemudian menjalankan dan membiarkan saja semua hawa dalam tubuh
untuk bergerak semaunya. Semua hanya berdasarkan dan terinspirasi oleh kalimatkalimat
yang disebutkan dan dituliskan dalam lembar kertas itu ", kembali Ceng
Liong berhenti sejenak, dan kemudian melanjutkan lagi
"Dan menurut kong-kong, akan ada saatnya para pendekar Thian Tok menagih
selembar kertas yang merupakan bagian dari 3 kertas utuh, bagian dari kitab utuh di
Jawadwipa. Sedang dua yang lain, masih berada di tangan para pendekar Thian Tok
yang akan datang menagihnya nanti suatu saat kelak. Dalam keadaan penuh hawa dan
hamper mata, tecu kemudian berpasrah dan membiarkan semua hawa itu mendesak
kesana kemari, selama 2 hari dan dua malam. Baru pada hari ketiga, tecu bisa
bergerak dan begitu sembuh tecu tiba-tiba mendapati kemajuan Sinkang tecu sungguh
luar biasa" Demikian penjelasan Ceng Liong.
"Anakku, apakah engkau membawa sehelai kertas itu?" Kakek Kiang Sin Liong
bertanya "Ada kong chouw, ini" Ceng Liong menjawab sambil kemudian merogoh sakunya
dan kemudian menyerahkan sehelai kertas yang sudah usang dan nyaris sobek itu
kepada Kakeknya. Sementara Kiang Sin Liong memeriksa dan kemudian manggutmanggut.
"Benar, memang pada 20-30 tahun sebelumnya cucuku itu bersama In Hong
pernah bertarung dengan para pendekar thian tok dengan sehelai kertas taruhannya.
Tak nyana sehelai kertas ini malah menyelamatkan cucu mereka juga"
"Apakah ada manfaatnya dengan persiapan kita dalam membantu murid-murid kita
yang lain?" Bertanya Wie Tiong Lan
"Menurut yang kutahu, kita telah memulainya dengan jurus-jurus atau ilmu terakhir
yang kita ciptakan. Tetapi sehelai kertas ini memberi petunjuk yang sama tapi dengan
cara lain. Lohu pernah mendiskusikannya dengan cucuku Cun Le, dan dia seperti aku
berkesimpulan bahwa meningkatkan hawa "im" penting bagi Kian Ti dan muridmuridnya
serta juga Kiong pangcu dan muridnya, sementara meningkatkan hawa
"yang" penting bagi Lohu dan murid lohu, serta Wie Tiong Lan dan muridnya. Pada
saat keseimbangan atau nyaris seimbang itu dipenuhi, maka akan tergantung keuletan,
keberanian, kecerdasan dan jodoh, apakah seseorang sanggup menerima hempasan
tenaga "im" dan "yang" dan membaurkannya di tantian sebagai sumber tenaga sakti.
Ceng Liong dan Mei Lan sudah lulus dalam test dan ujian ini" papar Kakek Sin
Liong. "Benar, memang masuk akal bila melihat apa yang dialami oleh Mei Lan dan Ceng
Liong. Sehelai kertas ini, bisa bermakna begitu luas, memang luar biasa. Tetapi,
mengosongkan pikiran, pasrah dan menyatu dengan alam, memang adalah bagian dari
ajaran agama-agama kita juga. Cuma, ajaran Jawadwipa ini, seperti menunjukkan
jalan kepasrahan dan menyatu dengan alam untuk bisa menampung semua hawa
sebagai salah satu tehnik menghimpun hawa sakti. Siancai, siancai, sungguh luar
biasa" Berkata Kian Ti Hosiang.
"Bila memang begitu tinggi manfaatnya, apakah sebaiknya selama 1 tahun ini kita
bertukar murid, dan pada tahun kedua dan ketiga kita menuntaskan pewarisan Ilmu
masing-masing kepada muridnya" Bertanya Kiong Siang Han.
"Bila menurut pandangan lohu, kita tidak perlu melakukan selama itu. Sebuah contoh
telah ditunjukkan cucuku, In Hong. Dia menggunakan tehnik keseimbangan hawa
"im" dan "yang", dimana dalam kasus Mei Lan karena hawa dasar yang dilatihnya
"IM", maka harus dibiarkan hawa "im" yang sedikit dominan. Dalam kasus murid
Kian Ti dan Kiong Pangcu, maka hawa "Yang" harus sedikit dominan, baru kemudian
peleburan tenaga tersebut memungkinkan dengan tidak mencelakai dan merusak cirri
khas hawa perguruan masing-masing" Jelas Kakek Sin Liong.
"Hm, jelasnya, sehelai kertas tadi sebenarnya adalah petunjuk bahwa manusia
sanggup menguasai hawa sakti yang luar biasa, bahkan yang bertentangan sekalipun,
asal tidak mempertentangkannya, tetapi membiarkan dia saling melebur dengan
sendirinya atau saling menjinakkan. Luar biasa, siancai-siancai" Kian Ti Hosiang
berkata sambil memuji kebesaran budha
"Sebetulnya, tehnik pengaturan hawa Liang Gie Sim Hwat juga sama. Hanya, Bu
Tong Pay tidak pernah berani mengambil resiko meraup dua tenaga sakti secara
bersamaan dan kemudian membaurkannya. Padahal, memang adanya kemungkinan
itu, juga merupakan salah satu rahasia Liang Gie dalam pengaturan hawa. Memang
luar biasa" Pek Sim Siansu juga berseru kagum.
"Baiklah, jika usulku diterima, maka waktu kita disini jika bisa kita perpanjang
selama 2 hari. Selama 2 hari, maka Kiong Pangcu akan membantu Ceng Liong untuk
meningkatkan hawa "Yang", mungkin dengan menurunkan Pek lek Sin Jiu.
Kemudian Kian Ti Hosiang akan meningkatkan hawa "yang" Mei Lan, mungkin
dengan menurunkan salah satu Ilmu berhawa Yang dan hawanya sekaligus, entah Tay
Lo Kim Kong Ciang ataupun Ban Hud Ciang. Kemudian, lohu bersama Wie Tiong
Lan akan menurunkan Ilmu dan Hawa Im bagi Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Song.
Tetapi, harap diingat, semuanya, hawa dan ilmu tersebut, masih harus dipendam, dan
baru dibaurkan ketika di rumah masing-masing" Kiang Sin Liong mengusulkan. Dan
bahkan selanjutnya, bersama Mei Lan dan Ceng Liong menjelaskan bagaimana upaya
untuk melewati masa krisis dari penyatuan dan peleburan Sinkang menurut aturan
sehelai kertas dari Jawadwipa tersebut. Setelah dipahami benar-benar, barulah
kemudian proses pertukaran hawa itu dilakukan.
Proses bagi Mei Lan dan Ceng Liong relatif sudah jauh lebih mudah. Karena mereka
tinggal berusaha membaurkan hawa "yang" yang akan mereka terima dari Kiong
Siang Han dan Kian Ti Hwesio. Kiong Siang Han menurunkan Pek Lek Sin Jiu dan
Hawa Pek Lek atau Hawa Petir yang sangat keras bagi Ceng Liong yang memang
sejak awal sudah dikaguminya. Bahkan dia membuka semua rahasia penggunaan Ilmu
tersebut, sebagaimana dia melakukannya untuk Tek Hoat.
Dan beberapa saat kemudian dia menyalurkan hawa Yang dari Pek Lek itu ke tubuh
Ceng Liong, tetapi tetap masih harus disimpan, karena sandingannya, hawa "IM"
masih terbatas dalam tubuhnya. Demikian pula dengan Mei Lan, mendapatkan
warisan hawa "Yang" dari Kian Ti Hwesio berupa hawa "Yang" dari Ban Hud Ciang
yang luar biasa dan terdiri dari 11 jurus tingkatan. Saking kagumnya, rahasia Ban Hud
Ciang dan tenaganya juga disalurkan bagi Liang Mei Lan.
Sementara itu, Tek Hoat menerima penyaluran hawa "Im" dari Giok Ceng Sinkang
dan menerima rahasia jurus Soan Hong Sin Ciang yang mujijat, ilmu rahasia yang
diciptakan Kiang Sin Liong mengikuti arus dan gaya dari rahasia kekuatan "im" dari
"Giok ceng". Dan yang paling capek adalah Wie Tiong Lan, yang harus menurunkan
kekuatan "Im" kepada 2 orang sekaligus, Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Song.
Kepada kedua saudara kembar itu, Wie Tiong Lan mengajarkan Thai Kek Sin Kun
dan rahasia hawa Liang Gie Sim Hwat untuk memperkuat hawa Im mereka.
Demikianlah, akhirnya, masing-masing guru besar telah memendam tenaga yang
dibutuhkan, dan itu berarti sepulang ke perguruan masing-masing, mereka harus
memperkuat hawa dominan perguruannya agar tidak membahayakan murid masingmasing.
Sementara kelima anak muda tersebut, nampak sedang bersamadhi dan harus
mengendapkan hawa yang berbeda dengan hawa asli milik perguruannya untuk suatu
saat bisa dileburkan. Hal ini sangat penting bagi latihan mereka nanti, karena itu
tenaga itu tidak boleh membuyar, dan harus diendapkan dulu kedalam pusar dan
tantian masing-masing. Dan sementara mereka bersamadhi, para guru besar tersebut
akhirnya membicarakan hal-hal terakhir diantara mereka. Adalah Kian Ti Hosiang
yang angkat bicara duluan:
"Saudara-saudaraku, kita sama tahu, setelah 5 tahun, tidak akan mungkin lagi kita
bertemu. Bila beruntung, maka satu diantara kita mungkin masih tetap hidup. Bila
tidak, nampaknya 5 tahun kedepan kita semua sudah meninggalkan dunia ini. Maka
biarlah, pertemuan kita yang terakhir ini, sekaligus sebagai perpisahan diantara kita.
Entah ada lagikah yang belum sempat kita lakukan?"
"Prihal kemelut dunia persilatan, kita sudah memiliki wakil. Meskipun sekali lagi,
Lembah Pualam Hijau akan menjadi yang terdepan, dan nampaknya akan disusul Kay
Pang dan baru Bu Tong Pay dan Siauw Lim Sie. Rasanya tugas kita sudah tuntas"
Bergumam Wie Tiong Lan.
"Apakah kiranya KIan Ti Hosiang mengkhawatirkan para pendekar dari Thian Tok
itu?" pandangan Kiang Sin Liong yang tajam memberinya sebuah pertanyaan yang
nampak masih mengganjal.
"Sejujurnya ya, karena mereka selalu mengklaim bahwa Ilmu Siauw Lim Sie berasal
dari sana. Dan itulah juga alasan mengapa mereka selalu mecari gara-gara dengan
dunia persilatan Tionggoan" jawab Kian Ti Hosiang.
"Dan maksud khusus Hosiang?" Kiang Sin Liong mengejar.
"Kelima anak itu, akan sanggup menahan para Pendekar Thian Tok. Tapi, hanya
Ceng Liong yang memiliki keanehan pada kekuatan matanya. Harap Kiang Hiante
memperhatikannya lebih serius" Kian Ti Hosiang bergumam. Sejak dulu, dia sudah
berminat dengan "mata" Ceng Liong yang baginya memancarkan kekuatan aneh yang
sulit dijelaskannya.
"Mohon petunjuk Hosiang" Seperti biasa Kiang Sin Liong selalu merendah.
"Kekuatan matanya, nampaknya bukan hanya akan ampuh bagi Ilmu Sihir, tetapi
bahkan bisa melontarkan kekuatan yang sangat mematikan" Desis Kian Ti Hosiang
yang juga diiyakan dengan rgau oleh guru besar lainnya.
"Dan bisa kita bayangkan apabila tokoh semacam itu hadir tanpa kendali" tambahnya
tanpa harus khawatir apakah Sin Liong bisa menerimanya ataukah sebaliknya.
"Tapi untungnya, kita percaya Kiang Hiante akan sanggup mengendalikannya"
Kiong Siang Han menatap penuh percaya kepada Kiang Sin Liong.
"Dan bila mungkin, sebelum melepas nyawa, ingin lohu melihat dan memastikan,
bahwa anak itu memang tidak memendam sesuatu yang berbahaya" tambah Siang
Han. "Untuk tidak membingungkan, biarlah pinto menjelaskan sesuatu. Sebetulnya pinto
pernah mendengar rahasia percakapan para pendeta Thian Tok yang berkunjung ke
Siauw Lim Sie. Tetapi, pendekar ini sama khawatirnya dengan para pendeta Budah
lainnya karena bahaya yang mungkin diakibatkan oleh sesuatu yang berbahaya itu.
Yakni perihal sebuah Ilmu yang berkembang di Jawadwipa, yang disebutkannya
"sinar mata mampu membakar hutan". Tetapi, menurut Pendeta Budha dari Thian
Tok tersebut, kemampuan itu hanya sanggup dilakukan dengan melewati lembar
kertas yang hilang di Tionggoan, dan bakat khusus sesorang yang memang berjodoh
dengan Ilmu nmenyeramkan itu. Setelah mendengar Ceng Liong memperoleh Pek
Lek Sin Jiu, maka dia tinggal selangkah lagi memasuki tahapan mengerikan itu" Jelas
Kian Ti Hosiang.
"Hosiang, apakah Ilmu itu tak terlawan" bertanya Wie Tiong Lan dengan terkesiap
oleh penjelasan Kian Ti Hosiang tersebut.
"Bukan tak terlawan, cuma terlalu sukar terduga. Apalagi jika diiringi dengan Ilmu
Sihir, bisa kita bayangkan bersama. Apabila kita sedang bertarung dan secara tiba-tiba
kekuatan itu dilontarkan melalui mata, maka sulit sekali kita menduga dan
menawarkannya" jawab Kian Ti Hosiang.
"Dan sejak mendengarkan berita itu, pinto telah mencoba menggali perpustakaan
Siauw Lim Sie, dan melihat benarkah kemungkinan itu memang ada. Dan pinto harus
mengatakan disini, bahwa Ilmu semacam itu, memang juga ada dalam khasannah
Ilmu Budha, tetapi dengan syarat yang luar biasa beratnya. Dan karena kemungkinan
itu ada, maka jika Kiang Hiante mengijinkan, Pinto ingin memasuki kedalaman jiwa
Ceng Liong. Pinto ingin memastikan bahwa syarat yang tertulis dalam kitab kuno
Budha, dipenuhi dalam diri anak itu" Tambah Kian Ti Hosiang.
"Hm, jika memang begitu, rasanya Hosiang harus melakukannya. Mengapa tidak
kuijinkan?" Berkata Kiang Sin Liong yang juga semakin terkesiap mendengarkan
kemungkinan yang dihadapi cucu buyutnya itu.
"Selain itu, karena lawan mereka kali ini, juga jauh lebih menyeramkan dibandingkan
yang kita hadapi dimasa lalu. Kekuatan sihirnya jauh melampaui lawan kita, dan
ditambah dengan penguasaan beberapa Ilmu Hitam dari Jawadwipa dan dari Negri
asing lainnya. Karena itu pula, kuharap, setelah pinto memeriksa Ceng Liong, waktu
tersisa kita gunakan untuk memeriksa kembali Ilmu yang kita telah diskusikan
bersama dengan pengembangan masing-masing. Jika perlu, kita wajib saling
memperkuat Ilmu tersebut" berkata Kian Ti Hosiang diikuti tatapan persetujuan guru
besar lainnya. "Betul, meski gembira melihat peningkatan kemampuan anak-anak itu, tapi mata
batin lohu melihat sesuatu yang jauh lebih mengerikan yang harus mereka hadapi"
Berkata Kiong Han
"Apakah bahkan Kian Ti Hosiang melihat bila Pek Lek Sin Jiu bahkan sebenarnya
masih menyimpan rahasia lebih dalam?" Kiong Siang Han bertanya lebih jauh.
"Tidak perlu Hosiang yang menjelaskan. Bahkan lohupun mengerti, bahwa
sebenarnya ada tataran lebih tinggi yang belum pernah Kiong Pangcu tunjukkan
selama ini" Berkata Wie Tiong Lan.
"Ya, karena itu perjanjian lohu dengan kerangka yang menghadiahkan kitab rahasia
itu. Kerangka itu memberi peringatan, bahwa baru sesudah lohu, maka tingkatan
terakhir itu boleh dimainkan. Dan rahasia itu sudah lohu buka kepada Tek Hoat dan
Ceng Liong" Berkata Kiong Siang Han.
"Apakah Kiong Pangcu bisa memainkan tingkatan itu?" bertanya Kiang Sin Liong
memastikan. "Tidak pernah berani mencobanya, sebab sumpah sudah lohu ucapkan di depan
kerangka yang kuanggap guru itu" jawab Siang Han.
"Baik, jika demikian, kita berikan waktu kepada Kian Ti Hosiang untuk memasuki
"jiwa" Ceng Liong". Dan selanjutnya, hal-hal lain yang terakhir bagi kita, dibicarakan
besok saja" Berkata Kiong Siang Han kemudian.
Pertemuan 10 tahunan yang terakhir pada hari pertama, kemudian berakhir. Malam
harinya, keempat guru besar itu nampak seperti masih merundingkan beberapa hal
yang bahkan dilanjutkan pada esok harinya (Hanya perundingan dan hasilnya yang
dilakukan sejak malam hari hingga esoknya, nanti akan ketahuan pada cerita lanjutan
dari cerita ini). Memasuki hari kedua, atau hari terakhir, kembali masing-masing guru
besar itu memberi petunjuk kepada ke-5 anak muda tersebut sebelum nanti akan
berpisah pada sore harinya. T
etapi, secara khusus Kian Ti Hosiang kembali mendekati Ceng Liong dan Mei Lan
untuk terutama memperkuat kedua anak muda ini. Pada percakapan malam hari
sebelumnya, juga dibicarakan bahwa yang paling tepat menghadapi jagoan Tang ni
adalah Mei Lan. Karena bakat dan kemampuannya saat ini dalam hal ginkang, bahkan
sudah terhitung nomor wahid, tinggal terpaut sedikit saja di bawah kemampuan
bergerak Liong-i-Sinni yang nomor wahid dalam ginkang dan yang mengajarinya
ginkang yang mujijat itu.
Demikianlah, pada akhirnya pertemuan 10 tahunan berakhir pada sore harinya. Keempat
guru besar nampak sangat terharu, terlebih karena menyadari bahwa usia
masing-masing tidak akan sampai 5 tahun kedepan lagi. Bahkan Kian Ti Hosiang
sudah menyampaikan pesan-pesan terakhirnya, karena sepulangnya ke Siong San,
akan menutup diri dan tinggal menyisakan waktu 2-3 tahun untuk gemblengan yang
terakhir bagi murid-muridnya. Demikian juga Wie Tiong Lan, juga telah menyatakan
tidak akan lagi turun gunung dan akan bersiap menutup pintu dan menutup diri
setelah 3 tahun melakukan gemblengan terakhir bagi murid-muridnya.
Sedangkan Kiong Siang Han, masih berjanji untuk menjumpai Kiang Sin Liong 3
tahun kedepan sesuai janjinya untuk membawa Tek Hoat dan menengok apakah benar
Ceng Liong mampu berbuat sebagaimana hasil pemeriksaan Kian Ti Hosiang yang
ternyata sangat sesuai dengan catatan Kitab kuno Budha mengenai ilmu mujijat dari
mata tersebut. Sementara anak muda-anak muda yang nampak semakin akrab tersebut, juga
kelihatan sangat berat hati untuk berpisah. Karena mereka akan kembali menjalani
penggodokan yang terakhir di pintu perguruan masing-masing untuk kemudian di
lepas bertugas 3 tahun kedepan. Bahkan dengan meniru guru masing-masing, mereka
menetapkan tradisi pertemuan diantara mereka berlima pada 5 tahun kedepan dengan
tempat yang belum ditentukan. Tetapi, karena Tebing Peringatan Pertemuan 10
Tahunan sejak hari terakhir dinyatakan tertutup oleh Kiong Siang Han, tertutup bagi


Naga Naga Kecil Kisah Para Naga Di Pusaran Badai Karya Marshall di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

murid siapapun untuk datang lagi ke tebing tersebut, maka akhirnya kelima anak
muda tersebut sepakat untuk menentukannya selambatnya 3 tahun kemudian.
Dengan demikian, Tebing Peringatan akan kembali tidak didatangi orang, karena
Kiong Siang Han sesuai kesepakatan telah mengeluarkan larangan datang ke tempat
ini bagi siapapun di lingkungan 4 keluarga perguruan tersebut. Apakah sebabnya"
Entahlah. Karena bahkan kepada murid-muridnya, masing-masing orang tua itu tidak
menyebutkan alasan, selain menyebutkan biarlah tempat itu kembali dalam kekuasaan
alam. Selebihnya mereka tidak menyebut apa-apa, tetapi mewanti-wanti muridnya
untuk tidak pernah lagi berpikir datang ke tempat itu.
Tempat yang mereka sepakati keramat bagi masa hidup 4 guru besar tersebut, dan
memang demikianah kemudian tempat itu dikenal di dunia luar tanpa ada yang tahu
jelas dimana, kecuali murid-murid ke-4 tokoh gaib rimba persilatan itu. Sesuai
sumpah mereka, maka para murid itu dilarang memberitahu kepada siapapun tempat
itu, dan juga dilarang datang ketempat itu kapanpun. Dan sudah tentu, demi rasa
hormat dan cinta mereka kepada para guru mereka, maka tak ada seorangpun dari
kelima murid itu yang pernah datang ke tempat keramat tersebut sampai ajal masingmasing.
Episode 17 : Lagi, Banjir Darah
Setelah selama 2 tahun sepertinya dunia persilatan Tionggoan mengalami masa
tenang, tiba-tiba pada bulan-bulan awal di tahun ketiga organisasi perusuh Thian
Liong Pang kembali beroperasi. Sekali ini dengan lebih fokus, lebih kejam, lebih
rahasia dan dengan kelompok dan barisan pemukul serta pembunuh yang luar biasa.
Pada 2 tahun masa tenang, terjadi masa-masa peningkatan kemampuan Ilmu Silat,
bahkan Perguruan-Perguruan Pedang seperti Kun Lun Pay, Hoa San Pay, Thian San
Pay, Tiam Jong Pay, Cin Ling Pay kembali mengumpulkan anak murid masingmasing
yang berkelana.
Sementara Go Bi Pay sudah sempat mulai menyusun kembali tata dan struktur
Perguruan mereka, meskipun masih kurang dari 20 orang yang berusaha membangun
kembali reruntuhan Go Bie Pay. Setelah menghadapi bencana dan ancaman
pencaplokan selama hampir 10 tahun sebelumnya, semua perguruan tiba-tiba
menyadari bahwa perguruan masing-masing perlu diperkuat. Jadi, wajar bila
kemudian semua perguruan berlomba meningkatkan kemampua masing-masing, baik
dengan menciptakan Ilmu dan jurus baru, maupun dengan menggali kembali ilmu
ciptaan para sesepuh partai bersangkutan.
Tetapi, setelah 2 tahun masa tenang dilalui, tiba-tiba kembali terjadi badai
pembunuhan yang mencengangkan. Sekali ini, tidak ada lagi penculikan atau
penghilangan tokoh silat, tetapi surat tantangan dikirimkan ke tokoh tertentu, baik
dikediaman sendiri ataupun dimana sang tokoh berada. Rata-rata yang terbunuh
adalah mereka yang menjadi ahli Pedang di Tionggoan atau setidkanya yang
menggunakan pedang sebagai senjata utamanya.
Dalam 3 bulan pertama saja, ada 5 jago Pedang atau Ahli Pedang ternama yang mati
mengenaskan, mati tertabas pedang dengan kepala terpisah dari badan. Dan hebatnya,
kelima jago pedang itu, nampaknya sama mati terpenggal dengan Ilmu yang sama.
Dengan sayatan tunggal dan nampak dilakukan secara bertenaga dan dengan sekali
saja tebasan. Sungguh sebuah kemampuan yang hebat dan luar biasa, dan karenanya
kembali menghadirkan guncangan hebat bagi dunia persilatan. Berturut-turut yang
menjadi korban adalah:
Pertama, Sin-jit-kiam-hoat (ilmu pedang matahari Sakti) Gak Jit Kong yang tinngal
di luar kota Cui Hun Ceng. Tokoh ini terkenal eksentrik, meskipun lebih berjiwa
ksatria, dan sangat terkenal dengan Ilmu Pedang Matahari Sakti. Ilmu Pedangnya
sudah terhitung jagoan utama Tionggoan, dan sanggup menahan hingga ratusan jurus
Ciangbunjin Perguruan Ilmu Pedang. Bahkan untuk daerah sekitar kota Cui Hun
Ceng, Gak Jit Kong tidak memiliki lawan sepadan untuk Ilmu Pedangnya.
Keistimewaannya adalah pada kilatan dan sambaran cahaya menyilaukan, bagaikan
letikan sinar matahari yang akan menggoyahkan konsentrasi dan semangat lawan, dan
pada saat itulah tebasan atau tusukan pedangnya akan meluruk tiba tanpa dapat di
tangkis atau dihindari dengan sebaik baiknya. Tetapi, tokoh yang hebat ini, toch tewas
mengenaskan dengan kepala terpisah dari tubuh, dan nampak seperti tidak melakukan
perlawanan meskipun pedang tergenggam di tangan. Atau, Ilmu pedang Mataharinya
masih belum sanggup dikembangkan, karena kepalanya sudah lebih dahulu terkena
tebasan pedang orang lain.
Korban kedua, masih di bulan yang sama adalah Pendekar Pedang pengelana
bernama Tan Hok Sim, Thian ti " Kiam (Pedang Raja Langit). Pendekar ini adalah
didikan dari pintu Perguruan Hoa San Pay, yang kemudian menciptakan sendiri Ilmu
Pedang khasnya, yaitu Ilmu Pedang Raja Langit yang mengandalkan kelincahan.
Tetapi suatu saat, pendekar pedang ini menerima surat tantangan seperti juga Gak Jit
Kong untuk melakukan pertandingan pedang.
Dan tahu-tahu mayatnya diketemukan orang di kaki gunung Ta Liang San dalam
keadaan yang sama persis dengan Gak Jit Kong, tangan memegang Pedang, nampak
bersiaga untuk bertanding, tetapi tiada tanda dia melepaskan serangan, tahu-tahu
kepala sudah tertebas berpisah dengan badannya. Padahal, siapapun tahu, di kalangan
Hoa San Pay saja, pendekar ini sudah terkenal salah satu ahli pedang. Bahkan juga
terkenal dengan kegesitannya. Betapa mungkin tokoh sehebat ini bisa terpenggal
dengan pedang di tangan dan seperti belum melakukan gerakan ilmu pedangnya"
Korban ketiga, adalah Pendekar Pedang Bu Keng Cu yang terkenal dengan
permainan Tee Tong Siang Kiam (Sepasang Pedang Berguling-Guling), yang
sebenarnya terinspirasi dari Ilmu Golok. Tetapi, Bu Keng Cu menggubah sendiri
permainan Pedangnya dengan menggunakan Siang Kiam, sehingga dia sendiri
kemudian terkenal sebagai Tee Tong Kiam (Pedang Berguling-Guling). Ketika
memainkannya, dia menjadi sangat berbahaya, terutama bagi yang berginkang lemah,
maka daya pijak di bumi yang diserang terus menerus akan sangat merepotkan.
Bahkan menurut banyak pengamat, Pendekar ini malah masih setingkat di atas
kemampuan Gak Jit Kong dan Tan Hok Sim dalam permainan Pedangnya.
Tetapi, korban satu-satunya yang terbunuh disaksikan orang ini, konon bahkan tidak
sempat memainkan jurusnya, karena tidak sanggup berkelit dari sebuah serangan Ilmu
Pedang penantangnya. Dan dari korban ketiga inilah diketahui, kalau penantang
pertarungan pedang adalah jagoan dari Tang ni (Jepang) yang membekal Ilmu Pedang
berkecepatan tinggi. Semua lawannya, hingga lawan ketiga ini, selalu tewas dengan
kepala terpisah dari badannya dan belum sempat memberi perlawanan akibat
kecepatan menyerang lawannya. Bahkan kecepatannya menurut saksi mata yang
nampaknya dibiarkan hidup itu, berlipat kali dibandingkan dengan Bu keng Cu
bertiga yang menjadi korbannya. Karena itu, mereka dengan mudah terkena tebasan
tunggal pendekar pedang Tang ni ini.
Korban ke-empat di akhir bulan kedua adalah Hoan-hoat Taysu dari Thian-liong-si di
Ngo-tay-san, seorang pendeta yang menggeluti Ilmu Pedang sejak masa mudanya,
sehingga menjadi tokoh pedang nomor satu bagi Thian Liong Si. Dikabarkan, Ilmu
Pedangnya bahkan setingkat dengan Ciangbunjin Perguruan Pedang, tetapi karena
Thian Liong Si di Ngo Tay San tertutup dan jarang ada anak muridnya yang
mengembara, maka kehebatannya jarang dikenal orang.
Dan dari kelima korban, hanya Hoan Hoat Taysu inilah yang nampaknya sempat
menggerakkan pedangnya. Karena selain kepalanya tertebas pisah dengan kepalanya,
nampaknya didahului dengan tertebasnya lengan beserta pedangnya, dan baru
sesudahnya kepalanya terpisah dari tubuhnya. Diperkirakan, perlawanan pendeta ini
tidaklah lebih dari 3 jurus, dan setelah itu dia terkalahkan dan tewas. Dan seperti
korban lainnya, tokoh inipun tidak mampu memberikan perlawanan yang memadai
dan menjadi korban secara menyedihkan.
Korban terakhir terjadi di bulan ketiga, tahun ketiga setelah 2 tahun masa kedamaian.
Korban kelima adalah seorang Pendekar Pedang wanita ternama yang sangat dicintai
banyak orang, yakni Thian San-giok-li. Meskipun tidak muda lagi, tetapi pendekar
pedang wanita ini sangat simpatik dan suka menolong orang. Selain lihay permainan
pedangnya dengan Ilmu Silat Thian San Giok Li Kiam Hoat, lihay juga pergaulannya
dengan sesama pendekar. Karena itu, kematiannya melahirkan banyak gelombang
kebencian kepada kelompok pembunuh yang sedang mengganas.
Meskipun bukan ahli pedang terlihay di Thian San Pay, tetapi pendekar wanita ini
sudah termasuk tokoh utama Thian San Pay dalam urusan pedang. Tetapi, toch,
wanita ini juga ditemukan sudah menjadi mayat, mirip dengan keadaan 4 korban
lainnya dimana kepala tertebas berpisah dengan kepala, mati dengan cara
mengenaskan. Bahkan nampak jelas bila Thian San Giok Li tidak sempat memainkan
ilmu pedang andalannya dan sudah langsung almarhum oleh keganasan ilmu pedang
lawan. Dan akhirnya turut menambah jumlah korban keganasan penantang dari Tang
ni itu. Dan sekaligus menambah bara amarah dunia persilatan terhadap kelompok
perusuh. Kelima korban ini, sebelumnya menerima surat tantangan yang tidak menyebutkan
tempat, tetapi si penantang tetap bisa menemui atau menemukan calon korbannya
dimanapun dia kehendaki. Hal ini menunjukkan bahwa organisasi dibalik para
penantang dan pengganas ini memang sudah terhitung luar biasa. Dan nampaknya,
penantang tersebut, juga bukan cuma seorang, karena jarak korban pertama dengan
korban kedua yang berdekatan, tidak mungkin dikerjakan seseorang dengan
menempuh perjalanan ratusan km dalam jarak sesingkat itu, dalam waktu kurang dari
seminggu. Bila ada lebih dari satu ahli pedang yang mampu merampas kepala orang
dan membunuh dalam waktu yang cepat, sungguh bisa dibayangkan betapa seram
masa depan bagi para ahli pedang Tionggoan.
Bahkan, pada bulan kelima, di tahun berjalan Dunia Persilatan menjadi tambah
gempar ketika Tiam Jong Pay, salah satu Perguruan Pedang terkemuka, yang
memiliki lebih dari 150 anak murid, bahkan banyak ahli pedang lihay, tiba-tiba
diserbu orang. Nasibnya menjadi sama dengan yang dialami Go Bie Pay, anak
muridnya tercerai-berai, hanya beberapa tokoh saja yang sempat menyelamatkan
benda pusaka perguruan melalui jalan rahasia. Selebihnya, hampir 100 orang murid
Tiam Jong Pay tewas terbunuh bergelimpangan di halaman Perguruan mereka,
puluhan luka berat dan kemudian tidak diketahui lagi beritanya.
Ciangbunjinnya juga tewas dalam pertempuran melawan penyerbu dan hanya kurang
dari 15an anak murid Tiam Jong Pay yang selamat dari musibah akibat penyerangan
tersebut. Akibat peristiwa tersebut, Go Bi Pay yang sedang menata dan membangun
kembali perguruannya, kemudian mengurungkan niat mereka, dan kembali menutup
pintu perguruan. Sementara penjagaan super ketat kemudian dilakukan di Hoa San
Pay, Kun Lun Pay, Thian San Pay dan Cin Ling Pay untuk mengantisipasi kejadian
yang sama yang dialami oleh Tiam Jong Pay. Penjagaan super ketat dan koordinasi
antar perguruan menjadi sangat penting, setidaknya untuk bisa saling
menginformasikan dan saling membantu dalam keadaan yang sangat
mengkhawatirkan itu.
Selain kejadian-kejadian yang disebutkan tadi, serangan dan pembunuhanpembunuhan
gelap serta keji juga banyak terjadi. Terutama dilakukan terhadap anak
murid dan anak perkumpulan Kay Pang, Siauw Lim Sie, Bu Tong Pay dan anak murid
Perguruan Pedang. Karena memang perguruan-perguruan dan pang inilah yang tetap
tidak tunduk dan memberi perlawanan kuat terhadap Thian Liong Pang.
Anehnya, kematian para korban terjadi dengan cara yang sama dalam waktu yang
nyaris bersamaan di tiga tempat yang jaraknya terhitung berjauhan. Kematian anak
murid pengembara dari perguruan pedang yang mengembara adalah anak murid dari
Kun Lun Pay, Cin Ling Pay dan juga termasuk Bu Tong Pay. Mereka semua tewas
terbunuh dengan pedang cepat, mirip dengan 5 korban ahli pedang ternama
sebelumnya. Tetapi, yang menjadi lebih menggemparkan adalah tewasnya beberapa
anak murid Kay Pang di daerah Kanglam dengan sebuah Ilmu yang sangat ganas dan
aneh. Ketiga anak murid Kay Pang yang terbunuh di 2 tempat terpisah, tewas dengan
ciri-ciri yang sama, tanpa luka pukul, tetapi bagian dalam, terutama jantung, sudah
hangus dan gosong.
Ciri khas korban pukulan Cui Beng Pat Ciang (8 Jurus Sakti Pencabut Nyawa), yang
dikenal hanya sempat dikuasai seorang "Maha Iblis" puluhan tahun silam, Kim-i-Mo
Ong (Raja Iblis Jubah Emas). Tapi, bukankah Raja Iblis ini sudah puluhan tahun
terkekang oleh Kiong Siaong Han dan bahkan dikabarkan sudah meninggal diusia
tuanya" Karena jikapun maih hidup, usianya masih diatas 4 iblis lainnya, tetapi
memang dia dikenal sebagai durjana dan rajanya para iblis. Bila durjana semacam ini
muncul lagi, bukankah dunia persilatan seperti akan kiamat" Terlebih karena belum
lagi terdengar kabar keberadaan Kiang Hong, sementara Kiang Cun Le dan
angkatannya seperti juga tidak peduli lagi dengan dunia persilatan.
Di tengah kemelut dan mengganasnya kembali para durjana, beberapa tokoh aliran
putih, sempat mendatangi Lembah Pualam Hijau. Tetapi, di Lembah itu mereka tidak
menjumpai Kiang Hong yang masih dianggap bengcu. Karena bahkan Lembah itu
tampak seperti menjadi tertutup bagi orang luar dan seperti tidak berdaya lagi untuk
mengatasi keadaan yang semakin mencekam dan semakin mengerikan bagi banyak
tokoh di dunia persilatan. Kejadian tersebut menimbulkan pesimisme di kalangan
pendekar dunia persilatan, karena seperti kehilangan pegangan dalam menghadapi
badai berdarah yang semakin menakutkan itu.
Kemudian, merekapun menemui Ciangbunjin Siauw Lim Sie, dan ikut menyaksikan
betapa rapat dan ketat penjagaan di biara Siong San dibandingkan dengan hari-hari
dan tahun sebelumnya. Dari Biara itu, diperoleh keterangan bahwa dibutuhkan
kerjasama antara semua pihak untuk menanggulangi keadaan yang berbahaya itu.
Tetapi, Ciangbunjin Siauw Lim Sie menjanjikan bahwa Siauw Lim Sie sedang
menyiapkan diri dan tenaga untuk menanggulangi bahaya, bahkan akan dikerjakan
bersama Bu Tong Pay, Kay Pang dan Lembah Pualam Hijau. Tetapi, seperti apa
rencana itu, tidaklah dapat dijelaskan secara memuaskan oleh Ciangbunjin Siauw Lim
Sie, dan kembali memperkuat pesimisme di kalangan para pendekar.
Kabar yang sama diperoleh di Bu Tong San, ketika para pendekar tersebut diterima
oleh Ciangbunjin Bu Tong Pay ditemani oleh Sian Eng Cu Tayhiap. Keduanya
memberi penjelasan bahwa tidak lama lagi Siauw Lim Sie, Bu Tong Pay, Kay Pang
dan Lembah Pualam Hijau akan turun menanggulangi keadaan yang membahayakan
tersebut. Dijanjikan, bahwa seluruhnya, ke-4 perguruan utama itu akan mengerahkan
tenaga dan pikirannya untuk menenangkan gejolak berdarah dunia persilatan.
Bahkan untuk maksud tersebut, menurut Sian Eng Cu Tayhiap, juga akan diundang
dan dilibatkan perguruan pedang utama yang sebagiannya juga sudah menjadi korban
keganasan para perusuh. Tetapi begitupun, janji Bu Tong Pay dan Siauw Lim Sie
menjadi cukup melegakan para pendekar yang kehilangan pegangan tersebut. Tetapi,
karena urusan waktu tidak ditetapkan, meski melegakan, tetapi tetap menyimpan
kekhawatiran yang tidak terkatakan. Bagaimana bila gerakan itu baru dilakukan
setelah "aku" atau "perkumpulanku" terbasmi" Bukankah artinya sama saja, tidak ada
gunanya dan tetap dalam keadaan tercekam"
Sementara itu, kegemparan lain juga ditemukan dalam dunia persilatan. Kali ini,
korbannya adalah para perusuh yang terbunuh atau dibunuh dalam keadaan yang
sangat rahasia. Kelompok pembunuh dan pengganas yang berkerudung hitam ketat,
ditemukan terbunuh di dua tempat, di daerah Sin Yang ditemukan 8 pembunuh
berkerudung hitam dan didaerah perkotaan Ceng lun juga ditemukan sebanyak 7
orang pembunuh berkerudung. Semuanya dilakukan secara misterius dan nampaknya
memang ditujukan kepada para pengganas yang banyak menimbulkan korban di
Tionggoan. Kejadian ini, terjadi di bulan ketujuh tahun berjalan, hanya beberapa saat setelah para
pendekar mengunjungi Lembah Pualam Hijau, Siauw Lim Sie dan Bu Tong Pay.
Kejadian yang tentu menurut dugaan mereka adalah realisasi dari janji Siauw Lim Sie
dan Bu Tong Pay untuk turun tangan menenangkan situasi yang tidak menentu.
Tetapi, lawan yang terbunuh hanyalah tokoh-tokoh rendahan, upahan atau pembunuh
bayaran yang dimanfaatkan oleh kaum perusuh.
Bersamaan dengan terebunuhnya lebih dari 15 orang pembunuh di pihak perusuh, di
dunia persilatan muncul manusia berkedok hitam yang gerak geriknya sangat rahasia.
Tetapi manusia berkedok itu, sungguh lihay luar biasa dan bergerak bagaikan
bayangan saja. Beberapa kali dia menolong beberapa pendekar yang terancam para
pembunuh, dan dia tidak berpantang membunuh bila menemukan kelompok
pembunuh yang mengganas. Beberapa sakti mata sempat menyaksikan bahwa gerakgeriknya
seperti membawa dasar dan unsur gerak dari Lembah Pualam Hijau, hanya
manusia misterius tersebut tidak pernah mau memperkenalkan diri.
Bahkan diapun tidak pernah menyapa para pendekar yang ditolongnya, selalu
ditinggalkan setelah keadaan sudah memungkinkan dan aman bagi orang yang
ditolongnya tersebut. Yang pasti, dewasa ini, di dunia persilatan, selain 5 tokoh muda
yang sempat muncul dan kemudian menghilang lagi, maka tokoh misterius inilah
yang berterang melawan kelompok pengacau dunia persilatan. Meskipun sedikit
efeknya, tetapi tetap snagat membantu dunia persilatan mengembalikan semangat dan
kepercayaan dirinya untuk menyusun sebuah perlawanan terbuka.
Sementara itu, memasuki bulan ke-7 pada tahun itu, tanda pengenal Thian Liong
Pang kembali muncul di dunia persilatan. Tanda yang menegaskan dugaan banyak
orang, bahwa dibalik kekisruhan dan badai terakhir ini, Thian Liong Pang adanya.
Tanda itu, dikirimkan kepada keluarga-keluarga persilatan kenamaan yang meminta
sambil mengancam apabila permintaan Thian Liong Pang tidak dipenuhi, maka akan
terjadi pembantaian atas keluarga kenamaan tersebut. Pada bulan ketujuh, masingmasing
diminggu awal dan minggu pertengahan bulan berjalan, tercatat dua keluarga
kenamaan yang diberi waktu selama 1 bulan untuk memutuskan, apakah menerima
tawaran takluk atau diserang.
Keluarga kenamaan di rimba persilatan tersebut adalah; Yang pertama Benteng
Keluarga Bhe di Lembah Siau Yau Kok (Lembah Bebas Merdeka). Yang aneh,
keluarga Bhe yang sekarang dipimpin oleh Bhe Thoa Kun adalah keluarga yang
sebetulnya jarang bergaul di dunia persilatan Tionggoan. Meskipun, Benteng
Keluarga Bhe diakui sebagai salah satu Benteng dan Keluarga dengan kepandaian
keluarga yang sangat luar biasa. Benteng keluarga Bhe ini, hanya kalah mentereng
dibandingkan dengan Lembah Pualam Hijau.
Tetapi, Bhe Thoa Kun, dikenal memiliki hubungan yang cukup baik dengan Wie


Naga Naga Kecil Kisah Para Naga Di Pusaran Badai Karya Marshall di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiong Lan, tanpa seorangpun tahu apa jenis hubungan tersebut. Bhe Thoa Kun sendiri
saat ini sudah berusia lebih dari 60 tahun, mungkin sudah sekitar 62 tahun, tetapi
pastilah tidak melampaui usia 65 tahunan dan masih nampak gagah. Setidaknya
sebagai pemimpin benteng keluarga kenamaan, maka tokoh ini tidaklah memalukan,
sebaliknya mendatangkan kesan keren dan angker dalam memimpin benteng tersebut.
Sementara keluarga kenamaan yang kedua adalah Keluarga Yu yang mendirikan
Perguruan Keluarga di luar kota Lok Yang, di sebuah hutan yang masih cukup lebat
dengan sebuah jalan masuk yang sempit. Siapapun yang memasuki hutan itu,
sebaiknya melalui jalan masuk sempit tersebut, karena keluarga Yu ini memiliki
kelebihan pada mengatur barisan gaib yang dipasang di rimba atau hutan yang
diperkirakan menjadi jalan masuk para penyusup. Pemimpin keluarga Yu dewasa ini
adalah Yu Siang Ki yang sudah berusia 60 tahunan, tetapi masih sangat gagah dan
sangat bersemangat dalam memimpin perguruan keluarganya yang sudah memiliki
hampir 100 anak murid tersebut.
Yu Siang Ki mewarisi kelihaian keluarga Yu dalam mengatur barisan-barisan gaib,
terutama barisan yang mengandalkan delapan sudut pat kwa yang sangat kaya
perubahan dan bersifat gaib. Dan dengan mengandalkan barisan itulah mereka
mempercayakan keamanan dan keselamatan perguruan dari para penyusup. Keluarga
Yu sendiri, termasuk keluarga yang kurang bergaul, meski tidak seketat Benteng
keluarga Bhe yang sangat kaku dalam pergaulan di dunia persilatan.
Kurang bergaul, tidak sama dengan "tidak bergaul", dalam hal ini Keluarga Yu
memang memiliki jalinan persahabatan justru secara pribadi dengan Kiang Cun Le.
Bahkan keluarga ini pernah membantu Kiang Cun Le ketika sedang terluka parah
dalam pengembaraannya, dan lebih dari itu, kurang banyak orang yang mengerti
bahwa istri Kiang Cun Le justru adalah salah seorang putri keturunan keluarga Yu,
yang bernama Yu Hwee.
Yu Hwee adalah salah seorang kakak perempuan Yu Siang Ki, dan Yu Hwee inilah
yang memagari Lembah Pualam Hijau dengan barisan gaib, sehingga tidak sembarang
orang mampu menerobos Lembah Pualam Hijau, kecuali sampai pada pintu
masuknya. Sayang, Yu Hwee tidak berusia panjang, Kiang Hujin ini meninggal di
usianya yang 40an, terutama karena sangat terpukul melihat keadaan anak
kesayangannya Kiang Liong yang kehilangan keseimbangan mental akibat pukulan
batin. Kedua keluarga yang menerima tanda pengenal Thian Liong Pang merasa sangat
penasaran, sekaligus khawatir. Karena mereka, meski kurang begitu akrab bergaul di
dunia persilatan, bukan berarti tidak mengikuti perkembangan dunia persilatan. Dan
merekapun kenal benar dengan keadaan dunia persilatan yang sedang gonjangganjing,
dan kini meski mereka jarang melibatkan diri, nampaknya mereka bakal
terkena getahnya. Justru karena mereka jarang bergaul, maka mereka diberi
keleluasaan waktu untuk memikirkan, apakah akan bergabung dengan Thian Liong
Pang, ataukah tidak dengan menghadapi konsekwensi penyerangan.
Sungguh sebuah pilihan yang sangat sulit bagi keduanya, tetapi bagi Keluarga Yu,
pilihannya tentu sudah pasti, sebagai besan sebuah keluarga Besar yang menjadi
Bengcu Dunia Persilatan, sudah tentu mereka punya sikap yang jelas. Entahlah
dengan Benteng keluarga Bhe. Apakah keluarga Bhe juga akan bersikap sama dengan
keluarga Yu, masih harus ditunggu. Tetapi, dengan menyebarnya berita bahwa kedua
keluarga itu menerima surat ancaman, maka dunia persilatan kembali bergejolak
dalam amarah yang tak tertahankan.
Siang hari, di bulan ke-enam tahun yang sedang berjalan, nampak 2 bayangan
berkelabat pesat di sekitar Lembah Pualam Hijau. Tetapi keduanya, bukan menerobos
lembah, tetapi justru mengitari Lembah Pualam Hijau, dan nampak melangkah
dengan tidak ragu, seperti kenal saja dengan keadaan sekitarnya, atau bahkan hafal.
Kedua bayangan itu, juga bergerak dengan sangat gesit, tentu merupakan tokoh-tokoh
utama rimba persilatan yang sedang melakukan perjalanan.
Memang benar, keduanya bukan tokoh sembarangan, tokoh yang tua bernama Kiu Ci
Sin Kay, Kiong Siang Han, kakek tua berusia di atas 100 tahun, bersama muridnya
Liang Tek Hoat. Keduanya terus menerobos mengitari Lembah Pualam Hijau, dan
selanjutnya nampak mendaki sebuah bukit di belakang Lembah Pualam Hijau yang
dipisahkan oleh Tebing Tinggi dan sebuah Air Terjun yang indah. Belum lagi tiba,
nampak Kiong Siang Han seperti sedang berbisik-bisik tetapi sambil tidak
mengurangi laju perjalanannya. Dan tidak lama kemudian tiba di sebuah tempat yang
nampaknya tenang dan damai, dibalik air terjun dengan keadaan yang serba hijau dan
menghasilkan pemandangan yang asri.
Tetapi, diatas air terjun, nampak sebuah dataran yang cukup luas dengan alas tanah
berumput yang agak jarang. Jelas sebuah tempat berlatih silat, karena itu rumputrumputnya
seperti tidak atau enggan bertumbuh lebat. Dan tidak lama kemudian, dari
jajaran rerumputan yang menghalang sebuah dinding di pinggang bukit, nampak
keluar seorang yang sudah sama rentanya dengan Kiong Siang Han. Siapa lagi yang
bertempat tinggal di Bukit Pualam Hijau jika bukan Kiang Sin Liong"
"Hahahaha, Kiong Pangcu, dipenghujung usiamu, masih gemar engkau berlari lari
kesana kemari bersama muridmu. Ada apakah gerangan?" Bertanya Kakek Kiang Sin
Liong sambil menyapa tamu kehormatannya. Sementara Tek Hoat dengan hormat
berlutut menyembah dan memberi hormat:
"Tecu menjumpai suhu Kiang Sin Liong yang mulia"
"Rupanya kamu sudah pikun. Bukankah aku berjanji sebelum tahun ini berakhir akan
datang menengok hasil latihan buyutmu?" Jawab Kiong Siang Han sambil menyapa
dan menyalami tuan rumah.
"Ach, benar lohu ingat. Tapi Kiong Pangcu, waktumu tidak banyak lagi", seru Sin
Liong berkhawatir dan dengan alis yang nampak berkerut. Jelas dia khawatir dan
heran dengan kedatangan Kiong Siang Han, meski dia menduga bahwa teramat
penting kedatangan Kiong Siang Han ini. Yang dimaksud Kiang Sin Liong adalah
waktu hidup Kiong Siang Han adalah sebentar lagi, tidak panjang lagi.
Dan kedua manusia super sakti itu sudah sama melihat, bahwa sejak pertemuan di
Tebing Peringatan, waktu Kiong Siang Han tinggal 3 tahun paling lama. Tetapi
anehnya, keduanya membicarakan batas usia seperti membicarakan hal-hal remeh
lainnya, biasa saja, wajar saja, tanpa kekhawatiran dan tanpa kedukaan. Sepertinya
mereka sudha mengenal dan mengetahui jalan seperti apa yang akan dilalui setelah
kematian. "Lohu datang untuk dua urusan, tapi lebih baik persilahkan lohu masuk di
pertapaanmu yang tentu semakin tidak beraturan itu"
"Baik, baik, maaf sampai lupa menyilahkan sahabat sendiri masuk" Sambut Kiang
Sin Liong sambil mempersilahkan kedua tamunya masuk. Tepat pada saat itu, justru
Ceng Liong melangkah keluar, terusik dari samadhi dan latihannya karena mendengar
suara di luar. Akhir-akhir ini, Ceng Liong yang telah mengetahui bahwa Gurunya
adalah kakek buyutnya sendiri, semakin mengkhawatirkan usia tua kakek atau
gurunya itu. Karena itu, getaran sekecil apapun, gangguan sekecil apapun selalu menjadi
perhatian dan selalu menimbulkan usikan baginya terhadap kesehatan dan
keselamatan kakeknya itu.
"Kong Chouw, ada apakah?" tanyanya melangkah keluar, tapi begitu melihat siapa
yang datang, dia langsung memberi hormat
"Tecu memberi hormat, suhu Kiong Siang Han yang mulia"
"Hahahaha, Sin Liong, lohu batalkan untuk masuk sebentar. Lohu ingin melihat
latihan Pek Lek Sin Jiu dari anak ini, apakah sudah benar ataukah masih ada yang
kurang" Selesai berkata demikian, dia mengibas kearah Ceng Liong, yang dengan
masih tetap menghormat, bersama Kiong Siang Han melayang kearah dataran yang
biasa digunakan sebagai tempat berlatih. Dari ketinggian ini, Lembah Pualam Hijau
bisa nampak di bawah, dan justru tempat inilah yang dipilih Kiang Sin Liong bertapa,
meski sudah cukup jauh dari lembah dan bukan lagi daerah dari Lembah Pualam
Hijau. "Marilah kita mulai anakku" Kiong Siang Han meminta Ceng Liong untuk memulai
menyerangnya. "Baik, maafkan aku, Locianpwe"
Dengan tangkas, kemudian Ceng Liong mulai membuka serangan dari Pek Lek Sin
Jiu pada tingkatan-tingkatan pertama. Tetapi, baru pada tingkatan awal saja sudah
terdengar bunyi yang sangat memekakkan telinga ketika kedua tangannya beradu dan
menyerang ke arah dada Kiong Siang Han. Terdengar benturan yang bahkan lebih
memekakkan telinga lagi:
"Dhuaaaaaar", sungguh luar biasa, karena Kiong Siang Han memang tidak
menghindar, tetapi ingin mengukur kegunaan dan kesempurnaan Ceng Liong dalam
memainkan ilmu itu. Hebatnya, dan Kiong Siang Han menjadi takjub, karena Ceng
Liong hanya terdorong 2 langkah, dan kemudian sudah menyiapkan tingkatan kedua
dari Ilmu Guntur atau Halilitar tersebut.
Jurus Pertama tadi adalah "Halilintar Membelah Angkasa", dan jurus kedua disebut "
Halilintar Menerjang Angin". Gerakan Ceng Liong menjadi secepat angin dan
bergerak-gerak mencari celah untuk melontarkan pukulan dengan gaya jurus kedua,
tetapi tentu kemanapun dia bergerak, maha guru Kiong Siang Han tahu arahnya.
Maklum, orang tua itulah yang menurunkan ilmu ini kepada Ceng Liong, dan ilmu ini
bukanlah pusaka Kay Pang. Tapi, kandungan hawa keras harus dia kerahkan keluar,
karena itu terdengar ledakan keras yang kedua, begitu memekakkan telinga.
Demikianlah, Ceng Liong mainkan semua jurus Pek Lek Sin Jiu yang didalaminya
dan diyakininya selama 2 tahun ini, karena selain memperdalam Tenaga "Yang", dia
juga perlu meleburkannya dengan kekuatan saktinya. Dan kandungan tenaga "yang"
banyak tersimpan dalam Ilmu ini, yang baru namanya sudah mencerminkan hawa
"yang" dan akibat yang dtimbulkannya memang sangat merusak.
Berturut-turut Ceng Liong memainkan jurus ketiga, Halilintar Menghujam Bumi;
Jurus keempat, Halilintar Bartalu-talu di Udara, jurus kelima Halilintar Membelah
Awan Menghajar Mentari, jurus keenam Badai Petir Membelah Langit dan jurus
ketujuh Sejuta Halilitar Merontokkan Mega. Nampak Kiong Siang Han tersenyum
mendapati Ceng Liong sudah mampu memainkan semua jurus itu dengan sangat
baiknya. Bahkan sudah mendekati kemampuan Tek Hoat muridnya dalam memainkan Ilmu
tersebut. Akhirnya dia menanti Ceng Liong menuntaskan penggunaan jurus terakhir,
Halilintar Meledak Bumi Melepuh yang dia sendiri dilarang pemilik kitab untuk
melakukannya. Tetapi, sampai saat terakhir, dia tidak merasa Ceng Liong
mempersiapkan diri untuk melakukannya, karena itu dia menegur:
"Anakku, mana jurus terakhirnya?"
"Locianpwe, perbawanya terlalu menakutkan, Boanpwe takut memainkannya"
berkata Ceng Liong. Bahkan dari sampingnya, Sin Liong juga kelihatannya seperti
mengangguk-angguk membenarkan muridnya. Tapi, Kiong Siang Han yang ingin
melihat jurus pamungkas itu berkernyit keningnya dan bertanya, "Adakah yang luar
biasa dalamnya" tanyanya menghentikan gerakannya.
"Terlalu luar biasa" jawab Sin Liong datar menukas dan menjawab pertanyaan Kiong
Siang Han. Padahal, Kiong Siang Han sendiri sebetulnya sudah memaklumi dan
mengetahuinya, hanya dia ingin membandingkan efeknya dengan yang ditemukannya
ketika Tek Hoat menggunakannya.
"Tapi, bila Kiong Pangcu ingin melihatnya, biarlah kita berdua menerimanya"
tambah Sin Liong dan kemudian menoleh kepada Ceng Liong sambil berkata,
"Liong Jie, lakukan"
"Haiiiiit" Tiba-tiba Ceng Liong berseru keras, dan kedua tangannya nampak terbuka,
satu tangan terbuka keatas, dan satu lagi melintang datar di depan dadanya. Nampak
dia seperti menghirup udara dan hawa, dan tiba-tiba tangannya yang teracung keatas
seperti benar-benar ada petirnya, menyala dan berkilat dengan sangat menakutkan,
dan ketika digerakkannya, bahkan Tek Hoat yang berdiri agak disamping menjadi
tergeser. Tiba-tiba Ceng Liong bergerak, gerakannya diiringi oleh suara gemuruh, tetapi
bukannya memekakkan telinga, gemuruh yang tidak menyerang telinga, tetapi telinga
batin yang diserang. Bahkan kilat yang menyambar dari tangan Ceng Liong, sama
sekali tidak memekakkan telinga, tetapi menyerang telinga dan mata batin. Efeknya
sungguh luar biasa, kedua orang tua yang memapaknya melihat dengan mulut
terngana dan terpana, ketika Ceng Liong tiba dan mereka harus mengkisnya.
Inilah jurus Halilintar Meledak Bumi Melepuh yang diyakinkan 6 bulan terakhir oleh
Ceng Liong dan yang untuk pertama kalinya dikerahkan menghadapi orang, gurunya
dan Kiong Siang Han. Dan untungnya, memang kedua guru besar ini yang
menerimanya, sebab jika bukan, sukarlah membayangkan akibat dari benturan
berbahaya itu. "Duk, duk" tidak terdengar letupan keras seperti jurus pertama hingga jurus ketujuh,
sebaliknya hanya benturan antar lengan seperti biasanya. Dan akibatnya, Ceng Liong
terdorong sampai 5-6 langkah ke belakang, tetapi Sin Liong dan Kiong Siang Han,
juga tergeser sampai 2 langkah ke belakang. Dan nampak seperti sedikit linglung 1-2
detik, karena denging dan ledakan petir yang menyerang kedalam jiwa mereka, bukan
menyerang indra telinga mereka.
Tetapi akibat dari benturan itu, rumput-rumput yang mereka pijak, nampak
mengering dengan cepat, bahkan bebatuan seperti kisut oleh tenaga mujijat yang tidak
nampak tersebut. Hanya beberapa
Kisah Si Bangau Putih 6 Amanat Marga Karya Khu Lung Duri Bunga Ju 3
^