Pendekar Kidal 16

Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok Bagian 16


ng depan sebagai penunjuk jalan. Kali ini
barisan dibagi menjadi beberapa kelompok, maka jalannya jauh
lebih teratur. Ko-lotoa sebagai penunjuk jalan berada paling depan, lalu Cong-
su-cia Ling Kun-gi, Kongsun Siang, Song Tek-sing, Thio La m-jiang
dan disusul para dara ke mbang yang me mbawa panji2.
Cuma panji yang mere ka bawa sama digulung, ada yang masih
me la mbai dan sebagian gambar kelihatan, siapapun yang
me lihatnya pasti akan tahu bahwa mereka adalah barisan orang Pek
hoa-pang. Yang berada dibelakang barisan dara2 kembang adalah Loh-bi-jin
sang pimpinan, lalu Liu-hoa yang me megang mistar kebesaran, di
belakangnya lagi baru tandu, dibelakang tandu adalah delapan Hou-
hoat-su-cia yang mengenakan seraga m hijau pupus.
Barisan tampak megah dan merupa kan kekuatan utama Pek-hoa-
pang, siapapun bila melihat tandu serba hitam itu pasti akan
mengira orang yang duduk didalamnya Thay-siang adanya. Memang
siapa yang tahu bahwa tandu ini sesungguhnya kosong" Barisan ini
me mang dima ksud untuk menggertak musuh belaka.
Ternyata Ko-lotoa juga cukup cerdik dan pintar, dia
meninggalkan jalan raya, sengaja dia pilih ja lan pegunungan yang
jauh lebih sulit dilewati. Ma lah ada ka lanya sengaja ma in se mbunyi
dan menggere met maju seperti takut jejaknya konangan musuh.
Yang benar, waktu berada di Lim-cu-say, jejak mereka sudah
selalu diawasi oleh mata2 Hek-liong-hwe, dengan burung dara pos
mata2 itu sudah kirim berita ke markas pusat, ma lah sepanjang
perjalanan ini ada juga orang menguntit, setiap saat gerak-gerik
mereka sela lu dilaporkan lewat burung pos. Oleh karena itu piha k
Hek-liong-hwe a mat jelas akan jejak dan gerak-gerik mereka. Tapi
maksud tujuan Thay-siang akan rombongan yang dipimpin Ling
Kun-gi ini me mang hanya untuk menggertak musuh, supaya pihak
Hek-liong hwe merasa yakin sudah menguasai situasi.
Menjelang senja sesuai pesan Thay-siang mereka sudah berada
di belakang gunung, tapi mereka bergerak sembunyi2, mereka
harus menunggu hari menjadi gelap baru akan beraksi, secara
mendadak menyergap Ui-lionggia m.
Hari mulai re mang2, rombongan yang dipimpin Ling Kun-gi
dibawah petunjuk ja lan Ko lotoa akhirnya tiba di tanah lapang
berumput di luar Ui-lionggia m. Inilah te mpat yang sudah di tentukan
oleh Thay-siang, setiba di te mpat ini mere ka tidak perlu main
sembunyi lagi. Dara2 kembang dengan mengacungkan panji2 mereka berderap
me masuki tanah lapang serta menduduki tanah berumput datar ini,
tandupun diturunkan tepat di tengah lapangan.
Sungguh aneh, dari depan sampai belakang gunung tak pernah
mereka kesamplok dengan seorang musuhpun sehingga barisan
pelopor Pek-hoa-pang yang merupakan kekuatan inti ini seolah2
me masuki daerah yang tidak dihuni lagi, Tapi Kun-gi cukup
mengerti, bila pihak lawan dia m saja dan tidak me mberikan sesuatu
reaksi, ini berarti bahwa mereka me mang sudah sejak la ma
me mpersiapkan diri dan mengekang anak buahnya secara keras dan
me mbiarkan pihak Pek-hoa-pang masuk jebakan yang telah diatur.
Maka Kun-gi berpesan kepada seluruh ana k buahnya agar selalu
siaga dan waspada. Delapan Hou-hoat-su-cia, 20 dara kembang
semua sudah melolos senjata siap me mbentuk ancang2 barisan di
tengah tanah rumput itu. Tandu tetap berada di tengah, tirai
menjuntai menutup rapat sehingga tak kelihatan siapa yang ada di
dalam, Liu-hoa berdiri tegak di sa mping tandu sambil me me luk
mistar kebesaran.
Jumlah mereka tidak sedikit, tapi gerak-gerik mereka cukup
lincah dan tangkas, langkah tidak berbunyi dan tidak menimbulkan
kepulan debu. Sementara panji2 Pek-hoa-pang sudah dipancang di sekeliling
tanah lapang, panji berkibar tertiup angin. Empat dara kembang
yang ditugaskan mengurus komsumsi segera mengeluarkan
rangsum dan dibagikan. Setelah mala m se makin berlarut nanti
mereka akan menghadapi suatu pertempuran besar yang akan
menentukan mati dan hidup, ma ka mereka harus mengisi perut
untuk menunjang se mangat dan kekuatan fisik.
Pada saat mereka istirahat itulah tiba2 terdengar dari arah barat
di mana tadi mereka datang berkumandang suara ledakan
mengge legar. Terlihatlah serombongan bayangan orang muncul dari
balik batu2 besar dan mencegat jalan mundur mereka.
Yang terdepan adalah seorang kake k tua bertubuh kurus kering,
bermata satu sebelah kanan. Di bela kangnya berbaris sembilan
orang, dari kaki sampa i kepala di bungkus paka ian seragam. ketat
warna hitam, hanya kedua biji mata mereka yang kelihatan, itulah
sisa dari Cap ji-sing-siok yang berpakaian kebal senjata.
Kun-gi tertawa dingin, jengeknya. "Kukira siapa, rupanya kalian
yang pernah kecundang di bawah pedangku, mana Kim kao cian
Nao Sa m-jun, kenapa tida k kelihatan batang hidangnya"
Me mangnya sudah pecah nyalinya?"
Bola mata si kakek yang bermata tunggal ini mendelik besar
seperti kelereng berapi, sesaat lamanya dia menatap Kun-gi,
katanya kemudian: "Usia muda bermulut besar, kau inikah Cong-su-
cia Pek-hoa-pang yang bernama Ling Kun-gi itu?"
Kun-gi bertolak pinggang dengan angkuh, katanya: "Sebutkan
juga na ma mu?"
Si mata tunggal mencibir, dengusnya: "Cari urusan tidak tahu
diri, me mangnya siapa Lohu ini tidak pernah kau dengar orang
bilang?" Kun-gi tertawa lantang, katanya: "Terlalu banyak sampah
persilatan, mana mungkin orang she Ling tahu akan orang2 tersisa
ini." Seketika si mata tunggal menarik muka, teriaknya gusar: "Anak
keparat yang tidak tahu diri, nanti akan Lohu bikin kau tahu betapa
lihaynya orang tersisa ini."
Ko-lotoa berdiri di bela kang Ling Kun-gi, tiba2 dia berkata lirih:
"Dia inilah yang dipanggil Hoanthianeng Siu Ing, salah satu dari ke
36 panglima He k-liong-hwe dulu ........."
Mata tunggal Hoanthianhwe Siu Ing me mancarkan cahaya dingin
tajam, sesaat dia tatap Ko-lotoa, akhirnya ter-gelak2, katanya: "Kau
ini Ko-ciangkun, haha, tak heran kau segera tahu asal usul
saudaramu ini."
Ko-lotoa segera menjura, katanya: "Ya, memang inilah orang she
Ko, silakan Siu-ciangkun."
Dia m2 Kun-gi mengangguk, pikirnya: "Ternyata Ko-lotoa juga
salah satu dari ke36 panglima Hek-liong hwe dulu."
Tatkala dia ber-pikir2 inilah, dari arah jalan pegunungan sebelah
sana juga berdentum suara ledakan keras. Muncul bayangan dua
pasang orang berbaju hitam dari jalanan hutan sana. Empat orang
bergerak laksana setan gentayangan, pelan2 mereka beranjak
keluar dari hutan, lalu berdiri terpencar ke kirikanan, tegak laksana
patung, kedua tangan lurus ke bawah, muka ka lihatan putih kaku
seperti mayat. Lalu disusul munculnya dua buah lampion warna merah, dua
gadis baju hijau menentengnya keluar dengan langkah le mbut dari
hutan. Menyusul muncul sebuah tandu yang di pikul dua laki2 kekar.
hanya sebentar saja sudah berada di luar hutan dan berhenti di
ujung jalan. Kedua gadis pembawa La mpion berdiri di kirikanan
tandu, keempat laki2 serba hitam berwajah seperti mayat tadi juga
merapat ke dekat tandu.
Dia m2 Kun-gi menerawang: "Ramalan Thay-siang me mang tepat,
Hek-liong-hwe ma in pancing musuh ke daerah terlarang ini untuk
turun tangan tapi pihak musuh tida k tahu se mua ini sudah dala m
perhitungan beliau."
Maka dapatlah diduga kalau Hek-liong-hwe mengerahkan
kekuatan dan me mbuat perangkap di sini, jelas rombongan Pe k-
hoa-pangcu Bok-tan dan Hupangcu So-yok yang bertugas menyerbu
dari sayap kirikanan atas perintah Thay siang itu be lum diketahui
pihak musuh. Apa yang dikatakan Thay-siang me mang tidak sa lah, rombongan
yang dipimpinnya ini merupakan pusat kekuatan dari barisan
penyerbu Pek-hoa-pang yang paling tangguh, agaknya Hek-liong-
hwe mengira Thay-siang berada di da la m tandu yang mere ka pikul
dan dijaga ketat ini, maka merekapun mengerahkan ke kuatan untuk
mencegat dan me numpasnya di sini.
Sambil menimang2 itulah secara dia m2 dia me mberi kedipan
mata kepada Loh bi-jin, maksudnya supaya si nona bekerja sesuai
petunjuk Thay-siang yang tertera di surat rahasianya itu, dia harus
pimpin para dara kembang menghadapi Cap-ji-sing-siok dari Hwi-
liong-tong. Loh-bi jin mengerti, dia mengangguk, lalu me mberi tanda dengan
la mbaian tangan ke arah dara2 ke mbang. Melihat aba2 serentak
dua puluh dara kembang menggerakkan tangan, sekali tangan
me mba lik, dari pinggang masing2 mereka menge luarkan sepasang
golok me lengkung, mereka menghadap ke barat dan berbaris rapi.
Walau tidak tahu cara bagimana para dara ke mbang ini akan
menghadapi Cap ji-sing-siok, tapi Kun-gi tahu bahwa Thay-siang
sudah me mperhitungkan pihak Hek-liong-hwe pasti me masang
perangkap di sini, dengan menunjuk dara2 ke mbang ini menghadapi
Cap-ji-sing-siok, tentu hal ini tidak perlu dikuatirkan.
Musuh dibagian barat sudah dia serahkan pada Loh -bi-jin, ini
menurut pesan Thay-siang di dala m surat rahasianya, maka urusan
selanjutnya dia boleh tidak usah mengurusnya.
Mengenai rombongan musuh yang berada di arah timur,
jumlahnya me mang tida k banyak, tapi tandu hita m yang mungil itu
tidak asing lagi bagi Kun-gi, dia tahu itulah tandu yang biasa dina iki
Hianih-lo-sat. Perempuan yang satu ini panda i menggunakan obat
bius, sampa i La m-kiang-it-ki Thong-pi-thianong Tong Ji-hay yang
me miliki kepandaian tinggi itupun kecundang olehnya, tapi dia tidak
usah gentar menghadapinya karena me miliki Jing-s intan buatan
keluarga Un dari Ling-la m pe mberian Un Hoankun.
Maka pelan2 dia me mutar ke arah timur sembari tangan meraba
gagang pedang, serunya tertawa lantang: "Apakah yang datang
Hianih-lo-sat Coh-siancu" Sungguh tak nyana kita berjumpa lagi di
sini." Maka berkumandanglah suara seorang nyonya dari dalam tandu
hitam itu: "Aku bukan Hianih-lo-sat Coh-siancu."
Mendengar logat suara orang Kun-gi tahu memang bukan suara
Coh-siancu, sekilas dia melengak, tanyanya: "Kalau kau bukan
Hianih-s iancu, me mangnya kenapa kau gunakan panji2 miliknya?"
Orang dala m tandu mendengus, katanya: "Buat apa Losin harus
me ma kai panji miliknya?" Sa mpa i di sini suaranya tiba2 meninggi:
"Junhoa, Jiu-gwat, buka tirai."
Dua pelayan baju hijau yang berdiri di kanan-kiri tandu
mengiakan terus menyingkap t irai yang menutup tandu.
Kini Kun-gi bisa melihat jelas. Di da la m tandu duduk seorang
nyonya baju hijau bergaun putih, wajahnya putih, rambutnya sudah
beruban, sorot matanya berkilat, me mang dia bukan Hianih-lo-sat.
"Anak muda," ucap nyonya baju hijau, "kau kenal Coh-s iancu?"
Gagah perkasa sikap Ling Kun-gi dengan jubah yang me la mbai2,
katanya sambil mengangguk: "Cayhe pernah bertemu dengan Coh-
siancu." "Bagus sekali" ucap nyonya baju hijau sambil mengawasinya
lekat2, tanyanya: "Siapa na ma mu?"
"Cayhe Ling Kun-gi."
Agaknya nyonya baju hijau rada melengak, beberapa saat dia
mengawasi pula, katanya ke mudian: "Jadi kau inilah Cong-su-cia
dari Pek-hoa-pang itu.."
"Ya, betul, me mang akulah yang rendah ini."
"Baiklah musuh uta ma yang kita hadapi mala m ini adalah Thay-
siang dari Pek-hoa-pang, untuk itu Losin boleh me mberi keringanan
padamu, asal kau tida k menerjang ke arahku sini, Losin t idak a kan
me mpersulit pada mu."
Tegak alis Kun-gi, katanya lantang: "Banyak terima kasih akan
kebaikanmu, Cayhe juga ada sepatah dua kata untuk disampaikan.
Pertempuran ma la m ini pihak mana bakal gugur sulit dirama lkan,
tapi asal engkau suka mengundurkan diri dari asalmu datang tadi,
Cayhe juga boleh me mberi keringanan pada mu, pasti tidak a kan
menyentuh seujung ra mbut mu."
Junhoa dan Jiu-gwat yang berdiri di kanan-kiri tandu seketika
menarik muka, sambil menuding Kun-gi mereka me maki: "Berani,
kau kurangajar terhadap Liu siancu, biar kuringkus kau lebih dulu."
Liu-s iancu, kiranya nyonya berbaju hijau yang duduk di dalam
tandu adalah Jianjiu-koanim Liu-siancu yang terkenal itu. '
Mencorong terang bola mata Ko-lotoa mendengar na ma orang,
dilihatnya tangan kedua budak perempuan yang menuding itu
menge luarkan selarik sinar e mas berkelebat, segera ia berteriak:
"Cong-coh, hati2 serangan mereka." Sayang peringatannya ini
sudah terlambat.
Di tengah hardikan suara Junhoa dan Jiu gwat, dua batang jarum
emas tanpa bersuara menya mber ke kirikanan pundak Ling Kun-gi.
Tapi Kun-gi tetap menggendong tangan dengan sikapnya yang
gagah perkasa tanpa bergerak, kedua jarum emas lawan dibiarkan
saja mengenai punda knya, malah dia unjuk senyum manis dan
berkata: "Kalau jarum nona berdua bisa melukai Cayhe, jabatan
Cong-su-cia di Pek-hoa-pang me mangnya bisa kududuki." Belum
habis dia bicara, kedua jarum e mas lawan yang mengena i
pundaknya, pelan2 jatuh ke tanah.
Terbeliak Junhoa dan J iu-gwat, muka mere kapun pucat pasi. Tapi
Jiu-hoa masih bandel, dengusnya: "Jangan takabur" Hm, coba
rasakan yang ini . . . . "
Lekas Liu-siancu bersuara: "Jiu-gwat, jangan turun tangan, dia
meyakinkan ilmu sakti pe lindung badan, kalian tidak akan ma mpu
me lukai dia." Pandangannya beralih dan berkata pada Ling Kun-gi:
"Usia mu masih begini muda, tapi sudah berhasil meyakinkan ilmu
sakti pelindung badan, sungguh kagum dan harus dipuji, tak heran
kau berani bersikap angkuh dan bermulut besar, ketahuilah ilmu
silat tiada batasnya, kepandaian seorang bisa lebih tinggi daripada
yang lain, tentunya kau pernah dengar penuturan gurumu tentang
nama Kinsianyang Jianjiu-koanim bukan" Ilmu sakti pelindung
badanmu itu hanya ma mpu menolak senjata rahasia biasa, tapi
menghadapi Thay yangsincia m (jarum sakti matahari) milikku ini,
ilmu saktimu itu tidak akan berguna lagi.".
Dia m2 tergetar hati Ling Kun-gi, me mang gurunya pernah bilang
bahwa Jianjiu-koan im Liu-siancu yang berte mpat tinggal di Kiu-
sianyang me miliki ilmu senjata rahasia yang menjagoi Bu-lim,
selama berpuluh tahun malang melintang tak pernah mene mukan
tandingan, terutama "jarum sakti matahari" yang dia yakinkan itu
khusus untuk me mecahkan Khikang atau ilmu sakt i kekeba lan
pelindung badan yang tangguh bagi tokoh2 persilatan umumnya.
Sungguh tak pernah terpikir oleh Kun-gi bahwa Jianjiu-koanim Liu-
siancu yang tersohor juga mau menjadi kaki tangan musuh dan
bersekongkol dengan He k-liong-hwe.
Dengan tertawa Kun-gi berkata: "Memang Cay-he pernah dengar
dari Suhu tentang na ma besar Liu-siancu, tapi ka lau Liu-s iancu yakin
bahwa jarum sakti mataharimu itu ma mpu me mbobol pertahanan
ilmu pelindung badanku, nah boleh sila kan coba."


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Suhu," teriak Junhoa gusar," usil mulut orang ini, kalau tidak diberi tahu rasa, dia kira jarum sakti matahari Suhu tidak ma mpu
menga lahkan dia."
Liu-s iancu tersenyum, katanya: "Anak muda, sekali hawa murni
pertahanan badanmu pecah, maka ta matlah jiwa mu, jangan kau
me mpertaruhkan jiwa mu sendiri, perlu kuperingatkan pada mu, asal
nanti kau tidak menerjang ke arahku, aku tetap tidak mengganggu
dirimu." Pada saat itulah, suara ledakan ketiga menggelegar lagi. Maka
muncul ah delapan la mpu yang besar terang dari ngarai batu te mpat
ketinggian sana, sehingga seluruh Ui-lionggia m ini menjadi terang
benderang seperti siang hari.
Dari sebuah mulut gua besar yang menganga di bawah Ui-
lionggia m sana muncul sebarisan orang dengan langkah la mban.
Orang yang berjalan paling depan adalah laki2 tua berjubah hita m,
wajahnya merah beralis tebal, jenggot dibawah dagunya sudah
me mut ih, pedangnya panjang beronce kuning tampak tersandang
dipundaknya, sorot matanya berkilat menghijau dingin.
Orang ini pernah dilihat Kun-gi di Pek-hoa-pang dulu, dia adalah
Ci Hwi-bing Tongcu dari Ui-liong-tong. Di bela kangnya ada dua
orang tua lagi, seorang berpakaian ka in kaci kasar, berperawakan
agak pendek, tapi raut mukanya me manjang, mirip ta mpang kuda
sehingga kelihatannya amat lucu. Seorang lagi bermuka tirus, tulang
pipinya menonjol, rona mukanya pucat seperti kertas, kedua
matanya me micing seperti mera m tapi juga melek sekilas pandang
orang akan segera tahu bahwa kedua orang tua ini berasal dari
aliran jahat. Di belakang kedua orang tua ini di kuti pula empat laki2
kekar berpakaian hita m ketat dengan pedang panjang di punggung
mereka, paling t idak kee mpat orang ini adalah para Sincu dari Ui-
liong- tong yang ber-pangkat tingkat dua.
Dia m2 Kun gi menerawang situasi yang dihadapinya, pihak lawan
sekaligus muncul tiga rombongan jago2 kosen, musuh di timur dan
barat terang akan mencegat jalan mundur pihaknya, sementara
rombongan yang dipimpin Ui-liong-tongcu Ci Hwi-bing sendiri
berhadapan langsung dengan dirinya.
Hoanthianeng Siu Ling yang me mimpin sisa Cap ji-sing-s iok akan
dihadapi Loh-bi-jin dengan dara2 kembang sesuai yang dipesan oleh
Thay-siang, sementara untuk menghadapi rombongan musuh di
sebelah barat dan di depan ini, dia sendiri harus berdaya upaya.
Maka dia berbisik kepada Kongsun Siang supaya me mimpin e mpat
Hou-hoat-su-cia menghadapi rombongan musuh di sebelah timur
yang dipimpin Liu-siancu. Sementara empat Hou-hoat-su-cia yang
lain di bawah pimpinan Ting Kiau di serahi tugas untuk melindungi
tandu. Sementara Kun-gi, Ko-lotoa, Song Tek sing Thio La m-jiang
berhadapan langsung dengan kekuatan utama musuh yang dipimpin
Ci Hwi-bing. cara pembagian ini ka lau dinila i kekuatannya jelas
pihak sendiri terla mpau le mah, Tapi da la m keadaan kepepet pada
saat genting ini, cara yang ditempuhnya ini sudah merupa kan
pilihan yang terbaik.
Bersinar tajam mata Ui-liong-tongcu, dengan kale m satu persatu
dia awasi, setiap insan Pek-hoa-pang yang ada di tengah lapangan,
ke mudian terkulum secercah senyuman riang, congkak dan rasa
ke menangan, dalam jarak dua tomba k dia berdiri, suaranya
bergetar keras: "Siapakah yang berna ma Ling Kun-gi, Cong-su-cia
dari Pek-hoa-pang"'
Dengan kale m Kun-gi melangkah maju, katanya: "Cayhe inilah
Ling Kun-gi, Ci-tongcu ada petunjuk apa?" Pedang tersoreng
dipinggang, jubah hijau yang dipa kainya mela mbai tertiup angin,
sikapnya tenang dan wajar, sungguh tak ubahnya seorang panglima
perang yang sudah berpengalaman dan tabah menghadapi segala
lawan. Ko-lotoa, Song Tek-seng dan Thio Lam-jiang tetap beriring di
belakangnya. Seperti mata harimau yang buas dan liar so-rot mata Ci Hwi-bing,
katanya, menyeringai: "Kau inikah Cong-su-cia itu?". Di ta man
belakang Pek-hoa-pang dulu dia pernah me lihat Kun-gi duduk
berjajar dengan Pek-hoa-pangcu, maka dia kenal Kun-gi. "Mana
Thay-siang kalian?" tanyanya pula.
"Ya, beliaupun datang."
"Kenapa menyembunyikan diri dala m tandu, persilakan dia
keluar!' "Apakah Hwecu kalian juga akan keluar?" ba las tanya Kun-gi.
"Dengan ke kuatan ka mi yang tangguh ini, me mangnya perlu
Hwecu sendiri yang keluar?" ejek Ci Hwi-bing.
Tawar tawa Kun-gi, ucapnya: "Kalau Hwecu kalian tida k mau
keluar, Thay-siang ka mi juga tida k sudi mene muimu."
Ci Hwi-bing terbahak sambil mendongak, serunya: "Ka lian sudah
terjatuh ke dalam gengga man tanganku, ingin Lohu lihat sampa i
kapan dia bisa se mbunyi di dala m tandu."
"Jadi Ci-tongcu sudah yakin kalau pihakmu pasti akan menang?"
jengek Ling Kun-gi.
"Me mangnya kalian ma mpu keluar dari sini dengan masih
bernyawa?"
"Kukira belum tentu," demikian ucap Kun-gi dengan sombong,
"orang kuno ada bilang, orang bajik tidak akan datang, yang datang
tidak mungkin bajik, kalau Pek-hoa-pang cuma maca mnya orang2
segampang tahu dicacah me ma ngnya bisa me luruk sejauh ini
sampai di Kunlunsan ini?"
Berubah rona muka Ci hwi-bing, sebelah tangan mengelus
jenggot dia tatap Ling Kun-gi sesaat la manya, katanya: "Tapi
keadaan di depan mata sudah merupakan bukti, kalian masuk
perangkap dan terkepung dari tiga jurusan, jelas berada dalam
situasi yang kepepet, inilah kenyataan yang tak bisa diperdebatkan
lagi, kau bukan orang bodoh, me mangnya tidak bisa menilainya
sendiri." "Tida k, Cayhe tetap berpendapat pihak mana yang bakal gugur
masih sukar dira ma lkan," Kun-gi tetap me mberi tanggapan tegas.
Terkekeh mulut Ci Hwi-bing, senyum sinisnya semakin tebal
disertai rasa gusar, suaranya berubah kereng berat: "Lohu dengar,
katanya kau adalah murid Hoanjiu-ji-lay Put-thong Taysu?"
"Me mangnya perlu kuterangkan lagi?" jengek Kun-gi.
"Mengingat gurumu Put-thong Taysu, Hwecu tida k ingin
bermusuhan dengan kau, maka Lohu di perintahkan untuk
menasihati kau bahwa permusuhan Hek-liong-hwe dengan Pek-hoa-
pang tiada sangkut pautnya dengan kau, tak perlu kau ikut basah
dalam a ir keruh ini, terutama mengingat ilmu silat yang kau pelajari
begitu tinggi, masa depanmu gilang ge milang, jika kau sudi ma mpir
ke Hek-liong-hwe ka mi, Hwecu juga bisa me mberi kedudukan Cong-
hou-hoat yang lebih agung pada mu."
Kun-gi tertawa, katanya: "Kebaikan Hwecu kalian, Cayhe terima
di dala m hati saja."
"Jadi kau tidak mau terima undangan ka mi?"
"Sekarang Cayhe adalah Cong-hou-hoat-su-cia dari Pek-hoa-
pang, sebagai seorang ksatria me mang bisa aku harus bermuka
dua, pagi berpihak sini dan mala m berpihak sana, sekarang, kata2
Ci-tongcu tadi kuputar balik dan kuperse mbahkan ke mbali pada mu,
kalau sekarang aku me mbujuk Ci-tongcu me nyerah dan berpihak
pada Pek-hoa-pang bagaimana?"
Ci Hwi-bing manggut2, katanya: "Maksud Hwecu, jika Ling-lote
tidak mau menyerah, beliau pun mengharap kau mengundurkan diri
saja dari keterlibatanmu ini, jangan sampai diperalat oleh Pek-hoa-
pang, asal kau mengangguk segera kusuruh orang mengantarmu
turun gunung, bagaimana pendapat mu.
Kun-gi tertawa, katanya: "Jika Thay-siang kita juga me mbujuk
umpa ma Ci-tongcu tida k mau takluk kepada Pek-hoa-pang, silakan
selekasnya kau mengundurkan diri saja, bagaimana pendapat Ci-
tongcu?" Wajah Ci Hwi-Ling berubah ke la m: "Jadi kau tetap me mbande l."
"Seperti kau Ci-tongcu, masing2 orang me mpunyai tekadnya
sendiri2" "Ling Kun-gi, kebodohanmu ini a kan menghancurkan masa
depanmu sendiri."
"Cayhe tidak habis pikir, dalam hal apa aku akan menghancurkan
masa depanku sendiri?"
"Baiklah Lohu terangkan padamu, Pek-hoa-pang main pikat
terhadap insan persilatan dengan paras elok anggotanya, paling2
mereka hanya perkumpulan orang2 durhaka dan khianat, sekarang
kau sudah mengerti bukan?"
Bahwa Pek-hoa-pang dituduh sebagai khianat mau tak mau
bergetar hati Ling Kun-gi, semakin tebal rasa curiganya. Dia masih
ingat Thay-siang pernah berkata demikian: "Mereka (maksudnya
Hek-liong-hwe) kecuali me ngerahkan beberapa anggota cakar
alap2, me mangnya bisa mengerahkan jago2 silat dari mana?"
Semula Kun-gi mengira permusuhan antar Pek-hoa-pang dan Hek-
liong-hwe hanya pertikaian biasa antara sesama perkumpulan yang
berkecimpung dala m percaturan Kangouw, tapi dari ucapan Ci Hwi-
bing tadi dia menarik kesimpulan bahwa permusuhan kedua
perkumpulan ini juga ada hubungannya dengan pihak penguasa.
Ko-lotoa tetap berdiri di belakang Ling Kun-gi, dia hanya berdiri
dia m mendengarkan percakapan kedua pihak. Maklumlah, dia hanya
sebagai penunjuk jalan, tiada ha k untuk ikut bicara dihadapan Cong-
su-cia. Apalagi Ling Kun-gi tidak termakan oleh bujuk rayu Ci Hwi-
bing yang akan menariknya ke pihaknya, maka dia anggap tak perlu
ikut berbicara.
Tapi kini persoalan sudah lain, kaum persilatan umumnya
me mang mengala mi kehidupan pahit di ujung senjata, tapi sekali
urusan menyangkut pihak yang berkuasa, siapapun tak berani
me mikul a kibatnya dituduh sebagai pengkhianat negara.
Melihat Kun-gi mendadak terdia m, Ko lotoa mengira dia keder
karena dituduh sebagai "pengkhianat". Sejauh ini urusan telah
berkembang, ma ka dia tidak hiraukan kedudukannya sekarang
sebagai penunjuk jalan lagi, segera ia menghardik: "Ci Hwi-bing,
kau bangsat keparat, pengkhianat bangsa kau anggap sebagai
bapak, paling2 kau hanya diangkat sebagai Tongcu, me mangnya
kau punya masa depan pula"
Melotot mata Ci Hwi-bing, bentaknya dingin: "Kau Ko Wi-gi.
Haha, memangnya Hwecu sedang mencari kalian kawanan
pengkianat ini, ternyata kau berani antar jiwamu ke sini, ini
namanya sorga ada pintu kau tak mau masuk, neraka buntu justeru
kau terjang."
Ko-lotoa menarik muka, katanya sinis: "Ka lau aku berani datang,
me mangnya gentar berhadapan dengan kalian ca kar alap2 antek
kerajaan ini" Lihatlah panji yang berkibar" Tujuan ka mi ada lah
menyapu bersih He k-liong-hwe dan menumpas sa mpah persilatan . .
. . . . . ."
Muka Ci Hwi-bing yang merah seketika diliputi a marah yang
me luap2, bentaknya mengguntur: "Pengkhianat, ke matian sudah di
depan mata masih berani bertingkah."
"Ci-tongcu," laki2 tua bermuka tirus di sebelah kanannya buka
suara, "Lohu ingin bertanya beberapa patah kata kepada bocah she
Ling ini."
Ci Hwi-bing segera berubah sikap, katanya berseri tawa: "Tokko-
heng silakan bicara." Lalu dia mundur selangkah.
Mendelik kedua mata kakek muka tirus, tatapannya yang
beringas se-olah2 hendak menelan Ling Kun-gi bulat2, katanya:
"Anak muda, Lohu ingin bertanya padamu, kau harus menjawab
dengan baik."
Melihat Ci Hwi-bing terhadap kakek kurus ini begitu hormat, Kun-
gi tahu kalau kedudukan si kakek mungkin di atas Ci Hwi-bing, tapi
sikapnya tetap tak berubah, jawabnya dengan tertawa: "Bergantung
soal apa yang kau tanyakan."
"Lohu Tokko Siu, tentunya sudah pernah kau dengar dari
gurumu?" ucap si kakek kurus.
"Kiranya bangkotan tua yang sukar dilayani," demikian batin Kun-
gi, Tapi dia tetap tertawa, katanya: "Ada pertanyaan apa, boleh
Loheng katakan."
Terunjuk rasa kurang senang pada wajah Tokko Siu, katanya:
"Pernah Lohu bertemu beberapa kali dengan gurumu, usia mu masih
semuda ini, tua bangka seperti aku berani kau pandang sebagai
Loheng (saudara tua)?"
Kun-gi tertawa lantang, katanya: "Suhu pernah me mberitahu
padaku, beliau se la ma hidup tida k pernah punya sahabat, maka
Wanpwe juga tidak pernah pandang siapapun sebagai angkatan tua,
selama berkelana di Kangouw tak pernah kupandang diriku sebagai
angkatan muda, bahwa kupanggil kau Loheng, ini cocok dengan
ajaran Nabi bahwa di empat penjuru lautan semuanya adalah
saudara, memangnya ucapanku salah?"
"Ada guru pasti ada murid," dengus Tokko Siu, "anak muda,
orang yang bermulut besar dan kurangajar harus betul2 me miliki
kepandaian sejati."
"O, jadi Loheng ingin menjajal betapa besar bobotku?"
"Masih ada persoalan yang ingin Lohu tanyakan lebih dulu."
"Katakan saja."
"Lohu punya dua murid, se mua mati di tangan Pek-hoa-pang,
kau sebagai Cong-su-cia Pek-hoa-pang, tentunya tabu siapa yang
me mbunuh mere ka?"
"Siapa muridmu itu?"
"Kedua murid Lohu itu masing2 berna ma Pek Ki-han dan Cin Tek-
hong." Ling Kun gi melengggong mendengar kedua nama ini, kiranya
kedua orang ini adalah saudara seperguruan, dari sini dapatlah
dimengerti bahwa Tokko Siu tentu mahir menggunakan ilmu yang
serba dingin. Sekilas berpikir dia mengangguk, katanya: "Sudah
tentu Cayhe tahu jelas akan ke matian kedua muridmu itu."
"Lekas katakan," beringas
muka Tokko Siu,
"siapa yang
me mbunuh mere ka?"
Dia m2 Kun-gi me mbatin: "Ci Hwi-bing sendiri yang me mbawa
Pek Ki-han dan Lan Hau me luruk ke Pek-hoa-pang, akhirnya hanya
dia seorang yang berhasil lolos, agaknya dia tida k menceritakan
duduk persoalan yang sebenarnya'" Segera katanya: "Waktu
muridmu Pek Ki-han meluruk ke Pek-hoa-pang, karena tidak sudi
ditawan, dia rela bunuh diri, Ci-tongcu berada di sini, boleh kau
tanya padanya."
Tokko Siu berpaling, tanyanya: "Ci-tongcu, apa betul demikian?"
"Betul, tapi ke matian Pek-heng betapapun harus diperhitungkan
pada pihak Pek-hoa- pang."
"Me mang masuk a kal. Lalu, Cin Te k-hong?"
"Cin Tek-hong berhasil menyelundup ke Pek-hoa-pang, malah
diangkat jadi Houhoat, di Gu-cu-ki rahasianya terbongkar oleh
Cayhe, kebetulan Hwi-liong-tongcu Nao Sa m-jun me mburu datang
bersama Cap-ji sing-siok dan mengepung ka mi, Nao Sam-jun
beranggapan muridmu telah me mbocorkan rahasia Hek-liong-hwe,
maka Cin Tek-hong dibunuhnya dengan senjata rahasia beracun . . .
." "Jadi ma ksudmu, bukan kalian yang me mbunuh Cin Tek-hong?"
teriak Tokko Siu marah2.
Tegak alis Kun-gi, katanya lantang: "Tadi Cing-tongcu sudah
bilang, sudah tentu perhitung-an ini harus dibereskan dengan Pek-
hoa-pang."


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Muka tirus Tokko-Siu yang se mula pucat seputih kertas pelan2
bersemu hita m, hardiknya bengia: "Katakan, kepada siapa Lohu
harus me mbuat perhitungan?" Kedua tangannya sudah terangkat di
depan dada, sorot matanya yang mencorong dingin menatap Ling
Kun-gi, setiap saat dia sudah siap turun tangan.
"Awas Cong-coh," Ko lotoa me mperingatkan. Song Tek-song dan
Thio La m-jiang yang berdiri di kanan-kirinya serentak me megang
gagang pedang dan siap te mpur.
Sebaliknya Kun-gi bersikap kale m, wajar seperti tanpa persiapan,
katanya tawar: "Bahwa kita sudah berhadapan dimedan laga, kalau
kau mau me mbuat perhitungan dengan aku boleh saja."
"Bagus seka li" dangus Tokko Siu.
Tiba2 kakek bermuka kuda di sebelah kiri berteriak: "Tunggu
sebentar Tokko heng, akupun ingin tanya siapa pula yang telah
me mbunuh muridku" Nah, orang she Ling, muridku Lan Hau siapa
yang me mbunuhnya?"
"Cayhe sudah bilang, kalau toh kita sudah berhadapan di sini,
urusan apapun dan berapa banyak yang akan kalian bereskan,
semua tujukan saja pada orang she Ling ini."
"Anakmuda,besara matmulut mu,
kau ma mpu me mbereskannya?" jengek kakek muka kuda.
"Kalau Cayhe tidak dapat me mbereskannya, memangnya aku
bisa diangkat sebagai Cong-su-cia Pek-hoa-pang?"
"Usia mu begini muda, kau me mang pe mberani, tapi kalau Thay-
siang ka lian sudah datang, sudah tentu ka mi a kan mencari
perhitungan padanya."
"Tida k sulit untuk kalian mene mui Thay-siang, lalui dulu diriku
ini." Kakek muka kuda menarik muka, serunya gu-sar: "Keparat, kau
ingin ma mpus."
"Menang kalah belum ada ketentuan, me mangnya pasti Cayhe
yang akan ma mpus?"
Dengan angkuh kata si muka kuda: "Aku Dian Yu-hok, pernah
dengar tidak?" Mulut bicara ka kipun melangkah maju.
Dian Yu-hok dijuluki orang Lam-sat-sin (mala ikat maut), sudah
tentu Kun-gi pernah mendengar na manya, kebesaran namanya
tidak lebih rendah daripada Ping-sin (ma laikat es) Tokko Siu.
Kedua tokoh Kosen dari a liran jahat yang termasuk kelas top ini,
me mang merupakan golongan tersendiri dalam percaturan dunia
persilatan, kehebatan mereka pernah menggetarkan delapan
penjuru, kebanyakan perguruan silat dari aliran besar kecil segan
mencari setori pada mere ka.
Melihat Dian Yu-hok sudah menga mbil ancang2 hendak
menyerang Kun-gi, lekas Tokko Siu berteriak: "Dianheng, tunggu
sebentar, bocah ini serahkan pada ku,"
Lam sat-sin Dian Yu-hok menarik mukanya yang panjang seperti
tampang kuda, katanya dingin: "Bukan soal serahkan atau berikan
pada siapa" Yang terang dia me mbunuh muridku dan sudah berani
me mikul tanggung jawab, me mangnya aku tidak pantas menuntut
balas padanya?"
Kurang senang Tokko Siu, katanya: "Paling tidak aku kan sudah
bicara lebih dulu padanya."
Kun-gi tertawa, katanya: "Tak usah ka lian berdebat, Cayhe hanya
seorang diri dan tidak ma mpu me mbelah tubuh untuk sekaligus
menghadapi kalian. Nah, kailan maju bersama saja, akan kuhadapi
sekaligus."
Sementara Kun-gi bicara, Dian Yu-hok dan Tokko Siu sudah
berebut maju, sa ma2 tak mau mengalah sehingga jarak mere ka
sudah dekat di kirikanan Kun-gi. Tokko Siu me mbentak: "Anak
muda, ke luarkan senjata mu."
"Sret", Kun-gi melolos keluar Ih-thiankia m dan me lintang di
depan dada, ia pandang bergantian kedua musuh, katanya: "Silakan
kalianpun ke luarkan senjata."
"Peduli senjata maca m apapun selalu kuhadapi pula dengan
kedua telapak tanganku ini," de mikian ujar Tokko Siu.
Kun-gi tertawa angkuh, pelan2 dia masukkan ke mbali Ih-
thiankia m ke serangkanya, katanya: "Kalau kalian tidak mau paka i
senjata, biarlah ku layani dengan kedua telapak tanganku pula."
Dian Yu hok melenggong, katanya: "Anak muda dengan
bertangan kosong, kau ma mpu menghadapi ka mi berdua?"
"Kalian tidak perlu urus," ejek Kun-gi, "kalau tetap ingin
me mbuat perhitungan dengan Pek-hoa-pang, Cayhelah yang akan
menghadapi, kalau Cayhe beruntung menang, maka perhitungan
kalian harap dianggap impas, kalau Cayhe kalah, anggaplah aku
tidak becus, matipan aku t idak menyesal, setelah kalian berhasil
menagih utang, maka bolehlah pulang saja."
Sekilas Tokko Siu melirik ke arah Dian Yu-hok, katanya
mengangguk: "Bagaimana pendapat Dianheng?"
Lansat-sin Dian Yu-hok mengangguk, katanya: "Baiklah, kita
turuti saja kehendaknya."
Kun-gi maklum pertempuran hari ini baik menang atau kalah
akhirnya pasti me mbawa akibat yang luas artinya, sudah tentu dia
tidak berani gegabah, dia m2 ia kerahkan seluruh kekuatan
Lwekangnya, cuma lahirnya tetap tenang, wajahnya tersenyum
lebar malah. Dia m2 Ko-lotoa mengerut kening, tanyanya lirih: "Cong-su-cia
betul2 hendak me layani kedua bangkotan ini?"
Sebagai seorang kelasi dari Pek-hoa-pang yang bertugas
penunjuk jalan, kedudukannya a mat rendah, tapi dari percakapan
Hoanthianeng Siu Eng dan Ui-liong-tongcu Ci Hwi-bing tadi, Kun gi
tahu bahwa Ko-lotoa adalah salah satu dari tiga puluh ena m
panglima Hek-liong-hwe dulu, maka ia menduga bahwa Thay-siang
mengutus dia sebagai penunjuk ja lan mungkin, me mpunyai maksud
yang besar artinya, selama ini dia tidak anggap orang sebagai
penunjuk jalan bela ka, maka de mi mendengar pertanyaan orang,
segera ia menjawab dengan suara lirih pula: "Betul, situasi rada
genting, terpaksa aku harus layani mereka, Ko-heng bertiga harap
mundur beberapa langkah, perhatikan Ci Hwi-bing dengan kee mpat
anak buahnya, jangan biarkan mereka menerjang ke mari sehingga
kedudukan kita menjadi kacau."
Ko-lotoa mengangguk, katanya: "Cong-su-cia tak usah kuatir,
tugas ini cukup dimaklumi olehku, cuma Tokko Siu dan Dian Yu-hok
meyakinkan ilmu silat yang beracun jahat, dengan satu lawan dua
Cong-coh harus hati2."
Tengah mereka bicara, Ping-sin Tokko Siu sudah tak sabar lagi,
selanya dingin: "Sudah selesai kalian berunding?"
Lekas Kun-gi berpaling, katanya tersenyum "Baiklah, silakan
kalian me mberi petunjuk."
"Kau berani menghadapi ka mi berdua, mungkin tiada
kesempatan balas menyerang," kata Tokku Siu, kontan tangan
terayun terus menepuk ke depan. Gaya tepukan tangannya seperti
tidak menggunakan tenaga. tapi segulung angin keras segera
menda mpar. Dala m seleksi adu kepandaian di Pek-hoa-pang tempo hari Ling
Kun-gi pernah saksikan pukulan telapak tangan Cin Tek-hong yang
kuat, Tokko Siu adalah gurunya, sudah tentu juga mahir dala m ilmu
pukulan, maka sejak tadi dia sudah siaga, melihat lawan me mukul
segera dia melejit ke sa mping menghindarkan diri.
Melihat lawan menyingkir, Lansat-sin Dian Yu-hok segera
me mbentak: "Awas." Tangan kanan lantas me mukul dari samping,
segulung angin keras kontan menerjang tubuh Ling Kun-gi.
Tanpa menoleh lekas Kun-gi ayun tangan kiri ke sa mping.
Setelah me mukul sebetulnya Dian Yu-hok hendak mendesak
maju lebih dekat dan mena mbahi pukulan lain, tapi mendada k
terasa segulung kekuatan yang tidak kentara langsung menahan
tubuhnya, keruan kagetnya bukan main, batinnya: "Ilmu silat bocah
ini, ternyata tidak boleh dipandang enteng."
Terpaksa pukulan telapak tangannya segera dia tarik kemba li
serta didorong pula keluar, dengan de mikian barulah tenaga
dorongan lawan yang tidak kentara itu dapat dibendungnya.
Kejadian berlangsung dala m sekejap mata, setelah pukulan
Tokko Siu berhasil dihindarkan Ling Kun-gi, sambil terkekeh dia
gentak lengan bajunya, jari2 tangan yang kurus panjang mirip cakar
burung lantas menongol keluar serta menca kar2 ke udara dua kali.
Mendadak dia menubruk maju, tutukan dan pukulan dilancarkan
sekaligus me nyerang Kun-gi. Kali ini Kun-gi tidak berkelit lagi, dia
ke mbangkan Cap-ji-kim-liong-jiu, tutukan jari dan pukulan telapak
tanganpun dilancarkan tak kalah lihaynya, malah variasinya lebih
banyak, sekarang kanan, lain kejap tahu2 kiri, jadi kanan kiri saling
berlawanan, secara sengit serta cepat dia hadapi rangsakan Tokko
Siu, Hiat-to besar dan urat nadi orang menjadi sasaran
serangannya. Ca-ji-kim-liong-jiu diciptakan dari Ih-kin king yang disela mi
secara mendalam, sebetulnya merupakan ilmu pusaka Siau-lim-pay
yang tak diajarkan kepada orang luar, kini dike mbangkan tangan kiri
Ling Kun-gi, perbawanya sungguh hebat, umpa ma setan iblispun tak
ma mpu menghadapinya.
Waktu Kun-gi berke lit tadi, Lansat sin Dian Yu -hok pernah
menyerangnya sekali, tapi setelah itu dia berpeluk tangan dan
berdiri me nonton saja.
Maklumlah, dia sudah menjajaki bahwa kepandaian Kun-gi
ternyata tidak lebih rendah daripada kepandaian sendiri, Dian Yu-
hok berasal dari suku Miau yang punya watak suka curiga, di
samping sela ma puluhan tahun berkelana di Kangouw, pengala man
me mberitahu padanya sebelum tahu jelas seluk beluk kepanda ian
Ling Kun-gi, dia takkan se mbarangan turun tangan.
Kini dia berdiri di pinggir gelanggang dan mengawasi dengan
penuh perhatian kedua orang yang lagi berhanta m.
0odwo0 Di sini Ling Kun-gi tengah menghadapi rangsakan Tokko Siu,
sementara Ui-liong-tongcu Ci Hwi-bing telah menggerakan pedang,
dengan keempat anak buahnya segera dia menerjang ke arah Ko-
lotoa bertiga, bentaknya: "Ko Wi gi, dua puluh tahun lebih kita tak
bertemu, biarlah hari ini aku mohon pnngajaranmu."
Setelah Kun gi turun gelanggang, maka Ko-lotoa merupakan
pentolan di antara mereka bertiga, maka Ci Hwi-bing lantas
mengincarnya lebih dulu. Ko-lotoa tertawa, mendadak dari sa mping
badan dia menge luarkan sebatang besi, mendadak kedua batang
besi dia sa mbung terus diputar ke kanan-kiri menjadi sebatang
tumbak besi, hardiknya, "Memang a ku juga ingin mohon
pengajaranmu."
"Lihat pedang, Ko Wi-gi!" bentak Ci Hwi-bing terus mendahului
ayun pedang menusuk la mbung Ko-lotoa.
Ujung tumba k Ko-lotoa ternyata bergantol, bentaknya dengan
suara keras: "Serangan bagus!" Berbareng tumbak menyampuk dan
menarik. Kedua orang segera saling serang dengan cepat,
pertempuran mereka cukup sengit dan menegangkan.
Melihat Tongcu mereka melabrak Ko lotoa, empat anak buahnya
berpakaian hita m di be lakang Ci Hwi-bing segera ikut menyerbu
maju. "Sret", Song Tek seng segera cabut pedang, katanya dengan
tertawa: "Thio heng, kebetulan kita masing2 kebagian dua orang.
Hayo kita berlomba, coba siapa merobohkan mereka lebih dulu."
Mulut bicara, pedangpun bekerja, sekali tutul pedangnya
ma mancarkan bintik sinar ke milau bagai rantai perak tahu2
me luncur ke tenggorokan kedua lawan yang menyerbu tiba.
Sekali bergerak, Loanbi-hong-kia m hoat dari Go-bi-pay segera dia
ke mbangkan dengan sengit.
Thio La m-jiang ter-bahak2, serunya: "Baiklah, marilah kita
berlomba menga lahkan musuh." Tangan kanan meraih, badanpun
bergerak, sebelum lawan menerjang tiba dia sudah mela mbung ke
atas, sinar pedang menya mber ke batok kepala kedua lawan.
Serangan pedang yang dilancarkan dengan badan menukik ini
ternyata bukan olah2 lihaynya, Kiranya Thio Lam-jiang juga telah
keluarkan ilmu pedang Hing-sanpay yang ganas.
Tapi kee mpat orang berbaju hitam yang menjadi lawan mereka
adalah empat diantara ke12 Sin Ciu dari Ui-liong-tong yang me miliki
kepandaian kelas satu. Apalagi pedang merekapun berwarna hitam
gelap dan tak me mancarkan sinar, jangankan di tengah mala m
gelap, umpa ma di tengah siang hari juga sukar untuk mengikut i
permainan pedangmereka,jelas kondisi mereka lebih
menguntungkan. Untung ilmu pedang angin badai ajaran Go-bi-pay yang
dilancarkan Song Tek-seng segencar hujan lebat, lawan merasa
seperti disa mpuk ribuan jarum taja m yang sukar dijajaki.
Sedangkan Hing-san kia m-hoat yang dike mbangkan Thio La m-
jiang mendenging nyaring, badan berlompatan naik turun, ada
kalanya dia me la mbung ke udara dan menerka m la ksana elang
menerka m anak aya m.
Dengan kerja sama mereka berdua yang ketat ini, ternyata
rangsakan lawan berhasil dibendung, untuk beberapa kejap la manya
mereka sa ma kuat dan tiada yang lebih unggul atau asor.
Bayangan orang lari kian ke mari, se mentara sinar pedang sa ling
berseliweran, di sana-sini mulai terjadi perte mpuran yang gaduh
dan sengit. Begitu pertempuran kalut berlangsung di depan Ui-lionggia m,
maka Hoanthianeng Siu Eng yang me mimpin sisa Cap-ji-sing siok
segera berhadapan dengan 20 dara kembang di bawah pimpinan
Loh-bi-jin, mata tunggalnya kelihatan beringas, tiba2 ia angkat
tangan seraya membentak: "Serbu!" Be lum lenyap suaranya,
sembilan orang yang seluruh tubuh terbalut dalam kulit anjing laut
segera berlompatan maju, sisa Cap ji-sing-s iok ini segera menyerbu
dengan nekat. Ke 20 dara kembang sejak tadi sudah siaga, jarak kedua pihak
sebetulnya ada empat tombak, begitu me lihat kesembilan Sing-siok
menubruk maju, 18 orang di antara para dara ke mbang t iba2
berpencar menjadi dua kelompok, gerakan mereka begitu rapi dan
terlatih, orang berada di ujung kanan mendadak mengayun tangan
dan menimpukkan setit ik sinar biru, sementara yang berada di
ujung kiri juga mengayun tangan, entah darimana tahu2 tangan
kedua orang sudah me megang seutas rantai sebesar ibu jari, begitu
pinggang mereka me liuk, badanpun tiba2 me ndeka m ke tanah.
Gerakan ini boleh dikatakan dila kukan sere mpak oleh delapan belas
dara kembang, jelas bahwa mereka sudah la ma terlatih dan
dige mbleng. Tatkala sembilan Sing-siok itu menubruk tiba, Loh-bi-jin sedikit
mendak, segesit burung ia me layang kedepan. Sementara sembilan
musuh sudah menerjang tiba, tapi mereka dipapak timpukan titik
biru dari para dara ke mbang, mereka mengapung di udara, untuk
berkelit jelas tida k mungkin, soalnya mereka terlalu yakin a kan
pakaian yang kebal senjata, maka merekapun tidak berusaha
menghindar. Betapa cepat luncuran kedua pihak yang saling tubruk
dan timpuk ini. Tahu2 se mbilan t itik sinar biru dengan tela k
mengenai tubuh se mbilan Sing-siok dan meledak, seketika asap biru
mengepul dan apipun berkobar dengan ganasnya.
Pakaian yang dikenakan para Sing-siok itu menutupi seluruh
anggota badan dari ka ki sa mpai kepala, yang kentara hanya kedua
mata mereka, maka kobaran api yang panas disertai asap tebal biru
ini seketika berkobar di depan dada mereka, kecuali kobaran api,


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pandangan mata merekapun tertutup oleh asap sehingga tidak bisa
me lihat keadaan sekitarnya lagi.
Kepandaian silat kese mbilan Sing siok ini jelas tidak le mah, tapi
berada di udara, tahu2 dia terbakar, keruan kaget mereka bukan
ma in, dalam gugupnya mereka berusaha me mada mkan api sa mbil
menepuk2 dada sendiri. Se mbilan orang mela kukan gerakan yang
sama. Maklumlah, siapapun kalau dada terjilat api, secara otomatis
pasti berusaha me mada mkannya dengan tepukan kedua tangan.
Tapi di luar dugaan mereka bahwa ledakan api ini buatan khusus
dari Pek-hoa-pang untuk me nghadapi mereka, begitu besar daya
bakarnya, menyentuh barang apapun api pasti berkobar, sebelum
menjadi abu daya bakarnya tidak akan pada m, siapapun takkan
ma mpu me mada mkannya.
Karena berusaha memada mkan api, maka lengan baju mereka
yang lebar menimbulkan kesiur angin yang ma lah mena mbah besar
kobaran api sehingga lengan baju merekapun ikut terbakar.
Sembilan Sing-siok jadi mencak2 sa mbil ber-teriak2 panik seperti
manusia api, siapapun yang dekat mereka, sekali terpegang dan
dipeluk, tentu jiwa akan ikut melayang dan terbakar ma mpus
bersama mereka.
Tapi delapan be las dara ke mbang sudah siaga, dua orang satu
kelompok, masing2 me megang ujung rantai yang cukup panjang
dan siap mendeka m di tanah. Karena sekujur badan terjilat api,
pandanganpun terganggu asap tebal, hakikatnya para Sing-siok
yang panik terbakar itu tak melihat keadaan sekitarnya lagi, baru
saja kedua kaki mereka hinggap ditanah, dua dara kembang segera
mengayun tangan, dengan rantai panjang mereka menjirat kedua
kaki orang Sudah tentu para Sing-siok tak pernah pikir bakal kecundang
begini rupa, satu persatu mereka terjungka l roboh, belum lagi para
Sing-siok itu berbuat banyak, segesit kera para dara ke mbang sudah
me lejit bangun dan berlompatan menyilang sehingga kaki orang
betul2 terbelenggu oleh rantai dan ditarik ke kirikanan dengan
kencang. Begitu roboh dengan ka ki terbelenggu oleh rantai, kesembilan
Sing-siok meronta2 dan bergulingan di tanah. Sementara api
berkobar semakin besar. Hanya beberapa kejap saja sembilan orang
aneh yang berpakaian kebal senjata itu hanya meronta beberapa
kali, akhirnya tak bergerak lagi, dengan cepat api me mbiru itu
menge luarkan bau hangus terbakarnya badan manusia yang tak
sedap, Cap-ji-sing-siok yang selama ini dibangga kan oleh Hwi-liong-
tong, bukan saja kebal senjata, malah sudah malang me lintang di
Kangouw tak pernah kecundang, tak nyana hari ini tertumpas habis
begitu saja oleh para dara2 cantik yang cekatan ini, belum gebrak
semuanya sudah roboh dan mati terbakar menjadi abu.
Dala m pada itu waktu kese mbilan Sing-siok menubruk maju tadi,
Loh-bi-jin juga me luncur ke depan me mapa k Hoanthianeng Siu Ing,
bentaknya menuding: "Orang she Siu, hari ini adalah hari ajalmu,
lihat pedang!" Dari depan segera pedangnya menusuk.
Mimpipun Hoanthianeng Siu Ing tak pernah menduga bahwa
kesembilan Sing-siok baru saja ke luar, tahu2 Loh-bi jin juga
menubruk ke arahnya. Keruan dia kaget, sedapatnya dia miringkan
tubuh sambil me lompat meluputkan diri dari tusukan orang
berbareng tangan kirinya tahu2 mencakar dan menangkap
pergelangan tangan Loh-bi jin yang pegang pedang.
Gerakan mundur sa mbil menyerang ini dibarengi tangan lain
me lolos sebatang pedang warna hitam legam, dengan senjata di
tangan dia kelihatan beringas, teriaknya bengis: "Budak . . . . !"
belum lagi lanjut, pada saat itulah didengarnya suara ledakan ramai
disertai percikan api yang segera ber-kobar.
Waktu dia berpaling, dilihatnya kesembilan Sing-s iok yang
dipimpinnya telah terjilat api, badan masih me ngapung di udara,
kaki tangan menca k2 gugup dan takut. Tentu saja kagetnya tidak
kepalang. Menyurut mundur sedikit, Loh-bi-jin unjuk rasa puas
ke menangan, pedang tetap menuding musuh, katanya dingin:
"Orang she Siu, kau sudah lihat bukan" Cap ji-sing siok yang kalian
banggakan dalam sekejap akan menjadi setumpukan abu, dan kau
juga takkan lolos dari ke matian."
Gusar Hoanthianeng bukan ma in, hardiknya murka: "Budak, akan
kubelah badanmu hidup2." Pedangnya bergetar turun naik, segera
dia hendak menubruk maju.
Tapi Loh-bi-jin telah me mbentak sa mbil menganca m dengan
pedang, serunya: "Berdiri, dengarkan dulu bicaraku sa mpai habis."
Mata tunggal Hoanthianeng seperti me mancarkan bara,
bentaknya gusar sekah: "Budak keparat, omong apa, le kas katakan.'
"'Ba iklah kuberitahu padamu, bukankah dibe lakangmu berdiri dua
orang dara ke mbang" Cukup aku me mberi tanda kepada mereka.
kaupun segera akan terjilat api dan ma mpus menjadi abu, tapi nona
ingin kau ma mpus tanpa menyesal, marilah kita bertanding sampai
titik terakhir dengan pedang."
Ternyata dua puluh dara kembang masih ada dua orang yang
menganggur, delapan belas orang menghadapi se mbilan Sing-s iok,
dua orang lain secara diam2 telah mencegat jalan mundur
Hoanthianeng. Mendengar jerit ngeri se mbilan Sing-siok yang terbakar mati itu,
perasaan Hoanthianeng sudah tidak keruan, baru sekarang dia
sadar bahwa Pek-hoa-pang meluruk ke mari dengan persiapan
matang. Mendengar Loh-bi-jin menantang dirinya bertandang
pedang, diam2 dia bergirang, batinnya. "Budak keparat, kau sendiri
yang cari ma mpus."
Mata tunggalnya menatap Loh bi-jin, katanya dengan
menyeringai beringas: "Baik, ingin Lohu sa ksikan betapa tinggi ilmu
pedangmu?" Se mbari bicara segera tangan kanannya bergerak,
pedang seketika bergetar menimbulkan bayangan berlapis,
bentaknya: "Awas!" Belum lenyap suaranya, pedang sudah bergerak
secepat angin, sekaligus dia menusuk tiga kali.
Me mang tidak ma lu kalau orang ini dulu merupa kan salah satu
dari 36 panglima Hek-liong-hwe, serangan pedangnya cepat dan
keji, yang terlihat hanya bayangan hita m yang berputar menusuk.
Melihat dara2 ke mbang sudah sukses, besar hati Loh-bi jin lebih
mantap, tanpa menyingkir ia menghardik: "Serangan bagus!"
Pedang terayun, badan bergerak mengikuti gaya pedang, serangan
Hoanthianeng yang ketat itu diterjangnya.
Sudah tentu Hoanthianeng me lengak heran dan ber-tanya2:
"Me mangnya budak ini ingin ma mpus?" Tapi pada detik yang gawat
itulah, seketika dia menyadari gelagat kurang wajar. Di tengah
gerakan Loh-bi-jin yang me mutar itu, pedangnya me mancarkan
ke milau yang berpencar seperti puluhan banyaknya dan sekaligus
merangsak kearahnya dari berbagai arah, cahaya yang terang itu
menyilaukan matanya, sayup2 kupingnya juga mendengar suara
gemuruh, setombak seke lilingnya seperti sudah terkurung oleh
hawa pedang lawan yang dingin taja m.
Kaget dan berubah hebat air muka Hoanthianeng, puluhan tahun
dia berkecimpung di Kangouw, belum pernah dia menyaksikan ilmu
pedang sedahsyat ini.
Sudah tentu dia tidak berani ayal, untuk menyela matkan jiwa
terpaksa dia jatuhkan diri, dengan me meluk pedang dia terus ber-
guling2 setombak lebih. Cara yang dite mpuhnya ini ternyata
me mbawa hasil.
Maklum jurus yang digunakan Loh-bi-jin ini ada lah "Naga
bertempur di tegalan", serangan ganas yang mematikan untuk
menghadapi musuh tangguh, Hoanthianengpun tak ma mpu
me matahkan serangan ini, cuma cara dia meniru keleda i
bergelinding di tanah ternyata berhasil menolong jiwanya, sinar
pedang ternyata tidak me lukainya.
Walau jiwanya lolos dari serangan maut, tak urung keringat
dingin sudah me mbasahi badannya, setelah berada di luar
jangkauan cahaya pedang lawan baru dia me lejit bangun terus
me layang jauh ke jalan pegunungan sana.
"Ke mana kau mau lari?" da mprat Loh-bi-jin. Segera iapun
menubruk ke sana sepesat anak panah, selarik sinar perak meluncur
bagai naga sakti me nga muk di udara, di tengah udara dia
menyerang musuh.
Sementara Hoanthianeng sendiri masih terapung di atas,
mendadak terasa hawa dingin menganca m dari bela kang, kagetnya
bukan ma in, batinnya: "Budak ini pandai mengendalikan pedang
terbang" Hati berpikir tanganpun terayun ke belakang dengan
pedang me mbacok.
"Trang", bentrokan dua pedang mengeluarkan gema suara,
bayangan merekapun seketika melorot turun. Tapi gerakan Sinliong
jut-hun (naga sakt i keluar mega) yang dilancarkan Loh bi-jin dari
tengah udara ini baru setengah gerakan saja, begitu tubuh
me luncur turun, cahaya pedangpun segera menya mber pula.
Sudah tentu hal ini di luar dugaan Hoanthianeng, baru saja kaki
hinggap di tanah, seluruh badan seketika terbungkus pula oleh
cahaya pedang lawan, di mana mata pedang berkelebat, seketika
dia menjerit ngeri seperti ba mbu yang terbelah menjadi dua, tahu2
badan Hoanthianeng roboh ke dua arah, badannya terbelah menjadi
dua potong dan terkapar di tanah.
Dengan gampang para dara kembang telah me mbereskan
kesembilan Sing-siok, kini dengan dua jurus perma inanr Tinpang-
kia m-thoat Loh-bi-jinq juga telah mena matkan perlawanan
Hoanthianeng. Maka kawanan Hek-liong-pang di sebelah barat telah
tertumpas habis seluruhnya.
Sementara di sebelah timur, Jianjiu-koanim Liu-s iancu masih
tetap bercokol di dalam tandunya, hanya menonton tanpa bergerak.
Sementara Kongsun Siang bersa ma Hou-hoat-cu-cia bersenjata
lengkap siaga dalam jarak lima tombak. Sudah tentu kalau Liu-
siancu benar2 mau turun tangan, Kongsun Siang berlima takkan
ma mpu menahannya" Tapi kenyataan sejauh ini di sebelah timur
tetap tenang dan damai.
Dala m pada itu Ko-lotoa sudah berhanta m ratusan jurus melawan
Ci Hwi-bing. Sebagai Ui-liong-tongcu Ci Hwi-bing me mang me miliki
kepandaian yang boleh dibangga kan, meski berhadapan dengan
teman la ma, na mun dia tidak kenal kasihan lagi, begitu sengit
pertempuran kedua orang ini, sinar pedang tampak me libat badan
masing2, kesiur angin taja m menda mpar kencang, dala m jarak dua
tombak sekeliling terasa arus dingin me-nyamber2.
Tombak gantol Ko-lotoa ternyata bermain dengan hidup sekali,
aneh me mang gaya tumbaknya, lain daripada yang lain, disamping
menusuk tumbaknya juga digunakan me mbe lah, menutul,
menggaruk dan me mapas, Hiat-to lawannya selalu terancam oleh
tumbaknya. Malah dua gantolan di ujung tumba knya disa mping
dapat menggantel dan menggaruk juga dapat mengunci senjata
lawan, begitu tangkas dan gesit dia me mainkan tumbaknya
schingga tubuhnya seakan2 terbalut di dala m sa mberan angin
kencang. Dua orang teman la ma dari ke 36 panglima Hek-liong-hwe
sekarang harus adu jiwa di medan laga sebagai musuh, kepandaian
merekapun se mbabat, sejauh mana sukar dibedakan siapa baka l
menang dan ka lah. Biarpun ratusan jurus lagi juga sukar diakhiri.
Song Tek-seng dan Thio Lam-jiang masih tetap satu lawan dua,
mereka masih bergerak lincah dan cekatan, keadaan masih sama
kuat alias setanding. Tapi jarak e mpat orang lawan sangat ber-
dekatan, sama2 mengenakan pakaian hitam ketat, bersenjata
pedang panjang warna hitam beracun lagi, malah muka merekapun
sama2 kuning kaku. La ma kela maan setelah ganti berganti saling
serang, akhirnya empat orang bersatu merangsak kedua lawannya.
Sudah tentu perke mbangan ini jauh berbeda dengan keadaan
semula. Mereka berkelit kian ke mari dan berputar ke sana-sini, yang satu
maju yang lain mundur silih berganti, sehingga kedua lawannya
selalu terkepung di tengah. Secara langsung dua berhadapan
dengan empat, kirikanan dan muka-be lakang Song Tek seng berdua
selalu terancam senjata lawan, lebih cela ka lagi karena kee mpat
musuhnya dapat kerja sa ma dengan ba ik sekali.
Kalau orang lain menghadapi lawan yang main keroyokan,
biasanya mereka akan adu punggung untuk me mbendung
rangsakan musuh, jadi mereka tetap bisa satu lawan dua,
Sayang Thio Lam-jiang adalah murid Hing-sanpay, Hing-sankia m-
hoat harus dike mbangkan secara berlompatan, me la mbung ke atas
dan menyerang lawan dari atas kepala, kalau dia harus adu
punggung dengan Song Tek-seng, itu berarti dia tida k se mpat
menge mbangkan ilmu pedang perguruannya.
Karena itu Thio La m-jiang tetap mainkan Hing-sankia m-hoat
sambil melompat naik turun, tapi berat bagi Song Tek-seng yang
harus menghadapi lawan dari depan. Loanbi bong-kia m-hoat Go bi-
pay meski juga ilmu pedang lihay dan sukar diraba arah sasarannya,
tapi di bawah kepungan kee mpat lawannya, lama2 dia terdesak di
bawah angin. Walau Thio La m jiang sela lu me mberi bantuan dengan
sergapannya, paling hanya sekedar mengacaukan gerakan musuh,
keadaan tetap tidak menguntungkan seperti waktu satu lawan dua
tadi. Apalagi ma in lompat dan menukik dari atas paling menguras
tenaga, lama2 dia kehabisan tenaga juga. Padahal pertempuran
berlangsung se makin sengit, tapi permainan pedang Song Te k-seng
dan Thio La m-jiang justeru se makin le mah dan kendur.
Sementara itu Ling Kun-gi sudah berhantam ratusan jurus
me lawan Tokko Siu. Sela ma itu La m-sat-sin berpeluk tangan di luar
arena, agaknya dia menjaga gengsi, tidak mau main keroyok.. Muka
kudanya tampak merengut, dengan tajam mengawasi pertempuran.
Cakar tangan Tokko Siu merangsak dengan buas dan liar, tapi
Kim-liong-jiu yang dilancarkan dengan kedua tangan Kun-gi
gerakannya saling berlawanan, terutama tangan kidalnya
menyerang lebih bagus lagi, selalu Hiat-to yang di ncar, gerakannya
indah dan menakjubkan, betapapun lihay serangan Tokko Siu selalu
dipaksanya menarik ke mba li di tengah jalan.
Selama ratusan jurus saling serang ini, belum pernah keduanya
mengadu pukulan secara keras na mun de mikian mereka toh sa ma2
merasa bahwa tipu serangan lawan amat berbahaya dan cukup
mengejutkan siapapun yang menyaksikan.
Di tengah pertempuran seru itulah, mendadak dari arah jauh di
sana beruntun berkumandang dua kali sempritan melengking
panjang. Mendadak Tokko Siu melancarkan dua serangan cepat secara
beruntun terus menarik diri melompat ke belakang, teriaknya
dengan suara sumbang: "Berhenti!"
"Tokko-heng, apakah kau ingin aku maju sekarang?" tanya Dian
Yu-hok. "Tida k," sahut Tokko Siu.
Kun-gi juga sudah berhenti, katanya: "Loheng, masih ada
petunjuk apa?"
"Anak muda, kau me mang sudah mendapat warisan kepandaian
Hoanjiu-ji-lay, orang yang mampu melawan ratusan jurus dengan
Lohu tidak banyak lagi di Kangouw, tapi Lohu yakin dala m 10 jurus
lagi pasti dapat merenggut nyawamu . . . . ."
"O, jadi selama ratusan jurus tadi aku masih hidup berkat
ke murahan hatimu?" eje k Kun-gi.


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Waktu Lohu bersama Dian heng ke mari, Hwecu telah pesan
wanti2 bahwa orang2 Pek-hoa-pang boleh dibabat habis kecuali kau
anak muda yang berna ma Ling Kun-gi ini yang harus ditawan
hidup2. " Kun-gi me mbatin: "Agaknya He k-liong-hwe a mat me mperhatikan
diriku, mungkin lantaran aku dapat memunahkan getah beracun
itu." Maka dengan tersenyum dia berkata: "Loheng berdua ingin
menawanku hidup2?"
"Lohu sudah bergebrak ratusan jurus dengan kau, kudapati Cap-
ji-kim-liong-jiu dapat kau ma inkan secara berlawanan dengan
tangan kirikanan sehingga banyak tipu2 seranganku terbendung di
tengah jalan, baru sekarang kutahu untuk menawanmu hidup2
me mang tidak mudah."
"Loheng terla lu me muji," ucap Kun-gi.
Serius sikap Tokko Siu, katanya: "Lohu bicara sebenarnya, tapi
dalam 10 jurus Lohu dapat merenggut nyawamu, oleh karena itu
Lohu teringat akan satu hal."
"Loheng punya pendapat apa?"
"Kau bukan tandinganku, hal ini tak perlu di bicarakan lagi, ma ka
lebih baik tak usah bergebrak lagi, ikutlah Lohu mene mui Hwecu
saja." "Cayhe memang sangat ingin berte mu dengan Hwecu ka lian,
apakah sekarang juga kita berangkat?"
Tokko Siu tertawa sambil mengelus jenggot, katanya: "Untuk
mene mui Hwecu tida k semudah itu, paling tidak Lohu harus
menutuk beberapa Hiat-tomu dulu baru boleh kubawa kau mene mui
beliau, tapi Lohu berjanji, kau tidak akan terganggu seujung
rambutpun."
"Jadi ma ksudmu supaya Cayhe menyerah dan rela dibelenggu?"
ucap Kun-gi. "Begitulah maksudku, cara ini bukan saja dapat me lindungi
nyawamu, ka mi berduapun dapat menunaikan tugas pada Hwecu."
Dian Yu-hok me ngangguk, tukasnya: "O mongan Tokko Siu
me mang betul. Anak muda, kalau kau mau ikut, soal ke matian
murid2 ka mi boleh tidak usah diperhitungkan lagi."
Kun-gi menengadah sambil ter-bahak2, katanya: "Sayang Cayhe
belum kalah, maksud baik ka lian biarlah kuterima dala m hati saja."
Tatkala mere ka berbicara, sementara pertempuran di arena lain
sudah terjadi banyak perubahan, Loh-bi jin dengan ilmu pedangnya
yang sakti telah me mbelah mati tubuh Hoanthianeng Siu Eng yang
dipercayakan me mimpin kese mbilan Sing-siok. Sedang sembi an
Sing-siok yang kebal senjata itupun sudah terbakar menjadi abu,
ma lah apipun telah pada m. Se mentara Jianjiu-koanim Liut-siancu
yang me mbendung arah timur, begitu terdengar suara sempritan
me lengking tinggi tadi segera dia mengundurkan diri secara dia m2.
Kini tinggal Ko-lotoa yang masih berhantam sengit me lawan Ci
Hwi-bing, demikian juga, empat orang berbaju hitam masih
mengepung Song Tek-seng dan Thio La m-jiang dan baku hanta m
tak kalah serunya.
Di tengah tanah lapang berumput itu, tandu hitam yang biasa
dinaiki Thay-siang tetap berada di sana terjaga ketat oleh Ting Kiau
dan empat rekannya.
Kongsun Siang me ndahului melompat maju ikut terjun ke medan
laga, sekali tubruk, "sret", pedangnya menyerang miring dari
samping ke arah Ci Hwi-bing.
Selama menghadapi Ko-lotoa masih setanding, sejak mendengar
suara sempritan tadi, perasaan Ci Hwi-bing sudah mulai ka lut dan
sudah timbul niatnya untuk mundur saja. Kini melihat Kongsun
Siang menubruk tiba seraya menyerang, tanpa ayal beruntun
tangannya bergerak melancarkan serangan berantai sehingga kedua
lawan dipukul mundur, mendadak kedua kaki me nutul, bagai panah
me luncur tubuhnya melayang ke arah Ui liong-tong.
Dala m pada itu Loh-bi-jin juga telah me narik dara2 ke mbang
ketanah berumput, dara2 ke mbang dia suruh berpencar melindungi
tandu, sambil menenteng pedang, beruntun dua kali lompatan dia
me mburu ke arena Song Tek-seng dan Thio La m-jiang, tanpa
bersuara pedangnya lantas menyerang,
Untuk mengakhiri pertempuran secepatnya, sekali serang dia
gunakan tipu "naga sakti keluar mega", selarik sinar bagai rantai
perak terbang melintang, orangnya tiba pedangpun bekerja.
Sinliong-jut-hun (naga sakti ke luar mega) adalah salah satu jurus
Hwi-liong-kia m-hoat yang ampuh, kekuatannya dahsyat tiada
taranya. empat laki baju hitam hanyalah tingkat Sincu yang lebih
rendah dari Ui-liong-tongcu, mana ma mpu mereka bertahan atau
menangkisnya. Maka terdengarlah jeritan menyayatkan hati, dua
orang seketika tersapu roboh dengan badan terpapas kutung
menjadi dua tepat sebatas pinggang mereka.
Saat mana Song Te k-seng dan Thio La m-jiang sudah terdesak di
bawah angin dan terancam bahaya, kini me mperoleh pertolongan
yang sekaligus terbunuhnya dua musuh, keruan berkobar pula
semangat tempur mereka. Thio La m-jiang menghardik seraya
me lejit ke atas, pedang menabas ke salah seorang baju hitam di
depannya. Sementara Song Tek-seng berbareng juga memba lik
pedang, bagai hujan badai beruntun ia menusuk tiga kali.
Melihat Tongcu mereka melarikan diri, sementara dua teman
mereka roboh binasa, kedua orang baju hita m yang tersisa ini
menjadi gugup, berbareng mereka menggertak tapi terus me lompat
mundur dan lari sipat kuping.
Le mbah gunung yang seluas itu, kini menjadi sepi lengang, di
tanah lapang berumput di depan gua hanya tampak orang2 Pek-
hoa-pang berdiri berjajar teratur. Entah kapan empat lampu la mpion
yang tergantung di atas ngarai tadipun pada m.
Kongsun Siang, Song Tek-seng, Loh-bi-jin dan la in2, karena Kun-
gi masih berhadapan dengan kedua kakek, tanpa perintah sang
Cong-su-cia betapapun mereka tidak berani sembarang bergerak,
terpaksa mereka me nonton saja dari sa mping.
Terlalu panjang beberapa kejadian ini dituturkan deugan kata2,
padahal kejadian hanya berlangsung dala m sekejap saja. Tokko Siu
yang membujuk Ling Kun-gi tidak berhasil dan malah diejek menjadi
naik pitam. biji matanya mernancarkan cahaya dingin, dengusnya:
"Anak muda. baik-lah coba kau hadapi dulu satu dua jurus
pukulanku, nanti kau a kan tahu bahwa omonganku bukan bua lan
belaka." Tangan bergerak langsung kepa lannya menggenjot lurus
kedepan. Pukulan ini jauh berbeda dengan serangan ber-tubi2 tadi,
damparan angin yang dingin me mbeku tulang segera menerjang ke
depan. "Hianping-ciang,' dia m2 Kun-gi berteriak dalam hati. Cepat dia
ma inkan jurus Hwi-po-liu-cwan (sumber mengalir muncrat
beterbangan), dia sambut pukulan lawan dengan kekerasan. Begitu
kedua tangan mereka berada, terdengarlah suara "plak", keduanya
lantas berdiri dan tida k berge ming lagi.
Muka Tokko Siu yang pucat memut ih itu tampa k berubah semu
hitam gelap, katanya: "Di bawah pukulan, Hianping-ciangku tiada
lawan yang sanggup bertahan 10 jurus, sambutlah dua jurus lagi."
Kembali ia me mukul dari depan, tanpa menarik telapak tangan
kanan, tahu2 telapak tangan kiri sudah me mbe lah tiba.
Kun-gi kerahkan Lwekang pe lindung badan, dia tertawa lantang
dan berkata: "Sila kan Loheng keluarkan ilmu pukulanmu sesuka mu,
coba saja Cayhe ma mpu melawan atau tidak?" Berbareng ia sa mbut
pula pukulan lawan.
Dua pukulan susulan Tokko Siu ternyata lebih dahsyat, bukan
saja tenaga pukulannya bertambah lipat, hawa dingin yang teruar
dari pukulannya juga bertambah, makin la ma makin dingin, waktu
pukulan ketiga dilancarkan, darahpun bisa beku rasanya.
Maka terdengar suara keras "Blang, blang", dengan tenang Kun-
gi sambut pukulan lawan. Mata Tokko Siu yang me micing seakan2
me mancarkan bara, serunya menyeringai : "Bagus seka li!"
Kedua tangan terangkat ke atas, badannya yang kurus tinggi
mendadak mendesak maju, dengan jurus Lui-tiankiau-ki (kilat dan
guntur menyerang ber-sama), ia menyerang pula.
Untuk jurus serangan ini, boleh dikatakan dia ha mpir
mengerahkan 10 bagian tenaganya. Baru saja tangannya bergerak
dan pukulan mulai dilancarkan, gelombang dingin seketika
me mbanjir seiring gerak pukulannya, betapa hebat serangannya
sungguh a mat mengejutkan. Begitu hebat hawa dingin ini laksana
arus dingin yang mengalir dari gunung es atau lembah salju, pohon
bisa mati me mbeku, demikian air seketika bisa beku menjadi batu,
kalau manusia bukan saja badan seketika menjadi kaku, darahpun
me mbe ku dan napas sesak dan buntu dengan sendirinya jiwapun
me layang seketika.
Di sinilah kehebatan Hian ping-ciang sehingga ilmu pukulan ini
dipandang pukulan dingin dari a liran sesat yang paling hebat.
Melihat kehebatan Hianping-ciang ternyata jauh di luar
dugaannya, wajah Kun-gi yang semula mengulum senyum kini
tampak kaget dan prihatin, pikirnya: "Lwekang orang ini begini
tangguh, jika kena keserempet angin pukulannya saja jiwa pasti
seketila melayang dengan badan me mbeku."
Cepat ia menghirup napas, dia mulai mengerahkan kaesaktian Bu
siang sin kang untuk me lindungi seluruh badan. Ia berdiri tegak,
lengan kanan tegak ke atas, kelima jari bergaya menyanggah langit,
sedang tangan kiri menjurus lurus ke bawah, kelima jari seperti
menyanggah bumi. Inilah Mo-ni-in, ilmu sakti aliran Hud yang paling
hebat untuk menundukkan setan iblis.
Karena Hianping-ciang lawan me mang hebat, otak Kun gi bekerja
kilat, dia yakin dala m perbendaharaan ilmu silat yang pernah dia
pelajari hanya Mo-ni-in saja kira2 cukup kuat menghadapi Hianping-
ciang. Kun-gi berdiri tegak sekukuh gunung tidak berge ming, hawa
pukulan Hianping ciang mener-jang dirinya, tapi arus yang kencang
itu seketika tersiak minggir seperti arus sungai yang menerjang batu
karang di tengah sungai. Se mentara Tokko Siu yang mendesak maju
kini sudah berada di depan Kun-gi.
Tatkala menyadari ke kuatan pukulannya yang sedahsyat itu
tersiah oleh kekuatan ilmu pelindung badan lawan, Hianping-ciang
yang dipandang sebagai ilmu kebanggaannya ternyata tidak ma mpu
me lukai pe muda ini, sudah tentu dia tersengat kaget. Tapi sejauh ini
dia sudah bergerak, untuk mundur sudah kepalang tanggung dan
tak sempat lagi, terpaksa dia nekat, ia kerahkan sepenuh
kekuatannya pada kedua tangan terus menepuk ke dada Kun-gi.
Kejadian laksana percikan api cepatnya, melihat Tokko Sin
sekaligus melancarkan serangan dengan kedua tangannya yang
hebat itu, arus dingin laksana curahan a ir terjun yang tumpah ke
bawah. Hakikatnya Lansat-sin yang sejak tadi menonton di luar arena
tidak perhatikan bahwa Tokko Siu yang mendesak maju di depan
Ling Kun-gi ini sudah menghadapi jalan buntu, tapi dia kira
me mperoleh kese mpatan yang baik. Segera dia ke mbangkan Tay-
na-ih-sinhoat, gerak langkah yang mengaburkan pandangan mata
orang, sekali berkelebat tahu2 dia sudah melejit ke belakang Kun-gi,
sejak tadi tenaga sudah dia simpan dan terhimpun di lengan, kini
dia angkat tangan kanan, kelima jari dan telapak tangannya
berubah biru kela m dan secepat kilat mengecap ke punggung Ling
Kun-gi. Kongsun Siang berdiri aga k jauh, bukan main kagetnya melihat
kelicikan musuh yang ma in me mbokong ini, teriaknya cepat: "Awas
Cong-coh."
Sekujur badan Kun-gi diliputi hawa pelindung badan, tapi dia toh
masih merasa kedinginan seperti kecebur di gudang es. Melihat
tekanan berat yang aneh dan luar biasa pukulan Tokko siu sudah
menepuk tiba di depan dada, mendadak ia mengge mbor
sekeras2nya, tangan kanan yang terangkat lurus ke atas tahu2
me mba lik turun dan ba las menepuk ke depan. Kebetulan pada saat
yang sama Lansat-sin Dian Yu-hok telah berada di belakangnya dan
me mukul dengan se luruh kekuatan Lansat-ciang.
Begitu tangan kanan menepuk, seketika Kun-gi sadar bahwa Dian
Yu-hok me mbokongnya dari belakang, tanpa pikir tangan lagi lantas
mengebas kebelakang. Gebrakan ini dila kukan tiga orang sekaligus
dengan seluruh kekuatan dan secepat kilat.
Mo-ni-in adalah ilmu sakti penakluk setan iblis aliran Hud ( Budha
), ilmu yang tiada taranya ini merupakan lawan me matikan yang
paling telak bagi Hianping-cian dan Lansat-ciang.
Waktu melancarkan serangan dengan penuh tenaga, tak terpikir
oleh Tokko Siu bahwa Ling Kun-gi ba kal balas menyerang dengan
bekal ilmu saktinya pula, maka terasa segulung kekuatan terpendam
yang tak kelihatan sekeras gugur gunung menindih tiba. Bukan saja
seluruh kekuatan Hianping-ciang yang dia lancarkan terbendung
sehingga tidak ma mpu dilancarkan lagi, berbareng iapun merasa
napas sesak dan hawa murni terbenti, keruan ia terkesiap, saking
gugupnya sekuatnya dia meronta terus melompat mundur. Bukan
lagi mundur, bahkan badannya terdorong mencelat setombak lebih,
mulut terbuka darahpun menye mbur keluar, badan limbung ha mpir
terjungkal roboh.
Agaknya dia berusaha kendalikan badan untuk berdiri supaya
tidak jatuh, maka setelah mundur sejauh satu tombak, langkah
kakinya masih bergerak dengan harapan dapat memberatkan tubuh,
tapi usahanya tetap sia2, setelah beberapa langkah lagi, a khirnya
dia roboh terkapar. Sesaat dia masih berusaha merangkak bangun,
kedua matanya mendelik menatap Ling Kun-gi, suaranya serak,
tanyanya: "Kau . . . . . . ilmu apa ini?"
Selama ini Kun-gi me matuhi pesan gurunya, jika tidak terpaksa
dan terancam bahaya dilarang se mbarang me nggunakan Mo-ni-in,
kali ini lantaran serangan Hianping-ciang Tokko Siu sede mikian
hebat,maka iapun kerahkan kekuatan Mo-ni-in untuk
menghadapinya. Sungguh tak pernah terbayang dalam ingatannya
bahwa perbawanya begitu dahsyat, Tokko Siu dibuatnya mencelat
setombak lebih. Dala m keadaan sekarat setelah terluka parah,
Tokko Siu masih mendongak bertanya ilmu apa yang dia guna kan
untuk melawan Hianping-clang, maka ia pun menjawab: "Cayhe
menggunakan Mo-ni-in."
"Mo-ni-in. . . . . " terbeliak mata Tokko Siu, beberapa kali
mulutnya berkomat-komit, mendadak napasnya me mburu dan
kepalanya tergentak ke belakang, tubuhpun ambruk telentang dan
tak bergerak lagi.
Dala m pada itu Lan sat-sin Dian Yu- hok yang melancarkan
Lansat-ciang me mbokong Ling Kun-gi dari belakang, waktu telapak
tangannya hampir saja mengenai punggung orang, mendada k
dilihatnya Kun-gi mengipatkan tangan kiri ke bela kang. Dala m hati
ia tertawa dingin: "Seorang diri betapa tinggi kekuatanmu" Masakah
ma mpu me lawan gabungan serangan ka mi berdua dari depan dan
belakang?"
Lan sat-ciang adalah ajaran sesat yang diciptakan oleh tokoh
bernama Umong, siapapun yang terkena pukulan ini akan mat i
seketika dengan badan hangus, tapi Mo-ni-in yang dikerahkan Kun-
gi kali ini ibarat air di da la m belanga yang sudah mendidih dan
hampir be ludak, ke kuatannya sudah mencapai puncaknya, apalagi
dia gunakan kipatan tangan kida l, itulah ajaran tungga l yang
diciptakan Hoanjiu-ji-lay sendiri.
Ketika Lansat-sin Dian Yu-hok merasa kegirangan itulah,


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendadak terasa bahwa kipatan tangan kiri Ling Kun-gi
menimbulkan ke kuatan yang tiada taranya, sekokoh tembok baja
yang tak tembus, lebih celaka lagi ke kuatan lunak me mbaja ini
seketika juga menerjang dirinya seperti gelombang bada i
dahsyatnya. Pertahanan lawan yang ma mpu menyerang balik ini
sungguh di luar dugaannya.
Tapi karena La m-sat-sin terla lu yakin bila Lansat-ciang mengenai
tubuh lawan jiwa orang pasti melayang keracunan, sudah tentu
iapun tidak mau mundur meski menghadapi perlawanan yang hebat
ini, tenaga malah dipusatkan sementara telapak tangan kanan tetap
menepuk, serangan yang semula dia arahkan punggung Ling Kun-gi
sekarang malah dia ubah arahnya me mapak telapak tangan Ling
Kun-gi yang mengipat ke belakang itu. Jelas tujuannya amat keji
dan jahat. Sayang dia tidak tahu bahwa Mo-ni-in adalah ilmu mukjijat aliran
Hud yang sakti, wa ktu dilancarkan kekuatannya tidak kelihatan
besar, bila sudah mengadu pukulan secara telak baru kekuatannya
timbul berlipat ganda.
Setelah Lansat-sin menyadari adanya gejala tidak enak, na mun
sudah terlambat, kekuatan lunak se kokoh baja itupun sudah
me mukul dadanya. Lansat-ciang yang dilatihnya sela ma berpuluh
tahun kali ini sa ma sekali tak ma mpu dilancarkan, tahu2 terasa
sekujur badan mengejang dan bergetar, seperti orang yang
didorong mendadak tanpa kuasa dia terhuyung mundur beberapa
langkah. Melihat dia me mbokong Ling Kun-gi, sudah tentu Kongsun Siang
tidak berpeluk tangan, meski pertolongannya terlambat, tapi dia
tetap menubruk maju, me mang hatinya lagi gusar kebetulan dilihat
lawan tergetar mundur, segera dia menubruk miring berbareng
pedang menusuk, Kalau dala m keadaan biasa, dengan tingkat
kepandaian Dian Yu-hok pasti dengan mudah dia dapat berkelit, apa
daya sekarang dia sudah terkena getaran pukulan Mo-ni-in yang
hebat itu, badan sendiri sudah tak kuasa dikendalikan, mana dia
sanggup berkelit lagi.
"Bles", ujung pedang yang runcing ge milapan tahu2 mene mbus
dada dari belakang. Lansat-sin hanya merasakan badan tertembus
oleh sesuatu yang dingin, matanya terbeliak, waktu menunduk,
dilihatnya ujung pedang tembus keluar dari dadanya, tampang
kudanya seketika pucat pias, teriaknya tertahan: "Siapakah yang
menusuk Lohu?" Pelan2 badan menjadi le mas dan jatuh terkulai.
Dengan bebrseri tawa Loh-bi-jin mengha mpiri, katanya: "Hebat
benar ilmu Cong-su cia."
Kun-gi ma lah mengerut kening, katanya: "'Mungkin Cayhe terlalu
keras me mukulnya." Belum habis bicara, tiba2 ia sendiri terhuyung
mundur. Loh-bi jin kaget, tanpa hiraukan adat laki-pere mpuan lagi le kas
dia me mapah, tanyanya penuh perhatian: "Cong-su-cia, kenapa
kau?" Dilihatnya muka Kun-gi pucat dan agak gemetar pula, serunya
gugup: "Hai, lekas kalian ke mari, mungkin Cong-su-cia terbokong
oleh musuh?"
Ko lotoa, Song Te k seng, Kongsun Siang, Thio La m-jiang segera
merubung datang.
Kata Kongsun Siang: "Cong-su cia, cobalah kerahkan hawa
murni, di mana letak salahnya."
Mata Ling Kun-gi terpeja m, dia berdiri dia m, sesaat lamanya baru
air mukanya tampak bersemu merah, pe-lahan2 dia mengirup napas
panjang dan me mbuka mata. Melihat Loh-bi-jin me mapahnya, sorot
matanya menunjuk rasa kaget dan keheranan, iapun merasa rikuh,
katanya: "Terima kasih nona, aku tidak apa2."
Jengah Loh-bi- jin, katanya dengan mengerling: "Sebetulnya apa
yang terjadi Cong su-cia?".
"Hianping-ciang Tokko Siu me mang lihay sekali," de mikian ucap
Kun-gi," sedikit lena, badanku terembes hawa dingin, seluruh badan
seketika terasa me mbeku . . . . "
"Sekarang sudah baik bukan?" tanya Loh bi-jin penuh perhatian.
"Untung segera aku me nyadari kela laianku, sekarang sudah
baik." Ko-lotoa menyelutuk: "Tokko Siu berjuluk Ping-sin (mala ikat es),
entah betapa banyak tokoh2 Kangouw yang kecundang oleh
Hianping-ciang, mala m ini ia kebentur Cong coh, tamatlah riwayat
kejahatannya yang kelewat takaran"
Kun-gi menoleh ke sekitarnya, tanyanya: "Musuh sudah mundur
seluruhnya?"
"Mendengar suara sempritan, Liu-s iancu di arah timur tiba2
mengundurkan diri, se mentara kesembilan Sing-siok di sebelah
barat telah dibereskan oleh dara ke mbang dan terbakar me njadi abu
oleh peluru Bik-ya m-tan."
Kun-gi menghelar napas lega, katanya: "Thay-siang me mang
serba tahu, ramalannya tidak pernah meleset, segala gerak-gerik
musuh sudah tergengga m di telapak tangannya, sungguh amat
mengagumkan."
Ko-lotoa berkata: "Ui-liong-tongcu Ci Hwi-bing juga segera
mengundurkan diri setelah mendengar suara sempritan tadi, karena
Cong-coh tidak me mberi perintah, kami t idak berani bergerak.
Sukalah Cong coh segera a mbil tindakan."
Kun-gi me mandang ke arah Ui-liong-tong di kejauhan sana,
tampak gua itu bermulut besar dan tinggi, pintu gua terbuka lebar,
seperti tiada penjagaan, keadaan gelap pekat tak kelihatan keadaan
di dala m, diam2 timbul rasa curiganya, katanya setelah tepekur
sebentar: "Ui-liong-tong adalah pusat pimpinan Hek-liong-hwe,
kalau pintunya terbuka lebar tentu ada perangkapnya, lebih baik
kita bekerja menurut pesan Thay-siang saja."
Loh-bi jin me ngiakan, segera dia me mberi tanda, empat dara
ke mbang segera pikul tandu kecil itu mengha mpiri. Inilah bunyi
tulisan Thay-sian dala m surat rahasianya: "Terjang ke bawah Ui-
lionggia m, le mparkan tandu ini ke Ui-liong- tong."
Kun-gi suruh orang banyak berpencaran mencari tempat masing2
dan mengepung Ui-liong-tong dengan ketat, sementara, empat
Hou-hoat-su-cia yang angkat tandu itu segera diayunnya bolak-balik
terus dilemparkan ku Ui liong- tong. Karena lemparan yang kuat,
tandu itu meluncur kencang ke mulut Ui-liong-tong yang menganga
lebar, tertampaklah api tepercik terus terdengar ledakan keras yang
mengge legar menggetarkan bumi.
Bumi laksana ge mpa keras, sementara ledakan masih terus
berbunyi saling susul schingga tebing di puncak atas sana retak dan
batu2 besar sama mengge lindang berjatuhan tercampur dengan
padas2 yang terlempar keluar dari dala m gua, terdengar suara jerit
tangis dan pekik orang di sana-sini. puluhan tombak dise kitar
le mbah diliputi asap dan debu yang tercampur dengan batu yang
beterbangan, jari tangan sendiri sampai tidak terlihat jelas apa lagi
mengawasi te man2 yang la in.
Kiranya tandu itu berisi bahan peledak yang beratnya hampir
sekwintal, maka dapatlah dibayangkan betapa hebat daya
ledakannya, ternyata Ui-liong tong telah diledakkan hingga rata
dengan tanah. Ngarai le mbah naga kuning di atas sanapun telah gugur rata
me menuhi le mbah.
Waktu me mbaca surat rahasia Thay-siang tadi sebetulnya Kun-gi
sudah mendapat firasat bahwa yang tersimpan di dala m tandu pasti
obat bakar yang amat lihay kekuatannya, baru tandu dile mpar ke
dalam gua pasti menimbulkan kobaran api besar, karena tak bisa
menye mbunyikan diri pasti kawanan bangsat Hek-liong-hwe akan
terjang keluar. Oleh karena itu dia suruh 8 Hou-hoat-su-cia dan 20
dara kembang berpencar mengepung Ui-liong-tong, musuh yang lari
keluar akan ditumpas atau ditawan hidup2.
Dia sudah perintahkan se mua orang berse mbunyi agak jauh dari
mulut gua, supaya senjata api sendiri tidak melukai mereka, tapi tak
pernah terduga olehnya bahwa tandu itu me mbawa sekwintal bahan
peledak, betapa dahsyat kekuatannya, gua sebesar itu serta ngarai
diataspun dibikin gugur dan lebur.
Begitu mendengar suara ledakan Kun-gi lantas merasakan
getaran hebat mirip ge mpa bumi, le mbah dan ngarai seperti
berguncang, keadaan amat ga-wat sekali, lekas dia kerahkan
Lwekang serta me mbentak sekeras guntur: "Se mua mundur!"
Walau dia berseru dengan kekuatan Lwekang yang tinggi, kalau
dalam keadaan biasa suaranya mungkin bisa terdengar cukup jauh,
tapi kini gunung gugur bumi berguncang hebat, suara ledakan
masih terus berkumandang saling susul sehingga seruannya tak
terdengar sama sekali.
Melihat gelagat jelek, sekali raih Kun-gi pegang tangan Ko-lotoa
yang berdiri disa mpingnya se mbari me loncat mundur sejauh
mungkin Kong-sun Siang berdiri di sebelah kiri, mulutnyapun
berteriak: "Song-heng, Thio heng, lekas mundur!" Begitu bergerak,
dengan gaya serigala menubruk sekaligus dia me lompat mundur
sejauhnya. Waktu dia berdiri tegak dan menoleh, batu2 sebesar
gajah sedang bergelundungan dari atas ngarai, debu beter-bangan
dan batu berlompatan menguruk le mbah.
Tadi masih terdengar beberapa kali jeritan kaget dan kesakitan di
sana sini, kini kecuali batu gunung yang masih bergelindingan
dengan suara gemuruh, suara orang tak terdengar lagi. Agaknya
semua orang sudah teruruk di bawah reruntuhan.
Kaget Kongsun Siang, ia coba berteriak: "Cong-coh, Cong-su-cia .
. . . .. . . "
Didengarnya suara Kun-gi juga sedang berteriak: "Kongsun-heng,
kau tidak apa2?"
"Ling-heng," teriak Kongsun Siang berjingkrak girang, secepat
terbang dia melompat ke arah datangnya suara.
Di tanah lapang berumput agak jauh sana keadaan masih gelap
berkabut debu, tampak Ling Kun-gi tengah berjongkok, sebelah
tangannya menekan punggung Ko-lotoa,kiranya tengah
menyalurkan hawa murni ke badan orang.
Tiba di sa mping orang Kongsun Siang lantas bertanya: "Cong-
coh, kenapa, Ko lotoa?"
Sebelah tangan Kun-gi tetap tak bergerak, katanya gegetun:
"Waktu kutarik dia lompat ke belakang dada Ko-lotoa keterjang batu
terbang, mungkin . . ."
Belum habis dia bicara, dilihatnya Ko-lotoa telah me mbuka
matanya, sinar matanya pudar, bibir bergerak mengeluarkan suara
le mah, kata2nya ter-putus2.
"Terima kasih, . . . . Cong. . . . . coh, aku tak. . . , tak tahan. . . .
. lagi, Ui-liong . .. . . tong. . . . . . . di belakangnya ada . . . . . ada sebuah. . . . . .. jalan rahasia . . . . . . menembus. . . . . . '.' darah
segar tahu2 menyembur keluar dari mulutnya, sehingga dia tak
ma mpu meneruskan kata2nya.
Lekas Kongsun Siang berkata: "Ko-lotoa, tenangkan hatimu,
apakah maksudmu bahwa di bela kang Ui-liong-tong ada ja lan
rahasia yang tembus ke mana?"
Kun-gi lepaskan telapak tangan yang menekan punggung orang,
katanya rawan: "Dia sudah mangkat." Pelan2 dia berdiri, matanya
menje lajah sekitarnya, tanpa terasa dia berkata dengan nada, sedih:
"Kongsun-heng, agaknya tinggal kita berdua saja yang masih
ketinggalan hidup dala m rombongan besar kita tadi."
"Mungkin masih ada yang smpat lolos, debu masih mengepul
setebal ini dan sukar melihat keadaan," ujar Kongsun Siang.
Kun-gi me nggeleng dan berkata setelah menghela napas:
"Peristiwa ini terjadi a mat mendadak, kita berdiri lima tomba k di luar Ui-liong-tong, begitu me lihat gelagat jelek aku segera menarik Ko-lotoa me lompat ke be lakang, tapi Ko-lotoa tetap keterjang batu,
padahal dara2 kembang dan Houhoat-su-cia tersebar disekeliling Ui-
liong-tong da la m jarak t iga tombak, mana mungkin mereka se mpat
me loloskan diri" Kese mbronoanku yang harus disalahkan, sejak
mula harus kuduga bila dala m tandu pasti tersimpan bahan peleda k
yang amat lihay, seharusnya kusuruh semua orang berdiri lebih jauh
lagi."' Kongsun Siang berkata: "Hal ini tak bisa menyalahkan Cong-coh,
kalau Thay-siang me mbawa dina mit di dala m tandu seharusnya dia
jelaskan dala m surat petunjuknya, menurut dugaanku, dinamit yang
dapat menggugurkan separo gunung ini kalau tidak sekwintal pasti
ada delapan atau sembilan puluh kati beratnya, kalau memang tida k
tahu menahu, umpa ma berdiri jauh dan berilmu silat tinggi juga
takkan se mpat menghindarkan diri, apalagi menurut petunjuk kita
harus menerjang masuk ke Ui-liong-tong, bahwa Cong-coh sudah
suruh mereka menyebar sejauh tiga tombak, ini sudah cukup
cermat juga." Secara langsung dia salahkan Thay-siang yang tidak
menje laskan persoalannya sehingga jatuh korban sebanyak ini.
Kun-gi dia m sejenak tanpa bersuara, pelan2 kepalanya terangkat
dan berkata: "Kongsun heng, marilah kita berpencar me meriksa
keadaan, mungkin masih ada yang cuma terluka parah dan belum
ajal, perlu segera kita menolongnya.
Kongsun Siang mengangguk, katanya: "Benar Cong-coh."
Mereka lantas berpencar ke kanan kiri dan me meriksa sekitar Ui-
liong tong, debu yang beterbangan sudah mula i reda, keadaan
sudah mulai terang. Maka puluhan tombak seke liling Ui-liong-tong
bisa terlihat jelas, ternyata batu2 padas melulu yang berserakan
me mbukit di tempat itu, keadaan sudah berubah bentuk dan tak
dikenal lagi. Pertama Kun-gi mene mukan jenazah Song Tek-seng, dia sudah
berada tujuh tomba k jauhnya dari Ui-liong-tong, punggungnya
tertindih batu besar dan mati tengkurap. Bergidik seram Kun-gi,
dia m2 ia berkata: "Song-heng, tenangkanlah dirimu dala m
istirahatmu, nanti akan kukebumikan bersama dengan kawan2 yang
lain." Lalu dia maju lebih lanjut, ditemukan pula Loh-bi-jin, tadi dia
berdiri tepat di mulut Ui-liong-tong, badannya gepeng tertindih batu
besar yang jatuh ke bawah, hanya sebelah tangannya saja yang
kelihatan menjulur keluar, ke matiannya amat mengenaskan.
Dari lengan bajunya Kun-gi mengenali Loh-bi-jin yang tertindih di
bawah batu2 ini, mengingat kebaikan orang yang telah me mapah
dirinya tanpa hiraukan perbedaan laki pere mpuan waktu dirinya
sempoyongan setelah mengadu kekuatan dengan Hianping-ciang
Tokko Siu, sungguh ia berterima kasih dan terharu, kini berta mbah
lagi sedih dan pilu, kejadian baru berselang beberapa kejap, tapi
jiwa orang sudah mangkat mendahului nya.
Pada saat itulah, mendadak seorang berteriak serak di sebelah
kiri sana: "Lekas ke mari, tolonglah aku!"
Cepat Kun-gi me mburu ke sana seraya berteriak: "Dimana kau?"
Mendengar suara Kun-gi, agaknya terbangkit se mangat orang itu,
teriaknya lebih keras: "Cong-coh, inilah aku Ting Kiau, tertindih di
celah2 batu besar ini."
Belum habis dia bicara Kun-gi sudah melompat tiba, tampak
olehnya Ting Kiau tertindih di bawah sebuah batu raksasa yang
ribuan kati beratnya. Waktu batu raksasa ini me nggelundung dari
puncak, kebetulan me mbentur batu padas yang menonjol dari
dinding gunung sebelah belakang dan Ting Kiau kebetulan se mbunyi
di bawah batu padas yang menonjol ini sehingga batu ra ksasa tadi
tidak menindihnya hancur, dia terjepit di ce lah2 batu tanpa bisa
bergerak, hanya kepalanya saja yang menongol ke luar.
"Ting-heng tida k terluka bukan?" tanya Kun-gi.
Badan Ting Kiau meringka l, sahutnya: "Hamba tidak apa2,
tempat ini kebetulan cukup untuk sembunyi, kalau tidak badanku
tentu sudah hancur lebur."
Mengawasi batu raksasa ini, Kun-gi me mperkirakan batu ini ada


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seribu kati beratnya, maka dia kerahkan tenaga, pelan2 kedua
tanganya menyanggah batu serta mendorongnya ke samping,
katanya: "Awas Ting-heng." Sekali gentak, batu besar itu kena
digeser ke atas.
Tanpa ayal Ting Kiau me mberosot keluar, katanya sambil
me lompat berdiri: "Cong-coh, ha mba sudah ke luar."
Pelan2 Kun-gi lepaskan batu raksasa itu, katanya ke mudian:
"Ting-heng, lekas sa madi sebentar, apakah kau terluka?"
Ting Kiau menggerakkan kaki tangannya serta menghirup napas
panjang, katanya tertawa: "Hamba baik2 saja, sedikitpun tidak
terluka. . ."
"Sela mat Ting-heng, syukurlah ka lau tida k terluka, marilah ikut
mencari yang la in mungkin ma-sih ada yang perlu ditolong."
Mereka maju terus ke sekelilingnya, tapi batu melulu yang
tertumbuk, kaki tangan manusia berserak di antara himpitan batu2,
jadi sukar dibedakan jasat siapa yang telah tak berbentuk itu,
semuanya mati da la m keadaan yang mengerikan.
20 dara kembang tiada satupun yang hidup, delapan Hou-hoat-
su-cia hanya Ting Kiau seorang yang sela mat tiga Houhoat
ketinggalan Kongsun Siang saja yang lolos dari elma ut. Barisan yang
me luruk datang ber-bondong2 dengan mengerek panji2 segala kini
sudah tertumpas habis oleh ledakan tandu yang dibawa sendiri, jadi
bukan mati di medan laga dan gugur bersama musuh. Peledak
itupun sedianya untuk menghancurkan sarang musuh, tak nyana
orang sendiripun ikut me njadi korban. Me mangnya ini sudah suratan
nasib" Lama Kun-gi berdiri di depan Ui-liong-tong, tak terbilang betapa
berat perasaannya Kongsun Siang mengha mpiri, katanya lirih:
"Cong-coh, bagaimana kita harus bertindak lebih lanjut'?"
"Kecuali kita bertiga agaknya tiada yang hidup lagi, tugas kita
sekarang yang utama adalah mengumpulkan jenazah mereka sebrta
menguburnyad."
"Cong-coh mea mang benar," tibmbrung Ting Kiau, "berapa
banyak yang dapat kita temukan kita kuburkan bersama supaya
mereka tentera m di ala m baka."
Mereka segera bekerja keras, mengeduk liang lahat dan
mengumpulkan jenazah yang berserakan. setelah dua liang lahat
besar mereka gali, Kun-gi mengha mpiri jenazah Loh-bi-jin, dia
singkirkan batu besar yang menindih tubuhnya serta mengusung
jenazahnya ke dalam liang lahat, sementara Kongsun Siang dan
Ting Kiau juga sibuk menggotong jenazah dara2 kembang yang lain,
kaki tangan yang terputus berserakan di mana2 mere ka kumpulkan
serta di-uruk menjadi satu.
Pada liang lahat kedua, mereka kebumikan ber-sama Song Tek-
seng, Ko-lotoa serta mencari pula, yang lain. se muanya dala m satu
liang lahat. Berdiri di depan pusara massal itu Kongsun Siang terlongong
sekian la manya, katanya: "Thio-heng (Thio La m-jiang) tadi
bersamaku waktu tandu dile mpar ke dala m Ui-liong-tong, meski
tempat ka mi berdiri tepat di depan Ui-liong-tong, tapi jaraknya
sekitar lima tombak, Thio-heng meyakinkan ilmu pedang yang
menguta makan kelincahan mengapung di udara, Ginkangnya cukup
tinggi dan me lebihi a ku, bahwa jiwaku bisa sela mat, seharusnya
Thio-heng pun bisa lolos dari maut, kenapa jenazahnya tidak kita
temukan?" Maklum, hubungannya dengan Thio La m-jiang pa ling int im, tak
tertahan air matapun bercucuran, memikirkan nasib teman baiknya
itu. "Jangan berduka Kongsun-heng, takdir menghendaki de mikian,
kita terima saja musibah ini dengan lapang dada," kata Kun-gi.
"Cong-coh," ucap Ting Kiau, "bukankah Thay-siang masih ada
sepucuk surat rahasia, entah apa petunjuknya" Cobalah sekarang
dibuka." '
Baru Kun-gi teringat akan hal ini, lekas dia menge luarkan sa mpul
surat itu serta merobeknya, dilolos keluar secarik hertas putih dan
dibebernya. begitu kertas terbeber, seketika berubah air muka Kun-
gi. Surat kedua yang dikatakan petunjuk ini hanya merupakan
le mbaran kertas putih me lulu tanpa tulisan sehurufpun. Apakah arti
kertas putih po-los ini"
Tandu itu me muat bahan peledak, setelah Ui-liong-tong
diledakkan, sudah tiada lagi tugas mereka selanjutnya, jadi tidak
perlu pakai petunjuk segala" Tapi bila orang banyak tidak mati
karena ledakan tadi, umpama me mang tiada tugas lainnya lagi,
mestinya diberitahu ke mana dan bila mana mereka harus berkumpul
atau mundur ke mba li ke Ciok-sinbio untuk menunggu perintah
selanjutnya. Tanpa petunjuk, itu berarti bahwa rombongan besar
yang dipimpinnya ini sudah tiada lagi, sudah ta mat seluruhnya.
Rupanya Thay-siang sudah me mperhitungkan bahwa rombongan
besar ini seluruhnya akan mene mui ajalnya di tempat ini. Se makin
dipikir se ma kin berkobar a marah Kun-gi,
tanpa terasa ia menggera m dan berkata: "Muslihat yang keji!"
"Apakah Cong-coh perlu ketikan api?" tanya Ting Kiau.
"Tida k usah." kata Ling Kun-gi.
"Lwekang Cong-coh amat tinggi," ucap Kongsun Siang, "di
tempat gelap dapat melihat dengan terang, entah petunjuk apa
yang tertulis disurat Thay-siang?"
"Surat rahasia ini tanpa satu hurufpun," kata Kun-gi geram.
"Mana mungkin?" teriak Ting Kiau heran. "Tanpa petunjuk Thay-
siang, ke mana kita harus berkumpul dengan rombongan yang
lain?" "Jadi kalian masih ingin mene mui Thay-siang"' tanya Kun-gi
sengit. "Rombongan besar kita tertinggal kita bertiga yang masih hidup,
kukira perlu segera mengadakan kontak dengan dua rombongan
yang lain," de mikian usul Kongsun Siang.
Tergerak hati Kun-gi, batinnya: "Maklumlah mereka sa ma terbius
oleh Bi-sinhiang-wan, jadi bahan pe ledak yang dipasang dala m
tandu itu melulu untuk menyingkirkan diriku seorang" Ya, melihat
taraf kepandaian yang kuyakinkan, jelas dia sendiri takkan ma mpu
kendalikan diriku, maka bersa ma dengan tugas menyerbu ke Ui-
liong-tong ini dia hendak me mbunuhku dengan ke kuatan ledakan
dahsyat itu, maksudnya untuk menghindarkan bencana di ke mudian
hari. Ai, demi diriku seorang, tak segan2 dia mengorbankan jiwa
orang banyak untuk me ngiringi ke matianku, nenek ini sungguh
kejam dan mena kutkan."
Melihat Kun-gi tepekur sekian la ma tanpa bersuara, Ting Kiau
lantas bertanya: "Cong-coh, Ui-liong-tong sudah hancur, apakah kita
perlu ke mbali dulu ke Ciok-sinbin?"
Kun-gi dia m saja, dari sakunya dia merogoh keluar kantong
sula m pemberian Un Hoankun tempo hari serta me mbuka ikatannya
dan menge luarkan botol porselin kecil, ia menuang ena m butir pil
Jing-sintan sebesar kacang hijau serta diangsurkan, katanya:
"Kongsun-heng, Ting-heng, kalian masing2 telan t iga butir obat
ini..." Kongsun Siang terima tiga butir obat itu dan ditelannya tanpa
pikir, tanyanya sambil ce lingukan: "Apakah Cong-coh melihat
gejala2 yang tidak beres?"
Ting Kau juga terima obat itu, dia sedikit ragu2, pelan2 baru
menelannya, tanyanya juga: "Cong-coh, obat apakah ini?"
Kedua orang bertanya dalam waktu yang ha mpir sama. Kun-gi
tertawa tawar, katanya: "Apakah kalian pernah dengar Bi-sinwan?"
Kongsun Siang me lengak, katanya: "Pernah hamba dengar cerita
Suhu, Bi-sinwan adalah sejenis obat bius yang paling keras daya
kerja racunnya, konon dulu kaisar Gui-bunto yang mengembang
biakannya dari daerah barat, baunya harum semerbak, orang yang
menciumnya akan mabuk, malah yang berat bisa mati sesaat
ke mudian."
Terpentang kedua mata Ting Kiau, katanya dengan rasa curiga:
"Jadi obat yang Cong-coh berikan kepada hamba tadi adalah Bi-
sinwan?" Kun-gi tertawa, ujarnya: "Obat yang kalian makan tadi justeru
adalah obat penawar Bi-sinwan itu."
"Obat penawar Bi-sinwan" Sejak kapan ha mba terkena racun Bi-
sinwan?" tanya Kongsun Siang heran.
"Kadar racun Bi-sinwan me mang a mat keras, orang bisa mati bila
menciumnya teramat banyak, tapi kalau dapat me manfaatkannya
dengan racikan obat lain dan dijadikan pil serta dica mpur dala m
makanan, ma ka kau akan me makannya tanpa sadar, khasiatnya
secara langsung dapat me mpengaruhi daya pikir orang, me mang
kau kelihatan segar bugar dan jernih pikiran, tapi di luar sadarmu
kau telah kehilangan tekad perlawanan dan selalu tunduk setia
kepada orang yang telah memberi minum itu, sampai mati takkan
berubah haluan."
Terbeliak mata Kongsun Siang, katanya: "Maksud Cong-coh
bahwa Pek-hoa-pang telah me mberi Bi-sinhiang kepada ka mi?"
sampai di sini tiba2 dia mangut2, katanya pula: "Betul, setelah
hamba ingat2, selama dua tahun ini, peduli apapun yang dilakukan
Pek-hoa-pang selalu kurasakan betul, terutama terasa bahwa Thay-
siang adalah junjungan yang maha agung dan suci, umpa ma dia
menghenda ki ha mba segera mati, ha mba tidak a kan ragu
me mbunuh diri dihadapannya."
"Dan sekarang" Bagaimana perasaan Kongsun-heng?" tanya
Kun-gi. "Sekarang perasaan hamba nyaman dan lapang, timbul rasa
curigaku terhadap Thay-siang dan Pek-hoa-pang, gerak-gerik dan
sepak terjang mereka serba misterius, bukan mustahil ada sesuatu
hu-bungan rahasia dengan Hek-liong-hwe . . . . "
"Betul," timbrung Ting Kiau, "ha mbapun merasakan de mikian,
Pek-hoa-pang hanya me mperalat kita se mua."
Kun-gi tersenyum, katanya: "Syukurlah kalau kalian sudah
mengerti.' Kertas putih pemberian Thay-sang dia angkat dan dilambaikan ke
atas, katanya: "Surat ini tanpa tulisan sehurufpun, inilah bukt i
muslihatnya kalau burung kaget busurpun harus disembunyikan,
kelinci mat i anjing ikut hangus`
"Bahwa Thay-siang biarkan kita mati lantaran kita orang luar, tapi
Ko-lotoa adalah anak buahnya yang sudah berbakti puluhan tahun
padanya, Loh-bi-jin adalah murid didik asuhannya, demikian pula
ke20 dara kembang itu apa pula dosanya" Kenapa merekapun harus
ikut menjadi korban ledakan ini?"
"Ko-lotoa adalah salah satu dari tiga puluh enam panglima Hek-
liong-hwe, banyak rahasia pribadi Thay-siang diketahuinya, kini ada
kesempatan untuk me lenyapkan dia, bukankah rahasianya
selamanya takkan lagi diketahui orang" Celakalah Loh-bi-jin dan
dara2 kembang itu, lantaran bersama kita dia sa mpai hati
mengorbankan mereka pula."
"Kenapa Thay- siang hendak me mbunuh kita semua?" tanya Ting
Kiau tak mengerti.
"Hek liong-hwe punya tiga seksi, yaitu Hwi-liong-tong, Ui-liong-
tong dan Ceng-liong-tong. Pangcu Bok-tan dari Hupangcu Sbo- yok
telah diperintahkan untuk menyergap kesana dengan tugas sendiri2,
ke mungkinan Thay-siang sendiripun sudah meluruk ke sana.
Rombongan kita sepanjang jalan ini kelihatan ber-bondong2,
padahal hanya untuk menarik perhatian musuh dan menggertaknya,
bahwa kita berhasil me nerjang tiba di depan Ui-liong-tong ini
me mbuktikan bahwa kita telah mengge mpur segala aral rintang dari
musuh yang mencegat kita, peledak yang ada di dalam tandu dan
dile mpar ke dala m Ui-liong-tong sehingga hancur lebur, ma ka
orang2 seperti kita ini dirasa tida k perlu lagi, me mang inilah cara
sekali tepuk me mbunuh dua lalat." Kata Kongsun Siang gusar:
"Mendengar uraian Cong-coh, hamba seketika sadar dan mengerti,
rencana dari tujuan Thay-siang ternyata amat keji dan keja m."
Ting Kiau menghela napas, katanya: "Lalu bagaimana rencana
Cong-coh selanjutnya?"
"Selanjutnya kalian tak usah me manggil Cong-coh segala,
jabatanku sudah ikut terpendam di bawah reruntuhan ledakan tadi,"
demikian ucap Kun-gi.
Ting Kiau tertawa getir, katanya: "Lalu apa yang harus kita
lakukan?" "Racun dala m tubuh ka lian sudah ditawarkan, inilah kese mpatan
baik untuk me mbebaskan diri dari pertika ian ini, supaya selanjutnya
tidak diperalat lagi oleh Pek-hoa-pang, maka menurut pendapatku,
lebih baik selekasnya ka lian me ningga lkan te mpat ini saja."
"Pernah kudengar Ling-heng bilang ada dua temanmu yang
tertawan Hek-liong-hwe, kehadiranmu adalah untuk menolong
mereka, untuk ini aku dengan senang hati ingin me mbantu Ling-
heng, meski menerjang lautan api juga a ku a kan me mbantumu."
"Nyawa hamba ini juga berkat pertolongan Cong-coh, hambapun
takkan pergi begini saja," de mikian Ting Kiaupun berkukuh
pendapat. "Betapa luhur persahabatan ini, sungguh aku amat berterima
kasih . . " kata Kun-gi.
Kongsun Siang menyela: "Bahwa Ling-heng tidak pandang
rendah diriku dan sudi bersahabat denganku, ini sudah mengangkat
pamorku pula, kini Ling-heng hendak menyelundup ke Hek-liong-
hwe seorang diri, meski kepandaian Ling-heng cukup tinggi, tapi
jago2 Hek-liong-hwe juga t idak sedikit jumlahnya, di sa mping
menolong teman harus menghadapi musuh lagi, betapapun tenaga
seorang terlalu merepotkan, kalau se karang aku tingga l pergi,
me mangnya terhitung persahabatan apalagi" Apapun kata dan sikap
Ling-heng, aku sudah bertekad untuk mengiringi kepergian Ling-
heng." "Apa yang diucapkan Kongsun-heng merupakan isi hatiku pula,"
demikian sa mbung Ting Kiau. "kalau Cong-coh tidak terima
keinginan ka mi berarti pandang rendah ka mi berdua."
Melihat betapa besar dan teguh keinginan kedua orang ini, tak
enak Kun-gi menolaknya lagi, iapun tahu untuk meluruk ke sarang
Hek-liong-hwe seorang diri terlalu terpencil, apalagi nanti harus
menghadapi pertempuran sengit. Apa yang diucapkan Kongsun
Siang me mang tidak salah, di samping berusaha menolong teman,
dia harus sibuk menghadapi musuh lagi, keadaan tentu serba repot
dan mendesak. Maka dia manggut dan berkata "Kalau de mikian a ku takkan
banyak omong lagi, cuma Hek-liong-hwe berada di sarang sendiri,
bukan saja kita asing keadaan di sini, keadaan musuhpun buta sa ma
sekali, sebetulnya untuk menolong te man kita bisa bekerja secara
dia m2 dan main se mbunyi la lu menyergap pada saat lawan tidak
siaga, tapi setelah Ui-liong-tong kita hancurkan, sementara dua
rombongan lain dari Pe k-hoa-pang juga telah menyerbu ke Hwi-
liong-tong dan Ceng-liong-tong, tentu pihak Hek-liong-hwe sudah
meningkatkan penjagaan, kita menyelundup ke sarang naga, bukan
saja berbahaya, setiap saat kemungkinan kita akan mene mui ajal di
dalam sana."
Ting Kiau tertawa, katanya: "Pendapatku justeru sebaliknya, Ui-
liong-tong sudah hancur, ini kenyataan, rombongan Pangcu dan
Hupangcu masing2 menyerbu Hwi-liong-tong dan Ceng-liong-tong,


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekarang kemungkinan mereka masih dala m ajang pertempuran
sengit, marilah kita masuk secara diam2, umpa ma kepergok para
penjaga, tentu dengan mudah dapat kita sikat, inilah kese mpatan
paling baik untuk menolong te man."
Kongsun Siang manggut2, katanya: " Usul Ting-heng me mang
baik, Ling-heng, hayolah jangan buang2 waktu, marilah berangkat"
Berkerut alis Kun-gi, katanya: "Usul kalian me mang masuk akal,
tapi kita tidak tahu di ma na letak pusat markas Herk-liong-hwe,
datlam waktu sesinqgkat ini, ke mana kita akan me ne mukannya?"
"Kenapa Ling-heng lupa," kata Kongsun Siang, "sebelum ajal
bukankah Ko-lotoa bilang di belakang Ui-liong-tong ada jalan
rahasia, dia hanya mengatakan `tembus', kemungkinan jalan
rahasia di belakang Ui-liong-tong itu bisa te mbus ke markas pusat
Hek-liong-hwe, kenapa tida k kita coba untuk me ncarinya?"
Berpikir sejenak akhirnya Kun-gi mengangguk, katanya: "Apa
boleh buat, marilah kita berusaha."
"Marilah segera kita masuk," kata Ting Kiau senang.
"Nanti dulu, Ui-liong tong sudah hancur, kemungkinan jalan
rahasia itupun teruruk, kita . . . ."
"Tapi mungkin juga karena ledakan ini jalan rahasia itu malah
terbuka," kata Ting Kiau dengan tertawa.
"Me mang mungkin," ujar Kun-gi, "Kita harus tetap hati2.
Pertama, jarak di antara kita bertiga harus tetap dipertahankan
untuk menjaga segala kemungkinan. Kedua, aku akan berjalan
didepan, Ting-heng di tengah dan Kongsun-heng di belakang, jika
diperjalanan terjadi sesuatu di luar dugaan, harus secepatnya
mundur, jadi aku a kan jaga bagian bela kang, untuk ini kalian harus
perhatikan betul2."
Kongsun Siang dan Ting Kiau mengiakan, katanya berbareng:
"Ling-heng tak usah kuatir, ka mi mengerti." . .
"Baiklah, hayo berangkat," ujar Kun-gi, be lum habis bicara ia
sudah melayang ke arah Ui-liong-tong.
Ui-liong-tong atau gua naga kuning terletak di bawah ngarai,
semula merupa kan gua besar yang lebar dan luas. Kini setelah
diledakkan gua itu sud
Pendekar Cacad 14 Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Pendekar Riang 6
^