Pendekar Kidal 17

Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok Bagian 17


ah runtuh, ngarai di atasnya yang berpuluh
tombak tingginya sama menguruk di depan gua, maka batu2 besar
berserakan di mana2 sehingga mulut gua yang besar itupun hampir
tersumbat. Ling Kun gi menyingsing lengan baju dan mengerahkan tenaga,
beberapa batu raksasa dia singkirkan, lalu dengan me miringkan
tubuh dia dapat menyelinap masuk ke dala m. Sudah tentu Ui-liong-
tong seluruhnya juga sudah ambruk dan tidak berbentuk semula,
lorongnya penuh batu dan debu, Untunglah dinding batu Ui-liong-
tong cukup kuat, meski banyak te mpat yang a mbruk, tapi bentuk
guanya masih tetap ada.
Kecuali bahan pe ledak kiranya di dala m tandu juga tersimpan
minyak bakar, begitu meledak seketika terjadi kebakaran hebat,
kobaran api me ngikuti a liran minyak menjurus ke arah be lakang.
Mata Kun-gi dapat melihat di tempat gelap, tapi Ting Kiau dan
Kongsun Siang yang ada di belakangnya sukar lagi menggerakkan
kaki karena gelap gulita tidak terlihat apa2, terpaksa Kun-gi
keluarkan Le liong-cu dan diangkat tinggi di atas kepala. Maka
me mancarlah cahaya kemilau dari mutiara mestika itu, sejauh dua
tombak dapat mereka pandang walaupun rada sa mar2.
Langkah Kun-gi a mat pelan dan hati2, dia periksa dinding batu
dari bekas ledakan dan kebakar-an. Sudah tentu di banyak tempat
ke mbali dia harus kerahkan tenaga untuk me mindah batu besar
supaya bisa maju lebih lanjut.
Ting Kiau terus berada di belakang Kun-gi, katanya dengan suara
lirih: "Cong-coh, biarlah ha mba bantu me mindahkan batu2 ini."
Kongsun Siang t idak mau ketinggalan. "Mari kubantu juga."
Dengan kerjasama tiga orang dapatlah wereka maju semakin
jauh, kini sudah ada di gua bela kang. Ternyata Ui-liong-tong
me mang a mat besar dan panjang lorongnya, bercabang lagi, te mpat
mereka berada terang berada di perut gunung, kalau gua di depan
rusak kena ledakan, tapi keadaan di sini hanya beberapa tempat
yang gugur sebagian, beberapa deret kamar yang mereka te mukan
masih terhitung utuh, tapi ada dua puluhan mayat yang
bergelimpangan tanpa luka apa2, rupanya mereka mati pengap
karena terjadi ledakan keras di depan gua tadi.
Tanpa terasa Kun-gi menghentikan langkah, katanya: "Agaknya
jalan sudah buntu sa mpai di sini."
"Tapi Ko-lotoa bilang di sini ada lorong rahasia," ujar Kongsun
Siang. "Kalau betul ada lorong rahasia, orang2 ini tidak akan mati
pengap." "Marilah kita cari," aja k Ting Kiau.
Sementara mereka berbicara Kun-gi sudah beranjak ke arah
sebuah ka mar batu di ujung kanan sana.
"Ling-heng," seru Kongsun Siang tertahan, "di atas dinding ada tulisan."
Kun-gi anggkat mutiara di tangannya menyinari dinding, me mang
dinding di depan pintu ada sekeping papan persegi, di atas papan
ada sebaris huruf yang berbunyi "Ka mar se madi dilarang masuk".
"Mungkin di sinilah biasanya Ci Hwi-bing meyakinkan ilmunya,"
ujar Ting Kiau.
Tergerak hati Kun-gi, segera dia masuk ke situ. Ka mar batu ini
dipasang pintu kayu, bagian dala mnya ternyata amat luas, empat
dinding sekeliling ka mar ditabiri kain layar warna kuning, di ujung
atas mepet dinding sana terdapat sebuah dipan yang bercat kuning
pula, kasur, bantal guling dan sepreinya masih utuh. Kecuali dipan
itu, tiada benda lain lagi di dala m ka mar besar ini, terasa keadaan
kosong melompong. Mungkin karena getaran ledakan, debu pasir
tampak berhamburan dari atap ka mar.
Kongsun Siang me ma ndang seke liling ka mar, pedang panjang
ditangan seeara iseng menyingkap kain layar di depannya. Ting Kiau
juga tidak berpeluk tangan, "sret", kipas besinyapun bekerja, layar kuning di sebelah dipan juga dia tarik sa mpai sobe k. Mendadak dia
menjerit kaget: "Nah, di sini!"
Tanpa bersuara Kun-gi mendekat, betul di dinding me mang ada
bekas garis sebuah pintu.
Ting Kiau sudah me ndahului maju serta mendorongnya.
Kun-gi mengira di sekitar pintu rahasia ini tentu dipasang alat
rahasia, ingin mencegah Ting Kiau sudah tidak keburu, untunglah
meski Ting Kiau sudah mendorong sekuat tenaga, pintu batu tetap
tidak berge ming:
Kongsun Siang segera maju, dengan teliti dia periksa sekitar
pintu lalu me ngetuk dan meraba sekian la manya, akhirnya berkabta:
"Inilah pintu rahasia, kukira t idak a kan salah."
"Mestinya ada tombol rahasianya untuk me mbuka pintu ini,
tombol tentu berada di ka mar ini, marilah kita cari dengan teliti,
mungkin bisa kete mu,"
"Ting heng me mang benar, pintu batu rahasia terang
dikendalikan oleh alat rahasia untuk buka tutup sehingga orang
leluasa keluar masuk, seharusnya orang tidak akan mudah
mene mukannya dan meninggalkan garis2 persegi yang berbentuk
pintu ini, tapi karena ledakan dahsyat tadi menimbulkan ge mpa
yang cukup keras dan menggoncangkan gunung ini sehingga pintu
inipun menjadi retak, ke mungkinan alat2 rahasianya juga ikut rusak
karenanya."
"Jadi ma ksudmu jalan rahasia ini sudah buntu dan tak mungkin
terbuka lagi?" Ting Kiau menegas.
"Mungkin de mikian," ujar Kongsun Siang.
"Kalau betul di sini ada pintu, marilah kita coba mendorongnya,"
ajak Kun-gi. "Pintu rahasia ini dikendalikan alat2 rahasia pula, setelah
menga la mi goncangan keras tadi, ku-kira alat2nya sudah rusak,
tenaga siapa mampu menjebolnya?" Tapi bagaimana juga Kun-gi
adalah bekas atasannya, kepandaian orang juga sudah pernah
disaksikannya, maka ia berkata pula: "Kukira sukar untuk
me mbukanya."
"Biar kucoba," ucap Kun-gi. Lalu ia menyerahkan Leliong-cu
kepada Ting Kiau, katannya: "Ting-heng, kau pegang mutiara ini."
Ting Kiau terima mutiara itu, katanya kuatir: "Cong-coh, berat
pintu ini sedikitnya ada ribuan kati, kalau dikendalikan alat rahasia
berarti sudah berakar dengan dinding gunung ini, bagaimana
mungkin bisa me mbukanya?"
Kun-gi tersenyum, katanya: "Me mang sulit me mbuka pintu yang
dikendalikan a lat rahasia, tapi ucapan Kongsun-heng t idak salah,
karena goncangan ledakan tadi sehingga pintu ini menunjukkan
bekas, kalau alat rahasianya sudah rusak, mungkin lebih mudah
mendorongnya terbuka."
Habis bicara segera ia melangkah setapak, telapak tangan
menahan pintu, pelan2 dia mengirup napas dan mengerahkan
tenaga mendorong se kuatnya ke depan.
Melihat dia betul2 hendak mendorongnya Kong-sun Siang
berseru dari sa mping: "Awas Ling-heng, jangan patah se mangat."
Kun-gi menoleh, katanya tertawa: "Tidak apa2, aku akan
mencobanya."
Ting Kiau mengacung tinggi2 mutiara di atas kepalanya, dari
samping dia mengawasi gerak-gerik Ling Kun-gi, kedua tangan
orang sudah mene mpel pintu dan berdiri tegak tak berge ming, tapi
jubah hijaunya yang longgar itu kini pelan2 mula i mele mbung
seperti terisi angjn, mirip balon yang penuh gas. Dala m hati dia m2
dia merasa kaget dan heran, batinnya: "Usia Cong-coh lebih muda
daripadaku, tapi kepandaian silat yang dibekalnya entah berapa
tingkat lebih tinggi."
Dika la Ting Kiau termenung itulah tiba2 Kun-gi menghardik
sekeras guntur menggelegar, sepenuh tenaga kedua tangan
mendorong ke depan. Maka terdengarlah suara keriat keriut makin
la ma sema kin keras seperti ada rantai besi putus dan benda
menjeplak, pelan tapi pasti pintu batu itu mulai terdorong mundur
dan terbuka. Terbeliak mata Kongsun Siang, teriaknya kejut girang: "Tenaga
sakti Ling-heng sungguh tiada bandingannya di kolong langit."
Ting Kiau juga terkesima, katanya sambil menjulur lidah: "Ilmu
sakti apakah ini, Cong-coh" Begitu hebat ke kuatannya, pintu batu ini
betul2 terdorong terbuka."
Sementara itu pintu batu yang tebal dan berat itu sudah terbuka
seluruhnya oleh Ling Kun-gi, pelan2 dia menarik turun kedua
tangannya, hawa murni atau tenaga dalam yang me mbikin
jubahnya mele mbung juga mula i sirna dan ke mpes, air mukanya
ternyata tidak berubah dan napaspun tidak me mburu, katanya
ke mudian sa mbil menghe la napas panjang. "Hanya mendorong
pintu sa mpai terbuka, masa terhitung ilmu sakti segala?"
Ting Kiau serahkan ke mba li mut iara kepada Kun-gi, katanya:
"Cong-coh, hari ini hamba betul2 terbuka matanya, tapi Kungfu
apakah yang barusan kau gunakan, sukalah kau me mberitahu?"
"Kalau Ting-heng ingin tahu," ujar Kun-gi, "biarlah kuberitahu, Kungfu yang kugunakan tadi adalah Kim-kong-s im-hoat."
"Kim-kong-sim-hoat" Belum pernah kudengar na ma ini," ajar
Ting Kiau. "Bekal kepandaian Ling-heng mendapat didikan langsung dari
Put-thong Taysu, sudah tentu Kim-kong-s im-hoat merupa kan
Kungfu yang hebat dari Siau-lim-pay," kata Kongsun Siang.
Di balik pintu batu kiranya adalah sebuah lorong yang gelap
gulita, tidak lebar, tiba cukup untuk dua orang berjalan sejajar. Kun-
gi mendahului me langkah ke luar, ternyata banyak liku2 dan ber-
cabang pula lorong panjang gelap ini, bukan saja tidak terasa
adanya bau apek dan le mbab, ma lah hawa terasa dingin silir dan
segar. Dengan me megang mutiara Kun-gi maju terus ke depan,
kira2 20-30 tombak jauhnya, angin dingin yang meng-he mbus dari
arah depan terasa semakin dingin dan kencang, kiranya mereka
sudah tiba di ujung lorong, di depan mengadang undakan batu.
Ling Kun-gi me mpercepat langkah terus naik ke undakan, kira2
ratusan undak telah dila luinya, akhirnya mereka tiba di sebuah
pintu, di luar pintu lapat2 seperti ada cahaya matahari.
Dia m2 Kun-gi me mbatin: "Mungkin sudah sa mpai di te mpat
tujuan?" segera dia simpan mutiaranya.
Lekas Kongsun Siang me mburu naik menda mpinginya, katanya
lirih: "Apakah Ling-heng me lihat sesuatu?"
"Tida k," kata Kun-gi, "di sini ada sebuah pintu, di luar ta mpak cahaya matahari, mungkin sudah dite mpat tujuan, kita harus lebih
hati2, jangan sampa i mengejutkan pihak musuh."
Kongsun Siang me ngiakan. Kun-gi lantas beranjak
maju, Kongsun Siang dan Ting Kiau mengiringi dari belakang.
Ternyata di luar adalah sebuah le mbah kecil yang luasnya
puluhan tombak, bentuk le mbah ini mirip sumur, sekelilingnya
dipagari dinding gunung yang curam dan ratusan tombak tingginya.
Kalau mendongak me lihat langit seperti duduk dala m sumur melihat
angkasa, langit nan biru kelihatan hanya sejengkal saja. Ternyata
inilah le mbah sumur ciptaan a la m.
Dasar lembah ternyata datar dan tersapu bersih dan licin, di
bawah kaki te mbok di kanan-kiri masing2 terpasang bangku
panjang terbuat dari balok batu. Di bawah-kaki tembok seberang
sana terdapat dua mulut gua yang terbuka lebar. Gua tidak
berpintu, keadaannya gelap tak terlihat barang apa yang ada di
dalamnya, suasana sunyi senryap tak terdengar suara apapun, dari
lorong bawah tanah Ui-liong-tong sa mpai di sini, kini mere ka
diadang oleh dua mulut goa, kedua goa ini tentu menuju ke Ceng-
liong-tong dan Hwi-liong-tong.
Kun-gi merandek, tujuannya hendak menolong orang, entah di
mana Pui Ji-ping dan Tong Bunkhing sekarang disekap" dia m2 ia
cemas. Kongsun Siang melangkah maju setapak, katanya lirih: "Ling-
heng, kedua gua ini ke mungkih-an menjurus ke Ceng-liong-tong
dan Hwi -liong- tong."
Kun-gi manggut, sesaat dia merenung, katanya kemudian: "Aku
sedang berpikir, gua mana yang harus kita pilih?"
"Tujuan Cong-coh adalah menolong orang," de mikian kata Ting
Kiau, "kalau dala m gua yang satu tidak ketemu boleh kita keluar
dan masuk ke gua yang lain, yang terang kita harus berusaha
sampai berhasil me nolong orang," sembari bicara ia menudang gua
sebelah kiri dan melangkah kesana. "Cong-coh, sekarang biar
hamba jadi pelopornya, di dala m lorong gua ini ke mungkinan
dipasang alat2 rahasia, untuk permainan ini sedikit banyak ha mba
pernah me mpelajarinya."
Terpaksa Kun-gi biarkan orang jalan di depan, dia keluarkan
mut iaranya serta disodorkan, katanya: "Ting-heng bawalah mutiara
ini, apapun kau harus hati2." '
Ting Kiau terima mutiara itu se mbari berkata: "Ha mba mengerti,
tanggung takkan terjadi apa2." "Sret", dia keluarkan kipas besi serta me mbukanya untuk melindungi dada terus menyelinap masuk ke
gua sebelah kiri.
Kuatir orang mengala mi bencana lekas Kun-gi mengikut inya,
Kongsun Siang tida k mau ketinggalan, ia berada di be lakang Ling
Kun-gi. Mereka terus maju ke depan, setelah membelok dua kali,
keadaan lorong gua ini se makin gelap. Tapi Ting Kiau mengacung
tinggi mutiaranya di atas kepala, cahaya mutiara kemilau bagai sinar
api di tempat gelap dan dapat terlihat tempat agak jauh. Segera
Kun-gi berpesan pula: "Ting-heng, kerahkan hawa murni dan selalu
siaga,jagalahkalaudisergapmusuhdarite mpat
persembunyiannya."
Ting Kiau tertawa, katanya: "Cong-coh jangan kuatir, begitu
kulihat ada orang, segera akan kulumpuhkan dia lebih dulu."
Lahirnya dia bersikap riang dan tak acuh, sebetulnya iapun
maklum bahwa mereka sudah berada di sarang musuh, setiap saat
mungkin sekali menghadapi mara bahaya, setiap langkah mereka
berarti semakin dekat pada tujuan, bukan mustahil akan kesamplok
dengan penjaga atau barisan ronda mu-suh. Sebagai pelopor yang
jalan di depan dengan penerangan mutiara, berarti musuh di tempat
gelap dan awak sendiri di tempat terang dan ga mpang menjadi
sasaran musuh. Ma ka sepanjang jalan setiap gerak langkahnya
amat hati2 dan diperhitungkan dengan seksa ma, kipasnya dipegang
kencang, mata dan kuping digunakan dengan tajam, dengan pelan
mereka terus maju ke depan.
Kira2 puluhan tombak lagi telah mereka capai, tapi tidak kunjung
tiba musuh me nyergap atau rintangan apapun. Mendadak Ting Kiau
menghentikan langkah, katanya lirih: "Cong-coh, hamba rasa
keadaan di sini kurang wajar."
"Bagaimana pendapat Ting-heng?" tanya Kun-gi.
"Lorong di bawah tanah ini, peduli mene mbus ke manapun, yang
jelas merupakan te mpat penting dan rahasia di pusat musuh,
seharusnya dijaga dan diadakan ronda, tapi kenyataan keadaan di
sini kosong dan tanpa penjaga, masa begitu cerobohnya piha k
musuh, kan tida k masuk aka l."
Kun-gi mengangguk,
katanya: "Pendapat Ting-heng betul,
akupun merasakan."
Kongsun Siang me nimbrung: "Mungkin rombongan Pangcu dan
Hupangcu sudah bentrok berhadapan dengan musuh, mereka tida k
sempat me mikirkan kea manan lorong rahasia ini."
Kata Ting Kiau pula: "Ke mungkinan Ci Hwi-bing sudah lari
ke mari, tahu kita mengejarnya, maka sengaja dia me mancing kita
ke sini."

Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Se mua mungkin, tapi kita sudah berada di sini, umpa ma ada
perangkap juga tidak perlu takut, hayo terjang saja!" demikian Kun-
gi mendorong se mangat mereka.
"Cong-coh benar," ujar Ting Kiau, "umpa ma sarang harimau dan kubangan naga juga harus kita terjang." Lalu dia me langkah ke
depan. Tak la ma ke mudian lorong berbelok ke kiri, dan tiba di ujung,
keadaan di depan ternyata lebar dan terbentang luas. Mendadak
keadaanpun menjadi terang genderang.
Ting Kiau a mat cerdik dan hati2, se mula dia menggre met maju
mepet dinding, begitu melihat di depan ada cahaya segera dia
menghentikan gerakan serta menggengga m kencang mutiara di
tangannya lantas mundur, katanya lirih: "Cong-coh, simpanlah
mut iara ini, di depan sudah ada cahaya la mpu."
Kun-gi terima mutiara itu terus disimpan.
Sementara Ting Kiau sudah bergerak pula ke depan, sekali
kelebat dia melompat ke depan mepet dinding dan me lihat keadaan
di luar. Kiranya di ujung lorong gelap ini adalah sebuah ruang batu
seluas puluhan tomba k, tapi keadaan ruang batu ini mirip sebuah
lapangan. Karena di depan sana terdapat sepasang pintu besi, dua
gelang besi besar yang mengkilap tergantung di tengah pintu. Pintu
besi tertutup rapat, empat la mpu gelas tampa k tergantung di kanan
kiri pintu, di bawah lampu berdiri e mpat busu muda yang bersenjata
pedang. Lampu itu me mancarkan cahaya redup, tapi di dalam gua bawah
tanah yang gulita seperti ini terasa besar sekali manfaat cabaya
la mpu, puluhan tomba k sekeliling lapangan itu menjadi terang dan
jelas. Dia m2 Ting Kiau mengerut kening, menurut perhitungannya, dari
tempat bersembunyinya ini kira2 ada 12 tombak jauhnya dengan
keempat jago pedang itu, kalau untuk menyergap dan
menyerangnya secara mendadak, kecuali menggunakan panah dan
alat jepretan yang kuat, senjata apapun sukar untuk mencapa i
musuh. Dala m pada itu Kun-gi juga sudah menggeremet maju, katanya
lirih: "Bagaimana keadaan di luar?"
"Agaknya kita sudah sa mpai te mpat tujuan, ada empat orang
menjaga pintu besi itu, Cong-coh tunggu saja di sini, biar ha mba
yang bereskan mereka," habis bicara sebat sekali ia sudah meluncur
keluar gua dan hinggap di tengah lapangan. Batu saja bayangannya
berkelebat keluar, keempat jago pedang yang berdiri di depan pintu
besi sana segera mengetahui jejaknya, seorang lantas me mbentak.
"berhenti!"
Gerakan Ting Kiau cepat luar biasa, di tengah bentakan orang
bayangannya sudah menerjang tiba, kira2 tiga tombak jaraknya dari
pintu besi itu, dua jago pedang berbaju hijau dikanan-kiri segera
me mapak kedatangannya. orang di sebelah kiri me mbentak,
"Darimana kau?"
Ting Kiau menghentikan langkah, dia senga-ja pura2 bernapas
ngos2an seperti habis lari kencang, lalu katanya sambil menjura:
"Para Saudara, Cayhe hendak menya mpaikan laporan . . . ."
"Apa jabatanmu?" tanya orang di sebelah kanan.
Sambil pegang kipas le mpitnya Ting Kiau menjura kepada kedua
orang itu, katanya: "Cayhe Ting Kiau, Sincu dari Ui-liong-tong . . . .
" belum habis dia bicara mendada k dua bintik sinar menya mber
keluar tanpa bersuara dari ujung kipasnya mengincar tenggorokan
kedua orang. Kedua jago pedang itu agaknya tidak kira kalau Ting Kiau bakal
me mbokong, apalagi jarakpun sangat dekat, waktu sadar elmaut
menganca m jiwa, hendak berkelit atau menangkis sudah tak sempat
lagi, kontan mere ka roboh terjengkang dan jiwa me layang.
Melihat kedua temannya mendadak roboh binasa, sudah tentu
kedua orang yang lain a mat ka-get dan me mbentak gusar:
"Keparat, berani kau main gila di sini." Sa mbil melolos pedang,
kedua orang lantas menubruk bersama.
Ting Kiau tertawa ngakak, sambil mundur setengah tapak, "stet",
kipasnya terbentang, katanya tersenyum: "Kebetulan ka lian maju
bersama." Kipas le mpitnya terbikin dari batangan besi. di dala m setiap
batangan besi tersimpan jarum2 sele mbut bulu kerbau yang
beracun, begitu kipas terbentang dan sekali kebas, serumpun
jarum2 seketika menya mber keluar dengan bentuk me mbundar
mirip lingkaran kipas le mpitnya itu.
Baru saja kedua jago pedang itu menubruk maju, belum lagi kaki
mereka berdiri tegak, keduanya sudah dima kan jarum terbang yang
tak terhitung banyaknya itu, tanpa bersuara keduanya roboh binasa
menyusul temannya.
Dengan tertawa bangga dan puas Ting Kiau le m-pit pula
kipasnya, katanya sambil bergetak tawa: "Kiranya kaum keroco
yang tak becus."
Kun-gi dan Kongsun Siang segera me mburu keluar. Kun-gi
pandang keempat korban itu, tanyanya; "Apakah mereka sudah
mati?" "Mereka sa ma kena bagian yang me matikan, racun bekerja
dengan cepat, jiwa mereka me layang seketika," de mikian sahut Ting
Kiau. "Tadi kulupa me mberi tahu kepada Ting-heng, kita harus
mengorek keterangan dari salah satu di antara mereka."
"Wah, ya, kenapa akupun tidak ingat," demikian kata Ting Kiau
gegetun. Kongsun Siang sedang mengawasi kedua daun pintu, katauya:
"Kalau bukan Ceng-liong-tong, tempat ini pasti Hwi-liong-tong, Ting-
heng terlalu cepat turun tangan sehingga mereka tidak se mpat
menya mpaikan peringatan bahaya kepada rekan2nya, pintu besar
ini tertutup rapat, kemungkinan orang2 disebelah dala m be lum tahu
kejadian di luar sini."
Ting Kiau tertawa, katanya: "Itu gampang tugas mereka berjaga
di luar pintu, kalau terjadi sesuatu yang gawat sudah tentu di sini
ada peralatan untuk menyampaikan peringatan bahaya, marilah kita
periksa bersa ma secara teliti."
Lalu dia rnendahului me langkah ke sana, dengan seksama dia
periksa kedua dinding di kanan-kiri serta tatakan tempat kee mpat
la mpu kaca ditaruh, tapi tiada sesuatu yang mencurigakan.
Sedang Kongsun Siang langsung menuju gelang tembaga, gelang
di sebelah kiri dia pegang terus dia putar ke kanan-kiri. Ternyata
gelang tembaga ini dapat bergerak, keruan ia girang, serunya:
"Nah, di sini!"
Dia coba2 me mutar ke kiri tiga kali lalu me mba lik putar ke kanan
tiga kali, lapat2 ia mendengar suara gemuruh dari benda2 keras
yang saling gesek dari balik pintu.
Kongsun Siang juga cerdik, segera dia lepas tangan serta
mundur, katanya lirih. "Mundur Ting-heng, ke mungkinan ada
perangkap di balik pintu besi ini" Sebat sekali dia melompat mundur
sejauh dua tombak. Ting Kiau juga sudah mundur beberapa tomba k
jauhnya. Sedang Kun-gi tetap berdiri di te mpatnya, dengan tersenyum dia
awasi pintu besi di depannya. Betul juga tatkala Kongsun Siang dan
Ting Kiau mundur, dinding di kanan-kiri kedua lapis pintu besi
segera berkeresekan menimbulkan getaran keras kedua daun pintu
besi itupun pelan2 terbuka.
Keadaan di dalam gelap gulita, dari ketajaman pandangan Kun-gi
samar2 melihat seperti sebuah pekarangan. Kini pintu besi sudah
terbuka lebar, tapi tiada senjata rahasia atau perangkap apapun
yang menye mprot keluar.
Kongsun Siang me ngha mpiri Kun-gi dan berdiri di sebelahnya,
ditunggu pula sesaat dan keadaan tetap tenang2, tanpa terasa
mulutnya bersuara heran, katanya: "Ini tidak beres."
"Terasa di mana yang tidak beres,. Kongsun-heng?" tanya Ting
Kiau. "Kedua daun pintu besi ini ada dua gelang te mbaga, seharusnya
kedua gelang itu di putar dan digerakkan baru pintu besi bisa
terbuka, tapi tadi aku hanya me mutar gelang sebelah kiri,
seharusnya malah menggerakkan alat2 perangkap dan senjata yang
menye mprot ke luar."
Ting Kiau tertawa, katanya: `Mungkin secara serampangan kita
ma lah mengena i sasaran, gelang kiri itu me mang alat untuk
me mbuka pintu besi, kalau kau me mutar gelang kanan,
ke mungkinan kita ba kal terperangkap ma lah."
Melihat sekian la ma tetap tiada reaksi apa2 dari dalam baru
Kongsun Siang mau percaya, katanya mengangguk: "Pendapat
Ting-heng me mang betul."
Kun-gi tertawa, katanya: "Aku hanya tahu guru Ting-heng
bergelar Sinsincu (si kipas sakti) dan ahli mengenai ilmu bangunan
dan pertarungan, tak nyana Kongsun heng ternyata juga ahli dala m
bidang peralatan perangkap dan jebakan segala."
Konsun Siang berkata: "Ling-heng terlalu me muji, guruku punya
seorang teman ahli dala m bidang ilmu mekanik, dulu waktu jayanya
juga amat tersohor dikalangan Kongouw, belakangan untuk meng-
hindarkan pertikaian yang lebih dala m dengan para musuhnya,
terpaksa dia buron jauh ke padang pasir di luar perbatasan, suatu
ketika bersua dengan gu-ruku dan sering ber-bincang2, waktu itu
aku selalu mengiringi guru, ma ka tidak sedikit manfaat yang
kuperoleh dari pe mbicaraan mereka."
Ting Kiu juga berkata dengan tertawa: "Mung-kin Cong-coh
belum tahu, walau dulu guruku ma lang me lintang di Kangouw
dengan kipas lempit bertulang besi, tapi beliau me mang benar2
berilmu silat tinggi, hakikatnya di dala m kipasnya tidak
menye mbunyikan sesuatu. Konon suatu hari beliau pernah dirugikan
oleh sepasang senjata Cu-bo-cuan lawan, maka sejak itu beliau
me meras otak menciptakan berbagai peralatan rahasia, terutama
dalam bidang perma inan senjata rahasia, memperoleh ke majuan
pesat, pada rangka besi kipas le mpitnya sekaligus be liau dapat
menyimpan 36 batang senjata rahasia lembut sehingga orang biasa
tak mungkin tahu, ma ka beliau me mperoleh julukan "Si-Kipas Sa kti", sayang hamba berotak tumpul, ajaran paling cetek dari be liaupun
tak berhasil kupelajari.
Kun-gi tertawa, katanya: "Umpa ma betul de mikian, yang jelas
kalian lebih tahu dalam bidang ini daripadaku", sembari bicara ia
tetap menatap ke dalam, karena dia dapat melihat di tempat gelap,
lapat2 masih dapat dilihatnya keadaan di da la m sana.
Di belakang pintu adalah sebuah pekarangan kecil, maju lebih
lanjut adalah undakan batu tiga tingkat, di atas undakan adalah
sebuah pendopo yang agak luas, karena jaraknya agak jauh, di
dalam juga lebih gelap lagi, lapat2 hanya kelihatan meja kursi dan
beberapa perabotanya saja.
Sekian la manya keadaan tetap sunyi dan tiada reaksi apa2 dari
dalam. Kun-gi tersenyum, katanya: "Tanpa menerobos ke sarang
harimau bagaimana dapat menangkap anak harimau, kita harus
masuk ke sana, cuma harus hati2," lalu dia mendahului melangkah
ke dala m. Kongsun Siang dan Ting Kiau mengiringinya me masuki pintu
besi. Karena keadaan di dalam me mang teramat gelap, terpaksa
Kun-gi keluarkan pula mutiaranya langsung menuju ke ruang
pendopo. matanya menyapu pandang sekelilingnya. Walau kini mere ka
berada di dala m perut gunung, tapi peka-rangan diluar itu tak
ubahnya seperti pekarangan umumnya di rumah orang2 berada,
baru saja dia hendak melangkah lebih lanjut, tiba2 didengarnya
suara"blang" di belakang, kedua daun pintu besi itu mendada k
menutup sendiri, keadaan seketika me njadi lebih gelap pula.
Sambil menoleh Kongsun Siang mendengus, jengeknya:
"Agaknya kita me mang sudah masuk perangkap." Belum habis
bicara, dari atas pekarangan itu tiba2 menungkrup jatuh sebuah jala
raksasa, mereka bertiga seketika terjaring di dala mnya.
Reaksi Kongsun Siang dan Ting Kiau cukup sebat, dikala jaring
raksasa, melayang turun mereka sudah sa ma2 mengeluarkan
senjata dan me mbacok. Tak nyana jala ini terbuat dari kawat2 baja
murni yang kuat dan ulet, celakanya lagi pada setiap lubang atau
mata jalanya dipasanyi duri2 taja m yang me mbengkok terbalik. Bila
meronta di dala m jala, duri bengkok itu malah akan menusuk kulit
daging sehingga akan terbelenggu se makin kencang dan kesakitan.
Hanya Kun-gi yang tetap berdiri dia m saja tanpa bergerak, walau
sekujur badan terjaring di dalam jala raksasa, namun badannya
paling sedikit tertusuk oleh gantolan tajam itu, akibat Kong-sun
Siang ;dan Ting Kiau meronta2 sehingga badannya ikut terluka di
bagian pundak dan punggung.
Gugup dan gusar Ting Kiau, tapi apapun juga dia adalah murid
Ginsancu, begitu me lihat gelagat se makin tidak menguntungkan
segera dia berhenti meronta, serunya: "Congcob, bagaimana
baiknya?" Kongsun Siang berteriak gusar: "Hek-liong-hwe bangsa tikus
celurut! Kalau berani hayo unjuk tampangmu mengadu jiwa secara
jantan, main ser-gap cara licik dengan perangkap terhitung ksatria
maca m apa?"
Kun-gi tetap dia m saja, katanya tertawa tawar: "Kongsun-heng,
Ting-heng kenapa ka lian terburu nafsu" Walau kita terjaring, di sini
tiada orang lain, sampai pecah tenggorbokan kalian juga percuma,
sekarang lebih penting tabahkan hati menghadapi kenyataan
dengan kepala dingin." '
"Hahaha! . . . . Memang je mpol kau bocah bagus!" tiba2 gelak
tawa keras berkumandang dari pendopo disusul keadaan menjadi
terang benderang, delapan lampu kaca muncul bersama di ruang
pendo-po. Di undakan batu sana juga muncul tiga orang. Orang di
tengah adalah Ui-liong-tongcu Ci Hwi-bing, di kanan-kirinya diapit
dua laki2 berjubah sula man naga terbang di bagian dadanya, usia
kedua orang ini di atas empat puluhan. Di kanan-kiri unda kan
beruntun muncul pula delapan laki2 kekar berseragam hijau,
menghunus pedang yang berlumuran racun.
Ci Hwi- bing tertawa lantang, katanya: "Ling Kun-gi, kau dapat
me luruk sa mpa i di sini, sungguh harus dipuji, tapi kau tetap takkan
lolos dari cengkera man tanganku." Saking senang ke mbali dia ter-
bahak2. Kepala, pundak dan beberapa bagian tubuh Kun-gi sudah tentu
terancam oleh duri2 gantolan, tapi dia tetap berdiri tak bergerak,
katanya dingin: "Ci Hwi-bing, kau kira orang she Ling bertiga sudah
kau kurung dengan jaringmu ini?"
Ci Hwi-bing tertawa, katanya: "Memangnya kau pikir masih bisa
lolos?" Seketika terpancar sinar mata Ling Kun-gi, katanya tertawa
lantang: "Jaring besi begini, kau kira dapat berbuat apa terhadap
orang she Ling?" Sa mbil bicara, jubah hijaunya tiba2 mele mbung
seperti balon yang di tiup penuh berisi hawa. Karena jubahnya
me le mbung, maka duri2 gantolan itupun kena disanggah ke atas,
cepat sekali tangan kanannya menarik keluar sebilah pedang.
Maka terdengarlah suara mendering nyaring beruntun, di ma na
sinar ke milau itu me nggaris na-ik turun terus me lingkar seka li, jaring
kawat baja di depannya tahu2 sudah berantakan di bobolnya, sekali
lagi pedang bergerak me lingkari badan, benang jala yang terbuat
dari kawat baja le mas itupun sa ma berjatuhan.
Bukan kepalang kaget Ci Hwi-bing,
serunya:

Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pedang ditangannya itu adalah senjata pusaka."
Laki2 baju hijau sebelah kiri menyeringai dan me mberi tanda.
Maka ke delapan laki2 ke kar itu serentak bersiul panjang, dari
delapan penjuru sere mpak nnereka menubruk ke arah Ling Kun-gi,
Pedang Kun-gi bergerak, tiga jurusan kena di bendungnya, di
mana cahaya hijau ke milau dan hawa dingin setaja m pisau,
kedelapan lawan sama merasakan ayunan pedang Kun gi seperti
me mba-cok ke arah mereka, sebelum cahaya pedang menya mber
tiba serentak mereka sa ma me lompat mundur.
Ringan sekali Kun-gi berputar satu lingkaran, gaya pedangnyapun
ikut melingkar, hanya beberapa kali gerakan ini, jala kawat yang
mengurung Kongsun Siang dan Ting Kiau sudah dibabatnya rontok
ber-hamburan. Begitu keluar dari jaring berduri, dengan gemas Kongsun Siang
segera menyerbu musuh dengan gerungan murka, gayanya mirip
amukan serigala kelaparan dibantu kilat pedangnya yang ganas.
Ting Kiau juga tidak banyak omong lagi, dengan kipas terbentang
segera iapun merangsak musuh.
Betapapan tinggi dan lihay ilmu pedang kedelapan laki2 itu, tapi
Kongsun Siang dan Ting Kiau terlebih lihay lagi, hanya beberapa
gebrak saja mereka sudah di atas angin, delapan lawan kena di-
desak mundur. Kun-gi simpan pedang dan melangkah mundur,
dengan menggendong tangan dia menonton saja di luar arena.
Long-sing- kia m yang dima inkan Kongsun Siang me mang aneh,
bayangannya tampak terjang sana a muk sini, gerak pedangnya
secepat kilat, setiap serangan selalu mengincar Hiat-to besar di
tubuh lawan sehingga lawan susah berjaga dan sukar
menangkisnya. Sementara kipas Ting Kiau kadang2 tecbentang dan tahu2
mengatup, kalau dibuka bisa digunakan sebagai senjata tajam,
kalau dikatupkan bisa diguna kan untuk menutuk dan me nusuk, yang
di ncar juga Hiat-to dan urat nadi lawan.
Kedua orang ini adalah jago2 silat kelas t inggi dari generasi muda
masa kini, bahwa gabungan permainan ilmu kipas mereka ternyata
begini hebat, pekarangan kecil di dala m perut gunung ini rasanya
seperti dipenuhi bayangan pedang dan kipas.
Dengan ke kuatan kedelapan orang bukan saja tidak ma mpu
menundukkan dua lawannya, malah terdesak di bawah angin, sudah
tentu kedelapan orang itupun ma lu dan gusar, akhirnya mereka lupa
akan kerja sama dalam barisan yang sudah teratur, kini masing2
menge mbangkan keahlian sendiri. Kejap lain delapan batang
pedang dengan bayangan gelapnya sama menya mbar ke arah
kedua orang. Rangsakan bersama ini tida k dibatasi oleh langkah barisan,
serangannya jauh lebih bebas dan berkembang, maka terasa betapa
hebat dan bertambah berat tekanan mereka, seketika Kongsun
Siang dan Ting Kiau berbalik terdesak ke dalam himpitan serangan
lawan. Ting Kiau menggertak gusar, kipas besi menggentak se kali, dia
luncurkan dua batang jarum berbisa, dua lawan yang terdepan
kontan a mbruk tanpa mengeluarkan suara.
Tanpa terlihat luka2 pada kedua temannya dan tahu2 tersungkur
binasa, keruan enam te mannya mencelos. Sementara pedang
Kongsun Siang juga tidak kena l kasihan, tatkala lawan melenga k
itulah, pedangnya segera bekerja, suara jeritan kontan terdengar,
pedang Kongsun Siang berhasil me nyunduk perut seorang musuh,
darah muncrat dan isi perutpun kedodoran. seketika melayang
jiwanya. Dala m sekejap tiga di antara delapan musuh roboh binasa, ma ka
lima orang yang masih hidup menjadi ciut nyalinya, meski kelihatan
mereka masih bertempur sengit, tapi semangat mereka sudah
mengendur, rangsakanpun tidak segencar tadi.
Kipas dan pedang Ting Kiau dan Kongsun Siang sebaliknya
berkembang se makin hebat, kem-bali lima lawannya kena diserang
hingga kelabakan.
Kedua orang baju hijau yang berdiri di undakan sekilas saling
pandang, maka terdengar orang di sebelah kiri me mbentak:
"Berhenti!"
Me mangnya kelima orang itu sudah terdesak di bawah angin
pula, jiwa mereka teranca m setiap detik, tanpa perintah tiada yang
berani mundur, kini mendengar aba2 berhenti, seperti berlomba
saja mereka sa ling mendahului melompat mundur.
Kongsun Siang menarik pedang, katanya tertawa dingin: "Apakah
tuan yang ingin turun gelanggang merasakan ke lihayan pedang
Kongsun-toayamu?"
Dengan kipasnya Ting Kiau menuding lela ki baju hijau di sebelah
kanan, katanya dengan tertawa: "Kaupun turunlah, coba rasakan
permainan kipas Ting-toaya yang silir2 nya man ini."
Lelaki baju hijau disebelah kiri menyeringai: "Haha, me mangnya
betapa kema mpuan Long-sing-kia m dan Thiancesan kalian, berani
bertingkah di hadapan ka mi?"
"Hayolah jangan banyak bacot, kalau tidak percaya turunlah
rasakan sendiri," jenge k Kong-sun Siang.
"Ji-te," kata laki2 baju hijau sebelah kiri kepada orang di sebelah kanan, "kau turun dan bereskan mereka"
Laki2 baju hijau sebelah kanan mengia kan, sambil me langkah
turun ia melolos sebatang pedang lebar berwarna hita m, ia
menjenge k: "Kalian bertiga boleh maju bersa ma!"
Kongsun Siang menubruk maju lebih dulu, katanya tertawa:
"Tuan a mat takabur, kau turun gelanggang sendirian, sudah tentu
Kongsuntoaya akan melayanimu."
Dengan sikap angkuh laki2 baju hijau itu melirik, katanya:
"Hanya kau seorang bukan tandinganku."
Kongsun Siang naik pita m, serunya: "Memangnya kau ini
tandinganku atau bukan juga belum diketahui." "Sret", pedangnya menusuk lebih dulu dari sa mping, maka terlihatlah cahaya kemilau
ta-jam berkelebat, menciptakan tiga kelompok cahaya pedang
menusuk tiga Hiat-to di tubuh lawan. Serangan Long-sing-kia m
dilancarkan dengan gerakan kilat, ma lah khusus menyerang musuh
dari arah sa mping, sehingga lawan sering tak ber-jaga2.
Agaknya laki2 baju hijau lawan Kongsun Siang ini me mang
me miliki bekal kepandaian yang mengejutkan, hanya tangan kiri
bergerak, dia keluarkan serangkum tenaga kuat yang tak kelihatan
mendesak serangan pedang lawan, jengeknya dingin: "Coba kaupun
sambut sejurus serangan pedangku! " Pedangnya yang lebar itu
terayun terus me mbacok dari arah depan.
Gerak bacokan ini hakikatnya tidak menyerupai jurus serangan,
tapi begitu pedangnya me mbacok ke luar, seketika terasa adanya
dorongan hawa dingin yang timbul dari taja m pedangnya.
Sebat sekali Kongsun Siang tarik balik pedangnya serta
menyelinap ke samping. Long-s ing-poh atau langkah serigala yang
dia mainkan a mat gesit dan lincah, sekali berkelebat saja mestinya
dia da-pat menghindarkan serangan lawan, diluar tahunya si baju
hijau yang tadi berdiri di sebelah kanan ini hanya sedikit geser,
pedangnya yang lebar itu tetap dengan gaya semula me mbacok
lurus ke muka Kong-sun Siang, Gerakannya tidak begitu cepat,
justeru karena gerakan pedangnya tidak mengala mi peru-bahan,
maka bacokan pedang ini kini tinggal dua kaki saja dari badan
Kongsun Siang. Keruan tidak kepa lang rasa kaget Kongsun Siang, dalam
gugupnya ia tak sempat banyak pikir, cepat dia angkat pedang
untuk menangkis dengan jurus Thianlong-som-to. "Trang", kedua
pedang saling bentur dengan keras, si baju hijau tetap berdiri tida k
bergiming di tempatnya, sebaliknya Kong-sun Siang merasakan
lengan kanannya kese mutan pegal dan menyurut mundur. Sejak
keluar kandang dan menge mbara di Kangouw, kecuali pernah
dikalahkan oleh Ling Kun-gi, baru sekali ini dia benar2 mengala mi
kekalahan dan berhadapan dengan musuh tangguh.
Watak Kongsun Siang me mang tinggi hati, hanya segebrak lantas
dipukul mundur, selebar mukanya seketika merah me mbara, begitu
mundur segera ia menubruk maju pula, beruntun dia menyerang
tiga jurus. Tiga jurus ini merupa kan tipu serangan Thianlong- kia m-
hoatnya yang paling lihay, sinar pedang menyambar bagai ular
sakti. Si baju hijau hanya tertawa ejek saja, pedang lebar ikut bergerak
tiga jurus untuk me mbendung dan me matahkan serangan musuh,
sementara tangan kiri bergerak melancarkan tipu merebut pedang
lawan, pergelangan tangan kanan Kongsun Siang yang me megang
pedang segera dicengkera mnya.
Ilmu silat orang ini ternyata amat aneh dan luar biasa,
permainannya kelihatan kasar dan sederhana, tapi setiap gerak
serangan justru mengandung t ipu yang lihay dan me matikan,
terutama gerakan merebut pedang lawan, ke lihatan lucu dan aneh,
tampaknya kombinasi dari Kim-na-jiu dan Kong-jiu-jip-pe k-yim, ilmu
menangkap dan rebut senjata dengan bertangan kosong, Kongsun
Siang didesaknya sedemikian rupa sehingga tak mungkin me lawan
dengan gerakan la in.
Kalau Kongsun Siang tidak mundur, pedang di tangannya pasti
terampas oleh musuh. Bahwa tiga serangan pedang Kongsun Siang
semuanya kena dipatahkan oleh pedang lebar lawan, kini tangan
lawan yang lain juga mencengkera m ke arahnya, semua ini
me mbuatnya naik pita m, mendadak ka kinya menendang tangan
lawan yang menjulur tiba itu.
Untunglah pada saat yang gawat itu didengarnya desiran lirih
serta didengarnya seseorang berkata ditelinganya: "Le kas mundur
Kongsun-heng!"
Kongsun Siang tahu itulah suara Ling Kun-gi yang me mberi
petunjuk untuk me nyelamatkan diri, tapi kakinya sudah kadang
me layang, untuk ditarik turun sudah tidak mungkin, ma ka tangan si
baju hijau begitu tersentuh, kaki Kongsun Siang, kelima jarinya
segera mencengkera m, tetap mengincar pergelangan tangan
Kongsun Siang, malah gerakannya bertambah cepat karena
dorongan tendangan kakinya sendiri.
Kongsun Siang sendiri merasa kakinya kesakitan karena
dirasakan seperti menendang batang-an besi, sementara tangan kiri
lawan sudah me megang gagang pedangnya, Kejadian terlalu cepat
dan masing2 pihak tidak se mpat berpikir, tatkala itu ke lima jari si
baju hijau sudah tertekuk hendak me megang pedang lawan, tiba2
dirasakan sesuatu benda menyesap ke telapak tangannya, secara
otomatis ia menggega mnya dan seketika dia merasakan kesakitan
pada telapak tangannya, lekas dia menunduk dan me mbuka telapak
tangan, ternyata yang dia pegang bukan gagang pedang, tapi
adalah sebuah duri gantolan yang semula berada di jaring raksasa
tadi. Betapa runcing dan tajam duri gantolan yang terbuat dari besi
ini, karena digengga m, ujungnya yang runcing sudah menusuk kulit
dagingnya, darah segar mengalir deras dan menetes dari sela2
jarinya. Sementara itu Kongsun Siang sudah me lejit mundur. .
Kale m seperti tidak terjadi apa2 dan seperti tidak merasa
kesakitan, pelan2 si baju hijau angkat kepala me ngawasi Ling Kun-
gi: "Perbuatanmu bukan"'
Kun-gi tertawa, katanya: "Kusaksikan pedang temanku bakal
terampas orang, maka sekadar kubantu dia, kukira toh tiada
salahnya" Apalagi Cayhe tidak bermaksud melukai orang, asal tuan
tidak mencengkera m dengan kencang, telapak tanganmupun takkan
terluka." "Bagus", desis si baju hijau, "babak ini belum berakhir, kini kaulah yang maju saja."
Dala m pada itu, Ci Hwi-bing dan si baju hijau di sebelah kiri
tampak sedang bicara bisik2. La lu terdengar si baju hijau sebelah
kiri berseru: "Lo-ji, kau mundur, biar aku yang menghadapi Cong-
hou-hoat-su-cia dari Pe k-hoa-pang ini."
Kun-gi tertawa lantang, katanya: " Tuan mau me mberi petunjuk,
sudah tentu akan kuiringi, tapi satu hal perlu kau ketahui, kini Cayhe
bukan lagi Cong-su-cia Pek-hoa-pang segala "
Si baju hijau di sebelah kiri ta mpak me lengak heran, tanyanya:
"Mengapa kau bukan Cong-su-cia Pek-hoa-pang lagi?"
"Soal ini tiada sangkut pautnya dengan urusan sekarang, tak
perlu Cayhe menje laskan."
"Kenapa Tunheng percaya akan obrolannya?" demikian sela Ci
Hwi-bing, "kalau dia bukan lagi Cong-su-cia Pek-hoa-pang, buat apa
dia meluruk ke mari"'
Dengan sikap sungguh2 Kun-gi berkata: "Sekali orang she Ling
bilang bukan, ya tetap bukan, me mangnya persoalan ini harus
diperdebatkan?"
Jelilatan sinar mata Ci Hwi-bing, tanyanya: "Tentunya ada
alasannya?"
"Tiada a lasan apa2, yang terang Cayhe sudah bosan bekerja."
Berputar bola mata Ci Hwi-bing, katanya: "Kalau benar kau sudah
keluar dari Pek-hoa-pang, berarti tiada bermusuhan dengan He k-
liong-hwe ka mi, asal tuan suka turunkan senjata, Hwecu ka-mi
ma lah ingin mengundangmu, untuk ini aku bisa menjadi perantara."
"Me mang, Cayhe ingin mene mui Hwecu kalian, entah cara
bagaimana Ci-tongcu henda k me mperte mukan Cayhe dengan dia?"
Semakin lebar senyum Ci Hwi-bing, ucapnya. "Sebelum je las
maksud kedatanganmu, terpaksa menyusahkanmu dulu, letakkan
senjata dan kututuk beberapa Hiat-tomu, habis itu baru kubawa kau
menghadap Hwecu."
"Cong-coh," seru Ting Kiau, "jangan kau tertipu olehnya,
bukankah cara itu berarti me njadi tawanan musuh?"
"Jangan salah paham Ling-lote," kata Ci Hwi-bing, "itulah salah satu prosedur bagi orang luar untuk menghadap Hwecu. Terus
terang setiap orang yang mau menghadap Hwecu, kedua tangannya
harus dibelenggu rantai emas untuk menjaga segala kemungkinan,
tapi Ling-lote adalah orang satu2nya yang ingin ditemui Hwecu,
maka aku berani a mbil putusan sendiri, hanya beberapa Hiat-tomu
yang ditutuk dan kedua matamu ditutup, dihadapan hwecu nanti
mungkin aku akan disalahin ma lah."
Kun-gi tersenyum sinis, katanya: "Terima kasih akan kebaikan Ci-
tongcu, maksud kedatanganku ini me mang ingin mene mui Hwecu
kalian, tapi bukan begitu caraku mene muinya."
Si baju hijau di sebelah kiri mendengus, katanya: "Orang ini
begini congkak, tak usah Ci-tongcu banyak omong padanya lagi,
biar kube kuk dia dan gusur ke hadapan Hwecu."
Ci Hwi-bing mengerut kening, dengan lirih dia me mbisiki si baju
hijau di sebelah kirinya.
Tampak si baju hijau sebelah kiri mendonga k, sambil nga kak,
katanya: "Ci-tongcu tak usah kuatir, setelah dia masuk ke Hwi-liong-
tong, me mangnya dia bisa terbang ke langit?"
Kun-gi me mbatin: "Kiranya tempat ini me mang benar Hwi-liong-
tong." Sementara itu si baju hijau sebelah kiri telah turunkan sebatang
pedang yang berbadan lebar dari pundaknya, dengan tajam ia tatap
Kun-gi, katanya dengan membusungkan dada: "Kabarnya kau murid
Hoanjiu-ji-lay, orang she Tun ingin belajar beberapa jurus pada mu."
Melihat usia orang belum terlalu tua, tapi sorot matanya ternyata
mencorong terang, jelas me miliki Lwekang tinggi. Maka dengan
sabar Kun-gi berkata: "Minta be lajar tidak berani, kalau tuan
me mang me nantang berkelahi, pasti Cayhe mengiringi keinginanmu
tapi sebelum turun tangan, lebih dulu ingin Cayhe mohon tanya
siapa panggilan ka lian berdua?"


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, kenapa aku lupa me mperkena lkan kalian," sela Ci Hwi-bing,
"inilah Hwi-liong-tong Hutongcu kita Tun Thiankhi, dan inilah
komandan ronda Hwi-liong-tong Tun Thianlay."
Ling Kun-gi mengangguk, katanya: "Beruntung dapat berkenalan
di sini, ka lian ada lah murid Thiansanpay bukan?"
Tun Thiankhi dan Tun Thianlay sama menggunakan pedang
panjang yang berbadan lebar, ter-utama setelah melihat gaya
permainan pedang Tun Thianlay tadi mirip sekali dengan jurus2 ilmu
Thiansanpay, di kalangan Bu-lim hanya ilmu pedang Thiansanpay
pula yang kelihatannya sederhana tapi setiap gerakannya
mengandung intisari ilmu pedang dari berbagai aliran yang paling
tinggi. Apalagi ke dua orang ini sama she Tun, mungkin sekali
adalah angkatan muda atau keponakan Thiansan tayhiap Tay-mo-
sintiau Tun Kui-ih.
Terlihat Tun Thiankhi menarik muka dan menjawab: "Dari aliran
mana ka mi orang she Tun, tiada sangkut-pautnya dengan adu
pedang ini, lekas keluarkan senjatamu."
Kun-gi tertawa, katanya: "Ih-thiankia m milikku ini taja m luar
biasa, me mbacok e mas seperti mengiris tanah, me motong besi
seperti merajang sayur, kau harus hati2."
Sembari bicara, pelahan2 terloloslah sebatang pedang panjang
yang me mancarkan sinar dingin ke milau.
Sekilas Tun Thiankhi pandang pedangnya, jengeknya: "Pedang
itu me mang a mat bagus, entah bagaimana pula ke mahiranmu
menggunakannya?" mendadak ia melangkah setapak, pedang lebar
ditangannyapun terus me mbacok.
Pedang lebar ini besarnya kira2 sa ma dengan telapak tangan
anak kecil, bacokan lurus dari depan menanda kan gerakan yang
sederhana, tidak cepat, tak kelihatan di mana letak keanehannya,
tapi bacokan ini justeru me mbawa deru angin yang kencang
berpusar. Tidak sedikit ahli2 pedang yang pernah dihadapi Ling Kun-gi, tapi
belum pernah dia berhadapan dengan serangan pedang yang begini
hebat, diam2 ia terkejut, batinnya: "Agaknya dia sudah memperoleh
ajaran murni dari Thiansankia m-hoat." Secepat pikirannya bekerja,
tangan terangkat pedangpun bergerak, dia lancarkan jurus Liong-
jiau-hoat-hun (cakar naga menyingkap mega), ujung pedang sedikit
mendonga k terus menya mpuk ke depan.
"Trang", kedua pedang saling bentur, mendadak terasa oleh Kun-
gi dari badan pedang lawan merembes keluar segulung tenaga kuat
sehingga pergelangan tangannya tergetar kesemutan. Kalau orang
lain, hanya sekali benturan ini tentu pedang akan tergetar lepas dari
cekalannya, kini pedang Tun Thianlay ma lahan tersampuk minggir
oleh pedang Kun-gi.
Berubah air muka Tun Thianlay, tanpa bersuara kembali
pedangnya menabas miring. Menabas adalah gerakan miring yang
tidak mengandung gerakan variasi, tapi Kun gi sudah dapat
merasakan tabasan lawan ini me mbawa tenaga yang hebat.
Tanpa pikir Kun-gi me lompat ke atas setinggi dua tombak.
Begitu tabasan pedangnya luput, sekaligus Tun Thianki berputar,
dengan landasan kekuatan menabas tadi, pedang lebarnya terayun
balik ke atas. Di luar tahunya bahwa Ling Kun-gi tengah me lancarkan jurus
Sinliong-jut-hun, badannya harus melambung tinggi ke atas, ketika
pedang lebar itu me mbalik ke atas, sementara Kun-gi yang
me luncur tinggi ke atas itu mulai menukik balik, dengan kepala di
bawah dan kaki di atas, yang satu menyerang turun, yang lain
menerjang na ik ke atas, betapa cepatnya serang menyerang ini,
maka terdengarlah dering nyaring benturan kedua pedang, bagai
bunyi petasan renteng, suaranya semakin keras me mekak telinga.
Cepat Tun Thiankhi mundur beberapa langkah, dilihatnya pedang
lebar miliknya yang terbuat dari baja murni yang biasanya khusus
untuk me matahkan senjarta lawan, mata pedangnya kini ternyata
gumpil beberapa tempat. Mendadak ia berseru: "'Mundur!" Segera
ia putar tubuh terus lari masuk pendopo.
Ci Hwi-bing, Tun Thianlay begitu mendengar seruannya juga
lantas mengundurkan diri. Agaknya kelima laki baju hijau itupun
sudah terlatih baik, gerak gerik merekapun ce katan, cepat
merekapun menghilang masuk ke dala m pendopo. De lapan la mpu
kaca dipendopopun seketika pada m.
Kun-gi bertiga seketika merasakan keadaan sekelilingnya gelap
gulita, orang2 yang mundur ke pendopo dala m se kejap mata saja
telah lenyap entah ke mana.
Ting Kiau ingin menguda k, tapi karena Kun-gi tetap dia m saja di
tempatnya, maka tak ena k dia bertindak sendiri.
Kongsun Siang juga telah me mburu maju, katanya lirih: "Musuh
mundur sebelum ka lah, mungkin untuk mengatur muslihat."
Kun-gi manggut2, katanya: "Ucapan Kongsun-heng masuk a kal,
mari coba2 kita periksa." Dengan me ngacung tinggi mutiara di atas
kepala dia menaiki undakan itu.
Saat itu mereka berada dala m gua di perut gunung, tapi orang2
Hwi-liong-tong telah me mbangun tempat ini sede mikian rupa
sehingga hampir saja mirip pekarangan dan ruang pendopo
umumnya. Tadi mereka bertempur di pekarangan, maka kini mere ka
me masuki ruang pendopo.
Setelah mela mpaui tiga tingkat undakan batu, mereka menyusuri
serambi panjang yang lebar, tepat di depan mengadang enam pintu
batu yang diukir dengan hiasan warna warni, tapi semua pintu
terpentang lebar. Kun-gi mendahului masuk ke pendopo, hanya
beberapa langkah segera berhenti, dengan pancaran sinar mutiara
dia me meriksa keadaan pendopo itu.
Kiranya ruang pendopo atau kamar batu ini luasnya kira2 ada
sembilan tomba k, kecuali sebuah meja batu panjang tepat di tengah
ruangan ada dua baris kursi batu putih disisi kanan-kirinya, tiada
lain benda lagi dala m pendopo ini, keadaan kosong dan gelap.
Pancaran sinar mut iara di tangan Kun-gi hanya mencapai tiga
tombak jauhnya, tapi dengan bantuan pancaran sinar yang redup ini
Kun-gi dapat me lihat keadaan sekelilingnya yang lebih jauh lagi,
kiranya pendopo ini dike lilingi dinding2 batu yang tinggi dan licin,
tiada kelihatan bekas2 pintu rahasia di seke lilingnya.
Jelas Ci Hwi-bing dari anak buahnya tadi masuk ke te mpat ini,
tapi jejak mereka menghilang di sini, ma ka Kun-gi menduga pasti
ada pintu rahasia di da la m ruang pendopo ini.
Kongsun Siang ikut masuk dan berhenti di belakang Kun-gi,
katanya keheranan: "Tiada pintu da la m pendopo ini, pasti dipasang
alat2 rahasia. Ting-heng, mari kita periksa bersa ma, supaya tidak
terjebak oleh muslihat mere ka."
Ting Kiau merogoh ketikan api dan menyalakan obor kecil yang
selalu dibawa oleh setiap insan persilatan, katanya: "Ya, mari kita
periksa bersa ma."
Kongsun Siang juga mengeluarkan obor kecilnya. Dengan
menyalanya kedua obor kecil ini, maka keadaan pendopo berta mbah
terang. Tampak dinding, lantai dan me ja kursi se muanya terbuat dari
batu hijau yang digosok licin meng-kilap laksana kaca, dengan
seksama kedua orang berpencar me meriksa tiga arah dinding batu
yang kemilau oleh sinar obor mereka, setiap sudut, setiap jengkal
lantai yang berlapis batu hijau itu dan tetap tak berhasil mereka
temukan apa2. Obor di taugan Ting Kiau akhirnya menjadi gura m karena ma kin
pendek, dengan kecewa dia buang obornya sambil berkata gegetun:
"Setelah menghadapi kenyataan baru terasa kekurangan, sampa i
hari ini baru a ku betul2 menyadari kenapa dulu tida k belajar lebih
rajin dan tekun kepada guru, kini menyesalpun telah kasip."
Menyusul obor Kongsun Siang juga pada m, katanya pula:
"Agaknya alat2 rahasia di sini diciptakan oleh seorang yang betul2
ahli, dengan pengetahuan kita yang cetek ini tak mungkin bisa
menyela mi letak kuncinya."
Kedua obor sudah padam, tinggal cahaya mutiara di tangan Kun-
gi saja, maka keadaan pendopo ke mba li me njadi re mang2. Kata
Kun-gi: "Kalau tak kete mu, tak perlu kita susah payah mencarinya."
"Tapi jalan mundur sudah buntu, me mangnya kita harus diam
saja terkurung di sini," kata Ting Kiau.
"Mereka mundur sebelum kalah, jelas musuh punya rencana keji,
mumpung ada waktu, sebaiknya kita istirahat mengumpulkan
tenaga dulu," ujar Kun gi, pelan2 dia mengha mpiri kursi batu dan
duduk di sana. "Sikap tenang Ling-heng ini sungguh mengagumkan, betapapun
aku bukan tandinganmu," puji Kongsun Siang.
Kun-gi tersenyum, katanya: "Sejak kecil guruku sudah
mendidikku, setiap kali menghadapi kesukaran, kepala harus dingin
dan pikiran tetap jernih, supaya kita sendiri tidak kelaba kan
kehabisan tenaga ' Sa mpai di sini tiba2 dia pakai ilmu gelombang
suara: "Setiap saat kemungkinan musuh akan menyerang kita,
harus selalu waspada, Kongsun-heng, Ting-heng, kalian boleh ambil
posisi sendiri2, tanpa isyaratku jangan se mbarangan bertindak."
Kongsun Siang dan Ting Kiau mengia kan.
Kun-gi keluarkan kantong sula m pe mberian Un Hoankun, dia
keluarkan sebuah botol porselen kecil dan menuang dua butir Jing-
sin wan dan dibagikan kepada kedua orang, lalu mena mbahkan
dengan ilmu suara: "Inilah Jing-sinwan bikinan Ling-la m, khusus
untuk menawarkan segala maca m obat bius dan dupa wangi yang
me mabukkan, kulumlah da la m mulut kalian." '
Setelah terima pil itu dan dikulum dala m mu-lut, Kongsun Siang
dan Ting Kiau lantas mundur berpencar mene mpati posisi di
kirikanan, mereka berjongkok di belakang kursi.
Kejap lain Kun-gi masukkan mutiara ke dala m sakunya sehingga
ruang pendopo itu menjadi gelap gulita, kelima jari sendiripun tida k
kelihatan, begitulah mereka berdia m diri kira2 setanakan nasi,
keadaan tetap sunyi, tiada sesuatu reaksi apa2 dari pihak musuh.
Akhirnya Ting Kiau buka.suara: "Cong-coh, agaknya musuh
sengaja hendak kurung kita di sini, sela ma tiga hari saja cukup
me mbikin kita kelaparan dan kehabisan tenaga, betapa kita kuat
me lawan mereka?"
"Tida k mungkin," kata Kun-gi, "te mpat ini sudah merupakan
daerah penting Hwi-liong-tong, bahwa selama ini mereka tidak
bergerak mungkin karena tengah menghadapi pertempuran terbuka
di depan sana dan tenaga tidak mencukupi untuk mengurus kita,
dan terpaksa kita dikurung di sini untuk sementara, tapi peduli
mereka kalah atau menang, kukira waktunya tidak akan terlalu lama
lagi." "Menurut pendapatku," demikian Kongsun Siang ikut bersuara,
"bahwa sela ma ini mereka be lum bertindak, pasti ada sangkut
pautnya dengan Ling-heng."
"Berdasarkan apa pendapat Kongsun-heng ini?" tanya Kun-gi. .
"Apa yang pernah diucapkan Nao Sam-jun di Gu-cu-ki tempo hari
tentunya Ling-heng masih ingat, dia pernah bilang asal Ling-heng
sudi menyerah atau mau bekerja demi kepentingan Hek-liong-hwe,
kalau Pek-hoa-pang bisa me mberi kedudukan Cong-su-cia, maka
Hek-liong-hwe juga sanggup me mberi jabatan Cong-houhoat
kepadamu."
"Soal ini sudah tentu masih kuingat," ucap Kun-gi.
"Baru saja kita tiba di Ui-lionggia m, musuh lantas meluruk dari
tiga arah mengepung kita, dalam keadaan yang buruk itu Ci Hwi-
bing masih me mbujuk Ling-heng supaya bekerja untuk Hek-liong-
hwe, akhirnya terjadilah pertempuran sengit, Cap ji-sing- siok Hek-
liong-hwe berhasil kita tum-pas habis, Lansat-sin Dian Yu-hok, Ping-
sin Tok-ko Siu juga melayang jiwanya, malah Ui-liong-tongpun telah
kita ledakkan, hanya Ci Hwi-bing seorang saja yang lolos dari
renggutan elmaut, peristiwa besar ini sebetulnya merupa kan
pukulan berat baginya, terhadap Ling-heng mestinya dia a mat benci
dan denda m . . . . "
"Ya, betul, adalah layak kalau dia me mbenciku," ujar Kun-gi.
"Tapi tadi wa ktu Ling-heng me mbobol jaring kawat baja dan Ci
Hwi-bing muncul, sikapnya tak na mpak bermusuhan terhadap Ling-
heng, malah dia tetap me mbujuk Ling-heng bekerja sa ma dan ma u
me mbawa mu mene mui Hek-liong-hwecu. Dari sini dapatlah
disimpulkan bahwa He k-liong-hwe Hwecu me mandangmu terlalu
penting, kukira pasti ada pesannya kepada ana k buahnya."
Kun-gi tertawa, katanya: "Dala m hal apa diriku ini sa mpai
dipandang begitu penting oleh mereka?" Dala m hati dia me mbatin:
"Pasti lantaran aku bisa menawarkan getah beracun itu."
"Menurut rekaanku;" dernikian ucap Kongsun Siang lebih lanjut,
"Hek-liong-hwe mungkin merasa segan dan tak berani berbuat salah
terbadap guru Ling-heng, atau mungkin ada sebab la innya. Tapi
Hek-liong-hwecu ingin secepatnya merangkul dan menarik hati Ling-
heng, hal ini kukira tidak perlu disangsikan lagi." Ia merande k
sebentar, lalu melanjutkan lagi: "setelah Ling heng masuk ke mari,
jaring baja mereka tak berguna, Tun Thian khi sendiri juga sadar
dirinya bukan tandinganmu, ma ka lekas dia mengundurkan diri, kini
kita dikurung di te mpat ini . . . . "
"Analisa Kongsun-heng cukup je las," timbrung Ting Kiau, "tapi apa pula tujuan mere ka mengurung kita di sini?"
"Ruang pendopo ini pasti ada dipasang perangkap yang a mat
lihay, walau mereka telah mengurung Ling-heng, agaknya Ci Hwi-
bing dan Tun Thiankhi tak berani bertindak sendiri, maka mere ka
merasa perlu untuk menghadap Hwecu mereka dan minta
petunjuknya, jika perintah Hwecu mereka belum sa mpai di sini,
pasti mereka takkan berani se mbarang bertindak."
Ting Kiau menepuk paha, serunya tertawa: "Betul, marilah kita
tunggu perintah Hek-liong-hwecu, mau perang atau akan da mai,
sebentar akan kita ketahui."
Di kala mereka bicara itulah, mendadak Kun-gi merasakan
adanya serangkum bau aneh yang merangsang hidungnya, kepala
seketika terasa pening dan berat, tergerak hatinya: "Tepat
dugaanku, mereka mau menggunakan dupa bius untuk merobohkan
kami bertiga."
Kejadian me mang aneh, baru saja hidungnya mengendus bau
wangi yang me mabukkan dan bikin kepalanya pening, kantong
sula m yang tergantung di depan dadanya seketika juga menguarkan
bau wangi yang semerbak sehingga kapalanya yang pening seketika
sirna, pikiran jernih dan badan segar.
Dia m2 Kun-gi merasa kagum dan me mbatin: "Ke luarga Un dari
Ling-la m me mang tidak malu sebagai ca kal bakal ahli obat bius yang
telah turun temurun sejak kake k moyang mereka, botol porselen
yang hanya tertutup gabus berlubang biasanya tidak pernah
menguarkan bau apa2, tapi begitu dupa bius merangsang, obat
penawar yang terisi dala m botol seketika pula unjuk khasiatnya."
Karena mut iara sudah tersimpan da la m kantongnya, maka ruang
pendopo itu gelap gulita, keadaan sekelilingnya menjadi t idak jelas,
tapi Kun-gi yakin bahwa dupa bius itu sudah me menuhi seluruh
ruang pendopo, karena terasa juga olehnya bau harum segar dari
kantong sula mnya itu terus merangsang keluar.
Kongsun Siang dan Ting Kiau berpencar di kanan-kiri, masing2
duduk di bawah kursi, jadi t iga orang berposisi segi tiga, kini
merekapun sudah mengendus bau dupa me mabukkan itu, maka ter-
dengar Ting Kiau bersuara heran, katanya: "Cong-coh, kau sudah
mencium bukan" Bau dupa ini agak ganjil?"
Dengan menahan suara Kun-gi berkata: "Musuh tengah
me lepaskan asap dupa wangi yang me mabukkan, Ting-heng jangan
bersuara, nanti kalau ada orang masuk kalian harus pura2 rebah


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terbius, jangan turun tangan secara serampangan, dengarkan tanda
tertawaku "
Kongsun Siang berdua mengia kan. Kira2 setanakan nasi lagi, bau
dupa dalam pendopo semakin tipis dan akhirnya sirna. Maka dari
arah dinding sebelah timur berkumandang suara ge muruh,
mendadak dinding yang rapat itu merekah buka, tapi hanya segaris
sempit saja. Dika la suara gemuruh mulai berkumandang, Kongsun Siang dan
Ting Kiau lekas2 merebahkan diri, mereka mende ka m di bawah
kursi dengan waspada.
Kejadian berlangsung hanya sekejap saja, setelah suara gemuruh
berhenti dan dinding sedikit terbuka itu, keadaan menjadi hening
pula, tak kelihatan ada orang masuk. Agaknya musuh tahu diri,
karena belum jelas keadaan di dala m mereka tak berani masuk.
Beberapa kejap lagi, mendada k sinar la mpu yang terang
menyilaukan rata menyorot masuk dari sela2 dinding yang terbelah
itu, pendopo yang semula ge lap gulita menjadi terang benderang.
Kun-gi duduk bersandar kursi, dia m tak bergerak seperti le mas
lungla i. Maka terdengar suara Ci Hwi-bing dari belakang dinding:
"Bagaimana keadaan di dala m?"
Seorang menjawab: "Lapor Tongcu, hanya kelihatan orang she
Ling duduk le mas di kursi, agaknya sudah terbius se maput."
"Dua yang lain bagaimana"' tanya Ci hwi-bing.
"Tida k kelihatan, mungkin sudah rubuh di lantai, teraling oleh
kursi," sahut orang itu.
"Baiklah, coba kalian masuk me meriksa" perintah Ci Hwi-bing.
Ternyata sela2 dinding itulah pintunya, pintu terbuka agak lebar,
dua sosok orang berkelebat masuk dari balik dinding langsung
mende kati mereka..
Melihat pintu sudah terbuka, sementara dua orang musuh sudah
me langkah masuk, maka Kun-gi tidak tinggal dia m lagi, mendada k
dia tertawa ngakak sambil melompat bangun terus menerjang ke
arah pintu. Ilmu silat kedua orang yang masuk ternyata cukup tinggi, begitu
Kun-gi menerjang maju mere kapun segera siap siaga, keduanya
mundur setengah langkah. "Sret, sret", dua batang pedang hita m
mereka me mbabat bersilang berusaha menahan lawan.
Kun-gi ayun tangan kanan secepat kilat dia menepuk sekali,
segulung tenaga pukulan seketika menahan gerakan pedang lawan
sebelah kanan, berbareng tangan kiri mencengkera m lengan orang
di sebelah kiri terus ditarik, sebat luar biasa ia terus me luncur ke
depan me mberesot lewat di tengah kedua musuh dan me mburu ke
arah pintu. Kongsun Siang dan Ting Kiau mendengar gelak tawa Ling Kun-gi,
berbareng merekapun melompat berdiri. Sekali tubruk Kongsun
Siang menerjang orang di sebelah kiri, berbareng pedangnya
menusuk. Ting Kiau juga t idak kalah cepat dan tangkasnya. belum lagi dia
menerjang tiba, kipas le mpitnya sudah bekerja menggaris melintang
dengan me mbawa deru angin mengincar muka orang di sebelah
kanan. Sebetulnya kepandaian silat kedua orang yang masuk ini cukup
lumayan, walau tidak ma mpu mengha langi Ling Kun-gi, tapi dika la
Kongsun Siang dan Ting Kiau menubruk, tiba merekapun sudah
bersiap menyambut serangan mereka.
Bahwasanya gerakan Ling Kun-gi tadi me mang cepat luar biasa
dan secara mendadak maka dala m segebrak dia dapat bikin kedua
lawannya menyingkir serta menerjang lewat, sayang sekali ketika
dia ha mpir mencapai pintu batu mendadak dilihatnya bayangan
seorang tinggi besar mengadang di depan pintu. Sebelum lawan
turun tangan menyerang Kun-gi sudah me ndahului me lontarkan
pukulan kilat menghanta m dada lawan.
"Blang", dengan telak telapak tangannya me mukul dada lawan.
Tapi Kun-gi sendiri merasa telapak tangannya tergetar pedas
kesakitan, ternyata pukulannya seperti me mukul pada batu yang
keras, keruan kejutnya tidak kepalang.
Waktu dia mendongak dan melihat lebih jeias, kiranya bayangan
orang yang muncul di depan dan mengadang jalannyu adalah
patung batu yang tinggi besar. .Karena sedikit teralang ini, pintu
batu yang hanya terbuka sedikit itu cepat sekali sudah menutup
lagi, sorot lampupun pada m sehingga keadaan di ruang pendopo
ke mbali menjadi ge lap gulita. Begitu keadaan menjadi gelap, kedua
orang yang lagi bertempur dengan Kongsun Siang dan Ting Kiau
segera pura2 menyerang, habis itu terus me lompat mundur. Pada
hal pintu batu sudah tertutup, jelas tiada jalan lain untuk me larikan
diri. Maka Kongiun Siang menghardik: "Mau lari ke ma na kalian?"
Pedang berpindah ke tangan kiri terus menyalakan api, lalu cepat2
dia pindahkan pula pedang di tangan kanan, tangan kiri
mengacungkan tinggi kertas yang terbakar di atas kepala.
Pada saat yang sama Ting Kiau juga telah me nyalakan api,
serempak mereka lantas mengudak ke pojokan sana, tampak kedua
orang berbaju hijau itu telah me la mbung ke sebuah lubang besar
dipojok atap sana, sekali berkelebat bayangan merekapun lenyap,
cepat sekali lubang besar itupun tertutup ke mbali dan tida k
kelihatan adanya bekas apa2. Barulah sekarang mereka maklum
bahwa asap dupa tadi kiranya dilepas dari lubang besar di atas atap
ini. Ting Kiau mencak2 gusar: "Kunyuk itu berhasil lolos lagi."
Kongsun Siang menghela napas, katanya: "Alat rahasia yang
mengenda likan pendopo ini, kiranya tidak hanya begini saja:"
"Persetan dengan alat rahasia perangkap segala, memangnya
kita gentar menghadapinya," seru Ting Kiau marah2 .
Terdengar suara Ci Hwi-bing berkumandang: "Ling Kun-gi, tadi
kulepas asap dupa juga demi kebaikanmu, karena hanya jalan itulah
satu2nya, sehingga kau lemas tak ma mpu melawan dan terima
dibelenggu dan selanjutnya kau pasti akan be kerja bagi ka mi, tak
terkira perhitungan Lohu me leset, agaknya aku menila imu terlalu
rendah." Gusar tapi Kun-gi masih bisa tertawa, katanya: 'Ci Hwi-bing, sia2
kau menjadi Tongcu dari Hek-liong-hwe, yang kau andalkan hanya
alat rahasia dengan segala perangkap ini, kau bisa mengurungku di
sini, me mangnya ulah apa pula yang bisa kau lakukan?". .
"Ling Kun gi," terdengar kereng suara Ci Hwi bing, "kau harus tahu diri, kalian bertiga seumpa ma kura2 yang berada dala m
belanga, kalau Lohu betul2 mau merenggut nyawamu, segampang
me mba lik telapak tangan, cuma Lohu masih ingin me mberi
kesempatan pada mu, pikirkanlah dua kali lagi, menyerahlah saja
dan bekerja untuk Hek-liong-hwe kita, kutanggung masa depanmu
akan lebih ce merlang, tapi kalau kau tetap bandel, jangan kau
menyesal kalau Lohu t idak kenal kasihan "
Lantang tawa Kun-gi, katanya: "Ci-tongcu, kau ma mpu berbuat
apa, silakan lakukan saja, Cayhe tidak pernah mengerut kening
menghadapi kelicikanmu."
"Orang she Ling," hardik Ci Hwi-bing beringas, "dengan baik hati Lohu me mberi nasihat, tampaknya kau tidak bisa di nsafkan, sejak
kini Lohu me mberi wa ktu semasakan a ir mendidih, pikirlah lagi
dengan baik, asal kau mau tunduk dan bekerja untuk Hek-liong-
hwe, Lohu berani tanggung selama hidup kau tida k akan
kekurangan. .. . . ."
"Bangsat keladi," bentak Ting Kiau, "tutup bacotmu yang kotor, kalau berani hayo buka pintu, tandangilah ka mi dengan kepanda ian
aslimu." Terdengar Ci Hwi-bing mendangus sekali, mendadak terdengar
suara keretekan, dari atap terjadi hujan anak panah yang tak
terhitung banyaknya, semuanya jatuh di lantai depan Ting Kiau,
ujung panah yang menyentuh lantai mengeluarkan suara rama i dan
me mercikkan le latu api.
Keruan Ting Kiau kaget, cepat dia melompat mundur. Panah
ternyata hanya berhamburan sekali, tapi jumlahnya ada puluhan
batang, kalau mengenai tubuhnya tentu dirinya sudah menjadi
landak. Agaknya musuh sengaja mau mende monstrasikan ke lihayan
alat rahasianya, buktinya Ci Hwi-bingpun tida k banyak ucap lagi.
Kongsun Siang mengerut kening, dia mengha mpiri Kun-gi,
katanya lirih: "Ling-heng, dari hujan panah barusan dapat ditebak
kalau alat2 rahasia se macam busur di atas sana tentu dikenda likan
orang sehingga panah bisa dibidikan ke segala jurusan, ke manupun
kita sembunyi tetap akan terbidik oleh panah musuh, berabe juga
bagi kita."
Kun-gi tertawa tawar, katanya: ?capanmu me mang betul
Kongsun-heng, tapi soal ini ga mpang diatasi, pertama, asal kalian
tidak menyalakan api, dala m keadaan gelap gulita, mereka a kan
kehilangan sasaran bidik. Kedua meja dan kursi yang terbuat dari
batu ini a mat kuat dan tebal, bisa kita gunakan untuk berlindang,
persoalan yang lain biar kuhadapi sendiri"
'Tapi hujan panah itu sedemikian lebat dan rapat, bukan saja
daya bidiknya amat kuat dan kencang, mungkin dilumuri getah
beracun pula. Cong-coh . . . . '
"Tida k apa," Kun-gi menukas ucapan Ting Kiau, "a ku punya akal untuk menghadapinya, nanti kalau musuh menyerang, kalian harus
bisa mencari tempat berlindang dengan baik, soal diriku tak usah
kalian kuatir."
Dika la mereka bicara terdengar suara Ci Hwi-bing berge ma pula:
"Ling kun gi, sudah kau pikirkan be lum?"
Kun-gi me mberi tanda kepada Kongsun Siang dan Ting Kiau,
nyala api segera dipadamkan, bergegas mereka menyelinap ke
bawah meja batu.
Dengan tertawa angkuh Kun-gi berkata: "Cayhe tidak perlu pikir
lagi." Kereng dingin suara Ci Hwi-bing: "Kalian berada dalam kurungan,
inilah kese mpatan terakhir, kalian tetap tidak mau menyerah, sekali
Lohu me m-beri aba2, kalian akan segera ma mpus tertembus
ratusan anak panah."
Kun-gi ter-gelak2, serunya: "Hanya panah me mangnya dapat
menggertak dan menakut i aku" Ha-yolah lekas kau perintahkan
anak buahmu lepaskan panah untuk menggaruk badanku yang
sedang gatal ini."
Pada saat itulah kumandang suara seorang perempuan berkata:
"Ci tongcu, Hwecu ada perintah."
"Ha mba terima petunjuk," terdengar Ci Hwi-bing menyahut
hormat. Suara perempuan nyaring itu berkumandang pula: "Pengkhianat
Ling Kun-gi dari Pek-hoa-pang yang terkurung di da la m Bansiang-
thing, kalau masih tetap melawan dan tidak mau menyerah, maka
Ui-liong-tongcu Ci Hwi-bing diberi kekuasaan penuh untuk
menjatuhkan hukuman mati."
"Ha mba terima perintah!" seru Ci Hwi-bing pula.
Agaknya mereka bicara di lapia atas dari ru-angan di mana Ling
Kun-gi dikurung, mere ka sengaja bicara keras. supaya didengar oleh
Kun-gi. maka pe mbicaraan mereka terdengar jelas dari sebelah
atas. Kejap lain terdengarlah suara Ci Hwi-bing yang ketus dingin:
"Ling Kun-gi, kau sudah dengar bukan?" Nadanya menganca m,
maksudnya menekan Ling Kun-gi supaya menyerah saja.
"Me mangnya kenapa kalau Cayhe sudah dengar?" jengek Kun-gi.
"Inilah kese mpatan terakhir untukmu menolong jiwa sendiri,
Lohu akan menghitung sa mpai tiga, kalau kau tetap keras kepala,
Lohu akan perintahkan me mbidikmu."
Ting Kiau tertawa besar, serunbya: "Umpa ma kaud me nghitung
sampai tiga ratus atau tiga ribu, jangan harap ka mi sudi menyerah."
Ci Hwi-bing tidak hiraukan ocehan Ting Kiau, mulutnya mulai
menghitung: "Satu . . . . dua . . . . tiga . . . . " seiring dengan hitungan ketiga, dari pojok atap sana melorot turun selarik sinar
la m-pu yang terang benderang, langsung menyoroti tubuh Ling
Kun-gi diusul suara bunyi jepretan, sebaria anak panah dibidikkan
tiga kaki di depan Ling Kun-gi.
Jelas ini bersifat mengancam, umpa ma betul2 mau merenggut
jiwa orang, tentu sudah langsung dibidikkan ke tubuhnya.
Sambil menggendang tangan Kun-gi me ndongak tertawa lantang,
katanya: "Barisan panah Ci-tongcu ini paling manjur untuk
me mbidik sebangsa rusa, kalau untuk main kayu dihadapanku,
kukira terlalu menggelikan." Lenyap suaranya mendadak kedua
tangannya terangkat, lengan bajunya yang lebar tahu2 mengebut
ke depan. Yang digunakan ini adalah gerakan Kiankunci (lengan baju sapu
jagat) ciptaan Hoanjiu-ji-lay. nampak kedua lengan bajunya yang
lebar itu menge mbang baga i layar, barisan panah musuh yang
dibidikkan dengan daya keras dan kencang itu belum lagi
menyentuh lantai tahu2 sama terpental berserakan seperti daun
pohon kering yang digulung angin lesus, langsung terbang ke luar
pekarangan. Jelas Ling Kun-gi juga sengaja mau pa mer kepandaiannya
dihadapan Ci Hwi-bing.
Sekali jari tengah tangan kiri menjentik, sebuah duri bengkok
seketika me lesat dengan suara deru kencang menerjang la mpu kaca
yang menyorot turun dari atas atap. Maka terdengar suara "prang"
yang keras, kaca pecah apipun seketika padam, ruang pendopo
ke mbali menjadi gelap gulita.
Sembunyi di atap sana sudah tentu Ci Hwi-bing me lihat jelas
keadaan dalam ruang pendopo, tanpa terasa giginya gemeratak
gemas, desianya: "Kalau orang ini tida k dilenyapkan, kelak pasti
menjadi bibit bencana bagi kita se mua, hayo siapkan panah, bunuh
dia." ia betul2 me mberi perintah.
Satu lampu kaca sudah pecah dirusak oleh Kun-gi, tapi
mendadak menyorot lagi tiga la mpu yang lain, ketiganya sa ma2
menyorotkan sinar yang terang menyilaukan mata, secara bersilang
dari tiga jurusan menyoroti pendopo. Maka suara jepretan panah
menjadi ra mai, hujan panah sa ma berjatuhan dari tiga arah yang
berlawanan, lebih hebat lagi di antara samberan anak panah itu
tercampur pula berbagai maca m senjata rahasia, seperti paku
berbentuk duri ce mara, jarum2 terbang yang le mbut se muanya
berwarna hitam, terang berlumuran getah beracun yang jahat dan
me matikan. Hujan panah dan senjata rahasia sungguh lebat dan berseliweran
dengan suaranya yang mendenging, Sementara Kongsun Siang dan
Ting Kiau yang se mbunyi di bawah meja batu masih tetap
me megang senjata untuk menya mpuk panah dan senjata rahasia
yang mengincar mereka.
Dari desiran angin yang berseliweran itu Kun-gi dapat
me mbedakan sedikitnya ada lima maca m senjata rahasia yang
bentuknya kecil dan ringan bobotnya, karena diseling di tengah
samberan panah yang berdaya kencang, orang tidak akan berjaga
dan menyangka untuk menyampuk dan merontokkannya, diam2 ia
kaget juga. Ruang pendopo ini me mang dipasang segala macam perangkap
yang serba lengkap, kalau orang lain tentu sejak tadi jiwa melayang
dan tubuh hancur luluh. Walau Kun-gi meyakinkan ilmu pelindung
badan, betapapun ia tak berani pandang enteng senjata rahasia
yang berbobot ringan, apalagi ada kalanya dia harus me mperhatikan
keselamatan Kongsun Siang dan Ting Kiau.
Kejadian sebetulnya teramat cepat, baru saja panah dan senjata
rahasia musuh berhamburan, tangan kanan Kun-gi sudah melolos
pedang pendek dan dipindah ke tangan kiri, begitu tangan kanan
terangkat, Ih thiankia m juga dike luarkannya. Begitu dua pedang
pusaka panjang-pendek keluar dari sarungnya, cahaya yang kemilau


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadikan pendopo ini berta mbah terang, hawa dinginpun terasa
menyayat badan.
Tanpa ayal Kun-gi ayun tangan kirinya, cahaya pedangnya yang
gemilapan segera me mbungkus sekujur badannya, sementara Ih-
thiankia m ditangan kanan menggaris lurus miring mengeluarkan
sinar perak ber-lapis2 me mbantu Kongsun Siang dan Ting Kiau
merontokan senjata rahasia.
Suara jepretan masih terus berlangsung, ma ka kedua pedang
pusaka di tangan Lingkun-gi pun bekerja semakin cepat dan
tangkas, sinar pedang hijau ke milau dilingkari sinar perak ta mpa k
indah me mpesona, dengan menarikan kedua pedangnya, betapapun
lebat hujan anak panah dan senjata rahasia dapat dirontokkan.
Padahal sorot lampu sedemikian terang benderang, tapi
bayangan Kun-gi sendiri seakan telah lenyap, hanya cahaya pedang
dan kesiur anginnya yang menderu, hawa pedang seolah2 sudah
me menuhi seluruh ruang pendopo, panah dan senjata rahasia yang
tersentuh oleh cahaya kemilau itu kontan terpental terbang dan
tersampuk rontok berserakan di lantai.
Begitu bernafsu Ling Kun-gi menarikan kedua pedangnya,
mendadak mulutnya berpekik keras mengalun tinggi bagai pekik
naga dan seperti singa mengaum, tiba2 badannya melejit ke atas,
bagai bianglala Ih-thiankia m me mantulkan tiga bint ik sinar dingin
me lesat ke atas atap, ke arah lubang2 di mana anak panah dan
senjata rahasia di ha mburkan.
Panah dan senjata rahasia itu semua dibidikkan dengan berbagai
alat rahasia yang serba lengkap, Ih-thiankiam merupakan pedang
pusaka yang dapat me motong besi seperti me ngiris tahu, sekali Ih-
thian khia m bekerja, bukan saja segala alat rahasia yang menjadi
sasaran dapat dirusakkan, di tengah kerama ian ge meretaknya alat2
yang berantakan itu dise ling pula jerit kaget orang2 yang
mengenda likan alat2 rahasia itu. Jelas bahwa para pengendali alat
rahasia itupun banyak yang terluka.
Begitu me layang turun pula ke lantai langsung Kun-gi pindah
pedang pandak ke tangan kanan, sekali jongkok dia raih tiga batang
patahan panah terus diayun ke atas, tiga bintik hita m seketika
me luncur ketiga sasaran. "Prang", Iampu2 kaca di atas atap
seketika tertimpuk pada m.
Semua kejadian berlangsung a mat cepat. setelah alat rahasia
musuh berhasil dirusa k dengan sendirinya hujan panah dan senjata
rahasiapun berhenti, begitu lampu kaca pada m pula, ke mbali
kegelapan meliputi ruang pendopo.
Menyaksikan betapa gagah dan perkasa Ling Kun-gi barusan,
Ting Kiau sa mpai me lelet lidah, katanya kejut2 girang: "Cong-coh,
pertunjukanmu sungguh a mat mengagumkan."
Kongsun Siang merangkak ke luar serta berdiri, katanya sambil
menghe la napas: "Setelah kejadian mala m ini baru aku sadar bahwa
apa yang kupelajari selama ini dibanding Ling-heng sungguh seperti
kunang2 dibanding re mbulan, bagai langit dan bumi perbedaannya."
Kun-gi simpan kedua pedangnya. katanya tawar: "Kongsun-heng
terlalu mengumpak, aku hanya mengandal ketajaman kedua pedang
pusaka ini, secara untung2an menerjang bahaya"
Ting Kiau ber-kaok2: "Tua bangka she Ci, kau masih punya ulah
apa lagi, hayo tunjukkan kepada tuan2 besarmu.?"
Suasana di atas hening lelap tak terdengar suara orang, agaknya
Ci Hwi-bing sudah tiada di sana. Dua kali musuh tidak berhasil
menumpas perlawanan mereka meski sudah terkurung di dala m
kamar, sudah tentu timbul rasa jera dan waspada Ci Hwi-bing, ma ka
dalam waktu dekat ini terang dia tidak akan beraksi lagi. Maka
keadaan sama bertahan pada sikap masing2, Ling Kun-gi bertiga
pantang menyerah walau terkurung di dala m pendopo.
Kini pendopo itupun diliput i ketenangan, akhirnya kesunyian
terasa menceka m Ling Kun-gi, Kong-sun Siang dan Ting Kiau
maklum, keadaan tenang ini merupakan permulaan dari suatu
gempuran musuh yang akan lebih hebat lagi, entah rencana apa
pula yang tengah dirancang.
Setelah sekian la ma menunggu sa mbil berdia m diri, akhirnya
Kongsun Siang melompat berdiri, katanya lirih: "Bukan cara baik
kalau cuma berpeluk tangan terima dikurung begini saja, kita harus
berdaya untuk menerjang ke luar."
"Me mangnya perlu dikatakan lagi?" timbrung Ting Kiau. "Soalnya pintu batu tadi sudah tertutup, kau ma mpu me mbukanya?"
Mendadak tergerak hati Kongsun Siang, pikirnya: "Pintu batu
me mang sudah tertutup, tapi patung batu berbentuk manusia besar
itu masih berada di tempatnya tak pernah bergerak lagi, bukankah
di situ letak kunci rahasianya?" Karena pikirannya ini, cepat dia
keluarkan ketikan dan ma nyalakan api, katanya lirih: "Ling-heng,
coba pinja m Ih-thiankia m-mu sebentar."
"Kongsun heng mendapat akal apa?" tamya Kun-gi, dan serahkan
Ih-thiankia m. Menerima pedang pusaka itu, Kongsun Sang berkata dengan
suara tertahan: "Kupikir kalau pintu batu itu dikendalikan alat
rahasia, asal kita dapat menemukan letak atau bekasnya, alat
rahasia yang mengendalikan itu kita rusak pula, dengan kesaktian
kekuatan Ling-heng pasti dapat me mbukanya."
"Kongsun-heng dapat mene mukan letak pintu batu itu?" tanya
Ting Kiau. Kongsun Siang tertawa, katanya: "Orang2an batu itu ke luar dari
balik pintu, kini masih tetap di tempatnya tak pernah bergeser, cara
bagaimana patung batu ini bisa masuk ke mari" Tentu dikenda likan
alat rahasia pula, dan alat kendalinya tentu berada di bawah
kakinya, asal kita bisa merobohkan patung ini, rasanya akan
mene mukan alat rahasianya pula?"
Ting Kiau keplok kegirangan, serunya: "Akal Kongsun-heng
me mang bagus, Hayolah, kita coba"'
Kongsun Siang menyalakan api, bersama Ting Kiau mere ka
me meriksa patung batu itu dengan teliti. Kongsun Siang tubleskan
Ih-thiankia m ke lantai, lalu me mberi tanda gerakan tangan kepada
Ting Kiau, mereka mengerahkan tenaga mendorong bersa ma dari
kanan-kiri. Betapa besar kekuatan gabungan kedua orang
sebetulnya bukan soal sulit untuk merobohkan patung batu itu. Tapi
mengingat di bawah patung batu ini ada dikendalikan alat rahasia,
maka untuk menggesernya terang tidak mudah.
Tak nyana setelah keduanya kerahkan tenaga mendorong
berulang kali, meski mulut ber-kaok2 dan napas ter-sengal2, patung
batu itu tetap tidak bergeming. Tapi Kongsun Siang dan Ting Kiau
masih tidak putus asa, mereka masih terus berusaha mendorong
patung itu. Sampa i muka merah pada m, akhirnya mereka sendiri yang
kehabisan tenaga, tapi patung itu tetap tak tergeser sedikitpun.
"Kalian berhenti saja," akhirnya Kun-gi bersuara, "biar aku
mencobanya." Lalu dia menyingsing lengan baju dan mengha mpiri.
Setelah menarik napas Ting Kiau mundur dua langkah dan
menga mati patung di depannya, tiba2 timbul sesuatur pikirannya,
dia goyang tangan dan berkata: "Cong-coh, aku ingat akan suatu
hal." "Kau ingat apa, Ting-heng?" tanya Kun-gi.
"Patung ini baru menerjang masuk dika la Cong-coh menubruk ke
arah pintu tadi sehingga Cong-coh teralang karenanya, pintupun
segera menutup pula, begitu bukan?"
"Ya, me mang begitu," jawab Kun-gi.
Kata Ting Kiau lebih lanjut: "Itu berati alat rahasia mendorong
patung ini masuk ke mari, maka pintupun tertutup, sebaliknya ka lau
pintu terbuka lagi, maka patung akan mundur keluar, maka ka lau
kita ganti cara merobohkanya menjadi mendorongnya mundur,
pintu pasti a kan terbuka dengan sendirinya."
Kun-gi manggut2, katanya: "Ya, masuk akal a lat rahasia yang
mengenda likan pintu dan patung batu ini tentu berkaitan, kalau
patung ini kita dorong keluar, pintu akan terbuka. Nah, marilah kita
coba" kedua tangannya menahan perut patung batu. Dari samping
Kongsun Siang dan Ting Kiau ikut me mbantu, di bawah aba2 Ling
Kun-gi mereka bertiga mula i mendorong.
Kun-gi kerahkan Kim-kong-sinhoat, ditambah lagi kekuatan
Kongsun Siang dan Ting Kiau, maka dapatlah dibayangkan betapa
hebat kekuatan dorongan ini"
Betul juga dari kaki patung batu segera terdengar suara
kretekan, demikian pula dari bawah dinding di pojok sana juga
berbunyi gemeratak. Walau patung ini terkendali oleh alat rahasia,
toh tak kuat menahan daya dorongan yang hebat ini dan lambat
laun mulai tergeser mundur. Begitu patung terdorong mundur, betul
juga dinding di depan sana juga tergeser mundur sehingga terbuka
sedikit celah2. Melihat akal dan usaha mereka berhasil, tambah
semangat Kun-gi bertiga mendorongnya.
Semakin patung terdorong mundur, semakin lebar pula celah2
dinding yang terbuka, kini mereka tidak perlu banyak me mbuang
tenaga lagi untuk mendorong patung, karena tahu2 patung itu
sudah mundur sendiri ke balik pintu serta menyingkir ke sa mping.
Melihat pintu sudah terbuka lebar, baru saja Kun-gi hendak
me langkah keluar, mendadak dirasakannya segulung tenaga
menyongsong dirinya, yang di ncar adalah dadanya.
Untung sejak tadi Kun-gi sudah siaga akan sergapan musuh dari
tempat gelap. Karena bagi seorang yang me mbekal Lwekang tinggi,
umpa ma matanya dapat melihat di kegelapan, tapi toh dia perlu
sedikit sinar bintang di langit baru bisa melihat sesuatu benda dalam
jarak tertentu, kalau di da la m perut gunung yang gelap gulita ini
ke ma mpuan matapun takkan berguna juga.
Di waktu mendorong patung, api sudah mereka padamkan, kini
pintu sudah terbuka, kedua belah pihak sama2 tidak melihat
bayangan lawan. Lwekang Kun-gi a mat tinggi, cepat sekali dia bisa
me mbedakan arah bahwa si penyerang tepat berdiri di tengah pintu,
serta merta iapun angkat tangan kirinya. "Plak", begitu serangan
balasan dia lancarkan mendada k terasa pukulan lawan sede mikian
kuat, dalam hati Kun-gi me mbatin: "Jago silat Hwi-liong-tong
me mang banyak dan lihay."
Begitu dua jalur pukulan saling berhantam seketika menimbulkan
pusaran angin kencang yang menderu keras, tanpa kuasa Kun-gi
tergetar mundur setapak.
Pada saat itu pula, didengarnya seorang menjengek, sejalur
angin pukulan yang tidak kalah hebatnya mendadak menerjang
masuk pula dari luar pintu.
Keruan Kun-gi na ik pita m, serunya sambil tertawa lantang:
"Serangan bagus!" Kini dia balas me ndorong dengan tangan kanan.
Terasa pukulan musuh ini ternyata tidak lebih le mah dari pukulan
pertama, tapi Kun-gi ka li ini sudah mengerahkan 10 bagian
tenaganya, sehingga tidak tergentak mundur,
Dua kali saling hantam dengan musuh, tapi Kun-gi be lum juga
tahu dan bisa me lihat jelas siapa sebetulnya kedua lawannya, baru
saja dia hendak merogoh keluar mutiaranya, mendadak api berpijar,
ternyata Ting Kiau sudah menyalakan sebatang obor yang terbuat
dari rotan, dari luar pintu berbareng juga menyala dua la mpu kaca
yang menyorot masuk ke pendopo. Ta mpa k dua orang tua berbaju
hijau tengah beranjak masuk..
Kedua orang tua berbaju hijau sudah sa ma2 ubanan ra mbutnya,
usianya sudah di atas setengah abad. Yang di depan berbadan
tinggi kurus, matanya tajam mengawasi Ling Kun-gi sa mbil mengu-
lum senyum sinis, katanya: "Kau dapat menyambut pukulan ka mi
berdua, kau me mang tida k ma lu sebagai murid Hoanjiu-ji-lay".
Kakekberperawakansedangdi belakangnyasegera
menya mbung: "Di luar sini terlalu se mpit, kalau mau bergebrak
hayolah masuk saja, bila kau mau keluar dari sini, kau harus dapat
menga lahkan ka mi tua bangka ini."
Bahwa orang sudah melangkah masuk, maka Kun-gi mundur
beberapa langkah, katanya dingin: "Kalian ingin bergebrak dengan
Cayhe, boleh sila kan saja."
Ternyata hanya dua kakek ini saja yang masuk, bayangan orang
lain tidak kelihatan, tapi di tempat gelap di luar sana jelas ada orang
sembunyi yang siap menyergap.
Kakek tinggi kurus angkat sebelah tangan di depan dada, ia
menoleh kepada kakek berperawakan sedang, agaknya dia memberi
tanda bahwa mereka harus bersiap untuk turun tangan bersama,
sekali serang bunuh Ling Kun-gi dan habis perkara, selanjutnya
me mbereskan Ting Kiau dan Kongsun Siang.
Dengan gagah dan tabah Kun-gi tetap berdiri di te mpatnya,
katanya sambil berpaling: "Kongsun-heng, Ting-heng, sila kan
mundur agak jauh."
Kakek kurus tertawa ter-kekeh2, katanya: "Ya, kalian harus
menyingkir yang jauh supaya tidak tersapu roboh oleh angin
pukulan Lohu "
"Wut", mendadak tangan di depan dadanya terus menyodok.
Agaknya tenaga sudah terkerahkan sejak tadi, maka tenaga
pukulannya ini sungguh a mat keras karena dilandasi kekuatan
Lwekang hasil latihan se la ma puluhan tahun. Kake k berperawakan
sedang tanpa bersuara berbareng iapun angkat sebelah tangannya
menggge mpur punggung Kun-gi.
Kongsun Siang me lompat maju sa mbil mencabut Ih thian kia m
yang tertancap di lantai, ejeknya: "Sudah sekian tahun la manya Lo-
sunsiang-koay angkat na manya, tak nyana cara bertempurnya juga
ma in keroyok dan curang."
Begitu melancarkan pukulannya, si kakek berperawakan sedang
segera menoleh ke arah Kongsun Siang, serunya: "Kalau begitu
marilah kau maju sekalian." Dengan jurus Hing-lanjianli (pagar
me lintang ribuan li ), tangan kirinya segera menepuk lurus ke arah
Kongsun Siang. Kun-gi tidak tahu siapa kedua lawannya ini. Tapi setelah
mengadu pukulan, dia tahu bahwa Lwekang kedua kakek a mat
tinggi, me lihat lawan mengge mpurnya bersama, serta merta dia ter-
gelak2, dua tangan bekerja sekaligus, ke depan dia menangkis
kakek kurus ke belakang dia menolak ge mpuran si kakek sedang,
katanya: "Kongsun-heng mundurlah kau, aku sendiri cukup
menandingi mereka."
Sebetulnya Kongsun Siang sudah kerahkan Lwe kang untuk
menya mbut pukulan ka kek sedang, dengan kekerasan serta
mendengar seruan Ling Kun-gi, terpaksa dia bergerak menubruk
miring seperti seriga la mengegos dan menyingkir ke sa mping.
Lo-sanji-koay mengira betapapun tangguhnya Ling Kun-gi,
karena usianya masih terlalu muda, pasti takkan kuat menandingi
gempuran mereka berdua.
Tak terduga dua jalur kekuatan hebat lantas menggencet dari
depan dan belakang. Mendadak segulung kekuatan lunak yang tidak
kelihatan timbul dari badan Ling Kun-gi, sekaligus ge mpuran
dahsyat mereka sirna, malah sisa tenaga sendiri berbalik
mengge mpur diri sendiri. Keruan tersirap darah ke dua kakek ini.
Kata si kurus tinggi sanbil menatap Kun-gi: "Pada jaman ini,
tokoh2 kosen yang ma mpu menandingi ge mpuran gabungan ka mi
berdua bisa dihitung dengan jari, engkoh kecil ini barusan
menggunakan ilmu apa, ternyata tetap segar bugar menghadapi
gempuran ka mi?"
Sejak mendengar na ma kedua orang tua adalah Lo-sanji-koay,
maka Kun-gi tahu bahwa kedua orang ini me mang merupa kan
pentolan lihay di ka langan hitam, ka lau mala m ini jika dia tida k
kalahkan kedua musuh ini, dirinya bertiga pasti takkan bisa
menerjang ke luar. Maka dengan sikap sinis diar balas tatap si kakek


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kurus, katanya: "Ilmu silat di kolong langit ini masing2 me mpunyai
keistimewaan dan keunggulannya sendiri2, umpa ma Cayhe
menje laskan, me mangnya kalian berdua me ngetahui"."
Kakek kurus menarik muka, hardiknya bengis: "Anak ingusan
yang masih berbau pupuk, bicara mu begini takabur!" Tangan kanan
terulur, kelima jari tangan bagai cakar baja tahu2 mencengkera m ke
dada. Jurus Kim-hau-ta m-jiau ( harimau kumbang mencakar )
dilancarkan secepat kilat, kelima jari masing2 mengincar lima Hiat-to
di tubuh Ling Kun-gi.
Sejak tadi Kun-gi sudah waspada dan ber-siap2, sekali tubuhnya
berkisar berbareng tangan ka-nan menabas miring, di tengah jalan
dia balas menyerang, kelima jarinya setengah tertekuk terus
menangkap pergelangan tangan lawan yang menyerang dadanya.
Kim-liong-jiu yang dilancarkan inipun tak kalah cepat dan lihaynya,
dengan badan berputar ini, disamping berkelit sekaligus dia balas
menyerang. Kakek sedang mengira dirinya me mperoleh pe luang, sekali
berkelebat dia menyelinap ke depan kiri Ling Kun-gi, telapak
tangannya terus menabas miring me mbelah pinggang Ling Kun-gi.
Begitu tangan mencengkera m dada lawan, si kake k kurus
merasakan juga Kun-gi melancarkan serangan yang sama dengan
me megang pergelangan tangannya, malah serangan lawan paka i
mengunci gerakannya, keruan ia kaget, lekas dia tarik tangan
kanan, berbareng tangan kiri mendorong ke luar.
Dengan sendirinya cengkera man balasan Kun-gi juga lantas
mengenai tempat kosong, tahu2 dirasakan si kake k sedang
me mbe lah piggangnya, ia jadi gusar karena lawan ma in licik,
dengan tertawa ejek dia ayun tangan kiri menepuk ke arah lawan,
Pada saat itu si kurus t inggi juga me ndorong telapak tangan kiri,
tanpa pikir tangan kanan Kun-gi bergerak juga menyongsong ke
depan. "Plak, plok," dua pukulan dari depan dan be lakang se kaligus dia
sambut dengan tepat, suaranya keras seperti ledakan, sampai
telinga Kongsun Siang berdua serasa pekak dan jantung berdetak.
Sebagai murid didik Hoanjiu-ji-lay si kidal, maka Ling Kun-gi pun
sudah biasa menggunakan tangan kiri, apalagi dia menjadi gusar
menghadapi dua ka li pe mbokongan kakek sedang, maka serang-
annya justeru dia titik beratkan pada telapak tangan kiri. Hoan jiu
hud-hun (mengebut mega dengan terbalik) yang dilancarkan ini
semula tidak menimbulkan gelombang angin pukulan, tapi begitu
kedua pukulan masing2 saling ge mpur, baru timbul segulung tenaga
dahsyat dari telapak tangannya.
Setelah si kakek sedang menyadari betapa dahsyat tenaga
pukulan lawan , yang bisa menggetar hancur urat nadi sekujur
badannya, untuk mundur sudah tida k mungkin lagi, terpaksa dia
menya mbut secara kekerasan, seketika dia rasakan isi perutnya
jungkir balik, darah bergolak di rongga dada. Lahirnya me mang
tidak ke lihatan perubahan dirinya, tapi urat nadi tergetar, darah
menga lir balik, tersipu2 dia me lompat mundur, mencari peluang
untuk mengerahkan hawa murni me nenteramkan gejolak darahnya.
Melihat Ling Kun gi sanggup sa ma kuat menandingi pukulan
kerasnya, si kakek kurus se makin murka, sambil menggertak dia
mendesak maju terus menggenjot dan menjotos secara berantai.
Karena rangsakan sengit dan gencar ini, yang kelihatan hanya
bayangan pukulan tangan, dalam sekejap beruntun dia telah
lancarkan 12 kali pukulan. Bukan saja serangannya secepat kilat dan
sederas hujan badai, malah kekuatan pukulannyapun rasanya dapat
menghancurkan te mbok besi, deru angin yang kencang sungguh
mengejutkan sekali.
Seluruh tubuh Ling Kun-gi terbungkus dala m bayangan pukulan
lawan, sehingga dia terdesak mundur dua langkah, kedua tangan
bergerak menyilang, menangkis dan menya mpuk, dala m 12 pukulan
gencar lawan, dia menyambut e mpat kali dengan keras, sehingga
rangsakan gencar lawan dapat ditandingi.
Dengan Cap-ji-lianhoanciang (atau ilmu pukulan berantai
duabelas kali) yang lihay ini, menurut dugaan si kakek kurus semula
Ling Kun-gi pasti dapat dipukulnya roboh binasa atau terluka parah.
Tak tahunya Ling Kun-gi juga gunakan kedua tangannya secara
kekerasan dia sambut serangannya, beruntun adu empat kali
pukulan, delapan pukulan yang lain kena ditangkis dan dipunahkan.
Keruan se makin besar rasa kagetnya, batinnya: "Dia masih begini
muda, bagaimana mungkin me mbeka l Kungfu setinggi ini."
Dala m dua belas pukulan tadi Kun-gi mengadu e mpat ka li
pukulan secara keras, mendadak bayangan kedua orang berpisah,
keduanya sama2 tersurut mundur dua langkah.
Mata si kakek sedang mendelik, bentaknya. "Bocah ini tidak
boleh dia mpuni." Mendadak dia menerjang maju, kedua tangan
bergerak mencecar Kun-gi dengan telapak tangan, kepalan dan
tendangan yang lihay.
Karena dicecar bergantian oleh kedua lawannya, sudah tentu
Kun-gi ge mas, serunya tertawa: "Kalian maju bersama, orang she
Ling tetap dapat mengalahkan kalian." Di tengah kumandang
suaranya, permainan pukulannya mendadak berubah gencar keras
dan ganas, telapak tangan kiri dengan kepalan tangan kanan
menyerang secara bersilang.
Lo-sansiang-koay termasuk jago kosen kelas wahid dari golongan
hitam, setelah beberapa gebrak menghadapi perlawanan Ling Kun-
gi, dala m hati mereka maklum kalau cuma me ngandal kekuatan
seorang diri untuk merobohkan Ling Kun-gi, jelas tidak mungkin,
apalagi sebelum masuk tadi mere ka me mang berniat mena matkan
jiwa Kun-gi dengan mengeroyoknya, maka setelah mendengar
seruan saudarannya tadi, si kakek kurus tinggi segera ter-bahak2,
katanya: "Anak muda, syukurlah kau ma mpu menandingi ka mi."
Sekali berkelebat, tahu2 ia sudah menubruk maju. "Wut, wut", dua
kali puku-lan langsung dia me nghantam dengan dahsyat.
Pukulan telapakan dan kepalan Ling Kun-gi dima inkan dengan
berbagai variasi sehingga kake k perawakan sedang kena di
desaknya mundur, sigap sekali dia me mbalik badan, kedua telapak
tangan terangkap lalu didorong lurus mengge mpur dada si kake k
tinggi kurus, pukulan dengan kedua tangan ini sungguh bagai gugur
gunung dahsyatnya, angin pukulannya menggulung ke depan
menerjang si kakek kurus tinggi.
Entah betapa banyak jago2 kosen yang pernah dihadapi si kakek
kurus, tapi belum pernah dia saksikan apalagi menghadapi pukulan
sedahsyat yang dilancarkan Ling Kun-gi ini, Dia sudah ma klum
bahwa lawannya yang masih muda ini me mang ber-kepanda ian
tinggi, tapi tak terbayang olehnya bahwa Kungfu Ling Kun-gi
ternyata jauh diluar perhitungannya. Kalau dirinya baru me lawan
secara keras gempuran Lwekang yang dahsyat ini, ma ka yang kuat
akan menang dan yang le mah pasti binasa seketika. sudah tentu si
kakek kurus tidak mau me mpertaruhkan jiwanya, cepat dia menarik
napas mengerahkan hawa murni, mendada k ia melejit ke udara
menghindari sa mbaran angin pukulan Ling Kun-gi.
Dala m pada itu si kakek perawakan sedang yang didesak mundur
oleh Kun-gi, me lihat anak muda itu mendorong lurus dengan kedua
tangannya, tenaga pukulannya ternyata sedemikian dahsyat dan
jiwa saudaranya terancam. Tanpa peduli saudaranya itu akan
berkelit atau me lawan dengan keras, dalam sekejap ini jelas Ling
Kun-gi tak se mpat menghadapi serangan dirinya. Maka hatinya
senang sekali, tanpa bersuara segera dia menerjang maju, telapak
tangannya kembali mengge mpur punggung Kun-gi.
Tak tahunya si kake k kurus t inggi ternyata tidak berani melawan
secara keras dan mela mbungkan tubuhnya ke udara, karena
serangannya luput, dengan cepat tubuh Ling Kun-gi mendada k
berputar balik, tenaga pukulan kedua tangannya ikut dia tarik terus
menghanta m kesa mping.
Tindakan Ling Kun-gi ini sungguh di luar dugaan si kakek
berperawakan sedang, malah tenaga pukulan yang menyapu tiba
cepatnya luar biasa, untuk berkelit jelas tidak se mpat lagi, terpaksa
dla kerahkan setaker Lwekangnya dengan kedua telapak tangan
me lindungi dada, secara keras dia sa mbut serangan lawan.
"Bluk", di tengah benturan keras itu badan si kakek perawakan
sedang tampak terpental jauh tersapu oleh pukulan Ling Kun-gi,
setelah terbanting jatuh badannya masih ter-guling2 pula, sesaat
la manya tak ma mpu berdiri, agaknya lukanya tak ringan. Kejadian
berlangsung secepat percikan api, sementara itu si kakek kurus
yang mela mbung ke udara berhasil lolos dari gempuran Ling Kun-gi,
dari atas dengan jelas dia saksikan saudaranya tersapu jatuh oleh
Kun-gi. Padahal dirinyar sedang mela mbutng tinggi, ma kaq dia
ke mbangkanr kedua lengan baju dan melayang turun kira2
setombak jauhnya, nafsu membunuhnya segera berkobar, ia
menubruk maju pula, dengan jurus Thay-san-ting (gunung Thay-san
menindih kepa la), segera ia kepruk batok kepala Ling Kun gi.
Kun-gi tahu Lo-sanji-koay yang dihadapinya ini me miliki Kungfu
tinggi, ia menjadi tidak sabar lagi, segera ia me lancarkan Mo-ni-in
yang sakti. Ia pikir kalau musuh tidak dirobohkan, mala m ini sukar
bagi mereka bertiga untuk me loloskan diri dari sarang musuh, ma ka
Kun-gi tidak kepalang tanggung melancarkan ilmu sakt i
simpanannya ini.
Mo-ni-in tidak menimbulkan da mparan angin kencang, tidak
menimbulkan ge lombang ke kuatan besar, gerakannya seperti orang
bergaya saja meluruskan telapak tangan ke atas, tapi justeru di
sinilah letak intisari ilmu sakti aliran Hud yang tiada taranya, yaitu
Tat-mo-ciang-hoat.
Si Kake k kurus mendadak merasakan telapak tangan Ling Kun-gi
yang menyanggah ke atas menimbulkan tekanan yang kuat
sehingga pukulan dirinya kena disanggah dan ditolak pula ke atas,
ba-dannya yang menubruk maju tahu2 seperti terapung ke udara.
Kejap lain terasa pula tenaga pukulan yang dia kerahkan tahu sirna
tak keruan paran oleh getaran me mbalik dari ke kuatan luna k di
bawah, hawa murni tubuhnya serta merta ikut buyar pula, sampai
bernapaspun terasa sesak. "Bluk", kejap lain badannya telah
terbanting di lantai, malahan sebelum badannya jatuh nyawapun
telah melayang.
Dala m pada itu kakek berperawakan sedang juga sudah terluka
parah, melihat saudaranya jatuh tak ma mpu bangun berdiri,
kagetnya bukan kepalang, lekas dia merangkak bangun dan
berteriak kaget: "Lotoa, kau . . . . . " setelah me mburu ke sa mping saudaranya baru dilihatnya kedua tangan saudaranya menekan
dada, biji matanya melotot, darah hitam mele leh dari ujung
mulutnya. Kiranya sudah mati karena urat nadi tergetar pecah.
Luluh perasaan kake k berperawakan sedang, air mata
bercucuran, tiba2 dia me mbalik dan me lotot pada Ling Kun-gi,
desisnya sambil menggertak gigi: "Bocah keparat, keji a mat kau
me mbunuhnya."
Kun-gi menyeringai dingin, jengeknya: "Kenapa kau menyalahkan
aku, kalau tadi aku yang terpukul kalian, bukankah aku yang binasa
sekarang?"
Tanpa bersuara lagi, kakek berperawakan sedang me manggul
jenazah saudaranya terus melangkah keluar tanpa berpaling lagi.
Lampu kacapun seketika pada m, pendopo ke mbali menjadi sunyi
dan gelap gulita,
Pada kegelapan itulah dinding sebelah barat terdengar berbunyi
kertekan, agaknya terbuka sebuah pintu. Sementara Kongsun Siang
telah serahkan Ih-thian kiam kepada Kun-gi, katanya lirih: "Biar
kulihat ke sana."
"Hadapilah segala ke mungkinan dengan hati2," pesan Kun-gi.
Seperti lazimnya serigala yang menubruk mangsanya, mendadak
Kongsun Siang menubruk masuk dengan lompatan dua kali, dika la
badannya hampir mencapa i dinding sebelah barat, mendadak "sret-
stet" dua kali ja lur sa mberan angin. seperti ada dua orang
menerjang masuk, Kongsun Siang mahir mendengarkan suara,
"cret" kontan pedangnya menusuk.
Dua orang yang me lompat masuk kedala m ruang pendopo
ternyata memiliki kepandaian tinggi, dalam kege lapan iapun
ayunkan pedangnya. "Trang", sekali gerak ia sampuk pedang
Kongsun Siang. Malah te mannya yang lain tidak ayal pula,
pedangnya menderu menggaris ke tubuh Kongsun Siang.
Tatkala musuh yang pertama menya mpuk pedangnya, sementara
tubuh Kongsun Siang sudah me langkah ke sa mping depan sehingga
babatan pedang orang kedua mengena i te mpat kosong.
Bergebrak di tempat gelap hanya mengutama-makan ketajaman
pendengaran dan kelincahan, karena kedua musuh sa ma2
me lancarkan serangan pedang, walau Kun-gi masih dala m jarak
enam tombak jauhnya, tapi segala gerak gerik musuh dapat
di kutinya dengan je las.
Waktu terjaring oleh jala berduri tadi lengan baju dan pundak
Kun-gi masih ketinggalan puluhan duri bergantol, selamanya dia
tidak pernah menggunakan senjata rahasia, tapi mengingat tujuan
kali ini masuk ke sarang harimau, ka lau hanya dengan bersenjata
pedang saja lawan yang berjarak jauh takkan ma mpu dicapainya,
maka dia sengaja me mbiarkan saja duri2 itu tetap bergantung di
badannya, siapa tahu nanti berguna pada saat genting. Kini setelah
dia mendengar posisi kedua lawan Kongsun Siang, segera dia
jemput dua duri dan beruntun dia menyentik dua ka li.
Muka terdengarlah suara jeritan kaget, agaknya seorang tidak
siaga dan kena jentikan duri itu tapi seorang yang lain cukup cerdik,
"tring", dengan sigap dia pukul jatuh duri yang menyerangnya.
Dia m2 Kun-gi terkejut, pikirnya: "Ilmu pedang orang ini ternyata
amat lihay."
Di ka la dia berpikir inilah dari arah timur ke mbali terdengar suara
deru angin, ada orang melompat masuk pula. Ting Kiau yang
berjaga di sa mping sana lantas menghardik: "Kena!"
Kipasnya seketika bergerak mengetuk pundak kanan pendatang
itu. Tapi orang itu se mpat angkat pedangnya menangkis kipas
le mpit Ting Kiau.
"Bagus," seru Ting Kiau, beruntun kipasnya menyerang pula
empat jurus. Lawan tetap tidak bersuara, di bawah rangsangan gencar Ting
Kiau dia hanya mengandalkan ketajaman pendengarannya, pedang
panjangnya menyampuk pergi datang me munahkan seluruh
serangan kipas lawan. Maka berulang kali terdengar suara berdering
benturan kedua senjata, empat jurus serangan Ting Kiau dapat
dipatahkan seluruhnya oleh orang itu.
Dika la pertempuran berlangsung se makin sengit, terdengar
kesiur angin pula, beruntun masuk lagi dua orang menduduki posisi
di sebelah timur. Sementara dari pintu sebelah barat melompat
masuk e mpat orang la lu berpencar. Tapi orang2 yang bela kangan
ini hanya berpeluk tangan belaka, tidak ikut terjun ke arena.
Dari suara napas mereka Kun-gi dapat mengikuti gerak gerik
mereka yang sudah berpencar ini mene mpati posisi tertentu
sehingga dirinya bertiga terkepung, dia m2 ia me mbatin: "Agaknya
secara diam2 mereka mengatur semaca m barisan di te mpat gelap."
Lalu dia kerahkan ilmu gelombang suara berkata kepada Kongsun
Siang: "Kongsun-heng, lekas mundur ke sa mpingku saja." Dengan
cara yang sama dia panggil Ting Kiau pula.
Cepat sekali Kongsun Siang dan Ting Kiau sudah mundur ke
kanan-kirinya, Kongsun Siang bersuara lirih: "Ada petunjuk apa
Ling-heng?"
"Mereka sudah me mbentuk se maca m barisan, mungkin sebentar
akan mulai bergerak, kita hanya bertiga, maka jarak satu sa ma lain


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jangan terlalu jauh, kalau ke kuatan terpencar menjadi le mah, ma ka
kalian kusuruh kumpul di sini.
"Cong-coh, mereka me mbentuk barisan apa?" tanya Ting Kiau.
"Entahlah, orang mereka yang masuk berjumlah sepuluh orang,"
kata Kun-gi. Tengah bicara, mendadak dari pintu timur dan barat melangkah
masuk empat laki2 yang masing2 mengacungkan sebuah lentera,
Duri Bunga Ju 11 Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan K L Bukit Pemakan Manusia 7
^