Pendekar Kidal 25

Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok Bagian 25


ku ke mari menje mput Lim-heng,
agaknya pembuat onar itu belum tertangkap, seluruh kekuatan
dipencar untuk mencari jejaknya."
Tergerak hati Lim Cu-jing, pikirnya: "Dari nada bicaranya,
agaknya Ki Seng-jiang menaruh curiga terhadap diriku" Hm, soalnya
aku kurang leluasa turun tangan membunuhnya di istana, karena
kejadian ini akan me nimbulkan banyak kesukaran la in, bila
samarankubetul2konangan,hanyapengawalnyayang
berkepandaian cakar ayam itu me mangnya ma mpu mengurung dan
menangkapku?"
Cepat sekali mereka sudah tiba di istana, suasana terasa tegang,
penjaga berbaris dengan senjata terhunus, anak panah terpasang di
busur, semua siap siaga mirip menghadapi serbuan musuh.
Go Jong-gi bawa Lim Cu-jing langsung ke asrama pasukan
bayangkari di belakang istana. Lampu tampak terang benderang di
kamar Ki Seng-jiang, tapi suasana hening, tampak Ki Seng jiang
dengan muka bersungut, duduk di kursinya.
Lim Cu-jing masuk di ringi Go Jong-gi. Lim Cu-jing menjura,
katanya: "Jongtai me manggil ha mba, pasti ada pesan apa2."
"Duduklah," ucap Ki Seng-jiang mengulap tangan.
"Ada pembunuh yang me mbuat onar di sini, kau sudah tahu?"
"Di jalan ha mba mendengar cerita Go lingpan," sahut Cu-jing.
Ki Seng jiang tertawa dingin, dia tuding kursi kebesarannya,
katanya: "Coba kau periksa."
Cu jing maju dan pura2 kaget, katanya: "Kursi Jongtai dirusak
orang," "Kursiku ini dibuat seorang ahli dari kota raja, di dala mnya
terpasang alat rahasia, kecuali aku siapapun yang duduk di situ
pasti akan terbelenggu oleh jepretan besi, tak nyana Ling Kun gi
keparat itu ternyata bernasib mujur, meski sudah terbelenggu tapi
kedua tangannya masih bebas. Kalau orang lain, karena jepitan besi
itu terbuat dari baja, betapapun tak mungkin bisa meloloskan diri,
tapi keparat itu memiliki pedang pusaka, dengan mudah dia berhasil
me motong putus jepitan besi . . . . " lalu dia menyambung: "Coba
kau tarik laci itu."
Cu-jing segera menarik laci, sekilas dia berpaling ke arah Ki
Seng-jiang, maksudnya minta petunjuk apa yang harus dia lakukan
lagi. "Coba kau periksa, apakah kertas laporan Tu Hong-seng itu ada
kelainan?"
Hamba tidak me lihat adanya tanda2 tidak benar" Me mangnya
ada orang yang menukarnya?"
"Coba kau balik satu le mbar pertama "
Segera Lim Cu-jing ulurkan tangan tapi setumpukan kertas
laporan yang kelihatan utuh itu begitu tersentuh jari lantas remuk
menjadi bubuk, keruan dia berjingkat kaget, teriaknya: "He, apa
yang terjadi?"
Ki Seng-jiang terke keh, katanya : "Inilah Tu-yang-kang, salah
satu daripada ke 72 ilmu Siau-lim-pay, kekuatannya dapat melebur
emas dan mere muk batu."
"Jadi Ling Kun-gi adalah murid Siau-lim-pay?" seru Lim Cu jing.
"Dia murid Hoan jiau ji-lay. Hoan-jiau ji-lay pernah berdiam dua
puluh tahun di Siau lim si, konon sela ma seratusan tahun ini tiada
seorangpun murid Siau-lim si yang ma mpu sekaligus me mpelajari
beberapa ilmu sakti, tapi Hoan-jiau ji-lay sendiri sekaligus dapat
mencakup sepuluh maca m lebih, malah se luruhnya a mat mahir."
Lim Cu jing angkat kepala, katanya- "Laporan Tu Hong-seng ini
sudah hancur, apakah perlu suruh dia bikin lagi?"
Ki Seng-jiang mengangguk, katanya: "Betul, maka itulah kusuruh
kau ke mari, kalau laporan Tu Hong-seng dihancurkan, ma ka
keselamatan jiwa Tu Hong-seng sendiri pasti terancam, keadaannya
jelas amat berbahaya, tapi kemungkinan Ling Kun-gi dan
kawan2nya belum tahu jejaknya, maka tugas uta ma yang terpenting
sekarang selekasnya harus kau suruh dia bikin pula laporan itu, lalu
suruh seluruh anggota kelompok pertama menyamar dan berpencar
di Liong-kip untuk melindunginya secara diam2, kita gunakan dia
sebagai umpan . . . . . . . "
Belum habis bicara didengarnya langkah orang mendatangi,
terdengar Pui Hok-ki berseru di luar: "Ha mba Pui Hok-ki dan Pi Si-
hay datang melapor."
"Masuk!" sahut Ki Seng-jiang.
Pui Hok-ki dan Pi Si-hay beriring masuk, melihat kehadiran Lim
Cu-jing, mereka menyapa dengan anggukan kepa la.
Sebelum kedua orang itu berbicara, Ki Seng-jiang mendahului
tanya: "Bagaimana hasil pe meriksaan kalian?"
Pui Hok-ki menjura, katanya: "Hamba sudah periksa seluruh
pelosok, tapi tiada ta mpak jejak penyatron itu."
Ki Seng-jiang melirik ke arah Pi Si-hay, tanyanya: "Pemuda baju
putih itu me mbantu Ling Kun-gi dan lari ke arah barat, apa kalian
berhasil mengejarnya?".
Sikap Pi Si-hay tampak kikuk, katanya: "Hamba sudah periksa
seluruh istana bilangan barat, dari depan sampai belakang, tapi
jejak musuh tidak kelihatan . . . . . . .. "
Sebelum orang bicara habis, Ki Seng-jiang sudah berjingkrak
gusar: "Me mangnya mereka tumbuh sayap dan bisa terbang
menghilang?"
Tiba2 terdengar seorang berseru didepan pintu: "Ha mba Hok Ji-
liong datang melapor."
"Masuk," bentak Ki Seng-jiang.
Baru saja Hok ji-liong me langkah masuk, Ki Seng-jiang sudah
tanya: "Kaupun tidak berhasil mene mukan jeja k pe mbunuh itu,
betul tidak?"
Hok Ji-liong menunduk sa mbil mengiakan..
"Blang", Ki Seng-jiang menggebrak meja dengan gusar,
teriaknya: "Kalian gentong nasi semua, pemberontak mengacau ke
asrama kita, mereka hanya dua orang, sedang kalian berpuluh
orang tak berhasil menangkapnya?"
Tiga pimpinan uta ma dari ketiga barisan pasukan bayangkari
sama menunduk tanpa berani bersuara. Sesaat kemudian, Pui Hok-
ki pula yang berkata: "Lapor Jongtai, menurut pandangan ha mba,
Ling Kun gi dari orang berbaju putih itu teramat apal akan seluk
beluk istana ini, mereka buron ke jurusan Jiang-ciok, daerah belukar
yang sepi dan jarang di njak manusia, penjagaan kitapun terlemah
di sebelah sana, asal lolos ke balik gunung sana, maka sukarlah
ditemukan."
Ki Seng-jiang mengiakan, lalu katanya dengan tetap muring2: "Pi
Si-hay, tugaskan sekelompok barisanmu keJiang-ciok, penjagaan di
daerah belukar itu harus diperketat, beritahukan pula kepada
komandan regu yang bertugas di sana, Liok-koantai, suruh dia
me mperkuat penjagaaan, jangan lalai."
Pi Si hay mengiakan sa mbil me mbungkuk.
Sesaat Ki Seng jiang berpikir, katanya kemudian: "Kukira orang
berbaju putih itu adalah Pek-hoa-pangcu Bok-tan, cuma baga imana
mungkin mereka begitu apal akan seluk beluk istana kita ini?"
Pui Hok ki kaget dan heran, tanyanya: "Jong-tai mengira si baju
putih itu pere mpuan?"
Kata Ki Seng jiang sambil menge lus jenggot: Waktu Ling Kun-gi
menerobos keluar, baru saja aku hendak mengejar, kudengar dia
me mbentak "awas", meski sengaja dia tekan suaranya, tapi mana
dapat kelabui aku" Jelas itu suara orang pere mpuan, dan lagi Bwe-
hong-cia m yang ia sa mbitkan itu kebanyakan dipaka i oleh kaum
perempuan, perawakan orang itupun ra mping
se ma mpai, ke mungkinan dia ma lah Pek-hoa-pang Pangcu."
Dia m2 Lim Cu jing merasa heran, mengingat kejadian semala m,
nyata pengalaman Ki Seng-jiang me mang luas, apa yang dikatakan
tidak salah, pelajar baju putih itu berperawakan ra mping, suaranya
juga nyaring merdu, tidak mirip suara laki2. Tapi jelas dia tahu
bahwa pemuda pelajar baju putih bukan Bok-tan, malah belum
pernah dikena lnya. Lalu siapa dia"
"Peduli siapa mereka, kota Jiat-ho ini jangan disamakan dengan
Hek liong hwe," demikian Ki Seng-jiang menggebrak meja pula,
"pe mberontak takkan kubiarkan bertingkah di depan hidungku,
dalam tiga hari kuminta kalian harus me mbekuk Ling Kun-gi dan
orang berbaju putih itu, paling tidak kalian harus melapor jejak
mereka kepadaku."
Ketiga pimpinan utama pasukan bayangkari mengiakan bersa ma.
Ki Seng-jiang menoleh, katanya: "Lim-heng boleh pulang, dua hal
kuserahkan pada mu. Pertama, lindungilah kesela matan Tu Hong-
seng secara diam2, suruh dia membuat laporan itu pula secepatnya.
Kedua, periksalah seluruh losmen dan hotel di kota ini, adakah
orang2 yang patut dicuriga i."
"Ha mba terima tugas," sahut Lim Cu jing terus mengundurkan
diri. Ki Seng-jiang berkata pula: "Go Jong gi, lekas kau bawa anak
buahmu ke kota, suruh mereka berdandan menurut ke inginan
masing2, sebelum mala m tiba sudah harus berpencar me masuki
losmen Liong-kip. Beritahu mereka supaya hati2 jangan
menimbulkan perhatian orang lain atas penyamaran mereka dan lagi
mereka dilarang berjudi dan berkumpul lebih dari tiga orang,
dilarang minum2, siapa melanggar perintah akan kupenggal
kepalanya."
Go Jong-gi me luruskan badan dan mengiakan, segera dia hendak
keluar. Tunggu sebentar. Ki Seng jiang menanyainya, "setelah kau
sampaikan perintahku ini harus lekas ke mba li, masih ada perintah
lain untukmu."
Kembali Go Jong-gi me ngiakan terus mengundurkan diri.
Ki Seng-jiang menyapu pandang ketiga pimpinan uta ma barisan,
katanya: "Kalian boleh pergi istirahat, setelah terang tanah
perintahkan seluruh anak buahmu keluar untuk mencari info. Ohya,
harus ingat, Lim Cu-jing sudah kuperintahkan mengawasi setiap
penginapan, ma ka tugas ka lian perhatikan saja ruma h2 penduduk."
"Jongtai . . . ." Hok Ji-liong ragu2 untuk bicara.
"Jangan banyak bicara," Ki Seng-jiang menukas sa mbil mengulap
tangan, "kerjakan menurut perintah, tapi ingat, jangan me mukul
rumput mengejutkan ular."
Meski hati merasa heran dan tida k tahu ke mana juntrungan
perintah Jongtai, tapi tiga pimpinan uta ma ini tak berani banyak
bicara lagi, serempak mereka mengiakan dan mengundurkan diri.
Tak la ma ke mudian
Go-Jong-gi sudah ke mbali setelah
menya mpaikan perintah.
Ki- Seng jiang lantas bertanya: "Waktu kau tiba di Tang-sun-can
tadi apakah Jilingpan tidur di ka marnya?"
Go Jong gi melenga k, cepat dia membenarkan. "Pelayan hotel
yang mengantarmu ke ka marnya?" tanya Ki Seng jiang pula.
"Betul," sahut Go Jong gi.
"Kau yang mengetuk pintu atau pelayan yang mengetuk?"
"Pelayan yang mengetuk."
"Jilingpan tidur nyenyak?"
"Agaknya, tapi pelayan mengetuk dua kali Jilingpan lantas
me mbuka pintu."
"Kau ikut masuk ke ka marnya?"
"Jilingpan me mang suruh ha mba masuk."
"Apa saja yang dia katakan padamu?"
"Setelah Jilingpan suruh pelayan pergi, dia lantas tanya hamba
ada urusan apa" Hamba bilang disuruh Jongtai mengundangnya
pulang," la lu dia ceritakan kejadian tadi dengan jelas.
Ki Seng-jiang hanya mengangguk2 mendengar
ceritanya: "Apakah ha mba berbuat salah?" tanya Go Jong-gi was2.
Ki Seng-jiang tersenyum, katanya: "Tidak, aku hanya ingin tahu
apakah Jilingpan cukup cerdik dala m menunaikan tugasnya" Dia
kutugaskan ke Tang-sun-can secara rahasia, asal-usul kita sekalian
tidak boleh bocor. Sudah t iada urusan lain, kau boleh pergi. Tapi
jangan kau bocorkan pertanyaan yang barusan kuajukan pada mu,
tahu tidak?"
Go Jong-gi mengia kan dan mengundurkan diri.
Ki Seng jiang mondar-mandir da la m ka marnya sambil
menggendong tangan, mulutnya mengguma m: "Kalau begitu, jadi
aku yang terlalu banyak curiga padanya."
-000-OdwO-000- Dala m pada itu setelah meninggalkan istana, Lim Cu-jing terus
larikan kudanya, waktu itu baru menjelang kentongan kee mpat.
jalan raya masih sepi lenggang tiada orang, kudanya berlari
kencang lagi, dala m sekejap saja dia sudah ke mbali ke Tang-sun-
can. Kacung yang biasa mengurus kuda belum lagi bangun, seorang
pelayan melihat dia ke mba li segera lari menya mbut serta menerima
kudanya. Lim Cu-jing langsung ke mbali ke ka marnya, baru saja melangkah
masuk pintu, mendadak terasa olehnya ada seseorang berada di
kamarnya, keruan dia melengak, tapi tenang saja dia menutup daun
pintu la lu dengan suara kereng me mbentak: "Siapa?"
Dari pojok dinding yang gelap sana berkelebat keluar bayangan
seorang, sahutnya lirih: "Inilah aku Ting Kiau."
Kini Lim Cu-jing dapat melihat jelas orang yang sembunyi di
kamarnya ini me mang Ting Kiau yang menya mar jadi ka kek, dia
bertanya heran: "Ada keperluan apa Ting-heng sa mpa i ke mari?"
"Baru sekarang Ling-heng ke mbali, dari mana kau?" tanya Ting
Kiau. "Cayhe baru kembali dari istana. setelah terang tanah seluruh
pasukan bayangkari akan menggeledah kota dengan pakaian
preman, Ting-heng jangan la ma2 tinggal di dala m kota."
"Lohujin sudah pindah ke Pek-hun-an di luar kota, cuma beliau
kuatir akan kesela matanmu maka suruh aku ke mari me mberi kabar
padamu. Ki Seng-jiang adalah komandan tertinggi pasukan
bayangkari, kalau turun tangan di istana, perkaranya bisa menjadi
besar dan pasti menimbulkan akibat yang luar biasa, maka Ling-
heng dipesan supaya tidak turun tangan di istana . . . ."
Lim Cu jing alias Ling Kun-gi tertawa, katanya: "Ibu terlalu kuatir
bagiku, maksud beliau cukup kupaha mi. Kalau tidak mala m tadi
sudah kubunuh keparat she Ki itu."
"Aku disuruh me mberitahu kepada Ling-heng bahwa keluarga Ki
Seng-jiang tidak di sini, tapi dia punya seorang gundik yang tingga l
di taman keluarga Kauw di barat kota, dalam sepuluh hari sedikitnya
ada lima hari dia ngendon di rumah gundiknya itu."
"Darimana Ting-heng tahu ha l ini?" tanya Cu-Jing heran.
Ting Kiau tertawa, ucapnya: "Kudengar Pangcu Pek-hoa-pang
telah menyelundupkan seorang dara kembangnya yang bernama
Ing-jun, sekarang dia bekerja di sana."
Nama Ing jun tidak asing lagi bagi Lim Cu-jing, waktu di Coat-
seng-san-ceng dulu yang melayani dirinya juga Ing-jun adanya.
Akhirnya dia me ng-hela napas, ujarnya: "Pek-hoa-pang cukup lihay
dalam menana m mata2nya ke pihak musuh."
"Hari ha mpir terang tanah, aku harus le kas menyingkir dari sini."
"O, Ting heng, ada suatu hal, seke mbali nanti tolong kau


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanyakan kepada nona Bok-tan, dulu gubernur Shoatang yang
bernama Kok-thay punya seorang sekretaris yang bergetar Im-si-
boan koan Ci Kun jin, konon kini menye mbunyikan diri di Jiat ho
sini, entah dia tahu tidak hal ini" Sudah beberapa hari ini kucari
tahu, hasilnya nihil."
"Baiklah soal ini akan kusa mpaikan, bila ada kabarnya segera
kulaporkan ke mari," habis berkata Ting Kiau tarik pintu terus
menyelinap ke luar.
Setelah Ting Kiau pergi, Lim Cu-jing bersemadi sebentar, haripun
terang tanah. Setelah makan pagi Lim Cu jing keluar dari Tang-sun-can
langsung menuju losmen Liong-kip. Di depan pintu dia melihat
anggota2 barisan kesatu yang menyamar sebagai pedagang,
seorang mengenakan topi berbentuk runcing tinggi, mengena kan
baju pendek dari ka in kasar, tangan me megang pecut, mirip kusir
kereta dengan lahapnya tengah makan pagi. Agaknya kamar losmen
penuh dihuni ta mu, karena belum ada ka mar kosong, terpaksa
mereka menunggu di luar.
Lim Cu-jing anggap tak kenal mereka, langsung dia berlenggang
ke dala m menuju ke pintu ka mar Tu Hong-seng, sekilas dilihatnya
Go Jong-gi juga menya mar dan t inggal di ka mar sebe lah Tu Hong-
seng, pintu kamarnya terbuka lebar. Pelan2 Lim Cu-jing lewat di
depan ka marnya, Go Jong-gi ter sipu2 maju menya mbut.
Lim Cu jing celingukan, dilihatnya tiada orang, segera dia
merendahkan suara bertanya: "Semuanya sudah menginap di sini?"
"Di sini hanya ada lima ka mar kelas satu, seluruhnya sudah
dihuni orang, sisanya yang lain hanya ka mar2 biasa." Sahut Go
Jong-gi. Lim Cu jing mengangguk, katanya: "Baiklah, kau tidak usah cari
hubungan dengan Tu heng."
Go Jong gi mengiakan terus mengundurkan diri tanpa bersuara
lagi. Lim Cu jing langsung mendekati pintu dan mengetuk pe lahan
dua kali, teriaknya: "Tu-heng, sudah bangun?"
Mendengar suara Lim Cu jing, lekas Tu Hong-seng menyahut:
"Lim-heng, sejak tadi aku sudah bangun!. silahkan masuk!" - Cepat
dia me mbuka pintu menyila kan orang masuk, lalu menutup pintu
pula, katanya: "Silahkan duduk Lim heng."
Lim Cu jing duduk di kursi dekat jendela, lalu tuturnya: "Semala m
ada onar di istana."
Terbelalak kaget Tu Hong-seng, tanyanya: "Ada onar di istana,
ada orang menyelundup ke sana?"
"Ya,"jawabLimCu-jing,"denganTun-yang-kang
menghancurkan laporan Tu heng, dengan pedang pusaka yang
tajam luar biasa dia me motong besi belenggu di kursi Jongtai pula,
setelah bergebrak tiga jurus pedang dan sekali pukulan dengan
Jongtai, dia melarikan diri."
"Berhasil meloloskan diri?" seru Tu Hong seng kaget, "tujuannya ke sana untuk menghancurkan laporanku itu, bahwa dia ma mpu
lolos dari tangan Jongtai, maka ilmu silatnya pasti amat tinggi,
entah siapa dia?"
Lim Cu jing menengadah, katanya: "Ling Kun-gi."
"Ling Kun gi," tanpa terasa Tu Hong-seng bergidik ngeri,
mukanya mengejang, mulutpun mengguma m: "Masa dia, betulkah
dia sudah datang ke mari?"
"Agaknya Tu-heng a mat takut padanya?" tanya Cu-jing.
"Bila dia sudah tiba di Jiat-ho, pasti takkan me mberi a mpun
padaku. kalau laporanku telah di hancurkan, me mangnya dia
mandah me mbiarkan mulutku bercerita lagi?"
Lim Cu jing tertawa dingin: "Tu-heng kan seorang kawakan
Kangouw yang kenyang mengecap pahit getirnya kehidupan,
kepandaian silat mu cukup tinggi, kenapa menyinggung Ling Kun-gi
lantas ketakutan begini rupa?"
Tu Hong keng menyengir, katanya: "Ada yang tidak Lim-heng
ketahui, bocah she Ling itu adalah murid Hoan-jiu-ji-lay. Han-hwecu
juga bukan tandingannya, dengan sedikit kepandaianku ini mana
aku ma mpu menandangi dia."
Dala m hati Lim Cu-jing me mbatin: "Mungkin tiga jurus saja
jiwa mu akan melayang " - Dengan bertopang dagu lalu dia berkata:
"Tu-heng mengagulkan dia begitu lihay, aku jadi ingin menjajalnya."
- Dengan tertawa tawar dia lantas menambahkan: "Tapi Tu-heng
tak usah kuatir, Jongtai sudah pikirkan kesulitanmu ini, maka aku
diperintahkan me lindungimu. pagi hari ini kawan2pun telah
kukerahkan ke mari, dengan menya mar mereka juga menginap di
losmen ini, asal dia berani datang, entah mati atau hidup pasti
kubekuk dia."
Sedikit lega hati Tu Hong-seng, katanya sambil menghela napas:
"Entah ada petunjuk apa pula dari Jongtai untukku?"
Lim Cu-jing tertawa, katanya: "Ya, ada perintah dari Jongtai
supaya kau mengulangi laporanmu,"
"Ya, ya, pasti segera kuselesaikan," sahut Tu hong-seng, lalu
tanya: "Apakah Jongtai me mbatasi berapa la ma harus kuselesaikan
laporanku?"
?"Batas waktu sih tidak ada, kupikir lebih ba ik Tu-heng kerjakan
secepatnya."
"Lim-heng benar, pasti segera kukerjakan,"
"Baiklah, lekas Tu heng tulis," ucap Cu jing berdiri, "aku tidak mengganggumu lagi, kau boleh bekerja dengan tenang, sekeliling
kamarmu ini sudah dijaga ketat, apabila di siang hari bolong, pasti
dia takkan berani bertinda k, nanti ma la m aku datang pula."
"Sela mat jalan Lim-heng, aku tida k mengantar," seru Tu Hong-
sing. Sekeluar dari losmen Liong- kip, dia m2 Cu jing berpikir, jejak Ki
Seng jiang sudah diketahui, entah di ma na pula Im-s i-boan-koan C i
Kun-jin itu menyembunyikan diri" Sebelum mene mukan jejak Cu
Kun-jin, tak mungkin dia turun tangan me mbunuh Ki Seng jiang.
Sebab begitu Ki Seng-jiang ma mpus, seluruh kota Jiat-ho ini pasti
gempar dan begitu mendengar berita ke matian Ki Seng-jiang, Ci
Kun-jin a kan segera angkat langkah seribu, ma ka tugasnya akan
lebih sulit lagi.
Menurut laporan Ting Kiau, Ki Seng-jiang punya seorang gundik
yang tinggal di taman bunga keluarga Kauw di sebelah barat kota,
untuk ini dia merasa perlu untuk menyelidik ke sana. Kini dia
me mperoleh tugas menyelidiki penduduk, kebetulan bisa diguna kan
sebagai alasan untuk keluyuran kian-ke mari.
Dia berlenggang di ja lan raya seperti orang tamasya, setiap jalan
pasti dia perhatikan dengan seksama, entah itu warung makan,
kedai minum, sarang judi, atau tempat mesum. Tapi hakikatnya dia
tidak kenal ta mpang Ci Kun-jin, kota Jiat-ho sebesar ini, laksana
mencari jarum da la m lautan belaka. Akhirnya dia tiba di kota
sebelah barat, haripun sudah lewat lohor.
Kota barat letaknya lebih menjurus ke utara, rumah penduduk
cukup padat. Berdiri pada persilangan jalan, Lim Cu-jing jadi
bingung sendiri. Soalnya Ting Kiau hanya me mberitahu bahwa
gundik Ki Seng-jiang ada di taman ke luarga Kauw di kota barat,
padahal dimana letak taman keluarga Kauw dia sendiri tida k tahu,
orang yang lalu lalang di jalan raya sinipun tidak banyak, apalagi
kurang leluasa untuk mencari tahu pada penduduk sete mpat.
Bahwa sekarang dia belum punya rencana turun tangan pada Ki
Seng-jiang, bila yang dia tanyai kebetulan ada hubungan ke luarga
dengan keluarga Kauw, bukankah urusan bisa runyam ma lah.
Sebagai komandan tertinggi pasukan bayangkari, Ki Seng-jiang
cukup disegani penduduk kota Jiat-ho, tempat kedia man pribadinya
di rumah gundiknya itu tidak diumumkan secara terbuka, tapi hal ini
sudah menjadi rahasia umum, bila keluarga Kauw itu ada hubungan
dengan gundiknya, bukan mustahil kaki tangan kepercayaannya
juga melindungi keluarga itu"
Akhirnya Lim Cu-jing a mbil keputusan akan maju lebih lanjut
untuk menyelidiki daerah ini. Ta k tersangka baru beberapa langkah
dia beranjak, dilihatnya di pinggir jalan di ujung gang sana terdapat
sebuah batu pertanda perbatasan dari satu jalan dengan jalan yang
lain, di atas batu tertulis "batas milik keluarga kauw". Kiranya gang yang lebarnya cukup untuk jalan dua buah kereta berjajar ini bukan
jalan umum, tapi milik pribadi ke luarga Kauw. Ma klum gang yang
beralas batu gunung putih licin ini me njurus ke pintu gerbang
sebuah bangunan gedung yang besar.
Gang ini panjangnya ada seratusan meter, daun pintu gerbang
yang bercat merah tertutup rapat, sepasang gelang baja warna
hitam bergantung di daun pintu. Tak perlu disangsikan lagi di sinilah
letak gedung ke luarga Kauw. Agaknya orang she Kauw pemilik
gedung dan ta man ini punya pangkat dan harta yang berlimpah.
Sebagai tokoh yang disegani maka Ki Seng-jiang mendapat
pinja m te mpat yang biasanya untuk istirahat para pembesar yang
lagi cuti di Jiat-ho sini.
Jalan yang cukup lebar ini dipagari pohon yang tinggi, suasana di
sini sunyi, tanpa terasa Lim Cu-jing menyusuri lorong panjang ini
dan akhirnya me mbe lok ke kanan menyusuri sebuah sungai kecil,
menyeberang jembatan batu dan maju lebih lanjut, di sana keadaan
agak belukar, tapi di kejauhan sana tampak tembok kota. Lim Cu-
jing maju lagi beberapa jauh, kini dia berada di sebelah bela kang
taman atau gedung megah keluarga Kauw.
Akhirnya Lim Cu-jing naik sebuah bukitan yang cukup tinggi, dari
sini dia dapat melihat jelas keadaan sekelilingnya, ternyata tanah
milik ke-luarga Kauw bagian bela kangnya dipagari te mbok t inggi, di
luar tembok mengalir sebuah sungai kecil, cuaca me mang sudah
remang2, tapi masih ta mpak adanya pepohonan, tanaman bunga,
gardu dan tempat duduk di tengah taman serta bangunan
berloteng. . Setelah menyaksikan sendiri letak tempat yang dicari, maka
legalah hati Lim Cu jing, dia merasa tidak perlu lama2 tinggal di sini,
menyusuri jalan datangnya tadi ia ke mbali menuju ke arah timur.
Waktu itu hari sudah petang, penduduk mula i menyulut pelita,
tiba di jalan raya timur, suasana mala m ini mula i rama i pula, tengah
dia mengayun langkah tiba2 ia mendengar seorang menghardik
lirih: "Awas!" - Lenyap suara peringatan itu, didengarnya pula
samberan angin kencang yang mengarah be lakang kepalanya.
Terkejut Lim Cu-jing, di tengah jalan raya seramai ini kiranya ada
juga orang berani menyerang dirinya. Sudah tentu Cu-jin tidak
gentar menghadapi sergapan siapapun, tanpa menoleh tangan
kirinya seperti meraih ke belakang, dengan mudah dia sa mbut
serangan senjata rahasia itu.
Begitu senjata rahasia itu terpegang, seketika ia merasakan
bobot senjata rahasia ini a mat ringan, tidak mirip senjata rahasia
umumnya, kiranya itu hanya segulung kertas. Apalagi suara
peringatan "awas" tadi cukup merdu seperti sudah dikena l olehnya.
Pemuda pelajar baju putih yang muncul mendadak mala m itu,
waktu menimpukkan segengga m Bwe-hoa-cia m ke arah Ki Seng-
jiang juga menghardik dengan kata yang sa ma, jelas nada keduanya
mirip. Ki Seng-jiang yang cukup kawakanpun dapat me mbeda kan
suara itu ke luar dari mulut seorang gadis.
Reaksi Lim Cu-jing cukup cekatan dan cepat, sigap sekali dia
sudah berputar balik. Tapi suasana pasar mala m saat itu masih
ramai, orang berjubal di jalan raya, sudah tentu jejak pelajar baju
putih tak dilihatnya. Mungkin mala m ini dia tidak berpakaian putih,
pendek kata Cu-jing tak berhasil mene mukan orang yang
diharapkan. Gulungan kertas tergenggam di telapak tangan, dia tahu mela lui
secarik kertas ini orang ingin menya mpaikan sesuatu khabar
padanya, semala m dia sudah muncul me mbantu dirinya me loloskan
diri dari sini dapat disimpulkan bahwa dia kawan dan bukan lawan.
Sungguh sema la m ia tak menduga bahwa Ki seng-jiang tidur
dika mar bukunya, bila tiada bantuan pelajar baju putih, untuk
menerjang keluar dari kepungan musuh jelas tida k mudah.
Me mangnya siapakah nona ini, kenapa begini misterius"
Mala m ini dia menyambitkan gulungan kertas ini, me mangnya
ada berita penting apa yang hendak disa mpaikannya padanya" Kini
dia harus mencari te mpat untuk me mbuka dan me mbaca gulungan
kertas ini. Segera dia ayun langkah ke depan serta perhatikan kiri-kanan
jalan raya, kebetulan tak jauh dilihatnya ada sebuah warung arak,
langsung dia masuk ke sana dan duduk di meja paling pojok serta
me mesan ma kanan.
Sekilas Lim Cu-jing celingukan, dilihatnya tiada orang
me mperhatikan dirinya, pelan2 dia buka gulungan kertas serta
me mbaca tulisan di kertas itu.
Seketika berubah a ir mukanya. Surat itu berbunyi:
"Te manmu menginap di rumah penduduk di pintu selatan
jejaknya sudah konangan, kalau tidak lekas ditolong mungkin
terlambat!" Dibagian bawahnya ada sebaris huruf kecil berbunyi:
"Kian Te-jin alias Ci Kun-jin ia lah Cukong yang me miliki Tang-sun-
can, bersama ini kusa mpaikan keterangan rahasia ini."
Kejut dan girang bukan main hati Lim Cu-jing di samping kuatir
pula akan kesela matan te mannya, tapi siapakah teman yang
dimaksud dala m tulisan ini" Apalagi jeja knya sudah konangan,
padahal hari sudah gelap, dirinya tidak tahu di ruma h penduduk
mana te mannya menginap" Bagaimana pula mencarinya" Iapun
girang karena Ci Kun-jin yang dicarinya ubek2an selama beberapa
hari ini akhirnya diperoleh beritanya dengan mudah. Karena senang
hampir saja dia lupa pada pesanan makanannya, untung pelayan
datang menyuguhkan arak, ia hanya minum dua teguk, tak se mpat
dia ma kan hidangan yang dipesan terus berbangkit, setelah
meninggalkan beberapa keping uang perak, tanpa pa mit dia berlari
keluar. Setiba ditempat sepi dan tiada orang, cepat dia mengusap
mukanya, obat rias di mukanya seketika rontok, la lu ia berlari ke
pintu selatan. Dia tidak tahu di mana letak Ki-ti-pong" Maka dia
tanya penjual mi di tepi jalan, lalu me nuju ke sana.
Ki-ti-pong adalah sebuah gang, rumah2 yang me magari gang
sempit ini kebanyakan gubuk2 reyot, setiba di ujung gang dilihatnya
di te mpat gelap sana berdiri satu orang. Orang ini berpakaian biru,
bertopi lebar yang ditekan rendah, melihat ada orang datang, orang
itu melangkah ke depan pe lan2.
Sebelum orang buka suara Lim Cu-jing sudah mendahului tanya
dengan suara rendah: "Kau dari barisan keberapa?"
Orang itu tampak melenggong dan menatap tajam Lim Cu-jing,
tanyanya kemudian: "Apa katamu, siapa saudara?"
"Kau tidak mengena lku, tapi pasti kenal ini?" ucap Cu-jing sa mbil me mbuka tangannya, di telapak tangannya mengge letak sebentuk
medali perak, me lihat medali perak itu, orang itu tertegun dan
bersuara lirih: "0, kau Jilingpan . . . . " ter-sipu2 dia menjura.
Cu-jing pegang lengan orang, katanya: "Di sini jangan disa makan
di dala m, saudara tidak usah banyak adat, mari kita bicara sambil
berjalan supaya tidak menimbulkan curiga orang."
Dengan gugup orang itu perkenalkan diri: "Ha mba Thio Si-jut,
anggota kelompok ketiga dari barisan ke satu, barusan berlaku
kurang adat harap ......"
Cu jing tertawa: "O, kiranya Thio heng kita sama2 belum kenal,
kesalahanmu bukan soal, aku Lim Cu-jing, baru kemarin mala m
me mangku jabatan ini, kali ini Jongtai menyerahkan penyelidikan
rumah2 penduduk padaku, barusan kuterima perintah rahasia
Jongtai, adakah sesuatu yang mencurigakan da la m pengawasan
Thio-heng di tempat ini?"
Menurut laporan, rumah kelima di depan sana kemarin mala m
datang seorang tua dan seorang muda mengiringi dua nona, logat
mereka dari daerah selatan, gerak-gerik mereka me ncuriga kan."


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cu-jing pikir tua-muda dan dua nona, jelas itulah Cu Bun-hoa
bersama Tong Siau-khing, Tong Bun-khing dan Cu Ya-khim. Sa mbil
mengangguk dia bertanya: " Mere ka mengadakan gerakan apa"
"Tiada gerakan apa2" sahut Thio Si-jut, "sejak ke marin mere ka tidak pernah muncul."
Lim Cu-jing pura2 mengerut kening, katanya: "Lingpan hanya
suruh kau seorang saja?"
"Ada seorang lagi berjaga di ujung sana, dia bernama Kiang It
kui." Lim Cu-jing mendengus, katanya: "Mereka ada empat orang.
Lingpan kalian hanya menugaskan dua orang di sini, bukankah
terlalu ceroboh?"
"Ya, ya," Thio Si jut unjuk senyum getir, "ha mba hanya
diperintahkan menga mati gerak gerik mereka secara diam2. Lingpan
sudah me mberi laporan kepada Toalingpan, katanya pada
kentongan kedua nant i akan me mbekuk mere ka."
"Kalau kee mpat orang ini bukan kaum pe mberontak bagaimana?"
tanya Lim Cu jing.
"Toalingpan pernah berpesan, lebih baik sa lah menangkap
seratus orang, daripada seorang pemberontak lolos."
"Me mang betul ucapannya." ujar Lim Cu-jing, "coba kau
tunjukkan te mpatnya padaku."
Thio Si jut kaget. katanya "Jilingpan, kau ........ dia mengawasi
Lim Cu-jing, lalu berkata pula: "barusan Toalingpan ada pesan,
karena tenaga belum terkumpul, ka mi dilarang bergerak supaya
tidak menggagalkan rencana."
"Aku tahu, Jongtai langsung me mberi perintah padaku untuk
menyelidiki keadaan di sini, kau harus tunjuk tempatnya supaya aku
bisa ikut mengawasi, kalau sampai mereka melarikan diri, kau
berani tanggung jawab?"
Thio Si jut tak mau menanggung risikonya, lekas dia munduk2:
"Ya, ya, biarlah hamba tunjukkan tempatnya." - Lalu dia mendahului me masuki gang se mpit itu.
Tujuh delapan langkah ke mudian mendadak Thio Si jut berhenti,
katanya dengan lirih: "Rumah di depan itulah."
Cu jing melihat rumah yang ditunjuk adalah sebuah gubuk
bobrok, di depan pintu ada sebuah gerobak dorong yang sudah
rusak, sekali pandang orang lantas tahu bahwa penghuni rumah ini
adalah penjaja kelilingan.
Tiada sinar pelita dalam ruma h, keadaan gelap gulita dan tak
terdengar suara apapun, mungkin penghuninya sudah tidur nyenyak
"Itu kan rumah pedagang kelilingan," ucap Lim Cu jing.
"Ya, me mang rumah itulah," sahut Thio Si-jut.
Mendadak Lim Cu-jing me nutuk be lakang kepala Thio Si-jut,
berbareng tangan kanan mencengkeram lengan orang, sekali
ke mpit dia bawa orang melejit maju ke depan pintu, terus mengetuk
pintu. Tapi dari dala m rumah tiada reaksi apa2. Cu-jing jadi gelisah,
ke mbali dia mengetok dua kali. Tetap tiada terdengar suara orang di
dalam rumah. Cu jing kerahkan tenaga pada jari terus menonjok
daun pintu, sekali tutul daun pintu lantas tembus dan berlobang, dia
dekatkan mulutnya ke lubang serta bersuara dengan Lwekangnya
ke dala m rumah: "Adakah orang di da la m."
Orang di luar rumah takkan me ndengar suaranya, tapi yang
berada di dalam dapat mendengar dengan terang. Betul juga,
terdengar seorang tua bersuara serak bertanya: "Siapa di luar"
Tengah mala m buta ada keperluan apa?"
Dia m2 Lim Cu-jing ge li mendengar suara ini, itulah suara Ciam-
liong Cu Bun-hoa, betapa-pun dia masih mengenalnya dengan baik.
"Waktu a mat mendesak, le kas Cu-cengcu buka pintu," desis Cu-
jing. Sayup2 terdengar suara gemerisik la mba ian pakaian orang, jelas
ada beberapa orang me mburu ke luar dari be lakang rumah,
semuanya berjaga dan sembunyi di bela kang pintu. Sudah tentu
semua ini takkan dapat mengelabui pendengaran Lim Cu-jing yang
tajam menyusul sinar api menyala, langkah berat dan pe lahan
terdengar beranjak ke-luar, tak lama ke mudian daun pintupun
pelan2 terbentang. Seorang laki2 bungkuk berdiri di tengah pintu,
katanya: "Saudara ada urusan apa?"
Sekali pandang Lim Cu-jing lantas kenal ka kek yang pura2
bungkuk ini me mang Cia m-liong Cu Bun-hoa adanya, sebelum orang
me lanjutkan pertanyaan, segera ia menyelinap masuk dengan
menge mpit Thio Si jut sambil berkata lirih: "Cu-cengcu lekas tutup
pintu." Pada pintu yang menembus ke belakang berdiri seorang gadis
remaja, dia bukan lain adalah Cu Ya khim. Di belakang pintu sa mar2
terlihat sembunyi dua orang lagi, jelas mereka ada lah Tong Siau-
khing dengan Tong Bun-khing yang menyamar.
Baru saja Lim Cu-jing berdiri di ruang ta mu, Tong Siau-khing
sudah lekas2 merapatkan pintu, berempat mereka mengepung Lim
Cu-jing di tengah, agaknya mereka siap bertindak bila perlu.
Tapi belum lagi Cu Bun-hoa bertanya pula, semua orang kini
dapat melihat jelas siapa orang yang menyelinap masuk sambil
menge mpit seorang lagi. Hampir bersa maan Tong Bun-khing, Cu Ya
khim dan Tong Siau-khing berseru girang: "He, Kau!"
Mata Cu Bun-hoa bercahaya, katanya tertawa: "Darimana kau
tahu ka mi berada di sini" Eh, siapa dia?"
Setelah me letakkan Thio Si-jut di lantai, Lim Cu jing menjura
kepada Cu Bun-hoa, katanya: "Cu-cengcu, duduk persoalannya kini
tak sempat kujelaskan jeja k kalian di sini sudah konangan musuh,
orang ini adalah ca kar alap2 dari pasukan bayangkari, pada
kentongan kedua nanti mereka akan menggerebek kalian, maka Cu-
cengcu berempat harus lekas menyingkir, ibu kini t inggal di Pe k
hun-am di luar pintu kota barat, sementara lebih baik kalian pindah
ke sana saja. Cayhe masih ada urusan penting lain yang harus
segera kubereskan, baiklah aku mohon diri dulu." Lalu dia putar
badan hendak pergi.
"Kau mau ke mana?" lekas Tong Bun khing bertanya.
"Disebelah lorong sana masih ada seorang cakar alap2, Cayhe
akan bereskan dia."
"Bagaimana kita bereskan orang ini?" tanya Cu Bun-hoa.
"Sudah kututuk hiat-to ke matiannya, biarkan dia di sini, le kas
kalian berangkat saja, setelah urusanku selesai Cayhe akan
menyusul ke Pek-hun-a m."
Habis bicara Cu-jing tarik daun pintu terus menyelinap keluar dan
menghilang. Dengan cepat Lim Cu-jing tiba di ujung gang, dari kejauhan dia
me lihat adanya bayangan orang yang berdiri di bawah e mper.
Betapa cepat gerakan Lin Cu-jing, dikala orang itu terkejut
karena merasa kedatangan orang, tahu2 Lim Cu-jing sudah berada
di depannya. Ternyata orang ini cukup cerdik, sebat sekali dia
berkisar, berbareng tangan kanan meraba golok di pinggangnya,
tegurnya dengan kaget: "Siapa kau?"
"Kau ini Kiang It-kui, betul tidak?" kata Lim Cu-jing dengan suara kereng.
Keadaan gelap gulita, orang itu tak dapat melihat jelas muka Lim
Cu-jing, tapi mendengar Lim Cu-jing menyebut namanya, dia
bertanya kaget: "Kau kenal aku" Kau . . . ."
Terbukti bahwa orang ini Kiang It-kui, maka Lim Cu-jing tidak
mau banyak omong lagi, mendadak ia menutuk Hiat-tonya sehingga
semaput, dia raih badan orang terus dike mpitnya dan dibawa lari.
Waktu dia ke mba li ke gubuk bobrok itu, Cu Bun hoa bere mpat
sudah tak kelihatan bayangannya, kiranya mereka sudah pergi.
Setelah menurunkan Kiang it hui, Cu jing tutup pintu depan, lalu dia
buka jendela belakang dan keluar dari situ, dengan cepat ia kembali
ke penginapannya.
Sudah tentu anggota pasukan bayangkari yang ditugaskan di
losmen Liang-kip untuk me lindungi kesela matan Tu Hong-seng tiada
yang berani tidur, mereka tidak berani minum arak atau berjudi.
Biasanya bila mereka kumpul bersa ma, kalau tidak judi pasti minum
arak, ini sudah merupakan kerja rutin mereka, tapi ma la m ini tiada
satupun yang berani melanggar perintah.
Go Jong gi ada lah pimpinan mere ka, sudah tentu dia kelihatan
lebih sibuk, daun pintu ka marnya hanya dirapatkan saja, jangankan
tidur, rasa kantukpun harus ditahan. Dia tahu betapa berat tugas
mereka melindungi jiwa Tu Hong-seng.
Kelompok pertama barisan bayangkari merupakan satuan yang
paling unggul daripada seluruh pasukan, bukan saja mereka panda i
silat dan me me miliki Ginkang tinggi,merekapun mahir
menggunakan senjata rahasia, kini mereka sudah tersebar di sekitar
kamar Tu Hong-seng dan menunggu datangnya musuh.
Tapi ini hanya merupakan salah satu langkah permainan Ki Seng-
jiang yang banyak muslihatnya.
Dia masih ada langkah kedua, yaitu seluruh anggota ke lompok
kedua dan ketiga di bawah pimpinan masing2 juga terpencar
menginap di hotel2 sekitar losmen Liong-kip.
Menurut perhitungan Ki Seng-jiang, asal Tu Hong-seng ma mpu
bertahan dua tiga jurus terhadap Ling Kun-gi, maka orang yang
bertugas jaga di losmen Liong-kip akan berbondong2 keluar
me mbantunya. Begitu terjadi kegaduhan di losmen Liong-kip, ma ka
orang2 yang sembunyi di hotel2 lainpun a kan segera me mburu tiba.
jangankan manusia, burungpun jangan harap bisa lolos dari
kepungan ketat ini. Ki-Seng-jiang sudah me mberi pesan, mati atau
hidup Ling Kun-gi harus ditangkap. Langkah kedua yang diatur Ki
Seng-jiang ini cukup rahasia dan hati2 se kali, sa mpaipun Lim Cu-jing
dan Go Jong-gipun t idak tahu sa ma sekali.
Dika la Lim Cu-jing beranjak me masuki gang di mana letak
deretan hotel2 itu, di ujung jalan sudah berdiri seorang laki2 ke kar
berpakaian hijau tua, melihat Cu-jing, lekas ia me ma pak maju,
sapanya dengan tertawa: "Apakah ini Lim-ya?"
Lim Cu-jing melenggong, tanyanya: "Kau ......"
Belum habis Cu-jing bicara orang itu sudah menambahkan
dengan tertawa: "Hamba me ndapat perintah Jin-suya, ada sepucuk
surat harus disampaikan kepada Lim-ya," dari sakunya dia
menge luarkan sepucuk surat dan diaturkan dengan kedua tangan.
Jin-suya adalah Jin Ci-kui. Sekilas Cu jing berpikir, lalu ia terima
surat itu. Setelah me mberi hormat orang itupun me langkah pergi.
Dia m2 Cu-jing berpikir: "Kini sudah ha mpir kentongan pertama,
untuk keperluan apa Jin Ci-kui suruhan orang me ngantar surat
padaku?" - "Ai, tidak benar, darimana dia tahu aku baru kembali lalu suruhan orang menunggu di sini?"
Dilihatnya laki2 tadi berjalan dengan cepat, bayangannya sudah
lenyap ditelan kegelapan.
Hati Cu jing se makin heran dan curiga, lekas dia sobek sa mpul
surat, hanya secarik kertas sempit dan beberapa huruf yang
berbunyi: "Awas hati2, Ki Seng-jiang telah pasang kaki tangannya
secara diam2 di hotel2 sekitar losmen Liong-kip, langkahmu harus
hati2." Tulisan ini tiada dibubuhi tanda tangan, tapi dari gaya tulisannya
jelas mirip peringatan sema la m dengan timpukan gulungan kertas
itu, ma ka dapatlah diterka bahwa penulisnya adalah satu orang.
Mau tidak mau Cu-jing me lenggong heran, siapakah orang ini"
Berulang dia me mbantu dan menyampa ikan peringatan, darimana
pula dia peroleh berita rahasia sepenting ini"
Cu-jing merobek kertas itu, dengan langkah lebar dia lantas
me masuki Tang-sun-can. Ia mende kati ka mar Go Jong- gi, lekas
sekali Go Jong gi me mbukakan pintu, melihat yang datang Lim Cu-
jing, dia menghela napas lega. katanya sambil me mbungkuk: "Lim-
heng telah datang."
Cu jing me ngangguk, tanyanya: "Di sini tiada terjadi apa2?"
"Aman, orang2 kita berjaga ketat siang mala m, syukur Lim heng
telah ke mari."
"Aku akan menengok Tu heng, masih ada tugas penting lain
yang harus kubereskan selekasnya," lalu Cu jing . menuju ka mar Tu
Hong-seng serta mengetuk dua kali.
Sudah tentu Tu Hong-seng belum t idur, lekas dia me mbuka
pintu. Lim Cu-jing me langkah masuk, katanya tertawa: "Tu-heng
belum tidur?"
Cepat Tu Hong-seng merapatkan pintu, katanya: "Semula aku
merasa aman di sini, tapi melihat gelagatnya aku merasa tidak
tenteram."
"Sekeliling ka mar Tu heng sudah dijaga ketat, kukira Tu heng
tidak usah kuatir."
Kecut senyum Tu Hong-seng, katanya: "Lim-heng bukan orang
luar, biarlah kubicara terus terang, Ki-jongtai sengaja suruh
kutinggal di sini, tujuannya adalah me mbuat perangkap, aku
dijadikan umpan untuk menjebak Ling Kun-gi. Padahal kutahu ilmu
pedang Ling Kun-gi a mat tinggi, paling-paling hanya beberapa jurus
saja dapat ku-tandingi dia. Barusan aku berbaring sambil me meluk
pedang." Me mang Lim Cu-jing melihat di ranjang mengge letak sebilah
pedang, tanpa terasa dia tertawa, katanya: "Tu heng terlalu hati2,
bukankah Tu-heng yakin sanggup menandingi beberapa jurus" Bila
dia berani masuk ke ka mar ini, Tu-heng boleh berteriak saja dan
kawan2 pasti akan ke luar me mbantumu?"
"Teori me mang de mikian, tapi aku harus waspada, kabarnya Ling
Kun-gi pandai menyamar, ma ka se hari2an ini sampaipun kacung
yang mengantar minum dan makan juga kucurigai, sebetulnya aku
harap2 cemas supaya dia lekas datang, dengan ke kuatan orang
banyak dapat kita menumpasnya maka legalah hatiku," lalu dia
menuding gulungan kertas di pinggir ranjang serta mena mbahkan
"Barusan Jongtai suruh orang mengantar petasan, katanya bila
me lihat jejak Ling Kun-gi, aku harus le mparkan petasan itu ke luar
jendela, orang2 yang me mbantuku a kan segera berdatangan."
Dia m2 Lim Cu jing berpikir: "Surat rahasia yang disampaikan
pelajar baju putih itu kiranya tida k salah, bila petasan meledak,
orang2 yang dipenda m dala m hotel sekitar sini pasti akan segera
me mburu tiba." - Dengan tersenyum ia lantas berkata: "Perhitungan Jongtai me mang baik, tapi bila Ling Kun gi betul2 datang, mungkin
Tu-heng tak ada kese mpatan mele mparkan petasan itu."
Tu Hong-seng berjingkat kaget dan ketakutan. Dengan
tersenyum Cu-jing berkata pula: "Bukankah Tu-heng barusan bilang
Ling Kun gi pan-da i menyamar" Mungkin sekarang dia sudah berdiri
di depanmu dan kau sendiri masih be lum tahu."
Sedikit berubah air muka Tu Hong-seng.
Cu jing me langkah maju setindak, katanya katanya: "Mungkin,
Cayhe inilah Ling Kun-gi."
Berdetak jantung Tu Hong-song, keringat dingin sudah
mengucur, katanya dengan menyengir: "Ah, Lim heng suka guyon
saja dengan aku."
Meski Lim Cu-jing lagi me ndekat selangkah, tapi karena dia
adalah Jilingpan, maka Tu Hong-seng tidak berani menyurut
mundur. Tangan kiri Lim Cu jing secepat kilat bergerak mencengkeram
urat nadi Tu Hong-seng.
"Kau . . . . " Tu Hong-seng berteriak kaget.
Tanpa me mberi kesempatan bicara Cu- jing menutuk pula Ya-
bun-hiat yang membuatnya bisu, katanya tertawa: "Sekarang Tu-
heng sudah tahu siapa aku ini bukan bukan?"
Karena urat nadi dipencet, Tu Hong-seng menjadi le mas, kulit
mukanya berkerut gemetar, keringat dingin berketes2 membasahi
jidat dan mukanya.
Lim Cu-jing merendahkan suara dan berkata dengan kale m:
"Mungkin Yong lopek tidak tahu bahwa dulu kaupun menjual He k-
liong hwe, lantaran kau juga salah satu daripada ke 36 panglima


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

maka beliau menga mpuni kau. Tentunya kini masih ingat pesan dan
petuah apa yang diberikan Yong-lopek sebelum melepasmu pergi,
kita adalah keturunan Ui-te, bangsa Han yang jaya, maka kau
diharapkan menjadi ma nusia baik2, tak nyana jiwamu ini ke maruk
harta dan pangkat, watak bejat-mu me mang sukar diperbarui, baru
sekarang kau harus mengala mi nasib jele k ini."
Tu Hong-seng ber kedip2 mukanya yang pucat ketakutan, ber
gerak2 seperti mau minta a mpun atau ingin me mbe la diri, tapi
suaranya tidak keluar.
Habis bicara Lim Cu-jing lantas menutuk ulu hatinya, berbareng
tangan kiri menarik tubuh orang dan dilempar ke atas ranjang dan
ditutupi selimut seperti orang tidur layaknya. Lalu dia menarik daun
pintu, lalu cepat2 ia menuju ka mar Go Jong-gi, langsung dia dorong
pintu dan masuk: "Go-heng, segera kau pilih enam orang yang
mahir menggunakan senjata rahasia, suruh mereka ikut aku."
Go Jong gi me ngiakan, tanyanya sambil mengawasi Lim Cu jing:
"Lim-heng henda k suruh mereka ke mana?"
"Sudah kuselidiki pada sebuah rumah penduduk ada sembunyi
kaum pemberontak, akan kubawa mereka untuk me mbekuk orang,
kau tak usah banyak tanya."
Toalingpan pernah berpesan agar seluruh anggota bayangkari
tunduk pada perintah dan petunjuk Lim Cu-jing, maka Go Jong gi
tak berani banyak bicara, setelah mengiakan dan bertanya pula:
"Lim-heng suruh mereka berkumpul di mana?"
"Suruh mereka keluar dari pintu belakang hotel ini, setiba di
ujung jalan sana, mereka harus tunggu perintahku di tempat gelap,
sementara kau dan e mpat orang yang lain harus tetap siaga di sini,
setapakpun tak boleh pergi."
Go Jong-gi mengia kan terus bergegas ke luar.
Lim Cu jingpun segera keluar, tidak la ma dia menunggu di ujung
jalan kecil sana, maka orang2 yang dia inginkan pun berdatangan.
Cu jing me mberi tanda gerakan tangan, segera beberapa orang
berlari mendatangi. Cu jing me mbawa mereka ke suatu tempat
gelap yang tersembunyi, dia hitung jumlah orangnya ada enam
orang, katanya: "Barusan apakah Go lingpan sudah menjelaskan
kepada kalian?"
Salah seorang menjawab sambil me mbungkuk: "Lapor Jilingpan,
Go-lingpan sudah pesan, katanya Jilingpan akan me mberi tugas
khusus kepada ka mi, maka ka mi disuruh tunduk pada perintahmu."
"Betul," ucap Cu-jing dengan menahan suara, "tadi sudah
berhasil kuselidiki suatu ruma h penduduk yang menye mbunyikan
kaum pe mberontak, mereka akan berte mu pada kentongan kedua
ma la m nanti, kita harus siapkan lebih banyak senjata rahasia, pada
saatnya nanti tanpa bersuara dapat kita bereskan mereka dengan
senjata rahasia.
Keenam orang itu serempak mengiakan.
"Baiklah, ka lian se karang ikut aku," ucap Lim Cu jing. Lalu dia
mendahului me lompat ke sana di kuti keenam orang itu, cepat sekali
mereka sudah tiba di te mpat yang di tuju.
Melihat cuaca Cu jing taksir temponya sudah dekat kentongan
kedua, kira2 setengah jam lagi gerakan akan segera dilaksanakan,
maka dia pimpin keena m orang itu me masuki ja lan se mpit yang
jorok itu. Sebelumnya dia menerawang keadaan di sekitar sini maka dia
sebar keenam orang itu ke atas wuwungan rumah penduduk di
sekitarnya, masing2 di pesan menyiapkan senjata, diserukan
sebelum lawan mendekati ruma h penduduk nomor lima mereka di
larang turun tangan. "
Setelah mengatur, dia m2 Lim Cu jing berge mbira, pikirnya:
"Setelah kentongan kedua nanti, biarlah kalian saling cakar dan
baku hanta m sendiri."
Sigap sekali Cu-jing melompat turun, dengan menge mbangkan
Ginkang langsung dia berlari sekencang angin menuju ke kota barat,
tujuannya adalah kebun bunga ke luarga Kauw.
Mala m pekat, tembok tinggi me magari taman yang lebat
ditanami pepohonan, ala m se mesta ditabiri kabut tebal.
Karena taman ini menjadi kedia man pribadi komandan pasukan
bayangkari maca m Ki Seng-jiang yang cukup berkuasa dan disegani,
meski berkepandaian tinggi dan nyalinya besar, betapapun Cu jing
tidak berani gegabah, setelah hinggap di atas tembok, dengan
seksama dia periksa keadaan sekeliling-nya, setelah itu baru
me layang turun.
Letak di mana dia turun kebetulan berada di sisi sebuah
gunung2an yang tersembunyi, sebuah jalan beralas batu putih
tampak menjurus ke sana menuju sebuah gardu kecil gardu
pemandangan kecil ini dikelilingi pepohonan yang terawat baik
dengan daunnya yang rimbun menghijau.
Sudah tentu Cu-jing tidak se mpat perhatikan panora ma indah
dalam ta man, baru saja dia hendak melompat ke sana, tiba2
didengarnya nyekikik tawa geli seseorang, suaranya nyaring merdu,
jelas suara seorang perempuan.
Di te mpat seperti ini, meski itu hanya cekikik tawa seorang
perempuan, tapi bagi pendengaran Lim Cu-jing sungguh a mat
mengejutkan, lekas dia berhenti beraksi serta pasang mata ke
sekelilingnya. Sebetulnya tak perlu dicari lagi, karena di tengah pepohonan
yang rimbun sana pe lahan2 telah muncul sesosok bayangan
sema mpai. Belum lagi Cu-jing melihat jelas siapa bayangan ramping
itu, orang berbadan sema mpa i itu, sudah bersuara: "Lim-kongcu
baru datang, sudah la ma ha mba menunggu di sini."
Nona ini berpakaian hijau pupus dengan gaun putih mulus,
perawakannya tinggi sema mpai, kuncirnya yang besar dan kelam
tampak menjuntai di kedua pundaknya, cuma kedua tangannya
menutupi muka sambil miringkan badan lagi sehingga tak terlihat
jelas roman mukanya. Dandannya mirip seorang pelayan.
Sekilas me lenggong Lim Cu jing lantas bertanya dengan
merendahkan suara: "Nona . . . . ." Bayangan ramping. itu cekikikan pula, katanya: "Memangnya Ling-kongcu sudah tidak me ngenal-ku
lagi" Ha mba adalah Ing jun." - Baru sekarang dia berputar
menghadap ke mari.
Betul, me mang dia Ing-jun adanya, kini Cu-jing dapat melihat
jelas, raut muka bundar laksana biji kwaci yang manis, bola
matanya yang jeli, waktu tertawa sungguh menggiurkan.
Lim Cu-jing menghela napas lega, tanyanya sambil menatap Ing
jun. "Dari mana nona tahu Cayhe akan datang?"
Ing-jun tertawa manis, katanya dengan nada misterius: "Kongcu
tak usah tanya, waktu amat mendesak, le kas ikut ha mba."
Tindak tanduknya aneh dan misterius serta tetap nakal seperti
waktu berada di Coat-sin-san-ceng, tiada pertanyaan yang
dijawabnya secara langsung, habis bicara terus putar tubuh
me langkah pergi, dari laporan Ting Kiau, Cu-jing tahu bahwa Ing-
jun adalah mata2 yang ditanam di sini oleh Pek-hoa-pang, ma ka dia
tidak menaruh curiga, tapi dia tetap waspada, tanyanya:
"Ke manakah nona hendak me mbawaku?"
Sambil berjalan Ing-jun menjawab: "Ha mba a kan me mbawa mu
ke suatu tempat untuk me nolong seseorang."
"Menolong orang" tanya Cu-jing heran. "Menolong siapa" ."
"Setiba di te mpat tujuan, Kongcu akan tahu sendiri," dia tetap
tidak mau menjelaskan.
Sambil bicara merekapun telah beranjak cukup jauh, dia m2 Cu-
jing merasa heran dan bingung, karena Ing-jun berlenggang dengan
cepat dan terang2an seperti tidak takut dilihat orang, mau tida k
mau hal ini menimbulkan rasa curiga, maklumlah Ing-jun hanya
seorang pelayan pribadi, mungkin dia me mperoleh kisikan dari sang
Pangcu Bok-tan agar menunggu dan menyambut dirinya, tapi itu
mestinya dilakukan dengan se mbunyi2, me mbawa seorang luar,
apalagi di tengah mala m buta, tapi dia berja lan seperti berada di
rumah sendiri, tidak kuatir dilihat orang.
Walau merasa urusan agak mencurigakan,tapi dia
berkepandaian tinggi, nyalipun besar, apalagi tujuan kedatangannya
me mang hendak mencari Ki Seng-jiang, peduli musuh bersiap atau
tidak menunggu kedatangannya, akhirnya toh harus bergebrak
mati2an. Dengan langkah mantap Cu-jing terus mengikut i langkah Ing-jun
dengan cepat, tak lama ke mudian tiba di depan sebuah bangunan
mungil berloteng.
Mendadak Ing jun berhenti dan menuding ke atas loteng,
katanya: "Orang yang harus Kongcu tolong berada di loteng ini,
biarlah ha mba berjaga di sini, sila kan kau naik ke atas."
Lebih je las lagi bahwa Ki Seng-jiang me mang telah mengatur
perangkap di loteng ini. Dia m2 Cu-jing tertawa dingin, pikirnya: "Ki
Seng-jiang, seumpa ma kau sembunyi di sarang harimau dan rawa
naga tetap akan kupancung kepala mu, hanya sebuah loteng sekecil
ini me mangnya dapat mengurung aku?"- Meski berpikir de mikian,
tapi dia bersikap wajar dan tertawa malah, katanya: "Terima kasih
atas petunjuk nona."
"Kongcu harus lekas bekerja, biarlah hamba menunggu di sini
saja" ujar Ing-jun tersenyum penuh arti.
Cu-jing tidak bicara lagi, dengan enteng dia meloncat ke atas dan
hinggap di sera mbi loteng tingkat kedua. Lantai kedua ini ada tiga
deret kamar, semua gelap gulita tiada tampak sinar lampu dan tak
terdengar suara orang, daun pintu yang terukir indah hanya sedikit
dirapatkan saja. Sejenak Lim Cu-jing merandek, lalu dia
menge luarkan Le liong-cu dan mendorong pintu sa mbil melangkah
masuk. Le-long-cu me mancarkan cahaya kemilau di te mpat gelap, di
bawah penerangan mutiara ini Cu-jing dapat keadaan kamar,
seketika ia melenggong. Ka mar perta ma rupanya ruangan kerja,
kamar ke-dua ka mar tidur yang dipajang indah dan mewah, tapi
keadaan sunyi senyap tak terlihat bayangan seorangpun, jelas di sini
tak ada perangkap apapun.
Disa mping curiga Cu-jing menjadi bingung pula, di lihatnya di
sebelah kanan terdapat sebuah pintu, kerai menjuntai menutupi
pintu, karena cahbaya Le liong-cu rentengan mut iara itu
menimbulkan ke milau yang beraneka warnanya.
Tiba2 Cu-jing tersentak kaget dan teringat pada orang yang
harus ditolongnya seperti apa yang di katakan Ing jun, katanya
berada di atas loteng, mungkin berada di ka mar sebelah, cepat ia
menyingkap kerai dan masuk.
Baru saja maju se langkah, hidangnya dirangsang bau harum
semerbak, ada almari paka ian berkaca, sebuah meja rias mungil,
ranjang berkela mbu sutera yang bersula m indah.
Inilah ka mar perempuan. Sekilas Cu-jing melenggong, baru saja
timbul niatnya hendak keluar. Tiba2 dilihatnya tak jauh di depan
ranjang sana tanpa bergerak dan tidak bersuara rebah seorang
perempuan tua berbaju hijau, sekilas pandang bagi seorang ahli
akan segera tahu bahwa pere mpuan tua ini tertutuk hiat-tonya.
Cu-jing me mbatalkan niatnya mundur, rasa curiganya bertambah
tebal, dengan langkah lebar dia melejit maju, didapatinya di atas
ranjang rebah pula seorang perempuan. Perempuan yang rebah di
ranjang ini ditutupi ke mul yang bersula m sepasang burung Hong,
yang kelihatan hanya wajahnya yang putih halus, rambutnya terurai
awut2an. "bola mata orang yang jeli tengah terbeliak mengawasinya,
mulutnya mengeluarkan suara "Uh, uh," agaknya dia telah meronta
di dalam ke mul. Begitu pandangan Lim Cu jing bentrok dengan
wajah perempuan di da la m ke mul itu seketika dia terjingkrak kaget.
Dia bukan lain adalah Pui Ji-ping adanya.
"Ping-moay," seru Cu-jing gugup, tanpa ayal dia me mburu ke
depan ranjang, berbareng terus menyingkap ke mul.
Begitu ke mul tersingkap seketika Cu-jing tersirap kaget, selebar
mukanya seketika merah jengah. Ternyata Pui Ji-ping yang
terbungkus selimut telanjang bulat tidak mengena kan seutas
benangpun, kaki dan tangannya terpentang lebar dan terikat oleh
tali sehingga badannya telentang dengan kaki tangan terpentang
lebar. Badannya yang montok putih dengan bagian tubuh yang
menggiurkan terpampang di depan matanya,
Tidak sedikit Cu-jing berkenalan dengan gadis2 cantik, tapi
adegan bugil seperti yang dilihatnya sekarang belum pernah terjadi,
keruan jantung terasa hampir me lompat ke luar, sesaat dia tertegun
dan tak tahu apa yang harus dilakukan, akhirnya dengan tersipu2
dia tarik ke mul pula untuk menutup badan si nona.
Melihat orang yang muncul mendadak ini adalah Ling- toako
yang dirindukannya siang dan mala m, kini terlihat keadaan dirinya
yang bugil begini, keruan malu Ji-ping tak terkatakan, tapi dia juga
kejut dan girang. Ma lu karena keadaan yang bugil ini sudah
terpampang di depan orang, selanjutnya bagaimana dia harus
menjadi orang" Kejut dan girang karena Ling-toakonya akhirnya
dapat mene mukan dia dan menolongnya.
Kedua pipinya tampak merah, matanya terpejam rapat, tak
terasa air matapun me leleh.
Lekas Lim Cu jing tenangkan hati, dia ingat menolong orang
harus cepat. Apabila mulut Pui Ji-ping hanya bersuara "uh-uh",
mungkin mulutnya tersumbat sesuatu.
Cepat Cu jing mengangkat dagu orang, tangan yang lain
mengorek mulut si dara dan mengeluarkan segumpal kapas.
Saking gugup dan ma lu ha mpir saja Pui Ji-ping me nangis,
katanya mewek2: "Toako, kau tidak perlu ragu, lekas lepaskan
ikatan ka ki tanganku."
Betul, berada disarang harima u, sembarang waktu ke mungkinan
dipergoki musuh.
Tanpa ayal Cu-jing segera bekerja, tapi dia tidak berani
menyingkap ke mul lagi, hanya kedua tangan yang terjulur masuk,
dia kerahkan tenaga pada jari2 tangan, sejak mulai dari
pergelangan tangan yang terasa, halus terus naik ke lengan, satu
persatu dia jepit putus tali pengikatnya.
Celakanya ditubuh Pui Ji-ping masih ada e mpat tali pengikat,
untuk me mutus kee mpat tali inilah dia merasa serba susah. Tali
pertama me lingkar dari depan dada tepat di atas "bukit" Pui Ji- ping terus melingkar ke belakang, tali kedua melingkari pinggangnya,
dua tali yang la in masing2 me mbe lenggu paha dan perge langan
kaki. Meski teraling ke mul, tetap tangannya akan menyentuh bagian
badan yang montok dan luna k itu, tida k kepa lang ma lu Pui Ji-ping,
tepaksa dia pejamkan mata, jantungnya berdetak laksana deburan
omba k sa mudra.
Untunglah tali yang mengikat dadanya le kas sekali sudah
terputus. Sudah tentu Cu-jing dapat merasakan gerakan badan Pui
Ji-ping sehingga kedua tangan yang me mang ge metar itu semakin
bergetar, jantungnya serasa mau me lompat keluar. Untunglah
putusnya tali pengikat telah menyadarkan pikirannya, diam2 dia
merasa malu sendiri, lekas dia meraba ke bagian pinggang,
beruntun dia putus pula tali pengikatnya. Kini dia tinggal me mutus
tali yang melingkari paha dan kaki. Mungkin sudah teramat lama Pui
Ji-ping terbelenggu hingga jalan darahnya terganggu, badan terasa
ke meng, seketika kaki tangan tak ma mpu bergerak, dia meringkuk
dalam ke mul serta berseru pelahan: "Toako. lekas carikan
pakaianku . . . ."
"O, ya" sahut Cu-jing, dilihatnya di atas kursi sana ada
setumpukan pakaian, lekas dia me mburu kesana serta
me le mparkannya ke ranjang.
"Toako," seru J i-ping. Malu2, "lekas kau putar ke sana."


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tanpa bicara Cu-jing berputar me mbe lakanginya.
Bergegas Pui Ji-ping kenakan pakaiannya, me makai kaos kaki
dan sepatu, lalu melompat turun dari ranjang, begitu berdiri lantas
dilihatnya perempuan tua yang menggeletak di pinggir ranjang,
seketika dia naik pita m, bentaknya: "Keparat yang pantas mampus!"
- Kakinya terus mendepak dada pere mpuan tua itu.
"Ping-moay," seru Cu-jing, "apa yang kau lakukan?"
Merah mata Pui Ji-ping, katanya: "Toako, kau tidak tahu, untuk
menjilat majikannya perempuan bejat ini me mbe lejeti aku dan
mengikatku di atas ranjang, bila kau datang terlambat, mungkin aku
..... terpaksa harus mati saja." Habis bicara pecahlah tangisnya,
lantas dia menubruk ke dala m pelukan Lim Cu-jing alias Ling Kun-gi.
Dala m perjalanan tadi dia sudah mengusap obat riasnya, dengan
wajah adanya sebagai Ling kun-gi dia hendak menuntut balas sakit
hati keluarga dan denda m se luruh anggota Hek-liong-hwe. Sejak
kini Ling Kun-gi t idak perlu me nggunakan na ma sa maran lagi.
Kiranya tanpa sengaja Pui Ji-ping yang minggat ini akhirnya tiba
juga di Jiat-ho dan mendapat tahu tempat tinggal Ki Seng-jiang,
maka secara diam2 dia menyelundup ke dala m taman ini hendak
me mbunuh Ki Seng-jiang, sayang dia tertawan malah. Ki Seng-jiang
me mbuka kedoknya dan tahu bahwa dia seorang perempuan, dasar
bandot, maka timbul niatnya yang jahat hendak berbuat tidak
senonoh. Loteng mungil ini me mang te mpatnya untuk berfoya2 dan
me lakukan perbuatan mesumnya, entah berapa banyak perempuan
baik2 telah ternoda olehnya. Jelas perempuan tua itu ada lah
pembantunya yang me lakukan kejahatan, depakan Pui Ji-ping tadi
ternyata me mbuatnya muntah darah, jiwapun melayang seketika.
Dengan kasih sayang Kun-gi me mbelai ra mbut Pui Ji-ping,
katanya: "Hayolah Ping-moay, kita buat perhitungan dengan
bangsat tua itu."
"Sayang tiada pedang di sini, aku harus cari senjata dulu."
"Kau ingin bersenjata, nah, pakailah pedangku ini," dia keluarkan
Seng-ka-kia m untuk Ji-ping.
Mereka me lompat ke bawah loteng, Ing-jun ternyata masih
berdiri di bawah pohon, melihat mereka turun cepat dia me mapa k
maju, katanya dengan tertawa: "Selamat Ling-kongcu berhasil
menolong nona Pui."
"Siapa kau?" bentak Pui Ji-ping sa mbil menuding dengan
pedangnya. "Ping-moay, dia nona Ing-jun, orang Pek hoa-pang."
"Toako, jelas dia sekomplotan dengan nenek bejat itu, diapun
me mbantunya mengikat aku."
"Me mang betul," ujar nona Ing-jun, "tapi nona Pui jangan lupa, Liu-pocu a ku pula yang menutuknya roboh, sebetulnya sejak lama
aku bisa me mbebaskan nona, soalnya majikanku berpesan, katanya
biarkan nona menderita sedikit, tunggu saja biar Ling-kongcu yang
menolongmu."
Merah jengah muka Ji-ping, tanyanya dengan bersungut: "Siapa
majikanmu?"
Ing-jun tertawa penuh arti, katanya: "Hamba menunggu di sini
untuk me mbawa kalian mene mui ma jikanku."
"Ki Seng-jiang berada di mana?" tanya Kun-gi.
"Ling-kongcu dan nona Pui tak usah banyak tanya, mari ikut
hamba saja," ucap Ing-jun.
"Baiklah," akhirnya Kun-gi mengangguk, "silakan nona tunjukkan jalan."
Dengan tersenyum Ing-jun beranjak pergi, Kun-gi dan Ji-ping
sama mengintil dibelakangnya.
Pepohonan dalam ta man betul2 rimbun, mala m gelap lagi, meski
banyak gardu2 pemandangan yang tersebar di sana sini, tapi hanya
kelihatan bayangannya saja tanpa terlihat ada sinar pelita, akhirnya
mereka di depan sebuah gedung bertingkat lima.
Gedung ini serba ukiran, dikombinasikan dengan cat warna warni
yang serasi, maka kelihatan megah dan angker. Di depan terdapat
lima susun undakan batu marmer. Taman seluas ini seluruhya gelap
gulita, hanya gedung berloteng inilah cahaya lilin masih terang
benderang, mungkin di sinilah Ki Seng-jiang berte mpat tingga l.
Ing-jun me mbawa kedua orang berhenti di depan pintu serta
me mbungkuk, serunya: "Ling-kong-cu, nona Pui silakan masuk!"
Walau berbagai persoalan mengganjal hatinya, tapi Ling Kun-gi
bersikap wajar seperti tak acuh, dengan langkah lebar dia masuk
kedala m. Itulah sebuah pendopo yang besar, meski tidak se mewah
ruang atau kamar yang lain, tapi meja kursi yang ada di sini se mua
serba antik, di ruang pendopo inipun tak kelihatan bayangan
seorangpun, sudah tentu hal ini me mbuat Kun-gi berta mbah
bingung dan keheranan, me mangnya Ki Seng-jiang sedang main
kucing2an dengan dirinya"
Tatkala dia masuk ke ruang pendopo itulah, dari balik pinto
bundar di sebelah kanan sana muncul seorang laki2 kurus tua
berpakaian kuning te mbaga, kulit mukanya merah, tulang pipinya
menonjol, sorot matanya berkilat tajam, berdiri sa mbil
menggendong kedua tangan, katanya sambil menggapai: "Ling
hiantit, kenapa baru sekarang datang?"
Kun-gi melenggong sejenak, cepat dia
me njura, serunya:
"Kiranya kau pa man mertua."
Laki2 kurus tua berjubah kuning te mbaga ini me mang Jicengcu
keluarga Un dari Ling-la m, Un It-kiau adanya.
Un It-kiau tertawa, katanya: "Semua sudah berada di sini, lekas
ke mari." Bertambah bingung hati Kun-gi, sambil mengiakan dia ikut ke
sana, Pui Ji-ping dan Ing-jun ikut di belakangnya.
Itulah sebuah ka mar buku, lilin besar terpasang terang
benderang, kecuali Un It-kiau, di dala m ka mar buku masih ada tiga
orang, begitu melangkah masuk seketika Kun gi tertegun pula. Ke-
tiga orang itu adalah Un It-hong Un locengcu, Un Hoan-kun dan
Bok-tan. Di atas kursi ukiran berlapis kulit di sana, duduk dengan
lungla i seorang yang tengah dicarinya, yaitu komandan pasukan
bayangkari di istana raja kota Jiat-ho ini, Ki Seng-jiang adanya.
Meski dia duduk di kursi kebesarannya, tapi kedua bola matanya
terbeliak, mukanya mena mpilkan rasa gusar, kaget dan takut pula.
Bagi seorang ahli seka li pandang akan tahu bahwa Hiat-tonya telah
tertutuk sehingga tidak bisa berkutik kecua li biji matanya yang
jelilatan. Dala m hati Kun-gi sudah maklum apa yang telah terjadi, dengan
kehadiran Un-locengcu di sini, seluruh penghuni ta man keluarga
Kauw ini pasti sudah terbius seluruhnya, tak heran sepanjang ja lan
dirinya tak pernah mene mui rintangan. Lekas dia me mburu maju
dengan me mbungkuk diri, serunya: "Siausay (menantu) menghadap
Gakhu (mertua)."
Dengan muka jengah lekas Pui Ji ping berlari ke arah Bok-tan
dan Un Hoan-kun, teriaknya: "Cici, ternyata kalian juga datang."
"Adik Ji-ping, bikin susah kau saja," ujar Bok-tan, lalu dia berbisik di telinganya: "Sejak tadi aku datang bersa ma Un-cici, sebetulnya
kami sudah harus menolongmu, tapi Un-Cici usul supaya dia saja
yang menolongmu, ini keputusan yang kita a mbil setelah disepakati
bersama, adikku yang baik, meski kau agak tersiksa tapi imbalannya
cukup me mada i, kau t idak salahkan ka mi bukan?"
Sudah tentu Ji -ping maklum ke mana juntrungan kata2 Bok tan
itu, sebagai gadis suci masih muda sampa i dilihat dan diraba oleh
Ling Kun-gi dala m keadaan bugil, me mangnya kepada siapa dia
harus menikah" Kiranya semua ini me mang dirancang oleh Bok-tan
dan Un Hoan-kun, maksud mereka me mang ba ik, hati Ji-ping
menjadi terharu. Dengan muka merah dan melelehkan air mata dia
tetap pura2 mengomel: "Kalian me ma ng berengsek, selanjutnya
bagaimana aku harus jadi manusia?"
Dengan suara lirih halus Un Hoan-kun me mbujuk: "Adik Ji-ping,
jangan menangis, urusanmu serahkan saja kepada ka mi."
Mereka bertiga saling berbisik, se mentara di sebelah sana Un It-
hong tengah berkata kepada Ling Kun-gi: "Hiansay, waktu amat
mendesak, orang she Ki sudah kupunahkan ilmu silatnya, kini
tinggal tunggu kedatanganmu, le kaslah kau turun tangan."
Berlinang air mata Ling Kun-gi, katanya dengan dada sesak dan
tersengal haru: "Mala m ini Siausay mencarinya untuk me mbuat
perhitungan ke matian ayah dan para pahlawan Hek-liong-hwe,
berkat bantuan Gakhu, Siausay merasa sangat berterima kasih."
Lalu dia melangkah maju, bentaknya dengan mendelik dan
menuding Ki Seng jiang: "Bangsat keparat she Ki, kau tahu siapa
aku?" "Ling-hiantit," kata Un It-kiau. "Hiat-to bisunya tertutuk, dia tak bisa bersuara."
Kun-gi angkat sebelah tangannya menepuk jidat orang, Hiat-to
bisu orang dibukanya. Ki Seng-jiang segera menggeram gusar,
teriaknya: "Kalian kaum pe mberontak ini berani bertingkah di sini,
kalian berani me mbunuh Lohu, mungkin kerajaan takkan me mberi
ampun pada ka lian."
"Tua bangka keparat," hardik Kun-gi, "ke matian di depan mata masih berani kau menggertak orang dengan nama kerajaan" Sejak
kecil kau dididik oleh Ciok-boh Lojin dari Ui-san, Ciok-boh Lojin
terkenal bajik dan me mpunyai cita2 luhur de mi negara dan bangsa,
beliau adalah salah satu dari kedelapan Houhoat Thay-yang-kau,
sungguh tak kira kau manusia berjiwa kerdil, gila pangkat dan
tamak harta, sudi me njadi antek bangsa la in, menindas ra kyat
bangsa sendiri de mi me ngejar pahala untuk junjunganmu, tak
segan2 kau menjual He k-liong-hwe sehingga menimbulkan banyak
korban jiwa, hari ini aku menuntut balas sakit hati ayahku dan
menuntut keadilan bagi para patriot Hek-liong-hwe. Ketahuilah,
setiap penghianat bangsa adalah beginilah akhirnya, Tu Hong-seng
sudah kubunuh, segera aku akan mencari Ci Kun jin pula, kepalamu
harus ku penggal dan kubawa pulang. Pelan2 dia terima pedang
dari Pui Ji-ping, pedang pendek yang kemilau itu tampa k
mengkilapkan hawa ke hijau2an.
Pucat pasi muka Ki Seng-jiang karena kejahatannya dibeber, tapi
dia seorang yang sudah kenyang makan asam garamnya kehidupan,
meski pedang sudah menganca m tenggorokan dan tida k
mengunjukkan rasa takut dan jeri bentaknya malah: "Nanti dulu,
Lohu ingin bertanya padamu."
"Katakan! Bentak Kun-gi.
Kau inilah Ling Kun-gi?"
"Tida k salah."
"Katamu kau telah me mbunuh Tu Hong-seng?"
"Kau kira Tu Hong-seng dijadikan umpan di hotel untuk
me mancingku masuk perangkap" Ketahuilah, secara terang2an aku
berlenggang masuk ke sana, setelah kubunuh Tu Hong-seng
dengan berlenggang pula a ku keluar, sampaipun petasan yang kau
kirim kepadanyapun tak pernah se mpat diusiknya, kau percaya?"
"Itu tidak mungkin." teriak Ki Seng-jiang serak.
Kun-gi tersenyum, katanya: "Biar kuberitahu padamu, dengan
sedikit mengguna kan akal, barisan kesatu dari barisan ketiga
pasukan bayangkari kebanggaanmu itu telah kubikin saling bunuh
sendiri." "Kau . . . . " desis Ki Seng-jiang dengan menggreget.
Sebelum orang bicara lagi Kun- gi sudah merogoh ke luar sebuah
medali perak dari sakunya, katanya sambil me mbentang telapak
tangan ke muka orang: "Karena aku ini Jilingpan, ma ka punya hak
dan kuasa untuk me merintah mereka, sekarang kau sudah
mengerti?"
Mendelik mata Ki Seng-jiang, suaranya gemetar geram: "Kau Lim
Cu-jing!" "Betul, karena tidak ingin me mbunuhmu di da la m istana, ma ka
kubiarkan kau hidup sehari lebih la ma," habis berkata pedang
pendeknya bekerja, batok kepala Ki Seng-jiang seketika
mengge linding jatuh.
Sejak tadi Un It-kiau sudah siapkan sebuah kantong kertas
minyak, lekas dia masukkan batok kepa la Ki Seng-jiang ke dala m
kantong kertas minyak itu. Un It-hong keluarkan sebotol Hoa-kut-
san, dengan ujung jarinya dia mencukil sedikit bubuk obat terus
ditaburkan ke leher Ki Seng-jiang yang putus, lekas sekali sekujur
badan Ki Seng-jiang lumer menjadi cairan darah.
Kun-gi simpan pedangnya, katanya: "Gakhu kalian harus le kas
keluar kota dari bergabung dengan ibu di Pek-hun-am, Siausay akan
mencari Ci Kun-jin dan me mbuat perhitungan dengannya, paling
la mbat sebelum terang tanah pasti akan kususul ka lian di sana."
"Biar aku ikut kau," sela Bok tan.
"Aku juga mau ikut," Un Hoan-kun t idak ma u ketinggalan. .
Biasanya Pui Ji-ping pasti tidak mau ketinggalan, tapi mala m ini
dia hanya menunduk saja dengan muka merah dan tak berani
bersuara. "Ci Kun-jin adalah majikan Tang-sun-can," ujar Kun-gi, "untuk me mbunuh dia aku seorang diri sudah lebih dari cukup. kalian tak
usah ikut, tunggu saja di luar kota bersama ibu." - Lalu dia menjura
pada Un-cengcu berdua, sekali berkelebat bayangannya melayang
keluar jendela dan lenyap ditelan kegelapan.
0-00-0dw0-00-0 Tang-sua-can adalah bangunan tujuh deret, setiap deret dibatasi
pekarangan luas. Lapis ketujuh dan terakhir adalah daerah tempat
tinggal sang majikan, untuk bangunan lapis ketujuh ini dibuat
sedemikian rupa sehingga terasing dari enam lapis yang lain.
barisan depannya dipagari tembok setinggi dua tombak, di luar
tembok menga lir selokan lebar dan dalam, pepohonan tampa k
rindang dan tumbuh subur serta terawat baik, tanahnya jauh lebih
luas pula dari keena m lapis yang lain, pintunya terbuat dari papan
besi yang bercat merah, dua singa2an tembaga bertengger di kiri-
kanan pintu, mungkin setiap hari dibersihkan hingga kelihatan
mengkilap. Kedua daun pintu besi ini sepanjang tahun tertutup rapat, untuk
masuk ke bilangan terakhir ini dari Tang-sun-can ini harus lewat
pintu sa mping terus masuk lengkong dan sera mbi panjang seja k
mulai deretan rumah kelima. Seperti diketahui lapis keena m
merupakan ka mar2 hotel yang khusus diperuntukkan orang2 yang
berduit, maka pintu2 di sini yang mene mbus ke segala penjurupun
selalu terkunci.
Biasanya majikan Tang-sun-can jarang keluar menerima ta mu,
umpa ma terpaksa harus keluar juga sela lu dikawal oleh lima laki2
kekar jago silat.
Tidak banyak orang yang pernah melihat tampang majikan Tang-
sun-can, mungkin dia sadar kejahatan yang pernah dia lakukan dulu
teramat banyak, dosanya bertumpuk, takut musuhnya menuntut
balas, maka sela manya dia mengera m diri bersama para gundiknya,
tak pernah keluar bila tida k a mat penting.
Sudah tentu Ling Kun-gi tida k masuk lewat serambi, iapun tidak
mengusik orang2 di Tang-sun-can., Tapi dikala dia hinggap di atas
tembok pagar lapis ketujuh, dua bayangan orang laksana dua e kor
elang menubruk kearahnya, salah seorang diantaranya menghardik
galak: "Siapa kau?"
Kepandaian orang2 ini kalau dinila i dari kaum Busu yang biasa
bekerja mengawal para Cukong, boleh dikatakan terhitung kelas
satu, sayang mereka berhadapan dengan Pendekar Kida l Ling Kun-
gi. Dengan tertawa Kun-gi berkata: "Inilah aku!" Hanya dua patah
kata yang dia ucapkan, tapi kedua bayangan yang menubruk tiba itu
seketika jatuh gedebukan terbanting ke tanah.
Tanpa me mbuang waktu Kun-gi me la mbung tinggi dan me luncur
jauh ke depan ke atas loteng tengah sana. Waktu itu kentongan
ketiga sudah lewat, waktu sudah amat mendesak, sekilas matanya
menyapu pandang keadaan sekelilingnya, tampak di atas loteng
yang tujuh tingkat ini hanya ada sebuah jendela di sebelah kanan


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tingkat ketiga yang me mancarkan cahaya. Tanpa ayal Kun-gi
me luncur ke sana.
Kiranya itulah ka mar agak kecil, tanpa permisi Kun-gi langsung
menerobos masuk lewat jendela, dalam ka mar seorang gadis
remaja lagi me ncopot pakaian hendak tidur, begitu merasakan angin
berkesiur, sinar pelitapun menjadi gura m, tahu2 dihadapannya
berdiri seorang pe muda cakap, jantungnya seketika berdebar,
dengan menjerit kaget dia menyurut mundur.
Kun-gi tersenyum ra mah padanya, katanya: "Nona jangan takut."
Rasa takut agaknya merangsang benak si gadis.. mukanya merah
ma lu, katanya gemetar: "Kau .... .... apa keinginanmu?"
"Cayhe mau mencari Kian-lopan, dia tinggal di mana?"
Mengawasi Kun-gi, berubah air muka si gadis, mimiknya
menunjukkan rasa kecewa, sambil menggigit bibir dia menggeleng,
akhirnya menjawab: "A ku . . . . . . aku tidak tahu."
Kun-gi maju selangkah, katanya: "Cayhe takkan menyakit i nona,
tapi kalau nona tidak mau menerangkan, terpaksa aku
menggunakan kekerasan."
"Sreet". dia melolos pedang yang ke milau terus menuding ke
dada si gadis. Wajah si gadis yang se mula merah seketika berubah pucat,
serunya gemetar: "Kau . . . . . mau me mbunuhku?"
Tenang suara Kun-gi: "Aku tida k akan me mbunuhmu, asal kau
tunjukkan te mpat tinggal Kian-lopan, jiwa mu akan kua mpuni."
"Dia . . . . . . dia tidur di ka mar Sa m-ih-thay."
"Di mana letak ka mar Sa m-ih-thay?"
"Ka mar ketiga bagian belakang."
"Kau tidak mendustai aku?"
"Aku menjawab sejujurnya."
"Baik," ujung pedang Kun-gi tiba2 menutul dari balik pa kaian dia
tutuk Hiat-to penidur orang, lewat jendela dia melompat ke
wuwungan terus melejit ke belakang, di sini merupakan pekarangan
yang teramat indah, di sebelah depan ada deretan kamar bertingkat
pula. Untuk mengejar waktu Kun-gi terus berlompatan beberapa kali,
dikala kakinya menginjak payon seberang rumah sana, tiba2 ia
dengar suara hardikan disusul sa mberan angin senjata tajam yang
me-nyerang dari belakang. Dua sosok bayangan orang menubruk
tiba dari kanan-kiri dengan cukup ganas.
Dari gerak serangan yang keji ini dapatlah dinilai bahwa kedua
penyerang ini me miliki kepandaian yang cukup tangguh. Tapi Kun-gi
terang tidak gentar, tanpa memba lik badan, tangan kanan terayun
ke belakang, terdengar suara erangan tertahan disusul suara "bruk"
orang jatuh di atas genteng, penyerang di sebelah kiri terguling ke
bawah rumah. Tangan kanan yang terayun ke belakang itu sekalian meraih dan
menggentak, golok tebal dari penyerang sebelah kanan berhasil
dipegangnya lalu disodok balik dan mengenai dada tuannya, tanpa
bersuara orang inipun terjungka l ke bawah.
Dengan jatuhnya kedua orang yang gedebukan keras ini pasti
mengejutkan banyak orang, tapi Ling Kun gi tida k peduli lagi, cepat
ia me mukul jendela ka mar ketiga di depannya terus menerobos
masuk. Itulah sebuah ka mar yang dipajang mewah, sayang keadaan
kamar gelap gulita, tapi jelas kelihatan di atas ranjang tidur dua
orang, mereka terkejut bangun mendengar suara gaduh di luar, tapi
saking ketakutan keduanya meringkuk berpelukan di da la m selimut.
Kun-gi sulut la mpu sehingga ka mar itu menjadi terang, lalu dia
me mbentak ke arah ranjang: "Kian- lopan, keluarlah kau."
Ranjang tampak bergoyang keras, sebuah tangan yang gemetar
tampak menyingkap ke la mbu, seraut muka kurus t irus menongol
keluar, kulit muka si tua bangka ini ta mpak pucat, dengan takut dia
me lorot turun mengenakan sepatu. Usia laki2 ini sekitar lima
puluhan, rambut sudah beruban, kumisnya jarang2 jenggotpun
hanya secomot, matanya yang sipit me mbentuk segi tiga
me mancarkan rasa takut.
Setelah dia melihat orang yang bertolak pinggang di dalam
kamarnya ternyata hanya seorang pemuda yang bertangan kosong,
rasa kedernya lantas lenyap sebagian besar, lekas dia tenangkan diri
lalu unjuk tawa kecut, katanya munduk2: "Congsu ini ma la m buta
berkunjung ke mari, entah ada keperluan apa?"
Dala m pada itu suara ribut telah terjadi di bawah loteng banyak
orang berteriak2 menangkap maling cahaya oborpun kelihatan
terang. Kun gi tidak hiraukan kegaduhan di bawah, tanyanya dengan
suara kereng: "Kau inikah Kian-lopan, pe milik Tang-sun-can?"
Mendengar orang bicara dengan nada ramah, apa lagi orang2nya
sudah ribut di bawah loteng timbul nyali si tua kurus, katanya
mengangguk: "Lo-siu me mang orang she Kian, silakan Congsu
utarakan ma ksud kedatanganmu, asal Losiu ma mpu ....."
Mendengar orang bicara dengan nada ramah, apa lagi orang2nya
sudah ribut di bawah loteng timbul nyali si tua kurus, katanya
mengangguk: "Lo-siu me mang orang she Kian, silakan Congsu
utarakan ma ksud kedatanganmu, asal Losiu ma mpu ....."
"Tutup mulut mu!" hardik Kun-gi bengis, sorot matanya tiba2
me mancar berapi "A ku tida k ingin me meras harta mu."
Kian-lopan menelan air liur, tanyanya: "Lalu Congsu . . . . ?"
"Jawab pertanyaanku, apakah asalmu she Ci?"
Bergidik si tua tirus, sahutnya tergagap: "Bukan, bukan, Losiu
she Kian. Kian artinya ....." mungkin dia tidak melihat bahwa Ling
Kun-gi menyelipkan pedang pendeknya di pinggang, mendadak dia
berteriak keras: "Tolong! Ada ma ling di sini."
"Sret", selarik sinar terang terayun dari tangan Kun-gi, ujung
pedangnya yang tajam ke milau menganca m di depan hidung Kian-
lopan, jengeknya: "Orang she Kian, berani kau mungkir a kan kuiris
dulu hidungmu. Lekas katakan, bukankah kau ini Ci Kun jin?"
Saking ketakutau Kian-lopan manggut2, sahutnya: "Ya, ya, aku .
. . . . aku me mang Ci. . . . . . Ci Kun jin."
Beringas muka Kun gi, tanyanya: "Baik, jawab pula
pertanyaanku, dulu kau pernah menjadi sekretaris Kok thay yang
menjabat Gubernur Shoatang?"
"Congsu," kata Ci Kun jin dengan muka kecut, "hal itu sudah
la ma berselang."
Batang pedang Ling Kun- gi yang mengancam hidung orang
tampak ge metar saking menahan e mosi. serunya bengis: "Bagus
sekali, tentunya kau masih ingat kejadian dua puluh tahun yang
lalu, pernah kau mengusulkan muslihat keji kepada si bangsat tua
Kok-thay itu untuk menghancurkan Hek-liong hwe di Kun-lun-san,
ratusan patriot bangsa telah gugur karena muslihatmu, Ki Seng-
jiang sudah ku-pengga l kepa lanya, kini menjadi giliranmu."
Pucat bagai kertas muka Ci Kun-jin, tiba2 dia menjatuhkan diri
menye mbah berulang2 seraya berseru: "Ampun Congsu, Losiu
dipaksa untuk me lakukan itu."
"Tiada a mpun bagimu, aku datang ke Jiat-ho ini untuk me nuntut
balas ke matian para pahlawan Hek-liong-hwe, menuntut balas sakit
hati kematian ayahku, siapapun yang menjadi pengkhianat bangsa
dan sudi menjadi antek penjajah akan mene mui ajalnya sesuai
dengan ganjaran perbuatannya, dan lagi supaya kau mengerti aku
inilah Ling Kun-gi, putera Ling Tiang-hong, Hwecu Hek-liong-hwe
dulu, kau sudah dengar je las?"
Habis bicara, "crat", begitu sinar pedang berkelebat, batok kepala Ci Kun-jin mencelat dari batang lehernya. Sekali tendang Kun-gi
le mpar jasad Ci Kun jin, dengan kalem dia masukkan batok kepala
orang ke dalam kantong kertas minyak terus melompat keluar
jendela, dalam sekejap bayangannya sudah lenyap.
Besoknya kota Jiat-ho jadi geger, komandan tertinggi pasukan
bayangkari yang paling berkuasa di istana raja ternyata menghilang
tanpa jejak, Tu Hong-seng yang tinggal di losmen Liong-kip juga
mati, cukong atau pe milik Tang-sun-can "Kian-lopan" juga mat i
terbunuh dengan kepala terpenggal, lebih celaka lagi ada lah
kelompok barisan perta ma pasukan bayangkari telah dihajar
habis2an oleh kelompok ketiga dari pasukan yang sama, kedua
pihak jatuh korban cukup banyak. .
Menurut dugaan kejadian ini adalah berkat kerja dan rencana keji
kaum pe mberontak yang mau menuntut balas. Maka keempat pintu
kota kini ditutup rapat, rakyat tidak diperbolehkan keluar masuk,
seluruh kota dirazia, digeledah untuk menangkap kaum
pemberontak. ooooo0dw0ooooo Pada persimpangan jalan sebelah barat kota Jiat-ho, di bawah
sebuah pohon besar diparkir sebuah kereta ,yang di tarik seekor
kuda, kusir keretanya adalah seorang laki2 tua bermuka kuning.
Dala m kereta duduk e mpat orang perempuan, ibu beranak,
menantu dan seorang pelayannya. Sang mertua kelihatan berusia
enam puluhan, menantunya adalah perempuan muda yang cantik
jelita, puterinya adalah gadis remaja yang baru berusia delapan
belas, pakaian mereka sederhana, jelas mereka dari keluarga
menengah. Tak jauh di sebelah sana ada dua orang penjual kain kelilingan,
seorang berusia lima puluhan, tingkah lakunya lucu seperti orang
sinting, seorang tahu laki2 lima puluhan, mukanya merah, tubuhnya
kurus. Dala m jarak satu panahan maju ke depan lagi, masih ada
kelompok orang, keadaannya jauh lebih mentereng, mereka ada lah
ayah beranak lima orang, ada laki2 ada perempuan, sang ayah
berwajah putih bersih, jenggot hitam menjuntai di dada,
mengenakan jubah biru bersula m ke mbang, sepatunya tinggi
terbuat dari kulit, seorang lagi adalah pemuda bersama tiga orang
adik pere mpuannya. Si pe muda berperawakan kekar gagah,
demikian pula ketiga nona itu sa ma cantik dan segar bak bunga
baru me kar. Masih ada lagi dua kacung yang merawat kuda. Dilihat
dari dandanan mereka, ke mungkinan adalah keluarga berpangkat
yang sedang lewat dan istirahat. paling tidak kaum bangsawan
entah dari mana.
Tiga ke lompok orang ini meski sa ma istirahat di te mpat yang
berlainan, tapi ke lihatan mereka seperti sedang menunggu orang,
entah siapa" Karena mereka sering berpaling ke arah kota di mana
jalan raya itu menjurus,
Tentunya para pembaca maklum orang2 ini ialah Thi hujin, Bok-
tan, Pui Ji-ping bersama pelayan Ing-jun, kakek yang jadi kusir
adalah Ting Kiau.
Kedua penjual kelilingan adalah Un It hong, sementara lima
orang di bawah pohon sana ada lah Cia m-liong Cu Bun-hoa, Cu Ya-
khim, Tong Siau-khing, Tong Bun-khing dan Un Hoan-kun, kedua
kacung adalah Ban J in-cun dan Kho Keh-hoa.
Mereka sudah berjanji dengan Ling Kun-gi untuk menunggu
kedatangannya di sini. Mereka sudah menunggu sekian la manya,
selagi hati t idak sa-bar dan ge lisah terta mpak dari ujung jalan raya
sana muncul setitik bayangan orang meluncur sepesat kuda
me mbeda l. "Nah itu Toako sudah datang" Pui Ji ping mendahului berteriak
sambil berjingkrak girang.
Yang datang me mang Ling Kun-gi, ia me mbawa sebuah buntalan
kertas minyak, jelas isi kantong adalah batok kepala Im si boan-
koan Ci Kun -jin.
Kun-gi langsung menuju kereta, setelah dekat dia le mpar
buntalan kertas minyak itu terus menjatuhkan diri berlutut, air
matanya bercucuran, serunya: "Bu, syukurlah anak berhasil
menuntut balas sa kit hati ayah, menebus denda m kesumat
ke matian para pahlawan Hek-liong hwe."
Sambil berlinang air mata Thi hujin manggut2, katanya: "Anak
baik, bangunlah, ibu sudah tahu jelas me mang tidak ma lu kau
sebagai putera Ling Tiang hong, sebagai cucu yang baik dan
berbakti terhadap kakak luarmu, hayolah kita lekas berangkat."
Bok-tan mengeser tempat duduknya, dengan suara merdu mesra
dia berkata: "Marilah kau naik ke kereta."
Tanpa bicara Kun gi lompat ke atas kereta. Tanpa diperintah lagi
Ting Kiau menurunkan kerai terus lari ke depan sa mbil mengayun
cambuk: "Tar", kuda segera mencongklang kedepan, menyusul Un
It-hong, Un It kiau dan lain2 mence mplak kuda masing2 dan
menyusul dari kejauhan.
Jalan raya ini menjurus ke Pak-kau, tiga kelompok berangkat
sendiri2, sudah tentu tidak menarik perhatian orang. Tapi baru kira2
tiga li jauhnya mereka mene mpuh perjalanan, tampak di kejauhan
di tengah jalan raya berduduk tersimpuh lima orang Lama berkasa
merah yang berusia lanjut.
Mereka bersemadi tak bergeming, meski kereta semakin dekat
tapi mereka anggap tida k melihat dan tak mendengar. Cepat sekali
keretapun berlari, tiba di depan mereka. . Dari kejauhan Ting Kiau
sudah ber siap2, kira2 tiga tombak jaraknya dia tarik tali kendali
menghentikan lari kudanya, tapi kereta masih terseret maju
setombak lebih.
"Ting lotoa," kata Thi hujin, "ada kejadian apa di depan?"
Ting Kiau menyahut: "Lapor Lothay, ada beberapa Lama
mengadang di tengah jalan." Lalu dia me na mbahkan dengan suara
lirih: "Agaknya mereka bermaksud kurang baik."
Maka terdengar salah seorang La ma yang tertua paling tengah
angkat kepala dan bersuara kalem: "Maksud ka mi bukan jahat,
Lolap berlima hanya ingin mene mui satu orang."
Bok-tan segera berbangkit, katanya sambil menyingkap kerai:
"Losuhu, ka mi kaum pere mpuan ingin lekas masuk kota, jangan
kalian salah ala mat."
"Mana mungkin Lolap salah mencari orang?" ucap La ma tertua,
"bukankah dala m kereta kalian ada Siau-sicu she Ling?" - Jelas
mereka ingin me mbuat perhitungan dengan Ling Kun gi.
Thi-hujin mengerut kening, katanya lirih: "Ke lima orang ini
seperti kaum La ma."
"Siancay. Siancay," ucap La ma tertua, "rekaan Hujin me mang
betul." "Bu, kalau mere ka menunjuk diriku, biarlah anak turun bicara
dengan mereka," kata Kun gi.
"Kedatangan mereka berma ksud tidak baik, kau harus hati2,"
demikian pesan Bok-tan.
"Biar aku juga turun," seru Ji-ping.
Lekas Thi-hujin me nariknya, katanya: "Anak Gi boleh turun dan
tanyai mereka, kau tak usah turut ca mpur."
Kun-gi lantas me langkah turun, tampa k ke lima La ma ini masing2
menduduki satu posisi tertentu, semuanya duduk semadi
me meja mkan mata hingga berbentuk sebuah lingkaran, cepat dia
menjura, sapanya: "Para Suhu hendak mencari Cayhe, entah ada
petunjuk apa?"
Lama tertua yang menjadi pemimpin me mbuka kelopak matanya,
kedua tangan terkatup di depan dada, katanya: "Omitohud! Apakah
Siausicu inilah Ling Kun-gi?"
Kun-gi mengangguk, sahutnya: "Betul, Cayhe me mang Ling Kun-
gi." "Ada suatu soal ingin kutanya kepada Siausicu," kata La ma tua.
"Soal apa, silakan bicara."
"Lolap punya seorang murid, bernama Pat-toh, apakah dia mati
terbunuh oleh Siau-sicu?"
Bergetar hati Kun-gi, seperti diketahui La ma kasa merah yang


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bernama Pat-toh mati ditangan bibinya sebagai Maha Pangcu Pek-
hoa-pang, tapi sang bibi sekarang sudah wafat, biarlah dirinya yang
me mikul tanggung jawabnya. Maka dia me ngangguk, katanya.
"Betul, muridmu itu adalah Hek-liong-hwe Houhoat, Cayhe
menuntut balas pada Han Jan-to atas kematian ayah almarhum, tapi
muridmu mena mpilkan diri, terpaksa dia gugur di bawah pedangku."
Sikap La ma tua tetap tenang tanpa marah sedikitpun, katanya
mengangguk: "Lolap dengar Siau-sicu ini murid didik Hoan-jiu-ji-lay,
sudah lama Lolap dengar nama besar Hoan-jiu-ji-lay, sayang selama
puluhan tahun belum pernah berte mu, bahwa Siau-sicu ma mpu
me mbunuh muridku, itu tandanya Kungfumu sudah tinggi, ilmu
pedangmu pasti juga amat lihay, Lolap dan para Sute ingin menjaja l
dan menyaksikan ilmu pedang Siausicu, bagaimana menurut
pendapat Siausicu?"
Dia m2 tersirap darah Kun-gi, sungguh tak nyana bahwa kelima
Lama tua ini adalah guru dan pa man guru Pat-toh yang lihay itu.
Kungfu Pat-toh pernah dia saksikan sendiri, tarapnya jelas tidak
lebih rendah daripada Thay-siang, bahwa kelima La ma tua ini
adalah guru dan pa man gurunya, mereka terang me miliki
kepandaian yang lebih t inggi dari-pada Pat-toh.
Sebelum Kun-gi me mberi tanggapan, Lama tua sudah berkata
lebih lanjut: "Lolap juga dengar bahwa Siausicu mahir mainkan Hwi-
liong-sa m-kia m, dengan gaya jungkir balik dan terapung di udara
sambil menyerang musuh, Lolap lima bersaudara akan duduk
bersimpuh di te mpat masing2 dan takkan bergerak dari tempat
duduk ini, asalkan Siau-sicu dapat mencelat keluar dari tengah
lingkaran ka mi ma ka ka mi berlima akan menyerah kalah."
Agaknya dia sudah tahu jelas bahwa Hwi-liong-sa m-kia m harus
dike mbangkan dengan badan terapung da m jumpa litan di udara,
dikatakan pula bahwa mereka berlima takkan bergerak dari
duduknya, lalu cara bagaimana mere ka akan turun tangan" Bila
Kun-gi betul2 menge mbangkan Sin-liong-jut-hun, dengan mudah dia
dapat mela mbung dan jumpalitan keluar dari da la m lingkaran,
kenapa La ma tua ini berani bertaruh begitu.
Tak tahan Bok-tan lantas melompat turun dan berdiri di samping
Kun-gi, katanya: "Maksud Lo-suhu akan bertempur dengan tenaga
kalian berlima, kalau de mikian biarlah ka mi berdua menghadani
kalian,kan boleh?"
Sekilas La ma tua me liriknya, katanya hambar:
"Li-s icu ini lebih baik mundur saja."
Dia m2 Kun-gi sudah perhatikan kelima La ma tua ini me mang luar
biasa, mereka duduk dengan posisi Ngo hing (lima unsur),
ke mungkinan akan me mbentuk se maca m barisan pedang yang
lihay, dirinya telah mempelajari Hwi-liong-kiu sek, bisa jadi mampu
mengatasi keroyokan lima lawan. Tapi Bok-tan hanya me mbeka l
tiga jurus ilmu pedang, mungkin takkan kuat bertahan, maka dia
berkata: "Losuhu ini hanya ingin menjaja l ilmu pedang yang pernah
kupelajari, me mang lebih baik kau undurkan diri saja." - Lalu
dengan menggunakan ilmu gelombang suara diam2 ia me mbisiki:
"Aku sudah berhasil me mpelajari sembilan jurus ilmu pedang
peninggalan Tiongyang Cinjin, umpa ma t idak menang juga aku
masih ma mpu me mpertahankan diri, bila kau berada di sa mpingku,
mungkin ma lah mengha mbat gerak-gerikku."
Sementara itu derap kaki kuda ra mai mendatangi, kiranya
rombongan Cu Bun-hoa telah tiba. Me lihat Kun-gi berda mpingan
dengan Bok-tan menghadapi lima La ma yang bersimpuh di tengah
jalan raya. Tong Bun-khing dan Un Hoan kun segera, melejit dari
punggung kuda mereka terus hinggap di kiri kanan Ling Kun-gi.
Dengan suara merdu Un Hoan-kun bertanya. "Apa yang terjadi,
mereka me ncegatmu" Ini soal mudah, biar aku yang bereskan
mereka." Cepat Kun-gi goyang tangan mencegah, katanya: "Hoan-moay
jangan semberono, lekas ka lian mundur ke be lakang."
Di dala m kereta Thi hujin hanya tenang2 saja, katanya: "Anak Gi
betul, kalian mundur saja, biar anak Gi menghadani para Losuhu ini"
Terpaksa Bok-tan, Un Hoan-kun, Tong Bun-khing turuti nasehat
Thi-hujin. Lama tua tertawa tawar, katanya: "Siausicu sudah siap?"
Sudah tentu Kun-gi tak berani gegabah, segera dia keluarkan
Seng ka-kia m. Se mentara kelima La ma itupun menge luarkan senjata
yang bentuknya seperti pedang tapi bukan pedang, panjang dua
kaki, bentuknya rada aneh, belum pernah ada senjata semacam ini.
Maklum, senjata ini me ma ng khas kaum La ma, na manya Hiap-
ciang-hiap. Bentuknya seperti pedang, pada gagangnya digubat
benang mas dan bertatahkan mutu manika m, batang pedang hanya
sepanjang satu kaki dan berke milauan taja m, ujungnya berbentuk
gurdi yang runcing bulat, bentuknya lebih mirip kepa la ular.
Setelah mengeluarkan senjata masing2, para Lama tetap
bersimpuh, mata terpejam kepa la sedikit menunduk, sikapnya tida k
seperti jago yang siap tempur. Tapi Kun-gi yang sudah berdiri di
tengah mereka merasakan secara langsung bahwa kelima La ma ini
tengah mengerahkan Lwekang pada batang senjata ampuh mereka,
meski belum lagi bergerak, tapi senjata itu sendiri sudah
menimbulkan perbawa yang tidak kecil.
Kun-gi tahu pertempuran ini merupakan adu kekuatan yang
besar artinya, apakah dirinya ma mpu menandingi kekuatan
gabungan kelima La ma sakti ini masih merupakan tanda tanya
besar. Maklumlah, dia tidak kenal senjata apa yang diguna kan
lawan" Belum diketahui pula dengan cara bagaimana musuh a kan
mulai menyerang"
Orang kuno sering bilang: harus tahu kekuatan sendiri dan dapat
mengukur kekuatan lawan, setiap kali bertempur tentu menang. Kini
hakikatnya Kun-gi tida k kenal musuh2nya, bagaimana mungkin dia
bisa me mpersiapkan diri. Terpaksa dia berdiri dia m menanti gerakan
lawan lebih dulu.
Cukup la ma mereka bertahan, kedua pihak tetap diam saja tanpa
bergeming, akhirnya La ma tertua itu me mbuka suara: "Siau-sicu
berhati2lah." - Berbareng Hiap-ciang-hiap yang tegak di depan
dadanya bergetar, segulung hawa getaran senjatanya yang kemilau
itu terus menyambar ke depan laksana ana k
panah menerjang ke tengah alis Ling Kun gi.
"Inilah hawa pedang," dia m2 tersirap darah Ling Kun-gi, tanpa
ayal dia ayun pedang pendek untuk balas menyerang. Ayunan
pedangnya menimbulkan cahaya benderang dingin laksana kilat dan
telak sekali me mbendung sa mberan hawa pedang yang diluncurkan
Lama tua itu. Tatkala La ma ini menyerang, empat La ma yang lainpun serentak
menggetar senjata masing2 ikut me-nyerang, terdengarlah deru
angin kencang me mberondong ke tengah kalangan tertuju kepada
Ling Kun-gi. Tiada cahaya yang menyilaukan, tak terlihat bayangan
pedang, hanya hawa pedang yang terasa dingin sehingga hawa
sekitar gelanggang seakan2 beku.
Sekuatnya Kun-gi mengerahkan sega la ke ma mpuannya baru
kelima jalur hawa pedang lawan terbendung di luar lingkup cahaya
pedangnya, tapi orang yang menonton tidak mengerti sa ma
bertanya2 dalam hati bahwa kelima La ma itu cuma duduk tak
bergerak, kenapa Kun-gi berma in pedang sekencang dan sehebat
itu. Hanya Thi-hujin, Un It hong, Cu Bun-hoa dan Bok-tan yang
sedikit banyak dapat merasakan, walau kelihatan kelima La ma ini
duduk dia m, tapi ke mungkinan mereka sudah mulai melancarkan
serangan entah dengan cara apa kepada Ling Kun-gi. Ka lau tida k
tak mungkin anak muda itu me mutar pedang dengan mengerahkan
Lwekang sehebat itu.
Lima jalur hawa pedang terus bertambah kuat, gempurannya
semakin dahsyat, makin la ma ma kin tebal dan menjadikan serupa
jaring hawa pedang di sekeliling tubuh Ling Kun-gi, tapi semua ini
tidak kelihatan bentuknya, hanya Kun gi merasakan langsung akibat
dari kehebatan ilmu yang tiada taranya ini.
Di dasar Hek-liong ta m Kun-gi telah berhasil me mpelajari
sembilan jurus ilmu pedang peninggalan Tiongyang Cinjin, dala m
permainan ilmu pedangnya boleh dikatakan dia sudah ma mpu
menge mbangkan segenap perubahan ilmu pedang itu.
Akan tetapi kelima ja lur hawa pedang itu secara bergiliran
mengge mpurnya dengan tekanan yang dahsyat, setiap jalur hawa
pedangse-olah2mengandungkekuatanyangma mpu
menggugurkan gunung.
pada hal Hwi-liong-kia m-hoat harus dimainkan dengan cara
mengapung di udara, di bawah tekanan hawa pedang musuh yang
ketat ini jelas dirinya takkan ma mpu melompat terbang ke atas.
Apa yang dikatakan Lama tertua itu memang tida k salah, asal
dapat keluar dari lingkaran mereka, maka anggaplah mereka yang
kalah. Meski hebat ilmu pedang Ling Kun-gi, karena tiada
kesempatan dike mbangkan, apalagi tekanan hawa pedang terasa
tambah berat, kelima jalur hawa pedang seakan2 telah menutup
rapat di atas kepalanya, malah seberat gunung menindihnya
sehingga la ma kela maan dia ha mpir tak kuasa berdiri lagi.
Terpaksa Kun-gi pusatkan segala perhatian dan bertahan
mati2an, dalam hati dia sudah mulai gelisah, pikirnya: "Agaknya hari
ini aku bakal gugur di bawah hawa pedang para La ma ini."
Seorang kalau menghadapi jalan buntu, walau tahu mungkin
tiada harapan, tapi dala m sanubarinya tetap akan timbul secercah
pikiran untuk mengejar hidup meski itu hanya merupakan harapan
kosong. Apalagi teringat bahwa ibunda dan para kekasihnya tengah
menonton di luar gelanggang, sekali2 dirinya tak boleh mati begitu
saja. Dikala dia menghadapi jalan buntu inilah, tiba2 dia teringat
akan ajaran semadi yang terdiri tiga gambar peninggalan Tiongyang
Cinjing di dinding gua itu, ketiga ga mbar se madi ini merupa kan
rangkaian pula dari kese mbilan jurus ilmu pedang. Entah dari mana
datangnya ilha m, tiba2 terpikir olehnya kalau ke lima La ma sa ma
duduk bersimpuh, senjata berdiri tegak di depan dada, dengan
kekuatan Lwekang mereka menyalurkan hawa pedang untuk
mengge mpur dirinya, kenapa dirinya tidak meniru cara mereka saja"
Karena itu segera dia pusatkan pikiran, pedang yang se mula dia
putar naik-turun tiba2 diam tegak di depan dada, begitu semangat
terhimpun dia pusatkan tenaga pada batang pedangnya, pelahan2
dia mulai la kukan gaya sesuai dengan gambar pertama pelajaran
semadi itu. Sungguh aneh, hawa pedang kelima La ma yang se mula terasa
semakin gencar dan berat itu, begitu dia mulai dengan gaya
semadinya, tekanan yang berat itu seketika menjadi enteng.
Padahal kelima La ma itu tak pernah kendur mengerahkan
Lwekangnya untuk mengge mpurnya, ma lah terasa keadaan sudah
mencapai puncaknya, kelihatan sebentar lagi mereka akan berhasil
me mbunuh lawan, se-konyong2 terasa kekuatan hawa murni Ling
Kun-gi melindungi badan melalui saluran pedangnya berta mbah
hebat gempuran hawa pedang mereka hanya mampu mencapai tiga
kaki di luar lingkaran badan musuh, sedikitpun tak ma mpu
mendesak maju lagi.
Perlu diketahui mereka berlima sudah me musatkan pikiran,
tenaga dan kekuatan lahir hatin untuk mengerahkan hawa pedang
dan mengge mpur lawan, pandangan matanya hanya tertuju ke
pucuk senjata sedikitpun tidak boleh terpecah perhatiannya. maka
mereka tidak tahu bahwa kini Ling Kun-gi tengah duduk se madi di
tengah lingkaran.
Sembilan jurus ilmu pedang peninggalan Tiongyang Cinjin sudah
diapalkan benar oleh Ling Kun-gi, tiga jurus yang terakhir dari
rangkaian kedua belas jurus ilmu pedang itu meski hanya bergaya
duduk se madi, tapi satu sa ma la in merupa kan ikatan yang erat,
cuma sela ma ini belum berhasil disela minya dengan baik. Kini
setelah dia mengulang dala m pra ktek pada saat menghadapi musuh
tangguh, terasa pikiran menjadi terang, seperti me mperoleh ilha m
sehingga segala kesukaran yang dihadapinya selama ini mendada k
menjadi terang seluruhnya. tekanan musuhpun la mbat lain terasa
semakin ringan, baru kini betul2 dia sadari meski ketiga gaya duduk
ini mirip orang bersemadi, hakikatnya merupakan ajaran ilmu
pedang tingkat tinggi yang tiada taranya.
Maka dengan pedang pendek dipegangnya lebih kuat dan
mantap, hati bersih pikiranpun jernih, mulailah dia mela kukan gaya
selanjutnya dari ga mbar kedua. Seketika terasa benar
perubahannya, bukan saja pikiran tenang hatipun seperti kosong
tanpa disadarinya semangat telah bersatu padu dengan pedang
secara langsung dia berlanjut ke gaya ketiga, sehingga dengus
napasnya seolah menderu kencang mengandung kekuatan yang
ma mpu me mbobol dinding.
Tekanan hebat dari kelima jalur hawa pedang lawan t iba2 terasa
sirna tak berbekas lagi. Lapat2 didengarnya Pui Ji-ping berteriak
kaget dan heran: "He, kenapa kelima La ma itu?"
Ling Kun-gi tertarik dan merasa heran, pelan2 dia kendurkan
kekuatannya, setelah menarik napas panjang mulai dia me mbuka
mata, maka dilihatnya kelima La ma tua itu sudah sa ma mengge letak
di tanah tanpa mengeluarkan suara, sejak tadi sudah melayang
jiwanya. Tong Bun-khing, Bok-tan dan Un Hoan-kun tampak mengunjuk
rasa kejut dan heran, tanpa berjanji mereka sama berlompatan
maju, dengan penuh perhatian dan kuatir sere mpak mere ka
bertanya: "Kau tidak apa2?"
Kun-gi melompat bangun, pedang disimpan serta berkata:
"Terima kasih atas perhatian kalian, syukurlah aku lolos dari ujian
berat ini berkat doa kalian, kelima La ma ini tadi sama mengguna kan
Ngo heng-kia m-khi."
Pui Ji-ping tidak mau ketingga lan, dia me lompat turun dari
kereta, tanyanya sambil mende kat: "Toako, apa yang dinama kan
Ngo-hing-kia m-khi?" Belum Kun gi menjawab mendada k dia
menoleh ke arah timur, wajahnya sedikit berubah, katanya: "Ada
orang datang."
"Di mana?" tanya Pui Ji ping ikut berpaling.
Maka terdengar derap kuda yang dilarikan kencang se ma kin
mende kat dan sekejap saja sudah tiba, penunggangnya kiranya
mahir benar mengenda likan kuda, begitu kendali ditarik dan kuda
berhenti, langsung dia melompat turun seraya merogoh keluar
sampul surat, dengan sikap hormat langsung dia mende kati Kun-gi,
katanya: "Hamba mendapat perintah Pho kongcu untuk mengantar
surat ini, harap Kongcu terima.."
Kun-gi terima surat itu, terasa olehnya laki2 pengirim surat ini
seperti pernah dikenalnya, tanpa menunggu jawaban Kun-gi orang
itu menjura se kali terus mence mplak kudanya dan dikaburkan lagi.
Mengawasi punggung orang mendada k Kun-gi ingat, orang ini
adalah orang yang semalam mengantar surat padanya. Lekas dia
periksa sampul surat yang terdapat sebaris tulisan indah berbunyi:
"Disa mpa ikan kepada Ling-kongcu, pribadi."
Dia keluarkan secarik kertas yang berbau harum, surat ini
berbunyi: Yang terhormat Ling-kongcu Ling Kun gi,
Kami dari keluar bangsawan, belajar kepandaian di Swat-san,
sejak kecil menyendiri dan tinggi hati, semua laki-laki di jagat ini
tiada yang pernah menjadi perhatianku, tapi sejak berkena lan
dengan tuan di tepi Hek-liong-tam, setelah pertarungan naga
terbang (Hwi-liong-kia m-hoat) lawan Burung Hong menari (Hwi-


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hong-kia m-hoat), dengan keka lahan itu baru ka mi sadar bahwa di
jagat ini kiranya ada laki2 sehebat tuan, hati yang beku selama ini
seketika mencair dan bergelora.
Sayang kami bermusuhan dengan tuan, terpaksa mengundurkan
diri dengan hati ha mpa. Kali ini kuketahui tuan akan me lakukan
perjalanan ke Jiat-ho, maka dengan menya mar sebagai Pho Kek-pui
kita telah bersahabat, makan minum riang ge mbira bersama,
terhiburlah hati nan merana ini, dua kali surat kirimanku rasanya
cukup melimpahkan perhatianku, hanya itu pula yang dapat
kupersembahkan kepada tuan, hal inipun telah mengingkari
keluarga dan mendurhakai leluhur, sungguh harus disesalkan.
Waktu tuan terima suratku ini, ka mi sudah berangkat ke barat,
ke mbali ke atas gunung, selamanya akan berbakti untuk ajaran
agama. Teriring sala m hangat dan bahagia.
Cui Kin-in Sampa i sekian la ma Ling Kun-gi terlongong me megangi surat itu.
Kiranya Cui Kin-in adalah Pho Kek-pui puteri pangeran istana Hok.
Dia pula yang menyaru jadi pelajar baju putih waktu menolong
dirinya di istana. Cui Kin-in adalah gadis aneh dan hebat pula,
seorang gadis romantis juga.
Melihat Kun-gi terlongong sehabis me mbaca surat, maka beramai
orang banyak merubung maju ikut me mbaca surat itu. Habis
me mbaca mere kapun sa ma me nghela napas sa mbil menggeleng.
TAMAT Semarang, Januari 1977
Rahasia Mo-kau Kaucu 9 Kuda Putih Karya Okt Pendekar Cacad 20
^