Pendekar Kidal 4

Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok Bagian 4


tahun apa tidak terlalu la ma," kata Tong Siau-
khing. "Ling toako," sela Tong Bun.khing. "kukira tiga bulan sudah
cukup la ma, hari ini bulan e mpat tanggal dua be las, jadi tanggal dua
belas bulan tujuh ka mi menunggu kedatanganmu." La lu dia tanya
kepada nona Pui "Dan kau adik Ping, kapan kau juga ke rumahku?"
"Setelah aku pulang dan minta izin pada ibu, segera aku
menyusul ka lian," sahut nona Ping.
Kun-gi berdua segera cempla k ke punggung kuda, katanya:
"Saudara Tong, nona Tong, selamat tinggal." La lu dia me mberi
salam pula kepada Pa Thian-gi dan Khing Su-kwi: "Pa-congkoan,
Khing-hucongkoan, sa mpai bertemu."
Ter-sipu2 Pa Thian-gi berdua me mbalas hormat, serunya: " Ling-
ya, hati2lah dijalan, ka mi tida k mengantar."
Kun-gi bedal kudanya berlari kencang turun gunung, nona Pui
mengikut inya sambil mela mba i tangan ke bela kang.
Berlinang air mata Tong Bun-khing, iapun mela mbaikan sapu
tangan, terlaknya: "Ling-toako, tiga bulan lagi kau harus datang ... .
. .." padahal kuda sudah lari jauh,
tapi Tong Bun-khing masih berdiri me longo dengan dua ja lur air
mata me mbasahi pipi.
"Dik, hayolah masuk." kata Tong siau-khing dengan tertawa,
"jangan kuatir urusanmu serahkan padaku, tanggung beres."
Merah muka Tong Bun- Khing, katanya: "Aku tak tahu apa yang
Toako ma ksudkan?" lalu dia berlari masuk lebih dulu.
ooooooooooo Sekejap saja kuda Ling Kun-gi sudah sa mpa i dijalan raya. "Nona
mau ke mana?" tanyanya berpaling ke bela kang.
Nona Pui me mbedal kudanya dan berjalan sejajar, katanya
tertawa geli: "Toa-piauko, dengan siapa kau bicara?"
"Sudah tentu dengan kau."
"Ya, setelah meningga ikan mereka, kau lantas tidak anggap aku
sebagai Piaumoay lagi."
"Kalau a kupunya adik selincah dan secantik kau, tentu bukan
ma in senang hatiku. cuma sayang aku punya adik yang tidak
diketahui na manya."
"Hah, jadi kau mengore k keteranganku, Tidak akan kuberitahu."
"Me mangnya pantas seorang kaka k tida k tahu na ma adiknya?"
"Kau terka sendiri saja."
"Na ma orang masa kah boleh diterka segala.."
"Tak mau terka ya sudahlah, jangan harap kuberitahu."
Berpikir sejenak Kun-gi berkata: "Na ma anak perempuan
biasanya pakai Hong, Lan, sian, Ho dan maca m2 lagi ....."
"Se mua itu bukan na maku," tukas nona Pui. "Aku belum habis
bicara, kau menimbrung saja."
"Baiklah, teruskan."
"Nona secantik kau ini, bak sekuntum bunga sehalus batu jade,
adalah ja mak kalau me miliki na ma yang indah pula."
Girang hati nona Pui karena dirinya dipuji matanya yang besar
ber-kedip2, katanya cekikikan: "Barusan sudah ada satu yang telah
kau sebut."
"Tunggu sebentar, apa yang kukatakan tadi"
Ling Kun-gi mengingat2 ke mba li, "tadi aku bilang bak bunga (Ji-
hoa) dan seperti jade (Ji-giok), apakah satu diantaranya?"
Nona Pui manggut2 sa mbil gigit bibir.
"Kudengar nona Tong me manggilmu adik Ping, cantik le mbut dan
lincah bak bunga dan seperti batu jade, lala ditambah satu huruf
Ping lagi ......... mendadak bersinar matanya, serunya tertawa: "Ji-
ping, betul tida k?"
Merah muka nona Pui, serunya kaget dan senang: "Bagaima na
kau bisa menebaknya?"
"Soalnya nama yang serasi dan cocok dengan huruf Ping hanya
huruf Ji saja.jadi kau bernama Pui Ji-ping. Nona Pui, sebetulnya kau
mau ke mana?" tanya Kun-gi.
"He, kau tida k me manggilku Piaumoay lagi?"
"Aku bicara dengan sungguh2."
"Me mangnya me manggil Piaumoay lantas tida k sungguh2?"
katanya sedih, matapun merah dan ha mpir meneteskan air mata.
sepatah kata salah diucapkan menimbulkan salah paham orang,
sudah tentu Kun-gi jadi gugup, lekas dia berkata sambil unjuk tawa:
"Tanpa sengaja kata2ku menyinggung perasaanmu, kenapa lantas
keki" Kutanya kau mau ke mana, kan berma ksud ba ik juga?"
"Peduli kan aku mau pergi ke mana?"
"Tong-lohujin sudah berpesan,
aku disuruh me ngantarmu pulang." Monyong mulut Pui Ji-ping, jengeknya: "Memangnya pesan
mertua, sudah tentu kau harus me matuhinya."
"Apa katamu?" seru Kun-gi me lenggong bingung.
"Tida k apa2," ucap Pui Ji-ping dengan cekikikan pula, "anggaplah kau tidak mendengar"
"Jadi kau mau pulang t idak?" -
"Se mula ingin menengok ibu, tapi se karang tidak. Aku ingin ikut
kau." "Ikut a ku" Mana boleh"
"Kenapa tidak boleh" Kau menguntit si mata satu menyelidiki
barang yang dibawanya, aku juga mau ikut."
"Tida k boleh, nona belia seperti kau tidak boleh ke luyuran di
Kangouw yang penuh bahaya, dua kali kejadian telah kau ala mi
me mangnya belum kapok."
"Soalnya aku tidak siaga, anak buah Tong citya juga kurobohkan
semua." "Piaumoay yang baik, kau pulang saja, kalau kau anggap aku
sebagai Piauko, kau harus turut nasihatku."
"Kenapa aku tidak boleh ikut kau?"
"Kau anak pere mpuan .... "
"Aku tahu kau sudah punya si dia, mana aku ini kau taruh dalam
hati" Mertua me mang lebih sayang kepada me nantu" Kau takut
berjalan dengan aku, kuatir diketahui oleh dia?"
"Kau ini me mbua l apa?" seru Kun-gi gugup dan ma lu.
Pui Ji-ping tertawa geli, katanya: "Memang-nya salah" Kenapa
aku tidak boleh ikut" Begini saja, besok aku akan menya mar jadi
laki2, kan beres?" Apa boleh buat, Kun-gi ma nggut2.
Pui Ji-ping berjingkra k senang, serunya: "Toa--piauko, kau
sungguh baik,"
Setiba di Siu sian, Pui Ji-ping lantas beli paka ian laki2, topi,
sepatu dan segala keperluan.
Sepanjang jalan Kun-gi tidak mene mukan tanda2 rahasia yang
ditinggalkan anak murid Kim Kay-thay, agaknya si mata satu tidak
lewat jalan ini. Ma ka dia bermaksud lekas2 balik ke Thay-ho saja.
Hari itu juga mereka meninggalkan Siu-s ian, belum jauh mere ka
meninggalkan kota, di sebelah depan me mbentang hutan yang
lebat. Pui Ji-ping permisi masuk ke hutan untuk ganti paka ian, Ling
Kun-gi terpaksa menunggu di luar hutan sambil duduk di sebuah
batu besar. Dengan cepat Pui Ji-ping sudah keluar pula dengan
berdandan laki2, mengenakan jubah hijau, sepatu kulit, tangan
me megang kipas, sambil berjalan keluar, katanya dengan tertawa
lucu: "Toa-piauko, mirip tidak?"
Kun-gi geli, katanya tertawa: "Ya,
sedikit mirip. cuma perawakanmu pendek, terlalu muda lagi."
"Asal mirip saja, kau Toako, aku Siaute." ujar Pui Ji-ping sambil
mengikik. Kemudian Pui Ji-ping berkata pula: "Sejak kini a ku me manggilmu
Toako, dan kau panggil a ku adik,"
"Ya, kau harus she Ling juga," kata Kun-gi, "maka kau harus
bernama Ling Kun ...."
Tiba2 terbeliak mata Pui Ji-ping serunya menya mbung: "Ling
Kun-ping saja, baik tidak?"
"Baik," Kun-gi manggut2, " Kun-ping sungguh bagus na ma ini."
Pui Ji-ping bertola k pinggang, katanya dengan tertawa: "Ya,
sejak kini aku berna ma Ling Kun-ping."
Magrib hari itu mereka tiba di Cing yang-koan. Pada sudut
sebuah tembok di luar kota Kun-gi mene mukan tiga tanda segi t iga
dari goresan arang, di bawahnya lagi sebelah kanan ada satu
lingkaran pula, itulah tanda2 rahasia Kim Kay-thay yang
mengadakan kontak dengan dirinya.
Sejenak Kun-gi melongo mengawasi tanda itu, batinnya: "Kiranya
Kim-loyacu datang sendiri."
Ternyata ketiga tanda itu mengga mbarkan hiolo (berka ki tiga),
lingkaran sebelah kanan me mberitahu bahwa dia datang dari kiri,
me mbe lok ke kanan, ada sebuah tanda kepala panah pula
menuding ke selatan, itu berarti jurusannya ke selatan-
Duduk dipunggung kudanya Kun-gi menerawang keadaan dan
merancang perjalanan selanjutnya. Kim-loyacu datang dari Thiat-ho,
letaknya kebetulan di barat laut Cing yang-koan, kalau me mbelok ke
kanan jurusannya jadi ke selatan, itulah jalan besar yang menuju ke
Liok-an, jadi sekarang Kim-loyacu menuju ke arah Liok-an-
Pui Ji-ping keheranan melihat tingkah Ling Kun-gi, katanya:
"Toako, soal apa yang sedang kau pikir?"
Kun-gi tersentak sadar,
sahutnya: "o, tidak apa2, mari berangkat."
Cin-yang-koan adalah sebuah kota yang cukup rama i, hari sudah
menje lang petang, tiba saatnva cari hotel untuk bermala m, tapi
Kun-gi keprak kuda me mbedalnya kejalan besar. Terpaksa Pui Ji-
ping larikan kudanya pula, tanyanya "Toako, apa yang kau
temukan?" "Kute mukan tanda rahasia Kim-loyacu, dia sudah menyusul
ke mari." "Siapakah Kim-loyacu?"
"Kim-loyacu adalah pejabat Ciangbun murid2 preman Siau lim-
pay." "Jadi kau sudah berjanji mengadakan kontak dengan dia?"
Kun-gi me ngangguk. Tanpa bicara mereka terus mene mpuh
perjalanan cepat sejauh 40-an li, setiap tiba di simpang ja lan selalu
mereka mene mukan tanda rahasia Kim-loyacu, setelah petang
mereka t iba di Ing-ho.
Ing-ho adalah sebuah dukuh kecil, umumnya orang desa biasa
tidur lebih dini, jangankan men- dapatkan te mpat untuk bermala m,
mencari warung makanpun sukar.
Terpaksa Kun-gi menghentikan kudanya di tepi jalan, mereka
duduk istirahat, Pui Ji-ping ke luarkan bekal makanan yang
dibawakan oleh keluarga Tong, me mang perut sudah lapar, dengan
lahap mereka ganyang habis dua bungkus nasi dan lauk yang lezat.
"Sudah kenyang, mari berangkat," kata Ji-ping sa mbil berdiri, "di luar In-hiap-kip di depan sana ada sebuah rumah perabuan ke luarga
ong yang besar sekali, kita istirahat di sana saja."
"Dari mana kau tahu?" tanya Ling Kun-gi.
"Aku sering lewat jalan ini, sudah tentu apal keadaan sekeliling
sini." Mereka mene mpuh perjalanan 20-an li lagi batu sampai di In-
hiap-kip. Waktu itu sudah kentonganpertama, mereka langsung
menuju ke arah barat kota, di sana memang terdapat sebuah rumah
perabuan marga ong.
Mereka tambat kuda di ujung te mbok sana, lalu melompat ke
dalam lewat pagar tembok, setelah menyusur pekarangan dan
sampai di ruang tengah. Biara marga ong ini agaknya dari ke luarga
besar dan bangsawan, keadaan di sini terawat bersih dan teratur.
Kun-gi me milih tempat sebelah kanan, duduk di lantai terus mulai
samadi, betapapun Pui Ji-ping adalah anak pere mpuan, nyalinya
rada kecil, dia duduk de kat Kun- gi.
Karena iseng Pui Ji-ping ajak bicara terus untuk menghilangkan
lelah, sebaliknya Ling Kun-gi merasa sebal, katanya: "Adik jangan
banyak bicara, lekaslah samadi menge mbalikan semangat dan
tenaga dalam dua hari ini mungkin bisa menyusul si mata satu lagi,
gerak-gerik mere ka begini misterius, ingin kutahu barang apa yang
mereka bawa itu?"
"Lho si mata satu kan sudah me ningga l?"
"Tida k. yang mati itu picak mata kiri, yang sekarang ini picak
mata kanannya."
Pui Ji-ping ketarik, katanya: "Kenapa mereka selalu menugaskan
si mata satu untuk tugas pengantar barang ini" Kuduga pasti ada
rahasia apa2 di ba lik persoalan ini."
Kun-gi tidak bersuara, selincah kucing tiba2 dia me lompat berdiri,
desisnya lirih: "Ssst, ada orang datang, lekas sembunyi."
Hakikatnya Pui Ji-ping t idak dengar apa2, Baru dia akan tanya,
mendadak Kun-gi menghardik tertahan: " Lekas naik." Lengan Ji-
ping dipegang terus dibawa lompat ke atas dan hinggap di belandar,
katanya lirih: "Le kas se mbunyi di belakang pigura."
Lengan dipegang orang, terasa badan mumbul seringan asap.
tahu2 sudah menyelinap ke bela kang pigura besar. Kejadian terlalu
mendadak dan berlangsung a mat cepat, jantung ji-ping sa mpa i
berdetak keras.
Belum la ma mereka sembunyi di be lakang pigura, betul juga di
luar pekarangan sudah terdengar suara percakapan orang dan
langkahnya yang mendatangi. Terdengar seorang berkata dengan
suara serak: "Silakan Siau-heng" Rupanya setiba di ruang tengah
mereka sa ling me mpersilakan masuk lebih dulu.
Maka terdengar pula suara tawa lantang, seorang lagi berkata:
"Un-jiko kenapa sungkan2 padaku." Lenyap suaranya, tampak
muncul dua orang berjajar masuk ke dala m.
Betapapun tempat pigura sempit, terpaksa nona Pui harus
mende ka m dan bersentuhan badan dengan Ling Kun-gi, baru
pertama kali ini dala m hidupnya berada dala m pelukan laki2. Kedua
orang di bawah sudah de kat, maka dia tidak berani berseru
sedikitpun. Yang terang jantungnya berdebur seperti omba k
menga muk. pikirannya melayang2 entah ke mana.
Walau mencium bau harum dan bau badan anak perawan yang
me mabukkan, tapi perhatian Ling Kun-gi tumplek ke bawah pada
dua orang yang baru datang, maka pikirannya tidak menjadi
linglung. Mala m gelap. tapi dia dapat melihat jelas kedua orang di bawah,
yang di sebelah kiri kira2 berusia 50-an, mengenakan jubah panjang
warna hijau kebiru2an, mengenakan topi beludru warna hita m,
sepatunya berlapis kulit tebal, lima jaiur jenggot hitam menjuntai
turun menghiasi dadanya. orang di sebelah kanan berpaka ian
panjang warna kuning kela m, mengenakan ikat pinggang sutera
merah, wajahnya kereng cerah, tulang pipinya menonjol, sudah
cukup tua juga, perawakannya agak pendek. orang kedua ini pernah
dilihat oleh Ling Kun- gi, dia adalah pa man kedua nona Un Hoan-
kun, yaitu Un It-kiau dari Ling-la m.
Tiba2 didengarnya Un It-kiau bersuara heran, katanya dengan
suara serak: "Tiada orang di sini, kenapa diluar ada dua e kor kuda?"
Lalu di sa mpingnya tertawa lebar, katanya: " Keluarga ong di In-


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hian-kip ini sebetulnya adalah keluarga bangsawan suku Bong,
rumah abu ini adalah te mpat umum, mena mbat kuda di luar adalah
biasa, kenapa Un-jiko curiga segala?"
Un It kiau manggut2. Dari belakang kedua orang melangkah
masuk pula seorang pe muda berpakaian warna kuning, Ling Kun-gi
juga mengenalnya, dia adalah Kim-hoan-liok-long Siau Kijing,
me lihat pe muda ini Ling Kun-gi lantas menduga bahwa orang tua,
yang mengiringi Un It-kiau pasti bapaknya, yaitu Kim- hoan-s iang-
coat Siau Hong- kang. Di be lakang siau Ki jing ikut pula dua
pembantu rumah tangganya, saat mana lilin sudah dinyalakan di
dalam ruangan, keadaan semula gelap kini menjadi terang
benderang. . Kun-gi berdua yang mende ka m di belakang pigura t idak berani
mengintip keluar pula.
Terdengar laki2 wajah merah itu berkata, "Bukankah Un jiko juga
mengundang Thong Thian-ong, kapan dia tiba?"
"Ya, sebelum Siaute ke mari sudah kusuruh mengirim surat
kepada Tong Thian-ong, dia sudah setuju untuk me mbantu, dua
hari yang lalu ada orang pernah melihat dia muncul di sekitar Poh-
yang." "Aneh, kalau dua hari yang lalu dia sudah tiba di Poh-yang,
sepantasnya dia sudah mengadakan kontak dengan kita," kata si
muka merah. Kun-gi me mbatin: "Thong Thian-ong yang mereka bicarakan ini
mungkin adalah Thong-pi--thian-ong" "
"siaute juga merasa heran, sepanjang jalan ini kita sudah
me mberikan tanda2 petunjuk. seharusnya dia sudah me lihatnya."
Sambil mengelus jenggot, laki2 muka merah berkata pula:
"Watak Thong Thian-ong terlalu berangasan, mungkin terjadi apa2
di tengah jalan?"
"Wataknya me mang kasar, tapi bekal kepan-daiannya cukup
tinggi, jarang ada tandingannya di Bu-lim, mana mungkin terjadi
apa2 atas dirinya?" kata Un It-kiau tertawa.
"Sukar dikatakan," kata laki2 muka merah, "Sepanjang jalan ini kutemukan Kim Ting Kim Kay-thay, itu ketua murid2 preman Siau-lim-pay juga telah datang ke Thay-ho, demikian pula Lo-sa m dan
Lo-cit dari ke luarga Tong di Sujwan juga ada di se kitar sini ."
"Betul, kecuali itu ingin kuberitahukan kepada Siau-heng bahwa
masih ada pula beberapa ke lompok orang yang patut diperhatikan-"
"Siapakah yang Unjiko ma ksudkan?"
" Ke lompok pertama adalah dua orang majikan dan
pembantunya, majikannya berusia 25-an berjubah biru, mirip anak
orang berada, pembantunya me makai lengan besi, ilmu silatnya
tinggi, sejak dari Kay-hong kedua orang ini terus menguntit ke mari."
Laki2 muka merah ta mpak prihatin, tanyanya: "Adakah orang
yang pernah menyaksikan kepandaian pe mbantunya itu"
"Anak sendiri pernah menyaksikan," t imbrung Siau Ki-jing.
" Kiranya dia benar adalah Kia m-hoan-siang coat (ahli pedang
dan gelang) Siau Hong-kang," de mikian batin Ling Kun-gi.
"Kau sendiri melihat dia bergebrak?" tanya si muka merah.
Siau Ki-jing menerangkan: "Beberapa hari yang lalu, anak melihat
dia merobohkan murid pre man Siau-lim hanya dalam sekali gebrak
saja." "Kepandaian murid2 Siau-lim ada yang kuat dan yang le mah,
kalau paderi agak lumayan, murid2 pre man kebanyakan adalab
anak2 orang berada."
"Kelompok kedua adalah seorang muda berusia likuran tahun,
bernama Ling Kun-gi, diapun menguntit sejak dari Kay-hong,
kadang muncul tiba2 lenyap. dia mengaku sebagai murid Hoan jiu
ji-lay, dari gerak-gerik dan kepandaiannya kelihatan me mang tida k
salah." Terbelalak mata Siau Hong-kang, katanya., "Hoan jiu-ji-lay juga
sudah terima murid."
"Kelompok ketiga muncul di se kitar Sha-cap--li-but, kelihatan
seperti keluarga pejabat, kabarnya majikannya orang perempuan,
tapi pengikutnya semua berkepandaian tinggi, gerak-geriknya juga
ma in sembunyi, sampa i sekarang Siaute masih men-cari2 jejak
mereka, anak buah yang bertugas menyelidiki ternyata tiada yang
ke mbali, se mua lenyap tanpa keruan paran."
Siau Hong- kang berpikir sejenak, katanya: "Unjiko tida k tahu
asal usul kelompok terakhir ini?"
"Laporan kudapat dari dua pembantuku di Sha-cap-li-but, hanya
begitu saja laporan mere ka," sahut Un It-kiau.
"Agaknya kerama ian baka l terjadi, dari beberapa kelompok itu,
kukira kita harus mengadakan kontak dengan pihak keluarga Tong
dari su-wan ......" sampai di sini dia termenung, lalu mena mbahkan:
"orang2 Siau - lim juga terjun ke dalam kancah kerama ian ini"
Mungkin ........."
"Trak." tiba2 terdengar suara seseorang melompati pagar tembok
dan turun di tengah pekarangan-
"Siapa?" bentak Un It- kiau sa mbil angkat kepala.
"Wanpwe akan keluar me lihatnya" ujar Kim--hoan-Liok-long Siau
Ki-jing. Dengan langkah lebar dia berlari keluar. Kejap lain tampa k
dia sudah kembali, di belakangnya mengint il seorang laki2 baju
abu2. "Un Lok." seru Un it- Kiau segera, "apa yang telah kau te mukan"
Laki2 baju abu2 yang berna ma Un Lok segera me mberi hormat,
katanya: "Lapor Ji-cengcu, disekitar ma-thau-kip. ha mba
mene mukan tanda rahasia tinggalan Thong-thian-ong."
"Ga mbar apa yang dia tingga lkan?" tanya Un It-kiau.
"Tanda gambar itu diukir pada sebatang pohon di pinggir jalan,
hambapernahmendengarpenje lasanJi-cengcu,ma ka
mengenalnya, kini hamba telah mengupas kulit pohon itu dan
kubawa pulang," dengan hati2 lalu dia keluarkan sekeping kulit
pohon- Menerima kulit pohon, hanya sekilas pandang air muka Un it-kiau
lantas berubah, katanya dengan terbelalak: "Di mana kau
mene mukan ga mbar ini?"
"Di sebuah persimpangan jalan di dekat Ma--thau-kip."
"Men jurus ke mana persimpangan jalan itu?"
"Simpang jalan itu menuju ke Sa m- kak si."
"Keterangan apa yang dibubuhkan pada tanda gambar ini?"
tanya Siau Hong-kang.
"Inilah tanda gawat bahwa dia mengikuti seseorang, mungkin
seorang musuh tangguh, dia me mberitahu kepadaku untuk segera
menyusulnya."
"Siaute sependapat dengan Siau-heng," kata Un it-kiau, segera
dia mengulap tangan kepada Un Lok. katanya: "Tunjukan jalannya"
Un Lok mengiakan, cepat dia berjalan pergi, -Un It-kiau dan Siau
Hong-kang lantas beranjak keluar. Cepat sekali rombongan mere ka
sudah pergi jauh.
"Mereka sudah pergi, mari turun," kata Pui Ji-ping. Setelah turun
di bawah dia mengebut pakaian me mbersihkan kotoran yang
me lekat di pakaiannya, katanya: "Toako, perlukah kita menguntit
mereka?" "Kita punya urusan sendiri, peduli dengan urusan mereka, lebih
baik istirahat, besok pagi mene mpuh perjalanan lagi."
Pui Ji-ping tidak banyak bicara pula, mereka ke mba li ke te mpat
semula, duduk samadi sampai pagi hari. Belum sinar surya
menongol keluar mereka sudah melanjutkan perjalanan-Jalan raya
ini langsung menuju ke Liok-an, di sepanjang jalan ini me mang ada
tanda peninggalan Kim Kay-thay, mereka terus bedal kuda sampa i
hari menjelang lohor baru tiba di Liok-an.
Diluar kota Liok-an Kun-gi mene mukan tanda peninggalan Kim
Kay-thay pula, arahnya seperti menuju ke sok-seng, maka mereka
makan ala kadarnya di luar kota terus menempuh perjalanan pula.
Sore hari sa mpai di Tho-sip. di sini mere ka tidak mene mukan tanda2
peninggalan Kim Kay-thay.
Pui Ji-ping mengusulkan untuk langsung ke Sok-seng, mungkin
Kim Kay-thay sudah menunggu di sana. Tapi la in pendapat Ling
Kun-gi, ka lau Kim Kay-thay pergi ke sok-seng pasti dia
meninggalkan tanda yang menjurus ke sana, di Tho-sip mereka
sudah tidak mene mukan tanda2 lagi, itu berarti kemungkinan Kim-
loyacu mene mukan apa2 di sini sehingga tida k se mpat
meninggalkan tanda2 dan tak mungkin menuju ke sok-seng.
"Lalu bagaimana menurut pendapat Toako?" tanya Pui Ji-ping.
"Kau kenal je las keadaan di sekitar sini?"
"Aku tahu, dari sini ke t imur menuju ke Jau--ouw, ke selatan ke
sok-seng, ke utara pergi ke Hoaji-kang, Thong- keh- kang, langsung
ke Hap-pui."
Tengah mereka bicara, tiba2 didengarnya suara tapal kuda
berdetak. suaranya ringan dan cepat. Waktu mereka berpaling,
tampak dari arah utara sana membedal lari seekor keledai,
dipunggung keledai bercokol seorang tua berbaju hijau dan celana
panjang kuning luntur, badan terbungkuk, mata terpejam, dia
biarkan saja keledainya lari sesukanya.
Sekilas Ling Kun-gi pandang orang tua itu tanpa me mperhatikan
lebih lanjut. Tak terduga pada saat dia me mandang orang, entah
sengaja atau tidak- orang tua itupun melirik sekejap ke arah
mereka. Betapa tajam pandangan mata Kun-gi, sekilas saja terasa
olehnya kedua biji mata yang melirik itu hanya sebelah kiri yang
bercahaya. Hanya mata kiri yang bercahaya, bukankah itu berarti
mata kanannya picak"
Mendadak tergerak hati Ling Kun-gi, dilihatnya orang tua itu
menuju ke Sok-seng, ma ka dia berkata kepada Pui Ji-ping: "Dik, hari
sudah petang, kita harus lekas masuk kota, kalau terla mbat pintu
kota mungkin ditutup." - Se mbari bicara dia me mberi kedipan mata
kepada Pui Ji-ping.
Ji-ping merasa heran, tapi dia tahu diri, tanyanya lirih: "Me mang
benar." Kendali dia tarik ke kiri sehingga kudanya jalan merendeng
lebih dekat dengan suara lebih lirih dia bertanya pula: "Siapakah
dia" Toa ko mengena lnya?"
"Kukira dia adalah orang yang ingin kita cari, si mata satu. cuma
betul atau tidak perlu dibuktikan-"
"Asal kita kuntit dia, nanti juga pasti ketahuan-" sembari bicara
mereka jalankan kuda pelan2 dari kejauhan mengunt it ke ledai itu
masuk ke kota. Hari sudah petang, banyak orang buru2 masuk kota, maka
suasana menjadi ramai. Berbeda dengan si mata satu kiri yang telah
ajal itu, sipicak kanan ini bergerak secara terang2an, dia berhenti di
depan warung bakmi, ia me lompat turun dan masuk dengan ter-
bungkuk2 Waktu itu me mang t iba saatnya makan mala m, setelah letih
mene mpuh perjalanan me mang perlu istirahat dan mena ngsel
perut, terutama orang yang berdandan seperti orang desa, adalah
jamak ka lau makan di warung kecil dengan tarip murah.
Melihat orang ma mpir di warung bakmi, Kun-gi berdua me masuki
warung arak di seberang jalan, letaknya kebetulan berhadapan-
Mereka me milih te mpat duduk ditepi jendela, dari sini mere ka dapat
mengawasi gerak-gerik orang diseberang.
Kun-gi me mesan makanan ala kadarnya, lalu dia berkata
setengah berbisik, "Dik, kau tunggu di sini dan a mati gera k-
geriknya, aku pergi sebentar."
"Toako ma u ke mana?" tanya Ji-ping.
"Tugasmu menjaga di bagian luar sini, aku Keh- hoa akan putar
ke belakang, kalau benar dia si picak kanan yang bertugas
mengantar barang, kemungkinan bisa merat lewat pintu belakang,
hal ini harus kita jaga sebelumnya. Kalau dia pergi lewat depan, kau
harus menguntitnya dan perhatikan ke mana atau di tempat mana
dia menginap. Di sini pula kita nanti bertemu."
Mendengar dirinya di beri tugas, riang hati Pui Ji-ping, katanya
tertawa: "Tugas seringan ini, Toako tak usah kuatir, pasti
kulaksanakan dengan ba ik,"
"Baiklah sekarang aku pergi," bergegas Kun--gi keluar menuju ke
pengkolan jalan sana, di belakang deretan rumah seberang sana
me mang terdapat sebuah lorong se mpit, cepat Kun-gi menyelinap
masuk dan menghitung ruma h ke lima, itulah pintu bela kang
warung bakmi di depan, setelah memperoleh te mpat yang gelap.
dia berdiri mepet tembok, matanya memperhatikan pintu bela kang
rumah ke lima itu.
Dengan sabar dia menunggu kira2 satu jam, betul juga dilihatnya
sesosok bayangan orang tiba2 menongol ke luar dari pintu bela kang
warung bak-mi itu, me lihat tiada bayangan orang, dengan langkah
buru2 dia berlari ke arah kiri sana.
Mata Kun-gi yang tajam dapat melihat bahwa bayangan orang itu
adalah laki2 tua berbaju hijau, punggung yang tadi bungkuk kini
sudah tegak. langkahnya ringan-
Dengan sigap seperti anjing pe lacak Kun-gi terus menguntit ke
mana laki2 tua itu pergi. Ternyata laki2 tua ini juga cukup cerdik
dan licin, agak la ma dia ber-lari2, mendadak dia menghentikan
langkah se mbari berpaling ke be lakang, betapa tangkas gerakan
Kun-gi, mana mungkin jejaknya dilihat olehnya"
Melihat tiada orang yang menguntit di be lakangnya, si tua baju
hijau ke mbali berlari ke depan, keluar dari jalan raya, dia
menyelinap ke jalan me lintang di sebe lah depan sana, langkahnya
tidak pernah berhenti, kecepatan sedang, arahnya ke selatan-Lama
kela maan dia menuju ke daerah sepi.
Tak la ma ke mudian dia sa mpa i di tempat pe mbarkaran genteng,
di sini dia berpaling pula, setelah longak- longok ke belakang,
dengan langkah cepat dia lewati tempat2 pe mba karan genteng yang
tersebar luas itu terus me masuki sebuah pekarangan yang dipagari
tembok pendek. Di depan pintu terdapat sepucuk pohon, dia
berjongkok menghitung setumpukan batu yang ada di bawah pohon
lalu me ngha mpiri pintu serta mengetuknya tiga kali.
Maka terdengarlah ada orang bertanya: "Mala m selarut ini,
siapakah yang menggedor pintu?"
Laki2 tua baju hijau unjuk tawa, sahutnya: "Belum ma la m, belum
ma la m, akulah Lo-to (bungkuk) yang me ngetuk pintu."
"Kau cari siapa?" tanya orang di dala m pintu.
"Mencari orang yang menumpuk batu di batu di bawah pohon-"
"Kau sudah menghitungnya?"
"Sudah, seluruhnya 18 biji, agaknya saudara kurang menumpuk
satu biji."
orang di dala m tidak bersuara, pelan2 daun pintu terbuka.
Tampak seorang laki2 tua yang mengikat kuncir rambutnya di atas
kepala, me mbawa pipa cangklong, menyambut keluar, katanya:
"sila kan duduk di da la m."
Si tua baju hijau tidak segera masuk, katanya mengerut kening:
"Kenapa kau tidak menyalakan la mpu di da la m?"
Laki2 tua bergelak tawa, katanya: "Saudara tidak bisa melihat
dengan jelas tidak menjadi soal, asal aku dapat menghitungnya
dengan baik saja."
Melihat kata2 rahasia yang ditanyakan terjawab seluruhnya, laki2
tua baju hijau tidak banyak bicara lagi. segera dia angkat langkah
masuk ke rumah.
Laki2 bergelung kuncir cepat menutup pintu, katanya sambil
berpaling: "Mana barangnya, boleh kau ke luarkan-"
Laki2 baju hijau merogoh kantong dan menge luarkan sebuah
buntalan kain kasar terus diangsurkan, lalu katanya: "Saudara tentu
sudah capai, ini-lah perintah dari atasan, malam ini saudara dilarang
menginap di dala m kota, kau harus segera mene mpuh perjalanan
pula."

Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tertegun laki2 baju hijau, katanya, "Aku sudah menunaikan
tugas ......."
"Pihak atas menghenda ki kau segera berangkat, maaf aku tidak
bisa menolongmu lagi," tiba2 tangan kanan dia ulur, tangannya
sudah me megang sebuah bumbung hitam, "sret" segulung cahaya
biru segera menyembur ke luar dari dala m bumbung melesat ke
dada laki2 baju hijau.
"Hah" terpentang mulut si laki2 baju hijau, tapi sebelum dia
menyadari apa yang terjadi, cahaya biru itu sudah nancap ke dala m
dadanya, badannya seketika terjengkang roboh.
Laki2 bergelung kuncir menyimpan ke mbali bumbung jarumnya,
katanya menyeringai sa mbil mengawasi mayat laki2 baju hijau :
"Pihak ataslah yang me mberi perintah, jangan kau sa lahkan aku
......" sampai di sini dia bicara, tampak kepala mayat laki2 baju hijau mengepulkan asap kuning, dengan cepat sekali jasadnya berubah,
ternyata yang disambitkan tadi adalah Hoa-hiat-sian-tong (bumbung
jarum pengluluh darah). Bergidik juga laki2 bergelung kuncir melihat
hasil karyanya sendiri, tiba2 terasa punggungnya kese mutan-
Pada saat itulah di belakangnya tahu2 sudah bertambah sesosok
bayangan orang, tangan merogoh kantongnya dan mengeluarkan
buntalan kain biru tadi.
orang ini adalah Ling Kun-gi yang menguntit laki2 tua baju hijau.
Setelah menutuk Hiat-to laki2 bergelung kuncir, segera dia buka
buntalan kain biru itu, di da la mnya
berisi kotak persegi. Setelah kotak dibuka, di da la mnya dilapisi
kain saten warna kuning, di tengah2 terjahit sebutir mutiara sebesar
kacang dengan benang merah.
Walau gelap di dala m ruma h, tapi Kun-gi dapat melihat jelas, di
tengah2 mutiara terdapat ukiran huruf "Ling". Ternyata cin-cu-ling adanya. Mutiara ini mirip dengan yang pernah dilihatnya di tempat
Kim Kay-thay itu, "Kemanakah mereka hendak mengantar cin-cu-
ling ini?" de mikian Ling Kun-gi ber-tanya2 dala m hati.
Sejenak dia termenung, lalu menutup dan me mbungkus pula cin-
cu-ling itu seperti se mula dan dike mba likan ke kantong baju laki2
bergelung kuncir, sebelum berlalu dia me mbuka tutukan tadi dan
cepat dia menyelinap sembunyi di te mpat gelap.
Laki2 tua bergelung kuncir menguap sekali lalu menggeliat
badan, sebentar dia kucek2 mata, lalu menjura ke arah tanah,
katanya dengan tertawa getir: "Saudara mati penasaran, Tapi aku
bekerja menjalankan perintah, harap saudara tidak menyalahkan
aku." Dia sangka arwah laki2 baju hijau itu tidak menerima
ke matiannya, barusan dirinya telah ditenung sebentar, maka setelah
bicara bergegas dia berlari keluar sipat kuping.
Kun-gi mengunt itnya dari kejauhan- Laki2 tua bergelung kuncir di
kepala itu berjalan cepat sekali, tak lama kemudian dia sa mpai pada
sebuah tempat pemujaan di pinggir jalan yang dibangun
menyerupai gundukan tanah, tempat pemujaan ini bukan kuil bukan
biara, tapi hanyalah sebuah barak yang beratap rumput alang2
kering, bentuknya kecil dan pendek. di dalamnya dipuja dewi bumi
suami-isteri, tanpa meja, hanya terdapat sebuah hiolo, setiap orang
yang sembahyang menancapkan dupa di sana, keadaannya amat
sederhana. Dengan langkah ter-gopoh2 laki2 itu me masuki barak berdinding
tanah liat itu, sejenak dia celingukan, me lihat tiada orang lain, tiba2
dia mencincing lengan baju terus ulur tangan meraba ke dala m
hiolo, akhirnya dia meraba keluar sebuah bumbung ba mbu. Setelah
me mbersihkan abu di kedua tangannya, dia membuka sumbat
bumbung dan menuang keluar gulungan secarik kertas.
Pada saat itulah Kun-gi muncul di bela kangnya pula, dengan
sekali kebas dia tutuk jalan darah penidur orang, lalu ambil
gulungan kertas itu serta merentangnya. Tampak di atas kertas ada
tulisan yang berbunyi: "Besok sebelum matahari terbenam, antarkan
kepada seorang yang membe li lima blok ka in katun di toko kain
Tek-bong di kota Thung-seng, tak usah bicara, segera
mengundurkan diri saja."
Kun-gi menggulung pula kertas itu, lalu dike mbalikan ke tangan
si orang tua, kembali ia mengebas, me mbuka Hiat-to orang. Laki2
tua bergelung kuncir bcrbangkis sekali, cepat dia masukkan
gulungan kertas itu ke dala m baju, seenaknya saja dia buang
bumbung ba mbu itu ke sema k rumput di luar pintu, dengan langkah
cepat dia mene mpuh perjalanan lagi.
Kejadian ini kira2 makan waktu setengah jam, cepat2 Kun-gi
ke mbali ke warung arak. ma kanan yang dipesannya tadi sudah
dingin se mua. Untung saat itu keadaan warung ramai dikunjungi
orang, yang hendak mengisi perut, orang mengira Pui Ji--ping
sedang menunggu seseorang, maka tiada yang me mperhatikan-
Melihat Kun-gi ke mbali, Pui Ji-ping tertawa senang, cepat dia
menyongsong sa mbil bertanya: "Toako, kenapa pergi begini la ma?"
Melihat hidangan se meja penuh belum disentuh sedikitpun,
timbul rasa prihatin Ling Kun-gi, katanya: "Dik, kenapa kau tidak
makan dulu?"
"Toako ada urusan, sudah tentu aku harus menunggumu untuk
makan bersa ma"
Ji-ping menyuguh secangkir teh kepada Kun-gi, katanya:
"Bagaimana urusannya Toako" Kau pergi begini la ma, aku tida k
me lihat dia ke luar."
Kun-gi minum seteguk, katanya, "Sesuai dugaan, dia merat
daripintu bela kang. Hasil yang kucapai a mat me muaskan-" Lalu ia
ceritakan pengalamannya secara ringkas. Heran dan kaget Pui Ji-
ping, katanya lirih:
"orang yang me mbeli lima blok kain katun di toko Tek- hong, di
kota Thung-seng"Jadi sudah sa mpa i te mpat tujuan terakhir?"
"Belum bisa diraba, kalau tidak pindah tangan lagi, itu berarti
me mang sudah mencapa i te mpat tujuan terakhir."
"Lalu bagaima na tindakan kita selanjutnya, Toako?" tanya Ji-
ping. "Sa mpai besok sore, waktunya masih cukup panjang, aku akan
cari Kim-loyacu untuk berunding dulu dengan dia."
"Tapi di Tho-sip kita tidak mene mukan tanda2 yang dia
tinggalkan-"
"Ya, tapi di San-la m-koan a ku me lihat tanda2 Kim-loyacu," alis
Kun-gi berkerut, katanya mene-pekur: "Jelas masih ada tanda2
rahasia itu di San--la m-koan, tapi setiba di Tho-s ip tanda2 itu
lenyap, mungkinkah dia mengala mi sesuatu di se kitar Sa m--la m-
Koan.. Tengah mereka bicara, pelayan sudah antar kembali makanan
pesanan mereka. Mereka makan cepat2, setelah bayar rekening
terus keluar, dengan menuntun kuda mereka berjalan kaki cukup
jauh dijalan raya. Dalam hati Ling Kun-gi menimang2, semula
banyak orang menguntit si mata satu, tapi di Sok-seng tiada
seorangpun kaum persilatan yang kelihatan, sementara sipicak ini
tahu2 muncul dari arah Hoa-ji-kang. datang dari utara, agaknya
komplotan cin-cu-ling tahu bahwa mereka dibuntuti, entah dengan
cara apa, semua orang yang menguntit itu satu persatu dipancing
ke arah la in, De mikian pula Kim-loyacu tiba2 putus hubungan,
ke mungkinan juga terkena muslihat mereka. Maka besar tekad Kun-
untuk selekasnya menyusul ke Sa m-La m Koan.
Tengah berjalan, seorang yang berdandan pelayan hotel
mengadang mereka sa mbil munduk2, katanya tertawa: "Kongcu
berdua apa cari penginapan, hotel ka mi serba bersih dan nya man
teduh, service tanggung memuaskan, kuda kalian boleh serahkan
kepada ha mba."
Waktu Kun-gi angkat kepala, dilihatnya di depan sana me mang
ada sebuah hotel sok-seng, maka dia berpaling, katanya: "Dik, biar
kita menginap saja se mala m di sini."
Panas muka Pui Ji-ping, dia mengia kan sa mbil ma nggut sekali.
Segera Kun-gi serahkan kudanya, lalu mendahului melangkah
masuk. Pelayan lain segera datang menyambut serta antar mereka
me milih ka mar, akhirnya mereka me milih sebuah ka mar besar yang
terdiri dua ruangan berdampingan, masing2 ada sebuah ranjang,
jadi mereka t idur di dua ka mar terpisah.
Menjelang kentongan kedua Kun-gi siuman dari se madi, dia
pasang kuping, tiada suara apa2 di kamar Pui Ji-ping kecuali deru
pernapasannya yang teratur, terang si nona sudah tidur nyenyak.
Pelan2 dia berdiri me mbuka jendela terus melompat keluar, dia
tutup pula jendelanya dari luar, terus meloncat ke wuwungan
rumah. Dengan menge mbangkan Ginkang dia meluncur dengan
kecepatan luar biasa, hanya setanakan nasi dia sudah tiba di Tho-
sip. dari sini ke San-la m-koan dia terus me meriksa dengan teliti,
namun tiada tanda2 apapun yang dia temukan, tapi pada sudut
sebuah tembok di San-la m-koan masih ada tanda peninggalan Kim-
loyacu, jelas arahnya menuju ke Tho-sip. Ini me mbuktikan bahwa
Kim-loyacu sudah meninggalkan San- la m- koan, tapi tujuannya
bukan ke Tho-sip. Lalu ke mana dia" Tiba2 tergerak pikirannya:
"Sipicak datang dari Hoaji-kang yang letaknya di sebelah utara Tho-
sip. terang mereka sengaja dipancing ke jurusan lain oleh kawan2 si
picak." Maka dia menuju ke utara, pada setiap persimpangan jalan dia
mengadakan pene litian-Tapi dari Kang-keh-tia m, Han-siau-tia m,
Hok-ma-tia m sa mpai Thong-keh-kang, sejauh puluhan li dia terus
mengadakan pe meriksaan tanpa menemukan apa2, se-olah2 Kim-
loyacu tak pernah datang ketempat2 ini.
Dia tahu Kim-loyacu sudah banyak pengalaman dan
berpengetahuan luas, kalau dia sudah me-ningga lkan tanda2 di San-
la m-koan, umpa ma ter
Jilid 6 Hala man 5/6 Hilang
Keluar dari hutan, mereka naik kuda mene mpuh perjalanan pula.
Lewat lohor baru mereka tiba di Thong-sengJi-ping apal keadaan
kota ini, ma ka dia menunjuk ja lan, setelah membelok kejalan raya
sebelah timur sana dia menuding ke depan: "Toako, waktu masih
pagi, marilah istirahat di restoran itu?"
"Baik, rumah
makan berloteng itu ternyata cukup besar
bangunannya."
"Te mpo hari bersa ma Piauci ka mi menyamar laki2 dan pernah
me lancong ke mari. Ketika itu In-congkoan juga naik ke loteng
minum teh, tapi dia t idak mengenali ka mi lagi."
"Siapakah In-congkoan?" tanya Kun-gi.
"In-congkoan berna ma In Thian-lok, kepala keluarga pa man,
katanya berilmu silat tinggi."
Waktu itu mereka sudah tiba di depan restoran, pelayan
menya mbut mereka ke loteng. ji-ping lantas menuding meja dekat
jendela: "Te mpo hari ka mi duduk di meja itu."
Setelah Kun-gi duduk. waktu dia angkat kepala, dilihatnya di
seberang jalan sana adalah sebuah toko ka in "LEK HONG".
"Kebetulan kau mencari te mpat di sini," katanya tertawa.
"Te mpo hari ka mi berbelanja juga di toka kain di depan itu,
ma la mnya kami jalan2 melihat kerama ian kota," kata Ji-ping.
"Toako, jalanan di sini aku lebih apal, nanti biar aku yang menguntit
orang yang beli lima blok ka in itu. Kau tunggu saja di sini." Ling
Kun-gi manggut2 menyetujui usulnya.
Pada saat itulah, muncul seorang dari anak tangga, dia
mengenakan topi kulit berbulu, me manggul sebuah kotak kayu
warna merah, kumisnya panjang, usianya belum 50, dandanannya
mirip penge mbara, tapi juga seperti pedagang perhiasan-.
Matanya menjelajah seke lilingnya terus mengha mpiri meja di
sebelah kanan Ling Kun-gi yang berdekatan dengan jendela, peti
kayu dia letakan di atas meja, sambil me me lint ir kumis dia duduk
me mandang ke arah toko kain di depan sana. Pelayan datang
me layani pesanannya.
Sejak orang ini masuk Kun-gi sudah lantas me mperhatikan, ma ka
dia berbisik kepada Pui Ji--ping, "Sejak kini jangan bicara soal itu
pula." Ji-ping melengak. dia berpaling, namun yang dilihat hanya
bayangan punggung orang, segera ia bertanya sambil mende katkan
tubuh: "Siapa dia?"
Kun-gi menggeleng, lalu dengan ilmu mengirim be lombang suara
dia berkata, "Nanti kujelaskan."
Selanjutnya mereka bergurau dan bicara panjang lebar mengenai
ini itu sa mbil me mperhatikan pria bertopi di sebelah.
Menjelang sore, terdengar suara derap kaki kuda yang ra mai
mendatang dari kejauhan, tampak lima ekor kuda berjalan ke arah
sini. orang yang duduk di kuda paling depan berperawakan besar,
alis tebal mata cekung, wajahnya kelabu, berpakaian jubah biru,
iapun nengenakan topi kecil berbulu burung, kumis di atas bibirnya
terawat baik dan rapi, wajahnya kereng berwibawa, betapa gagah
dia duduk di atas kudanya.
Di belakangnya adalah orang2 yang berpakaian serba ketat,
golok tergantung di pinggang masing2, kelihatan angker dan
bersemangat barisan lima kuda ini. orang2 yang berlalu lalang sama
minggir me mberi jalan-
Melihat la ki2 muka ke labu yang bercokol di punggung kuda ini,
tak terasa ber-gerak2 bibir Pui Ji-ping, dilihatnya laki2 muka ke labu
itu mendahului mengha mpiri toko kain Te k-heng dan berhenti.
Empat orang pengikutnya ter-sipu2 turun, seorang pegang kendali,
seorang bantu dia me lompat turun, dua orang yang lain melangkah
ke dala m toko sebagai pembuka jalan-Jelas toko kain Tek-hang hari
ini kedatangan tamu yang akan me mborong dagangannya.
Maka ributlah keadaan toko ka in itu, pelayan sibuk melayani,
pemilik toko bersa ma tuan kasir keluar menya mbut. Sudah tentu
Kun-gi dan Ji--ping me nyaksikan se mua ini dengan jelas dari
tempatnya yang tinggi di atas loteng.
Setelah laki2 muka kelabu duduk. seorang pe layan toko
menyuguhkan air teh. Tanpa sungkan2 si muka kelabu angkat
cangkir dan minum seteguk. lalu berbicara kepada tuan kasir, tuan
kasir tampak munduk2 sa mbil tertawa lebar seperti mengiakan,
cepat dia berpesan apa2 kepada pelayan di sampingnya. Beberapa
pelayan toko segera bekerja penuh semangat dan sibuk seka li,
mereka me mbawa beberapa contoh kain sutera ke hadapan si muka
kelabu. Dengan seksama laki2 muka kelabu me milih, lalu menuding
beberapa di antaranya, barang yang terpilih itu segera di kumpulkan
di meja tersendiri. Kemba li la ki2 muka ke labu berkata kepada tuan
kasir seperti ingin me mbeli ka in cora k lain- Tuan kasir munduk2 lagi,
dia pimpin beberapa pelayan
me mbuka almari dan menge luarkan lima blok kain katun warna
hijau pupus, pelayan toko langsung membawanya keluar dan
diserahkan anak buah laki2 muka kelabu, lalu di kat di punggung
kuda. Melihat lima blok kain katun hijau pupus ini, hampir saja Pui Ji-
ping berteriak kaget.
Laki2 bertopi di meja sebelah segera merogoh sa ku me mbayar
uang teh terus berlari turun loteng sa mbil me manggul peti kayunya.
Melihat orang pergi ter-gesa2, Ji-ping bertanya, "Toako, siapakah
dia?" Kun-gi pandang sekelilingnya baru menerangkan dengan suara
rendah: "Dia adalah laki2 tua bergelung kuncir yang mengantar cin-
cu-ling itu, baru hari ini dia me makai topi."
"dia turun ter-gesa2, jadi mau menya mpaikan barang itu?"
"Lima blok ka in katun hijau pupus sudah di kat di punggung
kuda, itu tanda yang sudah jelas, sudah tentu dia harus lekas2


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengantarkan barangnya."
Sedang mereka bicara, tampak laki2 bertopi
itu sudah menyeberang jalan langsung menuju ke toko ka in itu.
Seorang pelayan segera menyambutnya, maksudnya supaya dia
tidak serampangan masuk toko yang sedang sibuk melayani pe mbeli
besar. Laki2 bertopi manggut2 minta maaf, dia menuding laki2
muka kelabu di dala m toko serta mengucapkan beberapa patah
kata, seperti mengatakan mau menyampa ikan sesuatu barang
padanya. Pelayan manggut2 serta me mpersila kan dia masuk. Menjinjing
peti kayunya laki2 bertopi beranjak ke dala m, langsung dia
mende kati laki2 muka ke labu dan me mberi hormat. Si muka ke labu
hanya sedikit mengangguk dan mengajukan beberapa patah
pertanyaan- Laki2 bertopi unjuk tawa lebar sambil me langkah maju,
peti kayu dia taruh di atas meja, ia mengeluarkan anak kunci dan
me mbuka petinya itu, dari da la m kotak dia keluarkan serenceng
kalung mutiara, tusuk kundai, ke mbang berlian, gelang dan lain2
maca m perhiasan, bersama dua buah kotak kecil berlapis kain,
sutera biru, satu persatu dia aturkan ke hadapan laki2 muka kelabu,
mulutnya tak berhenti menerangkan ini itu seperti penjual perhiasan
layaknya yang memuji barang dagangannya.Jadi Cin-cu-ling yang
dibawanya itu berada di dala m kotak itu.
Seenaknya saja laki2 muka kelabu me milih delapan maca m
perhiasan, sudah tentu kedua kotak itupun dipilihnya, lalu dari
lengan bajunya dia ke luarkan sele mbar uang kertas dan diserahkan
kepada laki2 tua bertopi itu.
Berseri girang laki bertopi, setelah terima uang kertas (sebangsa
cek) itu, dia bereskan dagangannya, sambil munduk2 dan berucap
terima kasih terus keluar.
Sementara itu pelayan sudah me mbuntal beberapa blok kain
sutera lainnya di atas kuda yang la in pula.
" Toa ko, hayo lekas berangkat," tiba2 ji-ping berkata gugup,
"Mau ke mana?" tanya Kun-gi heran-
"Lekaslah, kalau terla mbat, tidak ada kesempatan lagi," desak Ji-
ping. Cepat2 mereka turun terus larikan kuda keluar kota menuju ke
utara, di luar kota ji-ping me larikan kudanya terlebih kencang.
Semula Kun-gi kira dia hendak menguntit si tua bergelung kuncir
yang menyaru pedagang perhiasan, dari uang kertas yang dia
terima dari la ki muka kelabu itu pasti bisa dise lidiki siapa sebetulnya
laki2 muka ke labu itu. Tapi se karang dia baru menyadari bahwa
dugaannya ternyata meleset jauh. Ji-ping bukan mengejar atau
menguntit orang, tapi dia me mbedal kudanya seperti orang
kesetanan sampai lima li jauhnya, lalu me mbelok ke sebuah ja lan
kecil yang berlapis batu.
Waktu itu sudah magrib, sang surya hampir terbenam, burung2
berkicau ke mbali ke sarangnya, jauh di antara gunung gemunung di
antara lebatnya pepohonan sana tampak asap mengepul di
angkasa. Betapapun sabar hati Kun-gi, setelah heran sekian la manya, kini
tak tahan lagi, dia bedal kudanya me mburu ke depan serta
bertanya: "Dik, hendak ke mana kau sebetulnya?"
Ji-ping berpaling, sahutnya tertawa: " Kubawa kau mene mui
seorang." "Siapa dia?" tanya Kun-gi.
"Setelah berhadapan pasti kuperkenalkan."
"Orang ini ada hubungannya dengan tujuan perjalanan kita?"
Sambil me mecut kudanya Ji-ping me njawab: "Toako tak usah
banyak tanya, setelah tiba saatnya kau akan tahu sendiri."
Kuda mereka adalah milik keluarga Tong yang terpilih, ma ka
larinya kencang sekali, 20 li sudah mereka te mpuh, pegunungan di
sini berpanora ma indah permai, pohon Siong dan hutan bambu
me magari jalanan, ke indahan ala mnya laksana dala m impian-
Tiba2 tergeraklah hati Ling Kun-gi, dia ingat Kim Kay- thay
pernah menyinggung Liong-bin-san- ceng kepadanya, letaknya di
utara kota Thung-seng, mungkinkah Liong-bin san-ceng terletak
dipegunungan ini"
Sementara itu Pui Ji-ping di sebelah depan sudah tiba di kaki
gunung, mendadak dia belokkan kudanya ke dalam hutan serta
me mperla mbat larinya, beberapa jauhnya, dia lompat turun dengan
menuntun kuda ia menyelinap semak2 pepohonan yang lebih
dalam. Ling Kun-gi ikuti si nona, tanyanya: "Sudah sa mpai be lum?"
"Belum, kita se mbunyikan dulu kuda2 ini."
"Apa kita mau pergi ke Liong-bin-san-ceng?" tanya Kun-gi.
"Darimana Toako tahu?" ba las tanya Ji-ping kaget dan heran.
"Aku hanya menduga, gunung ini adalah Liong-bin-san (gunung
naga tidur) kecuali pergi ke Liong-bin-san-ceng, ke mana lagi?"
"Em," hanya itu suara yang keluar dari teng-gorokan J i-ping, dia
tetap menuntun kuda me masuki hutan. Akhirnya mereka mena mbat
kuda di hutan yang agak gelap dengan pepohonan lebat.
Berkata Kun-gi dengan nada serius: "Dik, me mang jarang orang2
Liong- bin-san-ceng bergerak di ka langan Kangouw, tapi kabarnya
kepandaian sang cengcu, cia m-liong Cu Bun-hoa a mat tinggi, iapun
pandai me mbangun berbagai alat perangkap. demikian pula racun
dan senjata rahasia, jangan kau se mbarangan ma in2 di sini."
"Toako t idak usah kuatir, kita tida k akan mengusik mere ka."
"Jadi siapa sebetulnya yang kau cari?"
"Toako ikuti saja diriku" Ji-ping tetap tidak mau menerangkan-
Terpaksa Kun-gi mengikut i ke ma na saja Ji-ping me mbawanya,
mereka mendaki bukit tandus di sebelah kiri, lalu menyusuri
selokan, lompat ke atas pematang dan tiba di sebuah te mpat yang
banyak pohon siong, tampak sebuah jalan besar yang dibangun dari
papan batu hijau menjurus lurus ke arah sebuah perkampungan,
agaknya letak perkampungan itu masih satu li jauhnya... Hari sudah
mulai gelap. dilihat dari kejauhan hanya kelihatan bayang2 gelap
yang bertutup genteng, itulah Liong-bin san-ceng adanya.
"Marilah kita turun," ajak Ji-ping, dia bawa Kun-gi menuruni
jalanan kecil dan berputar ke belakang gunung, mene mbus hutan,
tak lama ke mudian mereka sudah berada di kiri perka mpungan
"naga tidur." Pagar tembok yang tebal dan tinggi dari Liong-bin-sanceng sudah ta mpak jelas.
Ji-ping berhenti, dia menggape ke arah Kun-gi menyuruhnya
mende kat. "Ada apa dik ?" Kun-gi tanya.
Ji-ping menuding dinding, katanya: "Masuk dari sini, di balik
tembok ada sebuah jalan besar yang mengitari seluruh
perkampungan untuk masuk ke perka mpungan harus me lewati jalan
besar beralas batu hijau itu, maka penjagaan sepanjang jalan ini
amat ketat dan keras, seluruhnya ada delapan pos penjagaan,
setiap pos ada dua orang, ditambah seekor anjing pelacak yang
amat gala k. kalau kita masuk dari sini harus melewati pos perta ma
....." "Kita a kan masuk?" tanya Kun-gi.
"Sudah tentu, buat apa sejauh ini kita ke mari."
"Untuk apa kita masuk ke sana ?"
"Untuk apa kau tidak usah tahu," kata Ji-ping, "bila kita
me lompat naik ke atas tembok, kau harus menggunakan kecepatan
luar biasa untuk menutuk Hiat-to kedua orang yang berjaga dipos
pertama, kalau anjing datang, biar aku yang menghadapi, cepat kau
harus me mbebaskan pula tutukan Hiat-to kedua orang itu, tapi
jangan sampai mereka mengetahui jejakmu, dengan kecepatan
gerakanmu, se mbunyilah di te mpat gelap. di antara deretan rumah
di seberang."
"Bagaimana kau akan menghadapi anjing gala k itu?" tanya Kun-
gi. "Aku punya caraku sendiri," sahut Ji-ping, "be kerjalah menurut petunjukku, urusan lain kau tidak usah turut ca mpur."
Kun-gi bingung, ia termenung : "Kelihatannya dia apal sekali
mengenai seluk-beluk Liong-bin-san-ceng ini."
Ji-ping me liriknya, katanya tertawa: "Toako, apa yang sedang
kau pikir" Lekas masuk, kalau terlambat, nanti in-congkoan keburu
pulang." "Siapakah In-congkoan?" tanya Ling Kun-gi..
"In-congkoan adalah laki2 muka kelabu yang me mbeli lima blok
kain di toko Te k-hong itu, dia bernama In Thian-lok, Congkoan dari
Liong-bin-san-ceng ini."
"Kiranya kau kenal dia."
"Kalau tidak kenal, untuk apa kita ke mari?"
Dari kejauhan mereka sudah dengar derap kuda yang lari
kencang. "Mereka sudah kemba li," kata Ji-ping., ia tarik tangan Kun-gi
serta mena mbahkan: "Pagar te mbok ini ada tiga tombak tingginya,
kalau aku melompat setinggi itu mungkin mengeluarkan suara, kau
harus bantu menarikku."
Berdebur jantung Kun-gi me nggandeng tangan yang halus ini.
Dengan tangan bergandeng tangan mereka keluar hutan terus
menge mbangkan Ginkang berlari secepat terbang.
Setiba di ka ki te mbok. Kun-gi berseru lirih: "Naik" badan tanpa
jongkok, kaki tidak ke li-hatan menekuk, hanya kedua lengan saja
yang bergerak. sedikit ujung ka ki menutul, dengan ringan dia
me mbawa Ji-ping mela mbung ke atas seringan kapas dan hinggap
di atas pagar tembok.
Waktu dia melihat ke dalam, ada jalan lebarnya enam kaki. Tak
jauh di ka ki te mbok sana dua orang laki2 bersenjata golok
berseragam hijau tua sedang berdiri me mbela kangi mereka. Di
bawah mereka mendeka m seekor anjing galak sebesar anak sapi,
kelihatan a mat cerdas dan tangkas, agaknya lebih sukar dilayani
dari pada manusia.
Sebelum me lompat naik tadi Kun-gi sudah menje mput dua butir
kerikil, baru saya tapak kaki hinggap di atas tembok. dua butir batu
lantas me luncur ke arah kedua orang, sementara mulutnya berseru
lirih: "Lekas turun"
Tanpa ayal Ji-ping melompat turun- Belum kakinya hinggap di
tanah, anjing pelacak itu sudah melompat bangun, bulunya berdiri,
giginya menyeringai me mburu maju.
Begitu berdiri tegak Ji-ping lantas me mbentak tertahan:. "Jangan
menyalak, aku" mendengar suara Ji-ping, anjing ga lak itu
menurunkan ekor-nya, dengan langkah pelan dia mengha mpiri Ji-
ping serta meng-endus2 tangan Ji-ping, sikapnya ra mah dan
aleman- Pui Ji-ping juga ulur tangan menepuk kepalanya, cepat dia
me langkah ke depan, anjing itu mengikut di be lakangnya.
Kun-gi melongo, pikirnya:. "Mungkin iapun sa lah seorang dari
Liong-bin-san-ceng?"
Ji-ping me mbawa anjing itu ke tempat lain, Kun-gi lantas
me lompat turun sembari me mbebas-kan tutukan Hiat-to kedua
orang tadi, segera bayangan berkelebat, tahu2 sudah lenyap di balik
kegelapan di deretan rumah sana.
Terdengar derap kaki kuda yang datang semakin dekat, agaknya
sudah sampa i di depan perka mpungan-
Waktu Kun-gi ce lingukan, dilihatnya Ji-ping sudah berkelebat
datang pula, katanya lirih: "Toako, mari ikuti aku"
Banyak tanda pertanyaan dalam hati Kun-gi, tapi tak sempat
bertanya, terpaksa dia ikuti setiap kehendak Pui Ji-ping, mereka
sembunyi di antara bayang2 kegelapan, mereka menyelundup
masuk lebih dala m.
Agaknya Ji-ping apal benar mengenai keadaan Liong-bin-san-
ceng, melewati ber-lapis2 rumah, naik ke wuwungan, me mbelok
kian ke mari, se-olah2 dia berada di rumah sendiri, cuma kali ini dia
ma in se mbunyi2.
Untung beberapa bangunan loteng sudah mereka la mpaui tanpa
konangan seorangpun, akhirnya mereka mengitari sebuah sera mbi
panjang terus me masuki sebuah hala man berbunga, Jiping bawa
Kun-gi masuk mela lui pintu kanan yang berbentuk bulan, sebelah
dalam adalah pekarangan kecil, sebuah e mpang dikelilingi tana man
bunga yang mekar se merbak.
Ada jembatan batu, di antara jalanan kecil yang berliku ke
belakang dipagari pot2 ke mbang dari berbagaijenis yang indah.
Di ujung kiri pekarangan terdapat undakan batu, di mana ada
tiga baris ka mar tulis, jadi untuk masuk ke ka mar tulis orang harus
lewat ruangan bunga, maka pintu bulan di kanan kiri jarang dibuka,
namun ena m jende la di tiap2 ka mar itu se mua terpentang lebar.
Pelan2 Ji-ping tarik lengan baju Kun-gi, mereka merunduk ke
dalam se mak2 bunga terus berjongkok. Di dala m ka mar tersulut
sebatang lilin. dari jauh terlihat ka mar itu penuh rak buku yang
berjajar rapi, lukisan me menuhi dinding, pada sebuah kursi di ujung
timur duduk seorang yang berpakaian ketat warna biru laut sedang
me mbaca buku di bawah penerangan lilin besar itu. Karena dia
duduk miring, yang kelihatan hanya setengah bayangannya, tak
jelas raut mukanya.
Kun-gi berpaling henda k tanya Pui Ji-ping, tampak sikap sinona
agak tegang, sebuah jarinya tegak di depan bibir, maksudnya
supaya dia jangan bersuara.
Pada saat itulah di luar pintu bulan sabit kedengaran langkah
ringan berhenti di depan ka mar buku, lalu terdengar suara yang
serak rendah berkata: "Cengcu, ha mba sudah ke mbali."
Dia m2 Kun-gi terkejut, pikirnya: "Ternyata orang yang me mbaca
buku itu adalah Liong-bin-san-ceng Cengcu Cu Bun-hoa adanya."
Terdengar suara lantang berkata di dala m: "Masuklah?"
Lalu seorang me mbuka pintu, langkah ringan itu masuk ke dala m
kamar. Terdengar suara serak itu berkata pula: "Mengingat musim
panas sudah menjelang, para saudara perkampungan perlu berganti
pakaian, ma ka dala m perjalanan ke kota kali ini ha mba sekalian
me mbe li lima blok kain katun."
"Barang2 permintaan Hujin dan Siocia juga sudah kau belikan?"
tanya suara lantang tadi.
"Se muanya sudah hamba beli, seluruhnya habis tiga ratus tiga
puluh dua tahil perak."
"Barang apa yang mereka minta, kenapa sampai keluar uang
begitu banyak?"
Suara serak melapor: "Tujuh blok kain sutera dan empat blok
kain satin, harganya cuma 24 tahil, di sa mping itu Siocia minta
dibelikan ke mbang berlian dan kalung mut iara, harganya sebanyak
seratus lima puluh tahil, sebelum pergi Hujin berpesan, kalau beli
harus sepasang, kalau Slocoa dibelikan, Piau-siocia juga harus
dibelikan pula . . . ."
Mendengar sampai di sini, Kun-gi me lirik ke-pada Pui Ji-ping
dibelakangnya. "o," suara lantang itu bertanya: "Kau sudah antar ke belakang"
Lalu kabar apa yang kau dengar di kota?"
"Ha mba me mang hendak lapor kepada Ceng-cu," suara serak itu
berkata, "dari That-ho dan Ing-ciu diperoleh berita bahwa Lo-sa m
dan Lo-cit dari keluarga Tong, serta Loji dari keluarga Un, demikian
pula Kim Ting Kim Kay-thay yang jarang keluar pintu bersa ma
Thong-pi-thian-ong yang berangasan itu sama muncul di sekitar
sana ...."
"O," suara lantang itu berkata: "Tanpa berjanji mereka sama
me masuki daerah ini, sudahkah menyelidiki apa tujuan mereka?"
"Ha mba sudah utus beberapa saudara yang cekatan untuk
menyelidiki jejak mereka, sekarang me mang belum berhasil
diketahui ma ksud mereka, tapi hamba sudah mendapat laporan
anak buah yang ditugaskan ke Thung-seng . . . ."


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Berita apa yag kau peroleh?"
"Kabarnya dari Poh-yang, Ing-ciu sa mpai ke Sek-song, secara
beruntun beberapa kelompok orang itu mendadak lenyap tak keruan
paran-" Tergerak hati Ling Kun-gi, pikirnya "Masa orang2 itu lenyap seluruhnya"."
"Apa katamu?" suara lantang itu menegas.
"Mereka hilang se muanya?"
"Ya, kabarnya mereka bergerak secara sendiri2, tapi tujuan satu,
tapi di sinilah letak aneh-nya, sebelum sampa i di Sok-seng, orang2
itu seperti mendadak a mbles ke bumi. Kini hamba sudah utus orang
untuk menyelidiki lebih lanjut."
"Bagus, sebelum je las tujuan orang2 itu, penjagaan kita di sini
harus diperketat," suara lantang berpesan-
Suara serak mengia kan, lalu bertanya- "Cengcu ada pesan lain?"
"Tiada lagi."
"Ha mba mohon diri," kata suara serak terus keluar dari ka mar
buku. Suara serak itu sudah tentu adalah laki2 muka ke labu yang
me mbe li ka in di toko kain Te k-hong, yaitu Cong-koan Liong-bin son-
ceng In Thian-lok adanya.
Setelah dia keluar dari ka mar buku, laki2 jubah hijau itupun
berbangkit dari kursi ma las, sambil menggendong tangan dia
berjalan ke jendela, mendongak menghirup hawa segar, katanya
mengguma m: "orang sebanyak itu mendadak lenyap. ada kejadian
aneh apa yang telah mereka ala mi?"
Begitu dia dekat jendela, Kun gi dapat melihat je las wajahnya,
Liong-bin-sun-ceng cengcu yang kena maan dikalangan Kangouw ini
kelihatannya berusia 45-an, wajahnya putih, jenggot hita m
menjuntai di dada, tingkah lakunya le mah le mbut mirip seorang
sekolahan. cuma kedua alisnya tebal, kedua matanya berkilau bagai
bintang, sekilas pandang orang akan tahu bahwa dia seorang ahli
Lwekang yang lihay.
Pui Ji-ping yang se mbunyi di se mak2 pohon begitu me lihat laki2
jubah hijau berdiri di depan jendela, karena hati keder, tanpa terasa
dia menarik kencang lengan baju Ling Kun-gi, sedikit gerakan ini
menyebabkan daun pohon tersentuh sehingga mengeluarkan suara
kresek, walau hanya gerakan lirih sekali, tapi kedua mata laki2
jubah hijau yang mencorong itu sudah me mperhatikan ke arah sini,
mulutpun me mbentak kereng.
"Siapa ?" wa lau suarabya tidak keras, tapi sangat berwibawa.
Terpaksa Ji-ping berdiri dan ke luar dari se mak2, sahutnya
pelahan: "Aku paman" jadi dia adalah keponakan la ki2 jubah hijau
itu. Lalu dia me mbalik tubuh serta berkata: "Ling-toako, lekas ikut
aku." - dari sebutan Toako men-dadak dia ubah menjadi "Ling-
toako" dihadapan pa mannya sehingga kedengaran lebih wajar.
Setelah Ji-ping keluar, terpaksa Kun-gi ikut keluar, satu persatu
mereka melompati jendela masuk ke dala m dan berdiri di hadapan
laki2 jubah hijau.
Dengan tajam orang mengawasi mere ka, terutama melihat
dandanan Pui Ji-ping, seketika dia mengerut alis, katanya: "Kau ini
Ji-ping?" Si nona tertawa, katanya. "Sudan kupanggil pa man, kalau bukan
Ji-ping, siapa lagi?" lalu ia berpaling kepada Kun-gi, dan berkata:
"Ling-toako, inilah pa manku, Cengcu dari Liong-bin-san-ceng ini."
Lekas Kun-gi me mberi hormat, katanya: "Cayhe Ling Kun-gi
me mberi sala m hormat kepa-da Cu-cengcu "
"Paman, Ling-toako telah dua kali menolong jiwa keponakanmu,
maka sengaja kubawa dia ke mari untuk mene mui pa man," demikian
tutur Ji-ping, Tajam dan lekat pandangan Cu Bun-hoa, sejenak dia awasi Kun-
gi, katanya sedikit manggut2: "Silakan duduk saudara Ling, Ji-ping,
suruhlah orang menyuguh teh." - dala m hati dia me mbatin, "Buda k ini ma la m2 mene mui aku, entah ada urusan apa." Sambil mengelus
jenggot, dan tatap Ji-ping, tanyanya. " Kalian ada urusan apa?"
Ji-ping menekan suaranya: "Ada urusan penting yang amat
rahasia hendak ka mi laporkan kepada pa man-"
Cu Bun-hoa me lengak dan bertanya: "Urusan rahasia apa?"
Kata Ji-ping sungguh2: "Pa man, urusan ini a mat penting dan
gawat, sekali2 tidak boleh bocor."
Melihat sikapnya yang prihatin, hati Cu Bun-hoa rada bimbang,
katanya: "Ji-ping, siapapun tanpa kupanggil t iada yang berani
masuk ke ka mar buku pa man ini, maka boleh kau terangkan
sekarang."
"Aku tahu," sahut Ji-ping, "tapi lebih baik kalau kututup jendela ini."
"Me mangnya begitu penting?" tanya Cu Bun-hoa.
"Ya" sahut Ji-ping tertawa, "tadi kami se mbunyi di luar jendela, bukankah percakapan paman dengan In-congkoan dapat kami
dengar semua?" - lalu iapun menutup jendelanya.
Cu Bun-hoa duduk di kursi sebelah atas, tanya-nya: "Ji-ping,
apakah Toaci (maksudnya ibu J i-ping) baik2 saja di ruma h?"
"Aku belum pulang," sahut Ji-ping menggeleng.
"Lalu ke ma na saja kau sela ma ini?"
Merah muka Ji-ping, sekilas dia lirik Kun-gi, katanya: "Di tengah
jalan kuberte mu dengan Ling-toako, la lu bersa ma dia."
Pandangan Cu Bun-hoa beralih ke arah Kun-gi, katanya tertawa:
"Aku sudah tahu, walau usia Ling-lote masih muda, tapi sorot
matanya gemilang, kepandaian silatnya tentu tidak rendah, entah
siapakah gurunya?"
Belum Ling Kun-gi buka suara, Ji-ping sudah mendahului:
"pandanganmu me mang tajam, Ling-toako adalah murid Hoan-jiu ji-
lay." Melengak Cu Bun-hoa, katanya serius: "Jadi Ling-lote adalah
murid kesayangan paderi sakti Hoan-jiu-ji-lay, maaf aku kurang
hormat." "cengcu terlalu rendah hati" Kun-gi berkata ra mah.
Mendengar nada pe mbicaraan kedua orang Ji-ping tahu kalau
pamannya menaruh hormat dan pe muja Hoan-jiu-ji lay, ma ka
hatinya ikut senang, katanya dengan suara hampir berbisik: "Ling-
toako ke mari untuk menyelidiki peristiwa Cin-Cu-ling."
Cu Bun-hoa manggut2, katanya: "Aku pernah dengar berita dari
Kangouw bahwa keluarga Un di Ling-la m dan Tong di Sujwan
masing2 kehilangan kepala keluarganya, sanak familinya
mene mukan mutiara berukir huruf Ling di bawah bantal mereka.
Cin-Cu-ling me mang pernah mengge mparkan Kang-ouw beberapa
waktu yang lalu, tapi kejadian sudah berlarut, kini sudah mula i
dilupa kan orang, lalu bagaimana hasil penyelidikan Ling-lote?"
Ji-ping mendahului bicara pula: "Pa man, karena tiga bulan yang
lalu ibu Ling-toako juga mendadak lenyap, maka gurunya menyuruh
dia menge mbara di Kangouw untuk menyelidiki peristiwa Cin-Cu-ling
itu, Langkah pertama Ling-toako pergi ke Kay-hong mene mui Kim
Ting Kim Kay-thay, karena ketua Yok-ong-tian, Loh-san Taysu dari
Siau-lim-s juga telah lenyap tiga bulan yang lalu."
Tergetar hati Cu Bun-hoa, katanya: " Ketua Yok-ong-tian Siau-
lim-si juga lenyap. kenapa aku t idak me ndengar?"
"Panjang ka lau diceritakan,
Ling-toako, kau saja yang menje laskan pada pa man-"
Maka Kun-gi bercerita tentang pengalaman belakangan ini sejak
dia mene mui Kim Kay-thay di Kayhong serta terima surat yang
serba rahasia dan misterius itu sampai sekarang.
"Ling-lote tahu, apa isi kotak sutera itu?" tanya Cu Bun-hoa.
"Paman," sela Ji-ping, "dengarkan saja dengan sabar, semuanya akan jelas "
Kun-gi lalu ceritakan pula penculikan Pui Ji-ping oleh orang2
keluarga Tong yang dipimpin Cit-ya dan terpaksa dirinya sampa i
me luruk ke Pat-kong-san.
Cu Bun-hoa mendengus sa mbi1 menge lus jenggot: " Ke luarga
Tong juga berani main kayu terhadap keluargaku. Ji-ping, kapan2
paman juga ringkus Kwi-kianjiu itu, akan kugantung dia tiga hari
tiga mala m."
"Jangan," seru Ji-ping, "sekarang aku sudah angkat Tong-lohujin sebagai ibu angkatku."
"o, apa pula yang telah terjadi ?" tanya Cu Bun-hoa tak mengerti.
"Waktu Ling-toako me luruk ke Pat-kong san, dia pukul hancur
Pat-kwa to tin keluarga Tong, Tong-hujin lalu menerima ku sebagai
puteri angkat. Toako, untuk selanjutnya kau saja yang bercerita."
"Seperti apa yang telah cengcu terima beritanya tadi, sejak mula
Wanpwepun terus menguntitnya sampai sini," de mikian sa mbung
Kun-gi setelah bercerita panjang lebar.
Berkerut alis Cu Bun-hoa, katanya: " Barang apakah sebenarnya
yang diantar secara marathon dengan ganti berganti tangan, sampa i
menimbulkan perhatian banyak orang."
Maka Ling Kun-gi bercerita pula akan pengala mannya sejak turun
dari Pat-kong-san, dan barang yang diantar itu sekarang
ke mungkinan sudah mencapai tempat tujuan ya terakhir.
"Ke mana mereka antar barang itu?" tanya Cu Bun-hoa ke mudian-
"Yang jelas barang itu cin cu-ling, Wanpwe sudah membuktikan
sendiri." "Lalu bagaimana se lanjutnya menurut apa yang kau ketahui?"
"Menurut hasil penyelidikan Wanpwe, Cin-Cu-ling harus
diserahkan kepada seorang yang me mbe li lima blok kain katun di
toko kain Te k-hong di kota Thung-seng." '
Berubah air muka
Cu Bun-hoa, tanyanya. "Kalian terus
menguntitnya tidak?"
"Sudah tentu," sela Ji-ping.
"Jadi kalian sudah melihat Cin-Cu-ling itu di-terimakan kepada
orang yang beli lima blok kain katun itu?"
"Ka mi me nga mati dari warung teh diseberang jalan toko Tek-
hong, semua kejadian ka mi saksikan dengan jelas," demikian Ji-ping
bercerita, "cuma pengantar barang yang semula menggelung kuncir
di atas kepala hari itu menyamar sebagai pedagang perhiasan,
dengan caranya yang lihay dia simpan C in-Cu-ling di antara
perhiasan terus dijual kepada pembeli ka in itu, orang lain yang tidak
tahu tentu menyangka dia membe likan perhiasan untuk anak
gadisnya ......"
"Jadi dia?" desis Cu Bun-hoa dengan mata terbeliak.
"Paman tidak percaya?" Ji-ping menegas.
Pelan2 mata Cu Bun-hoa tatap mereka berdua, suaranya kalem
dan rendah: "Sudah puluhan tahun In Thian-lok mengikuti aku,
biasanya amat setia dan menyelesaikan tugasnya dengan ba ik,
selamanya belum pernah me lakukan kesalahan, kalau dikatakan dia
me mpunyai maksud jahat, sungguh sukar dipercaya..... " dia
pandang Ling Kun-gi, lalu menyambung pula: "Ling lote, di atas
loteng itu kau menyaksikan dengan jelas, coba kau jelaskan pula
lebih teliti."
Terpaksa Kun-gi me nceritakannya pula lebih terperinci.
Lama Cu Bun-hoa menepekur, katanya kemudian: "Mereka
serahkan Cin-Cu-ling kepada In Thian-lok. jadi orang berikutnya
yang hendak di-culik ada lah diriku."
" Kukira de mikian adanya," kata Ji-ping.
" Waktu Cayhe meninggaikan Kayhong, Kim-loyacu juga pernah
menyinggung diri Cu-cengcu kepada cayhe."
"Apa kata Kim Kay-thay?"
"Kim-loyacu bilang, orang2 yang diculik oleh komplotan cin-cu
ling ini kebanyakan adalah ahli2 racun, obat bius dan obat2an,
dalam Bu-lim, kecuali ke luarga Tong yang pandai mengguna kan
racun dan senjata, keluarga Un ahli obat bius, katanya Cu-cengcu
juga seorang ahli dala m bidang ini ....."
Hebat perubahan air muka Cu Bun-hoa kali ini, mulutnya
menggera m sekali.
Terbelalak lebar mata Pui Ji-ping, tanyanya "kenapa tidak pernah
kudengar engkau -orang tua juga pandai ma in racun?"
Hanya sebentar perobahan air muka Cu Bun-hoa, tuturnya sambil
menghe la napas: " Keluarga cu kita sela manya belum pernah
berkecimpung di Kangouw, mungkin itu hanya berita kosong bela ka
diluaran, soalaya kakek luarmu dulu pernah menolong seorang tua
yang terluka parah dan hampir ajal di luar perka mpungan, tiga
bulan la manya orang tua itu dirawat sampai sembuh, sebelum pergi
dia meningga lkan sesuatu resep obat. Waktu itu keamanan sering
terganggu, kawanan rampok merajale la. ma in bunuh, ra mpok.
me mperkosa kaum wanita, sehingga jaman itu keadaan kacau
balau, orang tua itu pernah berpesan kepada kakek luar-mu supaya
me mbuat obat menurut resep yang di tinggalkan serta ditaburkan di
daerah tiga li di luar perka mpungan secara melingkar, kemungkinan
rampok itu tidak akan berani mengusik ke mari . . . ."
"Tentunya obat itu racun yang a mat lihay?" tanya Ji-ping.
"Betul," Cu Bun-hoa mengangguk, "tak la ma ke mudian,
sekawanan perampok me mang meluruk datang, tapi tiga li di luar
perkampungan kita kawanan perampok ini sa ma terjungkal roboh
binasa sehingga Liong-bin-san-ceng tidak terusik sedikitpun, orang
luar yang tidak tahu persoalannya menganggap ke luarga Cu kita
juga ahli da la m bidang ini, begitulah sa mpai sekarang, berita ini
makin tersiar luas di luaran-"
"Paman, resep obat itu masih ada?" tanya Pui Ji-ping.
Cu Bun-hoa tertawa tawar, ujarnya: " Kejadian ini sudah lima
enam puluh, tahun yang lalu, kakek luarmu tidak mewariskan resep
itu padaku."
"Sayang sekali," kata Ji-ping gegetun.
"Jadi komplotan ini menyogok In Thian-lok dan berusaha
menculik diriku, tujuannya tentu juga resep obat beracun itu," ujar
Cu Bun-hoa sa mbil mengelus jeng got.
"Bagaimana sikap pa man untuk me nghadapi persoalan ini?"
tanya Ji-ping. Cu Bun-hoa naik pita m, katanya gusar: "Biar kupanggil In Thian-
lok ke mari, akan kutanya dia."
Cukup la ma Kun-gi tidak bersuara, sekarang dia menyela: "Cu-
cengcu, jangan kau menyingkap rumput mengejut kan ular malah."
"Secara berhadapan kutanya padanya, memangnya berani dia
mungkir?" ujar Cu Bun-hoa.
"Bahwa dala m perka mpungan ini ada orang yang kena sogok
oleh komplotan itu, mungkin ada mata2 lain pula yang
diselundupkan ke mari, jumlahnya tentu tidak satu dua orang saja,
cara-paman benar In Thian-lok menga ku terus terang dihadapan
Cengcu, tapi beberapa mata2 itu tetap. menjadi rahasianya,
bagaimana Cengcu bisa me mbongkar komplotan jahat itu?"
"Betul ucapan Ling-lote," ujar Cu Bun-hoa, "Ai, sudah puluhan tahun In Thian-lok menjadi tangan kananku yang terperCaya,
ternyata dia berani menging kariku dan berkomplot dengan musuh,
kalau dipikir sungguh a mat mengerikan-"
"Sudah beberapa bulan ibu menghilang, menurut dugaan Suhu,
ke mungkinan diapun terculik oleh kawanan Cin-Cu-ling ini, ka lau
mereka sudah menyogok In Thian-lok untuk melaksana kan perintah
mut iara itu, terang tujuannya adalah menculik cengcu secara diam2,
cayhe punya pendapat bodoh, entah bisa tidak dila ksanakan?"
Bersinar mata Cu Bun-hoa, katanya. "coba

Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jelaskan pendapatmu."
"Menurut pendapat cayhe, untuk sementara cengcu tetap berlaku
wajar, anggap tidak tahu apa2, kita ba las menipu mereka."
Tangan mengelus jenggot, dengan tajam Cu Bun-hoa tatap muka
Ling Kun-gi, la ma dia berdia m diri,
"cayhe sedikit menggunakan tata rias, biar cayhe menyaru Cu-
cengcu dan diculik mereka, dengan cara ini sekaligus aku akan
berhasil menyelidiki sarang mereka, akupun akan berhadapan
dengan biang keladi dari perist iwa ini dan mengetahui apa
tujuannya?"
"Baik seka li tipu ini", ujar Cu Bun-hoa.
"Bagi cayhe dapat bekerja menurut keadaan untuk menolong
ibunda, bagi cengcu, secara diam2 dapat mengawasi gerak-gerik In
Thian-lok. supaya semua mata2 yang diselundupkan sini bisa
terjaring seluruhnya."
"Masuk a kal," ujar Cu Bun-hoa manggut2, "baiklah kita bekerja menurut pendapat Ling-lote ini."
"Ling toako, kau menya mar paman masuk ke sarang musuh, lalu
aku?" tanya Ji-ping. "Tugas apa yang kau serahkan padaku?"
"Kau sudah berada di rumah pamanmu sendiri, boleh mencuci
samaranmu. tinggal saja beberapa hari di sini, keadaan Kangouw
sekarang sudah kacau balau, tidak baik kau keluyuran lagi di luar."
"Tida k keadaanku ini tida k ada yang me mperhatikan, secara
dia m2 aku bisa kuntit mereka dengan leluasa aku bisa mengirim
kabar kepada pa man-"
"Ji-ping, jangan kau naka l, tepat ucapan Ling-lote, kau seorang
perempuan, jangan keluyuran saja, tinggal saja beberapa hari di
sini, akan kusuruh orang me mberi kabar kepada ibumu."
Dihadapan pa mannya, Ji-ping tidak berani merenge k dan banyak
bicara lagi. "Mala m ini kukira tidak akan ada kejadian, Ling-lote boleh
menginap di ka mar rahasiaku Ji-ping lekas kau cuci muka, ganti
pakaian dan ke mbali ke bela kang.
"Tida k pa man, Ling-toako besok mungkin pergi, dia sudah janji
mengajarkan ilmu tata rias padaku, sebelum dia pergi ma la m ini aku
akan belajar padanya."
"Ilmu rias mana bisa dipe lajari se mala m saja" Belum terla mbat
untuk belajar setelah Ling-lote ke mbali nanti."
Sudah tentu dia tidak tahu perhitungan Pui Ji-ping, kata nona itu:
"Tida k. ma la m ini juga aku akan belajar, meski hanya kulitnya saja.
Ling-toako sekarang juga kau ajarkan padaku?"
Apa boleh buat terpaksa Kun gi manggut2, katanya: "Boleh saja,
nanti kuajarkan yang paling ga mpang dulu."
Pui Ji-ping berjingkrak girang, katanya: "Ling-toako, ajarkan cara
merias seperti keadaanku sekarang ini."
"Kalau belajar, ajaklah Ling-lote ke ka mar rahasiaku saja," kata
Cu Bun-hoa. Dengan keheranan Ji-ping Celingukan, tanyanya: "Paman, di
mana letak ka mar rahasia itu" Aku kok tidak tahu?"
"Ka mar itu buat latihan kakek luarmu, bibipun tidak tahu. mana
kau bisa tahu?"
"Jadi Piauci juga tidak tahu" Pa man, di ka mar itu?"
Cu Bun-hoa tersenyum sambil mengha mpiri rak buku di sebelah
timur, tangan diulur dan sedikit ditekan, dua rak buku yang se mula
rapat berjajar tiba2 bergerak pelan2, lalu muncul sebuah pintu di
belakangnya. Pui Ji-ping menjerit senang sambil tepuk tangan dan segera dia
mendahului menerobos masuk.
"Ji-ping, berhenti" tiba2 Cu Bun-hoa me mbentak.
Baru tiga langkah Ji-ping bergerak lantas dengar seruan
pamannya, cepat ia berpaling, tanyanya: "Paman, untuk apa kau
me manggilku?"
Cu Bun-hoa melangkah ma ju, tangannya menekan dua kali di
pinggir pintu, lalu berkata, "Sekarang boleh masuk."
Melihat kelakuan orang, dia m2 Kun-gi Me mbatin: " Kabarnya Cu
Bun-hoa pandai me masang alat2 perangkap. Liong-bin-san-ceng di
mana2 banyak jebakan, orang luar yang tidak tahu seluk-beluknya
jangan harap bisa masuk ke mari, tapi sepanjang jalan masuk
bersama Ji-ping tadi sedikitpun a ku tida k me lihat tanda apa2 di
kamar ini, terang juga dipasang alat jebakan."
Dari meja di sebelah Cu Bun-hoa ambil sebuah lentera yang
terbuat dari tembaga dan diangsurkan kepada Ji-ping, katanya:
"Sulut apinya dan tunjukan jalan bagi Ling-toako."
Pui Ji-ping mengiakan terus menyulut api, katanya: "Mari Ling-
toako" Lalu dia mendahului masuk.
Kun gi segera ikut masuk, pintu di bela kang mereka lantas
menutup secara otomatis. Dengan seksama dia menga mati, ka mar
ini t idak begitu besar, namun serba rapi dan teratur bersih, sebuah
dipan kayu terukir indah mepet dinding sebelah kanan, kedua
sampingnya masing2 terdapat sebuah meja marmer yang
bergambar indah. Delapan lukisan menghias kedua dinding yang
luas itu, tepat di tengah kamar ada sebuah meja delapan segi
berukir di kelilingi empat buah kursi berpunggung. Sebuah almari
buku ada di sebelah kiri, di atasnya berjajar berbagai barang2 antik,
dilapisan tengah tertaroh botol2 obat, entah obat2 apa karena tiada
keterangan- Melihat gelagatnya, Ciam-Liong (naga terpenda m) Cu Bun-hoa
sering meyakinkan ilmu dan sa madi di ka mar ini seorang diri.
Dasar nakal, begitu masuk Ji-ping lantas mengha mpiri dipan dan
berduduk. katanya tertawa:
"Mungkin Gwakong (kakek luar) sering latihan di atas dipan ini,
ukirannya begini indah dan hidup,"
Entah kenapa, mungkin tanpa sengaja, tangannya yang usil telah
menyentuh alat rahasia, tanpa bersuara dipan itu bergeser ke kiri, di
bawah segera tampak sebuah lubang dengan deretan unda kan
menjurus ke bawah, kiranya itulah pintu masuk ke sebuah lorong di
bawah tanah. Karena duduk di atas dipan, Ji-ping ikut tergeser ke kiri, keruan
kagetnya bukan main, lekas dia melompat turun. Mengawasi lubang
gelap di bawah, ia heran dan kaget, katanya: "Toako, mari kita
turun melihatnya."
"Jangan, inilah ka mar rahasia pamanmu, lekas kau betulkan ke
tempat se mula."
"cuma lihat2 saja, kenapa" Diakan pa manku."
"Setiap orang pasti punya rahasianya sendiri, bibipun tidak tahu
adanya kamar rahasia ini, bahwa dia memberi ijin kita masuk
ke mari, pertanda dia percaya pada kita, lalu jangan di luar tahunya
kita mencuri lihat rahasianya" Lekas kau betulkan ketempat
asalnya." "Aku menyentuh tanpa sengaja, entah bagaimana aku harus
berbuat untuk me mbetulkan ke mbali,"
Baru berakhir percakapan mereka, terdengarlah suara Cu Bun-
hoa dengan tertawa, "Aku punya rahasia apa" Lorong itu mene mbus
ke belakang gunung2an palsu di tengah taman sana, dulu waktu
almarhum ayahku latihan suka ber-jalan2 di ka mar, jadi tiada
rahasia apa2."
Sebelum dia selesai bicara, dipan itupun bergerak ke mbali ke
tempat asalnya.
Kun-gi cukup tahu diri, dia tahu banyak perangkap dan alat2
rahasia lainnya dalam ka mar ini, terbukti percakapan mereka
didengar jelas oleh Cu Bun-hoa di ka mar buku, secara tak langsung
kata2nya telah memberi peringatan supaya mereka tidak sembarang
bergerak atau menyentuh apa2 yang ada di da la m ka mar ini.
Maka ia lantas berkata: "Nona Pui, le kaslah ke mari, sekarang
juga mula i kuajarkan pada mu," lalu dia tarik sebuah kursi serta
berduduk. dari bajunya dia keluarkan kotak bahan2 rias dan ditaruh
di atas meja. Dengan riang Ji-ping lantas duduk di kursi sebelah
kanan Kun-gi. Kun-gi ke luarkan obat cuci yang berwarna madu dan
menyuruhnya mengusap muka sendiri untuk me mbersihkan
wajahnya. Lalu dimulai ajaran mengga mbar alis, bagaimana
menebalkan lekuk bibir mata, bagaimana menca mpur bahan2 serta
me moleskan ke muka, di sini tebal di sana tipis, sembari me mberi
penjelasan sebelah tangan memegang kaca kecil serta bergerak
menggoles2 muka sendiri, begitu jelas dan teliti sekali
penjelasannya. Otak Ji-ping me mang cerdas, sudah tentu sekali dijelaskan dia
lantas tahu, cepat sekali dia sudah mahir juga menggunakan alat
rias itu terus memperagakan diri, wajah sendiri dibuat percobaan
dihadapan Ling Kun-gi, bila ada yang salah Kun-gi la lu me mberi
petunjuk. muka dicuci, diulangi sekali lagi.
Mendekati kentongan kedua, pintu kamar di-ketuk orang dari
luar, suaranya lirih. Menurut kebiasaan, setiap mala m sebelum tidur
Cengcu Cu Bun-hoa menyuruh pelayan pribadinya me mbikin sop
sarang burung, Kebiasaan ini sudah berlang-sung beberapa tahun
la manya, pada hari2 biasa ketukan pintu demikian juga sudah
terlalu biasa, tapi lain dengan mala m ini, mendengar suara ketukan
pintu ini, jantung Cu Bun-hoa lantas berdetak tegang.
Sarapan pagi setiap harinya dia makan sendiri di ka mar buku ini,
dalam keadaan terang benderang, komplotan penjahat itu jelas
tidak takkan berani turun tangan. Sementara siang dan malam dia
makan bersa ma isteri dan puterinya di belakang, ada pelayan yang
me layani kebutuhan mereka, musuh terang tiada kesempatan
bekerja. Dan untuk makan mala m menjelang tidur ini, selalu diantar
dari belakang, hari sudah larut malam, seorang diri dala m ka mar
buku lagi, inilah kesempatan paling baik untuk turun tangan bagi
komplotan itu. Secepat kilat pikirannya bekerja, segera dia bersuara
dengan rendah: "Siapa?"
Terdengar suara perempuan di luar pintu, sahutnya: " Hamba
Kwi-hoa, mengantar bubur sarang burung untuk cengcu."
"Ya, bawa masuk" sera Cu Bun-hoa.
Pintu terbuka, tampak Kwi-hoa me mbawa nampan warna merah,
di mana tertaruh sebuah mangkok yang mengepulkan bau sedap.
Nampan diletakkan di atas meja, mangkok berisi bubur itu terus
diserahkan kepada Cu Bun-hoa, mulutnya berkata manis: "Sila kan
cengcu makan-" Duduk dikursi ma las, dengan pandangan tajam Cu
Bun-hoa menatap muka Kwi-hoa.
Kwi-hoa adalah nona yang berusia delapan atau sembilan be las
tahun, gadis ini a mat cekatan dan cerdik, perasaannyapun tajam,
terasa olehnya kedua biji mata sang cengcu tengah menatap dirinya
lekat2. Biasanya hal ini tidak pernah terjadi, keruan hatinya kebat-
kebit, wajah seketika merah jengah, berdiri di samping dia
menunduk tak berani bergerak.
Sambil mengelus jenggot yang terawat baik, dengan suara
tertekan Cu Bun-hoa bertanya: "Kwi-hoa, sudah berapa tahun kau
bekerja di sini?"
"Sudah tiga tahun," sahut Kwi-hoa lirih.
"Siapa yang me mbawa mu kerja di sini?"
"In-congkoan."
Geram hati Cu Bun-hoa, ternyata memang se-komplotan,
demikian batinnya, lalu tanyanya pula:
"Bagaimana kau kenal dengan In-congkoan?"
"Se mula ha mba tidak kenal In-congkoan, tiga tahun yang lalu
setelah ayah bunda wafat, tiada orang yang kubuat sandaran,
terpaksa menjual diri sebagai pelayan, kebetulan In-congkoan
lewat, mendengar logat hamba, kiranya ka mi ada lah kelahiran
sekampung, setelah tanya jelas riwayat hidup ha mba, baru In-
congkoan me mbawa ku ke mari."
Cu Bun-hoa manggut2, tangan membuka tutup mangkok lalu
mengangkatnya, pelan2 hendak menghirupnya .
Kwi-hoa yang berdiri di sa mping melirik secara dia m2, wajahnya
mena mpilkan rasa senang. Sudah tentu perubahan mimiknya tidak
lepas dari pengawasan Cu Bun- boa, seperti merasa buburnya
terlalu panas, dia urung menghirupnya, lalu ditaruh ke mba li di atas
meja pula, tanyanya: "Kau yang masak bubur ini?"
"Ya, atas petunjuk Hujin," sahut Kwi-hog.
"Waktu kau me mbawa bubur ke mari, adakah kete mu siapa?"
Sedikit berubah air muka Kwi-hoa, sahutnya: "Ti ....... tiada."
Cu Bun-hoa pura2 mende lik, suaranya kereng: " Waktu kau
me mbuat bubur, pernah kau tinggalkan sebentar?"
Kwi-hoa mula i kurang tenteram, sahutnya lirih: "Tidak."
Terpentang mata Cu Bun-hoa, katanya: " Kurasa bau bubur ini
rada ganjil."
"Tida k mungkin," sahut Kwi-hoa, berubah air mukanya,
"bahan2nya pilihan khusus, mangkok ini-pun milik cengcu pribadi,
waktu me mbuatnya hamba tidak lena, mungkin mala m ini terlalu
banyak kuahnya, sehingga rasanya agak tawar."
Cu Bun-hoa tertawa aneh, katanya: " Kuahnya terlalu banyak"
Me mangnya Lohu tidak bisa me m-beda kan bau bubur sarang
burung?" "Kalau begitu biar hamba buatkan lagi yang lain," kata Kwi-hoa
takut2. "Kalau me mang kau sendiri yang me mbuatnya, coba kau saja
yang makan," ujar Cu Bun-hoa.
Kaget Kwi-hoa dibuatnya, ia menyurut mundur, katanya: "Bubur
untuk hidangan cengcu, mana ha mba berani me makannya."
"Tida k apa, Lohu suruh kau ma kan-"
Pucat muka Kwi hoa, suaranya gelisah. "Hamba tidak berani
......." Cu Bun-hoa menukas dengan suara
kereng.-"Berani kau
me mbangkang kehendak Lohu?"
Mendadak dia melompat bangun, sekali raih dia Cengkeia m
tengkuk Kwi-hoa, tangan kiri menekan dagu orang, mulut
dipepetnya sampai terbuka, semangkok bubuk itu terus dia tuang ke
mulutnya. Kejadian berlangsung teramat cepat, tidak se mpat meronta atau
bersuara sedikitpun, sebagian besar bubur semangkok itu tertuang
masuk perut Kwi-hoa, lekas sekali Hiat-topun tertutuk dan tak
ma mpu berkut ik lagi.
Pui Ji-ping me mang cerdik, hanya sctengah jam, di bawah
petunjuk Ling Kun-gi pe lajaran tata rias tingkat pertama sudah
berhasil dikuasainya dengan baik, Kini ia sudah berhasil mengubah
bentuk mukanya menjadi apa saja yang ia kehendaki, sudah tentu
senang hatinya tak terkatakan, hanya suara-nya yang sukar dia
ubah dalam waktu singkat, tapi soal suara tidak begitu penting, asal
jarang buka suara, orang tetap dapat diketahui.
Tanpa mengenal le lah serta sabar Kun-gi terus me mberi
penjelasan segala seluk beluk tentang tata rias ini, pertanyaan Ji-
ping ber-tumpuk2, ada saja persoalan yang dia ajukan.
Pada saat itulah, pintu rahasia yang tembus ke ka mar buku tiba2
terbuka, Cu Bun-hoa melangkah masuk sa mbil menge mpit seorang
perempuan di bawah ketia knya.
Lekas Ji-ping berdiri dan menyongsong maju, tanyanya: "orang
ini ... he, kau kan Kwi-hoa?"
Cu Bun-hoa turunkan Kwi-hoa di atas lantai, wajahnya tampak
serius, katanya: "Tak tersangka komplotan penjahat itu bergerak
begini cepat."
Ji-ping kaget, tanyanya: "Maksud paman Kwi-hoa sekomplotan
dengan musuh?"


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Di da la m bubur dia ca mpur obat bius, untung Lohu sudah siaga,
setelah kupancing lantas kelihatan belangnya, sebelum dia
menyadari apa2 semangkok bubur itu sudah kucekok ke mulutnya,
betul juga dia lantas kelenger."
"Lalu bagaimana pa man?" tanya Ji-ping.
"Menurut dugaan Lohu, walau musuh sudah menyelundup di
sekitar kita, sebelum Kwi-hoa keluar, mereka takkan berani
sembarang bertindak, terpaksa kau harus me nyaru Kwi-hoa,
bawalah mangkok kosong itu ke belakang, lalu Ling-lote menyaru
Lohu, sesuai dengan rencana kita."
Kun-gi manggut, katanya: "Mau bekerja janganlah me mbuang
waktu, nona Pui, lekas duduk biar kurias muka mu." Hanya
sepeminuman teh, Kun-gi sudah selesai merias Ji-ping, kini
wajahnya mirip benar dengan Kwi-hoa seperti pinang dibelah dua.
Cepat sekali Ji-ping lucuti pa kaian Kwi-hoa terus dipaka inya.
Sementara me megangi kaca Kun-gi merias wajah sendiri seperti Cu
Bun-hoa, dengan cepat sekali dia sudah berubah jadi Cu Bun-hoa,
lalu mereka saling bertukar pakaian- Tak lupa Kun-gi simpan Pi-to-
cu warisan keluarganya, kantong sula m pe mberian Un Hoan-kun
dan pedang pan-dak di da la m bajunya. Cu Bun-hoa mendesak: "J i-
ping, kau harus le kas keluar."
Mengawasi Kun-gi, berat rasa hati Ji-ping untuk berpisah,
katanya: "Ling-toako, kau a kan masuk ke sarang harimau, hati2lah."
"Nona Pui tak usah kuatir, belum setimpal komplotan jahat ini
menjadi perhatianku."
"Lalu di mana kelak aku harus mencarimu?" tanya Ji-ping. Dia
sudah me mberanikan diri mengucapkan kata2 ini dihadapan
pamannya. Seorang gadis akan mencari laki2, ke mana maksud
tujuannya iapapun sudah mengerti.
"Seorang diri jangan nona keluyuran di Kangouw, kela k setelah
berhasil menolong ibu, pasti a ku ke mari menengokmu."
Dala m hati Ji-ping berjanji, "Tidak!! aku takkan tinggal di sini, ke
ujung langitpun akan kucari dirimu." Sudah tentu kata2 ini tida k
berani dia ucapkan.
Sudah tentu Cu Bun-hoa dapat meraba perasaan keponakannya
yang sedang kasmaran ini. soalnya waktu amat mendesak, lekas dia
mendesak lagi, "Ji-ping, sudah terlalu la ma Kwi-hoa antar bubur ini,
sekarang lekas kau keluar."
Kembali Ji-ping pandang Kun-gi lekat2, la lu dengan langkah berat
ia ke luar. Sambil mengelus jenggot Cu Bun-hoa berpesan: "Ling-lote, kau
cerdik pandai, tentu Lohu tidak perlu banyak pesan lagi, di sini Lohu
menunggu kabar baikmu, semoga kau berhasil menolong ibumu
dengan leluasa, dan jangan lupa kemari lagi me mberi kabar, jangan
pula kau bikin telantar maksud baik Ji-ping."
Merah muka Kun-gi, katanya sambil menjura: "Terima kasih akan
perhatian cengcu."
"Maaf, Ling-lote, Lohu tidak mengantar."
Tanpa bicara lagi Kun-gi beranjak ke luar, rak buku di
belakangnya segera menutup sendiri. Waktu itu Pui Ji-ping sudah
me mbawa na mpan berisi mangkok kosong ke luar ka mar.
Pelan2 Kun-gi mendekati kursi ma las lalu duduk bersandar,
pelan2 pula me mejamkan mata, diam2 dia kerahkan hawa murni
menghimpun se mangat.
Entah berapa lama lagi, terdengar langkah gugup mendatangi
dari luar pintu, Lalu terdengar suara serak In Thian-lok
berkumandang di luar: "Lapor cengcu, ada urusan penting a kan
hamba sa mpa ikan-" Sudah tentu Kun-gi dia m saja.
Sesaat kemudian, karena tidak mendengar suara cengcu, in-
congkoan berkata pula: "Apa ceng-cu sudah tidur?" Dia tahu bahwa
Cu Bun-hoa sudah menghabiskan semangkok bubur, tentu sekarang
sudah terbius pulas, tapi dia tidak berani gegabah, mulut bicara, dia
tetap berdiri dan menunggu di luar pintu.
Begitulah sesaat lamanya lagi baru In Thian-lok pura2 bersuara
heran: "Aneh, Lwekang cengcu a mat tinggi, kenapa tak terdengar
suara apa2?"
Kata2nya ini hanya alasan belaka supaya dia dapat mendobrak
pintu masuk ke dala m. Ka li ini dia keraskan suara: "cengcu,
cengcu?" Di se keliling ka mar buku ini sudah terpendam anak buahnya,
betapapun keras suaranya dia tidak takut mengejutkan orang lain
yang tidak bersangkutan. Maka dengan leluasa dia dorong pintu
terus me mburu masuk. Sekilas mata menjelajah, dilihatnya Cu Bun-
hoa rebah telentang di atas kursi malas.
In Thian-lok pura2 kaget, dengan lagak gopoh ia mendekat ke
depan kursi dan tanya: "ceng-cu, kenapa" Lekas bangun" Lalu dia
raba dahi Cu Bun-hoa, seketika wajahnya mengulum senyum sinis
girang, mendadak kedua tangan bekerja cepat, kesepuluh jarinya
naik turun, bagai kilat delapan Hiat-to penting didada Cu Bun-hoa
telah ditutuknya.
Kun-gi sudah me mpersiapkan diri, hawa murni sudah me lindungi
badan, seluruh Hiat-to di badan-nya sudah terlindung, sudah tentu
Hiat-tonya tidak mudah tertutuk.
Tapi Cu Bun-hoa yang sembunyi di ka mar buku dapat
menyaksikan dengan jelas, sudah tentu dia tida k tahu kalau Kun-gi
sudah meyakinkan hawa murni pelindung badan ini, karuan ia
kaget, pikirnya: "In Thian-lok berasal dari golongan hitam, beka l
kepandaiannya sendiri tida k le mah, sela ma tahun2 terakhir ini
me mperoleh banyak kemajuan lagi atas petunjukku, tingkat
kepandaiannya sekarang sudah mencapai ke las wahid, delapan
tutukan Hiat-to itu a mat lihay, meski Ling-lote tidak terbius, setelah
tertutuk Hiat-tonya, tetap dia tak dapat berkutik diantar masuk ke
mulut harimau."
Sementara itu In Thian-lok mendekati jendela sebelah selatan,
kain gordin dia singkap. daun jendela dia buka, lalu menga mbil lilin
dan di-gerak2kan tiga kali di luar jendela.
Tidak la ma ke mudian terdengar suara kesiur angin, sesosok
bayangan orang menerobos masuk lewat jendela. Lekas In Thian-
lok menyongsong maju, katanya sambil menjura: "Silakan Hou-
heng" Orang yang baru menerobos masuk berpakaian hijau bertubuh
tinggi kurus, suaranya dingin: "in-heng menyerahkan orang tepat
pada waktunya, tidak kecil pahala mu." Tergerak hati Kun-gi,
batinnya. "Orang she Hou, mungkin Hou Thi-jiu adanya?"
In Thian-lok tertawa, katanya sambil menuding "Cu Bun-hoa"
yang rebah di kursi malas: "inilah Cu-cengcu, anak buahku sudah
tersebar di sekeliling ka mar ini, bagaimana mengangkutnya keluar,
kami tunggu petunjuk Hou-heng."
"Soal ini in-heng tida k usah mencapaikan diri. cuma jalan keluar
perkampungan ini, apakah in-heng sudah mengaturnya dengan
baik?" tanya laki2 baju hijau.
"Hou-heng tidak usah kuatir, semuanya sudah beres," sahut In
Thian-lok. "Baiklah," ujar laki2 kurus baju hijau, lalu dia me mbalik ke dekat jendela, ia bertepuk tiga kali. Ta mpak dua bayangan orang
me layang masuk. itulah dua laki2 baju abu2, salah seorang
me manggul sebuah karung besar.
Kepada kedua laki2 yang baru datang, si baju hijau berkata
sambil me nuding Cu Bun-hoa: "Masukkan dia ke dala m karung."
Kedua laki2 mengiakan, seorang me mbuka karung dan yang lain
angkat tubuh Ling Kun-gi terus didorong masuk ke da la m karung,
lalu di ikat kencang mulut karung itu.
Kata si baju Hijau: "Kami harus segera pergi, bagaimana keadaan
di sini selanjutnya, tidak perlu kuje laskan bukan?"
In Thian-lok manggut2, sahutnya: "Siaute sudah tahu, Hou-heng
boleh silakan-"
Sibaju hijau me mberi tanda kepada kedua anak buahnya terus
mendahului me lompat keluar. Gerak-gerik ketiga orang itu ringan
dan gesit, dengan cepat sekali bayangan mereka sudah lenyap di
luar te mbok. Percakapan mereka sudah tentu didengar je las oleh Ling Kun-gi,
terasa karung dipanggul di atas pundak. dibawa melompat turun
naik, cepat sekali sudah meninggalkan Liong-bin-san-ceng.
Beberapa kejap ke mudian, mendadak mere ka berhenti. Terdengar
suara orang bertanya di sebelah depan: "Sudah berhasil?"
Maka terdengar penyahutan orang she Hou: "Lapor Kongcu,
sudah berhasil."
Kun-gi me mbatin: "Hou Thi-jlu me manggilnya Kongcu, itulah
Dian-kongcu atau si baju biru yang berada di Kayhong te mpo hari."
"Baik seka li," ujar Dian-kongcu.
Agaknya sambil bicara Dian-kongcu terus melangkah pergi, ma ka
kedua orang yang me manggul Ling Kun-gi ikut ber-lari2 kencang.
Dari derap langkah orang, Ling Kun-gi menghitung se muanya ada
empat orang. Hanya empat orang berani me luruk ke Liong-bin-san-
ceng, menculik "naga terpendam" Cu Bun-hoa, walau mereka sudah
tanam mata2 dan kaki tangan di Liong-bin-san-ceng, tapi
keberanian mereka sungguh luar biasa.
Mereka terus ber-lari2 satu jam lamanya, di-perhitungkan sudah
puluhan li meningga lkan Liong-bin-san-ceng, rombongan e mpat
orang ini lantas berhenti. Terdengar di pinggir jalan ada suara
rendah menyapa maju: "Kongcu sudah ke mba li"
Dian-kongcu hanya mendengus, terdengar suara pintu terbuka
dan kerai tersingkap. Dian-kongcu lantas me langkah masuk, kedua
laki2 yang me manggul karungpun menurunkannya ke tanah terus
me mbuka tutupnya, dua orang baju abu2 menyeret Kun-gi ke atas
kereta. Kun-gi tetap pejamkan mata, dia pura2 pingsan, biarkan saja apa
kehendak mereka atas dirinya, tapi terasa bahwa ruang kereta ini
cukup lebar, dirinya diseret ke lantai kereta sebelah kanan setelah
itu baru Hou Thi-jiu naik kereta dan duduk disa mpingnya .
Kereta mulai berjalan- Kusir mengayun pecut, kudapun segera
berlari kencang menimbulkan su-ara gemeretak dari roda2 kereta
yang beradu dengan batu2 dija lanan.
Semakin cepat laju kereta, goncanganpun semakin besar, walau
tidak me mbuka mata, tapi Kun-gi merasakan bahwa bentuk kereta
ini tentu dibuat khusus dan a mat mewah.
Kun-gi tahu kepandaian silat kedua orang majikan dan pelayan
ini a mat tinggi, supaya tidak menunjukkan gejala2 yang
mencurigakan, meski kereta tergoncang semakin keras dia tetap
meringkal dia m sa mbil menghimpun se mangat. Langkah perta ma
untuk menyelundup ke sarang musuh sudah tercapai, ke mana
dirinya akan dibawa, dia tidak usah peduli lagi, ma ka di tengah jalan
ini, dia tidak perlu main int ip.
Dian-kongcu dan Hou Thi-jiu yang duduk di dala m keretapun
duduk se madi, tiada yang buka suara. Kuda penarik kereta ternyata
berlari kencang sekali.
Tanpa terasa fajar telah mnyingsing, dala m keretapun mulai ada
cahaya, maka Ling Kun-gi lebih hati2 lagi, sedikitpun dia tidak berani
lena. Lari kereta mulai la mbat, akhirnya berhenti dipinggir hutan.
Agaknya sudah ada orang menunggu di situ, terdengar orang
mende kati kereta, katanya dengan laku hormat: "Ha mba To Siong-
kiu me mberi sala m hormat kepada Kongcu."
Kepalapun tidak bergerak. Dian-kongcu hanya mendengus saja.
Suara Hou Thi-jiu terdengar dingin:
"Mana sarapan pagi yang kau siapkan untuk Kongcu" Lekas bawa
ke mari." Orang di luar mengia kan, pintu kereta dibuka, dengan laku
hormat dia masukkan seperangkat tenong susun dua. Hou Thi-jiu
menerima nya, orang itu menurunkan kerai terus mengundurkan diri.
Sementara itu, orang la in telah mengganti kuda, sampa i pun
kusirnyapun berganti orang, jadi orang dan kuda berganti secara
bergiliran. Kereta mulai berangkat lagi pelan2. Terdengar suara To Siong-kiu
di belakang: "Ha mba tidak mengantar Kongcu, semoga lekas tiba di
tempat tujuan-" Sudah tentu dia tidak me mperoleh penyahutan-
Dia m2 Ling Kun-gi me mbatin: "cara kerja orang2 ini ternyata
amat teliti, sampai di suatu tempat tertentu lantas ada orang yang
ganti kusir dan kuda, dengan demikian kereta ini bisa mene mpuh
perjalanan siang mala m tanpa berhenti, cuma entah di mana letak
sarang komplotan ini?"
Hou Thi-jiu sudah me mbuka tenong berisi makanan, katanya
hormat, "Silakan Kongcu sarapan pagi."
Dian-kongcu buka tutup tenong terus makan minum seorang diri
tanpa bersuara.
Kun-gi yang rebah meringka l sudah tentu juga mencium bau
makanan yang sedap. dari bau harum yang diendusnya, dia
menduga tenong itu berisi makanan daging dan se mangkok kuah.
Melihat orang ma kan, biasanya orang bisa ngiler, apa lagi kalau
perut me mang sudah lapar. Walau Kun-gi tida k me mbuka mata,
namun hidungnya dapat mencium bau makanan, maka perutnya
terasa berontak. laparnya bukan main.
Setelah melayani Dian-kongcu ma kan selesai, Hou Thi-jiu baru
angkat susun tenong yang lain, diapun makan dengan lahap. habis
makan dia le mpar tenong ke luar kereta, katanya: "Nanti siang
apakah kita perlu menyedia kan makanan untuk Cu-cengcu?"
Sambil duduk semedhi, Dian-kongcu berkata: "Dua belas jam
ke mudian baru dia akan siuman."
"celaka," de mikian ke luh Kun-gi da la m hati.
12 jam baru sadar, itu berarti dia harus kelaparan sehari
semala m. Kereta terus laju bagai terbang, tengah hari mereka t iba di
sebuah kota, kereta berhenti istirahat di pinggir jalan. Tanpa turun
kereta sudah ada orang mengantar tenong berisi masakan yang
serba lezat, kali ini ada pula sebotol arak wangi.
Bagi kusir juga disediakan ma kanan tersendiri, dia duduk di
pinggir pohon sa mbil me lalap ma kanannya, selesai makan mere ka
me lanjutkan perjalanan pula.
Untuk pura2 se maput orang cukup me meja mkan mata dan
meringkal tanpa bergerak. semua ini adalah kerja yang mudah
sekali, siapapun bisa me lakukannya. Tapi harus meringkal dia m
tanpa bergerak selama sehari semala m dengan posisi sa ma, itulah
yang tidak gampang. Bagi orang biasa setelah berselang sekian
la ma, kaki tangan pasti merasa kese mutan dan pegal linu. Untuk ini
Kun-gi boleh tidak usah peduli.. Lwekangnya tinggi, dengan
me meja mkan mata dan menghimpun se mangat, darah tetap
berjalan lancar dan leluasa di dala m tubuh, sudah tentu dia takkan
merasa kese mutan dan pegal. Yang pa ling menyiksa dirinya adalah
perut lapar, sejak mala m tadi perutnya tidak di isi barang sedikit-
pun, mengendus makanan dan bau wangi arak lagi, sudah tentu
hampir tak tahan dia.
Setelah kenyang dan mabuk Dian-kongcu duduk mendongak
sambil se medhi lagi ditempat duduknya yang empuk dan silir. Kedua
ekor kuda menarik kereta segera angkat langkah pula mene mpuh
perjalanan- Hari itu berlalu dengan cepat, dari siang menjadi sore, magrib
berganti mala m, dala m sehari se mala man ini, menurut perhitungan
Kun-gi, kereta ini sudah mene mpuh perjalanan 300-an li jauhnya.
Sejak magrib tadi, jalan kereta sudah bergoncang amat kerasnya,
kereta bergunjing seperti kapal dipermainkan ombak di tengah
lautan, begitu keras goncangannya, terang jalanan yang ditempuh


Pendekar Kidal Karya Tong Hong Giok di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini a mat jelek dan banyak berbatu, tapi kusir kereta tidak peduli,
cambuknya terus bermain me mbedal kudanya ke depan-
Terasakan guncangan kereta sedemikian keras, itu menandakan
bahwa kereta sudah me mbelok me masuki jalan pegunungan dan
sedang menuju ke suatu punca k gunung. Kira2 satu ja m la manya
kereta melewati jalanan yang jelek ini. Kini jalan kereta mula i
tenang dan angler, agaknya melalui jalan datar yang berpasir
karena roda kereta mengeluarkan suara mendesir yang rata.
Mendadak tak jauh di depan sana terdengar
seorang me mbentak: " Langit mencipta, bumi merencana"
Tergerak hati Kun-gi, pikirnya: "Mungkin sudah tiba di te mpat
tujuan, seruan itu terang adalah kode pengenal satu sa ma lain."
Maka didengarnya Hou Thi-jiu melongok keluar kereta dan
me mbentak gera m: "Keparat yang tidak punya mata, kau tidak lihat
kereta siapa ini?"
Terdengar suara beberapa orang dari kanan kiri jalan: "Ha mba
menya mbut kedatangan Coh-siancu."
"Bedebah, Kongcu yang ada di sini," bentak Hou Thi jiu gusar.
Orang2 itu kembali munduk2, serunya: "Hamba tidak tahu
kedatangan Kong-cuya, harap diberi a mpun-"
Kereta sudah mulai jalan pula. Tak lama ke mudian, lari kereta
mulai la mbat, kusir kereta melompat turun dengan gesit terus
menyingkap kerai
Dian-kongcu berpaling me mberi pesan kepada Hou Thi-jiu:
"Suruh mereka bawa Cu-cengcu ke Hwi-pin-koan ( ka mar tamu
agung ) di taman belakang, aku akan mene mui Gihu." Sekali lompat
dia turun terus berkelebat pergi.
Hou Thi-jiu juga me lompat turun, kepada dua orang laki2 baju
abu2 dia menggapai, katanya:
"Kalian gotong dia ke dala m."
Di saat Hou Thi-jiu me lompat turun tadi, Kun-gi sempat
me mbuka mata sedikit mengawasi keadaan sekitarnya. Ternyata
kereta berhenti di depan sebuah pekarangan besar dari suatu
perkampungan. Perkampungan ini dibangun di antara lekuk gunung,
sekelilingnya dipagari bukit, jelas letaknya diperut pegunungan yang
jauh dari kera maian-
Kedua laki2 itu sudah mengha mpiri, seorang melompat ke atas
kereta dan mengeluarkan secarik ka in hitam, mata Kun-gi
ditutupnya. Tindakan ini sebetulnya berlebihan, karena orang2 yang diausur
ke mari kebanyakan telah kena bius, dalam keadaan semaput, buat
apa harus ditutup matanya lagi" Mungkin inilah aturan mereka,
dengan sendirinya Kun-gi mandah saja apapun yang dila kukan atas
dirinya, dia tetap tak bergerak.
Dengan setengah gendang dan setengah papah, kedua orang itu
menurunkan Kun-gi dari kereta, malah seorang laki2 itu berjongkok,
Kun-gi digendongnya. Mereka ikuti Hou Thi-jiu berjalan ke dala m.
Meski mata tertutup, tapi Kun-gi pasang kuping dengan seksama,
dia me mbedakan arah, jalan yang ditempuh Hou Thi-jiu bertiga
bukan pintu tengah, mereka mengitar ke kiri di mana ada sebuah
pintu samping. Setiba di depan pintu, laki2 yang lain memburu maju
mendahului Hou Thi jiu mengetuk t iga ka li di daun pintu.
"Tek", terdengar suara pelahan, seorang membuka jendela kecil
di pintu, suara serak tua me mbentak: "Siapa?"
Lekas Hou Thi-jiu mendekat, katanya: "Lo-go, inilah aku Hou Thi-
jiu." "o", suara serak itu menjadi lunak. "mana tanda buktinya?"
Hou Thi jiu mengeluarkan sebentuk lencana, habis itu baru daun
pintu di buka, suara serak itu me mpersila kan mereka masuk.
Dengan langkah lebar Hou Thi jiu bertiga masuk ke dala m, pintu
tertutup pula. Mereka jalan beriring, langkahnya cepat, diam2 Kun-
gi men-duga2 dari langkah mereka yang putar sana be lok ini, bahwa
mereka me lewati sera mbi lika-liku serta beberapa pekarangan,
waktu Hou Thi-jiu seperti sudah tiba di satu tempat, seorang segera
tampil ke depan menggoncang dua gelang tembaga, lalu
mengundurkan diri pula ke belakang.
Waktu daun pintu terbuka, getaran keras terasa di bawah kaki
mereka, ini me mbuktikan bahwa daun pintu terbikin dari papan baja
yang berat dan tebal. Seorang telah menghadang di tengah pintu,
Hou Thi-jiu maju mengunjuk lencananya pula, baru dia memba lik
badan dan katanya: "Serahkan dia padaku"
Laki2 yang menggendang Kun-gi me ngiakan terus berjongkok,
dia baringkan Ling Kun-gi di lantai. Dengan kedua tangannya Hou
Thi-jiu menjinjing tubuh Kun-gi, katanya: "Kalian tunggu di sini"
Ia sendiri masuk dengan langkah lebar. Pintu beratpun mulai
tertutup lagi pelan2.
Dia m2 Kun-gi me mbatin: "Begini keras dan ketat penjagaan di
sini, entah di mana letak pusatnya?" Pada saat hati me-nimang2,
terasa angin menghe mbus silir2, kupingnya lantas mendengar
gesekan dedaunan yang tertiup angin- Agaknya mereka telah
berada di sebuah kebon.
Langkah Hou Thi-jiu a mat cepat, jelas dia apal jalanan di sini,
kira2 se masakan air ke mudian, hidung Kun-gi mulai mencium bau
harum bunga, bau kembang mawar, seruni dan lain2. Pada saat
itulah baru Hou Thi-jiu menghentikan langkah dan mengetuk pintu
pula. Sebelum daun pintu terbuka terdengar suara merdu bert
Pendekar Kembar 1 Balada Pendekar Kelana Karya Tabib Gila Pendekar Satu Jurus 7
^