Sepasang Pedang Iblis 21

Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 21


enurunkan kedua tangannya yang bersedekap, kedua tangan itu bergerak
cepat sampai tidak tampak, tahu-tahu jari tangannya sudah mengetuk ke arah lengan lawan,
yang kanan mengetuk pergelangan tangan kiri, sedangkan yang kiri mengetuk tulang dekat
siku. "Plak! Tukkk!"
"Wadouuhh....!" Thai-lek-gu berteriak keras sekali dan cepat meloncat mundur, mulutnya
yang amat kecil dibandingkan dengan kepala dan perutnya itu menyeringai kesakitan kedua
tangannya sibuk sekali bergerak bergantian, yang kiri mengusap siku kanan, yang kanan
menggosok pergelangan tangan kiri. Kulit lengan di kedua tempat itu membiru dan tampak
benjolan sebesar telur ayam!
Dengan kemarahan yang meluap-luap, Thai-lek-gu kini menyambar sepasang golok yang
dibawakan oleh seorang teman-nya. Sepasang golok ini pantasnya untuk menyembelih babi,
dan memang Thai--lek-gu ini dahulunya adalah seorang jagal babi!
Betapapun marahnya, Thai-lek-gu ini adalah seorang tokoh kang-ouw yang tahu akan
kegagahan, maka sambil me-nahan marah, menggerak-gerakkan sepa-sang goloknya di
depan dada kemudian berhenti depan dada dalam keadaan bersilang dia berseru,
"Hayoh keluarkan senjatamu!"
Bun Beng tersenyum. Dia tidak mem-punyai urusan atau permusuhan pribadi dengan
orang-orang ini dan biarpun dia tahu bahwa mereka itu pemberontak-pemberontak, namun
dia tidak pula ber-pihak kepada Kaisar Mancu. Andaikata mereka ini bukan kaki tangan
Koksu yang menjadi musuh besarnya, agaknya dia pun tidak mau mengganggu mereka.
Apalagi melihat sikap Thai-lek-gu yang masih menghargai kegagahan dalam pertandingan
ini, tidak mengeroyok, tidak pula menyerang lawan yang bertangan kosong, dia mengambil
keputusan untuk bersikap lunak terhadap mereka.
"Thai-lek-gu, tidak perlu aku mem-pergunakan senjataku sendiri karena eng-kau sudah
begitu baik hati untuk menye-diakannya untukku. Nah, seranglah!"
Thai-lek-gu memandang heran dan ragu-ragu. "Orang muda yang sombong, jangan kau
main-main. Sepasang golokku ini sekali keluar, tidak akan masuk sa-rungnya kembali
sebelum minum darah lawan. Keluarkan senjatamu!"
"Baiklah, akan tetapi bukan senjataku, melainkan yang kaupinjamkan kepadaku itulah!"
Tiba-tiba Bun Beng nenubruk ke depan dan mengirim serangan kilat, menusukkan jari
tangan kirinya ke arah mata lawan.
Thai-lek-gu marah dan terkejut, cepat dia menundukkan kepala dan golok ka-nannya
berkelebat membacok ke arah lengan Bun Beng yang menyerangnya. Akan tetapi pemuda
itu tiba-tiba meren-dahkan diri, gerakannya cepat bukan main, golok menyambar lewat di
atas kepalanya dan tiba-tiba Thai-lek-gu mengeluarkan seruan tertahan dan meman-dang
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
567 dengan mata terbelalak kepada lawan yang sudah tersenyum-senyum me-mandangnya
dengan sebatang golok di tangan. Golok kirinya telah dirampas secara cepat dan aneh oleh
pemuda itu! "Nah, sekarang aku telah memegang senjata. Terima kasih atas kebaikanmu memberi
pinjam golok ini kepadaku, Thai-lek-gu."
Thai-lek-gu marah bukan main, marah penasaran dan juga kaget. Pemuda itu dalam
segebrakan saja telah berhasil merampas sebatang di antara sepasang goloknya. Hal ini
saja membuktikan bah-wa pemuda itu memiliki kepandaian yang luar biasa hebatnya. Akan
tetapi karena sudah kepalang mencabut senjata, dia mengeluarkan bentakan nyaring dan
me-nerjang ke depan dengan nekat.
"Trang-trang-trang....!" Tiga kali Si Pendek gendut menyerang dan tiga kali Bun Beng
menangkis tanpa menggeser kaki dari tempatnya, berdiri seenaknya akan tetapi kemana
pun golok lawan menyambar, selalu dapat ditangkisnya dan setiap tangkisan membuat Thai-
lek-gu terpental ke belakang. Hal ini menge-jutkan semua orang. Thai-lek-gu terkenal
memiliki tenaga yang amat besar, akan tetapi serangan golok tadi berturut-turut dapat
ditangkis oleh Si Pemuda yang membuat tubuh Thai-lek-gu terpental!
Tentu saja Thai-lek-gu menjadi makin marah. Dengan lengking panjang dia lari ke depan,
menyerbu dengan golok diang-kat tinggi-tinggi di atas kepala, kemudi-an golok itu
menyambar ke arah leher Bun Beng, dibarengi cengkeraman tangan kiri Thai-lek-gu ke arah
perutnya! Se-rangan ini dahsyat sekali dan merupakan serangan mati-matian untuk
mengadu nyawa. Tentu saja Bun Beng tidak men-jadi gentar. Dia sengaja mengerahkan
tenaganya, menggerakkan golok menang-kis golok lawan, sedangkan tangan kiri-nya
menyambut cengkeraman tangan la-wannya dia menotok pergelangan tangan.
"Krekk.... dessss!" Golok di tangan Thai-lek-gu patah-patah dan dia menjerit kaget ketika
tubuhnya terlempar ke be-lakang dan lengan kirinya lumpuh tertotok. Betapapun
diusahakannya untuk me-ngatur keseimbangan tubuhnya, tetap saja dia terbanting roboh
dan karena kelumpuhan lengan kiri, terpaksa dengan susah payah dia merangkak bangun.
"Maafkan aku dan kukembalikan golokmu. Terima kasih!" Bun Beng melempar golok
pinjaman itu yang meluncur ke depan. Semua orang terkejut, mengira bahwa pemuda itu
melontarkan goloknya untuk membunuh Thai-lek-gu, akan teta-pi golok itu berputaran
kemudian melun-cur turun menancap di atas tanah depan pemiliknya.
Tiba-tiba terdengar suara menggereng seperti seekor biruang marah dan tanah seperti
tergetar ketika seorang raksasa melompat turun di depan Bun Beng. Dengan matanya yang
lebar dia memandang Bun Beng, mulut yang tertutup cambang bauk melintang galak itu
bergerak-gerak dan terdengar suaranya yang kaku dan parau,
"Aku Gozan. Kau orang muda boleh juga, aku merasa terhormat mendapatkan lawan
seperti engkau. Orang muda, ma-julah kau mari mulai!" Baru saja menghentikan kata-
katanya, raksasa itu sudah menubruk ke depan, kedua lengannya yang panjang itu
menyambar dari kanan dan kiri pinggang Bun Beng. Pemuda ini mengerti bahwa lawannya
memiliki te-naga yang amat hebat, hal ini diketahui-nya dari angin sambaran kedua lengan
itu. Akan tetapi karena dia memang ingin sekali mencoba sampai di mana kehebatan lawan
yang menurut Si Muka Pucat tadi adalah jago nomor satu di Mongol, ahli silat dan ahli gulat,
maka dia sengaja bergerak lambat dan mem-biarkan pinggangnya ditangkap. Akan tetapi
betapa kagetnya ketika tahu-tahu tubuhnya terangkat ke atas dan usahanya memperberat
tubuhnya sama sekali tidak terasa oleh Si Raksasa itu yang meng-angkat tubuhnya ke atas,
memutar-mutar tubuhnya sambil tertawa-tawa!
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
568 "Kiranya tenagamu tidak berapa he-bat, orang muda. Nah, pergilah kau!" Sambil berkata
demikian, Gozan jagoan dari Mongol itu mengerahkan tenaga pada kedua lengannya dan
melemparkan tubuh Bun Beng ke depan.
Tanpa dapat dilawan pemuda ini, te-naga dahsyat mendorongnya dan mem-buat tubuhnya
meluncur jauh ke depan, seolah-olah tubuhnya menjadi sebuah peluru yang terbang dengan
cepatnya. Namun Bun Beng dapat menguasai diri-nya. Dengan ilmu gin-kangnya dia
ber-jungkir-balik di tengah udara dan tubuhnya kini membalik dengan tenaga lontaran masih
mendorongnya sehingga tubuhnya meluncur kembali ke arah lawannya! Ten-tu saja Gozan
menjadi terkejut dan ter-heran melihat pemuda lawannya itu tahu-tahu telah berkelebat
datang dan berdiri di depannya kembali sambil ter-senyum-senyum mengejek!
"Engkau masih belum pergi" Kalau begitu engkau sudah bosan hidup!" Gozan membentak
dan kini dia menerjang ke depan, menggerakkan dua pasang kaki dan tangannya, seperti
otomatis, bergan-tian dan bertubi-tubi menghujankan pu-kulan dan tendangan ke arah tubuh
Bun Beng. Biarpun gerakan itu tidak banyak perubahannya, hanya mengandalkan kecepatan gerak
yang teratur, dan mudah bagi Bun Beng menghadapinya, namun pemuda ini maklum bahwa
tenaga Si Raksasa itu amat besar dan bahwa ter-kena sekali saja oleh pukulan atau
ten-dangan itu, amatlah berbahaya. Maka dia mengandalkan keringanan tubuh dan
kecepatannya untuk menghindar dengan loncatan ke kanan kiri dan belakang sampai
puluhan jurus serangan sehingga akhirnya Gozan sendiri yang menjadi lelah dan napasnya
terengah-engah. Tiba--tiba raksasa itu menghentikan serangan-nya dan memandang
dengan mata merah, lehernya mengeluarkan gerengan marah dan dia berkata,
"Orang muda, apakah engkau seorang pengecut sehingga dalam pertandingan selalu
menjauhkan diri" Kalau tidak be-rani bertanding, kau berlututlah dan mengaku kalah, kalau
memang berani balaslah seranganku!"
"Begitulah kehendakmu" Nah, sambutlah ini!" Bun Beng tersenyum dan memu-kul ke arah
dada raksasa itu, tangan kiri siap untuk merobohkan lawan yang bertubuh kuat itu. Akan
tetapi, secepat kilat Gozan menangkap lengan kanan Bun Beng dengan cara yang tak
terduga-duga. Gerakan kedua tangan raksasa itu seper-ti gerakan dua ekor ular yang
menyam-bar dari kanan kiri dan tahu-tahu lengan kanan Bun Beng telah ditangkapnya!
Ki-ranya, dengan ilmu silat pukulan dan tendangan, raksasa itu sama sekali tidak berdaya
mengalahkan lawan, maka kini dia kembali hendak menggunakan ilmu gulatnya! Sebelum
Bun Beng tahu apa yang terjadi, kembali tubuhnya sudah terangkat ke atas, di atas kepala
lawan-nya, kemudian dia dibanting ke bawah dengan tenaga yang dahsyat! Karena tadi
lemparannya tidak berhasil, kini Gozan mengganti siasatnya, tidak melemparkan tubuh
lawan, melainkan mem-bantingnya ke atas tanah.
"Wuuuttt.... brukkk.... ngekkk!"
Semua orang terbelalak kaget dan heran, terutama sekali Si Kurus Pucat yang menjadi
pemimpin ketika menyak-sikan peristiwa yang aneh dan hebat itu. Terbelalak dia
memandang jagoannya, Gozan Si Raksasa tinggi besar tadi kini terkapar di depan kaki Bun
Beng, dalam keadaan pingsan! Jelas semua orang melihat tadi betapa tubuh pemuda itu
telah diangkat dan dibanting, akan tetapi mengapa tiba-tiba keadaannya terbalik, bukan
tubuh Bun Beng yang terbanting melainkan tubuh Si Raksasa itu sendiri" Kiranya Bun Beng
sudah bergerak cepat sekali. Ketika tubuhnya dibanting dan lengan kanannya dicengkeram,
dia meng-gunakan tangan kirinya menotok tengkuk lawan dan seketika tubuh raksasa itu
menjadi lemas. Dengan gerakan indah sekali, namun cepat sehingga sukar diikuti
pandangan mata, Bun Beng yang masih terdorong oleh tenaga bantingan membalikkan
tubuh sehingga kakinya yang lebih dulu tiba di atas tanah, se-dangkan dia menggerakkan
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
569 kedua tangan yang kini memegang pangkal lengan rak-sasa itu, menggunakan sisa tenaga
ban-tingan lawan untuk mengangkat tubuh lawan dan membantingnya, ditambah dengan
tenaga sin-kangnya sendiri. Dalam keadaan tertotok, Gozan tidak mampu mempertahankan
diri dan berat tubuhnya membuat bantingan itu makin hebat aki-batnya sehingga dia pingsan
seketika! "Wirr.... siuuuuttt....!"
Bun Beng cepat merendahkan tubuh-nya kaget sekali melihat senjata yang menyambarnya.
Kiranya Si Muka Pucat yang kurus tadi telah menyerangnya dan senjata di tangan orang ini
benar-benar amat luar biasa. Pimpinan orang-orang gagah itu memegang gagang pancing,
lengkap dengan tali dan mata kailnya! Bagi yang mengenal Liong Khek, Si Ku-rus muka
pucat ini tentu tidak akan heran karena dia memang berasal dari keluarga nelayan. Mungkin
mengingat akan asal-usulnya ini, ditambah lagi bah-wa senjata istimewa ini amat hebat dan
jarang dikenal lawan, maka dia memilih-nya sebagai senjatanya.
"Orang muda, engkau benar hebat, akan tetapi jangan harap akan dapat keluar dari tempat
ini dalam keadaan bernyawa!" Liong Khek berseru dan me-nerjang maju dengan senjatanya
yang aneh. Bun Beng merasa heran juga melihat senjata itu. Selama hidupnya belum pernah dia
melihat seorang ahli silat ber-senjata pancing, bahkan mendengar pun belum pernah. Oleh
karena itu, dia menyabarkan diri dan ingin sekali meli-hat bagaimana lawannya
mempergunakan senjata istimewa itu.
"Singgg.... siuuuttt....!" Kembali sinar kecil itu menyambar dan Bun Beng cepat mengelak
mengulur tangan berusaha me-nangkap tali pancing itu. Akan tetapi dengan gerakan
pergelangan tangannya, Liong Khek Si Kurus itu telah menarik kembali tali pancingnya,
kemudian meloncat maju kan kini mempergunakan gagang pancingnya sebagai senjata
tong-kat untuk menusuk lambung Bun Beng.
Pemuda ini mengelak sambil menang-kis dengan lengannya, dengan hati-hati dan penuh
perhatian menghadapi lawan. Dia kagum sekali. Kiranya senjata itu benar-benar hebat dan
berbahaya sekali. Gagangnya dapat dimainkan sebagai tongkat dan mata kail yang terbuat
dari baja dan amat runcing melengkung itu kadang-kadang menyambar ke arah ba-gian-
bagian tubuh yang berbahaya dan setiap kali dapat ditarik kembali kalau talinya digerakkan
atau disendal. Bahkan ada kalanya, gagang pancing menyerang dibarengi sambaran mata
kail dari lain jurusan! Benar-benar senjata yang tak tersangka-sangka ini merupakan senjata
yang amat berbahaya kalau dimainkan semahir Liong Khek memainkannya.
Pada saat itu, terdengar derap kaki kuda dan tampaklah selosin orang ber-pakaian tentara
memasuki markas itu. Mereka adalah utusan Koksu dan begitu melihat Liong Khek
bertanding melawan seorang pemuda, komandan pasukan bertanya-tanya. Ketika
mendengar bahwa pemuda itu diduga keras seorang mata--mata, komankan pasukan
berkata marah. "Kalau dia mata-mata, mengapa tidak dibunuh saja" Hayo serbu!"
Selosin orang tentara itu sudah me-loncat turun dari atas kuda, dan kini bersama orang-
orang gagah yang berada di situ, mereka lari menghampiri untuk mengeroyok Bun Beng.
Pemuda ini tertawa melengking, mengerahkan khi-kang sehingga para pengeroyok itu
terbelalak kaget, kaki mereka menggigil dan seje-nak mereka tidak dapat bergerak. Juga
Liong Khek terkejut sekali ketika suara lengkingan dahsyat itu membuat tubuhnya tergetar.
Sebelum ia dapat memulihkan kembali ketenangannya tahu-tahu sebuah tendangan
mengenai pahanya, membuat tubuhnya terlempar dan senjata pancing-nya telah dirampas
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
570 pemuda yang luar biasa itu! Ketika terbanting jatuh, mak-lumlah Liong Khek ternyata bahwa
pe-muda itu tadi hanya main-main saja dan bahwa sesungguhnya pemuda itu memiliki ilmu
kepandaian yang amat tinggi!
Bun Beng mencelat ke dekat pagar, mengayun tubuh ke atas dan mengambil buntalan
pakaian dan topinya yang tadi ditaruhnya di atas pagar agar jangan mengganggu
gerakannya. Dia menaruh topi berbentuk caping petani yang lebar itu, menalikan tali caping
di leher, kemudian menalikan buntalan pakaiannya di depan dada sehingga buntalan itu
ter-gantung ke belakang bahu kanannya. Semua ini dikerjakan selagi tubuhnya di atas
pagar. Para pengeroyoknya sudah lari me-ngejarnya dan kini beberapa orang sudah melayang
naik ke atas pagar sambil menyerangnya.
"Wuuuttt.... wirrr....!" Dua orang men-jerit dan jatuh dari atas pagar ketika pancing di tangan
Bun Beng bergerak menyambar dan melukai hidung dan pipi dua orang itu!
Timbul kegembiraan Bun Beng dengan senjata rampasan yang baru ini. Dia ta-dinya
hendak melompat keluar dari tem-pat itu dan lari, akan tetapi melihat hasil sambaran senjata
pancing itu, dia ingin mencoba lagi dan kini dia malah melompat turun ke sebelah dalam
mar-kas! Tentu saja dia disambut pengeroyok-an puluhan orang itu, termasuk pasukan
tentara yang baru tiba.
"Heii, apakah kalian ini anjing-anjing Koksu?" Bun Beng berteriak sambil me-lompat ke kiri
dan menggerakkan gagang pancing dengan pergelangan tangannya.
Kembali dua orang yang menyerbunya roboh terpelanting!
"Kami adalah pengawal-pengawal, utusan pribadi Koksu. Menyerahlah orang muda!" bentak
Si Komandan pasukan yang mengira bahwa sebagai seorang kang-ouw, tentu pemuda itu
akan gentar dan tunduk kalau mendengar nama Koksu.
Akan tetapi pemuda itu malah tertawa bergelak. "Kalau kalian anjing--anjing pengawal dari
Koksu, aku belum meninggalkan tempat ini sebelum menghajar kalian!" Kini Bun Beng
mengamuk dan serangan-serangannya ditujukan kepa-da pasukan itu. Mendengar bahwa
pasu-kan itu adalah utusan pribadi Koksu, sudah timbul rasa tidak senangnya.
Empat orang anggauta pasukan roboh pingsan terkena tamparan tangannya, sedangkan
dua orang lagi masih menga-duh-aduh karena muka mereka robek terkait mata kail yang
runcing. Akan tetapi, orang-orang gagah yang dipimpin oleh Liong Khek merasa marah dan
merasa terhina bahwa di depan utusan-utus-an Koksu, mereka tidak mampu menangkap
seorang pengacau yang masih muda. Mereka berteriak-teriak dan mengepung Bun Beng.
Pemuda ini menjadi kewalahan juga menghadapi demikian banyaknya pengeroyok. Dia
tertawa dan tiba-tiba tubuhnya mencelat ke atas dan hinggap di atas atap kandang kuda,
senjata pan-cingnya terayun-ayun di tangan kiri. Dia melihat-lihat ke bawah, hendak memilih
kuda yang terbaik yang terkumpul di situ.
Perwira yang memimpin pasukan tadi tahu akan niat pemuda pengacau itu. "Kepung,
jangan biarkan dia lolos dengan mencuri kuda!" teriaknya sambil berlari cepat diikuti sisa
anak buahnya ke bawah atap di mana Bun Beng berdiri. Koman-dan itu menggerakkan
senjata tombak panjangnya menusuk ke atap.
"Crappp!" Tombak bercabang itu me-nembus atap, akan tetapi dengan mudah saja Bun
Beng mengelak, bahkan kini dia menggerakkan pancingnya ke bawah.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
571 "Auuuhwww.... aduuuuhhh....!" Mata kail yang runcing melengkung itu telah berhasil mengait
pinggul seorang anak buah pasukan dan sekali tangan kiri Bun Beng digerakkan, tubuh
orang yang ter-pancing itu terangkat naik ke atap. Pada saat itu, komandan pasukan dan
seorang anak buahnya, dengan kemarahan meluap menusukkan tombak mereka dari bawah
mengarah tubuh Bun Beng.
"Crepp! Creppp!"
Dua batang tombak panjang itu me-nembus atap, akan tetapi dengan gerakan ringan dan
mudah sekali, Bun Beng me-loncat menghindar kemudian turun de-ngan kedua kaki,
menginjak ujung dua batang tombak yang menembus atap itu! Gagang pancingnya dia
gerakkan berpu-tar sehingga tubuh tentara itu pun ter-bawa berputaran, kemudian sambil
ter-tawa Bun Beng melemparkan pancingnya ke arah Si Komandan pasukan. Karena
lontaran ini cepat dan kuat sekali, Si Komandan tidak sempat mengelak se-hingga dia
tertimpa tubuh anak buahnya sendiri dan roboh terguling-guling!
Sebelum komandan itu sempat bangun dan dalam keadaan masih nanar karena kepalanya
terbentur keras, tiba-tiba dia merasa pundaknya dicengkeram dan tahu-tahu pemuda yang
dikeroyoknya tadi telah berada di dekatnya, tangan kiri mencengkeram pundak dan tangan
kanan menodongnya dengan sebatang tombak. Tombaknya sendiri!
"Mundur semua, kalau tidak, kubunuh perwira ini!" Bun Beng membentak sam-bil
menempelkan ujung tombak yang runcing itu ke perut Si Komandan yang menjadi ketakutan,
bermuka pucat dan menggigil.
Melihat ini, Si Muka pucat segera memberi aba-aba kepada anak buahnya untuk mundur.


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tentu saja keselamatan komandan pasukan yang menjadi utusan Koksu amatlah penting,
dan kini dia ya-kin bahwa pemuda yang mengacau itu benar-benar seorang yang memiliki
ilmu kepandaian amat tinggi, terlampau tinggi untuk mereka tandingi dan kalau mereka
melanjutkan pertandingan dan pengero-yokan dengan jalan kekerasan, akibatnya akan
berbahaya sekali.
"Mundur.... hentikan pertandingan!" teriak Si Kurus dengan suara nyaring, kemudian dia
melangkah maju menghadapi Bun Beng, menjura dan berkata,
"Orang muda she Gak! Engkau tadi mengaku bukan mata-mata dan tidak memusuhi kami,
mengapa engkau membikin kacau dan menangkap seorang pa-nglima dari kota raja?"
Bun Beng membelalakkan matanya lalu tertawa bergelak, nadanya mengejek, "Ha-ha-ha!
Kalau ada maling teriak ma-ling, hal itu amat lucu dan dapat dime-ngerti karena Si Maling
ingin menyela-matkan diri. Akan tetapi kalau ada pemberontak teriak pemberontak, hal ini
sudah tidak lucu lagi, malah menyebalkan! Aku bukan seorang penjilat Kaisar, juga bukan
seorang pemberontak. Bukan aku yang mengacau di sini, melainkan kalian sendiri yang
memaksaku bertan-ding!"
Si Kurus bermuka pucat itu kembali menjura. "Kalau begitu, kami menerima salah, harap
engkau suka membebaskan panglima yang menjadi tamu kami."
"Panglima ini harganya tentu lebih mahal dari seekor kuda," kata pula Bun Beng.
"Seekor kuda....?" Si Kurus memandang tajam.
"Ya, seekor kuda yang paling baik diantara semua kuda di sini."
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
572 Mengertilah Si Kurus. Dia lalu mem-beri aba-aba kepada anak buahnya untuk
mengeluarkan kuda tunggangannya sendiri, seekor kuda berbulu putih yang benar--benar
bagus dan kuat, merupakan kuda pilihan.
"Nah, ini kudaku sendiri, pakailah kalau engkau memerlukannya," katanya.
Bun Beng tertawa, melepaskan Si Perwira dan sekali meloncat dia telah berada di atas
punggung kuda. Dia se-ngaja berbuat demikian, karena dia ingin melihat sikap mereka itu.
Begitu melihat perwira itu dilepaskan, terjadi gerakan--gerakan seolah-olah mereka hendak
maju lagi menerjang Bun Beng yang bersikap tenang di atas punggung kudanya. Akan tetapi
Si Kurus bermuka pucat mengang-kat tangan kanan ke atas dan membentak,
"Jangan bergerak! Biarkan Gak-congsu lewat dan keluar dari sini tanpa ganggu-an!"
Bun Beng melarikan kudanya, menoleh ke arah Si Kurus sambil berkata, "Teri-ma kasih.
Pemberontak atau bukan, eng-kau masih mempunyai sifat kegagahan!" Kudanya lari terus
keluar dari pintu pa-gar tanpa ada yang merintanginya, dan pemuda ini melanjutkan
perjalanan menu-ju ke selatan, ke kota raja.
*** "Haiiii....! Maharya pendeta palsu tu-kang tipu! Hayo keluar kau jangan sem-bunyi saja!
Terimalah jawaban teka-teki-mu. Hayo keluar, kalau tidak, kucabut nanti bulu jenggotmu!"
Yang berteriak-teriak ini adalah Bu--tek Siauw-jin, kakek pendek cebol yang keluar dari
tempat tahanannya bersama Kwi Hong. Dara jelita ini bersikap te-nang, berjalan di samping
gurunya. Dia tidak pedulikan gurunya yang berteriak-teriak karena dia sudah maklum akan
watak dan sifat gurunya yang aneh dan tidak lumrah manusia. Dia sendiri tentu saja tidak
khawatir keluar dari tempat tahanan, apalagi bersama gurunya yang sakti, sungguhpun dia
maklum bahwa keadaan mereka amat berbahaya karena mereka berada di tempat
kediaman Koksu, berada di dalam sarang harimau. Ada beberapa orang penjaga yang
bingung tidak tahu apa yang harus mereka laku-kan, berlagak hendak mencegah dua orang
tahanan ini keluar. Yang berani menghadang hanya empat orang penjaga. Mereka
melintangkan tombak menghadang dan berkata,
"Tanpa perkenan Koksu kalian tidak boleh keluar....!"
Empat kali Kwi Hong menggerakkan tubuhnya, empat kali terdengar suara "krekk! plakk!"
dan empat batang tombak patah-patah disusul tubuh empat orang penjaga itu terlempar ke
kanan kiri! Adapun kakek cebol itu masih berte-riak-teriak memanggil nama Maharya,
seolah-olah tidak melihat muridnya merobohkan empat orang penghalang tadi. "Maharya
pendeta palsu! Di mana engkau" Koksu, suruh pembantumu Si Pendeta konyol itu
keluar....!"
"Ser-serr-serrr....!"
Tampak sinar menyambar dari kanan kiri dan depan. Dengan tenang sekali Kwi Hong
menggerak-gerakkan kedua lengan bajunya seperti yang dilakukan gurunya dan belasan
batang anak panah yang menyambar ke arah mereka itu runtuh ke bawah.
"Ha-ha-ha, Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, beginikah seorang Koksu negara menghadapi
tamu?" Bu-tek Siauw-jin tertawa mengejek sedangkan Kwi Hong memandang ke depan dan
kanan kiri de-ngan alis berkerut marah.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
573 Daun pintu besar yang menembus ruangan belakang gedung Koksu itu tiba--tiba terbuka
dan muncullah Bhong-koksu bersama Maharya dan belasan orang pa-nglima yang menjadi
kaki tangan dan sekutu Koksu itu, diiringkan pula oleh sepasukan tentara yang berjumlah
lima puluh orang lebih bersenjata lengkap!
"Heh-heh-heh, Siauw-jin. Engkau ada-lah seorang hukuman, tanpa ijin Koksu berani
membobol penjara dan merobohkan penjaga. Sungguh tak tahu aturan!" Ma-harya berkata
sambil tertawa mengejek.
Bu-tek Siauw-jin memandang dengan mata melotot. "Siapa jadi orang hukuman" Kami
menjadi tamu! Dan teka-teki-mu yang palsu itu mudah saja menjawab-nya! Maharya, lekas
kauambil pisau penyembelih babi, lekas!"
Karena nada suara kakek cebol itu mendesak dan disertai pengerahan tenaga sin-kang,
maka mempunyai wibawa yang kuat sekali sehingga Maharya yang men-jadi ahli sihir itu
pun sampai terpenga-ruh dan otomatis bertanya heran, "Pisau penyembelih babi" Untuk
apa?" "Ha-ha-ha-ha! Untuk memotong ujung hidungmu yang terlalu panjang itu! Bu-kankah sudah
begitu perjanjian antara kita" Kalau aku bisa menjawab teka--tekimu, engkau harus
memotong ujung hidungmu, kemudian engkau, Koksu dan pendeta Tibet.... eh, mana Si
Gendut itu, mengapa tidak ikut pula menyongsongku" Dan jangan lupa, Pulau Es dan Pulau
Neraka juga harus dibangun kembali!"
"Siauw-jin, kematian sudah berada di depan mata, engkau masih berani bar-sombong.
Orang macam engkau tak mungkin dapat menjawab pertanyaanku itu...."
"Apa" Pertayaan licik penuh akal bu-lus dan palsu itu siapa yang tidak dapat menjawabnya"
Dengar baik-baik, Maharya. Aku Sejati yang kautanyakan itu adalah Aku Sejati yang palsu,
khayalan pikiran-mu sendiri yang kotor itu, yang hanya meniru-niru dari orang lain yang
sebe-tulnya juga tidak tahu apa-apa. Semua itu palsu, sepalsu hati dan pikiranmu, Maharya!"
"Ihhh, engkau gila....!" Maharya mem-bentak dengan muka merah.
"Paman guru, perlu apa melayani orang gila ini?" Tiba-tiba Koksu berkata sambil mencabut
pedang dengan tangan kanan dan mengeluarkan cambuk merah dengan tangan kiri,
kemudian mengangkat cambuk ke atas sebagai aba-aba. Para panglima melihat ini lalu
mencabut senjata mereka dan semua anak buah pasukan tentara pengawal juga siap
de-ngan senjata masing-masing.
"Suhu, teecu rasa tidak perlu melayani mereka ini!" Kwi Hong juga berkata dan tampaklah
sinar berkilat mengerikan ketika dara itu sudah mencabut keluar pedang Li-mo-kiam!
"Serbu....!" Bhong-koksu mengeluarkan aba-aba dan menyerbulah pasukan penga-wal
dipimpin oleh belasan orang panglima itu. Memang Koksu telah siap, untuk mengeroyok Bu-
tek Siauw-jin dan karena dia tahu betapa lihainya kakek itu ber-sama muridnya yang
memegang pedang mujijat, maka dia sendiri pun telah mengeluarkan pedangnya, sebatang
pe-dang pusaka yang jarang dia pergunakan karena biasanya, dengan sebatang pecut
merahnya saja Koksu ini sudah sukar menemukan tanding.
"Ha-ha-ha, pendeta palsu, Koksu pengecut!" Bu-tek Siauw-jin tertawa-tawa ketika melihat
pasukan pengawal itu menyerbu. Akan tetapi Kwi Hong tidak seperti gurunya, dara ini sudah
berkele-bat ke depan didahului sinar pedangnya yang menyilaukan mata. Para pengawal
yang belum mengenal dara dan pedang-nya yang mujijat itu, menerjang dengan senjata
tombak, golok atau pedang.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
574 "Singgg.... trang-trang-krek-krek-krekkk....!"
Tombak, golok dan pedang beterbang-an di udara dalam keadaan patah-patah, disusul
pekik kaget dan kesakitan, pekik kematian dari mulut lima orang pengawal yang tak dapat
menghindarkan diri dari sambaran sinar pedang Li-mo-kiam!
Melihat ini, terkejutlah semua anak buah pasukan dan mereka mengurung dan mengeroyok
lebih hati-hati, dipimpin oleh belasan orang panglima yang memi-liki ilmu kepandaian tinggi
pula. Karena maklum bahwa dia sama sekali tidak boleh memandang ringan pengeroyok
yang jumlahnya amat banyak itu Kwi Hong tidak bertindak sembrono, dan hanya berdiri di
tengah-tengah, pedang melin-tang depan dada, tidak bergerak dan hanya sepasang
matanya yang indah itu saja yang bergerak, mengerling ke kanan kiri menanti gerakan
lawan. Dua belas orang panglima yang menjadi kaki tangan Bhong-koksu, yang rata--rata memiliki
kepandaian tinggi, dengan hati-hati mengurung Kwi Hong dan di belakang mereka bergerak,
siap siaga dengan pengurungan yang amat nekat.
Tiba-tiba terdengar seorang panglima tertua mengeluarkan seruan sebagai aba--aba, dan
puluhan anak buah mereka se-rentak dua belas orang panglima itu menerjang Kwi Hong
dibantu oleh anak buah mereka dari belakang. Kembali tubuh Kwi Hong berkelebat dan
lenyap bersembunyi di balik sinar pedang yang amat menyilaukan mata, seperti kilat
menyambar-nyambar. Dia berhasil mematahkan beberapa batang senjata lawan namun
karena dua belas orang panglima itu memang sudah maklum akan keam-puhan pedang di
tangan gadis itu, mere-ka bersikap hati-hati dan tidak mau mengadu senjata sehingga Yang
menjadi korban hanya senjata para pengawal yang berani menyerang terlalu dekat.
Betapapun juga, Kwi Hong tidak dapat mencu-rahkan perhatian untuk merobohkan la-wan di
depan karena dia dikepung ketat dan senjata-senjata lawan datang bagai-kan hujan di
sekeliling tubuhnya, sedang-kan tangan yang menggerakkan senjata-senjata itu pun tangan
terlatih dan cukup kuat dan cepat.
Sementara itu, Maharya yang bersen-jata sebatang tombak bulan sabit, senjata barunya
setelah dia meninggalkan senja-tanya yang dahulu berupa ular putih hidup dan sarung
tangan emas, sudah menerjang malu melawan Bu-tek Siauw--jin dibantu oleh Koksu yang
bersenjata-kan pedang di tangan kanan dan cambuk di tangan kiri.
"Ha-ha-ha, kalian ini tiada lebih he-nyalah tukang-tukang keroyok yang men-jijikkan!" Bu-tek
Siauw-jin tertawa me-ngejek, akan tetapi dia harus cepat--cepat menghindar dan
mengebutkan lengan bajunya karena ujung tombak bulan sabit itu telah menyambar ganas
ke arah lehernya, disusul tusukan pedang Bhong-koksu ke arah ulu hatinya dan sambaran
cambuk ke arah ubun-ubun kepalanya.
"Tarrr....!" Sambaran cambuk yang datang terakhir itu tidak dielakkan dan ditangkis,
melainkan diterima begitu saja oleh ubun-ubun kepalanya, akan tetapi akibatnya, ujung
cambuk itu membalik dan telapak tangan Bhong-koksu lecet-lecet!
"Serang lima tempat dari mata ke bawah!" Maharya berseru dan kini Bhong--koksu
menerjang lagi membantu paman gurunya, menujukan serangan-serangannya ke arah
kedua mata, tenggorokan, pusar, dan bawah pusar!
"Heh-heh-heh, Maharya pendeta palsu, dukun lepus! Mari-mari kita main-main sebentar!"
Setelah berkata demikian, kakek pendek itu membalas dengan pukulan-pukulan jarak jauh,
kedua telapak tangannya mengeluarkan hawa pukulan yang amat kuat, kadang-kadang
mengan-dung hawa panas, kadang-kakang dingin sehingga Maharya maupun Bhong-koksu
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
575 berlaku hati-hati dan tidak berani meng-hadapi langsung pukulan-pukulan itu, melainkan
mengelak sambil mengirim serangan-serangan balasan dari samping. Dalam hal ini, hanya
cambuk di tangan kiri Bhong-koksu saja yang lebih berguna karena cambuk itu cukup
panjang untuk mengirim serangan dari jarak jauh. Se-dangkan tubuh Maharya menyambar-
nyambar, menggunakan kesempatan setiap Bu-tek Siauw-jin mengelak dari sambaran
cambuk, menerjang dengan tombak bulan sabitnya.
Bu-tek Siauw-jin masih tertawa-tawa dan menghadapi mereka dengan kedua tangan
kosong saja. Memang kakek aneh dari Pulau Neraka ini sudah puluhan ta-hun meninggalkan
senjata, dan hal ini pun tidaklah aneh kalau diingat bahwa dengan kaki tangannya dia sudah
cukup kuat menghadapi serangan lawan. Beta-papun juga, menghadapi pengeroyokan dua
orang sakti seperti Maharya dan Bhong-koksu, kakek cebol ini repot juga dan biarpun
mulutnya tertawa-tawa, dia harus memeras keringat untuk menghin-darken diri dari hujan
serangan maut itu. Tingkat kepandaiannya hanya lebih tinggi setingkat dari Maharya, dan
mung-kin tidak ada dua tingkat dari kepandai-an Bhong-koksu. Untung bagi kakek cebol
Pulau Neraka ini babwa dia kebal terhadap ilmu sihir biarpun dia sendiri tidak suka
mempelajari ilmu itu sehingga kekuatan ilmu sihir yang dimiliki Mahar-ya tidak ada artinya
kalau ditujukan terhadap Bu-tek Siauw-jin dan di sam-ping ini dia menang jauh dalam hal
ke-kuatan sin-kang, maka dia dapat mena-han tekanan dua orang itu dengan tenaga sin-
kangnya. Dibandingkan dengan gurunya, keadaan Kwi Hong lebih payah. Dua belas orang panglima
itu berkepandaian tinggi, dan andaikata hanya mereka yang mengero-yok, kiranya Kwi Hong
akan mampu menandingi dan mengatasi mereka. Akan tetapi, di samping dua belas orang
panglima itu, masih terdapat puluhan, bah-kan kini ratusan orang tentara pengawal yang
mengepungnya! Hal ini membuat dia lelah sekali setelah berhasil merobohkan tiga puluh
orang lebih! Tetap saja dia masih terkepung ketat karena yang datang jauh lebih banyak
daripada yang roboh.
Kini, enam orang panglima yang me-lihat betapa Kwi Hong sudah terkepung ketat,
meninggalkan pimpinan pengero-yokan kepada enam orang temannya dan mereka sendiri
lalu membantu Bhong--koksu menyerbu Bu-tek Siauw-jin.
"He-he-he, bagus, bagus....! Majulah semua, maju yang banyak agar lebih
menggembirakan....!" Bu-tek Siauw-jin tertawa dan tiba-tiba tubuhnya roboh menelungkup ke
depan, berputar dan tahu-tahu kedua kakinya menendang ke belakang, inilah ilmu yang
baru, Si Jeng-kerik menyentik atau Si Kuda menyepak yang didapatkan ketika dia mengadu
jengkerik. Serangan ini amat tiba-tiba dan tidak terduga oleh Maharya dan Bhong-koksu,
sehingga biarpun mereka berdua cepat menghindar, tetap saja angin tendangan kedua kaki
itu menyam-bar ke arah muka mereka dan celakanya tapak kaki itu berlepotan tanah
sehing-ga muka mereka terkena tanah dan lum-pur! Pada detik-detik berikutnya, terdengar
jerit nyaring dan dua orang pangli-ma roboh tewas terkena tendangan kaki yang
kekuatannya tidak kalah oleh se-pakan lima ekor kuda itu! Andaikata Maharya atau Bhong-
koksu yang terkena sepakan itu, tentu paling hebat tubuh mereka akan terlempar. Akan
tetapi dua orang panglima yang tingkat sin-kangnya kalah jauh itu, terkena sepakon pada
dada mereka, seketika tewas dengan tulang-tulang iga remuk dan jantung ter-getar pecah!
"Tar-tar-tar....!" Cambuk panjang di tangan Bhong-koksu melecut seperti ha-lilintar
menyambar-nyambar ke arah ke-pala Bu-tek Siauw-jin.
"Aihh.... wuuutt!" Ujung cambuk itu terkena sambaran tangan Si Kakek cebol dan
dicengkeramnya. Tentu saja Bhong--koksu mempertahankan senjatanya itu dan mereka
bersitegang. Cambuk yang terbuat dari bahan yang ulet dan dapat mulur itu meregang dan
tiba-tiba Bu-tek Siauw-jin melepaskan ujung cambuk. Ter-dengar suara nyaring dan ujung
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
576 cambuk ini menyambar ke arah muka Bhong-koksu sendiri! Bhong-koksu kaget bukan main
melepaskan gagang cambuk dan menun-dukkan muka merendahkan tubuh.
"Aduhhh....! Aduhhh....!" Dua orang panglima pembantu yang berdiri di be-lakangnya
berteriak dan roboh, merintih--rintih karena yang seorang kepalanya benjol besar dihantam
gagang cambuk sedangkan orang ke dua kulit dadanya robek disambar ujung cambuk.
Dengan kemarahan meluap Bhong-koksu kini menerjang maju dengan hanya
mempergunakan pedangnya, sedangkan Maharya juga mendesak dengan tombak bulan
sabitnya. "Kwi Hong, kau larilah!" Tiba-tiba tubuh kakek cebol itu berkelebat mele-wati di atas kepala
Bhong-koksu dan Maharya, sambil berteriak ke arah muridnya yang terdesak hebat dan
terkurung ketat. Akan tetapi, begitu tubuhnya te-pat berada di atas kedua orang musuhnya
terdengar suara memberobot disusul bau yang cukup membikin Bhong-koksu dan Maharya
merasa muak hendak muntah!
"Tidak, Suhu. Kita hajar mampus semua anjing ini!" Kwi Hong yang tahu--tahu melihat
gurunya sudah berada di sampingnya dan dengan mudah mendo-rong-dorong roboh
beberapa orang penge-royok, membantah.
"Hushhh, musuh terlampau kuat dan banyak. Buat apa mati konyol di sini" Heran sekali
pamanmu, Pendekar Siluman itu. Ke mana saja dia minggat dan me-ngapa membiarkan kita
dikeroyok tanpa membantu" Hayo kau pergi cari paman-mu, minta bantuannya!"
"Suhu yang harus pergi!"
"Hushhh, aku masih belum kenyang main-main di sini. Pula, perutku mules ingin buang air
besar. Lekas kau pergi keluar dari sini, cari pamanmu sampai dapat dan katakan, kalau dia
tidak mau membantu aku, kelak akupun tidak sudi membantunya kalau dia membutuhkan
tenaga bantuan. Hayo!"
"Tapi, Suhu sendiri...."
"Ihhhh, anak bandel! Sungguh tolol sekali aku mengapa mengambil murid engkau perawan
bandel ini. Pergi, atau minta kugaplok?"
Kwi Hong maklum bahwa gurunya berwatak sinting, maka bukanlah tidak mungkin kalau dia
benar-benar akan di-gaploknya. Dia masih penasaran melihat Bhong-koksu dan Maharya
belum roboh, akan tetapi dia mengerti juga kalau per-tandingan ini dilanjutkan, dia tentu
akan kehabisan tenaga dan akhirnya akan ka-lah.
"Baik, Suhu. Hati-hati menjaga dirimu Suhu!"
"Weh-weh! Kaukira aku anak kecil, ya" Pakai ditinggali pesanan segala. Per-gilah, aku
membuka jalan!"
Kakek itu lalu menerjang ke depan, kedua lengannya bergerak dan setiap ke-dua lengan
dikembangkan dan didorong-kan, tentu pihak pengeroyok bubar dan terhuyung ke kanan kiri,
membuka jalan. Kwi Hong berkelebat ke depan, tubuh-nya dilindungi sinar pedang Li-mo-
kiam sehingga senjata-senjata rahasia dan anak panah yang berusaha mencegah dia lari,
runtuh semua dan tak lama kemudian lenyaplah dia keluar dari tempat itu.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
577 Kini kemarahan Bhong-koksu dilimpahkan seluruhnya kepada Bu-tek Siauw-jin. "Kakek tua


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bangka keparat! Kalau belum memenggal lehermu dengan pe-dangku, aku Im-kan Seng-jin
takkan mau sudah!"
"Singg.... siuuutt....!" Hampir berba-reng, pedang di tangan Bhong-koksu me-nyambar dari
kanan dan tombak bulan sabit di tangan Maharya menyambar dari kiri. Namun, tiba-tiba
tubuh cebol itu roboh ke atas tanah. Dua orang lawannya terkejut dan terpaksa menahan
serangan dan bersikap waspada karena mengira bahwa si cebol itu tentu akan
mengguna-nakan jurus tendangan menyepak yang lihai tadi. Akan tetapi mereka kecele
karena Si Cebol tua renta itu sama sekali tidak menendang, melainkan terus
menggelundung menuju ke belakang dan keluar dari pintu memasuki taman.
"Kejar....!"
"Tangkap....!"
"Bunuh....!" Teriakan-teriakan nyaring ini keluar dari mulut para panglima dan pengawal,
akan tetapi yang berkelebat lebih dulu melakukan pengejaran adalah Bhong--koksu dan
Maharya. Mereka mengejar ke dalam taman yang besar dan indah itu, akan tetapi tidak
tampak bayangan Bu-tek Siauw-jin.
"Celaka, jangan-jangan dia telah ber-hasil melarikan diri...." Bhong-koksu ber-kata.
"Belum tentu, kalau dia melompat keluar dari taman tentu kita tadi meli-hatnya," kata
Maharya sambil mencari terus ke seluruh taman. Para panglima dan pasukan pengawal
yang ikut menge-jar telah tiba di situ pula, akan tetapi tidak ada seorang pun di antara
mereka yang melihat bayangan kakek cebol yang lihai itu.
"Heiiii, kalian mencari apa" Aku ber-ada di sini!"
Semua orang memandang dan kiranya kakek yang mereka cari-cari itu berada di atas
pohon, duduk ongkang-ongkang di atas dahan dalam keadaan telanjang bulat, pakaiannya
tergantung di cabang pohon.
Tentu saja Bhong-koksu dan Maharya marah sekali dan mereka sudah berlari menghampiri
pohon yang berdiri di tepi telaga di dalam taman.
"Aku gerah sekali, lelah melayani kalian. Aku mau mandi lebih dulu nanti kita lanjutkan lagi."
Setelah berkata de-mikian, tubuh kakek cebol itu melayang ke bawah dan terjun ke dalam air
telaga. "Byuuurrr!" Air muncrat tinggi dan sampai lama tubuh itu tenggelam. Ketika dia
muncul lagi yang tampak hanya ke-pala sebatas dada. Kiranya telaga itu tidak dalam dan di
dasarnya terdapat tanah lumpur sehingga ketika terjun tadi sebagian tubuh Bu-tek Siauw-jin
terbe-nam ke dalam lumpur. Tentu saja muka dan kepalanya penuh lumpur ketika dia
tersembul keluar sambil megap-megap!
"Siauw-jin, engkau akan mampus dalam keadaan yang lebih rendah daripada seorang
siauw-jin (manusia hina). Engkau akan mampus seperti seekor anjing yang bangkainya
hanyut di air!" Maharya ber-seru dan kini semua orang telah mengu-rung telaga itu dengan
senjata disiapkan.
Bu-tek Siauw-jin yang gelagapan tadi kini sudah mencuci kepala dan mukanya dengan air.
Air telaga itu jernih sekali, dan di situ terdapat banyak ikan emas peliharaan Koksu. Sambil
menyembur-nyemburkan air dari mulut dan menggo-sok kedua matanya, Bu-tek Siauw-jin
memandang kepada Koksu dan Maharya, terkekeh gembira mempermainkan dan mengejek.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
578 "Ha-ha-ha, sejak jaman dahulu, belum pernah kerajaan memiliki seorang Koksu segagah
Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, mengerahkan pasukan pengawal dan an-jing peliharaan
Maharya pendeta palsu untuk mengeroyok seekor anjing yang sedang mandi! Eh, Bhong-
koksu dan Maharya, tahukah engkau mengapa aku harus mandi dulu?"
Maharya yang sudah banyak pengalamannya dan maklum akan kelihaian kakek cebol itu,
menahan gejolak kemarahan hatinya. Dia pun tersenyum lebar, sungguhpun senyumnya
agak pahit, ke-mudian berkata,
"Tentu saja aku tahu, Siauw-jin. Me-mang tepat sekali kalau engkau mandi lebih dulu agar
tubuhmu bersih, karena setelah mati tidak akan ada yang sudi membersihkan mayatmu.
Biarlah engkau mati dalam keadaan bersih tubuhmu, kami sabar menantimu di sini."
Jawaban itu dikeluarkan dengan suara halus dan ramah, namun sebetulnya me-rupakan
ejekan yang menyakitkan hati.
"Bukan! Bukan begitu! Jawabanmu ngawur dan memang sejak dahulu aku tahu engkau
seorang manusia tolol dan berkedok pendeta biar dianggap suci dan pintar, Maharya! Akan
tetapi engkau tidak bisa mengelabuhi aku! Engkau ber-tapa di puncak gunung-gunung,
bukan untuk membersihkan batin melainkan untuk memupuk ilmu agar dapat
kauper-gunakan untuk merebut kemuliaan di dunia ramai! Engkau memakai cawat dan
pakaian sederhana, makan seadanya, me-mamerkan hidup sederhana, bukan untuk
mempertajam pandang mata batin me-lainkan kau pakai untuk kedok agar lebih mudah
engkau menipu orang, seperti seekor srigala berkedok bulu domba. Mau tahu mengapa aku
mandi" Karena sudah terlalu lama aku bertanding dengan ka-lian, dan terlalu banyak
kotoran dari kalian mengotori tubuhku. Maka itu ha-rus membersihkan dulu tubuhku agar
tidak sampai keracunan oleh kotoran dari kalian tadi, ha-ha-ha!"
Bhong-koksu marah bukan main. Dia melambaikan tangan kiri memberi aba--aba dan
mulailah para panglima dan anak buah mereka menyerang kakek cebol yang sedang mandi
itu dengan senjata rahasia. Beterbanganlah anak panah, piauw (pisau terbang), peluru besi,
paku dan lain-lain ke arah tubuh Bu-tek Siauw-jin. Sambil tertawa kakek itu mengelak ke
kanan kiri kemudian tenggelam. Karena pergerakannya, tentu saja air menjadi keruh dan
tubuhnya tidak tam-pak. Tahu-tahu dia telah muncul jauh dari tempat sasaran dan kedua
tangannya digerak-gerakkan menyambit ke daratan. Berhamburanlah air keruh, lumpur dan
batu-batu kecil ke arah para pengurung-nya! Bahkan ada dua buah benda keku-ningan
menyambar ke arah muka Koksu dan Maharya. Dua orang ini cepat me-ngelak dan dua
buah benda itu dengan tepat mengenai muka dua orang pangli-ma yang berada di belakang
Koksu dan Maharya.
"Plok! Plok! Uuhhhgg.... hak.... haek--haek....!" Dua orang panglima itu muntah-muntah
karena dua "benda" yang mengenai mulut dan hidung mereka itu adalah tahi (kotoran
manusia) yang lembek, lunak dan masih hangat! Kiranya kakek cebol itu bukan hanya
mandi, me-lainkan juga membuang air besar! Kira-nya dia tadi tidak membohong ketika
menyuruh muridnya pergi dan dia ingin membuang air besar lebih dulu. Pantas saja dia
merendam tubuh bertelanjang bulat dan ketika ia membuang air besar diam-diam
ditampungnya kotoran dengan tangan dan kini dipergunakan untuk membalas serangan
senjata rahasia lawan dengan "senjata rahasia" yang luar biasa itu!
"Ha-ha-ha-ha, benar-benar anjing yang suka makan tahi!" Bu-tek Siauw-jin ter-tawa
bergelak, akan tetapi terpaksa harus slulup (menyelam) kembali karena dari pihak
pengurungnya telah datang anak panah seperti hujan menyerang diri-nya. Terjadilah main
kucing-kucingan antara kakek cebol dan para pengurungnya. Kalau dihujani serangan, dia
menye-lam, kemudian timbul di lain bagian sambil membalas dengan sambitan batu--batu
dan lumpur. Agaknya permainan ini mendatangkan kegembiraan besar di hati Bu-tek Siauw-
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
579 jin, apalagi ketika dia berhasil mengotori pakaian Koksu dan sorban di kepala Maharya
dengan lumpur membuat dua orang sakti itu memaki--maki dan menyumpah-nyumpah.
Kakek cebol tertawa bergelak, mengejek ke kanan kiri sambil menjulurkan lidah.
"Ambil minyak! Kita bakar permukaan telaga!" Tiba-tiba Bhong-koksu mengeluarkan
perintah. Perintahnya ini hanya gertakan saja, akan tetapi cukup mem-buat Bu-tek Siauw-jin
terkejut dan kha-watir.
"Wah, itu licik sekali namanya! Biar kulawan kalian lagi di atas daratan kalau begitu!"
Akan tetapi Bhong-koksu, Maharya dan para panglima beserta anak buah mereka, telah
menanti di tepi telaga, membuat kakek itu sukar mendarat dan terpaksa ke tengah telaga
kembali sam-bil memaki-maki.
"Kalian cacing-cacing busuk, pengecut licik, tak tahu malu, ya?"
"Singgg.... cuppp....! Wirrrr!"
Maharya dan Bhong-koksu terbelalak memandang gagang pedang yang tergetar di atas
tanah di depan mereka itu, seba-tang pedang yang tadi meluncur dari atas, menancap di
atas tanah depan mereka. Pada detik berikutnya, sesosok bayangan berkelebat dan tahu-
tahu di depan mereka, dekat pedang di atas tanah tadi, telah berdiri seorang wanita
bertubuh tinggi langsing dan mukanya berkerudung, Ketua Thian-liong-pang!
"Pa.... paduka....?" Bhong-koksu berseru, lupa diri dan menyebut paduka kepada Ketua
Thian-liong-pang yang di-kenalnya sebagai puteri kaisar, Nirahai.
"Aihhh, Ketua Thian-liong-pang hendak memberontak?" Maharya juga ber-seru.
"Bhong Ji Kun manusia rendah budi, pengkhianat dan pemberontak hina! Eng-kaulah yang
hendak mengkhianati kaisar, hendak memberontak dan bersekutu de-ngan orang-orang
Mongol dan Tibet di-bantu orang-orang Nepal, hendak menjatuhkan kaisar dan diperalat
Pangeran Yauw Ki Ong yang hendak merebut tahta kerajaan. Berlututlah engkau
peng-khianat busuk agar kutangkap dan kuha-dapkan kaisar!" Ketua Thian-liong-pang atau
Puteri Nirahai itu membentak de-ngan suaranya yang nyaring.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Bhong-koksu dan semua panglima yang menjadi
kaki tangannya mendengar betapa rahasia mereka telah terbuka. Untuk menyembunyikan
rasa khawatirnya, Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tertawa.
"Ha-ha-ha! Engkau puteri buronan, puteri pelarian yang telah mencemarkan nama kerajaan,
berpura-pura hendak bersikap seperti seorang setiawan. Kebetulan sekali, Nirahai, engkau
menjadi musuh kerajaan dan hadapilah kematianmu di ujung pedangku sendiri!" Bhong-
koksu melintangkan pedang di depan alisnya sedangkan Maharya telah menggerakkan
senjata tombak bulan sabitnya.
"Haiii.... engkaukah Ketua Thian--liong-pang" Gagah perkasa benar engkau, akan tetapi
aku Bu-tek Siauw-jin tidak minta bantuanmu! Menghadapi coro-coro kacoa bau itu aku belum
membutuhkan bantuanmu!" Bu-tek Siauw-jin berteriak-te-riak dari tengah telaga, kemudian
melon-cat ke darat dekat Ketua Thian-liong--pang.
Nirahai, wanita berkerudung itu sece-pat kilat telah menyambar pedangnya yang tadi
dilontarkan menancap tanah, ketika ia melirik ke kiri dari balik ke-rudungnya, mukanya
menjadi merah pa-dam melihat betapa kakek cebol di sebelahnya itu bertelanjang bulat!
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
580 "Kakek sinting, pergilah!" bentaknya ketus. "Aku tidak butuh bantuanmu!"
Bu-tek Siauw-jin mengerutkan alisnya, menghadapi Nirahai dan bertolak ping-gang, lupa
sama sekali betapa lucu sikapnya, bertolak pinggang membusungkan dada tipis dan sama
sekali tidak berpa-kaian! "Wah-wah-weh-weh! Siapa yang membantu dan siapa yang
dibantu" Se-belum kau muncul aku sudah mereka keroyok sampai kelelahan dan terpaksa
aku mandi dan buang air dulu. Engkau mau dibantu atau tidak, aku terpaksa harus
menggempur mereka ini, terutama si botak Koksu dan si palsu Maharya!"
Maharya, Bhong-koksu, dan lima orang panglima sudah menerjang maju, tidak dapat
menahan kemarahannya lagi. Bhong-koksu yang menganggap bahwa Nirahai lebih
berbahaya, bukan ilmunya karena mungkin Si Kakek cebol itu lebih sakti, melainkan
berbahaya karena Ni-rahai telah mengetahui rahasianya, sudah cepat-cepat menerjang
Nirahai dengan pedangnya. Pedang itu dengan gerakan cepat membabat leher Nirahai,
ketika dielakkan dilanjutkan dengan tusukan ke arah perut yang dapat ditangkis pula oleh
pedang Nirahai, akan tetapi pedang di tangan Koksu yang seperti hidup, tahu-tahu sudah
membabat ke arah kedua kaki lawan!
Nirahai maklum bahwa lawannya bu-kan orang sembarangan, melainkan seo-rang ahli silat
tinggi yang sakti, maka cepat tubuhnya mencelat ke atas, kedua kakinya ditarik ke atas
menghindarkan babatan pedang, namun kaki itu tidak hanya mengelak saja, melainkan dari
atas mengirim tendangan beruntun ke arah dada dan muka lawan!
"Wuuut! Wuuutt!"
Bhong-koksu berseru kaget dan nyaris dagunya tercium ujung sepatu lawan ka-lau saja dia
tidak cepat-cepat mencelat mundur dan keadaannya yang terdesak itu tertolong oleh
majunya tiga orang panglima pembantunya yang mengurung dan menyerang Nirahai
sehingga wanita berkerudung itu tidak dapat mendesak Bbong-koksu yang dibencinya.
Biarpun dihadapi tiga orang panglima yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi, Nirahai
masih dapat mencelat melalui mereka dan pedangnya menyam-bar ke arah Maharya yang
berada di tempat lebih dekat dengannya daripada Bhong-koksu yang melompat mundur
ta-di. Dia sengaja menyerang pendeta ini karena dia maklum bahwa di antara para
pembantu Bhong-koksu, pendeta inilah yang paling berbahaya.
Pedangnya yang berkelebat seperti halilintar menyambar itu mengejutkan Maharya yang
cepat menggerakkan tom-bak bulan sabitnya sambil membentak, "Robohlah!"
Tangkisan Maharya dengan tombaknya mengenai pedang Nirahai, menimbulkan bunyi
nyaring sekali, dan bentakannya tadi mengandung pengaruh mujijat ilmu sihirnya, namun
selain Nirahai telah me-miliki sin-kang yang amat kuat, juga muka wanita ini terlindung
kerudung sehingga sinar mata Maharya yang penuh kekuasaan mujijat itu tidak
mempenga-ruhinya. Namun, tetap saja bentakan itu mendatangkan getaran hebat bagi
Nira-hai yang cepat mengerahkan sin-kang melindungi jantungnya. Lebih hebat lagi,
tangkisan tombak kepada pedang itu di-sambung dengan meluncurnya tiga batang jarum
yang keluar dari leher tombak menyambar ke arah Nirahai!
"Pendeta curang...!" Tiba-tiba Bu-tek Siauw-jin berteriak dan tiga batang ja-rum beracun itu
runtuh semua oleh sam-bitan Si Kakek cebol ini yang mengguna-kan lumpur! Sambitan ini
menyelamatkan Nirahai sungguh pun belum tentu wanita perkasa ini akan menjadi korban
jarum andaikata tidak dibantu Bu-tek Siauw-jin, akan tetapi baju Nirahai terkena noda sedikit
lumpur. "Singgg.... wuuusss.... hayyaaa....!"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
581 Bu-tek Siauw-jin menggulingkan tubuhnya ketika tiba-tiba pedang Nirahai menyam-bar ke
arah lehernya! "Wah-wah, Ketua Thian-liong-pang benar ganas! Diberi madu membalas
racun! Ditolong mem-balas dengan niat membunuh!"
"Siapa membutuhkan pertolonganmu" Engkau mengganggu saja!"
"Weh-weh, sombongnya! Kalau tidak kubantu, apa engkau kira akan mampu menang
melawan mereka ini?"
"Aku tidak sudi dibantu orang gila tak tahu malu. Hayo berpakaian dulu kau, kakek tua
bangka tak bermalu, baru kita bicara tentang bantuan!" Nirahai terpaksa sudah
meninggalkan Bu-tek Siauw-jin lagi untuk mengamuk dengan pedangnya karena Bhong-
koksu dan Ma-harya sudah menerjangnya lagi. Suara pedangnya menangkis senjata mereka
dan senjata para panglima terdengar nyaring berdenting dan bertubi-tubi kemudian
terdengar teriakan dua orang pengawal yang roboh terkena sambaran sinar pe-dang wanita
berkerudung yang sakti itu.
Bu-tek Siauw-jin yang merasa pena-saran karena tidak boleh ikut bertanding, sambil
mengomel meloncat ke atas pohon menyambar pakaiannya dan karena tergesa-gesa
mengenakan pakaiannya bebe-rapa kali dia memakai pakaian dengan terbalik! Akhirya
selesai juga dia berpa-kaian.
"Thian-liong-pangcu! Lihat aku sudah sopan sekarang, sudah berpakaian, uh-uh! Pikiran
gila yang menganggap bahwa berpakaian tanda sopan! Hayoh kita ber-lomba, siapa lebih
banyak merobohkan cacing-cacing tanah ini!"
Dari atas, tubuh yang cebol itu me-layang turun, berputar-putar seperti ge-rakan seekor
anak burung belajar terbang dan akhirnya tubuh cebol itu menyambar dari atas ke arah
kepala Maharya. Me-mang pendeta inilah yang dicarinya! Begitu Bu-tek Siauw-jin
menyambar, kakek cebol ini menggunakan tangan kiri menyambar lengan yang memegang
tom-bak bulan sabit, tangan kanan menceng-keram ke arah ubun-ubun kepala, kedua kaki
menendang bergantian ke arah punggung dan lambung sedangkan mulut-nya masih
mengeluarkan suara "cuhhh!" meludah ke arah tengkuk Maharya!
Diserang secara luar biasa itu, Ma-harya gelagapan. Dia dapat menyelamat-kan diri dengan
memutar senjatanya melindungi kepala dan membuang tubuh ke bawah lalu bergulingan,
akan tetapi tetap saja dia tidak dapat mengelak dari air ludah yang berubah menjadi hujan
kecil menimpa sebagian dagunya!
"Siauw-jin manusia kotor!" Dia mem-bentak setelah mencelat berdiri lagi sambil menyerang
ganas, dibantu oleh beberapa orang panglima. Bu-tek Siauw-jin maklum akan kelihaian
Maharya dan para pembantunya, cepat dia menggerakkan kaki tangan untuk mengelak dan
menangkis, mulutnya tertawa-tawa mengomel. "Heh-heh, kau-kira engkau ini manusia
bersih" Mana lebih baik kotor luarnya bersih dalamnya dibandingkan dengan engkau yang
bersih luarnya kotor dalamnya" Heh-heh-heh! Aku memang Bu-tek Siauw-jin, namaku saja
sudah manusia rendah, apanya yang aneh kalau aku kotor! Engkau adalah seorang
pendeta, baik pakaian maupun namamu menunjukkan bahwa engkau pen-deta, akan tetapi
sepak terjangmu sama sekali berlawanan!"
"Mampuslah!" Maharya membentak dan senjatanya yang ampuh itu sudah menyambar dan
tampak sinar kilat berkelebat. Namun, dengan tubuhnya yang cebol, Bu-tek Siauw-jin dapat
mencelat ke kiri, kakinya menendang sebatang golok di tangan seorang pengawal yang
mencoba menyerangnya. Pengawal itu terhuyung ke depan, diterima oleh pinggul kakek
cebol yang digerakkan ke samping.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
582 "Desss! Augghh....!" Tubuh pengawal yang kena disenggol pinggul kakek itu terlempar dan
menabrak dua orang te-mannya sendiri sehingga mereka bertiga jatuh terguling-guling.
Hanya Maharya dan Bhong-koksu saja yang masih dapat menandingi amukan Bu-tek
Siauw-jin dan Nirahai secara ber-depan, sedangkan para panglima dan anak buah mereka
yang banyak jumlahnya itu hanya berteriak-teriak dan membantu mengurung serta
menyerang kalau ada kesempatan, dari kanan kiri atau bela-kang, karena amukan kakek
cebol dan wanita berkerudung itu benar-benar amat dahsyat dan sudah banyak jatuh korban
di antara para pengawal yang berani menyerang terlampau dekat.
Memang kalau dibuat perbandingan, tingkat kepandaian Maharya masih kalah tinggi oleh
Bu-tek Siauw-jin, sedangkan Bhong-koksu pun masih kalah setingkat oleh Nirahai yang pada
tahun-tahun yang lalu memperoleh kemajuan banyak sekali berkat mengambil inti sari ilmu-
ilmu silat tinggi dari partai-partai lain.
Akan tetapi, dengan bantuan pengeroyokan banyak anak buah mereka, se-dangkan para
panglima yang membantu juga memiliki kepandaian lumayan, maka kakek cebol dan wanita
berkerudung itu terkurung ketat dan belum juga mampu merobohkan Maharya dan Bhong-
koksu. Tiba-tiba muncul belasan orang Tibet dan Mongol yang memiliki gerakan cepat dan
jelas bahwa tingkat mereka lebih tinggi daripada kepandaian para panglima. Mereka adalah
bala bantuan yang dida-tangkan oleh seorang panglima dan kini mereka langsung
menerjang maju menge-royok Bu-tek Siauw-jin dan Nirahai!
Terpaksa dua orang yang terkurung itu kini saling membantu dengan beradu punggung


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saling membelakangi. Bu-tek Siauw-jin sudah mandi keringat. Kakek ini telah merampas
sebatang toya dan melindungi tubuhnya dengan toya itu sampai senjata itu remuk, lalu
dirampas-nya sebatang golok untuk melanjutkan gerakannya melindungi tubuh sendiri dari
serangan yang datang bagaikan hujan lebatnya.
"Kita harus keluar dari sini," tiba-tiba Bu-tek Siauw-jin berkata kepada Nirahai di
belakangnya. "Hemmm, apakah engkau takut?" Ni-rahai balas bertanya dan ujung sepatu kirinya berhasil
merobohkan seorang Ne-pal, dengan menendang pusar orang itu sehingga roboh berkejotan
untuk tak dapat bangun kembali.
"Siapa takut" Yang terlalu adalah Pendekar Super Sakti, sampai se-karang pun tidak
muncul batang hidungnya. Terlalu ini namanya! Aku sendiri yang disuruh menghadapi
cacing-cacing ini!"
"Aku tidak butuh bantuan dia atau siapa juga!" Mendengar disebutnya Pen-dekar Super
Sakti, Nirahai marah. "Kalau kau takut, pergilah. Aku tidak butuh bantuanmu."
"Eh-eh, benar-benar kau wanita som-bong dan galak! Untung bukan isteriku!"
Nirahai terbelalak di balik kerudung-nya dan memutar pedangnya menangkis serangan
yang datang bertubi-tubi se-hingga tampak bunga api berpijar menyusul suara berdencing
nyaring. "Apa kau bilang" Mengapa untung?"
"Punya isteri galak macam engkau benar-benar mendatangkan neraka dunia!" Bu-tek
Siauw-jin berkata lagi. "Sudah dibantu, tidak menerima malah bicara galak dan sombong.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
583 Eh, Thian-liong-pang-cu, aku menganjurkan kita keluar dari sini bukan karena takut
melainkan aku khawatir saat ini perkumpulanmu sedang dihancurkan oleh mereka!"
"Apa....?"
"Bodoh! Apakah engkau melihat pem-bantu-pembantu mereka itu lengkap" Engkau kena
dipancing di sini, kalau kau tidak cepat-cepat keluar menolong perkumpulanmu, akan
habislah Thian-liong-pang!"
Karena percakapan itu dilakukan de-ngan suara keras, tentu saja terdengar oleh Bhong-
koksu yang tertawa bergelak,
"Si Cebol busuk ini benar-benar pandai! Memang sekarang Thian-liong-pang se-dang kami
gempur habis, ha-ha!"
"Singgg.... tranggg....!" Bhong-koksu terkejut dan cepat dia melempar tubuhnya ke
belakang. Serangan Nirahai tadi benar-benar hebat bukan main, dilakukan dengan
pengerahan seluruh tenaga saking marahnya sehingga tangkisan Bhong-koksu membuat
kakek ini terpental dan hampir saja pundaknya tercium pedang lawan. Para pembantunya,
orang-orang Tibet dan Mongol yang lihai segera mengurungnya kembali. Kini dua orang
sakti itu mengamuk lagi, akan tetapi kalau tadi mengamuk untuk membunuh lawan
sebanyaknya, kini mereka mengamuk untuk membuka jalan darah dan keluar dari tempat
itu, keluar dari ta-man istana Koksu untuk menyelamatkan Thian-liong-pang. Tentu saja
Nirahai yang mempunyai keinginan ini, sedangkan Bu-tek Siauw-jin sama sekali tidak peduli
akan nasib Thian-liong-pang karena dia sendiri ingin mencari muridnya disamping sudah
lelah sekali bertempur sejak tadi. Sudah bosan dia dan ingin menyusul muridnya, ingin
bertemu dengan Pende-kar Super Sakti yang dikagumi akan te-tapi yang juga menimbulkan
kemendong-kolan hatinya karena sampai sekian lamanya pendekar itu tidak muncul juga
membantunya! Adapun Bhong-koksu dan Maharya yang maklum bahwa dua orang itu berusaha keluar dari
kepungan, berkali-kali meneriakkan aba-aba untuk mengepung lebih ketat lagi sehingga
terjadilah per-tandingan yang lebih hebat dan mati-matian.
*** Dugaan Bu-tek Siauw-jin memang be-nar. Biarpun kakek cebol ini kelihatan sinting dan
ketolol-tololan, namun dia adalah seorang yang sudah berpengalaman dan berada di tempat
itu selama bebera-pa hari, mendengar percakapan-percakap-an antara Koksu dan Nirahai,
percakap-an-percakapan yang dilakukan para pengawal ketika dia dan muridnya di-tahan,
sudah cukup baginya untuk me-ngerti duduknya perkara.
Dugaannya bahwa Thian-liong-pang diserang selagi ketuanya mengamuk di taman,
memang tepat sekali. Hal ini memang sudah direncanakan oleh Bhong-koksu yang
menganggap bahwa kalau Thian-liong-pang belum dihancurkan lebih dahulu, tentu
perkumpulan yang amat kuat itu akan menjadi penghalang bagi pemberontakan yang
diaturnya bersama Pangeran Yauw Ki Ong karena Nirahai tentu akan memimpin
perkumpulannya itu untuk membela ayahnya kaisar.
Pada saat Nirahai dan Bu-tek Siauw-jin mengamuk di taman istana koksu, sepasukan
tentara dipimpin oleh Thian Tok Lama, Bhe Ti Kong panglima tinggi besar tangan kanan
Koksu, dan beberapa orang panglima yang berkepandaian ting-gi dibantu pula oleh orang-
orang yang menjadi jagoan-jagoan dari Nepal dan Tibet, menyerbu markas besar Thian-
liong-pang di luar kota raja.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
584 Karena puteri Ketua Thian-liong-pang, Milana sudah mengetahui akan rahasia Bhong-koksu
dengan persekutuan pembe-rontaknya, maka begitu ibunya mening-galkan markas untuk
membuat perhitung-an dengan Koksu, dara perkasa ini telah mengadakan persiapan.
Penjagaan dilaku-kan dengan ketat dan dibantu oleh para tokoh Thian-liong-pang, yaitu
Tang Wi Siang, Lui-hong Sin-ciang Chie Kang, dan Sai-cu Lo-mo Bhok Toan Kok Si Kakek
Muka Singa, dan para pembantu lainnya. Jumlah anak buah Thian-liong-pang bersama para
pemimpinnya yang berkumpul di tempat itu masih ada ku-rang lebih seratus orang. Mereka
semua siap sedia menanti perintah dari puteri ketua mereka dan di lain pihak Milana juga
menanti kembalinya ibunya dengan hati penuh ketegangan karena dia mak-lum bahwa pasti
akan terjadi sesuatu yang hebat berhubungan dengan pembe-rontakan yang diatur oleh
Pangeran Yauw Ki Ong dan dibantu oleh Koksu itu.
Karena persiapan yang telah diadakan oleh Milana dan para tokoh Thian-liong-pang inilah,
maka ketika terjadi penyer-buan oleh pasukan pengawal yang dipim-pin oleh Thian Tok
Lama, terjadi per-tempuran yang amat seru dan hebat. Pihak Thian-liong-pang mengadakan
perlawanan mati-matian dan karena rata-rata anggauta Thian-liong-pang me-miliki ilmu silat
yang cukup tangguh, maka biarpun pasukan tentara lebih besar dan lebih kuat, tidak mudah
bagi mereka untuk menumpas Thian-liong-pang tanpa jatuh banyak korban di pihak tentara.
Betapapun juga, ilmu kepandaian Thian Tok Lama amat lihai dan betapa-pun para tokoh
Thian-liong-pang membela diri mati-matian, tak seorang pun di antara mereka yang mampu
menandingi pendeta Lama dari Tibet yang kosen ini. Agaknya hanya Milana seoranglah
yang hampir dapat mengimbanginya, akan te-tapi pada saat penyerbuan terjadi, Mi-lana
telah dikepung dan dikeroyok oleh lima orang Nepal dan dua orang Tibet pembantu Thian
Tok Lama, sedangkan Lama itu sendiri memimpin orang-orang-nya menyerbu ke dalam dan
mengamuk, ditahan oleh Tang Wi Siang, Lui-hong Sin-ciang Chie Kang, dan Sai-cu Lo-mo
Bhok Toan Kok. Terjadilah pertandingan dahsyat di sebelah luar dan dalam mar-kas Thian-
liong-pang. Pertandingan mati-matian yang berlangsung sampai setengah hari lebih!
Betapa gigih para tokoh Thian-liong-pang mempertahankan diri, tanpa adanya ketua
mereka di situ, akhirnya mereka itu runtuh juga. Seorang demi seorang roboh dan tewas,
mula-mula Tang Wi Siang tewas oleh Thian Tok Lama, ke-mudian Lui-hong Sin-ciang Chie
Kang bahkan Sai-cu Lo-mo Bhok Toan Kok juga terluka parah dan hanya karena di situ tidak
ada ketuanya maka kakek ini memaksa diri untuk lari, bukan karena dia takut mati,
melainkan agar kelak dia dapat melaporkan kepada ketuanya, apalagi setelah dilihatnya
betapa puteri ketuanya tertawan oleh Thian Tok Lama.
Hanya beberapa orang saja yang ber-hasil lolos dari maut dalam penyerbuan itu, dan
seperti juga Sai-cu Lo-mo, para anggauta Thian-liong-pang yang berhasil lolos dan
melarikan diri itu menderita luka-luka parah.
Karena telah dapat menghancurkan Thian-liong-pang dan terutama sekali da-pat menawan
Milana, Thian Tok Lama tidak melakukan pengejaran terhadap sisa orang Thian-liong-pang.
Hari telah menjadi sore dan dia hendak cepat-cepat membawa Milana sebagai tawanan ke
kota raja. Dara itu merupakan seorang tawanan penting sekali, karena dengan adanya dara
itu sebagai sandera, tentu Ketua Thian-liong-pang tidak akan mam-pu berbuat hal-hal yang
akan merugikan persekutuan yang dipimpin oleh Pangeran Yauw Ki Ong dan Bhong-koksu.
Berangkatlah sisa pasukan pengawal yang tinggal separuh itu meninggalkan markas Thian-
liong-pang yang telah terbasmi dan telah mereka bakar, menuju ke kota raja. Milana dengan
kedua ta-ngan terbelenggu, menjadi tawanan dan dinaikkan ke atas punggung seekor kuda,
digiring di tengah-tengah mereka dan dikawal sendiri oleh Panglima Bhe Ti Kong, Thian Tok
Lama dan para pembantunya. Yang menjadi pelopor di depan adalah jagoan-jagoan Nepal!
Yang ber-sorban dan rata-rata bertubuh tinggi besar. Mereka merasa bangga karena dalam
kemenangan ini mereka melihat tanda yang baik bahwa persekutuan mereka akan berhasil,
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
585 dan kalau kaisar berhasil dijatuhkan, tentu mereka akan memperoleh kedudukan tinggi
bukan ha-nya dari kaisar baru, akan tetapi teruta-ma dari raja-raja mereka sendiri karena
Pangeran Yauw Ki Ong sudah menjanji-kan persahabatan, bukan penaklukan se-perti
sekarang, kepada Nepal, Mongol dan Tibet.
Karena hari sudah hampir gelap dan perjalanan melalui sebuah hutan besar, maka pasukan
itu melakukan perjalanan cepat. Terdengar suara derap kaki kuda mereka bergema di dalam
hutan dan pasukan yang berjalan kaki mengikuti dari belakang setengah berlari. Sembilan
orang jagoan Nepal yang merasa berjasa dan bergembira, tidak dapat menahan
kegembiraan hati mereka dan terdengar-lah suara mereka bernyanyi-nyanyi dalam bahasa
Nepal ketika mereka membedal kuda tunggangan mereka mendahului pa-sukan karena
memang mereka menjadi pelopor. Aneh dan janggal sekali suara mereka itu, suara asing
yang bergema di sepanjang hutan yang dilalui pasukan itu.
Kadang-kadang suara nyanyi hiruk- pikuk panjang pendek itu diseling suara ketawa dan
teriakan-teriakan mereka bersendau-gurau. Semua ini diperhatikan dan didengarkan oleh
Milana yang duduk dengan sikap tenang di atas kudanya. Dara perkasa ini merasa berduka
mengingat akan kehancuran Thian-liong-pang dan kematian tokoh perkumpulan ibunya.
Namun sedikit pun dia tidak merasa ge-lisah atau takut. Hanya terpaksa dia ditawan. Akan
tetapi setiap saat ia ber-siap untuk melawan dan memberontak jika terdapat kesempatan.
Satu-satunya hal yang dikhawatirkannya hanyalah ke-adaan ibunya. Ibunya belum tahu akan
malapetaka yang menimpa Thian-liong-pang dan dia tidak tahu di mana adanya ibunya,
akan tetapi dia dapat menduga bahwa tentu ibunya juga terancam baha-ya besar yang
direncanakan oleh Koksu dan kaki tangannya.
Dengan sikap angkuh dan agung Mila-na mengerling kepada Thian Tok Lama dan Panglima
Bhe Ti Kong yang menung-gang kuda di dekatnya. Panglima itu menjadi orang kepercayaan
Koksu dan kedua orang ini, terutama Thian Tok Lama, yang mengawal dan menjaganya.
Kalau saja tidak ada pendeta Tibet itu, agaknya masih ada harapan baginya un-tuk
meloloskan diri. Akan tetapi pendeta gundul itu benar-benar amat lihai.
"Tidak enakkah dudukmu, Nona" Me-nyesal sekali, terpaksa kami membeleng-gu kedua
tanganmu." Terdengar Panglima Bhe Ti Kong berkata.
Milana tidak menjawab, juga tidak menoleh sama sekali, melainkan tetap duduk tegak
memandang ke depan seo-lah-olah tidak mendengar suara panglima itu. Betapapun juga,
dia adalah puteri Ketua Thian-liong-pang, malah lebih je-las lagi, puteri dari Puteri Nirahai!
Dia adalah cucu kaisar! Kedudukannya jauh lebih tiggi daripada kedudukan seorang
panglima pembantu Koksu. Dengan pikiran ini, Milana dapat duduk dengan tegak dan sikap
agung dan sikap ini terasa sekali oleh Bhe Ti Kong maupun Thian Tok Lama.
"Hemm, tiada gunanya bersikeras. Hanya orang bodoh dan tidak bijaksana saja yang tidak
mampu menghadapi ke-kalahan dan berkeras kepala." Kembali Bhe Ti Kong berkata karena
diapun tahu bahwa dara jelita dan perkasa itu adalah cucu kaisar, merupakan seorang
tawanan yang amat penting dan mem-buat dia merasa tidak enak sendiri.
Milana tersenyum mengejek, menger-ling dan berkata, "Perlu apa banyak cerewet"
Tunggulah saja kalau sampai kalian terjatuh ke tangan ibuku!"
Pada saat itu, sebelum Bhe Ti Kong atau Thian Tok Lama menjawab, tiba-tiba terdengar
teriakan mengerikan di sebelah depan. Sampai tiga kali terde-ngar jerit mengerikan itu jerit
meman-jang, jerit orang yang ketakutan, jerit kematian. Setelah gema suara jerit itu lenyap,
yang terdengar hanya derap kaki kuda dan suasana menjadi menyeramkan dan
menegangkan sekali.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
586 "Harap Ciangkun menjaga dia baik-baik, pinceng akan mengadakan penga-walan di
belakang. Kumpulkan semua tenaga untuk mengawal dia," kata Thian Tok Lama.
Bhe Ti Kong mengangguk, kemudian memanggil para panglima dan jagoan-jagoan Nepal,
dan pasukan itu bergerak maju, Milana di tengah-tengah mereka, dijaga ketat.
"Apakah yang terjadi" Siapa yang menjerit tadi?" Bhe Ti Kong bertanya.
Para pelopor, jagoan-jagoan Nepal itu mengangkat bahu. "Kawan-kawan yang berada di
depan tentu akan dapat memberi keterangan nanti," kata mereka. Mereka adalah tiga orang
di antara sembilan jagoan Nepal yang tadi bernyanyi-nyanyi dan tertawa-tawa. Adapun yang
enam orang lain telah mendahului gerakan pasukan sebagai pelopor dan pembuka jalan,
juga sebagai pengawas agar jalan yang akan mereka lalui aman.
Milana tetap duduk tegak di atas kudanya dengan tenang. Dikurung di tengah-tengah antara
para panglima dan jagoan Nepal, kudanya lari mencongklang, membuat tubuhnya terayun-
ayun mengikuti gerakan kuda, dan rambut dara yang panjang itu berkibar. Mereka memasuki
bagian hutan yang lebat dan keadaan sudah mulai suram dan agak gelap.
"Haiii....! Lihat di depan itu....!" Ti-ba-tiba Bhe Ti Kong berteriak, disusul seruan-seruan kaget
para jagoan Nepal yang cepat membalapkan kuda mereka menuju ke depan di mana
tampak seso-sok tubuh orang bersorban membujur di atas tanah.
Milana memandang dengan jantung berdebar. Dari jauh saja dia sudah dapat melihat
bahwa orang yang rebah di atas tanah di tengah jalan itu tentulah seorang di antara jagoan
Nepal yang tadi bernyanyi-nyanyi. Dugaannya memang tepat. Setelah mereka datang dekat
dan para jagoan Nepal bersama Panglima Bhe Ti Kong meloncat turun dari kuda
memeriksa, ternyata bahwa tubuh itu adalah mayat seorang di antara para jagoan Nepal
yang mendahului jalan, rebah telentang dan tewas dengan seba-tang pisau, pisaunya sendiri
yang menja-di kebanggaan para jagoan Nepal itu, menancap di tenggorokannya!
Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda membalap dari arah depan dan belakang. Hampir
berbareng dua orang penunggang kuda itu tiba di situ. Yang datang dari belakang adalah
Thian Tok Lama yang telah mendengar akan kematian seorang pembantunya dari Nepal,
adapun yang datang dari depan adalah seorang jagoan Nepal lain yang bermuka pucat dan
yang begitu datang melapor dengan suara ter-engah-engah kepada Thian Tok Lama,
"Celaka.... di depan ada lagi tiga orang teman yang tewas....!"
Thian Tok Lama terkejut dan marah sekali. Sambil mengeluarkan suara meng-gereng keras
dia melayang turun dari atas punggung kudanya, berdiri dan me-mandang ke depan,
mulutnya mengeluar-kan suara yang nyaring melengking sam-pai bergema di seluruh hutan.
"Pinceng Thian Tok Lama memimpin pasukan khusus dari Koksu, siapakah be-gitu berani
mati mengganggu kami dan membunuh empat orang anggauta penga-wal pasukan kami?"
Semua orang diam dengan hati tegang membuka mata dan telinga menanti jawaban dan
keadaan di hutan itu sunyi sekali, sunyi dan menyeramkan. Sampai dua kali Thian Tok Lama
mengulang teriakannya namun belum juga ada ja-waban.
Suara Milana yang tertawa mengejek memecahkan kesunyian yang menyeram-kan itu.
"Hem, mengapa kalian begini ketakutan?" Dara itu mengejek, hanya untuk memperolok
orang-orang yang di-bencinya itu. Dia sendiri tidak tahu siapa pembunuh orang-orang Nepal
itu, tidak dapat menduga apakah pembunuh itu kawan ataukah lawan. Melihat caranya
membunuh jagoan-jagoan Nepal yang lihai jelas dapat diduga bahwa pembu-nuhnya
tentulah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi dia yakin bukan ibunya yang
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
587 melakukan hal itu. Cara yang dipergunakan ibunya selalu terbuka, tidak suka ibunya
membunuh lawan secara menggelap macam itu. Ibu-nya adalah seorang gagah perkasa
sejati sedangkan cara yang dipergunakan pem-bunuh ini menyeramkan penuh rahasia.
Tiba-tiba terdengar suara yang nyaring, seolah-olah menyambut atau men-jawab
pertanyaan mengejek dari Milana tadi.
"Kalau Nona Milana tidak segera di-bebaskan, sebentar lagi bukan hanya para pelopor yang
tewas, melainkan seluruh pasukan! Berani melawan dan menghina tunanganku, berarti
bosan hidup!"
Diam-diam Milana terkejut dan kece-wa sekali mendengar suara yang dikenal-nya itu. Dia
merasa gelisah. Tahulah dia bahwa yang membunuh orang-orang Ne-pal itu adalah pemuda
Pulau Neraka yang amat dibencinya itu, dibenci akan tetapi juga ditakutinya. Namun tentu
saja dara jelita ini tidak memperlihatkan rasa khawatirnya dan masih tetap ber-sikap biasa
dan tenang seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu yang membuat dia merasa khawatir.
Tentu saja Thian Tok Lama menjadi marah sekali. Dia tidak tahu dan tidak dapat menduga
siapa orang yang menge-luarkan kata-kata sombong itu, akan tetapi dia menduga bahwa
tentulah orang itu berniat merampas tawanan. Satu-satunya orang yang ditakutinya di dunia
ini hanyalah Pendekar Super Sakti, dan biarpun dia tahu bahwa Ketua Thian-liong-pang juga
amat lihai dan mungkin saja ketua itu tiba-tiba muncul untuk menolong puterinya, namun
dengan bantuan para jagoan-jagoan Nepal dan pasukannya yang kuat, dia merasa cukup
kuat menghadapi bekas puteri kaisar itu.
"Siapa berani main-main dengan pin-ceng" Harap suka keluar untuk bicara!" Kembali Thian
Tok Lama mengeluarkan seruan dengan pengerahan khi-kang se-hingga suaranya
mengandung getaran berpengaruh.
"Blarrr....!" Sebuah ledakan keras me-ngejutkan semua orang. Tempat itu men-jadi gelap
tertutup asap hitam. Seorang panglima yang berlaku waspada cepat meloncat dekat kuda
yang diduduki Mi-lana untuk menjaga jangan sampai dalam keadaan gelap itu tawanan yang
penting ini dilarikan orang.
"Pasukan tenang, jangan gugup dan mudah dikacau orang. Asap ini tidak berbahaya....!"
Thian Tok Lama berseru ketika ia mendapat kenyataan bahwa asap hitam itu tidak
mengandung racun. Sedangkan dia sendiri diam-diam berge-rak di dalam asap, memasang
mata untuk mencari musuh yang melepas asap hitam tebal. Akan tetapi tidak tampak ada
gerakan sesuatu, maka diapun hanya berdiri dan bersikap waspada karena un-tuk bergerak
di dalam selimutan asap gelap itu benar-benar merupakan bahaya, salah-salah bisa
menyerang anak buah sendiri.
"Wir-wir-wirrr....!" Asap hitam mem-buyar tertiup angin yang menyambar-nyambar sehingga
tak lama kemudian tempat di sekitar itu tidak begitu gelap lagi. Asap hitam mulai menipis.


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Thian Tok Lama memandang dengan mata terbelalak, kaget bukan main me-lihat bahwa
angin yang menyambar-nyambar mengusir asap hitam itu keluar dari gerakan kedua lengan
seorang pemu-da tampan yang tahu-tahu telah berdiri di dekat kuda yang ditunggangi
Milana, sedangkan seorang panglima tua yang tadi mendekati dan menjaga tawanan telah
menggeletak tak bernyawa di kaki kudanya sendiri!
"Keparat, siapa engkau....?" Thian Tok Lama sudah menggerakkan tangan dan siap
menyerang. Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
588 Pemuda itu mengangkat tanganka-nannya ke atas dan terdengar suaranya tertawa. Thian
Tok Lama merasa seram. Pemuda itu tertawa, atau lebih tepat, memperdengarkan suara
tertawa, akan tetapi mulut dan matanya tidak tertawa, hanya bibirnya bergerak sedikit. Persis
mayat tertawa! "Ha-ha-ha-ha, pendeta Lama. Kalau aku menjadi engkau, aku tidak akan sembrono
menggerakkan tangan menye-rang!"
Sikap dan kata-kata pemuda itu membuat Thian Tok Lama ragu-ragu dan curiga. Dia tidak
tahu siapakah pemuda aneh ini, kawan ataukah lawan karena keadaan masih agak gelap,
bukan hanya gelap oleh asap, akan tetapi karena sen-ja mulai mendatang dan tempat itu
penuh dengan pohon-pohon besar. Akan tetapi ada sesuatu yang seolah-olah membisikkan
kewaspadaan kepadanya, maka kini dia melangkah maju dan me-mandang penuh
perhatian. Tiba-tiba pendeta Lama itu terkejut. Kini dia mengenal pemuda itu, seorang pemuda yang
masih remaja, akan tetapi yang memiliki sikap aneh luar biasa. Pemuda tampan yang
mempunyai mata seperti mata iblis, mukanya agak pucat dan gerak-geriknya
membayangkan ke-tinggian hati yang tidak lumrah. Pemuda dari Pulau Neraka yang pernah
muncul di padang tandus ketika Thian-liong-pang mengadakan pertemuan dan
pertan-dingan! Hatinya menjadi agak lega. Pe-muda ini bukan tokoh Thian-liong-pang, dan
sebagai seorang tokoh Pulau Neraka, pasti sekali bukan sahabat Thian-liong-pang,
sungguhpun dia dan pasukannya tidak dapat mengharapkan sikap baik dari penghuni Pulau
Neraka yang telah dibasmi oleh pasukan pemerintah itu.
"Orang muda, kalau pinceng tidak sa-lah mengenal orang, engkau adalah orang yang
pernah muncul sebagai tokoh Pulau Neraka, benarkah?"
Mendengar ucapan Thian Tok Lama itu, para panglima dan jagoan Nepal terkejut, dan
diam-diam mereka bersiap-siap dengan pasukan mereka mengurung pemuda itu.
Sedangkan Milana yang diam-diam merasa cemas juga, tetap bersikap dingin dan tidak mau
mengacuh-kan mereka semua, duduk diam dan tegak di atas kudanya, memandang jauh.
Pernuda itu adalah Wan Keng In, pu-tera Ketua Pulau Neraka. Pemuda yang tergila-gila
kepada Milana itu, mende-ngar pertanyaan Thian Tok Lama terse-nyum dingin dan hanya
mengangguk dan memandang rendah, sama sekali tidak menjawab karena dia sudah
menoleh lagi kepada Milana dengan pandang mata penuh kemesraan!
Melihat sikap pemuda itu, diam-diam Thian Tok Lama mendongkol sekali. Dia tahu bahwa
pemuda itu memiliki ilmu kepandaian yang lihai dan aneh, akan tetapi dia sendiri bukanlah
seorang biasa yang mudah merasa gentar menghadapi lawan semuda itu! Apalagi melihat
bahwa pemuda itu hanya seorang diri, tidak ditemani dua orang kakek seperti setan yang
pernah menggegerkan pertemuan yang diadakan Thian-liong-pang. Dengan adanya
pasukan dan para pembantunya, tentu saja dia tidak takut menghadapi pemuda yang masih
amat muda itu. "Orang muda, pinceng harap engkau tidak begitu nekat untuk menentang pa-sukan
pemerintah! Apakah engkau yang telah lancang membunuh orang-orang kami itu?" Kembali
Thian Tok Lama bertanya.
Dengan sikap acuh tak acuh, Wan Keng In memaksa mukanya mengalihkan pandang mata
dari wajah Milana yang jelita kepada wajah Thian Tok Lama yang gemuk. Cuping hidungnya
yang tipis bergerak, mengeluarkan dengus menghina, kemudian dia berkata,
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
589 "Thian Tok Lama, tak perlu mengger-tak aku dengan nama pasukan pemerintah. Aku tahu
pasukan apa ini, dan tahu pula apa yang akan dilakukan oleh Koksu ber-sama Pangeran
Yauw Ki Ong. Ha-ha-ha, apa kaukira aku tidak melihat betapa kalian membasmi Thian-liong-
pang" Sungguh bagus....!"
Dapat dibayangkan betapa kaget hati Thian Tok Lama mendengar ucapan itu, dan semua
anggauta pasukan sudah me-raba senjata. Akan tetapi karena pendeta Lama itu belum
memberi aba-aba, me-reka semua hanya bersiap-siap mengha-dapi pemuda yang
mendatangkan suasana menyeramkan itu.
"Orang muda, di pihak siapakah eng-kau berdiri?" Thian Tok Lama meman-cing, tidak mau
berpura-pura lagi karena maklum bahwa dia menghadapi orang luar biasa.
"Tentu saja di pihakku sendiri, tolol!" Wan Keng In menjawab. "Kalian mem-basmi Thian-
liong-pang bukan urusanku karena Ketua Thian-liong-pang berani menghina dan menolak
pinanganku. Akan tetapi engkau telah berani menawan dan menghina tunanganku ini,
hemm...., benar-benar tak boleh dibiarkan begitu saja. Kalau Koksu tidak minta maaf kepada
Nona Milana, aku akan membasmi dia dan semua kaki tangannya!"
"Manusia sombong....!" Bhe Ti Kong berseru marah sekali. Panglima ini ada-lah seorang
yang tangguh, kasar dan setia kepada Koksu. Sudah banyak dia melihat orang pandai
namun orang-orang pandai tunduk dan takut kepada Koksu, maka kini melihat seorang
pemuda ber-sikap demikian angkuh, dan melihat sikap Thian Tok Lama yang dianggapnya
terlalu merendahkan kedudukan dan wibawa Koksu, dia menjadi marah sekali.
Sambil membentak demikian, Bhe Ti Kong sudah menerjang maju, meloncat turun dari
kudanya dan langsung menye-rang pemuda itu dengan senjatanya yang dahsyat, yaitu
sebuah tombak cagak yang bergagang pendek. Gerakan panglima ini kuat sekali, dan
bagaikan seekor burung rajawali dia menyambar dari atas, langsung tombaknya melakukan
gerakan se-rangan beruntun sampai tiga kali ke arah kepala, leher, dan dada Wan Keng In.
"Plak-plak-plak.... bressss....!"
Enak saja Wan Keng In menyambut serangan-serangan itu. Tanpa menggeser kedua
kakinya yang masih berdiri terpen-tang lebar, dengan sikap acuh tak acuh, dia tadi
menggerakkan tangan kiri, me-nyampok ke arah tombak setiap kali ujung tombak itu
menyambar. Tiga kali dia menangkis dan yang terakhir kalinya disusul dengan dorongan
yang membuat tubuh Panglima Bhe Ti Kong terbanting ke atas tanah dan bergulingan
sampai beberapa meter jauhnya! Melihat ini, para jagoan Nepal dan para panglima terkejut
dan sudah mencabut senjata masing-masing, bergerak hendak menge-royok.
"Thhan....!" Thian Tok Lama mengang-kat tangan ke atas sehingga pasukarinya tidak berani
maju, hanya menoleh dan memandang kepadanya penuh pertanyaan. Thian Tok Lama
melangkah maju menghadapi Wan Keng In yang tersenyum mengejek."Orang muda, engkau
siapakah, dan apakah kehendakmu" Berikan penjelasan sebelum kami terlanjur turun
tangan yang akan mendatangkan penyesalan karena kami akan lebih suka menarikmu
sebagai sahabat.
Pada waktu ini, Koksu membutuhkan bantuan banyak orang pandai dan kalau engkau suka
membantunya, pinceng yakin bahwa kelak engkau akan memperoleh kemuliaan." Pendeta
itu memang cerdik sekali. Biarpun dia tidak takut terhadap pemuda ini, akan tetapi kalau
sampai terjadi bentrokan, tentu akan jatuh banyak korban di antara pem-bantu-pembantunya
melihat pemuda itu secara lihai bukan main telah mengalah-kan Bhe Ti Kong dalam
segebrakan saja. Apalagi kalau diingat bahwa siapa tahu, muncul pula dua orang kakek
setan yang mengerikan itu! Maka, jauh lebih baik membujuk pemuda ini, karena kalau dia
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
590 berhasil menarik pemuda lihai ini seba-gai sekutu, tentu Koksu akan menjadi girang bukan
main dan akan memujinya.
Wan Keng In mengeluarkan suara mendengus marah. "Huhh! Kaukira aku ini orang macam
apa yang membutuhkan anugerah Koksu" Kalau Koksu sendiri mau datang ke sini dan
minta maaf ke-pada Nona Milana, kemudian mengundang aku, barulah aku akan pikir-pikir
tentang kerja sama yang kausebut-sebut itu."
Dapat dibayangkan betapa marahnya Thian Tok Lama mendengar ucapan yang amat
sombong itu! Namun, sebagai se-orang yang sudah banyak pengalaman, dia dapat
menduga bahwa pemuda dari Pulau Neraka ini adalah seorang anak manja yang sejak kecil
memperoleh pen-didikan kesaktian tinggi sehingga terlalu percaya kepada kepandaian
sendiri, juga karena ada yang diandalkan. Maka dia bersikap sabar, bahkan tersenyum dan
berkata, "Ha-ha-ha, tenaga seorang pandai memang amat mahal! Seorang pemimpin yang bijaksana
tidak akan segan-segan merendahkan diri untuk mendapatkan bantuan orang pandai.
Menteri Kiang Cu Ge pun baru mau mengabdi kepada kai-sar setelah kaisar datang sendiri
mengundangnya. Pantas saja kalau Sicu (Orang Muda Gagah) mencontoh perbuatannya.
Akan tetapi, sebelum terbukti cukup berharga untuk diundang sendiri oleh Koksu, harus lebih
dulu diuji kepandaiannya. Pinceng adalah seorang pembantu Koksu yang sudah
memperoleh keperca-yaan, biarlah pinceng memberanikan diri untuk menguji kepandaian
Sicu, kalau Sicu suka memperkenalkan nama."
Mendengar ucapan dan melihat sikap menghormat ini, Wan Keng In yang bia-sanya
dimanja menjadi bangga sekali. Pendeta itu adalah tangan kanan Koksu Negara, dan sudah
menyamakannya de-ngan Kiang Cu Ge, tokoh manusia dewa dalam sejarah lama (cerita
Hong-sin-pong) yang menjadi pujaan semua manu-sia karena kebijaksanaannya sehingga
sekalian setan dan iblis di neraka pun tunduk kepadanya!
"Thian Tok Lama, aku Wan Keng In pun bukanlah seorang yang tidak tahu siapa yang pada
waktu ini patut dibantu. Aku tadi membunuh orang-orangmu kare-na aku marah melihat
kekasih dan tu-nanganku ditawan. Kalau engkau hendak mengujiku, silakan, akan tetapi
jangan menyesal kalau engkau tewas dalam per-tandingan ini!" Benar-benar ucapan yang
amat sombong, akan tetapi pada saat itu Wan Keng In sudah mencabut pe-dangnya yang
membuat Thian Tok Lama terbelalak kaget dan ngeri. Pedang di tangan pemuda itu
mengeluarkan sinar maut yang berkilat-kilat.
"Aihh.... bukankah Lam-mo-kiam di tanganmu itu, Sicu?"
Wan Keng In memandang pedangnya dan mengangguk bangga.
"Wan-sicu, pinceng percaya bahwa Si-cu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Biarlah tidak
perlu lagi pinceng menguji dan marilah Sicu ikut bersama pinceng pergi menghadap Koksu"
Gentar juga pendeta ini melihat Lam-mo-kiam.
Wan Keng In masih melintangkan pe-dangnya di depan dada, alisnya berkerut, kemudian
dia menjawab, "Dengan dua syarat!"
"Katakanlah, pinceng yakin Koksu akan dapat memenuhi syarat Sicu."
"Pertama, Nona Milana ini adalah ke-kasih dan tunanganku, tidak boleh di-ganggu dan
bahkan harus disyahkan men-jadi isteriku. Ke dua, aku menjadi pembantu langsung dari
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
591 Koksu Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, dan hanya mau menjadi bawahan orang yang dapat
mengalahkan kepandaianku!"
Diam-diam Thian Tok Lama tertawa dalam hatinya. Orang muda ini benar-benar sombong
dan berkepala dingin! Akan tetapi dia tersenyum dan mengang-guk-angguk. "Koksu adalah
seorang yang ahli dalam memilih pembantu, kalau sudah bertemu dengan Wan-sicu dan
menyaksikan kelihaian Sicu, tentu akan suka memberikan kedudukan yang tinggi. Ten-tang
Nona ini.... ehhh....!"
Tiba-tiba Thian Tok Lama tidak melanjutkan kata-katanya karena terkejut melihat betapa
kuda yang ditunggangi Milana itu mendadak meloncat ke depan dan kabur! Kiranya ketika
tadi Milana mendengar percakapan di antara mereka dan melihat perkembangan yang tidak
menguntungkan baginya, dara ini menjadi makin cemas. Tadinya dia mengharap akan
terjadi bentrokan antara pihak Thian Tok Lama dan Wan Keng In se-hingga dalam
kekacauan itu dia mendapat kesempatan untuk meloloskan diri. Akan tetapi dengan kecewa
dan mendongkol dia melihat perkembangan yang jauh berbeda. Kedua orang itu bahkan
berse-kutu, maka habislah harapannya untuk melihat mereka bertanding. Karena tidak
melihat jalan lain, dan merasa ngeri membayangkan terjatuh ke tangan pemu-da gila itu, dia
lalu berusaha mengabur-kan kudanya sambil mengerahkan tenaga sehingga belenggu
kedua tangannya putus.
"Ha-ha, tidak perlu khawatir, aku akan menangkapnya kembali. Heiii, ma-nisku, engkau
hendak pergi ke mana" Jangan tinggalkan aku, kekasih....!" Wan Keng In berseru dan
tubuhnya sudah me-luncur ke depan cepat sekali.
Milana maklum bahwa dia harus melawan mati-matian, maka dengan ne-kat dia lalu
menggerakkan tangannya dan bekas tali yang tadi membelenggu ta-ngannya, kini meluncur
menjadi sinar hitam menyambut tubuh Wan Keng In yang mengejarnya.
"Ha-ha-ha, engkau mau main-main denganku?" Wan Keng In tertawa, tangan kiri
menyambut tali itu. Menangkap ujungnya dan terus disentakkan ke atas, tangan kanan
dipukulkan ke depan ke arah tubuh belakang kuda yang membalap.
Kuda yang ditunggangi Milana menge-luarkan suara meringkik keras dan roboh
berkelojotan terkena pukulan jarak jauh yang dilakukan oleh Wan Keng In, se-dangkan tubuh
dara itu terlempar ke atas ketika tali yang dipergunakan me-nyerang pemuda itu tadi
tertangkap oleh Keng In dan disentakkan ke atas. Pemu-da itu benar-benar hebat sekali ilmu
kepandaiannya dan kini dia sudah melon-cat ke depan untuk menyambut tubuh Milana yang
terlempar ke atas.
"Ehhhh....?" Wan Keng In terbelalak heran dan memandang ke atas. Dia merasa kecelik
karena tubuh dara yang dinantikan itu sama sekali tidak kelihat-an melayang turun, bahkan
ketika ia menarik lagi tali yang dicengkeramnya, tali itu putus dan hampir menghantam
mukanya sendiri. Dan dapat dibayangkan betapa heran dan marahnya ketika me-lihat bahwa
kini Milana telah duduk di atas dahan pohon tinggi, berhadapan dengan seorang pemuda
dan mereka asyik bercakap-cakap!
Thian Tok Lama dan para panglima serta jagoan-jagoan Nepal sudah mem-buru ke bawah
pohon, dan kini mereka itu mengurung pohon bahkan pasukan lalu dikerahkan untuk
menjaga di sekeliling pohon agar gadis tawanan itu tidak sam-pai dapat meloloskan diri.
"Milana, manisku, turunlah engkau!" Wan Keng In berkata halus dan dia belum mengenal
siapa adanya laki-laki mu-da yang bercakap-cakap dengari dara itu. Akan tetapi baik Milana
maupun pemuda di atas pohon itu tidak mempedulikannya, tidak mempedulikan mereka
yang me-ngurung pohon karena mereka berdua itu sedang saling berbantah. Melihat sikap
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
592 mereka itu, mau tidak mau Wan Keng In mendengarkan percakapan mereka dan ia merasa
heran, dan marah bukan main!
Pemuda yang berada di atas itu bu-kan lain adalah Gak Bun Beng! Seperti telah diceritakan
di bagian depan, pemu-da sakti ini meninggalkan markas pasukan istimewa pembantu para
pemberon-tak di perbatasan utara, kemudian dia menuju ke kota raja. Tanpa disengaja,
secara kebetulan sekali di dalam hutan itu dia melihat pasukan yang dipimpin Thian Tok
Lama sedang diganggu oleh Wan Keng In.
Tentu saja Bun Beng menjadi terkejut sekali dan girang melihat musuh-musuh besarnya,
terutama sekali Thian Tok La-ma dan Bhe Ti Kong, dua orang di anta-ra mereka yang
dahulu mengeroyok dan membunuh gurunya, Siauw Lam Hwesio tokoh Siauw-lim-pai. Akan
tetapi ia ter-cengang melihat Wan Keng In dan ia segera mengenal pemuda Pulau Neraka
yang amat lihai itu. Timbul kemarahan-nya karena ia teringat betapa dia pernah dikalahkan
dan dihina oleh pemuda iblis itu, bahkan pedang Lam-mo-kiam telah dirampas oleh pemuda
Pulau Neraka yang semenjak kecil sudah amat jahat itu. Akan tetapi, yang membuat dia
terkejut sekali adalah ketika ia melihat Milana duduk di atas punggung kuda sebagai seorang
tawanan! Bertemu dengan semua ini, Bun Beng bersikap hati-hati. Tentu saja dia harus
menolong Milana, dara jelita yang telah melepas budi banyak sekali kepadanya. Akan tetapi,
dia mak-lum bahwa menolong Milana dari tangan pasukan yang kuat dan dipimpin orang-
orang pandai itu, apalagi di situ terdapat pemuda Pulau Neraka, bukanlah hal yang mudah.
Karena inilah, dia bersabar dan bersembunyi sambil mengintai dan men-dengarkan mereka.
Mula-mula diapun merasa heran keti-ka mendengar percakapan antara Wan Keng In dan
Thian Tok Lama, bahkan seperti juga Milana, diam-diam dia mengharapkan kedua pihak ini
akan ber-tanding sehingga dia mendapat banyak kesempatan untuk menolong dara itu.
Akan tetapi betapa kecewanya ketika akhirnya pemuda Pulau Neraka itu dapat terbujuk dan
bahkan bersekutu, maka terpaksa dia siap untuk menggunakan kekerasan menyelamatkan
Milana. Pada saat itulah Milana merenggut tali belenggunya dan berusaha mengaburkan
kuda. Melihat Milana dikejar Wan Keng In, kudanya dirobohkan dan dara itu sendiri terlempar ke
atas, Bun Beng cepat me-layang ke atas pohon besar dan menyam-bar lengan dara itu.
Bagaikan dalam mimpi Milana melihat Bun Beng di de-pannya, di atas dahan pohon tinggi
sehingga untuk beberapa lamanya dara ini hanya terbelalak memandang, kemudian
perlahan-lahan kedua pipinya berubah merah sekali, jantungnya berdebar.
"Kau....?" Hanya demikian dia dapat mengeluarkan suara.
"Nona, syukur sekali secara kebetulan aku lewat di tempat ini. Serahkan mere-ka itu
kepadaku, akan tetapi engkau harus cepat-cepat pergi dari tempat ini. Berbahaya sekali di
sini." Milana menggeleng kepala keras-keras. "Membiarkan engkau menghadapi mereka sendiri
dan aku lari" Tidak! Aku akan membantumu melawan mereka!"
"Aahhh, jumlah mereka terlalu banyak dan kulihat orang-orang pandai di antara mereka.
Harap engkau suka menurut, Nona. Sungguh berbahaya sekali kalau memaksa diri
melawan." "Hemm, Gak-twako. Kau bilang ber-bahaya bagiku kalau melawan, habis engkau sendiri?"
"Nona...."
"Gak-twako, begini sombongkah eng-kau" Sejak dahulu?"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
593 Bun Beng gelagapan ditegur seperti itu dan dia memandang dengan mata terbelalak lebar.
"Sombong! Aku....?"
"Apa kau tidak suka bersahabat de-nganku?"
"Tentu saja, aku...."
"Sudah mengenal sejak dahulu, meng-apa engkau masih selalu sungkan dan menyebut aku
nona" Namaku Milana dan engkau tahu ini, bukan?"
"Habis.... habis....?"
"Aku tidak mau kausebut nona! Nah, sebut namaku atau adik, atau.... sudah jangan


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengenal aku lagi kalau kau be-gini angkuh!"
"Eh...., ohh...., Nona.... eh, Adik Mila-na! Jangan main-main begini....!" Bun Beng menegur,
terheran-heran mengapa dalam keadaan terancam seperti itu dara yang dahulu bersikap
halus dan lemah lembut itu meributkan soal sebutan!
"Gak-twako, tidak girangkah engkau bertemu denganku?"
Bun Beng makin bingung dan meman-dang dengan alis berkerut. Celaka, pikir-nya. Jangan-
jangan dara ini keracunan, atau sudah bingungkah pikirannya" Dia mengangguk.
"Aku.... aku girang sekali, Twako tidak tahu engkau betapa girangku.... dan ahh.... kau....
kautolonglah aku, Twako....!" Tiba-tiba Milana terisak menangis dan ketika dengan kaget
Bun Beng menyentuh lengannya, dara itu memeluknya dan menangis terisak-isak,
menyembunyikan muka di dadanya!
Tentu saja Bun Beng menjadi be-ngong! Dia tidak tahu bahwa sesungguh-nya Milana telah
menderita guncangan batin yang cukup hebat, menderita te-kanan batin yang ditahan-
tahannya se-menjak dia melihat Thian-liong-pang terbasmi, pembantu-pembantu ibunya
gu-gur dan dia sendiri menjadi tawanan. Dara itu tentu saja berduka sekali meli-hat
perkumpulan ibunya hancur, melihat Tang Wi Siang, Lui-hong Sin-ciang Chie Kang dan yang
lain-lain roboh dan tewas, dan kemudian dia sendiri men-jadi tawanan, bahkan kemudian
ter-jatuh ke tangan Wan Keng In pemuda yang mengerikan, sedangkan dia belum tahu apa
yang telah terjadi dengan ibu-nya. Dalam keadaan hampir putus asa itu, secara tiba-tiba,
secara tidak ter-duga-duga, di atas pohon, muncul Gak Bun Beng, orang yang selama ini
dirindu-kannya! Inilah sebabnya mengapa dara itu bersikap demikian aneh, seperti orang
mabok atau seperti orang yang berubah ingatannya dan kini dia menangis terse-du-sedu,
teringat akan semua kedukaan-nya dan hanya mengharapkan bantuan orang yang amat
dipercayanya ini.
Tentu saja Bun Beng salah sangka. Apakah dara ini telah berubah menjadi seorang yang
amat penakut dan menangis menghadapi ancaman bahaya" Jantungnya berdebar tidak
karuan. Dara yang mena-ngis di dadanya itu membuat dia merasa betapa dekatnya wajah
jelita itu yang menempel di dadanya, terasa olehnya kehangatan air mata membasahi kulit
dada dan tercium olehnya harum rambut Milana.
"Nona.... eh, Moi-moi (Adik).... henti-kan tangismu. Jangan takut, aku akan melindungimu
dari mereka itu, percaya-lah...."
"Keparat, mampuslah engkau!" Tiba-tiba seorang panglima meloncat ke atas dan
menggerakkan goloknya membacok Bun Beng.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
594 "Prakk...., bresss....!"
Tubuh panglima itu terlempar dan terbanting roboh ke atas tanah oleh tangkisan Bun Beng.
"Aku tidak takut.... ah, Twako.... kau tidak tahu.... mereka telah membasmi Thian-liong-
pang.... Bibi Tang Wi Siang dan para paman.... mereka telah tewas...."
Terkejutlah Bun Beng. Dia sudah tahu bahwa para pemberontak yang dipimpin Koksu
memusuhi Thian-liong-pang, akan tetapi tidak disangkanya pasukan ini demikian mudah
membasmi Thian-liong--pang.
"Mana mungkin" Di mana ibumu?" Dia tidak dapat percaya Thian Tok Lama dan kawan-
kawannya itu dapat menan-dingi Ketua Thian-liong-pang yang demi-kian sakti.
"Ibu tidak ada, mungkin di kota raja. Kami melawan mati-matian, akan tetapi percuma, dan
aku tertawan...."
Bun Beng mengangguk-angguk dan tiba-tiba dia melakukan gerakan menam-par ke bawah.
"Desss....!" Dahan di mana Bun Beng berjongkok itu tergetar hebat, akan teta-pi tubuh Wan
Keng In yang tadi melon-cat dan memukul, juga terdorong kemba-li ke bawah ketika
pukulannya tertangkis oleh Bun Beng. Diam-diam Bun Beng terkejut. Pemuda Pulau Neraka
itu be-nar-benar hebat sekali kepandaiannya! Di lain pihak Wan Keng In yang belum
mengenal Bun Beng karena di dalam pohon sudah mulai gelap, lebih kaget lagi melihat ada
orang yang mampu menangkis pukulannya bahkan membuat tubuhnya seperti dibanting ke
bawah dengan kekuatan dahsyat!
"Milana," Bun Beng berbisik, tidak bersikap sungkan lagi. "Tidak banyak waktu sekarang.
Mereka itu benar-benar lihai dan jumlah mereka banyak. Kalau kita berdua melawan,
mungkin engkau akan tertangkap lagi atau terluka. Eng-kau harus lari lebih dulu. Tunggu
setelah aku mengamuk di bawah, engkau me-lompat jauh dari tempat ini, melalui pohon-
pohon dan menghilang dalam ge-lap. Bawa pedang ini...."
"Tidak! Aku akan melawan, bertanding di sampingmu sampai mati...."
Bun Beng merasa lehernya seperti di-cekik mendengar ini. "A.... apa....?"
"Gak-twako, apa masih perlu kujelas-kan lagi" Tidak cukupkah ketika dahulu aku membela
dan melindungimu ketika kau terluka?"
Gemetar seluruh tubuh Bun Beng, ta-ngannya menggigil ketika ia memegang tangan
Milana. "Tidak cukup...." Duhai.... terlalu cukup, terlalu banyak.... bahkan itulah yang
menyiksa hatiku. Milana.... betapa aku berani menyatakan kekurang-ajaran ini" Akan
tetapi...., ah, kata-kata-mu tadi.... Milana, orang yang paling kumuliakan di dunia ini karena
baik budi-mu, yang paling kucinta di dunia ini.... maafkan aku.... akan tetapi aku cinta
padamu.... dan.... dan kau bilang ingin bertanding di sampingku sampai mati...." Benarkah
pendengaranku?"
"Singg....! Krekkk.... plakkk! Aduhhh....!" Tubuh seorang jagoan Nepal yang tadi menyerang
dengan tombaknya, terpelan-ting, tombaknya patah dan kepalanya pecah oleh pukulan Bun
Beng yang me-nangkis dan memukul tanpa mengalihkan pandang matanya dari wajah
Milana. Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
595 Sepasang mata itu basah air mata, akan tetapi bibir yang gemetar terse-nyum. "Gak-twako,
mengapa baru seka-rang kau menyatakan isi hatimu yang sejak dahulu tampak membayang
dalam pandang matamu?"
"Milana.... betapa aku berani.... kau.... seorang dara mulia, puteri Ketua Thian-liong-pang,
puteri Pendekar Super Sakti yang kumuliakan, malah cucu kai-sar sendiri! Ya Tuhan, betapa
beraniku menyatakan cinta! Kalau tidak mende-ngar ucapanmu tadi.... perasaan hatiku akan
kusimpan sebagai rahasia sampai mati."
"Terima kasih, Twako. Sekarang aku tidak ragu-ragu lagi! Aku puas, aku bahagia. Apapun
yang akan terjadi, biar orang sedunia menentangnya, aku akan selalu berbahagia di
sampingmu, hidup atau mati. Marilah, Twako. Mari kita menerjang ke bawah, kita lolos dan
selamat berdua atau mati bersama!"
"Tidak....! Seribu kali tidak! Setelah aku tahu bahwa harapan hidupku tidak sia-sia, setelah
aku tahu bahwa engkau pun mencintaku, mana mungkin aku membiarkan engkau terancam
bahaya" Tidak! Milana, dengarlah baik-baik. Lihat pedang ini. Ini adalah Hok-mo-kiam yang
sudah dapat kurampas kembali. Bawalah pedang ini, cari ibumu di kota raja dan serahkan
pedang ini kepada ayahmu, Pendekar Super Sakti. Dengan pedang ini engkau akan dapat
melindungi dirimu. Aku akan hadapi mereka di bawah itu.... hemmm.... akan kuhajar cacing-
cacing busuk yang telah berani menghina dewi pujaan hatiku!"
"Tidak, Twako...."
"Husshhh, demi cinta kita, taatilah aku sekali ini saja, sayang! Aku tidak akan dapat
memaafkan engkau, memaaf-kan aku sendiri atau siapa juga kalau sampai engkau ikut turun
dan menderita celaka. Nah, aku terjun, siaplah meloncat dan lari. Sampai jumpa, sayang!"
Tanpa menanti jawaban, Bun Beng yang
Golok Halilintar 14 Bahagia Pendekar Binal Karya Khu Lung Dendam Iblis Seribu Wajah 16
^