Sepasang Pedang Iblis 24

Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 24


unyikan diri di Pulau Neraka sampai niatnya berhasil, yaitu bertemu dengan orang
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
651 yang dicin-tainya, menjadi isteri orang itu atau menjadi musuh besarnya. Kiranya keadaan
menghendaki lain dan semua niat dan cita-citanya hancur berantakan, puteranya
menyeleweng menyakitkan hatinya, Pulau Neraka hancur dan Suma Han.... menam-bah
sakit hatinya! "Tidak! Aku tidak membunuhnya. Da-hulu aku hanya melihat seorang tinggi kurus seperti
orang India menyerangnya dan mendesaknya. Sekarang aku tahu siapa adanya orang kurus
itu. Bukan lain adalah Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun! Aku tidak tahu apakah Kakek Gu Toan
mati atau hidup dalam pertandingan itu karena dia minta kepadaku untuk meng-ambil benda-
benda pusaka dan melarikan-nya."
"Di mana benda-benda itu sekarang?" tanya Nirahai.
"Ada kusimpan sebelum Pulau Neraka dihancurkan. Mengapa, Suci?" tanya Lulu, suaranya
penuh tantangan.
Tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi dan nyaring sekali, datang dari jauh dan
membuat semua orang terkejut. Hanya seorang yang memiliki kepandaian sangat tinggi dan
sin-kang yang luar biasa kuatnya saja mampu mengeluarkan suara melengking seperti itu.
"Ha-ha-ha! Dia baru datang!" Bu-tek Siauw-jin terkekeh dan Bun Beng juga sudah dapat
menduga siapa adanya orang yang mengeluarkan suara melengking seperti itu.
Nirahai dan Lulu saling pandang, agak-nya baru menduga setengahnya, dan baru mereka
terkejut ketika lengking itu di-susul suara yang terdengar dari jauh akan tetapi amat jelas.
"Nirahai....! Lulu....! Kalian memang patut dihajar!"
Wajah Nirahai berubah merah sekali, dan wajah Lulu yang telah menjadi putih karena
keracunan di Pulau Neraka tidak berubah, akan tetapi matanya bergerak-gerak liar ke kanan
kiri mencari-cari. Tentu saja kedua orang wanita ini me-ngenal suara itu, suara yang mereka
tak-kan lupakan selama hidup mereka, suara yang selalu terdengar oleh telinga mere-ka di
waktu mereka melamun atau di waktu mereka bermimpi. Tanpa disengaja keduanya saling
pandang dan seolah-olah dalam pandang mata mereka itu terjadi-lah sebuah permufakatan
tanpa direnca-nakan atau dibicarakan, bahkan kini tanpa diucapkan. Bun Beng memandang
dengan hati penuh ketegangan, apalagi ketika ia melihat sikap kedua orang wanita cantik itu.
Diam-diam dia merasa heran sekali mengapa Pendekar Super Sakti marah-marah, dan
mengapa kedua orang wanita itu kini hendak menyambut kedatangan pendekar yang
dikagumi itu dengan jarum-jarum di tangan kiri!
Bagaikan seekor burung garuda putih tubuh Pendekar Super Sakti meluncur turun dari atas,
gerakannya cepat bukan main karena dia telah mempergunakan ilmunya yang luar biasa,
yaitu Soan-hong-lui-kun. Dengan ilmu ini dia dapat berge-rak cepat, berloncatan dengan
ayunan kaki tunggalnya, makin lama makin cepat seolah-olah Kauw Cee Thian (Si Raja
Monyet) sendiri yang berloncatan! Dengan wajahnya yang tampan gagah itu kini kehilangan
kemuramannya, sepasang matanya yang tajam dan aneh itu ber-sinar-sinar, kedua pipinya
kemerahan dan wajahnya berseri, dagunya mengeras membayangkan kemauan keras yang
tidak dapat dibantah, pendekar itu kini telah berdiri di depan kedua orang wanita itu dengan
tegak. "Singg.... wir-wir-wir.... siuuuttt....!" Sinar-sinar merah meluncur dari tangan kiri Nirahai dan
sinar hitam meluncur dari tangan kiri Lulu. Itulah jarum-jarum Siang-tok-ciam dan Hek-kong-
ciam dari kedua orang wanita sakti itu. Jarum-jarum yang selain mengandung racun
mematikan, juga dilempar dengan penge-rahan tenaga sin-kang sehingga jarum-jarum kecil
itu cukup kuat untuk menembus benda keras! Namun Pendekar Super Sakti sama sekali
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
652 tidak mengelak atau bergerak menangkis, masih berdiri tegak dengan sikap tenang sekali,
bibirnya tersenyum dan sinar matanya amat tajam.
"Cep-cep-cep, wir-wir-wirrr!"
Jarum-jarum yang saking cepatnya telah menjadi sinar-sinar merah dan hi-tam itu seolah-
olah menembus tubuh Suma Han. Padahal, tidak ada sebatang pun jarum yang menyentuh
kulitnya, karena jarum-jarum itu hanya mengenai baju di sekeliling tubuhnya, menembus
baju itu dan meluncur terus ke sebelah belakang tubuh Suma Han. Kiranya, biar-pun
kelihatan marah dan ganas, kedua orang wanita itu melontarkan senjata rahasia mereka
dengan terarah, sama se-kali tidak ada yang ditujukan kepada tubuh orang yang mereka
cinta, melain-kan membidik ke sekeliling tubuhnya.
"Ihhhh....!" Lulu menahan seruannya dan matanya yang lebar terbelalak. "Ohhhh....!"
Nirahai juga menahan seruannya dan otomatis tangan kirinya meraba bibir menutupi
mulutnya. Kedua orang wanita itu kaget sete-ngah mati, bukan hanya karena rahasia mereka terbuka,
rahasia bahwa mereka itu biarpun di luarnya kelihatan marah dan memusuhi, namun di balik
sikap ini terkandung rasa cinta yang besar sehing-ga mereka tidak mau menyerang sungguh
sungguh dengan jarum-jarum mereka. Bukan karena inilah mereka terkejut, melainkan
karena melihat kenyataan be-tapa Suma Han sama sekali tidak menge-lak atau menangkis!
Mereka maklum bahwa biarpun mereka menyerang dengan sungguh-sungguh sekalipun, tak
mungkin mereka akan dapat melukai pendekar itu dengan jarum-jarum mereka. Mereka
mengharapakan pendekar itu mengelak atau memukul runtuh jarum-jarum mere-ka dengan
kibasan tangan atau dengan tongkat. Siapa kira, pendekar itu sama sekali tidak mengelak
sehingga andaikata mereka tadi menyerang sungguh-sungguh, tentu tubuh Suma Han telah
terkena jarum beracun!
"Kau.... kau mau apa....?" Lulu berta-nya, gagap.
"Pendekar kaki buntung, mau apa engkau datang ke sini?" Nirahai juga menegur, suaranya
ketika mPnyebut "Pendekar Kaki Buntung" menyakitkan hati sekali. Akan tetapi Suna Han
tidak mempedulikan itu, hanya memandang mereka lalu terdengar suaranya menegur,
seperti seorang ayah menegur dua orang anaknya yang nakal.
"Apa yang kalian lakukan ini" Menga-pa kalian begini bodoh untuk melibatkan diri dengan
urusan negara" Benar-benar kalian masih belum dewasa, lancang dan perlu dihajar!"
Nirahai dan Lulu terbelalak meman-dang Suma Han. Sedikit pun mereka tidak pernah mimpi
akan mendengar ucapan seperti itu dari mulut Suma Han, laki-laki yang sejak dahulu
bersikap le-mah, yang menyakiti hati mereka oleh kelemahan sikapnya itu. Akan tetapi, di
samping keheranan luar biasa, juga ucapan Suma Han membangkitkan kema-rahan besar.
"Peduli amat engkau dengan apa yang kami lakukan?" Nirahai balas membentak. "Engkau
mau apa kalau kami mencam-puri urusan negara?"
"Tentu saja aku peduli karena engkau isteriku, Nirahai. Setiap perbuatan seo-rang isteri
menjadi tanggung jawab sua-minya pula. Dan juga perbuatan Lulu menjadi tanggung
jawabku! Aku melarang kalian melanjutkan penglibatan diri kalian dengan urusan
pemerintah!"
"Suma Han, enak saja kau bicara!" Lulu membentak marah dan bertolak pinggang. "Nirahai-
suci boleh jadi isteri-mu, akan tetapi engkau tidak berhak mencampuri urusan pribadiku!"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
653 Suma Han tersenyum memandang Lulu dan senyum ini saja sudah hampir melepaskan
semua sendi tulang di tubuh wanita ini. "Lulu, berani engkau bicara seperti itu kepadaku"
Engkau adik ang-katku...."
"Aku tidak sudi menjadi adikmu!"
"Aku tahu, biarlah kurubah sebutan, itu. Engkau sebagai wanita yang mencintaku juga yang
kucinta, tentu saja engkau menjadi tanggung jawabku pula dan engkau harus menurut kata-
kataku!" Lulu membanting-banting kaki kanan-nya, kebiasaan yang belum juga dapat dihilangkannya
semenjak dia masih seo-rang dara remaja! "Tidak tahu malu! Tak tahu malu....!"
"Suma Han, apa kehendakmu dengan segala sikap aneh ini" Apakah engkau datang untuk
membadut" Ataukah engkau sekarang sudah gila?"
"Ha-ha-ha! Ho-ho-ho-heh-heh! Lucu....! Lucu....! Belum pernah aku melihat yang selucu ini!
Mau aku digantung kalau aku pernah melihat yang selucu ini! Ha-ha-ha!" Bu-tek Siauw-jin
tertawa-tawa sam-bil memegangi perutnya. Bun Beng yang tadinya merasa tegang, terpaksa
menahan geli hatinya mendengar ucapan dan meli-hat sikap kakek sinting itu. Di sana-sini
terdengar suara tertawa dan Suma Han segera menoleh ke kanan kiri. Kiranya tempat itu
penuh dengan perajurit-pera-jurit anak buah Nirahai yang menonton!
"Keparat kalian semua! Pergi dari sini....!" Suma Han yang menjadi merah mukanya itu
membentak ke kanan kiri, ditujukan kepada para perajurit. Para perajurit menjadi kaget, akan
tetapi me-reka tidak bergerak pergi. Panglima mereka berada di situ, mana mungkin mereka
pergi begitu saja diusir oleh orang luar, sungguhpun mereka mende-ngar bisikan-bisikan
bahwa yang mengu-sir mereka itu Pendekar Siluman yang namanya pernah menggegerkan
istana! Nirahai menoleh ke kanan kiri dan dia pun membentak, "Kelian pergi! Per-gi....! Pergi jauh
dan jangan ada yang mendekat!"
Tentu saja perintah yang keluar dari mulut Nirahai ini seperti cambukan pada tubuh
sekumpulan domba. Mereka terke-jut dan ketakutan, cepat mereka itu membubarkan diri
dan pergi dari tempat itu. Tak seorang pun berani mendekati tempat itu, biar dengan
sembunyi sekali-pun, karena mereka tahu bahwa sembu-nyi pun percuma, tentu akan
diketahui oleh panglima wanita yang amat lihai itu. Sebentar saja tempat itu menjadi sunyi.
Kini yang masih berada di tempat itu hanyalah Bun Beng dan Bu-tek Siauw-jin.
"Nirahai, sekarang kujawab pertanya-anmu tadi. Aku datang sebagai suamimu dan engkau
sebagai isteriku harus tunduk kepadaku, dan harus ikut ke mana pun aku pergi. Aku hendak
membawamu pergi. Aku hendak membawamu pergi dari sini dan kau harus ikut denganku!"
"Tidak sudi!"
"Sudi atau tidak, mau atau tidak, engkau harus ikut bersama aku sekarang juga. Kalau
kubiarkan terus sendirian, makin lama engkau makin keras kepala dan menimbulkan
keributan di mana-mana. Huh, sungguh gila! Menjadi Ketua Thian-liong-pang, berkerudung,
menggegerkan kang-ouw, kemudian sekarang malah kembali menjadi panglima pemerintah.
Apa-apaan ini?"
"Setan! Kaukira akan mudah saja me-maksaku!" Nirahai hampir menjerit saking marahnya.
Mukanya merah, sepasang ma-tanya mendelik dan tangannya sudah meraba gagang
pedang Hok-mo-kiam di pingganggnya.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
654 "Lawan saja, Suci. Dia memang se-orang manusia tak tahu diri, biar kubantu engkau, Suci!"
Lulu berkata, juga suara-nya terdengar marah sekali.
"Lulu, engkau pun mulai saat ini ha-rus ikut dengan aku. Suka tidak suka, mau tidak mau,
engkau harus berada di sampingku untuk selamanya!" kembali Suma Han berkata dan di
dalam suaranya terkandung ketegasan yang tidak boleh dibantah lagi.
"Apa" Lebih baik aku mati!" Lulu membentak.
"Engkau takkan kubiarkan mati. Ka-lian harus ikut bersamaku dan habis perkara!" kembali
Suma Han berkata.
"Sing....!" Hok-mo-kiam telah dicabut dari sarungnya, kemudian Nirahai mener-jang maju
menyerang Suma Han dengan gerakan cepat sekali. Lulu tidak tinggal diam dan dia pun
sudah menyerang de-ngan pukulan-pukulan maut.
"Bagus! Memang aku harus menunduk-kan kalian dengan kekerasan, hal yang semestinya
kulakukan sejak dahulu!" Suma Han berkata, suaranya terdengar gembira, dan tubuhnya
sudah mencelat mengelak, kemudian seperti kilat dia mainkan Soan-hong-lui-kun untuk
menghadapi dua orang wanita yang dicintanya, dua orang wanita yang selama kurang lebih
dua puluh tahun telah membuat dia menderita amat hebat! Tongkatnya berubah menjadi
sinar bergulung-gulung mengimbangi sinar pedang Hok-mo-kiam, dan dia mengha-dapi dua
orang wanita itu dengan pengerahan ilmunya karena baik Nirahai mau-pun Lulu, bukanlah
dua orang wanita seperti dua puluh tahun yang lalu, me-lainkan telah memperoleh kemajuan
yang luar biasa sehingga tingkat kepandaian mereka sudah amat tinggi.
Nirahai dan Lulu juga mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian mereka untuk
mengalahkan Suma Han. Hanya inilah satu-satunya jalan bagi mereka untuk
mempertahankan harga diri dan keangkuhan mereka. Mereka tidak akan menyerah mentah-
mentah sungguh pun di sudut hati mereka, dua orang wanita ini merasa terharu, bangga dan
juga ba-hagia bahwa pria yang mereka cinta itu bersikeras untuk hidup bersama mereka!
Seperti telah bermufakat sebelumnya, dalam menghadapi Suma Han ini, Nirahai dan Lulu
dapat bekerja sama dan seolah-olah saling membantu sehingga tentu saja kedudukan
mereka kuat bukan main, membuat Suma Han yang sudah memper-gunakan Ilmu Sakti
Soan-hong-lui-kun itu harus bersikap hati-hati kalau dia tidak ingin gagal dan dikalahkan!
"Ha-ha-ha, lucu! Lucu dan gila! Eh, Bun Beng, lihat mereka bertiga itu! Seperti kanak-
kanak, atau orang-orang dewasa yang miring otaknya! Ha-ha, ja-ngan mau kalah, Nirahai
dan Lulu! Laki-laki macam itu memang pantas dihajar babak belur, biar kapok, biar tahu
bahwa wanita-wanita macam kalian tak boleh dibuat sembarangan, tak boleh dipermain-kan.
Ha-ha-ha! Eh, Pendekar Siluman, masa engkau tidak mampu menundukkan mereka"
Wanita-wanita keras kepala me-mang semestinya ditundukkan dengan kekerasan. Itulah
yang mereka kehendaki! Mereka suka ditundukkan, suka menyerah di bawah kekerasan
laki-laki! Kalau engkau menjadi suami yang terlalu lunak, terlalu halus terlalu mengalah,
mereka malah muak! Hayo, gaplok saja! Wah, ramai....! Ramai....! Ha-ha-ha!" Tiga orang itu
saling serang dengan hebat, Bun Beng menonton dengan hati gelisah akan teta-pi Bu-tek
Siauw-jin tertawa-tawa gembira bertepuk-tepuk tangan, bersorak dan menyiram minyak
pada api di hati tiga orang itu saling bergantian agaknya ingin melihat pertandingan itu makin
seru dan mati-matian. Lagaknya seperti kalau dia mengadu, jangkerik, akan tetapi kali ini dia
tidak memihak, kedua pihak dipujinya juga dicelanya!
"Locianpwe, bagaimana Locianpwe da-pat mengatakan lucu" Teecu tidak meli-hat sesuatu
yang lucu, hanya tegang karena pertandingan hebat ini benar-be-nar amat berbahaya."
Biarpun bicara dengan Bu-tek Siauw-jin, namun pandang mata Bun Beng tidak pernah
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
655 beralih dari gerakan tiga orang yang bertempur itu. Dia kagum bukan main. Belum pernah
selama hidupnya dia menyaksikan pertan-dingan yang demikian dahsyat dan luar biasa.
Ilmu yang dimainkan tiga orang itu adalah ilmu silat-ilmu silat tinggi yang sebagian besar
bersumber kepada ciptaan-ciptaan Bu Kek Siansu atau Koai-lojin, juga menjadi ilmu silat
pusaka dari keluarga Suling Emas yang terkenal sepanjang masa itu.
"Eh" Engkau tidak melihat lucunya" Mereka itu saling mencinta, dan sekarang saling
menyerang seperti orang-orang yang saling membenci mati-matian. Me-reka seperti orang
gila, dan memang mereka telah dibikin gila oleh cinta! Ha-ha!"
Bun Beng mengerutkan alisanya dan kini dia mengalihkan pandang matanya dari
pertempuran itu karena penasaran. Mengapa kakek yang sakti ini demikian memandang
rendah cinta" Cinta baginya suci murni, halus dan sungguh-sungguh urusan perasaan yang
paling halus, ter-utama dia berpendapat seperti itu setelah pertemuannya yang terakhir
dengan Milana. Akan tetapi kakek ini bicara soal cinta seolah-olah cinta merupakan hal yang
remeh dan lucu!
"Locianpwe, menurut pendapat teecu, cinta adalah perasaan yang mulus, murni dan bersih.
Tidak ada yang lebih suci daripada cinta. Mengapa Locianpwe menganggapnya lucu?"
Suaranya mengan-dung penasaran. Kalau cinta dianggap lucu dan remeh, apakah cinta
antara dia dan Milana juga remeh dan lucu"
"Ha-ha-ha, itulah tandanya engkau dimabok cinta! Tandanya engkau menjadi korban cinta!
Semua cinta yang disebut-sebut manusia adalah cinta yang palsu!"
"Wah, teecu tidak bisa menerima pendapat Locianpwe ini!" Bun Beng mem-bentak dan
mereka berdua kini sudah melupakan tiga orang yang masih saling serang. Kini mereka
berdua berhadapan, saling pandang seperti dua orang yang siap untuk bertanding, bukan
bertanding pukulan melainkan bertanding pendapat tentang cinta! "Bagaimana Locianpwe
dapat mengatakan bahwa cinta yang murni dari Suma-taihiap terhadap mereka itu palsu?"
"Cinta antara pria dan wanita bukan-lah cinta yang sejati namanya! Melainkan asmara yang
timbul dari kecocokan sele-ra, baik mengenai ketampanan maupun mengenai watak
sehingga saling tertarik, kagum seperti orang melihat bunga-bunga indah. Gairah karena
kecocokan selera ini bercampur dengan nafsu berahi. Asmara ini penuh dengan keinginan
me-nguasai, memiliki, memperbudak, penuh dengan keinginan dimanja, dipuja dan dijunjung
tinggi, disamping keinginan me-nikmati kepuasan dari hubungan badan yang didorong nafsu
berahi. Semua ini bersumber kepada Si Aku yang selalu menujukan segala hal demi
kepentingan dan kesenangan diri sendiri, biarpun dengan cara yang cerdik berliku-liku,
tujuan terakhir adalah untuk diri sendiri, untuk Si Aku. Karena itulah, asmara antara pria dan
wanita ini menimbulkan hal-hal gila seperti sekarang ini. Kalau diputuskan menimbulkan
duka, kalau di-khianati menimbulkan benci, kalau kurang tanggapan menimbulkan cemburu.
Pen-deknya, asmara antara pria dan wanita menimbulkan bermacam pertentangan,
ketakutan, yaitu takut kehilangan, dan duka. Itulah cinta antara pria dan wanita yang
kauagung-agungkan itu!"
Bun Beng masih penasaran. "Mungkin itu gambaran cinta seorang yang berwa-tak buruk,
seorang yang hanya ingin mementingkan dirinya pribadi! Cinta se-orang yang berhati murni
amat bersih, sanggup berkorban, dan siap melakukan apapun juga, bahkan berkorban
nyawa kalau perlu, untuk orang yang dicinta!"
"Ha-ha-ha, alasan kuno yang sudah menjadi kembang bibir semua orang yang dimabok
cinta! Memang aku percaya bah-wa engkau akan berani berkorban nyawa untuk gadis yang
kaucinta, Bun Beng. Akan tetapi bagaimana seandainya gadis itu tidak membalas cintamu"
Bagaimana kalau engkau melihat dia berkasih-kasihan dengan pria lain" Bagaimana kalau
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
656 dia tidak setia kepadamu, memperolok cinta-mu dan dengan mencolok bermain cinta
dengan pria lain di hadapanmu" Apakah engkau rela dan cintamu akan tetap?"
"Cintaku takkan berubah...." Bun Beng menjawab akan tetapi jawabannya yang keluar
dengan suara sumbang itu lenyap ditelan suara kakek itu. Bun Beng masih penasaran dan
berkata, "Kalau begitu, apakah tidak ada cinta suci di dunia ini menurut pendapat
Locianpwe?"
"Tidak ada! Yang disebut-sebut orang, semua adalah cinta palsu yang berdasar-kan kepada
kepentingan Si Aku masing-masing."
"Ah, masa begitu, Locianpwe" Bagai-mana dengan cinta seorang anak kepada ibunya?"
Bun Beng mengajukan pertanya-an dengan penuh semangat, karena dia merasa bahwa
tentu kakek itu takkan mampu menjawab. Bagaimana mungkin orang menyangsikan cinta
kasih seorang anak terhadap ibunya"
"Itupun palsu! Seorang anak merasa terkurung budi kepada ibunya, orang ter-dekat


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengannya sejak kecil! Orang yang bersikap manis, orang yang selalu digantunginya,
disandarinya, sehingga dia ter-biasa oleh perlindungannya dan setelah Si Anak besar,
teringat akan kebaikan-kebaikan ini merasa berhutang budi dan ingin membalas budi. Bukan
cinta yang sejati, melainkan perasaan hutang budi belaka. Andaikata Si Anak sejak bayi
diberikan kepada seorang wanita lain, kalau wanita itu melimpahkan kebaikan-kebaikan
kepadanya, tentu anak itu akan berhutang budi pula. Ini pun bersumber kepada Si Aku, coba
kalau seorang ibu bersikap buruk kepada anaknya, bersikap kejam dan sebagainya, apakah
Si Anak akan tetap mencintanya seperti yang diucapkan mulutnya" Lihat saja semua orang
yang telah dewasa, setelah menikah, bukankah perasaannya lebih mende-kat kepada
suami, isteri, dan anak-anak-nya?"
"Wah, Locianpwe pandai sekali ber-debat. Bagaimana kalau cinta kasih se-orang ibu
kepada anaknya" Nah, berani-kah Locianpwe menyangkalnya dan me-ngatakan bahwa
cinta kasih seorang ibu kepada anaknya juga palsu?"
"Memang palsu selama Si Ibu meng-harapkan kesenangan dari cintanya itu. Kalau seorang
ibu hendak membuktikan cintanya palsu atau bukan, dia boleh bertanya kepada diri sendiri,
marahkah dia kalau Si Anak tidak menurut kata-katanya, bencikah dia kalau Si Anak berani
melawannya dan bersikap kurang ajar kepadanya, dan dukakah dia kalau Si Anak
melupakannya dan tidak mem-balas budi kepadanya. Kalau benar demikian, maka
sesungguhnya dia tidak mencinta anaknya, karena di mana ada cinta, di situ tidak mungkin
ada keben-cian, kemarahan dan kedukaan."
"Wah, kalau begitu pendapat Locian-pwe, cinta bukan perasaan manusia bia-sa! Agaknya
hanya cinta kasih manusia terhadap Tuhan saja yang suci!" Bun Beng membantah.
"Sama sekali tidak! Cinta manusia terhadap Tuhan lebih munafik lagi! Se-sungguhnya
bukan cinta, melainkan pemu-jaan dan pemujaan ini palsu belaka kalau di baliknya terdapat
keinginan agar memperoleh balas jasa atau imbalan. Kalau manusia memuja Tuhan dengan
niat agar memperoleh imbalan berkah, baik selagi masih hidup atau kelak kalau sudah mati,
maka pemujaan itu pun palsu belaka, seperti jual beli! Cinta adalah sederhana dan wajar,
tanpa pamrih, kare-nanya tidak akan mendatangkan kecewa, benci atau duka."
"Haaaiiittt.... desss! Desss!"
Bun Beng dan Bu-tek Siauw-jin ter-paksa menengok dan mereka melihat betapa Nirahai
dan Lulu tadi menyerang secara berbareng, akan tetapi dengan teriakan panjang tubuh
Suma Han mence-lat ke atas dan ketika kedua orang wani-ta itu mengejar dengan loncatan
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
657 cepat, Suma Han mendorongkan kedua tangannya untuk menangkap mereka. Mereka
me-nangkis dan keduanya terlempar kembali ke bawah, hampir terbanting kalau tidak cepat-
cepat menggulingkan tubuh lalu meloncat berdiri. Dengan kemarahan meluap keduanya
sudah menerjang dan pertandingan berlangsung terus lebih ramai. Melihat ini, Bun Beng
kembali menoleh kepada Bu-tek Siauw-jin.
"Locianpwe yang begitu pandai me-nguraikan tentang cinta, yang begitu pandai menyeret
semua cinta kepada hal yang remeh dan palsu, tentunya sudah mempunyai banyak sekali
pengalaman tentang cinta. Pernahkah Locianpwe mencinta seseorang, seorang wanita
mak-sud teecu?"
Bu-tek Siauw-jin meloncat tinggi ke belakang seperti disambar seekor ular berbisa, matanya
terbelalak. "Hehhh...." Aku...." Aku mencinta seorang wanita" Gila kau! Aku.... aku belum
pernah ter-jeblos ke dalam perangkap asmara!"
"Kalau begitu, bagaimana Locianpwe bisa bicara tentang asmara?"
"Bukan karena pengalaman sendiri, melainkan karena melihat akibat-akibat yang terjadi dan
dengan membuka mata melihat, membuka telinga mendengar. Lihat dan dengar saja tiga
orang itu! Jelas, bukan" Mereka tidak saling men-cinta, dalam arti kata cinta suci, kalau
demikian, mana ada duka, mana ada ben-ci, dan mana ada pertempuran seperti sekarang
ini?" "Haiii, Bu-tek Siauw-jin! Kami bukan bertempur, melainkan aku sedang berusa-ha untuk
menundukkan mereka ini!" Jawaban ini keluar dari mulut Suma Han dan sekali ini Bu-tek
Siauw-jin membalikkan tubuh menonton. Dia terkekeh, merasa terpukul pernyataannya yang
terakhir tadi tentang tiga orang ini kare-na kini barulah dia tahu bahwa pertan-dingan yang
kelihatan mati-matian itu sebetulnya mengandung hal-hal tidak wajar yang amat lucu!
Biarpun Suma Han melancarkan pukulan-pukulan hebat, namun semua pukulan itu hanya
dimak-sudkan untuk menangkap kedua orang wanita itu bukan untuk merobohkan. Dan
lucunya, pedang Hok-mo-kiam itu biarpun berkelebatan dan sinarnya bergulung-gulung,
sesungguhnya lebih banyak meru-pakan ancaman daripada serangan betul-betul, seolah-
olah pemegangnya selalu khawatir kalau-kalau pedang yang ampuh itu betul-betul akan
menembus tubuh Suma Han. Demikian pula dengan Lulu, pukulan-pukulannya hanyalah
pukulan yang dia yakin takkan mencelakai tubuh orang yang dicintanya! Tiga orang itu
melam-piaskan kemarahan dan kemendongkolan hati, namun tetap saja tidak tega untuk
saling mencelakakan, apalagi saling mem-bunuh!
"Cringgg....! Bun Beng, terimalah pe-dang ini!"
Sebuah tangkisan tongkat yang dige-tarkan oleh tangan Suma Han membuat pedang Hok-
mo-kiam terlepas dari tangan Nirahai dan terlempar ke arah Bun Beng. Pemuda itu tentu
tidak akan berani me-nerima pedang yang tadinya dipegang oleh Nirahai itu kalau tidak
diperintah oleh Suma Han. Dia cepat menyambut pedang itu dan tetap berdiri dengan
pe-dang di tangan, memandang penuh per-hatian.
"Kalian benar-benar keras kepala!" Ucapan Suma Han ini disusul dengan serbuannya ke
depan, serbuan yang nekat dan bukan merupakan jurus ilmu silat lagi, melainkan menubruk
dan menggunakan kedua lengannya merangkul pinggang kedua orang wanita itu, terus
diangkat dan dipanggulnya! Karena dia tidak melakukan penotokan, tentu saja amat mudah
bagi Nirahai dan Lulu andaikata mereka hendak mencelakai Suma Han. Kaki tangan mereka
meronta-ronta dan mulut mereka berteriak, "Lepaskan! Lepaskan aku!" Akan tetapi mereka
sama sekali tidak menggunakan tangan yang bebas untuk melakukan serangan. Padahal
dalam keadaan seperti itu, kalau mereka melakukan totokan atau pukulan, tentu Pendekar
Super Sakti tidak akan mampu menjaga dirinya!
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
658 "Tidak akan kulepaskan kalian lagi!" kata Suma Han yang memanggul tubuh dua orang itu
di atas pundaknya, dengan dipeluk pinggang mereka kuat-kuat.
"Lepaskan aku, kalau tidak, kupukul pecah ubun-ubun kepalamu!" Lulu berte-riak,
tangannya dikepal dan mengancam di atas kepala Suma Han.
"Hayo lepaskan aku! Apa kau ingin kutotok jalan darah kematianmu di teng-kukmu!" Nirahai
mengancam pula, jari tangannya sudah menyentuh jalan darah pokok di tengkuk Suma Han.
Suma Han hanya tersenyum dan keli-hatan gembira sekali. "Biar kalian mem-bunuhku, aku
tidak akan melepaskan kalian sebelum kalian berjanji untuk memenuhi permintaanku."
"Manusia tak tahu malu! Apa permin-taanmu?" Nirahai membentak.
"Nirahai, engkau adalah isteriku, ma-ka mau atau tidak, engkau mulai seka-rang harus ikut
bersamaku, ke mana pun aku pergi dan kau harus selalu memenuhi perintahku sebagai
suamamu!" "Suma Han! Nirahai-suci mungkin saja kaupaksa karena dia isterimu. Akan teta-pi aku tidak
semestinya kaupaksa!" Lulu meronta dan berteriak.
"Kita telah melakukan kekeliruan, biarpun saling mencinta tidak bersikap jujur. Untuk
menebus kesalahan kita itu, mulai sekarang kita tak boleh berpisah lagi. Engkau harus ikut
pula bersama kami, Lulu, dan untuk selamanya hidup bersamaku!" jawab Suma Han,
suaranya tegas.
"Suma Han, enak saja kau bicara! Katakan, siapakah yang kaucinta" Aku ataukah Lulu-
sumoi?" Nirahai menuntut.
"Aku.... aku mencinta kalian berdua, dan aku mau menghabiskan sisa hidupku disamping
kalian berdua, sampai kakek nenek, sampai mati."
"Aku tidak sudi menjadi adik angkat-mu!"
"Kalau begitu, karena kita saling mencinta dan sudah semestinya demikian, engkau mulai
sekarang menjadi isteriku juga."
"Gila! Mana mungkin suci mau mene-rima aku sebagai madunya?"
"Lulu-sumoi! Kau bilang apa" Kalau dia tidak mau mengambil engkau sebagai isterinya, aku
pun tidak akan sudi ikut bersamanya."
"Nirahai-suci....!" Jerit yang keluar dari mulut Lulu ini sudah berubah, tidak lagi marah
melainkan mengandung isak.
"Sumoi, sudah semestinya begini....!" Nirahai berkata dan keduanya masih dipanggul di atas
kedua pundak Suma Han, kini saling rangkul di punggung pendekar itu, saling rangkul
sambil menangis.
Bun Beng yang menonton dan men-dengarkan semua ini, menjadi terharu bukan main.
Kalau menurutkan perasaan hatinya, melihat betapa pendekar yang dikaguminya dan
dijunjung tinggi itu mendapatkan kembali kebahagiaan hidupnya bersama dua orang wanita
yang dikasihinya, melihat keadaan mereka yang telah dihimpit duka nestapa dan
kesengsaraan selama belasan tahun kini seolah-olah orang-orang yang kelaparan
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
659 menda-patkan makanan atau orang-orang yang menderita penyakit payah mendapatkan
obat, ingin dia menangis. Dengan suara terharu, menggetar dan yang keluar dari lubuk
hatinya, Bun Beng menjura ke arah Pendekar Super Sakti dan berkata,
"Suma-taihiap, teecu menghaturkan selamat atas kebahagiaan Taihiap ber-tiga!"
"Ha-ha-ha, Gak Bun Beng, engkau gila! Semestinya engkau bukan mengha-turkan selamat,
melainkan memujikan dia selamat dari penyakit yang dicarinya sendiri ini. Ha-ha-ha! Eh,
Suma-taihiap, Pendekar Siluman, tahukah engkau me-ngapa murid kita ini memberi
selamat" Karena dia terlalu bahagia melihat orang-orang yang menderita penyakit asmara
dapat berkumpul kembali, karena dia sendiri sedang dilanda penyakit itu. Sekarang biarlah
aku mewakili dia, di sini, di depan isteri-isterimu, aku memi-nang puterimu yang bernama....
eh, Bun Beng, siapa nama dara yang kautolong di atas pohon itu?"
Merah muka Bun Beng. Biarpun sinting, kakek ini melakukan hal yang di luar dugaannya
sama sekali, maka dia menjawab lirih, "Milana...."
"Oya, puterimu Milana itu kupinang untuk menjadi calon isteri Gak Bun Beng. Bagaimana"
Bagaimana, Tuan Puteri Nirahai?"
Nirahai yang masih berangkulan de-ngan Lulu dan tubuhnya bergantung di belakang
punggung Suma Han, menjawab, "Terserah kepada ayahnya. Aku memiliki kekuasaan
apalagi, sih?"
"Ha-ha-ha, belum apa-apa sudah ber-tobat. Benar-benar isteri yang hebat! Nah, bagaimana
Suma-taihiap?"
Suma Han mengerutkan alisnya. Me-nurut rencana hatinya dia ingin menjo-dohkan Kwi
Hong dengan pemuda ini, akan tetapi kalau Milana memang men-cintanya.... dan hal ini
harus dia selidiki terlebih dahulu. Maka dengan suara tegas ia menjawab,
"Bu-tek Siauw-jin Locianpwe, urusan jodoh memang orang tua yang memutus-kan, akan
tetapi harus mendengar lebih dahulu pendapat anak yang bersangkutan. Gak Bun Beng,
kaubawalah Hok-mo-kiam itu dan aku memberi tugas kepadamu untuk mencari Milana, dan
mengajaknya ke Pulau Es. Soal perjodohan, biarlah kita bicarakan kelak. Terima kasih atas
kebaikanmu, Bu-tek Siauw-jin. Kami hen-dak pergi, selamat berpisah!" Setelah berkata
demikian, dengan ilmunya yang hebat, tubuh pendekar itu melesat dan lenyap dari situ
sambil memanggul tubuh dua orang wanita itu!
"Heeiii.... Pendekar Siluman....! Sekali waktu aku ingin mengadu ilmu dengan-mu....!" Tiba-
tiba Bu-tek Siauw-jin berte-riak, suaranya melengking nyaring sehing-ga Bun Beng yang
berada di dekatnya cepat mengerahkan sin-kang untuk melin-dungi jantungnya. Khi-kang
dari kakek ini benar-benar amat luar biasa. Tak lama kemudian, dari jauh terdengar suara
Pendekar Super Sakti,
"Sekarang aku tidak ada waktu untuk melayanimu, Bu-tek Siauw-jin. Akan te-tapi sewaktu-
waktu boleh datang ke Pulau Es....!"
Bu-tek Siauw-jin memandang pemuda itu, tertawa. "Ha-ha-ha, sungguh heran sekali.
Semenjak puluhan tahun aku me-nganggap penghuni Pulau Es sebagai musuh besar dari
nenek moyangku. Akan tetapi, begitu bertemu dengan dia, dendam itu lenyap sama sekali.
Dan aku ikut puas menyaksikan kebahagiaannya. Orang seperti dia tidak sepatutnya hidup
seng-sara." Kakek itu mengangguk-angguk. "Dan sekarang, ke mana engkau hendak pergi,
Bun Beng?"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
660 "Seperti yang Locianpwe telah men-dengar sendiri, teecu diserahi tugas untuk mencari
Nona Milana dan mengajaknya ke Pulau Es. Karena teecu tidak tahu di mana adanya Nona
Milana, teecu akan ke kota raja dan menyelidikinya dari sana."
"Memang seharusnya begitulah. Dan engkau tidak mengecewakan hati mereka yang
menjadi calon mertuamu. Mungkin itu merupakan ujian pula buatmu. Aku sendiri akan
kembali ke Pulau Neraka. Setelah bertemu dengan Tocu Pulau Es dan api permusuhan di
hatiku padam sama sekali, perlu apa lagi aku berke-liaran di dunia ini" Nah, aku pergi!"
Kakek itu menggerakkan lengan bajunya dan berkelebat lenyap dari situ.
"Locianpwe, teecu belum menghatur-kan terima kasih atas segala kebaikan-mu!" Bun Beng
mengerahkan khi-kangnya seperti yang dilakukan kakek itu tadi.
Dari jauh terdengar suara ketawa kakek itu. "Ha-ha-ha! Kalau kau meng-haturkan terima
kasih, berarti terhapus hutangmu! Dan aku ingin kau membayar hutangmu dengan tiga
cawan arak merah kelak, di Pulau Es!"
Bun Beng menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah suara dengan perasa-an terharu.
Kakek itu boleh jadi agak sinting, akan tetapi harus diakui bahwa di dalam kesintingannya,
banyak kebaikan daripada keburukan yang muncul dari pribadinya. Setelah memberi hormat
ke arah suara kakek itu, Bun Beng bangkit berdiri, mengambil sarung pedang Hok-mo-kiam
yang tadi tanpa bicara telah dilemparkan ke bawah oleh Nirahai, me-masangkan pedang itu
di punggungnya, kemudian mengambil capingnya yang pecah-pecah, membetulkan caping,
me-makainya di atas kepala, kemudian menoleh ke arah mayat Maharya, dan memandang
kepada mayat-mayat yang malang-melintang memenuhi tempat itu. Dia menghela napas
panjang. "Maharya, maafkan aku. Tidak mung-kin aku dapat mengubur jenazah semua orang yang
gugur dalam perang ini, yang jumlahnya ribuan dan tak mungkin kuku-bur sendiri." Dia lalu
meloncat dan meninggalkan tempat itu. Andaikata hati-nya tidak dikejar oleh keinginan untuk
cepat-cepat mencari dan menemukan Milana, agaknya pemuda ini terpaksa akan mencoba
untuk mengubur jenazah semua korban perang itu!
Di dalam perjalanan menuju ke sela-tan ini, masih terbayang semua peristiwa mengenai
Pendekar Super Sakti, Nirahai dan Lulu itu di depan matanya. Dia merasa terharu dan
girang, juga tidak -mengerti, merasa heran karena dia pun kini dapat merasakan betapa
aneh kela-kuan tiga orang itu. Yang sudah gila diserang penyakit asmara, kata Bu-tek
Siauw-jin. Benarkah begitu" Apakah dia sendiri pun akan melakukan hal-hal yang tidak
lumrah dan aneh-aneh kelak karena penyakit asmara ini" Akan tetapi hal yang paling
membuat dia tidak mengerti adalah keputusan yang diambil oleh Nirahai. Apa kata wanita
bangsawan, ibu Milana pujaan hatinya itu" Kalau Pende-kar Super Sakti tidak mengambil
Lulu sebagai isterinya, dia pun tidak akan sudi ikut bersama suaminya itu!
Tentu saja Bun Beng yang masih mu-da itu tidak tahu bahwa seorang wanita bermadu, bagi
Nirahai adalah hal yang amat wajar dan lumrah. Dia adalah puteri seorang Kaisar yang
mempunyai banyak selir. Bahkan dia sendiri puteri seorang selir. Pada waktu itu kehidupan
kekeluargaan seorang bangsawan amat berbeda dengan kehidupan keluarga orang
sekarang. Semua bangsawan tentu mem-punyai isteri lebih dari seorang. Bahkan kalau ada
seorang bangsawan tidak mem-punyai selir hanya mempunyai seorang isteri saja, hal ini
merupakan suatu ke-janggalan dan keanehan besar. Keadaan demikian itu telah menjadi
kebiasaan, dan karena biasa inilah maka oleh para wanitanya juga diterima sebagai hal yang
biasa, yang sama sekali tidak mendatang-kan perasaan iri atau cemburu. Bahkan tentu saja
Nirahai merasa girang sekali mempunyai madu Lulu, sumoinya sendiri dan yang dia tahu
telah saling mencinta dengan suaminya sebelum suaminya itu bertemu dengan dia! Di lubuk
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
661 hatinya, Nirahai merasa betapa Lulu lebih berhak atas cinta suaminya daripada dia, dan
betapa karena cintanya itu, Lulu telah menderita hebat sekali.
Memang tak dapat disangkal pula bahwa cinta asmara antara pria dan wa-nita menjadi
sumber segala peristiwa, menjadi bahan segala cerita, menjadi po-ros yang memutar roda
penghidupan dengan segala suka dukanya. Tanpa adanya cinta asmara antara pria dan
wanita kiranya keadaan hidup manusia di dunia akan berubah sama sekali, dan sukarlah
membayangkan akan bagaimana keadaan-nya, sungguhpun kita tidak berani menentukan
bahwa perubahan itu buruk adanya!
*** Milana menghentikan gerakannya me-ronta-ronta. Dia tahu bahwa semua itu percuma saja.
Kalau tadinya dia meron-ta-ronta dan berteriak-teriak sedapatnya karena tubuhnya tertotok
lemas, bukan-lah untuk membebaskan diri karena dia maklum bahwa hal itu tidak mungkin,
melainkan untuk menarik perhatian orang. Dia melihat betapa para penjaga yang berusaha
menolongnya malah menjadi korban kelihaian dan keganasan Wan Keng In, maka dia
berteriak-teriak dan memaki-maki hanya untuk meninggalkan jejak ke mana dia dilarikan
agar para petugas istana itu dapat membayangi arah larinya Wan Keng In dan gurunya.
Akan tetapi setelah dua hari dia menjadi tawanan masih belum ada peno-long datang,
harapannya menipis. Tentu ayahnya atau ibunya belum tahu bahwa dia diculik pemuda
Pulau Neraka ini, karena kalau ayah bundanya sudah men-dengar, tentu sekarang mereka
sudah mengejar dan menolongnya dari cengke-raman pemuda iblis yang gila ini. Kini dia
tidak dapat mengandalkan orang tua-nya, para pengawal, atau siapapun juga. Dia harus
menolong dirinya sendiri, maka dia mulai tenang dan tidak lagi meronta-ronta. Akan tetapi
ketika Wan Keng In dan kakek seperti mayat hidup itu mulai mendaki sebuah gunung
dengan gerakan cepat sekali seperti terbang, Milana kembali merasa ngeri. Bagaimana
kalau ayah bundanya mencarinya dan kehilangan jejak" Dia tidak memperlihatkan rasa
gelisahnya, akan tetapi diam-diam dia merobek-robek saputangannya dan me-lempar-
lemparkan robekan saputangan itu di sepanjang jalan menuju ke atas puncak gunung itu.
"Malam hampir tiba. Pemandangan di puncak ini indah sekali dan hawanya sejuk, sebaiknya
kita beristirahat dan melewatkan malam di sini, Suhu." Wan Keng In berkata ketika mereka
tiba di puncak.
"Sesukamulah," jawab gurunya tak acuh sambil memandang ke arah barat di mana
matahari telah menjadi sebuah lampu besar yang mulai menyuram seolah-olah kehabisan
minyak.

Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nah, engkau manis sekali kalau begi-ni, Milana. Engkau tidak meronta-ronta lagi dan tidak
memaki-maki aku lagi." Keng In berkata kepada dara yang dipondongnya.
"Kalau engkau bersikap manis dan sopan, tidak kurang ajar, tentu aku akan bersikap baik
pula, tidak melawan dan tidak memaki. Kauturunkanlah aku, aku bukan anak kecil yang
harus dipondong saja."
Wan Keng In tertawa gembira. "Ha-ha-ha, bagus sekali! Nah, mestinya begini, Milana. Aku
tidak akan menggunakan kekerasan, aku cinta padamu, dan aku akan bersikap baik selama
engkau tidak memberontak." Keng In menurunkan tu-buh dara itu, meraba pundaknya dan
membebaskan totokannya.
Milana segera duduk di atas rumput dan menyalurkan jalan darahnya untuk memulihkan
tenaga. Biarpun dia bebas, akan tetapi dia tidaklah begitu bodoh untuk mencoba melawan
atau melarikan diri. Pemuda itu memiliki kepandaian yang amat luar biasa, dan dia bukanlah
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
662 tandingan pemuda itu. Baru pemuda itu saja seorang diri, dia tidak akan mampu melawan
atau melarikan diri, apalagi di situ masih ada guru pemuda itu yang amat mengerikan. Tentu
gurunya ini sakti seperti iblis sendiri!
"Suhu, lihat! Dia seorang anak yang baik, bukan" Pilihan teecu (murid) tidak akan meleset,
Suhu. Dia cantik jelita, manis, halus, pintar.... pendeknya tidak ada keduanya di dunia ini!"
Wan Keng In tersenyum-senyum senang sekali meli-hat Milana tidak memberontak lagi.
"Huhhh....! Perempuan....!" Hanya itu saja yang keluar dari mulut Cui-beng Koai-ong,
kemudian dia membuang muka, duduk membelakangi mereka di atas batu dan sama sekali
tidak bergerak lagi se-olah-olah tubuhnya telah berubah menjadi batu pula. Milana yang
melihat gerak-gerik kakek itu bergidik. Setiap gerak-gerik dan suara yang dikeluarkan kakek
itu membuat bulu tengkuknya meremang. Kakek itu tiada ubahnya seperti mayat hidup,
gerakannya seperti kaku akan te-tapi cepat dan tiba-tiba, amat mengejut-kan. Kelingking jari
tangan kiri yang putus separuh itu menambah seram keadaannya.
Sementara itu Wan Keng In dengan wajah berseri telah membuka buntalan, mengeluarkan
beberapa potong roti dan seguci air jernih. Roti dan guci terisi air ini dia letakkan di depan
Milana dan dia berkata ramah,
"Milana pujaan hatiku, makan dan minumlah. Engkau tentu lapar, sudah dua hari engkau
tidak mau makan atau mi-num sedikit pun, membuat hatiku menja-di tidak enak dan
khawatir!"
Milana masih memandang punggung kakek yang duduk di atas batu. "Dia juga tidak pernah
makan atau minum selama ini," katanya perlahan karena memang hatinya selalu bertanya-
tanya, kalau dia menderita kelaparan selama dua hari itu karena dia selalu menolak makan
atau minum, mengapa kakek itu pun tidak pernah makan minum, bahkan pemuda itu tidak
pernah menawarkan kepada gurunya, hanya selalu makan minum sendiri kalau Milana
menolak. "Suhu" Hemm, Suhu hanya makan hawa dan minum kabut embun."
Kembali Milana merasa betapa bulu tengkuknya meremang. Manusia biasa mana ada yang
seperti itu"
"Aku tidak mau makan dan minum," katanya lirih.
"Aihhh, jangan begitu, Manis. Mana bisa engkau seperti Suhu" Kalau sampai engkau jatuh
sakit, siapa yang susah" Makanlah sedikit, dan minumlah air ini. Air jernih sejuk, baru
kuambil siang tadi di lereng gunung."
Ingin rasanya Milana membuat pemu-da itu susah selama hidupnya, akan teta-pi memang
benar, dia tidak mungkin dapat hidup tanpa makan dan minum. Sekarang pun dia merasa
amat haus dan lapar. Akan tetapi dia menahan diri. Kesempatan baik, pikirnya.
"Aku tidak bisa makan seperti ini." katanya sambil memandang roti kering itu. "Aku biasanya
hanya makan nasi dan masakan yang enak."
"Wah, jangan khawatir. Kalau kita sudah tiba di Pulau Neraka, engkau mau minta masakan
apa saja, tentu akan kusediakan. Akan tetapi di sini, mana ada nasi dan masakan?"
"Tidak peduli!" Suara Milana agak keras, sebagian terdorong oleh rasa gem-bira bahwa dia
dapat merongrong pemu-da itu, ke dua karena timbul harapannya untuk mencari
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
663 kesempatan meloloskan diri. "Pendeknya, aku hanya mau makan kalau ada nasi, ada arak
dan setidaknya ada daging panggang!"
Wan Keng In memandang dengan ma-ta terbelalak kepada gadis itu, akan teta-pi
kemarahannya lenyap ditelan pengli-hatan yang mempesonakan hatinya. Bibir dara itu!
Untuk bibir itu saja mau kiranya dia melakukan apapun juga, jangankan hanya mencarikan
nasi dan sekedar daging panggang, biar disuruh memetik bintang dari langit sekalipun, kalau
dia bisa, tentu akan dilakukannya!
"Aihhh.... bibirmu itu...." Keng In menghela napas dan Milana yang mengira ada sesuatu
pada bibirnya, otomatis menggunakan ujung lidahnya untuk menji-lati sepasang bibirnya.
Penglihatan ini membuat Keng In makin terpesona sam-pai dia melongo memandang dan
menelan ludah. Barulah Milana maklum bahwa pemuda itu memuji bibirnya. Seketika
sepasang pipinya menjadi kemerahan dan dia memandang dengan tajam.
"Sudahlah! Kalau tidak ada nasi dan daging berikut araknya, aku tidak sudi makan!"
"Serrr!" Hampir Keng In mengeluh. Pandang mata itu seolah-olah anak panah yang
menancap di ulu hatinya.
"Aihhh.... matamu.... dan bibirmu.... eh, baiklah, Milana. Apa sih sukarnya menca-rikan
semua itu untukmu, Sayang?" Tiba-tiba tubuh pemuda itu bergerak dan sekali berkelebat dia
telah lenyap ke dalam hutan di bawah puncak yang sudah mulai gelap.
Berdebar jantung Milana. Pancingan-nya berhasil! Pemuda itu benar-benar pergi untuk
memenuhi permintaannya. Di sekitar tempat itu, mana ada nasi dan daging serta arak"
Pemuda itu tentu akan pergi mencari dusun dan belum tentu akan mendapatkan yang
dimintanya sampai semalam suntuk. Dengan hati-hati Milana melirik ke arah kakek yang
me-nimbulkan rasa ngeri di hatinya. Kakek itu masih duduk bersila di atas batu, sama sekali
tidak bergerak, bahkan agak-nya bernapas pun tidak. Kakek itu seper-ti arca mati yang
sudah melekat dan menjadi satu dengan batu yang diduduki-nya. Bagaimana kalau dia lari
sekarang" Akan tetapi dia harus hati-hati dan tidak sembrono. Sekali dia gagal, tentu Keng
In akan menjaga ketat lagi, mung-kin tidak akan membebaskannya dari totokan. Dia
memang harus berusaha lari, akan tetapi sekali melakukannya harus berhasil.
Milana bangkit berdiri dan berjalan-jalan, matanya tak pernah dialihkan dari tubuh kakek
yang masih duduk bersila. Dengan memberanikan diri, dia berjalan perlahan melewati depan
kakek dan dia melihat bahwa kakek itu duduk bersila sambil memejamkan mata dan....
agaknya benar-benar tidak bernapas! Biarpun cua-ca sudah remang-remang, namun dia
masih dapat melihat keadaan kakek itu. Sampai tiga kali dia berjalan perlahan seperti orang
melemaskan kaki, mengeli-lingi kakek itu dan berhenti di sebelah belakangnya. Kakek itu
sama sekali tidak pernah bergerak apalagi menengok. Milana membungkuk, mengambil
sepotong batu, lalu melontarkan batu itu ke semak-semak di sebelah kanan kakek itu,
mata-nya memandang tajam. Namun, kakek itu tetap tidak bergerak sama sekali, seolah-
olah telah mati, atau telah tidur nyenyak!
Jantung Milana berdebar tegang. Ten-tu kakek itu tidak akan merintanginya karena sedang
tidur, atau demikian teng-gelam dalam samadhinya sehingga seperti orang mati. Berindap-
indap Milana me-langkah menjauhi kakek itu, mengambil arah yang berlawanan dengan
perginya Keng In tadi. Makin lama langkahnya yang gemetar itu menjadi makin tetap,
langkah kecil-kecil menjadi makin mele-bar dan karena kakek itu sudah tidak tampak lagi
dalam cuaca yang suram, dia tidak lagi menengok dan selagi dia mengambil keputusan
hendak lari, tiba-tiba terdengar suara orang di depannya. Seketika dia menjadi lemas melihat
Keng In muncul dengan seekor ayam hutan di tangannya.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
664 "Aihh, sudah begitu laparkah eng-kau, Sayang" Apakah engkau sengaja menyongsong
aku" Lihat, kuperoleh seekor ayam, gemuk untukmu, enak dibuat menjadi ayam panggang!"
Milana memaksakan dirinya untuk tersenyum dan berkata dengan suara agak gembira,
"Aku hendak menyusul, habis engkau lama benar sih, dan perutku sudah amat lapar!"
"Aduh kasihan, bidadari yang jelita! Nah, terimalah ayam ini, kau tentu mau
memanggangnya untuk kita makan bersa-ma, bukan?"
Milana menahan kemarahan dan keke-cewaannya, terpaksa menerima bangkai ayam hutan
yang gemuk itu, kemudian sengaja berkata, "Ahhh, kenapa hanya ayam saja" Apakah aku
hanya kausuruh makan daging panggang" Mana nasinya" Mana araknya" Wan Keng In,
aku sudah mulai menurut karena sikapmu yang baik akan tetapi kalau permintaan macam itu
saja kau tidak mampu penuhi, apa guna-nya aku tunduk?"
"Wah-wah.... sabarlah, Sayang. Aku memang sengaja membawa ayam ini lebih dulu agar
dapat kaupanggang. Selagi kau memanggangnya, aku akan pergi mencari nasi dan arak,
jadi tidak ada waktu terbuang sia-sia, bukan?"
Milana tersenyum, agak lebar supaya kelihatan lebih manis, kemudian meng-angguk.
"Baiklah, Keng In, akan tetapi jangan terlalu lama, ya" Perutku sudah lapar sekali."
"Hi-hik, perutmu lapar atau engkau tidak tahan berpisah lama denganku?"
Ingin Milana meludahi muka pemuda itu untuk kata-kata ini, akan tetapi dia menahan sabar
dan hanya melirik sambil cemberut, sikap yang dia tahu menambah kemanisan wajahnya.
Keng In tertawa kemudian berkelebat pergi, kini menuju ke kanan, agaknya di sebelah sana
ter-dapat dusun terdekat.
Kembali berdebar jantung Milana. Se-karanglah saatnya, pikirnya. Tidak boleh membuang
waktu lagi. Hampir saja dia tadi celaka. Kalau saja Keng In mendapatkan dia tadi sedang
melarikan diri, sedang berlari cepat, tentu rahasianya ketahuan dan mungkin sekarang dia
sudah rebah terbelenggu atau tertotok. Dia bergidik, kemudian setelah menanti seje-nak
agar Keng In berlari cukup jauh ke sebelah kanan puncak, Milana lalu mem-banting bangkai
ayam hutan lalu melon-cat melarikan diri, mengambil jalan sebelah kiri puncak.
"Bresss....!" Milana terjengkang dan cepat berjungkir balik agar jangan ter-banting. Ketika
dia berlari cepat tadi, tahu-tahu dia menabrak sesuatu yang tiba-tiba menghalang di
depannya. Ketika dia memandang, hampir dia menjerit karena yang ditabraknya adalah
tubuh kakek iblis guru Keng In yang entah bagaimana dan kapan tahu-tahu telah berdiri di
situ dengan kedua lengan bersedakap dan kedua mata terpejam!
"Augghhh....!" Milana merintih mena-han rasa ngeri, meloncat ke kiri tubuh kakek itu dan lari
lagi. "Brukkk....!" Kembali dia terjengkang dan ketika meloncat bangun dan meman-dang, lagi-
lagi kakek iblis itu yang dita-braknya.
"Aihhh....!" Milana meloncat sambil membalikkan tubuh, berlari lagi untuk menjauhi kakek
yang menyeramkan itu, akan tetapi ke manapun juga dia lari, dia selalu menabrak tubuh
kakek berdiri itu, yang entah bagaimana tahu-tahu telah berada di depannya. Rasa ngeri
bercampur takut membuat dia marah sekali, dengan nekat dia lalu menghantam dada kakek
itu! Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
665 "Buk-buk-desss!" Tiga kali dia meng-hantam dan yang ketiga kalinya dia mengerahkan
seluruh tenaga, akan tetapi akibatnya dia roboh sendiri! Tubuh itu kaku dan keras seperti
baja, sama sekali tidak bergoyang terkena pukulan-pukulan-nya yang disertai sin-kang!
Tiba-tiba rambut Milana yang terlepas dan terurai panjang itu dijambak, tubuhnya diseret.
Dengan mata terbelalak Milana memandang. Kiranya kakek itu yang menjambak rambutnya
dan yang menyeretnya. Dia menangis dan mengeluh, sama sekali tidak melawan karena
mak-lum bahwa menghadapi kakek ini, dia lebih lemah daripada seorang anak kecil! Setelah
tiba di tempat tadi, kakek itu melepaskan jambakannya dan melempar-kan tubuh Milana ke
atas rumput, se-dangkan dia sendiri lalu duduk di atas batu, bersila dan meram seperti tadi,
seolah-olah telah berubah menjadi arca!
Milana menghentikan isaknya. Air matanya masih bercucuran, air mata jengkel, marah, dan
putus harapan serta kecewa. Kini dia memandang kepada kakek itu dengan kemarahan
meluap. Biar iblis sekalipun, kakek itu mengha-langinya untuk lari, menggagalkan
kesem-patan baik yang diperolehnya.
"Iblis tua bangka....!" Dia meloncat dan langsung menerjang tubuh kakek itu, menggunakan
jurus terlihai dari Sin-coa-kun (Ilmu Silat Ular Sakti), jari tangan kiri menotok ke tengkuk
membidik jalan darah kematian, tangan kanan dengan jari terbuka membacok ke arah
lambung dengan pengerahan sin-kang. Serangannya ini hebat sekali, selain terarah juga
ter-atur dan disertai pengerahan seluruh te-naganya. Dara yang keecewa ini sudah nekat
dan hendak membunuh atau ter-bunuh oleh kakek itu!
"Plakkk! Bukkk!"
Milana terpekik mundur, kedua lengannya lumpuh. Pukulan tadi tepat mengenai sasaran,
akan tetapi tubuh kakek itu sama sekali tidak terguncang, bahkan kedua tangannya terasa
nyeri dan lengan-nya seperti lumpuh. Kakek itu menge-luarkan suara mendengus dari
hidungnya, tiba-tiba tangannya sudah meluncur ke belakang dan menotok jalan darah di
pun-dak Milana, membuat tubuh dara itu ke-hilangan tenaga dan roboh lemas! Totok-an
kakek itu hebat luar biasa sehingga Milana tidak hanya lemas, akan tetapi juga lumpuh dan
sama sekali tidak dapat digerakkan, kecuali bibir dan pelupuk matanya untuk menangis! Dia
rebah miring dan ujung-ujung rumput yang menggelitik pipi dan daun telinganya amat
mengganggu, akan tetapi dia tidak dapat menggerakkan kepalanya.
Benar seperti dugaan Milana, menje-lang pagi, setelah ayam hutan mulai ber-keruyuk dan
cahaya di langit timur sudah mulai muncul, baru Keng In muncul, membawa bungkusan nasi,
sayur-mayur, dan seguci arak!
"Milana kekasihku, inilah permintaan-mu.... heiiii! Mengapa kau?" Pemuda itu meletakkan
bawaannya, berlutut dekat Milana dan cepat membebaskan totokan yang membuat dara itu
lemas. Begitu terbebas dari totokan, biarpun tubuhnya masih lemas dan jalan darahnya
belum pulih benar, Milana sudah mencelat ba-ngun dan menyerang Wan Keng In!
"Brukkk! Heiii.... mengapa kau ini....?" Keng In cepat menangkap lengan Milana dan
merangkulnya, meringkusnya mem-buat dara itu tak mampu melepaskan diri. "Milana
bidadariku, pujaan hatiku, kenapa kau...." Mana daging panggang itu dan kenapa kau
tertotok?"
Mau rasanya Milana menangis mengguguk. Demikian kecewa dan mendongkol rasa
hatinya. Mendengar pertanyaan ini, timbul akalnya untuk mengadu domba antara guru dan
murid ini. Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
666 "Mau tahu" Tanya saja gurumu tua bangka iblis itu!" Ingin dia membohong, ingin dia
menjatuhkan fitnah kepada ka-kek itu, mengatakan bahwa kakek itu hendak
memperkosanya, akan tetapi ka-rena sejak kecil dia tidak biasa membo-hong kata-kata ini
tidak bisar keluar dari mulutnya.
Keng In menoleh kepada gurunya yang kini sudah membuka matanya. "Suhu, apa yang
terjadi" Mengapa Suhu membuat Milana rebah dengan totokan?"
"Keng In, engkau ini laki-laki macam apa" Tidak semestinya seorang laki-laki membiarkan
dirinya dihina perempuan! Kalau kau suka dia dan dia banyak rewel paksa saja!" Milana
merasa benci bukan main kepada kakek itu setelah melihat kakek itu bicara tanpa
menggerakkan bibir dan mendengar ucapan yang amat menghina dan merendahkan wanita
itu. Kalau dia tidak tahu bahwa melawan kakek itu percuma saja, tentu dia sudah menerjang
mati-matian. "Aahh, Suhu, mana bisa teecu berlaku keras kepada Milana" Tentu dia tadi hendak
melarikan diri maka Suhu meno-toknya, bukan" Wah, jangan sekali-kali engkau melarikan
diri, biarpun aku tidak ada. Masih untung bahwa Suhu hanya merobohkanmu, tidak
membunuhmu."
"Aku tidak takut mati!" Milana mem-bentak.
"Huh, perempuan keras hati ini," kembali kakek itu mengomel. "Dan kau mencinta dia?"
"Benar, Suhu. Aku cinta Milana, aku ingin menjadikan dia sebagai seorang isteri yang
tercinta, yang membalas cin-taku, karena itu, sangat mustahil kalau aku harus mengganggu
badan atau nya-wanya dengan kekerasan. Harap Suhu suka bersabar menghadapi Milana."
"Huh, agaknya kau takut mengganggu-nya. Anak siapa dia?"
"Dia bukan seorang gadis sembarangan, Suhu. Dia adalah puteri tunggal dari Ketua Thian-
liong-pang."
"Huh!" Cui-beng Koai-ong mendengus memandang rendah.
Milana sudah bangkit berdiri dan membusungkan dadanya yang sudah bu-sung itu,
suaranya lantang ketika dia berkata,
"Ibuku tidak hanya Ketua Thian-liong-pang, akan tetapi dia juga Puteri Nirahai puteri Kaisar
yang perkasa, dan ayahku adalah Pendekar Super Sakti atau Pende-kar Siluman, To-cu
Pulau Es! Kalau ayah bundaku tahu bahwa aku kalian culik, tentu mereka akan datang dan
mencabut nyawa kalian berdua seperti mencabut rumput saja!"
Kakek yang tadinya kelihatan diam seperti arca itu, kini membuka mata memandang dan
Keng In juga kelihatan terkejut karena dia tidak menyangka-nyangka bahwa dara yang
dicintanya itu adalah puteri Pendekar Super Sakti. Cui-beng Koai-ong mengeluarkan suara
menggereng seperti seekor harimau ma-rah, kemudian tubuhnya mencelat dekat, tangannya
bergerak. Milana berusaha mengelak, namun kalah cepat.
"Brettt-brett-brettt....!"
Milana menjerit kaget melihat tubuh-nya yang sudah menjadi telanjang bulat sama sekali
karena tiga kali renggutan oleh tangan Cui-beng Koai-ong tadi sudah membuat seluruh
pakaiannya, luar dan dalam, terobek dan tanggal semua!
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
667 "Suhu....!"
Cui-beng Koai-ong melemparkan pa-kaian itu ke atas tanah. "Perkosa dia! Hayo kauperkosa
puteri Pendekar Siluman ini!" katanya kepada Keng In.
Keng In membuka jubah luarnya dan menubruk gadis telanjang bulat yang ma-tanya
terbelalak lebar dan mukanya pu-cat, yang dengan sia-sia mencoba untuk menggunakan
tangan menutupi tubuhnya, menutupkan jubah itu menyelimuti tubuh Milana. Dengan cepat
gadis itu menggu-nakan jubah menutupi tubuhnya dan memandang kepada kakek itu
dengan sinar mata penuh kebencian akan tetapi juga kengerian.
"Keng In, perkosa dia!" Kembali Cui-beng Koai-ong berkata. "Kalau tidak, aku yang akan
melakukannya!"
"Suhu, jangan, Suhu. Aku ingin menda-patkan dia dengan suka rela, aku cinta padanya."
"Aku tidak peduli kaucinta atau tidak. Saat ini aku ingin melihat engkau mem-perkosa
seorang perempuan, dan kau harus melakukan hal itu!"
"Suhu, tunggu....! Ada orang....!" Wan Keng In berseru dan meloncat ke depan. Benar saja


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tampak bayangan berkelebatan dan muncullah lima orang yang gerakan-nya gesit dan
bersikap gagah. Empat orang laki-laki setengah tua yang bersen-jata pedang dan seorang
wariita berusia tiga puluhan tahun, juga gagah sikapnya, bersenjata sebatang cambuk.
"Bebaskan Nona itu!" Wanita itu su-dah membentak dan cambuknya bergerak
mengeluarkan suara meledak-ledak. Juga empat orang laki-laki itu sudah mener-jang maju,
disambut oleh Keng In yang sudah mengeluarkan pedangnya. Begitu pemuda ini
mengelebatkan pedangnya, tampak sinar berkilat dan sinar ini me-nyambar ke arah empat
orang penyerang-nya.
"Cringgg trak-trak-trak-trak!" Empat batang pedang di tangan empat orang laki-laki
gagah itu patah semua ketika bertemu dengan Lam-mo-kiam di tangan Wan Keng In,
bahkan disusul robohnya tubuh mereka yang hampir pu-tus menjadi dua potong. Mereka
roboh dan tak bergerak lagi, mandi darah mereka sendiri.
Milana tadinya hendak bergerak mem-bantu para penolongnya, akan tetapi ter-paksa
mengurungkan niatnya karena teringat akan tubuhnya yang telanjang bulat dan hanya
terselimut jubah luar. Kalau dia bergerak, tentu jubahnya ter-buka! Apalagi melihat betapa
dalam segebrakan saja Keng In telah membunuh empat orang itu, harapannya lenyap
kembali. Wanita bercambuk itu menjadi kaget dan marah. Cambuknya menyambar ke arah Wan
Keng In yang sambil tersenyum telah menyarungkan Lam-mo-kiam kem-bali. Cambuk
menyambar dan mengenai leher Keng In, melibat leher dan wanita itu menarik. Namun,
tubuh Keng In sama sekali tidak bergoyang, bahkan sekali Keng In menarik leher ke
belakang, tubuh wanita itu terhuyung ke depan, tertang-kap oleh pelukan kedua lengan Keng
In. Wanita itu hendak meronta, akan tetapi cambuknya sudah mengikat kedua tangan-nya
sehingga tidak dapat berkutik.
"Apakah Suhu masih ingin melihat aku memperkosa perempuan?" Keng In yang sengaja
tidak membunuh wanita ini kare-na ingin menolong Milana, menoleh kepa-da gurunya.
"Hem, hayo cepat!" gurunya yang gila itu berkata.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
668 Keng In menotok wanita itu sehingga menjadi lemas, kemudian dia menanggal-kan seluruh
pakaian wanita itu satu demi satu, melempar-lemparkan pakaian itu kepada Milana sambil
berkata, "Milana, kaupakailah pakaiannya, pakaianmu sudah robek semua."
Milana tidak mengerti apa yang akan terjadi, akan tetapi melihat pakaian itu dilempar-
lemparkan kepadanya ia lalu memakainya. Untung bahwa bentuk tubuh wanita itu hanya
sedikit lebih besar dari tubuhnya, maka pakaian itu, dari pakaian dalam sampai pakaian luar,
dapat dipa-kainya dengan baik. Akan tetapi, betapa kaget dan ngeri hati Milana ketika
meli-hat Keng In mulai menanggalkan pakai-annya sendiri kemudian menubruk wanita
tawanan yang sudah menggeletak di atas rumput tanpa pakaian itu.
"Kau....!" Milana marah bukan main, lupa diri dan bergerak menyerang Keng In. Akan tetapi,
dengan tangan kirinya Keng In menyambar cambuk wanita tadi, menggerakkan cambuk itu
sehingga ujungnya menotok pundak Milana yang tergu-ling roboh dan tidak mampu bergerak
lagi. Gadis ini mula-mula terbelalak me-mandang penglihatan yang terjadi hanya dua meter
di depan matanya, kemudian dia memejamkan matanya dan seluruh tubuhnya menggigil.
Hatinya penuh de-ngan kebencian dan dia berjanji untuk membunuh Wan Keng In dan
gurunya itu karena dia menganggap mereka itu bukan manusia, kejam melebihi binatang
buas, bahkan iblis sendiri belum tentu seganas dan sejahat mereka!
Biarpun dia telah memejamkan matanya, namun Milana tetap saja mendengar rintihan
wanita itu. Betapa heran dia setelah beberapa lama, terdengar wanita itu berkata diseling
isak, "Aku.... aku akan membantumu.... aku bersedia menjadi pembantumu yang setia....
asal jangan bunuh aku.... ampunkanlah aku...., aku telah berani menentang seorang ga-gah
seperti engkau...."
Ucapan itu terhenti, terdengar suara "prakkk!" dan keadaan menjadi sunyi. Tidak terdengar
apa-apa lagi. Setelah agak lama, barulah Milana merasa pun-daknya disentuh dan dia
terbebas dari totokan. Dibukanya matanya dan dia ter-belalak. Sinar matahari pagi menimpa
tubuh yang telanjang bulat, tubuh yang berkulit putih bersih, akan tetapi kini kulit yang putih
kuning itu telah berle-potan darah, diantaranya darah yang masih menetes keluar dari
kepalanya yang pecah!
"Ihhh....!" Milana menutupi mata de-ngan kedua tangannya.
Wan Keng In yang sudah berpakaian lagi itu merangkulnya dan berbisik, "Ter-paksa
kulakukan untuk memuaskan hati Suhu, dan sebagai penggantimu...."
Biarpun masih nanar, Milana maklum apa artinya semua itu, dan kejijikan terhadap Keng In
makin menghebat. Direnggutnya secara kasar tubuhnya dari rangkulan Keng In.
Tiba-tiba Wan Keng In meloncat ke atas batu besar di puncak itu, meman-dang ke
sekeliling. Kemudian dia mela-yang turun lagi, berkata kepada suhunya yang masih duduk di
atas batu, "Suhu, kurang lebih lima puluh orang telah mengurung puncak ini, agaknya
teman-teman lima orang itu. Bagaimana baik-nya" Apakah teecu amuk dan bunuh saja
mereka?" "Mana anak buah kita?" Kakek itu berkata tak acuh.
"Belum ada yang muncul, Suhu."
"Hemmm...., panggil mereka. Suruh mereka basmi anjing-anjing itu!"
Keng In lalu membuat api unggun, terus ditambahi dahan dan daun kering sehingga
bernyala besar sekali. Kemudian dia menggunakan tenaga khi-kang untuk meniup dan
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
669 setiap kali tiup, segumpal asap hitam bergulung-gulung ke angkasa. Beberapa kali dia
lakukan hal ini dalam jarak-jarak waktu tertentu. Milana hanya memandang dengan heran.
Hatinya tegang. Benarkah ada lima puluh orang mengu-rung tempat ini" Siapakah mereka"
Dan siapa pula lima orang yang berusaha me-nolongnya akan tetapi tewas semua ini"
"Ibuuuuu....!" Tiba-tiba Milana ber-teriak sambil mengerahkan khi-kangnya. Suaranya
melengking tinggi dan bergema di seluruh lereng gunung.
"Milana, jangan....!" Keng In meloncat dengan sigapnya, mengejar gadis yang berusaha
melarikan diri itu dan seperti ketika pertama kali dia menculik Milana, gadis itu dikempit
pinggangnya dan di-panggulnya setelah ditotok lemas.
Milana meronta-ronta tanpa hasil. Tiba-tiba terdengar suara melengking panjang, akan
tetapi suara itu mengece-wakan hati Milana karena bukan lengking suara ibunya, bukan pula
suara ayahnya yang sudah dikenalnya. Dan ternyata memang bukan karena Keng In segera
mengeluarkan teriakan yang sama seba-gai jawaban. Tak lama kemudian Milana
mendengar suara hiruk-pikuk orang ber-tanding di sekeliling puncak.
"Suhu, anak buah kita sudah berpesta membunuhi mereka." Keng In berkata dan gurunya
hanya mendengus.
"Tahukah engkau, Milana" Anak buah kita, para penghuni Pulau Neraka, telah datang.
Sebentar lagi orang-orang yang mengurung kita tentu akan terbasmi dan kita akan
melanjutkan perjalanan ke Pulau Neraka. Jangan mencoba untuk lari lagi, Manis. Kau tahu
hal itu percu-ma, dan pula, bukankah aku sudah bersikap baik terhadapmu" Aku cinta
padamu. Milana, berilah cium...." Keng In mendekatkan mulutnya, akan tetapi Milana berkata
dengan suara mendesis saking marahnya.
"Aku berjanji takkan melarikan diri, berjanji akan menyerah. Akan tetapi ka-lau kau berani
menciumku, berani men-jamahku, biarpun aku tidak dapat melawanmu, aku akan
membunuh diri!"
Mulut Keng In yang sudah hampir menyentuh pipi Milana itu ditarik ke belakang.
"Aihhh.... jangan, Manis. Kalau kau-bunuh diri, habis aku bagaimana...." Ucap-annya
terdengar tolol dan kekanak-kanak-an, atau seperti ucapan orang yang tidak waras otaknya.
"Kalau begitu, lepaskan aku. Aku takkan lari."
Keng In cepat menurunkan tubuh Milana dan membebaskan totokannya. Mereka bertiga
duduk di situ menanti sampai suara hiruk-pikuk dari senjata beradu dan teriakan kematian
diseling sorak kemenangan itu makin berkurang, akhirnya berhenti. Tak lama kemudian
tampak bermunculan tiga puluh lebih orang-orang Pulau Neraka yang mukanya berwarna-
warni, ada yang merah, biru, hijau, merah muda dan hijau pupus. Me-reka semua
menjatuhkan diri berlutut di depan Keng In dan Cui-beng Koai-ong.
"Mohon ampun atas kelambatan kami, Siauw-tocu."
"Tidak mengapa," kata Keng In kepa-da seorang kakek berkepala gundul ber-muka merah
muda yang memimpin rombongan orang Pulau Neraka itu. "Kong To Tek, siapakah para
pengepung tadi dan bagaimana keadaan mereka sekarang?"
"Mereka adalah orang-orang kang-ouw yang bergabung dengan pengawal-penga-wal yang
dipimpin oleh seorang panglima pengawal. Kami telah menyerbu dan me-nurut penglihatan
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
670 kami, mereka yang jumlahnya lima puluh dua orang telah mati semua, Siauw-tocu. Menanti
perin-tah selanjutnya."
"Bagus! Sediakan sebuah perahu, kami hendak kembali ke Pulau Neraka."
Orang-orang yang berlutut itu meng-angkat muka dan kelihatan terkejut dan tidak
menyangka-nyangka. "Dan kami...., Siauw-tocu?"
"Kalian juga. Kita bangun kembali pulau kita, aku yang memimpin bersama calon isteriku ini,
dibantu oleh Suhu."
Orang-orang itu bersorak girang. "Perahu sudah siap di pantai dekat Gua Naga Hitam,
Siauw-tocu."
Sebentar saja mereka sudah menuntun datang beberapa ekor kuda, yaitu tung-gangan para
penyerbu yang telah tewas semua itu. Para pengurung puncak itu memang benar
rombongan pengawal dari kota raja yang dipimpin oleh seorang panglima. Rombongan ini
berhasil meng-ikuti jejak Wan Keng In dan di sepanjang jalan mereka minta bantuan orang-
orang kang-ouw, termasuk empat orang dan seorang wanita yang telah lebih dulu menjadi
korban keganasan Wan Keng In itu.
"Apakah Suhu juga hendak menung-gang kuda?" Wan Keng In bertanya ragu kepada
suhunya. Biarpun kakek itu guru-nya, namun dia sama sekali tidak menge-nal betul keadaan
kakek itu, yang gerak-geriknya penuh rahasia dan tidak pernah mau bercerita tentang dirinya
sendiri. Cui-beng Koai-ong mendengus, kemu-dian sekali berkelebat, tubuhnya yang kaku itu telah
lenyap. "Suhu telah pergi lebih dulu ke Pulau Neraka. Hanya kalian kawal kami berdua.
Semua orang harus tunduk dan hormat kepada Puteri Milana ini, dia adalah calon isteriku.
Siapa yang membuat hatinya tidak senang akan kubunuh!"
Semua orang itu adalah tokoh-tokoh Pulau Neraka dan sebagian di antara mereka sudah
mengenal Milana, bahkan sudah pernah bentrok dengan gadis ini ketika Milana memimpin
orang-orang Thian-liong-pang. Mereka tahu bahwa Milana adalah puteri Ketua Thian-liong-
pang, maka mendengar bahwa dara yang cantik jelita dan perkasa itu akan menja-di isteri
majikan mereka, hati mereka menjadi terheran-heran, akan tetapi juga girang. Berangkatlah
Keng In dengan rombongannya, dan Milana yang tidak mempunyai harapan untuk dapat
lolos lagi itu, kini menurut saja. Yang penting baginya sekarang adalah mencegah Keng In
memaksanya sebagai isterinya, dan tentang meloloskan diri, akan diatur sebaiknya kalau
sudah ada kesempatan terbuka.
Tidak ada halangan terjadi yang menghalangi rombongan ini sampai mere-ka menggunakan
perahu melanjutkan perjalanan dan tiba di Pulau Neraka. Milana merasa ngeri melihat
keadaan pulau ini. Sebuah pulau liar penuh dengan binatang buas yang beracun, dan
biarpun sudah pernah diserbu dan dibakar oleh pasukan pemerintah yang amat kuat, kini
tidak kehilangan keangkerannya.
Dia tidak banyak memperlihatkan perlawanan, bahkan membantu ketika Keng In dan anak
buahnya membangun kembali bangunan yang telah terbakar. Bahkan dia bersikap baik
terhadap Cui-beng Koai-ong yang sudah lebih dulu berada di pulau itu. Dengan perantaraan
Keng In, gadis ini malah mulai mempe-lajari ilmu-ilmu aneh dan mujijat dari Cui-beng Koai-
ong! "Aku bersedia menjadi isterimu, de-ngan satu syarat, yaitu ayah bundaku harus
menyetujuinya. Sebelum itu, biar kaupaksa sekalipun, aku tidak akan me-nurut dan kalau
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
671 kau menggunakan paksa-an, aku akan membunuh diri dan rohku akan selalu mengejarmu
untuk membalas dendam." Ucapan Milana yang dikeluarkan dengan sungguh-sungguh ini
membuat Keng In maklum bahwa dia harus meme-nuhi permintaan itu sebelum dia dapat
menundukkan dara itu agar secara suka rela menjadi isterinya. Dia merasa ter-siksa sekali
karena harus menahan nafsu-nya yang kadang-kadang membakar diri-nya. Dia terlalu
mencinta Milana dan ingin hidup selamanya di samping wanita ini, maka betapa pun
sukarnya, dia akan mengusahakan agar orang tua dara itu menyatakan persetujuannya,
kalau perlu dengan kekerasan dan untuk ini dia mengandalkan bantuan gurunya.
Mulailah sebuah kehidupan baru bagi Milana, di atas Pulau Neraka yang se-dang dibangun
oleh Keng In, di mana dia dikenal sebagai calon isteri Siauw-tocu, dan di mana dia harus
mempergunakan seluruh kecerdikannya untuk menyelamat-kan diri dari gangguan Keng In
tanpa menimbulkan kecurigaan pemuda luar biasa itu.
*** Andaikata tidak ada Kwi Hong yang menjadi petunjuk jalan, biarpun Im-kan Seng-jin Bhong
Ji Kun, Thian Tok Lama dan beberapa orang panglima pembantu-nya pernah melawat ke
Pulau Es, namun agaknya perahu mereka itu takkan pernah dapat sampai ke Pulau Es.
Berkat petun-juk Kwi Hong, biarpun makan waktu sampai dua pekan, akhirnya sampai juga
perahu besar itu dan mendarat di Pulau Es. Kwi Hong melompat ke darat lebih dahulu.
Hatinya terharu sekali menyaksi-kan pulau di mana dia tinggal sejak kecil yang kini
keadaannya sudah banyak rusak, istana pulau yang dari jauh sudah kelihatan runtuh bekas
terbakar. Teringat ia akan pemuda Thung Ki Lok yang mencintanya dan yang tewas oleh
peng-khianat Kwee Sui, teringat akan para paman pembantu Pendekar Super Sakti yang
tewas dalam pertempuran ketika pasukan pemerintah menyerbu. Hatinya menjadi terharu
sekali, akan tetapi tidak ada setitik pun air mata tumpah. Hati dara ini telah mengeras karena
gem-blengan-gemblengan pengalamannya.
Para tokoh yang membantu Bhong Ji Kun mengikuti bekas Koksu itu meloncat turun pula.
Mereka itu adalah Thian Tok Lama yang mengiringkan Pangeran Yauw Ki Ong yang
digandeng oleh dua orang selirnya, yaitu bekas-bekas pelayan yang masih bisa melarikan
diri bersamanya, disusul oleh Liong Khek, tokoh kurus muka pucat yang tidak ketinggalan
mem-bawa senjatanya yang istimewa yaitu sebatang gagang pancing lengkap dengan tali
dan mata kailnya, Gozan jagoan Mongol yang bertubuh tinggi besar seper-ti raksasa, Thai-
lek-gu Si Pendek Gendut bertangan panjang yang bersenjata sepasang golok, dan seorang
yang tinggi besar bersenjata tombak panjang. Orang ini sikapnya keren, gerak-geriknya gesit
dan dihormat oleh pembantu lainnya. Dia adalah seorang ahli tombak dari selatan, berjuluk
Sin-jio (Tombak Sakti) bernama Ciat Leng Souw. Memang ilmu tombak-nya hebat bukan
main, juga tenaga sin-kangnya amat kuat sehingga di dalam rombongan itu, kiranya hanya
Bhong Ji Kun dan Thian Tok Lama saja yang akan mampu menandingi tombaknya yang
lihai! Pantas kalau dia dihormat oleh para pembantu bekas Koksu itu. Selain para jagoan ini,
juga ada beberapa orang panglima yang berkepandaian tinggi, dan beberapa orang pelayan
biasa, tukang kuda yang bertugas sebagai tukang pera-hu dalam pelayaran itu. Mereka
berbon-dong turun dan kasihan sekali para pela-yan yang tidak memiliki kepandaian tinggi
karena begitu mendarat di Pulau Es, mereka sudah menderita kedinginan!
Rombongan Pangeran Yauw Ki Ong yang dikawal Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun ini
bersama Kwi Hong jumlahnya masih ada dua puluh orang. Segera atas perintah Bhong Ji
Kun, mereka mulal membetulkan bekas istana Pulau Es yang telah terbakar itu. Karena
istana itu memang besar dan jumlah mereka tidak begitu banyak, maka tempat itu cukup
untuk melindungi mereka dari hawa dingin. Sebuah api unggun yang besar terpaksa harus
dinyalakan terus di dalam istana itu melawan hawa dingin.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
672 Ketika Kwi Hong yang telah rindu kepada pulau ini mengadakan peninjauan seorang diri,
kesempatan ini dipergunakan oleh Bhong Ji Kun untuk mengajak Pa-ngeran Yauw dan para
kaki tangannya untuk berunding. Mereka tadinya mem-bujuk Kwi Hong selain untuk menarik
Pendekar Super Sakti di fihak mereka, juga untuk memanfaatkan tenaga gadis itu.
Sekarang, setelah Kwi Hong berhasil mengantar mereka ke Pulau Es, mereka harus cepat
mengambil keputusan menun-dukkan gadis itu sebelum gadis berwatak keras dan aneh
sukar ditundukkan itu berubah pikiran dan memberontak. Akan tetapi diam-diam Bhong Ji
Kun dan dibantu oleh Thian Tok Lama dan Sin-jio Ciat Leng Souw, melakukan pe-nyelidikan
di sekitar pulau sambil menca-ri-cari pusaka-pusaka Pulau Es itu. Na-mun usaha mereka
tidak ada hasilnya maka pada keesokan harinya, Bhong Ji Kun mengundang Kwi Hong
untuk mengadakan perundingan. Mereka semua berkumpul di dalam ruangan istana, tentu
saja para pelayan dan dua orang selir Pangeran Yauw yang tidak ikut.
Kwi Hong masih belum menyadari keadaannya sehingga dia tidak curiga ketika dipersilakan
duduk, di antara Thian Tok Lama dan Bhong Ji Kun, sedangkan Ciat Leng Souw duduk di
sebelah bela-kangnya, berhadapan dengan para pangli-ma dan Pangeran Yauw.
"Giam-lihiap, kami berterima kasih sekali bahwa lihiap telah suka membawa kami untuk
berlindung di pulau ini. Terpaksa kita semua harus tinggal untuk sementara di sini selama
kekuatan pasu-kan kita belum tersusun. Kita harus mengadakan hubungan dengan saudara-
saudara di Mongol, Tibet, dan Nepal, juga mengadakan perhubungan baru de-ngan kaum
orang gagah di pedalaman yang mendendam sakit hati kepada Kai-sar. Karena itu, sambil
menanti keadaan dan untuk menghilangkan rasa kesepian di pulau yang dingin ini kami
harap saja Lihiap suka memperlihatkan setia kawan dan suka mengeluarkan kitab-kitab
pusaka Pulau Es agar kita bersama dapat mem-pelajarinya untuk menambah
pengeta-huan."
Ucapan Bhong Ji Kun ini terdengar seperti guntur di siang hari oleh Kwi Hong. Sama sekali
tidak pernah disangka-nya bahwa bekas Koksu ini akan mengeluarkan pernyataan seperti
itu, karena soal pusaka Pulau Es tadinya tidak per-nah disinggung dalam persekutuan dan
kerja sama mereka.
"Apa yang kaumaksudkan, Bhong-Kok-su?" Biarpun sekarang bukan Koksu lagi, namun Kwi
Hong dan beberapa orang lain masih menyebut Koksu, hal ini adalah karena memang dia
dicalonkan sebagai Koksu juga kalau Pangeran Yauw Ki Ong berhasil dengan
pemberontakan itu dan merebut tahta kerajaan.
"Maksudku sudah jelas, Nona." Suara Bhong Ji Kun terdengar halus namun dingin dan
penuh ejekan. "Ketika kami bertugas menyerbu pulau ini, kami tidak dapat menemukan
pusaka-pusaka yang tersimpan di Istana Pulau Es. Padahal Istana Pulau Es dahulu adalah
tempat tinggal Manusia Dewa Bu Kek Siansu yang terkenal. Maka kami merasa yakin bahwa
pusaka-pusaka itu tentulah disimpan dan disembunyikan, dan Nona seba-gai murid dan


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keponakan Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es, tentu dapat mengetahui tempat
penyimpanannya."
Bukan main marahnya hati Kwi Hong. Mukanya menjadi merah sekali dan sua-ranya
lantang ketika dia menjawab,
"Aku tidak mengerti mengapa engkau membawa-bawa urusan pusaka ke dalam kerja sama
kita ini, Bhong-koksu. Akan tetapi sesungguhnya aku tidak tahu akan pusaka yang disimpan.
Semua pusaka dan benda berharga Pulau Es telah dibagi-bagikan oleh paman kepada para
anggau-ta sebelum dibubarkan, dan kalau kau-maksudkan kitab-kitab, semua itu hanya
paman yang mengetahui dan menyimpan-nya."
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
673 "Mustahii Giam-lihiap sebagai murid-nya tidak tahu di mana disembunyikannya kitab-kitab
itu" Pinceng (Saya) rasa lebih baik Lihiap memperlihatkan kepada Bhong-koksu sehingga
terbuktilah bahwa Lihiap memang benar-benar ingin bekerja sama dengan kami," kata Thian
Tok Lama mendesak.
"Aku tidak tahu! Apakah kalian tidak percaya kepadaku" Kalau tidak percaya, habis kalian
mau apa?" Kwi Hong sudah marah sekali dan kedua tangannya yang berada di atas meja
dikepal keras. "Hemm, Lihiap masih bersikap keras kepada kami. Padahal Lihiap adalah pem-bantu kami
dan sebagai pembantu harus taat kepada pimpinan. Perlukah kami harus mengambil jalan
kekerasan?"
"Brakkk!" Kwi Hong bangkit berdiri dan menggunakan tangannya menggebrak meja. Alisnya
diangkat ketika matanya dilebarkan, memandang dengan sinar ber-api kepada Bhong Ji
Kun. "Boleh saja! Siapa takut akan jalan kekerasanmu?"
Pangeran Yauw segera bangkit berdiri dan mengangkat kedua tangannya ke atas.
"Aih-aih...., apa perlunya semua ini" Giam-lihiap, harap suka duduk kembali dan harap suka
bersabar. Bhong-koksu, tidak semestinya mendesak Lihiap. Kalau Lihiap bilang tidak tahu
tentu benar-be-nar tidak tahu. Giam-lihiap adalah saha-bat kita, bahkan aku telah
menganggap-nya sebagai pengawal yang paling kupercaya. Di antara orang sendiri tidak
semestinya terjadi keributan hanya karena soal kecil saja."
Bhong-koksu tersenyum lebar dan cepat dia berdiri dan menjura ke arah Kwi Hong sambil
berkata, "Ahh, kami telah terburu nafsu dan harap maafkan kami, Lihiap. Agaknya kekalahan
yang kami derita, kemudian keadaan yang pe-nuh kesukaran di sini membuat kami lupa diri.
Akan tetapi, hendaknya Lihiap juga tidak selalu memperlihatkan sikap keras. Sikap Lihiap
tentu saja menimbulkan keraguan kami dan hanya ada satu jalan kiranya yang akan
membuat keraguan ka-mi lenyap sama sekali dan mendatangkan keyakinan di hati kami
akan kesetiaka-wanan Lihiap terhadap persekutuan kami."
Kwi Hong mengira bahwa tentu Koksu itu tetap akan minta pusaka Pulau Es, dan kini
dengan jalan halus dan bujukan, maka dengan kemarahan ditahan dia ber-tanya, "Satu jalan
apakah yang kaumak-sudkan?"
Koksu melirik ke arah Pangeran Yauw Ki Ong yang tersenyum dan mengangguk-angguk,
kemudian berkata, "Pangeran telah membuka rahasia hatinya kepadaku. Semenjak beliau
bertemu dengan Lihiap, beliau telah tertarik dan jatuh cinta kepada Lihiap. Maka, Pangeran
berkenan mengambil Lihiap sebagai selir, dan tentu saja kelak kalau perjuangan kita
berhasil, Lihiap akan diperisteri secara resmi dan besar kemungkinan Lihiap kelak akan
menjadi permaisuri."
Wajah Kwi Hong menjadi pucat seke-tika, kemudian berubah merah. Maklum-lah dia bahwa
orang-orang yang disang-kanya sahabat ini ternyata adalah orang-orang yang mempunyai
niat jahat terhadap dirinya, dan dia selama ini dikelilingi oleh musuh! Teringatlah dia akan
arak suguhan Pangeran Yauw dan tentang surat peringatan yang dikirim secara aneh penuh
rahasia oleh orang tak dikenal. Bukan main rasa menyesalnya. Dia telah membantu orang-
orang jahat ini! Bahkan dia telah membawa mereka ke Pulau Es! Apakah yang telah dia
lakukan" Akan tetapi dia masih menahan sabar dan bangkit berdiri sambil berkata,
"Aku tidak dapat menerima perminta-an itu!"Tentu saja semua ini memang telah
direncanakan oleh Bhong Ji Kun, Pange-ran Yauw dan para pembantunya. Sama sekali
bukan maksud mereka untuk meng-angkat dara itu menjadi permaisuri. Maksud
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
674 sesungguhnya adalah kalau sam-pai Kwi Hong dapat diperisteri oleh Pangeran Yauw,
otomatis Pendekar Super Sakti tentu kelak akan mau membantu usaha pemberontakan
mereka. Kini melihat sikap Kwi Hong yang dengan keras menolak, Bhong Ji Kun dan para
pembantunya meloncat mundur, Pangeran Yauw cepat menyelamatkan diri dan mundur di
belakang para jagoan-nya dan mereka membuat gerakan me-ngurung Kwi Hong yang masih
berdiri tegak dengan sikap gagah, tangan kiri bertolak pinggang, tangan kanan dengan jari-
jari terbuka siap di dekat gagang pedang Li-mo-kiam!
"Kalau begitu, jelas engkau tidak berniat baik, maka terpaksa kami harus menggunakan
kekerasan!" Bhong Ji Kun berkata sambil mencabut senjatanya, pecut kuda berbulu merah
dan sebatang golok besar. Thian Tok Lama juga sudah mengeluarkan sebatang tongkat
pendeta, sebuah senjata baru yang kini selalu dipegangnya karena pendeta ini dalam
pengalamannya maklum bahwa kedua tangan kosongnya yang biasanya amat ampuh itu
tidak cukup untuk menghadapi seorang lawan tangguh seperti murid Pendekar Super Sakti
ini. Sin-jio Ciat Leng Souw Si Tombak Sakti sudah siap pula dengan tombak gagang panjang
di-lintangkan di depan dada, demikian pula para tokoh pembantu Koksu yang lain telah pula
siap dengan senjata masing-masing mengurung Kwi Hong.
"Bhong-koksu, harap jangan melukai-nya, apalagi membunuhnya," kata Pange-ran Yauw
sebelum mengundurkan diri dari ruangan luas itu.
"Ha-ha, jangan khawatir, Ong-ya. Akan hamba tangkap hidup-hidup untuk Paduka."
Kemarahan hati Kwi Hong yang terdorong rasa penyesalan besar itu tidak dapat ditahannya
lagi. Sambil mengeluar-kan seruan melengking tinggi nyaring, dara perkasa itu sudah
menerjang maju, menggerakkan pedangnya yang mengeluarkan sinar kilat dan dia telah
mener-jang Bhong Ji Kun yang amat dibencinya.
Kakek ini cepat mengelak dan masih sempat berseru, "Ingat jangan bentur senjatanya!"
Memang sebelum terjadi pengeroyokan ini, Koksu telah mengatur terlebih dahulu siapa
yang akan menghadapi dara ini, dan mereka semua telah diperingatkan untuk tidak
mengadu senjata mereka dengan pedang Li-mo-kiam yang amat ampuh itu. Maka semua
serangan Kwi Hong hanya dielakkan oleh yang diserangnya, sedangkan teman lain cepat
turun tangan menerjang dara itu dari belakang sehing-ga yang diserang oleh Kwi Hong
selalu tertolong, sebaliknya dara itu sendiri yang menghadapi serangan serentak dari
belakang dan kanan kiri. Terjadilah per-tandingan mati-matian bagi Kwi Hong karena para
pengeroyoknya adalah orang-orang yang tinggi ilmu kepandaiannya. Yang mengepungnya
berjumlah sepu-luh orang, dan sebagian besar dari mere-ka yang paling lihai semua
memegang senjata panjang. Bhong Ji Kun dengan cambuk merahnya, Thian Tok Lama
dengan tongkat pendetanya, Ciat Leng Souw dengan tombak panjangnya, Liong Khek
dengan senjata pancingnya, Thai-lek-gu dengan sepasang golok, dan empat panglima lain
yang bersenjata pedang. Hanya Gozan yang bertangan kosong, akan tetapi raksasa Mongol
ini tidak ikut menerjang maju, hanya siap untuk turun tangan kalau keadaan mengijinkan
untuk menangkap dara itu hidup-hidup seperti yang dikehendaki Pangeran Yauw Ki Ong
tadi. Giam Kwi Hong adalah murid Pende-kar Super Sakti, dan dia bahkan sudah digembleng
oleh Bu-tek Siauw-jin, tentu saja ilmu silatnya hebat. Apalagi di tangannya ada Li-mo-kiam
yang ampuh, maka andaikata diadakan pertandingan satu lawan satu, kiranya hanya Bhong
Ji Kun seoranglah yang akan mampu mengatasinya, sedangkan Thian Tok Lama dan Ciat
Leng Souw kiranya akan menghadapi kesukaran hebat untuk dapat mengalahkan dara
perkasa ini. Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
675 Akan tetapi, kini dia dikepung ketat oleh sepuluh orang, dan mereka itu ber-sikap hati-hati,
tidak mau menangkis pedang Li-mo-kiam, melainkan selalu menyerangnya serentak dari
belakang kalau dia menyerang seorang di antara mereka. Senjata mereka panjang dan ini
masih ditambah oleh pukulan-pukulan sin-kang jarak jauh yang dilontarkan oleh Bhong Ji
Kun dan Thian Tok Lama. Tentu saja Kwi Hong menjadi repot sekali, bahkan beberapa kali
dia terhu-yung oleh angin pukulan Hek-in-hwi-hong-ciang yang dilakukan oleh Thian Tok
Lama. Pendeta Tibet ini memang terke-nal sekali dengan ilmu pukulannya ini, pukulan
mujijat yang dapat merobohkan lawan dari jarak jauh. Tangan kanannya berubah menjadi
biru dan setiap kali dia melakukan pemukulan dengan dorongan telapak tangan, dari
perutnya terdengar bunyi kok-kok seperti ayam betina habis bertelur, dan dari telapak
tangannya menyambar uap hitam!
Yang amat merepotkan Kwi Hong adalah ujung pecut merah Bhong Ji Kun yang
menyambar-nyambar dari atas, me-ledak-ledak dan mengancamnya dengan totokan-totokan
maut. Namun, Kwi Hong tidak menjadi jerih dan sudah mengambil keputusan untuk
bertanding mati-matian mempertaruhkan nyawa. Karena dia maklum bahwa di antara
mereka semua, yang paling lihai adalah Bhong Ji Kun dan Thian Tok Lama, maka kedua
kakek inilah yang menjadi sasaran utama dari sinar pedangnya.
Dengan gerakan yang amat cepat disertai bentakan nyaring, pedang Li-mo-kiam yang
berubah menjadi sinar kilat itu menyambar ke atas lalu meluncur ke arah tenggorokan Thian
Tok Lama yang cepat meloncat ke belakang. Akan tetapi sinar pedang itu mengejar terus.
Mata pendeta Tibet itu menjadi silau dan ter-paksa dengan kaget sekali dia menangkis
dengan ujung tongkatnya. Sementara itu, Bhong Ji Kun melihat temannya teran-cam
bahaya, sudah menggerakkan cambuknya dan ujung pecut ini menyambar ke arah jari-jari
tangan kanan Kwi Hong yang menggenggam gagang pedang. Hal ini sudah dijaga oleh Kwi
Hong, maka tanpa menghentikan serangannya kepada Thian Tok Lama, dia merobah
kedudukan kaki sehingga tubuhnya membalik, tangan kirinya menyambar dan menangkap
ujung pecut itu sambil mengerahkan tenaga menahan!
"Crokkk!" Ujang tongkat Thian Tok Lama terbabat patah sedikit dan sinar pedang Li-mo-
kiam masih terus menyam-bar tenggorokannya. Pendeta itu berte-riak kaget, terpaksa
membuang tubuhnya ke belakang dan bergulingan. Biarpun dia kaget setengah mati, dan
ujung tongkat-nya patah, namun dia selamat.
Dengan tangan kiri masih memegang ujung pecut, Kwi Hong menggerakkan pedangnya,
yang gagal mengenai Thian Tok Lama untuk menangkis datangnya senjata yang bertubi-
tubi. Semua senjata cepat ditarik kembali karena takut ter-babat rusak, akan tetapi tali
pancing itu di tangan Liong Khek Si Muka Pucat telah melibat pedang, sedangkan Ciat Leng
Souw yang melihat pedang yang ditakuti itu sementara tak dapat dipergu-nakan karena
terlibat tali pancing, cepat membabatkan tombaknya ke arah kedua kaki Kwi Hong!
Dara perkasa itu terkejut sekali. Ta-ngan kirinya masih memegang ujung cambuk Bhong Ji
Kun dan pedangnya tertahan oleh tali pancing, kini kedua kakinya terancam bahaya
diserampang oleh tombak. Maka dia lalu menggunakan tenaga pertahanan cambuk dan tali
pan-cing, menggenjot tubuhnya dan meloncat ke atas sehingga sambaran tombak itu lewat
di bawah kakinya. Akan tetapi pada saat itu, Gozan yang sejak tadi telah siap menanti saat
baik, menubruk ke depan, kedua lengannya yang panjang berbulu dan besar itu telah
merangkul tubuh Kwi Hong, meringkusnya dengan kekuatan seekor gajah! Sebelum Kwi
Hong yang kaget sekali dapat melawan, Koksu telah menotok pundak kirinya se-dangkan
gagang tombak Ciat Leng Souw telah mengetuk lututnya. Tubuh dara itu lemas dan dia tidak
dapat bergerak lagi, tak dapat melawan ketika kaki tangannya dibelenggu dan dia diseret
dan dilempar ke dalam sebuah kamar di istana itu, dipaksa rebah di atas pembaringan dan
kaki tangannya dibelenggu pada kaki pembaringan!
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
676 Pangeran Yauw minta dengan sangat kepada Koksu agar Kwi Hong tidak di-ganggu, dan
hal ini pun dipenuhi oleh Koksu yang melarang para pembantunya mengganggu tawanan itu.
Dia masih menaruh harapan besar agar Kwi Hong dapat ditundukkan, karena hal ini akan
menguntungkan mereka. Sebaliknya, kalau terpaksa gagal, mereka tentu akan di-musuhi
oleh Pendekar Super Sakti dan hal ini tidak menguntungkan usaha pem-berontakan mereka.
Karena inilah maka Koksu memerintahkan kepada para pem-bantunya yang melakukan
penjagaan untuk mengirim makan minum kepada tawanan itu dan memperlakukannya baik-
baik. Akan tetapi, Kwi Hong sama sekali tidak mau makan, bahkan setiap kali ada yang
memasuki kamar tahanan, dia me-maki-maki dan berusaha meronta. Wajah-nya menjadi
pucat setelah selama dua hari dua malam dia tidak makan, tidak minum, dan tidak tidur
sama sekali. Mendengar laporan tentang dara itu, Pa-ngeran Yauw menjadi khawatir akan
keselamatan Kwi Hong, maka dia meng-ambil keputusan untuk membujuk sendiri.
Demikianlah pada hari ke tiga, sete-lah menyuruh para penjaga menjauhkan diri agar tidak
menyaksikan pertemuan itu, Pangeran Yauw seorang diri mema-suki kamar tahanan Kwi
Hong. Begitu masuk, pangeran itu mengeluh dan ber-lutut di dekat pembaringan di mana
Kwi Hong dibelenggu kaki tangannya.
"Ahhh, betapa sakit hatiku melihat keadaanmu seperti ini, Nona. Mengapa engkau berkeras
kepala" Kalau tidak aku yang minta-minta kepada mereka, tentu engkau telah dibunuh atau
diperlakukan lebih mengerikan daripada kematian. Aku yang minta agar kau tidak diganggu
dan dilayani sebaiknya, akan tetapi engkau tetap keras hati."
"Cukup! Mau apa engkau datang ke sini" Mau bunuh, bunuhlah. Siapa takut mati"
Mendengarkan omonganmu yang beracun lebih mengerikan daripada meng-hadapi maut!"
"Aihh, Kwi Hong.... kenapa engkau besikap begini" Tidakkah engkau melihat bahwa semua
kesabaran itu, semua ke-rendahan ini kulakukan karena aku cinta padamu" Karena aku
tergila-gila kepada-mu" Engkau menurutlah menjadi isteriku, kelak engkau akan kuangkat
menjadi permaisuri, dan...." Suara Pangeran Yauw menurun menjadi bisikan halus, "....sakit
hatimu akan terbalas semua. Setelah aku berhasil dengan perjuanganku, aku akan
menghukum mampus Bhong-koksu dan semua pembantunya itu, yang telah menghinamu....
kau mau bukan menjadi kekasihku, menjadi permaisuriku, sayang?"
"Cuhhh....!" Kwi Hong meludah dan tepat mengenai pipi kanan pangeran itu.
"Aduhhh....!" Pangeran itu terjengkang dan meraba pipinya yang terasa nyeri seperti
dihantam benda keras. Matanya terbelalak penuh kemarahan, telunjuknya menuding ke arah
muka Kwi Hong. "Pe-rempuan laknat! Berani engkau meludahi aku" Aku akan menyiksamu
untuk peng-hinaan ini! Akan kusuruh semua orang memperkosamu di depan mataku,
sampai engkau mampus....!"
Pangeran Yauw tak dapat melanjutkan kata-katanya karena tiba-tiba sebuah ledakan
terdengar dan sinar merah me-nyambar ke lehernya, tubuhnya terangkat ke atas dan
ternyata dia telah tergan-tung di ujung cambuk yang dipegang oleh Koksu. Mata pangeran
itu mendelik, kaki tangannya bergerak-gerak.
"Hemm.... engkau hendak membunuh kami kelak, ya" Pengkhianat tak tahu malu, tak
mengenal budi!" Bhong Ji Kun melemparkan tubuh di ujung cambuk itu kepada Gozan yang
bersama yang lain ikut pula masuk, lalu berkata, "Lempar-kan dia dalam keadaan telanjang
bulat ke luar!"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
677 Pangeran Yauw berteriak-teriak minta ampun dan melimpahkan janji-janji muluk namun
Gozan mengangkatnya seperti seorang mengangkat anak kecil, memba-wanya keluar dari
istana. Pangeran itu meronta-ronta, meratap-ratap, namun tidak ada yang suka atau berani
meno-longnya. Dengan renggutan-renggutan tangannya yang kuat, Gozan menelan-jangi
pangeran itu sehingga tidak ada secarik kain pun yang melindungi tubuh-nya ketika tubuh itu
dilempar ke atas salju yang dingin. Pangeran itu berlutut, menyembah-nyembah minta
ampun, akan tetapi setiap kali dia hendak lari ke istana mencari tempat berlindung dari hawa
dingin, dia ditendang ke luar. Akhirnya suara ratapannya makin lemah dan tak lama
kemudian dia sudah rebah meringkuk dengan tubuh beku kedinginan di atas tumpukan salju!
Dua orang pelayan wanita yang tadi-nya menjadi selir pangeran dan yang selalu dipandang
dengan sinar mata penuh iri oleh anggauta rombongan yang lain, kini menjadi rebutan di
antara para pem-bantu Bhong Ji Kun, kecuali Thian Tok Lama dan Ciat Leng Souw yang
telah tua dan satu-satunya nafsu keinginan mereka hanyalah mengejar kedudukan dan
kemuliaan. Atas perintah Bhong Ji Kun, dua orang pelayan muda itu harus me-nyerahkan
diri kepada Liong Khek Si Muka Pucat dan Gozan raksasa Mongol!
Memang patut dikasihani seorang ma-nusia yang hidupnya dikuasai nafsu-nafsu keinginan
seperti Pangeran Yauw Ki Ong. Dia sebagai seorang mahluk manusia de-ngan
penghidupannya sama sekali tidak ada artinya, tidak penting lagi karena yang terpenting
hanyalah pengejaran segala keinginannya itulah. Ketika tergila-gila kepada Kwi Hong,
agaknya pange-ran yang entah sudah berapa ratus kali berganti selir-selir baru itu, bersedia
untuk bersumpah bahwa dia mencinta Kwi Hong. Akan tetapi kenyataannya, begitu Kwi
Hong menolak cintanya, pe-rasaannya yang disebut cinta itu beru-bahlah menjadi benci
yang hebat! Cinta macam itu sungguh tidak ada harganya! Cinta yang begitu mudah
merobah diri menjadi benci, hanyalah nafsu berahi, yang nilainya sama rendah dengan
benci. Namun, betapa banyaknya orang yang masih belum sadar akan hal ini, meng-anggap
dengan penuh keyakinan bahwa perasaan seperti itu adalah cinta! Bahkan cinta suci
katanya! Ada yang kalau cintanya ditolak berubah benci. Ada pula yang cintanya ditolak lalu
membunuh diri. Ini lebih gila lagi, karena apa yang di sebutnya hanya sama nilainya dengan
kegilaan, karena hanya orang yang tidak waras otaknya sajalah yang akan melaku-kan
bunuh diri! Bagi mereka yang masih belum sadar ini, cinta mereka sama dengan benci, atau
cinta mereka sama dengan gila!
Juga Pangeran Yauw Ki Ong selama hidupnya didorong untuk selalu memper-oleh yang
diinginkan. Tidak tahu dia bah-wa nafsu memperoleh ini ujungnya adalah kebosanan. Nafsu
memperoleh ini pada awalnya menimbulkan gairah namun pada akhirnya, setelah yang
diinginkannya itu diperoleh, berubahlah gairah menjadi kebosanan, dan timbullah pula nafsu
mem-peroleh hal atau benda lain lagi. Dengan demikian dia terseret dalam lingkungan setan
yang tiada berkeputusan, hidupnya seperti mahluk penasaran yang selalu mengejar-ngejar
nafsu yang dibuatnya sendiri. Tidak menyedihkankah hidup se-perti itu, menjadi boneka
permainan naf-su keinginan"
Bhong Ji Kun tidak hanya marah kepada Pangeran Yauw Ki Ong yang mengkhianatinya,
akan tetapi juga dia marah kepada Kwi Hong yang terang-terangan sampai mati pun tidak
akan suka menuruti kehendaknya, yaitu menyerahkan pusaka Istana Pulau Es.
Kekece-waan hatinya menimbulkan kemarahan yang membuat dia makin kejam dan ganas,
merencanakan hukuman dan siksa-an yang dianggapnya paling keji dan he-bat bagi Kwi
Hong. "Engkau tetap keras kepala, ya" Baiklah ingin kulihat apakah engkau cu-kup keras untuk


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak minta ampun seperti Pangeran Yauw Si Keparat tadi! Dua orang selirnya masih jauh
lebih ter-hormat nasibnya daripada perempuan keras kepala macam engkau! Setidaknya
mereka menjadi milik pribadi dua orang pembantuku yang berkedudukan tinggi! Akan tetapi
engkau! Hemmm, biarpun engkau seorang yang masih perawan, akan tetapi engkau akan
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
678 kuserahkan kepada para bujang, tukang kuda dan pelayan. Engkau akan menjadi milik
me-reka secara bergiliran! Dan siapa yang dapat membuat engkau mengeluh dan menangis
akan kuberi hadiah! Ha-ha-ha, ingin sekali aku mendengar teriakanmu seperti yang
dilakukan pangeran gila tadi!"
Para bujang yang jumlahnya ada de-lapan orang itu tentu saja menyeringai gembira,
biarpun hati mereka merasa agak gentar juga. Mereka adalah orang-orang yang tidak
memiliki ilmu kepandai-an tinggi, akan tetapi, menghambakan diri kepada seorang majikan
macam Bhong Ji Kun, tentu saja membuat watak mereka pun tak dapat dikata baik. Sete-lah
mendengar keputusan Koksu yang menghadiahkan gadis tawanan itu kepada mereka,
dimulai malam nanti, beramai-ramai delapan orang itu sibuk menjadikan Kwi Hong semacam
hadiah undian untuk menarik giliran masing-masing!
Kwi Hong yang masih rebah telentang di atas pembaringan, tak dapat melaku-kan sesuatu
ketika Bhong Ji Kun meno-tok dua jalan darah di punggungnya yang membuat kaki dan
tangannya lemas dan setengah lumpuh. Dia dapat bergerak, akan tetapi tidak mampu
mengerahkan tenaga sin-kangnya. Setelah ikatan kaki dan tangannya dilepaskan, dia
segera me-loncat. Akan tetapi dia terbanting roboh lagi di atas pembaringan karena selain
kedua kaki dan tangannya lemas juga tubuhnya lemah akibat kurang makan, kurang minum,
dan kurang tidur. Bhong Ji Kun tertawa bergelak lalu meninggal-kan kamar tahanan itu.
Kwi Hong rebah miring. Dia maklum akan bahaya yang mengancam dirinya. Maklum bahwa
mengandalkan tenaganya, tidak mungkin dia menghindarkan diri dari malapetaka. Tanpa
dapat mengge-rakkan kaki tangan secara leluasa, tanpa dapat mengerahkan sin-kang, apa
dayanya. Kehormatannya terancam dan dia tidak mampu mempertahankan kehormatannya
dengan ilmu silat dan tenaga. Akan ha-biskah dia" Tidak adakah harapan lagi baginya" Dan
pada saat itu, terbayanglah wajah Gak Bun Beng. Tak terasa lagi dua titik air mata
membasahi pelupuk mata-nya. Dia mencinta Bun Beng, dan biarpun hanya menjadi rahasia
hatinya sendiri, sering kali dia bermimpi berjumpa dengan pemuda itu yang dalam mimpinya
juga mencintanya. Beberapa kali dia mimpi bercumbu dengan pemuda itu, bahkan mimpi
menjadi isteri pemuda itu. Betapa bahagianya! Akan tetapi semua itu hanya mimpi, dan
sekarang dia berada di tepi jurang kehancuran, terancam malapetaka yang lebih mengerikan
daripada maut sendiri dikorbankan oleh Bhong Ji Kun untuk diperkosa secara bergiliran oleh
para bujang tanpa dia dapat memperta-hankan diri sama sekali.
"Bun Beng.... ah, Bun Beng...., di mana engkau....?" Kwi Hong mengeluh dan air matanya
bercucuran. Apakah dia harus minta ampun kepada Bhong Ji Kun" Akan tetapi tidak
mungkin. Hal itu hanya akan menimbulkan bahan penghinaan dari para musuhnya itu,
karena dia benar-benar tidak tahu di mana pamannya menyimpan kitab-kitab pusaka Istana
Pulau Es. An-daikata dia tahu sekalipun, dia tidak percaya bahwa dengan memberikan kitab-
kitab itu dia akan terbebas dari kematian. Orang-orang seperti Bhong Ji Kun dan kaki
tangannya sama sekali tidak dapat dipercaya dan mereka itu baru bersikap baik kalau
mempunyai maksud tertentu demi keuntungan mereka sendiri. Bukti-nya, Pangeran Yauw
sudah merencanakan pembunuhan mereka, dan begitu hal ini diketahui Bhong Ji Kun,
dengan kejam pangeran itu dibunuh tanpa ampun lagi. Dia, sebagai murid dan keponakan
Pende-kar Super Sakti, musuh besar mereka, mana mungkin bisa mendapatkan ampun"
Betapa bodohnya dia! Mudah saja ditipu oleh Bhong Ji Kun!
Malam tiba. Hal ini diketahui Kwi Hong dari lenyapnya sinar matahari yang makin menyuram
melalui lubang angin di bawah genting kamar tahanan dan terganti sinar penerangan dari
ruangan samping. Cuaca menjadi remang-remang dan jantung Kwi Hong berdebar. Bahaya
mulai datang mendekat dan dia mencari akal bagaimana untuk dapat memperta-hankan diri.
Yang akan muncul tentulah seorang di antara pelayan yang sebagian besar sudah tua dan
lemah. Biarpun dia tidak dapat mengerahkan sin-kang, dan tubuhnya lemas, akan tetapi dia
masih menguasai ilmu silat. Dia akan menggu-nakan sedikit tenaga yang ada untuk
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
679 merobohkan, kalau bisa membunuh setiap orang laki-laki yang berani menjamahnya! Dia
tahu caranya. Dengan tendangan perlahan mengenai alat kelaminnya, de-ngan tusukan jari
tangan mengenai mata-nya, dua serangan ini saja, betapa pun lemahnya, cukup membuat
pengganggunya tak berdaya. Timbul kembali harapannya untuk lolos dari ancaman bahaya
ini. Untung bahwa kebencian Bhong Ji Kun kepadanya amat besar sehingga saking inginnya
menghinanya sampai serendah-rendahnya, dia tidak diberikan kepada para pembantunya
yang memiliki kepandaian tinggi, meiainkan kepada para bujang untuk diperkosa secara
bergilir. Kalau dia diberikan kepada seorang se-perti Thai-lek-gu atau Gozan, tentu akan
habis harapannya, karena dalam keadaan-nya seperti ini takkan mungkin dia mela-wan
seorang di antara mereka. Dia ber-gidik! Membayangkan betapa dia diper-mainkan seorang
laki-laki seperti Gozan, raksasa Mongol yang tubuhnya berbulu-bulu sampai ke jari tangan
dan lehernya itu!
"Gerriiittt....!" Pintu kamar tahanan terbuka dari luar, bayangan seorang laki-laki agak
bongkok memasuki kamar, membalik dan menutupkan kembali daun pintu.
Dengan gerakan otomatis Kwi Hong meloncat dari keadaan berbaring. Dia lu-pa diri maka
loncatan itu membuat tubuhnya terbanting lagi ke atas pembaringan. Dia menahan keluhan
dan terpaksa bangkit duduk di atas pembaringan dengan mata terbelalak memandang laki-
laki itu yang kini sudah membalikkan tubuh lagi menghadapinya sambil menyeringai.
Seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar akan tetapi agak bongkok dan kurus, mukanya
penuh brewok yang sudah bercampur uban, usianya tentu kurang lebih enam puluh tahun,
pakaiannya tidak karuan dan sepasang matanya bergerak liar, mulutnya menyeringai aneh,
Si Gila! Kwi Hong pernah melihat seorang di antara pengu-rus kuda yang keadaannya
menyedihkan ini dan oleh teman-teman pelayan lain dia disebu
Kisah Si Bangau Putih 14 Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bentrok Rimba Persilatan 20
^