Sepasang Pedang Iblis 25

Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 25


t Si Gila. Aihh, benar-benar
Bhong Ji Kun ingin merendahkannya sampai yang paling hina sehingga untuk malam
pertama itu dia diserahkan kepada pelayan paling mengerikan dan menjijik-kan!
"Heh-heh-heh, ini namanya hukum karma....!" Si Gila itu melangkah perlahan-lahan
menghampiri Kwi Hong, tangan kirinya memegang sebatang tabung bam-bu. Ketika bicara,
air ludahnya muncrat-muncrat.
Saking jijiknya, Kwi Hong segera tu-run tangan. Dia turun dari pembaringan, dan menahan
napas mengumpulkan semua tenaga yang ada, kemudian melakukan serangan dengan, jari-
jari tangan kiri menusuk ke arah mata Si Gila itu, disu-sul gerakan kaki kanannya
menendang ke bawah pusar. Biarpun serangannya itu tidak mengandung tenaga sin-kang,
dan tidak lebih hanya mengandung tenaga se-orang wanita yang hampir kelaparan, namun
kalau mengenai sasaran, mata dan anggauta kelamin, agaknya cukup mem-buat Si Gila itu
terjungkal! "Ehhh....?" Si Gila berseru dan tubuhnya bergerak cepat di luar dugaan Kwi Hong. Tusukan
mata dapat dielakkan, tendangan dapat ditangkis dan tubuh Kwi Hong didorong kembali
jatuh ke atas pembaringan dalam keadaan telentang! Celaka, pikirnya. Kiranya Si Gila ini
bukanlah orang yang lemah. Bahkan ge-rakan-gerakannya tadi jelas membayang-kan
gerakan silat yang cukup baik! Habislah harapan Kwi Hong dan dia mu-lai ketakutan ketika
Si Gila mencelat dan duduk di pinggir pembaringan sambil terkekeh-kekeh.
"Hukum karma atau bukan.... heh-heh.... aku tidak rela engkau dipermainkan orang. Lebih
baik kau mati daripada diperkosa mereka secara bergilir." Si Gila itu lalu membuka tutup
tabung bambu. "Bocah bodoh, kenapa engkau tidak mem-bunuh diri saja...." Apa.... apa
engkau memang suka untuk diperkosa secara bergilir oleh mereka?"
Kwi Hong memandang dengan mata terbelalak. Orang ini bicaranya tidak karuan, jelas
bahwa otaknya miring, akan tetapi isi kata-katanya benar-benar mem-buat dia berdebar.
"Apa.... apa maksud-mu....?"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
680 "Biarpun ibumu diperkosa, akan tetapi pemerkosanya bertanggung ja-wab dan memang
mencinta ibumu. Sedangkan mereka yang hendak memperkosamu secara bergiliran hanya
ingin mempermain-kanmu, ingin memakaimu seperti orang memakai pakaian yang kalau
sudah butut dan rusak dicampakkan begitu saja dan tidak ditoleh lagi!"
"Apa.... apa maksudmu dengan Ibu....?"
"Heh-heh! Ibumu masih perawan tulen ketika diperkosa, seperti engkau.... heh-heh, akan
tetapi pemerkosanya bertang-gung jawab, ibumu dijadikan isterinya.... dan engkau terlahir.
Biarpun ibumu diperkosa, aku tidak rela melihat engkau diperkosa orang! Heh-heh, biarpun
aku memperkosa ibumu, aku cinta padanya.... dan aku yang membunuhnya.... heh-heh,
akan tetapi.... aku tidak rela melihat engkau diperkosa orang! Lebih baik kau mati!"
Si Gila itu menggerakkan tabung bambu dan keluarlah seekor ular merah. Karena
disentakkan keluar, ular itu tiba di leher Kwi Hong, akan tetapi begitu dia menyentuh leher
Kwi Hong, dipan-dang oleh Si Gila yang terkekeh-kekeh, tiba-tiba ular itu menyambar
membalik dan menggigit lengan Si Gila.
"Auggghhh....!" Si Gila memekik dan roboh di atas lantai. "Kwi Hong.... lebih baik kau mati
daripada diperkosa.... ahh...." Si Gila itu masih sempat berkata kemu-dian tubuhnya
berkelojotan dan ular me-rah ikut bergerak-gerak di lengannya.
Kwi Hong bangkit berdiri, terbelalak dengan muka pucat memandang wajah Si Gila yang
berkelojotan itu. Kini ter-ingatlah dia.
"Ayaaahhhh....!" Ia menubruk. Tentu saja! Tentu saja orang ini ayahnya! Dan tentu ayahnya
ini pula yang dahulu mem-peringatkannya tentang arak beracun di taman yang disuguhkan
Pangeran Yauw. Ayahnya telah menjadi gila, atau berpura-pura gila" Bagaimana mungkin
dia mengenal ayahnya, yang ditinggal pergi bersama pamannya ketika dia masih kecil"
Apalagi ayahnya yang dahulunya seorang perwira tinggi itu kini telah menjadi tukang kuda
yang gila dan pa-kaiannya tidak karuan. Bagaimana dia dapat mengenalnya" Betapapun
juga, sampai saat terakhir ayahnya dengan cara gilanya masih berusaha menyelamat-kannya dari perkosaan dan penghinaan, yaitu dengan cara membunuhnya.
Tentu ayahnya tidak tahu bahwa di dalam tu-buhnya telah mengalir obat penolak ular merah
sehingga begitu mencium kulit lehernya, ular itu menjadi takut dan membalik menggigit Si
Gila sendiri! Entah bagaimana ayahnya dapat menang-kap ular dalam tabung itu.
"Ayah....!" Akan tetapi Kwi Hong maklum bahwa ayahnya telah mati. Ra-cun gigitan ular
merah memang amat hebat. Bagi yang lemah berakibat kema-tian, bagi yang kuat sekalipun
akan mendatangkan pengaruh mujijat, ada yang menjadi terangsang nafsu berahinya, ada
pula yang menjadi gila!
Melihat ayahnya, biarpun gila dan menjijikkan akan tetapi tetap ayah kan-dungnya,
menggeletak tak bernyawa lagi dan kini wajahnya yang tadi diselubungi kegilaan tampak
tenang dan makin jelas persamaannya dengan wajah ayahnya da-hulu, Kwi Hong menjadi
marah. Dipegangnya ular itu, ditariknya terlepas dari le-ngan ayahnya, dan akan
dibantingnya. Akan tetapi dia teringat dan tiba-tiba wajahnya berseri biarpun air matanya
bercucuran ketika dia memandang ayah-nya.
"Ayah, beristirahatlah dengan tenang, Ayah. Usaha pertolongan Ayah tidak sia-sia, anak
berterima kasih, Ayah." Dia lalu menggerakkan sisa tenaganya, meng-gurat-guratkan tubuh
ular pada batu din-ding yang agak kasar sehingga kulit itu pecah terluka dan berdarah. Ular
itu sama sekali tidak berani melawan, dan setelah dilepaskan di atas lantai dekat mayat
Giam Cu, bekas perwira ayah Kwi Hong yang telah menjadi gila itu, ular berkelojotan dan
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
681 darah mengucur dari luka-lukanya. Kwi Hong maklum bahwa darah ular merah yang keluar
dari seekor ular merah yang masih hidup mempunyai bau yang mengandung daya
mengundang ular-ular merah lain.
Telah dituturkan di bagian depan ce-rita ini betapa Giam Cu, panglima tinggi besar brewok
yang diwaktu bala tentara Mancu menyerbu ke selatan telah mem-perkosa Sie Leng, gadis
enci (kakak pe-rempuan) Pendekar Super Sakti, akan tetapi lalu menculik gadis itu dan
menjadikannya sebagai isterinya (baca ceritaPendekar Super Sakti). Dalam pernikahan ini
Sie Leng mempunyai seorang anak perempuan, yaitu Giam Kwi Hong. Keti-ka Pendekar
Super Sakti dituduh melari-kan Puteri Nirahai, dalam kekhawatiran-nya tersangkut karena
isterinya adalah enci Suma Han, Giam Cu lalu membunuh isterinya sendiri. Perbuatannya ini
mem-buat dia menyesal bukan main karena dia memang mencinta isterinya maka setelah
Kwi Hong dilarikan Suma Han, perwira tinggi ini menjadi gila! Tentu saja dia tidak dapat
menduduki pangkatnya lagi, dan akhirnya orang tidak tahu ke mana dia pergi. Kiranya,
setelah gila dan terlantar, tidak ada orang yang mengenalnya lagi, diam-diam bekas per-wira
yang gila ini bekerja sebagai tukang kuda di istana Koksu!
Melihat mayat ayahnya, Kwi Hong merasa terharu. Dia mengangkat mayat itu ke atas
pembaringan, pekerjaan yang amat sukar bagi tenaganya yang masih lemas itu, kemudian
dia duduk bersila, mengumpulkan hawa Swat-im Sin-kang yang dilatihnya sejak kecil,
perlahan-la-han dia berusaha memulihkan tenaganya dan membuyarkan pengaruh totokan
sambil menanti hasil usahanya memanggil ular-ular dengan darah ular merah tadi.
Betapa girangnya ketika hidungnya mencium bau wangi-wangi yang aneh namun tidak
asing baginya, dan benar saja, tak lama kemudian terdengar suara mendesis-desis dan
tampaklah ular-ular merah merayap-rayap datang dari segala penjuru, memasuki kamar
tahanan itu! Kegirangan Kwi Hong bukan hanya kare-na ular-ular itu dapat melindunginya
sehingga orang-orang hendak menggang-gunya tidak berani mendekat, akan teta-pi juga
hawa beracun dari ular-ular merah itu mempunyai daya yang mujijat. Hal ini adalah
penemuan pamannya dan dia pernah disuruh berlatih sin-kang di antara ular-ular merah ini
dan hawa yang bagi orang lain mengandung racun berba-haya itu, baginya adalah
memperlancar latihannya. Karena itu, kini dengan ban-tuan hawa beracun, dia makin tekun
me-lancarkan jalan darahnya dan menghimpun tenaga sin-kang untuk memulihkan
tena-ganya. Dia tetap duduk bersila di lantai, membiarkan pembaringannya ditempati mayat
ayahnya. Kalau dia teringat masa lalu, dia terbayang di depan matanya betapa ibu
kandungnya dibunuh ayahnya ini, ditusuk dadanya sampai tembus de-ngan pedang, maka
ingatan itu membuat dia tidak dapat berduka oleh kematian ayahnya. Namun, melihat betapa
setelah tersiksa dan hidup seperti orang gila, namun pada saat-saat terakhir masih berusaha
melindungi anaknya, hatinya merasa terharu juga.
"Ular....! Ular....!"
Jeritan-jeritan itu terdengar dari mu-lut para penjaga ketika mereka melihat ular-ular merah,
apalagi ketika mereka mengejar ular-ular itu ke kamar tahanan, melihat gadis tawanan itu
duduk bersila di atas lantai tengah kamar, dikelilingi ular merah ratusan banyaknya, dan
tubuh Si Gila yang menjadi mayat menggeletak di atas pembaringan.
Tak lama kemudian Koksu dan teman-temannya datang. Mereka berada di luar kamar
memandang dengan mata terbela-lak.
"Mundur semua! Ular-ular itu bera-cun!" bekas Koksu Bhong Ji Kun berte-riak dan semua
orang cepat mundur karena bau harum bercampur amis itu pun membuat mereka muak dan
tidak tahan. Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
682 Tentu saja kecewa sekali hati Kwi Hong. Tenaganya belum pulih, dan dia sudah ketahuan.
Kalau Bhong Ji Kun turun tangan, tentu dia tidak mampu membela diri. Akan tetapi dia tidak
memperlihatkan rasa takut, bahkan tersenyum dan menggertak,
"Siapa berani mendekati aku, tentu akan mampus! Bhong Ji Kun, aku ingin sekali melihat
apakah engkau berani me-masuki kamar tahanan ini!"
Bhong Ji Kun menggeget giginya. "Perempuan siluman! Lekas kauenyahkan semua ular itu,
kalau tidak, kamar ini akan kubakar sampai engkau dan ular-ularmu mati hangus!"
Tentu saja ancaman membunuhnya dengan cara apapun juga tidak menda-tangkan rasa
takut di hati Kwi Hong. Dia memang sudah berada di ambang maut, peduli apa dengan
segala gertakan" Akan tetapi dia tidak ingin melihat ular-ular itu ikut pula mati terbakar, dan
pula, selama masih ada kesempatan, dia harus mempergunakannya untuk menyela-matkan
diri. Kalau sudah tidak ada jalan lain, dalam menghadapi penghinaan, kini dia menemukan
cara yang paling tepat, seperti yang dikatakan oleh ayah kan-dungnya tadi, yaitu membunuh
diri! Ta-kut apa lagi" Ia tersenyum.
"Bhong Ji Kun, engkau menyuruh aku mengusir ular-ular ini, kalau mereka sudah pergi,
engkau akan senang melihat aku diganggu orang-orangmu, bukan" Benar-benar engkau
seorang yang amat baik hati. Baiklah, aku akan mengusir ular-ularku. Buka pintu kamar ini
agar lebih cepat mereka pergi."
Bhong Ji Kun sendiri melangkah maju membukakan pintu, sedangkan para pem-bantunya
berdiri di belakangnya dengan muka membayangkan kengerian. Mereka sungguh merasa
heran mengapa gadis tawanan itu dapat mengumpulkan ular beracun sekian banyaknya dan
sama sekali tidak terganggu! Benar-benar seorang gadis yang amat lihai dan tak boleh
dipandang rendah.
Kwi Hong mengeluarkan bunyi dengan lidahnya untuk membangkitkan perhatian ular-ular
itu, mengambil ular yang terlu-ka dan masih berkelojotan, kemudian tiba-tiba dia melempar
ular terluka itu ke arah Bhong Ji Kun sambil membentak,
"Makanlah ini!"
Bhong Ji Kun cepat mengelak, lalu meloncat jauh ke pinggir. Di belakangnya terdengar
orang berseru kaget dan ular yang terluka itu ternyata mengenai dada-nya, dan.... semua
ular merah yang ber-ada di dalam kamar itu menyerbu keluar dan langsung menyerang
Panglima Man-cu yang terkena ular terluka tadi, tubuh-nya penuh dengan ular merah yang
lang-sung menggigit. Panglima itu memekik nyaring mengerikan dan roboh berkelojot-an
terus tewas seketika!
Bhong Ji Kun sudah meloncat ke da-lam kamar tahanan yang sudah tidak ada ularnya. Kwi
Hong meloncat bangun, namun tubuhnya masih belum pulih, masih lemah maka dalam
beberapa ge-brakan saja dia telah roboh oleh Bhong Ji Kun yang lihai.
"Gunakan api, usir ular-ular itu!" Bhong Ji Kun berteriak marah. Para pembantunya segera
menggunakan api dan benar saja, ular-ular itu segera melarikan diri keluar dari tempat itu.
Seperti bina-tang-binatang apa saja di dunia ini, ular-ular itu pun takut sekali akan api yang
amat panas itu.
"Bhong-koksu, bunuh saja gadis itu!" Thian Tok Lama berkata dan ucapan ini dibenarkan
semua pembantu Bhong Ji Kun. Setelah menyaksikan betapa dalam keadaan lemah saja
gadis itu telah ber-hasil mengakibatkan kematian seorang bujang dan seorang panglima,
mereka menjadi gentar dan akan selalu cemas sebelum gadis yang berbahaya itu dibunuh.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
683 "Dia sudah kutotok dan takkan dapat bergerak selama semalam suntuk. Me-mang mudah
membunuhnya. Akan tetapi kalau dipikir lagi, apa gunanya membu-nuhnya" Kurasa, kalau
dia hidup dia lebih berguna daripada kalau dia mati. Siapa tahu gunanya kelak. Biarlah
besok kita rundingkan lagi, pendeknya dia harus selalu dijaga ketat agar tidak mendapat
kesempatan melakukan hal-hal yang tidak diinginkan lagi."
Keputusan Bhong Ji Kun ini membuat Kwi Hong hampir kehilangan akal dan kehabisan
harapan karena selain tertotok, dia pun dibelenggu kaki tangannya, di-lempar ke atas
pembaringan dalam kamar tahanan itu, pintunya dipalang dari luar dan di luar pintu selalu
ada dua orang pembantu Bhong Ji Kun yang berdiri menjaga dengan bergilir! Andaika-ta dia
dapat membebaskan totokan, dia harus membebaskan belenggu, dan masih harus
berhadapan dengan dua orang pen-jaga yang berilmu tinggi dan yang tentu akan memanggil
datangnya Bhong Ji Kun dan para pembantunya yang lain! Akan tetapi, kenyataan bahwa
dia belum di-bunuh oleh Bhong Ji Kun menimbulkan harapan baru. Hal itu hanya berarti
bah-wa bekas Koksu itu masih ingin melihat dia hidup, dan selama masih ada harapan untuk
hidup, dia tidak akan putus asa dan tidak akan membunuh diri seperti yang dianjurkan ayah
kandungnya. Me-mang amat mudah membunuh diri, tidak memerlukan tenaga dan biarpun
dia dibelenggu seperti itu, masih amat mudah membunuh diri. Bagi seorang yang terla-tih
seperti dia, menahan napas dan de-ngan paksa menghentikannya sudah cukup untuk
membuat nyawanya melayang, atau lebih sederhana lagi, menggigit lidahnya sendiri sampai
putus! Gadis yang keras hati dan tahan uji ini sama sekali tidak tahu bahwa pada keesokan
harinya terjadi perubahan yang amat besar, terjadi peristiwa hebat seka-li di Pulau Es.
Peristiwa itu dimulai de-ngan munculnya Majikan Pulau Es sendi-ri, Suma Han Pendekar
Super Sakti atau Pendekar Siluman yang datang berperahu bersama dua orang wanita sakti,
Nirahai dan Lulu, atau kedua orang isterinya yang bersama dia akan memulai hidup baru di
pulau itu! Ketika pagi hari itu Suma Han tiba di Pulau Es dan melihat sebuah perahu besar telah
berlabuh di pantai, pendekar ini mengerutkan alisnya dan berkata kepada dua orang
isterinya. "Agaknya kita telah didahului tamu-tamu tidak diundang. Jarang ada orang luar
berani mendatangi Pulau Es. Nirahai dan Lulu, kita sudah saling berjanji tidak akan mencari
urusan di luar, karena aku tahu bahwa kalian masih mempunyai kekerasan hati, maka apa
pun yang terjadi nanti, kuharap kalian tinggal diam dan menon-ton saja. Biarlah aku sendiri
yang akan menanggulanginya."
Nirahai dan Lulu saling pandang, ter-senyum dan keduanya mengangguk. Telah terjadi
perubahan besar atas diri pria ini, pria berkaki buntung yang mereka cinta dan junjung tinggi.
Kalau dahulu Suma Han merupakan seorang pendekar sakti yang berhati lemah, kini mulai
tampak kejantanannya, dan pertama-tama kejantanannya itu diperlihatkan dengan
menguasai kedua orang isterinya!
Setelah menarik perahu kecil mereka di pantai yang dangkal, ketiganya me-lompat turun ke
darat dan berdiri tegak dengan sikap tenang, memandang Bhong Ji Kun yang sudah diberi
kabar oleh anak buahnya dan kini berlarian datang me-nyambut bersama seluruh
pembantunya, dengan senjata siap di tangan masing-masing. Akan tetapi dapat
dibayangkan betapa kaget dan berdebar penuh kegeli-sahan hati Bhong Ji Kun ketika
melihat bahwa yang datang bukan hanya Pende-kar Super Sakti seorang, melainkan
dite-mani oleh Puteri Nirahai bekas Ketua Thian-liong-pang dan Lulu bekas Majikan Pulau
Neraka! Baru Pendekar Super Sakti seorang saja sudah merupakan seorang lawan yang
amat menakutkan dan amat berat dilawan, apalagi masih ada dua orang wanita sakti itu!
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
684 Dengan sikap tenang Suma Han, Nira-hai, dan Lulu berdiri di pantai. Hanya mata mereka
yang bergerak, melirik ke arah Bhong Ji Kun dan para pembantunya yang datang dari kanan
kiri. Diam-diam Suma Han merasa lega ketika mendapat kenyataan bahwa yang boleh
dicatat sebagai lawan tangguh hanyalah Bhong Ji Kun sendiri, Thian Tok Lama, dan
agak-nya orang yang memegang tombak ga-gang panjang itu. Dia merasa sanggup untuk
mengatasi mereka. Akan tetapi dia merasa curiga melihat sikap Bhong Ji Kun yang
kelihatannya sama sekali tidak takut kepadanya, padahal dia datang bersama Nirahai dan
Lulu, sendiri saja sudah cukup untuk menandingi Bhong Ji Kun! Akan tetapi kakek itu begitu
berani menyambutriya dengan sikap seolah-olah keadaannya lebih kuat. Tentu ada apa-
apanya ini! "Aha, Pendekar Super Sakti, engkau baru datang" Sudah lama kami mengha-rapkan
kedatanganmu!" kata Bhong Ji Kun sambil menekan debar jantungnya.
"Hemm, mengunjungi tempat orang tanpa ijin, dan selagi tempat itu diting-galkan
penghuninya. Hanya orang seperti engkaulah yang tidak malu melakukan kedua hal itu, Im-
kan Seng-jin," kata Suma Han dengan suara halus namun nadanya cukup membuat para
pembantu Bhong Ji Kun merasa serem. Di antara mereka semua, hanya Ciat Leng Souw
seorang yang belum pernah bertemu de-ngan Suma Han, hanya mendengar nama
julukannya saja. Kini, melihat bahwa orang yang disohorkan sebagai dewa atau siluman itu,
ternyata hanyalah seorang yang wajahnya masih muda dan tampan, rambutnya putih
semua, dan sebuah kaki-nya buntung, senjatanya hanya sebatang tongkat butut. Apanya sih
yang perlu ditakuti"
Berubah wajah Bhong Ji Kun mende-ngar ucapan itu. "Harap To-cu (Majikan Pulau) tidak
salah paham, karena sesungguhnya kedatangan kami ke sini bukan sebagai tamu tidak


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diundang."
"Tidak sebagai tamu, melainkan seba-gai pelarian-pelarian perang yang sudah hancur
kekuatannya!" Nirahai tak dapat menahan hatinya dan berkata nyaring, akan tetapi tidak
melanjutkan karena Lulu menyentuh tangannya, membuat dia teringat akan larangan
suaminya! Bhong Ji Kun menjura ke arah Nira-hai dan Lulu. "Pelarian sementara! Kare-na itulah, maka
kami bergembira sekali kini berhadapan dengan Pendekar Super Sakti dan dengan Ji-wi
Lihiap (Kedua Wanita Pendekar) yang berilmu tinggi, karena kami yakin bahwa dengan kerja
sama antara kami dengan Sam-wi (Anda Bertiga), kekalahan kami akan tertebus dan
akhirnya perjuangan kami akan ber-hasil."
"Apa" Mengajak kami bekerja sa-ma....?" Nirahai kembali berseru saking herannya.
"Aihh, dia sudah gila!" Lulu juga ti-dak dapat menahan untuk berseru heran.
Siapa orangnya tidak akan heran. Dia dan Nirahailah yang memimpin pasukan pe-merintah
menghancurkan pemberontak ini, dan sekarang bekas Koksu pemberon-tak itu mengajak
mereka untuk bekerja sama memberontak. Hanya orang gila saja yang mengajukan usul
demikian. Akan tetapi Suma Han berpikir lain. Sejak tadi dia sudah curiga menyaksikan sikap Koksu
Bhong Ji Kun yang membe-rontak itu sama sekali tidak gentar bahkan kelihatan terlalu
berani. Sekarang dengan pertanyaannya itu, yaitu mengu-sulkan kerja sama, bahkan bukan
mengusulkan, karena kata-katanya itu seperti menentukan, makin jelas bahwa tentu ada
sesuatu yang tidak beres, sesuatu yang membuat bekas Koksu ini yakin akan
kemenangannya! Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
685 "Im-kan Seng-jin, apa yang membuat engkau begitu yakin bahwa kami akan suka bekerja
sama denganmu" Tidak per-lu bersikap rahasia, katakanlah saja!" Suma Han berkata sambil
memandang tajam. Akan tetapi, teringat akan nasihat mendiang Maharya agar berhati-hati
menghadapi Pendekar Siluman ini, teruta-ma jangan sekali-kali menentang pandang
matanya, sejak tadi Bhong Ji Kun tidak pernah berani bertemu pandang dengan pendekar
itu. Bhong Ji Kun bertepuk tangan, isarat yang memang sudah diatur sebelumnya dan
muncullah seorang Mongol raksasa mengempit tubuh Kwi Hong yang kaki tangannya
terbelenggu wajahnya pucat dan pakaiannya compang-camping. Bukan main kagetnya
Suma Han melihat ini, akan tetapi selain raksasa Mongol itu siap untuk memukul kepala Kwi
Hong dengan tangannya yang besar dan kuat, juga Thai-lek-gu yang gendut telah me-loncat
ke dekat Gozan dan menodongkan goloknya kepada gadis tawanannya itu! Tidak ada
gunanya menggunakan kekeras-an untuk mencoba menolong keponakan-nya, pikir Suma
Han. Dia tentu kalah cepat dan andaikata dia dapat membunuh semua orang itu, tentu Kwi
Hong akan terbunuh lebih dulu.
"Ahh, Si Jahanam menawan Kwi Hong....!" Lulu berteriak.
Nirahai juga terkejut ketika mende-ngar bahwa murid atau keponakan suami-nya telah
menjadi tawanan. Mengertilah dia kini mengapa bekas Koksu itu ber-sikap seberani itu.
Kiranya sama sekali bukan gila, melainkan licin dan curang sekali! Melihat betapa Suma Han
menggerakkan jari tangan ke arah mereka, maklumlah kedua orang wanita itu bahwa
mereka dilarang untuk turun tangan. Dan memang mereka pun sudah cukup cerdik untuk
tidak sembarangan turun tangan, karena hal ini berarti kematian bagi Kwi Hong.
"Kwi Hong! Bagaimana engkau bisa tertawan?" Suma Han menegur muridnya.
Air mata bercucuran dari kedua mata Kwi Hong dan suaranya berduka sekali ketika dia
menjawab, "Harap Paman tidak mendengarkan permintaan iblis-iblis ini. Biarkan aku mati,
Paman, memang sudah patut kalau aku harus mati. Aku telah ditipunya, aku telah bersekutu
dengan pemberontak-pemberontak laknat ini, ka-rena menyangka bahwa pemerintah adalah
musuh Paman. Setelah pemberontakan gagal, aku malah mengajak mereka
menyembunyikan diri ke pulau ini. Akan tetapi, ternyata mereka adalah iblis-iblis yang jahat.
Aku telah salah, dan aku rela mati. Harap Paman tidak mengorbankan apa-apa untukku!"
"Wah, dia benar-benar seorang gadis yang gagah perkasa!" Bhong Ji Kun me-muji. "Akan
tetapi kami masih sangsi apakah Pendekar Super Sakti yang terke-nal itu memiliki cukup
kegagahan seperti muridnya untuk berkorban demi muridnya. Terserah pilihanmu, To-cu!"
"Jahanam busuk!" Nirahai membentak.
"Keparat hina!" Lulu juga memaki.
Akan tetapi Suma Han mengangkat kedua tangannya menyuruh kedua orang wanita itu
bersabar dan tidak turun ta-ngan. Kemudian dia menghadapi Bhong Ji Kun dan berkata,
"Bhong Ji Kun, engkau tentu mengerti dengan baik bahwa sampai mati sekalipun kami
bertiga tidak mau melibatkan diri dalam pemberontakan yang kaupimpin itu. Permintaanmu
sebagai pengganti kebebas-an keponakanku sungguh tidak masuk akal. Pikirlah baik-baik
sebelum terpaksa kami membasmi kalian sebagai penukar nyawa murid dan keponakanku."
Diam-diam Bhong Ji Kun mempertim-bangkan. Tidak dapat diragukan lagi, kalau Pendekar
Super Sakti mengamuk dibantu dua orang wanita sakti yang en-tah bagaimana kini menjadi
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
686 baik dengan Pendekar Super Sakti, tentu dia dan se-mua pembantunya ditukar hanya
dengan nyawa gadis itu!
"Tentang kerja sama biarlah kita bicarakan kemudian," kata Bhong Ji Kun yang cerdik itu.
"Sekarang kuganti penu-karannya. Pertama kami mau membebas-kan muridmu asal engkau
dan dua orang wanita itu tidak mengganggu kami."
"Sudah tentu! Kalau engkau suka membebaskan Kwi Hong, kami pun tidak akan
mengganggumu dan kalian boleh pergi dengan aman," jawab Suma Han, jawaban yang
membuat alis kedua orang wanita sakti itu berkerut. Mereka sama sekali tidak setuju kalau
orang-orang macam Bhong Ji Kun dan teman-teman-nya itu dibiarkan pergi begitu saja!
Akan tetapi keduanya tidak berani membantah!
Agaknya mereka pun sudah menarik pela-jaran dari pengalaman mereka setelah mereka
menderita batin karena asmara gagal selama belasan tahun.
"Dan ke dua, engkau harus menyerah-kan kitab-kitab pusaka peninggalan Bu Kek Siansu
yang tentu tadinya berada di Pulau Es kepada kami."
"Kitab-kitab pusaka Pulau Es tidak berada padaku. Ketika pasukan yang kau-pimpin
menyerbu ke sini, pusaka-pusaka itu telah dibawa oleh pembantuku."
"Hemm, jangan kau main-main dengan nyawa muridmu, To-cu dan amat memalu-kan kalau
seorang pendekar dengan kedu-dukan seperti engkau mengeluarkan kata-kata
membohong."
Sepasang mata Suma Han mengeluar-kan cahaya menyambar seperti kilat, membuat
Bhong Ji Kun terkejut dan cepat menundukkan muka.
"Bhong Ji Kun, untuk kata-katamu itu saja, dalam lain keadaan sudah cukup menjadi alasan
bagiku untuk menghancur-kan mulutmu!"
Nada dalam suara Pendekar Super Sakti itu membuat wajah bekas Koksu itu menjadi pucat
karena dia merasa be-tul betapa penuh wibawa dan bukan ancaman kosong saja kata-kata
itu. "Siapa yang bisa percaya bahwa seo-rang To-cu tidak menyimpan sendiri pusa-ka
istananya?" Dia membela diri.
"Pusaka ada di sini....!" Tiba-tiba ter-dengar suara seorang wanita dan bayang-annya
berkelebat datang. Kiranya orang ini adalah Phoa Ciok Lin yang datang membawa sebuah
peti kayu cendana yang berukir indah. Melihat peti ini, Kwi Hong dengan suara tangisnya
berkata, "Bibi.... jangan.... jangan berikan kepada mereka....! Lebih baik aku mati daripada
mengorbankan pusaka-pusaka itu....!"
Phoa Ciok Lin, wakil dalam Pulau Es, pembantu Suma Han yang usianya sebaya dengan
kedua isteri pendekar itu, me-ngerling kepada Suma Han dan dua orang isterinya,
tersenyum penuh syukur akan tetapi pandang matanya sayu penuh deri-ta batin, kemudian
cepat menghampiri bekas Koksu dan berkata, "Im-kan Seng-jin, engkau membutuhkan
pusaka Pulau Es" Inilah pusaka-pusaka itu, boleh kuse-rahkan kepadamu asal engkau
membebas-kan Kwi Hong lebih dulu!"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
687 Mata Bhong Ji Kun dan kawan-kawan-nya terbelalak penuh gairah memandang ke arah peti
berwarna coklat itu. Akan tetapi Bhong Ji Kun yang sudah biasa melakukan segala macam
tipu muslihat, tentu saja menjadi seorang yang tidak mudah percaya dan selalu
berprasangka buruk. Memang demikianlah, watak seseo-rang dibentuk oleh kebiasaan dan
pengalamannya sendiri. Seorang pembohong akan selalu tidak percaya kepada kata-kata
orang lain, seorang penipu akan selalu curiga terhadap semua orang.
"Suma To-cu, benarkah ini peti berisi pusaka Istana Pulau Es?" tanyanya sambil menoleh
ke arah Suma Han.
Pendekar ini mengangguk dan suaranya dingin sekali ketika menjawab, "Dia ada-lah
wakilku dan kepercayaanku yang membawa pusaka Istana Pulau Es."
Makin berseri wajah Bhong Ji Kun. "Suma-tocu, aku mau menukar muridmu dengan
pusaka-pusaka itu, akan tetapi berjanjilah bahwa engkau tidak akan menghalangi dan
merampas kembali kalau peti berisi pusaka telah diserahkan ke-padaku."
"Aku berjanji!"
"Paman, jangan! Lebih baik aku mati!"
"Diam kau!" Suma Han membentak dan Kwi Hong hanya terisak menangis.
"Im-kan Seng-jin, bebaskan Kwi Hong, baru akan kuserahkan kepadamu peti berisi pusaka
ini!" kembali Phoa Ciok Lin mendesak, wajahnya yang cantik itu agak pucat.
Bhong Ji Kun tersenyum lega. Setelah mendapatkan janji Suma Han, siapa lagi yang dia
takuti" Dia lalu memberi isya-rat dengan anggukan kepala kepada Gozan dan Thai-lek-gu.
Dua orang ini lalu melepaskan belenggu kaki tangan Kwi Hong, lalu mendorong tubuh dara
yang sudah lemas dan lemahitu ke arah Pendekar Super Sakti. Kwi Hong jatuh berlutut di
depan kaki pamannya, menangis terisak-isak dan tidak berani meng-angkat muka. Suma
Han sama sekali ti-dak mempedulikan dia, hanya memandang ke arah Phoa Ciok lin dengan
alis ber-kerut dan hati menekan kegelisahan.
"Tawanan telah kubebaskan, berikan peti itu!" Bhong Ji Kun berkata sambil mengulur
tangan hendak mengambil peti dari tangan Phoa Ciok Lin. Akan tetapi tiba-tiba wanita itu
mengeluarkan suara ketawa aneh, petinya terlempar ke belakang, ke arah Suma Han,
sedangkan dia sendiri seperti gila telah menubruk bekas Koksu itu dengan pukulan kedua
tangannya, pukulan maut yang amat berbahaya.
"Ciok Lin, jangan....!" Suma Han ber-seru mencegah pembantunya.
Namun terlambat. Serangan Phoa Ciok Lin yang hebat itu membuat Bhong Ji Kun terkejut
bukan main. Untuk menge-lak sudah tiada kesempatan lagi, maka dia hanya dapat
menangkis pukulan ke arah pusarnya yang amat berbahaya dan terpaksa menerima
tamparan pada dadanya.
"Desss....!"
Phoa Ciok Lin adalah murid nenek yang terkenal sebagai datuk kaum sesat, Toat-beng Ciu-
sian-li, maka tentu saja ilmu kepandaiannya tinggi. Apalagi setelah dia menjadi pembantu
Pendekar Super Sakti dan memperdalam ilmunya selama bertahun-tahun di Pulau Es.
Biarpun ten-tu saja dia masih kalah jauh kalau dibandingkan dengan bekas Koksu yang sakti
itu, namun pukulannya itu pun bukanlah pukulan ringan sehingga tubuh Koksu yang sakti itu
sampai roboh terjengkang. Akan tetapi dia sendiri pun terhuyung ke kiri karena daya tolak
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
688 tenaga sin-kang bekas Koksu yang lihai itu. Dan tampak sinar putih berkelebat disusul
keluhan Phoa Ciok Lin yang roboh terguling, dadanya terluka oleh tombak di tangan Sin-jio
Ciat Leng Souw yang menyerangnya de-ngan kecepatan kilat sehingga Suma Han sendiri
sampai tercengang dan tidak mampu mencegahnya.
"Bibi....!" Kwi Hong menjerit dan meloncat menubruk Phoa Ciok Lin, meng-angkat tubuhnya
dan membawanya ke pinggir.
Terdengar suara melengking tinggi nyaring dan tahu-tahu tubuh Suma Han telah berada di
depan Bhong Ji Kun yang sudah bangkit kembali. Setelah menyerah-kan peti pusaka dalam
perlindungan Lulu dan Nirahai, Suma Han dengan marah kini menghadapi bekas Koksu dan
para pembantunya.
"Bhong Ji Kun!" Suaranya terdengar tegas dan penuh wibawa sehingga bekas Koksu itu
dan para pembantunya meman-dang dengan hati gentar, akan tetapi juga dengan
kesiapsiagaan para jagoan yang tahu bahwa mereka menghadapi seorang lawan tangguh.
"Sebagai penghuni Pulau Es menghadapi orang-orang yang mengo-torkan pulau, aku
menantang kalian untuk mengadu ilmu!"
Bhong Ji Kun tentu saja menjadi pe-nasaran dan marah sekali, juga kecewa. Ia sengaja
mengeluarkan suara ketawa mengejek. "Ha-ha-ha, Pendekar Super Sakti, To-cu Pulau Es
yang terkenal itu ternyata hanyalah seorang yang suka bermain curang! Hendak menarik
kembali janjinya, melanggar janji seperti seorang yang rendah. Hendak kemana kautaruh
mukamu nanti?"
"Bhong Ji Kun, mulutmu lancang seka-li! Kuhancurkan nanti!" Nirahai berteriak marah
mendengar suaminya tercinta dimaki orang.
Namun Suma Han bersikap tenang, biarpun pandang matanya tajam menusuk. "Im-kan
Seng-jin Bhong Ji Kun, siapakah yang curang" Aku tadi berjanji tidak menghalangi apabila
pembantuku menye-rahkan peti. Akan tetapi dia tidak me-nyerahkan peti kepadamu, hal itu
adalah urusan antara kamu dan dia! Dia menipu-mu dan engkau telah membebaskan Kwi
Hong dan mengeroyok pembantuku sam-pai terluka hebat. Perbuatanmu sungguh tidak
patut. Antara kita tidak ada per-janjian apa-apa lagi."
"Ha-ha-ha! Bukankah kau berjanji bah-wa kalau kami membebaskan muridmu, engkau akan
membiarkan kami pergi tanpa mengganggu?"
"Benar! Akan tetapi ingat, engkau membebaskan Kwi Hong bukan karena perjanjian antara
kita, melainkan karena perjanjianmu dengan Phoa Ciok Lin. Sekarang aku menantang kalian
mengadu ilmu, dan kalau kalian tidak berani, aku baru mau melepaskan kalian kalau kalian
mau berlutut dan minta ampun kepada kedua orang isteriku!"
Bhong Ji Kun membelalakkan matanya. Kiranya pendekar ini telah akur kembali dengan
Puteri Nirahai! Dan Ketua Pulau Neraka itu pun telah menjadi isterinya! Bukan main! Akan
tetapi dia tidak berani menyatakan sesuatu akan pengakuan pen-dekar itu, apalagi
mengejek, karena kalau hal itu dia lakukan, tentu dia akan cela-ka di bawah tangan suami
isteri, tiga orang yang memiliki kesaktian luar biasa itu! Kalau harus berlutut minta ampun,
benar-benar hal ini amat berat. Dia ada-lah bekas Koksu, bahkan seorang tokoh yang
terkenal di dunia kang-ouw. Demi-kian pun para pembantunya adalah orang-orang gagah
yang lebih menghargai nama dan kehormatan daripada nyawa.
"Pendekar Siluman!" teriaknya dengan muka merah. "Menyuruh kami berlutut minta ampun
sama dengan menyuruh matahari timbul dari barat!"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
689 "Bagus, kalau begitu majulah, dan juga para pembantumu, terutama yang meme-gang
tombak cagak gagang panjang itu!" Suma Han melirik ke arah Ciat Leng Souw karena
hatinya masih panas meng-ingat betapa pembantunya, Phoa Ciok Lin roboh oleh tombak
orang ini. "Wuuuuttt.... syettt!" Sin-jio Ciat Leng Souw dengan gerakan tangkas sudah me-loncat dan
berdiri tegak di depan Suma Han, tombaknya yang panjang itu dipalangkan di depan dada,
sikapnya gagah sekali dan matanya menentang lawan sambil memperhatikan keadaan
pendekar yang amat terkenal itu, kemudian berkata,
"Pendekar Siluman! Orang lain mungkin takut mendengar namamu, tetapi, aku Sin-jio Ciat
Leng Souw sama sekali tidak gentar untuk menghadapimu!"
Suma Han memandang orang tinggi besar itu. Sekelebatan saja matanya yang tajam dapat
menaksir keadaan calon la-wan ini. Tentu memiliki tenaga yang amat kuat dan ilmu tombak
yang sakti. Sayang bahwa orang gagah ini sampai dapat terbujuk menjadi kaki tangan
Bhong Ji Kun. Kalau dia menghendaki, dengan kekuatan sihir, tentu Suma Han akan dapat
menundukkan calon lawan ini de-ngan mudah. Akan tetapi dia tidak mau melakukan hal ini.
Dia telah menunjukkan kegagahannya kepada dua orang isterinya, telah menunjukkan
kejantanan dengan memaksa mereka mengikutinya ke Pulau Es. Sekarang pun dia harus
memperlihat-kan, tidak hanya kepada kedua isterinya tercinta, akan tetapi juga kepada
Bhong Ji Kun dan semua pembpntunya bahwa nama Pendekar Super Sakti sebagai
Ma-jikan Pulau Es bukanlah nama kosong belaka, dan bahwa dia, tanpa bantuan siapa pun,
akan dapat mempertahankan pulaunya.
"Bagus! Engkau seorang pemberani dan gagah, Ciat Leng Souw, dan tentu ilmu tombakmu
lihai sekali. Cobalah robohkan aku seperti engkau merobohkan pembantuku secara
membokong tadi!"
Mendengar tantangan yang mengan-dung teguran dan ejekan ini merahlah muka Ciat Leng
Souw. Dia adalah seo-rang tokoh yang terkenal di selatan dan belum pernah tombaknya
menemui tan-dingan. Kalau tadi dia turun tangan me-lukai Phoa Ciok Lin adalah karena
meli-hat wanita itu menggunakan kecurangan dan mengancam keselamatan Bhong Ji Kun.
Melihat betapa Bhong Ji Kun, Thian Tok Lama, dan para orang gagah yang membantu
bekas Koksu itu kelihatan gen-tar menghadapi Suma Han, dia sudah merasa penasaran
sekali. Dia sudah ba-nyak mendengar nama Pendekar Super Sakti, akan tetapi melihat
betapa pende-kar yang disohorkan orang itu hanya seorang yang sederhana dan berkaki
buntung, dia makin penasaran dan ingin sekali mencoba kepandaiannya. Kini ke-sempatan
itu tiba. Mendengar ucapan Suma Han, Ciat Leng Souw mengeluarkan suara menggereng
dan tombak panjangnya sudah bergerak meluncur dan menyambar ke arah dada Suma Han
dengan tusukan kilat.
"Trakk!"
Tombak itu tertangkis oleh tongkat di tangan kiri Suma Han. Benar saja dugaan pendekar
buntung itu, tenaga jago dari selatan ini memang kuat sekali. Betapapun juga, kalau Suma
Han menghen-daki, dengan pengerahan sin-kangnya yang mujijat, dia akan dapat
mengalahkan lawan dalam pertemuan tenaga pertama kali itu. Akan tetapi dia tidak mau
me-ngalahkan lawan dengan menggunakan sin-kangnya yang jarang ada tandingannya,
juga tidak mau menggunakan kekuatan pandang matanya yang dapat melumpuh-kan pikiran
orang. Melihat betapa lawan-nya sudah cepat sekali menarik kembali tombaknya yang
tertangkis lalu mengge-rakkan tombak dengan lihai sehingga tampak sinar panjang
menyambar-nyam-bar, Suma Han cepat menghindar dan selanjutnya dia mempergunakan
ilmunya yang amat dahsyat, yaitu Ilmu Silat Soan-hong-lui-kun. Ilmu silat yang mujijat ini
merupakan gerakan-gerakan berdasar-kan gin-kang yang hanya dapat dilakukan oleh orang
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

690 berkaki buntung! Tubuhnya berkelebatan bagaikan seekor burung ter-bang dan betapa pun
Ciat Leng Souw mainkan tombaknya dengan hebat, tetap saja gerakan tombaknya tidak
dapat mengikuti berkelebatnya bayangan lawan yang makin lama makin cepat seperti kilat
menyambar-nyambar dan sebentar saja kepalanya menjadi pusing dan pan-dang matanya
berkunang karena bayangan lawannya menjadi bertambah banyak! Hal ini bukan terjadi
karena ilmu sihir, melainkan saking cepatnya Suma Han bergerak.
"Siluman....!" Ciat Leng Souw berseru dan dia mulai merasa gentar.
"Krekkk! Plak! Plak!"
Tubuh yang tinggi besar itu terhuyung ke belakang, wajahnya pucat dan dari mulutnya
mengalir darah segar, tombak-nya patah-patah dan akhirnya dia roboh terguling dan
mengeluh. Suma Han telah berdiri dengan tegak, tongkat di tangan dan dia tidak
mempedulikan lagi Ciat Leng Souw yang dirobohkan. Pendekar ini dengan sikap tenang
menanti majunya jago lain di fihak musuh. Dia telah ber-hasil mengalahkan Ciat Leng Souw
tanpa membunuhnya, hanya mematahkan tom-baknya dan dua kali menampar pundak
lawan, membuat tulang kedua pundak Ciat Leng Souw patah!
Melihat ini, Gozan, jagoan Mongol yang seperti raksasa, Liong Khek, Si Mu-ka Pucat yang
bersenjatakan pancing, Thai-lek-gu Si Pendek Gendut yang ber-tangan panjang dengan
sepasang golok jagal babinya, dan tiga orang panglima kaki tangan Bhong Ji Kun sudah
bergerak maju mengurung Suma Han.
"Tak tahu malu!" Lulu membentak.
"Betapa gagahnya, main keroyokan!" Nirahai juga mengejek.
"Biarkan saja tikus-tikus ini, kalian jaga saja peti itu!" Suma Han menoleh kepada dua orang
isterinya sambil terse-nyum. Padahal tanpa dia beritahu pun Nirahai dan Lulu tidak akan
bergerak membantu suami mereka karena mereka maklum bahwa menghadapi
pengeroyokan itu, suami mereka tidak perlu dibantu, apalagi mereka bertugas menjaga peti
pusaka Istana Pulau Es.
Gozan sebagai seorang jagoan Mongol yang juga memandang rendah Suma Han, apalagi
dia mengandalkan ilmu gulatnya dan tenaganya, sudah tidak sabar lagi dan sambil memekik
dia lari menerjang dan hendak menangkap pendekar kaki buntung itu dengan kedua
lengannya yang berotot kuat. Menghadapi serangan ini, Suma Han hanya berdiri tenang
saja, bahkan ia ti-dak mengelak sama sekali ketika kedua tangan lawan ini mencengkeram
pundak dan pinggangnya. Akan tetapi, betapa terkejut hati Gozan ketika dia merasa seolah-
olah jari-jari tangannya menceng-keram baja yang dingin dan keras! Dia mengerahkan
tenaga, hendak mengangkat tubuh itu dan membantingnya namun be-tapa pun dia
mengerahkan seluruh tena-ganya, tubuh yang hanya berdiri dengan satu kaki itu sama
sekali tidak bergoyang.
"Pergilah!" Suma Han membentak sambil menggoyangkan tubuh dengan ge-rakan berputar.
"Krekk! Krekk!" Gozan terpelanting roboh dan mengaduh-aduh, kedua lengan-nya
tergantung lumpuh karena sambungan siku dan pergelangan kedua tangannya telah
terlepas, terbawa oleh gerakan me-mutar tubuh Pendekar Super Sakti tadi.
Liong Khek dan teman-temannya su-dah menerjang maju, menggunakan senja-ta mereka.
Hujan senjata menyambar ke arah tubuh Suma Han. Pendekar ini tenang-tenarrg saja
memegang tongkatnya, kemudian secara tiba-tiba tongkatnya diputar, dan terdengarlah
suara nyaring disusul runtuhnya senjata para pengeroyok yang patah-patah dan terpental ke
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
691 sana-sini, kemudian tampak bayangan Suma Han berkelebat di antana mereka. Para
pengeroyok mengeluh panjang pendek dan seorang demi seorang terlempar ke kanan kiri
tanpa dapat melawan lagi karena sambaran tongkat Suma Han yang terarah dan dengan
tenaga terbatas para penge-royok itu menderita patah tulang, terto-tok lumpuh, atau terluka
dalam! Belasan orang itu roboh hanya dalam waktu be-lasan jurus saja! Tadinya memang
hanya enam orang yang maju, akan tetapi begi-tu Gozan roboh, semua kaki tangan bekas
Koksu itu maju mengeroyok. Kini hanya tinggal Bhong Ji Kun dan Thian Tok La-ma berdua
saja masih berdiri dengan muka agak pucat, namun sikap mereka ditenang-tenangkan ketika
Suma Han menghadapi mereka.
"Bhong Ji Kun, sekarang aku ingin merasai kelihaianmu. Dan Thian Tok La-ma, kita adalah
lawan-lawan lama yang sudah puluhan tahun tak pernah saling mengukur kepandaian.
Agaknya engkau telah memperoleh kemajuan hebat, hanya sayangnya, semenjak dahulu
kedudukanmu tidak mengalami kemajuan dan selalu menjadi kaki tangan pemberontak!"
Wajah Thian Tok Lama menjadi merah mende-ngar ejekan ini, karena memang dia dan
sutenya yang sudah tewas, Thai Li Lama, dahulu pernah terlibat pula dalam pembe-rontakan
(baca ceritaPendekar Super Sakti).
Thian Tok Lama sudah pernah menga-lami bertanding melawan Pendekar Super Sakti dan
dia merasa gentar karena maklum bahwa tingkat kepandaiannya masih kalah jauh oleh
Majikan Istana Pu-lau Es itu, akan tetapi tentu saja dia merasa malu untuk mengaku kalah,
apa-lagi di situ ada Bhong Ji Kun yang dia andalkan. Bekas Koksu ini biasanya amat
percaya kepada kepandaiannya sendiri, namun biar dia belum pernah bentrok dan mengadu
ilmu melawan Pendekar Super Sakti, nama pendekar ini membuat dia merasa gentar,
apalagi setelah menyaksi-kan betapa dengan mudah saja pendekar itu tadi merobohkan
semua anak buahnya nyalinya menjadi kecil. Dia memang cer-dik dan dengan suara dibuat-
buat agar tidak kentara perasaan jerihnya, dia ber-tanya, "Suma-tocu, apakah engkau
me-nantang kami maju berdua" Benarkah engkau berani menghadapi kami berdua tanpa
bantuan orang lain?" Berkata demi-kian bekas Koksu itu sengaja melirik ke arah Nirahai dan
Lulu. Kalau seorang saja di antara kedua orang wanita sakti itu maju, tentu dia dan Thian
Tok Lama takkan mampu menandinginya. Akan teta-pi kalau pendekar kaki buntung sebelah
ini dia keroyok bersama Thian Tok Lama dia masih tidak percaya kalau mereka berdua tidak
akan mampu keluar sebagai pemenang!
"Bhong Ji Kun manusia pengecut!" Ni-rahai membentak marah. "Beraninya hanya main
keroyok. Hayo kau lawan aku kalau memang ada kepandaian!"
"Aku pun siap menghadapimu satu lawan satu!" Lulu juga menantang.
Bhong Ji Kun tersenyum. "Bukan kami yang menantang, melainkan Suma-tocu. Kalau dia
tidak berani, kami pun tidak akan memaksa."
"Im-kan Seng-jin tak perlu banyak ca-kap lagi. Majulah bersama Thian Tok Lama, aku
sudah siap menghadapi kalian berdua." Terdengar Suma Han berkata, suaranya tenang
karena dia tidak dapat dipanaskan hatinya oleh sikap dan ucapan Bhong Ji Kun yang cerdik.
"Tar-tar-tar....!" Pecut merah di ta-ngan bekas Koksu itu meledak-ledak di udara. Kini dia
bersikap sungguh-sungguh dan telah melangkah maju dengan senjata istimewa itu di
tangan. Juga Thian Tok Lama sudah siap, lengan kanannya di ge-rakkan berputaran
perlahan dan tangan itu berubah menjadi biru, sedangkan ta-ngan kirinya memegang golok,
diacung-kan di atas kepala. Dengan langkah-lang-kah lambat kedua orang itu menghampiri
Suma Han sambil mengatur posisi yang baik, pandang mata mereka tidak pernah berkedip
ditujukan kepada Pendekar Super Sakti.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
692 Suma Han berdiri dengan sikap tenang sekali, tidak bergerak seperti sebuah arca, tongkat
di tangan kiri masih membantu berdirinya kaki tunggal itu, tubuh tegak akan tetapi mukanya
menunduk, hanya pandang matanya yang bergerak perlahan mengikuti gerak-gerik kedua
orang lawan-nya.
"Hyaaaattt....! Tar-tar-tar-tar....!"
"Haiiittt....! Sing-sing-sing-wuuutttt!"
Serangan yang datang mengikuti pekik yang keluar dari mulut Bhong Ji Kun dan Thian Tok
Lama hampir berbareng itu datang bagaikan hujan ke arah tubuh Suma Han. Pecut merah
berubah menjadi sinar merah yang menyambar-nyambar dan meledak-ledak seperti
halilintar, bertubi-tubi menyambar ke arah kepala dan dada Pendekar Super Sakti. Golok di
tangan kiri Thian Tok Lama merupa-kan sinar putih yang bergulung-gulung membabat ke
arah kaki tunggal lawan, sedangkan tangan kanannya digerakkan dengan dorongan dahsyat
ke arah pusar Suma Han, mengeluarkan uap hitam kare-na pukulan itu adalah pukulan Hek-
in-hwi-hong-ciang (Pukulan Sakti Api Angin dan Uap Hitam), dari perut pendeta La-ma ini
keluar suara kok-kok seperti ayam betina habis bertelur!
Suma Han maklum betapa lihainya kedua orang yang mengeroyoknya itu. Dia sudah
mengenal kelihaian Thian Tok La-ma dan sudah dapat mengukur sampai di mana tingkat
ilmu kepandaian kakek pendeta dari Tibet ini, akan tetapi dia belum hafal benar akan sifat
dan tingkat ilmu silat Bhong Ji Kun, karena itulah maka dia berlaku hati-hati dan tadi ha-nya
bersikap menanti dan berjaga-jaga. Setelah melihat kedua orang lawannya secara tiba-tiba
dan serentak menerjang-nya secara dahsyat, Suma Han segera mengerahkan tenaga dan
mempergunakan ilmunya yang mujijat, yaitu Soan-hong-lui-kun. Tubuhnya melesat ke sana-
sini, cepatnya melebihi sinar senjata lawan, bagaikan kilat menyambar untuk menghindarkan
diri dari serbuan kedua orang lawannya. Ketika tubuhnya dapat lolos dari kurungan serangan
kedua orang dan melesat ke udara, tampak sinar merah pecut berkelebat menyambar dari
bawah mengejar bayangan Suma Han. Pendekar Super Sakti diam-diam merasa terkejut
dan kagum akan kecepatan gerak senjata lawan, namun tidak menjadi gugup, kaki
tunggalnya digerakkan dan tubuhnya membalik, tongkatnya menangkis sinar cambuk merah.
"Tarrr....!"
Tampak asap mengepul dari pertemuan dahsyat antara tongkat dan cambuk itu, dan Suma
Han sudah melayang turun lagi. Diam-diam dia kagum juga akan kelihaian lawan karena
dalam pertemuan tenaga tadi tahulah dia bahwa tenaga sakti bekas Koksu ini lebih kuat
daripada Thian Tok Lama! Akan tetapi dia tidak diberi kesempatan untuk membanding lebih
lama lagi karena cambuk merah itu sudah meledak-ledak mencari sasaran, sedangkan golok
di tangan Thian Tok Lama juga sudah menerjangnya secara bertubi-tubi.
Suma Han menggerakkan tongkatnya, menangkis semua serangan kedua orang
pengeroyoknya. Sampai tiga puluh jurus lebih pendekar ini hanya menjaga diri, mengelak
dan menangkis untuk menguji lawan. Melihat sikap suami mereka itu, Lulu dan Nirahai
hampir kehi-langan kesabaran mereka. Kalau saja mereka menurutkan watak mereka yang
dahulu, tentu mereka sudah tadi-tadi turun tangan membunuh bekas Koksu dan pendeta
Tibet itu. Akan tetapi mereka merasa takut kepada suami mereka, ta-kut kalau suami mereka
marah! Apalagi karena mereka yakin bahwa suami mere-ka tidak akan kalah, maka kedua
orang wanita perkasa itu hanya menonton. Peti pusaka Istana Pulau Es terletak di depan
kaki mereka. Adapun semua anak buah Bhong Ji Kun biarpun tidak ada yang tewas dan
hanya terluka ketika mereka dirobohkan Suma Han, tidak ada yang berani maju lagi
membantu Bhong Ji Kun. Mereka hanya menonton dan tentu saja mengharapkan agar dua
orang kakek itu dapat mengalahkan Pendekar Super Sakti.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
693 Ternyata harapan mereka itu kosong belaka karena kini Pendekar Super Sakti mulai
membuat gerakan balasan dengan tongkatnya. Begitu tongkat di tangan kirinya itu
menambah gerakan menangkis dengan serangan dahsyat, Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun
dan Thian Tok Lama terdesak hebat dan terpaksa banyak mun-dur karena betapa pun
mereka memutar senjata, beberapa kali ujung tongkat itu tahu-tahu telah menyelonong
depan hi-dung mereka dan mengancam bagian tubuh yang lemah.
Ini memang siasat Suma Han yang dalam segala hal, juga dalam pertanding-an, bersikap
tenang dan penuh perhitung-an. Kalau saja dia tadi tidak bersikap mengalah dan
mempertahankan diri, kiranya tidak mudah baginya untuk men-desak kedua orang lawannya
yang juga memiliki kepandaian sangat tinggi, ter-utama sekali mendesak Bhong Ji Kun.
Akan tetapi, ketika dia hanya memper-tahankan diri selama tiga puluh jurus lebih tadi, diam-
diam dia mempelajari dasar gerak kedua orang lawannya, ter-utama sekali gerakan cambuk
Bhong Ji Kun, karena dia sudah tahu akan kepan-daian Thian Tok Lama. Tiga puluh jurus
cukuplah bagi Pendekar Super Sakti ini, dan setelah mengenal dasar gerakan la-wan,
barulah kini dia mengeluarkan ke-pandaiannya untuk menyerang lawan.
Thian Tok Lama merasa cemas karena hal ini memang sudah dikhawatirkannya. Adapun
Bhong Ji Kun yang tadinya sudah merasa girang dan memandang rendah lawan ketika dia
dan temannya seolah-olah sudah mendesak Suma Han, kini merasa terkejut bukan main.
Tongkat pendekar kaki buntung itu gerakannya aneh sekali, sama anehnya dengan gerak-an
tubuh pendekar itu yang dapat men-celat ke sana-sini secara luar biasa, dan dari tongkat itu
menyambar keluar hawa pukulan yang membuat bekas Koksu ini makin bingung. Tongkat itu
kadang-ka-dang kaku melebihi baja, kadang-kadang lemas seperti batang pohon cemara,
akan tetapi yang lebih hebat lagi, kadang-kadang mengandung hawa serangan panas dan
ada kalanya amat dingin!
Mendadak terdengar suara melengking tinggi yang keluar dari dalam dada Pen-dekar Super
Sakti. Tongkatnya bergerak menyambut golok dan cambuk lawan dan.... tiga buah senjata
melekat menjadi satu. Betapa pun Bhong Ji Kun dan Thian Tok Lama berusaha menarik
kembali sen-jata mereka, sia-sia saja seolah-olah cambuk dan golok sudah menjadi satu
dengan tongkat!
"Haiiittt!" Bhong Ji Kun menggunakan tangan kiri memukul dengan telapak tangan
didorongkan ke depan.
"Hyaaattt!" Thian Tok Lama sudah menggunakan pula tangan kanannya, me-lakukan
pukulan Hek-in-hwi-hong-ciang yang mengeluarkan uap hitam.
Suma Han maklum akan bahaya maut ini. Pukulan tangan kosong Im-kan Seng-jin Bhong Ji
Kun tidak kalah ampuhnya dbandingkan dengan Hek-in-hwi-hong-ciang dari pendeta Lama
itu. Cepat dia mele-paskan tongkatnya selagi kedua lawannya mencurahkan perhatian pada
pukulan mereka, kemudian dengan tubuh tegak pendekar kaki tunggal ini sudah
mendo-rongkan pula kedua tangannya ke depan menyambut pukulan kedua lawannya.
"Desss! Desss!"
Tubuh Bhong Ji Kun menggigil dan terhuyung ke belakang. Dia telah terkena hantaman Inti
Es yang selain menolak pukulannya sendiri juga dengan kekuatan dahsyat masih
mendorongnya. Sedangkan Thian Tok Lama terlempar ke belakang dan terbanting roboh
dengan muka merah seperti dibakar. Dia tadi dilawan dengan pukulan panas Inti Api yang
luar biasa dahsyat dan kuatnya.
Dengan kemarahan meluap-luap, Bhong Ji Kun dan Thian Tok Lama sudah me-loncat
bangun lagi tanpa mempedulikan darah yang menetes keluar dari ujung bibir mereka. Bhong
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
694 Ji Kun menerjang dengan cambuknya yang tadi sudah ter-lepas dari tongkat Suma Han.
Akan teta-pi karena benturan tenaga sakti tadi telah mendatangkan luka di dalam dada-nya,
gerakannya tidak sedahsyat tadi dan menghadapi serangan ini, Suma Han yang telah
memegang tongkatnya lagi bersikap tenang sekali.
"Tar-tarrr....!" Cambuk merah itu me-nyambar ke arah kepala, ujungnya seperti patuk burung
garuda mematuk ke arah ubun-ubun kepala Suma Han. Dengan si-kap tenang Suma Han
menggerakkan tongkatnya menangkis, akan tetapi tiba-tiba tampak sinar kilat berkeredepan
menusuk ke arah dada pedekar itu. Suma Han mengeluarkan seruan kaget, maklum bahwa
lawannya menggunakan senjata yang luar biasa ampuhnya, maka sambil menggerakkan
tubuh mencelat ke kanan, tongkatnya bergerak menangkis senjata yang berkeredepan itu.
"Cringgg! Trakkk!" Tongkat di tangan Pendekar Super Sakti itu patah menjadi dua bertemu
dengan pedang itu.
"Li-mo-kiam....!" Suma Han berteriak kaget dan cepat dia mendorongkan kedua tangannya,
yang kiri memukul ke arah pergelangan tangan kiri lawan yang memegang Pedang Iblis itu,
sedangkan yang kanan mendorong ke arah dada Bhong Ji Kun.
"Desss! Augghhh....!" Pedang Iblis Betina terlepas dari pegangannya dan cepat disambar
oleh Suma Han, sedang-kan tubuh bekas Koksu itu terjengkang seperti dihantam palu
godam raksasa yang amat kuat. Mulutnya muntahkan darah segar. Dia terkena pukulan
yang mengandung tenaga sakti Inti Api, yang sama sekali tidak diduganya karena dia
mengira bahwa lawannya akan mengguna-kan Im-kang seperti tadi. Apalagi dia te-lah
mempergunakan Li-mo-kiam yang dirampasnya dari Kwi Hong dan melihat pendekar itu
terkejut dan tongkatnya patah, hatinya sudah girang sekali, mem-buat kewaspadaannya
berkurang. "Singggg.... trakkkk! Desss!"
Golok di tangan Thian Tok Lama pa-tah-patah bertemu dengan Li-mo-kiam, tangan kanan
Thian Tok Lama yang melancarkan pukulan Hek-in-hwi-hong-ciang bertemu dengan tangan
kiri Suma Han yang menyambutnya dengan Im-kang sehingga pendeta Lama dari Tibet ini
terpental sampai beberapa meter jauhnya dan roboh pingsan dengan muka pucat kebiruan!
Suma Han memandang Li-mo-kiam di tangannya, mengebutkan bajunya dan menghampiri
Bhong Ji Kun yang sudah merangkak bangun sambil merrngis. Suma Han memandang
bekas Koksu itu dan berkata dengan suara dingin penuh wiba-wa, "Bhong Ji Kun, bawa
semua kaki tanganmu ke perahumu dan lekas tinggal-kan tempat ini!"
Sambil meringis Bhong Ji Kun bangkit berdiri, mukanya pucat dan mulutnya masih
berlepotan darahnya sendiri. Dia memandang ke sekelilingnya. Thian Tok Lama masih
pingsan dan anak buahnya tidak seorang pun tewas, akan tetapi semua menderita luka yang
membuat mereka tidak berdaya. Dia mengangguk, menarik napas panjang dan berkata,
"Engkau hebat. Pendekar Super Sakti. Sekali ini aku mengaku kalah, akan teta-pi tunggu
saja, akan datang saatnya aku menebus kekalahan ini."
Sambil terhuyung-huyung, bekas Koksu ini mengambil cambuk merahnya, lalu menyuruh
anak buahnya membawa teman yang lukanya agak berat, menggotong Thian Tok Lama,
kemudian tanpa berkata apa-apa kepada Suma Han dia bersama anak buahnya naik perahu
yang segera dilayarkan meninggalkan Pulau Es, me-nuju ke selatan.
"Anjing-anjing macam itu mengapa tidak dibunuh saja?" Baru sekarang Nira-hai membuka
mulut mencela suaminya.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
695 "Memang sepantasnya mereka dibunuh, kalau tidak kelak hanya akan menimbul-kan
kekacauan saja." Lulu juga berkata tak puas, dan memandang bekas kakak angkat yang kini
menjadi suaminya yang tercinta itu.
Suma Han menarik napas panjang. "Aku kasihan kepada orang-orang sesat seperti itu.
Mudah-mudahan kekalahan mereka ini menjadi pelajaran dan mem-buat mereka bertobat.
Pula, aku tidak menghendaki pembunuhan di pulau ini, apalagi aku tidak ingin memulai
hidup baru kita dengan pembunuhan."
"Akan tetapi mereka telah membunuh pembantumu!" kata Nirahai.
Suma Han terkejut dan menengok, se-olah-olah baru teringat kepada pembantu-nya yang
setia itu. Dengan cepat dia menghampiri, diikuti oleh Nirahai dan Lulu. Mereka bertiga
berlutut dekat Phoa Ciok Lin yang masih rebah di atas tanah dipeluki oleh Kwi Hong yang
masih me-nangis terisak-isak.


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Melihat keadaan Phoa Ciok Lin yang dadanya ditembus tombak, Suma Han maklum bahwa
nyawa pembantunya itu tak mungkin ditolong lagi. Melihat murid-nya atau keponakannya,
alisnya berkerut. Dara inilah yang menjadi gara-gara, pi-kirnya penuh kekecewaan dan
penyesalan. "Perlu apa engkau menangis lagi" Menangis setelah terlambat tiada guna-nya! Mengapa
sebelumnya engkau tidak berpikir panjang dan percaya kepada orang-orang seperti
mereka?" Tangis Kwi Hong semakin meledak ketika dia mendengar suara yang bernada penuh
teguran dari pamannya itu. Dia merebahkan tubuh Phoa Ciok Lin perlahan-lahan di atas
tanah, kemudian men-jatuhkan diri berlutut di depan Suma Han sambil menangis dan
berkata, "Harap Paman bunuh saja aku yang berdosa ini!"
Suma Han memandang tajam, kerut di alisnya makin mendalam. "Hemm, per-nahkah aku
mengajarmu bersikap seperti pengecut ini" Setiap orang membuat ke-salahan, dan sikap
terbaik adalah menya-dari kesalahan itu, bukan dengan penye-salan yang menimbulkan
keinginan untuk bunuh diri! Sekarang aku mempunyai tugas untukmu, kalau engkau
melaksana-kan tugas ini dengan baik berarti engkau mempunyai keinginan untuk menebus
kesalahanmu. Sanggupkah engkau?"
"Biar harus mengorbankan nyawa, akan saya laksanakan tugas itu, harap Paman lekas
beritahukan kepada saya."
"Kau pergilah meninggalkan pulau ini, carilah Milana sampai dapat, bawa dia ke pulau ini
menyusul kami. Juga kause-lidiki di mana adanya Gak Bun Beng yang sudah kusuruh
mencari Milana. Mereka telah kami tunangkan dan keduanya harus menyusul kami di sini
untuk dilaksanakan pernikahannya. Juga kau harus mencari Wan Keng In, selain minta dia
menyerahkan Lam-mo-kiam juga katakan kepada-nya bahwa ibunya telah berada di Pulau
Es, menjadi isteriku. Nah, berangkatlah!"
Wajah Kwi Hong seketika pucat ketika dia mendengar perintah ini. Biarpun amat sukar
menundukkan Wan Keng In, apalagi memaksanya menyerahkan Lam-mo-kiam dan
mengajaknya ke Pulau Es, namun hal itu masih tidak membuat dia terkejut. Yang membuat
wajahnya pucat adalah ketika dia mendengar akan pertunangan antara Gak Bun Beng dan
Milana! Jan-tungnya seperti ditusuk rasanya dan cepat menundukkan mukanya untuk
me-nyembunyikan kepucatan wajahnya dan dua titik air mata yang sudah bergantung di bulu
matanya. Dia mengangguk, kemu-dian menerima pedang Li-mo-kiam yang disodorkan
pamannya. Tanpa menjawab, tiba-tiba tubuhnya berkelebat dan dia sudah berlari-lari ke
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
696 pantai, meloncat ke dalam sebuah perahu kecil yang tadi di-pergunakan oleh Phoa Ciok Lin,
dan meluncurkan perahu dengan cepatnya menuju ke utara, melalui celah-celah
pegunungan es yang terapung di lautan.
Suma Han berdiri tegak memandang bayangan keponakannya itu dengan alis berkerut.
Pendekar Super Sakti ini diam-diam merasa kasihan dan terharu. Dia memang sengaja tadi
memberitahukan tentang pertunangan antara Bun Beng dan Milana, karena dia tahu bahwa
keponak-annya itu menaruh hati cinta kepada Bun Beng. Dia ingin agar keponakannya yang
mudah dibujuk orang jahat itu belajar melihat kenyataan hidup dan menghadapi-nya dengan
penuh keberanian! Hal ini akan menanamkan kepercayaan kepada diri sendiri, membuatnya
waspada dan tidak lengah. Mengingat betapa dia telah menggembleng dara itu, dan bahwa
Bu-tek Siauw-jin juga sudah menurunkan ilmu kepada keponakannya itu, dia tidak khawatir
lagi akan keselamatan Kwi Hong yang tentu sudah cukup kuat untuk men-jaga diri, apalagi
dengan Li-mo-kiam di tangannya.
"Taihiap engkau sungguh kejam....!" Mendengar suara Phoa Ciok Lin, Suma Han cepat
menengok lalu berlutut di dekat kedua isterinya. Kiranya pembantunya itu telah siuman dari
pingsannya dan kini memandang kepadanya dengan muka pucat sekali dan mata sayu.
Dengan ter-haru dia, memegang tangan wanita yang sedang sekarat itu tanpa dapat
menge-luarkan kata-kata.
"Taihiap, apakah engkau tidak tahu.... bahwa Kwi Hong mencinta Bun Beng seperti....
seperti.... aku mencintamu" Aku bukan seorang muda, aku dapat melihat bahwa cintaku sia-
sia, bahwa aku berte-puk sebelah tangan.... dan demi cintaku.... aku bahagia menyaksikan
engkau telah dapat berkumpul dengan kedua orang wanita yang kaucinta. Aku.... aku....
demi cintaku kepadamu, aku dengan senang hati suka berkorban, aku akan mati dengan
hati tenteram.... akan tetapi Kwi Hong masih muda sekali! Dapatkah dia bersikap seperti
aku" Taihiap.... kasihan dia.... entah apa yang akan terjadi dengan dia.... tapi.... aku percaya
kepadamu Taihiap, selamat tinggal....!"
Phoa Ciok Lin menghembuskan napas terakhir, dan agaknya kekhawatiran di dalam hatinya
mengenai nasib Kwi Hong tidak dapat mengusir kebahagiaan hatinya menyaksikan orang
yang amat dikasihinya itu akhirnya dapat berkumpul dengan Lulu dan Nirahai, sehingga
tepat seperti yang diucapkannya tadi, dia menghembus-kan napas terakhir dengan senyum
di bibirnya! Suma Han menarik napas panjang, berbisik, "Ciok Lin, akupun cinta padamu, akan tetapi
bukan cinta seperti yang kaumaksudkan itu...." Kemudian, dibantu oleh Lulu dan Nirahai
yang tidak berkata sesuatu, Suma Han menguburkan jenazah Phoa Ciok Lin di bagian yang
paling tinggi di pulau itu agar kuburannya tidak selalu tertimbun oleh salju.
Ketika mereka bertiga berdiri di depan kuburan itu dan kebetulan mereka menghadap ke
selatan, mereka melihat udara di selatan amat gelap dan tampak kilat menyambar-nyambar
dan awan hitam bergumpal-gumpal amat me-nakutkan. Nirahai yang belum pernah
me-nyaksikan penglihatan seperti itu, menjadi ngeri dan memegang tangan suaminya.
"Ihhh! Apakah di sana itu?"
Lulu yang menjawabnya, karena Lulu sudah bertahun-tahun tinggal di Pulau Es ini, "Badai.
Di selatan ada badai mengamuk, Suci. Dan anjing-anjing tadi yang di sini mendapat
pengampunan, ter-nyata tidak diampuni oleh Tuhan. Mereka tentu tewas semua ditelan
badai!" "Untung bahwa Kwi Hong tadi meng-ambil jalan ke utara." Suma Han berkata. Dia
menggandeng tangan ketua orang wanita itu dan dengan penuh kasih sayang mereka
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
697 bertiga berjalan bergandengan menuju ke istana Pulau Es, menuju ke hidup baru setelah
belasan tahun ketiga orang sakti ini merana oleh cinta yang putus diantara mereka. Mereka
tidak memikirkan apa-apa lagi. Mereka hendak melepaskan rindu selama belasan tahun itu,
melepaskan dahaga dengan menghirup madu cinta kasih di antara mereka seke-nyang dan
sepuas mungkin!
*** Pemuda itu berjalan cepat sekali. Wajahnya berseri dan mulutnya sering ka-li tersenyum
menandakan keriangan hati-nya. Sepasang matanya bersinar-sinar penuh kebahagiaan.
Betapa hatinya tidak akan merasa bangga, bahagia dan riang setelah kini secara resmi dia
diterima oleh Pendekar Super Sakti dan isterinya sebagai calon mantu! Dia malah diberi
tugas oleh suami isteri itu untuk mencari Milana! Kekasih hatinya! Calon isterinya!
Tersenyum dia membayangkan betapa dara itu akan menjadi merah mukanya, menjadi
malu-malu kalau dia nanti men-ceritakan tentang pertunangan mereka! Dan yang lebih
daripada segala yang me-nyenangkan hatinya adalah kalau dia mengingat akan
pertemuannya dengan Milana yang terakhir kalinya, di mana dara itu dengan jelas
membayangkan bah-wa Milana pun membalas cinta kasihnya! Tadinya, kebahagiaannya
karena dara itu membalas cintanya masih diliputi awan keraguan kalau-kalau ayah bunda
dara itu tidak menyetujui. Akan tetapi seka-rang setelah kedua orang tua itu menya-takan
setuju, biarpun belum disahkan, dunia seolah-olah berubah bagi pandang mata Bun Beng!
Sinar matahari menjadi lebih cemerlang. Tumbuh-tumbuhan men-jadi lebih segar. Segala
yang dipandang-nya, yang didengarnya, menjadi lebih indah menyenangkan.
Bun Beng mempercepat gerakan lari kakinya. Kota raja tidak jauh lagi. Sete-lah keluar dari
hutan besar yang terakhir di sebelah utara kota raja ini, dinding yang mengelilingi kota raja
sudah akan tampak. Heran sekali dia, mengapa sebelum ini dia tidak melihat keindahan
hutan besar ini" Daun-daun kering yang memenuhi tempat itu, yang terinjak oleh kaki-nya
terasa lunak, biasanya tampak buruk, sekarang menimbulkan perasaan senang melihatnya,
begitu rapi bertumpuk di atas tanah, seperti diatur saja. Dan seo-lah-olah sengaja disebar
untuk menjadi permadani yang lunak halus bagi kedua kakinya. Dan baunya! Daun-daun
yang sudah membusuk, menjadi sampah, bukan-kah biasanya mendatangkan bau tidak
enak" Sekarang kalau dia mencium, ter-ciumlah bau daun-daun busuk itu, akan tetapi sama
sekali tidak busuk baunya, bahkan ada kesedapan yang khas! Jelaslah kini olehnya bahwa
segala yang disebut indah atau buruk, enak atau tidak, semua tergantung dari keadaan hati
seseorang! Pendapat seperti yang dialami Bun Beng itu menjadi pendapat umum. Akan tetapi selama
orang memandang atau mendengar sesuatu dengan penilaian akar baik buruknya yang
dipandang atau didengar itu, maka seluruhnya tergantung dari keadaan pikiran dan hati.
Karena itu, kita selalu diombang-ambingkan anta-ra suka dan duka, puas dan kecewa dan
kalau dihitung dan dijumlah, jauh lebih banyak dukanya daripada sukanya, lebih banyak
kecewanya daripada puasnya. Kalau saja kita dapat melepaskan diri dari pengaruh pikiran!
Kalau saja kita dapat terbebas dari keinginan, dari pengejaran akan sesuatu yang tidak ada
pada kita! Kalau kita terbebas dari rasa khawatir akan kehilangan yang kita senangi dan
terbebas dari rasa ta-kut akan sesuatu yang belum terjadi! Kalau demikian halnya, agaknya
hidup ini tidaklah seperti yang kita alami seka-rang ini dimana terdapat penuh perten-tangan,
penuh persoalan benar atau salah, penuh dengki dan iri hati, penuh benci, dan penuh
dengan apa yang kita sebut kesengsaraan lahir maupun batin!
Gak Bun Beng yang sekarang telah menjadi seorang yang memiliki kepandai-an luar biasa
berkat gemblengan terakhir yang dilakukan bersama oleh Pendekar Super Sakti dan Kakek
Bu-tek Siauw-jin, berlari seperti terbang cepatnya dan se-bentar saja dia telah keluar dari
dalam hutan lebat itu. Sejenak dia berhenti untuk memandang tembok yang megah, yang
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
698 mengelilingi kota raja sehingga dari jauh kelihatan seperti sebuah benteng yang kokoh kuat.
Tiba-tiba pandang ma-tanya tertarik akan sesuatu yang berge-rak tak jauh di sebelah depan,
di lereng pegunungan sebelah bawah. Seorang manusia! Dan jalannya tidak wajar karena
seperti terhuyung-huyung. Bun Beng sege-ra meloncat ke depan dan berlari cepat menuju
ke arah orang yang terhuyung-huyung itu.
Orang itu roboh terguling dan menge-luh ketika Bun Beng tiba di sebelah bela-kangnya. Bun
Beng cepat berlutut dan mengangkat tubuh bagian atas laki-laki setegah tua itu. Beberapa
buah luka yang cukup hebat memenuhi tubuhnya, pakai-annya robek-robek dan berlepotan
darah. Keadaan laki-laki itu payah sekali, napas-nya empas-empis.
"Kau kenapa, Paman" Siapa yang menyiksamu seperti ini?" Bun Beng bertanya. Orang itu
membuka matanya, akan tetapi pandang matanya seperti orang lamur, manik matanya tidak
bercahaya lagi, seperti api yang hampir padam. Mulutnya bergerak, "Semua tewas....
aughhh.... me-reka dari Pulau Neraka.... celaka sekali.... cucu Sri Baginda mereka bawa...."
"Apa" Milana" Paman, jawablah! Apakah Milana yang mereka bawa?"
"Cucu Sri Baginda.... puteri Panglima Nirahai.... diculik pemuda Pulau Neraka dan...."
Kepala itu terkulai.
"Ke mana, Paman" Dibawa ke mana?" Bun Beng bertanya mengguncang-guncang tubuh
yang sudah lemas itu. Namun tiada jawaban. Bagaimana mayat dapat menjawab"
Bun Beng menghela napas panjang, pandang matanya yang tadinya penuh kebahagiaan
kini berubah sama sekali. Penuh kekhawatiran dan kemarahan! Dia tidak mengenal orang
ini, betapapun juga, orang ini sudah berjasa kepadanya, men-ceritakan sesuatu tentang
Milana, sung-guhpun ceritanya amat tidak menyenangkan. Maka dia segera menggali
lubang dan mengubur jenazah orang tak di-kenal itu. Semua ini dilakukannya dengan cepat
dan segera dia berlari seken-cangnya memasuki kota raja untuk men-cari berita. Berita itu
mudah didengarnya. Semua orang tahu belaka bahwa cucu Kaisar, puteri Panglima Wanita
Nirahai yang amat terkenal, telah diculik dan dilarikan orang. Menurut beritanya itu,
penculiknya adalah seorang pemuda tam-pan bersama seorang kakek yang seperti mayat.
"Hemmm, siapa lagi kalau bukan Wan Keng In?" Pikir Bun Beng dengan hati panas dan
kemarahan berkobar seperti api membuat mukanya kemerahan dan pandang matanya
ganas. Setelah merasa yakin bahwa yang menculik kekasihnya adalah pemuda Pulau Neraka itu,
Bun Beng segera meninggal-kan kota raja. Menurut kabar, Kaisar sendiri mengerahkan para
pengawal yang berilmu untuk mencari cucunya, bahkan ada berita bahwa Kaisar
mengundang Pendekar Super Sakti untuk mengembalikan dara yang diculik orang itu,
dengan janji pengampunan bagi pendekar yang tadinya dianggap seorang pemberontak dan
buruan itu! Akan tetapi, Bun Beng maklum bahwa tak mungkin dia bisa mendapatkan
keterangan di kota raja ke mana larinya Wan Keng In yang menculik kekasihnya.
Setelah memutar otak, akhirnya Bun Beng menduga bahwa kemungkinan besar pemuda
Pulau Neraka itu membawa ke-kasihnya ke Pulau Neraka! Atau setidak-nya tentu pemuda
iblis itu berkeliaran di utara, di sepanjang pantai. Hatinya menjadi sakit sekali, penuh
kecemasan akan keselamatan kekasihnya. Ia khawatir kalau-kalau dia terlambat menolong
keka-sihnya. "Aihhh! Mengapa aku begini lemah?" Dia mencela diri sendiri. "Terlambat atau tidak,
bagaimana nanti keadaannya saja-lah. Yang terpenting, aku harus mencarinya sampai
dapat!" Pikiran ini agak meredakan gelombang kecemasan yang melanda hatinya dan
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
699 mulailah dia mela-kukan perjalanan ke utara kembali, tidak berani melakukan cepat karena
dia harus melakukan penyelidikan, bertanya-tanya di sepanjang jalan. Karena dia
mengang-gap bahwa orang yang terluka dan tewas ketika bertemu dengannya itu
merupakan jejak terakhir dari Milana, dia lalu meng-ambil jalan yang ditempuh orang itu, dari
tempat dia bertemu orang itu lalu terus ke utara.
Di sepanjang perjalanan Bun Beng bertanya-tanya dan untuk mencegah tim-bulnya
kecurigaan, maka dia bersikap bersahaja. Pakaiannya memang selalu sederhana, dan kini
dia selalu memakai sebuah caping bundar yang pinggirannya lebar, sedangkan pedang Hok-
mo-kiam tidak pernah tampak dari luar karena dia sembunyikan di balik jubahnya. Dalam
penyelidikannya, secara sambil lalu dia bertanya tentang seorang nona muda yang cantik
dengan gelung tinggi ke atas kepala, seorang pemuda tampan yang mukanya pucat dan
pakaiannya mewah, dan seorang kakek yang kurus seperti mayat. Dia tidak mau menyebut
nama-nama. Biarpun agak sulit baginya untuk memperoleh keterangan yang jelas, ke-cuali beberapa
orang yang menuturkan kepadanya pernah melihat tiga orang itu, ada pula yang melihat
serombongan orang-orang gagah naik kuda menuju ke utara, bagi Bun Beng sudah cukup
untuk mengikuti jejak para penculik yang mem-bawa pergi kekasihnya. Tepat seperti
dugaannya, Milana dibawa ke utara! A-khirnya pada suatu pagi, dia tiba di tem-pat bekas
pertempuran dan melihat ba-nyak mayat manusia berserakan dan sebagian sudah menjadi
kerangka. Hatinya penuh dengan bermacam perasaan. Ada rasa girang karena dia kini yakin
bahwa di sinilah terjadinya perang dan di sini pula agaknya orang yang bercerita ten-tang
Milana itu terluka. Tentu dia seo-rang di antara pengawal utusan Kaisar yang mengejar para
penculik! Ada rasa ngeri menyaksikan betapa di tempat ini telah terjadi penyembelihan
manusia yang agaknya dilakukan oleh Wan Keng In dan kakek seperti mayat! Atau mungkin
juga ada anak buah Pulau Neraka, karena melihat luka-luka yang diderita oleh orang yang
dijumpainya itu, hanyalah luka-luka akibat senjata tajam, sedangkan kalau Wan Keng In
sendiri yang turun tangan, apalagi menggunakan Lam-mo-kiam yang dirampas pemuda
Pulau Nera-ka itu, tentu tidak memungkinkan orang itu hidup lebih lama lagi. Ada pula rasa
yang makin menghebat, yaitu rasa kha-watir. Setelah yakin bahwa Wan Keng In yang
menculik Milana, dia merasa khawatir sekali. Kalau penculiknya orang lain, agaknya Milana
akan mampu menja-ga diri karena dia tahu bahwa kekasihnya itu adalah seorang dara yang
memiliki kepandaian tinggi dan sukar ditandingi orang. Akan tetapi terhadap Wan Keng In,
agaknya kekasihnya itu takkan berda-ya mempertahankan keselamatannya!
Dengan hati tidak karuan, Bun Beng cepat melanjutkan perjalanannya ke uta-ra. Setelah
matahari condong ke barat, tibalah dia di kaki gunung dan dari tem-pat dia turun sudah
tampak sebuah telaga kecil yang airnya jernih kebiruan. Timbul keinginannya untuk
menyegarkan tubuhnya yang lelah, mandi di telaga itu. Maka ke sanalah dia menuju.
Ketika tiba dekat telaga mendadak dia berhenti. Di tepi telaga itu terdapat serombongan
orang terdiri dari dua belas orang dan di antaranya ada yang mem-bawa bendera,
berhadapan dengan seorang laki-laki muda dan agaknya mereka itu sedang bercekcok. Bun
Beng merasa ter-tarik hatinya, akan tetapi karena dia tidak tahu urusannya dan tidak mau
dianggap lancang mencampuri urusan orang lain, dia menyelinap dekat dan diam-diam dia
menonton sambil mende-ngarkan percekcokan mereka. Tanpa se-ngaja dia mendekati
tumpukan batu gu-nung yang menyembunyikan sebagian air telaga dan mendengar suara
air. Ketika dia menoleh, Bun Beng terbelalak dan seketika mukanya menjadi merah sekali.
Betapa jantungnya tidak akan berdebar tegang dan mukanya tidak akan menjadi merah
sekali kalau dia melihat seorang wanita muda dan cantik sedang meren-dam tubuh yang
mulus dan polos di dalam air telaga" Cepat dia membuang muka dan agak menjauhi tempat
itu, bersembunyi di belakang batu gunung dekat telaga, lalu mengintai ke arah la-ki-laki
muda berpakaian sederhana yang berhadapan dengan para piauwsu (penga-wal barang) itu.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
700 "Cuwi-piauwsu (para pengawal seka-lian) hendaknya jangan mempersalahkan aku saja!"
Terdengar laki-laki muda itu membantah dengan suara keras. "Aku bukanlah seorang tukang
pukul yang sem-barangan memukul orang. Kalau sampai kongcu (tuan muda) tadi kupukuli,
tentu ada sebab tertentu yang memaksa aku."
"Hemm, kalau memang ada sebabnya, mengapa engkau tidak menceritakan ke-pada kami"
Apakah sebabnya?" tanya kepala piauwsu, seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih
yang bertubuh tegap dan bersikap angker.
"Sebabnya tak dapat kuceritakan kepada orang lain!" jawab orang muda itu.
Kakek yang memimpin pengawal angkutan itu memandang tajam dan suaranya terdengar
tegas, "Orang muda, jangan kau main-main dengan kami! Chi-kongcu adalah putera Tihu
dari Kang-ciu dan kami yang mengawalnya bersama barang-ba-rangnya adalah para
pengurus Eng-jiauw-piauwkiok (Ekspedisi Cakar Garuda), anak murid Bu-tong-pai. Lebih
baik kau berte-rus terang agar kami mempertimbangkan."
Wajah orang muda itu kelihatan bim-bang. Kemudian dengan suara terpaksa dia berkata,
"Baiklah, biar Cu-wi menge-tahui betapa kotor perbuatan kongcu yang Cu-wi kawal itu.
Isteriku sedang mandi di telaga seorang diri, kemudian datang kongcu itu menggodanya.
Melihat ini, tentu saja aku tidak dapat membiarkan-nya saja dan memberi hajaran. Nah,


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bu-kankah hal itu sudah pantas kulakukan?"
Para piauwsu itu mengerutkan alis. Mereka adalah orang-orang gagah yang tentu saja
merasa tidak senang mende-ngar perbuatan kongcu itu, sungguhpun di dalam hati, semua
pria itu tidak me-rasa heran akan perbuatan itu.
"Sampai sejauh manakah perbuatannya maka engkau memukulinya sehingga mu-kanya
bengkak-bengkak dan berdarah?" tanya piauwsu tertua yang tentu saja merasa
bertanggungjawab akan kesela-matan putera bangsawan yang dikawalnya. Rombongan
mereka tadi berhenti dan mengaso tak jauh dari telaga. Chi-kongcu seorang diri berjalan-
jalan ke telaga dan tak lama kemudian kongcu itu datang berlari-lari dengan muka bengkak-
bengkak berdarah, mengatakan bahwa dia dipukuli seorang laki-laki dekat telaga.
"Ehh! Apakah Cu-wi (Anda sekalian) tidak menyalahkan perbuatan kongcu ke-parat yang
kurang ajar itu?" Laki-laki muda itu balas bertanya dengan muka merah.
"Memang kurang sopan. Akan tetapi apakah yang dilakukannya terhadap iste-rimu?"
"Kalau dia sudah melakukan sesuatu, tentu sudah kubunuh dia! Isteriku, mandi seorang diri,
dia datang menghampiri dan menggoda dengan kata-kata tidak sopan."
"Orang muda, engkau agaknya terlalu mengandalkan kekuatanmu sendiri sehing-ga
bersikap galak! Semua perkara harus diperiksa lebih dahulu dengan jelas, jangan
sembarangan main hakim sendiri mengan-dalkan kekuatanmu. Kami akui bahwa perbuatan
Chi-kongcu tidak patut, sung-guhpun kami masih meragukan mengapa dia sampai berani
menggoda seorang wanita yang sedang mandi seorang diri. Entah apa yang telah
diucapkannya yang membuat engkau marah dan memukulnya. Apakah yang dikatakannya
orang muda?"
"Aku tidak mendengarnya sendiri, hanya kulihat dari jauh dia berkata-kata dan tertawa-tawa
kepada isteriku yang sedang mandi, dan isteriku marah-marah kepadanya."
"Jadi masih belum jelas lagi apa yang diucapkannya. Hemm, biarlah hal yang sudah terjadi
tak perlu diributkan lagi. Chi-kongcu telah bersalah mengajak se-orang wanita yang mandi
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
701 bercakap-cakap, akan tetapi engkau pun terlalu ringan tangan. Kami tidak akan
memperpanjang urusan ini kalau engkau suka minta maaf kepadanya."
"Tidak sudi! Kalau disuruh menambah pemukulan kepadanya aku mau!" Orang muda yang
berdarah panas itu membantah.
Ketua piauwsu itu mengerutkan alis-nya. "Orang muda, kami sudah mengam-bil jalan
tengah dan banyak mengalah kepadamu, akan tetapi engkau masih ber-keras kepala. Kami
terpaksa mencampuri urusan ini karena kewajiban kami untuk mengawal Chi-kongcu!
Apakoh engkau tidak memandang muka kami dan hendak menentang kami?"
"Terserah! Aku tidak takut kepada siapa pun untuk menjaga dan melindungi kehormatan
isteriku!" Pemuda itu berto-lak pinggang dan bersiap untuk mengha-dapi lawan, sikapnya
gagah sekali karena dia merasa gagah telah dapat memper-tahankan kehormatan isterinya.
"Hemm, engkau terlalu memandang rendah murid Bu-tong-pai!" Kakek itu ber-kata dan
sudah mengepal tinju.
Dari tempat sembunyinya, Bun Beng dapat melihat jelas dari sikap pemuda itu bahwa dia
tidak pandai ilmu silat, sedangkan para piauwsu itu sebagai murid Bu-tong-pai, apalagi
kakek itu, tentu saja mempunyai kepandaian tinggi. Maka sebelum terjadi perkelahian yang
tentu akan mencelakakan orang muda itu, Bun Beng melompat keluar dari tempat
sembunyi-nya dan berdiri tegak di depan kakek pemimpin para piauwsu sambil berkata
halus, "Tahan dulu!"
Para piauwsu memandang kepada Bun Beng penuh kecurigaan, juga orang muda itu
menoleh dan memandang heran kepa-da pemuda tampan yang menyembunyikan sebagian
mukanya di balik caping bundar yang lebar itu.
"Harap Cuwi-piauwsu suka menghabis-kan perkara ini, karena mendengar penu-turan
saudara ini, yang bersalah adalah kongcu itu. Kurasa tidak biasanya para tokoh Bu-tong-pai
bertindak sewenang-wenang!"
Mendengar ucapan itu, pimpinan piauwsu memandang tajam dan melangkah maju,
membungkuk dan bertanya, "Siapa-kah Siauw-sicu (Tuan muda yang gagah) yang
mengenal Bu-tong-pai dan ada hu-bungan apa Sicu dengan saudara ini?"
"Namaku Gak Bun Beng dan aku tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Twako
(Kakak) ini. Aku hanya tidak ingin melihat nama besar Bu-tong-pai direndah-kan oleh para
anak muridnya kalau Cu-wi hendak menggunakan kekerasan terhadap Twako yang tidak
bersalah ini."
Ucapan Bun Beng ini membuat para piauwsu menjadi serba salah. Mau marah, terang
bahwa pemuda bercaping bundar ini mengangkat tinggi nama Bu-tong-pai, kalau mengalah
mereka merasa penasaran sekali karena pemuda yang bernama Gak Bun Beng ini sama
sekali tidak mempunyai nama besar sehingga tidak sepatut-nya kalau mereka mengalah dan
menyu-dahi urusan dengan orang muda itu hanya melihat muka seorang pemuda asing
yang sama sekali tidak mereka kenal.
"Orang muda she Gak, permintaanmu sungguh berat sebelah. Engkau membujuk kami
untuk mengalah, sebaliknya engkau membiarkan orang muda itu yang telah memukuli orang
kawalan kami tanpa per-hitungan apa-apa. Mengapa engkau seba-gai seorang penengah
yang bijaksana, tidak minta dia untuk mengalah dan min-ta maaf kepada yang dia pukuli
sehingga urusan menjadi selesai dengan damai?"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
702 Bun Beng mengerutkan alisnya dan berkata, "Sepanjang pendengaranku tadi, jelas sudah
bahwa yang bersalah adalah kongcu itu dan sudah sepatutnya dia mendapatkan hajaran.
Sepantasnya Cu-wi sebagai pengawalnya yang lebih mengerti tentang peraturan mintakan
maaf untuk-nya kepada sahabat ini, bagaimana mung-kin Saudara ini yang telah mengalami
penghinaan malah disuruh minta maaf?"
Pemimpin piauwsu itu kelihatan makin tidak senang. "Gak-sicu, agaknya engkau terlalu
mengandalkan kepandaian sendiri sehingga secara lancang mencampuri urusan orang dan
sama sekali tidak me-mandang muka kami sebagai piauwsu yang bertanggung jawab
terhadap kawalannya dan sebagai anak murid Bu-tong-pai yang siap memaafkan kesalahan
orang asalkan orang itu suka mengaku salah dan minta maaf. Kami yakin Sicu mengerti
akan hal ini dan melepas tangan terhadap urusan kecil ini."
Bun Beng menggeleng kepalanya. "Cu-wi sekalian pikirlah baik-baik. Bukan aku yang
mengandalkan kepandaian atau saha-bat ini yang bersalah, sebaliknya Cu-wi yang hendak
mengukuhi kebaikan sendiri. Seharusnya Cu-wi malah berpandangan bijaksana, menyuruh
kongcu kurang ajar itu mohon maaf kepada sahabat ini atas kekurangajarannya terhadap
isteri sahabat ini. Dengan demikian baru tepatlah tin-dakan Cu-wi sebagai murid-murid Bu-
tong-pai yang gagah perkasa."
"Manusia sombong, engkau benar-benar besar kepala, tidak menghormati kami. Baiklah,
kita putuskan urusan ini dengan kepandaian!"
"Oho! Cu-wi menantang malah" Sila-kan! Sahabat, mundurlah, engkau bukan tandingan
orang-orang gagah ini, biar aku mewakilimu!"
"Bocah sombong, sambutlah ini!" Seo-rang di antara para piauwsu, yang bertu-buh tinggi
kurus, sudah menerjang maju dan menghantamkan kepalan tangan kanannya ke arah dada
Bun Beng. Melihat gerakan orang itu, Bun Beng maklum bahwa orang kasar itu lebih
memiliki tenaga kasar daripada ilmu silat yang tinggi, maka dia pun tidak mau menangkis
atau mengelak, bersikap seperti tidak tahu bahwa dia sedang dipukul.
"Bukkkk!"
"Aduuhhh....!" Orang tinggi kurus itu memekik kesakitan dan memegangi tangan kanannya
yang membengkak seolah-olah yang dipukulnya tadi adalah benda dari baja yang amat
keras. Bun Beng hanya tersenyum saja, sama sekali tidak mempedulikan orang yang telah
memukulnya tadi melainkan memandang kepada pemimpin rombongan, kakek yang
bersikap penuh wibawa itu.
"Hemmm, kiranya engkau memiliki kepandaian juga, orang muda. Pantas engkau bersikap
sombong!" Kakek itu melangkah maju. "Biarlah aku memberanikan diri berkenalan dengan
tubuhmu yang kebal."
"Twa-suheng (Kakak Seperguruan Tertua), biarkan siauwte (adik) menghadapinya, tidak
perlu Twa-suheng sendiri yang maju!" Ucapan ini keluar dari mulut seorang di antara mereka
yang usianya hampir lima puluh tahun, tubuhnya kurus kering seperti orang menderita
penyakit, kepalanya kecil dan wajahnya pucat. Melihat adik seperguruannya ini, kakek itu
mengangguk, dan berkata, "Boleh engkau mencobanya, Sute. Akan tetapi hati-hatilah orang
muda she Gak ini agaknya lihai sehingga dia berani bersikap keras kepala dan sombong."
"Cu-wi yang keterlaluan, bukan aku atau keras kepala, melainkan Cu-wi sendiri yang
enggan mengalah biarpuh fihak Cu-wi bersalah." Bun Beng membantah dan memandang Si
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
703 Kurus Muka Pucat itu. Dia maklum bahwa orang yang seperti berpenyakitan itu sama sekali
tidak boleh disamakan dengan orang kasar tadi, maka dia tidak berani memandang rendah
dan bersikap hati-hati.
"Orang muda, sambutlah seranganku ini!" Orang kurus itu berseru nyaring dan tubuhnya
sudah mencelat ke depan. Tepat seperti yang diduga oleh Bun Beng, gerakan orang itu
cepat bukan main, membuktikan bahwa dia memiliki gin-kang yang sudah tinggi tingkatnya,
dan dia menyerang Bun Beng bukan mengandalkan tenaga kasar seperti penyerang
pertama tadi, melainkan dengan totokan jari tangan ke arah jalan darah di dada kanan dan di
pundak kiri Bun Beng, dua totokan sekaligus secara berbareng!
Namun, dari sambaran angin serangan ini, Bun Beng juga sudah dapat mengukur tenaga
lawan, maka dia tidak khawatir akan totokan-totokan itu, menutup jalan darahnya di pundak,
kemudian dengan tenang sekali dia menyambut tangan yang menotok dadanya dengan
totokan jari telunjuk tangan kirinya sedangkan totokan ke arah pundaknya dia terima begitu
saja tanpa dielakkan. Jari telunjuk-nya tepat sekali menotok telapak tangan kanan lawan
pada saat pundaknya juga terkena totokan tangan kiri Si Kurus Pucat itu.
"Cusss! Desss!"
"Aihhh!"
Si Muka Pucat itu berseru kaget, ce-pat melompat ke belakang, akan tetapi dia terhuyung
dan lengan kanannya men-jadi lumpuh sedangkan jari tangan kirinya yang menotok pundak
tadi pun merasa nyeri bukan main. Dia meringis dan menggunakan tangan kirinya mengurut-
urut lengan kanan yang lumpuh ketika telapak tangannya, pada jalan darah yang berpusat di
antara ibu jari dan telunjuk-nya, tertotok oleh telunjuk tangan kiri Bun Beng.
"Minggir semua!" Pemimpin para piauwsu membentak ketika melihat te-man-temannya
maju, agaknya hendak mengeroyok Bun Beng. Dia terkejut bukan main melihat betapa
pemuda yang ber-topi bundar lebar itu dalam segebrakan saja telah dapat mengalahkan
sutenya yang dia tahu bukanlah seorang yang lemah. Mengertilah dia bahwa pemuda itu
ternyata merupakan seorang yang berilmu tinggi.
"Orang muda, engkau ternyata lihai bukan main. Biarlah sekarang aku sendiri mewakili Bu-
tong-pai untuk mencoba ke-lihaianmu!" Kakek itu menggerakkan ta-ngan kanannya dan
terdengar suara "singgg!" ketika sebatang pedang telah dicabutnya. Pedang itu tergetar di
tangan kanannya, mengeluarkan cahaya berki-lauan.
"Lo-enghiong (Orang Tua Gagah), aku tidak mau menghadapimu kalau engkau
mempergunakan nama Bu-tong-pai. Per-selisihan paham di antara kita ini sama sekali tiada
sangkut-pautnya dengan Bu-tong-pai, melainkansebagai orang-orang saling bertemu di jalan
dan bentrok karena mempertahankan kebenaran ma-sing-masing."
"Terserah kepadamu, akan tetapi ke-luarkanlah senjatamu. Aku ingin menyak-sikan sampai
di mana kelihaianmu!" Ka-kek itu melintangkan pedangnya di depan dada dan sikapnya
amat menantang. Agaknya kakek itu sudah marah sekali melihat kedua orang adik
seperguruannya telah dikalahkan sedemikian mudahnya oleh pemuda yang sama sekali
tidak ter-kenal di dunia kang-ouw itu.
Bun Beng tersenyum dan masih bersikap tenang. "Lo-enghiong, bentrokan di antara kita
hanyalah kesalahpahaman belaka yang timbul karena Cu-wi (Anda Sekalian) merasa terlalu
besar untuk mengalah, sama sekali bukan berarti bah-wa di antara kita terdapat permusuhan
besar. Kita sudah mengambil keputusan untuk mempertahankan pendirian dan kebenaran
masing-masing dengan kepalan, mengapa sekarang Lo-enghiong mengeluarkan senjata"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
704 Senjata tidak bermata, apakah Lo-enghiong berniat untuk mem-bunuh aku hanya karena
perselisihan kecil ini?"
"Orang muda, engkau memiliki ilmu silat yang lihai, apakah engkau berpura-pura tidak tahu
bahwa dalam sebuah pibu (pertandingan mengadu ilmu silat), luka-luka atau kematian
merupakan hal yang wajar" Sudahlah, tidak perlu kita berke-panjangan dan bicara yang
tiada gunanya. Keluarkan senjatamu dan hadapi pedangku. Kalau aku kalah, baik terluka
atau tewas dalam tanganmu, berarti pihakku bersalah dalam urusan ini dan kami takkan
banyak cakap lagi."
Bun Beng menarik napas panjang. Me-mang bentrokan ini tak dapat dihindarkan pikirnya.
Kakek pemimpin para piauwsu ini memiliki keangkuhan tinggi. Dia merasa serba salah.
Kalau dia teringat akan Ang-lojin (Kakek Ang) atau Ang Thian Pa, ketua Bu-tong-pai,
sungguh tidak enak kalau dia harus bentrok dengan anak muridnya. Apalagi kalau dia
teringat akan Ang Siok Bi, dara jelita puteri ketua itu, yang pernah hendak dijodohkan
dengan dia! Betapapun juga, tidak mungkin dia membiarkan saja para piauwsu ini mene-kan
kepada orang muda yang isterinya telah dihina itu. Akan tetapi, tak mung-kin pula dia sampai
harus mengeluarkan Hok-mo-kiam seperti menghadapi seorang musuh besar saja.
"Lo-enghiong, engkau yang menghen-daki menggunakan senjata, bukan aku. Karena itu,
kalau engkau berkeras hendak menggunakan pedang, silakan. Aku sendiri hanya akan
mengandalkan kaki dan tangan."
Ucapan yang terus terang ini diterima salah oleh kakek itu. Dia sudah mengelu-arkan
pedang, dan pemuda itu tetap hendak menghadapinya dengan tangan kosong saja, berarti
pemuda ini terlalu memandang rendah kepadanya. Kemarahannya meluap dan dia
membentak, "Pemuda sombong! Kalau begitu, rasakanlah kelihaian Bu-tong-kiam-sut (Ilmu
Pedang Bu-tong-pai)!"
"Singgg.... wirrr.... siuuuttt!"
Sinar pedang berkelebatan, tiga kali kakek itu menyerang, dua kali menusuk dan satu kali
membabat. Ketika Bun Beng cepat-cepat menggerakkan tubuhnya, gerakan yang sedikit
saja namun sudah dapat menghindarkan tubuhnya dari ketiga serangan itu, kakek murid Bu-
tong-pai menjadi terkejut dan penasaran. Pedang-nya diputar cepat sekali sehingga
lenyap-lah bentuk pedangnya, berubah menjadi gulungan sinar putih dan hanya kadang-
kadang saja tampak bentuk pedang menjadi banyak. Gulungan sinar ini menyam-bar-
nyambar dan mengurung tubuh Bun Beng, namun pemuda itu yang tentu saja dapat melihat
dengan jelas gerakan pe-dang ini, dengan tepat dapat mengelak ke kiri, kadang-kadang
menggunakan tangannya menepuk dan menyampok lengan lawan sehingga gerakan
pedang itu menyeleweng. Dengan cara mengelak dan menangkis ini, Bun Beng membiarkan
lawannya melakukan penyerangan sampai dua puluh jurus!
"Belum cukupkah, Lo-enghiong?" Bun Beng bertanya. Dia sengaja mengalah dan kalau
secara ini kakek itu belum menger-ti bahwa kepandaiannya masih jauh kalah oleh pemuda
yang diserangnya, benar-benar benar kakek itu keterlaluan sekali. Demikian pikir Bun Beng.
Jago tua Bu-tong-pai itu sama sekali bukan orang bodoh atau nekat. Tentu saja dia sudah
tahu. Dia kaget bukan main ketika mendapat kenyataan betapa pemuda itu yang berani
menghadapinya dengan tangan kosong, membuat semua serangan pedangnya tidak ada
artinya dan dengan mudah sekali menghindarkan semua serangan selama dua puluh jurus
tanpa membalas sedikit-pun juga, padahal dia melihat sendiri betapa kesempatan untuk itu
banyak terdapat. Dia tahu pula bahwa agaknya akan sukar baginya untuk dapat menang-kan
pemuda itu. Namun bagaimana mung-kin dia mundur" Sekali ini, dia bertanding bukan
hanya karena urusan pribadi! Karena dia sudah terlanjur mengaku sebagai murid Bu-tong-
pai, maka gerakan pedang-nya yang mainkan Ilmu Pedang Bu-tong-pai itu membuat dia
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
705 seolah-olah bertan-ding demi nama dan kehormatan Bu-tong-pai! Inilah sebabnya mengapa
dengan nekat terus menyerang tanpa memperdulikan peringatan Bun Beng.
"Cukup! Berhentilah!" Bun Beng mem-bentak nyaring, tubuhnya berkelebat ke kiri kemudian
sebelum kakek itu sempat membalik, dia sudah mendahuluinya de-ngan sambaran tangan
kanannya, dengan terbuka dan miring dipukulkan ke arah pedang dari samping.
"Trakkk!"
Dapat dibayangkan betapa kaget hati kakek Bu-tong-pai itu ketika tiba-tiba tangannya
tergetar, gagang pedang yang dipegangnya hampir terlepas dan pedang itu sendiri telah
patah menjadi dua po-tong! Mematahkan pedangnya dengan sabetan tangan kosong! Dia
terbelalak, akhirnya matanya yang tadi memandang pedang buntung di tangannya, dialihkan
memandang kepada Bun Beng. Dia menghela napas panjang. Tahulah dia bahwa biarpun
andaikata dia mengeroyok pemuda itu dengan semua saudaranya, mereka tidak akan dapat
menangkan pemuda yang ternyata memiliki ilmu kepandaian tidak lumrah ini.
"Sudahlah. Aku menerima kalah dan tidak berhak bicara lagi!" Dia menjura, kemudian
melempar pedang buntungnya dan pergi dari situ, memberi isyarat ke-pada semua
saudaranya yang juga tidak berani membantah. Rombongan piauwsu itu melanjutkan
perjalanan dengan wajah murung, apalagi kongcu bangsawan yang kena dihajar oleh suami
wanita cantik tadi dan para pengawalnya tidak mampu menebus penghinaan dan malu yang
di-deritanya! "Terima kasih, Taihiap. Saya akan menjemput isteri saya untuk bersama-sa-ma
menghaturkan terima kasih atas pertolongan Taihiap!" Orang muda itu cepat lari ke tepi
telaga untuk menjem-put isterinya yang tadi masih bersembu-nyi tidak berani naik karena
suaminya berkelahi dengan kongcu yang menggodanya. Bun Beng mengerutkan alisnya.
Dia tidak membutuhkan terima kasih, maka menggunakan kesempatan selagi orang itu pergi
menjemput isterinya, dia pun menggerakkan kakinya meninggalkan tempat itu.
Pekik melengking yang didengarnya datang dari telaga itu menahan gerak kaki Bun Beng.
Dia membalikkan tubuh dan dengan beberapa loncatan jauh telah tiba di pinggir telaga,
meloncat turun dan memandang dengan mata terbuka lebar kepada suami yang menangisi
isterinya itu. Wanita muda cantik yang tadi dilihatnya merendam tubuhnya ke dalam air
telaga, kini telah menggeletak tanpa nyawa dengan mata mendelik dan lidah terjulur keluar
tanda mati tercekik.
Suami itu menoleh dan dengan suara terisak berkata, "Dia.... dia diperkosa.... dan
dibunuh....!"
Bun Beng sudah meloncat lagi ke atas dan berlari cepat sekali melakukan pe-ngejaran.


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siapa lagi yang melakukan perbuatan terkutuk itu kalau bukan seorang di antara rombongan
piauwsu tadi! Bahkan mungkin sekali kongcu yang melampiaskan dendamnya dengan
mem-perkosa dan membunuh Si Isteri selagi suami wanita itu ribut bertengkar dengan para
piauwsu. Jahanam, harus kudapatkan pembunuh biadab itu, pikirnya.
Karena Bun Beng mempergunakan il-mu berlari cepat, sebentar saja dia sudah berhasil
menyusul rombongan itu. "Ber-henti....!" serunya dengan suara nyaring.
Kakek pemimpin rombongan dan sau-dara-saudaranya terkejut sekali ketika tiba-tiba
pemuda bercaping bundar yang lihai itu telah berada di depan mereka tanpa mereka ketahui
lewatnya! Kakek itu segera mengangkat tangan menyuruh rombongannya berhenti, di dalam
hatinya penuh dugaan mengapa pemuda itu me-ngejar mereka. Menduga bahwa pemuda itu
berniat buruk, mungkin seorang pe-rampok tunggal yang hendak merampok barang kawalan
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
706 dalam kereta, dia sudah meloncat ke depan, menghadapi pemuda itu dengan pandang mata
tajam. "Gak-sicu mengejar kami ada kehendak apakah?"
Bun Beng yang masih marah sekali itu tidak menjawab, hanya matanya ber-gerak
memandang ke sekelilingnya, mene-liti para piauwsu seorang demi seorang. Dia tahu bahwa
para piauwsu itu tidak ada yang berkesempatan melakukan pem-bunuhan, karena dia
melihat mereka itu semua bersiap-siap ketika terjadi perselisihan. Akan tetapi ketika melihat
seo-rang pemuda berpakaian mewah menje-nguk keluar dari dalam kereta yang dikawal,
pemuda yang pipi kanannya masih bengkak, dia segera mengenjot tubuhnya, meloncat ke
dekat kereta, dan sekali menggerakkan tangannya, dia telah menangkap leher baju pemuda
berpakaian mewah itu dan menariknya turun dari kereta!
"Ouhh.... ehhh.... ada apa ini...." Para piauwsu, tolong....!" Pemuda bangsawan itu
ketakutan dan berteriak-teriak.
"Gak-sicu, harap lepaskan dia. Apa artinya perbuatanmu ini?"
"Semua mundur! Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian para piauwsu, akan tetapi aku
ingin bertanya kepada kongcu ini!" Bentak Bun Beng dengan suara nyaring karena marah.
Menyaksikan sikap Bun Beng, para piauwsu menghentikan gerakan kaki mereka yang
tadinya hendak mengeroyok untuk menolong kongcu pute-ra bangsawan yang mereka
kawal. Kini mereka memandang kepada Bun Beng dengan penuh keheranan. Ada urusan
apalagi dengan kongcu itu"
Bun Beng menggunakan kekuatan ta-ngannya mengguncang tubuh kongcu itu, kemudian
mencengkeram pundaknya dan membentak, "Hayo engkau mengaku, apa yang telah
kaulakukan di tepi telaga tadi ketika terjadi pertandingan!"
"Aku.... aku.... tidak melakukan apa-apa."
"Jangan bohong engkau! Kuhancurkan kepalamu kalau kau membohong!" Bun Beng
membentak, makin marah. "Engkau berada di mana ketika terjadi pertanding-an!"
"Aku.... aku berada di dalam kereta.... augghh, lepaskan aku....!"
"Gak Bun Beng! Engkau sungguh ke-terlaluan!" Tiba-tiba kakek pemimpin para piauwsu
membentak dan melompat dekat, tangannya sudah memegang seba-tang pedang yang
dipinjamnya dari seo-rang sutenya. "Kalau engkau tidak segera melepaskan Chi-kongcu,
terpaksa aku mengadu nyawa denganmu!"
Bun Beng melepaskan pundak Chi-kongcu, sadar bahwa dia terburu nafsu karena betapa
pun mencurigakan keadaan kongcu itu, tanpa bukti tak mungkin dia dapat menyalahkannya
begitu saja. "Aku menuduh dia ini memperkosa dan membunuh isteri saudara muda yang di-ganggunya
tadi." "Apa....?" Kakek murid Bu-tong-pai itu bertanya dengan kaget sekali.
"Untuk membikin terang perkara pe-nasaran ini, kuharap Cu-wi piauwsu dan Chi-kongcu ini
suka kembali ke telaga agar kita bersama melakukan penyelidikan dan yang bersalah harus
dihukum!" Bun Beng mengerling kepada Chi-kongcu. Akan tetapi kongcu itu kini mengangkat
dada dan berkata penasaran,
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
707 "Aku sudah lancang menggoda wanita dengan kata-kata memuji kecantikannya dan untuk
itu aku sudah dipukul oleh suaminya. Sekarang, aku tidak tahu-me-nahu tentang perkosaan
dan pembunuhan. Hayo kita ke sana dan menyelidiki, aku tidak takut karena aku tidak
berdosa!" Sikap dan kata-kata Chi-kongcu ini membuat Bun Beng makin bingung dan meragu. Akan
tetapi dia lega melihat rombongan itu tidak membantah dan suka memenuhi pemintaannya.
Beramai-ramai mereka kembali ke tepi telaga.
"Heiiii!"
"Ihhhh!"
Seruan-seruan kaget ini terdengar dari mulut para piauwsu, sedangkan Bun Beng sendiri
berdiri memandang dengan mata terbuka lebar. Dapat dibayangkan betapa kaget dan heran
rasa hati pemuda ini melihat dua tubuh yang menggeletak tan-pa nyawa di tepi telaga itu.
Tubuh wani-ta muda yang masih telanjang bulat, dan tubuh suaminya yang juga sudah
menjadi mayat tanpa luka!
"Gak-sicu, apa maksudmu membawa kami ke sini" Apakah engkau juga hendak
mengatakan bahwa orang muda ini dibu-nuh oleh Chi-kongcu atau oleh kami?" Pemimpin
piauwsu itu bertanya dengan suara lantang dan bernada tajam.
Bun Beng menggeleng kepala, matanya masih memandang mayat orang muda itu. "Aku
tidak mengerti.... tadi dia masih hidup menangisi isterinya...."
"Apakah engkau masih menuduh Chi-kongcu membunuh wanita itu?"
Kembali Bun Beng menggeleng kepala-nya. "Agaknya bukan dia.... sungguh aneh sekali...."
"Sama sekali tidak aneh!"
Suara kakek murid Bu-tong-pai itu membuat Bun Beng menoleh dan meman-dang penuh
pertanyaan. "Apa maksudmu, Lo-enghiong?"
"Menurut dugaanku, pembunuh suami isteri ini tentu hanya satu orang, dan agaknya
seorang yang lihai sekali tangan-nya, dapat membunuh tanpa menggunakan senjata! Lihat,
wanita itu dicekik, dan laki-laki itu tidak terluka, akan tetapi di pelipis kirinya terdapat tanda
tapak jari tangan! Jadi, tidak mungkin dilakukan oleh Chi-kongcu yang jelas kalah oleh laki-
laki muda ini. Lebih tepat kalau mereka ini dibunuh oleh seorang yang ahli dengan ilmu silat
tangan kosong!" Kalimat terakhir ini diucapkan oleh kakek itu dengan nada yang jelas,
apalagi keti-ka semua piauwsu itu memandang kepada Bun Beng dengan mata penuh
tuduhan! "Apa" Kalian.... kalian gila kalau me-nuduh aku!"
Chi-kongcu yang berjalan mendekat segera berkata, "Ada saatnya menuduh dan ada
saatnya dituduh! Kalau kita ber-dua sama-sama menjadi tertuduh, agaknya keadaanmu lebih
berat, Gak-sicu!"
Bun Beng mengerutkan alisnya. "Hemm, kalau aku membunuh mereka, apa gunanya aku
mengejar dan menyusul kalian dan kuajak ke sini?"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
708 "Gak-sicu, kami tidak seperti engkau yang suka menuduh orang secara sembarangan saja.
Akan tetapi andaikata eng-kau dituduh, perbuatanmu menyusul dan mengajak kami ke sini
pun tidak aneh. Mungkin sekali seorang pembunuh akan mempergunakan akal ini untuk
menarik kami sebagai saksi akan kebersihannya!"
"Apa" Dan kalian tentu bersedia men-jadi saksi bahwa aku bukanlah pembunuh dua orang
ini!" Kakek itu menggeleng kepala. "Tak mungkin kami menjadi saksi yang sem-brono seperti itu,
Sicu. Engkau seorang pemuda yang amat aneh, mencampuri urusan kami, memiliki ilmu
silat tangan kosong yang mentakjubkan akan tetapi tidak terkenal di dunia kang-ouw.
B Jodoh Rajawali 32 Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Kisah Sepasang Rajawali 25
^