Sepasang Pedang Iblis 28

Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 28


u tamu, duduk di atas papan yang
digotong empat orang anak buahnya. Untuk keper-luan sehari-hari, dia bergerak
mengandalkan kedua tangannya saja yang dapat dia pergunakan sebagai pengganti kedua
kaki, berjalan dengan tubuh terangkat sedikit ke belakang!
Siok Bi menoleh ke kiri dan meman-dang kakek itu dengan bingung.
"Aku tidak mencari engkau, aku men-cari Ketua Tiong-gi-pang...."
"Hemm, Nona. Akulah Ketua Tiong--gi-pang."
Siok Bi makin terkejut, lalu menduga bahwa tentu Gak Bun Beng yang tinggal disini bukan
ketuanya. Dengan suara tidak sabar Milana bertanya, "Sebenarnya apakah kehendakmu dan siapa
yang kaucari?"
Dengan agak bingung Siok Bi menja-wab, "Aku mencari Si Bedebah Gak Bun Beng. Suruh
dia keluar!"
Milana makin tertarik. Tentu ada se-suatu terjadi antara gadis itu dengan Bun Beng. Akan
tetapi mengapa mencari Bun Beng di sini"
"Ada urusan apakah engkau mencari Gak Bun Beng?" dia masih bertanya me-mancing.
"Kau tak perlu tahu. Pendeknya aku mencari Gak Bun Beng untuk kubunuh!"
Milana menyarungkan pedang yang tadi sudah dicabutnya. Melihat ini, Siok Bi menjadi
heran. "Engkau salah alamat," kata Milana. "Gak Bun Beng tidak berada di sini, juga kami bukanlah
sahabatnya. Tiong-gi-pang tidak pernah ada hubungan apa-apa de-ngan Gak Bun Beng.
Marilah kita bicara di dalam. Kalau engkau mempunyai pena-saran terhadap Gak Bun Beng,
agaknya aku akan dapat membantumu."
Siok Bi makin terheran. Melihat sikap dara jelita itu, sikap Ketua Tiong-gi-pang yang lumpuh,
sikap para anak buah Tiong-gi-pang yang sudah mundur dan agaknya tidak memperlihatkan
sikap ber-musuh kepadanya, dia juga menyarungkan pedang di sarung pedang yang kini
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
767 tergantung di punggungnya. Akan tetapi dia masih ragu-ragu melihat Milana membuka
sebuah pintu batu di atas anak tangga.
Milana yang sudah berada di depan pintu itu menoleh dan berkata, "Engkau demikian
gagah berani sudah menyerbu Tiong-gi-pang, apakah sekarang menjadi takut untuk
memenuhi undanganku masuk ke dalam dan bicara?"
Sai-cu Lo-mo yang sudah bersedekap penuh rasa duka itu berkata, "Masuklah, Nona. Kami
bukanlah orang-orang jahat. Kalau kami berniat buruk, perlukah me-mancingmu masuk?"
Siok Bi mengerutkan alisnya dan me-mandang tajam kepada Sai-cu Lo-mo, kemudian dia
menudingkan telunjuknya kepada Ketua Tiong-gi-pang itu dan membentak, "Aku pernah
melihat engkau. Bukankah engkau seorang tokoh Thian-liong-pang?"
Sai-cu Lo-mo menghela napas, kemudian menjawab, "Dugaanmu benar, Nona. Dan Nona
adalah puteri Ketua Bu-tong-pai, bukan?"
Siok Bi terkejut. Dahulu, ketika Thian-liong-pang mengadakan pertemuan besar di puncak
Gunung Ciung-lai-san di Se-cuan, dia ikut ayahnya menghadiri pertemuan besar itu.
Ayahnya, Ang-lojin Ketua Bu-tong-pai, pernah diculik oleh Thian-liong-pang, sehingga
perkumpulan itu dapat dikatakan adalah musuhnya!
"Jadi kalian.... kalian ini.... anggauta--anggauta Thian-liong-pang....?" Di samping kekagetan
dan kemarahannya, juga ada rasa gentar di hati Siok Bi karena dia maklum betapa lihainya
orang-orang Thian-liong-pang.
"Bukan," jawab Milana. "Thian-liong--pang sudah tidak ada lagi dan engkau menjadi tamu
dari Tiong-gi-pang."
"Dan kau.... sekarang aku mengenalmu! Engkau adalah puteri cantik dari Ketua Thian-liong-
pang!" Siok Bi berseru lagi, makin terkejut karena dia tahu bahwa puteri Ketua Thian-liong-
pang memiliki ilmu kepandaian hebat.
Milana tersenyum, "Kalau perkumpul-annya tidak ada, ketuanya pun tentu saja tidak ada.
Marilah, apakah engkau masih tidak berani memenuhi undanganku" Di dalam kita bicara
tentang manusia bernama Gak Bun Beng itu."
Tiba-tiba terdengar bentakan halus dan nyaring, "Gak Bun Beng manusia hina. Hendak lari
ke mana engkau?"
Dari jendela melayang masuk sesosok bayangan yang ternyata dia adalah seorang gadis
cantik pula, sebaya dengan Siok Bi dan Milana dengan sebatang pedang di tangannya!
Gadis ini sejenak bingung memandang Milana, Siok Bi, Sai--cu Lo-mo dan para anggauta
Tiong-gi--pang, kemudian menoleh ke sana-sini, pandang matanya mencari-cari, kemudian
dia membentak, "Hayo suruh Si jahanam keparat Gak Bun Beng keluar untuk menerima
kematiannya!"
Sai-cu Lo-mo menutup muka dengan kedua tangan yang tadi disedekapkan sambil
mengeluh, "Ya Tuhan.... lagi-lagi Bun Beng....?"
Milana juga merasa tertusuk hatinya. Lagi-lagi ada orang yang mencari Gak Bun Beng
untuk membunuhnya, dan orang ini juga wanita muda cantik jelita! "Gak Bun Beng tidak ada
di sini mengapa eng-kau mencarinya ke sini?" Dia menegur ke-pada gadis cantik yang baru
datang itu. Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
768 Gadis itu mengelebatkan pedangnya dan gaya gerakannya menunjukkan bahwa dia
memiliki ilmu pedang yang hebat juga! "Bohong! Baru saja dia lari dan masuk ke sini! Hayo
suruh dia keluar, kalau tidak, terpaksa aku akan mengo-brak-abrik tempat ini!"
Milana terkejut. "Dia di sini?"
Sai-cu Lo-mo juga terkejut dan cepat memberi perintah kepada anak buahnya. "Cari bocah
setan itu sampai dapat! Periksa semua tempat!"
Dengan cepat mereka semua bergerak pergi, bahkan Sai-cu Lo-mo sendiri sudah meloncat
dari atas papan yang dipikul empat orang anggautanya, tubuhnya yang lumpuh kakinya itu
masih dapat bergerak cepat sekali. Milana juga sudah mencabut pedangnya dan berkelebat
lenyap. Tinggal Siok Bi dan gadis itu saling pandang de-ngan bingung. Siok Bi yang berkata,
"Sobat, keadaan kita sama. Aku pun mencari manusia keparat Gak Bun Beng di sini, akan
tetapi kita berdua salah alamat. Kurasa jahanam itu tidak berada di sini."
"Tak mungkin! Tadi kuserang, kukejar dan lenyap di tempat ini!" Gadis itu masih penasaran.
"Akan tetapi orang-orang Tiong-gi-pang ini bukanlah sahabat Gak Bun Beng. Lihat saja
mereka semua marah dan mencari Si Laknat itu," bantah Siok Bi. Gadis itu menarik napas
panjang dan mengangguk.
"Akan tetapi...."
"Biarlah kita menanti sampai mereka kembali. Ketahuilah bahwa para pimpinan Tiong-gi-
pang ini adalah bekas tokoh--tokoh Thian-liong-pang yang lihai."
Mendengar ini, gadis ini terkejut juga, dan berdiri dengan bingung. Melihat beta-pa Siok Bi
tidak menghunus pedang, dia merasa kikuk dan segera dia menyarung-kan pedangnya pula.
Tak lama kemudian, Milana datang lagi ke tempat itu. Gerakannya membuat Siok Bi dan
gadis itu terkejut dan kagum. Seperti gerakan iblis saja, hanya tampak berkelebat dan tahu-
tahu telah berada di situ. Mengertilah mereka berdua bahwa mereka bukan tandingan dara
cantik jelita ini!
Milana memandang kepada dara yang baru tiba. "Benarkah katamu tadi bahwa Gak Bun
Beng lari, dan lenyap di tempat ini?"
"Aku tidak membohong. Kalau tidak, apa perlunya aku masuk ke sini dan me-ngejarnya?"
Milana mengangguk dan menarik napas panjang. "Kami mencari tanpa hasil dan hal ini
memang tidak aneh. Kepandaian Gak Bun Beng tinggi bukan main, dan andaikata kita dapat
menemukannya aku masih sangsi apakah kita semua dapat melawannya."
"Aku tidak takut!" Siok Bi berseru.
"Aku akan mengadu nyawa dengannya!" Gadis itu pun berseru.
Milana mengerutkan alisnya. "Mari kita bicara di dalam. Agaknya aku dapat menduga apa
yang telah terjadi dengan kalian."
Ketika gadis yang baru muncul itu ragu-ragu, Milana melanjutkan setelah melihat bahwa di
situ tidak ada orang lain, "Bukankah kalian berdua menjadi korban Gak Bun Beng yang telah
menjadi jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa)?"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
769 Seketika wajah kedua orang dara itu menjadi merah sekali. Milana menghela napas
panjang. "Ketahuilah, aku bukan sahabat Gak Bun Beng dan kalau benar seperti yang
kuduga bahwa kalian menja-di korban kebiadabannya, aku bersedia membantu kalian
mencarinya dan meng-hadapinya!"
Siok Bi sudah percaya kepada Milana, maka melihat gadis yang baru datang itu ragu-ragu,
dia berkata, "Sebaiknya kita bicara dengan dia, karena dia ini adalah puteri bekas Ketua
Thian-liong-pang."
Gadis itu kelihatan terkejut sekali. "Apa....?" Dia menatap wajah Milana de-ngan tajam.
"Kau.... kau.... Puteri Milana cucu Kaisar" Engkau puteri dari Panglima Wanita Nirahai dan....
dan Pendekar Super Sakti?"
Milana terkejut juga melihat betapa gadis itu mengenal ayah bundanya. Dia mengangguk
dan bertanya, "Siapakah engkau?"
Gadis itu tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut. "Harap paduka sudi memaafkan saya yang
bersikap kurang hormat...."
Siok Bi juga terkejut sekali mendengar itu. Kiranya Ketua Thian-liong-pang adalah Puteri
Nirahai" Dia memang sudah mendengar kabar angin tentang ini, akan tetapi ayahnya sendiri
masih kurang percaya. Dan ternyata bahwa selain pu-teri Kaisar, juga Ketua Thian- liong-
pang yang pernah menimbulkan geger itu ada-lah isteri Pendekar Super Sakti! Dia tidak
berlutut seperti gadis itu, akan tetapi dia pun bertunduk dan memandang Mila-na dengan
segan dan hormat.
Milana merangkul gadis itu dan meng-angkatnya bangkit berdiri. "Tak perlu seperti itu. Aku
gadis biasa saja, gadis kang-ouw seperti kalian. Siapakah nama-mu?"
"Saya Lu Kim Bwee, dari Kong-kong (Kakek) yang pernah menjadi pengawal Kaisar saya
mendengar tentang ibu Padu-ka...."
"Hushh, Enci Kim Bwee, jangan ba-nyak sungkan. Jangan pakai paduka-padu-ka segala
kepadaku. Anggap saja kita ini sahabat-sahabat yang senasib. Marilah Enci Siok Bi dan Enci
Kim Bwee, mari kita masuk ke dalam dan kita bicara tentang manusia jahanam Gak Bun
Beng ini."
Ketiganya memasuki kamar Milana, melalui anak tangga dan daun pintu batu yang tebal itu.
Setelah pintu ditutup kembali, dua orang gadis itu tercengang kagum melihat betapa kamar
di balik pintu yang menyeramkan itu amat indah dan bersih.
"Ini kamarku sendiri," Milana berkata. "Aku pun baru dua bulan berada di sini. Duduklah Enci
Siok Bi dan Enci Kim Bwee, panggil saja aku Milana."
Dua orang gadis itu duduk di atas kursi yang indah, kemudian mereka saling pandang.
Tidak ada keraguan lagi di hati mereka terhadap dara jelita cucu Kaisar ini.
Milana kembali tersenyum kepada mereka, "Sungguh mengherankan sekali. Enci berdua
muncul dalam waktu yang sama dan dengan niat yang sama pula, yaitu mencari Gak Bun
Beng, untuk membunuhnya! Ketahuilah bahwa aku pun membenci Gak Bun Beng dan aku
berjan-ji akan minta bantuan orang-orang Tiong--gi-pang untuk mencari jejak manusia itu,
kalau sudah dapat ditemukan, biarlah aku akan membantu kalian menghadapinya. Untuk
kerja sama ini, sebaiknya kalau kita mengetahui keadaan masing-masing. Nah, sekarang
kuminta Enci Siok Bi suka menceritakan pengalamannya, mengapa memusuhi dia,
kemudian Enci Kim Bwe, dan kemudian aku sendiri akan menceri-takan pengalamanku."
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
770 Karena di situ hanya ada mereka ber-tiga, ditanya begini Siok Bi menangis. Milana dan Kim
Bwee yang melihat Siok Bi menangis, tak dapat menahan kesedih-an hati masing-masing
dan mereka pun menitikkan air mata, teringat akan nasib buruk yang menimpa mereka.
Sambil terisak Siok Bi menceritakan malapetaka yang menimpa dirinya malam tadi di rumah
penginapan di kota raja. Betapa dia didatangi Gak Bun Beng da-lam kamarnya dan ditotok
tak berdaya kemudian diperkosa. Betapa kemudian dia mencarinya ke Tiong-gi-pang,
karena Gak Bun Beng menyebut nama perkumpulan ini sebagai tempat tinggalnya. Setelah
selesai bercerita dia menangis sesengguk-an.
Milana mengerutkan alisnya dan men-cela, "Enci Siok Bi, mengapa engkau begitu mudah
saja membukai jendela ka-mar di waktu malam hari memenuhi permintaan seorang laki-
laki?" Ang Siok Bi teriak. "Aih.... harap ja-ngan salah sangka adik Milana.... ketahui-lah bahwa
semenjak ayah ditolong oleh Gak Bun Beng ketika.... ketika dahulu berada di dalam
tahanan.... Thian-liong--pang.... ayah mengharapkan agar aku menjadi jodoh orang itu. Dan
budi itu tak terlupa oleh kami sehingga aku sudah menganggap diriku sebagai tunangannya,
sungguhpun belum resmi dan hanya men-jadi niat sepihak. Tentu saja ketika men-dengar
suaranya aku tidak ragu-ragu untuk membiarkan dia masuk. Akan teta-pi siapa kira.... dia....
dia menjadi iblis....!"
"Keparat....!" Milana menampar meja di depannya sehingga meja itu tergetar. Memang dia
marah sekali mendengar pe-nuturan itu, marah kepada Bun Beng.
"Dan bagaimana dengan engkau, Enci Kim Bwee" Apakah engkau juga menjadi korban
pemuda biadab itu?" Milana menoleh kepada Lu Kim Bwee.
Sebelum menjawab, Kim Bwee mengu-sap air matanya, kemudian mengangguk. "Sudah
agak lama terjadinya, sudah satu bulan lebih, ketika aku berada di pondok kakekku," Dia lalu
menceritakan pengalamannya, betapa dia dan kakeknya keda-tangan Bun Beng yang
tadinya bersikap mencurigakan, mengintai dari atas gen-teng, kemudian betapa pemuda itu
mem-bohongi mereka dengan cerita bahwa ada suami isteri terbunuh setelah isterinya
diperkosa di dekat telaga. Betapa kakek-nya membantu pemuda itu menyelidiki di sekitar
telaga dan kiranya pemuda itu hanya membohong untuk memancing kakeknya keluar dari
pondok, kemudian diam-diam pemuda itu kembali ke pondok dan memperkosanya!
"Baru aku dan kong-kong tahu bahwa pembunuh suami isteri itu adalah dia sendiri. Aku tak
mampu melawan karena dia telah menotokku secara tiba-tiba...." Kembali Kim Bwee
mengusap air matanya. "Semenjak hari itu, aku pergi me-ninggalkan pondok kakek untuk
mencari jahanam itu. Tadi aku bertemu dengannya di jalan. Aku menyerangnya, dan dia lari.
Ketika kukejar, dia lari ke arah kuil ini dan lenyap."
"Hemmm, benarkah yang kauserang dan kejar tadi Gak Bun Beng?"
"Cuaca agak gelap, aku tidak dapat melihat mukanya dengan jelas. Akan te-tapi siapa lagi
pemuda memakai caping lebar itu kalau bukan dia" Pula, dia mentertawakan aku dan dia
yang mem-perkenalkan diri ketika kami bertemu di jalan."
"Tidak salah lagi, tentu dia!" Siok Bi berseru penuh kemarahan. "Suami isteri yang dibunuh
itu setelah isterinya diperkosa di pinggir telaga, memang menjadi korban kebiadaban Gak
Bun Beng. Hal ini aku mendengar juga dari murid ayah yang menjadi piauwsu." Dia lalu
mence-ritakan kembali cerita yang didengarnya dari para piauwsu yang bertemu dengan
Bun Beng di dekat telaga.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
771 Mendengar semua ini, dapat dibayangkan betapa panas rasa hati Milana. Laki--laki yang
dicintanya, pilihan hatinya, bahkan yang oleh ayahnya dijodohkan dengan dia, kiranya
adalah seorang laki-laki jahat sekali. Terhapus sama sekali rasa cinta kasihnya, kini terganti
oleh rasa benci yang seperti api bernyala-nyala membakar hatinya. Sambil meng-genggam
kedua tangan, dia berkata,
"Kita harus mencari jahanam itu, akan kukerahkan semua anggauta Tiong-gi-pang untuk
menyelidiki, kalau kita sudah keta-hui tempatnya, kita serang dan bunuh dia."
Tentu saja Siok Bi dan Kim Bwee menjadi girang. Mendapat bantuan seo-rang seperti
Milana, cucu Kaisar, puteri Pendekar Super Sakti, tentu saja amat membesarkan hati.
Mereka tahu akan kelihaian Gak Bun Beng dan tadinya mereka pun sudah menduga bahwa
andaikata bertemu dengan pemuda itu, tentu mereka yang akan roboh! Kini harapan mereka
untuk membalas dendam kepada pria yang menyeret mereka ke dalam jurang kehinaan itu
timbul kembali.
Bun Beng masih menaruh harapan bahwa Milana menyesal ketika mendengar gadis itu
menjerit. Akan tetapi begitu Milana mencabut pedangnya dan darah muncrat dari luka di
dada, gadis itu langsung menyerang lagi, kini pedangnya membabat ke arah leher Bun
Beng. "Aihhh.... Milana....!" Bun Beng terpaksa mengelak dengan hati penuh kece-wa. Dia
mendapat kenyataan bahwa gadis itu benar-benar tega untuk membunuhnya. Dia lalu
menggerakkan kakinya dan me-loncat jauh kemudian melarikan diri.
"Jahanam busuk, hendak lari ke mana kau?"
Milana mengejar, diikuti oleh Siok Bi dan Kim Bwee yang sudah mengambil pedang mereka
dan ikut mengejar pula. Akan tetapi dengan beberapa loncatan saja bayangan Bun Beng
sudah menghilang di dalam hutan di utara dan lenyap di pegunungan yang penuh hutan
lebat itu. Milana, Siok Bi, dan Kim Bwee mela-kukan pengejaran dan mencari-cari, na-mun tidak
berhasil. Bun Beng lenyap tan-pa meninggalkan jejak. Karena hari telah menjelang senja,
terpaksa tiga orang dara ini kembali ke kuil Tong-gi-pang dengan hati kecewa sekali.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi se-kali seorang anggauta Tiong-gi-pang yang berjaga di
luar melaporkan bahwa ada dua orang tamu datang minta bicara de-ngan nona Milana.
Mendengar ini, Milana segera keluar dan terkejutlah dia ketika melihat bahwa yang datang
adalah Wan Keng In dan seorang kakek yang mukanya bopeng dan rusak sehingga
kelihatan me-nakutkan sekali. Kakek itu berpakaian seperti seorang pendeta dengan jubah
kuning yang lebar, kepalanya ditutup se-buah topi kuning pula, matanya besar sebelah dan
hidungnya melesak ke dalam, mulutnya miring. Muka yang amat buruk, bahkan kulit muka
itu seperti bekas digerogoti tikus! Wan Keng In seperti biasa berpakaian amat indah dan
mewah se-hingga kelihatan makin tampan. Pedang Lam-mo-kiam tergantung di
punggungnya. Adapun kakek menakutkan itu memegang sebatang tongkat berkepala ukiran
naga. "Kau....?" Milana menegur keras. "Mau apa kau ke sini?"
Wan Keng In tersenyum dan cepat--cepat dia memberi hormat kepada Milana. "Harap kau
suka maafkan kepadaku, Mi-lana. Aku mendengar bahwa engkau bera-da di Tiong-gi-pang
maka aku cepat datang ke sini untuk menemuimu dan bicara denganmu."
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
772 "Mau bicara apa" Tidak ada urusan apa-apa di antara kita!"
"Aihh, Milana, harap kau dapat maaf-kan segala kesalahanku dahulu. Aku minta maaf
kepadamu dan aku telah sadar akan semua kesalahanku dahulu kepadamu. Aku tahu


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahwa cinta tidak dapat dipaksakan, maka aku tidak menyesal bahwa engkau menolak
cintaku. Memang sekarang tidak perlu lagi bicara tentang itu karena kita telah menjadi
saudara tiri."
"Apa maksudmu?"
"Aihh, apakah engkau belum tahu" Ibuku kini telah berada di Pulau Es, menjadi isteri
ayahmu. Mereka bertiga di Pulau Es. Ayahmu dan ibumu, juga ibuku yang sekarang menjadi
isteri Pendekar Super Sakti. Dengan demikian, bu-kankah kita ini adalah saudara-saudara
tiri" Karena itu, engkau harus dapat memaafkan aku, Milana. Ketahuilah, cin-taku kepadamu
telah menjadi cinta seo-rang kakak, dan aku sungguh tidak rela membiarkan engkau adikku
dipermainkan dan dihina oleh seorang manusia busuk seperti Gak Bun Beng!"
"Engkau tahu akan hal itu?"
"Tentu saja! Apa aku buta" Aku tahu betapa di Pulau Neraka dia mempermain-kan Kwi
Hong, dia hampir pula menye-retmu. Dan ketika aku melakukan per-jalanan, banyak aku
mendengar akan per-buatannya yang keji. Bahkan aku mende-ngar pula betapa kemarin
engkau bersama dua orang nona menyerangnya tanpa hasil."
"Aku telah melukai dadanya!"
"Aku pun tahu akan hal itu, karena aku tahu di mana dia sekarang bersem-bunyi."
"Apa kau tahu" Di mana?"
"Karena itu pulalah aku datang ke sini, Milana. Pertama, untuk menemuimu dan ke dua
untuk mengajakmu bersama--sama mengepung dan membunuh Bun Beng Si Laknat itu.
Kau jangan khawatir, ini adalah seorang sahabat baikku yang memiliki ilmu kepandaian
tinggi. Dia sudah berjanji untuk membantu kita menghadapi Bun Beng."
"Siancai....!" Si Kakek Muka Buruk itu menjura, "Biarpun masih muda, Gak Bun Beng telah
melakukan banyak kejahatan dan penghinaan kepada para wanita. Dia pantas dibasmi.
Harap Nona tidak khawatir, lohu (aku si tua) Koai-san-jin (Kakek Gunung Aneh) akan
membantumu meng-hadapi orang jahat."
Milana menjadi girang. Dia memang maklum bahwa biarpun dibantu Siok Bi dan Kim Bwee,
dia tidak akan mampu mengalahkan Bun Beng. Akan tetapi kalau dibantu oleh Keng In yang
kepandaiannya jauh melebihinya, apalagi ada bantuan kakek yang seperti setan ini, agaknya
Bun Beng yang jahat itu akan dapat di-kalahkan.
"Baiklah, Wan Keng In. Aku percaya kepadamu dan betapapun juga, memang ibumu adalah
adik angkat ayahku dan kalau benar sekarang menjadi isteri ayah-ku, berarti kita jadi
saudara. Tunggu sebentar, aku akan memanggil Siok Bi dan Kim Bwee."
Tak lama kemudian, Milana keluar la-gi bersama Siok Bi, Kim Bwee, dan Sai--cu Lo-mo
yang digotong empat orang anak buahnya. Milana segera memperke-nalkan Keng In dan
Koai-san-jin kepada dua orang gadis itu dan Ketua Tiong-gi--pang. Karena Keng In seorang
pemuda tampan yang pandai bersikap halus dan ramah, dua orang dara itu tersipu malu dan
merasa suka dan percaya kepada Keng In. Akan tetapi Siok Bi memandang dengan lirikan
tajam karena dia merasa seperti pernah bertemu dengan pemuda ini.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
773 "Kalau tidak salah, kita pernah saling berjumpa, Wan-enghiong," akhirnya dia berkata
meragu. Keng In mengangkat kedua alisnya. "Aihh, sungguh saya kurang beruntung tidak pernah
bertemu dengan Nona sebe-lumnya. Baru sekali ini kita saling berte-mu. Saya kira Nona
berjumpa dengan orang lain."
"Maaf, saya telah lupa lagi." Siok Bi berkata sambil menunduk. Tentu dia yang salah lihat,
dan setelah dia ingat-ingat lagi, memang agaknya belum pernah dia bertemu dengan
pemuda tampan yang berpakaian indah dan bersikap halus ini.
Sai-cu Lo-mo juga memandang mereka dengan mata bersinar tajam. Setelah berkenalan
dan menuturkan niat mereka menyerbu Gak Bun Beng yang tempat sembunyinya telah
diketahui oleh Keng In, kakek itu berkata, "Sekali ini aku akan ikut sendiri, Nona Milana. Aku
ingin melihat cucu keponakan yang murtad itu tewas menerima hukumannya."
Kakek lumpuh ini meloncat turun dari atas papan, kemudian ikut pergi bersama rombongan
itu dengan cara berloncatan menggunakan kedua tangannya. Biarpun dia bergerak secara
itu, namun gerakannya cukup cepat.
"Ahhh, Pangcu. Tak mungkin saya melihat Pangcu bergerak seperti itu. Pangcu sudah tua
dan saya seorang pe-muda, marilah Pangcu saya gendong saja."
Tanpa menanti jawaban, Keng In lalu menggendong tubuh Sai-cu Lo-mo, dan biarpun dia
menggendong tubuh kakek ini, tetap saja Siok Bi dan Kim Bwee yang merasa makin kagum
itu harus mengerah-kan seluruh tenaganya untuk dapat lari mendampingi Milana, Keng In,
dan Koai-san-jin.
Di puncak bukit, di sebuah guha yang menghadap jurang yang amat dalam, Bun Beng
duduk bersila. Luka di dadanya sama sekali tidak ada artinya, kalau dibandingkan dengan
luka di hatinya. Ber-ulang-ulang dia menarik napas panjang. Dia dapat menduga bahwa tiga
orang gadis itu membenci den mendendam ke-padanya bukan tanpa dasar dan dia tidak
dapat menyalahkan mereka. Dia tahu bahwa Kim Bwee diperkosa orang yang menggunakan
namanya. Dan mungkin se-kali Siok Bi mengalami hal yang sama dengan Kim Bwee. Akan
tetapi apa yang terjadi dengan diri Milana" Terlampau ngeri baginya untuk membayangkan
apa yang terjadi dengan diri dara yang dicin-tainya itu. Apa yang harus dilakukannya
sekarang" Jelas bahwa ada orang yang sengaja merusak namanya di depan gadis--gadis
terutama Milana. Ada yang berusa-ha dengan jalan terkutuk, agar dia diben-ci oleh Milana!
Semalam penuh dia tidak dapat tidur, diganggu oleh perasaan yang tertindih. Dia telah
ditunangkan dengan Milana, telah diberi tugas untuk mencari Milana, Kwi Hong dan Keng In.
Sekarang begitu berjumpa dengan Milana, dia telah dimu-suhi dan hendak dibunuh. Milana
tidak main-main, jelas berniat membunuhnya! Betapa tega hati dara itu kepadanya. Bun
Beng merasa berduka sekali dan dia meragukan apakah benar Milana mencin-tanya!
Apakah artinya cinta" Kalau benar Milana dahulu itu mencintanya, mengapa kini dapat
berubah menjadi benci" Andai-kata benar dia melakukan kesalahan, apa-kah kesalahan ini
dapat merobah cinta seorang menjadi benci" Kalau begitu, apa bedanya cinta dengan
benci" Bun Beng termenung kosong, meman-dang ke arah awan yang tergantung di depan
kakinya di atas jurang yang curam itu kini pikirannya penuh dengan pertanyaan tentang
cinta! Mulai dia meng-ingat-ingat dan mencari-cari.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
774 Bagi manusia umumnya, cinta telah dibagi-bagi menjadi beberapa macam! Cinta antara pria
dan wanita, cinta anta-ra anak dan orang tua, cinta antara sahabat, dan cinta antara
manusia dengan Tuhannya! Adakah cinta yang sudah diba-gi-bagi ini benar-benar cinta"
Seorang wanita, seperti Milana, menyatakan cinta kepada seorang pria seperti dia, akan
tetapi cinta itu hidup selama dia diang-gap baik. Sekali dia dianggap buruk, cinta itu berubah
menjadi benci! Apakah ini benar cinta" Aku cinta padamu, akan tetapi kau pun harus cinta
kepadaku! Aku cinta kepadamu, akan tetapi kau harus baik dan menyenangkan hatiku!
Kalau kau tidak cinta kepadaku dan lari kepada orang lain, kalau kau tidak baik dan tidak
menyenangkan hatiku, cintaku hilang berubah benci! Cintakah ini, ataukah hanya jual beli
seperti benda yang diperjualbelikan di pasar"
Orang tua mencinta anak kalau anak itu menurut, kalau anak itu berbakti, pendeknya kalau
anak itu menyenangkan hati orang tuanya. Kalau tidak" Kalau Si Anak pemberontak, put-
hauw (tidak berbakti), murtad dan tidak menyenang-kan hatinya, akan tetapkah cintanya"
Atau menjadi marah-marah dan anaknya dikutuk" Cintakah kalau sudah begini" Demikian
pula dengan cinta sahabat. Kalau Si Sahabat menyenangkannya, me-nguntungkannya, baru
cinta. Bagaimana kalau sababat itu tidak menyenangkannya, merugikannya" Masih adakah
cinta itu" Sama saja. Ini cinta pasar, cinta jual beli, baru cinta kalau "ada apa-apanya", ada
tebusannya, ada imbalannya!
Bagaimana dengan cinta manusia kepada Tuhannya" Adakah ini baru cinta yang sejati"
Kita bersembahyang, mohon berkah, mohon ampun, mohon bimbingan, mohon
perlindungan" Segala macam permohonan atau permintaan ini, segala macam tuntunan ini!
Cintakah itu" Betul-betulkah hati kita penuh dengan cahaya cinta kasih disaat kita
bersembahyang kepada Tuhan" Betul-betulkah kita ter-ingat dengan penuh kasih kepada
Tuhan, ataukah kita hanya ingat kepada kebutuhan sendiri akan berkah, akan
pengam-punan, dan lain-lain itu" Kita mencinta Tuhan hanya karena ingin imbalannya, yaitu
berkah, pengampunan, dan lain-lain. Adakah ini Tuhan yang kita sembah, ataukah berkah-
Nya yang kita harap"
Bun Beng termenung dan pada saat seperti itu, pandang matanya seolah-olah menjadi
terbuka dan jelas tampak olehnya segala kepalsuan manusia. Kepalsuan yang ditutup oleh
tabir kebudayaan, peradaban, kesopanan, hukum dan lain-lain. Semua yang indah-indah
dalam hidup manusia itu hanyalah keindahan yang menyelu-bungi hasrat tersembunyi, yaitu
nafsu mementingkan Si Aku masing-masing! Apa pun yang dilakukan manusia, selalu
didasari oleh pusat ini, oleh Si Aku ini. Betapa menyedihkan kenyataan ini.
Teringatlah Bun Beng akan semua pengalamannya, akan pertemuannya de-ngan Pendekar
Super Sakti, akan keadaan pendekar sakti itu bersama dua orang wanita yang juga terlibat
dalam cengke-raman apa yang mereka sebut cinta dengan pendekar itu. Teringat pula dia
akan Bu-tek Siauw-jin. Cinta telah me-nimbulkan banyak peristiwa yang ganjil, menimbulkan
pertentangan, kesengsaraan dan ketakutan. Benarkah cinta semua itu kalau menimbulkan
kesengsaraan, perten-tangan, ketakutan dan kebencian" Atau-kah sesungguhnya hanya
nafsu mementingkan diri pribadi dalam mengejar ke-senangan, kenikmatan dan kepuasan
belaka yang oleh kita semua disebut cinta kasih" Karena hanya nafsu memen-tingkan diri
pribadi sajalah yang akan mendatangkan pertentangan dan kesengsaraan. Kalau benar
cinta, tidak mungkin mendatangkan kesengsaraan karena cinta adalah keindahan,
kebenaran, kesucian, kekekalan!
"Gak Bun Beng manusia busuk, bersiaplah untuk menerima hukumanmu!" Tiba-tiba
terdengar suara bentakan nyaring sekali.
Bun Beng membuka matanya dan mengangkat muka memandang. Kiranya di tempat itu
telah muncul tiga orang gadis dan tiga orang laki-laki yang semua telah memegang senjata,
kecuali kakek lumpuh yang dia kenal sebagai kakek yang mengaku paman kakeknya, Sai-cu
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
775 Lo-mo, bekas pembantu ibu Milana! Tiga orang dara itu bukan lain adalah Milana, Ang Siok
Bi, dan Lu Kim Bwee yang mengeroyok kemarin. Dia terkejut dan cepat meloncat bangun
ketika melihat Wan Keng In bersama mereka, dan seo-rang kakek yang mukanya
mengerikan, muka yang rusak dan pakaiannya seperti pendeta.
"Milana, apa artinya ini....?" Bun Beng berdiri tegak, memandang dara itu dengan sinar mata
penuh duka dan bim-bang.
"Manusia busuk, tidak perlu banyak cakap lagi!" Milana berseru dan pedang-nya sudah
digerakkan menusuk dada Gak Bun Beng yang cepat mengelak sambil meloncat ke kiri.
"Sing-sing-singgg....!" Pedang di tangan Siok Bi dan Kim Bwee menyambar, di-susul dengan
kilatan pedang Lam-mo-kiam di tangan Wan Keng In.
"Tranggg....!" Bun Beng terpaksa me-nangkis ketika melihat Pedang Iblis Lam--mo-kiam
menyambar demikian dahsyatnya. Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika pedang Hok-
mo-kiam bertemu de-ngan Lam-mo-kiam, dan Wan Keng In merasa betapa tangannya
tergetar hebat. Dia menjadi marah sekali dan cepat dia menyerang dengan dahsyatnya, kini
diban-tu oleh Koai-san-jin yang sudah menggerakkan tongkatnya,
"Singgg.... wirrr.... siuuuttt!"
Bun Beng terkejut bukan main. Dia sudah mengenal kelihaian Wan Keng In dan keampuhan
pedang Lam-mo-kiam, akan tetapi kiranya tongkat di tangan kakek itu tidak kalah
dahsyatnya! Kakek bermuka rusak itu ternyata memiliki sin-kang yang amat kuat, dan
tongkat berke-pala naga menyambar dengan tenaga yang akan dapat menghancurkan batu
karang. Maklumlah dia bahwa dua orang lawan ini, Wan Keng In dan Si Kakek Muka Buruk,
merupakan dua orang lawan yang amat lihai dan yang harus dihadapinya dengan hati-hati.
Sedangkan tiga orang dara itu, terutama sekali Siok Bi dan Kim Bwee, menyerang dengan
nekat seperti orang-orang yang sudah siap untuk membunuh atau dibunuh!
Betapapun juga, hanya Milana seorang yang membuat dia bingung dan tidak da-pat
melawan dengan baik. Keroyokan mereka itu sebenarnya masih dapat diha-dapinya dan
bahkan dia merasa masih sanggup meloloskan diri atau memperoleh kemenangan biarpun
Wan Keng In dan pendeta muka buruk itu lihai bukan main. Akan tetapi adanya Milana di situ
yang ikut mengeroyok benar-benar membuat dia bingung dan gugup. Dia menggunakan
Hok-mo-kiam, akan tetapi dia selalu menjaga agar pedangnya itu jangan sam-pai menangkis
pedang Milana, apalagi menyerang dara itu. Dia hanya menggu-nakan pedangnya untuk
menjaga diri dari sambaran Lam-mo-kiam dan membalas hanya kepada Keng In dan Si
Pendeta Muka Buruk. Dia pun tidak mau menye-rang Siok Bi dan Kim Bwee karena mak-lum
bahwa kedua orang dara ini pun hanya menjadi korban orang jahat yang menyamar sebagai
dia. "Milana, dengar dulu keteranganku! Nona Siok Bi dan Nona Kim Bwee, aku tidak
bersalah....!"
"Manusia hina!" Milana memaki dan pedangnya sudah menerjang dengan he-batnya dan
karena Bun Beng tidak meng-gunakan Hok-mo-kiam menangkis, pedang-nya itu sibuk
menangkis serangan Lam--mo-kiam dan tongkat kakek muka buruk, maka elakannya masih
belum cukup menghindarkan diri dan kembali pedang di tangan Milana telah berhasil
melukai paha kirinya sehingga celana dan kulit pahanya robek dan berdarah.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
776 "Gak Bun Beng, kematian sudah di depan mata, tidak perlu banyak cerewet lagi!" Wan Keng
In mengejek dan Lam--mo-kiam di tangannya menyambar dah-syat, dengan bertubi-tubi
menusuk dada dan membabat leher sedangkan dari belakang Bun Beng, tongkat kakek
muka buruk menyambar ganas menyerang kedua kaki dan perut pemuda itu.
"Wan Keng In.... aku ada pesanan dari ibumu...."
"Wuuuuttt.... singgg.... tranggg!" Pedang Hok-mo-kiam sekali lagi membentur Lam-mo-kiam
sampai hampir saja tubuh Keng In terpelanting.
"Desss!" Tongkat kepala naga itu ber-hasil menggebuk pinggang Bun Beng dari belakang.
Biarpun Bun Beng sudah kebal tubuhnya oleh sin-kang gabungan yang dia terima dari
Pendekar Super Sakti dan Bu-tek Siauw-jin, namun hantaman itu hebat bukan main
sehingga Bun Beng muntahkan darah segar dari mulutnya. Hal ini bukan berarti bahwa dia
terluka hebat karena sin-kang yang mujijat telah melindungi bagian dalam tubuhnya. Dia
memutar tubuh dan membabatkan pedang Hok-mo-kiam, akan tetapi terpaksa me-narik
kembali pedangnya itu karena meli-hat Milana sudah bergerak menyerangnya sehingga
kalau pedangnya dia lanjutkan, tentu dia akan merusak pedang Milana!
Kembali dia dikepung dengan ketat oleh lima orang itu yang seolah-olah telah berubah
menjadi iblis-iblis yang haus darah! Diam-diam Bun Beng mengeluh. Dua orang itu, Wan
Keng In dan Si Ka-kek Muka Buruk, terlampau lihai untuk ditandingi dengan setengah hati.
Akan tetapi untuk melawan sungguh-sungguh, gerakannya terbatas oleh adanya Milana di
situ dan dua orang gadis yang ikut mengeroyoknya. Kalau saja di situ tidak ada Wan Keng In
dan Si Kakek Aneh, tentu ia dapat meloloskan diri, namun Wan Keng In dengan Lam-mo-
kiam bukan main dahsyatnya, ditambah kakek yang menggerakkan tongkatnya secara lihai
sekali. Sai-cu Lo-mo duduk di dekat guha dan menonton dengan alis berkerut dan muka kelihatan
berduka sekali. Dia masih ham-pir tidak dapat percaya bahwa pemuda itu telah berubah
menjadi seorang jai--hwa-cat yang hina, akan tetapi saksi--saksinya banyak. Tidak mungkin
dua orang dara itu membohong, apalagi Milana! Hatinya seperti diremas-remas dan melihat
jalannya pertandingan, hatinya makin perih lagi karena dia maklum bah-wa Bun Beng akan
celaka hanya karena pemuda itu tidak mau melukai Milana dan dua orang gadis lain
sehingga membuat gerakannya kacau dan terbatas sedangkan Wan Keng In dan kakek
muka buruk itu demikian hebat gerakannya.
Dugaan Sai-cu Lo-mo memang benar. Beberapa kali Bun Beng terpaksa meneri-ma
tusukan pedang Milana dan dua orang gadis sehingga pakaiannya sudah penuh dengan
darahnya sendiri. Melihat keadaan ini, lima orang pengeroyok itu menjadi makin ganas dan
suatu saat, lima buah senjata mereka menyambar secara ber-bareng!
"Haiiiihhhh....!" Suara melengking dari mulut Bun Beng ini membuat Siok Bi dan Kim Bwee
terpelanting dan pedang Hok--mo-kiam berhasil menangkis Lam-mo--kiam dan membabat
buntung tongkat kepala naga, akan tetapi kembali pedang Milana berhasil membacok
pangkal lengannya di bahu kanan, membuat lengan kanannya setengah lumpuh dan tubuh
Bun Beng terhuyung ke belakang!
"Mampuslah!" Keng In berteriak girang dan menerjang maju, menggerakkan Lam--mo-kiam
membacok. "Cringgg....!" Bunga api berpijar dan Keng In meloncat mundur dengan kaget karena ada
pedang lain yang sanggup menangkis pedang Lam-mo-kiam. Ternyata Kwi Hong sudah
berdiri di situ dengan pedang Li-mo-kiam di tangan! Pantas saja pedang itu kuat menangkis
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
777 Lam-mo-kiam, karena pedang itu adalah Pedang Iblis Betina yang sama ampuhnya dengan
Pedang Iblis Jantan!
"Wan Keng In manusia keparat! Milana dengarlah.... Gak Bun Beng tidak ber-salah...."
"Giam Kwi Hong! Tentu saja engkau membela dia setelah engkau menjadi ke-kasihnya!"
Milana berteriak penuh ke-marahan.
"Ha-ha-ha, benar-benar pasangan yang amat cocok! Bun Beng adalah anak haram dari Si
Datuk sesat Gak Liat, sedangkan Giam Kwi Hong adalah anak haram dari Si Perwira hina
Giam Cu yang telah menjadi gila. Ha-ha-ha, keduanya anak haram, tentu saja saling
membela apalagi setelah menjadi kekasih gelap!"
"Keng In, mulutmu jahat!" Kwi Hong berteriak dan dengan Li-mo-kiam di ta-ngan dia
menyerang Wan Keng In. Pemu-da Pulau Neraka ini cepat menangkis dengan pengerahan
tenaga karena dia maklum bahwa gadis ini sama sekali ti-dak boleh dipandang ringan.
Segera mere-ka bertanding, akan tetapi Kwi Hong terdesak ketika kakek muka buruk sudah
maju membantu Keng In. Milana dan dua orang gadis yang merasa sakit hati kepada Bun
Beng, sudah menerjang Bun Beng yang kini duduk bersila di atas tanah. Serangan-serangan
mereka itu dia sambut dengan secara terpaksa menggu-nakan Hok-mo-kiam.
"Trakk! Trakkk!" Pedang di tangan Siok Bi dan Kim Bwee patah-patah, ha-nya pedang
Milana yang belum beradu dengan Hok-mo-kiam sehingga tidak rusak. Namun Siok Bi dan
Kim Bwee yang sudah nekat itu terus menerjang dengan kepalan mereka! Terpaksa Bun
Beng menangkis dengan lengan kirinya membalik-kan pedangnya agar tidak melukai dua
orang dara itu, dan dalam menangkis pun dia tidak mengerahkan tenaga sehingga tidak


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sampai melukai lengan kedua orang gadis itu. Milana masih berusaha untuk menyerang
dengan pedang, akan tetapi melihat betapa dua orang gadis itu mengeroyok Bun Beng
sedemikian nekat sehingga ada bahaya pedangnya mengenai tubuh mereka sendiri, dia lalu
membalik dan membantu Wan Keng In mengeroyok Kwi Hong!
Kwi Hong sudah terluka oleh pedang Keng In dan tongkat kakek muka buruk, namun dia
masih membela diri mati--matian. Kini Milana maju, dan gadis ini juga amat lihai, maka tentu
saja Kwi Hong menjadi makin payah dan dia hanya dapat menangkis sambil mundur terus,
tanpa disadarinya bahwa dia mundur ke arah jurang yang berhadapan dengan guha.
"Kwi Hong.... hati-hati belakangmu.... !" Bun Beng berteriak, akan tetapi terlambat. Tubuh
Kwi Hong tergelincir ke belakang dan terdengar dara itu menjerit mengerikan ketika
tubuhnya terjengkang dan lenyap ke dalam jurang.
"Kwi Hong....!" Tubuh Bun Beng mencelat dengan kecepatan yang luar biasa, dan tahu-tahu
pemuda ini pun sudah me-loncat ke dalam jurang, menyusul Kwi Hong!
Milana terbelalak, dan semua orang menahan napas. Keng In dan kakek muka buruk
menghampiri pinggir jurang dan menjenguk ke bawah. Hati Keng In puas sekali karena
melihat jurang itu merupa-kan jurang yang dalamnya tak dapat diukur, bahkan tidak nampak
dari bawah karena tertutup awan dan halimun!
"Mereka tentu hancur di bawah sana," kakek muka buruk berkata dengan suara-nya yang
agak pelo. Milana memejamkan matanya yang terasa panas. Di dalam hatinya timbul dua perasaan,
perasaan cemburu dan juga perasaan duka. Perbuatan terakhir dari Bun Beng benar-benar
menyakitkan hatinya. Dalam saat terakhir pun Bun Beng membuktikan cinta kasihnya
kepada Kwi Hong sehingga rela mati bersama gadis itu meloncat ke dalam jurang!
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
778 Dua orang gadis, Siok Bi dan Kim Bwee, berdiri tegak di pinggir jurang, muka mereka pucat
sekali. Setelah kini orang yang memperkosa itu terlempar ke dalam jurang dan sudah mesti
tewas, hati mereka tidak karuan rasanya. Ada rasa duka, ada rasa sunyi, dan rasa ngeri
bagaimana mereka harus menempuh hidup selanjutnya! Hasrat mereka sekarang hanya
untuk pulang, untuk menyembunyikan diri!
"Adik Milana, sekarang aku mau pu-lang!" Siok Bi berkata dengan suara mengandung isak,
kemudian dia memba-likkan tubuh dan lari pergi meninggalkan tempat itu.
"Aku pun pergi, adik Milana!" Kim Bwee juga berkata, suaranya lirih seperti orang berduka.
Gadis ini pun segera lari pergi setelah sekali lagi dia melempar pandang ke arah jurang
dengan sinar mata sayu penuh duka.
Milana sendiri sedang tertekan batin-nya, maka dia hanya mengangguk. Pan-dang matanya
masih ditujukan ke arah jurang dengan sinar mata kosong.
Wan Keng In terbatuk-batuk untuk menyadarkan keadaan Milana. "Milana, manusia jahat itu
telah tewas dan aku menyesal sekali bahwa Kwi Hong ikut tewas, akan tetapi agaknya lebih
baik begitu untuk dia setelah dia terbujuk oleh manusia hina she Gak itu. Marilah kita
sekarang pergi ke Pulau Es menemui ayahmu dan ibuku."
Milana terdesak kaget. "Ke.... ke.... Pulau Es...." Setelah terjadi hal ini?"
Sai-cu Lo-mo berloncatan maju. Kedua mata kakek ini masih basah oleh air matanya yang
bertitik ketika meli-hat betapa Bun Beng tadi meloncat ke dalam jurang. Semenjak
pertandingan itu dimulai, dia merasa terharu sekali dan betapapun juga, dia tidak bisa
membenci cucu keponakannya itu. Apa pun yang dituduhkan orang kepada cucunya itu,
namun dengan mata kepala sendiri dia melihat betapa Bun Beng adalah seorang laki-laki
sejati, yang tidak mau melukai Milana dan dua orang gadis lainnya, bah-kan yang dalam
saat terakhir berusaha menolong Kwi Hong yang terlempar ke dalam jurang! Dia dapat
menduga bahwa seorang yang memiliki kepandaian tinggi, dan kegagahan seperti Bun
Beng, tidak mungkin membunuh diri, dan perbuatannya meloncat ke dalam jurang tadi tentu
dengan maksud untuk menolong Kwi Hong.
"Nona Milana, memang sebaiknya ka-lau Nona pergi menghadap orang tua Nona dan
menceritakan semua peristiwa yang terjadi ini." Ucapan Sai-cu Lo-mo ini mengandung
harapan agar Pendekar Super Sakti sendiri yang akan menangani urusan ini, dan yang akan
menentukan apakah hukuman yang dijatuhkan atas diri Bun Beng ini benar. Biarpun Bun
Beng sudah tewas, akan tetapi namanya perlu dibersihkan, kalau memang hal itu mungkin.
Milana memandang Sai-cu Lo-mo dan dua titik air mata menetes ke arah pipi-nya.
"Kakek, aku.... aku takut kepada Ayah...."
"Mengapa takut, Nona" Ceritakan saja apa yang telah terjadi."
"Bagaimana aku tidak akan takut" Enci Kwi Hong adalah keponakan dan murid Ayah...."
Wan Keng In berkata, "Milana, sudah kukatakan tadi bahwa kematian Kwi Hong bukanlah
karena senjata kita, melainkan karena tergelincir ke dalam jurang."
"Aku baru mau pergi kalau engkau ikut pula pergi, Bhok-kongkong."
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
779 Sai-cu Lo-mo mengangguk-angguk. "Baiklah, aku yang akan menjadi saksi agar engkau
tidak dimarahi ayah bundamu Nona."
Maka berangkatlah empat orang itu, Milana, Sai-cu Lo-mo, Wan Keng In dan Koai-san-jin,
ke utara untuk pergi ke Pulau Es.
*** Tubuh Suma Han Pendekar Super Sak-ti kini menjadi agak gemuk dan mukanya kelihatan
segar berseri. Dia benar-benar merasa seperti hidup baru bersama dua orang isterinya di
Pulau Es. Biarpun me-reka seolah-olah hidup mengasingkan diri dari dunia ramai, namun
hidup mereka penuh dengan cinta kasih diantara mereka! Memang, kalau hati sudah penuh
cinta kasih, orang tidak membutuhkan apa-apa lagi, dan kalau hati selalu aman tenteram
tubuh pun menjadi sehat! Juga di wajah kedua orang wanita cantik itu, Nirahai dan Lulu,
membayang kebahagiaan yang membuat wajah mereka berseri dan segar kemerahan
kedua pipinya seperti wajah dua orang gadis muda saja!
Siang hari itu, Suma Han dan kedua orang isterinya berdiri di tepi pantai Pulau Es sebelah
barat, memandang ke arah sebuah perahu yang meluncur cepat menuju ke Pulau Es,
setelah perahu agak dekat dan mereka dapat mengenal dua di antara empat orang yang
berada di dalam perahu, Nirahai dan Lulu berseru girang,
"Milana....!"
"Keng In....!"
Suma Han diam saja dan pendekar ini merasa hatinya terusik oleh sesuatu yang tidak
menyenangkan. Dia tidak melihat Bun Beng dan Kwi Hong.
"Siapakah dua orang kakek itu?" Dia berkata perlahan seolah-olah bertanya kepada diri
sendiri. "Seorang di antara mereka adalah Sai--cu Lo-mo, bekas pembantuku," kata Nirahai. "Kakek
muka buruk itu entah siapa."
Lulu juga tidak mengenal kakek muka buruk yang tadinya dia kira Cui-beng Koai-ong akan
tetapi setelah perahu ma-kin mendekat ternyata bukan. Setelah perahu menempel di pulau,
empat orang itu melompat ke darat, Keng In segera lari dan menjatuhkan diri berlutut di
depan kaki Lulu sambil berseru, "Ibu....!"
Bukan main girangnya hati ibu yang seolah-olah menemukan kembali anaknya ini ketika
menyaksikan sikap Keng In. Dia memeluknya dan air matanya bercu-curan.
Milana juga dipeluk oleh Nirahai, akan tetapi dara ini menangis dan menyembu-nyikan
mukanya di dada ibunya. Sai-cu Lo-mo melompat maju dan duduk meng-hadapi Nirahai dan
Suma Han, kemudian berkata, "Harap Taihiap dan Pangcu sudi memaafkan saya yang
berani lancang mendatangi Pulau Es."
Nirahai menjawab. "Tidak mengapa Lo-mo. Kenapa kedua kakimu?"
Sai-cu Lo-mo tersenyum. "Akibat pe-nyerbuan yang lalu, Pangcu."
"Totiang siapakah?" Suma Han berta-nya sambil memandang dengan sinar mata tajam
penuh selidik kepada Koai-san-jin yang masih berdiri sambil menundukkan mukanya.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
780 Wan Keng In segera menjawab, "Dia adalah Koai-san-jin, seorang pertapa yang telah
banyak menolong dan membantu kami, terutama sekali ketika menghadapi Si Jahat Gak
Bun Beng."
Terkejutlah Suma Han, Lulu, dan Ni-rahai mendengar kata-kata yang menye-but Gak Bun
Beng penjahat ini.
"Keng In! Apa maksud kata-katamu ini?" Lulu memegang pundak puteranya sambil
memandang tajam. Juga Nirahai dan Suma Han menatap wajah pemuda itu.
"Ibu, aku hanya membantu adik Milana, harap tanyakan kepadanya saja."
Tiga orang penghuni Pulau Es itu kini semua menoleh dan memandang kepada Milana
yang masih menangis, bahkan kini dara itu menangis makin sedih sambil berlutut di atas
salju. Suma Han yang dapat menduga bahwa tentu telah terjadi hal-hal yang hebat sekali, lalu
berkata, "Mari kita semua masuk ke istana dan bicara di sana."
Tanpa berkata-kata, pergilah mereka semua ke istana di tengah pulau, dan Sai-cu Lo-mo
berloncatan menggunakan kedua tangannya, dipandang dengan penuh iba oleh Nirahai,
"Nanti akan kucoba mengobati kedua kakimu, Lo-mo," kata-nya lirih dan kakek itu hanya
mengang-guk dan tersenyum penuh terima kasih.
Setelah tiba di ruangan dalam Istana Pulau Es dan mereka telah mengambil tempat duduk,
Suma Han lalu berkata kepada Milana, "Sekarang ceritakanlah apa yang telah terjadi." Dia
berhenti sebentar dan mengerling ke arah Keng In dan Koai-san-jin yang hanya duduk
sambil menunduk, kemudian disambungnya, "Dan di mana adanya Gak Bun Beng dan Giam
Kwi Hong?"
Milana turun dari tempat duduknya dan menjatuhkan diri berlutut di depan ayahnya,
menangis lagi. "Ayah, ampunkan saya...."
Suma Han menarik napas panjang dan menyentuh rambut kepala puterinya itu.
"Milana, bersikaplah tenang dan ceri-takan semua."
"Enci Kwi Hong dan.... dan.... Bun Beng telah tewas, Ayah...."
Terdengar seruan kaget dari mulut Nirahai dan Lulu, dan kalau saja Suma Han tidak
memiliki kekuatan batin yang luar biasa, dia pun tentu akan terkejut bukan main mendengar
berita hebat ini. Sejenak suasana menjadi sunyi sekali, yang terdengar hanya isak Milana.
"Ayah.... Ibu.... semua telah saya ceri-takan kepada Sai-cu Lo-mo, harap Bhok--kongkong
saja yang mewakili saya men-ceritakan kepada Ayah dan Ibu...."
Suma Han dan Nirahai menoleh kepa-da kakek lumpuh itu dan Nirahai meng-angguk sambil
berkata, "Lo-mo, cerita-kanlah apa yang telah terjadi."
Sai-cu Lo-mo segera menceritakan de-ngan singkat dan jelas, mengulang penu-turan
Milana kepadanya, betapa Milana bertemu dengan anak buah Tiong-gi-pang, kemudian
bertemu dengan dia dan betapa dara itu menceritakan semua kejahatan yang dilakukan Gak
Bun Beng di Pulau Neraka, merayu dan mengajak berjina dara itu yang ditolaknya,
kemudian beta-pa Milana menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa Bun Beng berjina
dengan Kwi Hong. Kemudian dia menceritakan munculnya dua orang dara yang juga
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
781 menjadi korban perkosaan Gak Bun Beng dan betapa ketiga orang dara itu, kemudian
dibantu oleh Wan Keng in dan Koai-san-jin, berhasil mengepung Bun Beng yang
bersembunyi di dalam guha. Akhirnya dia menceritakan peristiwa yang disaksikannya sendiri
ketika Kwi Hong membantu Bun Beng sehingga akhirnya kedua orang itu terjerumus ke
dalam jurang yang amat dalam dan diduga tentu sudah tewas.
"Sungguh tidak kusangka....!" Terdengar Lulu memberi komentar setelah mendengar
penuturan singkat kakek lum-puh itu.
"Untung engkau masih dapat menjaga kehormatanmu, Milana!" Nirahai meme-luk anaknya.
Suma Han duduk seperti arca kemudian menarik napas panjang. Penuturan itu sungguh tak
disangkanya sama sekali, dan andaikata bukan kakek lumpuh itu yang mewakili Milana,
agaknya akan sukar dapat dipercaya. Mungkinkah Bun Beng berubah menjadi sejahat itu"
Dan Kwi Hong" Anak yang dididiknya sejak kecil"
"Ibu, aku mendengar bahwa Gak Bun Beng adalah keturunan Gak Liat datuk kaum sesat
yang jahat seperti iblis. Ti-daklah aneh kalau dia pun mewarisi watak ayahnya," Wan Keng In
menghentikan kata-katanya ketika sinar mata Suma Han menyambar seperti kilat ke
arahnya. Sinar mata Pendekar Super Sak-ti itu seolah-olah halilintar menyambar dan
agaknya pendekar itu dapat menje-nguk dan membaca semua yang terkan-dung di dalam
hatinya! "Keng In, engkau adalah anakku juga dan aku ayahmu. Hayo ceritakan mengapa Milana
sampai berada di Pulau Neraka?"
Ditanya begini, seketika wajah Wan Keng In menjadi pucat. Melihat keadaan pemuda itu,
Milana yang merasa bahwa Keng In kini telah berubah menjadi baik, bahkan telah
membantunya mati-matian ketika menghadapi Bun Beng, segera ber-kata, "Ayah, karena
tidak betah berada di istana di kota raja, saya pergi keluar, dan bertemu dengan dia. Saya
menerima ajakannya untuk pergi ke Pulau Neraka."
Suma Han memandang wajah dara itu, Milana cepat menunduk karena dia pun tidak tahan
melihat sinar mata yang se-olah-olah menembus dadanya itu. Lulu maklum betapa dahulu
puteranya amat nakal, maka dia membentak, "Keng In! Hayo kauceritakan dengan terus
te-rang. Seorang jantan harus berani menga-kui segala kesesatannya dan pengakuan itu
sudah merupakan langkah pertama ke arah perbaikan!"
Mendengar ini, Suma Han memandang Lulu dengan senyum di bibir dan meng-angguk-
angguk. Wan Keng In segera menjatuhkan diri berlutut di depan ayah tirinya itu dan berkata,
"Tidak saya sangkal bahwa saya pernah jatuh cinta kepada Adik Milana. Akan tetapi setelah
saya mendengar bahwa dia adalah saudara tiri saya, cinta itu berubah menjadi cinta seorang
kakak, maka saya membantunya untuk mencari dan menghadapi Gak Bun Beng. Harap
Ayah sudi mengampuni semua kesalahan saya."
Kembali pendekar besar itu menarik napas panjang. "Sudahlah...." katanya untuk menutupi
rasa perih di dalam hatinya karena kematian Kwi Hong yang sama sekali tidak disangka-
sangka itu. Kemudian dia menoleh kepada Sai-cu Lo-mo dan Koai-san-jin.
"Lo-mo, sebagai bekas pembantu iste-ri saya, bukanlah orang luar dan saya mengucapkan
terima kasih atas segala bantuanmu. Juga kepada Koai-san-jin Totiang, sebagai seorang
tamu kami, saya menghaturkan terima kasih. Ji-wi (Anda Berdua) kami persilakan untuk
tinggal di sini selama tiga hari, setelah itu akan kami antar kembali ke darat."
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
782 Dua orang kakek itu menghaturkan terima kasih dan mereka masing-masing memperoleh
sebuah kamar di dalam Istana Pulau Es itu sebagai tamu-tamu. Akan tetapi karena di istana
kuno itu tidak terdapat pelayan, maka tentu saja penyambutan pihak penghuni istana juga
amat bersahaja. Betapapun juga Nirahai dan Lulu yang masing-masing merasa amat
berbahagia karena anak mereka telah datang dengan selamat, mempersiapkan perjamuan
makan dan membuat masakan-masakan dari bahan yang memang banyak disediakan di
pulau itu, kemudian di malam hari itu, sebagai pe-rayaan kembalinya anak-anak mereka,
mereka menjamu dua orang tamu itu dengan masakan dan arak.
Ketika sore hari tadi, selagi Nirahai, Milana dan Lulu sibuk di dapur mempersiapkan
masakan diam-diam Wan Keng In pergi ke dalam kamar Koai-san-jin dan mereka berdua
bicara dengan bisik-bisik, kelihatan serius sekali. Kurang lebih satu jam lamanya dua orang
ini bicara bisik--bisik, kemudian Wan Keng In meninggalkan kamar itu dan pergi ke dapur
untuk membantu tiga orang wanita yang sibuk mempersiapkan masakan-masakan.
Malam itu perjamuan sederhana dila-kukan dengan cukup meriah. Bahkan Suma Han
kelihatan gembira dan berseri wajah-nya. Agaknya pendekar ini telah melupa-kan kedukaan
hatinya karena kematian Kwi Hong, dan agaknya melihat kedua orang isterinya bergembira,
dia pun ikut gembira. Setelah perjamuan selesai yang dilanjutkan dengan omong-omong,
mereka semua pergi beristirahat di kamar masing masing. Sebentar saja keadaan menjadi
sunyi, agaknya semua orang kebanyakan minum arak sehingga dapat segera tidur dengan
nyenyak. Akan tetapi, pada keesokan harinya, terjadilah hal yang amat luar biasa. Pen-dekar Super
Sakti Suma Han, Nirahai, Lulu, Milana dan Sai-cu Lo-mo keluar dari kamar dan berjalan
dengan sinar mata kosong! Sai-cu Lo-mo juga berlon-catan dengan alis berkerut dan mata
bingung, mulutnya tiada hentinya berta-nya. "Di mana aku" Apa yang terjadi" Di mana ini?"
Keluarga Pendekar Super Sakti, kecuali Wan Keng In, juga saling pandang dengan mata
kosong seolah-olah tidak saling mengenal lagi. Mereka lalu duduk di atas kursi dan
termenung! Mereka telah kehilangan ingatan!
Wan Keng In dan Koai-san-jin saling memandang dan tersenyum lebar, mem-buat wajah
Wan Keng In makin tampan akan tetapi wajah kakek itu menjadi makin buruk!
"Bagus sekali, Wan-taihiap! Racun perampas ingatan itu benar-benar menga-gumkan
sekali!" Koai-san-jin berkata memuji.
"Racun ini adalah buatan Suhu Cui--beng Koai-ong, tentu saja hebat!" Keng In berkata,
"Sekarang, apa yang hendak kaulakukan terhadap mereka, Bhong-koksu?"
"Heh-heh-heh, aku sudah bukan Koksu lagi, melainkan seorang tua bertubuh rusak seperti
setan yang hanya ingin me-laksanakan pembalasan dendamku. Serah-kan saja Pendekar
Siluman dan Puteri Nirahai kepadaku, Wan-taihiap, dan yang lain-lain terserah kepadamu."
"Bagus, memang begitulah kehendakku. Aku tidak peduli apa yang akan kaulaku-kan
terhadap diri mereka berdua. Aku akan membawa ibuku dan Milana ke Pulau Neraka."
"Dan Si Lumpuh Sai-cu Lo-mo...."
"Dia" Ha-ha, orang sudah lumpuh be-gitu untuk apa" Bunuh saja atau tinggalkan sendiri di
sini!" Mereka berdua tertawa bergelak, gembira karena mereka telah berhasil menundukkan
pendekar yang paling hebat di dunia ini. Pendekar Super Sakti bersa-ma isteri-isterinya yang
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
783 sakti! Sambil tersenyum-senyum mereka berdua lalu memasuki ruangan di mana Suma Han,
Nirahai, Lulu, Milana dan Sai-cu Lo-mo duduk di kursi dengan sinar mata kosong.
"Suma Han dan Puteri Nirahai, mari-lah kalian ikut bersamaku. Ada urusan penting sekali
yang akan kusampaikan kepadamu!" berkata Koai-san-jin kepada Suma Han dan Nirahai.
Kedua orang ini memandang kepada kakek buruk itu de-ngan bingung dan biarpun mereka
bangkit berdiri, namun agaknya mereka ragu-ragu.
"Lihat, aku adalah Koai-san-jin, saha-bat baik kalian! Mari kalian ikut bersa-maku untuk
mengambil pusaka Pulau Es yang disimpan di sana!" Kakek itu menuding ke luar.
"Pusaka Pulau Es....?" Suma Han menggumam, kemudian dia melangkah bersama Nirahai
mengikuti kakek muka buruk yang mendahului mereka keluar dari istana menuju ke bagian
yang paling tinggi dari pulau itu, di sebuah tebing di pantai yang amat curam. Suami


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pen-dekar itu mengikuti kakek muka buruk dengan gerakan seperti mayat-mayat hidup!
*** Kita tinggalkan dulu keadaan Pulau Es yang menegangkan karena bahaya maut yang
mengancam keluarga Pendekar Super Sakti, dan mari kita melihat bagai-mana dengan
keadaan Giam Kwi Hong dan Gak Bun Beng, dua orang muda yang terjungkal ke dalam
jurang yang amat curam itu.
Benarkah dugaan Milana bahwa karena cintanya kepada Kwi Hong, Gak Bun Beng sengaja
meloncat untuk membunuh diri mengikuti kematian Kwi Hong" Tentu saja sama sekali tidak
begitu! Ketika Bun Beng yang sudah terluka itu melihat Kwi Hong datang menolong-nya dan
membelanya, dia merasa terharu dan berterima kasih sekali kepada nona ini. Akan tetapi
dapat dibayangkan beta-pa kaget hatinya ketika dia melihat Kwi Hong terdesak hebat dan
biarpun dia sudah berteriak memberi peringatan, na-mun terlambat dan tubuh dara itu
ter-jengkang masuk ke dalam jurang yang amat curam Bun Beng cepat melompat dan terjun
ke dalam jurang dengan niat untuk sedapat mungkin menolong gadis itu.
Lompatan Bun Beng yang amat cepat itu, membuat ia berhasil menyusul tubuh Kwi Hong.
Dengan lengan kirinya dia menyambar tubuh itu dan berhasil me-rangkul pinggang gadis itu
yang sudah menjadi hampir pingsan karena merasa ngeri terjerumus ke dalam jurang yang
amat dalam itu. Kini tubuh keduanya meluncur ke bawah dengan kecepatan yang
mengerikan, Kwi Hong menjadi pingsan ketika pandang matanya menjadi gelap oleh kabut
yang menyambutnya di waktu tubuh mereka meluncur ke bawah. Akan tetapi, gadis ini tetap
memegang gagang Li-mo-kiam dengan erat dan seolah-olah tangan kanannya menjadi kaku
mencengkeram gagang pedangnya.
Biarpun lengan kirinya memeluk ping-gang Kwi Hong dan lengan kanannya sudah setengah
lumpuh oleh luka besar di pangkal lengan, namun tangan kanan Bun Beng masih tetap
memegang Hok--mo-kiam dan pikirannya masih terang. Dia maklum bahwa kalau dia tidak
mam-pu menahan luncuran tubuh mereka ber-dua, mereka tentu akan terbanting ke dasar
jurang yang amat dalam dan tidak mungkin lagi dia menyelamatkan nyawa Kwi Hong atau
nyawanya sendiri. Betapa pun kuatnya, tubuhnya dan tubuh Kwi Hong tentu akan terbanting
remuk. Maka mulailah dia menggerak-gerakkan pedang di tangan kanannya, menusuk ke
kanan kiri secara ngawur karena kanan kirinya gelap bukan main.
Kalau belum tiba saatnya untuk mati, betapapun hebat bahaya mengancam nya-wa
seseorang, ada saja jalannya untuk menyelamatkan diri. Bun Beng yang menusuk-nusukkan
pedangnya itu, tiba-tiba mengerahkan tenaga karena pedang-nya menusuk benda keras di
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
784 sebelah kanannya dan mukanya terasa perih seperti dicambuk. Cepat dia mengumpulkan
tena-ga di lengan kanannya dan menggerakkan kedua kakinya untuk menahan luncuran
tubuh. Lengannya terasa seperti akan terlepas dari pundak, nyeri bukan main sampai
mulutnya mengeluarkan teriakan merintih panjang ketika cengkeraman pada gagang
pedangnya itu menghentikan luncuran tubuhnya yang diganduli tubuh Kwi Hong.
Ketika ia sudah dapat mengatasi rasa nyeri yang seolah-olah merobek seluruh tubuhnya,
Bun Beng melihat bahwa tu-buhnya berada di dalam sebuah pohon yang tumbuh di dinding
jurang dan pedang Hok-mo-kiam tadi secara kebetulan sekali telah dapat menancap di
batang pohon itu. Timbul seketika harapannya untuk hidup. Dia mengangkat tubuh yang tadi
dikempitnya itu ke atas pundak, menggunakan tangan kirinya untuk meng-ambil pedang Li-
mo-kiam yang masih tergenggam oleh tangan kanan dara itu, kemudian dia mencari dahan
yang cukup besar untuk duduk dan mengatur napas. Pedang Hok-mo-kiam dia biarkan
menancap dan menembus batang pohon itu, bahkan kini dia menancapkan Li-mo-kiam di
dahan agar jangan jatuh ke bawah. Ketika dia memandang ke bawah, dia memejamkan
matanya penuh kengerian. Kini tampak dasar jurang itu yang meru-pakan sungai atau bekas
sungai dangkal, penuh dengan batu-batu yang besar. Ten-tu tubuhnya dan tubuh Kwi Hong
akan hancur kalau jatuh ke bawah sana! Me-mandang ke atas hanya tampak awan menutupi
puncak tebing jurang. Akan tetapi dinding jurang itu ternyata banyak ditumbuhi pohon-pohon
kecil dan batu-batu menonjol sehingga memungkinkan orang untuk memanjat ke atas!
Bun Beng memangku Kwi Hong yang masih pingsan. Tak lama kemudian dara itu mengeluh
panjang dan membuka matanya. Sebelum dia bergerak, Bun Beng cepat memegang kedua
lengannya dan berkata, "Kwi Hong, jangan bergerak! Kita masih hidup, tertolong oleh pohon
yang tumbuh di dinding jurang ini. Te-nanglah, kita masih mempunyai harapan besar untuk
keluar dari bahaya!"
Kwi Hong membelalakkan matanya, memegang dahan pohon dan menekan perasaannya
yang ngeri kalau dia teringat betapa tadi dia terjerumus ke dalam ju-rang! Tahulah dia begitu
melihat Bun Beng bahwa pemuda ini yang menolong-nya!
Dia memandang ke bawah dan seperti yang dilakukan Bun Beng tadi, dia meme-jamkan
mata, kemudian memandang ke atas, lalu kembali memandang Bun Beng dan menarik
napas panjang. Dengan suara halus dia berkata, "Kembali engkau telah menyelamatkan
nyawaku. Aku melihat engkau tadi meloncat mengejarku. Gak Bun Beng, mengapa engkau
rela memper-taruhkan nyawamu untuk menolongku?" Sepasang mata itu menatap wajah
Bun Beng dengan penuh perhatian, dengan tajam sekali seolah-olah hendak membuka dada
menjenguk isi hati pemuda itu.
"Ah, mengapa engkau masih bertanya, Kwi Hong" Tentu saja aku akan menolong siapa
yang terancam bahaya. Engkau sen-diri tanpa mempedulikan lawan yang lihai dan banyak
jumlahnya, telah membela aku di atas tadi."
Kwi Hong lalu menarik napas panjang, kemudian berkata, suaranya bernada sedih, "Tentu
saja begitu.... mengapa aku me-nyangka yang bukan-bukan" Tentu saja engkau
menolongku bukan karena engkau.... cinta padaku...." Gadis itu meme-jamkan kedua
matanya dan mengerutkan alisnya.
Bun Beng menyentuh lengannya, "Kwi Hong.... apa artinya kata-katamu itu?"
Tanpa membuka matanya Kwi Hong menjawab lirih, "Artinya, Bun Beng.... bahwa semenjak
dahulu aku jatuh cinta kepadamu biarpun aku maklum bahwa hal ini tidak mungkin
dilanjutkan, bahwa eng-kau mencinta Milana dan.... aku pun men-jadi korban cintaku yang
sepihak itu...."
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
785 Kwi Hong lalu menceritakan semua pengalamannya, betapa dia telah tertipu oleh
rombongan Koksu sehingga membantu mereka dan setelah para pemberontak kalah, dia
bahkan mengajak Koksu dan kaki tangannya itu ke Pulau Es! Betapa kemudian pamannya
datang bersama kedua orang isteri pamannya, Puteri Nira-hai dan Lulu, dan betapa Koksu
dan kaki tangannya dapat dikalahkan oleh paman-nya dan diusir dari Pulau Es. Kemudian
dia disuruh oleh pamannya untuk mendari Bun Beng dan Milana.
"Engkau.... engkau telah dijodohkan dengan Milana...."
Bun Beng termenung. "Akan tetapi.... mengapa Milana bersikap seperti itu?"
"Agaknya aku mengerti apa yang telah terjadi," Kwi Hong menarik napas panjang "Semua
gara-gara Si Jahanam Wan Keng In. Orang itu benar-benar amat jahat sekali, melebihi iblis!"
Dia lalu menceritakan betapa ia men-dengar bahwa Milana diculik orang. Dia menduga
bahwa tentu Wan Keng In yang menculiknya, maka dia menyusul ke Pu-lau Neraka.
"Kembali aku tertipu oleh Wan Keng In, dan.... dan.... di Pulau Neraka.... aihh...." Tiba-tiba
Kwi Hong menangis tersedu--sedu, teringat betapa dia telah menyerahkan diri dengan suka
rela, penuh kemesraan, penuh kehangatan dan kebahagiaan, kepada Wan Keng In yang
di-sangkanya adalah Gak Bun Beng!
"Kenapa Kwi Hong" Apa yang terja-di....?"
Diceritakanlah semua secara terus terang oleh Kwi Hong, betapa di tengah jalan dia diberi
racun perampas ingatan oleh Keng In, kemudian betapa pemuda Pulau Neraka itu
menyamar sebagai Bun Beng dan merayunya sehingga dia menye-rahkan diri dan
kehormatannya! "Tadinya aku tidak tahu sama sekali bahwa ingatanku telah hilang sehingga aku
menganggap bahwa orang yang ber-samaku pergi ke Pulau Neraka adalah.... engkau.... dan
setelah tiba di Pulau Ne-raka, baru aku sadar namun.... sudah ter-lambat....! Aku melihat
Milana juga te-rampas ingatannya, Milana melihat betapa aku ber.... bermain cinta, berjina
dengan.... Gak Bun Beng yang sebetulnya adalah Wan Keng In.... semua telah diatur oleh
Keng In agar Milana membencimu! Ketika Keng In muncul yang disangka engkau oleh
Milana, Milana menyerangnya. Dia lari ketika kau datang.... kami mengejar dan berpisah di
daratan...."
Bun Beng bengong memandang Kwi Hong. Melihat Kwi Hong menangis lagi terisak-isak,
menjadi terharu sekali dan merangkul pundak gadis itu.
"Kwi Hong.... mengapa kaulakukan itu...." Mengapa kau begitu mudah menye-rahkan diri
kepada seorang pria, biarpun kau mengira pria itu aku orangnya?"
Kwi Hong mengangkat mukanya yang merah dan basah air mata. "Karena aku cinta
kepadamu, Bun Beng. Karena aku tahu bahwa tak mungkin menjadi isterimu karena engkau
telah dijodohkan dengan Milana. Maka aku rela menyerahkan diri-ku kepadamu.... biarpun
tidak usah menjadi isterimu.... akan tetapi.... ya Tuhan, kiranya bukan engkau itu, melainkan
Si Jahanam Keng In." Tiba-tiba matanya terbelalak lebar dan berseru penuh sema-ngat,
"Aku harus membunuhnya! Harus!"
Bun Beng menundukkan mukanya. Mengertilah dia sekarang. Dengan menggu-nakan obat
racun perampas ingatan, Wan Keng In telah memperkosa Kwi Hong, kemudian dia pun
meracuni Milana sehingga dara itu kehilangan ingatannya pula, maka mudah saja Milana
tertipu ketika melihat Keng In dan Kwi Hong bermain cinta, mengira bahwa Keng In adalah
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
786 dia sendiri sehingga Milana mem-bencinya setengah mati! Dan dia dapat menduga sekarang
bahwa yang membunuh suami isteri di pinggir telaga setelah memperkosa isteri itu, tentu
bukan lain adalah Wan Keng In pula! Juga yang memperkosa Lu Kim Bwee dan
menggu-nakan namanya, tentu pemuda itu yang agaknya amat membencinya dan sengaja
memalsukan namanya untuk merusak na-ma baiknya. Hanya dia tidak mengerti mengapa
Ang Siok Bi puteri Ketua Bu-tong-pai itu pun ikut membencinya" Dan kakek bermuka buruk
itu" Semua ini ada-lah siasat Wan Keng In. Mengapa Wan Keng In demikian membencinya"
"Sungguh heran sekali, mengapa dia begitu membenciku" Mengapa sejak dahu-lu Wan
Keng In memusuhi aku dan kini berusaha mati-matian untuk merusak namaku?"
"Apakah engkau belum dapat mengerti Bun Beng" Dia membencimu karena cem-buru. Dia
jatuh cinta kepada Milana, sebaliknya Milana tidak melayaninya karena Milana cinta
kepadamu. Itulah sebabnya."
Bun Beng menggeleng-geleng kepala-nya dan seperti berkata kepada diri sendiri dia
berkata. "Cinta....! Betapa ganjil orang yang terkena penyakit ini! Wan Keng In rela
melakukan perbuatan yang amat keji, memperkosa, membunuh, untuk merusak namaku
gara-gara cembu-ru dan katanya dia mencinta! Engkau sendiri sampai rela menyerahkan diri
dan kehormatan, juga karena cinta! Milana sekarang amat membenciku, siap untuk
membunuhku dengan tangannya sendiri, juga gara-gara benci yang timbul dari cinta!
Benarkah semua itu adalah cinta" Begitu buruk, begitu keji dan hinakah cinta yang diagung-
agungkan itu" Atau semua itu sesungguhnya hanya nafsu be-laka yang memakai kedok
cinta sehingga bukanlah cinta yang sesungguhnya?"
"Gak Bun Beng, engkau sendiri, bu-kankah engkau mencinta Milana?" Kwi Hong bertanya
karena ucapan-ucapan orang yang dicintanya itu benar-benar mendatangkan kesan di dasar
hatinya. Bun Beng menarik napas panjang. "Setelah menyaksikan semua peristiwa yang terjadi
karena perasaan apa yang disebut cinta, semua kekacauan, pertentangan, permusuhan,
penderitaan, yang timbul karena hal yang dinamakan cinta itu, aku sendiri menjadi bingung
dan tidak berani mengatakan apakah aku benar-benar cinta kepada Milana atau kepada
siapapun juga. Aku merasa ngeri kalau ternyata kemu-dian bahwa cintaku kepada Milana
ternyata sama saja nilainya seperti cinta--cinta mereka itu! Betapa mengerikan! Aku akan
merasa jijik kepada diriku sen-diri kalau cintaku hanya seperti itu! Kwi Hong, aku tidak tahu
lagi! Sudahlah, tak perlu kita tenggelam lebih dalam membicarakan urusan cinta yang sulit
ini. Yang membuat aku tidak mengerti, mengapa puteri Ketua Bu-tong-pai ikut--ikutan
memusuhi aku" Dan pula kakek muka buruk itu....!"
"Aku sendiri tidak tahu mengapa gadis-gadis itu memusuhimu. Agaknya juga menjadi
korban Wan Keng In yang meng-gunakan namamu. Akan tetapi kakek itu.... hemmm,
apakah engkau tak dapat men-duganya dia siapa?"
"Siapakah dia?"
"Aku berani bertaruh bahwa dia itu tentu Bhong Ji Kun!"
"Koksu....?" Bun Beng terbelalak, ke-mudian mengingat-ingat dan mengangguk. "Kau benar!
Sekarang aku ingat akan gerakan-gerakannya! Akan tetapi mukanya.... mengapa menjadi
seperti itu?"
"Ketika Koksu dan anak buahnya di-usir oleh paman meninggalkan Pulau Es, mereka
menggunakan perahu besar mere-ka ke selatan. Agaknya perahu mereka diserang badai,
dan dengan bantuan Wan Keng In sehingga aku makin mudah ter-bujuk dan tertipu olehnya,
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
787 aku berhasil membunuh tiga orang pembantunya yang berhasil menyelamatkan diri di pantai
Po-hai. Aku tidak melihat Koksu di anta-ra mereka, agaknya Koksu pun berhasil
menyelamatkan diri di tempat lain, akan tetapi.... dalam keadaan rusak mukanya seperti itu."
Bun Beng memandang Kwi Hong dengan muka membayangkan kekhawatiran. "Dan Milana
berada bersama Keng In dan Koksu!"
"Memang berbahaya sekali. Kalau ti-dak segera mendapat pertolongan, tentu Milana akan
celaka," kata Kwi Hong.
"Kalau begitu kita tunggu apalagi Kwi Hong, mari kita mencoba memanjat ke atas dengan
bantuan pedang kita."
Kwi Hong mengangguk, akan tetapi sebelum Bun Beng mulai merayap mem-buka jalan, dia
memegang lengan pemuda itu. "Pundakmu terluka parah...."
"Tidak apa, aku dapat bertahan."
"Bun Beng...."
"Ada apa, Kwi Hong?"
"Tadinya aku sudah bersumpah di da-lam hatiku sendiri bahwa aku tidak akan kembali ke
Pulau Es. Sekarang, bersama-mu dan melihat perkembangannya, mau tidak mau iku harus
kembali ke sana karena aku menduga bahwa tentu Keng In melanjutkan siasatnya dan
mengajak Milana ke Pulau Es. Karena itu, Bun Beng, maukah engkau berjanji....?"
Bun Beng mengerutkan alisnya. Gadis ini telah mengalami hal yang amat me-nyedihkan.
"Katakanlah, aku akan memenuhi permintaanmu, Kwi Hong."
"Aku tahu bahwa tidak mungkin aku menjadi jodohmu, karena itu, aku hanya minta agar
kelak, baik aku dalam keada-an hidup atau sudah mati, sukakah eng-kau berjanji akan....
akan selalu ingat kepadaku, dan tidak akan melupakan aku?"
Bun Beng merasa jantungnya seperti ditusuk. Gadis yang telah tertimpa mala-petaka hebat
ini yang agaknya sudah tidak mempunyai gairah hidup, tidak memiliki harapan apa-apa lagi
di dunia dan kebahagiaannya sudah hancur, agaknya menjadi seperti seorang anak kecil!
Dengan penuh keharuan dia memegang kedua tangan dara itu. Lalu menunduk dan
mencium dahi Kwi Hong sambil berbisik, "Aku berjanji, Kwi Hong, bahwa aku akan
mengingatmu selalu. Mana mungkin aku dapat melupakanmu, Kwi Hong?"
Terdengar sedu sedan naik dari dada gadis itu, akan tetapi dia tersenyum, wajahnya berseri
dan matanya berkejap--kejap untuk mengusir dua butir air mata yang mengganggu
penglihatannya. "Engkau baik sekali, Bun Beng. Terima kasih....! Nah, mari kita lekas
memanjat naik, tunggu apa lagi?" Dalam suara Kwi Hong kini terkandung kegairahan yang
aneh, seolah-olah janji yang diberikan oleh Bun Beng untuk selalu mengingatnya menjadi
semacam obat dalam kegelapan yang dihadapinya!
Maka merayap dan memanjatlah kedua orang itu ke atas dengan hati-hati sekali, berpegang
pada akar-akar dan batang--batang pohon dan batu-batu menonjol, dibantu oleh pedang
mereka yang dapat ditancapkan pada dinding jurang sehingga dapat dipergunakan sebagai
pegangan. Karena keduanya telah memiliki gin-kang yang tinggi, dan di tangan mereka
ter-dapat sebatang pedang pusaka yang amat ampuh, maka biarpun amat lambat, perlahan-
lahan mereka dapat naik juga meninggalkan pohon penolong mereka itu untuk menuju ke
puncak tebing dari mana mereka tadi meluncur jatuh.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
788 Tebing di atas pantai Pulau Es itu amat curam. Dari tepi tebing itu kalau orang menjenguk
ke bawah akan tampak gelombang memecah di batu-batu karang yang meruncing seperti
barisan tombak. Dan dalamnya tebing ini tidak kurang dari seribu kaki. Gelombang air laut
yang memecah batu karang itu dari atas hanya kelihatan seperti mainan kanak-kanak saja,
Suma Han dah Nirahai berdiri di tepi tebing itu tanpa bergerak, seperti dua buah arca batu,
menghadap ke laut. Namun, kakek bermuka setan, Koa-san--jin, biarpun memiliki ilmu
kepandaian tinggi, tidak berani mendorong mereka dari belakang, karena dia maklum bahwa
biarpun kedua orang suami isteri itu da-lam keadaan hilang ingatan, namun mereka itu
masih tidak kehilangan ilmu kepandaian mereka yang sudah mendarah daging dan kalau
sampai gagal, tentu dia akan menghadapi kesulitan besar.
Tanpa bicara, dikeluarkannya dua gulung tali panjang sekali yang memang sudah
dipersiapkan lebih dulu untuk me-laksanakan siasat yang sudah direncanakannya bersama
Keng In. Ujung kedua tali diikatkannya pada batu karang yang berada di puncak tebing,
kemudian kedua tali itu dilepas gulungannya dan dilempar ke bawah tebing. Kedua tali yang
panjang itu kurang lebih hanya tiga ratus kaki panjangnya, tampak tergantung di bawah dan
bergoyang-goyang terbawa angin.
"Suma Han dan Nirahai, kalian adalah majikan-majikan Pulau Es. Pusaka-pusaka Pulau Es
berada di dinding tebing ini, kira-kira tiga ratus kaki dalamnya dari atas, tersembunyi di
dalam sebuah guha. Sekarang turunlah kalian melalui tali-tali itu dan bawa peti berisi
pusaka-pusaka itu ke atas sini."
"Pusaka....?" Suma Han berkata meragu.
"Majikan Pulau Es....?" Nirahai juga berkata dan mengerutkan alisnya.
"Lekas kalian menuruni tali itu kalau tidak, tentu pusaka itu akan diambil orang lain yang
akan memanjat dari ba-wah sana. Aku akan menjaga di atas dan menjamin agar tidak ada
orang yang mengganggu pekerjaan kalian."
"Kau.... kau siapakah....?"
"Ha-ha-ha, aku adalah sahabat baik kalian. Namaku Bhong Ji Kun!" Kakek itu yang
sebetulnya memang bekas Koksu Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun dengan berani
memperkenalkan namanya. Menga-pa tidak berani" Sekarang dia tidak perlu
menyembunyikan dirinya lagi, karena tetap saja Pendekar Super Sakti dan Puteri Nirahai


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak akan mengenal nama lamanya itu.
Suma Han dan Nirahai mengangguk dan keduanya lalu meloncat, menyambar tali dan mulai
merayap turun melalui tali-tali itu. Bhong Ji Kun yang sudah berjongkok di tebing dan
menjenguk ke bawah, tersenyum lebar. Makin jauh kedua orang itu merayap, senyumnya
makin melebar dan akhirnya dia tertawa bergelak, menggunakan sebatang golok di tangan
kanan untuk membacok tali yang tergantung ke bawah. Dan dua buah tali itu putus dan
lenyap ke bawah tebing "Ha-ha-ha! Puas hatiku sekarang, telah dapat membalas dendam
kepada Pendekar Super Sakti dan Puteri Nirahai, ha-ha-ha!" Sekali lagi dia menjenguk dan
tidak meli-hat dua orang korbannya karena terlalu dalam, tampak olehnya dua helai tali itu
seperti benang kecil di antara gulungan ombak. Dia tertawa lagi kemudian berlari-lari menuju
ke istana Pulau Es.
Ketika dia tiba di istana tua itu, dia melihat Keng In sedang sibuk berkemas, membawa
barang-barang berharga yang dapat dia temukan di istana itu ke dalam sebuah perahu.
Milana dan Lulu berdiri bengong, seperti dua orang anak kecil yang tidak tahu apa-apa.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
789 "Ibu, Milana, ini adalah...."
"Bhong Ji Kun, sahabat baik, heh-heh!" Bekas koksu itu menyambung dan Keng In juga
tertawa karena dia tahu bahwa kini sudah "aman" untuk memperkenalkan kakek itu.
Lulu dan Milana memandang kepada kakek bermuka buruk itu, kelihatan ngeri membayang
di wajah mereka.
"Bagaimana" Sudah bereskah mereka?" Keng In bertanya.
Bhong Ji Kun tersenyum menyeringai puas. "Sudah, berkat kecerdikanmu, Wan--taihiap.
Terima kasih! Mereka sudah ter-banting ke bawah tebing, heh-heh!"
"Hemm, tidak kaubereskan dengan kedua tangan sendiri" Apakah sudah kau-lihat benar
bahwa mereka itu sudah tewas?" Keng In mengerutkan alisnya karena biarpun yakin bahwa
Pendekar Siluman dan Puteri Nirahai tak berdaya oleh racun perampas ingatan, namun
kedua orang itu terlampau lihai untuk dipandang rendah begitu saja.
"Jangan khawatir. Mereka sedang ber-gantung di tali dan kedua tali itu kupu-tus dengan
golokku sendiri. Kulihat tali itu sudah berada di antara ombak di bawah. Mereka tentu tak
dapat terbang menghindarkan maut."
"Hemm, betapapun juga, mari kita lekas pergi dari tempat ini, Seng-jin. Aku merasa ngeri
berada di tempat ini terlalu lama."
"Aahh, Wan-taihiap. Takut apa lagi sih" Setelah Pendekar Siluman dan Puteri Nirahai
mati...." "Bhong Ji Kun pemberontak keparat! Kau bilang apa?" Tiba-tiba tampak dua bayangan
berkelebat dan tahu-tahu di depan mereka telah berdiri Giam Kwi Hong dan Gak Bun Beng!
Ketika bekas Koksu itu mendengar bentakan Bun Beng ini, dia terkejut seka-li. Rahasianya
sudah diketahui orang, dan dia terkejut melihat pemuda dan gadis yang sudah terjerumus ke
dalam jurang sedemikian dalamnya, ternyata belum mati dan tahu-tahu muncul di tempat itu,
juga Wan Keng In berdiri memandang dengan mata terbelalak dan bulu tengkuk bangun
berdiri saking seremnya. Apakah dia melihat roh penasaran dari dua orang itu"
Akan tetapi berkelebatnya sinar pedang Hok-mo-kiam di tangan Bun Beng dan pedang di
tangan Kwi Hong membuktikan bahwa dia tidak ber-hadapan dengan setan penasaran
sehingga cepat Keng In mencabut Lam-mo-kiam sambil melompat mundur, sedangkan
Bhong Ji Kun yang diserang oleh Bun Beng juga sudah meloncat ke belakang menyambar
tongkatnya yang ujungnya sudah buntung dan yang tadi ia tancapkan di atas tanah.
Tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring yang amat dahsyat dan ada angin
menyambar ke arah Bun Beng dan Kwi Hong. Dua orang muda ini terkejut bukan main,
cepat mereka menarik kembali pedang dan meloncat mundur. Dua ba-yangan berkelebat
dan.... di situ telah berdiri Suma Han dan Nirahai dengan sikap angker! Suma Han
menghampiri Milana dan Lulu, menggunakan telapak tangannya mengusap kepala kedua
orang itu dan bagaikan orang baru sadar dari tidur, Lulu memandang ke sekeliling de-ngan
heran, sedangkan Milana juga mengeluh, "Ehh.... apa yang telah terjadi....?"
Sementara itu, kedua kaki Bhong Ji Kun menggigil dan matanya melotot se-perti akan
terloncat keluar dari pelupuk matanya. Ketika Keng In memandang kepadanya dengan sinar
mata penuh kemarahan, kakek ini hanya menggeleng-geleng kepala seperti orang bodoh,
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
790 mulutnya ternganga, dan dia tidak dapat mengeluarkan sepatah kata pun saking bingung
dan herannya. Tentu saja, baik Keng In maupun Bhong Ji Kun sama sekali tidak tahu bahwa semua
kejadian di pagi hari itu adalah hasil dari ilmu sihir Pendekar Super Sakti! Tidaklah mudah
untuk meni-pu seorang berilmu tinggi seperti Suma Han! Pendekar ini sudah menaruh curiga
dan berlaku hati-hati sekali. Ketika me-reka makan minum, pendekar ini telah menggunakan
sihirnya sehingga dalam pandangan Wan Keng In dan kakek muka buruk, dia dan Nirahai
ikut pula makan minum, padahal dia dan isterinya itu sama sekali tidak menjamah makanan
dan minuman dalam perjamuan itu. Suma Han sengaja membiarkan Lulu, Milana dan Sai-cu
Lo-mo ikut makan minum agar tidak mencurigakan kedua orang yang dicurigai itu. Dapat
dibayangkan betapa kaget dan marah hatinya ketika pada keesokan harinya dia melihat
Milana, Lulu dan Sai-cu Lo-mo menjadi seperti boneka-boneka hidup, kehilangan ingatan
mereka! Maka dia dan Nirahai lalu ber-sandiwara, pura-pura berada dalam keadaan lupa
ingatan seperti yang lain dan menurut saja ketika kakek muka buruk mengajak mereka ke
atas tebing di pan-tai yang berbahaya itu.
Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun bukan-lah seorang bodoh, dan sekiranya dia tidak mudah
merasa girang dan yakin akan berhasilnya obat racun perampas ingatan dari Pulau Neraka,
agaknya dia pun tidak begitu mudah dipengaruhi oleh kekuatan sihir yang dipergunakan
Suma Han. Ketika berada di puncak tebing, Suma Han kembali mempergunakan ke-kuatan
sihirnya sehingga dalam pandangan bekas Koksu itu, dia dan isterinya benar-benar
menuruni tali yang kemudian di-bikin putus oleh kakek muka buruk itu! Padahal yang
menuruni tali itu hanyalah bayangan kosong belaka! Dan Suma Han bersama Nirahai
terkejut bukan main ketika kakek itu mengaku bahwa dia sebenarnya adalah Bhong Ji Kun!
Tahulah mereka bahwa kakek ini berhasil menye-lamatkan diri dari serangan badai
sehing-ga mukanya rusak, kemudian kembali membonceng Wan Keng In untuk menun-tut
balas! Suma Han mencegah Nirahai yang sudah marah sekali dan hendak turun tangan
menyerang itu, karena ia tidak menghendaki dia sendiri atau kedua orang isterinya
melakukan penyerangan atau pembunuhan lagi.
Diam-diam mereka mengikuti Bhong Ji Kun ke istana dan mereka melihat munculnya Bun
Beng dan Kwi Hong yang langsung menyerang Bhong Ji Kun dan Wan Keng In. Melihat
munculnya Bun Beng dan Kwi Hong dada Suma Han te-rasa panas. Tentu saja dia percaya
penuh akan penuturan Milana dan dalam pan-dangan matanya, Bun Beng merupakan
seorang yang tidak kalah busuknya dibandingkan dengan bekas Koksu itu! Maka dia cepat
mencegah Bun Beng dan Kwi Hong turun tangan menyerang, dan se-telah memandang
mereka bergantian dengan sinar mata penuh kemarahan se-perti dua bara api yang
membakar, tanpa mempedulikan lagi kepada Bhong Ji Kun, Suma Han membentak.
"Gak Bun Beng! Ke sini engkau!"
Mendengar suara Pendekar Super Sak-ti yang dijunjungnya tinggi itu, Bun Beng segera
melangkah maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan pendekar itu.
"Cabut Hok-mo-kiam!"
Tanpa ragu-ragu Bun Beng mencabut pedang itu dan tampak sinar berkilat. Tadi ketika
melihat Suma Han dan Nira-hai muncul, dia sudah menyarungkan kembali pedangnya.
"Gak Bun Beng, sekarang pergunakan pedang itu untuk membunuh diri! Ataukah harus aku
yang mengotorkan tangan membunuh?"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
791 Bun Beng terkejut bukan main. Dia memandang kepada Nirahai, akan tetapi wanita itu pun
memandangnya penuh ke-bencian. Juga Lulu memandang kepadanya dengan bayangan
jijik di mukanya, se-dangkan Milana sama sekali tidak mem-pedulikannya!
"Semenjak kecil saya telah banyak berhutang budi kepada Suma Locianpwe, maka kalau
sekarang Locianpwe meng-hendaki nyawa saya yang tidak berharga, mana saya berani
menolak?" Sekali lagi dia memandang ke arah Milana dan Hok--mo-kiam digerakkan ke arah
lehernya. "Trangggg....!" Bunga api berpijar ke-tika Li-mo-kiam menangkis pedang Hok--mo-kiam itu.
"Paman, sungguh tidak adil ini!" Teriak Kwi Hong sambil berlutut di samping Bun Beng.
"Hemmm, bocah hina yang mencemar-kan nama keluarga! Engkau hendak mem-bela
kekasihmu?"
"Paman, dengarkan dulu cerita saya! Kalau sudah mendengarkan, mau bunuh Bun Beng,
mau bunuh saya, terserah! Saya tidak takut mati, Bun Beng pun tidak takut mati, akan tetapi
saya akan mati penasaran melihat Paman melakukan sesuatu yang tidak adil sama sekali!"
Wan Keng In dan Bhong Ji Kun yang maklum bahwa penuturan Kwi Hong akan
mencelakakan mereka, segera maju.
"Mereka ini orang-orang jahat yang tak berhak hidup lagi!" Wan Keng In dan Bhong Ji Kun
sudah menerjang ke arah Bun Beng dan Kwi Hong yang masih berlutut.
"Diam kalian! Jangan bergerak!" Pada saat itu, di tubuh Pendekar Super Sakti sedang
penuh dengan hawa amarah yang membuat tenaga saktinya timbul dan kuat bukan main.
Bentakannya ini seketi-ka membuat Keng In dan Bhong Ji Kun tak mampu bergerak lagi,
seperti arca-arca, atau seperti orang tertotok dalam keadaan kaku!
"Coba bicaralah, memang tidak boleh orang mati penasaran!" kata Suma Han kepada Kwi
Hong, mulai tertarik me-nyaksikan sikap Kwi Hong dan Bun Beng dibandingkan dengan
sikap Wan Keng In dan Bhong Ji Kun.
"Paman dan kedua Bibi tentu telah mendengar penuturan adik Milana dan Paman Sai-cu
Lo-mo. Mereka berdua itu hanya menjadi korban penipuan keji yang ditujukan untuk
menjatuhkan fitnah kotor kepada nama Gak Bun Beng. Terutama sekali adik Milana yang
menjadi korban penipuan keji. Semenjak dia diculik oleh Wan Keng In dan dibawa ke Pulau
Nera-ka, adik Milana telah diberi obat racun perampas ingatan sehingga dia tidak sadar
bahwa dia ditipu oleh Keng In. Wan Keng In menyamar sebagai Gak Bun Beng melakukan
perkosaan-perkosaan atas nama Gak Bun Beng sehingga menipu dua orang nona Ang dan
Lu." "Enci Kwi Hong, percuma saja engkau membelanya. Aku tahu bahwa engkau adalah
kekasihnya, tentu saja mati-matian engkau hendak membelanya. Mataku me-lihat sendiri
ketika kalian...."
"Adik Milana, Paman dan kedua Bibi. Harap mendengarkan dengan sabar. Me-mang tidak
salah bahwa adik Milana yang sengaja ditipu oleh Keng In menyaksikan saya ber.... jina
dengan orang yang dianggapnya Gak Bun Beng, padahal orang itu adalah Wan Keng In
sendiri! Adik Milana berada dalam keadaan lupa ingat-an, tentu saja dia tidak mengenal Wan
Keng In yang mengaku bernama Gak Bun Beng."
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
792 "Hemmm, kalau engkau mengerti be-gitu jelas, mengapa engkau melakukan hubungan
gelap dan kotor dengan Wan Keng In?" Suma Han membentak.
"Saya mengaku salah. Saya pun telah tertipu olehnya, ingatan saya hilang oleh racun
obatnya, dan dia mengaku Bun Beng, maka saya.... saya mengira dia Bun Beng, maka
saya.... saya.... ah, Paman. Saya sudah melakukan semua penuturan dan agar jelas harap
dengarkan pengalaman saya." Dengan cepat dan singkat namun jelas, Kwi Hong
menceritakan semua pengalamannya ketika dia ditugas-kan mencari Milana. Setelah selesai
dia menangis dan berkata, "Sekarang terserah kepada Paman, mau bunuh lekas bunuh. Apa
artinya hidup saya setelah semuanya dirusak oleh Wan Keng In?"
Wajah Milana menjadi pucat sekali, matanya terbelalak memandang kepada Bun Beng.
Setelah dia kini dalam keadaan sadar, lapat-lapat dia dapat mengingat semua
pengalamannya di Pulau Neraka, ketika dia diculik, ketika dia hampir membunuh Wan Keng
In sampai tiba-tiba muncul Gak Bun Beng, di pulau itu, hal yang kalau dipikirkan memang
tidak masuk akal. Betapa mungkin Bun Beng tiba--tiba muncul dan merayunya tanpa
diketa-hui Keng In dan guru pemuda itu" Betapa mungkin pula Bun Beng dan Kwi Hong
muncul berdua di Pulau Neraka hanya untuk bermain cinta di pondok agar kelihatan
olehnya" Benar-benar tak masuk di akal. Teringat akan semua itu, dia menjerit lirih,
"Oohhhh.... Dia benar....! Enci Kwi Hong benar! Sekarang, sekarang teringat olehku....! Ah,
Ayah.... Ibu.... sekarang aku sadar.... bukan Bun Beng yang bersalah akan tetapi Wan Keng
In....! Ah, aku telah berdosa besar....!" Sambil menangis Milana meloncat ke atas genteng
Istana dan dicabutnya pedangnya.
Sebelum lain orang bergerak, tahu--tahu Bun Beng juga sudah meloncat mengejar. Pada
saat Milana menggerak-kan pedang hendak membacok leher sendiri, Bun Beng menepuk
lengan kanan Milana dari belakang dan pedang itu ter-lepas.
"Adik Milana, jangan begitu....!"
Milana berlutut di atas genteng dan pada saat Milana menangis terisak-isak, "Aku
berdosa.... aku berdosa...."
"Milana! Turun kau!" Suma Han mem-bentak.
Sambil menangis, Milana meloncat turun dan berlutut di depan ayah dan ibunya.
"Benarkah semua cerita Kwi Hong tadi?"
"Agaknya demikian.... ya benar Ayah...., aku diculik Keng In, hampir diperkosanya akan
tetapi aku dapat mempertahankan diri...." Sambil terisak dia menceritakan semua
pengalamannya. Setelah Milana selesai bercerita, dia menangis sesenggukan.
"Anak murtad, jahanam keparat!"
Tiba-tiba Lulu memaki dan tubuhnya su-dah melesat ke arah Keng In, tangannya menampar
kepala puteranya itu dan air matanya bercucuran.
"Plak!" Tangan itu ditangkis Suma Han yang sudah mengejar. "Lulu, isteriku yang baik,
mundurlah. Kita tidak perlu mengo-torkan tangan, apalagi dia itu puteramu sendiri." Sambil
menangis dan menutupi mukanya Lulu mundur lagi.
Nirahai juga membentak. "Bhong Ji Kun engkau harus mampus!"
"Nirahai, tidak perlu....! Kita menonton saja!"
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
793 Pada saat itu, Bhong Ji Kun dan Wan Keng In sudah dapat bergerak kembali. Mereka tadi
telah mendengarkan semua dan kini dalam keadaan nekat mereka lalu menerjang maju.
Wan Keng In di-sambut oleh Kwi Hong, sedangkan Bhong Ji Kun dihadapi oleh Bun Beng.
"Wan Keng In, aku sudah bersumpah untuk membunuhmu dan membalas peng-hinaamnu
yang telah memperkosa diriku!" Kwi Hong berteriak. "Engkau atau aku harus mati untuk
melunaskan perhitung-an antara kita."
Wan Keng In tidak menjawab. Pemuda ini bingung dan gentar bukan main. Ibu-nya tak
dapat diharapkan bantuannya, dan di situ terdapat Nirahai dan Suma Han, dua orang yang
memiliki kepandaian lebih tinggi malah daripada ibunya! Karena gentar dan ketakutan, maka
kelebihan kepandaiannya atas tingkat Kwi Hong tidaklah menonjol sekali, apalagi karena Kwi
Hong kini telah mewarisi ilmu dan tenaga Inti Bumi dari Bu-tek Siauw-jin.
Pertandingan antara Bun Beng dan bekas Koksu juga amat seru, akan tetapi segera tampak
betapa bekas Koksu itu terdesak hebat. Koksu ini sudah menge-nal keampuhan Hok-mo-
kiam, maka dia bersikap hati-hati, tidak mau mengadukan tongkatnya yang sudah buntung
ujungnya oleh Hok-mo-kiam dahulu. Karena ini, juga karena memang tingkatnya tidak
mampu menandingi tingkat Bun Beng yang sudah amat tinggi, dia terdesak dan akhirnya dia
bertanding sambil berloncat-an menjauh, mencari jalan untuk melari-kan diri! Bun Beng terus
mengejar sehingga akhirnya kakek itu lari sampai di puncak tebing di mana dia tadi
"membu-nuh" Suma Han dan Nirahai dan di sini dia tidak dapat lari lagi, terpaksa mem-bela
diri mati-matian.
"Bhong Ji Kun, dosamu sudah bertumpuk-tumpuk, dan hukuman yang kauderita ketika
badai menyerangmu, agaknya tidak membikin kau bertobat!" Bun Beng memperhebat
permainan pedangnya.
"Crokkk!" Ujung tongkat di tangan bekas Koksu itu terbabat buntung dan pedang masih
terus menyambar lehernya. Terpaksa Koksu pemberontak itu menang-kis lagi karena tidak
sempat mengelak. "Krakkk!" Kini tongkat itu patah di tengah dan ujung Hok-mo-kiam masih
merobek bibir kakek itu sehingga giginya rontok semua! Wajah Bhong Ji Kun men-jadi pucat
sekali. Dia menyesal mengapa dia tidak dapat menggunakan senjatanya yang lama, yaitu
pecut kuda yang lemas. Senjata itu lebih dapat bertahan kalau dipergunakan untuk
menghadapi sebatang pedang pusaka seperti Hok-mo-kiam.
"Gak Bun Beng, mari kita mati bersama!" Tiba-tiba kakek itu menubruk, tu-buhnya melayang
seperti seekor burung garuda menyambar mangsanya. Pada saat itu Bun Beng berdiri di tepi
tebing, membelakangi tebing. Melihat serangan dahsyat yang amat membahayakan dirinya
itu, Bun Beng cepat meloncat ke kiri dan ketika tubuh lawan menyambar di sam-pingnya,
pedangnya dikelebatkan. Terdengar teriakan mengerikan ketika kedua tangan Im-kan Seng-
jin Bhong Ji Kun terbabat buntung sebatas pergelangan tangan, dan kedua tangan itu
terlempar ke bawah tebing menyusul tubuhnya yang sudah terdorong ke depan masuk ke
ba-wah tebing karena gagal menyerang tadi.
Suara pekik mengerikan itu masih bergema. Bun Beng menyarungkan Hok--mo-kiam dan
menghela napas panjang, kemudian dia berlari turun dari puncak tebing, kembali ke depan
Istana Pulau Es.
Pertandingan antara Kwi Hong dan Keng In luar biasa ramainya. Kwi Hong bertanding
dengan nekat karena memang dia hendak mengadu nyawa, membunuh atau dibunuh!
Sebaliknya, Keng In merasa bingung sekali, seperti seekor tikus yang sudah tersudut, tiada
jalan lari lagi. Me-nang atau kalah dalam pertandingan me-lawan Kwi Hong, dia akan tetap
celaka! Maka dia pun melawan mati-matian sehingga Sepasang Pedang Iblis itu seolah-olah
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
794 dua ekor naga yang sedang memperebutkan mustika, gulungan sinarnya saling belit, saling
tekan dan saling tindih menyelimuti bayangan mereka! Sinar pedang dari Sepasang Pedang
Iblis itu amat menyilaukan mata, seperti halilintar menyambar-nyambar sehingga Pendekar
Super Sakti dan kedua orang isterinya memandang dengan takjub di samping ketegangan,
kegelisahan, dan ke-dukaan yang melanda hati mereka. Milana masih berlutut, akan tetapi
kini dengan muka pucat dia pun menonton pertandingan. Ingin sekali dia membantu Kwi
Hong, ingin dia membunuh Wan Keng In yang menjadi biang keladi dari semua ini, akan
tetapi tentu saja dia takut bergerak, takut kepada ayahnya dan ibunya. Wajah Lulu yang kini
semenjak dia tinggal di Pulau Es menjadi biasa lagi, tampak pucat. Juga Suma Han sendiri
dan Nira-hai berubah air mukanya, penuh kete-gangan.
Tiba-tiba Kwi Hong terpelanting keti-ka pedang mereka saling bertemu dan kaki Keng In


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berhasil menendang lututnya. Keng In menubruk dengan pedangnya.
"Keng In....! Jangan....!" Lulu berteriak dan hendak meloncat dan mencegah pute-ranya,
akan tetapi lengannya dipegang oleh Suma Han yang melarang isterinya itu mencampuri.
Keng In sama sekali tidak mengira bahwa lawannya telah memiliki tenaga Inti Bumi. Begitu
tubuhnya bagian bela-kang menyentuh bumi, Kwi Hong mem-peroleh tenaga yang dahsyat
sekali. Tiba--tiba tubuhnya itu mencelat ke atas me-nyambut serangan Keng In dengan
tusuk-an Li-mo-kiam.
"Cresss! Cresss!"
Lulu menjerit dan menutupi mukanya ketika melihat darah muncrat dari perut puteranya,
sedangkan Milana juga menu-tupi muka melihat darah muncrat pula dari dada Kwi Hong.
Kedua orang itu terguling. Perut Keng In masih menjadi sarung pedang Li-mo-kiam,
sedangkan dada Kwi Hong tertembus pedang Lam-mo-kiam.
Hampir saja Lulu pingsan, akan tetapi dia merasa lehernya dirangkul orang. Ketika dia
mendengar bisikan halus, "Ingat kepada Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa...." Lulu terisak.
Terbayanglah wanita ini ketika dahulu bersama Suma Han dia menyaksikan kematian dua
orang yang memegang Sepasang Pedang Iblis, kemati-an yang presis seperti yang dialami
oleh Wan Keng In dan Giam Kwi Hong. Hanya bedanya, kalau kedua orang suheng dan
sumoi itu tewas dalam keadaan saling mencinta (baca ceritaPendekar Super Sakti), maka
Keng In dan Kwi Hong te-was dalam keadaan saling membenci!
"Keng In....!" Dia mengeluh, lari menghampiri, berlutut di dekat mayat putera-nya dan
menangis. "Enci Kwi Hong.... !" Milana juga berlutut dekat mayat Kwi Hong, menangis terisak-isak
dengan hati penuh rasa iba. Suma Han, Nirahai, Sai-cu Lo-mo, dan Gak Bun Beng yang
sudah kembali ke tempat itu hanya memandang dengan hati terharu.
Bun Beng berdiri seperti arca. Perasaannya menjadi tidak karuan, pikirannya melayang-
layang. Beginikah akibat cinta" Wan Keng In dan Kwi Hong tewas gara-gara cinta" Ataukah
nafsu belaka" Dan bagaimana dengan perasaan yang tadinya dia anggap cinta antara dia
dan Milana" Apakah cinta antara mereka itu pun ke-lak hanya akan mendatangkan derita
dan duka" "Suma-locianpwe, harap sudi menerima kembali Hok-mo-kiam," katanya sambil berlutut di
depan Suma Han, menyerah-kan pedang Hok-mo-kiam dengan sarungnya. "Teecu
bersumpah tidak akan meng-gunakan pedang atau senjata apa pun juga lagi. Senjata
merupakan benda yang jahat, hanya menimbulkan banjir darah dan ke-matian, permusuhan
dan kebencian."
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
795 Suma Han menerima senjata itu, ke-mudian dengan tangan kirinya dia me-nyentuh rambut
kepala Bun Beng, katanya perlahan dan halus, "Gak Bun Beng, ayah bundamu boleh
merasa bangga dan tenang di alam baka kalau dapat me-nyaksikan sepak terjangmu. Tidak
benar-lah kata orang bahwa anak akan mewa-risi watak orang tuanya, terbukti pada dirimu
dan pada Wan Keng In." Dia menarik napas panjang. "Siapa mengira.... Wan Keng In....
ibunya demikian jujur.... ayahnya demikian gagah.... dan engkau...."
"Saya hanya seorang anak haram, Ayah saya seorang datuk kaum sesat, Locianpwe. Saya
mohon diri, Suma-locian-pwe dan maafkan semua kesalahan saya."
"Bun Beng, engkau hendak ke mana?" Nirahai menegur, "Engkau masih ada urusan dengan
kami.... maksudku, dengan Milana...."
Bun Beng cepat memberi hormat sam-bil berlutut. "Harap Ji-wi Locianpwe sudi memberi
ampun kepada saya. Setelah mengalami semua itu, saya berpendapat bahwa saya tidaklah
patut menjadi calon jodoh adik Milana! Kalau dilanjutkan, kelak hanya akan menjadi tekanan
batin bagi adik Milana. Tidak, Ji-wi Locianpwe, bukan sekali-kali saya menolak, melainkan
saya telah kehilangan gairah berjodoh setelah melihat semua peristiwa yang menimpa kita
semua. Saya kira Ji-wi Locianpwe akan mengerti dan sudi me-ngampunkan saya."
Ada dua titik air mata membasahi mata Pendekar Super Sakti. Dia mengerti. Dia tahu
betapa pemuda ini sebetulnya mencinta Milana, akan tetapi melihat semua akibat yang amat
pahit dari apa yang disebut cinta, pemuda ini merasa kasihan dan khawatir kalau kelak
ikatan jodoh itu hanya akan menyengsarakan penghidupan Milana! Karenanya, sebelum
terlanjur, pemuda ini merasa lebih baik mengundurkan diri!
Dia hanya mengangguk dan matanya membasah ketika dia memandang bayang-an
pemuda itu yang berjalan perlahan menuju ke pantai.
Suma Han mengalihkan perhatiannya kepada Lulu yang masih menangis. Dia melangkah
maju, menyentuh pundak iste-rinya itu dan menarik berdiri. Dirangkul-nya Lulu dan dia
berkata, "Lulu, cobalah renungkan secara mendalam. Bukankah peristiwa ini menjadi jalan
keluar yang terbaik bagi puteramu, bagimu, dan bagi kita semua" Bayangkan apa akan
jadinya dengan kita dan puteramu kalau dia tidak tewas, kalau dia masih melanjutkan cara
hidupnya seperti yang lalu. Bayangkan betapa kita akan merasa cemas dan prihatin, engkau
akan selalu berduka, apalagi melihat Kwi Hong selalu akan memusuhinya. Sekali ini,
Sepasang Pedang Iblis bekerja cepat, sudah saling menyudahi riwayat permusuhan mereka
sebelum berlarut-larut."
Lulu menggigit bibirnya, menelan se-mua kata-kata yang tak terucapkan, lalu ia hanya
menangis dan menyembunyikan mukanya di dada suaminya. Dia maklum bahwa puteranya
telah menyeleweng daripada jalan benar, dan dialah yang bersa-lah, dia yang terlalu
memanjakannya dan puteranya menjadi rusak karena berada di Pulau Neraka!
"Milana, bangkitlah!" Suma Han ber-kata kepada puterinya.
Milana bangun dan menghapus air matanya. "Milana, engkau tentu telah merasa akan
kesalahanmu. Akan tetapi kesalahanmu itu bukan kau sengaja, maka tidak perlu lagi
disesalkan. Engkau harus kembali ke kota raja, engkau harus bela-jar menjadi seorang
keturunan bangsawan yang baik, tinggal di istana Kaisar seper-ti yang lalu."
"Tapi, Ayah...."
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
796 "Diam, dan jangan membantah!" Suma Han membentak, "Kehidupan sebagai se-orang
perawan kang-ouw sudah banyak menyeretmu ke dalam kekacauan dan kesengsaraan. Aku
akan mencoba meng-obati Sai-cu Lo-mo, kemudian setelah dia sembuh, engkau bersama
dia harus meninggalkan Pulau Es, dan kau hidup seba-gai seorang puteri cucu Kaisar di
kota raja. Tentang perjodohanmu, biar kuse-rahkan kepada kebijaksanaan Kaisar."
"Ayah....! Ibu....!"
Dengan mengeraskan hatinya Nirahai berkata, "Ayahmu benar, Milana. Lihat ibumu. Betapa
banyak penderitaan yang telah kualami setelah aku meninggalkan istana kakekmu Kaisar.
Baru sekarang ibumu mendapatkan kebahagiaan bersama ayahmu dan bibimu. Engkau
harus menja-di penggantiku, membantu kakekmu dan berjasa bagi negara dan kerajaan.
Tentu saja sewaktu-waktu engkau boleh datang menjenguk orang tuamu di Pulau Es."
Tanpa bertanya, Milana maklum bahwa ikatan jodoh antara dia dan Bun Beng telah
dibatalkan. Hal ini agak melegakan hatinya. Dia memang mencinta Bun Beng, akan tetapi
setelah terjadi semua itu, bagaimana mungkin dia akan dapat me-mandang muka Bun Beng
lagi" Apa lagi sebagai suaminya" Maka dia hanya dapat menangis dan mengangguk-
angguk. Setelah jenazah Kwi Hong dan Keng In dimakamkan di Pulau Es, Suma Han dan kedua
orang isterinya berusaha mengobati kelumpuhan kedua kaki Sai-cu Lo-mo. Akan tetapi
ternyata tidak berhasil kare-na kakek itu sudah tua, sukar sekali menyambung tulang-
tulangnya dan membetulkan urat-uratnya. Terpaksa Suma Han menghentikan usahanya
mengobati dan sebagai gantinya dia menurunkan ilmu-ilmu tinggi yang sesuai untuk
dikua-sai seorang yang lumpuh kedua kakinya seperti Sai-cu Lo-mo! Sampai hampir enam
bulan kakek itu berlatih dengan tekun dan akhirnya dia meninggalkan Pulau Es bersama
Milana yang menangis tersedu-sedu. Pedang Hok-mo-kiam diberikan kepada Milana oleh
Pendekar Super Sakti, sedangkan Sepasang Pedang Iblis tetap berada di Pulau Es karena
pende-kar itu khawatir kalau-kalau sepasang pedang itu akan terjatuh ke tangan orang lain
dan menimbulkan peristiwa-peristiwa hebat lagi.
Sampai di sini selesailah sudah cerita "Sepasang Pedang Iblis" ini, dan apa bila tiada aral
melintang, para penggemar akan dapat berjumpa pula dengan pengarang dalam karangan
mendatang. Mudah--mudahan saja ada bagian-bagian tertentu dalam karanganSepasang
Pedang Iblis ini yang bermanfaat bagi para penggemar di samping tugasnya sebagai bacaan
menghibur yang sederhana.
TAMAT Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
797 Hati Budha Tangan Berbisa 1 Pendekar Satu Jurus Karya Gan K L Kesatria Berandalan 2
^