Sepasang Pedang Iblis 3

Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 3


melayang menuju ke
tong-kat di tangan Suma Han dan menancap semua di tongkat itu, berjajar-jajar rapi.
"Aku tidak sempat main-main dengan kalian!" Terdengar Suma Han berkata, tongkatnya
digerakkan dan tiga belas batang pisau itu melayang ke arah pe-miliknya secara berbareng
dan menjadi satu seolah-olah terikat sehingga merupakan senjata berat yang besar, akan
tetapi dengan pukulan sin-kang, Ketua Thian-liong-pang itu membuat sekumpulan pisaunya
menancap di atas tanah de-pan kakinya, seolah-olah berlutut mem-beri hormat kepadanya!
Sepasang mata bening di balik lubang kerudung itu berapi-api ketika wanita itu melihat
garuda putih sudah mulai terbang, kelepak sayapnya terdengar keras dan angin pukulan
sayap membuat debu beterbangan!
Tiba-tiba terdengar pekik keras dari rombongan Pulau Neraka dan tampak se-orang laki-laki
tinggi besar yang mata-nya berwarna hijau pupus seperti tubuhnya, rambutnya kotor riap-
riapan muka-nya bengis, meloncat ke depan dan ta-ngannya melontarkan sebuah benda
pan-jang berwarna hitam ke atas, ke arah burung garuda yang belum terbang tinggi. Benda
panjang itu menyambar cepat dan tahu-tahu telah membelit kedua kaki bu-rung garuda tadi.
Betapa kaget hati se-mua orang ketika melihat benda itu ada-lah seekor ular yang pajang,
berwarna hitam dan berbisa, yaitu semacam ular sendok (khobra) yang mendesis-desis dan
siap menggigit tubuh garuda! Melihat Pendekar Siluman tetap diam saja seperti tidak tahu,
semua orang berkhawatir. Akan tetapi garuda itu mengeluarkan suara melengking tinggi,
kepalanya bergerak cepat dan tahu-tahu leher ular itu telah dipatuknya! Garuda itu tidak
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
57 terus terbang ke atas, bahkan dengan kecepatan luar biasa menukik ke bawah, ke arah laki-
laki muka hijau pupus tadi, kedua kakinya yang berbentuk cakar ber-kuku tajam dan runcing
melengkung itu bergerak menyerang! Laki-laki itu tidak takut, sudah mencabut sebatang
pedang hitam dan membabat ke arah kedua ka-ki garuda. Garuda itu ternyata hebat se-kali,
dia memapaki pedang dengan cakar kiri dan mencengkeram pedang itu.
"Krekkk!" Pedang itu patah-patah menjadi tiga potong dan dilempar ke ba-wah. Sebelum
laki-laki anggauta Pulau Neraka itu sempat mengelak tahu-tahu sehelai benda hitam telah
melibat leher-nya dan ketika garuda itu terbang ke atas, tubuh laki-laki itu tergantung dan
ternyata lehernya telah dibelit tubuh ularnya sendiri yang masih hidup dan yang lehernya
dijepit paruh garuda yang amat kuat. Semua orang menjadi ngeri dan mengikuti sampai ke
atas tebing. Mereka melihat garuda itu melepas ular dan laki-laki tadi sehingga tubuhnya
me-luncur ke bawah, jatuh ke dalam air muara di mana air sungai bertemu de-ngan air laut.
"Celaka....! Air pusaran maut!" Terde-ngar suara dari gerombolan anak buah Pulau Neraka.
Semua orang memandang dan terbelalak melihat betapa laki-laki bermuka hijau pupus itu
meronta-ronta dan berusaha berenang mengatasi pusar-an air. Namun tenaga pusaran air
yang disebut pusaran maut dan yang amat di-kenal para nelayan karena merupakan tempat
yang tidak mungkin dapat dilalui dan yang mendatangkan maut mengeri-kan, amatlah
kuatnya sehingga usaha manusia ini sama sekali tidak ada arti-nya. Tubuhnya dibawa
berputar, makin lama makin cepat dan akhirnya tubuh itu hancur lebur dihempaskan pada
batu-batu di bawah tebing, karena pusarannya makin lama makin melebar!
Semua orang menghela napas penuh kengerian dan burung garuda itu kini su-dah terbang
jauh, hanya tampak sebagai sebuah titik putih yang makin menghi-lang. Wanita berkerudung
mengeluarkan dengusan pendek, lalu bertepuk tangan. Dari atas tebing, melayang seorang
wanita yang usianya kurang lebih tiga pu-luh tahun, masih cantik jelita dan gerak-annya
tangkas. "Tidak ada gunanya lagi aku di sini, kau wakili aku hadapi tikus-tikus ini." Katanya dan sekali
berkelebat tubuhnya sudah melayang naik ke tebing dari ma-na dia tadi melayang turun,
kelihatan-nya marah dan penasaran sekali.
"Haiiii! Pangcu dari Thian-liong-pang! Mari kita main-main sebentar!" Koksu berseru,
suaranya mengguntur seolah-olah menyusul tubuh yang melayang naik itu. Tubuh itu kini
sudah lenyap di tebing tinggi, akan tetapi dari tempat tinggi itu terdengar suara merdu.
"Seperti juga Pendekar Siluman saya tidak ada waktu untuk main-main dengan Koksu!"
Kemudian sunyi senyap, hanya tinggal mereka yang berada di situ menahan napas,
kemudian menarik na-pas panjang penuh kekaguman. Majikan Pulau Es dan Ketua Thian-
liong-pang sungguh merupakan manusia luar biasa, seperti iblis! Mereka merasa menyesal
mengapa tidak mendapat kesempatan menyaksikan dua orang itu bertanding silat! Kalau
keduanya saling mengadu ke-pandaian, atau menghadapi koksu yang sakti itu, tentulah
mereka akan menyak-sikan pertandingan-pertandingan yang amat luar biasa!
Ketika melihat semua orang terma-ngu-mangu, tiba-tiba Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun
tertawa bergelak. "Cu-wi sekalian adalah orang-orang gagah dari segala penjuru dunia!
Setelah kini ber-kumpul di sini bukankah bermaksud un-tuk mengadu kepandaian
menentukan siapa yang akan menjagoi" Nah, lanjut-kanlah. Pemerintah tidak akan
mengha-langi, bahkan akan ikut meramaikan. Kami sendiri tidak akan maju karena la-wan-
lawan yang seimbang telah pergi, akan tetapi pembantu-pembantu kami cu-kup kuat untuk
ikut meramaikan pibu ini! Aku mengajukan pembantuku Bhe Ti Kong. Hayo, siapa di antara
Cu-wi yang berani menghadapinya boleh maju, jangan khawatir, pertandingan melawan
pangli-ma kerajaan sekali ini tidak akan di-anggap sebagai pemberontakan. Sekarang bukan
jaman perang, dan ini adalah urus-an pribadi di antara orang-orang yang menjunjung tinggi
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
58 kegagahan. Bhe-goan-swe, majulah!" Dengan wajah berseri gembira Im-kan Seng-jin Bhong
Ji Kun berkata kepada pembantunya.
Bhe Ti Kong adalah seorang jendral perang. Biarpun ia memiliki ilmu silat yang tinggi,
namun sesungguhnya dia bu-kan berjiwa kang-ouw. Akan tetapi, seba-gai seorang tentara,
tentu saja dia sela-lu akan mentaati perintah atasan, maka setelah menyerahkan Bun Beng
kepada seorang temannya, yaitu seorang di antara tiga panglima pengawal itu, ia lalu
me-loncat ke tengah lapangan dan menca-but senjatanya yang dahsyat, yaitu tom-bak
gagang pendek yang bercabang, ta-jam dan runcing sekali.
Bun Beng yang tadi menyaksikan sepak terjang Pendekar Siluman, hatinya berdebar
tegang. Betapa ia mengenal pendekar itu! Tiada bedanya dengan li-ma tahun yang lalu
ketika pendekar itu menolong keluar kuil tua! Hatinya gem-bira sekali dan ingin tadi ia
berteriak memanggil. Akan tetapi, Panglima Bhe Ti Kong yang menyebalkan dan amat
di-bencinya itu tadi selain mencengkeram pundaknya, juga membungkam mulutnya
sehingga ia tidak mampu bergerak dan tidak mampu mengeluarkan suara pula. Betapa
bencinya! Kini Pendekar Siluman itu telah pergi jauh, bahkan wanita ber-kerudung yang juga
amat mengagumkan hatinya itu telah pergi pula! Dan baru sekarang dia dilepaskan oleh
Panglima Bhe yang hendak berlagak dalam pertan-dingan! Hem, ia mencela dan diam-diam
memaki. Baru sekarang berlagak! Coba tadi melawan Pendekar Siluman! Atau Si Wanita
berkerudung, kalau memang gagah! Akan tetapi, hatinya lega juga se-telah kini ia dioperkan
kepada panglima lain yang berperut gendut itu. Biarpun panglima ini masih memegangi
lengannya, namun tidak dicengkeram seperti Pang-lima Bhe tadi. Agaknya panglima yang
gendut ini memandang rendah kepada Bun Beng maka pegangannya tidaklah erat benar
karena dianggapnya bocah sekecil itu bisa apakah" Pula, ia amat terta-rik untuk
menyaksikan rekannya mema-suki pibu, hal yang belum pernah terjadi di antara para
panglima pengawal!
Tiba-tiba dari rombongan Pulau Nera-ka meloncat keluar seorang laki-laki ting-gi besar yang
bermuka biru muda! Meli-hat warna mukanya yang agak terang menandakan bahwa seperti
juga orang yang mukanya berwarna hijau pupus ta-di, yang ini tentu tingkatnya juga sudah
cukup tinggi. Dan agaknya kini para to-koh Pulau Neraka yang semenjak tadi belum maju,
menjadi penasaran. Apalagi melihat seorang anggauta mereka tewas dalam keadaan begitu
mengerikan. Mere-ka marah sekali, akan tetapi yang mem-bunuh teman mereka adalah
burung ga-ruda putih tunggangan Pendekar Siluman yang sekarang sudah terbang pergi
se-hingga mereka tidak dapat menumpahkan kemarahan hati mereka. Agaknya kemarahan
itu akan dilampiaskan dalam pibu ini. Apalagi koksu tadi sudah me-ngatakan bahwa pibu ini
merupakan per-tandingan perorangan, andaikata tidak demikian pun, mana orang-orang
Pulau Neraka akan menjadi takut. Pulau Nera-ka tidak pernah takut terhadap pemerin-tah
atau siapapun juga!
Laki-laki tinggi besar bermuka biru muda itu telah mencabut pedang dengan tangan kiri,
mukanya yang buruk dengan kumis pendek tanpa jenggot kelihatan muram dan kejam.
Rambutnya yang riap-riapan itu diikat dengan sehelai tali pu-tih. Kulitnya, dari muka sampai
ke tangannya, bahkan matanya berwarna biru muda, amat menyeramkan.
"Aku Pok Sit dari Pulau Neraka akan melawanmu, Ciangkun!" Katanya dan tanpa menanti
jawaban orang Pulau Ne-raka ini sudah menerjang dengan pedang-nya yang amat panjang.
Gerakannya ku-at dan cepat, juga aneh sekali berbeda dengan ilmu pedang biasa. Panglima
Bhe Ti Kong cepat menangkis dengan senjata tombak pendeknya.
"Cringggg....!" Bunga api berhambur-an ketika dua senjata itu bertemu dan keduanya
merasa telapak tangan mereka panas. Tahulah mereka bahwa tenaga mereka seimbang,
maka ini keduanya serang-menyerang dengan hebatnya.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
59 Bun Beng menonton, akan tetapi pi-kirannya melayang-layang teringat kepa-da Pendekar
Siluman dan wanita berke-rudung yang mengaku sebagai Ketua Thian-liong-pang.
Kemudian ia teringat betapa ketua aneh itu tadi menyebut na-ma ayahnya berjuluk Kang-
thouw-kwi Si Setan Botak. Botak seperti Koksu. Dan pukulan hebat dari Pulau Es tadi
dikatakan oleh wanita berkerudung seba-gai ilmu ayahnya, diajarkan oleh Pende-kar
Siluman kepada utusannya. Kalau begitu ada hubungan antara ayahnya dan Pendekar
Siluman. Dan setidaknya, tentu ayahnya bukan orang sembarangan, mela-inkan seorang
sakti pula. Itulah agaknya mengapa dulu ia dijadikan rebutan! Agaknya ayahnya itu dikenal
dan dihor-mati orang-orang Thian-liong-pang dan orang-orang Pulau Neraka yang hendak
memeliharanya! Ketika ia melihat ke arah pertanding-an, ternyata bahwa orang yang dibenci-nya, Panglima
Bhe Ti Kong, terdesak oleh ilmu pedang yang amat aneh dari lawannya. Akan tetapi tiba-tiba
koksu mengeluarkan ucapan-ucapan dan sung-guh mengherankan, gerakan panglima itu
berubah dan kini keadaannya berbalik. Si Muka Biru Muda itu yang terdesak oleh senjata
tombak pendek! Mengerti-lah Bun Beng yang sudah memiliki dasar ilmu silat tinggi bahwa
koksu itu berma-in curang, memberi nasihat kepada pem-bantunya dalam bahasa yang tidak
dimengerti orang lain. Perasaan marah membuat Bun Beng mencari akal untuk melepaskan
diri. Ia teringat akan ilmu-nya Sia-kun-hoat, maka ia segera meng-gerakkan ilmu ini secara
diam-diam, ke-mudian menggunakan kesempatan selagi perwira gendut yang memegangnya ber-gembira dan tertarik menyaksikan rekan-nya mendesak lawan, ia cepat
merenggutkan dirinya terlepas dari pegangan panglima gendut.
"Heiii....! Pergi ke mana....?" Pangli-ma gendut terkejut, akan tetapi Bun Beng sudah
meloncat pergi dengan lincahnya. Rasa bencinya yang mendalam terhadap Panglima Bhe Ti
Kong yang telah ikut membunuh suhunya, membuat Bun Beng pada saat itu tidak
memikirkan hal lain kecuali membantu lawan si panglima yang makin mendesak hebat
dengan tombak pendeknya. Para pembunuh suhu-nya adalah empat orang yang lihai bu-kan
main. Apalagi koksu dan dua orang pendeta Lama itu, mereka adalah tiga orang sakti. Mana
mungkin ia dapat membalaskan kematian Suhunya" Akan te-tapi, Bhe Ti Kong merupakan
orang ke empat yang tidak sesakti tiga kakek itu, apalagi sekarang menghadapi lawan
tangguh. Kalau tidak sekarang dia turun tangan membalas kematian suhunya, menunggu
sampai kapan" Hanya inilah yang memenuhi pikiran Bun Beng, maka begitu ia berhasil
membebaskan diri da-ri pegangan Si Panglima gendut dengan ilmu melepaskan dan
melemaskan tulang dan otot, ia segera meloncat dan menye-rang dari atas ke arah kepala
Bhe Ti Kong yang sedang mendesak Si Muka Biru Muda dari Pulau Neraka!
"Manusia curang! Rasakan pembalasan-ku!" Bun Beng membentak sambil melon-cat dan
menubruk seperti seekor anak harimau yang tidak mengenal takut. Memang hatinya marah
sekali, bukan ha-nya karena kematian suhunya yang dike-royok secara curang, juga
menyaksikan betapa Panglima Bhe Ti Kong ini seka-rang dapat mendesak lawan karena
di-bantu oleh koksu. Dan memang sebenar-nyalah dugaan Bun Beng ini. Ketika tadi melihat
anak buahnya itu terdesak, oleh tokoh Pulau Neraka yang bermuka biru muda, Im-kan Seng-
jin Bhong Ji Kun menjadi jengkel dan juga khawatir seka-li. Kekalahan panglima kerajaan
berarti sebuah pukulan bagi kedudukannya dan akan membikin dia malu. Dia tidak
me-nyalahkan Bhe Ti Kong yang terdesak lawan karena memang orang Pulau Nera-ka itu
memiliki ilmu pedang yang aneh sekali gerakannya. Maka koksu yang sakti ini cepat
memperhatikan gerakan orang itu, mempelajari dasar dan inti-nya, kemudian ia memberi
nasihat ke-pada Bhe Ti Kong dengan bahasa daerah Mancu dan begitu Bhe Ti Kong
mentaati nasihat ini, benar saja, ia dapat mende-sak lawan dengan tombaknya.
Serangan seorang bocah berusia se-puluh tahun tentu saja tidak akan ada artinya bagi
seorang lihai macam Bhe Ti Kong. Akan tetapi karena Bun Beng me-lakukan penyerangan
selagi dia mengha-dapi seorang lawan yang amat tangguh, hal itu amat berbahaya. Apalagi
karena bocah itu pun bukan sembarangan bocah, melainkan seorang anak yang telah
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
60 berta-hun digembleng oleh seorang tokoh sak-ti Siauw-lim-pai! Sedikit saja dia menga-lihkan
perhatian kepada Bun Beng, tentu dia terancam maut di ujung pedang Si Muka Biru Muda.
Akan tetapi Bhe Ti Kong adalah seorang yang sudah banyak mengalami pertempuran
dahsyat, maka dia tidak menjadi gugup. Dengan gerak-an cepat ia menyerang lawan dari
bawah sambil merendahkan tubuh dan mengelak dari sambaran tangan-tangan kecil dari
atas yang memukul ke arah kepala-nya. Serangan Bun Beng mengenai tem-pat kosong dan
tubuh anak itu terpaksa melayang turun di belakang Bhe Ti Kong. Panglima ini berhasil
mendesak lawan de-ngan serangannya tadi, kini cepat me-mutar kaki menendang ke
belakang. Na-mun Bun Beng sudah siap menghadapi tendangan ini maka cepat anak itu
dapat menghindarkan diri dengan lompatan ke kanan. Biarpun hanya membagiperhatian
sedikit saja, hal itu sudah merugikan Bhe Ti Kong karena tiba-tiba sinar te-rang menyambar
bergulung-gulung dan pedang lawan sudah membuat dia kini terdesak hebat. Bhe Ti Kong
hanya dapat memutar tombak di depan dadanya untuk melindungi tubuh dan terpaksa ia
membiarkan tubuh bagian belakangnya kosong tidak terjaga.
Bun Beng menggunakan kesempatan itu, cepat ia menubruk dari belakang dan
mengerahkan seluruh tenaganya menghantam lambung Bhe Ti Kong.
"Bocah setan! Jangan mencampuri pertandinganku!" Tiba-tiba orang Pulau Neraka bermuka
biru muda itu memben-tak, pedangnya berkelebat dan tahu-tahu Bun Beng merasa tubuhnya
terangkat ke atas! Kiranya punggung bajunya telah di tusuk pedang Si Muka Biru dan kini ia
diangkat ke atas.
"Lepaskan, aku tidak mencampuri, aku hanya ingin membalas kematian Suhu!" Ia meronta-
ronta dan pada saat itu, Bhe Ti Kong yang melihat kesempatan baik sekali telah mengirim
tendangan ke arah perut Si Muka Biru. Orang Pulau Nera-ka itu ternyata lihai sekali. Biarpun
pe-dangnya kini tak dapat ia pergunakan, ia masih sempat melangkahkan kaki ka-nannya ke
belakang dan miringkan tubuh sehingga tendangan Bhe Ti Kong luput. Dengan marah Bhe
Ti Kong yang sudah siap dengan tombak pendeknya itu me-nyusul serangannya dengan
tusukan bertubi-tubi.
Si Muka Biru terkejut dan mundur-mundur, kemudian sekali ia menggerakan pedang, tubuh
Bun Beng terlempar jauh, melayang sampai sepuluh meter jauhnya. Namun, gerakannya ini
membu-at ia kurang cepat mengelak dan sebuah tusukan tombak di tangan Bhe Ti Kong
sempat menyerempet lambung kirinya.
"Crottt....!"
Tangan Bhe Ti Kong yang sudah bia-sa menggunakan tombak menusuki perut lawan dalam
perang sehingga entah be-rapa ratus perut yang sudah menjadi korban tombak, kini secara
otomatis mencokelkan tombaknya sehingga perut yang hanya diserempet itu robek kulit-nya
dan tampaklah usus panjang keputih-putihan mencuat keluar! Si Muka Biru mengeluarkan
gerengan keras, tangan kanannya cepat menyambar ususnya dan mengalungkan usus yang
panjang itu ke lehernya, kemudian ia melanjutkan pertem-puran melawan Bhe Ti Kong
seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa dengan diri-nya!
Semua orang yang menyaksikan kea-daan Si Muka Biru itu, terbelalak ngeri dan juga
kagum, kecuali para anggauta Pulau Neraka sendiri tentunya. Mereka ini sejak tadi diam tak
bergerak menonton pertandingan, wajah yang beraneka warna itu tidak menunjukkan
sesuatu, dingin-dingin saja. Memang aneh sekali orang-orang Pulau Neraka ini. Keadaan
mereka merupakan rahasia, bahkan orang-orang kang-ouw yang terkenal dan ba-nyak
pengalaman sekali pun jarang ada yang tahu siapa gerangan orang-orang yang kulitnya
berwarna aneh itu.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
61 Thian Tok Lama dan Thai Li Lama adalah dua orang sakti yang amat terke-nal, akan tetapi
mereka berasal dari Tibet maka tentu saja tidak mengenal orang-orang Pulau Neraka.
Menyaksikan keadaan Si Muka Biru itu, tak tertahan lagi mereka bertanya kepada Im-kan
Seng-jin Bhong Ji Kun tentang orang-orang Pulau Neraka.
Koksu Kerajaan Mancu itu menge-lus jenggotnya, menarik napas panjang lalu menjawab
tanpa mengalihkan pandang matanya dari pertandingan yang masih berlangsung hebat.
"Keadaan mereka penuh rahasia, aku sendiri pun hanya mendengar-dengar saja dari kabar
angin. Kabarnya, di jaman dahulu, entah berapa ratus tahun yang lalu, terdapat kera-jaan-
kerajaan kecil di atas pulau-pulau yang banyak tersebar di lautan timur. Di antara raja-raja
kecil itu terdapat keluarga raja yang amat sakti, kabarnya memiliki kesaktian seperti dewa-
dewa, bahkan merekamenamakan dirinya kelu-arga dewa!"
"Aihhh, apa hubungannya dengan Bu Kek Siansu yang dikabarkan seperti ma-nusia dewa
dan katanya datang dari Pu-lau Es?" Thai Li Lama bertanya, masih serem mengenangkan
munculnya Pende-kar Siluman, Majikan Pulau Es yang aneh tadi.
"Entahlah, aku tidak pernah mende-ngar tentang dia. Menurut kabar, keraja-an dewa itu
memegang peraturan yang amat keras sehingga apabila ada rakyat yang melakukan
pelanggaran, mereka ini dihukum buang ke atas sebuah pulau yang dinamakan Pulau
Neraka." "Mengapa namanya begitu serem?" Thian Tok Lama bertanya.
"Entahlah, hanya kabarnya yang mem-bocor ke dunia kang-ouw karena ada pelarian gila


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari Pulau Neraka mengo-ceh, pulau itu lebih mengerikan dari neraka yang sering disebut
dalam kitab-kitab. Pendeknya, tidak ada manusia yang dapat hidup di sana."
"Hemm, aneh. Kalau tidak ada manu-sia dapat hidup di sana, mengapa seka-rang muncul
banyak tokoh-tokoh Pulau Neraka?" Thian Tok Lama mencela.
"Tidak ada seorang setan pun tahu apa yang terjadi," kata koksu yang kini kembali
mengalihkan perhatiannya ke arah pertandingan yang makin menghe-bat. Si Muka Biru itu
biarpun ususnya sudah keluar dan dikalungkan ke leher ternyata makin hebat saja
gerakannya, seperti orang nekat sehingga kembali Bhe Ti Kong terdesak!
Pengetahuan Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tentang Pulau Neraka seperti yang
diceritakannya kepada dua orang Lama itu hanya tentang kulitnya saja. Satu-satunya yang
tepat dalam keterang-annya adalah bahwa memang tidak ada seorang pun yang tahu akan
Pulau Neraka yang hanya dikenal orang dalam dongeng, dan yang setelah ratusan tahun
tiada buktinya, baru kini muncul tokoh-tokohnya yang memiliki kepandaian luar biasa dan
keadaan yang amat aneh.
Memang benarlah bahwa Pulau Nera-ka itu dahulu merupakan sebuah pulau tempat
pembuangan orang-orang jahat, dan yang membuang penjahat-penjahat ke tempat itu
adalah keluarga raja mu-da yang berkuasa di Pulau Es, yaitu ke-rajaan yang menjadi nenek
moyang Bu Kek Siansu! Pulau itu amat mengerikan keadaannya, tiada ubahnya seperti
nera-ka. Air yang terdapat di pulau itu selain kotor juga mengandung racun begitu ke-luar
dari sumbernya. Dan banyak di situ tumbuh pohon-pohon yang aneh dan bera-cun, pohon-
pohon yang ranting-ranting-nya dapat membelit, menangkap dan menghisap darah hewan
atau manusia, pohon-pohon yang mempunyai daun-daun beracun sehingga begitu daunnya
mengu-ning dan rontok, menyiarkan bau yang dapat membuat manusia mati seketika.
Kadang-kadang timbul kabut dingin yang mematikan, dan pada bergantian musim, keluar
uap-uap beracun dari dalam tanah, merupakan gas beracun yang amat jahat, apalagi
sampai terhisap, baru me-ngenai kulit saja membuat kulit membu-suk. Semua ini masih
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
62 ditambah lagi de-ngan adanya binatang-binatang berbisa, ular-ular cobra dan ular belang,
ular hi-jau, kalajengking, kelabang dan semua binatang merayap yang berbisa di sam-ping
binatang-binatang liar yang buas. Betapapun tingginya kepandaian seorang hukuman yang
dibuang dari Pulau Es, dia takkan dapat bertahan lama di tempat itu sehingga pulau itu
dalam waktu pu-luhan tahun penuh dengan rangka-rangka manusia berserakan di mana-
mana. Akan tetapi pada jamannya raja muda yang menjadi Kakek Bu Kek Sian-su, yaitu yang
bergelar Raja Han Gi Ong, terjadi perubahan. Raja Han Gi Ong ini masih memiliki sifat keras
dan berdisiplin seperti nenek moyangnya, akan tetapi dia lebih lunak dan memiliki perasaan
kasihan. Dia maklum bahwa se-mua orang hukuman dari Pulau Es yang dibuang ke Pulau
Neraka memiliki kepandaian tinggi namun tak dapat mena-han kesengsaraan Pulau Neraka
dan pa-ling lama dapat hidup setahun. Oleh karena itu, ketika pada suatu hari se-orang
pangeran melakukan dosa besar dan dibuang ke Pulau Neraka, Raja Han Gi Ong
membekalinya kitab-kitab pusa-ka yang berisi pelajaran ilmu-ilmu yang amat tinggi.
Demikianlah, dengan bekal itu, Sang Pangeran akhirnya dapat bertahan kare-na telah
mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi. Bahkan dia dapat pula menyela-matkan para orang
buangan yang lain, laki-laki dan wanita, sehingga setelah berlangsung puluhan tahun, di
Pulau Ne-raka terdapat sekelompok keluarga yang hebat! Ratusan tahun kemudian,
sekelu-arga besar menghuni pulau ini dan menja-di orang-orang pandai yang amat aneh
akan tetapi tidak pernah turun ke dunia ramai. Kepandaian mereka turun-temu-run ke anak
cucu mereka dan semua ke-sukaran di pulau itu dapat mereka atasi, bahkan hal-hal
mengerikan yang tadinya merupakan ancaman bagi kehidupan, kini dapat mereka kuasai
dan pergunakan de-mi keuntungan mereka! Racun-racun da-pat menjadi obat dan menjadi
senjata, dan keadaan yang penuh tantangan itu mem-buat mereka makin ulet dan kuat.
Na-mun, perasaan kasihan yang timbul di hati Raja Han Gi Ong, yang terjadi ra-tusan tahun
yang lalu, di jaman Keraja-an Tang menguasai Tiongkok (618-905) ternyata mendatangkan
bencana karena setelah keluarga Pulau Neraka menjadi kuat, mulailah mereka merongrong
kewi-bawaan kerajaan kecil Pulau Es! Sering kali terjadi perang di antara mereka.
Demikianlah sekelumit riwayat Pulau Neraka yang penghuninya adalah orang-orang
buangan dari Pulau Es yang keti-ka itu masih merupakan sebuah kerajaan kecil. Tentu saja
hal ini tidak diketahui oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun ma-ka yang ia ceritakan kepada
kedua orang Lama Tibet hanyalah kulitnya saja. Kini perhatian mereka kembali teralih
kepa-da jalannya pertandingan antara Bhe Ti Kong melawan seorang anak buah Pulau
Neraka yang bermuka biru muda yang amat hebat kepandaiannya itu.
Sementara itu, Bun Beng yang tadi dilontarkan oleh pedang Si Muka Biru, terlempar dan
terbanting jatuh ke atas tanah, namun karena tubuhnya terlatih, ia cepat menggelinding dan
meloncat ba-ngun. Tiba-tiba pundaknya dicengkeram orang dan ketika ia mengangkat muka,
kiranya panglima gemuk tadi telah me-nangkapnya kembali.
"Hemm, bocah kurang ajar, sekarang kau takkan kulepaskan lagi!" Cengkeram-an pada
pundak Bun Beng kuat sekali membuat anak itu menyeringai kesakit-an.
"Lepaskan aku!" Bun Beng meronta, akan tetapi kini kedua lengannya malah dipegang oleh
tangan kuat panglima gen-dut itu. Dia mencoba untuk menendang dan menggigit, akan
tetapi sia-sia, pang-lima itu terlampau kuat baginya.
"Kalau engkau tidak mau diam, ku-tampar kepalamu!" Panglima itu meng-hardik. "Lihat ada
pertandingan begitu menarik, kenapa kau ribut saja?"
Bun Beng seorang anak yang berani, akan tetapi juga cerdik. Dia maklum bahwa kalau dia
menggunakan kekerasan memberontak, tidak mungkin ia dapat membebaskan diri. Maka ia
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
63 berhenti me-ronta dan matanya menyapu ke depan. Semua orang memperhatikan jalannya
pertandingan, hanya ada seorang wanita yang memandang ke arahnya. Ia menge-nal wanita
itu sebagai wanita cantik yang tadi dipanggil Ketua Thian-liong-pang, seorang wanita cantik
jelita yang bersikap gagah namun berwajah dingin seolah-olah pertandingan antara
Panglima Mancu dan tokoh Pulau Neraka itu merupakan hal yang menjemukan. Ah, wanita
itu betapapun juga tentu mempu-nyai perasaan yang lebih halus daripada orang-orang lain
yang aneh ini, pikir Bun Beng. Agaknya dia mau menolongku dari ancaman maut di tangan
koksu. Akan tetapi dia harus dapat membebas-kan diri lebih dulu. Berteriak-teriak min-ta
tolong kepada wanita itu merupakan hal yang amat memalukan, juga mana mungkin wanita
yang tak dikenalnya itu mau menolongnya" Dan selain wanita Thian-liong-pang itu, siapa
lagi mau menolongnya" Mengharapkan pertolongan dari orang-orang Pulau Neraka sama
dengan mengharapkan pertolongan sekum-pulan setan. Tadinya ketika ia menye-rang
Panglima Bhe, yang sedikit banyak membantu orang Pulau Neraka muka bi-ru, Si Muka Biru
itu malah melempar-kannya.
Pandang mata Bun Beng mencari-cari dan diam-diam dia mengeluh kare-na pulau kecil itu
kini tidak seramai tadi. Orang yang dicari-carinya tidak ada. Dia mencari lima orang tokoh
Siauw-lim-pai yang masih terhitung suheng-suhengnya, yaitu Siauw-lim Ngo-kiam yang tadi
dikalahkan oleh Cui-siauw-kiam Hok Cin Cu kalau saja tidak diban-tu oleh gurunya yang kini
telah tewas. Tadi dia masih melihat lima orang Siauw-lim-pai itu, akan tetapi kini mere-ka
telah pergi, seperti yang lain-lain karena banyak tokoh kang-ouw menjadi segan untuk
berdiam lebih lama di situ setelah Koksu Negara bersama rombong-annya mendarat di
pulau. Dan memang, lima orang tokoh Siauw-lim-pai itu te-lah pergi sehingga mereka tidak
tahu bahwa supek mereka, Siauw Lam Hwesio, telah tewas di tangan koksu dan kawan-
kawannya secara mengerikan sehingga jenazahnya pun lenyap tak meninggalkan bekas!
Biarpun mereka tadi belum kalah, akan tetapi sebagai orang-orang gagah, Siauw-lim Ngo-
kiam sudah mengakui keunggulan Cui-siauw-kiam Hok Cin Cu, maka begitu mereka ditegur
supek mere-ka yang menyelamatkan mereka, mereka diam-diam lalu pergi dari tempat itu.
Juga banyak tokoh-tokoh yang mewakili partai-partai besar meninggalkan tempat itu, selain
segan berurusan dengan orang-orang aneh berkepandaian seperti orang-orang Pulau
Neraka dan orang-orang Thian-liong-pang, juga terutama sekali mereka enggan untuk
bentrok dengan orang-orang pemerintah.
Ketika Bun Beng mencari-cari de-ngan pandang matanya, dia hanya meli-hat rombongan
Thian-liong-pang yang ha-nya terdiri lima orang dipimpin oleh wanita tadi, sepuluh orang
anggauta Pulau Neraka, serta rombongan Koksu yang diikuti pasukan pengawal. Adapun
bebe-rapa orang tokoh yang mewakili partai-partai persilatan, hanya masih ada bebe-rapa
orang yang belum pergi, namun mereka itu bersikap hati-hati dan hanya ingin menonton dari
tempat agak jauh, agaknya jerih dan sungkan terlibat. De-ngan demikian, kini yang masih
kelihat-an bersikap tidak mau kalah hanya ting-gal tiga rombongan, yaitu rombongan Thian-
liong-pang yang belum turun ta-ngan, rombongan Pulau Neraka yang se-orang di antara
tokohnya masih bertan-ding mati-matian dengan seorang pangli-ma dari rombongan orang
pemerintah. Tidak ada harapan, pikir Bun Beng. Kecuali wanita Thian-liong-pang itu. Ka-lau saja ia dapat
membebaskan diri. Ia mengangkat muka memandang. Pangli-ma gendut itu menonton
pertandingan de-ngan sinar mata amat tertarik, akan te-tapi tangan kanan yang
mencengkeram kedua pergelangan tangan Bun Beng dan tangan kiri yang mencengkeram
pundak amat kuatnya, sedetik pun tidak pernah mengendur. Agaknya pertandingan antara
kawannya melawan orang Pulau Neraka yang sudah keluar ususnya itu amat me-negangkan
hati panglima gendut ini se-hingga Bun Beng melihat betapa perut-nya yang gendut,
bergerak-gerak seira-ma dengan dengusan napasnya.
Tiba-tiba Bun Beng menggerakkan ka-kinya menggajul tulang kering panglima itu.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
64 "Tukkk!"
Biarpun yang menendang hanya se-orang bocah, akan tetapi karena tendangan itu keras
sekali dan tepat mengenai tulang kering kaki, sedangkan panglima itu sedang tertarik oleh
per-tandingan yang menegangkan, maka ia berteriak kesakitan dan menjadi kaget sekali.
Akan tetapi ia hanya mengaduh-aduh mengangkat kakinya tanpa melepas-kan
cengkeramannya, bahkan lucunya, matanya masih tidak rela melepaskan pemandangan di
depannya, yaitu pertan-dingan yang makin menegangkan. Pada saat itu memang
pertandingan antara Bhe Ti Kong dan Si Muka Biru dari Pulau Neraka amat menegangkan
hati dan mengerikan. Baju Si Muka Biru sudah basah oleh darah, mukanya makin pucat,
akan tetapi gerakannya makin hebat. Ketika tombak Bhe Ti Kong menyambar, ia me-nangkis
dengan pedangnya, disusul han-taman tangan kiri amat kerasnya yang tepat mengenai
pergelangan tangan Bhe Ti Kong yang memegang tombak. Bhe Ti Kong berteriak kaget,
tombaknya ter-lepas dan saat itu, pedang Si Muka Biru menyambar lehernya! Bhe Ti Kong
ber-seru keras, membuang tubuhnya ke bela-kang, akan tetapi tetap saja ujung pe-dang
menyerempet pundaknya sehingga baju di pundaknya berikut kulit dan da-ging terobek.
Panglima ini terus mengge-lundung, namun pedang itu sudah berkelebat lagi, karena Si
Muka Biru sudah meloncat dan mengejar lalu menerjang tubuh lawan yang masih
bergulingan. "Aihhhh....!" Si Muka Biru tiba-tiba menjerit dan robohlah dia dengan pedang masih di
tangan, matanya mende-lik dan ia melepaskan napas terakhir da-lam keadaan tubuh
menegang kaku dan mata melotot. Kiranya ususnya telah putus oleh berkelebatnya
pedangnya sen-diri! Ketika tadi ia mengejar, ia begitu bernapsu untuk membunuh lawan
sehing-ga ketika memutar pedang, ia lupa akan usus yang ia kalungkan di lehernya.
Pe-dangnya menyerempet ususnya sendiri sehingga ia tewas dan Bhe Ti Kong ter-tolong
nyawanya. Si Panglima Gendut sedemikian girang dan tegangnya sehingga biarpun rasa tulang
keringnya masih amat nyeri, ia lupa dan bersorak girang.
"Addd.... duhhhh....!" Kini ia menjerit karena perutnya terasa perih. Kiranya Bun Beng
menjadi gemas dan marah, ka-rena tidak dapat memukul, telah menggunakan giginya untuk
menggigit kulit pe-rut yang gendut itu sekuat tenaga. Si Panglima Gendut kaget sekali, lupa
sesa-at melepaskan cengkeramannya, menggunakan tangan kiri menekan perut dan
ta-ngan kanan menampar Bun Beng.
"Plakkk....!" Tamparan yang keras membuat tubuh Bun Beng terpelanting namun biar
kepalanya terasa pening dan nyeri, Bun Beng yang merasa bahwa dia bebas, cepat
meloncat dan lari sekuat-nya dengan loncatan-loncatan jauh ke arah wanita Thian-liong-
pang. "Heee! Lari ke mana kau, bocah se-tan?" Panglima gendut mengejar dengan langkah
panjang. Dengan pandang mata masih berku-nang Bun Beng menjatuhkan diri berlu-tut di depan
wanita Thian-liong-pang sambil berkata, "Enci yang baik, Enci yang cantik jelita dan gagah
perkasa, mohon lindungi aku dari Si Gendut jahat!"
Wanita itu memandang Bun Beng dengan sinar mata dingin akan tetapi bibirnya tersenyum
sedikit. Agaknya, betapapun aneh watak seseorang, dia tidak akan terhindar dari sifat dan
wa-tak aselinya. Wanita ini pun, biar sudah menjadi tokoh Thian-liong-pang yang luar biasa,
tetap saja seorang wanita yang paling senang mendengar pujian. Biarpun yang
menyebutnya sebagai enci yang cantik jelita, enci yang baik dan yang gagah perkasa hanya
seorang bo-cah, namun bocah itu adalah seorang laki-laki dan di situ terdapat banyak orang
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
65 yang mendengar pujian itu. Hati siapa takkan merasa senang" Wanita ini merupakan
seorang kepercayaan Ketua Thian-liong-pang biarpun kedudukannya hanya sebagai kepala
pelayan wanita. Dia memang cantik jelita, dengan mata yang bening dan tajam sinarnya,
hidung man-cung dan mulut kecil mungil dengan bi-bir yang manis. Rambutnya yang hi-tam
panjang digelung ke atas, sisanya masih panjang dibiarkan berjuntai ke ba-wah. Pakaiannya
dari sutera halus ber-warna merah muda dengan baju luar biru, bentuknya ringkas dan ketat
membayangkan tonjolan-tonjolan tubuh yang padat menggairahkan, tubuh seorang wa-nita
yang sudah masak. Sepatunya dari kulit dan ujungnya dihias dengan logam putih.
Namun wanita itu pun agaknya tidak mau bermusuhan dengan seorang pangli-ma kerajaan
hanya karena seorang anak laki-laki yang tidak dikenalnya sama sekali, maka ia
menggerakkan alisnya, gerakan yang dimaksudkan untuk menam-bah kemanisan wajahnya
dan memang maksud ini berhasil, sambil berkata dingin.
"Bocah, mengapa aku harus mencam-puri urusanmu" Pergilah!" Sambil berka-ta demikian,
wanita itu menggerakkan tangan kirinya mengusir. Pada saat itu, panglima gendut datang
menubruk dan agaknya Bun Beng tentu akan tertang-kap kembali. Akan tetapi, gerakan
tangan wanita itu mendatangkan angin dahsyat yang membuat tubuh Bun Beng terlempar
seperti daun kering tertiup angin sehingga tubrukan panglima gen-dut itu luput dan ia
menubruk tanah.
Karena dia tadi sudah memastikan bah-wa anak itu pasti dapat ditangkapnya, maka ketika
tiba-tiba tubuh Bun Beng lenyap, ia terbanting ke atas tanah de-ngan perut gendutnya lebih
dulu. "Ngekk!" Panglima itu meringis dan napasnya menjadi sesak, akan tetapi ke-marahannya
meluap. Dia tidak tahu bah-wa wanita Thian-liong-pang itu yang menolong Bun Beng,
mengira bahwa bo-cah itu telah mengelak maka ia melon-cat bangun sambil memaki.
"Anak Setan! Kuberi tamparan sampai telingamu berdarah kalau sampai ter-tangkap nanti!"
Ia mengejar lagi dan kini Bun Beng sudah lari ke arah rombongan orang-orang Pulau
Neraka untuk minta bantu-an.
"Mohon bantuan para Taihiap dari Pulau Neraka agar aku tidak diganggu Si Gendut itu!"
Akan tetapi rombongan Pulau Neraka yang hanya tinggal sembilan orang dan yang merasa
marah sekali karena kehi-langan dua orang kawan, tidak mempedulikan Bun Beng sehingga
bocah ini terpaksa lari lagi dikejar-kejar Si Pang-lima Gendut. Panglima ini bukan orang
sembarangan, memiliki kepandaian ting-gi. Akan tetapi karena perutnya terlalu besar dan ia
jarang latihan berlari, kini mengejar-ngejar seorang anak yang lincah seperti Bun Beng,
besar-benar membuat kewalahan. Mulailah ia mela-kukan serangan pukulan jarak jauh yang
membuat Bun Beng beberapa kali roboh terguling, akan tetapi ma-sih sempat mengelak dan
meloncat terus lari lagi setiap kali ditubruk. Kini Bun Beng yang menjadi sibuk sekali dan
hampir ia tertangkap kalau saja anak ini tidak mempunyai kenekatan luar bia-sa sehingga
biarpun kulit tubuhnya su-dah babak belur, tetap saja ia dapat menghindarkan diri dari
tangkapan pang-lima gendut.
Tiba-tiba sebuah akal menyelinap di otaknya. Sebetulnya dia tidak ingin mempergunakan
akal ini, tidak ingin memperkenalkan diri. Akan tetapi bagi-nya, lebih baik terjatuh ke
tangan Thian-liong-pang atau Pulau Neraka dari-pada menjadi korban kekejian koksu yang
dibencinya itu. Meloncatlah Bun Beng ke dekat wanita Thian-liong-pang, men-jatuhkan diri
berlutut di depan wanita itu sambil berseru.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
66 "Harap bantu aku! Aku adalah anak yang dahulu kalian perebutkan di kuil tua di lembah
Sungai Fen-ho lima tahun yang lalu!"
Mendengar ini, semua anggauta Thian-liong-pang dan anak buah Pulau Neraka
memandang penuh perhatian, bahkan wa-nita itu melangkah maju sambil mengelu-arkan
suara terheran.
"Kau.... kau she apa?"
"Aku she Gak, aku Gak Bun Beng, Ayahku Gak Liat dan ibuku Bhok Kim...."
Pada saat itu, panglima gendut me-loncat datang dan menubruk, akan teta-pi wanita itu
mengibaskan tangannya membentak, "Pergilah!"
Tubuh panglima gendut yang masih melayang datang ketika menubruk itu tiba-tiba tartahan
dun terbanting ke bawah. Brukkk! Ia terengah-engah dan setengah kelengar (pingsan)
karena napasnya sesak. Sambil mengeluh ia me-rangkak bangun, membusungkan dada dan
membentak, "Nyonya.... eh, Nona....." Ia tergagap, tidak tahan menentang pandang mata yang tajam dan
sikap yang dingin itu, bingung tidak tahu apakah wanita cantik ini sudah bersuami ataukah
masih gadis. "Kau tidak boleh membelanya, dia ada-lah tawanan Koksu!"
"Tidak peduli! Engkau tidak boleh menyentuhnya!" Wanita itu berkata, su-aranya dingin
menantang. "Apa" Kau berani menentang Koksu?" Panglima gendut yang merasa malu kare-na
terbanting tadi membentak, mengandalkan nama koksu.
"Aku tidak menentang siapa-siapa. Akan tetapi seorang yang telah berlin-dung kepada
Thian-liong-pang, tidak bo-leh diganggu siapapun juga." Wanita itu berkata dan jelas bahwa
dia masih me-rasa segan untuk bermusuh dengan kok-su maka mempergunakan alasan
yang sudah menjadi peraturan Thian-liong-pang, atau secara halus ia berlindung di balik
nama perkumpulannya.
Pada saat itu terdengar pekik menge-rikan sehingga semua orang menoleh dan sempat


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melihat dua orang pengawal ro-boh terguling dengan tubuh hangus begi-tu tangan mereka
menyentuh mayat to-koh Pulau Neraka bermuka biru. Penga-wal lain melompat dekat dan
terdengar bentakan koksu, "Jangan sentuh!"
Kiranya dua orang pengawal tadi hen-dak menyingkirkan mayat itu atas perin-tah
komandannya karena adanya mayat di tengah-tengah itu selain memberi pe-mandangan
yang tidak sedap juga akan menghalangi gerakan mereka kalau tiba saatnya turun tangan.
Akan tetapi begitu kedua orang pengawal itu menyentuh tubuh mayat Si Muka Biru dari
Pulau Neraka, seketika mereka roboh dan te-was dan tubuh mereka mereka menjadi
hangus! Bukan main tokoh Pulau Neraka ini, sudah menjadi mayat masih mampu
membunuh dua orang lawan! Hal ini ada-lah karena racun yang terkandung di tubuhnya dan
membuktikan betapa hebat kepandaian orang-orang Pulau Neraka.
Muka Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun menjadi merah karena marah. Dia me-langkah lebar,
menuangkan benda cair berwarna putih perak dari guci ke atas tiga buah mayat itu.
"Jangan ganggu jenazah Suheng ka-mi!" Teriak dua orang bermuka biru tua dari
rombongan Pulau Neraka sambil bergerak maju, akan tetapi sekali me-ngibaskan ujung
lengan bajunya, Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun membuat dua orang Pulau Neraka itu jatuh
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
67 terlentang seperti disambar petir dan pemimpin mereka yang bermuka hijau pupus
mem-bentak mereka mundur. Sambil menyeri-ngai dan mengatur napas kedua orang itu
mundur. Sementara itu, tiga buah mayat kini telah mulai mencair dimakan benda cair yang
luar biasa itu, yaitu racun penghancur mayat.
"Taijin, bocah itu dilindungi oleh orang-orang Thian-liong-pang!" Panglima gendut memberi
hormat kepada koksu sambil sambil menuding ke arah wanita yang tadi menghalangi dia
menangkap Bun Beng.
Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun menge-rutkan alisnya dan perlahan memutar tubuh, dari
kerongkongannya terdengar dengus marah, "Huhhh....?"
Semua anak buah pasukan koksu kini ikut memandang ke arah rombongan Thian-liong-
pang dan mereka semua melihat sebuah pemandangan yang aneh. Ki-ranya kini sembilan
orang anak buah Pulau Neraka juga sudah mengurung li-ma orang Thian-liong-pang itu
dengan si-kap mengancam. Akan tetapi, wanita cantik yang memimpin empat orang
te-mannya, sama sekali tidak peduli dan mereka berlima sedang mengurung Bun Beng
sambil membujuk dan mendesak anak itu.
"Gak Bun Beng, engkau telah menja-di calon anggauta termuda Thian-liong-pang. Memang
Pangcu (Ketua) menghen-daki demikian, maka sekarang bersum-pahlah engkau menurut
peraturan Thian-liong-pang agar engkau syah menjadi anggauta kami! Engkau berikan
lengan kananmu untuk kucacah dengan lukisan naga Thian-liong dan engkau harus
mengucapkan sumpah mengikuti aku!" Wanita cantik itu sudah mengeluarkan sebatang
jarum sambil memegang lengan kanan Bun Beng. Seorang anggauta lain menyingsingkan
lengan baju Bun Beng.
"Tidak....! Aku tidak mau menjadi anggauta Thian-liong-pang!" Bun Beng berteriak dan
meronta, hendak menarik kembali lengannya, akan tetapi mana ia mampu bergerak dari
pegangan wanita sakti itu" Teriakannya mengejutkan lima orang Thian-liong-pang dan
wanita itu menghardik.
"Kalau begitu mengapa engkau minta perlindungan kami?"
"Aku.... aku hanya minta bantuan agar tidak diganggu panglima gendut, sama sekali tidak
ingin menjadi anggauta...."
"Engkau harus menjadi anggauta ka-mi, mau atau tidak!" Wanita itu mem-bentak.
"Tidak.... tidak.... mana ada aturan memaksa seperti ini" Aku tidak mau!"
"Ha-ha-ha-ha. Thian-liong-pang kiranya hanyalah perkumpulan tukang mena-kuti anak
kecil." Tiba-tiba pemimpin rombongan Pulau Neraka yang hijau pu-pus warna kulitnya
tertawa mengejek. Dia seorang laki-laki berusia lima putuh tahun, menjadi pemimpin
rombongannya dan melihat warna kulitnya yang paling muda di antara kawan-kawannya,
dapat diduga bahwa dia mempunyai kepandaian yang paling lihai. Sikapnya halus,
suara-nya halus dan pakaiannya seperti saste-rawan!
Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara ketawa yang menggetarkan semua orang. Yang
tertawa adalah Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, koksu dari Kerajaan Man-cu yang sudah
menghampiri tempat itu. Diam-diam rombongan Pulau Neraka dan Thian-liong-pang terkajut
karena mereka maklum bahwa kakek itu benar-benar memiliki tenaga sakti yang hebat
seka-li sehingga untuk melindungi jantung mereka tarpaksa harus mengerahkan tenaga sakti
melawan pengaruh getaran yang ditimbulkan oleh suara ketawa itu.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
68 "Ha-ha-ha-ha! Sungguh kebetulan se-kali! Anak ini sudah menjadi tawananku sejak tadi,
akan tetapi agaknya kini ka-lian dan Thian-liong-pang dan Pulau Ne-raka hendak
memperebutkannya pula. Baiklah bukankah kita berkumpul seba-gai orang-orang gagah"
Kalau mengadu ilmu tanpa taruhan, sungguh kurang seru dan tidak menarik. Biarlah bocah
ini di-jadikan taruhan di antara kita tiga rom-bongan! Setiap rombongan mengajukan dua
orang jago dan siapa di antara kita yang jago-jagonya keluar sebagai peme-nang berhak
memiliki bocah ini. Siapa yang tidak setuju?" Ucapan kalimat terakhir ini mengandung
ancaman dan seluruh urat syaraf di tubuh koksu ini sudah menegang karena sebuah kata-
kata manentahg saja sudah cukup baginya untuk turun tangan membunuh orangnya!
Dalam keadaan seperti itu, rombongan Thian-liong-pang dan Pulau Neraka mak-lum bahwa
menentang tidak menguntung-kan pihaknya. Mereka sedang berebut dan munghadapi pihak
lawan ini saja sudah berat, apalagi kalau sampai rombongan karajaan itu membantu lawan!
Daripada menderita kekalahan yang sudah pasti, lebih baik menerima usul itu karena
mereka percaya bahwa ucapan yang keluar dari mulut koksu kerajaan ini, yang didengar
banyak telinga, tentu da-pat diperaaya sepenuhnya.
"Baik, kami setuju!" Wanita cantik Thian-liong-pang berkata.
"Kami setuju!" Kata pula Si Muka Hijau dari Pulau Neraka. "Kami mengajukan dua orang
jago, aku sendiri dan Suteku ini!" Saorang tinggi besar seperti raksasa yang mukanya juga
hijau, akan tetapi sedikit lebih tua warnanya dari-pada pemimpin rombongan, meloncat
keluar. Wanita cantik Thian-liong-pang tersenyum dan ia melangkah ke depan. "Aku adalah
pemimpin rombongan Thian-liong-pang dan oleh Pangcu sendiri aku diberi kuasa untuk
mewakili beliau. Karena itu, aku seoranglah yang bertanggungjawab dan biarlah kami dari
pihak Thian-liong-pang hanya mengajukan seoreng jago saja, yaitu aku sendiri."
"Ahh, mana bisa begitu" Kalau hanya seorang jago, dia harus berani menghadapi dua
orang lawan sekaligus!" Si Mu-ka Hijau mencela.
Wanita itu tersenyum mengejek. "Me-lihat warna kulit kalian, tentu kalian sudah memiliki
kedudukan di Pulau Ne-raka dan dihitung dari tingkatan, kiranya aku masih tinggi beberapa
tingkat dari kalian, maka tentu saja aku tidak kebe-ratan untuk melawan kalian berdua
seka-ligus!"
Dua orang Pulau Neraka itu menjadi marah dan memandang dengan mata me-lotot karena
ucapan wanita Thian-liong-pang itu sungguh merendahkan sekali, akan tetapi sebagai
orang-orang berke-pandaian mereka pun menduga bahwa wanita itu tentu amat lihai, kalau
tidak demikian, tentu tidak akan berani ber-sikap sesombong itu.
"Ha-ha-ha-ha, benar-benar Cu-wi pa-ra wakil Pulau Neraka dan Thian-liong-pang amat
gagah dan mengagumkan. Biarlah aku mengajukan dua orang jago kami, yaitu Thian Tok
Lama dan Thai Li Lama, dengan demikian, dua orang jagoku sekaligus dapat menghadapi
dan melayani wakil-wakil Pulau Neraka dan Thian-liong-pang. Thian Tok Lama mela-yani
dua orang gagah dari Pulau Neraka, sedangkan Thai Li Lama berpibu mela-wan wanita
gagah dari Thian-liong-pang. Tentu ramai sekali. Siapa yang nanti keluar sebagai
pemenang, boleh memba-wa pergi dan memiliki bocah itu."
Ucapan ini merupakan perintah bagi kedua orang pendeta Lama dari Tibet, maka mereka
sudah melangkah maju dan siap menghadapi lawan. Thian Tok La-ma yang gendut sudah
menghampiri dua orang jago Pulau Neraka, sedangkan Thai Li Lama yang bertubuh kurus
dan bermata tajam menghampiri wanita Thian-liong-pang. Sementara itu Bun Beng yang
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
69 dibiarkan bebas melangkah mundur-mundur tanpa ada yang mempe-dulikan karena semua
orang tahu bahwa anak itu tidak akan dapat pergi dari pu-lau itu.
Bun Beng mendekati tebing dan me-mandang ke bawah. Ia bergidik. Sekeli-ling pulau kecil
itu telah dikurung oleh perahu-perahu sehingga ke mana pun ia pergi, ia akan berhadapan
dengan anak buah mereka. Satu-satunya bagian yang tidak terjaga perahu hanyalah bagian
di mana air sungai bertemu dengan air laut dan membentuk pusaran air yang amat
mengerikan, yang tadi telah menghancurkan tubuh seorang anggauta Pulau Neraka dan
disebut air pusaran maut. Bun Beng berdiri dengan muka pucat dan membalikkan tubuh
menonton pertempur-an yang telah dimulai.
Pertempuran yang amat dahsyat. Se-mua orang yang berada di pulau berdiri tegak dan
menonton dengan hati tegang jarang berkedip agar tidak kehilangan sebagian kecil pun dari
pertandingan yang menegangkan itu. Yang bertanding adalah tokoh-tokoh sakti yang
memiliki kepandaian aneh dan tinggi sekali.
Dua orang tokoh Pulau Neraka bermu-ka hijau itu telah bertanding melawan Thian Tok
Lama, menghadapi pendeta gundul itu dari kanan kiri. Gerakan mere-ka aneh sekali dan
kedua orang itu agak-nya bersilat dengan membentuk tin (ba-risan) karena gerakan mereka
teratur dan saling membantu dengan tepat sekali. Kalau pimpinan rombongan Pulau Nera-ka
menyerang dari atas, sutenya yang tinggi besar itu menerjang dari bawah dan kalau Thian
Tok Lama menyerang yang satu, yang lain tentu cepat mem-bantu kawan. Biarpun maklum
bahwa pen-deta Tibet itu sakti sekali, ternyata dua orang tokoh Pulau Neraka ini memiliki
keangkuhan sebagai jago-jago kelas ting-gi. Buktinya, ketika melihat bahwa Thian Tok Lama
maju tanpa senjata, mereka berdua pun tidak menggunakan senjata, hanya menyerang
dengan tangan kosong. Namun, bukan tangan sembarangan, ka-rena kini tangan mereka
telah berubah menjadi senjata yang amat ampuh, mengandung hawa beracun dan
mengeluar-kan uap kehijauan! Dengan dua pasang tangan beracun yang aneh itu, dua
orang Pulau Neraka melancarkan serangan-serangan dahsyat dari kanan kiri secara bertubi-
tubi dan bergantian.
Thian Tok Lama bukanlah seorang to-koh biasa. Sama sekali bukan. Dia ada-lah seorang
tokoh besar dari Tibet yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Bersama Thai Li Lama
yang menjadi sutenya, dia telah menjagoi selama pu-luhan tahun di dunia barat dan telah
mempelajari bermacam-macam ilmu yang aneh-aneh. Maka begitu melihat gerak-an kedua
orang lawannya, tahulah ia bahwa tangan mereka itu mengandung racun yang amat aneh,
amat berbahaya dan yang ia duga hanya terdapat di Pu-lau Neraka, maka tidak boleh
dipandang ringan karena kalau tidak mempunyai obat penawarnya, sekali terluka oleh
tangan itu dapat mendatangkan maut. Maka hwe-sio Tibet ini pun berlaku hati-hati, tidak
mau mengadu tangan dengan kedua orang lawannya dan menghadapi penyerangan mereka
dengan elakan-elakan atau de-ngan kibasan kedua lengan bajunya yang mengeluarkan
angin kuat sekali menolak setiap serangan lawan. Betapapun juga, karena terlalu hati-hati,
tentu saja Thian Tok Lama menjadi terdesak, lebih banyak bertahan daripada menyerang.
Setelah bertanding lebih dari tiga puluh jurus, Thian Tok Lama maklum bahwa dalam ilmu
silat maupun tenaga sin-kang, dia tidak perlu khawatir karena tingkatnya masih lebih tinggi,
akan tetapi karena dia jerih terhadap racun di tangan ke-dua lawannya, maka kelebihannya
tertu-tup dan dia terdesak. Tiba-tiba pendeta Lama yang gendut ini mengeluarkan su-ara
gerengan yang keluar dari dalam perutnya, kemudian ia mengibaskan kedua lengan bajunya
dengan keras sekali sam-bil memutar tubuhnya. Dengan demikian, kedua lengan bajunya
menyambar seperti kitiran, memaksa kedua lawannya untuk melangkah mundur karena
biarpun hanya kain, diputar dengan tenaga sakti yang dimiliki Thian Tok Lama, mengenai
ba-tu karang pun dapat hancur!
Begitu kedua lawannya mundur, Thian Tok Lama lalu merendahkan tubuhnya,
menggerakkan tangan kanannya ke atas dan ke bawah, perutnya mengeluarkan bunyi
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
70 seperti kokok ayam bertelur. "Kok-kok-kok-kok!" Dan tangan kanannya kini berubah menjadi
biru! Ketika ia mendorongkan tangan kanannya itu ke depan, angin dahsyat menyambar
disertai hawa panas dan uap hitam menerjang kedua orang lawannya.
"Aihhh!" Dua orang tokoh Pulau Nera-ka terkejut sekali dan cepat meloncat tinggi ke atas
untuk menghindarkan pu-kulan dahsyat itu aambil balas memukul. Kini Thian Tok Lama
dapat membalas sehingga mereka saling serang makin he-bat dan kesudahannya ternyata
mambu-at keadaan menjadi terbalik karena kini kedua orang Pulau Neraka itulah yanng
terdesak hebat dan sibuk menghindarkan diri dari sambaran angin pukulan dahsyat Thian
Tok Lama. Pendeta Lama yang gendut ini telah mempergunakan ilmu pukulannya yang
amat ampuh, yaitu Hek-in-hui-hong-ciang, yaitu pukulan yang didasari tenaga sakti dan ilmu
hitam se-hingga pukulan itu mengeluarkan uap hitam dan angin berpusing mengandung
getaran-getaran dahsyat yang dapat merobohkan lawan dari jarak jauh.
Adapun pertandingan antara Thai Li Lama melawan wanita Thian-liong-pang merupakan
pertandingan yang lebih seru dan menarik. Wanita cantik itu bukan seorang sembarangan
dalam Thian-liong-pang. Memang benar bahwa dia kini menjadi kepala pelayan pribadi
Pangcu yang mukanya berkerudung. Akan tetapi dahulunya dia adalah seorang tokoh yang
penting dari Thian-liong-pang. Wanita ini masih merupakan keturunan pendiri Thian-liong-
pang, biarpun hanya merupa-kan cucu buyut luar. Dia bernama Tang Wi Siang dan
semenjak usia dua puluh lima telah menjadi janda karena suami-nya tewas dalam
pertempuran melawan musuh-musuh Thian-liong-pang. Sebagai bekas isteri dari seorang di
antara pim-pinan Thian-liong-pang, apalagi dia sen-diri pun keturunan nenek moyang Thian-
liong-pang, tentu saja Tang Wi Siang mendapat kedudukan penting di dalam perkumpulan
itu dan juga dia mewarisi ilmu silat yang dimiliki turun-temurun oleh Thian-liong-pang. Ketika
pada suatu hari muncul Si Wanita berkerudung, wa-nita berkedok yang tak dikenal oleh
sia-papun juga muncul di perkumpulan itu, merobohkan pemimpinnya dengan mudah,
kemudian mengangkat diri sendiri menjadi pangcu, Wi Siang terpilih menjadi kepala pelayan
pribadi dan oleh pangcu baru yang mempunyai kesaktian seperti iblis itu Wi Siang
digembleng ilmu silat baru yang hebat-hebat sehingga kepan-daiannya meningkat tinggi
sekali, jauh lebih tinggi daripada semua tokoh Thian-liong-pang yang dulu menjadi pimpinan!
Akan tetapi, sekarang keadaannya men-jadi lain dan tentu saja bukan hanya Wi Siang yang
menerima ilmu dari ketua baru ini, masih banyak tokoh lain yang menerima ilmu sehingga
kini para pengu-rus Thian-liong-pang bukanlah orang-orang yang memiliki kepandaian
rendah, melainkan orang-orang sakti yang luar biasa.
Pangcu baru yang tetap merupakan manusia rahasia itu menurunkan ilmu-ilmunya
disesuaikan dengan bakat masing-masing. Tang Wi Siang mempunyai ba-kat yang baik
sekali dalam ilmu meri-ngankan tubuh, maka oleh ketua baru yang aneh itu dia diberi ilmu
silat yang mengandalkan gerakan cepat. Ketua ba-ru itu memang mengenal segala macam
ilmu silat sehingga kadang-kadang mem-bingungkan dan mengherankan hati para
pembantunya. Bahkan ilmu silat keturun-an Thian-liong-pang pun dikenalnya baik!
Kini, menghadapi Thai Li Lama, Tang Wi Siang mendapatkan lawan yang amat tangguh.
Thai Li Lama di samping su-hengnya juga merupakan tokoh besar di Tibet. Ilmu
kepandaiannya amat tinggi, hanya kalah sedikit kalau dibandingkan dengan Thian Tok
Lama. Di samping il-mu yang aneh-aneh, Thai Li Lama ini adalah seorang ahli ilmu hitam
yang kuat sekali. Dia memiliki ilmu hitam I-hun-to-hoat, yaitu ilmu merampas se-mangat
orang atau menundukkan kemau-an orang dengan kekuatan gaib. Tentu saja amat jarang ia
mempergunakan il-mu hitamnya ini karena dengan ilmu silatnya saja, jarang ada lawan
mampu menandinginya.
Tadinya Thai Li Lama memandang rendah lawannya. Biarpun mengaku seba-gai tokoh
Thian-liong-pang, akan tetapi wanita itu masih amat muda, paling ba-nyak tiga puluh tahun
lebih! Dan pula seorang wanita, sampai di mana kehe-batannya" Karena memandang
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
71 rendah dalam gebrakan-gebrakan pertama, Thai Li Lama hanya menggunakan kedua ujung
jubahnya yang panjang untuk menyerang dan menangkis. Akan tetapi, betapa ka-get hati
pendeta Tibet ini ketika tiba-tiba saja bayangan wanita cantik itu lenyap dan tahu-tahu telah
memukul dari atas belakang mengarah pundak dan ubun-ubun kepalanya yang gundul.
"Omitohud....!" Ia berseru dan cepat ia memutar kedua tangan melindungi ke-pala dan
pundak. Namun wanita itu su-dah melejit pergi membatalkan serangan, tahu-tahu sudah
mengirim pukulan ke punggung disusul tendangan ke belakang lututnya.
Sambil meloncat jauh ke depan dan memutar tubuh, sepasang mata Thai Li Lama mulai
bersinar aneh. Mengertilah kini bahwa lawannya bukanlah semba-rang orang yang dapat
dipandang rendah. Kiranya wanita itu memiliki gin-kang yang amat mengagumkan dan yang
dapat mendatangkan bahaya baginya karena ia dapat menduga bahwa dalam hal
me-ringankan tubuh, dia masih kalah jauh! Maka dia lalu mendengus pendek dan mu-lailah
ia memasang kuda-kuda, dan me-ngerahkan sin-kang sehingga setiap kali kedua tangannya
menyambar, angin dah-syat bertiup mendahului tangannya me-nyambar ke arah lawan.
Kakek ini yang maklum akan kelihaian lawan, tidak segan-segan mengeluarkan ilmu
simpan-annya, yaitu Sin-kun-hoat-lek, ilmu pukulan sakti yang selain mengandung sinkang
kuat sekali, juga mengandung hawa ilmu hitam yang mengakibatkan gelombang getaran
aneh mempengaruhi lawan.
"Tas!" Pukulan Thai Li Lama yang amat kuat dan aneh itu dapat dihindar-kan oleh Wi Siang
yang melesat cepat dan pukulan itu mengeluarkan suara seperti ujung pecut
dipukulkan."Tass! Tass!" Dua kali pukulan kedua tangan Thai Li Lama berbunyi menge-nai
tempat kosong karena tubuh Wi Siang sudah melesat ke kanan kiri dan tiba-tiba wanita itu
sudah membalas dengan terjangan hebat, jari tangan kiri menu-suk ke arah mata lawan
sedangkan jari tangan kanan mencengkeram ke lambung. Sebuah serangan yang amat
dahsyat dan cepat sekali datangnye sehingga Thai Li Lama terkejut bukan main. Un-tuk
menghadapi serangan maut yang amat cepat ini, menangkis sudah tidak keburu lagi, maka
hwesio ini terpaksa melempar tubuh ke belakang dan terus bergulingan! Bagaikan seekor
burung walet cepatnya, wanita itu mengejar dan menyambar-nyambarkan serangan dari atas
ke arah tubuh yang berguling-an. Memang kini Wi Siang mainkan ilmu silat, yang khusus
diturunkan ketuanya kepadanya, yaitu ilmu silat Yan-cu-sin-kun (Ilmu Silat Sakti Burung
Walet), ilmu yang seluruhnya digerakkan dengan gin-kang yang amat cepat sehing-ga
membingungkan lawan.
Repot sekali keadaan Thai Li Lama yang sudah bergulingan. Karena dia te-rus diserang
dengan gencar tanpa dapat membalas dan tubuhnya sedang bergu-lingan, maka dia sama
sekali tidak mendapat kesempatan untuk meloncat bangun dan terpaksa harus terus
bergulingan sam-bil melindungi tubuh dengan gerakan kedua lengannya. Keadaan sungguh


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ber-bahaya dan biarpun tingkat kepandaian-nya mssih lebih tinggi dari pada lawan, namun
karena posisinya sudah rusak se-perti itu, dengan bergulingan terus ma-na mungkin kakek
ini mampu melindungi tubuhnya terus-menerus" Gerakan Wi Siang amat cepatnya, ke mana
pun ia menggulingkan diri pergi, tubuh wanita itu seperti seekor burung telah menyambarnya
dan mengirim serangan maut.
Tiba-tiba Thai Li Lama mengeluar-kan suara melengking tinggi dari dalam perutnya disusul
bentakan keras. "Mun-durrrr....!"
Hebat bukan main pengaruh lengking dan bentakan itu, sampai terasa oleh semua orang
yang menonton, bahkan banyak di antara penonton yang otomatis menggerakkan kaki
melangkah mundur, seolah-olah perintah itu ditunjuk kepada-nya dan ada tenaga rahasia
yang mendo-rong mereka mundur. Apalagi pengaruh terhadap Tang Wi Siang yang
langsung menghadapi serangan ilmu hitam itu. Wanita ini memekik aneh dan tubuhnya
mencelat mundur seolah-olah ia kaget menghadapi semburan seekor ular berbi-sa. Saat itu
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
72 dipergunakan oleh Thai Li Lama untuk meloncat bangun dan setelah meloncat bangun, baru
Wi Siang sadar bahwa dia kena diakali dengan pengaruh ilmu hitam. Marahlah wanita itu
dan ia menerjang maju lagi sambil membentak.
"Pendeta siluman!"
Akan tetapi Thai Li Lama juga ma-rah sekali, marah yang timbul karena malu. Tadi ia harus
bergulingan sampai lama dan pakaiannya kotor semua, maka kini menghadapi terjangan
lawan ia mendorongkan kedua tangannya berganti-an dengan ilmu pukulan Sin-kun-hoat-lek
sehingga timbul angin besar menyambar ke arah Wi Siang. Wanita ini mengenal bahaya
maka ia lalu melesat ke kiri, menghindarkan diri dan siap mengirim serangan susulan. Akan
tetapi tiba-tiba Thai Li Lama mengeluarkan suara aneh dan amat berpengaruh sambil
menudingkan telunjuknya ke arah lawan.
"Engkau sudah lelah sekali....! Kedua kakimu sukar digerakkan....!"
Aneh! Tiba-tiba Wi Siang berdiri ter-belalak, tak mampu menggerakkan kedua kakinya dan
tangannya memegang dahi seperti serasa pusing, tubuhnya lemas saking lelahnya.
"Pendeta curang.... kau menggunakan ilmu siluman....!" Yang berteriak ini ada-lah Bun
Beng. Anak ini sejak tadi menon-ton pertandingan dengan hati tertarik dan ia amat kagum
menyaksikan sepak terjang wanita Thian-liong-pang. Ketika tadi Thai Li Lama membentak
"mundur" dia sendiri sampai melangkah mundur. Anak yang cerdik ini maklum bahwa
pendeta Tibet itu menggunakan ilmu siluman yang aneh, maka ia menjadi penasaran dan
mendekati pertempuran. Kini, melihat betapa wanita yang dika-guminya itu terpengaruh oleh
suara Thai Li Lama, ia memaki dan meloncat maju, menerjang ke depan Thai Li Lama!
Gerakannya ini membuat Tang Wi Siang sadar, sebaliknya Thai Li Lama menjadi marah.
Pendeta ini menggerak-kan tangan kanan memukul ke arah Wi Siang yang cepat meloncat
tinggi ke atas, akan tetapi Bun Beng yang sudah meloncat maju itu secara langsung
di-sambar angin pukulan dahsyat sehingga tubuhnya terlempar seperti peluru dan....
melayang melalui tebing menuju ke air pusaran maut!
Semua orang tertegun, bahkan yang sedang bertanding berhenti dan meman-dang ke arah
tubuh Bun Beng yang me-layang ke bawah. Dalam keadaan seperti itu, biar orang sepandai
koksu sendiri tidak mungkin akan dapat menolong Bun Beng. Semua mata terbelalak ngeri
keti-ka melihat betapa tubuh anak itu ter-jun ke bawah dan terlempar tepat ke arah tengah-
tengah air pusaran maut yang mengerikan itu dengan kepala lebih dulu! Mereka menahan
napas dan koksu membanting-banting kaki saking kecewa dan menyesal melihat anak yang
amat ia butuhkan itu menuju ke jurang maut yang tak mungkin dapat dielakkan lagi.
Bun Beng menghadapi maut dengan mata terbuka lebar. Ia maklum bahwa tubuhnya akan
diterima oleh pusaran air yang merupakan moncong maut ter-buka lebar dan ia tahu bahwa
ia akan mati. Akan tetapi apa bedanya" Dia diperebutkan oleh tiga kekuasaan yang
mengerikan. Memang lebih baik kalau ia menyerahkan diri kepada kekuasaan yang paling
besar, yaitu kekuasaan alam yang akan merenggut nyawanya. Maka tanpa menjerit sedikit
pun ia membiar-kan tubuhnya terbanting di tengah-tengah pusaran air.
"Byurrr!"
Sebelum tubuhnya menyentuh air, Bun Beng yang cerdik masih ingat untuk menarik napas
sebanyak-banyaknya me-menuhi rongga dadanya. Begitu tubuhnya menyentuh air, terus
saja tubuhnya dita-rik ke bawah oleh pusat air yang ber-pusing itu. Bun Beng, berbeda
dengan orang Pulau Neraka tadi, tidak melaku-kan perlawanan, bahkan menyerahkan
dirinya ditarik dengan kekuatan maha dahsyat ke dalam air, menahan napas-nya. Semua
orang yang memandang ke arah air menjadi pucat melihat betapa anak yang terjatuh tepat
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
73 di tengah-tengah pusaran air itu langsung dihisap dan ditarik ke dalam, lenyap seketika!
Mereka masih memandang tanpa berke-dip, menanti dengan dugaan bahwa tu-buh anak itu
tentu akan timbul kembali dalam keadaan tak bernyawa dan rusak-rusak. Akan tetapi,
ditunggu sampai la-ma, tubuh Bun Beng tak pernah timbul kembali, seolah-olah lenyap dan
habis ditelan bulat-bulat oleh pusaran air itu.
"Celaka.... celaka....!" Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun membanting-banting kakinya dengan
muka merah saking ma-rahnya, kemudian menyapu mereka yang masih berada di pulau
dengan pandang matanya. "Kalian semua orang-orang sial yang hanya mendatangkan
kerugian bagi kerajaan! Kalian seperti anak-anak kecil nakal yang mengganggu aku! Kali-an
ini orang-orang kang-ouw suka men-cari ribut yang membuat pekerjaanku menjadi tertunda-
tunda dan terhalang!"
Semua orang menjadi terkejut dan heran memandang ke arah koksu yang marah-marah itu.
Alangkah bedanya si-kap kakek botak itu dengan tadi sebe-lum Bun Beng terlempar ke
dalam pu-saran air. Tadi sikap koksu itu ramah dan gembira, akan tetapi sekarang,
men-dadak saja marah-marah.
"Teruskan pibu! Aku masih belum ka-lah!" Tang Wi Siang, tokoh Thian-liong-pang berkata
dengan suara dingin.
"Kami pun belum kalah! Yang me-nang berhak tinggal di pulau ini, yang kalah harus pergi!"
Pimpinan rombongan Pulau Neraka juga berkata, sedikit pun tidak mempedulikan
kemarahan Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun. Thian Tok Lama dan Thai Li Lama sudah siap
lagi menandingi lawan mereka, akan tetapi kok-su menggoyangkan tangan dengan sikap
tidak sabar sambil berkata.
"Sudah, sudah! Tidak ada pibu-pibuan! Apa yang diperebutkan" Anak itu telah mampus
ditelan pusaran air, dan pulau ini.... dibutuhkan kerajaan. Harap semua pergi dari sini
sekarang juga kalau tidak ingin dianggap pemberontak dan kubasmi semua!"
Semua orang memandang tajam, ada yang terheran-heran, ada pula yang memandang
marah. Kini baru tampaklah oleh mereka siapa sebenarnya koksu ini, dan orang macam apa!
Keadaan menja-di sunyi dan tiba-tiba terdengar suara tertawa memecahkan kesunyian,
disusul suara nyanyian orang yang tertawa itu :
"Aku....! Aku....! Aku....!
Pujaanku! Milikku! Hakku!
Keluargaku, sahabatku, hartaku, na-maku!
Kurangkul dia yang menguntungkan aku
Kupukul dia yang merugikan aku
Yang terpenting di dunia dan akhirat adalah
Aku....! Aku....! Aku....!"
Semua orang terkejut dan menengok, memandang ke arah orang yang menya-nyikan kata-
kata aneh itu. Yang bernya-nyi ini agaknya belum lama datang, dan tak seorang pun melihat
kedatangannya, karena tadi mereka semua sedang tertarik menonton pertandingan yang
seru di-susul kejadian mengerikan yang menim-pa diri Bun Beng. Orang itu adalah se-orang
kakek tua yang pakaiannya bersih sederhana namun kedua kakinya telan-jang tak
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
74 bersepatu. Wajahnya berseri pandang matanya tajam penuh kejujuran dan tangannya
memegang sebatang tong-kat berkepala naga.
"Im-yang Seng-cu....!" Beberapa orang tokoh kang-ouw yang masih berada di situ berbisik
ketika mengenal kakek itu. Memang kakek itu adalah Im-yang Seng-cu, seorang tokoh aneh
yang tadinya me-rupakan tokoh dari Hoa-san-pai, akan tetapi karena sikap dan wataknya
yang aneh-aneh, dia malah dibenci oleh pim-pinan Hoa-san-pai sendiri sehingga Im-yang
Seng-cu ini tidak pernah berada di Hoa-san-pai, melainkan merantau menge-lilingi dunia
sehingga ilmu kepandaian-nya makin meningkat hebat. Karena ke-sukaannya mempelajari
ilmu-ilmu silat dari lain aliran itulah yang membuat ia dianggap sebagai murid Hoa-san-pai
yang murtad, sungguhpun para pimpinan Hoa-san-pai harus mengakui bahwa Im-yang
Seng-cu selalu memiliki sepak terjang seorang tokoh kang-ouw yang aneh dan budiman,
tidak mencemarkan nama Hoa-san-pai, dan bahwa kesukaannya akan mempelajari ilmu-
ilmu silat itu membu-at ia memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi daripada Ketua Hoa-
san-pai sendiri!
"Ha-ha-ha-ha! Dunia ini menjadi ra-mai, manuaia saling makan melebihi bina-tang paling
buas, semua diciptakan oleh AKU ini! Timbul dari AKU! Ha-ha-ha, bukankah begitu, Koksu
yang mulia?"
Karena sikapnya tetap menghormat bahkan ia menjura dengan hormat kepa-da Im-kan
Seng-jin Bhong Ji Kun biarpun kata-katanya amat lucu dan aneh, koksu tidak menjadi
marah. Apalagi kok-su pernah mendengar nama besar Im-yang Seng-cu, maka ia lalu
miringkan kepala melirik dan bertanya.
"Apakah orang gagah yang datang ini yang berjuluk Im-yang Seng-cu?"
"Tidak salah, Koksu. Orang-orang me-nyebutku Im-yang Seng-cu. Sungguhpun sebenarnya
aku pun hanyalah AKU, se-perti setiap orang di antara kalian semua, dan kita memiliki
penyakit yang sama, penyakit AKU!"
Karena ucapan itu dianggap berbelit-belit, koksu bertanya, suaranya mulai tidak senang,
"Im-yang Seng-cu, apa maksud semua kata-katamu itu" Apa pula maksud kedatanganmu?"
Im-yang Seng-cu membelalakkan ma-tanya dan tersenyum lebar. "Sudah begitu jelas masih
belum mengerti dan perlu kuterangkan lagi" Segala peristiwa yang terjadi dalam
penghidupan semua ma-nusia merupakan perputaran yang ber-poros pada ke AKU-an
itulah. Apa yang menyebabkan kita pada saat ini berkumpul di sini" Memilih seorang bengcu
(pemimpin rakyat)" Menggelikan! Tentu sebelum terjadi pemilihan sudah kautangkap dan
dianggap pemberontak! Tidak, mereka itu semua malu-malu un-tuk mengakui bahwa
sasaran utama bu-kanlah perebutan bengcu, melainkan un-tuk memperebutkan pusaka-
pusaka kera-mat yang kabarnya lenyap dan berada di pulau ini! Benar tidak" Dan semua
datang memperebutkan karena terdorong oleh ke-AKU-annya itulah! Siapa yang dapat
membantah?"
"Hemm, Im-yang Seng-cu, omongan-mu terlalu besar dan main sikat sama rata saja.
Engkau mengenal aku dan ta-hu bahwa aku adalah seorang petugas negara. Jelas bahwa
kedatanganku ini bukan karena aku pribadi, melainkan seba-gai utusan!" Koksu itu
membantah. "Kami pun datang sebagai utusan!" Teriak seorang tosu dari Kun-lun-pai.
Ramailah semua orang membantah ucapan Im-yang Seng-cu. Kakek bertelan-jang kaki ini
tertawa bergelak, "Melihat kesalahan orang lain mudah, melihat ke-salahan sendiri bukan
main sukarnya! Mengakui kelemahan dan kebodohan sen-diri merupakan kekuatan yang
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
75 jarang dimiliki manusia! Koksu yang baik, dan Cu-wi sekalian. Cu-wi semua mengaku
sebagai utusan dan bukan karena diri pribadi datang ke sini. Akan tetapi utus-an siapakah"
Koksu, yang mengutusmu tentulah Kaisarmu, kerajaan dan negara-mu, bukan?"
"Tentu saja!"
"Nah, apa bedanya itu" Manusia sela-lu mementingkan ke-AKU-annya. Diriku, negaraku,
rajaku, dan lain sebagainya, yang berporos kepada AKU. Kini terjadi perebutan tdak mau
saling mengalah, tak lain tak bukan karena masing-masing membela ke-AKU-annya itulah!
Ha-ha-ha-ha! Hapuslah kata-kata AKU dan du-nia akan aman, manusia akan hidup pe-nuh
damai, tidak akan terjadi perebutan karena lenyap pula istilah milikku, hak-ku dan aku-aku
lain lagi."
"Wah-wah, Im-yang Seng-cu bicara seolah-olah dia sendirilah satu-satunya manusia yang
suci di dunia ini!" Seorang kakek Kong-thong-pai menyindir.
"Ha-ha-ha-ha! Sudah kukatakan tadi bahwa penyakitku juga sama dengan pe-nyakit kalian,
yaitu penyakit AKU. Pe-nyakit yang sudah mendarah daging sehingga tidak terasa lagi oleh
manusia yang sakit, mempengaruhi setiap gerak-gerik dan sepak terjang dalam hidupnya. Ini
pula yang menimbulkan watak manu-sia yang amat licik dan rendah. Kalau senang, ingin
senang sendiri. Kalau su-sah, ingin mencari kawan, bahkan kesusahan menjadi ringan
seolah-olah terhi-bur oleh kesusahan lain orang. Betapa rendahnya!"
"Hemmm, apa maksudmu, Im-yang Seng-cu?" Karena kakek aneh ini tidak menyerang
seseorang, maka kemarahan koksu agak mereda, bahkan ia mulai ter-tarik. Tidak mengadu
ilmu silat, menga-du filsafat juga boleh karena dia pun bu-kan seorang yang buta tentang
filsafat. "Maksudku sudah menjadi watak manusia pada umumnya jika ia berada dalam keadaan
menderita, maka penderitaannya terasa ringan terhibur kalau dia melihat penderitaan orang
lain! Hi-buran yang paling manjur bagi seorang yang sengsara adalah melihat bahwa di
sampingnya banyak terdapat orang-orang yang lebih sengsara dari padanya. Me-ngapa
begini" Inilah jahatnya sifat AKU yang menimbulkan rasa sayang diri, ra-sa iba diri,
perasaan-perasaan yang selalu berputar pada poros ke-AKU-annya. Contohnya yang lebih
jelas, orang yang mempunyai keluarga tercinta sakit pa-rah akan menderita kesengsaran
batin yang hebat. Akan tetapi bagaimana kalau melihat ribuan orang lain sakit" Ten-tu tidak
ada penderitaan batin seperti yang dirasakannya kalau keluarga-Nya yang sakit. Timbul
pertentangan-pertentangan dalam hidup antar manusia karena saling membela AKU-nya.
Timbul pe-rang di antara negara karena saling membela AKU-nya pula. Manusia menja-di
tidak aman dan tidak tenteram hidup-nya karena dikuasai oleh AKU-nya ini-lah, tidak sadar
bahwa yang menguasai-nya itu bukanlah AKU SEJATI, melain-kan aku darah daging yang
bergelimang nafsu-nafsu badani. Dengarlah betapa AKU SEJATI mengeluh dalam
tangis-nya!" Im-yang Seng-cu lalu berdongak dan bernyanyi.
"Aku sudah bosan!
Aku sudah muak!
Terbelenggu dalam sangkar darah daging!
Setiap saat aku dipaksa
menyaksikan tingkah nafsu angkara mempermainkan sangkar sampai gila
Tawa-tangis, suka-duka,
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
76 marah-sesal, suka-duka....
bebaskan aku dari semua ini....!"
"Omitohud! Ucapanmu benar-benar merupakan dosa besar, Im-yang Seng-cu. Bagi seorang
beragama yang selalu ber-usaha untuk hidup bersih dan suci, ucap-anmu itu merupakan
penghinaan. Ucapan kotor yang menjijikkan!" Seorang hwesio berkata dengan alis berkerut.
Dia ada-lah seorang hwesio yang berada dalam rombongan Bu-tong-pai dan yang sejak tadi
hanya menjadi penonton. Agaknya ucapan Im-yang Seng-cu itu membuat hwesio ini tidak
sabar lagi untuk berdi-am diri. "Engkau tidak boleh menyamaratakan semua manusia, Im-
yang Seng-cu. Manusia ada yang bodoh, ada yang pintar, ada yang kotor batinnya, ada
yang bersih dan untuk mencapai kepintaran dan keberaihan batinnya. Jalan sa-tu-satunya
hanyalah mempelajari agama dan mematuhi hukum-hukum agamanya."
Im-yang Seng-cu tertawa dan membe-ri hormat kepada hwesio gendut itu. "Maaf, tentu
yang kaumaksudkan itu adalah agama-Mu, bukan?"
"Tentu saja Agama Buddha, karena pinceng beragama Buddha," Jawab hwesio itu.
"Hemm, pertanyaan itu pun terdorong oleh sifat ke-AKU-an pula! Orang selalu merasa baik
sendiri, bersih sendiri dan benar sendiri. Karena ini maka para pe-meluk agama menjadi
saling mencurigai, saling memburukkan dan persatuan antar manusia makin parah. Semua
agama ada-lah baik karena mengajarkan kebaikan, namun sayang sekali, orang-orangnya
yang menyalahgunakan sehingga pelajaran kebaikan seringkali dipergunakan un-tuk saling
menghina dan saling menya-lahkan. Maaf, Lo-suhu, aku tidak akan menyinggung pelajaran
agama karena aku yakin bahwa semua agama itu me-ngajarkan kebaikan, tidak ada
kecualinya! Akan tetapi, orang yang merasa dirinya paling bersih adalah orang yang kotor
karena perasaan diri paling bersih ini sudah merupakan kekotoran! Ada gambaran yang
paling tepat untuk itu. Seseorang yang melihat tahi akan menu-tup hidungnya, merasa jijik
dan muak, sama sekali dia lupa bahwa di dalam perutnya sendiri mengandung penuh tahi!
Orang yang merasa dirinya paling pin-tar sesungguhnya adalah sebodoh-bodoh-nya orang,
karena perasaan diri pintar ini sudah merupakan kebodohan! Orang yang merasa dirinya
paling kuat sesung-guhnya adalah orang yang lemah, karena kesombongannya akan
membuatnya lengah. Karena sifat mementingkan AKU-nya, maka manusia berlumba
mengejar keme-nangan dalam apapun juga, saling serang saling bunuh. Dalam perkelahian,
yang mati dianggap kalah, yang hidup diang-gap menang. Yang hidup ini agaknya lupa
bahwa dia pun kelak akan mati apabila sudah tiba saatnya! Dan siapa dapat memastikan
bahwa yang menang akan lebih bahagia daripada yang kalah dan mati" Ha-ha-ha, kalau
manusia ingat akan semua ini, aku tanggung ma-nusia akan berpikir dulu sebelum
mempe-rebutkan kemenangan!"
Filsafat yang diucapkan oleh Im-yang Seng-cu ini membuat penasaran hati me-reka yang
mendengarkan. "Im-yang Seng-cu, ucapanmu itu me-nunjukkan bahwa engkau seorang yang sombong
sekali!" Bentak Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun. "Kabarnya engkau adalah seorang tokoh Hoa-
san-pai. Beginikah pelajaran To-kouw yang dianut oleh pa-ra tosu Hoa-san-pai?" Sambil
berkata demikian, koksu ini melirik ke arah rombongan orang Hoa-san-pai. Tentu saja koksu
ini sudah mendengar bahwa Im-yang Seng-cu adalah orang yang di-anggap murtad oleh
Hoa-san-pai, dan Koksu yang cerdik ini sengaja menimbul-kan perpecahan atau
memanaskan keada-an!
"Dia bukan orang Hoa-san-pai!" Tiba-tiba terdengar suara keras dan dari rombongan Hoa-
san-pai melangkah maju seorang tosu berusia enam puluh lima tahun, bertubuh pendek dan
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
77 jenggotnya yang sudah putih itu pun dipotong pen-dek. Tosu ini memandang tajam ke arah
Im-yang Seng-cu dan sikapnya penuh wibawa.
Im-yang Seng-cu menghadapi tosu itu dan memberi hormat. "Aihh, kiranya Suheng Lok
Seng Cu hadir pula di sini. Terimalah hormat dari Sute...."


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pinto mewakili Suhu dan memimpin rombongan Hoa-san-pai, sama sekali ti-dak ada
hubungan lagi denganmu, Im-yang Seng-cu. Engkau tidak lagi diakui sebagai seorang murid
Hoa-san-pai!"
Semua orang memandang dengan hati tegang, dan koksu memandang dengan mata
bersinar. Tahu rasa engkau seka-rang, orang sombong, pikirnya. Akan te-tapi Im-yang Seng-
cu tetap berseri wa-jahnya dan tenang sikapnya ketika men-jawab,
"Lok Seng Cu, aku pun tidak pernah menonjolkan diri sebagai seorang tokoh Hoa-san-pai.
Aku berusaha untuk menja-di manusia bebas, akan tetapi.... hemm.... betapa sukarnya dan
betapa tidak mungkinnya usaha itu. Hidup sendiri sudah ti-dak bebas. Kita terbelenggu oleh
kebu-dayaan, oleh agama, oleh hukum-hukum yang diciptakan manusia hanya untuk
menyerimpung kaki manusia sendiri. Di mana kebebasan" Aihhhh, aku pun rindu
kebebasan, seperti Aku sejati....!"
Jawaban itu membuat Lok Seng Cu membungkam, karena memang orang yang dianggap
murtad ini tidak pernah menyeret-nyeret nama Hoa-san-pai da-lam setiap sepak terjangnya,
dan kalau tadi dianggap tokoh Hoa-san-pai, adalah koksu yang mengatakan, bukan
pengaku-an Im-yang Seng-cu sendiri.
Karena pembakarannya tidak berhasil, koksu menjadi penasaran dan ingin ia "menangkap"
Im-yang Seng-cu untuk me-mancing-mancing kalau-kalau kakek aneh ini akan
mengeluarkan ucapan yang me-nyinggung, sehingga dapat dijadikan alas-an untuk
menyerangnya. "Im-yang Seng-cu, apa pula artinya perkataanmu bah-wa manusia
kehilangan kebebasan kare-na terbelenggu oleh hukum-hukum yang diadakan manusia
sendiri?" Im-yang Seng-cu menghela napas panjang. "Inilah yang membuat hatiku sela-lu menjadi
gelisah menyaksikan betapa makin lama manusia makin menjerat leher sendiri,
membelenggu tangan kaki sendiri dengan hukum-hukum dan aturan-aturan sehingga
beberapa ribu tahun lagi ma-nusia tak dapat bergerak tanpa melanggar hukum! Betapa bayi
takkan menangis begitu terlahir, menghadapi semua belenggu ini" Begitu terlahir, tubuh-nya
sudah dibelenggu kain-kain penutup tubuh, menyusul peraturan dan hukum-hukum yang
tiada putusnya. Ada hu-kum ada pelanggaran, diperkenalkan yang buruk, mengerti tentang
kesucian berarti mengerti tentang kedosaan. Aihhh, betapa repot hidup ini!"
"Seorang manusia yang tidak men-taati peraturan berarti melanggar kesu-silaan, melanggar
kesopanan dan hanya seorang Siauw-jin (orang rendah) yang akan berbuat seperti itu!"
Yang berkata demikian adalah Bhe Ti Kong, panglima tinggi besar yang kosen dan jujur itu.
Sebagian besar para pembesar dan pang-lima Kerajaan Ceng (Kerajaan Mancu)
mempelajari Agama Khong Hu Cu dan karena orang-orang bicara tentang filsa-fat, Bhe Ti
Kong tertarik lalu mengaju-kan bantahan atas pendirian Im-yang Seng-cu tadi.
Im-yang Seng-cu tersenyum dan mengangguk-angguk, "Bagus sekali, Ci-angkun. Memang
tepatlah kalau orang mempelajari kebudayaan setempat! Seka-li lagi aku katakan bahwa aku
hanya menyesalkan keadaan hidup manusia, bukan sekali-sekali menganjurkan agar semua
orang melanggar hukum dan per-aturan-peraturan yang sudah ada. Aku sendiri sampai
sekarang masih memakai pakaian dan peraturan-peraturan masih tetap kupegang karena
seperti juga se-mua manusia, aku pun dihinggapi penya-kit ke-AKU-an sehingga rela
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
78 melakukan hidup dalam kepalsuan-kepalsuan dan tidak wajar. Seperti semua agama, telah
kukatakan tadi, Agama Khong Hu Cu juga mengajarkan segala kebaikan, meru-pakan
pelajaran-pelajaran yang benar-benar tepat. Akan tetapi sayang, betapa sedikit manusia
yang mematuhinya secara lahir batin, menyesuaikan pelajaran-pelajaran itu dalam sepak
terjang hidup-nya sehari-hari! Bukankah Nabi Khong Hu Cu bersabda bahwa seorang Kuncu
hanya mengejar kebenaran sedangkan seorang Siauw-jin hanya mengejar ke-untungan!
Nah, Nabi Khongcu sendiri telah maklum akan penyakit ke-AKU-an manusia sehingga perlu
memperingat-kan manusia yang selalu ingat akan keuntungan diri pribadi, keuntungan
lahiriah! Kukatakan tadi bahwa begi-tu terlahir, bayi telah dibelenggu kain-kain penutup
tubuh. Kalau pakaian di-maksudkan untuk melindungi tubuh, hal yang hanya timbul karena
kebiasaan, ka-rena sesungguhnya kalau tidak dibiasa-kan pun tidak apa-apa, maka apa
hu-bungannya dengan kesusilaan dan keso-panan?"
"Wah, orang yang tidak mau berpa-kaian dan bertelanjang bulat adalah orang yang tak tahu
malu dan tidak so-pan!" Seorang membantah dan karena semua orang berpendapat
demikian, ti-dak ada yang peduli siapa yang mengeluarkan bantahan itu tadi.
Im-yang Seng-cu tertawa, "Benarkah begitu" Kalau pun benar, maka anggap-an itu muncul
setelah orang mencipta-kan peraturan dan hukum dengan itu! Tidak wajar dan palsu seperti
yang lain-lain! Apakah seorang bayi yang baru terlahir dan sama sekali tidak berpakai-an itu
dianggap tak tahu malu dan tidak sopan" Ha-ha-ha, kulihat Cu-wi kini mu-lai dapat mengerti
apa yang kumaksud-kan. Bayi, manusia cilik itu tadinya wa-jar dan tidak mengenal hukum
kesusila-an, maka tidak bisa dianggap rendah atau tak tahu malu. Siapa tidak mengenal
hukumnya, dapatkah dianggap me-langgar" Setelah tahu akan hukumnya lalu melanggar,
barulah dimaki-maki. Dengan demikian, bukankah hukum-hukum diadakan untuk
membelenggu kaki tangan manusia sendiri, membatasi kebebasan dan kewajaran hidup"
Timbulnya segala kesalahan adalah karena melanggar hu-kum, dan timbulnya segala
pelanggaran hukum adalah karena mengenal hukum yang diciptakan. Berarti, tanpa hukum
takkan ada pelanggaran! Pengertian akan baik dan buruk itulah yang membuat manusia
terpecah dua, ada yang baik dan ada yang jahat. Pengertian akan kesuci-an dan kedosaan,
hukum-hukum yang diadakan untuk mengerti kedua hal itulah yang menimbulkan kedosaan."
Tiba-tiba Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tertawa bergelak. "Ha-ha-ha! Im-yang Seng-cu,
engkau benar-benar hebat, membuat kami semua bengong mende-ngarkan kata-katamu.
Apakah engkau da-tang untuk berkhotbah" Ataukah hendak menyebarkan agama baru?"
"Tidak, Koksu. Aku hanya mencoba untuk membentangkan keadaan sebenar-nya,
mengajak semua orang berlaku wajar dan tidak berpura-pura, menyesuaikan diri dengan
keadaan bukan semata-mata demi keuntungan diri pribadi. Seperti engkau sendiri, Koksu.
Kehadiranmu dengan banyak pasukan pemerintah di tempat ini mengapa pakai berpura-
pura" Kalau memang pemerintah melarang se-mua orang gagah mencari pusaka-pusaka
yang dikabarkan berada di pulau ini, lebih baik terang-terangan saja. Akan tetapi hendaknya
diingat bahwa mencari pusa-ka-pusaka lama dan memperebutkannya adalah urusan pribadi,
sama sekali bukan urusan pemerintah sehingga amatlah menggelikan kalau pemerintah
akan menggunakan dalih memberontak!"
Muka Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun berubah merah. "Memang sesungguhnya-lah! Kami
telah menguasai pulau ini dan tak seorang pun boleh mencoba untuk mencari benda apa
saja yang berada di pulau ini. Kalau ada yang tidak setuju, boleh menentangku!" Sambil
berkata demikian, kakek botak itu melangkah maju dengan sikap menantang.
Im-yang Seng-cu tertawa lagi dengan sikap tenang. "Im-kan Seng-jin, siapa yang dapat
melawanmu" Aku sendiri su-dah tua, bukan kanak-kanak yang suka mengadu kepalan
memperebutkan per-mainan." Dia lalu menghadapi semua orang yang masih berada di situ
sambil berkata nyaring, "Harap Cu-wi sekalian pulang ke tempat masing-masing. Biar-pun
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
79 belum mencari dan menyelidiki sendiri, namun aku yakin bahwa pusaka-pusaka yang lenyap
itu tidak mungkin berada di pulau ini. Kakek bongkok Gu Toan penjaga kuburan keluarga
Suling Emas yang amat lihai itu mati terbunuh dan pusaka-pusaka Suling Emas lenyap, hal
itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Setelah
berhasil merampas pusa-ka masa orang sakti itu lalu meninggal-kannya begitu saja di
tempat ini" Mus-tahil! Marilah kita pergi dan biarlah Koksu yang mempunyai banyak pasukan
ini kalau perlu membongkar pulau dan meratakan dengan laut untuk mencari pusaka-pusaka
itu. Ha-ha-ha!"
Im-yang Seng-cu melangkah pergi dari situ dan semua orang lalu pergi tanpa pamit,
dipandang oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun dan para pemban-tunya dengan alis berkerut
karena mera-sa disindir, akan tetapi dia tidak dapat berbuat apa-apa. Koksu ini mengerti
be-nar akan politik yang dijalankan Peme-rintah Ceng, yaitu ingin membaiki para tokoh-tokoh
kang-ouw dan sedapat mungkin mempergunakan kepandaian mereka, bukannya memusuhi
mereka sehingga memancing pemberontakan-pemberontak-an karena Kerajaan Mancu
mengerti be-nar bahwa rakyat masih belum mau tun-duk kepada pemerintah penjajah dan di
dalam hati amat membenci pemerintah Ceng. Maka, untuk menghilangkan rasa penasaran
karena tadi ia merasa "ditelan-jangi" oleh Im-yang Seng-cu, juga kare-na alasan yang
dikatakan oleh bekas tokoh Hoa-san-pai tentang pusaka-pusa-ka itu tepat, maka Im-kan
Seng-jin Bhong Ji Kun lalu mengerahkan pasukan-nya untuk sekali lagi melakukan
penca-rian di pulau itu, bukan mencari pusaka yang ia tahu memang tidak berada di pulau
itu, melaikan mencari petunjuk-petun-juk selanjutnya karena jejak yang didapat-kannya
hanya sampai di pulau itu. Akan tetapi, sampai beberapa hari mereka be-kerja, hasilnya sia-
sia sehingga akhirnya koksu terpaksa kembali ke kota raja dengan hati mengkal dan
memerintahkan kepada dua orang pembantunya yang paling boleh diandalkan, yaitu Thian
Tok Lama dan Thai Li Lama, untuk meran-tau di dunia kang-ouw, memasang mata dan
telinga, mencari kabar dan cepat-cepat memberi laporan kepadanya kalau ada berita bahwa
ada tokoh kang-ouw yang mendapatkan pusaka-pusaka itu, terutama sekali Pusaka
Sepasang Pedang Iblis.
Mengapakah koksu ini ingin benar mendapatkan Sepasang Pedang Iblis" Se-benarnya,
sebagai seorang ahli silat yang berilmu tinggi sekali, dia tidak hanya menginginkan sepasang
pedang itu, juga ingin memiliki pusaka-pusaka peninggal-an keluarga Suling Emas yang
amat ke-ramat dan ampuh. Akan tetapi, lebih dari segala pusaka di dunia ini, ia ingin sekali
mendapatkan Sepasang Pedang Iblis, hal ini bukan hanya karena dia mendengar akan
keampuhan sepasang pedang yang pernah menggegerkan dunia pada puluhan tahun yang
lalu, juga kare-na masih ada hubungan antara Bhong Ji Kun ini dengan Si Pembuat Pedang
itu! Sepasang Pedang Iblis adalah sepasang pedang milik Pendekar Wanitar Sakti Mutiara
Hitam yang kemudian terjatuh ke tangan sepasang pendekar murid Mu-tiara Hitam. Kedua
pedang yang ampuh itu dibuat oleh dua orang ahli pedang dari India, laki-laki dan wanita
yang sakti dan yang hanya setelah dikalahkan oleh Mutiara Hitam baru mau membuat-kan
sepasang pedang yang dikehendaki Mutiara Hitam, dibuat dari dua bongkah logam yang
jatuh dari langit! Kedua orang India ini bernama Mahendra dan Nila Dewi (baca ceritaIstana
Pulau Es). Adapun koksu Kerajaan Mancu yang lihai ini pun adalah seorang peranakan India
dan antara dia dengan kedua orang ahli pedang India itu masih ada hubungan keluarga!
Biarpun Mahendra dan Nila Dewi yang dianggap suami isteri itu hanya merupakan kakek
dan nenek luar yang sudah jauh, akan tetapi sedikit ba-nyak ada hubungan darah sehingga
kini Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun menjadi penasaran kalau tidak dapat merampas
Sepasang Pedang Iblis buatan kakek dan neneknya.
Demikianlah, kini dengan mati-matian Bhong Ji Kun berusaha mendapatkan Sepasang
Pedang Iblis dan untuk menye-lidiki gerak-gerik orang-orang kang-ouw yang dianggapnya
menjadi sebab kehi-langan pusaka-pusaka itu, koksu memberi tugas kepada Thian Tok
Lama dan Thai Li Lama, dua orang pendeta Tibet yang memiliki kepandaian tinggi itu,
tingkat kepandaian yang hanya sedikit di bawah tingkat Si Koksu sendiri.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
80 *** Sesosok bayangan putih menyambar turun dari angkasa dan bunyi kelepak sayap terdengar
disusul bergeraknya da-un-daun pohon ketika pohon itu tertiup angin yang keluar dari
gerakan sayap dan burung garuda putih yang besar itu hinggap di atas tanah. Laki-laki
berkaki buntung sebelah itu meloncat turun dan terdengar keluhannya lirih ditujukan ke-pada
si Burung Garuda.
"Pek-eng (Garuda Putih), kita tidak berhasil mencari Kwi Hong! Aihhh.... ke-napa selama
hidupku aku harus menderita kehilangan selalu....?"
Burung itu menggerak-gerakkan leher-nya dan paruhnya yang kuat mengelus-elus kepala
Suma Han yang berambut putih, seolah-olah burung itu hendak menghiburnya. Laki-laki itu
bukan lain adalah Suma Han. Majikan Pulau Es yang terkenal dengan julukan Pendekar
Super Sakti, juga Pendekar Siluman. Usia pen-dekar sakti ini belum ada tiga puluh tahun,
akan tetapi biarpun wajahnya ma-sih tampan dan segar, rambutnya yang putih dan pandang
matanya yang sayu membuat pendekar ini memiliki wibawa seperti seorang kakek-kakek tua
renta! "Pek-eng...." katanya lirih bisik-bisik sambil mengelus leher burung itu, "siapa yang
mempunyai, dia yang akan kehilangan...."
"Nguk-nguk...." Garuda itu mengeluar-kan suara lirih, seolah-olah ikut berduka.
"Engkau pun merasa kehilangan karena engkau mempunyai garuda betina yang kini pergi
bersama Kwi Hong. Aku telah banyak menderita kehilangan karena aku banyak mempunyai
orang-orang yang kucinta....! Ahhh, betapa bahagianya orang yang tidak mempunyai apa-
apa karena dia tidak akan menderita kehilangan apa-apa! Siapa bilang yang punya lebih
senang daripada yang tidak punya" Ah, dia tidak tahu! Mempunyai berarti menjaga karena
selalu diintai bahaya kehilangan. Hanya orang yang tidak mempunyai apa-apa saja yang
dapat enak tidur, tidak khawatir kehilangan apa-apa!"
Suma Han menjatuhkan diri di atas tanah, bersandar batang pohon dan dalam waktu
beberapa menit saja dia sudah tidur pulas! Memang To-cu (Majikan Pu-lau) Pulau Es ini di
samping kesaktian-nya yang luar biasa, mempunyai kebiasa-an aneh, yaitu dalam urusan
makan dan tidur ia berbeda dengan manusia-manu-sia biasa. Kadang-kadang sampai
belasan malam dia tidak tidur sekejap mata pun, selama belasan hari tidak makan sesuap
pun, akan tetapi dia dapat tidur sam-pai berhari-hari dan sekali makan menghabiskan
beberapa kati gandum!
Garuda putih yang setia dan cerdik itu, begitu melihat majikannya pulas, lalu terbang ke atas
pohon, hinggap di cabang pohon dan tidur juga. Burung ini sudah melakukan penerbangan
amat jauh dan lama sehingga tubuhnya terasa lelah. Dua mahluk yang sama-sama lelah itu
kini mengaso dan keadaan di dalam hu-tan itu sunyi, yang terdengar hanya ber-silirnya
angin mampermainkan ujung-ujung daun pohon.
Dalam keadaan tertidur pulas itu, wajah Suma Han berubah sama sekali. Biasanya di waktu
ia sadar, wajah yang tampan itu selalu terselubung kemuram-an yang mendalam, apalagi
karena sinar matanya yang tajam dan dingin serta aneh itu selalu tampak sayu, membuat
wajahnya seperti matahari tertutup awan hitam. Kini setelah ia tidur pulas, le-nyaplah garis-
garis dan bayangan gelap, membuat wajahnya kelihatan tenang tenteram dan mulutnya
tersenyum penuh pengertian bahwa segala yang telah, sedang dan akan terjadi adalah hal-
hal yang sudah wajar dan semestinya, hal--hal yang tidak perlu mendatangkan suka maupun
duka! Wajahnya seperti wajah seorang yang telah mati, tenang dan tidak membayangkan
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
81 penderitaan batin karena seluruh urat syaraf mengendur dan tidak dirangsang nafsu
perasaan lagi karena di dalam tidur atau mati, segala persoalan lenyap dari dalam hati dan
pikiran. "Suma Han, bangunlah!" Tiba-tiba terdengar bentakan halus namun mengandung getaran
kuat yang membuat Pendekar Super Sakti membuka mata. Dengan malas ia bangkit dan
memandang orang yang membangunkannya. Kiranya di de-pannya telah berdiri seorang
kakek yang dikenalnya baik karena kakek yang me-megang tongkat berujung kepala naga
itu bukan lain adalah Im-yang Seng-cu! Namun ia bersikap tak acuh dan garis--garis
bayangan suram kembali memenuhi wajahnya ketika ia bangkit berdiri, ber-sandar pada
tongkatnya. Ia hanya seki-las memandang wajah kakek itu, kemudian menunduk, seolah-
olah enggan untuk berurusan dan memang sesungguhnya, dalam saat seperti itu Suma Han
mera-sa malas untuk berurusan dengan siapapun juga. Betapapun, mengingat bahwa
ka-kek ini adalah seorang tokoh besar yang dikenalnya baik, bahkan Im-yang Seng--cu
adalah guru dari orang-orang yang amat dikenal dan disayangnya, maka ia berkata sambil
tetap menundukkan muka.
"Locianpwe Im-yang Seng-cu, apakah yang Locianpwe kehendaki maka perlu
membangunkan saya yang sedang mengaso?"
"Apa yang kukehendaki" Ha-ha! Thian yang Maha Adil agaknya yang menuntun aku
sehingga tanpa kusengaja dapat ber-temu denganmu di sini, Suma Han. Aku hendak
membunuhmu!"
Suma Han sama sekali tidak memperlihatkan kekagetan, bahkan seperti tidak peduli. Dia
hanya mengangkat muka dan memandang sejenak, membuat Im-yang Seng-cu terpaksa
mengejapkan mata ka-rena merasa seolah-olah ada sinar yang menusuk-nusuk keluar dari
sepasang ma-ta Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman itu. Akan tetapi sepasang
mata itu menunduk kembali dan dada Suma Han mengembung besar ketika ia mena-rik
napas panjang. "Ada akibat tentu bersebab. Datang-datang Locianpwe hendak membunuh saya, pasti ada
sebabnya. Kiranya tidak keterlaluan kalau saya yang hendak Locianpwe bunuh ini lebih dulu
mendengar apa yang menyebabkan Locianpwe hen-dak membunuh saya." Suaranya tetap
tenang. Im-yang Seng-cu juga menghela napas panjang. Sebenarnya, tidak ada se-ujung rambut
pun rasa senang di hati-nya untuk menghadapi Pendekar Super Sakti dengan ancaman
untuk membunuh-nya! Baik karena pengetahuannya bahwa dia tidak akan mampu
mengalahkan pendekar muda ini maupun karena me-mang dia selalu merasa suka dan
kagum kepada Suma Han.
"Tentu ada sebabnya! Dahulu engkau yang menjadi sebab kematian seorang muridku yang
tersayang, yaitu Soan Li. Hal itu masih dapat kulupakan sungguh-pun ada orang yang
takkan dapat melu-pakannya, yaitu Tan-siucai...."
Suma Han memejamkan matanya dan bibirnya mengeluarkan keluhan disusul ucapannya
yang menggetar, "Mohon Lo-cianpwe jangan menyebut-nyebut namanya lagi...." Di depan
kedua matanya yang terpejam itu, pendekar muda yang berkaki buntung ini membayangkan
semua peristiwa yang terjadi beberapa ta-hun yang lalu. Hoa-san Kiam-li (Pende-kar Pedang
Wanita dari Hoa-san) Lu Soan Li adalah murid ke dua Im-yang Seng-cu, seorang dara jelita
yang lihai sekali dan berjiwa patriot, seorang gadis manis yang jatuh cinta kepadanya,
bah-kan kemudian telah mengorbankan nya-wanya untuk dia! Lu Soan Li tewas di dalam
pelukannya dan menghembuskan napas terakhir setelah mengaku cinta ke-padanya. Dara
perkasa itu tewas dalam usaha untuk menyelamatkannya.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
82 "Suma Han, urusan Soan Li memang sudah kulupakan. Akan tetapi sekarang engkau
kembali telah menghancurkan kebahagiaan hidup dua orang yang paling kusayang di dunia
ini, kusayang seperti anak-anakku sendiri. Engkaulah yang menjadi sebab kehancuran hidup
mereka, karena itu tidak ada jalan lain bagiku kecuali membunuhmu atau mati di
ta-nganmu!"


Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suma Han merasa seolah-olah jantungnya ditembusi anak panah beracun, akan tetapi
sikapnya tenang dan ia hanya memandang penuh pertanyaan sambil berkata, "Locianpwe,
apakah yang telah terjadi dengan Lulu dan Sin Kiat?"
Pendekar Siluman Majikan Pulau Es ini merasa gelisah karena ia dapat men-duga bahwa
tentu telah terjadi sesuatu dengan adik angkatnya, yaitu seorang gadis Mancu yang amat
dicintanya, bah-kan merupakan satu-satunya orang yang paling dicintanya di dunia ini. Telah
lima tahun ia meninggalkan adiknya itu ketika adiknya menikah dengan Wan Sin Kiat yang
berjuluk Hoa-san Gi-Hiap (Pendekar Budiman dari Hoa-san) yaitu murid pertama Im-yang
Seng-cu! Siapa lagi yang merupakan dua orang yang dicinta kakek ini kalau bukan muridnya
itu" Adapun tentang pertanyaan Im-yang Seng-cu tentang dendam yang dikan-dung di hati
orang yang benama Tan--siucai (Pelajar Tan), dia tidak peduli. Dia tahu bahwa Tan-siucai
adalah tu-nangan mendiang Lu Soan Li dan kare-na dia tidak merasa berdosa terhadap
kematian Soan Li yang mengorbankan diri untuk menyelamatkannya, maka dia pun tidak
peduli apakah ada orang yang mendendam kepadanya atau tidak. Akan tetapi kalau
adiknya, Lulu yang dicintainya itu tertimpa malapetaka....!
"Locianpwe, saya minta Locianpwe menceritakan kepada saya apa yang te-lah terjadi
dengan Lulu!" Kembali Suma Han berkata, sungguhpun sikap dan suaranya tenang, namun
jelas ia mendesak dan pandang matanya penuh tuntutan.
"Kau mau tahu" Baiklah, sebaiknya engkau dengar sejelasnya agar kalau nanti kau tewas di
tanganku tidak men-jadi setan penasaran dan kalau sebalik-nya aku yang mati di tanganmu
agar lengkap noda darah di tanganmu!" Ka-kek itu lalu menghampiri pohon yang menonjol.
Melihat sikap kakek itu, Suma Han juga duduk di depannya, siap mende-ngarkan penuturan
kakek itu. Im-yang Seng-cu lalu mulai dengan penuturannya tentang keadaan Lulu dan Sin Kiat. Lima
tahun lebih yang lalu, dengan disaksikan oleh Im-yang Seng-cu sebagai wali pengantin pria,
yaitu mu-ridnya Wan Sin Kiat, dilangsungkanlah pernikahan Wan Sin Kiat dengan Lulu yang
dihadiri oleh Suma Han sebagai kakak angkat dan walinya (baca ceritaPendekar Super Sakti
). Setelah menyaksikan pernikahan adiknya, Suma Han lalu pergi dan semenjak itu tidak
pernah kembali atau bertemu dengan Lulu lagi.
Akan tetapi, semenjak ditinggal pergi kakak angkatnya, Lulu selalu kelihatan berduka.
Memang pada bulan-bulan perta-ma dia agak terhibur oleh limpahan kasih sayang Wan Sin
Kiat, suaminya. Akan tetapi, bulan-bulan berikutnya hi-buran suaminya tidak dapat
menyembuh-kan kedukaan hatinya, seolah-olah semua kegembiraan hidupnya terbawa
pergi oleh bayangan Suma Han, kakaknya. Lebih--lebih setelah Lulu melahirkan seorang
anak laki-laki, hubungan suami isteri ini kelihatan makin merenggang.
Im-yang Seng-cu yang seringkali me-ngunjungi muridnya, dapat melihat kerenggangan ini,
akan tetapi tentu saja dia tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi antara suami isteri itu.
Kurang lebih setahun kemudian setelah Lulu me-lahirkan anak, pada suatu hari Im-yang
Seng-cu didatangi muridnya, dan betapa kaget hatinya melihat Wan Sin Kiat menjatuhkan
diri berlutut di depannya sambil menangis! Hal ini benar-benar mengejutkan hati kakek itu
yang menge-nal betul kegagahan muridnya.
Sepasang Pedang Iblis >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba.com
83 "Sin Kiat, hentikan tangismu! Air ma-ta seorang gagah jauh lebih berharga daripada
darahnya, jangan dibuang-bu-ang!" Bentak kakek itu yang tidak tahan melihat muridnya yang
gagah perkasa itu menangis tersedu-sedu. Wan Sin Kiat menyusut air matanya dan
menekan kedukaan hatinya.
"Ceritakan apa yang telah terjadi. Seorang jantan harus berani menerima segala peristiwa
yang menimpanya, baik maupun buruk, secara gagah pula!"
"Maaf, Suhu. Teecu sanggup mengha-dapi derita apapun juga, akan tetapi ini.... ah, Suhu.
Isteri teecu, Lulu, telah pergi meninggalkan teecu!"
"Apa....?" Im-yang Seng-cu terkejut juga mendengar ini. "Dan puteramu?"
"Dibawanya pergi."
"Kenapa tidak kaukejar dia" Menga-pa datang ke sini dan tidak segera me-ngejar dan
membujuknya pulang?" Im-yang Seng-cu menegur muridnya karena mengira bahwa tentu
terjadi percekcok-an antara suami isteri itu, hal yang amat lumrah.
Akan tetapi Sin Kiat menggeleng kepala dengan penuh duka. "Percuma, Suhu. Hatinya
keras sekali dan kepergi-annya merupakan hal yang sudah dita-han-tahannya selama dua
tahun, semen-jak teecu menikah dengannya."
"Aihh, bagaimana pula ini" Bukankah kalian menikah atas dasar saling men-cinta?"
"Teecu memang mencintanya dengan jiwa raga teecu bahkan sampai saat ini pun teecu tak
pernah berkurang rasa cinta teecu terhadap Lulu. Akan tetapi.... dia.... ah, kasihan Lulu....
dia menderita karena cinta kasihnya bukan kepada teecu, melainkan kepada Han Han...."
"Suma Han" Dia kakaknya!"
"Itulah soalnya, Suhu. Sesungguhnya, Lulu amat mencinta kakak angkatnya, dan baru
setelah melangsungkan perni-kahan dan ditinggal pergi Han Han, dia sadar dan menyesal,
Lulu sudah berusa-ha untuk melupakan kakak angkatnya, berusaha untuk membalas cinta
kasih tee-cu, aduh kasihan dia.... semua gagal, cin-tanya terhadap kakak angkatnya makin
mendalam dan membuatnya makin men-derita...."
"Dan semua itu dia ceritakan kepada-mu?" Im-yang Seng-cu bertanya dengan mata
terbelalak, terheran-heran mende-ngar penuturan yang dianggapnya aneh tak masuk akal
itu. "Tidak pernah, sampai ketika ia per-gi, Suhu. Dia meninggalkan
Jodoh Rajawali 29 Puteri Es Seri 5 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Bukit Pemakan Manusia 1
^