Suling Emas Dan Naga Siluman 22

Suling Emas Dan Naga Siluman Bu Kek Sian Su 11 Karya Kho Ping Hoo Bagian 22


rah sekali kepada ular itu. Tahulah dia bahwa saking tangguhnya, ular itu mendatangkan rasa takut sedemikian rupa kepada para penghuni dusun ini dan mereka menganggapnya sebagai dewa yang akan mendatangkan malapetaka kalau tidak diberi korban seorang manusia setiap tahun. Kepala Dusun ini bahkan telah menyerahkan anak perempuannya untuk korban!
"Lopek, dan Saudara-saudara semua. Jangan khawatir, kali ini kami datang untuk membasminya, untuk membunuhnya agar kalian semua terbebas daripada ancaman binatang laknat itu!"
"Ah, tiada guna.... entah sudah berapa banyak orang sombong yang bersumbar sebelum bertemu dengan dewa ular, dan akhirnya mereka itu tewas satu demi satu! Kalian pun akan tewas dan sesudah itu, karena gangguan kalian, dan ular akan mengamuk dan akan menghabiskan kami semua!" Kembali Kepala Dusun itu nampak marah dan penasaran.
Melihat betapa orang-orang itu sukar diberi penjelasan, akhirnya Suma Kian Bu memperoleh akal. "Engkau tadi mengatakan bahwa untuk tahun ini belum dipilih korban" Kapankah biasanya diadakan korban"
"Setiap tahun sekali, pada permulaan musim rontok, pada saat itu dewa ular akan meninggalkan pohon yang mulai rontok daunnya. Pada saat itulah kami harus menyerahkan seorang korban, kalau tidak, dewa ular tentu akan mendatangi dusun untuk mencari korban sendiri dan kalau sudah begitu, kami akan dihukum sehingga sedikitnya dia akan mengambil dua tiga orang korban!"
"Kapankah hari penyerahan korban itu"
"Dua hari lagi, tepat pada saat bu1an purnama." jawab Si Kepala Dusun.
"Bagus! Kalau begitu, sekali ini kalian bukan menyerahkan seorang korban, melainkan tiga orang korban, yaitu kami bertiga. Biar dia kekenyangan dan puas sehingga tidak akan menganggu kalian lagi!" kata Suma Kian Bu
Aneh mendengar ucapan ini yang segera diterjemahkan, semua orang memandang dengan wajah berseri kepada Kian Bu, Siang In, dan Ci Sian. Sinar mata mereka penuh dengan harapan dan rasa syukur. Kalau begini lain lagi soalnya, pikir mereka. Kalau tiga orang itu mengatakan hendak membasmi dewa ular, hal itu eungguh tak masuk diakal dan selain tiga orang itu akhirnya akan tewas, yang lebih celaka lagi ular itu akan menimpakan kutuk dan pembalasannya kepada mereka sedusun. Sebaliknya kalau tiga orang itu mau menjadi korban, tentu saja hal ini melepaskan mereka daripada bahaya amukan ular itu, setidaknya untuk waktu setahun dan mereka tidak perlu bingung-bingung mencari dengan hati berat, anak siapa yang akan dikorbankan!
Akan tetapi, Kepala Dusun itu masih memandang penuh keraguan. "Benarkah kalian bertiga mau menjadi korban untuk dewa"
"Benar, Lopek. Kami bertiga bersedia untuk dikorhankann demi menyelamatkan dusun ini dari ancamannya." jawab Kian Bu dengan suara tegas.
"Tapi.... biasanya, para korban itu dibelenggu kaki tangannya, dan direbahkan dalam guha sebelum dewa ular pindah dari pohon ke dalam guha...."
Mendengar ini wajah Siang In menjadi merah dan hampir saja nyonya ini menjadi marah karena dianggapnya sebagai penghinaan kalau ia harus membiarkan dirinya dibelenggu kaki tangannya! Akan tetapi suaminya memandang kepadanya dan isteri yang sudah mengenal dengan baik segala pandang mata suaminya ini dapat menerima isyarat suaminya yang kemudian menjawab. "Kalau begitu, biarlah kalian mengikat dan membelenggu kaki tangan kami dan merebahkan kami di dalam guha itu."Mendengar ini, lenyaplah keraguan dari pandang mata Kepala Dusun itu, terganti dengan ketakjuban dan kegirangan. "Ah, sungguh hampir tak dapat dipercaya. Kalian bertiga seperti utusan dewa yang datang untuk menolong kami saja!" serunya.
Dari percakapan dan sikap mereka itu, Suma Kian Bu yang amat cerdik itu sudah dapat menangkap keadaan dan watak mereka. Dia tahu bahwa orang-orang ini adalah orang-orang dusun yang jujur dan polos, bodoh dan amat tahyul, oleh karena itu, dengan suara garang dengan pengerahan khi-kang sehingga suaranya bergema di ruangan itu dan amat mengejutkan semua orang dia berkata, "Kalian sangka siapa kami ini" Kami memang utusan dewa untuk datang ke dusun ini dan menyelamatkan kalian!"
Siang In sudah dapat menanggapi kata-kata suaminya. Maka selagi semua orang terbelalak mendengar terjemahan kata-kata Kian Bu tadi, dan kepala dusun itu memandang dengan muka pucat saking kagetnya, tiba-tiba nyonya yang cantik ini mengeluarkan suara melengking. tinggi, menggetarkan jantung semua pendengarannya. Kemudian dengan suara yang amat berpengaruh karena disertai kekuatan sihirnya, dengan pandang mata seperti mencorong ketika semua orang menoleh dan memandangnya, tertarik oleh lengkingan tinggi tadi, ia berkata. "Apakah kalian sudah buta" Lihat baik-baik! Kami adalah utusan dari Kwan Im Pouwsat sendiri! Aku adalah Dewi Api, lihat tubuhku mengeluarkan api bernyala! Lihat baik-baik!"
Dan terdengar semua orang yang terbelalak itu tiba-tiba berteriak-teriak ketakutan ketika mereka melihat betapa tubuh nyonya yang cantik itu tiba-tiba berkobar-kobar di tengah-tengah api! Bahkan Ci Sian sendiri juga terkena pengaruh sihir itu dan ia kaget sekali melihat tubuh Siang In terbakar. Namun, ia segera mengerahkan khi-kangnya dan mengusir pengaruh itu dan ia melihat betapa nyonya itu tetap berdiri biasa saja, sama sekali tidak ada api keluar dari tubuhnya!
Akan tetapi kini semua penduduk dusun itu dipimpin oleh Kepala Dusun mereka, sudah menjatuhkan diri berlutut menghadap tiga orang itu! "Ampunkan hamba sekalian.... hamba tidak tahu bahwa Paduka bertiga adalah dewa-dewa...."
Kian Bu merasa kasihan dan tidak tega untuk mempermainkan orang-orang yang jujur dan bodoh ini. Dia tersenyum dan mengangkat kedua tangannya. "Bangkitlah kalian dan jangan berlutut. Ketahuilah bahwa biarpun kami ini utusan pada dewa, akan tetapi pada saat ini, kami memakai tubuh manusia biasa, maka kalian juga harus memperlakukan kami sebagai manusia biasa. Nah, kami sudah siap untuk menjadi korban. Kapan hal itu dapat dilaksanakan"
"Biasanya yang kami lakukan setiap tahun, pada hari bulan purnama penuh, siangnya korban dibawa ke guha dan ditinggalkan, karena pada malam harinya dewa ular akan datang, pindah dari pohon yang mulai rontok daunnya ke dalam guha itu. Dan tahun ini, bulan purnama penuh akan muncul dua hari lagi."
"Baiklah, kami bertiga boleh kalian bawa ke guha itu pada besok lusa siang, agar malamnya kami dapat bertemu dengan dewa ular itu." kata Kian Bu. Sebetulnya, setelah para penghuni dusun itu dapat ditundukkan oleh ilmu sihir Siang In, mereka semua itu sudah percaya dan tentu mau membantu. Akan tetapi Kian Bu berpikir lain. Menghadapi ular yang lihai itu tidak perlu bantuan orang-orang dusun yang sudah ketakutan itu, karena selain mereka itu tidak ada gunanya, juga bahkan di antara mereka mungkin saja akan tewas dan hal ini tidak dikehendakinya. Selain itu, ular yang sudah amat tua itu agaknya jauh lebih cerdik daripada ular-ular biasa. Dia khawatir kalau-kalau ular itu mencari tempat lain dan tidak akan datang ke guha kalau tidak disediakan korban, yaitu calon mangsanya yang mudah. Dan menghadapi ular itu di tempat terbuka jauh lebih menguntungkan daripada menghadapinya di dalam guha, atau kalau ular itu datang, sebelum memasuki guha, mereka bertiga dapat menyambutnya di depan guha, di tempat terbuka, diterangi oleh sinar bulan purnama, dan mereka bertiga akan siap untuk memegang obor di tempat itu. Mengenai belenggu kaki tangan itu, tentu saja bukan merupakan persoalan bagi mereka bertiga.
Kini para penduduk dtsun itu amat menghormati mereka bertiga yang dianggap selain utusan dewa, juga merupakan penolong mereka. Baru mau menjadi pengganti korban saja sudah membuat mereka bersyukur dan berterima kasih! Maka, kini tiga orang pendekar itu dijamu oleh para penduduk dan dilayani dengan sikap hormat sekali.
Pada dua hari berikutnya, setelah matahari condong ke barat, Suma Kian Bu, Sian In dan Ci Sian sudah siap. Semua penghuni dusun, laki-laki perempuan tua muda, sudah berkumpul di depan rumah Kepada Dusun. Kepala Dusun, dengan dibantu oleh beberapa orang dan disaksikan oleh semua penghuni, mulai mengikatkan tali-tali yang kuat pada kaki tangan tiga orang pendekar itu. Tiga orang pendekar itu sudah makan sore dan sudah mandi bersih, suatu keharusan bagi pare calon korban, memakai pakaian bersih dan pengikatan kaki tangan mereka dilakukan dengan penuh khidmat okh Kepala Dusaan dan para pembantunya.
"Lihatlah, agar kalian semua yakin bahwa kami adalah utusan para dewa!" kata Suma Kian Bu untuk mendatangkan kesan terakhir. Dia menggerakkan kedua lengannya dan "Kreekkk....! Putuslah tali yang mengikat kedua pergelangan tangannya, dan sekali menggerakkan kedua kakinya, putus pula belenggu kedua kakinya! Semua orang terkejut sekali dan wajah kepala dusun menjadi pucat. Akan tetapi Kian Bu sudah memasangkan kembali kaki tangannya untuk diikat kembali dengan tali-tali baru.
Setelah mengikatkan kaki tangan itu selesai, Kian Bu berkata, "Dengar baik-batik pesan kami. Setelah menaruh kami di mulut guha, harap kalian semua pergi dan bersembunyi di rumah masing-masing. Kalau ada suara apapun jangan sekali-kali keluar dan biarkan kami bertiga menghadapi ular itu. Dan jangan lupa, sediakan obor, minyak dan lilin bernyala di guha."
Kepala Dusun mengangguk-angguk dan tak lama kemudian, tiga orang pendekar itu yang kaki tangannya terbelenggu, sudah digotong di atas tandu seperti yang biasa setiap tahun terjadi. Akan tetapi kalau biasanya yang digotong hanya seorang korban saja, kini ada tiga orang calon korban yang digotong ramai-ramai. Dan seperti biasanya, para penghuni dusun itu dengan dipimpin seorang pendeta yang menganut agama campuran antara Bhudis dan Taoism, menyanyikan lagu-lagu pujaan untuk para dewa. Kian Bu, Siang In, dan Ci Sian duduk di atas tandu dengan kaki tangan terbelenggu, akan tetapi mereka tersenyum-senyum dan merasa seperti menjadi pengantin saja karena mereka berpakaian baru, diberi kalungan bunga, dipikul di dalam tandu, dan diiringkan oleh banyak orang yang bernyanyi-nyanyi dipimpin oleh pendeta satu-satunya yang berada di dusun itu. Iring-iringan mengantar calon korban untuk dewa ular ini biasanya setiap tahun dilakukan dengan iringan air mata keluarga Si Korban. Akan tetapi sekali ini, suasananya gembira dan semua wajah orang dusun itu cerah dan berseri. Hal ini bukan hanya karena di antara mereka tidak ada yang kehilangan sanak keluarga, akan tetapi juga karena ada harapan dalam hati mereka untuk dapat terbebas selamanya daripada rasa takut terhadap Si Dewa Ular. Akan tetapi di antara harapan dan kegembiraan ini, ada pula kekhawatiran menyelinap di dalam hati mereka. Bagaimana kalau tiga utusan dewa itu gagal" Dan andaikata mereka berhasil dan dewa ular dapat dienyahkan, bukankah hal itu berarti bahwa berkah dari dewa ular untuk mereka pun akan ikut lenyap"
Kepercayaan tahyul seperti yang dimiliki oleh para penduduk dusun di dekat Puncak Naga Hijau di Pegunungan Kun-lun-san itu bukan hanya merupakan peristiwa yang dapat terjadi dan menimpa, sekelompok manusia yang masih terbelakang atau yang peradabannya belum tinggi. Kalau kita mau mengamati keadaan sekeliling kita, mau mengamati kehidupan kita sendiri, bahkan di jaman modern ini sekalipun, kita masih terikat dan terbelenggu oleh berbagai kepercayaan dan ketahyulan! Kelompok ini percaya akan ini dan tidak percaya akan itu. Golongan lain percaya akan itu dan tidak percaya akan hal yang dipercaya oleh kelompok pertama ini. Bahkan kepercayaan-kepercayaan yang merupakan adat pusaka keturunan nenek moyang itu dapat menjadi bahan untuk saling bertentangan dan bermusuhan!
Kepercayaan akan hal-hal yang di luar jangkauan pikiran merupakan ketahyulan yang lama-lama berobah menjadi tradisi. Dan biasanya, hal-hal seperti itu hanya untuk dipercaya saja, bukan untuk dimengerti! Dan kita pun takut untuk melanggarnya atau meninggalkannya dari batin kita. Tentu saja rasa takut ini timbul oleh suatu kepercayaan pula bahwa memegang teguh tradisi kepercayaan tahyul itu mendatangkan selamat, berkah, yang pada pokoknya adalah menyenangkan atau menguntungkan, dan sebaliknya kalau kita menanggalkan atau membuangnya, kita akan kehilangan apa yang kita namakan selamat, berkah atau yang menyenangkan itu. Kita takut akan dilanda kesusahan karenanya. inilah sumber rasa takut menanggalkan atau membuangnya.
Lalu bagaimanakah timbulnya kepercayaan akan tahyul yang menjadi tradisi itu" Semua kepercayaan, kalau kita mau merenungkannya dengan penuh kebebasan dan perhatian, timbul karena kebodohan, karena ketidakmengertian. Kepercayaan itu pasti timbul karena kita tidak mengerti, tidak tahu, lalu kita mendengar pengertian itu dari mulut orang yang kita hormati, kita kagumi, kita anggap lebih tahu daripada kita, atau dari kitab yang ditulis oleh orang yang kita muliakan, maka kita pun lalu percayalah! Kalau ketidakmengertian kita tentang sesuatu itu diterangkan oleh orang yang tidak kita agungkan, tidak kita hormati atau kagumi, maka kita pun lalu tidak percaya! Jadi, percaya atau tidak percaya itu timbul dari sumber yang sama, yaitu dari kebodohan atau ketidakmengertian.
Sebagai contoh misalnya, kita belum pernah melihat sendiri, belum pernah membaca, belum pernah mendengar, pendeknya kita tidak mengerti sama sekali tentang Kutub Utara. Lalu datanglah seseorang yang menulis atau bercerita kepada kita tentang Kutub Utara, tentang keanehan-keanehannya, keajaiban-keajaibannya dan sebagainya. Nah, di sinilah asal mula timbulnya percaya atau tidak percaya. Karena kita sendiri tidak mengerti, maka kita lalu mendengarkan orang itu dan tanggapan kita tentu saja dipengaruhi oleh perasaan kita terhadap orang itu. Kalau orang itu kita agungkan, kita akan percaya, dan kalau sebaliknya kita tidak mengagungkannya, kita tidak percaya! Dan kepercayaan atau ketidakpercayaan ini kita turunkan kepada murid-murid atau anak-anak keturunan, dan selanjutnya menjadi kepercayaan turun temurun. Sebaliknya kalau orang itu, atau siapapun juga adanya, datang lalu bercerita atau menulis tentang sesuatu yang sudah kita mengerti atau ketahui, sudah tentu tidak akan timbul percaya atau tidak percaya lagi. Yang ada hanyalah kenyataan bahwa apa yang diceritakan itu benar atau bohong. Kalau ada orang mengatakan bahwa darah manusia itu hijau warnanya atau matahari itu timbul dari barat, maka di sini tidak ada percaya atau tidak percaya, karena kita sudah tahu dan mengerti benar bahwa keterangan orang itu bohong! Sebaliknya, kalau ada orang mengatakan bahwa pohon besar itu dihuni setan atau dewa, maka keterangan ini menimbulkan percaya atau tidak percaya, karena kita tidak mengerti dan tidak mengetahui benar akan hal itu.
Maka, dapatkan kita hidup bebas dari segala macam kepercayaan dan ketahyulan ini" Beranikah kita mengakui dengan rendah hati bahwa kalau timbul pertanyaan akan sesuatu yang tidak kita mengerti, yang tidak terjangkau oleh akal budi pikiran kita, lalu kita menjawab bahwa kita TIDAK TAHU" Biasanya, kita takut atau malu untuk mengakui bahwa kita tidak tahu. Kita selalu ingin mengaku bahwa kita tahu segalanya, padahal sebagian besar dari hal-hal yang kita katakan kita tahu itu sebenarnya hanyalah pengetahuan mati yang kita dengar dari keterangan orang lain, yang tidak kita hayati sendiri.
Karena, sesungguhnya hanya orang yang tidak tahu sajalah yang dapat membuka mata, yang dapat menyelidiki, dapat menyelami, dapat mempelajari dengan otak dan hati kosong sehingga penyelidikan itu dapat dilakukan seteliti-telitinya, tidak dipengaruhi oleh pengetahuan-pengetahuan mati yang hanya akan menjadi batu penghalang bagi penyelidikannya akan hal-hal yang baru. Sayang bahwa mereka yang tidak tahu itu begitu ingin untuk dianggap tahu sehingga dengan mudah mereka menerima segala pengetahuan dari orang lain melalui kepercayaan.
Setelah tiba di depan guha, semua penghuni dusun nampak ketakutan dan sejak mendekati tempat itu tadi pun sudah tidak ada yang berani mengeluarkan suara. Suasana memang amat menyeramkan karena tempat itu terpencil, jauh dari dusun, jauh dari manusia dan tidak nampak bekas-bekas tangan manusia di situ dan dalam perjalanan mereka itu, mereka tidak melihat tapak seorang pun manusia. Tiga buah joli atau tandu itu diturunkan dan tiga orang pendekar digotong dengan hati-hati dan dengan sikap penuh hormat, lalu satu demi satu direbahkan di mulut guha yang gelap. Kepala Dusun lalu menyalakan sebatang lilin di sudut guha, obor-cbor yang belum dinyalakan ditinggalkan di sudut pula, obor yang sudah diberi minyak pembakar. Kemudian, setelah mereka semua memberi hormat ke arah tiga orang pendekar yang rebah di mulut guha, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, Kepala Dusun itu lalu mengajak orang-orangnya untuk pergi meninggalkan guha seperti yang telah dipesankan oleh Suma Kian Bu kemarin.
Setelah semua orang pergi, Kian Bu, Siang In dan Ci Sian lalu memutuskan semua tali yang membelenggu kaki tangan mereka. "Akan tetapi, kita harus tetap tinggal di sini." kata Kian Bu kepada dua orang wanita itu. "Jangan lengah dan harus tetap waspada. Biarpun aku sendiri tidak percaya bahwa ular itu adalah siluman, iblis atau dewa, akan tetapi dia tentu seekor binatang yang sudah tua, kebal, dan cerdik sekali. Maka, biarlah kita tinggal rebah agar tidak membuat dia curiga, dan siap untuk menyerbu kalau dia sudah berada di depan guha. Sebelum aku menyerangnya, harap kalian jangan bergerak dulu. Kita belum tahu sampai di mana kelihaiannya, maka kita tidak boleh sembrono."
Karena memang sudah mendengar betapa banyaknya orang-orang lihai menjadi korban ular itu, maka Siang In dan Ci Sian mengangguk. Tadi pun dua orang wanita ini merasa agak ngeri melihat adanya rangka-rangka manusia di dalam guha. Tentu itu adalah rangka-rangka para korban, karena rangka-rangka itu hanya merupakan tulang-tulang tubuh manusia, semua tanpa kepala!
Menanti merupakan pekerjaan yang amat berat. Dalam menanti, sang waktu seolah-olah menjadi luar biasanya lambannya, seperti gerakan maju seekor keong. Mereka bertiga ditinggalkan di tempat itu menjelang senja dan kini mereka menanti datangnya sang malam yang dirasakan amat lambatnya. Akan tetapi akhirnya cuaca menjadi gelap, malam mulai datang menyelubungi bumi, mengusir sinar-sinar matahari lenyap, kegelapan menyelubungi hutan dan satu-satunya sinar hanyalah lilln yang bernyala di dalam guha.
Mereka yang berada di dalam guha itu menanti dengan hati tegang. Belum ada tanda pergerakan yang luar biasa, dan yang terdengar hanyalah bunyi belalang dan binatang malam, jauh di dalam hutan. Nyamuk-nyamuk yang tertarik oleh nyala lilin mulai berdatangan dan mengganggu mereka. Tapi, berkat ilmu kepandaian mereka yang sudah tinggi, gangguan itu tidak menyiksa benar. Dengan kibasan tangan saja mereka mampu meruntuhkan nyamuk-nyamuk yang berani menyerang mereka. Gangguan itu lebih dirasakan oleh mengiangnya nyamuk di dekat telinga daripada penyerangan sengatan mereka.
Bulan purnama mulai menyinari bumi ketika mereka mulai merasakan datangnya ancaman yang sejak tadi dinanti-nanti itu. Ada bau amis yang aneh yang memasuki hidung mereka. Apalagi kalau ada angin bersilir, bau itu makin tercium keras sekali, membuat Ci Sian, merasa muak sekali.
"Awas.... agaknya dia mulai datang...." kata Kian Bu dengan suara berbisik.
Pendekar ini adalah putera Pendekar Super Sakti majikan Pulau Es, dan pendekar ini memiliki ilmu kesaktian hebat, sudah mengalami segala macam pertempuran dan bahaya yang hebat-hebat. Namun malam itu dia merasakan ketegangan luar biasa juga. Demikian pula Siang In. Terutamasekali, Ci Sian yang belum begitu banyak pengalaman hidupnya. Dara ini merasakan jantungnya berdebar-debar penuh ketegangan dan keringat dingin membasahi lehernya. Andaikata ia berada di situ seorang diri saja, tentu ia sudah meninggalkan tempat yang menyeramkan itu. Akan tetapi, adanya Pendekar Siluman Kecil dan isterinya membesarkan hatinya dan dara ini memandang keluar guha dengan penuh perhatian, siap menghadapi segala kemungkinan.
Bau amis bercampur harum aneh yang keras itu makin terasa. Tak lama kemudian, terdengar bunyi kresek-kresek dan tumbangnya sebatang pohon seperti dilanda sesuatu yang berat.
"Kalau aku menyerangnya, kalian cepat nyalakan obor itu dan menancapkan obor-obor itu di luar guha, diempat penjuru agar kita dapat menghadapinya dengan baik" bisik Kian Bu kepada dua orang wanita itu yang hanya mengangguk tanda mengerti. Dua orang wanita ini seperti kehilangan suara saking tegangnya.
Kian Bu memandang keluar guha dengan penuh pethatian. Cahaya bulan cemerlang menerangi keadaan di luar guha, dan sesungguhnya, tanpa obor sekalipun cuaca sudah cukup terang. Akan tetapi Kian Bu menyuruh menyalakan obor bukan hanya agar cuaca menjadi terang, melainkan untuk berjaga-jaga saja, kalau-kalau ada awan yang akan menutupi bulan dan membuat tempat itu menjadi gelap. Amatiah berbahaya kalau bertanding melawan ular di tempat gelap. Jadi obor-obor yang disuruhnya untuk dinyalakan itu hanya bertugas sebagai cadangan kalau-kalau sang bulan, tertutup awan.
Akhirnya, saat yang ditunggu-tunggu, yang menimbulkan ketegangan luar biasa itu, tibalah! Mula-mula hanya nampak bayangan yang panjang menggeleser di atas tanah, membuat rumput-rumput tersibak. Ketika tiba di depan guha, tiba-tiba ular itu mengangkat kepalanya, dan lehernya terangkat, kepalanya naik sampai satu meter di atas tanah. Nampaklah mukanya yang mengerikan itu! Mukanya memang seperti muka ular biasa, hanya lebih besar dan yang mengerikan sekali adalah mulutnya yang mengeluarkan suara mendesis dibarengi hawa seperti uap putih mengepul, dan sepasang cabang lidahnya bergerak-gerak keluar, lidah yang merah kehitaman. Sepasang mata yang besar itu mencorong seperti mengeluarkan api, dan kepalanya yang tertimpa sedikit cahaya bulan itu nampak berkilauan. inilah agaknya yang menimbulkan dongeng bahwa kepalanya mencorong padahal sesungguhnya karena kulit kepalanya mengkilap seperti berminyak, tentu saja nampak berkilauan. Betapapun juga, Suma Kian Bu yang sudah banyak mengalami hal-hal yang luar biasa itu, diam-diam terkejut dan harus mengakui dalam hatinya bahwa selama hidupnya belum pernah dia melihat ular yang demikian besar dan panjangnya, dan juga yang kelihatan ganas dan menyeramkan. Akan tetapi, karena dia pun tahu bahwa binatang ini bukanlah sebangsa siluman atau dewa, juga bukan seekor naga seperti yang sering terdapat dalam dongeng, yang bisa terbang dan memiliki kesaktian lain, maka dia pun tidak menjadi gentar.
Agaknya ular besar itu memang sudah biasa pindah ke dalam guha di awal musim rontok seperti yang diceritakan oleh Kepala Dusun, dan juga agaknya telah terbiasa memperoleh mangsa yang mudah di dalam guha itu. Maka sekarang pun binatang ini berhenti di depan guha dan mengangkat kepalanya, agaknya untuk menjenguk lebih tinggi agar dapat melihat jelas apakah sudah tersedia mangsa baginya kali ini.
Sejak tadi Kian Bu memang sudah bersiap sedia. Seluruh urat syaraf di dalam tubuhnya sudah menegang, terisi oleh pengerahan sin-kang untuk menghadapi lawan yang tangguh dan berbahaya.
"Nyalakan obor!" tiiba-tiba Kian Bu berseru dan belum juga gema suaranya itu lenyap, dia sudah meloncat keluar dari dalam mulut guha itu dan langsung saja dia menerjang ke arah kepala ular yang diangkat tinggi itu. Pendekar Siluman Kecil ini memiliki sebuah senjata yang luar biasa, yaitu sebatang tongkat sakti yang terbuat dari akar pohon yang hanya terdapat di sebuah pulau tak jauh dari Pulau Neraka. Akar kayu ini amat keras dan ulet, tidak rusak oleh baja yang tajam sekalipun, dan lebih peka untuk disaluri tenaga sin-kang daripada logam lainnya. Biasanya, hampir tidak pernah pendekar ini menghadapi lawan dengan senjatanya ini yang lebih pantas dipergunakan untuk pegangan atau iseng saja. Hal ini adalah karena dengan dua pasang kaki dan tangan saja dia sudah lebih dari kuat menghadapi lawan. Kedua tangannya itu lebih dahsyat daripada senjata lawan yang bagaimanapun.
"Dukkkk!" Tongkat yang dipukulkan ke arah kepala ular itu tepat mengenai sasarannya, akan tetapi Kian Bu kaget sekali karena tongkatnya terpental dan seluruh lengan kanannya tergetar hebat. Dia memang sengaja hendak mengukur sampai di mana kekuatan dan kekebalan ular itu dan akibatnya dia terkejut. Tiba-tiba, sebagai balasan serangan itu, ular itu menggerakkan kepalanya dan mulutnya terbuka.
Terdengarlah bunyi mendesis nyaring dan Kian Bu harus meloncat jauh ke kiri untuk menghindarkan diri ketika dia merasakan sambaran angin dahsyat yang panas dan berbau amis! Pada saat itu, Ci Sian dan Siang In sudah menyalakan obor pada nyala lilin dan meloncat keluar, tepat pada saat ular itu menyembur kepada Kiam Bu. Dua orang wanita ini terkejut karena tiba-tiba ada angin keras yang menyambar dan membuat obor mereka itu bergoyang-goyang apinya dan hampir padam, juga mereka merasakan hawa panas terkandung dalam angin itu, di samping bau amis yang memuakkan.
"Taruh obor itu agak jauh!" Kian Bu berseru lagi, dan kini pendekar ini yang sudah merasakan kekuatan ular yang amat besar itu, meloncat maju sambil menggerakkan tongkatnya, kini menusuk ke arah mata kanan ular. Dia terkejut dan heran karena ular itu sama sekali tidak mengelak! Akan tetapi kegirangannya lenyap ketika ujung tongkatnya bertemu dengan benda yang amat keras dan licin sehingga tusukannya meleset! Kiranya, tanpa menggerakkan kepalanya, ular itu mampu membuat gerakan sedikit yang cukup untuk membuat ujung tongkat itu mengenai pinggiran mata yan sama kuatnya dengan kulit kepala maupun badannya. Kulit bersisik itu amat keras dan licin, sehingga ketika tusukan tongkatnya meleset, Kian Bu terdorong ke depan. Dan pada saat itu dia merasa adanya angin pukulan yang amat kuatnya menimpanya dari arah kiri. Cepat Kian Bu mengerahkan gin-kangnya dan meloncat. Untung dia dapat bergerak cepat karena begitu dia menghindar, ekor ular yang besar dan berat itu, dengan kekuatan dahsyat yang ratusan kati beratnya, menimpanya dan karena luput, ekor itu menimpa batu yang pecah berantakan seperti dipukul palu godam yang amat berat!
Seperti juga tadi, begitu diserang ular itu membalas dengan cepatnya, maka kini Kian Bu bersikap hati-hati sekali. Dia sudah mencoba tongkatnya untuk memukul dan menusuk, dan akibatnya, bahkan serangan balasan ular itu tidak kalah hebatnya dan berbahayanya. Dan begitu serangannya luput, ular itu tidak melanjutkan serangan, melainkan menanti seperti tadi, dengan kepala diangkat dan sepasang matanya mencorong memantulkan sinar obor-obor yang dipasang oleh Ci Sian dan Siang In di sekitar tempat itu. Dua orang wanita itu kini mendekat dan mengepung ular. Siang In sudah memegang senjatanya yang istimewa, yaitu sebatang payung yang berujung runcing, sedangkan Ci Sian sudah memegang suling emasnya.
"Ci Sian, kita serang dari kanan kiri! Tujukan serangan ke arah matanya!" kata Siang In yang tadi sudah melihat betapa dua kali serangan suaminya gagal. Wanita perkasa ini maklum bahwa kulit ular itu benar-benar amat kebal sehingga menyerang kulitnya akan sia-sia belaka, bahkan amat berbahaya, maka dengan cerdik ia menganjurkan Ci Sian untuk melakukan serangan berbareng ke arah kedua mata binatang itu dari kanan kiri.
Ci Sian mengangguk dan dua orang wanita itu seperti berlumba cepat, menerjang dari kanan kiri. Ci Sian menusukkan sulingnya ke arah mata kiri. Sedangkan Siang In menusukkan ujung payungnya ke arah mata kanan.
Akan tetapi, tiba-tiba ular itu menurunkan kepalanya dan menyembunyikan kepala itu di bawah perut dan tiba-tiba saja ekornya sudah datang menimpa dengan kecepatan dan kekuatan yang mengerikan.
"Awas....!" Suma Kian Bu berseru dan dua orang wanita itu sudah meloncat pergi dengan cepat. Akan tetapi, angin pukulan yang amat kuat masih mendorongnya dan membuat mereka berdua terbanting dan bergulingan sampai jauh. Tentu saja mereka terkejut bukan main ketika melompat berdiri lagi. Pada saat itu, Kian Bu sudah meloncat dengan kecepatan kilat sehingga yang nampak hanya bayangannya saja dan tahu-tahu dia sudah mendekati kepala ular itu dan memukul dengan kepalan tangan kirinya.
"Desss....!" Pukulan itu dahsyat bukan main, mengandung tenaga Swat-im Sin-kang dari Pulau Es, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya. Karena tahu bahwa ular itu sungguh kebal dan tidak dapat dilukai oleh senjata, maka Kian Bu kini mempergunakan tenaga Swat-im Sin-kang, yaitu tenaga dalam yang dingin, berkat latihan di Pulau Es. Biarpun tagannya tidak akan dapat melukai kulit binatang itu, namun dia mengharapkan bahwa getaran tenaga pukulannya akan dapat melukai sebelah dalam kepala binatang itu. Dan memang agaknya harapannya ini tidak sia-sia, karena ular itu ternyata menderita berat oleh pukulannya yang mengguncangkan isi kepalanya. Ekor ular itu membelit dan menghantam Kian Bu terpaksa menangkis dengan tangan kanan yang memegang tongkat!
"Dess....!" Tubuh Kian Bu terlempar dan tongkatnya terlepas dari tangannya! Pendekar ini tidak terluka, hanya terlempar saking besarnya tenaga pukulan ekor ular itu. Begitu meloncat bangun, Kian Bu sudah menerjang lagi, meloncat dan memukul dengan pengerahan tenaga Swat-im Sin-kiang di tangan kiri, dan tenaga Hwi-yang Sin-kiang di tangan kanan. Kedua pukulan yang mengandalkan tenaga sin-kang yang berlawanan ini yaitu dingin dan panas, dilakukannya berganti-ganti. Dan serangan-serangan ini memang hebat sekali. Satu kali pukulan tangan kanan atau tangan kiri pendekar itu sudah cukup untuk merobohkan, bahkan menewaskan seorang lawan tangguh. Biarpun berkali-kali terkena pukulan, namun nampaknya ia tidak merasakan nyeri, bahkan kini ia mulai mengeluarkan teriakan-teriakan yang menyeramkan. Teriakannya itu seperti teriakan seekor burung gagak yang nyaring, parau dan menyeramkan sekali. Agaknya ia marah bukan main terkena pukulan-pukulan yang mendatangkan rasa nyeri itu. Melihat betapa suaminya sudah mulai menyerang dengan bertubi-tubi, Siang In segera membantunya dengan menggerakkan payungnya, menerjang dan menusukkan ujung payungnya, kembali mengarah mata ular itu. Ci Sian juga membarenginya dan menghantamkan suling ke belakang kepala ular itu sambil mengerahkan semua tenaga dalamnya.
Kian Bu yang sudah menyerang bertubi-tubi itu berada dekat dengan ular dan dia tahu betapa ular itu tiba-tiba menggerakkan ekornya. "Awas! Mundur....!" Dia berteriak, akan tetapi agaknya isterinya dan Ci Sian tidak menghiraukannya karena kedua orang wanita itu memang hendak membantunya dan tentu saja tidak tega melihat dia sendiri saja melawan ular yang amat tangguh itu. Melihat dua orang wanita itu tidak menghiraukannya, Kian Bu yang maklum akan dahsyatnya sambaran ekor ular, sudah meloncat dan menggunakan kedua lengannya untuk menangkis sambaran ular yang tadinya menghantam ke arah dua orang wanita itu.
"Dessss....!"
Hebat sekali pertemuan antara ekor ular dan kedua lengan Kian Bu. Pendekar ini merasa seolah-olah seluruh tulangnya remuk dan tak dapat bertahan lagi, terpelanting, sedangkan dua orang wanita itu terdorong oleh hawa pukulan yang dahsyat ini, kembali bergulingan. Sedangkan tusukan suling dan ujung payung itu pun tidak melukai ular, bahkan membuatnya menjadi semakin marah. Ular itu merasakan ekornya nyeri sekali, maka kemarahannya dipusatkan kepada Kian Bu yang telah banyak mendatangkan rasa nyeri kepadanya. Sebelum Kian Bu sempat meloncat, ular itu sudah menubruk dan tahu-tahu tubuh Kian Bu telah terkena libatan ekornya! Pendekar itu terkejut, mengerahkan tenaga Hwi-yang Sinkang, memberontak. Tenaga ini besar sekali. Belenggu baja saja kiranya akan patah-patah oleh tenaga Hwi-yang Sin-kang yang panas ini. Akan tetapi, tubuh ular itu jauh lebih kuat daripada baja, karena tubuh itu dapat melentur seperti karet, namun mengandung kekuatan libatan yang amat luar biasa. Betapapun juga, karena Kian Bu memberontak itu, libatannya berkurang kekuatannya dan Kian Bu berhasil menarik kedua lengannya keluar dari libatan sehingga hanya pinggangnya ke bawah saja yang terlibat. Dia merasa betapa tenaga libatan itu makin kuat saja, seperti ada tenaga dalam yang makin lama makin besar hendak meremuk tulang-tulangnya dengan tekanan yang dahsyat. Dan kini kepala ular itu membalik dan dengan moncong terbuka lebar ular itu hendak mencaplok kepala Kian Bu!
"Dessa....!" Kian Bu memapaki kepala itu dengan pukulan tangan kanannya, lalu "Plakkk!" tangan kirinya juga menampar. Ular itu terkejut dan kesakitan, kembali menggeluarkan teriakan parau yang amat nyaring. Kian Bu morasa seolah-olah telinganya ditusuk-tusuk, maka dia pun mengerahkan khi-kangnya dan melengking nyaring. Ular itu terkejut, dan diam, akan tetapi tidak melepaskan lilitannya.
Siang In dan Ci Sian terkejut bukan main melihat Kian Bu terlilit ular dan tidak mampu melepaskan diri. Wajah Siang In menjadi pucat dan dengan nekat wanita ini lalu menyerang dengan senjata payungnya. Terjangannya hebat sekali dan ujung payungnya seperti kilat cepatnya nenyambar ke arah kedua mata binatang itu. Dan Ci Sian pun cepat membantunya, memukul-mukulkan sulingnya dengan pengerahan khi-kangnya yang amat kuat itu ke arah moncong ular, maksudnya andaikata tidak dapat melukai ular pun ia akan mencegah ular itu menggigit Kian Bu.
"Tak-tak....!" Ujung payung itu mengenai kulit yang keras ketika ular itu menggerakkan kepalanya sehingga tusukan-tusukan itu meleset, tidak mengenai mata melainkan mengenai bagian muka yang tertutup kulit keras.
"Trakkk!" Hantaman suling di tangan Ci Sian bertemu dengan gigi dan ada sebuah gigi ular itu yang patah terkena pukulan suling. Kembali ular itu berteriak parau dan keras dan Kian Bu merasa betapa lilitan tubuh ular itu menjadi semakin kuat. Dia pun menggunakan kedua tangannya untuk memukuli tubuh ular yang melilitnya, menggunakan pukulan-pukulan tangan miring seperti membacok-bacok. Tenaganya yang luar biasa kuatnya itu pun tidak dapat membuat kulit ular itu rusak, akan tetapi setidaknya tenaga pukulannya, mendatangkan rasa nyeri yang luar biasa sehingga ular itu berteriak-terlak atau mengeluarkan suara parau dan serak. Lilitannya menjadi semakin kuat. Karena maklum bahwa dia tidak mampu melepaskan diri dari belitan maut itu, dan bahwa isterinya maupun Ci Sian bisa terancam bahaya, maka Kian Bu cepat berteriak.
"Mundurlah.... jangan dekat-dekat....!"
Akan tetapi, sebagai seorang isteri yang amat mencinta suaminya, tentu saja Siang In tidak mau meninggalkan suaminya yang sedang dibelit ular, dan dalam keadaan terancam hebat itu pendekar wanita ini pun sudah menjadi panik penuh kekhawatiran, maka dengan muka pucat ia sudah menyerang lagi sambil membentak nyaring. "Lepaskan suamiku....!" Payungnya menyambar seperti kilat, kembali menyerang ke arah mata kanan ular itu. Ular itu memang luar biasa sekali. Dia tidak mengelak, melainkan mempergunakan kepalanya untuk menangkis.
"Dessss....!" Tubuh Siang In terlempar sampai beberapa meter jauhnya karena ditumbuk oleh kepala yang amat kuat itu. Siang In tidak terbanting hebat karena ia cepat menggulingkan tubuhnya, akan tetapi kepalanya agak pening juga oleh benturan keras itu. Sementara itu, Ci Sian melihat dengan penuh kengerian ketika ular itu kini mengangkat tinggi kepalanya dan mulutnya terbuka lebar, siap untuk mencaplok kepala Suma Kian Bu yang masih meronta-ronta seperti seekor lalat dalam perangkap sarang laba-laba itu. Agaknya tidak akan ada apapun yang dapat menyelamatkan nyawa pendekar sakti itu.
"Mundurlah.... biarkan aku...." kata pula Kian Bu yang terkejut menyaksikan isterinya terlempar tadi.
Akan tetapi Siang In menjadi semakin nekat. Biarpun kepalanya masih pening dan tubuhnya sakit-sakit, terutama sekali pundak kirinya yang terkena hantaman langsung oleh kepala ular itu, namun kekhawatirannya akan keselamatan suaminya membuat ia lupa akan diri sendiri. Ia sudah hendak menyerbu lagi ketika tiba-tiba lengannya dipegang oleh tangan Ci Sian Sian.
"Enci, biarkan aku mencoba ini...."
Siang In menahan gerakannya dan memandang Ci Sian sudah menempelkan suling emasnya di depan mulut dan terdengarlah suara suling yang aneh dan suara itu melengking tinggi mengalun dan mengandung getaran yang amat halus namun amat kuat. Ternyata dara ini teringat akan pelajaran tiupan sulingnya, dan menurut suhengnya, tiupan suling itu mengandung suara yang penuh dengan kekuatan khi-kang, dan menurut suhengnya, suara itu selain dapat mengusir pengaruh gaib atau juga segala macam kekuatan sihir dari lawan, juga dapat dipergunakan untuk menyerang atau mempengaruhi lawan. Dan Ci Sian juga teringat akan pelajaran dari gurunya, yaitu Si Raja Ular See-thian Coa-ong tentang kelemahan ular. Ia sendiri dapat memanggil ular-ular dengan getaran suara meninggi dalam nada tertentu, yaitu ilmu yang didapatnya dari See-thian Coa-ong. Dengan menggabungkan ilmunya meniup suling dan ilmunya menguasai ular itu, ia ingin mencoba kepandaiannya untuk mempengaruhi dan menundukkan ular raksasa ini. Tentu saja Ci Sian belum yakin akan hasilnya, karena pelajaran menaklukkan ular dari suhunya, See-thian Coa-ong itu, hanya ditujukan terhadap ular-ular biasa, terutama ular beracun. Belum pernah selama hidupnya ia melihat ular seperti yang mereka lawan ini. Ular yang menyelamatkannya ketika terjatuh dari tebing dahulu, yaitu ular peliharaan See-thian Coa-ong, tidak ada setengahnya dibandingkan dengan besar ular raksasa ini!
Dengan senjata payung di tangan, siap untuk menerjang, dan sepasang matanya tak pernah berkedip memandang ke arah ular yang melilit tubuh suaminya, Siang In berdiri memandang. Pendekar wanita ini sendiri bergetar mendengar suara suling melengking tinggi ini, sehingga ia harus mengerahkan sin-kang untuk melindungi jantungnya yang seperti ikut tergetar.
"Bagus, teruskan.... teruskan....!" Tiba-tiba terdengar Kian Bu berkata girang.
Terjadilah keanehan. Mendengar suara melengking tinggi yang beralun itu, ular yang tadinya sudah membuka mulut, dengan marah sekali hendak mencaplok kepala Kian Bu, tiba-tiba menghentikan gerakan kepalanya dan mengangkat kepala tinggi-tinggi, diam tak bergerak, seolah-olah terpesona! Kemudian, mulailah kepala itu bergerak-gerak ke kanan kiri, mulutnya masih terbuka dan kadang-kadang binatang itu menyemburkan uap yang panas dan berbau amis!
Giranglah hati Ci Sian ketika melihat hasil tiupan sulingnya ini. Ia pun cepat meniupkan nada-nada suara yang telah dipelajarinya dari See-thian Coa-ong untuk membuat ular itu berlutut atau mendekam di depan kakinya. Ada bermacam-macam perintah yang dapat dilakukannya terhadap ular, sesuai dengan yang diajarkan See-thian Coa-ong, melalui nada suara tertentu yang biasanya dikeluarkan dari kerongkongannya dengan pengerahan khi-kang. Akan tetapi, kini dengan tiupan sulingnya, tentu saja kekuatan itu lebih hebat lagi.
Namun Ci Sian terkejut dan juga bingung. Ular raksasa itu tidak mentaati perintah melalui sulingnya, melainkan nampak panik dan bingung, juga seperti ketakutan. Agaknya, suara melengking yang langsung ditujukan kepadanya oleh dara perkasa itu amat mengganggu telinganya, membuat kepalanya rasanya seperti ditusuk-tusuk dari dalam! Ular itu kebingungan, ketakutan, dan membuka mulutnya lebar-lebar, mendesis-desis dan menggeliat-geliat, menggerakkan kepala seperti menari-nari, akan tetapi tarian yang tidak teratur, tarian kebingungan!
Ci Sian melanjutkan tiupannya, menduga bahwa agaknya "alat penerima" ular raksasa ini sudah berbeda dengan ular-ular pada umumnya. Akan tetapi, melihat betapa tubuh ular itu menggeliat dan karenanya lilitannya juga mengendur, ia terus meniup sulingnya, bahkan menggunakan nada yang makin meninggi sampai tidak dapat ditangkap oleh anak telinga lagi! Dan ular itu semakin tersiksa!
Dalam keadaan kebingungan itu, ular raksasa ini agaknya melupakan Kian Bu sehingga lilitannya mengendur dan ketika memperoleh kesempatan baik, Kian Bu berhasil meloloskan diri, sekali meloncat sudah terbebas dari lilitan ular. Akan tetapi ketika kedua kakinya tiba di atas tanah dekat isterinya, dia terhuyung dan tentu akan terpelanting kalau tidak dipeluk isterinya. Kiranya pendekar ini tadi terlalu banyak mengerahkan tenaga untuk berusaha melepaskan diri dari lilitan ular itu, dan juga untuk menjaga agar tulang-tulangnya tidak remuk terhimpit. Setelah mengatur napas sebentar dan keadaannya pulih kembali, Suma Kian Bu lalu mengambil payung isterinya, matanya tak pernah terlepas memandang ular itu. Ketika tadi ular itu membuka mulut lebar-lebar hendak mencaplok kepalanya, dia melihat betapa bagian dalam dari mulut ular itu merupakan daging yang kemerahan, dan dia percaya bahwa tidak mungkin daging di sebelah dalam rongga mulut itu kebal. Di situlah agaknya kelemahan ular ini, pikirnya. Di bagian luar tubuhnya, ular itu kebal, terlindung sisik yang amat tebal dan kuat. Akan tetapi kalau mulutnya terbuka, maka di dalam rongga mulutnya itu merupakan bagian yang lemah dan tidak terlindung.
Ular itu masih ternganga lebar dan menyembur-nyemburkan uap, kebingungan dan kegelisahan sekali. Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan Kian Bu telah mempergunakan ilmu gin-kangnya yang luar biasa, melayang ke depan dan secepat kilat, sebelum ular itu tahu bahwa dirinya diserang, pendekar ini sudah menusukkan payungnya dari bawah, memasuki mulut itu dan ujung payung yang seperti pedang itu menusuk dan menembus rongga mulut bagian atas, memasuki otak di kepala ular dan menembus sampai keluar di antara kedua mata ular itu.
"Mundur....!" Kian Bu berteriak nyaring sambil meloncat jauh meninggalkan ular itu. Sementara itu, Ci Sian dan Siang In juga berloncatan ke belakang. Untung bahwa mereka melakukan ini karena tiba-tiba saja ular yang sudah terluka parah itu mengamuk! Bukan main dahsyatnya amukan ular ini. Kepalanya yang sudah berlubang dan mengucurkan darah yang banyak sekali itu, menyambar-nyambar ke sana sini dan apa saja yang ditemukan, baik batu maupun batang pohon, tentu digigitnya sampai hancur! Ekornya juga menyambar ke kanan kiri dan batu-batu besar pecah-pecah terkena hantaman ekornya. Debu mengepul tinggi dan semua hiruk-pikuk itu ditambah lagi dengan teriakan-teriakannya yang menyayat hati. Teriakan-teriakan ini terdengar sampai ke dusun dan semua orang dusun, sejak mendengar suara ular itu memekik-mekik tadi, sudah menjatuhkan diri berlutut di rumah masing-masing dengan muka pucat dan tubuh menggigil ketakutan. Mereka mengira bahwa tentu tiga orang pendekar itu telah tewas semua dan sekarang Dewa Ular itu marah-marah dan akan mengamuk ke dusun itu!
Akan tetapi, biarpun luka yang diderita oleh ular raksasa itu hanyalah luka kecil saja yang diakibatkan oleh tusukan ujung payung yang seperti pedang, namun luka itu menembus kepala dan merusak otak, pusat segala-galanya. Maka amukan itu hanya berlangsung beberapa menit saja dan akhirnya ular itu tergolek mati di depan guha! Tiga orang pendekar itu menanti sampai beberapa lama, sampai akhirnya mereka yakin benar bahwa binatang itu telah mati. Barulah Kian Bu mendahului-mereka, meloncat ke dekat ular itu dan menggerak-gerakkan kepala ular itu dengan kakinya. Namun, kepala itu terangkat dan terkulai lemas, tanda bahwa ular itu benar-benar telah tewas. Maka dia pun memberi isyarat kepada dua orang wanita pendekar itu yang segera maju menghampiri. Ngeri juga hati mereka melihat besarnya, ular ini. Bahkan Ci Sian sendiri yang memiliki ilmu menaklukkan ular dan sudah dapat disebut ahli ular atau pawang ular, bergidik melihat ular yang luar biasa ini.
Pendekar Siluman Kecil yang melihat bahwa ular. itu telah benar-benar tewas, menoleh kepada Ci Sian dan berkata, "Nona, engkau telah menyelamatkan nyawaku."
Siang In juga merangkul dara itu dan berkata, "Kalau tidak ada engkau, Adikku, entah apa akibatnya yang menimpa kami berdua."
Ci Sian tersenyum, balas merangkul Siang In dan berkata kepada Kian Bu, "Suma-taihiap, harap jangan bersikap sungkan. Di antara kita, mana ada istilah saling menolong atau menyelamatkan" Kita maju bertiga menghadapi ular itu, jadi tidak ada yang ditolong atau menolong."Kian Bu mengangguk. "Baik, engkau masih muda akan tetapi pandai membawa diri, Nona. Tunggu, aku Suma Kian Bu bukan orang yang tak pandai membalas budi." Setelah berkata demikian, pendekar ini menggunakan ujung payung isterinya untuk menggurat kepala ular yang sudah terluka itu. Anehnya, setelah ular itu mati, biarpun kulit kepalanya masih keras, namun tidak begitu sukar bagi pendekar untuk membelahnya dengan hati-hati. Kepala itu terbelah dan nampak isinya ketika dikuakkan dan dapat dibayangkan betapa girang rasa hati suami isteri yang dipenuhi harapan itu ketika di dalam kepala itu mereka menemukan sebuah benda bulat sebesar ibu jari, berwarna kehijauan, macamnya seperti sebutir mutiara yang berkilauan, akan tetapi agak lunak. itulah agaknya dongeng tentang mustika naga itu!
Dengan hati-hati sekali Siang In menyimpan benda itu, dibungkusnya dengan sehelai saputangan bersih. Sedangkan Kian Bu berkata, "Nona Bu Si Cian...."
Ci Sian terkejut dan memandang dengan mata terheran-heran, akan tetapi kemudian ia dapat menduga dan menoleh kepada Siang In.
"Memang aku telah menceritakan riwayatmu kepada suamiku, Ci Sian."
"Benar Nona. Aku sudah mendengar bahwa Nona adalah puteri dari Bu Seng Kin atau yang terkenal dengan sebutan Bu-taihiap itu. Aku sendiri belum pernah berjumpa dengan orangnya, namun namanya sudah terkenal lama di dunia kang-ouw. Nona, kami berdua sudah melihat bahwa Nona adalah orang yang patut menjadi sahabat baik atau bahkan keluarga kami sendiri. Oleh karena itu, kalau sekiranya Nona suka, aku ingin menurunkan semacam ilmu kepadamu yang akan menambah kepandaianmu dan memperhebat ilmu silatmu. Kami akan tinggal di sini selama beberapa bulan, dan kalau engkau mau, aku akan dapat mengajarkan ilmu itu kepadamu di sini."
Siang In yang masih merangkulnya itu segera berkata, "Adikku, kesempatan baik sekali bagimu untuk memperdalam ilmumu! Percayalah, suamiku tidak pernah bicara main-main. Kautemanilah kami di sini mempelajari ilmu itu, karena bukankah engkau pun tidak mempunyai tujuan tertentu hendak ke mana" Kalau ilmumu sudah lebih sempurna, tentu akan lebih mudah bagimu untuk merantau dan.... mencari Suhengmu."
Ci Sian termenung sejenak. Ia tahu akan kelihaian pendekar ini dan sebagai seorang pendekar wanita muda, tentu saja ia pun masih haus akan ilmu-ilmu yang hebat. Dan ia pun merasa amat cocok dengan Siang In. Akhirnya ia menjatuhkan diri berlutut di depan Suma Kian Bu dan berkata, "Terima kasih atas kebaikan Tai-hiap."
Siang In cepat membangunkan Ci Sian dan suaminya berkata, "Ah, mengapa sekarang engkau yang bersikap sungkan, Nona" Aku hendak menurunkan ilmu yang paling diandalkan. keluarga Pulau Es, yaitu gabungan Hwi-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang. Akan tetapi hal ini bukan berarti bahwa aku lalu menjadi gurumu atau melepas budi kepadamu! Aku hanya melihat bahwa engkau adalah orang yang pantas memiliki ilmu keluarga kami itu."
Tiba-tiba terdengar suara banyak orang datang ke tempat itu dan dari jauh saja sudah nampak obor-obor yang mereka bawa. Kiranya mereka itu adalah para penghuni dusun yang dipimpin oleh kepala dusun. Tadinya, orang-orang itu ketakutan setengah mati mendengar suara pekik-pekik yang dahsyat dari ular raksasa. Akan tetapi setelah suara itu berhenti, mereka lalu bermunculan dari rumah masing-masing dan dengan pimpinan Kepala Dusun, akhirnya mereka memberanikan diri untuk menuju ke guha.
"Kalau Dewa Ular mau mengampuni kita, itu baik sekali." kata Kepala Dusun itu kepada semua orang. "Akan tetapi kalau beliau marah dan hendak membasmi kita semua, daripada mati konyol, lebih baik kita melawan sampai mati! Lebih baik mati sebagai manusia yang pandai membela diri daripada mati sebagai tikus-tikus yang penakut!" Ucapan penuh semangat ini, yang sedikit banyak dipengaruhi oleh kedatangan tiga "utusan dewa" itu, membakar semangat para penghuni dusun dan akhirnya, mereka pun mengumpulkan senjata seadanya, membawa obor dan berbondong-bondong datang ke arah guha. Dari jauh mereka pun sudah melihat obor yang dipasang di sekitar guha. Dengan jantung berdebar-debar, mereka terus melangkah maju dan akhirnya mereka semua berdiri terbelalak memandang ke depan guha, di mana berdiri tiga orang "utusan dewa" itu dan di depan tiga orang itu menggeletak tubuh ular besar yang tak bergerak-gerak! Ketika mereka semua melihat ke arah kepala ular itu, tahulah mereka bahwa ular itu telah mati. Serentak mereka bersorak gembira dan mereka dipimpin oleh Kepala Dusun untuk menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah tiga orang "utusan dewa" itu!
Kian Bu menghadapi mereka dan berkata, suaranya nyaring dan penuh wibawa, "Saudara sekalian, bangkitlah dan tidak perlu kalian terlalu memuja kami. Ketahuilah, kami sama sekali bukan utusan dewa. Kami adalah manusia-manusia biasa yang menentang kejahatan, juga yang selalu siap menolong mereka yang tertindas atau terancam. Kami datang untuk membasmi ular raksasa ini dan kami telah berhasil. Kami tidak minta balasan apa-apa, hanya kami ingin tinggal untuk beberapa bulan di tempat ini, harap Saudara sekalian tidak menaruh hati keberatan."
Tentu saja Kepala Dusun dan para penghuni dusun itu sama sekali tidak keberatan, bahkan mereka merasa girang dan bangga sekali. Berkat bantuan Kepala Dusun dan para penghuni dusun itu, dibangunlah dua buah pondok kecll untuk suami isteri itu dan untuk Ci Sian dan mulai hari itu, tiga orang pendekar itu tinggal di tepi hutan, di dekat guha. Bangkai ular itu atas anjuran Kian Bu lalu dikuliti oleh para penghuni dusun, dagingnya dibagi-bagi dan dimasak. Kulit ular itu dijemur dan dijadikan semacam "lambang" dusun itu, dipentang dan dipasang di dinding ruangan besar tempat tinggal Kepala busun, dan dengan resmi mereka menyebut dusun mereka itu dusun Naga Hijau!
Kian Bu, juga mencari daun-daun dan akar-akar obat sebagai campuran Jeng-liong-cu (Mustika Naga Hijau) itu, dimasak dan diminum oleh dia dan isterinya. Ramuan obat aneh ini setiap hari direbus dan airnya diminum oleh mereka dengan penuh harapan. Sementara itu, mulailah Kian Bu menurunkan ilmu pusaka dari Pulau Es, yaitu ilmu gabungan dua tenaga sakti Hwi-yang Sin-kang (Inti Api) Swat-im Sin-kang (Inti Es). Ilmu ini adalah ilmu menghimpun tenaga dalam yang harus dilatih setiap hari oleh Ci Sian dengan cara bersamadhi. Kadang-kadang dara ini dilatih bersamadhi di dalam guha di mana dinyalakan api unggun besar sehingga udara di dalam guha itu pengap dan panas bukan main. Namun, berkat latihan dan petunjuk Kian Bu, Ci Sian mampu bertahan bertapa di dalam guha api ini sampai sehari penuh! Dan kadang-kadang dia diharuskan bersamadhi di puncak gunung di tengah malam yang amat dingin, bahkan duduk bersamadhi dengan merendam tubuhnya di dalam sumber air di hutan itu.
Karena memang Ci Sian berbakat baik dan juga amat, tekun, maka dengan cepat ia dapat menguasai sin-kang itu, bahkan lewat beberapa pekan kemudian ia telah mulai latihan menyalurkan tenaga gabungan itu ke dalam gerak tangan, baik melalui pukulan tangan kosong ataupun melalui senjata suling emasnya.
Tiga bulan lewat dengan cepatnya. Selama itu, tiga orang pendekar ini dilayani oleh para penghuni dusun. Mereka bertiga tidak kekurangan bahan makanan, karena sedikitnya sepekan sekali Kepala dusun dengan beberapa orang wakil penduduk tentu datang membawa bahan-bahan makanan hasil sawah ladang mereka. Sementara itu, Ci Sian telah berhasil menguasai ilmu dari keluarga Pulau Es. Tentu saja, penguasaan ilmu ini membuat ia menjadi semakin lihai, karena kini ilmu pedang yang dimainkan dengan sulingnya, yaitu Kim-siauw Kiam-sut yang dipelajarinya bersama Kam Liong, bertambah kehebatannya. Tadinya, ilmu itu sudah hebat sekali. Selain memiliki gerakan yang amat aneh dan lihai, juga gerakan suling itu mengandung tenaga khi-kang yang amat kuat, di samping ditambah lagi suara suling melengking yang dapat melumpuhkan lawan. Semua kehebatan Kim-siauw Kiam-sut itu kini ditambah lagi dengan penyaluran sinkang yang dapat diatur menurut kehendaknya, bisa dingin seperti es, bisa panas seperti api!Pada pagi hari itu, setelah semalam suntuk berlatih samadhi dengan hasil yang baik sekali, Ci Sian pergi ke sumber air dan mencuci mukanya untuk mengusir kantuk yang mulai menyerangnya. Setelah mencuci muka dan mengeringkan mukanya, ia lalu duduk di tepi air kolam di tepi sumber di mana airnya tergenang penuh dan jernih sekali, juga air itu diam hanya bergerak sedikit sekali, seperti sebuah cermin ketika sinar matahari menyinarinya. Ia pun lalu mengurai rambut, menyisir rambutnya yang panjang hitam dan halus itu. Baru kemarin ia mencuci rambutnya itu dengan getah daun semacam daun lidah buaya dan rambut itu kini nampak halus mengkilap dan bersih, berbau sedap karena ketika digelungnya, ia menaruh kembang mawar hutan di rambutnya. Sambil bersisir, Ci Sian menjenguk ke dalam air, di mana ia melihat wajahnya terpantul dengan jelasnya. Seraut wajah yang segar dan cantik manis, berbentuk bulat seperti bulan purnama. Karena raut wajahnya itulah maka ia disebut Siauw Goat (Bulan Kecil) oleh kakeknya dahulu. Teringat akan ini, terbayanglah semua pengalamannya dan teringatlah ia kembali kepada Kam Hong, suhengnya. Dara itu menarik napas panjang dan sekali lagi ia menjenguk dan memandang wajahnya. Ia menyeringai, lalu menjebirkan bibirnya kepada bayangan itu. Kemudian, melihat wajahnya yang lucu di dalam air, ia geli dan tersenyum sendiri. Dan betapa manisnya ketika ia tersenyum.
"Ci Sian, engkau lebih bahagia ketika masih menjadi Siauw Goat dahulu." katanya lirih, seolah-olah bayangan di dalam air itu adalah orang lain yang dapat diajaknya bercakap-cakap. "Ketika itu, engkau hidup bahagia dan selalu gembira di samping kakek, dimanja dan dicinta semua orang. Tapi sekarang" Uhh, Suhengmu yang paling kausayang pun meninggalkanmu!" Tiba-ttba saja Ci Sian menangis! Sampai sekarang pun ia masih belum dapat menentukan perasaan apakah yang mengganggu hatinya ini. Ia memang mencinta suhengnya itu, akan tetapi apakah ini cinta kasih antara sumoi terhadap suheng, antara seorang dara yang haus akan kasih sayang ayah bunda sehingga suhengnya itu dianggapnya sebagai pengganti ayah bundanya, kasih seorang murid terhadap gurunya, atau kasih sayang antara sahabat yang dikaguminya dan dipujanya, ataukah ini kasih sayang seorang wanita terhadap seorang pria" Ia tidak tahu!
Cinta kasih! Apakah itu sesungguhnya" Sudah seringkali pengarang mengajak pembaca untuk merenungkan dan mempelajari kenyataan hidup yang amat mujijat ini, dan tiada bosannya pengarang mengajak pembaca untuk merenungkannya kembali. Cinta kasih, apakah itu sesungguhnya" Betapa halusnya! Setiap orang merasakan keadaannya, namun sekali mencoba untuk mengukurnya dengan pikiran-pikiran, dengan kata-kata, maka kita kehabisan kata-kata untuk menyelaminya, kehabisan akal untuk dapat menguraikannya. Kita terbiasa untuk membagi-bagi cinta kasih, karena kehabisan akal itu, membagi-baginya dengan cinta kasih antara anak dan orang tua, antara sahabat, antara warga dan negaranya, antara suami dan isteri, pria dan wanita dan sebagainya. Bahkan, saking bingungnya kita, saking dangkalnya pikiran ini untuk dipakai mengukur cinta kasih, timbullah kata-kata untung-untungan bahwa cinta kasih itu buta, cinta kasih itu sorga, cinta kasih itu sengsara, dan sebagainya! Namun, semua anggapan itu hanyalah menjadi pengetahuan mati berdasarkan pengalaman masing-masing orang. Kalau orang merasa sengsara karena cinta, maka dikutuknyalah cinta. Kalau crang merasa bahagia, maka di pujanyalah.
Cinta kasih tidak pernah terpecah-belah. Yang memecah belah adalah sang pikiran atau si aku yang selalu mengambil kesimpulan senang susah, untung rugi.
Cinta kasih tak mungkin dapat diuraikan, karena bukan merupakan sesuatu yang mati, sesuatu yang sudah pasti dan tidak berobah lagi, karena pikiranlah yang selalu berobah sesuai dengan keadaan diri pribadi. Dengan pikiran kita yang dangkal, pikiran yang bukan lain hanya merupakan barang lapuk dan mati, tumpukan hal-hal yang sudah lalu, pikiran yang tak mungkin dapat mengenal hal-hal yang baru, mana mungkin kita dapat menentukan apakah sesungguhnya cinta kasih itu" Ratusan, bahkan ribuan orang yang dinamakan kaum cerdik pandai boleh mengatakan bahwa cinta kasih adalah begini atau begitu, ini atau itu. Namun, sampai sekarang, cinta kasih masih saja merupakan hal yang tidak kita mengerti benar.
Cinta kasih tidak mungkin dapat disentuh melalui pikiran yang lapuk dan usang. Cinta kasih adalah sesuatu yang selalu baru, sesuatu yang terlalu agung untuk dapat diraba oleh panca indera dan pikiran. Oleh karena itu, agaknya hanya ada satu jalan untuk menyentuhnya, yaitu kita membebaskan diri daripada yang lapuk-lapuk itu, kita membiarkan diri kosong daripada segala pengetahuan tentang cinta kasih yang selalu didasari untung rugi si aku ini. Kita membiarkan diri bersih daripada segala yang BUKAN CiNTA KASIH. Yang bukan cinta kasih itu tentu saja adalah kemarahan, kebencian, permusuhan, iri hati, pementingan diri sendiri dan segala hal yang menimbulkan konflik antara kita dengan orang lain, bahkan antara kita dengan kita sendiri, dengan pikiran sendiri. Dalam keadaan kosong itu, kosong tanpa dibuat-buat, dalam keadaan bebas itu, dalam keadaan bersih itu, seperti kaca yang sudah bersih daripada debu, mungkin saja sinar cinta kasih akan dapat menembus masuk! Dan kalau sinar cinta kasih sudah menembus masuk, kiranya tidak ada lagi persoalan, tidak ada lagi pemecah-belahan.
Ci Sian merupakan seorang manusia, satu di antara kita yang menjadi bingung oleh perasaan sendiri, oleh karena pikirannya sendiri. Ia hidup selama beberapa bulan di dekat sepasang suami isteri, dan memang semenjak tinggal di situ, antara suami isteri itu nampak kemesraan yang lebih daripada yang sudah-sudah. Menyaksikan suami isteri yang hidup saling mencinta, penuh kasih sayang dan kemesraan ini, tentu saja menimbulkan semacam perbandingan dalam hati Ci Sian. Ia membandingkan keadaannya dengan keadaan Siang In, seorang wanita lain, dan timbullah rasa iba diri dan mungkin juga rasa iri hati ini. Rasa iba diri ini membuat ia merasa sengsara dan tidak bahagia, bahkan menimbulkan rasa rindunya kepada Kam Hong, satu-satunya pria yang selama ini dekat dengan hatinya!
Ci Sian sudah berhenti menangis, dara ini memang tidak pernah dapat lama menangis. Hatinya yang keras membuat ia mudah menguasai hatinya kalau sedang dirundung kedukaan. Ia menjenguk ke air lagi, makin mengkal hatinya melihat matanya menjadi merah. Ditamparnya air di depannya itu dan tanpa disengaja ia mengerahkan tenaga Swat-im Sin-kang dan ada butiran-butiran air yang membeku menjadi es!
Dengan bersungut-sungut, mulutnya yang berbibir merah itu cemberut, karena hatinya yang tadi berduka itu kini menjadi jengkel, ia lalu menggelung rambutnya dengan sembarangan saja.
Tiba-tiba ia meloncat kaget. Telinganya yang berpendengaran tajam itu dapat menangkap suara yang tidak wajar. Begitu meloncat ia sudah membalikkan tubuhnya sambil membentak, "Siapa di situ"
Dari balik semak-semak belukar muncullah dua orang pria. Pakaian mereka sederhana, seperti pakaian pertapa atau pendeta, dan kepala mereka tertutup topi tosu berwarna kuning. Usia mereka antara tiga puluh sampai empat puluh tahun. Begitu mereka muncul dari balik semak-semak dua ocang pria ini berdiri dengan bengong seperti patung memandang kepada Ci Sian. Memang hebat bukan main dara ini di pagi hari itu. Hebat saking cantik dan manisnya! Kecantikan aseli, seperti keindahan alam, seperti setangkai bunga bermandikan embun, seperti ujung ranting berdaun dibelai angin, seperti segumpal awan berarak di angkasa. Cantik jelita dan indah mempesona! Pakaian dara itu sederhana saja, namun tidak dapat menyembunyikan kepadatan tubuhnya dengan lekuk-lengkung yang sempurna. Rambutnya yang hitam halus dan lebat itu digelung sembarangan saja, anak rambut atau sinom di jidatnya berjuntai dan melingkar-lingkar. Leher yang panjang itu seperti leher anak angsa, nampak kulit leher yang putih halus, wajahnya yang bulat seperti bulan purnama itu manis. Sepasang mata yang sedang merah itu mengeluarkan sinar mencorong dan sungguhpun agak merah karena habis menangis, namun tidak mengurangi kejelitaannya. Hidung yang kecil mancung itu agar merah, masih ada bekas tangis di ujung hidung yang kemerahan. Dan mulut yang kecil mungil itu masih cemberut, namun tidak membuat wajah itu kehilangan kemanisannya. Dagunya runcing agak berlekuk, dan biarpun dara itu sedang marah, namun tekukan bibirnya membuat lesung pipit di pipi kiri, dekat mulut, nampak membayang sudah.
Orang termuda dari dua tosu itu menahan napas, kemudian menarik napas panjang dan dengan mata yang tak pernah dapat berkedip itu, sepasang mata yang lebar sekali, memandang wajah Ci Sian seperti hendak ditelannya bulat-bulat dengan pandang matanya, tosu ini berkata, "Siancai....! Bidadarikah" Silumankah...."
Kalau saja ia berada dalam keadaan biasa, tentu Ci Sian akan menilai ucapan ini sebagai kekagetan biasa saja dan mungkin ia akan merasa geli dan menurutkan wataknya yang kadang-kadang kekanak-kanakan dan nakal, mungkin saja ia akan menggoda dua orang ini yang membayangkannya bidadari atau siluman. Akan tetapi, pada saat itu hatinya sedang mengkal, sedang jengkel karena duka. Oleh karena itu, sikap dan ucapan tosu itu dianggapnya sebagai ejekan, sebagai kekurangajaran, atau bahkan sebagai penghinaan yang membuatnya marah sekali!
Memang demikianlah kenyataan yang dapat kita lihat dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita menjadi jengkel, kita menjadi marah, kita menjadi sakit hati, semua ini sama sekali bukan disebabkan oleh keadaan di luar diri kita. Sebab utamanya adalah terletak dalam diri kita sendiri. Keadaan di luar itu merupakan suatu fakta dan yang memegang peran penting adalah tanggapan pikiran kita terhadap fakta di luar diri itu. Dan tanggapan ini sendiri terpengaruh kuat sekali oleh keadaan hati. Tanggapan-tanggapan terhadap keadaan di luar ini selalu berobah. Akan berbeda sekali tanggapan kita dalam keadaan hati senang dibandingkan dengan tanggapan di waktu hati sedang mengkal. Jadi, kemarahan adalah buatan kita sendiri. Akan tetapi kita selalu mencari sebab kemarahan di luar diri kita, kita menyalahkan orang lain atau benda atau keadaan di luar diri kita, tidak mau menjenguk ke dalam sehingga kita tidak melihat bahwa kemarahan adalah buatan kita sendiri, disebabkan oleh tanggapan kita sendiri.
"Kalian berdua ini tikus-tikus darimana berani menghinaku" Apakah kalian sudah boean hidup" demikian Ci Sian yang merasa dipermainkan atau dihina ini membentak sambil melangkah maju dan bertolak pinggang.
Dua orang tosu yang tadinya terpesona oleh kecantikan aseli seorang dara remaja di tengah-tengah hutan sunyi itu, sungguh-sungguh terpesona dan sama sekali tidak bermaksud untuk kurang ajar, kini terkejut. Yang tadi mengeluarkan suara adalah seorang tosu, akan tetapi betapapun juga, dia adalah seorang laki-laki yang masih muda, baru kurang lebih tiga puluh lima tahun usianya. Bagi seorang laki-laki yang usianya sebegitu, tidak anehlah kalau daya tarik kecantikan wanita masih amat kuat baginya sehingga ucapannya tadi terpancing keluar dari mulutnya langsung dari hati yang terpikat, untuk menyatakan pujiannya. Kini, melihat sikap dan mendengar ucapan Ci Sian, mereka terkejut dan juga tidak senang, mengerutkan alis. Bagi dua orang tosu ini, tidak pantaslah kalau seorang dara remaja demikian keras kata-katanya.
Karena dimaki tikus yang bosan hidup, tosu ke dua yang hidungnya bengkok, menjadi penasaran dan marah. Tosu ini usianya sudah mendekati empat puluh tahun. "Sute, ia sudah pasti bukan bidadari. Mendengar kata-katanya, ia lebih pantas kalau seorang siluman!"
Ucapan ini bagaikan minyak bakar yang disiramkan kepada api kemarahan Ci Sian. Sepasang alisnya bergerak naik dan matanya menjadi semakin mencorong mengeluarkan sinar kilat. "Bagus, bedebah keparat, kalian patut dihajar!" bentaknya dan tiba-tiba saja tubuhnya sudah meluncur ke depan dengan kecepatan yang luar biasa, kedua tangannya sudah bergerak menampar ke arah muka dua orang tosu itu.
"Siancai....!" Tosu bermata lebar itu berseru, terkejut menyaksikan gerakan dara itu yang benar-benar amat cepat, apalagi ketika merasa betapa dari tangan yang menampar itu keluar hawa pukulan dahsyat yang terasa amat dingin!
"Plak! Plak!" Dua orang tosu itu menangkis dan akibatnya mereka terdorong ke belakang dan hampir saja terjengkang. Akan tetapi mereka dapat berjungkir balik dan ternyata mereka memiliki gerakan yang tangkas juga. Akan tetapi muka mereka merah sekali oleh kenyataan betapa tamparan seorang dara remaja belasan tahun saja sudah membuat mereka hampir jatuh. Hal ini mendatangkan rasa penasaran dan marah.
"Eh, bocah galak dan kurang ajar! Engkau tidak tahu dengan siapa engkau berhadapan!" kata tosu hidungnya bengkok.
"Tentu saja aku tahu!" teriak Ci Sian yang sudah marah sekali. "Kalian adalah dua orang hidung kerbau!"
Kedua orang itu menjadi marah. "Bagus, agaknya karena mengandalkan sedikit ilmu silat, engkau bocah setan menjadi kurang ajar!" teriak tosu mata lebar dan dia pun sudah menubruk maju, menggerakkan kedua tangannya, dengan cara yang cepat bertubi-tubi kedua tangan itu telah melakukan serangan, yang kiri mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala dari atas, sedangkan yang kanan sudah menusuk lambung dengan tangan miring.
"Huh, kerbau busuk!" Ci Sian memaki lagi dan ia sama sekali tidak mau mengelak, akan tetapi kedua tangannya bergerak menangkis dan sekali ini dikerahkannya tenaga gabungan yang selama tiga bulan ini dilatihnya di bawah petunjuk Pendekar Siluman Kecil Suma Kian Bu.
"Desss....!" Tangkisan itu hebat sekali dan karena Ci Sian sendiri belum dapat mengukur sampai di mana kehebatan tenaga sin-kang yang baru saja dilatihnya itu, ia telah mengerahkan tenaga lebih dari setengah bagian dan akibatnya, tosu bermata lebar itu terlempar ke belakang seperti sebuah layang-layang putus talinya dan jatuh terbanting ke atas tanah dalam keadaan pingsan! Dari mulutnya mengalir darah segar! Tentu saja temannya menjadi kaget bukan main. Tosu berhidung bengkok ini tidak seceroboh sutenya. Dia tahu dari tangkisan tadi bahwa nona itu memiliki kepandaian yang hebat, dan kini melihat sutenya sekali tangkis saja roboh pingsan, dia pun tahu bahwa dia bukan tsndingan nona itu.
"Siancai...., sungguh ganas dan kejam....!" katanya dan dia pun lalu memondong tubuh sutenya, dipanggulnya dan larilah tosu itu dari tempat itu.
Ci Sian sendiri juga terkejut menyaksikan akibat daripada tangkisannya tadi dan diam-diam ia pun merasa menyesal. Betapapun juga, tosu-tosu itu hanya mengeluarkan kata-kata pujian karena terkejut dan heran mendapatkan seorang nona muda seperti dirinya di dalam hutan itu, maka tidak semestinya kalau hanya untuk kesalahan seperti itu ia menurunkan tangan ganas. Akan tetapi karena sudah terlanjur, dan karena ingin tahu siapa adanya mereka dan dari mana mereka datang, Ci Sian lalu membayangi tosu, berhidung bengkok yang memanggul tubuh sutenya yang pingsan itu.
Tosu berhidung bengkok itu dapat lari cepat sekali dan hal ini saja menunjukkan bahwa dia bukan orang sembarangan. Untung bagi Ci Sian bahwa dara ini pun sekarang telah memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi sehingga dengan mudah ia dapat terus membayangi ke mana perginya tosu itu.
Sesungguhnya, dua orang tosu itu bukan orang sembarangan. Mereka adalah murid-murid tingkat pertengahan dari perkumpulan atau partai persilatan Kun-lun-pai yang amat terkenal itu! Di dalam dunia persilatan, di samping Siauw-lim-pai dan beberapa buah partai lain, maka Kun-lun-pai juga termasuk partai yang terbesar dan mernpunyai banyak murid-murid yang pandai dan menonjol di dunia kang-ouw. Kun-lun-pai berpusat di Pegunungan Kun-lun-san dan pusat itu letaknya di balik puncak, tidak begitu jauh dari dusun yang kini bernama dusun Naga Hijau itu.
Tentu saja orang-orang Kun-lun-pai tahu akan adanya ular hijau yang amat berbahaya itu, dan karena ular itu pun tidak pernah mengganggu manusia dan berada di tempat yang jauh dari tempat kediaman manusia, maka para tosu Kun-lun-pai yang menganggap ular itu bukan binatang sembarangan saja, tidak mau mengganggunya. Para pimpinan Kun-lun-pai sebagian besar adalah pertapa-pertapa yang menganut Agama To dan dalam agama ini memang terdapat kepercayaan akan keajaiban-keajaiban alam dan hal-hal gaib yang tidak dapat diukur oleh pikiran manusia. Maka, para pimpinan Kun-lun-pai sendiri yang melarang murid-muridnya untuk mengganggu ular hijau itu. Bagi para tosu yang suka berfilsafat itu, binatang di hutan jauh lebih bersih daripada manusia di kota. Binatang hutan memang ada yang menerkam dan makan lain binatang, akan tetapi hal itu dilakukannya tanpa ada kebencian, melainkan karena dorongan perut lapar. Bahkan jarang ada binatang akan menyerang manusia kalau tidak diganggu terlebih dahulu. Berbeda dengan manusia yang saling benci, saling bunuh dan saling tipu hanya disebabkan karena ingin hidup sendiri, ingin senang sendiri.
Sebagai sebuah partai persilatan yang besar, Kun-lun-pai juga menjaga nama dan tidak sembarangan mencampuri urusan yang tidak ada sangkut-pautnya dengan Kun-lun-pai, bahkan tidak pernah mau mencampuri urusan dunia kang-ouw. Sebagian besar di antara para pendekarnya berjiwa pahlawan dan walaupun jarang di antara mereka yang menjadi perajurit atau panglima, namun mereka tidak pernah memberontak dan selalu berpihak kepada pemerintah dan selain menentang para penjahat, mereka pun menentang pemberontakan.
Berita tentang terbunuhnya ular hijau itu sampai juga ke Kun-lun-pai. Para tosu yang menjadi pimpinan Kun-lun-pai, mendengar hal ini dan ada perasaan tidak senang di dalam hati mereka mendengar ada orang luar yang datang membunuh ular hijau itu. Akan tetapi, mereka tidak menganggapnya sebagai urusan besar, maka mereka mengutus dua orang murid pertengahan itu untuk melakukan penyelidikan dan menanyakan siapa gerangan pendekar yang mampu membunuh ular hijau yang amat berbahaya dan tangguh itu. Dua orang tosu itu adalah Lim-cu dan San-cu, yaitu Si Hidung Bengkok dan Si Mata Lebar. Mereka mendatangi dusun Naga Hijau dan ketika mereka mendengar bahwa yang membunuh ular hijau adalah seorang pendekar bersama dua orang wanita, mereka tertarik sekali. Apalagi mendengar bahwa tiga orang pendekar itu masih tinggal di tempat di mana mereka membunuh ular, dengan mendirikan pondok-pondok sederhana dan seperti melakukan tapa, dua orang tosu itu segera pergi menyelidiki dan mereka bertemu dengan Ci Sian. Malang bagi mereka, kekaguman mereka itu diterima dengan salah oleh Ci Sian sehingga terjadi perkelahian yang mengakibatkan San-cu terluka cukup parah.
Pada waktu itu, yang menjadi Ketua Kun-lun-pai adalah Thian Heng Tosu, seorang kakek berusia enam puluh tahun yang jarang keluar dari tempat pertapaannya. Urusan perkumpulan dipegang oleh seorang wakilnya, yang menjadi sutenya sendiri, yaitu Thian Kong Tosu, seorang tosu yang usianya juga sudah enam puluh tahun, bertubuh tinggi kurus dan bersikap lembut karena selain ahli ilmu silat tinggi, juga Thian Kong Tosu ini seorang sastrawan yang pandai. Memang para anggauta Kun-lun-pai tidak pernah ada yang menjadi pemberontak dan tidak ada pula yang menjadi pembesar atau perajurit pemerintah, akan tetapi dari ketuanya sampai para muridnya, mereka adalah patriot-patriot sejati yang mencinta tanah air dan bangsa. Oleh karena itu, tentu saja dengan adanya penjajahan bangsa Mancu terhadap Tiongkok, diam-diam mereka semua merasa sedih sekali dan hal ini pula yang membuat Thian Heng Tosu seperti enggan berurusan dengan dunia. Ketika bangsa Mancu mulai menyerbu Tiongkok, para pendekar Kun-lun-pai ikut pula berjuang menghalau musuh, namun kekuatan Mancu tidak dapat dibendung dan akhirnya bangsa Mancu berhasil menguasai Tiongkok. Semua adalah karena kelemahan Kaisar sendiri. Dan bangsa Mancu yang pandai itu makin memperkuat diri sehingga cengkeraman mereka di bumi Tiongkok amat kokoh kuatnya dan semua usaha para patriot untuk memberontak dan menentang penjajah ini gagal belaka. Hal inilah yang membuat hati Thian Heng Tosu menjadi tertekan dan dia selalu menyembunyikan diri dalam pertapaan dan memesan kepada semua murid agar jangan lancang dan ceroboh menentang pemerintah yang amat kuatnya itu. Biarpun dia selalu menyembunyikan diri, bukan berarti bahwa Thian Heng Tosu tidak memperhatikan keadaan perkumpulannya. Dia setiap sepekan sekali menerima laporan dari sutenya, yaitu Thian Kong Tosu tentang keadaan di luar, dan mendengar betapa kaisar yang sekarang ini sewenang-wenang, bahkan membakar Kuil Siauw-lim-si dan sebagai seorang bekas murid Siauw-lim-pai telah murtad terhadap perguruan itu, Thian Heng Tosu menjadi semakin prihatin. Dan selain dia tetap memperhatikan perkumpulannya, juga siang malam tiada hentinya dia menurunkan ilmu-ilmunya dan menggembleng seorang murid yang paling disayangnya, yaitu seorang pemuda yang bernama Cia Han Beng. Walaupun pemuda itu baru berusia dua puluh satu tahun, namun dia hampir dapat menguasai semua ilmu yang dimiliki gurunya, yaitu Ketua Kun-lun-pai yang sakti itu.
Demikianlah keadaan Kun-lun-pai secara singkat dan kita ikuti kembali Ci Sian yang membayangi dua orang tosu Kun-lun-pai itu. Setelah melewati puncak yang tertutup salju, akhirnya Ci Sian melihat tosu berhidung bengkok itu membawa sutenya yang dipanggul ke dalam sebuah kumpulan bangunan dikelilingi pagar tembok. Dari atas puncak, nampak oleh Ci Sian bahwa bangunan itu sudah kuno dan amat sederhana namun kuat, dan di tengah-tengah kelompok bangunan itu terdapat bangunan seperti kuil. Wuwungan atap kuil itu dihias dengan ukiran sepasang naga berebut mustika. Ia tidak berani sembarangan memasuki tempat yang tampak sunyi itu, karena melihat betapa tosu berhidung bengkok itu mampu memanggul sutenya dan berlari tanpa berhenti sampai demikian jauhnya, ia tahu bahwa tosu itu lihai dan tentu di tempat itu terdapat banyak orang pandai. Ci Sian berindap-indap menghampiri sebelah depan pagar tembok dari jauh saja sudah nampak olehnya huruf-huruf yang ditulis dengan gaya yang amat gagah, tertulis di atas papan depan pintu gerbang. Yang nampak paling besar dan mengejutkan hatinya adalah tulisan tiga huruf yang berbunyi : KUN LUN PAI.
Jantungnya berdebar tegang. inikah pusat perkumpulan Kun-lun-pai yang kabarnya merupakan partai persilatan besar yang memiliki banyak pendekar yang pandai itu" Tentu saja ia sudah sering mendengar tentang Kun-lun-pai yang terkenal di seluruh dunia kang-ouw. Alisnya berkerut. Ia mendengar bahwa Kun-lun-pai adalah sebuah perkumpulan besar yang melahirkan pendekar-pendekar sakti. Akan tetapi mengapa dua orang tosu itu demikian kurang ajar dan biarpun mereka memiliki kepandaian yang lumayan, namun tidak cukup tinggi seperti yang pernah didengarnya tentang Kun-lun-pai" Nama perkumpulan ini membuat ia bersikap hati-hati dan membuat ia mengenang kembali apa yang terjadi tadi. Setelah menggunakan pikiran yang dingin, tidak terbakar oleh perasaan marah, diam-diam dara ini harus mengakui bahwa dua orang tosu itu sesungguhnya belum dapat dikatakan kurang ajar. Wajarlah kalau dua orang tosu itu terkejut melihatnya, dan wajar pula kalau seorang di antara mereka memuji kecantikannya. Ia sendiri yang terburu nafsu dan marahmarah, malah memaki dua orang tosu itu. Betapapun juga, setelah membayangi sampai di sini, ia harus memasuki tempat itu dan melihat apakah benar bahwa dua orang tosu itu adalah orang-orang Kun-lun-pai. Kalau memang benar, masih belum terlambat baginya untuk minta maaf.
Melihat keadaan yang sunyi, timbul keberanian hati Ci Sian dan dengan gerakan ringan sekali ia sudah meloncat ke atas pagar tembok itu dan sejenak diamatinya sebelah dalam. Juga sunyi dan tidak nampak seorang pun manusia, maka ia menjadi penasaran dan meloncatlah ia ke dalam. Kemudian, karena ia merasa bahwa mengintai dari atas genteng merupakan keadaan yang paling aman karena dari situ ia dapat melihat ke sekelilingnya, dara ini lalu meloncat lagi ke atas genteng yang paling rendah, tanpa mengeluarkan sedikit pun suara. Dari sini ia berloncatan ke atas genteng dari bangunan yang paling besar yang terletak di belakang kuil.
Dari atas genteng, ia mengintai dengan menggeser dua buah genteng. Ia melihat sebuah ruangan yang cukup luas di bawah bangunan itu dan sungguh mengherankan sekali, kalau tadi tempat amat sunyi seolah-olah tidak ada penghuninya, ternyata di dalam ruangan itu terdapat banyak orang. Mereka semua terdiri dari tosu-tosu yang kebanyakan sudah berusia lima puluh tahun lebih, duduk bersila membuat lingkaran lebar di atas lantai yang beralaskan tikar. Dan di antara belasan orang tosu ini, nampak seorang tosu yang usianya sudah enam puluhan tahun, bertubuh tinggi kurus, sikapnya tenang dan wajahnya lembut dan ramah. Di depan tosu ini nampak tosu hidung betet berlutut dan tosu mata lebar yang terpukul pingsan tadi rebah telentang di depan tosu tua.
Biarpun mereka itu belasan orang jumlahnya, namun semua diam dan tidak mengeluarkan suara, bahkan tidak bergerak, duduk bersila seperti orang dalam samadhi. Hanya tosu tua itulah yang menggerakkan jari tangannya menotok beberapa kali setelah memeriksa tubuh tosu bermata lebar yang sudah siuman akan tetapi masih nampak menyeringai kesakitan itu.
"Nah, engkau sudah sembuh, boleh bangkit sekarang," kata tosu tua itu dengan halus. Dan tosu mata lebar lalu bangkit dan benar saja, dia tidak lagi merasa nyeri dan cepat dia berlutut menghaturkan terima kasih.
"Sekarang, ceritakan apa yang telah terjadi," katanya kemudian. Tosu berhidung bengkok yang menjadi suheng dari tosu yang pingsan tadi segera menceritakan pengalamannya bersama sutenya ketika mereka berdua melakukan penyelidikan ke dusun Naga Hijau tentang berita dibunuhnya naga hijau itu.
"Teecu berdua menyelidiki ke dalam dusun itu dan dari para penduduk teecu mendengar bahwa yang membunuh ular itu adalah seorang pria gagah perkasa bersama isterinya dan seorang dara muda. Menurut cerita mereka, tiga orang itu memiliki ilmu kepandaian seperti dewa. Karena teecu mendengar bahwa tiga orang itu masih berada di dalam hutan, bahkan membuat dua pondok dan tinggal di situ melakukan samadhi, teecu berdua lalu melakukan penyelidikan ke sana."
Semua tosu mendengarkan penuturan itu dengan hati tertarik, bahkan Ci Sian sendiri juga ikut mendengarkan dan ia ingin tahu apa yang akan diceritakan oleh dua orang ini tentang dirinya."Teecu berdua melakukan penyelidikan ke dalam hutan dan kami terkejut bukan main ketika bertemu dengan seorang dara muda yang cantik seorang diri di hutan itu," Kemudian Lim-cu, tosu hidung bengkok itu menceritakan pengalamannya bersama sutenya ketika menegur dara itu sehingga timbul percekcokan yang disusul dengan perkelahian. Segala yang terjadi diceritakannya tanpa ada yang ditutupi. Mereka menceritakan betapa dara itu menjadi marah ketika mereka mengucapkan kata-kata kagum, dan betapa dara itu menyerang lebih dulu kemudian memaki-maki mereka dengan kata-kata menghina sehingga timbul perkelahian. Betapa dara itu amat lihainya sehingga sutenya roboh pingsan. Mendengar cerita tosu itu yang demikian jelas tanpa ditutup-tutupi, tanpa menyembunyikan kesalahan diri sendiri atau membela diri sendiri, wajah Ci Sian berubah merah. Mendengar penuturan yang jelas itu, ia melihat kembali segala yang terjadi dan merasa betapa ia sudah bersikap keterlaluan karena salah sangka. Ia mengira bahwa tosu-tosu itu mata keranjang dan kurang ajar, dan tanpa penyelidikan lebih dulu ia sudah marah-marah. Kini nampaklah ia betapa tanpa adanya Kam Hong di sampingnya, ia memang merupakan seorang muda yang pemarah dan ceroboh sekali. Akan tetapi ia mendengarkan terus, ingin tahu tanggapan para tosu di situ, terutama tosu tua yang halus dan berwibawa itu.
"Siancai.... tidak ada akibat tanpa sebab, dan sebab itu selalu berada di dalam diri sendiri. Lim-cu dan San-cu, kalau kalian mau mengamati diri sendiri, akan nampak jelaslah bahwa walaupun kalian tidak mempunyai niat buruk, namun kalian telah bersikap sembrono dan mengeluarkan kata-kata tanpa diteliti dan sembarangan saja sehingga kalian menimbulkan kemarahan nona itu. Dan nona itu pun agaknya terlalu mengandalkan kepandaiannya sehingga ia menjadi ringan tangan, mudah saja memukul orang. Biarlah hal ini menjadi pelajaran bagi kalian agar lain kali bersikap tenang, jangan sampai menimbulkan perkiraan orang bahwa kalian adalah tosu-tosu yang kurang ajar," Kakek itu menarik napas panjang. "ini adalah akibat keadaan, ah, betapa banyaknya orang-orang yang berpakaian pendeta, yang bersikap seperti orang suci, ternyata masih menyimpan kecabulan di dalam hatinya...."
Kemudian tosu itu mengangkat mukanya ke atas, ke arah tempat Ci Sian mengintai, dan dara itu terkejut bukan main melihat sepasang mata yang seolah-olah mencorong dan sinarnya seperti menembus genteng! "Nona, sejak tadi Nona sudah mengintai dan mendengarkan segalanya. Kami tidak menyimpan rahasia, maka kalau ingin bicara, silakan turun!"
Ci Sian terkejut sekali dan merasa malu. Ia ingin lari dari situ, akan tetapi ketika ia bangkit berdiri dan menengok, ternyata tempat yang tadinya sunyi itu kini penuh dengan tosu yang berbaris rapi, menjaga dan mengurung tempat itu seperti pagar manusia yang berdiri diam seperti patung! Bangunan di mana ia mengintai di atas itu terkurung oleh belasan tosu, dan di atas pagar tembok juga nampak beberapa orang tosu berdiri, dan pintu gerbang juga dijaga ketat. Tahulah ia sekarang bahwa tempat itu sama sekali bukan sunyi, dan juga sama sekali Kun-lun-pai bukan perkumpulan yang lengah, melainkan ia sengaja dibiarkan masuk dan setelah ia masuk, barulah jalan keluarnya tertutup! Ci Sian menjadi marah dan ada dorongan hatinya untuk keluar dan mengamuk, akan tetapi ia teringat bahwa ia bukanlah seorang pencuri, bahwa kedatangannya hanya ingin tahu lebih banyak tentang dua orang tosu tadi. Sudah kepalang basah, pikirnya. Lebih baik menyelam sekali! Dan ia pun lalu membuka genteng dan meloncat ke dalam ruangan itu dengan gerakan yang amat ringan sehingga ketika kedua kakinya menyentuh lantai ruangan itu, tidak terdengar sedikit pun suara. Begitu Ci Sian turun, para tosu itu menggeser diri dan mundur, namun masih duduk bersila seperti tadi dan wajah mereka nampak tenang saja.
Thian Kong Tosu bangkit berdiri dan merangkapkan kedua tangan di depan dadanya, memandang dengan wajah berseri dan sepasang mata kagum. "Sungguh, tak dapat pinto menyalahkan murid-murid Kun-lun-pai yang mengeluarkan kata-kata pujian kepada Nona. Memang Nona adalah seorang nona muda yang selain cantik, juga memiliki kegagahan luar biasa, dan mengingat betapa Nona masih begini muda sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi, sungguh membuat orang merasa kagum sekali."
Wajah Ci Sian berobah merah. Kini baru ia merasa betapa bodohnya ketika ia marah-marah mendengar pujian dua orang tosuitu. Ia tidak dapat membedakan antara pujian setulusnya dan pujian yang bersifat menjilat atau pujian orang yang mata keranjang. Pujian yang dikeluarkan dari mulut dua orang tosu tadi tidak ada bedanya dengan pujian tosu tua ini. Akan tetapi, Ci Sian memang memiliki watak keras dan pantang mundur. Ia memang merasa salah, akan tetapi ia merasa malu kalau hanya minta maaf begitu saja. Kalau ia salah, biarlah ia dihukum dan hukumannya sesuai dengan kesalahannya tadi!
Maka ia pun cepat menjura kepada tosu tua itu dan berkata, suaranya lantang sekali dan sedikit pun tidak memperlihatkan rasa takut, "Totiang, telah lama sekali saya mendengar tentang Kun-lun-pai, bahwa Kun-lun-pai adalah sebuah partai persilatan besar yang para anggautanya terdiri dari pendekar-pendekar yang lihai! Saya telah salah paham mengira dua orang tosu Kun-lun-pai sebagai orang-orang kurang ajar dan saya sudah kesalahan turun tangan. Oleh karena itu, setelah saya berada di sini, maka saya ingin sekali memperoleh pelajaran dari Ketua Kun-lun-pai sendiri. Apakah Totiang ini Ketua Kun-lun-pai"
Bukan main ucapan itu, merupakan tantangan halus terhadap Ketua Kun-lun-pai. Semua tosu yang hadir di situ adalah tosu-tosu kaum atasan dari Kun-lun-pai, dari tingkat tiga ke atas. Mendengar ucapan ini, semua mata ditujukan kepada Ci Sian dan semua alis dikerutkan. Jarang sekali, bahkan belum pernah, ada orang berani menantang Ketua Kun-lun-pai, walaupun tantangan itu disembunyikan di balik kata-kata minta pelajaran.
"Siancai....! Sungguh seorang dara yang bersemangat baja! Mengagumkan sekali. Nona yang merasa salah ingin menembus kesalahannya dengan membiarkan diri dihajar oleh Ketua Kun-lun-pai! Sungguh membayangkan ketabahan yang luar biasa sekali!" Ucapan itu baru menyadarkan semua tosu dan kini mereka memandang kagum. Ci Sian sendiri terkejut karena rahasia hatinya ternyata dapat dilihat sedemikian mudahnya oleh tosu tua ini.
"Apakah Totiang yang terhormat Ketua Kun-lun-pai" tanyanya, memandang tajam. Ingin ia mencoba kepandaian tosu tua yang bermata tajam mencorong ini.
Thian Kong Tosu menggeleng kepala sambil tersenyum. "Bukan, Nona, pinto bukan Ketua Kun-lun-pai...."
"Totiang, nama saya Ci Sian. Harap Totiang suka memberi tahu siapa ketua di sini dan suka menyampaikan permintaan saya untuk menerima pelajaran darinya!" Ucapan ini pun membayangkan keterbukaan dara itu yang memperkenalkan namanya lebih dulu dan menyampaikan keinginannya tanpa banyak bunga kata-kata lagi.
Thian Kong Tosu tertawa dan mengelus jenggotnya, "Siancai...., sungguh membuat hati tua ini menjadi kagum. Nona, pinto adalah Thian Kong Tosu yang mewakili suheng Thian Heng Tosu mengurus perkumpulan ini. Ketua kami adalah Thian Heng Tosu, akan tetapi sejak lama beliau tidak pernah keluar dari tempat samadhinya. Untuk urusan apapun beliau tidak pernah mau keluar, apalagi untuk melayani Nona yang ingin menguji kepandaiannya. Harap Nona maklum dan tidak mendesak kami."
Ci Sian mengerutkan alisnya. Penolakan tantangan pi-bu secara halus ini hanya dapat disebabkan oleh dua hal. Pertama, yang ditantang takut menghadapinya, dan ke dua, yang ditantang memandang rendah kepadanya sehingga merasa tidak perlu melayaninya. Dan tidaklah mungkin kalau Ketua Kun-lun-pai takut kepadanya, maka ia pun mengambil kesimpulan bahwa pihak Kun-lun-pai memandang rendah kepadanya sehingga mempergunakan alasan itu karena memandang tidak perlu melayani tantangan seorang muda seperti dirinya!
"Totiang, kalau Ketua Kun-lun-pai merasa terlalu tinggi untuk melayani saya, biarlah beliau mewakilkan kepada jagoan Kun-lun-pai yang terpandai untuk memberi petunjuk dan pelajaran kepada saya, sebagai tanggung jawab saya yang tadi telah melukai seorang murid Kun-lun-pai!"
Thian Kong Tosu tersenyum maklum. "Tidak ada yang mendendam atas peristiwa tadi, Nona, tidak ada yang menganggap ringan kepadamu...."
"Totiang! Saya tidak akan merasa puas sebelum menerima petunjuk dari Kun-lun-pai!"
"Nona, sudah lama Kun-lun-pai tidak pernah bentrok dengan pihak manapun juga. Kalau Nona memaksa, sungguh kami merasa tidak enak sekali kepada perguruan Nona. Tidak patutlah kalau kami pihak yang lebih tua menghina Nona yang begini muda...., kami tentu tidak ada muka untuk berhadapan dengan perguruanmu, Nona."
"Jangan khawatir, Totiang. Tidak akan ada orang dari perguruan saya yang menuntut. Ketahuilah, saya tidak mempunyai guru, hanya seorang suheng. Kami berdua adalah keturunan yang mewarisi ilmu dari Suling Emas! Nah, inilah sulingku dan saya mohon petunjuk dari tokoh Kun-lun-pai!" Sambil berkata demikan, dara itu sudah mencabut suling emasnya. Melihat cara dara itu mengeluarkan suling dan begitu suling dicabut terdengar suara melengking nyaring dari lubang suling, dan mendengar bahwa dara ini mengaku sebagai ahli waris Suling Emas, tentu saja Thian Kong Tosu menjadi terkejut bukan main.
Sebagai seorang tokoh tua di dunia persilatan, tentu saja dia pernah mendengar nama besar Pendekar Suling Emas yang hidup di jaman beberapa ratus tahun yang lalu. Akan tetapi nama itu kemudian menjadi seperti dalam dongeng saja karena tidak pernah nama itu muncul lagi di dunia kang-ouw, walaupun para tokoh kang-ouw masih sering mencoba untuk mencari peninggalan pendekar sakti itu. Dan kini, tiba-tiba saja muncul gadis ini, seorang dara muda jelita yang mengaku sebagai ahli waris Pendekar Suling Emas!
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara yang halus namun demikian jelasnya terdengar oleh semua orang di dalam ruangan itu, "Siancai...., kesempatan yang hanya timbul sekali dalam seratus tahun! Sute, persilakan ahli waris Pendekar Suling Emas untuk memasuki lian-buthia, kami akan menanti di sana."Mendengar suara ini, semua tosu yang berada di situ menjatuhkan diri berlutut, dan Thian Kong Tosu sendiri cepat menjura dan menjawab, "Baik, Suheng," Wajah tosu ini berseri. Baru sekarang suhengnya, Thian Heng Tosu Ketua Kun-lun-pai, berkenan keluar dari tempat pertapaannya, karena tertarik pula oleh sebutan Pendekar Suling Emas itu. Siapa orangnya yang takkan tertarik"
"Nona Ci Sian, engkau sungguh beruntung sekali, berhasil menarik hati ketua kami untuk keluar dan menemuimu. Silakan, Nona, kita pergi menghadap suheng Thian Heng Tosu Ketua Kun-lun-pai yang Nona cari-cari tadi, ke lian-bu-thia!"
"Baik dan terima kasih, Totiang," jawab Ci Sian yang merasa jantungnya berdebar juga. Suara lirih yang amat jelas tadi saja sudah menunjukkan betapa saktinya orang yangmengeluarkannya. Ia pun mengikuti Thian Kong Tosu dan para tosu lainnya menuju ke lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) yang berada di bagian belakang dari bangunan itu.
Semua tosu menjatuhkan diri berlutut menghadap kakek yang duduk bersila itu, kecuali Thian Kong Tosu yang menjura lalu juga duduk beadaa tak jauh dari situ. Ci Sian memandang dengan mata tajam menyelidik. Kakek itu juga seorang tosu, tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, akan tetapi wajahnya sama sekali tidak menyeramkan seperti tubuhnya, karena wajah itu membayangkan kehalusan budi dan keramahan. Biarpun usianya sebaya dengan sutenya, namun tosu ini kelihatan lebih tua, seolah-olah ada kedukaan membayang pada wajahnya yang halus itu. Juga rambutnya sudah hampir putih semua padahal sutenya baru separuh rambutnya yang putih. Ketika Ci Sian menjura kepadanya, tosu yang memandangnya itu mengangguk dan tersenyum ramah.
Ci Sian melihat bahwa yang berada di ruangan lian-bu-thia yang luas itu bukan hanya Ketua Kun-lun-pai ini, melainkan juga seorang pemuda dan ia tertarik sekali. Pemuda ini berbeda dengan semua yang hadir di situ, tidak memakai pakaian tosu walaupun rambutnya yang hitam lebat itu pun digelung seperti model gelung rambut tosu, ke atas. Seorang pemuda yang berperawakan sedang, berwajah tampan dan terutama sekali sepasang alisnya itu menimbulkan kagum di hati Ci Sian. Sepasang alis itu nampak hitam sekali seperti dilukis dan membuat wajahnya nampak lebih bersih dan putih, dan bentuk alis itu seperti sepasang golok telentang. Pemuda itu menundukkan muka, kedua matanya sedikit pun tidak bergerak, seolah-olah dia berada dalam samadhi yang hening. Ci Sian merasa agak mendongkol juga. Semua orang kagum kepadanya, akan tetapi pemuda ini, melirikpun tidak. Sombong! Ia pun membuang muka tidak mau lagi memandang kepada pemuda itu.
"Nona, siapakah she (nama keturunan) Nona" terdengar tosu tinggi besar itu bertanya, suaranya halus dan pertanyaannya singkat.
Semenjak bertemu dengan ayah kandungnya dan melihat keadaan ayah kendungnya yang dianggap sebagai seorang pria mata keranjang, Ci Sian merasa malu untuk mengaku sebagai puteri Bu Seng Kin yang lebih terkenal dengan julukan Bu-taihiap. Akan tetapi, berhadapan dengan para tokoh Kun-lun-pai, orang-orang tua yang begini penuh wibawa, Ci Sian merasa tidak enak hati kalau membohong, maka ia pun menjawab dengan sikap horrnat, "Locianpwe, she saya adalah Bu."
"She Bu" Adakah hubungannya dengan Bu-taihiap"
Terkejutlah Ci Sian mendengar pertanyaan ini, pertanyaan yang sama sekali tidak pernah disangka-sangkanya. Matanya terbelalak dan mulutnya mengeluarkan sangkalan yang keras, "Tidak! Dia tidak ada hubungannya denganku!"
"Siancai...., mungkin Bu-taihiap telah melukai hati banyak wanita, akan tetapi tak dapat disangkal lagi bahwa dia seorang pendekar besar. Baiklah, Nona Bu. Pinto tadi mendengar bahwa Nona datang ke Kun-lun-pai untuk menantang pi-bu kepada Ketua Kun-lun-pai"
Ditodong langsung dengan pertanyaan ini, Ci Sian menjadi gugup juga. "Aku...., aku hanya mohon petunjuk dari Locianpwe, karena aku merasa telah bersalah terhadap Kun-lun-pai...."
"Ha-ha, bagaimana pendapatmu, Sute" Nona ini sungguh bersemangat sekali," kata Ketua Kun-lun-pai itu kepada sutenya dan Thian Kong Tosu juga tersenyum.
"Nona tadi berkata bahwa Nona adalah ahli-waris dari Pendekar Suling Emas" Apakah buktinya" Ketua Kun-lun-pai itu kembali bertanya.
Ci Sian mencabut keluar sulingnya yang tadi sudah disimpannya kembali. Sekali lagi terdengar bunyi suling melengking ketika dicabutnya dan baru sekaranglah pemuda yang duduk bersila di sebelah kiri Thian Heng Tosu itu mengangkat muka memandang. Bukan memandang kepada Ci Sian melainkan kepada suling emas kecil yang berada di tangan dara itu.
"Itukah suling peninggalan Pendekar Suling Emas" Coba pinto pinjam sebentar!" Berkata demikian tiba-tiba Thian Heng Tosu menggerakkan tangan kanannya ke arah Ci Sian. Dara ini terkejut bukan main karena mendadak sulingnya seperti hidup dan terbang terlepas dari pegangan tangannya, melayang ke arah kakek itu. Maklumlah ia bahwa kakek itu telah mempergunakan sin-kang yang kuat sekali untuk mengambil sulingnya dari jarak jauh tanpa menyentuhnya. Ia menjadi marah, cepat ia mengerahkan sinkang yang baru saja dilatihnya dari Pendekar Siluman Kecil, dan ia pun menggerakkan tubuh dan tangannya di dorongkan ke depan, mulutnya melengking nyaring, "Heiiittt....!" Dan.... suling yang tadinya sudah meluncur kembali ke tangannya!
"Maaf, Locianpwe. Suling ini menjadi kawan penghibur dan pelindungku, siapapun juga tidak boleh merampasnya, kecuali kalau aku sudah roboh tanpa nyawa!" kata Ci Sian sambiltersenyum .
Kakek itu terbelalak, lalu mengangguk-angguk. "Bagus sekali, memang bukan omong kosong belaka! Akan tetapi, bukankah suling itu terlalu kecil untuk menjadi pusaka peninggalan Pendekar Suling Emas, Nona Bu"
"Memang pusaka itu berada di tangan suhengku, akan tetapi kami berdua telah mewarisi ilmunya," jawabnya singkat.
"Siancai....! Jadi engkau masih ingin untuk menguji kepandaian tua bangka seperti pinto ini, Nona"
"Aku.... aku mohon petunjuk Locianpwe."
"Aah, pinto akan ditertawai orang sedunia kalau turun tangan menghadapi seorang dara yang pantasnya menjadi cucuku. Biarlah, pinto wakilkan kepada murid pinto ini. Maukah Nona menghadapinya untuk sekedar belajar kenal dengan ilmu masing-masing" Kakek itu menuding ke arah pemuda yang masih bersila di sebelah kirinya. Ci Sian memandang. Hemm, pemuda yang sombong itu, katanya dalam hati sambil memandang rendah.
"Kalau Locianpwe menganggap dia sudah patut melawanku, boleh saja," jawabnya dan sengaja dia mengeluarkan kata-kata yang sifatnya memandang rendah ini.
"Han Beng, kau memperoleh kesempatan yang baik sekali hari ini. Selama ini engkau hanya tekun berlatih, nah, hari ini engkau memperoleh kesempatan untuk membuktikan sampai di mana kemajuanmu dalam latihan. Kaulayanilah Nona ini. Ingat, engkau mewakili gurumu dan juga mewakili Kun-lun-pai!"
Mendengar ucapan suhunya itu, pemuda yang sejak tadi diam saja, bergerak melepaskan kakinya dan duduk bersila, lalu berlutut di depan kakek itu sambil berkata, "Teecu mentaati perintah Suhu."Untuk menikmati kepandaian ahli waris Pendekar Suling Emas harus melihat permainan sulingnya sebagai senjata. Han Beng, engkau pergunakanlah pedang kayu untuk latihan itu. Pertandingan ini hanya merupakan perkenalan saja, maka pedang kayu cukuplah," kata lagi kakek itu, dan sikapnya gembira bukan main. Kakek yang menjadi Ketua Kun-lun-pai ini memang mengharapkan pemuda ini yang dapat mewarisi ilmu-ilmunya, maka kini memperoleh kesempatan mencoba tingkat kepandaian muridnya, tentu saja dia merasa gembira. Apalagi dia tadi sudah menguji kepandaian dara itu ketika dia meminjam sulingnya dan dia merasa kagum kepada dara yang memiliki kepandaian tinggi, yang lincah bersemangat dan cantik jelita itu. Diam-diam dia membandingkan muridnya dengan dara itu. Nampaknya serasi benar.
Pemuda itu bernama Cia Han Beng, seorang pemuda yatim piatu yang hidupnya ditekan dan dikuasai oleh rasa dendam yang mendalam. Ayahnya seorang pendekar Kun-lun-pai pula, menjadi seorang di antara korban-korban kekejaman Kaisar Yung Ceng. Ayahnya terbunuh oleh Kaisar itu, dan ibunya, seorang wanita cantik, kini menjadi selir Kaisar! Dalam keadaan menderita batin, karena dendam, pemuda ini akhirnya diangkat sebagai murid oleh Ketua Kun-lun-pai dan bukan hanya menerima warisan ilmuilmu yang tinggi dari gurunya, melainkan juga menerima petunjuk-petunjuk sehingga cengkeraman nafsu dendam telah lama meninggalkan batinnya. Memang di lubuk hatinya terdapat perasaan menentang pemerintah, seperti juga gurunya dan semua murid Kun-lun-pai, akan tetapi bukan disebabkan oleh dendam pribadi, melainkan disebabkan oleh keadaan tanah air yang dijajah oleh bangsa Mancu itu. Seperti yang terdapat dalam batin aetiap orang pendekar yang gagah di Tiongkok pada waktu itu, Cia Han Beng diam-diam juga menanti kesempatan untuk menyumbangkan tenaganya demi kebebasan tanah air dan bangsanya daripada penjajahan bangsa Mancu. Mungkin disebabkan latar belakang kehidupan keluarga ayahnya yang tertimpa malapetaka itu dan yang membuatnya hidup sebatang kara, biarpun api dendam pribadi di dalam batinnya telah padam, membuat pemuda yang gagah itu bersikap pendiam dan selalu seperti berada dalam awan gelap, seolah-olah tidak ada kegairahan dan kegembiraan lagi dalam hidupnya.
Mendengar ucapan suhunya, Han Beng kembali memberi hormat, lalu dia menghampiri rak senjata di mana terdapat segala macam senjata untuk permainan silat dan dia mengambil sebatang pedang kayu yang biasa dipakai untuk latihan. Setelah itu, dengan sikap senang sekali dia menghadapi Ci Sian, menjura seperti sikap seorang pemain silat memberi penghormatan kepada calon lawannya dan berkata, "Nona, silakan....!" Dan dia pun lalu mundur ke tengah ruangan lian-bu-thia itu.
Diam-diam Ci Sian merasa mendongkol sekali. Tadinya ia yang memandang rendah kepada pemuda yang dianggapnya sombong itu, dan ia hendak mengejeknya, akan tetapi kini terjadi kebalikannya. Pemuda itu malah disuruh mempergunakan sebatang pedang kayu oleh gurunya. Suling emasnya yang merupakan senjata pusaka yang ampuh sekali itu kini akan dihadapi hanya dengan sebatang pedang kayu! Tentu saja hal ini merupakan ejekan baginya dan membuat mukanya menjadi merah sekali. Akan tetapi, karena Ketua Kun-lun-pai tadi mengatakan bahwa untuk membuktikan bahwa ia benar ahli waris Suling Emas ia harus memainkan suling itu, maka ia mengambil kep
Pendekar Pemetik Harpa 16 Kuda Putih Karya Okt Pendekar Sadis 2
^