Suling Emas Dan Naga Siluman 4

Suling Emas Dan Naga Siluman Bu Kek Sian Su 11 Karya Kho Ping Hoo Bagian 4


u. Ci Sian mendengarkan dengan ragu-ragu karena dia sudah curiga saja kalau-kalau pamannya ini akan menjadi korban lelucon permainan yang ditinggalkan oleh jenazah badut itu! Akan tetapi ketika dia mendengar tentang suling emas, membuat dia mengerutkan alisnya dan terheran-heran.
"Suling Emas" Paman Kam, bukankah engkau juga memiliki suling emas itu"
Kam Hong mengangguk dan mencabut sulingnya. Nampak sinar keemasan berkilat dan pendekar ini. mengangkat sulingnya ke atas. "Bukan hanya memiliki suling pusaka ini, Ci Sian, bahkan kepadamu aku tidak perlu merahasiakan bahwa aku adalah keturunan terakhir dari Pendekar Sakti Suling Emas"
"Ahhh....!"
"Kenapa"
"Aku pernah mendengar dari mendiang Kong-kong, kiraku hanya nama dalam dongeng saja...."
"Bukan dongeng, Ci Sian. Pendekar Suling Emas bernama Kam Bu Song dan menjadi nenek moyangku. Maka dapat kaumengerti betapa anehnya penemuan ini! Locianpwe ini, seperti dapat kita baca pada pesanannya, memakai nama Suling Emas dan bahkan mengaku dialah pembuat suling emas! Membuat aku berpikir-pikir apakah hubungan Locianpwe ini dengan nenek moyangku" Dan apakah suling emas buatannya yang dimaksudkan ini adalah suling yang kini menjadi milikku ini"
Ci Sian yang merasa tertarik sekali ikut pula membaca huruf-huruf pada tubuh boneka itu, yang kembali dibaca oleh Kam Hong untuk ke sekian kalinya. Setelah ikut membaca, Ci Sian berkata dengan nada suara bersungguh-sungguh, tidak lagi memandang rendah kepada jenazah itu.
"Paman, mengapa tidak kautaati perintahnya" Ternyata dia tidak main-main! Mungkin suling emas yang diberikan olehnya kepada Pendeta Fa Sian itulah yang terjatuh ke tangan nenek moyangmu dan kini menjadi milikmu. Akan tetapi ilmu yang disebut-sebutnya itu, sepatutnya kaupelajari. Sekarang engkau telah menjadi murid dari Locianpwe ini, Paman! Engkau memang berjodoh dengan dia. Buktinya, engkaulah yang berkeras hendak membakar boneka itu. Kalau aku, aku tadinya merasa sayang, dan kalau menurut aku tentu boneka itu tidak akan pernah kubakar."
Kam Hong mengangguk. "Memang benar ucapanmu, Ci Sian. Aku juga hendak mentaati perintahnya."
Kam Hong lalu menjatuhkan diri berlutut di depan jenazah yang rebah telentang itu, kemudian berkata, "Teecu Kam Hong, hendak melaksanakan perintah Locianpwe, harap Locianpwe memberi berkah."
Setelah memberi hormat, dia lalu merendam boneka gosong itu dalam air. Kemudian, air rendaman itu dipergunakan untuk memandikan jenazah. Ci Sian yang merasa agak ngeri dan jijik, menjauh. Apalagi karena dia mengerti bahwa dia adalah "orang luar" dan tidak berhak ikut-ikut.
Setelah memandikan jenazah itu dan membereskan kembali pakaian jenazah itu, Kam Hong berpendapat bahwa tidak baik membiarkan jenazah itu di tempat terbuka, maka dia lalu memondong jenazah itu dan dibawanya masuk ke dalam guha lebih kecil yang berada di sebelah kanan guha tempat dia dan Ci Sian bermalam. Guha ini juga diliputi es dan salju, jadi merupakan "peti" es yang lebih besar lagi.
"Ci Sian, aku harus mentaati perintah Locianpwe ini yang aku percaya adalah pembuat suling emas ini, sehingga dengan demikian agaknya beliau ini malah merupakan pencipta suling emas dan ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan pusaka itu. Maka beliau ini terhitung nenek moyang perguruanku yang pertama! Maka, harap kau tidak mengganggu selama tiga hari tiga malam ini, karena aku hendak menjaganya seperti yang diperintahkannya itu."
Ci Sian mengerutkan alisnya, agak cemberut karena dia merasa betapa beratnya kalau dia selama tiga hari tiga malam harus sendirian saja, akan tetapi dia pun sudah membaca sendiri pesan itu maka dia mengangguk dan berkata, "Baiklah, Paman. Itu urusan keluargamu. Aku akan menangkap burung, kelinci dan mencoba-coba untuk mencari jalan keluar dari tempat ini."
"Akan tetapi hati-hatilah, Ci Sian. Dan engkau berteriaklah kalau terjadi sesuatu. Biarpun aku sedang menjaga jenazah, kalau engkau terancam sesuatu tentu aku akan datang menolongmu."
Lenyaplah rasa tidak enak di dalam hati Ci Sian. Dia kini tidak cemberut lagi, bahkan tersenyum manis sekali. Baru dari ucapan itu saja dia sudah maklum bahwa sebetulnya, pada dasarnya, Kam Hong masih lebih sayang kepadanya daripada kepada mayat itu! "Bagaimana dengan makan dan minummu selama tiga hari itu, Paman"
Kam Hong tersenyum. "Kalau engkau memperoleh sesuatu, taruh saja bagianku di dekatku tanpa bicara. Kalau aku lapar atau haus tentu akan kumakan dan kuminum."
"Baik, Paman." kata Ci Sian lalu dia pergi meninggalkan Kam Hong yang duduk bersila seorang diri di dekat jenazah. Setelah dia memandikan mayat itu, dia tadinya mengira tentu akan timbul petunjuk baru. Akan tetapi ternyata tidak terjadi apa-apa sehingga dia merasa heran. Pikirannya dikerahkan untuk menduga-duga, di mana kiranya mayat ini menyimpan ilmunya yang katanya dalam pesan terakhir itu agar dipelajarinya dengan hati bersih. Apakah tersembunyi di dalam tubuhnya" Akan tetapi, ketika memandikan tubuh itu, dia tidak melihat sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai petunjuk. Kini, untuk menggeledah badan mayat itu, dia merasa tidak berani karena betapapun juga, dia mempunyai perasaan menghormat terhadap jenazah orang yang selain telah mengangkatnya sebagai murid, juga diduganya merupakan nenek moyang perguruan Suling Emas itu. Dia tahu bahwa keadaan jenazah ini memang penuh rahasia, dan agaknya pengasuhnya sendiri, Sin-siauw Seng-jin, yang merupakan keturunan pengasuh kepercayaan nenek moyangnya dan bahkan yang menyimpan dan mewarisi ilmu-ilmu nenek moyangnya yang kemudian diturunkan kepadanya, agaknya juga tidak akan dapat memecahkan rahasia jenazah ini.
Sampai tiga hari tiga malam lamanya Kam Hong menjaga jenazah itu, tepat seperti yang diperintahkan oleh tulisan jenazah itu pada boneka. Selama tiga hari tiga malam itu, dia sama sekali tidak pernah makan panggang daging yang setiap hari dihidangkan oleh Ci Sian. Bukankah jenazah itu memesan agar dia mempelajari ilmu-ilmunya dengan hati yang bersih" Dan untuk menjaga agar Ci Sian tidak kecewa atau menyesal, Kam Hong mengubur panggang daging itu di bawah salju, seolah-olah dia telah menghabiskan semua hidangan gadis itu.
Pada hari ke empat, dia sudah merasa sangat yakin bahwa jenazah itu memang tidak meninggalkan suatu petunjuk apa pun, maka dia mengambil keputusan untuk menguburnya. Pagi hari ia berlutut didekat tubuh yang rebah telentang itu sambil berkata. "Locianpwe, teecu telah memenuhi perintah Locianpwe, perkenankan hari ini teecu mengubur jenazah...." Tiba-tiba dia menghentikan kata-katanya karena dia melihat sesuatu pada kuku-kuku jari tangan yang terletak di atas dada memegang boneka gosong itu. Pada kuku-kuku itu nampak ada huruf-hurufnya! Padahal pada hari-hari sebelumnya huruf-huruf itu belum ada! Hal ini dia ketahui benar karena dia sudah memeriksa seluruh bagian tubuh yang nampak, dan ketika dia memandikan jenazah itu pun dia melihat bahwa pada kuku yang panjang terpelihara itu tidak ada apa-apanya. Bagaimana kini dapat timbul huruf-huruf itu" Akan tetapi pikirannya yang cerdas itu segera dapat menangkap rahasianya. Tentu huruf-huruf itu ditulis oleh tinta istimewa yang bara timbul setelah tiga hari sesudah dicuci dengan air rendaman boneka gosong itu! Cepat diteliti dan dibacanya huruf-huruf itu dari kuku ibu jari sampai kuku kelingking.
"Muridku, salurkan tenaga "Yang" ke badanku agar aku tidak kedinginan."
Sungguh aneh, pikir Kam Hong. Mana mungkin jenazah merasa kedinginan" Memang aneh-aneh saja pesan dari jenazah ini, dan pantaslah kalau Ci Sian menganggapnya seorang badut yang suka mempermainkan orang, biar sudah mati sekalipun. Akan tetapi, karena ada rasa hormat yang mendalam terhadap jenazah itu, Kam Hong tidak merasa ragu-ragu lagi. Dia meletakkan kedua tangannya ke atas dada jenazah itu, kemudian dia mengerahkan tenaga "Yang" yaitu tenaga sin-kang yang mendatangkan hawa panas dan disalurkannya ke dalam tubuh itu melalui dada. Tubuh jenazah yang tadinya dingin itu perlahan-lahan menjadi hangat, makin lama menjadi semakin panas.
Pada saat itu, Ci Sian datang membawa hidangan panggang daging burung seperti biasanya. Karena sekarang sudah hari ke empat, maka dia pun berani memasuki guha mendekati Kam Hong, terheran-heran melihat betapa Kam Hong mengerahkan sin-kang disalurkan kepada tubuh jenazah itu. Apa yang hendak dilakukan oleh pendekar ini" Dia merasa heran dan juga ngeri. Bagaimana kalau mayat itu tiba-tiba dapat bangkit dan hidup kembali" Meremang bulu tengkuknya memikirkan kemungkinan yang tak masuk akal ini. Akan tetapi mengapa Kam Hong mengerahkan sin-kang sampai tubuhnya gemetaran ke dalam tubuh mayat itu. Tiba-tiba dia melihat sesuatu yang membuat menjerit. "Heiii! Ada huruf-huruf timbul di punggung tangannya!"
Kam Hong juga melihat hal itu dan dia menjadi terkejut. Tentu saja dia menghentikan pengerahan sin-kangnya dan sempat membaca sedikit tulisan pada punggung lengan tangan itu yang ternyata berisi catatan-catatan pelajaran ilmu yang aneh. Akan tetapi, baru sedikit dia membaca, huruf-huruf itu sudah memudar dan lenyap kembali. Padahal tadi amat jelas, yaitu ketika dia masih mengerahkan sin-kangnya. Maka dicobanya lagi. Begitu dia mengerahkan tenaga "Yang", huruf-huruf itu timbul kembali dengan jelasnya. Mengertilah kini Kam Hong. Dia lalu membuka jubah jenazah itu setelah memberi hormat, dan begitu dia mengerahkan tenaga sin-kang, maka pada dada, perut, dan lengan jenazah itu terdapat huruf-huruf yang disusun rapi, dimulai dari dada dekat leher terus menurun. Akan tetapi, untuk mengerahkan sin-kang sambil mempelajari huruf-huruf itu sungguh merupakan hal yang tidak mungkin. Maka dia lalu mencari akal.
"Ci Sian, engkau harus membantuku. Tanpa bekerja sama, tidak mungkin aku dapat mempelajari ilmu yang diwariskan oleh Locianpwe ini. Dan memang sesungguhnya beliau adalah nenek moyang perguruanku, pembuat suling emas ini."
"Bagaimana engkau bisa tahu, Paman"
"Lihat, sedikit tulisan yang sampai kubaca tadi menyebutkan tentang pelajaran meniup suling!"
"Wah, untuk apa pelajaran meniup suling, Paman"
"Aku ingin mempelajarinya. Maukah engkau membantuku, Ci Sian"
"Tentu saja. Akan tetapi bagaimana aku dapat membantumu"
"Aku akan mengerahkan sin-kang dan ketika huruf-huruf itu timbul, engkau mencatatnya dari permulaan dekat leher ke bawah."
"Hemm, dengan apa aku harus menulis" Tidak ada alat tulis...." Akan tetapi dia menghentikan kata-katanya karena dari balik jubahnya Kam Hong mengeluarkan alat tulis berikut tinta keringnya.
"Kaukira aku berpakaian sastrawan hanya untuk aksi saja" Aku selalu membawa alat tulis ke mana pun aku pergi. Dan engkau dapat menuliskannya di sini." Kam Hong merobek sebagian dari baju dalamnya dan menyerahkan baju dalam berwarna kuning muda itu kepada Ci Sian.
Ci Sian menggosok bak (tinta kering) dan mempersiapkan alat tulisnya. Kemudian mulailah mereka bekerja sama, Kam Hong menyalurkan sin-kangnya ke dalam tubuh jenazah itu dan Ci Sian mencatat semua huruf yang timbul. Ternyata huruf-huruf itu memang aneh sekali. Makin kuat Kam Hong mengerahkan sin-kangnya, makin jelas pula huruf-huruf itu timbul, akan tetapi begitu Kam Hong mengurangi tenaganya, maka huruf-huruf itu pun menyuram!
Mereka bekerja sama dengan tekun. Akan tetapi, sering kali mereka terpaksa harus berhenti, karena Kam Hong harus beristirahat dulu untuk mengumpulkan tenaga yang terus-menerus dikerahkan itu. Sampai tiga hari lamanya barulah habis semua tulisan yang terdapat pada dada, perut dan dengan itu ditulis Ci Sian. Ternyata di bagian punggung tidak terdapat tulisan, dan tulisan itu terus menurun sampai ke pusar dan bawah pusar! Akan tetapi, ketika mereka sudah mengutip tulisan itu sampai ke pusar, Kam Hong maupun Ci Sian tidak melanjutkan lebih ke bawah lagi.
"Paman, kalau engkau hendak membuka celana itu aku tidak mau melanjutkan dan biar kautulis saja sendiri!" katanya.
"Ah, aku pun tidak mau melakukan hal itu, Ci Sian. Aku menghormati Guruku, tidak mungkin akan melakukan hal tidak sopan terhadap beliau, biar diupah pelajaran yang bagaimana hebat sekalipun."
Maka berhentilah mereka. Kam Hong yang kelelahan itu lalu bersamadhi mengumpulkan hawa murni untuk memulihkan tenaga sin-kangnya yang selama tiga hari ini terus-menerus dikerahkannya itu, sedangkan Ci Sian lalu menyusun tulisannya itu agar teratur. Kalau saja keduanya tahu bahwa sikap mereka yang sopan terhadap jenazah itu ternyata malah menyelamatkan mereka, atau setidaknya menyelamatkan Kam Hong! Kiranya, locianpwe yang luar biasa saktinya itu, memang sebelum mati telah memperhitungkan segala-galanya. Di dalam tempat-tempat terlarang itu memang ada dibuatnya tulisan-tulisan, akan tetapi tulisan-tulisan di tempat terlarang ini mengandung pelajaran-pelajaran menyesatkan yang hanya dapat menyeret orang yang mempelajarinya ke jurang kesesatan! Jadi locianpwe itu telah memperhitungkan dengan cermat sekali, memberi ganjaran kepada penemu mayatnya yang berwatak baik, sebaliknya memberi hukuman kepada penemu mayatnya yang berwatak buruk! Hanya orang-orang kurang menghormat, tidak sopan dan serakah akan ilmu sajalah yang akan membuka celana untuk menuliskan huruf-huruf di bagian tubuh yang terlarang itu!
Setelah tenaga sin-kangnya pulih kembali, mulailah Kam Hong membaca catatan-catatan yang dibuat oleh Ci Sian itu. Memang kurang tersusun baik, akan tetapi akhirnya Kam Hong dapat menyusunnya kembali dan dia menjadi girang sekali. Ternyata catatan-catatan itu mengandung dua macam pelajaran. Pelajaran pertama adalah pelajaran meniup suling! Akan tetapi bukan sembarangan meniup suling, melainkan meniup suling dengan mempergunakan khi-kang dan sin-kang yang amat aneh dan tinggi. Menurut catatan itu, kalau orang berhasil mempelajari cara meniup suling menurut pelajaran ini, dia akan dapat meniup suling yang semua lubangnya ditutup, dimulai satu demi satu, sampai akhirnya bahkan dia akan mampu meniup suling tanpa suling! Memang aneh dan gila! Akan tetapi bukan tidak mungkin. Kalau tingkat khi-kang dan sin-kang yang dimiliki sudah setinggi itu, dia akan mampu mengeluarkan hawa tiupan melalui tenggorokkannya sendiri tanpa suling dan akan dapat mengeluarkan bunyi seindah suara suling yang berlagu! Dan kalau sudah setinggi ini tingkatnya, kiranya di dunia ini akan jarang sekali terdapat orang yang akan mampu menandingi sin-kang dan khi-kangnya, dan pantaslah disebut Pendekar Suling Emas yang sejati!
Pelajaran ke dua mengandung pelajaran gerakan ilmu pedang yang hanya terdiri dari delapan belas jurus. Ilmu pedang ini tidak begitu baik kalau dimainkan dengan pedang, melainkan baru tepat kalau dimainkan dengan suling emas! Dan namanya adalah Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas)!
Giranglah hati Kam Hong dan sambil menanti sembuhnya tulang kakinya yang patah, mulailah dia berlatih meniup suling! Kadang-kadang Ci Sian mentertawakan pendekar ini. Kalau meniup suling dengan cara biasa, pendekar ini mampu meniup lagu-lagu indah yang mempesona. Bahkan Ci Sian sendiri menjadi kagum mendengarnya. Akan tetapi kini dia belajar meniup. seperti seorang anak kecil yang belum pandai meniup suling. Suaranya tidak karuan. Tentu saja demikian karena dia meniup dengan menurut pelajaran dalam catatan itu, yaitu setiap lubang harus dapat dipergunakan untuk meniupkan suara bermacam-macam not! Dan untuk menguasai ini tidaklah mudah, karena dia harus dapat mengatur tenaga khi-kang sedemikian rupa sehingga sesuai benar dengan tenaga yang dibutuhkan untuk menciptakan not itu. Mulailah Kam Hong belajar dengan amat tekunnya, Ci Sian sendiri yang menjadi pencatat dari ilmu-ilmu itu sama sekali tidak mengerti, karena dasar ilmu silatnya masih terlampau rendah kalau harus mengerti ilmu-ilmu yang amat tinggi itu.
Ci Sian, kadang-kadang dibantu oleh Kam Hong yang sudah mulai dapat menggunakan kakinya yang patah tulangnya, akan tetapi terpincang-pincang, sering kali mencari-cari jalan keluar, namun mereka terpaksa harus melihat kenyataan bahwa tempat itu benar-benar dikurung oleh jurang-jurang yang amat curam sekali sehingga seolah-olah tidak mungkin lagi bagi mereka untuk keluar dari tempat itu. Ci Sian hampir menangis melihat kenyataan ini. "Haruskah kita hidup terus di sini sampai mati menjadi orang-orang terasing di tempat dingin ini" keluhnya.
"Sabarlah, Ci Sian. Tunggu sampai kakiku sembuh sama sekali. Aku akan mencari jalan keluar dan aku akan menuruni jurang itu untuk memeriksa kemungkinan keluar dari tempat ini. Jangan khawatir. Sementara ini, untungnya di sini engkau bisa mendapatkan burung dan.... eh, kelinci itu untuk makan, bukan"
"Aih, bosan aku! Setiap hari makan daging burung dan kelinci tanpa bumbu! Lama-lama kita bisa berubah menjadi binatang buas!"
Betapapun juga, Ci Sian bukanlah seorang anak perempuan cengeng yang suka mengeluh. Dia sudah menjadi lincah gembira kembali dan dia pun membuang waktu luangnya untuk berlatih ilmu silat atas petunjuk dari Kam Hong sehingga dalam waktu beberapa hari saja dia sudah memperoleh kemajuan pesat.
*** Kita tinggalkan dulu dua orang anak manusia yang terpencil di tempat sunyi dan dingin itu dan mari kita mengikuti perjalanan Sim Hong Bu dan pamannya Sim Tek. Seperti telah kita ketahui, dua orang paman dan keponakan yang merupakan pemburu-pemburu yang gagah perkasa ini telah menolong Ci Sian akan tetapi sebaliknya mereka malah terancam bahaya maut dan baru selamat setelah Kam Hong turun tangan. Mereka berdua kagum bukan main menyaksikan kelihaian pendekar yang memegang kipas dan suling emas itu, dan diam-diam Sim Hong Bu merasa kecewa dan bahwa dia tidak dapat berkenalan lebih jauh dengan gadis cilik yang pemberani dan dengan pendekar yang demikian perkasa.
Dua orang pemburu ini melanjutkan perjalanan dan ketika mereka melihat adanya banyak mayat berserakan di mana-mana dalam keadaan terluka parah dan mengerikan, timbul keraguan dalam hati Sim Hong Bu yang biasanya tabah itu. "Paman, di mana-mana terdapat bekas amukan binatang buas seperti yang belum pernah kita lihat sebelumnya. Kalau benar ini semua perbuatan Yeti seperti yang dikabarkan orang selama ini, sungguh amat berbahaya sekali kalau kita bertemu dengan dia. Perlukah perjalanan ini dilanjutkan" tanyanya sambil membantu pamannya mengubur setiap mayat yang mereka temukan di jalan.
"Hong Bu, engkau tentu mengerti dan dapat merasakan desir darah dan tuntutan hati seorang pemburu! Setelah melihat seekor binatang yang begini buasnya, yang bukan hanya amat menarik akan tetapi juga telah membunuh banyak manusia, bagaimana mungkin kita dapat kembali sebelum berusaha menangkap atau membunuhnya!"
"Aku mengerti, Paman, akan tetapi yang kita buru sekali ini adalah mahluk yang luar biasa kuat dan kejamnya melebihi setan! Mana mungkin kita akan mampu menangkapnya apalagi membunuhnya kalau sekian banyaknya orang kang-ouw saja juga tidak mampu, bahkan menjadi korban dan mati konyol di bawah kebuasannya"
"Kalau tidak mungkin menangkap atau membunuh, baru melihatnya saja pun sudah merupakan suatu kebanggaan besar bagi seorang pemburu sejati! Pemburu manakah di dunia ini yang sudah dapat melihat, bertemu dan berhadapan muka dengan Yeti" Belum ada, dan aku mengharapkan untuk menjadi pemburu pertama yang mengalaminya!"
Hong Bu tidak membantah lagi. Dia dapat merasakan hasrat itu di dalam hatinya, hasrat seorang pemburu yang seperti juga setiap orang pemburu atau penangkap ikan, selalu rindu akan kebanggaan bercerita tentang keanehan binatang yang diburunya. Makin ganas binatang itu, makin buas dan makin berbahaya, akan makin banggalah untuk menceritakan pengalamannya! Dia pun terus mengikuti pamannya tanpa membantah lagi, bertekad untuk menghadapi segala kemungkinan bersama pamannya tanpa mengenal takut.
Paman dan keponakan ini tidak tahu bahwa di balik puncak yang menjulang di depan mereka, yang akan mereka lewati siang hari itu, terjadi hal yang lebih hebat dan mengerikan lagi. Di antara para orang kang-ouw yang ramai-ramai mendatangi Himalaya, tertarik akan berita tentang pedang pusaka yang diperebutkan itu, terdapat lima orang murid-murid Kun-lun-pai. Mereka berlima ini tidak ada hubungannya dengan tiga orang tokoh Kun-lun yang pernah diceritakan dalam awal cerita ini, yaitu Hok Keng Cu dan Hok Ya Cu yang sudah tewas oleh Yeti, dan Hui-siang-kiam Ciok Kam yang terluka, biarpun tiga orang tosu itu pun datang dari Pegunungan Kun-lun-san. Sama sekali tidak ada hubungannya, karena lima orang ini adalah murid dari partai persilatan besar Kun-lun-pai yang berpusat di pegunungan Kun-lun-san. Mereka adalah murid-murid kelas atau tingkat dua, yang bagi dunia kang-ouw sudah merupakan tingkat yang lumayan dan mereka telah memiliki ilmu silat yang cukup kuat. Mereka terdiri dua orang pemuda dan tiga orang gadis yang kesemuanya memiliki sikap yang gagah perkasa. Yang pertama bernama Tan Coan, merupakan orang pertama dan tertua, usianya dua puluh lima tahun dan merupakan pemimpin rombongan mereka itu. Orang ke dua adalah seorang pria pula, bernama Lim Sun berusia dua puluh tiga tahun. Orang ke tiga adalah adiknya yang bernama Lim Siang, seorang gadis berusia dua puluh tahun. Yang ke empat dan ke lima juga wanita, kakak beradik bernama Tio Gin Bwee berusia delapan belas tahun dan Tio Ang Bwee berusia enam belas tahun.
Lima orang murid Kun-lun-pai ini pun tertarik oleh berita tentang pedang pusaka yang dilarikan pencuri dari istana dan kabarnya dibawa ke daerah Himalaya. Kebetulan mereka berada di Pegunungan Kun-lun-san, maka mereka minta perkenan dari para pimpinan Kun-lun-pai untuk pergi ke Himalaya, sekedar untuk meluaskan pandangan, menambah pengetahuan dan kalau mungkin mendapatkan kembali pedang pusaka kerajaan itu untuk berbakti kepada negara. Para pimpinan Kun-lun-pai merasa khawatir, akan tetapi karena lima orang muda itu mendesak, akhirnya para tosu Kun-lun-pai memberi ijin dengan pesan agar mereka tidak melayani orang-orang kang-ouw dan tidak menimbulkan perkelahian dan permusuhan, melainkan hanya sekedar menambah pengalaman belaka.
Demikianlah, ketika lima orang murid Kun-lun-pai ini tiba di daerah bersalju, tiba-tiba mereka bertemu dengan tiga orang tua aneh yang memandang kepada tiga orang gadis muda itu sambil tertawa-tawa. Lima orang murid Kun-lunpai itu tidak mengenal mereka ini, tidak tahu bahwa mereka itu adalah tiga orang tokoh kaum sesat yang amat terkenal dan lihai sekali. Mereka itu adalah bekas para pembantu dari tokoh sesat Hwai-kongcu Tang Hun Ketua Liong-sim-pang yang kemudian bergabung dengan pemberontak Pangeran Nepal dan kemudian tewas di tangan pendekar yang terkenal Suma Kian Bu atau lebih terkenal lagi dengan julukan Pendekar Siluman Kecil (baca kisah JODOH SEPASANG RAJAWALI). Tiga orang aneh ini adalah orang-orang yang sudah biasa berkecimpung dalam dunia kejahatan. Yang pertama berpakaian seperti seorang tosu, usianya kurang lebih enam puluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus berwajah bengis. Orang ke dua adalah Ban-kin-kwi Kwan Kok, usianya sebaya dengan tosu tadi, tubuhnya tinggi besar dan mukanya hitam. Kalau Hak Im Cu terkenal dengan gin-kangnya yang hebat, orang ke dua ini, sesuai dengan julukannya, yaitu Ban-kin-kwi (Setan Selaksa Kati), tenaganya sebesar gajah dan dia adalah seorang yang memiliki sin-kang kuat sekali dan kedua kepalan tangannya merupakan senjata ampuh. Orang ke tiga adalah Hai-liong-ong Ciok Gu To, usianya juga sebaya, kepalanya gundul akan tetapi dia bukanlah seorang hwesio. Tubuhnya pendek gemuk, tidak sesuai dengan keahliannya, yaitu ahli bermain dalam air dan memiliki tenaga dalam yang kuat pula. Orang ke tiga ini suka tertawa-tawa, dan tangannya memegang sebatang dayung yang kini dipergunakan sebagai tongkat.
Sesungguhnya, sebelum mereka bertiga ini menghambakan diri kepada ketua Liong-sim-pang, biarpun mereka itu termasuk tokoh-tokoh kaum sesat, namun mereka bertiga tidak atau jarang sekali menggoda wanita. Akan tetapi, semenjak mereka menjadi pembantu-pembantu Hwa-i-kongcu yang selalu menghibur mereka dengan wanita-wanita cantik, ketiga kakek ini berubah menjadi orang-orang yang haus akan pemuasan nafsu berahi mereka yang bangkit karena kebiasaan di Liong-sim-pang itu. Maka, kini ketika mereka melihat ada tiga orang gadis muda yang manis-manis, bertemu dengan mereka di tempat sunyi, tentu saja mereka menjadi tertarik karena pikiran mereka sudah membayangkan pengalaman pengalaman lalu dengan wanita-wanita muda dan membayangkan betapa akan senangnya kalau mereka mendapatkan teman seorang satu di tempat yang sunyi dan berhawa dingin itu!
Demikianlah timbulnya nafsu berahi atau nafsu apapun juga yang menguasai hati dan pikiran, menguasai batin kita setiap saat dan yang kemudian menjadi pendorong dari setiap perbuatan kita dalam hidup ini. Pikiranlah sumbernya. Pikiran yang bekerja mengenangkan segala kesenangan yang pernah dialami. Pikiran yang merupakan gudang dari pengalaman dan ingatan. Kalau mata kita tertarik dan suka melihat segala sesuatu yang indah setangkai bunga yang indah warnanya, awan berarak di langit, tamasya alam terbentang luas di depan kita, matahari senja yang mentakjubkan, wajah seorang wanita yang cantik manis, semua rasa suka memandang itu adalah wajar, karena mata kita sudah dibentuk sejak kecil untuk menilai apa yang dinamakan indah dan apa yang buruk itu. Kalau yang ada hanya memandang saja, maka hal itu wajar dan tidak terjadi konflik. Akan tetapi sayang, setiap kali kita memandang, pikiran yang penuh dengan ingatan ini selalu campur tangan. Pikiran yang mendambakan kesenangan ini lalu membayangkan kembali segala kesenangan yang pernah dialami atau pernah didengarnya, lalu membayangkan hal-hal yang menimbulkan nafsu. Mata melihat wanita cantik jelita dan terjadi daya tarik, timbul semacam dorongan untuk memandang keindahan yang terdapat pada wajah itu. Kalau yang ada hanya memandang saja, maka setelah wanita itu lewat dan lenyap, habislah saja sampai di situ. Akan tetapi, kalau pikiran memasukinya, lalu membayangkan betapa akan senangnya kalau dapat bercinta dengannya dan sebagainya, maka timbullah nafsu berahi!
Pikiran adalah sumber segala konflik. Pikiran menjadi tempat bertumpuknya kenangan akan hal-hal yang telah lalu, yang pernah kita alami dan selalu pikiran mengejar kesenangan atau lebih tepat lagi, mengejar pengulangan kesenangan yang lalu dengan menciptakan kesenangan yang ingin dialami di masa mendatang, dan selalu karenanya menolak dan menghindarkan ketidaksenangan. Karena keinginan mengejar kesenangan inilah maka timbul perbuatan-perbuatan yang menyeleweng dari pada kebenaran, perbuatan-perbuatan jahat yang merugikan orang lain dan diri sendiri. Setelah melihat semua ini, dapatkah kita membebaskan diri dari pencampurtanganan pikiran" Dapatkah kita memandang atau mendengar saja penuh perhatian, tanpa adanya pikiran yang membandingkan, mempertimbangkan lalu memutuskan baik buruknya senang susahnya" Dapatkah pikiran berhenti mengoceh dan menghidupkan kembali hal-hal yang telah lalu"
Tentu saja bukan berarti bahwa kita hidup tanpa pikiran! Hal itu sama sekali tidaklah mungkin! Pikiran adalah alat yang amat dibutuhkan untuk hidup, atau untuk melengkapi hidup ini. Tanpa pikiran, tanpa ingatan tentu saja kita tidak akan dapat pulang ke rumah, takkan dapat melakukan pekerjaan, takkan dapat menghitung, membaca dan sebagainya lagi. Pikiran amatlah penting bagi kita, yaitu dalam soal-soal teknis saja. Dalam soal-soal keperluan lahiriah saja. Akan tetapi begitu pikiran penuh ingatan memasuki batin, mengusik hubungan antara kita dengan manusia lain, akan terjadilah konflik. Dalam komunikasi antara kita dengan manusia lain, dengan benda, dengan batin, tidak dibutuhkan pikiran yang menilai berdasarkan ingatan masa lalu.
Melihat sikap tiga orang kakek yang jelas membayangkan bahwa mereka itu adalah tokoh-tokoh berilmu, sebagai orang-orang muda yang tahu aturan kang-ouw, lima orang murid Kun-lun-pai itu lalu berhenti melangkah, dan menjura kepada tiga orang kakek itu dengan sikap hormat. Tan Coan sebagai yang tertua dan pemimpin rombongan, lalu melangkah maju.
"Sam-wi Locianpwe (Tiga Orang Gagah), selamat berjumpa dan persilakan Sam-wi lewat." Mereka lalu berdiri di tepi jalan untuk membiarkan mereka lewat lebih dulu.
Tiga orang kakek itu saling pandang dan Hai-liong-ong Ciok Gu To yang biasanya terus menyeringai dan tertawa-tawa itu berkata. "Aha, kalian adalah orang-orang muda yang tahu aturan dan menyenangkan sekali. Siapakah kalian"
"Kami berlima adalah murid-murid Kun-lun-pai...."
"Wah-wah-wah, murid-murid Kun-lun-pai juga berkeliaran sampai ke sini" Apakah kalian juga ingin pula memperebutkan pedang keramat Koai-liong-po-kiam" Hak Im Cu berkata dengan nada suara mengejek.
Diam-diam Tan Coan terkejut dan tidak senang melihat sikap mereka dan mendengar ucapan-ucapan yang nadanya mengejek itu. Sikap mereka tidak menghormat Kun-lun-pai itu saja sudah dapat menimbulkan dugaan bahwa mereka ini adalah orang-orang dari golongan hitam! Kaum bersih, di mana juga dia berada, tentu akan menghormat Kun-lun-pai yang merupakan sebuah di antara partai-partai persilatan besar. Akan tetapi dia menahan kesabaran dan menjura sambil berkata, suaranya tetap tenang dan halus.
"Kami mendengar tentang pokiam itu, akan tetapi kami hanya datang untuk melihat dan mendengar, meluaskan pengalaman kami yang dangkal. Harap Sam-wi Locianpwe tidak mentertawakan kami yang bodoh."
"Huh, orang-orang Kun-lun-pai selamanya sombong dan tinggi hati!" Tiba-tiba Ban-kin-kwi Kwan Ok mencela, suaranya berat dan memang dia pernah menaruh dendam karena pernah dia dikalahkan oleh seorang tosu Kun-lun-pai beberapa tahun yang lalu.
Akan tetapi Hai-liong-ong Ciok Gu To yang masih tersenyum sambil memandangi tiga orang gadis itu, masih bicara dengan ramah. "Orang-orang muda, ketahuilah bahwa tempat ini amat berbahaya! Ada Yeti mengamuk dan sudah banyak sekali orang kang-ouw yang tewas."
"Oleh karena itu." sambung Hak Im Cu, "tidak baik bagi nona-nona ini untuk melakukan perjalanan sendiri! Kalian dua orang pemuda boleh saja berjalan sendiri, akan tetapi biarlah tiga orang nona ini melanjutkan perjalanan bersama dengan kami. Kami akan menjaga dan melindungi keselamatan kalian, Nona-nona manis!"
"Bagus! Seorang satu, itu baru adil namanya." kata pula Ciok Gu Tosu sambil tertawa bergelak. "Marilah, Nona-nona, kalian akan melakukan perjalanan yang menyenangkan, selain akan aman juga tidak akan kedinginan lagi, ha-ha-ha!"
Lima orang murid Kun-lun-pai itu terkejut bukan main. Muka mereka sudah berobah merah sekali dan sinar mata mereka bernyala karena marah. Mereka telah diperingatkan oleh guru mereka agar tidak bermusuhan dan agar jangan berkelahi, akan tetapi kalau berhadapan dengan tiga orang kurang ajar semacam tiga orang kakek ini, apakah mereka juga harus bersahabat" Bagaimanapun juga, mereka adalah orang-orang muda gemblengan, maka Tan Coan dapat menyabarkan adik-adik seperguruannya dengan pandang matanya, kemudian dia menjura lagi dan berkata kepada tiga orang kakek itu, nada suaranya masih halus namun penuh ketegasan.
"Kiranya Sam-wi adalah orang-orang yang merupakan tokoh besar di dunia kang-ouw, maka agaknya sengaja Sam-wi hendak menggoda kami orang-orang muda dari Kun-lun-pai! Akan tetapi para pemimpin dan guru-guru kami telah berpesan kepada kami agar kami tidak berlaku kurang ajar dan tidak mencari permusuhan dengan siapapun juga. Oleh karena itu, harap Sam-wi menaruh kasihan kepada kami dan membiarkan kami pergi melanjutkan perjalanan kami."
"Heh, bocah yang bermulut manis! Kalau engkau mau pergi bersama temanmu pemuda yang satunya lagi itu, lekaslah minggat dan menggelinding pergi! Akan tetapi tinggalkan tiga orang gadis manis itu untuk menemani kami!" bentak Ban-kin-kwi Kwan Ok dengan bentakan keras.
Tak mungkin kini mereka berlima dapat menahan kemarahan mereka yang memuncak oleh ucapan yang amat menghina ini. Jelaslah kini bagi mereka bahwa mereka berhadapan dengan tokoh-tokoh golongan hitam yang jahat sekali. Lim Sun yang lebih muda dan lebih berdarah panas itu lalu maju membentak. "Siapakah kalian bertiga yang bersikap seperti memusuhi Kun-lun-pai" bentaknya dengan melotot.
Hak Im Cu tertawa menyambut pertanyaan ini. "Ha-ha-ha, memang sebaiknya kami memperkenalkan diri, agar kalian berdua tidak mati penasaran dan agar ketiga orang gadis itu akan merasa lebih senang karena telah kami pilih sebagai teman-teman seperjalanan di tempat dingin ini. Dengarlah baik-baik, Pinto adalah Hak Im Cu, dia itu adalah Ban-kin-kwi Kwan Kok, sedangkan Si Gundul itu adalah Hai-liong-ong Ciok Gu To! Nah, sudah jelaskah"
Lima orang muda Kun-lun-pai itu memang belum banyak pengalaman di dunia kang-ouw, apalagi dunia penjahat, maka tentu saja nama-nama itu asing, bagi mereka.
"Sekali lagi kami harap Sam-wi tidak menanam permusuhan dengan kami orang-orang muda yang tidak ingin berkelahi dengan siapapun juga dan membiarkan kami pergi." Tan Coan berkata lagi, sungguhpun nada suaranya tidak sehormat tadi, akan tetapi juga tidak kasar dan dia memberi tanda Kepada adik-adik seperguruannya untuk meninggalkan tempat itu.
"Haiiiit, tahan dulu!" bentak Hai-liong-ong Ciok Gu To yang biarpun tubuhnya pendek gemuk akan tetapi dapat bergerak gesit sekali karena tahu-tahu dia sudah berkelebat dan menghadang di depan mereka berlima. "Tulikah kalian" Yang dua laki-laki boleh minggat, akan tetapi yang tiga wanita harus tinggal!"
"Manusia jahat!" bentak Tio Ang Bwee, murid perempuan Kun-lun-pai yang baru berusia enam belas tahun itu dan dia sudah menyerang dengan pedangnya yang dicabut secepatnya.
"Ha-ha-ha, engkau memilih aku sayang" Aha, engkau tidak salah pilih!" Si Pendek Gendut yang berkepala gundul ini tertawa dan dengan tenang saja dia mengelak dari sambaran pedang Tio Ang Bwee. Sementara itu, empat orang murid Kun-lun-pai yang lain sudah mencabut pedang dan mereka pun menerjang maju.
Hak Im Cu dan Ban-kin-kwi Kwan Ok menyambut mereka dengan tertawa mengejek. Dan memang sesungguhnya tingkat kepandaian murid-murid kelas dua dari Kun-lun-pai ini masih kalah jauh kalau dibandingkan dengan tingkat kepandaian tiga orang tokoh sesat itu. Tanpa mengerahkan banyak tenaga, lewat belasan jurus saja lima orang muda itu sudah terdesak hebat dan akhirnya Tan Coan dan Lim Sun roboh oleh pedang Hak Im Cu dan senjata dayung di tangan Hai-liong-ong Ciok Gu To, sedangkan tiga orang gadis itu telah roboh tertotok!
Sambil tertawa-tawa tiga orang kakek yang kejam seperti binatang buas itu telah memilih masing-masing seorang gadis, mengangkat dan memondong mereka itu sambil terkekeh dan hendak membawa mereka pergi. Akan tetapi pada saat itu berkelebat bayangan yang cepat sekali dan tahu-tahu di situ telah berdiri dua orang lain. Melihat dua orang ini, tiga orang kakek itu terkejut bukan main dan wajah mereka berobah pucat.
Yang baru muncul ini adalah dua orang kakek lain yang amat luar biasa. Yang seorang amat pendek, jauh lebih pendek gendut dibandingkan dengan Hai-liong-ong Ciok Gu To, karena Si Pendek yang berkepala gundul dan berpakaian seperti hwesio ini tingginya tidak lebih dari satu seperempat meter! Dia berdiri di situ sambil tertawa ha-ha-ha-ha seperti orang gendeng akan tetapi sepasang matanya mencorong menyeramkan. Orang ke dua tidak kalah anehnya. Sebagai kebalikan dari Si Gendut Pendek, orang ke dua ini berpakaian tosu, kurus sekali dan tingginya sampai dua setengah meter, dua kali lebih tinggi daripada Si Pendek. Kalau Si Gendut Pendek itu berwajah riang gembira, Si Tinggi Kurus ini mukanya sedih seperti orang menangis, sepasang matanya sipit seperti terpejam. Tentu saja tiga orang kakek jahat itu terkejut seperti melihat setan, karena memang dua orang di depan mereka itu seperti manusia-manusia setan yang terkenal sebagai manusia-manusia yang paling jahat di kolong langit! Mereka itu adalah orang ke empat dan ke lima dari sekelompok orang-orang sakti jahat yang terkenal dengan julukan Im-kan Ngo-ok (Lima Jahat Dari Akhirat). Si Pendek itu adalah Su-ok (Jahat ke Empat) Siauw-siang-cu, sedangkan Si Jangkung itu adalah Ngo-ok (Jahat ke Lima) Toat-beng Sian-su! Para pembaca ceritaJODOH SEPASANG RAJAWALI tentu sudah mengenal mereka ini karena mereka adalah tokoh-tokoh utama yang memimpin pemberontakan Pangeran Nepal terhadap Kerajaan Ceng beberapa tahun yang lampau. Dan karena tiga orang kakek jahat itu tadinya menjadi pembantu-pembantu Hwai-kongcu yang juga bersekutu deangan pemberontak tentu saja mereka bertiga mengenal siapa adanya dua orang aneh ini.
Hak Im Cu dan dua orang kawannya cepat melepaskan tubuh tiga orang gadis Kun-lun-pai itu dan menjura dengan sikap hormat sekali kepada Su-ok dan Ngo-ok. "Sungguh tidak mengira akan bertemu dengan Ji-wi Locianpwe di sini!" kata Hak Im Cu. Orang seperti Hak Im Cu sampai menyebut Locianpwe terhadap mereka berdua, sungguh merupakan penghormatan yang amat besar.
"Selamat berjumpa, apakah selama ini Ji-wi Locianpwe baik-baik saja" Ban-kin-kwi Kwan Ok juga menyapa dengan ramah.
"Kami menghaturkan hormat kepada Ji-wi Locianpwe!" kata pula Hai-liong-ong Ciok Gu To.
Akan tetapi Su-ok dan Ngo-ok tidak menjawab. Su-ok hanya tetap ha-ha-he-he menyeramkan, sedangkan Ngo-ok yang cemberut itu memandang kepada tubuh tiga orang gadis muda yang tak dapat bergerak karena tertotok itu.
Akhirnya Su-ok menoleh kepada Ngo-ok dan melihat betapa mata yang sipit itu ditujukan ke arah tiga orang gadis Kun-lun-pai itu, Su-ok tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, kalau engkau menghendaki mereka, tiga ekor anjing tua ini harus dibunuh dulu."
Ngo-ok mengangguk. "Untuk apa kalau tidak dibunuh!" katanya.
Hak Im Cu dan dua orang kawannya terkejut bukan main. "Ji-wi Locianpwe mengapa berkata demikian" Kalau Locianpwe menghendaki mereka, biarlah kami mengalah dan menghaturkan mereka kepada Locianpwe dengan senang hati.
"Ha-ha, anjing-anjing tua pengecut. Sudah berani naik ke sini mengapa takut mati" Hayo majulah, bagaimanapun juga kami harus membunuh kalian."
Tiga orang tokoh sesat itu makin ketakutan sampai wajah mereka berobah pucat. "Locianpwe sungguh tidak adil!" Ban-kim-kwi Kwan Ok berkata. "Kami bertiga adalah sahabat-sahabat yang tidak pernah mengganggu Locianpwe, bahkan dengan hormat kami mempersembahkan tiga orang gadis ini kalau Locianpwe menghendaki. Mengapa hendak membunuh kami"
"Siapa bilang kita bersahabat" Ngo-ok mendengus dan matanya terbuka sedikit, sikapnya sungguh mengerikan.
"Locianpwe, bukankah kita pernah bersama-sama membantu Pangeran Nepal" Bukankah kita adalah orang-orang sendiri dan karena itu bersahabat" Hak Im Cu berkata.
"Ha-ha-ha!" Si Pendek Gendut Suok tertawa mengejek. "Memang ketika itu kalian menguntungkan, maka bersahabat. Sekarang, kalian merupakan saingan kami dalam mencari dan memperebutkan Koai-liong-pokiam, maka kalian adalah saingan kami atau musuh dan harus dibunuh. Lain dulu lain sekarang! Dulu menguntungkan maka sahabat, sekarang merugikah maka musuh!"
Sungguh pendapat yang sama sekali mau enak sendiri saja! Akan tetapi, benarkah sikap Su-ok dan Ngo-ok itu aneh dan jahat" Lupakah kita bahwa kita sendiri pun dengan diselubungi oleh segala sopan santun dan kebudayaan, pada hakekatnya mempunyai perhitungan dan pandangan yang tidak jauh bedanya dengan sikap dua orang manusia iblis itu" Sebaiknya kalau kita meneliti dan memandang diri sendiri, mengenal diri sendiri. Coba kita renungkan dan pandang dengan sejujurnya, mengapa kita mempunyai sahabat-sahabat dan mengapa pula kita mempunyai musuh-musuh" Bukankah orang yang kita anggap sahabat itu adalah orang yang kita pandang menguntungkan kita, baik keuntungan lahir maupun batin" Dan sebaliknya bukankah orang yang kita anggap musuh itu adalah orang yang kita pandang merugikan lahir maupun batin" Dan orang yang sekarang kita anggap sahabat, kalau pada suatu hari dia itu merugikan kita lahir atau batin, apakah dia masih kita anggap sahabat, ataukah lalu kita anggap sebagai musuh" Berapa banyaknya orang yang kini kita anggap musuh itu dahulu pernah menjadi sahabat kita" Ah, kehidupan kita penuh dengan penilaian yang didasarkan untung rugi bagi kita sendiri, oleh karena itulah maka kita memisah-misahkan orang-orang lain sebagai yang disuka dan yang tidak disuka, sebagai sahabat atau musuh. Bukankah pada dasarnya kita, yang masih mempunyai sahabat dan musuh, tidak jauh beda pandangan kita dengan Su-ok dan Ngo-ok"
Tiga orang kakek itu sendiri adalah tokoh-tokoh jahat dan kejam. Baru saja mereka sudah memperlihatkan watak mereka yang kejam, dengan membunuh dua orang pemuda Kun-lun-pai yang tidak berdosa dan hendak memaksa tiga orang gadis Kun-lun-pai untuk melayani mereka. Maka, kini melihat sikap Su-ok dan Ngo-ok, maklumlah mereka bahwa tidak ada jalan lain bagi mereka selain membela diri mati-matian. Dan karena mereka sudah tahu akan kelihaian Su-ok dan Ngo-ok, maka mereka pun tidak mau mengalah dan tidak segan melakukan kecurangan demi untuk menyelamatkan diri.
"Haiiittt....!" Tiba-tiba Hai-liong-ong Ciok Gu To yang berdiri di sebelah agak kiri dari Su-ok, sudah menggerakkan dayungnya yang terbuat dari pada kuningan itu dan menghantam ke arah kepala Su-ok yang pendek gendut seperti dirinya, akan tetapi tetap saja dia masih lebih tinggi sehingga Su-ok itu hanya sampai di bawah telinganya saja tingginya. Dayung itu menyambar dengan dahsyat sekali. Melihat ini, Hak Im Cu sudah menerjang maju lagi dengan pedangnya, sedangkan Ban-kin-kwi Kwan Ok sudah menggunakan kepalan tangannya untuk membantu Ciok Gu To mengeroyok Su-ok yang mereka tahu lebih lihai daripada Ngo-ok Si Jangkung itu.
Terjadilah perkelahian yang amat seru. Su-ok dengan enak saja menyelinap ke bawah dan dayung itu menyambar ke atas kepalanya. Ketika melihat berkelebatnya bayangan Ban-kin-kwi yang memukul sehingga menyambar angin pukulan dahsyat dari tokoh bertenaga gajah ini, Su-ok tertawa dan tubuhnya sudah bergulingan ke atas tanah sehingga pukulan itu pun luput. Dua orang lawannya terus mengepung dan mengirim serangan bertubi-tubi, namun Su-ok selalu dapat mengelak dengan ilmu silatnya yang aneh, tubuhnya kadang-kadang berloncatan, kadang-kadang menggelundung ke sana-sini seperti trenggiling dan kalau dia meloncat dari atas tanah, dia sudah mengirimkan pukulan yang amat kuat sehingga beberapa kali kedua orang lawan yang sudah mengelak itu tetap saja terhuyung, terbawa angin pukulan yang amat dahsyat!
Sementara itu, Ngo-ok juga dengan enaknya menghadapi pedang di tangan Hak Im Cu. Tubuhnya yang jangkung itu kalau mengelak hanya dengan lengkungan-lengkungan panjang dan pedang itu selalu mengenai angin, kemudian kedua tangan itu dari atas menyambar dengan lengan yang panjang seperti dua ekor burung menyambar-nyambar dari atas membuat Hak Im Cu sibuk sekali untuk melindungi tubuhnya dari sambaran dua buah tangan itu. Pedangnya terpaksa diputarnya secepat mungkin karena membentuk sinar bergulung-gulung merupakan benteng yang melindungi tubuhnya.
Tingkat ilmu silat dari tiga orang kakek itu sesungguhnya sudah mencapai tingkat tinggi dan nama mereka di dunia kang-ouw sudah terkenal sekali. Murid-murid Kun-lun-pai kelas dua tadi pun sama sekali bukan lawan mereka, dan di dunia kaum sesat mereka ini sudah merupakan tokoh-tokoh yang disegani. Akan tetapi sekali ini mereka bertemu dengan datuk-datuk kaum sesat yang jauh lebih lihai daripada mereka. Baru ada satu saja di antara Im-kan Ngo-ok, ada Su-ok atau Ngo-ok seorang saja, belum tentu mereka bertiga akan mampu mengalahkannya. Apalagi sekarang sekali muncul ada dua orang tentu saja mereka menjadi kewalahan sekali.
Yang pertama kali mengalami desakan hebat adalah Hak Im Cu. Hal ini tidak mengherankan karena biarpun tingkat kepandaian Ngo-ok masih kalah setingkat dibandingkan dengan tingkat kepandaian Su-ok, akan tetapi Hak Im Cu menghadapi tokoh ini seorang diri saja, dan watak Ngo-ok berbeda dengan Su-ok. Su-ok adalah orang yang suka bergurau dan suka mempermainkan orang, maka kini menghadapi pengeroyokan dua orang lawan itu dia pun sengaja mempermainkan mereka, seperti dua ekor tikus dipermainkan seekor kucing yang sudah merasa yakin akan kekuatan dan kemenangannya. Oleh karena itulah maka kalau Ngo-ok sudah dapat mendesak lawannya. Su-ok masih belum mendesak dan membiarkan dua orang lawannya itu melakukan serangan bertubi-tubi yang dapat dihindarkannya dengan mudah saja.
Ngo-ok sudah mendesak hebat dan kedua tangannya makin gencar melakukan serangan ke arah kepala Hak Im Cu. Tosu ini sudah mandi keringat karena berkali-kali tangan yang berlengan panjang itu hampir saja berhasil menotoknya atau menghantam kepalanya dari arah yang tidak terduga-duga sebelumnya karena dia tidak mungkin dapat mengikuti gerakan dari atas itu. Dengan kegelisahan yang membuatnya nekat, tiba-tiba dia menusuk ke depan, memutar pedang itu dan tangan kirinya ikut melancarkan pukulan yang mengandung sin-kang kuat ke arah dada lawan, pedangnya berputar hendak merobek perut. Serangan ini dahsyat bukan main sehingga biarpun Ngo-ok amat lihai, tokoh ini terkejut juga. Dan tiba-tiba terjadilah apa yang dikhawatirkan sejak tadi oleh Hak Im Cu. Tubuh tinggi kurus itu tiba-tiba berjungkir balik dan selagi Hak Im Cu terkejut dan tidak tahu bagaimana harus menghadapi lawan ini, tahu-tahu ubun-ubun kepalanya kena dicium ujung jari kaki kanan Ngo-ok.
"Aughh....!" Hak Im Cu terhuyung ke belakang, pandang matanya berkunang-kunang dan pada saat itu, Ngo-ok sudah menubruk ke depan dengan tubuh berjungkir balik kembali seperti semula, dua kali tangannya menampar terdengar suara "krek! krek!" dan patahlah kedua pergelangan tangan Hak Im Cu. Pedangnya terlempar jauh dan tahu-tahu jari-jari tangan kiri yang panjang dari Ngo-ok telah mencekik lehernya dari belakang disambung oleh jari-jari tangan kanannya dari depan.
Hak Im Cu meronta-ronta, tidak mampu melakukan tendangan karena tubuh lawan berada di belakangnya, sedang kedua lengannya sudah tak dapat dipergunakan lagi. Dia meronta-ronta dan tubuhnya berkelojotan, namun sia-sia belaka. Cekikan itu makin kuat saja. Sungguh merupakan penglihatan yang mendirikan bulu roma apa yang dilakukan oleh Ngo-ok secara kejam bukan main itu. Akhirnya tubuh itu berhenti berkelojotan dan Ngo-ok melemparkan tubuh Hak Im Cu yang telah mati dengan mata melotot dan lidah keluar sampai memanjang.
"Aha, engkau keburu-buru amat, Ngo-te!" Su-ok yang dikeroyok dua itu masih sempat mentertawakan Ngo-ok. Akan tetapi Ngo-ok sudah tidak mau mempedulikan lagi karena manusia iblis ini dengan langkah panjang sudah menghampiri Tio Gin Bwee, gadis Kun-lun-pai yang berusia delapan belas tahun itu.
Tiga orang gadis itu tidak pingsan, hanya tertotok saja dan tidak mampu menggerakkan tubuhnya. Semenjak tadi, mereka itu menangis melihat dua orang suheng mereka tewas, kemudian mereka menonton pertempuran antara manusia-manusia iblis itu dengan hati merasa ngeri dan takut. Mereka adalah gadis-gadis yang menerima gemblengan lahir batin, akan tetapi baru sekarang mereka merasa ngeri dan takut karena maklum betapa mereka itu sama sekali tidak berdaya dan mereka terjatuh ke dalam tangan manusia-manusia yang lebih jahat daripada iblis sendiri.
Ketika Si Jangkung itu menghampirinya dan menyambarnya seperti seekor elang menyambar anak ayam saja, mengangkatnya tinggi-tinggi, Tio Gin Bwee menjadi ketakutan dan merintih. Dua orang lainnya memandang dengan mata terbelalak dan jantung berdebar. Rintihan Gin Bwee makin lama menjadi jeritan-jeritan menyayat hati ketika dia dibawa ke balik tumpukkan salju oleh Si Jangkung itu dan akhirnya tidak terdengar lagi jeritannya. Tak lama kemudian Ngo-ok sudah datang lagi dan kini tangannya yang berlengan panjang itu menyambar tubuh Lim Siang, juga seperti tadi dibawanya gadis itu ke balik tumpukan salju. Terdengar oleh Ang Bwee bagaimana sucinya ini menjerit-jerit akan tetapi makin lama jeritannya menghilang terganti isak tangis yang menyedihkan.
Sementara itu, Su-ok tertawa dan kini mulailah dia menyerang dua orang pengeroyoknya. Tubuhnya merendah seperti berjongkok dan ketika tangannya dihantamkan ke depan, Hai-liong-ong Ciok Gu To berteriak dan tubuhnya terlempar ke belakang, terbanting dan tewas seketika, dari mulutnya menyembur darah segar. Itulah pukulan Katak Buduk yang berbau amis dan beracun, akan tetapi juga ampuhnya menggila itu! Melihat ini, Ban-kin-kwi Kwan Ok tidak mempedulikan rasa malu lagi, dia sudah meloncat hendak melarikan diri. Akan tetapi tahu-tahu Si Pendek itu sudah berada di depannya dan sekali Su-ok melancarkan pukulannya seperti tadi, Ban-kin-kwi juga terjengkang dan tewas seketika dengan muntah-muntah darah!
"Ho-ho-ha-ha-ha....!" Su-ok tertawa dan pada saat itu Ngo-ok sudah menangkap Ang Bwee, gadis ke tiga. Gadis ini saking takut dan ngerinya sudah berhasil membebaskan diri dari totokan, maka kini dia merontak-ronta dan melawan, menangis sambil berusaha mencakar dengan kedua tangannya. Akan tetapi Ngo-ok tidak peduli, lalu membawa gadis itu ke tempat tadi, diikuti oleh Su-ok dan dengan buas dia merenggut dan merobekrobek pakaian Ang Bwee, kemudian memperkosa gadis itu di bawah penglihatan Su-ok yang tertawa-tawa gembira. Ang-Bwee sempat mengeluarkan jerit yang amat melengking saking takut dan ngerinya, akan tetapi selanjutnya dia tidak berdaya seperti dua orang sucinya yang sudah rebah sambil menangis dan dalam keadaan setengah pingsan itu.
Agaknya jeritan inilah yang terdengar oleh Sim Hong Bu dan Sim Tek. Dua orang paman dan keponakan yang melakukan perjalanan mencari Yeti ini mendengar suara jerit aneh di tempat sunyi itu. Mereka tadinya mengira bahwa jeritjerit yang mereka dengar terdahulu dan hanya terdengar lapat-lapat itu adalah jerit dari mahluk yang mereka buru, yaitu Yeti. Maka mereka menuju ke tempat itu, di balik puncak, dengan hati-hati agar mereka tidak sampai bertemu begitu saja dengan mahluk berbahaya itu. Mereka berindap-indap dan mendekati tempat itu sambil berlindung. Akan tetapi jerit terakhir yang mereka dengar, yaitu jerit yang keluar dari mulut Ang Bwee, adalah jerit yang jelas dapat mereka kenal sebagai jerit yang keluar dari seorang wanita yang mungkin berada dalam keadaan ketakutan hebat. Maka kini keduanya berlari-lari menuju ke arah datangnya suara. Mereka mendengar suara orang tertawa-tawa di balik tumpukkan salju dan jerit wanita tadi tidak terdengar lagi. Maka keduanya lalu meloncat dan menuju ke balik tumpukan salju.
Apa yang mereka saksikan membuat kedua orang pemburu ini berdiri terpukau dengan mata terbelalak dan sejenak mereka seperti berobah menjadi patung. Kemudian wajah mereka menjadi merah sekali, terutama sekali Sim Hong Bu. Mereka melihat seorang kakek tinggi kurus sedang memperkosa seorang gadis yang bergerak meronta lemah, sedangkan seorang kakek lain berpakaian hwesio dan berkepala gundul sedang menonton sambil tertawa-tawa seolah-olah sedang menonton pertunjukkan yang amat lucu dan menyenangkan.
"Manusia hina-dina! Manusia iblis tak berjantung!" Sim Hong Bu sudah memaki dan dia meloncat ke depan sambil mencabut pedang dengan tangan kanan dan tangan kiri memegang busurnya. Niatnya untuk menerjang kakek yang sedang memperkosa gadis itu, akan tetapi tiba-tiba kakek gundul itu menggerakkan tangannya menampar dan angin dahsyat menyambar ke arah Sim Hong Bu dan membuat pemuda ini terjengkang dan bergulingan.
"Ha-ha-ha-ha! Ada lagi yang bosan hidup!" kata Su-ok ketika dia melihat Sim Tek yang juga sudah tidak dapat bertahan menyaksikan peristiwa yang terkutuk itu, sudah menyerang pula dengan pedang di tangan kanan dan busur di tangan kiri. Dia maklum bahwa kakek gundul pendek itu lihai bukan main, akan tetapi untuk membela gadis yang diperkosa itu, dia tidak peduli apa pun dan bersedia untuk mengorbankan nyawanya kalau perlu. Juga Hong Bu sudah bangkit lagi dan membantu pamannya menyerang. Akan tetapi tetap saja mereka berdua tidak mampu menyerang kakek jangkung yang sedang memperkosa gadis itu, karena kakek pendek gundul selalu menghadang mereka. Maka terpaksa mereka kini menerjang kakek gundul dan terjadilah perkelahian yang tidak seimbang. Apalagi dikeroyok oleh dua orang pemburu paman dan keponakan ini. Sedangkan pengeroyokan dua orang berilmu tinggi seperti Ban-kin-kwi Kwan Kok dan Hai-liong-ong Ciok Gu To pun berakhir dengan kematian dua orang lihai itu! Kini dengan enaknya Su-ok mempermainkan paman dan keponakan itu. Dia hanya berdiri saja sambil bertolak pinggang, sedikit pun tidak bergerak, hanya kalau dua orang itu datang menyerang, dia mendorong dengan tangan kanan atau kiri dan dua orang itu sudah terjengkang sebelum disehtuh oleh telapak tangannya!
Melihat ini, Sim Tek marah sekali dan cepat dia memasang anak panah pada busurnya. Memang dia seorang pemburu yang pandai dan terlatih, juga berpengalaman, maka begitu dia mainkan anak panah pada busurnya, dengan cepat sekali anak panah menyambar bertubi-tubi ke arah Su-ok. Melihat ini, Hong Bu juga meniru perbuatan pamannya, akan tetapi dia tidak membidik ke arah Suok, melainkan menujukan anak-anak panahnya ke arah punggung dan pinggul Ngo-ok yang telanjang!
Terjadilah hal-hal yang amat luar biasa. Su-ok hanya menggerakkan kedua tangannya dan semua anak panah yang dilepas oleh Sim Tek itu kembali ke arah penyerangnya dengan kecepatan jauh lebih laju lagi daripada ketika anak-anak panah itu tadi meluncur dari gendewa Sim Tek! Pemburu ini terkejut dan berusaha mengelak, akan tetapi sebatang anak panah yang ditangkap oleh Su-ok dan dilontarkannya, seperti kilat menyambar dan menembus dadanya! Robohlah pemburu itu dengan dada tertembus anak panah sampai ke punggung dan tentu saja dia roboh dan tewas!
Anak-anak panah yang dilepas oleh Hong Bu dengan tepat mengenai punggung dan pinggul Si Jangkung, akan tetapi anak panah itu seperti mengenai tubuh dari baja saja, semua terpental dan meleset, tidak ada sebatang pun yang mampu melukai tubuh Ngo-ok! Dan sebelum Hong Bu dapat memanah lagi, tahu-tahu tengkuknya telah dipegang oleh Su-ok dan dia tidak mampu bergerak lagi, hanya meronta-ronta di udara dan memaki-maki.
"Kalian membunuh Pamanku! Kalian Iblis-iblis terkutuk, kalian manusia-manusia jahanam! Hayo, bunuh aku sekalian!" teriaknya sambil kakinya menendangnendang.
"Su-ko, jangan bunuh bocah itu. Mulutnya kotor, dia cocok untuk menjadi bujang kita." Ngo-ok berkata dan dia sudah bangkit berdiri. Kemudian, di depan mata Hong Bu yang terbelalak penuh kengerian, Ngo-ok mencabuti kuku ibu jari tiga orang gadis yang rebah diperkosanya itu. Gadis-gadis itu menjerit satu kali dan roboh pingsan. Kemudian, setiap habis mencabut kedua kuku ibu jari tangan, Ngo-ok melemparkan tubuh itu dan dia sengaja membanting secara keras sehingga kepala gadis yang dibantingnya itu menimpa batu dan pecah, tewas seketika! Tiga orang gadis itu tewas dalam keadaan yang amat mengerikan dan menyedihkan.
"Iblis kau! Bukan maanusia kau! Terkutuk kau, menjadi intip neraka kelak, jahanam busuk!" Sim Hong Bu memaki-maki dan hampir dia pingsan saking ngeri menyaksikan kekejaman yang belum pernah disaksikan sebelumnya, bahkan belum pernah dia mendengar atau mimpi tentang kekejaman sehebat itu!
"Uhh, mulutmu benar busuk! Kau sungguh pandai memaki, bagus sekali!" Su-ok tidak marah bahkan memuji-muji! Tentu saja Hong Bu tidak sudi dipuji dan dia memaki-maki makin hebat.
"Anjing kau, babi kau! Kalian buas dan keji, melebihi binatang, melebihi iblis!"
"Hemm, suruh dia diam, Su-ko. Biarpun dia pandai bernyanyi, akan tetapi lama-lama bosan juga." kata Ngo-ok. "Atau biar kurobek saja perutnya dan kita lihat isi perut anak yang begini berani"
"Ha-ha-ha, nanti dulu, Ngo-te. Di tempat seperti ini kita butuh pembantu, dan anak ini mempunyai bakat yang baik sekali untuk menjadi seorang tokoh kita kelak. Lihat, keberaniannya menonjol, dan mulutnya pun cukup busuk. Kalau kelak tindakannya sebusuk mulutnya, wah, dia bisa menandingi kita."
"Jahanam keparat, siapa sudi ikut kalian" Hayo bunuhlah aku, keparat. Kaukira aku pengecut takut mati" Mau merobek perutku, robeklah, siksalah, kalian memang anjing-anjing serigala yang buas. Lihat saja, kalau ada Pendekar Siluman Kecil di sini, kepala kalian tentu akan dihancurkan!"
Saking marahnya dan karena merasa tidak berdaya melihat orang-orang ini berbuat kejam, dia teringat kepada pendekar yang dikaguminya itu dan menyebut namanya. Akan tetapi, dua orang tokoh sesat itu terkejut bukan main, wajah mereka berobah dan mereka memandang ke kanan kiri, seperti orang ketakutan!
"Di mana Pendekar Siluman Kecil" bentak Ngo-ok yang biasanya pendiam dan tenang itu, kini kelihatan beringas dan gentar.
Hong Bu adalah seorang anak yang cerdik sekali. Melihat perubahan pada wajah kedua orang manusia iblis ini, tahulah dia bahwa nama pendekar yang dijunjungnya itu kiranya juga sudah dikenal oleh mereka ini dan mereka kelihatan gentar terhadap pendekar itu, maka dia lalu tertawa.
"Kalian masih bertanya lagi" Kalian tentu tahu sendiri kalau sudah mengenal beliau bahwa beliau adalah malaekat yang bisa menghancurkan iblis-iblis macam kalian dan dapat muncul sewaktu-waktu!"
"Kau ingin mampus!" Ngo-ok menghantam ke arah kepala Hong Bu dan anak ini tanpa berkedip menanti datangnya maut.
"Plakk!" tangan Ngo-ok itu ditangkis oleh Su-ok.
"Eh, kau mengapa, Su-ko" Ngo-ok mendengus marah.
"Bodoh, anak ini agaknya mengenal dia dan kalau benar dia muncul, kita dapat mempergunakan dia sebagai sandera, tolol!"
Hong Bu juga segera mengerti persoalan ini dan dia tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, kiranya kalian ini hanya garang kalau menghadapi orang lemah saja. Sekali mendengar nama Pendekar Siluman Kecil, kalian terkencing-kencing dan terkentut-kentut ketakutan dan menggunakan akal licik dan curang untuk menggunakan aku sebagai sandera. Ha-ha-ha lihat siapa di sana itu" Tiba-tiba dia menuding ke kanan. Dua orang itu terkejut bukan main, cepat menoleh ke kanan akan tetapi di situ tidak ada siapa-siapa.
"Oho, siapa itu di sana" Kembali Hong Bu menuding ke kiri, dan secepat itu, pula kedua orang itu menengok ke kiri, sikap mereka jelas membayangkan ketakutan sehingga Hong Bu mentertawakan mereka.
"Bocah ini mempermainkan kita!" Ngo-ok mengomel.
"Sudah kukatakan dia berbakat untuk menjadi tokoh golongan kita." kata Su-ok. "Mari kita pergi!" Dia lalu melompat sambil tetap mencengkeram tengkuk Hong Bu, diikuti oleh Ngo-ok.
"Eh, kalian tidak tahu" Didepan situ, lihat siapa yang menanti kalian!" kata pula Hong Bu yang sengaja hendak mempermainkan mereka. Dia tidak berdaya, tidak mampu melawan, tidak mampu membalas, maka dia hanya dapat membalas mereka dengan menakut-nakuti mereka saja.
"Bocah tolol, kamu kira dapat menakut-nakuti...."
Tiba-tiba ucapan Ngo-ok ini terhenti dan dia berdiri seperti patung, juga Su-ok mengeluarkan seruan kaget. Bahkan Hong Bu sendiri juga terkejut setengah mati ketika pada saat itu terdengar suara geraman yang luar biasa dahsyatnya, suara geraman yang membuat salju berhamburan dan tanah yang mereka injak berguncang! Dan di depan mereka telah berdiri seekor mahluk yang mengerikan dan menakutkan sekali. Tingginya luar biasa sekali, sama dengan tingginya Ngo-ok yang sudah terlalu luar biasa itu, akan tetapi kalau Ngo-ok kecil kurus, mahluk itu sebaliknya tinggi besar, lebih besar daripada Su-ok yang gendut.
Otomatis Su-ok melepaskan Hong Bu karena dia harus bersiap siaga menghadapi mahluk ini yang mereka sudah dapat menduganya karena selama beberapa pekan ini mereka sudah mendengar tentang mahluk ini. Yeti! Sepasang mata mahluk itu kemerahan dan liar, beringas seperti sedang marah sekali. Sebatang pedang menancap di paha kanannya dan dia berdiri agak membungkuk, agaknya siap untuk menyerang!
"Yeti....!" Sim Hong Bu merangkak ke samping, lalu terduduk dengan kedua kaki lemas karena tegang dan ngerinya. Dia belum pernah merasa takut, walaupun di dalam perburuan semenjak dia kecil, banyak sudah dia menghadapi bahaya maut dan menghadapi binatang-binatang buas yang kuat dan liar. Akan tetapi belum perah dia bertemu dengan mahluk seperti ini! Tidak seperti binatang buas lain, juga jauh daripada manusia liar, melainkan lebih dekat dengan ujud dari setan neraka sendiri! Ah, sayang pamannya telah tewas. Kalau ada pamannya di situ, tentu pamannya itu akan terpesona dan hatinya dipenuhi kebanggaan. Kebanggaan seorang pemburu yang menjadi pemburu pertama yang berhadapan dengan Yeti, mahluk yang selama ini hanya terdapat dalam dongeng belaka!
Sementara itu, Su-ok dan Ngo-ok sudah bersiap siap. Sebagai ahli-ahli ilmu silat tinggi, mereka tidak mau mendahului karena mereka sudah mendengar betapa tangguhnya dan berbahayanya mahluk ini. Banyak sudah tersiar berita betapa orang-orang kang-ouw yang pandai-pandai menjadi korban Yeti ini. Hal itu mereka tidak pedulikan, karena sesungguhnya bukan hanya Yeti yang membunuh mereka. Banyak pula yang mati di tangan Im-kan Ngo-ok! Memang, mereka ini membunuhi banyak orang kang-ouw, terutama dari pihak kaum bersih, agar mengurangi saingan dalam memperebutkan pedang pusaka yang terkenal itu. Dan kini, melihat sebatang pedang menancap di paha Yeti, timbullah niat mereka untuk merobohkan mahluk Ini. Dua pasang mata yang tajam itu mengenal pedang yang baik, dan bukan tidak boleh jadi bahwa pedang itulah yang sedang diperebutkan orang-orang kang-ouw. Pedang itulah yang bernama Koai-liong-pokiam! Akan tetapi bagaimana pedang yang diperebutkan oleh semua orang kang-ouw itu menancap di paha Yeti" Su-ok dan Ngo-ok tidak mempedulikan hal ini. Yang penting bagi mereka adalah merobohkan Yeti dan merampas pedang itu. Dan sekali Yeti terluka oleh pedang itu, agaknya tidak akan sukar bagi mereka untuk menundukkannya. Selama ini semua orang yang bertemu dengan Yeti tentu mati, maka tidak ada seorang pun yang pernah bercerita tentang pedang yang menancap di paha Yeti. Kalaupun ada yang melihatnya, agaknya juga tidak akan mau membuka rahasia ini kepada orang lain!
"Ngo-te, siap, kau di belakangnya. Hati-hati, dia nampak kuat, pergunakan semua pukulan mematikan!" kata Su-ok.
Akan tetapi Ngo-ok adalah seorang yang sombong dan terlalu mengagulkan kepandaiannya sendiri. Dia memandang rendah mahluk ini. Hanya binatang buas yang agak besar, apanya yang berbahaya, pikirnya.
"Mampuslah....!" bentaknya dan tiba-tiba dia sudah menerjang dari samping, lengannya yang panjang itu terulur dan dengan pengerahan sin-kang yang amat dahsyat tangan itu menghantam ke arah kepala mahluk itu dari atas ke arah ubun-ubun yang dianggap tempat yang lemah dan agaknya Ngo-ok ini hendak merobohkan mahluk itu dengan sekali pukul saja maka dia mengerahkan seluruh tenaganya. Melihat Si Jangkung ini sudah menyerang, Su-ok juga membarengi dengan pukulan dahysat, Katak Buduk yang dilakukan sambil berjongkok, menghantam ke arah perut mahluk itu.
Serangan orang ke empat dan ke lima dari Im-kan Ngo-ok itu dahsyat bukan main dan seorang ahli silat yang jagoan sekalipun kiranya tidak akan begitu mudah untuk menghindarkan diri dari serangan-serangan yang hebat itu. Mahluk yang disebut Yeti itu mengeluarkan gerengan dahsyat sekali, seolah-olah tidak tahu bahwa dirinya diserang oleh pukulan pukulan maut dan tanpa mempedulikan serangan lawan, kedua lengannya yang besar panjang berbulu itu sudah mencengkeram ke arah dua orang lawan yang menyerangnya. Jadi serangan-serangan lawan itu dibalasnya dengan serangan pula dari jari-jari tangan yang berkuku panjang dan runcing tajam melengkung itu!
"Dess! Bukkk!" Hantaman Ngo-ok pada kepala dan hantaman Su-ok pada perut itu tepat mengenai sasaran, akan tetapi seperti menghantam bola karet saja karena kedua pukulan dahsyat itu membalik begitu menyentuh tubuh Yeti! Kiranya Yeti itu memiliki kekebalan yang sungguh luar biasa dan selamanya belum pernah dilihat oleh dua orang datuk kaum sesat itu. Dan pada saat itu, kedua tangan Yeti sudah menyambar ke arah leher mereka dengan cepat dan kuatnya!
Dua orang datuk kaum sesat itu berseru keras dan melempar tubuh ke belakang, akan tetapi angin sambaran tangan itu menyambar dan membuat mereka merasa leher mereka perih seperti diserempet pedang tajam! Kagetlah kedua orang datuk itu dan mereka tahu bahwa Yeti itu ternyata bukan lawan sembarangan, melainkan mahluk yang memiliki kekebalan sukar dipercaya. Maka mereka berhati-hati dan kini Ngo-ok mengeluarkan suara mendengus dan tubuhnya sudah berjungkir balik, sedangkan Su-ok sudah mengumpulkan kekuatannya dan bergulingan seperti seekor trenggiling!
Yeti menggereng-gereng dan berdiri agak membungkuk, kedua tangan diangkat seperti sikap seekor biruang, dengan gerakan kepala dan lirikan matanya yang merah itu dia mengikuti gerakan aneh dari dua orang pengeroyoknya itu. Yang seorang berjungkir balik dan berloncatan dengan kepala menjadi kaki sehingga terdengar suara dak-duk-dak-duk sedangkan yang seorang lagi bergulingan seperti trenggiling atau seperti seorang anak kecil yang rewel! Tiba-tiba Ngo-ok mendengus lagi dan tubuhnya menyambar ke depan, mulailah dia menyerang dengan kedua kakinya, dengan ujung kaki dia menotok ke arah jalan darah di leher dan sebelah kaki lagi menusuk ke mata Yeti itu! Sedangkan dari arah lain Su-ok yang tadinya bergulingan itu kini telah berjongkok serendahnya sehingga perut gendutnya mengenai tanah, sikapnya seperti seekor kodok tulen, dan dari bawah itu dia mengeluarkan pukulan yang ampuh dengan pengerahan seluruh tenaga sehingga tercium bau amis bukan main ketika terdengar suara mencicit diikuti angin berdesir dari kedua telapak tangannya, menghantam ke arah Yeti.
Agaknya Yeti itu pun tahu bahwa dua orang lawannya ini adalah orang pandai, dan mungkin pengetahuannya ini timbul ketika dia merasakan hantaman mereka yang pertama tadi, yang biarpun dapat diterimanya dengan kekebalan yang luar biasa, namun agaknya juga terasa olehnya. Pukulan kaki Ngo-ok ke arah leher dan mata datang lebih dulu dari serangan Su-ok. Yeti itu tiba-tiba miringkan tubuh atas sehingga totokan itu luput dan dengan cepat dia menyambar dengan tangannya. Gerakannya itu cepat bukan main dan tahu-tahu sebelah kaki Ngo-ok telah dapat dicengkeramnya! Ngo-ok terkejut bukan main, mengerahkan tenaga dan meronta. Pada saat itu, pukulan Su-ok telah tiba dan menghantam dada Yeti.
"Desss!" Sekali ini karena Yeti itu membagi tenaganya untuk menangkap kaki Ngo-ok dan Su-ok memukul dengan pengerahan seluruh tenaga, maka Yeti menggereng, pegangannya terlepas dan dia terlempar ke belakang, lalu jatuh terbanting. Akan tetapi hal ini membuatnya semakin marah dan agaknya dia hanya nanar sedikit saja, lalu dia meloncat dan menubruk ke arah Su-ok! Bukan main kagetnya orang pendek gendut ini ketika merasa betapa tubrukan ini mengandung tenaga sedikitnya seribu kati. Dia melempar tubuh ke belakang dan bergulingan sehingga terhindar dari tubrukan itu. Sebaliknya, yang kena ditubruk adalah sebuah batu besar terbungkus salju dan terdengar suara keras ketika batu itu pecah berhamburan mencelat ke sana-sini! Su-ok bergidik juga menyaksikan kedahsyatan Yeti itu. Kini dia dan terutama sekali Ngo-ok tidak berani main-main lagi. Mereka berdua lalu menerjang dari depan belakang, mengeluarkan semua ilmu kepandaian mereka, mengandalkan kegesitan dan secara bertubi-tubi akan tetapi hati-hati mereka menyerang dengan pukulan-pukulan sakti.
Yeti itu agaknya juga berhati-hati kini. Dan mulailah dia menggerak-gerak kan kedua tangannya dan sungguh aneh sekali, gerakan-gerakannya itu biarpun kelihatan kaku dan lucu, namun ternyata mengandung dasar-dasar ilmu silat tinggi, juga demikian pula gerakan dan loncatan kedua kakinya sambil terpincang-pincang sehingga terjadilah pertempuran yang amat hebat.
Melihat ini, Sim Hong Bu yang sejak tadi merasa kasihan kepada Yeti yang kakinya sudah tertusuk pedang itu, memaki-maki dua orang datuk kaum sesat itu, "Kalian berdua kakek tua bangka yang jahat! Manusia berwatak iblis! Yeti itu sudah terluka pedang, dan kalian masih mendesaknya. Sungguh tidak tahu malu sama sekali! Kalian lebih buas dan liar daripada binatang! Tak tahu malu! Pengecut, beraninya mengeroyok dua seekor binatang yang sudah terluka pula. Cih, tak tahu malu!"
Dan untuk melampiaskan kedongkolan hatinya, Sim Hong Bu mencari batu-batu sebesar kepalan tangan dan mulailah dia menyambiti dua orang kakek yang mengeroyok Yeti itu! Tentu saja sambitan-sambitan itu tidak ada artinya bagi Suok dan Ngo-ok, akan tetapi mereka tidak dapat melayani Hong Bu dan tidak mempedulikan anak itu karena mereka sendiri terdesak hebat oleh Yeti!
Memang hebat sekali mahluk itu. Setiap kali dua orang datuk itu beradu lengan atau kaki Ngo-ok bertemu dengan lengan yang berbulu itu, mereka berdua merasa betapa tubuh mereka tergetar hebat. Diam-diam mereka merasa heran dan juga terkejut, karena mereka tahu bahwa Yeti itu bukan hanya mempergunakan tenaga kasar atau tenaga otot seperti binatang-binatang buas pada umumnya, melainkan tenaga sin-kang yang luar biasa kuatnya! Sungguh sukar dapat dimengerti bagaimana mungkin mahluk yang seperti binatang buas ini dapat menghimpun sin-kang yang sedemikian kuatnya! Dua orang datuk itu telah merasa lelah dan seluruh tubuh sakitsakit, juga pipi Su-ok telah berdarah terkena cakar, sedangkan telinga kiri Ngo-ok pecah-pecah terkena sambaran pukulannya! Mereka kewalahan sekali dan akhirnya dengan marah Su-ok berkata. "Ngo-te, mari satukan tenaga dan serang dia!"
Ngo-ok yang juga merasa penasaran sekali, lalu meloncat ke dekat Su-ok. Memang mereka merasa penasaran. Masa mereka, dua orang di antara Im-kan Ngo-ok yang menggetarkan dunia persilatan, kini harus mengaku kalah terhadap seekor binatang, padahal mereka maju bersama" Hal ini kalau sampai diketahui dunia kang-ouw, bukankah nama mereka akan runtuh dan terseret ke dalam lumpur"
Su-ok kini berjongkok mengerahkan tenaga Katak Buduk, sedangkan Ngo-ok juga mengerahkan tenaganya, kemudian dengan berbareng mereka menghantamkan kedua tangan mereka dengan tangan terbuka ke arah Yeti yang menerjang maju. Angin yang dahsyat sekali menyambar ke depan, dan inilah pukulanjarakjauh yang disertai penggabungan tenaga sin-kang oleh kedua orang datuk kaum sesat itu. Agaknya Yeti itu pun maklum akan hal ini, maka sambil menggereng, gerengan yang menggetarkan jantung dua orang lawannya dia pun mendorongkan kedua tangannya ke arah mereka! Terjadilah adu tenaga yang amat hebat di tengah udara yang dingin itu dan akibatnya, Yeti itu terhuyung ke belakang akan tetapi dua orang datuk kaum sesat itu terlempar ke belakang seperti dua buah layang-layang putus talinya! Akhirnya mereka terbanting ke atas salju dan keduanya mengeluh panjang, lalu merangkak bangun, menoleh ke arah Yeti dengan muka pucat dan melihat Yeti masih berdiri dengan tubuh agak membungkuk mata merah penuh kemarahan itu, keduanya lalu lari tunggang-langgang! Adu tenaga yang terakhir itu meyakinkan hati mereka berdua bahwa mereka sungguh kalah kuat dan kalau dilanjutkan pertempuran itu, agaknya mereka akhirnya akan kalah.
Yeti itu tidak mengejar, dan setelah dua orang lawan yang tangguh itu lenyap, dia jatuh terduduk! Yeti itu mengeluarkan suara merintih-rintih dan kedua tangannya memijit-mijit pahanya yang tertusuk pedang. Sim Hong Bu yang masih duduk di atas batu itu memandang dengan bengong. Dia melihat Yeti itu merintih dan dari kedua mata yang merah itu turun beberapa tetes air mata! Yeti itu menangis!
Tadi Hong Bu merasa kagum bukan main menyaksikan sepak terjang Yeti. Sungguh di luar dugaannya bahwa dua orang manusia iblis yang luar biasa lihainya itu bukan hanya tidak mampu menandingi Yeti, bahkan mereka terdesak hebat dan kemudian mereka bahkan lari tunggang langgang. Ingin rasanya dia bersorak-sorai dan bertepuk tangan menyaksikan kesudahan dari, perkelahian yang seru dan dahsyat itu karena memang di dalam hatinya dia menjagoi dan berpihak kepada Yeti. Akan tetapi kini melihat Yeti ini merintih-rintih, bahkan menangis, timbul rasa kasihan yang mendalam di hatinya. Dia sendiri tidak perlu melarikan diri, karena merasa percuma saja. Mana mungkin melarikan diri dari mahluk yang amat dahsyat itu" Sekali loncat saja Yeti itu akan dapat menangkapnya, karena itulah maka tadi dia pasrah saja. Akan tetapi Yeti itu tidak mengganggunya, menengok puh tidak, bahkan kini merintih-rintih, memijati kakinya yang tertusuk pedang dan menangis.
"Ah, Yeti itu sesungguhnya tidak jahat!" Kini Hong Bu teringat bahwa tadi pun bukan Yeti itu yang lebih dulu menyerang dua orang datuk sesat itu, melainkan mereka yang lebih dulu menyerang, barulah Yeti bergerak melawan. Makin kasihanlah rasa hatinya. Luka itu hebat, dan kalau dibiarkan tentu akan membengkak dan membusuk. Sebagai seorang pemburu, tentu saja di dalam saku baju Hong Bu tersimpan obat-obat, terutama sekali obat luka, obat untuk melawan racun dan gigitan binatang berbisa. Bagaimanapun juga, tadi dia telah terjatuh ke dalam tangan dua orang kakek iblis yang telah membunuh pamannya itu, dan tipislah harapannya untuk dapat selamat di tangan mereka itu. Kini dia terbebas dan hal ini tak dapat disangkal lagi adalah karena pertolongan Yeti ini. Maka, akan malulah dia kalau sekarang tidak membalas budi selagi Yeti itu dalam keadaan yang demikian sengsara! Maka Hong Bu lalu bangkit berdiri, perlahan-lahan dia melangkah menghampiri Yeti yang masih duduk di atas salju memijit-mijit kaki atau paha kanannya itu. Luka yang tertusuk pedang itu kini mengeluarkan darah yang agak kehitaman. "Ah, dia keracunan, pikir Hong Bu. Harus cepat diberi obat."
Ketika Hong Bu sudah tiba dekat di depan Yeti itu, tiba-tiba Yeti itu mengangkat kepalanya, sepasang mata merah itu memandang, mata yang masih basah oleh air mata dan tiba-tiba Yeti itu menggereng dengan geram. Hong Bu terkejut sekali, akan tetapi anak ini sudah bertekad untuk menolong mahluk itu, maka dia menuding ke arah paha Yeti sambil berkata. "Yeti.... aku.... aku hanya ingin membantumu, mengobati luka di pahamu itu."
Yeti itu masih menggereng-gereng, tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi seolah-olah hendak menghantam. Akan tetapi Hong Bu yang sudah nekat itu memandang dengan sepasang matanya yang jernih, terang dan tajam, sedikit pun tidak merasa takut. Dia sudah melampaui rasa takut kaeena maklum bahwa melawan atau tidak, lari atau tidak, kalau Yeti itu menghendaki, dia tentu akan mudah dibunuhnya!
"Aku mempunyai obat untuk luka, dan lukamu itu sudah keracunan. Biarlah aku merawatmu dan mengobatimu untuk membalas budimu telah membebaskan aku dari dua orang jahat tadi." Hong Bu menuding ke arah larinya dua orang kakek iblis tadi, kemudian dia mengeluarkan bungkusan obat dari dalam saku jubahnya sebelah dalam. Yeti itu masih menggereng-gereng, akan tetapi hanya perlahan saja dan kelihatannya tidak marah lagi, sungguhpun masih nampak curiga. Ketika Hong Bu mendekati dan berlutut di depannya, dia memandang dengan matanya yang merah basah, kemudian dia mengangguk-angguk!
Girang bukan main hati Hong Bu, Yeti ini bukan hanya pandai berkelahi dan amat tangguh melebihi ahli-ahli silat kelas tinggi, akan tetapi juga dapat mengerti kata-katanya agaknya. Buktinya dia mengangguk-angguk!
Hong Bu menyentuh paha itu dan memeriksa. Luka itu memang sudah agak membengkak, akan tetapi baiknya ketika dipakai berkelahi tadi, lukanya pecah sehingga darah hitam keluar. Tidak ada lain jalan, pedang itu harus dicabut lebih dulu, baru mungkin mengobati luka yang menembus paha itu! Dan Yeti itu perlu diberi minum pel pencuci darah dengan segera! Akan tetapi, mana mungkin mencabut pedang itu selagi Yeti dalam keadaan sadar" Pencabutan pedang itu akan mendatangkan rasa nyeri yang luar biasa dan kalau hal ini dilakukan, tentu Yeti akan marah dan mungkin salah sangka, mengira dia menyakitinya dan tentu akan membunuhnya sebelumpedang tercabut semua! Serba sulit, pikirnya. Akan tetapi Hong Bu yang sejak kecil seolah-olah sudah belajar hidup sendiri dan menghadapi sendiri segala macam kesulitan dan bahaya itu telah memiliki kecerdikan luar biasa. Di antara obatnya terdapat bubukan obat bius, yaitu yang kadang-kadang perlu dipergunakan oleh para pemburu yang ingin menangkap binatang buas, hidup-hidup memenuhi pesanan langganan, untuk menjebak harimau-harimau atau biruang-biruang atau sebangsa binatang buas dan kuat lainnya, kemudian membius binatang itu agar pingsan sehingga mudah diikat atau dimasukkan kerangkeng dan ditangkap hidup-hidup.
"Yeti, engkau keracunan, harus makan obat ini. Maukah" Hong Bu mengeluarkan sebungkus obat bubuk dan memperlihatkannya kepada Yeti. Obat bubuk itu adalah obat bius yang biasanya dicampur dengan daging atau makanan lain untuk diberikan sebagai umpan kepada binatang buas yang akan ditangkap. Kembali Yeti itu mengangguk-angguk.
Giranglah hati Hong Bu. Dengan sebuah cawan yang selalu dibawanya, dia mencampur obat bubuk itu dengan salju. Biasanya, seekor harimau cukup diberi seperempat bungkus saja. Akan tetapi dia tahu bahwa Yeti ini amat kuat, jauh lebih kuat daripada seekor binatang yang bagaimana besar pun, maka dia menaruh seluruh isi bungkusan itu ke dalam cawan dan mencampurnya dengan salju. Tentu saja tidak bisa mencair seperti air dan Hong Bu menjadi bingung. "Ah, di mana bisa mendapatkan air di tempat yang semuanya serba beku ini"
Gerakan mulut Yeti itu mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh aneh, kemudian sekali sambar, cawan itu sudah pindah tangan. Hong Bu terkejut sekali. "Yeti, engkau harus meminumnya!" katanya. Mahluk itu memandang sebentar ke arah cawan, dalam beberapa detik dia tidak bergerak dan Hong Bu terbelalak melihat betapa cawan itu mengepulkan uap dan salju di dalamnya menjadi cair seolah-olah cawan itu ditaruh di atas api! Kemudian sekali tenggak isi cawan itu pun lenyaplah memasuki perut Yeti melalui mulutnya!
Yeti mengembalikan cawan kepada Hong Bu yang menjadi girang bukan main. Dia masih terheran-heran bagaimana cawan itu dapat mengepulkan uap dari salju itu dapat mencair. Keluarganya yang semua merupakan ahli-ahli silat belum mencapai tingkat setinggi itu sehingga melihat hal itu seperti sulapan saja.
"Yeti yang baik, engkau memang cerdik sekali. Nah, percayalah, Hong Bu akan menolongmu, akan menyelamatkan nyawamu seperti engkau telah menyelamatkan nyawaku tadi!"
Hong Bu lalu mengelus-elus paha itu. Agaknya Yeti itu merasa keenakan dan dia diam saja, kemudian dia menguap seperti orang diserang kantuk! Hong Bu kembali terheran-heran. Mahluk ini memang mirip manusia, bisa menguap segala kalau mengantuk, dan dia tahu bahwa obat bius itu sudah mulai bekerja. Maka sambil mengelus-elus paha itu dia berkata halus, "Yeti, kau tidurlah kalau telah dan mengantuk. Biar aku menjagamu di sini. Tidurlah!" Dengan lembut dia mendorong dada Yeti itu disuruhnya berbaring. Yeti itu agaknya mengerti karena dia lalu merebahkan diri miring, berbantal lengannya yang besar dan tak lama kemudian dia pun sudah tidur atau pingsan karena pengaruh obat bius!
Hong Bu lalu mengeluarkan perlengkapannya dari dalam saku-saku jubahnya. Dia membuat api, hal yang amat sukar akan tetapi akhirnya dia berhasil juga dan menggodok obat-obat luka dan obat-obat minum. Setelah itu, barulah dia mencoba untuk mencabut pedang itu dari paha Yeti. Agaknya pedang itu terselip antara tulang dan otot, sukar sekali dicabutnya biar dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya. Tiba-tiba Yeti mengeluarkan suara dan terkejutlah Hong Bu, mengira mahluk itu sadar! Akan tetapi ternyata tidak dan agaknya rasa nyeri membuat Yeti mengigau dalam tidur atau pingsannya.
Hong Bu mengerahkan tenaganya lagi. Dia menginjakkan kaki kirinya pada paha Yeti itu, dan kedua tangannya memegang gagang pedang lalu menarik. Dia menahan napas, mengerahkan tenaga sampai mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh, dan akhirnya pedang itu mulai dapat ditarik!
Begitu bergerak, maka sekali dia mengerahkan tenaga, pedang itu tertarik keluar dan dia pun jatuh terjengkang! Bukan main girangnya. Akan tetapi matanya silau melihat pedang itu yang berkilauan. Pedang hebat, pikirnya, dan dengan hati-hati dia meletakkan pedang itu di dekat tubuh Yeti. Darah mengalir keluar dari depan dan belakang paha, darah yang agak menghitam. Hong Bu memijit-mijit paha itu. Akan tetapi paha itu terlalu besar dan keras sehingga akhirnya dia menggunakan kedua kakinya, menginjak-injak paha itu dan mengenjot-enjotnya agar darah dapat keluar dari dua lubang luka di depan dan belakang paha. Usahanya ini berhasil dan lebih banyak darah hitam lagi keluar. Lalu darah pun berhenti dan betapa pun dia mengusahakan, tidak ada lagi darah yang keluar. Terpaksa dia lalu menaruh obat-obat luka di kedua luka itu sampai penuh, dan dibalutnya paha itu kuat-kuat dengan robekan kain ikat pinggangnya. Setelah selesai, puaslah hatinya. Kini dia tinggal menanti Yeti itu sadar dan akan diberinya minum obat pencuci pada darah yang telah digodoknya itu.
Tiba-tiba dia mendengar suara di belakangnya. Cepat Hong Bu menoleh dan dilihatnya seorang tosu yang usianya setengah tua, berwajah tampan dan gagah, tubuhnya tinggi tegap, kedua tangannya memegang sepasang pedang, sudah berdiri di situ sambil memandang dengan penuh perhatian ke arah Yeti yang sedang tidur atau pingsan. Tosu ini bukan lain adalah Hui-siang-kiam Ciok Kam, tosu dari Kun-lun-san itu, yang pernah bertemu dengan Yeti bersama dua orang temannya, yaitu Hok Keng Cu dan Hok Ya Cu yang sudah tewas oleh Yeti. Hanya kebetulan saja tosu ini lolos dari maut, dan dia merasa sakit hati, terus mencari jejak Yeti dan akhirnya tibalah dia di tempat ini, melihat Yeti sedang tidur atau pingsan dan seorang anak laki-laki tanggung duduk di dekat tubuh Yeti yang rebah miring!
Hampir dia tidak percaya akan apa yang dilihatnya. Bagaimana ada seorang pemuda tanggung yang berani duduk di dekat Yeti dan tidak apa-apa lagi" Akan tetapi perhatiannya segera tertuju kepada sebatang pedang di dekat tubuh Yeti itu, pedang yang berkilauan indah dan dikenalnya sebagai pedang yang dulu menancap di paha Yeti yang kini dibalut kain putih! Itulah pedang yang dicari-cari oleh semua orang. Tak salah lagi! Jelas bahwa itu adalah sebatang pedang keramat, pedang yang terbuat dari bahan luar biasa, pedang pusaka. Kembali dia mengerling ke arah wajah Yeti yang masih tidur, hatinya berdebar tegang.
"Dia.... dia kenapa...." Akhirnya dia bertanya kepada Hong Bu karena dia masih ragu-ragu untuk bergerak. Siapa tahu kalau-kalau Yeti itu hanya tidur dan akan bangkit kalau diganggu, dan dia maklum bahwa dia tidak akan mampu menandingi Yeti itu.
Hong Bu tentu saja tidak tahu bahwa tosu yang datang ini mengandung sakit hati yang besar terhadap Yeti dan bermaksud membunuhnya, maka dia lalu menjawab. "Dia sedang tidur, pengaruh obat bius. Sekarang pedang itu telah kucabut dan lukanya telah kuobati."
Mendengar ini, bukan main girangnya hati Hui-siang-kiam Ciok Kam. "Bagus! Kalau begitu tibalah saatnya aku membalas dendam! Minggirlah, orang muda, biar kubunuh mahluk iblis kejam ini!"
Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Hong Bu mendengar kata-kata itu dan melihat sikap tosu itu yang sudah melangkah maju dan mengangkat pedangnya. "Eh, Totiang.... eh, jangan! Apa yang hendak kaulakukan itu!" teriaknya sambil bangkit berdiri dan menghadang di depan tosu itu.
"Pinto hendak membunuhnya!"
"Jangan, Totiang! Jangan.... dibunuh....!" Hong Bu berkata dengan kaget dan matanya terbelalak, kedua tangannya diangkat dan digoyang-goyangkan.
"Engkau anak kecil tahu apa! Dua orang sahabatku telah dibunuhnya secara kejam, juga banyak sekali orang kang-ouw telah dibunuhnya. Dia mahluk jahat sekali, kalau tidak dibunuh tentu akan mendatangkan banyak malapetaka."
Hong Bu menjadi bingung sekali. Dia memang tahu bahwa Yeti banyak membunuh orang, akan tetapi melihat betapa Yeti itu baik kepadanya, dan melihat pertempuran antara Yeti dengan dua orang kakek iblis itu, dia dapat menduga bahwa Yeti tentu membunuh siapa yang hendak mengganggunya. Jadi Yeti ini seperti hampir semua binatang buas yang dikenalnya, hanya menjadi buas dan ganas kalau diganggu yang merupakan naluri untuk membela diri dan melindungi keselamatannya. Akan tetapi kini Yeti masih pulas, tentu takkan mampu melawan dan akan mati kalau dia tidak membelanya. Cepat disambarnya pedang yang tadi menusuk paha Yeti dan dipegangnya erat-erat.
Melihat bocah itu mengambil pedang, Hui-siang-kiam Ciok Kam berseru, "Minggir dan serahkan pedang pusaka itu kepada pinto!"
Mendengar ini, Hong Bu memandang ke arah pedang di tangannya. Pedang ini ringan dan aneh, dan kalau semua orang memusuhi Yeti, apakah bukan untuk memperebutkan pedang ini" Dia pun mendengar desas-desus tentang sebatang pedang keramat yang kabarnya dicuri orang dari kota raja dan dibawa ke Himalaya dan kini orang-orang kang-ouw memenuhi daerah ini hanya untuk mencari pedang keramat itu. Inikah gerangan pedang yang diperebutkan itu"
"Totiang, sesungguhnya.... Totiang hendak membunuh Yeti ataukah hendak merampok pedang ini...."
Wajah Hui-siang-kiam Ciok Kam berobah merah. Memang tak dapat disangkal pula, yang mendorong dia membayangi dan mencari Yeti adalah pedang yang menancap di paha Yeti itu, dan tentu saja juga karena dia ingin membalas kematian dua orang sahabatnya.
"Pinto.... pinto.... wah, engkau anak kecil banyak cerewet. Minggirlah biar kubunuh dia!"
"Tidak! Engkau tidak boleh membunuhnya!" Hong Bu berkata dengan tegas dan berdiri melindungi tubuh Yeti yang masih rebah miring.
"Hemm, bocah setan, engkau hendak melindungi binatang buas seperti itu" Hui-siang-kiam Ciok Kam mengeluarkan suara melengking nyaring dan tubuhnya sudah melayang ke atas, gerakannya ringan dan cepat sekali dan dia bermaksud untuk melampaui Hong Bu dan menyerang ke arah Yeti yang masih rebah.
Hong Bu terkejut bukan main menyaksikan gerakan yang cepat itu dan tahu-tahu tosu itu sudah melewati atas kepalanya. Dia membalik dan melihat betapa tosu itu sudah menusukkan kedua pedangnya ke arah leher dan dada Yeti dengan kecepatan kilat.
"Jangan....!" Hong Bu memekik dengan sekuatnya dan tubuhnya menubruk ke depan, pedang di tangannya digerakkan untuk menangkis dua sinar pedang yang menyerang Yeti itu. Terdengar suara nyaring ketika sepasang pedang itu patah-patah bertemu dengan pedang di tangan Hong Bu, disusul jeritan tosu yang roboh mandi darah bergulingan sampai beberapa meter jauhnya, lalu diam tak bergerak lagi. Hong Bu terbelalak memandang ke arah mayat tosu itu, kemudian kepada tangannya sendiri yang memegang pedang. Dia cepat, menghampiri tosu itu dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia melihat tosu itu telah tewas dengan dada luka bercucuran darah!
Terdengar suara gerengan dan ketika dia menoleh, dia melihat Yeti itu sudah bangkit duduk, lalu Yeti itu sekali lompat sudah tiba di dekat mayat tosu itu dan melihat tosu itu sudah tewas, Yeti lalu mengeluarkan suara aneh seperti orang tertawa, dan sekali menggerakkan tangan dia telah merampas pedang dari tangan Hong Bu kemudian dia memondong Hong Bu, diangkatnya tinggi-tinggi dan dia menari-nari kegirangan sambil terpincang-pincang. Kiranya Yeti itu tadi telah sadar dan melihat betapa Hong Bu membelanya dan merobohkan tosu yang menyerangnya, maka dia girang bukan main, apalagi melihat bahwa pedang sudah dicabut dari pahanya dan pahanya sudah diobati dan dibalut.
Yeti itu lalu meloncat jauh sekali. Hampir Hong Bu berteriak karena merasa ngeri ketika Yeti itu kini berlompatan dan berlari dengan kecepatan yang luar biasa, melalui tempat-tempat tinggi, melalui jurang-jurang yang curam dan memasuki "dunia es" yang amat aneh bagi Hong Bu. Tempat yang dilalui oleh Yeti ini amatlah sukar dan tidak mungkin dilalui manusia dengan kecepatan seperti itu, maka kadang-kadang Hong Bu memejamkan mata karena merasa ngeri kalau Yeti itu setengah berloncatan melalui tebing-tebing yang curam sekali.
Yeti yang masih memondong tubuh Hong Bu sambil membawa pedang itu terus mendaki puncak Gunung Kongmaa La dan di antara bongkahan-bongkahan es yang besar dan batu-batu gunung raksasa Yeti itu bergerak cepat. Dia tentu sudah hafal akan tempat ini karena dia bergerak di antara batu-batu dan bukit-bukit salju dan es itu dengan cepat tanpa ragu-ragu, kemudian dia menyelinap antara dua buah batu yang berhimpitan dengan miringkan tubuhnya. Akan tetapi baru masuk lima langkah, Yeti itu berhadapan dengan batu bulat yang amat besar dan tidak nampak ada jalan sama sekali. Hong Bu mengira bahwa tentu Yeti itu tersesat jalan, akan tetapi tiba-tiba Yeti itu menggunakan tangan kanannya untuk mendorong batu itu, sedangkan tangan kirinya masih memondong tubuh Hong Bu. Batu sebesar bukit kecil itu bergerak dan menggelinding beberapa kaki ke kiri, dan nampaklah sebuah lubang yang besarnya hanya satu meter persegi! Yeti itu menurunkan Hong Bu, menuding ke arah lubang dengan isyarat seolah-olah menyuruh Hong Bu masuk. Pada waktu itu, Hong Bu merasa sendirian saja di dunia ini, sudah tidak ada siapa-siapa lagi setelah pamannya tewas. Maka kini dia pasrah saja kepada Yeti dan dia pun merangkak masuk. Yeti itu pun masuk, akan tetapi lebih dulu dia mengerahkan tenaga dan menggunakan kedua tangannya untuk menarik batu itu menggelinding kembali menutupi lubang. Mereka lalu merangkak melalui lubang terowongan itu sampai beberapa puluh meter dalamnya dan tiba-tiba saja nampak cahaya terang dan lubang kecil itu berubah menjadi lorong yang besar dan berlantai batu. Kiranya di situ terdapat terowongan rahasia yang besar dan Yeti itu menggandeng tangan Hong Bu, diajaknya masuk terus. Mereka berjalan maju, berlika-liku melalui terowongan yang kadang-kadang gelap sekali akan tetapi adakalanya terang karena bagian atasnya terdapat lubang-lubang atau celah-celah batu dari mana sinar matahari dapat masuk.
Ketika Yeti itu akhirnya berhenti, mereka tiba di ruangan dalam puncak atau di bawah batu-batu, ruangan yang amat luas. Hong Bu merasa seperti hidup di alam mimpi. Bukan main indahnya pemandangan dari ruangan itu. Terdapat lubang-lubang besar seperti jendela dan dari sini dia dapat melihat puncak-puncak yang diliputi salju, lain bagian memperlihatkan dunia es yang bentuknya bermacam-macam dan berkilauan memantulkan sinar matahari, dan ada lagi bagian yang penuh tumbuh-tumbuhan, hal yang amat aneh sekali di puncak itu. Dan di sudut ruangan itu, agak tertutup dan sebagai penghalang, dia menemukan dua orang manusia yang sedang duduk bersila!
Akan tetapi ternyata mereka itu duduk di dalam es atau salju yang turun dari atas sehingga tempat itu tidak pernah lepas dari kurungan es. Dua mayat orang yang masih seperti hidup saja, masih lengkap pakaiannya dan melihat pakaian mereka itu, jelas bahwa mereka adalah sepasang orang muda yang tampan dan cantik, juga keduanya menunjukkan sifat gagah!
"Yeti, siapakah mereka ini...." Tak terasa lagi Hong Bu bertanya kepada Yeti seolah-olah Yeti itu adalah seorang manusia lain yang dapat bicara. Akan tetapi ternyata anehnya, Yeti menghampiri tempat itu dengan langkah lemas, kemudian melihat mayat wanita yang cantik, yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun, tiba-tiba dia menjatuhkan diri di depan kurungan es di mana wanita itu bersila, dan dia pun menundukkan mukanya dan mengeluh panjang pendek, dan dari kedua matanya bercucuran air mata pula! Tentu saja Sim Hong Bu menjadi terkejut, terheran dan juga kasihan. Dia menghampiri Yeti itu, meraba pundaknya dan berkata lirih.
"Yeti, perlu apa menangisi orang yang sudah mati" Yang mati takkan hidup kembali, dan kita yang hidup toh akhirnya akan mati juga seperti mereka ini."
Yeti itu mengeluarkan suara ah-uh, akan tetapi agaknya dia pun berhenti berduka, lalu dia mengajak Hong Bu dengan menggandeng tangannya meninggalkan arca aneh itu, menghampiri sudut di mana terdapat sebuah peti hitam. Dibukanya peti itu dan dikeluarkannya sebuah kitab catatan dan diserahkannya kepada Hong Bu. Setelah begitu, Yeti itu lalu merebahkan dirinya di sudut lain yang kering dan tak lama kemudian sudah terdengar dengkurnya!
Kasihan, pikir Hong Bu. Gerak-gerik dan sikap Yeti itu sama sekali bukan seperti binatang, melainkan seperti seorang manusia yang dirundung malang dan menderita kepedihan hati yang hebat! Maka dia lalu membawa kitab itu ke dekat "jendela" yang terang dan mulailah dia membalik lembaran pertama dari kitab itu. Kitab itu terbuat dari kertas yang sudah tua sekali, sudah menguning dan tulisannya juga sudah kabur, akan tetapi masih dapat dibaca karena ditulis dengan huruf-huruf yang kuat dan jelas. Hong Bu mulai membaca catatan itu dengan asyik, dan tahulah dia bahwa catatan itu adalah catatan yang dibuat oleh mayat pria yang seperti pendekar itu, agaknya menceritakan atau mencatat semua peristiwa yang mereka alami di tempat ini.
*** Kami adalah suami isteri yang malang, demikian catatan itu memulai. Percuma saja aku disebut Sin-ciang Eng-hiong (Pendekar Tangan Dewa) kalau ternyata aku tidak mampu melindungi diri sendiri dan isteriku. Aku, Kam Lok, hanyalah seorang laki-laki lemah yang terpaksa melarikan diri bersama isteriku karena dikejar-kejar musuh besarku yang tak dapat kulawan! Kasihan Loan Si, isteriku yang tidak dapat menikmati kehidupan suami isteri dalam rumah tangga yang tenteram karena semenjak menikah harus mengikuti aku melarikan diri.
Kami lari ke Himalaya, namun raksasa itu terus mengikuti jejak kami! Agaknya dia tidak mau menerima kenyataan bahwa dia kalah memperebutkan Loan Si yang lebih dulu suka menjadi isteriku daripada menjadi isteri raksasa yang tergila-gila kepadanya itu. Ouwyang Kwan, engkau sebagai seorang pendekar gagah, bekas sahabat baikku, kenapa tidak mau melihat kenyataan dan masih terus merasa penasaran" Ah, andaikata aku dapat mengalahkanmu pun, sukar bagiku untuk bertega hati membunuhmu, engkau sahabatku yang amat baik dan yang kutahu benar-benar amat mencinta Loan Si. Akan tetapi apa daya, sahabatku juga musuhku, Loan Si tidak membalas cintamu, cintanya melainkan untukku seorang!
Kami berhasil menemukan lorong rahasia yang tersembunyi ini, dan merasa aman tinggal di sini sampai setahun lebih! Betapa senang kami melewatkan bulan-bulan madu di tempat ini, berdua saja, mencurahkan segala cinta kasih antara kami tanpa ada yang mengganggu.
Sayang, karena ancaman Ouwyang Kwan, maka ketegangan mengisi lubuk hati isteriku sehingga hubungan kami tidak dapat menghasilkan keturunan!
Akan tetapi, kehidupan kami yang tenteram itu hanya berlangsung satu tahun saja, karena pada suatu hari, tiba-tiba muncullah Ouwyang Kwan, bekas sahabatku yang kini telah menjadi musuh besar kami itu, atau lebih tepat musuh besarku, karena dia tidak memusuhi Loan Si, bahkan sebaliknya dia amat mencintanya!
Tidak ada jalan lain bagi kami kecuali bertanding memperebutkan Loan Si! Pertandingan mati-matian di tempat ini, hal itu sudah pasti akan terjadi. Aku terpaksa menghentikan catatan ini karena kami berdua sudah berjanji untuk bertanding sekarang juga, begitu matahari terbit dan sinarnya menerangi ruangan ini. Semalam ini, mungkin malam terakhir, kuhabiskan untuk mencurahkan seluruh cintaku kepada Loan Si, isteriku. Siapa tahu, malam ini merupakan malam terakhir.
Sampai di sini, catatan itu ditulis dengan gaya tulisan lain, gaya tulisan yang halus, tulisan seorang wanita! Mereka bertanding mati-matian dan amat mengerikan, demikian tulisan wanita ini memulai. Betapa risau dan gelisah hatiku. Aku tidak dapat membantu, karena selain tingkat kepandaianku jauh lebih rendah, juga suamiku tidak menghendaki demikian. Mereka bertanding sebagai dua orang pendekar yang gagah perkasa, yang tidak menemukan jalan lain kecuali saling bertanding mati-matian untuk memperebutkan aku. Ah, betapa hancur rasa hatiku. Aku hanya mencinta Kam Lok, suamiku, mana mungkin aku harus mencinta orang lain" Mereka itu setingkat, akan tetapi semalam suamiku telah mengaku bahwa sesungguhnya, dia masih kalah kuat oleh lawannya itu. Aku hanya dapat memandang dengan gelisah dan berdoa dalam hati semoga suamiku yang akan menang.
Berjam-jam mereka bertanding dan akhirnya, apa yang kutakuti terjadilah. Suamiku roboh dengan muntah darah dan tewas setelah mengucapkan dua buah kata memanggil namaku. Aku menangis dan aku dihibur oleh Ouwyang Kwan yang menyatakan cintanya, yang bersumpah bahwa dia akan mencintaku melebihi cinta suamiku. Akan tetapi, aku benci melihat raksasa itu. Aku benci kepadanya! Aku lalu menyerangnya kalangkabut, akan tetapi dengan mudah dia menghindar, dan pergi dari tempat itu. Sesuai dengan pesan suamiku, aku membereskan pakaian jenazah suamiku, lalu mengatur dia agar duduk di sudut ruangan di mana turun salju dan es melalui celah-celah sehingga tubuhnya akan terbungkus salju dan es, dan tidak akan rusak sehingga aku dapat memandangnya setiap hari, seolah-olah dia masih hidup.
Setiap hari Ouwyang Kwan datang, membujukku, mengancamku. Akan tetapi aku bertekad untuk tidak melayaninya. Aku mengatakan kepadanya bahwa lebih baik aku mati daripada harus menjadi isterinya, bahwa aku sama sekali tidak cinta padanya, bahwa sebaliknya aku benci kepadanya. Akan tetapi orang itu sungguh keterlaluan, dia tidak mau melakukan kekerasan, sebaliknya membujuk-bujuk, memohon-mohon sehingga kadang-kadang timbul juga rasa kasihan dalam hatiku. Akan tetapi, aku berkeras tidak mau menjadi isterinya, bahkan tidak mau melayani hasratnya. Sampai setahun lebih dia terus-menerus membujukku, menyediakan segala keperluanku, bahkan dia memelihara jenazah suamiku sehingga nampak terbungkus es dan baik, tidak pernah rusak, dia menyatakan menyesal sambil menangis kalau dia melihat suamiku. Akan tetapi, aku tetap tidak mau melayaninya, bahkan aku mulai senang menggodanya, melihat dia tersiksa oleh cintanya yang tidak kubalas. Dia jelas amat menderita dan itulah hukumannya! Kadang-kadang dia menangis sendiri di sudut, lalu bicara sendiri. Aku khawatir dia menjadi gila karena rindunya dan cintanya tak terbalas dan tak terpuaskan. Aku makin menggodanya, aku sengaja berganti pakaian di depannya agar dia makin tergila-gila melihat tubuhku setengah telanjang, akan tetapi kalau dia sudah berapi-api aku lalu menghina dan mengejeknya, menyatakan benciku. Aku ingin dia memperkosaku, karena kalau hal itu terjadi, dia tentu akan terpukul hebat batinnya, tentu akan merasa menyesal sekali demi cintanya kepadaku yang kutahu memang benar-benar amat mendalam itu. Godaanku membuat dia semakin gila.
Pada suatu hari, ketika aku berada di luar, aku bertemu dengan mahluk aneh. Agaknya itulah yang bernama Yeti. Aku terkejut dan ketakutan, jatuh pingsan di depan Yeti, akan tetapi Ouwyang Kwan menyelamatkan aku, membawa lari masuk ke dalam guha dan menutup guha dengan batu besar. Yeti itu berkeliaran di luar guha sampai tiga hari mengeluarkan suaranya yang aneh. Aku ketakutan bukan main.
Dan mulai hari itu, hampir setiap hari aku melihat Yeti dan makin jarang melihat Ouwyang Kwan. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Aku menjadi nekat dan ingin menyerahkan diriku kepada Yeti! Aku ingin mengecewakan hati Ouwyang Kwan karena hatiku sakit mengingat suamiku dibunuh, akan tetapi aku sebetulnya mulai jatuh cinta kepadanya, mungkin karena kebutuhanku kepada pr
Jodoh Rajawali 19 Kesatria Berandalan Karya Ma Seng Kong Seruling Samber Nyawa 2
^