Pedang Berkarat Pena Beraksara 5

Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan I D Bagian 5


hijau itu tampaknya dia seperti merasa sangat tidak puas terhadap pemuda berbaju
biru itu, tapi agaknya pula diantara mereka berdua sudah saling mengenal cukup
rapat. Sekalipun dia merasa rikuh untuk menanyakan nama si gadis itu, tapi dari
pembicaraan si nona dia toh berhasil mengetahui juga asal usul dari pemuda berbaju
biru itu. Sekarang waktu sudah semakin larut malam dia segera masukkan botol perselen itu
kedalam sakunya, kemudian melanjutkan perjalanan menuju ke kota Sang siau.
Ketika tiba dibawah kaki kota, pintu kota sudah lama tertutup, maka diapun mencari
suatu tempat yang sepi untuk melompati dinding kota tersebut.
Mendadak dia saksikan kurang lebih tujuh delapan kaki disampingnya terdapat juga
sesosok bayangan manusia sedang melompati dinding kota dengan kecepatan
bagaikan kilat, bayangan tersebut sedang bergerak menuju ke arah sebelah timur.
Sungguh hebat sekali ilmu meringankan tubuh orang itu, hanya didalam sekejap mata
saja bayangan tubuhnya sudah lenyap tak berbekas.
Diam- diam Wi Tiong hong mengagumi kelihayan orang itu, pikirnya dihati. "Sungguh cepat gerakan tubuh orang itu, cukup dilihat dari kelihayannya dalam ilmu
meringankan badan, dapat diketahui kalau kemampuanku masih jauh ketinggalan jika
dibandingkan dengan orang itu. . ."
Setelah melompat turun dari dinding kota, buru buru dia berjalan menuju ke arah
jalan raya. Waktu itu suasana dikota masih ramai, batu saja sampai dirumah penginapan Ka cian
terlihat olehnya pelayan rumah penginapan yang dikenalnya telah datang menyambut
sam tertawa. "Kek koan, kau baru sampai?" sapanya, "kamar yang kau tempati tempo hari kebetulan lagi kosong hari ini, silahkan, silahkan."
Ia menghantar Wi Tiong hong menuju ke kamarnya, setelah membukakan pintu,
kembali katanya:
"Tampaknya kau sudah bersantap diluar" Hamba akan sediakan air teh untukmu."
"Tunggu dulu. aku belum bersantap. coba suruhlah koki untuk menyiapkan hidangan
bagiku." Pelayan itu segera mengiakan sambil mengundurkan diri dari situ.
Setelah melakukan perjalanan sekian lama, lengan kanan Wi Tiong hong sudah terasa
makin berat sehingga tak sanggup diangkat kembali, kepalanya pun mulai pusing dan
berat dia segera tahu kalau racun yang mengeram didalam tububuhnya telah bekerja.
Dengan cepat dia mengeluarkan botol porselin hadiah dari nona berbaju hijau itu,
mengeluarkan sebutir pil berwarna hitam sebesar kelengkeng, memotong menjadi
dua, setengah bagian ditelan, setengah lagi di bubuhkan ke atas mulut luka.
Baru saja ia akan menyimpan kembali botol itu, mendadak ia menyaksikan dibagian
tengah botol itu terukir sebuah tulisan yang berbentuk persegi panjang, dia amati
tulisan itu, dan terbacalah tulisan itu yang berbunyi. "Su si Lian ci" (dibuat oleh Susi).
Ketika ujung botol itu diperiksa kembali, disitu ditemukan kembali tulisan "Hui" yang lembut.
Diam-diam sianak muda itu segera berpikir. "Kalau dilihat dari tulisannya yang lembut agaknya seorang gadis, mungkin "Hui" adalah nama dari nona berbaju hijau itu."
Teringat sampai disitu, tanpa terasa didepan matanya terbayang kembali tubuh dari
sinona itu, dan ingat pula raut wajahnya yang cantik tapi dingin dan kaku. Tanpa terasa dia mulai mengelus botol porselin tiada hentinya.
Menanti diluar pintu kamar berkumandang suara langkah manusia, Wi Tiong hong
baru dia sadar dari lamunannya, cepat dia menyimpan kembali botol porselin itu.
Selesai santap malam, dia menuruti pesan dari nona berbaju hijau itu untuk menelan
dua butir pil lainnya menurut aturan, kemudian baru menyimpan kembali botol
porselin itu memadamkan lampu dan tidur.
Tidurnya kali ini amat nyenyak, ketika bangun kembali, hari sudah terang benderang.
Ketika mencoba untuk menggerakan tangannya, ternyata tangan tersebut bisa
digerakkan dengan leluasa tanpa perasaan kaku atau kesemutan, sekali lagi dia
mencoba untuk mengatur napas, ternyata tidak ditemukan suatu gejala aneh, tahulah
dia bahwa racun keji tersebut telah berhasil dipunahkan.
Maka diapun lantas duduk bersila diatas pembaringan sambil mengatur napas.
Sudah berapa hari dia tidak melakukan semedhinya, begitu latihan dilakukan segera
terasa ada udara panas yang bergerak naik mencapai dua belas Liong lo, lama
kelamaan diapun berada dalam keadaan lupa "aku".
Ketika sadar kembali, bayangan matahari sudah memenuhi jendela, dia segera
mengenakan pakaian dan membuka pintu kamar.
Pelayan muncul membawa air untuk cuci muka, katanya sambil tertawa paksa. "Kek
koan, nyenyak amat tidurmu, hamba sudah datang berapa kali, tapi melihat pintu
kamarmu masih tertutup rapat, hamba tak berani mengganggumu, sekarang sudah
mendekati tengah hari."
Sambil membersihkan muka, Wi Tiong-hong berkata, "Pelayan, sebentar jika ada
seorang Ting-ya mencariku..."
Belum habis dia berkata, terdengar dari luar pintu berkumandang suara seruan
seseorang yang nyaring: "Pelayan, apakah dikamar kelas satu terdapat seseorang yang bernama Wi-ya..."
Tampaknya baru saja membicarakan soal Cho co, si Cho co telah muncul didepan
mata. Wi Tiong-hong mengenali suara pembicaraan tersebut suara Ting ci-kang, dia menjadi
amat girang sekali, buru-buru ia melemparkan handuk dan memburu ke depan pintu
sambil berseru:
"Ting toako, siaute berada disini"
Ting ci kang muncul dengan wajah berseri-seri, begitu melangkah masuk kedalam
kamar segera ujarnya sambil tertawa: "Saudara Wi, aku telah menyusahkan dirimu
saja." "Ting toako, cepat duduk dan beristirahat..."
Pelayan tanpa diminta telah menghidangkan air teh panas untuk kedua orang
tamunya, kemudian baru mengundurkan diri.
"Ting toako, sekarang kau baru datang, sungguh membuat siaute merasa cemas
sekali," ujar Wi Tiong hong sepeninggal pelayan tersebut.
"Aah, aku tidak apa apa, Kalau siau heng dengar dan pembicaraan mereka, agaknya
kau memegang sebuah lencana Siu lo cin leng dan memaksa mereka untuk
melepaskan siau heng" Lencana Siu lo cin leng merupakan lencana yang dimiliki siu lo
cinkun dimasa lalu, apakah Kam Liu cu dari Thian sat bun yang meminjamkannya
kepadamu?"
"oooh bukan, benda itu merupakan peninggalan dari paman tak dikenalku, semula
siaute sendiripun tidak tahu kalau benda tersebut memiliki kekuasaan sebesar ini,
Untung saja Kam Liu cu bersedia memberitahukan hal ini kepadaku, Konon tempo
haripun Thian Sat nio mengundurkan diri karena telah menyaksikan lencana Siu lo cin
leng ini."
Tampaknya Ting ci kang sangat menaruh perhatian terhadap "paman tak diketahui
namanya" yang diucapkan wi Tiong hong tersebut kembali tanyanya.
"Tahukah kau, siapakah paman yang tidak kau ketahui namanya itu?"
Wi Tiong hong mendongakkan kepalanya lalu menjawab. "Bukankah tempo hari siaute
pernah memberitahukan soal ini kepada toako" siaute dibesarkan sampai dewasa oleh
orang itu, selama ini siaute selalu menganggapnya sebagai ayah kandungku sendiri,
kemudian baru ketahui kalau dia adalah pamanku, hanya dia orang tua tidak bersedia
memberitahukan namanya kepada siaute..."
Berkerut sepasang mata Ting ci kang sesudah mendengar perkataan itu, dia manggut-
manggut. "Aah, ya, betul, siau heng teringat sekarang tempo hari kau memang sudah pernan
membicarakan soal ini kepadaku."
Berbicara sampai disini, dia berhenti sejenak. kemudian sambungnya lebih jauh,
"Saudara Wi, bagaimana ceritanya hingga kau bisa berkenalan dengan Kam Liu cu dari Thian sat bun?"
Mendengar pertanyaan Wi Tiong hong segera tertawa, "Kalau dibicarakan sebetulnya
hanya merupakan suatu kebetulan saja, waktu itu siaute juga tidak tahu kalau dia
adalah Kam Liu cu dari perguruan Thian sat bun, lebih-lebih tak kuduga kalau dia akan
menyelamatkan diriku."
Secara ringkas dia lantas bercerita bagaimana ketika pagi-pagi dia hendak berangkat
keperusahaan An wan piaukiok. ditengah jalan dia menyaksikan ada orang orang
sedang mengerumuni seseorang, karena waktunya masih pagi maka diapun ikut
melihat keramaian.
Ternyata disitu terlihat seorang pengemis bertelanjang dada sedang memberi minum
ularnya dengan arak. kemudian pengemis itu meminta ongkos arak kepadanya, dan
diberinya puluhan tahil perak. sejak saat itulah merekapun menjadi berkawan.
Setelah mendengar kisah tersebut, paras muka Ting ci kang baru berusaha menjadi
kendor, lalu menyusul kemudian diapun tertawa terbahak-bahak.
"Haah...haah....haah...baru kali ini kudengar kalau ada orang berteman dalam keadaan seperti ini, tampaknya juga hanya saudara Wi saja yang mau tertipu."
"Siaute rasa walaupun Kam Liu cu adalah seorang anggota perguruan Thian Sat bun,
sesungguhnya dia adalah seorang yang gagah dan berjiwa terbuka, dia terhitung
seorang sahabat yang amat setia kawan."
Ting ci kang segera manggut-manggut sesudah mendengar perkataan itu.
"Apa yang saudara katakan memang benar" katanya, "aku hanya mengatakan bahwa didalam dunia persilatan banyak sekali penipu yg tujuannya hanya untuk memperoleh
uang bagi kepentingan pribadinya, seperti Kam Liu cu yang bersedia datang
menolongmu dikala kau sedang mengalami kesulitan, boleh dibilang jarangnya
jarang." "Ting toaku, sesungguhnya perkumpulan macam apakah Ban kiam hwee tersebut."
tiba-tiba Wi Tiong hong bertanya.
Paras muka Ting ci kang berubah agak aneh sahutnya kemudian dengan hambar: "Soal
ini Siuheng sendiri juga kurang jelas."
"Kalau kudengar dari pembicaraan Kam Liu cu, agaknya mereka pun sedang mencari
Lou bun si tersebut?"
Waktu itu Ting ci kang sedang mengangkat Cawan air tehnya siap diteguk. mendengar
perkataan itu tanpa terasa dia lantas bertanya: "Apa lagi yang dia katakan?"
Tentu saja Wi Tiong hong tak akan memperhatikan perubahan paras muka Ting ci
kang, dia hanya menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Tidak, dia tidak mengataka apa-apa, aku bertanya kepadanya benda apakah Lou bun
si tersebut" Tapi dia enggan memberitahukan kepadaku."
Ting ci kang segera mendengus dingin, "justru pihak Thian sat bun memang
bermaksud untuk mengincar Lou bun si tersebut, tentu saja mereka enggan
menjawab, pertanyaan yang kau ajukan kepadanya."
"Ting toako" ujar Wi Tiong hong keheranan, "tahukah kau benda macam apakah yang bernama Lou bun si tersebut?"
sekulum senyuman segera menghiasi wajah Tin ci kang.
"Siau-heng sendiripun pernah mendengar orang berCerita, meski yang kuketahui amat sedikit tapi tidak terhitung terlalu Cermat. Saudara Wi, tentunya kau masih ingat
bukan, berapa hari berselang ketika kau kuajak kau pergi ke kuli Sik jin tian, tujuanku tak lain adalah untuk mencari benda itu."
"Toako, bukankah kau sedang menyelidiki sebab-sebab kematian yang menimpa orang
orang Ban li piaukiok?" seru Wi Tiong-hong terkejut bercampur keheranan.
"Tentu saja hal mana pun merupakan salah satu dari titik terang yang bisa dilaCaki, tapi yang terutama adalah kabar berita tentang Lou bun si tersebut."
Ketika berbicara sampai disitu, mendadak sorot matanya dialihkan ke wajah Wi Tiong
hong, kemudian tanyanya: "Saudara Wi, masih ingatkah kau apa yang pernah
kukatakan kepadamu tempo hari?"
Wi Tiong hong menjadi tertegun mendengar pertanyaan itu, dengan mata terbelalak
serunya: "Aaah, tidak pernah.. Ting toako pernah membicarakan tentang soal apa?"
"coba pikir lagi " kata Ting ci-kang tersenyum.
Wi Tiong-hong mencoba untuk berpikir sebentar, lalu sahutnya. "Aaaah, siaute
teringat sekarang."
"Nah, kalau begitu coba katakan, apa yang telah kuberitahukan kepadamu " seru Ting-ci kang dengan mata berkilat.
oooOOooo Bab-18 "TEMPO HARI toako berjongkok ditengah semak belukar dan menemukan...." tidak menanti si anak muda itu menyelesaikan kata-katanya, dengan Cepat Ting ci-kang
telah menukas: "Benar, bagaimana dengan dibalik semak belukar."
"Toako menemukan segumpal abu tembakau didalam semak belukar tersebut, toako
pernah bilang orang itu pasti berusia lima puluh tahunan, bersembunyi dibalik semak
belukar dan kemungkinan besar ada sangkut pautnya dengan kematian yang menimpa
orang-orang perusahaan pengawalan barang Ban li piaukiok."
"Yaaa, benar, benar, memang siaute hanya mengucapkan perkataan ini," sahut Ting cikang sambil menghembuskan napas panjang.
"Kemudian, bukankah kita lantas meninggalkan tempat itu dan berangkat menuju
kerumah petani itu?"
Ting ci kang manggut2.
"Kalau begitu mungkin aku benar-benar tak membicarakan soal apa-apa lagi, aaai ...
padahal pelbagai ingatan dan persoalan serasa berkecamuk dalam benakku, aku
benar-benar merasa tak tahu harus membicarakan tentang apa."
Wi Tiong hong mengetahui kalau toakonya sedang murung dan risau karena tidak
berhasil menemukan sesuatu titik terang apapun, maka segera hiburnya.
"Toako, sekalipun kau telah memberikan janjimu kepada pihak Bu tong pay, namun
aku rasa kaupun tak usah terlalu tergesa-gesa cepat atau lambat persoalan ini pasti
akan menjadi terang juga dengan sendirinya . . ."
Walaupun dimulut dia berkata demikian, hatinya selalu memikirkan tentang masalah
"Lo bun si" tersebut, tak tahan dia lantas bertanya:
"Ting toako, kau masih belum menerangkan kepadaku, benda macam apakan yang
dinamakan Lou bun si tersebut?"
Ting ci kang segera tertawa hambar: "Konon bentuk Lou bun si itu menyerupai sebuah pena kemala."
"Pena kemala?" seru si anak muda itu keheranan, "apa anehnya dengan benda semacam itu?"
Ting ci kang memandang sekejap ke arahnya lalu tertawa, katanya kemudian, "Kalau
Cuma sebatang pena kumala saja. tentu saja benda tersebut tak bisa disebut benda
mestika." "Lantas apakah mempunyai suatu kegunaan yang lain ?"
"Tentu saja." jawab Ting ci-kang sambil mendehem, "menurut berita yang tersiar dalam dunia perailatan, barang siapa berhasil mendapatkan pena kemala tersebut,
maka dia akan menjadi seorang jagoan yang tiada tandingannya di dunia ini."
Tanpa terasa Wi Tiong-hong menjadi tertarik sekali, dengan mata terbelalak lebar
serunya: "Aah, benarkah ada kejadian semacam ini?"
"orang pertama yang berhasil menemukan Lou bun si paling awal adalah ayah
angkatku Thi pit teng kan kun (pena baja penenang jagad) Tan Pek-li, yaitu pangcu
angkatan yang lalu dari perkumpulan Thi pit pang, kejadian ini berlangsung pada tiga
puluh tahun berselang, waktu itu dalam dunia persilatan sedang terjadi kekacauan
yang amat hebat, orang-orang yang hidup pada jaman itu saling memperebutkan
kekuasaan dan kedudukan sehingga banyak pertumpahan darah dan permusuhan
yang terjadi pada jaman itu."
Sinar matanya dialihkan kelangit langit ruangan seperti lagi mengenang kembali
kejadian lampau, kemudian setelah berhenti sejenak katanya lebih lanjut: "Ayah
angkatku merasa amat gusar sekali menyaksikan kerakusan orang-orang persilatan
waktu itu yang sama-sama mengincar pena wasiat yang berhasil ditemukan olehnya,
dalam marahnya pena tersebut segera dihancur lumatkan menjadi bubuk. Baru pada
saat itulah semua orang tahu kalau pena Lou bun si yang berhasil diperoleh ayah
angkatku itu tak lebih cuma sebatang Lou bun si palsu... Konon Lou bun si semuanya
terdiri dari tiga batang, dua palsu dan satu asli, yang didapatkan ayah angkatku tak
lebih adalah yang palsu....
Dalam gusarnya ayah angkatku lantas mendirikan perkumpulan Thi pit pang, dia orang
tua membangun perkumpulan pena besi itu tak lain ingin memberitahukan kepada
semua orang kalau dengan mengandalkan sebatang pena bajapun dia masih bisa
malang melintang dalam dunia persilatan tanpa bantuan dari Lou bun si."
"Ayah angkat toako ini benar-benar berjiwa gagah dan tak malu disebut sebagai
seorang enghiong" puji wi Tiong hong dengan wajah Serius.
"Aaah, saudara Wi terlalu memuji, sewaktu ayah angkatku mendirikan perkumpulan
Thi pit pang, diapun menetapkan pula peraturan."
"Peraturan apakah itu?"
"Setiap anggota perkumpulan Thi pit pang dilarang untuk mengincar Lou bun si lagi untuk selamanya."
"Mungkin maksud ayah angkat toako dengan menurunkan peraturan ini adalah
dengan harapan agar anggotanya tidak sampai terlibat lagi didalam persoalan
perebutan pena tersebut."
Berkilat sepasang mata Ting cikang, katanya setelah tertawa terbahak-bahak:
"Hahahaha, tapi tiga puluh tahun kemudian, Thi-pit-pang toh terlibat kembali didalam pertikaian ini..."
"Kalau begitu benda yang dikawal oleh Ban li piaukiok sebenarnya adalah pena
mestika Lou bun si ?"
Ting ci kang segera tertawa dingin.
"Perusahaan Ban li piaukio pada dasarnya dibuka oleh pihak Bu tong pay, sedangkan kunjiu Siau Beng san tak lebih hanya ditugaskan untuk mengurusinya belaka, kau
anggap barang kawalan apa yang mereka bawa kali ini ?"
"Menurut berita yang tersiar dalam dunia persilatan, entah dari mana mereka telah berhasil mendapatkan Lou bun si dan sedang dalam perjalanan menuju ke Bu tong
san-Keng-hian, Keng jin jelas merupakan jago jago Bu Tong pay yang khusus dikirim
untuk menyambut kedatangan adik seperguruannya."
"Tapi, bukankah Ma koan tojin, Thi-lohan serta sinaga tua berekor botak sekalian juga telah terjatuh ketangan pihak Ban kiam hwee" Sudah pasti kedatangan mereka pun di
karenakan soal Lou bun si tersebut, sungguh tak ku sangka hanya disebabkan sebatang
pena kemala, begitu banyak orang yang berubah matanya karena ingin
mendapatkannya?"
Ting ci kang hanya mengiakan pelan, sambil bangkit berdiri segera ujarnya: "Saudara Wi, kini waktu sudah menunjukkan tengah hari, mari kita keluar untuk bersantap.
siauheng masih ada persoalan yang hendak dirundingkan denganmu."
"Ting toako masih ada urusan apa lagi?"
Ting ci kang tertawa. "Pada hal juga tak ada apa-apa, mari sambil bersantap kita
berbincang-bincang lagi."
Setelah keluar dari rumah penginapan itu, mereka berdampingan menelusuri jalan
raya. Sepasang mata Ting ci kang tiada hentinya celingukan kesana kemari sambil
memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang disepanjang jalan raya itu.
Tidak selang berapa saat kemudian, mereka sudah mendekati rumah makan
Hweepeng loo, dari kejauhan sana suara teriakan para pelayan dan suara koki
mencincang daging sudah kedengaran amat jelas. Sambil berpaling Ting ci kang segera


Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkata. "Dalam kota Sang siau, rumah makan Hwee Peng lo boleh dibilang rumah makan
paling terkenal dan tamu paling banyak. mari kita menuju kesana saja."
"Bukankan siautepun berkenalan dengan Ting toako dirumah makan Hwee pang lo
juga" Hari ini tentu saja kita harus berkunjung ketempat itu lagi."
"ooooh, benar, setelah berada ditempat perkenalan, kita berdua sudah seharusnya
minum beberapa cawan arak." sahut Ting ci kang sambil tertawa.
setibanya diatas loteng, betul juga hampir semua tempat telah berisi tamu. Pelayan
segera membawa mereka berdua menuju kedepan sebuah meja yang masih kosong.
Ting ci kang memperhatikan dulu semua tamu yang berada dalam ruangan itu,
kemudian baru duduk. memesan sayur dan arak.
Menanti pelayan itu sudah pergi, dia baru berbisik kepada Wi Tiong hong.
"Selama beberapa hari belakangan ini, setiap saat kemungkinan besar kita akan bersua dengan umat persilatan di kota Sang siau ini, kalau berbicara harap sedikitlah berhati hati."
"Ting toako, kau telah menjumpai siapa ?"
"Dalam rumah makan yang begini luas, pelbagai macam manusia berkumpul semua
disini aku hanya memperingatkan kepadamu saja."
"Akan siaute ingat selalu ?"
Mendadak dia berseru tertahan, kemudian katanya lagi. "Aaah, tadi siaute hampir lupa memberitahukan kepada toako, semalam hampir saja aku kena dicelakai orang."
"Manusia macam apakah yang hendak mencelakai dirimu ?" tanya Ting ci kang sambil menatap wajah pemuda itu.
Secara ringkas Wi Tiong hong lantas menceritakan pengalamannya sewaktu berjumpa
dengan pemuda berbaju biru semalam.
Selesai mendengarkan penuturan itu, dengan kening berkerut Ting ci kang segera
berkata dingin, "Tampaknya keluarga Lan dari in lam juga telah berdatangan kemari."
Kemudian setelah mendongakkan kepalanya dia berkata lagi. "Jarum beracun dari
keluarga Lan jahat dan berbahaya sekali, barang siapa terkena serangannya maka tak
sampai satu jam seluruh badannya akan menjadi kaku dan akhirnya lumpuh, bahkan
Siang tak bertemu malam, malam tak bertemu Siang, orang-orang Thian sat bun
mustahil bisa memunahkan racun keji itu. Saudara Wi, mengapa kau bisa selamat
tanpa mendapatkan gangguan apa apa?"
Mendengar perkataan itu, diam-diam Wi Tiong hong berpikir. "Ternyata jarum
beracun dari keluarga Lan betul-betul sedahsyat itu, kalau begitu nona berbaju biru itu memang tidak sengaja membohongi aku" Berpikir sampai disitu, dengan wajah
memerah segera sahutnya,
"Tak lama setelah pemuda berbaju biru itu pergi, muncul kembali seorang nona
berbaju hijau, dia menghadiahkan tiga butir pil kepada siaute, katanya tiga jam
kemudian nyawa siaute tak akan berbahaya lagi. . ."
Tapi berhubung diatas botol porselennya terukir nama nona berbaju biru itu, apa lagi
dla, masih muda dan malu-malu kucing, maka pemuda tersebut merasa rikuh untuk
mengeluarkan botol tersebut dan diperlihatkan kepada Ting toakonya.
Ting ci kang kelihatan tertarik sekali akan nona berbaju hijau itu, kembali dia bertanya:
"Waktu itu apakah kau, dapat melihat jelas berapa usianya dan bagaimanakah
tampang mukanya?"
sekali lagi paras muka Wi Tiong hong berubah menjadi merah padam karena jengah.
"Nona itu berbaju hijau, usianya diantara tujuh delapan belas tahunan dan berwajah amat.. .. amat cantik..."
Melihat paras muka pemuda itu merah padam sampai ke telinganya, Ting ci kang
menjadi amat geli, serunya kemudian: "Apalagi yang dia katakan kepadamu ?"
Ditertawakan orang, wi Tiong hong semakin tersipu-sipu dibuatnya, dia tak mampu
berbicara lagi, maka sambil menggelengkan kepalanya berulang kali katanya:
"Tidak, tidak. nona itu tidak berkata apa- apa lagi, setelah memberi tiga butir pil itu kepadaku, diapun segera berlalu meninggalkan aku?"
Sekilas perasaan kaget dan keheranan menghiasi wajah Ting ci kang, setelah
termenung sejenak dia berkata lagi: "Siapakah nona berbaju hijau itu" padahal racun jarum dari keluarga Lan hanya bisa di bebaskan oleh obat penawar kasusnya, siapa
pula yang bisa memunahkan racun itu?"
Sementara pembicaraan berlangsung pelayan telah datang menghidangkan sayur dan
arak. maka mereka berduapun tidak banyak berbicara lagi.
Wi Tiong-hong mengambil poci arak dan memenuhi cawan Ting ci kang terlebih dulu
dan kemudian baru memenuhi cawan sendiri, setelah itu sambil mengangkat
cawannya dia berkata: "Tiong toako, siaute menghormati secawan arak untukmu,"
Ting ci-kang tertawa bergelak. "Haaahh... haaahhh... haaahhh... hari ini sepantasnya kalau siau-heng yang menghormati dirimu lebih dulu."
Mereka berdua saling menghormati dan meneguk habis isi cawan masing-masing.
"Ting toako." tanya Wi Tiong hong kemudian, "tadi bukankah kau bilang ada sesuatu persoalan yang hendak dibicarakan kepada siaute " persoalan apakah itu ?"
"Aaah, tidak ada apa-apa, siau-heng bermaksud untuk pulang dan memberesken
beberapa persoalan perkumpulanku, maka dari itu aku bermaksud untuk mengajakmu
untuk menginap beberapa hari dalam perkumpulanku, aaai., .selanjutnya siau heng
pun masih banyak memohon bantuanmu."
Wi Tiong hong segera teringat kembali dengan pesan Kam Liu cu sebelum pergi
meninggalkannya, agar jangan menceburkan diri di dalam persoalan tersebut.
Tapi Ting toako adalah sahabat pertama yg dikenalnya,jadi orang berhati lurus dan
gagah apa lagi setelah dia menyatakan sendiri keinginannya untuk memohon bantuan,
sudah barang tentu sulit rasanya baginya untuk menampik permohonan tersebut.
Berpikir sampai disini, dia lantas mendongakkan kepalanya dan menjawab cepat:
"Ting toako, mengapa kau harus berkata begitu, siaute baru terjun kedalam dunia
persilatan, dengan toako akupun merasa seperti sahabat lama saja, asal kau
membutuhkan bantuan siaute, silahkan saja toako utarakan maksudmu."
Perasaan terima kasih segera menghiasi raut wajah Ting ci kang.
"Aku orang she Ting merasa beruntung sekali dapat berkenalan dengan seorang teman seperti kau, hal ini Sungguh luar biasa sekali."
Selesai berkata ia meneguk habis isi cawannya, lalu berkata lebih lanjut.
"Saudara Wi, aku sudah berapa hari datang kemari, sekarang kau perlu buru-buru
pulang kerumah, bagaimana kalau kita berangkat selesai bersantap nanti?"
Mendadak Wi Tiong hong teringat kembali dengan pesan Tok Hay-ji yang meminta
agar menyampaikan kabar, maka dia lantas berseru: "Ting toako, bagaimana kalau
besok saja kita baru berangkat ?"
"Apakah kau masih ada urusan ?"
"Siaute masih harus menyampaikan pesan dari seseorang lebih dulu."
"Pesan" Pesan dari siapa ?" tanya Ting ci kang keheranan.
oooooo "PESAN dari Tok Hay-ji" Wi Tiong-hong secara berbisik lirih.
"Tok Hay-ji ?" sekujur tubuh Ting ci kang tergetar keras, sorot matanya memandang wajah Wi Tiong-hong lekat-lekat, kemudian tanyanya dengan Cepat: "Dia minta
kepadamu untuk menyampaikan pesan itu kepada siapa ?"
"Kepada hongtiang dari kuil Pau in si di pintu kota sebelah selatan..."
Ting ci kang semakin tercengang lagi, setelah termenung dan berpikir sebentar
kembali dia berkata: "Ketua dari kuil Pau in si adalah murid Siau limpay, masa Tok Hay ji menyuruhmu menyampaikan pesannya pada orang Siau lim si?" setelah berhenti
sejenak, kembali tanyanya: "Apa yang dia sampaikan kepadamu ?"
"Dia hanya menyampaikan beberapa patah kata saja."
"Perkataan apakah itu ?" Ting ci kang mendesak lebih jauh.
Wi Tiong hong segera mencelapkan jari tangannya kedalam cawan arak lalu menulis di
atas meja: "Diatas undak undakan pintu kiam bun, dalam gua masuk kayu",
Ting ci-kang memperhatikan tulisan itu beberapa saat, membacanya dengan suara
lirih, kemudian dengan kening berkerut katanya:
"Apakah hanya tulisan itu" Mungkinkah kata-kata itu merupakan suatu sandi rahasia?"
"Mungkin saja, karena siaute sendiripun tidak berhasil menebak maksud tulisan
tersebut."
"Jika setiap orang tak bisa menebaknya, itu berarti tulisan tersebut bukan suatu kata sandi," kata Ting ci kang sambil tertawa.
"Yaa, kalau dibilang memang mirip... misalkan saja tulisan dibawah undak undak pintu Kia in bun.,.sudah jelas yang dimaksudkan adalah penjara bawah tanah dari
perkumpulan Ban kiam hwee, tapi apa pula arti kata dari dalam gua masuk kayu"
Bagaimana penjelasannya..?"
Melihat Ting ci kang membungkam diri sambil termenung, Wi Tiong hong juga
membungkam diri sambil termenung.
Beberapa saat kemudian, mendadak Ting ci kang mendongakkan kepalanya dan
menatap wajah Wi Tiong hong lekat-lekat, kemudian katanya:
"Saudara Wi, apakah kau tetap akan menyampaikan pesannya itu sampai ketempat
tujuan?" "Tentu saja, mendapat titipan dari orang merupakan kebaktian seseorang terhadap
masyarakat, apalagi setelah siaute sanggupi, tentu saja aku harus melaksanakan
dengan se-baik2nya."
"orang orang dari Tok Seh Sia tiada seorang pun yang tidak beracun..."
Dia seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi setelah sampai ditengah jalan tiba-tiba
dia merubah kata-katanya.
"Apa yang kau ucapkan memang benar, setelah menyanggupi memang sudah
sepantasnya kalau kabar tersebut disampaikan ketempat tujuan... tapi yang membuat
orang tidak habis mengerti adalah Go beng hoatsu tersebut, sudah jelas dia berasal
dari partai Siau lim, mengapa bisa berhubungan dengan orang orang dari selat pasir
beracun?" Beberapa kata yang terakhir itu hanya digumamkan seorang diri saja.
Untuk sesaat Wi Tiong hong tak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan itu,
terpaksa dia hanya membungkam diri dalam seribu bahasa.
Ting ci kang segera mengalihkan kembali sorot matanya kearah si anak muda itu,
kemudian bertanya lagi:
"Saudara Wi, kau berencana kapan akan pergi ke Kuil Pau in si untuk menyampaikan
pesan tersebut ?"
"Tok hay-ji pernah mengatakan kalau persoalan ini sangat penting artinya dan
menyangkut keselamatan seseorang, dia minta kepada siaute agar menyampaikan
kabar tersebut didalam sepuluh hari mendatang, karena itu siaute pikir seusai
bersantap nanti aku hendak mengajak toako untuk bersama sama berangkat ke sana."
Ting ci kang segera tertawa dingin.
"Dia sudah menjadi tawanan orang dipenjara bawah tanah, pesan itu sudah pasti
merupakan pesan memohon bantuan yang menyangkut pula dengan keselamatan jiwa
seseorang. Kata- kata sandi rahasia itu meski tak bisa kupecahkan artinya, namun
kemungkinan besar menyangkut sesuatu rahasia besar, Banyak persaalan dalam dunia
persilatan yang tidak ingin diketahui orang luar, apalagi Tok Hay-ji minta kepadamu
untuk menyampaikan pesan pentingnya, siau heng rasa kurang baik kalau aku turut
serta, Saudara Wi, lebih baik kau berangkat saja lebih dulu, sebentar aku akan
menantikan dirimu diluar kuil saja dari pada memancing kecurigaan orang."
"Perkataan toako ada benarnya juga, soal ini siaute tak pernah memikirkannya."
Maka setelah selesai bersantap. Wi Tiong hong segera bangkit berdiri dan menuruni lo
teng tersebut. Memandang hingga bayangan punggung si anak muda itu lenyap dari pandangan
mata, Ting ci kang tersenyum, sinar matanya seperti sengaja tak sengaja melirik
sekejap kemeja yang berada disebelah kanannya, kemudian ia berdiri, pelan pelan
menuju ke meja kasir dari membayar rekeningnya.
orang yang duduk dimeja sebelah kanan adalah seorang lelaki yang berdandan sebagai
seorang saudagar, belum habis araknya diminum, mendadak dia bangkit berdiri pula,
dan buru-buru menuju kemeja kasir untuk membereskan rekeningnya pula. Kedua
orang itu hampir pada saat yang bersamaan tiba didepan meja kasir itu.
Ting ci kang tidak buka suara, tapi dia berpaling dan berpandangan mata dengan lelaki
berdandan saudagar itu, kemudian setelah membayar diapun berlalu. Lelaki
berdandan saudagar itu turut membayar rekening dan berlalu pula dari situ.
Dirumah makan, membayar rekening pada saat yang bersamaan merupakan suatu
kejadian yang lumrah dan tidak menarik perhatian orang, tapi justru pada waktu itu
ada orang yang memperhatikannya dengan seksama.
Mereka adalah kakak beradik dua orang yang sedang duduk ditepi jendela. Kakak
beradik itu seperti orang dusun yang masuk kota untuk menengok famili.
Si kakak lelaki berwajah kuning dan berbaju warna biru, dandanannya seperti seorang
siucay yang tidak lulus ujian negara.
Sedang si adik perempuan berwajah desa dan memakai baju yang amat kasar.
Waktu itu si adik sedang makan bakmi dengan menundukkan kepala, mendadak ia
berbisik sambil mengerdipkan matanya: "Toako, sudah kau lihat belum ?"
Si siucay itu segera menghentikan cawan araknya sambil bertanya: "Melihat apa ?"
"Tampaknya Ban Kiam hwee masih belum mau melepaskannya dengan begitu saja."
"Tentu saja tak akan melepaskannya dengan begitu saja" sahut si siucay acuh tak acuh,
"Lantas kau...."
"Tentu saja tak akan melepaskannya dengan begitu saja."
"Lantas kau..."
"Kita buka pengawalan saja bagaimana?" kata si siucay sambil tertawa.
"Jadi toako sudah tak mau campur lagi?" Siucay itu berkerut kening, lalu katanya.
"Aku sudah berulang kali menasehati dirimu, lebih baik cepat-cepatlah meninggalkan kota Sang siau dan jangan menceburkan diri didalam pertikaian ini."
"Tapi, apa yang mereka bicarakan apakah tidak kau dengar semua?" seru si adik.
"Kalau dari jarak sedekat ini masih tak kedengaran, kecuali kalau telinga kita sudah tumbuh diatas batu."
"Toako, kalau begitu coba katakan kepadaku, mereka telah pergi ke mana?"
"Kuil Pau in si di kota selatan."
"Aku pun ingin menengok kesana."
"Baik, baik, kalau kau ingin pergi, pergilah sendiri, aku mah takpunya waktu untuk menemanimu."
"Baik, aku akan pergi sendiri."
"Sam-moay." tiba tiba siucay berkata sambil mengangkat bahunya, "Heran, tak pernah kulihat kau menaruh perhatian seserius ini terhadap orang lain."
Merah padam selembar wajah si adik karena jengah, bisiknya jengkel: "Toako, kau
pandai sekali menggoda."
"Sudahlah, kalau hendak pergi, pergilah cepat. Mungkin persoalannya akan lebih rumit lagi."
Waktu itu si adik sudah bangkit berdiri. Mendadak dia berhenti lagi dan katanya seraya berpaling.
"Sebenarnya kau masih sempat mendengar apa lagi ?"
Siucay itu mengangkat cawannya dan mengeringkan isinya, kemudian sambil
membersihkan bibir dia menyahut: "Biar kupikirkan dulu, nanti kita bicarakan lagi."
Si adik segera mendepak-depakkan kakinya dengan mangkel, meski dimulut tidak
mengatakan apa- apa, namun dalam hati dia mendamprat. "Huuuh, dasar setan
arak..." Dia lantas membalikkan badan dan dengan kepala tertunduk meninggalkan loteng itu.
oooOOooo Bab-19 DALAM PADA ITU, Wi Tiong hong telah berangkat ke kota sebelah selatan sepeninggal
dari rumah makan Hwee-peng-lo, tampak pegunungan membenteng didepan mata,
pepohonan amat rimbun dan pemandangan alamnya sangat indah.
Berapa lie kemudian, tampaklah kuil Pau-in si berdiri angker didepan mata.
Diantara pepohonan siong yang lebat, berdiri sebuah bangunan kuil yang melekat
pada kaki bukit, memandang dari kejauhan bangunan tersebut kelihatan angker sekali.
Wi Tiong hong segera mempercepat langkahnya melewati sebidang tanah kosong dan
sampailah didepan kuil itu.
Didepan pintu gerbang terpampang sebuah papan nama besar yang bertulis kan "PAU-
IN SIAN-SI."
Diam-diam dia lantas berpikir.
"Tampaknya kuil Pau-in-si ini mempunyai pamor yang cukup besar, menurut toako,
ketua kuil ini Gho-beng hoatsu berasal dari kuil Siau lim si, tapi, mengapa Tok Hay ji suruh aku menyampaikan pesannya kepada ketua kuil ini" sungguh janggal dan
mencurigakan sekali peristiwa ini..."
Sambil berpikir dia lantas berjalan masuk kedalam pintu kecil, melewati ruangan utara
dan menaiki anak tangga batu, tampak asap dupa memenuhi seluruh ruangan utama.
Sementara dia masih celingukan kesana kemari memperhatikan sekeliling tempat itu
mendadak terdengar suara pujian kepada sang Buddha bergemu dari sisi tubuhnya.
"Omitohud, sicu hendak memasang hio ataukah hendak membayar kaul ?"
Karena mendengar ada suara orang yang menegur, Wi Tiong hnng segera berpaling,
tampak olehnya seorang pendeta berusia pertengahan dengan sepasang tangan
merangkap di depan dada pelan-pelan berjalan menghampirinya.
Walaupun pendeta itu wajah penuh senyuman, namun kerdipan matanya
memperlihatkan kelicikan orang itu.
Buru-buru Wi Tiong-hong menjura sambil menjawab, "Bukan, bukan, aku datang untuk
mencari ketua kuil kalian."
Dengan sorot mata sengaja tak sengaja sinar mata pendeta setengah umur itu melirik
sekejap pedang berkarat yang tersoren dipinggang Wi Tiong hong, kemudian sambil
menarikkan balik senyuman, ia berkata dengan dingin: "Sicu, ada urusan apa kau
datang mencari hongtiang kami?"
Betul-betul seorang hwesio yang mata duitan, karena Wi Tiong hong hanya
mengenakan jubah panjang berwarna hijau dengan menyoren sebilah pedang yang
telah berkarat, maka paras mukanya segera berubah menjadi dingin dan hambar.
Wi Tiong hong sama sekali tak ambil perduli terhadap sikap lawannya, ia tetap
menjawab sambil tersenyum.
"Aku mendapat pesan dari seseorang untuk berjumpa dengan hongtiang kalian."
Sekali lagi mencorong sinar tajam dari balik mata pendeta setengah umur itu, buru-
buru serunya. "Hongtiang kami jarang sekali bertemu dengan tamu, bila sicu ada persoalan katakan saja kepada pinceng, hal ini toh sama saja."
Wi Tiong hong tidak menjawab, dia hanya menunjukkan keragu-raguannya.
Kembali pendeta berusia pertengahan itu berkata, "Pinceng Giotong, Hongtiang kuil ini adalah suhengku, tentunya sicu sudah percaya bukan sekarang " Mari, ikutilah pinceng
menuju ke ruang tamu."
Timbul kecurigaan didalam hati Wi Tiong hong, dia sama sekali tidak bergerak. hanya
katanya sambil tertawa hambar.
"Tentu saja aku percaya dengan Toa suhu, cuma aku mendapat titipan dari seseorang untuk disampalkan sendiri kepada Hongtiang,sebab itu bagaimanapun juga aku harus
bertemu dahulu dengan Hongtiang sebelum dapat membicarakannya."
Pendeta setengah umur itu kembali mengerdipkan matanya berulang kali, senyuman
licik sekali lagi menghiasi wajahnya.
"Sicu kalau kau bersikeras hendak berjumpa Hongtiang, tolong beritahukan lebih dulu kau telah mendapat titipan dari siapa, agar pinceng bisa memberi laporan ke dalam."
Mendengar perkataan itu, diam-diam Wi Tiong-hong berpikir: "Perkataan ini ada
benarnya juga, untuk memberi laporan memang sehurusnya kuberitahukan lebih dulu
titipan tersebut berasal dari siapa."
Baru saja ingatan tersebut melintas dalam benaknya, mendadak tampak sesosok
bayangan manusia berkelebat masuk dari ruang belakang, kemudian muncul ah
seorang hwesio cilik berusia lima enam belasan tahun yang berwajah bersih.


Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Begitu munculkan diri, dia lantas merangkap tangannya didepan dada memberi
hormat, lalu berkata: "Sicu apakah kau hendak berjumpa dengan guruku" Mari siau
ceng membawa jalan untukmu."
Hawa amarah segera melintas diatas wajah pendeta setengah umur itu, tapi hanya
sebentar saja, kemudian sambil tertawa dia pun berkata.
"oooh, suheng telah bangun" Sicu, bila kau ingin berjumpa dengan Hong-tiang,
silahkan saja masuk mengikutinya."
Sekalipun Wi Tiong hong sama sekali tidak berpengalaman dalam dunia persilatan,
namun diam diam dia merasa keheranan juga, secara lamat-lamat dia dapat
merasakan pula sesuatu suasana yang serba aneh didalam kuil Pau in si tersebut.
Maka dia segera menjura seraya berkata: "Kalau begitu harap siau suhu suka
membawa ku kedalam."
Hwesio cilik itu tidak berbicara lagi dia segera membalikkan badan dan membawa Wi
Tiong hong menuju kehalaman belakang.
Setelah melewati dua buah halaman luas dan melangkah masuk kebalik pintu bulat,
mendadak hwesio cilik itu berpaling sambil bertanya.
"Tadi membicarakan apa-apa, taysu itu hanya bertanya ada urusan apa aku datang
menjumpai Hongtiang?"
Hwesio cilik itu segera mendengus. "Hmm, dia memang selamanya tak pernah
berpikiran baik."
Wi Tiong hong merasa kurang leluasa buat menjawab perkataan itu, maka itu dia
hanya membungkam saja.
Kembali hwesio cilik itu berkata: "Sicu, obat penawarnya sudah kau bawa?"
Sekali lagi Wi Tiong hong menjadi tertegun dibuatnya.
"Aku hanya mendapat pesan dari seseorang untuk disampaikan kepada hongtiang
kalian, siau... suhu, mungkin kau salah melihat orang ?"
Hwesio cilik itupun kelihatan agak tertegun setelah berpaling dan memandang sekejap
kearah Wi Tiong-hong, katanya lagi: "Jadi kau bukan suruhan tosu she Seh tersebut ?"
"Bukan," jawab wi Tiong hong menjelaskan.
Hwesio cilik itu kelihatan agak kecewa, dia segera berguman seorang diri. "Seputuh hari kemudian ia bilang bakal ada orang datang, bukan kau orangnya yang
dimaksudkan ?"
Begitu mendengar kata "sepuluh hari kemudian", wi Tiong hong segera teringat kembali dengan pesan Tok Hay-ji yang menyuruhnya menyampaikan ditempat tujuan
sepuluh hari kemudian, bukankah hal itu tempat sekali kalau dicocokkan satu sama
lainnya. Tapi berhubung dia tidak mengetahui keadaan yang sesungguhnya, maka si anak muda
itu hanya membungkam diri.
Tak selang beberapa saat kemudian, mereka sudah berada didalam sebuah halaman
yang tenang. hwesio cilik itu segera bertanya lagi.
"Sicu, siapakah namamu Siau-ceng harus mengetahuinya sebelum melaporkan pada
suhu." "Aku adalah Wi Tiong-hong."
"Harap sicu menunggu sebentar."
selesai berkata dia lantas menyelinap masuk kedalam sebuah ruangan didepan sana.
Tak lama kemudian ia sudah mencul kembali seraya berkata. "Suhu mempersilahkan
wi sicu masuk."
Setelah melangkah ke dalam ruangan tampak diatas sebuah pembaringan kayu duduk
dengan bersila seorang hwesio tua yang kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang,
sepasang matanya terpejam rapat, tampaknya sedang bersemadi.
Ketika mendengar suara langkah dari Wi-Tiong hong, dia segera membuka matanya
dan mengawasi si anak muda itu sekejap. sambil merangkap tangannya memberi
hormat, dia berkata.
"Wi sicu, maaf kalau lolap tak leluasa untuk berjalan sehingga tidak dapat menyambut kedatanganmu."
"Tidak usah sungkan-sungkan Lo suhu, maaf jikalau kedatangan aku ini telah
mengganggu ketenanganmu." buru-buru wi Tiong hong balas memberi hormat.
"Sicu silahkan duduk." hwesio tua itu menunjuk kesebuah kursi disisi pembaringannya.
Wi Tiong hong menurut dan segera duduk. hwesio cilik itu segera menghidangkan air
teh. "Wi sicu, silahkan minum air teh." kembali hwesio tua itu berkata, "dari muridku, lolap dengar sicu mendapat titipan dari seseorang dan ingin berjumpa dengan diriku, entah
persoalan apakah itu ?"
"Aku mendapat titipan dari seseorang untuk menyampaikan sepatah kata pesanan."
Belum habis dia berkata, mendadak hwesio tua itu sudah mendongakkan kepalanya,
lalu dengan sepasang mata memancarkan cahaya kilat bentaknya dalam-dalam: "Siapa
yang berada diluar" "
Wi Tiong hong menjadi, tertegun setelah mendengar bentakan itu, pikirnya. "hwesio
tua ini bertubuh kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang, tak nyana kalau tenaga
dalamnya telah mencapai puncak kesempurnaan yang luar biasa."
Mendadak dari luar pintu kedengaran seseorang menjawab. "Siaute Gho-tong, apa
penyakit yang suheng derita sudah agak baikan" "
Pelan-pelan paras muka hwesio tua itu pulih kembali seperti sedia kala, dia berkata:
"Sutekah" Ih-heng sudah merasa agak baikan, ada urusan apa sute datang kemari?"
"Aaah, tidak, siaute hanya ingin menanyakan keadaan suheng saja."
Kemudian kedengaran suara langkah pergi dan makin lama suaranya semakin
menjauh. sekali lagi Wi Tiong-hong berpikir:
"Hmmm, tampaknya Gho tong memang sengaja datang kemari untuk menyadap
pembicaraanku."
"Pesan yang dibawa oleh Wi sicu sudah tentu untuk lolap. entah siapakah yang
memberikan pesan tersebut kepadamU?"
"Dia bernama Tok Hay ji "
"Tok Hay-ji?" Hwesio tua itu termenung sebentar, "diantara orang-orang yang lolap kenal, sama sekali tidak terdapat seseorang yang bernama Tok Hay ji...."
Wi Tiong hong menjadi tertegun setelah mendengar perkataan ini, jelas sekali Tok Hay
ji suruh dia membawa kabar itu buat Hongtiang dari kuil Pau in si, mungkinkah dia
keliru" "Suhu, mungkin Tok Hay ji itu memang berasal satu komplotan dengan tosu she Seh
tersebut?" si hwesio cilik itu mengemukakan pendapatnya.
Hwesio tua itu segera manggut-manggut. "Yaa, mungkin memang begitu, dia pernah
bilang dalam sepuluh hari mendatang bakal ada orang datang kemari. . . ."
Berbicara sampai disitu, dia lantas mendongakkan kepalanya sambil bertanya. "Wi
sicu, tolong tanya pesan apakah yang dia titipkan agar disampaikan kepadaku?"
Wi Tiong-hong memandang sekejap kearah hwesio cilik itu, kemudian menjawab, "Dia
menuliskan kata-kata tersebut diatas tanganku, konon persoalan ini penting sekali
artinya, selain lo-suhu tak boleh diketahui orang lain... ."
"Ooh," hwesio tua itu segera berpaling ke arah hwesio cilik itu kemudian pesannya:
"Berjaga-jagalah didepan pintu, jangan biarkan ada orang yang menyadap
pembicaraan kami."
Dengan pandangan gusar hwesio cilik itu melotot sekejap kearah Wi Tiong hong,
kemudian dengan uring-uringan dia mengundurkan diri dari tempat itu.
"Nah, Wi-sicu sekarang katakanlah." ujar si hwesio tua itu kemudian-Wi Tiong hong celupkan tangannya kedalam cawan teh, kemudian menulis beberapa huruf diatas
meja. "Dibawah undak undakan pintu Kiam-bun, dalam gua masuk kayu."
"Hanya beberapa huruf ini?" tanya si hwe slo tua itu setelah membaca huruf-huruf tersebut.
"Ya, Benar, hanya huruf-huruf tersebut." Wi Tiong-hong mengangguk.
"Apakah ia tidak memesan sicu, pesannya itu harus lolap sampaikan kepada siapa?"
"Tidak."
"Wi sicu masih ingat, apa lagi yang dia katakan" " kembali hwesio tua itu bertanya.
oooOOooo "DIA BERPESAN agar dalam sepuluh hari, pesan itu harus sudah disampaikan pada
tujuan." jawab wi Tiong-hong.
Pelan-pelan hwesio tua itu mengangguk.
"Kalau begitu tidak bakal salah lagi, sudah pasti si tosu she Seh itulah yang
memerlukan pesan ini. Aaai. . .lolap benar-benar tidak tahu pesan yang diperlukan
olehnya ini sebenarnya apa?"
Wi Tiong hong tak mengetahui siapakah tosu she Seh yang dimaksudkan karena
merasa pesanannya itu sudah disampaikan maka diapun bersiap-siap untuk mohon
diri. Mendadak hwesio tua menatap wajah Wi-Tiong hong, kemudian bertanya: "Sicu
apakah kenal dengan Tok Hay ji?"
"Aku hanya pernah berjumpa sekali, jadi tak bisa dibilang saling mengenal."
Hwesio tua itu termenung sebentar, kemudian tanyanya lagi. "Lantas mengapa dia
bisa menitip pesan kepada sicu?"
"Dua hari berselang aku telah di tangkap orang dan secara kebetulan di sekap bersama dengan Tok Hay-ji, kemudian beruntung aku mendapat kebebasan, maka dia pun
menitipkan pesan buat lo suhu."
"Dia benar-benar telah menuliskan pesannya diatas telapak tanganmu?" tanya si hwesio tua lagi dengan kening berkerut.
Wi Tiong hong yang mendengar pertanyaan itu diam-diam merasa keheranan, ia
merasa sejak awal pembicaraan tadi ia sudah menerangkan kalau Tok Hay ji menulis
pesannya diatas telapak tangannya, tapi pendeta itu menandaskan berulang kali,
mungkinkah dia merasa kurang percaya"
Sekalipun berpikir demikian dia toh menjawab juga : "Yaa. benar."
"Apakah dia juga beritahu kepadamu seandainya dalam sepuluh hari berita itu tak
sampai disini, maka apa yang harus sicu lakukan?"
Wi Tiong hong makin keheranan lagi setelah mendengar perkataan itu, pikirnya lebih
jauh: "Dia toh menitipkan pesan kepadaku, andai kata aku tak bisa menyampaikan
pesannya, apa pula yang bisa kulakukan" " Dalam hati dia berpikir demikian, diluar katanya: "Soal ini dia tidak mengatakan apa-apa."
"omitohud." hwesio toa itu segera memuji keagungan sang Buddha, "orang itu betal-betul berhati keji, bahkan jauh lebih keji dan beracun daripada Seh tosu."
oooOOooo Jilid 10 KEMUDIAN sambil mendongakkan kepala dan menatap pemuda itu, dia bertanya lagi.
"Apakah Wi sicu tidak merasakan sesuatu yang tak beres dengan tubuhmu."
"Aku sama sekali tidak merasakan apa-apa." sahut pemuda itu dengan perasaan
tercengang. Hwesio tua itu menghela napas panjang. "Aaai, tak salah lagi, paling tidak lima hari kemudian kau baru akan merasakan sesuatu yang tak beres, sampai kejadian hari ini
Wi sicu baru melewati sehari, tentu saja kau tak akan merasakan apa-apa."
"Losuhu, apa maksud ucapanmu itu?"
"Sewaktu Tok Hay-ji menulis huruf-huruf tersebut di atas telapak tangan sicu, dia pasti telah melepaskan pula sejenis racun yang amat keji, racun mereka itu bernama Sip-jit-san (bubuk sepuluh hari buyar), selain tidak berwarna juga tidak berbau, siapa yang
terkena sama sekali tak akan merasakan apa-apa, tapi sepuluh hari kemudian bila
racun itu mulai bekerja, maka tiada obat lagi yang bisa menyelamatkan jiwamu."
Setengah percaya setengah tidak Wi Tiong-hong setelah mendengar keterangan itu,
dia lantas bertanya. "Darimana losuhu bisa mengetahui hal ini?"
Hwesio tua itu menghela napas panjang. "Aai, lima hari berselang, ada seorang Seh tosu datang mencari lolap, dia-pun mengatakan ada suatu persoalan rahasia yang
hendak dititipkan kepada lolap. Bahkan tak boleh sampai terdengar oleh pihak ketiga."
"Lolap setengah percaya setengah tidak, dia minta lolap ulurkan tanganku, maka diapun menulis beberapa huruf di situ, tulisan itu berbunyi: "Sepuluh hari lagi, nantikan jawaban."
"Sebelum berlalu dia menerangkan kepada lolap kalau ia telah melepaskan racun Sip-jit-san yang amat dahsyat ke dalam tubuhku, sepuluh hari kemudian bila sari racun itu
mulai bekerja, maka tiada obat lagi yang bisa menolong jiwaku, tapi dia akan muncul
kembali sepuluh hari kemudian dengan membawa obat penawarnya, asalkan aku bisa
memberikan jawaban kepadanya."
Mendengar itu, Wi Tiong-hong segera berpikir. "Kalau begitu Seh tosu itu telah
memperalat Hong-tiang dari kuil Pau-in-si untuk menyampaikan kabar berita."
Sementara dia masih termenung, hwesio tua itu sudah berkata lebih lanjut: "Waktu itu lolap tidak mengerti apa yang dimaksudkan sebagai jawaban. Tapi setelah mendengar
perkataan dari sicu, barulah aku ketahui kalau kabar yang dibawa siculah yang mereka
maksudkan sebagai jawaban."
"Setelah aku ketahui pula kalau Tok Hay-ji juga menulis huruf-huruf itu di atas telapak tangan sicu, maka lolap menarik kesimpulan kalau sicu-pun sudah terkena pula racun
Sip-jit-san dari Tok Hay-ji."
"Oooh, masa begitu?"
"Setiap manusia yang berkelana dari dunia persilatan kebanyakan adalah manusia-
manusia licik yang tak bisa diketahui jalan pemikirannya, lebih baik mempercayai
segala sesuatu dari pada tidak mempercayainya. Lolap sudah lama mengidap penyakit,
kendati-pun dia tidak memberi obat penawar tersebut, kehidupanku memang tak
akan seberapa lama lagi, berbeda dengan sicu yang masih muda, seandainya benar-
benar sampai terkena racun Sip-jit-san, wah bisa berabe."
"Mengapa aku tidak merasakan apa-apa?"
"Kalau harus menunggu sampai racun itu mulai bekerja, saat itu pasti keadaannya
pasti sudah terlambat."
Berbicara sampai di sini, dia segera memejamkan mata sambil termenung sebentar,
kemudian katanya lagi: "Menurut yang lolap ketahui, dipintu utara kota Sang-ciau
berdiam seorang tokoh sakti, orang ini bukan cuma pandai dalam ilmu pertabiban,
bahkan sangat mengusai tentang pelbagai ilmu beracun yang ada di dunia ini, bila sicu
bersedia mendengarkan nasehat lolap. Entah benar keracunan atau tidak, mumpung
racun itu belum mulai bekerja, lebih baik mohonlah bantuannya."
Mendengar pendeta itu dengan serius, tanpa terasa Wi Tiong-hong teringat kembali
akan peristiwa semalam, ketika racun dari jarum beracun keluarga Lan mulai bekerja
dalam tubuhnya, keadaannya memang mengerikan sekali, maka dia lantas bertanya.
"Lo suhu, siapakah nama tokoh sakti itu" Dan bagaimana cara untuk
menemukannya?"
"Tiada orang yang mengetahui nama sebetulnya dari tokoh persilatan tersebut. Tapi oleh karena dia berdiam di bawah bukit Heng-san, maka orang menyebutnya Heng-san
Gisu (pertapa dari bukit Heng-san), di depan pintu rumahnya terdapat pagar bambu,
tempat itu gampang sekali ditemukan."
Mendengar nama Heng-san gisu, tanpa terasa Wi Tiong-hong teringat kembali akan si
nona berbaju hijau yang pernah dijumpainya semalam, agaknya gadis itu-pun pernah
menyebut nama itu, dari sini dapat ditarik kesimpulan kalau Heng-san gisu adalah
seorang manusia yang benar-benar ternama.
Berpikir sampai di situ, dia lantas bangkit berdiri seraya berkata: "Terima kasih banyak atas petunjuk dari lo suhu, aku hendak mohon diri lebih dahulu."
"Sicu jauh-jauh datang untuk membawakan berita buat loolap, untuk itu loolap merasa berterima kasih sekali, lima hari kemudian silahkan Wi sicu mampir lagi kemari, lolap
pasti akan menunggu kedatangan dari sicu."
Tentu saja Wi Tiong-hong dapat menangkap maksud dari ucapan si hweesio tua itu,
gara-gara hendak menyampaikan pesan kepadanya, pemuda ini harus keracunan,
maka andaikata Heng-san Gisu tidak dapat menyembuhkan racun Sip-jit-san tersebut,
maka dia rela, memberikan bagian obat penawarnya untuk pemuda tersebut.
Mengetahui akan maksud baik pendeta tersebut, timbul perasaan kagum dan
hormatnya terhadap hweesio itu, ujarnya kemudian sambil menjura: "Lo suhu, apakah kau ada sesuatu urusan?"
"Bila sampai waktunya Wi sicu bisa datang kemari, lolap memang ada sesuatu
persoalan hendak disampaikan kepadamu."
"Jikalau lo suhu memang berkata begitu, sampai waktunya aku pasti akan datang
kemari." "Maaf, gerak gerik lolap kurang leluasa, jadi tak bisa mengantarmu lebih jauh."
"Tak berani merepotkan diri taysu."
Setelah berjalan ke luar dari ruangan itu, dia langsung menuju ke kuil bagian depan.
Berhubung dia telah berjanji, untuk berjumpa dengan Ting Ci-kang di luar kuil, maka
seke luarnya dari kuil Pau-in-si, dia lantas celingukan kesana kemari, tapi bayangan
tubuh Ting Ci-kang tidak nampak. Agaknya dia belum lagi menyusul kesitu.
Sepanjang jalan dia merenungkan kembali apa yang diucapkan hweesio tua tadi, tanpa
terasa langkahnya lambat laun semakin lamban sekali.
Sementara dia masih berjalan, mendadak terdengar suara pujian pada Sang Buddha.
"Omintohud?"
Dari balik pohon muncul seorang pendeta berbaju abu-abu, sambil menghadang jalan
perginya dia berkata dengan suara dalam. "Wi sicu, harap berhenti."
Wi Tiong-hong segera mendongakkan kepalanya, ternyata dia adalah Gho-tong, si
pendeta penerima tamu dari kuil Pau-in-si, tanpa terasa dia lantas menghentikan
langkahnya, kemudian sambil menjura tanyanya: "Taysu, ada sesuatu urusan?"
Pelan-pelan Gho-tong berjalan mendekat, kemudian sambil tertawa seram katanya.
"Yang pinceng ingin ketahui adalah persoalan rahasia yang baru saja sicu bicarakan dengan suhengku?"
Dengan cepat Wi Tiong-hong mundur selangkah, lalu katanya dingin. "Taysu, mengapa kau tidak kembali saja ke kuil untuk bertanya langsung kepada suhengmu?"
Gho-tong ikut melangkah maju ke depan, sahutnya sambil tertawa seram. "Setelah
berjumpa dengan sicu di tempat ini, aku rasa bertanya kepada sicu-pun sama saja."
Diam-diam Wi Tiong-hong manggut-manggut, pikirnya: "Sudah jelas dia memang
sengaja menantikan kedatanganku di luar kuil ini."
Maka setelah mendengus katanya: "Toa-suhu, aku lihat tampaknya kau memang
sengaja menantikan kedatanganku di sini."
"Wi sicu memang tak malu disebat orang yang tahu diri." Gho-tong tertawa.
"Aku tak mengerti."
"Tidak mengerti juga tak menjadi soal, asal Wi sicu mengaku saja terus terang, maka akan beres dengan sendirinya."
"Kalau didengar dari ucapan taysu, agaknya kalau aku tidak memberitahukan kepada
Toa suhu, maka bakal ada urusan."
"Omintohud," Gho-tong mengangkat bahunya. "asal sicu sudah tahu, hal ini lebih baik lagi."
Berbicara sampai di situ, dia lantas menuding ke samping kirinya sambil berkata lagi.
"Sicu, bersediakah kau mengikuti pinceng untuk berbincang-bincang sebentar di dalam lembah itu?"
Mengikuti arah yang ditunjuk. Wi Tiong-hong saksikan ada sebuah lembah yang
menjorok jauh ke dalam bukit sana dengan hutan yang lebat sekali, tempat itu sepi
dan mengerikan, baru saja dia hendak mengatakan: "Aku tak mau turut."
Mendadak dilihatnya Gho-tong dengan senyuman licik menghiasi wajahnya telah
melepaskan sebuah cengkeraman maut yang diarahkan ke atas bahunya.
Bagaimana-pun juga Wi Tiong-hong adalah seorang yang berilmu, reaksinya tentu saja
lebih cepat dari pada orang lain, sambil berkelit ke samping dan menangkis ancaman
itu dengan tangan kiri, bentaknya: "Mau apa kau?"
Gho-tong tidak menyangka kalau Wi Tiong-hong dengan usia semuda itu sudah
memiliki tenaga dalam yang sempurna, begitu tangannya kena ditangkis, serta merta
badannya bergeser ke samping kanan.
Kemudian seraya berpaling dan menatap wajah si anak muda itu lekat-lekat serunya
dingin: "Sicu, ilmu silatmu memang sangat hebat, tampaknya pinceng telah salah
menilai dirimu."
Mendadak dia menerjang maju ke depan, lalu mengayunkan telapak tangannya


Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melepaskan sebuah bacokan.
Wi Tiong-hong segera miringkan badan bagian atasnya ke samping untuk meloloskan
diri dari ancaman tersebut, kemudian lengannya diputar kencang, berbareng
dilepaskannya sebuah pukulan, tubuhnya melompat mundur ke belakang.
Bentaknya kemudian dengan kening berkerut. "Toa suhu, bila kau tidak segera
menghentikan seranganmu, jangan salahkan kalau akan bertindak kurang sopan
kepadamu."
Sementara itu hawa nafsu membunuh telah menyelimuti wajah Gho-tong, sambil
menyeringai seram katanya. "Sicu, berapa banyak kepandaian silat yang kau miliki, silahkansaja digunakan semua."
Di tengah pembicaraan tersebut, badannya menerjang ke depan, sepasang tangannya
diayunkan kesana kemari dan secara beruntun melepaskan tujuh delapan serangan
berantai. Serta merta Wi Tiong-hong mengayunkan pula sepasang tangannya menangkis dan
mematahkan serangkaian serangan berantai yang dilancarkan Gho-tong hwesio.
Begitu serangan yang dilancarkan Gho-tong mengendor Wi Tiong-hong segera
manfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya untuk melancarkan serangan balasan.
Secara beruntun dia melepaskan tiga bacok dan empat pukulan yang memaksa Gho-
tong mundur sejauh dua langkah.
Begitu berhasil mendesak mundur Gho-tong, Wi Tiong-hong tidak melanjutkan
pengejarannya, dia menarik kembali sepasang telapak tangannya dan berdiri di
tempat, hanya ujarnya dingin: "Toa suhu, bila kau tidak ada persoalan lain yang
hendak disampaikan maaf kalau aku tak bisa menemani lebih lama."
Gho-tong hwesio benar-benar tidak menyangka kalau ilmu silat yang dimiliki Wi Tiong-
hong sudah mencapai ke tingkatan yang begini hebat, untuk sesaat lamanya dia
menjadi tertegun.
Diam-diam dia lantas berpikir: "Agaknya bocah keparat ini berasal dari perguruan Butong-pay, ilmu silatnya hebat sekali, dengan mengandalkan kekuatanku seorang,
sudah jelas tak mungkin begitu untuk menghadangmu."
Pada saat itulah, dari arah tanah perbukitan sana muncul sesosok bayangan manusia
yang meluncur datang dengan kecepatan tinggi, dalam waktu singkat ia sudah tiba di
depan mereka berdua.
Begitu Gho-tong hwesio mengetahui siapa yang datang, hatinya segera bergetar keras.
Sebaliknya Wi Tiong-hong menjadi girang sekali, buru-buru teriaknya dengan suara
lantang: "Ting toako."
Ternyata yang datang adalah ketua perkumpulan Thi-pit-pang Ting Ci-kang adanya.
Tampak Ting Ci-kang memandang sekejap sekeliling tempat itu, kemudian tanyanya:
"Saudara Wi, mengapa kau bertarung dengan toa-suhu ini?"
Sembari berkata sepasang matanya yang tajam dialihkan ke wajah Gho-tong hwesio,
sementara tangan kanannya seperti sengaja tak sengaja diayunkan ke bawah.
Dengan jelas Gho-tong hwesio melihat bahwa di antara ayunan tangannya itu, telapak
tangannya memainkan sebuah taktik ilmu pedang hal ini membuatnya semakin
terperanjat. Dengan cepat dia mundur selangkah lalu merangkap tangannya di depan dada,
katanya kemudian sambil tertawa paksa: "Oooh ... pinceng hanya ingin memohon
suatu petunjuk dari Wi sicu ini, siapa tahu Wi sicu menaruh curiga kepada pinceng, jadi sebenarnya hal ini merupakan suatu kesalahan paham, untuk itu pinceng mohon maaf
yang sebesar-besarnya."
"Kalau memang suatu kesalahan paham, silahkan Toa suhu berlalu," ucap Ting Ci-kang.
Gho-tong hweesio mengangguk berulang kali. "Baik, pinceng mohon diri lebih dahulu."
Selesai berkata dia lantas memberi hormat, lalu membalikkan badan dan berlalu dari
situ. Sepeninggalnya hweesio tersebut, Ting Ci-kang baru berkata: "Saudara Wi, sebenarnya dikarenakan apakah kau sampai bertarung dengan hweesio itu?"
Secara ringkas Wi Tiong-hong segera menerangkan kisah pengalaman yang baru saja
dialaminya. Mendengar penuturan tersebut, Ting Ci-kang segera mendengus dingin, "Hm, ternyata mereka benar-benar ingin menggunakan Hong Hong-tiang dari kuil Pau-in-si untuk
menyampaikan berita, kalau begitu Seh tosu tersebut, sudah pasti anggota dari selat
Tok Seh-shia."
Sekarang Wi Tiong-hong baru teringat kembali pesan dari paman yang tak diketahui
namanya itu berapa hari berselang.
Waktu itu, dengan ilmu menyampaikan suara paman yang tak dikenal namanya itu
pernah memperingatkan kepadanya agar berhati-hati dengan para jago dari Tok Seh-
shia, bila berjumpa dalam dunia persilatan di kemudian hari.
Maka setelah mendengar toakonya menyinggung pula tentang selat Tok She-shia
tersebut, tanpa terasa dia bertanya: "Ting toako sebenarnya tempat macam apakah
selat Tok Seh-shia tersebut ... ?"
"Tentang selat Tok Seh-shia mah ... pokoknya anggota mereka pandai sekali dalam
mempergunakan racun, berapa tahun tidak pernah bermunculan kembali di dunia
persilatan, siau heng sendiri-pun kurang begitu tahu."
Mendadak dalam hati kecil Wi Tiong-hong timbul suatu perasaan aneh, dia merasa
Ting-toako yaug dihadapinya sekarang jauh berbeda dengan Ting toakonya dulu.
Kalau dulu, Ting toakonya selalu berjiwa terbuka dan suka blak-blakan, maka sekarang
Ting toakonya seakan-akan suka merahasiakan sesuatu dan menutup diri, seakan
orang yang dihadapinya kini bukanlah orang yang dulu.
Tadi, dia bertanya tentang Ban Kiam-hwee, tapi dia mengatakan tak tahu, sekarang
ditanya tentang selat Tok Seh-shia, kembali dia mengatakan tak tahu, padahal kalau
didengar dari pembicaraannya jelas dia tahu banyak hal, cuma enggan untuk
memberitahukan soal ini kepadanya.
Ketika Ting Ci-kang menyaksikan pemuda itu membungkam diri dalam seribu bahasa
mendadak dengan sikap penuh perhatian dan bersungguh-sungguh ia berkata: "Apa
yang dikatakan Gho beng Hoatsu itu memang benar, lebih baik mempercayai sesuatu
ada daripada tidak mempercayai adanya sesuatu, orang dari selat Tok Seh-shia
memang manusia-manusia licik yang berhati kejam dan berbahaya, besar
kemungkinannya juga Tok Hay-ji telah melepaskan racun Sip-jit-san ke tubuhmu, mari
kita segera berangkat kebukit Heng-san sekarang juga."
"TING TOAKO, apakah kau kenal dengan Heng-san Gisu" " tanya Wi Tiong-hong.
"Tidak. Aku tidak kenal, konon Heng-san Gisu adalah seorang yang amat termashur di dalam dunia persilatan, selain liehay dalam pertabiban juga amat menguasai tentang
berbagai ilmu beracun."
"Tapi orangnya amat sosial sekali, dia tak pernah membedakan antara golongan lurus dengan golongan sesat, dia-pun tidak membedakan antara yang jahat dan baik, asal
datang ke rumahnya minta bantuan, dia pasti memberi pengobatan dengan
bersungguh hati, itulah sebabnya orang persilatan menyebutnya sebagai Say Hoa-toa
(Hua Tuo sakti)."
Sembari berkata mereka melanjutkan perjalanan dengan gerakan tubuh yang amat
cepat. Tak selang berapa saat kemudian, mereka sudah masuk dari pintu kota sebelah selatan
dan ke luar dari pintu kota sebelah utara, langsung menuju ke bukit Heng-san.
Heng-san, seperti juga namanya, bukit itu melintang bentuknya dengan ketinggian
yang tak seberapa, antara tebing satu dengan tebing yang lain semuanya saling
berhubungan hingga orang akan merasa bahwa bukit itu namanya merupakan sebuah
bukit melintang yang hampir sejajar bentuknya.
Dengan cepat kedua orang itu memburu ke kaki bukit Heng-san, apa yang dikatakan
hwesio tua itu memang benar, rumah Heng-san Gisu berpagar bambu dengan bentuk
yang sangat khas, memang tidak sukar untuk menemukan letak rumah tersebut.
Sungai kecil yang melintang di depan rumah dengan pepohonan yang rimbun
menambah indahnya pemandangan alam di tempat itu.
Tanpa terasa Wi Thiong hong membayangkan kembali rumah gubuknya dibukit Huay
Giok-san di mana sejak kecil sampai besar dia menetap. Pemandangan alam di situ
mirip keadaan di tempat ini.
Ayah yang hidup bersamanya sejak kecil ternyata berubah menjadi paman yang tak
diketahui namanya, asal usulnya menjadi teka-teki, masa depannya merupakan tanda
tanya besar, kehidupan sederhana tanpa keributan dan penuh suasana damai itu kini
sudah tinggal kenangan. Teringat kesemuanya itu, hatinya menjadi sedih kembali
sehingga air matanya hampir saja jatuh bercucuran.
Ketika Ting Ci-kang merasa langkah kaki pemuda itu makin lama semakin lamban,
mendadak berpaling dan memandang sekejap ke arah Wi Tiong-hong, kemudian
serunya terkejut, "Saudara Wi, wajahmu kurang beres, apakah kau merasa kurang
enak badan?"
Wi Tiong-hong menggeleng, "Tidak, memandang pemandangan alam di sekitar tempat
ini, tanpa terasa siaute jadi teringat kembali dengan tempat tinggalku dulu."
"Aku ... aku ... aku tak punya rumah, aku tak punya rumah lagi."
+++ Bab 20 TING CI-KANG segera tertawa terbahak2. "Saudaraku, kau masih berusia sangat
muda." katanya, "Haaahh ... haaah ... haaah ... sebagai seorang lelaki, cita-cita berada di empat penjuru, mana boleh tinggal di kampung halaman melulu" Ada atau tidak ada
rumah, buat apa mesti dirisaukan?"
Setelah mendengar perkataan itu, Wi Tiong-hong merasakan hatinya menjadi lega
sekali, dia menganggukkan kepalanya berulang kali.
"Perkataan dari toako memang tepat sekali," demikian dia berseru kemudian.
Beberapa saat kemudian mereka sudah tiba dimuka pekarangan, Ting Ci-kang segera
mengetuk pintu beberapa kali, namun dari dalam tiada jawaban.
Di balik pagar pekarangan merupakan sebuah obat yang kecil, dibagian tengahnya tiga
buah rumah gubuk. Tapi sepasang pintu rumah itu tertutup rapat-rapat, karena itu tak
dapat terlihat apakah di dalam rumah ada orangnya atau tidak" Ting Ci-kang
mengetuk lagi berapa kali sambil menegur dengan suara lantang: "Ada orangkah di
dalam?" "Siapa?" seseorang segera menegur dengan suara yang parau, kasar dan keras.
Jika didengar dari nada pembicaraan orang itu, tampaknya dia merasa amat tidak
sabaran. Dengan kening berkerut Ting Ci-kang segera berpikir: "Nada suara orang itu kasar dan parau, sudah barang tentu bukan Heng-san Gisu pribadi, jangan-jangan Heng-san Gisu
sedang tidak berada di rumah?"
Berpikir demikian, dia lantas menjawab. "Aku Ting Ci-kang, datang untuk berjumpa
dengan Gi-su."
Suara bisikan lirih yang lembut segera kedengaran dari dalam rumah gubuk itu,
menyusul kemudian seseorang dengan suara yang parau dan keras berkumandang
lagi. "Mungkinkah saudara adalah ketua perkumpulan Thi-pit-pang Ting tayhiap.?"
"Tidak berani, memang akulah orangnya."
"Harap Ting tayhiap suka menunggu sebentar, aku akan segera membukakan pintu."
Tak selang berapa saat kemudian, pintu rumah gubuk itu dibuka dan seorang lelaki
berbaju hitam munculkan diri dengan langkah lebar.
Sesudah membukakan pintu pagar pekarangan sambil menjura katanya kembali.
"Silahkan kalian berdua masuk."
Ting Ci-kang mencoba untuk memperhatikan lelaki berbaju hitam itu sekejap, dia
saksikan gerak gerik orang itu sangat liehay dan mantap. Kelihatan memiliki
kepandaian yang sangat hebat, diam-diam timbul kecurigaan di dalam hatinya.
Sambil membalas hormat dia lantas bertanya. "Apakah Gisu berada di rumah?"
"Majikan kami sedang membuat obat, silahkan kalian berdua masuk dan duduk di
dalam." Setelah mendengar panggilan orang itu terhadap Heng-san Gisu, kecurigaan di dalam
hati Ting Ci-kang segera lenyap sebagian.
Bagaimana-pun juga, Heng-san Gisu adalah seorang manusia yang termashur di dalam
dunia persilatan, tidaklah heran jika dia memiliki ilmu silat yang sangat lihay, otomatis seorang yang menjadi anak buahnya untuk menjaga pintu tentu memiliki pula
kepandaian silat yang lihay, dan hal ini tiada sesuatu yang perlu diherankan.
Sedangkan suara bisikan lirih yang terdengar tadi, tentulah suara bisikan mereka yang
sedang meminta petunjuk kepada Heng-san Gisu, apakah perlu untuk membukakan
pintu atau tidak.
Sementara dia masih berpikir, bersama Wi Tiong-hong dan di ringi lelaki berbaju hitam
itu, mereka masuk ke dalam rumah.
Di ruangan bagian tengah dari rumah gubuk itu adalah sebuah ruangan tamu,
perabotnya amat sederhana, selain meja kursi tak nampak benda apa-pun.
Sekali-pun demikian, lantai mau-pun seluruh ruangan itu nampak bersih sekali, hal ini
menunjukkan kesederhanaan dan kebersihan dari seorang pertapa.
Sesudah mempersilahkan tamunya duduk, lelaki berbaju hitam itu segera
menghidangkan air teh, lalu katanya. "Saudara berdua, silahkan minum teh."
Sesudah meletakkan cawan air teh ke atas meja, dengan cepat dia mengundurkan diri
lagi. Tak selang berapa saat kemudian, dari ruang sebelah kiri kedengaran suara langkah
manusia disusul pintu kamar dibuka orang, seorang kakek berambut putih dan
berjenggot kambing munculkan diri dalam ruangan tersebut.
Rupanya orang inilah yang dinamakan Say Hoa-toa (Hua Tou pintar) Heng-san Gisu.
Dia mengenakan sebuah jubah berwarna biru yang amat tidak sesuai dengan
potongan badannya, bahkan kancing baju-pun tak sempat dikancingkan, begitu
melangkah ke luar dari kamar dengan cepat dia menutup lagi pintu kamar tersebut,
seakan-akan takut kalau orang lain dapat menyaksikan rahasia di dalam kamarnya.
Hal ini dapat dimaklumi sebab dia adalah seseorang yang pandai dalam ilmu
pertabiban, tentu saja dia tak akan membiarkan orang lain mencuri rahasia
pembuatan obat dari keluarganya.
Begitulah, setelah menutup pintu dia baru mengelus jenggotnya dan pelan-pelan
berjalan ke dalam ruang tamu.
Setelah memandang kedua orang itu sekejap sekulum senyuman menghiasi wajahnya
yang kurus, ujarnya sambil menjura. "Lohu sedang membuat sejumlah obat mestika
sehingga harus menyuruh kalian menunggu cukup lama, entah yang manakah yang
bernama Ting tayhiap?"
Kedua orang itu berdiri bersama, kemudian Ting Ci-kang membalas hormat seraya
menyahut. "Akulah yang bernama Ting Ci-kang, sedang dia adalah adik angkatku Wi
Tiong-hong kami datang karena sudah lama mengagumi nama besar lotiang, bila
kedatangan kami telah mengganggu ketenangan lotiang, harap kau sudi maafkan."
"Mana ... mana, silahkan kalian berdua segera duduk," buru-buru Heng-san Gi-su berseru.
Dia mengambil tempat duduk dan melanjutkan, "Ting tayhiap. Sungguh tak disangka
kau-pun berkunjung ke kota Sang-siau, entah ada urusan apakah kau berkunjung ke
rumah kami" Harap sudi diutarakan."
"Ilmu ketabiban yang lotiang miliki sudah amat termasyur dalam dunia persilatan, ada satu hal siaute ingin mohon bantuanmu."
Heng-san Gisu memandang sekejap wajah ke dua orang itu, kemudian katanya. "Tidak
berani, lohu hanya mengerti sedikit ilmu pertabiban saja, jika Ting tayhiap menjumpai
suatu kesulitan, asal lohu tahu, pasti akan aku jawab dengan sejujurnya."
Ting Ci-kang segera menunjuk ke arah Wi Tiong-hong sembari berkata: "Kemungkinan
besar saudaraku ini sudah diracuni orang secara diam-diam, karena itu aku mohon
bantuan dari lotiang untuk memeriksakan keadaan penyakitnya."
"Entah racun apakah itu?" tanya Heng-san Gi-su dengan perasaan terperanjat.
"Pernahkah lotiang dengar tentang racun yang dinamakan Sip-jit-san (sepuluh hari
buyar)?" Sekujur tubuh Heng-san Gi-su nampak bergetar keras, lalu dengan wajah tercengang
serunya: "Sip-jit-san" Belum pernah lohu dengar dengan nama tersebut. Hmm, entah
bagaimanakah perasaan Wi sauhiap sekarang?"
"Konon racun Sip-jit-san itu tak merasakan apa-apa, tapi sepuluh hari kemudian bila racun itu mulai kambuh, maka tiada obat yang bisa menolong jiwanya lagi," kata Ting Ci-kang lagi.
Berkilat sepasang mata Heng-san Gisu setelah mendengar perkataan itu, dengan cepat
serunya. "Aah, masa telah terjadi peristiwa seperti ini" Wi sauhiap, bagaimanakah kejadiannya sampai kau menderita keracunan" Dapatkah diceritakan kepada lohu?"
"Dua hari berselang aku mendapat titipan dari seseorang untuk menyampaikan
sepatah kata, dan orang itu telah menulis beberapa huruf di atas telapak tanganku ..."
"Siapakah orang itu?" buru-buru Heng-san Gisu bertanya.
"Dia bernama Tok Hay-ji."
Dengan cepat Heng-san Gi-su menggelengkan kepalanya berulang kali. "Tok Hay-ji"
Belum pernah lohu mendengar tentang nama orang ini," katanya.
"Tampaknya Tok Hay-ji ini berasal dari selat Tok Seh-shia," timbrung Ting Ci-kang.
Sekali lagi Heng-san Gisu merasakan tubuhnya bergetar keras, buru-buru dia berseru:
"Dan Wi sauhiap-pun keracunan hebat setelah kejadian itu?"
"Dia menitipkan pesannya kepadaku agar disampaikan kepada Hong-tiang dari kuil
Pau-in-si, dari Hong-tiang tua itulah aku baru mengetahui keadaan yang sebenarnya."
"Apa lagi yang diucapkan oleh Hong-tiang itu" " tanya Heng-san Gisu dengan mata terbelalak.
"Menurut Hong-tiang tua itu, lima hari berselang ada seorang hendak menitipkan pula sesuatu pesan kepadanya, dan orang itu menulis beberapa huuf di atas telapak
tangannya, kemudian sebelum pergi orang itu memberitahukan kepadanya kalau dia
sudah terkena racun Sip-jit-san, karena itulah aku duga kemungkinan besar Tok Hay-ji
melepaskan racun pula ke dalam tubuhku, itulah sebabnya aku lantas datang kemari
untuk mohon bantuan dari lotiang."
"Waaah ... peristiwa ini benar-benar merupakan suatu berita aneh yang belum aku
dengar sebelumnya," seru Heng-san Gisu sambil tertawa lebar.
Berbicara sampai di sini, dia mengelus jenggot kambingnya sambil manggut-manggut,
katanya: "Kalau dilihat dari keadaan tersebut, bisa disimpulkan bahwa Wi sauhiap
mungkin sudah keracunan, mungkin juga sama sekali tidak keracunan."
"Ya, memang demikian," sambung Ting Ci-kang.
Sekali lagi Heng-san Gi-su manggut-manggut katanya. "Wi sauhiap, mari aku
periksakan dahulu denyut nadimu."
Wi Tiong-hong segera mengeluarkan tangannya.
Heng-san Gi-su segera menempelkan ketiga jari tangannya di atas urat nadi pada
pergelangan tangannya sambil memejamkan mata, lebih kurang seperminum teh
kemudian dia baru membuka matanya sambil memerintah. "Ganti pergelangan tangan
yang lain."
Wi Tiong-hong menurut dan segera mengganti dengan tangan yang lain.
Sekali lagi Heng-san Gisu memejamkan matanya dan memusatkan segenap
perhatiannya untuk memeriksa denyutan nadi orang, tapi di atas wajahnya yang
kurus-pun lambat laun muncul selapis wajah yang amat serius.
Lebih kurang seperminum teh kemudian, tiba-tiba dia membuka matanya lebar-lebar
sambil memerintahkan: "Buka mulutmu lebar-lebar, coba akan lohu periksa lidah dan tenggorokanmu."
Wi Tiong-hong menurut dan membuka mulutnya lebar-lebar.


Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Heng-san Gi-su segera menggunakan sebuah jari tangan kanannya untuk menekan
lidah Wi Tiong-hong dengan pelan lalu diamatinya beberapa saat.
Sesudah itu dia membuka pula kelopak mata Wi Tiong-hong dan memeriksanya
beberapa saat, akhirnya dia memejamkan matanya dan membungkam dalam seribu
bahasa. Ting Ci-kang segera bertanya. "Lotiang, apakah saudara Wi keracunan?"
Heng-san Gisu menghembuskan nafas panjang, pelan-pelan dia mengalihkan sorot
matanya ke wajah Ting Ci-kang lalu menjawab. "Menurut hasil pemeriksaan lohu atas nadi Wi sauhiap, memang aku jumpai adalah sejenis racun keji yang bersarang dalam
tubuhnya, cuma saja racun keji itu agaknya seperti mengendon dalam isi perut,
sebelum racun itu mulai kambuh, sulit bagi lohu untuk mengatakannya."
"Yaa, benar," sambung Wi Tiong-hong, "aku-pun pernah mendengar lo-hong-tiang itu berkata bahwa racun semacam ini paling tidak lima hari kemudian baru akan
menunjukkan gejala-gejala anehnya."
Heng-san Gisu mengangguk berulang kali. "Benar, benar, lebih baik kalau lima hari kemudian kau datang kemari lagi."
"Maksud lotiang, saat ini masih belum dapat mengeluarkan resep untuk pengobatan?"
Ting Ci-kang bertanya.
"Walau-pun ilmu pertabiban lohu tak berani dibilang sangat liehay, tapi sudah banyak penyakit aneh dan racun jahat yang berhasil aku sembuhkan, namun kasus seperti
sekarang di mana racun sudah mengendon dalam isi perut akan tetapi sama sekali
tidak menunjukkan gejala apa-apa, baru pertama kali ini aku jumpai, sebab itu
sebelum melihat gejala racunnya sewaktu bekerja, sesungguhnya sulit buat lohu untuk
membuka resep dan memberikan pengobatan."
Berbicara sampai di situ, dia lantas berpaling ke arah Ting Ci-kang, setelah
memandangnya sekejap, dia membuka mulut seperti hendak mengucapkan sesuatu,
tapi akhirnya niat itu diurungkan.
"Lotiang, bila ada persoalan silahkan kau utarakan saja secara berterus terang," seru Ting Ci-kang dengan cepat.
"Lohu merasa kepandaian silat yang Ting tayhiap miliki luar biasa sekali, tapi aku lihat sinar matamu seperti agak sayu dan kurang bersih, sedangkan ujung hidung-pun
membawa warna abu-abu, seharusnya itukah gejala dari keracunan, apakah Ting
tayhiap merasakan sesuatu yang aneh di dalam tubuhmu?"
Ucapan tersebut memang merupakan yang amat mengejutkan hati, Ting Ci-kang yakin
belum pernah berhubungan dengan siapa-pun, ketika mencoba untuk mengatur
pernapasan, dia-pun tidak menunjukkan sesuatu gejala yang aneh.
Tapi dia tahu Heng-san Gisu adalah seorang tabib sakti yang pandai sekali
menyembuhkan segala macam keracunan, tentu saja setiap perkataannya juga amat
berbobot. Maka setelah tertegun sebentar, dia mendongakkan kepalanya sambil berseru: "Aku
sama sekali tidak merasakan apa-apa, Totiang ..."
Sambil mengelus jenggot kambingnya, pelan-pelan Heng-san Gi su berkata lagi: "Bila lohu tidak salah melihat, racun yang bersarang dalam tubuh Ting tayhiap adalah
sejenis racun yang sifat kerjanya jauh lebih cepat ..."
Sambil berkata dia lantas maju mendekat dan membuka kelopak mata Ting Ci-kang
untuk diperiksa, setelah itu sambungnya lagi. "Betul, racun itu sudah menyusup
sampai ke dalam darah, tak sampai enam jam kemudian racun itu pasti akan mulai
bekerja, racun seganas itu boleh dibilang jarang sekali dijumpai dalam dunia persilatan
..." Belum habis dia berkata, mendadak terdengar suara seorang perempuan yang merdu
berkumandang dari luar pintu: "Apakah sian seng berada di rumah?"
Heng-san Gisu berkerut kening lalu menggumam seorang diri: "Hm, lagi-lagi ada orang yang datang mencariku."
Kemudian dengan mempertinggi suaranya ia berteriak: "Siapa di situ" Silahkan
masuk." Pintu pagar pekarangan didorong orang dan seorang gadis yang berambut kusut
menerjang masuk ke dalam ruangan dengan langkah cepat, setelah memandang
sekejap ke arah tiga orang itu, buru-buru dia bertanya dengan cemas.
"Siapakah yang sakit" Cepat lihatkan keadaan penyakitku."
Gadis itu berambut kuning dan sangat kusut, wajahnya kuning dengan wajah penuh
bopeng, jeleknya bukan kepalang, tapi potongan badannya justru amat ramping,
suaranya juga merdu merayu, jauh berbeda dengan wajahnya yang menggidikkan hati.
Wi Tiong-hong hanya memandang sekejap ke arah gadis jelek itu, tiba-tiba saja dia
merasa seperti pernah bersua di suatu tempat.
Pelan-pelan Heng-san Gisu mengalihkan sorot matanya ke wajah si nona bermuka
jelek itu, kemudian ujarnya. "Lohulah orangnya, entah penyakit apakah yang nona
derita?" "Aku ... aku telah terkena racun jahat."
Sebetulnya waktu itu Ting Ci-kang sedang merasa keheranan karena Heng-san Gisu
mengatakan dia menunjukkan gejala keracunan, maka setelah mendengar kalau gadis
jelek ini-pun keracunan pula di tangan orang, diam-diam dia menjadi tertegun, segera
pikirnya. "Entah mengapa dia bisa sampai ke ruangan pula?"
Sementara dia masih termenung, Heng-san Gisu telah berkata dengan suara
pelan."Nona, silahkan duduk, lohu akan memeriksakan denyutan nadimu lebih
dahulu." Gadis berwajah jelek itu menurut dan segera duduk di atas kursi, setelah itu dia
menjulurkan tangannya menunggu Heng-san Gisu memeriksakan denyutan nadinya
Pelan-pelan Heng-san Gisu mengeluarkan tiga jari tangannya lalu ditekankan di atas
urat nadinya, pergelangan tangan si nona jelek yang sedang diperiksa itu mendadak
membalik ke atas, kemudian mencengkeram pergelangan tangan kanan Heng-san
Gisu. Selisih jarak kedua belah pihak cuma beberapa depa, tentu saja Heng-san Gi-su sama
sekali tidak menyangka kalau gadis berwajah jelek menyergapnya. Menanti dia
menyadari datangnya bahaya dan berusaha untuk menghindarkan diri, keadaan sudah
terlambat, tahu-tahu urat nadi pada pergelangan tangan kanannya sudah kena
dicengkeram oleh perempuan jelek itu.
Semua peristiwa yang berlangsung terjadi secara tiba2, sampai Ting Ci-kang dan Wi
Tiong-hong yang duduk di hadapannya-pun tak sempat untuk memberikan
pertolongan meski demikian tanpa terasa kedua orang itu bersama-sama bangkit
berdiri. +++ "GERAKAN yang dilakukan gadis berwajah jelek itu cepat sekali, setelah tangan kirinya berhasil mencengkeram pergelangan tangan kanan Heng-san Gisu, tangan kanannya
segera diayankan ke depan menotok jalan darah Ki bun hiat di atas tubuh Heng-san
Gisu tersebut. Kemudian dia baru mendongakkan kepalanya dan memandang ke arah kedua orang
itu sambil tertawa dingin. "Kalian menganggap dia adalah Heng-san Gisu asli?" serunya dingin.
Ting Ci-kang mau-pun Wi Tiong-hong menjadi tertegun setelah mendengar pertanyaan
itu. Gadis berwajah jelek itu tidak berbicara lagi, dia segera menarik jenggot kambing dari Heng-san Gisu hingga terlepas, kemudian dia-pun menarik muka orang itu sehingga
terlepaskan selembar topeng kulit manusia.
Dengan cepat Wi Tiong-hong mengalihkan perhatiannya ke arah orang itu, ternyata
orang yang menyaru sebagai Heng-san Gisu gadungan itu adalah seorang lelaki berusia
tiga puluh-tahunan yang berwajah kurus, saat itu dia sedang melototkan sepasang
mata tikusnya lebar-lebar, sementara wajahnya pucat pias seperti mayat.
"Sreeet ... sreeet ... sreeet. Mendadak terdengar tiga titik bayangan biru yang disertai tenaga kuat meluncur ke luar dari belakang rumah dan langsung menyergap ke
belakang tubuh perempuan berwajah jelek itu.
Ketiga titik cahaya biru tersebut tak lain adalah tiga batang senjata rahasia kecil yang lembut dan beracun, selain cepat datangnya juga disertai desingan angin yang
memekakkan telinga. Dengan formasi segi tiga, ke tiga batang senjata rahasia itu
langsung meluncur ke belakang tubuh gadis bermuka jelek tersebut.
Yang satu mengancam jalan darah Hong gan, sementara dua lainnya satu dari kiri yang
lain dari kanan mengancamjalan darah Hong Wi hiat, selain tenaga serangannya
sangat kuat ketepatan jalan darahnya-pun mengagumkan.
Tampaknya Ting Ci-kang enggan untuk mencampuri banyak urusan, meski dia melihat
jelas kejadian tersebut, namun ia masih saja berpangku tangan seakan-akan tidak
melihat akan hal tersebut.
Betapa terkejutnya Wi Tiong-hong menyaksikan kejadian itu, dia segera berteriak
keras. "Hati-hati nona."
Hanya ia tak usah berteriak-pun gadis bermuka jelek itu sudah dapat merasakan akan
hal tersebut. Terdengar ia mendengus dingin, kemudian tanpa berpaling dia
mengangkat topeng kulit manusianya untuk diayunkan ke belakang, bersamaan itu
juga dia segera berpaling dan tertawa lebar kepada Wi Tiong-hong.
Jangan dilihat wajahnya terhitung jelek, begitu tertawa, di balik bibirnya yang tebal
segera terlihat dua baris giginya yang rapih dan putih bersih.
Tiga batang senjata rahasia beracun yang meluncur ke arah belakang tubuhnya itu,
mendadak lenyap tak berbekas tanpa menimbulkan sedikit suara-pun begitu
termakam oleh ayunan tangannya.
Paras muka Ting Ci-kang nampak agak berubah setelah menyaksikan kejadian
tersebut. Wi Tiong-hong juga berdiri termangu-mangu, diam-diam dia lantas berpikir.
"Kepandaian macam apaan itu" Tidak nampak dia menyambut dengan tangannya, tapi
kemana hilangnya ketiga batang senjata rahasia tersebut?"
Dalam pada itu, si gadis bemuka jelek itu sudah berkata sambil tertawa dingin: "Kalau toh kalian datang untuk mencari Heng-san Gisu, mengapa tidak cepat-cepat
membebaskannya" Buat apa kalian berdiri termangu belaka di sini?"
"Nona, bukankah kau-pun datang untuk mencari Heng-san Gisu?" tanya Ting Ci-kang.
Gadis bermuka jelek itu berpaling seraya mendengus dingin, "Hmmm, aku telah
berhasil membekuk seorang, suruh kalian ..."
"Aduuh ..."
Ketika dia harus memecahkan perhatiannya untuk berbicara, tiba-tiba terdengar lelaki
yang menyaru sebagai Heng-san Gisu itu menjerit tertahan kemudian roboh
terjengkang ke atas tanah.
Tentu saja orang yang melancarkan serangan gelap untuk membunuh rekannya sendiri
itu adalah orang yang menyergap si nona bermuka jelek tadi, dan mungkin dia kuatir
rekannya itu akan membocorkan rahasia mereka, maka diambil ah tindakan untuk
membungkam orang tersebut.
"Bajingan, bagus sekali perbuatanmu itu," bentak gadis bermuka jelek itu dengan suara nyaring.
Sepasang kakinya segera menjejak permukaan tanah lalu melesat ke arah belakang
rumah. Pada saat dia menerjang ke luar rumah, mendadak sambil berpaling serunya
dengan gusar. "Jikalau kalian tidak segera berangkat untuk menolong orang, mungkin
Hengsan Gisu asli-pun akan terbunuh juga di tangan orang."
Agaknya secara tiba-tiba Ting Ci-kang berpikir pula sampai kesitu, maka tidak menanti
si gadis bermuka jelek itu menyelesaikan kata-katanya, dia menggerakkan badan dan
segera menerjang ke bilik sebelah kiri dengan kecepatan luar biasa.
Buru-buru Wi Tong hong menyusul dari belakangnya.
Bilik sebelah kiri itu mungkin merupakan tempat tidur Heng-san Gisu, dekat dinding
terletak pembaringan kayu, sedangkan empat penjuru dinding dipenuhi rak-rak kayu,
ada yang besar ada yang kecil dan semuanya berisikan pelbagai macam botol obat.
Sementara itu Ting Ci-kang telah melompat ke samping pembaringan dan menyingkap
selimut yang berada di situ, betul juga, tampak seorang kakek berjenggot kambing
sedang berbaring kaku di situ.
Tentu saja orang ini adalah Heng-san Gisu yang asli.
Jika ditinjau dari raut wajah ini, kemudian ditambah pula dengan jenggot kambingnya
yang berwarna putih, tampak sekarang kalau raut wajahnya memang mirip dengan
orang yang menyaru sebagai Heng-san Gisu tadi.
"Ting toako, bagaimana keadaannya?" Wi Tiong-hong segera berbisik lirih.
"Agaknya jalan darah telah ditotok orang."
Sambil berkata, dia turun tangan untuk membebaskan jalan darah Heng-san Gisu yang
tertotok itu. Heng-san Gisu memandang sekejap dua orang yang berada di hadapannya, kemudian
setelah menggeliat sebentar, pelan-pelan dia bangun dan duduk di pembaringan.
Wi Tiong-hong menyaksikan orang itu mengenakan satu stel pakaian yang sempit
dengan orang yang menyaru sebagai tabib sakti tadi, orang itu-pun mengenakan jubah
panjang yang kedodoran.
Sudah jelas pakaian tersebut dilucuti dari badan orang ini dan dikenakan secara
tergesa-gesa, tak heran kalau sampai kancing-pun lupa dikenakan lagi.
Ting Ci-kang-pun terlihat agak tertegun, dan hati kecilnya dia berpikir: "Ternyata Hengsan Gisu yang amat termashur namanya dalam dunia persilatan itu adalah seorang
yang tak pandai bersilat."
Heng-san Gisu melompat turun dari pembaringannya, lalu sambil menjura ke arah
kedua orang tersebut, dia berkata: "Lohu ucapkan banyak terima kasih atas bantuan dari kalian berdua, tentunya kalian adalah Ting tayhiap dan Wi sauhiap bukan?"
"Ooo, nampaknya lotiang telah mendengar semua pembicaraan kami?" kata Ting Ci-
kang sambil balas memberi hormat.
"Walau-pun jalan darah lohu tertotok. mulutku tak bisa berbicara dan tubuhku tak
dapat berkutik, namun semua pembicaraan kalian dapat aku dengar dengan jelas."
"Lotiang, apakah kau tahu orang itu berasal dari mana?" tanya Ting Ci-kang.
"Mereka mengatakan datang kemari untuk melaksanakan perintah, lohu diminta
untuk pergi bersama mereka, lohu keberatan dan kebetulan Ting tayhiap tiba di sini,
mungkin mereka kuatir lohu bersuara, maka jalan darahku ditotok lohu sendiri-pun
tidak tahu asal usul mereka?"
Didengar dari pembicaraan tersebut, Ting Ci-kang tahu kalau orang itu enggan banyak
berbicara, maka dia lantas menjura seraya berkata: "Kalau begitu, mari kita
berbincang-bincang di luar saja?" Setelah itu dia melangkah ke luar lebih dulu dari
dalam ruangan. Sementara mereka bertiga berbincang-bincang, bayangan tubuh si nona bermuka jelek
itu sudah lenyap tak berbekas.
Sedang mayat yang tergelepar di atas tanah itu sudah berubah menjadi hitam pekat,
seluruh tubuhnya seperti telah digeledah orang, bahkan senjata rahasia yang
menancap di badannya juga telah diambil, yang tersisa hanya sebuah mulut luka kecil
yang masih mengucurkan darah berwarna hitam.
Diam-diam Ting Ci-kang mendengus dingin, pikirnya. "Sungguh cepat gerakan tubuh
dari budak berwajah jelek itu, entah dia berasal darimana."
Sementara itu, Heng-san Gisu telah berjongkok sambil memeriksa mulut luka pada
mayat tersebut, kemudian dengan perasaan terperanjat serunya: "Oooh, sungguh
ganas racun yang dipoleskan di ujung senjata rahasia tersebut."
Ketika Wi Tiong-hong berpaling ke sekitar tempat itu, tiba-tiba dia menyaksikan di atas meja telah bertambah dengan sebuah botol kecil, ketika diamati lebih seksama,
dijumpainya beberapa huruf tertera di atas meja, tulisan itu berbunyi demikian: "Obat
pemunah dalam botol, dihadiahkan untuk kalian berdua."
Tulisannya indah dan tampaknya ditulis dengan menggunakan ilmu Kim-kong-ci atau
sebangsanya, tulisan itu melesak sedalam tiga inci dalam permukaan meja dan
kelihatan nyata sekali, jelas si gadis bermuka jelek itu yang meninggalkan pesan ini.
Heng-san Gisu juga telah mengambil botol porselen tersebut, sesudah memandangnya
sekejap dia berkata: "Botol ini ditinggalkan nona tersebut, apakah kalian berdua kena dipecundangi orang?"
Ting Ci-kang segera ingat bagaimana Heng-san Gisu gadungan tadi itu pernah
memeriksa lidah Wi Tiong-hong dengant jari tangannya dan membalik kelopak
matanya, diam-diam ia berpikir dihati.
Berpikir sampai di situ, dia-pun lantas berkata: "Saudara Wi, coba mintalah tolong kepada lotiang untuk memeriksakan apakah dalam tubuhmu mengidap racun Sip-jit-san?"
"Lohu belum pernah mendengar hal nama Sip-jit-san, apakah keracunan atau tidak,
aku harus bisa mengetahui setelah memeriksa denyutan nadimu," jawab Heng-san
Gisu. Maka dia lantas memeriksakan denyutan nadi pada pergelangan tangan kiri dan kanan
dari Wi Tiong-hong, kalau dilihat dari tindak tanduknya, hal mana sama sekali tak
berbeda dengan apa yang dilakukan si manusia gadungan tadi, malah dia turut
memejamkan mata pula sambil termenung lama sekali.
Lewat seperminum teh kemudian dia baru membuka matanya dan berbisik dengan
suara lirih: "Aneh ... sungguh aneh ..."
Mendengar orang itu mengucap "aneh" sampai berulang kali, Wi Tiong-hong merasa keheranan sekali, baru saja dia hendak bertanya. Mendadak Heng-san Gisu menatap
wajah Wi Tiong-hong lekat-lekat, kemudian dengan wajah terkejut bercampur
keheranan katanya: "Tadi, tanpa sengaja Wi siauhiap memang telah menelan
semacam obat beracun, tapi oleh semacam tenaga yang terpancar oleh sejenis obat
penawar yang kuat dalam tubuhmu, racun tersebut telah berhasil dipunahkan semua
tak berbekas."
Wi Tiong-hong segera membuka mulutnya seperti hendak bertanya sesuatu. Tapi
dengan cepat Heng-san Gisu menyambung kembali kata-katanya: "Menurut hasil
pemeriksaan lohu, selama dua hari ini secara berturut-turut Wi sauhiap telah
keracunan dua kali, pertama sekitar dua hari berselang, melalui telapak tangan kiri
melewatij alan darah Lau-Kiong-hiat dan menyusup ke dalam badan, dan racun itu
merupakan sejenis racun yang sangat keji dan bersifat agak lamban."
"Kalau begitu, racun tersebut sudah pasti adalah racun Sip-jit-san tersebut," sela Ting Ci-kang.
"Sedangkan racun yang lain, masuk melalui telapak tangan kanan, menembusi jalan
darah Sin-bun-hiat dan menyelusuri lengan bergerak naik ke atas ... " lanjut Heng-san Gisu.
Mendengar sampai di situ, tak kuasa lagi Ting Ci-kang segera tertawa terbahak-bahak.
"Ha-ha-ha-ha ... kecermatan lotiang dalam melakukan pemeriksaan atas nadi sungguh membuat aku merasa kagum, semalam saudara Wi memang terkena tusukan jarum
beracun keluarga Lan pada telapak tangan kanannya."
"Jarum beracun dan keluarga Lan?"
Agaknya Heng-san Gisu merasa agak terperanjat setelah mendengar nama jarum
beracun dari keluarga Lan itu, tapi dengan cepat dia manggut-manggut katanya: "Ya, kalau begitu tak salah lagi, kecuali jarum beracun dari keluarga Lan, rasanya memang
tak akan bisa ditemukan lagi benda yang lebih beracun lagi."
Setelah berhenti sejenak, dia berkata lebih jauh: "Dua macam racun jahat yang
menyerang Wi sauhiap boleh dibilang merupakan racun yang benar-benar luar biasa
dahsyatnya, cukup sejenis saja sudah dapat membunuh orang, tapi tampaknya Wi
sauhiap telah menelan sebutir pil mestika yang dapat memunahkan racun keji itu."
"Aaaai ... sepanjang hidup lohu mencurahkan segenap pikiranku untuk memperdalam
ilmu pertabiban dan memunahkan pelbagai macam racun, sungguh tak disangka
menjelang usia tuaku, aku masih sempat untuk berjumpa dengan obat pemunah yang
begitu hebat kasiatnya."
"Bukan saja seluruh racun keji yang bersarang dalam tubuh Wi sauhiap berhasil
dipunahkan, bahkan sari obat pemunah racun itu masih tertinggal di dalam peredaran
darahmu, paling tidak masih bisa bertahan selama satu jangka waktu tertentu, dalam
waku-waktu itu jangan harap ada racun yang bisa menyerang tubuhmu."
"Ha-ha-ha-ha ... Wi sauhiap, tentang racun terakhir yang kau telan tanpa sengaja, dibandingkan dengan dua macam racun sebelumnya, boleh dibilang jauh sekali
selisihnya, entah Wi sauhiap berhasil mendapatkan obat pemunah semujarab itu dari


Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mana?" Ting Ci-kang segera berpaling ke arah Wi Tiong-hong dan berkata sambil tersenyum.
"Mungkin yang lotiang maksudkan adalah obat pemunah hadiah dari si nona berbaju
hijau itu."
"Nona berbaju hijau" Siapakah nona berbaju hijau?" Heng-san Gisu segera bertanya.
Merah padam selembar wajah Wi Tiong-hong mendengar ucapan itu, buru-buru dia
menjawab: "Aku sendiri-pun tidak tahu siapakah dia, semalam aku terkena jarum
beracun dari keluarga Lan, berkat tiga butir pil pemunah hadiah nona berbaju hijau
itulah lukaku berhasil disembuhkan."
"Sayang, sayang ... " kata Heng-san Gisu dengan wajah kecewa bercampur sayang,
"entah siapakah si nona itu?"
Sementara pembicaraan berlangsung, mendadak Ting Ci-kang menjadi sempoyongan
hampir saja dia tak mampu untuk berdiri tegak.
Buru-buru Wi Tiong-hong memayangnya dan berseru dengan terperanjat. "Ting toako,
kenapa?" "Aku, merasa kepalaku agak pusing."
"Aaah, tampaknya Ting tayhiap-pun sudah diracuni orang tanpa kau sadari." seru Heng-san Gisu dengan cepat, "aai, lohu hanya ribut berbicara terus, sudah seharusnya aku duga akan hal ini."
Sambil berkata dia lantas memegang pergelangan tangan kiri Ting Ci-kang dan
memeriksanya sebentar, lalu berkata. "Masih untung sari racunnya baru saja bekerja, tidak terlampau serius keadaannya."
Diambilnya botol porselen di meja dan dibuka penutupnya, kemudian setelah
diendusnya sebentar dia manggut-manggut. "Tak salah lagi, memang ini obat
penawarnya."
Dia mengambil sedikit obat penawar itu, lalu dihembuskan ke dalam lubang hidung
Ting Ci-kang. Secara beruntun Ting Ci-kang bersin dua kali, benar juga, dia segera merasakan
semangatnya menjadi segar kembali.
Heng-san Gisu segera menyerahkan botol porselen itu ke tangan Ting Ci-kang dan
berkata sambil tertawa. "Obat penawar yang berada dalam botol ini agaknya khusus
merupakan obat penawar untuk memunahkan racun yang biasanya disentilkan ke
dalam mulut atau lubang hidung lewat sentilan kuku. Ting tayhiap, dalam melakukan
perjalanan dalam dunia persilatan, mungkin obat penawar tersebut akan sangat
bermanfaat bagimu."
Ting Ci-kang segera menerimanya dan di masukkan ke dalam saku, kemudian sambil
menjura katanya: "Terima kasih banyak lotiang atas bantuan tuan, kami berdoa ingin mohon lebih dulu."
"Kebetulan lohu sendiri-pun masih ada urusan harus buru-buru diselesaikan, maaf aku tak akan mengantar kalian berdua lagi." kata Heng-san Gisu cepat dengan nada minta maaf.
Setelah meninggalkan rumah kediaman Heng-san Gisu, Ting Ci-kang dan Wi Tiong-
hong segera berangkat menuju ke kota, tiba di kota hari sudah senja.
Buru-buru mereka kembali ke rumah penginapan, Ting Ci-kang yang berjalan di depan,
sewaktu lewat di serambi di sebelah timur, mendadak di atas salah sebuah pintu
kamar dia saksikan ada sekuntum bunga mawar hitam terbuat dari kertas yang
ditancapkan di situ, ia nampak agak tertegun, tapi kemudian sekulum senyuman
segera menghiasi wajahnya.
Setelah berada dalam kamar, pelayan datang membawakan air untuk membasuh
muka, lalu bertanya: "Kek-koan berdua masih membutuhkan apa lagi?" tanya si
pelayan kemudian.
Selesai membersihkan muka, Ting Ci-kang baru berpaling seraya menjawab: "Kami
belum bersantap, tolong pesankan dua porsi masakan dan arak untuk kami berdua."
Setelah pelayan itu mengundurkan diri, Ting Ci-kang baru berkata lebih jauh. "Saudara Wi, beristirahatlah dahulu di kamar, aku akan pergi sebentar saja."
Wi Tiong-hong tidak tahu dia ada urusan apa, baru saja hendak bertanya Ting Ci-kang
dengan cepatnya telah menyelinap ke luar meninggalkan tempat itu.
Menyusul kemudian pelayan datang mengantar air teh, sambil tertawa paksa dia
berkata. "Tadi hamba lupa untuk memberitahukan sesuatu kepada kalian berdua,"
kata si pelayan.
"Urusan apa?" Wi Tiong-hong menyahut.
"Sore tadi ada seorang tamu perempuan yang menanyakan diri Ting kek-koan, hamba
lantas teringat akan pesanmu pagi tadi dan tahu kalau kek-koan yang satunya she Ting,
maka hamba-pun bertanya kepadanya, ada urusan apa dia mencari Ting kek-koan,
perempuan itu mengatakan tak ada apa-apa, hanya bertanya sambil lalu saja," si
pelayan menjelaskan.
"Macam apakah tamu perempuan itu" Kemudian apakah ia pergi meninggaikan
tempat ini?"
+++ Bab 21 PELAYAN ITU BERPALING, LALU SAHUTNYA dengan suara rendah. "Tidak, dia berdiam
di kamar nomor lima di serambi timur, oya ... tamu wanita itu berparas lumayan,
berbaju hitam dan berusianya dua puluh empat tahunan, mukanya berpotongan
kwaci, beralis mata panjang dan matanya jeli, bibir kecil, hidungnya mancung dengan
potongan badan tinggi semampai ..."
Dia seperti belum habis berbicara ketika dari kamar sebelah terdengar ada orang
memanggil pelayan, terpaksa dia ke luar dengan langkah tergesa-gesa.
Wi Tiong-hong mengira tamu perempuan itu adalah teman akrab Ting toako, maka
dia-pun tidak bertanya lebih lanjut, setelah mengambil secawan air teh, dia kembali
kekursinya dan pelan-pelan meneguknya.
Tak selang beberapa saat kemudian, pelayan datang menghidangkan sayur dan arak,
kebetulan Ting Ci-kang juga telah balik kembali ke dalam kamar.
Pelayan itu segera tertawa ke arah Wi Tiong-hong dan mengundurkan diri sambil
menutup pintu. Kedua orang itu-pun bersantap di dalam kamar, selesai bersantap. Wi Tiong-hong
mendongakkan kepalanya seraya berkata: "Ting Toako, menurut pelayan, katanya sore tadi ada orang datang mencarimu."
"Apakah kau telah bertanya kepadanya, manusia macam apakah itu" " tanya Ting Cikang dengan gelisah.
"Konon dia adalah seorang tamu perempuan yang berdiam di kamar nomor lima bilik
sebelah timur."
Sekujur tubuh Ting Ci-kang bergetar keras, wajahnya menunjukkan perasaan heran,
kemudian sambil tertawa hambar dia berseru: "Tamu perempuan" Aaah, mana
mungkin ada tamu perempuan yang datang mencari siau heng" Selain itu, banyak
ragam manusia yang tinggal di dalam rumah penginapan, yang she Ting juga bukan
hanya aku seorang, mungkin dia salah mencari orang."
Ketika Wi Tiong-hong menyaksikan cara berbicaranya agak terbata-bata dan sangsi,
timbul perasaan curiga di dalam hati kecilnya, cuma dia merasa segan untuk banyak
bicara. Selesai bersantap malam, tiba-tiba Ting Ci-kang berbisik dengan suara lirih. "Saudara Wi, mari kita beristirahat dulu, sebentar malam masih ada urusan lagi."
"Urusan apa?" tanya Wi Tiong-hong heran.
"Sekarang masih terlampau awal, selewatnya kentongan kedua nanti, kita akan
berangkat ke An-wan piaukiok."
"Apakah dalam perusahaan An-wan piaukiok bakal terjadi suatu peristiwa." tanya Wi Tiong-hong terperanjat.
"Bukan begitu, perusahaan An-wan piaukiok milik Beng loko sudah dibubarkan, sedang gedungnya juga telah berganti pemilik."
Makin didengar Wi Tiong-hong merasa semakin keheranan, dengan cepat ia bertanya:
"Kalau memang begitu, buat apa kita mesti kesana?"
"Barusan aku ke luar tak lain disebabkan persoalan itu, cuma sampai sekarang
keadaannya masih kurang jelas, jadi kita harus sampai ke situ dulu barulah duduknya
persoalan menjadi terang."
Wi Tiong-hong tidak tahu keadaan macam apakah yang hendak dilihat olehnya" Cuma
dia yakin Ting toakonya ini pasti sudah mengetahui akan sesuatu, hanya saja enggan
untuk menerangkan kepadanya.
Tanpa terasa dia lantas berpikir: "Aku toh akan pergi bersamamu, sekali-pun tidak kau ucapkan sekarang, akhirnya aku toh akan tahu dengan sendirinya."
Berpikir sampai disitu, dia lantas manggut-manggut. "Kalau memang demikian, siaute akan mengikuti toako untuk melihat-lihat keadaan."
Ting Ci-kang tersenyum dan tidak berbicara lagi, dia segera memadamkan lentera dan
kembali ke pembaringan masing-masing untuk bersemedi mengatur pernapasan.
Ketika kentongan kedua sudah makin dekat.
Ting Ci-kang segera melompat turun dari atas pembaringan dan berkata dengan suara
lirih: "Saudara Wi, waktunya sudah tiba."
Wi Tiong-hong mengiakan dan segera melompat turun dari atas pembaringan. Pelan-
pelan Ting Ci-kang membuka jendela belakang dan melompat ke luar dengan cekatan,
menanti Wi Tiong-hong sudah ke luar dari jendela, dia baru menutup kembali daun
jendela itu dan melompat menuju ke arah sebelah timur.
Waktu itu kentongan kedua belum lewat, suasana di jalan raya masih ramai dengan
aneka lentera yang menerangi seluruh kota.
Kedua orang itu melompati beberapa buah atap rumah dan diam-diam melompat
turun ke jalan raya dan bergerak menuju ke jalan raya sebelah timur.
Jalan raya itu jauh dari jalan yang ramai, selain jauh dari keramaian kota juga jarang dilalui manusia, di sekeliling tempat itu-pun hanya ada beberapa cahaya lentera yang
menerangi jalan. Dengan langkah yang sangat berhati-hati ke dua orang itu berjalan
mendekati pintu gerbang An-wan piaukiok, ketika Wi Tiong-hong mendongakkan
kepalanya, tampak sepasang singa batu di depan pintu masih berada disitu, hanya
papan nama An-wan piaukiok telah lenyap tak berbekas.
Sepasang pintu gerbangnya yang berwarna hitam gelap tertutup rapat, tak setitik
cahaya lentera-pun yang kelihatan. Gedung bangunan yang amat besar itu berada
dalam keadaan gelap gulita, rupanya penghuni gedung itu sudah pada tidur semua.
Melihat kesemuanya itu, diam-diam Wi Tiong-hong merasa amat curiga, dia tidak
habis mengerti permainan apakah yang sedang dilakukan oleh Ting toakonya itu"
Tiba-tiba Ting Ci-kang menarik ujung bajunya mengajak pemuda itu menjauhi pintu
gerbang, kemudian melingkar ke dinding pekarangan sebelah kanan dan bersembunyi
di balik kegelapan. Setelah itu dia mengeluarkan dua lembar sapu tangan berwarna
hitam dan menyerahkan sehelai diantaranya untuk Wi Tiong-hong, bisiknya dengan
suara lirih. "Saudara Wi, cepat tutupi wajahmu dengan sapu tangan ini," sembari berkata, dengan cepat dia membungkus separuh bagian dari wajahnya hingga tinggal sepasang
matanya yang nampak.
Wi Tiong-hong tahu kalau Ting toakonya adalah seorang yang jujur dan berjiwa
terbuka, dia agak heran juga menyaksikan tingkah lakunya yang mencurigakan pada
malam ini. Akan tetapi karena dia sudah terlanjur ikut datang, terpaksa diterimanya saputangan
itu dan menutupi pula wajahnya dengan saputangan tersebut.
Ting Ci-kang segera memandang sekejap ke sekeliling arena, setelah itu bisiknya
dengan lirih. "Saudara Wi. mari ikut aku."
Dengan cepat dia menjejakkan kakinya ke atas tanah dan melompat ketengah udara
bagaikan seekor burung elang, kemudian setelah melewati dinding pekarangan,
bayangan tubuhnya lenyap daripandangan.
Wi Tiong-hong ragu sejenak, akhirnya dia-pun mengerahkan tenaga dalamnya dan ikut
melompati dinding pekarangan dan masuk keruangan sebelah dalam.
Ketika memandang ke depan, tampak olehnya Ting Ci-kang sudah berdiri di depan
undak-undakan batu sambil menggape ke arahnya.
Suasana di sekeliling tempat itu sunyi senyap tak kedengaran sedikit suara-pun,
dengan lang kah lebar dia segera maju ke depan-Dengan mengikuti di belakang Ting
Ci-kang ia masuk ke ruang tengah, tapi ruangan tersebut kosong melompong,
jangankan manusia, sebuah perabot-pun tidak nampak. Melihat itu, diam diam ia
berpikir lagi. "Aah, rupanya tuan rumah yang baru belum lagi pindah kemari,." sementara dia masih termenung, Ting Ci-kang yang berada disisinya telah berbisik lirih.
"Saudara Wi, waktu masih pagi, mari kita mencari tempat untuk bersembunyi lebih
dulu, sebentar apa saja yang kau saksikan, bilamana keadaan tidak terlalu mendesak,
lebih baik janganlah bersuara dulu."
"Sebentar, apakah ada orang yang bakal datang lagi kemari?" tanya Wi Tiong-hong heran.
"Aku pikir kemungkinan besar ada orang yang bakal datang kemari, oleh karena itu
kita harus mencari suatu tempat untuk menyembunyikan diri lebih dahulu."
Wi Tiong-hong mencoba untuk memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu, dia
merasa ruangan tengah yang amat luas itu kosong melongong danpada hakekatnya
tiada tempat untuk menyembunyikan diri.
Mendadak ia mendongakkan kepalanya memandang tiang penglari di atas ruangan
yang tingginya hampir dua kaki daripermukaantanah itu, bisiknya kemudian-"Ting
toako, bagaimana kalau kita menyembunyikan diri di atas tiang penglari itu saja?"
Ting Ci-kang segera tertawa.
"Asal tempat itu bisa kau bayangkan, orang lainpasti dapat membayangkannya pula."
Berpikir sampai disitu, dia menjadi agak tertegun, kemudian serunya cepat.
"Waah, kalau begitu tak ada tempat lagi untuk digunakan sebagai tempat
persembunyian."
"Baiklah," kata Ting Ci-kang kemudian, mari kita bersembunyi di atas tiang penglari tersebut, cuma terdapat dibagian atasnya terlalu sempit, terutama bagi orang yang
selalu melakukan perjalanan malam, bila hendak bersembunyi di atas tiang penglari,
sudah pasti mereka bereda bersembunyi dibagian tengah-nya.
Oleh karena itu kita harus bersembunyi di samping kiri atau kanannya yang menempel
dengan dinding, dengan demikian barujejak kita tidak mudah ketahuan." Mendengar
itu, diam diam Wi Tiong-hong berpikir.
Bentrok Rimba Persilatan 11 Pertarungan Dikota Chang An Seri 2 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Pendekar Kidal 1
^