Pedang Berkarat Pena Beraksara 6

Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan I D Bagian 6


"Ya, benar, tempo hari Tok Hay-ji memang bersembunyi di atas tiang penglari
tersebut."
Mendengar perkataan itu, diam-diam Wi Tiong-hong mengangguk sambil memuji,
katanya. "Siaute akan mengingatnya selalu."
Ting Ci-kang tersenyum. "Aku akan bersembunyi disebelah barat, mari kita cepat naik ke atas ..."
Wi Tiong-hong tidak berbicara lagi, dia segera menghim-pun tenaga, sepasang
lengannya didayung dan melompat setinggi dua kaki lebih, tangan yang sebelah
menyambar tiang, kemudian melenting dan berjumpalitan ke atas.
Dia menurut dengan duduk menempel pada dinding, kemudian memasang telinga
baik-baik untuk memperhatikan keadaan di sekeliling itu.
Mendadak ia mendengar suara Ting Ci-kang dengan ilmu menyampaikan suaranya
sedang berbisik dari seberang sana.
"Saudara Wi, kau sudah duduk dengan baik" sekarang kita boleh beristirahat dulu, oya
... dapatkah kau pergunakan ilmu menyampaikan suara" Kalau tak bisa, lebih baik
jangan bersuara."
Wi Tiong-hong tidak bersuara, dia hanya berjongkok di atas tiang penglari dengan
tenang, lewat sesaat kemudian, mendadak dari serambi sebelah kiri di luar ruangan
dekat dinding secara la mat-la mat ia mendengar suara langkah kaki manusia yang
amat lirih. Kalau didengar suaranya, paling tidak ada tujuh delapan orang banyaknya, diam-diam
ia merasa terkejut bercampur keheranan, segera pikirnya dengan cepat. "Aaah,
ternyata benar benar ada orang yang datang."
Kalau didengar dari suara langkah orang-orang tersebut, dapat diketahui kalau ilmu
silat yang mereka miliki rata-rata amat tangguh, tapi ketika diamati lagi dengan lebih seksama, tiba-tiba saja suara langkah kaki manusia itu lenyap dengan begitu saja,
seakan-akan setibanya di luar ruangan, mendadak mereka berhenti.
Berada di atas tiang penglari rumah yang tinggi, sudah barang tentu dia tak bisa
melihat gerak gerik di luar ruangan sana
Kurang lebih seperminum teh kemudian, suasana masih tetap hening tanpa terdengar
suara apa apa, akhirnya tak tahan dia segera berbisik kepada Ting Ci-kang dengan ilmu
menyampaikan suaranya.
"Ting toako, di luar ruangan telah muncul serombongan manusia."
Agak terkejut Ting Ci-kang setelah mendengar perkataan itu, dengan ilmu
menyampaikan suara kembali dia bertinya, "Apakah kau dapat melihat
kehadirannya?"
"Bukan begitu, tadi siaute mendengar di serambi luar sana seperti ada orang yang
sedang berjalan, jumlah mereka paling tidak mencapai tujuh delapan orang, hanya
anehnya sebentar kemudian suara tersebut hilang lenyap. seakan-akan mereka semua
berhenti di luar sana.
Ting Ci-kang yang mendengar perkataan itu menjadi semakin terkesiap. sebagaimana
diketahui antara ruangan tengah dengan serambi samping dipisahkan oleh sebuah
dinding yang amat tebal, bagaimana mungkin Wi Tiong-hong bisa menangkap suara
tersebut" Kalau ditinjau dari ketajaman pendengarannya, bukankah hal ini menunjukkan kalau
tenaga dalamnya telah mencapai puncak kesempurnaan"
Padahal berbicara soal usia, jelas dia masih jauh lebih muda daripada usia sendiri,
tetapi mengapa dia bisa memiliki kemampuan yang melampaui batas kebiasaan"
Bersamaan itu juga , dia-pun teringat akan lencana Siulo cinleng yang dimiliki pemuda
itu, asal usulnya terasa semakin mengherankan hati, tapi kalau di dengar dari nada
ucapannya dia seperti seorang yang baru terjun kedunia persilatan dan sama sekali tak
berpengalaman. Berpikir demikian, terpaksa ujarnya sambil tersenyum: "Mungkin saudara Wi telah
salah dengar."
"Tak bakal salah, siaute dapat mendengar dengan jelas sekali, mungkin mereka
bersembunyi di atas serambi samping, coba kalau
tidak dihalangi oleh dinding yang tebal, dalam jarak beberapa kaki saja, dengusan
napas mereka dapat kudengar pula dengan jelas."
Mendengar perkataan itu tanpa terasa Ting Ci-kang meningkatkan kewaspadaannya
menjadi beberapa kali lipat, kemudian setelah menghela napas panjang katanya:
"Saudara Wi, ketajaman pendengaranmu sungguh membuat siauheng merasa kagum
sekali." Berbincang sampai disitu, mereka segera menghentikan pembicaraan tersebut.
Wi Tiong-hong mencoba untuk memperhatikan lagi gerak gerik diserambi samping,
tapi kecuali suara langkah kaki yang tadi, tidak terdengar lagi suara yang lain-Angin
malam berhembus lewat menggoyangkan daun pintu danj endela serta menimbulkan
suara yang bsrisik, tapi suasana di gedung ini masih tetap hening, sepi dan tak ada
suara apa-apa. Dalam suasana seperti inilah satu kentongan lewat tanpa terasa, kini tengah malam
sudah tiba, namun belum juga terlihat ada sesuatu gerakan yang mencurigakan.
Wi Tiong-hong berjongkok di atas tiang penglari rumah dengan perasaan tak sabar,
mendadak. "Sreeet, sreeet " terdengar beberapa kali desingan suara pelan bergema memecahkan keheningan. Kemudian tampak bayangan manusia berkelebat lewat dan
di depan undak-undakan rumah lelah muncul empat sosok bayangan manusia yang
kecil dan kurus.
Dengan perasaan terperanjat Wi Tiong-hong segera berpikir: "Sungguh cepat gerakan tubuh mereka " Belum lagi dia bersuara, Ting Ci-kang dengan ilmu menyampaikan
suaranya telah berbisik: "Saudara Wi, ada orang datang."
Dalam waktu singkat, Wi Tiong-hong dengan meminjam sinar rembulan yang redup
sudah dapat melihat raut wajah keempat sosok bayangan kurus kecil itu dengan jelas,
ternyata mereka
adalah empat orang bocah berbaju hitam yang berusia hampir sebaya.
Kalau di lihat dari wajah mereka, tampaknya usia mereka baru empat lima belasan-
Maka kepada Ting Ci-kang dia menjawab: "Benar, yang datang adalah empat orang
bocah lelaki yang berusia antara empat lima belas tahunan."
Ting Ci-kang semakin terperanjat lagi, dengan cepat dia bertanya.
"Dalam suasana yang begini gelap gulita, apakah saudara Wi bisa melihat raut wajah mereka dengan jelas?"
"Siaute meminjam cahaya bintang dan rembulan untuk mengamati wajah mereka, aku
pikir tak bakal salah lagi, cuma tak sejelas kalau melihat ditengah hari belong."
Ting Ci-kang semakin terkesiap lagi setelah mendengar ucapan itu, buru-buru dia
berseru. "sekarang mereka sudah berjalan masuk. coba lihat tindakan apa yang mereka
lakukan?" Ke empat orang bocah lelaki berbaju hitam itu nampak agak sangsi sebentar setelah
dilihatnya gedung yang begitu besar berada dalam keadaan hening, tidak nampak ada
yang menghalangi juga tak kedengaran sedikit suara-pun tapi akhirnya mereka
melangkah masuk juga ke dalam ruangan tengah.
Secepat kilat keempat orang itu menyebarkan diri, dua menuju ke sebelah kiri dan dua
lagi menuju kesebelah kanan, setelah berdiri pada posisi segi empat, masing masing
lantas berdiri tak berkutik di tempat semula ...
Wi Tiong-hong mengamati sekejap orang-orang itu, kemudian baru berkata dengan
ilmu menyampaikan suara: "Mereka berdiri dibawa h sana dalam posisi segi empat,
tubuh mereka tidak bergerak."
"Dalam posisi segi empat" " Mungkin karena suasana dalam ruangan itu terlampau gelap hingga Ting Ci-kang tak sempat melihat jelas keadaan di sekeliling tempat itu,
maka setelah mendengar ucapan mana dia termenung beberapa Saat, setelah itu baru
katanya: "Mungkin mereka sedang menunggu orang."
"Sreeeet " Segulung bayangan manusia di ringi suara ujung baju yang terhembus angin segera berkelebat lewat dan melayang turun diantara ke empat orang tersebut.
Gerakan tubuh orang itu sedemikian cepatnya hingga boleh dibilang dalam sekejap
saja telah tiba disasaran.
Bahkan Wi Tiong-hong sendiri-pun tak sempat melihat jelas bentuk tubuhnya,
ditengah kegelapan hanya terdengar seseorang dengan suara yang rendah, berat dan
parau sedang menegur: "Tidak berjumpa dengan seseorang?"
"Benar" jawab keempat orang bocah berbaju hitam sambil membungkukkan badan
memberi hormat.
Buru-buru Ting Ci-kang bertanya lagi: "Saudara Wi, apakah kau dapat melihat jelas macam apakah orang yang baru datang itu?"
Sorot mata Wi Tiong-hong segera dialihkan ke arah bayangan manusia diantara ke
empat orang bocah berbaju hitam itu, ternyata dia adalah seorang tojin tua yang kurus
dan kecil, tapi lantaran dia berada di tempat yang tinggi, maka sukar untuk melihat
jelas raut wajahnya.
Maka setelah mendongakkan kepalanya dia berkata: "Tampaknya seperti seorang tosu
yang kurus dan kecil."
Belum habis dia berkata, mendadak terdengar tosu kurus itu sudah membentak keras:
"Siapa disitu?"
Ting Ci-kang amat terperanjat segera pikirnya: "Padahal aku dan Wi Tiong-hong
bercakap cakap dengan ilmu menyampaikan suara, tak mungkin pembicaraan kami
bisa didengar orang lain, jikalau ia
dapat mendengar suarai berarti suara itu berasal dari dengusan napas-kami berdua ..."
Teringat sampai di sana, dengan ilmu menyampaikan suara segera bisiknya lagi:
"Saudara Wi, cepat tutup napasmu rapat-rapat jangan berbicara lagi untuk
sementara."
Dalam pada itu, keempat bocah berbaju hitam tersebut telah berkata setelah menjura.
"Tecu sekalian telah melakukan pemeriksaan diseluruh ruangan tak nampak sesosok
manusia." Benar-benar lihay sekali, ternyata ketika mereka baru masuk ke dalam ruangan dan
berputar sekali dengan kecepatan tinggi sekali tadi seluruh ruangan telah diperiksa
dengan seksama.
Tosu yang kurus kecil itu segera mendengus dingin "Hmm, dengan jelas lohu
mendengar ada orang berganti napas di balik kegelapan, ehm, agaknya suara itu
berasal dari sebelah barat sana."
Diam-diam Ting Ci-kang merasa malu sendiri karena orang yang berganti nafas tadi
memang dia. Sambil bergendong tangan tosu kurus kecil itu berdiri ditengah kegelapan, sementara
sorot matanya yang tajam pelan-pelan menyapu seluruh ruangan itu, bentaknya
kemudian-"Turun."
Baru selesai dia berkata, tiba-tiba dari arah belakang ruangan kedengaran seseorang
menegur dengan suara dalam.
"Siapa disitu" Ditengah malam buta begini ada urusan apa berkaok-kaok disini?"
Suara itu berasal dari suara seorang kakek tua yang parau, bahkan diantara
pembicaraan tersebut diselingi pula suara batuk. Tosu tua yang kurus kecil itu
mendengus dingin-"Hmmm. siapakah kau" Mengapa tidak segera munculkan diri?"
Suara tua dari belakang ruangan itu berkata: "Apakah kalian hendak mencari orang-
orang dari An-wanpiaukiok" Sejak berapa hari berselang perusahaan itu telah
dibubarkan, tempat ini sudah berganti pemilik, kami hanya rakyat biasa yang tak
pernah berhubungan dengan orang persilatan, kalian telah salah sasaran-."
"Soal dibubarkannya An-wanpiaukiok. mengapa lohu mesti bertanya kepadamu?"
"Lantas kau datang kemari mencari siapa?"
"Mencari siapa" " tosu kecil kurus itu mendengus gusar, "apakah lohu tak boleh kemari?"
"Majikan kami belum pindah kemari, apakah tidak kau saksikan gedung ini masih
kosong melompong?"
Tosu kurus kecil itu menatap ke belakang ruangan lekat-lekat, mendadak ia menegur.
"Siapakah kau?"
Orang di belakang ruangan itu terbatuk-batuk kemudian berkata. "Bagaimana" Apakah kau hendak mencari aku?"
Tosu kurus kecil itu semakin naik darah, serunya dengan suara menahan geram. "Lohu tidak punya waktu bergurau dengan dirimu" suara yang serak dan tua itu kembali
tertawa ringan-"Aku toh tidak mengundang kalian datang, bukan aku yang bergurau
dengan dirimu, adalah kau yang mengajak aku berbincang-bincang."
Tosu kurus kecil itu tertawa seram, mendadak tampak cahaya tajam berkelebat lewat
ditengah kegelapan, kemudian meluncur ke belakang ruangan di mana suara
pembicaraan tadi berasal. "Tri ing ..."
Suara dentingan lirih berkumandang dari arah belakang ruangan, kalau di dengar dari
suara tersebut, dapat diketahui kalau sitosu kurus kecil itu telah melepaskan senjata
rahasia yang kecil dan lembut ke arah lawannya. Diam-diam Wi Tiong-hong agak
tertegun, pikirnya.
"Oooh, rupanya orang yang bersembunyi di belakang ruangan-pun seorang yang
liehay, tadi aku masih mengira dia hanya penghuni gedung ini saja ..."
Dalam pada itu, suara yang tua tadi telah berseru lagi dengan perasaan terkejut.
"Keparat, hampir saja aku si orang tua menghantarkan selembar jiwaku ditanganmu."
Tiba-tiba tosu kecil tertawa tergelak.
"Haahhh ... haaahh ... haaahh ... sobat kau punya kemampuan sedemikian hebatnya,
hal ini membuktikan kalau kau bukan manusia sembarangan, lebih baik tak usah
bersembunyi di tempat kegelapan lagi, meng apa tidak segera munculkan diri agar
lohu bisa melihat tampang wajahmu itu..?"
"Aku adalah pengurus rumah tangga ini, tapi jika kau bersikeras hendak meminta
diriku untuk munculkan diri, tampaknya sekali-pun tidak ke luar juga tak mungkin ... "
Selesai berkata, dari belakang ruangan tampak cahaya lentera berkilat tajam, lalu
seorang kakek berjubah biru dengan rambutnya penuh dengan kucir kecil melangkah
ke luar dari balik penyekat.
Wi Tiong-hong memperhatikan pula wajah orang itu lekat-lekat, ternyata wajah kakek
tersebut ditutup oleh selembar kain hitam sehingga kelihatan hanya sepasang
matanya saja, teringat akan kain hitam yang membungkus wajah sendiri, satu ingatan
segera melintas dalam benaknya.
Ketika dia memandang lagi kewajah tosu kurus kecil itu, dibawah cahaya lilin, tampak
wajahnya kelihatan semakin kentara.
"Tosu toa itu berwajah kurus dan sempit dengan alis mata yang panjang, mata kecil, sepasang kening menonjol, mata seperti alang dan berjenggot panjang, dia memakai
jubah berwarna abu-abu dengan sebuah senjata kebutan terselip dipinggangnya."
Waktu itu, dengan sepasang matanya yang tajam dia sedang mengawasi kakek berbaju
biru itu lekat-lekat, kemudian berkata dingin: "Sobat, kalau toh sudah munculkan diri, rasanya tak ada gunanya kau bungkus wajah asli mu lagi."
Kakek berbaju biru itu segera tertawa.
"Aku berbuat demikian karena kuatir kalau kurang berhati-hati sehingga keracunan."
"Kau kenal dengan lohu?"
Kakek berbaju biru itu segera tertawa terbahak-bahak.
"Haahh ... haahh ... haahh ... walau-pun aku belum pernah berjumpa dengan Sutok
thian Liong (empat raja racun), sedikit banyak pernah juga kudengar orang
membicarakannya, saudara Seh, sekali-pun kau sudah berdandan sebagai seorang
tosu, suara dan wajah tak mungkin bisa berubah, siapakah didunia ini yang tidak kenal
dengan dirimu?"
"Tosu she Seh" " Satu ingatan kembali melintas dalam benak Wi Tiong-hong, "Lo hong tiang dari kuil Pau-in-si mengatakan dia telah kedatangan seorang Seh tosu, jangan-jangan orang inilah yang dimaksudkan ... ?"
Sementara dia masih termenung, terdengar tosu yang kurus kecil itu sudah tertawa
terbahak-bahak dengan suara parau: "Haahh ... haaahhh ... haaahh ... saudara Chin terlalu memuji, siaute-pun sudah lama mengagumi nama congkoan dari perkumpulan
Ban kiam-hwee .."
Sekali lagi Wi Tiong merasakan hatinya terkesiap. "ternyata si kakek berbaju biru itu adalah Chin congkoan dari perkumpulan Ban Kiam-hwee ..."
"Mana, mana ... " terdengar Chin congkoan berseru sambil menjura, "Nama siaute kalau dibandingkan dengan nama saudara Seh, apalah arti nama kami itu?"
Bab 21 Tapi lantaran ilmu silat lawan kelewat hebat apalagi pandai mempergunakan racun,
mau tak mau dia merasa agak keder juga . setelah berhenti sejenak. sambungnya lebih
lanjut. "Malam-malam begini saudara Seh berkunjung kemari, entah ada petunjuk apakah
yang hendak disampaikan?"
Seh tosu memandang sekejap sekeliling tempat itu, lalu pelan-pelan menjawab:
"Menurut laporan yang siaute dapatkan, konon muridku Tok Hay-ji telah melanggar
persatuan perkumpulan kalian sehingga entah bagaimana ceritanya sampai kena
ditangkap oleh pihak kalian, Sebab itu aku sengaja berkunjung kekota Sang-siau
dengan maksud memohon maaf kepada saudara chin."
"Sungguh kebetulan perusahaan An-wan piau kiok telah menjadi sebuah gedung
kosong, maksud siaute yang sebetulnya adalah ingin menggunakan tempat ini sebagai
tempat untuk berteduh tak nyana malah berjumpa dengan saudara chin."
Ketika mendengar sampai disitu, Wi Tiong-hong manggut-manggut secara pelan
sembari berpikir.
"Ternyata .. dia adalah gurunya Tok Hay-ji, kalau didengar dari nada bicaranya, seperti dia sudah menerima berita yang kubawa?"
Sementara itu Chin congkoan telah berlagak seakan menyadari akan sesuatu, cepat-
cepat ia menjura seraya berkata: "Oooh ... siaute tidak tahu kalau Tok Hay-ji adalah
anak murid saudara Seh, maaf . , maaf itu mah soal kecil, asal saudara Seh telah
memohonnya, masa siaute berani membantahnya?"
"Haaa haa haa saudara Seh telah datang dari tempat kejauhan, sudah sepantasnya jika siaute menjadi seorang tuan rumah yang baik, yaa apa daya kalau di tempat ini tidak
terdapat apa apa untuk menjamu diriku ..."
"Saudara Seh, bagaimana kalau siaute menghantar dirimu untuk beristirahat di rumah penginapan saja" Segata sesuatunya biar siaute yang mentraktir."
Seakan-akan telah berjumpa dengan sahabat karib saja, orang-orang persilatan
memang selalu berjiwa terbuka dan gampang bersahabat dengan orang yang
dijumpainya. "Soal ini tak perlu saudara Chin risaukan." tampik Seh tosu Cepat, "Selamanya siaute sudah terbiasa hidup seadanya, disini-pun cukup baik saudara chin, siaute merasa
berterima kasih sekali kepadamu atas kesudianmu membebaskan muridku, sekarang
silahkan saudara Chin berlalu."
Chin congkoan agak tertegun setelah mendengar perkataan itu, setelah mendeham
sebentar, dia lantas menjura seraya berkata: "Soal muridmu timbul karena kesalahan paham, tentu saja siaute akan segera membebaskannya, cuma andaikata saudara Seh
ingin tinggal disini, aku rasa hal ini malah kurang leluasa."
Sambil menarik muka, Seh tosu segera membantah, "Tempat ini tak lebih hanya
sebuah gedung kosong, apa salahnya jika siaute menumpang semalam saja di sini?"
"Saudara Seh, kau belum tahu, sejak An-wan piaukiok gulung tikar, gedung ini telah dibeli oleh pihak perkumpulan kami." Seh tosu segera tertawa seram.
"Heeeh, heeeh, heeeh, aku mengira karena apa, rupanya gedung An-wan piaukiok ini
telah dibeli oleh pihak perkumpulan kalian, bukankah hal ini lebih baik lagi" Tadi,
saudara Chin malah bilang hendak menjamu siaute sebagai seorang tuan rumah yang
baik" Haaah haaah, kalau begitu siaute akan menginap semalam saja disini, sebagai
tuan rumah tentunya saudara Chin tak akan merasa keberatan bukan?"
Sekali-pun Chin congkoan seorang jago kawakan yang sudah termasyur selama banyak


Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tahun, tak urung dia dibikin terbungkam perkataan tersebut.
Pada saat itulah mendadak terdengar seseorang tertawa merdu, suaranya enak
didengar hanya sayang nadanya dingin menggidikkan kemudian seseorang telah
berseru: "Tidak bisa, kau tak bisa menginap disini, karena malam ini juga kami akan pindah ke mari."
Berbareng dengan selesainya ucapan tersebut dari balik penyekat muncul seorang
gadis berbaju hitam.
Wi Tiong hiong mencoba untuk memperhatikan wajah gadis itu, ternyata dia
mengenakan baju hitam gelap. berusia dua puluh tiga-empat tahunan, berwajah
potongan kwaci, beralis mata lengkung, bermata jeli, bibir kecil dan potongan badan
langsing ... Tanpa terasa tergerak hati anak muda itu, dia menjadi teringat kembali dengan
perkataan sang pelayan rumah penginapan kepadanya menjelang bersantap malam
tadi, bukankah tamu perempuan yang mencari Ting toakonya juga berpotongan badan
semacam ini"
Dalam pada itu, Seh tocu telah berubah wajahnya setelah mendengar perkataan itu,
dengan suara dingin dia lantas menegur: "Siapakah nona ini" Maaf Kalau aku orang
she oey bermata, tetapi tak dapat melihat."
Buru-buru Chin congkoan memperkenalkan: "Dia adalah salah seorang di antara
empat pelayan utama dari hwecu perkumpulan kami Hek-bun-kun (Bun kun hitam)
Cho Kiu may, nona Cho adanya."
"Oooh ... dia adalah pelayan dari Ban Kiam-hweecu, siaute belum pernah mendengar
orang membicarakannya," kata Seh tosu dengan suara yang dingin dan kaku.
"Sekarang, bukankah kau telah mendengarkannya" " ucapnya Hek-bun-kun Cho Kiumoay dengan Cepat.
Berbicara sampai disitu, mendadak dia mengalihkan sorot matanya ke arah Chin
congkoan sembari berkata: "Chin congkoan, kau boleh menyuruhnya pergi sekarang."
Belum sempat Chin congkoan buka suara, Seh tosu dengan wajah penuh kegusaran
telah tertawa dingin tiada hentinya.
"Heehh ... heeh .. hee , .. mengapa lohu harus pergi lagi?"
Dengan suara dingin dan kaku Hek bun kan Cho Kiu-moay menjawab: "perkumpulan
dalam dunia persilatan mempunyai rahasia dari perkumpulan sendiri, malam ini juga
kami akan pindah kemari kami tak ingin membiarkan orang luar menyusup di dalam
tubuh perkumpulan kami."
Seh tosu segera menengadah dan tertawa ter bahak-bahak..
"Haaan, haaah, haaah, kalian bukan majikan gedung ini, siaute berhak untuk pindah kemari lebih dulu."
"Saudara Seh, apa maksudmu berkata begitu?"
Seh tosu mengelus jenggot dibawah dagunya lalu berkata sambil tertawa: "Siaute
dengar, An-wan piaukiok hanya mengembalikan gedung ini kepada pemilik rumahnya,
belum pernah kudengar kalau gedung ini telah dijual kepada Ban Kiam-hwee kalian."
"Gedung ini justeru telah kami beli dari pemilik rumah tersebut." bantah Cho Kiu-moay.
"Kau tahu siapakah pemilik rumah ini" " kata Seh tosu sambil tertawa licik. "Haaah, haaah. haaah, hampir separuh bagian gedung yang berada di kota Sang-siau ini
menjadi milik Tang poan sia (pemilik separuh kota) Tang Pek ban, mana mungkin
gedung ini dijual kepada kalian" Ketahuilah, lohu terus terang beritahu kepadamu,
lohu telah menyewa gedung ini dari tangan Tang Pek ban, maka orang yang
seharusnya mengundurkan diri dari sini bukan lohu melainkan pihak kalian,
mengerti?"
Wi Tiong-hong yang mendengar mereka hanya memperebutkan hak menempati
gedung tersebut, diam-diam merasa kegelian, hampir saja dia tertawa bergelak.
Terdengar Hek-bun-kun Cho Kiu
moay berkata lagi dengan suara dingin seperti es: "Kalau begitu kau menolak untuk pergi dari sini?"
"Lohu telah menyewa gedung ini dari pemiliknya, aku rasa tak mungkin gedung ini
akan kuserahkan kepada orang lain-" jawab Seh tosu dengan suara berkilat.
Hek-bun-kun cha Kiu-moay segera tertawa terkekeh-kekeh, kemudian dengan kening
berkerut katanya lagi: "Bagus sekali, kalau begitu silahkan kalian tetap tinggal disini,"
Tiba-tiba dia berpaling ke arah Chin congkoan dan berkata lagi: "Chin congkoan,
suruhlah mereka ke luar semua."
Chin congkoan tertawa kering, dia lantas bertepuk tangan sebanyak tiga kali.
Mendadak tampak cahaya api memancar ke mana-mana, dari luar ruangan tersebut
telah muncul puluhan batang obor yang membuat seluruh ruangan itu terang
benderang. Bersamaan itu pula, dari empat penjuru sekeliling tempat itu bermunculan dua
puluhan orang berpakaian ringkas warna hitam, rata rata mereka menutupi sebagian
wajahnya dengan kain hitam, sementara sebilah pedang berbulu hitam tersoren
dipinggang masing-masing. Wi Tiong-hong yang menyaksikan kejadian itu merasa
amat terkesiap, pikirnya: "Aaah, rupanya di sekeliling serambi gedung ini telah di persiapkan kawanan jago yang begini banyaknya."
Seh tosu sendiri seakan-akan tak merasa kejadian itu sebagai sesuatu yang di luar
dugaan, sekulum senyuman licik segera menghiasi wajahnya yang menyeramkan,
sambil manggut-manggut katanya: "Delapan belas orang jago pedang berbulu hitam,
hanya mengandalkan jagoan sebanyak ini saja?"
Dia lantas mengangkat tangannya dan menuding ke arah Hek-bun-kun Cho Kiu-moay.
Empat orang bocah berbaju hitam yang berdiri di belakang Seh tosu itu serentak
mencabut ke luar sebatang senjata kebutan dari sisi pinggangnya, kemudian dengan
suatu gerakan tubuh yang amat cepat bagaikan sambaran kilat mengurung di sekeliling
gadis tersebut.
Chin congkoan yang menyaksikan kejadian itu segera berteriak keras memberi
peringatan. "Nona cho, hati-hati dengan senjata kebutan mereka, hud tim tersebut amat
beracun." Sementara itu Hek-bun-kun Cho Kiu-moay telah mengeluarkan secarik kain berwarna
hitam dan digunakan untuk menutupi mulut dan hidungnya, kemudian katanya sambil
tertawa. "Masa aku bakal tertipu oleh perbuatan mereka?"
Nona Cho Kiu-moay ini memang tak malu disebut salah seorang dayang dari ketua
perkumpulan Ban Kiam-hwee, gerak geriknya dilakukan dengan kecepatan yang amat
mengagumkan. Sejak dia mengeluarkan kain hitam untuk menutupi mukanya, kemudian mencabut ke
luar pedang berbulu kuning tersoren dipinggangnya, semuanya telah selesai dilakukan
sebelum ke empat orang bocah berbaju hitam itu mengepung dirinya dan
melancarkan serangan ke depan.
Cho Kiu-moay segera mengayunkan pedangnya menciptakan serentetan cahaya
pelangi berwarna perak yang mengitari sekeliling tubuhnya, kemudian sambil
menciptakan selapis cahaya berkialuan dia melancarkan serangan terpisah ke arah
empat bocah berbaju hitam itu.
Tindakan serangan yang dilancarkan olehnya ini benar benar luar biasa sekali.
Sebenarnya ke empat orang bocah berbaju hitam itu sedang melancarkan serangan ke
arahnya dari empat penjuru, namun setelah Cho Kiu-moay melancarkan serangan
balasan, mereka
dipaksa untuk merubah kedudukan sebagai penyerang menjadi kedudukan bertahan,
mereka mundur terus tiada hentinya.
Seh tosu memperhatikan sekejap pedang berbulu kuning yang berada ditangan gadis
itu, dia merasa amat terperanjat.
Perlu diketahui, perkumpulan Ban Kiam-hwee selama ini termashyur karena
keganasan serta kehebatan permainan pedang nya, setiap anggota perkumpulan
mempunyai kelompoknya masing-masing sesuai dengan tingkatan ilmu pedang yang
dimiliki, mengelompokkan tersebut ditandai dengan perbedaan warna bulu pedang
masing-masing. Pada kawanan jago pedang biasa, maka perbedaan itu terbagi menjadi warna hijau,
merah, putih dan hitam empat macam, sedangkan untuk kedudukan yang paling
tinggi, digunakan warna kuning emas.
Konon hanya Hwecu seorang yang menggunakan bulu pedang berwarna kuning emas,
namun jarang sekali ada jago persilatan yang sempat berjumpa dengan ketua
perkumpulan Ban Kiam-hwee ini.
Kini Hek-bun-kun Cho Kiu-moay mempergunakan bulu pedangnya berwarna kuning
tawar, dari ini menunjukkan kalau tingkat kedudukannya di dalam perkumpulan Ban
Kiam-hwee hanya setingkat dibawah sang ketua sendiri, sudah barang tentu ilmu
pedang yang dimilikinya-pun luar biasa sekali.
Berpikir demikian, dia lantas berseru lantang: "Mundur semua."
Mendengar seruan itu, empat bocah berbaju hitam itu segera mengundurkan diri.
Sambil memutar senjata kebutan ditangan, Seh tosu segera tertawa seram, kemudian
ujar nya: "Lohu pernah mendengar orang berkata hanya Ban kiam bwee cu seorang
yang mempergunakan pedang berbulu kuning emas, kini ku lihat nona menggunakan
pedang berbulu kuning tawar, tampaknya
kau memiliki suatu kemampuan yang amat hebat di dalam permainan pedangmu?"
Cho Kiu-moay segera menggetarkan pergelangan tangannya sehingga tubuh pedang
itu memperdengarkan suara dengungan yang sangat nyaring, kemudian sorot matanya
ditujukan ke ujung pedang, sementara tangan kirinya meraba tubuh pedang itu pelan-
"Apakah kau ingin mencoba kelihayanku?" tantangnya dengan kening berkerut
kencang. Seh tosu menjadi panas hatinya melihat sikap jumawa dari gadis itu, meski pedangnya
dipegang dalam suatu sikap yang seenak hatinya, namun dia tahu bahwa tenaga dalam
yang dimiliki gadis itu cukup tangguh.
Tanpa terasa dia mendongakkan kepalanya dan tertawa seram.
"Haaahhh ... haaahhh , ... haaahhh ... lohu memang bermaksud demikian."
"Hmmm, kalau begitu perhatikan saja baik-baik" seru Cho Kiu-moay sambil
mendengus dingin-Begitu selesai berkata, tanpa pembukaan tanpa memasang kuda-
kuda, pedangnya langsung disodok ke depan melancarkan sebuah tusukan ke tubuh
tosu itu. Serangan pedangnya ini ternyata di lancarkan selain ganas juga amat cepat, begitu
dahsyatnya hingga menggetarkan sukma setiap orang yang memandangnya.
cepat-cepat Seh tosu memutar senjata kebutan yang berada ditangan kanannya
menciptakan selapis cahaya hitam yang amat tebal untuk mengunci datangnya
ancaman pedang Hek-bun-kun, berbareng itu juga "Sreet " segulung desingan angin tajam diayunkan ke depan untuk membelenggu telapak tangan kanan lawan yang
menggenggam pedang.
Dengan cekatan Cho Kiu-moay melejit ke samping untuk menghindarkan diri, seperti
Seekor ular sakti ke luar dari sarangnya pedang itu berganti tiga jurus serangan secara beruntun, semuanya
dilakukan dengan keCepatan luar biasa dan mengancam tiga buah jalan da rah penting
di tubuh Seh tosu.
"Benar-benar ilmu pedang yang amat bagus." puji Seh tosu sambil tertawa seram.
Senjata kebutnya diputar membentuk satu lingkaran busur, kemudian dengan jurus
Hong imsu hap (angin dan mega berkumpul diempatpenjuru) dia bendung ketiga
serangan lawan yang tertuju ke arahnya itu.
Cho Kiu-moay mendengus dingin, permainan pedangnya semakin diperketat, tiba-tiba
saja cahaya dingin memancar keempat penjuru dan menciptakan bayangan pedang
yang berlapis-lapis, dalam waktu singkat dua kaki di-sekel ling tempat itu sudah diliputi oleh hawa pedang yang menggidikkan hati ..."
Wi Tiong-hong yang bersembunyi di atas tiang belandar menjadi terkejut sekali setelah
menyaksikan kenyataan itu, diam-diam pikirnya "llmu pedang macam apaan ini" Tak
kusangka begitu ganas, keji dan menggidikkan hati."
Ketika memandang pula ke arah Seh tosu, tampak seluruh tubuhnya telah diliputi oleh
selapis kabut hitam yang amat tebal, diantara desingan angin tajam, permainan
senjata kebutannya tetap sama cepatnya sehingga sulit dilihat jelas.
Wi Tiong-hong benar benar dibikin terkesima oleh pertarungan tersebut, tanpa terasa
dia lantas bertopang dagu dengan tangannya menopang badannya, lalu seluruh
perhatiannya dicurahkan kemedan pertarungan untuk mengawasi perubahan pedang
dan senjata kebutan lawan. Sementara dia sedang mencurahkan perhatiannya untuk
memperhatikan jalannya pertarungan itu, mendadak jari tangan kirinya seperti lagi
menekan di atas sebuah benda yang dingin dan keras.
Dalam pada itu, pertarungan yang berlangsung antara dua orang jago di bawah sana
telah berlangsung dua tiga puluh gebrakan lebih, kini masing-masing pihak sedang
mengerahkan segenap kemampuannya untuk menguasahi lawan, jurus serangan yang
mematikan dike luarkan beruntun, perubahan jurusnya tak terlukiskan dengan kata-
kata. Dalam keadaan demikian, anak muda itu enggan untuk melepaskan pandangannya
dari arena pertarungan. perhatiannya juga masih dicurahkan ke arena, tentu saja tidak
akan memperhatikan benda apakah yang dingin dan keras itu, namun jari tangannya
tanpa disadari masih saja meraba, mengorek dan mendongkel benda tersebut.
Agaknya benda itu tertanam di dalam tiang belandar sedalam tiga hun lebih, ketika
diraba terasa halus dan licin sehingga sukar untuk mengoreknya ke luar.
Sementara itu, Cho Kiu-moay yang sedang bertarung sengit tiba-tiba membentak
nyaring, titik titik cahaya tajam memancar berbareng dengan munculnya bunga
pedang, kemudian dengan menciptakan serentetan cahaya tajam yang menggidikkan
hati langsung menembusi bayangan hitam yang tebal disekitar tubuh lawan. Dengan
cepat Seh tosu menyadari datangnya ancaman bahaya maut, untuk membendungnya
jelas tak sempat lagi, buru-buru dia menarik hawa murninya dari dalam tan-tian, lalu
sambil mengeraskan hati menyusup mundur sejauh satu depa lebih ke belakang.
Di mana cahaya tajam berkelebat lewat "Sret" jubah tosu yang dipakai Seh tosu telah robek dari atas dada hingga kebawah oleh goresan mata pedang, masih untung dia,
berkelit cukup cepat, coba kalau terlambat selangkah saja, niscaya dadanya susah
terbelah menjadi dua dan berakibat suatu kematian yang mengenaskan Wi Tiong-hong
yang menyaksikan kejadian itu menjadi terperanjat tangan kirinya yang sementara itu
masih mengorek ke luar benda dingin di atas tiang belandar, karena secara tiba-tiba
hatinya menjadi tegang, tanpa terasa jari tangannya ikut mengerahkan tenaga lebih
besar lagi, ternyata secara paksa dia berhasil mengorek ke luar benda itu, namun
masih tidak diketahui olehnya benda apakah itu"
Sebab pada saat itu dua orang yang sedang bertarung dibawah sana telah mengalami
suatu perubahan besar.
Seh tosu telah bermandikan keringat dingin karena kaget, buru-buru dia melayang
mundur sejauh dua kaki ke belakang, kemudian dengan suara yang parau tertawa
terbahak-bahak sembari berkata: "llmu pedang yang nona miliki benar-benar sangat
lihay, lohu telah merasakan kehebatanmu."
Kemudian setelah memandang sekejap sekel ling tempat itu, bentaknya lebih jauh:
"Ha ha ha ha ... , . anak-anak, mari kita pergi."
Sementara itu, tatkala Cho Kiu-moay berhasil merobek jubah dibagian dada Seh tosu,
mendadak tubuhnya menjadi sempoyongan kemudian kakinya lemas dan tubuhnya
roboh terjengkang ke belakang.
Sedang Seh tosu begitu selesai membentak. dia segera melejit keudara dan melayang
pergi meninggalkan tempat itu.
Ke empat orang bocah berbaju hitam yang berada di belakangnya tak berani berayal,
Sreet sreeeeet, sreeeeet, sreeeeet empat sosok bayangan hitam segera mengikuti di
belakang gurunya menyelinap ke luar dari ruangan tersebut.
Semua kejadian itu berlangsung dalam sekejap mata, sedemikian mendadaknya
sampai congkoan dari perkumpulan Ban Kiam-hwee, Sin hun kuijiu (tangan setan
pembetot sukma) Chin Toa seng turut menjadi gelagapan dan tak tahu apa yang mesti
dilakukan-Tapi setelah menyaksikan Hek-bun-kun Cho Kiu-moay jatuh tak sadarkan diri
dan Seh tosu serta keempat orang bocah berbaju hitam itu melejit ke luar dari
ruangan, dia baru membentak keras dengan perasaan gusar: "Hadang perjalanannya."
Sepasang telapak tangannya segera diayunkan kemuka melancarkan dua buah pukulan
dahsyat, sementara ujung kakinya menjejak permukaan tanah dan segera mengejar
dari belakang. "Haaah, haaah, haaah," Seh tosu yang baru ke luar dari ruangan segera membalikkan badan sambil tertawa terbahak-bahak. serunya. "Chin heng, kau tak usah menghantar lebih jauh lagi."
Tangan kirinya segera diayunkan ke depan, segulung asap berwarna abu-abu dengan
cepat memancar keempat penjuru dan menggulung ke arah Chin congkoan.
Tentu saja Chin congkoan tahu lihay, sewaktu melakukan pengejaran tadi ia sudah
membuat persiapan yang matang, melihat kejadian tersebut dengan cepat tubuhnya
menjatuhkan diri ke belakang, lalu setelah menutup napas, ia meminjam tenaga
jejakan pada kedua belah kakinya dan menyingkir sejauh delapan depa dari posisi
semula dengan gerakan ikan leihi melejit.
Tadi justru karena waktunya tertunda, Seh tosu telah menerjang dari ruangan
tersebut. Di luar ruang, cahaya api menerangi seluruh penjuru tempat, delapan belas orang jago
pedang berbulu hitam dengan senjata yang terhunus telah menanti sedari tadi.
Begitu menyaksikan Seh tosu menerjang ke luar dari kepungan, serentak mereka
membentak keras, cahaya pedang segera berkilauan, lima sosok bayangan hitam
bagaikan sebuah jaring yang terpentang menerjang ke arah depan. Tapi jaring pedang
tersebut seperti bunga yang mekar sesaat, tahu-tahu lenyap kembali tak membekas.
Delapan belas jago pedang berbulu hitam merupakan jago-jago pedang yang berilmu
tinggi, akan tetapi baru satu gebrakan berlangsung, beberapa orang yang berada di
barisan terdepan telah roboh terjengkang ke atas tanah tanpa menimbulkan sedikit
suara-pun. Kenyataan ini membuat beberapa orang lainnya menjadi tertegun, belum sempat
mereka lancarkan penghadangan lebih jauh, Seh tosu dengan membawa keempat
orang anak muridnya telah menerobos ke luar dari dinding pekarangan seperti
hembusan angin.
Wi Tiong-hong terkejut sekali setelah menyaksikan kejadian itu, pikirnya: "Entah racun apa yang telah dipergunakan Seh tosu ini" sungguh lihay sekali."
Berpikir sampai disitu, tiba-tiba dia merasa dalam genggamannya seperti memegang
sebuah benda, tanpa terasa ia menundukkan kepalanya untuk memeriksa.
Begitu dipandang, hampir saja dia menjerit kaget, ternyata di dalam genggamannya
telah bertambah dengan sebatang pena kemala berwarna hijau yang panjangnya
antara lima inci.
"Lou-bun-si. Mungkinkah pena mustika ini adalah Lou-bun-si (pena beraksara)" Tapi
mengapa benda tersebut bisa tersimpan di atas tiang belandar rumah" Aaih. Bukankah
di mana-mana dia berada sekarang tak lain adalah tempat persembunyian Tok Hay-ji
waktu itu" Yaa, kalau begitu sudah pasti dialah yang menyembunyikan disini."
"Benar, bukankah diantara pesan rahasia yang harus disampaikan terdapat kata kata


Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang berbunyi: "Gua dalam tanah masuk dalam kayu?""
Berpikir sampai disitu, untuk sesaat dia tak berani mengusik Ting Ci-kang cepat-cepat
pena kemala tersebut disimpan ke dalam sakunya.
Semua peristiwa itu hanya berlangsung dalam sedetik, sementara itu dari kejauhan
sana telah terdengar suara Seh tosu sedang berseru dengan suara parau.
"Tak usah kuatir saudara Chin, cara siaute turun tangan masih tahu diri, asal saudara Chin sekalian segera mengundurkan diri dari gedung ini dan membebaskan muridku,
tentu akan siaute kirim orang untuk menghantarkan obat pemunahnya buat kalian."
Suara pembicaraan tersebut makin lama makin menjauh, nampaknya orang itu sudah
berada jauh sekali dari sana.
Menanti Siu-hun-kui-jiu (tangan setan pembetot sukma) Chin Toa-seng menyusul ke
depan ruangan, pihak lawan telah lenyap tak berbekas.
Kejadian ini seketika itu juga membuat congkoan dari pasukan pedang hitam ini
menjadi gembar-gembor keras, mencorong sinar tajam dari balik matanya, dia segera
menjejakkan kakinya ke atas tanah membuat ubin yang kena dijejak hancur
berantakan. Kemudian setelah melirik sekejap ke atas tiang belandar, dia membopong
Cho Kiu-moay dan berseru dengan suara dalam.
Kawanan jago pedang yang berada di luar ruangan, masing-masing segera
membopong rekannya yang keracunan, cahaya api menjadi padam dan belasan sosok
bayangan manusia itu mengundurkan diri semua dari situ, dalam waktu singkat tak
sesosok manusia-pun yang tertinggal.
Menanti semua orang sudah meninggalkan tempat itu, Wi Tiong-hong baru berseru
dengan cemas: "Ting toako ..."
Ting Ci-kang segera melompat turun, kemudian buru-buru serunya. "Saudara Wi, mari kita segera pergi."
Wi Tiong-hong turut melompat turun, ujarnya penuh rasa gembira. "Ting toako,
aku ..." Tangannya segera merogoh ke dalam saku siap mengeluarkan pena kemala tersebut.
Dengan wajah serius Ting Ci-kang segera mengulapkan tangannya sembari menukas.
"Bila ada persoalan lebih baik dibicarakan setibanya di rumah nanti, sekarang kita harus segera meninggalkan tempat ini," selesai berkata, dia lantas melompat ke luar ruangan dan berlalu lebih dulu.
Wi Tiong-hong tak sempat banyak bicara lagi dia segera menyusul di belakangnya
berlalu dari situ.
Tampak dua sosok bayangan manusia berkelebatan dengan cepatnya menuju ke
rumah penginapan, kemudian mereka menerobos masuk ke dalam kamar lewat
jendela. Wi Tiong-hong benar benar tak sadar lagi, dengan suara lirih segera bisiknya. "Ting toiko, cepatlah memasang lentera, siaute ada persoalan yang hendak dibicarakan
denganmu."
Sambil memasang lentera, Ting Ci-kang menghembuskan nafas lega, tanyanya.
"Saudara Wi, kau ada urusan apa?"
Dari dalam sakunya Wi Tiong-hong mengeluarkan pena kemala tersebut, kemudian
dengan wajah berseri katanya. "Ting toako, coba kau lihat, bukankah benda ini adalah pena beraksara Lou-bun-si?"
"Lou-bun-si?" tiba-tiba mencorong sinar aneh dari balik mata Ting Ci-kang, dengan cepat dia mengambil benda tersebut dari tangan Wi Tiong-hong, kemudian tanyanya:
"Darimana kau dapatkan benda ini?"
"Tanpa sengaja siaute berhasil menemukannya sewaktu meraba-raba tiang belandar
tadi." "Oooh ... kalau begitu benda ini memang berada di An-wan piaukiok ... " gumam Ting Ci-kang.
"Ting toako," Wi Tiong-hong segera mendongakkan kepalanya sambil bertanya,
"Betulkah benda ini adalah Lou-bun-si?"
Mencorong sinar licik dari balik mata Ting Ci-kang, sambil tertawa seram sahutnya:
"Benar."
Jari tangannya segera diayunkan ke depan dan secara tiba-tiba menotok jalan darah
Tiong-teng-hiat di tubuh Wi Tiong-hong. Serangan tersebut dilancarkan secara tiba-
tiba ... Mimpi-pun Wi Tiong-hong tidak menyangka kalau Ting toakonya bakal melancarkan
sergapan kepadanya.
Berhubung jarak antara kedua belah pihak begitu dekat, ditambah lagi tanpa
persiapan apa-pun, kontan saja anak muda tersebut merasakan sekujur badannya
menjadi kesemutan dan segera roboh terjengkang ke atas tanah.
Tak terlukiskan rasa kaget dan terkesiap yang mencekam perasaan Wi Tiong-hong
ketika itu, sambil menengadah memandang Ting Ci-kang, serunya dengan suara
gemetar: "Ting toako, kau ... meng apa kau menyerang siaute ... " Mengapa kau ..."
Dengan cepat Ting Ci-kang menyimpan pena kemala tersebut ke dalam sakunya,
mencorong sinar bengis dari matanya sementara senyuman menyeringai yang
menggidikkan hati menghiasi bibirnya.
Pelan-pelan dia mengangkat tangan kanannya ke udara siap menghajar batok kepala
Wi Tiong-hong. Pada saat itulah, dari luar jendela terdengar seseorang berseru sambil tertawa merdu:
"Nah, inilah yang dinamakan bencana datang karena membawa barang berharga ..."
"Cri i ttt ..."
Segulung desingan angin serangan jari yang tajam menerobos masuk lewat jendela
dan menghajar tangan kanan Ting Ci-kang yang sudah terangkat ke tengah udara itu.
"Blaaammm ... " menyusul pula pintu kamar dibongkar orang keras-keras, sesosok bayangan manusia menerobos masuk ke dalam ruangan dengan kecepatan luar biasa.
Ting Ci-kang segera merasa telapak tangan kanannya kesakitan luar biasa, rasa sakit ini merasuk sampai ke tulang sumsum, dalam terkesiapnya tak sempat melihat jelas lagi
siapa penyerangnya, ia menjejakkan kakinya ke tanah dan secepat sambaran petir
menerobos ke luar lewat jendela belakang.
Tampaknya orang yang menyelinap masuk ke dalam kamar itu tidak berhasrat untuk
melakukan pengejaran, dengan cepat dia menyelinap pula ke samping tubuh Wi Tiong-
hong. Dalam pada ini, paras muka Wi Tiong-hong telah berubah menjadi pucat pias seperti
mayat, matanya terbelalak lebar, dia duduk tertegun di tempat tanpa mengucapkan
sepatah kata-pun.
Orang itu menundukkan kepalanya memandang sekejap ke arah anak muda tersebut,
kemudian sambil mendengus gusar serunya: "Benar-benar suatu tindakan yang amat
keji, bila aku datang terlambat selangkah saja, niscaya kau sudah mati di ujung telapak tangannya, atau paling tidak akan menjadi cacad."
Ia lantas menepuk pelan punggung Wi Tiong-hong.
Wi Tiong-hong memutar biji matanya sebentar kemudian menghembuskan napas
panjang, tiba-tiba dia memuntahkan darah kental dan tersadar kembali dari keadaan
termangu. Secara lamat-lamat dia merasakan dadanya amat sakit sekali, dengan cepat dia
berusaha untuk meronta dan bangkit berdiri.
Mendadak dari belakang tubuhnya berkumandang suara yang merdu sedang berkata:
"Kau telah menderita luka dalam yang cukup parah, sekali-pun memperoleh cara
pertolongan yang tepat, paling tidak membutuhkan waktu selama tiga sampai lima
hari untuk bisa pulih kembali seperti sedia kala, sekarang aku akan membantumu
untuk mengatur pernapasan, duduklah dan jangan bergerak dulu."
Ketika Wi Tiong-hong mendengar orang yang berbicara itu seperti suara dari seorang
perempuan, apalagi setelah ia mendongakkan kepala dan tidak menjumpai bayangan
tubuh Ting Ci-kang berada disana, dengan keheranan segera tanyanya: "Siapa nona"
Di manakah Ting toako ku?"
Perlu diketahui jalan darah Tiong-tiang-hiat yang ditotok oleh Ting Ci-kang tadi
merupakan salah satu dari tiga puluh enam buah jalan darah kematian di tubuh
manusia, andaikata tidak segera ditolong, maka akibatnya akan terjadi pendarahan
yang menyebabkan kematian.
Apalagi ketika dia hendak buka suara tadi, keburu jatuh tak sadarkan diri, sehingga dia tidak tahu kalau Ting Ci-kang telah melarikan diri lewat jendela.
+++ Bab 23 GADIS yang berada di belakangnya mendengus dingin, lalu berseru: "Hm, kau masih
menyebutnya sebagai Ting Toako" orang lain sudah menotok jalan darah kematianmu,
sedari tadi-pun sudah kabur, hm ... tapi ia tak bakal terlepas, sekarang kau jangan
banyak bicara dahulu."
Sementara pembicaraan sedang berlangsung Wi Tiong-hong merasa pelan-pelan ada
seseorang sedang menempelkan telapak tangannya ke atas jalan darah Leng-tay-hiat
di atas ulu hatinya, berbareng itu juga muncul segulung hawa hangat yang menembus
jalan darahnya dan menerobos masuk ke dalam tubuhnya.
Dia segera menurut dan memusatkan seluruh perhatiannya untuk mengatur
pernapasan. Kurang lebih sepenanak nasi kemudian, dia telah selesai mengatur pernapasannya.
Terasa gadis itu menarik kembali telapak tangannya sembari berkata: "Sudah cukup, asal kau beristirahat tiga-lima hari lagi, maka segala sesuatunya akan pulih kembali
menjadi sedia kala, sekarang aku akan menyusul untuk mengambil kembali benda
milikmu itu."
Begitu selesai berkata, tampak sesosok bayangan manusia yang kecil mungil
menyelinap lewat dari sisi tubuhnya dan melayang ke luar lewat jendela belakang.
Buru-buru Wi Tiong-hong melompat bangun sambil berteriak: "Nona, harap tunggu
sebentar."
Waktu itu, sebenarnya bayangan kecil mungil tadi sudah berada di depan jendela,
mendadak ia berhenti dan berpaling seraya berkata. "Aku hendak mengejar Ting Ci-
kang." Menanti dia berpaling, Wi Tiong-hong baru dapat melihat jelas kalau nona yang telah
menyelamatkan jiwanya ialah nona bermuka jelek yang pernah dijumpai sewaktu
berada di tempat tinggal Heng-san Gisu tempo hari.
Tanpa terasa dia menjadi tertegun, buru-buru katanya sembari menjura. "Sudah dua
kali nona menyelamatkan jiwaku, untuk itu aku merasa berterima kasih sekali, aku
harap nona jangan melakukan pengejaran."
"Mengapa" Masa kau biarkan barang milikmu itu dirampas olehnya dengan begitu
saja?" Wi Tiong-hong baru pertama kali ini terjun ke dalam dunia persilatan, sejak berkenalan dengan Ting Ci-kang, dia selalu menganggapnya sebagai seorang sahabat sejati.
Siapa sangka hanya dikarenakan sebatang pena kemala, sahabat yang dianggapnya
sebagai saudara sendiri itu begitu tega untuk turun tangan keji terhadap dirinya, dari sini dapat diketahui kalau manusia dalam dunia persilatan sukar diduga hatinya, tahu
orangnya, tahu wajahnya belum tentu mengetahui hatinya.
Berpikir sampai disini, dia menjadi murung, sambil menggelengkan kepalanya, katanya
lirih. "Pena kemala itu yang aku dapatkan tanpa sengaja, sekali-pun diperoleh kembali juga tak akan bermanfaat bagiku, kalau toh sudah diambil olehnya, biarkan saja dia
ambil, memang akulah yang telah salah memilih teman, tapi dengan bekal
pengalaman ini aku berharap di kemudian hari peristiwa semacam ini tak akan
terulang kembali."
Gadis bermuka jelek itu tertawa cekikikan. "Waah, kau memang seorang yang berjiwa besar, Lou-bun-si merupakan benda mestika dari dunia persilatan, setiap orang
berharap bisa memperoleh mestika tersebut, betulkah kau sudah tidak mau lagi?"
"Sekali-pun pena beraksara Lou-bun-si merupakan benda mestika yang tiada taranya
di dunia ini, namun benda mana tak lebih hanya merupakan benda sampingan. Bagi
diriku, yang paling berharga di dunia ini adalah suatu persahabatan, orang kuno bilang:
"Bila mempunyai seorang teman yang sehati, sekali-pun harus mati juga tak perlu
menyesal.?"
Sebetulnya perkataan itu diutarakan oleh Wi Tiong-hong karena selama ini dia selalu
menganggap Ting Ci-kang sebagai toakonya, akan tetapi Ting Ci-kang telah
menghianati persahabatan itu hanya dikarenakan sebuah benda sampingan, karena
kesal, maka ucapan mana baru diutarakan.
Siapa tahu ucapan tersebut disalah tafsirkan oleh si nona berwajah jelek itu, meski
mukanya tidak berobah menjadi merah, namun telinganya justeru berubah menjadi
merah padam. Selang sejenak kemudian, gadis bermuka jelek itu baru berkata lagi dengan bibir
dicibirkan, "Aku sudah lama mengetahui kalau orang she Ting itu bukan manusia baik-baik, tentunya kau belum mengetahui bukan. Kalau secara diam-diam ia telah
bersekongkol dengan pihak Ban Kiam-hwee" Hm, siapa suruh kau enggan
mendengarkan nasehatku dan cepat-cepat tinggalkan kota Sang sau ini."
Tampaknya ia seperti merasa sudah terlanjur membuka rahasia, untuk dibatalkan
perkataan itu tak sempat lagi.
Sebaliknya ketika Wi Tiong-hong mendengar kalau dia pernah menasehati kepadanya
agar segera meninggalkan kota Sang-siau, tanpa terasa terbayang kembali kejadian
yang dialami sewaktu berada dalam rumah penginapan, di mana dia menemukan
sepucuk surat dan orang yang memasukkan gulungan kertas ke dalam sakunya ketika
dia disenggol orang di mulut pintu gerbang kota.
Tatkala dia membayangkan kembali bayangan tubuh kecil kurus yang pernah
di ngatnya terasa olehnya kalau lamat-lamat bayangan tubuh itu memang mirip sekali
dengan gadis ini.
Tanpa terasa dia mendongakkan kepalanya memandang gadis bermuka jelek itu
katanya: "Jadi nona yang dua kali meninggalkan surat peringatan kepadaku."
Ketika sepasang mata si nona jelek yang amat jeli itu saling membentur dengan mata
Wi Tiong-hong, tiba-tiba saja dia melengos ke samping, kemudian sambil tertawa
katanya: "Asal kau sudah tahu yaa sudahlah."
Suaranya amat merdu disertai tiga bagian sifat manja, sayang wajahnya kelewat jelek
sehingga senyumnya itu kurang sepandan untuk dinikmati.
Wi Tiong-hong segera menjura dalam-dalam kemudian katanya: "Nona berulang kali
memperingatkan kepadaku agar berhati-hati, kebaikan hatimu itu sungguh membuat
aku merasa berterima kasih sekali."
Tampaknya lantaran pihak lawan berwajah kelewat jelek, maka dia menjadi lebih
leluasa untuk berbicara.
Gadis bermuka jelek itu segera tertawa cekikikan, "Aaah, lagi-lagi soal berterima kasih," serunya, "justru karena aku ingin berterima kasih kepadamu, maka berulang kali aku memberi peringatan kepadamu."
Wi Tiong-hong menjadi termangu-mangu.
Terdengar gadis berwajah jelek itu berkata lagi: "Padahal aku menasehatimu karena kulihat kau adalah seorang pemuda yang baru terjun ke dalam dunia persilatan, sebab
itu aku menganjurkan kepadamu agar cepat-cepat meninggalkan dunia persilatan,
daripada mendatangkan kesulitan di kemudian hari."
Berbicara sampai di situ, dari luar jendela sana sudah terdengar suara ayam berkokok,
buru-buru katanya: "Hari sudah hampir terang, keadaan lukamu kini belum begitu
sembuh, cepatlah atur pernapasanmu, aku-pun harus segera pergi meninggalkan
tempat ini."
Mendengar gadis itu hendak pergi, teringat pula kalau orang telah menolongnya
berulang kali, dia merasa berkewajiban untuk menanyakan nama penolongnya ini.
Sambil mengangkat kepala dia lantas katanya, "Nona, berulang kali jiwaku telah kau selamatkan, bilamana nona tidak berkeberatan, bolehkah aku mengetahui siapa nama
nona?" Walau-pun nona itu berwajah jelek, tapi toh seorang gadis muda, maka setelah
mengucapkan perkataan itu, merah padam selembar wajahnya karena jengah.
Gadis berwajah jelek itu-pun nampak jengah, telinganya nampak berubah merah
padam, agak tersipu katanya. "Besok saja akan kuberitahukan kepadamu, sekarang
aku akan pergi dahulu."
Sepasang kakinya segera menjejak tanah dan secepat kilat menyelinap ke luar dari
kamar itu. Dengan wajah termangu-mangu, Wi Tiong-hong memandang gadis itu hingga lenyap
dari pandangan mata, meski-pun gadis ini berwajah jelek. Sesungguhnya mempunyai
hati yang suci dan bersih.
Lama sekali anak muda itu termangu-mangu, akhirnya naik kembali di atas
pembaringan dan melanjutkan latihannya untuk mengatur pernapasan dan
menyembuhkan luka yang dideritanya.
Tapi sayangnya, walau-pun dia telah berusaha keras untuk menghilangkan pelbagai
pikiran yang berkecamuk dalam benaknya, namun apa yang dijumpainya selama ini
satu persatu melintas dalam benaknya.
Terutama sekali akan tindakannya yang bermaksud baik untuk menyampaikan pesan
yang dititipkan Tok Hay-ji kepadanya, tetapi diam-diam ia telah meracuni dirinya
dengan maksud untuk membinasakan dirinya.
Pemuda berbaju biru itu sama sekali tidak kenal dengan dia, bahkan boleh dibilang
mereka tak punya ikatan dendam atau sakit hati apa-pun, tapi nyatanya dia telah
menyembunyikan jarum beracun dari balik telapak tangannya.
Selama ini Ting Ci-kang selalu dianggap sebagai toakonya, tapi pada akhirnya toh
memperlihatkan juga wajahnya yang menyeringai dengan turun tangan keji untuk
menotok jalan darah kematiannya.
Dan akhirnya bayangan tubuh si nona berbaju hijau yang menghantar obat pemunah
baginya segera muncul di dalam benaknya, kemudian muncul pula bayang tubuh dari
si gadis jelek berbibir tebal tadi, kesemuanya itu membuat dia tak bisa tenangkan hati.
Dengan susah payah akhirnya pelbagai pikiran itu berhasil disingkirkan dari benaknya,
sementara hari terang tanah.
Setelah menerima bantuan tenaga dalam dari si gadis berwajah jelek tadi, luka dalam
yang dideritanya jauh membaik, maka begitu dia duduk bersemedi dan pikiran kalut
bisa teratasi, hawa murni yang berada dalam pusarnya pelan-palan menyebar ke
seluruh nadi dalam tubuhnya membuat semua anggota badannya menjadi segar
kembali. Tak lama kemudian, ia sudah berada dalam keadaan lupa akan segala-galanya.
Menanti dia sadar kembali dari semedinya tengah hari sudah lewat, ketika membuka
mata, dia saksikan gadis berwajah jelek itu sedang duduk di atas kursi dekat jendela
sambil mengawasi ke arahnya dengan sorot mata yang amat lembut. Jelas nampak
kalau dia menaruh perhatiannya yang amat besar terhadap keselamatannya.
Tatkala dia menjumpai Wi Tiong-hong telah sadar kembali dia segera beranjak dan
mendekati ke depan pembaringan, kemudian ujarnya sambil tertawa: "Kau sudah
mendusin" Lama benar semedimu kali ini, sekarang hari sudah mendekati siang, aku
telah mempersiapkan hidangan makan siang untukmu, hayo cepatlah bersantap."
Selain nadanya lemah lembut, sikapnya juga hangat dan amat mesra.
Wi Tiong Tiong mencoba berpaling, betul juga di atas meja telah siap lima macam
sayur dengan sebakul nasi putih.
Dengan wajah tertegun dia lantas bertanya. "Nona, apakah kau sudah datang sedari
tadi?" "Dewasa ini sudah banyak jago persilatan yang berdatangan di kota Sang-siau,
kebanyakan jago liehay itu berdatangan karena pena beraksara Lou-bun-si," kata gadis berwajah buruk lirih, "apalagi Ting Ci-kang dan Ban Kiam-hwee telah bersekongkol, aku kuatir ada musuh yang mencelakai dirimu bila membiarkan kau bersemedi
seorang diri tanpa ada yang melindungi."
"Semalam aku berdiri terus di muka pintu kamarmu, hingga pagi tadi baru masuk
kemari, karena kulihat kau belum mendusin, maka aku menyuruh pelayan untuk
menyiapkan hidangan, ternyata kau belum juga sadar."


Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Beberapa patah kata itu, kontan saja membuat Wi Tiong-hong merasa terharu.
Sejak kecil hingga dewasa, belum pernah ada seorang anak gadis yang begitu menaruh
perhatian terhadapnya, dia merasa walau-pun gadis ini berwajah buruk, namun dia
bersikap kelewat baik kepadanya.
Pada dasarnya dia memang seorang pemuda yang amat berperasaan tanpa sadar
serunya. "Nona, begitu baik kau kepadaku, hal ini sungguh membuat aku merasa
berterima kasih."
"Sudahlah, jangan berbicara lagi," kata gadis berwajah buruk itu sambil tertawa, "aku toh tidak memberi sesuatu kepadamu, mana mungkin bisa dianggap melepaskan budi
kepadamu" Kau ini memang sukanya berpikir yang bukan2 saja, itulah sebabnya
setelah berjumpa denganmu semalam, aku selalu merasa tak tega untuk melepaskan
kau dengan begitu saja."
Mendadak ia merasa ucapannya kelewat berterus terang, maka dengan cepat ia
berhenti berbicara, setelah mengerdipkan matanya berulang kali, katanya. "Sudahlah, cepat bersantap. Jangan membuat kesehatan badanmu terganggu, apalagi lukamu
belum sembuh, yang penting adalah menyembuhkan dahulu lukamu itu."
Berbicara sampai di situ, dia lantas berjalan menuju kemeja dan mengambilkan nasi
baginya. Wi Tiong-hong segera melompat turun dari atas pembaringan, serunya dengan
terharu: "Aku tak berani merepotkan nona."
Gadis bermuka jelek itu tertawa, tiba-tiba bisiknya dengan suara lirih: "Barusan aku mengatakan pada pelayan kalau kau ... kau adalah ... piauko ku. Sebentar jangan lupa
kau memanggil aku sebagai piau-moay."
Ketika beberapa patah kata itu selesai di ucapkan, sekali lagi telinganya berubah
menjadi merah. "Bagus sekali," diam-diam Wi Tiong-hong berpikir, "namanya saja belum aku ketahui tapi dia sudah menjadi piau-moayku."
Tapi teringat kalau antara lelaki dan wanita ada batas-batasnya, sekali-pun nona itu
berwajah jelek, toh dia adalah seorang gadis muda, berada bersama di dalam kamar
bisa jadi akan memancing pemilik rumah penginapan, maka segera dia manggut-
manggut seraya sahutnya: "Baik, baik, aku akan mengingatnya selalu perkataan nona."
"Aaaah, lagi-lagi memanggil nona kepadaku, orang lain akan segera mengetahui kalau kita tak punya hubungan apa-apa."
"Tak punya hubungan apa-apa?" Wi Tiong-hong dapat melihat, meski-pun gadis itu
berparas jelek, namun tak dapat menutupi kelincahannya sebagai seorang gadis
remaja, dia segera tertawa. "Ucapan Piau-moay memang tepat sekali."
Justeru karena gadis itu berparas muka jelek, maka dalam perasaannya dia menjadi
tak terlampau canggung.
Betapa hangatnya perasaan si nona bermuka jelek itu, setelah mendengar sebutan
Piau-moay tersebut bisiknya kemudian: "Piauko, nasimu sudah dingin, cepatlah
bersantap."
Baru pertama kali ini dia memanggil orang dengan sebutan begitu mesra, tak heran
pipinya terasa menjadi panas setelah menyebut nama "piauko" tadi, jantungnya terasa berdebar amat keras.
Wi Tiong-hong yang berhasil mendapat seorang piau-moay (adik misan), hatinya
gembira sekali, berbicara sesungguhnya dia sama sekali tidak merasa muak terhadap
kejelekan wajahnya, bila hati seseorang baik dan mulia, apa urusannya dengan baik
atau buruknya paras muka seseorang.
Sambil tersenyum dia lantas duduk dan mengambil mangkuk nasinya, tiba-tiba sambil
mendongakkan kepalanya dia bertanya: "Bagaimana dengan kau" Sudah bersantap?"
"Aku sudah bersantap sedari tadi, hidangan itu memang sengaja aku siapkan bagimu?"
Sambil bersantap. Wi Tiong-hong lantas berkata: "Piau-moay, sekarang kau boleh ..."
Gadis bermuka jelek itu tidak membiarkan ia berbicara lebih lanjut, sambil
membereskan rambutnya yang berwarna kuning katanya sambil tertawa cekikikan:
"Aku mengerti apa yang sedang kau tanyakan, tak usah terburu-buru, jawab dahulu
sebuah pertanyaanku tapi kau-pun mesti menjawab dengan jujur."
"Apa yang ingin kau tanyakan kepadaku?"
Gadis bermuka jelek itu berdiri di hadapannya lalu dengan wajah serius ujarnya: "Kau harus menjawab pertanyaanku ini dengan sejujur-jujurnya."
Wi Tiong-hong mengangguk. "Tanyakan saja berterus terang, asal aku tahu, pasti akan kujawab dengan sejujurnya kepadamu."
Gadis bermuka jelek itu memperhatikan wajah Wi Tiong-hong sekian lama, kemudian
katanya: "Baik aku ingin bertanya kepadamu, apakah wajahku terlampau jelek?"
Apa lagi yang mesti ditanyakan" Berambut kuning, bermuka penuh burik, ditambah
lagi berwajah kuning tak sedap, apakah ia tak dapat bercermin wajah sendiri"
Wi Tiong-hong tidak menyangka kalau dia akan mengajukan pertanyaan semacam itu,
ia tertegun wajahnya sementara hati kecilnya merasa serba salah.
Gadis bermuka jelek itu memperhatikan wajahnya lekat-lekat, kemudian tegurnya lagi:
"Mengapa kau tidak berbicara" Apakah wajahku kelewat jelek sehingga kau merasa
sungkan untuk mengatakannya?"
Berbicara sampai di situ, tiba-tiba ia mendengus sambil berkata: "Padahal sekali-pun tidak kau katakan, aku-pun tahu jika wajahku buruk, banyak orang yang melihat aku
seperti melihat siluman saja."
Wi Tiong-hong tahu, bila seseorang berwajah jelek, dia pasti mempunyai perasaan
rendah diri yang sangat parah, mungkin juga dia akan menjadi marah karena melihat ia
tidak menjawab pertanyaannya.
"Tidak," katanya sambil mengangguk. "Cantik atau jeleknya wajah seseorang bukan sesuatu yang mutlak. Sebab wajah hanya merupakan suatu lahiriah saja, padahal
menilai manusia bukan dari baik buruknya wajah, sebaliknya dari buruknya watak dan
jiwa seseorang, nona seorang yang suci dan berhati mulia."
"Aaah, lagi-lagi memanggil nona," tegur nona bermuka jelek itu sambil mendengus.
"Hmm, berbicara pulang pergi, tampaknya kau masih tetap menganggap wajahku
kelewat jelek."
Wi Tiong-hong mempunyai niat untuk mengalah kepada gadis ini, maka terhadap
sikapnya yang marah dan senang tak menentu, dia sama sekali tidak memikirkannya di
hati. Mendengar perkataan itu, segera ujarnya dengan wajah bersungguh-sungguh.
"Aku sama sekali tidak bermaksud demikian berbicara yang sebenarnya, dalam dunia
ini aku tak punya seorang sanak keluarga-pun, aku merasa amat gembira karena bisa
menganggap kau sebagai adik misanku?"
"Apakah perkataanmu itu muncul dari hati yang tulus dan jujur?" tanya gadis bermuka jelek itu dengan hati gembira.
"Yaa, aku berbicara dengan sejujurnya."
"Tampaknya kau tidak seperti lagi berbohong," kata gadis itu pelan, "hmm, padahal sekarang aku masih belum tahu apa yang kaupikirkan di dalam hati."
Tampaknya gadis itu sedang merasa gembira sekali, tapi nampak juga agak tersipu-
sipu, sementara pembicaraan berlangsung, dia sudah melengos ke arah lain.
Wi Tiong-hong yang menyaksikan kejadian itu, diam-diam merasa kegelian, dia merasa
setiap anak gadis kebanyakan suka dipuji cantik, ternyata apa yang dibuktikan
sekarang memang benar, nyatanya gadis itu merasa amat gembira.
Berpikir sampai di situ, dia lantas menundukkan kepalanya dan melanjutkan acaranya
makan. Mendadak gadis berwajah jelek itu tertawa cekikikan, dengan cepat dia membalikan
badannya sambil berteriak: "Piauko, coba kau perhatikan sekali lagi, benarkah wajahku amat jelek?"
Wi Tiong-hong mendongakkan kepalanya, tiba-tiba saja dia merasa matanya menjadi
silau, setelah itu dia berdiri tertegun umuk beberapa saat lamanya.
Ternyata paras muka si nona bermuka jelek yang amat tak sedap dipandang tadi,
dalam sekejap mata telah berubah menjadi cantik dengan alis mata yang tipis, mata
yang jeli, hidung yang mancung dan bibir yang kecil mungil
Benar-benar wajah cantik seorang bidadari dari khayangan.
Tampak gadis itu menarik rambutnya yang berwarna kuning sehingga terlepas dari
kepalanya, berbareng mengayunkan topeng kulit manusia tadi, ujarnya sambil
tersenyum: "Piauko, sekarang yang kau saksikan adalah paras muka asliku, tapi selama berkelana di dalam dunia persilatan, belum pernah topeng ini kulepaskan. Padahal
topeng ini selain bisa menghindarkan diri dari serangan racun, tidak mempan pula
terhadap bacokan senjata, apa salahnya dengan wajah jelek" Toh aku bukan
bermaksud untuk memamerkan mukaku untuk dilihat orang?"
Wi Tiong-hong sama sekali tidak merasa terkejut atau-pun keheranan, sebab dia
pernah mempelajari ilmu merias muka dari paman tak diketahui namanya itu.
Cuma perubahan dari seorang gadis berparas jelek menjadi seorang gadis cantik jelita
secara tiba-tiba ini cukup membuatnya menjadi gelagapan setengah mati.
Untuk sesaat lamanya dia tak tahu apa yang mesti diucapkan, pemuda itu hanya bisa
memandang paras muka si nona dengan terkesima, saking gelagapannya dia sampai
membungkam dalam seribu bahasa.
Melihat pemuda itu memandang ke arahnya dengan wajah termangu, tiba-tiba paras
muka gadis itu berubah menjadi merah padam karena jengah, serunya dengan
perlahan. "Mengapa kau tidak berbicara lagi" Mengapa sih memperhatikan wajahku
terus menerus" Jika aku tahu kalau kau tidak jujur, tak akan kulepaskan topeng ini."
Sembari berkata dia segera mengenakan kembali topeng kulit manusia itu ke atas
wajahnya kemudian dengan cepat pula mengenakan kembali rambut palsunya, semua
gerakan dilakukan dengan cepat dan cekatan.
Hanya dalam waktu singkat, kembali gadis cantik itu berubah menjadi jelek, kini gadis
itu berubah lagi menjadi gadis berwajah buruk.
Wi Tiong-hong berseru tertahan, seperti baru bangun dari impian paras mukanya
kontan saja berubah jadi merah padam, lalu serunya. "Nona ... "
Tapi sampai ditengah jalan, buru-buru dia mengganti lagi panggilannya. "Piau-moay, kau amat cantik."
Gadis berwajah jelek itu mengerling sekejap ke arahnya, kemudian sambil menutupi
mulut sendiri dan tertawa katanya: "Cepatlah bersantap, jangan nona, piau-moay
terus menerus, aku bernama Lok Khi."
"Oooh, namamu seindah orangnya, betul-betul membikin hati orang terpesona." kata
Wi Tiong-hong tertawa.
Lok Khi berdiri di samping Wi Tiong-hong dan melirik sekejap ke arahnya dengan wajah
tersipu-sipu, seperti girang, seperti juga malu, katanya sambil tertawa. "Tak kusangka kalau kau masih mempunyai kepandaian untuk memberi topi kebesaran di atas kepala
orang." Wi Tiong-hong merasa terperanjat, setelah menghabiskan dua mangkuk nasi, ia
berhenti bersantap.
Kebetulan pelayan datang menghidangkan air teh panas.
Tiba-tiba Wi Tiong-hong teringat kembali dengan Hek-bun-kun Cho Kiu-moay yang
pernah dijumpainya semalam dan dirasakan mirip dengan tamu perempuan yang
mencari Ting Ci-kang, tanpa terasa tanyanya: "Pelayan, apakah tamu perempuan di
kamar nomor lima sudah pergi?"
"Oooh, tamu perempuan itu" " ucap si pelayan sambil tertawa, "Semalam, hari belum lagi gelap dia sudah kembali, setelah membayar rekening lantas pergi."
Wi Tiong-hong manggut-manggut dan tidak berbicara lagi.
Bab 24 Sepeninggal pelayan itu, Lok Khi dengan membelalakan matanya segera bertanya:
"Siapa tamu perempuan yang kau maksudkan?"
"Aku rasa dia adalah Hek-bun-kun Cho Kiu-moay dari Ban Kiam-hwee."
Secara ringkas dia lantas menceritakan bagaimana ada orang mencari Ting Ci-kang
semalam. Lok Khi segera mendengus dingin.
"Hmm, aku sudah bilang, Ting Ci-kang telah berkomplot dengan pihak Ban Kiam-hwee.
Ah, sebetulnya pena beraksara Lou-bun-si itu kau temukan dibagian mana dari
perusahaan An-wan piaukiok?"
"Di atas kayu belandar rumah."
Menyusul kemudian dia-pun lantas bercerita bagaimana tanpa sengaja telah
menyentuh pena kemala di tempat persembunyiannya dan secara kebetulan tempat
di mana dia bersembunyi adalah tempat di mana Tok Hay-ji menyembunyikan diri ... "
Lok Khi segera bertepuk tangan dan berseru. "Aaah, kalau begitu tak salah lagi, itu berarti benda mana telah berada di saku Tok Hay-ji waktu itu, setelah mengetahui
kalau dia tak dapat meloloskan diri, maka benda tersebut disembunyikan di atas tiang
belandar, kemudian minta kau menyampaikan pesannya."
Wi Tiong-hong menjadi keheranan, pikirnya. "Aaah, pesan yang disampaikan Tok Hay-ji kepadaku ini hanya kuberitahukan kepada Ting Ci-kang serta Hong-tiang dari kuil Pau-in-si, apa lagi Tok Hay-ji telah berpesan kalau persoalan ini penting sekali artinya,
karena kuatir terdengar orang lain, dua kali aku menulis dengan mencelupkan
tanganku ke dalam air, heran, darimana dia bisa tahu?"
Berpikir sampai di situ, dia lantas bertanya. "Darimana kau bisa tahu" "
Lok Khi tertawa. "Semua pembicaraanmu dengan Ting Ci-kang sewaktu berada di
rumah makan tempo hari telah didengar semua oleh toakoku, tentu saja tulisan yang
kau tulis di meja-pun tak dapat lolos dari penglihatan toakoku."
"Siapakah toakomu" "tanya Wi Tiong-hong semakin keheranan.
Lok Khi tertawa. "Bila sudah bersua, kau akan segera mengenalinya." Kemudian dia melanjutkan. "Waktu itu toako masih mengajak aku berdebat, aku bilang dari kedua
patah kata yang disampaikan Tok Hay-ji, kata pertama "dibawah undak-undakan kiam-
bun" mengartikan dia sudah ditangkap orang-orang Ban Kiam-hwee dan menjadi
tawanan, sedang kata kedua "gua dalam tanah masuk dalam kayu", kata gua dalam tanah merupakan huruf bagian atas dari An-wan, berarti dia bilang barang itu di An-wan piaukiok. Sedang kata "masuk dalam kayu" berarti barang itu disimpan dalam peti kayu atau benda terbuat dari kayu tadinya. Tapi toakoku bersikeras mengatakan,
karena dia sudah ditawan Ban Kiam-hwee, benda itu pasti sudah dikurung dalam
tanah di bawah kamar penjaranya."
"Berhubung suhuku sudah bilang akan melepaskan persoalan ini, maka aku dan
toakoku hanya berbicara belaka."
"Hmm, menurut apa yang kau ucapkan sekarang, berarti barang itu kaulah yang
dapatkan, maka sudah sepantasnya kalau barang itu menjadi milikmu, bila luka yang
kau derita sudah sembuh nanti, aku akan menemanimu mencari Ting Ci-kang, benda
itu harus direbut kembali."
Mendadak dari belakang tubuh mereka terdengar seseorang bertanya: "Apakah Ting
Ci-kang yang kalian maksudkan adalah anggota Ban Kiam-hwee?"
Lok Khi amat terperanjat sambil membalikkan badan dia membentak nyaring. "Siapa?"
Ketika berpaling, tanpaklah seorang kakek yang pendek dan gemuk telah berdiri di
depan pintu. Orang itu berjubah lebar, berwajah penuh senyuman dan kelihatannya ramah sekali.
Lok Khi merasa amat terkesiap, ia tak tahu sedari kapan kakek gemuk itu memasuki
kamarnya, mengapa ia tak merasakan barang sedikit-pun jua"
Setelah mendengus dingin kembali ujarnya: "Aku tidak kenal dirimu, lebih baik
cepatlah pergi dari sini."
Tubuhnya segera bergerak ke depan secepat kilat, tangan kirinya langsung
menghantam tubuh kakek tersebut.
Sekali-pun serangan itu tampaknya dilancarkan dengan ayunan tangan belaka, padahal
bayangan telapak tangan yang terpancar ke luar lelah menyelimuti beberapa depa di
sekeliling tempat itu.
Di dalam kamar yang begini sempitnya, kecuali mengundurkan diri dari dalam kamar,
tiada tempat lain lagi untuk menghindarkan diri.
Kakek gemuk pendek itu mendehem pelan, tubuhnya segera miring ke samping,
bukannya mundur dia malah maju, dengan cepat badannya menyelinap diantara
bayangan telapak tangannya yang rapat.
Ternyata gerakan tubuhnya itu amat cekatan dan lihay, hanya sekali berkelebat saja,
tahu-tahu dia sudah menghindarkan diri dari ancaman Lok Khi tersebut.
"Kalian berdua tentu saja tak akan kenali siapakah lohu, lohu hanya ingin bertanya kepadamu, apakah Ting Ci-kang adalah anggota Ban Kiam-hwee ... ?"
Walau-pun orang itu berbicara sok berlagak, namun sikap gerak geriknya amat ramah
dan halus. Sewaktu Lok Khi menyaksikan serangan yang dilancarkan tidak berhasil menyentuh
ujung baju lawannya, tanpa terasa dia mundur selangkah.
Kemudian sambil melototkan matanya lebar-lebar, katanya sambil mendengus. "Aku
tidak tahu, jangan kau anggap setelah memiliki tenaga khikang pelindung badan, maka
kami lantas takut kepadamu."
Begitu selesai berkata, dia bersiap-siap lagi untuk melancarkan tubrukan.
Kakek gemuk pendek itu segera menarik wajahnya dan berkata. "Hmmm, sekali-pun
kalian enggan berbicara, lohu juga dapat menemukannya ..."
Tiba-tiba dia melejit, kemudian dengan gerakan tubuh secepat kilat dia menyelinap
pergi. Memandang bayangan tubuhnya yang menjauh, Wi Tiong-hong berdiri termangu-
mangu, kemudian gumamnya. "Cepat benar gerakan tubuh orang ini."
"Tenaga khikang pelindung badan yang dimiliki kakek ini sudah mencapai enam tujuh bagian, sewaktu aku lancarkan sebuah pukulan tadi, tubuhku segera dipentalkan balik
oleh tenaga khikangnya. Hmmm, seandainya aku menduga akan hal itu, jangan harap
tubuhku bakal dipentalkan olehnya."
"Aku pernah mendengar pamanku berkata, orang yang pandai ilmu khikang pelindung
badan dewasa ini sudah tidak banyak lagi, lagi pula sebagian besar telah mengasingkan
diri, entah siapakah orang itu?"
"Itu mah tidak sulit, dia mempunyai perawakan tubuh yang gemuk dan pendek, lagi
pula memelihara jenggot kambing, itulah suatu ciri yang khas, asal ditanyakan kepada
toako, dia pasti tahu."
Berbicara sampai di situ, dia lantas menyelinap ke luar dari pintu kamar tersebut.
Ketika Wi Tiong-hong melihat gadis itu bilang akan pergi lantas pergi, bahkan pergi
dengan begitu cepat, dia mulai berpikir siapa gerangan toakonya itu"
Diam-diam ia menjadi curiga, tapi bila teringat kembali bagaimana orang lain selain
memberi peringatan kepadanya, bahkan dua kali menampakkan diri untuk
menyelamatkan jiwanya, sudah pasti gadis itu tak akan menaruh maksud jahat apa-
apa. Tak selang berapa saat kemudian, tampak bayangan manusia berkelebat lewat, Lok
Khi telah muncul kembali.
"Toako telah pergi," katanya dengan wajah cemberut, "dia hanya meninggalkan sepucuk surat, dia bilang demi keselamatan jiwaku, maka aku baru ditinggal di kota
Sang-siau, dia-pun mengatakan semalam orang-orang dari Ban Kiam-hwee telah pergi
dari sini, orang-orang dari selat Tok Seh-sia baru hari ini berangkat meninggalkan
tempat ini, itulah sebabnya dia-pun turut pergi."
"Sebetulnya siapa sih toakomu itu" " tanya Wi Tiong-hong ingin tahu.
"Toako adalah toakoku, di kemudian hari kau toh akan mengenali sendiri orangnya."
Kemudian setelah tertawa manis, katanya lagi. "Aku sudah menyuruh pelayan untuk
menyiapkan kamar di sebelahmu ini, selama ada aku di sini sebagai pelindungmu, kau
boleh merawat lukamu itu dengan hati lega."
Selesai berkata dia lantas membalikkan badan, menutupkan pintu kamarnya dan
menuju ke kamar sebelah.
Secara beruntun mereka tinggal selama tiga hari di situ, sesudah melakukan semedi
selama tiga hari, luka dalam yang diderita Wi Tiong-hong-pun telah sembuh kembali.
Dalam waktu tiga hari tersebut, betul juga, suasana amat tenang dan tak pernah
terjadi sesuatu apa-pun, kecuali sebagai pelindung yang baik, ternyata Lok Khi-pun
memperhatikan soal-soal yang lain dengan amat teliti dan hangat.
Pada hari ke empat, pagi sekali, ketika Wi Tiong-hong baru mendusin dari semedinya
dia merasakan hawa murni dalam tubuhnya telah beredar kembali seperti semula,
jalan darahnya tembus semua, kesehatan badannya boleh dibilang sudah pulih seperti


Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dahulu. Dia lantas melompat turun dari pembaringan dan membuka pintu.
Terdengar Lok Khi yang berada di kamar sebelah telah berseru dengan manja. "Piauko (kakak misan), sepagi ini kau sudah bangun tidur?"
Pintu kamar dibuka, Lok Khi yang telah selesai membersihkan badan melangkah ke
luar dari kamarnya.
Wi Tiong-hong segera tersenyum. "Aku telah sehat kembali, selama tiga hari tiga
malam ini, semuanya berkat perawatan dari piau-moay ..."
Belum sempat pemuda itu selesai berbicara, Lok Khi telah menukas sambil tertawa
manis. "Aaaa ... berbicara pulang pergi, yang kau katakan hanya melulu kata-kata
bernada terima kasih."
Didahului oleh sang nona, terpaksa Wi Tiong-hong hanya menyengir kuda belaka.
Tiba-tiba Lok Khi mengerdipkan matanya, lalu berkata lagi. "Piauko, benarkah lukamu telah sembuh kembali" Kalau begitu hari ini juga bisa berangkat."
"Berangkat" Kita akan kemana?"
"Tentu saja mencari Ting Ci-kang, ia bersikap tidak setia kawan kepadamu,
menghianati kepercayaanmu kepadanya, bahkan turun tangan kejam kepadamu.
Apakah kau rela membiarkan barang itu dirampas olehnya dengan begitu saja?"
"Sudah, biarkan saja, toh pena beraksara Lou-bun-si tak ada manfaatnya bagiku,
salahku sendiri mencari teman tidak betul. Sehingga mendapat pengalaman kali ini,
tak perlu di cari lagi."
"Jika kau enggan pergi, biarlah aku yang pergi, manusia semacam ini harus diberi
pelajaran yang sebaik-baiknya. Sekali-pun dia telah bersekongkol dengan pihak Ban
kiam-hwee, lihat saja nanti, sanggupkah dia meloloskan diri dari cengkeramanku?"
Setelah bergaul selama beberapa hari dengan gadis itu, Wi Tiong-hong sudah
mengetahui bagaimanakah wataknya.
Ia tahu untuk membujuk gadis itu agar mengurungkan niatnya pada saat ini, selain tak
bakal dituruti, bisa jadi pura-pura menjadi sungguhan.
Sementara dia masih serba salah dibuatnya, mendadak anak muda tersebut teringat
janjinya dengan ketua kuil Pau-in-si yang memintanya datang kembali lima hari
kemudian, konon ada sesuatu urusan hendak dititipkan kepadanya.
Kebetulan hari ini adalah hari ke lima, dan dia-pun telah menyanggupi permintaan
tersebut, tentu saja janji mana harus dipenuhi.
Kepada Lok Khi, dia-pun lantas berkata: "Hari ini aku masih mempunyai beberapa
persoalan yang harus segera diselesaikan."
"Kau masih ada urusan apa?" tanya Lok Khi dengan wajah tertegun.
"Waktu itu, Lo Hong-tiang dari kuil Pau-in-si berjanji kepadaku agar lima hari kemudian datang lagi ke situ, kebetulan hari ini adalah hari ke lima dan aku-pun telah
menyanggupi permintaannya, bagaimana-pun juga aku harus ke situ untuk memenuhi
janji." "Kau maksudkan Gho-beng siansu, lo hong tiang kuil Pau-in-si" Dia adalah anggota dari Siau-lim-pay, ada urusan apa kau mengadakan perjanjian dengannya?"
"Aku sendiri-pun tidak tahu, dia cuma bilang ada suatu persoalan yang hendak
disampaikan kepadaku."
"Dia mempunyai persoalan yang hendak dititipkan kepadamu?" Lok Khi keheranan,
"hmmm, kau memang orang yang paling suka mencampuri urusan orang lain."
Berbicara sampai di situ, mendadak dia mendongakkan kepalanya sambil bertanya:
"Maukah kau mengajakku bersama?"
"Jika kau ingin pergi, mari kita pergi bersama-sama, pemandangan alam di situ
memang bagus sekali."
Lok Khi menjadi girang setengah mati sampai mulutnya terbuka lebar dan nampak dua
baris giginya yang putih bersih, katanya sambil tertawa. "Piauko, kau baik sekali, toakoku selalu menganggap aku seperti anak kecil, dia tidak pernah membiarkan aku
turut kemana-pun dia pergi, padahal aku takut kepada siapa?"
Ucapan mana diutarakan dengan polos dan manja, bisa dibayangkan betapa girang
dan gembiranya wajah gadis tersebut di balik topeng kulit manusianya.
Tanpa terasa Wi Tiong-hong teringat kembali dengan gadis berbaju hi au yang
menghadiahkan obat penawar kepadanya malam itu, di balik kelembutannya terselip
sikap dingin dan hambar, jauh berbeda dengan sikap hangat dari Lok Khi.
Ketika Lok Khi melihat pemuda itu hanya memandang ke arahnya dengan wajah
tertegun tanpa terasa panas pipinya, dia lantas berpaling sambil berkata: "Hei,
memangnya kau sudah tidak kenal diriku lagi" Mengapa sih menatap wajahku terus
menerus" Malu amat rasanya ..."
Kemudian sambil mendorong tubuh itu, serunya dengan penuh kemanjaan. "Piauko,
cepat pergi membersihkan muka. Selesai bersantap, kita harus segera berangkat."
Sekembalinya ke dalam kamar, Wi Tiong-hong-pun mencuci muka, kemudian selesai
bersarapan mereka membayar rekening dan berangkat menuju ke pintu kota sebelah
selatan. Perjalanan yang mereka tempuh cepat, tak selang berapa saat kemudian sampailah
mereka berdua di depan kuil Pau-in-si.
Mendadak Lok Khi memperlambat langkahnya sambil berbisik. "Piauko, hwesio tua itu bilang ada urusan hendak disampaikan kepadamu, bila dia melihat aku datang
bersamamu, mungkinkah dia tak mengatakannya?"
Wi Tiong-hong memang telah menduga kalau Lo Hong-tiang itu mengundangnya
datang, sudah pasti ada suatu persoalan.
Sekarang dia datang memenuhi janji tersebut bersama Loh Khi, bisa jadi dia enggan
mengutarakan persoalannya di hadapan gadis tersebut.
Baru saja dia akan bilang, sebentar setelah tiba di dalam kuil, gadis itu disuruh
menunggu di luar ruangan, siapa sangka gadis tersebut telah berbicara lebih dulu,
maka setelah termenung bsberapi saat dia-pun berkata. "Soal ini aku tidak tahu,
andaikata Hong-tiang tua tersebut sampai ..."
Tidak memberi kesempatan kepada pemuda itu untuk menyelesaikan kata-katanya,
Lok Khi telah menukas sambil mendengus. "Aku ada maksud untuk mencoba dirimu
saja, ingin kulihat apakah kau benar-benar akan menganggap diriku sebagai adik
misanmu" Padahal, apa salahnya untuk berbuat demikian" Toh dia yang menitipkan
persoalannya kepadamu, bukan kau yang memohon kepadanya, apakah kau tak bisa
memberitahukan kepadanya kalau aku adalah adik misanmu" Dan bila ada persoalan
dia bisa mengutarakannya terus terang."
Melihat kesungguhan hati si gadis tersebut, diam-diam Wi Tiong-hong merasa amat
geli, tampaknya ia itu selalu menganggap darinya sebagai engkoh misan yang
sebenarnya. Sambil tersenyum dia lantas berkata. "Aah, kau terlalu memikirkan yang bukan-bukan, sebentar bila Hong-tiang tua itu merasa kurang leluasa untuk membicarakan
masalahnya dihadapanmu, tentu saja aku akan berkata demikian."
Lok Khi segera mengerdipkan sepasang matanya yang besar dan bulat, kemudian
ujarnya sambil tersenyum. "Aku masih mengira kau takut orang mengejek wajahku
kelewat jelek, sehingga kau tak punya muka. Tak mau mengakui diriku sebagai adik
misanmu lagi. Beberapa hari ini aku memang ingin sekali melepaskan topeng mana
dan tidak mengenakannya lagi."
"Eeeh ... jangan kau lepaskan, lebih baik begini saja," buru-buru Wi Tiong-hong berseru.
"Benar, suhulah yang menyuruhku mengenakan topeng ini," ujar Lok Khi lagi dengan sedih, "dia orang tua berkata, usiaku kelewat kecil sedang orang persilatan rata-rata berhati busuk dan licik, lebih banyak orang jahatnya daripada orang baik, bila ada
orang tidak jijik dengan kejelekanku, benar-benar baik kepadaku ..."
Nona kecil ini baru saja menanjak dewasa, sesungguhnya sejak pertemuan yang
pertama, ia telah memberikan seluruh hati dan cintanya untuk pemuda idaman
hatinya ini. Karena usianya masih kecil, apa yang diketahui tentang hubungan laki perempuan-pun
tidak banyak, ditambah pula sejak kecil ia sudah mengikuti gurunya, dalam segala
persoalan dia selalu sikapnya lebih hambar daripada gadis sebayanya, meski demikian,
setelah berkata sampai di situ, ia merasa sulit juga untuk melanjutkan perkataannya.
Lantaran malunya, ia sampai tak sanggup untuk melanjutkan perkataannya lebih jauh.
Wi Tiong-hong merasakan hatinya bergetar keras, buru-buru dia berkata cepat: "Sstt, ada orang yang munculkan diri, mari kita segera menuju kesana."
Di depan pintu gerbang telah muncul seorang pendeta berjubah abu-abu yang
merangkapkan tangannya di depan dada.
Begitu menghampiri kedua orang tersebut, dia lantas menjura seraya berkata:
"Apakah sicu berdua datang kemari untuk memasang hio?"
Ketika Wi Tiong-hong menyaksikan pendeta penerima tamu itu bukan Gho-tong
hwesio, dia-pun menjura seraya menjawab: "Aku akan mencari Hong-tiang dari kuil
ini." Pendeta itu memperhatikan sekejap wajah kedua orang tamunya, kemudian berkata
lagi: "Sicu berdua mencari Hong-tiang kami karena urusan apa?"
"Lima hari berselang, aku pernah berjumpa dengan Hong-tiang kalian, dan ia
mengundangku untuk datang lagi hari ini, harap taysu suka masuk ke dalam
melaporkan kedatangan kami ini."
"Oooh ... " Pendeta itu memutar biji matanya dan sekali lagi melirik sekejap wajah ke dua orang itu, kemudian ujarnya sambil tertawa, "Sicu, siapa namamu?"
"Aku Wi Tiong-hong dan dia adalah piau-moayku."
"Oh, rupanya Wi sicu, harap kalian berdua suka menunggu sebentar di ruang depan,
pinceng akan segera masuk ke dalam untuk memberi laporan."
Sembari berkata dia lantas membawa kedua orang tamunya memasuki ruang tengah,
kemudian buru-buru masuk ke dalam.
Sementara itu Lok Khi telah berjalan ke depan patung Buddha yang dipuja dalam kuil
tersebut, lalu menjatuhkan diri menyembah, mulutnya berkemak kemik seperti
membaca doa, anak gadis memang sukanya berbuat demikian apa lagi kalau sudah
ketemu jodohnya.
Terpaksa Wi Tiong-hong hanya berdiri di depan meja altar sambil bergendong tangan.
Lok Khi bangkit berdiri, sambil memandang ke arah Wi Tiong-hong ujarnya malu
bercampur girang. "Piauko, marilah kemari, kau-pun harus menyembah kepada Budha
maha pengasih."
Baru selesai dia berkata, dari belakang ruangan sudah berkumandang suara langkah
kaki manusia, ternyata pendeta berbaju abu-abu itu sudah balik kembali ke ruangan
depan. Kepada kedua orang tamunya dia menjura, lalu berkata. "Hong-tiang mempersilahkan
sicu berdua masuk ke dalam."
Selesai berkata dia membalikkan badan dan berjalan lebih dulu meninggalkan tempat
tersebut. Wi Tiong-hong dan Lok Khi mengikuti di belakangnya langsung masuk keruangan
belakang. Mendadak pendeta itu menghentikan langkahnya seraya berkata: "Hong tiang
menantikan kehadiran kalian disana, silahkan sicu berdua masuk ke dalam?"
Wi Tiong-hong mengucapkan terima kasih, lalu mengajak Lok Khi masuk ke dalam
ruangan. Dia merasa ruang Hong-tiang ini jauh berbeda dengan perabotan yang diatur pada
lima hari berselang, kini kursinya terbuat dari kayu cendana berpemadani merah,
segalanya amat mewah dan mempesona hati yang melihatnya.
Saat itulah seorang pendeta berbaju kuning berdiri dari kursi kebesarannya dan maju
menyongsong snmbil menjura, katanya sambil terbahak-bahak: "Haaa ... haaa ... haaaa
... maaf jika pinceng tak menyambut kehadiran Wi sicu."
Ternyata pendeta berbaju kuning itu bukan Hong-tiang tua, melainkan Gho-tong
hwesio. Tanpa terasa Wi Tiong-hong menjadi tertegun, belum sempat dia buka suara, Gho-
tong hwesio telah berkata lagi sambil tersenyum: "Sicu berdua, silahkan duduk."
Dalam hati kecilnya Wi Tiong-hong merasa tidak habis mengerti, sambil menjura dia
berkata lagi: "Toa suhu, lima hari berselang, Hong-tiang tua mengundang aku untuk datang lagi kemari hari ini apakah ..."
"Omintohud," tukas Gho-tong hwesio sambil menjura, "kalau toh toa suheng memang ada janji dengan Wi sicu, harap kalian berdua suka duduk lebih dahulu."
Kemudian sambil berpaling serunya: "Ambilkan air teh."
Seorang hwesio cilik segera muncul sambil membawa air teh.
Wi Tiong-hong berpaling, ternyata hwesio kecil yang pernah dijumpainya tempo hari.
Gho-tong hwesio mengangkat tangannya, kemudian berkata lagi: "Silahkan kalian
berdua minum teh, toa suheng telah berpulang ke alam baka dua hari berselang,
apabila Wi sicu ada persoalan, katakan saja kepada pinceng."
Dari keadaan yang tertera di depan mata, Wi Tiong-hong memang sudah menduga
sampai kesitu, apa lagi bila teringat perkataan si hwesio cilik waktu itu, dia-pun
menduga jika hubungan di antara sesama saudara perguruan ini seperti diliputi satu
rahasia. Meski dia curiga, namun lantaran persoalan ini adalah urusan mereka yang sama sekali
tak ada sangkutpaut dengan dirinya, dia-pun menjura seraya berkata: "Kedatanganku kemari sebenarnya adalah untuk memenuhi janjiku dengan Hong-tiang tua, kalau toh
Lo Hong-tiang telah berpulang ke alam baka, aku-pun tak ada urusan lagi, aku hendak
mohon diri lebih dulu."
Gho-tong hwesio agak tertegun, tapi dengan cepat dia berkata lagi sambil tertawa:
"Lima hari berselang, pinceng pernah berbuat kasar terhadap sicu, harap Wi sicu
jangan marah karena persoalan tersebut. Bagaimana-pun juga, kalian berdua toh ...
sudah datang ke mari, sekali-pun tidak bersantap dulu, paling tidak juga harus minum
secawan air teh sebagai rasa hormat pinceng terhadap kalian."
"Toa suhu tak usah sungkan-sungkan."
Berbicara sampai disini, lantas berpaling seraya berkata: "Adikku, mari kita pergi."
Sekilas senyuman licik segera menghiasi wajah Gho-tong hweesio, kembali dia
berkata. "Bila Wi sicu buru-buru hendak pergi, pinceng-pun tak akan menahan lebih jauh, cuma kalau toh Wi sicu datang untuk memenuhi janjimu dengan toa suheng, hal
ini berarti kau adalah sahabat karib toa suheng semasa hidupnya. Kini toa suheng
tiada, paling tidak Wi sicu harus mengunjungi tempat penyimpan tulang belulang
sebagai tanda hormat kepada yang telah tiada, entah bagaimanakah menurut
pendapat sicu?"
"Tulang belulang Lo hongsiang disimpan di mana?" Wi Tiong-hong bertanya tanpa terasa.
Kembali Gho-tong hwesio tertawa licik. "Di belakang bukit kuil kami ini, pinceng akan segera mengajak Wi sicu kesana."
Wi Tiong-hong manggut-manggut, "Kalau begitu, harap toa suhu suka membawa
jalan." "Sicu kelewat sungkan, harap kalian berdua suka mengikuti pinceng ... " Dia lantas membalikkan badan dan berjalan ke luar ruangan.
Wi Tiong-hong dan Lok Khi menyusul di belakang Gho-tong hwesio meninggalkan
ruang hong tiang, menuju kebukit sebelah belakang. Tak lama mereka tiba di belakang
bukit kuil Pau-in-si.
Di antara tebing karang yang menjulang, terdapat sebuah undakan lebar yang
menembusi bukit karang tadi, hanya dua puluhan langkah mereka telah tiba di atas
tanah datar. Di atas bukit terdapat sebuah bangunan kuil di depan pintu terpancang sebuah papan
nama yang bertuliskan "Cou-su-tong", pintu gerbangnya yang berwarna merah
tertutup rapat dan dikunci dengan sebuah gembok besar.
Gho-tong hwesio membuka gembokkan itu, lalu mendorong pintu itu sampai terbuka,
katanya sambil mempersilahkan tamunya: "Sicu berdua, silahkan masuk."
Ketika melihat Gho-tong hwesio mengajaknya datang ke situ tadi, Wi Tiong-hong
sudah menaruh perasaan curiga, apalagi setelah menyaksikan ruangan Cou-su-tong itu
dibangun di dalam bukit berkarang yang kokoh, kecurigaannya semakin melipat ganda.
Baru saja dia akan bersuara, Lok Khi telah menghalangi jalan perginya.
Gho-tong hwesio sambil tertawa: "Tentu saja pinceng harus berjalan lebih dahulu,
silahkan saudara berdua ... " selesai menjura, betul juga dia lantas masuk lebih dulu ke dalam ruangan itu.
Ruangan Cou-su-tong tersebut letaknya agak tinggi, ruangan yang terdiri dari tiga
bagian itu mencakup luas tanah sepuluh kaki lebih, meski dibangun di lambung bukit
namun amat terang benderang.
Ditengah ruangan terdapat sebuah patung Buddha terbuat dari baja yang tingginya
seperti manusia, patung itu berwajah lebar, bertelinga lebar, berwajah keren dan
seperti manusia hidup.
Dengan sikap yang sangat menghormat Gho-tong hwesio berjalan ke depan patung
Buddha itu, kemudian menyembah beberapa kali, setelah itu dia baru berkata. "Siecu berdua, dia adalah mendiang guru kami It-tong taysu, tubuhnya telah menjadi Buddha,
maka dipuja dalam ruangan ini, sedang tulang belulang toa suheng berada di ruangan
sebelah kiri."
Sambil berkata dia lantas berjalan ke meja altar yang ada disebelah kiri.
Ketika Wi Tiong-hong mendongakkan kepalanya dan memperhatikan meja altar
tersebut, di atas meja terdapat sebuah kotak yang terbuat dari bahan tembikar,
mungkin di situlah disimpan abu dari Gho-beng siansu, lo Hong-tiang dari kuil Pau-in-
si. Tanpa berpikir panjang, dia lantas berjalan menuju kesitu.
Dalam pada itu, Gho-tong hweesio sudah berada di muka meja altar dan menyulut tiga
batang hio yang ditancapkan di atas hiolo, kemudian sambil merangkap tangannya di
depan dada, dia berkata. "Toa suheng, Wi siecu telah datang memenuhi janji, hanya sayang dia datang terlambat dua hari sehingga hanya dapat menjenguk abumu
belaka." Lalu sambil menuding ke arah meja altar, dia melanjutkan. "Wi sicu, harap kau lihat, dalam baki kemala itulah terletak Han liou dari Toa suheng."
Sesuai berkata, dia lantas mengundurkan diri ke samping.
Mengikuti arah yang dituijuk. Wi Tiong-hong berpaling ke situ, benar juga di atas meja altar itu terdapat sebuah baki kumala, dalam baki terdapat puluhan biji Han li cu yang besar kecil tak menentu dengan aneka warna tapi semuanya memancarkan sinar
berkilauan. Tanpa terasa timbul rasa hormatnya yang amat mendalam terhadap lo siansu yang
telah tiada itu.
Lok Khi berjalan ke sisi Wi Tiong-hong, lalu bisiknya lirih. "Piauko, apa sih yang dinamakan Han li cu?"
Pada saat itulah, mendadak Gho-tong hwesio tertawa seram, dia melompat ke depan
dan secepat sambaran petir meluncur ke luar dari ruangan tersebut.
Reaksi dari Lok Khi terhitung cepat pula, dia segera membentak nyaring. "Mau kabur ke mana kau?"
Tubuhnya melejit ketengah udara dan meluncur ke depan dengan kecepatan seperti
sambaran petir, sementara tangan kanannya diayunkan ke depan mencengkeram
pakaian bagian belakang dari Gho-tong hwesio.
Tapi sayang tindakannya itu masih terlambat satu langkah, Gho-tong hwesio telah
miringkan badan dan meluncur ke luar dari ruangan tersebut, menyusul kemudian ...
"Blaamm." sepasang pintu gerbang itu merapat sendiri.
Gagal dengan cengkeramannya, nyaris tubuh Lok Khi yang melayang di tengah udara
itu menumbuk di atas pintu gerbang.
Buru-buru dia menahan gerakan tubuhnya dan melayang turun ke atas tanah, lalu
sepasang telapak tangannya digetarkan keras-keras menghajar pintu gerbang ruangan
itu. "Blaamm ... " sepasang pergelangan tangannya tergetar sampai terasa sakit, secara lamat-lamat sedang kedua belah pintu gerbang itu masih tetap tak bergeming barang
sedikit-pun jua.
Bersamaan waktunya Wi Tiong-hong tiba pula di tempat kejadian, dia melepaskan juga
sebuah bacokan dahsyat.


Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Blaamm," sekali lagi terdengarlah suara benturan keras yang memekakkan telinga, namun pintu gerbang itu masih tetap utuh tanpa cacat.
Menghadapi kejadian ini, paras muka anak muda itu berubah hebat, dia segera
menarik napas panjang-panjang dan mengerahkan kembali tenaga dalamnya siap
melancarkan serangan lagi.
Buru-buru Lok Khi menghalangi niatnya itu ujarnya sambil menggelengkan kepalanya
berulang kali. "Tak perlu membuang tenaga dengan percuma, pintu batu ini sangat
tebal dan kuat sekali."
"Hmm, ternyata hwesio itu benar-benar tidak bermaksud baik." kata Wi Tiong-hong.
"Sejak dia menahan kita berulang kali, kemudian memancingmu dengan perkataan,
aku sudah menduga kalau dia tidak bermaksud baik, oleh karena itulah aku meminta
kepadanya untuk masuk lebih dahulu, aai, tapi akhirnya toh masih tetap terlambat
selangkah, ia berhasil juga meloloskan diri. Piauko tahukah kau apa sebabnya dia
bersikap tidak menguntungkan bagi kita berdua?"
"Aku pikir, dia pasti mempunyai suatu rahasia yang takut diketahui orang lain, aaah ... , betul, delapan puluh persen lo Hong-tiang tersebut mati dicelakai olehnya, karena
kuatir aku mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya, maka ia baru berniat
membunuhku untuk menghilangkan jejak ..."
"Kau memang dasarnya suka mencampuri urusan orang lain, sekarang lihat saja
akibatnya, kena disekap di tempat seperti ini, apa tidak bakal mati kelaparan?"
"Kita harus mencari akal untuk membongkar pintu itu dan menerjang ke luar dari sini."
"Mustahil," Lok Khi menggelengkan kepalanya berulang kali, "pintu batu ini tebal dan sangat kuat, apa lagi dia berani memancing kita ke sini, berarti hal ini sudah berada
dalam perhitungannya, tak bakal semudah itu ... apalagi sampai memberi kesempatan
buat kita untuk menjebol pintu batu itu?"
Wi Tiong-hong menjadi tertegun. "Lantas, apakah kita harus duduk termenung belaka sambil menanti saat kematian tiba."
Lok Khi berpikir sebentar, kemudian menjawab: "Aku pikir, kalau toh kalau kedua
belah pintu batu ini begitu kuat dan tebal, sudah pasti beratnya bukan kepalang,
biasanya benda yang berat tak akan secepat itu merapat kembali, tapi sewaktu kabur
tadi, pintu tersebut menutup amat cepat, dari sini bisa ditimbulkan kalau pintu mana
dihubungkan dengan alat rahasia."
"Tampaknya dia telah memperhitungkan waktunya secara tepat, ia segera memancing
kita untuk melihat Han li cu tersebut, kemudian ia menekan tombol rahasianya,
menanti pintu hampir menutup, ia melompat ke luar dari sini, buktinya aku yang
melompat setelah dia-pun terlambat satu langkah, baru tiba dipintu, pintu batu itu
kebetulan sedang merapat."
"Betul, pintu batu itu pasti sudah dikendalikan oleh semacam alat rahasia."
Lok Khi tertawa. "Asal kita dapat menemukan alat rahasia yang mengendalikan buka
tutupnya pintu batu itu, keadaan pasti lebih baikan."
"Kalau begitu kita cepat-cepat mencarinya, ooh, tidak betul, mustahil alat rahasia tersebut berada disini."
"Mengapa?"
"Seandainya tombol rahasia yang mengendalikan alat rahasia pintu gerbang itu berada di sini, bukankah sia-sia saja dia mengurung kita di tempat ini" "
Lok Khi kembali tertawa. "Aku rasa, alat rahasia tersebut sudah pasti berada disini."
"Coba katakanlah."
"Tentu saja aku mempunyai alasan," kata Lok Khi sambil tertawa, "masa tidak kau lihat, sewaktu Gho-tong keledai gundul itu masuk ke mari, dia mendorong pintu
terbuat dengan ilmu Tay-lek-kim-kong-ciang aliran Siau-lim-pay, tapi sewaktu ke luar
sama sekali tidak mempergunakan tenaga sama sekali, sedangkan pintu ruangan itu
menutup dengan sendirinya, dari sini terbuktilah sudah alat rahasia yang digunakan
untuk membuka dan menutup pintu batu itu berada di dalam, bukan di luar."
Wi Tiong bong yang mendengar perkataan itu merasa kagum sekali, meski sifat
kekanak-kanakan dari gadis itu belum hilang namun jalan pikirannya sangat cermat,
pengalamannya dalam dunia persilatan-pun jauh lebih banyak daripada pengalaman
sendiri. Tadi, dia memang melihat kalau Gho-tong hwesio mendorong pintu ruangan tersehut
dengan sepasang tangannya dan nampak sangat kepayahan, tapi tidak sempat melihat
kalau ilmu yang dipergunakan adalah ilmu Tay-lek-kim-kong-ciang. Tak nyana gadis
tersebut telah mengetahui kejadian mana dengan sejelas-jelasnya.
Berpikir sampai di situ, tanpa terasa dia manggut manggut, katanya lagi. "Perkataanmu memang benar, kalau begitu, mari kita segera mencarinya di sekitar sini."
Melihat pemuda itu membuang pendapatnya dan setuju dengan pendapat sendiri,
bahkan memujinya, Lok Khi merasa amat gembira, sambil tertawa segera ujarnya.
"Aku dengar dari toako, konon semua alat rahasia yang berada dalam dunia persilatan rata-rata di pasang dalam suatu tempat yang amat rahasia, orang yang tidak
mengetahui keadaan yang sebetulnya sulit untuk menemukan tempat mana. Betul kita
juga tahu kalau letaknya berada dalam ruangan ini, tapi untuk menemukannya
bukanlah suatu pekerjaan yang terlampau gampang ..."
Sementara pembicaraan berlangsung, mereka berdua sudah mulai melakukan
pemeriksaan yang seksama di sekitar ruangan itu.
Setengah jam kemudian, seluruh ruangan telah diperiksa dengan seksama, namun
tombol rahasia itu belum juga ditemukan.
Tiba-tiba Lok Khi melompat bangun, setelah membereskan rambut kuningnya, ia
berseru manja. "Piauko, tak usah dicari lagi."
"Sudah kau temukan?"
"Belum, sekarang aku baru teringat, sekali-pun kita berhasil menemukan tombol
rahasianya juga percuma."
"Mengapa?"
"Apakah kau tidak melihat kalau di luar pintu gerbang tadi masih dipasang dengan
sebuah gembokan besar?"
"Perkataan itu memang benar, jika digembok dari luar, sekali-pun tombol rahasia
ditemukan juga apa gunanya?"
Wi Tiong-hong berseru tertahan, lalu membungkam dalam seribu bahasa ...
+++ Bab-25 PELAN-PELAN LOK KHI BERJALAN mendekat, lalu katanya dengan lembut: "Tampaknya
kita benar-benar akan mati kelaparan disini."
"Tidak," sela Wi Tiong bong bersungguh sungguh, "pintu ini harus dijebol dan kita harus ke luar dari sini, aku tak ingin mati kelaparan di tempat ini."
"Tentunya kau masih mempunyai urusan lain yang lebih penting bukan?" kata Lok Khi dengan mata melotot besar.
Wi Tiong-hong mendongakkan kepalanya memandang langit-langit ruangan itu,
ternyata semuanya terdiri dari besi berwarna keemas-emasan. Dia mengangguk dan
gumamnya: "Benar, lima belas tahun berselang ayahku telah tewas di tangan musuh
besarnya, hingga kini dendam sakit hatiku belum terbalas, meski ibuku masih hidup
tapi aku tak berhasil menemukan dia orang tua, bahkan hingga sekarang-pun aku
masih belum mengetahui nama margaku yang sebenarnya."
Lok Khi menghela napas pelan, terpancar sinar kelembutan dari balik matanya, pelan-
pelan dia mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Wi Tiong-hong, lalu
katanya dengan gelisah: "Lantas bagaimana baiknya" Aku tidak berhasil menemukan
cara yang tepat untuk menjebol pintu dan meloloskan diri dari sini." Kemudian sambil mengerdipkan matanya dia bertanya lagi: "Ooooh ... engkoh Wi, entah seorang
manusia bisa menahan lapar selama berapa hari sebelum mati?"
"Mungkin dua tiga hari juga belum mati kelaparan, tapi waktu itu pasti badan kita sudah lemas dan tak bertenaga lagi."
Mendadak Lok Khi melepaskan topeng kulit manusia serta rambut palsunya, kemudian
membuangnya ke atas tanah, setelah itu sambil menyandarkan tubuhnya ke atas
tubuh Wi Tiong-hong, ia berkata sambil mendongakkan kepalanya. "Engkoh Hong,
seandainya dua tiga hari lagi kita masih belum bisa ke luar dari sini, makanlah tubuhku ini."
Meski-pun ucapan mana diutarakan dengan bersungguh-sungguh, namun penuh
dengan nada cinta.
Wi Tiong-hong agak tertegun sesudah mendengar perkataan itu, sebenarnya dia
hendak mendorong tubuh si nona yang bersandar perkataan itu. Sebenarnya setelah
menyaksikan wajahnya yang tersipu-sipu malu dan sepasang matanya yang melotot
besar memandang ke arahnya, ia menjadi tak tega untuk mendorong tubuhnya
tersebut. Satu ingatan segera melintas di dalam benaknya, diam-diam ia berpikir.
"Nona ini masih polos dan sangat lincah, dalam benaknya masih belum terlintas
pikiran jahat, seandainya aku dorong tubuhnya itu, mungkin saja tindakanku ini akan
melukai perasaan hatinya."
Berpikir sampai di situ, terpaksa dia membentangkan tangannya dan balas memeluk
tubuh si nona yang menyandar di tubuhnya itu, katanya sambil tersenyum: "Aaaah,
kau ini ada-ada saja, masa ada manusia makan daging manusia didunia ini."
Kembali Lok Khi mendongakkan kepalanya dan tertawa. "Daripada kita berdua sama-
sama mati kelaparan, kan lebih baik tubuhku untuk isi perutmu, mungkin dua tiga hari
lagi penjahat gundul tersebut akan datang lagi untuk menengok kita, nah pada saat
itulah kau bisa menerjang ke luar dari sini."
Wi Tiong-hong dibuat terharu sekali oleh perkataan tersebut, tanpa terasa dia
memeluk gadis itu lebih kencang lagi. "Sudahlah, kau tak usah membicarakan soal
semacam itu lagi," bisiknya, "Bagaimana-pun juga kita toh masih punya kesempatan
untuk memikirkan akal lain."
"Tapi semua akal sudah kita pikirkan ... ," kata Lok Khi sedih.
Sewaktu berpaling, dia menyaksikan patung Buddha baja di atas meja altar seakan-
akan sedang memandang ke arahnya sambil tersenyum.
Pada mulanya dia masih tidak menaruh perhatian khusus, apa lagi ruangan besar itu di
bangun dalam dinding bukit, dan pintu gerbangnya tertutup rapat, seharusnya dalam
keadaan demikian suasananya gelap gulita, tapi sekarang terang benderang bagaikan
di siang hari saja, darimana datangnya cahaya tersebut"
Ternyata di atas atap ruangan tersebut terdapat beberapa biji mutiara yang
berserakan memancarkan cahaya tajam, di bawah sorot sinar mutiara inilah lambung
bukit yang seharusnya gelap lagi lembab itu menjadi terang benderang dan sedikit-pun
tidak mengerikan.
Diam-diam dia keheranan, kalau ruangan ini saja digunakan mutiara yang tak ternilai
harganya sebagai bahan penerangan, itu berarti pemiliknya pasti kaya raya, namun
mungkinkah kejadian seperti ini terjadi dalam kuil hwesio"
Tanpa terasa gadis itu membereskan rambutnya yang kusut dan berbisik lirih: "Engkoh Hong, tempat ini agak aneh tampaknya."
"Apakah kau telah menemukan sesuatu?" tanya Wi Tiong-hong sambil mengendorkan pelukannya.
"Aku pikir, di hari-hari biasa Gho-tong penjahat gundul itu pasti jarang sekali masuk ke mari, coba kau lihat, cukup mutiara-mutiara yang berada di langit-langit ruangan,
nilainya sudah luar biasa sekali, masa dalam kuil hwesio bisa terdapat kemewahan dan
kemegahan seperti ini?"
Wi Tiong-hong mendongakkan kepalanya memandang langit-langit itu sekejap,
kemudian mengangguk. "Benar, ruangan ini dibangun sangat megah dan mewah, jauh
berbeda dengan bangunan kuil lainnya, sepertinya ruangan ini baru belakangan
dirubah namanya menjadi ruangan Cou-su-tong."
"Itulah dia, andaikata sewaktu dibangun tempat ini sudah bernama ruangan Cou-su-
tong, maka alat rahasia yang mengatur buka tutupnya pintu-pun seharusnya dipasang
di luar, tapi buktinya tombol rahasia itu berada di dalam ruangan. Hal ini membuktikan kalau semula tempat ini didiami seseorang dan di hari-hari biasa melarang siapa-pun
untuk masuk kemari, kemudian walau-pun sudah dirubah menjadi ruangan cousu-tian,
namun pintu ruangannya masih tetap terkunci terus, itulah sebabnya Ghotong si
keledai gundul bajingan itu-pun kurang jelas."
Wi Tiong-hong manggut-manggut. "Ehmmm, masuk diakal juga perkataan ini, tapi
tidak diketahui siapakah orang itu?"
"Kuil Pau-in-si sudah berdiri sejak beberapa ratus tahun berselang, orang ini bisa membangun ruangan istana yang begini indah di lambung bukit belakang kuil, sudah
barang tentu orang itu adalah orang yang paling berkuasa di dalam kuil ini, selain
Hong-tiangnya, siapa pula orang itu?"
"Oooh," mendadak gadis itu seperti teringat akan sesuatu, kembali ujarnya, "engkoh Hong, sering kali kudengar toako bilang, banyak kuil hwesio dalam dunia persilatan
yang sepintas lalu tampaknya seperti biara kau m pendeta, padahal yang
sesungguhnya mereka adalah perampok-perampok ganas."
"Konon, sering kali mereka membangun ruang rahasia di dalam kuil lalu pergi ke luar untuk menculik kau m wanita dan anak gadis orang, kemudian memperkosa dalam
ruangan rahasianya, malah kadangkala bila ada perempuan cantik yang
bersembahyang dalam kuil sering pula lenyap tanpa sebab ... aku lihat kuil yang
dibangun di tempat ini-pun bukan sebuah kuil baik-baik."
Seperti dimaklumi, gadis ini hanya setengah mengetahui urusan tentang muda-mudi,
maka apa yang diucapkan-pun diutarakan tanpa rikuh atau ragu-ragu.
Bagaimana-pun juga Wi Tiong-hong lebih besar satu-dua tahun dibandingkan dengan
gadis itu, berbicara secara blak-blakan tentu saja ia segan untuk menegur atau untuk
menghalanginya.
Menanti dia sudah selesai berkata, pemuda itu baru menggelengkan kepalanya
berulang kali sambil berkata: "Tentu saja kuil semacam itu terdapat pula dalam dunia persilatan, tapi kuil Pau-in-si adalah kuil cabang dari Siau-lim-si, peraturan perguruan dari Siau-lim-si selamanya dilaksanakan dengan ketat, mustahil bisa terjadi peristiwa
semacam ini."
"Jadi menurut kau , dalam kuil Siau-lim-si tak ada orang jahatnya?" seru Lok Khi sambil mencibir, "Bagaimana dengan Gho-tong si bajingan gundul itu" Apakah dia bukan
orang jahat" Kalau orang baik, mengapa kita disekap disini?"
Wi Tiong-hong termenung dan berpikir sebentar, lalu katanya: "Aku pikir, Gho-tong hwesio sebetulnya sudah bersekongkol dengan pihak Tok She-shia, membunuh lo
Hong-tiang tak lebih cuma suatu intrik belaka."
"Oalah, siapa yang perdulikan soal-soal seperti itu" Ehmmm, engkoh Hong, coba kau
tebak siapa yang membangun kuil ini?"
"Menurut pendapatmu siapa?"
"Itu dia, Buddha baja tersebut.," kata Lok Khi sambil menuding patung pemuja
tersebut. Rahasia 180 Patung Mas 3 Hikmah Pedang Hijau Karya Gu Long Pendekar Sadis 10
^