Pedang Berkarat Pena Beraksara 8

Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan I D Bagian 8


"Aaaah ... lagi-lagi di Sik-jin-tian, kalau ada peristiwa pasti terjadi di tempat itu, sesungguhnya hal ini karena suatu kebetulan saja" Ataukan ada orang yang sengaja
mengatur begini?" Wi Tiong-hong hanya berpikir dalam hati kecilnya, sementara
mulutnya membungkam dalam seribu bahasa.
Kembali Tam Si-hoa berkata: "Sebelum menemui ajalnya, tampaknya Ting pangcu
sudah merasa kalau dia bakal ketimpa musibah tersebut, dalam saku bajunya telah
disimpan surat yang berisikan pesan terakhirnya."
"Aaaaah, masa iya?"
Dengan wajah sangat berduka Tam Si-hoa menundukkan kepalanya rendah-rendah,
ujarnya. "Yang ditinggalkan adalah surat berdarah. Ia bilang, seandainya dia sampai tertimpa musibah, maka lencana pena baja harus diserahkan kepada Wi tayhiap."
"Lencana pena baja yang harus aku simpan menurut keinginan Ting toako itu
sesungguhnya benda macam apa?"
"Lencana pena baja adalah barang pengenal dari ketua perkumpulan Thi-pit-pang, jadi sesungguhnya Ting pangcu berpesan agar Wi tayhiaplah yang menjabat kedudukan
pangcu tersebut."
"Tapi menurut surat berdarah yang ditinggalkan Ting toako, bukankah dia hanya
menyuruh aku menyimpankan lencana pena baja tersebut" Dia toh tidak menyuruh
aku menjadi ketua dari Thi-pit-pang."
"Wi tayhiap hanya tahu satu tak tahu dua, bagi perkumpulan kami, barang siapa
memegang lencana pena baja tersebut dialah pangcu kami, sekarang Ting pangcu
meminta kepada Wi tayhiap."
Tiba-tiba Lok Khi tertawa dingin, jengeknya sambil melengos: "Ting Ci-kang telah
menotok jalan darah kematianmu, sayang usahanya itu gagal total, mana mungkin
menjelang kematiannya ia masih teringat lagi denganmu" Huuh, siapa sih yang tertarik
dengan kedudukannya sebagai seorang pangcu itu. Engkoh Hong, lebih baik kita pergi
saja dari sini ..."
Mendongkol juga hati Tam Si-hoa setelah mendengar ejekan dari Lok Khi tersebut,
namun memandang di atas wajah Wi Tiong-hong ia merasa kurang baik untuk
mendamprat gadis tersebut, maka sambil memandang anak muda itu katanya:
"Sekarang Ku Huhoat masih menanti di ruang Sik-jin-tian, hamba sengaja datang
kemari untuk menantikan tayhiap. Wi tayhiap, kendati-pun kau sama sekali tidak
memandang sebelah mata-pun terhadap perkumpulan Thi-pit-pang, paling tidak kau
harus memandang pada dalam persahabatanmu dengan Ting pangcu dulu. Ikutlah
kami menuju ke Sik-jin-tian."
Sebelum Wi Tiong-hong sempat menjawab, sambil mendengus Lok Khi telah menukas:
"Kakak misanku sama sekali tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Ting Ci-
kang." Ucapan mana kontan saja membuat Tam Si-hoa jadi serba salah dibuatnya, untuk
sesaat dia menjadi tertegun.
Menurut pesan terakhir Ting pangcu, dia menunjuk adik angkatnya Wi Tiong-hong
untuk meneruskan jabatan sebagai ketua Thi-pit-pang, akan tetapi kalau didengar dari
nada pembicaraan Lok Khi, nampaknya antara Wi Tiong-hong dengan Ting pangcu
telah terjadi suatu kesalah pahaman yang amat mendalam. Bagaimana mungkin hal ini
bisa terjadi?"
Setelah mendehem pelan, dia lantas berkata: "Mungkin Wi tayhiap telah menaruh
salah paham terhadap Ting pangcu, tapi kini Ting pangcu telah terbunuh."
"Salah paham" Hmm, kejadian ini sudah bukan disebut salah paham lagi ...," dengus Lok Khi, "hampir saja selembar nyawa kakak misanku melayang di tangan Ting Ci-kang, hmm tahukah kau apa sebabnya Ting Ci-kang terbunuh?"
"Apakah lihiap tahu?" dengan mata terbelalak dan tubuh bergetar keras, Tam Si-hoa berseru.
"Tentu saja aku tahu, beritahu kepadamu-pun tak menjadi soal, empat hari berselang tanpa disengaja kakak misanku telah mendapatkan Lou-bun-si, dengan riang gembira
ia menceritakan kejadian tersebut kepada Ting Ci-kang, kejadiannya di rumah
penginapan ini juga. Siapa tahu Ting Ci-kang kemaruk harta, mendadak ia turun tangan
keji dan menotok jalan darah kematian di tubuh kakak misanku, kemudian tergesa-
gesa ia melarikan diri lewat jendela. Mungkin akhirnya peristiwa tersebut ketahuan
orang lain, maka dia-pun di bunuh orang di Sik-jin-tian."
"Sudah lama sekali siaute mengikuti pangcu, siaute amat memahami watak Ting
pangcu, ia adalah seorang yang setia kawan berjiwa besar, sampai mati-pun siaute tak
akan percaya dengan perkataanmu itu."
Lok Khi segera mendengus dingin. "Memangnya aku sengaja mengarang cerita bohong
untuk menipumu" Terus terang kuberi tahukan kepadamu sewaktu kakak misanku
menanggungnya ke luar dari tangan Ban Kiam-hwee, padahal dia sudah tertipu, sebab
sejak semula dia sudah tergabung dengan pihak Ban Kiam-hwee."
"Ting pangcu adalah seorang lelaki sejati, dia gagah dan perkasa tak nanti dia akan bertekuk lutut terhadap orang-orang Ban Kiam-hwee."
"Huuh mau percaya atau tidak terserah kepadamu sendiri, toh bagaimana-pun juga
diantara kita memang tak ada sangkutpautnya," seru Lok Khi kemudian sambil
mencibir. Walau-pun perkenalan Wi Tiong-hong dengan Ting Ci-kang belum berlangsung lama,
namun Ting Ci-kang telah memberikan kesan yang mendalam sekali baginya, dia selalu
merasa sahabatnya itu berjiwa besar, gagah, setia kawan dan bijaksana, maka ia
merasa tercengang juga sewaktu sahabatnya itu tiba-tiba turun tangan keji kepadanya.
Kini, setelah mendengar perdebatan dari ke dua orang ini. Tanpa terasa timbul
kembali kecurigaan di dalam hatinya.
Terbayang kembali di dalam benaknya sikap Ting toakonya semenjak dibebaskan dari
sekapan orang-orang Ban Kiam-hwee, pada waktu itu juga dalam hati kecilnya telah
muncul suatu perasaan yang sukar dilukiskan dengan kata-kata.
Ia selalu merasa baik dalam tingkah laku mau-pun dalam sikap berbicara, Ting
toakonya ini terdapat banyak sekali perbedaan kalau dibandingkan dengan sikapnya
sewaktu mereka berkenalan untuk pertama kalinya.
Waktu itu ia tidak terlalu memperhatikan akan gejala tersebut, tapi setelah
dibayangkan kembali sekarang, ia merasa hal itu benar-benar mencurigakan sekali.
Berpikir demikian, dia lantas berkata kepada Lok Khi: "Adikku, mari kita ke Sik-jin-tian."
Mendengar nada suara pemuda itu amat tegas, tanpa terasa Lok Khi berpaling dan
memandang sekejap ke arahnya.
"Apakah kau hendak memeriksa luka beracun apakah yang diderita Ting Ci-kang,
kemudian membalaskan dendam baginya?"
"Aku telah teringat akan suatu hal yang sangat penting, sekarang juga aku hendak
membuktikannya."
"Kau teringat akan soal apa?"
*** "SAMPAI detik ini aku hanya menduga-duga saja, sesampainya di sana segala
sesuatunya baru akan menjadi jelas," ucap Wi Tiong-hong.
Lok Khi segera teringat pula dengan perintah gurunya yang menitahkan kepadanya
untuk mendatangi Kiam-bun-san dan minta kembali Lou-bun-si yang berhasil dirampas
orang-orang Ban Kiam-hwee itu.
Tapi kini, Ting Ci-kang ditemukan tewas di tengah jalan, itu berarti pena Lou-bun-si
telah dilarikan orang dan Kiam-bun-san tak perlu dikunjungi lagi.
Sekarang engkoh Hongnya bersikeras hendak menuju ke Sik-jin-tian, siapa tahu dari
situ dia akan berhasil mendapatkan berita tentang Lou-bun-si tersebut"
Tatkala Tam Si-hoa mendengar Wi Tiong-hong tersedia untuk pergi kesana, dengan
cepat ia perintahkan orang untuk menyiapkan kuda.
Mereka bertiga segera berangkat meninggalkan rumah penginapan itu dan membedal
kudanya menuju ke luar kota, kurang lebih setengah jam kemudian sampailah mereka
di Sik-jin-tian.
Kuil kecil yang di hari-hari masa sama sekali tak berpenghuni itu, kini sudah dipenuhi oleh puluhan orang lelaki berpakaian ringkas warna biru yang menggembol golok,
sekilas pandangan segera diketahui kalau mereka adalah anggota Thi-pit-pang.
Pada pinggang mereka semua melilit seutas ikat pinggang berwarna putih, tentu saja
hal ini melambangkan duka cita mereka atas kematian ketuanya.
Baru saja ketiga ekor kuda itu mendekati orang-orang itu menyingkir ke samping
sambil membungkukkan badan memberi hormat, sikapnya menghormat sekali.
Kuda berhenti di muka kuil, belum lagi Wi Tiong-hong turun dari kudanya, dari dalam
kuil telah memburu ke luar seorang lelaki berperawakan tinggi besar. Lelaki itu
langsung memburu ke depan kuda dan menjura sambil berkata pelan: "Hamba Ku
Tiang-sun menjumpai pangcu."
"Wi tayhiap, dia adalah Ku huhoat," buru-buru Tam Si-hoa menerangkan.
Buru-buru Wi Tiong-hong melompat turun dari kudanya sambil balas membalas
memberi hormat. "Harap saudara Ku jangan banyak adat, siaute telah datang
memenuhi undangan, bila ada persoalan mari kita bicarakan di dalam saja."
Sementara berbicara, sepasang matanya mengawasi wajah orang itu lekat-lekat.
Ternyata dia adalah seorang lelaki yang tinggi besar, alis matanya tebal, matanya besar dan berwajah gagah, tidak malu kalau dijuluki orang sebagai Makhluk bertanduk
tunggal. Menyusul kemudian Tam Si-hoa perkenalkan Lok Khi, Ku Tiang-sun-pun berbasa basi
sebentar sebelum menghantar Wi Tiong-hong berdua memasuki ruang kuil.
Sie-jin-tian sesungguhnya adalah sebuah kuil kecil dikaki bukit, saat itu di tengah
ruangan membujur sebuah peti mati berwarna hitam, di depannya diatur sebuah meja
altar dengan sesaji buah-buahan, bunga dan dupa.
Ternyata kembali hubungan persahabatannya dengan Ting Ci-kang, setelah melihat
peti mati itu, Wi Tiong-hong menjadi sedih, hingga titik air mata jatuh bercucuran. Ia segera maju ke depan layon dan memberi hormat beberapa kali dengan perasaan
tulus. Lok Khi berdiri di belakangnya berlagak seakan-akan tidak melihat.
Makhluk bertanduk tunggal Ku Tiang-sun sekalian menanti hingga Wi Tiong-hong
selesai membeli hormat baru serunya sembari menjura: "Silahkan pangcu beristirahat dulu, hamba masih ada urusan yang hendak dibicarakan." Sambil berkata, ia
persilahkan pemuda itu menuju ke ruangan sebelah kiri..
Ternyata disini telah tersedia beberapa buah kursi dan sebuah meja kecil dengan
beberapa cawan air teh.
Ketika Wi Tiong-hong mendengar orang itu berulang kali menyebut dirinya sebagai
"pangpcu", tanpa terasa keningnya segera berkerut, katanya sembari menjura.
"Saudara Ku, harap kau jangan menggunakan istilah pangcu lagi untuk memanggilku,
siaute tak berani menerimanya."
Makhluk bertanduk tunggal Ku Tiang-siu agak tertegun, lalu ujarnya. "Tapi ini atas permintaan terakhir dari Ting pangcu, kami semua-pun mendukung atas keputusan
tersebut, harap pangcu jangan menampik lagi ..."
Wi Tiong-hong tertawa. "Siaute belum lama terjun ke dalam dunia persilatan,
pengalaman serta pengetahuanku masih sangat cetek. Bagaimana mungkin aku dapat
memikul jabatan yang begini berat" Di samping itu, ada-pun kedatangan siaute kemari
hanya ingin membuktikan beberapa persoalan yang mencurigakan hatiku, bila saudara
Ku menyebutku lagi dengan panggilan itu, terpaksa siaute harus mohon diri."
Tam Si-hoa diam-diam mengerling sekejap ke arah Makhluk bertanduk tunggal
memberi tanda, lalu katanya: "Saudara Ku, harap kau ambil ke luar surat wasiat dari Ting pangcu dan perlihatkan kepada Wi tayhiap. Kemudian segala sesuatunya baru
dirundingkan lagi."
Selesai berkata ia lantas mempersilahkan kedua orang itu duduk di kursi dalam ruang
sebelah kiri, kemudian mengambilkan dua cawan air teh dan diletakkan di depan
kedua orang itu.
Buru-buru Wi Tiong-hong bangkit sambil mengucapkan terima kasih, sementara itu
Makhluk bertanduk tunggal Ku Tiang-sun telah mengambil ke luar sebuah bungkusan
kuning dari atas altar, lalu dengan wajah serius membawa bungkusan tersebut ke
depan Wi Tiong-hong. Kemudian setelah membuka bungkusan kuning itu, dia
mengeluarkan sebuah kotak kayu dan diserahkan kepada Tam Si-hoa.
Dengan wajah serius pula Tam Si-hoa menerima kotak tadi dan membukanya, setelah
itu dia baru mempersembahkannya ke hadapan Wi Tiong-hong, ujarnya dengan sikap
hormat. "Wi tayhiap, inilah surat darah tulisan Ting-pangcu serta lencana pena baja yang diserahkan kepada tayhiap untuk menyimpannya, silahkan tayhiap periksa."
Melihat kedua orang pelindung hukum itu satu berdiri di sebelah kiri yang lain berdiri di sebelah kanan dengan sikap yang serius dan menghormat, buru-buru pemuda itu
berdiri dan siap menerima pemberian tersebut.
Mendadak terdengar Lok Khi mendengus dingin, lalu berteriak keras. "Engkoh Hong,
jangan kau terima, mereka sedang melakukan upacara penyerahan tanda pengenal
pangcu kepadamu."
Wi Tiong-hong menjadi tertegun setelah mendengar perkataan itu, sambil
mengangkat kepalanya dia segera berseru: "Saudara Tam, saudara Ku, jabatan pangcu dari perkumpulan kalian ini tak berani siaute terima."
Makhluk bertanduk tunggal Ku Tiang-sun segera berpaling ke arah Tam Si-hoa, lalu
katanya: "Kami hanya melaksanakan pesan terakhir dari Ting pangcu, harap Wi
Tayhiap jangan menampik lagi. Bila kau tak mau menerimanya terpaksa kami hanya
bisa membubarkan perkumpulan ini."
"Sekali-pun Wi tayhiap keberatan untuk memangku jabatan ini, tapi sebelum
meninggal Ting pangcu telah menitipkan perkumpulan kami kepadamu, bagaimana-
pun jua Wi tayhiap toh tak bisa membiarkan perkumpulan kami ..."
Sebelum Tam Si-hoa menyelesaikan kata-katanya, dengan tegas Wi Tiong-hong telah
menukas: "Dalam hal ini sulit rasanya bagi siaute untuk mengabulkan."
Dengan agak sedih Makhluk bertanduk tunggal Ku Tiang-sun berbisik: "Saudara
Tam ..." Sambil memegang kotak kayu itu, Tam Si-hoa mendehem pelan, baru berkata: "Kalau
toh Wi tayhiap bersikeras enggan menerimanya. Siaute mempunyai suatu cara yang
lebih baik lagi untuk mengatasi persoalan ini, entah bagaimana menurut pendapat Wi
tayhiap?" "Harap saudara Tam berbacara."
Tam Si-hoa memandang sekejap rekannya si Makhluk bertanduk tunggal, katanya:
"Yang ditolak oleh Wi tayhiap apakah jabatan dalam perkumpulan kami ini ...?"
"Benar, siaute baru terjun ke dunia persilatan, aku tak berani memikul tanggung jawab sebagai seorang ketua, di samping itu siaute pribadi masih mempunyai banyak
persoalan yang belum terselesaikan, harap kalian berdua sudi memaafkan."
Tam Si-hoa langsung mengerti, setelah termenung sejenak, lalu ujarnya: "Barusan
siaute dengar dari pembicaraan Lok lihiap yang mengatakan bahwa antara Wi tayhiap
dengan Ting pangcu agaknya sudah terjadi kesalahan pahaman, kini Ting pangcu sudah
tiada. Wi tayhiap sebagai enghiong, seorang bijaksana sejati tentunya tak akan
mempersoalkan lagi tentang kesalahan paham itu bukan" Benarkah pendapat siaute
ini?" Wi Tiong-hong segera manggut-manggut, "Ucapan saudara Tam memang benar,
peristiwa itu memang sudah tidak siaute pikirkan."
"Saudara Tam," tiba-tiba Makhluk bertanduk tunggal Ku Tiang-sun menimbrung dari samping, "Sebenarnya kesalahan paham apakah yang telah terjadi antara Ting pangcu
dengan Wi tayhiap?"
Tam Si-hoa mengerdipkan matanya berulang kali ke arah rekannya, kemudian berkata
lebih lanjut. "Nah itulah dia, bagaimana-pun juga Ting pangcu dan Wi tayhiap adalah sahabat karib yang melebihi hubungan saudara, bagi umat persilatan kesetiaan kawan
adalah hal yang nomor satu. Sekarang Ting pangcu telah menyerahkan lencana pena
baja serta keutuhan perkumpulan Thi-pit-pang kepada Wi tayhiap, sekali-pun Wi
tayhiap enggan menerima jabatan sebagai pangcu dari perkumpulan kami. Tetapi
rasanya kalau cuma menyimpankan saja lencana baja tersebut bukan sesuatu yang
memberatkan hati tayhiap bukan?"
"Tentang soal ini ... "
Tidak menunggu anak muda itu menyelesaikan perkataannya, Tam Si-hoa segera
menyambung kembali kata-katanya sambil tertawa: "Oleh karena itu, menurut
pendapat siaute lebih baik kita laksanakan seperti apa yang di tulis Ting pangcu dalam surat wasiatnya saja. Harap Wi tayhiap suka menerima lencana pena baja ini dan
menyimpankan untuk sementara waktu. Anggaplah kau menyimpankan benda itu
demi perkumpulan kami, entah bagai manakah menurut pendapat Wi tayhiap?"
Mendengar sampai di situ, si Makhluk bertanduk tunggal-pun segera memahami
maksud tujuan Tam Si-hoa, dia-pun tidak turut menimbrung di dalam pembicaraan
tersebut. Wi Tiong-hong ragu-ragu sejenak, akhirnya dia-pun mengangguk, "Baik, siaute
bersedia menyimpankan benda itu untuk sementara waktu."
"Engkoh Hong," Lok Khi segera menimbrung. "lencana pena baja adalah barang yang paling berharga dari perkumpulan mereka, benda itu merupakan benda pengenal dari
pangcu mereka, bagaimana mungkin kau bisa menyimpan buat mereka?"
"Aku tak lebih hanya menyimpankan bagi mereka untuk sementara waktu, menanti
mereka sudah mengambil keputusan untuk memilih pangcu yang baru, maka
kewajibanku untuk menyimpankan benda itu-pun akan berakhir."
"Huuuh, kau memang sukanya mencampuri urusan orang lain," omel Lok Khi sambil
cemberut. Sementara itu Tam Si-hoa sedang mengangguk tiada hentinya sambil berkata. "Benar, benar, siaute memang bermaksud demikian." Berbicara sampai di situ, dia lantas
melanjutkan. "Kalau toh Wi tayhiap telah mengabulkan harap kau menerima kembali
benda tersebut." Sambil berkata, dia mengangsurkan kotak kayu tersebut ke tangan
Wi Tiong-hong. Oleh karena persoalan sudah menjadi jelas, maka Wi Tiong-hong-pun menerima
pemberian tersebut, katanya kemudian: "Saudara Tam, saudara Ku, silahkan duduk
dan mari kita berbincang."
Tam si-hoa berpaling ke arah Ku Tiang-sun kemudian tersenyum, mereka berdua
segera duduk di tempat masing-masing.
Wi Tiong-hong meletakan kotak kayu itu ke atas meja, terlihat olehnya benda yang
berada dalam kotak itu adalah sebatang pena besi yang panjangnya delapan inci dan
besarnya se ibu jari, pada ujung pena terukir empat huruf yang berbunyi: "THI-PIT-LENG-GI."
Membaca tulisan itu, Wi Tiong-hong merasa keheranan, pikirnya: "Seharusnya tulisan yang dicantumkan di situ adalah Thi-pit-leng, mengapa di bawah tulisan tersebut harus
ditambah pula dengan sebuah huruf Gi?"
Sementara ia masih termenung Tam Si-hoa telah berkata sambil tertawa: "Pena baja
ini sebenarnya merupakan senjata andalan dari lo pangcu perkumpulan kami, di masa
lalu lo pangcu pernah memang ku jabatan seorang Leng-gi (camat) di kota Tong kwau
itulah sebabnya senjata andalannya dinamakan Thi-pit-leng-gi, setelah lo pangcu
wafat, perkumpulan kami-pun mempergunakan pena itu, sebagai tanda kekuasaan
bagi pangcu dengan menyebutnya sebagai lencana pena baja."
"Oooooh, kiranya begitu." Dia lantas mengambil pena baja itu sembari berkata lagi.
"Untuk sementara waktu pena ini akan siaute simpan, semoga saja kalian bisa cepat-
cepat memilih pangcu baru hingga pena ini-pun bisa secepatnya aku kembalikan
kepada kalian."
Berbicara sampai di situ, dia lantas menyimpan pena baja itu ke dalam sakunya.
Terasa olehnya meski pena baja tersebut amat kecil akan tetapi bobotnya justru jauh
lebih berat dari pada senjata lain yang seukuran dengan benda itu, malah boleh
dibilang bobotnya satu kali lipat lebih berat. Melihat itu, kembali dia berpikir: "Sebagai senjata andalan dari Thi pit tin-kan kun (pena baja yang menenteramkan Jagad) Tau
Pek-li, kemungkinan besar pena ini dibuat dari bahan baja asli, tak heran kalau
bobotnya amat berat."
Karena itu dia-pun tidak memperhatikannya lebih jauh.


Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di bawah pena baja tadi terlihat sebuah lipatan kain berwarna hijau, di atas kain itu
tertera beberapa huruf yang ditulis dengan darah.
Jelas sekali itu berasal dari robekan pakaian yang dikenakan Ting Ci-kang pada waktu
itu, maka diambilnya lipatan kain tadi, kemudian dibaca isinya, terbaca olehnya tulisan tersebut berbunyi demikian, "Bila aku menemui celaka, serahkan lencana pena baja ini kepada adikku Wi Tiong-hong, tertanda Ci-kang."
Agaknya tulisan itu dibuat dengan goresan jari tangan, hurufnya awut-awutan dan
darah yang dibuat menulis-pun tebal tipisnya tak menentu. Namun kegagahannya
masih terpancar dari balik tulisan sana, persis seperti watak yang sebenarnya dari Ting Ci-kang.
Membaca beberapa huruf yang tertera di atas kain itu, tanpa terasa Wi Tiong-hong
teringat kembali akan kegagahan dari Ting Ci-kang di masa lalu, bersama itu juga dia
terbayang kembali senyum licik diperlihatkan Ting Ci-kang sewaktu hendak menotok
jalan darah kematiannya pada malam itu.
Tanpa terasa sambil mendongakkan kepala, dia berpikir. "Mungkinkah bukan dia?"
Tam Si-hoa dan Ku Tiang-siu yang menyaksikan anak muda ini mendongakkan
kepalanya sambil termangu-mangu setelah membaca tulisan berdarah itu, seperti lagi
mengenangkan kembali sahabat karibnya itu untuk sesaat. Mereka-pun merasa tak
baik untuk mengganggu. Lewat sesaat kemudian, mendadak Wi Tiong-hong berseru
keras: "Saudara Tam, saudara Ku ..."
"Wi tayhiap ada petunjuk apa?" kedua orang itu berseru bersama.
"Apakah kalian berdua mengenali tulisan berdarah yang tertulis di atas robekan kain ini adalah tulisan tangan dari Ting toako?"
Tam Si-hoa agak tertegun, lalu sahutnya: "Tak bakal salah, siaute dapat mengenali gaya tulisan dari Ting pangcu dalam sekali pandangan saja."
Makhluk bertanduk tunggal Ku Tiang-sun turut manggut-manggut pula sambil
menjawab. "Walau-pun tulisan dari Ting pangcu tak bisa dibilang baik, tapi gaya
tulisannya memancarkan suatu sikap yang gagah dan mentereng, orang lain tak
mungkin bisa menirukan gaya tulisannya itu."
"Kalau memang tulisan darahnya benar, maka bagaimana dengan jenasahnya?" tanya
Wi Tiong-hong lagi, "apakah kalian berdua telah melihat jelas bahwa mayat itu adalah mayat dari Ting toako pribadi?"
Mendapat pertanyaan tersebut, Tam Si-hoa mau-pun makhluk bertanduk tunggal Ku
Tiang-sun sama-sama merasakan hatinya bergetar keras. Setelah termangu beberapa
saat, Tam Si-hoa baru berkata: "Apakah Wi tayhiap mencurigai orang yang telah tewas ini bukan Ting pangcu yang sesungguhnya?"
"Hal ini mustahil bisa terjadi," sambung Makhluk bertanduk tunggal Ku Tiangsun cepat, "perawakan mau-pun raut wajah Ting pangcu sangat kami kenali, bagaimana
mungkin hal ini bisa mengelabuhi kami berdua?"
Tam Si-hoa termenung sebentar, tiba-tiba dia berkata lagi: "Saudara Ku, persoalan ini memang agak mencurigakan?"
"Saudara Tam, maksudmu wajah Ting pangcu yang telah membengkak itu ... " Ku
Tiang-sun jelas amat terkejut.
Tam Si-hoa manggut-manggut. "Raut wajah yang telah membengkak membuat orang
sukar untuk membedakan asli tidaknya orang itu. bila Wi tayhiap tidak bertanya, tentu
saja siaute tak akan berpikir sampai ke situ, tapi setelah mendengar pertanyaan dari
Wi tayhiap, siaute baru merasa bahwa di balik semua peristiwa ini sesungguhnya
terdapat hal-hal yang amat mencurigakan."
"Luka Ting pangcu berada di kepala bagian belakang, namun tengkorak kepalanya
masih utuh, dia mati karena keracunan, mukanya membengkak besar sekali, tapi kalau
berbicara dari soal perawakan mau-pun bentuk wajahnya memang mirip sekali dengan
wajah Ting pangcu yang sebenarnya. Jika dibilang dia bukan Ting pangcu, mengapa
pula dia bisa memiliki perawakan mau-pun bentuk wajah yang serupa?"
"Justru disinilah letak ketidak pahaman siaute ... " sambung Tam Si-hoa cepat.
Berbicara sampai di situ, mendadak ia berpaling ke arah Wi Tiong-hong, kemudian
tanyanya: "Aku tahu, Wi tayhiap bisa bertanya demikian karena kau menaruh curiga
terhadap kasus pembunuhan itu, bolehkah aku mengetahui pendapatmu?"
"Sesungguhnya persahabatan siaute dengan Ting toko belum berlangsung lama, tapi
kalau dipikirkan kembali dengan seksama, dalam waktu yang relatip singkat ini rasanya
..." Kembali pemuda itu membungkam.
Dengan agak emosi Tam Si-hoa berseru. "Wi tayhiap. silahkan kau utarakan dengan
sejelas-jelasnya ..."
"Aku hanya mengemukakan kemungkinan-kemungkinan saja, bila siaute mengenang
kembali kejadian di masa lalu, agaknya tanpa sengaja dia telah memperlihatkan
beberapa tindakan yang mencurigakan sekali, seandainya aku tidak membaca surat
berdarah yang ditinggalkan Ting toako barusan, tak mungkin siaute akan merasa
curiga." "Sebenarnya persoalan apa yang menimbulkan kecurigaan Wi tayhiap ..." " desak Ku Tiang-sun.
"Siaute merasa seperti bertemu dengan dua orang Ting toako."
Perkataan itu ibaratnya dua buah martil berat yang menghantam dada Tam Si-hoa dan
Makhluk bertanduk tunggal Ku Tiang-sun, tubuh mereka nampak bergetar keras,
serunya hampir berbareng: "Benarkah telah terjadi peristiwa semacam ini?"
Lok Khi-pun ikut berseru dengan mata ter-belalak: "Engkoh Hong, mengapa aku tak
pernah mendengar kau berkata demikian?"
Bab 31 "Dahulu, aku belum pernah berpikir sampai di sini, tapi setelah kudengar saudara Tam dan saudara Ku semuanya mengatakan kalau Ting toako adalah seorang enghiong
seorang lelaki sejati yang berjiwa besar, maka aku lantas mengenang kembali kejadian
di kala kami berkenalan, ia memang seorang yang gagah dan berjiwa besar. Tetapi
kemudian aku merasa seakan-akan telah bertemu dengan orang lain, bila
kubandingkan mereka satu sama lainnya, maka segera aku temukan beberapa
persoalan yang mencurigakan."
"Persoalan ini harus dibicarakan mulai dari pihak Ban Kiam-hwee membebaskan
toako, sebagaimana diketahui sejak kecil aku dibesarkan oleh seorang paman, hingga
kini riwayat hidupku masih merupakan tanda tanya besar, bahkan siapakah pamanku
ini-pun tidak aku ketahui. Persoalan ini sudah diketahui Ting toako sejak kami
berkenalan, sebab aku pernah menceritakan hal ini kepadanya. Tetapi setelah dia
dibebaskan oleh pihak Ban Kiam-hwee ternyata ia bertanya lagi kepadaku, siapakah
pamanku ini" Padahal dia tahu kalau Siu Lo Cin-leng adalah barang peninggalan
pamanku, tapi dia bertanya pula kepadaku sekitar asal usulnya."
Dari balik mata Tam Si-hoa, tanyanya tiba-tiba: "Masih ada yang lain, Wi tayhiap?"
"Masih ada satu hal lagi, perkenalanku yang pertama dengan Ting toako terjadi di atas loteng rumah makan Hwepia lo waktu itu, mendadak ia berkata begini kepadaku.
"Hwepia lo adalah rumah makan yang paling ternama di kota ini, sayur dan araknya
baik, mari kita kemari saja." Padahal kami baru dua tiga hari berpisah, mustahil kalau dia lupa bahwa loteng Hwe pia lo adalah tempat kita berkenalan."
"Aaah, tak salah lagi kalau begitu," Mahluk bertanduk tunggal segera berseru.
"Apakah waktu itu Wi tayhiap tidak berpikir sampai kesitu?" tanya Tam Si-hoa pula.
"Tidak," Wi Tiong-hong menggeleng setelah berhenti sebentar, dia melanjutkan:
"Masih ada satu hal lagi, kedatanganku dan Ting toako di kuil Sik-jin-tian adalah dikarenakan Ting toako telah menyanggupi pihak Bu-tong-pay untuk menyelidiki sebab
kematian orang-orang Ban-li piaukiok, di sekitar kuil Sik-jin-tian di mana sebatang pena baja milik Ting toako juga ditemukan di sana, ketika itu Ting toako telah menyanggupi
paling cepat tiga bulan, paling lama setahun untuk mencari tahu perbuatan siapakah
pembunuhan tersebut dan memberi pertanggungan jawabnya kepada pihak Bu-tong-
pay." "Oleh karena itulah Ting toako datang ke kuil Sik-jin-tian guna melakukan
penyelidikikan, jadi kedatangannya kesitu bukan untuk mencari Lou-bun-si. Tapi
kemudian dia justru mendesak aku terus menerus untuk memberitahukan kepadanya,
apa saja yang pernah dia katakan kepadaku. Hmmm, bayangkan saja, apa yang pernah
dia katakan sendiri. Masa ditanyakan kepadaku" Bahkan kalau didengar dari nada
pembicaraannya, tampaknya dia seperti menaruh perhatian yang besar sekali tentang
Lou-bun-si tersebut."
Tam Si-hoa manggut-manggut tiada hentinya lalu bertanya: "Masih ada yang lain?"
"Beberapa persoalan yang siaute katakan sekarang, kalau dipikirkan kembali kini telah berubah menjadi hal-hal yang mencurigakan terutama sekali di saat aku temukan Lou-bun-si secara tidak sengaja pada malam itu, mendadak saja ia turun tangan keji
kepadaku, bukan saja wajahnya memperlihatkan rasa bangga, bahkan senyuman licik
yang menghiasi wajahnya tak mungkin bisa muncul di atas wajah seorang lelaki yang
berjiwa gagah dan bijaksana."
Mahluk bertanduk tunggal Ku Tiang-sun segera berpaling ke arah Tam Si-hoa sambil
berkata: "Kalau begitu, pasti ada orang yang telah menyaru sebagai Ting pangcu."
"Ketika siaute membaca surat berdarah ini, seolah-olah aku telah bertemu lagi dengan Ting toako, aku dapat merasakan dalam setiap patah kara tersebut semuanya
mencerminkan sifat gagah diri Ting toako, bahkan sampai menjelang ajalnya dia masih
tetap menganggap diriku sebagai adik angkatnya."
Suaranya kedengaran agak sesenggukan lanjutnya lebih jauh: "Seandainya dia adalah orang yang merampas Lou-bun-si dari tanganku dan menotok jalan darah kematianku,
sudah pasti ia sudah tidak mempunyai perasaan persaudaraan lagi denganku, mustahil
dia akan menyebutku sebagai adik angkatnya, dia-pun tak mungkin akan menyerahkan
lencana pena bajanya kepadaku, oleh sebab itu siaute lantas menduga kalau di antara
seluruh kejadian tersebut sudah pasti telah muncul seorang gadungan."
"Kalau begitu, Ting pangcu yang telah meninggal sekarang belum tentu adalah Ting
pangcu yang asli?" kata Tiang-sun.
Tam Si-hoa termenung dan berpikir sebentar, kemudian katanya: "Kemungkinan juga
yang mati ini bukan Ting pangcu, orang itu berhasil merampas Lou-bun-si dari tangan
Wi tayhiap. Mungkin karena takut ada orang mencarinya, maka dia baru berlagak
seakan-akan Ting pangcu telah mati terbunuh. Sementara ia sendiri memanfaatkan
kesempatan itu untuk melarikan diri."
"Tidak benar," bantah Ku Tiang-sun, "Orang ini berwajah mirip dengan Ting pangcu, kemungkinan juga setelah berhasil merampas Lou-bun-si, dia kena dikejar orang dan
terbunuh di tengah jalan. Tapi, di manakah Ting pangcu yang asli?"
Lok Khi yang selama ini membungkam, tak tahan segera menimbrung: "Seandainya
orang menyaru sebagai Ting Ci-kang, maka orang itu sudah pasti anak buah Ban Kiam-
hwee, pada hakekatnya Ban kiam-hwee belum pernah melepaskan Ting Ci-kang dari
kurungan mereka, atau mungkin juga ia sudah tewas di tangan orang-orang Ban kiam-
hwee, lantaran mereka tak dapat menyerahkan orang yang diminta, terpaksa
dikirimlah seseorang sebagai Ting Ci-kang gadungan. Meringkus lagi anak buahnya
untuk membunuh Ting Ci-kang gadungan agar rahasianya tak pernah terbongkar."
Melotot besar sepasang mata Makhluk bertanduk tunggal Ku Tiang-sun setelah
mendengar perkataan itu, ditatapnya wajah Tam Si-hoa dengan sinar mata tajam,
kemudian katanya: "Saudara Tam, apa yang dikatakan Lok lihiap ini ada benarnya
juga ..." "Bagian muka dari mayat Ting pangcu berada dalam keadaan membengkak, memang
sulit rasanya untuk membedakan apakah dia yang asli atau yang gadungan ... ," kata
Tam Si-hoa. Berbicara sampai di situ, mendadak dia mengalihkan sinar matanya ke wajah Ku Tiang-
sun, kemudian tanyanya lagi: "Saudara Ku, masih ingatkah kau di atas tubuh Ting
pangcu terdapat ciri apa?"
"Apakah saudara Tam ingin membuka peti dan memeriksa mayat?" seru Ku Tiang-sun
terkejut. "Yaaa, kecuali membuka peti dan memeriksa mayat, rasanya tiada cara yang lebih baik lagi buat kita, sekarang kita harus meyakinkan lebih dahulu orang ini sesungguhnya
Ting pangcu asli atau bukan, kemudian baru menyusun rencana berikutnya."
"Perkataan saudara Tam memang benar, siaute jadi teringat kembali dengan kasus
pembunuhan tanpa kepala yang terjadi di desa kita tempo hari ..."
Tam Si-hoa manggut manggut, "Siaute masih ingat, perbuatan itu adalah hasil karya dari orang-orang Huan-yang-pang, Ting pangcu harus turun tangan sendiri mengejar
sampai di wilayah Kang sau sebelum berhasil membekuk orang itu. Bahkan bahunya
pernah termakan sebatang paku cu-bu-ting dan melukai otot serta tulangnya, yaaa, di
atas bahunya memang terdapat sebuah codet sebagai ciri khasnya ..."
Berbicara sampai di situ, dia lantas membalikkan badan dan berjalan menghampiri peti
mati itu. "Saudara Tam, tunggu sebentar," tiba-tiba Ku Tiang-sun berseru.
Kemudian dengan suatu gerakan cepat dia menyelinap ke depan pintu, kepada orang-
orang yang berada di luar ruangan, bentaknya. "Entah siapa-pun, sebelum mendapat
ijinku dilarang memasuki ruangan ini ... "
Para anggota Thi-pit-pang yang berada di luar pintu bersama-sama mengiakan.
Makhluk bertanduk tunggal Ku Tiang-sun segera merapatkan kembali pintu ruangan.
Wi Tiong-hong dan Lok Khi ikut beranjak dan mendekati peti mati tersebut.
Tam Si-hoa tidak banyak berbicara lagi, dia berjalan ke depan peti mati, mengerahkan
tenaga dalamnya pada lengan kanan kemudian mencengkeram penutup peti mati itu
dan diangkatnya ke atas.
"Kraaks," penutup peti mati itu segera terbuka.
Wi Tiong-hong menundukkan kepalanya, "orang yang berbaring tenang dalam peti
mati itu bila bukan Ting Ci-kang lantas siapa?"
Bukan saja bentuk tubuhnya serupa bahkan sangat dikenal olehnya, sekali-pun
wajahnya sudah membengkak akibat terhajar pukulan beracun hingga warnanya
berubah menjadi hijau kehitaman, namun raut wajahnya masih mencerminkan wajah
Ting Ci-kang yang sebenarnya tak mungkin bisa salah.
Tanpa terasa bisiknya pada Lok Khi: "Adikku, coba kau perhatikan ... benarkah dia pribadi?"
Lho Khi berkerut kening, lalu menjawab pula lirih: "Sulit untuk dikatakan, dari toako aku pernah mendengar kalau dalam dunia persilatan terdapat semacam ilmu menyaru
muka yang bisa merubah seorang persis seperti lainnya. Tak usah memakai obat
khusus tapi dicuci-pun tak akan hilang."
Sementara dia masih berbicara, Si Pena baja Tam Si-hoa telah merobek baju bagian
bahu kiri yang dikenakan Ting Ci-kang, ternyata di atas bahu itu benar-benar terdapat
sebuah codet. Si Makhluk bertanduk tunggal Ku Tiang-sun segera menjadi amat sedih, serunya
tertahan: "Ooooh, Ting pangcu, ternyata orang yang terbunuh benar-benar adalah
Ting pangcu."
Setelah terbukti kalau orang yang tewas adalah Ting toakonya, Wi Tiong-hong turut
merasakan hatinya menjadi kecut, tanpa terasa titik air mata jatuh berlinang
membasahi pipinya.
Ketika Thipoan Tam Si-hoa melihat luka codet dibahu Ting Ci-kang, mula-mula dia-pun
nampak tertegun, tapi kemudian sambil tertawa dingin ia maju selangkah ke depan,
lalu dengan cepat menyambar kaki kanan Ting Ci-kang, melepaskan sepatunya dan
merobek kaos kakinya setelah dirobek, mendadak dia mendongakkan kepalanya dan
tertawa terbahak-bahak, Wi Tiong-hong menjadi tertegun.
Sebelum anak muda itu sempat mengucapkan sesuatu, dengan melototkan matanya
bulat-bulat si Mahluk bertanduk tunggal Ku Tiang-sun telah menegur keras: "Saudara Tam, apakah kau berhasil menemukan sesuatu?"
Hawa amarah telah menyelimuti seluruh wajah Thipoan Tam Si-hoa, dengan sorot
mata berkilat teriaknya keras-keras: "Orang ini bukan Ting pangcu."
Sekujur tubuh Makhluk bertanduk tunggal Ku Tiang-sun gemetar keras, buru-buru
tanyanya dengan cemas: "Lantas siapakah dia?"
"Kalau bukan Ting pangcu, tentu saja dia adalah orang yang telah merampas pena
mestika Lou-bun-si dari tangan Wi tayhiap."
"Saudara Tam dari hal apa kau bisa mengetahui kalau orang ini bukan Ting pangcu?"
Thipoan Tam Si-hoa menjengek dingin. "Setelah bangsat ini ingin menyaru yang persis, tentu saja dia tak akan tidak memperhatikan hal-hal yang terkecil dalam
mensukseskan penyaruannya, bekas codet di bahu Ting pangcu telah diketahui setiap
orang, hal tersebut sudah bukan termasuk suatu rahasia lagi."
"Tapi dengan mata kepala sendiri siaute pernah menyaksikan kalau di kaki kanan Ting pangcu terdapat sebuah tahi lalat hitam, coba kalau dia tidak membuka sepatunya
secara kebetulan, siapa-pun tak akan menyangka sampai kesitu, tapi justru disinilah
titik kelemahannya berhasil diketahui."
"Kalau dia bukan Ting pangcu, mengapa lencana pena baja dan surat wasiat darah itu asli?" tanya Makhluk bertanduk tunggal Ku Tiang-sun dengan perasaan terkesiap.
"Apa yang dikatakan Lok Lihiap tadi benar, mungkin Ting pangcu sudah menemui
bahaya, tapi kemungkinan juga dia masih berada di tangan orang-orang Ban Kiam-
hwee." Mendadak terdengar suara gelak tertawa nyaring berkumandang memecahkan
keheningan lalu seseorang berseru: "Akhirnya berhasil dibuktikan juga."
Empat orang yang berada dalam ruangan sama-sama merasa amat terperanjat, buru-
buru mereka mendongakkan kepalanya sambil mengalihkan perhatiannya ke arah
mana asalnya suara itu.
Tampak bayangan manusia berkelebat lewat, dari belakang dua buah patung batu
melayang turun seorang kakek gemuk pendek yang berjubah kedodoran.
"Siapakan kau?" Mahkluk bertanduk tunggal Ku Tiang-sun segera membentak nyaring.
Thipoan Tam Si-hoa juga bergerak mundur dengan gerakan cepat lalu berjaga-jaga di
depan pintu gerbang, dengan cepat tangan kanannya meloloskan sepasang senjata
Poan-koan pitnya sambil bersiap siaga, bentaknya keras-keras: "Saudara Ku, hari ini kita tak boleh melepaskan orang itu dengan begitu saja."
Kakek gemuk pendek itu tersenyum. "Lohu hanya ingin membuktikan orang yang telah
tewas ini Ting Ci-kang yang sesungguhnya atau bukan" Kini sudah terbukti bukan,
tentu saja lohu-pun tak ingin bermusuhan dengan kalian, ayo cepat menyingkir dari
situ ..." Thipoan Tam Si-hoa tertawa dingin. "Jika saudara adalah anggota dunia persilatan, artinya kau juga tahu bukan menyadap pembicaraan orang lain merupakan pantangan
yang paling besar, kau tahu bagaimana harus menghukum diri atas dosa yang telah
dilakukan."
Kakek gemuk pendek itu tetap tersenyum. "Selamanya lohu pergi datang sekehendak
hati sendiri, perduli amat dengan soal hukuman atau tidak."
"Heeh ... heeh ... heeh ... bila saudara merasa berkepandaian tinggi, silahkan saja mencoba untuk menerjang ke luar dari hadapan kami."
Kembali kakek pendek itu tertawa hambar. "Belum ada seorang manusia-pun di dunia
ini yang sanggup menahan lohu di suatu tempat." Seraya berkata dia lantas berjalan maju ke depan.
Wi Tiong-hong mengenali kakek ini sebagai si kakek yang muncul di rumah penginapan
tempo hari dan bertanya kepadanya apakah Ting Ci-kang adalah anggota Ban kiam-
hwee. Waktu itu, dia pernah menyaksikan kelihayan gerakan tubuhnya, ilmu silat yang
dimiliki kakek itu memang lihay sekali, dia masih ingat Lok Khi pernah bilang kalau dia berhasil melatih ilmu khikang pelindung badan.
Karena menguatirkan keselamatan Thi-poan Tam Si-hoa dan tahu kalau orang itu
bukan tandingan si kakek, tanpa terasa dia maju mendekat dengan langkah pelan.
Lok Khi-pun merasa kurang puas setelah kena dipukul mundur selangkah oleh si kakek
tempo hari, pikirnya: "Baik atau buruk, hari ini aku harus bertarung melawannya."
Tampak olehnya dalam kuil kecil tersebut tiada jalan ke luar lain kecuali pintu gerbang, maka setelah dilihatnya engkoh Hongnya menuju ke arah Thipoan cepat-cepat dia
menyusul dari belakang.
Si kakek gemuk pendek itu masih tetap mengelus jenggot sambil tersenyum, selangkah
demi selangkah dia masih melanjutkan langkahnya menuju ke arah Thipoan Tam Si-
hoa. Merasa lawannya semakin mendekat, Thi-poan Tam Si-hoa mengangkat lengan
kanannya dan menyodorkan mata pena poan koan-pitnya ke depan, lalu bentaknya
keras-keras. "Bila saudara berani maju selangkah lagi, jangan salahkan jika senjata aku orang she Tam tidak bermata."
Kakek gemuk pendek itu masih berlagak acuh tak acuh, bahkan sama sekali tidak
memandang sekejap mata-pun. dia masih tetap melanjutkan perjalanannya menuju ke
arah pintu, pada hakekatnya sama sekali tidak menggubris ancaman lawan.


Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Thipoan Tam Si-hoa tertawa dingin, hawa murninya diam-diam disalurkan ke luar,
pergelangan tangannya digetarkan menciptakan selapis bayangan pena, kemudian
mengurung seluruh tubuh kakek gemuk pendek itu.
Serangan tersebut dilancarkan amat cepat dengan jurus serangan yang keji dan ganas,
beberapa titik cahaya tajam dengan cepat menyelimuti sejauh beberapa depa.
Padahal selisih jarak kedua belah pihak dekat sekali, begitu pena baja itu melepaskan
serangan dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat, untuk berkelit kembali dari
ancaman bayangan pena lawan, rasanya hal itu bukan satu hal yang gampang.
Akan tetapi si kakek gemuk pendek itu masih berlagak acuh, seakan-akan sama sekali
tidak melihat ancaman itu, senyuman masih menghiasi wajahnya, sambil mengelus
jenggot dia menggerakan tangan lainnya.
Dengan cepat muncul segulung tenaga pukulan yang maha dahsyat menyambar ke
depan dan langsung menghambat gerak maju pena dari Thi-poan Tam Si-hoa.
Dengan cepat Thipoan Tam Si-hoa merasakan datangnya segulung tenaga hisapan
yang kuat sekali menghisap senjata Poan koan pit di tangannya, hingga sama sekali tak
bergerak. Jangankan dipakai untuk melukai orang, sekali-pun ingin digerakan-pun
bukan sesuatu yang gampang, tanpa terasa ia menjadi terperanjat sekali.
Lok Khi mendengus dingin, serunya: "Itulah hasil permainan setan dari hawa khi kang pelindung badan, bukan terhitung suatu kepandaian yang kelewat mengejutkan hati
manusia ..."
Dengan cepat dia menggerakkan serangannya melepaskan sebuah pukulan ke tubuh si
kakek. Kakek gemuk pendek itu memandang sekejap ke arahnya, lalu serunya sambil tertawa,
"Hei bocah perempuan, rupanya kau mengenakan topeng kulit manusia untuk
menutup wajah aslimu."
Dia bergerak ke samping menghindarkan diri dari serangan Lok Khi, kemudian dengan
suatu gerakan yang manis melesat lewat persis dari sisi tubuh si Pena baja Tam Si-hoa.
Gerakan tubuh yang dipergunakan oleh kakek itu sungguh lihay dan hebat, tampak dia
menggerakkan sedikit tubuhnya dan tahu-tahu ia sudah sampai di depan pintu
gerbang dan membuka pintu.
Melihat kakek itu hendak membuka pintu untuk menerobos ke luar, Wi Tiong-hong
segera melompat ke depan dan menerjang ke arahnya, sementara itu Lok Khi yang
gagal menyerang telah membalikkan tubuhnya dengan cepat, kemudian menyerobot
di depan Wi Tiong-hong langsung menerjang ke arah kakek itu.
Telapak tangan kirinya secepat kilat diayunkan ke muka, sementara tangan kanannya
merogoh ke dalam saku mengeluarkan segumpal bola perak.
"Cri ing." serentetan cahaya pelangi berwarna perak telah menegang keras dalam
bentuk sebilah pedang, sebuah bacokan kilat langsung dilontarkan.
Menghadapi bacokan yang datang, kakek gemuk pendek itu menyingkir kesebelah
kanan melepaskan diri dari bacokan mata pedang, kemudian tangan kanannya
menyambar ke muka tiba-tiba mencengkeram pergelangan tangan kiri Lok Khi.
Cengkeraman tersebut dilancarkan dengan kecepatan luar biasa, hal ini memaksa Lok
Khi mau tak mau harus bergeser dua depa ke samping untuk meloloskan diri dari
ancaman. Menggunakan kesempatan itu si kakek gemuk pendek itu maju selangkah ke depan
mendesak ke samping tubuh Wi Tiong-hong.
Pada waktu itu Wi Tiong-hong sudah menyadari kalau orang ini memiliki ilmu silat
yang amat lihay, maka sewaktu menyaksikan dia menerjang ke arahnya secara tiba-
tiba, dia segera mengayunkan telapak tangannya siap melepaskan bacokan.
Tapi di saat si kakek gemuk pendek itu mendekati sisi tubuhnya itulah, mendadak
terdengar dia berbisik: "Bocah cilik, cepat berhenti, lohu hendak memberitahukan satu rahasia kepadamu."
Sementara Wi Tiong-hong masih tertegun, pedang lembeknya diputar sambil
melancarkan serangan dengan gerakan aneh, selapis cahaya pedang segera
berhamburan kemana-mana seperti hujan gerimis, bertitik-titik cahaya tajam langsung
mengurung seluruh badan kakek pendek gemuk itu dan mengancam kedelapan belas
buah jalan darah pentingnya.
Kakek gemuk pendek itu menerobos maju ke depan, lalu menyembunyikan diri di
belakang punggung Wi Tiong-hong, buru-buru bentaknya keras: "Bocah cilik, mengapa kau tidak segera menyuruh adik misanmu menghentikan serangan?"
Wi Tiong-hong tidak tahu rahasia apakah yang hendak dia sampaikan kepadanya,
terpaksa serunya. "Adikku, tunggu dulu."
Lok Khi agak tertegun, benar juga dia segera menghentikan gerakan pedangnya,
kemudian sambil mendongakkan kepala tanyanya. "Engkoh Hong, ada urusan apa?"
Kakek gemuk pendek yang bersembunyi di belakang tubuh Wi Tiong-hong segera
berbisik lirih: "Bocah cilik, cepat kau suruh mereka mengundurkan diri dari situ, rahasia yang hendak kusampaikan kepadamu tak boleh sampai diketahui oleh
mereka." Wi Tiong-hong manggut-manggut kepada Lok Khi dia-pun berseru: "Adikku, mundurlah
beberapa langkah lebih dulu."
Lok Khi gelisah sekali, dia menegur: "Engkoh Hong, apakah kau telah dikuasai oleh bajingan tua itu?"
Kakek gemuk pendek itu segera melongokkan kepalanya dari sisi tubuh Wi Tiong-hong
kemudian jengeknya: "Huuh, bocah perempuan, tidak yang besar tidak yang kecil, kau anggap makian bajingan tua boleh sembarangan muncul dari mulutmu?"
Sementara itu Wi Tiong-hong telah berkata kepada Lok Khi: "Tidak, aku hanya ingin berbincang sebentar dengannya, dia minta kau mundur beberapa langkah lebih dulu."
Dengan perasaan setengah percaya setengah tidak Lok Khi segera mundur beberapa
langkah ke belakang.
Kembali Kakek gemuk pendek itu berkata. "Coba kau-pun suruh orang she Tam dan
orang she Ku ini mundur beberapa langkah."
"Sebenarnya kau ada urusan apa?" tanya Wi Tiong-hong sambil berpaling ke belakang
"Persoalan yang hendak lohu sampaikan menyangkut masalah rahasia besar, mau
didengar atau tidak terserah kepada dirimu sendiri," bisik kakek gemuk pendek ini
lirih. Terpaksa Wi Tiong-hong harus mendongakkan kepalanya seraya berkata: "Saudara
Tam, saudara Ku, bagaimana jika kalian-pun turut mundur berapa langkah?"
Berhubung lencana pena baja sudah berada di tangan Wi Tiong-hong, maka si pena
baja Tam Si-hoa mau-pun si Makhluk bertanduk tunggal Ku Tiong-sun telah
menganggap dia sebagai wakil pangcu, mendengar perkataan tersebut tanpa terasa
mereka mengundurkan diri ke belakang.
Setelah itu, Wi Tiong-hong baru membalikkan tubuhnya seraya berkata lagi: "Lotiang, kalau ingin menyampaikan sesuatu sekarang boleh kau sampaikan."
Kakek gemuk pendek itu tersenyum kepadanya, kemudian bertanya: "Bukankah
lencana pena baja dari perkumpulan Thi-pit-pang berada di tanganmu?"
"Benar lencana pena baja memang berada di sakuku."
Kakek gemuk pendek itu segera manggut-manggut. "Bagus sekali, sekarang bukalah
pintu gerbang dan hantarlah lohu pergi dari sini."
Kontan saja Wi Tiong-hong tertawa dingin, "Hanya beberapa patah kata inikah yang
hendak lotiang sampaikan kepadaku?" serunya.
Sekulum senyuman yang ramah dan lembut seperti selalu menghiasi wajah si kakek
gemuk pendek itu, dia memandang sekejap ke arah Wi Tiong-hong, kemudian serunya
dengan nada tak senang. "Kau anggap lohu sedang membohongi" Padahal jika lohu
benar-benar pingin pergi, dengan mengandalkan kemampuan kalian beberapa orang,
siapa-pun tak akan sanggup menahanku aku rasa kau pasti mempercayai akan
kenyataan tersebut bukan?"
Teringat akan gerakan tubuhnya yang liehay dan ilmu silatnya yang tinggi, tanpa terasa Wi Tiong-hong mengangguk. "Yaaa, mungkin saja benar," katanya.
"Kalau mungkin benar, berarti mungkin juga tidak benar?" jengek si kakek gemuk pendek itu sambil mendesis. "Bocah kecil, kau anggap kepandaian silatmu mampu
menahan lohu" Hehehehe ... lohu tidak ada waktu untuk berbicara lagi denganmu, ayo
cepat bukakan pintu gerbang dan antar lohu ke luar dari pintu, lohu cuma ada sepatah
kata saja. Selesai sampaikan lantas akan pergi, bila tidak percaya lohu-pun tak akan
berbicara, tapi lohu tetap akan pergi dari sini, coba lihat saja apakah kalian sanggup menghalangi diriku atau tidak?"
"Kalau toh lotiang menganggap kami tak sanggup menghalangi dirimu, buat apa kau
minta kepadaku untuk membuka pintu dan mengantar kau ke luar dari sini?"
"Suata pertanyaan yang bagus sekali." kakek gemuk pendek itu mengelus jenggotnya sambil tertawa, "pertama dengan kedudukan lohu sekarang, setelah datang, sudah
sepantasnya kalau kepergianku diantar orang secara hormat. Kini lencana pena baja
berada di tanganmu, paling tidak kedudukanmu sekarang adalah wakil ketua dari
perkumpulan Thi-pit-pang. Bila kau yang diminta menghantar lohu ke luar dari sini,
tentu saja hal ini paling tepat."
Wi Tiong-hong diam-diam merasa geli sesudah mendengar perkaraan itu, pikirnya.
"Kakek ini benar-benar aneh sekali, rupanya dia suruh aku yang menghantarnya ke
luar karena dia ingin meninggikan derajat sendiri."
Terdengar kakek gemuk pendek itu berkata lebih jauh: "Kedua, bila kau yang
mengantar lohu ke luar, setibanya di depan pintu nanti dan selesai lohu
menyampaikan rahasia tersebut, kau bisa segera membalikkan badan sambil
menurunkan perintah bagi dirimu, bisa menghadang sendiri di depan pintu gerbang,
tentu saja hal ini paling baik."
Makin didengar Wi Tiong-hong merasa semakin keheranan, belum sempat ia berbicara
kembalisi kakek gemuk pendek itu berkata lebih jauh: "Lohu telah selesai berbicara, dan sekarang-pun boleh segera membuka pintu."
Wi Tiong-hong memandang sekejap ke arahnya, akhirnya dia-pun manggut-manggut.
"Baik. aku mempercayai lotiang."
Dengan wajah gembira kakek gemuk pendek itu berseru: "Tak kusangka kau si bocah
masih mempunyai pandangan mata yang cukup tajam."
Wi Tiong-hong segera membalikkan tubuh dan membuka pintu gerbang tersebut.
Dengan langkah lebar kakek gemuk pendek itu mengikuti di belakang Wi Tiong-hong
dan berjalan ke luar dari situ.
Lok Khi yang menyaksikan kejadian tersebut segera berteriak: "Engkoh Hong,
sebenarnya apa saja yang telah kau bicarakan dengannya" Mengapa dia kau lepas?"
"Hei, siapa bilang lohu dilepas olehnya" Adalah dia yang sedang menghantar lohu
dengan hormat." bantah si kakek cepat.
Dengan cepat Lok Khi melompat ke muka dan menyerobot ke hadapannya, ia
berteriak keras. "Engkoh Hong, jangan sampai tertipu oleh akal muslihatnya?"
"Adikku jangan bertindak kurang hormat," tegur Wi Tiong-hong cepat. Kemudian
sambil mementang pintu gerbangnya lebar-lebar, dia berkata dengan lembut:
"Silahkan lotiang."
Kakek gemuk pendek itu berpaling sambil tertawa, tanpa mengucapkan sepatah kata-
pun dia melangkah ke luar dari pintu gerbang.
Tapi begitu melangkah ke luar, mendadak ia berpaling kemudian bisiknya disisi telinga
Wi Tiong-hong: "Di belakang patung arca tersembunyi seseorang."
Sementara Wi Tiong-hong merasa terkejut, kakek gemuk pendek itu sudah melesat
pergi. Tapi, pada saat itu juga kembali ia mendengar bisikan yang lirih dan lembut:
"Jangan lupa, Tutup pintu gerbang, keluarkan lencana pena bajamu dan perintahkan
kepada orang she Tam untuk membawa ke luar orang itu, kejadian selanjutnya lihat
saja menurut perkembangan selanjutnya."
Wi Tiong-hong tidak tahu siapakah orang yang bersembunyi di belakang patung arca
tersebut, maka sesudah mendengar perkataan tersebut, segera timbul kecurigaan
dalam hati kecilnya.
Menyaksikan kakek gemuk gemuk itu semakin menjauh, Lok Khi menjadi mendongkol
sekali, tak tahan segera teriaknya: "Engkoh Hong, sebenarnya apa yang telah ia
sampaikan kepadamu?"
Walau-pun Thipoan Tam Si-hoa dan Makhluk bertanduk tunggal Ku Tiangsun tidak
mengucapkan sepatah kata-pun, dalam hati kecil mereka-pun sama-sama merasa
keheranan, sementara itu mereka berdua juga turut ke luar dari ruangan.
Mendadak Ku Tiang-sun berseru tertahan lalu ujarnya. "Saudara Tam, temanilah dulu Wi tayhiap, siaute akan pergi sebentar." Selesai berkata, dia lantas beranjak pergi
meninggalkan tempat tersebut.
Wi Tiong-hong masih teringat dengan pesan si kakek gemuk pendek yang memintanya
"jangan lupa menutup pintu gerbang", maka ketika dilihatnya si Makhluk bertanduk
tunggal Ku Tiang-sun pergi secara terburu-buru, hatinya segera tergerak. Buru-buru
serunya: "Ku heng, harap tunggu sejenak."
Waktu itu si Makluk bertanduk tunggal sudah berada sejauh tujuh delapan langkah,
mendengar teguran itu dia-pun berhenti, tanyanya. "Wi tayhiap, ada urusan apa?"
Walau-pun pengalaman Wi Tiong-hong dalam dunia persilatan masih cetek. namun
dalam dalam soal ilmu sifat dia tak bodoh, dalam sekilas pandangan saja ia dapat
melihat kalau sepasang telapak tangan Ku Tiang-sun berhenti persis di depan matanya,
jelas dia menaruh perasaan was-was terhadap dirinya. Kenyataan mana membuat
hatinya semakin punya penghitungan sendiri.
Buru-buru dia tersenyum, kemudian katanya sambil menjura: "Saudaraku, aku masih
ada urusan penting yang harus diselesaikan, karena itu setelah menyampaikan
beberapa patah kata nanti akan segera pergi, aku harap saudara Tam dan saudara Ku
bersedia masuk dulu untuk membicarakan beberapa masalah penting."
Mendengar perkataan tersebut, tahulah si makhluk bertanduk tunggal Ku Tiang-sun
bahwa dia mau tak mau harus balik dulu.
Maka semua orang-pun masuk kembali ke dalam ruang Sik-jin-tian, Wi Tiong-hong
segera membalikkan badan sambil mengunci pintu gerbang rapat-rapat.
Makhluk, bertanduk tunggal Ku Tiang-sun nampak gelisah sekali, dengan tidak sabar
dia menegur: "Wi tayhiap, persoalan apakah yang hendak dibicarakan" Harap segera
disampaikan."
"Saudara Ku, paling tidak kita harus persilahkan Wi tayhiap untuk duduk lebih dulu sebelum berbicara," tegur Tam Si-hoa cepat.
Wi Tiong-hong membalikkan badan dengan berdiri membelakangi pintu, lalu ujarnya:
"Tak usah, berbicara dalam keadaan begini-pun sama saja."
Dari gerak gerik engkoh Hongnya, Lok Khi sudah merasa ada sesuatu yang tak beres,
dia merasa keheranan sekali, segera tegurnya: "Sebenarnya apa sih yang diucapkan
kakek itu kepadamu?"
Wi Tiong-hong tidak menjawab melainkan sambil mendongakkan kepala ujarnya
kepada Tam Si-hoa: "Saudara Tam, pergilah ke belakang patung arca itu dan gusur ke luar orang yang bersembunyi di sana."
Ucapan itu munculnya sangat mendadak dan sama sekali di luar dugaan siapa-pun,
ternyata di belakang patung arca tersembunyi seseorang, suatu kejadian yang sama
sekali tak terduga oleh siapa-pun.
Paras muka si Makhluk bertanduk tunggal Ku Tiang-sun berubah hebat setelah
mendengar perkataan itu.
Seluruh tubuh si Pena baja Tam Si-hoa juga bergetar keras karena tercengang
bercampur kaget.
Terutama Lok Khi, dia sampai membelalakkan matanya lebar-lebar dengan mulut
melongo. Tam Si-hoa segera mengiakan dan berangkat ke belakang patung arca yang
dimaksudkan. Berkilat sepasang mata Ku Tiang-sun, dengan wajah terkejut mendadak
ia membentak keras: "Siapakah di situ" Berani benar bersembunyi di belakang sana?"
Sambil berseru dia memutar badannya kencang-kencang, tiga gulung cahaya biru
serentak meluncur ke depan, satu menyerang dada Wi Tiong-hong, yang satu lagi
menyerang jalan darah Tay-yang-hiat dikening Lok Khi (gadis itu berdiri agak miring)
dan senjata rahasia ketiga mengancam punggung Tam Si-hoa.
Ketiga titik cahaya biru meluncur ke depan tanpa menimbulkan sedikit suara-pun,
kecepatannya bagaikan sambaran kilat sukar di kuti dengan pandangan mata.
Siapa sangka Wi Tiong-hong justru sudah memperhatikan hal ini semenjak tadi, baru
saja cahaya biru menyambar lewat, sambil tertawa nyaring dia sudah mengayunkan
telapak tangannya melancarkan sebuah pukulan amat dahsyat.
*** Jilid 16 Bab 32 "WEEESSS ... !" DERUAN ANGIN TAJAM" menyambar lewat, seketika itu juga ke tiga batang senjata Toci-li yang beracun itu sudah kena tersambar sehingga rontok ke
tanah. Gerakan tubuh Lok Khi lebih cepat lagi, tidak nampak bagaimana dia menggerakkan
tubuhnya, tahu-tahu gadis itu sudah tiba di hadapan Ku Tiang sun, lalu setelah
mendengus dingin katanya: "Rupanya kau memang tidak bermaksud jujur."
Mendadak jari tangannya diayunkan ke depan melepaskan sebuah totokan kilat.
Gerak serangan tersebut dilancarkan dengan kecepatan luar biasa, si Makhluk
bertanduk tunggal hanya merasakan bayangan bayangan manusia berkelebat lewat
pada hakekatnya dia tak sempat untuk menghindarkan diri lagi, tahu tahu jalan darah
pada Cian keng hiatnya terasa kaku, lalu segenap tenaganya punah tak berbekas dan
tubuhnya terjatuh keras keras ke atas tanah ...
Sambil berpaling Lok Khi berseru amat mendongkol. "Engkoh Hong, orang ini tak boleh diampuni lagi!'
Baru selesai dia berkata. Tam See hoa sudah muncul sambil menyeret tubuh seorang
manusia dan melompat turun dari atas meja altar.
Tapi ia menjadi amat terperanjat setelah menyaksikan Ku Tiang sun duduk kaku diatas
tanah, segera tegurnya: "Saudara Ku, mengapa kau?"
"Tak usah ditanya lagi," tukas Lok Khi cepat, "ia menghadiahkan senjata rahasia beracun kepada kita bertiga, dan sekarang giliran aku yang menghadiahkan sebuah
totokan untuknya.
Hampir saja si Pena baja Tam Ssee hoa tidak percaya akan peristiwa itu, dia
memandang sekejap tubuh Ku Tiang-sun, lalu memandang pula ketiga batang senjata
rahasia beracun Tok-ci-li yang tergeletak di tanah, kemudian serunya kurang perrcaya.
"Saudara Ku, mengapa kau berbuat demikian?"
Sementara itu Wi Tiong-hong telah memutar otaknya memikirkan persoalan tersebut,
ia dapat merasakan bahwa Ku Tiang sun mereka bertiga dengan senjata rahasia
beracun, karena mereka berbasil menemukan kalau dibalik patung arca tersembunyi
seseorang, mungkinkah kedua masalah ini ada sangkut pautnya" Mungkin dia
melakukan pembunuhan karena persoalan itu"
Tergerak hatinya, dia lantas angkat kepala sambil bertanya: "Saudara Tam, kau kenal
dengan orang ini?"
Si Pena baja Tam See-hoa membaringkan orang yang diseret ke luar itu ke atas tanah,
sesudah memandangnya sekejap, dia lantas menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Siaute tidak kenal."
Wi Tiong-hong coba mengamati orang itu, dia adalah seorang lelaki tinggi besar yang
berwajah hitam pekat, sepasang matanya terpejam rapat-rapat, dalam hati kecilnya
dia-pun berpikir: "Mungkin dia-pun datang ke mari untuk mencari kabar dan
bersembunyi di belakang patung arca, siapa tahu datang lagi kakek gemuk pendek itu
yang menotok jalan darahnya."
Belum habis dia berpikir. Lok Khi sudah bertanya : "Engkoh Hong, si kakek itukah yang
memberitahukan kepadamu bahwa di belakang patung arca tersembunyi seseorang"'


Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wi Tiong hong mengangguk, kepada Tam See hoa katanya kemudian: "Sewaktu siaute
menyuruh saudara Tam menuju ke belakang patung dan menyeret keluar orang ini,
tiba-tiba saja saudara Ku turun tangan keji menyergap kita dari belakang, bila dugaan
siaute tak salah, sudah pasti orang ini ada hubungannya dengan saudara Ku."
Pena baja Tam See hoa manggut-manggut.
"Yaaa, tindakan dari saudara Ku sungguh diluar dugaan siapa-pun, menurut apa siaute
ketahui, agaknya saudara Ku belum pernah mempergunakan senjata rahasia ... "
"Siapa tahu Ku huhost kalian telah bersekongkol secara diam-diam dengan pihak Ban-
kiam-hwee" Berhubung orang ini adalah mata-mata yang diutus pihak Ban kiam hwee,
maka ia baru membantunya," kata Lok Khi mengemukakan pendapatnya.
Sekali lagi si pena baja Tam See hoa memandang sekejap lelaki yang tergeletak di
tanah itu, kemudian baru ujarnya: "Jalan darah orang ini tertotok, asal kita tanyai dia, segala sesuatunya tentu akan terungkap."
Selesai berkata, dia lantas mencengkeram tubuh lelaki yang tergeletak di tanah itu dan menepuk pelan punggungnya.
Pelan-pelan lelaki itu membuka matanya memandang beberapa orang itu sekejap,
mendadak dia melompat bangun.
Si Pena baja Tam See hoa sudah menyiapkan diri sedari tadi, sambil tertawa, ia turun
tangan, secepat kilat dicengkeramnya nadi pada pergelangan tangan kanan orang itu,
kemudian serunya dengan suara dalam: "Sobat, sudah kau lihat jelas keadaan di
sekelilingmu?"
Lelaki itu-pun kelihatan tertegun setelah pergelangan tangan kanannya dicengkeram
Tam See-hoa dengan suara keras dia berteriak : "Lo Tam, lepaskan tanganku,
bagaimana sih kau ini?"
Ucapan tersebut kedengarannya sangat aneh, tetapi seluruh badan Tam See-hoa
segera gemetar keras.
Suara teriakan tersebut sangat dikenal olehnya, kalau ditanya suara siapa yang paling
dikenal, maka suara inilah yang ditunjuk, sebab suara tersebut jelas suara teriakan dari Makhluk bertanduk tunggal Ku Tiang sun.
Tapi, buksakah Ku Tiang-sun telah tertotok jalan darahnya dan duduk kaku di situ"
Tanpa terasa dia memandang sekejap kearah Ku Tiang-sun, lalu memperhatikan pula
lelaki yang suaranya mirip suara Ku Tiang-sun itu, ia merasa raut wajah orang ini-pun
mirip sekali dengan wajah Ku Tiangsun cuma warna mukanya berbeda dan garis alis
matanya agak berbeda. Dengan perasaan keheranan dan mata terbelalak lebar-lebar
dia lantas bertanya : "Siapa kau sebenarnya?"
Dengan marah lelaki itu tergelak keras. "Anjing geladak peliharaan kunyuk telah
menyaru sebagai diriku, saudara Tam, kendati kau tak kau kenali wajahku, masa
suaraku kau tak bisa bedakan?"
Kali ini, Tam See-hoa yang terkenal karena banyak akal muslihat ini benar-benar
dibikin kebingungan seteagah mati!
Ku Tiang sun yang tertotok itu bukan cuma raut wajahnya adalah wajah Ku Tiang sun,
bahkan nada suaranya-pun suara Ku Tiang sun, sudah jelas mustahil kalau dia
gadungan, tapi suara yang berada di hadapannya sekarang yang mengaku sebagai Ku
Tiang sun, paling tidak ia mempunyai nada suara yang mirip sekali.
Untuk sesaat dia jadi kebingungan sendiri, dengan kening berkerut ujarnya kemudian :
"Saudara, bagaimana siaute bisa mempercayaimu dengan begitu saja?"
Jika si Pena baja Tam See hos saja tak dapat membedakan, sudah barang tentu Wi
Tiong hong dan Lok Khi lebih-lebih tak bisa membedakan hal tersebut.
Saking gelisahnya lelaki itu sampai mencak-mencak macam monyet kepanasan,
serunya berulang kali: "Lo Tam, kau betul-betul monyet goblok, cepat lepaskan aku.
Siaute punya cara untuk memaksanya berbicara sejujurnya."
Tidak susah bila menginginkan siaute lepas tangan, tapi kau mesti memberikan
keterangan lebih dulu yang sejelas-jelasnya."
"Ketika kau berangkat ke kota Sang-siau untuk menyambut kedatangan Wi pangcu,
tanpa aku sadari jalan darahku telah ditotok oleh bangsat tersebut dari belakang,
kemudian aku diseret ke belakang parung arca dan pakaian aku dilucutinya, kemudian
dia mempoleskan pula sesuatu diwajahku, setelah itu siaute-pun tidak tahu apa yang
terjadi." Sambil berkata dia mengusap wajahnya sekuat tenaga dengan tangan kirinya, tapi
meski gudah digosok sampai merah, wajahnya masih seperti sedia kala.
Tam See hoa berusaha untuk mengamati wajahnya dengan seksama, akan tetapi ia
sama sekali tak berhasil menemukan suatu titik kelemahan apapun jua, maka segera
tanyanya: "Anggap saja kau memang saudara Ku, coba beri keterangan dulu,
bagaimana keadaan kita sewaktumenerima kabar buruk dari Ting pangcu?"
"Jadi kau masih belum percaya?"
"Asal jawabanmu benar, tentu saja aku akan mempercayai dirimu."
"Ketika kami menerima berita duka dari Ting pangcu, waktu itu hari sudah malam,
dengan kaki telanjang kau menyerbu ke luar, malah sambil mengancing pakaianmu
dengan tangan kanan, pertanyaan pertamamu kepadaku adalah begini: "Saudara Ku,
apakah berita ini dapat dipercaya?"
"Siaute-pun menjawab: "Berita ini di kirim kilat oleh anggota perkumpulan kita sendiri, jadi tak mungkin salah."
"Lantas kau-pun berkata lagi: "Dari mana kau bisa berkata demikian?"
"Nah, betul bukan ucapanku itu ... ?"
Tam See hoa agak percaya juga dengan perkataannya itu, sambil angkat kepala dia
langsung berkata: "Sebelum aku bebaskan dirimu, ada satu yang hendak aku
peringatan dulu kepadamu, yaitu sebelum siapa asli dan gadungan kauketahui dengan
pasti, kau tak boleh menyerang orang yang menyaru sebagai dirimu itu."
"Tentu saja, tidak ada salahnya kalau kita saling bertaruh, anjing geladak peliharaan kunyuk ini sudah pasti orang dari selat Tok Sea sia!"
Sejak mendengar nada pembicaraannya tadi Tam See hoa sudah percaya beberapa
bagian terutama ucapan "anjing geladak peliharaan kunyuk", kata makian itu memang
merupakan ciri khas dari si Makhluk bertanduk tunggal.
Sebaliknya Ku Tiang sun yang sekarang duduk kaku di tanah itu justru tidak pernah
melontarkan kata-kata mutiara tersebut hari ini. Ditinjau dari sini bisa diketahui kalau masalah tersebut hari ini, ditinjau dari sini bisa diketahui kalau masalah itu
mencurigakan. Berpikir demikian, dia-pun siap melepaskan cengkeramannya dari tangan orang itu.
Mendadak Lok Khi menyelinap datang seraya berseru: "Sebelum siapa asli siapa
gadungan ketahuan ada baiknya kau-pun duduk beristirahat lebih dulu."
Seraya berkata dia lantas menotok jalan darahnya.
Lelaki itu berseru lirih kemudian jatuh terduduk di atas tanah.
"Adikku, mau apa kau?" Wi Tiong-hong segera menegur. "apa salahnya kalau
hadapkan mereka satu sama lainnya?"
Lok Khi tertawa lirih.
"Kalau sampai begitu, maka yang satu akan berbicara satu, yang dua akan berbicara
dua, mana mungkin urusan dapat dibikin jelas" Sekarang aku sudah mempunyai cara
baik untuk mengungkap siapa yang asli dan siapa yang gadungan, kemudian mereka
baru ditanyai, bukankah soal ini akaa menjadi beres?"
"Apa caramu"' tanya Wi Tiong-hong.
"Tadi, bukankah dia mengatakan wajahnya dipolesi sesuatu oleh orang yang
menyamar sebagai Ku huhoat" Tapi dia sendiri telah mencoba untuk membersihkan
dengan gosokan bajunya tanpa hasil, hal ini menunjukkan kalau obat penyaru yang
digunakan tak akan bisa dihilangkan sebelum dibersihkan dengan obat khusus buatan
mereka, jikalau disakunya tersedia obat penyaru berarti dia-pun membawa obat
pembersih wajah, Tam guhoat, apa salahnya kalau kau menggeledah saku orang itu.
Bukankah segala sesuatunya akan beres?"
Si Pena baja Tam See-hoa segera menepis kepala sendiri sambil tertawa terbahak-
bahak, "'Haaahhh ... haaahhh ... haaahhh ... kalau bukan Lok lihiap yang
memperingatkan, siaute-pun tak akan berpikir sampai ke situ!"
Dia lantas mendekati si Makhluk bertanduk tunggal Ku Tiang-sun dan menggeledah
tubuhnya, dari dalam sakunya segera ditemukan sebuah kotak kayu kecil dan dua
buah botol kecil.
Begitu melihat botol kecil itu, Lok Khi segera mengenalinya sebagai botol kecil yang
pernah ditemukan juga dari saku orang yang menyaru sebagai Heng-san gisu tempo
hari, tanpa terasa dia mendengus dingin.
"Hmmm, tampaknya orang ini benar-benar berasal diri selat Tok-Seh-shia ..."
Tam See-hoa membuka kotak kayu itu, ternyata dalam kotak berisikan belasan macam
obat yang berwarna warai, setiap butir sebesar buah kelengkeng. Ia lantas
mengenalinya sebagai obat untuk menyaru muka. Hanya sayang dia-pun tidak
mengetahui cara penggunaannya, maka sambil mendongakkan kepalanya dia berkata :
"Lok lihiap, tahukah kau cara penggunaannya?"
Lok Kui segera menggeleng.
"Meskipun aku pernah mendengar semuanya dari toako, namun belum pernah aku
melihat penggunaan obat tersebut secara langsung."
"Cara menyaru yang digunakan umat persilatan berbeda satu sama lainnya." ucap Wi
Tiong hong kemudian, "ada yang menggunakan campuran obat, ada yang
menggunakan bubuk obat ada pula yang memberi warna dulu di atas topeng kulit
manusia lalu tinggal digunakan, mesti caranya berbeda padahal teorinya sama, kalau
ingin membersihkan obat penyaru tersebut yang dipakai selalu oil berwarna abu-abu,
coba saja saudara Tam, segalanya toh akan menjadi jelas."
Dia membuka kotak kayu itu dan mengambil obat berwarna abu-abu, kemudian
diserahkan ke tangan Tam See hoa.
Melihat Wi Tiong-hong dapat menerangkan garis besar ilmu menyaru muka secara
rinci tanpa terasa Lok Khi mengerdipkan mata berulang kali, segera tanyanya
keheranan. "Engkoh Hong, kau pandai menyaru muka?"
"Pamanku sangat pandai dalam ilmu menyaru muka, semenjak kecil aku sering
mendengar dia orang tua membicarakan tentang hal itu."
Lok Khi menjadi amat girang, segera tanya: "Suhuku, toakoku semuanya bisa
kepandaian tersebut, tapi mereka selalu keberatan untuk mengajarkan kepadaku,
katanya sekali dipelajari juga tak banyak manfaatnya, kapan-kapan kau bersedia bukan
mengajarkan kepandaian tersebut kepadaku?"
Wi Tiong-hong segera tertawa. "Aku sendiri-pun belum pernah mempelajari
kepandaian tersebut, aku hanya mendengar pamanku bercerita saja. Jadi
kepandaianku tak lebih cuma kulit luarnya belaka."
Tam See hoa lantas meremas obat itu dengan tanggannya, kemudian dengan jari
tangannya menggosokkan obat tadi ke wajah si Manusia bertanduk tunggal.
Dengan digosok, segera nampak pula hasilnya.
Kulit wajah Ku Tiang sun yang sebenarnya nampak, kini kena tergosok hingga
mengelupas sebagian.
Melihat itu, Tam See hoa berteriak gusar : "Kurang ajar, rupanya bangsat ini sedang
menyaru sebagai orang lain."
Sambil mengomel, jari tangannya bekerja dengan mengusap seluruh wajahnya, dalam
waktu singkat alis tebal Ku Tiang sun, matanya yang besar dan wajahnya yang
memerah sudah seketika bersih hingga muncul ah raut wajah aslinya yaitu seorang
lelaki berwajah putih kekuning-kuningan, bermata segitiga dan beralis mata terputus.
Berhubung jalan darahnya tertotok, ia tak dapat berkutik, tapi orangnya tetap segar,
dan ia sedang melototkan sepasang matanya memperhatikan Tam See hoa menggosok
wajahnya, tapi sinar buas yang berapi-api memandang seram sekali.
Kemudian Tam See hoa bekerja keras membersihkan pula wajah lelaki yang mengaku
bernama Ku Tiang-sun itu dari pengaruh obat penyaru.
Seperti juga tadi, begitu wajahnya dicuci dengan obat pembersih, seketika itu juga
lapisan obat penyarunya, terkelupas sehingga munculah alis matanya yang tebal,
matanya yang besar dan wajahnya yang merah, siapa lagi kalau bukan Makhluk
bertanduk tunggal Tiang sun"
"Haah ... haah ... haah ... rupanya benar-benar adalah saudara Ku!"
oooOooo Bab 33 BURU-BURU dia membebaskan jalan darahnya yang tertotok, lalu katanya sambil
menjura, "Bila siaute berbuat kesalahan kepadamu tadi, harap saudara Ku, bersedia memaafkan."
Ku Tiang-sun melompat bangun dan tertawa terbahak-bahak.
"Haah ... haah ... haah ... tadi wajah siaute telah dipolesi obat penyaru oleh bajingan itu, sehingga berganti rupa, masa hal ini kesalahan saudara Tam?"
Kemudian sambil menuding ke arah Wi Tiong-hong berdua tanyanya: "Siapakah kedua
orang ini?"
"Dialah Wi tayhisp saudara angkat dari Ting pangcu!"
Buru2 Ku Tiang sun membungkukkan badan memmberi hormat, katanya cepat: "Ohh,
rupanya Wi pangcu, maaf kalau hampir tidak tahu diri."
"Harap saudara Ku jangan menyebut demikian," kata Wi Tiong-hong sambil balas
menghormat, "Siaute hanya mendapat perintah dari Ting pangcu lewat surat
wasiatnya agar menyimpan lencana pena baja untuk sementara saja."
Ku Tiang sun segera berpaling ke arah Tam See hoa dan serunya keras: "Lo Tam hal ini
mana boleh jadi" Menurut permintaan Ting pangcu ... hei. 1o tam, mengapa peti mati
Ting pangcu berada dalam keadaan terbuka ... ?"
Secara ringkas Pena baja Tam See hoa menerangkan kembali apa yang telah
berlangsung. Kejut dan girang Ku Tiang sun setelah mendengar cerita itu, serunya.
"Rupanya mayat itu bukan mayat Ting pangcu, kalau begitu Ting pargcu belum mati."
Setelah berhenti sejenak, dengan mata melotot besar teriaknya lagi: "Benar, si anjing geladak peliharaan kunyuk ini bisa menyamar sebagai siaute, sudah barang tentu bisa
pula menyamar sebagai Ting pangcu, mari kita tanya dia!"
Ia menghampiri lelaki beralis kutung itu dengan langkah lebar, kemudian langsung
menghadiahkan sebuah bogem mentah ke atas tubuhnya.
Lelaki beralis mata kutung itu mendelik lebar, dia memandang sekejap kewajah Ku
Tiang sun dengan dingin, kemudian sambil memejamkan matanya ia membungkam
dalam seribu bahasa.
Sambil tertawa nyaring Makhluk bertanduk tunggal Ku Tiang sun berseru lagi: "Anjing geladak peliharaan kunyuk, setelah terjatuh ke tangan kami, ingin terlagak pilon-pun
percuma saja, itu mah soal gampang!"
Lelaki beralis mata kutung itu hanya tertawa dingin, kembali dia membungkam dalam
seribu bahasa. "Bukankah kau di utus oleh pihak Tok See sia" Dengan menyaru menjadi aku orang she
Ku?" Lelaki itu melengos ke arah lain dengan sikap yang angkuh jumawa dan amat tak sedap
dipandang. Ku Tiang sun semakin naik darah, teriaknya: "Sobat, jika kau masih saja tak tahu diri
jangan salahkan kalau aku orang she Ku ... "
Lelaki beralis mata kutung itu cuma tertawa dingin, terhadap perkataan dari Makhluk
bertanduk tunggal Ku Tiang sun, dia berlagak seolah2 tidak mendengar.
Paras muka Ku Tiang-sun yang pada dasarnya memang merah padam, kini berubah
menjadi merah darah seperti babi panggang karena marah, sambil berpaling serunya:
"Lo Tam, anjing geladak peliharaan kunyuk, kau tidak percaya kalau tubuhnya terdiri
dari bahan kawat tulang besi, kalau tidak diberi sedikit pelajaran, dia masih mengira
kita adalah orang2 yang berwelas kasih ... "
Lok Khi yang mendengar ucapan tersebut tidak sanggup menahan diri lagi, dia segera
menutup mulutnya dan tertawa cekikikan.
Si Pena Tam See-hoa sendiri-pun sudah habis kesabarannya karena pihak lawan
membungkam terus, katanya kemudian sambil manggut: "Benar, mati hidup Ting
pangcu belum diketahui, tapi mereka sudah bertindak dengan menggunakan pelbagai
cara yang keji, menghadapi keadaan seperti ini, tentu saja tak bisa disalahkan kalau
kami tak akan sungkan2 lagi untuk turun tangan ... !'
Berbicara sampai disitu, ujarnya kemudian dengan suara dalam: "Sobat, menurut
anjuran aku orang she Tam asal kau bersedia menjawab beberapa persoalan yang
kami ajukan, aku orang she Tam jamin tiada orang yang akan melukai seujung
rambutmu pun."
Lelaki beralis mata potong itu temwa dingin mendadak serunya sambil melotot: "Kau anggap aku adalah seorang yang tak manusia?"
"Tak usah kuatir," kata Ku Tiang sun dingin, "walau-pun kau tidak takut mati kami-pun akan membiarkan kau mati dengan perasaan lega dan tenteram!"
Mendadak lelaki beralis mata kutung itu tertawa terbahak-bahak.
"Haha-ha-ha ... soal itu mah aku tak takut, yang jelas kedatanganku kali ini benar2
telah berhasil mengorek banyak rahasia!"
"Sobat, bila kau bersedia menjawab dengan jujur, maka selesai memberi keterangan
kepada kami, kau segera akan kami bebaskan."
"Aku sama sekali tidak mengharapkan pembebasan dari kalian," tukas lelaki itu dingin.
"Jadi kau segan menjawab"' teriak Ku Tiang sun dengan berangnya, telapak tangannya
segera diayunkan ketengah udara.
Kembali lelaki beralis mata kutung itu memperlihatkan senyuman yang licik.
"Bicara sih bicara, bila latar belakang yang kauketahui tidak dimuntahkan ke luar,
rasanya memang kurang leluasa!"
"Latar belakang apa saja yang ingin kalian ketahui?" jawab lelaki itu angkuh.
"Jika sobat bersedia menjawab, itu sudah cukup!"
Lelaki beralis kutung itu berpaling kearah Tam See hoa, kemudian ujarnya: "Kalau
begitu, tanyalah!"
"Sobat, coba kau sebutkan dulu asal-usulmu?"
"Bukankah kalian sudah mengetahui asal usulku?"
"Jadi kau berasal dari selat Tok see sia."
"Benar Tok si cuan Sun Cu adalah diriku."
Tok si cuan (si ahli racun) Sun Cu" Nama tersebut belum penah didengar oleh siapun.
"Oooh, rupanya saudara Sun," kata Tam See hoa kemudian. "ada satu hal ingin siaute ketahui, yakni benarkah Ting pangcu dari perkumpulan kami telah terjatuh ketangan
kalian?" "Soal ini aku tidak tahu."
Ku Tiang sun menggerang gusar. "Lo Tam, aku sudah tahu kalau anjing geladak
peliharaan kunyuk ini tak akan bicara sejujurnya, bila tidak diberi sedikit pelajaran
yang setimpal."
"Jangan tergesa-gesa saudara Ku," cegah Tam See hoa, "siaute percaya saudara Sun ini belum tentu mengetahuinya."
Si ahli racun Sun Cu tertawa dingin, tiba2 dia berseru: "Tujuan kedatanganku yang
sebenarnya kesini adalah ingin tahu, apakah pangcu kalian benar2 mati atau pura-pura
mati" Dalam hal ini aku baru tahu setelah saudara membawa mati dan menemukan
pembuktiannya dan diantaranya tahi lalat pada kakinya, andaikata pangcu kalian
sudah terjatuh ke tangan kami buat apa aku mesti ke mari lagi untuk melakukan


Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penyelidikan?"
Tam See hoa menjadi tertegun setelah mendengar perkataan itu, dari perubahan
mimik wajahnya dia tahu kalau musuhnya tidak berbohong, maka setelah termenung
sebentar, katanya kemudian: "Kalau begitu, ia benar-benar sudah terjatuh ke tangan
orang-orang Ban Kiam-hwee?"
"Aku tokh sudah bilang," sedari timbrung Lok Khi, "pihak Ban Kiam-hwee tak nanti
akan membebaskan dia dengan begitu saja."
Tam See hoa lantas bertanya lagi: "Kedatangan saudara Sun ke mari, selain untuk
menyelidiki mati hidupnya Ting pangcu, apakah masih mempunyai tugas lain?"
"Menurut berita yang tersiar dalam dunia persilatan. Lou-bun-si sudah terjatuh ke
tangan Ting pangcu kalian, tak lama kemudian tersiar lagi berita tentang kematian Ting
pangcu, sesungguhnya mati hidup pangcu kalian tak ada sangkut pautnya dengan
Kami, tapi berhubung soal itu menyangkut jejak dari Lou-bun-si, maka mau tak mau
terpaksa harus melakukan penyelidikan yang seksama, apakah semua ini masih belum
cukup?" "Tadi Sun-heng mengatakan tahu banyak rahasia, rahasia apa sih yang kau
maksudkan?"
Lelaki beralis kutung itu mendongakkan kepalanya, lalu berkata: "Aku adalah seorang yang hampir matim biarlah akan aku beberkan semua rahasia yang aku ketahui kepada
kalian." "Kau ingin bunuh diri" Hmmm, tak akan gampang itu!" seru Ku Tiang sun sambil tertawa dingin.
Buru-buru Tam See-boa berkata: "Sun-heng, harap kau jangan salah paham,
perkumpulan kami tak pernah terikat dendam kesumat apa-pun dengan pihak Tok-
see-sia. Mengapa kami berniat mencelakai Sun-heng?"
Tok-si-cian Sun Cu tertawa hambar.
"Bagi anggota Tok see sia yang tertawan musuh, maka kejadian ini sama artinya
dengan tiada kesempatan bagiku untuk kembali dalam keadaan hidup."
Berbicara sampai di situ, mendadak dia mengangkat kepalanya sambil berkata lagi:
"Tahukah kau, siapakah orang yang pertama medapatkan pena mustika Lou-bun-si
itu?" Tergerak hati Wi Tiong-hong, dia segera menyambung: "Orang itu tentu Tok Hay-ji!"
Tok si cian Sun Cu tertawa terbahak-bahak : " Hhaaahh " haaahh ... haaahh, aku dan
Tok Hay-ji sendiri-pun memperolehnya dari tangan orang lain, kalau ditanya siapakah
orang pertama yang mendapatdan Lou-bun-si, maka harus dibilang anggota Thi pit
pang kalian!"
Ucapan tersebut sama sekali berada di luar dugaan Wi Tiong-hong.
"Kau jangan mengaco belo!" bentak Kun Tiang sun gusar.
Tok Si cian San Cu tertawa dingin, kembali ujarnya : "Waktu itu aku sendiripun merasa heran mengapa orang-orang Thi pit-pang bersedia tenaga untuk pihak Ban kiam-hwee,
sayang orang itu datang terlambat hingga akhirnya kami berhasil, kini kami baru tahu
ternyata dalam Thi-pit-pang terdapat penghianat."
"Kau maksudkan Lu huhoat"' seru Ku Tiang sun dengan tubuh tergetar keras dan mata melotot.
Sun Cu tertawa dingin.
"Orang yang sudah mati susah dijadikin saksi, anggap saja orang itu adalah Thi-jian th..
long (Belalang bercakar baja). Lu Yau l.., sebetulnya dia berada dipihak yang amat
beruntung, sebab menggunakan kesempatan di rapat anggota Ban li piaukiok satu
persatu rontok ke tanah, dia sambar Lun bun-si tersebut."
Kembali Wi Tiong-hong merasakan hatinya bergerak, pikirnya : "Heran, mengapa
anggota Ban-li-piaukiok bisa roboh satu persatu" Jangan jangan ... "
Berpikir sampai di situ, dia lantas angkat kepala sambil bertanya: "Apakah Siau Beng-
san serombongan terkena racun kejimu?"
"Soal ini kenapa mesti ditanyakan lagi" Mereka semua telah menginjak racun tanpa
rupa yang sengaja kami sebarkan ke atas tanah " haaah ... sekali-pun si Belalang
bercakar baja tak terkecuali ..."
"Ooh, jadi Lu huhoat mati di tangan kalian!" tanya Ku Tiang sun dengan gusar.
"Dia sendiri bersedia diperalat orang-orang Ban Kiam hwee, sekarang mau salahkan
siapa lagi?" jawab Sun Cu dingin, "heeh ... heeh ... yang kumaksudkan adalah orang yang menyaksikan si Belalang bercakar baja roboh binasa di tanah, kemudian segera
berlalu dengan tergesa2 dan melaporkan kejadian ini kepada "-tay-seng, congkoan
dari Ban kiam bun."
"Bangsat, kau berani bicara sembarangan!" bentak Ku Tiang sun dengan gusar,
sepasang matanya melotot besar.
Lalu tangannya diayun ke depan dan menghajar batok kepala Sun Cu.
Tam See hoa ingin menghalangi perbuatannyam, tapi sayang tak sempat lagi.
Agaknya Sun Cu sudah mempersiapkan sejak tadi, sambil tertawa dingin dia mengegos
ke samping menghindarkan diri dari sambaran angin pukulan Ku Tiang-sun, kemudian
sambil mengeluarkan sebuah lencana tembaga dari balik sepatunya dia berseru lagi
dengan keras: "Siapakah orang itu, aku rasa kau pasti tahu daripada aku, nah dari dalam saku "bat inilih aku berhasil mendapatkan ini, tak bakal salah lagi ..."
Belum selesai dia berkata mendadak tubuhnya menggelepar diudara dan terbanting
keras ke tanah, lencana tembaga itu-pun terjatuh ke atas tanah.
Semua perubahan peristiwa itu berlangsung sangat mendadak dan sama sekali di luar
dugaan. Wi Tiong-hong dengan cepat mengarahkan matanya ke atas lencana tembaga
tersebut, di atas lencana itu terukir sebilah pedang, dan di bawah pedang terdapat
sebuah lingkaran hitam yang bertuliskan huruf "enam belas".
Dalam sekilas pandangan saja dapat diketahui bahwa lencana tersebut merupakan
tanda anggota dari Ban-kiam hwee, tanpa terasa dia berpaling ke arah Lok Khi.
Lok Khi segera manggut-manggut sambil tersenyum.
Dalam hati si Pena baja Tam See-hoa memperhatikan Sun Cu seraya berteriak keras:
"Saudara Sun, sebenarnya kejadian apakah yang kau maksudkan ... ?"
Pelan2 Sun Cu menutup kelopak matanya, darah kental berwarna hitam nampak
mengalir keluar dari ujung bibirnya, dia sudah mati karena keracunan.
Membaringkan kembali jenasah tersebut ke tanah Tam See hoa menghela napas
panjang. "Betul2 obat beracun yang sangat keji, nyawa terhadap orang sendiri-pun
mereka dapat bersikap seperti ini ... "
Dengan kalap Si Makhluk bertanduk tunggal Ku Tang su menyambar lencana tembaga
itu, kemudian membentak keras-keras : " " hitam nomor enam belas keparat, anak
geladak peliharaan kunyuk ... "
32-33 Sekuat tenaga lencana tembaga itu dibanting keras-keras ke atas tanah.
Termakan oleh tenaga lemparannya yang kuat itu, sambil menimbulkan suara
dentingan nyaring, lencana tersebut menancap diatas tanah sedalam tiga hun lebih.
Pena baja Tam See hoa tertegun, tak kuasa sinar matanya dialihkan kewajah Mahluk
bertanduk tunggal, namun dia masih tetap bungkam dalam seribu bahasa.
Tiba-tiba Ku Tiang sun menututupi wajahnya dengan kedua belah tangan, dan
teriaknya keras-keras: "Aku Ku Tiang sun telah berbuat salah, pada Thi-pit-pang ..."
Telapak tangannya segera diayunkan menghantam ubun-ubun sendiri sekuat tenaga.
Pada hal sejak tadi Tam See hoa sudah menangkap arti dari perkataan Sun Cu, ia
menjadi terperanjat setelah menyaksikan kejadian itu, cepat bentaknya: "Saudara
Ku ... !" Lok Khi bertindak lebih cepat lagi seperti anak panah yang terlepas dari busurnya
menerjang kemuka, lalu menotok jalan darah " pada lengan Ku Tiang sun, kemudian
mendengus dingin : "Semua orang seharusnya kau yang memberi kepadamu?"
Belum sempat telapaak tangannya menghantam batok kepala, Ku Tiang sun
merasakan tubuhnya menjadi kaku dan tak berkutik.
Tetapi mendadak saja dia membentak, lalu muntah darah kental ke luar dari mulutnya,
kemudian setelah berkelejitan beberapa kali tubuh Ku Tiang sun yang tinggi besar itu
roboh ketanah. Waktu itu Lok Khi telah menotok jalan darah pada lengannya, tapi gadis itu tidak
menyangka kalau dia bakal menggigit putus lidahnya sendiri untuk bunuh diri, melihat
kejadian tersebut dia baru merasa terperanjat.
Sementara itu Tam See hoa telah manerjang kehadapannya, tapi Ku Tiang sun telah
jatuh berguling-guling di atas tanah kemudian dirinya tak sadar.
Tam See hoa membuka paksa mulutnya, nampak darah kental bercucuran terus amat
deras lidahnya sudah putus dua dan jiwanya tak mungkin tertolong lagi.
Menghadapi keadaan seperti ini, ia menghela napas panjang lalu mengeluh: "Saudara Ku, buat apa kau mesti berbuat demikian?"
Dia lantas menotok jalan darah sim hiatnya agar sebelum ajalnya tiba. Ku Tiang sun tak usah merasakan penderitaan yang hebat lagi.
Hanya di dalam sekejap mata, sudah nyawa manusia lenyap dalam ruangan tersebut,
tentu saja Tam See hoa merasakan hatinya sangat berat.
Wi Tiong hong melihat dirinya sudah tak ada urusan lagi di sana, kepada Lok Khi segera ujarnya: "Adikku, mari kita-pun harus pergi."
Lok Khi mengambil kotak obat penyaru dari saku Sun Cu dan disimpan ke dalam saku
sendiri, kemudian katanya: "Yaa. benar, memang kita harus pergi, Tam hu hoat, kami akan pergi dahulu !"
"Wi tayhiap, Lok lihiap, harap duduk dulu," buru-buru Tam See hoa berseru. "setelah mengubur jenasah mereka berdua, masih ada urusan yang hendak aku bicarakan
dengan kalian berdua."
Selesai berkata, dia membalikkan badan untuk menutup kembali peti mati tersebut,
setelah itu membuka pintu dan menitahkan anak buahnya untuk menggusur ke luar
jenazah dari Ku Tiang sun serta Sun cu.
Setelah iti dia baru berkata lagi dengan wajah bingung : "Dewasa ini. meski-pun kami
belum tahu Ting pangcu sudah mati atau belum, tetapi sejak Ting pangcu terjatuh ke
tangan orang-orang Ban-kiam hwee, mati hidupnya menjadi tanda tanya besar. Kini Wi
tayhiap telah mendapat pesan Ting pangcu lewat surat berdarahnya untuk menyimpan
lencana pena baja, hal ini berarti untuk sementara waktu Wi tayhiap adalah menjadi
pangcu kami ... "
"Siaute hanya ... "
"Hingga sekarang, mati hidup Ting pangcu kami merupakan tanda tanya besar, dari
empat pelindung hukum tinggal siaute seorang yang tinggal. Wi-tayhiap sebagai
pendekar yang berberbudi besar, sebagai adik angkat dari Ting pangcu apakah merasa
tega untuk membiarkan perkumpulan Thi pit pang bubar dengan begini saja"
Anggaplah sebagai bantuan, jadilah pangcu kami untuk sementara agar segenap
anggota perkumpulan kami dapat merasakan sekedar ketenangan, Wi tayhiap,
tentunya kau tak menampik bukan?"
Wi Tiong-hong menjadi serba salah, hanya setelah termenung beberapa saat: "Siaute tidak tahu apa-apa, bagaimana mungkin ... "
Sambil tertawa Tam See-hoa menyela: "Wi tayhiap sebagai kedudukan sebagai adik
angkat Ting pangcu menjadi pangcu kami untuk sementara waktu, tujuan tak lain agar
angggota kami tidak putus asa dan membubarkan diri dengan begitu saja. Tayhiap tak
usah kuatir, soal urusan perkumpulan dan masalah sehari-hari, siautelah yang akan
bereskan, dan Wi tayhiap tak usah terlalu pusing memikirkan hal tersebut." katanya seolah memohon.
"Maksud siaute, paling penting adalah menolong orang, sudah pasti Ting toako masih berada di tangan orang-orang Ban Kiam-hwee."
"Ban kiam hwee berpengaruh yang sangat luas, jagoan lihaynya banyak tak terhitung sekali-pun Ting pangcu belum mati, rasanya sulit juga untuk menolongnya ke luar dari
cengkeraman mereka ?"
"Soal menolong orang, biar siaute yang bertanggung jawab, sedang soal arusan partai
siaute benar2 tak sanggup melaksanakan. Dan mengapa kalau tujuannya hanya agar
anggota perkumpulan jadi tenang dan tidak putus asa, baiklah untuk sementara waktu
biarlah siaute menggunakan nama sebutan tersebut.
Tam See hoa menjadi sangat gembira, "Bagus sekali kalau begitu." serunya.
Tapi baru sampai setengah jalan, tampak seorang anggota perkumpulan berlari2
masuk rke dalam ruangan dengan napas tersengkal2 kemudian sambil memberi
hormat kepada Tam See-hoa, serunya: "Lapor huhoat, mayat itu mendadak melarikan
diri." Laporan yang tiada ujung pangkalnya ini membingungkan Tam See hoa, tanpa terasa
tegurnya : "Mayat yang mana?"
"Mayat lelaki bermuka kuning itu, ketika kami berdua menggotongnya ke tepi hutan,
tiba2 ia duduk lalu melarikan diri secepat terbang, hamba beberapa orang tak mampu
mengejarnya, sebab itu kami datang mohon bantuan."
"Sudah pasti dia adalah Sun Oh" Lok Khi berseru.
"Yaa, tak aku sangka bangsat itu hanya pura2 mati, semuanya ini adalah gara2
keteledoran siaute, aku kira dia benar-benar mati keracunan ... "
Kemudian sambil mengulapkan tangannya kepada anggota perkumpulan itu, katanya :
"Disini sudah tak ada urusan lagi, kau bisa mengundurkan diri.'
Orang itu memberi hormat, lalu buru2 mengundurkan diri dari sana ...
Pelan pelan Tam See hoa mengambil sebuah gulungan kain dari meja abu, lalu
berkata. "Wi tayhiap adalah seorang pendekar " seorang lelaki yang pegang janji,
siaute mewakili segenap anggota perkumpulan menghaturkan banyak-banyak terima
kasih kepadamu, mulai sekarang, Wi tayhiap sudah merupakan pangcu kami. Sebagai
seorang pangcu, sejak dulu hingga sekarang berlaku suatu kata-kata sandi yang mesti
dibaca, karena kata-kata sandi ini merupakan sebuah jurus serangan, kendatipun jurus
serangannya amat sederhana, namun meruakan peraturan yang ditetapkan lo pangcu,
apalagi dibuat sendiri oleh lo pangcu, semuanya silahkan Wi tayhiap membacanya
sendiri." Sembari berkata, pelan-pelan dia membuka gulungan kain tersebut dan digantungkan
diudara, sehingga Wi Tiong-hong bisa melihat lebih jelas lagi.
Karena ucapan mana diutarakan dengan wajah serius, Wi Tiong hong segera
mengalihkan pandangannya ke depan.
Dalam gulungan kertas itu tertera sebuah lukisan manusia, tubuhnya sedang
berbungkuk kedepan, tangan kiri diayunkan membentuk sebuah gerakan, sementara
tangan kanan setengah ditekuk memperlihatkan gaya pena emas melakukan totokan.
Dalam lukisan mana, tertera empat bait tulisan yang berbunyi demikian:
"Burung hong manggut tiga kali,
Cahaya tajam sirap dengan sendirinya.
Bila tiada bermaksud di hati.
Akan diperoleh tanpa bersusah payah ...
tertanda: Thi-pit-leng-gi."
Sesungguhnya gerakan serangan tersebut merupakan suatu jurus yang amat umum,
dan sederhana, justru itu disebut Burung hong manggut tiga kali.
Bait-bait syair tersebut sesungguhnya merupakan pemecahan pula uniuk jurus
serangan tersebut, di mana dapat disimpulkan kalau harus memusatkan pemikiran,
dengan niat menciptakan hawa kekuatan.
Namon rahasia itu bersifat umum dan diketahui setiap orang yang pernah belajar silat,
sehingga boleh dibilang tiada sesuatu yang aneh dan baru.
Diam-diam Wi Tiong hong membaca beberapa bait syair tersebut beberapa kali ia
merasa gaya tulisan dari lo pangcu perkumpulan Thi Pit teng-kan-kun (Pena
menenangkan jagad) ToPek li betul-belul dan bersemangat, tidak malu disebut si pena
baja." Tanpa merasa dia memandang beberapa kejap lagi ke atas tulisan mana ...
Ketika Tam See hoa menyimpan kembali gulungan kain tersebut, para anggota
perkumpulan telah datang menghidangkan nasi dan sayur.
Mereka bertiga segera bersantap didalam ruangan.
Selesai bersantap, Wi Tiong hong segera bangkit berdiri seraya berkata pelan:
"Saudara Tam, seandainya tak ada urusan, siaute hendak mohon diri lebih dulu."
"Wi tayhiap hendak kemana?" tanya Tam See hoa sambil beranjak dari tempat
duduknya. "Ting toako telah dipalsukan orang lain, hal ini menunjukan kalau Ting toako yang asli masih berada di tangan orang-orang Ban-kiam hwee, sekarang siaute akan berangkat
ke situ untuk minta orang."
Dia merasa mempunyai sebuah lencana Siu-" sebagai andalan, dia kuatir orang2 Ban
kiam hwee akan membangkang permintaannya.
Lok Khi sendiri-pun merasa bahwa Loau bun si kemungkinan besar masih berada di
tangan orang2 Ban Kiam-hwee. sebab Tiang Ci-" hingga kini masih berada di tangan
mereka, kebetulan suhunya memerintahkan kepadanya untuk menemani Wi Tiong
hong menuntut kembali benda tersebut, dengan wajah berseri2 serunya: "Banar,
sekarang juga kita pergi menjumpai perkumpulan Ban Kiam-hwee!
"Wi tayhiap benar-benar seorang pendekar besar yang bijaksana dan berjiwa besar,"
ujar 42-43 Tam See hoa kemudian sangat terharu, "gara2 persoalan Ting pangcu, kau bersama
pergi ke Ban kiam hwe, budi ini betul2 besar sekali. Wi tayhiap, ijinkanlah siaute
mengikuti kalian berdua, biar mesti terjun ke lautan api, siaute bersedia untuk
melakukan."
Cepat-cepat Wi Tiong-hong menggoyang tangannya berulang kali.
"Kepergian siaute hanya bertujuan untuk mengajak mereka membicarakan persoalan
jika orang yang kesitu kelewat banyak, aku rasa malah kurang leluasa. Sampai kini,
mati hidup Ting toako masih merupakan tanda tanya besar, padahal perkumpulan
anda masih memerlukan petunjuk dan bimbingan saudara Tam, lebih baik kita
bertugas pada pekerjaan masing2 saja."
Sementara Tam See hoa hendak berkata lagi, Wi Tiong-hong telah menjura seraya
berkata. "Urusan ini tak bisa ditunda-tunda lagi, siaute akan berangkat lebih dulu."
Selesai berkata, dia lantas mengajak Lok Khi berlalu dari dalam ruangan.
Tam See hoa seger menitahkan orang untuk mempersiapkan kuda, menanti kedua
orang itu sudah pergi jauh. dia baru menitahkan semua untuk mengubur peti mati itu,
lalu meminta anak buahnya kembali ke markas.
oooOooo Bab 34 SEMENTARA itu, Wi Tiong-hong dan Lok Khi sepeninggal kuil Sik-jin-tian segera
melarikan kudanya kencang-kencang menempuh perjalanan cepat ke depan.
Mendadak Wi Tiong-hong menarik tali les kudanya berbelok ke sebuah jalan kecil ke
sebelah timur. "Engkoh Hong, akan kemana kau?" Lok Khi segera menegur.
"Kuil Pit-bu san !"
"Kuil Pit-bu san " Tempat manakah itu?"
"Kuil Pit-bu san adalah markas besar pasukan pi... hitam dari perkumpulan Ban Kiam-
hwee, tempat hari aku bersama Ting toako dan Tok Hay-ji " disekap di tempat itu.
"Dapat aku tahu sekarang, tempo hari aku ". toako ke situ, tapi toako tidak akan aku
turut, apa-pun yang aku katakan juga tak mau menjelaskan di manakah Chin koan itu


Pedang Berkarat Pena Beraksara Karya Tjan I D di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berada, katanya tempat itu belum dapat ditemukan dan harus dicari lebih dahulu.
Sekarang, apakah kau hendak mencari orang Chin itu?"
"Kalau kita ingin mengetahui kabar berita tentang Ting toako, tentu saja kita harus
mencari Chin congkoan."
"Kalau begitu kita tak usah pergi ke Kiam bun?"
"Bila kita tak berhasil mendapatkan sesuatu berita di sini, rasanya belum terlambat berkunjung ke Kiam bun."
Lok Khi berpikir sebentar, akhirnya ia mengangguk juga.
"Baiklah!"
Kedua orang itu meneruskan kembali perjalanannya hampir setengah jam lamanya
seringkali Wi Tiong-hong celingukan memandang sekeliling tempat itu.
Dia merasa hutan siong yang terbentag didepan mata memang bukit Ciang siu nia,
dapat di mana Kam Liu-cu menantikan kedatangannya tempo hari, pemuda itu lantas
tahu kalau jaraknya dengan bukit Pit bu san sudah tak jauh lagi.
Belangan ini sudah banyak peristiwa besar yang dialaminya, pengetahuannya dan
pengalamannya dalam dunia persilatan-pun telahmemperoleh kemajuan yang pesat,
begitu tiba di lingkungan hutan, dia lantas melompat turun dari kudanya.
Lok Khi ikut melompat turun dari kudanya, kemudian menegur dengan suara lirih :
"Sudah sampai?"
"Kami harus menempuh perjalanan yang sangat jauh, tapi ada baiknya kita tambatkan
dulu kuda2 tersebut dalam hutan tersebut, dari pada memancing perhatian orang
lain!" Lok Khi manggut-manggut, mereka berdua terus menuntun kuda masing-masing dan
menambatkannya dalam hutan pohon siong itu kemudian meneruskan perjalanan
dengan berjalan kaki.
Tak selang berapa saat kemudian, mereka sudah sampai di bawah kaki bukit karang,
didepan sana terbentang sebuah hutan menghalangi jalan pergi mereka.
Wi Tiong-hong tahu kalau mereka sudah tiba di tempat tujuan, tempo hari. ketika dia
datang bersama Kam Liu cu, di sinilah kedatangan mereka dihadang oleh seorang
pendekar pedang " hitam.
Karena kedatangannya hari ini bermaksud untuk menjumpai Chin congkoan dengan
adat sopan santun, sudah barang tentu dia tak akan memasuki wilayah orang dengan
begitu saja tanpa terasa dia lantas menghentikan peerjalanannya.
Lok Khi yang mengikut di belakangnya, segera bertanya: "Engkoh Hong, di sini?"
katanya kemudian.
"Kita meucari orang untuk memberi tahukan lebih dulu, daripada menimbulkan
kesalahan paham orang lain."
Lok Khi segera memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu, kemudian dia bertanya :
"Di manakah mereka?"
Wi Tiong-hong menunggu beberapa saat di luar hutan, benar juga. ternyata tidak
mendengar ada orang yang menegur, dalam hati segera pikirnya: "Mungkin pendekar
pedang berpita itu masih berada di dalam sana ..."
Berpendapat demikian, dia lantas berpendapat seraya berkata. "Mari kita masuk
kedala tuk melihat keadaan."
Selesai berkata, dengan langkah lebar masuk kedalam hutan tersebut, namun belum
ada juga seseorang yang menghalangi jalannya. Kenyataan ini segera menimbulkan
kecurigaan dalam hati kecilnya.
Ia lantas berjalan menuju ke tengah hutan " yang ada, entah berapa saat dia sudah
berjalan. Padahal seingatnya dulu, semestinya disitulah ada sebuah gubuk yang dimaksudkan,
karena mungkin datang bersama Kam Liu-cu tempat gubuk tersebut berada di tengah
hutan. Tetapi kenyataannya sekarang, bayangan rumah gubuk itu-pun sudah tak
nampak lagi. Lok Khi yang menyaksikan si anak muda itu selalu memandang kebelakang kekiri dan
kanan tanpa tujuan, lama kelamaan habis sudah kesabarannya tak tahan dia lantas
bertanya : "Apakah kau sudah tak dapat mengingat lagi jalan yang pernah dilalui
dulu?" Namun begitu, jalan yang dilalui tak ada penduduk cuma rumah gubuk yang
sebenarnya tak dihuni mengapa bisa lenyap tak berbekas.
"Mungkin tempat ini hanya tempat sementara yang mereka diami, sekarang orang2 itu sudah tidak berada di sini lagi."
"Lantas rumah gubuknya?"
Lok Khi segera tertawa cekikikan. "Sebelum pergi meninggalkan tempat tentu saja
rumah gubuk tersebut mereka bakar terlebih dahulu!"
Wi Tiong-hong baru tertegun sesudah dengar perkataan itu.dalam kenyataan.
sepanjang jalan menuju kesitu, dia memang tak menjumpai seorang pendekar pedang
berpita hitampun, rupanya mereka benar-benar tidak berada di situ lagi.
Berpikir sampai disitu, mendadak satu ingatan kembali melintas lewat, dengan cepat
menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Tidak benar, tempat ini sudah pasti bukan tempat tinggal mereka untuk sementara."
"Darimana kau bisa tahu?"
"Tempat yang digunakan mereka untuk menyekap kami agaknya berada di dalam
sebuah bukit, tempat didalam sana amat tak mungkin kalau semacam itu merupakan
tempat tinggal sementara."
"Tapi kau mengatakan, tempat itu adalah hanya rumah gubuk?"
"Sewaktu aku dan Kam toako datang ke mari waktu itu, Chin congkoan memang
tinggal di dalam rumah gubuk."
Lok Khi segera mendengus, tukasnya: "Bukankah di bawah tanah sana tersedia
ruangan yang besar, buat apa mereka harus tinggal di rumahh gubuk" Sudah pasti
rumah gubuk itu hanya bersifat untuk mengelabui orang?"
Ketika bicara sampai di situ tiba-tiba dia " perlahan, katanya lagi kemudian: "Kalau
benar, berita tentang di larikannya Lou bun si oleh Ting Ci-kang telah tersebar luas
dalam dunia persilatan, sudah pasti mereka yang sengaja mencari arang untuk
menyamar sebagai Ting Ci-kang kemudian di bawa ke kuil Sik jin tian agar semua orang
menyangka Ting Ci kang tewas di bunuh orang " Lou bu si tersebut dilarikan juga oleh
pembunuh tersebut, padahal merekalah yang memangnya mendapatkan Lou-bun-si
itu. "Bukankah berita ini tersiar dalam dunia persilatan, sudah pasti ada banyak orang yang akan datang ke kuil Sik-jin-tian untuk melakukan penyelidikan padahal tempat ini tak
jauh letaknya dari kuil Sin-jin tian, andaikata sarang pasukan pedang berpita hitam dari Ban kiam hwee benar-benar berada di sini, bukankah hal ini sama artinya dengan
memamerkan kepada orang bahwa merekalah yang melakukan perbuatan tersebut"
Oleh karena rumah gubuk itu segera dibongkar, seakan2 mereka sudah pindah dari
situ, hanya dengan begitu orang lain baru tak akan menaruh curiga terhadap mereka."
Wi Tiong hong segera mengangguk berulang kali, dengan wajah serba salah dia lantas
berkata: "Lantas kita harus kemana mencari mereka?"
Lok Khi mendengus dingin.
"Kalau tokh para jago pedang berpita hitam pada menjadi kura-kura yang
menyembunyikan diri. apakah kita tak dapat pergi mencari mereka" Jikalau rumah
gubuk tersebut terletak di sekitar sini, berarti pintu rahasia mereka, menuju ke ruang bawah tanahpun tak akan terlampau jauh letaknya, suatu saat kita pasti menemukan
jejak tersebut."
Wi Tiong hong segera berpikir: "Waktu itu, Chin congkoan hanya bertepuk tangan dari
belakang ruangan segera muncul seorang bocah. Chin congkoan menitahkan
kepadanya untuk menanyakan soal pedang mestika miliknya kepada nona Hong, tak
lama sesudah bocah itu pergi, dia telah muncul kembali muncul membawa pedang
mestika tersebut, kalau begitu pintu masuk ke luarnya tidak berada jauh dari tempat
itu. mustahil dia dapat pergi pulang sedemikian cepatnya?"
Berpikir sampai disitu, buru-buru sahutnya: "Apa yang dikatakan adik kiki memang
benar begitu, kita segera mencarinya ..."
Hutan tersebut terletak di kaki bukit, sedangdi belakang adalah bukit karang yang
berkapur, dan diujung hutan sana, pepohonan nampakbegitu jarang, di sana sini
penuh dengan bongkahan batu cadas sedang dari sela sela batu muncul banyak
belukar yang lebat.
Wi Tiong hong mencoba untuk memeriksa sekeliling tempat itu, tapi ia gagal untuk
mendapatkan dimanakah rumah gubuk tersebut pernah didirikan, sepantasnya, kalau
gubuk itu dibongkar, paling tidak diatss tanah pasti ketinggalan bekas-bekasnya.
Tapi keanehan mana justru terletak dan sekakipun mereka berdua sudah memeriksa
seluruh semak belukar di sekitar bukit berbatu itu, namun tak sesosok bayangan-pun
yang ditemukan, apalagi menemukan pintu masuk menuju ke ruang rahasia"
Lama kelamaan Lok Khi menjadi naik pitam dia segera mendengus dingin: "Huuuhhh,
kalau cuma sebuah ruman rongsokan saja, apa sih luar biasanya" Hm, bahkan alat
rahasia yang begitu sempurna It-teng tuysu-pun berhasil aku temukan masak rumah
rongsokan tak bisa aku jumpai ... ?"
Gadis itu memang tidak menyombongkan diri, tempat teratai Buddba besi dari It-teng
taysu memang terbuka karena sentuhan tangan nona itu namun sentuhan tersebut
adalah sentuhan tanpa sengaja, bergeraknya alat rahasia tersebut-pun hanya suatu
kebetulan. Padahal suatu peristiwa yang kebetulan belum tentu bisa terulang lagi sudah barang
tentu kejadian macam begini tak dapat dianggap sebagai suatu kepandaian yang
sebenarnya. Lok Khi menjadi semakin mendongkol, sambil bergumam ia lantas menendang sebutir
batu menjadi remuk dan mencelat jauh sekali. Dan justru karena tendangannya yang
memecahkan batu berhamburan kemana2, Wi Tiong-hong yang sedang berjongkok
sambil melakukan pencarian itu segera kepalanya dengan perasaan terkejut.
Sehingga ia mendongakkan kepalanya, dari tempat kejauhan sana ia saksikan ada dua
sosok bayangan manusia sedang meluncur datang dari hutan dengan kecepatan tinggi.
Kemudian ia membentak dengan suara rendah. "Adik kiki ada orang datang."
"kalau begitu kita tak usah repot lagi," sahutnya sambil tertawa cekikikan.
Ketika memandang sekejap sekeliling tempat itu, ia menarik tangan Wi Tiong-hong
sambil berseru : "Datang kemari."
Bayangannya segera berkelebat ke depan dan berada di belakang sebuah batu besar
untuk sembunyikan diri.
Wi Tiong hong ikut menyembunyikan dibelakang batu, mereka berdua saling
berdesakan berjongkok menjadi satu.
Baru selesai menyembunyikan diri, mendadak terdengar suara langkah kaki manusia
telah berkumandang empat lima kaki dihadapannya.
Dari balik semak belukar Lok Khi munjuk untuk mengintip ke depan, dia saksikan yang
berjalan dipaling depan adalah seorang bocah lelaki berbaju hitam yang kurus kecil,
ternyata dia adalah Tok Hay-ji.
Sedangkan yang lain bertubuh kurus berjubah panjang berwarna biru, dalam sekilas
pandangan saja dia kenali jubah biru itu sorang berjubah yang dilepas oleh San Cu
yang menyaru sebagai Ku Tiang sun itu dari badan Tiang sun.
"Engkoh Hong, cepat lihat, orang yang datang bersama Tok Hay-ji itu bukankah Tok
cuan Sun Cu yang berpura pura mampus."
Wi Tiong hong yang mendengar suara "an itu merasakan lubang telinganya ga.. ..kal.
buru-buru dia menghindar dan melompat sekejap ke luar, tapi dengan cepat ia me..
kepalanya berulang kali.
" " mirip, Tok-si-cuan Sun Cu mempunyai alis mata yang terpotong, mata segi tiga, "
bundar dan berperawakan tinggi besar, sedengkan orang ini berwajah kurus."
"Orang jubah panjang berwarna biru yang dia " jelas milik Ku Tiang sun, coba
perhatikan lagi bukankah pakaian itu cocok sekali dengan ptongan badannya?"
"Jangan " jangan berisik lagi, mereka sudah mulai dekat."
Lok Khi segera mendengus.
" padahal kalau untuk menghadapi seorang manusia tersebut kita tak perlu untuk
menyembunyikan diri."
"Tidak, kita harus menyadap pembicaraan mereka lebih dulu coba kita dengarkan apa
yang sedang mereka bicarakan siapa tahu mengetahui jalan rahasia tersebut?"
Setelah mendengar perkataan itu Lok Kh segera membungkam dan tidak berbicara
lagi. Sementara itu, mereka berdua telah berhenti kurang lebih dua kaki di depan sana,
terdengar lelaki berwajah kurus itu berkata: "Apakah di sini tempatnya?"
Begitu orang itu bersuara, tanpa terasa Lok Khi menyikut tubuh Wi Tiong-hong,
bertanya: "Coba kau dengar, kalau dia bukan Tong cuan Sun Cu lantas siapa lagi"
Sampai2 suarnya-pun sama!"
"Bukit Pi bu san hanya terletak di te.. ini, masa aku bisa salah jalan"' seru Tok Hay-ji.
"Kau bilang, pada waktu itu kau kabur dari rumah gubuk tapi di sini tidak aku jumpai rumah gubuk yang kau maksudkan itu?"
Ternyata mereka pun datang untuk mencari rumah gubuk tersebut, sekali lagi Lok Khi
Jodoh Si Mata Keranjang 3 Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung Istana Pulau Es 6
^