Pedang Darah Bunga Iblis 17

Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H Bagian 17


silakan Hujin menyingkir dulu bagaimana?"
Agaknya Ang-siu-li ada pengertian sambil manggut2 dia
menyahut: "Maaf akan gangguanku ini," " setelah melirik kearah
Suma Bing dengan benci terus dia memutar tubuh..
Sebuah jeritan keras yang mengerikan terdengar dibarengi
dengan muncratnya air darah keempat penijuru. Kontan raga
Ang-siu-li Ting Yan terkapar roboh diatas tanah
Kiranya dengan cara kilat tanpa kepalang tanggung Mo-in Siancu
telah menyerang dan membunuh Ang-siu-li Ting Yan-
Suma Bing merinding dan kaget, serunya: Nona membunuh dia?"
Seakan tidak terjadi apa2 Mo-in Siancu ter-tawa2: "Terpaksa harus
dibunuh untuk menutup mulutnya."
"Mengapa?" "Jikalau dia sampai keluar dari kamar rahasia ini,
Kita tidak ada waktu lagi untuk meninggalkah tempat ini." "Kenapa pula
begitu ?" "Tadi tanpa sadar aku telah kelepasan omong. dia sudah
merasa cunga. sedang Loh Cu gi juga sedang mencari dia, dengan
kecerdikan Loh Cu-gi pasti dia dapat menerka sesuatu peristiwa
yang bakal terjadi, saat ini tenagamu hilang seluruhnya. ini
menambah kesukaran untuk lolos dari sini?"
Sampai sekarang baru Suma Bing paham akan duduknya perkara,
lambat laun hilanglah rasa curiganya terhadap Mo-in Siancu.
Kata Mo-in Siancu: "Mari sekarang juga kita harus pergi."
Sebetulnya Suma Bing sudah pasrah nasib bahwa riwayat
nya pasti tamat, siapa nyana. Situasi ternyata berubah sedemikian
cepat, sudah tentu hatinya merasa terharu, maka katanya: "Untuk
selamanya pasti Cayhe tidak akan melupakan budi kecintaan
nona-' "Sekarang tidak perlu banyak berkata, yang penting kita harus
segera keluar" " lalu dia menekan dinding sebelah kanan sana,
terbukalah sebuah pintu rahasiai lain. "Mari berangkat!" " katanya
terus masuk lebih dulu kedalam pintu rahasia itu. Suma Bing
mengikuti dibelakangnya Kiranya diluar pintu rahasia itu adalah
sebuah lorong bawah tanah yang sangat panjang dan tera,sa
dingin lembab. Lorong iny agaknya tak berujung pangkal, kadang2 tinggi kadang2
menurun rendah- Karena tenaganya lumpuh penglihatan Suma
Bing banyak berkurang didalam lorong ini gelap gulita sampai lima
jari sendiri juga tidak kelihatan, sambil menggeremet dan me-raba2
serta mendengarkan
derap langkah Mo-in Siancu dia berjalan sehingga sebegitu lama
meieka masih belum pergi jauh.
Akhimya Mo in Siancu menjadi tidak sabar, katanya "Berjalan cara
demikian, sedikitnya kita harus membuang waktu setengah jam
baru dapat keluar dari lorong ini- Kalau sampai kenangan oleh Loh
Cu-gi, celakalah kita, berdua, seumpama tumbuh sayap juga
jangan harap dapat lolos."
Dengan ilmu saktinya yang digdaya kepandaian Suma Bing tanpa
tandingan, kini keadaan dirinya malah membuat susah orang lain
saja. berapa perih dan duka hatinya susahlah ia uraikan dengan
kata2, maka katanya risi: "Kalau begitu silakan nona tanggal pergi
saja tak usah urus diriku lagi."
"Apa tinggal pergi" Suma Bing. kalau bukan karena kau masa aku
sudi menyerempet bahaya ini."
"Maaf akan kata2ku yang menyinggung tadi. hanya......''
"Sudahlah tak perlu banyak mulut, mari kau ikut aku'' tanpa
menunggu persetujuan Suma Bing lengannya terus di cekal
kencang lantas diseret dan sedikit dijinjing lari kedepan dengan
cepatnya- Sepeminuman teh kemudian jalanan lorong itu terus menanjak
keatas kira2 ratusan tombak tinggmya, akhirnya sampailah mereka
diujung lorong terus Mo-in Siancu menekan alat rahasia sejalur
sinar matahari tiba2 mencorong masuk kedalam. Sesaat Suma
Bing tak kuasa membuka mata.-
Mo-in Siancu menghela napas panjang, tangan yang mengempit
Suma Bing masih belum dilepaskan. Keruan Suma Bing menjadi
malu dan kikuk, tanyanya: "Siancu, tempat apakah ini "'
"Panggung hukuman." "Panggung
hukuman, apa artinya?"
"Tempat Bwe-hwa-hwe melaksanakan hukuman. Coba kau lihat
biar tegas, di kanan kiri itu merupakan sebuah garis batu dinding
yang hanya cukup lewat satu orang, di belakang dinding itu adalah
sebuah jurang yang dalam tak kelihatan dasarnya. Setiap kali
Bwe-hwa-hwe melaksanakan hukuman cukup sekali dorong saja
menyurung sipenyakitan kedalam jurang sana menjadi beres dan
tidak meninggalkan jejak!"
Suma Bing bergidik seperti kedinginan, katanya: "Marilah kita
cepat pergi."
"Nanti sebentar, aku sedang berpikir siapakah yang mampu
membuka urat nadimu yaHg tertutup itu. Selama belum terbuka
kau akan menjadi seorang invalid.'"
Suma Bing mendengus dengan gemes, lalu menghela napas dan
ujarnya: "Tak peduli aku harus mengorbankan apa segala, aku
harus berikhtiar membukanya."
"Suma Bing, memberanikan diri kupanggil kau sebagai adik.
Sekarang aku teringat seorang yang mungkin dapat membantu
kita." "Siapa?" "Tay-mo-tho-ih!" "Dimanakah Tay-mo-tho-ih (tabib
bungkuk padang pasir)
sekarang berada?" "Diluar perbatasan!" "Sedemikian jauh,
dengan keadaanku ini masa kuat
menempuh perjalanan jauh." "Habis tiada jalan lain, kepandaian
semacam itu merupakan
kebanggaan Loh Cu-gi sendiri, sudah tentu dia takkan sudi
membukakan untuk kau!"
Bergolaklah darah panas Suma Bing, desisnya penuh dendam:
"Kalau aku tidak memberantas Bwe-hwa-hwe sampai se-akar2nya,
jangan namakan aku Suma Bing."
Tanya Mo-in Siancu sungguh2: "Sebenarnya ada permusuhan
apakah kau dengan Loh Cu-gi?"
Pada saat itulah mendadak terdengar sebuah gelak tertawa
panjang yang menusuk telinga. Berubah air muka Mo-in Siancu,
serunya gugup: "Celaka, cepat kita pergi!"
Tampak beberapa bayangan orang telah muncul diatas tembok
batu itu. Seakan terbang semangat Suma Bing, dilihat dari keadaan dan
situasi, untuk menerobos keluar agaknya sesukar naik ke langit.
Betapapun tinggi Lwekang Mo-in Siancu juga takkan mampu
membawa kabur seorang yang telah kehilangan tenaganya.
Dalam pada itu bayangan2 beberapa orang telah melesat tiba dan
turun diatas tanah. Orang yang terdepan adalah Loh Cu-gi sendiri,
di belakangnya mengintil ketua Bwe-hwa-hwe Chiu Thong dan
Hwe-hun-koay-hud serta sicakar beracun Kho Wan. Sekejap saja
mereka sudah berdiri tiga tombak di hadapan Mo-in Siancu.
Loh Cu-gi menyeringai seram, ujarnya: "Siancu, kau tidak sengaja
bukan?" Mo-in Siancu menyahut dingin: "Memang kusengaja, kau mau
apa?" Wajah Loh Cu-gi membayang hawa kebuasan yang sadis,
semprotnya: ,.Siancu akan menyesal sesudah kasep."
Kata Suma Bing sambil menarik baju Mo-in Siancu: "Cici, silakan
kau tinggal pergi jangan pedulikan aku lagi."
"Jangan omong kosong," kata Mo-in Siancu tanpa berpaling, "Dik,
kalau terpaksa biarlah aku mendampingimu selamanya."
Suma Bing tergetar seperti kesetrom aliran listrik, baru beberapa
jam saja mereka berkenalan, namun orang sudi
berkorban untuk dirinya sampai sehidup semati. Katanya penuh
keharuan yang melimpah: "Cici, kau tiada harganya berbuat
begitu". "Dik, mungkin inilah yang dinamakan jodoh yang membawa dosa,
tapi saat ini tak perlu kita risaukan tentang mati atau hidup!"
Loh Cu-gi ter-loroh2 panjang, ujarnya: "Suma Bing, kuperingatkan
sebelum kau mati, robahlah cara panggilan-mu, dia cukup menjadi
nenekmu tahu!"
Suma Bing berjingkat kaget, tak heran Loh Cu-gi dan sekalian
gembong2 penjahat itu sedemikian menaruh hormat dan tunduk
padanya; tapi lahirnya dia kelihatan masih sedemikian muda tidak
lebih dari dua puluhan tahun!
Mo-in Siancu melintangkan serulingnya, tantangnya: "Loh Cu-gi,
apa yang hendak kau lakukan?"
Dengan nada yang menakutkan Loh Cu-gi berkata: "Siancu, apa
istriku harus mati secara penasaran" Tidak bukan"!"
"O, jadi kau hendak menuntut balas bagi dia." "Hutang jiwa
bayar jiwa, inikan sudah umum dan jamak!" "Jangan kau main
gertak terhadap aku. Sudahkah kau
bayangkan akibat dari irama seruling iblisku?" "Siancu kau takkan
ada kesempatan merampungkan
sebuah lagumu saja?" Lahirnya Mo-in Siancu berlaku tenang,
sebenarnya hatinya
risau dan kebat-kebit, dia sendiri paham kesempatan untuk menang
sangat mendesak. Mengandal kepandaian Loh bertiga, sedikitnya
kuat bertahan sampai lima gelombang irama serulingnya. Meskipun
kelima gelombang irama iblis-nya ini dapat dilancarkan dalam waktu
yang pendek sependek2nya, namun waktu yang sekian pendek ini
juga sudah cukup berkelebihan untuk ketiga orang ini melancarkan
pukulannya untuk menyerang dirinya. Kalau hendak meloloskan diri
saja tenaganya cukup berkelebihan, tapi bagaimana dengan Suma
Bing" Bukankah dia sudah berjanji hendak mendampinginya selalu.
Sudah tentu Suma Bing juga sudah dapat menerawangi situasi
yang tegang dan akibatnya, maka katanya kepada Mo- in Siancu:
"Cici, lulusilah sebuah permintaanku."
"Urusan apa?" "Kuharap kau dapat sekuatnya meloloskan diri
sendiri." "Tidak dik, sudah kukatakan..........................." "Cici,
kalau kau tidak mau melulusi, aku akan mati tidak
meram!" "Tidak mungkin." "Cici kalau kau dapat membawakan
kabar untukku, seumpama harus mati aku akan mati dengan lega dan puas."
"Pesan apa yang hendak kau katakan?" Karena jalan darah
tertutup maka tak mungkin Suma Bing
dapat melancarkan ilmu Thoan-im-jip-bit, terpaksa dia berkata
berbisik: "Belum lama berselang, yang ikut pertempuran sengit
diluar markas besar itu diantaranya ada dua belas gadis
serba putih. Kumohon kau beritakan keadaanku ini kepada salah
satu diantara mereka."
Loh Cu-gi bergerak tertawa, serunya: "Siancu" tiada waktu lagi,
kalau masih ada omongan apa silakan katakan Kalam perjalanan
menuju ke neraka saja."
Mo-in Siancu bersikap tak acuh dan pura2 tidak mendengar, hanya
matanya tetap menatap tajam kearah lawan, namun mulutnya
berkata kepada Suma Bing: "Dik, apa kabar berita ini sangat
penting?" "Sudah tentu, ini menyangkut cita2ku yang belum
terlaksana..........................."
,Dik, mungkin kita masih ada kesempatan untuk lolos!..."
"Agaknya tak mungkin. Ada lebih baik menggunakan
kesempatan ini hendak kuberkata sepatah kata kepadamu. Selama
hidup ini aku akan menyesal dan berhutang budi kepadamu".
Mereka berdua bukan terhitung sepasang kekasih, sebab biasanya
cinta itu harus berpadu antara dua insan yang berlawanan.
Bahwasanya Suma Bing tidak menerima curahan cinta orang,
sebaliknya secara sepihak Mo-in Siancu mencurahkan seluruh
cintanya. Pertemuan mereka yang aneh dan kebetulan itu, mungkin
akan membawa akibat yang menyedihkan, agaknya hal ini tak
mungkin dihindari lagi. Saat itu, memang banyak sekali omongan
yang hendak dicurahkan, namun situasi yang mendesak ini
terpaksa biarlah selama terpendam dalam sanubari masing2.
Suara Suma Bing terdengar gemetar, katanya lagi: "Ci-ci,
dapatkah kau menyampaikan beritaku itu?"
Nada perkataan Mo-in Siancu seberat laksaan kati: "Dik, untuk
harapanmu itulah aku harus tetap hidup."
"Cici, selamanya aku berterima kasih kepadamu." "Dik masa
kau masih sedemikian kikir untuk mengatakan?" Tanpa merasa
ragu Suma Bing bergoyang gontai hampir
roboh, suaranya gemetar : "Aku............... suka pada......... kau!"
Dalam pada itu, Loh Cu-gi, Hwe-hun-koay-hud dan si cakar beracun
Kho Wan sudah mencari kedudukan mengepung mereka, jarak
mereka kini tinggal setombak lebih. Jikalau ketiga gembong silat
lihay ini serentak melancarkan serangannya yang celaka lebih dulu
pasti Suma Bing adanya.
Sepasang mata Mo-in Siancu memancarkan sinar kebencian,
seruling batu giok diangkat melintang didepan dadanya.
Suma Bing berteriak dengan garangnya: "Loh Cu-gi, ingin rasanya
kukremas tubuhmu, saat itu kelak pasti akan terlaksana."
Loh Cu-gi mendengus ejek: "Bedebah, tak mungkin tiba hari itu."
" habis ucapannya, bagai singa mengaum keras dia memberi
aba2 : "Maju !"
Badai angin pukulan yang dahsyat ini serempak mener-jang kearah
mereka berdua dengan hebatnya. Mengayun dan menggerakkan
serulingnya Mo-in Siancu kerahkan seluruh tenaganya untuk
memapak serangan gabungan tiga musuhnya.
Ditengah suara benturan menggelegar ini, kontan Mo-in Siancu
tersurut mundur lima langkah. Sedang Suma Bing yang berada di
belakangnya tergulung terbang ke tengah udara setinggi tiga
tombak meluncur jatuh dan terbanting keras. Namun sambil
menggigit gigi dia merangkak bangun.
Loh Cu-gi menyeringai sadis, sebelah tangannya pelan2
diangkat...........................
"Kiu-yang-sin-kang!" tanpa merasa Suma Bing berteriak kejut.
Tepat pada waktu itu juga sejalur sinar merah melesat keluar
secepat kilat, dalam waktu yang bersamaan, gesit dan selicin belut
Mo-in Siancu menyeret Suma Bing melesat menyingkir setombak
lebih. Suara seruling iblis Mo-in Siancu sudah mulai ditiup. Tiga bayangan
manusia dengan kecepatan kilat sekaligus menubruk kearahnya.
Sambil tetap meniup serulingnya, Mo-in Siancu sigap sekali
memutar sebuah tangannya terus didorong ke depan. Dan secara
kebetulan Loh Cu-gi bertiga yang
meluncur datang tepat memapak kearah angin pukulan serangan
Mo-in Siancu ini. Saking dahsyat angin pukulan ini, kontan mereka
bertiga tertolak turun dan mengin-jak tanah, sedang Mo-in Siancu
sendiri juga terhuyung- huyung.................................
Irama seruling mendadak melengking tinggi, se-olah2 laksaan
tentara serentak menyerbu maju. Sicakar beracun yang
Lwekangnya agak rendah seketika pucat pasi, keringat dingin
membasahi jidatnya. Para anak buah Bwe-hwa-hwe yang
mengepung diluar gelanggang pertempuran juga mulai kacau
balau. Loh Cu-gi dan Hwe-hun-koay-hud sendiri juga bercekat hatinya,
kalau Mo-in Siancu dibiarkan terus meniup serulingnya pasti


Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka berdua juga susah dapat melawan, demikian batin mereka
bersama dalam hati. Sambil menggerung keras, serentak mereka
bergerak menghantam dengan seluruh kekuatan tenaganya.
Terdengar jeritan panjang yang mengerikan, tampak tubuh Suma
Bing ber-putar2 terbang ketengah udara terus melesat jatuh
kedalam jurang yang dalam sana. Irama seruling seketika sirap
dan berganti suara pekik gugup dan ketakutan, sebat sekali Mo-in
Siancu meluncur menyambar ke arah tubuh Suma Bing, tapi sudah
terlambat......
Bagai bintang jatuh Suma Bing sudah meluncur jauh ketengah
jurang sana, hanya tertinggal suaranya yang menjerit panjang
bergema ditengah udara. Hancur luluh sanubari Mo-in Siancu,
saking duka dia menjadi gusar dan mengamuk, serulingnya
digerakkan berpetakan sinar berkeredep terus menubruk balik
kearah musuh2nya dengan kalap.
Terdesak dan kaget karena kehebatan serangan seruling yang
mengacam jiwa ini, terpaksa Loh Cu-gi dan Hwe-hun- koay-hud
melompat mundur. Celaka adalah sicakar beracun, sedikit berlaku
lena, baru saja tubuhnya bergerak sinar
seruling sudah menungkrup keatas kepalanya. Dimana terdengarjeritan
keras, kontan batok kepala si cakar beracun hancur lebur
dan tamatlah riwayatnya.
"Sundel, terimalah kematianmu!" sambil menghardik Loh Cu-gi
sudah memutar balik secepat angin lesus sambil kirim pukulannya
ke arah Mo-in Siancu.
Memang Mo-in Siancu sudah bertekad untuk gugur bersama,
serulingnya diputar sekencang kitiran terus menubruk maju juga
melawan dengan kekerasan pula. Dalam seke-jap mata saja,
mereka sudah serang-menyerang sebanyak enam gebrak, tenaga
kekuatannya seimbang.
Tiba2 sinar merah merangsang masuk ke dalam gelanggang
pertempuran, kiranya Hwe-hun-koay-hud juga tidak mau
ketinggalan turut mengerubut, keruan situasi pertempuran seketika
berubah. Sepuluh jurus kemudian Mo-in Siancu sudah terdesak
mundur tanpa mampu balas menye- rang lagi, ber-ulang2
menghadapi detik2 berbahaya, dilihat dari keadaannya yang
mengenaskan ini, mungkin dalam lima gebrak lagi pasti jiwanya
bisa melayang dibawah kerubutan dua gembong iblis jahat ini.
-ooo0dw0ooo- 59. RAJA IBLIS SERATUS MUKA MENOLONG SUMA BING
Sedikit mengendorkan serangannya, Loh Cu-gi menyeringai
iblis: "Phui Kiau-nio. aku harus namakan kau dewi atau
sundel. Kiu-yang-sin-kang cukup dapat membumi hanguskan
tubuhmu, namun cara demikian terlalu murah untuk kau, tahukah
kau cara bagaimana aku akan menghadapimu"
Hahahaha.............................."
Rambut Mo-in Siancu awut2an, wajahnya berkeringat dan pucat
pias, napasnya juga kempas-kempis.
Setelah merandek sejenak Loh Cu-gi berkata lagi: "Sundel,
sedemikian cantik jelita wajah dan tubuhmu menggiurkan kalau
kuhancurkan sungguh sangat sayang, nanti setelah kau kehabisan
tenaga, baru kututuk urat nadimu untuk memunahkan seluruh ilmu
silatmu. Hehe, dengan ke- molekanmu ini, biarlah para anak
buahku menikmati ha- rumnya bunga secara bergilir didalam
kamar..............."
"Tutup mulutmu!" Mo-in Siancu berteriak beringas, matanya
mendelik besar, seruling ditangannya bergerak semakin gencar dan
ganas, tapi seumpama semut didalam kuali kekuatannya juga
hampir terkuras habis, tingkahnya ini malah menjadi buah
tertawaan Hwe-hun-koay-hud.
"Roboh!" serentak Hwe-hun-koay-hud lancarkan delapan kali
pukulan berantai, geledek dan bayu menggelegar dan berhempas
kencang, perbawa serangan ini sungguh menakjupkan. Kontan
Mo-in Siancu pentang mulutnya darah segar segera menyemprot
bagai anak panah, sedang tubuhnya juga terhuyung lima tindak,
terus roboh celentang diatas tanah. Seruling ditangannya terbang
terpental jatuh ke dalam jurang.
"Ah, sayang sekali!" tanpa merasa Loh Cu-gi berseru kejut.
Pada saat yang bersamaan itulah para anak buah Bwehwa-
hwe yang berada diatas dinding batu sebelah sana tiba2
menjadi gaduh, lalu disusul terdengar jerit dan pekik kesakitan
dan ketakutan, satu per satu mereka terjungkal jatuh dari atas.
"Apa yang terjadi?" " Ketua Bwe-hwa-hwe Chiu Thong berseru
kejut terus melesat memburu tiba ke tempat itu.
Laksana seekor burung raksasa merah Hwe-hun-koay-hud juga
tidak ketinggalan memburu maju ke arah tempat itu.
Loh Cu-gi sendiri tak urung juga berubah pucat air mukanya.
Tampak sebuah bayangan hitam lencir tengah melayang keluar
dari jalan rahasia sebelah samping dan ringan sekali bayangan itu
meluncur tiba di tengah ge- langang.
"Racun diracun!" " hardik Loh Cu-gi murka. Sinar merah melesat,
kontan Kiu-yang-sin-kang dilancarkan untuk menyerang.
Sungguh lihay dan indah gerak gerik Racun diracun, tubuhnya
jumpalitan ke arah kiri begitu kaki menyentuh tanah terus berputar
balik pula ke tempat asalnya. Berbareng dengan gerak tangannya,
bau harum segera terbawa angin merangsang ke arah Loh Cu-gi.
Seketika Loh Cu-gi merasa mata ber-kunang2, kepala terasa berat.
Diam2 dia mengeluh dalam hati: "Racun!" cepat2 dengan hawa
murninya dia tutup panca indranya terus berputar ke seluruh sendi
dan urat nadi, berbareng tubuhnya melesat ke tempat yang
berlawanan dengan hembus angin lalu.
Pada saat Loh Cu-gi melesat menyingkir itulah, tiba2 Racun
diracun menjinjing Mo-in Siancu yang rebah diatas tanah itu,
terus berlari ke arah yang berlawanan.
Maka anak buah Bwe-hwa-hwe yang menjaga di bagian tugu
sebelah sana be-ramai2 keluar mencegat dan merintangi jalan
larinya. Begitu tangan Racun diracun bergerak mengebut, beberapa orang
yang memapak paling depan kontan menjerit roboh, tujuh lobang
indranya mengalirkan darah hitam. Keruan yang masih ketinggalan
hidup serasa terbang ar-wahnya, cepat2 mereka menyingkir
kesamping memberi luang bagi jalan Racun diracun. Maka dengan
gamang saja Racun diracun terbang menghilang dalam se-fejap
mata. Waktu Hwe-hun-koay-hud beramal menyusul tiba dari arah Yang
lain, keadaan sudah sunyi senyap, mana pula tampak bayangan
Racun diracun. Memangnya Racun diracun sendiri paham bahwa mengandal ilmu
silat tak mungkin dirinya kuat bertahan menghadapi Loh Cu-gi dan
Hwe-hun-koay-hud, maka secara mendadak dia membokong
dengan racunnya yang hebat itu terus menghilang tanpa jejak.
Setelah berlarian sepuluh li lebih baru dia mencari sebuah gua dan
meletakkan Mo-in Siancu diatas tanah. Sebetulnya luka Mo-in
Siancu tidak sedemikian berat sampai tidak bisa bergerak atau
tidak bisa berjalan. Bahwasanya dia hanya pura2 pingsan untuk
mencari kesempatan meloloskan diri. Suma Bing sudah terjatuh
kedalam jurang, tak mungkin jiwanya bisa hidup. Dia masih ingat
akan pesan Suma Bing yang minta mengirimkan kabar, dan lagi
sakit hatinya ini betapapun dia harus membalas juga.
Baru saja Racun diracun meletakkan tubuhnya, dia lantas
bergegas bangun berdiri hal ini malah membuat Racun diracun
berjingkrak kaget.
Sudah tentu Racun diracun ini adalah duplikat Phoa cu- giok.
"Kau mikah Racun diracun?" segera tanya Mo-in Siancu dengan
heran. Phoa Cu-giok mengiakan. Kalau dulu mendengar cara Mo-in
Siancu bertanya yang
kasar begitu pasti Phoa Cu-giok tidak sudi menjawab malah
mungkin membunuhnya. Sekarang lain halnya dengan Phoa
Cu-giok tempo hari, dan lagi dia sudah tahu jelas asal-usul orang
maka dia tidak ambil dalam hati.
Tanya Mo-in Siancu lagi: "Kenapa kau menolong aku?"
"Karena Suma Bing !" "Kenapa pula dengan Suma Bing?"
"Sebab Cianpwe pernah menolong Suma Bing, maka terpaksa
Wanpwe harus menyerempet bahaya turun tangan."
"Apa hubunganmu dengan Suma Bing?" "Hubungan kita sangat
erat, maaf aku tidak dapat
menjelaskan." Mata Mo-in Siancu berlinang air mata, katanya pilu:
"Dia sudah meninggal." "Wanpwe akan menuntut balas bagi dia." "Aku
juga pasti menuntut balas untuknya, tapi, aku harus
mengerjakan sesuatu.................." "Dia ada permintaan apa
kepada Cianpwe?" "Ini..................dia minta aku menyampaikan
pesannya." Racun diracun berpaling ke mulut gua dengan gelisah,
tanyanya: "Luka Cianpwe..............." "Tidak menjadi soal!" "Kalau
begitu Wanpwe minta diri!" habis berkatayya
memberi hormat terus berlari keluar gua. Dengan pandangan
yang tak habis mengerti Mo-in Siancu
memandangi bayangan orang menghilang di kejauhan sana,
entah bagaimana perasaan hatinya susah dibayangkan.
Sampai disini marilah kita ikuti keadaan Suma Bing yang meluncur
jatuh kedalam jurang, tubuhnya meluncur semakin cepat,
mendadak dia merasa seluruh tubuhnya terge tar hebat seperti
menumbuk sesuatu, saking kesakitan dia kehilangan
kesadarannya. Rasa sakicang nyeri membuat dia tersedar lagi dari
pingsannya. "Eee, kiranya masih hidup!" terdengar sebuah suara yang serak
dan berat. Waktu Suma Bing membuka mata per-tama2 yang terlihat olehnya
adalah seorang tua berambut uban yang buta sepasang matanya,
orang tua ini duduk bersila di hadapannya, sedang dirinya tengah
rebah diantara tumpukan tulang- belulang manusia.
Sedikit bergerak miring saja kontan dia merasa seluruh tubuh
kesakitan luar biasa se-akan2 tulang2 ruasnya copot hampir saja
dia jatuh pingsan lagi.
"Sungguh ajaib!" terdengar si orang tua buta itu berseru heran.
Setelah kesadaran Suma Bing pulih seluruhnya dengan tajam ia
awasi si orang tua buta duduk bersila di hadapannya ini, seketika
mulutnya melompong keheranan tak dapat bicara. Dari tempat
sedemikian tinggi dirinya jatuh namun tidak mati, ini sudah suatu
keajaiban, yang lebih aneh didalam jurang ini ternyata masih
tinggal seorang hidup, lebih diluar dugaan lagi. Kata pula si orang
tua buta: "Kudengar dari suaramu agaknya kau ini seorang bocah
cilik ya?"
Suma Bing mengiakan, lalu bertanya: "Bagaimana Cian-pwe bisa
tinggal ditempat seperti ini?"
"Tinggal ditempat ini " Hahahaha.................." Nada
tertawanya seperti orang gila yang menangis,
sedemikian keras suaranya sehingga kuping Suma Bing hampir
pecah. Batinnya, latihan tenaga dalam orang tua ini agaknya tidak
lemah, maka segera tanyanya lagi: "Entah siapakah nama
Cianpwe yang mulia?"
Balas tanya si orang tua tanpa mempeduli pertanyaan ima Bing:
"Buyung, bagaimana kau sampai terjatuh ke dalam jurang ini?"
"Terpukul jatuh kemari!" "Kau ini termasuk anak
buah dari bagian mana?"
"Aku...............Cayhe bukan anak buah Bwe-hwa-hwe !" "Lalu
kenapa bisa..................." "Aku terjebak !" "Kau terjatuh kesini
dan tidak mati ini sudah aneh, hampir
saja lohu............" "Hampir kenapa?" "Kusangka kau sebagai
hidangan lezat !"tanpa merasa
Suma Bing merinding, apa mungkin orang ini makan daging
manusia untuk melewatkan hidupnya dalam jurang ini" Serta merta
pandangannya menyapu kesekelilingnya. Didapatinya jurang ini
berbentuk lurus seperti sebuah sumur, luasnya tidak lebih hanya
setengah hektar, tulang2 putih bertumpuk di mana2, keadaan yang
remang2 menambah suasana menggiriskan dan seram
menakutkan. Baru sekarang Suma Bing merasakan hawa apek dan
hampir saja dia muntah2 saking nek dan mual.
"Orang yang kelaparan tak memilih segala makanan lagi kau
tahu?" Lalu terdengar tenggorokan berbunyi agaknya tengah menelan air
liur, lalu katanya lagi mendesis: "Buyung, Lohu............" sepasang
tangannya yang kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang
meraba keatas tubuh Suma Bing Serasa terbang semangat Suma
Bing, luka dalamnya sangat berat ditambah luka2 luar apalagi jalan
darah dan urat nadinya tertutup, sehingga tenaga untuk berontak
atau meronta saja tak kuasa sampai membalik tubuh saja juga
tidak bisa. Hanya terasakan suatu perasaan ketakutan yang
mencekam hatinya, darah juga seolah berhenti mengalir, makinya
gemetar: "Tua bangsat, berani kau!"
Si orang tua se-olah2 tidak mendengar, kedua tangannya terus
me-raba2 dan memijat-mijat di seluruh tubuh Suma
Bing, mendadak dia menarik balik tangannya sambil berseru
kejut: "Buyung, tidak heran kau tidak sampai mati!"
Suma Bing menghela napas lega, tanyanya: "Apa kata Cianpwe ?"
"Ajaib, aneh bin ajaib !" "Ajaib" Apanya yang ajaib"'
"Memang Lwekangmu sangat tinggi tentu jarang tandingan
didalam Bu-lim. Urat nadimu tertutuk oleh cara memutuk nadi dan
menutup hawa murni, dan oleh karena inilah malah melindungi
jalan darah jantungmu yang terpenting, hingga dari ketinggian
sekian ini kau tidak mampus terpelanting"
Jantung Suma Bing berdebur keras, tak tersangka sekali raba
siorang tua buta aneh ini sekalligus dapat mengetahui bahwa urat
nadinya tertutuk buntu, agaknya orang tua ini. bukan tokoh
sembarang tokoh. Sekuntum bunga harapan ketika tumbuh dalam
hati kecilnya yang sudah putus asa Kalau orang tua ini
mengetahui seluk beluk tentang menutup urat nadi tentu juga
paham cara membukanya
Tapi siapakah dan tokoh macam apakah siorang tua Ini" Kenapa
dia terjatuh juga didalam jurang ini sehingga menjadi cacat"
Puncak dari atas jurang ini adalah merupakan Panggung Hukuman
Bwe-hwa-hwe, bukan mustahil dia salah satu pesakitan yang
dijatuhi hukuman......
"Buyung, apa kau masih ingin hidup"'" mendadak siorang tua
bertanya Suma Bing tersentak kaget: "Apa maksud ucapan Cianpwe ini?"
"Kalau kau masih ingin hidup, Lohu dapat membuka urat nadimu
yang buntu, tapi........"
"Apa syaratnya?"
"Mungkin tak urung Mau juga harus mati, ketahuilah dinding
jurang yang curam setinggi ratusan tombak ini, seumpama kera
juga jangan harap dapat manjat naik."
"Hal itu Wanpwe dapat mencobanya!" serunya Suma Bing girang
dan terharu. "Baiklah, mari biar Lohu bebaskan penderitaanmu ini." sambil
berkata segera jarinya bergerak menutuk dengan cepat.
Begitu hawa murni dalam tubuh Suma Bing terbuka, terasa hawa
murni seperti air dalam bendungan yang bobol melanda keluar
bagai air bah. Dalam sekejap saja mengalir dan memenuhi seluruh


Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tubuh, rasa kesakitan yang menyiksa badan sekian lama seketika
hilang seluruhnya, tergegas dia bangkit berdiri
Kata siorang tua buta sambil menarik balik jari2nya. "Buyung,
kau harus berobat " Suma Bing menurut, segera dia duduk
diatas tanah dan
mengheningkan cipta mengerahkan tenaga mengobati luka
dalamnya- Kiu-yang-sin-kang dan Giok-ci-sin-kang adalah dua
unsur ilmu silat yang tiada bandingannya dijagat ini. Tak sampai
setengah jam kemudian semangat dan kesegaran tubuhnya sudah
pulih seluruhnya, kesegaran badannya juga bertambah lipat
ganda, begitu sepasang matanya dipentang. seluruh keadaan
dalam jurang itu dapat dilihatnya dengan jelas. Pemanaangan
semacam ini sungguh sangat seram dan mengerikan, dimana2
terlihat mayat2 bergelimpangan tiada tempat luang.
Terdengar siorang tua buta berseru memuji: "Buyung, hebat benar
Lwekangmu.'' Segera Suma Bing membungkuk memberi hormat: "Sungguh tak
ternilai besarnya budi Cianpwe ini, adakah keperluan yang harus
wanpwe lakukan?"
"Buyung, apa kau ada pegangan dapat terbang keluar dan jurang
sumur ini"''
"Mungkin tidak terlalu sulit!'' "Bagus, susah payahku tidak sia2,
matipun aku dapat
merarn!" "Sudah tentu Wanpwe akan berusaha menolong
Cianpwe keluar dari tempat ini......'" "Tidak perlu lagi!" "Tidak perlu"
Cianpwe...." "Sepasang mata Lohu sudah buta, urat nadi kakiku
juga sudah putus, masa ada muka aku muncul lagi dimuka umum"''
Suma Bing terperanjat, tanyanya: "Apa Cianpwe
teraniaya........" Rambut ubanan siorang tua buta mendadak
berdiri tegak, giginya berkerot gusar, desisnya: "Buyung. kuminta kau
melakukan sesuatu untukku!"'
"Wanpwe wajib melakukan!" "Bagus, kau harus menuntut
balas untukku!" "Harap tanya siapakah musuh itu......'"
"Mengandal Lwekangmu sekarang cukup berlebihan,
sungguh Tuhan maha pengasih!" "Siapakah musuh besar Cianpwe
itu?" "Dia termasuk murid keponakanku. Dengan jarum emas
kedua mata Lohu ini ditusuk hingga picak (buta), urat nadi kakiku
juga dipotong terus diterjunkan kedalam jurang sini, sampai
sekarang sudah tujuh hari lamanya, siapa-nyana ditempat seperti
neraka ini aku bisa bersua dengan bocah seperti kau-"'
"Siapa dan apakah nama julukan orang itu?"
"Sesepuh ketua Bwe-hwa-hwe Loh Cu-gi''' Bercekat hati Suma
Bing, tanyanya gemetar: "Loh Cu-gi ?" "Ya, kau sendiri sampai
terjatuh kemari tentu juga...." "Siapakah nama Cianpwe.?"
"Akulah Pek-bin-mo-ong" Suma Bing berjingkrak mundur saking
kaget seperti disamber geledek- Siapa nyana orang tua buta dan cacat kedua
kakinya ini kiranya adalah Raja iblis seratus muka yang sangat
diharap2kan untuk dilenyapkan- Agaknya Pek-bin-mo- ong
merasakan keganjilan sikap Suma Bing yang mendadak berubah,
tanyanya heran: "Buyung, ada apakah?"
Dalam waktu singkat Suma Bing tak kuasa menjawab, orang tua
ini adalah musuh besarnya, tapi juga penolong jiwanya.
"Eh, ada apakah?" tanya Pek-bin-mo-ong sekali lagi. Kata
Suma Bing dingin: "Menyamar sebagai Sia-sin kedua
Suma Bing, menipu Kiu-im-cin-keng dari Perkampungan bumi,
mencuci bersih dengan darah seluruh Bu-khek-po, merampas Kipas
pualam dan membunuh tiga Tianglo serta lima pelindung partai
Ngo-bi-pay, merebut Ce-giok-pe-yap dan membunuh
Si-gwa-sian-jin......'"
Mendadak Pek-bin-mo-ong bangkit berdiri, tapi karena kedua
kakinya sudah cacat dia jatuh terduduk lagi, serunya kejut:
"Buyung, kau tahu semua?"
"Sudah tentu aku tahu, karena akulah Suma Bing tulen!'" Badan
Pek-bin-mo-ong limbung hampir roboh, wajah tuanya bergemetar
ber-kerut2, saking terharu mulutnya menggumam entah apa yang
diucapkan Untuk melenyapkan Pek-bin-mo-ong sekarang ini bagi Suma Bing
segampang membalikkan tangan, tapi orang tua ini tadi telah
menolong jiwanya. berarti dirinya berhutang budi,
apalagi sekarang dia sudah menjadi seorang tua yang buta dan
cacat. Mimpi juga dia tidak menduga bakal bertemu dengan
musuh besar yang selalu dicarinya di dalam jurang seperti neraka
ini. Kata Pek-.bin-mo-ong dengan lesu dan patah semangat: "Jalan
Tuhan itu memang lurus ke-mana-2 juga akhirnya bertemu, Suma
Bing, bolehlah kau turun tangan"
Lama dan lama kemudian baru Suma Bing menghela napas dan
berkata: "Dendam dan budi saling himpas, berarti diantara kita
sudah tiada utang-piutang lagi- Tapi seperti yang pernah
kuucapkan tadi, betapapun, aku tetap akan membawamu keluar
dan tempat ini"'
"Suma Bing, mengandal ucapanmu ini, baiklah Lohu mendoakan
supaya daun jatuh kembali keakarnya, Lohu sudah bertekad untuk
tetap tinggal disini selamanya."
Suma Bing merasa seriba kikuk dan tak enak, bagaimana juga
jiwanya ini telah tertolong oleh orang tua cacat ini, maka katanya:
"Tuan benar2 sudah bertekad demikian?"
"Suma Bing, usia Lohu sudah hampir seabad apalagi yang perlu
diberatkan, Lohu seorang yang dekat dengan liang kubur, namun
aku masih ingin mengetahui suatu rahasia."
"Tentang apakah Itu?" "Apa benar kau telah memperoleh
Pedang darah dan Bun
g a - i b l i s " " T e r g e r a k h a t i S u m a B i n g ,
s e t e l a h m e n g i a i k a n d i a b a l a s
bertanya: "Bendai2 pusaka yang telah tuan peroleh itu apakah
semua terjatuh ketangan Loh Cu-gi?"
Sekian lama Pek-bin mo-ong merenung, lalu ujarnya kalem:
"Betapa jaya dan tenar nama Lohu selama ini sudah malang
melintang melakukan berbagai pekerjaan besar, siapa nyana
dalam usia yang sudah lanjut- ini malah terjungkal ditangan Loh
Cu-gi binatang itu. Mungkin inilah yang dinamakan hukum
alam. Memang Kipas pualam dan Daun giok ungu telah berada
ditangan manusia serigala itu."
"Lalu Kiu-im-cin-keng dimana"'' Tubuh Pek-bin-mo-ong
gemetar semakin keras, wajahnya
juga berkerut2, desisnya dengan penuh kebencian: "Karena soal
buku itulah maka mata Lohu dibutakan serta diputus urat nadi
kedua kakiku ini, terus diterjunkan kedalam jurang ini.''
Sampai disini dia menelan ludah lalu melanjutkan penuturannya:
"Besar tekad Loh Cu-gi hendak mempersatukan Kiu-im cin-keng
dengan Kiu-yang-sin-kang supaya dapat terlatih ilmu kombinasi
yang dinamakan Bu-khek-sin-kang Hehe, manusia berusaha.
Tuhanlah yang menentukan, setelah Lohu memperoleh
Kiu-im-cin-keng itu tak lama kemudian telah hilang lagi........"
Keruan bercekat hati Suma Bing, Kiu-im-cin-keng adalah benda
peninggalan leluhur dari Perkampungan bumi yang paling
berharga dan tak ternilai, hatinya menjadi gugup dan bertanya:
"Siapakah yang telah memperolehnya?"
"Pek-kut Bujin!" Suma Bing menghela napas lega, Pek-kut Hujin
adalah duplikat penyamaran bibinya, kalau buku itu terjatuh ketangannya
seperti juga dirinya sendiri yang telah merebutnya
kembali. Kata Pek-bin-mo-ong lagi: "Loh Cu-gi menyangka Lohu sengajia
hendak mengangkangi Kiu-im-cin-keng itu, maka tak segan2 dia
turun tangan keji terhadapku''
Diam2 Suma Bing memaki dalam hati: "Bangsat durjana yg.
kejam telengas!"
Pek-bin-mo-ong adalah Suheng dari mertuanya Pek-chio Lojin,
sedemikian tega dia turun tangan.
Tiba2 dari tumpukan tulang2 sebelah sana menonjol keluar sebuah
benda putih yang berkilauan. Segera Suma Bing maju mendekat
dan memungutnya. Seketika hatinya dingin dan berkeringat
Seluruh tubuhnya Itulah seruling batu giok milik Mo-in Siancu,
kalau seruling ini terjatuh kesini pasti keselamatannya juga dalam
bahaya. Karena batinnya ini dia merasa tak dapat mengabaikan waktu
yang sangat berharga meskipun hanya sedetik jua, cepat2 dia
kembali kedepan Pek-bin-mo-ong dan katanya: "Tuan, setulus hati
aku berkata, tetap aku ingin berdaya untuk membawa tuan keluar
dari tempat yang mengenaskan ini.''
"Kuucapkan banyak terima kasih dan kuterima kebaikan mu ini,
tapi tak usahlah!"
Melihat orang tua ini berkukuh Suma, Bing tidak enak terlalu
memaksa maka katanya: "Kalau begitu Cayhe segera akan pergi !"
"Ya, nanti dulu. Lohu masih hendak berkata: Loh Cu-gi sudah
memiliki semua kedok penyamaranku, binatang itu sangat licik tan
telengas, kau harus selalu meningkatkan kewaspadaanmu jangan
lena sedetikpun!''
"Terima kasih akan petunjuk ini!'' ujar Suma Bing terus memutar
badan. ...... 'Brak" terdengar sebuah suara lalu disusul benda berat yang jatuh
ketanah. Waktu Suma Bing berpaling, seketika dia terkesima ditempatnya
Kiranya Pek-bin-mo-ong telah bunuh diri dengan memukul hancur
batok kepalanya sendiri.
Setelah ragu2 rekian lama lalu dia mengeduk tanah didasar jurang
itu untuk memendam jenazahnya dan membangun sebuah batu
nisan yang bertuliskan: "Tempat istirahat Pek- bin-mo-ong" enam
huruf dengan ukiran jari tangannya.
Setelah semuanya selesai baru dia mulai menjelajah seluruh dasar
jurang itu, agaknya selain dirinya tiada orang lain yang baru
terjatuh kedalam jurang ini, maka dia mendongak mengawasi
dinding jurang yang curam, menurut taksirannya tingginya ada
duaratusan tombak- Tempat ketinggian seperti ini bagi kaum
persilatan umumnya sudah sangat melampaui kemampuan dari
seseorang yang betapa hebatpun ilmu silatnya Tapi lain halnya bagi
Suma Bing yang membekal ilmu sakti mandraguna, betapapun dia
akan berdaya mencapai kepuncak.
Begitulah sambil bersuit panjang tubuhnya mendadak melejit tinggi
ketengah udara, sekali meluncur lima puluh tombak telah
dicapainya, begitu daya luncurannya hampir habis cepat2 ujung
kakinya menutul dinding batu, maka tubuhnya melenting lagi lebih
tinggi ditengah udara dia berjumpalitan dengan gayanya yang
sangat indah terus membalik lagi mendekat dinding dan sekali
tutul tubuhnya melesat lagi tiga puluhan tombak, setelah tiga
empat kali jumpalitan dalam sekejap mata saja tubuhnya sudah
meluncur turun dan hinggap diatas Panggung hukuman.
Tatkala itu sang surya sudah tenggelam di peraduannya, sang
malam mulai mendatang keadaan bumi alam ini mulai remang2.
Darah dan mayat masih bergelimpangan di mana2 menambah
suasana bertambah seram dengan bau anyir darah lagi.
Mendadak Suma Bing bergelak tawa, tawa yang penuh
mengandung hawa membunuh dan ejekan, dia tengah me- ngejek
dan menertawakan hari kiamat Bwe-hwa-hwe telah mendatang
diambang pintu, dia merasa menang dan puas bahwa berulang
kali dia sudah lolos dari bolang jarum, secara aneh dan ajaib dia
hidup kembali dari elmaut ke-matian "
Lalu dia memeriksa setiap jenazah yang bergelimpangan dan
girang, karena dia tidak menemukan jenazah Mo-in Siancu.
Sebat sekali tubuhnya meluncur tinggi kepuncak sebelah kiri sana
ditempat inilah dia dan Mo-in Siancu lolos dari kepungan dalam
ruang bawah tanah itu, pintu rahasia itu kini telah hilang dan
susah diketemukan lagi. Baru saja dia sampai di atas lantas
terlihat olehnya di kejauhan sana bara api yang me-nyala2 tinggi
menembus angkasa, malah lapat2 terdengar pula teriak dan
seruan gegap gumpita agaknya sebelah sana tengah terjadi
pertempuran sengit.
Sungguh kejut dan heran dia dibuatnya, karena tempat kebakaran
itu adalah Markas besar Bwe-hwa-hwe. Siapakah yang telah dapat
memecahkan barisan Im-yang-ngo-heng-tin dan melepas api di
markas besar Bwe-hwa-hwe ini" Dari gemuruhnya teriakan
pertempuran dapat dipastikan bahwa orang yang menyerbu
datang itu jumlahnya amat banyak.
Tiada waktu lagi buat Suma Bing merenungkan tindakan apa yang
perlu dilakukan. Dia harus cepat2 bertindak supaya tidak
kehilangan kesempatan untuk menuntut balas.
Setelah mencari arah tujuannya secepat anak panah tubuhnya
melesat ke arah bangunan gedung2 yang tengah dimakan api itu.
Semakin dekat suara pertempuran semakin jelas, jerit dan pekik
yang mengerikan terdengar dimana2. Api berkorbar semakin besar
dan mengganas semakin hebat.
Beberapa bayangan manusia memapak kedatangan Suma Bing,
sekilas didapati jubah para pendatang ini bersulam Bunga Bwe
besar, maka tanpa banyak mulut lagi, sekali tangan diayun para
pendatang itu disapu jungkir balik. Daya luncuran tubuhnya terus
laju semakin cepat, waktu suara jeritan para korbannya itu
terdengar tubuhnya sudah meluncur jauh sampai di gelanggang
pertempuran. Darah mulai membanjir di tanah, mayat bergelimpangan dan
bertumpuk di mana2, bayangan berkelebatan, sinar ber- keredep
dari kilauan senjata yang tertimpa sinar api seperti bintang2
me-nan2 di angkasa.
Tanpa bersuara Suma Bing tiba di pinggir gelanggang
pertempuran, dia harus meneropong dulu situasi pertempuran ini.
Per-tama2 dilihatnya diantara berkelebatnya bayangan
pertempuran itu ada beberapa bayangan seragam putih yang
selulup timbul, itulah dua belas Rasul penembus dada. Malah dia
melihat pula Coh-yu-hu-pit dari Perkampungan bumi, agaknya
tidak sedikit pula para kerabat dari Perkampungan bumi yang ikut
meluruk datang, justru yang mengherankan diantara sedemikian
banyak orang yang ikut bertempur tidak sedikit pula terdapat
orang2 dari golongan suci.
Terdengar suara terkekeh tawa orang laksana gembreng berbunyi,
Suma Bing memandang ke arah datangnya suara, matanya menjadi
terbelalak. Terlihat olehnya Siau-lim-ngo-lo tengah mengepung
ketat Hwe-hun-koay-hud, ternyata mengandal tenaga gabungan
Ngo-lo masih terdesak sedemikian hebat sehingga mereka harus
ber-putar2 seperti sedang menari, sejuraspun mereka tidak mampu
balas menye- rang. Akhirnya dia menjadi paham, bukankah
Hwe-hun-koay- hud adalah murid murtad dari Siau-lim-si"
Nafsu kekejian Suma Bing semakin tebal, sekali meluncur langsung
dia menubruk masuk kedalam gelanggang pertempuran. Kontan
dimana tangan dan kakinya bergerak segera terdengar lolong
kesakitan dan jerit kematian saling susul. Bayangan manusia saling
roboh bergantian, darah dan anggota tubuh yang tidak lengkap lagi


Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beterbangan keempat penjuru. Kini sorot mata semua orang tertuju
kearah Suma Bing. Maka gegap gumpitalah seruan kegirangan:
"Tuan muda!" " "Huma" " "Suma Siauhiap !" - "Siau-sicu !"
Mata Suma Bing merah membara seperti kesetanan, kaki
tangannya terus bergerak seperti harimau mengamuk diantara
gerombolan kambing, siapa saja yang berada di hada-pannya pasti
roboh tanpa ampun. Demikianlah tubuhnya selulup timbul di
tengah gelanggang pertempuran, dari barat ke timur dari selatan
ke utara dimana dia lewat darah dan daging
manusia pasti cecel dowel beterbangan di selingi jeritan yang
memekakkan telinga. Yang membuat hatinya heran yalah
sedemikian jauh dia masih belum melihat bayangan Loh Cu-gi
musuh besar utama yang harus mampus.
Se-konyong2 terdengar gelak tawa yang menusuk telinga diselingi
seruan tertahan seperti orang muntah2. kiranya Siau- lim-ngo-lo
masing2 sudah menyemburkan darah segar Kan serentak terkapar
diatas tanah. Sekali melenting Suma Bing meluncur menubruk kearah itu:
"Minggir!" demikian hardiknya, suaranya tidak keras tapi
menggetarkan semangat setiap hadirin. Hwe-hun-koay-hud
mendelik terbelalak, serunya kejut:
"Bedebah, kau tidak..............." Sebelum habis ucapannya
kedua tangan Suma Bing sudah
nenghantam tiba membawa kekuatan bagai gugur gunung terus
merangsang keatas tubuhnya.
Selicin belut Hwe-hun-koay-hud menggeser delapan kaki ke
samping. Bagai orang gila yang kesurupan laksana ba-angan yang
selalu mengikuti bentuknya Suma Bing terus nenyerbu dengan
hebatnya, sekaligus dilancarkan delapan lelas kali pukulan.
"Brak,' diselingi dengus yang aneh seperti babi hendak
disembeleh, kontan tubuh Hwe-hun-koay-hud ter-huyung2 sambil
muntahkan darah segar.
"Serahkan jiwamu !" " dengan gerak kilat sekali cengkeram tahu2
Suma Bing sudah menyekal pergelangan tagan lawan dan sekali gus
tangan yang lain diangkat megepruk keatas kepala. Mendadak dia
teringat sesuatu dan cepat2 menarik balik tangannya, lantas
berpaling dan menggape kepada tertua dari Siau-lim-ngo-lo,
serunya: "Taysu, mari kuserahkan kepadamu!" Habis berkata
tubuhnya terus berkelebat menghilang.
Sambil bersabda Budha Ngo-lo segera menubruk maju meringkus
murid murta yang jahat itu. Sebuah bentakan yang nyaring dan
sangat dikenal terdengar dari pojokan yang agak gelap sana.
Sebat sekali Suma Bing melejit ke arah datangnya suara. Dimana
terlibat dua orang tengah bertempur sengit, pihak musuh adalah
ketua Bwe-hwa-hwe Chiu Thong sedang lawannya adalah seorang
perempuan yang bukan lain adalah istrinya, yaitu putri dari
perkampungan Bumi Pit Yau-ang.
"Adik Ang, minggirlah !" "Engkoh Bing, kaukah itu !" teriak Fit
Yau-ang kegirangan
sambil menyurut mundur. Begitu melihat Suma Bing muncul
serasa terbang arwah
ketua Bwe-hwa-hwe Chiu Thong, begitu memutar tubuh terus
hendak lari. "Lari kemana kau"." bagai bayangan setan Suma Bing berkelebat
menyegat kehadapan Chiu Thong terus mencengkeram dada lawan.
"Blang!" telak sekali pukulan Chiu Thong yang dahsyat menghunjam
di dada Suma Bing, namun kontan dia tertolak sempoyongan oleh
tenaga sakti pelindung badan Suma Bing, tangannya sakit seperti
tulang-nya hancur lebur, sedikit lena dan kesima, tangan Suma Bing
sudah menyengkeram dadanya terus dijinjing tinggi...
Serentak pada saat itu juga delapan sinar berkilau dari ujung
pedang menusuk dan membabat tiba- Pit Yau-ang menghardik
keras terus menubruk maju mehalangi sera-ngan yang
membokong ini, dimana lengan bajunya dikebut-kan sekaligus
empat batang pedang terpental serong ke samping, sedang empat
bilah pedang lainnya tak urung masih tetap menyelonong ke
punggung Suma Bing.
Sudahlah tentu Suma Bing tidak mandah saja dilobangi tubuhnya
begttu tangan lainnya membalik dan diayun, jeritan yang ngeri
dari empat orang yang bersamaan menambah ribut suasana yang
memang gaduh itu. Mereka terpental terbang
jauh dan entah bagaimana nasibnya, hal ini membuat Pit Yauang
tergetar kaget dan kesima.
Wajah ketua Bwe-hwa-hwe Chiu Thong pucat pasi, tubuhnya
gemetar dan lemas seperti tidak bertulang lagi.
Dimana Loh Tiu-gi berada?" " tanya Suma Bing beringas gusar
"Tidak tahu!" terdengar suara dari mulut Chiu Thong yang
gemetar. Sambil kertak gigi, sekali tarik dan betot Suma Bing tanggalkan
lengan kiri Chiu Thong dari badannya. Keruan Chiu Thong
memekik kesakitan seperti babi hendak disembeleh, wajahnya
mengkeret dan ber-kerut2 saking menahan sakit.
-oo0dw0oo- 60. BWE-HWA-HWE HANCUR LEBUR.
Wajah Suma Bing sudah berubah hitam membesi. sepasang
matanya memancar jalang seperti serigala yang kesetanan,
tanyanya lagi: "Katakan tidak?"
Saking kesakitan Chiu Thong menjadi nekad dan membandel,
"Tidak !" suaranya serak lirih.
"Bagus !' " tanpa kepalang tanggung telapak tangan Suma Bing
mengepruk batok kepala musuh bebuyutan ini, sambil menjerit
seram Chiu Thong terkapar di tanah, badannya hancur lebur
menjadi bergedel.
"Engkoh Bing, aku............aku terlalu girang, sungguh tidak
nyana..............." dua butir air mata mengalir membasahi pipinya,
dia menangis saking gembira,
"Adik Ang, segala persoalan nanti kita bicarakan lagi, sekarang aku
harus menemukan Loh Cu-gi !" tanpa
memperdulikan istrinya lagi dia terus berlari keluar gelanggang
pertempuran. Suma Bing sudah menjelajah keempat penjuru
dimana dia lalu dan melihat anak buah musuh semua dibunuhnya
tanpa ampun. Se-konyong2 sebuah bayangan memapak datang
dan berseru gugup: "Suma Bing, lekas ikut aku!
Sebenarnya Suma Bing sudah bersiaga hendak menyerang serta
mendengar suara orang sedikit melengak dia tarik kembal1
tenaganya, bentuk tubuh orang ini memang sangat dikenalnya.
Waktu pertama kali dirinya menerjang masuk ke dalam barisan
Im-yang-ngo-heng-tin tempo hari, justru laki2 berwajah kuning
seperti berpenyakitan ini juga pernah muncul, hanya wajahnya saja
sedikit pun tidak terkesan dalam sanubarinya. Untuk apa dia minta
dirinya mengikuti dia " Demikian singkat dia membatin, laki2
berwajah kuning itu sudah melesat sejauh puluhan tombak,
gerakan tubuhnya ternyata sedemikian lincah dan tangkas sekali,
Maka tanpa ayal segera Suma Bing angkat kaki mengejar dengan
kencang, sekejap mata kemudian mereka tiba,diluar hutan pohon
Bwe, sekali berkelebat bayangan laki2 berwajah kuning itu lantas
menghilang entah kemana.
Di dalam hutan sebelah sana terdengar angin pukulan yang
membumbung tinggi, debu dan kerikil bergulung ke tengah
angkasa. Suma Bing melihat keganjilan ini dan mulai waspada,
diam2 dengan langkah ringan dia maju mendekat memasuki
hutan. Tampak seorang laki2 kekar berjambang bauk tengah bertempur
sengit dikeroyok dua perempuan. Suma Bing heran dan
terperanjat. karena kedua perempuan itu bukan lain adalah
bibinya Ong Fong-jui dan Tio Keh-siok. Mengandal Lwekang dan
kepandaian Ong Fong-jui dan Tio Keh-siok ternyata tidak mampu
merobohkan laki2 berewok itu, malah mereka lebih banyak
menjaga diri dari pada menyerang.
Sekilas Tiok Keh-siok melirik melihat kehadiran Suma Bing, segera
dia berseru kejut: "Suma Bing. kau itu?"
Ong Fong-jui juga tergetar kaget mendengar seruan Tio Keh-siok
itu sehingga gerak geriknya menjadi sedikit lamban. Sepasang
mata laki2 brewok itu memancarkan siar aneh dan ketakutan,
menggunakan peluang ini segera dia melesat terbang melarikan
diri. "Cegat dia." teriak Ong Fong-jui keras dan gugup Namun
gerak tubuh laki2 berewok itu ternyata secepat kilat
hanya sekali berkelebat saja lantas hilang. Waktu Suma Bing sadar
dan memburu dengan kencang
sekaligus dia berlari sejauh ratusan tombak namun bayangan
orang sudah tidak terlihat lagi.
Dilain saat Ong Fong-jui dan Tio Keh-siok juga sudah mengejar
tiba. Kata Ong Fong-ju gegetun: "Kalau tahu begini, siang2 aku
harus sudah menggunakan racun'.''
"Siapakah dia sebenarnya"'' tanya Suma Bing heran dan tak
mengerti- "Dia itu Loh Cu-gi," sahut Ong Fong-jui gemes. Berubah
airmuka Suma Bing sambil menggerung keras
kakinya sudah melangkah...... "Anak Bing," cegah Ong Fong-jui
sambil menggape, "Kau
takkan dapat mengejar dia, alat rahasia Bwe-hwa-hwe tersebar
di-mana2, jalan gelap dan jebakan malang-melintang disana-sini."
Sambil mengertak gigi Suma Bing berkata : "Masa bisa kita harus
membiarkan dia lolos ?"
"tentu tidak, namun kita harus menghadapinya dengan
perhitungan yang masak "
Sampai disini tiba2 Thio Keh-Siok menyela bicara : "Bukankah kau
...kau..sudah....."
"Ya, aku terjebak dalam barisan dan tertawan oleh musuh,
akhirnya aku terpukul masuk kedalam jurang........."
"Semua itu kita sudah tahu.'' " "O, kalian tahu darimana"'"
"Kita dikisiki seorang lelaki yang tidak diketahui namanya"
Suma Bing garuk2 kepala penuh tanda tanya, apa mungkin
Mo-in Siancu tidak mati dan menyampaikan pesannyai itu, maka
tanyanya gelisah: "Yang mengisiki kalian itu seorang perempuan"''
"Bukan, seorang laki2 berwajah kuning- Kau kenal dia?" Suma
Bing menggeleng kepala. Bayangan Go-hiangcuseperti
sangat dikenalnya itu terbayang dalam benaknya dia
semakin heran, bukankah orang itu pula tadi yang memancingnya
ketempait ini- Tapi bukankah dia seorang pangcu dari
Bwe-hwa-hwe ini benar2 membuat orang susah menduga dan sulit
dimengerti Agaknya Ong Fong-jui ingin cepat2 mengetahui pengalaman Suma
Bing, desaknya: "Coba ceriterakan pengalamanmu bel;akangan ini "
"Untung aku tidak mati terbanting didalam jurang ialah diluar
dugaan aku bertemu dengan seseorang!"
"Orang macam apakah itu?" "Dialah Raja iblis seratus muka
yang menolong jiwaku" "Dimana sekarang Pek-bin-mo-ong itu
berada"'' tanya Tio
leh-siok berlinang airmata. Suma Bing menjawab
tenang: "Sudah maiti.'"
"Apa mati" Kau yang membunuhnya." bentak Tiok Keh-Siok
beringas- "Bukan! Dia mati bunuh diri." Agaknya Tio Keh-siok tidak
puas sebelum dapat menuntut
balas sejak kematian Suhengnya Si-gwa-sian-jin, maka desaknya
sambil mengerut kening-; "Suma Bing. kau sendiri tahu betapa
jahat dan kejam sepak terjang Raja iblis ini- Mengapa kau biarkan
dia membunuh diri. Hm, aku paham sekarang, karena dia telah
menolong jiwamu bukan" Bunuh diri" Dapatkah dipercaya?"
"Nona Tio jangan kau terangsang oleh emosi, kalau kau berada
didalam kedudukan seperti aku, pasti kau sendiri juga, tidak tega
turun tangan. Ketahuilah dia sendiri juga menjadi alat orang lain,
setelah menunaikan tugasnya dia dibokong dan dicelakai sehingga
matanya buta dan kedua kakinya, cacat........'
"Dimanakah jenazahnya"''' "Didalam jurang dibelakang
panggung hukuman dalam
markas besar Bwa-hwa-hwe, nona bisa pergi kesana membuktikan
sendiri-" "Sudah pasti aku mesti kesana," geram Tio Keh-siok meng- gigit
gigi- "Akan kuhancurkan dan kubuang kemana2 anggota
tubuhnya."
"Pangkal mula dari semua, permusuhan ini. algojonya adalah Loh
Cu-gi, sedang para anak buah Bwe-hwa-hwe itu cuma pelaksana
saja'' "Setelah pertempuran kali ini." demikian sela Ong Feng-jui, "Boleh
dikata pihak Bwe-hwa-hwe sudah hancur luluh dan porak
peronda." Bangunan gedung markas besar yang megah itu sudah terbakar
habis, pertempuran juga sampai titik penghabisan,
namun masih terdengar beberapa kali jerit dan seruan yang
mengerikan Tiba2 sebuah bayangan orang kecil bundar dan tromok melayang
dan nieluncur tiba teriaknya keras: Buyung, sungguh besar dan
panjang jiwamu."
Sipendatang ini bukan lain adalah simaling bintang Si Ban- cwan.
Suma Bing terperanjat, serunya: ,,Cianpwe, kau ----" "Hehe,
kau heran kenapa aku simaling- tua tidak hancur
meledak bukan ?" "Itu hanya jebakan saja, Cayhe sudah
mendapat tahu dari
peringatan Phoa Cu-giok, dan sekarang sudah terbukti" "Phoa
Cu-giok?" sela Ong Fong-ji "Kau bertemu dengan
dia?" "Ya, dia muncul dengan bentuk Racun diracun, sekejap saja
sampai tak sempat untuk blcara barang sekejap jua!" "Ai, semoga
dia tidak mengecewakan pengorbanan cicirya" Simaling bintang Si
Ban-cwan menggape kepada Suma Bing
dan berkata: "Buyung, mari ikut Lohu menunaikan tugas penting
!" "Tugas penting?" "Ikut saja tidak akan salah, kalau ada
omongan nanti kita
bicarakan lagi-" " tengah berkata mendadak dia ingat sesuatu
lalu sambungnya lagi: "Simaling bintang ini kiranya tidak
mengecewakan hidupnya, jual beli kami ini ternyata paling lancar."
Kalau Ong Foiag-jui dan Tio Keh-siok mengunjuk rasa girang,
sebaliknya Suma Bing garuk2 kepala keheranan.
Setelah me-rogoh2 saku didalam bajunya, siimaling bintang
angsurkan kedua tangan kehadapan Ong Fong-jui serta
katanya : "Daun giok ungu ini harap tolong disampaikan kepada
It-hu-cu ketua Ngo-bi-pay" " lalu dia angsurkan sebuah benda
lain kepada Tio Keh-siok, katanya: "Kipas pualam ini kembali
kepada pemiliknya lagi--'
Tio Keh-siok menerima dengan kedua tangannya sambil memberi
hormat, ujarnya: "Terima kasih Cianpwe!"
Simaling tua mengangkat alisnya yang sudah memutih, serunya: :
"Ah, kerjaan gampang saja jangan ambil dalam hati!" " Lalu ia
lempar dua jilid buku kecil kearah Suma Bing, serunya: "Buyung.
sambutlah Kyu-im-cin-keng ini."
Suma Bing sampai terbelalak, hampir dia tidak penyaya kalau
semua ini kenyataan


Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kata Ong Fong-jui setengah memuji: "Maling bintang perampok
rembulan, nama ini kiranya tidak omong kosong belaka."
Simaling bintang berseri tawa, ujarnya: "Semua nya juga berkat
bantuan dari dalam".
Suma Bing melengak heran, tanyanya: "Bantuan dari dalam,
siapa?" "Go Hiangcu, laki2 muka kuning itu, kau pernah melihat bukan!"
"Lagi2 orang muka kuning itu?" "Buyung, waktu sudah sangat
mendesak, kalau ada urusan
minta saja disampaikan, sebab kita tiada tempo untuk kembali
lagi dalam waktu singkalt!"
Suma Bing melenggang mengawasi simaling bintang, hatinya tak
mengerti dan penuh tanda tanya. Akhirnya simaling bintang tidak
sabaran lagi, katanya, sambil membanting kaki: "Lekas, buyung,
kalau tidak kau akan menyesal sesudah kasep."
Suma Bing manggut2, lalu berpaling menghadap Ong Fong- jui.
katanya: "Bibi, harap sampaikan kepada Pit Yau-ang, setelah
semua urusan disini selesai mintalah dia pimpin anak buahnya
kembali ke Perkampungan bumi, demikian juga para gadis
pengikut ibunda"
Ong- Fong-jui mengiakan lalu mengawasi simaling bintang
tanyanya: "Cianpwe sebetulnya terjadi apalagi?"
Simaling bintang tertawa, misterius, ujarnya: "Kelak kalian akan
tahu. rahasia alam saat ini tidak boleh dibocorkan."
"Cianpwe," ujar Suma Bing gelisah," Loh Cu-gi itu sempat
meloloskan diri"
"Buyung, ikut aku saja tidak akan salah' " tanpa menanti jawaban
ia terus seret tangan Suma Bing lantas berlari kencang masuk
kedalam hutan. Setelah belak belok kekanan kiri tak lama kemudian mereka.
Sudah keluar dari lingkungan barisan Im-yang-ngo- heng-tin.
Suma Bing menurut saja diseret sekian lama dengan keheranan
hatinya risau dan gelisah Seperti mencari sesuatu simaling bintang
celingukan kesana-sini, lalu kata nya pasti: "Ke arah sini mari!"
Sekarang Suma Bing mengintil dibelakangnya terus berlari
kencang. Meskipun kepandaian simaling bintang terpaut jauh
dibanding dengan Suma Bing, namun ilmu ringan tubuhnya
ternyata hebat sekali. begitu dikembangkan tubuhnya melesat
bagai meteor terbang
Sepanjang jalan setiap kali sampai dipersimpangan jalan, simaling
bintang tentu membungkuk tubuh entah memeriksa apa. Waktu
sang malami berganti pagi, mereka sudah, berlari sampai ratusan
li lebih. Simaling bintang menunjuk sebuah kota Yang terlihat tak
jauh didepan sana, katanya: "Buyung, mari kita masuk kota
tangsel perut dulu, bagaimana juga mereka tidak bakal dapat
lari!" Suma Bing sendiri tidak tahu apa yang dimaksud tidak bakal lari,
dengan hampa dia mengiakan.
Setelah masuk kota langsung mereka, memasuki sebuah rumah
makan yang bernama Ko-siu-lau terus pesan makanan dan
minuman Setelah meneguk secangkir arak simaling bintang berkata: "Ayo
gares semua, jangan melamun saja, kita harus memburu waktu!"
Sambil makan bertanyalah Surna Bing: "Cianpwe, bagaimanakah
kejadiannya semalam?"
"Semua terjadi secara kebetulan. Sebetulnya aku simaling tua
menuju ke Ngo-bi-san untuk memberi penjelasan tentang
penyamaran orang atas dirimu itu- Ternyata sigundul dari Ngo-bi
It-hu-cu seorang yang bijaksana dan gampang di-ajak bicara,
kiranya dia mau memberi muka kepada simaling itua ini, mencoret
perhitungan dalam haitinya atas dirimu itu"
"Untuk kepentinganku sampai Cianpwe susah payah, Wan- pwe
ucapkan terima kasih!"
"Tidak perlu, setelah aku turun gunung, ternyata It-hu-cu pimpin
tigapuluh anak muridnya yang berkepandaian tinggi menceburkan
diri dalam kalangan Kangouw untuk menyelidiki jejak
Pek-bin-mo-ong. Kebetulan pihak Siau-lim juga mendapat kabar
a'ran munculnya kembali Hwe-hun-koay-hud simurid murtad
didalam Bwe-hwa-hwe, maka dibawah pimpinan Ngo-lo mereka
hendak membekuk murid durhaka ini, tanpa berjanji sebelumnya
dua rombongan ini lantas bergabung menjadi satu"
"Sedang bibimu dan perkampungan bumi berturut2 juga mendapat
kisikan dari seseorang. Peristiwa Bwe-hwa-hwe memasang
jebakan untuk melenyapkan jiwamu juga sudah mereka ketahui,
maka buru2 mereka menyusul tiba pula. Akhirnya mereka
mendapat kabar lagi katanya, kau terjebak dan tertawan musuh,
waktu mereka tengah memikirkan cara
bagaimana harus menolong dirimu, kebetulan rombongan Siau-lim
dan Ngo-bi telah tiba dan paling menggirangkan Tio Keh-siok
sigadis jelita itu juga ikut datang Dibawah petunjuk Tio Keh-sioklah
maka dengan mudah mereka. menerjang masuk kedalam barisan
Im-yang-ngo-heng-tin. Peristiwa, selanjutnya kau sudah melihat
sendiri!" "Siapakah orang yang memberi kisikan itu?" "Go-hiangcu dari
Bwe-hwa-hwe, laki2 muka kuning itu!" "Apa tujuannya dia
membantu kita?" "Siapa tahu!" Pertanyaan ini mengganjal
dalam sanubari Suma Bing,
apakah tujuan dan maksud perbuatan Go-hiangcu ini " Selama ini
Mo-in Siancu tidak muncul, agaknya dia mengalami bencana
Tutur simaling bintang lebih lanjut: "Laki2 muka kuning itu
memberikan padaku sebuah peta rahasia, dan sebelum-nya dia
sudah merusak beberapa alat rahasia sehingga dengan gampang
saja aku memperoleh benda2 pusaka yang telah dikangkangi oleh
Loh Cu-gi"
Suma Bing manggut2 tanpa bersuara, namun hatinya tengah
membatin, entah dapat atau tidak Cincin iblis dan Pedang darah
kelak dapat direbut kembali, Cincin iblis terang berada ditangan
Loh Cu-gi sedang Pedang darah berada ditangan Mo-in Siancu.
Apalagi kalau Mo-in Siancu meng di mi bencana, maka jejak
Pedang darah itu susah dicari. Begitulah sambil makan dan
ber-cakap2, setelah perut merasa kenyang terus mereka
melanjutkan perjalanan lagi.
Saking tak tertahan akhirnya Suma Bing bertanya "Cian- pwe
sebetulnya kita ini tengah mengejar siapa?"
"Siapa lagi kalau bukan Loh Cu-gi si durjana itu,"
Jawaban simaling bintang diluar dugaan Suma Bing, tanyanya
menegas: "Loh Cu-gi" Apa Cianpwe sudah tahu kemana dia pergi?"
"Ada orang yang menunjukkan jalan. Tapi aku sendiri juga belum
tahu asal-usul orang ini !"
"Apa mungkin laki2 muka kuning lagi ?" "Tebakkanmu betul !"
Dalam ber-cakap2 itu mereka tiba di persimpangan jalan
lagi, lagi2 simaling bintang mem-bungkuk2 dan celingukkan kian
kemari. Sekali ini Suma Bing turut memperhatikan dan
menemukan apa2, matanya mengikuti gerak-gerik si maling
bintang yang saat itu telah berhenti di pinggir jalan di hadapannya
tampak jajaran batu yang ber-bentuk bunga Bwe, maka tanyanya:
"Inikah yang kau cari?"
"Terhitung kau cerdik, batu besar di depan bentuk bunga Bwe ini
menunjukkan arahnya, mari jalan"
Berkobar semangat Suma Bing. Waktu tengah hari mereka
membelok menuju jalanan kecil di alas pegunungan, tak lama
kemudian mereka tiba di depan sebuah selat kecil. Di mulut selat
mereka dapati lagi batu2 yang berben-tuk bunga Bwe hanya kalini
kurang sebutir batu yang menunccukkan arah itu
Kata simaling bintang dengan nada berat dan perihatin: "Kita
sudah tiba ditempat tujuan."
"Didalam lembah ini?" "Begitulah menurut petunjuk rahasia
ini." Rasa dendam dan sakit hati merangsang deras dalam
aliran darah Suma Bing, ujung bibirnya menyinggung senyum ejek yang
sinis, dan di belakang senyum sinis inilah tersembunyi sifat
kebuasan dengan hawa membunuh yang sadis. Betapa sudah dia
mengharapkan waktu yang sekian lama di- nanti2kan ini.
Batu berserakan tak teratur didalam mulut lembah, pohon2 besar
juga tidak kurang banyaknya menambah seram suasana yang
sunyi ini. Setelah saling berpandangan Suma Bing dan simaling
bintang mengembangkan ilmu ringan tubuh terus melesat ke
dalam lembah. Mendadak di hadapan sana berkelebat sebuah bayangan terus
menghilang. Gerak Suma Bing secepat kilat, sekali loncat tubuhnya
melenting keras terus menubruk tiba. Agaknya kepandaian orang
itu juga tidak lemah, sekali melayang Lima tombak dengan mudah
dicapainya terus menghilang kebalik batu.
Sudah tentu Suma Bing tidak rela kehilangan jejak musuh, bagai
bayangan setan tubuhnya melenting ketengah udara dari
ketinggian inilah dia bergerak setengah lingkaran terus menubruk
turun, dimana jarinya ditekuk dan ditutukkan melesatlah angin
tusukkan jarinya itu. Kontan terdengar jeritan keras, bayangan itu
jumpalitan dua kali terus roboh diantara himpitan batu.
Waktu Suma Bing hinggap diatas tanah langsung dia jinjing tubuh
musuh ini. Sementara itu simaling bintang juga sudah menyusul
tiba. Kiranya bayangan itu adalah seorang pemuda berwajah halus
cakap mengenakan seragam hitam yang tersulam bunga Bwe di
depan dadanya, gambar putih bunga Bwe itu kini sudah
berlepotan darah!
"Dimana Loh Cu-gi sembunyi" Katakan !" Suma Bing mengancam
dengan bengisnya.
Tiba2 pemuda seragam hitam itu mengulur jarinya menusuk ke
pelipisnya sendiri, Suma Bing sudah tidak keburu mencegah
perbuatan yang nekad ini.
Simaling bintang menggeleng kepala, ujarnya: "Agaknya kunyuk
ini adalah pengawal pribadi Loh Cu-gi sendiri."
Suma Bing mendengus dongkol, terus melemparkan clyena- ah
pemuda itu, katanya: "Loh Cu-gi pasti sembunyi di sekitar
sini, dan pasti mereka suaah bersiaga mendengar teriakan yang
keras tadi. Mari kita harus bergerak cepat."
Sepuluh tombak kemudian sebuah bayangan berkelebat
menghilang lagi. Begitu mengembangkan ginkang masing2 Suma
Bing dan simaling bintang berloncatan gesit selincah kera diatas
ujung2 batu tanpa mengeluarkan sedikit suara, ketangkasan dan
kemahiran yang menakjubkan ini benar2 harus dipuji.
Tatkala itu, ditengahi dinding lembah ada beberapa sorot mata
tengah mengmati Suma Bing dan simaling bintang yang tengah
berlari lewat. Itulah sebuah gua yang besar, atau boleh dikatakan sebuah
ruangan besar di dalam tanah dikatakan ruangan karena perhiasan
dan perabot dalam gua ini sedemikian mewah, mulut atau pintu
ruangan ini tertutup oleh alingan batu2 runcing, jadi sebelum
dekat tidak gampang dicari atau diketemukan.
Di tengah ruangan seorang tua ubanan mengenakan jubah
panjang warna hijau tengah duduk dengan angker di atas korsi
kebesaran, kedua sampingnya berdiri tegak tidak kurang lima
puluh anak buahnya yang paling setia, tua muda dan tinggi
rendah tak teratur.
Seorang laki2 seragam hitam bergegas lari masuk terus berlutut di
depan orang tua ubanan itu, serunya: "Lapor sesepuh, musuh
sudah menerobos sampai dasar lembah."
"Sudah tahu, mundur !" Sepasang mata orang tua ubanan ini
memancarkan sorot
terang yang menakutkan pandangannya menyapu seluruh para
jagoannya yang berdiri tegak itu, suaranya terdengar dingin
menciutkan nyali: "Aneh, Suma Bing si bocah keparat dan simaling
bintang cara bagaimana bisa mengejar sampai disini, hanya
terpaut langkah depan dan belakang."
Keadaan sunyi mencekam hati, tiada seorang yang bersuara
menjawab. Berhenti sebentar suara orang tua ubanan semakin dingin
mengancam : "Diantara kita sendiri pasti ada pengkhianat yang
menjadi mata2 musuh !" sambil berkata pandangannya menyapu
selidik semua hadirin, agaknya dari mereka ini ia hendak
mendapatkan siapakah yang telah murtad dan mendurhakai
perkumpulan. Suasana sedemikian hening lelap seumpama jarum jatuh juga bisa
terdengar, hampir semua orang dapat mendengarkan jalan
pernapasannya masing2. Pandangan yang tajam satu per satu
menatap wajah semua orang, terakhir berhenti diwajah laki2
bermuka kuning, sikap laki2 muka kuning tetap tenang tanpa
berubah air mukanya, namun tak urung sinar matanya mengunjuk
rasa takut. Perkataan orang tua ubanan sepatah demi sepatah seta- jam
ujung golok: "Go-hiang-cu, apakah kau adanya?"
Seluruh pandangan semua orang seketika tertuju ke arah laki2
muka kuning yang dipanggil Go-hiangcu itu. Segera laki2 muka
kuning menekuk sebuah lututnya sambil berseru lantang: "Harap
sesepuh suka periksa biar betul!"
Orang tua ubanan menyeringai, tanyanya tajam: "Gohiangcu,
waktu kau masuk menjadi anggota, apakah kau pernah
baca sepuluh undang2 peraturan besar kita?"
Go-hiangcu mengiakan. "Apa bunyi nomor tiga?" "Segala
perintah sesepuh harus dijunjung tinggi melampaui
segalanya, semua anak murid harus tunduk dan patuh akan
perintah ini !"
"Bagus, kalau begitu kau bereskan sendiri jiwamu !"
laki2 muka kuning berjingkrak berdiri sambil angkat kepala serta
mundur berapa langkah. suaranya gemetar membela diri: "Hamba
ada melanggar pantangan apa"'"
"Lebih baik aku salah membunuh seratus dari pada melepas
seorang, ini perintah !"
Laki2 muka kuning mundur lagi beberapa langkah. Dari mulut
gua terdengar suara jerit kesakitan yang rendah
dan berat, sebuah bayangan orang merangkak bergelindingan
masuk kedalam, perkataannya tersenggak di tenggorokannya:
"Lapor sesepuh, musuh............" belum habis ucapannya, dua
bayangan orang sudah berkelebat masuk ke dalam ruangan, yang
datang ini bukan lain adalah Suma Bing dan simaling bintang.
Mendadak orang tua ubanan bergegas bangun sambil menghardik
keras: "Serang dengan sekuat tenaga !"
Seketika terdengar gerungan dan bentakan riuh rendah, angin
pukulan ber-gulung2 menerpa ke arah pintu ruangan besar.
Suma Bing berteriak keras : "Serahkan jiwa kalian !" " Membuka
langit menutup bumi jurus ketiga dari Giok-ci-sin- kang
dilancarkan dengan hebatnya. Gempuran yang dah-syat membuat
seluruh ruangan tergetar hebat sehingga terasa tergunjang
ganjing. Keadaan dalam ruangan sungguh sangat mengenaskan
darah dan daging manusia yang cecel dowel beterbangan keempat
panjuru, tiga puluhan musuh yang lihay2 tiada satupun yang
masih ketinggalan hidup dengan tubuh yang masih utuh. Dua
puluhan orang yang masih hidup juga sudah terkesima dan
banyak yang terluka pula, mereka berdiri kesima bagai patung.
Sepasang mata Suma Bing ber- kilat2 menyapu pandang keempat


Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penjuru. dia mencari jejak Loh Cu-gi.
"Serang !" " tiba2 orang tua ubanan itu memberi aba2 lagi.
Puluhan jago2 yang masih hidup itu setelah melengak dan
tertegun terus serempak menyerbu ke arah pintu.
Terdengar simaling bintang berseru gelisah: "Buyung, an- jing
tua ubanan itulah!"
Tergerak hati Suma Bing, kedua tangan dipentang dan bergerak
sebat sekali sambil melesat masuk ke dalam. Di mana terdengar
jeritan dan teriakan puluhan orang telah melayang jiwanya
ditangan Suma Bing.
Mendadak terdengar sebuah suara berkata: 'Loh Cu-gi
menyerahlah saja !"
Tanpa merasa Suma Bing terhenyak ditempatnya, orang yang
membuka mulut ini bukan lain adalah Go-hiangcu yang berwajah
kuning itu. Pada saat dia terlongong inilah orang tua ubanan ber- gerak turun
tangan sekali raih dia cengkram tengkuk laki2 muka kuning lantas
mundur mepet ke dinding !
Sementara itu, simaling bintang tengah berkelahi dengan sengit
melawan anak buah Bwe-hwa-hwe.
Baru sekarang Suma Bing dibikin terang segalanya, matanya
mendelik besar menatap orang tua ubanan itu, desis- nya: "Loh
Cu-gi, hari akhirmu sudah tiba, gunakanlah darahmu untuk
menebus dosa2mu !"
Orang tua ubanan perdengarkan gelak tawa yang menusuk
telinga, ditengah tawanya, pelan2 dia tanggalkan kedok di
mukanya, tampaklah sebuah muka pertengahan umur yang cakap
namun mengandung kekejaman yang sadis. Tidak salah dia bukan
lain adalah sesepuh Bwe-hwa-hwe Loh Cu-gi adanya.
Wajah Suma Bing membesi hitam mengandung hawa membunuh
yang tebal menakutkan, matanya memancarkan sorot kebencian
yang menciutkan nyali, katanya sambil maju
setindak: "Loh Cu-gi, kau harus bersedia menerima pembalasan
dari segala perbuatanmu."
Wajah Loh Cu-gi gemetar, gigitnya ber-kerot2. tiba2 dia ulur
jarinya menutuk beberapa jalan darah diatas tubuh laki2 muka
kuning. Ditengah keluhan yang mengerikan terjadilah suatu
keanehan, seketika air muka laki2 kuning itu berubah hebat,
dalam sekejap mata saja telah berubah menjadi wajah seorang
pemuda yang cakap halus.
"Phoa Cu-giok !" teriak Suma Bing kaget. Tanpa merasa dia
mundur beberapa langkah, mimpi juga
dia tidak sangka bahwa laki2 muka kuning yang dipanggil Gohiangcu
ini ternyata adalah penyamaran Phoa Cu-giok, rahasia
teka-teki sekian lama ini kini telah terbongkar seluruhnya. Terang
dengan menyamar dan menyelundup ke dalam Bwe- hwa-hwe
maksud Phoa Cu-giok adalah hendak membantu usaha Suma Bing.
Apakah perbuatan inilah yang dia katakan kepada Thong Ping
dengan istilah kerja bhakti yang mengandung arti demi
kesejahteraan masyarakat "
Sementara itu pertempuran dipintu besar sana sudah selesai,
simaling bintang dengan mudah telah membereskan Semua
musuh2nya. Mendadak Phoa Cu-giok tertawa hambar dan berteriak serak:
"Cihu, lekas turun tangan, jangan pedulikan aku!"
"Cu-giok", ujar Suma Bing penuh haru, "Kenapa kau harus
menyiiksa diri?"'
Bola-mata Loh Cu-gi berputar, mendadak dia menggembor keras:
"Keparat, sambutlah!" sambil bersuara dia angkat tubuh Phoa
Cu-giok terus dilempar kearah Suma Bing.
Terpaksa Suma Bing ulur tangan untuk menyambuti tubuh adik
iparnya ini. Menggunakan peluang inilah cepait2 Loh Cu-gi menekan alat
rahasia didindmg belakangnya terus menyelinap masuk dan
menghilang. Dari samping simaling bintang memburu tiba merebut tubuh Phoa
Cu-g}ok sambil berkata : "Berikan padaku!"
Phoa Cu-giok berteriak tertekan: "Jangan kejar, tunggulah
dimulut lembah......"
Suma Bing lepas tangan terus melenting keluar gua secepat kylat
dia ber-lari2 menuju kemulut selat, dimana dia mencari sebuah
tempat untuk menyembunyikan diri dan menanti dengan sabar
dan waspada. Lahirnya dia berlaku tenang, namun hati kecilnya.
bergejolak keras- Betulkah Loh Cu-gi bakal muncul dimulut selat
ini seperti yang dikatakan Phoa Cu- giok tadi" Apa mungkin ruang
batu itu hanya mempunyai sebuah jalan rahasia yang menembus
keluar dimulut selat ini" Kalau kali ini sampai dia merat dan
melarikan diri lagi, untuk mencarinya lagi pasti sulit dan berabe.
Se-konyong2, jantung Suma Bing berdetak semakin keras. Sebuah
batu besar yang terletak lima tombak dari tempat
persembunyiannya itu tiba2 bergerak2 terus pelan2 menggeser
kesamping, muncullah sebuah lobang kecil kira2 lima kaki persegi,
dari dalam melesat keluar bayangan seseorang. Bayangan mi bukan
lain adalah Loh Cu-gi adanya.
Begitu keluar dari dalam lobang baru saja dia celingukan dan
hendak bergerak. Tiba2 Suma Bing sudah bangkit menyerbu
sambil memibentak lantang: "Loh Cu-gi. sudah lama tuan mudamu
menunggu kau disini."
Loh Cu-gi berjingkrak kaget dan tersurat mundur, wajahnya
berubah ketakutan, namun matanya memancarkan sorot kebencian
yang me-luap2. Tokoh lihay yang pernah menduduki kursi tertinggi
dian kaum persilatan dengan sebutan tokoh silat nomor satu
diseluruh jagat pada
pertandingan kedua dipuncak Hoa-san, kini mulai ketakutan
seperti anjing kepepecang mengkeret mencawat ekor.
Sementara itu Suma Bing sudah melejit tiba dihadapan Loh Cu-gi
untuk mencegah dia melarikan diri. Sekelebatan wajah Loh Cu.gi
berubah ungu membeku, tanpa mengeluarkan suara lagi, kedua
tangannya diangkat terus rnendorong kedepan. Sinar merah yang
mencorong terang kontan meluncur kedepan. Sekali serangan ini
dia sudah himpun seluruh kekuatan Kiu-yang-sin-kang yang sudah
dilatihnya sempurna.
Suma Bing melompat mundur setombak lebih, menyingkir dari
serangan dahsyat, matanya dengan tajam mengawasi gerak gerik
musuh- Begitu serangannya mengenal tempat kosong. Loh Cu-gi
lantas meloncat mundur sekuatnya kebelakang.
"Lari kemana!" " hal ini sudah menjadi dugaan Suma Bing. maka
siang2 dia sudah siaga- Bagai gerakan setan gentayangan Suma
Bing berputar terus melejit kearah musuh jurus Bintang menggeser
jumpalitan terus diberondong keluar secepat kilat.
Dalam gebrak keras lawan keras ini, Loh Cu-gi tersurut mundur
lima langkah. Tanpa memberi hati, pukulan Suma Bing merangsak
dengan derasnya secara berantai. Seketika terbitlah angin lesus
yang membumbung tinggi ketengah angkasa- Dibawah rangsakan
Suma Bing yang keras dan hebat ini, Loh Cu-gi menjadi mati kutu
dan tak mampu lagi balas menyerang. Saking bernafsu, sekaligus
Suma Bmg lancarkan sepuluh jurus empatpuluh delapan pukulan
Saking kewalahan akhirnya terpaksa Loh Cu-gi menggunakan cincin
iblis yang direbutnya dari Suma Bing tempo hari. Seperti diketahui
Cincin iblis adalah benda pusaka yang jarang digunakan milik
Lam-sia, betapa kuat dan hebat perbawa sorot sinarnya yang
mencorong terang, dalam jarak tiga tombak ketajaman dan
keampuhan sorot sinar-nya tidak
kalah oleh sembarangan senjata tajam. Mengandal kekuatan
latihan Loh Cu-gi sudah tentu perbawanya lain dari yang lain.
Suma Bing juga sudah kerahkan seluruh kekuatan Giok-ci- sin-kang
untuk berkutat pertempuran sengit berebut antara mati dan hidup
terbentang dialam pegunungan yang semak belukar, betapa hebat
dan seru pertempuran ini cukup mengejutkan margasatwa dihutan
sekelilingnyia. Kedua belah pihak telah kerahkan setaker tenaga
masing2- tipu lawan tipu, licik lawan licik, setiap jurus tipu
serangan mereka mengandung kekuatan dahsyat yang mematikan.
Lima puluh jurus! Seratus jurus dan dua ratus jurus kemudian
pancaran sinar cincin iblis Loh Cu-gi semakin guram-
Maklumlah dalam mempergunakan cincin iblis sebagai alat senjata
harus mengerahkan hawa murni sebagai landasan kekuatannya,
kekuatan dan perbawa sinar cincin iblis ini tergantung dari
panjang dan kerasnya tenaga murni si- pemakai. Sekejap mata
lima puluh jurus telah berlalu lagi- Serangan Suma, Bing bukan
lemah malah semakin gencar dan semangat Sebaliknya Loh Cu-gi
semakin payah dan terdesak terus sampai kempas kempis.
-ooo0dw0ooo- 61. SABDA BUDHA MENGAKHIRI CERITA INI.
Dua bayangan orang muncul dari balik batu dalam mulut
selat sana. Mereka bukan lain adalah simaling bintang yang
menggendong Phoa Cugiok yang terluka berat.
Se-konyong2 terdengar Suma Bing menggembor keras: "Roboh!" "
sambil kerahkan seluruh tenaganya, dllaiicarkannya jurus Membuka
langit menutup bumi.
Kontan Loh Cu-gi memekik seram, tubuhnya jungkir balik
tergulung oleh angin badai pukulan Suma Bing, demikian
hebat pukulan ini. sampai tubuhnya melayang tiga tombak
jauhnya, mulut menyemburkan darah dan "Blang" dengan
kerasnya terbanting diatas tanah.
Gembong penjahat nomor wahid dari kaum persilatan ternyata
sedemikian tinggi dan dalam Lwekangnya, begitu menyentuh
tanah bergegas dia 'bangkit kembali.
"Roboh!" lagi2 terdengar hardikan lebih keras, tangan Suma Bing
bergerak miring menjojoh tepat kedada lawan. Loh Cu-gi
menyemburkan darah dan terhuyung mundur, akhirnya ia jatuh
terduduk tanpa bergeming lagi
Suma Bing angkat langkah maju mendekat, wajahnya diliputi
kemenangan dan kekejian, desisnya sambil mengertak gigi: "Loh
Cu-gi, hukum alam tak memberi ampun bagimu."
Suara Loh Cu-gi melengking bagai teriak setan, yang setan batuk:
"Bocah keparat, kau puas sudah?"
"Tentu- nanti setelah saat ini sudah lewat."' Loh Cu-gi melolong
sedih, tangannya diangkat terus
mengepruk kebatok kepalanya sendiri. Sigap sekali jari2 Suma
Bing rnenyelentik, dua jalur angin
keras melesat keluar. Terdengar keluhan yang memualkan, tangan
Loh Cu-gi yang sudah terayun itu seketika lemas semampai, dilain
saat sebelah tangannya juga sudah tertutuk lemas.
"Loh Cu-gi, sedemikian gampang kau hendak mengakhiri
dosa2mu ?"
"Keparat, apa yang hendak kau perbuat atas diriku?" "Akan
kubikin darahmu habis setetes demi setetes, supaya
jiwamu amblas sedetik demi sedetik." Loh Cu-gi berteriak
beringas, tubuhnya mendadak meronta
bangun, tapi baru setengah jalan sudah roboh lagi serta
menyemburkan darah lagi
Suma Bing maju selangkah mencengkram dadanya terus dijinjing
tinggi2 Sebuah lolong yang mengerikan, memecah kesunyian
alam. pegunungan, lengan kanan Loh Cu-gi yang mengenakan
Cincin Iblis telah dibetot putus dari badannya seperti membetot
pupu ayam saja. Inilah pertunjuk an yang paling seram kejam dan
mengerikan. Dari jari yang sudah putus lengannya itu Suma Bing menanggalkan
Cincin iblis miliknya, lalu dia menutuk pundak Loh Cu-i mencegah
mengalirnya darah yang sangat deras
Nadanya seram menakutkan: "Loh Cu-gi kau menghina dan
mencelakai guru serta, mendurhakai leluhur, lenganmu ini
terhitung sekedar sebagai penebus dosa kepada perguruan"
Tubuh Loh Cu-gi berkelejotan, wajahnya pucat pasi tanpa darah.
Teriakan yang menggetarkan sanubari dan menyedot semangat
terdengar lagi, lengan kiri. Loh Cu-gi telah dipuntir putus pula dan
pundaknya. "Dengar, kau mencelakai Suci Sim Giok-sia, membunuh Tiang-un
Suseng Pho Jiang menyebar kejahatan dan, menyebar maut
dikalangan Kangouw, dimana2 menimbulkan gelombang
pertengkaran dan keributan, kematianmu ini masih belum Cukup
untuk menebus segala dosa2mu itu, biarlah lenganmu ini sebagai
barang tangggungan"
Kalau dadanya tidak dicengkeram oleh Suma Bing, pasti Loh Cu-gi
tidak kuat lagi berdiri sekian lama
Sekarang Suma Bing merogoh saku dalam baju orang darimana
dikeluarkan sebilah senjata tajam yang berkilau memancarkan
sinar dingin, jengeknya: "Sungguh tak diduga kaupun tidak
melupakan membawa cundrik Penembus Dada ini "
Sambil berkata pelan2 tangannya telah diangkat dan serunya
dengan nada dingin: "Loh Cu-gi, hutang darah di puncak kepala
harimau dulu, sekarang.."
"Nanti dulu anak Bing!" mendengar seruan ini tubuh Suma Bing
gemetar, tanpa merasa dia lepaskan pegangannya.
Tubuh Loh Cu-gi limbung dan terhuyung mundur terus roboh
tercelentang. Seorang perempuan setengah umur yang cantik dengan Wajahnya
yang membesi beku entah kapan tahu2 sudah ada dibelakang
Suma Bing Begitu membalik tubuh Suma Bing segera berlutut dan menjerit
dengan, sedih : "Bu" tak tertahan lagi airmata mengalir deras.
"Nak bangunlah ayahmu pasti tahu di alam baka selanjutnya dia
bisa tentram dan meram istirahat disana"
Setelah berkata cundrlk penebus dada ditangan Suma Bing
dimintanya lalu beranjak kedepan Loh Cu-gi, bentaknya geram:
"Orang she Loh apa kau masih ingat akan cundrik ini, seharusnya
kau sudah harus ingat akan hari yang pasti akan datang ini "
Tergetar tubuh Loh Cu-gi, matanya dimeramkan Pelan2
San-hon-li Ong fan-lan menggerakkan cundriknya.
cundrik penembus dada dengan telak menusuk ke dada Loh Cu-gi.
Tak terdengar jeritan sakit, hanya dengusan putus napas yang
terdengar seperti keluar dari dalam bumi-
Kala jiwa dari seorang gembong sudah padam, ambisi dan
ketamakan yang hendak menguasai seluruh dunia persilatan juga
ikut lenyap, perkumpulan Bwe-hwa-hwe yang menggetarkan Bulim
juga terhapus dari catatan sejarah dunia persilatan.
Simaling bintang dan phoa ciu-giok terkesima tanpa berbicara
menonton adegan yang seram dan mengerikan ini.
Tanpa mencabut kembali cundriknya dia memutar tubuh seluruh
tubuh berkeringat dan menggigil. Wajahnya tenang dan wajar
seperti murid sang Budha yang saleh.
"Bu" panggil Suma Bing senggugukkan "Nak." ujar San-hon-li
Ong Fang-lan sambil menepuk
pudaknya, suaranya tenang : "Baiklah jaga dirimu, Ibu
mendoakan kebahagianmu."
Tergetar perasaan Suma Bing. Katanya: "Bu' sejak saat ini anak
akan selalu mendampingi kau."
"Tidak nak, kau mempunyai jalan hidupmu sendiri kuharap kau
berani menyelusuri jalan itu, sampai ujung pangkalnya. Ibu
mengucap selamat bertemu kembali...."


Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Suma Bing menggerung nangis seperti anak kecil, ujarnya sedih:
"Bu, kau........"
Ong Fan-lan tersenyum pahit, menyela perkataan Suma Bing:
"Nak, kau sudah besar dan dewasa, sudah tentu kau harus
memahami maksud ibumu. Ibumu adalah seorang Yang sudah
berdosa, dosa ini akan kubawa masuk keliang kubur. Sebelum
nyawaku ini sampai titik penghabisan, aku ingin dengan tenang
merenungi dan menebus dosa ini- Nak, selamat bertemu, jangan
terlalu banyak kata, ibu maklum isi hatimu .........."
Habis berkata dengan ringan seakan mengembang laksana awan
tubuhnya melayang pergi........
"Bu!" pekik Suma Bing dengan sedihnya. Ingin dia mengejar dan
baru saja badannya bergerak, sebuah bayangan tahu2 sudah
menghadang dihadapannya.
Dia bukan lain adalah simaling bintang Si Ban-cwan yang sejak
tadi menonton diam di pinggir. Dia memanggil diluar kebiasaan,
katanya serius: "Suma Bing, kau tidak boleh......"
"Cianpwe, apanya yang tidak boleh?" senggak Suma Byng sambil
sesenggukan. "Ya, ikutlah ibumu pergi, kalau kau tidak ingin lagi bertemu
dengan ibumu kelak."
"Ini, kenapa?" "Pasti kau belum lupa bahwa ibumu dulu pernah
ternoda oleh Loh Cu-gi, hal itu merupakan noda hitam yang tak dapat
dihapus dalam sanubarinya dan takkan terlupakan selama
hidupnya. Jangan kau memaksa dia. kalau tidak kau dapat
membayangkan akibatnya."
Baru sekarang Suma Bing tersedar dan bercekat hatinya, katanya:
"Terima kasih akan petunjuk Cianpwe ini."
"Kuucapkan selamat akan usahamu yang berhasil menuntut balas
ini" "Bantuan Cianpwe yang besar dan berharga itu selamanya
Wanpwe takkan melupakan."
"Urusan kecil simaling bintang bekerja hanya untuk menentramkan
hati kecilnya. tak perlu banyak dipersoalkan Setelah segala urusan
selesai apakah kau hendak kembali ke Perkampungan bumi?"
"Wanpwe masih ada satu urusan yang belum, selesai.'"
"Urusan apa?" "Masih ada seorang musuh besar yang ikut
pengeroyokan dalam peristiwa dipuncak kepala harimau itu belum kucabut
nyawanya" "Siapa?" "Thi-koan-im Lim Siang-hiang !" "Dia juga ikut?"
seru simaling bintang terkejut mendelik. "Apa kau tahu
dimana sekarang Thi-koan-im berada?"
"Apa Cianpwe tahu jejaknya?" "Secara kebetulan saja Lohu
ketahui, siluman yang jaya
dan malang melintang dulu, kini sudah menjadi pemeluk agama
yang saleh"
"Apa. jadi dia sudah mencukur gundul menjadi pendeta?"
"Tidak salah!'" "Dapatkah Cianrwe memberi petunjuk, dia
berada...." "Dia berada di Pek-jio-gay Yok-cu-am. Jauhnya
kira2 tiga hari perjalanan." "Terima kasih akan petunjuk ini" "Cihu!"
panggilan yang serak dan lemah berat ini membuat
Suma Bing tersentak kaget, hampir saja dia lupa bahwa
dihadapannya masih ada Phoa Cu-giok, pemuda yang sudah insaf
akan kejahatan2 yang telah diperbuatnya dulu. Jikalau Phoa
Cu-giok tidak menyamar dan menyelundup kedalam
Bwe-hwa-hwe, pasti tidak sedemikian gampang dan lancar dia
dapat menunaikan tugasnya dalsm menuntut balas ini.
Maka segera dia maju bertanya : "Cu-giok. bagaimana lukamu?"
Phoa Cu-giok tertawa getir, ujarnya: "Lwekangku sudah punah
seluruhnya"
"Apa, jadi Loh Cu-gi telah melenyapkan seluruh kepandaianmu ?"
"Ya, waktu dia. melemparkan tubuhku, sebelumnya telah
menutuk jalan darahku"
Saking gegetun Suma Bing menggigit gigi sampai berkereyotan.
katanya sungguh2: "Cu-giok, penderitaanmu ini oleh karena aku,
selain aku merasa menyesal aku bersumpah akan membantumu
sekuat tenaga untuk memulihkan Lwekangmu lagi."
"Cihu, tidak perlu lagi......" "Kenapa?" "Orang macamku ini,
seharusnya siang2 sudah mati!'' "Cu-giok, orang lang sudah
insaf masih dapat diampuni,
dialami baka pasti cici mersa terhibur dan meram. " "Budi cici
terhadapku, mati seratus kali juga. belum
menampilli seperseribu kebaikannya." "Cu-giok, yang sudah silam
tak perlu disinggung lagi." "Cihu, hanya untuk menebus dosa2ku
itulah maka aku
menyelundup kedalam Bwe-hwa-hwe, kupikir, kalau cici tahu
dialam baka, pasti dia senang melihat sumbangsihku ini sebetulnya
aku dapat menggunakan racun. tapi bila teringat kau harus
menuntut balas dan membunuh dengan tanganmu sendiri........"
Suma Bing terharu, tenggorokannya tersumbat dan hidung terasa
kecut, hampir saja dia mengalirkan airmata lagi-
Entah apa yang tengah dipikirkan Phoa Cu-giok terlongong2
mendongak memandangi langit lama dan lama kemudian batu
bersuara pula: "Cihu, kuminta kau mengiringi aku pergi Su-cwan
barat kerumah keluarga Thong Ping!"
"Betul, kau harus pergi melihat Thong Ping serta putrinya. dia
seorang wanita yang welas asih dan budiman, pasti dia dapat
memaafkan segala kesalahanmu dulu"
"Semoga begitu," sahut Cu-giok sambil tunduk, "Cihu mari kita
berangkat."
Suma Bing berpikir sebentar lalu sahutnya: "Baiklah!' lalu dia
berputar mencabut cundrik penembus dada dari ulu hati Loh Cu-gi
setelah menyeka noda darah terus diselipkan dipinggangnya,
dengan tajam dia awasi jenazah Loh Cugi dan katanya: "Loh Cu-gi.
serigala dan binatang alas akan membereskan badanmu yang
kotor ini."
Simaling bintang meng-geleng2 sambil menghela napas panjang
ujarnya getol: "Suma Bing selamat bertemu kelak, Lohu juga
harus pergi."
Sumo Bing merasa berat berpisah, katanya: "Cianpwe hati2lah
sepanjang jalan, kalau ada senggang harap mampir dan
berkumgul di Perkampungan bumi."
Tanpa bersuara lagi, simaling bintang menggerakkan tubuhnya
yang tromok bundar seperti bola, sekejap saja bayangannya sudah
hilang dari pandangan mata.
Dua hari kemudian Phoa Cu-giok serta Suma Bing sudah sampai
diatas sebuah bukit kecil diluar perkampungan Thong- keh-kip di
Sucwan barat. Kiranya bukit ini merupakan pekuburan bagi keluarga
perkampungan Thong-keh-kip itu, sambil mengerut kening Suma
Bing bertanya: "Cu-giok, apa yang hendak kau lakukan disini,
bukankah hendak menilik Thong Ping......."
Segera Phoa Cu-giok menunjuk sebuah kuburan yang agak besar
dan berkata: "Cihu inilah tempat istirahat ibu mertuaku."
Suma Bing melenggong, hatinya giris. "Cihu, terima kasih akan
kesudianmu berkunjung kemari
sejauh ini. Aku ada satu permintaan harap kau suka memberi
muka kepadaku !"
"Permintaan apa?" "Thong Ping seorang yang harus dikasihani,
putrinya juga masih bayi, kuharap kau suka membantu mengawasi, kuminta
kau suka memberi kabar kepada guruku.........."
Suma Bing kuatir, tanyanya gugup: "Apa maksudmu ini"''
"Phoa Cu-giok seorang yang paling berdosa di dunia ini
masi ada muka aku hidup terus......... "
"Cu-giok, janganlah kau mensia2kan pengharapan cicimu, dan
yang terpenting pertanggungan jawabmu kepada Thong Ping ibu
beranak.........."
"Cihu. sedikit kesalahanku sehingga aku membunuh ibu mertua
pasti Thong Ping selamanya tidak akan memberi ampun kepadaku,
memang hakikatnya juga tidak bisa dimaafkan. Beruntung keluarga
Phoa sudah ada kuturunan. arwah cici pasti tidak menyesal lagi.''
"Cu-giok, janganlah kau lakukan perbuatan bodoh ini." "Cihu,
terhadap kau, aku juga menyesal dan bertobat,
biarlah aku mati untuk menebus kesalahanku itu!"
"Cu-giok..........................." "Aku akan minta pengampunan dulu
kepada ibu mertua................. " sambil berkata dia menubruk maju terus
terkapar di depan kuburan.
Suma Bing merasa kaki tangannya membeku linu, keringat dingin
membasahi tubuh, mimpi juga tidak terduga olehnya Phoa Cu-giok
benar2 senekad ini, waktu diraba denyut nadinya ternyata napasnya
sudah berhenti, selain menggunakan racun. dia tak berhasil mencari
pangkal kematian Phoa Cu-giok yang sedemikian cepatnya.
"Mungkin dia yang benar, dosanya terlalu besar, seumpama hidup
terus juga akan sengsara dan menderita seumur hidup. Ah,
sungguh kasihan Thong Ping dan anaknya." Demikian Suma Bing
menggumam sendiri. Manusia itu tetap manusia, dia rnempunyai
perasaan dan mempunyai pikiran, tak tertahan lagi Suma Bing
mencucurkan air mata tanda ikut berduka cita.
Phoa Cu-giok pernah berkata kelak akan memberikan
pertanggungan jawabnya kepada Thong Ping, inikah
pertanggungan jawabnya"
Pada saat itulah sebuah bayangan tengah berlari terbang
mendatangi, dia bukan lain adalah Thong Ping istri Phoa Cu- giok
yang ditinggal pergi.
"Surna Siauhiap!" "O, nona Thong !"
"Dia...................................." "Dia sudah mati," kata Suma
Bing pilu, "Dia membunuh diri
untuk menebus kesalahannya dan minta pengampunan terhadap
ibumu." Wajah Thong Ping berubah pucat, sambil menjerit panjang dia
menubruk jenazah Phoa Cu-giok terus menangis menggerung2.
Lama dan lama kemudian baru Thong Ping menghentikan
tangisnya. Baru sekarang Suma Bing ada kesempatan membuka mulut:
"Nona Thong, aku tahu kau tetap mencintainya, tapi, memang
hanya itulah jalan satu2nya yang harus dia tempuh."
Thong Ping berusaha menekan perasaannya, sambil menyeka air
mata dia berkata: "Suma Siauhiap apa yang dapat kukatakan. Dia
adalah kekasihku, ayah dari anakku, tapi dialah musuh besarku
yang membunuh ibuku !"
"Nona, biarlah sang waktu menghanyutkan semua ini, biar rasa
kebencianrnu ikut terkubur karena kematiannya, berikanlah rasa
cintamu dan alihkan kepada anakmu serta
keturunannya.......................
"Benar, aku pasti dapat!" "Sebelum ajal dia berpesan supaya
aku mengawasi hidup
kalian dan memberi bimbingan kepada putrinya. Dia adalah adik
iparku sudah tentu tugas ini harus kupikul juga. Sekarang aku
masih ada urusan penting menanti penyelesaian, setelah
semua urusan dapat kubereskan pasti aku kembali kesini untuk
mengatur hidup kalian ibu beranak selan-jutnya."
"Suma Siauhiap. budimu ini kutanam dalam sanubariku, aku hidup
tentram dan senang ditempat ini, tak usah........."
"Itu kelak kita bicarakan lagi, sekarang yang terpenting urus dulu
jenazah Cu-giok."
"Biarlah nanti aku yang mengurus penguburannya. Suma Siauhiap
masih ada urusan silakan kau melaksanakan tugasmu."
Agak lama Suma Bing menimbang, akhirnya berkata: "Kalau begitu
terpaksa aku berangkat dulu. Dalam setengah bulan pasti aku
sudah kembali kemari."
"Silakan Siauhiap!" Dengan rasa berat Suma Bing
meninggalkan Thong Ping
langsung menuju ke Pek-jio-gay. Menurut keterangan si maling
bintang, Thi-koan-im Lim Siang-hiang telah mencukur rambut
menjadi pendeta di biara Yok-cuam di bukit gajah putih. Inilah
musuh terakhir yang harus dibunuhnya juga.
Bukit gajah putih menjulang tinggi di selatan sungai Tiangkang,
dinamakan bukit gajah putih karena bentuknya seperti gajah juga
batu2nya berwarna putih seperti seekor gajah yang sedang
mendekam. Di puncak bukit di dalam hutan rimbu itu letak biara
Yok-cu-am yang berdinding merah dan berbenteng batu putih.
Tatkala itu sang surya baru saja muncul dari peraduan-nya, kabut
masih tebal dipuncak bukit, namun sepagi itu didepan pintu biara
Yok-cu-am datanglah seorang pemuda berwajah ganteng bermuka
dingin membesi tanpa emosi. Tidak perlu banyak kata., pendeknya
pemuda ini bukan lain adalah Suma Bing yang meluruk tiba hendak
menuntut balas-Tiba2 terdengar gema genta ber-talu2, lantas
terdengar ke-lintingan serta sabda Budha dan mantram yang halus
merdu, suasana yang tentram dan tenang mi menghilangkan segala perasaan kesal
dan hawa nafsu. Demikian juga Suma Bing terlongong sekian lama
tenggelam dalam renungannya, hilang lenyap segala
kemurkaannya. Tapi bagaimana juga, tekadnya hendak menuntut balas tak dapat
digoyahkan bergegas dia melangkah kedepan pintu terus
mengetok pintu biara dengan gelang tembaga-
Setelah terdengar derap langkah ringan dari sebelah dalam, baru
dia tarik kembali tangannya- Dilain saat pintu biara terpentang
mengeluarkan suara, berkereyotan, seorang nikoh muda belia
berdiri diambang pintu, begitu melihat wajah sang tamu. kontan
berubah airmukanya, saking kejut sampai dia mundur berapa
langkah, cepat2 kedua tangan jrangkapkan terus bersabda,:
"Omitohur selamat pagi Sicu. harap maaf bahwa biara kita tidak
menerima tamu pria.. . ..." sampai ditengah jalan tiba2 suaranya
terhenti. Dua pasang mata saling tatap dengan tajam. wajah
masing2 berubah ber- ulang2.
Suma Bing berkeluh dengan sedihnya: "Adik Hun!" Kiranya nikoh
muda belia ini bukan lain adalah Siang Siau hun yang telah lari
pergi setelah melukai Phoi Kin-sian tempo hari- Bahwa ternyata
akhirnya Siang Siau-hun mencukur rambut dan menjadi pendeta
dibiara Yok-cu-am ini. mimpi juga tidak tersangka oleh Suma Bing.
Siang Siau-hun menundukkan kepala, suaranya hampir tak
terdengar: "Pinni berjuluk Liau In!"
Perih rasa hati kecil Suma Bing seperti ditusuk2 jarum,
pengalaman yang lalu segera terbayang didepan mata. Siang
Siau-hun adalah kekasihnya yang pertama. Didalam kuil bobrok
itulah mereka bercuman dan mengikat janji pertama kalinya,
secara terang2an dia pernah melimpahkan perasaan seorang gadis
remaja yang baru tumbuh dewasa, dia pernah berjanji untuk
sehidup semati sampai akhir jaman......
Waktu dirinya keracunan Pek-jit-kui oleh racun berbisa Tangbun Yu,
Siang Siau-hun juga pernah bersumpah untuk menyertainya keliang
kubur. Tatkala jiwanya sudah tergantung dibibir jurang kematian,
juga Siang Siau-hun pernah rela mempersembahkan segala miliknya
termasuk kesuciannya.


Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Semua pengalaman yang lalu satu persatu terbayang di- depan
matanya. akhirnya Suma Bing menghela napas dan ujarnya: "Adik
Hun, kenapa kau........"
"Pinni sudah menjadi seorang pendeta, harap sicu memanggil
gelaranku saja." Inilah ucapan yang dikatakan dari mulut
kekasihnya yang pernah bersumpah sehidup semati. Bagi yang
sudah mensucikan diri. apa benar segala sesuatu miliknya harus
ikut dikuburkan" Akhirnya Suma Bing tertawa, tawa yang getir,
tawa ejekan bagi hidup mana yang harus mengilami penderitaan
gelombang "Adik Hun kematian Pho-Kin-sian bukan karena kesalahanmu. buat
apa kau sedemikian tega menyiksa dirimu, kenapa kau memilih
jalan ini" Adik Hun. ini bukan perbuatan .- seorang cerdik. . ."
Kepala Siang Siau-hun ditundukkan semakin rendah, jubahnya
yang gondrong dan tebal tampak gemetar berdesir.
Dengan sedih Suma Bing menelan air liur, katanya pula. "Adik
Hun apakah semua ini sudah terlambat?"
Mendadak Siang Siau-hun angkat kepala sepasang matanya
berlinang airmata namun sskapnya tenang dan serius, ujarnya
sesenggukan: "Sicu, Pinni sudah bertekad menjadi murid sang
Buddha yang saleh untuk menghimpas segala dosa dan akibat.
Harap Sicu tidak menanam dosa lagi diatas tubuhku- "
Perasaan Suma Bing semakin dingin sampai jantungnya terasa
membeku, ujarnya sambil tersenyum ewa: "Adik Hun, semua
kejadian dalam dunia ini memang sulit ditentukan
sebelumnya, tiada sesuatu yang abadi dalam dunia fana ini,
memang kaulah yang benar, aku minta maaf......"
"Omitohud! Kedatangan Sicu ini adalah....'' Bercekat hati Suma
Bing. segera, tekad lain melenyapkan segala keraguanrrya. katanya
dengan nada berat: "Apakah gurumu ada didalam"'
"Tengah sembahyang pagi!' "Apakah julukan gurumu sebelum
menjadi pendeta adalah
Thi-koan-im Lim Siang-hia,ng?" "Benar, jadi kedatangan Sicu ini
adalah hendak menuntut
balas pada peristiwa delapanbelas tahun yang lalu itu?" Tergetar
seluruh tubuh Suma Bing, sahutnya mengertak
gigi: "Benar!" "Karena insaf dan menyesal sebab perbuatan2 dosa
pada masa yang lalu, maka beliau masuk menjadi murid sang Budha.
Pernah berapa kali beliau mengatakan selalu menunggu
kedatangan Sicu ini !''
Lagi2 Suma Bing tergetar kaget hatinya merasa sesuatu yang
susah dikatakan. Baru sekarang terpikirkan olehnya. bagi kaum
persilatan hidupnya selalu dilembari bayangan pedang dan warna
darah, apakah sepakterjangnya sendiri tidak keterlaluan. Hanya
karena kematian ayahnya seorang, entah sudah berapa banyak
jiwa dan darah mengalir karenanya.
Tapi pikiran ini hanya, berkelebat sebentar saja dalam benaknya.
Dendam masih menjaiari seluruh tekad bajanya maka dengan
pandangan menyesal dia pandang Liau In sebentar lalu melangkah
masuk kedalam biara.
Bangunan biaran ini tidak besar, hanya terdapat sebuah ruang
sembahyang di tengah yang saat itu penuh diselubungi asap dupa
yang ber-gulung2 ke tengah angkasa. Penerangan api lilin
berkelap-kelip, denting kelintingan masih terdengar nyaring
diselingi suara mantram yang berirama halus. Tampak
seorang nikoh setengah baya mengenakan jubah yang terbuat
dari kain ungu kasar tengah berlutut diatas kasur bundar,
sikapnya tenang angker.
Suma Bing terhenyak ditempatnya, suasana yang tenang angker
dan damai ini menyebabkan tekadnya yang besar membekal hawa
membunuh tak kuasa lagi diungkat keluar. Nikoh tua itu
meneruskan tembang mantramnya tanpa mempedulikan keadaan
sekitarnya. B e r g e g a s L i a u I n j u g a I k u t m a s u k k e
d a l a m r u a n g s e m b a h y a n g i n i , d i a
b e r d i r i t e g a k h i d m a t d i p i n g g i r a n ,
w a j a h n y a w a j a r t a n p a e m o s i s e p e r t i
s e b u a h p a t u n g b a t u .
"Apa dengan tingkahnya yang bertakwah ini lantas nikoh tua ini
dapat menghapus hutang darahnya?"
Karena pikirannya ini timbullah nafsu membunuh Suma Bing,
kepala diangkat dia merogoh keluar cundrik penembus dada yang
terselip di ikat pinggangnya.
Bersamaan dengan itu, nikoh tua juga kebetulan selesai
menjalankan sembahyangannya, setelah menutup kitab suci
per-lahan2 dia bangkit dari kasur bundar itu lalu berputar
menghadapi Suma Bing, sikapnya wajar dan tenang. Katanya
dengan nada halus dan damai: "Agaknya Siau-sicu ini adalah
keturunan Suma Hong Sicu bukan?"
"Benar !" "Dulu karena ketamakan Pinni sehingga menanam
akibat ini, seperti apa yang dikatakan; menanam kat yang mendapat kat
yang menanam semangka mendapat semangka, pelajaran kita
mengutamakan adanya hukum karma dan ada sebab pasti ada
akibat. Maka silakan Siau-sicu segera turun tangan !"
Habis berkata dia duduk kembali diatas kasur bundar itu, dari
mula sampai akhir wajahnya tidak menunjukkan emosi apa-apa.
Enteng sekali Suma Bing melejit kehadapan nikoh tua ini, cundrik
ditangannya sudah diayun tinggal menusukkan ke ulu hati nikoh
tua ini. Sikap nikoh tua ini agaknya acuh tak acuh sampai alisnya
juga tidak bergerak.
Waktu ujung cundrik Suma Bing terpaut satu senti di depan ulu
hati nikoh tua terasa tangannya mulai gemetar, rona wajahnya
sukar ditentukan perobahannya
Bagi seorang tua yang sudah insaf dan rela bertobat di hadapan
Tuhan, betapapun dia tiada keberanian lagi menusukkan
senjatanya ke tubuh orang. Mendadak dia menjadi lemah mungkin
pula sekarang dia sendiri juga sadar dan insaf bahwa dosa yang
ditanamnya juga terlalu berat, meskipun tujuannya itu adalah
menuntut balas, tapi semua ini tidak akan terampunkan dan
menyalahi wet Tuhan" Wajahnya semakin guram hilanglah angkara
murka yang menyesatkan pikirannya.
Dia keluarkan buku daftar catatan terus dibakar dengan api lilin,
sekejap saja buku itu telah habis terbakar menjadi abu, setelah
menghela napas panjang dia berpaling kepada Liau In serta
katanya: "Adik Hun, inilah untuk penghabisan kali aku
memanggilmu, sekarang aku pergi!"
Muka Liau In gemetar, sikapnya tidak tenang lagi, sedekian pucat
menakutkan, mulutnya sudah bergerak namun ditelannya kembali,
sampai terakhir baru tercetus suaranya yang lirih: "Maaf Pinni
tidak mengantar !"
Suma Bing merasa hatinya kosong dan hampa, pelan2 dia berjalan
keluar, langkahnya terasa sedikit limbung. Setelah berada diluar
biara, dari puncak bukit dipandang-nya air sungai Tiangkang yang
mengalir bergelombang, mendadak tangannya terayun dia lempar
cundrik penembus dada itu kedalam sungai dan sebentar saja
lenyap ditelan ombak, kini semua sudah berakhir dan tammat !
"Dik !" pada saat itulah mendadak terdengar helaan napas sedih
di belakangnya.
Suma Bing terperanjat dan berpaling ke belakang, hampir saja dia
tidak percaya akan pandangannya, entah kapan tahu2 Mo-in
Siancu Phoa Kiau-nio sudah berdiri di belakangnya, justru yang
mengherankan kini wajahnya sudah kehilangan sifat2 genitnya
yang menggiurkan itu. Suma Bing berseru penuh haru : "Cici !"
"Dik, pertemuan kita ini memang jodoh. namun hampir saja aku
berdosa karena pertemuan ini. Ketahuilah aku seorang perempuan
yang sudah lanjut usia, karena sebutir buah saja sehingga aku
tetap kelihatan remaja. Biarlah pertemuan kita akhiri sampai disini.
Pengurus biara ini adalah Sumoayku. Sejak saat ini dikalangan
Kangouw selamanya tidak akan terdengar nama Mo-in Siancu lagi."
sampai disini dia merandek lalu mengeluarkan sebuah benda serta
katanya lagi: "Inilah Pedang darah, kukembalikan kepadamu."
Suma Bing menyambuti sambil mengangsurkan seruling batu giok
juga, katanya: "Cici seruling ini juga milikmu silakan kau ambil
kembali." "Dik simpanlah saja sebagai kenang2an, aku tak perlu
menggunakan lagi."
Dari dalam biara masih terdengar tembang mantram yang halus
tenang dan damai.
Sambil mengangguk dan tersenyum simpul, pelan2 Mo-in Siancu
mengundurkan diri.
Dia tidak mengucapkan selamat berpisah. Mulut Suma Bing
menggumam entah apa yang diucap-kan.
Di lain saat dia sudah ber-lari2 kencang turun dari bukit gajah
putih. T A M M A T Hati Budha Tangan Berbisa 9 Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan K L Harpa Iblis Jari Sakti 30
^