Pedang Darah Bunga Iblis 4

Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H Bagian 4


yang telah terjadi.
Si orang berkedok nanar memandang keluar gua. Hatinya pedih
dan risau, bergantian iapun mengawasi keadaan Suma Bing.
Sebuah suara pekik panjang menggiriskan menyadarkan renungan
si orang berkedok, jelas bahwa sudah ada yang terluka atau mati
dalam pertempuran diatas bukit itu. Tak lama kemudian disusul
lagi sebuah teriakan panjang bergema dalam lembah itu sebuah
bayangan manusia meluncur dari atas bukit bagai meteor jatuh.
Tanpa terasa merinding bulu kuduk si orang berkedok dengan
penuh perhatian ia menunggu apa yang bakal terjadi. 'Bum'
bayangan hitam itu
berdentam terbanting beberapa tombak jauhnya dari gua sana
terus tak bergerak lagi.
Si orang berkedok menghela napas panjang, gumamnya: "O,
kiranya sebuah mayat entah siapa yang memukulnya jatuh
kedalam lembah, siapakah orang yang mati itu?" Meski hatinya
ingin tahu dan penuh curiga, tapi dia tidak berani meninggalkan
gua untuk pergi memeriksa, keadaan Suma Bing sudah mencapai
titik gawat yang terakhir keselamatan orang menjadi tanggung
jawabnya! 'Blang' Lagi2 sebuah mayat terkapar jatuh diluar gua karena agak
dekat si orang berkedok dapat melihat tegas siapa mayat itu,
hampir saja ia berseru kaget sebab dari pakaiannya yang bercorak
aneh itu diketahuinya bahwa si korban ini adalah gembong
penjahat yang sudah biasa malang melintang ditujuh propinsi
selatan yaitu Ngo jay bin eng Lu Pek. Lwekang dan kepandaian
elang sakti panca warna ini merupakan tokoh terkemuka
dikalangan Kangow tapi toh kena dirobohkan dan terbanting
mampus didalam jurang, maka dapatlah dibayangkan orang2 yang
bertempur diatas bukit itu tentu bukan gembong2 silat sembarang
tingkat. Jelas yang diketahui Pek hoat sian nio adalah salah satu
diantaranya. Suara bentakan nyaring masih ber-ulang2 terdengar, sang surya
sudah mulai doyong kebarat, keadaan dalam lembah sudah mulai
remang2, pada saat itulah Suma Bing sudah selesai dalam
pengobatannya, bergegas ia melompat bangkit dari atas tanah.
Sungguh girang si orang berkedok sukar dilukiskan dengan kata2,
ter-sipu2 ia maju menyongsong sambil berseru girang: "Saudara
kecil, kuberi selamat kepadamu."
Suma Bing melengak katanya: "Selamat, apakah maksudmu?"
"Lwekangmu sudah pulih menyeluruh, malah tubuhmu kini tidak
takut lagi menghadapi segala racun berbisa, hal ini selalu
merupakan keinginan semua kaum persilatan yang susah dicapai."
"Aku tidak mengerti apa yang kau maksud!" "Si gwa sian jin
telah menjejalkan seluruh batang rumput
ular bersama buahnya kepadamu, maka bukan saja racun Pek ji
kui yang mengeram dalam tubuhmu sudah punah sama sekali,
malah sejak kini tubuhmu menjadi kebal dan tidak takut lagi pada
segala racun berbisa." Lalu si orang berkedok bercerita secara
ringkas. "Bong bian heng, lagi2 aku berhutang budi yang susah dapat
kubalas" "Saudara kecil, tak usah kau mengambil dalam hati semua urusan
kecil itu, mungkin juga pada suatu hari kelak lebih banyak
permintaan bantuanmu kepadaku."
"Eh, suara apakah itu?" "Diatas puncak itu tengah terjadi
pertempuran sengit." "Terjadi peristiwa apakah?" "Entahlah,
Pek hoat sian nio dan muridnyapun diantara
mereka, malah ada dua mayat manusia yang terjatuh diluar gua
sana." Mendengar nama Pek hoat sian nio berkobarlah amarah Suma
Bing, segera ia berseru: "Mari kita coba lihat keatas."
"Saudara kecil, Pek hoat sian nio agaknya ada permusuhan apa
dengan kau. Sebelum memasuki lembah ini tanpa di- sangka2
kita pernah bertemu, dengan keras dia minta supaya kau
diserahkan kepadanya, aku berkukuh tak melulusi, untung
sebuah suitan panjang menggugah maksudnya semula."
"Aku sendiri juga belum jelas sebab musababnya, tapi teka teki
ini akhirnya pasti harus kupecahkan".
Begitu mereka keluar gua kedua mayat itu masih menggeletak
disana, salah seorang adalah seorang laki2 pertengahan umur yang
mengenakan jubah sutra panjang. Seorang yang lain adalah
seorang tua yang berpakaian serba ungu didepan dadanya
tersulam sekuntum bunga besar warna hitam.
Menunjuk mayat laki2 pertengahan umur itu si orang berkedok
berkata: "Itulah Ngo jay sin eng Lu Pek, tak terduga seorang
gembong penjahat besar akhirnya musti mati ditempat ini tanpa
tempat liang kubur yang tepat."
Tidak ketinggalan Suma Bing pun menyapu pandang kearah mayat
lainnya, seketika ia berseru kaget: "Diakan seorang tokoh Bwe hwa
hwe yang berjuluk It Cian to hun Ciu Eng lian."
"Wah, kalau begitu tentu terjadi pertemuan tingkat tinggi diatas
sana," "Marilah lekas pergi melihat." "Mari!" berbareng mereka melejit
dengan kecepatan susah
diukur langsung menuju keatas puncak, terlihat sebidang tanah
datar diatas puncak bayangan manusia tengah berseliweran,
bentakan2 nyaring masih terdengar saling susul.
Suma Bing berdua bermain sembunyi dibelakang dahan pohon,
per-lahan2 mereka menggeremet maju mendekat, akhirnya
sembunyi dibelakang sebuah batu besar.
Gelanggang pertempuran sudah banjir darah, ber-puluh2 mayat
bergelimpangan bertumpuk dipinggir arena pertempuran.
Saat mana Pek hoat sian nio tengah bertempur melawan seorang
tua yang berwajah bengis dengan rambut dan jenggotnya
berwarna merah.
Si orang berkedok berbisik kepada Suma Bing: "Dilihat naga2nya
musuh yang tengah mereka hadapi adalah Tang mo."
"Tang mo" Orang tua rambut merah itu?" Seketika bergolak
darah Suma Bing, timbullah nafsu
membunuh dalam benaknya, saking bernafsu tubuhnya sampai
gemetar hebat. Sebab Tang mo adalah salah satu dari pengeroyok
yang membinasakan ayah bundanya, satu2nya hal yang dapat
diketahui ialah bahwa Pedang darah itu kini berada ditangan
bangsat durjana ini.
12. TANG MO = IBLIS TIMUR DIBIKIN KEOK
Si orang berkedokpun telah melihat perobahan sikap Suma
Bing yang aneh ini, tanyanya heran: "Saudara kecil, ada apa
kau?" "Iblis timur ini harus kubunuh!" desis Suma Bing sambil
mengertak gigi.
"Apa, kau hendak membunuh Iblis timur, ada permusuhan
apakah kau dengan Tang mo?"
"Dendam sakit hati sedalam lautan." "Tapi dengan
kemampuanmu sekarang, mungkin kau masih
bukan tandingan Tang mo?" "Terpaksa aku harus nekad." sahut
Suma Bing penuh
kebencian. "Saat ini belum menguntungkan kau untuk
bergerak." "Kenapa?"
"Pek hoat sian nio belum puas sebelum dapat meringkus kau. Dan
lagi apa kau sudah perhatikan baju ungu disebelah timur itu?"
Waktu Suma Bing menyapu pandang ketempat yang ditunjuk,
tanpa terasa ia melonjak kaget dan berseru: "Bwe hwa hwe tiang!"
"Benar, orang inipun takkan melepaskan kau, ketahuilah bahwa
lwekang ketiga orang ini jauh diatas kepandaianmu"
Suma Bing ganda mendengus tanpa buka suara lagi. Gerak
gerik kedua orang ditengah gelanggang kini berobah
semakin lambat, lama sekali baru melancarkan satu jurus, namun
setiap jurusnya adalah ajaran2 silat tingkat tinggi yang lihay, asal
salah satu pihak berlaku sedikit lalai, hidup atau mati segera akan
menentukan, sebab pertempuran macam demikian adalah lebih
seram dan berbahaya. Mendadak Tang mo berteriak panjang,
kedua tangan bergerak melintang terus disurung maju, gerak
serangannya ini aneh menakjubkan dan keras luar biasa. Dalam
waktu yang bersamaan Pek hoat sian nio juga melancarkan
sebuah pukulannya, perbawanya bagai kilat menyambar dan
guntur menggelegar. Dua belah pihak sama2 melancarkan
serangan tanpa salah satu pihak mau mengalah atau robah cara
permainannya untuk bertahan misalnya. Sebab inilah cara
bertempur untuk gugur bersama, seakan kedua belah pihak
mempunyai dendam kesumat sedalam lautan sebelum salah satu
pihak menemui ajal takkan berhenti.
'Blang, bum!' dua kali ledakan menggoncangkan sekitar
gelanggang pertempuran, diselingi suara pekik tertahan dua
bayangan orang terpental mundur berbareng, para penonton pun
ikut berseru kaget. Kalau Pek hoat sian nio terhuyung hampir
roboh, darah mengalir dari ujung bibirnya. Adalah Tang mo
menyemburkan darah, tubuhnya mundur setombak lebih dan
untung masih kuat berdiri diatas tanah.
Sebuah bayangan berkelebat, tahu2 Ketua Bwe hwa hwe sudah
berdiri diantara Pek hoat sian nio dan Tang mo. Terdengar ia
berkata dingin penuh ancaman: "Tang mo, serahkan saja
kepadaku, kenyataan sudah membuktikan kalau kau serahkan
Pedang darah itu pasti jiwamu dapat terjamin, atau sebaliknya kau
akan kehilangan segalanya, pedang dan jiwamu amblas
keduanya."
Tergetar seluruh tubuh Suma Bing, desisnya mengertak gigi:
"Mereka tengah memperebutkan Pedang darah."
"Kiranya Pedang darah masih berada ditangan Tang mo, jelas
bahwa kabar dikalangan Kangouw yang mengatakan Pedang
darah itu terjatuh ditangan Mo san ji kui adalah bohong belaka!"
Perasaan hati Suma Bing susah dilukiskan, Pedang darah
seharusnya menjadi hak milik ajahnya, dan ayah bundanya pun
mati lantaran benda itu, dia sendiripun hampir direnggut oleh
elmaut. Sakit hati harus dibalas, Pedang darah juga harus direbut
kembali. Lantas teringat juga pesan suhunya sebelum ajal... Pedang darah,
Bunga iblis capailah pelajaran silat yang tiada taranya itu, untuk
menuntut balas dan mencuci baik nama perguruan...
Belum habis pikirannya, terdengar Tang mo perdengarkan suara
tawa menggila bagai lolong serigala seperti pekik orang hutan
pula, lalu serunya: "Kau ini terhitung barang macam apa?"
Ketua Bwe hwa hwe menyeringai dingin, katanya: "Aku yang
rendah inilah ketua Bwe hwa hwe."
"Silahkan tuan mundur!" jengek Pek hoat sian nio.
"Mengapa?" "Urusanku dengan Tang mo belum
selesai." "Hahahahaha, tidakkah salah ucapan sian nio ini, barang berharga
yang tiada pemiliknya siapapun yang melihat dia harus mendapat
bagian semua kawan yang hadir hari ini tujuannya adalah benda
itu, jadi bukan kita saja yang ingin merebutnya."
"Siapa bilang Pedang darah tiada pemiliknya?" "Apa mungkin
menjadi milik Sian nio?" "Kenapa tidak mungkin!" "Hahaha,
meskipun nama Pek hoat sian nio diseluruh jagad
raya, tapi semua orang bukan bocah umur tiga tahun!" "Jadi kau
sudah pasti penujui Pedang darah itu?" "Aku tidak perlu
menyangkal." "Kalau begitu silahkan kau turun tangan." "Maaf aku
berlaku kurang hormat." Wajah Bwe hwa hwe tiang tertutup oleh
kedoknya, bagaimana wajah asli atau perobahan mimiknya sukar diketahui,
namun dari sinar matanya dan nada ucapannya sangat garang
tanpa banyak cakap lagi langsung ia ulurkan tangannya terus
mencengkeram kearah pinggang Iblis timur. Cara cengkramannya
sangat keji dan cepat luar biasa menciutkan nyali orang.
Sebagai salah satu tokoh dari Bu lim su ih, meskipun sudah terluka
parah namun Lwekangnya masih bukan olah2 hebatnya, tangan
kiri melintang menangkis cengkraman ketua Bwe hwa hwe,
berbareng tangan kanan bergerak miring menghantam muka
lawan. Juga dalam saat yang sama Pek hoat sian nio melancarkan
sebuah serangan.
Seumpama kepandaian Ketua Bwe hwa hwe setinggi langitpun
takkan berani menangkis serangan berbareng dari dua tokoh silat
tingkat wahid, sebat sekali ia menggeser kedudukannya lima kaki
kebelakang. Terpaksa Pek hoat sian
nio merobah gerakannya meneruskan serangannya merangsang
kearah Tang mo yang kebetulan berada tepat dihadapannya 'biang,'
begitu saling bentur kontan mereka terpental mundur, mulut Tang
mo lagi2 menyemburkan darah segar. Kesempatan ini tidak
disia2kan oleh Ketua Bwe hwa hwe sambil berseru memperingatkan
langsung ia menyerang kearah Pek hoat sian nio. Bergulung2
gelombang angin badai mendampar deras kearah Pek hoat sian nio.
Melejitkan tubuh Pek hoat sian nio menyingkir sejauh satu tombak,
selamatlah dia dari rangsangan pukulan musuh yang mengejutkan
ini. Hebat memang kepandaian Ketua Bwe hwa hwe sedetik
kemudian tubuhnya sudah berputar sebat sekali mengirim sebuah
jotosan kearah Tang mo juga.
Sudah sekian lama Tang mo terkepung dan dikeroyok, seumpama
dewapun akhirnya pasti kelelahan, apalagi tubuhnya sudah terluka
parah, mana kuat menahan serangan tenaga baru ini. Sambil
mengeluarkan pekik kesakitan sangat mulutnya menyemprotkan
darah segar, badannya terpental mundur dan akhirnya jatuh duduk
diatas tanah. Tempat dimana ia terjatuh kebetulan dipinggir
kalangan pertempuran. Dua bayangan manusia dari kiri kanan
segera menubruk maju kearahnya.
"Mencari mati!" bentak Ketua Bwe hwa hwe dan dengan kecepatan
yang paling cepat tubuhnya mendesak maju sambil kirim serangan
masing2 menghantam kearah dua bayangan yang menubruk
kearah Tang mo. Kontan terdengar suara jeritan ngeri dua
bayangan manusia itu terhantam terbang kekanan kiri sejauh
setombak lebih, setelah kelejetan beberapa kali akhirnya diam tak
bergerak untuk se-lama2nya.
Kiranya bayangan orang yang mati itu seorang adalah Tosu dan
yang lain adalah seorang tua berpakaian baju sutera abu2.
Suara si orang berkedok gemetar: "Kepandaian Ketua Bwe hwa
hwe benar2 mengejutkan, Sam Gan Tojin dan Tiong ciu it
ok bukan kaum keroco, siapa tahu setengah jurus saja tak kuat
melawan." Menyaksikan adegan pertempuran hebat ini kecut hati Suma Bing,
naga2nya semua tokoh yang hadir tiada seorangpun yang menjadi
tandingan ketua Bwe hwa hwe. Dan semua hadirin kecuali anak
buah Bwe hwa hwe tiada yang tak tergetar kaget dan ciut nyalinya.
Dengan pandangan dingin ketua Bwe hwa hwe menyapu pandang
keempat penjuru seolah2 dia hendak berkata, siapa lagi yang
berani turun tangan biar kubikin mampus. Lalu dengan nada
penuh ejek ia berkata kepada Tang mo: "Tuan sebagai salah satu
dari Bu lim su ih mengapa pandanganmu sedemikian cupat?"
Tang mo mendongak dan mengeluarkan suara tawa kecut, lalu
dari dalam bajunya dikeluarkan sebilah pedang kecil sepanjang
satu kaki.

Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pedang darah!" seru Suma Bing sambil bangkit berdiri. "Kau
hendak apa?" tanya si orang berkedok sambil menarik
tangannya. "Pedang darah itu tidak akan kubiarkan terjatuh
ketangan ketua Bwe hwa hwe!" Se-konyong2 dari sebelah belakangnya
terdengar sebuah
suara halus tapi dingin kaku berkata: "Legalah hatimu, dia takkan
berhasil!"
Suma Bing dan si orang berkedok terkejut bersama, orang bicara
begitu dekat tanpa diketahui kapan dia datang. Waktu mereka
berpaling tampak dipinggir sebuah batu besar sejauh dua tombak
berdiri tegak seorang wanita berwajah ayu jelita, sanggul
rambutnya dihiasi penuh mutiara yang berkemilau ditimpa sinar
bintang2. Sekilas Suma Bing mengamati wanita itu lalu berpaling lagi
mengawasi gelanggang pertempuran. Tatkala itu, sorot mata
semua hadirin tengah terbelalak memandang kearah pedang kecil
ditangan Tang mo itu, suasana gaduh segera sirap menjadi hening
lelap seumpama jarum jatuhpun dapat terdengar, se-olah2
pernapasan semua orang terhenti seketika.
Wanita ayu penuh hiasan itu berkata lagi memecah kesunyian:
"Tuankah yang bernama Suma Bing?"
Suma Bing melengak, membalik tubuh ia menyahut: "Ya, tidak
salah." "Kau murid Sia sin Kho Jiang?" "Benar harap tanya..."
Se-konyong2 terdengar seruan kaget riuh rendah dalam
gelanggang pertempuran disusul sebuah lolong jeritan yang
mengerikan. Cepat2 Suma Bing memutar balik, kini bayangan Tang
mo sudah tidak kelihatan lagi olehnya, Pedang darah itupun
terlempar jatuh ditengah gelanggang, disamping Pedang darah itu
rebah sesosok mayat manusia.
Ber-ulang2 ketua Bwe hwa hwe perdengarkan tawa dingin, lalu
serunya lantang: "Masih ada kawan siapa lagi yang ingin
mengambil pedang kecil ini?" berulang tiga kali ia bertanya tanpa
penyahutan atau reaksi apapun. Maka segera ia melangkah maju
membungkuk tubuh mengulur tangan hendak menjemput Pedang
darah itu. Pada detik sebelum tangan ketua Bwe hwa hwe menyentuh
Pedang, se-konyong2 sejalur gelombang angin menggulung
kearah Pedang darah itu hingga terkisar satu tombak lebih.
Ketua Bwe hwa hwe melengak dan cepat2 angkat kepala tanpa
tertahan ia berseru kejut dan katanya: "O, kau tuan?"
"Ya, tak duga kita berjumpa lagi tanpa berjanji sebelumnya,
hehehehehe..."
Orang yang baru muncul ini kiranya adalah manusia serba hitam
termasuk pakaian dan kulit tubuhnya, ditengah kegelapan malam
yang mendatang ini rupa dan bentuk tubuhnya itu sungguh
menyeramkan dan menakutkan. Kontan semua hadirin tergetar
kaget dan ber-tanya2 siapakah gerangan manusia aneh ini.
Si orang berkedok menyentuh tubuh Suma Bing serta berbisik:
"Apa kau tahu siapakah manusia aneh itu?"
"Tidak tahu!" "Dialah Tok tiong ci tok!" "Jadi inilah manusia
yang menggunakan Racun tanpa
bayangan membunuh adik Siang Siau hun dan Li Bun siang itu"
Hm, biar segera kutempur dia."
"Jangan kesusu, nantikanlah bagaimana ketua Bwe hwa hwe
hendak menghadapinya!"
Terdengar Racun diracun tertawa aneh, katanya: "Hwe tiang.
Bukankah kau tadi mengatakan benda keramat itu tiada
pemiliknya, siapapun yang melihat mendapat bagian?"
Ketua Bwe hwa hwe tertawa lebar, sahutnya: "Ya, memang aku
pernah berkata begitu, apa tuan juga ada minat untuk merebut
benda keramat itu?"
"Kalau ada bagiannya sudah tentu aku tidak menyia2kan
kesempatan ini."
"Tuan jangan lupa semua kawan yang hadir juga setujuan
dengan kita."
Sinar tajam mata Racun diracun menyapu pandang acuh tak acuh
keempat penjuru, akhirnya sinar matanya berhenti pada tubuh
Pek hoat sian nio, katanya: "Apa Sian nio juga ada minat turut
merebut?" Tidak menjawab Pek hoat sian nio berbalik tanya: "Tuan ini
siapa?" "Aku yang rendah Racun diracun!" "Racun diracun!" seru Sian
nio sambil manggut2 berarti
diapun ikut berminat. "Masih ada kawan siapa lagi yang ingin
ikut?" seru Racun
diracun lantang dengan angkuh dan congkaknya. Semua diam
tiada yang memberi reaksi atas tantangan itu.
Gesit sekali bagai terbang Racun diracun berlari memutari Pedang
darah satu lingkaran terus tertawa menyeringai seram sembari
berkata: "Biar aku terus terang, bahwa disekeliling Pedang darah
itu sudah kutaburi racun Sam pou to (roboh tiga tindak), sedikit
saja kalian terkena racun dalam tiga tindak saja pasti kalian akan
roboh binasa, siapa diantara kalian yang tidak percaya ingin
mencoba" marilah kupersilahkan..."
Belum habis ucapannya sebuah bayangan manusia secepat kilat
menubruk tiba didalam arena, si pendatang baru ini kiranya adalah
seorang pemuda berusia 20-an berwajah cakap ganteng.
Berbareng Pek hoat sian nio dan Ketua Bwe hwa hwe berseru
heran pandangan mata mereka penuh selidik dan tanda tanya
kearah pemuda yang datang tanpa diundang ini.
Kedatangan si pemuda inipun diluar dugaan Racun diracun,
tanyanya mendelik: "Siaucu, siapa kau?"
"Akulah Suma Bing!" "Murid Lam sia?" "Ada apa kau datang
kemari?" "Mengambil pedang!" "Kalau kau sudah bosan hidup
silakan coba." Sejak menelan rumput ular serta buahnya
sekalian tubuh Suma Bing sudah kebal akan segala bisa, maka dengan congkak
dan dinginnya ia menyahut: "Hm, hanya racun
mainan dapat mengapakan aku!" sembari berkata dengan langkah
lebar ia menghampiri kearah Pedang darah. Seketika semua sorot
mata dengan nanap kesima mengawasi gerak gerik Suma Bing,
masa benar2 dia tidak takut racun" Setindak, dua tindak, tiga
tindak; segera ia membungkuk menjemput Pedang darah itu...
Tiga bayangan secepat burung terbang melesat keluar dari
kalangan para penonton terus menubruk kearah Suma Bing... Baru
saja kaki mereka menutul tanah dan hendak melompat lagi
mendadak mereka pentang mulut lebar dan berteriak panjang
mengerikan, tubuhnya juga lantas roboh terbanting diatas tanah
tanpa bergerak lagi mati! 'Tiga tindak roboh' kiranya bukan omong
kosong belaka, benar2 boleh dianggap racun berbisa paling lihay
dan berbahaya diseluruh kolong langit.
Sementara itu, sepasang bola mata Racun diracun yang banyak
putih dari hitamnya menyorongkan sinar berkilat menatap Suma
Bing, sungguh dia tidak habis mengerti dalam mimpipun dia
takkan menduga bahwa Suma Bing ternyata kebal terhadap racun
bisanya. Terutama Pek hoat sian nio dan Ketua Bwe hwa hwe juga tidak
kalah besar rasa kejutnya bahwa Suma Bing kiranya sudah
sedemikian lihay dan ampuh.
Mengelus2 Pedang darah perasaan Suma Bing haru dan penuh
kepedihan, inilah benda dari warisan ayahnya, hari ini ia dapat
merebutnya kembali. Tang mo sudah minggat meninggalkan
pedang ini, jadi tiada kesempatan lagi untuk dirinya mencari
keterangan siapa2 saja gerangan yang menjadi musuh
keluarganya. Dalam pada itu si orang berkedok sendiripun terpaksa harus
muncul juga dari tempat persembunyiannya dan berdiri diantara
kelompok penonton. Sudah tentu saat mana tiada orang yang
memperhatikan kehadirannya sebab sorot mata semua orang
tengah tersedot oleh perbuatan Suma Bing yang menegangkan
urat syaraf itu.
Suma Bing sendiri juga insaf bahwa untuk membawa Pedang
darah itu meninggalkan bukit pegunungan itu pasti sangat sukar.
Kepandaian salah satu dari Racun diracun, Pek hoat sian nio dan
ketua Bwe hwa hwe sudah melampaui kemampuannya sendiri.
Apalagi diantara Pek hoat sian nio dan Ketua Bwe hwa hwe
seumpama bukan karena Pedang darahpun pasti akan meringkus
atau membinasakan dirinya.
Racun diracun mendongak keatas memandang langit, agaknya dia
tengah memikirkan persoalan yang susah dipecahkan.
Adalah Pek hoat sian nio dan Bwe hwa hwe tiang dengan tatapan
mendelong tanpa berkedip selalu mengawasi gerak gerik Suma
Bing, setindak saja Suma Bing meninggalkan lingkungan beracun
yang disebar Racun diracun tadi pasti mereka akan melancarkan
serangan untuk membunuh atau meringkusnya.
Tiga sosok mayat yang memasuki lingkungan beracun ini sudah
berobah lapuk dan hitam seperti tiga batang balok yang habis
terbakar. Sudah tentu siapapun tiada yang berani mencoba2 lagi,
sebab racun tidak mungkin dapat diatasi dengan kepandaian yang
betapa tinggipun jua.
Lama dan lama kemudian baru Racun diracun tersentak dari
lamunannya, matanya menyapu pandang kearah Pek hoat sian nio
dan Bwe hwa hwe tiang serta tanyanya: "Bagaimana menurut
pendapat kalian berdua?"
"Saat ini aku hanya ingin meringkus bocah ini saja." sahut Pek
hoat sian nio tanpa banyak pikir.
Racun diracun mengekek tawa, serunya: "Bagus sekali pendapat
kita berdua tidak berselisih!" - lalu ia berpaling dan bertanya
kepada Bwe hwa hwe tiang: "Tuan ketua bagaimana?"
Sejenak Bwe hwa hwe tiang menatap kearah Suma Bing lalu
berputar dan menjawab pertanyaan Racun diracun: "Tuan
silahkan kau jelaskan maksudmu sendiri."
"Tujuanku pada Pedang darah itu!" "Bagaimana kalau
pendapatku sama dengan tuan?" "Kita tentukan dulu urusan
ini." "Bagaimana cara penyelesaiannya?" "Masing2 bergulat
menunjukkan kepandaiannya." "Yang tuan maksudkan
kepandaian ditentukan dalam ilmu
silat atau termasuk juga keahlian tuan sendiri?" "Hehehehehe,
kalau julukanku menamakan Racun didalam
racun, menggunakan racun adalah sudah pasti." "Kalau begitu"
seru Bwe hwa hwe tiang menyeringai.
"Sementara aku ingin orangnya." "Sementara." jengek Racun
diracun. "Itu berarti kelak tuan
juga akan merebut pedang darah ini lagi bukan?" "Tidak salah,"
"Baik, paling penting sekarang kita selesaikan persoalan ini
dulu. Kalau begitu setelah kuperoleh Pedang darah itu biar
kudesak dia keluar dari lingkungan bisa Sam pou to, hitung2
sebagai tanda rasa terima kasihku kepada kalian berdua yang sudi
mengalah kepadaku."
Pada lain saat Racun diracun sudah melangkah maju mendekati
Suma Bing, ketegangan mulai meruncing lagi disekitar gelanggang
perebutan ini. Ter-sipu2 Suma Bing menyelipkan Pedang darah itu kedalam ikat
pinggangnya lalu bersiap siaga menjaga segala kemungkinan.
Tok tiong ci tok menghentikan langkahnya sejauh satu tombak
didepan Suma Bing, jengeknya dingin: "Suma Bing, tidak kuduga
kaupun cukup hebat dalam permainan racun, sedikitpun kau tidak
gentar terkena racun 'tiga tindak roboh' itu!"
"Racunmu ini terhitung barang apa?" ejek Suma Bing. "Siaucu
jangan kau takabur, kukira kau pernah dengar
tentang Racun tanpa bayangan bukan?" "Hm apa kau hendak
menggunakan racun itu untuk
menghadapi aku" Kiranya, perlu juga kuperingatkan kepadamu.
Karena sebatang jinsom, sepasang muda mudi tewas karena
perbuatanmu menggunakan racun tanpa bayangan itu?"
"Benar, lalu kenapa?" "Hutang darah ini sudah kucatat dalam
hatiku!" "Sudah jangan omong kosong, serahkan saja Pedang
darah itu?" "Apa kau mampu?" "Marilah kau coba2." dibarengi dengan
habis ucapannya
sepasang cakar hitamnya secepat kilat sudah merangsang tiba,
yang satu meraup muka sedang yang lain mencengkram kearah
Pedang darah, kecepatan dan kehebatannya turun tangan ini
sungguh sangat menakjubkan dan mengejutkan.
Siang2 Suma Bing sudah siap siaga, disaat serangan belum
merangsang tiba kedua tangannyapun sudah bergerak tidak kalah
cepatnya menepuk kedepan, serangannya ini mengerahkan seluruh
himpunan tenaga Kiu yang sin kang dalam tubuhnya. Damparan
gelombang panas bagai lahar gunung berapi membuat Racun
diracun mau tak mau harus menyingkir mundur delapan kaki sambil
mengurungkan serangannya sendiri, tak urung mulutnyapun
tercetus seruan: "Kiu yang sin kang!"
Seruan ini benar2 membuat semua hadirin tergetar kaget, sebab
Kiu yang sin kang merupakan pelajaran tunggal dari Lam sia yang
paling ampuh, hebat dan menjagoi didunia persilatan dimasa
silam. Namun mereka hanya pernah dengar namanya dan belum
menyaksikan sendiri kehebatan ilmu yang dibanggakan itu.
Sejenak Racun diracun merandek lalu serunya lagi: "Walaupun ilmu
saktimu hebat perbawanya, sayang latihanmu belum sempurna
betul" " 'Wut" lagi sebuah jotosan keras yang dapat
menghancurkan batu dan menggugurkan gunung merangsang
kearah Suma Bing.
Tanpa berkelit atau menghindar Suma Bing angkat tangannya
untuk menangkis. Begitu benturan mengguntur terdengar, tubuh
Racun diracun ber-goyang2 tersurut mundur setapak, sedang
Suma Bing terpental mundur tiga langkah darah bergolak dirongga
dadanya. Dan dilain saat Suma Bing terhuyung mundur itu belum
sempat pula pertahankan diri lagi2 Racun diracun sudah kirim dua
kali jotosan pula.
Kali ini Suma Bing miringkan sedikit tubuh untuk menghindar
namun tidak urung tubuhnya sempoyongan juga terdampar oleh
angin pukulan. Gerak-gerik Racun diracun sungguh sebat luar biasa
seperti bayangan setan tahu2 dia melejit tiba mendekat dan sekali
raup Pedang darah sudah berada ditangannya.
Gemparlah suasana gelanggang pertempuran dengan sorak sorai
para hadirin, Suma Bing berseru beringas: "Racun diracun, pada
suatu hari tentu Siauyamu akan menelanmu bulat2"
Racun diracun bergelak menggila kepuasan, serunya: "Jikalau
malam ini kau tidak mati, tentu aku akan mnunggu
kedatanganmu." " 'Wut' tahu2 ia mengirim lagi sebuah hantaman
dahsyat karena tidak menduga tubuh Suma Bing tergetar
sempoyongan kebelakang dan keluarlah dia dari lingkaran berbisa
itu... Begitu memutar tubuh Racun diracun melejit tinggi, sebentar saja
bayangannya menghilang dikegelapan malam. Kini Pedang darah
berpindah ketangan lain orang lagi, tapi ketegangan dalam arena
masih sedemikian tegang mencekik leher. Maka dalam waktu yang
bersamaan segera Pek hoat sian nio dan Ketua Bwe hwa hwe


Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berbareng mendesak dan menubruk kearah Suma Bing.
Kedua mata Suma Bing melotot hampir keluar menatap kearah
Ketua Bwe hwa hwe dan Pek hoat sian nio, sampai pada detik itu
ia masih belum jelas akan sebab musabab mengapa kedua orang
ini berkukuh hendak menamatkan riwayatnya.
Tanpa banyak mulut lagi Ketua Bwe hwa hwe segera mengayun
kedua tangannya dilancarkannya pukulan jarak jauh yang dahsyat
sekali. Bersamaan itu Pek hoat sian nio pun tidak mau ketinggalan,
cepat2 tangannyapun diayun mengirim serangannya yang tidak
kalah pula kehebatannya. Dua gembong persilatan kelas wahid
bersama melancarkan pukulannya betapa kuat dan hebat
perbawanya seumpama gunungpun bisa gugur.
Dasar sifat Suma Bing memang keras kepala dan angkuh sekali,
tanpa mau berkelit iapun menggerakkan tangannya menangkis.
Letak kedudukan Pek hoat sian nio dan Ketua Bwe hwa hwe
kebetulan berlawanan, maka kedua kekuatan pukulan mereka
menjadi saling hantam dan saling bentur dengan dahsyatnya,
suara mengguntur menggetarkan seluruh gelanggang, saking
keras benturan angin pukulan ini Suma Bing tergulung sungsang
sumbel dan terpental setombak lebih, darah bagai air mancur
menyemprot dari mulutnya. Sungguh sangat kebetulan karena
getaran kekuatan benturan itu tubuh Suma Bing terpental balik lagi
kedalam lingkaran berbisa itu malah.
Ketua Bwe hwa hwe dan Pek hoat sian nio melengak. Bahwa
racun 'tiga tindak roboh' merupakan salah satu bisa
paling lihay dikolong langit, sudah tentu mereka tidak berani
memandang enteng, namun garis tengah lingkaran berbisa itu
tidak kurang dari tiga tombak, kalau kirim serangan jarak jauh
dari luar lingkaran Suma Bing masih dapat dipukul mampus.
Sebaliknya kalau mau menawannya hidup2, rasanya tidaklah
begitu gampang.
Sejenak berpikir, berobah pikiran Ketua Bwe hwa hwe, katanya
kepada Pek hoat sian nio: "Sian nio, aku merobah pendirianku,
kubatalkan maksudku semula"
"Jadi kau hendak mengundurkan diri?" "Tidak, aku ingin
membunuhnya." Mau tak mau Pek hoat sian niopun harus
berpikir, lantas
sahutnya: "Kalau begitu aku pun hanya ingin bertanya beberapa
patah kata saja!"
"Kalau begitu silahkan lebih dulu." Sinar mata Pek hoat sian nio
setajam ujung gunting
menatap kearah Suma Bing, desisnya: "Suma Bing, kau ini murid
atau cucu murid Lam sia?"
"Tidak perlu kau tahu." jengek Suma Bing. "Jawablah
pertanyaanku sebenarnya, aku tidak akan..." "Tidak bisa."
Berobah kelam air muka Pek hoat sian nio, hardiknya
gusar: "Suma Bing, dulu beruntung kau masih hidup, tapi hari ini
jangan harap kau dapat hidup. Dengar, hanya dua jari tanganku
saja jarak sejauh tiga tombak masih dapat meremukkan batok
kepalamu."
"Mengapa tidak kau coba turun tangan?" jengek Suma Bing
sambil mengertak gigi.
"Kau sangka aku tidak mampu membunuhmu, hehehe..." "
diiringi, suara tawanya dua jari tengah dirangkapkan terus
menutuk lempang kedepan, seketika mendesis angin tutukan
jarinya melesat bagai anak panah kearah Suma Bing.
Sedikit menggeser kaki dan miringkan tubuh tanpa banyak
mengeluarkan tenaga Suma Bing menghindarkan serangan hebat
ini. Melihat serangannya gagal Pek hoat sian nio mendesis geram,
kedua tangannya bergerak cepat mempergencar serangannya,
dirabu serangan bertubi2 ini, Suma Bing gertakan gigi sambil
angkat tangannya untuk menangkis. 'Blang' Suma Bing tersurut
mundur terhuyung. Dan sebelum ia berdiri tegak secepat itu pula
Pek hoat sian nio telah lancarkan lagi serangan serupa tadi,
sepuluh jari tangannya bergantian menyelentik, lengking pantulan
angin jarinya berseliweran bagai kilat melesat me-nyamber2.
Terpaksa Suma Bing harus berputar jumpalitan untuk selamatkan
diri walaupun tempat penting tidak terserang tak urung pundaknya
tertembus juga berlobang hingga darah membanjir keluar
membasahi tubuh, sakitnya sampai meresap ketulang sumsum.
Tengah Pek hoat sian nio menarik kembali tangannya dan sebelum
melancarkan lagi serangannya. Sambil menggereng keras Suma
Bing melejit keluar dari lingkaran berbisa langsung menubruk
kearah Pek hoat sian nio, dimana kedua tangannya bergerak
bergantian sekaligus ia lancarkan dua belas kali pukulan balasan.
Perbuatannya ini boleh dikata sudah nekat beringas seperti orang
gila, setiap kali pukulannya mengandung tenaga yang dapat
menghancurkan batu. Pek hoat sian nio kena terdesak mundur tiga
langkah. Agaknya Suma Bing sudah kelewat membenci lawannya
tidak kepalang tanggung tipu Liu kim hoat ciok dilancarkan. Pek
hoat sian nio terdesak lagi mundur selangkah dan balas memukul
tiga kali, dimana angin ribut bergulung membumbung tinggi
keangkasa Suma Bing tersurut mundur tergetar oleh pukulan
balasan lawan. Kini agaknya Pek hoat sian nio sudah marah besar, mulutnya
menggeram lirih, dimana kedua tangannya bergerak dan diayun
bayangan tangan ber-lapis2 seakan ribuan banyaknya semua
menungkrup kearah tubuh Suma Bing, ditengah gemuruhnya angin
pukulannya samar2 terdengar suara geledek yang mengguntur.
Kedua mata Suma Bing melotot merah membara, merabu kedalam
bayangan pukulan lawan berkali2 ia lancarkan serangan dahsyat
tanpa hiraukan lagi keselamatan diri sendiri. Cara bertempur yang
nekad ini mau tak mau membuat Pek hoat sian nio gentar dan
kecut hati. Tapi hakikatnya kepandaian Suma Bing memang masih
kalah jauh, pada benturan pukulan kedelapan Suma Bing terpekik
seram darah menyembur keras dari mulutnya dan tepat
menyemprot deras kemuka Pek hoat sian nio, tubuhnya lantas
roboh terkapar diatas tanah.
Pek hoat sian nio menyeka noda darah dimukanya terus angkat
tangan hendak menepuk kepala Suma Bing...
"Berhenti!" tiba2 menggelegar sebuah suara bentakan. Serta
merta Pek hoat sian nio menghentikan tangannya dan
undur selangkah, seorang berkedok mengenakan pakaian warna
hijau tahu2 sudah menghadang didepan Suma Bing.
"Siapa kau?" "Kaum keroco dari Bu lim, tidak perlu aku
memperkenalkan diri, akulah kawan karib Suma Bing." "Hm, kau hendak apa?"
"Ada dendam atau permusuhan apa antara Sian nio dengan
Suma Bing, kenapa kau pasti harus membunuhnya?" "Kau jangan
turut campur, tidak akan kuberitahu padamu." "Bukankah
tujuanmu hanya ingin bertanya sepatah kata
saja kepadanya" Baik, aku akan mewakilinya menjawab."
"Kau... kau bisa menjawab pertanyaanku tadi?" "Benar, dia
murid Lam sia dan si Sesat tua itu sekarang
sudah meninggal..." Saat itulah Ketua Bwe hwa hwe sudah
perdengarkan suaranya tawanya: "Sian nio, kini urusanmu sudah selesai bukan?"
Keras2 Pek hoat sian nio mendengus hina terus putar tubuh tinggal
pergi, si gadis baju putih Ting Hoan segera ikut dibelakangnya,
sebentar saja bayangan mereka sudah menghilang.
Si orang berkedok memutar tubuh menghadapi Bwe hwa hwe
tiang, katanya: "Apa benar2 Hwe tiang menginginkan jiwanya?"
"Termasuk jiwamu juga, keajaiban tidak akan terulang kembali,
keberuntungan hanya didapat sekali, peristiwa di Sam ceng koan
tidak akan kelakon lagi disini, kuberitahu kau, kau tiada
kesempatan lagi barang sedetikpun."
Si orang berkedok bergelak tertawa, serunya: "Aku tahu
kepandaianku rendah, tapi aku tidak mengharapkan keberuntungan
itu lagi."
Pada saat itulah Suma Bing sudah merangkak bangun
sempoyongan suaranya gemetar: "Bong bian heng, kau
menyingkirlah"
"Saudara kecil tidak nanti aku berbuat sebodoh itu, agaknya
memang kita berjodoh, nasib kita berdua naga2nya sudah terikat
menjadi satu."
"Kalian berdua masih ada pesan apa tidak?" kata Ketua Bwe hwa
hwe sembari mendesak maju.
-oo0dw0ooJilid 4 13. PEK-KUT-JI = PANJI TULANG PUTIH.
Bola mata Suma Bing melotot besar se-akan2 hampir
melompat keluar bagaikan dua butir kelereng, katanya tajam:
"Aku menyesal karena tidak dapat membongkar kedok
aslimu, lebih besar pula rasa kesalku karena belum bisa
membunuh kau!"
"Hehehe, Suma Bing, sebelum ajalmu, Pun-hwe-tiang (aku ketua)
boleh membantu melaksanakan keinginanmu yang pertama,
begitu kau mengetahui siapakah aku ini, ku percaya kau akan mati
dengan tentram."
Si orang berkedok menyapu pandang kesekitar gelanggang,
dilihatnya yang hadir diluar gelanggang itu kebanyakan adalah
anak buah Bwe-hwa-hwe, tahu dia bahwa harapan lolos untuk
hidup sudah tak mungkin lagi, dalam saat2 keputusan harapan ini,
semangat dan pikirannya malah semakin tenang dan tentram.
Ketua Bwe-hwa-hwe beralih pandang kearah siorang berkedok,
katanya: "Tuan lebih baik kau bunuh diri saja." "Tutup mulut..!" Hardik
Suma Bing geram, namun baru dua
patah kata saja mulutnya yang terpentang lebar malah
menyemburkan darah segar lagi, tubuhnyapun lantas terhuyung
hampir roboh. Sementara itu si orang berkedok sudah menyahut lantang dengan
gagahnya: "Kalau aku tidak beruntung mati ditanganmu, harus kusesalkan
karena kepandaianku tidak becus. Kau ingin aku bunuh diri jangan
kau sangka semudah itu."
"Ya, apa boleh buat, biar Pun-hwe-tiang menamatkan kau
sekalian" secepat habis kata2nya tahu2 lima cakar jarinya sudah
menyelonong tiba mencengkeram kearah dada si orang berkedok,
cara turun tangannya boleh dikata sangat cepat dan aneh sekali.
Tidak kalah sebatnya si orang berkedok menjejakkan kakinya
melejit mundur lima kaki, berbareng ia kirim sebuah pukulan
mendesak lawan juga, nyata kekuatan pukulannya juga bukan
olah2 kuat dan derasnya.
Ketua Bwe-hwa-hwe ganda menggerakkan tangan kiri berputar
satu lingkaran mudah sekali ia punahkan kekuatan pukulan musuh,
sementara tangan kananpun sudah diayun keluar... 'plak',
terdengar benturan keras, si orang berkedok tergetar mundur dua
langkah. Sementara itu Suma Bing sendiripun telah menghimpun seluruh
tenaganya, sambil menggeram keras ia hantam sisi punggung
Ketua Bwe-hwa-hwe dari samping. Ketua Bwe-hwa- hwe tidak
menoleh dan tidak bergerak, seakan tidak merasakan sedikitpun
pukulan keras itu.
"Plok" karena mandah diserang dengan kekerasan ini tubuh Ketua
Bwe-hwa-hwe ber-goyang2, adalah Suma Bing sendiri malah
terpental balik oleh tenaga pantulan yang diritul oleh kekuatan
tenaga pukulannya sendiri, tubuhnya meliuk jatuh duduk dan
muntah darah. Sementara itu si orang berkedok juga telah membentak keras
sambil menyerang dengan sekuat tenaga, kedua tangannya terbagi
dua merangsang kedada dan perut ketua Bwe-hwa-hwe,
kedahsyatan dan kelihayan tipu serangannya ini benar2
mengejutkan orang.
Dirabu pukulan sedemikian dahsyat Ketua Bwe-hwa-hwe masih
tetap tenang ganda mendengus dan angkat tangan menangkis.
Begitu kedua pukulan saling beradu menggeledek si orang
berkedok terpental setombak lebih, baru saja badannya berdiri
tegak dan belum sempat menghela napas lega, tubuhnya sudah
melayang tinggi terdampar gelombang angin pukulan musuh,
disertai teriakan panjang yang bergema ditengah udara tubuhnya
melambung setinggi dua tombak terus melayang jatuh kedalam
jurang. Suma Bing memekik kalap darah berhamburan lagi dari mulutnya.
Terpaksa dia saksikan si orang berkedok dipukul terbang masuk
jurang oleh Ketua Bwe-hwa-hwe sedang dia sendiri tidak mampu
menolong kawan yang sudah berulangkali menolong jiwanya.
Sudah tentu karena dipukul terjungkal kedalam jurang ini pasti
badannya terbanting mampus hancur lebur. Boleh dikata sang
kawan mati karena dirinya.
Segera Ketua Bwe-hwa-hwe ulapkan tangannya serta berseru:
"Bawa pergi!" Dua orang laki2 berpakaian sepan warna hitam
segera mengiakan sambil melompat keluar terus menubruk kearah Suma
Bing yang sudah tele2 tak mampu bergerak itu.
Sedetik sebelum kedua anak buah Bwe-hwa-hwe menyentuh tubuh
Suma Bing itulah mendadak terdengar sebuah bentakan halus
nyaring berkata:
"Cari mati!" Disusul kedua laki2 seragam hitam itu memekik
keras dan tubuhpun terus roboh binasa. Keruan bukan kepalang gusar Ketua
Bwe-hwa-hwe, sedemikian besar nyali orang berani membunuh anak buahnya
terang2an didepan matanya, matanya ber-kilat2 menyapu
pandang keempat penjuru namun jejak musuh tidak kelihatan,
tanpa tertahan lagi segera ia membentak murka:
"Siapa itu?" "Kau tidak berharga bertanya!" Betapa congkak
dan tinggi hati nada ucapannya ini, boleh
dikata sangat berkelebihan, masa sebagai Ketua Bwe-hwa- hwe
sebuah perkumpulan besar dikalangan Kangouw masih tidak
sembabat mengetahui nama besar musuh, hal ini benar2
membuat semua hadirin heran dan hampir tidak percaya atas
pendengarannya.
Saking murka Ketua Bwe-hwa-hwe berbalik bergelak tertawa:
"Takabur dan congkak benar ucapanmu tuan, kenapa tidak lekas
kau unjukkan diri. Apa malu bertemu dengan orang?"
Seruan nyaring merdu tadi terdengar lagi, kali ini mengandung
ancaman seram yang susah dijajaki:
"Minta aku muncul boleh, namun apakah semua hadirin rela
meninggalkan semua tulang belulangnya diatas puncak bukit ini?"
Mendengar ancaman ini, dingin perasaan Ketua Bwe-hwa- hwe,
ter-sipu2 ia maju menghampiri mayat kedua anak buahnya, begitu
ia melihat tegas semangatnya bagai terbang ke-awang2,
badannyapun sempoyongan mundur tiga tindak, suara perintahnya
gemetar dan ketakutan:
"Semua. Mundur!" Begitu perintah diserukan semua anak
buahnya berserabutan lari jungkir balik turun gunung bagai dikejar setan,
dalam sekejap mata saja semua sudah menghilang dikegelapan


Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

malam. Suma Bing sendiripun tidak kurang kejut dan herannya, entah
orang kosen macam apa yang sudi mengulurkan tangan
menyelamatkan jiwanya. Sampai Ketua Bwe-hwa-hwe yang bukan
olah2 lihay kepandaian dan tinggi kedudukannyapun lari
ketakutan. Tengah ia me-nebak2 itu serta merta pandangan matanya lantas
tertuju kearah kedua mayat yang rebah tidak berapa jauh dari
dirinya itu. Begitu melihat apa yang menggeletak disampingnya itu
arwahnya se-olah2 melayang pergi dari badan kasarnya, tubuhnya
bergidik merinding. Kiranya dalam sekejap mata ini kedua mayat
itu kini hanya tinggal tulang belulangnya saja yang memutih jelas
ditengah kegelapan malam, diatas kedua tulang2 itu tertancap
masing2 sebuah panji kecil terbuat dari sutera, ditengah panji itu
tersulam gambar sebuah tengkorak dengan dua batang tulang
bersilang. Lantas teringatlah ia akan cerita suhunya mengenai asal- usul
panji tengkorak bersilang ini. Kiranja panji itu bernama Pek-kut-ji
(panji tulang putih), pertanda khas dari Pek-kut Hujin seorang
momok wanita yang menggetarkan dunia persilatan pada enam
puluhan tahun yang lalu. Setiap kali dimana panji serupa itu
muncul, meski betapa lihay atau tinggi ilmu silatnya, begitu
terkena panji keramat ini dalam sekejap mata saja, pasti badannya
hancur menjadi cairan air darah dan tinggal kerangka tulangnya
saja. Maka begitu melihat panji sakti ini tiada seorang pun kaum
persilatan yang tidak segera lari lintang-pukang menyelamatkan
diri. Bahwa sekarang Pek-kut Hujin mendadak muncul disini, hal ini
benar2 diluar dugaan siapapun. Apa mungkin gembong iblis
wanita itu sekarang masih hidup" Kenapa pula dia mau menolong
jiwanya" Suma Bing tidak habis mengerti, lama dan lama sekali
suasana tetap tenang tanpa ada reaksi apa-apa.
Akhirnya hilang kesabaran Suma Bing, segera ia berseru keras:
"Apakah Pek-kut Hujin Tjianpwe yang kesudian menolong jiwaku
yang rendah ini?"
Baru kali inilah Suma Bing menyebut orang dengan panggilan
"Tjianpwe" selama ini.
Beruntun tiga kali ia berseru bertanya tanpa penyahutan atau
reaksi apapun jua, heran dan curigalah hatinya, batinnya:
"Aneh, mengapa dia membantu diriku" Belum lama ini aku
berkelana di Kangouw, tiada seorang juga yang mengetahui
tentang asal-usulku. Mungkin karena memandang muka Suhu
maka dia sudi menolong aku, namun mengapa dia tidak unjukkan
dirinya, sampai setengah patah katapun tidak diucapkan,
munculnja secara misterius perginyapun sangat aneh..."
Luka dalam tubuh Suma Bing sangat parah, setelah terluka berat
dia terlalu banyak menggunakan tenaganya pula, boleh dikata
tenaga murninya sudah ludas sama sekali, untung dia melatih
Kiu-yang-sin-kang yang khusus sangat berguna untuk melindungi
urat nadi, kalau tidak mungkin sejak tadi ia sudah tewas.
Begitulah setelah ter-longong2 sekian lamanya ia coba kerahkan
tenaga untuk berobat diri, siapa tahu begitu tenaga murninya
berkembang seketika ia merasakan diantara ketigapuluh enam
jalan darah besarnya, tujuh diantaranya bumpet(tertutup) tak
tertembuskan, bagaimanapun ia sudah susah payah kerahkan
tenaganya untuk menjebol rintangan itu tetap nihil hasilnya, keruan
dalam hati ia mengeluh dan putus asa. Kalau tiada obat mujarab
dan tenaga luar yang membantunya, tentu tenaga sendiri takkan
mampu membobol jalan darahnya yang buntu itu. Kalau jalan
darah buntu terlalu lama tidak matipun pasti dirinya menjadi tanpa
daksa alias cacat seumur hidup.
Selang berapa lama setelah beristirahat ia coba kerahkan lagi
tenaganya, seketika ia rasakan seluruh tubuh tergetar hebat,
tenaga murni yang terkerahkan menerjang balik dengan kerasnya
kontan ia jatuh pingsan tubuhnyapun terus roboh terlentang.
Sang malam dengan cepat telah berlalu, suasana dalam puncak
bukit itu masih sedemikian sunyi, alam sekelilingnya masih diliputi
kabut tebal, tak lama kemudian puncak bukit itu sudah
bermandikan sinar sang surya yang memancar terang benderang,
hawa cerah menyejukkan badan.
Per-lahan2 Suma Bing siuman dari pingsannya, perasaan pertama
yang dirasakan saat itu ialah bahwa rasa kesakitan seluruh tubuh
semalam kini sudah hilang sama sekali, sebaliknya semangat
me-nyala2 tenaga penuh gairah, sejenak ia meng-ucek2 matanya
lalu merenungkan apa yang telah dialaminya semalam. Kedua
kerangka tulang disampingnya masih ada hanya panji kecil itu
yang telah lenyap. Bergegas ia melompat bangun sambil berseru
kejut dan heran. Siapakah yang telah menolong dirinya"
Bau semerbak wangi terbawa angin merangsang hidungnya
membuat ia sadar dari rasa kejutnya dengan penuh kewaspadaan
matanya menyapu pandang keempat penjuru. Seketika ia melonjak
kaget lagi, terlihat terpaut lima kaki dibelakangnya berduduk
wanita cantik molek bagai bidadari yang seluruh tubuhnya penuh
bersolek dengan berbagai perhiasan yang tak ternilai harganya,
kedua matanya tengah terpejam, kedua pipinya juga bersemu
kemerahan, kiranya orang tengah istirahat memulihkan tenaga.
Teringat olehnya waktu semalam ia menonton pertempuran
bersama si orang berkedok dibelakang batu besar itu, wanita
cantik ini yang pernah mendadak membuka suara kepada mereka.
Siapakah dia" Tak perlu disangkal lagi, ia inilah yang telah
menolong jiwanya dengan tenaga dalamnya, karena pengerahan
tenaga yang ber-limpah2 untuk menyembuhkan lukanya, maka
kini orang tengah bersamadi untuk memulihkan tenaga sendiri.
Wanita ini boleh dikata secantik bidadari dari kahyangan namun
dari kecantikannya itu mengandung juga sikapnya yang dingin dan
angkuh, dari keangkuhan ini timbul
perbawanya yang agung membuat orang yang melihatnya merasa
tunduk dan keder.
Siapakah dia" Tak putus2 benak Suma Bing ber-tanya2. Lantas dia
teringat akan nama Pek-kut Hujin yang kedengaran suaranya dan
tidak kelihatan wujudnya semalam, hanya dengan dua panji kecil
kiranya cukup untuk menggebah pergi ketua Bwe-hwa-hwe yang
terkenal kejam dan besar pengaruhnya itu lari lintang pukang.
Mungkin dia inilah... bergidik seram bila ia teringat akan nama itu.
Tapi akhirnya ia geli sendiri akan kekuatirannya sendiri, karena
pikiran demikian agaknya sangat ganjil dan jenaka. Pek-kut Hujin
sudah tenar pada enampuluh tahun yang lalu, tingkat kedudukan
dan ketenaran namanya jauh lebih unggul dari Bu-lim-su-ih,
apalagi wanita dihadapannya ini dilihatnja kira2 baru berusia 20-an
lebih. Tengah pikirannya me-layang2 itulah, wanita itu sudah
berdiri lemah gemulai, mengunjuk senyum manis kearah Suma
Bing, syur, jantung Suma Bing melonjak keras bagai kesetrum
aliran listrik matanya kesima melihat senyuman yang
mempesonakan itu.
Sejenak Suma Bing menenangkan gejolak hatinya terus
membungkuk memberi sapa hormat:
"Terima kasih atas bantuan nona tadi." "Ah bantuan tak
berarti, tak perlu dirisaukan" sahut wanita
itu sambil ulapkan tangannya. "Cayhe harus membedakan antara
rasa kebencian dan
kebaikan budi, aku tidak sudi menerima kebaikan orang secara
gratis!" "Lalu kau mau apa?" "Harap sebutkan nama besarmu, biar kelak
kubalas kebaikan hatimu ini." "Cara bagaimana kau hendak membalas
kebaikan budiku?"
"Ini... mungkin aku bisa berbuat sesuatu untukmu... atau..."
"Tapi aku tidak mengharap balas budimu itu?" "Kebebasan
terletak padaku!" Wanita itu sedikit menggeleng kepala,
katanya: "Aku tiada sesuatu apa buat kau kerjakan, seumpama
ada..." "Bagaimana?" "Kau tidak akan mampu melakukan?" Suma
Bing bersikap sungguh2: "Coba kau katakan?" "Coba kutanya
dulu, apa kedatanganmu ini khusus hendak
merebut Pedang darah itu?" "Hanya kebetulan saja kepergok
disini, tapi cayhe me mang pasti harus mendapatkan pedang darah
itu!" "Jadi maksud tujuanmu sama dengan mereka kaum
persilatan itu?" "Tidak!" "Itulah aneh..." "Sebab... sebab..." Suma
Bing ragu2 untuk menerangkan
asal usul dirinya. "Sebab apa?" desak wanita ayu itu. Sekian lama
Suma Bing bimbang dan ragu, akhirnya ia
berkata juga: "Sebab Pedang darah itu seharusnya menjadi hak
milikku." "Bagaimana maksud ucapanmu itu?"
"Karena ayah-bundaku tewas setelah memiliki Pedang darah itu."
Berobah pucat wajah wanita cantik itu, badannya mundur satu
tindak, katanya penuh perasaan:
"Apa, jadi kau inilah putra Su-hay-yu-hiat Suma Hong?" Suma
Bing mengiakan sambil mengangguk serta
menggertak gigi. Tubuh wanita cantik itu gemetar karena
menahan perasaan
hatinya, lama dan lama sekali ia terlongo memandang wajah
Suma Bing. Suma Bing sendiripun tengah keheranan melihat perobahan sikap
wanita misterius ini entah mengapa orang mendadak berobah
sedemikian serius dan terbawa oleh perasaan hatinya. Apa
mungkin dia salah seorang sahabat kental ayah semasa masih
hidup, atau... Lagi2 airmuka si wanita berobah dan bertanya: "Konon kalian
bertiga sudah ketimpa bahaya semua..." "Cayhe tersapu jatuh
kedalam jurang dan kebetulan
tertolong oleh In-su Sia-sin Kho Jiang!" "Oh, untung keluarga
Suma masih ada keturunan, kau tahu
siapa aku?" Suma Bing melengak, sahutnya gagap: "Ini... harap
suka kau perkenalkan diri..." "Akulah bibimu Ong Fong-jui!"
Saking kejut Suma Bing berdiri melongo tertegun hampir
saja dia tidak percaya pada pendengarannya, bahwa wanita ayu
bersolek ini ternyata adalah bibinya, benar2 mimpi juga takkan
terduga sebelumnya.
Kelopak mata Ong Fong-jui merah ber-kedip2, katanya:
"Suma Bing, apa kau sudah tahu siapa2 saja para musuhmu itu?"
Sejak kecil mengalami bencana dan hidup dalam penderitaan,
sekali bertemu dengan salah seorang famili yang terdekat, tanpa
merasa airmata Suma Bing meleleh deras sahutnya:
"Saat ini baru kuketahui Tang-mo seorang, entahlah yang lain,
apa Bibi Jui..."
"Akupun tidak tahu, setelah peristiwa itu terjadi baru aku dengar
tentang kabar jelek itu. Sekarang untuk mengetahui jelas duduk
perkara peristiwa dipuncak kepala harimau itu, hanya Tang-mo
seoranglah yang dapat memberi keterangan."
"Pikiran Tit-ji (keponakan) juga begitu, sayang kemaren Tang-mo
dapat melarikan diri."
"Saat ini kau masih bukan tandingan Tang-mo, akupun datang
terlambat, kalau tidak takkan mungkin dia dapat lolos!"
Suma Bing menghela napas sedih katanya: "Kalau bukan karena
pertolongan Bibi, mungkin aku
sekarang sudah tewas!" "Urusan sudah berlalu, sudahlah tak perlu
diungkit lagi." "Tidak dapat tidak aku harus merebut kembali
Pedang darah itu dari tangan Racun diracun" "Itu urusan kecil. Yang
penting kau harus segera
mengerjakan urusan besar, hanya... mungkin terlalu sukar!" Suma
Bing melengak: "Urusan kecil" Lalu urusan besar apakah itu?"
"Kalau kau bisa mendapatkan Mo-hoa (bunga iblis), tidak
sukar kau menjadi tokoh paling kosen dijagad ini."
"Memang Tit-ji sudah ada maksud itu," sahut Suma Bing penuh
perasaan. "Pesan Suhu juga begitu, tapi entah dimanakah Mo-hoa
itu..." "Menurut apa yang kutahu," sambung Ong Fong-ju. "Mo- hoa
berada ditangan seorang Tjianpwe gembong Iblis wanita."
"Siapa dia?" "Bu-siang-sin-li!" "Bu-siang-sin-li?" "Benar, usia
Bu-siang-sin-li sudah seabad lebih, betapa
tinggi kepandaiannya, benar2 susah dibayangkan. Seumpama
Bu-lim-su-ih bergabung mengeroyoknyapun belum tentu dapat
selamat dari kehebatannya."
Tergetar hati Suma Bing, tanyanya: "Bagaimana kalau
dibanding Pek-kut Hujin?" Berobah wajah Ong-Fong-jui: "Kau
tahu tentang Pek-kut Hujin?" "Bibi Jui." ujar Suma Bing sambil
menunjuk dua kerangka
tulang tidak jauh itu. "Masa kau tidak melihat inilah buah karya
Pek-kut Hujin itu."
Ong Fong-jui tersurut mundur, katanya: "Aku pernah pergi
beberapa saat lamanya, waktu kembali lagi keadaan disini sudah
sepi tanpa seorangpun, kulihat kau jatuh pingsan dan terluka
parah, maka buru2 kumengobatimu, maka tidak sempat aku
memperhatikan segalanya"
"Sebelumnya Bibi Jui belum tahu siapa aku, mengapa kau
menolong aku?"
"Mungkin inilah jodoh aku tidak tega melihat seorang berbakat
seperti kau harus mati secara konyol."
"Tentang kepandaian Bu-siang-sin-li..."
"0h, Pek-kut Hujin juga bukan tandingan Bu-siang-sin-li."
"Kalau begitu berarti Bu-siang-sin-li sudah tanpa tandingan
diseluruh kolong langit?" "Selama seratus tahun belakangan ini
tiada seorangpun
yang berkepandaian sejajar dengan Bu-siang-sin-li. Tapi apakah
Bu-siang-sin-li masih hidup, ada tidak muridnya, ini merupakan
teka-teki."
Mencelos perasaan Suma Bing: "Jadi Bunga iblis itupun hanya
merupakan dongeng saja?" "Belum tentu, kejadian dijagad ini
mengutamakan jodoh,
tiada halangan kau men-coba2 keberuntungan itu." "Cara
bagaimana mencobanya?" "Konon Bu-siang-sin-li mengasingkan
diri digunung Bukong-
san, tentang alamatnya yang pasti tiada seorangpun yang
tahu, boleh kau pergi ke Bu-kong-san mencoba keberuntunganmu,
siapa tahu kau berjodoh..."
"Lalu bagaimana dengan Pedang darah itu?" "Ini... sudah
pernah kukatakan itu urusan kecil kalau kau
bisa mendapatkan Bunga iblis itu, Pedang darah pasti dikembalikan
kepadamu!"
"Maksud Bibi hendak..." "Saat ini terlalu pagi mempersoalkan
itu." "Aku masih ada hal2 yang belum kumengerti." "Soal
apakah itu?" "Pek-kut Hujin itulah. Mengapa dia turun tangan
menolong aku" Dan lagi, dengan kepandaiannya yang tinggi, kalau toh dia
sudah datang, mengapa mandah saja. membiarkan Racun diracun
seenaknya membawa lari Pedang darah itu?"
"Mungkin ada latar belakang yang susah dimengerti orang luar."
Se-konyong2 terdengar sebuah suitan panjang berkumandang
ditengah udara.
Ong Fong-jui berkerut kening, katanya: "Bing-tit, aku harus


Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pergi, jagalah dirimu baik2..." Entah cara bagaimana bergerak
tubuh yang lemah
semampai itu mendadak berkelebat hilang dalam sekejap mata,
gerak tubuhnya itu benar2 membuat Suma Bing melongo heran
melelet lidah. Terang dia pergi karena tertarik oleh suitan panjang
tadi, lalu siapakah orang yang bersuit panjang itu"
Dari wajah dan bentuk tubuh Ong Fong-jui yang agung
menggiurkan itu, lantas teringat ia akan kecantikan ibunya
San-hoa-li Ong Fong-lan tentu tidak kalah ayu dan rupawan,
meski dalam ingatannya tiada setitikpun bayangan ibunya, namun
dapatlah dibayangkan dari Bibinya jni, karena mereka adalah
saudara sekandung tentu tidak banyak bedanya.
"Buyung, tak duga kau inilah keturunan Suma Hong!" Sebuah
suara mengejutkan Suma Bing dari lamunannya,
ter-sipu2 ia berpaling dilihatnya seorang tua pendek buntak
dengan rambut beruban tengah berlenggong menghampiri
kearahnya. Kiranja itulah To-sing-tau-gwat Si Ban-tjwan simaling
bintang. Jelas bahwa si maling tua ini agaknya sudah lama
sembunyi disini.
Suma Bing merangkap tangan memberi hormat, ujarnya:
"Tuan, tak duga kita bertemu lagi disini." "Hehehihi, benar
sembarang waktu pasti dapat bertemu
lagi." "Tuan sudah lama datang bukan?"
"Dikata lama tidak lama, kira2 sepeminuman teh, hanya aku si
maling tua ini paling sayang akan jiwaku, tidak berani sembrono
unjukkan diri!"
"Mengapa?" tanya Suma Bing tidak mengerti. Bola mata si
maling bintang Si Ban-tjwan jelalatan
menyapu pandang kesekelilingnya, sambil menggeleng ia
menyahut: "Tidak mengapa, si maling tua ini ada satu persoalan hendak
kusampaikan kepadamu."
"Coba katakan." "Apa kau benar2 putra Suma Hong?" "Masa
aku bohong, apa perlunya aku meng-aku2 menjadi
anak orang?" "Kalau begitu baik, kukasih tahu, bahwa ibundamu
San hoa-li Ong Fong-lan sebenarnya belum mati." Tiba2 seluruh tubuh
Suma Bing gemetar hebat, tanyanya: "Tuan bilang apa?" "Ibumu
masih hidup!" "Ah!" Suma Bing tersurut tiga langkah, kedua
matanya terbelalak bagai dua biji kelengkeng, saking haru dan menahan
perasaan jidatnya basah oleh keringat.
Sungguh diluar dugaannya bahwa ibunya ternyata masih hidup.
"Benarkah ucapan tuan?" "Masa orang setua aku ini masih
main guyon dan membual
kepadamu!" "Dia... dia... dimanakah ibu
sekarang?" "Hal ini aku tidak tahu!"
Suma Bing menarik muka keren, katanya: "Tuan berani bicara
apakah ada buktinya?" "Bukti, aku si maling tua sendiri yang
melihatnya, seluruh
kolong langit ini yang tahu bahwa ibumu masih hidup mungkin
hanya dua orang, satu adalah aku, dan yang lain adalah
suhengmu..."
"Loh Tju-gi?" "Benar." "Coba tuan tuturkan secara jelas." Sambil
mengurut jenggot putihnya mulailah si maling
bintang berkisah per-lahan2: "Limabelas tahun yang lalu, karena
memperebutkan Pedang darah terjadilah penyembelihan besar2an kaum persilatan
dipuncak Hou-thau-hong digunung Tiam tjong san. Waktu Lohu
mendengar berita, dan memburu tiba, suasana sudah sunyi
pertempuran sudah bubar. Tapi, suatu tragedi yang mengenaskan
diluar batas tengah terjadi... Seorang wanita memeluk putranya
yang terluka parah empas empis tengah menyembah dan
memohon kepada seorang laki2 supaya dia suka menolong
putranya, sebab jalan darah pengantar anak itu sudah putus,
dijagad ini hanya Kiu yang sin kanglah yang dapat menolong jiwa
kecil itu, sedang laki2 itu justru melatih ilmu sakti semacam itu..."
"Diakah Suhengku Loh Tju-gi?" "Dengar ceritaku. Laki2 itu
melulusi untuk menolong anak
itu dengan suatu syarat, syarat kejam diluar prikemanusiaan,
demi hidup anaknya terpaksa wanita itu melulusi..."
"Syarat apakah itu?" tanya Suma Bing gemetar.
"Dia minta tubuh si wanita itu."
Gelap pandangan Suma Bing, tubuhnya sempoyongan hampir
roboh. Sambung si maling tua lagi: "Setelah menodai tubuh si wanita
itu, laki2 itu mengingkari
janjinya, dia tidak mau mengobati anak itu. Melihat jiwa anaknya
semakin meregang dan dia sendiri tak mampu berbuat apa2, tidak
tega pula melihat penderitaan anaknya sebelum ajal itu, segera ia
mencabut sebuah cundrik dan menusuk sekali didada anak itu, lalu
berlari turun gunung sambil tertawa menggila, dia bersumpah
hendak menuntut balas..."
"Bangsat rendah!" teriak Suma Bing, darahpun berhamburan dari
mulutnya. Setelah merandek sejenak si maling tua melanjutkan lagi
penuturannya: "Buyung, mungkin kau mencaci aku karena tidak berusaha
memberi pertolongan, ai, kalau dikatakan aku sangat menyesal.
Waktu itu baru saja aku terkalahkan oleh Pak-tok, Hian-in-kang
membuat seluruh kepandaian Lohu amblas sama sekali, maka...
untuk selanjutnya kuharap dapat membantu kau membalas sakit
hatimu, untuk menebus penyesalanku dulu."
Suma Bing membelalak geram, hatinya mendelu dan pedih seperti
di-iris2. Loh Tju-gi menipu dan memperkosa ibunya, salah seorang
pembunuh ayahnya juga dalam perebutan Pedang darah. Loh
Tju-gi dengan tipu muslihat keji mencelakai jiwa suhunya pula,
menurut pesan suhunya murid murtad ini harus dibunuh dan
dihancur leburkan. Demi nama perguruan dia harus dibunuh, demi
dendam kesumat keluarganya lebih2 dia harus dihancurkan. Jelas
para musuh besar yang telah diketahui yaitu Tang-mo dan Loh
Tju-gi berkepandaian lebih tinggi dari dirinya, maka lebih besar lagi
niat dan tekadnya untuk dapat melatih kepandaian tertinggi
Tiraik asih Websi te http:// kangz usi.co m/ tiada taranya diseluruh jagad raya. Sekarang tujuan utamanya
harus merebut kembali Pedang darah, lalu mencari Bunga iblis.
Bersama itu diapun ingin segera dapat menemukan jejak ibunya,
asal ibunya sudah ketemu, seluruh musuh2nya pasti dapat
diketahui dan tak usah mesti me-raba2. Lantas terbayang juga
olehnya bahwa ibunya adalah wanita paling tak beruntung dan
paling menderita didunia ini. Suatu pikiran yang seram
menakutkan mulai bersemi dalam hati kecilnya. Bunuh! Semua
manusia tamak, licik, rendah dan jahat serta telengas diluar
peribudi kaum persilatan harus dibunuh dan dihancurkan.
Menghela napas panjang si maling bintang berkata lagi.
"Buyung, kau harus mencari dulu ibumu, baru setelah itu
memperhitungkan cara2 untuk menuntut balas." Suma Bing
menggertak gigi, sahutnya: "Terima kasih atas petunjuk tuan."
Tubuhnya melejit dengan kecepatan terbang ia berlari
turun gunung. Mengawasi bayangan Suma Bing
To-sing-tau-gwat Si Bantjwan
menghela napas panjang. Kini kita ikuti perjalanan Suma
Bing, sambil menyandang
hati yang penuh gelora kemarahan dan keperihan, ia berlarian
cepat turun gunung. Mendadak teringat olehnya akan nasib si
orang berkedok yang terpukul jatuh kedalam jurang oleh Ketua
Bwe-hwa-hwe itu.
14. SETAN BARAT DJEBUL ADALAH KEKASIH SI SESAT
DARI SELATAN. Boleh dikata si orang berkedok mati lantaran dirinya, paling tidak ia
harus mencari jenazahnya dan dikubur selayaknya. Maka segera ia
putar balik dan berlari menuju kekaki jurang terus memasuki
sebuah selat sempit, selama kurang lebih beberapa jam lamanya ia
sudah obrak-abrik seluruh lembah itu, jejak jenazah si orang
berkedok belum juga diketemukannya, dia heran dan tak habis
mengerti, batinnja:
"Apa mungkin dia belum mati" Tapi jatuh dari puncak beratus
meter tingginya, mustahil kalau tubuhnya tidak terbanting hancur
lebur, namun kenyataan ini benar2 sukar dipercaya. Setelah
direnungkan sekian lamanya, akhirnya dia ambil keputusan tak
peduli si orang berkedok sudah meninggal atau belum, dia wajib
menuntut balas kepada Ketua Bwe-hwa-hwe. Dan yang harus
disesalkan bahwa sampai pada detik itu sedikitpun dia belum
mengetahui tentang asal-usul si orang berkedok. Siapakah
namanya dan bagaimana riwayat hidup si orang berkedok,
entahlah dia tak tahu apa2, terutama yang lebih mengherankan
adalah si orang berkedok ternyata rela menjual jiwanya untuk
kepentingannya. Kalau seandainya si orang berkedok benar2 mati
maka teka-teki ini takkan mungkin dapat dipecahkan untuk
selamanya."
Tahu2 sebuah bayangan hitam muncul kira2 tiga tombak
dihadapannya. Rambutnya terurai panjang, pakaiannya serba
hitam, kepalanya tertutup rapat oleh rambutnya yang terurai
panjang. Dialah wanita misterius yang membongkar Kuburan
Tiang-un Suseng itu.
Bahwa wanita serba hitam dengan rambut terurai panjang ini bisa
muncul ditempat semacam itu benar2 diluar dugaan Suma Bing.
Maka segera terlintaslah akan pesan suhunya dulu bahwa dia
dilarang menghadapi orang yang pandai menggunakan ilmu
Pek-pian-kui-djiau, sejenak ia ragu2 pikirnya:
"Apa lebih baik aku menyingkir saja."
Maka dia lantas memutar tubuh hendak tinggal pergi. Sebelum
ia bergerak mendadak pandangannya terasa
kabur, tahu2 si wanita serba hitam itu telah menghadang
didepannya. Tanpa merasa Suma Bing mengerut kening, naga2nya dia
memang tengah mencari dirinya. Demi mematuhi pesan suhunya
dia takkan bergebrak dengan orang, maka sesaat sikapnya
menjadi kikuk dan risi sekali.
Si wanita serba hitam sudah membuka suara: "Suma Bing,
sungguh tak tersangka kau inilah kiranya
murid Lam-si itu..." Suma Bing melengak heran, tanyanya:
"Memangnya kenapa?" "Kalau sejak dulu kuketahui, aku sudah
harus membunuhmu!" Terperanjat Suma Bing, serunya: "Membunuh
aku" Kenapa?" Sahut wanita serba hitam penuh rasa kebencian:
"Karena aku telah mengecap penderitaan selama tigapuluh
tahun dalam penjara!" Suma Bing garuk2 kepala ter-heran2,
bahwa orang telah
dipenjarakan selama tigapuluh tahun lamanya, sedang dirinya
sejak lahir dari kandungan ibunya belum cukup dua puluh tahun
umurnya, bagaimana hal itu harus dijelaskan. Betul, tentu hal ini
menyangkut akan sepak terjang Suhunya semasa masih hidup.
Tapi justru Suhunya berpesan supaya dirinya tidak turun tangan
berkelahi dengan lawannya ini, ini benar2 lucu dan susah
dimengerti, maka dia lantas menyahut dingin:
"Apakah karena Suhuku itu?"
"Benar!" Suma Bing membatin: "Kalau bukan karena pesan
suhu yang harus dipatuhi itu,
mungkin kau sudah kubunuh lebih dulu." Maka sambil
mendengus ia berkata lagi: "Kau dipenjarakan selama tigapuluh
tahun ada sangkutpaut
apa dengan aku?" "Soal ini menyangkut suhumu itu, sedang
kau adalah muridnya!" "Karena alasan itu lantas kau hendak membunuhku?"
"Kenapa tidak?" "Apa kau mampu?" "Kau boleh coba2." "Kukasih
tahu dulu karena aku tidak ingin melanggar
pantangan suhu maka aku tidak sungguh2 melayani kau,
memangnya kau sangka aku takut padamu."
"Pantangan apakah itu?" "Tidak perlu kuberitahu kepadamu."
"Huh, Suma Bing, akupun tidak mengharap kau
memberitahu, sekarang kau ikut aku!" "Ikut kau, mengapa?"
"Kaupun tidak perlu bertanya, sampai saatnya kau akan
tahu sendiri." "Kalau begitu maaf aku tidak ada minat." Tiba2
wanita serba hitam itu mendesak maju dua tindak,
suaranya bengis mengancam:
"Kau mau ikut tidak?"
Naga2nya kalau Suma Bing berani menjawab "tidak" pasti segera
ia turun tangan menyerangnya.
"Kalau kau tidak jelaskan alasanmu," jengek Suma Bing dengan
angkuhnya, "Kenapa aku harus ikut kau pergi?"
Apa boleh buat terpaksa si wanita serba hitam berkata:
"Suhuku ingin bertemu dengan kau." "Siapakah suhumu?"
"Mengapa kau begitu cerewet." Berputar otak Suma Bing,
batinnya: "Suhu berpesan supayaku tidak bergebrak dengan
orang yang pandai menggunakan ilmu Cakar setan beratus perobahan,
tentu ada sebabnya. Apalagi wanita aneh seperti setan
gentayangan inipun mengatakan karena urusan itulah maka dia
dipenjarakan selama tigapuluh tahun lamanya, tidak perlu
disangsikan lagi bahwa hal itu pasti tersembunyi suatu latar
belakang yang panjang ceritanya, kenapa aku tidak ikut saja untuk
menyingkap tabir rahasia ini. Maka segera sahutnya:
"Baiklah, aku ikut kau." Tanpa membuka kata lagi segera
wanita serba hitam itu
berlari kearah mulut lembah, betapa cepat gerak tubuhnya benar2
membuat orang melelet lidah kagum. Suma Bing harus
mengerahkan seluruh tenaganya baru dapat mengimbangi
kecepatan lari wanita itu.
Begitu tiba dimulut lembah sebuah bukit tinggi melintang didepan
mereka, tanpa menghentikan langkah si wanita serba hitam
segesit kera terus berloncatan keatas sekaligus ia melampaui
berpuluh bukit tinggi. Pikiran Suma Bing semakin pepat dan
ber-tanya2, entah orang kosen macam apakah suhunya itu!
Dimana ia bersemayam" Bukit2 habis dilalui lantas terbentanglah
sebuah danau tak berujung pangkal
dihadapan mereka, dipinggir danau penuh ditumbuhi semak
belukar, bergegas si wanita itu menuju ketepi danau, dari rumpun
alang2 ia menyeret keluar sebuah sampan kecil terus berseru:
"Naiklah kemari!" Sekilas Suma Bing melirik hatinya membatin:
'aku sudah terlanjur tiba buat apa gentar', sekali melejit tibalah dia diatas
sampan kecil itu. Wanita serba hitam duduk diburitan, begitu


Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kedua tangannya menepuk kebelakang, sampan kecil itu segera
meluncur dipermukaan air seperti anak panah cepatnya langsung
menuju ketengah danau.
Tidak henti2nya kedua tangannya menepuk kebelakang, sungguh
ajaib dan lucu gerak geriknya, tanpa menggunakan gayuh sampan
kecil itu ternyata berlaju semakin cepat.
Sampan kecil itu berlaju cepat dialunan gelombang air, tak lama
kemudian dikejauhan sana terlihat sebuah pulau kecil yang
menghijau ditengah danau, setelah semakin dekat terlihat lebih
jelas diatas pulau itu tumbuh bermacam pohon dengan suburnya,
samar2 terlihat juga ada beberapa bangunan rumah-rumah gubuk.
Wanita serba hitam merapatkan sampannya ketepi pantai serta
serunya: "Sudah sampai naiklah!" Sekali loncat Suma Bing
menginjakkan kaki diatas pulau itu,
segera wanita serba hitam mendahului berjalan didepan, serunya:
"Mari ikut aku." Suma Bing menjadi was2, pikirnya tempat ini
tiada jalan darat, kalau tiada perahu betapapun tinggi kepandaiannya tak
mungkin dapat kabur dari pulau ini. Beberapa tombak kemudian
setelah membelok dua tiga kali terlihat didepan sana berdiri tegak
beberapa batang pohon Siong yang tinggi
besar mengelilingi sekitar beberapa bangunan rumah, diatas
setiap batang pohon tergantung sebuah tengkorak, selayang
pandang keadaan ini sangat seram menakutkan, selain itu tiada
pandangan lain yang menggiriskan.
"Suma Bing," seru wanita serba hitam dingin, "Inilah barisan
Le-kui-tjui-kun-tin, diseluruh kolong langit orang yang dapat keluar
masuk dari barisan jeritan setan pengejar sukma ini mungkin tiada
ketiganya"
Tercekat hati Suma Bing, namun lahirnya tetap tenang ujarnya:
"Aku datang karena undanganmu, kedudukanku sebagai tamu ada
sangkut paut apa barisan ini dengan aku?"
Melewati barisan pohon siong ini didepan sana mereka harus
menerobos jalanan kecil diantara himpitan pohon2 bambu hijau
lantas terbentanglah sebuah pekarangan besar didepan beberapa
bangunan gubuk, mungkin orang luar akan menyangka bahwa
tempat yang sepi dan nyaman ini adalah tempat pengasingan
seorang tokoh kosen yang menyendiri seandainya tengkorak putih
yang tergantung diatas pohon Siong itu dilenyapkan.
Wanita serba hitam itu menyurung pintu sebuah gubuk, lalu tiba2
menggape tangan dan serunya:
" K a u t u n g g u s a j a d i s i n i , " l a l u i a t e k a n
s u a r a n y a b e r k a t a l a g i : " B a g a i m a n a j e j a k
T i a n g - u n S Suma Bing mengguesleengn gke pPaloa,h la nDtajsi taernbgay"a"ng lah kejadian
didepan kuburan kosong Tiang-un Suseng itu, menurut katanya
karena Tiang-un Suseng hingga ia menderita dalam penjara selama
tiga puluh tahun, ah, cinta itu benar2 buta!
Tengah pikirannya me-layang2, mendadak wanita itu muncul lagi
dan menggape padanya serta serunya:
"Suma Bing, kau boleh masuk!"
Suma Bing mengiakan terus melangkah maju sampai diluar pintu,
waktu pandangannya bentrok dengan apa yang dilihatnya itu
hatinya melonjak kaget, bulu roma berdiri perasaanpun dingin.
Kiranya, rumah gubuk yang terletak ditengah ini hanya merupakan
sebuah ruang besar tanpa segala peralatan atau perabot seperti
umumnya, yang lebih mengherankan bahwa ditengah ruangan
besar menghadap kepintu terdapat sebuah peti mati yang besar
warna merah marong. Terasa suasana seram mencekam keadaan
sekelilingnya, sesaat ia berdiri melongo tak tahu apa yang harus
diperbuatnya, waktu ia melirik kearah wanita hitam, tampak
rambutnya terurai menutupi seluruh wajahnya keadaannya ini lebih
menambah keseraman dan menakutkan keadaan waktu itu.
"Kau ini yang bernama Suma Bing?" sebuah suara tiba2 bertanya.
Suma Bing melonjak kaget, kiranya suara itu keluar dari dalam
peti besar itu, agaknya penghuni peti besar itu bukan jenazah tapi
adalah seorang hidup. Tapi mengapa baik2 menjadi seorang hidup
kok sembunyi didalam peti mati, hal inilah yang susah dimengerti.
"Kau dengar pertanyaanku tidak?" Suma Bing menenangkan
hatinya lalu menyahut: "Memang aku yang rendah Suma Bing
adanya" "Kau menjadi murid Sia-sin Kho Djiang?" "Benar, kau
mengundang aku yang rendah kemari ada
pengajaran apakah?" "Sudah tentu ada urusan!" "Kau masih
hidup mengapa menyamar jadi setan menakuti
orang?" "Hahahahaha..." lengking suara tawa bergema panjang berat dan
menyayatkan hati, seakan bukan keluar dari mulut manusia,
hingga timbul prasangka orang yang mendengar akan ringkikkan
iblis ditengah malam.
Dasar sifatnya memang keras, Suma Bing menjadi gusar karena
merasa dicemoohkan oleh suara tawa itu, segera ia membentak
keras: "Ada apa yang lucu hingga kau tertawa seperti setan gila?"
Seketika suara tawa itu sirap lantas terdengar pula suara
itu berkata: "Sudah terang aku ini setan, tapi kau mengatakan aku
menyamar jadi setan, bukankah sangat menggelikan?" "Huh,
setan apa segala adalah cerita badut yang melucu
mana ada setan didunia?" "Jadi kau tidak percaya?" "Kalau kau
tidak membicarakan urusan sebenarnya, lebih
baik aku permisi saja." "Kau hendak pergi" Hahaha, kuberitahu
Suma Bing, ada jalan masuk untukmu tapi tiada pintu untuk keluar, kalau tidak
percaya kau boleh coba2"
"Belum tentu kau dapat mengekang aku?" "Terserah kau mau
percaya apa tidak, akan tiba saatnya
kau dapat membuktikan. Sekarang jawablah satu pertanyaanku,
sebebenarnya Sia-sin Kho Djiang mengumpat dimana?"
"Mengumpat, huh, diseluruh jagad raya ini mungkin tiada
seorangpun yang dapat memaksa dia orang tua mengumpat!"
"Kutanya kau dimana dia sekarang?" "Tentang..." otak Suma
Bing berputar cepat, pesan Suhu
sangat keras dia melarang aku turun tangan terhadap
wanita yang pandai menggunakan ilmu cakar setan seratus perobahan
juga dilarang menerangkan jejaknya, bagaimana mungkin dia
melanggar pesan Suhunya itu, maka setelah merandek sekian
lamanya segera ia menyahut tegas:
"Tak bisa kukatakan!" Agaknja orang didalam peti mati itu
menjadi gusar bentaknya garang: "Tidak kau katakan!" "Benar aku tidak bisa
memberitahu." sahut Suma Bing
kaku. "Huh, gurunya sesat muridnyapun nyeleweng, memangnya
kau sangka aku kewalahan menghadapi kau?" "Brak," tiba2 tutup
peti mati berkisar kesamping disusul
sebuah bayangan orang muncul berduduk dari peti mati, jelas
itulah seorang wanita pula keadaannya seperti si serba hitam,
rambutnya terurai panjang awut2an, yang berbeda hanya rambut
yang menutupi muka itu sudah hampir seluruhnya beruban.
Berdetak keras jantung Suma Bing, serta merta ia mundur dua
tindak. Suasana tegang mengandung keseraman yang mencekam
hati. Entah cara bagaimana orang bergerak, tahu2 orang dalam peti
mati itu sudah melejit tiba diambang pintu dan berdiri dihadapan
Suma Bing, dengan ketajaman pandangan Suma Bing ia tidak
tahu kapan dan bagaimana orang bergerak.
"Suma Bing, kau katakan tidak?" "Tidak." "Kau jangan
menyesal ya." "Selamanya aku tidak mengenal apa artinya
menyesal!" Orang aneh dari peti mati itu mendesis seram,
katanya: "Kau tahu bagaimana aku hendak menghadapimu?" ancaman ini
benar2 membuat orang bergidik takut.
Suma Bing menjadi nekad, sahutnya: "Cara bagaimana kau
hendak menghadapi aku?" "Kulenyapkan ilmu silatmu, kurusak
wajahmu juga baru
kulepas kau dikalangan Kangouw." Suma Bing tidak tahu wanita
aneh ini ada permusuhan apa
dengan suhunya sehingga sedemikian kejam ia hendak
menghukum dirinya. Karena suhu melarang aku turun tangan
masa aku harus mandah terima binasa" Karena pikirannya ini
tanpa terasa rnulutnya berkata:
"Ada permusuhan apa suhuku kepadamu?" "Dendam!
hehehehe, aku benci dia, juga membenci seluruh
laki2 dikolong langit ini." "Kenapa?" "Benci, karena benci, tidak
karena apa" sekarang
kuperingatkan yang terakhir, kau katakan tidak?" "Tidak!" sahut
Suma Bing menggeleng dengan angkuhnya. Tangannya diulur
langsung, wanita aneh didalam peti mati
mencengkram kemuka Suma Bing. Selayang pandang Suma Bing
dapat lihat bahwa lawan melancarkan jurus2 dari ilmu cakar setan
beratus perobahan itu, karena mematuhi pesan gurunya, segera ia
batalkan serangan tangan yang sudah diayun, tubuhnyapun
segera melesat mundur secepat kilat sejauh lima kaki, terpaut
serambut hampir saja mukanya dedel dowel.
Wanita aneh mengekeh dingin, lagi2 cakar tangannya sudah
mencengkram tiba, bukan saja cara mencengkramnya sangat
cepat juga sangat aneh dan menakjubkan.
Keringat dingin membanjir membasahi tubuh Suma Bing, sedapat
mungkin ia miringkan tubuh berusaha berkelit, namun 'bret'
lengan bajunya terkoyak panjang, sepanjang lengannya
membekas jelas lima jalur merah darah bekas cakaran tangan.
"Suma Bing, kalau kau dapat menghindari jurus ketiga, segera
kulepas kau pergi," bayangan cakar setan berkelebat melayang2
bagai hujan salju semua menungkrup kearah Suma Bing. Arwah
Suma Bing seakan melayang keluar, terasa olehnya tiada tempat
atau waktu untuk dirinya menyingkir atau berkelit lagi, tahu2
pundaknya terasa kesakitan lima cakar lawan mencengkram
amblas masuk da
ging. Seketika buyarlah semua hawa murni dan tubuhpun terasa
lemas lunglai. "Kau masih ada omongan apa lagi?" ancam wanita aneh
menyeringai. Bergolak darah Suma Bing serunya beringas: "Kalau bukan
karena pesan suhu, belum tentu kau dapat
berhasil sedemikian gampang." Agaknja wanita aneh itu tergetar
kaget, tanyanya: "Pesan guru apa itu?" "Dia orang tua melarang
aku turun tangan terhadap orang
yang menggunakan jurus2 Pek-pian-kui djiau!" "Apa betul?" "Apa
kau lihat aku balas menyerang?" "Dia... dia... hm, bohong.
Siautju, sekarang biar kurusak
wajahmu ini." Sebuah cakar tangan yang halus pucat memutih
per-lahan2 bergerak kearah wajah Suma Bing. Dalam saat2 diambang ajal itu
terbayang oleh Suma Bing akan tugas menuntut balas yang
belum terlaksana, juga teringat akan benci, hutang budi pada
orang lain, semua ini terbayang dikelopak matanya dan sekejap itu
pula menghilang dari ingatannya. Dia ingin berontak, tapi lantas
teringat akan pesan suhunya yang selalu mengekang dan
membatasi gera-gerik dirinya... Dengan membelalak ia awasi cakar
tangan itu semakin dekat didepan matanya. Terpaut setengah dim
dari wajahnya cakar tangan itu berhenti dan tidak bergerak lagi.
Keringat dingin segede kacang mengalir deras diatas jidatnya.
"Kasih tahu aku, dimana dia berada?" ratapnya sedih menyayatkan
hati mengandung kegetiran hati yang tak terperikan.
"Tidak bisa!" sahut Suma Bing tetap keras kepala. "Jadi kau
rela menjadi tanpadaksa dan rusak wajahmu,
lebih baik mati daripada hidup?" "Siluman jalang, turun
tanganlah." "Plok," sebuah tamparan nyaring membuat mata
Suma Bing ber-kunang2, darahpun meleleh dari sudut bibirnya lalu
disusul jari2 berat berkali2 menutuk diberbagai jalan darah
diseluruh tubuhnya. Mengikuti setiap tutukan Suma Bing
merasakan hawa murninya pun ber-angsur2 membuyar dengan
cepat. Diam2 ia mengeluh dalam hati, seluruh kepandaian silatnya
sudah ludas dalam sekejap itu. Untuk seorang persilatan hal ini
lebih mengenaskan beratus lipat dari kematian, saking tak tahan
mulutnya berteriak memaki:
"Siluman jalang kau..." "Blang" badan Suma Bing terbang
sejauh tiga tombak
darah menyembur keras dari mulutnya, tubuhnya lemas lunglai
tergolek diatas tanah tanpa bergerak.
Segera wanita aneh dari peti mati itu berpaling kearah wanita
serba hitam dan berkata:
"Giok-sia kurung dia didalam barisan teriakan setan mengejar
nyawa, seumur hidup ia tidak membuka mulut, kurung dia selama
itu jua." Si wanita serba hitam mengiakan, bagai menangkap anak ayam ia
jinjing tubuh Suma Bing dengan langkah lebar ia keluar terus
memasuki hutan pohon siong sebelah sana, ditengah antara
rumpun pohon siong dibangun sebuah rumah kecil serba hitam
pula, dimana hanya ada sebuah pintu dan sebuah jendela. Suma
Bing dilempar masuk kedalam rumah kecil itu, lantas pintu ditutup
keras2 dan dikunci dari luar.
Sungguh mimpipun Suma Bing takkan menduga bahwa akhirnja ia
harus menjadi tawanan dan dipenjarakan dalam rumah hitam itu
oleh wanita aneh itu. Karena kepandaiannya sudah lenyap, tak
mungkin lagi dia berobat diri, lebih tak mungkin dapat meloloskan
diri. Kiranya rumah hitam itu terbuat dari besi baja, seumpama
Lwekangnya belum hilangpun takkan mungkin dapat membobol
rumah besi yang kokoh kuat ini. Se-olah2 dia tengah bermimpi
buruk, ya buruk sekali.
Dalam rumah besi itu selain sebuah dipan kayu tiada perabot
lainnya. Setiap hari wanita bernama Giok-sia itu menghantarkan
setalang air dan secawan nasi. Begitulah Suma Bing lewatkan
hari2 dalam kegelapan. Dia masih mengandung secercah harapan,
namun harapan itu adalah sedemikian kecil bagai bayangan saja,
sang waktu berjalan terus dan berlalu tanpa terasa. Namun bagi
seorang yang menderita dalam kurungan, seumpama satu jampun
sudah terasa bagai satu tahun lamanya.
Hari itu seperti biasanya wanita serba hitam itu datang lagi
mengantar makanan, akhirnya tak sabar lagi Suma Bing bertanya:
"Sudah berapa lama aku terkurung disini?"
"Tiga bulan."
"Tiga bulan?" Suma Bing berteriak kejut tubuhnyapun
sempoyongan hampir roboh, raut wajahnya ber-kerut2 tak
hentinya. Teringat dia akan janji pertemuan dengan Siang Siau-hun
dalam jangka seratus hari didalam biara bobrok itu. Sudah tentu
Siang Siau-hun takkan tahu bahwa racun dalam tubuhnya sudah
punah. Dalam jangka seratus hari kalau dirinya tidak menepati
janji, dapatlah dibayangkan akibatnya, pasti Siang Siau-hun akan
bunuh diri untuk membuktikan kesetiaannya. Di-hitung2 waktunya


Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masih tinggal tiga hari lagi. Tiga hari, seumpama badannya sehat
waalfiat dan bebas dari kurungan, juga sukar dapat menyusul tiba
ditempat perjanjian. Apalagi kini dirinya terkurung dalam penjara
apa dia harus membiarkan Siang Siau-hun berkorban karena
dirinya. "Tidak!" dia berteriak histeris, suaranya serak menggila dan
sesenggukkan. Wanita bernama Giok-sia itu mendengus hina ujarnya: "Kau
berteriak apa" Aku terkurung disini tiga puluh tahun
lamanya, mengeluhpun aku belum pernah. Kau hanya terkurung
tiga bulan terhitung apa?"
"Tidak, aku... aku..." "Kau kenapa?" "Dalam waktu tiga hari,
kalau aku tidak menepati sebuah
janji pertemuan, seorang gadis akan melayang jiwanya."
"Kenapa?" "Dia menganggap aku sudah tak dapat hidup lagi...
"Dia itu kekasihmu?" "Benar." "Tapi kau tak mungkin keluar,
apalagi ilmu silatmu sudah
punah?" Suma Bing mengeluh panjang serta memohon: "Aku Suma Bing
selamanya belum pernah minta belas
kasihan orang lain. Sekarang aku mohon padamu, silakan kau
lapor kepada gurumu supaya aku keluar menepati janji pertemuan
itu, setelah urusan selesai aku pasti kembali lagi, mau bunuh atau
mau diapakan terserah pada kalian, aku takkan berkerut kening."
Wanita bernama Giok-sia itu bergelak tawa, serunya:
"Ceritamu ini memilukan hati, tapi masih terlalu hijau. Kau
sangka suhumu Kho Lo-sia bisa datang menolongmu?" Saking
gugup otak Suma Bing agak limbung dan kelepasan
mulut: "Tidak, dia sudah mati suhuku sudah lama meninggalkan
dunia fana ini." Sebuah suara gemetar yang memilukan
menyambung: "Apa dia mati, dia... sudah mati?" Suma Bing
melirik kearah suara itu, wanita aneh dari peti
mati itu tengah berdiri kaku tiga tombak jauhnya. Baru sekarang ia
insaf telah kelepasan Omong, karena sudah terlanjur segera ia
berpikir: Suhu berpesan supaya jangan membocorkan jejaknya,
tapi itu waktu dia masih hidup, sekarang dia sudah meninggal, tak
perlu lagi dipersoalkan tentang jejak apa segala. Sungguh dia
sangat menyesal mengapa tidak sejak dulu2 ia berpikir akan hal
ini, kalau tidak dia takkan terkurung dan menderita dalam penjara
ini, namun sekarang semua sudah terlambat, maka ia manggut2
dan berkata: "Benar dia sudah mati." Wanita aneh mengabitkan kepala
hingga rambutnya
panjang menjulur kebelakang kepala, maka terlihat jelas raut
mukanya, sebenarnya wajah itu tidak buruk, namun saat itu
menyeringai macam rupa setan menakutkan, dapatlah dimengerti
bahwa kabar kematian suhunya memberikan suatu pukulan berat
bagi sanubarinya.
"Hahaha... dia sudah mati... hahaha..." suara tawa yang
menyayatkan hati bagai ringkikan setan iblis, seperti juga lolong
serigala yang haus darah, membuat takut dan mengkirik
pendengarnya. "Suhu... kau..." wanita serba hitam maju memayang tubuh wanita
aneh yang lemas karena terpengaruh oleh perasaannya sendiri.
Lama dan lama sekali baru dia menghentikan sengguk
tertawanya, kini wajahnya berobah penuh kegetiran hati dan
gusar sekali, desisnya:
"Suma Bing kau tahu siapa aku?" "Ini aku tidak tahu." "Setan
barat, kau sudah pernah dengar nama itu?" Terperanjat hati
Suma Bing, sungguh diluar tahunya bahwa
nenek tua aneh ini kiranya adalah 'Setan barat' yang sejajar
dengan suhunya dalam Bu-lim-su-ih. Akan tetapi ada dendam
apakah antara Setan barat dan Lam-sia"
"Harap tanya Tjianpwe dan guruku..." "Hal itu kau jangan
tanya," tukas Setan barat sambil
mengulapkan tangan, "Bagaimana suhumu sampai meninggal?"
"Mati keracunan." "Apa, mati keracunan?" hardik Setan barat,
saking gusar rambutnya berdiri menegak bentaknya lebih bengis: "Siapa yang
meracuninya?"
"Murid murtad yang pertama bernama Loh Tju-gi."
Badan Setan barat ber-gerak2 hampir roboh, kedua matanya,
mendelik besar memancarkan sinar kekejaman, desisnya:
"Mati ditangan muridnya sendiri?" Sehijau dan sebodoh2nya
Suma Bing kini ia dapat menerka
bahwa antara suhunya dan Setan barat ini tentu ada pertikaian
cinta asmara yang sangat ruwet.
"Benar mati ditangan muridnya yang dididik dan diasuhnya sejak
kecil." "Ceritakan sejelasnya." "Loh Tju-gi meminjam nama suhu
membunuh tiga antara
Bu-lim-sip-yu. Maka tujuh kawan lainnya segera meluruk datang
ke Sin-li-hong membuat perhitungan, akibat dari pertempuran
yang sengit itu, suhu dikorek sebuah matanya dan ditabas kedua
kakinya, lalu dibuang kedalam jurang..."
Tubuh Setan barat tergetar lagi, katanya: "Masa dia tidak
ungkulan melawan keroyokan tujuh orang
dari kawanan Bu-lim-sip-yu?" "Tidak, Loh Tju-gi sebelumnya
sudah mengatur tipu daya
yang keji lagi telengas, dia meracuni suhu hingga Lwekang suhu
surut sebagian besar."
"Anak serigala berhati kejam, apa tujuannya?" "Dia mencuri
sejilid buku Kiu-yang-tjin-keng dan sebutir
Kiu-tjoan-hoan-yang-tjau-ko. Dengan keampuhan dari benda
mustajab itu dia merebut kedudukan jago nomor satu dari seluruh
dunia persilatan, lalu sejak itu dia menghilang tidak keruan
paran." "Sudah berapa lama peristiwa itu terjadi?"
"Kira2 delapan belas tahun yang lalu."
"Delapan belas tahun, delapan belas tahun. Oh, aku terlalu
menyalahkan dia!" akhirnya Setan barat tak kuat menahan
tubuhnya dia meloso lemas duduk diatas tanah.
Suma Bing bagai tenggelam ditengah kabut, pikirannya kosong
hampa. "Kau sudah menuntut balas belum?" tanya Setan barat lagi.
"Seumpama terbang kelangit dan masuk kebumi wanpwe
juga harus mengejar Suheng Loh Tju-gi si murid murtad itu untuk
menumpasnya. Tentang Bu-lim-sip-yu selain Tji Khong Hwesio yang
sudah mati ditanganku yang lain sudah mati semua tinggal Tiang-un
Suseng seorang yang menyembunyikan diri..."
Berkilat2 mata Setan barat menatap kearah muridnya Giok- sia.
Wanita serba hitam yang bernama Giok-sia itu perlahan2
menundukkan kepalanya.
Tiba2 Setan barat mengalihkan pokok pembicaraan, tanyanya:
"Suma Bing, tadi kau bilang ada janji?" "Ya, benar." "Kalau kau
tidak menepati janjimu, maka orang itu pasti
mati?" "Ya begitulah!" "Begitu besar rasa cintanya kepadamu?"
Suma Bing mengiakan sambil manggut2. "Apa kau juga
mencintainya?" "Sudah tentu!" "Seumpama kau harus
mengorbankan jiwamu demi
cintanya itu?"
Suma Bing melengak, entah apa maksud pertanyaan ini" Namun
dengan tegas segera ia menjawab:
"Kalau memang harus begitu, akan wanpwe lakoni." Rona
wajah Setan barat berobah tak menentu, agaknya dia
tengah menahan perasaan hatinya akhirnya ia berkata lagi dingin
kaku: "Suma Bing, kau tahu bahwa kau pasti mati. Tapi biarlah kubantu
melaksanakan keinginan hatimu itu. Kuberi kau tujuh hari untuk
hidup, kusembuhkan kembali kepandaian silatmu untuk
sementara, supaya kau dapat pergi menepati janjimu. Setelah
selesai kau harus segera kembali kesini menyerahkan jiwamu, apa
kau sanggup?"
Persoalan berat ini membuat Suma Bing ragu2 maju mundur,
sudah pasti bahwa janjinya dengan Siang Siau-hun itu sangat
penting. Tapi, dendam perguruan, sakit hati keluarga, siapa lagi
yang akan menuntut balas setelah dia mati" Apakah dia bisa
meram" Setan barat perdengarkan suara tawa dingin ber-ulang2,
jengeknya: "Suma Bing, macam inikah cintamu itu, kau ragu2 dan bimbang
bukan?" Suma Bing mengertak gigi, sahutnya: "Aku teringat dendam
perguruan dan sakit hati keluarga,
kalau aku..." "Hahaha, kalau kau tidak menepati janji, kalau kau
selamanya dipenjarakan diatas pulau ini, kalau riwayatmu sudah
tamat, semua ini apakah sudah kau pikirkan" Lalu bagaimana pula
akibatnya?"
"Baiklah begitu kita atur." akhirnya Suma Bing nekad.
"Pada hari ketujuh kau harus sudah kembali disini?"
"Aku pasti kembali." "Seandainya kau tidak pulang, kau juga
takkan lolos, dari
tanganku!" habis berkata ia menunjuk wanita serba hitam itu dan
berkata: "Dia bernama Sun Giok-sia, muridku satu2nya, nanti
pada hari ketujuh dia akan menantimu dengan sebuah sampan
dibawah Te-tjui-hong! (puncak titik lajung)."
"Te-tjui-hong?" "Benar, terletak didepan danau itulah." lalu ia
berpaling dan berkata lagi : "Giok-sia lepaskan dia." Segera Sim Giok-sia maju
membuka kunci dan mementang
pintu. Dengan langkah berat Suma Bing keluar dari rumah hitam.
Seakan ia hidup kembali setelah selama tiga bulan mengecap
penderitaan dalam penjara, seakan sudah tiga ratus tahun dia
berpisah dengan dunia ramai.
Setan barat segera maju mendekat dengan jarinya ia menutuk
beberapa jalan darah ditubuh Suma Bing lalu berkata:
"Lwekangmu bukan kupunahkan, hanya kututup dengan ilmu
tutukan tunggalku, sekarang kau pulih kembali seperti biasa"
Suma Bing menyedot hawa dalam2 dan coba2 mengerahkan
tenaga, benar juga hawa murni dalam tubuhnya segera bergolak.
Setan barat berputar dan per-lahan2 tinggal pergi masuk rumah.
"Mari ikut aku," segera Sim Giok-sia berkata dan menggape.
Suma Bing mengintil dibelakang Sim Giok-sia. setelah belak-belok
beberapa kali, mereka tiba diluar barisan jeritan setan pengejar
sukma itu. Tampak sinar sang surya berkilau2 dipermukaan danau,
hari cerah dan pemandangan
Tiraik asih Websi te http:// kangz usi.co m/ disekitarnya sangat menyejukkan. Beruntun mereka naik keatas
sampan, seperti datangnya dulu Sim Giok-sia melajukan perahunya
dengan cepat. Kira2 sepeminuman teh kemudian mereka sudah
tiba dibawah sebuah bukit kecil yang menghijau.
"Sudah sampai, tempat inilah yang dinamakan Te-djui- hong,
tujuh hari kemudian kunanti kedatanganmu disini."
Suma Bing tertawa hambar, katanya: "Selamat bertemu!"
Melompat tiba didarat segera ia kembangkan ilmu ringan
tubuh dan kerahkan seluruh kekuatannya berlari kencang keluar
lingkungan bukit kecil ini, dalam tempo tiga hari dia sudah harus
tiba dibiara bobrok tempat dimana ia berjanji untuk bertemu pula
dengan Siang-Siau-hun. Begitulah siang dan malam dia terus
berlari tak hentinya, pada hari ketiga pagi2 benar tepat waktu sang
surya muncul dari peraduannya dia tiba disebuah kota kecil yang
tinggal terpaut tigapuluh li dari biara bobrok itu. Baru sekarang
legalah hatinya yang was2 dan kuatir, setelah menangsel perut
sekadarnya, bergegas ia melanjutkan pula perjalanannya.
Belum jauh dia meninggalkan kota kecil itu, se-konyong2 sebuah
bayangan lencir hitam berkelebat melintang melintasi jalan raya
dengan kecepatan seperti angin lesus, sekejap itu bayangan itu
menghilang didalam rimba sebelah sana.
15. RAC UN UTA RA KON TRA RAC UN DIR ACU N. Serta merta Suma Bing menghentikan langkahnya karena ia
merasa sangat kenal akan bayangan hitam itu. Setelah merenung
sekian lamanya, teringat dia bahwa bayangan hitam itu tak lain tak
bukan adalah Racun diracun yang merebut Pedang darah dari
tangannya. Hari masih begitu pagi
dan Racun diracun muncul disini tentu ada peristiwa apa yang
telah terjadi. Apa mungkin didalam rimba itukah sarang Racun
diracun" Tanpa hiraukan bahaya bakal mengancam segera ia
melesat memasuki hutan lebat itu. Kiranya rimba itu adalah
sebidang tanah pekuburan. Membelakangi hutan sebelah kanan
sana berdiri sebuah gardu segi delapan, didalam gardu itulah
berdiri dua orang entah sedang apa.
Selincah kucing yang hendak menubruk mangsanya Suma Bing
berkelebat sembunyi dibelakang sebuah pohon besar yang tidak
terlalu jauh dari gardu itu.
Salah seorang dalam gardu itu kiranya adalah Tangbun Yu putra
Racun utara. Melihat musuh besarnya ini timbullah gelora amarah
Suma Bing yang tertekan selama ini. Karena bocah beracun inilah
sehingga timbul berbagai peristiwa yang menyakitkan hatinya,
maka bocah beracun ini harus dibunuh untuk melampiaskan rasa
dendamnya itu. Seorang lain dalam gardu itu adalah seorang tua
berwajah tirus, hidung bengkok mata juling menunjukkan kelicikan
wataknya. Terdengar Tangbun Yu tengah berkata: "Ayah apa dia pasti
datang?" "Dia sudah datang!" Tanpa merasa Suma Bing
tergetar kaget, adalah diluar
sangkanya bahwa siorang tua ini kiranya Pak-tok Tangbun Lu
adanya, entah siapakah yang mereka maksud 'dia' dalam
percakapan itu"
Tangbun Lu si Racun utara bergelak tawa dengan angkuhnya,
serunya: "Lohu sudah menunggu sekian lamanya, keluarlah!" Sebuah
bayangan berkelebat keluar tidak jauh dari tempat


Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sembunyi Suma Bing, sekali berkelebat enteng dan gesit sekali
tahu2 sudah tiba diluar gardu. Bayangan hitam itu tak lain tak
bukan adalah Racun diracun.
Menghadapi Racun diracun, Pak-tok menyeringai tawa hina,
sapanya: "Tuan ini Racun diracun?" "Benar, tuan mengundang aku
ketanah pekuburan ini ada
pengajaran apakah?" "Kalau kau mau menghapus nama
julukanmu, Lohu tidak
akan memperpanjang urusan ini." Racun diracun bergelak
sombong, katanya: "Bagi kaum persilatan dia memandang nama
julukan lebih berharga dari nyawanya sendiri. Omongan tuan tadi benar2
keterlaluan menghina orang."
Wajah tua Pak-tok semakin mengelam kaku, jengeknya: "Apa
kau tahu mengapa Lohu memilih tempat semacam ini
untuk tempat pertemuan kita?" "Silakan tuan jelaskan." "Kalau
dipendam disini, setelah mati pasti tidak akan
kesepian." Racun diracun mengekeh tawa meliuk tubuh, ujarnya:
"Sama2! Tuan benar2 teliti dan rapi bekerja, mungkin
selama ini tuan paling takut akan kesunyian maka sudah mengatur
ditempat semacam ini, lain halnya bagi aku yah tidak menjadi
soal!" Saking marah wajah Pak-tok berobah membesi kehijau2an,
kepalanya menguap putih, nafsu kekejaman semakin tebal pada
wajahnya. Kata Racun diracun lagi: "Sebaliknya aku belum berpikir untuk
minta pada tuan
supaya tuan menanggalkan nama julukan Pak-tok..."
"Tutup mulut! Nama Racun diracunmu itu, apa kau bermaksud
hendak mengungkuli Lohu?"
"Itu terserah bagaimana tuan ambil kesimpulan, aku tidak ingin
main debat!"
"Siaupwe sungguh sombong benar..." "Siaupwe" Hahahaha,
sebaliknya kau Tangbun Lu jangan
kau mengangkat dirimu terlalu tinggi." Gemetar tubuh Racun
utara saking menahan kemarahan
hatinya, suaranya mengandung ancaman membunuh: "Jadi kau
beranggapan bahwa kau lebih beracun dari
Lohu?" Racun diracun tertawa sinis, sahutnya: "Akan tetapi tuan
belum tentu kau lebih unggul dari aku." "Baiklah, biar Lohu
mengukur sampai dimana
kemampuanmu." "Dengan senang hati aku mengiringi." "Yu-ji,
tuang arak suguhkan pada tamu." Tangbun Yu mengiakan dan
segera menuang dua cangkir
arak terus diletakkan diatas meja batu ditengah gardu.
Ketegangan melingkupi suasana sekelilingnya, sebab dua
belah pihak sama2 menggunakan racun2 berbisa yang bertujuan
membunuh lawannya tanpa menggunakan kekerasan.
Sementara itu Suma Bing sendiripun tepekur dibelakang pohon
bersitegang leher, dua pihak yang tengah menyabung nyawa
dalam gardu adalah musuh2nya, ingin dia menyaksikan siapa lebih
unggul dan siapa lebih berbisa.
Tangan Racun utara diulapkan dan berkata:
"Inilah Jip-gau-toan-yang (masuk mulut meremukkan usus)
silahkan.", terus ia angkat cangkir langsung ditenggak habis.
Racun diracun melangkah masuk kedalam gardu, tanpa ragu2 ia
angkat juga cangkir yang lain terus ditenggak habis. Lalu dia
sendiri menuang dua cangkir penuh arak, jari kelingkingnya
menyelentik sekali dibibir cangkir terus berkata:
"Pemberian yang tak dibalas kurang hormat, silahkan inilah
It-te-siu (setitik istirahat)."
"Inilah Giam-ong-leng (perintah raja akhirat), silakan" "Inilah
Racun tanpa bayangan, silakan." "Inilah Biat-seng-tjui, (air
pelenyap bentuk) silakan." Racun diracun menuang dua cangkir
terakhir, serta
katanya: "Inilah cangkir yang terakhir, kalau tuan mampu
bertahan, aku mengaku kalah saja, untuk selanjutnya biar kalangan
Kangouw tiada seorang kosen macam Racun diracun..."
"Apa nama racun ini?" "Tuan berjuluk Racun utara, masa tidak
dapat melihat sendiri?" Rona wajah Racun utara berobah mengeras, sekian
lama ia terlongo ditempatnya tanpa kuasa buka suara. Racun diracun
menyeringai hambar, lalu ujarnya: "Inilah Ban-lian-tok-bo!" Racun
utara mundur terhuyung tubuhnya semampai lemas
dijagak gardu mulutnya mendesis gemetar: "Induk racun berlaksa
tahun?" "Yah, inilah racun diracun, racun diluar racun, kombinasi
berlaksa racun dari seluruh jagad."
Suma Bing yang bersembunyi ditempat gelappun merinding dan
berdiri bulu kuduknya, permainan adu racun yang menentukan
mati hidup dan gengsi macam ini agaknya belum pernah terjadi
dalam dunia persilatan selama ini.
Begitulah Racun diracun segera angkat sebuah cawan terus
ditenggak habis dan mengacungkan cangkir kosong kehadapan
Racun utara. Agaknya Racun utara keder, setelah bimbang sekian
lamanya terpaksa ia minum juga arak terakhir ini, seketika otot
hijau diatas jidatnya merongkol keluar, tubuhpun terhuyung hampir
roboh. Kata Racun diracun pula: "Tuan selamanya pandai
menggunakan racun, sudah tentu
Induk racun berlaksa tahun ini takkan dapat membuat tuan mati.
Tapi untuk membersihkan racun itu dari dalam tubuhmu,
sedikitnya kau harus berjerih payah selama sepuluh tahun!"
Dengan kebencian yang me-nyala2 Tangbun Lu mendengus,
serunya: "Yu-ji, mari pergi!" "Bocah berbisa tunggu dulu!" berbareng
dengan habisnya
suara ini sebuah bayangan sudah melesat tiba diluar gardu.
Tangbun Yu menyeringai bengis, desisnya: "Suma Bing kau belum
mati. Oh, ya, waktunya belum tiba
bukan?" Bagai bola api yang membara kedua mata Suma Bing
berkilat2 menatap Tangbun Yu geramnya: "Bocah jadah barang
permainan seperti racun Pek-jit-kui
mu bisa mengapakan aku" Hari ini silahkan kaupun merasakan
kelihayan aku punya Lip-sip-kui"
"Apa" Lip-sip-kui (segera pulang)?"
"Benar, Lip-sip-kui-thian (segera mati)!", sembari kedua tangan
langsung disodokkan kearah Tangbun Yu, bahna gusarnya
pukulannya ini meliputi pengerahan seluruh tenaganya yang
berlandaskan Kiu-yang-sin-kang, gelombang panas bagai badai
dipadang pasir segera ber-gulung2 melanda kearah Tangbun Yu.
Ter-sipu2 Tangbun Yu juga angkat tangan menangkis. "Blang"
ditengah ledakan dahsyat itu tubuh Tangbun Yu
tergetar terbang jauh setombak lebih. Belum cukup puas melihat
hasil pukulannya Suma Bing berkelebat menyusul tiba lagi dengan
serangan yang lebih hebat.
Sebuah tangan Tangbun Yu ber-goyang2 sambil membentak:
"Roboh!"
Suma Bing tahu bahwa lawan tengah menyebar racun berbisa.
Namun sejak menelan seluruh batang rumput ular serta buahnya
pemberian Manusia bebas diluar dunia itu Suma Bing sudah kebal
dan tidak lagi takut segala racun berbisa. Bertepatan dengan seruan
'roboh' Tangbun Yu dengan kecepatan kilat sebuah pukulan Suma
Bing sudah menghantam ke dada Tangbun Yu. Sungguh mimpipun
Tangbun Yu takkan menyangka bahwa Suma Bing kini sudah tidak
gentar lagi menghadapi segala racun, baru saja ia tertegun kejut
pukulan Suma Bing sudah menyodok tiba. "Blang" diselingi pekik
kesakitan Tangbun Yu mulutnya muntah darah badannyapun
terbang sejauh tiga tombak.
Melihat putra tunggalnya terpukul luka parah, keruan Racun utara
murka sekali bergegas ia melejit maju serta bertanya:
"Kau ini murid Kho-lo-sia?" "Kau mau apa?" "Sambutlah
sebuah pukulan Lohu." habis ucapannya sejalur
angin dingin segera menerpa deras kearah Suma Bing.
Hian-in-kang kebanggaan Racun utara merupakan salah satu ilmu
tunggal yang diakui kehebatannya oleh kaum persilatan. Meskipun
Suma Bing melatih Kiu-yang-sin-kang, ilmu sakti lawan pemunah
dari Hian-in-kang sayang Lwekang dan latihannya belum sempurna.
Begitu ia menangkis, kekuatan pukulannya bagai amblas kedalam
lautan hanya terdengar suara mendesis. Kontan dia sendiri lantas
merasakan jalur2 angin sedingin es meresap memasuki seluruh
tubuhnya terus merangsang kearah jantung, tubuhnya gemetar
kedinginan dan limbung hampir jatuh.
Pak-tok menyeringai iblis, ujarnya: "Siau-sia (sesat kecil), biar
Lohu sempurnakan kau!" Angin puyuh laksana sebuah gunung
menindih kearah
Suma Bing, dalam melancarkan pukulannya ini Pak-tok tidak
mengerahkan ilmu Hian-in-kang lagi, namun dengan latihan
Lwekang Racun utara berpuluh tahun itu cukup kiranya membuat
Suma Bing gentayangan, apalagi sebelumnya ia sudah kesurupan
Harpa Iblis Jari Sakti 30 Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Golok Halilintar 2
^