Pedang Golok Yang Menggetarkan 13

Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen Bagian 13


mereka dapat menghadapinya. Atau sedikitnya kita bisa mengatur
daya menentangnya..."
Mata Oey Eng bermain. Dia berpikir keras.
Siauw Pek sebaliknya berdiam saja. Matanya mengawasi sibaju
kuning. Oey Eng heran menyaksikan gerak gerik ketuanya itu, ia
sampai hendaknya akan tetapi Ban Liang keburu mencegah.Jago
tua itu berkata perlahan: "Biarkan saja. Dia tentu memikirkan
sesuatu..."
Setelah lewat berapa lama, terdengar Siauw Pek menghela napas
panjang. Dari duduk, dia berbangkit. "Aneh" terdengar suaranya,
seorang diri. "Toako, apakah yang aneh?" bertanya Oey Eng, yang tak dapat
lagi menguasai dirinya.
"Ini si serba kuning." menjawab ketua itu.
"Aku seperti telah mengenalnya. Telah aku pikir keras sekali
tetapi aku masih tidak dapat ingat dimana aku pernah bertemu
dengannya"
"Mungkin cuma mirip saja" kata sang adik angkat. Sianak muda
menggeleng kepala.
"Tidak, tidak mungkin," katanya. "Pasti pernah aku bertemu
dengan dia. Kesanku sangat mendalam Kenapakah aku tak dapat
mengingatnya sekarang?"
"Saudara kecil tinggal bertahun tahun dilembah Bu Yu Kok," Ban
Liang membantu mengingat ingat. "lembah disana sangat sunyi,
pastilah saudara menemuinya bukan didalam lembah itu"
"Memang bukan. Di dalam lembah, kecuali kedua guruku, cuma
aku satu2nya orang lain."
"Mungkin saudara akan menemuinya setelah saudara keluar dari
lembah..."
"Bukan" sahut saudara kecil itu, pasti.
"Barangkali diwaktu kau masih kecil, saudara sewaktu kau masih
berada diPek ho-po."
Ban Liang mengingatkan terlebih jauh. Sebagai seorang yang
banyak pengalaman jago tua ini pandai berpikir dan menerka nerka
pelbagai pertanyaan itu dapat membantu membangkitkan ingatan
orang. Siauw pek menghela nafas.
"Aku tidak ingat," sahutnya. "Tapi, ada kemungkinan itu di Pek
Ho Po sebab..." Samapi disitu, ia berhenti. Tak ingat ia hendak
mengatakan apa. Ban Liang menghela napas.
"Sudah jangan pikirkan lagi." dia memberi nasihat. "Baiklah kau
istiratah dulu, lain waktu baru kita mengingat ingat pula."
Sianak muda memejamkan matanya.Justru itu, air mata meleleh
keluar dari kedua matanya ia pula mengernyitkan sepasang alisnya.
Terang iaamat berduka. Oey Eng terperanjat. "Kenapakah kau
toako?" tanyanya khawatir.
Siauw Pek membuka kedua matanya.
"Aku ingat sekarang," sahutnya. "Dia mirip dengan..."
"Dengan siapakah toako?"
"Ah, sudahlah" toako itu menjawab. "Baik aku tak usah
sebutkan..." Tapi ia masih menderita. Ia memandang keluar rumah,
terus ia berkata seorang diri: "Aneh Mungkinkah di dalam dunia ini
ada orang orang yang demikian mirip mirip satu dengan lainnya"..."
Oey Eng heran akan kelakuan ketua itu yang biasanya terus terang.
"Toako. mirip siapakah wanita ini?" dia tanya pula. Dia
bersitegang sendirinya, hingga dia tak dapat menguasai rasa ingin
tahunya. Siauw Pek menyeringai, ia nampak sangat bersusah hati. Mau ia
bicara tetapi gagal pula:
Ban Liang menarik tangan kawannya. "Sudah,jangan menanya
lebih jauh," katanya. Oey Eng berdiam, herannya tak berkurang.
Siauw Pek bangkit, terus ia bertindak keruang dalam. Ia jalan
mondar mandir. Oey Eng mengawasi punggung kawannya itu, hatinya berpikir;
Siapakah sebenarnya wanita itu" Kenapa toako sangat berkesan
terhadapnya" Kenapa toako sukar mengingatnya walaupun
kesannya begitu mendalam?"
Siauw Pek berjalan monrfar mandir, tindaknya amat berat. Ia
bagaikan lupa akan dirinya. Kemudian ia masuk kedalam kamar
yang tirainya ia turunkan.
Oey Eng memandang Ban Liang. "Loocianpwee, bagaimana ini?"
ia tanya. "Ah kasihan, dia tengah berpikir amat berat" menjawab si orang
tua. "Memang pikiran berat hebat deritanya."
Berkata begitu Oey Eng memandang si baju kuning Ia
menambahkan; "Si baju kuning ini membuat aku tak sanggup
berpikir..."
"Mestinya saudara kecil dan wanita ini mempunyai hubungan
yang amat erat satu dengan yang lain" berkata Ban Liang, yang
turut mengawasi siserba kuning itu.
"Nampaknya dia pun sangat dihargai saudara kecil. Kasihan
saudara kecil. dia tetap belum bisa mengeluarkan apa yang dia pikir
itu..." "Siapakah kiranya dia?"
"Yang terang dialah orang yang lebih tua tingkatnya."
"Mustahil karena memikirkan seorang yang tingkatnya lebih
tinggi toako menghadapi kesulitan dan penderitaan begini?"
"Saudara kecil tengah dalam keragu raguan yang hebat."
"Mungkin aku mengerti sekarang tetapi..."
"Sudahlah, kita jangan pikirkan soalnya ini. Baik kita pikirkan soal
membantu dia berpikir. Ada baiknya kita ingatkan dia akan peristiwa
semasa dia kecil, atau yang mengenai peristiwa Pek Ho Po..."
"Oh ya..."
"Bagaimana kalau kita sadarkan siserba kuning ini, untuk paksa
dia memberitahukan asal usulnya" MUngkin dengan begitu kita
dapat melenyapkan keragu raguan toako..." Ban Liang ragu ragu.
"Sekarang ini mungkin telah habis tenaga tak sadarkan diri dari si
wanita" katanya. "Kalau kita sadarkan dia dan dia melakukan
perlawanan, mungkin kita bakal melakukan pertempuran yang
menyulitkan..." Ia menghela napas.
"Bukannya aku merendahkan diri, saudara kecil, kalau musti
bertempur, mungkin kita berdua bukanlah lawan wanita ini..."
"Bagaimana kalau kita bebaskan dulu otot gagunya?"
Ban Liang bagaikan terperanjat. "Begitupun baik," katanya.
"Mungkin dia seorang dengan kedudukan tinggi. Sekarang kita
mendapat tahu bahwa dia sebenarnya wanita, karena itu, barang
kali dia suka mengatakan sesuatu..."
Oey Eng mengangguk, terus ia bekerja. Ia menotok kedua
lengan si baju kuning, sesudah itu ia menepuk jalan darah yang
dapat membuat orang bicara.
Segera juga si baju kuning membuka kedua belah matanya.
Tajam dia menatap bergantian Ban Liang dengan Oey Eng. Selama
itu dia menutup mulut rapat-rapat.
Ban Liang batuk batuk perlahan. Agaknya dia menyesal. "Kami
telah mendapat kenyataan kau adalah seorang wanita," katanya
sabar, "Itu toh
benar, bukan?"
Si baju kuning tenang, "Kalau kamu telah mengetahuinya,
bagaimana?" dia bertanya. "Kamu tahu, kamu semuanya telah
ditakdirkan mati. Aku tidak khawatir kamu nanti membuka
rahasiaku"
Oey Eng mau bicara akan tetapi sijago tua mencegahnya. "Aku
percaya kaupun sudah mengerti baik sekali," kata sijago tua ini
sabar "Ialah bahwa sebelumnya kami semua binasa, kau bersama
beberapa kawanmu yang telah kami tawan akan mati terlebih
dahulu." Wanita itu bersikap dingin.
"Aku khawatir kamu telah tidak mempunyai kesempatan untuk
berbuat demikian," katanya tetap sabar.
Ban Liang mengganda tertawa, "Ada beberapa hal yang tidak aku
ketahui," katanya tawar. "Hendak aku beritahukan semua itu
kepadamu."
Wanita itu tersenyum tawar, ia menutup mulutnya.
"Pihakmu telah beberapa kali mengutus orang berbicara dengan
pihak kami," siorang memberi keterangan. "pihakmu telah
mengusulkan untuk kita saling menukar tawanan, untuk menukar
kau." Ia berdiam sejenak, "dalam urusan kita ini, aku si tua mengerti
suasana. Kami telah terkurung dirumah kamu ini, kalau selama
sehari dan semalam kami masih selamat tak kurang suatu apa. Itu
disebabkan kamu mengandal pengaruhmu. Karena kau berada
bersama kami disini, mereka itu risi hati, mereka tidak berani
lancang turun tangan."
Dan bibir wanita bergerak tetapi dia takjadi bicara.
"Sungguh dia sabar sekali." pikir sijago tua yang meneruskan
berkata: "beberapa kali kami menolak usul menukar orang tawanan
itu. sampai paling belakang, pemimpin kamu muncul sendiri
berbicara dengan kami..."
"Siapakah orang itu?"
"Dialah seorang yang mengenakan pakaian serba putih serta
putih juga penutup mukanya. Dia berdandan serupa caranya
dengan caramu bedanya ialah yang satu kuning, yang lainnya
putih..." "Kalau begitu, dialah Pek Liong Tong..." kata si wanita, yang
mendadak memutuskan perkataannya.
Jago tua itu tertawa, "Pek Liong Tongcu, bukan?" dia
meneruskan kata kata wanita itu. Kembali si wanita berdiam,
wajahnya tak berubah. Hanya sunyi sejenak, jago tua itu berkata
pula : "Tahukah kau sikap pemimpin itu" Dia sudah tidak
memperdulikan lagi soal hidup atau matimu. Tahukah kau bahwa
dia tengah melakukan persiapan untuk melakukan penyerbuan
besar terhadap kami?"
Soal mati atau hidup adalah soal besar, biar bagaimana hati si
wanita ini tergerak juga. Dari berdiam saja dan memejamkan mata,
sekarang dia membuka matanya itu. "Bagaimana kau ketahui itu ?"
dia tanya. "Bicara sebenarnya, Pek Liong Tongcu tidak mengatakan itu
kepada kami," menjawab Ban Liang. "Hanya aku si tua, aku
mempunyai pengalaman beberapa puluh tahun. Dari cara bicaranya,
dari gerak-geriknya, mustahil aku tidak dapat membade hatinya ?"
Wanita itu tertawa dingin. Kembali ia memejamkan mata dan
mulutnya tertutup rapat. Oey Eng mengernyitkan alisnya
"Cara bertanya begini..." pikirnya. Hendak ia bicara, tetapi tidak
jadi, karena ia melihat sijago tua melirik kepadanya.
Ban Liang berkata pada dirinya sendiri : "wanita ini gagah
sekali.jikalau timbul bentrokan, kita bukanlah lawan dia. Kalau dia
sanggup membebaskan diri dari totokan. bukankah itu berbahaya,
sebab kitajadi dikepung dari luar dan dalam"..." Oey Eng tidak tahu
maksudnya jago tua itu tetapi dia nyeletuk, "benar"
Oleh karena itu, berkata pula sijago tua. "untuk keselamatan kita
baik kita lebih dahulu memutuskan dua otot pahanya, supaya tidak
bergerak-gerak lagi..."
"Bagus pikiran loocianpwee " menyambut Oey Eng, yang terus
menghunus pedangnya.
"Sret" demikian terdengar suara nyaring dari keluarnya pedang
dari sarungnya. pedang itupun segera memperlihatkan sinar
berkeredepan. dan bahkan tanpa membuang waktu lagi, ujung
pedang itu diteruskan dipakai menyontek celana lawan
Si wanita kaget bukan main. dia membuka kedua matanya.
"Bukankah lebih selamat akan membunuhku mati saja?" katanya,
berani "dengan begitu kamu tak usah mengkhawatirkan apa-apa
lagi" "Nyata tidak keliru terkaanku" sijago tua berkata. Ia tidak
menghiraukan yang orang lebih suka dibunuh mati. "Nona,
kedudukanmu di dalam golonganmu sama tingginya dengan
kedudukan si orang berpakaian putih itu, apabila sampai teejadi
kami tidak sanggup melawan pihak kamu, kami juga tidak khawatir
bahwa kami bakal celaka, sebab kami mempunyai kau sebagai
orang tanggungan"
Itu artinya sijago tua tidak mau membunuh wanita itu.
"Kamu menerka keliru" berkata wanita itu tawar. "Jikalau dia
tidak mau turun tangan, itulah satu soal, akan tetapi, asal dia mau,
semuanya tidak ada artinya Jangankan baru kamu menahan aku
seorang, meski kamu menahan beberapa puluh orang lagi, semua
percuma " "Kau bicara sungkan sekali," kata sijago tua, sabar.
"Aku bicara dengan sebenarnya" kata siwanita mengdongkol,
"Kamu percaya atau tidak, terserah Itulah urusan kamu"
"Jadi telah pasti kami bakal mati ?"
"Apa" Jadinya kamu masih memikir buat hidup lebih lama ?"
tanya si wanita kembali.
"Semut masih menyayangi jiwanya, apalagi kita manusia Kalau
bisa, kamu mohon kau tolong tunjukkan kami satu jalan hidup..."
"Jikalau lain orang, masih dapat diurus," berkata siwanita.
"Sekarang kamu berurusan dengan Pek Liong tongcu, soal tak dapat
dipikirkan lagi..."
"Benarkah aku menerka Pek liong tongcu," pikir Ban Liang,
"Nampaknya wanita itu kaget juga," Maka ia lalu berkata; "Jadinya
menurut kau, sudah tidak ada jalan hidup lagi?"
"Sebenarnya masih ada satu jalan," menyahut siwanita.
"Sukarnya yaitu aku khawatir kamu tidak suka mempercayaiku"
"Bagus ya" pikir Ban Liang. "Hendak aku lihat kau" Kemudian ia
bertanya; "Apakah daya itu" Coba kau tuturkan, untuk aku
pahamkan. Asal itu dapat menolongjiwa kami, tidak apa seandainya
kami mesti sedikit menderita kerugian."
Wanita itu berkata dingin. "Jikalau kamu ingin selamat, kamu
harus berani menempuh ancaman petaka supaya kamu lolos dari
kematian" "Bagaimanakah caranya itu?"
"Kalau aku sebutkan, pasti kamu tidak percaya Lebih baik aku
tidak menyebutkannya."
"Bagus" pikir pula sijago tua "Aku makin maju, makin makin
maju..." Lalu ia kata pula: "Kau sebutkanlah. Mungkin aku situa
masih menyayangi jiwa bangkotanku aku akan menerima baik
jalanmu ini..."
"Pertama-tama yaitu kau bebaskan dahulu totokan atas diriku"
berkata siwanita. Mendengar begitu, Oey Eng tertawa dingin.
"Membebaskan dahulu kau dari totokan?" tanyanya mengejek.
"Jikalau kamu tidak percaya, nah, sudah jangan bicara lagi"
memutus wanita itu. Ia mendongkol, tak sudi ia memperpanjang
pembicaraannya.
"Jangan gusar nona." Ban Liang datang sama tengah. "Dia ini
tidak mengerti urusan, jangan kau sependapat dengannya." Oey
Eng memandang siorang tua, ingin ia bicara tapi ia
membatalkannya.
Siwanita lalu berkata. "Pek Liong Tongcu itu, kepandaiannya
berimbang dengan kepandaianku, namun bicara tentang orangnya,
tentang sepak terjangnya, aku tidak dapat dibandingkan dengannya
" "Bagus ya Mula-mula kau menggertak aku" pikir sijago tua. "Kau


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lihat saja nanti..."
Si Wanita menyambung perkataannya. "Kami berdua, meskipun
kami bekerja sama dan sama juga kedudukan dan tingkat kami tapi
hati kami berlainan, maka itu, jikalau kamu tidak sudi membebaskan
aku, inilah kebetulan, baginya jadi ada kesempatan yang baik untuk
dia turun tangan jahat; untuk dia membiarkan aku binasa ditangan
kamu, atau kita binasa sama-sama didalam rumah."
Oey Eng yang muda, yang kurang pengalaman, tak tahan
hatinya. "Jikalau kami memerdekakan kau," katanya, "maka Pek
Liong Tongcu itu akan tak
berdaya mencelakai kau, dia akan mencelakai kami saja."
"Jikalau kamu membebaskan aku, sewajarnya saja aku akan
melindungi keselamatan kamu. Akan aku suruh orang-orang
bawahanku mengantarkan kamu berlalu dari sini."
"sangat mudah kau menghitungnya. Apakah kau sangka kami
bocah-bocah berusia tiga tahun" berkata Oey Eng.
Ban Liang campur bicara. Lebih dahulu dia menghela napas.
"Perkataanmu bukannya tidak beralasan," katanya. "Tapi karena
itu kata-kata belaka, tidak ada buktinya, sulit buat kami untuk
mempercayainya."
"Dengan orang berkedudukan sebagai aku, apakah kau sangka,
aku bicara cuma buat mendustaimu?" tanya siwanita.
Ban Liang memandang kawannya, lalu ia berkata pada siwanita:
"Aku siorang tua, jiwaku terlindung kebanyakan disebabkan aku
pandai membawa diriku. Seumurku aku tidak mempunyai
kekurangan, kecuali aku tampak akan hidup sebaliknya sangat takut
mati. Menurut pikiranku,jikalau aku percaya kau, bagiku tambah
sedikit pengharapan untuk hidup terus..."
Ia menoleh pula kepada kawannya, untuk menambahkan;
"Hanya adikku ini, dia masih muda, dia selalu menuruti saja
perangainya, semangat dia sedang berkobar karenanya aku
khawatir dia tak sudi menerima baik syaratnya ini"
Wanita itu melihat sekeliling.
"Sekarang ini," katanya "kamu masih terdiri dari berapa orang?"
"Kami tinggal berdua," menyahut Ban Liang "Sebenarnya kami
masih mempunyai dua orang kawan lagi akan tetapi mereka itu
kena ditawan pihakmu."
wanita itu mengawasi dua orang didepannya itu, ketika Siauw
Pek menyingkir kedalam. "Diantara kamu berdua, siapa yang
terlebih liehay ilmu silatnya?"
"Aku!" jawab Ban Liang.
"Jikalau kau yang lebih gagah, bagus" kata wanita itu,
"Sekarang bunuhlah dia" Ban liang melengak, Inilah ia tidak
sangka "Kejam caranya ini," pikirinya. Tapi ia lekas berkata: "Sulit nona
Benar aku terlebih gagah tetapi tak dapat dengan begini saja aku
membunuhnya. Untuk itu kami harus bertempur dahulu selama tiga
ratus jurus"
Wanita itu bersikap dingin. Dan dingin juga suaranya.
"Asal kamu mau dengar kata kataku," ujarnya "Akan kuajari kau
dua ilmu silat hingga selanjutnya kau akan dapat membunuhnya
dengan mudah bagaikan kau memutar balik telapak tanganmu"
Kembali Ban Liang berpikir: "Mungkin dari ilmu silatnya aku dapat
menerka dia siapa..." Ia lalu menanya. "Ilmu apakah itu yang
demikian liehay?" Oey Eng sementara heran sekali. Ia tidak dapat
menerka hati siwanita, iapun bingung memikirkan kawannya Jago
tua itu lagi menggunakan siasat apakah"
Ia pikir, kalau ia terus berdiam saja, bisa bisa wanita itu
mencurigainya. Maka dengan suara dingin, ia berkata, "Saudara
Ban, apakah kau hendak membereskan aku?"
"Bocah ini cerdas juga"pikir Ban Liang, yang girang mendengar
suara orang. Tapi ia juga berkata dingin; "Kalau kau tak mau
bekerja sama denganku, maka jangan kau sesalkan aku tidak
mengenal kasihan " Oey Eng menghunus pedangnya, akan tetapi
dia menuding sibaju kuning untuk menegur :
"Hai, perempuan celaka bagaimana kau mengadu domba kami
dua saudara" Awas, akan aku bunuh kau"
Baru saja orang berkata begitu, tiba-tiba Ban Liang berlompat
maju. sebelah tangannya dibarengi diulur, buat menjambret lengan
kanan sahabatnya itu. Oey Eng berkelit dengan sebat, hampir
tangannya kena dicekal.
Tanpa memberi kesempatan berbicara kepada anak mudaitu. Ban
Liang berkata: "Sekarang ini kesempatan hidup kami satu-satunya
ialah dengan mengandal kepada siwanita, maka itu jikalau kau
memikir buat mencelakakan dia itu, berarti kau menentang aku "
Siwanita mengawasi kedua orang itu, sikapnya tawar. Ia berdiam
saja. Oey Eng bagaikan tersadar, ia berkata: "Adalah biasa siapa ingin
hidup dia membenci mati, oleh karena itu aku bukanlah orang yang
memandang jiwa bagaikan permainan anak kecil"
Sekonyong-konyong siwanita tertawa terkekeh. Katanya:
"Kiranya kamu berdua adalah orang-orang yang ingin hidup tetapi
takut mati, kalau begitu, mudahlah untuk bekerja "
"Kami telah bersatu hati, nona, tolong tunjukkan kepada kami
jalan hidup kami," berkata Ban Liang.
"Itulah mudah. Sekarang bebaskan dahulu aku dari totokan "
Ban Liang tertawa didalam hati dan berpikir: "Akulah seorang
dengan banyak pengalaman, mustahil aku kena terpedaya olehmu?"
selagi berpikir itu, ia bertindak menghampiri wanita itu. Oey Eng
bingung sekali.
"Loocianpwee, jangan biarkan diri kita dipedayakan" teriaknya.
"Kalau dia dibebaskan lalu dia tidak memperdulikan kita, bukankah
kita bakal mati tanpa tempat pekuburan?"
Ban Liang tertawa pula dalam hatinya dan berpikir: "bocah ini
masih menyangka bahwa aku bersungguh-sungguh" Ia lalu
menjawab: "Kau benar. Memang berbahaya kalau kita bebaskan
wanita ini dari totokan, akan tetapi aku situa, tidak dapat memikir
jalan lain untuk menyelamatkan diri kita..."
"Siapa tahu selatan, dialah si orang gagah" berkata wanita itu,
mengejek, "Kau benar-benar seorang cerdik" Ban Liang sudah
datang dekat kepada wanita itu, dengan tangan kanannya, ia lalu
menotok hingga dua kali didua tempat. Wanita itu terkejut, dia
menjadi sangat gusar.
"Eh, kau bikin apakah?" tegurnya. "Apakah maksudmu ?" Ban
Liang tertawa, ia menyahut dengan sabar: "Kau berkepandaian
sangat tinggi, pasti
kau dapat membebaskan dirimu dari totokan kami, karena itu,
kalau aku tidak menotokmu pula. bukankah kami terlalu sembrono
?" Wanita itu tertawa dingin.
"Mustahilkah kamu tak takut mampus?" dia bertanya.
Ban Liang tersenyum. Dia menjawab: "Jikalau kami
membebaskan kau, tak usah menanti tibanya Pek Liong tongcu,
tentulah kami sudah tidak bernyawa lagi"
"Ah, sungguh licin tua bangka ini" pikir si wanita. Maka dia
berkata dengan dingin: "Jikalau kelak dibelakang hari kamu roboh
ditangan punco, tak dapat tidak mesti kami membikin hancur luluh
tubuh kamu"
Ia menggertak gigi, pertanda bahwa kemurkaannya melewati
batas, sedangkan sepasang alisnya bangun berdiri. Ban Liang pun
berkata sama dinginnya: "Urusan dibelakang hari, nanti kita
bicarakan pula dibelakang Hanya sekarang ini, didekat ini, aku situa
mempunyai kesempatan membuat kau mati"
Wanita itu tersenyum jengah.
"Jikalau kau benar benar wanita sejati seharusnya ktia bertempur
jurus demi jurus" tantangnya.
"Peperangan tidak mengenal tipudaya, nona" Ban Liang berkata,
tersenyum. "Selagi hadap berhadapan dengan musuh, orang dapat
menggunakan segala macam akal muslihat. hal itu tidak jelek, tidak
mendatangkan malu"
Justru baru berhenti suara sijago tua, dengan mendadak
terdengar suatu seruan: "Bebaskan dia"
Ban Liang dan Oey Eng berpaling dengan cepah Itulah suara
Siauw Pek, Dan anak muda itu bertindak mendatangi, wajahnya sangat lesu
dan suram, agaknya dia sangat menderita.
Siwanita juga berpaling, dengan sepasang matanya yang jeli, dia
memandang anak mudaitu. Hanya sejenak itu, hilang lenyap roman
gusarnya. Sebaliknya, dia lantas tampak merasa aneh. Dia
mengawasi dengan tertegun. Siauw pek bertindak terus,
menghampiri si nona sampai dekat. lalu dengan mengulurkan
tangannya, ia menepuk beberapa kali membebaskannya dari
totokan. Sambil berbuat begitu dia berkata: "Nah kau pergilah"
Siserba kuning bangkit dengan perlahan lahan ia merapikan
topengnya. "Kau she apa?" dia bertanya.
"Aku Coh siauw pek, "jawab sianak muda, terus terang. Siwanita
memakai topengnya, tak tampak dia bergusar atau bergirang, yang
terang ialah tubuhnya bergerak-gerak bagaikan orang tengah
bergemetar, suatu pertanda bahwa hatinya tegang sekali. Sesaat
itu, sunyilah rumah itu.
"Hubungan apakah kau dengan Coh kam pek dari Pek ho bun?"
kemudian siwanita bertanya.
"Ialah ayahku almarhum." Tubuh siwanita bergerak pula.
"Apakah dia sudah meninggal dunia?"
"Ayah telah menutup mata sejak lima tahun yang lalu"
"Cara bagaimana dia meninggalnya?"
"Ayah mati dikeroyok didepan jembatan Seng su kio oleh tangan
orang-orang sembilan partai besar yang menyusul dan mengepung
ngepungnya selama delapan tahun terus menerus"
Wanita itu berdiam sejenak, baru dia menanya pula. "Bagaimana
dengan ibumu?"
"Ibu dan kakakku telah turut ayah meninggaikan dunia ini.
Mereka juga berkelahi hingga mati didepan Seng su kio."
Wanita itu menanya pula, tawar. "Kenapa kau tidak
menyembunyikan diri" Kenapa kau justru muncul dimuka umum?"
"Aku memendam sakit hati besar dan dalam bagaikan lautan,
mana dapat aku tidak keluar untuk mencari balas?"
wanita itu berdiam. Terus ia tidak berkata pula sampai ia
memutar tubuhnya dan berjalan pergi. Mulanya dia berlompat jauh
setombak lebih habis itu ia berlari lari keras sekali, hingga dilain
detik, lenyaplah bayangannya sekalipun. Ban Liang menarik napas
perlahan. "Saudara Coh, apakah kau kenal wanita itu?" tanyanya sabar.
"Rasanya aku kenal," sahut si anak muda. "Dengan perginya
dia,pihak sana tak mengkhawatirkan apa-apa lagi," berkata sijago
tua. "Sekarang ini kita benar benar terancam bahaya"
"Tidak bisa lain, kita harus bersiap mengadu jiwa" berkata Oey
Eng, nekad. Dia heran tetapi dia tidak berani menyesaikan tindakan
ketuanya itu. Ban Liang menatap muka sang ketua.
"Saudara Coh, pernahkah kau memikir tentang diri wanita itu?" ia
tanya pula. Siauw pek memandang jago tua itu dan saudara
mudanya. "Kamu berdua tentu sangat bercuriga," katanya. "Sebenarnya
malu aku untuk menyebutkannya akan tetapi aku toh mesti
menyebutkannya juga."
"Jikalau toako merasa tak enak buat memberitahukan, lebih baik
jangan kau memberitahukannya," kata Oey Eng.
"Dia mirip dengan satu orang..." kata Siauw Pek, menyeringai.
Dia jengah, dia merandak.
"Dia mirip dengan siapakah, saudara kecil?" Ban Liang tegasi.
"Dengan ibuku..." sahut si anak muda, perlahan. Ban Liang dan
Oey Eng melengak, Inilah diluar dugaannya.
"Benarkah?" berdua mereka menegaskan.
"Benar Tapi ibuku jelas sekali telah terbinasa didepan Seng Su
kio..." "Didalam dunia ada banyak orang yang mirip satu dengan lain,"
kata Ban Liang. "Mungkin kebetulan saja dia mirip dengan ibumu,
saudara kecil..."
Dilain saat, nampaknya dia tidak menambahkan si anak muda.
"Apakah saudara mempunyai sesuatu buat bukti kenyataan?"
"Seingatku, telinga kiri ibuku ada tai-lalatnya, hitam, sebesar
kacang hijau."
"Apakah saudara tidak salah ingat?"
"Tidak, Tai-lalat itu sangat berkesan dalam hatiku."
Ban Liang menjadi berpikir keras, hingga dia merapatkan kedua
matanya. Ia berdiri menyender didinding. Siauw pek menghela
napas, lalu mendadak dia bertindak keluar. Oey Eng kaget. "Toako
mau pergi kemana?" tanyanya.
"Aku hendak mencari mereka itu untuk menantang bertempur,"
sahut sang ketua. "Aku hendak mengandalkan pedang dan golokku
guna memutuskan siapa menang dan siapa kalah..." Mendadak Ban
Liang membuka lebar kedua matanya.
"Saudara Coh, tunggu dahulu" kata dia. "Urusan kita sekarang ini
bukan lagi urusan yang bisa diselesaikan dengan kekerasan..."
Siauw pek mundur pula. Tapi kembali dia menghela napas.
Katanya masgul: "Loocianpwee mempunyai pendapat apa untuk
memecahkan keragu-raguan ini?" Nada suaranya itu mengandung
kemenyesalan. "Saudara kecil, apakah kau ingat seseorang bertanya sijago tua.
"Siapakah dia?"
"Ceng Gie Loojin."
"Ceng Gie Loojin" mengulangi si anak muda, agaknya dia
terkejut. Dia bagai ingat sesuatu.
"Benar, Ceng Gie loojin, orang yang pandai luar biasa dalam ilmu
pertabiban. Dia pandai membuat orang berubah wajahnya berubah
jauh sekali"
"Maksud loocianpwee?" Ban Liang tertawa.
"Sekarang ini ada terdapat seorang Kang Ouw yang kejam sekali"
dia berkata. "Dia telah memiliki kepandaian luar biasa seperti
kepandaian Ceng Gie-Loojin itu. Mungkin dia sekarang telah
membangkit salah mengerti didalam dunia Kang Ouw, untuk
membuat sembilan partai besar bentrok dan saling bunuh, supaya di
akhirnya dia menjadi si nelayan yang memperoleh hasil seorang
diri... Ibu saudara sudah mati didepan Seng Su Kio dan kejadian itu
saudara lihat sendiri"
"Jikalau dia itu bukan ibuku, cara bagaimana ia ketahui peristiwa
Pek Ho Bun?"
"Nah, itu soalnya. Kita..."
Jago tua itu berpikir sebentar. "Siapa tahu kalau dia turut ambil
bagian dalam pertempuran di Pek Ho Po itu?" ia menambahkan.
"Atau mungkin dialah si biang keladi yang menciptakan peristiwa
hebat itu... Harap saja perkiraanku ini tidak benar."
"Ah, kita melupakan satu hal." mendadak Oey Eng memecah
kesunyian. "Apakah itu, saudara kecil?" tanya Ban Liang.
"Orang yang menyamar menjadi saudara Kho Muka dia
dipakaikan gips begitu rupa sampai kita kena dia kali. sayang, tadi
kita lupa memeriksa muka wanita itu, dia memakai gips atau
tidak..." Ban Liang menggelengkan kepala, "Aku kira tidak,"


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah tai-lalatpun dapat dipalsukan?" tanya Siauw Pek,
"Dapat."
"Meskipun demikian, loocianpwee, tetap aku bersangsi..."
"Aku punya jalan untuk mengetahui asal-usul orang itu..."
"Bagaimana, loocianpwee?"
"Coba saudara ingat baik-baik segala sesuatu dari masa yang
telah lampau, nanti kalau kita bertemu pula dengannya, saudara
tanya dia dengan teliti. seandainya dia dapat menjawab dengan
baik, itulah soal sulit bagiku, tak dapat aku memikirkannya lagi.
Akan tetapi, kalau sebaliknya, yaitu dia tidak dapat menjawab,
terang sudah dialah si orang palsu"
Siauw Pek mengangguk. "Ia, kelihatannya cuma ada ini satu
jalan," katanya. Sampai disini, nampak si anak muda menjadi lebih
tenang. Ban Liang menoleh kepada Oey Eng.
"Tolong saudara sulut obat bius dari patung kemala itu,"
pintanya. "Jikalau aku tidak keliru, didalam tempo satu jam lagi,
musuh pasti bakal datang menyerbu pula, bahkan kali ini secara
besar besaran..." Oey Eng sekarang percaya benar si orang tua,
maka ia lalu melakukan apa yang diminta itu.
Siauw pek ingat kedua Nona Hoan. katanya, "apa mungkin kedua
nona itu dapat memecahkan persoalan ini."
"Kedua nona itu pintar luar biasa, cuma mereka belum
berpengalaman," berkata Ban Liang "Mengenai kaum Kang Ouw,
mereka gelap sekali. Untuk menanyakannya, lebih dulu harus
dituturkan duduknya hal biar jelas kepadanya. Nanti, asal mereka
sudah ikut kita, mereka pasti akan memperoleh kemajuan.
Kecerdasan mereka akan besar sekali faedahnya bagi kaum Rimba
Persilatan."
"Benarkah itu, loocianpwee?" tanya Oey Eng. "Kenapa sekarang
mereka seperti membiarkan kita terkurung didalam rumah ini?"
"Jangan kau lupa, saurtara, orang telah menyediakan kita tiga
tipu daya tetapi kita memilih saja.Jadinya urusan terserah kepada
kita sendiri."
"Loocianpwee benar," kata Siauw Pek, mengangguk.
Ban Liang menghela napas. "Cuma satu hal kedua nona itu lupa,"
katanya. "Mereka tidak meninggalkan daya lainnya andaikata tipu
dayanya ini gagal..."
"Tak dapat kita sesalkan mereka," kata Siauw pek, "Mereka itu
bercacat, mereka juga belum tahu tentang kelicikan kaum Kang
Ouw." "Lainnya lagi, musuh kita ini sangat tangguh," berkata Oey Eng.
"Sekarang begini," berkata Siauw Pek, mengambil keputusan.
"Kalau musuh datang pula, akan aku hadapi mereka. Hendak aku
coba pedang dan golokku ini "
"Kau sudah muncul, saudara kecil, memang tak usah kau
bersembunyi lebih lama lagi. Baiklah kau pertunjukkan
kegagahanmu terliadap mereka supaya tahu rasa "
Selagi mereka bicara itu, mereka mendengar siulan yang nyaring
dan lama. Hari sudah malam, suara itu agak menyeramkan.
"Ban Loocianpwee, saudara Oey, waspadalah" berkata Siauw
Pek, yang terus saja bertindak keluar.
Oey Eng mau mencegah saudara itu, ia menyambar tangannya,
tetapi ia gagal.
Siauw pek membuka tindakan lebar, hanya sebentar, tibalah ia
diluar. Sejauh tujuh kaki dari pintu, ia berhenti untuk segera
memperdengarkan suaranya yang nyaring: "Tuan tuan siapa
diantara kamu membuat buat menerjang masuk ke rumah kami ini,
mari lewatkan aku dahulu" Kata kata itu ditutup dengan dihunusnya
pedangnya yang tajam, yang sinarnya berkilauan.
Oleh karena mega menutupi si Puteri Malam, malam itu remang
remang, segala sesuatu tampak samar samar.
Siulan terdengar makin lama makin dekat, hingga tampak
terberak geraknya beberapa sosok tubuh.
Itulah tiga orang yang semuanya berdandan dengan singsat,
muka mereka ditutupi sehelai kain hitam sebatas hidung, hingga
nampak mulut mereka saja. Mereka memain bagaikan mata hantu.
Atas bentakan si anak muda, mereka berhenti berlari. Yang luar
biasa ialah mereka itu membungkam.
"Jikalau kamu tak sudi bicara, hunuslah senjata kamu" Siauw Pek
menantang. "Lekas kamu turun tangan"
JILID 26 Tapi orang itu saling mengawasi, lalu mereka mengeluarkan
senjata mereka, yang sama seperti pakaian mereka. Itulah Kwie
tauw loo golok berkepala hantu.
"Tuan tuan, kamu majulah berbareng" berkata si anak muda
yang ditengah. Musuh itu menangkis, atas mana dua orang kawannya maju
membacok, Suara beradunya senjata lalu terdengar berisik. Setelah
pedangnya ditangkis, Siauw pek meneruskan menangkis kekiri dan
kanan. Dengan begitu, mereka segera mulai bertarung. Kali ini si
anak muda sedang bersemangat, maka juga dengan segera sinar
pedangnya mengurung ketiga lawannya. Mereka itu menjadi repot
menangkis, hingga mereka tak sanggup membalas menyerang.
Ujung pedang tak hentinya bergantian mengancam tubuh dan
lengan mereka, sendirinya mereka menjadi kaget dan berkhawatir.
Ban Liang dan Oey Eng menonton, mereka bersiap sedia untuk
membantu, akan tetapi menyaksikan demikian, mereka menonton
terus. Lewat sesaat, mendadak tiga orang berpakaian hitam itu lompat
mundur dan kabur. Mereka heran berbareng jeri. Sebab beberapa
kali telah terjadi, selagi mereka terancam tikaman, tahu tahu sianak
muda tidak melukainya. Siauw Pek membatalkan serangan mautnya
itu Maka mereka jadi insaf dan mundur teratur. Oey Eng heran.
"MUsuh banyak dan kita sedikit, kenapa toako tak mau
merobohkan musuh" Kenapa musuh dibiarkan mengangkat kaki"
Perlukah diwaktu begitu kita main belas kasihan?" demikian
katanya. Ban Liang mengerti, dia tidak merasa heran seperti kawannya
yang muda itu. "Inilah dia arti dari ilmu pedang Kie Tong," katanya,
"pertempuran, Thian kiam belum pernah melukai orang, kecuali
karena sangat terpaksa. Didalam beberapa jurus saja, lawan
biasanya mundur sendirinya. Saudara Siauw Pek telah menerima
warisan ilmu kepandaian jago tua itu, pasti iapun meneladan
gurunya itu."
Oey Eng tetap heran, katanya: "Kalau musuh Thian kiam tidak
melukai orang, bukankah orang jahat tak usah menjadi takut?"
"Sebaliknya, karena orang insyaf, orangpun tak ada yang berani
ngotot berkelahi terus."
"Inilah justru yang membuatku tidak mengerti..."
"Memang demikian. Kalau orang mengerti Thian kiam tidak lagi
dipanggil Thian kiam."
"Bagaimana sebenarnya, loocianpwee?"
"Dahulu itu, ketika Kie Tong masih hidup dalam penjelajahan,
ada lima orang kosen yang ingin mendapatkan ilmu pedangnya itu,"
sijago tua bercerita. "Untuk itu, mereka menggunakan tipu daya,
yang mereka anggap sempurna sekali. Selama tiga tahun mereka
menanti dalam kesabaran. Satu kali, tibalah saat yang mereka cari
itu. Kau tahu, apakah yang mereka perbuat" Yang dua menyerang
Kie Tong, yang tiga menonton sambil bersembunyi. Yang dua itu
berkelahi dengan bergantian. hingga mereka bisa bertempur lama.
Walaupun demikian, yang tiga itu tidak dapat menangkap jurus
jurusnya Thian kiam, hingga akhirnya mereka berlima ngeloyor
pergi dengan masgul dan lesu."
"Benar-benar luar biasa"
"Ya Tak seorangpun yang dapat menyangkok ilmu pedang itu..."
Pembicaraan mereka terputus dengan munculnya empat orang
berseragam hitam, yang bertopeng hitam juga. Mereka datang
dengan membawa obor. Merekapun tak membekal senjata.
"Apakah maunya mereka itu?" tanya Oey Eng heran.
"Mungkin mereka hendak mengajukan jagonya untuk menempur
saudara Coh..." Ban Liang mengutarakan dugaannya. Lalu terdengar
suara nyaring dari seorang berpakaian hitam itu: "Kami datang atas
perintah untuk menyampaikan berita pertempuran."
"Nah, benarlah terkaanku," kata Ban Liang.
Segera muncul empat orang lain. Mereka ini berseragam merah
dan senjatanya masing masing berlainan. Mereka juga mengenakan
topeng, hingga hanya tampak mata dan mulut mereka Saja.
"Terang perbedaan tingkat mereka berada pada warna pakaian
mereka," berkata Ban Liang. "Baik kita memperhatikannya."
"Mungkin warna merah berarti orang orang kosen mereka," Oey
Eng menerka. Ban Liang mengangguk,
"Coba teliti, adakah sesuatu yang beda diantara mereka itu?"
"Aku tidak melihatnya," sahut Oey Eng menggeleng kepala
setelah dia mengawasi sekian lama kepada empat orang itu.
"Coba perhatikan sulaman pada dadanya" Si anak muda
mengawasi pula Sekarang ia melihat sulaman bunga, yang merah
seperti bajunya, setiap orang mempunyai setangkai bunga itu,
semuanya sama jumlah lembarannya. Yang beda ialah warnanya,
merah dan merah muda.
"Dasar orang tua" ia memuji jago tua itu. Sementara itu keempat
orang berseragam merah itu sudah mendekati Siauw pek,
"Loocianpwee, kalau mereka itu mengepung, kita bantu toako
atau Jangan?" Oey Eng tanya.
"Tak usah," sahut sijago tua. "Puluhan tahun Kie Tong malang
melintang dalam dunia Kang Ouw, belum pernah ia menemui lawan
yang sanggup mengalahkannya. Pernah satu kali ia dikepung
delapan belas jago, tetapi belum sampai lima puluh jurus, satu per
satu musuh musuhnya itu mundur sendirinya. Satu lawan satu,
dikeroyok ilmu pedang Kie Tong sama saja."
Kata kata jago tua itu diputuskan oleh satu pertanyaan nyaring
kepada Siauw Pek: "Tuan apakah ilmupedangmu warisan dari Thian
kiam kie tong?"
"Kalau benar, bagaimana?" Siauw pek balik bertanya. Dia tertawa
hambar. "Ilmu pedang Kie Tong tak takut dikepung," berkata si baju
merah yang berdiri
disebelah kiri. "Kalau benar aku mewarisi Kie Tong, kami
berempat maju berbareng. Kalau tidak, lain soalnya "
Siauw pek mengawasi orang yang disebelah kiri itu, yang ia terka
sebagai pemimpin Pedang dia itu pedang biasa, cuma sedikit lebih
panjang. Yang kedua menggunakan-poan koan pit, senjata mirip
alat tulis (pit), hanya milik dia itu berkilau merah emas dan
panjangnya dua kali daripada yang lazim. Yang ketiga memegang
gaetan gouwkouw kiam, yang ujung tajamnya berwarna biru,
pertanda bahwa senjata itu telah direndamkan bisa. Orang keempat
bersenjatakan sepasang gaetan jit-goat-siang-kauw.
o&DOoio Empat orang menggunakan empat macam senjata tetapi mereka
mau berkelahi dengan main mengepung, itulah tanda bahwa
mereka telah melatih diri. Siauw Pek tidak takut hanya dia
menegaskan : "Jadi kamu mau maju berbareng ?"
"Bagaimana" Benarkah ilmu pedangmu ilmu pedang Kie Tong?"
lawan itu membaliki. "Tak ingin aku menjawab pertanyaanmu ini"
"Sungguh sombong " berkata orang yang bersenjatakan
sepasang gae tan jit goat siang-kauw itu sambil maju untuk turun
tangan terlebih dahulu. Kedua gaetannya itu, dari kiri dan kanan
nergerak bagaikan "dua ekor naga keluar dari dalam air" {Jie Liong
Cut Swie). Siauw Pek menyampok kekiri dan kekanan menahan lajunya
gaetan itu. "Ilmu pedang yang bagus" memuji orang yang bersenjatakan
pedang, yang terus membacok,
"Dia bertenaga besar," pikir Siauw Pek, yang mendengar suara
anginnya pedang. Ia menangkis membuat senjata lawan mental ke
samping. Sekarang majulah lawan yang bergegaman poau-koau-pit. Dia
menotok dada. Sama seperti melayani musuh yang menggunakan
jit-goat siang kauw, si anak mudapun memegat senjatanya lawan
ini, hanya kali ini, ia dibarengi diserang juga oleh musuh yang
memegang gaetan gouw kauw kiam, yang menikam perut. Kembali
Siauw pek menangkis. Sekarang ia tahu, semua lawan tak boleh
dipandang enteng.
Oey Eng bingung, "Loocianpwee, apakah kita maju sekarang ?"
dia tanya kawannya.
"Tak usah saudara kecil," sahut orang yang ditanya. "Kau lihat,
saudara Coh sedang berkelahi dengan bersemangat sekali,jangan
kita ganggu dia. Pertempuran baru saja dimulai, Tak mudah saudara
Coh terkalahkan. Misalkan kita membantu, faedahnya tidak ada..."
"Tapi tak dapat kita menonton saja " kata Oey Eng, tetap
berkuatir. "Sabar saudaraku. Aku percaya tak sampai sepuluh jurus,
perubahan bakal terjadi. Lekas juga saudara COh akan mulai
dengan serangan balasannya untuk memecah kurungan..."
Oey Eng menatap kemedan laga. Lekas juga hatinya menjadi
lega. Benar kata Seng Su poan sijago tua yang banyak
pengalamannya itu. Lagi beberapa jurus, Siauw Pek sudah lolos dari
kurungan Dan Ban Liang tersenyum.
"Bagaimana?" tanya pada kawannya.
"Benar dugaan loocianpwee" Oey Eng mengakui.
Diantara cahaya obor, sinar pedang Siauw Pek tampak berkilauan
tak hentinya. sinar itu berputaran terus hingga perlahan lahan
keempat lawannya kena terkurung.
"Sungguh luar biasa" Oey Eng memuji saking kagumnya. Baru
sekarang ia melihat tegas kepandaian ketuanya itu.
Ban Liang berkata keras. "Empat orang itu berkelahi karena
perintah mestinya mereka nekad," katanya. "Kalau saudara Coh
melayani mereka terus secara begini, aku khawatir ia nanti keburu
letih sendirinya..."
Jago tua ini tahu saudara itu masih terlalu muda dan juga kurang
pengalaman. "Habis bagaimana ?" Oey Eng bertanya.
"Seharusnya dia berlaku keras, sedikitnya dengan melukai empat
musuhnya itu."
"Sebenarnya tak ada halangannya untuk membunuh sekalipun
terhadap mereka " kata Oey Eng pula. "Sudah terang merekalah
orang-orang jahat"
"Untuk melukai mereka, memang lebih cepat lebih baik..."
"Nanti aku peringatkan toako..." kata Oey Eng yang terus
berkaok : "Toako,jangan melayani lama lama mereka itu. Mereka
bukan orang orang baik-baik. Baiknya toako bunuh saja mereka itu"
Siauw Pek sendiri sudah merasa, bertempur lama lama bukanlah
cara yang sempuna. Ia tahu pula, walaupun ia telah berhasil
mengurung, keempat musuh bukan musuh sembarangan. Maka itu,
mendengar suara adiknya, segera ia memperkeras desakannya.
Hanya dalam dua gebrakan, keempat musuh terpaksa
mundur.Justru itu, si anak mudapun menggeser pedangnya
ketangan kiri, sedang tangan kanannya meraba goloknya. Ia
mengawasi tajam kepada semua musuhnya, terus ia berkata dingin:
"Tuan tuan, kamu berempat telah melayani Thian kiam, pedang ini,
apakah kamu ingin juga merasakan Pa Too golokku?"


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Empat orang itu mengawasi tanpa bergerak, Rupanya mereka
telah insyaf akan liehaynya pedang penakluk itu. Tapi tak dapat
mereka berdiam lama-lama. Yang bersenjatakan gaetan gouwkauwkiam
lalu berkata kepada kawan kawannya; "Anak ini masih muda,
dia berhasil mempelajari Thian kiam dan juga Pa Too, karena
usianya itu, mungkinkah ilmu goloknya sama liehaynya dengan ilmu
pedangnya?"
"Juga, tak mungkin dia memiliki keuletan," berkata orang yang
menggunakan tan koan pit. "Sebaiknya kita menCoba Coba..."
"Ketiga hu-hoat," berkata orang yang menggunakan gaetanjiegoat
siang kauw, "tolong lindungi aku, aku yang akan menCoba dia"
setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban, dia berlompat
maju. Siauw pek sudah bersiap sedia, menyakskan majunya orang itu,
ia memasang mata terlebih tajam. Diam-diam dia menghafali katakata
ilmu golok Siang Go. Kata kata si sepasang gaetan itu jumawa,
akan tetapi, selagi majunya mendekati, dia berhati hati, tindakannya
perlahan. Sementara itu ketiga kawannya mengawasi tangan lawan
yang berada diatas gagang golok, Mereka ingin melihat bagaimana
golok itu digerakkan.
"Benar benarkah kau hendak menCoba?" Siauw pek bertanya.
Sang lawan maju terus. Dia membungkam.
"Tuan aku telah beriperingatan kepadamu.Jangan kau salahkan
aku" Masih lawan itu bertindak maju.
"Kau bandel, tuan Jangan kau sesalkan aku Aku terpaksa "
Si baju merah berlagak tuli, dia maju terus. Siauw pek melihat
lawan terpisah darinya tinggal tigakaki lagi, sambil berseru:
"Terimalah bagianmu" ia menghunus goloknya untuk terus
menyerang. "Aduh" demikian jeritan si baju merah, yang darahnya
terus muncrat. "Benar benar golok Pa Too dari Siang Go" berseru si baju merah
yang bersenjatakan poan koan-pit. Dia kaget tetapi dia masih dapat
mengeluarkan seruannya itu.
"Padamkan api" teriak si baju merah yang memegang gaetan
gauwkauw-kiam. Hanya sedetik, padamlah semua obor. Maka gelaplah disekitar
mereka semua. "Toako" terdengar suaranya Oey Eng. "Kau telah melukai satu
orang itu berarti permusuhan makin hebat. Baik toako jangan beri
ampun tiga musuh lainnya itu"
"Ya, saudara kecil" Ban Liang turut berkata. "Rahasia tentang
dirimu sudah pecah, tak dapat kau main kasihan lagi" Siauw Pek
memang lagi mendongkol, mendengar lanjutan kedua kawannya itu,
ia menggerakkan pula goloknya.
"Aduh" demikian satu teriakan lainnya.
Kali ini yang roboh binasa adalah sibaju merah dengan-poan
koan pit ditangannya.
Menyusul itu, riuhlah suara derap kaki orang, sebab didalam
kegelapan itu, dua orang berbaju merah lainnya segera lari sipat
kuping dan perbuatannya itu ditiru oleh empat orang berbaju hitam,
yang tadi membawa obor Siauw pek mengawasi sebentar kepada
mayat mayat kurbannya, ia menghela napas, kemudian ia memutar
tubuh untuk kembali kedalam rumah.
"Sungguh golok tunggal jagat" Ban Liang mengutarakan rasa
kagumnya. "Terlalu hebat, terlalu telengas..." berkata Siauw Pek, "Asal golok
dihunus, orang tak punya pilihan lagi..."
"Apa katamu, saudara kecil" Ban Liang bertanya.
"Aku bilang, asal golok dihunus, tak ada pilihan lagi..." sahut si
anak muda. Ia menghela napas pula.
"Ada orang-orang berdosa tetapi bukan dosa mati." berkata pula
si anak muda, "cukup kalau dia hilang sebuah tangan atau sebelah
kakinya, akan tetapi, asal aku menghunus golokku, aku tidak dapat
memilih tangan atau kaki..." Mendengar itu Ban Liang terbahak.
"Jikalau kau dapat memilih, lain orangpun dapat berkelit"
katanya. "Kalau sampai terjadi begitu, Hoan Uh It Too bukan lagi
golok tunggal jagat"
Siauw Pek tertegun. "Mungkin kau benar, loocianpwee..."
"Toako, gerakan golokmu sangat cepat, tak sempat orang
melihatnya," kata Oey Eng.
"Ya, begitu cepat hingga lawan tak berdaya sama sekali," Ban
Liang menimpali. Siauw pek berdiam.
Ban Liang menepak bahu kawan itu, ia berkata: "Saudara kecil,
Thian Kiam alat pembela diri dan Pa Too senjata menyerang, kau
telah memiliki dua-duanya, sekarang aku mohon bertanya, dapatkah
kau membedakan keduanya: yang mana yang lebih sempurna?"
Si anak muda menggeleng kepala.
"Sukar, loocianpwee. Tidak ada waktu buat kedua senjata itu
saling bentrok."
"Ya, memang Kie Tong dan Siang Go belum pernah bertempur
satu dengan lain, hingga orang tidak tahu bedakepandaian mereka
berdua." "Tapi itu ada baiknya," berkata Oey Eng. "Mereka dapat hidup
berdampingan dengan damai..."
"Dan yang menarik hati," Ban Liang menambahkan, "sekarang
Thian Kiam dan Pa Too keluar dua-duanya dan disatu tangan...
Dahulu itu orang mengatakan Kie Tong dan Siang Go sengaja pergi
melintasi Seng Su Kio untuk bertarung mati-hidup disana..."
"Itulah tak lebih tak kurang terkaan rendah saja" Siauw Pek
berkata. "Yang benar, kedua loocianpwee itu hidup dengan damai."
"Kasihan mereka, orang orang yang gagal menyeberangi
jembatan maut itu..." mengeluh Ban Liang.
"Memang seharusnya, Seng su kio sukar dilalui," Siauw pek
beritahu. "Aku sendiri melintasinya tanpa merasa..."
"Itulah untung bagusmu, saudara kecil. Tidak demikian, mana
Thian Kiam dan Pa Too muncul pula?"
"walaupun demikian, aku tak tenang hati. Aku kuatir, aku tidak
dapat memenuhi pengharapan kedua loocianpwee itu, untuk
membuat pamornya tetap bercahaya..."
Tengah mereka bicara itu, tampak sinar api dipuncak gunung.
Melihat itu, tiba-tiba Ban Liang ingat sesuatu, maka ia segera
menarik tangan kedua anak muda disisinya. "Mungkin itulah api
yang dinyalakan kedua nona" berkata ia, "Coba perhatikan, mungkin
api itu merupakan suatu pertanda."
Siauw Pek kedua Oey Eng segera mengawasi. Api itu terpecah
menjadi dua gumpalan asap dan mumbul naik.
"Apakah artinya itu, loocianpwee?" tanya Oey Eng tidak
mengerti. Ban Liang menggeleng kepala. "Didetik ini, akupun tidak
mengerti," sahutnya. Oey Eng heran. Kalau begitu, kenapa jago tua
ini menerka api itu dilepas oleh kedua nona Hoan" Iaheran tapi
matanya mengawasi terus.
Api itu lalu menunjukkan keanehan lainnya. Dari dua, gumpalan
berubah menjadi empat, lalu dari empat, berubah pula menjadi
delapan "Apakah artinya itu?" tanya Siauw pek yang heran seperti Oey
Eng. "Mungkin..." berkata Ban Liang, yang ragu ragu juga. Kembali
perubahan pada api itu. Dari delapan gumpalan, muncul pula dua
gumpalan kecil yang terus naik keatas. "Benar-benar pertanda ..."
berkata sijago tua. Tapi perkataannya terputus karena segera
mereka melihat beberapa sosok tubuh muncul dari tempat gelap,
bertindak perlahan kearah mereka, kearah rumah. Diantaranya
orang yang berjalan dimuka mengenakan pakaian putih mulus.
"Pek Liong Tongcu muncul sendiri" berkata sijago tua kepada
kedua kawannya, "Saudara Coh, dialah pemimpin lawan pada
malam ini, jikalau dia dapat dibekuk, tak sukar buat kita lolos dari
ancaman petaka ini..."
"Lihat Lihat api itu" Oey Eng berseru.
Siauw Pek dan Ban. Liang mengawasi kepada api, yang kembali
berubah, hanya kali ini gumpalan-gumpalan itu, walaupun samarsamar,
merupakan hurup "siu". "jaga". Itu berarti. orang harus
berjaga, mempertahankan diri. Si serba putih berjalan terus,
terpisah lima atau enam kaki dari pintu, baru ia menghentikan
tindakan kakinya.
"Coh Siauw Pek silakan keluar untuk bicara" katanya tawar. Si
anak muda tercengang.
"Eh, kenapa dia mengetahui namaku?" pikirnya. Tapi ia bertindak
menghampiri, kemudian terus bertanya: "Kau siapakah, tuan?" Tibatiba
cahaya api berkelebat, maka tampak teranglah diantara
mereka. Dua orang di kiri kanan sibaju putih telah menyulut lentera
angin ditangan mereka masing-masing,
lentera mana terus diangkat tinggi tinggi. Orang baju putih itu
mengenakan topeng.
"Kau Coh Siauw pek?" dia tanya pula habis dia mengimplang. Tak
mau dia menjawab pertanyaan si anak muda.
"Ya, itulah aku," sahut Siauw Pek, sabar.
"Jadi kaulah orang yang dapat menyeberangijembatan Seng Su
kio, yang berhasil memperoleh warisan Thian Kiam kie tong dan Pa
Too siang Go?" dia bertanya pula. melit.
"Tidak salah Habis bagaimana?"
"Apakah kau yang tadi membinasakan dua Ang ie hu hoat dari
pihak kami?" masih siserba putih itu mengajukan pertanyaannya.
"Ang ie hu hoat" ialah "pelindung undang undang berseragam
merah." "Jikalau kau artikan orang orang yang menyerang aku dan kita
jadi bertempur karenanya, ya"
"Oh, hebat ilmu silatmu" mendadak siserba putih berseru, dia
memuji sambil membentak terus dia tertawa dingin.
"Kau cuma memuji" kata Siauw pek tenang.
"Eh Coh Siauw pek, maukah kau turut punco menjenguk leng
tong?" kembali si serba putih menanya. Dia membahasakan dirinya
punco, makajelaslah bahwa dia menjadi tongcu, kepala, dari Pek
Liong Tong, bahagian "Naga Putih" dari perkumpulannya itu. Dia
pula menyebut "leng tong" yang berarti "ibumu yang terhormat"
sebagai pertanda bahwa dia masih menghormati sianak muda.
Siauw pek terkejut.
Ia merasa seperti juga dadanya tertentu hebat. Ia kaget bahkan
heran toh hatinya terpengaruh juga.
"Ibuku telah mati dalam pertempuran didepan Seng Su kio,"
katanya. Si serba putih tertawa dingin bagai semula.
"Yang mati itulah yang palsu. Ibumu yang melahirkan tuan masih
hidup" "Aku tak percaya" berseru sianak muda.
"Jikalau tuan tak percaya, mari bersamaku melihatnya, nanti kau
memperoleh kepastian"
Tiba tiba Siauw Pek menghunus pedangnya.
"Aku ingin mencoba dahulu ilmu silatmu tuan" ia menantang.
Siserba putih itu melengak. Ia rupanya tak menyangka akan
tantangan itu. Setelah sadar dia tidak menjawab, hanya dia berkata,
tetap dengan nada dingin: "Tuan jikalau hari ini kau tidak pergi
menemui ibumu aku kuatir lain kali bakal tidak ada kesempatan
lagi!" Siauw Pek berdiam. Ragu ragu.
Mendadak Ban Liang menyela: "Saudara Coh. Jangan beri dirimu
dipedayakan"
"Jangan khawatir..." berkata si anak muda yang terus menatap
tajam siserba putih, untuk berkata: "Tuan, jikalau kau tak tega
menghunus senjatamu, maaf aku hendak turun tangan"
Masih siserba putih berlaku tenang. Katanya dingin: "Jikalau kau
tidak percaya perkataan punco ini, kelak di belakang hari punco
khawatir kau bakal menjadi sangat menyesal"
Tapi sekarang dia tidak hanya berbicara saja mendadak tangan
kanannya bergerak, maka di lain detik, ditangannya itu telah
tercekal sehelai joan pian, cambuk lunak mirip tubuh ular habis itu
dia menambahkan:
"Andaikata tuan benar mewarisi Thian kiam dan Pa Too, punco
tak takut padamu" Siauw pek sudah mengangkat tangannya, untuk
menyerang, tapi tiba-tiba ia membatalkan.
"Dimanakah ibuku sekarang?" ia tanya.
"Tak jauh dari sini, dirumah seorang petani" sahut siserba putih.
"Saudara COh" Ban Liang berkata keras "Jangan kau lupakan
ilmu tabib liehay dari Ceng gie loojin yang pandai merubah wajah
orang". Siserba putih berkata "Ilmu tabib yang lihay memang dapat
merubah wajah orang tetapi tidak ingatannya, sifat diantara ibu dan
anaknya" Ban Liang berlompat keluar. "Saudara Coh, jangan kena tertipu"
ia berseru. Siserba putih mengawasi tajam sijago tua,
"Kau siapakah?" dia bertanya bengis.
"Seng sultan Ban Liang" siorang tua menjawab.
"Ha ha ha" orang itu tertawa lama. "Aku siapa, kiranya kau Kau
berumur panjang juga"
"Mendengar kata katamu tuan, rupanya kau kenal aku?" kata
sijago tua. "Pernah kita bertemu beberapa kali."
"Kau siapa, tuan?"
Orang itu tertawa dingin.
"Jikalau kau ingin ketahui namaku, tunggulah lain waktu"
sahutnya. "Kapankah"
"Sedetik dimuka kematianmu"
Sekarang Ban Liang yang tertawa.
"Masih ada satu waktu lainnya" berkata ia menimpali lagak
orang. "Rupanya tuan melupakan waktu itu"
Si serba putih agak heran. "Kapankah waktu itu?" dia tanya.
Ban Liang tertawa pula. "Sesudah kau mati, tuan. Ketika itu maka
banyaklah waktu luang untuk aku mengenali wajahmu"
Orang tua ini segera berpaling kepada kawannya. "Saudara COh,
jikalau kau dengarkan kata kata dusta manis madu dari orang ini,
bukankah kau jadinya kena terpedayakan?"
"Jikalau dia bicara benar?" Siauw Pek balik bertanya. "Jika kata
katanya benar, maka dia haruslah ditawan. Mustahil kau tak akan
bertemu dengan lengtong?"
Siauw pek berdiam sejenak. "Loocianpwee benar" katanya.
Kemudian dia maju untuk menikam. Si serba putih berkelit.
"Jikalau kau dengar siorang she Ban, kamu bakal menyesalpada
akhirnya" berkata dia.
Siauw pek tidak meladeni kata kata orang itu, ia mengulangi
serangannya. Tak dapat si serba putih tak melayani kecuali dia mau
dapat celaka, maka dia lalu berkelit, untuk balas menerjang. Pandai
dia menggunakan senjatanya, cambuk yang lunak itu. Diapun lincah
sekali Tapi Siauw Pek bukan berkelahi secara biasaia bukan diserang
lebih dulu, ia hanya menyerang, maka ia segera mendesak.
Ia perlihatkan Tay Pie Kiam hoat, Ilmu Pedang Mahakasih.
Baru lima jurus, cambuk lunak mirip ular dari siserba putih sudah
kena terkekang, tak peduli tongcu itu sebenarnya gesit dan lihay.
"Saudara Coh" Ban Liang berseru. "Jangan kau binasakan dia, dia
harus ditangkap hidup"
Itulah kata kata biasa akan tetapi buat si serba putih, itulah


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hebat. Dia justru kena terpengaruhkan, karena waktu itu dia telah
insaf bahwa dirinya terancam bahaya, karena dengan joan pian dia
tidak bisa berbuat banyak dia terlalu repot membela diri.
Siauw pek benar benar memperhebat serangannya, hingga orang
cuma bisa berkelit berulang ulang. Sayang orang itu memakai
topeng, jikalau tidak, pasti akan terlihat wajahnya yang
menunjukkan dia sangat bingun dan khawatir. Yang jelas ialah
gerakan gerakan kakinya mulai tak teratur.
Setelah sepuluh jurus tak dapat si serba putih bertahan lagi,
maka tiba tiba dia mencelat keluar dari gelanggang.
Siauw Pek tertawa dingin. Dia memasukkan pedangnya kedalam
sarungnya, dan sebagai gantinya terus ia meraba gagang goloknya.
Ia menghadapi lawan dan bertanya: "Tuan, kau sudah belajar kenal
dengan Thian Kiam Apakah sekarang aku juga mau menCoba Pa
Too?" Si serba putih tidak menjawab, hanya mendadak dia menepuk
tangan tiga kali. Lalu datang sambutan yang berupa siulan panjang
disusul dengan nyalanya api ditempat gelap sejauh sepuluh tombak,
maka segera tampaklah empat batang obor. Itulah empat orang
berseragam hitam, yang terus bertindak menghampiri. Dibelakang
tiap orang itu mengikut masing masing empat orang lainnya yang
berseragam merah, yang semuanya bersenjatakan Kwie tauw too
golok Kepala Setan yang tebal dan mantap. Cepat datangnya
keempat obor itu sebentar saja mereka sudah berada disisi si serba
putih. Baru sekarang si serba putih berbicara. Katanya: "Thian kiam kie
tong dengan sebatang pedangnya sudah malang melintang dalam
dunia Kang Ouw puluhan tahun tanpa lawan, maka itu kalau tuan
telah menjadi ahli warisnya, beranikah kau menCoba Cap jie Lian
hoan Too Tin?"
"Cap jie Too tin" ialah barisan teristimewa yang bersenjatakan
golok berantai (too lian hoan) yang terdiri dari dua belas orang
"capjie" Selagi dia bicara itu, dengan sendirinyalah orang orang dari
barisan istimewanya itu sudah segera mengambil sikap mengurung
sianak muda. Ban Liang yang pengalaman memasang mata yang setajamnya.
"Saudara Coh," dia memperingatkan. "mereka ini hendak
mengepung kau, maka tak usahlah kau main belas kasihan lagi,
sebelum mereka rampung mengatur barisannya, baik kau
mendahului menghajar mereka untuk merobohkan beberapa
diantaranya"
Jago tua ini menjadi ingat "Lo Han Tin", barisan istimewa hehat
dari partai Siauw Limpay. Maka tidak mau ia kawannya nanti
bahaya. Ia tahu, kalau sebuah tin mau dihancurkan, cukup dengan
merobohkan satu atau dua anggotanya. Ia juga heran ada tin terdiri
dari dua belas orang, sedangkan yang biasa hanya lima atau
delapan orang saja.
Luar biasa cepatnya, pasukan istimewa lawan sudah teratur
sempurna. Siauw pek batal menghunus goloknya, ia mencabut pula
pedangnya. Ia menoleh kepada Ban Liang seraya berkata:
"Loocianpwee, silakan mundur kedalam rumah" Jago tua itu tahu
bahwa dia tidak bisa membantu, terpaksa dia mengundurkan diri. Si
serba putih tertawa selekasnya melihat barisannya sudah teratur
rapih. "Barisanku ini istimewa untuk menghadapi Thian kiam dari Kie
Tong" katanya tawar.
"Jikalau aku tak dapat lolos dari tin ini, aku akan menggunakan
golokku untuk kau rasakan" berkata si anak muda, sabar tetapi
hambar nadanya. Orang itu tertawa dingin.
"Sekalipun Kie Tong hidup pula, kukira dia pun tak akan mampu
keluar dari barisanku ini" katanya jumawa. Dia merasa pasti dan
bangga sekali. "Kau ngaco belo" bentak Siauw pek gusar. "Siapa bilang Kie
Loocianpwee sudah menutup mata" Ia masih sehat walaflat sampai
detik ini"
Saking murkanya, anak muda ini segera menyerang kesebelah
timur dimana ada salah seorang musuh yang berdiri paling dekat
dengannya. Musuh itu menangkis dibantu seorang kawannya,
hingga kedua batang golok bentrok dengan pedang, hingga
terdengarlah suaranya yang nyaring.
Segera setelah yang ditimur itu bergerak, bergerak jugalah
anggota anggota lainnya, maka serentak bergeraklah seluruh
barisan istimewa itu, hingga dari segala penjuru datang ancaman
golok tebal dari mereka.
Siauwpek tidak takut, ia memutar pedang serta tubuhnya, guna
menghalau setiap serangan, walaupun masih mengurung, ia toh
masih sempat membalas menyerang karena ia dapat bergerak
dengan lincah. Si serba putih, yang berada diluar medan
pertempuran, terdengar tertawa dingin.
Terus dia berkata keras, tetap dingin: "Empat puluh delapan jago
telah bersatu, berdasarkan pengalaman mereka bertempur dengan
Thian kiam kie tong, mereka memahamkan gerak gerik Thian kiam,
kesudahannya ialah mereka telah menciptakan ini pasukan istimewa
Cap jie Lian hoan Too Tin. Dua belas orang anak muda telah dipilih,
dilatih merupakan barisan golok ini. Maka itu, sekalipun Kie Tong
sendiri yang bertempur disini,jangan dia harap mampu meloloskan
diri, apalagi kau, Coh Siauw Pek Si anak muda"
mendengar kata kata itu, yang bernada ejekan, ia tak
menghiraukan. Ia hanya berseru, lalu menabas beruntun tiga kali.
Cap jie Lianhoan Too Tin benar istimewa sanggup dia mengurung
terus. Setiap anggotanya dapat menangkis serangan lawan yang
dikurungnya itu. Maka itu untuk sementara, kedua belah pihak
nampak sama unggulnya.
Ban Liang mengundurkan diri tetapi dia tidak bersembunyi. Dia
menonton. Maka dia melihat bahwa benar benar tim musuh itu
berbahaya. Dia menjadi heran dan kagum Dia tidak menyangka
saking liehaynya Kie Tong, ada orang orang yang bersatu hati,
berkumpul bersama-sama memahami ilmu pedangnya itu untuk
membangun sebuah ilmu penantangnya. Sekarang tin itu telah
berhasil diciptakan, bahkan sekarang tengah dicoba Liehay adalah
orang yang mendapat pikiran mengumpulkan orang buat memahami
Thian Kiam. Siapakah dia" Kenapa dia dapat memikir dari jauh jauh
hari itu" Ia mengasah otaknya tapi sukar mengingat ingat keempat
puluh delapan orang Rimba Persilatan yang liehay siapa siapakah
mereka itu"
Pertempuran berjalan terus, Siauw Pek tidak terancam bahaya
tetapi ia masih tidak bisa memecahkan barisan istimewa itu hingga
ia belum meloloskan dirinya. Nampak kedua pihak sama kuatnya.
Si serba putih terus menonton. Dia rupanya sangat
memperhatikan jalannya pengurungan. setelah sekian lama itu, tibatiba
dia berseru. "Perkecil barisan" Itulah aba-aba.
Perintah itu diturut segera. 12 pemuda itu lalu merangsak
dengan penyerangannya yang teratur. Bergeraklah golok mereka
juga menjadi lebih cepat, hingga cahayanya makin berkilauan.
Ban Liang mendengar dan melihat, ia tercengang. Ia kagum
berbareng khawatir. Hebat desakan tin itu. Nampaknya sangat
membahayakan. Kalau sebatang golok menyerang maka dua batang
yang lain mencobanya mengekang terlebih dahulu kepada pedang,
supaya pedang itu sukar bergerak ataupun digerakkan. Tidaklah
heran kalau sekarang suara beradunya senjata bertambah hebat,
bertambah nyaring dan berisik.
Oey Eng pun berkhawatir seperti jago tua bahkan dia berlebihlebih.
"Kelihatannya pedang toako kena dikekang musuh." berkata ia
kepada sijago tua.
"Kalau pertempuran in berlangsung terlalu lama, itulah
berbahaya. Bagaimana kalau kita maju untuk membantu?"
"Jangan" berkata Ban Liang. "Kalau kita maju, mungkin kita sukar
berbuat banyak, sebab ada kemungkinan si serba putih nanti
mengambil tindakan lain, bagaimana kalau dia perkuat
kurungannya?"
"Toh tidak dapat kita menonton saja ?"
"Baik kita menanti sebentar lagi," sahut Ban Liang, "Memang
saudara Coh telah kena dikurung, tetapi belum ada tanda-tandanya
dia terdesak atau kewalahan."
Oey Eng berdiam dengan hati yang tetap tegang. Ia menonton
dengan perhatian penuh.
Dan serangan anggota anggota tin makin seru, kalangannya
makin kecil. Nampaknya siauwpek diserang hebat sekali. Walaupun
demikian, si anak muda masih bertahan, dia tak mejadi repot.
Ban Liang heran, dari heran, dia tak tenang hati sendirinya. Dia
berpikir, "Saudara Coh telah kena dikurung. ia terkekang, kenapa ia
tidak juga mencoba membalas kepungan?" Dia juga menjadi tegang
seperti Oey Eng. pada akhirnya dia berseru tanpa merasa:
"Saudara Coh, kau telah terkekang, mengapa kau tidak mau
menggunakan golokmu?" Siauw Pek mendengar suara itu. Tiba-tiba
ia menjadi penasaran. Memang ia telah terkurung rapat, sukar
baginya untuk memecahkan kurungan itu. Ilmu pedangnya cuma
bisa dipakai membela diri, buat melayani lawan, tetapi sulit dipakai
membebaskan diri. Tin itu sangat gesit dan rapat.
"Ya, buat apa aku menanti sampai aku terancam bahaya?"
pikirnya. Segera ia mengambil keputusan. Dengan sebat ia
pindahkan pedangnya ke tangan kiri, dan dengan tangan kanan itu
ia menghunus goloknya. "Awas kamu" ia membentak. "Aduh"
demikian suara sambutannya. "Aduh" begitu satu suara susulan
lainnya. Dan dua orang anggota Capjie Lian hoan Too Tin roboh
bermandikan darah.
"Saudara Coh" Ban Liang berseru melihat kesudahan bekerjanya
Hoan Uh It Too yang ampuh itu, "Saudara, permusuhan telah
ditanam, kau telah membinasakan dua orang, kau binasakanlah
semua Apa bedanya satu dua jiwa dengan sepuluh jiwa ?" Tapi
habis menyerang Siauw Pek segera menyimpan goloknya yang
hebat itu, untuk menukar dengan pedang pula. Karena dengan
robohnya satu dua anggota saja, tin itu menjadi hilang
kekuatannya, dari mengurung, mereka berbalik terkurung sinar
pedang. Si serba putih melihat kesudahan itu, diam diam menarik napas
dan berkata seorang diri "benar benarlah, Thian kun It kiam - Hoan
uh It Too Pedang Tunggal Dunia, Golok Tunggal Jagat. Seorang
memiliki dua orang ilmu silat itu, ah, jangan-jangan akan sia sia saja
usaha Kun Cu..."
Suara orang itu berat tetapi peralahan. Ban Liang tidak
mendengar tegas, samar samar ia mendengar sebutannya, "KunCu"
itu. Ia menjadi heran. Siapakah orang Kang Ouw yang mendapat
sebutan itu" "Kun Cu" berarti "raja". Dengan robohnya dua
kawannya anggota anggota tin itu tidak berani bertempur lebih
jauh, sedang Siauw Pekpun menghentikan perlawanannya. Sibaju
putih menghela napas, lalu dia mengibaskan cambuk lunaknya. "
Kamu pulanglah," perintahnya.
Semua orang itu yang tinggal sepuluh lalu mengundurkan diri
danpergi. "Thian kiam dan Pa too benar benar bukan nama kosong
belaka," berkata siserba putih kemudian. "Malam ini mata punco
telah terbuka" Lalu ia memutar tubuhnya, buat ngeloyor pergi.
"Berhenti" membentak Siauw pek, suaranya dingin Ia menyimpan
pedangnya, untuk sebaliknya meraba goloknya. Orang itu berpaling.
"Tuan hendak bicara apa?" dia tanya.
"Apakah kau ingin mencoba golokku?" tanya si anak muda.
"Mataku telah melihat, tak usah aku mencoba lagi," sahut si
serba putih licik,
"Jikalau kau ingin bebas dari Cobaan golok, cuma ada satu
syaratnya"
"Tolong tuan sebutkan syarat itu"
"Kau bebaskan saudaraku, saudara she Kho itu" Orang itu
tertawa dingin.
"Kau menggertak aku?"
"Kau mau bebaskan atau tidak?" Siauw pek tegaskan. Ia
memegang gagang goloknya. Tanpa siuran angin, tutup muka si
serba putih bergerak gerak, Itulah bukti dari tegangnya hati dia.
Sekian lama ia berdiri diam, suatu tanda dia bingung sekali.
Kemudian: "Lepaskan si orang she Kho" ia berteriak, memberi perintah
kepada pihaknya.
Suara mengiakan terdengar dari tempat beberapa tombak
jauhnya, tampak lentera dinyalakan terus terlihatlah dua orang
berseragam hitam berjalan mendatangi. Mereka itu membekal
golok, Mereka pula mengiringi Kho kong.
Ketika itu pakaian si polos pecah tidak keruan, wajahnya sangat
lesu dan suram. Rupanya dia telah menderita selama ditawan itu.
"Ah, saudara menderita..." kata Siauw Pek berduka.
"Masih sanggup aku bertahan," berkata saudara itu, sebelumnya,
ia berpaling dahulu kepada kedua pengiringnya. Siauw pek masih
meraba goloknya, dengan mata tajam mengawasi si serba putih, ia
kata bengis; "Kau boleh pergi, tuan Semoga mulai hari ini kita tidak
bertemu pula"
Si serba putih tak suka mengalah, katanya: "sungguh tak pernah
punco menyangka bahwa Thian Kiam dan Pa Too berada didalam
satu tangan. Penghinaan malam ini akan punco ingat buat selamalamanya"
Habis mengucap begitu, dengan segera dia memutar
tubuhnya dan berseru. "Jalan" Lantas dia mendahului pergi.
Kedua orang yang membawa lentera berjalan dibelakang
pemimpinnya itu, mereka berjalan cepat sekali, lewat sepuluh
tombak, tapi mereka padamkan, lalu mereka tak tampak lagi.
Sementara itu Ban Liang telah keluar menyambut Kho kong.
"Apakah kau terluka?" tanyanya.
"Cuma dikulit, tidak berarti," sahut pemuda itu. Ban liang
mendongak, ia menghela napas.
"Tadi kedua nona memberi isyarat dengan api," kata ia, "lalu api
itu padam entah telah terjadi apa disana. Harap saja mereka tak
kurang suatu apa..."
Baru saja suara itu berhenti, tiba tiba dari tempat jauhnya
beberapa tombak terdengar suara yang halus dan merdu, "Terima
kasih, loocianpwee, syukur kami sehat-sehat saja"
Itulah suara Soat Kun, yang segera muncul dari tempat gelap,
berjalan berpegang tangan dengan Soat Gie, adiknya. Rambut
mereka yang panjang itu lepas terurai. Mereka berjalan cepat. Lekas
juga mereka tiba didepan rumah. Soat Gie memandang keempat
tetamunya, ia tersenyum, setelah mana Soat Kun berkata:
"Syukur loocianpwee semua tidak kurang suatu apa, jikalau tidak,
pastilah itu karena kesalahan kami meninggalkan pesan tidak
sempurna..."
" Walaupun kami rugi, tidak nanti kami sesalkan nona," kata
Siauw Pek, Si nona menghela napas perlahan. "Musuh tangguh sekali, inilah
diluar terkaanku," ia mengakui. Ban Liang tertawa lebar katanya;
"Meski musuh tangguh, kitalah yang menang. Benar musuh tidak
musnah tetapi mereka toh kabur sipat kuping"
"Adikku memberitahukan kepada bahwa golok Coh siangkong
bagaikan kilat, asal bergerak tentu ada musuh yang roboh" berkata
si nona tuna netra.


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah kakakku belum penah memberitahukan kamu, nonanona?"
tanya Ban Liang,
"Itulah golok tunggal yang telah malang-melintang didalam dunia
Kang Ouw, yang semenjak munculnya belum pernah ada orang
yang sanggup melayani dalam satu jurus sekalipun. Hingga golok itu
menjadi tanpa lawan"
"Jadi itulah Toan Hun It Too yang termasyhur?" si nona tanya.
"Benar, nona Bukankah kakak Hoan pernah menuturkannya?"
"Semasa hidupnya, suhu pernah membicarakan tentang ahli ahli
silat dijamannya dan ia telah berceritera tentang Kie Tong dan Siang
Go." "Kakak Hoan cerdas luar biasa, luas pengetahuannya," berkata
Ban Liang, "entah apa katanya mengenai Thian kiam dan Pa Too
itu?" "Suhu bilang, walaupun Thian kiam liehay, masih ada lowongan
untuk dilawan," sahut si nona, "Orang mesti pandai silat dan cerdas
luar biasa untuk mengetahui kekurangan itu, untuk memahamkan
suatu ilmu untuk menentangnya. Tidak demikian dengan golok
Siang Go, yang sempurna tanpa cacat bagaimana kecil juga"
"Jadinya Thian kiam terbatas dan Pa Too tidak?"
"Bukan begitu seluruhnya, loocianpwee, yang benar, masing
masing ada keistimewaannya. Aku sendiri, aku asing dengan dua
duanya, karena aku tidak pandai silat."
"Nona, apakah sudah lama kamu sampai disini?" kemudianBan
Liang tanya pula.
"Benar. Sengaja kami melepas api diatas gunung dan membuat
api banyak api pecahannya guna diam diam kami berjalan pulang."
"Oh, begitu" Tadinya kami menyangka itulah semacam isyarat..."
Si nona tersenyum.
"Mari kita bicara didalam," ajaknya. Dengan bergandeng seperti
biasanya, kedua nona itu bertindak dapat melihat, dengan bantuan
adiknya, dia bisa berjalan dengan leluasa seperti juga dia tidak
bercacat panca inderanya.
Soat Gie menjemput selembar sumbu diatas meja untuk
menyalakannya, kemudian dipasangnya lilin, setelah mana ia
menyeret kursi buat kakaknya duduk, ia sendiri terus berdiri di
sisinya. Soat Kun berdiam sebentar, lalu ia berkata "Sebenarnya kami
merencanakan berdiam tiga hari dikuburan suhu, untuk menemani,
buat sekalian memikirkan rencana kita terlebih jauh. Sekarang telah
terjadi peristiwa diluar dugaan ini, terpaksa kami mengambil
keputusan lain. Sulit buat kita tinggal lebih lama pula disini, bahkan
kita mesti berangkat sekarang juga."
"Kakak Hoan pandai luar biasa, sayang semasa hidupnya ia tidak
mengusahakan sesuatu" berkata Ban Liang "Tapi ia telah
mewariskan kepandaiannya kepada nona berdua, tentulah menjadi
harapannya yang nona nona akan meneruskan cita citanya, karena
itu kamipun mengharap nona nona sudi menunjukkan
kepandaianmu guna mengamankan dunia Kang Ouw, supaya hawa
jahat dapat ditumpas, agar matahari dapat memperlihatkan pula
cahayanya yang terang gemilang Dengan berbuat demikian, nona,
kami tidak menyia-nyiakan pengharapan kakak Hoan dan juga
kepandaian kami sendiri " Soat Kun menghela napas.
"Loocianpvee menaruh kepercayaan begini besar kepada kami,
sungguh kami merasa malu sendiri," katanya. "Sayang kami
bercacat, hingga walaupun kami memperoleh bantuan suhu yang
pandai, bakat kami berbatas, kami khawatir nanti menyia-nyiakan
pengharapan loocianpwee sekalian..." Ban Liang tertawa.
"Lain orang lain bicara, tetapi aku, aku tahu baik sekali
kepandaian kakak Hoan," ia berkata. "Nona berdua telah dapat
mewarisi kepandaian kakakku itu, sekarang nona-nona dibantu
saudara Siauw Pek dengan pedang dan goloknya yang istimewa,
aku percaya kamu akan sanggup berbuat banyak guna
kesejahteraan umum"
"Harap loocianpwee jangan terlalu memuji. Aku hanya dapat
berjanji bahwa kami akan lakukan apa yang kami sanggup." Ia
berdiam sejenak, dan segera meneruskan: "Seperti kukatakan tadi,
tempat ini tidak dapat kita diami lebih lama pula, maka itu, marl kita
berangkat sekarang"
Ban Liang berempat mengangguk.
"Nah silahkan nona-nona berkemas kami menantikan diluar,"
kata sijago tua.
Siauw pek mendahului bertindak keluar, diikuti kawan-kawannya.
Oey Eng berbisik pada Ban Liang: "Kedua nona tidak dapat
berjalan dengan leluasa, harus kita mendayakan alat untuk
membantunya..."
"Benar, akupun telah memikirkannya."
"Sulit buat mereka turut kita, bukankah baik kita menyediakan
kereta berkuda?"
Ketika itu kedua nona sudah muncul. Mereka cuma membawa
sebuah bungkusan. Mereka berjalan berendeng, tangan kanan
sikakak dibahu adiknya. "Nona, loohu ingin bicara, harap kamu tidak
berkecil hati," berkata Ban Liang perlahan.
"Apakah itu, loocianpwee" Silahkan"
"Untuk peejalanan kita ini, nona hendak menggunakan cara
apa?" Ban Liang tanya. Soat Kun menghela napas.
"Sudah biasa semenjak kecil kami berjalan kaki saja" sahutnya.
"Peejalanan kita jauh tujuannya," berkata Oey Eng, "entah buat
berapa bulan dan tahun tak tahu dimana kita bakal berhenti, karena
itu, baiklah nonai menggunakan kendaraan..."
Soat Kun berpikir sejenak, lalu dia menjawab: "Baiklah kalau
begitu. Kami menyusahkan saja. Terima kasih"
"Sekarang kita menuju kebarat," kata Ban Liang "Dua puluh lie
disana ada sebuah kota, disana saja kita cari kereta kuda."
"Baiklah, loocianpwee," kata sinona.
"hanya..." ia berhenti sesaat, lalu ia melanjutkan: "Kami baru
mulai memasuki dunia Kang Ouw, pengalaman kami tidak ada,
kamipun bercacat, karena itu, hati kami kurang tenang. Sementara
itu aku menerka mesti ada musuh-musuh kita yang bakal merintangi
kita. dalam hal ini meskipun benar ada adikku, yang akan
memberitahukan sesuatu kepadaku, aku khawatir dia masih kurang
sempurna, karenanya aku harap loocianpwee membantuku
memberitahu setiap gerak gerik musuh, agar kita dapat bersiap
sedia menghadapinya..."
"Itulah pasti, nona." Ban Liang memberikan janjinya. Sementara
itu Oey Eng berpaling kepada Kho kong.
"Saudara dapatkah kau berjalan?" tanyanya.
"Dapat" sahut sang adik, "Lukaku cuma luka dikulit"
"Bagus Nah mari kita berangkat" mengajak Oey Eng.
Kho kong segera berjalan dimuka.
Oey Eng maju, akan mendampingi adik yang polos itu.
Mereka berjalan belum satujam, tiba sudah mereka ditempat
yang dituju. Ditengah jalan mereka tidak menampak rintangan apaapa.
Langsung mereka pergi kerumah penginapan, untuk bersantap
dan beristirahat. Ban Liang menyuruh tuan rumah menolong
membeli sebuah kereta dan dua ekor kudanya yang terpilih. Maka
itu, dengan kedua nona duduk dikereta, mereka melanjutkan
perjalanan, Tatkala itu matahari sudah mulai Condong kebarat. Dengan
memegang cambuk. Ban Liang sendiri yang mengendarai kereta itu.
"Locianpwee, kita menuju kemana?" tanya Siauw Pek, Mereka
memang harus menentukan arah.
"Ke Siauw Lim Sie" sahut sijago tua.
"Untuk apa loocianpwee ?"
Orang yang ditanya tertawa. "Saudara kecil. namamu sudah
dikenal umum," katanya.
"Itu artinya, kau telah muncul didalam dunia Kang Ouw. Mungkin
sekarang ini namamu sudah menimbulkan kegemparan, bukankah
kau tak perlu menyembunyikan diri lagi?"
"Lalu disana kita meminta penjelasan mengenai peristiwa
keluargamu."
"Maukah It Tie taysu menemui aku" Ciang bunjin dari Siauw lim
sie itu pernah beradu tanganku ketika kami bertemu dipuncak Ciong
Gan Hong digunung Heng San" "Ciangbunjin" ialah ketua partai
persilatan Ban Liang tersenyum.
"Jikalau dia tak sudi menemui secara baik-baik, tak dapatkah kita
memaksa?" sahutnya. Ia berdongak, untuk melepaskan napas
melegakan hati, "Dunia Kang Ouw sangat kacau, banyak partai,
banyak maunya, beraneka macam sepak terjangnya. Dan musuh
dari Pek Ho Po adalah delapan belas partai. Dapatkah kau
memusuhi semua anggota mereka itu?"
"Aku cuma mau membalas kepada mereka yang menjadi kepala
atau biang keladi, supaya arwah ayah bundaku merasa puas. Tidak
ada niatku akan memusuhi semua orang Rimba Persilatan."
"Itulah benar. Nah, siapa sikepala atau biang keladi itu?"
Siauw Pek terdiam.
"Jumlahnya mungkin. banyak..." sahutnya bingung.
"Kau mencurigai pihak Siauw lim sie atau tidak?"
"Ketika itu dipuncak Ciong Gan HOng hadir ketua dari
keempatpartai besar, semua mereka harus dicurigai."
"Apakah lima pay lainnya, berikut empat bun, tiga hwee, dan dua
pang tak dapat dicurigai juga ?"
"Ah, Mereka juga sukar tak bersangkut paut."
"Jadi dalam Rimba Persilatan, kebanyakan ada musuh-musuh
mu, habis kepada siapakah kau hendak menuntut balas" Kepihak
Siauw lim sie, bukan" Pihak itu paling mencurigakan, kita menuju
kesana lebih dahulu. Kita berlaku terus terang menanyakan soal
peristiwa pek ho po, mungkin kita akan memperoleh penjelasan, lain
dari itu masih ada satu soal lagi..."
"Soal apakah itu ?"
Aku anggap perlu kita menemukan Su kay Taysu. Dialah seorang
loocianpwee yang harus dihargai..."
"Akupun berkesan demikian terhadap dia. Tegakah bicara itu,"
tiba-tiba Soat Kun dari dalam kereta menyela: "Siapa yang dituding
oleh seribu orang masih belum tentu dialah yang harus dibunuh."
Ban Liang menepuk batok kepalanya. "Ah Di dalam kereta ada
Khong beng wanita tetapi kita tidak menanyakannya" katanya.
"Locianpwee memuji saja," berkata sinona. "Jikalau aku ketahui
duduknya hal, mungkin aku dapat membantu memikirkannya..."
Suara itu merendah akan tetapi nadanya tetap pasti.
"Kami menempuh perjalanan ribuan lie justru untuk kamu
berdua, nona nona," berkata Ban Liang. "Mustahil kami tak mau
bicara terus terang kepada kamu ?"
Lalu jago tua ini menuturkan peristiwa hebat dan menyedihkan
dipek ho po itu dimana seratus atau dua ratus lebih orang
terbinasakan bagaimana Coh Siauw pek bersama ayah bunda dan
kedua kakaknya dikejar kejar, sampai akhirnya mereka terbinasakan
dimuka jembatan maut seng su kio, cuma Siauw pek seorang yang
selamat sebab dia keburu menyeberangi jembatan maut itu hingga
dia berhasil mewarisi Thian Kiam dan Pa Too, sedangkan didalam
kuburan Ceng Gie Loojin sianak muda beruntung mendapatkan
Ceng Gie Cie Too, Golok Keadilan dari Ceng Gie Loojin siorang tua
yang liehay itu, juga perempuan malam itu diceritakan dengan jelas
sekali. Selama penuturannya sijago tua, Siauw pek menambahkan
dimana yangperlu, karena itu Soat Kun jadi mengetahui denganjelas
seluruh peristiwa itu. Tak lupa diterangkan peristiwa di Cong Gan
Hong dimana Siauw pek dijebak sampai dia bertemu dengan Su Kay
Taysu. Begitupun keterangan hal kakak wanitanya yang katanya masih
hidup. Selama mendengarkan, Soat Kun berdiam saja, hanya kadangkadang
ia memahamkan keterangan caranya dengan
menggoyangkan tangan memberi isyarat, untuk kedua penutur itu
berhenti sejenak, setelah mana ia memberi tanda agar orang
melanjutkan terus. Halus gerak gerik si nona, yang beberapa kali
tersenyum manis, tetapi beberapa kali ia mengerutkan alisnya yang
lentik, "Sayang, sayang..." Ban Liang berulang kali mengatakan didalam
hatinya Kenapa nona itu cacat matanya" Coba dia tidak buta, entah
berapa hebat sepak terjangnya kelak...
Satu jam lebih sijago tua memberikan penuturannya, sampai hari
sudah lewat lohor.
Karena sepi-sunyi setelah sijago tua berhenti menutur, melainkan
roda-roda kereta yang memperdengarkan suaranya yang berirama,
bernada itu itu juga.
kapan sang magrib tiba dan samar-samar tampak bintangbintang
di langit. barulah terdengar si nona tuna netra menghela
dan berkata. "Sungguh peristiwa ruwet, bertautan dan
bergelombang. Itu menandakan wajah manusia manusia busuk..."
"Ya, nona, sulit untuk mencari sipemimpin atau biang keladi
peristiwa itu," kata Ban Liang.
"Aneh pula sikap empat ketua partai di Ciong Gan Hong itu,"
Siauw pek turut mengutarakan herannya. "Agaknya mereka sengaja
mengatur perangkap untukku..."
"Yang dinantikan bukannya kau, kebetulan saja kau yang
datang," berkata si nona.
"Bukan aku" tanya si anak muda. "Habis siapakah ?"
"Kamu toh ada menyebut-nyebut hek ie kiam su, bukan ?"
"Benar, benar, ada kemungkinan juga," berkata Ban Liang
"Hek ie Kiamsu" ialah orang orang yang serba hitam itu.
"Sekarang ini masih banyak hal-hal yang berupa tanda tanya,"
berkata lagi si nona,
"semua meminta perpahaman perlahan lahan, satu demi satu."
"Itulah yang menyulitkan kami" Ban Liang berkata, "sekarang
loohu mengajak kamu pergi ke Siauw lim sie, nona, tolong kau
berikan petunjuk kepadaku, tindakanku ini benar atau tidak?"
"Inilah bukan tindakan sempurna, tetapi ini terpaksa. Kita pergi
kesana, lalu kita nanti melihat keselatan," Ban Liang tertawa. Puas
dia "Syukur pikiranku tidak salah," katanya.
"Loocianpwee tolong jelaskan pikiranmu," si nona meminta. Jago
tua itu kembali tertawa.
"Keponakanku yang cerdik,janganlah kau mengangkat angkat
aku" katanya. Ia sekarang memanggil keponakan. "lebih baik kaulah
yang mengutarakan pendapatmu"
Hoan Soat Kun tersenyum. "Menurut aku, daripada kita pergi
langsung ke Siauw Lim sie, lebih baik kita menggunakan akal..."
"Apakah itu, keponakanku?"
"Kita menyebar berita mau pergi ke Siauw Lim sie, untuk
menanyakan peristiwa Pek Ho po, akan tetapi kereta kita, kita
tujukan keBu TOng San..."
"Bagus" memuji sijago tua. "Ini dia yang dibilang, sumbar ditimur
menyerang kebarat"
"Lalu setelah mendekati Bu Tong San, kita kembali ke Siauw Lim
Sie." "Eh, kenapa begitu?" tanya Ban Liang heran ia menerka keliru
siasat itu. "Untuk membuat mereka bingung, agar mereka tak dapat


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menerka maksud hati kita"
"Kemudian, keponakanku ?" Mau tidak mau sijago tua jadi
banyak bertanya.
"Kita lihat suasana selanjutnya. Tak dapat aku mengambil
kepastian sekarang. Pihak lawan banyak yang gagah dan cerdik."
"Baiklah, nona."
Jago ini menerka sinona tak mau membocorkan rencananya.
Oey Eng dan Kho kong menganggap pikiran sinona benar, hanya
mereka tidak tahu jelas maksud orang, Oey Eng memikir sesuatu
tetapi ia tak berani mengutarakan itu. Kho kong sebaliknya.
"Bagus" serunya.
"Apakah yang bagus, saudara Kho?" Ban Liang tanya.
"Entahlah, loocianpwee. Aku cuma merasa bagus, lainnya aku
tidak tahu..."
"Oh, begitu..." kata sijago tua itu, yang mendongak melihat
langit. Bulan sisir sudah mulai mengintai.
Ia bertanya, "Keponakanku apakah kita jalan terus malam
malam?" Sinona mengangguk. "Jikalau terkaanku tak keliru, sekarang ini
kita sudah berada dibawah pengawasan orang" katanya dengan
suaranya yang pasti. Kho kong heran. Dia melihat kesekelilingnya,
yang diselubungi kegelapan. Pikirnya:
"Dalam hal hal ini, aku tidak puas terhadap nona ini. Kalau ada
musuh, mustahil tak tampak tanda tandanya"..." Ban Lian melirik
Siauw Pek, "Apakah kita jalan terus, keponakanku?" ia mengulangi
pertanyaannya. "Jam berapa sekarang ini?" si nona tanya.
"Sudah mendekati jam permulaan-..."
"Baiklah sebelum jam kedua kita cari tempat singgah," berkata si
nona. "Kita cari tegalan yang terbuka, supaya kalau perlu kita dapat
berbareng menyerang..."
"Baik"jawab Ban Liang yang segera membunyikan cambuknya,
membuat kudanya lari cepat. Bertiga Siauw pek, Oey Eng dan Kho
kong berlari lari dikedua sisi kereta.
Karena dilarikan keras, roda roda kereta bersuara berisik sekali.
Sebagai seorang yang berpengalaman, sambil memegang kendali.
Ban Liang senantiasa melihat kekiri dan kanan, kadang kadang juga
kebelakang. Kho kong lari mendampingi Oey Eng. Dia bertanya: "Kakak,
malam begini, selagi rembulan terang, didepan tidak ada musuh
yang memegat, dibelakang tidak ada lwan yang mengejar, buat apa
kita kabur secara begini"..."
Belum habis kata kata si anak muda, dari belakang mereka, ia
mendengar derap kuda. Segera ia berpaling. Ia jadi melengak Ia
melihat empat penunggang kuda kabur mendatangi.
"Ah, benar benar ada musuh" serunya.
"Apakah ada orang menyusul kita?" pertanyaan keluar dari dalam
kereta. Itulah suara merdu dari Soat Kun.
"Ya, empat orang penunggang kuda," Siauw pek menjawab.
"Baik, Pertahankan kereta kita," si nona minta.
Ban Liang menurut. Segera setelah memainkan les kudanya, roda
roda keretanya menggelinding dengan lambat.
JILID 27 "Eh, mereka juga memperlahankan lari kuda mereka," berkata
Siauw pek. yang terus mengawasi kearah penunggang kuda
dibelakang mereka itu.
Lalu terdengar pula si nona: "Mereka menyusul kita secara
terbuka, inilah kembali diluar sangkaku. Dilihat dari siini, orang yang
memimpin rombongan itu bukan seorang yang cerdik."
"Kecuali mereka sudah mengatur rencana sempurna atau mereka
pasti akan menang, tak akan mereka lancang turun tangan." Si
nona berhenti sebentar, lalu dia bertanya: "Apakah ada tempat
berhenti disekitar tempat ini?"
"Diarah timur, lagi satu lie, ada tanah pegunungan," menyahut
Ban Liang. "Mungkin disana ada tempat yang baik..."
Perkataan jago tua ini terputus mendadak disebabkan
terdengarnya satu siulan yang nyaring dan lama. Maka ia
menambahkan. "Agaknya kita sudah masuk kedalam perangkap
mereka itu..."
Soat Kun terdengar menghela napas.
"Bagaimana letak tempat dikiri kanan kita ini?" ia tanya.
"Tanah tegalan tanpa persawahan." Si nona menyingkap tenda
kereta. "Apakah diantara pengejar ada juga kereta kuda?" ia bertanya
pula. "sebegitu jauh yang tertampak. tidak..."
Menyusul jawaban sijago tua, dari arah depan dan belakang lalu
terdengar suara roda roda kereta.
Jago tua itu lalu melihat kesekelilingnya.
"celaka nona" ia berkata. "Kita sudah terkurung Didepan dan
belakang benar ada kereta kereta yang mendatangi"
"Lekas kita berlindung," berkata si nona "Jangan sampai kereta
kita bertabrakan dengan kereta kereta itu"
Nona itu menarik kembali tangannya yang menyingkap tenda,
untuk dipakai memegangi kedua tangan adiknya, setelah mana
keduanya melompat turun dari kereta, untuk terus lari ketegalan
yang disebut sijago tua.
"Nanti aku membuka jalan" berkata Ban liang, yang segera
lompat turun, untuk lari disebelah dengan kedua nona itu, lari
ketegalan. "Aku akan Cepat dibelakang" berkata Siauw Pek. "Jietee, shatee,
menjaga sayap kiri dan kanan"
Ketua itu segera menghunus pedangnya.
Oey Eng dan Kho kong menurut perintah, mereka kemudian
melindUngi kedua nona dikiri dan kanan mereka itu.
Kereta kereta didepan itu kabur keras sekali, hanya sebentar, tiba
sudah mereka ditempat dimana kereta Soat kun ditinggalkan- Maka
juga, dalam waktu sekejap itu terdengarlah suara riuh hebat dari
ringkik kuda, dari tabrakan kereta dengan kereta.
Tapi yang hebat adalah suara ledakan yang menyusulnya, disusul
pula dengan sinar api berlalu dan berkobar, lalu kereta kereta itu
berikut kudanya rubuh bergundukan diantara pengempang darah
semua kuda itu Teranglah kereta kereta yang datang dari depan dan belakang itu
bermuatkan obat pasang dan minyak, hingga setelah tabrakan dan
meledak. apinya menyala terus, membakar ketiga buah kereta itu
"Sungguh telengas" berkata Kho kong ketika dia menoleh,
melongo, mengawasi kurban ledakan itu. Tubuh kuda hancur
berhamburan Hoa nsoat kun, yang memperoleh bislkan tangan Soat Gie,
menarik napaspanjang dan berseru^
Hati Ban liang giris, tak perduli segala ragam pengalamannya.
Katanya "Sudah puluhan tahun loohu menjelajah dunia Kang ouw,
baru sekarang loohu menyaksikan ketelengasan semacam ini "
"Setelah mendengar hal munculnya kereta kereta dari depan dan
belakang, aku segera menerka akan maksud jahat musuh," berkata
sinona yang kembali menghela napas. "Nyatalah terkaanku tidak
meleset. Melihat contoh itu, rupanya disebelah depan kita ini tak
akan luput dari pertempuran pertempUran dahsyat. "
"Itulah mUngkin, keponakanku. Keempat penunggang kuda tadi,
yang sekarang menghilang telah melihat kita meninggalkan kereta,
tentu mereka pulang untuk memberi laporan, hingga tak tahulah,
mereka akan mempergunakan tipu daya macam apa lagi..."
"Ketelengasan mereka justru membeber kelemahan mereka,"
berkata si nona kemudian- "Mereka tidak berani menempur kita
secara terang terangan "
Siauw Pek menyimpan pedangnya. Ia melihat, benar keempat
musuh itu sudah tidak tampak sama sekali. Ia lalu berkata^ "Sudah
terang musuh mengincar aku, maka itu, kalau nona sekalian tidak
berada bersama sama aku, kamu tidak akan menghadapi ancaman
malapetaka hebat ini..." Mendengar itu, Soat Kun tertawa manis.
"Sekarang ini," berkata dia, merdu suaranya, "kita semua telah
menjadi incaran mereka bersama, karena itu, walaupun tidak ada
kau, saudara coh, tak akan mereka melepaskan kami"
"Keponakanku benar" Ban Liang turut bicara. "Kejadian ini
memperingatkan kau untuk selanjutnya berlaku waspada."
"Nah, Cukuplah," berkata sinona kemudian. "Yang sudah lewat,
jangan kita bicarakan pula"
"Sungguh dia pintar dan tabah," pikir Kho kong terhadap si nona.
"Benar benar sayang, matanya berCaCat..."
"Kita harus berjalan terus," kata Ban Liang. "Sekarang kita
menuju kemana?" Soat kun berpikir.
"Sekarang ini, yang perlu, pertama tama kita harus memperkUat
diri kita," berkata dia. "LooCianpwee semua gagah, tetapi untuk
kalian melindungi kami berdua, itu berarti tenaga kamu harus
dipecah..."
"Benar. Hanya, keponakanku, disaat semaCam ini, dimana kita
mesti mencari tenaga tenaga bantuan?"
"Ya, ini memang sulit, apa pula buat mencari mereka yang
sehaluan dengan kita dan besar keberaniannya. Buat sementara
perlulah kita menaklukkan sejumlah sesama kaum Rimba
Persilatan..." Ban Liang berdiri diam.
"Sulitnya kita sekarang seperti lagi terkurung," katanya,
perlahan- "Kalau orang orang Rimba Persilatan yang berada dekat
disekitar mereka, mereka itu mungkin sudah terpengaruh oleh pihak
lawan..." "Bagaimana kalau kita pakai tenaga musuh untuk melawan
musuh?" si nona tanya setelah dia berpikir sesaat.
"Bagaimana itu bisa terjadi, keponakanku?" Ban Liang bertanya
heran. Nona manis itu tersenyum.
"Tak tahu aku apa namanya daya upaya ini." sahutnya. "Kalau
toh mau dinamakan juga , ini dia daya kejam lawan kejam..."
"Baik keponakanku. Nah, bagaimanakah cara diwujudkannya
itu?" "Mengenai tipudaya itu, semasa hidupku suhu pernah
membicarakan dengan kami. Sudah kukatakan, sebab bakatnya
berbatas suhu tidak dapat belajar silat sempurna. Dilain pihak suhu
cerdas sekali, mungkin sukar lain orang menyainginya. Suhu pernah
memberitahukan aku suatu cara meminjam tenaga lawan-.." Ban
Liang tertawa. "Memang aku telah menerka bahwa kakak Hoan sudah
mewariskan semua kepandaiannya kepada nona nona?" berkata ia,
girang. "Suhu pernah memahamkan yoga, lalu dari situ ia berhasil
menciptakan semacam ilmu yang menggunakan jari jari tangan-
Dengan itu kita dapat menotok beberapa jalan darah yang
menyebabkan orang lupa akan dirinya sendiri, hingga kita dapat
menyuruhnya melakukan apa yang kita perintahkan-.. Yang
menyukarkan ialah mataku tidak dapat melihat ilmu silatku sangat
rendah hingga aku tidak sanggup melawan jago jago Rimba
Persilatan, sedangkan untuk itu kita perlu menawan musuh kita."
"Mengalahkan musuh mudah, menangkap hidup sulit," kata
Siauw Pek. "Asal kita bisa membekuk delapan atau sepuluh musuh, buat
sementara cukup sudah," berkata si nona.
Mendengar itu, Siauw Pek bcrpikir. "cuma delapan atau sepuluh
orang manusia, tidakkah itu berlaku kesombongan?" Lalu ia berkata:
"Buat mengalahkan musuh, cukup asal kita menang seurat..."
"Buat menangkap hidup?" tanya si nona. "Kita mesti lebih pandai
berlipat ganda."
"Jikalau begitu, tak dapatkah kita memasang perangkap supaya
musuh datang menghantarkan diirnya sendiri?"
"Kembali berbau kesombongan, nona," pikir pula si anak muda.
Tapi ia berkata. "Nona, aku rasa nona tentu sudah memikirkan
sesuatu..." Soat kun tertawa perlahan.
"Dayanya ada beberapa rupa, katanya. Untuk itu kita tinggal
memilih tempatnya serta mengaturnya."
"Tempat bagaimanakah yang cocok, nona?" Ban Liang bertanya.
"Yang paling cocok tempat yang membelakangi gunung, yang
ada airnya, umpama sebida tanah yang rendah asal ada dua
jalannya yang bisa dilalui "
"Tempat begitu sukar dicari..."
"Itulah tempat yang utama. Kalau tidak, kita cari yang keduanya.
Tolong nona lukiskan tempat yang kedua itu" Ban Liang minta.
"Itulah sebuah tanah datar yang sekitarnya tak ada rumah rumah
orang. Di tengah tengah itu kita membangun satu rumah yang
kokoh kuat, lebih lebih rumah yang tak takut air atau api."
"Tempat demikian tak sukar dicari. Hanya rumahnya
pembangunannya itu tak rampung dalam waktu satu hari..."
"Karena itu, aku pikir kita perlu mengambil jalan lain..."
"Bagaimana nona?"
Nona itu diam, setelah itu dia memperlihatkan wajah sungguhsungguh.
Dia berkata: "Musuh pastitak mau berhenti sampai disini
saja, kalau kita melanjutkan perjalanan kita, yang jauh, pasti kita
akan menghadapi ancaman bencana lainnya. Seperti kita ketahui,
jumlah kita sedikit, musuh sebanyak banyak. tak dapat kita
mengandalkan tenaga kita saja. celakanya musuh juga tidka
memilih cara lagi."
"Nona benar. Akupun piklr, tak dapat kita berdiam disatu tempat
saja tempat yang musuh dapat satroni dari empat penjuru..."
berkata Ban Liang.
Si nona mengangkat kepalanya, berpaling kepada empat orang
itu. "Tuan tuan dengan tenaga kamu berempat saja, dapatkah kamu
melawan musuh musuh diseluruh kolong langit ini?" dia bertanya.
"Sangat sukar, nona. malam tadipun beruntung saja kita
memperoleh kemenangan. Sedangkan kali ini, kalau bukan nona
yang duduk kereta, pastilah kita sudah tumpas ditangan musuh
lihay dan kejam itu."
"Maka itu, perlu kita memperkuat dahulu kedudukan kita." Sijago
tua menjadi tidak mengerti.
"Bagaimana maksud nona?" dia tanya. "Tolong nona jelaskan
dulu" "Maksudku lebih dahulu kita mengumpulkan kekuatan kecil, baru
perlahan lahan kita perbesar. cita-cita kita ialah menjunjung
keadilan- Suhu pernah mengatakan kepada kami bahwa memang
sulit mengamankan dunia Kang ouw..." Siauw Pek kagum. Selama
waktu dua hari ini, dia semakin mengenal si nona.
?"Nona, apakah dayamu untuk menegakkan keadilan?" ia
bertanya. "Untuk itu, aku suka maju dimuka, bersedia akan
menyerbu api sekalipun "
"Sekarang ini kita harus melihat selatan. Kita sekarang mau pergi
kesiauw lim atau bu tong kedudukan kita ditempat terang, musuh
sebaliknya berada ditempat yang gelap. Karena itu, kita menjadi
senantiasa bisa terancam kerugian- Maka juga paling dulu kita mesti
dapat menempatkan diri, supaya dengan jumlah sedikit dapat kita
melayani jumlah yang banyak."
"Itulah justru yang tak dapat pikir pemecahannya."
"Dalam keadaan kita ini, loocianpwee, buat sementara terpaksa


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kita mesti mengandalkan pada ajaran suhu. Kami berdua saudara
pernah diajari ilmu pembangunan sebuah tin, yaitu barisan istimewa
yang dinamakan Liok Kah tin- Perubahan tin itu dapat membuat
kacau penglihatan musuh. Sulit buat kami menerangkan sejelas
jelasnya tetapi cukup buat mengatakan bahwa kita dapat bekerja
berenam saja, ialah loocianpwee berempat di empat penjuru dan
kami berdua saudara ditengah tengah. Kita akan mengandalkan
perubahan dari bergerak geraknya tin kita itu."
Si nona tampak gembira. Dengan tenang ia membereskan
rambutnya yang bagus.
"Buat sementara kita membutuhkan tempat terbuka luas
beberapa batu, disitu kita akan membangun sebuah kota istimewa
kedalam mana kita nanti memancing musuh datang masuk untuk
kita tangkap dan nanti gunakan tenaganya. Sesudah kita mendapat
tambahan tenaga, baru kita pergi ke Siauw Lim sie. Buat pergi
kesana kita tak usah kesusu, bukan ?" Ban Liang mengawasi Siauw
Pek. "Baiklah, nona. Kami bersedia mengiringmu" jago tua ini
memberikan janjinya.
"Sayang aku tidak bisa melihat hingga aku tidak mampu mencari
tempat yang kita butuhkan itu," berkata si nona. "Dalam hal ini aku
minta bantuan loocianpwee sekalian. Aku cuma bisa menunjukkan
saja..." "Asal nona dapat menjelaskan, mungkin kami sanggup
mencarinya," berkata Ban Liang.
"Jikalau kita tidak bisa mendapatkan tempat yang dapat
mengandalkan dinding gunung dan air, cukup sebidang tanah datar
asal disitu tumbuh pepohonan dan rumput, lebih baik lagi kalau ada
tumpukan tumpukan batu serta sebuah rumah yang kokoh kuat..."
Ban Liang berpikir.
"Kedengarannya mudah buat mencari tempat semacam itu tapi
kenyataannya sulit juga . Kita memerlukan waktu bukan cuma satu
atau setengah hari," berkata ia.
"Tak usah kita terburu buru." kata si nona. "Kita cari sambil kita
melanjutkan perjalanan kita ini."
Sampai disitu, mereka mulai berangkat lagi Tanpa kereta, kedua
nona terpaksa mesti berjalan kaki, soat Kun tetap berjalan
berendeng dengan saudaranya. Ban Liang berempat selama itu
selalu memperhatikan tempat disekitarnya.
Dua jam lamanya rombongan ini berjalan, tibalah mereka disuatu
tempat yang sisi jalanannya merupakan pepohonan lebat.
"Tempat ini mirip dengan lukisan nona, cuma tidak ada
rumahnya," berkata Ban Liang
"Asal tempatnya cocok, tak apa tak ada rumahnya," berkata si
nona. "Baik, nona. Maukah nona mendengar perihal letaknya tempat
ini?" "Paling baik loocianpwee mengajak aku jalan mengelilinginya
sekalian loocianpwee menceritakan kepadaku tentang keadaan
kaum Kang ouw selama ini."
"Bagus, nona, loohu akan menemani kau." Soat kun meraba
bahu adiknya. "silahkan jalan, loocianpwee," katanya.
"Baik, nona," sahut si orang tua, didalam hatinya berpikir: "cocok
benar kakak-beradik ini, yang satu buta yang lain gagu. Entah
jalannya, dia bisa cepat atau tidak..."
Untuk menguji Ban Liang berjalan lebih cepat daripada biasanya.
Ia melintasi rimba, jalan diatas rumput, saban saban, secara diam
diam, ia perhatikan kedua nona. Ada alasan baginya untuk sering
menoleh kebelakang. Hanya sebentar, kagumlah jago tua.
Walaupun dia memegangi bahu adiknya, Soat Kun dapat berjalan
cepat seperti penunjuk jalannya. Tak usah disebutkan si nona bisu,
yang matanya dapat melihat. "Heran," kata jago tua itu didalam
hatinya. "Loocianpwee," kata si nona kemudian, "dengan jalan lekas lekas
begini mungkin kita sukar memperhatikan keadaan disekitar kita..."
Ban Liang menghentikan tindakannya dengan segera.
"Apa nona ingin aku memberi penjelasan tentang letak tempat ini
serta keadaan disekitanya?" dia bertanya.
"Tak usah, loocianpwee, adikku telah melukiskannya."
"oh..." orang tua itu heran hingga ia menatap si bisu.
"Nona," ia bertanya soat Gie saking herannya, "kita berjalan
cepat tapi bagaimana nona bisa memberikan keterangan kepada
kakakmu itu?"
Berkata begitu, mendadak jago tua ini melengak. Tiba tiba ia
ingat bahwa orang gagu, mana bisa dia menjawabnya.
Soat Gie tersenyum, dengan sabar ia menyingkap rambutnya
disamping telinganya.
Mendengar demikian, Soat Kun segera berkata^ "Loocianpwee,
adikku minta tolong ia memberikan jawaban- Sebenarnya adikku
telah memberikan aku segala keterangan dengan jalan sentilan jari2
tangannya kepadaku. " Ban Liang kagum.
Ketika itu diwaktu malam terang bulan, memandang si nona bisu,
jago tua ini bisa melihat tegas Soat Gie cantik, kulitnya halus,
wajahnya manis sekali. Dia tampak lebih menggiurkan karena
rambutnya yang panjang lepas, memain diantara hembusan sang
angin. Kemudian ia berkata^ "Nona, aku tidak heran kamu berdua
dapat berbicara dengan tanda-tanda atau isyarat saja. Yang aku
tidak mengerti ialah bagaimana kamu dapat mengerti satu dengan
lain- Kita toh tidak berjalan lambat lambat hanya cepat cepat..."
"Kami berdua hidup bersama semenjak kecil," berkata soat Kun,
yang mengetahui orang kagum dan heran- "Karena kami masing
masing bercacat, kami mengatur cara tak dapat berhubungan satu
dengan yang lain, kecerdasan kami membantu sehingga kami
mudah saling mengerti seperti berbicara saja." Masih Ban Liang
berkata didalam hatinya:
"Dua bersaudara ini benar benar luar biasa. Sikakak buta tapi ia
cantik dan ototnya kuat sekali, sebab ia berhasil mewarisi
kepandaian kakak Hoan. Si adik juga cantik, tapi ia bisu. Tetapi
diapun cerdas, dia dapat memetakan, atau melukiskan segala
sesuatu hanya dengan gerak gerik jemari tangan. juga heran kakak
Hoan- Dialah seorang tabib pandai sekali, kenapa dia tidak sanggup
menyembuhkan kakak beradik ini" Jika dia tidak mampu, siapa lagi
didalam dunia ini yang dapat mengobati mereka" Sungguh sayang"
Sambil berpikir, Ban liang berjalan terus, tak memperhatikan
letak tempat, guna sinona tuna netra memeriksanya. Di akhirnya
mereka selesai memutari tanah kosong itu, merekapun kembali
ketempat tadi. "Bagaimana pandangan loocianpwee mengenai tempat ini?" Soat
Kun bertanya sambil mengeluarkan sapu tangan untuk menyusut
muka. "Tempat yang sunyi," sahut si orang tua. "Pohonpohonnya
tumbuh kacau dengan semak semaknya disana sini." si nona
tertawa. "Aku setuju tempat ini," ia beritahu.
"Akupun hendak memberikan nama yang menarik hati, ialah
Hong Goan Gi kiong Istana Tegalan Belukar Setuju?"
"Istana Tegalan Belukar" Kho Kong mengulangi kata kata itu Si
nona tertawa pula. Ia berkata manis:
"Ya, pepohonan kacau dan semak semak ini kita pandanglah
sebagai lauwteng, dan dengan tinggal disini, kita berkhayal,
menganggapnya sebagai tempat yang indah, rasa pahit bagaikan
tempat yang manis Tidakkah nama itu cocok?"
"oh begitu seru sipolos.
"Apa benar keponakanku setuju tempat ini?" Ban Liang
menegaskan. "Karena waktunya tak banyak lagi, mungkin sukar mencari
tempat yang terlebih baik daripada ini"jawab sinona.
"Jika begitu baiklah Sekarang silahkan nona perintahkan apa
yang kami harus lakukan."
"Aku berniatan membuat tanah tegalan ini menjadi semacam
kota yang menakutkan, agar orang orang rimba Persilatan tertarik
hati dan mereka pada datang kemari"
"Sungguh ringan sinona ini memandangnya," pikir Kho kong
"Secara mudah tetapi bagaimana harus membuatnya hingga kaum
Rimba persilatan sudi datang kemari?" Walau ia heran, pemuda ini
membungkam, tak berani dia bertanya sesuatu.
Tidak demikian dengan Ban Liang. "Bagaimana kita membuatnya,
ponakanku?"
"Istana Tegalan Belukas mesti dapat orang datangi tanpa orang
bisa pergi lagi, artinya siapa sudah masuk kesini,jangan harap bisa
meninggalkan pula," berkata sinona, tertawa.
"Perbuatannya sangat sederhana. Kita memerlukan beberapa
batang pohon bambu serta beberapa ikat rumput.
Membangunnyapun dengan waktu yang singat sekali."
"Berapa lama waktu singkat itu, keponakanku?" sijago tua tanya.
"Kira-kira dua atau tiga hari."
Jago tua itu menghela napas. "Diwaktu mendengarnya, aku
menyangka itulah sebuah bangunan sangat besar," katanya. "bahwa
kita membutuhkan waktu sedikitnya satu tahun atau lebih..."
Nona Hoan tersenyum. "Sekarang kita jangan lambat lambatan
lagi, mari kita mulai bekerja," katanya.
"Baklah" seru sijago tua, "Tolong kau sebutkan bahan bahan
yang diperlukan"
"Buat sekarang, tolong tebang sejumlah batang bambu serta
mengumpulkan beberapa tumpuk batu, untuk membangun kota
pembelaan dahulu. Nanti baru kita bangun istananya."
Mendengar ketarangan si nona, Kho Kong tertawa dalam hati.
"GUbuk tetap gubuk, bilang saja gubuk, buat apa dipakai nama
yang mentereng" Istana Oey"
Ban Liang mengangguk. Ia berkata pada Siauw Pek. "Saudara
kecil, kau berdiam disini untuk menemani kedua nona. Aku akan
pergi bersama saudara Oey dan Kho."
Siauw Pek mengangguk sambil mengiyakan. "Harap loocianpwee
lekas pergi dan lekas kembali"
Soat kun berpesan. "Jangan khawatir, keponakanku " berjanji
Ban Liang yang segera berangkat. Oey Eng dan Kho Kong turut
orang tua itu Seberlalunya ketiga orang itu, Soat kun duduk mendeprok
ditanah jemari tangannya yang halus menggurat-gurat tanah
didepannya itu. Ia agaknya sedang menghitung-hitung. Siauw pek
pergi duduk ditanah yang berumput.
Belum lama, mendadak saja siputeri malam sinar cahaya yang
indah, hingga sang jagat menjadi gelap.
si anak muda mendongakkan kepalanya melihat kelangit Kiranya
awan hitam menutupi sang rembulan. Ia lalu memikir sang hujan-
"Bila air langit turun, kuyuplah kita semua" pikirnya. "Disini tidak
ada tempat untuk melindungi diri dari air hujan-.."
Dan baru saja ia berpikir begitu, pipi sianak muda sudah
kejatuhan beberapa tetes air hujan, hingga tanpa merasa ia berkata
"baru saja aku akan khawatir akan turunnya hujan, sekarang dia
turun sekali" Ia berpaling kepada soat kun-Nona itu masih sama
menghitung-hitung.
Kisah Pendekar Bongkok 5 Anak Berandalan Karya Khu Lung Kesatria Berandalan 3
^