Pedang Golok Yang Menggetarkan 18

Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen Bagian 18


Hoan Soat Kun, yang senantiasa bersikap tenang, segera
memperdengarkan suaranya yang merdu tapi keras nadanya.
Katanya. "Para suhu, diantara kau ada dua macam orang yang
berlainan sikapnya satu dengan lain Yang satu ialah mereka yang
bercuriga, yang menghendaki soal dibikin jelas, Yang satu lagi yaitu
mereka yang sangat penasaran telah tidak mampu segera membikin
mampus kepada kami. Para suhu, terhadap siapa kata- kata ku ini
kutujukan, pastilah para suhu ketahui sendiri"
Serentak dengan habisnya ucapan si nona maka terdengarlah
suara genta sembilan kali susul-menyusul, suara itu nyaring dan
mengalun jauh, iramanya mengandung irama penyerangan...
Menyaksikan itu, Siauw Pek segera mengambil tindakan. Bersama
sama Ban Liang, Giok. Yauw, Oey Eng dan Kho Kong, ia mengajak
kedua Nona Hoan dan membawa Han In serta ciu ceng kesatu
pojok untuk memernahkan diri, bersiap siap menghadapi sesuatu
bersama-sama. Setelah suara genta itu berhenti, pendopo besar itu kosong dari
para pendeta tak ada satu jua yang tinggal
Ban Liang menghela napas.
"Nona Hoan, apakah tindakan kita sekarang?" tanyanya.
"Setidak-tidaknya kita telah membangunkan kecurigaan para
pendeta Siauw Lim Sie ini," menjawab si nona. "It Tie tak segan
segan berbuat jahat terhadap kita karena ada sesuatu yang
ditakutinya"
"Para pendeta telah meninggalkan pendopo ini, apakah kita perlu
meninggalkan juga?" bertanya pula jago tua itu.
"Paling benar kita jangan sembarang berlalu dari sini," Soat Kun
berkata. "Didalam kuil ini ada banyak aturannya, yang kita tidak
tahu, inilah yang harus dijaga. Pastilah ada pengharapan it Tie
supaya kita, diluar tahu kita, melanggar salah satu aturan itu hingga
para pendeta menjadi gusar dan akan menyerang kita."
"Tapi," Siauw Pek turut bicara, "berdiam lama-lama disini juga
bukannya suatu daya sempurna..."
Nona Hoan berkata sabar^ "Kalau seseorang menghadapi
ancaman bahaya, makin besar ancaman itu mesti dia makin tenang,
Jangan dia menjadi kacau sendirinya."
Sianak muda berdiam, akan tetapi, didalam hatinya, ia berpikir
"Jikalau kita tidak mempergunakan kesempatan pada saat para
pendeta belum selesai dengan segala persiapan-bagi kita untuk
menerjang keluar dari kuil ini, mustahil kita hendak menanti mereka
sudah besiap sedia baru kita menerjangnya ?"
Sementara itu pendopo menjadi sunyi senyap. Hanya ketenangan
itu mirip dengan ketenangan yang lagi menantikan tibanya sang
badai dan hujan lebat.
Dengan muka tertutup calanya, soat Kun menyandarkan
tubuhnya pada sebuah tiang, nampaknya dia tengah memikirkan
daya untuk menghadapi keadaan sulit dan berbahaya itu.
Han In Taysu, yang beberapa lama terdiam saja, terdengar
menghela napas, setelah itu, dia berkata: "Sebenarnya loolap tak
harus campur tangan urusan siecu ini, akan tetapi, tak dapat loolap
menahan hati untuk berdiam saja, dari itu ingin loolap bicara juga.
cuma, kalau sebentar loolap sudah bicara, siecu sekalian suka
dengar atau tidak, terserah kepada siecu sekalian sendiri"
"Ada apakah pemandangan taysu?" tanya soat Kun.
"Sekarang ini, siecu, Siauw Lim Sie telah terpecah menjadi dua
rombongan karena kata kata siecu tadi," demikian ketua Ngo Bie
pay itu. "Su Kay Taysu ternama dan berkedudukan tinggi didalam
Siauw Lim Sie, perkaranya tadi telah menjadikan soal.
Kekuasaannya satu hongthio memang besar akan tetapi disana
masih ada Majelis Tiang lo yang pendapatnya dapat menentangnya
apabila perlu. Demikian andaikata Su Kay Taysu memperoleh
tunjangan Tiang Loo Hwee, majelis para tiangloo itu, dia tak bakal
mendapatkan bahaya apa-apa. Hanya saja, partai yang manapun
juga, adalah tabu bagi orang luar mencampuri urusannya. Tapi
siecu, tadi siecu telah bicara demikian jauh hingga terjadilah
keruwetan ini. Siecu, adakah sesuatu maksud yang terkandung
dalam hati sanubari siecu"
Apakah siecu telah mempunyai pegangan akan dapat
mengekangnya para pendeta Siauw Lim Sie" Kalau tidak. lebih baik
kita keluar dahulu dari sini, untuk membiarkan mereka itu
mendapatkan ketenangan mereka."
Kata yang terakhir itu diucapkannya dengan perlahan sekali.
"Maksud taysu kita harus menyerbu keluar?" sinona tanya.
"Maksud loolap ialah kita mundur dahulu, untuk nanti baru kita
pikir pula bagaimana baiknya."
"Sebenarnya ada sesuatu kekhawatiranku," sinona menjelaskan-
"Kalau kita sekarang mundur, bagaimana andaikata kita dibokong di
waktu malam yang gelap" Aku khawatir It Tie menitahkan orangorangnya,
guna melakukan penyamaran, memegat dan menyerang
kita secara mendadak. Bagaimana kita harus bertindak apabila
terkaanku itu benar?"
Han In mau menjawab sinona tapi ia terpaksa membatalkan
sebab waktu itu terlihat seorang pendeta, yang berjubah warna
abu- abu, yang tangannya mencekal sebatang tongkat panjang
mirip toya, mendatangi dengan tindakannya yang lebar. Hanya tiba
dimulut pintu, dia segera berhenti, sambil mengangkat tinggi
tongkatnya itu, dia berkata nyaring: "Loolap menjadi kam-ih didalam
kuil kami ini, loolap hendak memberitahukan- Tanpa memperoleh
ijin dari hongthio kami, para tamu tak dapat berdiam disini terlalu
lama." Hati Giok Yauw panas, maka juga ia tertawa mengejek dan
berkata: "hei, pendeta bau, baagimana kau hendak banyak lagak"
Kami justru mau berdiam disini. Kami mau lihat apa yang akan kau
perbuat" Nona Hoan hendak mencegah kawan itu tetapi sudah tak keburu.
Mendengar suara nona itu, siauw Pek berkata didalam hati:
"Anak ini telah menggunakan lidahnya yang tajam, tak dapat tidak,
kita tentunya bakal bertempur."
Tapi sungguh diluar dugaan Siauw Pek. Pendeta itu bukannya
gusar, sebaliknya dia menghela napas masgul.
"Pinceng bertugas, tak dapat pinceng menentang perintah,"
katanya perlahan sekali. "Para tamuku, paling baik lekas-lekaslah
kamu keluar dari sini." Walaupun suara itu bagaikan bisikan, toh
terdengarnya tajam sekali.
"Terima kasih, taysu," menjawab Soat Kun yang menghela
napas. Kembali sipendeta itu menarik napas, kembali ia berkata sangat
perlahan^ "Didalam waktu setengah jam ini, para tamu dapat keluar
tanpa halangan apa juga."
Kali ini, habis berkata begitu, tanpa menanti jawaban, pendeta
itu memutar tubuhnya dan berlalu.
"Loolap tahu siapa dia," kata Han in.
"Tahukah taysu kedudukannya?" tanya Soat Kun.
"Dia adalah salah seorang tiangloo. Dia berkata begitu, mesti ada
maksudnya maka tak dapat kita tidak mendengarnya."
"Balkah, mari kita tinggalkan pendopo ini"
"Baiklah mengatur persiapan dahulu, siecu Mungkin diluar
pendopo telah ada orang yang mengawasi kita." Soat Kun berpikir
sejenak. "Tenang taysu," katanya kemudian. "Aku percaya It Tie takkan
berani turun tangan di dalam kuilnya ini."
"Siecu, hari ini hari apa bulan apa?" mendadak ketua Ngo Bie Pay
itu bertanya. Agaknya dia terperanjat karena mengingat sesuatu.
"cit-gwee capsha," sahut Ban Liang.
"cit-gwee capsha" ialah tanggal 13 bulan 7.
Han in Taysu menghela napas panjang.
"Sangat sukar bagi kita keluar dari sini..." katanya.
"Mengapa, taysu?" tanya Nona Hoan heran.
"Kecuali sejak loolap ditawan telah ada aturan baru didalam
Siauw Lim Sie ini," kata Han in, "maka saban tahun mulai tanggal 1
bulan 7 para tiangloo biasa berkumpul dipuncak belakang gunung
Slong San ini, untuk menutup diri selama setengah bulan, baru pada
tanggal 16 mereka keluar gua. Tempat menutup diri itu ialah gua
yang dinamakan Tatmo Tong."
"Kenapa begitu taysu" Untuk apakah penutupan diri itu ?"
"Itulah rahasia mereka kaum Siauw Lim Pay. Loolap ketahui itu
karena kata kata Su Hong Taysu dahulu hari. Baru saja loolap
melihat daun daun pohon mulai bersemu kuning maka barulah
loolap ingat hal ini."
"Ada sangkut paut apakah para tiangloo menutup diri dengan
urusan kita?" tanya Ban Liang.
"Ban siecu telah lama menjelajah dunia Kang ouw, mungkin siecu
pernah mendengar perihal Siauw Lim pay mempunyai tujuh puluh
dua kepandaian silat yang istimewa..."
"Benar."
"Didalam Siauw Lim Sie, walaupun seorang pendeta yang usianya
sudah lanjut, belum pasti ia dapat masuk kedalam Tiang Loo Hwee,
majelisnya yang tinggi itu. Siapa menjadi anggota Tiang Loo Hwee,
sedikitnya dia harus pernah berjasa kepada kuil atau partainya, baik
dalam ilmu sastra maupun dalam ilmu silat. Maka itu para
anggotanya semua berusia lanjut, lihay ilmu silatnya, jujur dan
cerdas. Itulah sebabnya mengapa Tiang Loo Hwee besar
kekuasaannya. Mereka pula berkewajiban memahami terus ilmu
partainya, agar ilmu silat itu dapat diwariskan kepada muridmuridnya..."
"Dengan soal kita keluar dari sini, apakah hubungannya?" tanya
Ban Liang menegaskan.
"Selama para tiangloo berada didalam gua, maka It Tie dapat
melakukan apa sukanya..."
"Jadi taysu mau maksudkan It Tie bakal mengatur perbagai cara
untuk menyerang kita?" tanya si nona.
"Tak tahu loolap It Tie bakal menggunakan cara apa, yang pasti
ialah dia merdeka melakukan segala sesuatu menurut kehendaknya
sendiri. Didalam hal itu. cuma Tiang Loo Hwee yang dapat
mencegahnya."
"Apakah Su Kay dan Su Lut termasuk tiang loo?" tanya siauw
Pek. "Sebegitujauh yang loolap ketahui, mereka benar terhitung
tiangloo."
"Jikalau mereka anggota Tiang Loo Hwee kenapa mereka tidak
berada didalam gua."
"Anggota Tiang Loo Hwee banyak jumlahnya, mungkin mereka
sedang bertugas diluar atau mereka belum pergi ke gua."
Kata kata ketua Ngo Bie Pay itu diakhiri serentak dengan
terdengarnya suara puji. "Amid ha Budha." yang masuk kedalam
pendopo besar itu, iramanya berat dan bergelombang Terang itulah
suaranya banyak orang.
"Siecu," Han in Taysu memperingatkan- "Baik siecu mengirim
seorang yang ilmu silatnya paling tangguh untuk pergi keluar guna
melihat mereka .Jikalau loolap tidak salah menerka, It Tie pasti
sudah melakukan persiapan"
Thio Giok Yauw segera mengajukan diri.
"Nona Hoan, bagaimana kalau aku yang pergi melihat?"
tanyanya. soat Kun berpikir, belum ia menjawab Tapi Han in sudah
mendahului, "Menurut loolap. Nona Thio dapat diberikan tugas itu."
"Kalau begitu, pergilah " ahli pikir itu menitahkan. Giok Yauw
menyahut, segera ia bertindak keluar.
"Tunggu " Nona Hoan mencegah. Giok Yauw menghentikan
tindakannya dan menoleh.
"Ada apakah, nona ?"
"Tak peduli kau menemui urusan atau kejadian apa, aku larang
kau turun tangan " memesan nona tuna netra itu. "Asal kau melihat
sesuatu yang luar biasa, mesti kau segera kembali untuk
melaporkan"
"Jlkalau orang mengejarku, senjata rahasia toh dapat digunakan
?" tanya nona yang nakal itu rada melit.
"Jlkalau bisa, lebih baik jangan kau gunakan.."
Nona Thio mengiakan, terus ia lari keluar. Baru selang sehirupan
teh lamanya, ia sudah lari balik, bahkan segera melaporkan dengan
suara keras: "Kita sudah dikurung "
"Bagaimana cara mengurungnya itu ?" tanya Soat Kun.
"Ditiga penjuru, timur, barat dan utara, terdapat masing masing
lebih dari pada lima puluh orang pendeta, dalam rupa masingmasing
satu barisan, mereka bertindak perlahan kearah kita."
"Bagaimana dengan arah selatan?"
"Disebelah selatan itu jalan terbuka untuk kita, tetapi lewat kiri
setengah lie, dimana terdapat sebuah halaman terbuka, terlihat
telah banyak berkumpul pendeta..."
Mendengar itu, Han In terkejut. "Lo Han Tin" serunya.
"Lo Han Tin" adalah tin, atau barisan rahasia para arhat (Lohan).
Ban Liang terkejut, katanya: "Itulah tin yang sangat terkenal.
Sejak dahulu, belum pernah terdengar ada orang yang sanggup
keluar dari tin itu..."
"Baru satu tin, apakah yang ditakuti?" kata Giok Yau. "Aku tidak
percaya Itutoh cara dengan jumlah yang besar memenangkan yang
kecil, atau banyak lawan sedikit?"
Han in berkata pula^ "Selama beberapa puluh tahun, diantara
kaum Rimba Persilatan ada orang, atau orang-orang, yang merasa
dirinya cerdas, yang memahami cara buat memecahkan Lo Han Tin,
tapi sampai begitu jauh, belum seorang jua yang berhasil dengan
usahanya itu. Menurut apa yang loolap ketahui, kegaiban Lo Han
Tin ialah, keras dia lawan keras, lemah dia lawan lemah, maka juga
tak peduli orang pandai ilmu silat apa, keras atau lemah, semuanya
sukar digunakan didalam tin itu. Dahulu itu Thian Kiam dan Pa Too
kesohor, toh mereka masih tidak berani memandang ringan pada Lo
Han Tin- Siapa yang terkurung didalam tin, cuma ada dua jalan
lolosnya, yang satu ialah meletakkan senjata dan manda ditawan- It
Tie Taysu telah kita beber rencana busuknya. Itulah mengenai nama
baiknya atau kematiannya, dia pasti tidak bakal merasa puas,
tentulah dia hendak mendahului membinasakan kita semua, agar
bukti dan saksi termusnah, sesudah itu, baru dia akan menyisihkan
Su Kay Taysu"
"Itulah rencana yang mudah diterka. sekarang ialah soal
menghadap Lo Han Tin," berkata sinona.
"Masih ada satu penjelasan, siecu. Kegaiban Lo Han Tin baru
terlihat kalau diatur dan dipraktekkan disebuah tempat terbuka."
"Aku mengerti Bukankah taysu menghendaki kita menjaga saja
didalam pendopo ini?"
"Benar. Kegaiban lainnya dari Lo Han Tin ialah dia dapat besar
dan dapat kecil Besarnya dia membutuhkan seratus orang lebih, dan
kecilnya cukup dengan sembilan orang. Dengan begitu, jumlah
tenaga orangnya berbeda jauh tetapi kegaibannya tetap sama
liehaynya..."
Berkata begitu, Han in mengawasi kepintu pendopo.
"Jikalau kita dapat menjaga pintu itu, untuk mencegah mereka
menerobos masuk kedalam pendopo ini, maka Lo Han Tin tak dapat
diandalkan lagi." katanya lebih jauh.
"Mungkinkah kita dapat menjaga pintu pendopo ini buat selamalamanya?"
tanya Ban Liang
"Paling sedikit kita mesti dapat bertahan sampai tanggal enam


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

belas bulan ketujuh itu," berkata Han in. "Sampai waktu itu, mesti
ada yang It Tie takuti dan tak akan berani dia main gila lebih
jauh..." "Jikalau kita sukar lolos, jiwa Su Kay Taysu juga turut terancam,"
berkata sinona, "sekarang kita harus mencari jalan yang sempurna."
"Menurut loolap." kata Han in kemudian- "lebih baik kita bertahan
disini sampai tiba tanggal enam belas itu. cuma..." ia merandak
sebentar, "kalau kita bertahan disini, kita tidak punya barang
makanan untuk melewatkan hari. Dengan menahan lapar dan haus
beberapa hari, tidakkah kita bakal jadi kehabisan tenaga?"
"Bagaimanakah dengan rangsum kering kita"
"Tinggal untuk satu hari lagi," sahut Kho Kong.
"Jikalau begitu, janganlah kita makan puas puasan," berkata
sinona. "Kita pergunakan itu guna bertahan buat beberapa hari."
"Jadi nona sudah pasti hendak berdiam di sini?" tanya Ban Liang.
"Benar!! Han In Taysu mengatakan benar, jangan kita sembronc"
Ban Liang menoleh kepada Siauw Pek.
"Bagaimana pikiran bengcu?" tanyanya.
"Jikalau benar Lo Han Tin demikian lihay, memang lebih baik kita
bertahan disini," sahut ketua itu.
"hanya yang loohu kuatirkan," berkata sijago tua. "Ialah kalau
sampai tanggal enambelas para tiangloo belum juga keluar dari
Tatmo Tong. Kita bertahan disini tanpa hubungan dengan dunia
luar, apakah itu bukan berarti kita menanti kematian?"
"Keadaan kita memang tak menguntungkan," kata soat Kun-
"Partai lainnya tidak bisa kita harapkan, yang bisa membantu kita
melainkan Siauw Lim Sie, tetapi disini kita bentrok dengan it Tie."
"Awas," mendadak Oey Eng berseru perlahan.
"Jangan biarkan mereka menyerbu masuk sehingga mereka
sempat mengatur Lo Han Tin disini " Han in Taysu memperingatkan.
"Aku akan menjaga pintu pendopo," berkata Siauw Pek. yang
segera menghunus pedangnya.
Han in menoleh mengawasisi anak muda. Pikirnya. "Dialah orang
yang termuda disini, mengapa justru dia yang mengajukan diri
untuk tugas paling berat ini" Ban Liang sebaliknya tidak menentang
ketuanya itu. Heran ketua Ngo Bie Pay itu, tetapi ia tak berani berkata apa
apa. Ia melihat di sebelah kiri ada sebuah jendela besar, maka ia
menolak keretanya, untuk menghampiri jendela itu dibawah mana ia
berhenti. Ia berkata^ "Loolap tidak dapat menggunakan kedua
kakiku, loolap menjaga jendela ini saja."
"Jikalau mereka tak dapat menyerbu dari pintu dan jendela, ada
kemungkinan mereka akan mendobrak dinding," kata soat Kun.
"oleh karena itu, tuan-tuan, kalian waspadalah"
Habis itu, Nona Hoan membungkam. Bersama adiknya, ia
memernahkan diri disatu pojok.
Giok Yauw berbisik kepada Ban Liangs "Musuh banyak dan kita
sedikit, kalau nanti terpaksa bertempur tak boleh kita main kasihan
lagi" "Walaupun demikian, nona, jikalau kita masih bisa tidak melukai,
paling baik jangan melakukanya," sahut sijago tua, yang tetap
sabar. "Diwaktu bertempur, jikalau bukan musuh yang mampus,
tentulah kita yang mati," berkata pula sinona nakaL "Karena itu
mana bisa ditentukan dari sekarang kita tak boleh melukai orang?"
"Tambah seorang terluka dipihak Siauw Lim Pay berarti tambah
seorang musuh, maka itu pikiranku ialah jikalau tidak sangat perlu
jangan kita lukai orang, kita harus tetap merasa kasihan-.."
Selagi jago tua itu berkata kata, dimuka pintu sudah terjadi
pertempuran- Disana Siauw Pek menghadang enam, tujuh orang
musuh Mereka itu menggunakan bermacam macam senjata tetapi
mereka terhalang sinar pedang si anak muda. Giok Yauw menoleh
kepada Oey Eng.
"Lihat itu dua orang ang-ie kiamsu" katanya "Mereka tentulah
tidak dapat berkelahi sebagaimana mestinya, apabila musuh
menerjang dan mereka kacau sendirinya, mereka justru bisa
mengacaukan kita. Baiklah kau totok mereka." Oey Eng berpikir
sebentar. "Nona benar juga," katanya kemudian- Dia lalu menghampiri dua
kiamsu itu, untuk menotoknya, sesudah mana mereka pernahkan
disisi pendopo.
Pertempuran dipintu itu hebat. Semua pendeta Siauw Lim Sie
menyerang dengan seru. Biarpun demikian, Siauw Pek dapat
bertahan. Giok Yauw yang memasang mata, melihat jumlah lawan
bertambah, dengan segera mereka itu sudah hitung belasan, lalu
puluhan- Tanpa merasa, ia jadi khawatir untuk siauw Pek.
"Walaupun lihay ilmu pedangnya, dia tetap manusia dengan
darah dan daging," pikirnya. "Bagaimana kalau dia mesti bertarung
terlalu lama" Sungguh berbahaya jikalau musuh menggunakan
siasat bertempur bergantian, dengan selalu menukar tenaga baru..."
Maka ia berbisik kepada Oey Eng, "Bertempur secara begini tidak
dapat dipertahankan "
"Bagaimana nona ?" tanya Oey Eng.
Muka si nona menjadi merah. "Bengcu seorang diri, biar dia lihay,
mana bisa dia bertahan terus kalau musuh main silih berganti?" Si
anak muda melongo.
"Nona benar." katanya. "Tapi siapa kah yang sanggup
menggantikan bengcu ?"
"Memang, kita tak dapat menandingi dia," kata si nona pula.
"Bagaimana kalau kita berdua menggantikannya untuk sementara,
agar ia memperoleh kesempatan beristirahat?"
"Dalam hal ini, nona, kami memang membutuhkan bantuanmu "
"Baiklah kalau begitu" kata si nona. "Marilah kita
menggantikannya."
"Jangan terburu nafsu, nona. Sekarang ini, walaupun dikepung,
bengcu masih sanggup bertahan lagi beberapa lama."
Kata- kata si anak muda dihentikan oleh suara berbisik yang
datangnya dari arah jendela.
Nyatalah disitu, terali jendela sudah digempur rusak oleh seorang
pendeta, yang bersenjatakan golok Kay-too, yang berlompat masuk
kedalam ruang. Serentak pula terdengar juga bentakan Han In Taysu yang
menegur bengis: "Kau menerobos jendela, apakah kau tak takut
nanti membuat Siauw Lim Pay kehilangan muka " Masihkah kau tak
hendak merebahkan dirimu?"
Kata- kata itu diakhiri oleh ketua NgoBia Pay itu dengan
meluncurkan tangan kanannya yang jeriji-jerijinya terbuka
Pendeta itu benar benar mendengar kata, segera dia melempar
goloknya dan terus roboh terkulai diatas lantai
Ban Liang sangat kagum, hingga ia berkata: "Taysu telah disiksa
hingga bercacat hebat dan juga telah dikurung belasan tahun, tak
disangka kepandaianmu Kek Khong Ta hiat dapat terpelihara begini
sempurna" Kepandaian "Kek Khong Ta-hiat" ialah kepandaian "ilmu menotok
ditengah udara kosong", yang mirip "pukulan angin".
"Selama loolap dikurung," berkata Han In Taysu. "Apa yang
loolap hasilkan ialah kesadaranku atas pelbagai macam ilmu silat,
diantaranya ialah Kek Khong Ta hiat ini, yang diperoleh didalam gua
penjara..."
Perkataan pendeta ini dihentikan oleh siuran angin disebabkan
bergeraknya ujung atau tangan baju, yang disusul dengan
berlompat masuknya lagi dua orang pendeta melewati jendela yang
telah dirusak itu, atas mana Han In Taysu kembali meluncurkan
tangannya, maka robohlah kedua penyerbu itu, roboh tak berdaya
seperti pendeta kawannya yang pertama itu
Ban Liang kagum bercampur heran. Pikirnya^ "Pendeta pendeta
siauw Lim Sie itu mungkin bukan orang orang yang sangat liehay,
tetapi dengan sanggup melompat melewati jendela yang setombak
lebih tingginya nyatalah mereka bukan sembarang orang, maka
anehlah Han In Taysu, cuma dengan satu gerakan tangannya saja,
dia dapat merobohkan mereka secara begini mudah. oh, dia tak
dapat dipandang ringan"
Kemudian Seng Su Poan mengawasi keadaan ketiga pendeta,
yang roboh terkulai^ mereka rebah tak berkutik bagaikan orang
tidur nyenyak. Sementara itu Han In Taysu mengawasi pertempuran dimuka
pintu pendopo besar. "Anak muda yang menjaga pintu itu apakah
baik ilmu silatnya?" tanya dia.
"Ya. baik" menjawab Ban Liang. "Dia telah dapat mewariskan
kepandaian Thian Kiam dan Pa Too kedua orang liehay itu,
bagaimana kepandaiannya tidak baik sekali" Didalam Kim Too Bun
kita, dialah yang ilmu silatnya paling liehay" Han In Taysu diam
berpikir. "Tak dapat kamu membiarkan dia hingga dia menjadi letih tak
berdaya," katanya kemudian- "Ingat, pertempuran kita ini adalah
pertempuran yang bakal berjalan berhari hari tanpa hentinya.
Bahkan kesudahannya ini, menang atau kalah, bakal menyangkut
nasib kaum Rimba Persilatan seumumnya..." Ban Liang menghela
napas. "Ah, mungkin cuma taysu sendiri yang dapat menggantikan dia
untuk membela pintu besar itu..." katanya kemudiansementara
itu Giok Yauw campur bicara. Nampaknya dia
bingung. Katanya, "kita tak boleh melukai lawan, mana dapat" Mana
bisa kita hanya menangkis serangan demikian hebat para pendeta
itu?" Berkata begitu, nona itu mengawasi kearah pintu pendopo itu.
Disana sinar pedang telah menguasai seluruhnya. Beberapa puluh
pendeta memenuhi pintu, mereka merangsak Siauw Pek. akan
tetapi, disitu mereka tertahan, sia sia belaka mereka mencoba
mendesak. Mereka terpaksa selalu terpukul mundur:
Han In Taysu terus menonton, baru kemudian dia menoleh pada
nona Thio. "Giok Yauw, mari" panggilnya.
Nona itu tengah mengawasi pertempuran itu, tangan kanannya
mencekal pedangnya erat erat tangan kirinya menggenggam jarum
rahasianya. Dia selalu waspada. Telah dia pikir, asal Siauw Pek
keteter, dia akan menyerang, guna mencegah majunya musuh, buat
membantu si anak muda ketuanya itu.Justru itu ia mendengar suara
gurunya, ia bagaikan sadar dari tidurnya.
"Ya, suhu" sahutnya seraya terus lari menghampiri guru itu. "Ada
perintah apa, suhu?"
Walaupun didalam waktu sangat pendek dan secara sangat
kebetulan, dua orang itu Han In Taysu dan Giok Yauw telah
mengakui diri masing masing sebagai guru dan murid. "Apakah kau
masih ingat Liong Kiam Hong ciang?" tanya sang guru.
"Selama beberapa hari, asal ada kesempatan, selalu teecu
memahamkan itu," sahut sinona, "karenanya, tak akan teecu
lupakan" "Bagus" berkata guru itu. "Sebentar, kalau anak muda itu
beristirahat, kaulah yang menggantikannya bertahan"
Giok Yauw melengak. "Apakah teecu sendiri saja, suhu?"
"Ya Asal kau benar ingat baik baik Liong Kiam Hong ciang, tak
sukar buat kau menghadang kawanan pendeta Siauw Lim Sie itu"
Tiba tiba terdengar bentakan gusar dari Ban Liang.
"Apakah yang bagus untuk ditonton?" Menyusul mana dia
berlompat sambil tangannya dipakai menghajar.
Itulah seorang pendeta, yang merayap naik dijendela, dimana dia
nongol dengan hanya tampak kepalanya saja. Ketika dia dibentak
dan diserang, dia meluncurkan tangannya untuk menyambut
serangan itu. Segera setelah kedua tangan beradu, si pendeta terpental
mundur, jatuh ketempat dimana tadi dia memanjat, sedangkan
Seng Su Poan tertolak mundur dan jatuh mumprah ditanah.
Tatkala itu suasana dimuka pintu mengancam hebat, hingga Oey
Eng dan Kho Kong telah menggeser diri kesisi pendopo itu, bersiap
sedia membantu Siauw Pek selekasnya sianak muda membutuhkan
bantuan- Mereka terperanjat terdengar suara orang jatuh terduduk,
apapula kapan terlihat yang jatuh itu ialah Ban Liang. Oey Eng
berlompat, lari menghampiri.
"Apakah loocianpwee terluka?" tanyanya prihatin, kedua
tangannya diulur, guna memimpin bangun orang tua itu. Ban Liang
bergerak bangun.
"Tidak apa apa " sahutnya.
"Awas" terdengar teriakan Han In Taysu.
Beberapa bayangan pendeta, yang tentunya lihay ilmu silatnya.
Sejarak satu tombak mereka menaruh kaki mereka dilantai.
Melihat itu, Han In Taysu berkata^ "Pergi kalian menjaga dipintu,
loolap akan menjaga jendela ini " Menyusul kata katanya, beberapa
kali dia menyerang dengan Kek Khong Ta hiat kearah jendela.
Hebat serangan jago ^goBiePay ini, anginnya menghembus
keras. Segera terdegnar dua kali. "Aduh" tertahan. Teranglah dua
orang musuh sudah kena terhajar.
Giok Yauw sementara itu melihat tiga orang pendeta berada
ditengah pendopo. Mereka mengenakan baju pendek serta celana
panjang dan senjatanya semua golok Kay-too. Ia membentak
mereka itu sambil maju menghampiri.
Ban Liangpun melihat ketiga pendeta itu, ia kisiki Oey Eng.
"Paling dulu mereka itu harus dibereskan, supaya kawan kawan
mereka tak keburu datang membantunya"
Ketika Giok Yauwpun maju, ketiga pendeta memecah diri kekiri
dan kanan, tinggal yang ditengah, yang terus menyambuti nona itu,
pedang mana dia tangkis.
JILID 36 Tanpa bersuara, Oey Eng menyerang pendeta yang dikanan,
karena Ban Liang telah menerjang yang dikiri.
Ketiga pendeta itu adalah jago jago dari Tatmo Ih, dengan golok.
mereka menyambut serangan. Nampak mereka dapat bertahan
dengan baik. Soat Kun, yang telah dikisiki Soat Gie, lalu mendengarkan suara
nyaring: "Melihat suasana ini, karena terpaksa, tak dapat kita tidak
dapat melukai orang Maka itu, para hu hoat, turun tanganlah kalian,
robohkanlah beberapa diantaranya "
SerentakBan Liang mendengar suara sinona segera dia mundur
satu tindak. Ketika tadi dia jatuh mendeprok, dia merasa
kempolannya nyeri, gangguan itu membuanya kurang leluasa
bergerak, lebih lebih sebab adanya larangan jangan melukai lawan-
Sekarang si nona memberi kemerdekaan, dia tak mau merem diri
lagi. Maka dia lalu bersiap. setelah mana segeralah tangannya
diluncurkan. Itulah satu jurus dari Ngo Kwie souw Han ciu, ilmu silat
Tangan Lima Hantu Membetot Sukma, yang dipahami dan dilatihnya
puluhan tahun selama dia menyekap diri didalam gunung yang
sunyi. Pendeta yang dikiri tertawa dingin ketika melihat orang
meluncurkan tangan terhadapnya, tidak ayal lagi dia menggerakkan
goloknya untuk menyambut dengan satu tabasan, akan tetapi baru
goloknya bergerak tiba tiba dia sudah merasai nyeri pada dadanya
dan hawa dingin meresap masuk kedalam tubuhnya, hingga dia
menjadi kaget sekali. Tak sempat dia berkelit atau membataikan
gerakan goloknya, golok itu dengan sendirinya mendahului lepas
dari cekalannya dan jatuh kelantai, menyusul mana tubuhnya juga


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

turut roboh setelah dia limbung dua tindak karena tak sanggup
memasang kuda kuda guna mempertahankan diri.
Han In Taysu melihat ilmu silat kawan itu, dia heran, hingga dia
bertanya perlahan: "Saudara Ban, ilmu silat apakah itu" "
"Malu menyebutnya," sahut sijago tua perlahan. "Inilah Ngo Kwie
souw Hun ciu."
"Apakah itu meminta jiwa" " tanya Han In pula.
"Telah loohu mengira ngira tenagaku, kali ini tak akan sampai
meminta jiwa." sahut pula sijago tua itu.
Giok Yauw sibuk sendirinya melihat Ban Liang mendahului ia
merobohkan lawan, maka segera ia mendesak keras. Dua kali ia
menikam membuat lawan terpaksa mundur saking repot menangkis.
Justru itu karena ia mendapat angin ia segera menyerang dengan
tangan kirinya.
Dalam terdesak itu, si pendeta terkejut melihat bayangan tangan
didepan mata. Ia bingung hingga dia tidak tahu bagian mana harus
menangkis atau menghindar diri. Diapun mesti melayani pedang si
nona. Hingga tahu tahu lengan kanannya telah kena terhajar,
sampai tangan itu kaku, dan goloknya pun terlepas sendirinya jatuh
kelantai Giok Yauw tidak memberi kesempatan, tangan kirinya
diulangi, dipakai menyerang. Di kerepotan itu, dalam bingungnya,
sipendeta masih mencoba menangkis Itulah gerakan lawan yang
dikehendaki si nona.
Ia memang lagi menggunakan "Hong ciang" tipu silat "Tangan
burung hong" yang baru ia peroleh dari Han In Taysu. Ia
menangkap tangan lawan, menyusul mana sikutnya mampir juga
diiga sipendeta, menotok jalan darah diantara rusuk. Tidak ampun
pula. robohlah pendeta dari Siauw Lim Sie itu Dengan robohnya dua
pendeta, tinggal1ah pendeta yang ketiga yang dilayani Oey Eng.
Ilmu pedang pemuda itu memperoleh kemajuan setelah dia
dapat petunjuk Soat Kun, di dalam waktu yang pendek. berhasil
sudah ia mengurung lawannya itu.
Karena sang sore lagi mendatangi, pendopo mulai guram, hingga
sinar pedang tampak berkilauan-Hal itu membuat keki hatinya
sipendeta, pertama kedua kawannya sudah roboh, kedua pedang si
anak muda senantlasa mengancamnya. Satu kali dia gugup,
lengannya segera tergores ujung pedang, syukur dia masih bisa
berkelit, hingga hanya jubahnya saja yang robek.
Oey Eng tidak mau berhenti, dia mendesak. Tiga kali dia dan
menebas. Sipendeta repot, tiga kali dia mundur terus terusan-
Menyaksikan demikian, Han In Taysu meluncurkan tangannya
kearah pendeta yang sudah kelabakan itu, tepat ia menotok jalan
darah hoan tiauw dirusuk lawan-Justru itu, Oey Eng pun
mengancam lengan orang.
Karena repot, lengan sipendeta itu terkena belakang pedang,
sehingga golokpun terlepas, menyusul satu totokan Oey Eng, dan
roboh. Maka habislah riwayat enam pendeta itu.
Ban Liang mengambil kesempatan memandang Nona Hoan-Ia
mendapatkan nona itu duduk menyandar di dinding mukanya
menghadap kemedan pertempuran pintu pendopo. Agaknya dia tak
menaruh perhatian, atau tak merasakan sesuatu.
"Entah apa yang dipikirkan si nona yang hatinya sulit diterka itu."
pikirnya. "Kenapa dia nampak tak pedulian" "
oleh karena ia merasa kurang aman jikalau ia tidak utarakan apa
yang ia pikir, jago tua itu minta kawan kawannya datang
kepadanya. Ia berkata ingin bicara sedikit.
Jago tua ini dihargai selain usia tuanya juga karena dia liehay dan
banyak pengalamannya Begitulah maka orang menghampirinya.
"Menurut penglihatanku," kata sijago tua kemudian, "rupa
rupanya penyerangan besar dari kawanan pendeta ini bakal
dilakukan diwaktu malam..."
"Itu benar" berkata Oey Eng.
"Dan juga ," berkata lagi si orang tua, "walaupun kita dapat
menjaga pintu dan jendela masih ada satu jalan lain yang lawan
bisa ambil, ialah jalan menggempur dinding tembok" Berkata begitu,
Ban Liang tertawa tawar.
"Maka itu," ia menambahkan, "selekasnya sang malam tiba
musuh akan segera menyerbu hebat, hingga pertempuran bakal
kacau sekali..."
"Bila pertempuran itu sampai terjadi," Giok-Yauw turut bicara.
"tidak dapat tidak^ terpaksa kita mesti melukai dan merampas jiwa
orang." "Memang sampai waktu itu, sulit untuk kita membatasi diri lagi,"
demikian Ban Liang yang serupa pendapatnya dengan pendapat si
nona. "Dengan begitu bukankah bentrokan kita dengan pihak siauw Lim
Sie menjadi hebat sekali," tanya Kho Kong.
"Tidak ada jalan lain. Memang tidak ada sesuatu yang lengkap
dua-duanya..."
"Mengapa kita tidak mau menanyakan petunjuk Nona Hoan"
mungkin ia mempunyai da apa-apa..."
Ban Liang menggeleng kepala.
"Buat sementara tak usah kita menanyakannya..." katanya.
"Nanti malam kita mesti memasang telinga dan memusatkan
perhatian kita benar benar, kita mesti mengenal baik keadaan ruang
ini, supaya tak sampai gerak gerik kita terhalang..." Oey Eng
berpaling kepada Soat Kun dan ciu ceng. "Bagaimana dengan kedua
Nona Hoan dan ciu ceng" " tanyanya.
"Ini dia kesukaran kita," berkata sijago tua. "Sudah tenaga kita
sedikit, disamping membela diri, kitapun harus melindungi nona
nona serta Oey Ho ciu Loo itu. Pula pertempuran di waktu malam..."
"Jumlah kita enam orang," Giok Yauw turut bicara, "kecuali yang
menjaga pintu dan jendela, sisa kita tinggal empat. aku pikir kita
berempat gilir saja, bergantian bertempur serentak melindungi nona
nona itu dan ciu ceng bertiga..."
"Itulah sebabnya maka sekarang aku ingin berunding dengan
kalian," kata Ban Liang. "Kita bicarakan bagaimana kita harus
menentang serbuan-"
"Baagimana pendapat looCianpwee" " tanya Oey Eng.
"siauw Lim Sie mempunyai Lo Han Tin, tak usah kita bicarakan
lagi," berkata jago tua itu. "Bukankah Ngo Bie Pay juga mempunyai
barisan istimewa semacam itu yang dinamakan Ngo Heng Kiam Tin"
Bukankah kalian pernah mendengarnya" "
"Bagaimana, apakah kita melawan musuh dengan tin itu" " tanya
pula Oey Eng. "Itu bukanlah maksudku seluruhnya. Mana mampu aku
membangun tin itu" Pula, bagaimana mungkin tin itu dapt dibangun
dalam waktu sependek ini" Hanyalah, karena ingat Ngo Heng Tin,
loohu jadi ingat suatu cara pembelaan diri..."
"Apakah itu, loocianpwee" " tanya Kho Kong.
"Loohu pikir kapan serbuan datang, kita masing-masing
mengambil suatu tempat tempat tertentu. Secara begitu disamping
kita menentang, kita pun bisa saling toling dimana perlu. Jangan
kita tinggalkan kedudukan kita masing-masing kecuali ada yang
terluka parah."
"Dayaini baik juga ," kata Oey Eng setuju
"Kalau begitu, jangan berayal lagi," berkata Ban Liang. "Mari kita
mulai mengatur diri"
Kemudian mereka itu memilih tempat ciu Ceng digotong
kesamping kedua Nona Hoan-Ketika itu Han In Taysu dengan
rodanya menghampiri.
"Apakah pemuda didepan pintu itu masih sanggup bertahan" "
tanya dia. Pendeta ini heran sebab siauw Pek belum pernah dipukul
munduroleh musuh. Iapun heran menyaksikan bagaimana sinar
pedang selalu menghadang penyerbuan kawanan pendeta yang
banyak jumlahnya itu. Tak pernah ada jago Siauw LimSie yang
sanggup menerobos rintangan pedang itu
"Luar biasa" katanya seorang diri. "Sungguh mengherankan"
"Suhu, apakah kata suhu" " tanya Giok Yauw.
"Aku heran karena melihat anak muda yang bertahan dimuka
pintu itu," sahut sang guru. "Kenapa dia dapat bertahan begitu
lama" Sampai sebegini jauh, dia belum pernah mendapat
kesempatan untuk beristirahat" Mendengar pertanyaan itu, sang
murid tersenyum.
"Mengenai dia, tidak ada yang aneh, suhu," katanya sabar.
"Tenaga dalamnya luar biasa mahir, seperti mahirnya ilmu
pedangnya..."
"Dia toh belum berusia dua puluh tahun" " tanya guru itu.
"Belum..." menjawab si nona, yang merandak dengan tiba tiba,
sedang kulit mukanya menjadi memerah dan terasa panas. Ia insyaf
bahwa jawabannya terlalu cepat...
"Karena dia belum berusia dua puluh tahun, tak mungkin tenaga
dalamnya demikian mahir," berkata pula ketua Ngo Bie Pay itu,
yang tetap heran. "Aku lihat dia melulu mengandalkan ilmu
pedangnya itu. . . " ^
"Jikalau dia cuma mengandalkan ilmu pedangnya, walaupun ilmu
pedangnya luar biasa, dapatkah dia bertahan lebih lama pula" "
tanya Ban Liang.
"Sebegitu jauh yang loolap tahu, itulah sulit."
Mendengar jawaban si pendeta, Ban Liang berkata didalam
hatinya: "Han In Taysu belum tahu siapa Coh Siauw Pek, pada saat
seperti ini, baiklah aku tak menjelaskan dahulu tentang dirinya..."
Maka ia lalu berkata: "Tapi dia dapat bertahan sampai begini
lama..." Kata kata itu terputus dengan tiba tiba. Inilah disebabkan tampak
dua orang pendeta berhasil meloncati jendela, beruntun mereka tiba
ditempat dimana tadi enam orang kawannya kena dirobohkan.
Mereka masuk dari tempat terang ketempat gelap. setibanya
didalam tak leluasa mereka melihat depan dan sekitarnya, bahkan
mereka tidak melihat juga pihak lawan-Han In Taysu segera
melanjutkan tangan kanannya, menyerang dengan sangat sebat,
sebelum lawan tahu apa apa, lawan itu yang masuk lebih dahulu
segera tertotok roboh Thlo Giok Yauw menghajar musuh yang
masuk belakangan-Punggung sipendeta yang menjadi sasarannya.
Dengan mengeluarkan suara nyaring, pendeta itu roboh tersungkur
seperti kawannya dan tak bangkit pula
"Suhu, bagaimana tanganku ini" " tanya si nona, tertawa, pada
gurunya. "Sebat cukup bahkan lebih tetapi tenagamu kurang," sahut Han
in Taysu. "Kau kurang ketenangan."
Ban Liang heran dan kagum.
"Ditempat begini gelap pendeta ini masih dapat melihat pelbagai
gerakan orang, dia hebat" pikirnya. "Rupanya itu disebabkan tenaga
dalamnya telah mencapai puncak kemahiran-Han in liehay, dia
terkurung beberapa tahun didalam gua yang gelap. tidak heran
kalau matanya awas luar biasa. Didalam keadaan seperti dia,
sekalipun bukan ahli silat juga pasti bisa melihat lebih baik daripada
orang biasa."
KemudianBan Liang menghampiri pendeta tua itu Katanya: "pada
saat mati hidup seperti ini, baiklah taysu yang memegang pimpinan.
Coba taysu cari suatu daya untuk menolak lawan-.."
"Ini tak berani loolap terima," sipendeta menampik.
"Jangan segan segan taysu," Ban Liang membujuk. "Waktunya
sudah singkat sekali"
"Baiklah kalau begitu," sahut sipendeta.
"Kami semua bersedia untuk menerima perintah," Ban Liang
memberitahukan-"Setelah beberapa orangnya yang melompati
jendela itu gagal, mungkin pihak lawan tak akan berani mengulangi
penyerbuan semacam itu lagi," berkata Han in-"Buat sementara,
bagianjendela sudah aman, walaupun inilah ketenangan sesaat saja
dimuka badai. Terang pihak Siauw Lim tidak mudah melepaskan
kita, bahkan sebaliknya, dia akan menyerbu pendopo besar ini
dengan menggunakan tenaga jago jagonya. Jikalau kita tertumpas,
mereka dapat menggunakan alasan bahwa perbuatannya itu untuk
melindungi keselamatan jiwa ketua mereka. Loolap pula percaya
pertempuran hebat akan terjadi malam ini..."
"Didalam satu pertempuran tak dapat orang bebas dari ancaman
terluka atau terbinasa," berkata Giok Yauw, "takada daya untuk
mencegah itu"
"Cumalah, kalau bisa, sebisanya kita harus menghindarkan itu..."
kata sang guru, yang tetap sabar. Ia memandang Ban Liang,
kemudian melanjutkan kata katanya^ "Loolap setuju dengan
perkatanmu bahwa jumlah kita sedikit dan tak dapat menggempur
musuh mati matian bahwa kita harus menggunakan akal. Maka itu
sekarang loolap menghendaki tindakan kita sekarang ialah kita
memisahkan diri satu kaki dari lain tetapi jaraknya cukup dekat
untuk kita bisa saling membantu. Yang penting adalah menjaga
supaya musuh jangan berhasil menyerbu kedalam toan tin..."
"Yang sukar yaitu kalau musuh tak menyayangi pendoponya ini
dan rela mereka menggempurkannya..." Ban Liang meng utarakan
kekhawatirannya.
"Jikalau mereka sampai menggempur, itulah soal lain-Sekarang
ini pintu pendopolah yang paling penting, jangan pintu itu sampai
tak dapat dipertahankan. Untungnya bagi kita jago jago utama dari
Siauw Lim Sie tengah menutup diri, hingga tinggal konco-konco It
Tie saja, Loolap percaya tadi kata-kata Nona Hoan tentu telah
menyadarkan mereka. Yang bagus ialah kalau kita bisa melayani
lawan satu demi satu."
"Itulah tak mungkin, suhu," kata nona Thic "Mereka pasti akan
mengepung "
"Apakah yang kiranya taysu khawatirkan" " tanya Kho Kong.
"Ialah seandainya mereka sempat membangun Lo Han Tin
didalam pendopo ini. Untuk itu, mereka harus dapat menerobos
sedikitnya lebih dari sembilan orang. Seperti loolap telah bilang,
pintu pendoponya adalah yang utama."
"Nah, sekarang baiklah taysu segera mengatur kami," kata Ban
Liang. Han in sudah tahu letak pendopo itu, ia lalu mengatur^ "Saudara
Ban, tolong kau menjaga jendela. Saudara Oey bersama Giok Yauw
harus siap sembarang waktu membantu sianak muda menjaga pintu
pendopo. Saudara Kho, tolong kau memasang mata kesegala
bagian, andai kata benar musuh menggempur tembok. segera kau
memberitahukan kami semua. Loolap akan berdiam ditengah untuk
membantu kesegala bagian."
"Andaikata musuh meluruk dipintu dengan jumlah yang besar,
bagaimana" " tanya Ban Liang. "Bagaimana kita harus mundurnya"
" "Dengarlah isyarat siulan loolap."
"Baik, taysu."
Han In menghela napas melegakan hatinya.
"Sementara musuh belum menyerbu, baik kita istirahat
sebentar," katanya pula, kemudian-"ingat, kita berkelahi bukan
melulu untuk membela diri tapi juga untuk kesejahteraan Rimba
Persilatan seumumnya, buat melindungi sibenar dari sisesat. Kita
harus bertahan dari rasa lapar selama tiga hari dua malam." Habis
berkata itu, pendeta itu memejamkan matanya.
Giok Yauw lalu menoleh kepintu besar. Pertempuran disitu telah
berhenti sendirinya. Sambil siap siaga dengan pedangnya, Siauw
Pek lagi berdiri dimuka pintu itu. Lega hati nona ini. Dengan


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perlahan ia bertindak menghampiri sianak muda.
"Lihatkah kau" " tanyanya perlahan, lemah lembut. "Berapakah
banyaknya pendeta pendeta yang mengepung kau" " Siauw Pek
menoleh sambil tersenyum.
"Mereka terdiri dari tiga rombongan, datangnya bergantian,"
sahutnya. Jumlah mereka diatas tiga puluh orang."
"Jadinya setiap rombongan terdiri dari belasan orang." Siauw Pek
mengangguk. "Ah" sinona kagum. "Seorang diri kau bisa melayani demikian
banyak musuh, kalau nanti dunia luar mengetahui pertempuran ini,
pasti itulah bahan pembicaraan yang menarik hati yang bakal tersiar
luas. "ilmu pedangku memang mengutamakan pembelaan diri,"
menerang kan sianak muda. "Beruntungnya mereka menyerang dari
depan, hingga aku tak usah khawatirkan serbuan dari belakang.
Inilah yang menyebabkan aku dapat bertahan begitu lama."
Memang makin sering Siauw Pek bertempur, makin baik baginya.
Baginya pertempuran berarti semacam latihan dan penambahan
pengalaman-Baik tenaga dalamnya maupun ilmu pedangnya akan
terus bertambah tangguh dan mahir sendirinya.
"Bagaimana keadaan kalian didalam" " kemudian sianak muda
balik bertanya pada sinona.
"Musuh tidak hanya menyerang dari pintu tapi juga dari jendela,"
Giok Yauw terangkan. "Hanya serangan dari jendelapun menemui
kegagalan. Setiap musuh yang lompat memasuki jendela telah kena
kita totok roboh."
"Dari tiga rombongan penyerbu tadi," siauw Pek menerangkan
lebih jauh. "yang pertama menyerang hebat sekali, yang dua
lainnya itu mayan saja. Rupanya mereka tengah menggunakan
siasat. Aku duga sebentar lagi, setelah jauh malam, mereka bakal
menyerang pula secara hebat."
"Benar terkaanmu Suhupun menduga demikian." Siauw Pek
menghela napas.
"Kalau mereka mengajukan jago jago mereka inilah sulit,"
katanya. "Tak mudah untuk mencegah serbuan mereka itu jikalau
tidak melukainya. Bagaimana dengan nona Hoan, apakah tak ada
petunjuknya" "
"Mereka itu aneh, hingga tak dapat kami menerimanya,"
menjawab Giok Yauw. "Mereka memernahkan diri dipojok sana,
keduanya duduk bersila dengan berdiam saja, bagaikan orang
tengah tidur pulas. tempat sebegitu jauh mereka seperti tak
menghiraukan pertempuran pertempuran yang tadi itu."
"Begitu" " sianak muda mengulangi, heran-
"Benar," sinona mengangguk. "Ban Loocianpwee bersama dua
saudara Oey dan Kho tidak berani menyapa, karena itu, aku juga
berdiam saja..."
"Bagaimana dengan Han In Taysu" "
"sekarang ini suhu yang memegang pimpinan."
"Aneh " kata Siauw Pek.
"Memang aneh Kau menjadi bengcu, kau berhak menanyakan
kepada Nona Hoan-"
Kata kata sinona terputus dengan tiba tiba. Mendadak saja
terdengar anginnya benda logam warna kuning emas yang
meluncur keatas. Diantara sinar sang bintang, terlihatlah sebuah
cecer. Itulah hui-poat, cecer terbang, senjata It Tie Taysu.
"Nona lekas mundur" Siauw Pek berkata. "Mereka segera bakal
mengulangi penyerangan mereka "
Giok Yauw mengerti suasana, segera ia lari kedalam pendopo
sambil berkata nyaring: "Berhati hati terhadap cecer terbang musuh.
Cecer kuningan itu aneh gerak geriknya "
"Jangan takut, nona" kata Siauw Pek. "Terima kasih untuk
kebaikanmu" Justru itu, huipoat datang menyambar.
siauw Pek menyambut dengan satu tabasan, ia terkejut. Kedua
senjata bentrok tak tepat, cecer itu molos kebawah, menyambar
lengan Bukan main heran sianak muda.
"Entah senjata apa ini" " pikirnya. Dengan sebat ia menghunus
goloknya, dipakai menghajar. Dengan pedang panjang, tak merdeka
ia melayaninya.
Terkena golok. cecer itu lolos kekanan, mencelat kearah pintu.
Maka disitulah dia nancap tak bergeming lagi "Hebat" kata Siauw
Pek didalam hati saking kagumnya.
Tapi tak sempat ia berpikir lama. Diluar pendopo, sejauh lima
tombak lebih, terlihat sinar api terang-terang. Itulah api dari empat
buah obor. Dari dalam pendopo segera terdengar suara nyaring dari Han in
Taysu: "Siap Waspada Musuh akan segera menyerang "
siauw Pek memasang mata kedepan. Dibelakang obor-obor itu
tampak beberapa rombongan pendeta. Mereka itu, setiap
rombongan kita kita duapuluh orang anggota. Semua obor diangkat
tinggi-tinggi. Setelah mengawasi beberapa lama, ketua Kim Too Bun melihat
lebih tegas bahwa rombongan itu terbagi empat dan rombongan
yang sebelah kiri maju langsung kepintu pendopo toa tin-ia pun
mengenali It Ceng. Maka tahulah ia penyerang ini dilakukan oleh
saudara seperguruan It Tie yang terpercaya oleh si ketua partai.
insaftah ia bahwa pertempuran bakal jadi hebat. Bahwa tak benar It
Ceng berangkat ke Ngo Bie San guna memanggil Hoat Ceng.
pemuda menggunakan tangan kirinya memasukkan Pa Too,
golok ampuhnya kedapam sarungnya.
ooooooo Hanya sebentar, It Ceng sudah bagaikan mengurung pintu
toatian. Pendeta-pendeta yang membawa obor, dari depan barisan
lari kebelakang dimana mereka mengangkat tinggi tinggi obornya
itu. Diam diam siauw Pek menghitung jumlah rombongan yang
pertama ini. Bersama sipembawa obor, mereka terdiri dari dua
puluh tujuh orang. Karena itu, jumlah empat rombongan ialah
seratus delapan jiwa.
Tiga rombongan yang lain segera memernahkan diri ditimur,
utara dan barat. Dengan begitu, toa tian jadi sudah terkurung rapat.
Empat buah obor yang besar, menyala menerangi sekitar mereka
semua. Dengan pedang ditangan kanan dan ditaruh didepan dada, Siauw
Pek berdiri tenang ditengah-tengah pintu, romannya keren.
Tibalah saatnya It Ceng maju kedepan pintu. Dia segera
memperdengarkan suaranya yang dingin. "Siecu, buat sementara
kamu menduduki toatian kami. Perbuatan kamu ini merusak muka
terang kami kaum Siauw Lim Pay sekarang pinceng buat
menyampaikan peringatan yang terakhir. Jikalau kamu tidak segera
meninggalkan pendopo ini, tak ampun lagi, kamu bakal ditumpas
habis" Siauw Pek berlaku sabar ketika ia memberikan jawabannya.
"Kami datang kemari dengan memakai aturan yaitu dengan lebih
dahulu mengirim kartu nama, bahkan juga dengan beruntun
menerobos tiga lapis penjagaan, karena kami telah diterima
menghadap ketua kamu, sudah selayaknya kami disambut dan
diperlakukan sebagai tamu tamu terhormat. Tapi kamu menentang
Rimba Persilatan, bukan saja kamu tidak sudi menyambut secara
hormat, kamu juga secara kasar sudah menghina kami. Apakah
dengan begitu, kesalahan berada dipihak kami" " It Ceng tertawa
dingin. "Sudah sejak beberapa ratus tahun, kuil kami tidak pernah
menerima orang perempuan" sahutnya ketus.
"Kami datang kemari tanpa penyambutan, bahkan kami dipaksa
menggunakan kekerasan mencoblos beberapa lapis penjagaan kuat
dari kamu, adakah itu aturan dari siauw Lim Sie" " tanya siauw Pek
pula. "Jikalau aturan kamu memang satu rupa, sudah selayaknya
kamipun diterima dengan baik" It Ceng kalah bicara.
"Pinceng cuma sedang menjalankan perintah" katanya keras.
"Pinceng diperintah mengusir tuan-tuan berlalu dari kuil ini. Tidak
ada waktu bagiku untuk kita mengadu bicara "
"Jikalau kami tidak mau pergi," tanya Siauw Pek.
"Terpaksa kami akan menggunakan kekerasan, walaupun dengan
cara pembunuhan" menjawab pendeta itu. "Jikalau sampai sangat
terpaksa, ini rusak musnah" Siauw Pek tertawa dingin.
"Taysu" katanya, sungguh sungguh, "jikalau kamu berkalu sangat
keterlaluan maka malam ini aku khawatir tak bakal luput dari
pertumpahan darah hebat" Pendeta itu mengerutkan alisnya.
"Pinceng telah memberi nasehat secara baik. jikalau siecu tidak
mau menerima ya, apa boleh buat, tidak ada jalan lain "
"Aku juga telah memberi nasehat kepada taysu," siauw Pek
menjawab. "Jikalau taysu membawa adat sendiri dan tak sudi
menerimanya, itulah berarti bahwa kami dipaksa mesti mengadu
jiwa untuk melindungi diri hingga terpaksa kamu juga mesti
menurunkan tangan jahat."
It Ceng gusar, hingga dia berseru bengis. "Siecu tidak sudi
dengar nasehat baik, jangan heran jikalau pinceng berlaku kurang
ajar" Menutup suaranya itu, pendeta ini menggerakkan tongkatnya
menyerang si anak muda. Dia menggunakan tipu silat "Tay Sang Ap
Teng" atau "GUnung Tay San menindih kepala. Tongkatnya itu dari
atas turun kebawah.
Sebagai pendeta dari golongan It (Satu), dapat dimengerti It
Ceng lihay dan tenaganya besar lagi teratur.
Siauw Pek menyingkir dari hajaran hebat itu, sambil berkelit
pedangnya diluncurkan untuk menabas lengan kanan si pendeta.
It Ceng melihat sinar pedang berkelebat, dengan sebat ia
menarik kembali tongkatnya, yang panjang mirip toya. Ia juga
berlompat mundur lima kaki, bersiap sedia andaikata lawan terus
mendesaknya. Tapi ia bukan mundur guna menyelamatkan diri,
karena senjatanya panjang, sambil mundur dia menghajar
mendatar, mengarah pinggang lawan Siauw Pek tidak menangkis, ia
hanya berkelit dari pukulan maut itu, begitu berkelit, begitu ia maju
pula sambil menikam. Ia tidak mau memberi kesempatan lawan
menyerangnya terus hingga berulang ulang.
Adakah maksud It Ceng berlaku bengis untuk mendesak Siauw
Pek mundur dari muka pintu, supaya ia bisa mengajak
rombongannya menyerbu masuk kedalam pendopo itu. Iapun
mengandalkan tongkatnya, yang termasuk senjata berat, guna
menggempur pedang lawan yang terhitung senjata ringan-Tetapi
tidak dapat ia mewujudkan rencananya itu. Bahkan ia menjadi repot
melayani pedang sianak muda.
Saking serunya, tanpa terasa, mereka sudah bertarung selama
dua puluh jurus, selama mana tak hentinya mereka saling
menyerang. Rombongan It Ceng telah siap sedia untuk menerjang masuk
kedalam toatian, mereka tidak sabar menyaksikan lawan
menghadangnya demikian hebat. Dua orang pendeta menjadi habis
sabar, tanpa perintah dari It Ceng, tanpa memberi isyarat lagi,
sudah berlompat maju untuk menyerang Golok Kaytoo dan tongkat
sianthung mereka turun dengan serentak.
It Ceng membiarkan orang membantunya, dengan begitu mereka
mengepung bertiga. Walaupun jumlah musuh menjadi tambah, tak
dapat mereka itu mendesak si anak muda. Bagi dia ini, satu lawan
atau tiga lawan, saja. seperti biasa, Thian Kiam dapat melayani
dengan tenang. Kembali belasan jurus dilewatkan tanpa hasil satupun untuk
pihak yang mana juga .
It Ceng heran dan kagum, hingga dia berkata didalam hatinya:
"Bocah ini masih begini muda, kenapa dia sudah begini lihay"
Kembali dua orang pendeta habis sabar mereka maju
menyerang. Mereka menggunakan tongkat.
Dua orang itu maju dari kiri dan kanan. Sambil berputar, Siauw
Pek menangkis tongkat mereka, untuk seterusnya ia menghindarkan
diri dari serangan serangan It Ceng bertiga.
Pula kali ini, ia melawan lima orang seperti tadi ia melawan tiga.
Dilain pihak. karena bertempur berlima serentak. kelima pendeta
manjadi agak kalut cara menyerangnya, atau kalau tidak, mereka
bisa bisa melukai kawan sendiri...
Han In Taysu, yang berdiam ditempat gelap. menonton dengan
asyik sekali. Iapun heran luar biasa. Ia berkata didalam hatinya,
"Dia masih sangat muda. Ilmu pedang apa itu dia gunakan untuk
melayani orang musuh berbareng" Melihat begini, mestinya Lo Han
Tin tidak akan mampu mengurungnya..."
Lagi sepuluh jurus lewat, masih It Ceng tidak bisa berbuat apaapa.
Sedikitpun dia tak memperoleh kemajuan. Makapada akhirnya
dia melompat mundur sendirinya. Tapi dia bukannya menyerah
kalah atau mau mengangkat kaki, hanya untuk segera
memperdengarkan seruannya. "Kamu semua maju berbareng"
"Ya" menjawab para pendeta yang menjadi kepala rombongan
itu, habis mana, semuanya maju serempak.
Han In melihat sikap lawan, iapun berseru. "Awas Mereka mau
bergerak secara besar-besaran"
Oey Eng dan Kho Kong telah menuruti nasehat ketua Ngo Bie
Pay itu, selagi Siauw Pek bertempur, mereka beristirahat. Tempo itu
singkat tetapi ada baiknya juga . Segera setelah dengar seruan
pendeta itu, mereka berlompat bangun, untuk mengambil
tempatnya masing masing.
Ban Liang juga segera bersiap sedia.
Tiba tiba sebatang obor besar terlihat melesat masuk dari
jendela, jatuh dilantai.
Han In menyambut obor itu dengan satu sampokan tangannya.
Hanya dengan satu kali saja ia menyampok. padamlah api yang
menyala berkobar itu.
Giok Yauw menyiapkan jarumnya, kepada gurunya ia berbisik,
"Suhu, pendeta pendeta Siauw Lim Sie tidak memakai aturan Rimba
Persilatan lagi, teecupun tak perlu berlaku segan segan
terhadapnya."
"Kau hendak membuat apa" " tanya sang guru
"Teecu mempunyai senjata rahasia. Itulah senjata yang paling
tepat guna melayani musuh yang berjumlah besar ini."
"Adakah senjatamu itu sebangsa pasir atau jarum beracun" "
"Jarum tanpa racun, suhu," jawab Giok Yauw.
"Malam ini tak dapat aku mengambil keputusan bagaimana harus
bersikap terhadap lawan ini, tak dapat juga aku mencegah kau,
maka itu, kau atur saja bagaimana baiknya"
Belum suara si pendeta berhenti, tiba tiba dua batang obor sudah
ditumpukan kembali ke dalam pendopo itu.
Oey Eng berlompat maju, dengan pedangnya ia membabat
kutung benda yang berapi itu. sesudah mana ia menginjak injak
sUmbu kedua obor memadamkannya.
"Kita berada ditempat gelap, mereka itu ditempat terang, itulah
sebabnya kenapa mereka menggunakan api." berkata Han In Taysu.
"Mereka itu ingin, setelah menyerbu mereka dapat melihat segala
apa dengan jelas"
Suara pendeta itu berhenti terentak dengan satu suara yang
keras sekali, disusul dengan mengepulnya debu.
"Celaka betul " pendeta itu berseru. mendongkol. "Benar benar
mereka mencoba menggempur tembok."


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau begitu terang sudah mereka menghendaki jiwa kita" kata
Giok Yauw gusar.
"Jikalau kita tidak mati semua, mana bisa It Tie tetap menjadi
ketua" " kata Ban Liang.
"Maka itu, karena kita mengadu jiwa, jangan kita main segansegan
lagi" kata pula si nona. "Sungguh tak adil selagi kita
bermurah hati musuh sebaliknya berlaku telengas. Kita berkasihan,
mereka menggunakan tangan kejam "
Kembali terdengar tiga kali suara hebat, pertanda bahwa
penggempuran tembok dilanjutkan, hingga debu mengepul pula.
Bahkan kali ini ditembok kiri telihat satu lubang kecil, Itulah
pertanda, bahwa tembok mulai bobol.
Lubang ditembok itu besar tiga kaki, maka terbukalah lowongan
buat masuk obor berapi. Sebuah obor segera ditimpukkan masuk.
Han in sudah bersedia, ia menyampok obor itu Maka lagi ruang
menjadi sebentar terang sekejap lagi gelap kembali. Bahkan obor
itu, karena belum jatuh kelantai, karena disampoknya tepat, telah
tersampok kembali dipihak sana.
Giok Yauw menggunakan kesempatan ketika obor kembali pada
masuk. dia membarengi menimpukkan segumpal jarumnya Dia
menimpuk sambil membentak Ban Liang hendak mencegah tetapi
tak keburu. Dari sebelah sana segera terdengar jeritan. "Aduh" dua
kali Itulah bukti bahwa dua orang musuh telah menjadi korban
jarumnya itu. Menyusul jeritan itu, terdengar juga suara berisik lainnya, lalu
"Mereka menggunakan jarum beracun. Semua waspada"
Giok Yauw mendengar itu, ia tersenyum Kembali ia menyiapkan
jarumnya. Diam-diam Ban Liang menoleh kearah Nona Hoan. Mereka itu
tetap duduk tenang, bagaikan mereka tak tahu bahwa disini, atau di
depannya, keadaan sudah kacau dan mengancam sekali.
Heran jago tua itu. Katanya didalam hatinya.
"Hebat Hoan Toako. Dia telah mewariskan kepandaiannya
kepada dua orang nona yang luar biasa ini Hanya sayang saat ini
saat sangat berbahaya..."
Tengah Ban Liang berpikir, dari luar terdengar mengaungnya dua
batang anak panah yang dilesatkan ke udara.
Mendengar itu, Han in Tysu segera memberikan peringatan-
"Waspada!!! Musuh menggunakan anak panah "
Menyusul suara pendeta ini, dua anak panah menyambar
ketembok dan nancap. Kalau anak-anak panah itu mengenai tubuh
manusia... Tapi Oey menyampok yang satu dan Ban Liang
menyambuti yang lainnya.
"inilah berbahaya" Ban Liang berpikir "Kalau mereka menyerang
dari empat penjuru kemana kita bisa melindungi diri" "
Giok Yauw menghela napas, katanya "Kapanya sudah pasti
kawanan pendeta itu hendak membunuh kita. Jikalau ktia tidak
memberi rasa sukar buat kita menghadapi mereka secara begini
saja." Maka ia menimpuk pula dengan jarumnya, yang terdiri dari
belasan batang.
Diantara para pendeta terdengar jeritan jeritan kesakitan dan
kaget. Itulah bukti bahwa jarum jarum itu telah minta korban pula.
"Hebat jarummu, nona" Kho Kong memuji, "Tak ada yang gagal"
Kembali si nona menghela napas.
"Kalau kita toh mesti mati disini maka pendeta pendeta itu mati
berlipat lipat lebih banyak dari pada jumlah kita," katanya.
Han in Taysu menghela napas. Katanya "Kalau lebih banyak
pendeta yang mati, peristiwa akan jadi sangat hebat. Walaupun
kesalahan berada pada pihak mereka, pasti sekali mereka itu tak
akan mau mengerti dan akan mencoba menumpas kita."
Kata kata dari ketua NgoBie Pay ini terputus oleh sambaran lain
dari beberapa anak panah. Syukur semua tidak meminta kurban,
karena nona Thlo telah memutar pedangnya dan meruntuhkannya,
sedangkan Han in sendiri menyambuti sebatang.
Ban Liang membungkuk memunguti anak panah itu yang
berjumlah delapan batang, sambil bekerja itu ia berkata perlahan-
"Rupanya benar-benar tak mudah pertempuran ini akan berakhir..."
Habis penyerangan anak panah itu, suasana menjadi sunyi.
Justru itu terdengarlah suara tenang tetapi berpengaruh. "Punco
mau berlaku murah hati, kamu diberi kesempatan akan memikir
masak masak. Didalam waktu sepertanak nasi, kamu bebas
merdeka dan akan selamat buat meninggalkan pendopo ini"
"Itulah suara It Tie Taysu" berkata Giok Yauw.
Han in Taysu menoleh pada Ban Liang untuk berkata,
"Beritahukan kepadanya bahwa kita sudah bersiap Sedia menangkis
penyerangannya. Tak dapat kita menunjukkan kelemahan terhadap
mereka itu."
Ban Liang tertawa nyaring. Itulah karena kemurkaannya. "Benar"
katanya ketus. "Hari ini dapat kita bertempuran hingga mati disini
tetap tak dapat kita menunjukkan kelemahan" Terus sijago tua
bertindak ke lubang tembok bekas tergempur itu. "Loocianpwee,
hati hati" berseru Oey Eng khawatir.
"Tidak apa" berkata sijago tua, yang bertindak terus. Di mulut
lubang ia mengeluarkan kepalanya.
Ruang luar diterangi beberapa puluh obor yang menyala, yang
membuat ruang itu terang bagaikan siang. Disana tampak banyak
sekali pendeta dengan alat senjata nyamasing masing. Semua
mereka itu mengatur diri dengan rapi.
"It Tie Taysu" berkata Ban Liang sambil melongok itu. ia batuk
batuk. Ketua Siauw Lim Pay muncul setelah barisannya memecah diri
kekiri dan kekanan-Tubuh pendeta itu ditutup dengan jubah kuning.
Dia bertindak maju dengan perlahan-Segera juga memperdengarkan
suaranya, sabar^ "Tuan diantara sahabat sahabatmu ada yang
terluka punco bersedia mengobatinya dengan obat mustajab Siauw
Lim Sie" Ban Liang tertawa lebar menyambut tawaran itu.
"Taysu baik hati sekali, suka aku menerimanya" sahutnya.
"Hanya sayang, diantara kami tidak ada yang terluka"
Berkata itu, diam diam jago tua mengawasi tajam, ia
mendapatkan It Tie didampingi oleh ses bie atau kacung pendeta,
yang masing masing membawa cecer kuningan dan golok tua.
It Tie bertindak sampai sejarak kira kira lima kaki dari lubang
dimana Ban Liang berada, disitu ia menghentikan tindakannya
sambil berkata nyaring: "Siapa yang pandai melihat gelagat dialah
seorang gagah"
"Maksudmu, taysu" " Ban Liang menegaskan-
"Maksud punco ialah memberi nasihat kepada tuan tuan sekalian
supaya mulai sekarang ini tuan tuan menghentikan pertentangan,
lalu terus kamu jangan suka tahu menahu lagi segala urusan dunia
Kang ouw" berkata ie Tie dengan keterangannya. "Setelah tuan
tuan memberikan janji maka punco akan membantu kalian" Ban
Liang tertawa berkakak.
"Dengan cara bagaimana taysu hendak membantu kami" "
tanyanya. Lagi lagi ia menegasi.
"Punco bersedia menghadiahkan kepada kamu dengan seratus
butir mutiara serta uang tunai selaksa tail..." sahut It Tie.
Ban Liang tertawa pula. Hanya kali ini nadanya tawar.
"Taysu, kaupandang aku Ban Liang orang macam apakah" "
tanyanya. It Tie nampak tidak senang.
"sebenarnya tuan menghendaki apakah" " tanyanya.
"sebutkanlah"
Ban Liang berkata dingin "Aku siorang tua bukannya orang sujud
kaum Budha tetapi hendak aku memberi nasehat kepada taysu
dengan dua kata kata agama itu: Meletakkan golok jagal Segera
menjadi Budha. Taysu, kenapakah karena kesalahanmu satu saat,
lalu kau tenggelam terus kedalam tempat darimana kau tak bakal
kembali" "
It Tie gusar sekali hingga ia membentak.
"Kematian kamu sudah didepan mata tapi kamu masih berani
berlagak begini?" demikian suaranya yang bengis dengan apa dia
mengumbar amarahnya. Diapun mengulur sebelah tangannya,
mengambil selembar cecer dari tangan kacungnya.
Ban Liang tahu liehaynya senjata istimewa itu, segera ngelepot
kembali kedalam ruang.
Menyusul itu terdengar pula suara bengis dari It Tie: "Kamu
tersesat, kamu tak sudi sadar, jangan kamu sesalkan punco jikalau
punco mengeluarkan tangan tak mengenal kasihan lagi"
Ancaman itu diakhiri dengan suara angin dari menyambarnya
suatu alat senjata.
"Waspada" Ban Liang menyerukan kawan-kawannya. ia
mengenali suara itu. "Pendeta itu sudah menggunakan cecer
terbangnya "
Han In Taysu juga berkata keras, "Itulah salah satu senjata
rahasia istimewa dari Siauw Lim Sie Senjata itu cuma dapat
dielakkan, jangan ditangkis"
Berkata begitu, pendeta ini menggerakkan keretanya menyingkir
kepojok. Giok Yauw penasaran, akan tetapi melihat guru itu menyingkir,
terpaksa ia turut bergerak kepojok juga . Hanya sambil menyingkir
itu, ia membuka matanya lebar lebar.
Didalam pendopo yang luas tadi gelap itu tampak sebuah sinar
kuning emas berputaran, suara anginnya terdengar halus.
Oey Eng dan Kho Kong segera menjatuhkan diri, bertengkurap
dilantai. Cepat sekali terdengarlah satu suara berisik, dari menghajarnya
cecer itu kepada tembok. hingga tembok pecah meluruk
mengepulkan debu. Setelah itu, cecer itu tidak jatuh kelantai, hanya
mental untuk berputar dengan keras, menyambar lewat diatas
kepala Soat Kun, untuk menyambar terus ketengah ruang. Ban
Liang mengeluarkan peluh dingin.
"Hebat" kata sijago tua ini didalam hatinya. "Pantas senjata ini
mendapat nama istimewa."
Baru saja sijago tua berkata demikian, tiba tiba sebatang obor
telah dilemparkan masuk kedalam pendopo itu. Karena semua orang
tengah bersembunyi, tak sempat memadamkan api itu. Karena
mana, teranglah seluruh ruang hingga para pendeta dari luar ruang
dapat melihatnya terang tegas.
Selagi ruang terang benderang itu, satu seruan terdengar, disusul
dengan munculnya orang yang berseru itu, seorang pendeta dengan
sebatang golok kaytoo ditangannya.
Segera setelah di dalam pendopo, tubuhnya berguling, dan dia
berlompat bangun berdiri, goloknya dipernahkan di depan dadanya,
dalam sikap melindungi diri. Giok Yauw segera mengayunkan
tangannya sambil membentak: "Prgilah kau menggelinding" Itulah
ayunan tangan yang menggenggam jarum rahasia. Pendeta itu
liehay, dengan goloknya dia menyampok jatuh jarum itu.
Menyaksikan hal demikian, Ban Liang meluncurkan tangan
kanannya, menyerang dengan ilmu silatnya yang bernama Ngo Kwei
Souw Hun Ciang, hingga angin, atau hawa dingin, menyambar
kearah pendeta itu.
Pendeta itu bisa menghadang jarum rahasia tapi tak sanggup dia
bertahan dari tangan liehay Seng Su Poan, dia roboh seketika
dengan didahului terlepasnya goloknya. Dia mengeluarkan suara
"Aduh" dan goloknya kena terampas.
Kawanan pendeta dari Siauw Lim Sie itu berani semuanya.
Setelah robohnya satu kawan itu segera lompat menyusul dua yang
lainnya. Han In Taysu menyambut lawan dengan satu luncuran tangan
kanannya. Kedua pendeta itu masing masing mencekal tongkat sianthung,
dan golok kaytoo, mereka tahu bahwa mereka dipakai serangan,
mereka berkelit. Pendeta yang kiri menyambut dengan bahu kirinya
sambil berseru: "Sutee, lekas maju Tangkis dengan senjatamu"
Karena dia membahasakan "sutee" adik seperguruan, maka dialah
sang suheng kakak.
Sementara itu cecer terbang masih bekerja. Justru itu cecer
menyambar kearah Giok Yauw. Si nona berkelit sambil mendekam
Pendeta sebelah kanan, memegang tongkat, turut pula berkelit,
karena dia berada digaris si nona.
Karena dia menghindarkan diri, celakalah kawannya, sipendeta
yang bersenjata golok itu. Pendeta ini tak cukup tangguh
menghadapi serangan Han In Taysu, tanpa ampun, bahunya patah
hingga dia merasakan sangat nyeri. Tapi dia bandel, dia berdiri
tegak. untuk mengerahkan tenaga dalamnya, guna bertahan dari
luka parah itu, hingga dia tak sampai roboh terguling.
Justru itu, tibalah hui poat, cecer ketuanya yang liehay itu. Tak
sempat dia menangkis atau berkelit, maka juga kepalanya kena
terpapas pecah dan putus oleh senjata bundar gepeng yang tajam
itu. Tak sempat dia menjerit, robohlah dia dengan berlumuran darah.
Barulah kali ini, habis tenaga berputar dari cecer itu, yang terus
jatuh didekat kurbannya. Senjata liehay ini tak berputar pula karena
dia tak mengenai sasaran keras dan kuat yang dapt membuatnya
mental balik...
Tentu saja It Tie melengak. Dia menggunakan huipoat guna
membantu murid muridnya tak disangka, dia justru meminta jiwa
muridnya itu. Giok Yauw tak berdiam saja setelah ia bebas dari
ancaman huipoat, ia lompat menerjang pendeta yang bersenjata
tongkat itu, dan bahkan terus menerus ia menikam sampai tiga kali
tatkala sipendeta cobameng elakan tubuhnya. Dia mundur hingga
berulang kali. Tepat pada waktu itu, kembali dua orang kepala gundul
berlompat masuk Oey Eng maju, untuk menghadang kearah lubang
guna mencegah lain lain pendeta berlompat masuk. sambil berbuat
begitu, ia berkata perlahan kepada Ban Liang: "Tak dapat kita
membiarkan lain orang masuk pula kemari"
Ban Liang meng ia kan-Ia segera menjemput sebatang golok
kaytoo, dengan apa ia mendekati lubang, guna menghadang dimuka
itu. Ruang menjadi gelap pula. Giok Yauw berhasil memadamkan
api obor. Tiba tiba satu seruan keras sekali terdengar. Itulah suara yang
mengikuti menerjangnya sebatang tongkat, untuk masuk kedalam
toatian. Ban Liang memegat dengan golok pinjamannya, hingga kedua
senjata beradu keras sekali.
Kesudahannya itu membuat sijago tua tertangkis mental
seluruhnya. Tongkat cuma tertotok sedikit. Maka ia terkejut atas
tenaga besar sipendeta.
Tengah jago tua ini berpikir, tongkat sudah menikam
kepinggangnya. Lekas ia menangkis pula.
Pertempuran mereka berdua menjadi pertempuran yang luar
biasa, sebab yang satu di luar, yang lain didalam pendopo. Hingga
satu dengan lain, tak dapat saling melihat. Yang terang ialah,
karena senjatanya lebih panjang sipendeta adalah pihak penyerang.
Sambil selalu menangkis itu, Ban Liang berkata di dalam
hatinya^ "Entah siapa pendeta ini, dia sangat tangguh. Tidak bisa
lain, kali ini kita mesti membinasakan atau sedikitinya melukai
musuh, biarpun peristiwa bakal jadi hebat dan berekor panjang..."
Tanpa bertempur mati hidup, memang sulit pihak Kim Too Bun ini.


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau masih tidak henak melepaskan senjatamu" " tiba2
terdengar bentakan Giok Yauw Menyusul itu terdengar jeritan
tertahan diikuti suara tubuh jatuh terbanting keras.
Han In Taysu menjadi kehabisan sabar. Ia insyaf bahwa pihaknya
terancam bahaya kalau musuh tidak dihajar keras. Maka segera ia
mengayun tangan kanannya yang semua jerijinya dibuka lempang.
Selama didalam kurungan dengan kaki bercacat itu, ketua Ngo
Bie Pay ini tak menyia nyiakan waktu, sambil menanti lewatnya sang
waktu, ia melatih tangannya itu.
Pendeta yang bertempur dengan Oey Eng mendadak terasa
pinggangnya kaku, sehingga tak leluasa ia menggerakkan tubuhnya.
Justru itu, pedang Oey Eng menabas pinggangnya, hingga dia roboh
seketika, jiwa melayang. Habis menyerang pendeta itu, Han Inpun
menyerang yang lain-Kali ini lawannya Kho Kong yang menjadi
sasaran. Dengan tiba tiba murid Siauw Lim Sie itu terkekang gerakannya
segera poan koan pit sipemuda she Kho menikam iga kirinya yang
membuatnya roboh Dengan begitu, usailah pertempuran dipendopo
itu. Ruang dalam menjadi sunyi kembali bahkan gelap. Tinggallah
Ban Liang yang melayani musuh disebelah luar itu. Hanya mereka
ini cuma bentrokan bentrokan senjatanya saja yang terdengar tak
hentinya. Tapi pertempuran itu tak berhenti seluruhnya. Diam diam dua
orang pendeta menyelundup masuk. terus mereka berlindung
dibelakang patung. Han in Taysu tahu aksi kedua lawan itu.
Hanya sebentar, terdengarlah suara cecer saling beradu. Setelah
itu, redalah pertempuran. Semua pendeta mundur sendirinya.
Rupanya, suara cecer itu adalah isyarat untuk mundur teratur
sekarang barulah toatian menjadi sunyi benar benar.
Ban Liang heran akan sikap lawan, ia bertanya kepada Han in,
Taysu, tak tahu akal apa yang hendak dipergunakan oleh musuh.
Ketua Ngo Bie Pay itu juga tidak mengerti, ia cuma
menggelengkan kepala.
Sementara itu dimuka pintu toatian, pertempuran telah
berlangsung pula diantara Siauw Pek dan para pendeta. Penyerang
berjalan seru karena It Tie yang memimpin sendiri. Tongkat dan
golok bagaikan menghujani si anak muda, yang bertahan dengan
tenang. Han in Taysu memperhatikan pertempuran dimuka pintu itu. ia
khawatir si anak muda gagal mempertahankan diri. Itulah
berbahaya Tapi ia melihat Siauw Pek bertempur dengan baik sekali.
ia heran-"Biar bagaimana, perlu aku membantunya," pikir ketua Ngo
Bie Pay itu. Justru itu, tampak golok Ban iang terlepas dari pegangannya.
Tiba tiba ada tongkat yang menyerang masuk, ketika sijago tua
menangkis, serangan itu hebat sekali, goloknya terlepas.
Giok Yauw siap sedia, melihat kawannya dibokong, ia menimpuk
dengan jarumnya. Dengan demikian, musuh tak dapat menerjang
masuk, Lekas lekas Ban Liang menjemput goloknya. Han in Taysu
menolak keretanya mendekati Nona Thio "Baik baiklah kau menjaga
disini." pesannya. "Aku mau pergi ke pintu, untuk membantu si anak
muda." Giok Yauw menangguk. maka majulah gurunya itu.
Oey Eng dan Kho Kong segera bekerja, memindahkan kurban
kurban musuh. "Nona," Ban Liang berpesan kepada Giok Yauw. "Jarummu
berharga sekali, jangan kau sembarang gunakan-.."
Si nona merogoh sakunya. ia mendapatkan jarumnya tinggal
sedikit. "Baik, loocianpwee," ia menjawab sijago tua.
Selagi mereka bicara itu, tiba-tiba sang gelap gulita tiba. Ban
Liang dan kawan2 heran-Kiranya mulut lubang telah tertutup musuh
Ban Liang membacok. tangannya kesemutan sendirinya. Goloknya
menyerang barang keras berupa besi, hingga terdengar suara
bentrokan yang nyaring. Karena itu dua orang pendeta menyusul
masuk, Sekarang tahulah Ban Liang bendaapa yang tadi ia bacok itu.
Kiranya itulah sebuah lonceng kuningan yang besar, yang dipegang
oleh pendeta yang berlompat masuk terlebih dahulu. Pendeta itu
menyerang pula dengan loncengnya itu.
Tak mau Ban Liang berlaku sembrono, ia berkelit.
Oey Eng sebaliknya. ia penasaran-"Lihat pedangku" serunya
seraya dia berlompat menusuk.
Pendeta itu bertubuh tinggi dan besar, loncengnya berat
mestinya dia lamban, lambat bergeraknya, siapa tahu, dia justru
gesit. Ketika tikaman tiba, dia berkelit, dilain pihak. loncengnya
dipakai membalas menyerang. Oey Eng terkejut. Pedangnya telah
kena dibikin terpental Ban Liang maju pula, untuk menyerang.
Saking lincah, pendeta itu bisa menangkis, bahkan beruntun
hingga tiga kali ketika sijago tua menikamnya berulang ulang. Maka
tiga kali terdengar suara nyaring berisik, Tiga-tiga kalinya golok tak
mendapat hasil.
"Entah apa kedudukannya pendeta ini" ..." Ban Liang berpikir.
heran dan kaget, tangannya terasa kesemutan. Dia kuat sekali, sulit
buat mengusirnya. "Celaka kalau dia merintangi kita hingga kawankawannya
bisa menggunakan kesempatan untuk meluruk masuk..."
Pendeta yang kedua, yang memegang golok kaytoo, sudah maju
terus, tapi segera dirintangi Kho Kong, hingga keduanya jadi
bertarung. Melihat lawan Ban Liang liehay, Giok Yauw maju untuk
membantu. Sambil menikam, ia berkata kepada jago tua itu
"Loocianpwee, serahkan orang ini kepadaku Loocianpwee bersama
saudara Kho jaga saja mulut lubang itu"
Ban Liang mengangguk. terus ia melirik ke arah lubang. Justru ia
melihat kepala seorang pendeta lagi menongol, untuk mengintai,
tidak ayal lagi, sambil berseru, ia menimpuk dengan goloknya.
Celaka pendeta itu. Dia bagaikan terbokong. Maka pecahlah
kepalanya terhajar golok kay too kaumnya sendiri.
Tepat waktu itu terdengar suara gempuran lain-Ban Liang lekas
berpaling. "Kau jaga disini" katanya kepada Oey Eng. "Aku akan
melihat kesana."
Belum habis suara sijago tua, dilubang yang baru itu sudah
muncul kepala seorang pendeta.
Disaat itu, lupa Ban Liang kepada soal membinasakan musuh
atau tidak. ia berlompat sambil menyerang dengan ilmu Silat Ngo
Kwie Souw Hun Ciang Pendeta itu belum melihat tegas ketika dia
disambut serangan itu, tahu-tahu dia sudah terhajar, hingga
berhentilah napasnya, tubuhnya roboh disebelah luar.
Dari luar itu lalu terdengar suara yang bengis: "Sudah belasan
murid-murid Siauw Lim Sie yang terbinasa, jikalau kita tidak dapat
menyerbu masuk kedalam toa-tian maka rusaklah nama besar
Siauw Lim Pay kita"
Mend engar kata-kata itu Ban Liang berduka walaupun ia sudah
tahu permusuhan sudah tertanam hebat. Sementara itu suara
bengis tadi tidak mendapat jawaban mengiyakan, ada juga jawaban
beberapa serbuan diperhebat. obor telah dilemparkan kedalam
pendopo, hingga pendopo besar itu terang kembali.
Ban Liang kewalahan memadamkan obor obor itu, yang
dilemparkan masuk berbatang2
Giok Yauw dan Kho Kong tidak dapat membantu. Mereka itu
sedang melayani dua orang pendeta. Oey Eng pun sedang
merintangi seorang pendeta yang gemuk tubuhnya. Dia inilah
sipendeta tukang melemparkan api masuk kedalam pendopo,
disusul dengan percobaan masuknya sendiri, tapi dia dipegat Oey
Eng hingga dia bertahan dimulut lubang Dia bersenjatakan golok.
agaknya dia liehay.
Ban Liang bekerja sebat. Empat buah obor dapat dipijak padam.
Ketika ia mau bekerja terus, seorang pendeta melompat masuk
dimulut lubang. Tanpa bersangsi lagi, ia lompat, menerjang masuk
merintangi pendeta itu. Maka itu iapun bagaikan terikat.
Han in Taysu telah mendekati Siauw Pek, tapi segera ia
merasakan kesulitan. Keras niatnya membantu, tetapi terbukti niat
itu tidak dapat diwujudkan Sinar pedang sianak muda tak
memberinya kesempatan turun tangan-Serombongan pendeta
mengurung sianak muda, walaupun mereka sudah merangsek
hebat, tak berdaya mereka itu memecahkan kurungan sinar pedang
lawannya itu. Saking kagum, Han In Taysu jadi menonton. Katanya didalam
hati: "Ilmu pedang apa ilmu kepandaian anak ini" Kenapa dia dapat
mencapai kemahiran semacam itu" " Dilain pihak. didalam toatian,
lagi-lagi seorang pendeta menerobos masuk.
Ban Liang melihat itu, ia menjadi bingung. Ia sendiri tidak dapat
meninggalkan lawannya. Maka ia berseru: "Nona Thio lekas hajar
musuh yang baru itu"
"Ya" menjawab Giok Yauw.
Cuma suara sinona yang terdengar, perbuatannya tak tampak.
Inilah sebab dia tengah direpotkan pendeta gemuk yang
bersenjatakan lonceng itu. Pendeta itu liehay sekali.
Han in Taysu mendengar seruan Seng Su Poan, dia lalu menoleh.
Dia terperanjat melihat musuh yang baru itu sedangkan Ban Liang
semua lagi repot melayani masing-masing musuhnya. Tidak ayal lagi
dia menggerakkan rodanya, buat menghampiri lawan, bahkan tanpa
menanti sampai datang cukup dekat, ia sudah menyerang dengan
pukulan anginnya.
"Aduh" menjerit sipendeta, yang tanpa berdaya lagi terhajar,
hingga setelah jeritannya itu, dia roboh terkulai. Menyaksikan
pukulannya sendiri itu Han In Taysu heran dan girang hingga ia
menjublak sedetik. Sebenarnya tak tahu tepat ia sampai dimana
kemajuan latihan tangannya selama dikurung. la hanya tahu bahwa
ia memperoleh kemajuan tapi belum pernah mencobanya, sampai
kali ini. Hampir serentak dengan serangan hebat pendeta tua dari Ngo
BieP ay ini, beberapa musuh juga berlompatan masuk. Mereka
menyaksikan kebinasaan kawan itu, mereka jadi tercengang.
Mereka heran akan kelihayan musuh yang naik kereta beroda itu
JILID 37 Han in melihat munculnya musuh-musuh itu segera ia
menyerang. Seorang pendeta yang berada paling depan menjerit, terus
tubuhnya roboh. Dia menjerit sambil mulutnya memuntahkan darah
hidup. Melihat nasib kawannya, yang menyedihkan itu, beberapa
pendeta lainnya lekas-lekas mundur pula.
Mereka jeri. Sebaliknya pendeta gemuk yang bersenjata lonceng
itu, yang lagi mendesak Giok Yauw. Dia melihat dua orang
kawannya roboh secara hebat itu dan yang lain lainnya mundur
sendiri, segera ia meninggalkan Nona Thio untuk meng hampiri si
pendeta bercacad. Tanpa menanti sampai sudah datang dekat, dia
menyerang sambil menimpukkan loncengnya itu. Han In melihat
datangnya serangan hebat ia segera menggunakan kedua
tangannya menolak dengan keras. Sehabisnya menolak, senjata
istimewa dari musuh itu. Han in Taysu menyerukan Giok Yauw
supaya si nona merintangi pendeta-pendeta lainnya. "Serahkan dia
ini kepadaku" menambahkan si pendeta tua.
Giok Yauw menurut, ia melompat ke mulut lubang dimana
sejumlah pendeta nampak hendak menerobos masuk. Tanpa raguragu
pula, ia menimpukkan jarumnya.
Beberapa teriakan kesakitan terdengar diantara pendeta pendeta
itu. Karena itu, mereka tak dapat melanjutkan penyerbuannya.
Pendeta yang bersenjatakan lonceng terkejut melihat lonceng
kembali kepadanya, lekas lekas dia membuka kedua tangannya
untuk menyambuti. Sementara itu dia heran mendapat kenyataan
musuh bercacat itu demikian liehay. Diapun menjadi penasaran-
Maka dia mengulangi timpukannya.
Kembali Han in menolak dengan tangannya maka kembali
lonceng mental kepada musuh.
Dalam penasaran si pendeta mengulangi serangannya beberapa
kali, tapi saban-saban dia tidak peroleh hasli, selalu loncengnya
dimentahkan kembali kepadanya. Pendopo terang benderang. Tidak
semua obor dapat dipadamkanBan Liang tadi.
Ketika itu dari luar pendopo terdengar suara "Masih ada dua
orang bocah wanita yang belum turun tangan. cobalah
menggempur tembok pula, buat membuat satu lubang lain, untuk
menyerbu masuk dari situ, guna menyerang kedua bocah itu. Asal
mereka sudah turut berkelahi, lalu merdekalah kita masuk dari
lubang yang mana juga .
Han In Taysu mendengar jelas kata kata itu ia kuatir. Ia tahu
dengan "dua orang bocah wanita" itu tentulah dimaksudkan dua
Nona Hoan. Itulah berbahaya. Nyata musuh liehay dan kejam Mana
dapat si nona menangkis serbuan"
Tengah ketua Ngo Bie Pay berpikir, lonceng sudah datang pula.
Kali ini ia menolak dengan tangan kirinya, dengan tangan kanannya
dia membarengi menotok.
Pendeta gemuk itu sedang mengagumi pendeta lawannya ketika
ia melihat kembaliknya loncengnya, dia lalu menggunakan kedua
tangannya untuk menyambut senjata istimewanya itu supaya dia
bisa menimpuk pula dengan kedua tangan, dengan terlebih hebat.
Tapi kali ini dia terkejut. Mendadak ia merasai sebelah tangannya
nyeri. Tadi dia tidak menduga apa apa, baru sekarang dia kaget. Dia
tahu bahwa orang telah menotoknya. Rasa nyeri itu membuat
tenaganya habis, tak sanggup dia memegang loncengnya lebih
lama, lonceng mana terus meluncur kebelakangnya. Syukur dia
sempat berkelit.
celaka tembok dibelakang itu, yang gempur peCah membarengi
suara terhajarnya seCara hebat. Tapi bukan Cuma tembok itu yang
menjadi korban-Disebelah luar itu terdapat pendeta pendeta
lainnya, yang bersiap sedia membantu kawan kawan mereka, tak
mereka sangka akan gempurnya tembok. akan meluncurnya
lonceng, maka tanpa berdaya, terhajarlah mereka. Maka juga
diantara riuhnya jeritan ketakutan dan kesakitan dari mereka,
robohlah mereka semua Berhasil dengan serangan itu, Han in Taysu
lalu bergerak Cepat dan meluncurkan kedua tangannya berulang
ulang, untuk memadamkan sisa obor.
Ketika itu Giok Yauw dan Oey Eng masih menempur musuhnya
masing masing kedua pihak agaknya sangat tangguh. Lima belas
kali Giok Yauw menyerang, tapi selalu ia kena ditangkis.
Kedua pendeta dapat bertahan, tapi itu juga berarti bahwa
mereka menahan penyerbuan kewan kawan mereka sendiri.
sementara itu lubang tembok yang baru, yang disebabkan
terhajarnya lonceng yang mental balik akibat penolakan Han in
Taysu, telah menambah jalan masuk bagi kawanan pendeta.
Kesempatan itu tak mereka sia-siakan. Begitulah dua orang kepala
gundul tampak berlompat masuk dari lubang itu.
Penuturan kita ini agak lamban sedangkan kejadian sebenarnya
berlaku cepat sekali. Selagi kedua pendeta itu berlompat masuk Han
in berkata kepada Ban Liang: "Kalau jumlah musuh yang masuk
bertambah, keadaan akan menjadi hebat sekali..."
"Memang," berkata sijago tua, mengangguk "Sekarang kita
sudah repot, apa pula kalau jumlah musuh meningkat... It Tie
rupanya berniat keras membinasakan kita, tak nanti dia suka
menyerah kalah "
"Mungkin mereka menunda penyerbuan untuk sementara saja


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan akan dilanjutkan dengan yang terlebih hebat."
"Taysu benar. Apakah Taysu menerka It Tie akan merubah
siasat." "Entahlah, yang terang dia bersedia mengorbankan pendopo
besarnya ini."
"Nampaknya demikian-"
"Mungkin mereka hendak menggunakan api" berkata Siauw Pek,
yang bertindak menghampiri. Karena mundurnya musuh tadi, ia
sempat kedalam dan sempat pula mendengar pembicaraan kedua
jago tua itu. "Sulit kalau mereka benar-benar menggunakan api," kata Ban
Liang. "Kalau sampai terjadi demikian, terpaksa kita harus
meninggalkan pendopo ini," kata Han In Taysu. "Kita terpaksa mesti
berkelahi mati-matian."
"sekarang baiklah menanyakan pendapat Nona Hoan," kata
Siauw Pek. "Sejak pertempuran dimulai, Nona Hoan terus duduk berdiam
saja," kata Ban Liang perlahan.
Siauw Pek heran, alisnya dikerutkan.
"Kenapa begitu" " tanyanya sepertipada dirisendiri.
"Nona itu telah terialu menggunakan otaknya, dia harus
beristirahat," berkata Han In Taysu. "Tadi siecu melayani kawa nan
pendeta itu, ilmu pedang siecu luar biasa sekali, belum pernah aku
menyaksikan sebelumnya. Aku kagum sekali"
"Taysu memuji saja," kata si anak muda merendah.
"Serbuan musuh hebat sekali, apakah siecu tak merasa terdesak"
" "Kalau pertempuran berlarut beberapa lama lagi, mungkin aku
yang muda tak akan dapat bertahan..."
Pembicaraan mereka terhenti sampai disitu karena dari luar
terdengar suara keras dan mengancam^ "Diluar pendopo besar ini
telah ditumpuk banyak bahan bakar kering, asal kayu disulut maka
habislah ruangan ini, maka itu kau, tak peduli tubuhmu tubuh besi,
kamu akan hancur lebur juga. Tapi punco masih menaruh belas
kasihan, sekarang punco suka beri kesempatan kepada kamu. Akan
punco bunyikan lonceng hingga sepuluh kali, selewatnya itu, kalau
kamu masih tak mau keluar dari pendopo, nah, jangan kamu nanti
sesalkan punco kejam dan telengas"
Begitu suara pendeta itu berhenti, begitu terdengar suara
lonceng ditabuh satu kali. Ban Liang mementang matanya lebar
lebar, dia mengawasi Han in Taysu.
"Kelihatannya kita terpaksa mesti keluar dari sini," katanya.
Ketua Ngo Bie Pay balik mengawasi jago tua itu, sebelum dia
memberikan jawabannya. tiba tiba mereka mendengar suara yang
nyaring merdu ini: "Tak usah kita bela lagi pendopo besar ini. Mari
kita pergi keluar"
Itulah suara Soat Kun, yang tampak mendatangi dengan tenang,
sebelah tangannya tetap pada bahu adiknya.
"Nona sudah tersadar" " tanya Han in Taysu. Nona itu
mengangguk. "Tak kusangka It Tie berani membakar pendoponya," berkata si
nona. "Jikalau mereka membakar dari empa tpenjuru, tak dapat kita
lolos lagi. Maka itu, sebelum mereka membakar kita harus
mendahuluinya meninggalkan pendopo ini."
"Tetapi, nona," berkata Han in Taysu, "barisan rahasia Lo Han
Tin liehay sekali, apabila kita keluar dari sini, pasti ditengah jalan
kita bakal kena terkurung tin itu..." Nona Hoan tetap bersikap
tenang. "It Tie Taysu berlaku begini kejam, terpaksa kitapun jangan
berbelas kasihan lagi terhadapnya," sahutnya.
Ban Liang heran akan ketenangan si nona yang sejak tadi terus
berlaku sabar sekali. Ia tidak dapat menerka apa yang dipikirkan si
nona selama nona itu duduk diam saja. sekarang mendadak nona
itu mengajak mereka keluar.
"Nona, apakah nona telah mendapat jalan untuk keluar dari sini"
" tanyanya.
"Mulanya aku menyangsikan It Tie bersedia membakar
pendoponya ini," sahutsi nona. "Nyata terkaanku itu keliru.
Sekarang jalan kita cuma jalan keluar. Seperti baru saja kukatakan,
kitapun jangan main kasihan lagi."
"Jikalau kita sampai terkurung didalam Lo Han Tin, sangat sedikit
kesempatan buat kita lolos..." kata Han In Taysu.
"Jikalau mereka dapat menggunakan tin, kenapa kita tidak
melawannya" " tanya si nona.
"Bagaimana caranya itu, nona" " Han In Taysu tanya.
"Bukankah dibelakang pendopo besar itu terdapat sebuah rimba"
" Han In danBan Liang saling mengawasi heran. Begitupun yang
lainnya. Tak pernah mereka perhatikan rimba yang disebutkan si
nona. Sedangkan si nona tak dapat melihat Soat Kun berkata pula:
"Jikalau ingatanku tidak keliru, dibelakang pendopo besar ini mesti
ada sebuah rimba, maka itu selekasnya kita meninggalkan pendopo,
mesti kita langsung menuju kerimba itu untuk masuk kedalamnya."
"Kemudian" " Han In Taysu bertanya.
"Rimba itu pasti jauh lebih luas daripada pendopo ini, dengan
demikian, kalau kita melawan musuh, kita akan dapat bergerak lebih
leluasa. Kita dapat maju atau mundur sekehendak kita. Dilain pihak,
kita juga dapat melihat tegas kepada musuh, kepada gerakgeriknya,
hal mana memudahkan pertahanan kita."
"Ada satu hal yang loolap tak dapat tak menjelaskannya..."
"Apakah itu, taysu" "
"Musuh banyak, kita sedikit, tak lazimnya kita melawan musuh
ditempat luas terbuka seperti itu..."
"Dengan berdiam di dalam pendopo yang terkurung rapat, kalau
It Tie membakar kita bagaimana kita dapat meloloskan diri" " Han
In Taysu berdiam. Lainnya pun sama.
Nona Hoan berkata pula, perlahan^ "Sekarang ini tidak ada lain
jalan. Kita meninggalkan tempat kematian buat mencari jalan hidup"
Ia berhenti sedetik, segera ia menambahkan^ "Sekarang ini sudah
tak ada tempo berbicara lagi dan berpikir lagi, maka itu kalau taysu
sekalian percaya kepadaku, marilah"
Siauw Pek tiba tiba teringat akan barisan bambu rahasia dari si
nona. Maka ia segera menjawab: "Nona, perintahkanlah"
Hoan Soat Kun kemudian berkata pula, terang, jelas: "Pada saat
menghadapi ancaman bahaya besar, jikalau kita ingin terhindar dari
ancaman, kita harus memusatkan pikiran kita, kita harus bersatu
padu. Maka itu, mulai dari bengcu sampai kepada para anggota dan
tamu semua mesti bulat tekadnya, jangan ada yang sangsi atau
bercuriga. Bagaimana pikiran taysu semua" Setujukah" Hanya
dengan cara ini barulah kita mempunyai harapan untuk dapat lolos
kejalan hidup"
Siauw Pek segera memperdengarkan suaranya pula. "Aku orang
she coh bersedia sebagai orang pertama yang akan mentaati
perintahmu, nona"
Melihat sikap ketuanya itu, Oey Eng, Ban Liang dan Kho Kong
segera turut memberikan suara mereka. Kata mereka: "Kami juga
akan mentaati titah nona Kami tak akan menyesal andaikata kami
harus menghadapi kematian. Kita memang harus saling membantu"
Han in Taysu batuk batuk. kemudian ia berkata: "Loolap bukan
orang Kim Too Bun Tapi Loolap telah ditolongi oleh kau, hal itu
membuat loolap amat berterima kasih. Sekarang kita menghadapi
bahaya bersama sama, orang luar atau bukan, bagiku sama saja.
Maka itu... nona, loolap bersedia akan mendengar kata katamu.
Loolap berCaCad kaki, tak dapat bergerak dengan leluasa, walaupun
demikian loolap masih dapat menggunakan kedua tanganku ini.
Nona, loolap sedla bertempur mati atau hidup"
"Taysu, tak usah taysu bicara begini" berkata Ban Liang, yang
telah menyaksikan bagaimana kehebatan silat tangan sipendeta tua.
Han in Taysu tidak menyambut suara Seng Su Pan, sebaliknya
dia berkata nyaring:
"Nona sekalian, jikalau benar kamu tidak menganggap diriku
sebagai bandulan bagimu, nah marilah loolap akan maju membuka
jalan." Pendeta ini berkata dan berbuat. Dengan kedua tangannya,
dia menarik dan menolak roda roda keretanya, untuk maju kepintu
pendopo Siauw Pek meluncurkan tangan kanannya mencegah
pendeta itu. "Jangan sembrono, taysu" katanya. "Taysu kurang leluasa
bergerak. biarlah, aku yang muda jalan di muka" Dan ia mendahului
maju. Han In tidak memaksa, maka ia lalu mengikuti dalam
rombongan-Tiba diluar pendopo, kawan Kim Too Bun ini melihat
tumpukan kayu disekitar toatian-Siauw Pek mengernyitkan alisnya.
"Sungguh aku tak mengerti," pikirnya. "Kenapa seorang ketua
Siauw Lim Sie dapat bertindak begini rupa" "
Sementara berpikir begitu, ia berjalan terus diikuti
rombongannya. Soat Kun tahu suasana diluar itu. Soat Gie tetap
memberitahukannya segala sesuatu.
"Nona Hoan," menyapa Ban Liang perlahan-"Memutar
kebelakang pendopo" Soat Kun mendahului sijago tua. "Dengan
kecepatan luar biasa menuju langsung kedalam rimba Setelah tiga
tombak didalam rimba kemudian berhenti."
"Sungguh hebat" pikir Seng Su Poan-"Sungguh cepat dan manis
kakak beradik ini berhubungan satu dengan lainnya "
Siauw Pek mendahului jalan mutar kebelakang pendopo.
pada saat itu, tiba-tiba Kho Kong ingat ciu ceng yang masih
dibiarkan didalam pendopo.
"Nona Hoan," katanya pada Soat Kun, perlahan, "apakah ciu
Tayhiap hendak diajak bersama" "
"Tak usah..." sahut sinona.
Belum habis nona itu menjawab, dari dalam toatian terdengar
suara nyaring. "Mereka memutar kebelakang pendopo "
Mendengar suara itu, suara dari musuh sebagai isyarat untuk
kawan-kawannya Soat Kun mengayun tangannya kebelakang,
melemparkan sesuatu atas mana segera terdengar suara letusan
yang dibarengi menyalanya sesuatu seperti kembang api, memencar
bundar empat atau lima kaki lebar, sedangkan diantara sinar api itu
tampak dua orang pendeta kelabakan sebab jubah mereka terbakar
letusan benda itu
Siauw Pek dan kawan-kawan melongo, tak terkecuali Ban Liang
dan Han in Taysu yang sangat banyak pengalamannya. Belum
pernah mereka menyaksikan senjata rahasia berapi semacam itu,
bahkan yang menggunakannya seorang nona tuna netra. Kedua
pendeta repot mencoba memadamkan api pada jubah mereka itu,
tetapi mereka menepuk nepuk dengan sia sia belaka, sang api tak
mudah dipadamkan, bahkan setiap kali ditepuk. apinya bertambah
berkobar. Maka itu habis daya, mereka menjatuhkan diri untuk
bergulingan ditanah. Kemudian si nona berkata pula, sungguh
sungguh: "Asal kita bisa keluar dari pendopo besar ini, It Tie tidak
bakal membakarnya, hingga keselamatan ciu ceng tak usah
dikhawatirkan lagi. Sekarang lekas menuju kedalam rimba "
Siauw Pek bertindak cepat. Dibelakang pendopo, ia melihat kayu
kayu bakar bertumpuk tinggi setombak lebih. Ia membulang
balingkan pedangnya, membabat bolak balik tumpukan kayu itu
untuk membuka jalan, guna dilintasinya. Dengan begitu terbukalah
sebuah jalan lima kaki lebar, yang terus dilaluinya.
"Sungguh malu" berkata sianak muda didalam hati. "Nona Hoan
buta kedua matanya tetapi dia toh tahu dibelakang pendopo ini ada
rimbanya" Pemuda ini berpikir demikian karena selewatnya rintangan
tumpukan kayu, matanya segera melihat sebuah rimba bagaikan
menghadang perjalanan maju mereka. Tanpa ayal lagi ia lari kearah
rimba itu. Kembali terdengar suara sinona, sekarang nyaring: "Jarak
pendopo besar dengan rimba, ada belasan tombak. ditengah-tengah
rimba itu mungkin musuh mengatur jebakan, karena itu berhati
hatilah" Kembali Siauw Pek kagum. Jarak yang disebutkan sinona
memang tepat, yaitu belasan tombak dari toatian kerimba itu. Tapi
tak mau ia memikirkan itu, segera ia berkata^ "Aku akan membuka
jalan. Ban Loocianpwee, tolonglah menjaga sebelah kiri Nona Thio,
kau menjaga disebelah kanan Saudara-saudara Oey dan Kho, kalian
berdua memotong dibelakang Han In Taysu bersama nona berdua
mengambil tempat ditengah-tengah"
Ban Liang dan Thio Giok Yauw menyahuti, segera keduanya
memecah diri kekiri dan kanan-Oey Eng dan Kho Kong merendak
sebentar, untuk memernahkan diri dibelakang.
Segera setelah mengatur itu, Siauw Pek bergerak kearah rimba.
Baru melalui kira kira setengah perjalanan Siauw Pek dan kawan
kawan melihat munculnya cahaya api diempat penjuru api dari
belasan batang obor. Dan diantara sinar api itu, tampak
bermunculan dari empat penjuru sejumlah pendeta yang terus
mengambil sikap mengurung Han In Taysu berjalan dengan kereta
tak dapat dia berjalan cepat. Ini pula sebabnya kenapa Siauw Pek
dan lainnya tidak bisa berlari lari. Karenanya terpaksa sianak muda
menghentikan tindakannya.
Diwaktu gelap seperti itu, para pendeta tak tampak jelas, apa
pula jubah mereka berwarna abu abu gelap. Tadi itu, mereka
bersembunyi sambil mendekam ditanah, lalu mereka bangkit.
Melihat jumlah kawan puluhan jiwa, Han in Taysu berkata cepat,
"Sebelum mereka membangun Lo Han Tin, lekas kita menyerbunya"
"Jangan bingung," berseru Soat Kun. Jangan sibuk"
"Lo Han Tin sangat liehay, nona," Han in memperingatkan,
"Semenjak dahulu, belum pernah ada orang lolos dari dalam tin itu"
"Aku tahu" sahut sinona. "Andaikata mereka sempat mereka
membangun Lo Han Tin, tak nanti mereka sanggup mengurung kita
sedikitnya mereka harus sudah insyaf."
Han in bungkam tetapi didalam hati ia berkata^ "Tak mungkin
nona." Segera juga tujuh pendeta telah menghadang.
Siauw Pek memandang tajam, hatinya berpikir keras^ "Tak dapat
tidak, terpaksa aku harus memperlihatkan contoh kepada mereka
ini. Atau didalam pertempuran, kedua belah pihak bakal mengalami
kerusakan. Bagi kita, kerusakan itu berarti kerugian besar dan
celaka..." Maka lekas lekas ia menyimpan pedangnya ke dalam
sarung, kemudian tangan kanannya terus meraba goloknya. Ia
segera berkata kepada pendeta itu: "Para Taysu, kamu waspadalah"
Suaranya itu sangat dingin, tak sadar untuk telinga lawan-
Ketujuh pendeta itu heran-Memang selama pertempuran dimuka
pendopo, mereka sudah menyaksikan ketangguhan anak muda ini.
Sekarang mereka heran melihat sianak muda menukar pedang
dengan golok mereka mengawasi mendelong. Para pendeta lainnya
turut mengawasi juga dengan tajam.
Siauw Pek tidak mau memberi kesempatan kepada sekalian
pendeta itu. Dengan sama dinginnya, bahkan berpengaruh sekali, ia
berkata keras: "sekarang perhatikan oleh kamu bertujuh orang. Aku
hendak membinasakan salah satu dari kamu orang yang ditengah "
Tak seharusnya menyerang orang, orang menyebut dahulu jelasjelas
siapa yang hendak diserang itu. cara itu berarti memberi
kesempatan lawan bersiaga, untuk melawan atau lari. Tapi sianak
muda telah melakukan itu. Itulah perbuatan yang sangat langka.


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Para pendeta itu heran, hingga mereka melengak.
Tak terkecuali juga Han In Taysu. Ketua Ngo Bie Pay ini
tercengang saking herannya, hingga dia mendelong mengawasi
sianak muda. Sedetik itu sunyilah keadaan dimedan pertempuran itu.
Walaupun demikian, semua pendeta diempat penjuru sama
waspada. Selagi keadaan sunyi itu, Siauw Pek memperdengarkan suaranya
yang keren: "Apakah kamu semua sudah siap sedia" "
Para pendeta telah bersiap, terutama yang ditengah itu, yang
ditunjuk si anak muda. Dia memasang mata, dia menyiapkan
goloknya didepan dada. "Pinceng sudah sedia." akhirnya dia berkata
perlahan-Enam orang pendeta lainnya bersiap untuk melindungi
atau membantu kawannya itu.
Siauw Pek memperlihatkan wajah dingin yang menyeramkan.
Sekali lagi ia memperdengarkan suaranya yang keren: "Nah,
waspadalah "
Menyusul peringatannya itu, Siauw Pek menghunus goloknya dan
membacok. Ia tidak menghiraukan jarak yang memisahkan ia dari
sipendeta. Secepat sinar putih dari golok berkelebat, terdengar sipendeta
menjerit menyayatkan hati, tubuhnya terus roboh bermandikan
darah. Tubuh itu tertabas kutung menjadi dua potong. Sia-sia
belaka keenam pendeta lainnya bersiap sedia, tak sempat mereka
melindungi kawannya itu. Mereka terlalu lambat untuk
berkelebatnya Toan Hun It Too golok ampuh dari Siang Go. Ketika
kemudian semua mata pendeta mengawasi si anak muda, dia
terlihat berdiri diam dengan tenang ditempat asalnya saja. Maka
kembali semua orang tercengang. Hingga sangat sunyilah suasana
disekitar mereka.
Siauw Pek menanti sebentar, lalu terdengar pula suaranya yang
dingin: "Sekarang aku hendak menyerang satu diantara kamu
berenam, aku maksudkan yang berdiri paling kanan sana. Maka
berhati hatilah kamu"
Segera setelah suaranya itu, bengcu dari Kim Too Bun
mengangkat tangannya dan menyerang. Keenam pendeta itu telah
siap sedia, sekarang mereka dapat menggerakkan senjata masingmasing
guna menangkis Hoan Uh It Too Golok Tunggal Jagat.
Karena itu, berisiklah suara bentrokan pelbagai alat senjata mereka
menentang golok istimewa itu.
Tapi cuma sekejap saja suara berisik itu, lalu diakhiri dengan
jeritan yang menyayatkan hati seperti semula tadi. Sebab pendeta
yang paling kanan itu roboh dengan tubuh menjadi dua potong
seperti rekannya tadi, menggeletak ditanah dengan berlumuran
darah Dan Siauw Pek. si anak muda, berdiri tegak tetap
ditempatnya. Semua pendeta melengak. mata mereka berkedapkedip.
Sampai disitu, Siauw Pek lalu berseru nyaring: "Matilah dia siapa
berani menentang aku" Dan ia bertindak maju untuk membuka
jalan. Rombongan Kim Too Bun segera bergerak, menuju kearah rimba.
Mereka berjalan tanpa rintangan, bagaikan didepan mereka tak ada
satu orang musuh jua Barulah sesudah orang masuk kedalam rimba
terdengar suara para pendeta itu: "Lekas Lekas pegat mereka"
Tentu saja tindakan mereka itu sudah kasip. meski benar ada
enam atau tujuh pendeta yang sadar segera dan terus lari mengejar
Thio Giok Yauw menoleh kebelakang, tangannya diayun. Ia
menggunakan jarumnya.
Pendeta-pendeta itu kaget melihat benda halus berkeredepan,
mereka memencari diri guna menolong jiwa mereka masing masing.
Siauw Pek yang jalan dimuka mendadak memutar tubuh, untuk
lari kebelakang. "Nona, lekas memasuki rimba" ia berseru kepada
Nona Thio. Giok Yauw meng insaft keliehayan sianak muda, ia mendengar
kata. Tapi dasar sibocah nakal, sambil berjalan pergi, ia tertawa dan
berkata: "Kawan kepala gundul sangat takut kepadamu, pergi kau
gertak mereka"
Siauw Pek tidak menggubris nona itu, sebaliknya ia bertindak
keluar rimba. "Siapa tidak takut mampus" " bentaknya. "Mari maju"
Habis menyingkir dari jarum Giok Yauw, para pendeta sudah
berkumpul pula, niatnya untuk melanjutkan pengejaran mereka
kedalam rimba, siapa tahu sekarang mereka dihadang sianak muda
yang ditakuti itu. Dengan serempak mereka menghentikan tindakan
kaki mereka, semua mengangkat kepala, mengawasi anak muda itu.
Siauw Pek berdiri tegak dengan tangan kanan pada gagang
goloknya, matanya mengawasi musuh, sedangkan semua musuh
melongo mengawasinya. Ban Liang mengawasi suasana tegang dan
sunyi itu, ia menghela napas. "Aku rasa tak ada jago Bu Lim lainnya
seperti pemuda ini..." katanya perlahan.
"Memang" kata Han In Taysu. "sudah ilmu silatnya demikian
liehay, goloknya begini ampuh. Mungkin dialah yang bakal
menghindar kaum Rimba Persilatan dari bencana besar. Ketika baru
saja loolap melihat cara ia menghunus golok, loolap menjadi ingat
satu orang..."
"Siapakah orang itu" " Ban Liang tanya.
"Pa To Siang Go, yang kaum Rimba Persilatan menyebutnya
Hoan Uh It Too."
Mendengar jawaban itu, Ban Liang tersenyum "Setelah sekarang
ini, baiklah aku tak usah mendustai kau lebih lama lagi, taysu,"
katanya. Han In Taysu heran, hingga dia memandang melongo. "Apakah
katamu siecu" " dia menegaskan.
"Kecuali Thian Kiam Kie Tong dan Pa Too Siang Go," menyahut
jago tua itu, "siapa lagi dikolong langit ini yang sanggup bertahan
dari kawanan pendeta Siauw Lim Sie ini, yang cara menyerbunya
bergelombang" Siapakah lagi yang didalam pertempuran dapat
membinasakan lawan dengan menunjuk bakal korbannya sekali" "
Han In Taysu melengak pula, dia mengawasi tajam.
"Jadi menurut kau, siecu, pemuda ini seorang diri memiliki
kepandaian merangkap yang istimewa itu" " dia tanya, matanya
mengimplang. Ban Liang mengangguk.
"Tidak salah Dialah ahli waris Thian Kiam dan Pa Too"
"Melihat kepandaiannya, tak mau loolap menyangka," berkata
ketua Ngo Bie Pay itu, masih ragu ragu. "Tapi, menurut apa yang
loolap tahu, sudah lama Thian Kiam dan Pa Too tidak pernah
memperlihatkan diri lagi, bahkan semenjak mereka
menyembunyikan diri diseberang Seng Su Klo, orang tak tahu lagi
mereka masih hidup atau sudah mati. Mungkinkah pemuda ini
berhasil melintasi jembatan maut itu hingga ia memperoleh
kepandaian ini dan kemudian berhasil pula menyeberang kembali
melalui jembatan itu" "
Kembali Ban Liang mengangguk.
"Taysu, tahukah kau siapa pemuda kita ini" " tanyanya selang
sesaat. Pendeta tua ini menggelengkan kepalanya. "Loolap tidak
tahu." "Ketika dahulu empat ketua dari empat partai besar berkumpul di
Pek Ma San dimana mereka menemui ajalnya secara hebat dan
menyedihkan, setelah itu ada seorang lain yang menjadi sasaran
pembalawan karena kebinasaan mereka itu. Bukankah sasaran itu
ialah pihak Pek Ho Bun sekeluarga atau seluruh anggota partai" "
"Memang telah loolap pikir," berkata Han In Taysu, "bahwa
setelah peristiwa itu, bakal muncul ekor yang hebat, yang
mendatangkan rasa penasaran sekali..."
"Benar. Dan ratusan jiwa orang Pek Ho Bun telah jadi kambingkambing
kurban itu..."
"Ban Hu hoat" tiba-tiba terdengar suara Nona Hoan.
"Loohu disini, nona" sahut sijago tua, sang hu hoat, pelindung
hukum. "Mungkin hu hoat mengetahui hal rimba ini," berkata si nona.
"Rimba ini tidak terlalu lebat, tapi juga didalam sini tidak ada tempat
terbuka yang lebih daripada lima kaki luasnya, maka itu, walaupun
Lo Han Tin Siauw Lim Sie lihay, aku percaya tak nanti It Tie mampu
membangun tinnya itu disini..."
"Itulah benar, siecu" Han In Taysu mendahului sijago tua
menjawab. "cuma, selagi Siauw Lim Sie tidak mampu membangun
tinnya disini, kita juga tidak dapat mengatur tin sendiri Maka itu,
bukankah kita sama tak berdayanya" "
"Tapi tinku lain, taysu," berkata soat Kun "Tinku justru dapat
menggunakan rimba lebat ini. Selain tidak membahayakan, justru
kehebatannya ini menambah kegaiban tinku." Han In Taysu
melengak. Dia heran sekali.
"Ah, tin apakah ini" " ia tanya diri sendiri.
"Diantara kalian, tuan tuan, mungkin ada yang kurang percaya
akan kata kataku," berkata pula si nona kemudian-"Akan tetapi, asal
saja kalian suka menuruti segala petunjukku, aku tanggung pastilah
tidak akan salah"
Han In Taysu berpikir. "Mungkinkah nona ini cerdik luar biasa"
Baiklah aku dengar kata katanya."
Tengah ketua Ngo Bie Pay berpikir itu, telinganya mendengar
bentakan dari kemurkaan: "Sambutlah golokku ini" Dan menyusul
itu, menjeritlah seorang pendeta, yang tubuhnya roboh ditanah.
Itulah suara keren dari Siauw Pek, yang menggunakan goloknya
saking terpaksa sebab seorang pendeta merangsak kepadanya,
membuatnya gusar sekali.
Lalu terdengar suara Nona Hoan: "Sekarang ini, tuan tuan, tak
sempat aku menjelaskan banyak banyak. waktu sudah tidak ada.
Marilah mengatur diri, untuk mendengar kata kataku."
Kembali Han In kata dalam hatinya "Inilah yang belum pernah
aku alami..."
Tepat waktu itu diluar rimba terdengar puji suci yang tinggi
nadanya, lalu belasan pendeta merangsak kepada Siauw Pek,
agaknya mereka itu tidak kenal mati.
Sianak muda heran. Tak mengerti ia akan puji itu. Ia hanya
menerka, mungkin itu tanda "berani mati" guna membangunkan
semangat, buat bertempur mati atau hidup, Bukankah beberapa
orang pendeta sudah mati konyol" Tak mungkinkah kawankawannya
hendak memba secara membabi buta"
Tapi dia didesak lagi. Bagi Siauw Pek tak ada pilihan lain-"Kamu
terlalu, baiklah" serunya. Maka ia menyambut pendeta yang
pertama. "Aduh" teriak pendeta itu, yang terus roboh tanpa nyawa. Golok
ampuh telah menabas kutung tubuhnya Menyaksikan itu, para
pendeta lainnya merendak. Kembali mereka melihat hebatnya golok
itu, yang tak dapat dilawan, yang tak pernah memberi keringananSementara
itu Siauw Pek menyimpan goloknya, buat berganti
menghunus pedang.
"Para suhu" ia berseru, "tak ingin aku melukai atau membunuh
orang, tetapi aku terpaksa dibuatnya. Sekarang aku beritahukan
kepadamu kapan kamu masih tetap mendesak padaku,
pembunuhan pembunuhan lagi"
Para pendeta itu gusar beserta takut. Bukankah telah beberapa
saudaranya terbinasakan" Tapi mendengar suara sianak muda,
mereka dapat berpikir Memang benar pihak merekalah yang
mendesak terus terusan, yang membuat orang nekad.
Rahasia Peti Wasiat 5 Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Hati Budha Tangan Berbisa 6
^