Pedang Golok Yang Menggetarkan 19

Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen Bagian 19


"Kalau dia mogok, kemana perannya jikalau dia tak pernah
membunuh" " demikian mereka menimbang.
Karena ini, berhentilah puji mereka itu Siauw Pek sementara itu
mengawasi musuh sambil ia berpikir.
"Didalam pendopo, walaupun kita terkurung, ada juga
rintangannya, yaitu pintu dan tembok." demikian pikirny a. "Disini
ditempat terbuka, kalau mereka datang dari segala arah, sulit untuk
menolong mereka itu. Untuk membela diri mau tak mau, aku toh
mesti mengandalkan golok."
Tepat waktu itu terdengarlah suara Soat Kun: "Jangan
membunuh lebih banyak orang lagi Lekas mundur"
Mendengar itu Siauw Pek menurut. la memang mengerti keadaan
dan mengenalnya juga dirinya sendiri. Semenjak tadi sudah terlalu
lama ia bertempur, maka juga , perlu ia beristirahat, guna
memelhara dirinya.
Selekasnya sianak muda mundur, musuh merangsak. hanya
didalam rimba yang lebat itu, mereka tak dapat berombongan,
mereka mesti berpencar.
Setelah mundur enam tombak. Siauw oek dapat berkumpul
bersama kedua Nona Hoan-Ia melihat Ban Liang, Oey Eng, Kho
Kong dan Giok Yauw bersembunyi dibelakang sebuah pohon besar,
sedangkan Han In Taysu bersama keretanya menempatkan diri
dibelakang sebuah pohon lainnya. Kedudukan mereka itu
merupakan separuhnya sebuah bundaran-Kedua Nona Hoan
berdiam ditengah tengah sekali.
Biar bagaimana, Siauw Pek tidak melihat bahwa itulah sebuah
tin- Ia heran-"Bengcu," terdengar suara Nona Hoan, perlahan,
"silakan bersama kami berdua saudara mengambil tempat
kedudukan tengah ini guna menyambut yang lainnya."
cuaca waktu itu suram. Awan tebalpun menutupi sang putri
malam, yang telah mulai muncul. Tanpa terasa sang malam telah
tiba. "Bagaimana dengan kepandaian bengcu menggunakan senjata
rahasia" " Soat Kun kemudian bertanya. Selalu ia bicara bagalkan
berbisik. "Buruk" sipemuda mengakui.
"Kalau begitu, coba cengcu menggeser kekiri tiga tindak." minta
sinona. "Disitu ada setumpuk batu, ambillah sedikit, buat disimpan
di dalam saku baju, guna dipakai merintangi musuh Mereka harus
dicegah datang mendekati sambil membawa obor dengan begitu
malam ini tak akan mereka menyerbu pula."
"Mereka cuma mengurung kita, mungkin mereka sedang
menantikan sang siang untuk melanjutkan pengepungannya . "
"Benar. Akupun membutuhkan waktu ketenangan lagi satu atau
dua jam saja."
siauw pek percaya sinona, ia tak mau bicara lagi. Ia bertindak
kekiri dimana benar terdapat banyak batu kecil. Ia menjadi sangat
kagum. "Nona ini tidak dapat melihat tetapi ketelitiannya luar biasa. Dia
memikir apa yang orang ia tak ingat." Demikian pikirnya.
Kemudian terdengar Soat Kun berkata pula^ "Asal Hong Thian
membantu kita, asal awan tetap mendung lagi satu jam, itulah
sudah cukup,"
Kembali siauw Pek kagum. Sinonapun tahu cuaca gelap itu dan
telah mengharapi bantuan Hong Thian Tuhan Yang Maha Kuasa.
Baru saja berhenti suara sinona, tiba tiba sinar api berkelebat.
Itulah dua batang obor yang ditimpukkan masuk.
siauw Pek waspada dan sebat sekali. Segera ia menimpuk
dengan kedua belah tangannya, memadamkan api obor itu. Ia
bukan ahli senjata rahasia tetapi timpukannya tepat. Api padam
seketika^ Segera terdengar suara sinona^ "Pada saat ini didetik ini, biar
bagaimanapun, tak boleh musuh diizinkan menyerbu masuk"
"jangan khawatir, nona" Siauw Pek memberikan perkataannya.
Nona Hoan tidak mengatakan sesuatu lagi.
siauw Pek tahu, nona itu sedang mengasah otaknya dan bekerja.
Dengan dibantu adiknya si nona lalu jalan berputaran disitu.
cuaca makin gelap. angin malampun menggoyang-goyangkan
cabang-cabang pohon hingga menerbitkan suara berisik halus.
Sukar untuk melihat jelas keliling.
Didalam gelap dan sunyi itu, kecuali suara sang angin, mendadak
terdengar dua kali suara tertahan. Itulah suara bentroknya dua
buah tangan, yang mengakibatkan salah satu pihak terlukakan.
Menyusul itu dari tempat terpisah beberapa tombak terdengar
perintah: "Lekas nyalakan api "
siauw Pek terperanjat. Ia mengenali suara It Tie Taysu, ketua
siauw Lim Sie. Maka ia lalu berpikir: "Untuk mencegah penyerangan
musuh, kelihatannya perlu aku melakukan atau merobohkan
pendeta ini. Tanpa dia, para pendeta pasti tak akan berlaku mati
matian-.."
Selagi ketua Kim Too Bun ini berpikir itu, cahaya api telah
tampak. Itulah apinya empat buah obor, yang terpencar diempat
penjuru, jaraknya satu dengan lain kira2 setombak lebih Dengan
adanya sinar api itu maka tampaklah Soat Kun, sambil memegangi
pundak adiknya tengah berjalan berputaran sejauh dua tombak.
Dengan sebat Siauw Pek menggerakkan pula kedua tangannya,
melontarkan batu-batu yang digenggamnya, kearah dua buah obor
Kali ini ia gagal memadamkan api itu. sebabnya ialah, dua batang
golok telah dipakai menghajar, merintangi batu itu.
Terangnya api membangunkan semangat para pendeta yang
berpencar diempat penjuru. Terangnya api membuat mereka dapat
melihat pihak lawan, dalam hal ini, nona nona she Hoan itu. Dengan
selalu berlindung diantara pepohonan, mereka itu mencoba maju,
guna mendekati kedua nona.
soat Kun masih tetap jalan memutari tempat lingkungannya itu,
cepat jalannya. Para pendeta heran-Biar begitu, mereka itu terus
maju. Pihaknya siauw Pek juga tak dapat menerka maksud Nona Hoan,
tapi mereka juga tidak berani bertanya apa apa, mereka cuma
waspada. Han In Taysu sementara itu memperhatikan keempat buah obor,
yang cahaya terangnya merugikan pihaknya dan sangat
menguntungkan musuh. Ia menginsafi ancaman petaka sebab pihak
Siauw Lim Sie tak dapat dipandang ringan, baik jumlah maupun
kepandaiannya. Musuh makin mendekati. Itulah berbahaya. Maka
pada akhirnya, ia tak dapat tahan sabar lagi.
"Api obor itu mesti dipadamkan" katanya kemudian-"Siapa yang
sudi maju bersama aku untuk menerjang musuh" " sambungnya
lagi. Walaupun ia berkata demikian, Tapi mata sipendeta diarahkan
kepada coh siauw Pek.
Anak muda itu juga menginsafi ancaman bencana itu. Dari pada
menanti sampai kena dikurung lebih baik musuh dihadang dahulu.
"Suka ku mengikuti loocianpwee" ia menjawab Han in Taysu.
"Tetapi lebih dahulu Nona Hoan harus diberitahukan"
"Ya, memang kita harus menanyakan nona itu dahulu," Han
Inpun bilang. siauw Pek segera mendekati Soat Kun, dengan perlahan ia
berkata: "Nona, musuh telah merangsak mendekati kita, niatnya
mau mengurung, karena itu aku memikir bersama Han In Taysu
untuk menyambut mereka, guna merintanginya. Bagaimana pikiran
nona" "
Tidak ada jawaban dari si nona. Entah ia tidak mendengar atau
sengaja ia membungkam. Ia tetap berdiam walaupun si anak muda
telah mengulangi kata katanya.
Sementara itu dilain pihak, Thio Giok Yauw sudah bentrok
dengan musuh. Tak dapat ia mengendalikan diri menyaksikan
musuh mendesak maju, walaupun hanya setindak demi setindak.
Begitulah sambil membentak. ia menimpuk dengan jarumnya, Dua
orang pendeta kena terhajar senjata rahasia yang halus itu,
walaupun sebenarnya mereka telah mendengar suara si nona. Inilah
sebab mereka kalah sebat. Karena itu, mereka lalu mundur. Tapi,
dua orang mundur, empat yang lain telah pula menggantikannya.
Han In Taysu menyakslkan kejadian itu, mendadak dengan
tangan kanannya ia menepuk sebuah pohon sambil berkata keras:
"Kita tak dapat menanti lagi" lalu, dengan satu gerakan keras, ia
menggelindingkan keretanya maju. Luar biasa ketua Ngo Bie Pay ini.
Dengan kecekatannya, ia berhasil membuat keretanya berjalan
diantara pohon pohon kayu itu. Kalau perlu, dengan menyambar
pohon, ia bisa membikin keretanya berhenti dengan tiba-tiba.
Secara begini ia telah mendekati musuh hingga sejarak satu
tombak. Ketika ia menghentikan keretanya, tangan kirinya memegang
sebuah pohon-Seorang pendeta, yang bertubuh tinggi besar, heran
mengawasi pendeta yang bercacat itu. Ia tidak merasa jeri karena ia
mendapat kenyataan bahwa sipendeta tua bercacat kedua kakinya,
bahkan ia segera berlompat maju, untuk menyerang dengan
tongkatnya. Itulah hajaran kematian, yang dari atas turun kebawah
Han In Taysu berkelit dengan tangan kirinya menolak pohon yang
tadi ia pegangi, di lain pihak. dengan tangan kanan, ia menyambar
pohon lain disisinya, guna menahan meluncurnya keretanya Lalu,
dengan sangat sebat, dengan tangan kiri, ia membalas menyerang
dalam rupa bacokan tangan Hebat serangan sipendeta Siauw Lim
Sie, lengannya turun mengikuti ujung tongkatnya.
Justru selagi lengannya turun tak sempat diangkat naik, tibalah
bacokan tangan lawannya. Tidak ampun lagi... lengan kanan itu
terhajar patah.
Tidak cukup dengan bacokan tangan itu, selagi musuh kaget dan
kesakitan, Han In meluncurkan tangan kanannya, untuk menyambar
dada orang. Ia meninju tepat. Musuh itu menjerit keras, tubuhnya
tertolak mundur, roboh terjengkang kebelakang, terbanting di
tanah, tongkatnya terlepas jatuh.
Gerakan Han In Taysu itu dilakukan dengan tubuhnya terangkat
dari keretanya, maka juga , habis menyerang itu, tubuhnya terpisah
dari kereta itu. Maka waktu tubuhnya turun, ia turun terus ketanah
dimana ia terus duduk numprah.
Ketika itu muncul empat orang pendeta lainnya. Mereka itu
melihat kawannya roboh, tanpa ayal lagi, mereka segera menyerang
ketua Ngo Bie Pay itu. Mereka maju dari kiri dan kanan-Melihat
datangnya musuh, dengan cepat Han In Taysu memungut tongkat
lawannya tadi, selekasnya serangan tiba, ia menggunakan tongkat itu untuk
menangkis berputar, dari kiri terus kekanan.
Keempat lawan itu berlompat mundur.
Melihat musuh mundur, Han In menimpuk dengan tongkat di
tangannya itu. Ia mengarah lawan yang kedua dari kiri. lawan ini
tidak menyangka bakal diserang secara demikian rupa, tak sempat
dia menangkis atau berkelit, tahu tahu perutnya telah ditembus
ujung tongkat, hingga dua cuma bisa menjerit satu kali, terus dia
roboh dan binasa.
Habis menimpuk itu, dengan kedua tangan Han In menekan
tanah, sambil menekan iapun menggerakkan tubuhnya, untuk
dilambungi kearah kedua musuh yang di kanan, untuk melewatinya.
Ketiga pendeta itu kaget bercampur gusar, maka mereka
mengepung si cacad ini. Tetapi waktu itu, Siauw Pek keburu tiba.
Dan sianak muda segera menikam musuh yang kedua dikiri.
Pendeta itu berani, dia menangkis dengan goloknya.
Siauw Pek menarik kembali pedangnya itu, untuk terus
diluncurkan kepada musuh lainnya. Ia bergerak sebat dan lincah
seperti biasa. Ketiga musuh itu menjadi jeri. Mereka mengenali anak muda
yang liehay ini.
Ketika itu tiba tiba terdengar suatu suara yang bengis. "Kamu
jangan mundur. Kau lihat pemuda itu, jangan kasih dia kesempatan
untuk menolong kawan kawannya. Jangan mundur walaupun kamu
bakal mati"
Suara itu bengis dan dingin, bernada kejam. Tidak mungkin itu
dikeluarkan oleh seorang pendeta. Tapi itulah suara It Tie Taysu,
ketua Siauw Lim Sie. Mendengar perintah itu, ketiga pendeta batal
mengundurkan diri, sebaliknya dengan nekad mereka merangsak
Siauw Pek. Siauw Pek melayani ketiga musuh itu, sambil berkelahi, ia melirik
kearah Han In Taysu Pendeta itu sudah bertempur pula, bahkan dia
dikepung oleh empat orang musuh. Karena ia tak duduk diatas
keretanya, dia tetap numprak di tanah. Untuk menghalangi musuh
datang dekat, saban saban dia menggunakan pukulan angin
menyerang kepada musuh musuhnya itu.
"Walaupun dia liehay, tak dapat dia dikepung terus terusan," pikir
ketua Kim Too Bun itu. "Lama lama dia bisa kehabisan tenaga.
Dialah seorang penting bagiku, tak dapat dia dibiarkan bercelaka,
aku harus membantunya"
Begitu berpikir, begitu Siauw Pek mengambil keputusan. Segera
dia itu mengurung ketiga lawannya dengan sinar pedangnya,
sehingga lekas sekali mata mereka itu berkunang kunang tapi
mereka ini mau mentaati perintah ketua mereka, masih mereka
mencoba bertahan-.. Ada kalanya mereka memejamkan mata, buat
terima binasa, sebab ujung pedang mengancam hebat dan mereka
tidak berdaya menghindari diri. Tetapi nyatanya mereka tidak
terlukakan mereka heran-Tentu saja mereka tidak tahu bahwa
memang demikianlah sifatnya Pedang Maha kasih, yang tak biasa
merampas jiwa. Selagi tetap dikepung itu, hati Siauw Pek menjadi tegang sendiri.
Disamping ia menyaksikan Han In Taysu terus dikurung, sejumlah
pendeta lainnya tengah menghampiri kedua Nona Hoan-itulah
berbahaya Bagaimana ia harus memecah diri untuk memberikan
bantuannya"
Habis juga kesabarannya pemuda ini, wajahnya berubah menjadi
merah padam. Segera ia meraba gagang goloknya. Tadi ia maju
bersama Han in Taysu guna memadamkan obor, siapa tahu, mereka
jadi kena dikurung oleh lawan lawan yang bandel itu.
Sesudah mengurung musuh musuhnya, yang tak mau mundur,
Siauw Pek mundur sendirinya tetap sambil mundur, ia berkata
bengis: "Ketiga suhu, kamu terlalu. Kenapa kamu mendesakku begini
rupa" Baiklah, kamu membuat aku habis daya"
Kata kata itu ditutup dibarengi menyerang dengan hunusan golok
ampuh. Maka menjeritlah pendeta yang di tengah. Kepalanya
terpisah dari tubuhnya Tubuhnya dan kepalanya itu jatuh terbanting
keras. Sisa kedua musuh lainnya jadi tercengang. Tidak mereka lihat
bagaimana bergeraknya golok musuh. Ketika mereka menatap si
anak muda, dia itu tengah berdiam, pedangnya di tangan kiri,
tangan kanannya digagang golok. Mereka heran, tak tahu mereka
musuh menggunakan pedang atau goloknya itu...
"Mundur" kemudian Siauw Pek berseru bengis. "celakalah siapa
menentang ku" Lalu dia bertindak maju.
Tanpa merasa kedua pendeta itu membuka jalan kekiri dan
kekanan, baru setelah sianak muda lewat, mereka bagaikan
tersadar, segera mereka lari menyusul Rupanya mereka ingat pesan
ketua guna melibat anak muda itu...


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siauw Pek tahu orang menyusulnya, ia tidak ambil pusing. Ia
maju terus kearah Han in taysu yang masih dikurung keempat
pendeta itu, timbullah hawa amarahnya.
"Kamu terlalu..." teriaknya. "Kamu sangat menghina orang
bercacad. Bagaimana hina akan mengepung cara begini kepada
seorang yang tak berdaya" Nah kamu lihatlah golokku." Kali ini anak
muda membuktikan kata katanya itu, tanpa memberikan ancaman
pula, Ia segera menghunus goloknya. Maka robohlah Salah seorang
pendeta, dengan tubuhnya terkutung dua. Ketiga pendeta lainnya
kaget. Justru itu dua diantaranya memperdengarkan jeritan
tertahan. Selagi mereka berdiam itu, pukulan anginnya Han In
Taysu telah tiba kepada tubuh mereka hingga selain nyeri, mereka
itu terpukul mundur dengan limbung.
Pendeta yang ketiga itu masih berdiri menjublak. inilah
disebabkan kesangsiannya untuk mundur teratur. Ia takut kepada
ancaman ketuanya, yang menugaskan mereka mengurung dan
membekuk lawan-Justru ia berdiam saja, Han in Taysu sudah
menyerang pula kepadanya. Tanpa ampun, ia menjerit tertahan,
tubuhnya terpelanting, roboh terguling seperti kedua kawannya
terdahulu Tapi dia masih sadar terus dia rebah saja. Dia tahu, maju
salah, mundurpun salah, maka paling benar, jalan rebah diam saja.
Han In heran orang roboh dengan tak bergerak bangun pula. Ia
tahu, serangannya barusan bukan serangan kematian. Tapi ialah
seorang cerdas, segera ia menduga kepada sebabnya itu. Rupanya
ketiga pendeta sengaja tidak bangkit pula, supaya mereka tak usah
dimata ketua mereka.
"Mungkin mereka ini sudah mulai mencurigai ketua mereka" "
ketua Ngo Bie Pay itu berpikir lebih jauh. "Kalau benar, ancaman
bahaya untuk kita pastilah akan berkurang..."
Berpikir demikian, pendeta ini tersenyum, Terus ia bergerak pula.
Dengan kedua tangannya dia menekan tanah, untuk melompat
mengapungkan diri guna menghampiri sebuah bara api menyala
yaitu obor. Hanya dengan satu kali sampok. padamlah nyala api itu.
Siauw Pek dapat melihat gerak gerik pendeta tua, ia menjadi
kagum. "Dasar jago asli" katanya didalam hati. "Dia cacad begini
tetapi tetap liehay dan semangatnya berkobar terus. Karena itu aku
coh Siauw Pek, yang mengandung dendam kesumat hebat, apakah
aku harus takut mati" "
oleh karena berpikir demikian, anak muda ini segera maju
kedepan. Justru itu ia mendengar suara Han In Taysu. "Pendetapendeta
Siauw Lim sie itu sudah bosan berkelahi, jangan siecu
terlalu banyak membinasakannya, nanti membangkitkan kenekadan
mereka hingga mereka tak segan mengadu jiwa."
Siauw Pek melengak. Kembali ia berpikir^ "Memang kalau
mereka semua nekad, sulit untuk melayaninya..."
Tak sempat pemuda ini berpikir lama. Dari kiri dan kanan tiba
serangan berbareng. la menangkis yang dikiri sambil berkelit dari
yang dikanan, serentak dengan itu ia lompat melewati mereka.
Hanya sampai disitu, kedua pendeta itu tidak menyusul lebih jauh.
Maju sedikit lebih jauh, Siauw Pek mendekati obor. Dan segera ia
menyampok dengan tangannya. Tapi dalam hal tenaga dalam, ia
kalah dengan Han in Taysu. obor itu tidak padam, cuma bergoyan
goyang, lalu tetap menggenciang. Hanya dilain saat, api padam
akibat hembusan angin-Kiranya itulah serangannya pendeta Ngo Bie
Pay. "Lekas mundur" terdengar suara sipendeta "Musuh sudah mulai
bentrok dengan Ban Tayhiap sekalian."
"Masih ada sisa api," kata anak muda. Tapi mendadak obor
lainnya padam juga .
"Heran," pikir si anak muda. "Bukankah Han in Taysu sudah
mundur" Siapakah yang membantu kita" "
Ketika itu terdengarlah bentrokan senjata yang nyaring berisik,
datangnya dari arah timur selatan-Itulah pertanda bentrokan yang
keras. Mendengar itu, si anak muda percaya pasti ada orang yang
membantunya. Hanya ketika itu, dengan padamnya obor, gelaplah diantara
mereka. Tanpa bersangsi pula, anak muda ini mundur perlahanlahan
cuma telinganya terus mendengar suara bentrokan alat alat
senjata. Dan memang juga pihak Siauw Lim Sie sudah menghampiri Ban
Liang dan kawannya.
Selesai Siauw Pek mendekati, ia melihat Giok Yauw bersama Kho
Kong lagi melayani empat orang pendeta yang mengepung mereka
itu. Tampak Kho Kong sudah mulai terdesak. Nona Thio masih dapat
bertahan- Diantara ke empat pendeta, yang bersenjatakan tongkat,
kelihatan lihay sekali, dialah yang mencoba mendesak. Dengan
cepat si anak muda mengambil putusan buat membantu saudaranya
itu. Akan tetapi baru ia mau maju, mendadak sipendeta yang lihay
itu telah memperdengarkan seruan tertahan, terus tongkatnya
terlepas, disusul dengan roboh tubuhnya.
Menyusul itu, satu tubuh tampak berlompat bagaikan burung
melayang, menghampiri tiga pendeta lainnya, dua diantaranya
roboh sambil berseru tertahan juga . Karena orang yang datang
secara tiba-tiba itu sudah menyerang kekiri dan kekanan dengan
kesebatan luar biasa Habis itu, dia berlompat pula kesebelah timur.
Sekelebatan itu, Siauw Pek telah mendapat melihat siapa orang
gagah itu, maka kekagumannya menjadi berlimpah-limpah. Sebab
orang itu tidak lain dari pada Han In Taysu. "Jikalau tidak ada dia,
sungguh berbahaya keadaan kita," pikir si anak muda. Justru itu
terdengar suara Giok Yauw. "Nona Hoan terluka..."
Siauw Pek kaget, dia melompat maju, sambil melewati pendeta
yang keempat, dengan ujung pedangnya ia menepuk bahu pendeta
itu. Pendeta Siauw Lim Sie itu tengah berdiri menjublak. ia telah
menyaksikan bagaimana tiga kawannya, yang menjadi kakak
seperguruannya telah dirobohkan dengan saling susul. Atas tepukan
pedang sianak muda itu, dia merasa nyeri, dia mundur dua tindak.
terus dia memutar tubuh untuk berlalu.
Didalam rimba terdengar pula bentrokan senjata berisik sekali,
maka juga Han in Taysu segera pergi kesana.
Siauw Pek berlari, sampai ia tiba ditempat Soat Kun-Nona itu
memegangi bahu Soat Gie, Lengan kanannya casah dengan darah,
bajunya telah robek. Ketika ia melihat sianak muda, ia segera
berkata: "Tidak apa, lukaku ringan Pergi lekas lihat yang lain-lain.
Jumlah kita sangat sedikit, tak boleh ada orang kita yang terluka lagi
" Berkata begitu, sinona tak berhenti berjalan. ia bersama adiknya
yang membantunya, terus mengatur tin, barisan rahasianya itu.
Siauw Pek tidak dapat bicara banyak. ia mengagumi sinona yang
nyalinya besar dan tabah. Hanya sebentar ia berkata: "Nona,
jagalah diri baik baik" Habis itu ia lari kepada Ban Liang.
Seng Su Poan lagi bertempur melawan tiga orang pendeta, yang
semuanya gagah, lebih-lebih yang satunya, yang senjatanya
tongkat. Dengan tongkatnya pendeta itu merabu pulang pergi,
selalu mengincar bagian anggota tubuh yang berbahaya.
Pendeta yang dikanan, yang bergolok kaytoo saban-saban
menikam dan membacok. dia juga terus mengancam bagian tubuh
yang lemah. Adalah pendeta yang ditengah, yang membawa golok. sebagai
gantinya senjata tajam dia mengandalkan kedua tangannya, setiap
pukulannya mendatangkan hembusan angin. Nyatalah bahwa dia
pandai ilmu pukulan tangan kosong, atau yang disebut "Pek Khong
ciang" pukulan "Tangan Udara", sebagaimana tadi Han in Taysu
menghajar ketiga pendeta lainnya.
Walaupun ia didesak dan terancam, Ban Liang tidak mau
mundur. la bertahan terus. Tak kecewa ia menjadi jago tua. Sayang
karena terdesak tak sempat ia menggunakan pukulan Ngo Kwie
Souw Hun ciang yang lihay itu.
Segera setelah ia tiba, Siauw Pek menangkis golok kaytoo dari
pendeta yang disebelah kanannya Ban Liang. Rupanya sipendeta
mengenali sianak muda. begitu goloknya ditangkis, begitu dia
mengangkat kaki pergi meninggalkannya.
Habis itu, Siauw Pek menyampok tongkat pendeta yang kedua,
setelah mana ia terus membalas menyerang. Dengan cepat ia sudah
menguasai lawan-Ketika pendeta itu melihat sianak muda, seperti
kawannya tadi, dia segera lompat mundur, untuk berlalu pergi
Sekarang tinggal seorang pendeta lagi. Dialah yang berkelahi
dengan tangan kosong.
Siauw Pek menyerang, mendesak dengan tiga tikaman saling
susul. Dengan begitu ia membuat lawan terpaksa mundur. Lawan
itu merasa aneh. Dia didesak tapi tidak dilukai. Tak tahu dia akan
maksud anak muda ini, dari merasa aneh, dia menjadi merasa likat,
malu sendirinya. Diapun melihat kawan kawannya sudah pada pergi.
Maka tak ayal lagi, dia melompat mundur dan mengangkat kaki.
Dengan empat batang obor telah pada mati semuanya, rimba
menjadi gelap. sukar untuk melihat walaupun sejarak lima kaki.
Gelap gulita itu menguntungkan rombongan sianak muda.
Seberlalunya ketiga musuh yang terakhir itu, mendadak Ban
Liang jatuh numprah ditanah.
Siauw Pek terkejut, segera ia menghampiri, untuk
membangunkannya. "Apakah loocianpwee terluka" " tanyanya
prihatin. Sijago tua tidak menjawab, ia hanya menggelengkan kepala,
terus dia memejamkan mata untuk beristirahat. Sebenarnya dia
telah kehabisan tenaga, saking kuat hatinya, dia masih bertahan
tadi Siauw Pek berduka, nona Hoan terluka, Ban Liang kehabisan
tenaga, maka itu tenaganya jadi makin berkurang. Entah dengan
Oey Eng bertiga. Ingin ia melihat ketiga kawan itu tetapi ia berat
meninggalkan Soat Kun bertiga. cuma ia merasa hatinya lega juga
sebab disekitarnya sunyi, tak ada suara beradunya alat senjata.
JILID 38 Heran kenapa It Tie menghentikan serbuannya, pikirnya lebih
jauh. Didalam kesunyian itu, tiba-tiba terdengar suara Giok Yauw yang
bertanya "Eh, apakah kau cian Peng" "
Tertawa yang nyaring adalah jawaban atas pertanyaan itu,
kemudian tawa itu disusul kata-kata ini: "Eh, budak. kenapa kau
menyebut namaku terang-terang" Apa itu bukan berarti kau
membuka rahasia" Aku sinelayan tua tak berani berterang terang
menentang pendeta pendeta dari Siauw Lim Sie, aku membantu
secara diam diam saja, didalam gelap. Kenapa kau banyak mulut" "
Terdengar pula suara sinona, yang tertawa mengejek.
"Sebenarnya kau telah pergi kemana" " tegurnya.
"Aku sinelayan tua tahu kamu mau pergi ke Siauw Lim Sie,
karena itu mana berani aku seorang diri mengikuti kamu untuk
mengantarkan jiwa" " Giok Yauw tertawa jenaka.
"Oh, kiranya kau pergi mencari pembantu" Terima kasih Terima
kasih" cian Peng tertawa dingin-
"Siapa mencari pembantu untuk kau" Aku mengundang
pembantu membantu diriku sendiri "
Segera terdengar suara tawar: "Eh, nelayan bangkotan. Siapakah
yang sudi membantumu. Ingat, jangan kau menempel emas pada
mukamu" Lalu terdengar pula suara cian Peng itu: "Jikalau kau
datang kemari bukan untuk membantu aku, habis buat apakah
kedatanganmu ini" "
Suara tawar itu terdengar pula: "Nelayan bangkotan, apakah kau
kira aku tak berani datang sendiri kemari" "
"Hei, nelayan bangkotan" Giok Yauw menegur. "Kenapa kau
membuat seorang sahabat menjadi tidak senang hati" "
Kemudian terdengar suara cian Peng, suara yang bernada gusar:
"Eh, bocah Cilik, kenapa kau berani sembarangan membelai orang"
Tahukah kau siapa dia" Kenapa kau lancang" Mana bisa kau
sembarang mengikat persahabatan" "
"Diempat penjuru lautan, semua orang bersaudara" berkata si
nona. "Apakah salahnya untuk mengikat persahabatan" "
"Bukan begitu, itulah tak dapat" berkata Cian Peng pula : " orang
itu buruk hatinya, beribu la berlaksa kali, janganlah kau bergaul
dengannya "
Hanya selagi bicara itu, suara Cian Peng terdengar makin jauh
dan makin jauh. Giok Yauw sibuk sendirinya.
"Hei, nelayan bangkotan, lekas kembali" teriaknya. "Lekas
kembali. Aku hendak bicara denganmu" panggilan itu mengalun
dimalam yang gelap dan sunyi itu tetapi tidak ada jawabannya.
Terang bahwa Cian Peng sudah pergi jauh...
Siauw Pek mendengarkan saja, baru kemudian ia berkata
didalam hatinya: "Oh, kiranya ada orang yang membantu kita...
Pantas kawanan pendeta menghentikan penyerangannya"
Ketika itu terdengar helahan napas dari Ban Liang. "Apakah
musuh sudah mundur" " dia bertanya.
"Mereka sudah mundur" jawab siauw Pek. "Baiklah loocianpwee
beristirahat terus." Ban Liang menghela napas pula.
"Sudah tua, tak berguna..." katanya, menyesal. "Pertempuran ini
membuatku letih hebat semacam ini... Eh, apakah kedua Nona Hoan
baik-baik saja" "
"Nona Hoan terluka sedikit tetapi tidak apa. Ia sudah memakai
obat." "Bagaimana dengan Han In Taysu" "
"Dasar orang tua, dia memperhatikan segalanya..." terus ia
menjawab. "Mereka itu tidak kurang suatu apa." Jago tua itu
bangkit perlahan lahan.
"Ah..." ia memperdengarkan keluhannya. "Dahulu semasa muda,
pernah aku bertempur satu hari satu malam, kami seri. Sekarang...
sekarang aku sudah tua..."
"Baiklah beristirahat terus, cianpwee," berkata Siauw Pek,
menghibur. "Pihak Siauw Lim Sie sangat tersohor, sudah begitu
loocianpwee seorang diri mesti melawan banyak musuh, pasti kau
letih karenanya."
Jago tua itu menghela napas pular "Tak apa," katanya. "Aku
telah beristirahat. tenagaku sudah mulai pulih." Justru itu, Thio Giok
Yauw muncul. Dia menatap sijago tua.
"Kau terluka" " tanyanya.
"Tidak Aku cuma letih. Bukankah Cian Tayhiap telah datang" "
"Benar Dia datang bersama dua orang undangannya, untuk
membantu kita."
"Cian Tayhiap itu memang liehay," berkata Ban Liang pula.
"Joran dan jalanya menjadi senjata senjatanya yang istimewa,
pantaslah pihak siauw Lim Sie mendadak mundur sendirinya"
"Hm" Giok Yauw memperdengarkan suara mengejek. "Si nelayan
bangkotan takut bentrok dengan pihak siauw Lim Sie, dia tak berani
membantu kita secara terang terangan, karena aku membuka
rahasianya, dia mendongkol dan pergi. Sebenarnya apa gunanya
kepergiannya" Ya Kaburnya Pihak Siauw Lim Sie sudah tahu
namanya. Jikalau pihak Siauw Lim Sie mau membalas sakit hati,
bukankah mudah mencarinya" Kabur atau tidak toh sama "
Ban Liang heran sekali. Pikirnya "Hi Sian Cian Peng menjadi
orang Rimba Persilatan yang berkenamaan, kenapa bocah
perempuan ini berani berlaku begini kurang ajar terhadapnya"
Kenapa dia selalu menyebut nelayan bangkotan, nelayan
bangkotan" " Saking herannya itu, tanpa terasa ia berkata. "Cian


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tayhiap bertabiat luar biasa, orang-orang Rimba Persilatan
umumnya mengalah kepadanya, maka itu di waktu berbicara
dengannya baiklah nona sedikit sungkan." Tetapi nona Thio
tersenyum. "Bagaimana, eh" Apakah kau takut bersalah terhadapnya" "
tanyanya. "Benar, Cian Tayhiap aneh, tak ada orang yang tak tabiatnya itu
maka kalau kita berbuat salah terhadapnya, apakah itu bukan
berarti kita menambah musuh" "
"Tak apa, jangan kuatir" berkata si nona. "Kalau aku berbuat
salah terhadapnya, mustahil dia sudi mengajak orang datang kemari
untuk membantu kita" "
Ban Liang berdiam, tetapi hatinya berkata, "Benar juga nona ini.
Mungkinkah si nona telah memegang suatu kelemahan dari Cian
Peng maka dia menjadi suka mengalah" Dan siapakah itu dua orang
kawannya" Semoga aku tidak membuat keliru terhadap mereka "
Selagi sijago tua berpikir demikian, tiba-tiba ia mendengar
hembusan angin, hembusan ujung baju, yang mengarah kearah
mereka. Di dalam gelap petang, tak dapat mereka melihat siapa
orang yang mendatangi itu.
Giok Yauw berbuat getap. dengan sebat ia menghunus
pedangnya, menikam kearah orang itu, tetapi mendadak. selagi
pedangnya kena disampok nyamping, telinganya mendengar suara
ini. "Loolap Han In" Cepat sekali, Nona Thio berlompat minggir
"Maaf, suhu "
Setelah Han In memegang tanah dengan kedua tangannya,
segera dia duduk menumprah.
"Kau tidak bersalah anak" katanya sabar. Kemudian ia menoleh
pada Siauw Pek dan Ban Liang, untuk berkata. "Semua pendeta
Siauw Lim Sie sudah mundur dari rimba ini. Sebegitu jauh loolap
menyangka, rupanya mereka telah mendapat kerugian banyak
orangnya yang terluka atau terbinasa, maka juga malam ini tak
nanti mereka mengulangi mengepung kita."
"Hanya sebentar, setibanya sang fajar, mungkin mereka akan
menyerang secara terlebih hebat" berkata Seng Su Poan si Hakim
Penuntut Hidup Mati.
"Benar, demikian juga terkaanku." berkata Han In. "Sebelum
hujan turun pula, perlu kita bersedia payung, harus kita siap sedia."
"Entah Nona Hoan, ia mempunyai daya apa untuk menangkis
musuh." kataBan Liang,
"mari kita berunding dengannya."
"Baiklah," kata Giok Yauw. "Nanti aku undang mereka."
Nona ini segera berlalu. Hanya sebentar ia sudah kembali
bersama Soat Kun dan Soat Siauw Pek dan Han In tidak mau
menanyakan si nona mengapa selama didalam toa-tian tadi, mereka
duduk diam saja, tak memperhatikan pertempuran yang hebat itu.
Adalah Ban Liang yang menanyakan lain hal. "Apakah baru saja
nona terluka" " demikian tanyanya.
"Tak apa, lukanya sangat ringan," jawab ^ona Hoan. "Ada
senjata nyasar..."
"Sekarang musuh telah mundur seluruhnya," berkata Ban Liang
pula, "tetapi kami menerka semunculnya fajar mereka bakal datang
pula, mungkin penyerangannya akan jauh lebih hebat, karena itu,
nona, bagaimana pemandangan nona" "
"Pandanganku sama," sahut Soat Kun. "Apakah nona telah
memikir daya untuk menangkisnya" "
"Ya."
"Apakah daya itu, nona" " tanya Siauw Pek. "Baiklah nona
mengatur siang-siang. sekarang ini kita masih berada ditempat
berbahaya, orang kita tinggal sangat sedikit, kita juga letih
semuanya. Syukur rimba ini menghalangi musuh mengatur Lo Han
Tin-Sebentar pagi, di dalam keadaan terang benderang, mungkin
mereka akan memperhebat serangan mereka." Soat Kun
mengangguk. "Aku tahu itu. Maka juga sekarang tak dapat kalian beristirahat,
bahkan kalian perlu segera berlatih, mempelajari Ngo Heng Lian
Hoan Tin-"
"Apakah artinya tin itu, nona" " tanya Ban Liang.
"Itu hanya cara menentang musuh dengan kita bersatu padu
tangan, dan hanya ditambah lima macam perubahan..."
"Dipihak Bu Tong Pay ada ilmu pedang yang dinamakan Ngo
Heng Kiam, apakah nona tahu itu" " tanya Han In Taysu.
"Aku tahu, dan pernah aku mendengarnya dari mendiang guruku,
hanya perubahan barisan pedang itu beda dengan barisanku ini."
"Dahulu hari pernah loolap perhatikan gerakan yang disebut Ngo
Heng itu," berkata pula ketua Ngo Bie Pay, "gerakan itu rumit sekali
perubahannya, maka juga , mungkin sulit memahaminya didalam
waktu sesingkat ini."
"Ngo Heng" itu ialah serba lima, dan "Lian Hoan" yaitu berantai,
maka itu, tin si nona banyak perubahannya, yang tali menali,
bersangkut satu dengan lain-
"Demikianlah kelihatannya, taysu," berkata si nona. "Tapi, kalau
nanti sudah melatihnya, sebenarnya itu taklah sulit..." Ia berhenti
sejenak. terus ia menambahkan. "Lawan menghentikan
penyerangannya, itu berarti bahwa mereka memberi kesempatan
hidup untuk kita."
"Waktu kita sedikit, nona, nah, mulailah" " Ban Liang minta.
"Bagaimanakah penglihatan mata kalian" " tanya si nona. "Diwaktu
malam segelap ini" " Ban Liang tegaskan.
"Ya, didetik ini. Berapa jauh kalian dapat melihat kedepan" "
"Dalam hal ini, perlu kami tahu dahulu apa yang kami harus
lihat," berkata Ban Liang pula.
"Aku hendak membuat garis garis Ngo Heng," kata si nona,
"cobalah, kalian bisa melihatnya atau tidak..."
"Asal nona menjelaskannya, mungkin kami sanggup," berkata
pula sijago tua.
"Ngo Heng Lian Hoan Tin memerlukan lima orang sebagai
bahagian yang utama," menerangkan Soat Kun "Mereka menguasai
satu tempat masing2. Yang lain2nya melainkan sebagai pembantu,
guna membantu dimana yang perlu."
"Silakan nona mengatur, kami nanti mengatur diri. Senoga kami
tak kacau sendirinya."
"Jikalau benar siauw Lim Pay akan menerjang pula sebentar
fajar, mereka tentu bakal mulai arah timur dan selatan." berkata
Nona Hoan-"maka itu pada dua arah itu, perlu orang yang ilmu
silatnya mahir sekali."
"Yang paling mahir ialah bengcu. Baik bengcu mengambil tempat
yang paling penting itu." Ban Liang mengusulkan.
"Ban Hu hoat baik menjaga di timur," berkata pula si nona. "Arah
timur itu termasuk garis kah-it-bok."
Berkata begitu, dengan menggunakan cabang pohon, Nona Hoan
membuat goresan ditanah.
Ban Liang berniat menolak tugas itu mengingat dia sudah tua
dan baru saja bagaikan kehabisan tenaga, tetapi Soat Kun sudah
melanjutkan kata-katanya. "Ban Hu hoat, tolong perhatikan,
beginilah perubah kedudukan gu goat."
Goresan si nona itu dari timur menyambung keselatan dan utara.
oleh karena keadaan sudah demikian mendesak. mau atau tidak,
terpaksa Ban Liang batal menolak, terpaksa dia memehami gerak
yang dilukiskan si nona.
"Bengcu silakan menjaga di selatan," berkata pula si nona
kepada ketuanya. "Arah selatan itu termasuk garis Phia-teng hwee."
Dan lalu ia meng gores tanah. Siauw Pek memperhatikan goresan
itu. "Thio Huhoat, pergi kau menjaga ke utara. Arah itu termasuk
Jim-kwie swie," sambil berkata begitu iapun menggores pula.
Suasana sangat sunyi. Semua mendengarkan dan mengawasi
tangan si nona.
"Oey Huhoat menjaga di barat."
Mendengar itu Siauw Pek bertiga heran.
Oey Eng dan Kho Kong tidak ada diantara mereka "Nanti aku cari
mereka," berkata si anak muda.
"Biarkan aku yang pergi," kata Giok Yauw "Mereka lagi
memasang mata diatas pohon." Siauw Pek mengawasi kedua
saudara itu, jalan mereka rada ayal.
"Saudara Oey Saudara Kho " ia menyapa. "Ya, bengcu Ada
perintah apakah" "
"Kalian baik-baik saja, bukan" "
Dua saudara itu tidak segera menjawab, agaknya mereka
berpiklr. "Kami baik-baik saja," sahutnya sejenak kemudian.
Didalam gelap. wajah kedua pemuda itu tak tampak. tapi
sUaranya tetap tak mirip orang yang terluka. Karena itu, heran si
ketua. Tak dapat dia menduga duga.
"Jangan kau menyembunyikan lagi, saudara saudara," Giok Yauw
berkata. "Nona Hoan tengah mengatur Ngo Heng Lian Tin, Oey
huhoat ditetapkan menjaga diarah barat, jikalau kalian tidak bicara
sebenar-benarnya, bukankah usaha kita bisa jadi gagal" "
"sebenarnya telah terjadi apakah" " Siauw Pek bertanya.
"Mereka telah terluka, karena kuatir bengcu bersusah hati,
mereka tak mau menjelaskannya" nona Thio menerangkan-Siauw
Pek terkejut. "Apakah luka mereka parah" " tanyanya. Oey Eng
menggelengkan kepala.
"Tak parah, bengcu," sahutnya, "kalau luka kita berat, mustahil
bengcu tidak melihatnya."
"Dia benar juga ," pikir si anak muda.
"Oey huhoat," berkata Nona Hoan-"Kau luka parah atau tidak,
kau mesti jelaskan. Ingat disini tergantung keselamatan kita
bersama tak dapat kita menyembunyikan sesuatu."
Oey Eng melengak, lalu dia berkata: "Aku terkena satu pukulan
tangan kosong, sebenarnya lukaku tidak ringan, akan tetapi, setelah
aku meluruskan tenaga dalamku, sekarang sudah terasa
mendingan."
"Mari, kasih loolap lihat," berkata Han In Taysu. Oey Eng
menghampiri, untuk berdiri disisi pendeta itu.
Han In meraba lengan sianak muda, nadinya. Hanya sejenak. ia
berkata: "Luka ini bukannya ringan, perlu rawatan yang cukup."
"Itulah berarti sudah tak dapat dia menjaga tempat itu," kata
Soat Kun. "Memang. Dia harus beristirahat."
"Coba aku periksa nadinya," berkata Nona Hoan.
Oey Eng menghampiri, ia mengulur tangan kirinya.
soat Kun meletakkan jari tangannya yang halus diatas nadi
sianak muda, akan menekannya sedikit, sesudah mana dia berdiam
untuk merasai denyutan nadi anak muda itu. Kira-kira sehirupan teh
ia mengangkat tangannya terus merogoh sakunya buat
mengeluarkan dua butir obat pulung.
"Makan ini lebih dahulu" katanya perlahan-Oey Eng percaya nona
ini, ia menyambut pel itu dan terus menelannya.
"Kho Huhoat, apakah kaupun terluka" " kemudian sinona
bertanya kepada Kho Kong.
"Aku terluka bacokan pada pahaku," menyahut hu hoat itu. "Aku
telah membalutnya. Luka dikulit tidak ada artinya." Soat Kun
menarik napas perlahan-"Sekarang aku terpaksa merepotkan taysu,"
katanya kepada Han in Taysu. "Sebenarnya aku hendak minta
bantuan taysu buat lain tugas tetapi kedua hu hoat terluka, aku
mohon taysu sudi menggantikannya."
"Loolap bersedia, nona" menjawab sibhiksu tua.
soat Kun menggores gores pula ditanah sambil menjelaskannya
secara sederhana, setelah itu ia berkata pula: "Taysu semua gagah
tetapi semuanya telah payah, karena itu tak seharusnya kalian
berkelahi mati-matian, maka juga pertempuran terpaksa, jangan
kita menggunakan seluruh tenaga kita. Kita akan menahan musuh
mengandalkan tin saja."
Mendengar kata kata nona itu, Ban Liang berkata didalam
hatinya: "Sayang kau bercacat pada matamu, nona. Coba kau bisa
melihat sekitarmu, mungkin kau tak akan berkata begini. Segera
setelah langit terang, pastilah pihak Siauw Lim Sie akan mengulangi
penyerbuannya secara besar besaran, dengan seluruh kekuatan.
Dapatkah tin ini menentang penyerbuan mereka itu" "
Walaupun dia berpikir demikian, tetapi jago tua itu tidak
mengatakan apa apa.
Nona Hoan tidak mendengar suara orang yang mengiakan atau
memohon penjelasan, ia melanjutkan kata katanya. "Seseorang, tak
peduli dia lihay luar biasa, kalau dia tak minum setetes air,
selewatnya satu hari dan satu malam kekuatan tubuhnya bakal
berkurang sendirinya. Mungkin disaat ini kalian belum merasakan
sesuatu, hanya besok tengah hari, akan kalian rasakan
perbedaannya."
"Siecu benar," berkata Han in Taysu. "Pernah loolap
mengalaminya. Siapa tidak makan dalam satu hari dan juga tak
dapat beristirahat, tenaganya akan lenyap sebagian."
jikalau demikian adanya, sekarang ini perlu kita beristirahat,"
berkata Ban Liang. "Kesempatan ini harus kita pergunakan sebaik
baiknya." "Telah belasan tahun loolap disekap ditempat gelap. perihal
menahan dahaga dan lapar, telah ada pengalaman loolap." berkata
Han in kemudian, karena itu silahkan kalian beristirahat, loolap yang
akan mewakili kalian melakukan penjagaan."
"Lebih baik taysu turut beristirahat," Siauw Pek menganjurkan.
"Biarkan loolap. bengcu. dalam hal penderitaan begini, loolap
lebih hebat daripada bengcu sekalian."
"Apakah demikian pendapat taysu, baiklah" Ban Liang berkata
akhirnya. Didalam hati, ia sebenarnya percaya Siauw Pek lebih ulet
daripada pendeta ini.
"Nah, silahkan kalian beristirahat" Han in kata akhirnya. Lalu,
dengan kedua tangannya, dia menekan tanah, membuat tubuhnya
mencelat tinggi, naik keatas pohon didepannya Ban Liang semua
segera duduk bersila, untuk bersemedhi. Mereka memang telah
merasakan sangat letih, maka kesempatan ini dipakai sebaik
baiknya. Didalam waktu yang singkat sekali, semua sudah hening
bagaikan mereka lupa akan diri sendiri...
Sang waktu berjalan dengan tenang tetapi rasanya cepat sekali.
Entah telah lewat berapa lama, tiba tiba terdengar suara ketua dari
Ngo Bie Pay. "Saudara, saudara, bangunlah "
Semua orang terbangun, semua segera membuka mata mereka.
Sang fajar telah tiba. Cuaca yang cerah memperlihatkan sesuatu.
Kembali terdengar suara pendeta tua itu: "Loolap melihat
pendeta-pendeta dari Siauw Lim Sie tengah mendatangi dengan
teratur. mungkin pertempuran bakal segera dimulai, silahkan
bengcu sekalian mengambil tempat masing masing."
Oey Eng dan Kho Kong telah mendapat kesempatan untuk
beristirahat, merekapun telah makan obat Soat Kun, mereka merasa
tubuh mereka segar, maka itu keduanya segera menyatakan pada
nona Hoan, karena kesehatan mereka beralih baik, mereka mohon
diberi tugas. "Sekarang ini tenaga kalian belum dibutuhkan," berkata Soat
Kun-"Coba kalian lihatlah sekitar tin ini, ditempat luas beberapa
tombak. kalian boleh memilih satu tempat dimana kalian dapat
beristirahat. Disini masih ada cukup luang untuk kalian-"


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendengar kata kata si nona, Oey Eng dan Kho Kong segera
memandang kesekitarnya. Tadi, perhatian mereka belum tertarik
Sekarang lain-Mereka memperhatikan dengan seksama. Lalu
mereka menjadi heran. Memang, disitu ada pepohonan dimana
mereka dapat berlindung.
"Terima kasih" berkata Oey Eng.
"Beristirahatlah kalian baik-baik," pesan Nona Hoan. "Kalau nanti
pihak Siauw Lim Sie menerjang tak hentinya, baru kami
membutuhkan bantuan kalian-"
Suara si nona itu bagalkan diputuskan suara keras dari Ban
Liang. Terdengar suara nyaring sijago tua, "para taysu, kamu
keterlaluan. Kenapa kamu begini desak kami" Ingatlah, jangan
kamu mengatakan aku si tua menurunkan tangan jahat"
Mendengar suara jago tua itu, Soat Kun segera berseru:
"Menggeser tempat memohon bantuan, dengan perubahan
menentang musuh Oey Eng heran mendengar suara sinona itu.
Katanya. "Apakah arti kata kata itu" " Tetapi ia menaruh perhatian-
Maka ia segera melihat bergerak geraknya sinar pedang dan
golok, bagaimana Siauw Pek sudah menukar kedudukan Phia teng
hwee di selatan dengan kedudukan Kah it Bok ditimur, sedangkan
Ban Liang memutar keutara dan Giok Yauw kebarat, sedangkan Han
In Taysu pindah keselatan. Dengan cara demikian, Ngo Heng Tin
nampak menjadi terlebih ringkas, akan tetapi gerakannya lebih
lincah. orang orang Siauw Lim Sie sudah mengurung Ngo Heng Tin
tetapi disebabkan malang melintangnya pepohonan, telah dapat
mereka segera menyerbu masuk. untuk turun tangan-Han in Taysu
telah segera bekerja. Dengan tangan kanan terbuka, ia
menyamp^ok dua kali kearah timur. Anginnya itu menghembus
keras. diarah timur itu ada seorang pendeta yang lagi menempur Siauw
Pek. tiba tiba dia merasakan angin menyambar dari sampingnya,
belum sempat dia tahu apa apa, iga kirinya sudah kena terhajar,
hingga dia mengeluarkan jeritan tertahan, terus dia mundur.
siauw Pek mengambil kesempatannya, untuk menikam dengan
pedangnya, atas mana lawan itu melompat mundur pula dua tindak.
Dia tidak disusul, karena penyerangnya menggunakan kesempatan
itu untuk memutar diri guna menyerang lawan yang lagi bertempur
dengan Ban Liang Pendeta lawan sijago tua terkejut, dalam gugup
ia menangkis. Justru ketika dia repot ituBan Liang meninju dengan pukulan Ngo
Kwei Souw Hun Ciang. Dia sebenarnya seorang anggota dari Ruang
Tatmo ih. ilmu silatnya amatlah sempurna sekali, dalam hal ini akan
tetapi karena repotnya, tidak dapat dia melindungi diri, dia kena
terhajar roboh kebelakang.
Seterusnya, pertempuran berjalan secara demikian rupa. Serbuan
pihak Siauw Lim sie terintang dan terhambat pepohonan, pihak Kim
Too Bun menang kedudukan dan kerja samanya sempurna.
Demikian, selang beberapa lama, pihak penyerang sudah merugi
belasan orangnya yang roboh sebaliknya serbuannya tidak ada
hasilnya. Walaupun demikian, pihak Siauw Pek juga merasa letih...
Tengah pertempuran tak seimbang itu berlangsung terus, tiba
tiba orang mendengar bunyi genta yang nyaring mendesak.
menyusul mana semua pendeta lalu menghentikan penyerangan
mereka, dan cepat mengundurkan diri Hingga didalam sekejap itu
medanpun sunyi.
Ban Liang menghela napas lega.
"Jika mereka menyerang terus lagi, mungkin tenagaku si orang
tua akan habis" katanya Siauw Pek yang diajak bicara, cuma
tersenyum. Han in Taysu menengadah kelangit akan melihat cuaca.
"Sebegitu jauh yang loolap tahu," katanya "Belum pernah
sebelum ini ada pihak yang mengacau Siauw Lim Sie begini lama
hingga pihak itu kewalahan dan mundur sendirinya."
Siauw Pek tidak berkata apa-apa. Iapun lelah. Ketika ia
memandang Nona Thio, paras Giok Yauw pucat. Cuma pendeta dari
Ngo Bie itu tak nampak lesu.
"Jikalau aku mempunyai jarum satu kantung, tak usah aku
menghabiskan tenagaku terhadap pendeta-pendeta Siauw Lim Sie
itu" terdengar nona Thio pun berkata, dia menarik napas untuk
melegakan hatinya.
Kata-kata sinona bagaikan menyadarkan Siauw Pek. Pemuda ini
lalu memikir perlunya daya upaya yang sempurna guna mengatasi
keadaan kalau tidak, sungguh mereka bakal terancam bahaya.
"Taysu," kemudian ia bertanya kepada ketua Ngo Bie Pay,
"apakah Taysu merasa letih" " Iapun menatap kawan itu.
"Buat bertempur lagi satu jam atau lebih, mungkin loolap masih
dapat bertahan," sahut pendeta yang ditanya itu.
Si anak muda menunjukkan sikap sungguh sungguh. "Jikalau
begini gelagatnya, mungkin kita tak dapat menanti sampai para
tiangloo memunculkan diri." katanya. Han In mengangguk. Ingin ia
membuka mulut tapi batal
Siauw Pek balik mengawasi Nona Hoan. Katanya menyambung:
"Dapatkah kita mewujudkan pepatah Menangkap penjahat
membekuk kepalanya, dipihak Siauw Lim sie, biangnya ialah It Tie
Taysu, apabila kita dapat meringkusnya, tentulah pendeta-pendeta
lainnya bakal kehilangan semangatnya, hingga mereka tak akan
berani melanjutkan mengurung dan mengepung kita."
"Apakah bengcu memikir untuk menawan It Tie" " tanya Soat
Kun-"Pikiranku ialah daripada kita menanti untuk diserbu, lebih baik
kita mendahului menerjangnya" sahut si anak muda. Jikalau kita
beruntung dengan percobaan kita itu, ialah It Tie dapat dibekuk.
pasti kita akan lolos dari ancaman petaka ini." Soat Kun menghela
napas. "Memang," katanya, "memang berbahaya kalau kita bertempur
terus selagi kita letih dan persiapan makan dan minum kurang."
"Rasa lapar masih dapat ditahan, tidak demikian dengan
dahaga," berkata sang ketua. "Pihak kita tidak mengatakan apa-apa
tetapi kita dapat merasainya sendiri. Kita dapat bertahan hanya
untuk sementara. Maka itu aku pikir, aku hendak bersama Han In
Taysu menerjang keluar."
"Bagaimana andaikata kalian terkurung di dalam Lo Han Tin" "
sinona memperingatkan.
"Tapi inilah jalan satu satunya untuk kita menyingkir dari
kematian," berkata sianak muda. Ia menghela napas, lalu
menambahkan : "Saudara semua tak akan tiba disini jikalau bukan
karena urusanku si orang she Coh, maka itu, setelah kita terkurung
ini, apabila aku tidak berusaha, mana hatiku lega" "
"Rencana adalah aku yang atur, sekarang kita terkurung, itulah
salahku," berkata nona Hoan. "Karena itu, untuk membekuk It Tie,
mesti aku juga lah yang bekerja"
xxxxxx Siauw Pek melengak. Bukankah ilmu silat si nona sangat
sederhana" Semangat si nona dapat dipuji dan dikagumi, tetapi
mana pantas dia menjadi lawan It Tie, si orang lihay dari Siauw Lim
Sie" Pula It Tie dikelilingi demikian banyak murid-muridnya.
"Sekalipun aku menerjang bersama Han In Taysu, masih belum
tahu bagaimana kesudahannya," pikirnya lebih jauh. "Aku memikir
sepintas lalu saja, karena kita sudah kehabisan jalan-Jikalau Nona
Hoan berdua yang pergi, apa itu bukan berarti mereka
mengantarkan jiwa mereka sendiri" "
Walaupun dia memikir demikian, tak berani Siauw Pek
mengutarakannya. Maka itu, setelah berdiam sekian lama, baru ia
berkata: "Nona silahkan nona berdiam disini, untuk tetap
memegang tampuk pimpinan-Dengan aku bekerja sama dengan
Han In Taysu, aku percaya bahwa sebagian besar kita berhasil "
soat Kun berdiam tetap otaknya bekerja. Katanya didalam hati:
"It Tie tangguh, dia dikitari berlapis-lapis pelindungnya, tak mungkin
dia mudah ditawan. Kita harus mendapatkan akal yang sempurna."
Maka, setelah berdiam pula sedetik, ia lalu berkata, "Maksudku
semula ialah untuk tidak melukai atau membinasakan banyak jiwa,
pikiranku untuk menasehati dan menaklukkan pihak siauw Lim Sie
dengan kejujuran dan kebijaksanaan, tak sangka maksudku itu tak
tercapai, bahkan perkara menjadi besar dan hebat begini. Untuk
hidup kita memang terpaksa kita harus turun tangan "
"Kau aneh nona," pikir Siauw Pek. "Sampai pada detik ini, kau
masih sabar saja." Ia lalu mengawasi nona itu, akhirnya dia
bertanya: "Jadi sudah pasti nona yang pergi sendiri" "
"Ya," begitu jawaban pasti dari si nona.
"Nona berdua saja" " si anak muda menegasi.
"Aku mau minta bengcu menemani kami," sahut si nona.
"Baik Nah, mari kita pergi "
"Tanggung jawab disini aku serahkan kepada taysu," berkata si
nona kepada ketua Ngo Bie Pay.
"Loolap akan mencoba," sahut Han in. "Baiklah nona lekas pergi
lekas kembali." Soat Kun mengangguk. Ia merogoh sakunya dan
mengeluarkan sebutir obat pil. "Bengcu, tolong telan ini" katanya^
Siauw Pek tidak tahu si nona bermaksud apa akan tetapi, karena
ia menaruh kepercayaan besar terhadap nona itu, ia menyambut
obat itu dan menelannya tanpa ragu-ragu.
"Nah, sekarang silahkan bengcu membuka jalan" kata Soat Kun
akhirnya. Siauw Pek menghunus pedangnya, terus ia bertindak dimuka.
Sambil memegangi bahu adiknya, Soat Kun berjalan mengikuti.
Pihak Siauw Lim Sie heran menyakskan tiga orang musuh keluar
dari dalam rimba, walau demikian, mereka mengawasi dan
membiarkan saja. Mereka berada didalam kesangsian. Penyerbuan
mereka berakibat buruk bagi mereka sendiri, sebab banyak orangorangnya
yang luka dan gUgur, sedangkan rimba tak berhasil
diserbu didudUki. Setelah menghentikan penyerangan, mereka
mengUndUrkan diri, buat menjaga diluar rimba saja.
Baru setelah ketiga orang itu berada diluar rimba, seorang
pendeta maju menghadang. Dia berjubah abu-abu.
Siauw Pek mengangkat kepalanya, mengawasi tajam. Ia
mendapatkan pendeta itu berada bersama kawan kawannya, jumlah
mereka dua puluh orang lebih. Tiba-tiba ia ingat keterangan Han In
Taysu mengenai Lo Han Tin, yang dapat dibangun baik dengan
jumlah orang yang banyak atau sedikit, misalnya dengan seratus
orang lebih atau hanya belasan saja. Siapa tahu mereka ini adalah
anggota-anggota tin dari Siauw Lim Pay itu"
"Baiknya sebelum tin mereka teratur, aku mendahului" kemudian
si anak muda berpikir dengan cepat. Tak ingin ia memikul risiko. Ia
terus menyimpan pedangnya, untuk sebaliknya meraba gagang
goloknya. "Para taysu, siapakah pemimpin kamu" " tanyanya sambil
memasang mata. "Itulah pinceng," menjawab seorang pendeta usia pertengahan.
Siauw Pek masih menatap tajam, juga kepada rombongan orang,
habis itu, baru ia berkata keren: "Golok ditanganku ini, asal dihunus,
pasti dia membinasakan orang, maka itu taysu..."
"Itulah pinceng sudah ketahui" menyela si pendeta setengah tua.
Lalu mendadak dia mengibaskan sebelah tangannya, atas mana
semua kawannya segera bergerak. lari serabutan, guna memencar
mengatur diri Siauw Pek tertawa dingin, dia mencekal erat gagang
goloknya. "Sabar" mencegah Soat Kun-"Mari kita belajar kenal dahulu
dengan Lo Han Tin dari siauw Lim Sie"
Ketua itu heran hingga dia tercengang.
Sementara itu, rapihlah sudah kawanan pendeta mengatur diri,
atau lebih benar, mengurung ketiga lawannya itu.
Selama siauw Pek bertiga mulai muncul, pihak siauw Lim Sie
telah mengirim laporan kepada ketuanya, dari itu, lekas juga tiba
para pemimpin mereka yang termasuk rombongan Tatmo ih.
Pendeta pimpinan rombongan itu girang melihat rampungnya tin
mereka, ia lalu tertawa dingin dan berkata dengan sombong:
"Seingatku, selama seratus tahun lebih belum pernah ada orang
yang sanggup lolos dari tin kami ini, maka itu sungguh kau gagah,
siecu, yang kamu berani menentangnya"
"Belum tentu Lo Han Tin dapat mengepung kami" Siauw Pek pun
berkata sama dinginnya. la segera memasang mata, akan mencari
bahagian terlemah dari barisan rahasia musuh itu.
Selagi ketuanya memasang mata itu, Soat Kun berkata perlahan
kepadanya. "Cuma menghadapi Lo Han Tin dari Siauw Lim Sie ini
tak usah bengcu turun tangan sendiri..."
Habis itu, ia memandang musuh dan bertanya nyaring: "Apakah
kamu sudah selesai dengan pembangunan tin kamu" "
"Sudah" menjawab pihak pendeta. "Karena kami yang berjumlah
besar mengurung kamu bertiga, silahkan kamu yang turun tangan
terlebih dahulu" Kawanan pendeta itu sangat mempercayai tin
mereka itu, hingga mereka tidak khawatir sedikit pun juga .
siauw Pek berpikir. "Tin musuh ini tersohor Sangat liehay, entah
dengan cara apa Nona Hoan hendak memukulnya..." "
Segera juga terdengar suara si nona tunanetra. "Untuk kebaikan
kamu pihak Siauw Lim sie sendiri, supaya kamu tidak terjerumus
dalam dunia siksaan hingga kamu tak dapat kembali lagi, terpaksa
aku hendak menunjukkan sesuatu kepada kamu supaya kamu dapat
saksikan."
Kata-kata si nona ini diakhiri dengan sentilan jeriji tangannya
yang lentik hingga beberapa kali.
siauw Pek heran menyaksikan gerak gerik si nona. "Dapatkah tin
dipecahkan dengan hanya beberapa sentilan" " tanyanya didalam
hati. "Bukankah Lo Han Tin menjadi tin yang sangat tersohor
dikolong langit ini" "
Sementara itu pendeta pemimpin rombongan Siauw Lim Pay itu
heran melihat baik Siauw Pek maupun nona-nona itu masih belum
juga mau turun tangan untuk menyerbu tin mereka. Lekas sekali,
dia menjadi habis sabar. Maka ia lalu berkata nyaring: "Kalau kamu
tidak mau turun tangan, baiklah, pinceng yang akan mendahului"
kemudian ia mengulapkan tongkat di tangannya, atas mana
rombongannya segera bergerak. Maka itu, bergerak juga lah Lo Han
Tin. Tapi si nona, bukan mengajak siauw Pek menentang, dia justru
menyerukan para pendeta itu. "Lekas letakkan senjata kalian. Kalian
sudah tak dapat menggerakkan tangan kalian-" Si pendeta setengah
tua tertawa terbahak.
"Apa katamu, siecu" " tanyanya, mengejek. "Kata katamu
membuat pinceng tak mengerti"
"Kataku, kalian sudah tidak dapat menggerakkan tangan kalian"
si nona menegaskan. Pendeta itu heran-
" Kenapa kah" " tanyanya.
Sahut si nona, "Jikalau kalian tidak percaya, cobalah jalankan
pernapasan kalian"
Semua pendeta heran sekali, tanpa merasa, mereka mendengar
kata. Rata rata mereka lalu bernapas. Dan selekasnya menarik dan
mengeluarkan napas, semua lalu berdiri tertegun, paras mereka
berubah menjadi pucat. Tak ada seorang jua yang maju terus atau
menggerakkan tubuhnya. Itu disebabkan ketika mereka bernapas,
mereka merasa nyeri di dalam perut mereka, bagaikan telah terkena
racun. soat Kun mengawasi mereka itu, iapun berkata pula. "Asal kamu


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggerakkan pernapasan kamu, racun didalam tubuhmu akan
segera bekerja. Bukannya aku menakut nakuti, tapi bagaimana biar
liehay tenaga dalam kalian tak akan sanggup melawan racunku ini"
siauw Pek heran menyaksikan semua pendeta berdiri mematung
itu, mengertilah sekarang ia bahwa Nona Hoan tidak bicara dusta. ia
tidak menanya si nona, tetapi ia berkata didalam hatinya. "Kiranya
nona ini pandai menggunakan racun."
Sekali lagi si nona berkata kepada semua pendeta. "Nah, telah
aku peringatkan kepada kalian," lalu seperti berbisik, ia mengajak
ketuanya. "Mari kita pergi." Siauw Pek mengerti, dia menurut.
"Minggir" dia berseru terhadap musuh, sedangkan pedangnya
dipakai mengancam.
Pendeta yang ditegur itu seharusnya dapat menggerakkan
tongkatnya untuk menghalau pedang itu akan tetapi dia tidak dapat
berbuat begitu seluruhnya. Dia mengangkat tongkatnya, baru
setengah jalan, senjatanya sudah diturunkan lagi, lalu sambil
menekap perutnya, dia jalan minggir siauw Pek tidak menikam,
hanya pedangnya dipakai menepuk bahu kiri pendeta itu, yang telah
tak berdaya, maka juga segera dia kena terhajar, dia roboh
terguling. Semua pendeta lainnya kaget dan heran, mereka
mengawasi mendelong...
siauw Pek bergerak pula, pedangnya diputar untuk mengancam
semua lawan-Mereka itu kaget, otomatis mereka menggerakkan
masing masing senjatanya, tapi mendadak semua merasakan
perutnya nyeri sekali, hingga diluar kehendaknya, semua lalu pada
berjongkok sambil memegang perutnya.
siauw Pek menggunakan tangan kirinya, menotok beberapa
pendeta yang ada dekat dengannya, terus bertindak maju.
Beberapa orang pendeta, yang berada di garis belakang, menjadi
heran sekali mendapatkan kawan kawan mereka yang berada
disebelah depan itu pada jongkok. Hati merekapun gentar. Pikir
mereka benar benar musuh liehay. Didalam waktu begini singkat
mereka bisa melumpuhkan Lo Han Tin..." Ketika mereka melihat
Siauw Pek bertiga mendekati, mereka tidak merintangi, mereka
cuma mengawasi sambil bersiap siap.
siauw Pek maju sampai dimuka pendopo besar toatian-Disitu ada
dua orang pendeta yang menjaga pintu "Kami numpang tanya,"
katanya kepada kedua pendeta itu, "dimana adanya ketua kamu, It
Tie Taysu" "
Kedua pendeta sudah siap menyerang ketika mereka mendapat
kenyataan musuh bicara sabar dan tidak niatnya menyerang,
mereka lalu saling memandang, setelah mana yang disebelah kiri
membuka mulutnya: "Tuan, ada perlu apakah tuan mencari ketua
kami" " Rupanya dua orang ini cuma bertugas menjaga.
"Kami hendak menemuinya," sahut Siauw Pek. "Kamu lihat
sendiri kita sudah bertempur siang dan malam dan telah roboh
banyak korban. Kamupun harus ketahui, tidak ada niat kami
memusuhi pihak kamu "
Kedua pendeta berpikir sejenak. lalu yang tadi menjawab, "Jalan
terus ketimur sepuluh tombak. lalu belok ke utara " Siauw Pek
memberi hormat.
"Terima kasih " katanya, yang terus berjalan kearah yang
ditunjuk itu. soat Kun yang mengikuti bersama adiknya, memesan-"Kita
memasuki jauh kurungan musuh, kau harus tabah hati dan berhati
hati " "Aku mengerti, nona," sahut sianak muda "Pasti It Tie sudah
mendapat tahu apa yang adi disini."
Lekas juga mereka sudah melalui sepuluh tombak lebih. Ketika
mereka menoleh mereka melihat, dihadapan mereka, ditanah
berumput ada seorang pendeta tengah berdiri diam. Jubah dia itu
berwarna kuning. Karena dia berdiri membelakangi, tak tampak
mukanya. Siauw Pek menghentikan tindakannya.
"Pastilah ini suatu jebakan," pikirnya. "Mungkinkah kita
menyerbunya" "
soat Kun tahu ketuanya ini ragu ragu, ia berkata. "Lekas maju..
Kita menggunakan kesempatan tipu dia ini untuk menemukan it Tie.
Berulang kali dia kalah, pasti dia jeri dan waspada, mana dia mau
memberi kesempatan kita dengan mudah saja mencarinya" "
siauw Pek suka mendengar kata-kata si nona akan tetapi karena
ia tetap ragu-ragu, tak tenanglah hatinya.
"Janganiah berjalan terlalu cepat" Nona Hoan memperingatkan-
"Lebih baik kalau sebentar bengcu mendatangi dia lebih dekat "
siauw Pek berjalan sambil berpikir. "Terang si pendeta lagi
memancing, kita justru mau menelan pancingnya itu. Bukankah ini
berarti menyerahkan diri masuk dalam perangkap" Kamu berdua tak
lihay ilmu silatmu, lalu aku mesti sekalian melindungi kamu.
Bagaimana" "
Selagi berpikir itu, lekas juga tibalah sianak muda dekat
sipendeta, sejarak setombak lebih.
Tiba tiba saja pendeta itu menoleh dan bertanya dingin, apa
ketiga tamunya ini ingin mengharap ketuanya.
Ketua Kim Too Bun mendongkol sekali. Pendeta itu, usia lebih
kurang tiga puluh tahun, bukanlah It Tie. "Ya" sahutnya keras.
"Dimana dia" "
Pendeta ini berkata pula, dingin- "Jikalau memang kamu hendak
menemui ketua kami itu, lebih dulu kamu harus meletakkan senjata
kamu " Siauw Pek gusar.
"Aku hendak minta kau mengikuti kami" bentaknya, lalu
tangannya digerakkan-
"Tahan" Soat Kun berseru.
Nona ini tidak dapat melihat akan tetapi Soat Gie
memberitahukannya, maka itu, ia lalu mencegah. Siauw Pek batal
menikam, bahkan ia mundur dua tindak. "Kenapa" "
"Kita sudah masuk didalam kurungan, percuma kau bunuh dia."
Siauw Pek melihat keempat penjuru. Tidak ada seorang pendeta
juga yang tampak. Didua arah, barat dan utara terdapat rimba,
jauhnya lima tombak lebih, misalkan disana ada bersembunyi
musuh, masih ada kesempatan buat mundur. Maka itu ia heran-
Walaupun ia tidak bisa melihat, Soat Kun tahu baik gerak gerik atau
sikap sianak muda Sebab Soat Gie cerdas dan bermata tajam dan
dia selalu mengisikinya segala apa kepada kakaknya itu."
"Turuti permintaannya, letakkan senjata." terdengar kata sinona
pula. Siauw Pek makin heran, tetapi ia menurut. Ia melemparkan
pedangnya. "Masih ada golokmu itu" berkata si pendeta, dingin
Kembali siauw Pek menurut. Ia mencabut goloknya dan
melemparkan pula ketanah. Pendeta itu menghela nafas perlahan.
"Tuan tuan, silahkan turut aku," katanya sungguh sungguh. Dia
berpaling untuk jalan-Siauw Pek mengawasi pedang dan goloknya
itu, katanya didalam hati: "Itulah warisan kedua guruku, terutama
golok mustika itu, bagaimana aku dapat membiarkannya" Kenapa
nona Hoan bersandiwara begini rupa" Bagaimana kalau kita
menghadapi musuh tangguh" Tidak bisa lain, mesti aku
mengandalkan kedua tanganku saja..."
Pendeta itu membawa ketiga tamunya kesebuah ruang dimana
terdapat banyak pendeta, disana tampak It Tie Taysu duduk
bercokol di atas sebuah kursi, wajahnya muram. Ketika dia melihat
sipendeta pengantar, dia bertanya tawar: "Apa kau kau tidak mati" "
Pendeta itu menjawab: "Teecu menghendaki dia meletakkan
dahulu senjatanya, baru teecu menghendaki dia menghadap
hongthio. Nyatanya dia menuruti semua kata kataku, hingga teecu
jadi tidak mempunyai kesempatan untuk turun tangan
terhadapnya."
Mendengar jawaban pendeta itu, siauw Pek berpikir: "Ditempat
terbuka seperti tadi itu, andai kata kau hendak bunuh aku, tanpa
ada yang bantu, tak mungkin tercapat maksudmu"
Wajah It Tie tetap suram. Dia mengulapkan tangannya. "Baiklah
Sekarang kau boleh beristirahat" demikian perintahnya.
Pendeta itu menurut. Dia memutar tubuh dan berlalu. Sekarang
ketua Siauw Lim Sie itu menatap tajam ketiga tamunya.
"Kamu hendak bicara apa" " sapanya kaku. "Bicaralah "
soat Kun menyahut tenang. "Anggota anggota kuilmu yang lihay
sangat besar jumlahnya, sebaliknya jumlah kami sedikit sekali, maka
itu kami hendak minta taysu."
It Tie memotong dingin, "Mungkin karena kamu tahu bahwa
kamu tidak bakal lolos maka kamu hendak memohon damai dengan
punco" "
Siauw Pek sementara itu menghitung jumlah para pendeta, kirakira
dua puluh orang, yang semua lengkap bersenjata serta
matanya mengawasi tajam kearah pihaknya. Ia memikir-mikir
bagaimana harus melayani mereka itu andai kata pertempuran
mesti terjadi. Soat Kun tidak menghiraukan sikap orang yang tawar
itu. "Apakah Taysu dapat menerima baik" " ia bertanya.
"Jikalau kamu menghendaki jiwa kamu, jalannya cuma satu "
menjawab pendeta kepala itu, suaranya itu tetap dingin.
Dengan sabar Nona Hoan mengangkat tangannya. "Seseorang,
asal dia ingin hidup apa juga dapat diperbuatnya." sahutnya pula.
"Siapa tahu selatan, dialah si orang gagah, demikianlah ajaran
orang jaman purba kala" berkata It Tie, nyaring. "Karena kamu tahu
bahwa kamu tidak dapat membangkang lagi, tak usah kamu banyak
pikir pula." Mendadak saja si nona memperdengarkan suaranya.
"Taysu" katanya, "andaikata tempat kita bertukar^
bagaimanakah sikapmu nanti" "
It Tie menjawab lantang. "Letakkan senjata manda ditelikung,
menyerah atas segala keputusan kami."
"Bagus" berseru sinona, yang nada suaranya berubah: "Sekarang
kamu boleh melemparkan senjatamu dan menyerahkan diri kamu
untuk ditelikung" It Tie heran hingga ia tertawa keras. "Eh, siecu,
apakah kau sudah menjadi edan" " tanyanya. Soat Kun tetap
berlaku tenang.
"Di detik ini kamu sudah tidak mempunyai kesanggupan
berkelahi lagi" berkata si nona. "Jikalau kamu tidak mau
melemparkan senjatamu, apakah kau hendak menantikan
kematianmu?"
Bukan main gusarnya si pendeta. "Eh, kau ngaco belo apa" "
teriaknya. "Jikalau kamu tidak percaya, taysu, silahkan kau coba
menyalurkan napas mu," berkata sinona, tenang. "Selama kita
berbicara tadi, aku telah menggunakan kesempatanku untuk
menyentilkan bubuk racunku yang tak berwarna dan tak berbau
untuk kau sedot"
"Jika kata katamu benar, kamu bertiga juga terkena racunmu itu"
"Kami datang dengan bersiap siaga, kami sudah lebih dahulu
memakai obat pencegahnya."
"Oh, perempuran busuk. Seharusnya dari siang siang aku berjaga
jaga terhadapmu"
"Ini dia yang dibilang, satu salah, semuanya Taysu sudah kalau,
sudah seharusnyalah kau mengakuinya."
It Tie tidak menghiraukan kata kata orang yang menusuk rasa
keagungannya, diam diam ia bernafas. Begitu ia menarik nafas,
begitu ia merasakan nyeri dalam perutnya. Tentu saja, kagetnya
tidak kepalang.
Selagi si ketua berdiam, para pendeta lainnya turut berdiam juga
. Seperti si ketua diam diam mereka itu sudah bernafas dan benar
saja masing masing merasai perutnya nyeri.
Selama itu Siauw Pek memasang mata secara diam diam, bersiap
untuk sesuatu kemungkinan ia bisa melihat para pendeta berdiam,
tak ada yang bersikap hendak maju menyerang.
"Apakah benar benar mereka semua telah terkena racun,"
pikirnya. "Para taysu, apakah sekarang kamu sudah percaya kata kataku"
" kemudian terdengar suara si nona.
Semua pendeta berdiam, cuma mata mereka itu diarahkan pada
ketua mereka. Rupanya mereka menanti jawaban atau isyarat
ketuanya. Dengan perlahan, It Tie memberikan jawabannya.
"Tidak salah, kami semua telah terkena racun" katanya.
"Itu artinya," berkata si nona, "di dalam mengadu kecerdasan ini,
kau kalah"
"Sekarang apakah perintahmu, nona" " tanya It Tie. Tak mau dia
langsung mengutarakan, atau mengakui, kekalahannya itu.
"Kami mengharap." menjawab sinona, "supaya taysu meng
eluarkan perintahmu menarik kembali semua orangmu yang
mengurung kami, untuk menanti sampai waktunya para tianglo
memunculkan diri" It Tie mengangguk.
"Baik! punco berikan titahku" sahutnya. "Nah mana obat
pemunah racunnya" "
"Jangan kesusu taysu," berkata si nona. "Racun yang aku
gunakan itu bersifat keras tapi pun luar biasa. Asal kamu tidak
menggerak gerakkan nafasmu dan tidak berkelahi menggunakan
tenaga, racun itu tak akan bekerja"
"Apakah siecu mau artikan supaya aku mengeluarkan saja
perintahku membubarkan pengurungan tetapi obat pemunahnya tak
mau siecu berikan" " it Tie tegaskan"
Aku ingin pihakku berjalan sama sama kamu, taysu. Kami mau
menanti sampai para tiang loo sudah keluar, baru aku hendak
memberikan obat pemunahku."
"Siecu, kau pandang punco orang macam apakah" " It Tie
mendongkol. "Aku tak peduli taysu orang macam apa. Bukankah jiwa taysu
cuma satu" Kalau taysu tidak takut mati, tak usahlah taysu
menerima baik syaratku ini "
Tenang sikap sinona tapi kata-katanya bernada kepastian-Hanya
sedetik, ia segera berkata keren-"Coba kasih mereka lihat " Katakata
itu ditujukan kepada Siauw Pek.
"Ya, nona" sahut sianak muda, yang segera meluncurkan sebelah
tangannya. Itulah serangan terhadap seorang pendeta. Dia ini wajar saja
mengangkat sebelah tangannya untuk menangkis.
Maka beradulah tangan mereka dan suaranya terdengar cukup
keras. Akan tetapi lebih keras adalah jeritan kesakitan dari
sipendeta, yang segera berjongkok sambil memegangi perutnya.
It Tie Taysu terperanjat. Dia mengawasi orang itu. wajah
sipendeta meringis ringis menahan nyeri, mukanya bermandikan
peluh dingin, yang turun menetes. Nyata sekali dia lagi menderita
siksaan sang nyeri.
Soat Kun tidak dapat melihat kesudahan perintahnya itu tetapi ia
tahu segala sesuatu, Soat Gie terus mengisikinya.
Semua pendeta lainnya kaget juga . Korban itu adalah suheng
atau kakak seperguruan mereka. Didalam hati, mereka pada
mengatakan^ "Teranglah sinona bukan hanya menggertak."
"Bagaimana taysu, apakah taysu telah melihat" " kemudian Nona
Hoan tanya ketua Siauw Lim Sie itu.
"Ya" sahut sipendeta.
"Demikianlah, taysu Siapa untuk membela diri sendiri saja tak
mampu, mana dia sanggup menolong lain orang" demikian berkata
sinona. It Tie bungkam, cuma matanya mengawasi dua orang pendeta
dikiri dan kanannya.
Soat Kun menanti jawaban dengan sia sia, maka ia berkata^
"Kelihatannya taysu masih kurang percaya. Pastilah taysu ingin


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencoba coba, bukan" " Mendengar perkataan sinona, Siauw Pek
maju dua tindak menghampiri It Tie. Kedua pelindung ketua itu
maju, untuk menghadang sianak muda.
Melihat aksi orang, Siauw Pek menggerakkan kedua tangannya
untuk menepuk kedua orang itu. Sesudah melihat contoh,
sebenarnya kedua pendeta itu takut untuk menangkis, akan tetapi
mereka terpaksa. Mereka tidak dapat berdiam saja. Begitulah
mereka menggunakan tangan mereka, guna melindungi diri.
Segeralah tangan kedua belah pihak beradu satu dengan lain,
suaranya keras. Menyusul itu kedua pendeta terpukul mundur, terus
mereka berjongkok sambil memegangi perut mereka. Bahkan
mereka ini menderita terlebih hebat daripada kawannya yang satu
itu. Selain mandi peluh, mereka juga merintih-rintih "Itulah bukti
bahwa racun sudah mulai bekerja" berkata Nona Hoan-"Asal kamu
mengerahkan tenaga dalam kamu, racun akan bekerja lebih hebat,
hingga ususmu akan melilit melingkar-lingkar, nyeri bukan kepalang
tak akan kamu sanggup bertahan walaupun tubuhmu tubuh emas
atau baja. Para suhu, siapakah yang tak mau percaya aku" Silakan
coba" Belum berapa lama suara nona berhenti, mendadak seorang
pendeta kesakitan, terus dia berjongkok sambil memegangi
perutnya. Pendeta itu tidak diserang oleh Siauw Pek dan juga dia tidak
membokong Soat Kun, dia menjerit dan kesakitan sendiri, hingga
semua kawan menjadi heran-Nona Hoan lalu berkata: "Taysu
sekalian rupanya masih tidak percaya aku. Nah, inilah buktinya
Sekarang siapa ingin mencoba, cobalah mengerahkan napas atau
tenaga dalamnya" Pendeta yang kesakitan seorang diri itu berdiam,
dia menderita terus.
Semua pendeta berdiam, mata mereka mendelong. Tidak ada
seorang juga yang berani mencoba mengerahkan tenaga dalamnya.
Mata mereka semua diarahkan kepada It Tie seorang.
oleh karena ketua Siauw Lim Sie itu tetap membungkam, Soat
Kun berkata pula^ "Ada pepatah mengatakan, 'Menangkap penjahat
menangkap rajanya Menghajar ular menghajar kepalanya' Mungkin
pepatah itu cocok untuk kita sekarang. Kuil kamu terjaga kokoh kuat
dunia telah mengetahuinya, tapi kamu lihat sendiri, sekarang kami
dapat memasukinya secara merdeka. Kamu sendiri aneh, para
taysu, Sudah jelas ketua kamu yang sekarang tidak terang asal
usulnya tetapi karena kamu jeri terhadap aturan kuil kamu yang
keras, kamu tidak berani mengutarakan rasa hatimu sejujurjujurnya...
Buktinya, walaupun kamu sudah terkena racun, tanpa
perintah ketua kamu, masih kamu tidak sudi melepaskan senjata
kamu masing-masing, tak mau kamu manda ditelikung. Sekarang ini
cara yang paling baik ialah menyuruh ketua kamu merasakannya
sendiri, merasai penderitaan seperti ketiga kawanmu itu, barangkali
barulah dia insyaf."
Berkata begitu, Nona Hoan berpaling kepada ketuanya. "coba
serang It Tie barang dua jurus" demikian perintahnya.
Dengan mukanya tertutup Caia, tak ada seorang pendeta juga
yang bisa melihat wajah nona ini, hingga juga tak ada yang ketahui
bahwa ia sebenarnya tidak bisa melihat apa "Baiklah" Siauw Pek
menjawab sinona, terus dia bertindak kearah ketua Siauw Lim Sie
itu. Melihat sianak muda maju, semua pendeta turut pula mendekati
ketua mereka. Mereka tahu bahwa mereka sudah tidak dapat
berkelahi, tapi toh mereka masih hendak melindungi juga .
Menampak demikian, Siauw Pek mangagumi aturan dari Siauw
Lim Sie yang sangat ditaati itu. Walaupun begitu ia tidak menjadi
jeri, bahkan ia berkata kepada mereka semua: "Para suhu,
walaupun kamu semua turun tangan, tak akan kamu dapat berbuat
suatu apa. Tak nanti kamu dapat bertahan dari satu saja tanganku"
Kata-kata itu ditutup dengan gerakan tangan kanan terhadap It Tie.
JILID 39 Seorang pendeta setengah tua melompat maju, untuk
menghadang dengan tubuhnya didepan ketuanya. Dia tahu dia tak
dapat menangkis, dengan berani dia pasang tubuhnya sebagai ganti
sasaran Tepat dan telah serangan sianak muda mengenai dada
pendeta itu, maka tak ampun lagi, dia mengeluarkan jeritan
tertahan, terus dia jongkok dengan kedUa tangannya diperutnya
"oh, para suhu, kamU semUa memikir keliru" berkata Soat Kun.
Ia buta tapi ia seperti dapat melihat. "Asal kamU bergerak tanpa
menyalurkan napas, masih ada harapan racun didalam tubuhmu tak
berdaya. Demikian tentu anggapan kamu itu, Itulah keliru
Sebenarnya, asal tubuh kamu digerakkan, tentu kamu menderita"
"Para suhu" Siauw Pek berkata nyaring. Ia tidak menghiraukan
suara Nona Hoan-"Para suhu, jikalau kamu tetap tidak mau
menyingkir terpaksa aku hendak menurunkan tangan kejam. Jangan
kalian menyesal atau mengatakan aku telengas"
It Tie melihat suasana buruk itu, yang tak dapat dihindarkan lagi.
"Kamu semua minggir" akhirnya ia memerintahkan. Semua pendeta
itu menyahuti, semua mundur dengan serentak.
"Kini bagaimana" " kemudian It Tie bertanya kepada Siauw Pek.
"Nona Hoan menghendaki taysu ikut pada kami pergi kedalam
rimba," sahut sianak muda
"Jikalau punco tidak turut pergi" "
"Tak bisa lain, taysu harus merasai sedapnya racun" It Tie
berbangkit ayal ayalan.
"Lekas minta pulang senjatamu" Soat Kun berkata kepada Siauw
Pek. Siauw Pek ingat pedang dan goloknya itu. Didalam keadaan
seperti sekarang, senjata tak dibutuhkan, tetapi lain waktu. ia pula
tak bisa kehilangan kedua senjatanya itu. Maka ia terus berkata
kepada sipendeta
"It Tie, kau perintahkah orang mengembalikan pedang dan
golokku" "Itulah bukan urusanku" kata It Tie ketus.
"Biar bukan urusanmu, kau toh harus mengurusnya juga. Lekas
perintah orang antarkan kemari, atau akan aku totok jalan darahmu
yang disebut Ngo-im ciat hiat, supaya kau rasakan bagaimana
sedapnya darah berjalan berputar arah serta juga bekerjanya
racun." gertaknya.
Paras It Tie tetap tenang akan tetapi hatinya guncang hebat
sebab takutnya. Maka ia menoleh kepada orang orangnya dan
mengatakan sesuatu kepada satu diantaranya para pendeta.
Hanya sebentar muncullah seorang kacung pendeta yang
membawa pedang Thian Kiam dan golok Pa Too, dilihat dari
tindakannya yang gesit terang kacung itu tidak terkena racun.
"It Tie licin, perlu aku bersiaga," pikir si anak muda. Segera si
kacung tiba didepan Siauw Pek.
"Apakah ini pedang dan golok siecu" " tanyanya sambil dia
mengangsurkan kedua senjata itu, sikapnya hormat.
"Benar," jawab Siauw Pek mengangguk.
"silakan siecu periksa, supaya jangan salah." Siauw Pek
menghunus goloknya.
"Golok ini tak salah," katanya sambil goloknya itu dimasukkannya
kedalam sarungnya. "Apakah pedangnyapun perlu diperiksa" "
"Tak usahlah," jawab Siauw Pek percaya. Kacung itu menjura
terus dia mundur.
Dengan pedang dan goloknya telah kembali, legalah hati sianak
muda. "Apakah kita membawa dia pergi" " Siauw Pek bertanya kepada
Soat KUn. "Ya. Dia seorang saja sudah cukup," sahut si nona.
Siauw Pek menoleh pada It Tie "Taysu mari berangkat. Apakah
mesti kami mendesak" " It Tie menoleh kepada semua orangnya:
"Apakah nona menghendaki pinceng turut kamu" " dia bertanya.
"Kemanakah" "
"Kedalam rimba," sahut Soat Kun. "Kami tak ingin melukai
banyak orang, dari itu kami membutuhkan taysu, supaya kami tak
usah sampai diserbu para pendeta." It Tie memandang Nona Hoan
itu. "Nona, pinceng kagum atas kepandaianmu menggunakan racun,"
katanya, "cuma..."
"cuma apakah, taysu" " tanyanya.
"Sejak memasuki kuil kami selalu nona mengenakan Cala, apakah
maksudnya itu" "
"Apakah itu mengganggumu, taysu" "
"Siang hari terang benderang toh ada bintang muncul..." katanya
seorang diri. Siauw Pek heran, hingga ia mengangkat kepalanya. Hanya langit
biru, bintang tidak ada sama sekali.
"Ah, apakah pendeta ini sudah edan" " pikirnya.
"Apakah taysu ingin melihat bintang disiang hari begini" " Soat
Kun bertanya. "Heran " pikir Siauw Pek. "Mengapa Nona Hoanpun bicara begini
rupa" "
"Apakah kata nona" " It Tie tanya, alisnya berkerenyit.
"Apakah taysu tidak mengerti" " sinona membaliki.
"Ya, benar punco tidak mengerti," jawab pendeta itu.
"Matahari dan rembulan berputaran tak hentinya," berkata
sinona. "Begitu juga pemandangan alam bisa berubah-ubah.
Sekalipun urusan didalam dunia, urusan apakah yang bakal tak
berubah juga" "
"Maksud siecu, apakah..."
"Aku maksudkan soal-soal manusia, yang biasa muncul yang
barunya, lalu semuanya berubah mengikuti sang waktu..."
It Tie menoleh kepada Siauw Pek. "Bagaimana siecu" " tanyanya.
Soat Kun menyela "Sang hari masih banyak taysu, jangan
terburu-buru" Siauw Pek makin tidak mengerti.
"Apakah yang mereka bicarakan" " ia tanya dirinya sendiri. "Yang
satu bicara soal bintang yang lain tentang manusia. Itu sama artinya
dengan bertanya kepada kerbau dengan mulut kuda..."
Saking bingung, ingin sianak muda menanyakan kepada soat
Kun. Tapi ia mendengar si nona sudah berkata pula: "Mari lekas kita
memasuki rimba. Jangan membiarkan mereka menanti terlalu lama
" Dan sinona mempercepat langkahnya, mendahului yang lainnya.
It Tie turut bertindak cepat juga , untuk menyusul sinona, dia
berjalan dibelakang nona itu.
Hanya sebentar, tiba sudah mereka didalam rimba dimanaBan
Liang dan yang lainnya justru hendak keluar untuk menyusul
mereka. Mereka ini berlega hati berbareng heran, sebab tampak It
Tie diantara nona-nona dan ketuanya itu.
Segera setelah mendekati Siauw Pek, separuh berbisik, sijago tua
bertanya kepada anak muda itu: "Ketua Siauw Lim Sie mestinya
dilindungi berlapis lapis pembelanya, kenapa dia sekarang dapat
dibawa kemari secara mudah begini" "
"Nona Hoan telah menggunakan kepandaiannya," sahut Siauw
Pek. "Semua pendeta lainnya dapat dipengaruhi maka juga pendeta
ini dapat dipaksa datang kesini."
soat Kun berdua mengajak It Tie sampai di bawah sebuah pohon
besar, disitu si pendeta lalu duduk bersila. Kedua belah pihak lalu
berbicara perlahan suaranya. Karena terpisahnya jauh, Siauw Pek
tidak dapat mendengarnya. Hanya selang sesaat, sinona tampak
bertindak ke arahnya.
Ketika itu Giok Yauw dan Oey Eng tetap melakukan penjagaan
dibatas tin, mereka memasang mata keempat penjuru sambil
bersiap sedia untuk memberi laporan atau isyarat apa ada perlunya.
Selama tadi itu, karena pihak Siauw Lim Sie terus berdiam, Ban
Liang sekalian dapat kesempatan berjaga jaga sambil beristirahat.
Nona Hoan menghampiri Ban Liang. Katanya^ "Kita telah
mempunyai orang tanggungan tak usah kita khawatir pihak Siauw
Lim Sie nanti menyerbu kita. Baiklah minta semua kawan agar
beristirahat."
Ban Liang menerima baik anjuran itu dan menyampaikannya
pada Giok Yauw semua.
Siauw Pek diam diam memperhatikan It Tie Taysu. Sipendeta
duduk diam seorang diri saja. Mau atau tidak^ ia heran dan
khawatir. "Tak mudah sipendeta dibawa kemari," pikirnya. "Mana dapat dia
dibiarkan terus berdiam seorang diri saja" Jika dia merat, bukankah
itu akan mendatangkan kepusingan" Bagaimana andaikata dia
datang menyerang bersama semua muridnya" Bukankah itu
berbahaya?" Tak dapat pemuda ini menguasai dirinya, maka ia
menghampiri Soat Kun dan bertanya, "Nona membiarkan sipendeta
berdiam seorang diri, apakah kau tidak takut kabur" "
"Jangan khawatir, tak apa apa," sahut nona. "Dia tengah
memikirkan sesuatu, sebelum dia dapatkan pemecahannya, tak
nanti dia kabur"
"Masih ada satu soal lagi, nona"
"Apakah itu, bengcu" silahkan perintah"
"Tadi... di tengah jalan, apakah yang nona bicarakan dengan it
Tie Taysu" "
"oh, kau dengar itu" Kau merasa anehkan" "
"Tak cuma heran, bahkan bingung"
"Itulah suatu rentetan kata kata rahasia, yang aku sendiri masih
belum mengerti..."
"sebenarnya, apakah yang nona bicarakan dengannya" "
"Aku ingin memancing dia memecahkan kata kata rahasianya itu
serta hubungannya..."
"Kalau nona sendiri tak mengerti, mungkinkah dia" " Siauw Pek
bertanya pula. soat Kun tak menjawab. Dia memakai cala, tidak tampak
airmukanya. Hanyalah Soat Gie yang tertawa, Malam dan siang,
setiap detik, adik ini selalu mendampingi kakaknya, dia mirip
bayangan si nona cerdik pandai itu. Apa segala yang ia lihat dan
dengar, semuanya itu diberitahukannya kepada kakaknya. Dilain
pihak, ia bersikap seperti juga ia tak memperhatikan segala sesuatu
Sebab tak peduli ada kejadian apa menggembirakan ataU
berbahaya, air mukanya tidak berubah. Dia selalu tenang tenang
saja. Hingga kemudian, seperti melupakannya. Tapi kali ini, diluar
kebiasaannya, dia tertawa. maka juga dia menarik perhatian Siauw
Pek semua. Siauw Pek berpaling. Melihat wajah orang, ia menjadi
kesengsam. Kecuali tawanya itu merdu, kecantikan Soat Gie sangat
menakjubkan "Jikalau dia dapat bicara, sungguh dialah nona paling
istimewa..." pikir ketua ini...
Perhatian si anak muda terhadap soat Gie berhenti sampai disitu,
sebab ia telah mendengar suaranya soat Kun. Kata nona penasehat
itu "sebegitu jauh aku berbicara dengannya, aku masih belum
melihat pemecahannya..."
"Agaknya dia mulai bercuriga," Siauw Pek menyatakan "Dia
hanya merasa aneh, maka juga dia menggunakan otaknya untuk
memikirkannya."
"Sekarang kita sudah menawan ketua Siauw Lim Sie dan
mengekangnya, bagaimana tindakan kita selanjutnya" "
"Bagaimana pikiran bengcu sendiri" "
"Menuruti suara hatiku, ingin aku segera membalaskan dendam
kesumatku," sahut si anak muda, ragu ragu, "akan tetapi sekarang,


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku mendapat serupa perasaan lain..."
"Apakah itu, bengcu" Apakah kelainan itu" "
"Sekarang aku merasa bahwa dendam keluargaku seperti telah
menjadi satu dengan suasana dunia Sungai Telaga seluruhnya,
maka juga sekarang aku tak kesusu dengan niatan pembalasanku
itu..." "Bagus, bengcu Bagus kau telah memperoleh pengertian itu"
"Maka itu, nona, bagaimana sekarang kita harus bertindak" "
"Yang paling utama ialah kita berbicara dengan para tiang loo
Siauw Lim Sie itu."
Waktu mereka berdua bicara sampai disitu, tampak Ban Liang
datang bersama Giok Yauw dan yang lainnya.
"Banyak capai, Nona Thio" Soat Kun mendahului menyapa. Ia
tidak melihat tetapi kisikan tangan Soat Gie memberitahukan ia
siapa siapa yang menghampirinya.
"Terima kasih, Nona Hoan" Giok Yauw membalas.
Soat Kun segera berkata kepada Ban Liang. "Ban Huhoat, aku
mohon bertanya sesuatu."
"Oh, nona" berkata sijago tua. "Nona titahkan saja"
"Peperangan tak mengenal kelicikan atau kepalsuan, bukan" "
berkata si nona, "Dengan satu pada lain menjadi musuh, bukankah
kita dapat menggunakan segala macam siasat atau akal" "
"Benar Didalam dunia Sungai Telaga, keadaanpun mirip seperti
itu. Terhadap musuh tidak soal jujur atau adil lagi"
"Kalau begitu, baiklah" berkata nona Hoan "Sebentar aku hendak
mohon Ban Huhoat bekerja"
"Kerjaan apakah itu, nona" "
"Untuk menotok jalan darah It Tie Taysu"
"Apakah nona maksudkan aku menotok secara membokong" "
Ban Liang tegaskan-
"Benar Kita telah menculik ketua Siauw Lim Sie, walaupun para
tiangloo tidak puas pada ketuanya itu, biar bagaimana, mungkin
mereka itu akan berdaya menolongi ketuanya..."
Nona Hoan berhenti sejenak. untuk menarik napas lega.
"Selama ini kita memang telah bertempur dengan jago-jago
Siauw Lim Sie, akan tetapi, mereka itu baru termasuk jago jago
kelas dua atau tiga," Nona Hoan melanjutkan "Tidak demikian para
tiangloo itu. Karena ada kemungkinan kita nanti bentrok dengan
mereka itu, sekarang haruslah kita beristirahat."
Kata-kata si nona benar, maka Ban Liang semua menurut. Lalu
semua beristirahat.
Siauw Pek tidak dapat beristirahat sepenuhnya. Ia tetap
bercuriga dan khawatir It Tie kabur, maka itu, senantiasa ia melirik
kepada pendeta itu.
Di luar kecurigaan si anak muda, It Tie bersikap sangat tenang.
Dia seperti tak menghiraukan bahwa orang mengawasinya. Dia
duduk tenang sekali, bahkan dia seperti sedang berdiam didalam
rimba ini Selewatnya beberapa waktu, didalam rimba itu tampak
muncul dua orang pendeta. Mereka itu bergerak kearah ketua Siauw
Lim Sie. Teranglah mereka itu datang dengan niat menolong ketua
mereka. Siauw Pek memasang mata, ia meliaht datangnya kedua pendeta
itu. Segera ia melompat bangun dan menghunus pedangnya. Ia
hendak mencegah
Tiba-tiba terdengar suara perlahan dari Soat Kun disisinya:
"Lekas duduk kembali. Tenang tenang saja mengawasinya."
"Mereka itu mau menolong It Tie..." kata si anak muda.
"Jikalau It Tie mau kabur, sekarang sudah terlambat, tak akan
keburu kau mencegahnya." kata pula sinona.
Sianak muda melengak. "Nona Hoan benar..." pikirnya.
Maka itu lalu duduk pula, matanya mengawasi si pendeta itu
serta kedua pendeta yang datang hendak menolongnya.
It Tie mengawasi kedua pendeta itu, bibirnya bergerak gerak.
Kemudian kedua pendeta lalu menjura, setelah mana, keduanya
terus mengundukan diri, berlalu dari tempat itu. Teranglah ketua
Siauw Lim Sie itu menampik pertolongan orang orangnya.
Diam diam Siauw Pek berpikir "Luar biasa Bukankah It Tie
mempunyai kesempatan untuk meloloskan diri" Disekitar kita ada
banyak pendeta lainnya, asal dia kabur, pasti mereka itu akan
menghalang halangi pihakku yang akan mengejarnya Kenapa dia
tak mau pergi" "
Dengan perlahan pemuda ini berpaling kepada soat Kun, sambil
mengawasi sinona, ia berkata didalam hati^ "Tak tahu dengan cara
apa nona ini dapat membuat It Tie suka tunduk terhadapnya.
Sungguh aneh..."
Tiba-tiba sianak muda mendengar pertanyaan nona itu.
"Apakah kau merasa aneh" "
"Benar," jawab sianak muda terus terang. "Makin lama aku makin
bingung." "Semasa hidupnya guruku," sinona memberi keterangan, "ia
sering mengajari aku perihal sifat manusia, tentang pelbagai
perasaannya, terutama mengenai kelemahannya. sifat itu terbagi
tiga macam. Gutuku berkata, makin seorang jahat dan kejam, makin
dia takut mati..."
Sinona menghela napas, setelah itu ia melanjutkan^ "it Tie
adalah tergolong lemah hatinya Dia cerdas dan licik, dia kejam
sekali, tetapi diapUn. takut mati. Maka itu, asal kelemahannya itu
dapat dikuasai, dia dapat dipengaruhi"
"Oh begitu, nona" " kata sianak muda, heran dan kagum. "Jadi
dia takut mati disebabkan dia khawatir racun didalam tubuhnya
nanti bekerja membetot nyawanya" Dia takut nanti tak tertolong
maka juga tak berani dia buron"
"Terkaan kau benar sebagian saja, bengcu," berkata Soat Kun.
"Siauw Lim Sie mempunyai macam obat juga obat pemunah racun,
kalau It Tie dapat pulang, dia bisa menolong diri dengan memakai
obatnya itu. Itulah berarti sebagian harapan hidupnya. Kenapa dia
tak mau mencobanya" "
"Inipun benar," Siauw Pek mengakui didalam hati. Tapi toh ia
bertanya: "Habis, kenapa It Tie tetap tidak mau lari" "
soat Kun menjawab, perlahan^ "Dia bersangsi, dia mencurigai
aku adalah konconya. Dia menyangka aku sedang menjalankan
tugas di dalam kuil Siauw Lim Sie, kedudukan it Tie sangat tinggi
dan mulia, akan tetapi dimana Seng Kiong Sin Kun, dia tak lebih tak
kurang daripada seorang prajurit pesuruh. Maka itu dia sangat
menghormati orang orang dari Seng Kiong."
"Apakah sebabnya itu, nona" "
Sianak muda tetap belum mengerti jelas.
"Sebabnya ialah, Sebelumnya It Tie menjadi ketua partainya dia
sangat menginginkan dan mengharap harap kedudukan ketua partai
itu. Lalu datang orang orang Seng Kiong, yang membantu dia
memperolehnya. Dengan begitu mungkinkah orang seng Kiong
memperkenankan dia melakukan apa yang dia suka" Pastilah
kemerdekaannya dikekang dengan pelbagai cara"
"Siauw Lim Sie besar dan kuat, tak dapatkah Siauw Lim Sie
memberontak dan melawan Seng Kiong" "
"Nah, disini kita kembali kepada sifat manusia, kepada
kelemahannya, ia cacatnya" berkata sinona. "Sebenarnya, didalam
hatinya, tak nanti It Tie tunduk dengan sesungguh sungguh hatinya,
tetapi suasana, atau keadaan, memaksanya tunduk. Yang paling
diakui olah It Tie bukanlah soal Seng Kiong nanti mengirim
orangnya yang liehay untuk datang ke Siauw Lim Sie merampas
jiwanya. Sebagai ketua Siauw Lim Sie, dia dapat mengatur
penjagaan kuat guna melindungi keselamatannya. Seng Kiong boleh
mempunyai banyak orang kosen tetapi tak usah It Tie khawatir.
Yang dia takuti yaitu takut nanti Seng Kiong membeber rahasia
kejahatannya. Kalau rahasianya dibeber, dia bukan saja bakal tak
menjadi ketua Siauw Lim Sie lagi, bahkan sebaliknya, dia akan
menjadi simurid murtad, murid pendurhaka secara demikian didalam
waktu sekejap saja dia bukan ketua Siauw Lim Sie yang diagungkan
dan dimalui"
"Habis nona, bagaimana nona dapat membuatnya menuruti
segala kehendakmu, buat duduk berdiam saja tanpa bergerak
bergeming" "
"Itulah sebabnya pertama-tama dia takut racun nanti bekerja,
dan kedua dia mencurigai akulah orang Seng Kiong, karena itu, tak
berani dia menantang aku."
"Jikalau demikian adanya, habis kenapa nona tak
menginginkanBan Huhoat menotok jalan darah pendeta itu" "
"Tepat pertanyaan ini, bengcu Tidak saja bengcu gagah perkasa
tapi juga kau cerdas sekali, kau telah maju pesat sekali. Bilang terus
terang, kecerdasan orang tampak dari kecerdikannya, dari cara
pemikirannya yang lengkap sempurna, yang nyalinya besar dan
teliti. Di dalam ilmusilat itu berarti pandai mencari bagian bagian
tubuh yang lemah dan berbahaya untuk dijadikan sasaran
penyerangan-.."
Nona Hoan berhenti sejenak, baru ia menambahkan^ "Sekarang
ini It Tie tengah mencurigai aku sebagai utusan Seng Kiong, tetapi
nanti kalau kita berbicara dengan para tiangloo, pasti kecurigaannya
itu bakal segera lenyap sendirinya, lalu dia telah merasa merdeka
seluruhnya..."
Selagi mereka bicara itu, tiba tiba tampak satu bayangan orang
melesat datang. Kiranya itulah Han In Taysu, yang datang untuk
menyampaikan laporan. Sambil berdiam dekat muda mudi itu,
pendeta itu berkata, "Nona Hoan suasana rupanya."
"Apakah itu" " tanya si nona.
"Baru saja loolap turun dari atas pohon," menjawab sang
pendeta tua. "Selagi memasang mata keempat penjuru, loolap
melihat muncul tak kurang dari pada lima ratus jiwa pendeta Siauw
Lim Sie yang tengah mendatangi kearah sini... Mungkin mereka
hendak mengurung kita..."
"Apakah sekarang sudah tiba waktunya para tiangloo muncul" "
tanya si nona. Han in menengadah kelangit.
"Mungkin belum waktunya..."
"Kalau begitu, perintahkanlah semua orang bersiap ditempatnya,
tetapi dengan sedikit perketat diri" Nona Hoan menitahkan.
"Nona," berkata Han in heran, "kalangan Ngo Heng Tin sudah tak
luas, kalau itu diperkecil pula. bukankah kita jadi berada ditempat
kecil" "
"Inilah terpaksa, taysu," berkata Soat Kun.
Ketika itu Ban Liang bersama Oey Eng, Kho Kong dan Giok Yauw
telah datang berkumpul. Bertambah kuat kepercayaan dia itu
terhadap Nona Hoan sejak si nona menawan it Tie taysu.
Segera nona itu memesan: "Kecuali sangat terpaksa, jangan
huhoat sekalian turun tangan Ban huhoat tolong perhatikan, begitu
lekas para tiangloo muncul, segera kau totok It Tie beberapa kali,
jangan terlalu keras dan juga jangan terlalu ringan, cukup asal dia
tak dapat bicara dan bergerak. Ingat, jaga jangan sampai dia roboh
" "Baik, nona," Ban Liang memberikan janji.
Nona itu menghela nafas. Ia berkata pula. "Inilah saat penting
terakhir, harap kalian waspada, tak dapat kita membuat para
tiangloo gusar, atau misaikan kita bisa taklukkan it Tie, itu tak ada
gunanya. Yang penting ialah membuat semua pendeta Siauw Lim
Sie tunduk dengan hati ikhlas"
"Apakah nona telah memperoleh kepastian" " tanya Ban Liang.
"Aku masih ragu ragu tapi aku mengharap sangat bisa
menaklukkan pihak Siauw Lim Sie."
"Bagaimana cara nona hendak berbicara dengan para tiangloo
itu" " tanya pula Ban Liang. Dia berduka hingga dia menarik nafas.
Dia ragu-ragu. "Aku akan menunjukkan kenyataan kepada mereka. Yang
kukuatirkan ialah mereka memberati muka mereka hingga mereka
tak sudi menggubris hal yang sebenarnya. Apabila itu terjadi,
pertumpahan arah tak dapat dihindarkan lagi."
"Apakah rencana nona andaikata kita mesti bertempur" " Ban
Liang masih menanya.
"Tak dapat kita mengandaikan tenaga kekuatan saja"
"Bicara buruknya, nona, bagaimanakah sikapmu" "
"Jikalau terpaksa, mesti kita tumpas Siauw Lim Sie hingga dia tak
akan dapat bangkit pula "
"Sungguh hebat," pikir sijago tua. "Sudah berabad-abad Siauw
Lim Sie berkenamaan, sungguh sayang kalau dia runtuh ditangan
seorang wanita..." Karena berpikir begitu, ia segera berkata
perlahan: "Kalau bisa, nona, janganlah kita menanami permusuhan
hebat dengan pihak Siauw Lim sie..."
"Itu juga maksudku, Ban Huhoat. Harap kau melegakan hati,
Kecuali sangat terpaksa, tak nanti aku mengambil jalan terakhir.
Kita cuma ingin lolos dan selamat, bukan" "
Mendengar pembicaraan itu, Giok Yauw dan lainnya berpikir
masing masing. siauw Pek percaya penuh kepada kemampuan si
nona. Buktinya It Tie dapat ditawan secara mudah sekali.
Giok Yauw baragu ragu.
Oey Eng dan Kho Khong kurang percaya, sebab setahu mereka,
Siauw Lim sie sesungguhnya sangat kuat.
Han In Taysupun bersangsi, ia separuh percaya separuh tidak.
Karena pikiran mereka itu berbeda, semua menjadi berdiam saja.
soat Kun dapat menerka hati sekalian kawan itu, maka ia segera
menambahkan. "Memang sulit kita mengandal kepada kekuatan
tenaga saja, walaupun demikian, mesti ada jalan pemecahannya. "
Pembicaran mereka terputus oleh kata kata Han In Taysu "Ada
orang lagi mendatangi. Mungkin ditawannya It Tie ada yang
melaporkan, maka juga para tiangloo muncul siang siang."
Siauw Pek segera berpaling. Iamelihat datangnya seorang
pendeta tua dengan jubah putih, yang jalannya perlahan, pertanda
dari kesabaran dan ketenangan-Dia datang seorang diri tanpa
membekal senjata. Mestinya dia datang bukan untuk bertempur.
Selekasnya dia datang dekat, pendeta itu menghentikan
tindakannya. Dia tidak menanti sampai ditegur atau disapa. Segera
dia mengangkat tangannya memberi hormat seraya berkata:
"Loolap ialah su Kay. Diantara Siecu sekalian, siapakah yang
memegang tampuk pimpinan" "
"Ada pengajaran apakah, taysu" " tanya Soat Kun.
"Para tiangloo kami mendengar halnya diantara siecu sekalian
dengan pihak Siauw Lim Sie telah terjadi salah paham benarkah itu"
" "Itulah benar. Apakah pendapat taysu" "
Mata Su Kay menatap It Tie "Loolap diutus datang kemari untuk
mengundang satu atau dua siecu datang ke kuil kami untuk
menemui para tianglo. Entah siecu dapat menerima undangan ini
atau tidak" "
"Baik, taysu, kami bersedia," sahut Soat Kun "Tetapi, kami minta
supaya ketua kamu ditinggal disini sebagai orang tanggungan."
Berkata begitu, si nona segera mengangkat naik tangannya
merapikan rambutnya, yang turun dikedua pipinya. Dia membawa
sikap yang wajar sekali, sedang Soat Gie tersenyum.
Ban Liang telah dipesan si nona, melihat gerak-gerik si nona itu,
mengertilah ia akan tugasnya. Ia segera bertindak kepada It Tie
untuk menotok pendeta itu.
It Tie tidak berdaya, mudah saja ia kena ditotok. Ia tidak
memperlihatkan reaksi. Tetapi Su Kay Taysu yang liehay melihat


Pedang Golok Yang Menggetarkan Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perbuatan Ban Liang, ia dapat menerka maksudnya itu, ia menjadi
kurang puas. "Siecu sikapmu ini kurang tepat " katanya.
"Apakah itu, taysu" " si nona berpura2 pilon.
"Semenjak berdirinya, pihak siauw Lim Sie belum pernah dipaksa
orang" jawab Su Kay. "Nona telah menculik ketua kami, itulah satu
soal, tetapi sekarang, tengah kita berbicara, kenapa ketua kami itu
ditotok jalan darahnya" "
"Selama kami menawan ketua kalian, taysu, tak pernah kami
menotok dia." berkata Nona Hoan, menerangkan "tetapi sekarang
karena taysu datang mengundang kami untuk menemui para
tiangloo, terpaksa kami membuat penjagaan."
"Kalau ketua kami tak ditotok," berkata pula Su Kay dingin,
"kenapa sejak tadi-tadi walaupun dia melihat loolap, dia bersikap tak
tahu menahu. Tak peduli" "
"Dia tengah berpikir banyak hal, dari itu dia tak melihat taysu."
Su Kay sangat sabar, bisa ia menguasai diri "Diantara siecu, siapa
kah yang akan pergi" "
"Itulah bengcu serta kami berdua saudara, bertiga orang. Jumlah
ini terlalu banyak atau tidak" "
"Yang mana bengcu siecu itu" Dapatkah loolap menemuinya" "
tanya Su Kay itu. Siauw Pek maju dua tindak.
"Itulah aku yang rendah," sahutnya. Ia memperkenalkan diri
tanpa menanti isyarat dari Soat Kun lagi.
Su Kay menatap tajam anak muda itu, sinar matanya dingin.
"Sungguh siecu sangat muda," katanya sabar.
"Taysu cuma memuji" berkata sianak muda.
Masih Su Kay mengawasi ketika ia berkata "Menurut aktanya
murid murid Siauw Lim sie, siecu mahir sekali menggunakan golok
dan pedang, apabila ada kesempatannya, pastilah loolap sudi
menerima pengajaran dari kau, siecu..."
"Jikalau taysu sudi memberi pengajaran kepadaku, rela aku
menemaninya." sahut Siauw Pek.
Mendengar suara orang yang polos dan merendah itu, Su Kay
Taysu tertawa bergelak. "Sungguh seorang muda yang gagah"
pujinya. "Para tianglo pastilah tengah menantikan kita," Soat Kun
menyela, "karena itu, taysu, mengingat usiamu yang tinggi, aku
percaya, tidakkah karena kata kata taysu ini, taysu akan
menghambat urusan besar kita..." Su Kay merasai teguran halus itu.
Ia mengangguk. "Benar," katanya. "Baiklah, nanti saja habis pertemuan dengan
para tiangloo, baru loolap belajar kenal dengan kepandaian bengcu.
Masih belum terlambat, bukan" Nah, dapatkah kita berangkat
sekarang" "
"Sembarang waktu, taysu"
"Mari loolap yang mengantarkan" berkata pula si pendeta, yang
terus memutar tubuh dan membuka langkahnya. Soat Kun berpaling
kepada Han In Taysu. "Segala apa disini aku serahkan kepada
taysu," pesannya.
Pendeta tua itu mengangguk. "Akan loolap coba," sahutnya.
sekarang si nona menoleh kepada Siauw Pek. "Mari kita
berangkat" katanya. Ia merapihkan calanya. Demikian mereka
berangkat dengan Su Kay Taysu berjalan dimuka.
Nona Hoan dapat berjalan dengan leluasa, walaupun sebelah
tangannya terus berada pada bahu Soat Gie. Siapa yang tidak tahu
pasti tak akan menyangka bahwa ia bercacat kedua matanya.
Siauw Pek berjalan didepan kakak beradik itu, sejarak dua tindak.
Sesudah melintasi beberapa halaman, tibalah rombongan ini
disebuah halaman dimana tertanam segundukan pohon bambu
hijau. Disitu terdapat banyak sekali pendeta, yang semua
mempersenjatai diri, yang mengawasi para tetamunya dengan sinar
mata tajam akan tetapi tak seorang punjua yang mengganggu.
Tiba dimuka pintu, Su Kay Taysu menghentikan tindakannya.
"sudah sampai" katanya, memeritahu "Silahkan masuk "
Pendeta ini masih saja panas hatinya tetapi ia tetap menguasai
diri, untuk terus berlaku tenang dan hormat.
Siauw Pek mengangkat kepalanya, untuk melihat papan dimuka
pintu itu. Ia membaca tigahuruf "Tay Pie Ih" Jadi itulah halaman
maha kasih, yang tertuliskan huruf huruf air emas.
"Silahkan, taysu" berkata Soat Kun, yang telah memperoleh
kisikan Soat Gie,
"Maaf," berkata Su Kay, yang kemudian memimpin masuk.
Dengan sabar Siauw Pek bertiga mengikuti pendeta itu, masuk
kedalam halaman. Didalam sini banyak pohon bunga, yang
mengitari sebUah pavilyUn, yang seluruhnya diberi berwarna
kuning. Undakan tangannya berjumlah tujuh tingkat.
Su Kay Taysu bertindak naik pada tangga itu, untuk masuk
kedalam pavilyun.
Siauw Pek mengikuti bertindak masuk. Karena ia tahu ia berada
ditempat berbahaya,
kedua tangannya meraba gagang golok dan pedangnya. Ia
bersikap tenang tapi waspada.
Didalam pavilyun, asal wangi mengepul bergulung gulung,
menyerang hidung mendatangkan rasa nyaman-Diantara kepulan
asap itu tampak sembilan orang pendeta tua tengah duduk bersila.
Jubah mereka berwarna abu abu. Diantara mereka itu terdapat juga
su Lut, sedangkan Su Kay bersila dipaling ujung.
Sembilan pendeta duduk sambil meluruskan tangan
kehadapannya, tangan kanan berada atas tangan kirinya.
Menyaksikan sikap para pendeta itu, rasa hormat Siauw Pek
datang sendirinya.
"Para taysu, terimalah hormatnya coh siauw Pek yang bertingkat
lebih muda," katanya sambil memberi hormat.
Pendeta yang duduk paling tengah, yang usianya paling tua
membuka matanya. Dia mengawasi si anak mdua. "Silahkan duduk.
siecu," katanya, perlahan-Suara pendeta itupenuh dengan
kewibawaan. siauw Pek mengambil tempat duduknya. soat Gie mengajak
kakaknya duduk disamping ketuanya itu. untuk mereka telah
tersedia pou toan, tempat duduk istimewa untuk kaum pendeta.
Pendeta yang ditengah itu mengangguk kepada Soat Kun berdua,
dengan hormat ia menanyakan she dan nona nona itu.
Soat Kun yang menjawab, menyebut namanya sendiri serta nama
adiknya itu. Pendeta tua itu berkata pula, perlahan lahan: "Kalian
bertiga datang ke siauw Lim Sie ini dan telah melakukan kekerasan
hingga bagaikan langit terbalik dan bumi ambruk. juga kalian telah
menurunkan tangan jahat membinasakan dan melukai banyak murid
Siauw Lim Sie kami, apakah maksud kalian" "
Nona Hoan yang mananggapi pertanyaan pendeta itu. Ia
berkata: "Partai taysu dipandang umum sebagai gunung Tay San
atau bintang Pak Tauw dari kaum Rimba Persilatan, semua orang
Rimba Persilatan menghormatinya. Partai taysu kecuali ilmu silatnya
sangat tersohor juga jumlah anggotanya banyak sekali, tenaganya
besar bukan main. Masih ada lagi, yaitu partai taysu sejak beberapa
ratus tahun biasa mengutamakan kebenaran dan keadilan, setiap
terdapat bencana dunia Sungai Telaga, orang orang partai taysu tak
mau berpeluk tangan saja, selalu suka membantu
menghindarkannya. Maka juga dimata kami, penghormatan kaum
Rimba Persilatan terhadap partai taysu adalah karena kebenaran
dan keadilan yang dijunjung itu."
"Siecu cuma memuji" berkata sipendeta. "Tapi loolap ingin lekas
lekas mengetahui duduk kejadian yang sebenarnya, maka itu tolong
siecu terangkan apa maksudnya maka siecu sekalian telah
menyerbu masuk ke dalam kuil ini hingga terjadinya peristiwa itu
yang menyedihkan. . . "
"Maksud kedatangan kami sebenarnya untuk mencari kebenaran,
untuk menyelesaikannya," sahut Soat Kun, "akan tetapi diluar
dugaan kami ketua kalian sudah mengandalkan kekuatan untuk
menindas si lemah, dia telah memerintahkan para muridnya
mengurung dan menyerang kami. Demikianlah, karena terpaksa,
kami sudah melakukan usaha membela diri kami"
"oleh karena itu lalu siecu menggunakan tangan jahat siecu itu
membunuh dan melukai beberapa murid kami" " tanya sipendeta
itu. "Pada saat membela diri mati matian, itulah sesuatu yang
terpaksa," kata Nona Hoan-"Dalam hal ini kami mohon maaf!!"
Pendeta itu berdiri sejenak. baru dia berkata pula^ "Tak peduli
apa maksud kedatangan siecu sekalian, akan tetapi kalian telah
melukai banyak murid siauw Lim Sie, hal itu sungguh tidka tepat
Loolap menjadi ketua dari Tiang Loo Hwee, mana dapat loolap
bertopang dagu tak mengurusnya..."
"Tiang Loo Hwee" ialah musawarah para tiangloo, pendeta
pendeta tua dan Agung.
Berkata begitu pendeta tua mengangkat mukanya. Ia menghela
napas. "Sudah beberapa ratus tahun Siauw Lim Sie berkenamaan,
dapatkah itu dibiarkan saja" "
"Dengan demikian, taysu," berkata soat Kun "karena cuma
membela nama besar dari Siauw Lim Sie lalu kebenaran dan
keadilan hendak diambaikan."
Pendeta itu menoleh kepada delapan pendeta lainnya, "Nah,
sutee sekalian," katanya "Kalian telah dengar kata kata siecu ini,
bukan" " Dengan serempak. kedelapan pendeta itu menjawab
mengiakan. "Sekarang sutee sekalian," kata sipendeta tua pula,
"bagaimanakah pandangan kalian" Silakan utarakan itu dengan
terus terang." Su Kay Taysu yang mulai bicara.
"siauwtee mempunyai satu pemandangan yang cupat," katanya.
"Siauwtee" ialah "adik kecil" untuk membahasakan dirinya sendiri
sebagai adik. "Pandanganku benar atau keliru tolong suheng dan
sute sekalian menimbangnya."
"Bicaralah, sutee."
"Mereka demikian bernyali besar telah mendatangi dan menyerbu
kuil kita ini, itu tentu ada maksudnya, karena itu, siauwtee minta
suheng dan sutee sekalian mencari tahu sebab yang sebenarnya
itu." kata Su Kay.
Seorang pendeta, yang duduk dikiri ketua itu, lalu berkata.
"Siauwtee tak berani menyetujui pikiran Su Kay sutee." Dialah Su Ie.
Sipendeta tua mengernyitkan alisnya. "Apakah pendapatmu,
sutee" " tanyanya.
"Walaupun perkataan Su Kay sutee mempunyai alasan tetapi
urusan dalam kita tak dapat dibeberkan dihadapan orang luar" kata
pendeta itu "Habis, begaimana pendapat suheng" " langsung Su Kay tanya
kakak seperguruan itu.
"Menurut pikiranku," Su Ie menyatakan terus terang. "paling
dahulu kita tangkap hidup semua orang Kim Too Bun yang
menyerbu kuil kita ini, terus kita hukum mati sesudah itu baru kita
urus urusan dalam kita sendiri."
su kay Taysu menghela napas perlahan-"Sungguh kukagum buat
kesetiaan Su Ie suheng yang hendak membela nama baik kita,
kaum Siauw Lim Pay" berkata ia bersabar "akan tetapi dengan
Dendam Iblis Seribu Wajah 24 Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Seruling Samber Nyawa 7
^